analisis efisiensi pengeluaran publik di daerah...analisis efisiensi pengeluaran publik di daerah...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH
Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD
Jakarta 2016
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia telah memulai kerjasama dengan Organisation for Economic and
Cooperation Development (OECD) sejak tahun 2007 seiring dengan diluncurkannya
Program Kerjasama Tingkat Lanjut (Enhanced Engagement) antara OECD dengan
negara-negara Emerging Markets termasuk Indonesia. Saat ini Indonesia telah menjadi
Strategic Partner bagi OECD dengan lingkup kerjasama yang terus diperluas.
Kerjasama ini memegang peranan sangat penting, mengingat OECD merupakan
lembaga kerjasama internasional negara-negara maju (advance countries) yang
memiliki standar dan kualifikasi yang tinggi dalam berbagai permasalahan
pembangunan dan kesejahteraan.
Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan OECD memberikan manfaat yang
cukup besar dalam peningkatan kapasitas terutama mempelajari best practices dari
negara-negara maju dalam mengelola ekonomi dan pembangunan. Selain itu juga
dapat menjadi sarana dialog yang efektif dan obyektif dalam menghasilkan
rekomendasi kebijakan. Dengan semakin dalam dan luasnya kerjasama Pemerintah
Indonesia dan OECD, diperlukan kajian sejauhmana manfaat yang dapat diperoleh
Pemerintah dalam melakukan engagement dengan OECD tersebut.
Kerjasama Indonesia dengan OECD saat ini terus berjalan semakin mendalam
dengan berlangsungnya berbagai kerjasama di berbagai sektor terutama terkait
ekonomi dan pembangunan. Salah satu kerjasama yang terus dilakukan adalah
Economic Survey OECD. OECD secara rutin telah melakukan economic survey
terhadap Indonesia yang bertujuan untuk memetakan dan mengidentifikasi
permasalahan dan kondisi perekonomian di Indonesia. Dalam economic survey saat ini,
OECD akan lebih memfokuskan kepada review pengeluaran (expenditure review)
terutama terkait penyerapan dan penumpukan anggaran baik di tingkat Pemerintah
Pusat terutama lagi di tingkat daerah.
3
Reformasi yang terjadi di Indonesia dalam hal keuangan negara mendorong pula
reformasi dalam hal keuangan daerah. Lahirnya paket Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah memberikan perubahan yang sangat
mendasar terhadap pelaksanaan pemerintahan, terutama dalam hal pengelolaan
keuangan daerah dan menjadi tonggak awal dari otonomi daerah.
Dengan sistem baru ini pemerintah daerah diharapkan mampu untuk melahirkan
efektifitas dan efisiensi didalam penyelenggaraan pemerintahan dengan lebih
memperhatikan pada aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang serta tantangan
global.
Tujuan selanjutnya dari munculnya paket Undang-undang Keuangan Daerah
tersebut adalah agar pemerintah daerah mampu mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewan dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik indonesia.
Namun setelah lebih dari sepuluh tahun implementasi otonomi daerah, masih
menyisakan banyak permasalahan yang salah satunya adalah lambatnya proses
pembangunan di daerah yang tercermin dari selalu lambatnya realisasi dan pencairan
alokasi anggaran daerah. Menteri Keuangan pernah menyatakan bahwa terdapat dana
daerah sekitar Rp 255 triliun yang mengendap di perbankan yang akan lebih
bermanfaat apabila direalisasikan untuk program-program pembangunan di daerah.
Sering terjadi, program dan kegiatan pembangunan telah direncanakan dengan sangat
baik, namun ternyata ketika direalisasikan dalam bentuk anggarannya tidak terserap
dan terlaksana secara maksimal.
Penyerapan anggaran merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
keberhasilan suatu perencanaan untuk pembangunan. Meskipun program
pembangunan direncanakan dengan sangat baik, tanpa realisasi anggaran tentu saja
pembangunan tersebut tidak akan terjadi. Penyerapan anggaran masih menjadi
masalah klasik di Indonesia yang sulit untuk dipecahkan.
4
Setiap tahun anggaran, rendahnya realisasi dan penumpukan realisasi anggaran
di akhir tahun selalu berulang. Berbagai langkah sudah dilakukan seperti
penyederhanaan prosedur, penerbitan DIPA lebih awal, proses lelang yang dilakukan
lebih awal dan berbagai langkah lain sudah dilakukan, namun permasalahan tersebut
masih terus terjadi.
Anggaran juga digunakan oleh setiap pemerintahan daerah untuk menjalankan
roda pembangunan di daerahnya masing-masing untuk mencapai target pembangunan
yang telah ditetapkan. Namun sudah menjadi persoalan umum bahwa sebagian besar
pemerintahan daerah tidak dapat memanfaatkan anggaran atau APBD yang dimiliki
setiap tahun secara maksimal. Permasalahan lain yang terjadi adalah meskipun pada
akhirnya anggaran dapat direalisasikan, namun sebagian besar masih menumpuk di
akhir tahun.
Menumpuknya anggaran di akhir tahun merupakan salah satu indikasi kurang
efektif dan efisien nya pengeluaran publik di daerah. Hal ini bias disebabkan oleh
perencanaan yang kurang matang, proses administrasi yang lamban, proses lelang dan
prosedur hukum yang harus ditempuh dan berbagai kemungkinan penyebab lainnya.
Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, maka isu ini dijadikan topik utama
dengan tema Efisiensi Pengeluaran Publik Di Daerah. Kajian ini diharapkan dapat
menjadi penyeimbang dan pelengkap kajian dalam economic survey OECD tahun 2016
ini yang lebih menekankan kepada efisiensi pengeluaran public namun dari sisi yang
lebih makro dan menitik beratkan pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
terutama Pemerintah Daerah.
5
I.2. Maksud Dan Tujuan
Sebagaimana telah diuraikan dalam Latar Belakang tersebut diatas, maka
maksud dan tujuan dari kegiatan kajian ini diuraikan sebagai berikut:
Maksud
Maksud kegiatan kajian Analisis Efisiensi Pengeluaran Publik di daerah ini
adalah untuk mengidentifikasi tantangan dan kendala penyerapan anggaran di daerah
yang masih belum membaik dan stagnan sehingga berakibat terhambatnya program-
program pembangunan pemerintah di daerah.
Tujuan
Tujuan Kajian Analisis Tantangan dan Kendala Penyerapan Anggaran di daerah
ini adalah untuk memberikan rekomendasi dan perbaikan terkait tantangan dan kendala
penyerapan anggaran di daerah sehingga dapat mempercepat pencapaian tujuan
program-program pembangunan di daerah.
I.3. Ruang Lingkup Dan Metodologi
I.3.1. Batasan Kegiatan
Analisis tantangan dan kendala penyerapan anggaran di daerah yang
disarankan untuk menjadi objek kegiatan kajian ini adalah penyerapan APBD baik yang
berasal dari transfer dana dari Pemerintah Pusat seperti Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus maupun dana transfer lainnya maupun dana yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah. Objek kegiatan akan dilakukan sampel di lima Pemerintah
Daerah di Indonesia baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
I.3.2. Lingkup Kegiatan
Dengan mengacu pada maksud dan tujuan yang dijelaskan diatas, dapat
disampaikan bahwa ruang lingkup kajian Analisis Tantangan dan Kendala Penyerapan
Anggaran di daerah adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan kerangka analisis untuk merumuskan kajian yang lebih tepat
sasaran.
6
2. Mengidentifikasi tantangan dan kendala yang terjadi dalam penyerapan
anggaran di beberapa Pemerintah derah sampel di Indonesia.
3. Melakukan observasi dan analisis terhadap data-data dan regulasi terutama dari
Pemerintah daerah untuk menganalisis tantangan dan kendala penyerapan
anggaran di daerah
4. Melakukan evaluasi atas permasalahan, penyebab dan alternatif solusi terhadap
penyerapan anggaran di daerah yang hipotesa nya selama ini relatif rendah
terutama di Pemerintah daerah yang menjadi sampel.
Dalam melaksanakan tugasnya, perlu dijalin aksesibilitas dan kerjasama dengan
berbagai unsur terkait, terutama stakeholders yang dijadikan objek kegiatan kajian,
yaitu Pemerintah daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang dijadikan sampel.
Koordinasi yang dilakukan tersebut harus sesuai dengan norma-norma kepatutan,
hubungan baik serta sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
I.3.3. Metodologi
Metodologi penanganan dan pendekatan pelaksanaan yang akan digunakan
dalam kegiatan kajian ini adalah dengan menggunakan berbagai metode, antara lain:
1. Menelaah beberapa peraturan dan regulasi terkait keuangan negara dan
keuangan daerah termasuk APBN dan APBD, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan tingkat Menteri, Peraturan Daerah dan regulasi-regulasi
lainnya.
2. Menelaah rencana kerja perencanaan dan penganggaran serta realisasi
pelaksanaan kegiatan di Pemerintah Daerah yang menjadi sampel.
3. Melakukan observasi dan analisis terhadap data-data dan regulasi terutama dari
Pemerintah daerah untuk menganalisis tantangan dan kendala penyerapan
anggaran di daerah
4. Melakukan penelaahan kajian literatur terhadap buku-buku, jurnal dan artikel
terutama yang berhubungan dengan keuangan negara dan keuangan daerah
serta literatur tentang review pengeluaran (expenditure review).
5. Melakukan evaluasi atas penyerapan anggaran yang sudah dilakukan oleh
Pemerintah Daerah terkait sebagai objek kegiatan kajian.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pelaksanaan sistem penganggaran yang berlaku di Indonesia saat ini
memerlukan pendekatan efisiensi dan pendekatan hirarki. Pendekatan efisiensi
dilakukan untuk mengukur penggunaan input atau sumber daya serta pencapaian
keluaran dan hasil sehingga diperlukan indikator kinerja input, output dan outcome.
Pendekatan ini juga dilakukan untuk mengukur efisiensi proses transformasi input
menjadi output sehingga diperlukan standar biaya. Sedangkan untuk mengukur
keberhasilan program dan kegiatan diperlukan evaluasi kinerja.
Efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya yang terbatas harus dimulai
dari Pemerintah Pusat yang meliputi setiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
daerah termasuk seluruh Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD) dengan menyusun
kegiatan yang berbasis kinerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
yang disesuaikan dengan sasaran program dan tujuan pembangunan nasional secara
keseluruhan yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Reformasi sistem keuangan dan penganggaran yang telah dilakukan baik
keuangan pusat maupun daerah tersebut telah menempatkan anggaran berbasis
kinerja menjadi suatu keharusan dimana setiap anggaran yang dikeluarkan oleh negara
harus berdasarkan pada kinerja yang dihasilkan. Anggaran berbasis kinerja ini
mengambil prinsip bahwa pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan
keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari kegiatan
dan program termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut.
Anggaran berbasis kinerja diartikan sebagai penyusunan anggaran yang didasarkan
pada target kinerja tertentu. Anggaran yang disusun harus sesuai dengan beban target
kinerja dimana target kinerja bersifat tetap dan menjadi dasar dari penyusunan
anggaran.
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut memiliki karakteristik
umum antara lain bersifat komperehensif dan komparatif, terintegrasi dan lintas
departemen dimana setiap pengguna anggaran memiliki standar yang sama dalam
sistem penganggarannya, proses pengambilan keputusan yang rasional dan berjangka
8
menengah dan panjang berdasarkan pada Medium Term Budget Framework. Selain itu,
anggaran berbasis kinerja memiliki spesifikasi tujuan dan berdasarkan prioritas,
berorientasi pada input, output dan outcome serta adanya pengawasan terhadap
kinerja masing-masing pengguna anggaran.
Anggaran Berbasis Kinerja
Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistimatis
menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya.
Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk
melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen,
prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik. Penganggaran
berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat
pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah.
Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi
manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-
kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam
target kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai,
dituangkan dalam program, diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian
tujuan.
Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrumen
kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi
pemerintah atau lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan, serta memperoleh
alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi
pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan.
Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan yang merupakan rencana
operasional dari rencana strategis dan anggaran tahunan merupakan komponen dari
anggaran berbasis kinerja.
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis
kinerja adalah tujuan anggaran yang disepakati dan ukuran pencapaiannya,
pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja dapat
diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan
9
prestasinya, dan penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat
digunakan dalam manajemen perencanaan, pemrograman, penganggaran dan
evaluasi.
Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi
penggunaan anggaran berbasis kinerja antara lain adalah kepemimpinan dan komitmen
dari seluruh komponen organisasi, fokus pada penyempurnaan administrasi secara
terus menerus, optimalisasi sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan
tersebut baik berupa uang, waktu maupun sumber daya manusia, penghargaan
(reward) dan sanksi (punishment) yang jelas dan keinginan yang kuat untuk berhasil
dalam mencapai tujuan pelaksanaan anggaran.
Dalam menyusun anggaran berbasis kinerja terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain prinsip-prinsip penganggaran, aktivitas utama dalam
penyusunan anggaran berbasis kinerja dan peranan parlemen dalam hal ini DPR bagi
pemerintah pusat dan DPRD bagi pemerintah daerah dalam persetujuan anggaran.
Prinsip-prinsip penganggaran berbasis kinerja antara lain adalah:
1) Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan,
sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek
yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk
mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan
masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.
Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun
pelaksanaan anggaran tersebut.
2) Disiplin anggaran
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sedangkan belanja yang
dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan
kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia anggarannya. Dengan kata lain, bahwa
penggunaan setiap pos anggaran harus sesuai dengan kegiatan/proyek yang diusulkan
10
3) Keadilan anggaran
Pemerintah harus mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar
dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian
pelayanan, karena pendapatan negara pada hakikatnya diperoleh melalui peran serta
masyarakat secara keseluruhan.
4) Efisiensi dan efektivitas anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat
guna, tepat waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat
menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan
stakeholders.
