anestesi bedah thorax

21
BAB 24 Anestesia untuk Bedah Thorak KONSEP-KONSEP UTAMA 1. Campuran darah tidak beroksigen dari paru bagian atas yang kolaps dengan darah ber dari paru yang diventilasi akan memperlebar gradien oksigen dari alveolus terhadap mengakibatkan hipoksemia. 2. Malposisi dari suatu selang endotrahea berlumen-dobel biasanya ditunjukkan oleh komplain paru yang jelek dan rendahnya tidal volume yang diekshalasi. 3. Jika opioid intraspinal digunakan postoperatif, penggunaan intravenusnya harus diba pembedahan untuk menegah depresi respirasi postoperatif yang berlebihan. !. "erdarahan postoperatif merupakan komplikasi dari lebih kurang 3# torakotomi dan dapat terkait sampai dengan 2$# mortalitas% tanda-tandanya menakup peningkatan drainase dada &'2$$ ml(jam), hipotensi, takhikardia, dan penurunan hematokrit. *. +istula bronkhopleural nampak sebagai kebooran besar udara yang tiba-tiba dari sel yang dapat terkait dengan peningkatan pneumotorak dan kolaps paru parsial. . herniasi akut jantung ke dalam hemitorak operatif dapat terjadi melalui defek perik tersisa sesudah pneumonektomi radikal. . itrous-oksida berkontraindikasi pada pasien-pasien penderita kista paru dan bulae ini dapat menyerang rongga udara serta menyebabkan ruptur, yang dapat diberi sinyal adanya hipotensi yang tiba-tiba, bronkhospasme, atau peningkatan tiba-tiba inflasi punak, dan memerlukan pemasangan segera selang dada. 0. esudah transplantasi paru, tekanan inspirasi punak harus dijaga tetap minimal yang sesu dengan ekspansi paru yang baik dan konsentrasi oksigen inspirasi harus dijaga $# . 4anpa memperhatikan prosedur, pertimbangan anestetik utama untukpasien-pasien penyakit esofagus adalah risiko aspirasi paru. 1$. elama pendekatan transhiatal, otot retraktor substernal dan diafragmatik dapat ber dengan fungsi jantung. 5ndikasi dan teknik untuk bedah-torak telah berkembang dengan kontinyu sejak semula. 5ndikasi umum tidak lagi terbatas pada komplikasi tuberkulosis dan pneumonitis supuratif tapi sekarang melipu keganasan-keganasan thorak &terutama pada paru dan esofagus), trauma dada, penyakit esofag tumor-tumor mediastinum. "rosedur-prosedur diagnostik misalnya bronkhoskopi, mediastinoskopi, dan biopsi paru terbuka juga merupakan hal umum. 4eknik anestetik untuk memisahkan ventilasi masing paru telah memungkinkan penyempurnaan teknik bedah sampai keadaan dimana makin banyak prosedur dilakukan seara torakoskopis. 6entilasi jet dan by-pass kardiopulmo frekuensi-t telah memungkinkan prosedur kompleks misalnya reseksi trakhea dan transplantasi paru, unt masing. PERTIMBANGAN FISIOOGIK SEAMA ANESTESIA T!ORAK 7edah-thorakmenyajikan satuset unik masalahfisiologis bagi ahlianestesi yang memerlukan pertimbangan khusus. 8al ini menakup kekaauan fisiologis yang disebabkan oleh penempat dengan satu sisi ke ba9ah &posisi dekubitus lateral), membuka thorak &pneumothorak seringnya memerlukan ventilasi satu-paru. POSISI "EKUBITUS ATERA "osisi dekubitus lateral memberikan akses optimal untuk sebagian besar operasi p esofagus, pembuluh darah besar, struktur mediastinum lainnya, dan vertebra. ayangnya, pos mempunyai potensi untuk mengubah seara signifikan hubungan normal ventilasi(perfusi paru. :ekaauan ini lebih jauh diperkuat oleh induksi anestesia, inisiasi ventilasi mekanik, par membuka torak, dan retraksi bedah. Meskipun perfusi berlanjut ook bagi paru-paru yang dependen &bagian ba9ah), ventilasi seara progresif ook untuk paru atas yang kurang mendapat perfus "asangan tidak-sesuai seara nyata meningkatkan risiko hipoksemia. Page 1 of 21 1

Upload: keziajessica

Post on 03-Nov-2015

47 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bedah thorax

TRANSCRIPT

Anestesia untuk Bedah Torak

BAB 24

Anestesia untuk Bedah Thorak

KONSEP-KONSEP UTAMA

1. Campuran darah tidak beroksigen dari paru bagian atas yang kolaps dengan darah beroksigen dari paru yang diventilasi akan memperlebar gradien oksigen dari alveolus terhadap arteri dan mengakibatkan hipoksemia.

