bab 2 - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/2013-1-00319-mn...

26
7 BAB 2 LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori Pada setiap penelitian yang dilakukan, diperlukan beberapa teori – teori yang digunakan untuk mendukung penelitian tersebut. Teori tersebut dimaksudkan untuk mendapat gambaran mengenai isi keseluruhan laporan dan merujuk pada berbagai referensi para ahli tertentu maupun berbagai teori-teori yang ada yang nantinya akan mendasari hasil dan pembahasan secara detail. Teori-teori yang digunakan harus mengacu pada variabel-variabel yang diteliti. Selain itu, pada bagian ini juga dibahas mengenai temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan penelitian, kerangka pemikiran serta hipotesis yang digunakan untuk penelitian. 2.1.1 Pemberdayaan Psikologis Sebelum menjelaskan tentang pemberdayaan psikologis, terlebih dahulu akan diberikan uraian penjelasan tentang definisi pemberdayaan (Empowerment). Menurut Koçel (dalam Çavus, 2010), Pemberdayaan merupakan proses pengambilan keputusan hak dan membantu karyawan mengembangkan diri dengan bantuan solidaritas, berbagi, dan tim kerja. Pemberdayaan juga memiliki arti yaitu pemberian tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua pengembangan produk dan pengambilan keputusan (Fernando, 2013). Shauna (2008) mengatakan bahwa pemberdayaan psikologis adalah keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan kerja terkait dengan keterampilan dan kompetensi. Shauna juga menjelaskan bahwa pemberdayaan psikologis berkaitan dengan bagaimana orang-orang yang kompeten atau mampu merasa diberdayakan di lingkungan kerjanya. Karyawan yang merasa lebih berkompeten tentang kemampuan mereka dan berhasil diberdayakan atau memiliki tingkat pemberdayaan psikologis lebih tinggi seharusnya akan: a. Lebih puas dengan pekerjaan mereka b. Lebih berkomitmen untuk organisasi mereka c. Memiliki niat yang lebih rendah untuk berhenti organisasi

Upload: vonga

Post on 26-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB 2

LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori

Pada setiap penelitian yang dilakukan, diperlukan beberapa teori – teori yang

digunakan untuk mendukung penelitian tersebut. Teori tersebut dimaksudkan untuk

mendapat gambaran mengenai isi keseluruhan laporan dan merujuk pada berbagai

referensi para ahli tertentu maupun berbagai teori-teori yang ada yang nantinya akan

mendasari hasil dan pembahasan secara detail. Teori-teori yang digunakan harus

mengacu pada variabel-variabel yang diteliti. Selain itu, pada bagian ini juga

dibahas mengenai temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung

dengan penelitian, kerangka pemikiran serta hipotesis yang digunakan untuk

penelitian.

2.1.1 Pemberdayaan Psikologis

Sebelum menjelaskan tentang pemberdayaan psikologis, terlebih

dahulu akan diberikan uraian penjelasan tentang definisi pemberdayaan

(Empowerment). Menurut Koçel (dalam Çavus, 2010), Pemberdayaan

merupakan proses pengambilan keputusan hak dan membantu karyawan

mengembangkan diri dengan bantuan solidaritas, berbagi, dan tim kerja.

Pemberdayaan juga memiliki arti yaitu pemberian tanggung jawab dan

wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua

pengembangan produk dan pengambilan keputusan (Fernando, 2013).

Shauna (2008) mengatakan bahwa pemberdayaan psikologis adalah

keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan

kerja terkait dengan keterampilan dan kompetensi. Shauna juga menjelaskan

bahwa pemberdayaan psikologis berkaitan dengan bagaimana orang-orang

yang kompeten atau mampu merasa diberdayakan di lingkungan kerjanya.

Karyawan yang merasa lebih berkompeten tentang kemampuan mereka dan

berhasil diberdayakan atau memiliki tingkat pemberdayaan psikologis lebih

tinggi seharusnya akan:

a. Lebih puas dengan pekerjaan mereka

b. Lebih berkomitmen untuk organisasi mereka

c. Memiliki niat yang lebih rendah untuk berhenti organisasi

8

d. Menunjukkan kinerja yang lebih positif

Pemberdayaan psikologis di tempat kerja dapat dilihat sebagai satu set

kognisi yang dibentuk oleh interaksi antara orang dan lingkungan kerja

mereka daripada ciri kepribadian (Conger dan Kanungo., et al, dalam Lee dan

Weaver, 2011). Akibatnya, peran pemberdayaan psikologis yang berkaitan

dengan hasil pekerja lebih baik dipahami dengan mempertimbangkan

lingkungan kerja. Dengan kata lain pemberdayaan psikologis merupakan

seperangkat kognisi yang mempengaruhi keyakinan pekerja bahwa mereka

memiliki kemampuan untuk membentuk peristiwa dalam pekerjaan mereka

dan kehidupan mereka , bahwa tindakan mereka efektif , dan memiliki

kontrol atas pilihan dan tindakan mereka (Cearley, dalam Lee dan Weaver,

2011).

Pemberdayaan Psikologis menurut Spreitzer (dalam Jin-Liang dan

Hai-Zhen, 2012) didefinisikan sebagai motivasi intrinsik yang mencerminkan

orientasi individu untuk peran kerja yang terwujud dalam empat kognisi yaitu

makna, kompetensi, penentuan diri (self-determination), dan dampak. Dengan

demikian, pemberdayaan psikologis berfokus pada motivasi intrinsik

karyawan untuk melakukan tugas yang meliputi penentuan nasib sendiri,

otonomi dan kebebasan melakukan tugas, dan dampaknya, sejauh mana

individu dapat mempengaruhi hasil dan bekerja.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

Pemberdayaan psikologis merupakan pemberian tanggung jawab dan

wewenang terhadap pekerja yang dibentuk oleh interaksi antara orang dan

lingkungan kerja dengan memperhatikan makna, kompetensi, dampak, dan

penentuan diri dalam pekerjaan mereka.

