buku bersatu membangun kuasa-2

Upload: yabes-wanimbo

Post on 16-Jul-2015

580 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Geliat Perlawanan Basis

Pusat gerakan perlawanan terhadap politik dominan pemerintah dan keamanan yang dikerjakan adalah menjadikan Kota Madya Sorong sebagai sentral informasi dan kampanye. Sedangkan sentral-sentral gerakan perlawanan dipusatkan di beberapa titik, yaitu: 1. Di Ibukota Kota Madya Sorong. 2. Kampung Malaumkarta (Distrik Makbon - Kabupaten Sorong) 3. Kampung Mega (Distrik Moraid - Kabupaten Sorong) 4. Kampung Fef, Bamusbaiman, dan Bamusbama (Kabupaten Tambrauw) 5. Kampung Marey dan Meyah (Kabupaten Maybrat) 6. Semua kampung di Distrik Seremuk (Kabupaten Sorong Selatan) 7. Aimas (ibukota Kabupaten Sorong) 8. Kampung Warimak, Waifoi, Arawai, Beo (Distrik Teluk Mayalibit - Kabupaten Raja Ampat) 9. Kampung Yenbekaki (Distrik Waigeo Timur - Kabupaten Raja Ampat) Sembilan wilayah kampung dan dua wilayah dalam kota di tiap-tiap kabupaten ini dipilih berdasarkan karakteristik wilayah kebudayaan yang menjadi dasar gerakan perlawanan.

Sekilas Sejarah Suku Malamoi (MOI)Wilayah Kepala burung Provinsi Papua Barat didiami salah satu suku, yaitu suku Moi. Moi berasal dari kata Malamoi, yaitu dua suku kata mala yang berarti burung atau tanah luas dan moi yang berarti halus, lembut. Kata ini lahir pada saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan, yaitu

175

Geliat Perlawanan Basis

Tambrau dan Maladofok. Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan perempuan dan Tambrau sebagai kekuatan lakilaki. Teges Maladum adalah wilayah orang-orang Moi pertama tinggal, kemudian berkembang dan mulai melakukan migrasi ke Manokwari, Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat. Suku Moi percaya nenek moyangnya keluar dari Gunung Maladofok dan dunia ini dimulai dari gunung itu. Hampir semua suku di wilayah Kepala Burung berasal dari satu nenek moyang Kelinplasa (disebut sebagai menara Babel) di daerah Maladofok. Mereka kemudian terpencar karena menara yang sedang dibangun roboh oleh air bah dan semua orang naik mencari perlindungan di gunung. Karena Waktu itu Tuhan menghukum dengan bahasa yang lain, demikian menurut seorang tua adat. Orang-orang yang hanyut ke tempat lain kemudian hidup terpisah-pisah dan sekarang menjadi suku-suku baru: suku Ayamaru dengan marga-marga Salossa, Kambuaya, Sevaniwi, Bless, Sraun, Duwith, Bleskadith, Kondologit, Konjol, Kamesok, Salambau, dan Momot. Demikian dalam sejarah suku Moi yang menganggap tidak terpisah dengan suku Ayamaru dan Tehit (Teminabuan Sorong Selatan) ataupun suku Maya di Raja Ampat. Sedangkan yang tetap tinggal di tanah asal kemudian menjadi satu suku besar Moi, yang kemudian terbagi dalam 10 subsuku dan 100 marga, dengan sejarah tanah, sistem pembagian wilayah, dan bahasa yang satu. Dalam perkembangannya 10 subsuku ini masing-masing berdiri sendiri dan menganggap mereka suku tersendiri dan tidak ada hubungan sejarah apa pun dengan subsuku lain. Ada banyak rahasia adat yang tidak boleh diketahui orang luar, bahkan oleh orang Moi yang dianggap tidak pantas mengetahuinya.Mereka menyebut rahasia adat dan tempattempat keramat itu sebagai Hal-hal yang tidak boleh diketahui perempuan. Karena itu, kelompok masyarakat suku Moi dibagi dalam empat struktur yang telah ada sejak zaman batu, yaitu :176

Geliat Perlawanan Basis

1. Tokoh-tokoh adat Terdiri atas para Nedla meliputi: Neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya), ne foos (orang suci) serta pejabat-pejabat adat : Unsmas,Tukan, Finise (pemimpin pelaksana rumah adat, terdiri atas marga Ulimpa dan Do), tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan Kmaben. Kelompok ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku dan panglima perang yang berwenang melakukan sidang-sidang dan acara adat. 2. Alumni Pendidikan Adat (Wilifi) Adalah kelompok dalam struktur adat yang terdiri atas anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di kambik (rumah adat tempat pendidikan adat) dan telah diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina untuk menjadi pemimpin seperti kelompok pertama. Mereka yang diajarkan rumah adat ini belajar tentang filosofi kepemimpinan dan seluk-beluk adat-istiadat suku Moi secara lengkap. 3. Kelompok Laki-laki (Nedla) yang dikategorikan sebagai Nelagi (perempuan) Kelompok ini terdiri atas anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di kambik, sehingga dalam struktur adat Moi dikategorikan sebagai Nelagi. 4. Kelompok Nelagi Murni Adalah kelompok yang terdiri atas para perempuan Moi. Kelompok ini juga memiliki pemimpin dan tokoh perempuan. Mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan secara adat yang disebut Fulus (ilmu-ilmu khusus yang dapat dikuasai dan berkaitan dengan masalah perempuan).

177

Geliat Perlawanan Basis

Dari empat struktur kepemimpinan berdasarkan pendidikan adat tersebut, suku Moi percaya mereka telah menemukan banyak hal yang telah dipakai dunia baru sekarang ini dan mereka tidak merasa kaget dengan perkembangan yang ada. Karena pendidikan adat yang diperoleh di rumah adat mengenai segala hal yang menyangkut suku moi diatur. Misalnya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sistem perkawinan Sistem pembagian harta Sistem adat dalam mengatur perempuan Moi Sistem adat dalam hak ulayat tanah Sistem pembayaran adat bagi yang meninggal Sistem pendidikan Sistem bercocok tanam Sistem pengobatan Sistem marga dengan daerah-daerah keramat

1. Sistem Pendidikan Adat Suku Moi percaya segala sesuatu yang ada sekarang, misalnya bahan peledak, obat-obatan, merekayasa hujan, menyembuhkan orang sakit, membunuh orang dengan kekuatan magis secara massal, sampai menghilangkan diri dan menghilangkan orang lain, telah ada dan sudah dibuat masyarakat suku Moi sejak dulu. Mereka telah belajar dan mengajarkan secara turun-temurun semua unsur tersebut dalam sekolah adat yang disebut kambik. Masa pendidikan bervariasi, menurut jenis ilmu yang dipelajari. Mulai dari 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan, 16 bulan, hingga 24 bulan. Pendidikan adat ini bersifat tertutup dan rahasia, dan hanya boleh diikuti nedla (laki-laki). Perempuan tidak diperbolehkan ikut karena dikhawatirkan jika ikut dalam proses pendidikan di sekolah adat ini, maka kelak jika menikah akan menceritakan rahasia kambik kepada suaminya yang berasal dari marga suku lain. Orang Moi percaya nedla178

Geliat Perlawanan Basis

benar-benar menjadi laki-laki apabila telah mengikuti pendidikan di sekolah adat, karena dalam sekolah adat semua kekuatan Moi akan diturunkan oleh para guru adat. Setiap nedla yang tidak mengikuti pendidikan maka dalam struktur adat istiadat disebut sebagai masih perempuan atau masih telanjang. Biarpun seseorang pintar, jika belum melewati struktur sekolah adat, ia disebut masih bodoh atau telanjang atau perempuan. Sejak tahun 1960-an rumah pendidikan kambik dianggap oleh pemerintah dan aparat keamanan sebagai kelompok atau organisasi yang menentang pemerintah, sehingga dilarang penyelenggaraannya. Saat ini, jika diketahui ada sekolah adat kambik yang dibangun dan dibuka untuk menerima siswa, maka pemerintah dan aparat keamanan akan membongkar sekolah adat tersebut karena dianggap sebagai tempat pendidikan gerakan Papua merdeka. Pada tahun 1970-an pendidikan adat di kambik tidak diselenggarakan lagi karena dilarang oleh pemerintah, aparat keamanan, dan gereja karena dianggap sebagai tempat separatis dan kafir. Suku Moi, terutama para tua adat lulusan sekolah adat, berharap suatu saat sistem pendidikan adat ini dapat dibuka kembali. Saat ini hanya tinggal alumni kambik yang masih tersisa di kampung dan diangkat sebagai tokoh adat yang dihormati dan ditakuti karena memiliki kekuatan gaib. 2. Sistem Adat dalam Hak Ulayat Tanah Suku Moi percaya tanah adalah perempuan (mama/ibu). Berbicara tentang tanah berarti berbicara tentang perempuan. Tanah adalah ibu sehingga menjual tanah sama artinya dengan menjual ibu. Tanah dianggap sebagai sumber kehidupan, bagai ibu yang menyusui anaknya. Seiring dengan perkembangan zaman, falsafah ini mulai luntur pada diri orang Moi. Jual beli tanah179

Geliat Perlawanan Basis

semakin banyak terjadi, meski jual beli tanah bukanlah hal yang mudah. Sistem adat mengharuskan suku Moi yang ingin menjual tanah harus memanggil Muwe (saudara-saudara perempuan) jika tidak ingin terkena kutukan. Sebaliknya, jika seorang perempuan ingin menjual tanah warisannya, harus memanggil para saudara lelaki, jika tidak ingin dimasuki roh. Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan setiap orang terikat oleh tali kekerabatan yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Hak ulayat atas tanah adat itu telah diatur dalam lembaga adat. Hukum adat ini dipakai untuk membagi wilayah tanah adat kepada marga-marga yang ada di suku Moi. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah marga ditandai dengan berbagai benda alam, pohon kayu, sungai, batu, gunung, dan sebagainya. Seluruh marga yang ada di suku Moi telah mengetahui batas tanah mereka, sehingga tidak bisa sembarangan masuk ke dusun atau tanah marga lain. Setiap marga biasanya memiliki wilayah atau benda keramat masing-masing yang menjadi tanda tak terbantahkan atas kepemilikan tanah tersebut. Di antara beberapa marga, ada marga yang memiliki tanah besar (luas atau di beberapa wilayah), biasanya mereka keturunan anak kepala suku pada masa lampau. Marga-marga yang memiliki tanah luas ini secara otomatis akan menempati kelas yang penting, berpengaruh, dan dihormati dalam lembaga adat (mereka disebut sebagai orang kaya). 3. Sistem Pengobatan Tradisional Sejak dulu suku Moi telah mengenal berbagai jenis pengobatan untuk menolong warga yang sakit. Mereka memakai tali rotan, kulit kayu, daun-daunan, abu panas, buah-buahan tertentu, dan lain-lain sebagai sarana penyembuhan. Mereka juga memiliki sistem pengaturan kelahiran dengan baik, di mana saat istri hamil 3 bulan, suami akan memisahkan diri ke kampung lain sampai anak lahir dan berumur 4 tahun. Hal ini mereka lakukan180

Geliat Perlawanan Basis

untuk menjaga kesehatan ibu. Saat ini sistem tersebut sudah tidak berlaku lagi karena, telah ada fasilitas kesehatan yang disiapkan pemerintah. 4. Sistem Pembayaran Adat bagi yang Meninggal Setiap orang yang telah berkeluarga akan dikenai sistem pembayaran adat jika salah satu dari anggota keluarga meninggal dunia. Jika yang meninggal Istri, maka pihak suami diharuskan membayar secara adat. Pembayaran itu meliputi ganti susu, mata, rambut, tulang belakang (dibayar dengan sebilah parang), tengkorak (dibayar dengan gong), pinggang (dibayar dengan piring), darah (dibayar dengan nemala), dan lain-lain. jika suami meninggal, maka pihak perempuan (diwakili saudara laki-laki bapak) harus membayar piring dan gong. Sedangkan jika anak yang meninggal, maka pihak perempuan yang harus membayar karena dianggap istri tidak menjaga anak dengan baik sehingga sakit dan meninggal. Saat ini para pemuda Moi menganggap beban mas kawin laki-laki Moi berat sekali, karena dilakukan tidak hanya sekali saat melamar, tapi terus-menerus sampai akhir hidupnya. 5. Sistem Perkawinan Suku Moi pada zaman dulu tidak mengenal pacaran. Segala sesuatu menyangkut perjodohan diatur orang tua. Perempuan hanya tinggal di rumah menunggu kedatangan orang tua pihak laki-laki yang akan datang memintanya dari orang tuanya. Namun sebelumnya ada beberapa syarat bagi keduanya. Perempuan harus mampu menokok sagu, berkebun, mengetahui berbagai ramuan obat, membuat iviok (tempat ramas sagu), membuat noken, memasak papeda, dan membuat sagu. Sedangkan laki-laki harus mampu membuat rumah, berkebun, membuat perahu, berburu, dan berharta.

