asesmen paparan residu fungisida azoxystrobin … · konsumen di daerah istimewa yogyakarta beserta...
TRANSCRIPT
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Rushadi Jatmiko
NIM : 118114131
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Rushadi Jatmiko
NIM : 118114131
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pengesahan Skripsi Berjudul
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh :
Rushadi Jatmiko
Nim : 118114131
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Pada tanggal : . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Mengetahui
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Dekan
(Aris Widayanti, M.Si., Ph.D., Apt.)
Panitia Penguji Skripsi Tanda Tangan
1. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. . . . . . . . . . . . . . .
2. Dr. Christine Patramurti, M.Si., Apt. . . . . . . . . . . . . . .
3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. . . . . . . . . . . . . . .
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Aku persembahkan kerja keras yang telah aku lakukan untuk . . .
Allah SWT yang telah memberikan segala anugerah-Nya,
Mama yang sangat aku sayangi dan hormati atas pengorbanannya,
Keluarga besar ku yang telah memberiku semangat dan doanya,
Kasihku Meiliana N. Wijayanti yang selalu mendampingiku,
Sahabat-sabahatku tersayang,
Almamater yang kubanggakan.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul
“ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM
BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”, tidak memuat karya atau bagian
karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka,
sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiatisme dalam naskah
ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 14 Mei 2015 Penulis
Rushadi Jatmiko
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Rushadi Jatmiko
Nomor mahasiswa : 118114131
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM
BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA beserta perangkat
yang diperlukan bila ada. Dengan demikian, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengolah dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
ataupun royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Dengan demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 20 Januari 2016
Yang menyatakan,
Rushadi Jatmiko
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
perlindungan dan berkat yang telah diberikan sehingga skripsi berjudul
“ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM
BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA” yang disusun untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.
Farm.) dapat dikerjakan dengan baik dan lancar.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari campur
tangan berbagai pihak. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengungkapkan
rasa terimaksih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah membimbing, selalu mendampingi, dan memberikan saran selama
penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan kritik, saran dan nasehat selama penyusunan skripsi.
4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan kritik, saran dan nasehat selama penyusunan skripsi.
5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Penanggungjawab
Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam
penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.
6. Bapak Sanjayadi sebagai tutor yang baik untuk berdiskusi.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. Pak Parlan, Pak Mus, dan Pak Bimo selaku laboran laboratorium Fakultas
Farmasi yang telah membantu penulis dalam proses pelaksanaan penelitian di
laboratorium.
8. Keluargaku tercinta dan keluarga besarku yang selalu memberi motivasi,
perhatian dan doa demi kelancaran studi dan penyusunan naskah skripsi.
9. Mei sebagai teman terbaik, sahabat seperjalanan yang tak pernah usai atas
doa, kasih sayang, pengertian, perhatian, bantuan, motivasi dan waktu yang
diberikan.
10. Teman-teman seperjuangan melon atas segala kerjasama, bantuan dan
semangat yang selalu bergelora dalam penyusunan skripsi ini dari awal
hingga akhir.
11. Teman, sahabat Mas Uzi, Mas Nanang, Essy, Arum, Sri, Devi, Yosua, Dian,
Windy, dan Mala sekaligus keluargaku atas kebersamaan, kekeluargaan,
keceriaan, suka duka, semangat dan motivasi yang diberikan.
12. Teman-teman KKN, Meli, Gerson, Hervy, dan Ria atas kebersamaan, kerja
sama, dan dukungan yang diberikan.
13. Teman-teman FST-B 2011 dan seluruh angkatan 2011, serta seluruh teman
baik di Fakultas Farmasi maupun teman-teman lain, terima kasih atas
kebersamaan yang kita bangun.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna dan masih
banyak kekurangan sehingga penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak.
Akhir kata, penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak terutama di bidang ilmu farmasi.
Yogyakarta, 14 Mei 2015 Penulis
Rushadi Jatmiko
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................. v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ............................... vi
PRAKATA ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix
INTISARI ......................................................................................................... xxi
ABSTRACT .................................................................................................... xxii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1. Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
2. Keaslian Penelitian .................................................................................... 4
3. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
B. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
1. Tujuan Umum ............................................................................................ 6
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Tujuan Khusus ........................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7
A. Iklim Tropis ................................................................................................ 7
B. Melon ........................................................................................................ 10
1. Jenis tanaman Melon ............................................................................... 10
2. Kandungan Melon ................................................................................... 11
3. Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon .......................... 11
C. Budidaya Melon di Indonesia .................................................................... 13
D. Hama pada Perkebunan Melon .................................................................. 14
1. Ulat daun .................................................................................................. 14
2. Kutu Apids ............................................................................................... 14
3. Thirps ....................................................................................................... 15
4. Antraknosa ............................................................................................... 15
E. Fungisida .................................................................................................... 16
1. Pengertian Fungisida ............................................................................... 16
2. Kategori Fungisida................................................................................... 17
3. Pengambilan Fungisida oleh Tanaman .................................................... 19
4. Kriteria Aplikasi Fungisida yang Tepat ................................................... 21
F. Efek Buruk Fungisida Golongan Strobilurin ............................................. 22
G. Azoxystrobin ............................................................................................... 23
1. Disipasi Azoxystrobin ............................................................................. 24
2. Efek Toksik Azoxystrobin ........................................................................ 26
H. Analisis kelumit (Trace Analysis) .............................................................. 26
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
I. Penentuan Laju Disipasi Fungisida ............................................................ 28
J. Penilaian Keamanan Residu Fungisida ...................................................... 29
K. Landasan Teori ........................................................................................... 30
L. Hipotesis .................................................................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................... 33
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 33
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................................ 33
1. Variable Penelitian................................................................................... 33
2. Definisi Operasional ................................................................................ 34
C. Bahan Penelitian ........................................................................................ 35
1. Bahan Utama ........................................................................................... 35
2. Bahan Kimia ............................................................................................ 36
D. Alat Penelitian ............................................................................................ 36
E. Tata Cara Penelitian ................................................................................... 37
1. Persiapan Lahan Model Perkebunan Melon ............................................ 37
2. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon ............................. 38
3. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan .................... 39
4. Persiapan Sampel ..................................................................................... 39
5. Ekstraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon ........................ 40
6. Clean up Sampel Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon
dengan SPE C18 ...................................................................................... 41
7. Pembuatan Larutan Kurva Baku Azoxystrobin ....................................... 41
8. Determinasi menggunakan GC-ECD ...................................................... 43
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F. Tata Cara Analisis Hasil ............................................................................ 43
1. Penetapan Kadar Sampel ......................................................................... 43
2. Penentuan Laju Disipasi .......................................................................... 44
3. Penetapan Waktu Degradasi 50% (DT50) pada Sampel .......................... 44
4. Penentuan PHI (Pre Harvest Interval) .................................................... 44
5. Uji Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi .............................. 45
G. Alur Penelitian ........................................................................................... 45
1. Persiapan dan Perlakuan Lahan Permodelan ........................................... 45
2. Pengambilan Sampel Buah Melon........................................................... 46
3. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin, Laju Disipasi,
DT50, dan PHI pada Buah Melon ............................................................. 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 48
A. Persiapan Lahan Model Pekebunan Melon ................................................ 48
B. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon ............................... 52
C. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan Melon ........... 53
D. Preparasi Sampel Buah Melon ................................................................... 54
E. Extraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon ............................ 55
F. Clean up Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon
dengan SPE C18 ........................................................................................ 58
G. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin dalam Sampel
Buah Melon dengan GC-ECD ................................................................... 60
1. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon
pada Lahan Siliran, Kulon Progo............................................................. 65
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon
pada Lahan Panggungharjo, Bantul ......................................................... 67
3. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon
pada Lahan Wedomartani, Sleman .......................................................... 70
H. Penentuan Laju Disipasi Residu Azoxystrobin dalam Sampel
Buah Melon dan Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi ........... 72
1. Penetapan Laju Disipasi Redisu Azoxystrobin dalam
Sampel Daging, Keseluruhan, dan Kulit Buah Melon ............................ 72
2. Penetapan Pengaruh Kondisi Geografis terhadap Laju Disipasi
Residu Azoxystrobin pada Buah Melon ................................................... 75
I. Karakterisasi Keamanan Azoxystrobin dalam Buah Melon ....................... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 83
A. Kesimpulan ................................................................................................ 83
B. Saran .......................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 85
LAMPIRAN ...................................................................................................... 89
BIOGRAFI PENULIS .................................................................................... 114
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Komposisi Kimia Buah Melon/100g Bahan ................................ 11
Tabel II. Rincian Data Azoxystrobin ........................................................... 24
Tabel III. Klasifikasi Teknik dan Metode Analisis berdasarkan
Konsentrasi Analit dalam Sampel Menurut Namiestik (2002) .... 28
Tabel IV. Kondisi Optimum GC .................................................................. 43
Tabel V. Data Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban
(BMKG Yogyakarta) ................................................................... 49
Tabel VI. Data pH, Bahan Organik, Komposisi dan Kelas Teksture Tana
(Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM) ................................... 50
Tabel VII. Hasil Optimasi Larutan Semprot Azoxystrobin untuk Aplikasi ... 53
Tabel VIII. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Siliran, Kulon Progo ........ 65
Tabel IX. Hasil Uji F Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu
Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Kulon Progo . 66
Tabel X. Hasil Uji T Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada
Kulit dan Daging Buah Lahan Kulon Progo ................................ 67
Tabel XI. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Panggungharjo, Bantul ..... 68
Tabel XII. Hasil Uji F Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu
Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Bantul ........... 69
Tabel XIII. Hasil Uji T Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada
Kulit dan Daging Buah Lahan Bantul .......................................... 69
Tabel XIV. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Wedomartani, Sleman ....... 71
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XV. Hasil Uji Anova Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu
Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah Lahan Bantul, Sleman,
dan Kulon Progo .......................................................................... 77
Tabel XVI. Hasil Uji Least Significant Difference Slope dari Kurva Kadar
Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah di Lahan Kulon
Progo, Sleman dan Bantul ........................................................... 77
Tabel XVII. Laju Disipasi dan DT50 Residu Azoxystrobin Di Dalam
Buah Melon .................................................................................. 80
Tabel XVIII. PHI Penggunaan Fungisida Azoxystrobin .................................... 82
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Distribusi Residu Fungisida di Lingkungan ................................ 20
Gambar 2. Struktur Azoxystrobin (Mastova, 2008) ....................................... 24
Gambar 3. Skema Persiapan dan Perlakuan Buah Melon di Lahan
Permodelan .................................................................................. 45
Gambar 4. Skema Pengambilan Sampel Buah Melon di Lahan
Permodelan .................................................................................. 46
Gambar 5. Skema Penentapan Kadar, Laju Disipasi, DT50, dan PHI
Residu Fungisida Azoxystrobin pada Buah Melon ...................... 47
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap jumlah CO-Extraktan .............................. 56
Gambar 7. Kromatogram Baku Solvent ........................................................ 62
Gambar 8. Struktur Dekaklorobifenil (DCB) ................................................ 63
Gambar 9. Overlay Kromatogram (A) Puncak DCB dan (B) Puncak
Azoxystrobin pada GC-ECD ........................................................ 63
Gambar 10. Kurva Baku Kadar Azoxystrobin vs Rasio AUC Azoxystrobin
/ AUC DCB yang Diplotkan pada Program Power Fit ................ 64
Gambar 11. Grafik Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi
Lahan Kulon Progo ...................................................................... 73
Gambar 12. Grafik Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi
Lahan Bantul ................................................................................ 74
Gambar 13. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di
Lahan Sleman .............................................................................. 74
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 14. Kurva Pola Laju Disipasi Residu Azoxystrobin pada Buah
Melon di Lahan Bantul, Kulon Progo, dan Sleman ..................... 76
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
LAMPIRAN 1. Hasil Penelitian Tanah oleh Fakultas Pertanian UGM ......... 90
LAMPIRAN 2. Surat Permohonan Data Kondisi Geografis pada BMKG .... 91
LAMPIRAN 3. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Bantul oleh
BMKG DIY .......................................................................... 92
LAMPIRAN 4. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Sleman oleh
BMKG DIY .......................................................................... 93
LAMPIRAN 5. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Kulonprogo oleh
BMKG DIY .......................................................................... 94
LAMPIRAN 6. Hasil Pengamatan Curah Hujan di Daerah Bantul oleh
BMKG DIY .......................................................................... 95
LAMPIRAN 7. Foto Buah Melon .................................................................. 96
LAMPIRAN 8. Kerusakan Lahan Buah Melon Wedomartani, Sleman
Akibat Penyakit Antraknosa ................................................. 96
LAMPIRAN 9. Foto Lahan Sampel Perlakuan .............................................. 97
LAMPIRAN 10. COA Amistar ........................................................................ 99
LAMPIRAN 11. COA Standar Azoxystrobin ................................................. 100
LAMPIRAN 12. Langkah Preparasi Sampel Buah Melon ............................. 101
LAMPIRAN 13. Contoh Data Penimbangan Sampel ..................................... 104
LAMPIRAN 14. Kurva Baku Azoxystrobin ................................................... 105
LAMPIRAN 15. Contoh Perhitungan Penetapan Kadar ................................ 106
LAMPIRAN 16. Contoh Perhitungan, Laju Disipasi, DT50 dan PHI ............. 107
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 17. Contoh Perhitungan Signifikansi Data dengan Uji T .......... 108
LAMPIRAN 18. Label Penggunaan Formulasi Azoxystrobin Syngenta ........ 111
LAMPIRAN 19. Label Penggunaan Bibit Melon Action 434® ..................... 112
LAMPIRAN 20. Determinasi Tanaman Melon Sampel oleh
Fakultas Farmasi, UGM ...................................................... 113
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Pengendalian penyakit antraknosa pada buah melon sering menggunakan fungisida terutama dengan bahan aktif azoxystrobin. Senyawa azoxystrobin mempunyai sifat yang membahayakan mamalia, antara lain karsinogenik dan genotoksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data paparan residu fungisida azoxystrobin sebagai dasar penetapan kadar aman penggunaan fungisida azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menentukan pre harvest interval (PHI) pada aplikasi maksimal 3 x 1 ml/L dengan volume tinggi. PHI ditetapkan melalui laju disipasi dan DT50.
Tiga lahan model perlakuan terpilih dengan perbedaan geografik, cara tanam dan tekstur tanah di Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, dan Panggungharjo Bantul. Sampel diambil pada hari -1, 0, 1, 3, 5, 7, dan 14 setelah aplikasi terakhir. Sampel dipreparasi dengan metode modifikasi QuEChERS dan dideterminasi menggunakan GC ECD.
Hasil penelitian ini kadar residu fungisida azoxystrobin pada lahan penelitian Bantul dan Kulonprogo di kulit lebih besar daripada di daging buah dengan hasil signifikansi uji T thitung > ttabel dengan α 0,05 berturut-turut adalah thit 5,83 > ttabel 1,86 dan thit 4,68 > ttabel 1,81. Kondisi geografis lahan percobaan tidak berpengaruh terhadap laju disipasi residu azoxystrobin dengan hasil tidak signifikan pada uji ANOVA dengan α 0,05 > pvalue 0,03. Kadar residu azoxystrobin di dalam buah melon dapat dikatakan aman dengan kisaran PHI pada hari ke 7 yang didapatkan pada aplikasi sesuai label di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kadar di lahan Siliran, Kulon Progo sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg karena berada dibawah kadar positif list 0,01 mg/kg.
Kata kunci : Cucumis melo L., azoxystrobin, laju disipasi, pre harvest interval, GC ECD
xxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
The restraint of anthracnose in melon often uses fungicide especially azoxystrobin as the active substance. Azoxystrobin has characteristics that can harm mammals, i.e carcinogenic and genotoxic. This research has aimed to collect explanation data about azoxystrobin fungicide residual as basic determining of safety level in using azoxystrobin fungicide in melon in Special Region of Yogyakarta by determining the pre harvest interval (PHI) on maximum application 3 x 1 ml/L with high volume. PHI is determined through dissipation rate and DT50.
Three areas of model treatment were chosen with differences in geographic, planting system, and land texture. These areas were located in Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, and Panggungharjo Bantul. Sampels were taken on day -1, 0, 1, 3, 5, 7, and 14 after the last application. Sampels were prepared by using QuEChERS modification method and determined by using GC ECD.
The result of this research is that the azoxystrobin level in Bantul and Kulonprogo research area in the skin is bigger than it is detected in the fruit’s flesh with the significant score of T test tcount > ttable with α 0,05 is in a row tcount 5,83 > tcount 1,86 and tcount 4,68 > ttable 1,81. Geographical condition of the trial area did not influence the dissipation rate of azoxystrobin residual with the not-significant score of ANOVA test α 0,05 > pvalue 0,03. Azoxystrobin residual level in melon can be categorized as safe with PHI on the seventh day for the level of Siliran Kulon Progo area with the amount 0,010 mg/kg and 0,008 mg/kg for Panggungharjo Bantul and Wedomartani Sleman area because it is under positive list which is 0,01 mg/kg.
Keywords : Cucumis melo L., azoxystrobin, dissipation, pre harvest interval, GC ECD
xxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang
banyak dibudidayakan di Indonesia (Kristianingsih, 2010). Perkembangan
agrobisnis melon di Indonesia belakangan ini menunjukan prospek usaha yang
sangat menjanjikan. Dahulu usaha budidaya melon hanya berpusat di Cisarua
Bogor dan Kalianda Lampung, sekarang ini persebarannya semakin meluas ke
berbagai wilayah di Indonesia (Maimun, 2014).
Pada tahun 2014, produksi melon Indonesia mencapai 150,347 ton
dengan luas panen 8,185 ha yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Lampung dan Nusa Tenggara Barat (Julianto, 2013). Saat ini
Indonesia sedang digalakkan penanaman buah melon untuk menjadi produsen dan
eksportir buah tropis terbesar di Asia Tenggara (Abby, 2015). Menurut studi
pendahuluan, beberapa daerah di Yogyakarta telah membudidayakan melon.
Penanaman melon tersebar di Kabupaten Kulon Progo bagian bawah, Bantul dan
beberapa daerah Sleman bagian atas.
Melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan
(OPT) merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam usaha memantapkan produksi
pertanian. Berbagai usaha dilakukan oleh petani untuk melindungi tanaman dari
gangguan OPT agar terhindar dari kerugian secara ekonomi dalam usaha taninya
(DEPTAN, 1998).
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Seperti halnya tanaman lain, buah melon juga dapat diserang berbagai
penyakit. Salah satu penyakit yang sering dijumpai petani melon di Yogyakarta
adalah antraknosa (Anonim d, 2015). Antraknosa merupakan salah satu jenis
penyakit tanaman yang sering merepotkan petani atau pembudidaya. Kerugian
yang ditimbulkan oleh serangan antraknosa ini terbilang sangat besar, bahkan
tidak jarang penyakit antraknosa menimbulkan kegagalan panen (Kurniati, 2013).
Pengendalian penyakit antraknosa dilakukan secara kimiawi
menggunakan fungisida yang berbahan aktif seperti benomil, metil tiofanat,
carbendazim, difenoconazol, tebuconazol, clorotalonil, azoxystrobin dan
mankozeb (Anonim a, 2015). Azoxystrobin adalah senyawa β - metakrilat yang
secara struktural terkait dengan strobilurin alami, yang merupakan senyawa yang
berasal dari beberapa spesies jamur (FAO report CCPR, 2008). Senyawa
azoxystrobin mempunyai efek berbahaya bagi mamalia antara lain karsinogenik
dan genotoksik (CAC, 2014). Codex Alimentairus pada tahun 2014 menetapkan
acceptabel daily intake (ADI) of 0–0,2 mg/kgBB berdasarkan penelitian potensial
karsinogenik azoxystrobin terhadap tikus dengan kadar 300 ppm NOAEL setara
dengan 18,2 mg/kgBB per hari dan LOAEL 750 ppm setara dengan 34
mg/kgBB/hari.
Menurut studi pendahuluan, petani di daerah istimewa Yogyakarta sering
mengunakan difenokonazol dan azoxystrobin untuk membasmi antraknosa.
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul, dalam kegiatan budidaya
melon mulai dari tanam sampai memasuki waktu panen mayoritas petani
menggunakan pupuk kimia dan pestisida berlebihan sehingga kondisi ini merusak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kesuburan tanah (Hari, 2015). Hal ini juga tidak menutup kemungkinan residu
pestisida khususnya fungisida tersebut masih mengendap di tanaman melon.