2.1.1.1 Dimensi Pemberdayaan Psikologis

Pemberdayaan Psikologis lebih menunjuk pada peningkatan

motivasi intrinsik tugas yang mencerminkan orientasi individu untuk

peran pekerjaannya yang dibentuk dalam satu set dari empat kognisi

yaitu: makna, kompetensi (yang identik dengan Conger dan Kanungo

yaitu: self-efficacy), self determination, dan dampak. Spreitzer (dalam

9

Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) mendefinisikan empat dimensi (4

komponen) pemberdayaan psikologis yang terdiri dari:

1. Makna (Meaning)

Secara Khusus makna mengacu pada nilai dari suatu tujuan

kerja, yang dinilai dalam kaitannya dengan cita-cita individu

sendiri atau standar individu yang bersangkutan. Makna

melibatkan kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja

dan keyakinan, nilai, dan perilaku.

2. Kompetensi (Competence)

Kompetensi mempunyai arti yang sama dengan self-efficacy,

yaitu keyakinan individu atas kemampuannya dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan keahlian atau

keterampilan yang dimilikinya. Kompetensi juga sejalan dengan

keyakinan, penguasan pribadi, atau pengharapan yang berkaitan

dengan usaha dan hasil kerja. Kompetensi lebih memfokuskan

pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan

peran kerja secara umum atau sering disebut dengan self-esteem.

3. Penentuan diri (Self-determination)

Penentuan diri yang sering disebut self-determination

merupakan pandangan individu terhadap sebuah lembaga yang

berkaitan dengan pilihan untuk memulai dan mengatur tindakan.

Penentuan diri mencerminkan otonomi dalam mengawali dan

kelanjutan dari perilaku kerja dan proses, misalnya membuat

keputusan mengenai metode kerja, kecepatan, dan usaha yang

dilakukan.

4. Dampak (Impact)

Dampak atau impact merupakan sejauh mana seseorang dapat

mempengaruhi hasil yang strategis, administratif, atau kegiatan

operasional di tempat kerja.

2.1.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemberdayaan

Psikologis

Pemberdayaan psikologis pertama kali diusulkan oleh Conger

dan Kanungo (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) yang

10

menganggap pemberdayaan identik dengan konsep motivasi self-

efficacy. Berdasarkan pendapat Lee & Koh (dalam Koesindratmono,

2011) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemberdayaan

psikologis seseorang terbagi menjadi dua faktor yaitu:

1. Faktor Individual

Faktor Individual merupakan faktor-faktor yang berkaitan

dengan keadaan di tempat kerja baik fisik maupun non fisik yang

sering dialami oleh seorang individu yang berhubungan dengan

karakteristik biografi karyawan seperti jenis kelamin, tingkat

pendidikan, tingkat jabatan, locus of control, dan masa kerja.

2. Faktor Organisasional

Faktor Organisasional yaitu faktor-faktor yang sering terjadi

dalam sebuah organisasi seperti rentang kendali, ketidak jelasan

peran, akses untuk informasi dan sumber daya, dukungan sosial

serta iklim kerja.

2.1.2 Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja menurut Robbins dan Judge (2008) adalah suatu

perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari

evaluasi karakteristiknya. Kepuasan tidak hanya berhubungan negatif dengan

ketidakhadiran dan perputaran karyawan, tetapi organisasi mempunyai

tanggung jawab memberikan karyawan tugas yang menantang dan pada

akhirnya mendapatkan penghargaan.

Menurut Balzer et al., (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012)

Kepuasan kerja didefinisikan sebagai perasaan seseorang secara keseluruhan

puas terhadap satu pekerjaan walaupun tidak setiap keinginan direalisasikan

sepenuhnya dalam kapasitas kerja. Kepuasan kerja mengacu pada sikap

umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan

kerja tinggi memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya. Seseorang yang

tidak puas memiliki sikap negatif. Ketika orang berbicara tentang sikap

karyawan, mereka biasanya mengacu pada kepuasan kerja (Robbins dan

Coulter, 2012) Kepuasan kerja erat kaitannya dengan sikap karyawan

terhadap pekerjaanya. Hal ini merupakan hasil dari persepsi karyawan atas

pekerjaannya (Gibson, 2009).

11

Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa Kepuasan Kerja (Job

Satisfaction) adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil

dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan muncul ketika

harapan seseorang tidak dipenuhi. Kepuasan kerja adalah suatu tindakan atau

perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan selama bekerja di suatu organisasi

atau perusahaan. Ketika karyawan tersebut merasa puas dengan

perkerjaannya sekarang maka karyawan tersebut akan memberikan suatu

timbal balik yang lebih baik, bisa berupa peningkatan kinerja atau komitmen

terhadap organisasi atau perusahaan dimana dia bekerja. Sedangkan ketika

karyawan tidak merasa puas maka karyawan cenderung melakukan kebalikan

dari ketika merasa puas dengan pekerjaannya.

2.1.2.1 Dimensi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja tergantung kesesuaian atau keseimbangan

antara yang diharapkan dengan kenyataan. Ada lima faktor penentu

kepuasan kerja (Gibson, et al., 2009) yaitu:

1. Pekerjaan itu sendiri

Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang

menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk

mendapatkan tanggung jawab. Hal ini menjadi sumber

mayoritas kepuasan kerja.

2. Gaji

Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan

fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat

sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan

bagaimana gaji diberikan.Upah dan gaji diakui merupakan

faktor yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

3. Kesempatan atau promosi

Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan

diri dan memperluas pengalaman kerja, dengan terbukanya

kesempatan untuk kenaikan jabatan.

4. Supervisor

Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis

dan perilaku dukungan. Hubungan fungsional mencerminkan

12

sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan

nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan

keseluruhan didasari pada keterkaitan antar pribadi yang

mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.

5. Rekan kerja

Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan

sosial akan terpenuhi dengan adanya rekan kerja yang

mendukung karyawan. Jika terjadi konflik dengan rekan kerja,

maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan

terhadap pekerjaan.