2. Malposisi dari suatu selang endotrahea berlumen-dobel biasanya ditunjukkan oleh komplain paru yang jelek dan rendahnya tidal volume yang diekshalasi.

3. Jika opioid intraspinal digunakan postoperatif, penggunaan intravenusnya harus dibatasi selama pembedahan untuk mencegah depresi respirasi postoperatif yang berlebihan.

4. Perdarahan postoperatif merupakan komplikasi dari lebih kurang 3% torakotomi dan dapat terkait sampai dengan 20% mortalitas; tanda-tandanya mencakup peningkatan drainase selang dada (>200 ml/jam), hipotensi, takhikardia, dan penurunan hematokrit.

5. Fistula bronkhopleural nampak sebagai kebocoran besar udara yang tiba-tiba dari selang-dada yang dapat terkait dengan peningkatan pneumotorak dan kolaps paru parsial.

6. herniasi akut jantung ke dalam hemitorak operatif dapat terjadi melalui defek perikardial yang tersisa sesudah pneumonektomi radikal.

7. Nitrous-oksida berkontraindikasi pada pasien-pasien penderita kista paru dan bulae karena zat ini dapat menyerang rongga udara serta menyebabkan ruptur, yang dapat diberi sinyal oleh adanya hipotensi yang tiba-tiba, bronkhospasme, atau peningkatan tiba-tiba pada tekanan inflasi puncak, dan memerlukan pemasangan segera selang dada.

8. Sesudah transplantasi paru, tekanan inspirasi puncak harus dijaga tetap minimal yang sesuai dengan ekspansi paru yang baik dan konsentrasi oksigen inspirasi harus dijaga 45 mm Hg

PaO2 < 50 mm Hg

FEV11< 2 L

(Prediksi Postoperatif FEV1)

< 0.8 L or < 40% dari prediksi

FEV1/FVC1

< 50% dari prediksi

Kapasitas pernafasan maksimum

< 50% dari prediksi

Maksimum O2

< 10 mL/kg/min

1FEV1, forced expiratory volume in 1 s; FVC, forced vital capacity; O2, oxygen consumption.

Kegagalan memenuhi salah satu kriteria ini memerlukan tes-tes fungsional paru terpisah jika pneumonektomi masih dipertimbangkan. Kriteria yang paling umum digunakan untuk operabilitas adalah prediksi FEV1 postoperatif yang lebih besar dari 800 ml. Kontribusi persentase masing-masing paru terhadap FEV1 total diasumsikan sebagai berbanding lurus dengan persentase aliran darah paru total yang diterimanya seperti telah ditentukan oleh radioisotopic scanning (133Xe atau 99Tc).

FEV1 postoperatif = % aliran darah ke paru sisanya x FEV1 total

Pengangkatan paru berpenyakit secara luas (tidak diventilasi tapi diperfusi) tidak dapat mempengaruhi fungsi paru dengan merugikan dan dapat secara aktual memperbaiki oksigenasi. Jika prediksi FEV1postoperatif kurang dari 800 ml tapi reseksi masih dipertimbangkan, kemampuan vaskulatur paru sisanya untuk mentoleransi aliran darah total dapat dites tapi jarang dilakukan. Arteri paru utama pada sisi yang sakit dioklusi dengan kateter balon; jika rata2 tekanan arteri paru melebihi 40 mlHg atau PaO2 menurun sampai 20 ml/kg memiliki tingkat komplikasi yang rendah, sedangkan pasien-pasien yang mempunyai VO2 < 10 ml/kg mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi yang tidak bisa diterima.

