analisis hukum dan kelembagaan penegakan hukum … · menjadi objek peneltian adalah polisi...
TRANSCRIPT
ANALISIS HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN
HUKUM DI BIDANG PERIKANAN
LUTFI BRILLIANT WANDA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMAN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFOMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hukum dan
Kelembagaan Lembaga Penegakan Hukum di Bidang Perikanan adalah karya saya
sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Lutfi Brilliant Wanda C44080035
ABSTRAK
LUTFI BRILLIANT WANDA, C44080035. Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN
dan THOMAS NUGROHO.
Permasalahan illegal fishing mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia tidak mampu dimanfaatkan secara optimal. Kerugian dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya aspek ekonomi yakni kerugian secara finansial, aspek sosial berupa penyebaran penyakit berbahaya dan aspek ekologis seperti over fishing dan destructive fishing. Lembaga penegak hukum yang berwenang yang menjadi objek peneltian adalah Polisi Perairan, TNI AL, dan PSDKP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan, menganalisis tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya, dan memberikan rekomendasi efektifitas penegakan hukum. Penelitian ini menggunakan analisis kelembagaan, analisis hukum dan analisis SWOT. Penelitian menghasilkan bahwa bahwa tiga lembaga penegakan hukum
yaitu Polair, TNI AL dan PSDKP menjalankan fungsi penegakan hukum sesuai dengan dasar hukum tersendiri. Variabel kewenangan Polair diamanahkan dengan 4 dasar hukum, TNI dengan 5 dasar hukum, dan PSDKP dengan 3 dasar hukum. Variabel kewilayahan menjabarkan bahwa ketiga lembaga memiliki wewenang berbeda pada wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI. Prioritas strategi penegakan hukum dengan dua urutan terbesar dari penelitian adalah peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam
menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing dan menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih. Kata Kunci : illegal fishing, destructive fishing, penegakan hukum, dasar
hukum
ABSTRACT
LUTFI BRILLIANT WANDA, C44080035. Analysis of Legal Institutional and law enforcement in the field of Fisheries. Supervised by AKHMAD SOLIHIN
and THOMAS NUGROHO.
Problem of illegal fishing and marine fisheries sector resulting in Indonesia is unable to be utilized optimally. Losses can be viewed from several aspects, including economic loss aspect i.e. financially, social aspects of the spread of dangerous disease, and ecological aspects such as over fishing and destructive fishing. Law enforcement agencies in authority who become the object of this research is Police, TNI AL, and PSDKP. The aims of this research are to find out main task and function of institutional law enforcement in the fields of fisheries, analyze conflict authority between the law enforcement agency in the fields of fisheries based on legal basis, and give recommendations the effectiveness of law enforcement. There researchs uses institutional analysis, legal analysis and SWOT analysis. The result of this research is there are three the law
enforcement agency that is Police, TNI AL and PSDKP that carries on the function of law enforcement in accordance with the legal basis of its own. Variable authority Police is given with four the basic law, TNI AL with 5 the basic law, and PSDKP with 3 the legal basis. Territoriality variable describe that all three institutions has authority different in the territorial waters of the interior, the waters of the archipelago, the sea territorial, and ZEEI. Priority strategy law
enforcement with two largest order of the research is an increase regional and international cooperation in eliminating illegal a fishing and destruktive a fishing and increase the number of patrolly boats and the addition of advanced technology. Keywords: illegal fishing, destructive fishing, law enforcement, legal basis
.
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menerbitkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENEGAKAN
HUKUM DI BIDANG PERIKANAN
LUTFI BRILLIANT WANDA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMAN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Penelitian : Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum
dibidang Perikanan
Nama Mahasiswa : Lutfi Brilliant Wanda
NRP : C44080035
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota, Akhmad Solihin, S.Pi, M.H Thomas Nugroho, S.Pi, M.Si NIP. 19790403 200701 1001 NIP. 19700414 200604 1 020
Diketahui, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Dr. Ir. Budy Wiryawan MSc. NIP. 19621223 1987031 001
Tanggal ujian: 31 Agustus 2012 Tanggal Lulus:
PRAKARTA
Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2012
hingga Juli 2012 dengan judul analisis hukum dan kelembagaan penegakan
hukum di bidang perikanan.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Akhmad Solihin, S.Pi, M.H selaku pembimbing 1 dan Thomas Nugroho,
S.Pi, M.Si selaku pembimbing 2 dalam penyusunan skripsi mulai dari
awal hingga akhir;
2. Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku Komisi Pendidikan Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc
selaku dosen penguji tamu;
3. Ir. Yusirwan Djamin, S.Ag, MM dan Zubaidah Tuzzahroh, S.Pd, MM
orang tua tercinta yang selalu menemani dengan dukungan terbaik;
4. Kasubdis Kumlater Diskumal Bapak Yuli Dharmawanto, SH, Kaurmin
Subdit Gakkum Dit Polair Baharkam Polri Bapak Agus Budi, dan bang
Edwin dan bang Samsu dari Ditjen Pengawasan SDKP Kementerian
Perikanan dan Kelautan yang telah bersedia sebagai sumber informasi atau
memberikan segala informasi yang diperlukan;
5. Aktivis Kementerian Kebijakan Kampus, BEM KM IPB Kabinet
Berkarya, BEM FPIK IPB Kabinet Ekspansi Biru, Beasiswa Aktivis IPB
2011 dan Dompet Dhuafa, Asisten PAI IPB, rekan-rekan Al-Hurriyah
yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian;
6. Keluarga besar PSP 45;
7. Serta semua pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang
telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012 Lutfi Brilliant Wanda
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 14 September
1990 dari Bapak Ir. Yusirwan Djamin, S.Ag, MM dan Ibu
Zubaidah Tuzzahroh, S.Pd, MM. Penulis merupakan putra
pertama dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus
dari SMA Negeri 49 Jakarta dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB. Penulis terpilih untuk masuk Mayor Teknologi dan Manajemen
Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa kuliah, penulis aktif dalam mengikuti organisasi. Periode
Tahun 2011-2014 penulis menjadi Ketua 2 Ikatan Alumni SMAN 49 Jakarta
(ILUSMA49), tahun 2010-2011 penulis menjadi President Bakti Nusa IPB
Beasiswa Aktivis Mahasiswa Nusantara Lembaga Pengembangan Insadi-Dompet
Dhuafa (Bakti Nusa LPI DD), tahun 2011-2012 penulis menjadi Menteri
Kementrian Kebijakan Kampus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM, tahun
2010-2011 penulis menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB,
tahun 2009-2010 penulis menjadi Kepala Bagian Kajian Departemen AKPK
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB, dan tahun 2008-2009 penulis
menjadi Kepala Departemen Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB
IPB. Penulis juga aktif menjadi Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
(PAI) TPB IPB pada tahun 2010-2012, Asisten Dosen Metode Operasi
Penangkapan Ikan (MOPI) PSP FPIK IPB tahun 2011-2012, dan menjadi
Penyuluh Bantuan Sosial Gubernur Jawa Barat tahun 2011-2012.
Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum dibidang
Perikanan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan
pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan tangkap, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL..........................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................xiii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ................................................................................1
1.2 Permasalahan ..................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kelembagaan ........................................................................4
2.2 Penegakan Hukum ..........................................................................8
2.3 Wilayah Laut Indonesia ..................................................................12
2.3.1 Wilayah Laut dan Hak Kedaulatan Penuh ...........................12 2.3.2 Wilayah Laut dan Hak Berdaulat ........................................13 2.3.3 Wilayah Laut tanpa Kedaulatan Wilayah ............................14
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) ......................................................................15
2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) ..........................19
2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan ........................19
2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia ................................................19
2.6.2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia .................................................21
2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ................................................................23
2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ..............................................................29
2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum
di Bidang Kelautan dan Perikanan ......................................29
ix
2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan..............................................................................31
3 METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................33
3.2 Metode pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................33
3.2.1 Metode Pengumpulan Data .................................................33 3.2.2 Pengolahan Data ..................................................................33
3.3 Metode Analisis Data .....................................................................34
3.3.1 Analisis Kelembagaan .........................................................34 3.3.2 Analisis Hukum ...................................................................34 3.3.3 Analisis Kebijakan ..............................................................36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kelembagaan ....................................................................39
4.1.1 Polair ...................................................................................39 4.1.2 TNI AL ................................................................................39 4.1.3 KKP .....................................................................................40
4.2 Analisis Hukum .............................................................................42
4.2.1 Variabel Kewenangan .........................................................42 4.2.2 Variabel Kewilayahan .........................................................46
4.3 Analisis Kebijakan ..........................................................................49
4.3.1 Analisis Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT) ..................................................................50
4.3.2 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) ..........................................................69
5 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan .....................................................................................73
4.1 Saran ...............................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................75
LAMPIRAN ..................................................................................................77
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Faktor internal dan eksternal...................................................................17
2 Faktor Strategi Internal (IFAS) ..............................................................18
3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS) ..........................................................18
4 Tabel SWOT ..........................................................................................18
5 Variabel kewenangan .............................................................................35
6 Variabel kewilayahan .............................................................................36
7 Tupoksi lembaga penegakan hukum ......................................................41
8 Analisis Variabel Kewenangan ..............................................................43
9 Analisis Variabel Kewilayahan ..............................................................47
10 Perkembangan Alokasi Anggaran PSDKP tahun 2001 hingga tahun 2011 ..............................................................................................53
11 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan Satuan Kerja tahun 2011 ........54
12 Jumlah Unit POKMASWAS di 17 Provinsi ..........................................56
13 Matriks IFE efektivitas penegakan hukum ............................................58
14 Matriks EFE efektivitas penegakan hukum ...........................................62
15 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan ....................................................................66
16 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan ....................................................................70
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982 .................................................................13
2 Kerangka formulasi strategi .....................................................................15
3 Analisis SWOT .........................................................................................16
4 Kerangka pemikiran .................................................................................33
5 Diagram venn tupoksi lembaga penegakan hukum .................................41
6 Matriks IE .................................................................................................64
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Alamat Polair daerah tingkat provinsi di seluruh Indonesia .................... 78
2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia ......80
3 UPT Satker dan Pos PSDKP ....................................................................82
4 Jumlah personil patroli pada kapal PSDKP tahun 2007 hingga 2011 ......86
5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya ......................................87
6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair ....................................................89
7 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan kegiatan tahun 2011 ..................91
8 Jumlah masing-masing tindak pidana perikanan tahun 2007 hingga 2011 ..............................................................................92
xiii
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persoalan illegal fishing di Indonesia mengakibatkan sektor kelautan dan
perikanan tidak mampu dimanfaatkan secara optimal. Apabila dilihat dari segi
ekonomi, kerugian yang diperoleh oleh pemerintah Indonesia cukup besar
jumlahnya. Kerugian negara akibat praktik illegal fishing diperkirakan mencapai
Rp 30 triliyun dalam setahun. Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008)
mengatakan bahwa jumlah devisa yang hilang akibat perikanan illegal fishing
berkisar $1,9 miliar atau sekitar 19 Triliun Rupian setiap tahunnya. Praktik illegal
fishing juga menimbulkan dampak sosial, yaitu penyebaran virus HIV AIDS.
Nelayan asing yang masuk ke perairan Indonesia tidak terdata dengan benar,
mereka masuk dan dapat membawa virus mematikan yang menyebarkannya di
wilayah yang mereka singgahi. Secara ekologi terdapat kerugian berupa rusaknya
lingkungan dan ancaman over fishing. Hal ini dikarenakan, pemerintah belum
mampu mengontrol praktik-praktik illegal fishing secara efektif.
Terjadinya illegal fishing di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI
disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah kurangnya sarana dan prasarana
lembaga penegak hukum. Selain itu, penegakan hukum juga dihadapkan pada
tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum atau ego-sektoral
penegakan hukum. Penegakan hukum di bidang perikanan melibatkan tiga
lembaga sebagaimana yang dimandatkan oleh undang-undang, yaitu Kepolisian,
Tentara Negara Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), dan Pengawas Sumberdaya
Kelautan dan Periakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP).
Penanganan illegal fishing juga telah dicoba untuk diselesaikan dengan
menggunakan beberapa dasar hukum. Dasar hukum tersebut dapat berupa undang-
undang, peraturan menteri dan keputusan menteri. Dasar hukum tersebut antara
lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
2
Perikanan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No:
10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum
di Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana
di Bidang Perikanan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana
di Bidang Perikanan.
Lembaga-lembaga penegak hukum dan beberapa dasar hukum yang ada
belum berlaku optimal. Lembaga belum menjalankan fungsinya dengan baik, dan
dasar hukum belum dijalankan dengan optimal oleh lembaga penegak hukum.
Berdasarkan paparan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul
”Analisis Hukum dan Kelembagaan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan”.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang menjadi dasar pada penelitian ini antara lain:
1) Bagaimana tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang
perikanan?
2) Apakah terdapat tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di
bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya?
3) Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menciptakan penegak hukum
yang efektif di bidang perikanan?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui tugas pokok dan fungsi kelembagaan penegakan hukum di bidang
perikanan; dan
2) Menganalisis tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum di
bidang perikanan berdasarkan landasan hukumnya; dan
3) Memberikan rekomendasi untuk mewujudkan penegakan hukum yang efektif.
3
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan
rekomendasi kepada pihak-pihak penegak hukum dibidang perikanan mengenai
strategi yang tepat untuk pengawasan perikanan:
1) Manfaat bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan
dalam menyusun kebijakan penegakan hukum di bidang perikanan;
2) Manfaat bagi dunia pendidikan diharapkan penelitian ini dapat menjadi
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengawasan
perikanan; dan
3) Manfaat bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat menjadi pengetahuan
baru bagi peneliti.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kelembagaan
Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal
ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif
(peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta
maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi
(Purwaka 2008):
1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai,
strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi,
serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai
tujuan;
2) Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman
untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran
dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hukum
yang rasional;
3) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi
lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran
terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional;
4) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan
fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional;
5) Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas
pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran
dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang
rasional;
6) Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat
keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal;
7) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok
dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
5
penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang
rasional;
8) Jejaring kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran
dan penalaran terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang
rasional; dan
9) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana
dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum
disertai dengan argumentasi yang rasional.
Hal penting tentang lembaga pertama sampai dengan keenam merupakan
aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan,
sedangkan hal penting tentang lembaga ketujuh, kedelapan dan kesembilan
merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut
sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (Purwaka 2008).
Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan terdiri dari dua
substruktur utama, yaitu tata kelembagaan dan kerangka kerja atau mekanisme
kelembagaan. Masing-masing substruktur kelembagaan tersebut mengandung
komponen-komponen kapasitas potensial (potensial capacity), daya dukung
(carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity) (Purwaka 2008).
Mekanisme kelembagaan adalah tata kelembagaan dalam keadaan bekerja
atau bergerak. Oleh karena itu mekenisme kelembagaan bersifat dinamis, sedang
tata kelembagaan bersifat statis. Tata kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008):
1) Kapasitas potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata
kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.
Kapasitas potensial mencangkup:
(1) Perumusan landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-
undangan yang diberlakukan sebagai aturan main kelembagaan;
(2) Penetapan tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan
perumusan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta perumusan tugas
pokok dan fungsi serta kewenangan dari unsur-unsur kelembagaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk
mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
(4) Penempatan sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang
dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Daya dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk
mendukung suatu aktivitas tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan yang
telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan meliputi:
(1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi,
dan landasan hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian
argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran
tersebut;
(2) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi
berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi
yang rasional;
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi
berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi
yang rasional; dan
(4) Pemberian beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas
terpasang atau kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan
yang ditempatkan, serta tujuan yang ingin dicapai.
3) Daya tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau
mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus
mengubah jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga
daya lentur kelembagaan meliputi:
(1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang
terjadi, serta pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil
penafsiran dan penalaran tersebut; dan
(2) Upaya penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi
kelembagaan yang ada (existing condition) dan perubahan lingkungan
kelembagaan.
7
Kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang merupakan tata
kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja meliputi (Purwaka 2008):
1) Kapasitas potensial mekanisme kelembagaan untuk melakukan dan
mengembangkan komunikasi, interaksi dan jejaring kerja kelembagaan, baik
yang bersifat internal maupun eksternal, sebagai perwujudan dari
oprasionalisasi kapasitas potensial tata kelembagaan sesuai dengan daya
dukung dan daya tampung kelembagaan;
2) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau
mekanisme kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi;
3) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau
mekanisme kelembagaan dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi
yang berdampak pada organisasi kelembagaan; dan
4) Optimalisasi sisa tata kelembagaan yang belum dikonversikan menjadi
mekanisme kelembagaan melalui upaya penafsiran, penalaran dan
argumentasi rasional untuk didaya gunakan menjadi kapasitas potensial, daya
dukung dan daya tampung dalam kerangka interaksi kerangka kerja atau
mekanisme kelembagaan yang dinamis.
Menurut Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan
harus dituangkan dalam wujud sebagai berikut:
1) Visi, misi, tujuan dan objek;
2) Bentuk lembaga;
3) Struktur organisasi;
4) Uraian tugas pokok dan fungsi;
5) Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan
6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang diperlukan.
Keberlanjutan suatu kegiatan yang mensyaratkan pentingnya partisipasi
banyak pihak, mutlak memerlukan kerangka hukum (legal framework), agar
segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berkaitan
dengan kerangka hukum, perlu diperhatikan pentingnya struktur hukum (legal
structure), pelaksanaan mandat hukum (legal mendate) dan penegakan hukum
(legal enforcement) (Purwaka 2008).
8
2.2 Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan hanya memberikan sanksi
kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula dipahami bahwa penegakan
hukum tersebut berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat
preventif. Namun demikian, terminologi penegakan hukum saat ini telah
mengarah pada suatu tindakan yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan
hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan, dikaitkan dengan
suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum
ini sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama
dengan pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu
didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan (Supriadi dan
Alimudin 2011).
Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104.
Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat
menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia
yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Hukuman pidananya
tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana
di bidang perikanan (Supratomo 2011).
Ketentuan pidana terhadap sesuatu pelanggaran merupakan hal mutlak perlu
bagi negara hukum. Menurut Supratomo (2011), berdasarkan ketentuan pidana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Tindak pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan/atau lingkungannya;
9
2) Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang
mengganggu dan merusak SDI di kapal perikanan;
3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran atau kerusakan SDI
dan/atau lingkungannya;
4) Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan;
5) Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah;
6) Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan
masyarakat;
7) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan ikan yang kurang dan/atau
tidak memenuhi syarat;
8) Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran hasil
perikanan dari atau ke wilayah negara Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat
kesehatan;
9) Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang
membahayakan manusia dalam melakukan pengolahan ikan;
10) Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa
SIUP;
11) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI;
12) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIKPI;
13) Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI;
14) Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa
izin;
15) Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan;
16) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing;
17) Tindak pidana tanpa memiliki surat persetjuan berlayar;
18) Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah;
19) Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi
ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan;
20) Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil; dan
tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan SDI yang dilakukan oleh
nelayan atau pembudidaya ikan kecil.
10
Penegakan hukum secara lebih rinci dijabarkan pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan. Kapal pengawasan perikanan pada Pasal 69 dijelaskan berfungsi untuk
melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam
wilayah pengelolaan perikanan RI, kapal juga dapat dilengkapi dengan senjata
api. Kapal dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang
diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di WPP RI ke pelabuhan
terdekat untuk proses lebih lanjut. Penyidik dan.atau pengawas perikanan dapat
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 71 memberikan jabaran bahwa akan bibentuk pengadilan perikanan
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang
perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Pengadilan akan
dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Dijelaskan pada Pasal 73 bahwa penyidik tindak pidana di bidang perikanan
di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau
penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada forum koordinasi
yang dibentuk oleh menteri dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan. Selain penyidik TNI AL, PPNS Perikanan berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
Penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan
perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan.
Wewenang penyidik perikanan sebagaimana Pasal 73A antara lain
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di
bidang perikanan, memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya, membawa dan menghadapkan seseorang sebagai
tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, menggeledah sarana dan
prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat
melakukan tindak pidana di bidang perikanan, menghentikan, memeriksa,
menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang perikanan, memeriksa kelengkapan dan
11
keabsahan dokumen usaha perikanan, memotret tersangka dan/atau barang bukti
tindak pidana di bidang perikanan, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan, membuat dan
menandatangani berita acara pemeriksaan, melakukan penyitaan terhadap barang
bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana, melakukan penghentian
penyidikan,dan mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat
dipertanggungjawabkan.
Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung hal ini sesuai dengan Pasal 75.
Pada Pasal 76A dapat dilihat bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam
dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persejutuan ketua pengadilan negeri,
dan pada Pasal 76B ayat 2 ditambahkan apabila berupa jenis ikan terlebih dahulu
disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Sedangkan
barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan
biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan
negeri sesuai yang tercantum dalam Pasal 76B ayat 1. Ditambahkan pada Pasal
76C bahwa benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan
dapat dilelang untuk negara. Pelaksana lelang dilakukan oleh badan lelang negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uang hasil pelelangan
disetor ke kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Aparat penegak hukum di
bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugas dengan baik dan pihak yang
berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam
PP. Sedangkan apabila benda yang dirampas berupa kapal perikanan dapat
diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.
Seluruh pelanggaran mengenai perikanan yang telah disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikananakan dikenakan sanksi pidana dengan
pembayaran denda minimal Rp.200.000.000,00 hingga Rp.20.000.000.000,00
dimana besaran denda ini ditentukan dengan melihat jenis pelanggaran yang
terjadi.
12
2.3 Wilayah Laut Indonesia
Indonesia menurut Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS ’82) memiliki
beberapa rezim laut yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan
dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan (Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara).
2.3.1 Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh
Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi Indonesia atau dapat
disebut juga sebutan wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki
kedaulatan mutlak atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya.
Wilayah ini meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial.
1) Perairan Pedalaman (Internal Waters).
Perairan pedalaman merupakan wilayah Indonesia dimana terdapat
kedaulatan mutlak dan kapal-kapal asing tidak mempunyai hak lintas. Perairan
Indonesia merupakan laut yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal, atau laut
yang terletak pada sisi darat dari garis penutup teluk di perairan kepulauan.
2) Perairan Nusantara atau Perairan Kepulauan (Archipelagic Water).
Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut yang terletak di antara
pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis pangkal, tanpa memperhatikan
kedalaman dan lebar laut tersebut. Kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan
prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran
intenasional kapal asing juga memiliki hak lintas melalui Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) atau sea lanes. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2002, Indonesia memiliki tiga ALKI. Hak lintas kapal asing berdasarkan
prinsip Lintas Damai dan ALKI memberdakan antara hak dan kewenangan antara
perairan pedalaman dan perairan nusantara.
3) Laut Teritorial (Territorial Sea).
Laut Teritorial merupakan wilayah perairan di luar perairan kepulauan
yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal pantai.
Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadapnya. Seperti halnya yang berlaku di
wilayah perairan kepulauan, kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan Lintas
Damai dan hak lintas berdasarakn ALKI.
13
2.3.2 Wilayah laut dengan hak berdaulat
Wilayah laut dengan hak berdaulat adalah wilayah laut dimana suatu negara
memiliki hak terhadap kekayaan alam yang dikandung serta memiliki
kewenangan untuk mengatur beberapa hal di wilayah tersebut.
1) Zona Tambahan (Contiguous Zone).
Zona tambahan ditetapkan sampai dengan 12 mil laut di luar laut teritorial
atau sampai dengan 24 mil laut diukur dari garis pangkal pantai terluar. Pada zona
ini Indonesia memiliki hak untuk dapat melaksanakan kewenangan tertentu dalam
mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai,
keuangan/fiskal, kerantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin
pelaksanaan hukum di wilayahnya.
2) Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economi Zone).
Konvensi hukum laut 1982 Pasal 55 dan 56 ayat (1a) menyebutkan bahwa
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial. Lebar ZEE tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal
pantai terluar. Indonesia di perairan ZEE memiliki hak berdaulat atas eksplorasi
dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati
maupun non hayati yang terdapat di kolom perairan. Hak berdaulat lainnya adalah
berkenaan dengan kegiatan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi
seperti produk energi dari air, arus, dan angin. Indonesia juga memiliki kewajiban
untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah
kelautan, serta memberikan izin pembangunan pulau buatan, instalasi, dan
bangunan laut lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan dasar hukum untuk
mengatur wilayah ini yakni pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
ZEEI. Zonasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982
14
3) Landas Kontinental (Continental Shelf).
Landas kontinen merupakan wilayah dimana suatu negara pantai memiliki
kewenangan atas kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di
bawahnya. Daerah di bawah permukaan yang terletak di luar laut teritorial,
sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinental
(continental margin), atau hingga jarak 200 mil dari garing pangkal dari lebar laut
teritorial diukur. Negara pentai diperbolehkan untuk menetapkan batasan luar
landas kontinental lebih dari 200 mil dengan ketentuan:
(1) Lebar maksimum tidak boleh lebih dari 350 mil laut diukur dari garis
pangkal;
(2) Tidak melebihi 100 mil laut diukur dari garis kedalaman 2500 m;
(3) Tidak melebihi lebar 60 mil laut dari kaki lereng kontinen;
(4) Garis terluar dengan titik-titik ketebalan batu endapan adalah paling sedikit
1% dari jarak terdekat antara titik-titik terluar dan kaki lereng kontinen.
2.3.3 Wilayah laut tanpa kedaulatan wilayah
Wilayah laut tanpa kedaulatan adalah wilayah dimana negara tidak memiliki
kewenangan. Wilayah ini meliputi perairan laut lepas dan kawasan dasar laut
dalam Internasional
1) Laut Lepas (High Seas).
Laut lepas merupakan bagian laut yang bukan wilayah negara maupun
ZEE. Jadi Indonesia tidak memiliki kedaulatan atau hak berdaulat terhadapnya.
Laut lepas bersifat terbuka, yakni terdapat kebebasan berlayar, penerbangan,
memasang kabel dan pipa di dasar laut, membangun pulau buatan dan instansi
lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, menangkan ikan
hingga riset ilmiah. Kebebasan ini harus memperhatikan kepentingan negara lain
di laut lepas dan memperhatikan hak-hak dalam konvensi hukum laut 1982 yang
bertalian dengan kegiatan kawasan.
2) Kawasan Dasar Laut Dalam Internasional (Internasional Sea-Bed Area).
Dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional.
Kekayaan alamnya diperuntukan bagi warisan umum umat manusia (common
heritage of mankind).
15
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT)
Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam
pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat melihat seluruh kemungkinan
perubahan masa depan sebuah organisasi melalui pendekatan sistematik dengan
proses intropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negatif.
Metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) bagi pelaksanaan
kebijakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, SWOT mengandung prinsip
“kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap peluang, dan hilangkan
ancaman”. Kerangka formulasi strategis dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengumpulan Data 1) Faktor internal
Analisis data (Matriks SWOT)
Pengambilan keputusan
2) Faktor Eksternal
Gambar 2 Kerangka formulasi strategis
Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang mempengaruhi suatu
organisasi dalam pengambilan suatu keputusan. Keunggulan-keunggulan yang
dimiliki akan dijadikan suatu kekuatan dalam perumusan suatu kebijakan.
Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada digunakan sebagai pertimbangan
untuk memperbaiki kinerja yang akan atau sedang dijalankan.
Faktor eksternal merupakan aspek diluar organisasi yang mampu memberi
pengaruh nyata terhadap proses penyusunan suatu kebijakan. Faktor ini meliputi
peluang dan ancaman dari pelaksanaan kebijakan yang diambil. Aspek sosial,
politik, ekonomi, budaya, demografi dan teknologi erupakan hal yang sangat
penting dalam perumusan kebijakan yang digunakan untuk pengembangan
perikanan tangkap.
16
Peluang
3. Mendukung strategi turn around 1. Mendukung strategi agresif
Kelemahan Kekuatan
4. Mendukung strategi defensif 2. Mendukung strategi diversifikasi
Ancaman
Gambar 3 Analisis SWOT (Rangkuti 2005)
Keterangan :
Kuadran 1 : Pada kuadran satu merupakan situasi yang menguntungkan,
dimana lembaga penegak hukum mempunyai peluang dan
kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan fungsi
pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan disituasi ini
adalah kerjasama pengadaan kapal patroli oleh lembaga
Internasional;
Kuadran 2 : Pada kuadran dua merupakan situasi terdapatnya ancaman, namun
masih terdapat kekuatan internal yang mendukung dalam
menjalankan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat
diterapkan adalah penempatan kapal patroli pada titik rawan
sering terjadi tindak pidana perikanan;
Kuadran 3 : Kuadran tiga menggambarkan bahwa lembaga penegak hukum
mempunyai peluang, akan tetapi masih terdapat kelemahan-
kelemahan yang harus dihadapi. Cocok strategi yang dapat
diterapkan adalah penguatan lembaga masyarakat untuk
membantu pengawasan;
Kuadran 4 : Kuadran keempat merupakan situasi yang sangat tidak
menguntungkan karena dalam dalam menjalankan fungsi
pengawasan terdapat berbagai kelemahan yang berasal dari pihak
17
internal dan juga terdapat ancaman-ancaman dari pihak eksternal.
Contoh strategi yang dapat dijalankan adalah menjalankan
operasional yang sudah dijalankan selama ini.
Keputusan yang dihasilkan merupakan suatu strategi dilaksanakan sesuai
dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan:
1) Strategi SO : Strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan unuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;
2) Strategi ST : Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk
mengatasi ancaman;
3) Strategi WO : Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk
meminimalkan kelemahan yang ada;
4) Strategi WT : Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan)
dan eksternal (ancaman dan peluang).
Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal
Faktor internal Faktor Eksternal Kekuatan ............ ............
Kelemahan ............ ............
Ancaman ............ ............ Peluang ............. .............
Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan
Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Menurut Rangkuti (2005) pembuatan matriks
dilakukan sebagai berikut:
1) Pada kolom satu tabel diisi dengan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan
kelemahan (matriks strategi internal) serta peluang dan ancaman (matriks
strategi eksternal);
2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom 2, dimulai dari 0,0 (tidak
penting) hingga 1,0 (sangat penting);
3) Pada kolom tiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari 4
(pengaruhnya sangat besar) sampai 1 (pengaruhnya sangat kecil). Untuk
18
ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan
sangat besar, maka diberi nilai 1 sedangkan apabila ancaman dan
kelemahannya sangat kecil maka nilainya 4 ;
4) Pada kolom 4 diisi perkalian antara bobot dengan rating;
5) Jumlahkan total skor yang didapatkan dari kolom 4.
Nilai total yang dihasilkan akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu
organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada.
Perhitungan nilai dimulai dari skala 1 sampai dengan skala 4.
Tabel 2 Faktor Strategi Internal (IFAS)
Faktor Internal Bobot Rating Bobot x rating
1. Kekuatan ..... ..... 2.Kelemahan ..... .....
Tabel 3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Faktor Eksternal Bobot Rating Bobot x rating
1. Peluang ..... ..... 2.Ancaman ..... .....
Tahap ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel
strategi SWOT.
Tabel 4 Tabel SWOT
IFAS
EFAS Oportunities (O)
Strengths (S) .................. .................
Weaknesses (W) .................. ...................
............... ..............
Threats (T) ................. .................
Strategi SO Strategi WO
Strategi ST Strategi WT
19
Pada analisis SWOT, semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang
diperoleh dalam perhitungan maka kebijakan yang ditetapkan semakin tepat. Hal
ini memberikan pengertian bahwa kebijakan tersebut dapat mengatasi adanya
kelemahan dan ancaman yang ada. Sebaliknya, bila semakin kecil nilai totalnya,
maka kebijakan yang dilaksanakan kemungkinan besar akan memberikan dampak
yang tidak memuaskan bagi objek yang menjadi sasaran pelaksanaan kebijakan.
2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM)
Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan
untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada.
QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai
secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis
eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM
menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang disasarkan sampai
seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci
dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi
dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor
keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi
alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun
suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian
tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM
membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot
secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan
sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil
sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang
baik untuk organisasi (David, 2003).
2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan
2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Maret 1980
mengeluarkan pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif
20
Indonesia (ZEEI). Undang-undang ini didasari atas pentingnya melindungi
kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani
bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan
sumberdaya alam non hayati, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut serta
penelitian ilmiah kelautan. Pengembangan ZEEI juga dimaksud untuk melindungi
kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta
penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumberdaya
alam di zona tersebut.
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia merupakan jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (Pasal 2). Hak berdaulat dapat dilihat
pada Pasal 4, bahwa Indonesia berhak melakukan kegiatan di ZEEI, antara lain
Indonesia berhak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumberdaya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di
bawahnya serta air di atasnya, pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin.
Indonesia berhak atas juridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan
penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainnya, penelitian ilmiah
mengenai kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan
kabel dan pipa bawah laut juga diakui dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku. Selain bahwa kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi
yang dilakukan harus berdasarkan izin dari Pemerintah RI atau berdasarkan
persetujuan Internasional dengan Pemerintah RI dan dilaksanakan menurut syarat-
syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut, kegiatan tersebut juga
harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan
oleh Pemerintan RI. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumberdaya alam hayati dapat
diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah RI untuk
jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia hal ini berdasarkan BAB IV tentang
kegiatan-kegiatan di ZEEI Indonesia.
21
Aparatur penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan Pasal 13, dapat
melakukan tindakan berupa penangkapan terhadap kapal dan/atau orang yang
diduga melakukan pelanggaran di ZEEI yang meliputi tindakan penghentian kapal
sampai menyerahkan kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan dimana perkara
dapat diproses lebih lanjut. Tindakan penangkapan oleh aparatur penegakan
hukum ini harus dilaksanakan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka
waktu tujuh hari kecuali bila terdapat keadaan mendesak.
Pasal 14 menjabarkan bahwa aparatur penegak hukum adalah Perwira
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang ditunjuk oleh
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengadilan yang
berwenang adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan
dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang yang melanggar
tersebut.
Pasal 15 menjelaskan bahwa permohonan pembebasan terhadap pihak yang
melanggar tersebut dapat dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari
pengadilan negeri yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan apabila sudah
menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan
oleh pengadilan. Ketentuan pidana dapat dilihat pada Pasal 16 dicabut, hal ini
berdasarkan Pasal 110 ayat (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
2.6.2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia antara lain:
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakkan hukum; dan
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok pada
Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas antara lain:
1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
22
2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian;
12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 dikatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya,
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan.
Tindakan bertujuan untuk membantu tugas Kepolisian Begara Republik Indonesia
dalam memberantas tindak kejahatan yang ada. Tindakan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
23
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
8) Mengadakan penghentian penyidikan;
9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
Mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan
12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang juga merupakan pengganti
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Hal ini dikarenakan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tersebut belum sepenuhnya mampu mengantisipasi
perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Selain itu, undang-undang ini disahkan
juga dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum memberikan
peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan
perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal.
Pasal 5 menerangkan bahwa Wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan budidaya ikan meliputi perairan
Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
24
dapat diusahakan sebagai lahan budidaya ikan. Pengelolaan perikanan di luar
wilayah tersebut dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.
Dijelaskan pada Pasal 8 bahwa setiap orang baik nakhoda atau pemimpin
kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, Anak Buah Kapal (ABK) yang
melakukan penangkapan ikan, pemilik kapal, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan serta
pemilik perusahaan pembididaya ikan, kuasa pemilik perusahaan ikan, dan/atau
penanggung jawab perusahaan pembudidaya ikan yang melakukan usaha
pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bengunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WWP
Republik Indonesia. Penggunaan alat, cara, bangunan dan bahan-bahan tersebut
diperbolehkan hanya untuk penelitian yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan selanjutnya pada Pasal 9 bahwa setiap orang dilarang memiliki,
menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumberdaya ikan di kapal penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai API dan/atau alat bantu penangkapan ikan tersebut diatur
dengan peraturan menteri.
