analisis kebijakan master plan xi jinping dalam bidang...
TRANSCRIPT
Analisis Kebijakan Master Plan Xi Jinping dalam Bidang Budaya melalui Level Analisis
Individu (1966 – 2015)
Satryatama Ekaputra
ABSTRAK
Penelitian ini membahas analisis kebijakan Master Plan Xi Jinping dengan menggunakan level
analisis individu. Pembentukan kebijakan Master Plan ini dilatarbelakangi oleh kunjungan Xi
Jinping ke berbagai negara, khususnya negara yang memiliki kultur sepakbola yang kental. Tujuan
pembentukan Master Plan adalah memperkaya, menyebarkan nilai-nilai kebudayaan, dan
mempromosikan semangat patriotisme dan kolektivisme. Penelitian ini berusaha untuk melakukan
analisis terhadap faktor-faktor pembentuk kepribadian dan pola pikir Xi Jinping dalam pembuatan
kebijakan Master Plan untuk meraih soft power di dunia internasional. Peneliti melihat pada aspek
macrosystem Xi Jinping yakni Revolusi Budaya dalam rangka menjelaskan faktor pembentuk
kepribadiannya. Hal yang ditemukan oleh peneliti adalah relasi antara Revolusi Budaya dan nilai-
nilai keluarga Xi terhadap kepribadian dan pola pikir Xi dalam pembentukan kebijakan Master
Plan. Peneliti menyimpulkan bahwa pemilihan sepakbola sebagai soft power yang dikembangkan
oleh Xi tidak dapat dilepaskan dari peristiwa masa lalu Xi dan perwujudan Chinese Dream dengan
berfokus pada pembentukan image Tiongkok di dunia internasional.
Kata Kunci: Chinese Dream, Macrosystem, Revolusi Budaya, Soft Power, Xi Jinping
Secara tradisional kata “power” di dalam Ilmu Hubungan Internasional didefinisikan sebagai
istilah yang “hard” atau lebih mudah dimengerti apabila dikaitkan dengan kekuatan militer dan
ekonomi. Hard power adalah praktik yang- bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain melalui
koersi, intervensi militer, dan sanksi ekonomi.1 Namun di abad ke-20, ada istilah baru yang
dicetuskan oleh Joseph Nye yakni soft power. Istilah ini semakin populer pasca peristiwa 9/11.2
Nye kemudian mendefinisikan soft power sebagai istilah untuk menggambarkan kemampuan
negara dengan menggunakan atraksi atau persuasi demi mengejar kepentingan negara.3 Nye
melengkapi dengan menyatakan bahwa terkadang dengan menggunakan soft power, kepentingan
yang diinginkan tidak dapat cepat tercapai atau membutuhkan waktu yang lama.4
1 Jonathan McClory, The Soft Power 30: A Global Ranking of Soft Power, 2015, hlm. 8, diakses dari http://portland-
communications.com/pdf/The-Soft-Power_30.pdf, pada tanggal 21 Maret 2017 pukul 22.27. 2 Judit Trunkos, What is Soft Power Capability and How does it Impact Foreign Policy?, 2013, hlm. 1, diakses dari
http://www.culturaldiplomacy.org/academy/content/pdf/participant-papers/2013-acdusa/What-Is-Soft-Power-
Capability-And-How-Does-It-Impact-Foreign-Policy--Judit-Trunkos.pdf, pada tanggal 21 Maret 2017 pukul 22.35. 3 Jonathan McClory, Op. Cit., 8. 4 Joseph S. Nye, Jr., “Chapter 4 – Wielding Soft Power”, Soft Power: The Means to Success in World Politics, 2004,
hlm. 1, diakses dari http://www.belfercenter.org/sites/default/files/legacy/files/joe_nye_wielding_soft_power.pdf,
pada tanggal 21 Maret 2017 pukul 22.48.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempraktikkan penggunaan soft power adalah melalui
olahraga, khususnya sepakbola. Pemerintah Tiongkok berusaha meraih terlebih dahulu soft power
dalam bidang olahraga, khususnya sepakbola, untuk meraih kepentingannya. Pada awalnya
bertahun-tahun sebelum Xi Jinping menjabat, sepakbola bagi Tiongkok adalah sumber yang
memalukan. Masyarakat memperdulikan olahraga ini tetapi di saat yang bersamaan menimbulkan
kemarahan. Hal yang paling “mengesankan” untuk diingat bagi tim sepakbola laki-laki adalah
selalu mengecewakan masyarakat.5 Keadaan mulai bergeser tatkala Xi Jinping memimpin
Tiongkok pada tahun 2013 – sekarang. Xi Jinping menggantikan Hu Jintao sebagai Sekretaris
Jenderal Partai dan Ketua Komisi Militer Pusat pada bulan November 2012. Xi kemudian menjadi
Presiden Tiongkok pada tanggal 14 Maret 2013.6 Pada tahun pertama kepemimpinannya, Xi
dihadapkan pada masalah di Tibet terkait penghapusan pendidikan melalui kamp kerja paksa.
Menanggapi masalah ini Xi membentuk dua kelompok yakni kelompok pertama bertugas pada
reformasi di enam sektor yakni ekonomi dan ekologi, budaya, demokrasi dan hukum, sistem sosial,
pembentukan partai, dan disiplin partai. Kelompok kedua memantau kebijakan luar negeri dan
dalam negeri terkait pertahanan dan keamanan.7 Di masa kepemimpinan Xi pula, Tiongkok
memiliki kebijakan yang dinamakan Master Plan.
Master Plan merupakan program jangka panjang yang ditetapkan oleh Xi Jinping yang bertujuan
untuk membangun masyarakat yang makmur dengan meningkatkan pendapatan perkapita hingga
$10.000 pada tahun 2021 atau bersamaan dengan perayaan 100 tahun Partai Komunis Tiongkok.