Padahal, batas aman kadar maksimal residu senyawa azoxystrobin untuk buah
melon belum ditentukan oleh FAO sehingga mengacu pada tetapan batas aman
menurut positif list yaitu sebesar 0,01 mg/kg (The Japan Food Chemical Research
Foundation, 2015).
Supaya ketersediaan melon di pasaran tetap terjaga dan aman bagi
konsumen maka perlu mengetahui kadar residu fungisida azoxystrobin pada buah
melon dan pola laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada kondisi tropis di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini untuk menentukan selang waktu antara
aplikasi formulasi fungisida azoxystrobin terakhir hingga saat panen sehingga
dapat mengetahui waktu panen yang tepat dengan kadar residu fungisida
azoxystrobin yang rendah di bawah batas maksimum residu (BMR) di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memastikan buah melon
pada saat panen aman dikonsumsi dari residu fungisida azoxystrobin dengan cara
menentukan interval waktu aplikasi terakhir fungisida azoxystrobin hingga
dilakukan panen yang ditentukan dalam hari/pre harvest interval (PHI) fungisida
azoxystrobin berdasarkan laju disipasi residu fungisida azoxystrobin dari buah
melon di Daerah Istimewa Yogyakarta.
1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat ditentukan beberapa rumusan masalah
yaitu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
a. Berapa kadar residu azoxystrobin dalam kulit, daging, dan keseluruhan
buah melon dengan penggunaan kadar aplikasi 1ml/L kadar dengan
volume tinggi?
b. Apakah ada perbedaan pola laju disipasi residu fungisida azoxystrobin di
dalam buah melon yang dipengaruhi oleh perbedaan geografis lahan buah
melon yang digunakan?
c. Kapan pre harvest interval (PHI) yang aman dari residu fungisida
azoxystrobin pada buah melon setelah aplikasi fungisida azoxystrobin
dengan kadar 1ml/L dengan volume tinggi di Daerah Istimewa
Yogyakarta?
2. Keaslian Penelitian
Pada penelitian sebelumnya mengenai “Asesmen Paparan Residu
Fungisida Azoxystrobin dalam Buah Melon (Cucumis melo L.) terhadap
Keamanan Konsumen di Daerah Istimewa Yogyakarta” belum pernah dilakukan
di Indonesia khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun ada beberapa
penelitian yang dilakukan berkaitan dengan analisis kadar residu azoxystrobin.
Penelitian dengan judul “Azoxystrobin and Difenoconazole – Residue Study on
Melon in Italy, Spain and Southern France in 2008 and 2009” oleh Mitch Kelly
(2011) berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan 3
lahan melon yang berbeda dengan perbedaan ketinggian.
Penelitian ini membahas tentang 5 percobaan dengan tanaman melon
yang dikondisikan dengan variasi penggunaan azoxystrobin di Eropa Selatan.
Determinasi dari senyawa azoxystrobin di melon telah diteliti dan dievaluasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
residu yang ada. Data yang diperoleh menunjukkan residu dari azoxystrobin
ditetapkan pada kadar antara 0,01 mg/kg untuk limit of quantification (LOQ) pada
melon dengan perlakuan dan tidak terdeteksi kadar azoxystrobin di setiap melon
yang tidak diberi perlakuan (sampel pada pasar bebas).
Penelitian tentang “Dissipation Pattern of Azoxystrobin, Difenoconazole
and Iprodione Treated on Field-Grown Green Garlic” oleh Hye-Rim Kang dkk.
(2011) untuk menyelidiki pola disipasi 3 pestisida, azoxystrobin, difenoconazole
dan iprodione, pada bawang putih hijau setelah pestisida diaplikasikan di
lapangan sebagai obat daun dengan aplikasi tunggal yang direkomendasikan dan
dua kali lipat kadar yang direkomendasikan. Pada penelitian yang dilakukan tidak
menggunakan perbedaan kadar bertingkat sebagai aplikasi terhadap lahan yang
akan diberikan perlakuan.
Hasil dari penelitian ini adalah residu dari azoxystrobin, difenoconazole
dan ioprodin di bawang hijau masing-masing ada dibawah MRL di hari ke 0
untuk azoxystrobin, hari ke 0 untuk difenoconazole, dan hari ke 5 untuk
ioprodine. Kesimpulannya pestisida ini aman untuk digunakan dalam pertanian
dan aman untuk konsumen.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dalam bidang farmasi mengenai cara menentukan laju
disipasi dan waktu aplikasi terakhir yang tepat sebelum panen (pre
harvest interval) untuk fungisida azoxystrobin pada penggunaan 1ml/L
kadar dengan volume tinggi buah melon (Cucumis melo L.) di Daerah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Istimewa Yogyakarta sebagai dasar evaluasi keamanan residu fungisida
azoxystrobin pada buah melon (Cucumis melo L.).
b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model
penentuan laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada buah melon di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data paparan residu
fungisida azoxystrobin sebagai dasar penetapan kadar aman penggunaan fungisida
azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Tujuan khusus
a. Penelitian ini khususnya bertujuan untuk mengetahui kadar azoxystrobin
dalam kulit, daging, dan keseluruhan buah melon dengan penggunaan
kadar aplikasi 1ml/L kadar dengan volume tinggi.
b. Mengetahui pengaruh geografis lahan terhadap pola laju disipasi fungisida
azoxystrobin di dalam buah melon.
c. Mengetahui dan menetapkan pre harvest interval (PHI) yang aman
terhadap residu fungisida azoxystrobin untuk aplikasi fungisida
azoxystrobin pada tanaman melon dengan penggunaan kadar aplikasi
1ml/L kadar dengan volume tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Iklim Tropis
Indonesia terletak di dekat khatulistiwa dan memiliki iklim tropis. Dua
pertiga dari Indonesia terdiri dari hutan hujan tropis yang merupakan rumah bagi
sebanyak 40.000 tanaman yang berbeda dan terdapat banyak hewan langka
(Skwirk, 2015).
Variabel utama iklim di Indonesia bukan suhu atau tekanan udara, tapi
curah hujan. Terlintasi oleh garis khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropis
hampir seluruh daerah, dengan dataran pantai rata-rata 28°C, pedalaman dan
daerah pegunungan rata-rata 26°C dan daerah pegunungan yang lebih tinggi 23°C.
Kelembaban didaerah tersebut relatif cukup tinggi dan sejajar (Weather Online,
2015).
Kepulauan Indonesia berada di garis khatulistiwa. Hal ini berarti bahwa
seluruh daerah di Indonesia terletak di iklim tropis namun ada variasi cuaca di
pulau-pulau Indonesia yang berbeda. Secara umum iklim di seluruh Indonesia
panas dan lembab. Kelembaban menunjukkan volume kelembaban yang tinggi di
udara (Skwirk, 2015).
Meskipun sebagian besar wilayah Indonesia panas sepanjang tahun,
namun tidak di beberapa daerah. Seperti halnya gunung tertinggi di Indonesia,
puncak Jaya Wijaya yang memiliki tinggi hampir 5.000 meter dan bagian atas
ditutupi salju sepanjang tahun (Skwirk, 2015).
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Indonesia hanya memiliki musim penghujan dan kemarau. Musim hujan
biasanya berlangsung dari sekitar bulan November sampai Maret. Musim ini
terjadi ketika angin (dikenal sebagai angin monsoon) di arah pergeseran Indonesia
dan berasal dari Samudera Hindia. Angin ini membawa hujan lebat tetapi jumlah
hujan bervariasi di berbagai bagian Indonesia (Skwirk, 2015).
Musim kemarau biasanya dari akhir Mei sampai Oktober. Pada saat
musin ini angin muson bertiup dari arah yang berlawanan dengan musim hujan.
Angin kering dan memiliki curah hujan yang sangat sedikit. Selama musim
kemarau hutan dapat mengering dan kebakaran menjadi bahaya tersendiri, mirip
dengan kebakaran hutan di Australia (Skwirk, 2015).
Kondisi fisik di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat ditinjau dari
kondisi geografi, iklim, geologi, gomorfologi, jenis tanah, dan hidrologi daerah.
Kondisi geografi daerah menerangkan tentang posisi spasial daerah dalam
kaitannya dengan daerah lain yang ada di sekitarnya, baik dalam hal luas wilayah,
batas-batas wilayah, maupun batas-batas potensi sumberdaya alam kewilayahan.
Penggambaran kondisi geografi daerah dilakukan baik dengan deskripsi tulisan
maupun melalui presentasi peta wilayah (Pemda DIY, 2010).
Kondisi iklim suatu potensi sangat berpengaruh pada potensi daerah
bersangkutan, baik dalam potensi sumberdaya alam maupun dalam potensi
kebencanaan alam. Deskripsi klimatologis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang diuraikan berupa curah hujan dan suhu udara. Kedua parameter iklim ini
sangat berpengaruh pada potensi pengembangan sumberdaya alam, baik dilihat
sebagai potensi cadangan alamiah maupun potensi alam berkesinambungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Curah hujan sebagai input air ke permukaan bumi membawa akibat pada variasi
potensi hidrologi daerah bersangkutan, sehingga uraian hidrologi daerah tidak
boleh dipisahkan dengan kondisi klimatologisnya, terutama dengan curah hujan.
Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan mengalami proses-proses evaporasi
(kembali ke atmosfer sebagai uap air), infiltrasi (menjadi air tanah), dan
genangan/limpasan (sebagai air permukaan) (Pemda DIY, 2010).
Secara astronomis, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak antara
70 33' LS - 8 12' LS dan 110 00' BT - 110 50' BT. Komponen fisiografi yang
menyusun Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 (empat) satuan
fisiografis yaitu Satuan Pegunungan Selatan (Dataran Tinggi Karst) dengan
ketinggian tempat berkisar antara 150 - 700 meter, Satuan Gunungapi Merapi
dengan ketinggian tempat berkisar antara 80 - 2.911 meter, Satuan Dataran
Rendah yang membentang antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon
Progo pada ketinggian 0 - 80 meter, dan Pegunungan Kulon Progo dengan
ketinggian hingga 572 meter (Pemda DIY, 2010).
Curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata
27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin
muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat
basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson
tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-
16 knot/jam (Pemda DIY, 2010).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
B. Melon
Tanaman melon (Cucumis melo L.) berdasarkan Prajnanta (2003) secara
lengkap dilihat dari segi taksonomi tumbuhan, tanaman melon diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Kingdom : Platae
b. Divisio : Spermatophyta
c. Sub-divisio : Angiospermae
d. Kelas : Dikotiledoneae
e. Sub-kelas : Sympetalae
f. Ordo : Cucurbitales
g. Famili : Cucurbitaceae
h. Genus : Cucumis
i. Spesies : Cucumis melo L.
1. Jenis Tanaman Melon
Tanaman melon mempunyai banyak jenis, untuk mempermudah sistem
penanaman dan pengelompokan melon, para ahli mengklasifikasikan melon dalam
dua tipe, yaitu:
a. Netted-Melon adalah buah melon dengan kulit buah keras, kasar, berurat dan
bergambar seperti jala (net), aroma relatif lebih harum dibanding dengan
winter–melon, lebih cepat masak antara 75–90 hari, awet dan tahan lama
untuk disimpan (Samadi, 2007).
b. Winter-Melon adalah buah melon dengan kulit buah halus, mengkilat dan
aroma buah tidak harum, buah lambat untuk masak antara 90–120 hari, mudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
rusak dan tidak tahan lama untuk disimpan, tipe melon ini sering digunakan
sebagai tanaman hias (Samadi, 2007).
2. Kandungan Melon
Melon merupakan salah satu buah yang dikonsumsi daging buahnya,
baik untuk konsumsi segar atau olahan. Melon mengandung berbagai macam
komposisi kimia (Wirakusumah, 2000). Kandungan gizi dari 100 g melon dapat
dilihat dari tabel 1 berikut :
Tabel I. Komposisi Kimia Buah Melon/100 g Bahan
Komposisi Kimia Buah Melon/100 g Bahan Jumlah
Energi (kal) 21,0 Protein (g) 0,60 Lemak (g) 0,10 Karbohidrat (g) 5,10 Kalsium (mg) 15,00 Fosfor (mg) 25,00 Serat (g) 0,30 Besi (mg) 0,50 Vitamin A (SI) 640,00 Vitamin B1 (mg) 0,03 Vitamin B2 (mg) 0,02 Vitamin C (mg) 34,00 Niacin (g) 0,80
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon
a. Iklim. Pada faktor ini, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
proses perkembangan melon, yaitu angin , hujan, sinar matahari, suhu yang sejuk
dan kering antara 25-30°C serta kelembapan (Samadi, 2007). Tanaman melon
memerlukan curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun. Pertumbuhan tanaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
melon tidak banyak dipengaruhi oleh kelembaban udara, asalkan kadar air di
dalam tanah cukup tersedia (Prajnanta, 2003).
Kelembaban yang diperlukan berkisar ± 65%. Kelembaban yang tinggi
akan mempercepat perkembangan penyakit, jamur dan proses pemasakan. Angin
yang bertiup cukup keras dapat merusak pertanaman melon dan hujan yang turun
terus menerus juga akan merugikan tanaman melon (Prajnanta, 2003).
Tanaman melon membutuhkan tempat yang mendapat sinar matahari
penuh sekitar 10-12 jam/hari, suhu udaranya hangat dan kelembaban udaranya
relatif rendah. Selama proses perkecambahan idealnya pada suhu udara 28oC-
30oC, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal 25oC-30oC
(Rukmana, 1994).
b. Ketinggian tempat. Tanaman melon dapat tumbuh dengan cukup
baik pada ketinggian 300–900 mdpl namun, tanaman melon masih dapat
berproduksi dengan baik pada ketinggian 0-100 meter dpl. Apabila ketinggian
lebih dari 900 mdpl tanaman tidak berproduksi dengan optimal. Tanaman melon
dapat dipanen buahnya pada umur 65-75 hari setelah pindah tanam tergantung
pada varietas dan ketinggian tempat tumbuhnya. Melon yang ditanam di dataran
tinggi berumur lebih panjang daripada yang ditanam didataran rendah (Samadi,
2007).
Tanaman melon membutuhkan tempat yang mendapat sinar matahari
penuh sekitar 10-12 jam/hari, suhu udaranya hangat dan kelembaban udaranya
relatif rendah. Selama proses perkecambahan idealnya pada suhu udara 28oC-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
30oC, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal 25oC-30oC
(Rukmana, 1994)
c. Tanah. Jenis tanah yang paling ideal untuk melon adalah tanah
geluh berpasir yang lapisan olahnya dalam, tidak mudah becek (menggenang),
subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, dan pHnya antara 6,0-6,8
meskipun masih toleran pada pH antara 5,8-7,2 (Rukmana, 1994).
C. Budidaya Melon di Indonesia
Menurut asal-usulnya, konon tanaman melon berasal dari daerah
Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan
Afrika. Secara khusus ada yang menyebutkan bahwa melon berasal dari lembah
Persia (Syria). Tanaman ini kemudian menyebar secara luas ke Timur Tengah dan
merambah ke Eropa (Denmark, Belanda, dan Jerman). Dari Eropa, Melon dibawa
ke Amerika pada abad ke-14 dan ditanam secara luas di daerah Colorado,
California, dan Texas. Akhirnya, tanaman melon menyebar ke segala penjuru
dunia, terutama pada daerah tropis dan subtropis mulai dari Jepang, Cina, Taiwan,
Korea, Australia, hingga berkembang di Indonesia (Prajnanta, 1997).
Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Buah melon banyak digemari oleh masyarakat karena
buahnya yang berasa manis dan mengandung banyak air sehingga menyegarkan
apabila dimakan. Tanaman melon ini juga memiliki arti penting bagi
perkembangan sosial ekonomi masyarakat khususnya dalam meningkatkan
pendapatan petani, karena dirasa buah melon memiliki nilai ekonomis yang lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
tinggi, adapun arti penting yang lain adalah sebagai perbaikan gizi masyarakat dan
perluasan kesempatan kerja (Kristianingsih, 2010).
Perkembangan agrobisnis melon di Indonesia belakangan ini menunjukan
prospek usaha yang sangat menjanjikan. Bila dulunya usaha budidaya melon
hanya berpusat di Cisarua Bogor dan Kalianda Lampung, sekarang ini
persebarannya semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya saja
seperti di Daerah Grobogan, Malang, Ngawi, Pacitan, Madiun, Blitar, Sukoharjo,
Surakarta, Karang Anyar, Klaten, Kulon Progo Yogyakarta, Banten, dan lain
sebagainya (Maimun, 2014).
D. Hama pada Perkebunan Melon
Budidaya melon di daerah tropis seperti Indonesia cukup rentan dengan
serangan hama dan penyakit. Hama yang biasa menyerang budidaya melon antara
lain kutu daun, lalat buah, ulat daun, thrips, tungau. Sedangkan penyakit yang
menyerang antara lain antraknosa, busuk buah, busuk batang dan mosaik (Sobir
dan Firmansyah, 2014).
1. Ulat Daun
Ulat daun dikenal juga dengan ulat jengkal atau ulat grayuk. Daun
tanaman yang terserang tanaman ini tampak menggulung dan berlubang-lubang,
akhirnya meranggas hingga tinggal daunnya. Penanggulangan ulat daun dapat
dilakukan dengan cara teknis dan mekanis (Sobir dan Firmansyah, 2014).
2. Kutu Aphids
Hama ini mempunyai getah cairan yang mengandung madu dan di lihat
dari kejauhan mengkilap. Hama ini menyerang tanaman melon yang ada di lahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
penanaman. Aphids muda yang menyerang melon berwarna kuning, sedangkan
yang dewasa mempunyai sayap dan berwarna agak kehitaman. Gejala yang
ditimbulkan dari daun tanaman menggulung dan pucuk tanaman menjadi kering
akibat cairan daun yang dihisap hama (Sobir dan Firmansyah, 2014).
3. Thirps
Hama ini menyerang saat fase pembibitan sampai tanaman dewasa.
Nimfa thirps berwarna kekuning-kuningan dan thirps dewasa berwarna coklat
kehitaman. Thirps berkembang biak sangat cepat secara partenogenesis (mampu
melahirkan keturunan meskipun tidak kawin). Serangan dilakukan di musim
kemarau. Gejala: daun-daun muda atau tunas-tunas baru menjadi keriting, dan
bercaknya kekuningan; tanaman keriting dan kerdil serta tidak dapat membentuk
buah secara normal. Kalau gejala ini timbul harus diwaspadai karena telah tertular
virus yang dibawa hama thirps (Sobir dan Firmansyah, 2014).
4. Antraknosa
Antraknosa merupakan penyakit disebabkan oleh cendawan
Colletotrichum sp (Suryanto, 2010). Cendawan termasuk dalam Thallophita.
Makhluk hidup ini tidak mempunyai pigmen klorofil sehingga hidup sebagai
saprofit maupun parasite (Pracaya, 2007).
Gejala serangan cendawan Collectotrichum sp adalah adanya bercak
berwarna hitam dibagian kulit buah dan bercak tersebut sedikit demi sedikit
bersatu, kemudian daging buah membususk. Daun yang terserang cendawan ini
akan timbul bercak tidak teratur dengan ukuran kuran lebih 5 mm. pusat bercak
akan pecah sehingga menyebablan daun berlubang. Pada tangkai daun, serangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menyebabkan daun layu dan rontok. Serangan pada batang muda menyebabkan
bercak berwarna kelabu dan dapat berkembang. Serangan pada bagian bunga
menyebabkan bintik-bintik kecil berwarna hitam, terutama pada keadaan cuaca
lembab (Suryanto, 2010).
Penyakit antraknosa menyerang berbagai jenis tanaman. Penyakit ini
sangat sulit dikendalikan, terutama jika kelembaban areal pertanaman sangat
tinggi. Bagian tanaman yang terserang penyakit patek atau antraknosa pada
umumnya adalah buah atau daun. Penyakit patek atau antraknosa menyerang pada
bagian daun terutama pada tanaman sansevieria, anggrek, bromelia, miracle,
seledri, dan melon. Penyakit ini juga sering menyerang buah, terutama pada
tanaman melon, apel, cabai, tomat, mangga, kopi, pepaya, alpukat, dan sebagainya
(Kurniati, 2013).
Cara menghindari serangan hama dan penyakit dengan dilakukan kultur
teknis seperti rotasi tanaman, pemupukan berimbang dan menjaga sanitasi kebun.
Bila hama dan penyakit telah menyerang semprot dengan pestisida yang cocok.
Bisa pestisida organik atau pestisida sintetis. Lakukan penyemprotan sesuai
dengan dosis anjuran (Sobir dan Firmansyah, 2014).