2. Infeksi

Infeksi paru dapat terlihat sebagai suatu nodul soliter atau lesi cavitari (necrotizing pneumonitis). Torakotomi eksploratif dapat dilakukan untuk menyingkirkan keganasan dan mendiagnosis agen2 infeksius.

3. Bronkhiektasis

bronkhiektasis merupakan dilatasi permanen bronkhus. Keadaan ini biasanya merupakan hasil-akhir dari peradangan berat atau kambuhan dan obstruksi bronkhus. Penyebab2nya mencakup berbagai macam patogen virus, bakteri dan cendawan, dan juga inhalasi gas-gas toksik, aspirasi asam lambung, dan klierens mukosiliari defektif (fibrosis kistik dan gangguan-gangguan disfungsi siliari).

PERTIMBANGAN ANESTETIK

1. Manajemen preoperatif

Sebagian besar pasien yang mengalami reseksi paru mempunyai penyakit paru yang mendasari. Harus ditekankan bahwa merokok merupakan suatu faktor risiko untuk penyakit paru obstruksi kronis dan penyakit arteri koroner; kedua gangguan tersebut umumnya terdapat bersama-sama pada pasien-pasien yang diperuntukkan torakotomi. Ekhokardiografi sangat bermanfaat untuk mengukur fungsi jantung baseline dan dapat menyatakan bukti adanya cor pulmonale (pembesaran atau hipertrofi ventrikel kanan). Dobutamin stress echocardiography dapat bermanfaat dalam mendeteksi penyakit arteri koroner okult.

Pasien-pasien penderita tumor harus dievaluasi untuk komplikasi-komplikasi yang terkait dengan perluasan lokal tumor dan sindroma paraneoplastik. Radiograf dan CT dan MRI scan torak preoperatif harus ditinjau secara cermat. Deviasi trakheal atau bronkhial dapat mempersulit intubasi endotrakheal atau pemposisian yang tepat selang endobronkhial. Tambahan pula kompresi saluran pernafasan dapat mengakibatkan kesulitan dalam memventilasi pasien sesudah induksi anestesia. Konsolidasi paru, atelektasis, dan efusi pleura yang luas mempredisposisi ke hipoksemia. Lokasi setiap kista bulosa atau abses harus terlihat.

Pasien-pasien yang mengalami prosedur torasik mempunyai peningkatan risiko untuk komplikasi-komplikasi paru dan jantung postoperatif. Persiapan preoperatif yang baik dapat mengurangi komplikasi paru pada pasien-pasien yang berisiko tinggi. Aritmia perioperatif, terutama takhikardia supraventrikuler, diduga diakibatkan oleh manipulasi bedah atau penggembungan atrium kanan sesudah penurunan jumlah anyaman vaskuler paru. Insiden aritmia meningkat sejalan dengan umur dan dengan jumlah reseksi paru.

Premedikasi

Pasien-pasien yang mengalami gangguan respirasi moderat sampai berat harus menerima sedikit atau tidak menerima premedikasi sedatif. Meskipun antikolinergik (atropin, 0,5 mg IM atau IV, atau glikopirolat, 0,1-0,2 mg IM atau IV) dapat secara teoritis meningkatkan sekresi dan ruang-mati, secara klinik mereka sangat bermanfaat dalam menurunkan sekresi yang berlebihan. yang disebut terakhir memperbaiki visualisasi selama laringoskopi ulang dan mempermudah penggunaan bronkhoskop fiber optik.

2. Manajemen intraoperatif.

PersiapanSeperti halnya dengan anestesia untuk bedah jantung, persiapan optimal dapat membantu mencegah masalah-masalah katastrofik (bencana) yang potensial. Adanya reserve paru yang sering jelek, keabnormalan anatomik atau gangguan saluran pernafasan, dan kebutuhan akan anestesia satu-paru mempredisposisi pasien-pasien ke onset cepat hipoksemia. Diperlukan rencana yang jelas dan baik yang berhubungan dengan kesulitan potensial. Lagi pula, sebagai tambahan untuk item2 manajemen dasar saluran pernafasan, alat pemfungsian yang khusus dan tepat misalnya selang lumen-ganda dan selang lumen-tunggal dengan berbagai macam ukuran, bromkhoskop fiber optik yang fleksibel dan pediatrik, tube exchanger dengan diameter kecil, sistim delivery CPAP (Continuous Positive Airway Pressure), dan adapter sirkuit anestesia untuk memberikan bronkhodilator harus segera tersedia.