Tujuan lainnya adalah mewujudkan secara penuh bangsa yang berkembang, kaya, dan kuat pada
tahun 2049 atau bersamaan dengan 100 tahun ulang tahun Tiongkok. Apabila Tiongkok berhasil
mewujudkan Master Plan ini maka dari segi ekonomi, IMF mengestimasikan bahwa kekuatan
ekonomi Tiongkok tiga kali lebih besar daripada Amerika Serikat.8 Tidak hanya berkaitan dengan
bidang ekonomi, Master Plan juga bertujuan untuk memperkuat militer Tiongkok. Xi mengakui
bahwa militer yang kuat merupakan syarat untuk mewujudkan bangsa yang makmur serta
menjamin keamanan Tiongkok dari campur tangan bangsa asing.9 Selanjutnya Master Plan juga
bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai kebudayaan Tiongkok seperti patriotisme dan
kolektivisme dengan peningkatan kualitas sepakbola. Tujuan jangka pendeknya adalah
memperbaiki lingkungan dan atmosfer sepakbola dan berfokus pada pelatihan pemain muda.
Sementara tujuan jangka panjangnya adalah meningkatkan partisipasi massa dalam sepakbola,
5 William Wan, “China’s Xi Jinping Loves Football So Much He’s Put It on the National Curriculum – but Can He
Secure the World Cup?”, Independent, 25 Februari 2015, diakses dari
http://www.independent.co.uk/news/world/asia/chinas-xi-jinping-loves-football-so-much-hes-put-it-on-the-national-
curriculum-but-can-he-secure-the-10071110.html pada 21 Maret 2017 pukul 23.22. 6 Chinese Leaders, t.t., diakses dari http://chinese-leaders.org/xi-jinping/ pada 2 September 2017 pukul 11.24. 7 Ibid. 8 Graham Allison, What Xi Jinping Wants, 2017, diakses dari
https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/05/what-china-wants/528561/ pada 4 Januari 2018 pukul
10.03 9 Ibid.,
menciptakan liga yang kompetitif dan atraktif bagi pemain-pemain luar negeri, meningkatkan daya
saing tim nasional sepakbola putra, hingga menjadi juara Piala Dunia.10
Sejak Xi menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis ke-18, Xi telah menempatkan perkembangan
sepakbola sebagai agenda untuk membangun Tiongkok sebagai negara olahraga yang hebat. Xi
Jinping dalam beberapa kesempatan menunjukkan bahwa industri sepakbola Tiongkok harus
dikembangkan. Selain itu, Perdana Menteri Li Keqiang juga sependapat dengan Xi bahwa
Tiongkok hendak melakukan reformasi sepakbola dan akan menjadi hal yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Tujuan pembentukan Master Plan ini adalah untuk memperbaiki kondisi fisik
masyarakat Tiongkok, memperkaya dan menyebarkan nilai-nilai kebudayaan, mempromosikan
semangat patriotisme dan kolektivisme, menumbuhkan budaya olahraga, dan mengembangkan
industri olahraga.11 Hasil jangka panjang yang hendak dicapai oleh Tiongkok melalui
pembentukan Master Plan ini adalah menjadi tuan rumah Piala Dunia serta membawa tim nasional
Tiongkok menjuarai Piala Dunia tersebut.12 Peringkat Tiongkok dalam hal sepakbola juga menjadi
pemicu pembentukan kebijakan ini yakni peringkat ke-86 di bawah Kepulauan Faroe (82) yang
hanya memiliki populasi manusia sebanyak 49.500 jiwa.13 Berbicara mengenai patriotisme dan
kolektivitas yang tercantum dalam tujuan Master Plan ini, Xi mengatakan, “Untuk mewujudkan
impian ini, kita harus bergerak berdasarkan semangat yang dimiliki oleh Tiongkok. Ini adalah
semangat nasional yang berintikan patriotisme.”14
Proses-proses pembentukan Master Plan juga dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas Xi ke luar negeri
melalui kunjungannya ke berbagai negara yang memiliki kultur sepakbola secara kental. Pada
tahun 2009 ketika Xi masih menjadi wakil presiden, Xi diberikan seragam sepakbola dari klub
Bayer Leverkusen dengan nomor punggung 10 selama kunjungannya ke Jerman. Pada saat itu Xi
mengatakan, “Saya bertekad untuk meningkatkan peringkat tim nasional (timnas) Tiongkok
meskipun hal tersebut membutuhkan waktu yang lama.” Pada tahun 2012, Xi menerima seragam
sepakbola klub La Galaxy yang ditandatangani oleh David Beckham selama kunjungannya ke
Amerika Serikat. Di tahun yang sama, Xi berkunjung ke Dublin dan mendapatkan dirinya difoto
ketika tengah menendang bola di Stadion Croke Park. Pada tahun 2013, Perdana Menteri Inggris,
David Cameron, memberikan Xi seragam sepakbola timnas Inggris beserta tanda tangan pemain-
pemain Inggris di seragam tersebut pada kunjungannya ke Tiongkok.15
10 The Guardian, China Sets Goal of Hosting World Cup with Master Plan of Football, 2015, diakses dari
https://www.theguardian.com/world/2015/mar/17/china-sets-goal-of-hosting-world-cup-with-master-plan-for-
football pada 4 Januari 2018 pukul 10.19 11 Camera Wilson, “Read Chinese Football’s 50-point Reform Plan in Full-Exclusive Translation”, Wild East
Football, 22 Februari 2016, diakses dari https://wildeastfootball.net/2016/02/read-chinese-footballs-50-point-
reform-plan-in-full-exclusive-translation/ pada 2 September 2017 pukul 11.46. 12 Ibid. 13 FIFA / Coca-Cola World Ranking, 9 Maret 2017, diakses dari http://www.fifa.com/fifa-world-ranking/ranking-
table/men/index.html pada 22 Maret 2017 pukul 00.32. 14 Joseph Fewsmiths, Xi Jinping’s Fast Start, 2013, dalam China Leadership Monitor, hlm. 3.
15 Sidney Leng, “China’s Soccer-Mad President Xi Jinping’s Passion for ‘the Beautiful Game’ Sparked while A
Child”, 2015, diakses dari http://www.scmp.com/news/china/policies-politics/article/1871444/chinas-soccer-mad-
president-xi-jinpings-passion pada 30 Oktober 2017 pukul 21.30.