5) Disusun dengan pendekatan kinerja
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja (output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input
yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau
input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme
kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di atas, Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang
penganggaran antara lain adalah:
1). Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah
(Medium Term Budget Framework)
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang
menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran,
mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional
dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perguruan tinggi
dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di
masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan
berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama,
harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal
11
dalam jangka menengah. Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis
apakah pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada,
termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar kebijakan-kebijakan
baru dapat diakomodasikan.
2). Penerapan penganggaran secara terpadu (unified budget)
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan perguruan tinggi disusun secara
terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja
pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya
jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan
memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Dalam
kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat penting
untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi
maupun biaya yang bersifat operasional.
3). Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja (performance based budget)
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari
pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung
perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat
proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah.
Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan
pemerintah harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan
sesuai dengan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah (RKP) baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah yang telah ditetapkan.
Aktivitas utama dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah
mendapatkan data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Proses
mendapatkan data kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian
tentang berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan.
Data kuantitatif juga dapat memberikan informasi tentang bagaimana manfaat
setiap program terhadap rencana strategis. Proses pengambilan keputusan harus
melibatkan setiap level dari manajemen pemerintah. Pemilihan dan prioritas program
12
yang akan dianggarkan akan sangat tergantung pada data tentang target kinerja yang
diharapkan dapat dicapai.
Proses penganggaran sangat menentukan keberhasilan pembangunan. APBN
dan APBD sebagai katalisator pembangunan baik di pusat maupun di daerah akan
memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi apabila
efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Salah satu yang menjadi permasalahan
adalah bagaimana anggaran yang telah disediakan oleh negara dapat diserap dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Proses Penganggaran di Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan dan
membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing. Kedua
undang-undang ini membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk
pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efektif
dan efisien.
Pengalokasian dana yang efektif mengandung arti bahwa setiap pengeluaran
yang dilakukan pemerintah mengarah pada pencapaian sasaran dan tujuan stratejik
yang dimuat dalam dokumen perencanaan stratejik daerah. Sedangkan, pengalokasian
dana yang efisien mengandung arti bahwa pencapaian sasaran dan tujuan stratejik
tersebut telah menggunakan sumber daya yang paling minimal dengan tetap
mempertahankan tingkat kualitas yang direncanakan. Pengalokasian pengeluaran yang
efektif dan efisien tersebut dapat diwujudkan dengan penerapan performance-based
budgeting dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah.
Di Indonesia, berbagai peraturan dan pedoman telah diterbitkan terkait dengan
penerapan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) pada
pemerintah daerah. Termasuk yang diatur dalamnya adalah pencantuman indikator
kinerja dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran serta penggunaan
indikator kinerja tersebut dalam proses penyusunan anggaran pemerintah. Dokumen-
dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
13
(RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran
(KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) pada tingkat pemerintah
daerah (provinsi/kabupaten/kota).
Sementara itu, dokumen-dokumen yang diperlukan dan disusun pada tingkat
satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD,
Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.
Keselarasan antar dokumen-dokumen perencanaan dapat dilihat dari keselarasan
indikator kinerja yang terdapat dalam dokumen-dokumen tersebut.
Pada SKPD, indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah
mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan
selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator kinerja yang
dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan
dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam
dokumen 3 perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan
operasional yang dilaksanakan SKPD.
14
BAB III
GAMBARAN UMUM DAERAH SURVEY
DAN REALISASI PENYERAPAN ANGGARAN
Secara agregat, realisasi penyerapan APBD baik di tingkat propinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota menunjukkan pola penyerapan yang sama. Hampir di semua
wilayah, realisasi penyerapan APBD semakin cepat dan tinggi di waktu akhir tahun
anggaran, terutama di triwulan terakhir, terlebih lagi di bulan Desember. Pola tersebut
terjadi setiap tahun dan belum ada perubahan yang berarti. Identifikasi terhadap pola
penyerapan yang ideal juga perlu dilakukan agar kebijakan yang diambil menjadi tepat
sasaran. Apakah pola yang memang terjadi saat ini sudah merupakan pola ideal
ataupun ada pola penyerapan lain yang lebih ideal namun belum dapat dicapai pada
saat ini sehingga diperlukan berbagai langkah dan kebijakan dalam rangka mencapai
pola penyerapan ideal tersebut.
Berdasarkan data yang berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
dari tahun 2011 hingga tahun 2013, realisasi penyerapan belanja APBD hampir
mencapai 100 persen atau sekitar 96 persen dari pagu APBD. Rata-rata realisasi
penyerapan belanja dalam APBD pada tahun 2011 mencapai 98,8 persen. Realisasi
belanja pada tahun 2012 turun menjadi 96,2 persen dan realisasi belanja pada tahun
2013 berada pada tingkat 96,1 persen.
Meskipun realisasi penyerapan APBD secara tahunan menunjukan angka yang
cukup fantastis, yaitu hampir 100 persen terserap, namun jika dilihat dari pola bulanan
dan triwulanan realisasi penyerapan menunjukan angka yang kurang ideal. Realisasi
penyerapan belanja APBD pada bulan Januari berada dikisaran 4 hingga 5 persen.
Sementara itu, realisasi triwulan pertama yang berakhir pada bulan Maret paling tinggi
haya berada pada angka 14 persen yaitu pada tahun 2011, bahkan pada tahun 2014
hanya terserap sekitar 11,7 persen. Ketika data dilihat secara semesteran, kemajuan
penyerapan juga tidak terlihat cukup baik da hanya berkisar atara 33 hingga 34 persen.
Berikut ini adalah grafik rata-rata realisasi APBD tahun 2011-2014.
15
Grafik 1. Rata-rata Realisasi APBD 2011-2014
Sumber : Direktorat Jederal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu
Sementara itu, jika dilihat data realisasi per propinsi didapatkan rata-rata
penyerapan selama triwulan pertama tahun 2014 sebesar 11,7 persen. Realisasi
terendah pada triwulan pertama tahun 2014 adalah Propinsi Kalimantan Utara dengan
angka penyerapan sebesar 2,6 persen, diikuti oleh propinsi Kalimantan Timur sebesar
6,2 persen dan propinsi papua sebesar 8,8 persen. Sedangkan realisasi tertinggi pada
triwula pertama tahun 2014 adalah propinsi Sulawesi Utara dengan realisasi sebesar
18,8 persen, diikuti Propinsi Sulawesi Barat sebesar 17,1 persen dan Propinsi
Gorontalo sekitar 16 persen.
Jika dilihat dari lima propinsi dengan pola penyerapan terbesar pada tahun 2014,
empat propinsi merupakan propinsi yag terletak di pulau Sulawesi, yaitu Sulawesi
Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi apakah karena
suatu faktor kebetulan atau ada faktor lain yang memang mempengaruhi, sehingga
menjadi salah satu faktor yang menarik untuk ditelusuri dan diidentifikasi. Begitu juga
jika dilihat dari lima propinsi dengan realisasi penyerapan terendah, tiga propinsi berada
di pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan, serta dua propinsi lainnya dari pulau Papua yaitu propinsi Papua dan Papua
Barat. Apakah merupakan suatu kebetulan tiga propinsi di Kalimantan dan dua propinsi
16
di Papua menjadi propinsi dengan realisasi penyerapan terendah, ataukah ada faktor-
faktor lain yang mempengaruhi dan menjadi penyebabnya sehingga menarik utuk
diidentifikasi penyebabnya. Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan realisasi APBD
triwulan pertama tahun 2014.
Grafik 2. Realisasi APBD per Propinsi Triwulan I tahun 2014
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu
Dilihat dari data realisasi diatas, selama 3 tahun terakhir data realisasi baik
bulanan, triwulanan, semesteran maupun tahunan polanya tetap sama dan tidak
mengalami perubahan. berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dan berbagai
stakeholders lain untuk mempercepat penyerapan seperti dengan pembentukan Tim
Evaluasi Penyerapan Anggaran (Teppa), penyederhanaan aturan dan regulasi maupun
percepatan penerbitan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) serta proses lelang
dapat dimulai di akhir tahun. Namun berbagai langkah dan kebijakan tersebut seperti
tidak dapat merubah pola penyerapan yang masih tetap lambat di awal tahun anggaran
dan menumpuk di belakang.
Sehingga perlu diidentifikasi permasalahan mendasar yang menjadi penyebab
terjadinya kondisi tersebut. Dengan berbagai kebijakan dan terobosan yang telah
dilakukan namun belum dapat merubah prilaku pola penyerapan anggaran sehingga
muncul hipotesis bahwa akar permasalahan nya masih belum dapat diselesaikan.
17
Survey dalam kajian ini dilakukan di beberapa wilayah, antara lain Kabupaten
Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Batam, Propinsi
Kepulauan Riau, Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Badung, Propinsi
Bali, Kota Mataram dan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
III.1. Propinsi Jawa Tengah
III.1.1. Keadaan Geografi
1. Letak Geografi
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua
provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya antara 5°40' dan
8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' dan 111°30' Bujur Timur (termasuk Pulau
Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke
Selatan 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa).
2. Luas Penggunaan Lahan
Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah
Jawa Tengah pada tahun 2010 tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04
persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia). Luas yang ada, terdiri
dari 992 ribu hektar (30,47 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,53
persen) bukan lahan sawah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
luas lahan sawah tahun 2010 turun sebesar 0,013 persen, sebaliknya luas bukan lahan
sawah naik sebesar 0,006 persen.
Menurut penggunaannya, persentase lahan sawah yang berpengairan teknis
adalah 39,03 persen, tadah hujan 27,47 persen dan lainnya berpengairan setengah
teknis, sederhana, dan lain-lain. Dengan menggunakan teknik irigasi yang baik, potensi
lahan sawah yang dapat ditanami padi lebih dari dua kali sebesar 78,70 persen.
Berikutnya, lahan kering yang dipakai untuk tegal/kebun sebesar 31,83 persen dari total
bukan lahan sawah. Persentase itu merupakan yang terbesar, dibanding persentase
penggunaan bukan lahan sawah lain.
3. Keadaan Iklim
18
Menurut Stasiun Klimatologi Klas I Semarang, suhu udara rata-rata di Jawa
Tengah tahun 2014 berkisar antara 23°C sampai dengan 28°C. Tempat - tempat yang
letaknya berdekatan dengan pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Untuk
kelembaban udara rata-rata bervariasi, dari 80 persen sampai dengan 88 persen.
Curah hujan tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Sempor, Kebumen yaitu sebesar
1.320 mm dan hari hujan terbanyak tercatat di Stasiun SMPK,Borobudur,Magelang 64
hari.
III.1.2. Penduduk Dan Ketenagakerjaan
1. Kependudukan
Berdasarkan Angka Sementara Proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah
penduduk Jawa Tengah pada tahun 2014 tercatat sebesar 33,52 juta jiwa sekitar
13,29 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai
provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan
Jawa Timur. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk
laki-laki. Ini ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki
terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 98,41 persen.
Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh
wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota
dibandingkan kabupaten. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun
2014 tercatat sebesar 1.030 jiwa setiap kilometer persegi, dan wilayah terpadat adalah
Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan lebih dari 11 ribu orang setiap kilometer
persegi. Jumlah rumahtangga sebesar 9,0 juta pada tahun 2014 sedangkan rata-rata
penduduk per rumahtangga di Jawa Tengah tercatat sebesar 3,7 jiwa.
2. Keluarga Berencana
Peserta KB aktif di Jawa Tengah pada tahun 2014 mencapai 5,31 juta. Pada
tahun yang sama, peserta KB baru tercatat sebesar 934 ribu peserta. Suntik
merupakan metoda kontrasepsi yang paling banyak diminati peserta KB aktif dan KB
Baru.
19
3. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumberdaya manusia yang
sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan menyongsong era globalisasi. BPS
merujuk pada konsep/definisi ketenagakerjaan yang direkomendasikan oleh
International Labour Organization (ILO). Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai
penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, dan dibedakan sebagai Angkatan Kerja dan
bukan Angkatan Kerja. Pertumbuhan penduduk tiap tahun akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan angkatan kerja.
Berdasarkan hasil Sakernas, angkatan kerja di Jawa Tengah tahun 2014
mencapai 17,55 juta orang atau naik sebesar 3,30 persen dibanding tahun sebelumnya.
Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 70,72
persen. Sedangkan angka pengangguran terbuka di Jawa Tengah sebesar 6,02
persen.
Bila dibedakan menurut status pekerjaan utamanya, buruh/karyawan sebesar
31,83 persen. Status pekerjaan ini lebih besar dibanding status pekerjaan lain.
Sedangkan berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain, berusaha dengan dibantu buruh
tidak tetap, berusaha sendiri dibantu buruh tetap dan pekerja lainnya masing-masing
tercatat sebesar 16,06 persen, 19,91 persen, 3,27 persen dan 28,93 persen.
Sektor pertanian menyerap sekitar 30,86 persen pekerja dan merupakan
sektor terbanyak menyerap pekerja. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak
memerlukan pendidikan khusus. Sektor berikutnya yaitu sektor perdagangan dan sektor
industri, masing-masing menyerap tenaga kerja sebesar 22,46 persen dan 19,07
persen.
4. Transmigrasi
Salah satu upaya untuk mengatasi terbatasnya kesempatan kerja antara lain
melalui program transmigrasi. Di Jawa Tengah tercatat sebanyak 122 kepala keluarga
transmigran pada tahun 2014 atau turun 74,00 persen bila dibandingkan tahun
sebelumnya. Mereka berasal dari hampir semua daerah kabupaten/kota dan yang
terbanyak berasal dari Kabupaten Grobogan (5,74 persen).
20
Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan merupakan daerah tujuan yang
paling banyak diminati transmigran asal Jawa Tengah. Jumlah keluarga yang berangkat
ke daerah tersebut masing-masing sebanyak 30 keluarga (24,60 persen), selebihnya
tersebar di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi
Barat.