Jika opioid epidural harus digunakan untuk analgesia postoperatif, pertimbangan harus diberikan untuk pemasangan kateter sebelum induksi anestesia sementara pasien mash dalam keadaan terjaga. Praktek ini dapat mempermudah pemasangan dan dapat menurunkan insiden komplikasi neurologik.

Monitoring

Pemantauan langsung tekanan arteri diindikasikan untuk anestesia satu-paru, untuk reseksi tumor-tumor besar terutama tumor-tumor dengan perluasan ke mediastinal atau dinding torak, untuk setiap prosedur pada pasien-pasien yang mengalami reserve paru terbatas atau penyakit kardiovaskuler yang signifikan. Akses vena sentral dengan pemantauan CVP (Central Venous Pressure) sangat diminati untuk pneumonektomi dan reseksi tumor besar. CVP mencerminkan net effect dari kapasitansi vena, volume darah, dan fungsi ventrikel kanan; akibatnya, CVP hanya merupakan pedoman kasar untuk manajemen cairan. Kateterisasi arteri paru diindikasikan pada pasien-pasien yang mengalami hipertensi paru, cor pulmonale, atau disfungsi ventrikel kiri; konfirmasi radiografi mengenai posisi kateter bermanfaat dalam memastikan bahwa PAC (Pulmonary Artery Catheter) tidak berada dalam segmen paru yang harus direseksi.

Induksi anestesia

Sesudah preoksigenasi yang adekuat, anestetika intravenus digunakan untuk induksi sebagian besar pasien. Penyeleksian suatu senyawa induksi harus didasarkan pada status pasien preoperatif. Laringoskopi langsung umumnya harus dilakukan hanya sesudah anestesia-dalam untuk mencegah bronkhospasme refleks dan untuk menghindari respon pressor kardiovaskuler. Hal ini dapat dituntaskan dengan dosis menaik senyawa induksi, opioid, atau keduanya. Memperdalam anestesia dengan senyawa inhalasi volatil dapat lebih disukai pada pasien-pasien yang mempunyai saluran pernafasan reaktif.

Gambar 246.

Posisi yang tepat untuk torakotomi lateral

Pemposisian

Sesudah induksi, intubasi, dan konfirmasi posisi selang endotrakheal atau endobronkhial yang benar, akses vena tambahan dan pemantauan dapat diamankan sebelum pasien diposisikan untuk pembedahan. Sebagian besar reseksi paru dilakukan melalui torakotomi posterior dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral. Pemposisian yang tepat bersifat kritis untuk menghindari cedera dan mempermudah ekspos bedah.

Maintenan anestesia

Semua teknik anestetik sekarang telah digunakan dengan berhasil untuk bedah torak, tapi kombinasi senyawa halogen yang poten (halotan, isofluran, sevofluran, atau desfluran) dengan suatu opioid lebih disukai oleh sebagian besar ahli klinik. Keuntungan-keuntungan dari senyawa halogen tersebut mencakup :

(1) bronkhodilatasi poten yang terkait dengan dosis.

(2) depresi refleks saluran pernafasan.

(3) kemampuan menggunakan FiO2 (konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi).

(4) kemampuan menyesuaikan relatif cepat pada kedalaman anestetik.

(5) efek minimal terhadap vasokonstriksi paru hipoksi.

Manajemen ventilasi satu-paru

Risiko terbesar dari ventilasi satu-paru adalah hipoksemia. Untuk mengurangi risiko ini, periode ventilasi satu-paru harus dijaga minimum dan oksigen 100% harus digunakan. Penyesuaian besar pada ventilasi biasanya tidak diperlukan. Jika tekanan puncak saluran pernafasan meningkat berlebihan (lebih besar dari 30 cmH2O),tidal volume harus diturunkan sampai 6-10 ml/kg dan kecepatan ventilasi ditingkatkan untuk mempertahankan ventilasi minut yang sama.

hipoksemia selama anestesia satu-paru memerlukan satu atau lebih intervensi sebagai berikut :

Secara konsisten pengukuran

(1) penggembungan berkala paru yang kolaps menggunakan oksigen .