2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Istilah Kepuasan kerja yang di definisikan oleh Robbins dan

Judge (2008) merupakan suatu perasaan positif tentang pekerjaan

seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya.

Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan-

perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang

tidak puas dengan pekerjaannya memiliki perasaan-perasaan yang

negatif terhadap pekerjaan tersebut (Robbins dan Judge, 2008). Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu

sebagai berikut (Robbins, 2002) :

1) Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih

menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka

kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan

yang masih mereka miliki, menawarkan beragam tugas,

kebebasan dan umpan balik mengenai seberapa baik mereka

bekerja.

2) Imbalan yang pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah

dan kebijakan yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak

meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah

dilihat sebagai hasil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan,

tingkat keterampilan individu dan standar pengupahan

komunikasi kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan.

13

3) Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan

lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun

memudahkan mengerjakan tugas yang baik, seperti kondisi fisik

kerja yang nyaman dan aman.

4) Rekan kerja yang mendukung. Bagi kenyamanan karyawan,

kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena

itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang

ramah dari mendukung menghantar kepada kepuasan kerja yang

meningkat.

2.1.2.3 Meningkatkan Kepuasan Kerja

Ada beberapa cara untuk membuat pekerjaan menjadi ringan

atau tidak terlalu terbebani sehingga menimbulkan kepuasan dan

dapat meningkatkan kepuasan kerja. Menurut Greenberg dan Baron

(2003), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kepuasan kerja karyawan, yaitu:

1. Membuat pekerjaan menjadi kesenangan

Walaupun beberapa pekerjaan memang bersifat

membosankan, tetapi ada cara untuk meningkatkan beberapa

level keasikkan ke dalam hampir setiap pekerjaan. Teknik-

teknik kreatif yang telah diterapkan misalnya mengoper buket

bunga dari meja satu ke meja yang lainnya setiap setengah jam

dan mengambil gambar lucu orang lain ketika sedang bekerja

lalu memasukkannya ke papan bulletin.

2. Membayar seseorang dengan cukup

Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau

diberikan imbalan secara adil, maka kepuasan kerja mereka

cenderung akan meningkat.

3. Mencocokkan seseorang untuk pekerjaan yang sesuai dengan

kepentingan mereka

Semakin orang merasa bahwa mereka mampu memenuhi

kesenangan atau minat mereka saat bekerja, semakin mereka

akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan tersebut.

14

4. Hindari kebosanan, pekerjaan yang berulang

Orang jauh lebih merasa puas terhadap pekerjaan yang

memungkinkan mereka untuk mencapai keberhasilan dengan

memiliki kontrol secara bebas tentang bagaimana mereka

melakukan tugas-tugas mereka.

2.1.2.4 Dampak Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008) terdapat konsekuensi

ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi

ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Sebuah kerangka

teoritis (kerangka keluar-aspirasi-kesetian-pengabdian) sangat

bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari ketidakpuasan.

Respon-respon tersebut didefinisikan sebagai berikut:

1. Keluar (exit)

Perilaku yang ditunjukan untuk meningkatkan organisasi

termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2. Aspirasi (voice)

Secara aktif dan kontruktif berusaha memperbaiki

kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan

masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat

kerja.

3. Kesetiaan (loyality)

Secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya

kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan

dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan

manajernya untuk “melakukan hal yang benar”.

4. Pengabdian (neglect)

Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk,

termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-

menerus kurangnya usaha, dan meningkatkan angka

kesalahan.

15

2.1.3 Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Robbins (2006) mengemukakan bahwa OCB merupakan perilaku

pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang

karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.

OCB juga merupakan perilaku yang melampaui persyaratan tugas inti dari

pekerjaan (tugas yang tercantum dalam job description) dan bermanfaat bagi

organisasi. OCB biasanya dinilai dengan memiliki supervisor tingkat

bawahan mereka pada perilaku OCB (Spector, 2011).

Menurut Sharma (2011) Organizational Citizenship Behavior (OCB)

adalah jenis khusus dari perilaku kerja yang didefinisikan sebagai perilaku

individu yang bermanfaat bagi organisasi, yang tidak secara langsung atau

secara eksplisit diakui oleh sistem reward formal.. Perilaku OCB diperkirakan

memiliki dampak penting pada efektivitas dan efisiensi kerja tim dan

organisasi, sehingga berkontribusi terhadap produktivitas organisasi secara

menyeluruh. Organ et al., (2006) mendefinisikan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) sebagai perilaku seseorang yang mempunyai kebebasan

untuk memilih, tidak semata-mata dikarenakan oleh sistem upah (reward)

yang resmi, dan hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan fungsi yang

efektif dari organisasi.

Menurut Organ dan Konovsky (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012)

OCB merupakan perilaku yang diskresioner, tidak secara langsung atau

secara eksplisit diakui oleh sistem reward formal dan secara agregat

mempromosikan fungsi efektif organisasi. Atau dengan kata lain, OCB juga

sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (extra role)

yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya seseorang

yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus

tertentu, namun lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu

untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan seperti membantu rekan kerja

pada saat jam istirahat dengan sukarela.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, Organizational Citizenship

Behavior (OCB) merupakan perilaku kerja karyawan yang melebihi tugas dan

tanggung jawabnya yang bermanfaat bagi organisasi yang dilakukan secara

sukarela tanpa adanya paksaan dari siapapun.

16

2.1.3.1 Dimensi Organizational Citizenship Behavior

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan

perilaku seseorang yang mempunyai kebebasan untuk memilih, tidak

semata-mata dikarenakan oleh sistem upah (reward) yang resmi, dan

hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan fungsi yang efektif dari

organisasi (Organ et al., 2006). Contoh lain dari perilaku yang

dihasilkan oleh OCB antara lain, membantu rekan kerja, sukarela

melakukan kegiatan ekstra ditempat kerja, menghindari konflik

dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai

peraturan yang berlaku dalam organisasi dan toleransi pada situasi

yang kurang ideal atau yang tidak menyenangkan ditempat kerja,

datang tepat waktu dan memberi saran yang membangun ditempat

kerja (Robbins, 2005).