Inisiatif Xi Jinping terhadap sepakbola “tertular” kepada juru bicara Kementrian Luar Negeri
Tiongkok, Hong Lei. Hong menyatakan bahwa Tiongkok siap untuk melalukan pertukaran dan
kerjasama dengan negara yang memiliki tradisi sepakbola kuat. Hong Lei sendiri atas nama
Tiongkok berharap kerjasama yang dilakukan dapat memberikan dampak positif melalui
hubungannya dengan luar negeri dan meningkatkan kualitas sepakbola Tiongkok itu sendiri.16
Warisan Mao Zedong dan Keluarga
Mao Zedong memiliki ruang khusus di dalam pemikiran Xi Jinping. Hal tersebut terbukti pada
pemikiran Mao yang dijadikan oleh Xi sebagai landasan untuk berinteraksi dengan pemimpin
negara lain. Salah satu dari tiga pemikiran Mao yakni kemerdekaan atau independence telah
ditunjukkan Xi sebagai dasar untuk membangun kerja sama yang saling menguntungkan antar
pihak yang bersangkutan. Hal ini pula yang tampak pada kerja sama antara Tiongkok dan Jerman
dalam hal sepakbola.
Pemimpin yang berkuasa di Tiongkok sebelum Xi Jinping tidak hanya Mao Zedong. Ada Deng
Xiaoping, Li Xiannian, Yang Shangkun, Jiang Zemin, dan Hu Jintao. Namun Mao Zedong
memiliki kesan tersendiri yang berbeda bagi Xi Jinping. Hal tersebut terwujud di dalam pidato Xi
yang berjudul Carry on the Enduring Spirit of Mao Zedong Thought pada tanggal 26 Desember
2013.17 Xi mengatakan dalam pidatonya bahwa semangat abadi pemikiran Mao Zedong berasal
dari tiga hal yakni mencari kebenaran dari fakta, garis massa, dan kemerdekaan. Ketiga hal ini
kemudian menjadi dasar untuk membangun partai dan semakin meningkatkan sosialisme dengan
karakteristik yang dimiliki oleh Tiongkok.18
Seperti yang telah peneliti kemukakan di awal, pemikiran ketiga yakni independence atau
kemerdekaan menjadi dasar Xi untuk berinteraksi dengan negara lain. Mao Zedong mengatakan
bahwa kemerdekaan adalah kesimpulan tak terelakkan yang dituliskan oleh partai didasarkan dari
realita di Tiongkok, khususnya setelah melalui berbagai tahapan revolusi, perkembangan, dan
reformasi dengan mengandalkan kekuatan partai dan masyarakat. Mengandalkan diri sendiri
merupakan hal penting ketika mencari perkembangan dan melindungi kebanggaan nasional.
Kedua hal tersebut merupakan jalan untuk meraih kesuksesan di masa yang akan datang. Tiongkok
adalah bangsa yang merdeka dan sudah selayaknya tradisi ini menjadi prinsip yang esensial bagi
partai dan masyarakat. Kesuksesan hanya dapat diraih ketika populasi yang ada di seluruh wilayah
Tiongkok mengikuti jalan mereka sendiri.19 Hal yang unik dan dikatakan oleh Xi berkaca pada
pernyataan Mao tersebut adalah model perkembangan yang ada di dunia ini berbeda-beda, oleh
karenanya tidak dapat diaplikasikan secara universal. Kondisi historis yang berbeda menentukan
pula model perkembangan yang berbeda oleh tiap-tiap negara. Di dalam sejarah umat manusia,
tidak ada negara atau bangsa yang mampu membawa negara atau bangsa tersebut bergerak maju
dengan mengandalkan sepenuhnya pada kekuatan eksternal atau mengikuti langkah negara –
16 Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, Foreign Ministry Spokesperson Hong Lei’s
Regular Conference on May 19, 2016, 19 Mei 2016, diakses dari
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/xwfw_665399/s2510_665401/t1364924.shtml pada 6 April 2017 pukul 12.43. 17 Xi Jinping, Op. Cit., 27. 18 Ibid. at 27. 19 Ibid. at 31.
bangsa lain dengan mata tertutup. Apabila hal tersebut dilakukan maka hal yang dapat ditemui
hanya satu yakni kegagalan. Bagi Tiongkok sendiri mengikuti jalan yang telah ditetapkan yakni
revolusi, perkembangan, dan reformasi adalah garansi bagi partai dan masyarakat untuk meraih
kemenangan demi kemenangan.20
Peristiwa yang membekas bagi Xi di era pemerintahan Mao Zedong adalah Revolusi Budaya.
Revolusi Budaya bagi Xi berperan sebagai macrosystem yang membuat Xi menderita akibat
kekejaman Pengawal Merah terhadap keluarganya. Penderitaan fisik dan psikis yang dialami
membuat Xi menjadi pribadi yang tangguh, meskipun adik meninggal dan ibu meninggalkan diri
Xi. Revolusi Budaya juga membuat Xi menjadi pribadi yang gemar membaca buku hingga
menjadi kutu buku demi mempelajari undang-undang pada masa pemerintahan Mao hingga larut
malam. Walaupun Xi menderita yang disebabkan oleh pemerintahan Mao, namun Xi tidak
membenci Mao justru semakin mendalami pemerintahannya. Xi kemudian dipandang peneliti
sebagai seorang generasi merah, artinya nilai-nilai selama Revolusi Budaya tertanam kuat di dalam
dirinya.
Dimulai dari tahun 1962 ketika ayah Xi, Xi Zhongxun, dianggap sebagai aib dan dianiaya oleh
pemerintah Mao membuat Xi mengalami masa-masa yang sulit. Selama Revolusi Budaya terjadi,
Xi menderita fisik dan psikis. Penderitaan fisik dialami melalui kelaparan dan tidak memiliki
tempat tinggal yang layak atau lebih tepatnya berada di dalam tahanan. Penderitaan psikis yakni
ketika dirinya dipermalukan oleh masyarakat lainnya mengingat ayahnya yang menjadi tahanan
pemerintah Mao. Peristiwa Revolusi Budaya tersebut juga membuat Xi tidak hanya kehilangan
ayahnya, namun juga saudara perempuannya yang meninggal akibat dianiaya oleh Pengawal
Merah. Xi kemudian diarak oleh Pengawal Merah sebagai lawan negara akibat keluarganya yang
menentang revolusi. Tidak hanya sampai di situ, Xi juga dikhianati oleh ibunya dan dikirimkan ke
penjara sebagai anak elit partai yang nakal.21
Bagi keluarganya, Xi adalah sosok yang pemalu dan kutu buku namun mengalami masa-masa
kelam ketika Revolusi Budaya terjadi. Xi kemudian melanjutkan lagi studinya di kelas VII yang
bertempat di sekolah tertutup, artinya sekolah tersebut hanya berisikan murid-murid yang berasal
dari keluarga partai atau militer. Seperti halnya murid lainnya, Xi juga bermain dengan teman
sebayanya. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa Xi tumbuh dan berkembang di lingkungan
yang berbeda daripada lingkungan lainnya.22 Kondisi Xi juga dapat dikatakan seperti antiklimaks
mengingat sebelum peristiwa tersebut, Xi adalah anak dari elit partai yang terpandang, namun
setelah peristiwa tersebut terjadi Xi menjadi seorang remaja dengan kasta terendah di masyarakat.