(2) ligasi atau jepit seawal mungkin arteri paru ipsilateral (selama pneumonektomi).

(3) 5-10 cmH2O COAP pada paru yang kolaps; hal ini lebih efektif apabila terdapat reekspansi parsial paru yang sayangnya dapat mempengaruhi pembedahan.

Secara marginal pengukuran efektif :

(1) 5-10 cm H2O PEEP ke paru yang diventilasi

(2) insuflasi kontinyu oksigen ke dalam paru yang kolaps.

(3) Mengubah tidal volume dan kecepatan ventilasi

Alternatif untuk ventilasi satu-paru

Ventilasi dapat dihentikan dalam periode singkat jika #ox100% diinsuflasikan dengan kecepatan lebih besar dari konsumsi oksigen (oksigenasi apneuik). Oksigenasi yang adekuat sering dapat dipertahankan untuk periode yang lebih lama, tapi asidosis respirasi progresif membatasi penggunaan teknik ini sampai 10-20 menit pada sebagian besar pasien. PCO2 arteri meningkat 6 mmHg pada menit pertama diikuti oleh peningkatan sebesar 3-4 mmHg selama setiap menit selanjutnya.

3. Manajemen postoperatif

Perawatan Umum

Sebagian besar pasien diekstubasi dini untuk mengurangi risiko barotrauma paru (terutama blow-out bronchial suture line) dan infeksi paru. Pasien-pasien yang mempunyai reserve paru marginal harus dibiarkan diintubasi sampai kriteria ekstubasi baku dipenuhi; jika selang lumen-ganda digunakan untuk ventilasi satu-paru, maka harus diganti dengan selang lumen-tunggal reguler pada akhir pembedahan. Panduan kateter (tube exchanger) harus digunakan jika laringoskopi asli sulit.

Pasien-pasien diamati secara cermat di PACU (Post Anesthesia Care Unit) dan, pada sebagian besar keadaan, sedikitnya semalam atau lebih lama di ICU atau intermediate care unit.

Perdarahan postoperatif yang memerlukan re-eksplorasi merupakan komplikasi pada lebih kurang 3% torakotomi dan dapat terkait sampai dengan 20% mortalitas. Tanda-tanda perdarahan mencakup peningkatan drainase selang dada (>200 ml/jam), hipotensi, takhikardia, dan penurunan hematokrit.

Analgesia postoperatif

Keseimbangan antara kenyamanan dan depresi respirasi pada pasien-pasien yang mempunyai fungsi paru marginal sulit dicapai dengan opioid parenteral saja. Pasien-pasien yang telah mengalami torakotomi jelas memperoleh manfaat dari penggunaan teknik-teknik lain yang diuraikan dibawah ini yang dapat menyingkirkan kebutuhan akan opioid parenteral. Jika opioid parenteral digunakan sendiri saja, dosis kecil intravenus bersifat superior terhadap dosis besar intramuskuler dan mungkin paling baik diberikan melalui alat PCA (Patient Controlled Anesthesia).

`Suatu senyawa long-acting misalnya ropivacain 0,5% (4-5 ml), diinjeksikan 2 level diatas dan dibawah insisi torakotomi, secara tipikal memberikan peringanan nyeri yang memuaskan.

Opioid epidural dengan atau tanpa anestesia lokal juga dapat memberikan analgesia yang memuaskan. Analgesia yang sama-sama memuaskan dapat diperoleh dengan kateter epidural lumbal atau torasik ketika morfin digunakan.

Komplikasi-komplikasi postoperatif

Komplikasi postoperatif sesudah torakotomi relatif umum, tapi untungnya sebagian besar bersifat minor dan memulih tanpa ada masalah. Bekuan darah dan sekret yang tebal mudah mengobstruksi saluran pernafasan dan mengakibatkan atelektasis; dapat diperlukan penghisapan yang agresif tapi halus.

Sebagian besar kebocoran udara berhenti sesudah beberapa hari. Fistula bronkhopleural terdapat sebagai suatu kebocoran udara besar yang tiba2 dari selang dada yang dapat terkait dengan peningkatan pneumotorak dan kolaps paru parsial.

