bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam kehidupan di masyarakat, antara yang satu dengan yang
lain akan selalu berhubungan, hal ini dikarenakan manusia merupakan zoon
politicon artinya bahwa manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya.
Hubungan antara manusia tersebut menimbulkan reaksi misalnya saling
tertarik diantara mereka. Hal ini seperti dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro
yang menyatakan bahwa sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia
dengan jenis kelamin yang berbeda, seorang perempuan dengan seorang laki-laki
ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. 1
Hasrat untuk hidup bersama telah menjadi pembawaan manusia. Adapun
yang menyebabkan manusia hidup bermasyarakat antara lain adalah dorongan
kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia misalnya hasrat untuk
memenuhi makan dan minum, hasrat untuk membela diri serta hasrat untuk
mempunyai keturunan. Hasrat untuk mempunyai keturunan ini menjadi dorongan
untuk adanya kehidupan suami isteri yang terwujud dalam suatu perkawinan.
Menurut Muhammad Ali di dalam buku D Religie Van Den Islam sebagai
mana dikutip oleh Soemiyati menyatakan, bahwa keluarga merupakan kesatuan
yang nyata-nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyebabkan terciptanya
1 Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Vorvink-Hoeve,
Bandung, hal. 7.
2
peradaban, hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan. Tanpa perkawinan
tidak ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada unsur-unsur yang
mempersatukan manusia. Hanya dengan keluarga pula dapat tercipta peradaban. 2
Mengenai perkawinan, negara Indonesia telah berhasil membentuk
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Nomor 309 dan sebagai aturan pelaksanaannya telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bagi orang-orang yang
beragama islam, perkawinan juga diatur didalam Kompilasi Hukum Islam dan
sebagai aturan pelaksanaan telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 menyebutkan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan itu sendiri merupakan perbuatan hukum. Untuk itu agar
perbuatan hukum itu mengikat para pihak dan juga pihak ketiga, maka
perkawinan tersebut harus sah. Mengenai sahnya suatu perkawinan disebut dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
2 Soemiyati. 1982, Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, hal. 17.
3
Suatu perkawinan dapat dilangsungkan apabila syarat-syarat perkawinan
dipenuhi, baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur
pelaksanaannya dan mekanismenya.3
Pada saat akan melangsungkan perkawinan, ada rukun dan syarat
perkawinan yang harus dipenuhi. Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada
perbedaan dalam pengertiannya, yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan
adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun
perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan yang dimaksud dengan syarat
perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tapi tidak termasuk
hakekat dalam perkawinan itu sendiri. Jika salah satu syarat-syarat dari
perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.
Salah satu rukun nikah menurut Hukum Islam yaitu Wali nikah bagi calon
mempelai perempuan. Sebab perkawinan yang dilaksanakan tanpa Wali nikah
bagi calon mempelai perempuan menjadi tidak sah atau dapat dibatalkan.
Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan
Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang
ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan
seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau
karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang
menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali
3 Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 40.
4
nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada
orang lain atau kepada hakim. 4
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah sah dengan adanya Wali nikah
(Wali nasab), apabila Wali nasab tidak ada, mafqud (tidak diketahui dimana
berada) berhalangan tidak memenuhi syarat atau adhal (menolak) maka Wali
nikahnya adalah Wali hakim.5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 menyatakan:
Ayat (1) : Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila
Wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau
tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghoib atau adhal atau
enggan.
Ayat (2) : Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan
Agama tentang Wali tersebut. 6
Wali adhal adalah Wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh
dengan seorang laki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak yaitu calon
mempelai wanita dan calon mempelai pria menginginkan perkawinan itu
dilangsungkan. Jika terjadi Wali adhal maka Wali hakim baru dapat bertindak
sebagai Wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan Agama yang menyatakan
mengenai adhalnya Wali. Penetapan Pengadilan Agama mengenai adhalnya Wali
memberikan wewenang kapada Wali hakim untuk bertindak sebagai Wali nikah,
4 H. S. A. Alhamdani, 1989, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Amani, Jakarta, hal. 90. 5 R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Pluralisme dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga, University Press Surabaya, hal. 8. 6 2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235.
5
namun di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan alasan-alasan bahwa Wali Nasab
dapat menolak menjadi seorang Wali.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti lebih dalam tentang penetapan Pengadilan Agama Sumber Cirebon yang
mengabulkan permohonan pemohon dalam mengajukan Wali Adhal dan
menuangkannya dalam bentuk ragangan skripsi yang berjudul: “Wali Adhal
(Tinjauan Yuridis Tentang Penetapan Pengadilan Agama Cirebon No. 0053/
Pdt.P/ 2011/ PA.Sbr)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan Wali adhal
dalam Penetapan Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui
pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan Wali adhal dalam Penetapan
Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum Islam.
6
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya dan bagi
mereka yang bergerak di bidang hukum.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERKAWINAN
1. Pengertian dan tujuan perkawinan
Islam sebagai agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan nurani
manusia, tentu saja tidak melarang seseorang mencintai lawan jenisnya karena
saling cinta antara pria dan waniyta adalah naluri manusia yang dibawa sejak
lahir. Islam datang hanya memberi bimbingan atau arahan dengan menghalalkan
saling cinta itu tetapi dengan syarat, keduanya haruslah melakukan perkawinan
terlebih dahulu.7
Perkawinan telah disyariatkan sejak dahulu, sebagai mana dikemukakan
oleh H. Sastroatmodjo, yaitu:
“Perkawinan itu di syariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan dunia dan akherat, di bawah naungan
cinta kasih dan ridho Allah”.8
Menurut Ahmad Azhar Basyir, pengertian perkawinan adalah :
“Suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah”. 9
7 Humaidi Tatapangarsa, 1990, Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa, Penerbit
IKIP Malang, Cet. Pertama, hal. 165. 8 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, hal. 5. 9 Ahmad Azhar Basyir, 1990, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Universitas Islam
Indonesia, hal. 11.
8
Pengertian perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah :
“Perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan”. 10
Sedangkan pengertian perkawinan menurut Hilman Hadikusuma adalah : “Suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunannya dan membangun dan membina kehidupan keluarga, rumah tangga dan juga merupakan suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami”. 11 Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah Suatu akad atau
perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara diridhoi Allah. 12
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 1 sebagai berikut:
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas,
tersimpul suatu arti dan tujuan dari perkawinan.
Arti perkawinan dimaksud adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan dimaksud
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa.
10 Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI, Jakarta, hal. 47. 11 Hilman Hadikusuma, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, hal. 70. 12Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hal. 11.
9
Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya
suatu hubungan antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai
suami istri, dengan kata lain disebut hubungan formal. Hubungan formal ini nyata,
baik yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.
Sebaliknya ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak dapat dilihat, yang
tidak formal. Walau tidak nyata, tetapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya
ikatan bathin ikatan lahir akan menjadi rapuh.