Untuk memperjelas perilaku OCB, Organ (2006) membaginya

kedalam lima dimensi utama yaitu:

1. Altruism

Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang

mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi, baik

mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang

lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang

bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

2. Conscientiousness

Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi dari

apa yang diharapkan perusahaan. Perilaku ini merupakan

tindakan sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas

karyawan.

3. Sportmanship

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang

kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan –

keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi

dalam spotmanship akan meningkatkan iklim yang positif

diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama

dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja

yang lebih menyenangkan.

17

4. Courtesy

Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar

dari masalah – masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki

dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan

orang lain.

5. Civic Virtue

Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada

kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi,

mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana

operasi atau prosedur – prosedur organisasi dapat diperbaiki,

dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh

organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang

diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan

kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

2.1.3.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi OCB

Organisasi yang berhasil, membutuhkan karyawan yang dapat

melakukan lebih dari tugas-tugas jabatan mereka yang biasanya dan

memberikan kinerja yang melebihi harapan. Menurut Robbins dan

Judge (2008) mengemukakan bahwa kepuasan terhadap kualitas

kehidupan kerja adalah penentu utama OCB dari seorang karyawan.

Organ (dalam Zurasaka, 2008) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi OCB sebagai berikut:

• Budaya dan iklim organisasi

• Kepribadian dan suasana hati

• Persepsi terhadap Dukungan Organisasional

• Persepsi terhadap kualitas hubungan / interaksi antara atasan

dan bawahan

• Masa kerja

• Jenis kelamin

18

Berbeda dengan beberapa pendapat diatas, menurut Zurasaka

(2008), OCB lebih dipengaruhi oleh kepribadian atau kecerdasan

emosi dibandingkan faktor-faktor situasional dan kondisi kerja atau

OCB merupakan mediator atau perantara dari faktor-faktor tersebut.

2.1.3.3 Manfaat Organizational Citizenship Behavior

Keuntungan OCB dapat dirasakan oleh organisasi itu sendiri

dan para karyawan yang berada di organisasi tersebut. Chen et al.,

(dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) mengatakan bahwa dimensi

OCB terutama altruism, conscientiousness, dan spotrmanship dapat

menurunkan tingkat turnover karyawan. Dan dua bentuk OCB lainnya

courtesy dan civic virtue dapat membuat karyawan lebih lama berada

di dalam pekerjaan, kualitas yang tinggi dalam perusahaan, dan

membantu kesuksesan peusahaan Menurut Organ, et al (2006)

Organizational Citizenship Behavior memiliki beberapa manfaat bagi

organisasi, yaitu:

1. Meningkatkan produktivitas rekan kerja

Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat

penyelesaian tugas rekan kerjanya, dengan begitu akan

meningkatkan produktivitas rekan tersebut.

2. Meningkatkan produktivitas manajer

Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan

membantu manajer mendapatkan saran dan umpan balik yang

berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas

unit kerja.

3. Menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan

organisasi secara keseluruhan

a. Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan

masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu

melibatkan manajer, konsekuensinya manajer akan

menggunakan waktunya untuk melakukan tugas lain seperti

membuat perencanaan.

b. Karyawan yang menampilkan conscentiousness yang tinggi

hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer,

19

sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab

yang lebih besar pada mereka, berarti membantu manajer

melakukan pekerjaan yang lebih penting.

c. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan

sangat menolong manajer karena tidak menghabiskan waktu

terlalu banyak dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.

4. Menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan

kelompok kerja

Karyawan menampilkan perilaku civic virtue akan membantu

koordinasi diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara

potensial meningkatkan efektivitas dan efesiensi kelompok.

5. Meningkatkan kinerja organisasi dan kemampuan organisasi

untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang baik.

6. Meningkatkan stabilitas kinerja organisasi

Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja,

akan meningkatkan stabilitas dari kinerja organisasi.

2.1.4 Dukungan Atasan

Dukungan atasan / supervisor mengacu pada persepsi karyawan

tentang hubungan mereka dengan atasan mereka dan seberapa baik karyawan

dapat mengandalkan atasan untuk peduli terhadap kepentingan individu (Hsu,

dalam Ibrahim, 2012). Hubungan ini juga dijelaskan oleh Gagnon dan

Michael (dalam Ibrahim, 2012) sebagai sejauh mana seorang karyawan

merasa bahwa mereka didukung oleh atasan mereka. Karyawan lebih

cenderung untuk tetap dengan organisasi jika mereka merasa bahwa atasan

mereka menghargai kontribusi dan kesejahteraan mereka, berkomunikasi

dengan baik dengan mereka, dan memperlakukan mereka dengan hormat dan

pengakuan (Eisenberger et al., dalam Ibrahim, 2012).

Dukungan atasan (Supervisor support) diartikan sebagai sudut

pandang karyawan terhadap supervisor (atasan) mereka dalam menilai

kontribusi mereka terhadap organisasi serta kepedulian atasan tersebut

terhadap kesejahteraan mereka (Rhoades et al., dalam Ardianto, 2009).

Atasan sendiri adalah sebuah jabatan fungsional yang dituntut untuk

20

berinteraksi dengan wewenang serta tanggung jawabnya pada dua kelompok,

yaitu pekerja sebagai bawahannya dan manajer sebagai atasannya.

Dukungan atasan menurut Likert (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen,

2012) dianggap menjadi faktor penting dalam mempengaruhi hasil kerja

karyawan. Dukungan atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan

memastikan bahwa karyawan memahami tujuan perusahaan dan mendorong

karyawan yang mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan daripada beralih

kepada pemberian hukuman.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

Dukungan atasan merupakan persepsi karyawan terhadap atasan mereka dan

seberapa baik atasan mereka peduli terhadap kepentingan dan kesejahteraan

karyawan sehingga mempengaruhi hasil kerja karyawan.

2.1.4.1 Dimensi Dukungan Atasan

Menurut Likert (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012)

Dukungan atasan dianggap menjadi faktor penting dalam

mempengaruhi hasil kerja karyawan. Bentuk dukungan yang

diberikan oleh atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan

memastikan bahwa karyawan memahami tujuan perusahaan dan

mendorong karyawan yang mengalami kesulitan dalam mencapai

tujuan daripada beralih kepada pemberian hukuman. Menurut

Hammer, Kossek, Anger, Bodner & Zimmerman (2011), dimensi

dukungan atasan terdiri dari :

1. Dukungan Emosional

Dukungan Emosional adalah dukungan yang

berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga

keadaan emosi, afeksi/ekspresi. Tipe dukungan ini lebih

mengacu kepada pemberian semangat, kehangatan, cinta kasih,

dan emosi. Dukungan ini juga menyatakan dukungan sosial

sebagai perilaku yang memberi perasaan nyaman dan membuat

individu percaya bahwa dia dikagumi, dihargai, dan dicintai

dan bahwa orang lain bersedia memberi perhatian dan rasa

aman.

21

2. Dukungan Instrumental

Dukungan Instrumental adalah dukungan yang berupa

bantuan dalam bentuk nyata atau dukungan material. Dukungan

ini mengacu pada penyediaan benda-benda dan layanan untuk

memecahkan masalah praktis. Dukungan ini menyatakan

bahwa dukungan ini meliputi aktivitas-aktivitas seperti

penyediaan benda-benda, misalnya alat-alat kerja, buku-buku,

meminjamkan atau memberikan uang dan membantu

menyelesaikan tugas-tugas praktis.

3. Dukungan Penghargaan

Dukungan Penghargaan adalah dukungan yang terjadi

bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu.

Dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada

seseorang bahwa dia dihargai dan diterima, dimana harga diri

seseorang dapat ditingkatkan dengan mengkomunikasikan

kepadanya bahwa ia bernilai dan diterima meskipun tidak luput

dari kesalahan.

4. Dukungan Informasional

Dukungan Informasional adalah dukungan yang berupa

pemberian informasi yang dibutuhkan oleh individu. Dukungan

ini dibagi ke dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, pemberian

informasi atau pengajaran suatu keahlian yang dapat memberi

solusi pada suatu masalah. Kedua adalah appraisal support,

yaitu pemberian informasi yang dapat membantu individu

dalam mengevaluasi performance pribadinya. Dukungan ini

dapat berupa pemberian informasi, nasehat, dan bimbingan.

5. Dukungan Integrasi Sosial

Dukungan Integrasi Sosial adalah perasaan individu

sebagai bagian dari kelompok. Dukungan ini dapat berupa

menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas,

rekreasional di waktu senggang. Dukungan ini dapat

mengurangi stres dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan

kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian

seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi

22

suatu suasana hati yang positif. Dukungan ini dapat meliputi

membuat lelucon, membicarakan minat, melakukan kegiatan

yang mendatangkan kesenangan.

2.1.4.2 Peranan Atasan/Supervisor

Supervisor (atasan) adalah orang yang paling menonjol dan

langsung berhubungan dengan pekerjaan individu, karena itu paling

mungkin untuk mewakili budaya organisasi atau iklim (Kozlowski

dan Doherty, dalam Zaigham, 2010), serta memiliki pengaruh

langsung terhadap perilaku bawahan. Dukungan atasan membantu

untuk menciptakan lingkungan dimana karyawan dengan mudah

terlibat dalam perilaku OCB. Menurut Eisenberger et al. (2002), ada

lima sudut pandang mengenai peranan atasan, yaitu :

a. Key man in management

Dalam sudut pandang ini atasan adalah orang yang membuat

keputusan, mengendalikan pekerjaan, mengintepretasikan

kebijakan dan secara umum dia adalah peran kunci dalam proses

penyelesaian tugas. Atasan mempresentasikan manajemen ke

pekerja dan disisi lain seorang atasan juga mempresentasikan

pekerja pada pihak manajemen.

Top Management

Supervisor

Worker

b. Man in the middle

Dalam sudut pandang ini atasan berada di antara 2 kekuatan

sosial yang saling bertentangan yaitu manajer dan pekerja. Di

satu sisi atasan dituntut manajemen untuk mengontrol produksi,

menjaga kedisiplinan pekerja dan mencegah terjadinya

kesalahan, tetapi di sisi lain atasan juga dituntut menjadi atasan

23

yang baik bagi pekerjanya dengan membantu mereka keluar dari

masalah serta mengintepretasikan perasaan dan keinginan

mereka pada pihak manajemen. Hal ini tentu saja menuntut

atasan untuk berupaya maksimal dan memiliki loyalitas tinggi

sehingga tidak jarang pada kondisi sepert ini seorang atasan

sering merasa tertekan.

Top Management

Supervisor

Worker

c. The marginal man

Konsep ini adalah sebuah pendekatan sosiologis yang

merujuk pada kenyataan bahwa seorang atasan berada di luar

atau dalam batas prinsip aktifitas dan pengaruh yang berkaitan

dengan departemennya.

Dengan kata lain atasan tidak berada dalam kekuasaan

manajemen, staff dan pekerja tetapi berdiri sendiri.

Top Management

Supervisor

Worker

d. Another worker

Dalam sudut pandang yang keempat ini atasan hanya

berubah nama, karena pada dasarnya seorang atasan tetaplah

seorang pekerja biasa, atasan dipandang sebagai “another

worker” karena 2 alasan. Pertama, karena atasan merasa

24

kehilangan wewenangnya, ia berada dalam lingkup pengambil

keputusan namun dia hanya pembawa keputusan tersebut.

Kedua, karena atasan merasa kehilangan status dan berpikir

bahwa pola yang ada hanya memposisikan dirinya sebagai pihak

yang mengintepretasikan kebijakan yang ada.

Top Management

Worker Supervisor

e. A human relations spesialist

Sudut pandang ini menganggap atasan sebagai staf pada

umumnya yang menangani sisi kemanusiaan (human) dari

operasional perusahaan dan mereka menanganinya sebagai sisi

teknikal. Dua hal yang terpenting dalam sudut pandang ini

adalah kemampuan berinteraksi dan bekerja sama dengan orang

lain.