Pada Pasal 12 dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau
lingkungannya di WPP Republik Indonesia. Setiap orang juga dilarang
membudidayakan ikan, membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika dan
menggunakan obat-obatan dalam pembudidayakan ikan yang dapat membahakan
sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia di
WPP Republik Indonesia yang lebih lanjut akan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Ketentuan larangan selanjutnya pada Pasal 16 bahwa setiap orang dilarang
memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara
ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumberdaya ikan, dan/atau
lingkungan sumberdaya ikan ke dalam dan/atau ke laut WPP Republik Indonesia
25
yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Ikan hasil
tangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi standar mutu dan keamanan
hasil perikanan hal ini ada pada Pasal 20 ayat (6).
Dijelaskan pada Pasal 26, bahwa setiap orang yang melakukan usaha
perikanan di bidang penengkapan, pembudidaya ikan, pengangkutan, pengolahan,
dan pemasaran ikan di WPP RI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP) dimana kewajiban ini tidak berlaku untuk nalayan kecil dan/atau
pembudidaya ikan kecil. Ditambahkan pada Pasal 27 ayat (1), bahwa setiap orang
yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera
Indonesia yang digunakan untuk penangkapan ikan di WPP RI dan/atau laut lepas
wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), namun SIPI ini tidak berlaku
untuk nelayan kecil seperti dijelaskan pada ayat 5 Pasal yang sama. Kemudian
pada ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. Pada ayat (3) kembali
diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan
berbendera Indonesia di WPP RI atau mengoperasikan kapal asing di ZEEI wajib
membawa SIPI asli. Sedangkan pada ayat (4) dijabarkan bahwa kapal
penangkapan ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkpan ikan di
wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah.
Menurut Pasal 28 ayat (1), bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal pengangkutan ikan berbendera Indonesia di WPP Republik
Indonesia wajib memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), namun
SIKPI ini tidak berlaku untuk nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil
seperti dijelaskan pada ayat (4) Pasal yang sama. Kemudian pada ayat (2)
dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkutan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan
pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Pada ayat
(3) kembali diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal
pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli. Pada
26
Pasal 28A ditekankan bahwa setiap orang dilarang memalsukan dan
menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.
Pasal 29 menjelaskan bahwa usaha perikanan di WPP RI hanya boleh
dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Pengecualian
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban RI
berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang
berlaku. Pada Pasal 30 dikatakan bahwa pemberian SIUP kepada orang dan/atau
badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian
perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah RI dan
Pemerintah negara bendera kapal. Perjanjian ini harus mencantumkan kewajiban
Pemerintah negara berbendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan
orang atau badan hukum negara berbendera kapal untuk mematuhi perjanjian
perikanan tersebut. Selain itu Pemerintah RI juga menetapkan peraturan mengenai
pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang
beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan
lainnya.
Dijelaskan pada Pasal 35A ayat (1) bahwa kapal perikanan berbendera
Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di WPP RI wajib menggunakan
nakhoda dan ABK berkeluarganegaraan Indonesia. Sedangkan pada ayat 2
ditambahkan bahwa kapal perikanan berbendera saing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan ABK berkewarganegaraan
Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah ABK. Pelanggaran terhadap kapal
perikanan berbendera asing tentang ABK ini dapat dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin dimana mengenai
pengenaan sanksi administratif diatur dalam peraturan pemerintah, hal ini
terdapat pada ayat (3) dan (4).
Ketentuan pada Pasal 38 ayat 1 bahwa setiap kapal penangkapan ikan
berbendera asing yang tidak memiliki SIUP selama berada di WPP RI wajib
menyimpan API di dalam palka. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa kapal
penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki SIUP dengan satu jenis
API tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa API lainnya.
27
Sedangkan pada ayat (3) menambahkan bahwa setiap kapal penangkapan ikan
berbendera asing yang telah memiliki SIUP wajib menyimpan API dalam palka
selama berada di luar daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang diizinkan di
WPP RI. Pada Pasal 39 dijelaskan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera
Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 jenis
API yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah
penangkapan ikan.
Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa setiap kapal
perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi
kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya setelah dipenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis, dimana mengenai persyaratan
administrasi dan kelayakan teknis diatur dalam peraturan menteri. Pada Pasal 44
ayat (1) surat persetujuan berlayar juga harus dimiliki oleh kapal perikanan sesuai
dengan Pasal 42 ayat (2) yang dikeluarkan oleh syahbandar pelabuhan setelah
kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.
Pungutan perikanan diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa setiap
orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya ikan dan
lingkungannya di WPP RI dan di luar WPP RI dikenakan pungutan perikanan.
Pungutan ini merupakan penerimaan negara bukan pajak dan tidak dikenakan bagi
nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Sesuai dengan Pasal 49, setiap orang
asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI juga dikenakan pungutan
perikanan. Pada Pasal 50 dijelaskan bahwa pungutan perikanan digunakan untuk
pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan
lingkungannya. Ketentuan mengenai pungutan perikanan diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah sesuai dengan Pasal 51.
Dijelaskan pada Pasal 66 bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh
pengawas perikanan. Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang
meliputi kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, perbenihan,
pengolahan, distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar
masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma
nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan,dan ikan hasil rekayasa genetik.
28
Dilanjutkan pada Pasal 66A bahwa pengawas perikanan merupakan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk, mereka dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) perikanan. Pengawas perikanan yang dimaksud dapat
ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas perikanan yang diatur pada
peraturan menteri.
Pasal 66B menjabarkan bahwa pengawas perikanan melaksanakan tugasnya
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kapal perikanan, pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk,
pelabuhan tangkahan, sentra kegiatan perikanan, area pembenihan ikan, area
pembudidayaan ikan, unit pengolahan ikan, dan/atau kawasan konservasi
perairan. Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas diatur dalam peraturan menteri.
Wewenang pengawas perikanan terdapat pada Pasal 66C antara lain memasuki
dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan, memeriksa kelengkapan dan
keabsahan dokumen usaha perikanan, memeriksa kegiatan usaha perikanan,
memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan,
memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI, mendokumentasikan
hasil pemeriksaan, mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk
keperluan pengujian laboratorium, memeriksa peralatan dan keaktifan sistem
pemantauan kapal perikanan, menghentikan, memeriksa, membawa, menahan,
dan menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan
tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di
pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik,
menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan tindakan khusus
terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau
membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal
perikanan, dan/atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab. Pengawas perikanan dalam melaksanakan tugasnya dapat dilengkapi
dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
29
Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan
hal ini sesuai dengan Pasal 67. Pasal 68 dikatakan bahwa Pemerintah mengadakan
sarana dan prasarana pengawasan perikanan.
2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 20004 tentang
Tentara Nasional Indonesia disebutkan bahwa Angkatan Laut yang merupakan
bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas antara lain:
1) Melaksanakan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) matra laut di bidang
pertahanan;
2) Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional
sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi;
3) Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung
kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
4) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan
matra laut; dan
5) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan. Keputusan Menteri merupakan kesepakatan bersama antara Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diwakili oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan dengan Kepolisian Negara yang diwakili oleh Kepala Kepolisian
Negara. Kesepakatan ini didasari bahwa pihak DKP merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan
budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
riset kelautan dan perikanan. Sedangkan pihak kepolisian merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban msayarakat,
menagakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta melindungi kepentingan nasional. Salah satu tujuan dari
30
kesepakatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 adalah meningkatkan
kooordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum terhadap
tindak pidana yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di wilayah
perairan Indonesia.
Beberapa kesepakatan yang dapat diambil antara lain adalah bahwa dalam
rangka mendorong dan mengembangakn sistem pengamanan di lingkunagn DKP,
maka Kepolisian menyiapkan tenaga pelatih profesional guna melakukan
pembinaan dan pelatihan satuan pengamanan yang dimiliki jajaran DKP. Pihak
Kepolisian juga membantu piranti lunak dan keras untuk meningkatkan sarana
dan prasarana dalam rangka pelaksanan sistem pengawasan. Dalam rangka
peningkatan kemampuan Penyidik Pegawai Begeri Sipil (PPNS) DKP, maka
kepolisian dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesuai Pasal 4.
Bidang operasional pada Pasal 5 dikatakan bahwa DKP dan kepolisian
mendahulukan tindakan preventif dan persuasif dalam menangani kasus-kasus
yang merugikan atau mengganggu pelaksanaan tugas dibidang kelautan dan
perikanan, sepanjang tidak atau belum dikategorikan tindakan pidana. Pasal 6 dan
Pasal 7 melanjutkan bahwa kedua pihak dapat saling memberitahukan mengenai
informasi adanya perbuatan dari pihak tertentu yang merugikan dan/atau
mengganggu pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan. Informasi
tersebut dapat disampaikan oleh jajaran DKP kepada jajaran Kepolisian setempat
untuk ditendak lanjuti yang dalam prosesnya DKP wajib membantu Kepolisian.
Tindak lanjut pada Pasal 8, apabila terjadi tindak pidana membuat
kepolisian memerlukan penyitaan barang bukti berupa dokumen kelautan dan
perikanan, dapat meminta bantuan kepada DKP. Pelanggaran yang memerlukan
kesaksian dari pejabat DKP atau dinas, maka pemanggilan sebagai saksi
disampaikan kepada yang bersangkutan di tingkat pusat melalui menteri KP dan
di tingkat Daerah melalui dinas, kabupaten/kota yang bersangkutan. Pejabat dapat
menunjuk anggota yang membidangi permasalahannya atau apabila diperlukan
dapat memberikan keterangan tertulis.
31
2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Pasal 1 mengatakan bahwa guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas
penyidik dan untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data, informasi
dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi
penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana di bidang perikanan secara
terpadu, dibentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang
Perikanan. Dilanjutkan pada Pasal 2 dikatakan bahwa Forum tersebut mempunyai
tugas mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak
pidana di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait
agar efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan.
Pasal 3 menjelaskan bahwa forum menyelenggarakan fungsi antara lain:
1) Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan;
2) Identifikasi, jenis, modus operandi, volume/frekwensi, dan penyebaran praktik-
praktik tindak pidana di bidang perikanan;
3) Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk
diproses secara bertahap;
4) Penyuluh dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjasinya tindak
pidana di bidang perikanan;
5) Identifikasi, pengukuran, dan analisis signifikansi tindak pidana di bidang
perikanan secara periodik;
6) Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan
tindak pidana di bidang perikanan;
7) Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di bidang
perikanan;
8) Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana
di bidang perikanan; dan
9) Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di
bidang perikanan secara berkelanjutan.
Susunan anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang
Perikanan pada Pasal 4 adalah sebagai berikut:
32
1) Ketua : Menteri Kelautan dan Perikanan
2) Wakil Ketua I : Kepala Kepolisian Negara RI
3) Wakil Ketua II : Kepala Staf TNI AL
4) Sekretaris I merangkap anggota : Direktur Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, DKP
5) Sekretaris I merangkap anggota :Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Kepolisian Negara Republik Indonesia
6) Anggota :
(1) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung
(2) Asisten Operasi Kepala Staf TNI AL
(3) Direktur Jendral Imigrasi, Departeman Hukum dan HAM
(4) Direktur Jendral Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan
(5) Direktur Jendral Bea dan Cukai, Departemen Keuangan
(6) Direktur Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(7) Direktur Pidana, Mahkamah Agung
(8) Direktur Polisi Parairan, Badan Pembinaan Keamanan, Mabes Polri
Pasal 5 menjelaskan bahwa untuk mendukung tugas forum, dibentuk tim
teknis sesuai dengan kebutuhan yang keanggotaannya terdiri dari instansi terkait
dan ditetapkan oleh ketua forum. Tim bertugas menyampaikan laporan dan
bertanggung jawab kepada ketua forum. Pada Pasal 6 dilanjutkan bahwa forum di
daerah ditetapkan oleh gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk
kabupaten/kota. Keanggotaan forum di daerah terdiri dari instansi terkait di
provinsi atau kabupaten/kota setempat. Pembiayaan dijabarkan pada Pasal 8 yaitu
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) DKP.
33
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dengan judul “Analisis Hukum dan Kelembagaan
Penegakan Hukum di Bidang Perikanan” akan dilaksanakan pada bulan Maret
hingga Juni 2012 di kantor lembaga penegak hukum PSDKP Gambir Jakarta
Selatan, Polisi Perairan Tanjung Priuk Jakarta Utara dan Markas Besar Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut Cilangkap Jakarta Timur.
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.2.1 Metode pengumpulan data
Data yang akan diambil dalam penelitian ini adalah data terkait pengawasan.
Data bersifat primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian
kuisioner, dan wawancara dengan pihak terkait. Sedangkan data sekunder
diperoleh studi pustaka terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, serta
akses internet melalui situs-situs yang terkait dengan penelitian.
3.2.2 Pengolahan data
Gambar 4 Kerangka pemikiran
Identifikasi isu permasalahan dilakukan. Penelitian menggunakan dengan
menggunakan tiga analisis, yaitu analisis kelembagaan atau analisis tupoksi,
34
analisis hukum atau analisis peraturan perundang-undangan dan analisis kebijakan
atau analisis SWOT dan matriks QSPM. Setelah dianalisis akan didapatkan
efektifitas kelembagaan penegakan hukum.
3.3 Metode Analisis Data
3.3.1 Analisis kelembagaan
Analisis kelembagaan yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis
tupoksi. Tupoksi dari masing-masing kelembagaan penegak hukum di
deskripsikan lebih jelas, dijabarkan mengenai ranah kerja dari tiap kelembagaan.
Analisis digunakan untuk menjawab tujuan yang berkaitan dengan tugas pokok
dan fungsi dari masing-masing lembaga penegak hukum.
3.3.2 Analisis hukum
Analisis hukum digunakan untuk menilai berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Analisis digunakan untuk menjabarkan tumpang tindih
kewenangan antar lembaga penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan
landasan hukumnya. Ketiga lembaga penegakan hukum yaitu Polisi, TNI AL, dan
PSDKP diteliti dengan menggunakan dua variabel, yaitu variabel kewenangan dan
variabel kewilayahan.
1) Variabel Kewenangan
Variabel kewenangan ini bertujuan untuk melihat uraian dasar hukum dari
masing-masing lembaga. Dasar hukum yang digunakan antara lain Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Kesepakatan Bersama antara
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol:
B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
35
Tabel 5 Variabel kewenangan
Dasar Hukum Lembaga Polisi TNI AL PSDKP
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
2) Variabel Kewilayahan
Variabel kewilayahan ini bertujuan untuk melihat uraian wilayah operasi
secara geografis dari masing-masing lembaga. Wilayah operasi secara geografis
tersebut terbagi atas perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan
ZEEI. Variabel kewilayahan juga dianalisis dengan menggunakan enam dasar
hukum seperti variabel kewenangan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004, Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No:
10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum
di Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
36
Tabel 6 Variabel kewilayahan
Wilayah Lembaga Perairan Perairan Laut
Pedalaman Kepulauan Teritorial ZEEI Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan 3.3.3 Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan menggunakan analisis Strengths, Weaknesses,
Opportunities, and Threats (SWOT) dan matriks Quantitative Strategic Planning
Management (QSPM).
1) Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT)
Analisis digunakan untuk memberikan rekomendasi efektifitas penegakan
hukum. Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam
pengambilan keputusan. Seperti diutarakan sebelumnya pada tinjauan pustaka
bahwa metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats).
Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan)
dan eksternal (ancaman dan peluang) masing-masing lembaga. Setelah didapatkan
37
dari ketiga lembaga tersebut, kemudian disatukan. Hal ini bertujuan untuk
menentukan strategi bersama.Tahapan kedua yaitu pembuatan matriks Faktor
Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Proses pengisian
dapat dilihat pada paparan sebelumnya di tinjauan pustaka.
Nilai total yang dihasilkan akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu
organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada.
Perhitungan nilai dimulai dari skala 1 sampai dengan skala 4. Kriteria nilai adalah
sebagai berikut:
1) Lembaga penegakan hukum sangat tidak dapat diandalkan untuk melakukan
fungsi pengawasan karena faktor internal dan eksternal sangat tidak
mendukung;
2) Lembaga penegakan hukum tidak dapat diandalkan untuk melakukan fungsi
pengawasan karena masih banyak faktor yang belum mendukung;
3) Lembaga penegakan hukum dapat diandalkan untuk melakukan fungsi
pengawasan karena banyaknya faktor pendukung meskipun masih ada
beberapa faktor yang kurang mendukung;
4) Lembaga penegakan hukum sangat dapat diandalkan untuk melakukan fungsi
pengawasan karena faktor internal dan eksternal sangat mendukung dalam
pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil.
Tahapan ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel
strategi SWOT. Semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh dalam
perhitungan maka kebijakan strategi alternatif yang ditetapkan semakin tepat bagi
lembaga penegakan hukum.
2) Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM)
Langkah-langkah dalam membuat matriks QSPM adalah sebagai berikut :
1) Buatlah daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan
internal kunci di kolom kiri QSPM.
2) Berilah bobot pada setiap faktor internal dan eksternal kunci.
3) Periksalah matriks-matriks pencocokan dan kenalilah strategi-strategi
alternatif yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan.
4) Tentukan nilai daya tarik (AS). Cakupan daya tarik adalah : 1 = tidak
menarik; 2 = agak menarik; 3 = wajar menarik; 4 = sangat menarik.
38
5) Hitunglah nilai total daya tarik (WS). Total nilai daya tarik didefinisikan
sebagai hasil mengalikan bobot dengan daya tarik di masing-masing baris.
