bab i pendahuluanmedia.unpad.ac.id/thesis/110620/2008/110620080124_1_4013.pdf · bab i pendahuluan...
TRANSCRIPT
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
secara materiil dan spiritual, serta merupakan upaya yang berkesinambungan dengan
memanfaatkan segala sumber daya alam yang terkandung di dalam kawasan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan
bahwa Negara memiliki hak untuk menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya atau dikenal dengan istilah
“Hak Menguasai dari Negara.”
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak
menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa
-
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Hak menguasai tanah oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan
tertentu untuk penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA
digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan
hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah, dan pengaturan hubungan hukum
antara orang dan perbuatan hukum.1 Ketiga hal tersebut adalah merupakan intisari dari
pengaturan UUPA Pasal 2 ayat (2) yang menyangkut kewenangan yang diturunkan
oleh Negara kepada Pemerintah.
Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang
otoritasnya menimbulkan tanggungjawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain,
rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang
melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu
dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.
Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung
jawab.2
Hak milik merupakan esensi dari keberadaan Hak Asasi Manusia yang dimiliki
setiap individu masyarakat. Hak milik terhadap sesuatu hal (objek tertentu) berkaitan
1 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti,
Jakarta, 2007 ,hlm. 46-47 2 Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar Maju,
Bandung, 2006, hlm. 85
-
erat dengan hak manusia yang fundamental, tolok ukur dalam penentuan hak manusia
yang fundamental atau hak dasar manusia dapat ditentukan melalui : 3
1. Hak yang bersifat kodrati sebagai karunia Tuhan;
2. Hak yang terkait dengan kelangsungan eksistensi manusia;
3. Hak yang bersifat universal.
Hak milik tersebut merupakan salah satu penjabaran di dalam penentuan hak
yang dimiliki setiap manusia yaitu Hak Asasi Manusia yang diatur di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Batang Tubuh
khususnya pengaturan hak yang bersifat sosial terdapat di dalam Pasal 24, Pasal 27,
Pasal 31, dan Pasal 33.4
Ketentuan mengenai penguasaan atas tanah dijabarkan di dalam ketentuan
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penjabaran lebih lanjut ditegaskan di dalam
ketentuan Pasal 9 Ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa hanya Warga Negara
Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air
dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 UUPA tersebut di atas,
serta ketentuan Pasal 21 UUPA yang dengan tegas menyatakan bahwa hanya WNI
dan badan-badan hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat memiliki
tanah dengan hak milik atas tanah. Hal ini menunjukan bahwa selain WNI dan Badan
Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah tidak dapat memiliki hak terhadap
kepemilikan tanah yang berada di wilayah Republik Indonesia. Akan tetapi Warga
3 Krisna Harahap, Kebebasan Pers di Indonesia, Grafiti Budi Utami, Bandung, 2000, hlm. 88
4 Ibid.
-
Negara Asing (WNA) yang menetap di Indonesia masih memiliki kesempatan untuk
memiliki rumah atau hunian yang berada di wilayah Republik Indonesia.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang
Pemilikan Rumah Tempat tinggal Atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di
Indonesia, selanjutnya disebut PP 41 Tahun 1996. PP 41 Tahun 1996 yang kemudian
menjadi dasar bagi pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga Negara
asing di Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) PP 41 Tahun 1996 orang asing yang
berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau
hunian dengan hak atas tanah tertentu. Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat
dimiliki oleh orang asing adalah rumah yang berdiri sendiri yang dikuasai berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanah dan satuan rumah susun yang dibangun di
atas bidang tanah hak pakai atas tanah Negara (Pasal 2 PP 41 Tahun 1996). Menurut
Pasal 1 Ayat (2) PP 41 Tahun 1996, orang asing yang berkedudukan di Indonesia
dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) PP 41 Tahun 1996 adalah orang asing yang
kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Bagi Warga Negara Asing (WNA) hanya diperbolehkan menguasai hak atas
tanah dengan status hak pakai. Dasar dari penguasaan tanah oleh WNA dan Badan
Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah
diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan
Hak Pakai atas tanah, selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996.
Penguasaan rumah hunian hak atas tanah dengan status hak pakai oleh WNA
erat kaitannya dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT karena
-
kepemilikan rumah hunian yang dapat dimiliki oleh WNA yang dibuat berdasarkan
perjanjian harus dibuat di hadapan PPAT sebagai pejabat yang berwenang.
Sedangkan penguasaan rumah hunian hak atas tanah dengan status hak milik oleh
WNA erat kaitannya dengan Notaris.