E. Fungisida
1. Pengertian Fungisida
Fungisida merupakan salah satu jenis dari pestisida yang mengontrol
penyakit jamur dengan menghambat atau membunuh jamur penyebab penyakit.
Namun, tidak semua penyakit yang disebabkan oleh jamur dapat dikendalikan
menggunakan fungisida (McGrath, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
2. Kategori Fungisida
Fungisida dikategorikan dengan beberapa cara menurut perbedaan
karakteristiknya. Karakteristik yang umum digunakan dalam pengkategorian
dijelaskan sebagai berikut:
a. Mobilitas di dalam tanaman. Berdasarkan kategori ini, fungisida
dibagi menjadi kontak dan sistemik. Fungisida kontak disebut dengan protectant
sedangkan sistemik disebut dengan penetrant. Fungisida kontak merupakan
fungisida yang tetap berada dipermukaan tanaman. Penggunaan yang terlalu
banyak berpotensial toksik terhadap tanaman (phytotoxic).
Penetrant atau fungisida sistemik merupakan fungisida yang diserap
dalam tanaman. Penetrant ini memiliki beberapa pergerakan setelah aplikasi,
diantaranya bergerak dalam jarak yang sangat dekat dari tempat aplikasi (sistemik
lokal atau translaminar), sistemik lemah yang dapat bergerak lebih jauh
dibandingkan sistemik lokal, xylem-mobile systemic dan phloem-mobile systemic
yang bekerja jauh lebih luas.
b. Peran dalam proteksi. Terdapat dua macam kategori fungisida yaitu
preventif dan kuratif. Fungisida kontak termasuk dalam fungisida preventif yang
cocok untuk pencegahan dengan aksi kontak pada permukaan tanaman, aplikasi
ulang diperlukan pada fungisida kontak untuk melindungi pertumbuhan tanaman
baru dan mengganti materi yang telah hilang akibat hujan, irigasi, atau
terdegradasi oleh factor lingkungan seperti matahari. Fungisida sistemik mampu
menembus tanaman sehingga beberapa fungisida sistemik baik untuk preventif
maupun kuratif (eradicant atau kick-back).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
c. Luasnya aktivitas. Berdasarkan luasnya aktivitas, fungisida
terdapat dua macam kategori yaitu single-site dan multi-site. Single-site berarti
hanya aktif pada satu titik dalam satu jalur metabolisme patogen atau melawan
kritikal enzim tunggal atau protein yang dibutuhkan oleh jamur. Fungisida ini
memiliki spesifikasi toksisitas yang tinggi, memiliki efek kecil pada sebagian
besar organisme, dan memiliki sifat sistemik. Biasanya, fungisida kontak yang
lebih tua memiliki aktivitas multi-site dan dengan demikian biasanya
mempengaruhi banyak jamur di kelas yang berbeda.
d. Modus aksi. Fungisida membunuh jamur dengan mengganggu
membran sel jamur, inaktivasi kritikal enzim atau protein, atau dengan
mengganggu proses kunci seperti produksi energi atau respirasi. Dampak lainnya
adalah mengganggu jalur metabolik spesifik seperti produksi sterol atau chitin.
Sebagai contoh, fungisida phenylamide mengikat dan menghambat fungsi RNA
polymerase dari Oomycetes, sedangkan fungisida benzimidazole menghambat
formasi beta tubulin polymerase yang digunakan oleh sel selama pembelahan inti
nukleus.
Pengetahuan secara tepat mengenai bagaimana fungisida mempengaruhi
jamur sangat membantu dalam memilih produk. Pertama, modus aksi menentukan
jamur akan dipengaruhi oleh fungisida dan dengan demikian penyakit dapat
dikontrol dengan menggunakan fungisida. Kedua, fungisida dengan modus aksi
yang lain dibutuhkan dalam program manajemen penyakit untuk menunda
perkembangan resistensi fungisida.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
e. Tipe bahan kimia. Terdapat dua kategori fugisida berdasarkan tipe
bahan kimia yaitu : anorganik dan organik. Fungisida juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan komposisi kimia. Secara kimia, molekul organik memiliki atom
karbon di dalam struktur kimianya sedangkan anorganik tidak punya. Banyak
fungisida anorganik pertama kali dikembangan berbahan sulfur atau logam ion
seperti tembaga, timah, kadnium dan merkuri. Tembaga dan sulfur masih banyak
digunakan. Kebanyakan fungisida lain yang digunakan saat ini adalah fungisida
organik dan terdapat karbon. Istilah "organik" yang digunakan di sini berdasarkan
terminologi kimia dan berbeda dari "organik" yang digunakan untuk
menggambarkan suatu sistem pertanian yang berusaha untuk menjadi holistik dan
meningkatkan kesehatan agroekosistem (McGrath, M.T. 2004).
3. Pengambilan Fungisida oleh Tanaman
Penggunaan fungisida dapat dilakukan dengan cara semprot, tabur,
injeksi pada batang dan lain-lain. Sebagian besar fungisida diaplikasikan dengan
cara disemprot terutama pestisida dalam bentuk konsentrat teremulsikan (Kamali,
2008). Setelah penyemprotan, pestisida terdistribusi di udara, tanah, air, tumbuhan
dan manusia, seperti pada gambar menurut EXTOXNET (1993) dibawah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Gambar 1. Distribusi Residu Fungisida di Lingkungan
Residu fungisida yang berada di udara dan lama-kelamaan jatuh ke tanah.
Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap dan bersifat persisten, fungisida
berada di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Fungisida yang sudah
berada di dalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai
ke badan air penerima berupa sungai dan sumur. Fungisida yang disemprotkan
pada tanaman akan meninggalkan residu. Residu terdapat pada semua bagian
tumbuhan seperti batang, daun, buah, dan akar. Khusus untuk buah, residu
terdapat pada permukaan atau masuk ke dalam daging buah tersebut (Kamali,
2008).
Fungisida yang berada di tanaman dapat mengalami translokasi.
Translokasi atau pengambilan fungisida dalam tanaman dapat terjadi ke arah atas
(akropetal), bawah (basipetal) atau lateral. Translokasi ke bagian atas tanaman
berlangsung melalui pembuluh xylem, dimana arah lajunya sangat dipengaruhi
oleh transpirasi tanaman. Fungisida yang terserap melalui daun berasimilasi dan
cenderung berpindah ke dalam batang, yaitu melalui floem serta berakumulasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
dalam bagian yang tumbuh dari tanaman seperti akar dan ujung tanaman. Ini
merupakan pola pergerakan yang normal untuk fungisida sistemik yaitu fungisida
yang dapat diabsorpsi dan ditranslokasi oleh tanaman (Kamali, 2008).
4. Kriteria Aplikasi Fungisida yang Tepat
Untuk memperkecil dampak negative fungisida, terutama mengurangi
residu fungisida pada hasil pertanian, maka aplikasi fungisisda harus memenuhi 6
(enam) kriteria tepat, yaitu:
a. Tepat jenis. Jenis fungisida yang digunakan efektif terhadap OPT sasaran
hasil pengamatan rutin, dapat dibaca pada label kemasan.
b. Tepat mutu. Fungisida yang digunakan bermutu baik. Oleh karena itu
digunakan fungisida yang telah terdaftar dan diizinkan, tidak menggunakan
fungisida yang telah rusak, kadaluwarsa atau diduga palsu.
c. Tepat sasaran. Berdasarkan hasil pengamatan rutin secara tepat di
identifikasi jenis OPT usahakan hanya bagian tanaman yang diaplikasikan
OPT.
d. Tepat dosis dan konsentrasi. Dosis dalam liter atau kilogram fungisida per
hektar luas tanaman dan konsentrasi dalam milliliter atau gram fungisida per
liter cairan semprot yang digunakan sesuai petunjuk penggunaan pada label
kemasan.
e. Tepat waktu aplikasi. Aplikasi fungisida dilakukan pagi atau sore hari, saat
udara cerah, angin tidak terlalu kencang, dan tidak hujan. Disamping itu
OPT masih stadia awal/peka, dan poplulasi atau intensitas serangnya sudah
melampaui ambang pengendalian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
f. Tepat cara dan alat aplikasi. Cara aplikasi fungisida harus sesuai antara alat
yang digunakan dengan jenis pestisidanya dan fase tanaman yang disemprot
serta OPT sasaran (DEPTAN, 1994).
F. Efek Buruk Fungisida Golongan Strobilurin
Pestisida strobilun termasuk dalam kelompok fungisida baru dengan
registrasi azoxystrobin yang diterima EPA pada tahun 1997. Kemudian diikuti
trifloxystrobin pada tahun 1999 dan registrasi yang paling terbaru adalah
pyraclostrobin. Ketiganya merupakan agen yang efektif terhadap beberapa
patogen tanaman penting, tetapi juga memiliki beberapa sifat yang unik.
Azoxystrobin, trifloxystrobin dan pyraclostrobin merupakan family pertama
fungisida yang menyediakan control dari tiga tipe utama jamur patogenik tanaman
dan karena afinitasnya yang kuat terhadap lilin di permukaan tanaman. Mereka
mampu untuk translokasi dari atas permukaan daun sampai ke bawah
menyediakan kontrol pada kedua permukaan.
Strobilun memiliki berbagai tempat aplikasi yang memungkinkan untuk
digunakan tergantung pada produk. Strobilun terdaftar dapat digunakan pada
buah jeruk, tanaman kecil dan pohon, turfgrass, bidang dan sayuran, dan banyak
komoditas khusus. Setelah peluncuran produk fungisida ini, laporan resistensi
jamur tertentu di laporkan pertama oleh negara-negara di Asia dan Eropa, dan
berkembang sampai Amerika Utara. Strobilurin memiliki aksi yang spesifik
(menghambat respirasi pada mitokondria yang dapat mencegah perkembangan
spora dan tumbuhnya mycelial), karena hal ini menyebabkan strobilurin memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
resiko resistensi yang tinggi. Strobilurin dikatergorikan pada kategori 3 bahan
berbahaya dan dapat menyebabkan efek akut pada oral, dermal, dan pernapasan.
Pada penelitian yang telah dilaporkan, kadar yang dapat menyebabkan
toksisitas akut pada 60 kg berat badan dipaparkan sebagai berikut : konsumsi oral
dari 500 sampai 5.000 mg/kg berat badan, paparan kulit dari 2.000 sampai 20.000
mg/kg berat badan, atau menghirup 2,0-20,0 mg/L. Konsumsi oral yang
menyebabkan toksisitas akut akan sama dengan satu ons untuk satu kali paparan
sebagai dosis yang mematikan. Mereka dianggap non-onkogenik pada tikus uji di
studi toksisitas kronis. Strobilurins beracun bagi ikan dan invertebrata air. Label
produk mereka memiliki pernyataan mengenai penggunaan tindakan pencegahan
di sekitar air dan bidang yang menjadi perhatian yaitu air tanah. Dampak ekologi
lainnya tampak diabaikan (Frederick, 2015).
G. Azoxystrobin
Azoxystrobin adalah senyawa β - metakrilat yang secara struktural terkait
dengan strobilurins alami, yang merupakan senyawa yang berasal dari beberapa
spesies jamur. Azoxystrobin mempunyai spektra yang luas, fungisida sistemik
yang bertindak dengan menghambat transport elektron dalam jamur patogen.
Senyawa ini memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan terhadap
penyakit jamur yang disebabkan oleh kelompok Ascomycota, Deuteromycota,
Basidiomycota, dan Oomycota (FAO report CCPR, 2008). Senyawa Azoxystrobin
mempunyai efek berbahaya bagi tubuh manusia karena paling banyak
distribusinya terdapat pada ginjal dan hati (European Commision, 1998). Rincian
gambar dan data azoxystrobin dapat dilihat pada gambar dan tabel dibawah ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Gambar 2. Struktur Azoxystrobin (Mastova, 2008).
Tabel II. Rincian Data Azoxystrobin Nama ISO : Azoxystrobin
IUPAC
:Methyl(E)-2-{2[6-(2-cyanophenoxy)pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-methoxyacrylate
CAS No. : 131860-33-8
CIPAC No. : 571
Rumus molekuler : C22H17N3O5
Berat molekul : 403.4 g/mol
Penampakan : serbuk putih dengan bau yang khas
Titik lebur : 116 ºC
Log Pow : 2.5 (20 ºC, pH 7)
Kelarutan dalam air : 6 mg/L dalam aquades
Kelarutan dalam metanol : 20 g/L
Kelarutan dalam asetonitril : 340 g/L
Kelarutan dalam aseton : 86 g/L
Kelarutan dalam Hexan : 0.057 g/L (FAO, 2015).
1. Disipasi Azoxystrobin
Pada lingkungan terbuka azoxystrobin cepat terdegradasi, salah satunya
dikarenakan fotolisis oleh sinar matahari, dan degradasi mikrobia. Hasil dari
residu ini seperti metabolitnya juga dapat terdegradasi selama berada di tanah atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
perairan. Hasil metabolit ini dimineralisasi menjadi karbondoksida. Beberapa
hasil metabolit azoxystrobin telah diteliti senyawa metabolit ini sudah tidak
berbahaya untuk makhluk hidup berbeda dengan senyawa utamanya azoxystrobin
(Syngenta, 2005).
Dalam lingkungan perairan, paparan azoxystrobin akan dibatasi oleh sifat
fisik dan kimia dari azoxystrobin. Setelah azoxystrobin berada diperairan,
azoxystrobin akan hilang dengan teradsorpsi pada sedimen dan terdegradasi
mikroba. Faktor-faktor ini dengan tingkat aplikasi yang rendah dalam penggunaan
azoxystrobin akan menjadikan paparan pada spesies non-target di lingkungan
perairan akan rendah juga. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa
azoxystrobin beracun untuk organisme air. Namun, penilaian mengenai risiko
azoxystrobin menunjukkan bahwa risiko untuk organisme air dan lingkungan air
toksisitasnya rendah (Syngenta, 2005).
Setelah aplikasi pada daun beberapa azoxystrobin ditemukan pada
permukaan daun. Beberapa azoxystrobin juga ditemukan setelah aplikasi di tanah
karena terbasuh oleh air hujan dan akan berikatan dengan bahan organic didalam
tanah. Oleh karena itu pergerakan Azoxystrobin sangat terbatas (Syngenta, 2005).
Azoxystrobin di lingkungan terdegradisi dengan 2 cara yaitu terdegradasi
dipermukaan tanah karena fotolisis dan mikroba. Berdasarkan beberapa penelitian
di lapangan menghasilkan kesimpulan persistensi azoxystrobin di permukaan
tanah tidak ada korelasi langsung dengan pH dan bahan organik dikarenakan ada
fotolisis dan mikroba. Penelitian juga menyatakan indikasi laju degradasi
azoxystrobin dipermukaan tanah akan meningkat ketika aktivitas mikroba juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
meningkat. Pada permukaan tanah laju degradasi azoxystrobin meningkat ketika
intensitas dan lama penyinaran matahari juga meningkat (Syngenta, 2005).
2. Efek Toksik Azoxystrobin
Setelah diluncurkan di Eropa pada tahun 1996, Amistartop® diproduksi
oleh Syngenta, menjadi salah satu fungisida yang ada di rangking atas kurang dari
3 tahun. Salah satu komponen aktif dalam Amistartop® adalah azoxystrobin
(Tomlin, 2000). Strobilurins bertindak untuk menghambat transfer elektron dalam
jalur respirasi di mitokondria, mengganggu metabolisme dan mencegah
pertumbuhan jamur (Tomlin, 2000). Hasil penghambatan ini meregangkan
oksidatif seluler yang disebabkan oleh elektron yang lepas dari rantai pernapasan ,
yang dapat didetoksifikasi oleh mitokondria superoksida dismutase mangan
(MnSOD) (Kimura dkk., 2007). Azoxystrobin mempunyai dampak racun yang
akut rendah dan kronis bagi manusia, burung, mamalia, dan menjadi sangat
beracun bagi ikan air tawar, invertebrata air tawar, dan muara/ikan laut, dan
sangat beracun pada binatang muara/vertebrata (Tomlin, 2000). Bukan hanya itu
senyawa azoxystrobin mempunyai efek berbahaya bagi mamalia antara lain
karsinogenik dan genotoksik (CAC, 2014).
H. Analisis Kelumit (Trace Analysis)
Analisis kelumit (trace analysis) adalah analisis (pengukuran jumlah
suatu zat) yang dilakukan pada keadaan konsentrasi analit pada sampel sangat
kecil dan menyebabkan kesulitan dalam memperoleh hasil yang dapat dipercaya.
Umumnya dilakukan pada kisaran di bawah bagian per juta (part per million
/ppm) misalnya 1 ppm =1μg/g = 0,0001% atau 1 mg/L untuk cairan. Selain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
disebabkan karena rendahnya konsentrasi analit dalam matriks, ada beberapa
factor yang mungkin dapat mempengaruhi kesulitan yang dirasakan oleh analis
pada konsentrasi rendah, seperti kehilangan analit, kontaminasi, atau interferensi
(Prichard, MacKay, Points, 1996).
Beberapa masalah yang sering terjadi dalam analisis kelumit adalah:
1. Konsentrasi analit yang akan ditentukan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan konstituen lain yang ada dalam matriks.
2. Adanya kontaminasi dari reagen, alat, atau lingkungan laboratorium yang
dapat menghasilkan false results.
3. Hilangnya analit akibat adsorpsi, degradasi, atau selama proses analisis.
4. Konstituen matriks dapat mengganggu sistem deteksi yang digunakan,
menyebabkan nilai palsu menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan
pemurnian yang lebih baik dan atau detektor yang lebih selektif.
5. Hasil yang diperoleh dengan teknik instrumen yang umum digunakan
kurang tepat dibandingkan dengan menggunakan prosedur klasik.
6. Secara umum, sulit untuk memastikan keandalan metode karena material
referensi yang tersedia untuk berbagai aplikasi analisis kelumit cukup
sedikit (Prichard, MacKay, Points, 1996).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Tabel III. Klasifikasi Teknik dan Metode Analisis Berdasarkan Konsentrasi Analit dalam Sampel Menurut Namiesnik (2002)
General name of analyte
Analyte concentration
Common term for analytical procedure Examples
Sub-microtrace component
< 1 ppt (< 10%)
Trace analysis
Determination of doxins in sampels of various matrices
Ultra-microtrace component
< 1 ppb (< 10%)
Determination of trihalomethanes in drinking
water and human urine. Microtrace component
< 1 ppm (< 10%)
Determination of carbon monoxide in ambient air
Trace component
< 100 ppm (< 0.01%)
Determination of methane in ambient air
Secondary Component (admixture)
<1% Semi-microanalysis Determination of carbon dioxide in ambient air
Primary component 1-100% Macroanalysis Determination of oxygen in
waste gases
I. Penentuan Laju Disipasi Fungisida
Laju disipasi biasanya ditentukan dengan mengambil sampel pada
berbagai interval waktu setelah aplikasi pestisida dalam uji yang diawasi dan
dilakukan sedemikian rupa agar perawatan di lahan perlakuan sesuai dengan
tujuan penggunaan pestisida. Karena ketidakpastian sampling, residu yang diukur
selama decline study bervariasi dengan rata-rata nilai residu yang benar dan data
ini dapat menggambarkan jalannya kurva decline. Kesadaran terhadap variabilitas
yang diharapkan dari residu diperlukan. Pertimbangan penyebaran dan variabilitas
dari residu membantu untuk menghindari interpretasi salah pada perbedaan kecil
atau menarik kesimpulan yang pasti dari 1 nilai perhitungan yang tetap.
Hilangnya residu pestisida dari tanaman yang diperlakukan dipengaruhi
oleh beberapa faktor fisik, kimia, dan proses biokimia, yang jarang dapat
dijelaskan dengan hubungan sederhana. Yang paling mungkin nilai pada waktu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
tertentu dapat diperkirakan dengan menerapkan pada berbagai program komputer
(Ambrus, 2002).
Atas dasar data residu dari uji coba lapangan yang diawasi Timme, Frehse,
dan Laska mengembangkan model evaluasi dan menerapkan berbagai formula
untuk linierisasi kurva penurunan residu untuk mendapatkan hubungan linear
antara residu terukur (R) dan waktu (t). Dengan demikian, statistik regresi linear
dapat digunakan untuk menghitung penurunan residu yang paling cocok dan
keyakinan interval untuk data eksperimen. Nilai model yang digambarkan untuk
merekonstruksi kurva penurunan dalam bentuk aslinya (Ambrus, 2002).