6) Hitunglah jumlah total nilai daya tarik. Jumlahkan total nilai daya tarik di
masing-masing kolom strategi QSPM, jumlah total nilai daya tarik
mengungkapkan strategi yang paling menarik (David, 2003).
Pada analisis QSPM umumnya sama seperti pada analisis SWOT. Semakin
tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh maka prioritas kebijakan strategi
alternatif yang ditetapkan semakin baik. sebaliknya apabila nilai yang diperoleh
kecil, maka prioritas kebijakan strategi alternatif kurang baik.
39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kelembagaan
4.1.1 Polair
Objek analisis kelembagaan adalah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pada
masing-masing kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan. Menurut
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, tugas pokok dan fungsi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yaitu meliputi:
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakan hukum; dan
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Apabila melihat dari sejarah hukum Polair, Polair dibentuk berdasarkan
keputusan Menteri Dalam Negeri No.4/2/3/Um, tanggal 14 Maret 1951 tentang
Penetapan Polisi Perairan sebagai Bagian dari Djawatan Kepolisian Negara
terhitung mulai tanggal 1 Desember 1950. Berdasarkan kedua dasar hukum ini
dapat diperjelas bahwa seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau
yang tersebar di tengah hamparan laut Indonesia yang sangat luas merupakan
tugas dari Polair untuk memelihara keamanan dan ketertiban serta penegakan
hukum.
4.1.2 TNI AL
Tugas pokok dan fungsi TNI AL berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1) Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
2) Menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi
nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional
yang telah diratifikasi;
3) Melaksanakan tugas diplomasi AL dalam rangka mendukung kebijakan
politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
4) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan
matra laut; dan
40
5) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Tugas pokok TNI secara umum dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1) yaitu
pada intinya menegakan kedaulatan dan mempertahankan keutuhan wilayah
NKRI dari ancaman dan gangguan. Pada ayat (2) dijabarkan bahwa tugas pokok
dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan selain perang. Ditambahkan
pada operasi militer selain perang diantaranya adalah membantu kepolisian dalam
rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-
Undang. Berdasarkan dasar hukum ini, dapat dijelaskan bahwa terdapat kalimat
keamanan pada Pasal 9 ayat (2) di wilayah laut. Hal ini harus diperjelas agar tidak
terjadi tumpang tindih dengan lembaga lain seperti Polair.
4.1.3 KKP
Tugas pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat
dilihat dari Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan Nomor: KEP 307/DJ-PSDKP/2011 Tentang Penetapan Pengawas pada
Unit Pelaksana Teknis, Satuan Kerja dan Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan. Keputusan Dirjen tersebut pada urutan kedua mengatakan bahwa
pengawas perikanan melaksanakan tugas pengawasan untuk kegiatan:
1) Penangkapan ikan;
2) Pembudidayaan ikan, pembenihan;
3) Pengolahan, distribusi keluar masuk ikan;
4) Distribusi keluar masuk obat ikan;
5) Konservasi;
6) Pencemaran akibat perbuatan manusia;
7) Plasma nutfah;
8) Penelitian dan pengembangan perikanan;
9) Ikan hasil rekayasa genetika;
10) Pengusahaan dan pemanfaatan pasir laut;
11) Pemanfaatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta benda
berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) berkoordinasi dengan
instansi terkait; dan
12) Tugas lainnya yang diberikan oleh pimpinan.
Kekuatan Matra Laut √
Pertahanan Laut √
41
Berdasarkan ketiga tupoksi lembaga penegakan hukum dapat dilihat bahwa
ketiganya memiliki persamaan tupoksi namun ada juga perbedaannya. Tabel
persamaan dan perbedaan tupoksi ketiga lembaga tersebut dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7 Tupoksi Lembaga Penegakan Hukum
No. Tupoksi Lembaga Polisi TNI AL PSDKP
1. Keamanan √ √ 2. Ketertiban √ 3. Penegakan Hukum √ √ √ 4. Pertahanan √ 5. Diplomasi √ 6. Pembangunan dan Pengembangan
7. Pemberdayaan Wilayah
8. Pengawasan Sumberdaya √ Sumber : Pengolahan data primer
Analisis tupoksi lembaga penegakan hukum juga dapat dilihat dengan
menggunakan diagram venn. Penggunaan diagram venn bertujuan untuk melihat
tupoksi yang beririsan satu lembaga dengan lembaga lain. Keterangan nomor pada
diagran venn mengikuti nomor tupoksi pada Tabel 7. Diagram venn didapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram Venn Tupoksi Lembaga Penegak Hukum
Berdasarkan diagram venn tersebut, dapat dilihat bahwa polisi memiliki
tumpang tindih tupoksi keamanan dengan TNI AL. Ketiga lembaga memiliki
tumpang tindih tupoksi penegakan hukum. Tupoksi ketertiban hanya dimiliki oleh
42
Polisi, begitupun dengan tupoksi pengawasan hanya dimiliki PSDKP. Lembaga
TNI AL juga memiliki tuposi yang berbeda dengan yang lain, antara lain
pertahanan, diplomasi, pembangunan dan pertahanan kekuatan matra laut, dan
pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Objek penegakan hukum Polisi secara geografis adalah daratan dan lautan.
Apabila dispesifikasi permasalahnnya, misalnya tindakan pencurian ikan, maka
polair merupakan lembaga yang bertugas untuk memproses secara hukum. TNI
AL dengan sangat jelas juga memiliki tugas dalam menegakan hukum di wilayah
laut nasional. Jadi apabila ada suatu pelanggaran di laut, maka TNI AL juga
merupakan lembaga yang bertugas untuk memprosesnya secara hukum. Pengawas
SDKP juga memiliki tugas penegakan hukum, walau tidak disebutkan secara
jelas, namun kegiatan yang disebutkan dalam Keputusan Dirjen merupakan
kegiatan yang apabila dilanggar, akan terjerat hukum. Sebagai contoh kegiatan
penangkapan ikan, apabila terjadi pelanggaran dalam kegiatan penangkapan ikan
maka dapat dikenakan sangsi hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni
dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dengan demikian jelas bahwa
ketiga lembaga tersebut memiliki tugas sama yakni penegakan hukum di wilayah
laut nasional.
4.2 Analisis Hukum
Analisis hukum menggunakan dua variabel, yakni variabel kewenangan dan
variabel kewilayahan.
4.2.1 Variabel kewenangan
Variabel kewenangan menggunakan enam dasar hukum, antara lain
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Kesepakatan Bersama antara
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol:
B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan,
dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005
43
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
Analisis variabel kewenangan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Analisis Variabel Kewenangan
Dasar Hukum Lembaga Polisi TNI AL PSDKP
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 13 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor Pasal 73 Pasal 73 Pasal 73 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 9 Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Pasal 1 Pasal 1
Pasal 4 Pasal 4 Pasal 4
PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
Sumber : Pengolahan data primer
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa masing-masing undang-undang
memberikan kewenangan yang sama ataupun tidak pada lembaga. Undang-
undang tentang perikanan memberikan kewenangan kepada ketiga
lembaga.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 hanya memberikan kewenangan kepada TNI AL. Pasal 14 undang-
undang tentang ZEEI menjelaskan bahwa aparatur penegak hukum di bidang
penyidikan di ZEEI adalah perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima
Angkatan Bersenjata RI. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
juga memberikan jabaran bahwa TNI AL memiliki tugas menegakkan hukum dan
menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan
44
hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Aparatur TNI AL
dalam menjalankan tugasnya memiliki wewenang berdasarkan Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 yaitu melakukan penangkapan terhadap kapal
dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI meliputi
tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-
orang tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses. Penyerahan
ini harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu tujuh
hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure. Ketentuan pidana diatur
pada Pasal 16 dan 17 yaitu apabila terdapat pelanggaran terhadap kegiatan di
ZEEI dipidana dengan denda setinggi-tingginya Rp. 225.000.000,-. Tindakan
yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang lingkungan hidup.
Kegiatan merusak atau memusnakan barang bukti yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp.
75.000.000,-.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 memberikan kewenangan kepada dua
lembaga yaitu Polisi, dan TNI AL. Pasal 13 dijabarkan bahwa tugas pokok
Kepolisian antara lain adalah menegakan hukum. Hal ini berarti bahwa polisi
bertangggung jawab dalam penegakan hukum di seluruh wilayah Republik
Indonesia termasuk wilayah laut. Pasal 41 menambahkan, dalam rangka
melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.13/MEN/2005 memberikan kewenangan kepada ketiga lembaga
yakni Polisi, TNI AL, dan PSDKP. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menjelaskan bahwa
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh PSDKP, perwira
TNI AL, dan pejabat Kepolisi Negara Republik Indonesia. Penyidik dapat
melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan yang kemudian Menteri
45
membentuk forum koordinasi tersebut. Wewenang penyidik disebutkan dalam
Pasal 73A antara lain:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di bidang perikanan;
2) Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar
keterangannya;
3) Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi
untuk didengar keterangannya;
4) Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dalam atau
menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
5) Menghentikan, memeriksa, menangkap, dan/atau menahan kapal dan/atau
orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
6) Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
7) Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
8) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak
pidana di bidang perikanan;
9) Membuat dan menandatangai berita acara pemeriksaan;
10) Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil
tindak pidana;
11) Melakukan penghentian penyidikan; dan
12) Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat
dipertanggungjawabkan.
Penyidikan sesuai dengan Pasal 73B undang-undang tentang perikanan
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lama tujuh
hari sejak ditemukan adanya tindak pidana. Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 hari. Apabila pemeriksaan
belum selesai dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 hari.
Apabila telah lewat 30 hari, maka penyidik harus mengeluarkan tersangka dari
tahanan. Namun apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi sebelum 30
hari, maka tersangka dapat segera dikeluarkan. Penyidik harus menyampaikan
hasil penyidikan kepada penuntut umum paling lama 30 hari sejak pemberitahuan
dimulainya penyidikan.
46
Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana
di Bidang Perikanan mengatakan bahwa forum tersebut mempunyai tugas
mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak pidana
di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait agar
efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan. Susunan anggota forum dijabarkan
pada Pasal 4 dengan Ketua adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua I
adalah Kepala Kepolisian Negera RI, dan Wakil Ketua II adalah Kepala Staf TNI
AL.
Keputusan Menteri merupakan kesepakatan bersama antara Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diwakili oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan dengan Kepolisian Negara yang diwakili oleh Kepala Kepolisian
Negara. Kesepakatan ini didasari bahwa pihak DKP merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan
budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
riset kelautan dan perikanan. Sedangkan pihak kepolisian merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta melindungi kepentingan nasional. Salah satu tujuan dari
kesepakatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 adalah meningkatkan
kooordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum terhadap
tindak pidana yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di wilayah
perairan Indonesia.
4.2.2 Variabel kewilayahan
Variabel kewilayahan juga dilihat dari enam dasar hukum seperti pada
variabel kewenangan. Kewilayahan secara geografis menggunakan empat wilayah
yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI. Analisis
variabel kewenangan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tahun 1983 tentang ZEEI TNI AL
Tahun 2004 tentang TNI TNI AL TNI AL TNI AL TNI AL
47
Tabel 9 Analisis Variabel Kewilayahan
Wilayah Lembaga Perairan
Pedalaman Perairan Kepulauan
Laut Teritorial ZEEI
Undang-Undang Nomor 5
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 ttg Perikanan
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
TNI AL PSDKP
Undang-Undang Nomor 34
Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003
Polisi PSDKP
Polisi PSDKP
Polisi PSDKP
atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
Polisi TNI AL PSDKP
TNI AL PSDKP
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Sumber : Pengolahan data primer
Ketiga lembaga memiliki wewenang berbeda-beda pada wilayah perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial dam ZEEI. Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1983 hanya memberikan kewenangan kepada TNI AL. Pasal 14 undang-
undang tersebut menjelaskan bahwa aparatur penegak hukum di bidang
penyidikan di ZEEI adalah perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima
Angkatan Bersenjata RI.
Penjabaran tentang variabel kewilayahan lembaga kepolisian, Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2002 Pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa kepolisian
48
dalam melaksanakan peran dan fungsi meliputi seluruh wilayah negara RI. Pada
penjelasan disebutkan bahwa wilayah negara RI adalah wilayah hukum
berlakunya kedaulatan penuh negara RI sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sementara itu, menurut Pasal 3, fungsi kepolisian dibantu
oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa. Pasal 41 menambahkan, dalam rangka melaksanakan
tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan
TNI yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini menjelaskan
bahwa Polisi dan TNI berwenang hingga laut teritorial.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menerangkan bahwa Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan
budidaya ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk,
rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan sebagai lahan budidaya
ikan. Pasal 73 menambahkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan dilakukan oleh PSDKP, perwira TNI AL, dan pejabat Kepolisi Negara
Republik Indonesia. Namun dikarenakan dasar hukum kepolisian mengatakan
bahwa wewenang kepolisian banya sampai laut teritorial, maka dapat disimpulkan
bahwa bahwa ketiga lembaga berwenang hingga wilayah laut teritorial sedangkan
ZEEI berwenang TNI AL dan PSDKP.
Pasal 9 (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
memberikan jabaran bahwa TNI AL memiliki tugas menegakkan hukum dan
menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan
hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Wilayah
yurisdiksi nasional yang dimaksud merupakan wilayah berdaulat penuh dan
wilayah hak berdaulat bagi Indonesia, hal ini didasari oleh ratifikasi Unclos 1982.
Maka TNI AL berwenang hingga ZEEI.
Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No:
10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum
di Bidang Kelautan dan Perikanan menjelaskan bahwa KKP adalah pihak yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan
49
budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
riset kelautan dan perikanan. Hal ini menekankan bahwa pada keputusan menteri
wilayahnya merujuk pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yakni hingga
ZEEI. Sedangkan pada analisis hukum variabel kewenangan disebutkan bahwa
pihak yang berwenang adalah Polisi dan PSDKP yang mewakili KKP. Tidak
terlepas pada dasar hukum ZEEI bahwa yang berwennag hanya TNI AL, maka
dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga yakni Polisi dan PSDKP memiliki
wewenang hingga laut teritorial.
Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana
di Bidang Perikanan mengatakan bahwa forum tersebut mempunyai tugas
mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak pidana
di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait agar
efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan. Susunan anggota forum dijabarkan
pada Pasal 4 dengan Ketua adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua I
adalah Kepala Kepolisian Negera RI, dan Wakil Ketua II adalah Kepala Staf TNI
AL. Tindak pidana perikanan yang dimaksud adalah seluruh pelanggaran yang
terjadi di WPP, yakni hingga ZEEI. Kembali mengingat bahwa hanya TNI AL
yang berwenang pada ZEEI maka dapat disimpulkan tiga lembaga Polisi, TNI
AL, dan PSDKP berwenang hingga laut teritorial sedangkan TNI AL hingga
wilayah ZEEI.
4.3 Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan dilakukan untuk memberikan rekomendasi strategi
alternatif efektifitas penegakan hukum serta prioritasnya yang selanjutnya dapat
dijadikan acuan dalam mengambil keputusan bagi lembaga penegak hukum.
Penentuan efektifitas ini menggunakan analisis SWOT (Strenght, Weakness,
Opportunities, dan Threats) dan matriks Quantitative Strategic Planning
Management (QSPM).
50
4.3.1 Analisis Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT)
Analisis SWOT dijalankan dengan lebih dulu menentukan faktor internal
dan eksternal. Hal ini digunakan juga untuk menentukan rekomendasi strategi
alternatif penegakan hukum.
1) Faktor Internal
Faktor internal berupa kekuatan (strength) yang didapat dari lembaga
penegak hukum.
(1) Sarana penunjang patroli
Sarana penunjang patroli merupakan bagian penting dalam mendukung
sumberdaya kelautan dan perikanan. Tanpa sarana yang memadai dan dapat
diandalkan, pengawasan tidak dapat dilakukan dengan optimal. Sarana penunjang
patroli antara lain alat utama sistem senjata (alusita), sistem pemantauan kapal
perikanan atau vessel monitoring system (VMS), borgol, seragam pengawas, peta,
pentungan, peratuan perundang-undangan dan lain-lain. Sarana penunjang ini
berfungsi agar lembaga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Senjata
digunakan untuk mengamankan diri apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
misalnya terjadi serangan baku tembak di laut. Vessel monitoring system (VMS)
berfungsi untuk menentukan posisi koordinat kapal. Fasilitas ini terdiri dari pusal
pemantauan kapal atau fishing monitoring system (FMS), transmitter VMS on-
line, dan transmitter VMS off-line. Hal ini berfungsi untuk mencatat posisi
penting misalnya posisi kapal yang melakukan pelanggaran penangkapan tanpa
surat izin. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri telah memasang
transmitter VMS on-line pada 4.168 unit kapal perikanan berukuran lebih dari 60
GT, dan transmitter VMS off-line pada 1500 unit kapal berukuran 30-60 GT
(KKP 2012). Peneliti mendapatkan informasi bahwa untuk senjata yang
menempel di atas kapal Polair hanya senjata RPD Kaliber 12,7.
(2) Satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah
Sistem pengawasan merupakan sistem terintergrasi antar wilayah. Lembaga
pengawasan memiliki satuan kecil yang bertempat di masing-masing daerah.
Mereka bertugas untuk mengamankan perairan laur di wilayahnya. Terdapat
satuan Polair di setiap Polda, Dinas Kelautan dan Perikanan di masing-masing
daerah dan penempatan armada perang siap tempur TNI AL pada titik terluar
51
Indonesia. Terdapat 31 Polair di setiap Polda hingga tahun 2011 yang dapat
dilihat pada Lampiran 1 (www.polair.or.id).
Selain Kepolisian, KKP juga memiliki satuan kewilayahan yang disebut
Dinas Kelautan dan Perikanan. Pada tingkat pengawasan, KKP juga memiliki
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Satuan Kerja (Satker) dan Pos Pengawasan SDKP
yang tersebat diseluruh Indonesia. Daftar Dinas Kelautan dan Perikanan dapat
dilihat pada Lampiran 2 (www.kkp.go.id) dan daftar UPT Satker dan Pos
Pengawasan SDKP Lampiran 3 (KKP 2012).