Top Management

Staff (technical)

Supervisor (human)

Worker

2.1.4.3 Model pengawasan konseling dalam organisasi

Copeland, (2005) dalam bukunya yang berjudul “Counselling

Supervision in Organisation” menggambarkan bagaimana model

pengawasan konseling tertanam kuat dalam budaya organisasi,

budaya konseling dan pengawasan. Model tersebut akan terlihat pada

Gambar 2.1 sebagai berikut:

25

Sumber : Copeland, 2005; Counselling Supervision in Organisation

Gambar 2.1 Model pengawasan konseling dalam organisasi

2.1.4.4 Jenis – Jenis otoritas yang dimiliki atasan

Menurut Hughes dan Pengelly (dalam Copeland, 2005), ada

tiga jenis otoritas / kewenangan yang mencerminkan jenis kekuatan

atasan agar individu bekerja dalam konteks organisasi yang terdiri

dari :

a. Otoritas Peran (role authority)

Otoritas Peran adalah otoritas yang didelegasikan atau

pelimpahan wewenang untuk sebuah posisi dalam sebuah

organisasi sehingga seseorang dalam posisi tersebut dapat

melakukan pekerjaan dan memenuhi tanggung jawabnya. Dalam

hal ini atasan perlu memiliki posisi formal dalam organisasi

sehingga otoritas peran dapat berjalan.

Organizational Culture

Securing a supervisory

position Contracting for

supervisory work

Relationship within the

supervisory

Reporting back to the organisation

Evaluation, assessment, accreditation

Ending and new beginnings

Organizational Culture

Culture of

Supervisory

Counselling and

supervision

26

b. Otoritas Profesional (professional authority)

Otoritas Profesional didasarkan pada kompetensi dalam peran

kerja dan dapat diperoleh melalui pelatihan. Namun, itu hanya

diwujudkan dan diakui jika dipraktekkan dalam organisasi. Dalam

konteks organisasi, karyawan akan mengakui otoritas profesional

atasan mereka dan manajer lini mereka mungkin tidak akan

mengakui adanya otoritas profesional.

c. Otoritas Pribadi (personal authority)

Otoritas Pribadi adalah cara atasan menetapkan otoritas atau

kewenangan alami mereka dalam pengawasan peran dan

berkomunikasi dengan orang lain.

2.2 Kajian Penelitian Terdahulu

Menurut Chiang dan Hsieh (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) ditemukan

bahwa pemberdayaan psikologis dapat memprediksi OCB dan adanya hubungan

positif antara pemberdayaan psikologis dengan OCB. Hal ini terbukti dengan hasil

penelitian yang dilakukan di empat perusahaan kecil di China bahwa tingkat beta

antara pemberdayaan psikologis dengan OCB sebesar β = 0,40, p < 0,001. Dalam

studi tersebut juga di katakan bahwa dimensi makna dan kompetensi cenderung lebih

menunjukkan OCB. Hubungan yang berbeda antara dimensi makna dengan OCB

melibatkan kepedulian individu mengenai tugas dan nilai-nilai yang konsisten

dengan cita-cita atau standar yang di inginkan.

Oleh karena itu, individu dengan tingkat dimensi makna yang lebih tinggi

dapat mengidentifikasi kelompok kerja mereka dan terlibat dalam perilaku yang

lebih menunjukan peran ekstra. Hubungan positif antara kompetensi dan OCB dapat

dijelaskan dengan konsep self-efficacy yang didasarkan pada dua dimensi: harapan

hasil dan harapan keberhasilan. Harapan Hasil menunjukkan bahwa perilaku

seseorang diasumsikan akan menghasilkan hasil tertentu sedangkan harapan

keberhasilan dapat didefinisikan sebagai perilaku menuju hasil yang diharapkan.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Tseng (2013)

menyatakan bahwa Pemberdayaan Psikologis berpengaruh signifikan terhadap

Kepuasan Kerja. Hal ini terbukti dengan hasil penelitian yang dilakukan pada

Universitas Swasta di Taiwan bahwa tingkat pemberdayaan psikologis yang didapat

adalah β = 0.414, p < 0.001 dan koefisien korelasi kepuasan kerja dan pemberdayaan

27

psikologis adalah 0.739. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja

karyawan. Semakin tinggi identitas untuk pemberdayaan psikologis dari eksekutif

security kampus semakin tinggi kepuasan kerjanya. Dalam studi ini juga menemukan

bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam kognisi pemberdayaan psikologis antara

eksekutif security kampus karena perbedaan gender dan masa kerja. Sedangkan

untuk faktor status perkawinan, umur, pendidikan, masa kerja, bisnis utama, gaji

bulanan, jumlah staf, dan jumlah siswa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap

pemberdayaan psikologis. Oleh sebab itu setiap perusahaan harus memikirkan

bentuk pemberdayaan psikologis yang sesuai dengan kebutuhan keryawan karena

hubungan antara variabel pemberdayaan psikologis dengan kepuasan kerja saling

berkaitan.

Berdasarkan hasil penelitian Foote dan Thomas (2008) menyatakan bahwa

kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap OCB. Kepuasan kerja berpengaruh

signifikan terhadap OCB dengan tingkat signifikansi R = 0.37, R2 = 0.14, R 2 =

0.03, F = 4.70, p = 0.032 yang dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kepribadian dan

suasana hati. Temuan ini dapat memberikan wawasan tentang situasi di mana

keterlibatan karyawan dalam tim mandiri tidak menghasilkan perubahan sikap. Jika

anggota tim belum mengembangkan hubungan kerja yang memuaskan dalam tim

mereka, mereka tidak mungkin telah mengembangkan modal sosial yang dapat

menyebabkan tingkat komitmen terhadap tim yang lebih tinggi.

