angiofibroma nasofaring

14
1 ANGIOFIBROMA NASOFARING 1. Pendahuluan Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara histologis jinak, terdiri tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah satunya adalah teori jaringan asal, yaitu tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah dinding posterolateral atau atap rongga. Salah satu diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang mengemukakan penyebab angiofibroma adalah overproduksi estrogen atau defisiensi androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak ditemukan pada pria kisaran umur 14- 25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga Angiofibroma Nasofaring Belia. Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang jarang ditemukan, diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan leher. Insidensi di berbagai negara diperkirakan Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Upload: onlyfella

Post on 01-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANGIOFIBROMA NASOFARING

1

ANGIOFIBROMA NASOFARING

1. Pendahuluan

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara histologis jinak,

terdiri tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi

tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan

tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah

satunya adalah teori jaringan asal, yaitu tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah

dinding posterolateral atau atap rongga. Salah satu diantaranya adalah teori

ketidakseimbangan hormonal, yang mengemukakan penyebab angiofibroma adalah

overproduksi estrogen atau defisiensi androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya

hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak

ditemukan pada pria kisaran umur 14-25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga

Angiofibroma Nasofaring Belia.

Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang jarang ditemukan, diperkirakan

hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan leher. Insidensi di berbagai negara

diperkirakan 1 per 5000 sampai 1 per 50.000 dari jumlah keseluruhan pasien THT.

Sedangkan di Indonesia dari beberapa rumah sakit pendidikan melaporkan 2 sampai 4

kasus angiofibroma nasofaring belia dalam 1 tahun. Namun demikian, tumor ini

merupakan tumor jinak nasofaring yang paling sering ditemukan. Keterlibatan

intrakranial dilaporkan terjadi pada 10-36% kasus dengan glandula pituitari, fossa kranii

anterior dan media sebagai bagian yang palingsering terkena. Angka kekambuhan setelah

terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga 57%.

2. Etiologi

Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti.

Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 2: ANGIOFIBROMA NASOFARING

2

dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal

dan teori ketidakseimbangan hormonal.

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena

pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah

oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut

merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel

epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa

angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan

spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau

kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor

dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua

penderita angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring

dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulangdasar tengkorak

menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap

hormonal.

3. Histopatologi

Secara histopatologis angiofibroma nasofaring mengandung dua unsur yaitu jaringan

pembuluh darah dan jaringan ikat fibrosa dengan sel-sel bintang dan fibroblas muda.

Dinding pembuluh darah tumor tidak mempunyai jaringan ikat elastis maupun otot

sehingga mudah terjadi perdarahan hebat bila tersentuh.

Pada tumor yang baru tumbuh, komponen pembuluh darah tampak mendominasi

dibandingkan jaringan ikat fibrosa yang hanya sedikit. Sementara pada tumor yang sudah

lanjut terjadi hal sebaliknya. Komponen pembuluh darah dapat dilihat melalui arteriografi

di mana pada tumor yangmasih baru tampak hipervaskularisasi daerah yang terdapat

tumor, sedangkan pada kasus yang lanjut gambaran vaskularisasi berkurang. Bila

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 3: ANGIOFIBROMA NASOFARING

3

dihubungkan dengan umur, maka perdarahan yang terjadi lebih banyak pada penderita

umur di bawah 15 tahun. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa dengan

bertambahnya umur, angiofibroma nasofaring akan mengandung lebih banyak jaringan

ikat atau unsur pembuluh darahnya berkurang

.

4. Patofisiologi

Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana

di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa, sepanjang

atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas kearah bawah membentuk

tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan kearah anterior akan mengisi

rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada

perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura

pterigomaksila. Dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus,

akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi dan rasa

penuh di wajah. Apabila tumor telah mendesak salah satu atau kedua bola mata maka

akan tampak gejala yang khas pada wajah yaitu “muka kodok”.

Gambar 1: Lokasi tumor nasofaring

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 4: ANGIOFIBROMA NASOFARING

4

5. Gejala Klinis

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi

tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang

paling sering ditemukan (lebih dari 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif

dilanjutkan dengan adanya dan epistaksis masif yang berulang. Sedangkan penderita

yang lanjut datang dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan,

gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat

mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis

sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal

dengan “wajah kodok”.

Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling

sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh tumor

memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis.

2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal

discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang

(recurrent).

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat biasanya

menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.

6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga

kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan sekret saat

rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum nasi.

8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)

9. Nyeri telinga (otalgia)

10.Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),

11.Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke lateral.

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 5: ANGIOFIBROMA NASOFARING

5

Gambar 2: “Muka kodok” pada penderita angiofibroma nasofaring

6. Diagnosis

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi.

Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang massif.

Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan

persiapan untuk operasi pengangkatan tumor. Dari anamnesis dapat diketahui adanya

trias gejala berupa epistaksis massif yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa

penuh pada wajah. Selain itu perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti

adanya penurunan berat badan dan kelelahan. Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi

anterior dan posterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya

bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan

licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir

berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih

atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang

lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya

mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi. Foto polos

sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan lunak pada daerah

hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 6: ANGIOFIBROMA NASOFARING

6

sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk

angiofibroma nasofaring belia.

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (Rontgen kepala AP, lateral dan Waters) akan

terlihat gambaran klasik yang dikenal sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan

prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigopalatina melebar. Pemeriksaan

CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan

memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior rongga hidung dan fossa

pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT

scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi

tulang ke jaringan sekitarnya. Penciteraan Resonansi Magnetik (MRI) dapat digunakan

untuk menegakkan diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasuskasus

yang telah menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang

lebih baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan

struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna, dan sinus

kavernosus).

Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah pemasok utama

untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor. Pada pemeriksaan

arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi tumor yang biasanya berasal

dari cabang arteri maksilaris interna homolateral.

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling

sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

1. Klasifikasi menurut Sessions:

1. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

2. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan

perluasan ke satu sinus paranasal.

3. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 7: ANGIOFIBROMA NASOFARING

7

4. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke

tulang orbita.

5. Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intracranial yang minimal.

6. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam

sinus kavernosus.

2. Klasifikasi menurut Fisch :

1. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.

2. Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan

destruksi tulang.

3. Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah

parasellar sampai sinus kavernosus.

4. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau

fossa pituitary.

7. Pengobatan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi. Operasi

harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena resiko perdaraha yang

hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan

perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi laretal, rinotomi sublabial (sublabial

mid-facial degloving) . atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal. Selain itu

operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT-

Scan 3 dimensi dan penganngkatan tumor dapat dibantu dengan laser.

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 8: ANGIOFIBROMA NASOFARING

8

Gambar 4: operasi dengan pendekatan sublabial (midfacial degloving).

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk mengurangi

pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi

dengan teknik hipotensi.

Pengobatan hormonal diberikan pada pasien stadium I dan II dengan preparat

testosterone reseptor bloker (flutamid).

Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotatik radioterapi (gamma knife)

atau jika tumor meluas ke intracranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak

sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal

dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) selama 6 minggu sebelum

operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.

8. PrognosisPrognosis angiofibroma pada penderita muda adalah baik meskipun kekambuhan

merupakan persoalan penyakit karena pengaruhnya terutama berhubungan dengan

kondisi psikologis penderita. Angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi

antara 0% hingga 57%.Salah satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-40

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 9: ANGIOFIBROMA NASOFARING

9

penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami kekambuhan sampai

12 kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar 3%.

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Page 10: ANGIOFIBROMA NASOFARING

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad S Efiaty, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI, 2012.

2. Adams GL, et al. Boies-Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 1997.

3. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL:

http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm

Gambar 1: www.csmc.edu/images/nasopharyngeal_tumor_8082

Gambar 2: www.monografies.com/trabajos63/alteracrones

Gambar 3: www.ajronline.org/cgi/content_nwfull/189

Gambar 4: www.scielo.br/img/ftpe/rboto

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083