Menurut Djuhaendah Hasan dalam Disertasinya dikatakan bahwa tanah
dimungkinkan dibagi secara horizontal, dalam pengertian pemilik tanah belum tentu
pemilik bangunan yang didirikan di atasnya, demikian juga bangunan yang berada
ditingkat yang lebih atas. Tentunya hal tersebut memerlukan deskripsi yang lebih luas
lagi. Namun dengan diberlakukannya azas horizontal, yang telah dikenal dalam hukum
adat, permasalahan yang timbul dalam hukum pertanahan dan perumahan dapat
terpecahkan.5
Namun pada pelaksanaannya masih ditemukan berbagai permasalahan yang
timbul sehubungan dengan penguasaan hak atas tanah dengan status hak pakai oleh
WNA melalui perjanjian tersebut. Salah satu diantaranya adalah kepemilikan hak atas
tanah secara terselubung yang merupakan bentuk kepemilikan hak atas tanah yang
secara formal diatasnamakan orang lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Bentuk
perjanjianya ada yang secara lisan dan ada pula yang tertulis yang dibuat dihadapan
notaris. Hal seperti ini dilakukan oleh WNA yang ingin memperoleh hak milik atas tanah
di Indonesia, tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. Ketika
WNA melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan WNI
sebagai pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan, maupun ketika WNI
memberikan kewenangan melalui Surat Kuasa kepada WNA untuk menguasai dan
5 Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan
Pertanahan Di Indonesia, Reflika Aditama, Bandung, 2006, Hlm. 32
-
melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif
tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama WNI, tetapi penguasaan fisik tanah hak
milik tersebut dikuasai oleh WNA.
Berdasarkan pemaparan di atas tampak bahwa diperlukannya peran para
Notaris-PPAT sebagai pejabat umum pembuat akta otentik dalam rangka mengurangi
penyalahgunaan hak atas tanah yang dilakukan oleh WNA terhadap tanah-tanah yang
berada di wilayah Negara Republik Indonesia, mengingat Notaris-PPAT sebagai
pejabat umum yang menjalankan sebagian tugas pemerintah dalam hal pembuatan
akta otentik seyogyanya memahami bahwa negara Republik Indonesia adalah negara
hukum (rechtstaat) berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan menjamin
kepastian hukum, ketertiban umum dan perlindungan hukum yang berintikan kepada
nilai-nilai kebenaran dan keadilan, khususnya Asas Nasionalitas yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA.
Sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang melakukan penelitian yang
dituangkan dalam bentuk tesis mengenai kewenangan Notaris-PPAT dalam pembuatan
akta perjanjian tentang kepemilikan rumah bagi kepentingan orang asing terkait
dengan Asas Nasionalitas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Adapun 2 tesis yang mempunyai kemiripan
dengan masalah yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Judul Tesis : “Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Yang Berkaitan
Dengan Pertanahan Setelah Berlakunya Jabatan Notaris Dikaitkan Dengan
Kedudukan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)”. Oleh
Suparto, Program Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran, Nomor
-
Pokok Mahasiswa 1106.2008.0004. penulisan ini lebih menitikberatkan pada
Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sehingga
membawa dampak terhadap kedudukan Camat sebagai PPATS Pembuat
Akta Tanah (PPAT)
2. Judul Tesis : “Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Yang Berkaitan
Dengan Pertanahan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris dihubungkan dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah”.
Oleh Septi Notariana, Program Magister Kenotariatan Universitas
Padjadjaran, Nomor Pokok Mahasiswa L2N.04.006. Penulisan ini lebih
menitikberatkan pada Pejabat yang berwenang membuat akta-akta yang
dapat dijadikan alas hak dalam pendaftaran Hak Atas Tanah.
Kedua tesis tersebut berbeda dengan tesis yang ditulis oleh penulis.
Dalam tesis ini penulis lebih menitikberatkan pada kewenangan Notaris-PPAT dalam
pembuatan akta-akta perjanjian atas tanah dan bangunan yang dimiliki oleh Warga
Negara Asing.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penulis terdorong untuk memberi
judul tesis dengan judul : “KEWENANGAN NOTARIS-PPAT DALAM PEMBUATAN
AKTA PERJANJIAN KEPEMILIKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL/HUNIAN BAGI
KEPENTINGAN ORANG ASING TERKAIT DENGAN ASAS NASIONALITAS
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN
DASAR POKOK-POKOK AGRARIA”
B. Identifikasi Masalah
-
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba untuk membatasi permasalahan
dengan identifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan Notaris-PPAT dalam pembuatan akta perjanjian
kepemilikan rumah tempat tinggal bagi kepentingan WNA sebagaimana diatur
dalam PP No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Oleh
Orang Asing dihubungkan dengan asas nasionalitas dalam UUPA?