Apabila KKP memiliki Dinas Kelautan dan Perikanan dan Polisi memiliki
Polair di setiap daerah untuk menjalankan fungsi pengawasannya, maka TNI AL
juga memilikinya namun berbeda. TNI AL menggunakan sistem militer (show of
force). Sistem militer ini merupakan sistem sistem yang selam ini dipercaya untuk
menjaga pulau-pulau kecil terluar. Selain itu dapat juga digunakan untuk menjaga
perikanan setempat dari illegal fishing dan destruktive fishing. Shof of force
dilaksanakan dengan menempatkan kekuatan militer seperti personil TNI AL dan
armada perang berupa kapal laut dan alusita (Paonganan 2010).
(3) Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung
Unsur penting lain dari pengawasan adalah personil atau SDM. Masing-
masing lembaga tentu memilikinya, seperti satuan pengawas pada PSDKP,
personil Polair dan perwira TNI AL. Personil yang ada menentukan kesuksesan
dari kegiatan pengawasan yang dilakukan. Jumlah perwira TNI AL hingga tahun
2009 berjumlah 74.963 orang (Tempo 2010). Sedangkan untuk Polair memiliki
jumlah personil sebanyak 1666 orang.
Jumlah awak kapal atau personil patroli PSDKP dari tahun 2007 hingga
tahun 2011 selalu mengalami penambahan. Tahun 2007 sebanyak 215, 2008
sebanyak 252, 2009 sebanyak 313, 2010 sebanyak 340 dan tahun 2011 sebanyak
346 personil (KKP 2011). Pembagian personil patroli berdasarkan kapal
pengawasan dapat dilihat pada Lampiran 4.
(4) Terdapat Dasar Hukum
Dasar hukum telah lebih dulu dibahas pada analisi hukum. Masing-masing
lembaga penegak hukum memang memiliki dasar kuat dalam melakukan fungsi
pengawasan. PSDKP memiliki dasar hukum berupa Undang-Undang Nomor 45
52
tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
perikanan. Polisi air memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. TNI AL memiliki dasar hukum
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
(5) Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum (MoU)
Lembaga-lembaga pengawasan menyadari bahwa mereka tidak akan
mempu menjalankan fungsinya secara optimal sendiri. Kesepakatan antar lembaga
dijalankan untuk membentuk kerjasama yang baik. Kesepakatan yang dibentuk,
menuntut masing-masing lembaga dalam perannya agar tidak keluar dari apa yang
telah disepakati. Kesepakatan ini juga yang menjadi dasar adanya patroli bersama.
Adapun faktor internal berupa kelemahan (weakness) dijelaskan sebagai
berikut:
(1) Kurangnya jumlah kapal patroli
Ketersediaan kapal patroli masing dirasa minim jumlahnya. Kapal yang ada
belum mampu untuk dioperasikan ke seluruh wilayah perairan Indonesia. Masing-
masing lembaga menyadari besarnya wiilayah perairan yang kita miliki dengan
potensinya belum dapat diawasi seutuhnya dengan armada kapal yang ada. Kapal
yang dimiliki TNI AL berjumlah 211 kapal. Kapal tersebut diklasifikasikan
menjadi 5 bagian. Kapal Republik Indonesia berjumlah 136 buah, kapal Angkatan
Laut berjumlah 71 buah, Kapal pasukan marinir sebanyak 2 buah, dan kapal
brigade marinin serta kapal komando latih marinir masing-masing 1 buah (Tempo
2010). Daftar nama kapal dan penempatan yang dimiliki PSDKP dapat dilihat
pada Lampiran 5 (KKP 2011) sedangkan daftar nama kapal, jumlah sejata yang
ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki Polair terdapat pada Lampiran 6
(Polair 2012).
(2) Keterbatasan kemampuan personil
Personil atau SDM pengawasan Polair, PSDKP dan TNI AL juga memiliki
beberapa keterbatasan. Keterbatasan ini diantaranya keterbatasan komunikasi atau
bahasa dengan awak kapal asing. Hal ini dikarenakan personil pengawasan tidak
memiliki kemampuan bahasa khusus seperti bahasa Inggris. Permasalahan lain
adalah ketidakmampuan personil dalam melakukan pengejaran. Hal ini bisa
disebabkan beberapa faktor antara lain kemampuan pribadi dari personil saat di
53
lapang dalam menggunakan fasilitas kapal atau kemampuan menggunakan
senjata. Pada beberapa kasus ditemukan pula permasalahan loyalitas dari personil
dimana saat melakukan operasi di laut, personil dapat dengan mudah disogok
dengan uang atau apapun yang menggiurkan. Kekurangan ini sudah berusaha
untuk dukurangi dengan cara personil anggota Polair memiliki ijazah tindak
pidana perikanan, bertujuan agar personil mengetahui pelanggaran-pelanggaran
yang mungkin terjadi. Perwira TNI AL juga dilatih untuk mahir dalam
menggunakan alusita yang ada. Hal ini penguat dasar utama apabila terdapat hal
buruk yang terjadi di laut.
(3) Keterbatasan anggaran
Anggaran merupakan mutlak perlu bagi sebuah kegiatan pengawasan.
Anggaran operasi pengawasan yang rendah menyebabkan fungsi pengawasan
secara preventive dan repressive kurang berjalan optimal sesuai dengan yang
diharapkan. Anggaran Polair pada tahun 2012 adalah sebesar 230 Miliar Rupiah.
Peneliti tidak mendapatkan data yang lain dikarenakan pihak Polair tidak
memberikannya. Perkembangan alokasi anggaran PSDKP dari tahun 2001 hingga
2011 dapat dilihat pada Tabel 10 (KKP 2012).
Tabel 10 Perkembangan Alokasi Anggaran PSDKP tahun 2001 hingga tahun 2011 Tahun Alokasi (Rp.) 2001 28.305.803 2002 68.521.651 2003 119.181.981 2004 279.555.610 2005 151.033.197 2006 181.020.554 2007 255.502.405 2008 288.651.305 2009 345.635.561 2010 284.630.669 2011 362.704.000 Sumber : KKP 2012
Dukungan anggaran untuk pelaksanaan program PSDKP tahun 2011 sebesar
Rp. 362.704.000.000 meningkat sebesar 21,53% dari alokasi anggaran 2010.
Rincian alokasi anggaran PSDKP berdasarkan satuan kerja tahun 2011 disajikan
dalam Tabel 11 (KKP 2012).
54
Tabel 11 Alokasi anggaran PSDKP berdasarkan satuan kerja tahun 2011
No. Satuan Kerja Alokasi Anggaran
Realisasi Penyerapan Anggaran hingga 31
Desember 2011
Persentase
1. Pusat (6 Satker) 243.617.219.000 239.891.833.125 98,47 2. UPT PSDKP (5
Satker) 3. Dekonsentrasi (33
Satker) 4. Tugas Pembantu
Kabupaten/Kota (2 Satker)
5. Tugas Pembantu
91.450.397.000 88.702.863.488 97,00
22.309.144.000 19.924.524.966 89,31
1.727.240.000 1.708.485.000 98,91
3.600.000.000 5.535.155.000 98,20 Provinsi (3 Satker)
Total 362.704.000.000 353.762.861.579 97.53 Sumber : KKP 2012
Selain berdasarkan satuan kerja, alokasi anggaran PSDKP juga dibagi
berdasarkan kegiatan. Alokasi anggaran PSDKP berdasarkan kegiatan tahun 2011
dapat dilihat lampiran 7 (KKP 2012).
(4) Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap
Dasar hukum terhadap pengawasan adalah sebuah peraturan yang dijadikan
acuan dalam pengawasan. PSDKP menyebutkan bahwa dalam peraturan
perundang-undangan perikanan dan kelautan terdapat kelemahan yakni pada
belum lengkapnya aturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah tentang
pengawasan. Arah gerak bagi personil lapang ini yang sebenarnya merupakan
gambaran lembaga dalam melakukan tugasnya. Lemahnya peraturan tersebut
membuat lembaga perlu membuat peraturan tambahan agar ketika di lapang
personil dapat memiliki acuan teknis.
(5) Hambatan struktural dalam satu lembaga
Hambatan paling memalukan adalah hambatan struktural dalam satu
lembaga. Hambatan ini terjadi saat menangani kasus pelanggaran dimana antar
elemen tidak saling mendukung. Modus pelanggaran yang sudah begitu jelas
dilihat di laut, dapat begitu saja lepas dari hukum bahkan sebelum sempat sampai
di meja pengadilan.
55
2) Faktor Eksternal.
Faktor eksternal berupa peluang (opportunities) yang didapat dari lembaga
penegak hukum.
(1) Kerjasama internasional
Kerjasama nasional antar lembaga memang penting, namun kerjasama
internasional tidak kalah pentingnya. Dukungan dunia internasional dalam
pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang tertuang dalam UNCLOS
1982, dan konvensi internasional lainnya. Adapun kerjasama tersebut diantaranya
IOTC, dan CCSBT. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) merupakan institusi
regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan
sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Indonesia merupakan
negara anggota ke-27. Kerjasama ini memungkinkan Indonesia untuk memiliki
akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatkan
sumberdaya ikan. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna
(CCSBT) merupakan kesepakatan untuk menjaga konservasi keberadaan tuna
sirip biru. Dasar dari pembentukan ini adalah karena penurunan drastis jumlah
tangkapan ikan tuna sirip biru. Hal ini dikarenakan penangkapan yang berlebihan
oleh negara-negara maju dan berkembang. Indonesia menjadi anggota tetap pada
tahun 2007.
(2) Keterlibatan masyarakat
Masyarakat terbukti merupakan partner paling dekat dengan lembaga yang
berapa di daerah. Masyarakat mampu membantu personil pengawasan secara
langsung. Bahkan dibeberapa daerah dikatakan masyarakat secara aktif membantu
pelaksanaan secara mandiri berinisiatif membentuk kelompok masyarakat
pengawas (POKMASWAS). Jumlah POKMASWAS selama kurun waktu 2007
hingga 2011 cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2010 ke 2011 jumlahnya
sama. (KKP 2011).
56
Tabel 12. Jumlah Unit POKMASWAS di 17 Provinsi
No. Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 1. Aceh 47 39 39 41 41 2. Sumatera Utara 8 62 62 63 63 3. Sumatera Barat 109 85 84 105 105 4. Riau 3 16 16 46 46 5. Jambi 12 15 15 18 18 6. Bengkulu 1 32 32 19 19 7. Sumatera Selatan 16 75 76 65 65 8. Lampung 70 43 77 89 89 9. Kep.Bangka Belitung 21 25 25 22 22 10. Kep.Riau 2 14 14 38 38 11. Jakarta 26 15 15 17 17 12. Jawa Barat 57 79 79 79 79 13. Jawa Tengah 30 39 46 26 26 14. Yogyakarta 9 20 16 14 14 15. Jawa Timur 10 23 23 23 23 16. Banten 13 27 27 27 27 17. Bali 33 35 35 41 41 Sumber : KKP 2011
(3) Teknologi berkembang pesat
Pengembangan ilmu pengetahuan semakin baik. Banyak teknologi baru
yang muncul yang dapat digunakan untuk membantu kegiatan pengawasan.
Bahkan beberapa lembaga telah menyediakan anggaran khusus untuk
mengadakan penelitian tentang teknologi baru. Apabila hal ini dapat
berkesinambungan maka pengawasan merupakan elemen penting dalam
penggunaan teknologi tepat guna.
Adapun faktor eksternal berupa ancaman (threat) dijelaskan sebagai berikut:
(1) Kecepatan kapal asing
Dilengkapinya personil pengawasan dengan berbagai teknologi, memang
merupakan sebuah poin positif bagi dunia pengawasan perikanan. Terlebih
kemampuan yang handal dalam menggunakannya. Namun ternyata saat bertemu
dengan kapal asing di laut, tetap saja kemampuan kapal asing diatas kemampuan
kapal pengawas. Kemampuan paling dasar yang disorot adalah kecepatannya.
Kapal asing jauh lebih cepat dari kapal patroli. Hal ini sangat merugikan karena
kapal patroli tidak dapal mengejar ataupun mendekat untuk melakukan
pemeriksanaan dan langkah penahanan.
57
(2) Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing
Nelayan merupakan salah satu pekerjaan beresiko tinggi terjangkit penyakit
menular berbahaya. Khususnya nelayan migran yang meninggalkan kampung
halamanya dalam kurun waktu yang lama, risiko terjangkit semakin besar. Entz,
dkk dalam Nikijuluw (2008) mengatakan bahwa hasil penelitian di Thailand
dengan jumlah responden 818 nelayan (terdiri dari 852 nelayan asli Thailand, 137
Myanmar, dan 99 Khmer), secara keseluruhan 15,5% positif HIV.
Penyakit membahayakan ini dapat dengan mudah menyebarkan penyakit
saat bertemu dengan personil pengawasan. Personil patroli tidak jarang terinfeksi
penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing. Walaupun belum ada data resmi
jumlah personil pengawasan yang terjangkit, namun permasalahan ini sudah
menjadi topik besar dalam dunia pengawasan.
(3) Modus operandi beragam
Tindak pidana yang terjadi di kapal perikanan bukan hanya kasus ikan.
Sering kali personil pengawas saat memeriksa kapal menemukan beberapa
pelanggaran sekaligus. Tindak pidana itu antara lain penyelundupan narkotika,
perdagangan manusia hingga penyelundupan warga negara asing. Frekuensi
tindak pidana atau modus operandi selama kurun waktu 2007 hingga 2011 bersifat
fluktuatif naik turun yang dapat dilihat pada lampiran 8 (KKP 2011).
(4) Tumpang tindih antar lembaga pengawasan
Hal paling penting yang berkaitan antar lembaga adalah tumpang tindihnya
pengawasan antar lembaga tersebut. Hal ini dapat dilihat dari operasi, tata cara,
dan petunjuk teknis penanganan tindak pidana di atas kapal. Pada beberapa kasus
bahkan dikatakan perselisihan hingga peradilan.
(5) Kebutuhan pasar internasional
Pasar internasional merupakan faktor ekonomi yang selalu diperhitungkan
disetiap negara. Ketergantungan pasar internasional terhadap produk kelautan dan
perikanan yang semakin besar dari waktu ke waktu. Hal ini menuntut pengawasan
untuk bersifat suistainability (berkelanjutan). Apabila negara Indonesia salah
dalam mengambil tindakan, maka embargo akan dikenakan. Embargo akan
menimpa Indonesia dengan seluruh larangannya termasuk larangan pemasaran
hasil perikanan ke luar.
58
3) Matriks internal factor evaluation (IFE) dan matriks eksternal factor evaluation (EFE).
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,
maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta
matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating.
Penentuan bobot dan rating ditentukan oleh peneliti yang melihat hasil diskusi
dengan responden. Diskusi dengan responden dilakukan saat responden sebelum
dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan rating kemudian dikalikan untuk
memperoleh skor, sedangkan untuk mendapatkan skor akhir internal dan eksternal
maka skor dari keempat responden tersebut dirata-rata.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan wawancara dengan responden
maka teridentifikasi 10 faktor yang mempengaruhi faktor internal yang terdiri dari
5 kekuatan dan 5 kelemahan. Kekuatan yang dimiliki terdiri dari: (1) sarana
penunjang patroli; (2) satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah; (3) memiliki
jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung; (4) terdapat dasar hukum;
dan (5) terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Kelemahan
dalam faktor internal yang dimiliki antara lain: (1) kurangnya jumlah kapal
patroli; (2) keterbatasan kemampuan personil; (3) keterbatasan anggaran; (4)
aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap; (5) hambatan struktural dalam
satu lembaga. Tabel matriks IFE efektivitas penegakan hukum dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13 Matriks IFE efektivitas penegakan hukum
Faktor strategis internal Rata-rata Bobot Rating
Kekuatan
Skor
A Sarana penunjang patroli 0,095 3,8 0,362
B Satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah 0,105 3,75 0,395 C Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung 0,105 3,65 0,384
D Terdapat dasar hukum 0,115 4 0,461 E Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum 0,1 3,5 0,351
Kelemahan F Kurangnya jumlah kapal patroli 0,958 1,2 0,114 G Katerbatasan kemampuan personil 0,085 1,7 0,145 H Katerbatasan anggaran 0,09 1,5 0,135
I Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap 0,11 1 0,11 J Hambatan struktural dalam satu lembaga 0,098 1,9 0,186
Total 1 2,643 Sumber : Pengolahan data primer
59
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan
bahwa efektivitas penegakan hukum oleh lembaga penegak hukum secara internal
berada dalam kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar
2,643.
Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa kekuatan utama lembaga penegak
hukum adalah terdapatnya dasar hukum dengan nilai 0,461. Dasar hukum
memang merupakan acuan mutlak yang dapat digunakan oleh lembaga penegak
hukum untuk menjalankan fungsinya. Lembaga yang tidak memiliki dasar hukum
akan sangat lemah ketika menjalankan tugas dan fungsinya. Dasar hukum juga
dapat dijadikan acuan posisi lembaga di kancah nasional. Apabila dasar hukum
lembaga tersebut adalah undang-undang, maka lembaga tersebut memiliki dasar
hukum tertinggi di negara Indonesia. Asal-muasal dasar hukum ini menjadi
penting sekali apabila beberapa lembaga bertemu atau saling bersisihan di lapang,
maka yang memiliki dasar hukum tertinggilah yang lebih memiliki posisi. Faktor
kedua yaitu satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah dengan nilai 0,395.
Sistem penguatan di pusat memang merupakan langkah jitu untuk memperkuat
lembaga. Hal ini digunakan untuk menunjukan kepada lembaga lain bahwa
lembaga tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa dan pantas diperhitungkan.
Namun hal ini tidak berlaku bagi optimasi sistem di Indonesia. Negara seperti
Indonesia yang luas dan memiliki banyak daerah-daerah terpencil memang
memerlukan desentralisasi khusnya pada bidang pengawasan perikanan laut.
Spesifikasinya adalah dibentuknya lembaga pengawasan tingkat daerah. Tindak
pidana pelanggaran perikanan marak terjadi di daerah-daerah terpencil. Inilah
yang menjadi dasar pentingya dibangun dan dikuatkannya lembaga pengawasan
di daerah-daerah.
Faktor ketiga adalah memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang
mendukung dengan nilai 0,384. Keberadaan personil harus memadai dari jumlah.
Jumlah mereka harus banyak sehingga bisa ditempatkan di titik-titik terluar
Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Jumlah personil ini juga harus
terdistribusikan merata sehingga seluruh daerah dapat terpantau kondisinya.
Faktor keempat merupakan sarana penunjang patroli dengan nilai sebesar 0,362.
Sarana penunjang patroli ini antara lain adalah alusita atau alat utama sistem
60
senjata dan satelit. Setiap personil terutama personil yang sedang melakukan
patroli di laut harus membawa senjata. Hal ini bertujuan untuk mengamankan diri
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Satelit juga diperlukan guna
mencatat setiap koordinat kapal ikan yang sedang beroperasi. Faktor terakhir
adalah terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegakan hukum dengan
nilai 0,351. Kesepakatan ini dibutuhkan untuk menjaga hubungan baik antar
lembaga. Kesepakatan diharapkan dapat menjadi dasar untuk lembaga penegak
hukum untuk bergerak bersama menjalankan tugas. Hal ini juga bertujuan untuk
meminimumkan kesalahpahaman apabila terjadi perbedaan pendapat saat
melaksanakan tugas.
Kelemahan utama lembaga penegakan hukum adalah aturan pelaksanaan
dasar hukum belum lengkap dengan nilai 0,11. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa dasar hukum merupakan dasar bagi pelaksanaan tugas lembaga. Dasar
hukum ini sudah seharusnya mencangkup seluruh hal mengenai pengawasan,
namun hal ini tidak terjadi. Lembaga menyepakati bahwa dasar hukum yang ada
masih belum lengkap atau masih banyak terdapat kelemahan. Belum lengkapnya
dasar hukum ini harus segera dibenahi dengan dibuatkan peraturan-peraturan lain
yang mendukung kelemahannya tersebut. Tidak lengkapnya dasar hukum dapat
membuat lembaga pengawasan berfikir lebih dalam mengambil tindakan. Faktor
kedua adalah kurangnya jumlah kapal patroli dengan nilai sebesar 0,114.
Keterbatasan armada patroli berupa kapal memang merupakan kelemahan besar
bagi suatu lembaga pengawasan. Dengan terbatasnya jumlah armada kapal, maka
lembaga tidak bisa menjalankan fungsi dasarnya yaitu pengawasan patroli di laut.
Pelaku tindak pidana perikanan akan makin bebas melakukan pelanggaran.
Faktor ketiga adalah keterbatasan anggaran dengan nilai sebesar 0,135.
Anggaran merupakan syarat yang harus ada untuk melaksanakan sesuatu
termasuk pengawasan. Lembaga pengawasan diberikan anggaran tertentu untuk
melaksakan tugasnya. Namun lembaga mengatakan bahwa anggaran yang
diberikan masih belum cukup untuk menjalankan tugas dengan optimal. Misalnya
untuk memberi solar untuk patroli. Anggaran solar masih sangat kurang untuk
patroli armada ke seluruh laut Indonesia. Faktor keempat adalah keterbatasan
kemampuan personil dengan nilai 0,145. Keterbatasan personil ini dilihat dari segi
61
kualitas. Dari segi kualitas personil antara lain adalah kemampuan memainkan
senjata, membawa kapal, ilmu navigasi hingga kemampuan berbahasa asing.
Banyak personil masih kurang dalam bidang menggunakan senjata. Mereka tau
secara teori namun dalam pelaksanaan masih sangat kurang. Personil juga terbatas
dalam ilmu navigasi hingga membawa kapal. Dalam keadaan darurat personil
harus membantu nahkoda dalam hal ini. Hingga kekurangan utama personil
adalah bahasa asing. Banyak sekali kasus yang terjadi dimana komunikasi
menjadi permasalahan besar. Komunikasi tidak efektif dikarenakan keterbatasan
pengetahuan.
Faktor terkahir adalah hambatan struktural dalam satu lembaga dengan nilai
0,186. Hambatan diakui dapat menjadi kelemahan suatu lembaga penegakan
hukum. Hambatan yang dimaksud adalah perbedaan sudut pandang atau penilaian
dalam suatu tindak pidana dalam satu lembaga. Hambatan dapat terjadi pada
tingkat patroli hingga penanganan kasus di pengadilan. Hal ini menjadi catatan
buruk bagi lembaga tersebut. Penanganan sebuah penanganan kasus tindak
pidana, sudah seharusnya tiap struktur memberikan kontribusi terbaik sesuai
dengan arahan kerjanya. Mereka juga dituntut untuk dapat saling mendukung satu
sama lain. Namun ternyata ada banyak perkara kasus dimana antar satu lembaga
tidak mendukung.
Pada faktor eksternal terdapat 3 faktor peluang dan 5 faktor ancaman.
Peluang yang dimiliki terdiri dari: (1) kerjasama internasional; (2) keterlibatan
masyarakat; (3) Teknologi berkembang pesat. Sedangkan ancaman yang dimilki
antara lain: (1) kecepatan kapal asing; (2) wabah penyakit yang dibawa oleh ABK
kapal asing; (3) modus operandi beragam; dan (4) tumpang tindih antar lembaga
pengawasan; (5) kebutuhan pasar internasional. Tabel matriks EFE efektivitas
penegakan hukum dapat dilihat di Tabel 14.
kapal asing 0,12 2 0,24
62
Tabel 14 Matriks EFE efektivitas penegakan hukum
Faktor strategis eksternal Rata-rata
Bobot Rating Peluang
Skor
A Kerjasama internasional 0,127 3,5 0,444 B Keterlibatan masyarakat 0,125 3,3 0,412 C Teknologi berkembang pesat 0,129 3,8 0,49
Ancaman D Kecepatan kapal asing 0,125 1,2 0,15
E Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK
F Modus operandi yang beragam 0,124 1,5 0,186 G Tumpang tindih antar lembaga pengawasan 0,129 1 0,129 H Kebutuhan pasar internasional 0,122 1,8 0,22
Total 1 2,269 Sumber : Pengolahan data primer
Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata
untuk faktor eksternal sebesar 2,269. Nilai ini memperlihatkan bahwa efektivitas
penegakan hukum oleh lembaga penegakan hukum berada dalam level rata-rata.
Diketahui pada Tabel 14 bahwa teknologi berkembang pesat menduduki
urutan pertama sebagai peluang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Hal ini
bisa dilihat dari nilai sebesar 0,49. Indonesia merupakan negara berkembang
dimana merupakan incaran negara-negara maju untuk memasarkan hasil
perkembangan teknologi yang ada. Hal ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan teknologi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan mestinya.
Lembaga penegakan hukum juga telah menjalankan sistem agar penggunaan
teknologi dalam setiap menjalankan tugas selalu menggunakan teknologi
unggulan. Konsistensi mengenai hal ini dapat dilihat pada saat latihan, lembaga
selalu mengusahakan agar dapat belajar menggunakan teknologi baru yang
nantinya dapat digunakan saat operasi di laut. Peluang kedua yang dapat
dimanfaatkan adalah kerjasama internasional dengan nilai sebesar 0,444. Peluang
ini didasarkan dengan banyaknya kerjasama berupa perjanjian-perjanjian dibidang
perikanan. Perjanjian internasional yang telah dibuat contohnya antara lain
UNCLOS 1982, FAO-CCRF, RFMO, WCPFC, IOTC, dan CCSBT. Perjanjian
yang telah ada harus selalu dijalankan dengan baik. Hal ini berguna untuk saling
mendukung antar negara. Kesepakatan internasional menjadi penting karena saat
63
ini sudah memasuki era perdagangan bebas. Selain itu kini konflik tindak pidana
yang banyak terjadi juga lebih banyak melibatkan negara luar, atau dapat
dikatakan pelakunya merupakan warga negara asing. Dengan adanya perjanjian
tersebut, tindak pidana yang terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik.
Faktor terakhir keterlibatan masyarakat. Peluang ini memiliki nilai sebesar
0,412. Keterlibatan masyarakat menjadi bantuan paling dasar bagi lembaga saat
menjalankan tugas. Masyarakat dapat membantu dari proses operasi di laut,
apabila terjadi tindak pidana seperti menggunakan alat tangkap terlarang hingga
kasus penyidikan di pengadilan. Masyarakat membentuk kelompok masyarakat
pengawas (POKMASWAS) di beberapa wilayah guna membantu lembaga
penegakan hukum PSDKP.
Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas penegakan hukum lembaga
penegakan hukum adalah tumpang tindih antar lembaga pengawasan. Faktor ini
memiliki nilai sebesar 0,129. Lembaga penegak hukum di bidang perikanan antara
lain adlan PSDKP, TNI AL, dan Polair. Ketiga lembaga tersebut mengakui
adanya tumpang tinding antar mereka. tumpang tindih dapat terjadi mulai dari
proses paroli pengawasan di laut, hingga penyidikan. Tumpang tinding ini
memiliki pengaruh paling besar dari kesuksesan lembaga menjalankan fungsi dan
tujuannya. Faktor kedua adalah kecepatan kapal asing dengan nilai 0,15. Kapal
asing memiliki banyak keunggulan. Keunggulan yang dimaksud adalah
keunggulan lebih kecepatannya kapal mereka. Keunggulan-keunggulan inilah
yang menyebabkan proses patroli pengawasan di laut sulit dilakukan. Misalnya
saat kapal patroli lembaga penegak hukum menemukan pelanggaran tindak
pidana, dan beruska untuk mengejarnya, maka kapal tersebut dengan kecepatan
tinggi, dengan teknolidi satelit yang lebih canggih dapat pergi dari pengejaran.
Faktor ancaman ketiga adalah modus operandi yang beragam. Faktor ini
memiliki nilai sebesar 0,186. Tindak pidana yang terjadi di laut sangat beragam
modus yang ada antara lain pelanggaran penggunaan alat tangkap terlarang,
penangkapan ikan endemik, pembuangan limbah di laut, hingga pengelundupan
manusia, narkoba, senjata dengan menggunakan kapal ikan. Beragamnya modus
yang ada membuat lembaga penegak hukum kesulitan. Hal ini dikarenakan
tupoksi menganai penanganan masing-masing modus berbeda-beda. Faktor
64
keempat dengan nilai 0,22 adalah kubutuhan pasar internasional. Pasar bebas yang
dihadapi negara-negara di dunia menuntutnya untuk dapat memenuhi kebutuhan.
Seperti kebutuhan akan ikan laut. Seluruh negara di dunia bersaing untuk dapat
menjadi nomor satu. Bahkan negara-negara yang tidak memiliki laut pun ikut
bersaing dengan memiliki kapal ikan untuk menangkan ikan di laut lepas.
Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah perairan yang luas juga
merupakan negara yang selalu diperhitungkan untuk menyediakan kebutuhan
akan ikan laut. Hal ini menjadi dasar ancman apabila Indonesia sedikit saja
mengalami kesalahan dalam prosedur, maka Indonesia akan mendapatkan
embargo dari negara-negara asing. Kesalahan dapat terjadi dari berbagai unsur,
baik penangkapan pengolahan hingga pemasaran. Kesalahan yang dimaksud
adalah kesalahan yang disengaja ataupun kesalahan yang tidak disengaja.
Embargo ini yang menjadi hal yag ditakuti oleh Indonesia.
Faktor terakhir adalah wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing
dengan nilai 0,24. Lingkungan yang tidak terjamin kebersihannya merupakan
faktor penyebab timbulnya penyakit yang diidap oleh ABK. Penyakit yang
dibawa umumnya merupakan penyakit aneh hingga penyakit berbahaya seperti
AIDS. Tidak jarang mereka urung melaksanakan tugasnya karena takut tertular
penyakit. Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah
nilai rata-rata sebesar 2,643 dan 2,269. Penggabungan nilai IFE dan EFE pada
matriks IE menunjukan efektivitas pengawasan lembaga pengawasan hukum di
bidang perikanan berada pada sel lima (V) seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Total Rata-rata Tertimbang IFE
Kuat Rata-rata Lemah (3,0-4.0) (2,0-2,99) (1,0-1,99)
Tinggi (3,0-4,0)
Total Sedang Rata-rata (2,0-2,99) Tertimbang EFE Rendah
(1,0-1,99)
Gambar 6 Matriks IE
I II III
IV V VI
VII VIII IX
65
Berdasarkan gambar matriks IE di atas dapat diketahui bahwa efektivitas
pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan berada pada sek lima
(V) sehingga strategi yang terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan
mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari
strategi ini adalah dengan melakukan perbaikan sistem pengawasan dari segi
hukum dan kerjasama serta pengawasan yang optimal. Perbaikan sistem hukum
dapat dilakukan dengan menambahkan kekurangan-kekurangan yang ada.
Kerjasama perlu ditingkatkan antar lembaga, masyarakat maupun dengan instansi
luar negeri. Pengawasan yang optimal perlu dilakukan seperti peningkatan armada
kapal, peningkatan fasilitas kapal, penggunakan teknologi canggih, hingga
peningkatan personil patroli.
4) Analisis Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT)
Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal,
selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks
SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST dan WT.
Perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi
yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strengths-Opportunities), ST
(Strenghts-Threats), WO (Weaknesses-Opportunities) dan WT (Weaknesses-
Threats) yang dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi bisnis yang
dibangun dengan menggunakan matriks SWT dapat dilihat pada Tabel 15.
66
Tabel 15 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan
Kekuatan (Strengths) S1. Sarana penunjang patroli;
Kelemahan (Weaknesses) W1. Kurangnya jumlah kapal
IFAS
EFAS
Peluang (Opportunities) O1. Kerjasama internasional; O2. Keterlibatan masyarakat; O3. Teknologi berkembang
pesat.
Ancaman (Threats) T1. Kecepatan kapal asing; T2. Wabah penyakit yang
dibawa oleh ABK kapal asing;
T3. Modus operandi yang beragam;
T4. Tumpang tindih antar lembaga pengawasan.
T5. Kebutuhan pasar internasional
S2. Satuan pangawasan kewilayahan setiap daerah;
S3. Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung;
S4. Terdapat dasar hukum; S5. Terdapat kesepakatan
bersama antara lembaga penegak hukum.
SO SO1. Penguatan dan
memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang (S1, S2, O2)
SO2.Peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing (S4, S5, O1)
ST ST1. Menjamin kebutuhan ikan
pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada (S4, S5, T5)
ST2. Meningkatkan kemampuan kapal dan personil patroli serta mengoptimalkan
patroli; W2. Keterbatasan kemampuan
personil; W3. Keterbatasan anggaran; W4. Aturan pelaksanaan dasar
hukum belum lengkap; W5. Hambatan struktural dalam
satu lembaga.
WO WO1. Menambah jumlah kapal
patroli dan penambahan teknologi canggih (W1, O1, O3)
WO2. Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum (W4, W5, O1)
WT WT1.Menguatkan internal
masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. (W1, W2, W3, W4, W5, T1, T2, T3, T4, T5)
penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dll (S1, S3, S5, T1, T2, T3)
ST3. Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga pengawasan (S4, S5, T4)
Sumber : Pengolahan data primer
67
Dari analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi yang
dijelaskan sebagai berikut:
(1) Strategi Strengths-Opportunity (SO)
Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang
diperoleh, maka strategi yang sebaiknya dilakukan adalah penguatan dan
memfasilitasi masyarakat terhadap meningkatan peran aktif kelompok masyarakat
pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan
pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang. Kepemilikan terhadap sarana
penunjang patroli, serta satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah yang
mendukung merupakan kekuatan utama. Kekuatan ini diimbangi dengan
keterlibatan masyarakat. Hal ini menjadi peluang utama yang bisa diambil untuk
menjalankan strategi kedua.
Strategi kedua merupakan peningkatan kerjasama regional dan internasional
dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing. Strategi ini didasari
oleh adanya dasar hukum dari masing-masing lembaga dan adanya kesepakatan
bersama antara lembaga penegak hukum. Selain itu terdapat pula kerjasama
internasional. Kombinasi antara kekuatan dan peluang yang ada ini
memungkinkan lembaga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan kegiatan
tindak pidana di bidang perikanan.
(2) Strategi Weakness-Opportunity (WO)
Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah
menambahkan jumlah kapal patroli dan menambahkan teknologi canggih. Strategi
ini dimaksudkan untuk memenuhi kekurangan dari kebutuhan kapal. Strategi ini
juga muncul dikarenakan adanya kerjasama internasional. Dengan demikian
lembaga dapat mengambil untung dengan mendapatkan pembagian seperti
penambahan kapal dan teknologi canggih dari dunia internasional.
Strategi yang kedua adalah membuat seluruh tata aturan dengan berbagai
pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum. Lembaga
menyadari adanya aturan pelaksanaan dasar hukum yang belum lengkap hingga
terdapatnya hambatan struktural dalam satu lembaga. Kedua hal ini merupakan
68
kelemahan dasar dari munculnya strategi yang harus di tanggulangi.
Penanggulangan dapat ditempuh dengan memanfaatkan peluang adanya
kerjasama internsional yang sudah ada lebih dulu.
(3) Strategi Strengths-Threats (ST)
Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk menghindari
ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah menjamin
kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara
menjalankan kesepakatan yang sudah ada. strategi ini ditempuh untuk
memenfaatkan kekuatan betupa adanya dasar hukum dan kesepakatan bersama
antara lembaga penegak hukum. Strategi juga ditempuh untuk menhindari
ancaman berupa kebutuhan pasar internasional.
Strategi kedua adalah meningkatkan kemampuan kapal dan personil partoli
serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat
komunikasi, dan lain-lain. Hal ini didasari oleh kepemilikan sarana penunjang
patroli dan jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung. Sehingga
personil yang ada dapat ditingkatkan dari segi kemampuannya. Faktor lain adalah
adanya kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Lembaga dapat
memanfaatkannya untuk pengadaan fasilitas. Strategi ini lahir dari ancaman akan
keunggulan cepatnya kapal asing, wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal
asing dan modus operandi yang beragam.
Strategi ketiga adalah melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi dari
masing-masing lembaga pengawasan. Tugas pokok dan fungsi yang ada perlu
dijelaskan atau diingatkan terus menerus. Tupoksi ini bisa didapatkan dari dasar
hukum yang ada selama ini. Hal ini juga bisa dilihat dari kesepakatan bersama
antara lembaga penegak hukum. Ancaman mengenai hal ini adalah dengan adanya
tumpang tindih antar lembaga pengawasan.
(4) Strategi Weakness-Threats (WT)
Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan
menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan menguatkan
internal masing-masing lembaga agar dapar menjalankan tugasnya dengan
optimal. Sadarnya lembaga akan kekurangan yang ada seperti kurangnya jumlah
kapal patroli, keterbatasan kemampuan personil dan anggaran, dasar hukum yang
69
dirasa belum lengkap, dan hambatan struktural dalam satu lembaga juga dengan
acaman seperti kapal asing yang lebih unggul, wabah penyakit yang bisa
menyerang personil patroli tiap saat hingga tumpang tindih antar lembaga
pengawasan seharunya menjadi kesadaran tersendiri bagi lembaga. Mereka harus
lebih sering melihat kekurangan dan ancaman yang ada apabila selama ini
sehingga mereka akan cenderung untuk menguatkan internal kelambagaan.
Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas
didapatkan sembilan rekomendasi strategi alternatif sebagai berikut:
(1) Penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif
kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk
membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang;
(2) Peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan
illegal fishing dan destruktive fishing;
(3) Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih;
(4) Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk
mencapai pengawasan yang optimum;
(5) Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional
dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada;
(6) Meningkatkan kemampuan kapal dan personil patroli serta
mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat
komunikasi dll;
(7) Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga
pengawasan;
(8) Menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan
tugasnya dengan optimal.
4.3.2 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM)
Analisis digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang
paling baik dalam mencapai efektifitas penegakan hukum. Matriks QSPM dapat
dilihat pada Tabel 16.
70
Tabel 16 Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM)
Faktor Bobot Strategi Alternatif I II III IV V VI VII VIII
(S) AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS S1 0,095 4 0,38 4 0,38 4 0,38 2 0,19 4 0,38 4 0,38 1 0,095 3 0,285 S2 0,105 4 0,42 4 0,42 2 0,21 2 0,21 1 0,105 4 0,42 2 0,21 2 0,21 S3 0,105 3 0,315 4 0,42 2 0,21 2 0,21 1 0,105 3 0,315 1 0,105 1 0,105 S4 0,115 3 0,345 4 0,46 3 0,345 4 0,46 4 0,46 2 0,23 4 0,46 1 0,115 S5 0,1 2 0,2 2 0,2 4 0,4 3 0,3 4 0,4 4 0,4 4 0,4 1 0,1 (W) W1 0,958 2 1,916 4 3,832 4 3,832 2 1,916 2 1,916 1 0,958 1 0,958 4 3,832 W2 0,085 3 0,255 2 0,17 4 0,34 1 0,085 1 0,085 4 0,34 1 0,085 4 0,34 W3 0,09 3 0,27 3 0,27 4 0,36 3 0,27 3 0,27 3 0,27 1 0,09 4 0,36 W4 0,11 2 0,22 4 0,44 4 0,44 4 0,44 3 0,33 1 0,11 2 0,22 4 0,44 W5 0,098 2 0,196 1 0,098 1 0,098 4 0,392 2 0,196 1 0,098 2 0,196 4 0,392 (O) O1 0,127 1 0,127 4 0,508 4 0,508 4 0,508 4 0,508 1 0,127 1 0,127 1 0,127 O2 0,125 4 0,5 1 0,125 1 0,125 1 0,125 1 0,125 1 0,125 1 0,125 2 0,25 O3 0,129 2 0,258 4 0,516 4 0,516 1 0,129 3 0,387 3 0,387 1 0,129 1 0,129 (T) T1 0,125 1 0,125 4 0,5 2 0,25 1 0,125 1 0,125 4 0,5 1 0,125 2 0,25 T2 0,12 1 0,12 4 0,48 1 0,12 1 0,12 1 0,12 4 0,48 1 0,12 2 0,24 T3 0,124 2 0,248 3 0,372 1 0,124 3 0,372 1 0,124 4 0,496 3 0,372 2 0,248 T4 0,129 2 0,258 2 0,258 1 0,129 4 0,516 2 0,258 2 0,258 4 0,516 1 0,129 T5 0,122 2 0,244 4 0,488 3 0,366 2 0,244 5 0,61 2 0,244 1 0,122 2 0,244 Total 6,397 9,937 8,753 6,612 6,504 6,138 4,455 7,796 Prioritas VI I II IV V VII VIII III
Sumber : Pengolahan data primer
Berikut merupakan uraian singkat strategi pengembangan berdasarkan
matriks QSPM beserta uraian singkat mengenai kebijakan yang dapat
dilaksanakan untuk efektifitas penegakan hukum berdasarkan Tabel 16, antara
lain:
1) Meningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan
illegal fishing dan destruktive fishing.
(1) Aktif berperan serta dalam organisasi pengelolaan perikanan regional
(regional fisheries management organzaition, RFMO) maupun
internasional untuk fokus pada topik memberantas illegal fishing dan
destruktive fishing.
(2) Meratifikasi konvensi pembentukan RFMO yang berada di wilayah
perairan Indonesia dan ZEEI, seperti WCPFC (Western and Central
Pacific Fisheries Commission)
2) Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih.
(1) Meningkatkan armada kapal patroli dari segi jumlah hingga dapat
memberikan pengawasan pada seluruh perairan Indonesia dan ZEEI.
71
(2) Optimalisasi penggunaan teknologi yang sudah ada agar tepat guna di
bidang pengawasan.
(3) Tetap mengembangkan penelitian mengenai teknologi agar dapat bersaing
dengan perkembangan teknologi negara lain.
3) Menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya
dengan optimal.
(1) Merinci jumlah personil patroli dan jumlah kapal serta kemampuannya
untuk dibuat sistem pengawasan yang baik, agar seluruh wilayah Indonesia
dapat diawasi.
(2) Menempatkan kapal, senjata dan personil yang mumpuni dalam
menggunakannya pada titik rawan terjadi hal paling berbahaya, seperti
baku tembak.
(3) Selalu memberikan motivasi kepada personil bahwa pengawasan adalah hal
penting sehingga mereka melakukan kerja dengan optimal.
4) Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk
mencapai pengawasan yang optimum.
(1) Melakukan pendataan ulang dan kajian mengenai tata aturan yang sudah
ada. Apabila terdapat tumpang tindih antar satu dengan lembaga lain, maka
dapat dilakukan revisi dengan segera.
(2) Membuat tata aturan yang dirasa masih kurang setelah melihat pendataan
tata aturan sebelumnya.
5) Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan
cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada.
(1) Membuat pendataan mengenai kebutuhan ikan pada pasar internasional
dengan data yang tepat. Pendataan yang tepat ini menjadi penting dalam
usaha mencapai kebutuhan tersebut.
(2) Melakukan pendataan kesepakatan mengenai sistem yang harus ada dalam
memenuhi kebutuhan ikan. Setelah itu mengingatkan pada bagian
penangkapan, budidaya maupun pengolahan terhadap kesepakatan yang
sudah ada agar tidak terjadi kesalahan dalam proses penanganan yang baik.
72
6) Penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif
kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) atau sejenisnya untuk
membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang.
(1) Memberikan pelatihan-pelatihan mengenai pengawasan perikanan kepada
POKMASWAS guna menambah kemampuan untuk membantu
pengawasan.
(2) Memberikan fasilitas seperti pos berkumpul dan kapal pengawas kepada
POKMASWAS agar dapat digunakan saat pengawasan.
7) Meningkatkan kemampuan kapal dan personil patroli serta mengoptimalkan
penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dll.
(1) Melakukan perawatan dan meningkatkan kemampuan dari mesin kapal
yang juga disesuaikan dengan kondisi kapal agar dapat berlayar dengan
maksimal.
(2) Melakukan pelatihan-pelatihan personil seperti pelatihan penggunaan
senjata, dan penggunaan alat komunikasi diatas kapal oleh mentor yang
kompeten secara berkesinambungan.
(3) Melakukan pendataan dan mengoptimumkan pengguanaan fasilitas yang
sudah ada seperti VSM.
8) Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga
pengawasan.
(1) Melakukan identifikasi kembali mengenai dasar hukum tentang tupoksi
masing-masing lembaga.
(2) Melakukan evaluasi secara berkala mengenai pelaksanaan tupoksi yang
ada.
73
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini adalah bahwa tiga lembaga
penegakan hukum yaitu Polair, TNI AL dan PSDKP memiliki tupoksi yang
beririsan satu dengan yang lainnya. Polisi memiliki tumpang tindih tupoksi
keamanan dengan TNI AL. Ketiga lembaga memiliki tumpang tindih tupoksi
penegakan hukum. Tupoksi ketertiban hanya dimiliki oleh Polisi, begitupun
dengan tupoksi pengawasan hanya dimiliki PSDKP. Lembaga TNI AL juga
memiliki tuposi yang berbeda dengan yang lain, antara lain pertahanan, diplomasi,
pembangunan dan pertahanan kekuatan matra laut, dan pemberdayaan wilayah
pertahanan laut.
Analisis hukum menjabarkan bahwa pada variabel kewenangan memberikan
kewenangan kepada ketiga lembaga penegak hukum. Analisis variabel
kewilayahan secara geografis menjabarkan bahwa TNI AL dan PSDKP
berwenang hingga ZEEI sedangkan Polair hanya sampai laut teritorial.
Penelitian memberikan beberapa strategi efektivitas penegakan hukum.
Strategi dilihat dari faktor internal dan eksternal lembaga serta diuturkan
berdasarkan prioritas. Strategi antara lain: 1) meningkatan kerjasama regional dan
internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing; 2)
menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih; 3)
menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya
dengan optimal; 4) membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang
diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum; 5) menjamin kebutuhan
ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara menjalankan
kesepakatan yang sudah ada; 6) penguatan dan memfasilitasi masyarakat
terhadap peningkatan peran aktif kelompok masyarakat pengawas
(POKMASWAS) atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan
sesuai dengan kondisi di lapang; 7) meningkatkan kemampuan kapal dan personil
patroli serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti
VMS, alat komunikasi dan lain-lain; 8) melakukan penjelasan kembali mengenai
tupoksi masing-masing lembaga pengawasan.
74
5.2 Saran
Saran dari penelitian adalah dapat menjadi dasar bagi pengambilan
keputusan berkaitan dengan pengawasan dan penelitian lanjutan mengenai konflik
kewenangan baik pada pengawasan di laut maupun saat penyidikan.
75
DAFTAR PUSTAKA
David FR. 2003. Strategic Management, Concepts and cases, 10th ed. New
Jersey: Pearson Education Inc. 461 hal
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2005. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan. Jakarta: DKP.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011. Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Laporan tahunan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT Grasindo, Jakarta.
Nikijuluw V. 2008. Blue Water Crime. Jakarta: PT. Pusaka Cidesindo.
Paonganan Y. 2010. Babak Baru Pertahanan Laut. http://indomaritimeinstitute.org/?p=474 [5 mei 2010].
Polair. 2012. Sejarah Polair. http://www.polair.or.id/index.php/organisasi-polisi- air/sejarah-polair [2 April 2012].
Polair. 2012. Tugas Pokok. http://www.polair.or.id/index.php/organisasi-polisi- air/tugas-pokok [2 April 2012].
Polair. 2012. Visi misi. http://www.polair.or.id/index.php/organisasi-polisi- air/visi-dan-misi [2 April 2012]
76
Purwaka TH. 2008. Hukum dan Kelembagaan Kelautan: Pengembangan Etalase Kelautan di Kepulauan Bangka Belitung. Jakarta: Fakultas Hukum. Universitas Katolik Indonesia. Atma Jaya-Jakarta. Januari 2008.
Purwaka TH. 2008. Model Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan. Jakarta: Fakultas Hukum. Universitas Katolik Indonesia. Atma Jaya-Jakarta. Januari 2008.
Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membelah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 1983. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta
Saaty TL. 2001. Decision Making For Leaders. Forth edition, University of Pittsburgh, RWS Publication.