Xi juga tidak dapat menjadi anggota Pengawal Merah, bukan karena tidak bersedia dan tidak
berkenan, namun karena kejatuhan ayahnya telah mencoreng keluarganya.
Tidak hanya Revolusi Budaya, melainkan juga keluarga Xi juga berpengaruh dalam kehidupan
dan pembentukan karakternya. Nilai-nilai dari keluarga seperti (1) disiplin dan suka menonton
20 Ibid. at 32. 21 Chris Buckley dan Didi Kristen Tatlow, “Cultural Revolution Shaped Xi Jinping, From Schoolboy to Survivor”,
2015, diakses dari https://www.nytimes.com/2015/09/25/world/asia/xi-jinping-china-cultural-
revolution.html?mcubz=0 pada 29 Oktober 2017 pukul 16.35. 22 Ibid.
sepakbola, (2) profesional dan tidak memanfaatkan hal tertentu untuk keinginan diri sendiri, dan
(3) sederhana serta keberpihakan pada masyarakat secara luas merupakan nilai-nilai yang
diturunkan dari ayah maupun ibunya walaupun nilai yang terakhir lebih banyak dipengaruhi oleh
interaksi Xi dengan masyarakat sekitar sewaktu Xi muda. Kegemaran Xi terhadap sepakbola juga
tidak dapat dilepaskan dari ayahnya yang juga gemar menonton sepakbola melalui televisi.
Pertama. Disiplin dan suka menonton sepakbola. Ayah Xi adalah mantan pemimpin partai. Ayah
Xi percaya bahwa disiplin harus dimulai dari dirinya dan keluarganya, sebelum mendisiplinkan
anggota partai lainnya mengingat ayah Xi adalah anggota senior partai. Xi menyukai sepakbola.
Xi bahkan tidur hingga larut hanya demi menonton sepakbola di televisi.23 Apabila Xi memiliki
waktu luang, maka Xi menyempatkan untuk menonton langsung di stadion seperti yang Xi lakukan
pada tahun 1982 dan 1985 demi menyaksikan pertandingan sepakbola. Jauh sebelum tahun 1982
yakni pada tahun 1960-an, Xi juga sering bermain sepakbola dengan cucu Marskal Zhude.
Pengaruh Mao terhadap Xi dapat dikatakan sangat besar, namun tidak dipungkiri pernyataan Deng
Xiaoping bahwa sepakbola harus dimulai dari anak-anak juga Xi sisipkan di pidatonya. Hal yang
unik dari Xi adalah ketika tim dukungannya kalah maka Xi akan marah seperti yang terjadi pada
tahun 1983 ketika Xi menyaksikan tim nasional Tiongkok dikalahkan klub Inggris dengan skor 1-
5. Xi meninggalkan stadion dengan wajah muram.
Kedua. Profesional dan tidak menggunakan hal tertentu untuk keuntungan diri sendiri. Ketika Xi
mulai menjabat sebagai pengurus partai, ibu Xi mengadakan pertemuan keluarga yang membahas
bahwasanya di dalam pekerjaan atau ketika sedang mengurus partai, tidak ada yang dinamakan
relasi keluarga. Warisan lain berupa peraturan yang ketat seperti yang orang tua Xi lakukan
diteruskan Xi dalam keluarganya. Di manapun Xi bekerja, tidak ada seorang pun dari anggota
keluarganya yang diperbolehkan menggunakan namanya demi meraih keuntungan tertentu.
Apabila hal tersebut dilakukan, maka Xi akan murka.24
Ketiga. Kesederhanaan dan keberpihakan pada masyarakat luas. Kesederhanaan yang diwariskan
dari orang tuanya terlihat dari nama anak Xi, Xi Mingze, yang berarti hidup dengan jujur dan
berguna bagi masyarakat sekitar.25 Pemberian nama Xi Mingze untuk anak perempuannya dengan
makna yang telah dijelaskan di atas dapat dikatakan cerminan Xi pada masa mudanya. Ketika Xi
dibuang ke Shaanxi selama tujuh tahun, Xi membantu orang-orang sekitar untuk mendapatkan
akses listrik, membangun jembatan, dan merenovasi sekolah dasar. Ketika Xi telah menjadi
komandan partai di kota Fuzhou, Xi kembali ke desa ini dengan memberikan bantuan berupa uang
kepada penduduk yang tua dan memberikan bantuan peralatan sekolah untuk anak-anak seperti tas
sekolah, alat tulis, dan alarm. Xi meninggalkan desa Shaanxi ketika Xi berumur 22 tahun dan telah
membantu sebanyak yang Xi mampu lakukan. Kepedulian Xi terhadap orang lain tidak dapat
dilepaskan oleh keputusan-keputusannya seperti yang Xi lakukan pada tahun 1980. Pada saat itu
banyak teman-temannya yang lebih memilih untuk berbisnis atau melanjutkan studi ke luar negeri,
namun Xi lebih memilih bekerja sebagai wakil sekretaris partai di kota kecil, Zhengding, yang
terletak di provinsi Hebei. Pada awalnya orang-orang meragukan kemampuan Xi. Namun pada
akhirnya Xi mendapatkan kepercayaan dari penduduk setempat. Hal tersebut tidak terlepas dari
kesederhanaan Xi dengan makan di bawah pohon bersama petani sambil berbincang-bincang.
23 Xi Jinping, Op. Cit., 496. 24 Xi Jinping, Op. Cit., 496. 25 Xi Jinping, Op. Cit., 497.
Kebutuhan masyarakat adalah tugas Xi dan merupakan agenda rutin Xi ketika berkunjung ke desa-
desa. Ketika Xi telah memiliki jabatan tinggi di partai, Xi mencegah bawahannya untuk bertindak
di luar kepentingan atau kebutuhan masyarakatnya. Pernyataan menarik Xi ketika membela
masyarakatnya adalah “Will we offend a few hundred officials, or will we fail millions of people?”
Bagi Xi sudah menjadi kewajiban pengurus partai untuk menunjukkan cintanya terhadap
masyarakat serta bekerja dan membawa masyarakat menuju kemakmuran.26
Tujuan yang tercantum dari adanya pembentukan Master Plan oleh Xi Jinping adalah
meningkatkan kondisi fisik masyarakat Tiongkok, memperkaya kehidupan budaya masyarakat,
mempromosikan semangat patriotisme dan kolektivisme, serta menumbuhkan budaya olahraga.27
Pada bagian ini peneliti lebih menitikberatkan pada poin patriotisme dan kolektivisme. Peneliti
berargumen bahwa salah satu tujuan Master Plan yakni mempromosikan semangat patriotisme dan
kolektivisme tersebut lahir dari Revolusi Budaya di era pemerintahan Mao Zedong dan keluarga.
Tidak hanya dari kedua peristiwa tersebut, melainkan juga kepemimpinan Xi yang bercorak
sosialisme dengan karakteristik Tiongkok mendukung promosi kedua semangat tersebut. Figur Xi
yang dianggap sebagai “ayah” oleh masyarakat, membuat Xi menjadi lebih dekat dengan
masyarakat termasuk pemuda-pemudi. Pada bagian ini peneliti menjelaskan tentang semangat
patriotisme dan kolektivisme yang secara khusus ditujukan untuk para pemuda Tiongkok. Di
dalam pidato tanggal 21 Oktober 2013, Xi mengajak murid-murid di Tiongkok bahwa masa
mereka adalah waktu yang tepat untuk melakukan inovasi dan mewujudkan mimpi. Murid-murid
atau para pemuda merupakan patriot cinta serta ide, aspirasi, dan aksi mereka tidak hanya mampu
membuat Tiongkok menjadi bangsa yang besar, melainkan juga mewujudkan Chinese Dream
menjadi nyata. Pertama, Xi mengajak para pemuda untuk menganut patriotisme.28 Apabila
didasarkan pada argumen Chris Buckley dan Didi Kristen Tatlow, maka nilai patriotisme Xi ini
lahir ketika Revolusi Budaya telah terjadi. Pahlawan negara pada saat itu adalah dengan tidak
melawan pemerintah Mao. Xi bahkan membaca buku demi memahami undang-undang pada saat
itu dan pemerintahan Mao.29 Pengimplementasian nilai patriotisme Xi ini tampak ketika di dalam
pidatonya Xi mengatakan bahwa patriotisme adalah tali yang dapat menyatukan seluruh rakyat
Tiongkok. Di mana pun pemuda Tiongkok berada baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Xi
mengatakan “Chinese students should always keep the home country and its people in their
hearts”.30
Impian Tiongkok oleh Xi Jinping
Impian Tiongkok ini muncul berdasar pada kesulitan di masa lalu. Xi mengatakan bahwa bangsa
Tiongkok mengalami kesulitan dan kesengsaraan yang tidak terhitung, namun jarang terlihat di
mata dunia. Pembaharuan bangsa Tiongkok juga dimulai dari kesulitan dan kesengsaraan pada
masa lalu. Fewsmith kemudian berpendapat bahwa Impian Tiongkok bukan hanya cerminan
perjuangan bangsa di masa modern, namun juga semua sejarah bangsa baik masa modern atau
lampau. Xi mengatakan bahwa ketika sejarah dilihat kembali, maka menemukan jalan yang benar
tidaklah diraih dengan mudah. Jalan tersebut diciptakan melalui eksplorasi berkelanjutan sejak
26 Ibid. at 481. 27 Camera Wilson, Op. Cit. 28 Xi Jinping, Op. Cit., 63. 29 Chris Buckley dan Didi Kristen Tatlow, Op. Cit. 30 Xi Jinping, Op. Cit., 64.
negara Tiongkok berdiri atau sekitar 60 tahun lalu. Peradaban bangsa Tiongkok telah ada bahkan
sejak 5.000 tahun terakhir.
Fewsmith berpendapat bahwa Impian Tiongkok merupakan kebanggaan nasional. Orang-orang
Tiongkok tidak pernah menyerah dan selalu memberikan perlawanan sengit hingga pada akhirnya
mampu menguasai takdir mereka sendiri dan memulai perjalanan besar untuk membangun negara
mereka sendiri. Oleh karenanya di dalam Impian Tiongkok tersebut mengandung nilai patriotisme
yang menunjukkan semangat nasional. Tidak hanya peran masyarakat yang besar dalam
pembentukan Impian Tiongkok ini, melainkan juga peran Partai Komunis Tiongkok. Partai
dipandang memiliki kepemimpinan politik untuk membimbing masyarakat mewujudkan impian.31
Wacana Impian Tiongkok tersebut dipandang Fewsmith telah ada sejak lama, bahkan sejak tahun
1902 ketika Liang Qichao menyebutkan “China Dream” dalam esai yang berjudul “The Future of
New China”. Bayangan Liang yang tertuang dalam esainya tersebut adalah ada sebuah negara yang
kaya dan berkuasa. Sekitar satu dekade lalu juga ada program televisi yang berjudul “China
Dream”. Terbaru gagasan Impian Tiongkok tertuang dalam slogan olimpiade dengan nuansa lebih
kosmpolit yakni “One World One Dream”. Xi kemudian mengatakan bahwa Impian Tiongkok
merupakan impian setiap orang Tiongkok, artinya impian ini bersifat kolektif, bukan individu.