181

Geliat Perlawanan Basis

Jika kedua pihak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka kedua orang tua akan mengikat dengan tanda penyerahan mas kawin (sebelum mengenal kain, mereka memakai mas kawin botolbotol kuno). Sejak masuknya VOC, suku Moi mulai mengenal kain dan piring, karena saat itu terjadi pertukaran barang atau barter secara besar-besaran dalam perdagangan. Sejak itu orang Moi memakai kain teba dan kain kain putri air namanya agmai yang khusus dibuat dari kulit kayu dan dimiliki orang-orang tertentu. Kini kain-kain itu hampir tidak ada lagi karena pemiliknya telah meninggal dunia. D isamping kain dan piring, mas kawin yang diberikan juga berupa uang. Setelah ada kesepakatan bersama, maka ditentukan waktu untuk membayarkan harta kedua muda-mudi yang harus dilalui dengan acara adat yang disebut guling rokok sebagai tanda mas kawin laki-laki yang ada di bilik kudus (ruang khusus tempat menaruh barang) akan dilihat oleh orang tua pihak perempuan. Jika lengkap sesuai dengan yang diminta, barulah si laki-laki dan perempuan bisa dipertemukan. Sebelum mas kawin dibayarkan, mereka belum bisa bertemu, karena pada zaman dulu laki-laki tidak bisa sembarang melihat perempuan. Sengaja mengintip perempuan dari jendela saja, laki-laki bisa didenda. Denda juga diterapkan untuk orang yang menyebut nama kemaluan orang lain. Jika seorang perempuan berjalan, maka laki-laki harus di belakang, tidak boleh mendahului. Adat istiadat itu dipegang teguh, bahkan membunuh bisa menjadi hukuman bagi yang melanggarnya. Tetapi kini semua aturan dan adat istiadat itu telah terurai sedikit demi sedikit, dan tak ada sanksi apa pun bagi pelanggarnya.

Sistem Penyelesaian KonflikHukum adat suku Moi yang paling keras adalah soal batas tanah adat. Jika ada pelanggaran batas wilayah, bisa terjadi perang182

Geliat Perlawanan Basis

suku. Demikian juga antar marga. Konflik besar bisa terjadi jika sebuah marga mengklaim tanah milik marga lain. Konflik antar marga biasanya diselesaikan dengan cara mengundang para orang tua adat yang paham tentang hukum adat dan sejarah tanah. Struktur kekerabatan dan sejarah pewarisan selalu digunakan sebagai cara untuk menelusuri siapa pemilik sah atas tanah. Namun jika para orang tua yang turun tetap tidak bisa menyelesaikan, karena masing-masing marga yang bertikai tetap mempertahankan keyakinannya, maka jalan terakhir adalah kedua pihak diminta menunjukkan benda keramat sebagai bukti sah kepemilikan tanah yang tidak bisa ditawar lagi. Jalan akhir ini pada zaman dulu biasanya hanya diterapkan dalam konflik antar suku dan dilakukan untuk mencegah pertumpahan darah dan perang suku. Sengketa tanah antara marga Kalami dan Sapisa telah berlangsung hampir setahun lebih. Sebidang tanah di pesisir kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, yang selama ini dikelola keluarga Sapisa, tiba-tiba diklaim oleh marga Kalami sebagai miliknya. Orang tua adat berkumpul untuk menyelesaikan masalah ini, karena konflik tidak bisa diselesaikan secara musyawarah oleh kedua marga. Bahkan kerabat Kalami, seorang pengacara hukum, telah mengajukan kasus ini ke pengadilan. Karena kedua pihak tetap mempertahankan haknya, maka para orang tua adat kemudian memutuskan mengambil jalan terakhir. Keluarga Sapisa diminta mengeluarkan benda keramat sebagai bukti kepemilikan yang sah. Siang itu disepakati sebagai hari penentuan. Keluarga Sapisa diwakili Pendeta Paulus Sapisa STh memimpin pengambilan benda keramat dari dalam gua penyimpanan harta keluarga. Pengambilan ini tidak mudah. Beberapa orang yang ikut serta bercerita, Kami seperti berputar-putar saja di satu tempat. Sulit sekali menemukan gua itu. Pendeta Sapisa kemudian mulai mengucapkan doa adat

183

Geliat Perlawanan Basis

dan mohon izin kepada nenek moyang untuk meminjam bendabenda keramat, bukan mengambil selamanya.Tak lama kemudian gua ditemukan. Beberapa orang yang berbadan tegap masuk dan mengambil beberapa barang dan membawanya ke tempat sidang adat. Saat itu kami semua terdiam dalam sunyi, kenang seorang saksi sidang adat itu. Benda-benda keramat itu dipikul masuk. Saya lihat wajah pemuda yang memikulnya pucat pasi dan kaki gementar. Beberapa orang yang hadir, termasuk saya, sampai melompat ke pintu karena tidak bisa menahan perasaan aneh saat empat buah batu pengasah parang diletakkan di dalam ruangan. Batu-batu itu bentuknya sederhana tapi telah kelihatan tua. Beberapa saksi menyatakan, Pantai Malaumkarta mendadak gelap seperti malam hari. Hujan deras turun dan kilat besar menyambar-nyambar. Air laut seperti diaduk oleh sendok besar. Hujan kemudian reda dan saat langit terang kembali, orang-orang menemukan banyak ayam peliharaan orang-orang di kampung seberang beserta kandang-kandang, juga pohon-pohon yang tumbang, berserakan terapung di tepi pantai Teluk Dore tengah laut.Tidak ada korban jiwa dalam badai yang berlangsung selama hampir dua jam itu. Marga Kalami akhirnya menyerah dan mengakui kebenaran tanah itu milik marga Sapisa. Banyak peristiwa ajaib terjadi, membuat orang Moi percaya pada penyelesaian adat daripada hukum formal. Bagi mereka, pengadilan versi pemerintah dengan mudah bisa dipermainkan dan dibeli oleh pihak yang memiliki uang, namun pembuktian adat adalah keputusan alam yang tidak bisa ditawar dengan apa pun.

Perlawananan Mempertahankan Identitas BudayaKrisis identitas sebagai ras Papua Melanesia di negeri sendiri akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung elemen-elemen rasisme, etnocide, dan pengabaian kultur. Misalnya184

Geliat Perlawanan Basis

kebijakan Keluarga Berencana di Papua yang membatasi kelahiran anak-anak sementara pertambahan penduduk Provinsi Papua dipompa menggelembung melalui program transmigrasi ataupun peningkatan sarana transportasi laut dan udara. Fenomena kebijakan ini cenderung dinilai orang Papua sebagai etnocide. Larangan terhadap pengembangan kebudayaan-kebudayaan lokal di Papua Barat, juga pembunuhan terhadap budayawanbudayawan Papua seperti yang terjadi pada April 1984 terhadap Arnold Clemens Ap dan Edward Mofu oleh Komando Pasukan Khusus. Pemerintah Jakarta menganggap pengembangan kebudayaan Papua Melanesia berpotensi menciptakan disintegrasi. Dominasi birokrasi pemerintah maupun akses ekonomi oleh para migran juga turut mendorong proses krisis identitas ini. Ketiga akar persoalan tersebut terus menjadi penyebab aksi-aksi protes dan perlawanan rakyat yang berbuntut pada siklus sentral konflik berkepanjangan di Papua. Konflik ini tidak diselesaikan oleh pemerintah Jakarta secara menyeluruh dan konstruktif. Namun, sebaliknya, memunculkan konflik baru dengan menggunakan senjata melalui aksi-aksi militer yang menurut orang Papua hanya terus menambah daftar korban pelanggaran HAM atau lahirlah padang kejahatan kemanusiaan abadi di Papua Barat. Pandangan bahwa orang Papua bangsa yang primitif, bangsa yang terbelakang dan bodoh, sampai saat ini masih terdengar di masyarakat dan telah menciptakan kultur yang tidak seimbang dalam pergaulan antara penduduk asli dan pendatang. Pemahaman ini tergambar dalam berbagai bentuk perlakuan yang tidak manusiawi, entah dalam bentuk kebijakan peraturan ataupun dalam bentuk pola-pola pendekatan pembanguan. Hal ini mendorong kesadaran kolektif orang Papua untuk membangun diri sendiri sebagai wujud pernyataan sikap akan keberadaanya

185

Geliat Perlawanan Basis

sebagai suatu bangsa dan menyatukan langkah untuk berjuang bersama melawan ketidakadilan. Dalam kebersamaannya orang Papua menyadari akan adanya tiga persoalan utama. Pertama, penyangkalan sejarah terhadap keberadaannya, baik secara antropologis maupun secara politik. Kedua, adanya upaya sistematis untuk menghancurkan kebudayaan Papua. Ketiga, terjadinya ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan.

Budaya Papua Kian Luntur dan Kehilangan Identitas DiriSeni budaya Papua adalah salah satu identitas diri yang menunjukkan kepribadian dari suku-suku yang mendiami pulau Papua. Secara nasional, kebudayaan Papua adalah hamparan kebudayaan. Keragaman budaya etnis Papua adalah warisan leluhur yang memiliki atau terkandung nilai-nilai dasar yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi sosial dengan: Alam gaib (dengan roh-roh nenek moyang) Alam semesta (seluruh ekosistem alam) l Sesama etnis (hubungan kekerabatan) l Antar-etnis dan dunia luar (hubungan kerja sama)l l

Tataran nilai-nilai dasar tesebut dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sejak tanah Papua didatangi oleh dunia luar, terutama misionaris, negara-negara Eropa dan Asia. Keterkaguman akan tradisi budaya Papua sekaligus keindahan dan kekayaan sumber daya alam, membuat Papua menjadi ajang perebutan untuk dikuasai. Akan tetapi budaya papua dianggap budaya kafir yang harus di perbaiki, diperbarui, dan bila perlu dimusnahkan karena menjadi penghalang untuk peradaban baru yang dibawa masuk. Demikian kadang stigma dan slogan yang dikumandangkan untuk membuat perubahan di Papua.186

Geliat Perlawanan Basis

Upaya Penghancuran Nasionalisme dan Identitas PapuaSejak masuknya Injil (pengaruh ajaran Kristen) di Tanah Papua pada 5 Februari 1855, kebudayaan Papua mengalami pergeseran yang drastis. Pergeseran tersebut dari waktu ke waktu kian menyurutkan eksistensi budaya Papua. Banyak contoh yang menunjukkan telah terjadi pergeseran nilai budaya Papua, yang secara sadar ataupun tidak sadar, sedang dan akan terus dialami orang Papua. Beberapa contoh konkrit dapat kita simak. 1. Penghancuran dan pembakaran rumah-rumah bujang (sarana pendidikan tradisional) oleh para misionaris, dengan dalih kafir dan orang harus ikut sistem pendidikan modern dan baca Alkitab, karena itu yang bukan kafir. 2. Pergantian nama-nama tradisional (nama tanah) dengan nama-nama Eropa atau tokoh-tokoh dalam sejarah Yahudi dan Arab. Misalnya Ishak atau Ismail. 3. Penamaam tempat yang bertentangan dengan nama lokal. Misalnya Dobonsolo menjadi Cycloop, Numbay menjadi Jayapura. 4. Kebiasaan menari cha-cha-cha daripada Yospan. 5. Kegemaran mengunyah permen karet daripada makan pinang. 6. Kegemaran menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah sendiri dalam berkomunikasi dengan kelompok sesuku dan suku lain. Pandangan ini bukan ekstrem menunjukkan sikap rasial Papua, namun orang Papua sendiri tidak menyadari bahwa dalam beberapa generasi yang akan datang mereka akan kehilangan