Supriadi dan Alimuddin. 2011. Hukum Perikanan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Jakarta
Supratomo G. 2011. Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Alamat Polair daerah tingkat provinsi di seluruh Indonesia
No. Polair Alamat 1. Aceh Jl. Indra Budiman No.15 Lampulo Banda Aceh 2. Sumatera Utara Jl. Taman Makam Pahlawan No.1 Belawan
Sumatera Utara 3. Sumatera Barat Jl. Raya Padang Painan KM 16 Bumus Padang
Sumatera Barat 4. Riau Jl. Diponegoro No.462 Tg. Batu, Riau 5. Bengkulu Jl. Ir. Rustandi Sugianto Pulaubay No.11
Bengkulu 6. Jambi Jl. Raden Mataher No.3 Jambi 7. Lampung Jl. Sudirman No.1 Pelabuhan Panjang Bandar
Lampung 8. Sumatera Selatan Jl. Mayor Zen Sel Lais Palembang Sumatera
Selatan 9. Metrojaya Jl. Pelabuhan Pos 3 Pondok Dayung Tg. Priok
Jakarta Utara 10. Jawa Barat Jl. Perniagaan No.8 Pelabuhan Cirebon Jawa
Barat 11. Jawa Tengah Jl. Amirang No.1 Semarang Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Jl. Lingkar Utara Condong Catur Yogyakarta
Yogyakarta 13. Jawa Timur Jl. Intan No.1 Tg. Perak Surabaya Jawa Timur 14. Bali Jl. Raya Pelabuahan Benoa Denpasar, Bali 15. Nusa Tenggara Timur Jl. Timtim No.37 Kupang Nusa Tenggara Timur 16. Nusa Tenggara Barat Jl. Majapahit Mataram Nusa Tenggara Barat 17. Kalimantan Barat Jl. Khatulistiwa No.300 Pontianak Kalimantan
Barat 18. Kalimantan Tengah Jl. HM Arrsyad KM 15 Sampit Kalimantan
Tengah 19. Kalimantan Selatan Jl. Teluk Tiram Laut No.6 Banjarmasin
Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur Jl. A.W. Syahrani No.1 Balikpapan Kalimantan
Timur 21. Sulawesi Utara Jl. Tarsius No.1 Tanduk Rusa Bitung Sulawesi
Utara 22. Sulawesi Tengah Jl. Samudra No.10 Laiba Wani Palu Sulawesi
Tengah 23. Sulawesi Selatan Jl. Perintis No.15 Suppa Kabupaten Pinrang 24. Sulawesi Tenggara Jl. Bhayangkara Bahari Kendari 25. Maluku Jl. Wolter Mongonsidi Lateri III Ambon 26. Banten Jl. Yos Sudarso No.99 Banten 27. Bangka Belitung Jl. Yos Sudarso Pelabuhan Pangkal Balan Pangkal Pinang
Bangka Belitung
79
Lanjutan lampiran 1 Alamat Polair daerah di seluruh Indonesia
No. Polair Alamat 28. Kepulauan Riau Jl. RE Martadinata Sekupang Batam
29. Gorontalo Jl. Mayor Dula Kota Gorontalo 30. Maluku Utara Jl. Komplek Pelabuhan A Yani Ternate Maluku
Utara 31. Papua Jl. Samratulangi No.08 Jayapura Sumber: www.polair.or.id
14. Dinas Perikanan Propinsi Jawa
16. Dinas Kelautan dan Perikanan
18. Dinas Kelautan dan Perikanan
19. Dinas Kelautan dan Perikanan
80
Lampiran 2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia
No. Nama Dinas Alamat Dinas Kelautan dan Perikanan Jl. Tengku Malam No.7 Kuta
1. Propinsi Nanggroe Aceh Alam Banda Aceh 23121 Kotak Darussalam
2. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara
3. Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat
4. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Selatan
5. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Riau
6. Dinas kelautan dan Perikanan Propinsi Kepulauan Riau
7. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bengkulu
8. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jambi
9. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung
10. Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta
11. Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat
12. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DI Yogyakarta
13. Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah
Pos 124 Jl. Sei Batugingging No. 6 Medan, Sumatera Utara 25128 Jl. Koto Tinggi No. 9/II PO BOX
42, Padang 25128 Jl. Pangeran Ratu, Jakabaring Palembang knn Jl. Patimura No. 6 PO BOX
1052Pekan Baru 28131 Jl. R.E. martadinata Tanjung Pinang 29125 Jl. Cendana No.61 Bengkulu 38228 Jl. MT. Haryono No.9 Telanai Pura, Jambi Jl. Drs. Warsito No. 76 Bandar Lampung Teluk Betung 35215 Jl. Gunung Sahari Raya No. 11 Lt. 8 Jakarta Pusat Jl. Wastu Kencana No.17 Bandung 40117 Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DI Yogyakarta Jl. Imam Bonjol 134 Semarang, Jawa Tengah 50132
Timur Jl. Jend. A. Yani 152B Surabaya
15. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku
Jl. DR. Siwabessy No.16 PO
BOX 75 Ambon 97117
Propinsi Maluku Utara Jl. Tuna Raya No. 6 Sofifi
17. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Utara
Jl. Komp. Pertanian Kalasey PO
BOX 1038, Manado 95013
Propinsi Sulawesi Tenggara Jl. Balaikota No. 4 Kendari 93111
Propinsi Sulawesi Tengah Jl. Undata no. 7 Palu 94111
20. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan
21. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Selatan
Jl. Bajimanasa No. 12 Ujung Pandang Bautoloe Makassar 90126 Jl. Jend. Sudirman No. 9 Banjarbaru 70713
25. Dinas Kelautan dan Perikanan
26. Dinas Kelautan dan Perikanan
33. Dinas Kelautan dan Perikanan
81
Lanjutan lampiran 2 Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat provinsi di seluruh Indonesia
No. Nama Dinas Alamat
22. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Timur
23. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat
24. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Tengah
Jl. Kesuma Bangsa No. 1 Samarinda 75001 Jl. Sutan Sahrir No. 16 PO BOX
17 Pontianak 78116 Jl. Brigjen Katamso No. 2 PO
BOX 41, Palangkaraya 73112
Propinsi Bali Jl. Pattimura No. 77 Denpasar
Propinsi NTB Jl. Semanggi No. 8 Mataram 8125
27. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTT
28. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Barat
29. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kep. Bangka Belitung
30. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten
31. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Gorontalo
32. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Papua
Jl. Sangkar Mas Nunbaun Sabu Kupang Jl. Cut Nya Dien No. 13 Mamuju 91511 Jl. Komp. Perkantoran Kep. Babel Kec.Bukit Intan Pakalpinang Jln. Jenderal Sudirman Ruko Glodok Blok F 1-5 Kota Serang Baru, Serang-Banten Jl. M.H. Thamrin No. 170 Kota Gorontalo Jl. Sulawesi No.6-8 Dok VII PO
BOX 1604, Jaya Pura 99116
Propinsi Papua Barat Jl. Merdeka no. 7B Manokwari
Sumber: www.kkp.go.id
82
Lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. UPT Satker Pos 1. Pangkalan Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Jakarta
1. Muara Angke Cilincing P.Pramuka -
Kepulauan Seribu Muara Kamal
2. Lempasing Kuala Taladas – Tulang Bawang
3. Pelabuhan Ratu Cidaun – Cianjur Garut
4. Karangantu Pulo Kale, Terate dan P.Panjang
Labuan Kab.Tanggerang Lebak
5. Kejawanan Blanakan Karongsong Eretan
6. Pekalongan Wonokerto 7. Tegal Sari Brebes
Pelabuhan Tegal Tanjung Sari –
Pemalang 8. Cilacap Kebumen
Sadeng / DIY
9. Juwana Karimun Jawa Sarang Karanganyar Tasik Agung Banyutowo – Pati Jobokunto – Jepara Morodemak
10. Batang Kendal Roban
11. Banyuwangi Muncar 12. Surabaya Gresik
Sumenep Sampang
13. Prigi Malang Tulung Agung
14. Brondong Tuban
15. Probolinggo - 16. Bawean - 17. Benoa -
83
Lanjutan lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. UPT Satker Pos 1. Pangkalan Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Jakarta
2. Pengkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung
18. Pengambengan - 19. Kupang Atapupu – Belu
Atabua 20. Larantuka Ende
Maumere 21. Labuan Lombok -
Tobelo Donggala Parigi Mountong Banggai Malibago – Bolsel Banggai Kepualuan Labuan Uki –
Bolmang Amurang –
Minahasa Selatan Belang – Minahasa
Tenggara Tumumpang
Manado Likupang Kema Mamuju Utara Mamuju Majene Polewali Mandar Palopo Kota Balikpapan Samarinda Kota Botang
1. Bagho / Tahuna - 2. Melanguane P.Karatung
Beo Salibabu
3. Makassar Selayar Sinjai Bone Pangkajene
Kepulauan Jeneponto
4. Gorontalo Pahuwanto Boalemo
5. Kwandang Toli Toli
84
Lanjutan lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. UPT Satker Pos 2. Pengkalan Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung
3. Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pontianak
6. Kendari Bau Bau Pasarwajo Wakatobi Kolaka Torobulu
7. Ternate Halmahera Utara Goto
8. Bacan - 9. Tarakan Derawan
Sebatik – Nunukan Kab.Bulungan Kab.Berau
10. Banjarmasin Kotabaru Batu Licin Muara Kintap Entikong Badau Sajingan Jagoibabang P.Maya Sungai Rengas Sungai Kakap Kuala Mempawah Jakabarig –
Palembang Sungsang Banyuasin Sungai Lumpur –
Kabu – Paten OKI 1. Pemangkat Singkawang 2. Teluk Batang Pangkalanbun 3. Tanjung Balai -
Karimun 4. Moro - 5. Batam - 6. Tarempa - 7. Natuna / Ranai - 8. P.Kijang / Bintan - 9. Sungai Liat Pangkal Balam
PPI Sadai Kurau Muntok
10. Tanjung Pinang -
85
Lanjutan lampiran 3 UPT Satker dan Pos PSDKP
No. UPT Satker Pos 4. Stasiun Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Belawan
1. Sabang / Lampulo
2. Tanjung Balai Asahan
Serdang Bedagai Sabang Idi Aceh Selatan Aceh Besar Bagansiapi – api P.Jemur Panipahan Sinaboi Batubara Indagiri Hilir Bengkalis
3. Sibolga P.Telo Pandan – Tapanuli
Tengah Barus Mandaling Natal Sorkam Barat
4. Bungus Sikakap Carocok Tarusan Muara Padang Air Bangis
5. Kuala Tungkal Nipah Panjang 6. Panjung Pandan Manggar
Gantung 7. P.Bali Bengkulu -
5. Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Tual
1. Ambon Banda Masohi Bula Tulehu
2. Merauke Wanam
3. Sorong Kab.Sorong Sorong Selatan Raja Ampat
4. Biak - 5. Jayapura - 6. Wimro Manokwari 7. Kimaan - 8. Kaimana Timika 9. Avonah - 10. Fak-fak Dobo
Asmat Sumber: KKP (2012)
86
Lampiran 4 Jumlah personil patroli pada kapal PSDKP tahun 2007 hingga 2011
No. Nama Kapal 2007 2008 2009 2010 2011 1. KP. Barracuda 001 8 9 9 8 10 2. KP. Barracuda 001 8 8 9 9 11 3. KP. Hiu 001 11 12 13 14 13 4. KP. Hiu 002 10 11 14 14 13 5. KP. Hiu 003 10 12 14 13 14 6. KP. Hiu 004 13 11 13 13 14 7. KP. Hiu 005 11 12 14 14 12 8. KP. Hiu 006 11 12 12 13 15 9. KP. Hiu 007 11 11 13 13 13 10. KP. Hiu 008 10 11 12 13 15 11. KP. Hiu 009 11 12 12 13 14 12. KP. Hiu 010 10 12 13 13 14 13. KP. Hiu Macan 001 14 15 18 19 18 14. KP. Hiu Macan 002 14 15 16 21 19 15. KP. Hiu Macan 003 14 15 18 19 17 16. KP. Hiu Macan 004 14 15 17 18 18 17. KP. Hiu Macan 005 0 15 17 20 20 18. KP. Hiu Macan 006 0 0 16 20 20 19. KP. Todak 001 9 9 8 9 9 20. KP. Todak 002 8 9 10 10 9 21. KP. Takalamungan 9 10 10 11 13 22. KP. Padaido 9 10 10 10 10 23. KP. Catamaran 1202 0 6 5 5 7 24. KP. Hiu Macan Tutul 001 0 0 20 22 21 25. KP. Akar Bahar 0 0 0 6 7
Sumber: KKP (2011)
87
Lampiran 5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya
No. Nama Kapal Penempatan 1. KP. Baracuda 001 Jakarta 2. KP. Baracuda 002 Jakarta 3. KP. Hiu 001 Jakarta 4. KP. Hiu 002 Bitung 5. KP. Hiu 003 Jakarta 6. KP. Hiu 004 Jakarta 7. KP. Hiu 005 Bitung 8. KP. Hiu 006 Jakarta 9. KP. Hiu 007 Jakarta 10. KP. Hiu 008 Jakarta 11. KP. Hiu 008 Jakarta 12. KP. Hiu 010 Jakarta 13. KP. Hiu Macan 001 Jakarta 14. KP. Hiu Macan 002 Jakarta 15. KP. Hiu Macan 003 Jakarta 16. KP. Hiu Macan 004 Jakarta 17. KP. Hiu Macan 005 Jakarta 18. KP. Hiu Macan 006 Jakarta 19. KP. Todak 01 Bitung 20. KP. Todak 02 Bitung 21. KP. Takalamongan Bitung 22. KP. Padaido Bitung 23. KP. Kamla 1202 Jakarta 24. KP. Hiu Macan Tutul 001 Bitung 25. KP. Akar Bahar Bitung 26. KP. Marlin 1 (Speed Boat) Bali 27. KP. Marlin 2 (Speed Boat) Bali 28. KP. Marlin 3 (Speed Boat) Cilacap 29. KP. Marlin 4 (Speed Boat) Muna 30. KP. Marlin 5 (Speed Boat) Kota Baru 31. KP. Marlin 6 (Speed Boat) Lombok 32. KP. Marlin 7 (Speed Boat) Banjarmasin 33. KP. Marlin 8 (Speed Boat) Bima 34. KP. Marlin 9 (Speed Boat) Jakarta 35. KP. Marlin 10 (Speed Boat) Makasar 36. KP. Marlin 11 (Speed Boat) Manokwari 37. KP. Marlin 12 (Speed Boat) Wondama 38. KP. Marlin 13 (Speed Boat) Kaimana 39. KP. Marlin 14 (Speed Boat) Timika 40. KP. Marlin 15 (Speed Boat) Nabire 41. KP. Marlin 16 (Speed Boat) Pengkep 42. KP. Marlin 17 (Speed Boat) Sambas 43. KP. Marlin 18 (Speed Boat) Padang 44. KP. Marlin 19 (Speed Boat) Bulungan 45. KP. Marlin 20 (Speed Boat) Pontianak
88
Lanjutan lampiran 5 Daftar kapal PSDKP dan lokasi penempatannya
No. Nama Kapal Penempatan 46. KP. Marlin 21 (Speed Boat) Sula 47. KP. Marlin 22 (Speed Boat) Bangga 48. KP. Marlin 23 (Speed Boat) Asmat 49. KP. Marlin 24 (Speed Boat) Waropen 50. KP. Marlin 25 (Speed Boat) Kalimantan Barat 51. KP. Marlin 26 (Speed Boat) Pontianak 52. Dolphin 01 (Speed Boat) Kota Bengkulu Utara 53. Dolphin 02 (Speed Boat) Sibolga 54. Dolphin 03 (Speed Boat) Bitung 55. Dolphin 04 (Speed Boat) Jakarta 56. Dolphin 05 (Speed Boat) Belawan 57. Dolphin 06 (Speed Boat) Tual 58. Dolphin 07 (Speed Boat) Biak 59. Dolphin 08 (Speed Boat) Tanjung Pandan 60. Dolphin 09 (Speed Boat) Tarempa 61. Dolphin 10 (Speed Boat) Ranai 62. Dolphin 11 (Speed Boat) Ternate 63. Dolphin 12 (Speed Boat) Aru 64. Dolphin 13 (Speed Boat) Marauke 65. Dolphin 14 (Speed Boat) Asahan 66. Dolphin 15 (Speed Boat) Jayapura 67. Dolphin 16 (Speed Boat) Karimun 68. Dolphin 17 (Speed Boat) Tarakan 69. Dolphin 18 (Speed Boat) Batam
70. Dolphin 19 (Speed Boat) Kendiri 71. Dolphin 20 (Speed Boat) Waropen 72. Napoleon 01 (Speed Boat) Jayapura 73. Napoleon 02 (Speed Boat) Kaimana 74. Dolphin 21 (Speed Boat) Satket PSDKP Brodong 75. Dolphin 22 (Speed Boat) Satket PSDKP Kejawanan 76. Dolphin 23 (Speed Boat) Satket PSDKP Kuala Tungkal 77. Dolphin 24 (Speed Boat) Satket PSDKP Moro 78. Dolphin 25 (Speed Boat) Satket PSDKP Fak-Fak 79. Dolphin 26 (Speed Boat) Satket PSDKP Kwandang 80. Dolphin 27 (Speed Boat) Satket PSDKP Ambon 81. Napoleon 03 (Speed Boat) Satket PSDKP Pontianak 82. Napoleon 04 (Speed Boat) Satket PSDKP Ranai 83. Napoleon 05 (Speed Boat) Dinas PSDKP Kab.Flores Timur 84. Napoleon 06 (Speed Boat) Dinas PSDKP Kab.Majene 85. Napoleon 07 (Speed Boat) Dinas PSDKP Kab.Aceh Barat 86. Napoleon 08 (Speed Boat) Satker PSDKP Tarempa 87. Napoleon 09 (Speed Boat) Dinas PSDKP Kab.Toli-Toli 88. Napoleon 10 (Speed Boat) Dinas PSDKP Prov.Maluku Utara 89. Tenggiri 01 (Speed Boat) Dinas PSDKP Prov.Gorontalo Sumber: KKP (2012)
89
Lampiran 6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair
No. Klasifikasi, Ukuran Kapal, dan Jumlah Senjata di Atas Kapal
1. Klasifikasi A2, Ukuran 80 meter, Jumlah Senjata 3 buah
2. Klasifikasi A3, Ukuran 48 meter, Jumlah Senjata 3 buah
3. Klasifikasi B2, Ukuran 36 meter, Jumlah Senjata 2 buah
4. Klasifikasi B3, Ukuran 28 meter, Jumlah Senjata 1 buah
Nama Kapal
KP. Bisma KP. Baladewa KP. Arjuna KP. Nakula KP. Sadewa KP. Kresna KP. Setyaki KP. Antasena KP. Antareja KP. Gatotkaca KP. Parikesit KP. Abimanyu KP. Kepodang KP. Jalak KP. Manyar KP. Cucak Rawa KP. Kutilang KP. Bangau KP. Belibis KP. Pelikan KP. Punai KP. Tekukur KP. Pinguin KP. Kakatua KP. Beo KP. Puyuh KP. Enggano KP. Gelatik KP. Perenjak KP. Anis Kembang KP. Anis Macan KP. Walet KP. Maleo KP. Elang KP. Camar KP. Srigunting KP. Alap-alap KP. Rajawali KP. Jatayu KP. Cendrawasih
90
Lanjutan lampiran 6 Daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki oleh Polair No. Klasifikasi, Ukuran Kapal, dan
Jumlah Senjata di Atas Kapal 4. Klasifikasi B3, Ukuran 28 meter,
Jumlah Senjata 1 buah
5. Klasifikasi C1, Ukuran 16 meter, Jumlah Senjata 1 buah
6. Klasifikasi C2, Ukuran 15 meter, Jumlah Senjata 1 buah
Nama Kapal
KP. Merpati KP. Kasuari KP. Merak KP. Kolibri KP. Enggang KP. Balam
KP. Murai KP. Albatros KP. Eider KP. Pipit KP. Parkit KP. Perkutut KP. Nuri KP. Kenari KP. Hayabusa KP. Anis Madu KP. Taka KP. Sundaicus KP. Starnaja KP. Elang Laut KP. Zaitun KP. Kedidi KP. Bitern KP. Perkakak KP. Lory KP. Gagak KP. Sikatan KP. Pelatuk
Sumber: Polair (2012)
91
Lampiran 7 Alokasi Anggaran PSDKP berdasarkan Kegiatan tahun 2011
No. Kegiatan Alokasi Anggaran Persentase
1. Peningkatan Operasional Pemeliharaan Kapal Pengawasan
2. Penyelesaian Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan
3. Peningkatan Operasional Pengawasan Sumberdaya Kelautan
4. Peningkatan Operasional Pengawasan Sumberdaya Perikanan
5. Peningkatan Operasional Pemantauan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dan Pengembangan Infrastruktur Pengawasan
6. Dukungan Manajemen dan
143.428.513.000 39,54
15.769.379.000 4,35
14.597.760.000 4,02
26.288.679.000 7,25
63.460.107.000 17,50
99.159.562.000 27,34 Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Ditjen.PSDKP
Total 362.704.000.000 100
Sumber: KKP (2012)
92
Lampiran 8 Jumlah masing-masing tindak pidana perikanan tahun 2007 hingga 2011
No. Jenis tindak pidana perikanan 2007 2008 2009 2010 2011 1. Tanpa izin 65 35 59 45 17 2. Tanpa izin dan alat tangkap 27 11 20 116 39
terlarang 3. Dokumen tidak lengkap 18 27 17 3 13 4. Alat tangkap terlarang 5 4 4 6 - 5. Fishing ground 10 1 3 2 5 6. Alat tangkap tidak sesuai izin
(SIPI) 7. Dokumen tidak lengkap dan
8 4 6 - 2
4 5 3 - 5 Fishing ground
8. Tidak ada transmitter 5 15 4 - - 9. Fishing ground dan alat tangkap 1 1 - - 2
terlarang 10. Pengangkutan ikan (transhipment) 7 - 2 - - 11. Menampung ikan tidak sesuai
SIKPI 12. Tanpa keterangan jenis tindak
- - - - 1
- - - - 2 pidana perikanan
13. Transhipment dan alat tangkap - - - - - 14. Pemalsuan dokumen - - - - - 15. Pencurian terumbu karang 1 - - - - 16. Penyetruman (ACCU) - - - - - 17. Dokumen tidak lengkap dan tidak - 1 - - -
ada transmitter 18. Bahan peledak/bom 3 - - - - 19. Tanpa izin dan dokumen palsu - - - - 1 20. Pasir laut tanpa dokumen - - - - - 21. Tidak memiliki SLO - - - - 1 22. Bongkar muat tidak sesuai SIPI - - - - 1 23. ABK asing tidak sesuai SIPI 1 - - - 1
Sumber: KKP (2011)