Fewsmith mengutarakan pendapatnya bahwa impian Tiongkok ini berbeda dengan Impian
Amerika. Impian Amerika lebih menitikberatkan pada perjuangan pribadi, sementara Impian
Tiongkok dibangun atas dasar patriotisme dan kolektivisme. Di dalam pidato penutupnya pada
Kongres Nasional, Xi mengatakan bahwa untuk mewujudkan impian ini, Tiongkok wajib
menunjukkan semangat orang Tiongkok, intinya adalah semangat nasional dengan berlandaskan
nilai patriotisme.32 Sementara Robert Lawrence Kuhn mencoba melengkapi pernyataan Fewsmith
dengan memberikan target waktu tercapainya Impian Tiongkok ini. Menurut Kuhn, Impian
Tiongkok yang dinyatakan oleh Presiden Tiongkok tersebut merupakan peremajaan besar bangsa
Tiongkok. Impian Tiongkok ini memiliki arti “two 100s”, artinya pada tahun 2020 Tiongkok akan
menjadi bangsa dengan masyarakat yang kaya. Pada tahun 2020 tersebut, Tiongkok memperingati
100 tahun berdirinya Partai Komunis Tiongkok. Angka 100 yang kedua terwujud pada tahun 2049
ketika Tiongkok menjadi bangsa yang sepenuhnya maju sekaligus menandakan 100 tahun
berdirinya negara Tiongkok.33
Konsep soft power yang dicetuskan oleh Nye memang dapat diterapkan dalam olahraga,
khususnya sepakbola. Menurut Nye, soft power adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain melalui daya tarik dan persuasi. Han berpendapat bahwa strategi penggunaan soft power oleh
Tiongkok, khususnya dalam bidang sepakbola, tidak hanya digunakan untuk membentuk image
baik Tiongkok di dunia internasional, melainkan juga ada hal lain yang hendak dicapai. Hal lain
tersebut adalah untuk menunjukkan identifikasi diri Tiongkok. Olahraga dapat digunakan sebagai
kendaraan untuk strategi pencapaian soft power. Berbagai contoh turnamen olahraga yang kental
dengan pencapaian soft power adalah Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan oleh Korea Selatan
dan Jepang, Piala Dunia 2006 oleh Jerman demi mengubah pandangan negara-negara lain terhadap
Jerman khususnya perang di masa lalu, dan Olimpiade London 2012 dengan menunjukkan Inggris
31 Ibid. at 4 32 Ibid. 33 Robert Lawrence Kuhn, “Xi Jinping’s Chinese Dream”, 2013, diakses dari
http://www.nytimes.com/2013/06/05/opinion/global/xi-jinpings-chinese-dream.html pada 25 November 2017 pukul
19.54.
sebagai negara yang ramah terhadap bisnis.34 Langkah yang dapat dilakukan dalam mencapai
cultural soft power Tiongkok ini adalah dengan membentuk liga. Liga yang populer dapat
memberikan kesempatan tak ternilai bagi pemerintah untuk menarik orang lain, budaya, dan yang
terpenting adalah citra nasional.
Han berpendapat bahwa sepakbola yang digunakan oleh Xi Jinping tidak hanya diperuntukkan
meraih soft power, melainkan juga ada propaganda yang dibawa oleh Tiongkok.35 Pernyataan ini
kemudian didukung oleh Aedan Mordecai bahwa Xi mampu menyisipkan propagandanya ke
dalam sepakbola mengingat sepakbola tidak secara aktif mengkomunikasikan pesan di luar dunia
olahraga. Mordecai juga berpendapat bahwa sepakbola yang dibawa oleh Xi dapat menarik
perhatian negara-negara lain untuk bekerja sama dengan Tiongkok dalam membangun
pesepakbolaan Tiongkok. Hal ini tidak terlepas dari resonansi global. Di satu sisi banyak
masyarakat luar negeri yang mengalami kesulitan dalam memahami bahasa Mandarin. Di sisi lain
sepakbola adalah bahasa universal yang dapat melampaui hambatan komunikasi dan budaya.36
Simpulan
Pertama. Latar belakang Xi sebagai saksi hidup peristiwa Revolusi Budaya di era Mao Zedong
dan nilai-nilai keluarga yang diturunkan kepadanya. Keterlibatan Xi dalam peristiwa Revolusi
Budaya membuat Mao Zedong memiliki ruang khusus di dalam pemikiran Xi Jinping. Hal ini
tampak pada salah satu pemikiran Mao yang dijadikannya sebagai landasan untuk berinteraksi
dengan pemimpin negara lain. Salah satu dari tiga pemikiran Mao Zedong tersebut adalah
independence sebagai dasar untuk membangun kerja sama yang saling menguntungkan antar pihak
yang terlibat. Dapat dicontohkan ketika Xi menjalin kerja sama dengan Jerman dalam sepakbola.
Anak-anak yang tengah bermain sepakbola tersebut diharapkan oleh Xi untuk menjadi generasi
mendatang yang akan mencerahkan Tiongkok dan Jerman.
Kedua. Mewujudkan Chinese Dream atau Impian Tiongkok yang menitikberatkan pada
pembentukan image Tiongkok di dunia internasional. Setiap entitas memiliki impian. Dengan
pengalamannya di masa lalu, Xi membentuk konsep Impian Tiongkok ini. Impian ini memiliki
keterkaitan yang erat dengan masyarakat, mengingat pada masa lalu Xi bergaul dengan masyarakat
luas. Tidak hanya memberikan konsep saja, melainkan juga Xi memberikan langkah-langkah
dalam mewujudkannya. Kaum muda Tiongkok menjadi sasaran untuk mengimplementasikan
langkah-langkah yang diberikan oleh Xi. Namun Xi juga merupakan sosok yang oportunis artinya
dengan menggunakan nama Impian Tiongkok, Xi menyisipkan impiannya yang berkaitan dengan
sepakbola. Sepakbola sebagai olahraga yang paling sering ditonton oleh masyarakat berbanding
lurus dengan Impian Tiongkok yang menitikberatkan pada masyarakat secara luas pula. Dengan
menggunakan sepakbola pula sebagai pemersatu masyarakat, misi pencapaian cultural soft power
dapat tercapai. Cultural soft power ini khususnya berfokus pada pembentukan image Tiongkok di
mata internasional. Image yang indah tidak dapat tercapai apabila nilai-nilai seperti patriotisme,
kolektivisme, dan sosialisme diabaikan. Penanaman nilai tersebut dilakukan sejak usia dini. Master
Plan dalam bidang sepakbola yang dibentuk oleh Xi Jinping merupakan langkah yang tepat, tidak
hanya semata-mata menjadi juara Piala Dunia, melainkan juga menjadikan Tiongkok sebagai
34 Keunsu Han, “Chinese Soccer, Soft Power and Fair Play, 2017, dalam China Policy Institute. 35 Ibid. 36 Aedan Mordecai, “Is Football the Key to China’s Soft Power Push?”, 2016, dalam The Diplomat.
negara dengan memiliki image yang indah di mata internasional hingga menjadi negara socialist
cultural superpower.
Daftar Pustaka
Buku
Jinping, Xi. 2014. The Governance of China. Beijing: Foreign Languages Press Co. Ltd.
Buku Elektronik
Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. Palgrave
Macmillan.
Bronfenbrenner, Urie. 1979. The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and
Design. Harvard University Press.
Cottam, Martha. 2004. Introduction to Political Psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Wozniak, Robert H. dan Kurt W. Fischer. 1993. Development in Context: Acting and Thinking in
Specific Environments. New York: Psychology Press.
Jurnal Ilmiah
Benghida, Sonia. 2014. “World Cup Football in International Relations: The 2009 Algerian –
Egyptian football conflict”, dalam ISSR Journals, Vol. 9, No. 1, pp. 234-238.
Bonicafe, Pascal. 1988. “Football as a Factor (and Reflection) of International Politics”, dalam
The International Spectator, Vol. 33, No. 4, pp. 1-12.
Brown, Kerry. 2012. “The Communist Party of China and Ideology”, dalam International Journal,
Vol. 10, No. 2, pp. 52 – 68.
Fewsmiths, Joseph. 2013. “Xi Jinping’s Fast Start”, dalam China Leadership Monitor, Vol. 3, No.
41, pp. 1 – 7.
Han, Keunsu. 2017. “Chinese Soccer, Soft Power, and Fair Play”, dalam China Policy Institute.
Horton, Paul. 2011. “Sport in Asia: Globalization, Glocalization, Asianization”, dalam Piotr
Pachura (Ed.), 2011, New Knowledge of Globalization (Rijeka: Intech Open).
Jinxia, Dong dan J. A. Mangan. 2001. “Football in the New China: Political Statement,
Entrepreneurial Enticement and Patriotic Passion”, dalam Soccer and Society, Vol. 2, No.
3, pp. 79 – 100.
Lensing, Dexter. 2016. “From Mao to Xi: Chinese Political Leadership and the Craft of
Consolidating Power”, dalam McNair Journal, Vol. 12, No. 15, pp. 59 – 86.
Mordecai, Aedan. 2016. “Is Football the Key to China’s Soft Power Push?”, dalam The Diplomat.
Mujahidah. 2015. “Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner dalam Membangun Pendidikan
Karakter yang Berkualitas”, dalam Lentera.
Nye, Joseph. 1990. “Soft Power”, dalam Foreign Policy, Vol. 20, No. 80, pp. 153 – 171.
Stanzel, Angela. 2016. “Chinese Culture after the Cultural Revolution”, dalam China Policy
Institute: Analysis.
Tao, Liu dan Wang Chuanyou. 2016. “Analysis of Differences between Chinese and Western
Sport Philosophy”, dalam Philosophy Study, Vol. 6, No. 3, pp. 149 – 154.
Von Hagen-Jamar, Alexander. 2017. The Image Game: An Explanatory Case Study on Soft Power
as a Strategic Ulterior Motive in Chinese Football. Lund University Libraries.
Wang, Hongying dan Yeh-Chung Lu. 2008. “The Conception of Soft Power and Its Policy
Implications: A Comparative Study of China and Taiwan”, dalam Journal of
Contemporary, Vol. 17, No. 56, pp. 425 – 447.
Internet
Anon. t.t. Confucius 101: A Key to Understanding the Chinese Mind, dalam http://www.china-
mike.com/chinese-culture/understanding-chinese-mind/confucius/ [Diakses 30 September
2017].
Allison, Graham. 2017. What Xi Jinping Wants, dalam
https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/05/what-china-wants/528561/
[Diakses 4 Januari 2018].
Bairner, Alan. 2017. Xi Jinping’s Football Dream and the Nightmare Scenario, dalam
https://cpianalysis.org/2017/04/10/xi-jinpings-football-dream-and-the-nightmare-
scenario/ [Diakses 26 November 2017].
Bubalo, Anthony. 2005. Football Diplomacy, dalam
https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/pubfiles/Bubalo%2C_Football_diplomac
y_stripe_1.pdf. [Diakses pada 14 April 2017].
Buckley, Chris dan Didi Kristen Tatlow. 2015. Cultural Revolution Shaped Xi Jinping, From
Schoolboy to Survivor, dalam https://www.nytimes.com/2015/09/25/world/asia/xi-jinping-
china-cultural-revolution.html?mcubz=0 [Diakses 30 September 2017].
Cambridge Dictionary. 2017. Football, dalam
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/football [Diakses 10 Mei 2017].
China.org.cn. 2011. Four Cardinal Principles (Mar. 1979), dalam
http://www.china.org.cn/china/CPC_90_anniversary/2011-06/22/content_22838756.htm
[Diakses 1 Desember 2017].
China.org.cn. 2012. The 18th National Congress of the Communist Party of China (CPC), dalam
http://www.china.org.cn/china/18th_cpc_congress/2012-11/16/content_27137540_3.htm
[Diakses 17 November 2017].
Chinese Leaders. t.t. 中國領導, dalam http://chinese-leaders.org/xi-jinping/ [Diakses 2 September
2017].
Collins Dictionary. t.t. Definition of ‘soft power’, dalam
https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/soft-power [Diakses 30 September
2017].
Eden, Jon Theis. 2013. Major Research Paper: Soccer and International Relations, dalam
https://ruor.uottawa.ca/bitstream/10393/26069/1/EDEN%2C%20Jon%20Theis%2020135
.pdf [Diakses pada 28 September 2017].
English Oxford Dictionaries. t.t. Soft Power, dalam
https://en.oxforddictionaries.com/definition/soft_power [Diakses 30 September 2017].
FIFA. 2017. Our Commitment, dalam
https://www.fifa.com/mm/document/footballdevelopment/education/55/95/17/fifa_brand
broschuere_23x23_e_13324%5B1%5D.pdf [Diakses 4 Januari 2018].
_____________. 2017. World Ranking, dalam http://www.fifa.com/fifa-world-ranking/ranking-
table/men/index.html [Diakses 22 Maret 2017].
Hird, Derek. 2017. Xi Jinping’s Family Values, dalam https://cpianalysis.org/2017/09/22/xi-
jinpings-family-values/ [Diakses pada 30 September 2017].
Jian, Ma. 2016. Xi Jingping – A Son of the Cultural Revolution, dalam
https://www.japantimes.co.jp/opinion/2016/05/15/commentary/world-commentary/xi-
jinping-son-cultural-revolution/#.WfWwnluCzIX [Diakses 29 Oktober 2017].
Kim, Hwajung. 2011. Cultural Diplomacy as the Means of Soft Power in an Information Age,
dalam http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/case-
studies/Hwajung_Kim_Cultural_Diplomacy_as_the_Means_of_Soft_Power_in_the_Infor
mation_Age.pdf [Diakses pada 14 April 2017].
Kuhn, Robert Lawrence. 2013. Xi Jinping’s Chinese Dream, dalam
http://www.nytimes.com/2013/06/05/opinion/global/xi-jinpings-chinese-dream.html
[Diakses 25 November 2017].
Leng, Sidney. 2015. China’s Soccer-Mad President Xi Jinping’s Passion for ‘the beautiful game’
Sparked while a Child, dalam http://www.scmp.com/news/china/policies-
politics/article/1871444/chinas-soccer-mad-president-xi-jinpings-passion [Diakses 21
Maret 2017].
McClory, Jonathan. 2015. The Soft Power 30: A Global Ranking of Soft Power [pdf], dalam
www.softpower30.com [Diakses pada 12 September 2017].
Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China. 2016. Foreign Ministry
Spokesperson Hong Lei’s Regular Conference on May 19 2016, dalam
http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/xwfw_665399/s2510_665401/t1364924.shtml
[Diakses 6 April 2017].
Murray, Stuart. 2011. Sports-Diplomacy: A Hybrid of Two Halves, dalam
http://www.culturaldiplomacy.org/academy/content/pdf/participant-papers/2011-
symposium/Sports-Diplomacy-a-hybrid-of-two-halves--Dr-Stuart-Murray.pdf [Diakses 7
Mei 2017].
Murray, Stuart dan Geofrey Allen Pigman. 2014. Mapping the relationship between international
sport and diplomacy, dalam
http://www.repository.up.ac.za/bitstream/handle/2263/41884/Murray_Mapping_2014.pdf
?sequence=3 [Diakses 5 April 2017].
Nye, Joseph. 2004. Soft Power: The Means to Success in World Politics, dalam
http://www.belfercenter.org/sites/default/files/legacy/files/joe_nye_wielding_soft_power.
pdf [Diakses 21 Maret 2017].
____________. t.t. Soft Power and Higher Education, dalam
https://net.educause.edu/ir/library/pdf/ffpiu043.pdf [Diakses 3 September 2017].
Paquette, Dede dan John Ryan. 2015. Bronfenbrenner’s Ecological Systems Theory, dalam
http://dropoutprevention.org/wp-
content/uploads/2015/07/paquetteryanwebquest_20091110.pdf [Diakses 30 September
2017].
People’s Republic of China. 2009. Unite as One and Work for a Bright Future, dalam
http://www.china-un.org [Diakses 1 Desember 2017].
Permanent Mission of the People’s Republic of China to the United Nations and Other
International Organizations in Vienna. 2013. President Xi Delivers Speech at Close
Meeting of 1st Session of 12th of NPC, dalam http://www.chinesemission-
vienna.at/eng/zgbd/t1022389.htm [Diakses 1 Desember 2017].
Porteus, James. 2017. Germany’s Football Diplomacy Delights Beaming Xi Jinping as Chinese
President and Angela Merkel Watch Kids, dalam
http://www.scmp.com/sport/soccer/article/2101554/germanys-football-diplomacy-
delights-beaming-xi-jinping-chinese [Diakses 29 Oktober 2017].
Roddy, Tom. 2017. The Hard Cash and Soft Power Driving China’s Footballing Ambitions, dalam
http://www.newsweek.com/sport-chinese-super-league-president-xi-jinping-568441
[Diakses 8 Mei 2017].
The Guardian. 2015. China Sets Goal of Hosting World Cup with Master Plan of Football, dalam
https://www.theguardian.com/world/2015/mar/17/china-sets-goal-of-hosting-world-cup-
with-master-plan-for-football [Diakses 4 Januari 2018].
Toktomushev, Kemel. 2016. Sports as China’s Soft Power in Central Asia, dalam
https://www.chinausfocus.com/culture-history/sport-as-chinas-soft-power-in-central-asia
[Diakses 4 Desember 2017].
Trunkos, Judit. 2013. What is Soft Power Capability and How does it Impact Foreign Policy?,
dalam http://www.culturaldiplomacy.org/academy/content/pdf/participant-papers/2013-
acdusa/What-Is-Soft-Power-Capability-And-How-Does-It-Impact-Foreign-Policy--Judit-
Trunkos.pdf [Diakses 21 Maret 2017].
Wan, William. 2015. China’s Xi Jinping Loves Football So Much He’s Put It on the National
Curriculum – but Can He Secure the World Cup?, dalam
http://www.independent.co.uk/news/world/asia/chinas-xi-jinping-loves-football-so-
much-hes-put-it-on-the-national-curriculum-but-can-he-secure-the-10071110.html
[Diakses 21 Maret 2017].
Wilson, Camera. 2016. Read Chinese Football’s 50-point Reform Plan in Full-Exclusive
Translation, dalam https://wildeastfootball.net/2016/02/read-chinese-footballs-50-point-
reform-plan-in-full-exclusive-translation/ [Diakses 8 Mei 2017].
Yutang Sports. 2015. Why CSL Keep on Sending Youth Players Abroad?, dalam
http://en.ytsports.cn/news-690.html [Diakses 8 Mei 2017].
Zhang, Yao. 2009. Nixon’s Trip to China and His Media Policy, dalam
https://etd.ohiolink.edu/!etd.send_file?accession=ohiou1250709340&disposition=inline
[Diakses 3 September 2017].