III.1.3. Keuangan Dan Harga-Harga
1. Keuangan Daerah
Realisasi pendapatan asli daerah pada tahun anggaran 2014 terhimpun sekitar
9,91 trilyun rupiah naik sekitar 30,64 persen dibandingkan tahun anggaran sebelumnya.
Pajak daerah memberikan kontribusi paling tinggi yaitu sebesar 8,21 trilyun rupiah atau
sekitar 82,82 persen dari total pendapatan asli daerah.
2. Investasi
Perkembangan perekonomian daerah, tidak lepas dari peranan investasi yang
ditanamkan di Jawa Tengah, dimana realisasi investasi pada tahun 2014 penanaman
modal daerah dalam negeri (PMDN) sebanyak 20 proyek dengan total investasi
sebesar 3.142 milyar rupiah dengan tenaga kerja yang diserap sebanyak 13.072 orang.
Untuk Penanaman Modal Asing (PMA), sebanyak 58 proyek dan mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 25.011 orang dengan nilai investasi sebesar 3.788 milyar rupiah
dan 248.693 ribu USD.
3. Harga-harga
Informasi inflasi merupakan salah satu tolok ukur kestabilan perekonomian
daerah. Tingkat inflasi Kota Semarang untuk tahun kalender 2014 (8,53 persen), lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional (8,36 persen). Ini menunjukkan
bahwa tingkat perubahan harga yang terjadi di Semarang lebih tinggi dibandingkan
perubahan harga secara nasional. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
angka inflasi Kota Semarang lebih tinggi, dari 8,19 persen pada tahun 2014
menjadi 8,53 persen pada tahun 2014.
Besarnya angka inflasi dipengaruhi oleh perubahan harga menurut kelompok
barang. Secara umum indeks harga masing- masing kelompok barang pada tahun 2014
21
lebih tinggi bila dibandingkan tahun sebelumnya. Angka inflasi pada tahun 2014
terutama karena meningkatnya harga kelompok bahan makanan sebesar 12,52
persen. Kenaikan indeks terendah tercatat pada kelompok sandang sebesar
2.32 persen.
Gambaran untuk melihat tingkat kesejahteraan petani, ditunjukkan oleh
Nilai Tukar Petani (NTP) dalam persentase, yaitu rasio antara indeks harga yang
diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. NTP Jawa Tengah tahun
2014 menggunakan tahun dasar 2007. Angka di atas 100 berarti tingkat kesejahteraan
petani mulai tahun tersebut lebih baik dibandingkan tingkat kesejahteraan petani pada
tahun dasar 2007. Pada tahun 2014 NTP Jawa Tengah Bulan Januari sampai
Desember mempunyai angka di atas 100, berarti bahwa tingkat kesejahteraan petani
berada di atas tingkat kesejahteraan petani pada tahun dasar 2007.
III.1.4. Pendapatan Regional
1. PDRB Jawa Tengah menurut Sektor
Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2014 yang ditunjukkan oleh laju
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
2000, lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu 5,42 persen (2014 = 5,14 persen).
Pertumbuhan riil sektoral tahun 2014 mengalami fluktuasi dari tahun sebelumnya.
Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor Informasi dan Komunikasi sebesar
13,00 persen, namun peranannya terhadap PDRB hanya sekitar 3,07 persen.
Sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang paling rendah pada tahun
2014, yaitu sebesar -2,95 persen.
Sektor industri pengolahan masih memberikan sumbangan tertinggi terhadap
ekonomi Jawa Tengah yaitu sebesar 36,31persen, dengan laju pertumbuhan sebesar
8,04 persen. Sektor perdagangan Besar dan Eceran,Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
yang juga merupakan sektor dominan memberikan sumbangan bagi perekonomian
Jawa Tengah sebesar 13,44 persen dengan pertumbuhan riil sebesar 4,35 persen.
Sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar - 2,95 persen, masih mempunyai
peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi, karena mampu
memberi andil sebesar 14,78 persen.
22
Dari angka-angka indeks implisit PDRB, dapat diketahui kenaikan harga dari
waktu ke waktu baik secara agregat maupun secara sektoral. Secara agregat indeks
implisit di Jawa Tengah tahun 2014 sebesar 120,80. Sedangkan secara sektoral,
pertumbuhan indeks implisit yang paling cepat atau di atas angka rata-rata indeks
implisit Jawa Tengah pada tahun 2014 terjadi pada sektor Jasa Pendidikan sebesar
140,74 persen. Sektor lain yang perkembangan indeks implisitnya paling lamban adalah
Informasi dan Komunikasi yaitu sebesar 94,27 persen.
2. PDRB Jawa Tengah menurut Komponen Penggunaan
PDRB menurut komponen penggunaan terdiri dari konsumsi rumahtangga,
konsumsi pemerintah, pembentukan modal serta ekspor dan impor barang dan
jasa. PDRB dari sudut penggunaan yang terbesar adalah untuk pengeluaran konsumsi
rumah tangga.
Menurut harga berlaku, konsumsi rumahtangga tahun 2014 mempunyai
konstribusi 64,03 persen dari total PDRB Provinsi Jawa Tengah atau senilai 592.695,6
milyar rupiah. Dibandingkan tahun sebelumnya nilai tersebut naik 10,90
persen. Jika didasarkan harga konstan 2000 nilainya mencapai 464.155,2 milyar rupiah,
naik sebesar 4,15 persen dari tahun 2014.
Konsumsi pemerintah yang dipakai untuk penyelenggaraan pemerintah pusat
dan daerah serta pertahanan dan keamanan, tahun 2014 atas dasar harga berlaku
sebesar 69.276,2 milyar rupiah, naik menjadi 76.604,2 milyar rupiah pada tahun 2014
atau meningkat 10,57 persen. Jika diukur berdasarkan harga konstan 2000, konsumsi
pemerintah tahun 2014 naik 2,85 persen dari tahun 2014.
Penggunaan lain yang cukup besar dari Produk Domestik Regional Bruto adalah
untuk pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Menurut harga berlaku, tahun 2014
mencapai 273.585,2 milyar rupiah, dan sebesar 220.009,4 milyar rupiah atas dasar
harga konstan 2000. PMTB atas dasar harga berlaku meningkat sebesar 12,97 persen,
sementara atas dasar harga konstan 2000 naik 4,16 persen.
Investasi yang ditanamkan di berbagai sektor ekonomi berhasil meningkatkan
produksi. Meningkatnya produksi akan lebih mendorong ekspor. Nilai ekspor yang
23
dicapai Jawa Tengah pada tahun 2014 sebesar 70.362,2 milyar rupiah, meningkat
menjadi 83.686,7 milyar rupiah pada tahun 2014. Nilai impor barang dan jasa masih di
atas kegiatan ekspor. Pada tahun 2014, nilai impor atas dasar harga berlaku mencapai
220.421,2 milyar rupiah, naik 17,99 persen dari tahun sebelumnya.
III.1.5. Pengeluaran Konsumsi Per Kapita
Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan
kesejahteraan suatu masyarakat. Namun data pendapatan yang akurat sulit diperoleh,
sehingga dalam kegiatan Susenas data ini didekati melalui data pengeluaran rumah
tangga. Pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan
makanan dapat menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan
rumah tangganya. Walaupun harga antar daerah berbeda, namun nilai pengeluaran
rumah tangga masih dapat menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan
penduduk antar provinsi khususnya dilihat dari segi ekonomi.
Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2014
tercatat sebesar 622.904 rupiah. Rata-rata pengeluaran di daerah perkotaan lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan, yakni 717.518 rupiah berbanding 542.735 rupiah.
Dengan kata lain, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di perdesaan hanya
75,64 persen dari pengeluaran di daerah perkotaan.
Tahun 2014, sebesar 46,74 persen pengeluaran per kapita di perkotaan
digunakan untuk kebutuhan makanan, sedangkan di perdesaan tercatat sebesar 54,42
persen. Dibandingkan tahun 2014, terlihat adanya kenaikan
persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan dan adanya
penurunan persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di pedesaan. Pada tahun
tersebut, persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan dan
perdesaan masing-masing 45,66 dan 54,61 persen.
III.2. Propinsi Kepulauan Riau
III.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Provinsi K epulauan Riau
Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0o29’ Lintang Selatan dan 04o40’ Lintang
Utara serta antara 103o22’ Bujur Timur sampai dengan 109o4’ Bujur Timur. Sejak tahun
24
2008, Provinsi Kepulauan Riau terbagi menjadi 5 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu
Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga,
Kabupaten Kepulauan Anambas serta Kota Batam dan Kota Tanjungpinang. Provinsi
Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi bahari di Republik Indonesia. Provinsi
Kepulauan Riau dikelilingi laut dan daratannya terdiri dari banyak gugusan pulau.
Berdasarkan hasil identifikasi Bakosurtanal, tercatat 394 pulau berpenghuni sedangkan
1.401 lainnya belum berpenghuni. Gugusan pulau besar dan kecil tersebar di seluruh
wilayah provinsi, Lingga tercatat memiliki jumlah pulau terbanyak yaitu 531 pulau
dimana 455 pulau belum dihuni dan sebanyak 76 pulau telah dihuni. Sementara hanya
9 pulau di Kota Tanjungpinang dengan 2 pulau sudah berpenghuni.
Beberapa pulau di Provinsi Kepulauan Riau berukuran relatif besar. Pulau Bintan
adalah salah satu diantaranya dimana terdapat kedudukan Ibukota Provinsi,
Tanjungpinang. Selain itu ada juga Pulau Batam yang merupakan Pusat
Pengembangan Industri dan Perdagangan, dengan Pulau Rempang dan Galang
(Barelang) sebagai kawasan perluasan wilayah industri Batam. Selanjutnya adalah
Pulau Karimun dan Pulau Kundur yang menjadi pusat perekono-mian hampir sebagian
besar masyarakat Kabupaten Karimun. Lalu ada juga Pulau Lingga di Kabupaten
Lingga. Kemudian Pulau Natuna serta gugusan Kepulauan Anambas yang merupakan
lokasi kegiatan pengembangan mega proyek gas alam cair.
Sebagai salah satu provinsi yang berada di daerah perbatasan negara yang
berbatasan langsung dengan beberapa negara ASEAN, Provinsi Kepulauan Riau
memiliki posisi yang sangat strategis. Selain itu Kepulauan Riau pun juga berbatasan
langsung dengan beberapa provinsi lainnya di Indonesia Batas-batas wilayah tersebut
meliputi:
• Batas Utara : Vietnam dan Kamboja
• Batas Selatan : Sumatera Selatan dan Jambi
• Batas Barat : Singapura, Malaysia dan Riau
• Batas Timur : Malaysia Timur dan Kalimantan Barat
25
Dengan kondisi tersebut, tentunya memerlukan penanganan khusus terkait
dengan otoritas batas wilayah daerah, terutama yang berbatasan langsung dengan
negara lain. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah 251.810,71 Km2. Namun
sebagai daerah kepulauan, luas lautan yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau sekitar
95,79 persen atau seluas 241.215,30 Km2. Sedangkan sisanya sebesar 4,21 persen
atau seluas 10.595,41 Km2 adalah daratan. Kabupaten Karimun memiliki daratan
terbesar dengan persentase sebesar 27,12 persen dari luas daratan Provinsi
Kepulauan Riau atau seluas 2.873,20 Km2, diikuti Lingga 19,99 persen (2.117,72 Km2)
dan Bintan sebesar 18,36 persen (1.946,13 Km2). Kota Batam dan Kota Tanjungpinang
hanya memiliki persentase luas masing-masing sebesar 7,27 persen (770,27 Km2) dan
2,26 persen (239,20 Km2), namun merupakan sentra kegiatan hampir seluruh
perekonomian di Kepulauan Riau. Bahkan Batam merupakan pusat perindustrian
berskala international. Selanjutnya adalah Kabupaten Natuna yang luasnya 19,43
persen (2.058,45 Km2) dan Kabupaten Kepulauan Anambas dengan luas sekitar 5,57
persen (590,14 Km2).
III.2.2 Kependudukan
Pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau yang saat ini berjalan belum merata,
hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas ekonomi yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau
yang masih banyak terjadi di daerah perkotaan. Kondisi tersebut tentunya secara tidak
langsung menyebabkan tidak meratanya konsentrasi penduduk yang ada di Kepulauan
Riau. Indikator dalam melihat hal tersebut adalah dengan melihat kepadatan penduduk
di tiap Kabupaten/Kota.
Kepadatan penduduk yang terbesar ada di Kota Tanjungpinang dengan
kepadatan penduduk sebesar 833 jiwa/km2 , hal tersebut dikarenakan luas daratan
Kota Tanjungpinang yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan Kabupaten/ Kota
Lainnya. Penyebab tingginya kepadatan Kota Tanjungpinang dikarenakan Kota
Tanjungpinang merupakan Ibu Kota Provinsi dimana kini terdapat pusat pemerintahan
yang secara tidak langsung juga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi yang terjadi di
Kota Tanjungpinang, disamping juga aktivitas ekonomi lainnya yang juga meningkat.
Sedangkan kepadatan penduduk yang paling kecil ada di Kabupaten Natuna dengan
26
kepadatan penduduk sebesar 27 jiwa, hal ini dpat dikarenakan Kabupaten Natuna
mempunyai luas daratan yang cukup besar dan jumlah penduduk yang masih sedikit.
Faktor letak geografis Natuna juga sedikit menjadi persoalan dimana akses ke
Kabupaten Natuna masih minim. Untuk melihat gambaran kepadatan penduduk di
Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat seperti tabel berikut ini
Grafik 3. Luas Daratan, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2012
Kota Batam menjadi daerah yang memiliki penduduk terbanyak di Provinsi
Kepulauan Riau. Lebih dari setengah penduduk Provinsi Kepulauan Riau berada di
Kota Batam. Baik jumlah penduduk laki-laki maupun perempuan. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat pesat di Kota Batam membuat kota ini
menjadi kota yang banyak didatangi orang untuk mencari pekerjaan (migrasi
penduduk). Kota Batam mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi,
sedangkan Rasio Jenis kelamin di Kota Batam 104,60 yang berarti lebih banyak
penduduk laki-laki daripada penduduk perempuan.