Beberapa komplikasi jarang terjadi tapi patut mendapat pertimbangan khusus karena komplikasi-komplikasi tersebut dapat mengancam jiwa, memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi, dan dapat memerlukan torakotomi eksploratif segera.

Herniasi akut jantung ke dalam hemitorak operatif dapat terjadi melalui residu defek perikardium sesudah pneumonektomi radikal. Diseksi mediastinum yang luas dapat merusak saraf-saraf frenik, vagus, dan saraf laring rekuren kiri.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN UNTUK PASIEN YANG MENGALAMI RESEKSI PARU

Perdarahan Masif Paru

Hemoptisis masif biasanya didefnisikan sebagai kehilangan darah >500-600 ml dari percabangan trakheobronkhial dalam 24 jam. Hal itu merupakan komplikasi hanya pada 1-2% dari semua kasus hemoptisis dan biasanya merupakan akibat dari tuberkulosis, bronkhietasis, atau neoplasma atau sesudah biopsi transbronkhial.

Pasien harus dipertahankan pada posisi lateral selama mungkin dengan paru yang terkena pada posisi dependen untuk tamponade perdarahan. Kateter multipel intravenus bor-besar harus dipasang. Premedikasi tidak boleh diberikan untuk membangunkan pasien karena biasanya mereka mudah hipoksik; oksigen 100% harus diberikan secara kontinyu.

Kista dan Bulla Paru

Kista atau bulla paru dapat bersifat kongenital atau didapat sebagai akibat empisema. Bulla besar dapat mengganggu ventilasi dengan menekan paru disekelilingnya.

Abses paru

Abses paru diakibatkan oleh infeksi paru primer, neoplasma paru yang mengobstruksi, atau yang jarang, penyebaran hematogen infeksi sistemik. Manajemen anestetik menitik-beratkan pada mengisolasi kedua paru secara dini untuk mencegah pencemaran paru yang sehat oleh pus.

Fistula Bronkhopleura

Fistula ini terjadi sesudah reseksi paru (biasanya pneumonektomi), ruptur abses paru ke dalam rongga pleura, barotrauma paru, atau ruptur bulla spontan.

ANESTESIA UNTUK RESEKSI TRAKHEA

Pertimbangan preoperatif

Reseksi trakhea paling umum dilakukan untuk stenosis trakhea, tumor, atau yang kurang umum untuk keabnormalan-keabnormalan kongenita. Stenosis trakhea dapat mengikuti penetrasi atau trauma tumpul dan juga intubasi endotrakheal dan trakheostomi.

Pertimbangan anestetik

Sedikit atau tidak ada premedikasi diberikan, karena sebagian besar pasien yang diperuntukkan untuk reseksi trakhea mengalami obstruksi saluran pernafasan moderat sampai berat. penggunaan senyawa antikholinergik untuk mengeringkan sekret bersifat kontroversial karena risiko yang meningkat secara teoritis.

Induksi inhalasi lambat (pada oksigen 100%) dilakukan bagi pasien-pasien yang mengalami obstruksi berat. halotan dapat menjadi senyawa yang disukai karena paling sedikit mengiritasi saluran pernafasan dan menyebabkan depresi respirasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan senyawa volatil lainnya.

Gambar 24 7 .

AD: Manajemen jalan Nafas dengan lesi trachea tingggiGambar 24 8 .

Reseksi Trachea dengan menggunakan ventilasi jet frekuensi Tingggi.

A: Kateter dimajukanmelewati obstruksi dan balon dikempis Kan ketika ventilasi jet dimulai.

B: Kateter dimajukan kearah distal oleh dokter Bedah. Ventila si jet dapat dilanjutkan tanpa interupsi selama reseksi dan reanastomosis. .Gambar 24-9.

Posisi pasien sebelum (A) dan sesudah (B) reseksi dan reanas tomomosis Trachea dengan leher pasien difleksikan untuk 24-48 jam pertama.

ANESTESIA UNTUK BEDAH TORAKOSKOPIK

Torakoskopi tidak lagi hanya sebagai prosedur diagnostik tapi makin banyak digunakan sampai sepertiga setengah dari banyak prosedur bedah torak yang sebelumnya memerlukan torakotomiterbuka. Peningkatan daftar prosedur mencakup biopsi paru, reseksi segmental dan lobar, pleurodesis, prosedur esofagueal (misalnya miomektomi) dan bahkan perikardektomi. sebagian besar prosedur melalui 3 atau lebih insisi kecil pada torak dengan pasien pada posisi dekubitus lateral.

Manajemen anestetiknya sama dengan manajemen untuk prosedur terbuka dengan kekecualian bahwa ventilasi satu-paru merupakan suatu keharusan untuk semua prosedur tapi sebagian besar prosedur minor. beberapa pusat kesehatan hanya dapat menggunakan anestesia lokal dengan ventilasi spontan untuk prosedur minor, tapi ketidaknyamanan pasien dapat menjadi sangat besar. Membuka salah satu portal ke atmosfer memungkinkan paru pada sisi operatif mengalami kolaps; tidak seperti laparoskopi, penggembungan gas bukan hanya tidak diperlukan tapi bersifat merugikan.

ANESTESIA UNTUK PROSEDUR-PROSEDUR DIAGNOSTIK TORAK

Bronkhoskopi

Bronkhoskopi kaku untuk pengangkatan benda2 asing atau untuk dilatasi trakhea biasanya dilakukan dalam keadaan anestesia umum. Prosedur- prosedur dipersulit oleh kebutuhan untuk dikerjakan oleh dokter bedah dan ahli paru; untungnya, prosedur ini sering mempunyai durasi pendek (5-10 meniit). Sesudah induksi standa intravenus, ~ane biasanya dipertahankan dengan suatu senyawa inhalasi poten pada oksigen 100% dan senyawa 2 pengeblok neuromuskuler yang bekerja intermediate. Anestesia total intravenus (misalnya dengan propofol) juga dapat digunakan.

Salah satu dari 3 teknik dapat digunakan selama memakai bronkhoskopi kaku :

(1) oksigenasi apneuik dengan kateter kecil disepanjang bronkhoskop.

(2) ventilasi konvensional melalui sebelah sisi dari bronkhoskop ventilasi (jika jendela proksimal dari instrumen ini terbuka untuk penghisapan atau biopsi, ventilasi harus diinterupsi).

(3) ventilasi frekuensi-tinggi melalui bronkhoskop tipe-injektor.

Mediastinoskopi

Mediastinoskopi memberikan akses ke nodus limfe mediastinal dan digunakan untuk menegakkan diagnosis atau resektabilitas untuk keganasan2 intratorak. CT preoperatif esensial untuk mengevaluasi distorsi atau kompresi trakhea.

Lavage Bronkhoalveolar

Prosedur ini dapat digunakan bagi pasien-pasien penderita proteinosis alveolar paru. Pasien-pasien ini menghasilkan jumlah surfaktan yang berlebihan dan gagal membersihkannya. Mereka terlihat dengan gambaran dispnea dan konsolidasi bilateral pada radiografi dada. Lavage bronkhoalveolar dapat diindikasikan untuk hipoksemia berat atau dispnea yang makin memburuk. Sering, satu paru dilavage sehingga memungkinkan pasien memulih selama beberapa hari sebelum paru lainnya dilavage; karena itu paru yang paling jelek yang dilavage pertama. Yang makin meningkat, kedua paru dilavage selama prosedur yang sama, sehinggamenciptakan tantangan unik untuk menjamin oksigenasi yang adekuat selama lavage paru kedua.

Lavage bronkhoalveolar unilateral dilakukan pada anestesia umum menggunaka selang endobronkhial lumen-ganda.

ANESTESIA UNTUK TRANSPLANTASI PARU

PERTIMBANGAN PREOPERATIF

Transplantasi paru diindikasikan untuk penyakit parenhimal paru stadium akhir atau hipertensi paru. Kandidat-kandidatnya secara fungsional tidak berkapasitas akibat dispnea dan mempunyai prognosis yang jelek. Kriteria bervariasi sesuai dengan proses penyakit primer. Jumlah transplan dibatasi oleh ketersediaan organ yang sesuai. Pasien secara tipikal mengalami dispnea pada saat istirahat atau pada aktivitas minimal, dan hipoksemia saat istirahat (PaO2