Dalam penelitian Zaigham (2010), ditemukan bahwa antara dukungan atasan

dengan OCB berhubungan positif dengan OCB dengan tingkat signifikansi R =

0,841. Analisis ini juga menunjukkan hubungan positif antara pemberdayaan dengan

OCB sebesar R = 0,814. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan atasan juga

memainkan peran penting dalam mempromosikan OCB. Bantuan atasan dapat

mendorong bawahan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting,

memotivasi dan memberikan penghargaan kepada bawahannya untuk kebaikan

kinerja mereka, bawahan kemudian akan melakukan pekerjaan dengan energi penuh

dan merasa bahagia dan melakukan banyak pekerjaan yang bermanfaat bagi

organisasi.

Jian-Liang dan Hai-Zhen (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa

kepuasan kerja memediasi pengaruh positif antara pemberdayaan psikologis terhadap

OCB. Hal ini terbukti ketika kepuasan kerja terlibat ke dalam model hubungan antara

pemberdayaan psikologis dan OCB, bobot beta pemberdayaan psikologis menurun

28

0,43-0,34 (p < 0,001), dan bobot beta kepuasan kerja adalah 0,18 (p < 0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa kepuasan kerja dimediasi hubungan antara pemberdayaan

psikologis dan OCB. Hubungan ini adalah bahwa ketika karyawan memiliki tingkat

kepuasan dengan pekerjaan mereka, mereka lebih mungkin untuk mengidentifikasi

organisasi mereka dan menunjukkan perilaku yang tidak langsung diakui tetapi

bermanfaat bagi organisasi sebagai pertukaran sosial.

Menurut Wallace et al (dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) ditemukan

bahwa efek positif pemberdayaan psikologis pada hasil kerja mungkin dimoderatori

oleh beberapa variabel. Misalnya, berbagi akuntabilitas menjadi moderator hubungan

antara iklim pemberdayaan psikologis dan kinerja layanan cepat restoran manajer.

Dukungan atasan mungkin menjadi faktor yang mempengaruhi pemberdayaan

psikologis, yang selanjutnya mengarah kepada hasil pekerjaan mereka. Sebuah studi

oleh Carless (dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) dukungan atasan diperlakukan

sebagai dimensi iklim organisasi dan ditemukan bahwa dukungan atasan memiliki

efek positif terhadap pemberdayaan psikologis.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jian-Liang dan Hai-Zhen (2012)

menemukan bahwa pemberdayaan psikologis secara langsung dan berpengaruh

positif terhadap kepuasan kerja dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap

komitmen organisasi dan OCB. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan

psikologis dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan dan komitmen organisasi

yang pada akhirnya akan meningkatkan OCB (Najafi et al, dalam Jian-Liang dan

Hai-Zhen, 2012). Penelitian tersirat mengungkapkan bahwa hubungan positif antara

pemberdayaan psikologis dan OCB mungkin dimoderasi oleh dukungan atasan

(Eisenberger et al, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Dukungan atasan

dianggap menjadi faktor penting dalam mempengaruhi hasil kerja karyawan (Likert,

dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012).

Dukungan atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan memastikan

bahwa karyawan memahami tujuan mereka dengan membantu dan mendorong

karyawan yang mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan daripada beralih pada

hukuman. Dengan demikian, dukungan atasan dianggap sebagai sikap positif,

konstruktif, dan membantu terhadap karyawan (Locke et al., dalam Jian-Liang dan

29

Hai-Zhen, 2012). Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan kerangka

pemikiran sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis

Pemberdayaan psikologis pertama kali diusulkan oleh Conger dan Kanungo

(dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) yang menganggap pemberdayaan sebagai

konsep motivasi self-efficacy. Dengan menggunakan teori Thomas dan Velthouse

(dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) sebagai landasan teoritis, Spreitzer (dalam

Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) mengembangkan skala yang banyak digunakan

dalam literatur untuk menilai empat komponen pemberdayaan yaitu : makna,

kompetensi, penentuan nasib sendiri, dan dampaknya. Makna melibatkan kesesuaian

antara persyaratan peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku.

Kompetensi atau yang sering disebut self-efficacy, mengacu pada keyakinan

individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan dengan keterampilan (Gist

dan Mitchell, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Penentuan nasib sendiri

mengacu pada pandangan individu dalam memulai dan mengatur tindakan (Deci

dkk., dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012).

Penentuan nasib sendiri mencerminkan kewenangan yang merupakan

kelanjutan dari perilaku dan proses. Dampak merupakan sejauh mana seseorang

dapat mempengaruhi hasil yang strategis atau kegiatan operasi di tempat kerja

(Ashforth, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Dewettinck dan van Ameijde

(dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) menemukan bahwa pemberdayaan

psikologis sebagian dimediasi oleh hubungan antara persepsi perilaku kepemimpinan

dan kepuasan kerja karyawan serta komitmen afektif.

Pemberdayaan Psikologis

Kepuasan Kerja

OCB

Dukungan Atasan

30

Pemberdayaan psikologis dapat menciptakan perilaku OCB karyawan karena

ketika karyawan merasa bahwa pekerjaan mereka sesuai dengan nilai-nilai mereka

sendiri, keyakinan, dan perilaku, mereka akan puas dengan pekerjaan mereka.

Akibatnya, karyawan menjadi lebih terlibat dan lebih teliti tentang pekerjaan mereka

dengan demikian dapat menunjukkan perilaku kerja yang lebih positif, seperti OCB.

Oleh karena itu wajar bagi seorang individu dengan tingkat self efficacy yang lebih

tinggi untuk menunjukkan perilaku lebih pada organisasi. Karyawan dengan harapan

yang tinggi terhadap diri mereka sendiri, cenderung untuk bekerja efektif dan

berhasil di tempat kerja sehingga akan melaksanakan tugas tambahan di luar

kewajiban formal. Selain itu, status mencerminkan pengaruh seorang individu

terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Individu yang merasa bahwa mereka

memiliki rasa hormat dan sikap professional atau kekaguman pada rekan-rekan

mereka, mereka akan lebih cenderung untuk berkontribusi dalam organisasi.

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :

Hipotesis 1: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan Psikologis

terhadap OCB di PT. Karya Bajatama Raya.

Thomas and Velthouse (dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012)

mendefinisikan pemberdayaan psikologis sebagai empat kognisi yang mencerminkan

orientasi karyawan untuk peran kerjanya yang terdiri dari makna, kompetensi,

penentuan nasib sendiri, dan dampak. Menurut Seibert et al., (dalam Jian-Liang dan

Hai-Zhen, 2012) Pemberdayaan Psikologis berhubungan positif dengan kepuasan

kerja dan berhubungan negatif dengan ketegangan karyawan dan intensitas turnover

karyawan. Hubungan ini mungkin bahwa pemberdayaan psikologis dapat membawa

pribadi terkait dengan pekerjaan (Thomas dan Tymon, dalam Jian-Liang dan Hai-

Zhen, 2012). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :

Hipotesis 2: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan Psikologis

terhadap Kepuasan Kerja di PT. Karya Bajatama Raya.

Robbins (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja mengacu pada sikap

seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan yang

tinggi, menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan. Sebaliknya, seseorang yang

tidak puas dengan karjanya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan

(Crossman, dan Bassem dalam Sani, 2013). Literatur psikologi sosial

mendokumentasikan hubungan antara suasana hati seseorang yang baik akan

menunjukkan kemungkinan seseorang untuk terlibat dalam perilaku atau tindakan

31

membantu. Kepuasan kerja dapat berhubungan dengan OCB ketika perilaku

seseorang mencerminkan atau mempengaruhi mood di tempat kerja, dan berdampak

positif pada perilaku OCB. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :

Hipotesis 3: Ada pengaruh yang signifikan antara Kepuasan Kerja terhadap

OCB di PT. Karya Bajatama Raya.

Atasan merupakan peran penting dalam meningkatkan karakteristik motivasi

dari lingkungan kerja seperti wewenang pekerjaan. Pemimpin yang efektif

seharusnya memberikan feedback tentang peran dan tugas yang dapat meningkatkan

pengalaman positif karyawan (Griffin, Patterson & Barat dalam Zaigham, 2010).

Bawahan yang bekerja dengan atasan yang kasar melakukan perilaku OCB dengan

bantuan dari rekan-rekan kerja (Zellars, Tepper & Duffy dalam Zaigham, 2010).

Menurut Studi Loke (dalam Zaigham, 2010) mengungkapkan bahwa perilaku

kepemimpinan memiliki dampak yang besar pada hasil karyawan. Seorang manajer

tidak hanya menggunakan perilaku kepemimpinan tetapi harus menggunakannya

dengan tepat untuk mempengaruhi karyawan sehingga mendapatkan hasil yang lebih

baik. Jika tidak, pihak lain akan mencoba untuk menyediakan lingkungan yang

mendukung untuk meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas dan komitmen

organisasi. Karyawan mampu mengidentifikasi sumber perlakuan tidak adil di

tempat kerja terutama pada atasan atau rekan kerja. Hal ini dapat menimbulkan

ketidakpuasan karyawan, kesulitan, dan perilaku agresif. (Ladebo, Awotunde &

Saghir dalam Zaigham, 2010). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :

Hipotesis 4: Ada pengaruh yang signifikan antara Dukungan Atasan

terhadap OCB di PT. Karya Bajatama Raya.

Hubungan positif antara kepuasan kerja dan pemberdayaan psikologis juga

telah dilaporkan dalam penelitian empiris (Chiang dan Hsieh, Dewettinck dan

Ameijde, Gregory et al, Seibert et al dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Selain

hubungan positif antara pemberdayaan psikologis, kepuasan kerja dan OCB, para

ahli menyarankan bahwa kepuasan kerja mungkin menjadi mediator antara

pemberdayaan psikologis dengan OCB (Bogler dan Somech dalam Jian-Liang dan

Hai-Zhen, 2012). Karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan lebih

mungkin untuk mengidentifikasi organisasi mereka dan lebih mungkin untuk

menunjukkan perilaku yang tidak langsung diakui tetapi bermanfaat bagi organisasi.

Para peneliti juga menemukan bahwa kepuasan kerja merupakan predictor positif

OCB (Payne dan Webber, Williams dan Anderson dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen,

32

2012). Pemberdayaan psikologis secara langsung dan berpengaruh positif terhadap

kepuasan kerja dan kepuasan kerja positif terhadap komitmen organisasi dan OCB

(Najafi et al., dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa

pemberdayaan psikologis dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan dan

komitmen organisasi pada akhirnya akan meningkatkan OCB. Berdasarkan uraian

diatas maka hipotesisnya adalah :

Hipotesis 5: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan Psikologis

terhadap OCB dengan Kepuasan Kerja sebagai variabel mediator di PT.

Karya Bajatama Raya.

Dukungan atasan dianggap menjadi faktor penting dalam mempengaruhi

hasil kerja karyawan (Likert, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Dukungan

atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan memastikan bahwa karyawan

memahami tujuan mereka dan membantu mendorong karyawan yang mengalami

kesulitan dalam mencapai tujuan daripada beralih hukuman. Dengan demikian,

dukungan atasan dianggap sebagai sikap positif yang membantu karyawan (Locke et

al., dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Menurut Taylor dan Bowers (dalam

Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) menemukan bahwa dukungan yang unggul dari

atasan berhubungan dengan produktivitas karyawan. Dukungan dari atasan dapat

memotivasi karyawan dengan melakukan pengawasan pada imbalan karyawan dan

tanggung jawab untuk aktivitas kerja (Steers dan Lyman, dalam Jian-Liang dan Hai-

Zhen, 2012). Oleh karena itu, dukungan atasan memiliki efek positif pada kedua

motivasi dan kinerja yang dihasilkan bawahan. Dengan demikian dapat

meningkatkan hubungan antara pemberdayaan psikologis dan OCB. Berdasarkan

uraian diatas maka hipotesisnya adalah:

Hipotesis 6: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan

Psikologis terhadap OCB dengan Dukungan Atasan sebagai variabel

moderator di PT. Karya Bajatama Raya.