bab 4 geologi .docx

Upload: idha-08

Post on 09-Oct-2015

196 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

PT. MAHAYASASTUDI KELAYAKANPLTM PONJU, KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH - INDONESIA

BAB IVSTUDI GEOLOGI

4.1. UMUMKegiatan studi dengan maksud untuk mendapatkan gambaran kondisi geologi dan geoteknik yang lebih akurat pada rencana lokasi PLTM melalui pemetaan dan pengujian geologi agar dapat diketahui informasi teknis penting mengenai potensi sesar aktif dan lapisan tanah, sedangkan dari informasi geoteknik dapat diketahui dayadukung tanah untuk pondasi, kedalaman lapisan batuan, sifat fisik dan dinamis tanah untuk konstruksi bangunan, sehingga dapat digunakan untuk perhitungan stabilitas.Tujuannya adalah untuk memberikan masukan kepada pengembang, dalam rangka perencanaan disain untuk rencana pelaksanaan pekerjaan Pembangunan PLTM PONJU, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

4.2. LOKASI PEKERJAANRencana lokasi PLTM PONJU terletak di sungai Balukan Desa BALUKANG, terletak pada Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk lebih jelasnya lokasi daerah penyelidikan dapat dilihat pada Peta Lokasi Proyek Gambar 4.1.

4.3. LINGKUP PEKERJAANMelaksanakan pekerjaan Pemetaan Geologi Permukaan lokasi bendung, sandtrap, sepanjang waterway, penstock dan lokasi powerhouse.[Pick the date]

Page IV-45

Page 2

Page IV-4

4.4. BAHAN REFERENSI STUDIStudi yang pernah dilaksanakan dan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan ini adalah :1. Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, sekala 1 : 250.000, yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Gambar 4.1 Peta Lokasi dan Daerah Kesampaian PLTM PONJU

4.5. PEDOMAN REFERENSI YANG DIGUNAKANPedoman dan referensi yang akan digunakan sebagai dasar pelaksanaan pekerjaan adalah sebagai berikut:1. Development of Seismic Hazard Maps of Indonesia for Revision of Hazard Map in SNI 03-1726-2002, by Masyhur Irsyam (Civil Engineering ITB), Wayan Sengara (Civil Engineering ITB), Fahmi Aldiamar (Highway Institude PU), Sri Widiantoro (Geophysic ITB), Wahyu Triyoso (Geophysic ITB), Danny Hilman (Geotechnology LIPPI), Engkon Kertapati (Geology Research Center), Irwan Meilano (Geodetic ITB), Suhardjono (Geophysic BMKG), M Asrurifak (Civil Engineering ITB), M Ridwan (Human Settlements Research Institute PU), Bandung July 1, 2010.2. Bendungan Type Urugan, Dr. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda, tahun 1977.3. Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, Ir. Suyono Sosrodarsono, Kenzuto Nakazawa, tahun 1980.4. Buku Pedomen Kelayakan Hidrologi Pembangunan PLTMH (Buku 2A), Kerjasama antara Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan United Nations Development Programme (UNDP), Jakarta Mei 2009.5. Buku Pedoman Studi Kelayakan Sipil Pembangunan PLTMH (Buku2B), Kerjasama antara Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan United Nations Development Programme (UNDP), Jakarta Mei 2009.6. Buku Pedoman Elektrikal Pembangunan PLTMH (Buku 2C), Kerjasama antara Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan United Nations Development Programme (UNDP), Jakarta Mei 2009.

4.6. INVESTIGASI GEOLOGIHasil investigasi geologi yang akan diperoleh yaitu :1. Gambaran kondisi geologi / geoteknik lokasi rencana PLTM (batuan pondasi

Poros Bendung (Damsite), batuan pondasi rencana Waterway, Headpond, Penstock dan batuan pondasi Bangunan Rumah Pembangkit (Powerhouse) berupa peta dan profil geologi (geoteknik) yang mencerminkan kedalaman, jenis batuan kondisi batuan, tingkat kekerasan batuan dan ketebalan tanah pelapukan.2. Penentuan lokasi pengambilan dan ketersediaan material bahan konstruksi yang berupa batu dan pasir.3. Parameter tanah dan batu untuk keperluan desain perencana yaitu menentukan daya dukung, kesetabilan pondasi, kestabilan lereng dan koefisien rembesan.4. Nilai koefisien kegempaan untuk perhitungan kestabilan dinamik.

4.7. KEGIATAN PEKERJAAN GEOLOGI

4.7.1. Tahap Penyelidikan GeologiTahap penyelidikan geologi ini yang meliputi Pekerjaan Peninjauan Lapangan, Studi Peta Geologi Regional, Studi Laporan Terdahulu, Pemetaan Geologi Permukaan, serta Analisis Geoteknik dan Pembuatan Laporan.4.7.2. Penyelidikan GeologiPenyelidikan Geologi Permukaan dilaksanakan dalam rangka untuk mendapatkan data geologi permukaan pada lokasi rencana bangunan PLTM dengan cara pengamatan lapangan (pemetaan geologi) dan analisa dari singkapan batuan.Pada penyelidikan geologi permukaan ini juga mencakup pemetaan geologi, pemetaan potensi adanya tanah longsor, pemetaan adanya potensi sesar aktif serta pengamatan sebaran bahan bangunan yang terdapat disepanjang sungai, daerah bantaran dan daerah perbukitan.

4.7.3. Metode Pelaksanaan Pekerjaan

1. Prosedur Pemetaan GeologiMetode Penyelidikan Geologi Permukaan dilaksanakan secara konvensional dengan sistem lintasan penyusuran sungai, pemotongan bukit dan mengikuti jalan setapak yang sudah ada. Pengamatan dilakukan pada singkapan batuan yang