J. Penilaian Keamanan Residu Fungisida
Praktik penggunaan fungisida oleh petani pada umumnya tidak didasarkan
pertimbangan ekologi dan ekonomi. Beberapa cara yang umum dilakukan oleh
petani antara lain adalah penyemprotan pestisida dengan dosis tinggi,
pencampuran berbagai jenis pestisida dan bahan lain, metode dan teknik
penyemprotan yang belum atau tidak benar, frekuensi penyemprotan tinggi dan
tidak memperhatikan waktu penyemprotan terakhir sebelum panen.
Residu fungisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil
pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari penggunaan fungisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan
pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat
pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (DEPTAN, 2006).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Masalah residu funngisida pada hasil pertanian mendapat perhatian yang
serius bagi kepentingan nasional maupun internasional, hal ini disebabkan antara
lain:
1. Makin meningkatnya kesadaran konsumen tentang pengaruh negative residu
fungisida pada hasil pertanian terhadap kesehatan manusia. Konsumen akan
memilih hasil pertanian yang aman untuk dikonsumsi atau kalaupun ada
residu, makan kadarnya masih di bawah batas toleransi.
2. Makin ketatnya persyaratan keamanan pangan yang berakibat pada
meningkatnya tuntutan terhadap mutu pangan (kualitas produk).
3. Terjadinya hambatan perdagangan hasil pertanian terutama dalam ekspor
masalah residu fungisisda sudah menjadi persyaratan internasional yang
ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commisison (CAC).
4. CAC telah menetapkan maximum residue limits (MRLs) pestisida. Indonesia
juga telah mengatur batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.
Untuk mengurangi dampak negatif residu fungisida, selain dengan aplikasi
6 tepat agar penggunaan yang efektif, pestisida yang dipilih hendaknya
mempunyai DT50 kecil (mudah terdegradasi di alam). Namun, informasi tentang
DT50 tidak mudah diperoleh karena tidak tercantum dalam label fungisida
(Kamali, 2008).
K. Landasan Teori
Indonesia terletak di dekat khatulistiwa dan memiliki iklim tropis. Salah
satu tanaman yang sedang digalakan di Indonesia adalah tanaman buah melon.
Tanaman buah melon mengandung banyak gizi namun dalam penanamannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
banyak pula faktor yang mempengaruhi, antara lain iklim, tanah dan ketinggian
tempat. Kondisi iklim dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan curah hujan dan
suhu yang cocok untuk lahan pertanian buah melon menjadikan daerah ini salah
satu penghasil buah melon yang banyak di pasaran. Pada dasarnya tanaman buah
melon juga rentan terhadap serangan penyakit, terutama penyakit antraknosa.
Penyakit ini sangat sulit dikendalikan, terutama jika kelembaban areal pertanaman
sangat tinggi. Untuk menanggulangi penyakit antraknosa, digunakan fungisida
terutama azoxystrobin.
Azoxystrobin memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan
terhadap penyakit jamur yang disebabkan oleh kelompok Ascomycota,
Deuteromycota, Basidiomycota dan Oomycota. Senyawa Azoxystrobin
mempunyai efek berbahaya bagi mamalia karena paling banyak distribusinya
terdapat pada ginjal dan hati. Azoxystrobin juga bersifat karsinogenik dan
genotoksik. Azoxystrobin yang diaplikasikan dapat meninggalkan residu yang
menempel pada kulit buah melon yang seperti jala pada waktu yang lama
kemudian terpenetrasi ke dalam daging buah. Aplikasi fungisida azoxystrobin
harus memenuhi kriteria aplikasi agar meminimalisir dampak negatif fungisida.
Kadar residu fungisida azoxystrobin yang sangat kecil dapat ditetapkan dengan
metode trace analysis.
Hilangnya residu fungisida azoxystrobin pada buah melon dapat
digambarkan dengan laju disipasi yaitu nilai slope dari kurva ln kadar vs hari
setelah aplikasi terakhir dengan sistem study decline. Setelah diketahui laju
disipasi maka dapat ditentukan waktu degradasi 50% (DT50) dalam hari dan PHI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
yang baik untuk panen (pre harvest interval) untuk mendapatkan hasil panen buah
melon yang aman untuk dikonsumsi sesuai dengan CAC.
L. Hipotesis
1. Kadar residu fungisida azoxystrobin dalam kulit buah melon lebih besar
dibandingkan dengan daging buah melon.
2. Kondisi geografis mempengaruhi pola laju disipasi residu fungisida
azoxystrobin pada buah melon.
3. Pada PHI yang ditetapkan dari pengolahan data, buah melon di Daerah
Istimewa Yogyakarta aman dikonsumsi dari residu fungisida azoxystrobin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni sederhana
dengan rancangan penelitian acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar aplikasi
fungisida azoxystrobin dan kondisi geografis pada model penelitian.
b. Variabel Tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kadar
residu azoxystrobin pada kulit, keseluruhan dan daging buah melon, laju
disipasi, DT50, dan PHI residu fungisida azoxystrobin pada model
penelitian.
c. Variabel Pengacau Terkendali. Variabel pengacau yang dapat dikendalikan
dalam penelitian ini antara lain jenis bibit dari tanaman melon, frekuensi
penyemprotan fungisida lain, cara penyemprotan fungisida, dan
karakteristik bahan uji yang digunakan berupa buah melon yang diambil di
model penelitian.
d. Variabel Pengacau Tidak Terkendali. Variabel pengacau yang tidak dapat
dikendalikan peneliti adalah kondisi geografis (curah hujan, kelembapan,
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
intensitas cahaya, dan kecepatan angin) dan kondisi tanah pada model
penelitian.
2. Definisi Operasional
a. Asesmen adalah pengkajian yang dilakukan terhadap pola laju disipasi
residu fungisida azoxystrobin pada buah melon (Cucumis melo L.) untuk
menetapkan batas keamanan terhadap konsumen
b. Paparan residu fungisida azoxystrobin adalah residu fungisida
azoxystrobin yang terdapat pada buah melon
c. Residu fungisida azoxystrobin adalah fungisida azoxystrobin yang
tertinggal pada buah melon yang dikarenakan adanya aplikasi fungisida
azoxystobin dinyatakan dalam satuan mg/kg
d. Kadar residu azoxystrobin pada kulit buah adalah kadar residu pada
sampel bagian kulit buah yang berbentuk kasar, berjaring dan keras
dengan ketebalan ± 0,5 cm, dinyatakan dengan satuan mg/kg.
e. Kadar residu azoxystrobin pada daging buah adalah kadar residu pada
sampel bagian daging buah yang berwarna hijau muda atau hijau
keputihan, dinyatakan dengan satuan mg/kg.
f. Kadar residu azoxystrobin pada keseluruhan buah adalah kadar residu dari
keseluruhan sampel yang terdiri dari bagian kulit dan daging buah,
dinyatakan dengan satuan mg/kg.
g. Laju disipasi adalah proses hilangnya senyawa residu fungisida
azoxystrobin pada buah melon yang disebabkan karena degradasi,
akumulasi atau peluruhan ke medium lainnya dilihat dari penurunan kadar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
residu fungisida azoxystrobin pada kulit dan daging buah melon pada
sebelum aplikasi fungisida dan hari ke 0, 1, 3, 5, 7, 14 setelah aplikasi
fungisida
h. DT50 adalah waktu dalam hari dimana 50 % dari residu azoxystrobin
terdegradasi pada aplikasinya di lahan perkebunan melon.
i. PHI adalah interval waktu aplikasi terakhir fungisida azoxystrobin hingga
dilakukan panen yang ditentukan dalam hari, dimana hari tersebut dapat
digunakan untuk memastikan buah melon pada saat panen aman
dikonsumsi dari residu azoxystrobin.
j. Keamanan konsumen adalah kadar residu fungisida azoxystrobin dalam
buah melon yang dapat diterima sebagai batas aman di bawah kadar acuan
positive list sebesar 0,01 mg/kg
k. Buah melon di Yogyakarta adalah buah melon yang ditanam pada bulan
Januari sampai dengan April di kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon
Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
C. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Bahan Utama
a. Buah melon dari lahan Siliran, Wates, Kulon Progo; Panggungharjo,
Sewon, Bantul; dan Wedomartani, Kalasan, Sleman hasil panen sebagai
model uji.
b. Bahan uji yang digunakan adalah larutan aplikasi fungisida azoxystrobin
yang didapat dari donasi PT. Syngenta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
2. Bahan Kimia
Standar Azoxystrobin donasi dari PT. Syngenta, standar DCB
(Dekaklorobifenil) sebagai standar internal (E. Sigma-Aldrich) CAS number 2051-
24-3 , Acetonitril (gradient grade for liquid chromatography, E. Merck) no
katalog 1.00030.4000, Metanol (for analysis, E. Merck) no katalog 1.06009.2500,
n-Hexan (for analysis, E. Merck) no katalog 1.04367.2500, aquadest
(Laboratorium Analisis Instrumental Farmasi USD), aquabidest (Laboratorium
Analisis Instrumental Farmasi USD), Magnesium sulfate (for analysis, E.Merck)
no katalog 1.05886.1000, Sodium chloride (for analysis, E. Merck) no katalog
1.06404.5000, tri-Sodium citrate dehydrate (for analysis, E. Merck) no katalog
1.06448.1000, Sodium citrate dibasic sesquihydrate (for analysis, E. Sigma-
Aldrich) no produk 71635, dan N2 UHP (PT. Samator).
D. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi gas HP
5890 series II dengan dilengkapi detektor ECD 63Ni dan kolom kapiler non polar
(5%-phenyl)-methylpolysiloxane, 12–50 m, i.d 0,20–0,32 mm, d.f. 0,11–0,52 µm,
neraca analitik (OHAUS Carat Series PAJ 1003, max 60/120 g, min 0,001 g, d =
0,01/0,1 mg, e = 1 mg), kolom SPE C18 6 mL dengan ukuran 400 mg,
homogeniser sample (blender), vortex, hot plate, termometer, sentrifuse, botol
plastik sentrifugasi 15 mL BIOLOGIX®, ultrasonifikasi, syringe, mikropipet,
pisau, sarung tangan, seperangkat komputer dengan CBM-102 (Shimadzu),
perangkat lunak Shimadzu Labsolutions: GC Solution versi 2.30.00SU4),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
perangkat lunak Powerfit v.6.05, sarung tangan, masker, tangki semprot 6 liter
(sprayer) dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium analisis.
E. Tata Cara Penelitian
Tata cara penelitian yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan pada
keterangan dibawah:
1. Persiapan Lahan Model Perkebunan Melon
Penelitian ini dimulai dengan menyiapkan model perlakuan untuk
penetapan kadar residu fungisida azoxystrobin pada buah melon. Model
perkebunan melon dipilih dari 3 perkebunan melon di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Model perkebunan melon yang dipilih harus memiliki kriteria inklusi
sebagai berikut :
a. Lahan menggunakan melon dengan bibit merk Action sp.
b. Lahan tidak menggunakan fungisida atau pestisida yang lain dengan zat
aktif azoxystrobin
c. Perbedaan setiap lahan pada sistem tanam, kondisi geografis, dan tekstur
tanah.
Pengecekan kondisi geografis lahan seperti curah hujan, kelembapan dan
suhu. Pengecekan dilakukan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika) Daerah Istimewa Yogyakarta selama proses perlakuan lahan
berlangsung. Pengecekan karakteristik tanah. Pengecekan karakteristik tanah
dilakukan oleh Fakultas Pertanian Jurusan Tanah Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Determinasi tanaman buah melon yang digunakan adalah Cucumis
melo L. dilakukan oleh Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon
a. Perlakuan tanaman. Sampel melon ditanam dengan bibit merk Action®
pada 3 lahan yang digunakan sebagai model penelitian. Perlakuan terhadap
tanaman sesuai dengan kebiasaan petani menanam melon dari penyemaian bibit,
pengolahan tanah, pemupukan, penyemprotan obat-obat, dan pengairan. Jumlah
sampel yang digunakan setiap lahannya adalah 100 tanaman melon, dan larutan
fungisida azoxystrobin yang digunakan didapat dari donasi PT. Syngenta.
Kelompok kontrol menggunakan tanaman melon pada lahan yang sama diluar
sampel 100 tanaman melon perlakuan.
b. Kalibrasi penyemprotan. Kalibrasi penyemprotan dimulai dengan
mengukur luas lahan. Pengukuran luas lahan dilakukan dengan pengukuran
manual menggunakan meteran dan didapat hasil jarak antar tanaman melon dan
jarak antar baris masing-masing secara berturut-turut adalah 40 cm dan 2 meter
(lokasi Siliran, Kulonprogo), 40 cm dan 30 cm (lokasi Ngemplak, Sleman), 40 cm
dan 40 cm (lokasi Panggungharjo, Bantul). Luas tanaman melon bagian kelompok
perlakuan berbeda-beda setiap lahan yaitu masing-masing 20 meter x 30 meter
(lokasi Siliran, Kulonprogo), 22,75 meter x 1 meter (lokasi Panggungharjo,
Bantul) dan 14,0 meter x 1,9 meter (lokasi Ngemplak, Sleman). Kalibrasi
penyemprotan dilakukan sebelum aplikasi fungisida azoxystrobin menggunakan
air yang dimasukkan ke dalam tangki penyemprot pestisida dengan volume yang
diketahui. Tangki yang sudah diisi air diaplikasikan dengan berjalan seperti biasa
hingga seluruh tanaman diaplikasi sama rata. Mencatat waktu saat mulai
menyemprot sampai selesai. Air yang masih tersisa di dalam tangki dikeluarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
lalu menghitung volumenya. Selisih volume awal air dengan volume air sisa
penyemprotan adalah volume larutan semprot yang akan diaplikasikan.
c. Aplikasi lahan. Perlakuan penyemprotan fungisida azoxystrobin dilakukan
sebanyak 3 kali dengan cara penyemprotan sesuai dengan Indonesian Good
Agrycultural Practice (IndoGAP). Dimulai dari munculnya bakal buah dengan
kondisi sempurna (bunga pada ujung bakal buah sudah mulai rontok, 10 hari
setelah perlakuan pertama, dan ketika buah melon sudah mencapai kematangan
75% (sebagai tanda panen). Kadar larutan azoxystrobin 200 mg/L dengan aturan
pakai 1 ml/L larutan semprot untuk 600 L/ha. Perhitungan kadar ditentungan
dengan luas lahan dan hasil kalibrasi yang telah dilakukan. Penyemprotan
fungisida dilakukan pada pagi hari maksimal pukul 08.00 WIB ketika lokasi lahan
tidak berangin.
3. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan Melon Bahan uji yang digunakan adalah melon yang masih segar dipetik dari 3
model perkebunan di daerah kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Sleman. Sampel
sebanyak 5 buah diambil dengan metode pengambilan acak terstratifikasi.
Pengambilan sampel dilakukan pada hari ke -1, 0, 1, 3, 5, 7, dan 14 setelah
penyemprotan terakhir fungisida azoxystrobin.
4. Persiapan Sampel
Sampel sebanyak 5 buah melon utuh dikumpulkan. Sampel tidak
dilakukan pencucian dan langsung ditimbang setiap buahnya. Setiap buah dibagi 4
bagian (proses quartering) lalu diambil setiap buah seperempat bagian sebagai
sampel yang akan dihomogenkan. Ada 3 kelompok perlakuan preparasi sampel
yaitu :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
a. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil kulit buah saja sebagai
sampel bagian kulit buah melon lalu dihomogenkan (sampel kulit/peel).
b. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil daging buah saja sebagai
sampel bagian daging buah melon lalu dihomogenkan (sampel daging/flesh).
c. Seperempat bagian dari setiap buah melon langsung dihomogenkan (sampel
keseluruhan/whole).
5. Ekstraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon
Sebanyak 5 g sampel dari setiap kelompok sampel yang telah
dihomogenkan diambil dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 25 ml.
Ditambahkan 2 g MgSO4; 0,5 g NaCl; 0,5 g Na3sitrat.2H2O dan 0,25 g
Na2Hsitrat.1,5H2O. Campuran yang berada di dalam tabung sentrifuge
ditambahkan 5 ml asetonitril. Tabung sentrifuge digojog selama 1 menit lalu
divortex selama 2 menit.
Tabung sentrifuge kemudian disentrifuge dengan kecepatan 5000 rpm
selama 5 menit. Supernatan yang terbentuk diambil seluruhnya kemudian
dipindahkan dalam flakon, dikeringkan dengan waterbath dan dibantu dengan gas
nitrogen. Supernatan hasil sentrifuge diambil semuanya, ditampung ke dalam
flakon bersih. Kemudian dilakukan reekstraksi dengan cara menambahkan 5 ml
asetonitril ke dalam tabung sentrifuge yang sudah diambil supernatannya lalu
digojog kembali dengan tangan selama 1 menit, divortex selama 2 manit setelah
itu dilakukan sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Supernatan
hasil reekstraksi diambil semuanya dan ditampung ke dalam flakon yang berisi
supernatan hasil ekstraksi pertama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Selanjutnya dikeringkan menggunakan nitrogen sehingga memperoleh
ekstrak kering. Hasil ekstraksi di dalam flakon yang sudah kering ditambahkan
0,5 ml aquabidest kemudian didegasing selama 5 menit.
6. Clean up Sampel Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon dengan SPE C18
a. Pengkondisian dan loading sampel SPE C18. Pengkondisian
dilakukan dengan memasukkan 5 ml metanol ke dalam SPE C18 hingga
seluruhnya keluar dari SPE C18 dan dilanjutkan dengan memasukkan 5 ml
aquabidest ke dalam SPE C18. Sebelum aquabidest keluar seluruhnya dari SPE
C18, larutan hasil degasing dimasukkan ke dalam SPE C18.
b. Pencucian. Pencucian dilakukan dengan menambahkan 5 ml
aquabidest ke dalam flakon sedikit demi sedikit untuk mencuci flakon yang telah
digunakan. Setiap penambahan aquabidest hasil cucian kemudian dimasukkan ke
dalam SPE C18 hingga keseluruhan aquabidest masuk ke dalam SPE C18.
c. Elusi. Penambahan 3 ml metanol dimasukkan sedikit demi sedikit
ke dalam flakon yang telah dicuci dengan aquabidest. Setiap metanol yang
dimasukkan dalam flakon dipindahkan ke dalam SPE C18 hingga metanol
seluruhnya dipindah kedalam SPE C18 dan hasilnya ditampung dengan flakon
baru. Hasil keseluruhan elusi metanol dikeringkan dengan waterbath dan dengan
bantuan gas nitrogen.
7. Pembuatan Larutan Kurva Baku Azoxystrobin
a. Pembuatan larutan stok azoxystrobin (larutan induk). Sebanyak
kurang lebih 11,4 mg baku azoxystrobin ditimbang dengan seksama kemudian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
dilarutkan dengan 1 mL heksan sehingga didapatkan baku azoxystrobin dengan
konsentrasi 11,4 mg/ml.
b. Pembuatan larutan intermediet azoxystrobin 1 (Stok A). Sebanyak
40 µL larutan induk azoxystrobin dilarutkan ke dalam 1000 µL heksan sehingga
didapatkan konsentrasi baku azoxystrobin sebesar 0,456 µg/µL.
c. Pembuatan larutan intermediet azoxystrobin 2 (Stok D). Sebanyak
10 µL stok A diambil dengan menggunakan syringe dilarutkan ke dalam 1000 µL
heksan sehingga diperoleh larutan intermediet azoxystrobin 2 dengan konsentrasi
0.456 x 10-2 µg/µl.
d. Pembuatan seri larutan kurva baku azoxystrobin. Baku
azoxystrobin dari stok D diambil volume 1 µL, 2 µL, 3 µL, 4 µL, 5 µL, 7 µL, 10
µL, 15 µL, dan 20 µL, masing-masing ditambahkan 2 µL DCB lalu diencerkan
dengan heksan hingga volume 200 µL. Masing-masing larutan baku diinjeksikan
ke dalam kromatografi gas sebanyak 2 µL. Dalam tahap ini diperoleh hubungan
antara kadar azoxystrobin dengan rasio luas puncak azoxystrobin terhadap DCB.
e. Pembuatan larutan kurva baku adisi A. Baku azoxystrobin dari stok
D diambil volume 1 µL, 2 µL, 3 µL, 5 µL, 7 µL, 10 µL, 13 µL, 16 µL dan 20 µL,
kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam flakon yang sudah berisi ekstrak
kering matriks melon yang sebelumnya ditambahkan 2 µL DCB lalu diencerkan
hingga volume 200 µL dengan pelarut heksan. Masing-masing diinjeksikan ke
dalam kromatografi gas sebanyak 2 µL. Dalam tahap ini diperoleh hubungan
antara kadar azoxystrobin dengan rasio luas puncak azoxystrobin terhadap DCB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
8. Determinasi Menggunakan GC-ECD.
Flakon hasil pengeringan hasil clean up SPE C18 ditambahkan 0,2 ml
heksan. Larutan diinjeksi ke dalam kromatografi gas dengan detektor penangkap
elektron pada kondisi sistem kromatografi teroptimasi. Hasil optimasi oleh
Puspitasari (2015) didapat kondisi optimum yaitu :
Tabel IV. Kondisi Optimum GC Parameter Kondisi optimum
Injector (split)
Suhu injector 230 °C
Volume injeksi 2 µL
Oven Panjang kolom 12-50 cm
Fase diam 5%-phenyl-methylpolysiloxane
Temperature Terprogram 100°C (3 menit), 30°C/menit, 245°C (30 menit), 30°C/menit, 260°C (30 menit)
Detektor Detektor ECD63Ni
Suhu detektor 295 °C
Gas Gas N2 UHP
Flowrate gas 1ml/menit
F. Tata Cara Analisis Data
Tata cara analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Penentapan Kadar Sampel
Kadar residu fungisida azoxystrobin didapat dari analisis hasil yang
dilakukan dengan rasio perbandingan luas puncak azoxystrobin dalam sampel
dengan luas puncak standar adisi yang di plotkan dalam kurva baku. Data antara
rasio area sampel terhadap rasio area standar diintrapolasikan ke dalam persamaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
regresi linier kurva baku yang didapatkan. Kadar residu azoxystrobin dihitung
menggunakan persamaan:
y = ax + b
keterangan:
y = rasio antara luas area sampel dengan standar internal
x = kadar azoxystrobin .
Sehingga kadar azoxystrobin dalam sampel adalah X= = y−ab
dan x
volume akhir. Kadar dari pengukuran yang didapat, dicatat dan dimasukkan pada
kurva dengan korelasi sumbu x adalah waktu setelah penggunaan terakhir
fungisida azoxystrobin dan sumbu y adalah besarnya konsentrasi. Kemudian
dilihat distribusi dari fungisida azoxystrobin dalam kulit, daging dan keseluruhan
buah melon pada waktu setelah penggunaan terakhir fungisida azoxystrobin
(Miller, 2010).
2. Penentuan Laju Disipasi
Laju disipasi azoxystrobin dalam sampel merupakan slope dari hubungan
antara hari terakhir aplikasi vs ln massa dalam mg/kg residu azoxystrobin.
3. Penetapan Waktu Degradasi 50 % (DT50) pada Sampel
Penenetapan nilai DT50 pada sampel menggunakan rumus orde 1 yaitu :
𝐷𝑇50 = ln(0.5)𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒
(California Departement of Pesticide Regulation, 2012).
4. Penentuan PHI (Pre Harvest Interval)
Penentuan PHI dihitung dengan cara rumus, PHI = DT95 (Noegrohati,
2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
5. Uji Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi
Untuk mengetahui pengaruh geografis terhadap pola laju disipasi
menggunakan uji signifikansi ANOVA pada slope antara laju disipasi lahan
Kulon Progo, Bantul, dan Sleman (Miller, 2010).
G. Alur Penelitian
1. Persiapan dan Perlakuan Lahan Permodelan
Penanaman Tanaman Melon
Aplikasi formula fungisida azoxystrobin pada plot perlakuan sesuai perhitungan
dosis aplikasi fungisida azoxystrobin dengan kadar formulasi 200 mg/L dengan
aturan pakai 1ml/L larutan semprot dengan kadar tinggi:
Semprot 1: Muncul bakal buah pada bunga
Semprot 2: 10 hari setelah penyemprotan pertama
Semprot 3: Menjelang panen kematangan ± 75%
Gambar 3. Skema Persiapan dan Perlakuan Buah Melon di Lahan Permodelan
Kontrol Perlakuan
Kontrol Perlakuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
2. Pengambilan Sampel Buah Melon
Pengambilan 5 buah melon sampel pada -1, 0, 1 ,3, 5, 7, 14 hari setelah aplikasi terakhir dan sampel kontrol
Gambar 4. Skema Pengambilan Sampel Buah Melon di Lahan Perlakuan
100 tanaman melon
Dibagi menjadi 3 bagian
Bagian 1 Bagian 2 Bagian 3
Pilih 1 buah
secara acak per
hari sampling
Pilih 3 buah
secara acak per
hari sampling
Pilih 1 buah
secara acak per
hari sampling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
3. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin, Laju Disipasi, DT50,
dan PHI pada Buah Melon
Gambar 5. Skema Penetapan Kadar, Laju Disipasi, DT50, dan PHI Residu
Fungisida Azoxystrobin pada Buah Melon
5 buah melon sampel pada -1, 0, 1, 3, 5, 7, 14 hari setelah aplikasi terakhir dan sampel kontrol
Ekstraksi (LLE)
Clean Up (SPE) Determinasi dengan GC ECD
Preparasi dan homogenisasi sampel
Analisis Data Kadar residu dalam kulit, daging, dan keseluruhan sampel
Laju disipasi setiap lahan Hipotesis 1 Hipotesis 2
DT50 dan PHI Hipotesis 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Lahan Model Pekebunan Melon
Penelitian yang berjudul Asesmen Paparan Residu Fugisida Azoxystrobin
dalam Buah Melon (Cucumis melo L.) terhadap Keamanan Konsumen di Daerah
Istimewa Yogyakarta dilakukan untuk melihat laju disipasi residu fungisida
azoxystrobin di dalam buah melon kemudian menentukan DT50 dan PHI. DT50
menggambarkan lama waktu dimana residu fungisida azoxystrobin terdegradasi
50% pada buah melon. PHI digunakan untuk menentukan waktu panen yang tepat
agar buah melon aman dari residu fungisida azoxystrobin dengan kadar dibawah
positive list yaitu sebesar 0,01 mg/kg. Oleh karena itu, laju disipasi sangat penting
untuk diketahui supaya melon yang dikonsumsi aman dari residu fungisida.
Penelitian ini dimulai dengan menyiapkan model perlakuan untuk
penetapan kadar residu fungisida azoxystrobin pada buah melon. Model
perkebunan melon dipilih dari 3 perkebunan melon di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Model perkebunan melon yang dipilih harus memiliki kriteria inklusi
sebagai berikut :
1. Lahan menggunakan melon dengan bibit merk Action sp.
2. Lahan tidak menggunakan fungisida atau pestisida yang lain dengan zat
aktif azoxystrobin
3. Perbedaan setiap lahan pada sistem tanam, kondisi geografis, dan tekstur
tanah.
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Survei dilakukan untuk menentukan lokasi lahan yang memenuhi kriteria
inklusi. Lahan yang memenuhi kriteria inklusi tersebut diatas adalah sebagai
berikut:
1. Dusun Siliran Kecamatan Wates Kabupaten Kulonprogo (110° 10' 18.6276"
BT dan -7° 57' 37.206" LS, 16 mdpl).
2. Dusun Pelemsewu Kelurahan Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten
Bantul (110° 21' 40.5936" BT dan -7° 50' 7.8324" LS, 84 mdpl).
3. Dusun Demangan Lama Kelurahan Wedomartani Kecamatan Ngemplak
Kabupaten Sleman (110° 26' 13.236" BT dan -7° 43' 6.204"LS, 254 mdpl).
Ketiga lahan tersebut dilihat kondisi geografis dengan mencari informasi
di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) daerah Istimewa
Yogyakarta. Informasi kondisi tanah lahan didapat dengan bantuan dari Fakultas
Pertanian UGM. Data informasi kondisi geografis lahan dari BMKG dan kondisi
tanah dari Fakultas Pertanian UGM dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel V. Data Suhu, Curah Hujan dan Kelembaban (BMKG Yogyakarta)
Lokasi Rata-rata Suhu (°C)
Rata-rata Kelembaban (%)
Rata-rata Curah Hujan (mm3)
Siliran, Kulonprogo 26,2 85,3 313
Panggungharjo, Bantul 25,3 87,3 275
Wedomartani, Sleman 24,2 80,3 417,3
Tabel V menunjukkan bahwa suhu tertinggi berada pada lahan Siliran,
Kulon Progo 26,2 0C, curah hujan tertinggi berada pada lahan Wedomartani,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Sleman 417,3 mm3, dan rata-rata kelembaban tertinggi pada lahan Panggungharjo,
Bantul 87,3%.
Tabel VI. Data pH, Bahan Organik, Komposisi dan Kelas Tekstur Tanah (Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM)
Lokasi pH Tanah
Bahan Organik
(%)
Komposisi Tanah (%) Kelas Tekstur Tanah Lempung Debu Pasir
Siliran, Kulonprogo
6,71 0,54 2,45 7,17 90,37 Pasir
Panggungharjo, Bantul
6,58 2,08 23,84 35,17 40,99 Geluh
Wedomartani, Sleman
6,67 1,09 4,64 19,97 75,39 Pasir geluhan
Tabel VI menunjukkan bahwa pH tanah tertinggi sebesar 6,71 berada
pada lahan Siliran, Kulon Progo dan bahan organik tertinggi sebesar 2,08 terdapat
pada lahan Panggungharjo, Bantul. Struktur tanah secara berturut-turut pada lahan
Siliran, Kulon Progo; Panggungharjo, Bantul; dan Wedomartani, Sleman adalah
pasir, geluh, dan pasir geluhan.
Lahan yang memiliki sifat fisik baik adalah lahan yang daya serap air dan
sirkulasi udara didalamnya cukup baik. Sifat fisik ini ditunjukan dengan tekstur
dan struktur tanah. Tekstur tanah adalah sifat fisis tanah yang berkaitan dengan
ukuran partikel pembentuk tanah seperti, pasir, debu dan lempung. Tekstur tanah
berpengaruh pada daya serap dan daya tamping air. Tanah lempung teksturnya
sangat halus, mudah menampung air tetapi daya serapnya kecil. Sebaliknya tanah
pasir mudah menyerap air, tetapi sukar menampungnya (Asviatuti, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Model perkebunan melon tidak dilakukan pengkondisian kecuali kriteria
inklusi dan aplikasi fungisida azoxystrobin. Perlakuan diluar aplikasi bergantung
pada kebiasaan petani dalam menanam melon. Petani bebas melakukan apapun
untuk membuat tanaman melon tetap tumbuh subur dan tidak mempengaruhi
kriteria inklusi. Pemberian harian pupuk, pestisida, fungisida dan obat-obatan
tanaman dicatat oleh peneliti supaya perawatan melon yang dilakukan petani
terkontrol sesuai kriteria inklusi.
Waktu penanaman buah melon pada lahan Siliran dan Bantul adalah
adalah bulan Januari 2015 dengan target panen 60 hari pada bulan Maret 2015 dan
waktu penanaman buah melon pada lahan Sleman adalah bulan Februari 2015
dengan target panen 60 hari pada bulan April 2015. Pada masing-masing lahan
tersebut diambil 100 pohon buah melon sebagai sampel perlakuan. Selain sampel
pelakuan, diambil sampel kontrol dari lahan yang sama diluar 100 tanaman yang
diberi perlakuan aplikasi. Kontrol diharapkan dapat memberikan kontrol negatif
untuk membedakan perlakuan yang diberikan oleh peneliti. Kontrol ditetapkan
pada lahan yang sama agar memperoleh perlakuan dan budidaya yang sama oleh
petani.
Semua lahan model perkebunan melon menggunakan bibit yang sama
agar memperkecil pengaruh diluar perlakuan yang akan membuat data rancu/bias.
Varietas yang dipilih adalah buah melon (Cucumis melo. L) dengan bibit merk
Action 434® yang telah dideterminasi oleh Fakultas Farmasi, UGM. Bibit ini
dipilih karena banyak digunakan oleh petani melon di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Melon dengan varietas Action dianggap petani sebagai melon yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
paling mudah ditanam di segala cuaca khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Benihnya bagus, penampilan tanamannya juga meyakinkan, daunnya cukup tebal
sehingga perawatannya lebih mudah dan ukuran buahnya dapat diatur sesuai
keinginan (Anonim b, 2015).
B. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon
Perlakuan penyemprotan fungisida azoxystrobin dilakukan sebanyak 3
kali dengan cara penyemprotan sesuai dengan IndoGAP. Dimulai dari munculnya
bakal buah dengan kondisi sempurna (bunga pada ujung bakal buah sudah mulai
rontok), 10 hari setelah perlakuan pertama, dan ketika buah melon sudah
mencapai kematangan 75% (sebagai tanda panen). Sebelum aplikasi, dilakukan
optimasi penyemprotan terlebih dahulu. Optimasi dilakukan dengan cara
menyesuaikan larutan penyemprot supaya dosis fungisida azoxystrobin yang
diaplikasi diharapkan merata pada setiap lahan. Penggunaan dosis semprot setiap
lahan berdasarkan luas lahan dan menentukan volume cairan semprot fungisida
sebagai larutan semprot pada masing-masing lahan.
Hasil proses optimasi konsentrasi aplikasi yang digunakan sesuai dengan
aturan pakai yang tertera pada label fungisida. Konsentrasi yang digunakan adalah
600 L larutan semprot / ha lahan dan setiap 1 L larutan semprot mengandung 1 ml
fungisida azoxystrobin (Syngenta, 2005). Data hasil optimasi aplikasi lahan dapat
dilihat pada tabel dibawah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Tabel VII. Hasil Optimasi Larutan Semprot Azoystrobin untuk Aplikasi
Penyemprotan
Aplikasi Penggunaan Standart Azoxystrobin
Siliran, Kulon Progo (60 m2)
Wedomartani, Sleman (26.6 m2)
Panggungharjo, Bantul (22.7 m2)
Luas 60 m2 26.6 m2 22.7 m2 Cairan semprot 4L 6L 4L
Formulasi 3.6 mL 2 ml 1,4 ml
Waktu penyemprotan hasil kalibrasi
3 menit 16 detik (3 putaran), habis (tidak ada sisa), seluruh tanaman
rata terkena semprotan
Kedua plot masing-masing 2 menit 50 detik (1 putaran),
habis (tidak ada sisa), seluruh tanaman rata terkena semprotan
6 menit (3 putaran), habis (tidak ada sisa), seluruh tanaman
rata terkena semprotan
Masing-masing lahan perlakuan berbeda pada cairan semprot larutan uji
yang dipengaruhi oleh luas dan sistem penanaman yang berbeda. Siliran, Kulon
Progo sistem penanaman pada pasir pantai yang berarti buah dibiarkan berada
diatas pasir atau mulsa. Panggungharjo, Bantul dan Wedomartani, Sleman
menggunakan tiang sebagai penyangga buah agar tetap menggantung dan tidak
mengenai tanah atau mulsa.
C. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan Melon
Proses sampling dilakukan dengan cara acak terstratifikasi pada sampel
perlakuan dan sampel kontrol. Sampel diambil sebanyak 5 buah melon setiap hari
sampling dengan berat keseluruhan mencapai lebih dari 5 kg. Hal ini mengacu
pada FAO (2015) yang menyatakan bahwa pengambilan sampel untuk tanaman
dengan berat buah keseluruhan lebih dari 250 g diharuskan mengambil 5 buah
sampel atau sekurang-kurangnya 2 kg.
Pengambilan sampel dimulai dari sampel kontrol kemudian sampel
perlakuan pada:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
1. hari sebelum aplikasi terakhir (H-1)
2. hari aplikasi (H-0) atau 4 jam setelah aplikasi
3. hari ke-1 (H+1)
4. hari ke-3 (H+3)
5. hari ke-5 (H+5)
6. hari ke-7 (H+7)
7. hari ke-14 (H+14) setelah aplikasi terakhir.
Sampel kontrol diambil dari buah melon diluar 100 buah sampel perlakuan. Selain
itu, jarak tanamnya paling jauh dari sampel perlakuan tetapi masih pada lahan
yang sama.
Sampel diambil dengan sarung tangan lateks dan dipotong pada pangkal
buah. Sampel yang telah dipotong dibersihkan dengan sikat halus dengan perlahan
agar pasir dan kotoran yang menempel hilang dari kulit melon tetapi tidak
menghilangkan residu azoxystrobin. Melon yang bersih dimasukkan pada kantong
plastik bening dan diberikan label sampling. Kemudian sampel dimasukkan dalam
tempat kedap sinar matahari dibawa dari lahan menuju laboratorium maksimal 24
jam setelah pengambilan. Perlakuan yang hati-hati dilakukan dalam melindungi
sampel dari kehilangan senyawa target (azoxystrobin). Segera setelah tiba di
laboratorium, sampel dipreparasi (FAO, 2015).
D. Preparasi Sampel Buah Melon
Sampel yang telah tiba di laboratorium dimulai dengan proses
homogenisasi. Metode homogenisasi yang tepat sangat diperlukan untuk
mendapatkan sampel yang homogen. Homogenisasi sampel dilakukan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
blender, dimana sample portion menggunakan metode quartering yaitu dengan
cara:
1. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil kulit buah saja sebagai
sampel bagian kulit buah melon lalu dihomogenkan (sampel kulit/peel)
2. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil daging buah saja sebagai
sampel bagian daging buah melon lalu dihomogenkan (sampel daging/flesh)
3. Seperempat bagian dari setiap buah melon langsung dihomogenkan (sampel
keseluruhan/whole).
Sampling analytical portion untuk melon dilakukan dengan metode quartering
agar diperoleh sampel yang representative.
Dalam preparasi sampel, dilakukan penetapan kadar air di dalam buah
melon, untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan air saat preparasi sampel.
Hasil uji yang dilakukan Puspitasari (2015) pada penentuan kadar air menyatakan
bahwa kandungan kadar air di dalam buah melon adalah berkisar 92,224% untuk
bagian daging, 93,782% untuk bagian whole, dan 93,050% untuk bagian kulit,
sehingga untuk preparasi sampel menurut Anastasiades (2006) dengan metode
QuEChERS yang mempersyaratkan kadar air lebih dari 80% tidak diperlukan
penambahan air.
E. Ekstraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon
Metode extraksi untuk mendapatkan residu senyawa azoxystrobin dari
matrik buah melon menggunakan metode QuEChERS (Quick, Easy, Cheap,
Effective, Rugged, and Safe). Prinsip dari QuEChERS dalam penelitian ini adalah
melakukan ekstraksi analit menggunakan pelarut (acetonitril) dan 2 g MgSO4; 0,5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
g NaCl; 0,5 g Na3sitrat.2H2O; 0,25 g Na2Hsitrat.1,5H2O untuk mengurangi kadar
air yang berlebih dalam sampel dengan tetap mengatur kondisi pH agar diperoleh
recovery yang baik. Metode ini dianjutkan dengan sentrifugasi untuk dapat
memisahkan senyawa berdasarkan ukuran partikel dan berat jenis. Kemudian
dilakukan clean up dengan SPE C18 dan dideterminasi menggunakan GC-ECD.
Pemilihan metode QuEChERS ini dilakukan dengan melihat jumlah co-
extractant yang paling sedikit di dalam pelarut yang memiliki kelarutan paling
baik. Metode QuEChERS yang digunakan adalah Buffer QuEChERS karena
dengan menjaga pH sampel antara 4-5 diharapkan azoxystrobin stabil selama
proses penentapan kadar dan co-ekstraktan minimal. Menurut Anastasiades (2006)
Citrate buffer pada pH 4-5 memberikan jumlah co-extractant dalam hasil
ekstraksi yang lebih sedikit jika dibangingkan dengan jumlah co-extranctant pada
raw material original QuEChERS maupun acetate buffer. Acetonitril merupakan
pelarut yang umum digunakan dalam metode QuEChERS.
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap Jumlah Co-Extractant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Buffer QuEChERS menggunakan 4 jenis garam antara lain: 2 g MgSO4;
0,5 g NaCl; 0,5 g Na3sitrat.2H2O; 0,25 g Na2Hsitrat.1,5H2O. Magnesium sulfate
digunakan untuk menginduksi pemisahan antara acetonitril dengan air dalam
sistem LLE dan meningkatkan recovery analit polar. Natrium klorida berfungsi
sebagai garam penyangga dan mengurangi interfensi senyawa polar dengan proses
salting out effect, Na3sitrat.2H2O dan Na2Hsitrat.1,5H2O ditambahkan untuk
mengontrol pH, mempertahankan tingkat pH antara 4 dan 6, dan untuk stabilitas
dasar pestisida yang sensitif. Setelah dilakukan ekstraksi, larutan organik
asetonitril yang mengandung azoxystrobin akan berada dilapisan atas
(Phenomenex, 2015).