III.2.3. Keuangan Daerah
27
Berdasarkan data dari Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah Provinsi
Kepulauan Riau, pada tahun anggaran 2013 penerimaan APBD Provinsi Kepulauan
Riau naik dari 2,04 triliun rupiah pada 2012 menjadi 2,84 triliun rupiah pada 2013.
Penerimaan APBD yang tertinggi disumbang oleh Bagi Hasil Pajak sebesar 37,31
persen atau 1,06 triliun rupiah, disusul dari Pajak Daerah 29,97 persen atau senilai
852,19 miliar rupiah. Sehingga dari kedua sumber pemasukan tersebut menyumbang
67,28 persen dari total APBD Provinsi Kepulauan Riau. Demikian juga dengan
anggaran belanja daerah yang meningkat dari 2,39 triliun rupiah pada 2012 menjadi
2,72 triliun rupiah pada 2013. Tercacat Belanja Tidak Langsung sebesar 1,20 triliun
rupiah dan Belanja Langsung sebesar 1,52 triliun rupiah. Data Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah selengkapnya disajikan pada Tabel dan Tabel yang dimuat
dalam publikasi Badan Pusat Statistik berikut.
Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Provinsi Kepri
Tahun Anggaran 2012—2013 (000 Rp)
Perkembangan Anggaran Belanja dan Pembiayaan Daerah Provinsi Kepri
28
Tahun Anggaran 2012—2013 (000 Rp)
III.3. Propinsi Nusa Tenggara Barat
III.3.1. Letak Geografis
Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas 2 (dua) pulau besar yaitu Pulau
Lombok dan Pulau Sumbawa dan ratusan pulau-pulau kecil. Dari 279 pulau yang ada,
terdapat 44 pulau yang telah berpenghuni. Luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
mencapai 20.153,20 km2. Terletak antara 115046’-11905’ Bujur Timur dan 8010’-905’
Lintang Selatan.
Luas Pulau Sumbawa mencapai 15.414,5 km2 (76,49 %) atau 2/3 dari luas
Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan luas Pulau Lombok hanya mencapai 1/3 saja. Pusat
pemerintahan Provinsi NTB terdapat di Kota Mataram Pulau Lombok. Selong
merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 166 mdpl sementara
Taliwang terendah dengan 11 mdpl. Kota Mataram sebagai tempat Ibukota Provinsi
NTB memiliki ketinggian 27 mdpl. Dari tujuh gunung yang ada di Pulau Lombok,
Gunung Rinjani merupakan tertinggi dengan ketinggian 3.726 mdpl, sedangkan Gunung
Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa dengan ketinggian 2.851 mdpl dari
sembilan gunung yang ada.
Keadaan Alam
29
Menurut data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
temperatur maksimum pada tahun 2014 berkisar antara 30,10C– 35,80C, dan
temperatur minimum berkisar antara 20,50C – 24,90C. Temperatur tertinggi terjadi
pada bulan November dan terendah pada bulan Agustus.
Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, yaitu
antara 65-87 persen, dengan kecepatan angin rata-rata mencapai kisaran 2 - 6 Knots
dan kecepatan angin maksimum mencapai 13 Knots. Jumlah hari hujan terendah yaitu
0 hari pada bulan Agustus dan September dan yang terbanyak adalah pada bulan
Januari dengan jumlah 24 hari.
III.3.2. Penduduk, Tenaga Kerja, Dan Transmigrasi
Penduduk
Berdasarkan data Proyeksi Penduduk tahun 2010 - 2020 jumlah penduduk Nusa
Tenggara Barat Tahun 2014 mencapai 4.773.795 jiwa. Dengan rincian, laki-laki
sebanyak 2.315.234 jiwa dan perempuan sebanyak 2.458.561 jiwa, dengan rasio jenis
kelamin sebesar 94,17. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Lombok
Timur dan yang terkecil di Kabupaten Sumbawa Barat. Jumlah rumahtangga di Provinsi
NTB adalah 1.327.948 rumahtangga dengan rata-rata anggota rumahtangga sebesar
3,68 orang.
Bila dilihat menurut kelompok umur. komposisi penduduk Provinsi NTB
berbentuk pyramid dengan komposisi penduduk terbanyak pada umur 0 - 4 tahun yaitu
sebanyak 508.589 jiwa. terkecil pada kelompok umur 60 – 64 tahun.
Tenaga Kerja
Jumlah penduduk NTB berumur 15 tahun ke atas mencapai 3.334.651 orang.
Penduduk yang bekerja mencapai 2.094.100 orang (62,80%). Sekolah 321.386 orang.
Mengurus Rumah Tangga 637.573 orang dan sisanya mencari pekerjaan dan
penerima pendapatan. Jumlah penduduk yang mencari pekerjaan berdasarkan
Susenas mencapai 127.710 orang. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas
Tenaga Kerja Provinsi NTB. pada tahun 2014 jumlah pencari kerja yang terdaftar di
Provinsi NTB sebanyak 76.271 orang, terdiri dari 47.561 laki- laki dan 28.210
30
perempuan. Dari jumlah tersebut yang sudah ditempatkan atau mendapatkan pekerjaan
sebanyak 52.403 orang yang didominasi oleh tenaga kerja lulusan SMU mencapai
36,79 persen (atau 19.277 orang).
Jumlah TKI yang terdaftar hingga tahun 2014 telah mencapai 46.187 orang
dengan komposisi 78,42 persen laki-laki. Kalau dilihat menurut jabatan/bidang
pekerjaan terbanyak yaitu sebesar 36.005 orang bekerja di ladang dan 633
orang sebagai pembantu rumah tangga. Dilihat menurut Negara tujuan TKI resmi asal
Provinsi NTB paling banyak bekerja di Malaysia Barat dan Oman, masing- masing
sebanyak 37.398 orang dan 4.668 orang. Jumlah pegawai negeri sipil (PNS)
Pemerintah Provinsi NTB pada triwulan I 2015 sebanyak 7.046 orang. yang terdiri dari
226 orang golongan I. 2.502 orang golongan II. 3.656 orang golongan III dan sebanyak
662 orang golongan IV.
Transmigrasi
Jumlah Transmigran dari NTB pada tahun 2014 mengalami penurunan dari
tahun 2013. Bila Pada tahun 2013, transmigran asal NTB berjumlah 1.101 jiwa dengan
360 kepala keluarga maka itu pada tahun 2014 berjumlah 378 jiwa dengan 95 kepala
keluarga.
III.3.3. Keuangan Dan Harga-Harga
Keuangan Pemerintah Daerah
Dari rencana penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi NTB pada
tahun 2014 ditargetkan sebesar Rp. 1.194,26 milyar, hanya terealisasi sebesar Rp.
1.098,87 milyar. Secara umum, persentase realisasi penerimaan terhadap anggaran
penerimaan daerah Provinsi NTB tahun 2014 hanya mencapai 92,01 persen.
Bila dilihat menurut kabupaten/ kota, Kabupaten Lombok Timur memiliki
anggaran PAD terbesar, yaitu Rp. 205,52 milyar. Sedangkan yang terkecil adalah
anggaran PAD Kota Bima, sebesar Rp. 24,72 milyar.
Perbankan, Investasi, dan Koperasi
31
Jumlah bank di NTB tahun 2014 sebanyak 53 buah, yang terdiri dari 24 Bank Umum
dan 29 Bank Perkreditan Rakyat dengan jumlah kantor sebanyak 291 buah. Jumlah
penabung hingga 2014 telah mencapai 2.528.886 orang/unit dengan rincian sebanyak
1.858.515 orang/unit pada bank pemerintah dan sisanya pada bank swasta dan BPR.
Jumlah dana yang disimpan pada ketiga jenis bank tersebut baik pemerintah, swasta
dan BPR hingga tahun 2014 mencapai 17,17 trilliun. Jumlah kredit yang dikucurkan
oleh bank pada tahun 2014 mencapai 26,76 trilliun dengan komposisi terbesar adalah
kredit yang penggunaannya untuk konsumsi.
Indeks Harga
Secara umum, laju inflasi Gabungan tertinggi pada tahun 2014 terjadi pada
Bulan Desember yaitu sebesar 2,21 dan yang terendah terjadi di bulan Maret sebesar -
0,38. Deflasi terjadi sebanyak dua kali, yaitu di bulan Maret dan April. Secara umum
inflasi pada tahun 2014 mencapai 7,23 persen. Secaranasional inflasi tahun 2014
mencapai 8,36 persen.
Dengan terjadinya inflasi tersebut, harga- harga barang dan jasa pada tahun
2014 cenderung mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Peningkatan harga yang
paling tinggi dialami oleh kelompok transportasi dan komunikasi akibat kenaikan harga
BBM.
32
BAB IV
HASIL ANALISIS
Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi penumpukan anggaran di daerah. Faktor-faktor tersebut antara
lain tersedia dan terpenuhinya dokumen perencanaan, pencatatan administrasi dan
kompetensi sumber daya manusia. Terkait permasalahan perencanaan, program kerja
dan kegiatan merupakan hal yang sangat penting dalam perencanaan. Perencanaan
program kerja dan kegiatan menjadi satu kesatuan dengan perencanaan anggaran,
sehingga program kerja dan kegiatan yang direncanakan akan sesuai dengan
kemampuan pembiayaan yang tersedia. Oleh karena itu perencanaan pembangunan
daerah harus dilengkapi dengan dokumen perencanaan.
IV.1. Faktor Perencanaan
Berdasarkan sistem penganggaran yang dianut saat ini yang menghasilkan
produk dokumen anggaran berupa rencana kerja SKPD di daerah dan RKA-KL di pusat
serta sistem perencanaan yang menghasilkan produk dokumen perencanaan berupa
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di Pemerintah Pusat dan RKPD di Pemerintah
Daerah, sudah seharusnya terdapat benang merah secara substansi atas kedua produk
tersebut yaitu dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran.
Segala sesuatu yang tertuang dalam dokumen perencanaan beserta seluruh
informasi yang berada di dalamnya seperti outcome dan indikator kinerja pada tingkat
program atau kegiatan sudah seharusnya dapat dioperasionalkan dalam dokumen
penganggaran. Namun hal tersebut tidak terlihat selama ini. Hal ini disebabkan oleh
masih sering terjadi adanya anggaran kegiatan yang diblokir dan tidak dapat dicairkan
sehingga menyebabkan perencanaan-perencanaan yang sudah tertuang secara
matang didalam dokumen perencanaan perlu dilakukan revisi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa keterkaitan yang ada pada kedua dokumen perencanaan dan
penganggaran tersebut hanya sebatas pada nama program dan kegiatan. Berdasarkan
permasalahan ketidaksinkronan antara perencanaan dan penganggaran tersebut maka
33
terlihat dengan jelas bahwa faktor dokumen perencanaan memiliki hubungan yang
sangat erat dengan penyerapan anggaran.
Tahap Perencanaan APBD
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, proses perencanaan dan penyusunan APBD dapat diuraikan dalam
beberapa langkah sebagai berikut: (i) penyusunan rencana kerja pemerintah daerah,
(ii) penyusunan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran
sementara, (iii) penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD, (iv) penyusunan
rancangan perda APBD, dan (v) penetapan APBD.
Tahap pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana kerja pemerintah
daerah (RKPD). Rencana kerja pemerintah daerah merupakan dasar penyusunan
APBD yang disusun berdasarkan program kerja tahunan pemerintah daerah. Jika dilihat
dari waktu pelaksanaan perencanaan, terdapat tiga kategori perencanaan yang dibuat
oleh pemda, yaitu Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang merupakan
perencanaan pemerintah daerah untuk periode 20 tahun, Rencana Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) yang merupakan perencanaan pemerintah daerah untuk periode 5
tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan perencanaan
tahunan daerah. Sedangkan perencanaan di tingkat SKPD terdiri dari Rencana Strategi
(Renstra) SKPD merupakan rencana untuk periode 5 tahun, dan Rencana Kerja (Renja)
SKPD merupakan rencana kerja tahunan SKPD.
Proses penyusunan perencanaan di tingkat SKPD Pemda secara kronologis
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. SKPD menyusun rencana strategis (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang bersifat
indikatif sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
2. Penyusunan Renstra-SKPD dimaksud berpedoman pada rencana pembangunan
jangka menengah daerah (RPJMD). RPJMD memuat arah kebijakan keuangan
daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program SKPD,
lintas SKPD, dan program kewilayahan.
34
3. Pemda menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan
penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk
jangka waktu satu tahun yang mengacu kepada Renja Pemerintah.
4. Renja SKPD merupakan penjabaran dari Renstra SKPD yang disusun
berdasarkan evaluasi pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan tahun-
tahun sebelumnya.
5. RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas, pembangunan
dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemda maupun ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat.
6. Kewajiban daerah sebagaimana dimaksud di atas adalah mempertimbangkan
prestasi capaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7. RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
8. Penyusunan RKPD diselesaikan selambat-lambatnya akhir bulan Mei tahun
anggaran sebelumnya.
9. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Tahap kedua perencanaan anggaran yang dilakukan oleh Pemda adalah
melakukan penyusunan Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (KUA-PPAS). KUA-PPAS adalah suatu jembatan antara proses perumusan
kebijakan dan penganggaran yang merupakan hal penting dan mendasar agar
kebijakan menjadi realitas dan bukannya hanya sekedar harapan.