terdapat pada lintasan dengan melakukan diskripsi petrologis dan pengukuranunsur geologi lainnya seperti kekar dan tingkat pelapukan dari batuan. Disamping dengan penjelajahan medan secara rinci dilakukan pula pemetaan geologi secara tinjau untuk pencarian lokasi borrow area dan quarry site yang lebih dekat dan ekonomis sesuai dengan lokasi rencana PLTM. Pemetaan konsep geologi ditunjang pula dengan referensi Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, sekala 1 : 250.000, yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.Pekerjaan ini akan mempergunakan peralatan seperti kompas geologi, palu geologi, kaca pembesar, pita ukur, altimeter, HCL 0,1N dan peta topografi dasar dengan skala 1 : 25.000. Sedangkan Pengamatan geologi permukaan (pemetaan geologi) meliputi :a. Morfologi yaitu bentuk lembah, bentuk bukit, pola aliran sungai, gradien sungai dan lain-lain.b. Stratigrafi Lokal yaitu susunan dan jenis batuan yang ada pada disekitar calon bangunan pembangkit listrik.c. Struktur Geologi seperti kekar, sesar dan bidang perlapisan.d. Stadia Erosi dan Tingkat Pelapukan Batuan.e. Perkiraan Daya Dukung dan Tingkat Permeabilitas Batuan Pondasi.f. Pengukuran jurus dan kemiringan bidang perlapisan batuan dilakukan pada singkapan batuan yang mempunyai kemiringan jelas.g. Pengukuran jurus dan kemiringan kekar termasuk jenis dan isian kekar.h. Deskripsi singkapan batuan pada setiap lokasi pengamatan.i. Pengukuran dan pencatatan adanya rembesan / sumber air tanah (sping).j. Pengukuran kedalaman sumur gali (kalau ada)

Hasil akhir dari pemetaan geologi permukaan ini akan disajikan dalam bentuk peta geologi teknik dan profil geologinya, baik lokasi bendung, saluran pembawa, headpond, penstock dan lokasi rumah pembangkit.

4.8. KONDISI GEOLOGI DAN GEOTEKNIK

4.8.1. Geologi RegionalSecara regional daerah penelitian merupakan bagian dari kawasan Indonesia Timur, yang secara geologi memiliki karakteristik yang lebih kompleks dan rumit bila dibandingkankan dengan kawasan Indonesia Barat. Ini dikarenakan kawasan timur Indonesia merupakan pertemuan dari lempeng-lempeng litosfera : Eurasia yang relatif stabil di bagian baratlaut, Lempeng Indo-Australia di bagian barat dan baratdaya yang bergerak relatif ke timurlaut, Lempeng Pasifik di bagian timur yang bergerak ke barat laut dan Lempeng Filipina Barat di bagian timurlaut yang bergerak ke arah barat. Bagian timurlaut Sulawesi merupakan akibat perputaran searah jarum jam dari lempeng kecil bagian baratdaya Sulawesi dan Kalimantan pada masa lalu yang diikat pada bagian baratdaya oleh sistem busur pada sesar-sesar mendatar mengiri, dan penolakan dasar laut Sulawesi di utara oleh adanya penujaman di Parit Sulawesi Utara. Sesar-sesar Palu dan Matano keduanya merupakan sesar-sesar aktif yang merupakan bagian dari satu sistim sesar, meskipun hubungan antara keduanya belum dapat dibuktikan. Berdasarkan data seismik yang ada, zona seismik benioff memiliki kemiringan ke arah selatan dari parit Sulawesi Utara sedangkan gunungapi aktif Una-una, terletak antara Lengan Utara dan Lengan Timur Sulawesi, yang kemungkinan merupakan hasil dari sistim penujaman ini.Secara regional orogenesa pada Pulau Sulawesi mulai berlangsung sejak Zaman Trias, terutama pada Mandala Banggai Sula yang merupakan Mandala Tertua, sedangkan pada Mandala Geologi Sulawesi Timur dimulai pada Kapur Akhir atau Awal Tersier. Perlipatan yang kuat menyebabkan terjadinya sesar anjak yang berlangsung pada Miosen Tengah pada Lengan Timur Sulawesi dan dibagian tengah dari Mandala Geologi Sulawesi Barat, diwaktu yang bersamaan suatu trangresi local berlangsung pada Lengan Tenggara Sulawesi dan suatu aktifitas vulkanik terjadi pada Lengan Utara dan Selatan (Sukamto, 1975). Fase orogenesa Intra Miosen terlihat menonjol pada beberapa tempat, terutama pada Mandala Sulawesi Barat bagian Tengah, sedangkan orogenesa sebelum Intra Miosen mungkin terjadi dua kali, yaitu sebelum dan sesudah Eosen. Orogenesa Larami terjadi pada Kapur Akhir hingga Miosen Awal, mengangkat dan melipat endapan Mesozoikum dan sediment tua lainnya, kemudian terhenti oleh pengaruh gerakan horizontal dan menyebabkan terjadinya berbagai sesar sungkup berarah utara-selatan atau tepatnya utara barat laut - selatan menenggara. Gaya horisontal terhenti dan disusul oleh terbentuknya sesar bongkah yang menyebabkan terban maupun sembul. Perlipatan yang kuat diikuti oleh sesar

sungkup yang terjadi pada Miosen Tengah pada bagian tengah dari Mandala Sulawesi Barat, melipat batuan pada Formasi Latimojong dan Formasi Toraja kemudian tersesarkan. Sebagai acuan penyelidikan geologi dan geoteknik rencana PLTM PONJU adalah Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, sekala 1 : 250.000, yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

4.8.1.1. Morfologi dan FisiografiDaerah penelitian merupakan bagian dari lengan Utara Sulawesi. Sebagian besar daearah ini ditempati oleh batuan gunungapi Tersier dan batuan terobosan (plutonik) yang berumur Miosen. Di wilayah bagian barat daerah telitian dijumpai dataran rendah yang berbentuk memanjang, yang merupakan dataran pantai dan endapan sungai.Daerah yang dipetakan dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi; satuan pegunungan berlereng terjal, perbukitan bergelombang dan satuan dataran rendah. Satuan pegunungan berlereng terjal menempati bagian timur dan tenggara daerah telitian yang merupakan Pegunungan Ogoamas dengan beberapa puncaknya antara lain G. Ogoamas (2565 m), G. Lempe (1724 m), G. Sojol (2525 m), G. Balani (1340 m), G. Losung (740 m), G. Sapalili ( 1780 m), G. Toboli (1408 m), G Pajalele (1208 m) serta G. Sisobol (690). Satuan morfologi ini terutama ditempati oleh batuan gunungapi tersier dan batuan plutonik. Satuan perbukitan bergelombang terutama dijumpai di daerah tengah bagian barat. Satuan ini pada umumnya menunjukan bentuk puncak membulat dengan lereng yang relatif landai dan berjulang kurang dari 200 m. satuan morfologi perbukitan bergelombang terutama

ditempati oleh batuan plutonik, batuan gunungapi dan batuan sedimen berumur Tersier hingga Kuarter.Satuan dataran rendah dijumpai di daerah barat, disepanjang pesisir pantai.

4.8.1.2. Struktur Geologi dan GeoteknikStruktur geologi yang utama di daerah penelitian adalah sesar, berupa sesar normal dan sesar mendatar. Sesar normal yang terdapat di G. Boliohuto menunjukan pola memancar, sedangkan sesar mendatar umumnya bersifat menganan tetapi adapula yang mengiri. Sesar tersebut memotong batuan yang berumur tua (Formasi Tinombo) hingga batuan yang berumur muda (Satuan Batugamping Klastik). Struktur lipatan hanya terdapat setempat, terutama pada Formasi Dolokapa dan Formasi Lokodidi, dengan sumbu lipatan secara umum berarah barat- timur. Kelurusan banyak tedapat di daerah ini dengan arah yang sangat beragam. Kelurusan ini terlihat baik dengan citra radar dan foto udara.Kegiatan tektonik di daerah ini diduga telah berlangsung sejak Eosen sampai Oligosen yang diawali dengan kegiatan magmatik yang menghasilkan Satuan Gabro. Masih pada Eosen, terjadi pemekaran dasar samudra yang berlangsung hingga Miosen Awal dan ini menghasilkan lava bantal yang cukup luas. Kegiatan tersebut diikuti pula oleh terjadinya retas-retas yang umumnya bersusunan basa, dan banyak menerobos Formasi Tinombo.Pada Miosen selain terjadi pengendapan Formasi Randangan dan Formasi Dolokapa, terjadi pula kegiatan magmatik yang menghasilkan diorit Bone. Diduga pada waktu itu terjadi pula penunjaman dari utara ke arah selatan dari Laut Sulawesi, yang dikenal sebagai Jalur Tunjaman Sulawesi Utara (Simandjuntak, 1983). Diduga penunjaman ini mengakibatkan kegiatan gunungapi yang menghasilkan batuan gunungapi Bilungala dan gunungapi yang menyusun Formasi Dolokapa.Kegiatan magmatik Diorit Bone yang berlangsung sampai iosen Tengah dilanjutkan oleh kegiatan magmatik Diorit Boliohuto yang berlangsung hingga Miosen Akhir. Bersamaan dengan kegiatan magmatik tersebut, terjadilah pengangkatan pada akhir dari Miosen Akhir.Pada akhir kegiatan magmatik diorit Boliohuto, terjadilah kegiatan gunungapi yang menghasilkan Batuan Gunungapi Pani dan breksi Wobudu. Pada waktu itu, jalur tunjaman Sulawesi Utara diduga masih aktif, dan menghasilkan sejumlah sesar mendatar di bagian barat daerah penelitian.

Pada Pliosen terjadi pula kegiatan magmatik yang menghasilkan batuan terobosan granodiorit Bumbulan, yang kemudian diikuti oleh kegiatan gunungapi. Kegiatan gunungapi ini berlangsung hingga Plistosen Awal dan menghasilkan batuan gunungapi Pinogu. Pada saat itu juga terjadi pengendapan batuan sedimen yang membentuk Formasi Lokodidi. Sementara itu, retas-retas yang bersusunan basal, andesit dan dasit masih terbentuk yang kemudian tidak lama lagi berhanti setelah berakhirnya gunung kegiatan api tersebut.Pada akhir Pliosen hingga Plistosen di daerah ini terjadi pengendapan yang membantuk satuan Batugamping Klastik pada laut dangkal. Sedangkan pada Plistosen Awal, terbentuklah endapan danau dan endapan sungai tua. Ketiga satuan batuan tersebut telah mengalami pengangkatan pada sekitar akhir plistosen.Pada akhir Plistosen hingga sekarang terjadi proses pendataran serta kegiatan tektonik yang masih aktif. Proses pendataran menghasilkan endapan aluvium sedangkan kegiatan tektonik menghasilkan beberapa sesar jurus mendatar di bagian timur lembar serta mengakibatkan terangkatnya satuan Batugamping Terumbu.Berdasarkan asosiasi litologi dan perkembangan tektoniknya, Sulawesi dapat dibagi menjadi lima provinsi tektonik (Hall & Wilson, 2000) seperti pada Gambar 4.2 :

1. Busur Volkanik Tersier Sulawesi Bagian Barat2. Busur Volkanik Kuarter MinahasaSangihe3. Busur Metamorfik Kapur Paleogen Sulawesi Tengah4. Busur Ofiolit Kapur Sulawesi Timur5. Mikrokontinen Paleozoikum Banggai Sula

Penafsiran hubungan geologi, paleontologi, dan pentarikhan umur K-Ar (Lowder & Dow, 1978; Villeneuve et.al., 1990; Pereillo, 1992) memperlihatkan dua periode utama aktivitas magmatik selama Neogen dan Kuarter, yaitu :

1. Periode pra-kolisi dengan Platform Sula atau 22 16 juta tahun yang lalu (sebanding dengan Kala Miosen Awal), dan2. Periode pasca-kolisi dengan Platform Sula atau lebih muda dari 9 juta tahun yang lalu (sebanding dengan Kala Miosen Akhir hingga Kuarter).

Gambar 4.2 Peta Geologi Pulau Sulawesi yang telah disederhanakan berdasarkan pembagian provinsi tektoniknya (Hall&Willson,2000)

Secara regional, Pulau Sulawesi dan daerah sekelilingnya merupakan suatu area yang sangat kompleks (Gambar 4.2). Kompleksitas daerah ini disebabkan oleh adanya pertemuan antara tiga lempeng litosfer yaitu Lempeng Australia yang bergerak ke arah Utara, Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan Lempeng Eurasia yang bergerak ke arah tenggara. Wilayah ini merupakan suatu pusat dari triple junction akibat konvergensi lempeng (Simandjuntak, 1986 dalam Darman & Sidi,2000). Konvergensi ini menyebabkan intensitas pembentukan struktur, dari semua tipe struktur dalam berbagai skala, termasuk subduksi dan zona tumbukan, sesar dan lipatan. Saat ini hampir seluruh struktur terjadi pada umur Neogen dan beberapa struktur berumur pra-Neogen yang teraktifkan kembali (reaktivasi). Struktur utama Pulau Sulawesi antara lain Palung Minahasa, Sistem Sesar Palu-Koro, Anjakan Batui, Anjakan Poso, dan Sesar Walanae (Darman & Sidi, 2000).

4.8.1.3. StratigrafiBerdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, skala 1 : 250.000, yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Gambar 4.3), rencana lokasi pembangunan PLTM PONJU, secara stratigrafi ditempati oleh Satuan Batuan Terobosan yang berumur Miosen. Satuan batuan ini menerobos Formasi Tinombo yang berumur Eosen.Daerah penelitian merupakan daerah yang relatif stabil, walaupun banyak terdapat adanya struktur rekahan, hancuran dan sesar yang tersebar secara merata disebelah utara dan barat lokasi proyek. Hal tersebut diakibatkan karena sangat besarnya pengaruh kegiatan tektonik terhadap batuan yang ada di daerah tersebut pada waktu lampau.Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Nana Ratman 1976), stratigrafi disekitar daerah telitian dari yang tertua dapat disusun sebagai berikut :

1. Formasi Tinombo (Tts)Satuan ini tersingkap luas dipematang timur maupun barat. Batuan ini menindih kompleks batuan metamorf secara tidak selaras. Didalamnya terkandung rombakan yang berasal dari batuan metamorf. Endapan ini

terutama terdiri dari serpih, batupasir, konglomerat, batugamping, rijang radiolaria dan batuan gunungapi yang diendapkan dilingkungan laut. Didekat intrusi terdapat sabak dan batuan terkersikkan, dan lebih dekat pada persentuhan terbentuk filit dan kwarsit.Rombakan batuan gunungapi biasa terdapat didalam batupasirnya. Batugamping hanya sebagai lapis-lapis tipis dalam rangkaian sedimen tersebut. Dari fosil-fosil yang terdapat pada batuan tersebut dapat di interpertasikan bahwa satuan batuan tersebut berumur Eosen.2. Satuan Batuan Terobosan (Gr)Yang tertua adalah intrusi andesit dan basal kecil-kecil disemenanjung Donggala dan intrusi ini kemungkinan adalah saluran-saluran batuan volkanik didalam Formasi Tinombo. Intrusi-intrusi kecil yang lain adalah batuan diorit, porfir diorit, mikrodiorit dan granodiorit yang juga menerobos Formasi Tinombo.Intrusi intrusi yang besar (batuan beku dalam) yang berupa granit dan granodiorit yang dicirikan oleh fenokris felspar kalium sepanjang hingga 8 cm. Penanggalan Kalium / Argon telah dilakukan oleh Gulf Oil Company terhadap 2 (dua) contoh granodiorit dan menujukkan penanggalan 31 juta tahun pada analisa K/Ar dari felspar.3. Batugamping Koral (Ql)Batuan ini merupakan batuan sedimen laut dangkal yang terdiri dari batugamping koral dan diperkirakan berumur Kwarter.4. Aluvium dan Endapan Pantai (Qal)Satuan ini terdiri dari pasir, lempung, lumpur, kerikil dan kerakal. Penyebaran satuan ini terdapat disebelah timur lokasi proyek dan berumur Holosen.

Tabel 4.1 Ringkasan satuan Geoligi Regional

UMURFORMASISIMBOLPEMERIAN

Holosen

Aluvial

Qal Endapan Sungai dan Pantai (lempung, lanau, kerakal kerikil, dan bongkah juga endapan kipas)

Kwarter

Batugamping

Ql Batuan Sedimen (batu gamping koral)

Miosen

Batuan Plutonik

Gr Batuan Terobosan Lokasi Proyek (granit, granodiorit, mikrodiorit dan diorit)

Eosen

Formasi Tinombo

Tts Batuan Sedimen (serpih, batupasir, konglomerat, batuan volkanik, batugamping dan rijang)

4.8.2. Geologi Lokasi Proyek

4.8.2.1. MorfologiLokasi rencana proyek terletak pada Satuan Morfologi Perbukitan Terjal dan Bergelombang yaitu, yang memperlihatkan topografi stadium muda sampai dewasa dimana erosi vertikal lebih potensial. Pada Morfologi Perbukitan Terjal pada umumnya batuannya keras dan tanah pelapukan relatif tipis sedangkan Morfologi Bergelombang tingkat pelapukan sudah intensif dan tanah pelapukannya relatif tebal.Lokasi rencana PLTM PONJU sebagian merupakan morfologi Perbukitan Terjal dan sebagian lagi Perbukitan Bergelombang yang ditempati oleh satuan batuan terobosan (plutonik) yang terdiri dari granit dan granodiorit yang pada bagian atasnya tertutupi oleh tanah pelapukan dan sebagian lagi oleh endapan longsoran serta pada jalur sungai oleh endapan sungai berupa pasir hingga bongkah (Gambar 4.3).

PLTM PONJU

Gambar 4.3 Peta Regional PLTM PONJUDiambil dari Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman 1976, Lembar 2116, sekala 1 : 250.000, yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

Gambar 4.4 Peta Morfology Lokasi PLTM PONJU

Gambar 4.5 Foto Morfology Jalur Waterway dan Bendung PLTM PONJU

Gambar 4.6 Foto Morfology Perbukitan Bergelombang (sebelah kiri sungai)

Gambar 4.7 Foto Morfology Jalur Waterway PLTM PONJU

Gambar 4.8 Foto Morfology sekitar Powerhouse PLTM PONJU

Gambar 4.9 Foto Morfology sekitar Bendung PLTM PONJU

4.8.2.2. StratigrafiPondasi bangunan rencana PLTM PONJU akan bertumpu pada Satuan Batuan Terobosan (Gr). Satuan Batuan Terobosan adalah merupakan batuan beku plutonik yang terdiri dari granit dan granodiorit, batuan ini diperkirakan berumur Miosen. Diatas Satuan Batuan Terobosan sebagian besar tertutup oleh tanah pelapukan yang berupa material lempung dan sebagian lagi oleh endapan longsoran (koluvial), sedangkan pada alur sungai tertutup oleh endapan sungai (aluvial), seperti pada Tabel III-1 dan Gambar 4.4.Endapan Aluvial adalah material yang dibawa oleh aliran sungai (hasil transportasi) dan diendapkan disekitar alur sungai, dan terdiri dari lumpur, pasir kerikil, kerakal hingga bongkah. Komposisi material endapan sungai beragam dan terdiri dari pecahan batuan beku (granit, granodiorit, andesit basal dan lain lain), tuf, breksi dan konglomerat (Gambar 4.4).Tanah pelapukan (top soil) merupakan tanah residual (insitu) hasil pelapukan dari batuan dasar granit dan granodiorit.Peta Geologi rencana PLTM PONJU dapat dilihat pada Lampiran Gambar.Endapan Aluvial Pantai dan Sungai

Ketidakselarasan

Keselarasan

Tanah Pelapukan dan Endapan Longsoran

Satuan Batuan Beku Terobosan

Tabel 4.2 Satuan Geologi lokasi proyek

Gambar 4.10 Foto Endapan Sungai yang berupa pasir-bongkah menumpang diatas Batuan Batuan Granit dekat Bendung (PLTM PONJU) .

Gambar 4.11 Foto Endapan Sungai dan Longsoran yang menumpang diatas Batuan Batuan Granit dibawah Waterway (PLTM PONJU).

Granit Lapuk Sedang (tampak kristal-kristal kuarsa yang masih segar)Gambar 4.12 Foto Batuan Granit Lapuk Sedang pada jalur waterway PLTM PONJU.

4.8.2.3. Struktur GeologiDari hasil pengamatan dilapangan tidak tampak adanya struktur yang mengindikasikan adanya pensesaran pada batuan dasar yang terlihat hanya rekah-rekah yang bersilangan pada singkapan pada tepi sungai.

Gambar 4.13 Foto Rekahan (tertutup dan terbuka) yang saling bersilangan pada batuan Granit hulu Bendung PLTM PONJU.

4.8.3. Kondisi Geoteknik Pondasi Rencana PLTM PONJU

4.8.3.1. Pondasi Lokasi Bendung

Lokasi bendung mempunyai bentuk lereng yang agak curam pada sandaran kanan, sandaran kiri yang hampir landai dengan lebar lembah kurang lebih 10 m. Pada daerah aliran sungai terdapat kerikil hingga bongkah- bongkah batu besar keras yang terdiri dari granit, granodiorit, breksi volkanik, batuan beku basal serta andesit. Pada sandaran kanan batuan dasar granit tertutup oleh tanah pelapukan yang kemungkinan tipis (tersingkap batuan yang lapuk sedang sampai segar pada tepi sungai), sedangkan pada sandaran kiri tertutup oleh endapan longsoran dari tebing perbukitan sebelah kiri (Gambar 4.14).Pada sandaran kanan, untuk mendapatkan dayadukung yang kuat dari beban vertikal maupun horizontal pondasi bendung diusahakan menumpang diatas batuan granit segar yang mana tanah penutup (top sail) yang lunak dan tidak stabil hasil dari pelapukan batuan dasar harus dibuang atau digali.Pada pondasi bendung sandaran kiri, kalau endapan koluvial yang tidak stabil tidak terlalu dalam, maka endapan longsoran tersebut bisa digali/dibuang dan pondasi bendung menumpang diatas batuan yang keras. Tetapi kalau endapan longsoran kemungkinan dalam, endapan longsoran tersebut tidak perlu digali sampai batuan keras, untuk mendapatkan dayadukung yang cukup serta untuk mengurangi beban horizontal tekanan air perlu dibuatkan pondasi sumuran dengan diameter, kedalaman dan jumlah sumuran akan disesuaikan dengan perhitungan beban bendung.Sedangkan pondasi bendung pada dasar sungai akan menumpang pada endapan aluvial sungai yang berupa kerikil hingga bongkah. Sama seperti pada sandaran kiri, pada pondasi dasar sungai juga perlu dibuatkan pondasi sumuran yang memadai. Karena pondasi bendung menumpang diatas endapan sungai, maka harus diperhitungkan besarnya rembesan air yang akan melewati sand-gravel yang relatif lolos air. Tetapi kalau kedalaman endapan sungai relatif dangkal dan mungkin untuk dibuang/digali, maka sebaiknya pondasi bendung menumpang diatas batuan dasar yang keras dan relatif kedap air.Untuk mendapatkan data yang akurat mengenai berapa jumlah pondasi sumuran, diameter serta jarak antar sumuran, disarankan perlu dilakukan investigasi pemboran inti 2 (dua) lubang untuk mengetahui kedalaman endapan sungai dan endapan longsoran pada lokasi dasar sungai dan sandaran kiri, dengan kedalaman masing-masing mencapai batuan dasar (granit) sampai 5 m atau maksimum 15 m kalau tidak ketemu batuan dasar, dengan uji lapangan berupa permeability /Lugeon test setiap 5 meter kedalaman. Sandaran kanan tidak perlu dilakukan pemboran karena pada tebing sungai sudah tersingkap batuan granit segar.

Gambar 4.14 Foto Lokasi Bendung (diambil dari hulu).

4.8.3.2. Pondasi Lokasi SandtrapDari hasil pemetaan geologi permukaan, pondasi sandtrap menumpang diatas batuan granit yang pada bagian atasnya tertutup tanah pelapukan yang tipis. Pada lokasi ini kemiringan lereng antara (25-30o).Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan 1 (satu) lubang pemboran inti dengan kedalaman sampai 5 m dibawah batuan dasar atau maksimum 10 m kalau tidak ditemukan batuan dasar, dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar (SPT) pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga disarankan

pengambilan sample tanah takterganggu (UDS) pada kedalaman sebelum sampai batuan dasar untuk uji laboratorium.

4.8.3.3. Batuan Pondasi Jalur WaterwayDari hasil pengamatan lapangan, jalur waterway akan bertumpu pada pelapukan kuat sampai sedang dan dibeberapa tempat batuan dasar tersingkap dalam kondisi segar . Satuan batuan tersebut (granit) dibeberapa tempat tertutupi oleh andapan koluvial. Kedalaman tanah pelapukan dan endapan koluvial bervariasi dan diperkirakan mempunyai kedalaman kurang lebih 2 sampai lebih dari 10 meter. Topografi pada jalur waterway merupakan perbukitan bergelombang sampai terjal.Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan 2 (dua) lubang pemboran inti maksimum 15 m atau mencapai 5 m pada batuan dasar dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar (SPT) pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga disarankan pengambilan sample tanah takterganggu (UDS) pada kedalaman sebelum sampai batuan dasar untuk uji laboratorium.Uji laboratorium yang berupa sample terganggu (DS) untuk mendapatkan data parameter tanah timbunan dan sample takterganggu (UDS) untuk mendapatkan data parameter kesetabilan lereng dan dayadukung pondasi, juga dilakukan pada 5 lokasi sumur uji (test pit) yang dibuat pada lokasi jalur waterway.

Gambar 4.15 Foto Lokasi Bendung & Sandtrap PLTM PONJU

4.8.3.4. Batuan Pondasi HeadpondDari hasil pengamatan lapangan, batuan pondasi lokasi headpond merupakan pelapukan kuat sampai sedang batuan granit dan granodiorit. Ketebalan pelapukan batuan pada lokasi headpond diperkirakan antara 5 sampai 10 m dengan kemiringan lereng 30 - 35o.Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan 1 (satu) lubang pemboran inti dengan kedalaman sampai 5 m pada batuan dasar atau maksimum 15 m kalau tidak ditemukan batuan granit atau granodiorit dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar (SPT) pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga disarankan pengambilan sample tanah tak terganggu (UDS) setiap 5 m untuk uji laboratorium.4.8.3.5. Batuan Pondasi Penstock dan Power HouseDari hasil pengamatan lapangan, batuan pondasi jalur penstock dan Pembangkit (powerhouse) merupakan hasil produk batuan terobosan (batuan beku dalam) berupa granit dan granodiorit yang pada bagian atas tertutup oleh tanah pelapukan.Pada lokasi rumah pembangkit, pondasi bangunan diusahakan menumpang diatas batuan granit yang lapuk sedang yang mana tanah penutup (top sail) yang lunak dan mempunyai daya dukung rendah hasil dari pelapukan batuan dasar harus dibuang atau digali. Tetapi kalau tanah pelapukan terlalu dalam (tebal), pondasi tidak perlu digali sampai batuan keras (lapuk sedang), untuk mendapatkan dayadukung yang cukup perlu dibuatkan pondasi sumuran dengan diameter, kedalaman dan jumlah sumuran akan disesuaikan dengan perhitungan beban yang ada.Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan 1 (satu) lubang pemboran inti sampai kedalaman 5 m pada batuan dasar atau maksimum 20 m kalau tidak ditemukan batuan granit atau granodiorit dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar (SPT) pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga disarankan pengambilan sample tanah takterganggu (UDS) setiap 5 m untuk uji laboratorium.

Gambar 4.16 Foto Lokasi Power House & Headpond PLTM PONJU (pengambilan gambar dari samping)

Gambar 4.17 Foto Lokasi Power House & Headpond PLTM PONJU (diambil dari hilir)

4.9. KONDISI GEOTEKNIK DAN GALIAN PONDASIBangunan PLTM PONJU lokasi bendung sampai powerhouse akan bertumpu pada batuan produk terobosan (batuan beku dalam) yang berupa granit dan granodiorit dengan kondisi lapuk sedang sampai kuat dan dibeberapa tempat tersingkap segar. Diatas batuan dasar tersebut tertutup oleh tanah pelapukan dan dan dibeberapa tempat secara tidak selaras menumpang endapan longsoran serta pada jalur sungai oleh endapan sungai yang berupa pasir sampai bongkah.Galian tebing (lereng) pada lokasi Bendung (Damsite), jalur Saluran Penghantar (Waterway), lokasi Pipa Pesat (Penstock), Rumah Pembangkit (Powerhouse) dan Jalan Hantar maupun Inspeksi serta bangunan fasilitas yang lain adalah sebagai berikiut :1. Lereng alami sementara tanah koluvial digali dengan kemiringan 1:1 dan tinggi maksimum 3 m, sedangkan pelapukan granit dan granodiorit kemiringan galian 1 : 1 dengan tinggi maksimum 6 m.2. Lereng alami permanen tanah koluvial digali kemiringan 1 : 1 dengan tinggi maksimum 3 m dan diproteksi dengan gebalan rumput, sedangkan pelapukan granit dan granodiorit kemiringan galian 1 : 1 dengan tinggi maksimum 6 m dan juga diprotekni dengan gebalan rumput. Untuk tanah koluvial karena sangat sensitive terhadap air, selain diproteksi dengan gebalan rumput juga dibuatkan drainase agar aliran air akibat hujan atau dari air persawahan dapat diatur pengalirannya.3. Lereng alami sementara granit dan granodiorit lapuk dengan tingkat kekerasan lunak-sedang atau soft rock digali kemiringan 1 : 0.8 sampai 1 : 0.5 dengan tinggi maksimum 6 m.4.Lereng alami permanen granit dan granodiorit lapuk dengan tingkat kekerasan lunak-sedang atau soft rock digali kemiringan 1 : 0.8 sampai 1 : 0.5 dengan tinggi maksimum 6 m dan diproteksi dengan beton semprot (shotcrete) dan anyaman kawat (wiremesh) tebal 10 cm.5.Lereng alami sementara granit dan granodiorit segar dengan tingkat kekerasan sedang-keras atau hard rock digali kemiringan 1 : 0.5 sampai 1 : 0.3 dengan tinggi maksimum 6 m.

6.Lereng alami permanen granit dan granodiorit segar dengan tingkat kekerasan sedang-keras atau hard rock digali kemiringan 1 : 0.5 sampai 1 : 0.3 dengan tinggi maksimum 6 m dan diproteksi dengan beton semprot (shotcrete) dan anyaman kawat (wiremesh) tebal 5 cm.

Galian lereng pada tanah, endapan koluvial, batuan lapuk dengan tingkat kekerasan dapat digunakan excavator, sedangkan batuan segar dengan tingkat kekerasan keras dan sangat keras galian pondasi dapat menggunakan rock breacker.Untuk mengetahui tingkat kekerasan batuan yang berhubungan dengan cara penggalian pondasi disarankan untuk dilakukan uji laboratorium Nilai Kuat Tekan Uniaksial pada contoh inti batu (terutama pada jalur waterway).Untuk galian lereng disamping menggunakan panduan diatas dapat melihat pedoman standar kemiringan galian lereng alami yang diambil dari The Japan Highway Public Corporation pada Tabel 4.3.

KISARAN STANDAR KEMIRINGAN GALIAN LERENG Tabel 4.3

Dari The Japan Highway Public Corporation

Kondisi Tanah DasarTinggi GalianKemiringan

Batuan Keras1 : 0.3 - 1 : 0.8

Batuan Lunak1 : 0.5 - 1 : 1.2

PasirTidak tebal, tidak padat dan pembagian gradasi jelek1 : 1,5

Tanah Pasiran

Tebal dan padatKurang dari 5 m1 : 0.8 - 1 : 1.0

5 - 10 m1 : 1.0 - 1 : 1.2

Tebal dan tidak padatKurang dari 5 m1 : 1.0 - 1 : 1.2

5 - 10 m1 : 1.2 - 1 : 1.5

Tanah Pasiran Bercampur dengan Kerakal atau Masa BatuanTebal dan padat atau pembagian gradasi bagusKurang dari 5 m1 : 0.8 - 1 : 1.0

5 - 10 m1 : 1.0 - 1 : 1.2

Tidak tebal dan tidak padat atau pembagian gradasi jelekKurang dari 5 m1 : 1.0 - 1 : 1.2

5 - 10 m1 : 1.2 - 1 : 1.5

Tanah Kohesif0 - 10 m1 : 0.8 - 1 : 1.2

Tanah Kohesif Bercampur dengan Masa batuan atau BerangkalKurang dari 5 m1 : 1.0 - 1 : 1.2

5 - 10 m1 : 1.2 - 1 : 1.5

Catatan 1)Lanau berada dibawah tanah (lempung) kohesif. Pertimbangan secara individu tidak ditunjukkan pada tabel

2)Kemiringan lereng pada tabel adalah kemiringan lereng tunggal dan tidak termasuk berm

3)Gambaran kemiringan lereng1 : n1

n

4.10. KEGEMPAANUntuk diketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan kegempaan yang paling aktif di dunia. Hal ini disebabkan terdapatnya 3 (tiga) lempeng tektonik besar aktif yaitu; Lempeng Eurasia, Lempeng Indo- Australia, dan Lempeng Filipina. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pekerjaan sipil di Indonesia harus mempertimbangkan aktifitas kegempaan ini. Cara yang paling efektif untuk mengurangi bencana yang disebabkan oleh gempa bumi adalah memperkirakan resiko gempa dan menerapkannya pada kode seismik, yang kemudian digunakan dalam perencanaan konstruksi sehingga memiliki kapasitas ketahanan gempa yang memadai (Hu, 1996).Untuk memastikan keamanan bangunan proyek yang berhubungan dengan aspek seismologi, geoteknik, dan struktural, penilaian tentang bahaya seismik sangat diperlukan.

4.10.1. SeismoteknikBusur Kepulauan Indonesiah adalah salah satu daerah tektonik yang paling aktif di dunia karena terletak pada perbatasan antara tiga lempeng utama yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng India-Australia, dan Pasifik. Kepulauan Indonesia duduk di tepi selatan Lempeng Eurasia. Lempeng India-Australia bergerak ke timur laut sekitar 50 sampai70mm/th sepanjang palung Sunda. Lempeng Pasifik bergerak ke arah barat dan bertabrakan dengan bagian timur Indonesia dengan pergerakan relatif sekitar 120mm/th (Gambar 4.20). Lingkungan yang dinamis secara tektonik ini membuat sebagian besar wilayah Indonesia rawan gempa dan bahaya sekunder.

Sistem busur sunda mengakomodasi tumbukan antara lempeng Indo- Australia dan Eurasia (Tregoning at al, 1994.). Busur Sunda bagian timur masuk transisi ke Busur Banda, di mana sifat dari kedua lempeng Indo-Australia bagian bawah dan lempeng Asia bagian atas perlahan- lahan berubah. Perubahan ini mengubah sistem subduksi antara busur laut Banda dan tepi benua Australia pasif, yang dikenal sebagai Orogen Banda (Nugroho et al., 2009). Gambar 4.20 dan Gambar 4.21 menunjukakan Pola Tektonik Kepulauan Indonesia dan Geotektonik Pulau Sulawesi.

Gambar 4.18 Peta Pola Tektonik Kepulauan Indonesia

Gambar 4.19 Geotektonik Pulau Sulawesi

Sebelah baratlaut dari Orogen Banda, tumbukan dari tiga lempeng Australia, Philipina dengan Eurasia di Sulawesi / Banda adalah salah satu daerah yang paling kompleks di Indonesia. Bagian utara Sulawesi bertabrakan dengan lempeng Sunda (Rangin, 1989). Gerak relatif ini menghasilkan gerak lateral kekiri sepanjang Patahan Matano / Lawanopo (Socquet et al., 2006) berlanjut ke Palu-Koro dibagian utara, yang kemudian terhubung ke Palung Minahasa. Sesar Gorontalo memotong lengan utara Sulawesi dan dapat terhubung ke palung Minahasa (Socquet et al., 2006). Pada penghentian timur palung Minahasa, zona subduksi ganda Sangihe mengakomodasi tumbukan antara lempeng Filipina dan Sulawesi di laut Maluku (Socquet et al.,2006).

Gambar 4.20 Tektonik Aktif Indonesia

Pulau Sulawesi telah ditandai oleh setidaknya empat putaran microblocks (Socquet et al., 2006). Bagian timur laut Sulawesi terdiri Sula Utara, Timur dan Sula blok Manado bergerak menuju NNW sementara berputar searah jarum jam (Simons et al., 2007). Di bagian selatan Sulawesi blok Makassar berputar berlawanan arah jarum jam

dengan sumbu utama regangan tekan kearah NNW. Bagian barat Sulawesi, deformasi pada tingkat yang lebih kecil tetapi masih signifikan, meluas ke bagian utara dan timur Kalimantan (Simons et al.,2007).Rencana lokasi proyek berjarak kurang lebih 100-120 km disebelah timur dari sesar aktif Palu-Koro (sesar mendatar) yang mempunyai slip- rate 30-44 mm/tahun dengan panjang 459 km (Gambar 4.22 dan Tabel 4.4).Gambar 4.23 menunjukkan Sesar Palu Koro dan Sesar Poso dari data SRTM dan Model Mekanisme Gempa.

Gambar 4.21 Sesar Palu Koro dan Sesar Poso

Table 4.4 Parameter Pergerakan Sesar Aktif di Sulawesi dan sekitarnya

4.10.2. Design of Ground MotionGempa adalah fenomena alam yang: (1) berpotensi menyebabkan kerugian dan bencana, (2) tidak dapat diprediksi secara akurat; kapan, dimana, dan besarnya, dan (3) tidak dapat dicegah. Untuk mengurangi gempa bumi, FEMA 451b menyarankan bahwa: (1) orang harus menghindari bangunan sebuah infrastruktur dekat sesar aktif, di daerah rawan tsunami, likuifaksi dan tanah longsor, dan (2) infrastruktur harus dirancang dan dibangun sesuai dengan kode bangunan tahan gempa.

Dari pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian besar korban gempa dan kerugian disebabkan oleh keruntuhan dan kerusakan infrastruktur. Kerusakan infrastruktur dapat dibagi menjadi dua jenis:a. Kerusakan tidak langsung karena likuifaksi, siklus mobilitas, penyebaran lateral, keruntuhan lereng, retakan tanah, amblesan, dan deformasi yang berlebuhan danb. Kerusakan struktur sebagai akibat langsung dari gaya inersia yang diterima oleh infrastruktur selama getaran berlangsung.Kerusakan struktur akibat gempa dapat diminimalisir dengan mengantisipasi beban seismik dari gerakan tanah dalam tahap desain. Oleh karena itu, penentuan parameter gerakan tanah sangat penting untuk ketahanan gempa desain. Parameter ground motion yang dapat diwakili oleh: (1) percepatan puncak dipermukaan tanah (peak ground acceleration), (2) response spectrum, dan (3) acceleration time histories.Percepatan puncak dipermukaan tanah (PGA) memberikan informasi hanya dari beban gempa puncak. Respon Spektrum memberikan informasi tambahan mengenai frekuensi yang berisi gerak dan kemungkinan efek amplifikasi. Acceleration time histories pada tanah memberikan informasi yang paling lengkap karena mereka dapat menunjukkan variasi beban gempa selama durasi getaran. Secara umum, metode analisis sederhana memerlukan parameter gempa yang lebih sedikit, namun lebih banyak parameter biasanya menghasilkan perhitungan yang lebih akurat.

4.10.3. Katalog Gempa BumiSejarah peristiwa gempa bumi di Indonesia dan sekitarnya dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti:a. Informasi Gempa Nasional Layanan US Geological Survey (USGS NEIS-), yang merupakan kompilasi dari beberapa katalog dari sumber seperti: Biro Pusat International de Sismologie (BCIs), para Ringkasan Seismologi Internasional (ISSN), Seismologi Pusat Internasional (ISC), Penetapan awal Episentrum (PDE), dan Advanced Sistem seismik Nasional (ANSS) katalog.b. Daftar gempa Indonesia disiapkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMG).c. Katalog Centennial yang dikompilasi dari Newcomb & McCann (1987) di mana beberapa acara besar di Indonesia telah direlokasi,

d. Pacheco & Sykes (1992) di mana gempa bumi dikoreksi untuk heterogenitas yang disebabkan oleh perubahan mungkin dalam instrumentasi, pelaporan dan / atau deteksi kemampuan.e. Pindah katalog gempa oleh Engdahl (Engdahl et al., 2007) di mana katalog adalah menguntungkan untuk penyelidikan geometri kesalahan.Kegempaan katalog komposit mencakup periode antara 1900-2009 dan daerah antara 10 N - 12 LS dan 90 E - 145 E bujur, sedangkan tingkat kekambuhan yang digunakan untuk analisis data yang diambil dari tahun 1964 sampai tahun 2009.

4.10.4. Penentuan Beban Gempa (Seismic Assement)Parameter ground motion yang menjadi pertimbangan dalam penilaian seismik adalah percepatan puncak dipermukaan tanah (peak ground acceleration) dan respon spektrum. Umumnya, ada dua metode untuk melakukan penilaian bahaya seismik, yaitu analisis bahaya seismik deterministik (DSHA) dan analisis resiko gempa probabilistik (PSHA). Pemilihan dua metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tujuan dari penilaian bahaya atau risiko, lingkungan seismik (apakah lokasi pada daerah seimik risiko tinggi sedang, atau rendah), dan lingkup penilaian. Sebagian besar gambaran akan bisa diperoleh jika kedua analisis deterministik dan probabilistik dilakukan.Hal ini juga disyaratkan bahwa beberapa analisis untuk merancang struktur bangunan dalam kondisi gempa harus dilakukan sesuai dengan klasifikasi struktur. Dua perencanaan gempa bumi yang berbeda, yaitu Perencanaan Gempa Dasar (DBE) dan Maximum Credible Earthquake (MCE), akan diterapkan.- DBE adalah gempa dengan probabilitas yang cukup kecil sehingga akan terjadi setidaknya diharapkan sekali selama umur dari struktur. Untuk mengevaluasi keselamatan selama DBE, metoda Pseudo- statis kesetimbangan batas dengan koefisien seismik yang sama harus diterapkan. MCE adalah peristiwa gempa bumi maksimum yang dapat mempengaruhi struktur bangunan. Tujuan dari desain ketahanan gempa terhadaP MCE adalah bahwa kerusakan yang tidak serius mempengaruhi struktur bangunan, bahkan jika beberapa tingkat kerusakan terjadi pada berbagai deformasi plastik. Untuk mengevaluasi tingkat keselamatan selama MCE, analisis dinamik dengan menggunakan metode elemen hingga harus diterapkan.

Kedua metoda yaitu DSHA dan PSHA membutuhkan sejumlah besar penelitian untuk mendukungnya. Pada tahap ini, Konsultan hanya mengkaji dari pedoman nasional untuk memberikan parameter desain gempa yang diusulkan untuk proyek tersebut.

4.10.5. Pedoman Nasional Penentuan Beban GempaStudi khusus untuk penentuan gempa di wilayah ini belum dilakukan, sehingga perlu sekali mendapatkan data-data terkini mengenai sejarah gempa di wilayah studi. Hal ini diperlukan untuk menilai kecukupan besarnya nilai koefisien gempa yang ditetapkan untuk perencanaan yang didapatkan dari Peta Zona Seismik untuk perencanaan penentuan beban gempa pada bangunan di Indonesia yang dipublikasikan oleh Dirjen Pengairan tahun 2004 (Gambar 4.24).

Table 4.5 Faktor Koreksi Pengaruh Jenis Tanah / BatuanJenisPeriode Predominan (Ts)Faktor Koreksi Batuan Dasar (V)

Batuan Diluvium Aluvium Aluvium LunakTs