2. Bagaimana tindakan notaris-PPAT dalam mencegah pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh WNA dalam penguasaan hak atas tanah dan
bangunan di wilayah Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai kewenangan
Notaris-PPAT dalam pembuatan akta perjanjian terhadap kepemilikan rumah
tempat tinggal bagi kepentingan WNA sebagaimana diatur dalam PP No. 41
Tahun 1996 Tentang Pemilikan rumah tempat tinggal Oleh Orang Asing
dihubungkan dengan asas nasionalitas dalam UUPA.
2. Untuk memperoleh masukkan dan pengetahuan mengenai langkah yang
harus ditempuh oleh Notaris-PPAT dalam mencegah pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh WNA dalam penguasaan tanah dan
bangunan di wilayah Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
-
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan memberikan
kegunaan, antara lain sebagai berikut :
1. secara teoritis :
a. Turut memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha turut
mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan Pengaturan mengenai
Pelaksanaan Tertib Hukum Pertanahan pada khususnya.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dalam kegiatan akademik dan non
akademik.
2. secara Praktis :
a. Memberikan pandangan kepada masyarakat khususnya Warga Negara
Asing mengenai pengaturan yang seharusnya terhadap Pemilikan Tanah
dan Bangunan Oleh Orang Asing dihubungkan dengan asas nasionalitas
dalam UUPA.
b. Memberikan pemahaman bagi Notaris-PPAT dalam rangka mencegah
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara asing dalam
penguasaan atas tanah dan bangunan di wilayah indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
secara materiil dan spiritual, serta merupakan upaya yang berkesinambungan.
Pembangunan nasional di dalamnya mencakup pula pembangunan hukum dalam
upaya menciptakan keadilan sosial dan ketertiban umum yang dilandasi asas kepastian
hukum. Pembangunan Hukum nasional yang dilaksanakan di Indonesia mengacu pada
-
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 selanjutnya ditulis UUD 1945 yang telah
mengalami empat kali amandemen dan dalam Bab I Pasal 1 Ayat (3) disebutkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum
(rechtsstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan (machtsstaat), artinya Indonesia
mengakui dan menganut faham kedaulatan hukum. Dalam negara hukum modern
tugas pokok negara tidak saja terletak pada pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai
keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat.6
Tujuan yang hendak dicapai tidak terlepas dari falsafah Negara Indonesia yaitu
Pancasila. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, tanpa terkecuali baik
itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pancasila diakui sebagai norma hukum
(rechtsnorm) yang tertinggi atau dikenal sebagai suatu norma hukum
(staatsfundamentalnorm), yaitu suatu aturan, pola dasar atau standar yang harus diikuti
atau ditaati serta mempunyai daya paksa, bersifat mengatur atau memerintah
(imperatif).7
Menurut Mochtar Kusumaatmadja yang mengemukakan bahwa fungsi pokok
hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat adalah sebagai upaya untuk
mencapai ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya
suatu masyarakat yang teratur. Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah
tercapainya keadilan yang tergantung pada ukuran menurut masyarakat dan
zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diupayakan adanya
6 Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982,
halaman 71. 7 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Telaah Kritis
Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat, Alumni, Bandung, hlm. 137
-
kepastian dalam pergaulan dalam masyarakat.8 Sejalan dengan hal tersebut, Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan
masyarakat, yang didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban
dalam usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan suatu yang diinginkan atau
bahkan dipandang (mutlak) perlu.9 Pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai penganut aliran Pragmatic
Legal Realism yang berpandangan bahwa fungsi hukum merupakan upaya untuk
mencapai suatu tujuan dalam masyarakat, oleh karena itu hukum adalah alat
pembaharuan dalam masyarakat (law as tool of social engineering).10
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat tidak saja meliputi kaidah dan
norma, terdapat pula lembaga dan proses yang dapat dijadikan sebagai sarana
penunjang di dalam pelaksanaan pembangunan hukum di Indonesia. Lembaga dan
proses yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu lembaga pertanahan nasional yang
pengaturannya didasari oleh kaidah-kadah dan norma-norma yang berkembang di
dalam masyarakat yang diundangkan kedalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 20, selanjutnya disebut UUPA. Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPA
menegaskan bahwa:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia
8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
Bandung, 1995, hlm. 3, 9 Ibid.
10 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 83,
menyatakan bahwa : konsep social engineering disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Konsep ini merupakan inti dari pemikiran aliran Pragmatikal Legal Realism yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Indonesia.
-
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.” Ketentuan pasal tersebut lebih lanjut dijabarkan di dalam ketentuan Pasal 2
UUPA yang menentukan bahwa :
(1) “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.” Penjelasan umum bagian ke II UUPA menjabarkan mengenai hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam
hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada
tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.
Lebih lanjut ditegaskan di dalam UUPA bahwa hak milik tidak dapat dipunyai
oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang dengan
ancaman batal demi hukum.
Orang-orang asing hanya dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luas
dan jangka waktunya terbatas. Peraturan mengenai asas perlindungan ini diatur dalam :
-
1. Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa hanya
WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
2. Pasal 21 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa hanya WNI dan badan-
badan hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat memiliki
hak atas tanah.
3. Bagi mereka yang mempunyai status WNA hanya diperbolehkan menguasai
hak atas tanah dengan status hak pakai. Hal ini diatur di dalam Pasal 41 dan
Pasal 42 UUPA dan diatur lebih lanjut dalam PP 40 Tahun 1996,
menegaskan bahwa WNA yang berkedudukan di Indonesia atau BHA yang
memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai, Dengan demikian
tidak dibenarkan WNA maupun BHA memiliki tanah dan bangunan dengan
status Hak Milik, hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA.
4. PP 41 Tahun 1996 yang mengatur tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau hunian oleh WNA. Substansi PP 41 Tahun 1996, meliputi antara lain :
a. WNA yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1
rumah tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak
Pakai.
b. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP) tersebut dapat berasal
dari HP atas Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik
(HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik.
-
c. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak Milik (HM) ini diberikan
dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan
Sertifikat Hak Milik atas tanah.
Dalam PP 41 Tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai
rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberikan
manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu
rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun,
yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk
jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak
guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat
diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir.
Hak Pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat
diperbarui untuk jangka waktu 20 (duapuluh) tahun dengan ketentuan orang asing
tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu 25 (duapuluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah
tidak kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat
orang asing untuk membeli rumah di Indonesia. Namun demikian UUPA tidak menutup
sama sekali kesempatan WNA dan BHA untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia.
Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas,
yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini,
semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi
ekonomi, sosial, politis dan dari sudut Hankamnas untuk menciptakan asas
perlindungan bagi warga negara Indonesia dalam hal memiliki hak milik atas tanah.
-
Asas tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran WNA dalam pembangunan
Nasional. Indonesia sebagai Negara berkembang masih sangat membutuhkan investasi
asing. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek
dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi WNA yang ingin memperoleh
hak atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan, diantaranya PP No.
40 Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996, dan PMNA/KBPN No. 7 Tahun 1996
Jo.PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan
Pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan WNA yang
berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan status Hak Pakai.
Berbagai ketentuan mengenai pengertian Warga Negara Asing menurut Undang-
undang, antara lain :
a. Ketentuan Pasal 1 Huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 Tentang
Penempatan Tenaga Asing, yang mendefinisikan Orang Asing adalah tiap orang
bukan warga negara Republik Indonesia;
b. Ketentuan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang
Keimigrasian, yang mendefinisikan Orang Asing adalah orang bukan Warga
Negara Republik Indonesia;
c. Ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan, yang mendefinisikan Orang Asing adalah orang
bukan Warga Negara Republik Indonesia;
d. Ketentuan Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian, yang mendefinisikan Orang Asing adalah orang yang bukan
Warga Negara Republik Indonesia.
-
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas menegaskan bahwa Warga Negara Asing
adalah orang asing yang bukan merupakan warga Negara Republik Indonesia.
Sehingga perolehan hak atas tanahnya tunduk pada ketentuan yang telah di atur oleh
UUPA.
Perolehan hak atas tanah oleh WNA tidak terlepas dari peran Notaris-PPAT
sebagai pejabat umum pembuat akta otentik, peran Notaris-PPAT dalam pelaksanaan
perolehan hak atas tanah oleh WNA adalah dengan membuat perjanjian.
Pengertian Notaris sebagai pejabat umum tercantum dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN):
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.”
Kewenangan Notaris membuat akta otentik harus dipahami bahwa Notaris
membuat akta otentik apabila hal itu diminta atau dikehendaki oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, untuk kemudian dinyatakan dalam suatu akta otentik. Akta adalah bukti
adanya perbuatan hukum pihak-pihak, bukan notaris yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan. Perbuatan hukum dari pihak-pihak itu misalnya membuat
perjanjian diantara pihak-pihak11.
Sementara itu pengertian PPAT Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 24
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP
Pendaftaran Tanah) jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP PPAT) dijelaskan bahwa :
11
GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta 1999, hlm 39.
-
“Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.”
Berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan bahwa akta-akta yang dibuat oleh
atau di hadapan Notaris maupun PPAT merupakan akta otentik, karena di dalam
ketentuan mengenai akta otentik yang terdapat di dalam Pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUH Perdata menentukan :
“Akte Otentik adalah akte yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut
hukum, oleh atau di hadapan pejabat-pejabat umum, yang berwenang untuk
berbuat demikian itu, di tempat di mana akte itu dibuat.”12
Pasal 9 UUPA menentukan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang dapat
memperoleh hak milik atas tanah, dengan kata lain sebagai pemegang hak, ditegaskan
di dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan
bahwa : “Pemegang Hak adalah orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas
tanah, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atau Hak Pengelolaan, atau nadzir dalam
hal tanah wakaf, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.” Dari kedua
ketentuan tersebut tercermin adanya Prinsip Nasionalitas terhadap kepemilikan tanah di
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 jo Pasal 6 ayat (1) PP Pendaftaran Tanah
ditentukan bahwa pelaksanaan Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan
12
Soegondo Notodisoerjo R., Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm 42.
-
Pertanahan Nasional yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Ketentuan Pasal
6 ayat (2) PP Pendaftaran menentukan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah,
Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
Tujuan Pendaftaran Tanah berdasarkan UUPA adalah dalam rangka
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun, hak tanggungan dan hak-hak lain yang
didaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan serta terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dalam rangka
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah
agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan. Dengan demikian maka
secara umum tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah (rechtskadaster).
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mengggambarkan fakta-fakta yang
ada dan menganalisis peraturan-peraturan yang berlaku dikaitkan dengan teori
hukum dan praktik mengenai kewenangan Notaris-PPAT dalam pembuatan akta
perjanjian terhadap hak atas tanah dan bangunan bagi kepentingan WNA.
2. Metode Pendekatan
-
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengkaji data kepustakaan
atau yang disebut data sekunder dan
pelaksanaannya dalam praktik, khususnya mengenai Hukum Pertanahan di
Indonesia.
3. Tahap Penelitian
Penelitian terhadap tesis dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu :13
a. Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menelusuri
data sekunder yang berupa :
1) bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :
a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b) KUHPerdata
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah
f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat tinggal Atau Hunian oleh Orang
Asing Yang Berkedudukan di Indonesia
13
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm.18.
-
g) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
h) Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan-bahan
hukum primer seperti hasil penelitian dan karya ilmiah para ahli.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus bahasa dan
kamus hukum.
b. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian Lapangan dilakukan guna mendapatkan data primer sebagai
pendukung bagi analisis hasil penelitian. Penelitian Lapangan dilakukan pada
lembaga-lembaga terkait dengan permasalahan, antara lain : Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Jawa Barat, Kantor Notaris-PPAT.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah :
a. studi dokumen yaitu mengumpulkan dan menganalisis data sekunder
mengenai objek penelitian.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab untuk memperoleh data primer
secara langsung dengan responden yang terdiri dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Pejabat serta Pegawai Kantor
-
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, Pegawai Kantor
Notaris-PPAT
5. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara Yuridis Kualitatif, yaitu analisis yang dipakai tanpa
menggunakan rumus statistika dan matematika artinya disajikan dalam bentuk
uraian dan konsep. Kemudian hasil analisis akan dipaparkan secara deskripsi,
dengan harapan dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai
kewenangan Notaris-PPAT dalam pembuatan akta perjanjian terhadap hak atas
tanah dan bangunan bagi kepentingan WNA berdasarkan bahan-bahan hukum
yang ada, baik bahan hukum primer maupun sekunder, sehingga diperoleh
gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan-permasalahan yang diteliti.
6. Lokasi Penelitian
Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh penulis antara lain
dari :
a. Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran,
b. Perpustakaan Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
d. Perpustakaan Kantor Wilayah Pertanahan Provinsi Jawa Barat.
e. Kantor Notaris PPAT di Kota Bandung.