Untuk tujuan ini, Pemda setidaknya harus menetapkan dua aturan yang jelas,
yaitu (i) Implikasi dari perubahan kebijakan (kebijakan yang diusulkan) terhadap sumber
daya harus dapat diidentifikasi, meskipun dalam estimasi yang kasar, sebelum
kebijakan ditetapkan dan (ii) Suatu entitas yang mengajukan kebijakan baru harus
dapat menghitung pengaruhnya terhadap pengeluaran publik, baik pengaruhnya
terhadap pengeluaran sendiri maupun terhadap departemen pemerintah yang lain.
35
Semua proposal yang merupakan kebijakan umum Pemda harus
dibicarakan/dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan para pihak terkait antara lain
Ketua TAPD, Kepala Bappeda dan Kepala SKPD.
Dalam proses penyusunan anggaran, tim anggaran pemerintah daerah (TAPD)
harus bekerjasama dengan baik dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk
menjamin bahwa anggaran disiapkan dalam koridor kebijakan yang sudah ditetapkan
(KUA dan PPAS); dan menjamin semua stakeholders terlibat dalam proses
penganggaran sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Konsultasi dapat memperkuat legislatif untuk menelaah strategi pemerintah dan
anggaran. Dengan pendapat antara legislatif dan pemerintah, demikian juga dengan
adanya tekanan dari masyarakat, dapat memberi mekanisme yang efektif untuk
mengkonsultasikan secara luas kebijakan yang terbaik. Pemerintah harus berusaha
untuk mengambil umpan balik atas kebijakan dan pelaksanaan anggarannya dari
masyarakat, misalnya melalui survey, evaluasi, seminar dan sebagainya. Akan tetapi,
proses penyusunan anggaran harus menghindari tekanan yang berlebihan dari pihak-
pihak yang berkepentingan dan para pelobi, agar penyusunan anggaran dapat
diselesaikan tepat waktu.
Proses penyusunan KUA-PPAS secara garis besarnya terdiri dari dua output
utama, yaitu Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS). Dalam melakukan proses penyusunan KUA terdapat beberapa
langkah yang dilakukan, antara lain: (i) Kepala daerah berdasarkan RKPD menyusun
rancangan kebijakan umum APBD (RKUA), (ii) Penyusunan RKUA berpedoman pada
pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.
Sebagai contoh untuk bahan penyusunan APBD Tahun 2007 Menteri Dalam Negeri
telah menerbitkan Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tertanggal 1 September 2006
tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun
Anggaran 2007, (iii) Kepala daerah menyampaikan RKUA tahun anggaran berikutnya,
sebagai landasan penyusunan RAPBD, kepada DPRD selambat-lambatnya
pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan, dan (iv) RKUA yang telah dibahas
36
kepala daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD selanjutnya
disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA).
Pedoman Penyusunan Anggaran tersebut tercantum dalam Permendagri Nomor
26 Tahun 2006 yang memuat beberapa hal antara lain Pokok-pokok kebijakan yang
memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah, prinsip dan
kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran bersangkutan, teknis penyusunan APBD,
dan hal-hal khusus lainnya.
Selain menyusun KUA, proses penyusunan rancangan APBD juga memerlukan
urutan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). PPAS merupakan program
prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk
setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD. Proses penyusunan dan
pembahasan PPAS menjadi PPA adalah sebagai berikut: (i) Berdasarkan KUA yang
telah disepakati, pemda dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon
anggaran sementara (PPAS) yang disampaikan oleh kepala daerah, (ii) Pembahasan
PPAS yang bertujuan untuk menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan
pilihan, menentukan urutan program dalam masing-masing urusan dan menyusun
plafon anggaran sementara untuk masing-masing program, (iii) KUA dan PPAS yang
telah dibahas dan disepakati bersama kepala daerah dan DPRD dituangkan dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh kepala daerah dan pimpinan DPRD,
dan (iv) Kepala daerah berdasarkan nota kesepakatan menerbitkan pedoman
penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA-SKPD) sebagai pedoman kepala
SKPD menyusun RKA-SKPD.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 87 ayat (2) Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006, kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS kepada DPRD
untuk dibahas bersama antara TAPD dan panitia anggaran DPRD paling lambat
minggu kedua bulan Juli dari tahun anggaran berjalan. Setelah disepakati bersama
PPAS tersebut ditetapkan sebagai Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) paling lambat
pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.
37
Tahap ketiga dari proses perencanaan anggaran di pemda adalah menyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD). Menurut Pasal 89 ayat (3)
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, setelah ada Nota Kesepakatan dalam KUA-PPAS,
maka Tim Anggaran (TAPD) menyiapkan surat edaran kepala daerah tentang Pedoman
Penyusunan RKA-SKPD yang harus diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus
tahun anggaran berjalan.
Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses
penyusunan APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang
pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan
penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi
masayarakat. Sementara itu, penyusunan anggaran dilakukan dengan tiga pendekatan,
yaitu pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM), pendekatan
anggaran terpadu, dan pendekatan anggaran kinerja.
Pendekatan KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan,
dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif
lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan
yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai disiplin fiskal
secara berkelanjutan.
Gambaran jangka menengah diperlukan karena rentang waktu anggaran satu
tahun terlalu pendek untuk tujuan penyesuaian prioritas pengeluaran, dan
ketidakpastian terlalu besar bila perspektif anggaran dibuat dalam jangka panjang (di
atas 5 tahun). Proyeksi pengeluaran jangka menengah juga diperlukan untuk
menunjukkan arah perubahan yang diinginkan. Dengan menggambarkan implikasi dari
kebijakan tahun berjalan terhadap anggaran tahun-tahun berikutnya, proyeksi
pengeluaran multi tahun akan memungkinkan pemerintah untuk dapat mengevaluasi
biaya-efektivitas (kinerja) dari program yang dilaksanakan. Sedangkan pada
pendekatan anggaran tahunan yang murni, hubungan antara kebijakan sektoral dengan
alokasi anggaran biasanya lemah, dalam arti sumber daya yang diperlukan tidak cukup
38
mendukung kebijakan/program yang ditetapkan. Akan tetapi, harus dihindari perangkap
dimana pendekatan pemograman multi tahun ini dengan sendirinya membuka peluang
terhadap peningkatan pengeluaran yang tidak perlu atau tidak relevan.
Penganggaran terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana
keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna
melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian
efisiensi alokasi dana dan untuk menghindari terjadinya duplikasi belanja. Sedangkan
penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan
antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi
dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Dalam penyusunan anggaran berbasis
kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap
program dan jenis kegiatan.
Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilaksanakan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran yang diharapkan dari
kegiatan dengan hasil kerja dan manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Anggaran Berbasis Kinerja ini disusun
berdasarkan pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja,
standar satuan kerja, dan standar pelayanan minimal.
Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang
tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga
satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari
suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja
mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran (penyelenggara pemerintahan)
berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber
dayanya.
39
Selanjutnya, beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan anggaran daerah antara lain adalah (1) Pendapatan yang
direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai
untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi pengeluaran belanja; (2) Penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit
anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD; dan (3) Semua penerimaan dan
pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam
APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah.
Tahap keempat yang harus dilakukan dalam proses perencanaan anggaran di
Pemda adalah penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD. RKA-SKPD
yang telah disusun, dibahas, dan disepakati bersama antara Kepala SKPD dan Tim
Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) digunakan sebagai dasar untuk penyiapan
Raperda APBD. Raperda ini disusun oleh pejabat pengelola keuangan daerah yang
untuk selanjutnya disampaikan kepada kepala daerah.
Terdapat beberapa lampiran yang harus disertakan dalam mengajukan Raperda
APBD, antara lain: (i) Ringkasan APBD menurut urusan wajib dan urusan pilihan, (ii)
Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi, (iii) Rincian
APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja, dan
pembiayaan, (iv) Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, program, dan kegiatan, (v) Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan
dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan
keuangan Negara, (vi) Daftar jumlah pegawai per-golongan dan per-jabatan, (vii) Daftar
piutang daerah, (viii) Daftar penyertaan modal (investasi) daerah, (ix) Daftar perkiraan
penambahan dan pengurangan aset tetap daerah, (x) Daftar perkiraan penambahan
dan pengurangan aset-aset lain, (xi) Daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran
sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran
ini, (xii) Daftar dana cadangan daerah, dan (xiii) Daftar pinjaman daerah.
40
Suatu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa sebelum disampaikan
dan dibahas dengan DPRD, Raperda tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu
kepada masyarakat yang bersifat memberikan informasi tentang hak dan kewajiban
pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD pada tahun anggaran
yang direncanakan. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi tentang Raperda APBD ini
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah.
Dalam tahap kelima, proses perencanaan anggaran yang dilakukan adalah
penetapan APBD. Dalam penetapan APBD, terdapat beberapa proses yang harus
dilalui yang melibatkan Kepala Daerah selaku wakil dari Pemda dan DPRD. Proses
penetapan APBD dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD
Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda
beserta lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada
masyarakat untuk selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling
lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun
anggaran yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan
keputusan bersama ini harus sudah terlaksana paling lama 1 (satu) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dimulai.
Atas dasar persetujuan bersama tersebut, kepala daerah menyiapkan rancangan
peraturan kepala daerah tentang APBD yang harus disertai dengan nota keuangan.
Raperda APBD tersebut antara lain memuat rencana pengeluaran yang telah disepakati
bersama. Raperda APBD ini baru dapat dilaksanakan oleh pemerintahan
kabupaten/kota setelah mendapat pengesahan dari Gubernur terkait. Selanjutnya
menurut Pasal 108 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, apabila dalam waktu
30 (tiga puluh hari) setelah penyampaian Raperda APBD Gubernur tidak mengesahkan
raperda tersebut, maka kepala daerah (Bupati/Walikota) berhak menetapkan Raperda
tersebut menjadi Peraturan Kepala Daerah.
41
2. Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD
Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan
rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan
oleh Bupati.Walikota harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.
Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan
kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur,
serta untuk meneliti sejauh mana APBD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya.
Hasil evaluasi ini sudah harus dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan
kepada bupati/walikota paling lama 15 (lima belas ) hari kerja terhitung sejak
diterimanaya Raperda APBD tersebut.
3. Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
APBD
Tahapan terakhir adalah menetapkan raperda APBD dan rancangan peraturan
kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi tersebut menjadi
Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
APBD paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Setelah itu
Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD ini disampaikan oleh
Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal
ditetapkan.
IV.2. Faktor Administrasi
Sementara itu, faktor lain yang mempengaruhi penumpukan anggaran di daerah
adalah faktor pencatatan dan administrasi. Administrasi merupakan kegiatan
ketatausahaan yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan dan
pengarsipan surat serta hal-hal lainnya yang dimaksudkan untuk menyediakan
42
informasi serta mempermudah memperoleh informasi kembali jika dibutuhkan.
Administrasi pada intinya melingkupi seluruh kegiatan dari pengaturan hingga
pengurusan sekelompok orang yang memiliki diferensiasi pekerjaan untuk mencapai
suatu tujuan bersama.
Administrasi Pemerintahan Daerah adalah keseluruhan dari bentuk
penyelenggaraan pelayanan Pemerintah Daerah secara intensif kepada masyarakat
baik itu pemerintahan tingkat I maupun pemerintahan tingkat II, dengan memanfaatkan
dan mendayagunakan segala kemampuan sumber-sumber daya yang ada supaya
tujuan negara dapat tertata dengan baik. Tetapi dalam penyelenggaran pelayanan itu
tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kerja sama dari beberapa orang.
Salah satu contoh sistem pencatatan administrasi yang memiliki kaitan dengan
penyerapan angggaran adalah adanya salah dalam penentuan akun pada dokumen
anggaran yang mungkin disebabkan pegawai dibagian perencanaan kurang teliti dalam
penentuan akun sehingga perlu dilakukan revisi dokumen anggaran. Hal tersebut dapat
menunda pelaksanaan kegiatan yang seharusnya direalisasikan tepat waktu. Dari
penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa administrasi memilki pengaruh
terhadap penyerapan anggaran yang mungkin akan terserap secara maksimal atau
tidak, karena administrasi merupakan salah satu bagian dari proses penganggaran.
Proses penyerapan anggaran di daerah membutuhkan proses administrasi yang
rapi dan teliti karena banyak aturan dan rambu-rambu yang menyebabkan proses
administrasi menjadi lebih rumit. Pencairan anggaran belanja daerah adalah proses
penarikan dana APBD dari rekening kas umum daerah oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran pada SKPD kepada Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah
(PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah (BUD).
Mekanisme pembayaran dengan dana APBD dapat dilakukan melalui
pembayaran langsung kepada pihak ketiga (SPP LS) atau melalui bendahara dengan
prosedur uang persediaan yang menggunakan SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU. Sistem
uang persediaan merupakan sistem baru dan menggantikan sistem UUDP yang sudah
dihentikan. Hal ini dikarenakan uang persediaan belum membebani anggaran SKPD,
bersifat lebih fleksibel dan bersifat daur ulang (revolving).
43
Sistem uang persediaan menggunakan dokumen Surat Perintah Pembayaran
(SPP). SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan kegiatan (PPTK)/bendahara pengeluaran untuk mengajukan
permintaan pembayaran. SPP terdiri dari SPP-Uang Persediaan (SPP-UP), SPP-Ganti
Uang Persediaan (SPP-GU), SPP-Tambahan Uang (SPP-TU), dan SPP-Langsung
(SPP-LS). SPP-UP adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk
permintaan uang muka kerja yang bersifat pengisian kembali (revolving) yang tidak
dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
Sementara itu SPP-GU adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara
pengeluaran untuk permintaan pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung. SPP-TU adalah dokumen yang diajukan oleh
bendahara pengeluaran untuk permintaan tambahan uang persediaan guna
melaksanakan kegiatan SKPD yang bersifat mendesak dan tidak dapat digunakan
untuk pembayaran langsung dan uang persediaan. Sedangkan SPP-LS adalah
dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan pembayaran
langsung kepada pihak ketiga atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah
kerja lainnya dan pembayaran gaji dengan jumlah, penerima, peruntukan dan waktu
pembayaran tertentu yang dokumennya disiapkan oleh PPTK.