Keunggulannya dari Buffer QuEChERS ini adalah nilai recovery yang
bagus bahkan untuk pestisida paling asam, recovery dapat diterima pada pestisida
yang sensitif terhadap asam maupun basa, mampu meningkatkan selektifitas, dan
tidak memberikan efek negatif jika menggunakan clean up PSA, tidak seperti
asetat buffer (Anastassiades, 2006).
Penggojokan dilakukan dengan kuat selama satu menit untuk memecah
gumpalan matriks sampel. Semakin kecil gumpalan matriks, maka luas
permukaan akan semakin meningkat sehingga kesetimbangan yang optimum akan
lebih cepat dicapai. Penggojokan dengan waktu 5 menit didapatkan hasil yang
efektif, yaitu dengan waktu yang relatif pendek sudah mampu mendapatkan
supernatan dengan jumlah yang cukup.
Hasil sentrifuge menunjukan bahwa acetonitril berada di bagian atas dan
air berada dibagian bawah karena massa jenis air lebih besar dari acetonitril.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Tingkat kelarutan azoxystrobin di dalam acetonitrile sebesar 340 g/L, sedangkan
kelarutannya di dalam air hanya 6,7 mg/L. Oleh sebab inilah diperlukan
penambahan garam NaCl untuk salting out effect (mengurangi kelarutannya dalam
air, dan memaksa masuk ke dalam lapisan acetonitrile). Kemudian lapisan
asetonitril yang berada di bagian atas campuran diambil karena azoxystrobin larut
dengan baik dalam acetonitrile. Hasil supernatan diambil semua agar dapat
merepresentasikan jumlah azoxystrobin yang terekstrak dalam tiap 5 gram sampel
melon. Reekstraksi dilakukan dalam penelitian ini agar diperoleh % recovery yang
lebih baik, dan meminimalisir analit yang masih tertinggal di dalam matrik.
F. Clean Up Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon dengan SPE C18
Clean up merupakan salah satu proses yang penting untuk mendapatkan
ekstrak bersih saat dideterminasi meggunakan GC-ECD. Ektrak bersih membantu
proses pemisahan senyawa azoxystrobin di dalam GC-ECD dan tidak membuat
kolom GC-ECD cepat kotor. Melon juga memiliki kandungan karbohidrat dan
vitamin C yang cukup tinggi, adanya gugus COOH ini dapat mempengaruhi
respon detector ECD yang digunakan dalam GC sehingga harus dipisahkan dari
sampel yang akan dianalisis menggunakan GC.
Sistem yang digunakan clean up pada penelitian ini adalah sistem
reverse-phase SPE. Reversed-phase SPE yaitu metode pemisahan bahan organik
yang terlarut dalam pelarut polar sebagai fase geraknya (contoh: air) menuju fase
diam yang non polar (contoh: C18 atau C8) yang biasanya terikat dengan ikatan
van der Waals dan dispersion forces. Pemisahan ini dipengaruhi oleh perbedaan
kelarutan pada kedua fase dan potensial kimianya (Yan, 2004). Reversed-phase
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
SPE digunakan karena pada metode modifikasi oleh Anastasyades (2006) sistem
reversed-phase SPE tidak menghilangkan senyawa pestisida apapun kecuali lilin
dan lipid pada matrik.
Mengingat bahwa GC-ECD kurang spesifik jika dibandingkan dengan LC
MS/MS maka diperlukan modifikasi dari metode QuEChERS dari penelitian
Anastassiades (2006) untuk mendapatkan ektrak bersih yaitu dengan adanya
proses Clean up menggunakan SPE C18. Azoxystrobin yang memiliki log POW
sebesar 2,71 at 20 °C sehingga pada pH 5,03 tidak mengalami disosiasi dan dapat
terjerab pada fasa diam C18. Pada proses clean up penggunaan SPE C18 sebagai
fasa diam juga diharapkan mampu menjerab residu azoxystrobin dengan recovery
yang tinggi dan dengan adanya clean up ini senyawa pengganggu respon detektor
tersebut dapat berkurang sehingga meningkatkan selektifitas dan sensitifitas
metode analisis GC-ECD.
Penelitian ini menggunakan pelarut yang mampu menahan semua analit
yang dituju pada fase diam (C18) tetapi dengan ikatan yang lemah agar dapat
terelusi seluruhnya. Pada proses pencucian, senyawa yang lebih polar akan tercuci
dengan fasa gerak air dan meninggalkan residu azoxystrobin pada fasa diam (C18).
Sehingga aquabidest dipilih sebagai pelarut pertama karena azoxystrobin hanya
memiliki kelarutan sebesar 6,7 mg/L dan diharapkan tidak terlarut pada saat
pencucian. Analit yang dituju selanjutnya dielusi dengan menggunakan metanol
yang akan melepaskan residu azoxystrobin yang tertahan pada fase diam (C18)
karena kelarutan azoxystrobin di dalam metanol kurang lebih 20 g/L. Strategi ini
bermanfaat jika analit yang dituju berkadar rendah (Gandjar, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Pada metode QuEChERS yang menggunakan sistem dispersive SPE,
kesetimbangan yang terjadi dalam sistem clean up hanya 1 kali. Pada kolom SPE
C18 yang digunakan kesetimbangan dalam sistem dapat terjadi berulang-ulang
sehingga efisiensi pemisahan semakin meningkat. Hal ini perlu dilakukan karena
detektor ECD sangat sensitif tetapi kurang spesifik.
G. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin dalam Sampel Buah
Melon dengan GC-ECD
Kromatografi gas dengan detector ECD dipilih dalam penelitian ini
berdasarkan struktur dari azoxystrobin yang mengandung atom elektronegatif
seperti N dan O yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas. Afinitas dari
gugus elektronegatif menarik elektron bebas yang berasal dari sumber radio aktif
nikel (63Ni) pada detektor. Elektron bebas yang tertangkap dibawa keluar dari
detektor dan terjadilah pengurangan jumlah elektron pada system detektor.
Pengurangan elektron tersebut direkam dan diangggap sebagai respon
kromatogram. Semakin banyak jumlah atom elektronegatif dalam suatu senyawa
maka semakin tinggi respon pada GC-ECD (Grob, 1995).
Detektor ECD memiliki kepekaan yang tinggi dan selektif terhadap
molekul senyawa yang mengandung halogen, karbonil terkonjugasi, nitro, dan
organologam. Sebaliknya, detector ECD tidak peka terhadap gugus fungsional
keton, alkohol, dan hidrokarbon. Senyawa azoxystrobin merupakan salah satu
jenis senyawa yang mengandung halogen, sehingga pengguanaan ECD baik untuk
analisis insektisida azoxyztrobin dan memiliki sensitivitas yang tinggi
(Hendayana, 2006).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Penentuan kadar residu fungisida azoxystrobin dalam sampel buah melon
dilakukan dengan metode standarisasi internal dengan standar internal DCB.
Persamaan Kurva baku dibuat berdasarkan hubungan rasio AUC
azoxystrobin/DCB, dengan massa yang telah di validasi oleh Puspitasari (2015).
Hasil validasi metode analisis dilakukan oleh Puspitasari (2015)
mendapatkan hasil recovery fortifikasi 0,091 ng – 0,684 ng pada buah melon
berkisar antara 84-119% dengan % RSD 17-19%, % D 0,03-17,1% dan kesalahan
ekstraksi sebesar 9,1%. Linearity range 0,002 µg/g – 0,014 µg/g dengan LOQ
0,0008 µg/g dan LLMV sebesar 0,005 µg/g. Dengan demikian validasi metode ini
memenuhi persyaratan untuk memantau kadar Azoxystrobin dalam buah melon
dibawah positif list sebesar 0,01 µg/g.
Suhu oven kolom yang digunakan adalah suhu terprogram 100°C (3
menit), 30°C/menit, 245°C (30 menit), 30°C/menit, 260°C (menit). Suhu
terprogram diharapkan mampu memisahkan puncak yang berhimpit karena titik
lebur suatu senyawa yang berdekatan (Mc Nair, 1997). Proses pemisahan juga
dilihat dari nilai volatilitas suatu senyawa yang dapat dinyatakan dalam Henry’s
Law constant, dimana semakin besar nilai konstanta Henry maka semakin cepat
senyawa tersebut menguap dan menghasilkan tR yang cepat (Kenndler, 2004).
Azoxystrobin memiliki konstanta Henry kecil yaitu sebesar 7,3 x 10-9 Pa m3/mol
sehingga dapat dianalisis menggunakan GC dengan tR sekitar 30-33 menit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Gambar 7. Kromatogram Baku Solvent
Pada gambar di atas no 1 adalah standart internal yang digunakan pada
penelitian. Standart internal yang digunakan adalah dekaklorobifenil (DCB). DCB
muncul pada waktu retensi 20-23 menit. Standar internal dalam kimia analitik
adalah zat kimia yang ditambahkan dalam jumlah konstan untuk sampel, standar
kosong dan kalibrasi dalam analisis kimia. Zat ini kemudian dapat digunakan
untuk kalibrasi dengan memplot rasio sinyal analit dengan standar sinyal internal
sebagai fungsi konsentrasi analit dari standar. Hal ini dilakukan untuk mengoreksi
hilangnya analit selama persiapan sampel atau sampel inlet (Gandjar, 2007).
Standar internal adalah senyawa yang sangat mirip, tetapi tidak identik
dengan spesies kimia yang menarik dalam sampel. Dapat terpisah baik dari
senyawa yang dituju atau puncak-puncak lain. Mempunyai waktu retensi yang
hampir sama dengan analit. mempunyai respon yang hampir sama dengan ananlit
pada konsentrasi yang digunakan. Mempunyai kemiripan sifat-sifat dengan analit
dalam tahap penyapan sampel tetapi tidak mirip secara kimia dalam analit
(Gandjar, 2007). Struktur DCB yang diunduh dari Pubchem (2015) dapat dilihat
seperti gambar dibawah.
1 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
. Gambar 8. Struktur Dekaklorobifenil (DCB)
Puncak yang ditandai dengan no 2 adalah puncak azoxystrobin yang
muncul pada waktu retensi 30-33 menit. Pada gambar 6 dapat dilihat setiap
sampel yang dianalisis memiliki respon puncak yang sama pada tanda A yang
menunjukkan puncak dari DCB dengan waktu retensi 20-23 menit. Pada tanda B
yang menunjukkan respon puncak dari senyawa azoxystrobin pada waktu retensi
30-33 menit.
Gambar 9. Overlay Kromatogram (A) Puncak DCB dan (B) Puncak
Azoxystrobin pada GC-ECD Keterangan : kromatogram sampel keseluruhan buah kromatogram sampel kulit buah kromatogram sampel daging buah kromatogram sampel blanko kromatogram standart
A B
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada standar, sampel blanko, daging,
kulit dan keseluruhan buah puncak DCB (puncak kromatogram A) dan puncak
azoxystrobin (puncak kromatogram B) muncul pada kondisi ajeg dengan tR
berturut-turut 23 menit dan 33 menit. Pada sampel blanko dan daging buah tidak
terdapat puncak azoxystrobin sehingga pada sampel tersebut tidak mengandung
residu azoxystrobin. Pada standart, sampel kulit dan keseluruhan buah didapat
puncak azoxystrobin yang setara atau lebih dari puncak DBC sehingga pada
sampel dan standart terdapat residu azoxystrobin dengan besaran rasio puncak
azoxystrobin/puncak DCB.
Penetapan kadar residu azoxystrobin pada sampel dilakukan dengan
analisis hasil extrapolasi rasio perbandingan luas puncak azoxystrobin dalam
sampel dengan luas puncak standar adisi yang diplotkan dalam kurva baku.
Persamaan dari kurva baku ini yang akan menghasilkan kadar terhitung dari
residu azoxystrobin.
Gambar 10. Kurva Baku Kadar Azoxystrobin vs Rasio AUC Azoxystrobin/AUC DCB Diplotkan pada Program Power Fit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Pada gambar di atas ditunjukkan kurva baku yang digunakan untuk
menghitung kadar terhitung dari residu fungisida azoxystrobin yang telah
diplotkan pada program power fit (Utrecht University Faculteit Scheikunde). Pada
program informasi lainnya juga didapatkan persamaan dari kurva baku yaitu F(x)
= -0,18373 + 9,20246 x dan correlation coefficient (r) 0,9995 menggunakan
95,0% confidence limits. Nilai r ini memenuhi persyaratan nilai r untuk uji
kategori impurity, yaitu ≥ 0,98 (Ahuja dan Dong, 2005). Oleh karena itu metode
ini memiliki linearitas yang baik untuk penetapan kadar.
1. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon pada Lahan
Siliran, Kulon Progo
Hasil analisis kadar residu fungisida azoxystrobin dalam keseluruhan,
kulit dan daging, pada Lahan Siliran, Kulon Progo dapat dilihat pada tabel VIII.
Pada tabel tersebut ditemukan hasil bahwa angka kadar residu fungisida
azoxystrobin terjadi penurunan baik pada keseluruhan, kulit maupun daging buah
melon. Hal ini menunjukan terjadinya proses hilangnya residu azoxystrobin.
Tabel VIII. Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin di Lahan Siliran Kulon Progo
Hari Setelah Terakhir Aplikasi
Keseluruhan mg/kg
Kulit mg/kg
Daging mg/kg
-1 0,002 0,002 0,003 0 0,080 0,115 0,006 1 0,043 0,045 0,005 3 0,029 0,021 0,004 5 0,031 0,026 0,004 7 0,010 0,017 0,003 14 0,002 0,004 0,001
kontrol 0,000 0,000 0,000
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Kontrol sampel yang tidak diberikan perlakuan didapat hasil 0 mg/kg pada
semua bagian buah. Sampel kontrol membuktikan bahwa petani memang tidak
menggunakan pestisida atau fungisida yang memiliki zat aktif yang sama dengan
zat aktif fungisida sebagai larutan uji yaitu azoxystrobin.
Pembuktian hipotesis 1 pada penelitian ini dapat dianalisis dengan uji
signifikansi menggunakan uji T antara kadar residu azoxystrobin pada kulit dan
daging buah. Uji signifikansi diawali dengan uji F untuk melihat signifikansi
antara standart deviasi antar slope dari kurva kadar residu azoxystrobin pada kulit
dan daging buah.
Rumus uji F yaitu: 𝐹 ℎ𝑖𝑡 = 𝑆12
𝑆22
Dari hasil perhitungan didapat hasil signifikansi standar deviasi antar slope
tidak signifikan yang dapat dilihat dari tabel dibawah.
Tabel IX. Hasil Uji F Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Kulon Progo
Alfa F hitung F table Kesimpulan
0,05 0,0001 5,05 Tidak signifikan
Tahap selanjutnya dilakukan uji T menggunakan rumus :
𝑡 ℎ𝑖𝑡 =|𝑏1 − 𝑏2|
𝑆� 1𝑛1 + 1
𝑛2
Dimana b1 adalah nilai slope kurva kadar residu pada kulit buah dan b2
adalah nilai slope kurva kadar daging buah. Kemudian dicari degree of freedom
dengan persamaan:
𝐷𝐹 = 𝑛1 + 𝑛2 − 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Tabel X. Hasil Uji T Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Kulon Progo
Alfa T hitung T table Kesimpulan 0,05 4.679 1,812 signifikan
Hasil perhitungan uji T dengan α 0,05 menyatakan kadar residu
azoxystrobin pada kulit dan daging buah memiliki kadar residu azoxystrobin
berbeda signifikan karena nilai T hit > T tabel. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
kadar residu azoxystrobin pada kulit buah lebih besar daripada kadar residu
azoxystrobin pada daging buah.
Kadar residu azoxystrobin pada daging buah di lahan Kulon Progo
didapat 0,006 mg/kg pada hari aplikasi dan turun hingga sebesar 0,001 mg/kg
pada hari ke-14 setelah aplikasi. Hal ini dapat dikarenakan penentrasi
azoxystrobin pada lahan Kulon Progo sangat cepat dan buah yang berada di atas
tanah langsung membuat residu fungisida azoxystrobin pada tanah dapat ikut
berpenetrasi ke dalam daging buah. Azoxystrobin yang bersifat sistemik membuat
residunya dapat menembus bagian-bagian dari tanaman dengan jalur pada xylem
atau floem (Asviatuti, 2008).
2. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon pada Lahan
Panggungharjo, Bantul
Pada lahan Panggungharjo, Bantul didapatkan hasil analisis sampel yang
ditunjukkan pada tabel XI. Hasil menunjukan bahwa terdapat kadar residu
fungisida azoxystrobin yang besar pada bagian kulit dan rendah dibagian daging.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Data menunjukan pada hari ke-7 pengambilan sampel kadar residu azoxystrobin
di daging sebesar 0,000 mg/kg.
Tabel XI. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Panggungharjo, Bantul Hari Setelah
Aplikasi Terakhir Keseluruhan
mg/kg Kulit mg/kg
Daging mg/kg
-1 0,010 0,008 0,000 0 0,033 0,062 0,000 1 0,012 0,061 0,001 3 0,004 0,010 0,000 5 0,002 0,013 0,000 7 0,008 0,014 0,000
kontrol 0,000 0,000 0,000
Sampel kontrol yang dianalisis pada keseluruhan buah terdapat residu
azoxystrobin sebesar 0 mg/kg meskipun petani mengaplikasikan pestisida yang
mempunyai zat aktif yang sama untuk mematikan jamur pada tanaman yang
menyerang saat proses aplikasi sampel yang kedua. Aplikasi petani ini tidak
mempengaruhi kadar residu pada sampel kontrol karena jarak aplikasi ke dua
yaitu 10 hari setelah aplikasi pertama sangat jauh dengan waktu pengambilan
sampel kontrol.
Secara kasat mata dapat dilihat kadar residu azoxystrobin pada kulit buah
lebih besar dari daging buah, tetapi untuk melihat perbedaan yang signifikan
diperlukan uji T pada kadar residu masing-masing bagian. Pembuktian diawali
dengan uji F untuk melihat signifikansi antara standart deviasi antar slope dari
kurva kadar residu azoxystrobin pada kulit dan daging buah.
Rumus uji F yaitu: 𝐹 ℎ𝑖𝑡 = 𝑆12
𝑆22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Dari hasil perhitungan didapat hasil signifikansi standar deviasi antar slope tidak
signifikan yang dapat dilihat dari tabel dibawah.
Tabel XII. Hasil Uji F Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Bantul
Alfa F hitung F table Kesimpulan 0,05 0,0013 6,39 Tidak signifikan
Tahap selanjutnya dilakukan uji T menggunakan rumus :
𝑡 ℎ𝑖𝑡 =|𝑏1 − 𝑏2|
𝑆� 1𝑛1 + 1
𝑛2
Dimana b1 adalah nilai slope kurva kadar residu pada kulit buah dan b2
adalah nilai slope kurva kadar daging buah. Kemudian dicari degree of freedom
dengan persamaan:
𝐷𝐹 = 𝑛1 + 𝑛2 − 2
Tabel XIII. Hasil Uji T Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Bantul
Alfa T hitung T table Kesimpulan 0,05 5,828 1,86 signifikan
Hasil perhitungan uji T dengan α 0,05 menyatakan kadar residu
azoxystrobin pada kulit dan daging buah memiliki kadar residu azoxystrobin
berbeda signifikan karena nilai T hit > T tabel. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
kadar residu azoxystrobin pada kulit buah lebih besar daripada kadar residu
azoxystrobin pada daging buah.
Kadar residu azoxystrobin pada kulit dapat lebih besar daripada kadar
residu azoxystrobin pada daging buah karena kulit buah adalah bagian pertama
yang terpapar oleh aplikasi fungisida azoxystrobin. Luas dan struktur permukaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
terluar dari buah juga berpengaruh terhadap kadar residu pada kulit buah. Bagian
kulit yang berjala atau membentuk net juga mempengaruhi residu azoxystrobin
dapat tertinggal lama di kulit kemudian akan terpenetrasi ke dalam daging buah.
Proses penetrasi ini bergantung pada kekuatan dan kecepatan residu azoxystrobin
untuk menembus matrik dari kulit buah (Noegrohati, 2015).
Pada lahan Kulon Progo digambarkan dari tabel VIII penetrasi residu
azoxystrobin cepat, ini dapat dilihat dari kadar daging buah pada hari ke-0 sudah
sebesar 0,006 mg/kg dan kemudian menurun pada setiap harinya. Residu
azoxystrobin di lahan Bantul tidak terpenetrasi cepat karena dapat dilihat di tabel
IX kadar yang ditemukan pada daging buah 1 hari setelah aplikasi terakhir sebesar
0,001 mg/kg kemudian menghilang hingga pengambilan sampel terakhir.
Pada daging buah kadar residu azoxystrobin pada lahan Bantul hanya
ditemukan sebesar 0,001 mg/kg pada hari pertama setelah aplikasi. Hal ini dapat
dikarenakan system penanaman pada lahan Bantul menggunakan anjang-anjang
sehingga residu azoxystrobin pada tanah tidak mengkontaminasi buah.
3. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon pada Lahan
Wedomartani, Sleman
Pada lahan Wedomartani, Sleman petani menggunakan fungisida dengan
zat aktif yang sama dengan larutan uji fungisida azoxystrobin karena tanaman
diserang oleh penyakit yang membuat buah membusuk. Buah yang membusuk
dibawa ke laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada kemudian di
analisis oleh Dr. Ir. Christanti untuk diketahui penyakit yang menyerang. Hasil
menunjukan bahwa buah melon di lahan Sleman terserang penyakit antraknosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Antraknosa merupakan penyakit ganas dan harus ditanggulangi dengan fungisida
azoxystrobin, jika tidak ditangani dengan tepat akan mengalami gagal panen dan
kehilangan sampel yang lebih banyak. Penanganan antraknosa pada lahan ini tidak
berhasil. Kondisi lahan semakin buruk dan sampel buah melon sebagian besar
membusuk pada hari ke 40 setelah tanam.
Oleh karena itu, data perlakuan pada lahan Wedomartani, Sleman
dinyatakan rusak dan tidak dapat digunakan untuk menggambarkan kadar pada
daging dan kulit buah. Pada keseluruhan buah kadar dapat ditentukan dan hasil
penentuan kadar residu azoxystrobin pada keseluruhan buah seperti tabel di
bawah. Kadar residu azoxystrobin pada keseluruhan buah di lahan Wedomartani,
Sleman memiliki pola penurunan kadar yang sama dengan lahan yang lain.
Tabel XIV. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Wedomartani, Sleman Hari setelah
aplikasi terakhir Keseluruhan buah
(mg/kg) H-1 0,017 H0 0,026
H+1 0,037 H+3 0,020 H+5 0,016 H+7 0,008 H+14 0,004
Kontrol 0,007
Kadar kontrol pada lahan Sleman didapat 0,007 mg/kg dikarenakan
adanya penanggulangan penyakit antraknosa pada lahan membuat petani
menggunakan fungisida dengan zat aktif yang sama dengan zat aktif yang
digunakan sebagai sampel penelitian. Kadarnya yang cukup tinggi dikarenakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
aplikasi yang dilakukan petani sebanyak 3 kali pada saat proses penanaman
berjalan.
H. Penentuan Laju Disipasi Residu Azoxystrobin dalam Sampel Buah
Melon dan Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi
Laju disipasi umumnya ditentukan dengan mengambil sampel pada
interval waktu setelah aplikasi terakhir suatu pestisida pada daerah tertentu yang
dapat digunakan sebagai acuan perlakuan pestisida. Hilangnya residu pestisida
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat fisik, kimia, dan proses
biokimia, yang semua ini jarang dideskripsikan dengan hubungan yang sederhana
(Ambrus, 2002).
1. Penetapan Laju Disipasi Residu Azoxystrobin dalam Sampel Daging,
Keseluruhan, dan Kulit Buah Melon
Pada penelitian ini laju disipasi masing-masing sampel buah melon pada
lahan yang berbeda ditentukan dengan slope atau kemiringan dari persamaan ln
kadar residu fungisida azoxystrobin (mg/kg) vs hari setelah aplikasi terakhir
fungisida azoxystrobin pada hari ke 0, 1, 3, 5, 7, dan 14. Hasil yang didapat
disajikan pada gambar berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Gambar 11. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Kulon Progo
Persamaan dari Gambar 11 mempunyai kemiringan (slope) yang
menunjukkan kecepatan laju disipasi residu fungisida azoxystrobin dari lahan
Kulon Progo sebesar 0,2065/hari pada kulit buah, 0,2512/hari pada keseluruhan
buah, dan 0,1052/hari pada daging buah. Gambar 12 di bawah menunjukkan nilai
persamaan dari ln kadar kulit, keseluruhan dan daging buah melon versus hari
terakhir aplikasi azoxystrobin. Persamaan tersebut mempunyai kemiringan yang
ditentukan sebagai laju disipasi buah melon pada lahan Bantul sampel sebesar
0,2468/hari pada kulit buah, 0,2291/hari pada keseluruhan buah, dan 0 hari pada
daging buah.
y = -0.2065x - 2.6964 R² = 0.8959
y = -0.2512x - 2.6377 R² = 0.9668
y = -0.1052x - 5.1285 R² = 0.9443
-8.000
-7.000
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 2 4 6 8 10 12 14 16
ln K
adar
Waktu
Kulit Keseluruhan Daging
Linear (Kulit) Linear (Keseluruhan) Linear (Daging)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Gambar 12. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Bantul
Pada lahan Sleman karena data yang dapat diperoleh hanya bagian
keseluruhan buah maka penentuan laju disipasi hanya pada keseluruhan saja. Laju
disipasi residu azoxystrobin pada keseluruhan buah di lahan Sleman didapat
sebesar 0,1539/hari. Pola laju disipasinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 13. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Sleman
y = -0.2468x - 2.9801 R² = 0.6187
y = -0.2291x - 4.1067 R² = 0.4352
y = 0 R² = #N/A
-7.000
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 1 2 3 4 5 6 7 8
ln K
adar
Waktu
Kulit Keseluruhan Daging
Linear (Kulit) Linear (Keseluruhan) Linear (Daging)
y = -0.1539x - 3.4487 R² = 0.9207
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 2 4 6 8 10 12 14 16
ln K
adar
Waktu
Kurva Lahan Sleman
Keseluruhan Linear (Keseluruhan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
2. Penetapan Pengaruh Kondisi Geografis terhadap Laju Disipasi Residu
Azoxystrobin pada Buah Melon
Pengaruh geografis lahan salah satunya dapat dilihat dari aspek curah
hujan, dan suhu daerah. Menurut Lakitan (2002), variasi suhu di kepulauan
Indonesia tergantung pada ketinggian tempat, suhu udara akan semakin rendah
dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut. Laju disipasi umumnya
dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu transformasi enzimatik dan fotodegradasi.
Kedua faktor ini dipengaruhi oleh tekanan uap suatu senyawa, tingkat kekasaran
permukaan tanaman, dan suhu udara (Fantke dkk, 2014).
Penetapan pengaruh kondisi geografis terhadap pola laju disipasi dan
penentuan PHI menggunakan bagian keseluruhan melon karena yang mewakili
kadar dari keseluruhan buah melon. Gambar di bawah menjelaskan bahwa laju
disipasi residu azoxystrobin pada buah melon di lahan Panggungharjo, Bantul
sebesar 0,2291/hari, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,1539/hari, dan lahan
Siliran, Kulon Progo sebesar 0,2512/hari. Hipotesis 2 dapat dibuktikan bahwa
kondisi geografis dapat mempengaruhi pola laju disipasi dengan menguji
signifikansi antara pola laju disipasi lahan Bantul, Sleman dan Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Gambar 14. Kurva Pola Laju Disipasi Residu Azoxystrobin pada Buah Melon di Lahan Bantul, Kulon Progo, dan Sleman
Uji signifikansi kurva kadar keseluruhan buah pada sampel di lahan
Bantul, Sleman, dan Kulonprogo dibuktikan dengan uji F ANOVA antara standar
deviasi slope kurva kadar residu azoxystrobin pada keseluruhan buah lahan
Bantul, Sleman, dan Kulon Progo.
Rumus uji F ANOVA yaitu: 𝐹 = 𝐵𝑒𝑡𝑤𝑒𝑒𝑛−𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑒𝑠𝑡𝑖𝑚𝑎𝑡𝑒𝑊𝑖𝑡ℎ𝑖𝑛−𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑒𝑠𝑡𝑖𝑚𝑒𝑡𝑒
Dari hasil perhitungan didapat standar deviasi slope dari kurva kadar
residu azoxystrobin pada keseluruhan buah lahan Bantul, Sleman, dan Kulon
Progo.
y = -0.2512x - 2.6377 R² = 0.9668
y = -0.1539x - 3.4487 R² = 0.9207
y = -0.2291x - 4.1067 R² = 0.4352 -7.000
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 2 4 6 8 10 12 14 16
ln K
adar
Waktu
Kulon Progo Sleman Bantul
Linear (Kulon Progo) Linear (Sleman) Linear (Bantul)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Tabel XV. Hasil Uji ANOVA Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah Lahan Bantul, Sleman dan
Kulon Progo Alfa F hitung F table Kesimpulan 0,05 6,44 4,6 Signifikan
Data yang didapat dengan Fhit lebih besar daripada Ftabel membuktikan
bahwa standart deviasi dari masing-masing laju disipasi berbeda signifikan.
Kemudian dilanjutkan untuk melihat signifikansi dari nilai laju disipasi. Uji
signifikansi diakukan uji Least Significant Difference menggunakan rumus :
𝑝 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 𝑆�2𝑛
x 𝑡ℎ(𝑛−1)
Dimana uji ini untuk melihat dari salah satu data memiliki pengaruh terhadap data
yang lain pada variansinya kemudian dibandingkan dengan derajat kepercayaan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu α 0,05.
Tabel XVI. Hasil Uji Least Significant Difference Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah di Lahan Kulon Progo, Sleman,
dan Bantul Alfa p value Kesimpulan 0,05 0,03 Tidak signifikan
Hasil perhitungan uji Least Significant Difference dengan α 0,05
menyatakan ketiga lahan memiliki laju disipasi residu azoxystrobin pada
keseluruhan buah tidak berbeda signifikan karena nilai p value lebih kecil dari α.
Oleh karena itu, pola laju disipasi tidak dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan
percobaan yang digunakan. Hasil yang tidak berbeda signifikan dapat dikarenakan
perbedaan geografis dan iklim yang kurang ekstrim. Suhu lahan pada seluruh
daerah penelitian yang rata-rata adalah suhu pertumbuhan melon yang bagus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Penurunan kadar residu azoxystrobin pada setiap harinya yang
menggambarkan pola laju disipasi senyawa tersebut dapat dipengaruhi oleh
kondisi geografis ataupun iklim suatu daerah. Cahaya matahari yang
menyebabkan fotodegradasi dan degradasi oleh mikroba adalah jalur utama
degradasi azoxystrobin karena sifat azoxystrobin yang mudah rusak oleh cahaya.
Suhu yang tinggi pada iklim tropis membuat reaksi fotodegradasi ini lebih cepat.
Pada penelitian Hustert (2002) dan Boudina (2007) azoxystrobin
diketahui rentan terhadap cahaya matahari dan dapat bertransformation karena
cahaya dengan jalur yang berbeda seperti photo isomerization, photo hydrolytic
dan oksidasi pada cincin benzen dan ikatan rangkap dengan hasil yang sangat
signifikan setelah penelitian yang dilakukan (Hustert dkk., 2002; Boudina dkk.,
2007 cit Adetutu, 2008).
Laju disipasi residu azoxystrobin juga dapat dikarenakan hilangnya
residu azoxystrobin salah satunya disebabkan oleh adanya biodegradasi mikroba
tanah karena jumlah bahan organik tanah yang tinggi. Azoxystrobin dengan
struktur yang relatif kompleks menyebabkan senyawa ini memiliki banyak jalur
degradasi pada lingkungan(Singh dkk, 2010).
Penelitian-penelitian baru menunjukkan adanya jalur degradasi
azoxystrobin di tanah dikarenakan pH tanah, dan bahan organik (mikroba)
(Bending dkk, 2007). Menurut Clegg bahan organik pada tanah sangat
berpengaruh pada teradsorbsinya azoxystrobin ke lingkungan (Clegg, 2014). Dua
jenis bakteri yang biasa mendegradasi azoxystrobin adalah Cupriavidus sp. dan
Rhodanobacter sp. Jenis bakteri ini yang paling banyak ditemukan pada tanah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
yang telah terpapar azoxystrobin (Howell, 2013). Beberapa hasil degradasi residu
azoxystrobin di lingkungan dapat dilihat secara lengkap pada CAC Azoxystrobin
halaman 4 pada tabel “Azoxystrobin and its metabolites/degradation products
observed in metabolism and/or environmental fate studies” (FAO, 2015).
I. Karakterisasi Keamanan Azoxystrobin dalam Buah Melon
Berdasarkan sifat fisikokimia terdapat fungisida yang tidak mudah rusak
dilingkungan dalam jangka waktu yang panjang atau bersifat persisten.
Sebaliknya ada fungisida yang mudah rusak/berubah memalui reaksi oksidasi,
reduksi, hidrolisis, atau reaksi lain menjadi bentuk senyawa lain sehingga
keberadaanya di lingkungan dalam jangka waktu pendek (tidak persisten).
Ukuran kuantitatif persistensi fungisida adalah DT50 (Dissipation Time
50%). DT50 fungisida yang satu berbeda dengan DT50 jenis fungisida yang lainnya
tergantung sifat fisikokimia fungisida yang digunakan dan iklim lingkungan
setempat. Sebagian besar pola disipasi atau degradasi pestisida di lingkungan
yaitu degradasi kimia dan degradasi mikrobial biasanya dalam bentuk waktu
paruh dan dihitung menggunakan kinetika tingkat pertama.
Perhitungan paruh waktu (DT50) umumnya menjadi dasar untuk
menunjukkan peluruhan/hilangnya residu fungisida sebagai akibat degradasi
maupun perpindahan kompartemen lingkungan (Fantke dkk, 2014). DT50 juga
digunakan untuk menentukan persistensi suatu fungisida di lingkingan. Persistensi
yang dimaksud adalah berapa lama residu ini dapat bertahan di lingkungan sekitar
setelah aplikasi. Azoxystrobin termasuk dalam fungisida golongan strobilurins
yang memiliki persistensi sedang di dalam lingkungan, dan beberapa produk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
degradasinya seperti asam azoxystrobin ditemukan sebagai bahan pencemar pada
system perairan. Hasil degradasi diketahui dikarenakan biodegradasi oleh
mikrobia (Howell, 2013).
Hasil penentuan laju disipasi residu azoxystrobin buah melon dan DT50
dipaparkan pada tabel XVII:
Tabel XVII. Laju Disipasi dan DT50 Residu Azoxystrobin Di Dalam Buah Melon
DT50/hari Sleman Kulon Progo Bantul Laju
disipasi/hari Laju
Disipasi DT50 Laju
Disipasi DT50 Laju
Disipasi DT50
Keseluruhan 0,1539 4,5 0,2512 3 0,2291 3
Tabel XVII juga menunjukkan nilai laju disipasi pada sampel keseluruhan buah di
lahan Siliran, Kulonprogo sebesar 0,2065/hari dengan DT50 selama 3 hari dan di
lahan Panggungharjo, Bantul 0,2291/hari dengan DT50 selama 3 hari, dan lahan
Wedomartani, Sleman 0,1539/hari dengan DT50 4,5 hari.
Nilai DT50 untuk residu azoxystrobin dari beberapa sumber menyatakan
hasil yang berbeda-beda menurut sampel keseluruhan buah. DT50 yang ditentukan
oleh FAO karena fotolisis pada aqueos condition buah sebesar 8,7–13,9 hari pada
kondisi pH 7 (FAO, 2008). Pada sampel buah anggur di Italia dengan laju disipasi
digambarkan dengan kinetika orde 1 dan waktu paruh (t1/2) dari azoxystrobin
selama 15,2 hari (Cabras, 1998). Penelitian lain juga menjelaskan pada
penelitiannya bahwa residu azoxytrobin yang terdeteksi pada buah anggur di India
mempunyai waktu paruh selama 2-3 hari pada keseluruhan buah dan 1,5 – 2 hari
pada daun setelah aplikasi terakhir (Sendhil, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Kondisi Italia yang subtropis lebih lama DT50 dari residu fungisida
azoxystrobin, sedang India yang termasuk negara tropis memiliki DT50 yang sama
dengan hasil penelitian. Dapat disimpulkan DT50 juga terpengaruh oleh letak
geografis dengan iklim tropis dan sub tropis. Lahan percobaan yang dilakukan
pada iklim yang sama membuat pengaruh geografis tidak berpengaruh signifikan
pada DT50. Hal ini dapat dilihat dari nilai DT50 pada kedua lahan sama selama 3
hari.
Pada iklim yang tropis dengan suhu, curah hujan, dan pemaparan cahaya
yang lebih tinggi dari pada iklim sub tropis membuat beberapa fungisida
khususnya azoxystrobin mudah terdegradasi sehingga nilai DT50 cepat. Nilai DT50
yang menggambarkan presistensi residu fungisida yang semakin tinggi membuat
residu lama tertinggal pada lingkungan dan berbahaya jika banyak terakumulasi.
Mengetahui persistensi residu dalam tanaman yang diketahui dari
parameter DT50 sangat penting untuk penentuan PHI yaitu waktu aplikasi terakhir
sebelum panen agar tidak melebihi ambang toleransi yang mana bagi manusia dan
lingkungan. Dosis atau konsentrasi yang digunakan adalah dosis minimum yang
efektif terhadap organisme pengganggu tanaman. Hal ini bertujuan agar residu
fungisida tidak tinggi dengan penggunaan fungisisda tidak berlebihan.
Keamanan konsumen juga dapat digambarkan dengan penentuan PHI
(pre harvest interval) dengan rumus PHI = DT95, karena data yang digunakan
dalam analisis ini mempunyai confidence limit 95%, sehingga kesalahan yang
diperbolehkan sebesar 5%. Data perhitungan PHI dapat dilihat dari tabel XXI di
bawah. Data menunjukkan meskipun PHI terhitung pada hari ke 6, tetapi untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
mencapai kadar di bawah 0,01 mg/kg, yaitu kadar di bawah positive list hanya
terdapat pada hari ke-7. Positive list adalah batasan yang gunakan ketika suatu
residu fungisida atau pestisida belum ditentukan nilai BMR.
Tabel XVIII. PHI Penggunaan Fungisida Azoxystrobin PHI Kulon Progo Bantul Sleman
Keseluruhan 4 hari 4 hari 9 hari
Kadar hari ke-7 setelah aplikasi terkhir pada lahan Siliran, Kulon Progo
sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan pada
lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg. Dapat di buah melon di Daerah
Istimewa Yogyakarta aman dikonsumsi jika dipanen pada hari ke-7 setelah
aplikasi fungisida azoxystrobin dengan penggunaan dosis label.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan:
1. Kadar residu fungisida azoxystrobin pada lahan penelitian Bantul dan
Kulonprogo di kulit lebih besar daripada di daging buah dengan hasil
signifikansi uji T thitung > ttabel dengan α 0,05 berturut-turut adalah thit 5,83 >
ttabel 1,86 dan thit 4,68 > ttabel 1,81. Pada lahan Sleman sampel tidak dapat
analisis karena lahan percobaan rusak terserang penyakit.
2. Laju disipasi residu azoxystrobin pada buah melon di lahan Panggungharjo,
Bantul sebesar 0,2291/hari, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,1539/hari,
dan lahan Siliran, Kulon Progo sebesar 0,2512/hari. Kondisi geografis lahan
percobaan tidak berpengaruh terhadap laju disipasi residu azoxystrobin
dengan hasil tidak signifikan pada uji ANOVA dengan α 0,05 lebih besar dari
p value 0,03.
3. Kadar residu azoxystrobin di dalam buah melon dapat dikatakan aman dengan
kisaran PHI pada hari ke 7 yang didapatkan pada aplikasi sesuai label di
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kadar di lahan Siliran, Kulon Progo
sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan
lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg karena berada dibawah
kadar postif list 0,01 mg/kg.
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat
penulis berikan adalah:
1. Perlu dilakukan analisis laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada
daerah yang berbeda di Indonesia agar data untuk menggambarkan laju
disipasi di Indonesia lebih lengkap.
2. Perlu dilakukan analisis laju disipasi residu fungisida azoxystrobin dengan
perbedaan konsentrasi pada perlakuan lahan agar memiliki perbandingan
data aplikasi yang luas.
3. Perlu dilakukan selang waktu pengambilan sampel lebih dipersempit agar
memiliki kelengkapan data pada setiap hari setelah aplikasi terakhir.
Kelengkapan data dapat menggambarkan dengan detail kadar setiap
harinya setelah aplikasi terakhir dan memperjelas pola laju disipasi.
4. Petani disarankan menggunakan anjang-anjang sebagai sistem panen yang
lebih aman dari residu fungisida azoxystrobin daripada langsung di atas
tanah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
DAFTAR PUSTAKA
Abby, M., 2015, Potensi Indonesia sebagai Eksportir Buah Tropis, http://solusibisnis.co.id/potensi-indonesia-sebagai-eksportir-buah-tropis.html, diakses pada tanggal 20 Agustus 2015.
Adetutu, E.M., 2008, Azoxystrobin and soil interactions: degradation and impact on soil bacterial and fungal communities, Journal of Applied Microbiology, The Society for Applied Microbiology, 105, 1777–1790
Ahuja, S., and Dong, M.W., 2005, Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC, volume 6, Elsevier, Inc., USA, p. 192.
Ambrus, L., 2002, Evaluation of the Studies on Decline of Pesticide Residues, J. Agric. Food Chem. , 50, 4846-4851.
Anastassiades, Michelangelo,. 2006, The QuEChERS Method –Background Informationand Recent Developments, Community Reference LaboratoryPesticide Residuesusing Single Residue Methods, Stuttgart, p.50,66.
Anonim a, 2010, Azoxystrobin, http://www.fao.org/publications, diakses tanggal 8 Mei 2014.
Anonim b, 2015. Enggan Beralih Dari Action, http://www.tanindo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=366:enggan-beralih-dari-action&catid=387:enggan-beralih-dari-action&Itemid=101, diakses tanggal 9-11-2015.
Anonim c, 2015, Budidaya Melon Golden, Seperti Budidaya Emas, http://dinpertan.grobogan.go.id/komoditas-123-budidaya-melon-golden-seperti-budidaya-emas.html, Diakses pada tanggal 15 Sepetember 2015.
Anonim d, 2015, Hama dan Penyakit Tanaman Melon, http://www.petanihebat.com/2014/05/hama-dan-penyakit-tanaman-melon.html diakses pada tanggal 26 November 2015.
Asviatuti, S., 2008, Dinamika Insektisida Deltametrin Pada Lahan Budidaya Cabai Besar (Capsicum annum L.), Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Bending, G.D., Rodríguez-Cruz, S., Lincoln, S.D., 2007, Fungicide impacts on microbial communities in soils with contrasting management histories, Chemosphere, 69, 82–88.
BMKG, 2015, Data Curah Hujan, Suhu, dan Kelembapan, Yogyakarta. Cabras, P., Angioni, A., Garau, V. L., Pirisi, F. M.; Espinoza, J., Mendoza, A.,
Cabitza, F., Pala, M., and Brandolini, V. 1998. Fate of azoxystrobin, fluazinam, kresoxim-methyl, mepanipyri, and tertraconazole from vine to wine. J. Agric. Food Chem. 46: 3249-3251..
California Departement of Pesticide Regulation, 2012, Standard Operating Procedure: Calculation of Pesticide Half-life from a Terrestrial Field Dissipation Study, Sacramento.
Clegg, H., Matthew J. Riding, Robin Oliver, Kevin C. Jonesa, Kirk T. Semplea, 2014, The impact of soil organic matter and soil sterilisation on the bioaccessibility of 14C-azoxystrobin determined by desorption kinetics, Journal of Hazardous Materials, 278, 336–342.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Codex Alimetarius Commision, 2014, Evaluation of Data for Acceptabel Daily Intake and Acute Dietary Intake for Humans, Maximum Residue Levels and Supervised Trial Median Residue Values, http://www.fao.org/fileadmin/templates/agphome/documents/Pests_Pesticides/JMPR/Report08/Azoxystrobin.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2014
Deptan, 1994, Penggunaan Pestisida Secara Bijaksana, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta
Deptan, 1998, Informasi Teknis Tentang Pestisida untuk Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Deptan, 2006, Penggunaan Pestisida yang Baik dan Benar dengan Residu Minimum, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta
European Commision, 1998, Review Report for The Active Substance Azoxystrobin, England.
Fantke, et all, 2014, Estimating Half-Lives for Pesticide Dissipation from Plants. Enviromental Science and Technology. 48, 8588−8602.
EXTOXNET, 1993, Movement of Pesticides in The Environment, Oregon State University, http://extoxnet.orst.edu/tibs/movement.htm, diakses pada tanggal 9 Januari 2015
FAO report CCPR, 2008, Azoxystobin. Codex Alimetarius. FAO, 2015, Azoxystrobin (229), Codex Alimetarius. FAO, 2015, Recommended Methods Of Sampling For The Determination Of
Pesticide Residues For Compliance With MRLs. CAC/GL 33-1999. Frederick, M., 2015, Pesticide Toxicity Profile: Strobilurin Pesticides,
https://edis.ifas.ufl.edu/pi104 , diakses pada tanggal 11 Agustus 2015. Gandjar, I. G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, cetakan kedua,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ghosh, R. K., Neera, S., 2009, Effect of Organic Manure on Sorption and
Degradation of Azoxystrobin in Soil, J. Agric. Food Chem., 57, 632–636. Grob, L.R., 1995, Modern Practice of Gas Chromatography, John Wiley and
Sons Inc., New York. p. 291-295 Hari, S., 2015, Bantul tidak merekomendasi lahan pertanian ditanami melon,
http://www.antarayogya.com/berita/334947/bantul-tidak-merekomendasi-lahan-pertanian-ditanami-melon, diakses pada tanggal 26 November 2015.
Hendayana, S., 2006, Kimia Pemisahan : Metode Kromatografi dan Elektrolisis Modern, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Howell, C., Kirk T. Semple, Gary D. Bending, 2013, Isolation and characterization of azoxystrobin degrading bacteria from soil, Chemosphere, 95, 370–378.
Hye Rim, K., dkk., 2011, Dissipation Pattern of Azoxystrobin, Difenoconazole and Iprodione Treated on Field-Grown Green Garlic, Korean J Environ Agric, Vol. 30, No. 4, pp. 446-452
Julianto. 2013, Melon Unggulan Indonesia tabloid sinar tani, http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
53&cHash=c24b165793b5b2bac6ebe95709acf4fe, diakses pada tanggal 25 September 2015.
Juraske, R.; Antón, A.; Castells, F. 2008, Estimating half-lives of pesticides in/on vegetation for use in multimedia fate and exposure models. Chemosphere, 70, 1748−1755.
Kamali, S.R., 2008, Distribusi Insektisida Deltametrin Pada Tanaman Cabai Besar (Capsicum annum L.), Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Kelly, M., 2011, Azoxystrobin and Difenoconazole - Residue Study on Melon in Italy, Spain and Southern France in 2008 and 2009, The Food and Enviroment Reasearch Agency. pp. 3-93
Kenndler, E., 2004, Gas Chromatography, Institute for Analytical Chemistry, University of Vienna, https://anchem.univie.ac.at/fileadmin/user_upload/anchem/Gas_Chromatography_in_Capillaries.pdf , diakses pada tanggal 3 Januari 2015
Kimura, K., Tawara, S., Igarashi, K., Takenaka, A., 2007, Effect of various radical generators on insulin-dependent regulation of hepatic gene expression, Biosci, Biotechnol, Biochem, 71, 16–22.
Kristianingsih, I. D., 2010, Produksi benih melon (Cucumis melo l) unggul di Multi Global Agrindo (mga), Karangpan dan Karanganyar, Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Kurniati, N., 2013, Penyakit Pantek atau Antraknose, http://www.tanijogonegoro.com/2013/09/patek-antraknosa.html , diakses pada tanggal 26 November 2015.
Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafondo Pustaka. Jakarta. Maimun, Ali., 2014, Budidaya Melon Golden, Seperti Budidaya Emas. Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab.Grobogan Prov.Jawa Tengah, http://dinpertan.grobogan.go.id/komoditas-123-budidaya-melon-golden-seperti-budidaya-emas.html, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Mastova, K., 2008, Azoxystobin, Agricultural Research Service, United States Departement of Agriculture, USA.
Mc Grath, M.T., 2004, What are Fungicides. The Plant Health Instructor, http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/topics/Pages/fungicides.aspx, diakses pada tanggal 11 Agustus 2015.
Mc Nair, Harold M., dan James M. Miller, 1997, Basic Gas Chromathography, John Wiley and Sons, Inc., New York.
Miller, J. N., Miller, J. C., 2010, Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry, Sixth Edition, Pearson Education Limited, UK, pp. 39-40.
Namiesnik, J., 2002, Trace Analysis Challenges and Problems, Critical Reviews in Analytical Chemistry, 32 (4), p. 272.
Noegrohati, 2015, Wawancara Pribadi. Pemda DIY, 2010, Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta,
http://jogjaprov.go.id/pemerintahan/situs-tautan/view/kondisi-geografis, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
Phenomenex, 2015, An Easier QuEChERS Solution for Multi-Residue Analysis from Food,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
https://phenomenex.blob.core.windows.net/documents/0a6eaba2-d9b2-4b74-a391-81ffc3e19379.pdf, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
Pracaya, 2007, Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar swadaya: Jakarta. Prajnanta, F., 1997, Melon: Pemeliharaan Secara Intensif, kiat sukses
beragribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta. Prichard, E., MacKay, G.M., and Points, J., 1996, Trace Analysis: A structured
approach to obtaining reliable results, Royal Society of Chemistry, United Kingdom, pp. 1-11.
Pubchem, 2015, Decachlorobiphenyl, http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/search/#collection=compounds&query_type=text&query=%22Decachloro-1%2C1%27-biphenyl%22 , diakses pada tanggal 3 Januari 2015.
Puspitasari, R. S., 2015, Validasi Metode Analisis Residu Azoxystrobin Dalam Buah Melon (Cucumis melo L.), Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Rukmana, R., 1994, Budidaya Melon Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. Samadi, Budi., 2007, Melon: Usaha Tani dan Penanganan Pasca Panen,
Yogyakarta: Kanisius. Sendhil Vel V. 2003. Evaluation of azoxystrobin 25 SC against downy mildew
and powdery mildew of grapevine. Ph.D. Thesis, Tamil Nadu Agric. Univ., Coimbatore, India, 190 pp.
Singh, N., Singh, S., 2010, Effect of moisture and compost on fate of azoxystrobin in soils, J. Environ. Sci. Health, Part B 45, 676–681.
Skwirk. 2015, online education, http://www.skwirk.com/p-c_s-1_u-149_t-447_c-1591/nsw/hsie/indonesia-understanding-our-nearest-neighbours/indonesia-s-geography-and-peoples/climate-animals-and-plants, diakses pada tanggal 10 September 2015. 41
Sobir dan Firmansyah, 2014, Berkebun melon unggul. Penebar Swadaya, Jakarta, http://alamtani.com/budidaya-melon.html, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Suryanto, W.A., 2010, Hama dan Penyakit (masalah dan solusinya). Kanisius:Yogyakarta.
Syngenta Group, 2005, Azoxystrobin, Syngenta Crop Protection. Ink, Greensboro. The Japan Food Chemical Research Foundation, 2015, The Japanese Positive List
System for Agricultural Chemical Residues in Foods, http://www.ffcr.or.jp/zaidan/ffcrhome.nsf/pages/mrls-p, diakses pada tanggal 30 November 2015.
Tomlin, C.D.S., 2000, The Pesticide Manual, British Crop Protection Council, UK.
Weather online, 2015, Indonesia, http://www.weatheronline.co.uk/reports/climate/Indonesia.htm, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Wirakusumah, E. S., 2000, Buah dan Sayur untuk Terapi, Penebar Swadaya, Jakarta.
Yan, B., 2004, Analysis and Purification Methods in Combinatorial Chemistry, John Wiley and Sons, Inc., New Jersey, p 268.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
LAMPIRAN 1. Hasil Penelitian Tanah oleh Fakultas Pertanian UGM
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
LAMPIRAN 2. Surat Permohonan Data Kondisi Geografis pada BMKG
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
LAMPIRAN 3. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Bantul oleh BMKG DIY
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
LAMPIRAN 4. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Sleman oleh BMKG DIY
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
LAMPIRAN 5. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Kulonprogo oleh BMKG DIY
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
LAMPIRAN 6. Hasil Pengamatan Curah Hujan di Daerah Bantul oleh BMKG DIY
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
LAMPIRAN 7. Foto Buah Melon
Lampiran 8. Kerusakan Lahan Buah Melon Wedomartani, Sleman Akibat Penyakit Antraknosa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
LAMPIRAN 9. Foto Lahan Sampel Perlakuan
Lahan Siliran, Kulon Progo
Lahan Wedomartani, Sleman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
LAMPIRAN 12. Langkah Preparasi Sampel Buah Melon
a. Pemotongan pangkal buah
b. Buah dibagi menjadi 2 bagian
c. Biji di dalam buah di bersihkan
d. Buah melon dibagi menjadi 4 bagian
e. Buah dipotong lebih kecil
f. Buah dipisahkan bagian kulit dan daging
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
g. Kulit buah di timbang
h. Daging buah ditimbang
i. Buah hasil timbang dipotong kecil-kecil
j. Daging buah dihomogenkan dengan blender
k. Proses homogenisasi
l. Hasil Homogenisasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
LAMPIRAN 14. Kurva Baku Azoxystrobin
Gambar kurva baku kadar azoxystrobin vs rasio AUC azoxystrobin/AUC DCB yang telah diplotkan pada program Power Fit.
Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are:
Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit
a0 -1.83726E-001 4.61678E-002 -2.92874E-001 -7.45775E-002
a1 9.20246E+000 1.05498E-001 8.95305E+000 9.45188E+000
POLYNOMIAL is: F(x) = -0.18373 + 9.20246 x
Correlation Coefficient: 0.99954
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
LAMPIRAN 15. Contoh Perhitungan Penetapan Kadar
• Penentuan rasio Azoxystrobin/DCB Rasio azoxystrobin/DCB ditentukan dengan rumus AUC azoxystrobin/AUC DCB dapat dilihat pada tabel dibawah
AUC DCB AUC Azoxystrobin Rasio 5254,4 4349,6 0,828
• Perhitungan kadar dengan persamaan kurva baku
Persamaan kurva baku yang didapat F(x) = -0,18373 + 9,20246 x. Rasio yng sudah ditemukan dimasukkan pada persamaan sebagai F(x). x = (0,828 + 0,9640)/9,20246 x = 0,19473 ng setelah masuk pada kurva baku x sebagai C extrak. Kemudian dihitung kadar sebenarnya dalam sampel
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =
𝐶𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑉𝑖𝑛𝑗
× 𝑉𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 𝑃
𝑚
Keterangan:
Csampel : kadar dalam sampel (ng/g)
Cekstrak : kadar dalam ekstrak (ng)
Vinj : volume injeksi (µl)
Vsampel : volume sampel (µl)
P : faktor pengenceran
m : berat sampel (g)
sehingga hasil didapat seperti perhitungan di bawah,
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =0,19473 𝑛𝑔
2 𝑢𝑙 × 200 𝑢𝑙 × 200 𝑢𝑙40 𝑢𝑙
5 𝑔
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =19,5 ng/g
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =0,0195 mg/kg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
LAMPIRAN 16. Contoh Perhitungan, Laju Disipasi, DT50 dan PHI • Penentuan laju disipasi
Hari Setelah
Aplikasi Terakhir
Kadar Residu Azoxystrobin (mg/kg) ln Kadar
0 0,115 -2,1657 1 0,045 -3,1021 3 0,021 -3,8693 5 0,026 -3,6346 7 0,017 -4,0858 14 0,004 -5,5172
Selanjutnya memplotkan antara hari dengan ln kadar sehingga diperoleh kurva
laju disipasi dengan persamaan y = bx + a dimana b (slope) adalah laju disipasi
dengan satuan hari-1. Kurva laju disipasi dari tabel di atas :
• Penentuan DT50 Rumus DT50 = ln 0,5/slope DT50 = 0,693/0.2512 DT50 = 2,759 hari
• Penentuan PHI Rumus PHI = DT95 DT95 = DT50 + 45% DT50 DT95 = 2,759 + (45%*2,759) DT95 = 4 hari
y = -0.2065x - 2.6964 R² = 0.8959
-6
-5
-4
-3
-2
-1
00 5 10 15
ln K
adar
Waktu
Laju Disipasi
Laju Disipasi Linear (Laju Disipasi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
LAMPIRAN 17. Contoh Perhitungan Signifikansi Data dengan Uji T
Plot dari Kurva ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Waktu setelah Aplikasi Terakhir pada Buah Melon di Lahan Kulon Progo dengan Power Fit.
Polynomial Degree is: 1 , based on 6 data points (#1 to #6)
POLYNOMIAL is: F(x) = -2.63783 - 0.25120 x
Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are:
Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit
a0 -2.63783E+000 1.59064E-001 -3.07942E+000 -2.19625E+000
a1 -2.51200E-001 2.32846E-002 -3.15841E-001 -1.86559E-001
Correlation Coefficient: -0.98325
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Plot dari kurva ln kadar residu azoxystrobin vs waktu setelah aplikasi terakhir pada buah melon di lahan Bantul dengan Power Fit.
Polynomial Degree is: 1 , based on 5 data points (#1 to #5)
POLYNOMIAL is: F(x) = -4.10661 - 0.22912 x
Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are:
Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit
a0 -4.10661E+000 6.17569E-001 -6.07197E+000 -2.14125E+000
a1 -2.29122E-001 1.50671E-001 -7.08620E-001 2.50377E-001
Correlation Coefficient: -0.65976
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Penentuan uji signifikansi dengan uji T. 𝐹 ℎ𝑖𝑡 = 𝑆12
𝑆22 𝐹 ℎ𝑖𝑡 = 0,02332
0,15072 𝐹 ℎ𝑖𝑡 = 0,0239
F hit dibandingkan dengan F tabel (n1,n2) Alfa F hitung F table Kesimpulan 0,05 0,0239 5,19 Tidak signifikan
𝑆2 =((𝑛1 − 1)𝑆12 + (𝑛2 − 1)𝑆22)
(𝑛1 + 𝑛2 − 2) 𝑆2 =
((6 − 1)0,02332 + (5 − 1)0,15072)(6 + 5 − 2)
𝑆2 = 0,010390874 𝑆 = 0,101935635
𝑡 ℎ𝑖𝑡 =|𝑏1 − 𝑏2|
𝑆� 1𝑛1 + 1
𝑛2
𝑡 ℎ𝑖𝑡 =| − 0,2512 − (−0,2291)|
0,1019�16 + 1
5
𝑡 ℎ𝑖𝑡 = 0,3577
𝐷𝐹 = 𝑛1 + 𝑛2 − 2 𝐷𝐹 = 6 + 5 − 2 𝐷𝐹 = 9 T hit dibandingkan dengan T tabel (α,DF)
Alfa T hitung T table Kesimpulan 0,05 0,36 1,81 Tidak signifikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
LAMPIRAN 18. Label Penggunaan Formulasi Azoxystrobin Syngenta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
LAMPIRAN 20. Determinasi Tanaman Melon Sampel oleh Fakultas Farmasi, UGM
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi dengan judul “ASESMEN
PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN
DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.)
TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA” dengan
nama lengkap Rushadi Jatmiko, merupakan anak
tunggal dari pasangan Joko Priyono dan Wahyu
Rujiati. Penulis lahir di Yogyakarta, 1 Januari 1992.
Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu
TK Pamardisiwi (1996-1998), tingkat Sekolah Dasar di SDN Glagah 1 (1998-
2004), tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMPN 9 Yogyakarta (2004-2007),
tingkat Sekolah Menengah Atas di STM Pembangunan Yogyakarta Jurusan
Analisis Kimia (2007-2011). Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa menempuh pendidikan
sarjana, penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan, seperti kegiatan Desa Mitra
2013 sebagai ketua, ketua umum kegiatan Komunitas Sadar Sehat Jaringan
Mahasiswa Kesehatan Indonesia Yogyakarta, Tiga Hari Temu Mahasiswa
Farmasi sebagai pendamping kelompok, kegiatan PPnEC sebagai anggota
pubdekdok, kegiatan Donor Darah JMKI sebagai koordinator pubdekdok, menjadi
fasilitator pada kegiatan Kelas Inspirasi Yogyakarta 2015 serta terlibat dalam
kepengurusan BEMF Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta periode 2012/2013
sebagai divisi pengabdian masyarakat. Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum Botani Farmasi pada tahun 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI