bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/draft...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak manusia ada dan mulai mengenal berbagai macam kebutuhan
yang harus didapatkan, maka berkembang pula pola pikir manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Setelah mengalami perkembangan dari jaman pra-
sejarah sampai dengan masa sekarang, manusia telah banyak memiliki
kepentingan antar manusia itu sendiri, maka perlu adanya aturan untuk
menghindari konflik antar manusia tersebut.
Kebutuhan sekarang ini yang banyak dibutuhkan oleh manusia untuk
kepentingan perekonomiannya berkaitan dengan perbankan. Menurut
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut dengan
Undang-undang Perbankan) memberi pengertian tentang apa yang
disebut bank. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak”.
Bank merupakan salah satu pihak yang turut berperan dalam bidang
perekonomian. Lembaga tersebut merupakan lembaga keuangan yang
mempunyai nilai strategis dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Dari
pengertian dan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai
"'Financial intermediary", yakni dengan usaha utama menghimpun dan
2
menyalurkan dana masyarakat, serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu
lintas pembayaran. Dua fungsi itu tidak bisa dipisahkan. Sebagai badan usaha
bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya, sebagai lembaga keuangan bank
mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang,
mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja.1
Bank sebagai lembaga yang melakukan kegiatan perbankan secara
umum yaitu pengumpulan dana, pemberian kredit, mempermudah sistem
pembayaran dan penagihan, yang tidak kalah penting karena kapasitas bank
sendiri dengan jaringannya yang luas, keahlian yang sangat memadai di
bidang keuangan, peralatan yang begitu canggih, administrasi yang lebih
teratur dibandingkan lembaga lainnya maupun karena permintaan masyarakat
banyak, maka bank juga harus memberikan jasa-jasa umum yang notabene
merupakan fungsi dari bank yang dibutuhkan masyarakat yaitu melakukan
kegiatan penyertaan modal, menyewakan tempat penyimpanan (safe deposit
box), usaha dan pensiun.2
Berdasarkan segi pendapatannya menurut Undang-undang Perbankan,
kegiatan usaha bank digolongkan menjadi dua, yaitu jasa yang menghasilkan
pendapatan bunga seperti pemberian kredit dan pendapatan non bunga seperti
menyewakan safe deposit box, transaksi valuta asing dan lain sebagainya.
1 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Pertama, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 59 2 Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Ctk. Keempat, Kanisius,
Yogyakarta, 2006, hlm. 119
3
Menurut Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan tentang usaha
bank umum disebutkan bahwa kegiatan usaha bank umum adalah
“menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga”. Terdapat
adanya unsur "menyediakan tempat” pada ketentuan pasal tersebut. Secara
umum, bank menyediakan jasa seperti tabungan, deposito, dan giro, namun
dalam perkembangannya, bank konvensional juga menyediakan jasa yang
dapat dijadikan media bagi nasabah untuk menyimpan barang yang dianggap
berharga, yaitu disimpan dalam suatu tempat yang lazim disebut dengan Safe
Deposit Box (SDB).
Penyediaan tempat untuk menyimpan barang ini merupakan kegiatan
usaha bank guna memenuhi kebutuhan masyarakat karena ada beberapa
kalangan menganggap menyimpan barang berharga di rumah tidak selalu
aman, terutama ketika semua orang sedang bepergian keluar dari rumah, oleh
karena itu pengamanan terhadap benda-benda berharga dan dokumen-
dokumen penting akan lebih baik disimpan kedalam safe deposit box.
Berdasarkan pra penelitian yang diperoleh dari pimpinan PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto berpendapat bahwa kebijakan
dalam perjanjian safe deposit box itu setiap bank mempunyai standar yang
berbeda. Perjanjian safe deposit box termasuk dalam kategori perjanjian baku
atau standar yang pada umumnya akan menguntungkan pada pihak bank
sendiri. Dalam hal ini perjanjian yang menjadi pokok yang dipakai sebagai
patokan atau pedoman bagi setiap nasabah yang mengadakan hubungan
hukum dengan pihak bank yang dibakukan dalam perjanjian, meliputi :
4
rumusan, model dan ukuran. Model perjanjian baku dapat berupa blangko
nasabah perjanjian, lengkap dengan formulir yang dilengkapi dengan syarat-
syarat perjanjian maupun klausula-klausula tertentu yang biasanya sulit
dipahami nasabah dalam waktu yang singkat.
Menurut pendapat M. Djumhana :
Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
(safe deposit box). Bank menyewakan kotak dengan ukuran, dan
jangka waktu tertentu kepada nasabah untuk digunakan sebagai sarana
penyimpan barang-barang berharga miliknya, tanpa diketehui mutasi,
dan isinya oleh bank. Pendapatan bank atas kegiatan usaha penyediaan
dan penyewaan safe deposit box, yaitu berupa imbalan (fee) atas jasa
yang disediakannya, berupa biaya sewa yaitu biaya pemakaian yang
harus dibayar setiap tahun, serta biaya deposit untuk jaminan kunci,
hanya saja biaya jaminan kunci ini akan dikembalikan ketika nasabah
tidak lagi menyewa safe deposit box tersebut, 3
Penjelasan Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “menyediakan tempat” dalam ketentuan ini
adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat
penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui
mutasi dan isinya oleh bank.
Mengenai perjanjian sewa-menyewa terdapat dalam Pasal 1548
KUHPerdata disebutkan bahwa “Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu
tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakangan itu disanggupi pembayarannya”, sedangkan dalam Pasal 1550
3 M. Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm. 319
5
KUHPerdata disebutkan pihak yang menyewakan diwajibkan karena sifat
perjanjian dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk itu :
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa ;
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan ;
3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada
barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.
Mengenai risiko dalam perjanjian sewa-menyewa disebutkan dalam
Pasal 1553 KUHPerdata, dalam bukunya Subekti berpendapat bahwa :
Peraturan tentang risiko dalam dalam sewa-menyewa itu harus kita
kita ambil dari pasal 1553 tersebut secara mengambil kesimpulan.
Dalam pasal ini dituliskan bahwa, apabila barang yang disewa itu
musnah karena suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu
pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari
perkataan “gugur demi hukum” inilah kita simpulkan bahwa masing-
masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak
lawannya, hal mana berarti bahwa kerugian akibat musnahnya barang
yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan.
Dan ini memang peraturan risiko yang sudah setepatnya, karena pada
asasnya setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas
barang miliknya. 4
Dengan demikian, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
perjanjian safe deposit box itu tunduk pada KUHPerdata yaitu perjanjian
sewa-menyewa dan pada ketentuan umum perjanjian. Disisi lain, safe deposit
box itu juga merupakan suatu kegiatan usaha perbankan yang diatur dalam
Undang-undang Perbankan, dimana dalam perjanjian dengan bank biasanya
dituangkan dalam bentuk baku atau standar yang pada umumnya
4 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
hlm.44
6
menguntungkan kepada pihak bank, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perjanjian safe deposit box selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga
tunduk pada ketentuan perbankan. Pertanyaan yang muncul dari skripsi ini
yaitu mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai
penyewa dalam perjanjian safe deposit box sehubungan dengan tempat
penyimpanan barang atau box yang disewakan bank itu masih dalam
penguasaan bank jika terjadi overmacht, bagaimana jika terjadi wanprestasi
dan hal-hal lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai nasabah bank.
Penelitian ini dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Purwokerto, mengingat bank tersebut merupakan salah satu bank terbesar di
Purwokerto, sehingga bank tersebut juga sering melakukan kegiatan usaha
penyewaan tempat menyimpan barang dan surat berharga.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih
lanjut mengenai permasalahan tersebut khususnya dalam lingkup safe deposit
box, sehingga penulis dalam skripsinya memberi judul : “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP NASABAH BANK SEBAGAI PENYEWA DALAM
PERJANJIAN SAFE DEPOSIT BOX (SDB) DI PT BANK NEGARA
INDONESIA (PERSERO) Tbk PURWOKERTO”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut di atas, maka rumusan
permasalahan yang dapat diambil yaitu bagaimana perlindungan hukum
terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box di
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto ?
7
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perlindungan hukum nasabah PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto dalam perjanjian safe deposit box.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
secara teoritis dan berguna dalam pengembangan studi ilmu hukum,
khususnya yang mengkaji tentang perlindungan hukum dalam perjanjian safe
deposit box.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran
secara praktis, yang dapat memberikan wawasan ilmu pengetahuan dan
pemahaman kepada masyarakat, serta pihak bank dalam melakukan jasa
perbankan khususnya safe deposit box, agar dalam pembuatan perjanjian safe
deposit box, baik pihak bank maupun pihak nasabah dapat memperoleh
perlindungan hukum. Disamping itu, memberikan informasi atau gambaran
kepada peneliti-peneliti selanjutnya tentang perlindungan hukum dalam
perjanjian safe deposit box.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Bank
1. Pengertian Bank dan Perbankan
1.1. Pengertian Bank
Bank adalah istilah yang tentunya tidak asing bagi masyarakat dewasa
ini. Hampir seluruh pelosok Indonesia sudah ada bank yang beroperasi dan
juga hampir segala kegiatan perekonomian masyarakat tidak lepas dari
lembaga yang bernama bank. Menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat adalah salah satu kegiatan bank
yang sudah pasti dikenal masyarakat dengan baik yaitu menabung dan
pemberian kredit.
Menurut pendapat Kasmir :
Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan
dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk
meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Disamping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar uang,
memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran
dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah
dan pembayaran lainnya.5
Prof.G.M. Verryn Stuart, dalam bukunya, Bank Politik, berpendapat
bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan
kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang
5 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008, hlm. 25
9
diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat
penukar baru berupa uang giral. 6
Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 angka 2 Undang-undang
Perbankan juga disebutkan bahwa “Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Berbagai penulis buku tentang perbankan di dalam memberikan
pengertian atau batasan terhadap bank boleh dikatakan tidak selalu
memberikan rumusan yang sama hal ini dipengaruhi oleh latar belakang
penulis maupun latar belakang pendidikan dari penulis. Selain itu yang ikut
mempengaruhi rumusan tersebut adalah situasi atau kondisi perbankan pada
saat rumusan tersebut dibuat. Seperti diketahui bank merupakan suatu bentuk
usaha yang dinamis.
1.2. Pengertian Perbankan
Definisi perbankan secara hukum terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Perbankan, yaitu :
“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya”.
Dikaitkan dengan pengertian perbankan di atas, maka hukum
perbankan (Banking Law) adalah hukum yang mengatur masalah perbankan.
6 Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 1
10
Munir Fuady mendefinisikan secara umum bahwa :
Hukum perbankan yaitu merupakan seperangkat kaidah hukum dalam
bentuk peraturan perundang- undangan, yurisprudensi, doktrin dan
lain-lain sumber hukum yang mengatur masalah perbankan sebagai
lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus
dipenuhi oleh suatu bank, hak, kewajiban, tugas, dan tanggung jawab
para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh bank, dan lain-lain peraturan yang
berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.7
Menurut M.Djumhana :
Hukum perbankan Indonesia adalah sebagai hukum yang mengatur
masalah perbankan yang berlaku di Indonesia pada saat sekarang.
Dengan demikian berarti akan membicarakan aturan-aturan perbankan
yang positif masih berlaku sampai saat sekarang ini, sehingga
peraturan hukum perbankan yang pernah berlaku pada masa lalu,
bukan merupakan hukum positif jika peraturan itu sekarang sudah tak
berlaku lagi. Namun peraturan-paraturan itu masih diperlukan sebagai
bahan yang penting dalam rangka mempelajari sejarah perbankan
Indonesia.8
Selain pengertian hukum perbankan, yang sama pentingnya yaitu
pembahasan mengenai ruang lingkup dalam hukum perbankan itu sendiri. Hal
tersebut merupakan suatu yang harus diketahui dan dipahami sebagai acuan
kerangka berpikir dalam melakukan pembahasan mengenai kajian hukum
perbankan secara lebih lanjut. Adapun yang merupakan ruang lingkup dari
pengaturan hukum perbankan adalah sebagai berikut :
1. Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan
bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga
perbankan, hubungan hak dan kewajiban bank ;
2. Para pelaku bidang perbankan dan mengenai bentuk badan hukum
pengelola, seperti dewan komisaris , direksi, karyawan, maupun pihak
terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT,
Persero, Perusahaan Daerah, Koperasi. Mengenai bentuk kepemilikan
seperti milik pemerintah, swasta, atau bank asing ;
7 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hlm. 14 8 Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm. 1
11
3. Kaidah perbankan yang khusus diperuntukan untuk mengatur
perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti
pencegahan persaingan yang tidak sehat dan perlindungan nasabah ;
4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan
dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari dewan moneter dan
Bank Sentral ;
5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai oleh bisnis bank tersebut, seperti peraturan, sanksi,
pengadilan, dan pengawasan.9
2. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan
2.1. Asas Perbankan
Berhubungan dengan pelaksanaan kemitraan antar bank dan
nasabahnya, untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, kegiatan
perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas. Adapun di dalam kegiatan
perbankan sendiri dikenal beberapa asas yaitu :
1. Asas Demokrasi Ekonomi
Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-
undang Perbankan. Pasal tersebut menyatakan, bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti, usaha perbankan
diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha
bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan
9 Munir Fuadi, Op.Cit, hlm. 15
12
nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang
disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu
terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan
mempertahankan kepercayaan masyarakat kepadanya. Keamanan
masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank semata-mata dilandasi
oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali
pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan
disertai dengan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpanan
terhadap dana yang disimpannya. Berbagai persoalan dapat
menyebabkan ketidakpercayaan nasabah terhadap suatu bank.
3. Asas Kerahasiaan
Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan
bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan
dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia
perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk
kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan
masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan
mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank
apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan
pengetahuan bank tentang simpananya. Dengan demikian, bank harus
memegang teguh rahasia bank.
4. Asas kehati-hatian
13
Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank
dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang
dipercayakan kepadanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undang-
undang Perbankan yang diubah bahwa perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.
2.2. Fungsi Perbankan
Fungsi perbankan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3
Undang-undang Perbankan, yang menyatakan bahwa “Fungsi utama
perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”.
Menurut M. Djumhana, bank berfungsi sebagai :
a. Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan
efisien. Bank menjadi tempat untuk penitipan dan penyimpanan
uang yang dalam prakteknya sebagai tanda penitipan dan
penyimpanan uang tersebut kepada kepada penitip dan penyimpan
diberikan selembar kertas tanda bukti. Sedangkan dalam fungsinya
sebagai penyalur dana, bank memberikan kredit atau
membelikannya dalam suatu surat-surat berharga.
b. Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan
pembayaran uang. Bank bertindak sebagai penghubung antara
nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan
14
transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak secara langsung
melakukan pembayaran tetapi cukup memerintahkan pada bank
untuk menyelesaikannya.10
2.3. Tujuan Perbankan
Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis. Dalam arti
adanya lembaga perbankan dapat menyeimbangkan stabilitas nasional tidak
hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik dan sosial
karena perbankan sesuai dengan fungsinya merupakan lembaga intermediasi
yang berfungsi mengumpulkan dan menyalurkan dana ke masyarakat. Hal ini
sesuai dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perbankan, yang berbunyi :
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak”.
3. Jenis-jenis Bank
Berdasarkan sejarah perkembangan perbankan di Indonesia yang
beberapa kali telah mengalami perubahan perundang-undangan, maka jenis
bank dapat dilihat dari aspek fungsinya, kepemilikannya, status dan
kedudukan, serta cara menentukan harga.
a. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya ;
Berdasarkan Undang-undang Perbankan, penggolongan bank di
Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu :
10
M. Djumhana, Op.Cit, hlm. 82-83
15
1) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan).
2) Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 4 Undang-undang
Perbankan).
b. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya ;
Jenis bank dilihat dari aspek kepemilikannya dibedakan menjadi :
1) Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat
didirikan berdasarkan undang-undang.
2) Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan
menjalankan usahanya setelah mendapatkan izin dari pimpinan
Bank Indonesia.
3) Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersamaan
oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di
Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga
negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang
berkedudukan di luar negeri.
16
4) Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan
Daerah.11
c. Jenis Bank Dilihat dari Status dan Kedudukannya ;
Status dan kedudukan bank diukur dari kemampuannya dalam
melayani masyarakat yang terdiri dari jumlah produk yang ditawarkan,
modal, serta kualitas pelayanannya. Terdiri dari :
1) Bank Devisa, yaitu bank yang dapat melaksanakan transaksi ke
luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing,
misalnya transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, travelers
cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit, dan
transaksi lainnya.
2) Bank Non Devisa, yaitu bank yang belum memiliki ijin untuk
melaksanakan transaksi ke luar negeri seperti yang dilakukan
oleh Bank Devisa. Sehingga transaksi yang dilakukan oleh bank
ini meliputi transaksi dalam negeri.12
d. Jenis Bank Dilihat dari Aspek Cara Menentukan Harga ;
Jenis bank dilihat dari aspek menentukan harga, baik harga beli
maupun harga jual dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Bank Konvensional, yaitu bank yang melaksanakan prinsip
konvensional yang menggunakan dua metode, yaitu :
a) Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk
simpanan seperti giro, tabungan, deposito berjangka, maupun
produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat
bunga tertentu.
11
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Utama
Grafiti, 2003, hlm 56-58 12
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta; Ekonisia, 2002, hlm. 30
17
b) Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau
menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase
tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.
2) Bank Syariah (bank bagi hasil), yaitu bank yang beroperasi
dengan prinsip-prinsip syariah Islam.13
4. Kegiatan Usaha Bank
Jasa perbankan diatur dalam Bab III tentang jenis dan usaha bank
dalam Undang-undang Perbankan. Dalam Pasal 6 Undang-undang Perbankan,
telah dijelaskan usaha-usaha bank umum.
“Usaha Bank Umum meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b. Memberikan kredit ;
c. Menerbitkan surat pengakuan hutang ;
d. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank
yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan
dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat dimaksud ;
3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;
5. Obligasi ;
6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun ;
e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah ;
f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
13
Ibid, hlm. 30-31.
18
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana
lainnya ;
g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga ;
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;
i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak ;
j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;
k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya ;
1. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan
wali amanat ;
m. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 7 Undang-undang Perbankan menyebutkan :
“Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Bank Umum dapat pula :
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank antara
perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha,
modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal untuk sementara untuk
19
mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya, dengan memnuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia ; dan
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana
pensiun yang berlaku”.
Dalam Pasal 13 Undang-undang Perbankan, dijelaskan usaha-usaha
Bank Perkreditan Rakyat.
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu ;
b. Memberikan kredit ;
c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia ;
d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan
pada bank lain.
Tujuan utama bank melaksanakan kegiatan penggunaan dana atau
penanaman dana adalah untuk memperoleh penghasilan berupa pendapatan.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan bahwa “Pendapatan adalah
arus kas masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal
perusahaan selama suatu periode yang mengakibatkan kenaikan ekuitas dan
tidak secara langsung berasal dari kontribusi penanaman modal”.
Pendapatan merupakan salah satu bagian dari penghasilan selain
keuntungan. Pendapatan umumnya timbul dari transakasi dan peristiwa
20
ekonomi seperti penjualan, penghasilan jasa (fee), bunga, deviden, royalti dan
sewa.
Pendapatan yang diperoleh bank akan berpeluang meningkatkan
perolehan laba dan akan mempengaruhi presentase kerja yang dicapai suatu
bank. Jenis pendapatan yang diperoleh bank atas produk dan jasa yang
diberikan kepada masyarakat menurut Kasmir dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu pendapatan bunga (interest income) dan pendapatan non
bunga (fee based income).
Pendapatan bunga (interest income), adalah pendapatan yang
diperoleh dalam bentuk bunga atas pemberian kredit sebagai penyalur dana
kepada masyarakat, baik perorangan atau badan usaha dan juga penempatan
dana kepada bank lain. Sedangkan pendapatan non bunga (fee based income)
adalah pendapatan provisi, fee atau komisi yang diperoleh dari pemasaran
produk maupun transaksi jasa perbankan.
Teguh Pudjo Muljono mengungkapkan tiga jenis pendapatan bank
beserta sifatnya, yaitu sebagai berikut :
Pertama, pendapatan perkreditan sebagaimana halnya pada biaya
dana, besar kecilnya pendapatan perkreditan ini juga selain tergantung
kepada besarnya suku bunga kredit yang berlaku, juga akan
tergantung dengan jangka waktu pemakaian kredit tersebut oleh para
debitur yang bersangkutan.
Kedua, komponen pendapatan lain yang cukup besar yaitu dari hasil
transaksi di bidang valuta asing dalam segala bentuknya. Salah satu
pendapatan dari perdagangan valuta asing yaitu berupa selisih kurs.
Ketiga, jenis pendapatan lainnya ada dalam jasa-jasa perbankan. Jasa
tersebut biasanya tidak berbentuk suatu ikatan untuk suatu jangka
waktu yang panjang. Dimana pelaksanaannya dilakukan transaksi, di
sisi lain tarif-tarif yang dikenakan pada jasa-jasa perbankan biasanya
dilakukan oleh bank.
21
Malayu Hasibuan menyatakan bahwa “Jasa adalah setiap kegiatan
atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya
yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan
sesuatu dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu
produk”.
Jasa-jasa bank adalah salah satu aktifitas pada perbankan nasional
yang bertujuan memberikan kemudahan bagi nasabah dalam melakukan
transaksi keuangannya, dan di sisi lain merupakan sumber penerimaan bagi
perbankan. Sumber penerimaan dari jasa bank dikenal dengan nama
pendapatan provisi dan komisi atau pendapatan non bunga. Biasanya,
pendapatan provisi dan komisi atau pendapatan non bunga ini lebih sering
dikenal dengan nama fee based income.
Fee based income menurut Lapoliwa, adalah pendapatan bank dalam
bentuk komisi. Komisi tersebut berasal dari jasa-jasa yang telah diberikan
kepada para nasabah diantaranya, jasa dalam bentuk transfer dalam negeri,
inkaso dalam negeri, perdagangan dalam negeri, safe deposit box (SDB),
credit card, dana rekening titipan dan dana setoran.
B. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum dan Nasabah
1. Pengertian Perlindungan Hukum dan Nasabah
1.1. Pengertian Perlindungan Hukum
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat. Dengan demikian, guna tetap mengekalkan kepercayaan
masyarakat terhadap bank, pemerintah harus berusaha melindungi
22
masyarakat dari tindakan lembaga atau oknum bank yang tidak
bertanggungjawab dan merusak sendi kepercayaan masyarakat. Apabila suatu
saat terjadi merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
tersebut, hal tersebut merupakan bencana bagi ekonomi negara secara
keseluruhan dan keadaan tersebut sangat sulit untuk dipulihkan kembali.14
Menurut Sulistyandari, perlindungan hukum itu berkaitan tentang
bagaimana hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur
hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan
bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang
dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut. 15
Berdasarkan ketentuan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perlindungan hukum itu merupakan bentuk tentang bagaimana caranya
hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan
kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana
hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya
untuk mempertahankan haknya tersebut.
Mengenai hak dan kewajiban, Nicolai memberikan pengertian sebagai
berikut :
“ Een recht houdt in de (rechtens gegeven) urijheid om een bepalde
feitelijke handeling te verichten of n ate laten, of de (rechtens
gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een
ander. Een plicht implieert een verplichting om een bepaalde
handeling te verichten of na laten”.
14
Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm.337 15
Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan
Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012, hlm. 282
23
(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu).16
Dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa ada dua macam perlindungan
hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan hukum bagi
rakyat ini minimal ada dua pihak, dimana perlindungan difokuskan pada salah
satu pihak, pemerintah di satu pihak dengan tindakan-tindakannya,
berhadapan dengan rakyat yang dikenai tindakan-tindakan pemerintah
tersebut. Segala sarana, diantaranya peraturan perundang-undangan yang
memfasilitasi pengajuan keberatan-keberatan oleh rakyat sebelum keputusan
pemerintah mendapat bentuk definitif, merupakan perlindungan hukum yang
preventif. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan
merupakan perlindungan hukum yang represif.17
1.2. Pengertian Nasabah
Sebelum mengarah lebih lanjut mengenai hubungan bank dengan
nasabah penyimpan, perlu kita ketahui tentang definisi dari nasabah, nasabah
penyimpan dan simpanan. Menurut Undang-undang Perbankan, disebutkan
bahwa :
16
Ibid, hlm. 283 17
Ibid, hlm. 283-284
24
“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank (Pasal 1 angka
16 Undang-undang Perbankan)”.
“Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan simpanan berdasarkan
perjanjian bank dengan nasbah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 17
Undang-undang Perbankan)”.
“Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-undang Perbankan)”.
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada
bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro,
Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu (Pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan)”.
2. Hubungan Hukum Bank dengan Nasabah
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat
terlihat dari hubungan yang muncul kegiatan usaha bank yang utama yaitu
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-
bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak, yang dalam
melaksanakan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat penyimpan dana
dilakukan dengan perjanjian penyimpanan antara bank dengan nasabah
25
penyimpan bentuk simpanan dapat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.deposito,giro dan tabungan. Adapun hubungan hukum yang dimaksud
terdiri dari :
a. Hubungan Kontraktual
Dalam hubungan kontraktual ini, hak-hak nasabah penyimpan lahir
dari kontrak atau perjanjian penyimpanan dana yang dibuat oleh bank dengan
nasabah penyimpan sendiri. Selain itu hak-hak nasabah penyimpan juga
diatur dalam atau diberikan oleh KUHPerdata maupun ketentuan hukum
perbankan. Hanya saja perjanjian penyimpanan dana dalam praktik isinya
ditentukan oleh pihak bank, seperti berapa besar dan perhitungan bunga atau
jasa simpanan, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah penyimpan
dan biasanya perjanjian penyimpanan dana merupakan perjanjian standar atau
baku yang biasanya terdapat ketentuan yang lebih menguntungkan pihak
bank.18
Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan yang dilahirkan
atau didasarkan dari perjanjian penyimpanan dana, bank berkedudukan
sebagai pihak debitur, karena bank adalah sebagai pihak yang berkewajiban
mengembalikan simpanan nasabah penyimpan sesuai yang diperjanjikan dan
nasabah penyimpan berkedudukan sebagai pihak kreditur, karena nasabah
18
Ibid, hlm. 300
26
penyimpan adalah sebagai pihak yang berhak atas pengembalian
simpanannya dari bank yang sesuai dengan yang diperjanjikan.19
Dapat disimpulkan hubungan bank dengan nasabah penyimpan
merupakan hubungan antara orang perseorangan yang merupakan lingkup
hukum perdata (hubungan kontraktual). Sehingga, dalam hubungan
kontraktual ini nasabah penyimpan mendapatkan perlindungan hukum dalam
bidang perdata, dimana telah dalam perlindungan hukum perdata pada
prinsipnya warga negara boleh mengatur sendiri menurut pandangan
hubungan satu sama lain (asas otonomi).20
b. Hubungan Non Kontraktual
Antara bank dengan nasabah penyimpan terdapat hubungan non
kontraktual yang sering disebut dengan asas-asas khusus dari hubungan
nasabah dengan bank. Menurut Zulkarnain Sitompul, asas khusus tersebut
antara lain hubungan kepercayaan (fiducia relation), hubungan kerahasiaan
(confidential relation) dan hubungan kehati-hatian (prudential relation).21
Hubungan non kontraktual ini adalah bahwa hubungan nasabah
penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak atau
perjanjian, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum
tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau
hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang
mengaturnya.22
19
Ibid, hlm. 297 20
Ibid, hlm. 301 21
Ibid, hlm. 293 22
Ibid, hlm. 303
27
Asas khusus yang dimaksud dalam hubungan non kontraktual ini
dapat dilihat dalam Undang-undang Perbankan, diantaranya :
1. Hubungan kepercayaan
Hubungan ini tersimpul dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan
Pasal 3 Undang-undang Perbankan. Dari beberapa pasal tersebut dapat
diketahui bahwa bank adalah lembaga perantara/intermediasi
(intermediary institution), dimana bank menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, disini muncul hubungan hukum
antara bank (debitur) dengan nasabah penyimpan (kreditur), nasabah
penyimpan mempercayakan dana simpanannya kepada bank untuk
dikelola, untuk itu nasabah penyimpan berhak atas pengembalian
simpanan dengan bunga. 23
2. Hubungan kehati-hatian
Hubungan kehati-hatian tersimpul dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11
dan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Perbankan. Beberapa
pasal tersebut dapat dideskripsikan bahwa ketentuan perbankan di
Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan
usaha, artinya dalam melaksanakan kegiatan usaha seperti pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus hati-
hati dengan memperhatikan dua hal. Pertama, bank wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
23
Ibid, hlm. 304
28
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan. Kedua, bank wajib memperhatikan mengenai
ketentuan batas maksimum dalam pemberian kredit atau kegiatan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 11 Undang-undang Perbankan dan peraturan
pelaksanaannya. 24
3. Hubungan kerahasiaan
Hubungan kerahasiaan diatur dalam Pasal 40 dan diatur lebih
lanjut dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal
44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 47A dan Pasal 51 Undang-undang
Perbankan. Pasal 40 Undang-undang Perbankan dapat diketahui adanya
hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan yaitu bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, apa yang menjadikan kewajiban bagi bank tersebut
merupakan hak bagi nasabah penyimpan untuk dirahasiakan simpanan
dan identitasnya, dan jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban
tersebut pihak bank apakah itu dewan komisaris, direksi, pegawai bank
atau pihak terafiliasi mendapatkan sanksi pidana atau denda
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang
Perbankan. 25
4. Hubungan menjamin dana simpanan
24
Ibid, hlm. 308 25
Ibid, hlm. 315
29
Hubungan ini diatur dalam Pasal 37B Undang-undang Perbankan.
Ketentuan pasal tersebut dapat diketahui adanya hubungan hukum
antara bank dengan nasabah penyimpan yaitu bank mempunyai
kewajiban untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan melalui
Lembaga Penjamin Simpanan dan apa yang menjadi kewajiban bank
adalah hak bagi nasabah penyimpan untuk dijamin simpanannya. Oleh
karenanya Pasal 37B merupakan salah satu ketentuan dari Undang-
undang Perbankan yang bertujuan untuk memberi perlindungan hukum
terhadap nasabah penyimpan. 26
5. Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah
Hubungan hukum ini diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-
undang Perbankan tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Ketentuan pasal tersebut dapat
diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah
penyimpan, dimana bank mempunyai kewajiban untuk menyediakan
informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank dan
nasabah penyimpan mempunyai hak untuk memperoleh informasi
tersebut. 27
6. Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah
Hubungan ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia No.
7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pada saat
26
Ibid, hlm. 317 27
Ibid, hlm. 325
30
terjadi pelanggaran kewajiban bank dalam hubungan non kontraktual,
dimana dalam hubungan ini hak-hak nasabah muncul dari Undang-
undang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya dan nasabah
penyimpan merasa dirugikan atas pelanggaran kewajiban bank tersebut,
maka nasabah penyimpan dapat menuntut bank atas dasar perbuatan
melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang
mengatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian. 28
C. Tinjauan Tentang Perikatan
1. Pengertian Perikatan
Perjanjian menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.
Menurut Abdulkadir Muhammad, perikatan adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang
mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat
itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli,
hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat
berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.
28
Ibid, hlm. 328-329
31
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum 29
, dari uraian ini
dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan
hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa
perbuatan, kejadian dan keadaan. Objek hubungan hukum itu adalah harta
kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu
disebut kreditur dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum
mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.30
2. Jenis-jenis Perikatan
Setelah dijelaskan mengenai pengertian perikatan berdasarkan
pengaturan dalam KUHPerdata atau di luar KUHPerdata, Subekti membagi
jenis-jenis perikatan yang merupakan sumber dari perikatan yang dilihat dari
bentuknya yaitu :
1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada
suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau
tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa
perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu
timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya
suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau
mempertanggung jawabkan (ospchortende voorwade). Suatu
contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau
saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu
akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu
(tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu
ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau
peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan
yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun
mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya
meninggalnya seseorang.
29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hlm. 198 30
Ibid, hlm. 199
32
3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu
perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan
lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan
kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.
4. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair) ini
adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama
sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang
menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama
berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan
semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam
praktek.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah
suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada
kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakikatnya
tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang
membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya
dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu
pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.
Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang
menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian
ahli warisnya.
6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk
mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja
melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila
ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan
dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan
suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan
sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim
mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila
perjanjian telah sebahagian dipenuhi. 31
3. Wanprestasi dan Akibatnya
Setiap perjanjian sebagaimana telah dikemukakan dimuka, selalu
memuat suatu hal tertentu. Dalam hal ini, suatu hal tertentu tersebut adalah
prestasi. Sehingga sebelum mengutarakan pengertian wanprestasi, perlu
dikemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan prestasi.
31
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 35
33
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur di dalam
setiap perikatan, baik perikatan yang bersumber pada perjanjian, undang-
undang maupun yang lainnya. Prestasi dapat berupa memberikan sesuatu,
berbuat suatu ataupun tidak berbuat sesuatu. Hal ini sebagaimana ketentuan
Pasal 1234 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Berbuat sesuatu yang dimaksud adalah melakukan sesuatu perbuatan
seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian, misalnya prestasi untuk
membuat sebuah patung, dan sebagainya. Adapun pengertian prestasi tidak
berbuat sesuatu, adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan yang telah
diperjanjikan, misalkan tidak melakukan pemasangan iklan seperti yang telah
diperjanjikan.
Wanprestasi terjadi, disebabkan oleh kesalahan debitur sendiri.
Wanprestasi itu sendiri berarti prestasi buruk. Menurut Subekti, wanprestasi
dapat berupa hal-hal seperti berikut :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan melakukan ;
b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi tidak
sebagaimana yang diperjanjikan ;
c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat ;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.32
32
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua belas, Intermesa, Jakarta, 1990 hlm. 46
34
Persoalannya adalah, sejak kapan saat seorang debitur dapat dikatakan
wanprestasi. Dalam hal ini perlu diperhatikan, apakah dalam perjanjian itu
ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.
Perjanjian yang tidak ditentukan tenggang waktu pemenuhan
prestasinya, maka debitur perlu diperingatkan secara tertulis yang berisi suatu
perintah bahwa debitur segera atau pada waktu tertentu harus memenuhi
kewajibannya. Jika tidak dipenuhi, ia telah dinyatakan wanprestasi atau lalai,
namun apabila dalam perjanjian tersebut telah ditentukan tenggang waktu
pemenuhan prestasinya, maka debitur sudah dianggap wanprestasi dengan
lewatnya waktu yang ditentukan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1238
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, lewatnya waktu yang
ditentukan.”
Akibat hukum yang diterima oleh debitur yang wanprestasi adalah
sanksi atau hukuman. Menurut Abdulkadir Muhamad, tentang akibat hukum
wanprestasi adalah ;
“Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi,
adalah hukuman atau sanksi berikut ini :
a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita
oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). Ketentuan ini berlaku
untuk semua perikatan.
b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi
(Pasal 1237 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi
perikatan untuk memberikan sesuatu.
35
d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim
(Pasal 181 ayat 1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan
wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku
bagi untuk semua perikatan.
e. Memenuhi perjanjian, jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan perjanjian disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal
1267 KUHPerdata)”.33
4. Overmacht dan Risiko
Istilah overmacht secara umum diartikan sebagai keadaan memaksa.
Menurut Abdulkadir Muhammad :
”Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhi prestasi oleh debitur
karena terjadi peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan”.34
Selanjutnya, Abdulkadir Muhammad mengemukakan pendapat
bahwa unsur-unsur yang dapat dipenuhi prestasi dalam keadaan memaksa itu
ialah :
a. Tidak penuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang membinasakan
atau memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan, ini selalu
bersifat tetap.
b. Tidak dipenuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau
sementara.
c. Peristiwa itu tidak bisa diketahui atau diduga akan terjadi, pada
waktu membuat perikatan baik, oleh debitur maupun oleh kreditur,
jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur”.35
Terjadinya overmacht, debitur tidak disalahkan, karena keadaan
tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur. Misalnya barang
yang menjadi obyek perjanjian musnah atau hancur karena banjir. Sehubungan
33
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. hlm. 24 34
Ibid, hlm. 27 35
Ibid, hlm. 28
36
dengan itu pengertian overmacht dibedakan menjadi dua, yakni overmacht
yang bersifat tetap dan overmacht yang bersifat sementara.
Overmacht yang bersifat tetap, adalah apabila debitur tidak dapat lagi
memenuhi, atau kalaupun masih mungkin untuk memenuhinya tidak
mempunyai arti lagi bagi debitur, misalnya barang yang menjadi obyek
perjanjian musnah, karena bencana alam. Akibat hukum dari overmacht
bersifat tetap, adalah hapusnya perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan overmacht bersifat sementara, adalah
apabila overmacht itu hanya mengakibatkan tertundanya pelaksanaan
pemenuhan prestasi untuk sementara waktu. Apabila overmacht tersebut
berakhir, maka kreditur masih berhak menuntut pemenuhan prestasi.
Adanya dua macam overmacht tersebut, muncul dua macam teori :
a. Teori obyektif
Dasar teori ini adalah ketidakmungkinan. Teori ini
mengatakan, bahwa seorang debitur dapat mengemukakan dalam
keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasinya tidak mungkin
dapat dilaksanakan bagi setiap orang. Misalnya, sebuah hotel
terbakar di luar kesalahan pemiliknya, maka pihak hotel tidak
dapat melaksanakan kewajibannya menyediakan kamar.
b. Teori subyektif
Teori ini mengatakan, bahwa terdapat keadaan memaksa
jika debitur yang bersangkutan mengingat keadaan atau
kemampuan pribadinya, tidak dapat memenuhi prestasinya.
37
Menurut teori ini debitur masih mungkin memenuhi prestasinya,
meskipun mengalami kesulitan-kesulitan.
Pengaturan overmacht di dalam KUHPerdata terdapat pada Pasal 1244
dan Pasal 1245. Pasal 1244 KUHPerdata mengatakan bahwa debitur
diharuskan membayar ganti kerugian, apabila debitur tidak dapat membuktikan
bahwa tidak tepatnya dalam melaksanakan perjanjian itu, karena sesuatu hal
yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
kecuali jika ada itikad buruk pada debitur, sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata
pada pokoknya menentukan bahwa tidak ada ganti kerugian yang harus
dibayar, apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak
disengaja, debitur berhalangan memberi atau berniat sesuatu yang diwajibkan,
atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Selanjutnya persoalan yang timbul dengan adanya overmacht ini,
adalah siapa yang harus memikul risiko. Pengertian risiko itu sendiri menurut
Subekti : “Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.36
Mengenai risiko ini, undang-undang membedakannya menjadi dua,
yaitu risiko pada perjanjian sepihak dan risiko pada perjanjian timbal balik.
Pada perjanjian sepihak, persoalan risiko hanya diatur dalam Pasal 1237
KUHPerdata, yang menentukan bahwa “Dalam hal adanya perikatan untuk
memberikan suatu kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan atas
tanggungan si berpiutang”.
36
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 98
38
Atas ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata tersebut, Subekti
menjelaskan bahwa :
“Perikatan tanggungan dalam hal ini sama dengan “risiko”. Dengan
begitu, dalam perikatan untuk berikan suatu barang tertentu tadi, jika
barang ini belum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si
berutang”, yaitu yang berhak menerima barang itu.”37
Perjanjian timbal balik persoalan mengenai risiko diatur oleh Pasal
1460 dan Pasal 1545 KUHPerdata. Pasal 1460 KUHPerdata menentukan :
”Jika kebendaan yang dijual itu suatu barang yang sudah ditentukan, maka
barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli meskipun
penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya”.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketentuan pasal tersebut adalah
bahwa perjanjian jual beli suatu barang tertentu, risiko ditanggung oleh
pembeli yang dalam penyerahan barang tersebut berkedudukan sebagai
kreditur, karena ia berhak menuntut penyerahan barangnya.
D. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Ketentuan tentang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata.
Sebelum mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengertian perjanjian,
perlu dikemukakan bahwa Buku III KUHPerdata tersebut berjudul “Tentang
Perikatan”. Artinya, perjanjian memiliki hubungan yang erat dengan perikatan,
dalam hal ini perjanjian itu merupakan salah satu sumber dari perikatan.
37
Ibid
39
Definisi tentang perjanjian diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata,
yakni “Pejanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
dianggap mengandung kelemahan, sehingga oleh para sarjana turut serta
memberikan rumusan tersendiri mengenai pengertian perjanjian.
Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat : “Perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum”.38
Sedangkan Subekti, mengemukakan bahwa “Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.39
2. Asas-asas Hukum Perjanjian
Dalam perjanjian dijumpai beberapa asas hukum, baik berhubungan
dengan lahirnya perjanjian, isi perjanjian, akibat perjanjian maupun yang
berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian.
a. Asas Konsensualisme.
Asas konsensualisme berhubungan dengan kapan saat lahirnya
perjanjian. Istilah Konsensualisme itu sendiri berasal dari kata
“Konsensus” yang berarti kesepakatan. Maksud dari kesepakatan adalah
bahwa antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tercapai suatu
persesuaian kehendak. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus
pula dikehendaki oleh pihak lain.
38
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum :Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty,
Yogyakarta, 1988, hlm. 97 39
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesebelas, Intermesa, Jakarta, 1990, hlm. 1
40
Menurut asas konsensualisme , perjanjian telah lahir sejak saat
tercapainya kata sepakat diantara para pihak mengenai pokok-pokok
perjanjian. Subekti, dalam hal ini mengemukakan :
“Asas konsensualisme mempunyai arti yang penting, yaitu bahwa untuk
melahirkan perjanjian adalah cukup dengan tercapainya sepakat
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjia itu
(dan perikatan yang ditimbulkannya) sudah dilahirkan pada saat atau
detik tercapainya konsensus”.40
b. Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang di
buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Para pihak diberi kebebasan untuk membuat aturan-
aturan sendiri mengenai perjanjian yang mereka adakan, namun, apabila
mereka tidak menentukan sendiri, maka terhadap aturan-aturan
mengenai perjanjian tersebut mereka tunduk pada ketentuan
KUHPerdata.
c. Asas Pacta Sunt Servanda.
Asas pacta sunt servanda dikenal sebagai asas kekuatan
mengikatnya perjanjian. Asas ini berhubungan akibat suatu perjanjian.
Perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat
40
Ibid, hlm. 5
41
sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut akan mengikat para
pihak yang membuatnya sebagai undang-undang. Hal ini berarti para
pihak yang mengadakan tidak dapat melepaskan diri secara sepihak
terhadap perjanjian yang bersangkutan tanpa kesepakatan yang secara
sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa kesepakatan pihak
lainnya, maka dapat dinyatakan wanprestasi.
d. Asas Itikad Baik.
Asas itikad baik berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, semua
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Maksud perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik adalah
bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma
kepatutan dan kesusilaan. Dalam hal ini undang-undang tidak
memberikan pengertian tentang apa yang di maksud dengan kepatutan
dan kesusilaan. Abdulkadir Muhammad, mengemukakan :
“jika dilihat dari katanya, kepatuhan artinya kepantasan, kelayakan,
kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan,
keadaban. Dari kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan
kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, cocok, sopan
dan beradab, sebagaimana bersama-sama dikehendaki oleh masing-
masing pihak yang berjanji.”41
3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai
syarat-syarat sahnya perjanjian yang isinya sebagai berikut :
1. Kesepakatan.
41
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm. 93
42
2. Kecakapan.
3. Objek tertentu.
4. Kausa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh
subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif.
Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek
perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif.
Menurut pendapat Subekti :
Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan
syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak
terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya : Dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan
demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.
dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu
null and void.
Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi,
perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara
tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga,
selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib suatu
perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan
suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan
voidable (bahasa Inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda). 42
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus
diberikan secara bebas, dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang
membuat perizinan tidak bebas, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.
42
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 20
43
Paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa
(psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu
pihak, karena diancam dan ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian.
Kekhilafan terjadi apabila salah satu puhak khilaf tentang hal-hal
yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang
penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai
orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Misalnya, sesorang
membeli sebuiah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah,
tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan
tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannnya. Misalnya, mobil yang yang ditawarkan diganti dulu
mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya.43
Adapun penjelasan dari masing-masing syarat sahnya perjanjian
adalah sebagai berikut :
1. Kesepakatan
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya
memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan
pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling
mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak
tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah
persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki
oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua
kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal
balik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya
”sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara apapun sepertinya
43
Ibid, hlm. 23-24
44
tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah
sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia
sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.44
J.Satrio menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian
kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan
kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus
merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan
hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan
suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus
nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.45
Adapun suatu sepakat dapat dikatakan cacat, jika pihak yang
memberikan perizinan atau menyetujui perjanjian itu dilakukan secara
tidak bebas. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, sepakat yang
didasarkan pada kehendak yang tidak bebas, maka sepakatnya tidak
sah dan menurut Pasal 1449 KUHPerdata, tetap lahir perjanjian, akan
tetapi atas dasar tuntutan dari pihak yang merasa memberikan
sepakatnya secara tidak bebas, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Hal ini dikarenakan adanya unsur kesesatan/kekhilafan, paksaan dan
penipuan.46
44
R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4 45 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 129 46
Nur Wakhid, Diktat ; Syarat Sahnya Perjanjian, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto,
2009, hlm. 26
45
Kesimpulannya, bahwa di dalam kata sepakat terkandung
petunjuk bahwa setidak-tidaknya ada dua pihak yang saling
memberikan persetujuan. Dikatakan saling memberi persetujuan jika
mereka memang menghendaki apa yang disepakatinya secara timbal
balik. Untuk adanya perjanjian diperlukan adanya sepakat, sebaliknya
jika tidak ada kata sepakat, maka tidak lahir perjanjian, sedangkan
untuk sahnya perjanjian, disamping diperlukan adanya sepakat, maka
sepakatnya sendiri haruslah merupakan sepakat yang sah.
2. Kecakapan
Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap
orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan
oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai
orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Berdasarkan
KUHPerdata pada umumnya seseorang dikatakan cakap untuk
melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, yaitu telah
mencapai umur 21 tahun.
Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang
yang tidak cakap membuat perjanjian :
1. Orang yang belum dewasa
2. Mereka yang berada di bawah pengampuan
3. Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh
undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
46
undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan
tertentu.
Orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata
yaitu orang yang belum berumur 21 tahun, tetapi meskipun belum
berumur 21 tahun, apabila seseorang telah atau pernah menikah
dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
Ukuran belum dewasa untuk sekarang ini juga telah dijelaskan
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan
menganut asas yang berbeda dengan KUHPerdata mengenai kriteria
dewasa.
Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Perkawinan mengatakan
bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah menikah ada di bawah kekuasaan orang tuanya.
Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan
bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam maupun diluar pengadilan.
Pasal 50 Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa
anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua berada di bawah perwalian. 47
Kesimpulannya, bahwa anak yang belum dewasa berada di
bawah kekuasaan orang tuanya atau walinya sampai yang
bersangkutan berumur 18 tahun.
Orang yang berada di bawah pengampuan yaitu orang yang
terganggu jiwanya, lemah akalnya dan pemboros berada di bawah
47
Tim Pengajar Hukum Perdata, Buku Ajar ; Hukum Perdata, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2005, hlm. 26
47
pengampuan (atau paling tidak suatu ketika akan berada di bawah
pengampuan).48
Menurut KUHPerdata, seorang perempuan yang bersuami,
untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin
(kuasa tertulis) dari suaminya (Pasal 108 KUHPerdata). Untuk
perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukkan dalam
pengertian keperluan rumah tangga, dianggap si istri dimasukkan
dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian.49
Berkaitan dengan ketidakcakapan istri, dengan berlakunya
Undang-undang Perkawinan, maka istri adalah cakap bertindak. Hal
itu dapat disimpulkan dalam Pasal 31 ayat (2), 35 ayat (2) dan 36 ayat
(2).
Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan
bahwa masing-masing pihak (suami maupun istri) berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan
bahwa harta bawaan adalah tetap di bawah penguasaan masing-
masing.
Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan
bahwa terhadap harta bawaan masing-masing suami dan istri
mempunyai hak untuk sepenuhnya melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.50
Dengan demikian orang dikatakan cakap adalah apabila ia telah
berumur 18 tahun atau sudah menikah sebelum usia tersebut, sehingga
dapat dikatakan bahwa perjanjiannya akan sah apabila dilakukan oleh
mereka yang sudah dewasa dan tidak dibawah pengampuan.
48
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 282 49
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 18 50
Tim Pengajar Hukum Perdata, Op.Cit, hlm. 30
48
3. Objek tertentu
Yang dimaksud dengan objek tertentu dalam suatu perjanjian
ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi
pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa
perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu.
Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa
suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok
perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari
ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
Kesimpulannya, perjanjian akan sah jika sudah memenuhi
syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan.
Ketentuan tersebut harus ditafsirkan, bahwa objek perjanjian harus
tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus secara individual
tertentu.51
4. Kausa yang halal
Yang dimaksud dengan kausa disini bukanlah sebab yang
mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa
suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para
pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti,
adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.
51
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 293
49
Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab
atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Perjanjian yang mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat
perjanjian itu batal demi hukum.
Kesimpulannya, perjanjian akan sah jika isinya harus halal
(tidak terlarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan dilaksanakan.
Mereka mengadakan perjanjian dengan maksud untuk melaksanakan
isi perjanjian tersebut dan berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1337
KUHPerdata bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 52
4. Jenis-jenis Perjanjian
Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata,
peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHPerdata ini sering disebut juga
dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa
para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-
peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak
untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam
bentuk perjanjian itu :
1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang
diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini,
misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak
diatur dalam KUHPerdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang
menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang
52
Ibid, hlm. 305
50
ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-undang bagi
masing-masing pihak.53
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan
menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut 54
:
1. Perjanjian timbal balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual
beli.
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya : hibah. Perjanjian
atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara
kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoemd).
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama
sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut
diatur dan diberi nama oleh pembentuk Undang-undang,
berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian
khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata. Di luar
perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-
perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat
di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya
perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan
mengadakan perjanjian yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian.
Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa
beli.
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan
perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain
(perjanjian yang menimbulkan perikatan).
5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil.
Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil adalah perjanjian dimana
diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak
untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.
53 R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,
1978, hlm. 10 54 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 90-93
51
a. perjanjian liberatoir : yaitu perjanjian dimana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya
pembebasan hutang (kwijtschelding) dalam Pasal 1438
KUHPerdata.
b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian
dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang
berlaku di antara mereka.
c. perjanjian untung-untungan : misalnya prjanjian asuransi, Pasal
1774 KUHPerdata.
d. Perjanjian publik : yaitu perjanjian yang sebagian atau
seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak
bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian
ikatan dinas.
7. Perjanjian campuran.
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai
unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar
(sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual beli) dan juga
memberikan pelayanan.
8. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama.
Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai
nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian tersebut diatur dan
diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe
yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama
terdapat dalam Bab V s.d. XVIII Buku Ketiga Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh
perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi banyak terjadi dalam
masyarakat. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas
kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam Hukum
Perjanjian. Misalnya : perjanjian sewa beli.
5. Berakhirnya Perjanjian
Pada umumnya suatu perjanjian akan berakhir apabila tujuan
perjanjian itu telah tercapai, yaitu masing-masing pihak telah memenuhi
prestasi sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian,
namun perlu dikemukakan, bahwa hapusnya perjanjian adalah berbeda dengan
hapusnya perikatan. Sebab dapat terjadi suatu perikatan hapus, sedangkan
perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal ini dapat terjadi,
karena di dalam suatu perjanjian sering kali terdiri dari beberapa perikatan.
52
Sebagai contohnya, adalah dalam perjanjian jual beli. Dengan dibayarnya
harga barang, maka perikatan mengenai pembayarannya menjadi hapus,
sedangkan perikatan mengenai penyerahannya masih tetap ada. Suatu
perjanjian akan hapus apabila semua perikatan dalam perjanjian dapat
menyebabkan hapusnya semua perikatan, yakni apabila suatu perjanjian
berlaku surut, misalnya karena wanprestasi.
Disamping itu, suatu perjanjian juga dapat hapus atau berakhir dengan
cara-cara berikut :
a. Apabila telah ditentukan sendiri oleh para pihak dalam perjanjian
yang bersangkutan dengan penetapan waktu tertentu ;
b. Apabila telah ditentukan oleh undang-undang tentang batas waktu
berlakunya suatu perjanjian, misalnya perjanjian jual beli dengan
hak membeli kembali tidak boleh lebih dari lima tahun ;
c. Ditentukan oleh para pihak atau undang-undang, bahwa apabila
terjadi suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir,
misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia ;
d. Dengan pernyataan penghentian oleh salah satu pihak atau kedua
belah pihak dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran
menurut kebiasaan-kebiasaan setempat, misalnya perjanjian sewa-
menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian ;
e. Putusan hakim karena ada salah satu pihak mengajukan tuntutan
untuk mengakhiri perjanjian ;
53
f. Selama masih berlangsungnya suatu perjanjian para pihak
mengadakan kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian yang mereka
buat.
E. Tinjauan Tentang Perjanjian Sewa-menyewa
1. Pengertian Perjanjian Sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian khusus
yang ketentuan-ketentuannya terdapat dalam bab ketujuh Buku III
KUHPerdata. Sistematika Buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu
ketentuan umum (Bab I tentang perikatan-perikatan umumnya, Bab II tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dan Bab IV
tentang hapusnya perikatan-perikatan) dan ketentuan khusus yang memuat
peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang telah ditentukan oleh
KUHPerdata (Bab V-XVIII ditambah Bab VII A Pasal 1457-1864
KUHPerdata). Dalam hal ini perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu
bagian yang diatur dalam ketentuan khusus disamping perjanjian yang
lainnya, seperti misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar,
perjanjian penitipan barang, dan lain sebagainya.
Menurut Pasal 1548 KUHPerdata disebutkan bahwa “Sewa-menyewa
ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang,
selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak
tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”.
54
Meskipun KUHPerdata telah memberikan definisi tentang perjanjian
sewa-menyewa, namun demikian beberapa sarjana masih memandang perlu
untuk memberikan definisi sendiri.
M. Isa Arif, memberikan definisi :
“Bahwa perjanjian sewa-menyewa adalah suatu persetujuan di mana
pihak yang satu berkewajiban untuk memberikan kenikmatan suatu
benda kepada pihak yang lain dengan harga yang oleh pihak yang lain
disetujui untuk dibayar.”55
Subekti, memberikan definisi:
“Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
menyanggupi untuk menyerahkan suatu barang untuk dipakai selama
suatu jangka waktu tertentu, sedang pihak lain menyanggupi untuk
membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada
waktu yang telah ditentukan.”56
Dengan terdapatnya beberapa definisi mengenai perjanjian sewa-
menyewa tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam sewa-menyewa terdapat
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Menyerahkan suatu barang untuk dinikmati.
Barang yang diserahkan sebagai obyek dalam perjanjian sewa-
menyewa adalah bukan untuk dimiliki melainkan hanya dikuasai, dipakai
atau dinikmati, sehingga dalam sewa-menyewa hak milik tidak beralih.
Dengan perkataan lain penyerahan barang dalam sewa-menyewa hanya
bersifat penyerahan kekuasaan belaka, bukan penyerahan hak milik, seperti
halnya dalam perjanjian jual beli.
Oleh karena dalam sewa-menyewa tidak terjadi penyerahan hak
millik, maka pihak yang menyewakan tidak harus sebagai pemilik barang
55
M. Isa Arif, Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 43 56
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 84
55
yang menjadi obyek sewa-menyewa. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
oleh Subekti :
“Karena kewajiban yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk
dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia
tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian, maka seorang
yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah menyewakan barang yang
dikuasainya dengan hak tersebut.”57
Barang dijadikan obyek sewa-menyewa dalam hal ini. Ketentuan
umum sewa-menyewa mengatakan bahwa semua jenis barang baik yang
bergerak maupun tak bergerak, dapat disewakan. Ketentuan umum tentang
sewa-menyewa ini termuat dalam bagian kesatu Bab VII Buku III
KUHPerdata. Adapun ketentuan khusus mengatur tentang perjanjian sewa-
menyewa juga diterapkan ketentuan-ketentuan umum Buku III KUHPerdata
sepanjang di dalam ketentuan khusus menyimpang. Ketentuan-ketentuan
khusus yang mengatur perjanjian sewa-menyewa terdapat pada Bab VII Buku
III KUHPerdata. Menurut sistematikanya, Bab VII Buku III KUHPerdata
dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
Bagian I : Tentang ketentuan-ketentuan umum.
Bagian II : Tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap
penyewaan tanah.
Bagian III : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan
perabot rumah.
57
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 40
56
Bagian IV : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa tanah.
Sehubungan dengan barang yang dapat menjadi obyek sewa-menyewa
ini, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapat :
“Oleh karena maksud dari sewa-menyewa adalah untuk dikemudian hari
mengembalikan barang kepada pihak yang menyewakan, maka tidak
mungkin ada persewaan barang yang pemakaiannya berakibat musnahnya
barang itu, misalnya barang-barang makanan.”58
b. Selama waktu tertentu.
Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan perkataan “waktu tertentu”,
bukanlah berarti bahwa untuk berlangsungnya sewa-menyewa harus
ditentukan lebih dahulu suatu jangka waktu yang telah tertentu. Namun,
masing-masing pihak harus dapat menghentikan atau mengakhiri sewa-
menyewa tersebut, dengan memperhatikan tenggang waktu tertentu menurut
adat dan kebiasaan setempat. Dalam pelaksanaannya pun sering terjadi bahwa
sewa-menyewa diadakan untuk jangka waktu yang tidak tertentu.
c. Pembayaran suatu harga.
Pembayaran suatu harga sewa merupakan salah satu unsur yang harus
ada dalam sewa-menyewa. Dalam hal ini pembayaran harga sewa merupakan
hak yang akan diterima oleh yang menyewakan.
Pusat yang menjadi perhatian adalah wujud pembayaran harga sewa.
Dalam hal ini apakah harus berwujud uang ? Ternyata KUHPerdata sendiri
tidak memberikan ketentuan. Dalam kenyataan sehari-hari pembayaran
58 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Cetakan Kedelapan, Sumur, Bandung, 1985, hlm. 43
57
dengan sejumlah uang adalah pembayaran harga sewa yang paling umum.
Dalam hal ini, karena uang disamping alat pembayaran yang sah, juga paling
mudah dan praktis.
Berhubungan dengan hal ini, Subekti berpendapat :
“Kalau jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang
perjanjiannya bukan jual beli lagi tetapi tukar-menukar, tetapi dalam sewa-
menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang
atau jasa.”59
Dengan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian, maka
pembayaran harga sewa dengan bentuk barang atau jasa tersebut tidak akan
merubah sifat dari perjanjian sewa-menyewa itu sendiri.
2. Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa terdapat dua subyek, yaitu yang menyewakan
dan penyewa. Kedua subyek dalam sewa-menyewa tersebut masing-masing
memiliki hak dan kewajiban. Apa yang menjadi hak yang menyewakan
merupakan kewajiban bagi penyewa, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban
yang menyewakan merupakan hak penyewa, dengan perkataan lain pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa dalam beberapa hal dapat kedudukan sebagai
kreditur dan dalam hal berkedudukan sebagai debitur.
Subyek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Subyek
perjanjian sewa-menyewa tersebut berupa orang, maka disyaratkan orang yang
dimaksud harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan oleh peraturan hukum tidak
59
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 41
58
dibatasi atau dilarang dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah, misalnya
tidak dilarang oleh peraturan kepailitan.
Adapun yang dimaksud dengan sudah dewasa, adalah apabila sudah
mencapai usia 21 tahun atau sudah kawin, meskipun belum mencapai usia 21
tahun. Pada umumnya seseorang dikatakan dapat melakukan perbuatan hukum
apabila telah mencapai kedewasaan disamping memenuhi aturan yang telah
ditentukan di atas, sedangkan ukuran dewasa sekarang ini menurut Pasal 47 ayat
(1) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah ada di bawah kekuasaan
orang tuanya, yang artinya anak tersebut belum dapat melakukan perbuatan
hukum.
Apabila orang-orang belum dewasa berkehendak mengadakan perjanjian
sewa-menyewa, maka yang harus bertindak adalah orang tua atau walinya,
sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya, maka yang harus bertindak
adalah pengawasnya. Untuk orang yang di bawah pengampuan yang mewakili
adalah pengampunya dan untuk orang yang berada dalam keadaan pailit yang
bertindak adalah Balai Harta Peninggalan (BHP).
Pembahasan berikutnya adalah mengenai obyek perjanjian sewa-
menyewa yang dalam hal ini obyek perjanjian sewa-menyewa adalah suatu
barang yang disewa dan harga sewa.
Sehubungan dengan barang yang dapat dijadikan obyek dalam perjanjian
sewa-menyewa ini, Bab VII Buku III KUHPerdata di dalam ketentuan umumnya
hanya menyebutkan bahwa semua jenis barang baik yang bergerak maupun tak
bergerak dapat disewakan. Ketentuan mengenai barang yang disewa tersebut
59
masih sangat umum dan luas, oleh karena itu beberapa sarjana memberikan
pendapatnya.
3. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak Perjanjian Sewa-menyewa
3.1. Hak yang menyewakan
Sebagaimana diketahui perjanjian sewa-menyewa merupakan
perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak harus berprestasi,
sehingga dalam banyak hal apa yang merupakan hak penyewa menjadi
kewajiban yang menyewakan dan sebaliknya kewajiban penyewa
merupakan hak bagi yang menyewakan.
Hak-hak pihak yang menyewakan tersebut diantaranya :
a. Menerima pembayaran harga sewa pada waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan ;
b. Perlakuan yang baik atas barang yang disewakannya ;
c. Menerima kembali barang yang disewakan setelah jangka waktu
sewa berakhir ;
d. Menurut pembatalan perjanjian sewa-menyewa dengan disertai
penggantian kerugian, atau melepaskan sewanya kepada orang lain.
3.2. Kewajiban yang menyewakan
Kewajiban-kewajiban pihak yang menyewakan harus dilaksanakan
sebagaimana telah ditentukan oleh KUHPerdata, diantaranya :
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
b. Memelihara barang yang disewakan dengan seksama, sehingga
barang tersebut dapat dipakai oleh penyewa sebagaimana
dimaksudkan dalam perjanjian.
60
c. Memberikan kepada penyewa kenikmatan yang tenteram atas barang
yang disewakan, selama berlangsungnya sewa-menyewa.
d. Melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan
yang perlu untuk dilakukan, kecuali pembetulan-pembetulan kecil
yang menjadi kewajiban penyewa.
e. Menanggung segala cacat dari barang yang disewakan yang
merintangi pemakaian barang tersebut, sekalipun pihak yang
menyewakan tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian sewa-
menyewa tersebut dibuat.
f. Mengenai kerugian apabila cacat-cacat di atas mengakibatkan bagi
penyewa.
Perlu ditambahkan bahwa kewajiban pihak yang menyewakan
untuk memberikan kenikmatan yang tenteram di atas adalah
dimaksudkan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan
hukum dari pihak ketiga atas barang yang disewakan, namun kewajiban
untuk memberikan kenikmatan yang tenteram atas barang yang
disewakan ini tidak termasuk pengamanan-pengamanan dalam arti
gangguan-gangguan fisik, dalam hal gangguan-gangguan fisik yang
dialami penyewa di dalam penggunaan barang yang disewakannya
menjadi tanggungan penyewa.
3.3. Hak penyewa
Dalam perjanjian sewa-menyewa pihak penyewa mempunyai hak-hak
sebagai berikut :
61
a. Menerima barang yang disewakan pada waktu dan dalam keadaan
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan.
b. Memperoleh kenikmatan yang tenteram atas barang yang disewakan
selama sewa-menyewa tersebut berlangsung.
c. Menuntut kepada pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi
dalam hal penyewa mendapat gangguan-gangguan dari pihak ketiga atas
dasar hak yang dikemukakan pihak ketiga tersebut. Dalam hal ini, maka
tuntutan tersebut sepadan dengan sifat gangguan tersebut.
d. Menuntut agar pihak yang menyewakan ditarik sebagai dalam perkara
apabila penyewa digugat oleh pihak ketiga di pengadilan.
e. Berhak atas ganti kerugian apabila pihak yang menyewakan
menyerahkan barang yang disewakannya dalam keadaan cacat,
sehingga mengakibatkan suatu kerugian bagi penyewa dalam
penggunaannya.
3.4. Kewajiban penyewa
Kewajiban-kewajiban penyewa yang harus dilaksanakan adalah :
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 1560 KUHPerdata, pihak penyewa harus
melaksanakan dua kewajiban utama, yaitu :
- Menggunakan barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah
yang baik.
- Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang ditentukan.
b. Melakukan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari atas barang
yang disewanya.
62
c. Melengkapi sendiri perabotan rumah secukupnya dalam hal disewa
tersebut sebuah rumah kediaman, kecuali apabila penyewa memberikan
cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa.
d. Bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewanya, kecuali
apabila penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut dapat
terjadi karena suatu hal di luar kesadaran penyewa.
Adapun yang dimaksudkan dengan kewajiban untuk menggunakan
barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah yang baik adalah
kewajiban untuk menggunakan barang yang disewanya seolah-olah barang
tersebut adalah kepunyaan sendiri. Apabila ternyata penyewa menggunakan
barang yang disewanya dengan tujuan lain yang menyimpang dari apa yang
dimaksudkan di dalam perjanjiannya, maka yang menyewakan berhak
untuk meminta pembatalan.
4. Sewa Tertulis dan Sewa Lisan
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh
undang-undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa
tertulis dan sewa lisan 60
. Sewa-menyewa yang diadakan tertulis, maka sewa
itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah
habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu.
Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka
sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak
yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak
60 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm.
47
63
menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan
mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat,
jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu
diperpanjang untuk waktu yang sama. 61
Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 KUHPerdata dan
perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata,
jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu
sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan
menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu
tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama,
untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat dan tak dapatlah ia
meninggalkan rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan
sesudahnya dilakukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut
kebiasaan setempat (Pasal 1587 KUHPerdata).62
Uraian yang panjang lebar itu dimaksudkan bahwa sewa tertulis
tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah
sewa, berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat
diakhiri menurut adat kebiasaan setempat.63
5. Berakhirnya Perjanjian Sewa-menyewa
Undang-undang telah membedakan sewa-menyewa menjadi dua
bentuk, yakni sewa-menyewa tertulis dan lisan, namun pembedaan itu
dipandang penting untuk menentukan saat berakhirnya sewa-menyewa,
61 Ibid
62 Ibid
63 Ibid
64
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1570 sampai dengan Pasal 1572
KUHPerdata dapat diketahui, bahwa dalam hal sewa-menyewa dibuat dengan
tulisan, maka sewa berakhir demi hukum apabila waktu yang di tentukan
telah lewat, tanpa perlu memberitahukan untuk pemberhentian sewa tersebut,
sedangkan dalam hal sewa di buat dengan lisan, maka sewa-menyewa
tersebut berakhir apabila pihak yang satu memberitahukan pada pihak yang
lain, bahwa ia hendak memberhentikan atau mengikuti tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat. Apabila tidak ada pemberitahuan
seperti itu, maka dianggap sewa tersebut diperpanjang untuk waktu yang
sama.
Undang-undang juga menentukan sebagaimana dikatakan oleh Pasal
1575 KUHPerdata, bahwa perjanjian sewa-menyewa tidak berakhir dengan
meninggalkan pihak yang menyewa maupun pihak yang menyewa.
6. Risiko Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa
Pengertian risiko sebagaimana dikemukakan di muka, adalah
kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh satu kejadian atau
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak.
Dalam pada itu Bab VII Buku III KUHPerdata tidak menyebutkan
secara jelas ketentuan mengenai risiko dalam perjanjian sewa-menyewa dan
siapa yang harus memikulnya. Akan tetapi ketentuan tentang risiko
merupakan kesimpulan dari Pasal 1533 KUHPerdata. Adapun Pasal 1153
KUHPerdata menentukan sebagai berikut :
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tak disengaja maka persetujuan sewa
65
gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah si
penyewa minta pengurangan harga sewa, atau ia akan meminta
bahkan pembatalan persetujuan sewanya ; tetapi tidak dalam satu dari
kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi”.
Dengan demikian terhadap ketentuan Pasal 1553 KUHPerdata dapat
diberikan kesimpulan sebagai berikut :
(1) Dalam hal barang yang menjadi obyek sewa-menyewa musnah sama
sekali di luar kesalahan salah satu pihak, risiko sepenuhnya ditanggung
oleh pemilik barang.
(2) Dalam hal hanya sebagian barang yang disewakan musnah, maka
penyewa dapat memilih membatalkan perjanjian atau pengurangan harga
sewa.
F. Tinjauan Tentang Perjanjian Baku
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh masalah sosial
dan ekonomi. Pihak pelaku usaha menerapkan perjanjian baku dengan
menentukan syarat-syarat secara sepihak karena memerlukan transaksi yang
cepat, berbiaya murah, efektif dan efisien. Konsumen mempunyai kedudukan
yang lemah baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya,
sehingga hanya menerima saja.
Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan
lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya
menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit
banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan
kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya
66
masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek
hukum perjanjian.64
Menurut Sutan Remy Sjahdeni, yang dimaksud dengan perjanjian
baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.65
Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan bahwa perjanjian baku
adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan
dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.66
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah
perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
pengusaha, yang distandarisasikan atau dibakukan meliputi model, rumusan
dan ukuran.67
Selain itu terdapat pula definisi resmi dari klausula baku yang
diberikan dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang disebutkan 68
:
“Setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
64
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka hukum Bisnis, Cetakan Pertama, Bandung : Alumni,
1994, hlm. 46 65
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993,
hlm. 66 66
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 48 67
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 6 68
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
67
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen”.
2. Syarat-syarat Perjanjian Baku
Adapun dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat baku, yang
dimaksud disini adalah konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa
perjanjian yang masih akan dibuat, jumlahnya tidak tentu tanpa
membicarakan terlebih dahulu isinya. Syarat-syarat ini biasanya terdapat
dalam nota pembelian, tiket-tiket pengangkutan, angket pesanan dan
sebagainya.
Syarat-syarat dalam perjanjian baku yang selalu muncul dalam
masyarakat antara lain meliputi tentang :
1. Cara mengakhiri perjanjian ;
2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian ;
3. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ;
4. Penyelesaian sengketa melalui kepentingan pihak ketiga 69
;
Perihal syarat-syarat dalam perjanjian baku, Treitel menjelaskan
bahwa syarat perjanjian baku dapat dimasukkan dalam perjanjian atau
kontrak dengan penandatanganan atau dengan pemberitahuan.
1. Penandatanganan ( By Signature )
Seseorang yang menandatangani surat perjanjian adalah terikat
oleh syarat-syarat yang ada meskipun ia tidak membacanya. Jadi
tidak peduli apakah ia mengerti bahasa Inggris atau tidak ;
2. Pemberitahuan ( By Notice )
Apabila syarat telah tercetak diatas surat yang diserahkan dan
suatu pihak kepada pihak yang lain diumumkan pada waktu
69
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,
Alumni, Bandung, 1981, hlm. 67
68
perjanjian dibuat, syarat itu telah diberitahukan secara patut
kepada pihak lawannya. 70
3. Jenis-jenis Perjanjian Baku
Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : 71
1. Perjanjian baku sepihak.
Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak
kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi kuat
dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam
organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif.
2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah.
Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas
tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak
Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak
Tanggungan.
3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat.
Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan
Notaris atau Advokat yang bersangkutan.
70
Purwahid Patrik, Hukum Kontrak Indonesia Seri Dasar Hukum Dagang 5, Elips,
Bandung, 1997, hlm. 145 71
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 50
69
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legisme
positivism. Konsep ini mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang, selain
itu konsep ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat
otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Deskriptif maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
keadaan atau gejala dari obyek yang diteliti secara menyeluruh dan sistematis
tanpa mengambil kesimpulan secara umum.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Purwokerto, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas
Jenderal Soedirman dan media Internet.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu :
70
1. Data Sekunder sebagai data utama, yang digolongkan dan diuraikan ke
dalam :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat, terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundang-
undangan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3. Undang-undang No 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
4. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
5. Akta Perjanjian Safe Deposit Box (SDB) di PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dalam
penelitian ini menggunakan literatur buku-buku kepustakaan, hasil
penelitian berupa data-data yang diperoleh dari di PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto dan Internet.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini
menggunakan kamus hukum.
2. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan sebagai
pendukung data sekunder. Dalam hal ini, informan adalah PGS
71
(Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Data Sekunder
Pengumpulan data dilakukan melalui inventarisasi bahan hukum
(studi kepustakaan) dan/atau sinkronisasi sumber bahan hukum
yang sesuai dengan relevansi penelitian ini untuk mendapatkan
hasil penelitian yang lengkap, objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam penelitian ini,
metode pengumpulan bahan hukum adalah dengan melakukan
suatu inventarisasi data sekunder.
b. Data Primer
Dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan
PGS (Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) PT
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.
6. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian dan
disusun secara sistematis yaitu bahwa keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan akan disesuaikan
dengan pokok permasalahan, sehingga akan terbentuk satu kesatuan yang
utuh mengenai masalah yang diteliti.
7. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
72
normatif kualitatif yaitu suatu analisis yang menjabarkan dan menafsirkan
data dengan berdasarkan pada norma-norma hukum, doktrin-doktrin dan
teori-teori ilmu hukum yang relevan dengan pokok permasalahan sehingga
dapat menjawab permasalahan dan dapat diambil suatu simpulan.
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Purwokerto, diperoleh data sekunder berupa akta Perjanjian
Sewa-menyewa Safe Deposit Box, Brosur Safe Deposit Box dan data primer
berupa wawancara dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini di PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.
1. Data Sekunder
1.1. Akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box
1.2. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box
Contoh para pihak yang terlibat di dalam akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Purwokerto adalah sebagai berikut :
I. SUBAGIYO, SE,MM, Pemimpin Bidang Pelayanan Nasabah
selaku kuasa dari Pemimpin PT. Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk Purwokerto berdasarkan Surat Kuasa Pemimpin Cabang
No.PWO/01/003 tanggal 21 Oktober 2009 dalam hal ini bertindak
dalam jabatannya tersebut dan dengan demikian berdasarkan
Anggaran Dasar Perseroan beserta perubahan-perubahannya yang
terakhir sebagaimana termaktub dalam Akta No. 46 tanggal' 13
Juni 2008 yang dibuat di hadapan Fathiah Helmi, SH Notaris di
74
Jakarta dan telah mcndapatkan pcrsetujuan dari Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat
Keputusan No. AHU-50609.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 12
Agustus 2008, berwenang bertindak untuk dan atas nama PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk, berkedudukan dan berkantor
pusat di Jakarta, Jl. Jend. Sudirman Kav 1, untuk selanjutnya
disebut Bank.
II. SET1A KRISBIANTORO, bertempat tinggal/berkedudukan di Jl.
KS Tubun Gg. Belimbirg No. 10 RT 006 RW 007 Kel. Rejarari
Kec. Purwokerto Barat, Kab. Banyumas sesuai SIM Nomor
761214140238, untuk selanjutnya disebut Penyewa.
1.3. Maksud dan Tujuan Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box
Untuk mengadakan Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box.
1.4. Objek Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box
1 (satu) buah safe deposit box (untuk selanjutnya disebut "SDB")
miilik bank dengan detail sebagai berikut :
SDB Nomor : 155
Ukuran : 5 X 10 X 24 Inch
Nomor Kunci : 155 ( asli dan duplikat)
Adapun keterangan yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 akta
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Purwokerto mengenai jangka waktunya 1 (satu) tahun dan
harga sewa sebesar Rp.350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
75
1.5. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-menyewa Safe
Deposit Box
a. Hak Penyewa
1. Penyewa hanya dapat menggunakan safe deposit box yang
disewanya untuk menyimpan perhiasan, surat-surat penting dan
barang-barang berharga lainnya dan dilarang menggunakan safe
deposit box untuk menyimpan senjata api, barang-barang yang
dilarang oleh Undang-undang/Pemerintah dan zat-zat kimia
yang diduga dapat membahayakan/merusak safe deposit box dan
lingkungan sekitarnya.
2. Penyewa berhak memberi kuasa kepada pihak ketiga dengan
menggunakan formulir yang disediakan oleh bank, untuk
membuka dan membuat apa yang dikehendaki terhadap isi safe
deposit box tersebut dengan persetujuan bank. Pemegang kuasa
harus orang yang telah dikenal baik oleh penyewa dan telah
diperkenalkan kepada bank sesuai dengan kartu pengenal yang
dimilikinya, yang aslinya diperlihatkan dan ditunjukkan kepada
bank.
3. Hanya penyewa atau pemegang kuasa yang berhak
menandatangani dokumen yang berkaitan dengan penyewaan
safe deposit box, dan untuk itu contoh tandatangani yang
bersangkutan harus tercantum dalam formulir.
76
4. Penyewa atau pemegang kuasa diperbolehkan memasuki
ruangan khazanah tempat menyimpan safe deposit box dan
berhak membuka safe deposit box yang disewanya guna
mengeluarkan barang-barangnya pada setiap hari kerja dengan
ketentuan setiap kunjungan ke dalam ruang khazanah maksimal
15 menit.
5. Penyewa atau pemegang kuasa hanya dapat membuka safe
deposit box dengan bantuan seorang petugas/pegawai bank yang
ditunjuk.
6. Penyewa berhak untuk menghentikan sewa safe deposit box ini
secara sepihak setiap saat sebelum jangka waktu sewa berakhir,
tetapi berhak menuntut bank untuk membayar ganti rugi
mengembalikan bagian dari harga sewa untuk jangka waktu
yang belum berjalan.
b. Kewajiban Penyewa
1. Penyewa wajib membayar biaya sewa sesuai dengan jangka
waktu yang telah dikehendaki.
2. Penyewa wajib menguasai dan menyimpan sendiri anak kunci
safe deposit box dengan baik dan bertanggungjawab penuh atas
kerugian yang timbul akibat hilang dan atau rusaknya anak
kunci safe deposit box tersebut.
77
3. Apabila dipandang perlu dan atas permintaan bank, penyewa
atau pemegang kuasa wajib memperlihatkan kepada bank isi
safe deposit box yang disewanya.
4. Penyewa wajib segera memberitahukan kehilangan anak kunci
dengan melampirkan asli surat tanda penerimaan laporan
kehilangan dari kepolisian setempat terhitung sejak tanggal
kehilangan tersebut.
5. Penyewa wajib memberitahukan secara tertulis kepada bank
setiap kali terjadi perubahan alamat dan tempat tinggal
penyewa. Segala akibat/kerugian yang timbul karena kelalaian
pemberitahuan alamat/tempat tinggal tersebut menjadi tanggung
jawab penyewa.
6. Penyewa wajib segera mengosongkan safe deposit box dan
mengembalikan anak kunci yang dikuasainya dalam keadaan
baik kepada bank paling lambat pada tanggal berakhirnya
perjanjian safe deposit box ini.
a. Hak Bank
1. Dalam hal perjanjian sewa ini tidak diperpanjang oleh
penyewa, sedangkan barang-barang yang disimpan dalam safe
deposit box tidak diambil, bank berhak memperpanjang jangka
waktu safe deposit box selama 15 (limabelas) hari terhitung
mulai tanggal berakhirnya perjanjian ini tanpa persetujuan
78
terlebih dahulu dari penyewa, dan harga sewa perpanjangan
menjadi beban penyewa.
2. Setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan, bank tidak
bertanggungjawab dan tidak dapat dituntut ganti rugi atas
kerugian dan kerusakan atas sebagian/seluruh berubahnya
mutu, berkurangnya jumlah atau hilangnya barang yang
disimpan dalam safe deposit box.
3. Bank berhak secara sepihak tanpa persetujuan dari penyewa
untuk melakukan pembongkaran terhadap safe deposit box
yang disewa oleh penyewa apabila :
a. Anak kunci hilang dan atau kunci safe deposit box rusak,
sehingga safe deposit box tidak dapat dibuka tanpa
membongkarnya terlebih dahulu.
b. Jangka waktu sewa telah berakhir tetapi tidak diperpanjang
atau harga sewa tidak dibayar walaupun telah diperingatkan
oleh bank.
4. Apabila terjadi pembongkaran sebagaimana yang dimaksud di
atas, maka bank berhak dan dengan ini diberi kuasa oleh
penyewa untuk menjual barang-barang secara lelang yang
disimpan dengan harga berapapun yang dianggap wajar oleh
bank. Hasil penjualan barang tersebut selanjutnya akan
digunakan untuk membayar uang sewa yang tertunggak, biaya
notaris, serta biaya-biaya lain yang ditimbulkan olehnya dan
79
jika ada kelebihan, bank akan menyimpannya atau
dikembalikan kepada penyewa atau pemegang kuasa tanpa
bunga apapun.
b. Kewajiban Bank
1. Bank berkewajiban untuk menjaga safe deposit box agar
senantiasa terkunci dengan baik. Bank bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkan secara langsung dari tidak
dipenuhinya kewajiban bank tersebut.
2. Bank wajib untuk membayar kembali harga sewa untuk jangka
waktu yang belum berjalan, apabila karena ditetapkan bahwa
safe deposit box yang bersangkutan tidak dapat diperpanjang
lagi.
3. Sekurang-kurangnya 1 (satu) kali sebelum perjanjian ini
berakhir, bank berkewajiban untuk memberitahukannya kepada
penyewa mengenai akan berakhirnya perjanjian sewa safe
deposit box ini.
1.6. Pembatasan Tanggung Jawab Bank
Bank tidak bertanggung jawab atas :
1. Perubahan kualitas/kuantitas, kehilangan, atau kerusakan barang
yang disimpan dalam SDB.
2. Resiko yang timbul karena force majeure yaitu bencana alam
seperti banjir dan gempa bumi, perang, huru hara, pemogokan,
80
sabotase, atau kebakaran yang dapat mengakibatkan perubahan'
fisik, kualitas dan/atau kuantitas dari barang simpanan.
3. Kerugian atau kehilangan yang diakibatkan oleh perampokan ,
penyerbuan atau perampasan dengan menggunakan ancaman atau
kekerasan terhadap Petugas atau Pejabat Bank ataupun terhadap
penyewa atau kuasanya.
1.7. Penyelesaian Perselisihan dan Domisili Hukum
1. Apabila timbul perselisihan mengenai pelaksanaan Perjanjian ini
para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara
musyawarah/mufakat, dengan menyampaikan kepada pihak
lainnya mengenai perbedaan pendapat yang timbul.
2. Jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dimulainya
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini
tidak tercapai mufakat, maka para pihak setuju untuk
menyelesaikan melalui Pengadilan.
Tentang Perjanjian ini dan segala akibatnya. para pihak sepakat
memilih domisili hukum yang umum dan tetap di Kantor
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Purwokerto.
1.8. Perubahan Perjanjian
1. Bank berhak-untuk melakukan perubahan dan /atau penambahan
terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Perjanjian ini
berdasarkan pertimbangan bank tanpa berkewajiban untuk
meminta persetujuan kepada penyewa terlebih dahulu dan
81
perubahan tersebut merupakan bagian dan menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
2. Perubahan-perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini akan diinformasikan oleh bank kepada penyewa
dengan cara dan sarana yang dianggap baik oleh bank.
1.9. Lain-lain
1. Masing-masing pihak menjamin kepada pihak lainnya bahwa
pihaknya akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik.
Tidak satupun ketentuan dan atau penafsiran atas ketentuan
dalam perjanjian ini akan digunakan oleh satu pihak untuk
mengambil keuntungan secara tidak wajar dan atau
mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya.
2. Lampiran-lampiran yang ada pada perjanjian ini mengikat para
pihak, serta merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian ini.
3. Perjanjian ini tunduk pada Hukum Negara RI, hal-hal yang tidak
dan/atau belum diatur dalam perjanjian ini tunduk pada
ketentuan hukum yang berlaku bagi perjanjian, termasuk namun
tidak terbatas pada Hukum Perjanjian yang termuat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
4. Dalam hal terdapat ketentuan dalam perjanjian ini yang
dinyatakan batal atau tidak berlaku oleh peraturan perundang-
82
undangan yang berlaku, maka ketentuan lain dalam perjanjian
ini dinyatakan tetap berlaku dan mengikat para pihak.
1.10. Brosur Perjanjian sewa-menyewa Safe Deposit Box
Sesuai brosur perjanjian sewa-menyewa safe deposit box PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto, pihak bank memberikan
jaminan rasa aman tanpa kecemasan kepada pihak penyewa. Safe deposit
box dianggap sebagai tempat yang terjamin keamanan dan kerahasiannya
untuk menyimpan barang dan dokumen berharga, seperti polis asuransi,
BPKB kendaran, sertifikat tanah, ijazah, saham, perhiasan, medali, barang-
barang koleksi dan sebagainya, sehingga penyewa tidak perlu repot
menyiapkan tempat khusus untuk menyimpan barang atau dokumen
berharga.
Keuntungan dari perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah
sebagai berikut :
1. Penyewa (nasabah) memperoleh Kartu Tanda Penyewa BNI
Safe Deposit Box.
2. Ruang penyimpanan didukung oleh sistem keamanan canggih,
tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi pengamanan 24
jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih.
3. Terjamin keamanan dan kerahasiannya.
4. Tersedia berbagai jenis ukuran safe deposit box sesuai
kebutuhan.
83
Adapun ketentuan harga sewa safe deposit box tergantung pada
jangka waktu penyewaannya dengan berbagai ukuran box yang telah
disediakan oleh bank. Adapun ketentuannya sebagai berikut :
1. Ukuran 3 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 150.000,00/ 6 bulan
dan Rp. 250.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp.
500.000,00.
2. Ukuran 5 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 250.000,00/ 6 bulan
dan Rp. 350.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp.
500.000,00.
3. Ukuran 10 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 450.000,00/ 6 bulan
dan Rp. 550.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp.
500.000,00.
Kemudahan yang diberikan kepada penyewa untuk menyewa safe
deposit box, diantaranya :
1. Cukup dengan memiliki rekening BNI (BNI Taplus, BNI
Dollar atau BNI Giro).
2. Penyewa dapat dengan leluasa dan aman mengurus barang atau
dokumen di ruangan khusus yang nyaman dan aman.
3. Persyaratan sewa mudah.
Persyaratan sewa safe deposit box ini cukup dengan mengisi
formulir aplikasi, melampirkan fotocopy KTP atau bukti identitas lain dan
mengisi, serta menandatangani perjanjian safe deposit box yang telah
ditentukan bank.
84
2. Data Primer
Data yang bersumber dari hasil wawancara dengan PGS (Pengganti
Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) di PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Purwokerto. Adapun data-data yang diperoleh, sebagai berikut :
2.1. Data kaitannya dengan tidak disebutkannya hak dan kewajiban para
pihak dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.
Pada umumnya, nasabah tidak membaca secara detail tentang pasal-
pasal yang tertulis dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit
box, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak.
2.2. Data kaitannya dengan pihak nasabah yang tidak melaksanakan
kewajibannya.
Ada peringatan dari pihak bank bagi nasabah terkait tanggungjawab
sebagaimana mestinya sebagai nasabah untuk melaksanakan
kewajibannya, hal ini dapat berupa surat peringatan atau panggilan
melalui via telepon kepada nasabah, namun jika masih tetap tidak ada
tanggapan, maka pihak bank mendatangi alamat rumah penyewa.
2.3. Data kaitannya dengan perjanjian safe deposit box yang dikaitkan
dengan perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata.
Box tidak diberikan kepada penyewa untuk dinikmati, namun pada
prinsipnya, bank lebih ke alasan keamanan saja untuk menjaminkan
isi safe deposit box yang aman, oleh karena itulah box dibuat dengan
teknologi canggih, sehingga box tetap dalam penguasaan bank, yang
85
dinikmati penyewa adalah berbentuk penguasaan fisik berupa box di
bank, bukti kepemilikan dan pemanfaatan sarana.
2.4. Data kaitannya dengan masalah-masalah yang sering timbul dalam
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.
Masalah yang sering timbul adalah :
1. Pada saat waktu sewa berakhir dan isi safe deposit box masih dalam
penguasaan bank, namun penyewa ada di luar kota dan debet
rekening penyewa pun kosong, sehingga bank terpaksa mencari salah
satu keluarga, saudara atau ahli waris penyewa. Adapun penyewa
diberi sanksi berupa denda 10% per bulan jika terlambat dalam
pembayaran harga sewa safe deposit box.
2. Penyewa meninggal. Hal ini dapat dipindahtangankan dengan
catatan harus ada keputusan dari pengadilan mengenai siapa ahli
waris dari penyewa, harus satu orang ahli waris. Disamping itu, ada
pula syarat berupa surat kematian penyewa yang harus diberikan ke
pihak bank.
3. Anak kunci yang dipegang nasabah untuk membuka safe deposit box
hilang, sehingga mereka melapor kepada bank untuk segera diatasi.
Untuk memastikan bahwa anak kunci tersebut hilang, maka dimintakan
surat laporan kehilangan dari pihak kepolisian. Berdasarkan hasil
laporan tersebut, maka bank mencairkan uang jaminan anak kunci
nasabah dan memanggil vendor ahli untuk membuka dan membuat
anak kunci baru, proses pekerjaan tersebut disaksikan oleh petugas yang
86
berwenang dan dibuatkan Berita Acara pekerjaan pada ruangan safe
deposit box.
2.5. Data kaitannya dengan perjanjian sewa-menyewa safe deposit box
apabila terjadi kebakaran di bank.
Apapun risikonya yang dalam hal ini jika terjadi kebakaran, bank
tidak bertanggung jawab atas isi safe deposit box para penyewa,
karena bank sudah memberikan pelayanan yang sangat canggih
berupa box yang dibuat kuat, tebal dan tahan api, sehingga box tidak
akan mungkin terbakar.
2.6. Data kaitannya dengan tanggung jawab keamanan (security) apabila
terjadi perampokkan.
Tidak bertanggungjawabnya security dapat diwajarkan apabila terjadi
perampokkan, karena pihak bank tidak munafik akan merasa takut jika
perampok mengancam atau dengan kekerasan melakukan tindakan
yang semena-mena, apalagi jika menyangkut nyawa seseorang, namun
hal ini dapat di asuransikan, khususnya penyewa safe deposit box,
meskipun dalam akta tidak di tuliskan. Keterangan mengenai asuransi
tidak dijelaskan lebih lanjut, karena dalam hal ini PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto sama sekali belum pernah mengalami
adanya perampokkan.
2.7. Data kaitannya dengan hal-hal yang harus diperhatikan para pihak
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.
87
Pihak bank maupun nasabah dalam perjanjian penyimpanan dengan
safe deposit box harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Adanya biaya yang dibebankan kepada penyewa, antara lain uang
sewa, uang agunan kunci dan denda keterlambatan pembayaran
sewa.
2. Tidak menyimpan barang barang yang dilarang dalam safe deposit
box.
3. Menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau
disalahgunakan pihak lain.
4. Memperlihatkan barang yang disimpan bila sewaktu-waktu
diperlukan oleh bank.
5. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang, maka uang agunan
kunci akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan
pembongkaran safe deposit box yang wajib disaksikan sendiri oleh
penyewa.
6. Memiliki daftar isi dari safe deposit box dan menyimpan fotocopy
(salinan) dokumen tersebut di rumah untuk referensi.
7. Penyewa bertanggung jawab apabila barang yang disimpan
menyebabkan kerugian secara langsung maupun tidak terhadap
bank dan penyewa lainnya.
2.8. Data kaitannya dengan subyek perjanjian sewa-menyewa safe deposit
box.
88
Subyek yang menjadi nasabah safe deposit box dalam hal ini adalah
sebagai berikut :
1. Orang Pribadi (Perorangan).
2. Badan Hukum (Non Perorangan).
2.9. Data kaitannya dengan kenaikkan harga sewa safe deposit box.
Kenaikkan harga sewa safe deposit box berlaku sejak Juni 2012,
kenaikkan harga sewa senilai Rp. 50.000,- dan uang jaminan kunci
tidak berubah, adapun keterangannya sebagai berikut :
1. Ukuran 3 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 200.000,00/ 6 bulan dan
Rp. 300.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.
2. Ukuran 5 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 300.000,00/ 6 bulan dan
Rp. 400.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.
3. Ukuran 10 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 500.000,00/ 6 bulan dan
Rp. 600.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.
B. Pembahasan
Menurut Kasmir, safe deposit box adalah jasa bank diberikan khusus
kepada para nasabah utamanya. Jasa ini dikenal juga dengan nama safe loket.
Safe deposit box berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan disewakan
kepada nasabah yang berkepentingan untuk menyimpan dokumen-dokumen
atau benda-benda berharga miliknya.72
72
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 160
89
Perjanjian sewa-menyewa safe deposit box merupakan salah satu
layanan perbankan dalam bentuk menyewakan kotak khusus yang digunakan
untuk menyimpan barang-barang berharga dalam jangka waktu tertentu
kepada nasabah. Kotak yang di sewa ini tahan api dan dilengkapi dua buah
kunci yang harus dibuka secara bersamaan.
Pada dasarnya, perjanjian safe deposit box itu tunduk pada
KUHPerdata yaitu perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata) dan
pada ketentuan umum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata.
Selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga tunduk pada ketentuan
perbankan. Permasalahan yang muncul dalam skripsi ini yaitu tentang
bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai penyewa dalam
perjanjian safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Purwokerto.
Gambaran diatas memberikan ilustrasi, bahwa fokus perlindungan
hukum terhadap nasabah dalam bidang pelayanan jasa safe deposit box dapat
berakibat pada kerugian yang dialami oleh nasabah, sehingga diperlukan suatu
perlindungan hukum terhadap nasabah bank, khususnya pada nasabah safe
deposit box.
Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah “Perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek
hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”73
73 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka, Jakarta, 1989,
hlm. 874
90
Definisi perlindungan hukum menurut Syachrul Machmud
menjelaskan bahwa :
“Perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah,
swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan
pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang
ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan
terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara
sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945
diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas
sistem konstitusi (hukum dasar)”.74
Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut
Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi
subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan wanprestasi.75
Konsep perlindungan hukum terhadap nasabah dalam penelitian ini
menunjuk pada pendapat Sulistyandari, yaitu bahwa perlindungan hukum itu
berkaitan tentang bagaimana hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau
mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan
bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar
haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.76
Mengenai hak dan kewajiban menurut Nicolai, hak mengandung
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
74 Syachrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang
Diduga melakukan Medikal Malapraktik, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 81 75 Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1991, hlm. 9 76
Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan
Perbankan di Indonesia, Op.Cit, hlm. 282
91
menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.77
Data 1.5 mengenai hak dan kewajiban para pihak jika dikaitkan
dengan pendapat Syachrul Machmud, Sudikno Mertokusumo, Nicolai dan
Sulistyandari, maka dapat dideskripsikan bahwa perlindungan hukum
meliputi daya upaya yang secara sadar dilakukan para pihak dalam perjanjian
safe deposit box untuk memenuhi kesejahteraan hidup, melindungi subyek
hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disertai sanksi
apabila ada yang melakukan wanprestasi, serta memberikan keadilan yaitu
mengatur hak dan kewajiban.
Sehubungan dengan konsep perlindungan tersebut, data 1.5 tentang
hak dan kewajiban para pihak, apabila di interpretasikan berdasarkan pendapat
Sulistyandari (sebagaimana disebut dalam Bab II), maka hubungan hukum
antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual dan non
kontraktual, maka pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap
nasabah safe deposit box akan di pilah berdasarkan hubungan kontraktual dan
non kontraktual.
Hubungan kontraktual pada dasarnya berbicara mengenai hak-hak
nasabah penyimpan yang lahir dari kontrak atau perjanjian penyimpanan dana
yang dibuat oleh bank dengan nasabah penyimpan sendiri 78
, sedangkan
hubungan non kontraktual adalah bahwa hubungan nasabah penyimpan
dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak atau perjanjian,
77
Ibid, hlm. 283 78
Ibid, hlm. 300
92
melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis atau
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau hukum tidak
tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang mengaturnya.79
Hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah safe deposit box
dapat di lihat dalam Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan, bahwa
kegiatan usaha bank antara lain adalah "menyediakan tempat” untuk
menyimpan barang dan surat berharga", berdasarkan penjelasannya di dalam
Undang-undang Perbankan, yang dimaksud dengan "menyediakan tempat"
dalam ketentuan ini adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan
penyewaan tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa
perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank adalah jasa penyimpanan barang,
yang disebut dengan safe deposit box (SDB).
Perjanjian safe deposit box tunduk pada ketentuan perjanjian sewa-
menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata), serta ketentuan umum tentang perjanjian
yang di atur dalam Buku ke tiga (Bab I, II dan IV KUHPerdata) yaitu dalam
Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian. Adapun suatu
perjanjian itu sah harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu adanya :
1. Kesepakatan.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah
persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang
dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain
79
Ibid, hlm. 303
93
dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik.80
2. Kecakapan.
Orang yang cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan
ketentuan kedewasaan sesuai dalam Undang-undang yang
berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjiannya akan sah
apabila dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan tidak
dibawah pengampuan. Undang-undang mengatakan bahwa
kedewasaan seseorang apabila telah berumur 18 tahun atau sudah
menikah ( Pasal 47 jo Pasal 50 Undang-undang Perkawinan).
3. Objek tertentu.
Objek tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian.
Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian
yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan
untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu.
4. Kausa yang halal.
Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang
hendak dicapai oleh para pihak yang tidak dilarang oleh undang-
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
80
R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Op.Cit, hlm. 4
94
Data 1.1, 1.2, dan 1.3 tentang akta perjanjian, para pihak, serta
maksud dan tujuan perjanjian apabila dikaitkan dengan Pasal 6 huruf h
Undang-undang Perbankan, Pasal 1548 KUHPerdata tentang perjanjian sewa-
menyewa dan Pasal 1320 KUHPerdata, maka dapat dideskripsikan bahwa
perjanjian safe deposit box sah dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam perjanjian safe
deposit box ini juga berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
disebutkan, bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Menurut M. Yahya Harahap, fokus perlindungan nasabah tertuju
pada ketentuan peraturan perundang-undangan, serta ketentuan perjanjian
yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan hukum
yang terjadi antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian.
Pada umumnya, perjanjian yang sering dilakukan antara bank dengan nasabah
telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.81
Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya
sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang
belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis,
81
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung, 1986,
hlm. 283
95
harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain yang spesifik dari
objek yang diperjanjikan.82
Menurut Pitlo, latar belakang timbulnya perjanjian baku adalah
disebabkan kerena keadaan sosial dan ekonomi, dimana perusahaan yang
besar, perusahaan semi, pemerintah ataupun perusahaan-perusahaan
pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk
kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. Pihak
lawannya (wederpartij) yang pada umumnya memiliki kedudukan (ekonomi)
lemah, baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya hanya
menerima apa yang disodorkan itu.83
Adapun ciri-ciri dari perjanjian baku menurut Mariam Darus
Badrulzaman, yaitu :
a. Berbentuk tertulis, biasanya dalam bentuk formulir.
b. Bersifat massal dan konfektif (tanpa memperhatikan perbedaan
kondisi tiap-tiap individu).
c. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi
(ekonominya) kuat.
d. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama
menentukan isi perjanjian itu.
82
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,
hlm. 66 83
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 117
96
e. Terdorong oleh kebutuhannya, masyarakat (debitur) terpaksa
menerima perjanjian itu. 84
Data 1.1 tentang akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box,
apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, M. Yahya
Harahap, Sutan Remy Sjahdeni, Pitlo dan Mariam Darus Badrulzaman
dapat di deskripsikan, bahwa perjanjian sewa-menyewa safe deposit box
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan merupakan perjanjian
baku.
Berdasarkan data 1.1 mengenai akta perjanjian, ketentuan ini dapat
diketahui bahwa perjanjian safe deposit box menganut asas kebebasan
berkontrak, artinya bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk membuat
suatu perjanjian dalam bentuk apa saja dan menentukan isi perjanjiannya
sendiri asal tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan, sehingga asas pacta sunt servanda yang
dikenal sebagai asas kekuatan mengikatnya perjanjian berlaku adanya. Asas ini
berhubungan akibat suatu perjanjian. Hal ini berarti para pihak yang
mengadakan perjanjian safe deposit box tidak dapat melepaskan diri secara
sepihak terhadap perjanjian safe deposit box tanpa kesepakatan yang secara
sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa kesepakatan pihak
lainnya, sehingga jika ada yang menyimpang, maka dapat dinyatakan
wanprestasi.
84
Ibid, hlm. 115
97
Berdasarkan uraian di atas, perjanjian safe deposit box menganut asas
kebebasan berkontrak, karena walaupun ketentuan isi perjanjian telah
ditentukan sepihak oleh bank, namun nasabah dalam hal ini telah
menandatangani perjanjian safe deposit box, maka dengan demikian ada
kebebasan berkontrak, karena pada dasarnya kebebasan berkontrak itu dapat
berlaku jika sudah ada tanda tangan oleh para pihak, sehingga dalam hal ini,
penyewa (nasabah) turut menentukan isi perjanjian yang ditentukan oleh bank.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa perjanjian safe deposit box adalah
perjanjian sewa-menyewa, dalam hal ini perjanjian sewa-menyewa safe deposit
box yang dilakukan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto
tunduk pada ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata tentang perjanjian sewa-
menyewa, yang disebutkan bahwa “Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan
dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya”.
Adapun kewajiban dari pihak yang menyewakan menurut Pasal 1550
KUHPerdata :
a. Menyerahkan (leveren) barangnya kepada si penyewa ;
b. Memelihara barangnya sedemikian rupa, sehingga barangnya dapat
dipakai secara yang dimaksudkan ;
98
c. Berusaha supaya si penyewa selama persetujuan sewa-menyewa
berjalan, selalu secara tenteram dapat memakai dan menikmati
barangnya yang disewa itu (rusting genot).
Sedangkan kewajiban dari penyewa menurut Pasal 1560 KUHPerdata,
yaitu :
a. Memakai barang yang disewa secara sangat berhati-hati (als een
goed huisvader) ;
b. Membayar uang sewa pada waktu-waktu yang ditentukan dalam
persetujuan sewa-menyewa.
Data 1.4 mengenai objek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box
dan data 1.5 mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian safe
deposit box apabila dikaitkan dengan Pasal 1548 KUHPerdata dan Pasal 1550
KUHPerdata, maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian safe deposit box
telah memenuhi ketentuan dimana pihak yang menyewakan memberikan
kenikmatan suatu barang yaitu berupa box dan penyewa membayar harga
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, hal ini didukung data primer
No. 2.3.
Untuk membahas perlindungan hukum nasabah bank sebagai penyewa
dalam perjanjian safe deposit box selain harus tunduk pada perjanjian sewa-
menyewa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perbankan, harus
pula tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dikarenakan dalam penelitian ini konstruksi hukumnya terletak
pada hubungan sewa-menyewa dimana kedudukan nasabah bank tersebut
99
sebagai penyewa atau konsumen dari yang menyewakan yaitu pihak bank yang
hak-haknya diatur dalam undang-undang tersebut.
Shidarta menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen pada dasarnya
merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau
kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mempunyai sifat melindungi
konsumen beserta hak-haknya”.85
Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang mengatur hak konsumen, diantaranya sebagai berikut :
Pasal 4 menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan ;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa ;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan ;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen ;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif ;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.86
Jika isi perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No:
PWO/04/109/2011 diintepretasikan berdasarkan Pasal 4 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diperoleh
85
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 14 86
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
100
inventarisasi perlindungan hukum bagi nasabah bank sebagai konsumen yang
pada hakikatnya bertujuan melindungi hak-hak nasabah sebagai penyewa
secara keseluruhan.
Perlindungan hukum nasabah sebagai penyewa yang dimaksud adalah
meliputi :
1. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan yang diperoleh
konsumen atas penyewaan terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) akta perjanjian
sewa-menyewa safe deposit box, dimana penyewa mendapat hak untuk
memperpanjang jangka waktu yang sama secara otomatis. Disamping itu,
nasabah sebagai penyewa memperoleh kenyamanan terkait transaksi
pembayaran uang sewa yang terkandung dalam Pasal 3 ayat (2) akta
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dengan cara mendebet melalui
rekening penyewa nasabah sebagai penyewa pada pihak bank. Kenyamanan
ini juga diperoleh nasabah sebagai penyewa untuk memeriksa barang yang
disimpan dalam safe deposit box pada setiap hari kerja bank, hal ini
tercermin dalam Pasal 6 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit
box yang menentukan bahwa penyewa dapat mengunjungi safe deposit box
setiap hari kerja bank (senin s/d jumat) pada pukul 08.00 s/d 16.00.
2. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan, perlindungan hukum ini
secara yuridis tercermin dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) akta
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang dapat disimpulkan bahwa
penyewa wajib menyerahkan uang jaminan kepada pihak bank sebagai
jaminan pembayaran penggantian anak kunci yang rusak/hilang dan uang
101
jaminan itu akan dikembalikan kepada penyewa manakala jangka waktu
sewa berakhir. Disamping itu, perlindungan hukum atas hak keamanan ini
tercermin pula dalam Pasal 5 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe
deposit box, dimana safe deposit box hanya dapat dibuka dengan 2 (dua)
anak kunci ; satu kenci master dipegang oleh bank dan satu kunci lainnya
dipegang oleh penyewa. Dengan demikian, keamanan isi safe deposit box
menjadi terjamin oleh karena untuk membuka safe deposit box harus
dilakukan dengan 2 (dua) kunci secara bersama-sama. Selain itu
perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan ini juga diatur dalam Pasal
5 ayat (7) dan ayat (9) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang
pada garis besarnya bank bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan
sarana safe deposit box yang diakibatkan adanya kerusakan atau sebab-
sebab lain, serta apabila safe deposit box yang disewakan tidak bisa
dibuka/ditutup sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (3) akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box.
Dengan mendasarkan pada fakta normatif diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa hak-hak atas keamanan nasabah sebagai penyewa safe deposit box
secara nyata diatur dalam perjanjian yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada penyewa.
3. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi.
Informasi bagi nasabah sebagai penyewa safe deposit box merupakan hal
yang penting untuk diperoleh, guna mendukung terlaksananya perjanjian
safe deposit box. Hal ini secara yuridis diatur dalam Pasal 3 ayat (3) dan
102
ayat (4) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, dimana penyewa
berhak untuk memperoleh informasi pendebetan rekening dan penyesuaian
besarnya harga sewa dan biaya lainnya yang berkaitan dengan perjanjian.
Disamping itu, penyewa juga berhak atas informasi bilamana pihak bank
akan melakukan perbaikan sarana safe deposit box yang karena rusak atau
sebab lain sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (7) akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box. Selanjutnya, penyewa juga berhak atas informasi
mengenai perubahan dan/atau penambahan ketentuan yang ada pada
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box.
4. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box, masalah
kerahasiaan isi safe deposit box menjadi hal yang penting bagi keamanan
dan keselamatan barang yang disimpan di dalam safe deposit box. Menjaga
kerahasiaan isi safe deposit box merupakan kewajiban hukum bagi bank
dengan tujuan untuk memberi kebebasan kepada nasabah sebagai penyewa
untuk menyimpan barang apa saja sepanjang barang-barang tersebut tidak
dilarang dalam perjanjian safe deposit box. Jaminan kerahasiaan isi safe
deposit box ini terkandung di dalam Pasal 5 ayat (2) akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box yang menentukan petugas bank tidak
diperbolehkan memeriksa wujud dari barang yang disimpan dalam safe
deposit box. Dengan demikian, secara yuridis kerahasiaan isi safe deposit
box benar-benar dijamin oleh bank, baik kerahasiaan mengenai jenis,
barang, kualitas maupun kuantitas barang yang disimpan dalam safe deposit
103
box, hal ini tercermin dari keanekaragaman yang boleh dismpan dalam safe
deposit box sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (3) akta perjanjian
sewa-menyewa safe deposit box.
5. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa,
perlindungan hukum ini tercermin dalam ketentuan Pasal 5 ayat (5) akta
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan jika penyewa
perorangan meninggal dunia, maka yang berhak mengambil barang yang
disimpan dalam safe deposit box adalah ahli waris dari pejabat/instansi yang
berwenang dan identitas diri yang masih berlaku. Perlindungan hukum ini
hanya dapat diperoleh nasabah atau penyewa manakala nasabah atau
penyewa meninggal dunia, dengan menyerahkan syarat-syarat tertentu
kepada bank sesuai syarat-syarat yang ada dalam akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box. Disamping itu, perlindungan hukum terhadap
hak atas kebebasan pelimpahan kuasa ini tercermin pula dalam Pasal 7 akta
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang antara lain menentukan :
1. PENYEWA dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk
mengambil/menyimpan barang simpanan pada SDB yang
disewanya dan segala akibat yang timbul dari pemberian kuasa
tersebut menjadi tanggung jawab PENYEWA.
2. Apabila PENYEWA berrnaksud untuk memberikan kuasa kepada
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka
Penerima Kuasa harus datang bersama-sama dengan PENYEWA
pada saat pembukaan sewa SDB untuk menandatangani Kartu
Contoh Tanda Tangan dan Kartu Tanda Penyewa.
3. BANK tidak bertanggung jawab atas tindakan Penerima Kuasa
yang dilakukan setelah kuasa berakhir, selama BANK belum
memperoleh pemberitahuan mengenai berakhirnya kuasa tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat diintepretasikan bahwa
hak untuk memberikan kuasa kepada pihak lain oleh penyewa baik untuk
104
mengambil atau menyimpan barang simpanan dalam safe deposit box secara
yuridis dijamin dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box,
dengan syarat penyewa dan penerima kuasa harus datang bersama-sama
pada saat pembukaan sewa safe deposit box untuk menandatangani kartu
contoh tanda tangan dan kartu tanda penyewa.
6. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan dengan
cara perdamaian. Perlindungan hukum ini tercermin dalam Pasal 12 ayat (1)
akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan bahwa
“Apabila timbul perselisihan mengenai pelaksanaan perjanjian ini para
pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah/mufakat, dengan
menyampaikan kepada pihak lainnya mengenai perbedaan pendapat yang
timbul”.
Berdasarkan pada fakta-fakta normatif tersebut diatas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa nasabah sebagai penyewa di dalam akta perjanjian
sewa-menyewa safe deposit box secara umum mendapatkan perlindungan
hukum atas hak-hak yang diatur dalam akta tersebut yang berupa :
1. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan.
2. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan.
3. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi.
4. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box.
5. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa.
6. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan
dengan cara perdamaian.
105
Berkaitan dengan pernyataan tersebut diatas, Pasal 1338 KUHPerdata
mengatur asas-asas pelaksanaan perjanjian meliputi :
1. Asas perjanjian sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
2. Asas perjanjian tidak boleh ditarik secara sepihak.
3. Asas perjanjian dilakukan dengan itikad baik.
Ketentuan tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi para pihak dalam suatu perjanjian yang mengandung
arti bahwa pelaksanaan perjanjian safe deposit box harus dilaksanakan sesuai
kesepakatan para pihak yang diatur dalam perjanjian itu sendiri.
Apabila perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No :
PWO/04/109/2011 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata,
maka dapat diintepretasikan bahwa perjanjian safe deposit box yang
dilaksanakan antara nasabah atau penyewa dengan bank yang berobjek safe
deposit box No. 155 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box dengan nilai perjanjian sebesar Rp. 350.000,-
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa
safe deposit box adalah merupakan perjanjian yang dibuat secara sah dan
berlaku sebagai undang-undang bagi penyewa maupun bank. Hal ini
mengandung arti bahwa pelanggaran terhadap isi perjanjian merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa hak-hak nasabah sebagai penyewa yang diatur dalam akta perjanjian
sewa-menyewa safe deposit box No : PWO/04/109/2011 dijamin perlindungan
hukumnya oleh asas bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang
106
sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, hal ini tersirat
dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) akta perjanjian sewa-menyewa safe
deposit box. Selanjutnya jika perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dilihat
dari berlakunya asas bahwa perjanjian tidak boleh ditarik sepihak dan asas
itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, maka dapat
disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa safe deposit box pada dasarnya
telah mengatur asas tersebut yang secara tersurat maupun tersirat tercermin
dalam Pasal 15 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang
menyatakan bahwa : ”Masing-masing pihak menjamin kepada pihak lainnya
bahwa pihaknya akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik. Tidak
satupun ketentuan dan/atau penafsiran atas ketentuan dalam perjanjian ini akan
digunakan oleh satu pihak untuk mengambil keuntungan secara tidak wajar
dan/atau mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya”.
Dari fakta tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak-
hak nasabah sebagai penyewa sebagaimana ditentukan dalam perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box pada hakikatnya telah mendapatkan pelindunganan
hukum di dalam pelaksanaannya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Mengingat keterangan mengenai hak-hak yang dilindungi nasabah safe
deposit box telah disebutkan, adapun keterangan lebih lanjut mengenai hak-hak
yang tidak dilindungi terhadap nasabah safe deposit box yang diantaranya
adalah terkait jika terjadinya wanprestasi yang dilakukan pihak bank dan jika
terjadi overmacht yang dalam hal ini pihak bank memberi suatu pembatasan
tanggung jawab.
107
Dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, apa yang menjadi
kewajiban pihak penyewa adalah menjadi hak bagi pihak bank dan apa yang
menjadi kewajiban bank adalah hak bagi penyewa, oleh karena itu perjanjian
sewa-menyewa safe deposit box merupakan perjanjian timbal balik.
Berdasarkan data 1.5 mengenai hak dan kewajiban, baik bank maupun nasabah
terdapat persamaan dan perbedaan dengan ketentuan Pasal 1550 dan Pasal
1560 KUHPerdata. Persamaanya, yakni bank wajib memelihara dengan aman
mengenai barang yang di sewakan yang dalam hal ini yaitu kotak safe deposit
box, sehingga dapat digunakan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh nasabah
yaitu nasabah aman menyimpan barang-barangnya di dalam safe deposit box,
serta bank juga berhak memperoleh uang sewa yang dibayarkan oleh nasabah.
Adapun perbedaannya, perlu diuraikan disini bahwa perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box memiliki kekhasan tersendiri. Sebagaimana telah
dikemukakan, bahwa obyek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah
kotak safe deposit box yang di sewa, sedangkan kotak safe deposit box yang
disewakan oleh bank tidak diserahkan oleh bank kepada nasabah, yang
diserahkan oleh bank adalah hak untuk menggunakannya, kotak safe deposit
box tetap pada penguasaan bank.
Dengan demikian, data 1.5 tersebut apabila dihubungkan dengan Pasal
1550 dan Pasal 1560 KUHPerdata yang dalam hal ini jika bank tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya sesuai perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box tersebut, maka nasabah berhak menuntut bank atas
dasar wanprestasi.
108
Selanjutnya inti dari suatu perjanjian adalah adanya prestasi yang harus
dipenuhi. Pada umumnya, literatur yang ada membagi prestasi ke dalam tiga
macam, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu
menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, namun,
Ahmadi Miru tidak sependapat dengan pembagian tersebut karena, apa yang
disebut sebagai macam-macam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi
hanya cara-cara melakukan prestasi, yakni :87
a. Prestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah
menyerahkan sesuatu (barang) ;
b. Prestasi yang berupa jasa, cara melaksanakannya adalah dengan
berbuat sesuatu ;
c. Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya
adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang
dilarang dalam perjanjian.
Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan
dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh
kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus
dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan
oleh kebiasaan, kepatutan atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi
tersebut berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.88
Perlu dikemukakan disini, bahwa perjanjian safe deposit box termasuk
perjanjian timbal balik pihak debitur dan kreditur. Karena sifat timbal baliknya
tersebut, maka baik pihak kreditur maupun debitur harus menunaikan prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang atau menurut
87
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm. 69-70 88
Ibid, hlm. 70
109
perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, wanprestasi dapat dilakukan oleh pihak
debitur maupun kreditur.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa wanprestasi atau
tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak
disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena
memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena
terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa:
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi ;
b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna ;
c. Terlambat memenuhi prestasi ;
d. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak
yang wanprestasi) dirugikan, sebagai contoh jika pihak lain tersebut adalah
pedagang, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena
pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus
menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan :
a. Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi) ;
b. Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).
Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut
oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun,
jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan
tersebut dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu : 89
89
Ibid, hlm. 75
110
a. Pembatalan kontrak saja ;
b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi ;
c. Pemenuhan kontrak saja ;
d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.
Pembagian atas 4 (empat) kemungkinan tuntutan tersebut di atas,
sekaligus merupakan pernyataan ketidaksetujuan Ahmadi Miru, atas pendapat
yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih
menambahkan satu kemungkinan lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi saja”
karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi saja yang lepas dari
kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak, karena dibatalkan
atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi
para pihak dan tidak ada pilihan lain, sehingga tidak mungkin ada tuntutan
ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi. Tuntutan
apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung
pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila
tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak wanprestasi
tersebut juga dibebani biaya perkara.90
Adapun mengenai akibat dari wanprestasi itu sesuai dalam Pasal 1267
KUHPerdata, yang berupa ; pembatalan kontrak saja, pembatalan kontrak
disertai tuntutan ganti rugi, pemenuhan kontrak saja dan pemenuhan kontrak
disertai tuntutan ganti rugi.
90
Ibid, hlm. 75-76
111
Demikian juga dalam hal perjanjian sewa-menyewa safe deposit box
antara bank dengan nasabah, penyewa dapat menuntut ganti kerugian jika dari
pihak bank telah melakukan wanprestasi. Sebagai contoh, bank dapat dituntut
ganti rugi atas kerugian dan kerusakan atas sebagian/seluruh berubahnya mutu,
berkurangnya jumlah atau hilangnya barang yang disimpan dalam safe deposit
box, karena pihak bank tidak memelihara dan menjaga safe deposit box dengan
baik sesuai dengan keperluan yang dimaksudkan dalam perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box.
Dikaitkan dengan akibat wanprestasi, dengan demikian jika bank tidak
melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box
tersebut, maka nasabah berhak menuntut bank atas dasar wanprestasi, sesuai
dalam Pasal 1267 KUHPerdata yaitu berupa pemenuhan kontrak dan ganti
rugi.
Pada bab terdahulu telah dikemukakan mengenai pengertian overmacht
dan risiko. Telah dikemukakan pula bahwa dengan terjadinya overmacht, maka
akan timbul persoalan tentang siapa yang harus memikul risiko.
Dalam perjanjian sewa-menyewa pada umumnya risiko ditanggung
oleh pemilik barang. Hal ini merupakan kesimpulan dari Pasal 1533
KUHPerdata. Untuk lebih jelasnya Pasal 1533 KUHPerdata menyebutkan
bahwa : ’’Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi
hukum’’.
112
Diketahui bahwa keadaan memaksa (overmacht) ialah keadaan tidak
dapat dipenuhi prestasi oleh debitur, karena terjadi peristiwa bukan karena
kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga
akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Adapun macam-macam overmacht, sebagiai berikut :
1. Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) adalah suatu keadaan
memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak
mungkin dilaksanakan.
2. Overmacht yang bersifat nisbi (relatif) adalah suatu keadaan yang
memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat
dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan yang demikian
besarnya, sehingga tidak lagi pantas kreditur menuntut pelaksanaan
tersebut.91
Adapun untuk menentukan sifat memaksa dari overmacht yang bersifat
nisbi ada 2 (dua) macam ukuran yaitu ukuran subyektif dan ukuran obyektif.
Ukuran subyektif adalah ukuran bagaimana keadaan seseorang tertentu yang
berbeda dengan orang lain. Ukuran ini menentukan apabila suatu keadaan
menyebabkan orang tertentu tidak dapat melaksanakan perikatan karena hal-hal
yang melekat pada diri orang bersangkutan, maka keadaan tersebut merupakan
keadaan memaksa menurut ukuran subyektif, sedangkan yang dimaksud
ukuran obyektif adalah ukuran bagaimana keadaan orang pada umumnya. Jika
suatu keadaan menyebabkan semua orang tidak dapat melaksanakan perikatan,
maka keadaan ini merupakan keadaan memaksa yang di ukur secara obyektif.92
Berdasarkan data 1.6 mengenai perjanjian sewa-menyewa safe deposit
box apabila terjadi kebakaran di bank, maka dapat disimpulkan bahwa kejadian
91
Tim Pengajar Hukum Perdata, Buku Ajar ; Hukum Perdata, Op.Cit, hlm. 101 92
Ibid, hlm. 101-102
113
seperti terjadinya kebakaran dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box
dikategorikan sebagai overmacht yang bersifat mutlak (absolut), yang dalam
hal ini pihak bank tidak bertanggungjawab, padahal maksud nasabah
(penyewa) menyimpan barang berharga dalam safe deposit box adalah agar ada
jaminan keamanan di bank sebagaimana yang dijanjikan, dengan demikian
dalam hal ini pihak nasabah tidak dilindungi, karena jika terjadi kebakaran
hingga barang yang disimpan dalam safe deposit box musnah, maka bank tidak
bertanggungjawab, sehingga risiko di tanggung sendiri oleh nasabah safe
deposit box, padahal bank mempunyai kewajiban untuk menjaga dan
memelihara obyek perjanjian (box) agar dapat digunakan nasabah safe deposit
box sebagaimana yang dijanjikan, terlebih seperti yang dimaksudkan dalam
brosur bahwa obyek sewa dibuat tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi
pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih, jadi disini ada
perluasan keadaan overmacht.
Disamping itu, selain dikategorikan sebagai overmacht yang bersifat
mutlak (absolut), kejadian overmacht perjanjian sewa-menyewa safe deposit
box juga dapat di lihat dari ukuran subyektif, dimana untuk menentukan sifat
memaksanya dari overmacht tersebut. Dari keterangan ini timbul pertanyaan
apakah kehilangan atau kerusakan barang safe deposit box itu merupakan
overmacht, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 8 dalam akta perjanjian sewa-
menyewa safe deposit box mengenai pembatasan tanggung jawab bank, yang
menyebutkan bahwa :
Bank tidak bertanggung jawab atas :
114
4. Perubahan kualitas/kuantitas, kehilangan, atau kerusakan barang
yang disimpan dalam SDB.
5. Resiko yang timbul karena force majeure yaitu bencana alam seperti
banjir dan gempa bumi, perang, huru hara, pemogokan, sabotase,
atau kebakaran yang dapat mengakibatkan perubahan' fisik, kualitas
dan/atau kuantitas dari barang simpanan.
6. Kerugian atau kehilangan yang diakibatkan oleh perampokan ,
penyerbuan atau perampasan dengan menggunakan ancaman atau
kekerasan terhadap Petugas atau Pejabat Bank ataupun terhadap
penyewa atau kuasanya.
Dari ketentuan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa hilang
atau rusaknya barang yang di simpan dalam safe deposit box itu juga
merupakan suatu overmacht. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis,
dalam hal overmacht dan risiko seperti ini belum pernah terjadi sampai dengan
mengakibatkan kerugian pada penyewa, seperti barangnya hilang atau rusak.
Yang pernah terjadi adalah kunci untuk membuka kotak safe deposit box itu
rusak, sehingga tidak dapat untuk membuka, yang dalam hal ini metode
penanganan bank dengan langsung melakukan tindakan pembetulan.
Dikaitkan dengan perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang
terdapat adanya asas kebebasan berkontrak, asal tidak bertentangan dengan
Undang-undang, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, walaupun
perjanjian ini telah dibuat secara baku oleh pihak bank, maka dengan adanya
kebebasan tersebut, dapat saja penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh
pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pihak bank yang dituangkan di
dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box kurang memenuhi rasa
keadilan dan lebih menguntungkan pihak bank sebagai pihak yang
menyelengarakan safe deposit box.
115
Adapun bahwa akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box tersebut
dapat dilihat adanya beberapa klausula Eksonerasi 93
, yaitu klausula baku yang
sifatnya dapat merugikan konsumen (nasabah) atau klausula baku yang dilarang
oleh undang-undang. Klausula eksonerasi tersebut cenderung menunjukkan
adanya bentuk pembebasan tanggung jawab yang dilakukan oleh bank, sehingga
penyewa atau nasabah yang akhirnya terpaksa menanggung segala risiko yang
ada.
Dengan demikian, karena dari perjanjian baku yang ditentukan sepihak
oleh pihak bank dan adanya klausula eksonerasi di dalam akta, maka nasabah
(penyewa) kurang mendapatkan perlindungan hukum, khususnya kaitannya
dengan masalah terjadinya kehilangan/kerusakan barang safe deposit box dan
terjadinya perampokan, sehingga merupakan bentuk pembatasan tanggung jawab
dari pihak bank yang dalam hal ini dikaitkan dengan kewajiban bank yang harus
menjaga dan memelihara obyek sewa (box) agar dapat digunakan oleh nasabah
penyewa safe deposit box sesuai yang dimaksud dalam brosur bahwa ruang
penyimpanan didukung dengan tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi
pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih, maka
seharusnya pihak bank bertanggungjawab jika terjadi kehilangan/kerusakan dan
perampokan.
Berkaitan dengan keadaan tersebut, berlakunya asas konsensualisme
menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan
berkontrak. Tanpa adanya kesepakatan dari salah satu pihak yang membuat
93
http://ojomta.blogspot.com/2010/09/eksonerasi.com
116
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat itu dapat dibatalkan. Pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan
dengan itikad baik. Karenanya, para pihak tidak dapat menentukan
sekehendak hatinya mengenai klausula-klausula yang terdapat dalam
perjanjian, terutama praktek perjanjian safe deposit box yang ada di bank,
tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang
didasarkan pada itikad buruk misalnya paksaan atau penipuan yang
mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan
apabila nasabah menimbulkan ketidakpatutan, maka dapat dituntut ke pengadilan
dengan dasar itikad baik, sehingga tidak menutup kemungkinan isi perjanjian itu
dapat mengalami perubahan.
Perlindungan debitur terhadap perjanjian baku melalui itikad baik ialah
yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3), bahwa semua perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pitlo, tidak lain berarti bahwa kita
harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatutan dan keadilan. Menafsirkan
suatu perjanjian adalah menetapkan akibat-akibat daripadanya. Mengacu pada
itikad baik orang dapat merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata
aslinya, tetapi HR di negeri Belanda tetap tidak mau mengakui, bahwa asas
itikad baik dapat menyampingkan isi perjanjian, sampai pada arrest HR tahun
1967 perkara mengenai HBU dan Saladin.94
94
Proyek ELIPS, Hukum Kontrak di Indonesia, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1998, hlm.
154
117
Meskipun Saladin gagal menggugat HBU (Hollandse Bank Unie),
bahwa syarat eksonerasi itu bertentangan dengan itikad baik, tetapi setidak-
tidaknya HR telah mempertimbangkan bahwa asas itikad baik dapat menilai
apakah syarat eksonerasi dari bank itu sah atau tidak. Dan mulai saat itu asas
itikad baik dapat dipakai untuk menilai apakah syarat eksonerasi (perjanjian
baku) itu sah atau tidak.95
Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian walaupun dengan kontraknya
jika terjadi kerusakan, kehilangan dan perampokkan atas barang yang di simpan
nasabah kurang terlindungi, namun nasabah berhak menuntut berdasarkan Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata atas dasar itikad baik.
Perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat pula
ditinjau dari hubungan non kontraktual. Berdasarkan hubungan non
kontraktual ini, perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat
diperoleh dari Undang-undang Perbankan. Perlu diuraikan disini, bahwa
hubungan non kontraktual ini meliputi adanya hubungan kepercayaan,
hubungan kehati-hatian dan hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah,
yang dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum dalam perjanjian
safe deposit box.
Asas perbankan yang dapat dikaitkan dari persoalan tersebut yaitu
adanya asas kepercayaan, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank
dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Hubungan
ini tersimpul dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 Undang-undang
95
Ibid
118
Perbankan.96
Bank perlu terus menjaga kesehatan bank nya, karena berbagai
persoalan yang menimbulkan kerugian terhadap nasabah dapat menyebabkan
ketidakpercayaan nasabah terhadap bank, khususnya dalam hal ini adalah
nasabah safe deposit box. Ketentuan pasal-pasal tersebut merupakan
perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan
terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kepercayaan.
Hubungan kehati-hatian tersimpul dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11 dan
Pasal 29 ayat (1),(2),(3) Undang-undang Perbankan. 97
Ketentuan perbankan di
Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha,
yang artinya dalam hal ini pihak yang menyewakan safe deposit box itu harus
dengan prinsip kehati-hatian untuk melindungi dan memelihara barang dalam
safe deposit box yang dipercayakan kepadanya. Bank juga wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan,
serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi pembayaran harga sewa.
Ketentuan pasal-pasal yang terkait tersebut merupakan perlindungan hukum
yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan terhadap nasabah safe
deposit box atas dasar hubungan kehati-hatian.
Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah diatur dalam Pasal 29
ayat (4) Undang-undang Perbankan tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Ketentuan pasal tersebut dapat
diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan,
dimana bank mempunyai kewajiban untuk menyediakan informasi mengenai
96
Sulistyandari, Op.Cit, hlm. 304 97
Ibid, hlm. 308
119
kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah
yang dilakukan melalui bank dan nasabah penyimpan mempunyai hak untuk
memperoleh informasi tersebut,98
oleh karena itu bank harus memberikan
informasi sejelas-jelasnya terhadap nasabah, khususnya dalam hal ini yaitu
bagi nasabah safe deposit box. Ketentuan Pasal 29 ayat (4) tersebut
merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang
Perbankan terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kepedulian
terhadap risiko nasabah.
Pada konteks hubungan non kontraktual, perlindungan hukum dalam
perjanjian safe deposit box dapat pula diperoleh dari Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lahirnya Undang-undang ini
telah memberikan harapan-harapan besar bagi konsumen (nasabah), hal ini
dikarenakan seorang konsumen akan mempunyai landasan, serta payung
hukum untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan dalam dunia usaha
tidak terkecuali terhadap nasabah PT Bank Negara Indonesia (Persero), selain itu
adanya Undang-undang Perlindungaan Konsumen akan semakin memudahkan
pemerintah dan berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan,
pembinaan, serta pendidikan kepada konsumen akan dapat memaksimalkan
perannya dalam dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan lain sebagainya.
Sebagai konsekuensi terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi
pelanggarnya, dengan demikian upaya untuk lebih menjadikan seorang
98
Ibid, hlm. 325
120
konsumen sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan hukum benar-
benar terwujud.
Dengan diberlakunya undang-undang tersebut paling tidak akan
semakin membuka peluang konsumen (nasabah) lebih kondusif dan nyaman
karena akan senantiasa mendapatkan sebuah jaminan perlindungan yang
maksimal. Dalam dunia perekonomian peran konsumen sebagai salah satu
penggerak roda ekonomi suatu negara tidak akan dapat berjalan. Begitu besar
peran dari seorang konsumen atau nasabah sering kali tidak diimbangi dengan
perlakuan yang adil dari pihak-pihak tertentu, terutama para produsen nakal
yang hanya mengandalkan modal besar, tanpa berpegang pada etika bisnis,
kurang sadar akan pentingnya suatu perlindungan hukum terhadap hak-hak
konsumen sering kali menimbulkan praktek transaksi yang hanya
menguntungkan satu pihak saja yaitu penjual, yang dalam hal ini adalah bank
oleh sabab itu kemudian muncul wacana untuk lebih menghargai eksistensi
seorang konsumen dalam sebuah pasal besar menyangkut ekonomi dengan
memunculkan sebuah Undang-undang Perlindungan Konsumen.
121
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa :
1). Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam
perjanjian sewa-menyewa safe deposit box telah diatur dan terlindungi
berdasarkan akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No :
PWO/04/109/2011, yang meliputi :
a. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan.
b. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan.
c. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi.
d. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box.
e. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa.
f. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan
dengan cara perdamaian.
2). Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam
perjanjian safe deposit box dikaitkan dengan wanprestasi dan
overmacht, serta statusnya sebagai nasabah bank, berdasarkan :
a. Hubungan kontraktual.
Nasabah safe deposit box berhak mengajukan tuntutan atas dasar
wanprestasi berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata dengan pemenuhan
122
kontrak dan ganti rugi jika pihak bank tidak melaksanakan prestasi
sesuai yang di janjikan, sedangkan dalam hal jika terjadi kehilangan
atau kerusakan, kebakaran dan perampokkan nasabah kurang
terlindungi, karena dalam hal ini bank tidak bertanggungjawab,
karena disini ada perluasan dari overmacht dan pembebasan
tanggung jawab dari pihak bank, namun nasabah masih berhak
menuntut berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata atas dasar
itikad baik.
b. Hubungan non kontraktual.
Undang-undang Perbankan memberikan perlindungan hukum
terhadap nasabah safe deposit box, diantaranya nasabah berhak
menuntut atas dasar Pasal 16 dan Pasal 46 Undang-undang Perbankan
mengenai adanya hubungan kepercayaan, Pasal 49 ayat (2) huruf b dan
Pasal 52 Undang-undang Perbankan mengenai adanya hubungan
kehati-hatian dan hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah.
B. Saran
Mengingat perjanjian safe deposit box yang dibuat secara baku dan
sepihak oleh bank, pihak bank seyogyanya memberikan informasi dan
menjelaskan secara rinci dan jelas mengenai isi perjanjian dan akibat-akibat
hukumnya, sehingga nasabah tahu mengenai apa yang menjadi hak dan
kewajibannya dalam perjanjian safe deposit box tersebut.
123
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
Arif ,M, Isa, Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2003.
Badrulzaman, Mariam, Darus, Aneka hukum Bisnis, Cetakan Pertama, Bandung,
Alumni, 1994.
Badrulzaman, Mariam, Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.
Badrulzaman, Mariam, Darus, Pembentukan Hukum Nasional dan
Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buku Satu, Balai Pustaka, Jakarta,
1989.
Djumhana, M, Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Keempat, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun
1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999.
Hasibuan, Malayu, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung,
1986.
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008.
Machmud, Syachrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter
yang Diduga melakukan Medikal Malapraktik, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2008.
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Cetakan Pertama,
Liberty, Yogyakarta, 1988.
124
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007.
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Muhammad,Abdulkadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
Cetakan Kedelapan, Sumur, Bandung, 1985.
Patrik, Purwahid, Hukum Kontrak Indonesia Seri Dasar Hukum Dagang 5, Elips,
Bandung, 1997.
Proyek ELIPS , Hukum Kontrak di Indonesia, Perpustakaan Nasional, Jakarta,
1998.
Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993.
Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-undang, Ctk.
Kedua, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Satrio, J, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2000.
Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta, 1993.
Subekti, R, Aneka Perjanjian, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1982.
Subekti, R, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Ctk. Keduabelas, Intermesa, Jakarta, 1990.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesebelas, Intermesa, Jakarta, 1990.
125
Suhardi, Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Ctk. Keempat,
Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui
Pengawasan Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012.
Suryodiningrat, R,M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito,
Bandung,1978.
Suyatno, Thomas, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia, Jakarta, 1997.
Tim Pengajar Hukum Perdata, Diktat ; Hukum Perdata, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2005.
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Pertama,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Wakhid, Nur, Diktat ; Syarat Sahnya Perjanjian, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2009.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, 2003.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
SUMBER LAIN
Akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Purwokerto.
Brosur Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Purwokerto.
http://ojomta.blogspot.com/2010/09/eksonerasi.com