187

Geliat Perlawanan Basis

identitas budaya (sama seperti orang Afro-Amerika atau orang Afrika yang telah berada di Amerika). Secara alamiah setiap kelompok manusia (suku) di mana pun selalu mengalami akulturasi (percampuran budaya). Sejak dulu orang Papua sudah tahu tentang konsep hari kiamat dan surga, serta mesias atau tokoh pembebas, namun karena masuknya pengaruh unsur religi dari luar seperti ajaran Kristen dan Islam, maka orang Papua segera meninggalkan ajaran agama suku, dan dianggap sebagai kepercayaan kafir. Contoh ini dapat dilihat pada pandangan orang Biak dan Raja Ampat tentang manarmakeri dan koreri, pandangan orang Ndani/Nduga tentang nabelan-kabelan/ naberal-kaberal, pandangan orang Nimboran tentang kaisep dan wairam, atau pandangan orang Wandamen dan Waropen tentang kuri dan pasai. Apakah semua pandangan ini salah dan harus dianggap kafir? Mengapa dianggap kafir? Misalnya pernyataan sederhana yang disampaikan Dr. Benny Giay, Seandainya kitorang yang duluan kenal tulisan, maka pasti orang di dunia akan percaya sama koreri dan bukan surga. Pernyataan ini bukan bermaksud menyalahkan agama Kristen atau Islam, namun hendak menunjukkan bahwa orang Papua menerima kedua ajaran agama tersebut sebagai bagian dari proses akulturasi, sehingga mengadopsi nilai-nilai kedua ajaran tersebut kedalam pemahaman budaya orang Papua. Namun, apakah pernyataan ini masih relevan, ketika dikritik oleh kelompok masyarakat yang menyandera dua warga Belgia di Ilaga? Ini kamu dua bawa pulang kamu pu gereja dengan agama ini, ucap seorang Ilaga sambil menyerahkan Alkitab dan sebuah kaos bergambar wajah Yesus kepada Dr. Beny Giay dan Theo van den Broek OFM. Apakah tindakan orang itu pantas disebut kafir? Tindakan tersebut sebenarnya secara spontan menunjukkan bahwa nilai-nilai Kristen yang dulu diadopsi ke dalam pemahaman

188

Geliat Perlawanan Basis

orang Ilaga (atau juga orang Papua) mungkin pada saat ini sudah tidak sepadan dengan pemahaman religi mereka, karena bias merdeka merupakan nilai yang sepadan dengan pemahaman religi orang Ilaga (atau juga orang Papua). Saat ini banyak pihak menjadi kebingungan, karena melihat perubahan karakter yang terjadi pada orang Papua. Misalnya aksiaksi demonstrasi damai hingga kerusuhan (contoh kasus Wamena 7 Oktober 2000, Abepura 2006), dan perang suku di Timika (20042005, 2009-2010), adalah bentuk ekspresi rakyat yang sekian tahun ruang berdemokrasinya dikekang. Semua peristiwa tersebut bila dikaji dan dilihat dari sisi budaya lokalnya, yang sangat bertentangan dengan aturan perang orang Ndani dan suku-suku lain di Pegunungan Tengah, yang mengatur bahwa pembunuhan terhadap lawan yang tidak memiliki senjata, perempuan, dan anakanak adalah suatu pelanggaran perang, sehingga pelaku harus membayar denda kepada pihak lawan. Banyak saudara perempuan yang hamil sebelum menikah, yang dulu jarang terjadi (sebelum masuknya ajaran Kristen atau Islam di Papua), atau hal-hal lain. Terakhir adalah minuman keras yang begitu subur di Papua dan menjadi salah satu mesin pembunuh orang Papua. Kondisi tersebut saat ini merupakan masalah sosial dan budaya cermin hidup di Papua. Mengapa? Jawabannya bisa beragam. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya fenomena tersebut. Namun, yang paling mendasar adalah faktor budaya. Ke mana budaya orang Papua yang dulu, sehingga semua ini muncul? Atau mungkin budaya orang Papua sudah mati?

Spirit dan Orientasi Kebudayaan PapuaKekuatan spiritual yang tersirat dalam kebudayaan Papua secara umum dapat dijumpai dalam kesamaan mitologi rakyat,

189

Geliat Perlawanan Basis

tari, lagu, nilai-nilai budaya, ideologi, sistem nilai, kekerabatan, aturan sistem barter dalam adat, dinamika budaya dari dampak ajaran agama Kristen, bahasa lokal, idealisme lokal, dan ideologi Papua. Spirit dan orientasi kebudayaan Papua yang secara umum dapat dilihat dan ditemui dalam cara pandangnya terhadap alam dan sesama manusia. 1. Konsepsi terhadap hakikat hidup. Semua kebudayaan di dunia ini memiliki konsep tentang hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya, dan bagaimana menjalaninya? Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang hingga terbentuk persepsi terhadap hakikat hidup. Soal hakikat hidup itu terdapat bermacam tanggapan. Ada yang memandang dan menanggapi hidup ini sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari; sebagai kesempatan untuk menebus dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan diri; menerima sebagaimana adanya; dan berbagai tanggapan lainnya. 2. Konsepsi terhadap karya manusia. Tanggapan tentang arti karya terdapat banyak variasi yang ditampilkan berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau bekerja sebagai aktivitas yang memberikan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat atau mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja adalah pernyataan tentang kehidupan; bekerja adalah intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lain yang menunjukkan bagaimana manusia hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.

190

Geliat Perlawanan Basis

3. Konsepsi terhadap alam. Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga terdapat persepsi yang berbeda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan kehidupan yang bahagia bagi manusia dengan mengolahnya. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang harus dipelihara keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang sakral dan maha-dahsyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya bisa menerima sebagaimana adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam. Dan berbagai tanggapan lainnya. 4. Tanggapan terhadap waktu. Ada berbagai tanggapan tentang waktu menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya. Ada yang beranggapan bahwa orientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup menjadi sesuatu hal yang amat penting. Sebaliknya, ada pula kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Mereka memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting. Warga dari kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau ataupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan pada masa sekarang. 5. Tanggapan terhadap sesama manusia. Ada kebudayaan yang menanamkan pada masyarakatnya pandangan terhadap sesama manusia bahwa hubungan vertikal manusia dengan sesamanya amat penting. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan

191

Geliat Perlawanan Basis

serupa selalu berpedoman pada pola kepemimpinan lokalnya dan atau pada tetua- adatnya. Dengan demikian mereka selalu dijadikan anutan bagi warganya. Di sisi lain ada juga yang menanamkan pandangan bahwa hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya sebagai yang terbaik. Dalam pola hubungan ini mereka akan merasa amat tergantung pada sesama, dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesama kaum kerabat dianggap amat penting dalam hidup. Dalam kebudayaan seperti ini, individualisme amat dipentingkan dan sangat menghargai orang yang mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan dari orang lain. Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah suatu nilai yang mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depan dengan lebih saksama dan teliti. Oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan berhemat. Kita semua tahu sifat hemat yang meluas amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal. Berbagai keterangan etnografi tentang kebudayaan di Papua membawa kita pada kesimpulan bahwa orientasi seperti itu tidak dijumpai pada kebudayaan-kebudayaan di Papua. Memang ada beberapa suku di Papua yang mengenal prinsip akumulasi modal, misalnya orang Meybrat, orang Me, dan orang Muyu. Namun, modal yang telah diakumulasi itu dipakai habis untuk penyelenggaraan upacaraupacara adat seperti upacara inisisasi (pada orang Me), upacara pemakaman kembali (pada orang Muyu), dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang Meybrat). Ada kecenderungan umum untuk menyelenggarakan upacara-upacara, baik yang bersifat ritus maupun pesta biasa, dalam suasana meriah yang berlebihan sehingga menghabiskan tenaga dan biaya besar.

192

Geliat Perlawanan Basis

Orientasi budaya yang berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam akan menambah inovasi, terutama inovasi teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu harus memanfaatkan teknologi yang kian disempurnakan. Penggunaan teknologi asing tidak bisa begitu saja dipakai, tetapi memerlukan adaptasi yang saksama. Usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan mentalitas yang selain menilai tinggi hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan ketelitian. Orientasi nilai budaya yang berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam guna berinovasi kurang menonjol. Hal ini bersumber pada kepercayaan tradisional yang sampai sekarang belum hilang dimana banyak kebudayaan di Papua meyakini bahwa alam sekitar tempat hidup manusia terdapat kekuatan-kekuatan gaib yang harus ditakuti dan dihormati karena mengontrol kehidupan manusia. Itu menjadi penyebab suatu nilai budaya tidak aktif terhadap lingkungan alam. Di satu pihak pandangan untuk mengharuskan hidup harmonis dengan lingkungan alam adalah baik, karena searah dengan pandangan globalisasi sekarang yang berwawasan lingkungan, namun di pihak lain pandangan tersebut mematikan daya cipta untuk berinovasi. Walaupun ada pengetahuan tentang produk-produk alam tertentu, misalnya jenis-jenis tanaman atau tumbuhan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional, pengetahuan seperti itu biasanya terbatas dalam lingkungan keluarga sendiri atau dalam kelompok tertentu. Pengetahuan tersebut tidak dikembangkan dan disempurnakan sebagai pengetahuan umum yang berguna bagi bagi kepentingan bersama. Walaupun ada hasrat untuk memanfaatkan sumber-sumber alam dalam berbagai aktivitas ekonomi, kegiatankegiatan itu terbatas hanya pada tingkat kepentingan keluarga inti. Lebih tinggi hanya sampai pada tingkat keluarga luas. Namun, tidak ada upaya ke arah peningkatan yang lebih tinggi yang mencakup masyarakat secara luas.

193

Geliat Perlawanan Basis

Menilai tinggi usaha atau karya orang yang dapat mencapai hasil, sedapat mungkin atas usahanya sendiri, adalah manifestasi dari orientasi nilai budaya menghargai karya manusia. Sikap untuk menilai tinggi usaha seseorang dalam masyarakat mendorong orang untuk mengintensifkan usahanya untuk memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini di satu sisi menumbuhkan rasa percaya diri dan berkarya sendiri dan pada sisi lain menumbuhkan rasa tanggung jawab. Catatan tentang orientasi seperti ini penting, karena berguna bagi pembangunan. Apabila kita menggunakan unsur budaya sistem kepemimpinan tradisional di Papua sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaan-kebudayan orang Papua, kita akan menjumpai bahwa orientasi nilai budaya menilai tinggi upaya orang terdapat pada banyak kebudayaan di Papua. Misalnya pada orang Meybrat, orang Me, orang Muyu, orang Dani, dan orang Asmat yang mengenal sistem kepemimpinan tradisional yang dalam kajian-kajian antropologi dan sosiologi dikenal dengan sebutan big man atau pria berwibawa. Dalam kebudayaankebudayaan itu kita jumpai kedudukan pemimpin didasarkan atas usaha perseorangan. Dalam kebudayaan orang Meybrat, seseorang yang berhasil dalam upayanya untuk melaksanakan dan mengintensifkan sistem pertukaran kain timur berupacara sangat dihargai masyarakat. Wujud nyata dari penghargaan itu adalah pengakuan terhadap orang yang berhasil sebagai pemimpin masyarakat, disebut bobot. Jadi, kedudukan pemimpin dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kemampuan usaha seseorang. Kedudukan seperti ini disebut kedudukan pencapaian (achieved status). Demikian pula halnya dalam kebudayaan orang Me, di samping pandai berdiplomasi, bermurah hati, dan jujur, seseorang yang berhasil terutama dalam bidang ekonomi (mempunyai banyak kebun yang luas, memelihara babi, dan mempunyai banyak istri) sangat dihargai dan diakui sebagai pemimpin dalam194

Geliat Perlawanan Basis

masyarakat. Orang seperti itu disebut tonowi atau sonowi, yang berarti pemimpin dan orang kaya. Orientasi menilai tinggi usaha orang terdapat juga pada orang Muyu. Hal itu dapat dilihat pada penghargaan yang diberikan kepada seseorang untuk menduduki posisi pemimpin, kayepak, dalam masyarakat, karena keberhasilan usahanya untuk menyelenggarakan upacara pesta babi yang menjadi fokus kebudayaan orang Muyu. Orientasi nilai budaya menghargai usaha orang juga terdapat pada kebudayaan orang Dani dan Asmat. Pada orang Dani ataupun Asmat, upaya seseorang untuk menampilkan dan mengukuhkan diri sebagai seorang pemimpin perang sangat dihargai dan dinilai tinggi. Sebab, perang merupakan sarana untuk memperlancar berbagai aktivitas kehidupan manusia, baik yang bersifat kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara ritus. Penghargaan terhadap orangorang yang berhasil menjadi pemimpin perang adalah pengakuan masyarakat terhadap mereka sebagai pemimpin perang dan pemimpin masyarakat. Secara keseluruhan kebudayaan Papua menunjukkan dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan manusia Pertama, ada kebudayan yang sangat kuat berorientasi vertikal. Hal ini terutama terdapat pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal sistem kepemimpinan berbentuk kerajaan. Misalnya, kebudayaan yang terdapat di Semenanjung Onim dan daerah Kowiai serta kepulauan Raja Ampat. Juga pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal sistem kepemimpinan kepala klen atau kepemimpinan Ondoafi yang didukung sukusuku yang berdiam di bagian timur laut Papua Barat seperti orang Tabla, Skouw, Nimboran, Sentani, dan penduduk Teluk Yos Sudarso (Teluk Humboldt). Kedua, ada kebudayaan di Papua Barat yang sangat kuat berorientasi horizontal. Misalnya pada orang Biak hubungan antar195

Geliat Perlawanan Basis

warga dalam kelompok kekerabatan amat kuat, menyebabkan kepentingan kelompok kekerabatan lebih diutamakan daripada kepentingan individu. Di antara warga kelompok kekerabatan terdapat perasaan solidaritas yang amat tinggi yang didasarkan pada pandangan pars-prototo sebagian berarti keseluruhan. Pandangan demikian menimbulkan rasa aman pada diri warga kelompok kekerabatan, karena akan selalu dibantu saat mengalami kesulitan. Sebaliknya, pandangan ini menimbulkan kewajiban untuk terus-menerus berusaha memelihara hubungan baik dengan sesama dan sedapat mungkin membagi keuntungan dengan sesama. Kekuatan budaya ini memegang peran sangat mendasar untuk mengikat masyarakat adat Papua untuk melakukan perlawanan rakyat terhadap kekuatan represif negara, TNI, Polri, swasta/investor, pemerintah daerah, lembaga agama, kelompok resistensi, dan LSM. Spirit rakyat inilah yang kemudian digali dan dikembangkan Grup Mambesak dalam semboyan Menyanyi untuk hidup, dari dulu, kini, dan nanti. Nilai filosofi yang tersirat dalam semboyan ini adalah kehidupan spritual rakyat selalu diungkapkan dalam lagu dan tari untuk memperjuangkan hak-hak budaya rakyat Papua. Dengan lagu dan tari, seseorang dapat mengungkapkan perasaan duka, gembira, kepahlawanan, kebencian, dan lain-lain terhadap seseorang individu, kelompok, dan suku. Dampak dari ungkapan ini dapat mengakibatkan perang, permusuhan, perdamaian, persahabatan, dan sebagainya. Melihat kekuatan budaya yang dimiliki masyarakat sebagai alat perekat ini, maka dengan kekuatan yang dimiliki negara berusaha melakukan tindakan represif oleh militer dengan melakukan tekanan-tekanan dan tindakan ketidakberpihakan pemerintah daerah dalam pengembangan budaya lokal. Tindakan eksploitasi manusia dan budaya Papua oleh pemerintah, militer,

196

Geliat Perlawanan Basis

dan misionaris adalah fenomena tersendiri yang turut memberi warna dalam penghancuran budaya rakyat Papua. Sistem pemerintahan yang berbasis ideologi budaya Jawa (jawanisasi budaya lokal) turut memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat pendatang dalam mengeksploitasi budaya Papua untuk kepentingan bisnis mereka. Keseluruhan sistem ini berkembang dengan subur dari tahun ke tahun. Selain itu tidak adanya aturan daerah yang melindungi hak cipta masyarakat lokal Papua.

Penghancuran Budaya Papua secara Sistematis dan TerencanaJika dilihat dari sudut proses, peminggiran budaya Papua dimulai dari kata-kata (verbal), tindak-tanduk (behavioral), dan perampasan paksa (performance). Sementara itu resistensi masyarakat adat juga seirama dan setara dengan tingkatan proses tersebut. Penghancuran yang sistematis terhadap eksistensi masyarakat adat dan budaya yang dimiliki dilakukan melalui: 1. Pendidikan Rumah Adat dan Pendidikan Formal Pendidikan formal (sekolah) sebagai impian dan harapan akan membuka pikiran dan wawasan serta membuat orang menjadi kritis. Di sisi lain, ketika proses pendidikan sekolah diberlangsungkan dengan penuh indoktrinasi, akan mencabut orang Papua dari akar budayanya. Itulah fenomena yang sedang terjadi di Papua. Anakanak didoktrin untuk melecehkan budaya sendiri. Para petani dianggap berladang liar. Ladang modern adalah sistem sawah di Jawa. Sedangkan sagu, keladi, dan ubi-ubian sama sekali tidak pernah dibicarakan. Padahal, sistem pendidikan nonformal yang diperoleh masyarakat adat Papua yang diajarkan dalam rumah

197

Geliat Perlawanan Basis

adat itulah yang dipraktikkan, misalnya cara bercocok tanam yang baik dan berburu yang baik. Maka anak-anak Papua tumbuh menjadi manusia asing di negeri sendiri yang memusuhi budaya sendiri. Pikiran mereka berubah dari pikiran nyata menjadi pemimpi. Mereka lebih mengenal hal-hal yang berada di luar kemampuan berpikir dan kerjanya daripada yang ada di sekitar mereka. Pola pikir semacam ini memberikan sumbangan yang sangat signifikan terhadap proses kepunahan kebudayaan Papua. Pendidikan nonformal yang telah turun-temurun dilakukan orang Papua di rumah adat, saat ini tidak lagi dilaksanakan karena pusat pendidikan adat telah dimusnakan oleh pemerintah, militer, dan lembaga keagamaan (Kristen dan Islam), karena dianggap sebagai pusat gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan dianggap oleh misionaris dan agama Kristen sebagai tempat penyembahan berhala. Budaya-budaya di luar superculture tersebut dianggap primitif, biadab, kanibal, sehingga manusianya harus diubah. Dan itu identik dengan Papua. Terlebih masalah pengembangan budaya di Papua selalu distigmakan sebagai kegiatan yang bersifat separatis yang berusaha merongrong keutuhan integritas negara. Kondisi ini dapat dilihat pada berbagai kasus dan stigma yang dialamatkan kepada masyarakat adat yang berusaha mengembangkan budaya lokal, dan secara khusus melalui sistem pendidikan nonformal yang diselenggarakan di rumah adat. Sistem dan pola pendidikan dalam rumah adat tidak dijumpai lagi karena masyarakat adat Papua takut terhadap berbagai ancaman dari pemerintah dan militer. 2. Dominasi Budaya Luar Selama masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan kebudayaan memiliki tiga ciri utama. Pertama, budaya dipersempit198

Geliat Perlawanan Basis

hingga menjadi seni budaya. Kedua, pengembangan budaya harus berorientasi dunia bisnis (komersial). Ketiga, pertunjukan seni budaya harus sejalan dengan kemauan pemerintah. Dengan demikian terjadi pendangkalan-pendangkalan nilai, bentuk, fungsi, dan makna kebudayaan. Seiring dengan itu terjadi pemasungan, pemerkosaan, dan dominasi terhadap budaya-budaya etnik. Di beberapa tempat di Papua, penyelenggaraan pesta kawin, pesta budaya, pertujukan, pelantikan ketua adat, dan upacara adat harus terlebih dahulu mendapat izin lisan dari kepolisian. Dominasi budaya luar Papua berkembang dengan begitu cepat dari kota ke kampung, tanpa ada proteksi yang dilakukan pemerintah daerah ataupun masyarakat adat. Lembaga-lembaga adat yang dibentuk untuk tetap mempertahankan eksistensi budaya lokal, saat ini telah beralih fungsi dan mengurus politik. Tekanan budaya luar yang begitu besar telah menghadapkan masyarakat pada pilihan-pilihan ekonomis dan politik dengan mengesampingkan budaya.

Inisiatif Membangun Gerakan Perlawanan RakyatDari berbagai fakta dan kasus yang disebutkan, sudah sepantasnya semua pihak merumuskan strategi bersama untuk mengatasi berbagai persoalan yang sedang dan terus berlangsung di tanah Papua. Tentu dalam melaksanakan perubahan dan penanganan masalah, tiap-tiap pihak memiliki strategi sendiri. Namun yang penting adalah pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah. Sebab, tanpa pendekatan budaya, upaya menyelesaikan masalah saat ini akan mengalami hambatan. Melihat dan menyelesaikan masalah secara holistik melalui pendekatan budaya mutlak dilakukan setiap orang yang menyatakan diri pelaku pembangunan di tanah Papua.

199

Geliat Perlawanan Basis

Strategi Perlawanan Membangun Kekuatan RakyatStrategi yang saat ini dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal sebagai kekuatan untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar suku, adalah melalui berbagai kegiatan-kegiatan pendidikan di kampung-kampung, seperti: 1. Monitoring dan Investigasi Kegiatan ini terus dilakukan di beberapa wilayah yang dianggap strategis dalam membangun kesadaran rakyat, seperti telah ditampilkan (lihat peta halaman 2).Tujuannya agar mendapat informasi dan data berbagai kasus di wilayah tersebut untuk kemudian dilakukan advokasi. 2. Pendidikan Kritis Dari berbagai kasus yang disebutkan, langkah strategis yang sudah dan sedang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan pendidikan kritis di kampung-kampung di 9 wilayah yang telah ditetapkan. Kegiatan pendidikan kritis ini berkaitan dengan minimnya informasi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan pendidikan kritis: 1. Diskusi-diskusi rutin di 9 wilayah target 2. Pelatihan-pelatihan khusus (investigasi, monitoring, dokumentasi) 3. Pembentukan sanggar-sanggar belajar alternatif yang bisa berfungsi sebagai pusat belajar 4. Pelatihan usaha ekonomi 5. Penelitian

200

Geliat Perlawanan Basis

6. Dokumentasi audio visual 7. Penyusunan modul-modul pendidikan kritis

Konsolidasi Gerakan BudayaPembangunan dan penindasan, penundukan, atau penghancuran terhadap budaya Papua dilakukan secara sistematis. Dari hal yang bersifat vebal (pelecehan dan penghinaan lisan dan tertulis), behavioral (contoh yang disertai dengan tindakan dan perilaku), dan performance (perampasan) sumbersumber kehidupanan sosial, budaya, ekonomi, religius, dan politis masyarakat adat. Terhadap yang verbal, masyarakat Papua merespons dengan tindakan sikap empati walaupun sebenarnya mereka secara mental sangat terpukul oleh berbagai bentuk penghinaan verbal. Artinya, bentuk-bentuk resistensinya adalah masyarakat menerima itu dan menggabungkan dengan politik yang kemudian memunculkan gerakan perlawanan secara kolektif. Resistensi terhadap contoh perilaku, masyarakat menerima dan mengadaptasikan pola perilaku yang baru. Atau mereka berpindah ke tempat permukiman baru yang bebas dari gravitasi modernisasi. Sikap perlawanan terhadap perampasan paksa adalah terpaksa lawan balik. Upaya terakhir adalah tindakan extra-legal, yakni merampas balik apa yang telah dirampas, atau membakar, melakukan perlawanan fisik. Tindakan ini biasanya dilakukan apabila tindakan-tindakan lain tidak mendapatkan hasil atau tidak didengar. Baru setelah aksi ekstralegal itu biasanya pihak-pihak terkait mengajak masyarakat adat berunding. Perlawanan balik yang dilakukan masyarakat terhadap fonemena sosial dan budaya yang terjadi saat ini di Papua, yang sebenarnya merupakan perlawanan budaya, telah digabungkan dengan masalah politik. Sikap apatis dan pragmatis yang dialami masyarakat cukup memberi ruang yang besar untuk melakukan refleksi diri sekaligus melakukan perlawanan terhadap

201

Geliat Perlawanan Basis

kondisi yang dialami, yang tidak pernah menemukan jawaban atas berbagai masalah yang dialami. Fokus utama yang dianggap penting adalah mengupayakan sekolah-sekolah adat (kambik, dan lain-lain) yang dulu dilaksanakan masyarakat adat di wilayah Kepala Burung dapat dihidupkan kembali. Memang untuk menghidupkan kembali sekolah adat tantangannya sangat besar, karena stigma negatif (sekolah separatis, kafir) masih melekat pada pendidikan nonformal ini. Untuk menghindari dan mengurangi stigma negatif tersebut, bentuk yang ditawarkan adalah melaksanakan pendidikan adat dalam bentuk yang lain, yaitu melalui sanggar-sanggar belajar yang dibangun di kampung-kampung dapat dijadikan sebagai pusat belajar adat. Dengan demikian, pendidikan adat diharapkan dapat membangkitkan kembali kesadaran kolektif masyarakat untuk melestarikan dan menjadi aset pertahanan rakyat dalam menghadapi perubahan politik yang terjadi dari waktu ke waktu. Konsolidasi gerakan budaya ini dilalui dengan membentuk kelompok-kelompok sel grup adat untuk mulai mendiskusikan kembali nilai-nilai budaya yang dimiliki serta membangun kekuatan budaya lokal untuk mempertahankan diri. Selain itu, gerakan budaya ini diharapkan dapat menjadi media belajar bagi generasi muda di wilayah-wilayah sasaran. Dengan pendidikan melalui sekolah-sekolah adat, alam sebagai sumber kehidupan dan tempat tinggal bagi makhluk hidup akan terpelihara dan dapat dimanfaatkan masyarakat adat Papua secara arif dan berkelanjutan. Semangat mengaktifkan kembali sekolah adat terus berjalan dan masyarakat adat, khususnya lulusan sekolah adat, mulai menyadari pentingnya sekolah adat dalam rangka mempertahankan dan memproteksi dari ekspolitasi sumber daya alam oleh orang luar yang selama ini merusak alam dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pemilik tanah dan hutan adat.202

Geliat Perlawanan Basis

Langkah awal membangun gerakan sekolah adat adalah melakukan survei di wilayah yang ditetapkan. Juga membangun pemahaman dan kesadaran bersama tokoh adat agar gerakan budaya melalui sekolah adat dapat berjalan untuk melindungi aset budaya masyarakat yang saat ini tertekan. Di sisi lain langkah ini merupakan strategi untuk memproteksi hutan adat masyarakat dari kerusakan hutan akibat aktivitas penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH dan pembukaan lahan kelapa sawit. Salah satu contoh gerakan ini adalah munculnya kesadaran masyarakat adat dan lembaga adat di Seremuk, Kabupaten Sorong Selatan, untuk melindungi wilayah hutan dan tanah adatnya melalui Deklarasi Adat pada November 2009 di Kampung Mlaswat. Harapannya, wilayah-wilayah lain yang menjadi target berikutnya mengikuti jejak ini untuk melindungi hutan-hutan adatnya.

Kampanye PublikUntuk membangkitkan kesadaran masyarakat umum akan pentingnya alam dan budaya, dilakukan beberapa kegiatan: 1. 2. 3. 4. 5. Pergelaran musik dan lagu Mambesak Pameran buku koleksi Belantara - Proton dan Mitra Dialog budaya dan HAM Eksebisi melukis di kanfas dengan ludah pinang Ekspedisi turun kampung untuk melakukan pendidikan kritis, diskusi, pergelaran musik di kampung, dokumentasi foto dan audiovisual, assessment, monitoring, dan lain-lain 6. Dialog interaktif di RRI melalui Gelar Senat (media informasi pendidikan kritis tentang lingkungan hidup dan budaya)

203

Geliat Perlawanan Basis

Respons Masyarakat Adat di 9 Wilayah Basis Gerakan Perlawanan BudayaKe mana identitas budaya lokal harus dicari? Bagaimana melakukan usaha-usaha proteksi terhadap pengaruh budaya luar? Sampai saat ini belum ada kerja serius yang dilakukan LSM untuk melihat permasalahan budaya di Papua. Kalaupun ada, hanya bersifat titipan dalam berbagai program yang dilakukan. Usaha ke arah kemandirian masyarakat untuk melakukan proteksi diri belum dilakukan LSM. Belum ada LSM yang bergerak khusus di bidang budaya untuk melakukan kegiatan revitalisasi budaya lokal Papua. Yang terjadi justru menjamurnya grup musik - tari yang tumbuh, berkembang, bubar atau mati, karena mengejar popularitas semata. Usaha-usaha pemberdayaan masyarakat adat pewaris aktif budaya untuk mengembangkan dan melestarikan budaya lokal tidak berjalan. Kehancuran alam dan budaya Papua mulai dirasakan dan kebangkitan kesadaran mulai terbentuk di masyarakat dengan membentuk pertahanan-pertanahan kolektif sendiri. Contoh dari proses panjang membangun kesadaran kolektif ini mulai muncul: 1. Kelompok berdasarkan kesamaan marga 2. Kelompok berdasarkan (se) kampung 3. Kelompok berdasar hubungan saudara senenek moyang/ keret/gen 4. Kelompok campuran/modern 5. Kelompok kesenian (kelompok Suling Tambur) 6. Kelompok berdasarkan suku yang mengklaim diri sebagai suku asli (LMA)204

Geliat Perlawanan Basis

7. Kelompok migran yang secara historis kultural dan religius telah berinteraksi begitu lama dengan alam dan manusia di daerah ini. 8. Kelompok budayawan dan seniman Kelompok-kelompok yang terbentuk ini merupakan bagian dari kesadaran akan identitas lokal yang kian tercabut dari budaya akibat kerusakan alam dan media-media budaya yang dimusnahkan oleh kepentingan politik dominan dari waktu ke waktu hingga saat ini. Upaya membangun kesadaran identitas budaya Papua merupakan gerakan budaya berperspektif pendidikan politik adat adalah kerangka berpikir membangun ideologi adat (perubahan sosial yang diinginkan) dan dengan menggunakan kesadaran apa, serta bagaimana membangun ideologi kerakyatan (masyarakat lokal) dan bagaimana merebut kembali keadilan yang direbut orang lain / negara dalam mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi, politik, sosial, kawasan adat, keamanan dan kepercayaan, budaya / identitas, sepanjang negara tidak mengakui kami. Tujuan Gerakan Perlawanan 1. Menunjukkan kepada dunia bahwa di belahan dunia ada satu etnik yang masih hidup dan memiliki nilai-nilai budaya yang sangat tinggi dan dapat dituangkan dalam bentuk tradisi lisan 2. Memperkenalkan budaya tradisi lisan etnik Papua 3. Mencari dukungan internasional untuk pelestarian dan pengembangan tradisi lisan etnik Papua

205

Geliat Perlawanan Basis

4. Menunjukkan kepada dunia bahwa meski dijadikan sebagai ladang penggarapan kekuasaan pemerintah dan militer, etnik Papua dapat mengimprovisasikan diri melalui tradisi lisan 5. Merebut kembali keadilan berekspresi budaya 6. Membangun jaringan kerja sama penyelamatan budaya tradisi lisan etnik Papua 7. Membangun ideologi kerakyatan etnik Papua untuk merebut kembali apa yang pernah dimiliki dengan membangun gerakan budaya berperspektif politik untuk mengusahakan perubahan sistem dengan membangun kapasitas kemandirian dan pendanaan Output yang Diharapkan 1. Perhatian dunia internasional terhadap budaya tradisi lisan etnik Papua 2. Usaha-usaha penyelamatan budaya tradisi lisan etnik Papua sebagai bagian dari situs budaya lokal dunia 3. Usaha-usaha revitalisasi pengembangan budaya tradisi lisan etnik Papua (internasional, nasiona, lokal) Harapan Tekanan kapitalisme dan krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan berpengaruh dan berdampak sangat besar terhadap kehidupan dan perkembangan budaya lokal di Papua. Oleh karena itu, pengakuan terhadap identitas budaya lokal masyarakat adat Papua merupakan wujud membangun

206

Geliat Perlawanan Basis

demokrasi, khususnya di bidang budaya. Wacana pengembangan demokrasi budaya Papua hendaknya dapat menciptakan ruang guna mewujudkan cita-cita, nilai-nilai pengakuan dan keyakinan yang terbaik bagi masyarakat adat untuk mengembangkan kreativitas budaya secara demokrasi dan mandiri. Adanya ruang yang luas merupakan bagian dari usaha untuk melakukan penguatan dalam pengelolaan manajemen budaya lokal sekaligus melakukan reorientasi dan reposisi ideologis untuk revitalisasi budaya lokal Papua. Di sisi lain, masyarakat adat Papua saat ini belum memiliki arah alternatif ideologis budaya yang akan membawa mereka ke tempat yang adil, makmur, dan sejahtera dalam mengelola budaya lokal akibat intervensi dan tekanan politik, militer, dan agama yang begitu kuat. Kondisi ini demikian kuat menekan sehingga menempatkan masyarakat adat Papua pada posisi dilematis dan traumatis berkepanjangan. Dampak lain, masyarakat adat Papua saat ini terjebak dalam arus globalisasi yang dilandaskan pada paham neoliberialisme. Selain itu, masyarakat adat Papua dilanda peperangan ideologis antara paham otonomisasi dan tuntutan aspirasi merdeka. Pertarungan ideologis ini membuat masyarakat dihadapkan pada berbagai pilihan yang kurang aspiratif dan cenderung menciptakan konflik internal dan eksternal dalam kehidupan masyarakat. Memberikan ruang untuk masyarakat mengembangkan dan mengorganisasi diri (institusi lokal) secara otonomi merupakan peluang yang tepat untuk mengembangkan demokrasi adat sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini guna membangun kemandirian dan kepercayaan masyarakat serta mengurangi tekanan politik pemerintahan dan militerisme.

207

Geliat Perlawanan Basis

Masalah pokok yang perlu menjadi perhatian dalam membangun demokrasi budaya Papua dalam ruang otonomi adalah mengembalikan kedaulatan budaya kepada masyarakat untuk menentukan pilihan-pilihan pengembangan budaya tanpa harus diwakilkan, karena demokrasi bukanlah kedaulatan yang diwakilkan. Dari persoalan di atas dapat diidentifikasi dua hal penting. Pertama, apakah masyarakat adat Papua masih memiliki hak untuk mengendalikan, mengontrol, atau mempertahankan sistem lokal atau tidak dalam iklim demokrasi saat ini? Karena pada kenyataannya budaya Papua hanya sebagai pelengkap dan pemuas kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan negara. Kedua, apakah masyarakat adat Papua masih memiliki kesempatan untuk memperjuangkan dan mengendalikan sistem lokal sendiri, tanpa tekanan politik dan kekuatan militer yang membelenggu kebebasan budayanya? Bila kebebasan budaya terus dikekang, suatu saat akan terjadi konflik budaya yang meluas di Papua (antar-orang Papua ataupun dengan orang luar) dan ini akan memperkeruh upaya membangun budaya damai yang selama ini diperjuangkan. Semoga.

208

Desa Budaya Lung Anai: Dilema Invensi Budaya yang Sirna dan Siasat Penguasaan Sumber PenghidupanSimpul Kalimantan Timur FBB Prakarsa Rakyat 1

Pembuka Jalan

K1

omunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, sontak menjadi perhatian elite Dayak sejak dikukuhkan sebagai Desa Budaya. Pada tahun 2005 tatkala Lung Anai diresmikan sebagai Desa Budaya, diselenggarakan pula PekenoqTulisan dipersiapkan oleh Abdullah Naim dan Roedy Haryo Widjono AMZ. Abdullah Naim adalah aktivis di Naladwipa Institute for Social and Culture Studies, sedangkan Roedy Haryo Widjono AMZ, Koordinator Komunitas Studi Silang Budaya (Nomaden Institute for Cross Culture Studies). Keduanya menetap di Samarinda, Kalimantan Timur.

209

Geliat Perlawanan Basis

Tawai (reuni) suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan se-Kalimantan Timur. Perhelatan akbar ini merupakan peristiwa pertama dalam sejarah kehidupan Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Sejak Lung Anai menyandang gelar Desa Budaya, pelbagai ritual adat yang sekitar 40 tahun ditinggalkan, mulai diutakatik dan diputar ulang untuk dihidupkan kembali dalam suasana kekinian. Terutama seiring dengan euforia otonomi daerah yang menempatkan kehidupan tradisional suku Dayak beserta sejumlah ritual adat sebagai komoditas pariwisata untuk meraup pendapatan asli daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Rame teqoajao2 (pesta panen) dan alaq tau (mencari hari baik dalam menanam padi) misalnya, merupakan ritual adat dalam siklus kehidupan orang Dayak Kenyah di Lung Anai yang diputar ulang untuk kepentingan agenda pariwisata. Bila ritual yang bertalian dengan adat perladangan dinyatakan dapat ditampilkan kembali sebagai komoditas budaya, tidak demikian halnya dengan ritual belian (penyembuhan) dan mamat bali akang (merayakan keberanian dalam tradisi mengayau). Kedua ritual itu masih menjadi perdebatan keras apakah bisa ditampilkan sebagai agenda budaya atau tidak. Argumentasinya, terutama karena dua ritual itu telah lama sirna sejak komunitas Dayak Kenyah memeluk agama Kristen Protestan. Sejatinya ritual adat yang direka-ulang diniatkan sebagai ikhtiar membangun kembali identitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Desa Budaya adalah jalan pembuka bagi rekonstruksi identitas Dayak Kenyah, sebagaimana dinyatakan Samuel Robert Djukuw,2 Ritual rame teqoajao atau pesta panen, biasanya menyuguhkan makanan tradisional dari hasil pertanian, seperti lemang (makanan yang terbuat dari ketan dimasukkan dalam bambu lalu dibakar), dan undrat (tepung beras ketan dicampur gula lalu dimasukkan dalam bambu, mirip lemang).

210

Geliat Perlawanan Basis

Ketua Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Kabupaten Kutai Kartanegara, yang juga Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Ihwal penemuan kembali (invention) kebudayaan Dayak Kenyah ini sejatinya menyimpan perkara menarik bertalian dengan persepsi dan sikap masyarakat sebagai konsekuensi logis terhadap penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Realitas sosial komunitas Dayak Kenyah di Lung Anai mengisyaratkan, selain ada yang antusias menyambut proyek Desa Budaya, ada pula resistensi dari warga setempat. Namun sesungguhnya terdapat ikhtiar strategi survival yang mereka terapkan untuk merebut sumber penghidupan yang selama ini tercerabut akibat gempuran modernitas. Dilema opsi itulah yang tertuang dalam tulisan ini, terutama mengenai resistensi dan siasat yang dimainkan komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai. Benarkah Desa Budaya merupakan jalan pembuka bagi upaya pemulihan identitas kultural Dayak Kenyah Lepoq Jalan?

Deskripsi Geografis dan DemografisOrang Dayak Kenyah Lepoq Jalan mulai bermukim di Lung Anai sejak tahun 1985. Mereka merupakan kelompok migran dari kampung Long Nawang dan Long Ampung di Dataran Tinggi Apo Kayan di perbatasan Indonesia - Malaysia, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Malinau. Peristiwa Ganyang Malaysia pada 1963 - 1966 memaksa komunitas Dayak bermigrasi ke tempat lain. Peristiwa Ganyang Malaysia di era kepemimpinan Soekarno merupakan salah satu tonggak sejarah migrasi orang Dayak Kenyah. Sejak perpindahan dari Apo Kayan (1967 -1974),

211

Geliat Perlawanan Basis

sebagian dari mereka menetap di Malaysia dan sebagian melakukan perjalanan panjang migrasi ke sejumlah wilayah di Kalimantan Timur. Hingga saat ini terdapat 22 kawasan konsentrasi hunian orang Kenyah Lepoq Jalan di Kalimantan Timur, di antaranya di Datah Bilang (Kabupaten Kutai Barat), Tepian Buah (Kabupaten Berau), Sentosa, Gemar Baru dan Long Segar (Kabupaten Kutai Timur), Ritan Baru, Lekaq Kidau, Sungai Bawang, dan Lung Anai di Kabupaten Kutai Kartanegara. Lung Anai semula salah satu dusun di Desa Sungai Payan, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Hunian orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai diapit kampung Kuntap di sebelah hilir, yang dihuni suku Dayak Tunjung Benuaq, dan di sebelah hulu adalah kampung Sentuk yang dihuni suku Kutai dan Banjar. Posisi perkampungan Long Anai tidak mengikuti pola ruang seperti kampung Kuntap dan Sentuk, yang membentang mengikuti alur sungai, melainkan membentuk pola huruf T dengan tidak mengikuti alur sungai. Warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai tidak memiliki rakit jamban sebagaimana lazim permukiman suku Dayak yang berada di tepi sungai. Bahkan sejak 1994, tatkala sumber air dari pegunungan dialirkan ke rumah warga, sungai bukan lagi menjadi esensi aktivitas mandi dan mencuci. Pola khas lainnya, tepat di ujung kampung permukiman warga terdapat jalan raya bekas jalan perusahaan HPH PT. ITCI. Jalan sepanjang 25 kilometer ini menghubungkan Lung Anai dengan ibu kota Kecamatan Loa Kulu. Orang Dayak Kenyah di Lung Anai lebih intensif menggunakan transportasi darat daripada transportasi sungai, terutama dengan alasan murah dan efisien. Sejatinya kultur kehidupan sungai lambat laun mulai mereka tinggalkan.

212

Geliat Perlawanan Basis

Sejak tahun 2007 dusun Lung Anai ditetapkan sebagai desa defenitif, meski secara administratif belum memenuhi persyaratan sebagai desa. Namun karena perjuangan para elite Dayak Kenyah yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan birokrasi di Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Lung Anai dapat ditetapkan sebagai desa. Bahkan, ditambah dengan gelar Desa Budaya. Selain persoalan komodifikasi kebudayaan, kehadiran mereka di Lung Anai sejatinya dikepung oleh ragam masalah. Stigma sebagai pendatang yang tak memiliki hak penguasaan sumber daya, menjadi persoalan hakiki dalam kehidupan mereka. Kebiasaan berladang niscaya membutuhkan areal yang cukup luas. Namun, sebagai pendatang, mereka dianggap tidak memiliki hak menguasai wilayah di sekitar desa. Contoh konkretnya, kawasan perladangan mereka di Benuang sebelah hilir Lung Anai statusnya adalah ladang yang dipinjamkan orang Kutai kepada warga setempat. Penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya mereka percayai sebagai salah satu peluang untuk memastikan kepemilikan sumbersumber penghidupan secara sah sebagai sarana mengekspresikan identitas budaya. Dalam benak mereka, tidaklah mungkin Desa Budaya tanpa memiliki areal ladang, pun areal perkampungan, karena tradisi perladangan dan model perkampungan lokal merupakan karakter identitas budaya Dayak Kenyah. Maka, diaspora geografis dan demografi Dayak Kenyah di Lung Anai dalam konteks Desa Budaya pada satu sisi dimanfaatkan sebagian elit eDayak Kenyah untuk kepentingan ekonomi (event pariwisata), politik (pemilu dan pilkada), serta penemuan kembali budaya yang sirna. Namun, pada sisi lain, warga setempat justru memandang sebagai jalan strategis untuk merebut kembali penguasaan sumber-sumber penghidupan.

213

Geliat Perlawanan Basis

Jejak Migrasi Dayak Kenyah Lepoq JalanIhwal suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan3 bermula sebagai salah satu suku Dayak yang mendiami wilayah Apo Kayan di kawasan perbatasan Indonesia - Malaysia. Mereka hidup berkelompok dalam sistem hunian umaq. Di kawasan Apo Kayan setidaknya terdapat 12 umaq4 (rumah panjang) dan setiap umaq dihuni berpuluh kepala keluarga. Migrasi bagi kalangan Dayak Kenyah merupakan bagian dari sejarah kehidupan. Riwayat kehidupan mereka merupakan sejarah gerak perpindahan jarak dekat, jauh, dari, ke, dan melewati pedalaman Kalimantan. Perpindahan mereka membentuk kerangka sejarah prakolonial di kawasan Kalimantan dan terekam dalam tradisi lisan Dayak Kenyah.5 Dalam perspektif historis, perpindahan Dayak Kenyah dapat dikenali dalam tiga periode penting. Pertama, pada masa prakolonial, sekitar abad ke-17, tatkala mereka menetap pertama kali di kawasan Apo Kayan.6 Migrasi gelombang kedua berlangsung pada masa kolonial sekitar tahun 1900. Migrasi gelombang ketiga berlangsung pada masa Republik Indonesia3 Lepoq yang termasuk dalam kategori subsuku Dayak Kenyah adalah Lepoq Jalan, Kulit, Bakung, Tukung, Kayan, Tunjung, Tau, Timai, Baka, Tepu, Selabing, Bem, Krayan, Badeng, Timai, Lasan, Alim, Qe, Punan, dan Maut. Dalam ingatan Pirin, terdapat 12 umaq dalam rumpun Lepoq Jalan, yakni Umaq Daduq, Drak Tuan, Naa, Lung, Apou Lingat, Juman, Lulau, Lalut Labok, Lung Tisai, Sungan, dan Ampung. Penjelasan selengkapnya mengenai sejarah migrasi Dayak Kenyah, dapat disimak dalam Central Borneo. Ethnic Identity and Social Life Stratified Society, Jerome Rousseau, Oxford: Clarendom Press, 1990 Penjelasan selengkapnya lihat pada artikel bertajuk Sejarah dan Pola Perpindahan di Kalangan Orang Kayan dan Kenyah dari Apokayan karangan Christina Eghenter, dalam buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, WWF, Ford Foundation dan PHPA, Jakarta, 1999

4

5

6

214

Geliat Perlawanan Basis

yang berlangsung pada kekuasaan rezim Orde Lama, teristimewa semasa Konfrontasi Malaysia (1963-1967), dan Orde Baru melalui proyek Reseltemen Penduduk (Respen) sejak tahun 1970. Bahkan, di masa otonomi daerah proses migrasi terus berlanjut. Peristiwa Konfrontasi Malaysia membuat gelombang migran besar-besaran dari tanah leluhur Apo Kayan. Tidak ada informasi persis berapa jumlah gelombang migran dari Apo Kayan ke wilayah lain. Diaspora ini berlangsung begitu mengerikan, karena tak ada satu orang Kenyah pun yang kala itu tahu persis ke mana daerah yang akan dituju. Dalam ingatan Pirin, warga Lung Anai, ketika pindah dari Apo Kayan ke Lung Anai, mereka melalui delapan tempat persinggahan. Ia tidak ingat kapan peristiwa itu terjadi. Yang diingat saat saat itu ia masih gadis. Pertama kali ia meninggalkan Apo Kayan beserta rombongan ratusan orang. Umaq Lung Tisai disebut-sebut sebagai kelompok pertama yang pindah dengan jumlah sekitar 200 kepala keluarga. Disusul kelompok Umaq Lulau dengan 50 kepala keluarga, kemudian Umaq Sungan dengan 50 kepala keluarga. Lalu lambat-laun kelompok lain mengikuti eksodus dengan jumlah semakin banyak. Penggalan peristiwa eksodus itu dituturkan Taman Dion: Waktu berangkat dari Apo Kayan, umur saya sekitar 25 tahun. Kami pindah karena ada imbauan dari Camat Long Nawang untuk segera pindah bagi yang mau pindah. Kami memilih pindah, meski sedih rasanya meninggalkan kampung leluhur. Rombongan kami sekitar 500-an orang. Akibat dari perpindahan ini, ada yang sampai cerai dengan suami atau istrinya karena ada yang mau pindah dan ada yang mau tetap di Apo Kayan. Kepala Adat sebenarnya

215

Geliat Perlawanan Basis

tidak menginginkan pindah, tetapi kami tidak peduli. Kami diam-diam saja meninggalkan kampung, demi mengikuti anjuran Pak Camat. Pola migrasi mereka bukan tunggal. Oleh sebab itu, terdapat beberapa tempat yang menjadi jalur perpindahan kolosal Dayak Kenyah. Salah satunya jalur perjalanan mereka seperti yang dilakukan kelompok Lung Tisai. Dari Apo Kayan mereka menuju Jeng, masih dalam wilayah Long Nawang. Perjalanan menuju Jeng ditempuh sekitar satu bulan menyusuri Sungai Kayan dan Sungai Lamp ke hilir. Di Jeng mereka bermukim selama tiga tahun. Mereka berladang sambil membuat perahu sebagai persiapan perjalanan selanjutnya. Perjalanan dimulai lagi menuju Lekaq Way, menyusuri Sungai Luy. Mereka menetap di tepi Sungai Lekaq Way sekitar sepuluh tahun. Selain berladang di Lekaq Way mereka bekerja mencari butiran emas dengan peralatan tradisional. Di tempat ini mereka mulai mengadakan kontak dengan pedagang China yang membeli butiran emas. Di antara mereka ada juga yang menjual butiran emas ke Samarinda. Lantaran Lekaq Way dianggap tidak cocok lagi sebagai hunian, mereka melanjutkan perjalanan ke Belinau, melewati Long Sule di Kecamatan Long Nawang. Belinau adalah kampung yang sudah dihuni orang Dayak Punan. Mereka diterima bermukim di Belinau dengan memberi sebagian lahan untuk berladang. Meski demikian, mereka masih tetap berkeyakinan perjalanan harus dilanjutkan. Mereka lalu berjalan kaki ke hulu Sungai Tabang. Di hulu Sungai Tabang (kini masuk wilayah Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara), mereka mulai mengenal kegiatan pembalakan kayu secara tradisional, yang kala itu dikenal dengan istilah banjirkap.216

Geliat Perlawanan Basis

Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan hingga Sungai Pedohon, kemudian bermukim sekitar dua tahun. Setelah itu berpindah ke Lulau Lupa dan bermukim selama dua tahun. Kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Atan menuju ke Gemar Lama (kini termasuk wilayah Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur) dan menetap sekitar sepuluh tahun. Eksodus belum usai. Mereka pindah ke Gemar Baru dan bermukim selama sepuluh tahun juga. Pada tahun 1985 dan 1986 mereka melanjutkan eksodus ke Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, hingga saat ini. Sejatinya, orang Dayak Kenyah yang bermukin di Lung Anai tidak hanya kelompok migran Apo Kayan yang pernah menetap di kampung Long Segar, Gemar Baru, dan Sentosa (Kabupaten Kutai Timur). Sebab, pada tahun 2006 bergabung pula warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang semula bermukim di Datah Bilang, Kabupaten Kutai Barat. Kepala Adat Lung Anai menjelaskan riwayat perpindahan warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan dari kampung Long Segar ke Lung Anai, Pelujuk: Waktu kami pindah dari Apo Kayan, ada sekitar 500 orang. Kami pindah ke hilir hingga ke Long Segar. Bertahun-tahun kami dalam perjalanan. Pindah ke Long Anai ini gara-gara Kepala Desa Long Segar menerima pekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit dan kelapa hibrida. Jadinya, warga terbelah. Tidak ada lagi persatuan. Kami merasa sulit tetap bertahan bersama. Lalu kami berkeinginan pindah. Jumlah yang mau pindah 25 KK. Kami melakukan survei di sekitar Lung Anai ini, apakah cocok untuk dihuni. Setelah kami merasa yakin, maka tahun 1985 kami pindah ke sini.217

Geliat Perlawanan Basis

Perkampungan Dayak Kenyah di Lung Anai semula dikenal dengan sebutan Tanah Merah yang dihuni komunitas Dayak Basap. Pelujuk dan Pangit adalah tetua adat Kenyah yang melakukan survei sebelum memastikan Lung Anai layak dijadikan hunian. Awalnya mereka memilih Gitan yang sudah dihuni komunitas Dayak Basap. Kami minta tanah sama orang Basap. Mereka katakan bisa saja menetap di sini. Lalu kami tanam singkong banyak-banyak. Setelah itu kami kembali ke Long Segar mengambil keluarga untuk pindah, ujar Pelujuk mengenang riwayat perpindahan mereka. Gitan dianggap sebagai kawasan yang cocok untuk perladangan, sedangkan Lung Anai dipilih sebagai tempat pemukiman karena dianggap cocok untuk hunian. Seiring dengan perkembangan zaman, apakah penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya dapat membuat mereka betah menetap selamanya, atau Lung Anai sekadar persinggahan untuk meneruskan eksodus selanjutnya? Jawabannya niscaya terkait dengan proses penemuan identitas budaya Kenyah, karena sejatinya migrasi Dayak Kenyah adalah perjalanan sejarah identitas budaya mereka.

Invensi Budaya yang SirnaSuasana peresmian Lung Anai sebagai Desa Budaya terasa gegap gempita, sebagaimana dituturkan Musa Din, salah seorang tetua adat. Warga Lung Anai terlihat tidak seperti lazimnya. Para tetua adat tak henti memanggil warga melalui pengeras suara dengan bahasa Dayak Kenyah agar secepatnya datang ke Balai Adat untuk latihan terakhir. Mereka sibuk mempersiapkan acara penyambutan Wakil Bupati Kutai Kartanegara yang akan meresmikan desa mereka sebagai Desa Budaya.

218

Geliat Perlawanan Basis

Seluruh warga Lung Anai hadir memenuhi Balai Adat. Mereka mengambil posisi sesuai tugas yang diberikan tetua adat. Ada yang latihan menari, seperti tarian datun julud (tari masal), hudoq7 (tari topeng), kancet lasan (tari tunggal), tari perang, dan bermain musik sampeq8 serta jatun utan (kelentangan). Ada pula yang latihan upacara seremonial. Kepala Dusun Lung Anai latihan mempraktikan memberikan sambutan. Beberapa gadis Kenyah berjalan gemulai membawa baki berisi pemukul gong yang akan digunakan Wakil Bupati9 meresmikan Desa Budaya. Beberapa orang tua, meski terkantuk-kantuk, ikut menikmati latihan pada malam itu. Sesekali mereka terbahak-bahak dan bertepuk tangan, karena ada yang dianggap lucu. Di luar Balai Adat, sekelompok anak muda asyik bergerombol memperbincangkan apa yang sedang terjadi di kampung. Menurut Yurni, pemuda Dayak Kenyah, mereka sedang berdiskusi mengapa tiba-tiba dusun Lung Anai ditingkatkan statusnya menjadi Desa Budaya. Mengapa kami disuruh menggali kembali tradisi? Bukankah tradisi memanjangkan telinga, bertato,7 Hudoq dalam tradisi Dayak merupakan tarian persembahan kepada penguasa alam yang dilaksanakan pada awal musim tanam padi. Sedangkan ritual alaq tau (melihat bayangan matahari) dilaksanakan untuk menemukan waktu yang baik untuk memulai tanam padi. Namun sejak menganut agama Kristen Protestan, tarian hudoq hanya untuk tarian kesenian saja. Pui Pubun, salah seorang tetua di Lung Anai, menyebutnya hanya untuk main-main saja. Sampeq adalah alat musik petik khas Dayak, dibuat dari kayu adau. Saat ini mereka kesulitan mendapatkan jenis kayu ini. Langkanya kayu adau, seiring dengan hilangnya hutan mereka. Komunitas Dayak Kenyah menyebut gong sebagai tawaq. Sedangkan kentongan yang terbuat dari kayu mereka sebut gong. Di Balai Adat lazim terdapat gong besar sebagai alat informasi memanggil warga. Terdapat tiga jenis bunyi gong sesuai maksudnya, yakni: (1). memanggil warga untuk pertemuan, bunyinya tongtong tong dengan nada lambat; (2). Memanggil warga untuk acara kesenian, berbunyi tongtotongtong; (3). tanda bahaya dan darurat seperti kematian, bunyi nadanya dipercepat, tong...tong...tongtong.

8

9

219

Geliat Perlawanan Basis

menari, menyanyi sudah lama tak dilakukan? Jika dilakukan hanya sebagai pertunjukan yang berhubungan dengan ritual, ujar Yurni. Itulah sejumlah pertanyaan yang sempat terekam dari perbincangan anak-anak muda yang gamang terhadap upaya penemuan kembali budaya yang telah sirna. Mengenai riwayat peresmian Lung Anai sebagai Desa Budaya, Musa Din, warga Dayak Kenyah, menuturkan: Peresmian Desa Budaya hanya diperagakan sesuai pesanan orang-orang dari Kabupaten dan Dinas Pariwisata. Saya juga tidak mengerti betul budaya Kenyah. Alaq tau10 yang diperagakan baru pertama kali saya saksikan. Padahal alaq tau atau mamat bali akang ditampilkan harus hati-hati. Masalahnya ada yang pernah menjalankan, tetapi karena terlalu menghayati, orangnya kesurupan. Maka kita mesti lihat dulu, apa bisa dilakukan atau tidak. Seandainya bisa, maka mungkin diganti bahasanya. Begitu juga belian. Kami pun dulu pernah ada waktu zaman menyembah Bungan Malan, bisa saja tetapi mungkin mantranya yang diganti. Sebenarnya warga desa sudah 15 hari tidak pergi ke ladang, karena diwajibkan ikut dalam kegiatan peresmian Desa Budaya. Sebenarnya bulan September - Oktober adalah musim nugal, yang seharusnya warga bekerja di ladang. Namun setiap malam warga terpaksa mengikuti latihan kesenian, demi keberhasilan peresmian Desa Budaya.10 Alaq Tau sesungguhnya merupakan local wisdom astronomi lokal. Sebelum menganut agama Kristen Protestan, mereka memiliki kebiasaan melalukan ritual alaq tau (melihat bayangan matahari) untuk mencari waktu yang tepat menamam padi. Maka pelaksanaan Alaq Tau pada acara peresmian Desa Budaya merupakan ikhtiar menghidupkan kembali kearifan lokal.

220

Geliat Perlawanan Basis

Begitulah faktanya. Sebagian warga Lung Anai menganggap acara peresmian Desa Budaya justru mengganggu kegiatan berladang. Sejak ada desa budaya banyak betul kegiatan di kampung, tahun lalu saja ada 8 kali. Ya, mengganggu juga kita cari makan, ujar Amat, salah seorang warga Lung Anai. Elite Dayak yang bekerja di pemerintahan justru amat bersemangat dengan peresmian Desa Budaya, sebagaimana diungkapkan Samuel Robert Djukuw, yang saat peresmian Desa Budaya menjabat Kepala Dinas Pariwisata, dan sepuluh hari kemudian diangkat menjadi Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Bahkan Wakil Bupati Syamsuri Aspar menganggap Samuel berjasa dalam proses penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya. Terwujudnya Desa Budaya Lung Anai tidak terlepas dari perjuangan Samuel Robert Djukuw, kata Syamsuri Aspar, sebagaimana dituturkan salah seorang warga setempat. Penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya memiliki implikasi terhadap warganya yang harus bertindak selaku duta budaya. Artinya, warga desa harus mampu berperan sebagai duta budaya dengan mengekspresikan tradisi dan penanda ke-Dayakan mereka. Tak heran jika para tokoh masyarakat Dayak Kenyah, terutama mereka yang berasal dari kota, senantiasa menyerukan warga agar berupaya terus-menerus menggali kembali tradisi. Orang tua diajak untuk tidak lupa mengajari anak-anak menari, bermain sampeq, memanjangkan daun telinga, dan bertato, agar kebudayaan Dayak Kenyah tak sirna ditelan zaman. Sejak Lung Anai dikukuhkan sebagai Desa Budaya, warga setempat terasa menyandang beban gelar tersebut. Mereka berikhtiar tiada henti menggali tradisi dan mempraktikkan kembali pelbagai ritual adat dalam kehidupan sehari-hari. Ritual belian (tradisi pengobatan) dan ritual mamat bali akang yang mengandung unsur sosio-magis kembali dihidupkan.221

Geliat Perlawanan Basis

Padahal, kedua ritual ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep ajaran agama lokal Dayak Kenyah yang dahulu dikenal dengan Bungan Malan Paselong Luan, yang dipercayai bertentangan dengan agama Kristen Protestan yang mereka anut saat ini. Agama Bungan pertama kali diperkenalkan oleh Jok Apuy yang berasal dari suku Dayak Kenyah Leppo Jalan.11 Dalam keyakinan orang Dayak Kenyah, Bungan Malan dipercayai sebagai seorang dewi dan Paselong Luan seorang dewa. Ajaran mereka disebut agama Bungan. Pada hakikatnya Bungan Malan Paselong Luan adalah dewa-dewi yang melindungi kehidupan, maka ajaran agama Bungan hakikatnya tentang kepercayaan terhadap amenamen (para dewa). Dalam agama Bungan terdapat beberapa upacara ritual berkaitan dengan pertanian. Misalnya menyat tana (memohon kesuburan tanah), malan tau (menjalani pantangan agar panen berhasil), pudau (mohon berkat saat menugal), dan bunut (panen padi). Selain bertalian dengan siklus pertanian, praktik agama Bungan berkaitan pula dengan ritual penyembuhan. Misalnya belian (pengobatan) dan mending (mengusir roh jahat). Terdapat juga ritual adat yang bertalian dengan upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Tentu saja beberapa ritual upacara adat agama Bungan mengundang perdebatan argumentasi di kalangan warga. Perdebatan itu tidak semata karena warga Dayak Kenyah telah meninggalkannya sejak 40 tahun silam, tetapi terutama karena11 Uraian selengkapnya, simak dalam artikel karangan Fredrik Ngindra, bertajuk Upacara Agama Bungan pada Masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru, dalam buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, penyunting Cristina Eghenter dan Bernard Sellato, WWF, Ford Foundation dan PHPA, Jakarta, 1999

222

Geliat Perlawanan Basis

kebijakan Gereja Kristen Protestan menganggap ritual itu terlarang lantaran mengandung unsur magis dan tahayul Setidaknya dua ritual adat menjadi perdebatan sengit, yakni belian dan mamat. Istilah mamat dalam tradisi semula menunjukkan pesta agung berupa serangkaian upacara: pesta tahun baru padi, penyucian kampung, memotong kepala/ngayau, penambahan semangat berperang, dan penentuan kedewasaan seseorang. Upacara mamat dilaksanakan seusai panen selama tujuh hari tujuh malam dan merupakan penanda terpenting dalam siklus kehidupan orang Dayak Kenyah. Ritual upacara mamat sebenarnya sudah lama ditinggalkan orang Dayak Kenyah di Lung Anai karena dilarang agama. Namun, bagi Samuel Legi, Kepala Adat Sungai Bawang, ritual adat belian dapat ditumbuhkan kembali, tetapi tidak untuk diyakini seperti zaman dulu. Mantra doanya bisa dialihkan kepada Tuhan, walaupun prosesinya ritual adat. Begitu pula ritual mamat, dapat diramu sedemikian rupa dengan doa Kristen. Ritual belian dan mamat tidak perlu lagi dipahami sebagai keyakinan, karena sudah ada agama. Kalau dulu ritual ditujukan kepada para dewa, sekarang bisa dialihkan kepada Tuhan, atau dipertahankan sebagai tontonan saja, kata Samuel yang berupaya mendamaikan perbedaan pendapat dalam memaknai kelampauan ritual adat dalam kondisi kekinian. Demikianlah faktanya, dalam proses invensi budaya, komunitas Dayak Kenyah di Lung Anai terpaksa melakukan kompromi dan negosiasi agar warisan budaya yang mengandung unsur religus-magis dapat direka ulang dan tampil di panggung Desa Budaya dalam kemasan industri wisata, tanpa resistensi dari warga setempat.

223

Geliat Perlawanan Basis

Siasat Penguasaan Sumber PenghidupanPenemuan kembali budaya yang sirna di kalangan warga Dayak Kenyah dengan konsekuensi dilema yang mesti dihadapi, justru dimaknai masyarakat sebagai siasat untuk penguasaan sumber-sumber penghidupan. Status Lung Anai sebagai Desa Budaya justru dimanfaatkan sebagai jalan pembuka bagi peneguhan eksistensi mereka di Lung Anai. Mamak Weq misalnya, menganggap Desa Budaya merupakan sarana strategis untuk memastikan mereka tetap bisa berdomisili di Lung Anai dan memiliki hak penguasaan tanah yang berkekuatan yuridis formal. Desa budaya hanya untuk membuktikan kami punya tradisi. Namun, yang lebih penting, tanah-tanah kami memiliki sertifikat, sehingga kami tidak lagi pindah ke mana-mana, ujar Mamak Weq penuh keyakinan. Tak pelak penetapan Desa Budaya pada satu sisi memunculkan harapan bagi masyarakat untuk penguasaan sumber penghidupan dan mempertahankan hak tanah-tanah mereka. Rasanya dengan status Desa Budaya, hak kepemilikan kami menjadi lebih kuat, sehingga kami dapat mempertahankan tanah dari klaim kepemilikan pihak luar, kata Yurni, pemuda Dayak Kenyah di Lung Anai. Sedangkan menurut Aweq, predikat desa budaya melegakan hati, karena ada kepastian mereka tidak akan lagi melakukan perjalanan migrasi dalam pengertian pindah atau dipindahkan dari Lung Anai. Kami ini orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Namanya juga Lepoq Jalan, orang yang suka berjalan (tafsiran canda Aweq, yang bukan arti sesungguhnya), berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Lung Anai mungkin bukan tempat terakhir. Bisa jadi kami pindah lagi mencari hunian baru. Tapi karena ada Desa Budaya, kami menetap di sini, ujar Aweq penuh semangat.

224

Geliat Perlawanan Basis

Keyakinan pendapat Mamak Weq dan Aweq bukan tanpa alasan. Lantaran sebelum Lung Anai ditetapkan sebagai Desa Budaya, salah satu persoalan yang sangat mengkhawatirkan bagi mereka adalah status penguasaan sumber penghidupan, termasuk kepemilikan tanah di desa. Mereka menyadari keberadaannya sebagai pendatang. Sewaktu-waktu kepemilikan atas sumber penghidupan dapat diklaim oleh komunitas lain yang mengaku sebagai pemilik semula, termasuk ekspansi lahan perusahan perkebunan kelapa sawit di sekitar kampung Lung Anai. Oleh karena itu, Desa Budaya merupakan salah satu cara untuk memperjuangkan pengakuan dari pemerintah terhadap keberadaan mereka di Desa Lung Anai. Ikhtiar penguasaan sumber penghidupan diakui Kepala Desa Lung Anai yang segera membuat surat-surat kepemilikan tanah orang Kenyah di Lung Anai. Saya sudah mulai membuatkan surat-surat tanah milik masyarakat, mulai dari tanah permukiman sampai tanah perkebunan, ujar Tingai Lawing. Siasat penguasaan sumber penghidupan yang dilakukan warga Lung Anai tidak sepenuhnya dipahami elite Dayak Kenyah di Tenggarong (ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara) dan Samarinda (ibu kota Provinsi Kalimantan Timur) yang tergabung dalam Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), karena di antara mereka memiliki tujuan berbeda. Meski Desa Budaya disepakati sebagai upaya penemuan kembali budaya yang sirna, antara elite Dayak Kenyah dan warga setempat bersimpang jalan dalam esensi tujuan. Sejatinya penemuan kembali budaya yang sirna dengan menggali tradisi, oleh warga setempat dianggap tidak dibutuhkan lagi. Mereka hanya berkompromi dalam hal kesenian yang sekadar ditampilkan untuk dipertontonkan pada agenda pariwisata.

225

Geliat Perlawanan Basis

Berbagai tarian berkaitan dengan ritus adat tak lagi bermakna apa-apa bagi mereka. Yurni, misalnya, mengaku sudah menganggap ritual malang tau (proses mencari ladang) dan alemiud (berpantang) tidak diperlukan lagi, karena sudah tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Begitu pula penanda fisik identitas budaya seperti tato dan telinga panjang, sudah tidak relevan seiring kemajuan zaman.12

Gong PenutupRiwayat migrasi komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan sejak di Apo Kayan hingga tiba di Lung Anai sesungguhnya menyimpan catatan sejarah yang tidak semata beraura heroik, tetapi juga serpihan sejarah kelam kesirnaan identitas sebagai orang Dayak. Bahkan, sistem religi sebagai esensi dari local wisdom yang bersumber dari agama bumi Bungan Malan sirna pula lantaran derasnya gempuran agama langit Kristen Protestan. Seiring dengan penemuan Lung Anai sebagai tanah terjanji, mereka harus berhadapan dengan ketidakjelasan status kepemilikan terhadap sumber-sumber penghidupan. Bahkan mereka semakin tercerabut dari akar kebudayaannya, hingga hampir seluruh sistem kebudayaan sirna seiring dengan derasnya arus modernisasi di era otonomi daerah.12 Bagi mereka yang sedang malang tau atau mencari area ladang, saat dalam perjalanan mencari ladang berjumpa burung isit yang terbang di depan dari sisi kiri ke kanan, maka harus melakukan ritual alemiud (pura-pura bermalam). Berpurapura bermalam dapat dilakukan jika burung isit melintas sekali saja. Bila burung itu melintas tiga kali dalam sehari, maka diharuskan menunda kegiatan mencari ladang dan segera pulang ke rumah. Jika tidak, diyakini akan terkena musibah. Sedangkan mereka yang sudah menebas pohon lantas menemukan duktalun (sejenis monyet, bentuk badannya lebih kecil), diyakini area itu tidak cocok untuk berladang, maka harus ditinggalkan dan mencari tempat lain yang lebih baik.

226

Geliat Perlawanan Basis

Hingga akhirnya mereka dipaksa bersentuhan dengan roh modernisasi yang bergentayangan dalam kemasan Desa Budaya. Meski demikian, dalam kondisi dilematis harapan membuncah untuk menemukan kembali peradaban silam yang sirna. Kemudian mereka melakoni sebagai aktor dalam ikhtiar menggali, mengingat, dan memerankan kembali sebagai pelaku tradisi leluhur yang telah lama mereka tinggalkan. Sebagian dari mereka merasa gamang, karena tak menemukan pijakan relevansi terhadap invensi budaya dalam kondisi kehidupan kekinian yang kian bercorak modernitas. Maka dunia masa silam beraura eksotis-magis dipercayai sebagai komoditas industri wisata, maknanya sekadar tontonan (art), bukan lagi tuntutan (wisdom) sebagaimana kehidupan para leluhur. Di tengah pergumulan hidup menanggung beban gelar duta budaya, justru mereka menemukan makna Desa Budaya merupakan jalan siasat bagi penguasaan sumber-sumber penghidupan. Memang sejarah tak mengenal jalan pulang. Komodifikasi budaya Dayak Kenyah melalui Desa Budaya, pada satu sisi bermakna sebagai ikhtiar invensi budaya memaknai riwayat kelampauan dalam konteks kekinian. Pada sisi lain diyakini sebagai siasat jitu penguasaan sumber-sumber penghidupan. Sejatinya orang Dayak Kenyah di Lung Anai berkehendak tak ingin menjadi tumbal modernisasi berlabel Desa Budaya.

227

Geliat Perlawanan Kultural Komunitas Nyerakat di Tengah Gempuran ModernitasSimpul Kalimantan Timur FBB Prakarsa Rakyat 1

Pengantar

S1

ekambing, begitulah sebutan awal sebuah kawasan di Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur, yang terdiri atas Dusun Nyerakat, Segendis, Teluk Kadere, Santan, Pagung, Baltim, dan Sekangat. Seiring perkembangan otonomi daerah, sejak tahun 2006 Pemerintah Kota Bontang menetapkan kawasan itu sebagaiTulisan dipersiapkan oleh Merah Johansyah Ismail, Abdullah Naim, dan Roedy Haryo Widjono AMZ. Merah Johansyah Ismail dan Abdullah Naim adalah peneliti budaya pada Naladwipa Institute for Social and Culture Studies. Roedy Haryo Widjono AMZ adalah Koordinator Komunitas Studi Silang Budaya (Nomaden Institute for Cross Culture Studies). Ketiganya berdomisili di Samarinda, Kalimantan Timur.

229

Geliat Perlawanan Basis

kelurahan dan mengubah nama Sekambing menjadi Bontang Lestari. Tentu saja perubahan nama itu memiliki konsekuensi sosio-kultural, terutama karena sebutan nama dusun sekaligus merupakan sebutan bagi komunitas setempat. Nyerakat misalnya, selain merupakan nama dusun, juga merupakan manifestasi identitas kultural komunitas Nyerakat. Akses menuju Nyerakat dapat ditempuh melalui tiga jalur. Pertama, lewat poros jalan Km 10 di ujung selatan Bontang, kemudian masuk jalan perusahaan batu bara PT Indominco Mandiri. Akses jalan ini dilalui mobil-mobil raksasa pengan