Pengertian perkawinan di atas banyak perbedaan pendapat antara yang
satu dengan lainnya. Perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk
memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh, akan tetapi mereka hanya
ingin memasukkan unsur-unsur pengertian perkawinan yang akan dimasukkan
dalam Undang-Undang perkawinan.
Ada perbedaan pendapat tentang pengertian perkawinan tersebut di atas,
tetapi ada satu unsur kesamaan dari semua pendapat yaitu bahwa perkawinan
merupakan suatu perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menurut Hazairin dalam bukunya “tinjauan mengenai Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan” yang dikutip oleh Wantjik Saleh
menjelaskan bahwa : Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
10
dengan melanggar “hukum agamanya sendiri”, demikian juga bagi orang Kristen
dan orang Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.13
Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, maka
bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan
perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan tentang perkawinan yang telah
diatur dalam hukum perkawinan Islam, yaitu harus memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan bagi calon suami, calon istri dan Wali
adalah sebagai berikut :
Syarat-syarat calon suami :
1. Bukan mahram dari calon istri
2. Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri
3. Orangnya tertentu, jelas orangnya
4. Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji14
Syarat-syarat calon istri :
1. Tidak ada halangan syar’i, yaitu : tidak bersuami, bukan mahram dan
tidak sedang dalam iddah.
2. Merdeka, atau kemauan sendiri
3. Jelas orangnya
4. Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji15
Syarat-syarat Wali :
1. Laki-laki
2. Baligh
13 Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia, Jakarta, hal. 16. 14 Sayyid Sabiq, 1990, Fikih Sunah, Al-Ma’arif, Bandung, hal. 23. 15 Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 23.
11
3. Waras akalnya
4. Tidak terpaksa
5. Adil
6. Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji16
Di samping syarat-syarat perkawinan di atas menurut Soemiyati, yang
termasuk rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan, supaya
perkawinan dapat dilaksanakan ialah :
1. Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai
pria dan wanita
2. Wali calon pengantin perempuan
3. 2 orang saksi
4. Akad nikah atau ijab dan qabul17
Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Ahmad Azhar Basyir ialah :
“Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya”. 18
Menurut Soemiyati, tujuan perkawinan dalam Islam adalah :
“Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah”. 19
16 Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 23. 17 Soemiyati, Op Cit, hal. 37. 18 Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hal. 11. 19 Soemiyati, Op Cit, hal. 12.
12
Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan
faedah perkawinan menjadi 5 hal seperti berikut :
1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia
2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan
3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan
4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang akan menjadi basis
pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih
sayang
5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan
yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab. 20
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa :
“. . . dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan perkawinan adalah membentuk suatu rumah tangga atau keluarga
yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan
keluarga yang bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila. 21
20 Nadimah Tandjung, Islam dan Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 30-31. 21 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op Cit, hal. 4.
13
1. Asas-asas Perkawinan
Asas-asas perkawinan terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-
tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu
akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi alasan, berbagai persyaratan tertentu dan
ditetapkan oleh Pengadilan.
d. Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus
sudah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan
14
agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih
dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih
tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Undang-Undang
perkawinan menentukan batas umur kawin baik pria maupun wanita, Yaitu
19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera maka Undang-Undang ini menganut prinsip
mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat terjadi apabila
cukup dengan alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding
Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam pergauan masyarakat, dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
oleh suami isteri.
Asas-asas Perkawinan menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut :
a. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk
mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan
perkawinan atau tidak.
15
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus
diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang
berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah membentuk satu keluarga atau rumah
tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga,
dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami. 22
3. Syarat Sahnya Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Setiap perbuatan hukum yang
sah akan menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak (suami-isteri) terhadap anak-anak mereka.
Hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan,
dengan demikian sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan
menyatakan sebagai berikut :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaanya itu”.
22 Soemiyati, Op cit, hal. 4.
16
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan : “Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.
Dari rumusan Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasanya dapat disimpulkan
bahwa sah tidaknya perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan
agama dan kepercayaan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan.
Suatu perkawinan dapat dilangsungkan apabila memenuhi syarat-syarat
perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasinya,
prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya.23 Soemiyati menjelaskan bahwa
antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya, yang
dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu
sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin
dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus
ada dalam perkawinan, tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri.
Jika salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu
tidak sah.
a. Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
perkawinan yaitu:
1) Mempelai laki-laki atau pria
a) Agama islam
b) Tidak dalam paksaan
23 Sudarsono, Op Cit, hal. 40.
17
c) Pria atau laki-laki normal
d) Tidak punya empat atau lebih istri
e) Tidak dalam ibadah ikhram haji atau umrah
f) Bukan mahram calon istri
g) Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
h) Cakap hukum dan layak berumah tangga
i) Tidak ada halangan perkawinan
2) Mempelai perempuan
a) Beragama islam
b) Wanita atau perempuan normal
c) Bukan mahram calon suami
d) Mengizinkan Wali untuk menikahkannya
e) Tidak dalam masa iddah
f) Tidak sedang bersuami
g) Belum pernah li’an
h) Tidak dalam ibadah haji atau umrah
3) Syarat Wali mempelai perempuan
a) Pria beragama islam
b) Tidak ada halangan atas perWaliannya
c) Punya hak atas perWaliannya
4) Syarat bebas halangan perkawinan bagi kedua mempelai
a) Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab)
b) Tidak ada hubungan persusuan
18
c) Tidak ada hubungan semenda
d) Tidak li’an
e) Si pria punya istri kurang dari empat orang dan dapat ijin istrinya
f) Tidak dalam ikhram haji atau umrah
g) Tidak berbeda agama
h) Tidak talak ba’in kubro
i) Tidak permaduan
j) Si wanita tidak dalam masa iddah
k) Si wanita tidak punya suami
5) Syarat-syarat sah bagi saksi perkawinan
a) Pria atau laki-laki
b) Berjumlah dua orang
c) Sudah dewasa atau baligh
d) Mengerti maksud dari akad nikah
e) Hadir langsung pada acara akad nikah
6) Syarat-syarat akad nikah yang sah
a) Ada ijab (penyerahan Wali)
b) Ada qabul (penerimaan calon suami)
c) Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara
d) Ijab dan qabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihram
haji atau umrah
b. Menurut Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan
19
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan yaitu
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat ijin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang masih mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari Wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat member ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
20
Syarat-syarat perkawinan tersebut di atas menurut Soemiyati, yang
termasuk rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan supaya
perkawinan dapat dilaksanakan yaitu :
1) Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai
pria dan wanita.
2) Wali calon pengantin perempuan
3) 2 orang saksi
4) Akad nikah atau ijab dan qabul24
Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan, larangan perkawinan
diatur dalam Pasal 8, yang menyebutkan bahwa :
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun lurus
ke atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau
bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi atau paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dan
isteri dalam hal suami beristeri lebih dari seorang.
24 Soemiyati, Ibid, hal. 30.
21
6) Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin”.
B. WALI
1. Pengertian Wali
Wali dalam istilah fiqh disebut dengan wilayah yang berarti penguasaan
dan perlindungan. Sehingga Wali menurut fiqh tersebut adalah penguasaan penuh
yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai orang atau
barang.25
Wali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya adalah
memberikan kuasa kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang, dan
dalam perkawinan Wali mempunyai arti perwalian atas orang dalam
perkawinanya. Menurut Sudarsono bahwa Wali dalam perkawinan adalah
merupakan rukun artinya harus ada dalam perkawinan, tanpa adanya Wali,
perkawinan dianggap tidak sah, terutama dari orang yang belum mukhalaf. Lebih
lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa tidak ada nash yang menerangkan urutan
Wali dengan jelas maka dari itu para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan
urutan para Wali sesuai dengan dasar-dasar yang mereka gunakan.26
Wali dalam perkawinan, Wali boleh melaksanakan sendiri akad nikah
orang-orang yang ada dibawah perwaliannya atau ia boleh mewakilkan pada
orang lain.
25 Soemiyati, Op Cit, hal. 41. 26 Sudarsono, Op Cit, hal. 40.
22
2. Fungsi Wali Nikah dalam Perkawinan
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya
perkawinan (nikah) menurut Hukum Islam, Wali nikah adalah hal yang sangat
penting dan menentukan, bahkan menurut syafi’i tidak sah nikah tanpa adanya
Wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi calon pengantin laki-laki
tidak diperlukan Wali nikah untuk sahnya nikah tersebut. 27
3. Kedudukan Wali dalam Perkawinan
Wali dalam perkawinan adalah merupakan rukun, artinya harus ada dalam
perkawinan, tanpa adanya Wali, perkawinan dianggap tidak sah. Terutama
perkawinan dari orang yang belum mukallaf. Adapun yang menjadi dasar
hukumnya ialah hadist Nabi sebagai berikut:
“Barang siapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak diijinkan oleh Walinya, maka perkawinannya batal” (Riwayat empat orang ahli Hadist terkecuali Nasaii). Berdasarkan Hadist Nabi tersebut, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, Wali dalam perkawinan hanya disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedang wanita yang sudah dewasa dan janda boleh mengawinkan dirinya sendiri.28
4. Syarat-syarat Menjadi Wali
Sepakat para ulama bahwa orang-orang yang akan menjadi Wali ialah:
a. Orang mukallaf/baliqh, karena orang yang mukallaf adalah orang yang
dibebani hukum dan dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
b. Muslim. Apabila yang kawin itu orang muslim, disyaratkan Walinya
juga muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah : “Janganlah orang-
27 Mohd. Idris Ramulyo, 1995, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat, hal. 1. 28 Soemiyati, Op Cit, hal. 42.
23
orang mukmin mengangkat orang kafir sebagai Wali-Wali (mereka)
dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. (Q.S. Ali Imran : 28)
c. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani
hukum dan dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Sesuai
dengan Hadist Nabi yang telah disebut diatas tadi).
d. Laki-laki
e. Adil
Mengenai syarat laki-laki dan adil atau cerdas ini, ada perbedaan pendapat
antara para ahli Fiqh. Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa
wanita tidak boleh menjadi Wali dan tidak boleh wanita mengawinkan dirinya
sendiri. Adapun dasar hukumnya adalah Hadist Nabi yang telah disebut diatas.
5. Orang-orang yang Boleh Menjadi Wali
Karena tidak ada nash yang menerangkan urutan Wali-wali dengan jelas,
maka dari itu para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan urutan para Wali
sesuai dengan dasar-dasar yang mereka gunakan.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang berhak
menjadi Wali ialah :
a. Ayah kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
b. Saudara laki-laki kandung dan seayah.
c. Kemenakan laki-laki kandung dan seayah.
d. Paman sekandung atau seayah.
e. Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah.
f. Sultan (penguasa) sebagai Wali hakim.
24
g. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan.
Di Indonesia yang dianut adalah tertib Wali menurut madzhab Syafi’i.
Adapun tertib Wali menurut madzhab-madzhab Syafi’i ialah :
a. Ayah.
b. Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
c. Saudara laki-laki kandung.
d. Saudara laki-laki seayah.
e. Kemenakan laki-laki kandung.
f. Kemenakan laki-laki seayah.
g. Paman kandung.
h. Paman seayah.
i. Saudara sepupu laki-laki kandung.
j. Saudara sepupu laki-laki seayah.
k. Sultan atau hakim.
l. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan.29
Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
a. Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.
b. Wali Nikah terdiri dari:
1) Wali nasab
2) Wali hakim. 30
29 Soemiyati, Op Cit, hal. 45. 30 2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235
25
6. Macam-macam Wali
Soemiyati menyebutkan bahwa dari macam-macam orang yang
dinyatakan berhak menjadi Wali, dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam Wali
yaitu :
a. Wali Nasab atau kerabat
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai
perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinear dengan calon mempelai
perempuan. Jadi, yang termasuk Wali nasab ialah ayah, saudara laki-laki, paman,
dan seterusnya.
Wali Nasab terbagi menjadi dua yaitu :
1) Wali Mujbir
Artinya Wali Nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk
mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa minta ijin dulu dari yang
bersangkutan.
Para ulama yang membolehkan Wali Mujbir menikahkan tanpa meminta
ijin terlebih dahulu pada calon mempelai perempuan, harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a) Antara Wali Mujbir dan gadis itu tidak ada permusuhan.
b) Laki-laki pilihan Wali harus sejodoh (kufu) dengan wanita yang
dikawinkan. Sekufu disini yang berarti seimbang, sederajat atau setaraf
mempunyai beberapa hal yang dianggap sebagai ukuran kufu antara
lain karena keturunannya, bukan hamba sahaya/merdeka, beragama
islam, mempunyai pekerjaan, karena kekayaannya dan karena kondisi
26
fisik/tidak cacat, namun demikian hal-hal tersebut masih dapat
diperdebatkan. Akibat dari perkawinan sekufu antara lain :
o memiliki kualitas ahlak yang sama
o sebagai ujian dari Allah SWT
o pernikahan karena perintah Allah SWT.31
c) Antara gadis dan calon suaminya tidak ada permusuhan.
d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil (sebanding).
e) Laki-laki pilihan Wali akan dapat memenuhi kewajibanya terhadap
isteri dengan baik dan tidak ada gambaran akan berbuat yang
meyengsarakan isterinya. 32
Mengenai boleh tidaknya seorang Wali Mujbir menikahkan seorang gadis
tanpa meminta ijin terlebih dahulu, disebutkan dalam hadits Nabi yang
menyatakan :
“Dari Ibnu Abbas bahwasanya Jariyah, seorang gadis telah menghadap Rasullullah S.A.W. lalu menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki sedang ia tidak menyukainya. Maka Rasullullah menyuruhnya untuk memilih”. (H. R. Ahmad Ibnu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni). 33
Berdasarkan hadits tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Wali Mujbir
boleh menikahkan gadis tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada gadis yang
bersangkutan asal gadis itu menyukai laki-laki pilihan si Wali. Kalau tidak
menyukai ia boleh memutuskan.
31 www.mail-archive.com/[email protected]/msg02467.html 32 Soemiyati, Op Cit, hal. 46-47. 33 Soemiyati, Ibid, hal 47.
27
2) Wali Nasab Biasa
Artinya Wali Nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa.
Mengenai Wali Nasab, dalam Pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
disebutkan :
“Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan. a) Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. b) Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka. c) Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki sekandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. d) Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka”.
b. Wali Penguasa (sultan) atau Wali Hakim
Dari urut-urutan tertib Wali yang telah disebutkan diatas, itu ada yang
disebut Wali dekat (Wali aqrab), misalnya ayah, kakek dan sudara laki-laki
sekandung. Sedang yang lainnya disebut Wali jauh. Menurut Imam Syafi’i, Wali
yang jauh tidak boleh menjadi Wali apabila Wali yang dekat masih ada.
Mengenai hal Wali dekat tidak ada (ghaib) dan tidak ada yang
mewakilinya maka yang menjadi Wali ialah hakim, bukan Wali yang jauh, karena
Wali yang dekat dianggap masih ada dan berhak menikahkan wanita yang ada di
bawah perWaliannya selama ia masih hidup dan tidak gila.
Menurut Imam Abu Hanifah, Wali jauh boleh menikahkan asal dapat ijin
dari Wali dekat, kalau tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila
pemberian ijin tidak ada maka perwalian pindah ke tangan sultan (kepala negara)
28
atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara. Jadi Wali hakim ialah Wali yang
ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. 34
Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila :
1) Wali nasab memang tidak ada.
2) Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak
memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada.
3) Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4) Wali nasab sedang berihram haji/umrah.
5) Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali.
6) Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di
bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang
perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.
c. Wali Muhakam
Apabila Wali yang berhak tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Wali
karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi Wali. Demikian juga
Wali hakim tidak dapat mengganti kedudukan Wali nasab karena berbagai sebab,
maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang dianggap
mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk menjadi Wali. Wali yang
ditunjuk oleh Wali perempuan tadi yang tidak ada hubungan saudara, dan juga
bukan penguasa disebut Wali muhakam. 35
34 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 35 Soemiyati, Op Cit, hal. 46-49.
29
Pada Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut:
1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali hakim dapat bertindak
sebagai Wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang
Wali tersebut.
Menurut Mukti Arto untuk menetapkan adhalnya Wali harus ditetapkan
berdasarkan keputusan dari Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan
dari mempelai wanita. Kemudian Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan
adhalnya Wali dengan acara singkat, untuk memperkuat adhalnya Wali, maka
perlu didengar keterangan saksi-saksi. 36
Menurut Mohd Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menyatakan bahwa
yang dapat bertindak sebagai Wali atas permintaan pihak mempelai perempuan
ialah Wali Hakim, yaitu Pejabat Pencatat Nikah/Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal perempuan itu. Jadi Wali Hakim
ialah pejabat yang diangkat sebagai Wali Nikah bagi wanita yang tidak
mempunyai Wali atau wanita yang akan menikah itu berselisih paham dengan
Walinya tentang calon pengantin laki-laki.37
Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali hakim meminta kembali kepada
Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada
36 Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 238.
37 Mohd. Idris Ramulyo, Op Cit, hal. 3.
30
penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali, apabila Wali nasab tetap
adhal maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali hakim. Wali hakim sebagai
mana ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
C. WALI ADHAL
1. Pengertian Wali Adhal
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur dengan jelas mengenai pengertian
Wali Adhal, tetapi secara bahasa Adhal adalah Wali Nasab yang tidak memenuhi
syarat untuk menjadi seorang Wali atau berhalangan atau mafqud. Jika Wali tidak
mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan Wali
tersebut syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh
hukum syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah dilamar orang lain dan
lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (misal
beragama Kriten/Katholik), atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk),
atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan
sebagainya. Jika Wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan
alasan syar’i seperti ini, maka Wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak dapat
berpindah kepada pihak lain (Wali hakim).
Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi
seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan
oleh Wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan
31
Wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada Wali hakim. Sehingga
perempuan tersebut sama saja dengan menikah tanpa Wali, maka nikahnya batal.
Namun adakalanya Wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak
syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon
suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah
tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya
dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika Wali tidak mau
menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka Wali
tersebut disebut Wali Adhal. 38
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam Wali adhal adalah Wali yang enggan
menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang lelaki
pilihannya, sedangkan masing–masing pihak menginginkan pernikahan itu
dilangsungkan. Seorang Wali dikatakan enggan menikahkan wanita yang dibawah
perwaliannya itu apabila :
a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sepadan
dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik
penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada Walinya
maupun tidak.
b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan laki-laki pilihannya yang sepadan
dengan wanita itu, sedangkan wanita yang bersangkutan meminta Walinya
supaya menikahkan dengan leaki pilihannya yang sepadan dengannya. 39
38 http://onlymusafir.wordpress.com/2009/05/07/bolehkah-menikah-tanpa-Wali/ 39 2003. ensiklopedi hukum islam, Ikhtiar baru van hoeve cetakan keenam, Jakarta, hal.
1339.
32
2. Sebab-sebab Adanya Wali Adhal
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, orang yang dinyatakan berhak
menjadi Wali, ada tiga macam yaitu:
a. Wali Nasab
b. Wali Hakim
c. Wali Muhakam
Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan
Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang
ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan
seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau
karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang
menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali
nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada
orang lain atau kepada hakim. 40
Pada kenyataannya ada Wali yang enggan untuk menikahkan tanpa alasan
yang dapat diterima, misalnya tidak setuju karena calon menantunya tidak tampan
atau bukan orang kaya atau menggunakan perhitungan jawa, yang kesemuanya itu
bertentangan dengan syari’at agama maupun Peraturan Perundangan yang
berlaku.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1987 tentang Wali Hakim dimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 menyebutkan :
40 H. S. A. Alhamdani, Op Cit, hal. 90.
33
Pasal 2
(1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri atau wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau Mafqud atau berhalangan atau adhal maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
(2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini
ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal calon mempelai wanita.
(3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara
singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali
calon mempelai wanita.
Pasal 3
Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita Warga
Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali
Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Berdasarkan peraturan tersebut di atas, bagi calon mempelai wanita yang
akan melangsungkan perkawinan tanpa alasan yang dapat diterima, dia dapat
mengajukan permohonan pada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya
untuk minta ditetapkan bahwa Wali Nasabnya adhal, dan mensahkan
perkawinanya dengan Wali Hakim.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Wali Hakim diatur dalam Pasal 23 ayat
(1) dan (2), yaitu :
34
Pasal 23
(1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali Nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru dapat bertindak
sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang Wali
tersebut.
Ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut di
atas, apabila Wali Nasab adhal atau enggan untuk menjadi Wali maka Wali Hakim
baru dapat bertindak sebagai Wali calon mempelai perempuan. Setelah adanya
penetapan Pengadilan Agama tentang Wali Adhal, terlebih dahulu calon mempelai
wanita mengajukan permohonan adhalnya Wali kepada Pengadilan Agama
dimana pemohon bertempat tinggal. Apabila hakim berpendapat bahwa Wali
benar-benar adhal dan pemohon tetap pada permohonannya maka hakim akan
mengabulkan pemohon dengan menetapkan adhalnya Wali dan menunjuk Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan, selaku Pegawai Pencatat Nikah di tempat
tinggal pemohon untuk bertindak sebagai Wali Hakim.41
Pelaksanaan perkawinan yang menggunakan Wali adhal pada saat akad
nikah Wali hakim meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan
calon mempelai wanita, apabila Wali nasabnya tetap adhal maka akad nikah
dilangsungkan dengan menggunakan Wali hakim, ini sesuai dengan Pasal 6
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 yang menyebutkan :
41 Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hal. 39.
35
Pasal 6
(1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali hakim meminta kembai kepada Wali
nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada
penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali.
(2) Apabila Wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan
Wali hakim.
Syarat permohonan Wali adhal :
1. Surat Penolakan dari KUA setempat.
2. Foto copy KTP Pemohon 1(satu) lembar di materai Rp.6000 dan di
stempel di kantor pos.
3. Foto copy Buku Kutipan Akta Nikah orang tua Pemohon 1 (satu) lembar di
materai Rp. 6000,- dan di stempel di kantor pos.
4. Foto copy Akta cerai Pemohon (bila bercerai) 1 (satu) lembar di materai
Rp.6000 dan di stempel di kantor pos.
5. Foto copy Akta Kelahiran Pemohon 1 (satu) lembar di materai Rp.6000
dan di stempel di kantor pos.
6. Foto copy KTP calon suami Pemohon 1 (satu) lembar di materai Rp.6000
dan di stempel di kantor pos.
7. Foto copy Akta kelahiran calon suami Pemohon 1 (satu) lembar di materai
Rp.6000 dan di stempel di kantor pos.42
42http://www.pakotamadiun.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=114
&Itemid=490
36
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang akan digunakan adalah penelitian yuridis normatif.
Yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif. Konsep ini
memandang hukum sebagai norma-norma yang tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep yang melihat
hukum sebagai sistem normatif yang otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan
dan mengabaikan norma selain norma hukum.43
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang dipakai adalah penelitian deskriptif yang bertujuan
menggambarkan keadaan atau gejala dari objek atau masalah yang diteliti tanpa
bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum,
khususnya untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum dari hakim
terhadap masalah permohonan Wali hakim dalam memberi Penetapan Pengadilan
Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto.
43 Soemitro dan Ronny Hanitijo, 1988, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal.11.
37
4. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang berupa Penetapan
Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr., peraturan
Perundang-Undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur yang berhubungan
dengan materi penelitian.
5. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum akan dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan bahan hukum dengan melakukan
penelusuran terhadap bahan pustaka. Data tersebut diolah dengan cara mengutip,
menyadur tulisan baik yang berupa buku-buku, dokumen, karya ilmiah, maupun
peraturan Perundang-Undangan.
6. Metode Penyajian Data
Data sekunder ini diperoleh dengan melakukan inventarisasi terhadap
putusan pengadilan, peraturan Perundang-Undangan, dokumen resmi dan buku-
buku literatur yang kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok
permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan menggunakan
metode normatif kualitatif, yaitu dengan menjabarkan data yang diperoleh
berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok
permasalahan guna menjawab pokok permasalahan.
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian terhadap Penetapan Pengadilan Agama Cirebon Nomor
0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr pada tanggal 28 September 2011, dapat diperoleh data-
data sebagai berikut :
1. Permohonan Wali Adhal
Watnengsih binti Sunilah umur 20 tahun, agama Islam, pekerjaan -, tempat
tinggal di Dusun IV RT.01 RW.07 Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten
Cirebon, selanjutnya disebut “PEMOHON”.
2. Tentang Duduk Perkara
Pemohon melalui Surat Permohonannya tertanggal 05 Mei 2011 yang
telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sumber Cirebon telah
mengajukan hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa pemohon adalah anak kandung dari ayah bernama Sunilah bin Aim
dan ibu Carwen binti Dopir ;
b. Bahwa ayah kandung Pemohon telah meninggal dunia pada bulan
November 2008 serta kakek Pemohon dari pihak ayah terlebih dahulu
meninggal dunia ;
c. Bahwa Pemohon tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung (seayah
seibu) dan tidak juga mempunyai saudara laki-laki seayah ;
39
d. Bahwa Pemohon sudah mempunyai hubungan dengan seorang laki-laki
bernama :
Nama : Rojaya bin Rasita
Umur : 21 tahun, agama Islam
Pekerjaan : Dagang
Status Perkawinan : Jejaka dalam usia 21 tahun
Alamat : Dusun I RT.02 RW.01 Desa Kejiwan Kecamatan
Susukan Kabupaten Cirebon
e. Bahwa calon dan keluarga dari laki-laki tersebut telah melamar pada bulan
Juni 2011 dan di terima oleh ibu Pemohon ;
f. Bahwa ayah kandung Pemohon mempunyai 4 saudara kandung laki-laki
(paman Pemohon) yang masing-masing bernama :
1) Dunia bin Aim, umur 55 tahun, agama Islam, pkerjaan tani, tempat
tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg
Kabupaten Indramayu ;
2) Sonang bin Aim, umur 52 tahun, , agama Islam, pkerjaan tani,
tempat tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg
Kabupaten Indramayu ;
3) Casma bin Aim, umur 49 tahun, agama Islam, pkerjaan tani, tempat
tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg
Kabupaten Indramayu ;
40
4) Caskim bin Aim, umur 55 tahun, agama Islam, pkerjaan tani, tempat
tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg
Kabupaten Indramayu ;
g. Bahwa Pemohon telah berusaha keras melakukan pendekatan dan/atau
membujuk paman-pamannya Pemohon agar menjadi Wali dari pernikahan
Pemohon dengan calon suami Pemohon tersebut, akan tetapi semua paman
Pemohon tidak ada yang mau menjadi Wali pernikahan Pemohon dengan
alasan Pemohon akan menjual rumah milik orang tua Pemohon untuk
membayar hutang-hutang alm. Ayah Pemohon semasa hidup, sedangkan
paman-paman Pemohon melarang menjual rumah tersebut ;
h. Bahwa Pemohon telah berusaha minta bantuan keluarga namun usaha
Pemohon tetap tidak membawa hasil ;
i. Bahwa Pemohon dan calon suami Pemohon telah datang ke KUA
Kecamatan Susukan untuk menikahkan Pemohon dengan calon suami
Pemohon tersebut, namun pihak KUA setempat menolak karena tidak ada
persetujuan dari paman Pemohon ;
j. Bahwa Pemohon telah mengajukan bukti Surat Penolakan Pernikahan
Nomor : Kk.10.09.27/Pw.01/1189/2011 tanggal 06 September 2011 yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten
Cirebon, oleh Ketua Majelis kemudian diberi kode P.1 ;
k. Bahwa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang dilarang oleh
Agama, maka Pemohon ingin segera melangsungkan pernikahan dengan
calon suami pilihan Pemohon sendiri
41
3. Petitum
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
b. Menetapkan, Wali nikah Pemohon adalah Wali Adhal.
c. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Desa Kejiwan
Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon berhak menikahkan Pemohon
dengan calon suami Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim.
d. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.
4. Pertimbangan Hukum Hakim
a. Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon
dan calon suaminya telah datang menghadap di persidangan sedangkan Wali
nikah Pemohon tidak hadir tanpa ada keterangan/alasan yang sah, dan tidak
pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya meskipun menurut
berita acara panggilan, ia telah dipanggil secara patut, kemudian oleh
Majelis Hakim telah diupayakan agar Pemohon mengurungkan niatnya
tersebut tetapi tidak berhasil, maka pemeriksaan diteruskan dengan
membacakan permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh
Pemohon ;
b. Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut calon suami
Pemohon didepan sidang juga telah memberikan keterangan yang pada
pokoknya membenarkan alasan-alasan permohonan Pemohon tersebut ;
c. Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil permohonanya tersebut
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat berupa :
42
Surat Penolakan Pernikahan Nomor : Kk.10.09.27/Pw.01/1189/2011
tanggal 06 September 2011 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon, oleh Ketua Majelis
kemudian diberi kode P.1 ;
d. Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon mengajukan saksi-saksi sebagai
berikut :
1) Untana bin Jumadi, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan
Wiraswasta, tempat kediaman di Dusun IV RT.01 RW.07 Desa
Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon ;
- Bahwa saksi adalah tetangaa Pemohon ;
- Bahwa saksi mengetahui maksud Pemohon mengajukan
permohonan Wali Adhal karena ayah Pemohon telah
meninggal dunia dan paman-paman menolak untuk
menikahkan Pemohon dengan calon suaminya ;
- Bahwa paman-paman Pemohon semuanya beralamat di
Indramayu ;
- Bahwa saksi tidak tahu alasan paman-paman Pemohon
menolak untuk menjadi Wali ;
- Bahwa antara Pemohon dan calon suaminya tidak ada
hubungan sedarah maupun sesusuan dan tidak ada larangan
untuk melaksanakan perkawinan ;
- Bahwa Pemohon dengan calon suami Pemohon telah
memenuhi syarat-syarat pernikahan dan tidak ada larangan
43
untuk melaksanakan pernikahan baik menurut ketentuan
hukum Islam, maupun menurut ketentuan Perundang-
Undangan yang berlaku ;
2) Hasan Basri bin Muhamad Indar, umur 59 tahun, agama Islam,
pekerjaan Wiraswasta, tempat kediaman di Dusun IV RT.01
RW.07 Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon ;
- Bahwa saksi adalah adalah tetangga Pemohon ;
- Bahwa saksi mengetahui maksud Pemohon mengajukan
permohonan Wali Adhal karena ayah Pemohon telah
meninggal dunia dan paman-paman menolak untuk
menikahkan Pemohon dengan calon suaminya ;
- Bahwa paman-paman Pemohon semuanya beralamat di
Indramayu ;
- Bahwa saksi tidak tahu alasan paman-paman Pemohon
menolak untuk menjadi Wali ;
- Bahwa antara Pemohon dan calon suaminya tidak ada
hubungan sedarah maupun sesusuan dan tidak ada larangan
untuk melaksanakan perkawinan ;
- Bahwa Pemohon dengan calon suami Pemohon telah
memenuhi syarat-syarat pernikahan dan tidak ada larangan
untuk melaksanakan pernikahan baik menurut ketentuan
hukum Islam, maupun menurut ketentuan Perundang-
Undangan yang berlaku ;
44
e. Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon menyatakan tidak lagi
mengajukan sesuatu berupa apapun dan mohon penetapan ;
f. Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini maka
ditunjuk segala hal sebagaimana tercantum dalam berita acara persidangan
perkara ini ;
g. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon pada
pokoknya sebagaimana tersebut di atas ;
h. Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha menasehati Pemohon
namun tidak berhasil ;
i. Menimbang, bahwa dalam persidangan Pemohon telah memberikan
keterangan bahwa ia tetap pada permohonanya dan telah pula dibenarkan
oleh calon suaminya ;
j. Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan di atas
telah diperolehfakta di persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Sumber ;
- Bahwa Pemohon dan calon suaminya telah bertekad bulat dan bersepakat
untuk melangsungkan pernikahan, karena sudah saling mencintai, sudah
sama-sama berpikir matang, tak ada halangan/larangan untuk menikah,
baik menurut syara’ (agama) maupun peraturan Perundang-Undangan dan
berani bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban berumah tangga
;
- Bahwa ternyata Wali nikah Pemohon tidak hadir di persidangan, dan tidak
hadirnya Wali nikah tersebut disebabkan oleh suatu alasan yang sah,
45
sehingga dengan tidak hadirnya Wali nikah Pemohon dalam persidangan,
menunjukkan bahwa Wali nikah tersebut telah enggan (adhal) menjadi
Wali dalam pernikahan Pemohon dengan calon suaminya ;
k. Menimbang, bahwa karena Wali nikah Pemohon telah enggan (adhal)
menjadi Wali nikah dalam pernikahan Pemohon dengan calon suaminya,
sedangkan antara Pemohon dengan calon suaminya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan di atas menurut Majelis telah memenuhi syarat-
syarat perkawinan sebagaimana di atur dalam peraturan Perundang-
Undangan dan hukum syara’ serta tidak ada larangan untuk melakukan
perkawinan, maka permohonan Pemohon tersebut dapat dipertimbangkan
dan karenanya penolakan pernikahan oleh Kantor Urusan Agama Pangenan
Kabupaten Cirebon tersebut harus dikesampingkan ;
l. Menimbang, bahwa karena Wali nikah telah enggan (adhal), maka sesuai
ketentuan Pasal 23 ayat(2) Kompilasi Hukum Islam, jo Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, maka yang
menjadi Wali nikah Pemohon adalah Wali Hakim ;
m. Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang
perkawinan, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, maka biaya yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada Pemohon ;
n. Mengingat Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 2
ayat (1), 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan segala ketentuan
46
peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan hukum Islam yang
bersangkutan ;
5. Diktum Penetapan
a. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
b. Menyatakan bahwa Wali nikah Pemohon adalah Wali Adhal ;
c. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan
Kabupaten Cirebon berhak menikahkan Pemohon dengan calon suami
Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim ;
d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.771.000,- (Tujuh ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) ;
B. PEMBAHASAN
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, untuk itu agar perbuatan
hukum itu mengikat para pihak dan juga pihak ketiga, maka perkawinan tersebut
harus sah. Mengenai sahnya suatu perkawinan disebut dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menjelaskan bahwa :
”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta
penjelasannya itu, dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu harus dilakukan
47
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, kalau tidak
perkawinan itu tidak sah.
Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, maka
bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan
perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan tentang perkawinan yang telah
diatur dalam hukum perkawinan Islam, yaitu harus memenuhi syarat dan rukun
perkawinan.
Rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan, supaya
perkawinan dapat dilaksanakan ialah :
1. Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai
pria dan wanita
2. Wali calon pengantin perempuan
3. 2 orang saksi
4. Akad nikah atau ijab dan qabul44
Syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan itu
sendiri. Kalau salah satu syarat perkawinan tidak dipenuhi, maka perkawinan
tersebut tidak sah atau batal demi hukum..
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak jelas mengatur tentang
ketentuan adanya Wali, namun demikian dalam Pasal 6 ayat (2) ditentukan bahwa
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun,
harus mendapat izin dari kedua orang tua.
44 Soemiyati, Ibid, hal. 37.
48
Wali dalam perkawinan yang dianut di Indonesia diatur di dalam
Kompilasi Hukum Islam :
1. Ayah.
2. Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
3. Saudara laki-laki kandung.
4. Saudara laki-laki seayah.
5. Kemenakan laki-laki kandung.
6. Kemenakan laki-laki seayah.
7. Paman kandung.
8. Paman seayah.
9. Saudara sepupu laki-laki kandung.
10. Saudara sepupu laki-laki seayah.
11. Sultan atau hakim.
12. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan.45
Soemiyati menyebutkan bahwa dari macam-macam orang yang
dinyatakan berhak menjadi Wali, dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam Wali
yaitu :
1. Wali Nasab atau kerabat
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai
perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinear dengan calon mempelai
perempuan. Jadi, yang termasuk Wali nasab ialah ayah, sodara laki-laki, paman,
dan seterusnya. Wali nasab dibagi menjadi dua yaitu : Wali nasab yang dapat
45 Soemiyati, Ibid, hal. 45.
49
memaksakan kehendak untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa
meminta izin terlebih dahulu dari yang bersangkutan, Wali nasab yang demikian
disebut dengan Wali mujbir, dan Wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan
memaksa atau Wali nasab biasa.
2. Wali Penguasa (sultan) atau Wali Hakim
Urut-urutan tertib Wali yang telah disebutkan diatas, itu ada yang disebut
Wali dekat (Wali aqrab), misalnya ayah, kakek dan sudara laki-laki sekandung.
Sedang yang lainnya disebut Wali jauh. Menurut Imam Syafi’i, Wali yang jauh
tidak boleh menjadi Wali apabila Wali yang dekat masih ada.
Hakim dapat bertindak sebagai Wali apabila Wali dekat tidak ada (ghaib)
dan tidak ada yang mewakilinya, bukan Wali yang jauh, karena Wali yang dekat
dianggap masih ada dan berhak menikahkan wanita yang ada di bawah
perWaliannya selama ia masih hidup dan tidak gila.
Menurut Imam Abu Hanifah, Wali jauh boleh menikahkan asal dapat ijin
dari Wali dekat, kalau tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila
pemberian ijin tidak ada maka perWalian pindah ke tangan sultan (kepala negara)
atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara. Jadi Wali hakim ialah Wali yang
ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. 46
Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila :
a. Wali nasab memang tidak ada.
b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak
memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada.
46 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987
50
c. Wali nasab kehilangan hak perWaliannya.
d. Wali nasab sedang berihram haji/umrah.
e. Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali.
f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di
bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang
perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.
3. Wali Muhakam
Wali yang berhak atau Wali nasab tidak dapat menjalankan tugasnya
sebagai Wali karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi Wali.
Demikian juga Wali hakim tidak dapat mengganti kedudukan Wali nasab karena
berbagai sebab, maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang
dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk menjadi Wali.
Wali yang ditunjuk oleh Wali perempuan tadi yang tidak ada hubungan saudara,
dan juga bukan penguasa disebut Wali muhakam. 47
Beberapa alasan Wali jika menolak menikahkan, apakah alasan syar’i atau
alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum
syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran
ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau orang fasik
(misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang
menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika Wali menolak
menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka Wali wajib
ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada orang lain (Wali hakim). Jika
47 Soemiyati, Ibid, hal. 46-49.
51
seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini,
maka akad nikah tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan Wali hakim.
Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada ditangan Wali perempuan
tersebut, tidak berpindah kepada Wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja
dengan menikah tanpa Wali, maka nikahnya batil.
Adakalanya Wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i,
yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan
dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan dan
sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan
syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika Wali tidak mau menikahkan anak
gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka Wali tersebut disebut
Wali adhal. 48
Dapat dideskripsikan alasan dari Wali nasab yaitu Paman-paman Pemohon
yang menduga bahwa jika Pemohon menikah dengan calon mempelai pria maka
akan menjual rumah milik orang tua Pemohon dan hasil pejualan rumah tersebut
digunakan untuk membayar hutang-hutang orang tua Pemohon, dan alasan
tersebut tidak termasuk dalam syariat islam. Selain hal tersebut dapat
didskripsikan bahwa apakah calon mempelai pria itu sekufu (seimbang) atau tidak.
Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan
Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang
ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan
seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau
48 http://blog.umy.ac.id/agung/2012/01/17/pernikahan-tanpa-restu-Wali/
52
karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang
menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali
nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada
orang lain atau kepada hakim. 49
Pelaksanaan akad nikah yang dilakukan oleh calon mempelai wanita dan
calon mempelai pria dengan menggunakan Wali hakim, Wali hakim disini
meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai
wanita, apabila Wali nasab tetap adhal maka akad nikah dilaksanakan
menggunakan Wali hakim sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Agama
Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim yang menyebutkan :
Pasal 6
(1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali hakim meminta kembai kepada Wali
nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada
penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali.
(2) Apabila Wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan
Wali hakim.
Berdasarkan hasil penelitian nomor 1 tentang identitas Pemohon, dari data
tersebut Watnengsih binti Sunilah masih berumur 20 tahun, sehingga Watnengsih
dalam melangsungkan perkawiinan harus meminta izin terlebih dahulu kepada
orang tua. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) yang menentukan bahwa untuk
melangsungkan perkawinan bagi seorang yang belum genap berumur 21 tahun
harus mendapat izin terlebih dahulu kepada orang tua.
49 H. S. A. Alhamdani, Op Cit, hal. 90.
53
Hasil penelitian nomor 2 (a) dan (b) menjelaskan bahwa Watnengsih
(Pemohon) sudah tidak mempunyai ayah kandung dan kakek dikarenakan sudah
meninggal dunia, dan juga tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung. Namun
ayah Pemohon mempunyai 4 saudara kandung laki-laki (paman Pemohon)
sehingga ke empat (4) paman Pemohon tersebut yang berhak menjadi Wali bagi si
Pemohon, ini sesuai dengan tertib Wali menurut madzhab Syafi’i dan juga pada
Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan sebagai berikut:
a. Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.
b. Wali Nikah terdiri dari:
1) Wali nasab
2) Wali hakim. 50
Berdasarkan hasil penelitian nomor 2 (g) dan (h) tentang upaya Pemohon
untuk meminta kesediaan pamannya (Dunia, Sonang, Casma, Caskim) agar
dinikahkan dengan calon suaminya tetapi ditolak dan tidak bersedia menjadi Wali
nikah. Penolakan tersebut berdasarkan pada alasan bahwa Pemohon akan menjual
rumah milik orang tua dari Pemohon untuk membayar hutang-hutang alm.
ayahnya semasa hidup, sedangkan paman-paman Pemohon melarang menjual
rumah itu. Dan Pemohon telah berusaha minta bantuan keluarga namun usaha
Pemohon tetap tidak membawa hasil. Dalam peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku tidak mengatur tentang penolakan seseorang untuk menjadi Wali
50 2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235
54
dikarenakan harta atau warisan keluarga. Islam hanya ditentukan bahwa
perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi rukun dan syarat
perkawinan. Adapun salah satu rukun nikah adalah Wali nikah bagi calon
mempelai perempuan, sebab perkawinan yang dilakukan tanpa Wali nikah bagi
calon mempelai perempuan adalah dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan Pasal
14 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan :
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. calon suami
b. calon isteri
c. Wali nikah
d. dua orang saksi
e. ijab dan qobul”
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa :
”Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Hasil penelitian di atas dapat dideskripsikan bahwa untuk mengatasi
kesulitannya Watnengsih (Pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Agama agar Paman-pamanya ditetapkan sebagai Wali adhal dan mensahkan
perkawinannya dengan Wali hakim. Apabila dihubungkan dengan data nomor 2
(g) dan diktum penetapan nomor 5 (b) dan (c) terbukti bahwa semua paman
Pemohon tidak mau menikahkan dan menolak menjadi Wali nikah dikarenakan
alasan Pemohon akan menjual rumah milik orang tua Pemohon untuk membayar
hutang-hutang alm.ayah Pemohon semasa hidup. Oleh karena itu Pengadilan
55
menetapkan semua paman Pemohon (Dunia, Sonang, Casma, Caskim) sebagai
Wali adhal dan memerintahkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Susukan Kabupaten Cirebon untuk menikahkan Pemohon dengan calon suiami
Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim, karena Wali yang berhak itu
tetap pada adhalnya. Pengadilan Agama dalam menetapkan adhalnya Wali harus
memeriksa bukti penolakan Wali nasab untuk menikahkan calon mempelai wanita
baik secara singkat maupun lisan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, yang menyebutkan :
Pasal 2
(1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri atau wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau Mafqud atau berhalangan atau adhal maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
(2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini
ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal calon mempelai wanita.
(3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara
singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali
calon mempelai wanita.
Pertimbangan Hukum Hakim tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan
Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, yang menjelaskan bahwa :
Pasal 23
56
(1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali Nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru dapat bertindak
sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang Wali
tersebut.
Hasil penelitian diatas, hakim dalam menetapkan adhalnya Wali tidak
hanya melihat dari pihak calon mempelai wanita saja, tetapi juga harus melihat
dari pihak calon mempelai pria, apakah calon mempelai pria tersebut tidak sekufu
atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Hakim disini
juga telah memanggil Wali nikah pemohon secara patut, namun tidak hadir tanpa
ada keterangan ataupun alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain
sebagai wakil atau kuasanya. Perkawinan antara pemohon dan calon mempelai
pria dengan menggunakan Wali hakim dapat dibenarkan, karena alasan dari
Paman-pamannya itu adalah alasan harta dan alasan tersebut bukan merupakan
alasan-alasan Wali boleh menolak berdasarkan syariat Islam.
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap penetapan
Pengadilan Agama Cirebon Nomor 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hakim mengabulkan permohonan Wali adhal karena dasar
penolakan dari Wali untuk menikahkan Pemohon bahwa jika Pemohon menikah
dengan calon mempelai pria maka akan menjual rumah milik orang tua Pemohon
dan hasil pejualan rumah tersebut digunakan untuk membayar hutang-hutang
orang tua Pemohon, adapun alasan Wali boleh menolak menjadi Wali nikah
mendasarkan pada syariat Islam, yaitu alasan syar’i. Alasan syar’i adalah alasan
yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah
dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah
orang kafir, atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai
cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya.
58
B. SARAN
1. Hakim dalam menetapkan adhalnya Wali seharusnya tidak melihat dari sudut
pandang calon mempelai wanita saja, tetapi juga harus melihat dari sudut
pandang calon mempelai pria apakah sekufu atau tidak.
2. Hakim sebelum menetapkan suatu penetapan harus meneliti alasan-alasan
yang diajukan sebagai adhalnya Wali.
59
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alhamdani, H.S.A. 1989. Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Amani, Jakarta.
Arto, Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Basyir, Ahmad Azhar. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Penerbit UII,
Yogyakarta. Ensiklopedi Hukum Islam. 2003. Ikhtiar Baru van hoeve cetakan keenam. Jakarta. Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Alumni, Bandung.
Hanitijo, Soemitro Ronny. 1988. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Jassin, H. B. 1982. Qur’an dan Terjemahan. Penerbit Yayasan 23, Cet Kedua.
Prakoso, Djoko dan Murtika, I. K. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan Islam. Bina Aksara, Jakarta.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 1986. Pluralisme dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia. Airlangga University Press, Surabaya. Prodjodikoro, Wiryono. 1981. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. vorvink
van hoeve, Bandung. Ramulyo, Mohd. Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat. Sinar Grafika, Jakarta. Sabiq, Sayid. 1990. Fiqih Sunnah. Penerbit PT. Al-Maa’rif, Bandung. Saleh, Wantjik K. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
Liberty, Yogyakarta. Sudarsono. 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta, Jakarta. Tandjung, Nadimah. Islam dan Perkawinan. Bulan Bintang, Jakarta. Tatapangarsa, Humaidi. 1990. Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa.
Penerbit IKIP, Malang. Cet Pertama.
60
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Keluarga Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim LAIN-LAIN www.mail-archive.com/[email protected]/msg02467.html http://onlymusafir.wordpress.com/2009/05/07/bolehkah-menikah-tanpa-Wali/ http://blog.umy.ac.id/agung/2012/01/17/pernikahan-tanpa-restu-Wali/ http://www.pakotamadiun.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=114&itemid=490
61
SISTEMATIKA PENELITIAN
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PERKAWINAN
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
2. Asas-asas Perkawinan
3. Syarat Sahnya Perkawinan
B. WALI
1. Pengertian Wali
2. Fungsi Wali Nikah dalam Perkawinan
3. Kedudukan Wali dalam Perkawinan
4. Syarat-syarat Menjadi Wali
5. Orang-orang yang Boleh Menjadi Wali
6. Macam-macam Wali
C. WALI ADHAL
1. Pengertian Wali Adhal
2. Sebab-sebab Adanya Wali Adhal
BAB III. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan