bab i batita fixs sel

112
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Depkes, 2000). Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index. Kurang gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreatifitas dan produktifitas penduduk (Arisman, 2009).

Upload: indah-septia

Post on 06-Feb-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ff

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Batita Fixs Sel

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang

penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan

pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah

gizi disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat

kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat

rumah tangga, juga menyangkut aspek pengetahuan dan

perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Depkes,

2000).

Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat

kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah

satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan

pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human

Development Index. Kurang gizi menyebabkan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental,

mengurangi tingkat kecerdasan, kreatifitas dan produktifitas

penduduk (Arisman, 2009).

Status gizi pada dasarnya adalah keaadaan

keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gzi yang

diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk

anak batita, aktifitas, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan

Page 2: BAB I Batita Fixs Sel

bagi mereka yang menderita sakit dan proses biologis lainnya

dia dalam tubuh (Depkes, 2008). Masa batita merupakan

proses dimana seorang anak mengalami pertumbuhan badan

yang cukup pesat sehingga memerlukan perhatian dan kasih

sayang dari orang tua dan lingkungannya. Di samping itu

batita juga membutuhkan zat-zat gizi yang seimbang agar

statusnya baik, serta proses pertumbuhannya tidak

terhambat (Santoso & Ranti 2004).

Anak batita termasuk kelompok umur yang paling sering

menderita akibat kekurangan gizi yang disebabkan oleh :

Pertama kondisi anak batita adalah periode transisi dari

makanan bayi ke makanan orang dewasa. Kedua, anak batita

seringkali tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya

sering diserahkan kepada orang lain seperti saudara dan

lainnya terutama jika ibu mempunyai anak kecil. Ketiga anak

batita belum mampu mengurus dirinya dengan baik dalam

hal makanan sedangkan kebutuhannya tidak dapat begitu

diperhatikan lagi oleh kedua orangtuanya, sehingga

kebutuhannya tidak dapat terpenuhi (Santoso & Ranti 2004).

Di negara berkembang, angka kesakitan dan kematian

pada anak umur 1-4 tahun banyak dipengaruhi oleh keadaan

gizi. Pengaruh keadaan gizi pada umur tersebut lebih besar

daripada umur kurang dari satu tahun. Dengan demikian,

angka kesakitan dan kematian pda periode tersebut dapat

Page 3: BAB I Batita Fixs Sel

disajikan informasi yang berguna mengenai keadaan kurang

gizi di masyarakat (Supariasa, 2002).

Status gizi pada batita dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik

penyebab langsung maupun penyebab tidak langsung. Penyebab langsung

adalah asupan makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita batita,

sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan pangan dalam

keluarga, pola asuh anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan

lingkungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan

tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga

(Adisasmito,2007)

Menurut hasil kinerja dua tahun Kementerian Kesehatan RI tahun 2009-

2011, persentase gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia pada tahun 2010

yaitu 17,9% dan 4.9%. Sedangkan target tahun 2014 (Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014), yaitu menurunkan prevalensi

gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi gizi buruk menjadi 3.5% (Kemenkes

RI, 2011).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, terdapat

19,6% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7% balita dengan gizi buruk

dan 13,9% berstatus gizi kurang. Sebesar 4,5% balita dengan gizi lebih. Jika

dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan

tahun 2010 (17,9 %), prevalensi kekurangan gizi pada balita tahun 2013

terlihat meningkat. Balita kekurangan gizi tahun 2010 terdiri dari 13,0%

balita berstatus gizi kurang dan 4,9% berstatus gizi buruk. Perubahan

Page 4: BAB I Batita Fixs Sel

terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada

tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013.

Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi

kekurangan gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi

sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, Provinsi

Lampung tercatat prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 19,1%,

yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia masih

merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi

(Kemenkes RI, 2013).

Tercatat Povinsi lampung masih menghadapi gizi akut dan kronis pada

batita. Gizi akut tercermin dari prevalensi ditandai dengan prevalensi gizi

buruk dan gizi kurang (BB/U)lebih dari 10% yaitu sebesar (18,7%) yang

mengalami peningkatan dari 5,3% dari tahun 2010. Sementara gizi kronis

tercermin dari prevalensi balita pendek (TB/U), diatas prevalensi nasional

(37,2 %) yaitu (42,6 %). Sama halnya dengan prevalensi status gizi (BB/U)

dibandingkan dengan tahun 2010 prevalensi status gizi (TB/U) juga terjadi

peningkatan 6,3% dari 36,3% (Kemenkes RI, 2013)

Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek

sebesar 30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010).

Sebanyak 13 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi

termasuk kategori serius termasuk Provinsi Lampung. (Kemenkes RI, 2013)

Oleh karena itu, untuk mengetahui status gizi balita di

Kabupaten Lampung Selatan, maka dilakukanlah survey data

dasar di Kabupaten Lampung Selatan.

Page 5: BAB I Batita Fixs Sel

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Keadaan Status Gizi balita di Kecamatan Natar Kabupaten

Lampung Selatan?

2. Bagaimana keadaan status gizi Ibu Hamil di Kecamatan Natar Kabupaten

Lampung Selatan?

3. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Balita dan Ibu

Hamil di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Balita

dan Ibu Hamil di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui Status Gizi Batita di Kecamatan Natar Kabupaten

Lampung Selatan

b. Mengetahui asupan Zat Gizi (Kalori, Protein dan Lemak) pada Batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

c. Mengetahui riwayat kejadian penyakit infeksi pada batita di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan

d. Mengetahui pola asuh ibu terhadap batita di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan

e. Mengetahui tingkat ketersediaan pangan di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan

f. Mengetahui gambaran sanitasi dan air bersih /pelayanan kesehatan

dasar di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

Page 6: BAB I Batita Fixs Sel

g. Mengetahui tingkat gambaran sosial ekonomi keluarga ( pendidikan ibu

, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga) batita di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan

h. Mengetahui tingkat pengetahuan Ibu tentang Gizi Batita di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan

i. Mengetahui keberagaman makanan batita di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan

j. Mengetahui frekuensi penimbangan batita ke Posyandu di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan

k. Mengetahui pemberian Vitamin A pada Batita di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan

l. Mengetahui penggunaan Garam Beryodium pada keluarga Batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

m. Mengetahui pemberian ASI Eksklusif pada Batita di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan

n. Mengetahui praktik KADARZI pada keluarga batita di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan

o. Mengetahui hubungan asupan zat gizi (Kalori, Protein dan Lemak)

dengan status gizi balita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan

p. Mengetahui hubungan kejadian penyakit infeksi dengan status gizi

batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

q. Mengetahui hubungan pola asuh dengan status gizi batita di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan

r. Mengetahui hubungan ketersediaan pangan dengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

s. Mengetahui hubungan pengetahuan Ibu dengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

t. Mengetahui hubungan keberagaman makanan dengan status gizi batita

di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

Page 7: BAB I Batita Fixs Sel

u. Mengetahui hubungan frekuensi penimbangan batita ke POSYANDU

dengan status gizi balita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan

v. Mengetahui hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi

batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

w. Mengetahui hubungan praktik KADARZI dengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

D. Hipotesis

1. Ada hubungan asupan energi dengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014

2. Ada hubungan asupan proteindengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung SelatanTahun 2014

3. Ada hubungan asupan lemak dengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2014

4. Ada hubungan penyakit infeksi dengan status gizi batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2014

5. Ada hubungan pola asuh balita dengan status gizi batita

di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung SelatanTahun 2014

Page 8: BAB I Batita Fixs Sel

6. Ada hubungan ketersediaan pangan dengan status gizi

batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun

2014

7. Ada hubungan pengetahuan gizi ibu batita dengan status

gizi batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

Tahun 2014

8. Ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi

batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun

2014

9. Ada hubungan frekuensi penimbangan batita dengan

status gizi batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan Tahun 2014

10. Ada hubungan pemberian keberagaman makanan dengan

status gizi batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan Tahun 2014

11. Ada hubungan praktik kadarzi dengan status gizi batita di

KecamatanNatar Kabupaten Lampung SelatanTahun 2014

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung

Selatan

Sebagai salah satu bahan acuan dan petimbangan untuk

menentukan kebijakan serta langkah-langkah strategis

Page 9: BAB I Batita Fixs Sel

dalam penanggulangan masalah gizi pada batita di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

2. Bagi Instansi Pendidikan

Sebagai bahan pustaka untuk menambah informasi

tentang ilmu gizi terutama mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi batita.

3. Bagi Tempat Penelitian

Sebagai bahan penyuluhan yang dapat menambah

informasi dan pengetahuan warga di Kabupaten Lampung

Selatan terkait pentingnya menjaga kesehatan sehingga

terhindar dari berbagai masalah kesehatan terutama

masalah gizi .

4. Bagi Peneliti

Sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan

penelitian, sekaligus mempraktikkan ilmu yang telah

didapat serta dapat mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi batita secara jelas.

5. Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan referensi dalam mengembangkan

penelitian yang lebih lanjut.

Page 10: BAB I Batita Fixs Sel

F. Ruang Lingkup

Survey pengambilan data dasar mengenai faktor-faktor

yang berhubungan dengan status gizi batita di Kabupaten

Lampung Selatan yang dilaksanakan di Kecamatan Natar

selama 16 hari (13-28 Oktober 2014) dengan mengambil

variabel yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

batita (asupan zat gizi, riwayat penyakit infeksi, pola asuh,

sanitasi dan persediaan air bersih, ketersediaan pangan,

sosial ekonomi, tingkat pengetahuan, pemberian ASI

eksklusif, frekuensi penimbangan, pemberian vitamin A,

penggunaan garam beryodium, keberagaman makanan, dan

praktik kadarzi)

Page 11: BAB I Batita Fixs Sel

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi pada Batita

Status gizi adalah keadaan kesehatan individu individu atau kelompok-

kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-

zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampakfisiknya

diukur secara antropometri (Suhardjo, 2003).

Status gizi batita erat hubungannya dengan pertumbuhan anak, oleh

karena itu perlu suatu ukuran/alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi

dini, monitoring penyembuhan kurang gizi dan efektifitas suatu program

pencegahan.Pertumbuhan anak adalah indikator dinamik yang mengukur

pertambahan berat dan tinggi/panjang anak.Dari indikator ini dapat diikuti

dari waktu ke waktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan)

pertambahan berat atau tinggi badan (Soekirman, 2000).

Menurut Arsad (2006) status gizi batita adalah keadaan kesehatan anak

batita yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain

yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur

secara antropometri. Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan

oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia.

Status gizi diukur dengan cara yaitu (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

Page 12: BAB I Batita Fixs Sel

Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) penentuan status gizi anak

batita dilakukan secara klinis dan antropometri, sehingga dapat diketahui

tingkat status gizi batita tersebut.

B. Masalah Gizi pada Batita

Berg (2001) berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang

makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana

organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan,

pertumbuhan, bekerjanya anggota dan jaringan tubuh secara normal dan

produksi tenaga.

Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian

sebagai berikut :

1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena

tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama

jangka waktu tertentu, ditandai dengan berat badan yang menurun.

2. Gizi lebih, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan

kebanyakan makan serta mengkonsumsi energi lebih banyak daripada

yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, kegemukan

merupakan tanda pertama yang biasa dilihat.

3. Gizi buruk, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan oleh

makanan yang sangat kurang dalam satu atau lebih zat es ensial dalam

waktu lama, biasanya diikuti dengan tanda-tanda klinis khusus seperti

marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor (Depkes, 2004).

Page 13: BAB I Batita Fixs Sel

Bila prevalensi kurus (wasting) < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu

daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan

langsung dengan angka kesakitan. Indeks Antropometri yang sering dipakai

adalah :BB/U (berat badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak

adanya kurang gizi (malnutrisi), tidak bisa menjelaskan apakah akut atau

kronis. TB/U (tinggi badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak

adanya malnutrisi kronik. BB/TB (berat badan menurut tinggi badan)

menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi akut (Depkes, 2004).

Menurut Suprariasa (2002) berpendapat bahwa berat badan dan tinggi

badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan

manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan

indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk

melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh .

Menurut Arsad (2006) ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi

pada kelompok masyarakat, salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh

manusia yang dikenal dengan antropometri, dalam pemakaiannya untuk

penilaian status gizi antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang

dikaitkan dengan variabel lain, variabel tersebut adalah sebagai berikut :

umur, berat badan dan tinggi badan.

Menurut Suprariasa (2002) berat badan merupakan salah satu ukuran

yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat

badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit

infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini

dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (berat badan menurut umur) atau

Page 14: BAB I Batita Fixs Sel

melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat

pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran

keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya

memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur,

tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi

dari waktu ke waktu .

Menurut Supariasa (2002) indeks BB/U digunakan sebagai salah satu

indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks

BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Sebagai indikator status gizi

BB/U mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihannya adalah:

Dapat lebih mudah dan lebih cepat di mengerti oleh masyarakat umum,

sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek, dan dapat

mendeteksi kegemukan.

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat

dari keadaan kurus kering dan kecil pendek.Tinggi badan sangat baik untuk

melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat

badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa batita.Tinggi badan dinyatakan

dalam bentuk indeks TB/U (tinggi badan menurut umur), atau juga indeks

BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) jarang dilakukan karena

perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun

sekali.Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan

lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun

(Depkes, 2004).

C. Gizi Buruk pada Batita

Page 15: BAB I Batita Fixs Sel

Pengertian Gizi buruk (severe malnutrition) menurut Ikatan Dokter Anak

Indonesia (2008) adalah suatu istilah tehnis yang umumnya dipakai oleh

kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran, gizi buruk adalah bentuk terparah

dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.

Menurut Depatemen Kesehatan (2008) gizi buruk adalah keadaan

kekurangan gizi menahun yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi

dan protein dari makanan sehari-hari. Kekurangan gizi tingkat berat pada

anak batita berdasarkan pada indeks berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis seperti marasmus,

kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor, klasifikasi gizi buruk berdasarkan

gambaran klinisnya antara lain, sebagai berikut : Marasmus adalah keadaan

gizi buruk yang ditandai dengan badan tampak sangat kurus, iga gambang,

perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Gambaran klinis

marasmus berasal dari masukan kalori/asupan kalori yang tidak cukup

dikarenakan diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat

seperti pola asuh yang tidak baik, atau karena kelainan metabolik/malformasi

congenital.Malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan

tidak cukup atau dengan hygiene yang jelek (Behrman, 2000).

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan dan Status Gizi Anak

Batita

Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan dan penyakit infeksi

yang mungkin diderita anak. Kedua, ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak,pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Semakin

tinggi pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan, terdapat kemungkinan

Page 16: BAB I Batita Fixs Sel

semakin baik ketahananpangan keluarga, pola pengasuhan anak, dan keluarga

memanfaatkan pelayanankesehatan yang ada. Ketidak terjangkauan

pelayanan kesehatan (karena jauh, tidakmampu membayar), dapat berdampak

juga pada status gizi anak (Adisasmito, 2007).

Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara

kuantitatif,khususnya pendapatan dan kepemilikan. Tingkat pendidikan

termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat pendidikan

berhubungan dengan status gizi yaitu dengan meningkatkan pendidikan

kemungkinan akan dapat meningkatkanpendapatan sehingga meningkatkan

daya beli makanan untuk mencukupi kebutuhangizi keluarga ( Achadi, 2007).

1. Umur

Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan

pengalamandalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat

anak didasarkan padapengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor

usia muda juga cenderungmenjadikan seorang ibu akan lebih

memperhatikan kepentingannya sendiri daripadakepentingan anaknya,

sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi.Sebaliknya,

ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya

dengansepenuh hati (Hurlock dalam Gabriel, 2008).

2. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang

ataumasyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya

dalam perilakudan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan

dan gizi. Seseorang yangmempunyai tingkat pendidikan formal yang

Page 17: BAB I Batita Fixs Sel

tinggi dapat mempunyai pengetahuangizi yang tinggi pula (Atmarita &

Fallah, 2004).

Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat

kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik

pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan

pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya (Depkes RI,

2004).Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar belum tentu kurang

mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi

dibandingkan orang lain yang pendidikannya tinggi. Karena sekalipun

pendidikannya rendah jika orang tersebutrajin mendengarkan penyuluhan

gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebihbaik. Hanya saja

tetap harus dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami

pengetahuangizi yang mereka peroleh (Depkes RI, 2004).

Disamping itu tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang

eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat

pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,

kreatif dan berkesinambungan. Latar belakang pendidikan seseorang

berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi

ibu baik maka diharapkan status gizi ibu dan batitanya juga baik. Sebab

dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau

kemampuan meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat (Kusumawati,

2004)

Page 18: BAB I Batita Fixs Sel

3. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah

keluarga.Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima.

Semakin tinggi kedudukansecara otomatis akan semakin tinggi

penghasilan yang diterima, dan semakin besarpula jumlah uang yang

dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga

(Sediaoetama, 2008).

Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang

lebihsedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada

umumnya di daerah pedesaaan anak yang orangtuanya bekerja

akandiasuh oleh kakaknya atau sanaksaudaranya sehingga pengawasan

terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaikorang tua tidak

bekerja (Sediaoetama, 2008).

4. Jumlah Anggota Keluarga

Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal

disuatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun

sementara tidak ada anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau

lebih, dan anggota keluargayang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi

bertujuan pindah atau akan meninggalkanrumah 6 bulan atau lebih, tidak

dianggap anggota keluarga. Orang yang telah tinggal di suatu keluarga 6

bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurangdari 6

bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai

anggota keluarga (BPS, 2004).

Page 19: BAB I Batita Fixs Sel

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.

Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara

besar keluarga dankurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah

anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan

meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi

pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersediauntuk suatu

keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya

setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup

untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.

5. Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan adalah rata-rata pendapatan per bulan keluarga

yangdihitung dari total pengeluaran makanan dan non makanan

kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga.Dari data pendapatan

per kapita dikelompokkan lagi berdasarkan batas garis kemiskinan untuk

daerah pedesaan (BPS, 2009).

Tingkat pendapatan keluarga menunjukkan sebanyak 88 keluarga

(75,2%) dengan tingkat pendapatan tinggi ≤ Rp.1.250.000, dan sebanyak

29 keluarga (24,8%) dengan tingkat pendapatan rendah. Rata-rata

pekerjaan kepala keluarga adalah wiraswasta (Sarah, 2006)

6. Pengetahuan Gizi Ibu

Menyusun dan menilai hidangan merupakan pengetahuan dan

keterampilandasar yang diperlukan oleh semua orang, terutama mereka

yang bertanggung jawabatas pengurusan dan penyediaan makanan, baik

Page 20: BAB I Batita Fixs Sel

bagi keluarga maupun bagi berbagai institusi seperti asrama, wisma, dan

sebagainya yang harus menyediakan makananbagi sejumlah atau

sekelompok orang.Seorang ibu rumah tangga yang bukan ahli gizi, juga

harus dapat menyusun dan menilai hidangan yang akan disajikan kepada

anggota keluarganya. Susunan hidangan yang bagaimanakah yang

memenuhi syarat gizi, agar mereka yang akan mengkonsumsinya tertarik

dan mendapat kesehatan baik serta dapat mempertahankan kesehatan

tersebut (Sediaoetama, 2008).

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur

pentingyang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi

tentang gizi yang dimiliki menjadilebih baik.Sering masalah gizi timbul

karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai

.Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat

kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik

pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan

pelayanan kesehatan yang ada demikianjuga sebaliknya (Depkes, 2004).

Menurut Departemen Gizi dan KesehatanMasyarakat FKM UI (2007),

bahwa seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun

makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin

mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi.

7. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan :

a. Antropometri

1) BB/U (Berat Badan menurut Umur)

Page 21: BAB I Batita Fixs Sel

Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan

diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat

umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat

badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan kecil

dan dapat mendeteksi kegemukan (Supariasa, 2002). Untuk

pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat di

bawah ini.

Tabel 1. Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U

Indeks Kategori status gizi

Ambang Batas

(z-score)

Berat Badan menurut Umur

(BB/U) Anak

Umur 0-60 bulan

Gizi Buruk

Gizi Kurang

Gizi Baik

Gizi Lebih

<-3 SD

-3 SD Sampai Dengan -2 SD

-2 SD Sampai Dengan 2 SD

>2 SD

Sumber : Kemenkes 2011

2) TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)

Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan

keadaan pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan

tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks

TB/U diantaranya adalah baik untuk menilai status gizi masa

lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan

mudah dibawa (Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status

gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini.

Page 22: BAB I Batita Fixs Sel

Tabel 2. Status Gizi berdasarkan Indeks PB/U

Indeks Kategori status gizi

Ambang Batas

(z-score)

Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Anak Umur

0-60 bulan

Sangat Pendek

Pendek

Normal

Tinggi

<-3 SD

-3 SD Sampai Dengan -2 SD

-2 SD Sampai Dengan 2 SD

>2 SD

Sumber : Kemenkes 2011

3) BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)

Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan

dari indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat

membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)

(Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan

BB/TB dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 3. Status Gizi berdasarkan Indeks BB/PB atau BB/TB

Indeks Kategori status gizi

Ambang Batas

(z-score)

BB menurut PB Badan

(BB/PB) Atau BB

Sangat Kurus

Kurus

<-3 SD

-3 SD Sampai Dengan -2

Page 23: BAB I Batita Fixs Sel

menurut

TB (BB/TB) Anak

Umur 0-60 bulan

Normal

Gemuk

SD

-2 SD Sampai Dengan 2 SD

>2 SD

Sumber : Kemenkes 2011

b. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan-

perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat

gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringna epitel (supervicial epithelial

tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-

organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid

(Supariasa, 2002)

c. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen

yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam

jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah,

urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.

Digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi

keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Supariasa, 2002).

d. Biofisik

Page 24: BAB I Batita Fixs Sel

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status

gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan

melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, 2002)

8. Pola asuh

Orang tua memepunyai peran bermacam-macam salah satunya adalah

mendidik anak. Menurut Edward (2006) menyatakan bahwa pola asuh

merupakan interaksi anak dan orang tua mendidik , membimbing , dan

mendisilpinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai

dengan norma yang ada dalam masyarakat . pada dasarnya pola asuh dapat

diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.

Pengasuhan pada anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua

dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari

mencukupi kebutuhan makan , mendorong keberhasilan dan

melindungi ,maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum

yang diterima oleh masyarakat.

Pola asuh merupakan faktor yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan

perkembangan anak batita. Masa anak usia batita adalah masa di mana

anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah

yang cukup memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan

gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual

yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai dewasa. Masa anak usia

12-59 bulan (batita) adalah masa anak-anak yang masih tergantung pada

perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuh kesehatan

Page 25: BAB I Batita Fixs Sel

dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk

perkembangan anak (Santoso, 2005).

a. Jenis-Jenis Pola Asuh

Tipe pola asuh terdiri dari dua dimensi perilaku yaitu Directive

Behaviordan Supportive Behavior.

1) Directive Behavior melibatkan komunikasi searah dimana

orangtua menguraikan peran anak dan memberitahu anak apa

yang harusmereka lakukan, di mana, kapan, dan bagaimana

melakukan suatu tugas.

2) Supportive Behavior melibatkan komunikasi dua arah di mana

orang tuamendengarkan anak, memberikan dorongan,

membesarkan hati, memberikanteguran positif dan membantu

mengarahkan perilaku anak. Anak yang disiplin dirimemiliki

keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-

aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang

bermakna bagi dirinya sendiri,masyarakat, bangsa dan Negara.

Artinya, tanggung jawab orangtua adalahmengupayakan agar

anak berdisiplin diri untuk melaksanakan hubungan denganTuhan

yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan

lingkunganalam dan mahkluk hidup lainnya berdasarkan nilai

moral.Orang tua yang mampu berprilaku seperti diatas, berarti

mereka telah mencerminkan nilai-nilai moral danbertanggung

jawab untuk mengupayakannya (Shochib, 2010).

Page 26: BAB I Batita Fixs Sel

Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri

dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi

oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencarian, keadaan

sosial ekonomi, adat istiadat dan sebagainya. Dengan kata lain,

pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pola asuh pedagang.

Demikian pola asuh orangtua yang berpendidikan rendah dengan

pola asuh orangtua yang berpendidikan

tinggi.Dalam pelaksanaannya memang orangtua

menggunakan berbagai pola asuh sesuai dengan

situasi baik secara demokrasi, permisif, otoriter dan

penelantar (Prasetya, 2003).

9. Perhatian / Dukungan Ibu terhadap Anak dalam Praktek Pemberian

Makanan

Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh. Semua

anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai dengan apa

yang mungkin dicapainya dan sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Untuk

itu perlu perhatian/dukungan orangtua. Untuk tumbuh dengan baik tidak

cukup dengan memberinya makan, asal memilih menu makanan dan asal

menyuapi anak nasi. Akan tetapi anak membutuhkan sikap orangtuanya

dalam memberi makan. Semasa bayi, anak hanya menelan apa saja yang

diberikan ibunya. Sekalipun yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang

bergizi. Demikian pula sampai anak sudah mulai disapih. Anak tidak tahu

mana makanan terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan. Anak

masih membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar

Page 27: BAB I Batita Fixs Sel

pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu terhadap

anak meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit (Nadesul, 2004).

Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran

ganda dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar rumah

seperti bekerja ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan sosial.

Wanita yang bekerja di luar rumah biasanya dalam hal menyusun menu

tidak terlalu memperhatikan keadaan gizinya, tetapi cenderung

menekankan dalam jumlah atau banyaknya makanan (Sunarti, 2004).

10. Konsumsi energi dan protein

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan.yang

dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga)

pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok

yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber

energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang

lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan

zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat

badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier, 2003).

Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi.

Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan

terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan

kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan

kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi

yang lemah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat

mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang cukup. Ketiadaan pangan

dapat mengakibatkan berkurangnya asupan seseorang (Arisman 2009).

Page 28: BAB I Batita Fixs Sel

Kekurangan energi protein (KEP) merupakan kurang gizi yang

disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan

sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Supariasa,

2002). Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada

pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara

garis besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu Marasmus,Kwasiorkor, atau

Marasmic-Kwasiorkor.

a. Tanda-tanda Marasmus:

Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, wajahnya

seperti orang tua kulit keriput, jaringan lemak subkitis sangat sedikit,

rewel, cengeng sering diare kronik atau sebaliknya konstipasi susah

buang air. Tekanan darah, detak jantung dan pernapasan berkurang

(Supariasa, 2002).

b. Tanda-tanda Kwasiorkor :

Terjadi oedema, umumnya seluruh tubuh terutama pada punggung

kaki.Wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu.Rambut tipis

kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa

sakit, rontok.Perubahan status mental, apatis dan rewel.Pembesaran hati

Otot mengecil (hipotrofi) lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri

atau duduk. Kelainan kulit berupa bercakmerah muda yang luas dan

berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, sering disertai

penyakit infeksi, umumnya akut, anemia dan diare (Supariasa, 2002)

11. Konsumsi pangan anak batita

Page 29: BAB I Batita Fixs Sel

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah

pangan.yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau

rumahtangga) pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu

kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu

sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam

jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan.

Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor

seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik

(Almatsier 2003).

Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi

gizi. Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan

terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan

kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan

kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi

yang lemah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat

mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang cukup. Ketiadaan pangan

dapat mengakibatkan berkurangnya asupan seseorang (Arisman 2009).

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi

rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat

pengetahuan terhadap penyediaan bahan makanan terutama makanan

bergizi yang sangat dibutuhkan bagi anak-anak dan keluarganya.

Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi

lainya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan,

perumahan dan tempat tinggal (Suhardjo, 2003).

Page 30: BAB I Batita Fixs Sel

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini

bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang

tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar

seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga

dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003)

Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu

banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi berbagai

masalah, misal memberikan ASI eksklusif, Makanan pendamping ASI

yang cukup gizi, memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit

waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang

mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup

serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan

atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu

penjelasannya (Kardjati, 2003).

12. KADARZI

a. Pengertian Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalalah suatu keluarga yang mampu

mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.

Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang

baik yang dicirikan minimal dengan menimbang berat badan secara

teratur, memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir

sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam,

Page 31: BAB I Batita Fixs Sel

menggunakan garam beryodium, minum suplemen gizi (kapsul

vitamin A dosis tinggi) (Depkes RI, 2007).

Dalam hal ini, keluarga merupakan tatanan masyarakat terkecil dan

paling inti dengan beranggotakan bapak, ibu, dan anak-anak. Di

sinilah tata cara nilai, norma, kepedulian dan kasih sayang terbina

sejak dini. Dalam keluarga, sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan

untuk memenuhi berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan fisik yang

paling dasar yaitu makan dan minum.Ditingkat keluarga juga

dilakukan pengambilan keputusan tentang makanan, gizi dan

kesehatan dilaksanakan.Masalah yang terjadi ditingkat keluarga

seperti gizi kurang, gizi buruk, anemia dan sebagainya, sangat erat

kaitannya dengan perilaku keluarga yang bersangkutan selain akar

masalah adalah kemiskinan.Pemahaman Kadarzi oleh semua yang

bertujuan mewujudkan keluarga sehat, cerdas dan mandiri sangat

diperlukan untuk menjadikan bangsa sehat dan negara kuat

(Syahartini, 2006).

a. Pembinaan Keluarga Sadar Gizi

Pembinaan keluarga sadar gizi adalah melakukan berbagai upaya

untuk meningkatkan kemampuan keluarga, agar terwujud keluarga

yang sadar gizi.Upaya meningkatkan kemampuan keluarga itu

dilakukan dengan penyuluhan, demo, diskusi dan pelatihan (Depkes

RI, 2004).

Page 32: BAB I Batita Fixs Sel

b. Tujuan Pembinaan Keluarga Sadar Gizi

Tujuan Pembinaan Keluarga Sadar gizi (KADARZI) adalah

1) Menimbang batita ke posyandu secara berkala.

2) Mampu mengenali tanda-tanda sederhana keadaan kelainan gizi

(gizi kurang dan gizi lebih).

3) Mampu menerapkan susunan hidangan yang baik dan benar,

sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).

4) Mampu mencegah dan mengatasi kejadian atau mencari rujukan,

manakala terjadi kelainan gizi di dalam keluarga.

5) Menghasilkan makanan melalui pekarangan (Depkes RI, 2004).

c. Sasaran Pembinaan Keluarga Sadar Gizi

Sasaran pembinaan Kadarzi adalah semua keluarga di wilayah kerja

puskesmas. Namun perhatian utama pembinaan ditujukan kepada

keluarga yang memiliki kelainan gizi, keluarga pra-sejahtera dan

keluarga sejahtera tahap I. Dengan adanya pembinaan kadarzi maka

diharapkan agar :

1) 80% batita ditimbang setiap bulan

2) 80% bayi 0-6 bulan diberi ASI saja (ASI eksklusif)

3) 90% keluarga menggunakan garam beryodium

4) 80% keluarga makan beraneka ragam sesuai kebutuhan

5) Semua batita gizi buruk dirawat sesuai standar tata laksana gizi

buruk

6) Semua anak 6-24 bulan GAKIN mendapat MP-ASI

7) 80% batita (5-59 bulan) dan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A

sesuai anjuran

Page 33: BAB I Batita Fixs Sel

8) 80% ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet selama

kehamilannya (Depkes , 2007)

d. Strategi untuk mencapai sasaran keluarga sadar gizi (Kadarzi).

Strategi untuk mencapai sasaran kadarzi adalah :

1) Meningkatkan fungsi dan peranan posyandu sebagai wahana

masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini gangguan

pertumbuhan batita.

2) Menyelenggarakan pendidikan/promosi gizi secara sistematis

melalui advokasi, sosialisasi, dan pendampingan keluarga.

3) Menggalang kerja sama dengan lintas sektor dan kemitraan

dengan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta

pihak lainnya dalam mobilisasi sumber daya untuk penyediaan

pangan.

4) Mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplemen gizi terutama

zat gizi mikro dan MP-ASI bagi batita dalam keluarga di bawah

garis miskin.

5) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas

dan jaringannya dalam pengelolaan dan tatalaksana pelayanan

gizi.

6) Mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk

meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi di puskesmas

dan jaringannya (Depkes RI, 2007).

e. Indikator Keluarga Sadar Gizi

Page 34: BAB I Batita Fixs Sel

Indikator keluarga sadar gizi digunakan untuk mengukur tingkat sadar

gizi keluarga. Menurut Depkes (2007), ada 5 indikator kadarzi yang

meliputi : penimbangan berat badan secara teratur, memberikan ASI

saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif),

makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan

suplemen gizi (kapsul vitamin A pada batita) sesuai anjuran.

1) Memantau pertumbuhan batita dengan menimbang Berat

Badan batitanya secara teratur

Menurut Soekirman (2000) status gizi batita erat hubungannya

dengan pertumbuhan anak, oleh karena itu perlu suatu ukuran/

alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi dini, monitoring

penyembuhan kurang gizi dan efektivitas suatu program

pencegahan. Sejak tahun 1980-an pemantauan berat badan anak

batita telah dilakukan dihampir semua desa di Indonesia melalui

posyandu. Dengan meningkatkan mutu penimbangan dan

pencatatannya, maka melalui posyandu dimungkinkan untuk

memantau status gizi setiap anak batita di wilayahnya

(Soekirman, 2000).

Pemantauan pertumbuhan batita yang dilakukan dengan

menimbang selain di posyandu bisa juga dilakukan di rumah atau

tempat lain setiap bulan dengan menggunakan alat penimbang

badan. Dapat dipantau dengan melihat catatan penimbangan batita

pada KMS selama 6 bulan terakhir yaitu bila bayi berusia > 6 bulan

ditimbang 4 kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika

Page 35: BAB I Batita Fixs Sel

kurang dari 4 kali dianggap belum baik.Bila bayi 4-5 bulan

ditimbang 3 kali atau lebih dinilai baik dan jika kurang dari 3 kali

dinilai belum baik. Bila bayi berusia 2-3 bulan ditimbang 2 kali

atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dinilai belum

baik, dan pada bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika

pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang

(Depkes RI, 2007).

2) Memberikan ASI Eksklusif

ASI Eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi.Pemberian

ASI Eksklusif adalah menyusui bayi secara murni. Bayi hanya

diberi ASI saja tanpacairan lain seperti susu, jeruk, madu, air teh,

air putih, dan tanpa tambahanmakanan padat seperti pisang,

pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Danuatmojo,

2004).

ASI sangat baik diberikan kepada bayi segera setelah dia lahir

karena ASI merupakan gizi terbaik bagi bayi dengan komposisi

zat-zat gizi didalamnya secara optimal mampu menjamin

pertumbuhan tubuh bayi. Kualitas zat gizi ASI jugaterbaik karena

mudah diserap dicerna oleh usus bayi.Pemberian

makananpadat/tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu

pemberian ASI Eksklusifserta meningkatkan angka kesakitan

pada bayi.Tidak ditemukan bukti yangmenyokong bahwa

pemberian makanan tambahan sebelum 4 atau 6 bulan

lebihmenguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan

Page 36: BAB I Batita Fixs Sel

mempunyai dampak negatifterhadap kesehatan bayi dan tidak ada

dampak positif untuk pertumbuhan danperkembangan (Roesli,

2008).

ASI yang juga merupakan makanan yang sempurna, seimbang,

bersihsehat.Dapat diberikan setiap saat dan mengandung zat

kekebalan serta dapatmenjalin hubungan kasih sayang antara ibu

dan bayi (Syahartini, 2006).Namun masih banyak ibu yang tidak

memberikan bayinya ASI Eksklusifdengan faktor penyebab

antara lain :

- Produksi ASI yang kurang atau tidak keluar sama sekali,

- Umur; dimana ibu yang berusia muda kurang mengetahui

manfaat pemberian ASI Eksklusif,

- Penghasilan keluarga; keluarga dengan penghasilan besar

menginginkan anak yang sehat sehingga mereka membeli dan

memberikan susu atau makanan lain kepada bayinya tanpa

mereka sadari bahwa ASI dapat mencukupi sampai berumur 6

bulan,

- Status kesehatan ibu; pikiran kacau dan emosi saat menyusui

mengakibatkan bayi cengeng,

- Kurang persiapan ibu saat menghadapi masa laktasi sehingga

ASI tidak keluar pada masa 1-3 hari setelah melahirkan,

sehingga pemberian ASI tidak lancar dan ibu memilih

memberi bayinya susu formula dengan sendirinya ASI

Eksklusif terabaikan (Fatimah, 2007).

Page 37: BAB I Batita Fixs Sel

3) Makan beranekaragam makanan

Makanan beragam artinya makanan yang bervariasi (tidak

monoton).Variasi berarti susunan hidangan itu berubah dari hari-

kehari.Jenis makanan ataumasakan yang tersusun menjadi

hidangan juga harus menunjukkan kombinasi,artinya dalam satu

kali hidangan, misalnya makan siang, susunan tersebut terdiri dari

masakan yang berlain-lainan. Untuk mencapai kondisi demikian

maka bahanmakanan yang dipergunakan dan juga jenis

masakannya atau cara memasaknyaharus selalu beraneka ragam

(Sediaoetama, 2008).

Menurut Depkes RI (2007), makan beraneka ragam makanan

adalahkeluarga mengonsumsi makanan pokok, lauk pauk, sayuran

dan buah setiap hari.Susunan makanan menurut Pedoman Umum

Gizi Seimbang (PUGS)Departemen Kesehatan RI yaitu:

a) Beragam, apabila dalam setiap kali makan hidangan terdiri

dari makanan pokok + lauk pauk, sayur, buah atau makanan

pokok + lauk pauk +sayur

b) Tidak Beragam, apabila dalam setiap kali makan hanya

terdiri dari 2 atau 1 jenis pangan.

4) Menggunakan garam berjodium dalam makanannya

Garam beryodium baik adalah garam yang mempunyai

kandungan yodiumdengan kadar yang cukup (>30 ppm kalium

yodat ). Garam beryodium sangat perludikonsumsi oleh keluarga

karena zat yodium diperlukan tubuh setiap hari.Gangguan akibat

Page 38: BAB I Batita Fixs Sel

kekurangan yodium (GAKY) menimbulkan penurunan

kecerdasan pada anak-anak, gangguan pertumbuhan dan

pembesaran kelenjar gondok (Depkes RI, 2005).

Untuk mengetahui garam yang digunakan oleh keluarga

mengandungyodium atau tidak secara umum dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu melihat adatidaknya label garam

beryodium atau melakukan test yodina. Disebut baik jikaberlabel

dan bila ditest dengan yodina berwaran ungu, tidak baik jika tidak

berlabeldan bila ditest dengan yodina warna tidak berubah

(Depkes RI, 2007).

5) Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Batita

Telah lama dikenal persenyawaan dengan aktifitas vitamin A,

misalnya vitamin A1 yang terdapat dalam jaringan mamalia dan

ikan laut, vitamin A2 padaikan tawar. Vitamin A larut dalam

lemak, stabil terhadap suhu yang tinggi dantidak dapat diekstraksi

oleh air yang dipakai untuk merebus makanan. Akan

tetapivitamin A dapat dihancurkan oleh pengaruh oksidasi, cara

memasak bahanmakanan secara biasa tidak mempengaruhi

keadaan vitamin A.

Kekurangan vitamin A menyebabkan Xerofthalmia, kekurangan

tersebut tersebar luas danmerupakan penyakit gangguan gizi pada

manusia yang sangat penting.DiIndonesia penyakit tersebut

merupakan salah satu diantara 4 masalah gizi utama,prevalensi

Page 39: BAB I Batita Fixs Sel

tertinggi terdapat pada anak-anak dibawah 5 tahun (Pudjiadi,

2000).

Sering kali kebutuhan vitamin A tidak terpenuhi dengan makan

sehari-hari.Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan pemberian

vitamin A dosis tinggi 100.000 SI(kapsul biru) untuk batita umur

6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI(kapsul merah)

untuk batita umur 12-59 bulan. Pemberian vitamin A

dilakukansetiap bulan Februari dan Agustus dan dapat diperoleh

di posyandu maupun dipuskesmas (Depkes RI, 2007).

13. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Sadar Gizi Keluarga

a. Pengetahuan dan Pendidikan Ibu

Pendidikan yang rendah belum tentu kurang mampu menyusun

makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan

seseorang yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun pendidikan

seorang ibu itu rendah akantetapi dia bisa mendapatkan pengetahuan

gizi dari luar formal seperti dari penyuluhan, diskusi, dll. Tetapi

memang perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami

pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Supariasa dkk, 2002).

b. Pendapatan Keluarga

Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan tidak

dapatmemenuhi kebutuhan makanannya, setidaknya keanekaragaman

bahan makanankurang bisa dijamin.Banyak sebab yang turut berperan

Page 40: BAB I Batita Fixs Sel

dalam menentukan besar kecilnya pendapatan keluarga.Pada keluarga

dimana hanya ayah yang mencarinafkah tertentu berbeda dengan

besarnya pendapatannya dengan keluarga yang mengandalkan sumber

keuangan dari ayah dan ibu serta pekerjaan sampingan yangbisa di

usahakan sendiri dirumah (Supariasa dkk, 2002).

Keterbatasan kesempatan kerja yang bisa segera menghasilkan uang,

biasanya untuk pekerjaan diluar usaha tani, juga sangat mempengaruhi

besar kecilnya pendapatan keluarga. Kemampuan keluarga untuk

membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi juga amat

dipengaruhi oleh harga bahan makanan. Bahan makanan yang mahal

harganya biasanya jarang,atau bahkan tidak pernah di beli.

Tingkat pendapatan keluarga sangat mempengaruhi tercukupi atau

tidaknya kebutuhan primer, sekunder, serta perhatian dan kasih sayang

yang akan diperoleh anak. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan

jumlah saudara dan pendidikan orang tua. Pendapatan Keluarga

mencakup data sosial seperti keadaan penduduk suatu masyarakat,

keadaan keluarga, pendidikan, keadaan perumahan. Data ekonomi

meliputi pekerjaan, pendapatan, kekayaan, pengetahuan dan harga

makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supariasa

dkk, 2002).

E. Kerangka Teori

KURANG GIZI

Makan Tidak Seimbang Penyakit Infeksi

Dampak

Page 41: BAB I Batita Fixs Sel

Kurang Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Gambar 1.Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi menurut UNICEF 1998.

F. Kerangka Konsep

Tidak CukupPersediaan Pangan

Krisis ekonomi, politik dan sosial

Pola Asuh Anak Tidak Memadai

Sanitasi dan Air Bersih/PelayananKesehatan DasarTidak Memadai

Penyebablangsung

PenyebabTdk langsung

Kurang Pemberdayaan Wanitadan keluarga, kurang pemanfaatan

Sumberdaya Masyarakat

Asuapan Zat Gizi :-Asupan energi-Asupan Protein-Asupan Lemak-Konsumsi tablet Kapsul vit A

Sanitasi

Pola Asuh

Riwayat Penyakit

Pengetahuan

Status Gizi BatitaKetersediaan

Page 42: BAB I Batita Fixs Sel

Gambar 2. Kerangka Konsep yang mempengaruhi status gizi batita

BAB IIIMETODE

A. Ruang Lingkup Penelitian

Survey pengambilan data dasar mengenai faktor-faktor yang

berhubungan dengan status gizi batita di Kabupaten Lampung Selatan

dilaksanakan di Kecamatan Natar selama 7 Hari dengan mengambil variabel

yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi batita (asupan zat gizi,

riwayat penyakit infeksi, pola asuh, sanitasi dan persediaan air bersih,

ketersediaan pangan, sosial ekonomi, tingkat pengetahuan, pemberian ASI

Page 43: BAB I Batita Fixs Sel

ekslusif, frekuensi penimbangan, pemberian vitamin A, penggunaan garam

beryodium, keberagaman makanan dan praktek KADARZI).

B. Rancangan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode analitik

dengan pendekatan Cross Sectional. Cross Sectional merupakan penelitian

non experimental dalam rangka mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-

faktor resiko yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu yang

diobservasi pada saat yang sama (Praktiknya, 2010).

C. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh batita yang berada di Kecamatan Natar

Kabpaten Lampung Selatan

D. Sampel

1. Besar Sampel

Sampel batita dalam penelitian ini berdasarkan jumlah yang ada. Untuk

penelitan ini menggunakan rumus

n = Z2P x Q

d2

Z = Tingkat kepercayaan 95% (1,96)

d = error yang diteliti 5-10%

P = prevalensi Gizi buruk/ Gizi kurang 18,8%

Q = 1-P (0,903)

Besar Sampel :

Page 44: BAB I Batita Fixs Sel

n = (1,96)20,188x 0,903

0,0352

= (3,8416) 0,1697640,001225

= (3,8416) 135,582857

= 532,379903

Tolerasi 10% =532,379903+53,2379903

=585,617893

Kuota = 585,617893/86

= 6,8

Jadi sampel penelitian adalah 7 batita yang didata dan dilakukan

pengukuran dengan rumus :

2. Teknik Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan

teknik klaster (Cluster Random Sampling). Suatu klaster adalah suatu

kelompok dari subjek atau kesatuan analisis yang berdekatan satu dengan

yang lain secara geografi (Hastono, 2007).

E. Pengumpulan Data

1. Jenis-jenis data

a. Data Primer

Data penelitian diperoleh sendiri melalui proses wawancara observasi,

kuesioner dan pengukuran fisik

Page 45: BAB I Batita Fixs Sel

b. Data Sekunder

Data penelitian diperoleh dari sumber kedua, dokumen Badan Pusat

Statistik (BPS) atau dokumen lembaga atau institusi tertentu

2. Cara pengumpulan Data

a. Kuesioner

b. Observasi

c. Wawancara

3. Alat/Istrumen yang digunakan

a. Kuesioner

b. Lembar Food Recall

c. Microtoise

d. Infantometer

e. Meterline

f. Dacin, sarung

g. Timbangan digital

h. Pita LILA

i. Software FP2

j. TKPI dan Kalkulator

4. Petugas Pengumpul Data

Petugas pengumpul data adalah mahasiswa/i Jurusan Gizi Poltekkes

Kemenkes Tanjungkarang Semester 5.

F. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data, yaitu :

1. Editing

Page 46: BAB I Batita Fixs Sel

Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir

atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah :

a. Lengkap: semua pertanyaan sudah terisi jawabannya.

b. Jelas : jawaban pertanyaan, apakah tulisannya cukup jelas terbaca

c. Relevan : jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaan

d. Konsisten : apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan

isi jawaban konsisten

2. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan. Coding digunakan untuk mempermudah pada

saat juga mempercepat pada saat entry data

3. Processing

Pemrosesan data yang dilakukan dengan cara meng-entry data dari

kuesioner ke paket program komputer. Pemrosesan dilakukan agar data

yang sudah di-entry dapat dianalisis.

4. Cleaning

Cleaning atau pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah di-entry dapat dianalisis (Hastono, 2007)

G. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan distribusi frekuensi

variabel untuk kategori masing-masing variabel yang diteliti, baik

variabel terikat maupun variabel bebas.

2. Analisis Bivariat

Page 47: BAB I Batita Fixs Sel

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa bivariat

yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan

(Notoatmodjo,2010). Analisis yang dilakukan untuk menganalisa

hubungan masig-masing variabel terikat dengan variabel bebas

menggunakan uji statistic chi square, uji signifikasi antara data yang

diobservasi dengan data yang diharapkan dilakukan dalam batas

kepercayaan 95% (α= 0,05) yang artinya apabila diperoleh nilai P < 0,05

berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan

variabel yang terikan dan bila nilai P>0,05 berrti tidak ada hubungan yang

signifikan.

Bila pada perhitungan uji Chi Square ditemukan jumlah nilai

harapan kurang dari 5 sebanyak lebih dari 20% jumlah seluruh sel, maka

dilakukan uji Fisher Exact. Analisis uji statistic yang digunakan pada

penelitian ini yaitu menggunakan Chi Square yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel tidak terikat dan variabel terikat

dengan uji statistik menggunakan perangkat lunak Komputer. Dipilihnya

uji Chi square sebagai uji analisis penelitian karena data yang akan

diperoleh merupakan data yang berbentuk kategorik, maka dari itu untk

mengetahui hubungan antara data kategorik dengan data kategorik

digunakanlah uji Chi Square.

Page 48: BAB I Batita Fixs Sel

BAB IV

Hasil Dan Pembahasan

4.1. Gambaran Umum Desa Penengahan

4.1.1 Letak geografis

Desa Sidosari merupakan desa yang berada di Kecamatan Natar

KabupatenLampung Selatan. Batas wilayah Desa Sidosari adalah sebagai

berikut :

a) Sebelah Utara : Desa Muara Putih

b) Sebelah Selatan : Desa Hajimena

c) Sebelah Barat : Desa Natar

d) Sebelah Timur : Kota Bandar Lampung

Page 49: BAB I Batita Fixs Sel

4.1.2 Demografi/Kependudukan

Desa Sidosari memiliki 6 dusun, yaitu Sinar Banten, Sidosari,

Sindang Liwa, Bangun Rejo, Simbaringin, Kampung Baru dengan 18 RT

serta 1048 kepala keluarga (KK). Berdasarkan profil Desa Sidosari jumlah

penduduk di Desa Sidosari adalah 4181 jiwa yang terdiri dari 2172 orang

berjenis kelamin laki-laki dan 2009 orang berjenis kelamin perempuan ,

yang terdiri dari 518 anak balita dengan penggolongan usia 0-6 tahun, 374

anak-anak dengan pengolongan usia 7-12 tahun, 269 anak remaja dengan

penggolongan usia 13-15 tahun, 620 orang tenaga kerja dengan

penggolongan usia 20-26 tahun, 2307 orang menurut tingkat pendidikan,

dan 2386 orang jumlah penduduk menurut mata pencaharian.

Pendudukan desa Penengahan seluruhnys beragama Islam dengan

jumlah 4118 orang. Desa ini memiliki Lembaga Pemerintahan dengan

jumlah pensiun PNS/TNI/POLRI desa sebanyak 5 orang,dan Badan

Perwakilan Desa yaitu sebanyak 34 orang.

Tabel 1

Distribusi Penduduk Berdasarkan Penggolongan Usia

Golongan Usia (tahun) Jumlah (orang)

0-6 518

7-12 374

13-15 269

20-26 620

27-40 968

Total 2749

Page 50: BAB I Batita Fixs Sel

4.1.3. Mata Pencaharian

Masyarakat desa Sidosari memiliki mata pencaharian

sebagai karyawan, buruh tani, buruh, pensiun PNS/TNI/POLRI,

pengrajin, petani, pemulung, jasa.

Berikut ini adalah tabel data jumlah orang dengan mata

pencaharian yang telah disebutkan diatas :

Tabel 2

Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang)

Petani 767

Buruh tani 1584

Pensiun PNS/TNI/POLRI 5

Karyawan 28

Jasa 2

Total 2386

4.1.4. Lembaga Kemasyarakatan

Lembaga kemasyarakatan yang terdapat di desa Sidosari

adalah Lembaga Perempuan (PKK), Dasa Wisma, dan Krang

Taruna.

Tabel 4

Distribusi Lembaga Kemasyarakatan Desa

Lembaga kemasyarakatan Jumlah lembaga

Page 51: BAB I Batita Fixs Sel

(buah)

Organisasi Perempuan (PKK) 6

Dasa Wisma 23

Organisasi Karang Taruna 1

Total 30

4.1.5. Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan desa Sidosari terdapat 2 SD/sederajat

dan 1 lembaga pendidikan keagamaan.

Tabel 7

Sarana Pendidikan

Sarana Pendidikan Jumlah

SD/sederajat 2

Lembaga Keagamaan 1

4.1.9.Sarana Transportasi

Bidang sarana transportasi umum di desa Sidosari terdapat

2 jenis sarana dengan jumlah sarana terdapat 16 buah

4.1.10 Sarana Ibadah

Sarana ibadah terdapat 8 masjid dan 5

mushola/langgar/surau dan 1 Wihara

Tabel 8

Page 52: BAB I Batita Fixs Sel

Sarana Ibadah

Sarana Ibadah Jumlah

Masjid 8

Mushola/langgar/surau 5

Wihara 1

4.1.11.Sarana Olahraga

Terdapat 2 ssssjenis olahraga desa Sidosari ada 1 lapangan

sepak bola, 3 lapangan bulu tangkis, 4 meja pingpong, dan 3

lapangan voli.

Tabel 9

Sarana Olahraga

Sarana Olaharaga Jumlah

Lapangan sepak bola 1

Lapangan bulu tangkis 3

Meja pingpong 4

Lapangan voli 3

4.1.12. Sarana Kesehatan

Sarana dan prasarana kesehatan desa Penengahan terdapat 1

puskesmas pembantu, 4 posyandu, 1 dukun terlatih, dan 1 orang

bidan.

Tabel 10

Page 53: BAB I Batita Fixs Sel

Sarana dan Prasarana Kesehatan

Sarana dan Prasarana Kesehatan Jumlah

Puskesmas pembantu (Pustu) 1

Posyandu 4

Dukun terlatih 2

Bidan 1

4.1.13. Hasil Pertanian

Hasil pertanian makanan pokok masyarakat desa

Penengahan dalam 1 tahun yaitu jagung sebanyak 10,5 ton yang

dipanen 1 kali dalam 1 tahun, dan padi 2450 ton yang dipanen 2

kali dalam 1 tahun.

Hasil panen sayuran, buah, bumbu dan rempah-rempah

dalam satu tahun yaitu kacang panjang 0,375 ton yang dipanen 1

kali dalam 1 tahun, buncis 0,125 ton yang dipanen 1 kali dalam 1

tahun, terong 3 ton yang dipanen 1 kali dalam 1 tahun, pisang 60

ton yang dipanen 1 kali dalam 1 tahun, coklat 375 ton yang

dipanen 1 kali dalam 1 tahun, dan lada 9,8 ton yang dipanen 1 kali

dalam 1 tahun.

Tabel 11

Hasil Pertanian

Hasil

pertanian

Satuan Frekuensi panen

/tahun

Hasil produksi/

panen

Hasil

produksi/tahun

Jagung Ton 10,5 10,5 10,5

Page 54: BAB I Batita Fixs Sel

Padi Ton 2450 1225 2450

Kacang

panjang

Ton 0,375 0,375 0,375

Buncis Ton 0,125 0,125 0,125

Terong Ton 3 3 3

Pisang Ton 60 60 60

Coklat Ton 375 375 375

Lada Ton 9,8 9,8 9,8

4.1.14. Hasil Peternakan

Hasil produksi peternakan penduduk desa Penengahan

dalam 1 tahun yaitu sapi 12 ekor, kerbau 42 ekor, ayam 300 ekor,

bebek 117 ekor, dan kambing 70 ekor.

Tabel 12

Hasil Peternakan Penduduk Desa Penengahan

Hasil Peternakan Satuan Hasil produksi

Sapi Ekor 12

Kerbau Ekor 42

Ayam Ekor 30

Bebek Ekor 117

Kambing Ekor 70

4.2. Analisis Univariat

Page 55: BAB I Batita Fixs Sel

4.2.1. Usia Ayah

Tabel 1

Distribusi Usia Ayah

Kategori N %

20-30 tahun 40 40

>30 tahun 60 60

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa

usia kepala keluarga di desa penengahan adalah sebagai berikut:

untuk kelompok usia 20-30 tahun sebesar 40% dan kelompok usia

lebih dari 30 tahun sebesar 60%. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa rata-rata kepala keluarga di desa tersebut

berusia diatas 30 tahun dengan perbandingan 3:2.

4.2.2. Usia Ibu

Tabel 2

Distribusi Usia Ibu

Kategori N %

<20 tahun 2 2

20-30 tahun 66 66

>30 tahun 32 32

Page 56: BAB I Batita Fixs Sel

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa

usia ibu di desa penengahan adalah sebagai berikut: untuk

kelompok kurang dari 20 tahun sebesar 2%, kelompok usia 20-30

tahun sebesar 66% dan kelompok usia lebih dari 30 tahun sebesar

32%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata ibu di

desa tersebut berusia antara20- 30 tahun dengan persentase 66%.

4.2.3. Pendidikan Ayah

Table 3

Distribusi Pendidikan Ayah

Kategori N %

Tidak tamat SD 4 4

Dasar (SD dan SMP) 60 60

Menengah (SMA) 30 30

Tinggi (>SMA) 6 6

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden

di desa penengahan untuk kategori pendidikan setiap kepala

Page 57: BAB I Batita Fixs Sel

keluarga di desa tersebut adalah sebagai berikut: tidak sekolah

sebesar 4%, pendidikan dasar (pendidikan SD dan SMP) 60%,

menengah (SMA) 30%, dan dengan pendidikan tinggi (>SMA)

sebesar 6%. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan

kepala keluarga di desa penengahan berpendidikan dasar

(pendididkan SD dan SMP) sebanyak 60 orang dengan persentase

yaitu sebesar 60%.

4.2.4 . Pendidikan Ibu

Table 4

Distribusi Pendidikan Ibu

Kategori N %

Tidak sekolah 6 6

Dasar (SD dan SMP) 67 67

Menengah (SMA) 23 23

Tinggi (>SMA) 4 4

Page 58: BAB I Batita Fixs Sel

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden

di desa penengahan untuk kategori pendidikan ibu di desa tersebut

adalah sebagai berikut: tidak sekolah sebesar 6%, pendidikan dasar

(pendidikan SD dan SMP) 67%, menengah (SMA) 23%, dan

dengan pendidikan tinggi (>SMA) sebesar 4%. Jadi dapat

disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan ibu di desa penengahan

berpendidikan dasar (pendididkan SD dan SMP) sebanyak 67

orang dengan persentase yaitu sebesar 67%.

4.2.5. Pekerjaan Ayah

Page 59: BAB I Batita Fixs Sel

Tabel 5

Distribusi Pekerjaan Ayah

Kategori N %

PNS 1 1

Wiraswasta 18 18

Buruh 6 6

Petani 73 73

Lainnya 2 2

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden

di desa penengahan untuk kategori pekerjaan setiap kepala

keluarga di desa tersebut adalah sebagai berikut: PNS sebesar 1%,

buruh 6%, tani 73%, wiraswasta 18%, dan pekrjaan lainnya 2%.

Jadi dapat di simpulkan bahwa pekerjaan rata-rata kepala rumah

tangga di desa penengahan yaitu sebanyak 73 orang bekerja

sebagai petani dengan persentase sebesar 73%.

4.2.6. Pekerjaan Ibu

Tabel 6

Distribusi Pekerjaan Ibu

Kategori N %

Page 60: BAB I Batita Fixs Sel

Ibu rumah tangga 73 73

Wiraswasta 6 6

Petani 18 18

Lainnya 3 3

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden

di desa penengahan untuk kategori pekerjaan setiap ibu di desa

tersebut adalah sebagai berikut: ibu rumah tangga sebesar 73%,

petani 18%, wiraswasta 6%, dan lainnya 3%. Jadi dapat di

simpulkan bahwa pekerjaan rata-rata ibu di desa penengahan

yaitu73 orang sebagai ibu rumah tangga dengan persentase sebesar

73%.

4.2.7.Lantai Rumah

Tabel 7

Distribusi Keadaan Lantai Rumah

Kategori N %

Keramik 6 6

Semen 54 54

Kayu 5 5

Page 61: BAB I Batita Fixs Sel

Tanah 24 24

Lainnya 11 11

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden

di desa penengahan untuk kategori keadaan fisik lantai rumah di

desa tersebut adalah sebagai berikut: lantai keramik sebesar 6%,

lantai semen 54%, lanta kayu 5%, lantai tanah 24%, dan lainnya

11%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tiap rumah

didesa penengahan rata-rata berlantai semen dengan persentase

54%.

4.2.8. Dinding Rumah

Tabel 8

Distribusi Keadaan Dinding Rumah

Page 62: BAB I Batita Fixs Sel

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden di desa

penengahan untuk kategori keadaan fisik dinding rumah di desa tersebut adalah

sebagai berikut : dinding tembok sebesar35%, dinding batuu bata 30%, dinding

kayu 11%, dinding bamboo 18%, dan lainnya 5%. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa tiap rumah didesa penengahan rata-rata berdinding tembok

yaitu sebesar 35%.

4.2.9. Atap Rumah

Tabel 9

Distribusi Keadaan Atap Rumah

Kategori N %

Genteng 98 98

Seng 1 1

Kategori N %

Tembok 35 35

Batu bata 30 30

Kayu 11 11

Bambu 18 18

Lainnya 6 6

Total 100 100

Page 63: BAB I Batita Fixs Sel

Rumbia 1 1

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden di desa

penengahan untuk kategori keadaan fisik atap rumah di desa tersebut

adalah sebagai berikut: rumah yang memiliki atap genteng sebesar 98%

dan rumah yang memiliki atap rumbia dan seng masing-masing 1% .

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tiap rumah didesa penengahan

rata-rata beratap genteng dengan persentase 98%.

4.2.10. Ventilasi

Tabel 10

Distribusi Keadaan Ventilasi Rumah

Kategori N %

Baik 25 25

Cukup 48 48

Kurang 27 27

Total 100 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden di desa

penengahan untuk kategori ventilasi rumah di desa tersebut adalah sebagai

berikut: kategori ventilasi baik sebesar 25%,ventilasi cukup sebesar 48%,

Page 64: BAB I Batita Fixs Sel

ventilasi kurang sebesar 27%.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

tiap rumah didesa penengahan rata-rata telah memiliki ventilasi yang baik.

4.2.11. Pencahayaan

Tabel 11

Distribusi Pencahayaan Rumah

Kategori N %

Terang 70 70

Gelap 30 30

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa sistem

pencahayaan untuk setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai

berikut: untuk pencahayaan terang sebesar 70%, pencahayaan gelap

sebesar 30%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata rumah

penduduk di desa penengahan telah memiliki sistem pencahayaan yang

cukup terang yaitu sebesar 70%

4.2.12. Sumber Air Bersih

Tabel 12

Distribusi Air Bersih

Kategori N %

Page 65: BAB I Batita Fixs Sel

PAM 0 0

Sumur bor 14 14

Sumur gali Semen 72 72

Sumur gali tanah 14 14

Sungai 0 0

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa sistem

air bersih untuk setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai berikut:

untuk rumah dengan yang memiliki sumur bor sebesar 14%, sumur gali

semen sebesar 72%, sumur gali tanah sebesar 14%. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa rata-rata rumah pendududk di desa penengahan

memiliki sumur gali semen dengan persentasi sebesar 72%.

4.2.13. Jarak Jamban

Tabel 13

Distribusi Jarak Jamban

Page 66: BAB I Batita Fixs Sel

Kategori N %

< 10 meter 46 46

10 meter atau lebih 54 54

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa jarak

jamban untuk setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai berikut:

untuk jarak jamban kurang dari 10 meter sebesar 46% dan dengan jarak

lebih dari 10 meter sebesar 54%. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa penduduk yang jarak jambannya lebih dari 10 meter dari sumber air

bersih lebih besar dari penduduk yang jarak jambannya kurang dari 10

meter dengan perbandingan 27:23

4.2.14. Sistem Pembuangan sampah

Tabel 14

Distribusi Pembuangan Sampah

Kategori n %

Dibakar 74 74

Ditimbun 23 23

Lainnya 3 3

Total 100 100

Page 67: BAB I Batita Fixs Sel

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa sistem

pembuangan sampah setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai

berikut: sampah di bakar sebesar 74%, ditimbun 23%, dan lainnya 3%.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penduduk di desa penengahan

telah menggunakan sistem pembuangan sampah dengan cara di bakar yaitu

sebesar 74%.

4.2.15. Status Gizi (Indeks TB/U) Balita

Tabel 15

Distribusi Status Gizi (Indeks TB/U) Balita

Kategori n %

Sangat tinggi 4 4

Normal 62 62

Pendek 16 16

Sangat pendek 18 18

Total 100 100

Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut

indeks TB/U dengan 4 kategori, memiliki persentase sebagai berikut:

sangat tinggi sebesar 4%, normal 62%, pendek 16%, dan sangat pendek

18%. Sehingga dapat disimpulkan rata-rata balita di desa penengahan yang

Page 68: BAB I Batita Fixs Sel

berstatus gizi normal berdasarkan indeks TB/U telah mencapai angka

diatas 50%.

Berdasarkan data RISKESDAS 2007 persentase nasional, masalah pendek

dan sangat pendek pada balita secara nasional masih serius yaitu sebesar

36,8% sedangkan di Lampung mencapai 40%. Hal ini menunjukan bahwa

balita di desa Penengahan memiliki status gizi pendek dan sangat pendek

lebih rendah dibandingkan dengan kondisi nasional maupun kondisi di

Lampung.

4.2.16. Status Gizi (Indeks BB/U) Balita

Tabel 16

Distribusi Status Gizi (Indeks BB/U) Balita

Kategori N %

Berat badan lebih 2 2

Normal 84 84

Berat Badan Kurang 8 8

Berat Badan Sangat Kurang 6 6

Total 100 100

Page 69: BAB I Batita Fixs Sel

Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut

indeks BB/U dengan 5 kategori, memiliki persentase sebagai berikut: berat

badan lebih sebesar 2%, normal 84%, pendek 16%, berat badan kurang

8%, dan berat badan sangat kurang 6%. Sehingga dapat disimpulkan rata-

rata balita di desa penengahan yang berstatus gizi normal berdasarkan

indeks BB/U telah mencapai angka diatas 50% yaitu sebesar 84%.

Berdasarkan data RISKESDAS 2007 persentase nasional, masalah berat

badan kurang dan sangat kurang pada balita secara umum di Lampung

mencapai prevalensi 16,5%(mencapai target nasional perbaikan gizi 20%).

Hal ini menunjukan bahwa balita di desa Penengahan memiliki status gizi

menurut indeks BB/U untuk berat badan kurang dan berat badan sangat

kurang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi nasional maupun

kondisi di Lampung yaitu sebesar 14%.

4.2.17 Status Gizi (Indeks BB/TB) Balita

Tabel 17

Distribusi Status Gizi (Indeks BB/TB) Balita

Page 70: BAB I Batita Fixs Sel

Kategori N %

BB sangat lebih 3 3

BB lebih 7 7

Normal 83 83

BB kurang 5 5

BB sangat kurang 2 2

Total 100 100

Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut

indeks BB/TB dengan 5 kategori, memiliki persentase sebagai berikut:

berat badan sangat lebih sebesar 3%, berat badan lebih 7%, normal 83%,

berat badan kurang 5%, dan berat badan sangat kurang 2%. Sehingga

dapat disimpulkan rata-rata balita di desa penengahan yang berstatus gizi

normal berdasarkan indeks BB/TB telah mencapai angka diatas 50% yaitu

sebesar 83%.

Berdasarkan data RISKESDAS 2007 persentase nasional, masalah berat

badan kurang dan sangat kurang pada balita secara umum di Lampung

mencapai prevalensi 13,6%, sedangkan prevalensi nasional 10% sehingga

masih dianggap serius. Hal ini menunjukan bahwa balita di desa

Penengahan memiliki status gizi menurut indeks BB/TB untuk berat badan

kurang dan berat badan sangat kurang lebih rendah dibandingkan dengan

kondisi nasional maupun kondisi di Lampung yaitu sebesar 7%.

Page 71: BAB I Batita Fixs Sel

4.2.18 Status Gizi (Indeks IMT/U) Balita

Tabel 18

Distribusi Status Gizi (Indeks IMT/U) Balita

Kategori N %

Sangat gemuk 2 2

Gemuk 8 8

Resiko gemuk 16 16

Normal 66 66

Kurus 5 5

Sangat kurus 3 3

Total 100 100

Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut

indeks BB/U dengan 6 kategori, memiliki persentase sebagai berikut:

sangat gemuk 2%, gemuk 8%, resiko gemuk 16%, normal 66%, berat

badan kurus 5%, dan berat badan sangat kurus 3%,Sehingga dapat

disimpulkan rata-rata balita di desa penengahan yang berstatus gizi baik

Page 72: BAB I Batita Fixs Sel

berdasarkan indeks IMT/U telah mencapai angka diatas 50% yaitu sebesar

66%.

4.2.19 Jumlah Anggota Rumah Tangga

Tabel 19

Distribusi Jumlah Anggota Rumah Tangga

Kategori N %

Keluarga kecil 48 48

Keluarga besar 52 52

Total 100 100

Page 73: BAB I Batita Fixs Sel

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui terdapat

keluarga kecil sebesar 48% dan keluarga besar 52% dengan perbandingan

12:13.

4.2.20. Pendapatan Keluarga

Tabel 20

Distribusi Pendapatan Keluarga

Kategori N %

<umr Rp. 678000 55 55

>umr Rp. 678000 45 45

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa

pendapatan keluarga di desa penengahan diatas UMR sebesar 45% dan

dibawah UMR sebesar 55% angka ini menunjukan perbandingan yang

tidak signifikan yaitu 9:11 dengan selisih sebesar 10%.

Page 74: BAB I Batita Fixs Sel

4.2.21 Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Energi Balita

Tabel 21

Distribusi Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Energi Balita

Kategori N %

<80% AKG 52 52

>=80% AKG 48 48

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui asupan makan

untuk balita menurut angka kecukupan gizi (AKG) energi yaitu balita

dengan asupan energy kurang dari 80% sebesar 52% sedangkan balita

yang memperoleh asupan energy lebih dari 80% terdapat sebesar 48%

dengan demikian diperoleh perbandingan 13:12.

4.2.22 Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Protein Balita

Tabel 22

Distribusi Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Protein Balita

Kategori n %

<80% AKG 26 26

Page 75: BAB I Batita Fixs Sel

>=80% AKG 74 74

Total 100 100

Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui asupan makan

balita menurut angka kecukupan gizi (AKG), asupan protein balita yaitu

sebagai berikut: balita dengan asupan protein kurang dari 80% sebesar

26% sedangkan balita yang memperoleh asupan protein lebih dari 80%

terdapat sebesar 74% dengan demikian diperoleh perbandingan 13:37.

4.2.23. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Eksklusif

Tabel 23

Distribusi Pemberian ASI Eksklusif

Asi Eksklusif n %

Ya 36 36

Tidak 57 57

Tidak tahu 7 7

Total 100 100

Page 76: BAB I Batita Fixs Sel

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel 44 balita

(44%) berjenis kelamin laki-laki dan 56 balita (56%) berjenis kelamin

perempuan.

2. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa balita yang berusia 0-6 bulan sebanyak 14 balita (14%), berusia 7-

12 bulan sebanyak 19 balita, berusia 13-36 bulan sebanyak 41 balita dan

yang berusia 37-59 bulan sebanyak 26 balita.

3. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa status gizi balita menurut indeks BB/U yang berkategori kurang

sebanyak 8 balita (8%) dan kategori sangat kurang 6 balita (6%).

4. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa status gizi balita menurut indeks TB/U yang berkategori sangat

tinggi sebanyak 4 balita (4%), pendek sebanyak 16 balita (16%), dan

berkategori sangat pendek 18 balita (18%).

5. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa status gizi balita menurut indeks BB/TB yang berkategori berat

badan sangat lebih sebanyak 3 balita (3%), berkategori kurang 5 balita

(5%), dan berkategori sangat kurang sebanyak 2 orang (2%).

6. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa status gizi balita menurut indeks IMT/U yang berkategori sangat

gemuk 2 balita (2%), gemuk 8 balita ( 8%), resiko gemuk 16 balita (16%),

normal 66 balita (66%), berat badan kurus 5 balita (5%), dan berat badan

sangat kurus 3balita (3%).

7. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa konsumsi energi yang berkategori kurang sebanyak 52 balita (52%)

Page 77: BAB I Batita Fixs Sel

dan berkategori lebih sebanyak 48 balita(48%).

8. Balita di desa Penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui

bahwa konsumsi protein yang berkategori kurang sebanyak 26 balita

(26%) dan berkategori lebih sebanyak 74 balita (74%).

9. Pekerjaan ayah balitayang menjadi sampel di desa Penengahan,

berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 1orang (1%) bekerja sebagai

PNS, buruh 6 orang (6%), petani 73 orang (73%), wiraswasta 18 orang

(18%) dan pekerjaan lainnya sebanyak 2 orang (2%).

10. Pekerjaan ibu balita yang menjadi sampel di desa Penengahan,

berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 73 orang sebagai ibu rumah

tangga (73%), petani 18 orang (18%), wiraswasta sebanyak 6 orang (6%)

dan lainnya 3 orang (3%).

11. Usia ayah balita yang menjadi sampel di desa Penengahan, berdasarkan

data yang diperoleh sebanyak 40 orang (40%) berusia antara 20 sampai

dengan 30 tahun dan 60 (60%) orang berusia diatas 30 tahun.

12. Usia ibu balita yang menjadi sampel di desa Penengahan, berdasarkan data

yang diperoleh sebanyak 2 orang (2%) berusia kurang dari 20 tahun,

berusia antara 20 sampai dengan 30 tahun sebanyak 66 orang (66%), dan

32 orang (32%) berusia diatas 30 tahun.

13. Pendidikan ayah balita yang menjadi sampel di desa Penengahan,

berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 4orang (4%) tidak tamat SD, 60

orang (60%) berpendidikan dasar (SD dan SMP), 30 orang (30%)

berpendidikan menengah (SMA), dan 6 orang (6%) berpendidikan tinggi

(>SMA).

14. Pendidikan ibu balita yang menjadi sampel di desa Penengahan,

berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 6 orang (6%) tidak tamat SD,

67 orang (67%) berpendidikan dasar (SD dan SMP), 23 orang (23%)

berpendidikan menengah (SMA), dan 4 orang (4%) berpendidikan tinggi

(>SMA).

15. Pendapatan keluarga balita yang menjadi sampel di desa Penengahan

untuk kategori pendapatan keluarga dibawah UMR terdapat 55 keluarga

(55%) dan diatas UMR terdapat 45 keluarga (45%).

Page 78: BAB I Batita Fixs Sel

16. Jumlah anggota keluarga di desa Penengahan untuk kategori keluarga kecil

terdapat 48 keluarga (48%) dan kategori keluarga besar 52 keluarga

(52%).

17. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki ventilasi udara untuk

kategori baik sebanyak 25 rumah (25%), kategori cukup 48 rumah (48% ),

dan kategori kurang sebanyak 27 rumah (27%).

18. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki pencahayaan untuk

kategori terang

sebanyak 70 rumah (70%) dan kategori gelap sebanyak 30 rumah (30%).

19. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki sumber air bersih yang

menggunakan sumur bor sebanyak 14 rumah (14%), sumur gali semen

sebanyak 72 rumah (72%), sumur gali tanah sebanyak 14 rumah (14%)

dan yang menggunakan sumber air bersih berasal dari PAM dan sungai

tidak ada.

20. Keluarga balita di desa Penengahan yang ditinjau dari keadaan fisik lantai

rumahnya untuk kategori lantai keramik sebanyak 6 rumah (6%), semen

sebanyak 54 rumah (54%), kayu sebanyak 5 rumah (5%), tanah sebanyak

24 rumah (24%) dan untuk kategori lainnya sebanyak 11 rumah (11%).

21. Keluarga balita di desa Penengahan yang ditinjau dari keadaan fisik

dinding rumahnya untuk kategori dinding tembok sebanyak 35 rumah

(35%), batu bata sebanyak 30 rumah (30%), kayu sebanyak 18 rumah

(18%), bambu sebanyak 11rumah (11%) dan untuk kategori lainnya

sebanyak 6 rumah (6%).

22. Keluarga balita di desa Penengahan yang ditinjau dari keadaan fisik atap

rumahnya untuk kategori atap genting sebanyak 98 rumah (98%), atap

seng sebanyak 1 rumah (1%), dan atap rumbia sebanyak 1rumah (1%) .

23. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki system pembuangan

sampah dengan cara di bakar sebanyak 74 rumah (74%), ditimbun

sebanyak 23 rumah (23%) dan dengan cara yang lainnya sebanyak 3

rumah (3%).

24. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki jarak jamban kurang

Page 79: BAB I Batita Fixs Sel

dari 10 mater dari sumber air bersih sebanyak 46 rumah (46%) dan yang

berjarak lebih dari 10 meter dari sumber air bersih sebanyak 54 rumah

(54%).

25. Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa ibu balita di

desa Penengahan yang tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 57 orang

(57%) , yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 36 orang (36%) dan

terdapat 7 orang yang belum tahu (usia bayi belum mencapai 6 bulan).

Berdasarkan data diatas yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 36 orang (36%), yang tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 57 orang (57%), dan yang belum diketahui (usia balita belum mencapai 6 bulan) sebanyak 7 orang (7%). Berdasarkan standar nasional dalam penelitian Amiruddin Ridwan dan kawan-kawan 2006 pemberian ASI Eksklusif yang telah ditetapkan yaitu sebesar 80 %, hal ini menunjukkan bahwa pemberian ASI Eksklusif di desa Penengahan lebih rendah dari standar nasional.

Page 80: BAB I Batita Fixs Sel