Dalam proses administrasi pencairan dana APBD, terdapat dua metode
pencairan yaitu metode Pencairan Dana Uang Persediaan (UP) dan Metode Pencairan
Langsung (LS). Dalam metode UP, proses pencairan menggunakan uang persediaan.
Uang Persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk Satuan Kerja dalam
melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.
Pengajuan Dana Uang Persediaan dilakukan melalui Surat Perintah Membayar,
yang terdiri dari (i) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah Surat
Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna
Anggaran, yang dananya dipergunakan sebagai uang persediaan untuk membiayai
kegiatan operasional kantor sehari-hari (ii) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang
Persediaan (SPM-GU) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang
dananya dipergunakan untuk menggantikan uang persediaan yang telah dipakai, dan
44
(iii) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TU) adalah Surat
Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna
Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi dari pagu uang persediaan yang
ditetapkan. Pembayaran perdasarkan Surat Permintaan Membayar tersebut di atas
dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku
Kuasa Bendahara Umum Negara
Adapun mekanisme Pencairan Dana Uang Persediaan (UP) adalah sebagai
berikut:
1) Penerbitan SPP-UP; Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-UP dilakukan oleh
bendahara pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui pejabat penatausahaan keuangan SKPD dalam rangka
pengisian uang persediaan. Dokumen SPP-UP terdiri dari:
• Surat pengantar SPP-UP;
• Ringkasan SPP-UP;
• Rincian SPP-UP;
• Salinan SPD;
• Draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain uang persediaan saat pengajuan SP2D
kepada kuasa BUD; dan
• Lampiran lain yang diperlukan.
2) Penerbitan SPP Ganti Uang Persediaan (GU); Penerbitan dan pengajuan dokumen
SPP-GU dilakukan oleh bendahara pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui pejabat penatausahaan
keuangan SKPD. Dokumen SPP-GU terdiri dari:
• Surat pengantar SPP-GU;
• Ringkasan SPP-GU;
• Rincian SPP-GU;
• Surat pengesahan laporan pertanggungjawaban bendahara pengeluaran atas
penggunaan dana SPP-UP/GU/TU sebelumnya;
45
• Salinan SPD;
• Draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain ganti uang persediaan saat pengajuan
SP2D kepada kuasa BUD; dan lampiran lain yang diperlukan.
3) Penerbitan SPP Tambah Uang Persediaan (SPP-TU); Penerbitan dan pengajuan
dokumen SPP-TUP dilakukan oleh bendahara pengeluaran untuk memperoleh
persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui pejabat
penatausahaan keuangan SKPD. Dokumen SPP-TU terdiri dari:
• Surat pengantar SPP-TU;
• Ringkasan SPP-TU;
• Rincian SPP-TU;
• Salinan SPD;
• Surat pengesahan SPJ;
• Draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain tambahan uang persediaan saat pengajuan
SP2D kepada kuasa BUD;
• Surat keterangan yang memuat penjelasan keperluan pengisian tambahan uang
persediaan.
• Lampiran lainnya.
Batas jumlah SPP-UP, SPP-GU, dan SPP-TU ditetapkan dalam Peraturan Kepala
Daerah.
Metode lain yang digunakan dalam proses pencairan dana adalah Metode
Langsung (LS). Metode Langsung merupakan metode pengajuan pembayaran secara
langsung terhadap gaji dan pengadaan barang dan/atau jasa. Beberapa hal yang terkait
dengan Metode LS antara lain:
1) Pencairan Dana Uang Langsung dilakukan melalui Surat Perintah Membayar
Langsung (SPM-LS) yang merupakan surat yang dikeluarkan oleh pengguna
46
anggaran/kuasa pengguna anggara kepada pihak ketiga (rekanan) atas dasar
perjanjian kontrak kerja (Surat Perintah Kerja) atau pembayaran yang sejenisnya.
2) Pembayaran perdasarkan Surat Permintaan Membayar tersebut di atas dilakukan
dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku Kuasa
Bendahara Umum Negara
3) Penerbitan dan pengajuan dokumen Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-
LS) dilakukan oleh PPTK untuk memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui pejabat penatausahaan keuangan SKPD.
Setelah dilakukan proses penerbitan SPM, maka kemudian dilanjutkan dengan
prosedur pengujian SPM. Prosedur pengujian SPM terdiri dari:
1) Pengujian Substansi: Petugas dari Seksi perbendaharaan melakukan
pengujian ulang atas SPM beserta lampiran, sebagai berikut:
a) Memeriksa kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam
SPM
b) Memeriksa ketersediaan dana pada sub kegiatan/kegiatan/MAK
dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut.
c) Memeriksa kontrak/SPK pengadaan barang/jasa
d) Memeriksa bukti pengeluaran dan/atau Surat Pernyataan
Tanggung Jawab dari kepala kantor/satuan kerja atau pejabat lain
yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran
pelaksanaan pembayaran
e) Faktur pajak beserta SPP-nya
2) Pengujian Formal
a) Memeriksa tanda tangan pejabat penandatangan SPM
b) Memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan
huruf (termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan)
3) Keputusan Hasil Pengujian
Atas dasar pengujian tersebut, Seksi Perbendaharaan:
47
a) Mengembalikan SPM kepada Pejabat Penerbit SPM bilamana SPM
dimaksud tidak memenuhi syarat untuk dibayar. Keputusan
pengembalian SPM dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) hari
kerja sejak diterimanya SPM
b) Menerbitkan SP2D atas SPM-LS dan SPM-UP, kecuali atas SPM-
GU pada akhir tahun
c) Menerbitkan SP2D dan Surat Perintah Pembebanan (SPB) atas
SPM-GU yang membebani rekening khusus pada KPPN non KBL
Setelah dilakukan pengujian SPM, lalu proses terakhir adalah diterbitkannya
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Terdapat beberapa langkah yang dilakukan
dalam menerbitkan SP2D. Langkah-langkah penerbitan SP2D tersebut antara lain:
1. SP2D ditandatangi bersama oleh seksi Perbendaharaan dan Seksi Bank/Giro
Pos atau Seksi Bendum
2. Penerbitan SP2D Uang Persediaan (UP) dan Pembayaran Langsung (LS)
dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya SPM dari
Pejabat Penerbit SPM
3. Penerbitan SP2D untuk pembayaran gaji induk (gaji bulanan) PNS Pusat:
• SPM sudah harus diterima paling lambat tanggal 15 bulan sebelumnya.
• SP2D diterbitkan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum awal bulan
pembayaran gaji
• Untuk pembayaran non gaji induk (non gaji bulanan), SP2D diterbitkan
paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya SPM
• Pengembalian SPM dilakukan paling lambat hari kerja berikutnya sejak
diterimanya Surat Perintah Membayar berkenaan.
4. SP2D diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul Seksi
Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum (Nomor 1) yang disampaikan kepada:
• Lembar 1 : kepada Bank Operasional
• Lembar 2 : kepada Penerbit SPM dengan dilampiri SPM yang telah diberi
cap “Telah diterbitkan SP2D tanggal....... nomor ............”
• Lembar 3: pertinggal KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi)
48
5. Penerbitan Daftar Penguji
6. Untuk menyampaikan SP2D ke Bank Operasional diterbitkan daftar penguji
(sesuai format dalam Lampiran III Surat Edaran ini) dengan ketentuan sebagai
berikut:
• Ditandatangani bersama oleh Kepala KPPN dan Kepala Seksi Bank/Giro
Pos atau Seksi Bendum dan dibubuhi stempel timbul kepala KPPN
• Daftar Penguji diterbitkan dalam rangkap 2 (dua) dan dikirimkan melalui
kurir KPPN ke Bank Operasional bersama-sama SP2D
• Daftar Penguji Lembar 2 setelah ditandatangani oleh Bank Operasional
dikembalikan kepada KPPN melalui kurir.
IV.3. Faktor Sumber Daya Manusia
Faktor lain yang mempengaruhi penumpukan anggaran di daerah adalah faktor
kompetensi sumber daya manusia terutama yang bekerja di bidang administrasi dan
perencanaan penganggaran. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah manusia yang
bekerja di lingkungan suatu organisasi. SDM memiliki hubungan dengan perencanaan,
karena terdapat tujuan dari perencanaan SDM yang diantaranya adalah untuk
kepentingan individu, kepentingan organisasi dan kepentingan nasional. SDM juga
merupakan potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan
eksistensinya.
Pada proses penyerapan anggaran, SDM memiliki hubungan yang erat
mengingat dalam ruang lingkup suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) SDM
sangat diperlukan dalm berbagai kegiatan perencanaan, penganggaran dan
pengadaan. Beberapa peran penting SDM antara lain sebagai pelaksana pengadaan
barang dan jasa yang sebaiknya memiliki sertifikat dan berkompetensi karena jika SDM
dalam suatu SKPD sebagai pelaksana pengadaan barang dan jasa kurang
berkompeten dan tidak memiliki sertifikat maka dapat menyebabkan pelaksanaan atas
pengadaan barang dan jasa tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan.
Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam factor sumber daya manusia
antara lain adalah factor birokrasi dan kultur. Faktor birokrasi yang dimaksud adalah
49
mekanisme dalam pelaksanaan anggaran. Penulis membagi birokrasi yang menjadi
penyebab utama tidak optimalnya penyerapan anggaran kedalam dua mekanisme,
yaitu mekanisme administrasi dan mekanisme pengadaan. Hambatan birokrasi yang
terkait dengan mekanisme administrasi antara lain masih adanya Surat Keputusan
penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran dari K/L yang masih terlambat. Hal ini
mengakibatkan terlambatnya eksekusi pelaksanaan anggaran oleh satker karena belum
ada orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pelaksanaan anggaran. Selain itu
juga keengganan pegawai untuk ditunjuk sebagai KPA sebagai akibat belum jelasnya
reward dan punishment serta ketakutan terhadap lembaga penegak hukum menjadi
salah satu faktor yang bisa menghambat pula dalam pelaksanaan anggaran.
Keterlambatan penunjukan KPA tersebut sebetulnya telah diantisipasi dengan Perpres
No.53 tahun 2010 yang menyatakan bahwa masa berlakunay KPA adalah sampai
ditetapkannya KPA baru. Namun dalam pelaksanaannya penunjukan KPA masih
dilakukan setiap tahun. Hal ini terjadi juga dikarenakan tidak sinkronnya Perpres 53
tersebut dengan Peraturan Dirjen perbendaharaan no. 66 tahun 2005 yang masih
mensyaratkan penunjukan KPA dilakukan setiap tahun anggaran.
Hambatan administrasi lain yang menjadi penyebab keterlambatan pencairan
anggaran adalah masih adanya alokasi anggaran yang diberikan tanda bintang yang
disebabkan kelengkapan data pendukung yang belum tersedia. Hal ini menjadi indikasi
bahwa perencanaan belum matang termasuk pula kesiapan satker dalam
mempersiapkan dokumen pendukung perlu ditingkatkan. Hambatan administrasi lain
diantaranya proses revisi yang terkadang masih terhambat, terutama revisi yang
dilakukan di kantor pusat K/L. Hal ini bisa diatasi dengan menyederhanakan
mekanisme revisi sesuai dengan kewenangan instansi masing-masing.
Sementara itu untuk mekanisme pengadaan barang dan jasa, masih banyak
yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan pencairan anggaran. Hambatan yang utama
antara lain faktor SDM yang masih belum mendukung dengan kekurangan tenaga
pegawai yang memiliki sertifikat untuk menjadi pejabat pengadaan. Beberapa satker
sudah menggunakan kemudahan memulai pengumuman lelang diawal tahun –
pengumuman dilakukan setelah DIPA diterima namun masih meragukan penggunaan
anggaran tahun berjalan untuk kegiatan tahun berikutnya karena belum ada payung
50
hukumnya. Selain itu pelaksanaan pelelangan secara elektronik (e-procurement) masih
belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hambatan lain adalah mekanisme sanggah
banding yang relatif panjang sehingga dapat mengganggu jalannya proyek. Peraturan
yang sering berubah juga menjadi salah satu hambatan dalam mekanisme pengadaan.
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 terlalu luas cakupannya sehingga kurang
focus dalam menjaga kualitas output bahkan cenderung hanya membuat taat pada
prosedur yang lebih kompleks tetapi mengabaikan pencapaian output yang optimal.
Faktor lain yang dianalisis sebagai penyebab rendahnya realisasi penyerapan
belanja K/L adalah faktor kultur. Faktor kultur yang dimaksud disini adalah budaya
pegawai dalam melaksanakan disiplin anggaran. Hipotesis tersebut didasarkan pada
fakta bahwa pada periode 2005 hingga 2011, Kementerian Pertahanan dan Kepolisian
RI yang dianggap memiliki kultur disiplin tinggi ternyata penyerapannya selalu berada
diatas rata-rata nasional. Hal ini mengindikasikan kedisiplinan dalam pelaksanaan
anggaran berpotensi meningkatkan penyerapan. Hal yang sebaliknya terjadi di lembaga
DPR, DPD dan MPR. Pada lembaga-lembaga tersebut penyerapan pada tahun 2005
hingga 2011 selalu berada dibawah rata-rata nasional. Berdasarkan data dan fakta
tersebut, penulis berkesimpulan bahwa faktor kultur terutama disiplin anggaran juga
sangat mempengaruhi pelaksanaan penyerapan anggaran. Semakin disiplin kultur
sebuah organisasi ternyata meningkatkan pula disiplin dalam pencairan anggaran.
Permasalahan kultur disiplin anggaran dapat diatasi dengan memberikan sanksi
terhadap K/L yang berkinerja tidak baik dalam pelaksanaan anggaran. Hal ini telah
dilakukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan no.170 tahun 2010 yang
salah satu isinya adalah tentang reward and punishment untuk mendisiplinkan
anggaran. Namun dasar hukum berupa KMK masih cukup lemah untuk mendisiplinkan
anggaran seluruh K/L sehingga perlu diterbitkan dasar hukum atau peraturan yang lebih
tinggi baik berupa Peraturan Pemerintah ataupun Perpres.
51
IV.4. Analisis Data Hasil Survey
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan atas empat aspek yang telah
ditentukan yaitu aspek perencanaan, aspek regulasi, aspek pelaksanaan dan aspek
kultur, tim telah melakukan identifikasi berbabagi pertanyaan survey yang diberikan
kepada instansi survey. Daftar pertanyaan tersebut dijelaskan dalam table berikut.
IV.4.1. Daftar Pertanyaan
Aspek Perencanaan
1 Proses Perencanaan anggaran Pemda sudah optimal PER1
2 Kegiatan perencanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku PER2
3 perencanaan kegiatan dan program tahunan sesuai dengan perencanaan
jangka menengah dan perencanaan jangka panjang PER3
4 kami puas terhadap kegiatan perencanaan di instansi kami PER4
5 waktu proses perencanaan anggaran yang berlaku selama ini sudah ideal PER5
6 kegiatan perencanaan merupakan pekerjaan yang sulit PER6
7 kami melakukan kegiatan perencanaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku PER7
8 Ketentuan-ketentuan yang ada menyulitkan kami dalam melakukan kegiatan
perencanaan PER8
9 Perencanaan kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan instansi kami PER9
10 Kami memiliki pengetahuan yang cukup tentang proses perencanaan PER10
Aspek Regulasi
1 Regulasi pemerintah pusat menghambat proses perencanaan REG1
2 Kami memahami regulasi terkait proses penganggaran REG2
3 Regulasi yang ada cukup rumit dan kompleks REG3
4 Regulasi dari pemerintah pusat sesuai dengan kepentingan pemerintah
daerah REG4
5 Regulasi yang ada sulit untuk diimplementasikan REG5
6 Regulasi yang dikeluarkan oleh instansi tertentu bertentangan dengan yang
dikeluarkan oleh instansi yang lain REG6
7 Sosialisasi regulasi yang baru dikeluarkan cukup memadai REG7
8 Regulasi yang dijadikan acuan ditetapkan pada waktu yang tepat REG8
52
Aspek Pelaksanaan
1 Kami memiliki cukup waktu untuk melaksanakan pekerjaan sampai akhir
tahun anggaran PEL1
2 Sulit untuk memulai pelaksanaan anggaran tepat pada awal tahun anggaran PEL2
3 Dalam memulai kegiatan, kami harus menunggu instruksi dari pimpinan PEL3
4 Di instansi kami jumlah SDM di bidang penggaran telah mencukupi PEL4
5 Di instansi kami pengetahuan SDM di bidang penggaran telah memadai PEL5
6 Adakah program peningkatan kapasitas SDM di bidang penganggaran PEL6
7 Kami mengalami kesulitan dalam melakukan proses pencairan anggaran PEL7
8 Instansi kami mengalami kesulitan dalam menetapkan KPA, PPK dan petugas
penganggaran lainnya PEL8
9 Kami mengalami kesulitan dalam memulai proses lelang PEL9
10 Kami mengalami kesulitan dalam menetapkan pemenang lelang PEL10
11 Kami mengalami kesulitan dalam hal monitoring dan evaluasi dari hasil
pekerjaan pemenang lelang PEL11
12 Hasil pekerjaan pemenang lelang telah sesuai dengan yang kami harapkan PEL12
Aspek Kultur
1 Saya senang melakukan pekerjaan saya saat ini KUL1
2 Saya suka melakukan sesuatu pekerjaan tepat waktu KUL2
3 Saya sering melakukan pekerjaan menjelang dead line KUL3
4 Saya selalu mengerjakan pekerjaan berdasarkan instruksi atasan KUL4
5 Apakah anda memiliki preferensi untuk menentukan pemenang lelang KUL5
6 Apakah anda memiliki preferensi jenis kelamin petugas anggaran yang tepat
dalam melakukan proses penganggaran KUL6
53
IV.4.2. Hasil Olah Data
Berdasarkan survey dan jawaban dari instansi terkait, diperoleh hasil olah data
yang mencerminkan jawaban-jawaban atas daftar pertanyaan yang ditanyakan. Hasil
olah data survey tersebut dapat dilihat dalam table berikut.
Variable Obs Mean Std0, Dev0, Min Max
per1 21 3,142857 0,4780914 2 4
per2 21 3,285714 0,46291 3 4
per3 21 3,428571 0,5976143 2 4
per4 19 3,105263 0,6578363 2 4
per5 21 2,809524 0,6015852 2 4
per6 21 2,285714 0,6436503 1 4
per7 21 3,333333 0,5773503 2 4
per8 21 2,142857 0,6546537 1 3
per9 21 3,047619 0,5895923 2 4
per10 21 3,047619 0,4976134 2 4
reg1 21 2,523810 0,6796358 1 4
reg2 21 3,095238 0,4364358 2 4
reg3 21 2,666667 0,7302967 2 4
reg4 21 2,523810 0,5117663 2 3
reg5 21 2,095238 0,4364358 1 3
reg6 21 2,380952 0,7400129 1 4
reg7 21 2,619048 0,7400129 1 4
reg8 21 2,238095 0,6248809 1 3
pel1 21 3,000000 0,6324555 2 4
pel2 21 2,523810 0,6796358 1 3
pel3 21 2,428571 0,74642 1 4
pel4 21 2,523810 0,6015852 1 3
pel5 21 2,714286 0,7171372 2 4
pel6 20 2,400000 0,5026247 2 3
pel7 21 2,047619 0,7400129 1 3
pel8 21 2,000000 0,5477226 1 3
pel9 20 2,200000 0,6958524 1 4
pel10 20 2,200000 0,615587 1 4
54
pel11 20 2,450000 0,6048053 2 4
pel12 20 2,950000 0,5104178 2 4
kul1 19 3,210526 0,4188539 3 4
kul2 19 3,210526 0,4188539 3 4
kul3 19 2,052632 0,524265 1 3
kul4 19 2,631579 0,7608859 1 4
kul5 16 2,125000 0,8062258 1 4
kul6 19 1,736842 0,5619515 1 3
Survey kajian Analisis Efisiensi Pengeluaran Publik di Daerah dilaksanakan di 9
daerah yaitu Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Bogor, Batam, Kepulauan Riau, Bali,
Mataram, dan Semarang. Dinas yang dikunjungi antara lain Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah, Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah, Dinas Pendapatan
Daerah dan Dinas lainnya.
Adapun hasil pengolahan data pada setiap aspek dalam penganggaran akan
dibahas pada subbab berikut ini.
IV.4.3. Aspek Perencanaan
Terdapat 10 variabel dari unsur Aspek Perencanaan yang menjadi pertanyaan
dalam survey pada kajian ini, adapun hasil pengolahan data kuisioner berdasarkan
aspek perencanaan dapat dilihat pada tabel berikut ini
Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Perencanaan
Variable Uraian Obs Mean Std0,
Dev0, Min Max
per1
Proses Perencanaan
anggaran Pemda sudah
optimal 21 3,142857 0,4780914 2 4
per2
Kegiatan perencanaan yang
dilakukan sudah sesuai
dengan ketentuan yang 21 3,285714 0,46291 3 4
55
berlaku
per3
Perencanaan kegiatan dan
program tahunan sesuai
dengan perencanaan
jangka menengah dan
perencanaan jangka
panjang 21 3,428571 0,5976143 2 4
per4
Kami puas terhadap
kegiatan perencanaan di
instansi kami 19 3,105263 0,6578363 2 4
per5
Waktu proses perencanaan
anggaran yang berlaku
selama ini sudah ideal 21 2,809524 0,6015852 2 4
per6
Kegiatan perencanaan
merupakan pekerjaan yang
sulit 21 2,285714 0,6436503 1 4
per7
Kami melakukan kegiatan
perencanaan sesuai
dengan ketentuan yang
berlaku 21 3,333333 0,5773503 2 4
per8
Ketentuan-ketentuan yang
ada menyulitkan kami
dalam melakukan kegiatan
perencanaan 21 2,142857 0,6546537 1 3
per9
Perencanaan kegiatan
sudah sesuai dengan
kebutuhan instansi kami 21 3,047619 0,5895923 2 4
per10 Kami memiliki pengetahuan 21 3,047619 0,4976134 2 4
56
yang cukup tentang proses
perencanaan
Sumber : Hasil Olahan
Berdasarkan tabel diatas dapat kita ketahui bahwa jumlah observasi yang
disurvey pada penelitian ini berjumlah 21 instansi. Untuk variabel Per4 dengan jumlah
observasi hanya 19, berarti ada 3 instansi tidak menjawab untuk variabel tersebut.
Dari 10 variabel dalam aspek perencanaan ini, 7 variabel dijawab oleh seluruh
instansi yang disurvey dengan “setuju”. Adapun 7 variabel tersebut adalah :
• Proses Perencanaan anggaran Pemda sudah optimal
• Kegiatan perencanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
• Perencanaan kegiatan dan program tahunan sesuai dengan perencanaan jangka
menengah dan perencanaan jangka panjang
• Kami puas terhadap kegiatan perencanaan di instansi kami
• Kami melakukan kegiatan perencanaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
• Perencanaan kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan instansi kami
• Kami memiliki pengetahuan yang cukup tentang proses perencanaan
Sementara 3 variabel dalam aspek penganggaran dijawab oleh para responden
dengan rata-rata “tidak setuju” adalah :
• Waktu proses perencanaan anggaran yang berlaku selama ini sudah ideal
• Kegiatan perencanaan merupakan pekerjaan yang sulit
• Ketentuan-ketentuan yang ada menyulitkan kami dalam melakukan kegiatan
perencanaan
57
Dari jawaban responden pada aspek perencanaan dalam penganggaran dapat
kita ketahui bahwa tidak terdapat masalah dalam masalah penganggaran ini. Hampir
seluruh jawaban responden menyatakan bahwa proses dan kegiatan perencanaan
telah optimal dan sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlalu. Kapasitas dan
peminatan dari sumber daya manusia yang ditempatkan pada bagian penganggaran
juga telah sesuai, sehingga mereka menganggap kegiatan perencanaan bukan
pekerjaan yang sulit. Hanya pada variabel waktu proses perencanaan yang belum
dirasakan sesuai oleh responden, beberapa responden menyampaikan proses
perencanaan memakan waktu yang cukup lama, sehingga menghabiskan hampir
seluruh waktu pekerjaan mereka.
IV.4.4. Aspek Regulasi
Aspek berikutnya dalam sistem penganggaran yang disurvey adalah aspek
regulasi. Adapun regulasi dalam proses penganggaran merupakan dasar hukum dalam
pelaksanaan anggaran. Terdapat 8 variabel yang masuk dalam aspek regulasi yang
ditanyakan pada survey kajian ini. Hasil pengolahan data survey tersebut dapat kita
lihat pada tabel berikut ini.
Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Regulasi
Variable Uraian Obs Mean Std0,
Dev0, Min Max
reg1
Regulasi pemerintah pusat
menghambat proses
perencanaan 21 2,523810 0,6796358 1 4
reg2 Kami memahami regulasi
terkait proses penganggaran 21 3,095238 0,4364358 2 4
reg3 Regulasi yang ada cukup rumit
dan kompleks 21 2,666667 0,7302967 2 4
reg4 Regulasi dari pemerintah pusat 21 2,523810 0,5117663 2 3
58
sesuai dengan kepentingan
pemerintah daerah
reg5 Regulasi yang ada sulit untuk
diimplementasikan 21 2,095238 0,4364358 1 3
reg6
Regulasi yang dikeluarkan oleh
instansi tertentu bertentangan
dengan yang dikeluarkan oleh
instansi yang lain 21 2,380952 0,7400129 1 4
reg7 Sosialisasi regulasi yang baru
dikeluarkan cukup memadai 21 2,619048 0,7400129 1 4
reg8
Regulasi yang dijadikan acuan
ditetapkan pada waktu yang
tepat 21 2,238095 0,6248809 1 3
Sumber : Hasil olahan
Seluruh observasi berjumlah 21 instansi menjawab setiap variabel dalam aspek
regulasi ini. Adapun terdapat 7 dari 8 variabel aspek regulasi yang dijawab “tidak setuju”
oleh para responden. Variabel tersebut adalah :
• Regulasi pemerintah pusat menghambat proses perencanaan
• Regulasi yang ada cukup rumit dan kompleks
• Regulasi dari pemerintah pusat sesuai dengan kepentingan pemerintah daerah
• Regulasi yang ada sulit untuk diimplementasikan
• Regulasi yang dikeluarkan oleh instansi tertentu bertentangan dengan yang
dikeluarkan oleh instansi yang lain
• Sosialisasi regulasi yang baru dikeluarkan cukup memadai
• Regulasi yang dijadikan acuan ditetapkan pada waktu yang tepat
Berdasarkan jawaban responden atas aspek regulasi, dapat diketahui bahwa
regulasi dalam penganggaran tidak rumit dan kompleks, tidak sulit untuk
59
diimplementasi, sejalan antar instansi, regukasi pemerintah pusat juga tidak
menghambat proses perencanaan. Akan tetapi regulasi pemerintah pusat dirasakan
oleh responden tidak sesuai dengan kepentingan daerah, sosialisasi juga dirasakan
kurang dan waktu terbitnya regulasi dirasakan oleh para responden tidak tepat waktu.
Sementara variabel “Kami memahami regulasi terkait proses penganggaran”
dijawab rata-rata oleh responden dengan “setuju”, hal ini menadakan sumber daya
manusia di bidang penganggaran telah memahami secara benar seluruh regulasi yang
ada dalam proses penganggaran.
IV.4.5. Aspek Pelaksanaan
Terdapat 12 variabel yang masuk dalam aspek pelaksanaan yang menjadi
pertanyaan survey dalam kajian ini. Hasil pengolahan data survey untuk 12 variabel
tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini.
Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Pelaksanaan
Variable Uraian Obs Mean Std0,
Dev0, Min Max
pel1
Kami memiliki cukup waktu
untuk melaksanakan pekerjaan
sampai akhir tahun anggaran 21 3,000000 0,6324555 2 4
pel2
Sulit untuk memulai
pelaksanaan anggaran tepat
pada awal tahun anggaran 21 2,523810 0,6796358 1 3
pel3
Dalam memulai kegiatan, kami
harus menunggu instruksi dari
pimpinan 21 2,428571 0,74642 1 4
pel4
Di instansi kami jumlah SDM di
bidang penggaran telah
mencukupi 21 2,523810 0,6015852 1 3
60
pel5
Di instansi kami pengetahuan
SDM di bidang penggaran telah
memadai 21 2,714286 0,7171372 2 4
pel6
Adakah program peningkatan
kapasitas SDM di bidang
penganggaran 20 2,400000 0,5026247 2 3
pel7
Kami mengalami kesulitan
dalam melakukan proses
pencairan anggaran 21 2,047619 0,7400129 1 3
pel8
Instansi kami mengalami
kesulitan dalam menetapkan
KPA, PPK dan petugas
penganggaran lainnya 21 2,000000 0,5477226 1 3
pel9 Kami mengalami kesulitan
dalam memulai proses lelang 20 2,200000 0,6958524 1 4
pel10
Kami mengalami kesulitan
dalam menetapkan pemenang
lelang 20 2,200000 0,615587 1 4
pel11
Kami mengalami kesulitan
dalam hal monitoring dan
evaluasi dari hasil pekerjaan
pemenang lelang 20 2,450000 0,6048053 2 4
pel12
Hasil pekerjaan pemenang
lelang telah sesuai dengan
yang kami harapkan 20 2,950000 0,5104178 2 4
Sumber : Hasil olahan
61
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat kita ketahui bahwa dari 12 variabel
pada aspek pelaksanaan, terdapat 11 variabel yang dijawab responden dengan “tidak
setuju”. Adapun 11 variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sulit untuk memulai pelaksanaan anggaran tepat pada awal tahun anggaran
2. Dalam memulai kegiatan, kami harus menunggu instruksi dari pimpinan
3. Di instansi kami jumlah SDM di bidang penggaran telah mencukupi
4. Di instansi kami pengetahuan SDM di bidang penggaran telah memadai
5. Ada program peningkatan kapasitas SDM di bidang penganggaran
6. Kami mengalami kesulitan dalam melakukan proses pencairan anggaran
7. Instansi kami mengalami kesulitan dalam menetapkan KPA, PPK dan petugas
penganggaran lainnya
8. Kami mengalami kesulitan dalam memulai proses lelang
9. Kami mengalami kesulitan dalam menetapkan pemenang lelang
10. Kami mengalami kesulitan dalam hal monitoring dan evaluasi dari hasil
pekerjaan pemenang lelang
11. Hasil pekerjaan pemenang lelang telah sesuai dengan yang kami harapkan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari aspek pelaksanaan adalah untuk aspek
pelaksanaan sejak awal tahun anggaran, penetapan KPA, PPA dan petugas
penganggaran, proses lelang, pencairan anggaran sampai dengan monitoring dan
evaluasi, bidang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penganggaran tidak
mengalami masalah. Akan tetapi untuk sumber daya manusia pada proses
penganggaran tersebut masih dirasa kurang dalam hal jumlah dan kapasitas. Program
pelatihan yang dilaksanakan untuk peningkatan kapasitas SDM juga dirasakan kurang.
Selain itu untuk hasil pekerjaan dari pemenang lelang juga masih dirasa kurang oleh
beberapa instansi.
Variabel “Kami memiliki cukup waktu untuk melaksanakan pekerjaan sampai
akhir tahun anggaran” rata-rata oleh responden dijawab dengan “setuju”. Hal ini berarti
62
pelaksanaan penganggaran tidak mengalami masalah waktu dalam penyelesaiannya.
Segala pekerjaan terkait pelaksanaan penganggaran tidak mengalami hambatan,
sehingga dapat diselesaikan tepat waktu yaitu pada akhir tahun anggaran.
IV.4.6. Aspek Kultur
Aspek berikutnya yang ingin kita ketahui pada aspek penganggaran ini adalah
aspek kultur. Aspek kultur ini adalah aspek yang terkait dengan pola tingkah laku dari
sumber daya manusia selaku pelaksana penganggaran. Melalui aspek ini kita ingin
menangkap karakteristik dari para pelaksana penganggaran. Terdapat 6 variabel yang
masuk dalam aspek kultur yang menjadi pertanyaan survey dalam kajian ini. Hasil
pengolahan data survey untuk 6 variabel tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini.
Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Kultur
Variable Uraian Obs Mean Std0,
Dev0, Min Max
kul1 Saya senang melakukan
pekerjaan saya saat ini 19 3,210526 0,4188539 3 4
kul2
Saya suka melakukan
sesuatu pekerjaan tepat
waktu 19 3,210526 0,4188539 3 4
kul3
Saya sering melakukan
pekerjaan menjelang dead
line 19 2,052632 0,524265 1 3
kul4
Saya selalu mengerjakan
pekerjaan berdasarkan
instruksi atasan 19 2,631579 0,7608859 1 4
kul5
Apakah anda memiliki
preferensi untuk
menentukan pemenang
lelang 16 2,125000 0,8062258 1 4
63
kul6
Apakah anda memiliki
preferensi jenis kelamin
petugas anggaran yang
tepat dalam melakukan
proses penganggaran 19 1,736842 0,5619515 1 3
Sumber : Hasil olahan
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa tidak semua
responden bersedia menjawab untuk aspek ini, hal ini dikarenakan responden masih
enggan untuk menyampaikan mengenai pola tingkah laku dari masing-masing
pelaksana penganggaran. Bahkan untuk variabel “Apakah anda memiliki preferensi
untuk menentukan pemenang lelang” hanya dijawab oleh 16 responden, hal ini juga
untuk menjaga kehati-hatian dalam menjawab pertanyaan.
Terdapat 2 variabel yang rata-rata dijawab dengan “setuju” oleh responden,
yaitu:
1. Saya senang melakukan pekerjaan saya saat ini
2. Saya suka melakukan sesuatu pekerjaan tepat waktu
Berdasarkan jawaban atas kedua variabel ini dapat kita ketahui bahwa untuk
sumber daya manusia pada proses penganggaran tidak mengalami masalah. Mereka
cenderung menyukai pekerjaan penganggaran, dan melaksanakan pekerjaan tersebut
tepat waktu.
Variabel lain dimana responden manjawab dengan “tidak setuju” adalah untuk
variabel sebagai berikut :
1. Saya sering melakukan pekerjaan menjelang dead line
2. Saya selalu mengerjakan pekerjaan berdasarkan instruksi atasan
3. Apakah anda memiliki preferensi untuk menentukan pemenang lelang
Jawaban atas ketiga variabel tersebut menandakan bahwa para pelaksana
anggaran mengerjakan pekerjaannya sesuai jadwal yang ditentukan, dan memiliki
64
inisiatif dalam menyelesaikan pekerjaan. Selain itu dalam menentukan pemenang
lelang, para pelaksana anggaran memilih untuk tidak mengarah kepada satu
pemenang, akan tetapi menyerahkan keputusan pemenang lelang kepada sistem
lelang yang telah ada.
Sementara untuk variabel “Apakah anda memiliki preferensi jenis kelamin
petugas anggaran yang tepat dalam melakukan proses penganggaran”, responden
rata-rata menjawab dengan “tidak setuju”, hal ini menandakan kelancaran dalam proses
penganggaran bukan berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi berdasarkan kapasitas
dan minat dari SDM pelaksana anggaran itu sendiri.
65
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
V.1. Kesimpulan
Pelaksanaan sistem penganggaran yang berlaku di Indonesia saat ini
memerlukan pendekatan efisiensi dan pendekatan hirarki. Pendekatan efisiensi
dilakukan untuk mengukur penggunaan input atau sumber daya serta pencapaian
keluaran dan hasil sehingga diperlukan indikator kinerja input, output dan outcome.
Pendekatan ini juga dilakukan untuk mengukur efisiensi proses transformasi input
menjadi output sehingga diperlukan standar biaya. Sedangkan untuk mengukur
keberhasilan program dan kegiatan diperlukan evaluasi kinerja.
Terdapat tiga faktor yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu faktor
perencanaan, faktor administrasi dan faktor sumber daya manusia. Sementara itu
analisis yang dilakukan berdasarkan empat aspek analisis yaitu aspek perencanaan
anggaran, aspek regulasi, aspek pelaksanaan anggaran, dan aspek kultur.
Dalam aspek perencanaan, sebagian besar responden setuju dengan
pertanyaan yang diajukan, antara lain Proses Perencanaan anggaran Pemda sudah
optimal, kegiatan perencanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, perencanaan kegiatan dan program tahunan sesuai dengan perencanaan
jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Sementara itu variable yang
belum sesuai dengan jawaban responden antara lain adalah waktu proses
perencanaan anggaran yang berlaku selama ini sudah ideal, kegiatan perencanaan
merupakan pekerjaan yang sulit dan ketentuan-ketentuan yang ada menyulitkan kami
dalam melakukan kegiatan perencanaan.
Dalam aspek regulasi, sebagian besar responden setuju dengan pertanyaan
yang diajukan antara lain regulasi pemerintah pusat menghambat proses perencanaan,
rgulasi yang ada cukup rumit dan kompleks, regulasi yang dikeluarkan oleh instansi
tertentu bertentangan dengan yang dikeluarkan oleh instansi yang lain, sosialisasi
66
regulasi yang baru dikeluarkan cukup memadai dan regulasi yang dijadikan acuan
ditetapkan pada waktu yang tepat.
Jawaban responden terhadap aspek pelaksanaan sebagian besar setuju
terhadap pertanyaan yang diajukan, antara lain sulit untuk memulai pelaksanaan
anggaran tepat pada awal tahun anggaran, dalam memulai kegiatan, kami harus
menunggu instruksi dari pimpinan, mengalami kesulitan dalam menetapkan KPA, PPK
dan petugas penganggaran lainnya, mengalami kesulitan dalam memulai proses lelang
dan hasil pekerjaan pemenang lelang telah sesuai dengan yang kami harapkan.
Dalam hal aspek kultur, berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui
bahwa tidak semua responden bersedia menjawab untuk aspek ini, hal ini dikarenakan
responden masih enggan untuk menyampaikan mengenai pola tingkah laku dari
masing-masing pelaksana penganggaran. Namun terdapat 2 variabel yang rata-rata
dijawab dengan “setuju” oleh responden, yaitu senang melakukan pekerjaan saya saat
ini dan suka melakukan sesuatu pekerjaan tepat waktu. Selain itu juga, kultur yang
cenderung menghambat penyerapan anggaran antara lain adalah senang melakukan
pekerjaan menjelang deadline dan sangat strict dengan instruksi atasan.
V.2. Rekomendasi
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pengeluaran publik di
daerah perlu dilakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan
penyederhanaan peraturan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:
• Mengoptimalkan pemberian bimbingan teknis pengelolaan keuangana daerah
dan pengembangan jalur karir bagi pengelola keuangan daerah.
• Mengembangkan mekanisme magang dan secondment.
• Mempersingkat proses perencaaan yang memakan waktu yang cukup lama,
sehingga menghabiskan hampir seluruh waktu pekerjaan mereka.
Menyusun regulasi yang lebih sederhana, tidak rumit dan kompleks serta tidak
menghambat proses pelaksanaan anggaran. Regulasi yang disusun harus
sinkron dan sesuai antara regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat
dengan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
67
• Membangun kultur pegawai yang lebih baik agar tidak mengerjakan pekerjaan menjelang
deadline. Kultur menunggu instruksi atasan yang sangat kental juga perlu
diperbaiki sehingga dapat meningkatkan inisiatif dan pengembangan
kemampuan pegawai dalam mengambil keputusan dalam bekerja.
68
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Bank Dunia, 2007, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia,
http://siteresources.worldbank.org/ INTINDONESIA/Resources/226271-1168333550999/PERFBAB5-Infrastruktur.pdf
Dikun, S, 2003. Infrastruktur Indonesia : Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis.
Jakarta : Kementerian Negara PPN/BAPPENAS. Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, 2011, Data Pokok Indikator
Ekonomi dan Perkembangan APBN, Jakarta. Herriyanto, Hendris. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan
Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementerian/Lembaga di Wilayah Jakarta. Diss. Tesis. Jakarta: Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, 2012.
Kuswoyo, Iwan Dwi. Analisis Atas Faktor-Faktor Yang Menyebabkan
Terkonsentrasinya Penyerapan Anggaran Belanja Di Akhir Tahun Anggaran (Studi Pada Satuan Kerja Di Wilayah KPPN Kediri). Diss. Universitas Gadjah Mada, 2012.
Kurrohman, Taufik. "Evaluasi Penganggaran Berbasis Kinerja Melalui Kinerja
Keuangan Yang Berbasis Value For Money Di Kabupaten/Kota Di Jawa Timur." Jurnal Dinamika Akuntansi 5.1 (2013).
Priatno, Prasetyo Adi, and Muhammad Khusaini. "Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan Kerja Lingkup Pembayaran KPPN Blitar." Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB 1.2 (2012).
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Anggaran pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2011. Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Anggaran pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2012. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah. Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 66 Tahun 2005
tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
69
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD 2009.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pangan Berkelanjutan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 tentang
Perencanaan Pembangunan Nasional. Republik Indonesia, Peraturan Presiden RI No. 52 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah.