meninjau ulang praktik waris beda agama dalam …
Post on 03-Dec-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM KONTEKS
INDONESIA PERSPEKTIF MASLAHAH NAJM AL-DIN AL-THUFI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Disusun Oleh:
Jijay Zaenal Arifin
11170430000013
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443/2021
ii
MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM KONTEKS
INDONESIA PERSPEKTIF MASLAHAH NAJM AL-DIN AL- THUFI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H.)
Oleh:
JIJAY ZAENAL ARIFIN
11170430000013
Pembimbing:
Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A.
NIDN. 2128018202
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2021 M
iii
iv
v
ABSTRAK
Jijay Zaenal Arifin (11170430000013) “Meninjau Ulang Praktik Waris
Beda Agama Dalam Konteks Indonesia Perspektif Maslahah Najm Al-Din Al-
Thufi”. Program Studi Perbandingan Mazhab (muqaranah al-mazahib),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2021 M/1443 H.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci dan komprehensif tentang
waris beda agama di Indonesia dalam pandangan maslahah Najm al-din Al-Thufi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative yuridis), bersifat
preskriptif dengan menggunakan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini
berjenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa larangan waris beda agama yang
didasarkan kepada hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi “Seorang muslim
tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang
muslim” (HR. Bukhari dan Muslim) bersifat umum. Hadits tersebut harus ditakhsish
dengan menggunakan maslahah dalam perspektif Najm al-Din al-Thufi. Sistem
kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara
hukmiyah. Landasan pemberlakuan waris adalah al-In‟am yaitu memberikan hak
kepada orang lain untuk menikmati harta kekayaan pewaris. Sehingga nilai dan
tujuan wars inilah yang mentakhsish keumuman hadits tersebut diatas.
Kata kunci: Waris beda agama, Dalil argumentasi dan Maslahah Najm al-Din al-
Thufi.
Pembimbing : Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A.
Daftar Pustaka : 1981 s/d 2020
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tidak tehingga penulis persembahkan ke haribaan Allah
Swt yang Maha Mengetahui karena atas rahmat dan pertolongannya semata penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga penulis tidak henti-hentinya membaca
shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menjadi panutan dalam
segala aktivitas dan perjuangan selama hidup di dunia sebagai ladang amal ini.
Penulisan skripsi ini diajukan dan dimaksudkan oleh penulis untuk memenuhi
salah satu syarat penulis memperoleh gelar Sarjana (Strata 1) pada program studi
perbandingan Mazhab (Muqaranah al-mazahib) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini
sudah tentu banyak kekurangan dan kealfaan dari penulis sebagai manusia yang tidak
pernah luput dari salah. Oleh karenanya, kiranya pembaca skripsi penulis ini, dengan
hati yang bersih dan niat yang baik dan tebtunya setelah membacanya dengan teliti
berkenan untuk mengingatkan penulis atau membenarkannya.
Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu tidak terlpas dari bantuan, bimbingan
dan kontribusi dari berbagai pihak yang berpengaruh pada spirit dan kemampuan
penulis. Oleh karenanya, dalam hal ini penulis penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin
Umar Lubis, M.A.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sitti Hanna, M.A. selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Bapak
Hidayatullah, M.H. selaku sekretaris Program Studi.
4. Bapak Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.
vii
5. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan program Studi Perbandingan
Mzhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan selama duduk di bangku
kuliah.
6. Ayahanda tercinta Alm, Aj. Aas Saifuddin dan ibuk Ereh yang tidak pernah
lupa mendoakan, mencintai, mendukung segala hal yang menjadi cita-cita
penulis dankeinginan penulis.
7. Segenap keluarga besar Ayahanda, Kakak, kepponakan dan semua warga
masyarakat Kp. Cibitung, Desa Cigintung, Kecamatan Singajaya Kabupaten
Garut yang selalu mensupport dan mendukung semua langkah perjuangan dan
pendidikan penulis.
8. Segenap mahasiswa Perbandingan Mzhab, angkatan 2017 terkhusus Izza
Amalia, Siti Fauziyah, Bidayatul Mutammimah, Putri, Kiki, Fatma, Wini dan
sebagainya yang telah tulus membantu, menjadi sahabat dalam segala hal
perjuangan dan kebaikan.
9. Keluarga besar Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam
(LKBHMI) Cabang Ciputat, kanda Fahmi Muhammad Ahmadi, kanda Ihdi
Karim Makinara, Kanda Muhammad Isnur, kanda Teuku Mahdar Adrian,
kanda Ali Fernandes, kanda Haris Barkah, kanda Ridho Akmal Nasution,
kanda Aji Andika Mufti, kanda Fauzul, kanda Irpan Pasaribu, Kanda
Awaludin, kanda Ahmad Masyhud, kanda Zainuri, kanda M. Irpan, kanda
Humaidi, kanda Rahmat Ramdani, kanda Roni Johan, kanda Afif Kurniawan,
kanda Abdul Qadir Batubara, kanda Agustiar Hariri Lubis, kanda Triono,
kanda Ahmad Imam Santoso, Kanda Wahid Sabekti, kanda Enday
Hidayatullah, kanda Onggi Sigma Utara, kanda Dhika Amal Fatul Hakiem,
kanda Rasyid Rahmat, Yunda Ayu Sitti. Teman-teman seperjuangan yang
tercinta Kanda Syukriyan, Direktur Eksekutif Kanda Herman Sunaro Lubis,
kanda Adnan Ajmain dan adik-adik tercinta, Adinda Rifki Andrio, Bimas
Zulfikar, Amin, Abdurrahman, Wahid, Rajif, Sukma, Arif, Taufik serta
viii
segenap pengurus LKBHMI terimakasih atas kritik, saran, canda tawa, dan
tangisan haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimkasih atas
semua kehidupan dan persahabatan yang luar biasa indah dan bahagianya.
Panjang umur semua untuk perjuangan dan kebaikan.
Semoga Allah yang maha baik membalas semua kebaikan dan pengorbanan
tersebut semua serta kita selalu sehat dan panjang umur. Terkahir, semoga
skripsi ini bermanfaat terlebih untuk penulis dan untuk semua orang pada
umumnya.
Ciputat, 14 September 2020
Jijay Zaenal Arifin
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………….………………………..iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………..……………………………….…iv
ABSTRAK………………………….………………………….…………………….v
KATA PENGANTAR………………………...….……...…………………………vi
DAFTAR ISI…………………………………………………….……………….....ix
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 10
F. Metode Penelitian............................................................................................. 13
G. Pedoman Penulisan .......................................................................................... 16
H. Sistematika Penulisan....................................................................................... 17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS BEDA AGAMA DALAM HUKUM
ISLAM DAN HUKUM WARIS INDONESIA ............................................................ 1
A. Pengertian Dan Dasar Waris Beda Agama ........................................................ 1
1. Pengertian Waris Beda Agama ....................................................................... 1
2. Dasar Hukum Waris Beda Agama ................................................................. 6
B. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia.................... 10
1. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam .................................................... 10
x
2. Waris Beda Agama Dalam Hukum Waris Indonesia ................................... 14
3. Hukum Waris Burgerlijk Webook (BW) ...................................................... 18
BAB III
BIOGRAFI, KARYA DAN METODOLOGI PEMIKIRAN NAJM AL-DIN AL-
THUFI TENTANG MASLAHAH ............................................................................... 1
A. Biografi Najmuddin al-Thufi ............................................................................. 1
B. Perjalanan Intelektual dan Karya Najmuddin al-Thufi ...................................... 4
C. Latar Belakang dan Lahirnya Teori Maslahah Al-Thufi.................................. 12
D. Konsep Maslahah Al-Thufi .............................................................................. 13
a. Makna Maslahah Menurut Al-Thufi ............................................................ 13
b. Makna Hadits La Dlarar Wa La Dlirara ....................................................... 17
c. Mendahulukan Maslahah diatas Nash al-Syariah dan Ijma‟ ........................ 19
E. Ulama Yang Setuju Dengan Konsep Maslahah al-Thufi ................................. 28
BAB IV
ANALISIS WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
MASLAHAH NAJMUDDIN AL-THUFI .................................................................... 1
A. Analisis Dalil Waris Beda Agama ..................................................................... 1
B. Analisis Waris Beda Agama di Indonesia Perspektif Maslahah Al-Thufi ......... 7
C. Wasiat Wajibah Sebagai Solusi Waris Beda Agama di Indonesia .................. 14
BAB V
PENUTUP ................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mahmud Syaltut (1893-1963 M) menegaskan kebebasan beragama sebagai
sesuatu yang diakui dan dilegitimasi oleh islam.1 Kebebasan tersebut dalam konteks
negara Indonesia adalah hak konstitusional setiap warga negara yang telah dijamin
oleh konstitusi.2 Akibatnya keragaman agama di Indonesia menimbulkan relasi sosio-
keagamaan antar para pemeluk agama yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari sebuah
realitas yang menunjukan banyaknya pernikahan lintas agama yang berujung pada
kewarisan beda agama. Terbukti pada tahun 1980 sebanyak 24.677 pasangan
melakukan pernikahan beda agama pada tahun 1990 jumlahnya drastis meningkat
menjadi 28.688 pasangan dan pada tahun 2000, terdapat 2.673 pasangan.3
Konsekuensi logis dari fakta pluralitas agama dalam sebuah institusi keluarga
adalah kewarisan beda agama. Kewarisan beda agama mempunyai potensi yang besar
dalam menimbulkan pertikaian dalam sebuah keluarga pasca kematian seseorang
meskipun fakta pluralitas agama dapat diterima oleh setiap orang.
Karena kepercayaan yang besar terhadap nilai keadilan dan kemaslahatan
yang terkandung di dalam sistem hukum waris Islam membuat sebagian besar
masyarakat Muslim bersikap menerima doktrin fikih waris sebagaimana adanya tanpa
berfikir ulang tentang akibat-akibat baru yang akan muncul manakala mereka
menerapkan sistem hukum waris Islam yang telah ada saat ini. Sehingga nalar berfikir
mereka cenderung statis, tanpa memperhatikan atau bahkan mengkorelasikan sistem
hukum waris yang digunakan umat Islam saat ini dengan kemaslahatan dan tujuan
syariat atau maqāshid syarī‟ah
1 Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Al-Syari‟ah,(Cairo: Daar al-Syuruuq), h., 47
2 Said Aqil Siradj, Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: SAS Foundation), h., 287
3 Noryamin Aini “Fakta Empiris Nikah Beda Agama “ wawancara diakses pada tanggal 06 mei 2020
pukul 11.30 dari http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07lfakta-empiris-nikah-beda-agama/.
2
Hukum di Indonesia juga mengenal tiga sistem hukum untuk mengatur proses
pembagian harta yang telah ditinggalkan oleh pewaris. Di antaranya Islam,
Buergerlijk wet book (BW) dan hukum adat. Dalam kebiasaannya, hukum Islam
hanya dipakai oleh kalangan umat Islam dalam pembagian kewarisannya. Sedangkan
hukum Perdata Barat burgerlijk wet book (BW) dan hukum adat lebih sering
digunakan oleh masyarakat pribumi dan pemeluk agama yang lain.
Perbedaan yang paling mencolok di antara ketiganya juga terlihat saat
memaknai aturan mengenai hak orang yang berbeda agama dalam mendapatkan harta
warisan. Dalam hukum islam, Argumentasi awal dan yang saat ini dipegang adalah
bahwa perberbedaan agama merupakan salah satu faktor penghalang seseorang
tersebut mendapatkan harta warisan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa hanya
non muslim yang dan tidak sebaliknya. Dalam hukum adat disebutkan bahwa
perbedaan agama bukanlah salah satu penghalang bagi terlaksananya proses peralihan
harta peninggalan dari pewaris kepada waris dan siapa yang lahir terlebih dahulu
bukan merupakan soal dalam hal kewarisan4
Dalam hukum islam, akar perselisihnan diantara fuqaha (ahli yurisprudensi
hukum islam) diatas bersumber dari proses interpretasi yang berbeda terhadap suatu
hadits tentang larangan waris antar iman.
:انرخلآلاالق .ونرب خ :أييال)ق(يحيفظللال)ومياىرب بنإحقسإوةبي شببنأركبوب أوييبنيث نايحد
ليرث :الصلى الله عليه وسلمقبالن نأديبنزةامسأنعانمثعروبنمعنعيسيبنحلعنعيرىالز ن(عةينيعنباإنث د ح
سلمالكافرسلم .الم
)رواهمسلم(ولالكافرالم
Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim telah
menceritakan kepada kami (Imam Muslim) telah menceritakan kepada kami Ibnu
4 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Waris Adat (Jakarta: Berita Penerbit, Cet.2, 1997),
h.79.
3
Uyainah dari Zuhri dari Ali bin Husain dari „Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid
bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw telah bersabda : seorang muslim tidak
dapat menjadi ahli waris orang kafir, begitu juga orang kafir tidak dapat menjadi
ahli waris orang muslim (H.R Muslim)5. Sementara itu dilain sisi juga terdapat hadits
yang membolehkan waris beda agama.
:إاذعمالقاف ملسامخأكرت واتميدوهي فويلاإوعفت ارفنمليباذعمان :كاليليقالد دوسلابأنع تعسن
مهب جنونيرافكلاثرنن :نرآخثيدحصلى الله عليه وسلمفالللوسرالقوصقن ي وديزيملسلان :إلوقصلى الله عليه وسلمي الللوسرل
انن وب جيلاونن وث ريلو
Dari Ubaiy al-Aswad al-Diliy ia berkata: saat Muadz berada diyaman (atas perintah
Rasul mejadi hakim) para penduduk Yaman melaporkan suatu peristiwa kematian
seorang Yahudi yang meninggalkan seorang saudara laki-laki muslim. Muadz bin
Jabal berkata: Sunggguh saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda:
sesungguhnya islam itu bertambah dan tidak berkurang. Dalam hadits yang lain nabi
bersabda: kami dapat menjadi ahli waris orang-orang kafir, menghijab mereka,
mereka tidak bisa menjadi ahli waris kami dan juga tidak dapat menghijab kami.6
Dua hadits dengan ketentuan hukum yang berbeda tersebut dalam konteks
Indonesia terejawantahkan didalam putusan Mahkamah Agung (MA)
No.368K/AG/1995, Putusan Mahkamah Agung No.16K/AG/2010 dan Penetapan
Pengadilan Agama Badung pada perkara No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
Dua pendapat yang berbeda dikalangan sahabat dan para ahli yurisprudensi
islam (al-A‟immah al-Mazahib) yang teraplikasikan didalam dua putusan Mahkamah
Agung dan Penetapan Pengadilan Agama Badung tersebut diatas cukup menjadi
dasar pengetahuan kita bahwa larangan waris beda agama bukan sesuatu yang bersifat
5 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Fikr), juz 2, h., 56, no. Hadits 1614
6 Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat
(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 306
4
aksiomatik atau al-Ma‟lum Min al-Din Bi al-Dlarurah sehingga terdapat cela dan
potensi untuk berubah sesuai dengan situasi, kondisi dan maslahah yang relevan. Jika
Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi, Yusuf al-Qaradlawi, dan Ismail Luthfi
Fathani beranggapan bahwa larangan waris beda agama berlaku jika menyangkut
orang kafir harbi, lalau bagaimana dengan Indonesia yang sama sekali tidak
mengenal kategori jenis-jenis kafir tersebut diatas. Tentu sangat dibolehkan dan
sudah seharusnya berubah.
Hal demikian diatas tentu bukan sesuatu yang tabu mengingat perubahan
hukum adalah suatu yang niscaya. Konstruksi hukum islam, dalam hal ini fikih kental
dengan semangat ruang dan waktu. Oleh sebab itu keragaman hukum sesungguhnya
merupakan fenomena keniscayaan sosial dan budaya. Ibnu Qayyin al-Jawziyyah (w.
751 H/1350 M) menegaskan bahwa hukum islam seharusnya sebagai refleksi
responsif fukaha dalam menyikapi persoalan zaman dengan semangat kedisinian dan
kekinian.7
Maslahah dalam diskursus hukum islam adalah prinsip dan tujuan utama yang
henadak dicapai dalam merumuskan hukum. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, bahwa syariat (baca: hukum Islam) itu dibangun di atas fondasi
kemaslahatan manusia (mashalih al-ibad). Menurutnya, syariat itu seluruhnya adil,
mengandung rahmat, maslahat, dan hikmah. Konsekuensinya, segala sesuatu yang
keluar dari keadilan, rahmat dan mendatangkan mafsadat (kerusakan) tidak bisa
dikategorikan, apalagi diklaim sebagai syariat. Bahkan lebih jauh Ibn Qayyim
menyatakan, disebabkan kita bodoh dan tidak memahami konsep maslahat ini, kita
telah terjebak pada kesalahan yang besar di dalam memahami syariat.8
7 Noryamin Aini, Tradisi Mahar Di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial Di
Masyarakat Muslim, AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah Volume 14, Nomor 1, Januari 2014 8 Ibn Qayyim al- Jauziyyah, I‟lam Al-Muwaqi‟in „an Rob Al-„Alamin (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1993), juz 3, hlm. 11
5
Teori dan konsep maslahah telah banyak diperbincangkan dan ditelaah secara
serius oleh para pakar hukum Islam. Diantaranya ada Imam al-Haramain, al-Ghazali,
„Izzuddin Ibn Abd Salam, asy-Syatibi, dan lain sebagainya. Namun teori dan konsep
maslahah mereka hampir seluruhnya cenderung statis dan bergerak dibawah
kungkungan teks. Maslahah dalam konsep mereka tidak lebih tinggi kedudukannya
dengan teks. Konsep maslahah mereka harus mendapatkan legitimasi oleh teks.
Oleh karena demikian, dari sekian banyak teori maslahat yang ditawarkan,
ada satu teori maslahat yang cukup menarik untuk diangkat ke permukaan untuk
dibahas, dipertimbangkan, dijadikan pisau analisis sebagai landasan teoretis dalam
upaya rekonstruksi larangan waris beda agama dalam merancang pembangunan
hukum nasional di Indonesia. Karena sekali lagi, mayoritas penduduk Indonesia yang
beragama Islam tentu menginginkan produk hukum yang memiliki landasan yang
bisa dipertanggungjawabkan, baik secara teologis maupun yuridis. Hal ini, tentu akan
sangat menguntungkan bagi pemerintah, karena rakyat akan dengan sukarela
menjalankan produk hukum yang dihasilkan oleh negara, sehingga tercapainya
keteraturan dan ketenteraman masyarakat akan terwujud. Posisi hukum Islam sangat
strategis dalam sistem hukum nasional, karena didukung oleh golongan mayoritas
penduduk Indonesia.9
Teori maslahah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah maslahah-nya
Najmuddin at-Thufi, seorang tokoh pemikir Islam yang hidup pada abad ke-13 M.
Pada masanya, pemikirannya tentang maslahat sangat kontroversial dan cenderung
melawan arus pemikiran yang ada dan telah berkembang mapan. Salah satu idenya
yang hingga kini dianggap masih kontroversial dan melawan arus adalah keharusan
maslahat menganulir teks-teks suci keagamaan (seperti al-Qur‟an dan al-Hadis) saat
bertentangan dengan nilai-nilai kemaslahatan yang berkembang di tengah
9 Abdul Hadi dan Shofyan Hasan, “Pengaruh Hukum Islam Dalam Pengembangan Hukum Di
Indonesia,” Nurani: Jurnal Kajian Syari‟ah Dan Masyarakat 15, No. 2 (2015): 89-100, https://doi.org/
https://doi.org/10.19109/nurani.v15i2.284.
6
masyarakat. Karena baginya, tujuan Tuhan menurunkan hukum adalah dalam rangka
untuk memenuhi kemaslahatan manusia. Teks-teks suci keagamaan hanyalah sebatas
wasilah (baca: perantara) saja, sedangkan tujuan utamanya adalah tercapainya
kemaslahatan itu sendiri. Ini adalah inti dari ajaran maslahat yang ditawarkan oleh at-
Thufi. Kiranya tidak berlebihan jika penulis menyebut teori maslahat at-Thufi sebagai
“Hukum Islam progresif”.
Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis tertarik untuk melakukan sebuah
penelitian tentang rekonstruksi dan pembaharuan hukum waris beda agama dengan
menjadikan teori maslahah Najmuddin al-Thufi sebagai landasan filosofis dan pisau
analisis sebagai arah pembangunan hukum nasional yang menitikberatkan kepada
kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka muncul beberapa
permasalahan yang dapat di identifikasi sebagai berikut:
a. Mayoritas umat Islam Indonesia selama ini berpendapat bahwa antara muslim
dan non muslim tidak saling mewarisi. Pemahaman ini sudah dianggap syariat
yang baku yang tidak mungkin untuk berubah
b. Adanya pendapat lain yang berbeda tentang waris beda agama mempunyai
argumentasi yang kuat dan relevan sesuai dengan prinsip hukum islam.
c. Kontekstualisasi, rekonstruksi dan pembaharuan hukum islam tentang
larangan waris beda agama di Indonesia dengan kondisi yang plural.
d. maslahah Najmuddin al-Thufi sebagai teori hukum islam yang progresif
dalam menyelesaikan dan mengurai sengketa dan problem waris beda agama
untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar agama.
2. Pembatasan Masalah
7
Agar pembahasan yang penulis lakukan terarah dan tidak meluas, maka
dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada rekonstruksi atau pembaharuan
hukum islam tentang larangan waris beda agama ditinjau dari teori maslahah
Najmuddin Al-Thufi dalam konteks Indonesia untuk pembangunan hukum
nasional Indonesia yang lebih equality dengan tetap berlandaskan kepada
kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep maslahah Najmuddin al-Thufi dalam penetapan hukum
islam ?
2. Apakah larangan waris beda agama sebagai pendapat Jumhur Ulama yang
terkodifikasikan dalam KHI memilki argumentasi hukum yang kuat dan
relevan dengan konteks Indonesia ?
3. Bagaimana rekonstruksi pemikiran hukum islam tentang larangan waris beda
agama dalam konteks Indonesia dilihat dari maslahah Najmuddin Al-Thufi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
4. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas yang telah penulis paparkan, maka
dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis dan memhami secara komprehensif konsep maslahah
Najmuddin al-Thufi dalam penetapan hukum i
b. Untuk mentarjih atau membandingkan beberapa dalil tentang larangan dan
kebolehan waris beda agama secara kontekstual dan kekinian.
c. Untuk menganalisis sekaligus mengimplementasikan konsep maslahah
Najmuddin al-Thufi dalam upaya rekonstruksi atau pembaharuan hukum
waris beda agama dalam konteks Indonesia.
2. Manfaat
8
Selain beberapa tujuan yang hendak dicapai tersebut diatas, penulis juga
berharap tulisan ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritik akademik, untuk menambah sumber referensi, wawasan dan
pengetahuan dalam dunia hukum terutama dalam hukum islam sendiri.
2. Diharapkan menjadi sebuah kontribusi didalam menentukan sikap dalam
menghadapi permasalahan sengketa waris beda agama
3. Menghasilkan karya ilmiah yang berguna bagi penulis sebagai syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH) dalam program studi Perbandingan
Mazhab (PM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Review Studi Terdahulu
Tesis yang ditulis oleh Mulyadhi tahun 2019 dengan judul “Analisis
Pemikiran Abdullan Ahmad An-Naim Tentang Kewarisan Beda Agama dan
Relevansinya dengan Hukum Kewarisan di Indonesia”.
Penelitian ini berangkat dari ide-ide An-Naim tentang relevansi
Syariah dengan nilai-nilai dan budaya modern. An-Naim menekankan
perlunya reformasi Syariah supaya sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam pandangan An-Naim larangan waris beda agama tidak lain hanyalah
syariah historis yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman,
diskriminatif dan tidak selaras dengan Hak Asasi Manusia harus di masukh.
An-Naim menyatakan bahwa larangan waris beda agama dalam islam adalah
bentuk diskriminasi atas dasar agama yang mana merupakan titik konplik
yang paling serius antara syariah dengan Hak Asasi Manusia. oleh sebab itu
diskriminasi atas dasar agama sebagai salah satu sebab utama konflik dan
perang antar bangsa tidak berlaku di Indonesia dan tidak bisa diterapkan oleh
masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam sistem keagamaan.
9
Chamim Tohari (2017) dalam penelitiannya yang berjudul
“Rekonstruksi Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Ushul al-
Khamsah” mengungkapkan bahwa ditinjau dari al-Ushul al-Khamsah
larangan waris beda agama tidak sejalan dengan prinsip atau tujuan-tujuan
umum syariah (Maqasid al-Syariah). Pendapat yang melarang kewarisan beda
agama selain tidak memperhatikan kemaslahatan juga tampak literlijk, artinya
tidak memperhatikan kandungan dan substansi teks dengan maksud yang
ingin dicapai oleh teks tersebut yaitu kemsalahatan. Pendapat ulama yang
membolehkan seorang muslim mewarisi kafir adalah pendapat yang memiliki
relevansi dengan al-Ushul al-Khamsah, yaitu yang berkaitan dengan konsep
memelihara agama (Hifz al-Din), memelihara jiwa (Hifz al-Nafs), memelihara
akal (Hifz al-„Agl), memelihara keturunan (Hifz al-Nasl) dan memelihara
harta (Hifz al-Maal).
Enday Hidayatullah (2020) dalam penelitiannya yang berjudul
“Penetapan Ahli Waris Muslim Terhadap Pewaris Non Muslim: Studi
Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam
Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013.PA.Bdg” mengungkapkan bahwa
penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama Bandung tersebut tidak
mencerminkan keadilan bagi ahli waris non muslim. Seharusnya anak yang
beragama Hindu sama seperti ibuknya yang harus mendapatkan warisan dan
menjadi ahli waris yang sah bukan justeru diberi warisan melalui mekanisme
wasiat wajibah. Sebab prinsip kewarisan dalam islam ditentukan oleh agama
yang dianut seorang pewaris. Enday juga berpendapat bahwa penetapan
Pengadilan Bandung tersebut diatas yang menetapkan ahli waris muslim
(dalam penetapan tersebut dua orang anak) dari seorang pewaris non muslim
bertentangan dengan jumhur ulama yang melarang kewarisan beda agama.
Dari beberapa penelitian diatas yang mempunyai kemiripan dengan
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang dilakukan
10
oleh Mulyadhi dan Chamim Tohari. Sedangkan yang membedakannya adalah
ruanglingkup dan Sudut pandang atau pisau analisis yang digunakan.
Dua penelitian diatas sebagaimana yang akan penulis lakukan adalah
sebuah upaya untuk merekonstruksi dan mendobrak pandangan-pandangan
larangan waris beda agama yang selama ini telah mapan bahkan seolah sudah
menjadi doktrin hukum yang tak dapat berubah. Namun jika penelitian yang
dilakukan oleh Mulyadhi menggunakan pisau analisis atau sudut pandang
Abdullah An-Naim dan dalam penelitian Chamim Tohari hanya dari
perspektif Maqosid al-Syariah maka, dalam penelitian ini penulis akan
menganalisis kewarisan beda agama secara spesifik meliputi, maslahah
Najmuddin al-Thufi dan Tarjih al-Adillah, bahkan Hak Asasi Manusia dengan
memperhatikan kontekstualisasi dan relevansinya dalam konteks negara
bangsa seperti Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Teori
a. Tarjih al-Adillah
Tarjih al-Adillah adalah menguatkan salah-satu dari dua dalil yang
brkekuatan dzanni. Definisi yang lebih komprehensif tentang tarjih dapat
ditemukan dari ulama-ulama bermazhab hanafi. Menurut mereka Tarjih
adalah menampakan atau menguatkan tambahan pada salah-satu dari dua
dalil dengan menggunakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Tarjih al-
Adillah adalah salah satu metodologi hukum islam yang ditempuh dalam
menyelesaikan dua dalil yang bertentangan.10
Dalam bahasa yang mudah
difahami Tarjih Al-adillah adalah sebuah analisis terhadap dua dalil-dalil
yang bertentangan dengan menggunakan perangkat lain guna mengetahui
dalil yang paling kuat dan dijadikan sebagai pijakan. Dalam diskursus kajian
10 Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami (Syuriah: Daar al-Fikr), Juz 1, h., 1185
11
Ushul Fiqh, ulama‟ hanafiyyah menempatkan tarjih pada peringkat yang
pertama diatas al-Jam‟u wa al-Taufiq ketika menyelesaikan dalil-dali yang
bertentangan (Taarud al-Adillah).
Cara kerja tarjih didalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan
dapat dilakukan pada dua bagian, pertama Tarjih teks (Tarjih al-Nushush)
dan yang kedua tarjih qiyas (Tarjih al-Aqyisah). Tarjih al-Nushus adalah
menilai atau melakukan sebuah analisis terhadap dua dalil yang bertentangan
meliputi kajian sanad, matan, petunjuk lafadz dan faktor-faktor eksternal.
Sedangkan tarjih al-Aqyisah adalah analisis terhadap dua dalil yang
bertentangan dengan menggunkan perangkat qiyas baik dari aspek asal,
furu‟ ataupun „Illat hukum. Dengan berbagai macam kelengkapan dan
pendukungnya, Tarjih dalam pandangan Ulama‟ Hanafiyyah mendapatkan
perhatian khusus dalam mengurai permasalahan dua dalil atau lebih yang
saling bertentangan.11
b. Maslahah
Pengertian al-maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa
pakar teori hukum islam, usul fiqh dari yang klasik sampai yang
kontemporer. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna
genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau
menyingkirkan/menghindari kemudaratan ( Jalb al-Manfaat atau Daf‟u al-
Mafsadah )
Sedangkan Maslahah menurut Al-Thufi dapat dilihat dari dua segi,
yaitu „urf dan syara‟. Menurut „urf, yang dimaksud mashlahah adalah “sebab
yang membawa dan melahirkan keuntungan”. Adapun mashlahah dalam
pengertian syar‟i berarti: sebab yang membawa dan melahirkan maksud
12
(tujuan) syar‟i baik maksud yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah
(al-adah).12
Teori maslahah Najmuddin al-Thufi yang penulis jadikan pisau
analisis dalam merekonstruksi hukum waris beda agama pada tulisan ini
hingga kini masih kontroversial dan melawan arus dikarenakan keharusan
maslahat menganulir teks-teks suci keagamaan (seperti al-Qur‟an dan al-
Hadis) saat bertentangan dengan nilai-nilai kemaslahatan yang berkembang
di tengah masyarakat. Karena baginya, tujuan Tuhan menurunkan hukum
adalah dalam rangka untuk memenuhi kemaslahatan manusia. Teks-teks suci
keagamaan hanyalah sebatas wasilah (baca: perantara) saja, sedangkan tujuan
utamanya adalah tercapainya kemaslahatan itu sendiri
c. Rekonstruksi Hukum Islam
Rekonstruksi memiliki makna yang sama dengan kata reformasi,
reaktualisasi, dekonstruksi, tajdid dan islah. Rekonstruski hukum islam
adalah sebuah upaya pembaharuan (tajdid) hukum islam yang lebih sesuai
dengan perkembangan zaman. Rekonstruksi hukum islam dimaksudkan
untuk melakukan pembaharuan atau penafsiran ulang terhadap norma-norma
agama yang lebih relevan dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu.13
Berbicara soal pembaharuan hukum Islam, sebenarnya erat kaitannya
dengan ijtihad. Menurut Ibn Taimiyah, maju atau mundurnya hukum Islam
tergantung pada tinggi rendahnya frekuensi ijtihad yang dilakukan oleh para
mujtahid. Dalam konteks Indonesia Hasbie Ash Shideqy dengan gagasannya
fikih Indonesia menyebutkan bahwa rumusan fikih yang dihasilkan dari
proses ijtihad tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan
12 Mushtafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1964), cet ke-2, h. 67
13 Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, ( Depok: Kencana, 2017 ), h., 97
13
penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut
beliau hukum yang baik adalah hukum yang memperhatikan kondisi sosial,
ekonomi, budaya, adat istiadat dan kecendrungan masyarakat yang
bersangkutan. Pmenurut Hasbi prinsip utama dalam hukum adalah
kemaslahatan yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan. Karenanya, nash
baru diamalkan selama tidak berlawanan dengan kemaslahatan dan tidak
mendatangkan kemadlaratan.
2. Kerangka Konseptual
a. Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur perpindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Agama
Agama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya14
c. Waris Beda Agama
Waris beda agama adalah perpindahan harta peninggalan (tirkah) dari seorang
pewaris yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan ahli waris dan
sebaliknya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk
14 KBBI
14
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara
holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu
konteks.15
2. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan segi pendekatan analisis jenis penelitian ini termasuk
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma
yang dibangun adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundangan, putusan pengadilan, peranjian, serta doktrin (ajaran).16
Lebih
lanjut mengenai penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang memiliki objek
kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian hukum normative meneliti
kaidah atau peraturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan
suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk
memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa
telah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum.
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah statute approach
yaitu pendekatan melalui aturan hukum yang berlaku.
3. Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang akan digunakan sebagai dasar untuk
menunjang penelitian ini adalah data yang dikumpulkan berasal dari data
sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier berupa Norma Dasar,
perundang undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku dan lain sebagainya.
a. Bahan Hukum Primer
15 Lexy J Moelong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h., 6. 16
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar),h., 33
15
Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang undangan,
yurisprudensi, atau putusan pengadilan yang ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah
hadits tentang larangan waris beda agama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Keputusan Mahkamah Agung (MA)
No.368K/AG/1995, Putusan Mahkamah Agung No.16K/AG/2010, Penetapan
Pengadilan Agama Bandung pada perkara No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan Fatwa
MUI Nomor 5/MUNAS/VII/MUI/9/2005.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini berupa kitab-kitab fikih klasik (turats) ataupun modern, buku,
dokumen, jurnal yang berkaitan dengan keabsahan kewarisan beda agama.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data lengkap dalam tulisan ini, teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah library research atau penelitian
kepustakaan. Penulis melakukan pelacakan terhadap literatur-literatur yang
berkaitan dengan materi pembahasan. Dokumentasi dapat digambarkan dalam
langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut:
a. Mencari bahan-bahan. Dalam hal ini penulis berupaya mengumpulkan
data-data yang berkaitan dengan pembahasan rekonstruksi waris beda
agama secara spesifik yaitu kitab Ikhtilaf al-Din wa Atsaruhu Fi Ahkam
al-Munakahat wa Al-Muamalat karya Dr. Ismail Luthfi Fathani dan
Kitab al-Ta‟yin Fi Syarh al-Arbain karya Najmuddin al-Thufi.
b. Melengkapi bahan-bahan sekunder diatas dengan bahan-bahan
pendukung dari karya ulama lain dan para pakar fikih yang menulis dan
16
menganalisis permasalahan waris beda agama baik dari fikih klasik
maupun kontemporer.
c. Mengumpulkan data dari beberapa kitab tersebut dan ditempatkan pada
sub-sub bahasan penelitian skripsi ini.
5. Teknik Pengolahan Data dan Analisi Data
Data yang penulis peroleh lewat beberapa sumber sebagaimana
disebutkan diatas, diolah secara kritis dan mendalam untuk dapat mengetahui
bagaimana kekuatan hukum waris beda agama yang telah dicetuskan ulama‟
terdahulu dengan menggunakan perspektif keindonesiaan.
Dalam menganalisis dan mengelola data yang diperoleh, penulis
menggunakan teknik analisis deskriptif sebagaimana yang sering dilakukan
dalam penelitian kualitatif. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul,
maka selanjutnya data tersebut diolah dan disajikan dengan menggunakan
teknik analisis deskriptif, dengan melalui tahapan-tahapan tertentu, yakni
identifikasi, klasifikasi, dan selanjutnya diinterpretasikan melalui penjelasan-
penjelasan deskriptif. Data yang diperoleh lewat sumber primer dan sekunder
seperti disebutkan di atas, dianalisis secara seksama, kritis, dan mendalam,
dengan cara: Pertama, menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang waris
beda agama secara rinci. Kedua: menyebutkan dalil-dalil dan penunjukkannya
(wajhu al-dilalah) tiap-tiap pendapat secara tersendiri. Ketiga: mendiskusikan
dalil-dalil secara tertib berdasarkan perspektif keindonesiaan. Keempat:
mengambil mana pendapat yang paling kuat (tarjih) antara tiap-tiap pendapat,
kemudian ditarik kesimpulan.
G. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
berdasarkan buku pedoman penulisan skrisi yang diterbitkan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
17
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah dalam memahami penelitian ini, maka
pembahasannya harus dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Penyusun
membagi pokok pembahasan ini kedalam lima bab. Adapun sistematikan
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi tentang pendahuluan, terdiri dari: latar belakang masalah
yang menguraikan alasan dasar penelitian ini dilakukan; batasan dan rumusan
masalah yang memberi batasan-batasan permasalahan dan lingkup kajian yang
diteliti, diwujudkan dalam beberapa bentuk pertanyaan penelitian; tujuan dan
kegunaan penelitian yang menjelaskan sasaran akhir dan kontribusi penelitian;
kajian pustaka untuk menelaah beberapa karya tulisan yang senada dengan
penelitian dan menelaahnya untuk mencari celah-celah topik yang belum
diungkap dalam penelitian terdahulu; kerangka teori yang digunakan sebagai
wadah dan pijakan berpikir dalam menganalisis persoalan yang ada dalam
lingkup penelitian ini; metode penelitian yang menguraikan saranasarana dan
strategi bagaimana langkah-langkah pengumpulan data, pengolahan data, dan
menganalisisnya menjadi satu kesatuan kerangka pikir yang dapat dipahami
secara runtut, logis, dan rasional; dan sistematika penulisan yang menjelaskan
secara runtut urutan-urutan yang akan dianalisis sehingga persoalan tersebut
dapat dibahas secara berurutan.
Bab II menggambarkan tinjauan umum tentang hukum kewarisan beda
agama. Bab ini akan menjelaskan secara umum tentang pengertian waris, hal-hal
yang menghalangi kewarisan, dasar hukum waris beda agama, kewarisan beda
agama menurut hukum Islam, kajian teoritis seputar dalil-dalil waris beda agama
dan kewarisan beda agama menurut hukum kewarisan di Indonesia.
Bab III tentang biografi Najmuddin Al-Thufi mulai dari asal usul
keluarganya, pendidikannya, karya-karyanya dan pemikirannya tentang al-
18
Maslahah. Bab ini bertujuan untuk melihat latar belakang munculnya pemikiran
dan pemahaman sang tokoh tentang maslahah dan cara beliau dalam beristinbath
atau menggali hukum berdsarkan al-maslahah. Tujuannya adalah untuk
memperoleh gambaran yang jelas dan tepat dalam menafsirkan pola pikir sebuah
pemikiran yang dilontarkan tokoh progresif ini.
Dalam bab ini penulis juga akan memaparkan pengetahuan umum tentang
teori tarjih al-Adillah dan rekonstruksi hukum islam yang akan penulis gunakan
untuk menganalisis larangan waris beda agama di Indonesia.
Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan analisa penulis tentang
rekonstruksi dan pembaharuan hukum kewarisan beda agama di Indonesia
dengan menggunakan teori al-Maslahah Najmuddin al-Thufi dan tarjih al-
adillah dengan ragam macamnya.
Bab V adalah bab penutup yang memuat kesimpulan dari penelitian serta
analisis yang penulis lakukan. Bagian ini akan melengkapi dan menjadi titik
terang hasil penelitian serta analisis penulis. Kemudia diakhiri dengan saran serta
masukan dari penulis setelah melakukan penelitian.
1
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS BEDA AGAMA DALAM HUKUM
ISLAM DAN HUKUM WARIS INDONESIA
A. Pengertian Dan Dasar Waris Beda Agama
1. Pengertian Waris Beda Agama
Untuk mendapatkan pengertian yang komprehensif tentang
pengertian waris beda agama , terlebih dahulu harus dijelaskan tentang arti
waris itu sendiri baik dalam arti etimologi dan terminologi. Dalam
pengertian etimologi (bahasa) kata waris berasal dari bahasa arab waratsa,
yaritsu, waritsan ( ورثيرثورثا ) yang memiliki banyak arti. Setidaknya ada
lima (5) arti.
a. Kekal atau tetap. Nama Allah atau sifat dari beberapa sifat Allah yaitu
al-Waarits (Yang Maha Tetap). Seperti ungkapan :
نا هاوإلي نننرثالرضومنعلي ي رجعونإن
) Allah yang mengokohkan tanah dan orang yang hidup diatasnya,
sesungguhnya ia adalah sebaik-baiknya yang kokoh/kekal). Artinya
Allah kekal setelah seluruhnya sirna dan sirna segala sesuatu selain-
Nya, maka dikembalikan segala seseuatu kepadanya.1
b. Intiqal ( تمالإ /memindah atau berpindah ). Berpindahnya sesuatu dari
satu orang ke orang yang lain baik dalam pengertian yang hakikat
seperti makna berpindahnya harta kepada ahli waris atau makna
berpindahnya ilmu, seperti hadits Nabi SAW yang berbunyi :
اءيبنلاةثرومىاءمللعان إ
1 Abi Al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram Ibn Manzur Al-Ifriqi, Al-Mishri, Lisan al-„Arab
(Beirut: Daar al-Fikr, 1990 M, Juz 3, h., 199)
2
Sesungguhnya Ulama‟ adalah ahli warits para Nabi
Atau pengertian secara hukum seperti berpindahnya harta terhadap
kandunganlal/haml (Janin).2
c. Al-Amr al-Qadim (الأير انمذيى) artinya urusan yang lalu. Seperti ucapan:
يدقرمألىعرلآخانعلو لاوثاروت
Orang pertama mewarisi suatu urusan yang lama dari orang lain.3
d. Al-mirats (انيراث) artinya المالالموروثعنالميت (harta yang diwariskan
dari mayit).4
e. Al-baqiyyah (انثمية) sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad Saw
yang berbunyi:
مكراعشلىاعون و :كالق,ف ةفرعلىألإيارصنلاعبرمنباثعصلىااللعليووسلمب بالن نأ
مياىرب إثرإنمثرإلىعمكإن,فهىذ
“Sesungguhnya Nabi saw., mengutus Ibn Murabba‟ al-Anshari
kepada penduduk „arafah, maka ia (ibnu murabba‟) berkata: Jadilah
kamu atas mensyi‟arkan ini, maka sesungguhnya kamu meneruskan
dari agama Ibrahim”.5
Sedangkan dalam pengertian terminologi atau istilah, Ulama
Hanafiyyah, mendefinisikan waris sebagai :
ةفللاليبسلىعيلغالإيلغاالمالقتنإ
2 Maryam Ahmad Al-Daghastani, Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala Mazahib al-Arba‟ah
Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo: Jaami‟ah al-Azhar, 2001 ), h., 4 3 Az-Zabîdi al-Hanafi, Tâj al-„urûs min Jauhar al-Qamûs,Juz, I, h.599. 4 6 Bathras Bustânî, Muhîth al-Muhîth Qamûs muthawwal al-Lughat al-Arabiyah, (t.t: t.tp,t.th), I, h.16.
5 Abi „Isâ Muhammad bin „Isâ Ibn Saurah al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Shahîh Sunan alTirmidzi, cet. II,
(Mesir: Mushthafâ Bab al-Halabî, 1388 H), III, h.21.
3
Berpindahnya harta seseorang terhadap orang lain dengan cara
pergantian (khliafah).6
Sementara ahli yurisprudensi islam (fuqaha) lebih banyak
mendefinisikan waris sebagai:
ثارولالعرشردقمبيصن
Bagian yang telah ditentukan syara‟ (agama) bagi ahli waris.7
Menurut Ali al-Shabuni waris ialah berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar‟i. Salah seorang tokoh fikih Indonesia, Hasbi al-
Shiddieqy, menjelaskan bahwa waris adalah hukum yang mengatur siapa-
siapa yang mewarisi dan yang tidak mewarisi bagian penerimaan setiap ahli
warits dan tata cara pembagiannya.8
Definisi yang agak berbeda tentang waris disampaikan oleh Door M.J.
Koenen & J. Edeples dalam Verklarend Handwoordenboek Der Nederland Se
Taal. Menurutnya waris adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari
orang yang meninggal. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh A.
Winkler Prins dalam Geillustreerde Encyclopaedi yang berpendapat bahwa
waris adalah seluruh harta peninggalan dari orang yang meninggal dal selama
6 Maryam Ahmad Al-Daghastani, Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala Mazahib al-Arba‟ah
Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo: Jaami‟ah al-Azhar, 2001 ), h., 4 7 Maryam Ahmad Al-Daghastani, Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala Mazahib al-Arba‟ah
Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo: Jaami‟ah al-Azhar, 2001 ), h., 5 8 Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Fikih Mawaris, (Yogyakarta: t.p, t.th), h.8.
4
ini sesuai dengan hukum waris, karena pewarisan dapat pindah kepada ahli
waris.9
Definisi waris yang menurut penulis paling jelas dan lengkap
disampaikan oleh Al-qadi Al-mustasyar Al-syaikh Husain Yusuf Ghazal
dalam kitabnya berjudul “ Al-mirats „ala Mazahib Al-arba‟ah, Dirasatah
Watatbiiqan”. Menurutnya, waris adalah
ادرواأبي صعت واأضرف لكذانكاءواسعرشةرد لمقايثاروالبيصنلةلملكااةفرعلمالىعدم تعي ملع
اواببسلاوثرلافةباجلواطورالش وتال اتبصلعابيترت وعانولم ثرلاق حتسينمثرايهبجو
مهثيروت ةيفيكوامحرلىاوذبيترات ذكوبجالق حتسينمبجيو
ilmu yang dijadikan pegangan untuk mengetahui secara sempurna
bagian-bagian ahli waris yang telah ditentukan oleh syara‟ baik berupa
bagian pasti, ashabah, rad dan juga syarat-syarat wajib, faktor-faktor
dan beberapa penghalang dalam kewarisan, urutan asahab (memberikan
hak kepada seseorang yang berhak untuk mewarisi atau menerima warits
dan menghijab (menghalangi) yang sudah seharusnya terhijab), urutan
dzawil arham dan metode mewarisi mereka.10
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fikih mawaris, dan
hukum al-mawaris.
Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pula mengenai pengertian
hukum kewarisan, yaitu hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
9 Amir Martosedono, Hukum Waris, (Jakarta Barat: Effhar & Dahara Prize, Tanpa Tahun), h., 9 10
al-Qadi Al-mustasyar Al-syaikh Husain Yusuf Ghazal, Al-mirats „ala Mazahib Al-arba‟ah,
Dirasatah Watatbiiqan, (Mesir: Daar al-Fik, 2008,H., 9
5
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, dan menentukan siapa saja yang
berhak menjadi ahli waris dan masing-masing bagiannya.11
Perbedaan Agama dalam istilah arabnya disebut إختلاف انذي adalah
tidak ada persamaan ( أ يكى كلاها إختلافا ) dalam sebuah keyakinan dalam
agama. Kata ikhtilaf jika kita telusuri dalam al-Qur‟an setidaknya dapat kita
temukan dalam surat Al-Rum ayat 22 yang berbunyi:
لكلآيتومنآيتوأنخلقل نكمم ود ةورحةإن فذ نأنفسكمأزواجالتسكنواإلي هاوجعلب ي لقومكمم
ي ت فك رون
Sedangkan yang dimaksud dengan waris beda agama adalah
ketidaksamaannya agama atau keyakinan dan/atau kepercayaan al-
muwarris (yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki
maupun mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan
hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang
meninggalkan harta atau hak) dengan agama al-waris (yaitu orang hidup
atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun
dalam kasus tertentu akan terhalang) atau sebaliknya baik disebabkan
hubungan suami isteri atau hubungan kekerabatan.
Makna agama sendiri bisa berbeda karena mempunyai beberapa faktor
diantaranya seperti pendapat Mukti Ali yang dikutip oleh Adon Nasrullah
Jamaluddin dalam bukunya Agama dan Konflik Sosial. Faktor tersebut
adalah pertama, pengalaman dalam beragama sangat subjektif dan
individualis, maka dari itu kadang setiap orang mempunyai definisi agama
yang berbeda-beda. Kedua dalam pembahasan Agama selalu melibatkan
11 Inpres, No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
6
emosi yang kuat setiap individu. Ketiga konsepsi seseorang untuk
mendefinisikan agama dipengaruhi oleh tujuan dan metode pendekatannya.12
Salah seorang ilmuan Indonesia, Harun Nasution, memiliki
konsepsinya sendiri atas agama. Menurutnya, agama terdiri dari sejumlah
definisi-definisi diantaranya: pertama Agama adalah pengakuan terhadap
adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi. Kedua Agama adalah pengikatan diri pada suatu bentuk hidup yang
mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berbeda di luar diri manusia
dan yang mempengaruhi manusia. Ketiga, Agama merupakan kepercayaan
pada sesuatu yang gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu. Keempat, Agama ialah pengakuan adanya kewajiban-kewajiban yang
diyakini bersumber pada kekuatan gaib. Kelima, Agama adalah pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.13
Hal ini berbeda dalam definisi agama atau “al-diin” dalam bahasa
Arab. menurut Hamka, dalam mendefiniskan agama secara bahasa dan
makna Agama, tentu kita bisa merujuk pada arti aslinya yaitu menyembah,
menundukkan diri, atau memuja. Namun, pemahaman atas agama itu sendiri
tidak terbatas demikian. Agama itu sendiri, berasal dari bahasa Sansekerta
yang artinya A: tidak, gama: kacau. Artinya, agama sebagaimana aslinya,
adalah sebuah panduan hidup agar kehidupan ini teratur dan/atau tidak kacau.
2. Dasar Hukum Waris Beda Agama
Landasan teologis waris beda agama pada dasarnya sepenajang
pengetahuan penulis tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Tidak ada satupun ayat
12
Nasrullah, Adon, Agama dan Konflik Sosial, cetakan pertama ( Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.,
65 13 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Salemba: UI Press, 1985), Jilid 1, h.,
7
yang menegaskan boleh atau tidak waris beda agama. Selama ini ayat al-
Qur‟an yang biasa dijadikan dalil waris beda agama adalah ayat-ayat al-
Qur‟an yang maknanya umum. Seperti ayat tentang larangan orang muslim
memberikan jalan (sabil) dan mengangkat wali orang non muslim.
للكافرين كان وإن معكم نكن أل قالوا الل من ف تح لكم كان فإن بكم ألالذين ي ت رب صون قالوا نصيب
القيا ي وم ب ي نكم يكم فالل المؤمني من ونن عكم عليكم علىنستحوذ للكافرين الل يعل ولن مة
المؤمنيسبيل
(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut
berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat
keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat. Dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.14
ممنكمفإن و يأي هاال ذينآمنوالت ت خذواالي هودوالن صارىأولياءب عضهمأولياءب عضومني ت ول
همإن الل لي هديالقومالظ المي من
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu
cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya)
karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu
mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara
14 Q.S al-Nisa [4]: 141
8
mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang
kafir sebagai pemimpin mereka. (Al Maidah 5:51).15
Secara garis besar dua ayat tersebut diatas sering kali dijadikan dalil
larangan waris beda agama oleh kelompok tertentu termasuk MUI dalam ayat
fatwanya Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 Tentang KEWARISAN BEDA
AGAMA. Terlepas dari itu semua, waris adalah bagian dari syariat islam yang
mempunyai landasan teologis dalam al-Qur‟an.
Landasan teologis waris beda agama secara eksplisit dan jelas
disebutkan dalam sumber kedua hukum islam yaitu hadits. Namun, meskipun
begitu kandungangan maknanya hanya besifat dzanni tidak bersifat Qath‟iy.
Diantara hadits-hadits yang berbicara tentang waris beda agama
adalah:
1. Hadits Riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (204-
261 H) dan Ibnu Majah (207-275 M)
بنةامأسنعانروبنثمعنعيسبنحيلعنعابهشنبانعجيرجنبانعماصعوب اأنث د ح
سلم .)رواهمسلمعنهماأنالنبصلى الله عليه وسلمقال :الليضرديزسلمالكافرولالكافرالم
(ليرثالم
Abu Ashim telah menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij dari Ibn
Syihab dari Ali ibn Husain dari Amr ibn Utsman dari Usamah ibn
Zaid ra. bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw bersabda:
15 Q.S al-Maidah [5]: 51
9
Seorang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir begitupun orang
kafir tidak dapat mewarisi orang muslim (H.R Bukhari).16
Hadits yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim (204-261 H) dan
Ibnu Majah (207-275 M) dalam kitab hadits mereka masing-masing dengan
jalur sanad yang berbeda.
يي قال ( ليحي( )واللفظ إب راىيم بن وإسحق بة شي أب بن وأب وبكر يي بن يي ث نا :حد
عنعمروبنع عنعليبنحسي ث ناإبنعيينة(عنالز ىري انثمأخب رن .وقالاللآخران :حد
سلمسلمالكافرولالكافرالم
( .)رواهمسلمعنأسامةبنزيدأنالن بصلى الله عليه وسلمقال :ليرثالم
Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim
telah menceritakan kepada kami (Imam Muslim) telah menceritakan
kepada kami Ibnu Uyainah dari Zuhri dari Ali bin Husain dari „Amr
bin Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa sesungguhnya Nabi
Muhammad Saw telah bersabda : seorang muslim tidak dapat menjadi
ahli waris orang kafir, begitu juga orang kafir tidak dapat menjadi
ahli waris orang muslim (H.R Muslim).17
عنالزىريعنعليبن سفيانبنعيينة ثنا قال : الصباح . بنعمارومحمدب ىشام حدثنا
سلمالكافرولالسيعنعمروبنعثمانعنأسامةبنزيدرفعوإلالنبصلى الله عليه وسلمقال :ليرثالم
سلم .)رواهمسلم(الكافرالم
Hisyam ibn Ammar dan Muhammad ibn Al-Sabbah telah
menceritakan kepadaku. Mereka berdua berkata: Sufyan ibn Uyainah
telah menceritakan kepadaku dari Al-Zuhri dari Ali ibn al-Husain dari
16 Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Damaskus-Beirut: Daar
Ibn Katsir, 2002), h., 1675 17 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Fikr), juz 2, h., 56, no. Hadits 1614
10
Amr ibn Utsma dari Usamah ibn Zaid yang disampaikan kepada Nabi
bahwa Nabi bersabda: Seorang muslim tidak dapat mewarisi seorang
kafr sebagaimana seorang kafir tidak dapat mewarisi seorang muslim.
(H.R Ibnu Majah).18
2. Hdits Riwayat Abu Dawud (W 285 H)
حدثناموسىبنإساعيل :حدثناحادعنحبيبالمعلمعنعمروبنشعيبعنابيوعن
تشيت ل ملىأثاروت ي جدهعنعبداللبنعمروقال :قالرسولاللصلى الله عليه وسلم :ل
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Musa ibn Ismail. Telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Habib al-Mu;allim dari
Amr ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Abdullah ibn
Amr, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Tidak daling mewarisi
dua pemeluk agam yang berbeda-beda (H.R Abu Dawurd).19
B. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia
1. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam
Dimuka telah dijelaskan pengertian tentang waris beda agama.
Selanjutnya dalam bagian ini, kita akan melihat pandangan islam –
tepatnya pandangan para Fuqaha (Ahli Yurisprudensi Hukum Islam)
mengenai waris beda agama. Berpacu pada beberapa hadits yang telah
disampaikan diatas, Mayoritas para ulama bependapat bahwa perbedaan
agama merupakan bagian dari penghalang waris secara mutlak. Kelompok
18 Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah (Daar Ihya‟ Al-Kutub
Al-Arabiyyah),juz 2, h., 911 19
Abu Dawud, Sulaiman ibn Asy‟asy, Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Daar al-Kutub Al-Ilmiyah:
Beirut: 2010),h., 467
11
ini dimotori oleh Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i. Mereka berpendapat
bahwa perbedaan agama dapat menghalangi kewarisan meskipun terdapat
beberapa sebab kewarisan seperti hubungan suami-isteri, kerabat dan wala
(kepemilikan budak), Sedangkan, menurut Imam Ahmad ibn Hanbal
(Pendiri Mazhab Hanbali) perbedaan agama tidak menjadi penghalang
kewarisan bilamana sebab kewarisannya adalah wala‟.20
Dari dua
pandangan ini dalam permasalahan yang sangat mendasar saja yaitu
apakah perbedaan agama dapat mnejadi penghalang kewarisan, para
ulama sudah berbeda pandangan ditambah belum lagi mengenai
permasalahan apakah seorang muslim berhak menjadi ahli waris non
muslim atau sebaliknya. Pandangan ini sekaligus juga meng counter
beberapa kesimpulan yang mengatakan para Ulama‟ telah sepakat seorang
kafir (non muslim) terhalang menjadi ahli waris dari muslim secara
mutlak.
Perbedaan juga terjadi dalam masalah waktu terhalangnya orang
beda agama menjadi ahli waris. Mayoritas ulama sepakat jika seorang
muslim meninggal dunia, terdapat ahli warisnya anak laki-laki yang masih
kafir, kemudian seminggu setelah itu masuk Islam, meski harta warisan
belum dibagi, anak tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan
ayahnya, dan bukan pada saat pembagian warisan yang dijadikan
pedoman. Imam Ahmad bin Hanbâl dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa apabila seorang ahli waris masuk Islam sebelum
pembagian harta warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk
20 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi-Sayariah Al-Islamiyyah, ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Maktabah Ja’far: 1943 M), H., 45
12
mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum
harta warisan dibagi.21
Mayoritas para ulama‟ terkecuali Imam Ahmad ibn Hanbal seperti
disebutkan diatas secara mutlak berpendapat bahwa seorang muslim atau
seorang kafir tidak berhak menjadi ahli waris dari muwaris yang berbeda
agama dengannya. Hal ini didasarkan pada hadits-hadits nabi diantaranya:
عنأسامةبنحدثناأبوعاصمعنابنجريجعنابنشهابعنعليبنحسيعنعمروبنثا
سلمالكافرولسلم .)رواهزيدأنالن بصلى الله عليه وسلمقال :ليرثالم
البخاري(الكافرالم
...... Nabi bersabda: Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan
orang kafir tidak mewarisi orang muslim.
Hadits ini adalah dalil terkuat yang digunakan mayoritas ulama untuk
melarang waris beda agama secara mutlak.
Beberapa ulama berpendapat seorang muslim berhak dan boleh
menjadi ahli waris dari muwarits yang non muslim dan tidak sebaliknya.
Yang termasuk kelompok ini adalah Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abu
Shufyan, Abdullah bin Mughaffal, Said bin Musayyab, Muhammad bin
Hanafiyyah, Masruq bin Ajda‟, Yahya bin Ya‟mar dan Ishaq bin
Rahawaih,22
Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi, 23
Yusuf Al-
Qaradhawi, 24
dan Ismail Luthfi Fathani.25
21 Syekh Manshur bin Yusuf al-Bahuti, Raudh al-Murabba‟ Syarah Zad al-Mustaqni‟ wa Ikhtishar al-
Muqni‟, (Makkah Mukarramah: Maktab al-Tijarah, t.th), h.323. 22 Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat
(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 203 23 Ibn Qayyim Al-Jauzy, Ahkaam Ahl Al-Dzimmah, (Mesir: Ramadi li-Al-Nasyr: 1997), cet. H., 856 24
Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),
juz, 3, H., 692
13
Saat sahabat Muadz ibn Jabal berada di Yaman ia telah
memutuskan bahwa saudara muslim dapat mewarisi keluarganya yang
Yahudi. Lebih jelas ditegaskan dalam beberapa kitab sebagai berikut:
ماتوت ركأخاعنأبالسودالد يليقال :كانمعاذبليمنفارت فعواإليوفي مسلماف قالهودي
ق عتلرسولاللصلى الله عليه وسلمي قول :إن السلميزيدوي ن س صوقالرسولاللصلى الله عليه وسلمفحديثمعاذ :إن
آخر :نننرثالكافرينونجب هموليرث ون ناوليجب ون نا
Dari al-Aswad al-Diliy ia berkata: saat Muadz berada diyaman (atas
perintah Rasul mejadi hakim) para penduduk Yaman melaporkan
suatu peristiwa kematian seorang Yahudi yang meninggalkan seorang
saudara laki-laki muslim. Muadz bin Jabal berkata: Sunggguh saya
telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya islam itu
bertambah dan tidak berkurang. Dalam hadits yang lain nabi
bersabda: kami dapat menjadi ahli waris orang-orang kafir,
menghijab mereka, mereka tidak bisa menjadi ahli waris kami dan
juga tidak dapat menghijab kami.26
Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnu Taimiyyah
sebagaimana dikutip oleh muridnya, Ibnu Qayim mengatakan bahwa
sesuatu yang telah pasti dan tetap berdasarkan sunnah muatwatir
Rasulullah Saw memberlakukan orang-orang Zindiq munafik seperti
orang-orang muslim dalam ketentuan-ketentuan yang tampak. mereka
menjadi ahli waris dan muwarits. Hal yang sama ditegaskan oleh Yusuf
Al-Qaradhawi saat ditanya oleh seorang non muslim tentang waris beda
agama. Menurutnya, pendapat yang rajih (unggul) adalah pendapat yang
25 Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat
(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 306 26
Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat
(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 306
14
membolehkan seorang muslim menjadi ahli waris dari seorang muwarits
non muslim. Dalil hadits yang digunakan oleh Yusuf al-Qaradhawi adalah
hadits Nabi Muhamamd Saw yang berbunyi:
السلميعلواوليعلى
Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menandingi
ketinggiannya.27
Dari semua paparan diatas, terlihat secara jelas bahwa persoalan
waris beda agama yang selama ini bagi sebagian orang dianggap telah
final dan bahkan diadopsi didalam sistem hukum nasional Indonesia
masih menyisahkan perbedaan dikalangan ulama dan para ahli hukum
islam sendiri. Ulama yang terlibat dalam silang pendapat tentang masalah
ini mencakup semua generasi ulama diantaranya yaitu klasik, modern,
dan neo modern dan kontemporer.
2. Waris Beda Agama Dalam Hukum Waris Indonesia
Terdapat tiga sistem kewarisan yang sampai saat ini masih berlaku
di Indonesia, yaitu hukum waris berdasarkan hukum Islam, hukum waris
berdasarkan hukum waris adat dan ketiga menggunakan hukum waris
berdasarkan hukum waris perdata atau Burgerlijk Wetboek (selanjutnya
disebut BW). Hukum waris di Indonesia bagi seorang yang beragama
islam menggunakan hukum berdasarkan agama yang dianut oleh pewaris,
sedangkan bagi yang non islam menggunakan BW, sementara itu bagi
masyarakat adat dapat menggunakan hukum waris adat. Terlepas dari itu
27 Abu Hasan Ali ibn Umar ibn Ahmad Mahdi ibn Mas‟ud ibn Nu‟man ibn Dinar al-Baghdadi, al-
Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, (Beirut, Libnan: Muassasah al-Risalah, 1424 H) Juz 4, No. Hadits
3620, h. 371
15
masalah waris jika diselesaikan diluar pengadilan dapat memilih dari
ketiga sistem waris tersebut diatas.
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
salah satu syarat sebagai ahli waris beragama adalah Islam,sementara
untuk memberikan kepastian hukum ahli waris yang berbeda agama dapat
diberikan melalui wasiat wajibah. Hal ini terdapat dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal
16 Juli 1998 dan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 51
K/AG/1995 tanggal 29 September 1999.
Tetapi menurut hukum waris BW dan hukum waris adat,
perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk memperoleh bagian
waris. Pada sistem hukum waris BW dapat dilihat pada pasal 838 BW
tentang yang tidak patut menjadi ahli waris (onwardeg), didalamnya tidak
menyebutkan ahli waris beda agama tidak patut menjadi ahli waris, dan
untuk hukum waris adat melihat sistem keturunan yaitu sistem patrilineal,
sistem matrilineal, dan sistem bilateral dengan menarik garis keturunan
pihak nenek moyang, di dalamnya tidak mempermasalahkan tentang ahli
waris beda agama.
Berikut ini akan dijelaskan secara terperinci tentang sistem
kewarisan beda agama yang berlaku di Indonesia.
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) telah mengatur tentang keharusan kesamaan agama
(Ittuhad al-Din) antara ahli waris dan pewaris. Pada Bab II Bagian I pasal
171 huruf b dan c disebutkan tentang pewaris dan ahli waris.
16
Huruf b menyebutkan “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan”. Sedangkan huruf C menyebutkan “Ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Dari ketentuan pasal 171 pada huruf b dan c diatas dapat dipahami
bahwa kesamaan agama (islam) adalah salah satu syarat mutlak sebuah
kewarisan. Sehingga dengan begitu perbedaan agama adalah faktor
penghalang sebuah kewarisan dalam sistem hukum nasional Indonesia
bagi yang beragama islam selain sistem hukum waris adat dan BW.
Dalam praktek penerapan hukum di lingkungan Peradilan Agama,
seorang ahli waris non muslim dapat memperoleh bagian dari harta
peninggalan pewaris muslim melalui wasiat wajibah sejak putusan kasasi
dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 368
K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 51 K/AG/1995 tanggal 29 September 1999. Putusan
kasasi tersebut menggunakan sebuah hilah atau alternatif untuk
menegakan keadilan dan kepuasan kepada para pihak seolah meskipun
islam melarang waris beda agama akan tetapi tetap memperhatikan
prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak. Putusan kasasi MA tersebut
sekaligus adalah perluasan dari pasal 171 KHI yang melarang waris beda
agama secara mutlak.
2. Hukum Waris Adat
Disamping hukum waris islam sebagaimana diatur dalam Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku
17
di Inonesia, terdapat hukum waris lain yang juga berlaku di Indonesia, yaitu
hukum waris adat.
Hukum adat menurut hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum
nasional di Yogyakarta pada tanggal 15-17 Januari 1975 adalah hukum
Indonesia yang asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.28
Hukum waris adat yang berlaku di Indonesia seperti waris adat
mandailing, waris adat minangkabau dan waris adat melayu. Kesemua jenis
waris adat tersebut memiliki tipologinya masing-masing yang berbeda satu
sama lain. Akan tetapi yang terpenting adalah waris adat adalah suatu sistem
hukum yang berlaku dan diakui keberadaannya di Indonesia yang dipraktekan
dibeberapa masyarakat adat.
Dalam hukum waris adat Mandailing dijelaskan hukum waris adat
meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan
proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta
kekayaan materill dan non-materill dari generasi ke generasi. Asas utama
dalam sistem waris adat masyarakat mandailing adalah asas patrilineal. Dalam
asas ini yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki, apabila salah satu
meninggal dengan tidak meninggalkan anak laki-laki maka warisan itu jatuh
kepada kakek (ayah dari yang meninggal), apabila kakek tidak ada maka yang
berhak mewarisi adalah saudara laki-laki yang meninggal. Tetapi anak
perempuan juga dapat menerima warisan dari orang tuanya namun hal itu
kecil kemungkinannya dan jika perempuan menerima harta warisan dari orang
tuanya bagiannya tidak lebih besar dari pada bagian yang diterima oleh anak
laki-laki.
28
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), h. 7.
18
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam
kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh
struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian
keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda
atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi
berikutnya.
3. Hukum Waris Burgerlijk Webook (BW)
Selain hukum islam dan hukum adat, hukum waris yang masih berlaku
di Indonesia adalah Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Hukum waris BW digunakan oleh warga negara Indonesia
yang tidak menggunakan hukum waris adat dan hukum waris islam.
Menurut Staatblad 1925 Nomor. 415 jo 447 yang telah diubah
ditambah dan sebagainya terakhir dengan S.1929 No. 221 Pasal 131 jo. Pasal
163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUHPerdata tersebut diberlakukan
bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang
Eropa tersebut. Dengan Staatsblad 1917 Nomor 415 jo. 129 jo. Staatsblad
1924 No. 557 hukum kewarisan dalam KUHPerdata diberlakukan bagi orang-
orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12
tentang pendudukan diri terhadap hukum Eropa, maka bagi orang-orang
Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang
dalam KUHPerdata. Dengan demikian maka KUHPerdata diberlakukan
kepada:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang
misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang
Jepang.
b. Orang-orang Timur Asing Tionghoa.
19
c. Orang-orang timur Asing lainnya, orang-orang pribumi menundukkan
diri.29
29
Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1993), h.30.
1
BAB III
BIOGRAFI, KARYA DAN METODOLOGI PEMIKIRAN NAJM AL-DIN AL-
THUFI TENTANG MASLAHAH
Pemikiran seorang tokoh termasuk dalam hal ini adalah Najm al-Din al-Thufi
tidak lahir dari ruang kosong. Tetapi ia dilahirkan dari latar belakang pendidikan yang
membentuk intelektualnya, dinamika sosial, politik dan budaya yang mengitarinya.
Oleh karenanya membaca pemikiran seseorang tidak bisa dipisahkan dari latar
belakangnya, semua itu guna mendapatkan kesimpulan yang tepat, komprehensif dan
benar sebagai acuan dalam membedah kasus selanjutnya yang terjadi dimasa
mendatang. Untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi pemikiran
Najmudin al-Thufi, pada bab III ini penulis akan paparkan tentang biografi,
perjalanan intelektual, karya dan metodologi pemikiran Najm al-Din al-Thufi.
A. Biografi Najmuddin al-Thufi
Najmud al-Din al-Thufi adalah seorang pemikir islam yang dapat
digolongkan berhaluan liberal. Tidak seperti pemikir-pemikir islam lainnya
seperti Imam al-Haramain, al-Ghazali, al-Syatibi dan lainnya yang menundukan
maslahah dibawah hierarki al-Qur‟an, al-Hadits dan Ijma‟, al-Thufi keluar dari
barisan mainstrem dengan menempatkan maslahah diatas segalanya. Seorang
yang ahli dalam hukum islam (fikih) dan metodologi fikih (ushul al-fiqh) ini tak
jarang dilabeli sebagai seorang syiah rafidah bahkan tuduhan itu dilontarkan oleh
Abu Zahrah, seorang ulama modern dengan menyebutnya Syi‟i yang
menampakan dirinya dengan jubah hanbali.1
Najm al-Din al-Thufi adalah seorang pemikir hukum islam bermazhab
hanbali berkebangsaan Baghdad. Ia lahir di daerah Sharshar, Baghdad dengan
1 Muhammad Abu Zahrah, Ahmad bin Hanbal Hayatuh wa „Ashruh Arauh wa Fiqhuh, (T.tp.: Dar al-
Fikr al-Arabi, tt.), h. 363.
2
nama lengkap Abu al-Rabi‟ Sulaiman bin „Abd al-Qawi bin „Abd al-Karim ibn
Sa‟id.2 Sedangkan nama al-Thufi adalah nisbah kepada desa Thufa di daerah
sharshar. Sementara itu julukan najm al-Din yang berarti bintang agama adalah
gelar yang diberikan para murid dan para pengagumnya. Sebutan masyarakat
terhadapnya, terkadang ia dikenal dengan panggilan Najmuddin al-Bagdadi al-
Thufi, dan juga Ibn Abbas.3
Mengenai tahun kelahirannya, beberapa sejarawan dan ulama berbeda
pendapat. Al-Hafiz ibn Hajar al-„Asqalani menetapkan bahwa ia dilahirkan pada
tahun 657 H. Ibn Rajab dan Ibn al-„Imad menetapkan bahwa al-Thufi dilahirkan
tahun 670 H. Sumber lain menyebutkan bahwa al-Thufi dalam menjalani masa
hidupnya tahun 657-716 H./1259-1316 M. Tentang tahun wafatnya, juga ulama
berbeda pendapat. Mereka (Ibn Rajab, Ibn Hajar, dan Ibn al-„Imad) sepakat
menetapkan bahwa al-Thufi wafat tahun 716 H. Al-Suyuti menetapkan al-Thufi
wafat tahun 711 H. Sedangkan al-Shafadi menetapkan bahwa al-Thufi wafat
tahun 710 H. Sementara Abdul Wahab Khallaf menetapkan bahwa Najmuddin
al-Thufi al-„Alim al-Hanbali wafat pada tahun 716 H.4
Jika mengacu kepada pendapat yang mengatakan bahwa tahun
kelahirannya adalah 657 H/1259 M, itu berarti al-Thufi lahir satu ta hun setelah
terjadi peristiwa besar, yaitu pasukan Mongol menyerbu kota Bagdad yang
dipimpin oleh Hulaghu Khan pada tahun 1258 M.5 Jatuhnya kota Bagdad
ditangan tentara Mongol ini merupakan tragedi yang sangat memilukan dalam
lintas sejarah umat Islam. Karena secara langsung ataupun tidak langsung
2 Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (T.tp.: Dar al-Fikr al-
Arabi, tt.), h. 68. 3 Najmuddin al-Thufi, Al-Intisharat al-Islamiyyah fi „Ilm Muqaranah al-Adyan, Pentahqiq, Ahmad
Hujazi al-Saqi, (Mesir: Mathba‟ah Dar al-Bayan, tt.), h. 3 4 Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (T.tp.: Dar al-Fikr al-
Arabi, tt.), h. 68. 5 Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Alih Bahasa oleh H.M. Mulyadi Djojowartono, dkk., (Jakarta:
Panitia Penerbit, 1966), h. 29
3
merupakan titik awal kemunduran dan kehancuran umat Islam, baik secara
politik maupun kehidupan sosial dan ilmu pengetahuan. Qamaruddin Khan
mengemukakan bahwa pada waktu itu terjadi pembakaran karya-karya yang
sangat berharga sehingga banyak karya yang tidak bisa diselamatkan. Umat
Islam sangat kehilangan dokumentasi ilmu pengetahuan sebagai warisan
intlektual generasi sebelumnya.6 Tragedi ini berdampak negatif bagi dunia Islam,
karena di satu sisi kondisi politik pemerintahan tidak kondusif, dan di sisi lain
pergulatan pemikiran dan pemahaman hukum Islam mengalami kemandegan dan
kemunduran yang cukup lama, yaitu sejak pertengahan abad IV H. hingga akhir
abad XIII H.7 Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebebasan berpikir para ulama
nyaris menjadi hilang, mereka enggan melakukan berijtihad melampaui para
imam mazhabnya, mereka tidak sanggup menggali langsung dari sumber aslinya
(al-Qur‟an dan sunnah), mereka lebih suka bertaklid dan berpegang pada
pendapat para imam mazhabnya, kalaupun ada upaya-upaya untuk berijtihad
tidak lebih hanya sekedar mengkompromikan di antara berbagai pendapat (al-
jam‟ wa al-tauqif), mentakhrij riwayat, dan mengevaluasi causa legis („illat al-
hukm), serta menyelesaikan berbagai permasalahan atas dasar penetapan hukum
yang telah dirumuskan oleh para imam mazhabnya.
Al-Thufi hidup pada kondisi kekuasaan teks (nash) begitu sangat
menghegemoni atau menguasai. Kondisi seperti ini sering juga disebut dengan
hadarah al-Nash (peradaban teks) dimana sumber ilmu pengetahuan islam
termasuk didalamnya hukum islam (islamic law) terpacu dan terbatas pada teks-
teks hukum yang telah dirumuskan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Hal ini
menyebabkan kurangnya produktifitas dan mandeg-nya pemikiran islam
termasuk dalam bidang hukum. Salah satu dari dampak terbesarnya adalah
6 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Alih Bahasa oleh Anas Mahyudin, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983), h. 37. 7 Yoseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendom Press, 1971), h.
70-72.
4
munculnya slogan pintu ijtihad telah tertutup. Kaitannya dengan pemikiran dan
cara berfikir al-Thufi dapat dilihat dari inkonsistensi teorinya tentang maslhaha
yang berdiri sendiri atau berada diatas al-nusush dan al-Ijma‟ manakala ia terjadi
pertentangan. Meskipun al-Thufi telah berusaha bersikap lebih progresif dan
liberal dan keluar dari kungkungan zamannya, namun ia masih tidak dapat
melepaskan dirinya dari kungkungan teks (bayani) sebagai ideologi zamannya.8
Terlepas dari perdebatan tentang sosok al-Thufi diatas, para ulama lain
banyak yang menilai al-Thufi sebagai seorang yang objektif dan rasional dalam
pemikiran hukum islamnya. Ali Jumuah menyebutkan bahwa al-Thufi adalah
salah satu dari beberapa ulama mazhab yang paling cerdas dan pintar dari
mazhab Hanbali. Ia seorang „alim allamah (purna intelektual) yang memiliki
kitab Mukhtashar al-Raudlah al-Ushuliyyah dan Syarh al-Khiraqi. Kepakaran
dan kecerdasannya dalam menganalisis dan memahami hukum sangat baik dan
teliti.9
Jika begitu dalam tingkatan kesarjanaan islam atau tingkatan mujtahid
dalam islam, al-Thufi dapat dikategorikan sebagai mujtahid mazhab yaitu
seorang yang dalam memutuskan hukum terpaku pada metodologi yang telah
dicetuskan atau digariskan oleh imam mazhab akan tetapi terus melakukan
pengembangan dan perifikasi dan pengkajian pada rumusan hukum yang telah
dicetuskan oleh imam mazhabnya. Al-Thufi memiliki metodologi yang sama
dengan Imam Ahmad ibn Hanbal dan ulama-ulama lainnya, hanya saja ia
memiliki konsep yang berbeda manakla ada pertentangan antara maslahah
dengan teks dan konsensus ulama.
B. Perjalanan Intelektual dan Karya Najmuddin al-Thufi
8 Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam: Kritik Terhadap Konsep Maslahah
Najmuddin al-Thufi, (Yogyakarta: KAUKABA DIPANTARA:2014), h. 15 9 Ali Jumuah, Al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Cairo: Daar al-Salam, 2012), h. 267
5
Al-Thufi dalam proses pendidikannya, dikenal sebagai seorang murid
yang pintar, memiliki kecerdasan intlektual yang tinggi, dan kuat daya ingatnya.
Dengan memiliki kecerdasan intlektual yang mumpuni, kecintaannya pada ilmu
pengetahuan, ia buktikan dengan belajar berbagai disiplin ilmu kepada para
ulama yang terkenal sebagai pakar di masanya. Di antara disiplin-disiplin ilmu
yang ia pelajari adalah ilmu tafsir, hadis, fikih, mantik, sastra, teologi, dan lain-
lain. Sedangkan berbagai tempat ilmu yang pernah ia datangi adalah Sharshari,
Bagdad, Damaskus, Mesir, dan tempat-tempat lain yang ketika itu dikenal
sebagai tempat domisilinya para ulama intlektual yang masyhur.
pendidikan dasar al-Thufi dimulai dari kota kelahirannya dengan belajar
kepada beberapa orang guru (ulama). Ia mempelajari dan menghafal kitab fikih
Mukhtashar al-Kharaqi (ringkasan buku al-Kharaqi) karya Umar bin alHusein
bin Abdullah bin Ahmad al-Kharaqi, dan kitab al-Luma‟ (Spesifikasi Gramatika
Bahasa Arab) karya Abu al-Fath Usman bin Jani. Kemudian ia juga bulak balik
ke Sharshar untuk melanjutkan belajar ilmu fikih kepada Syaikh Zainuddin „Ali
bin Muhammad al-Sharshari, salah seorang pakar fikih mazhab Hanbali yang
dikenal dengan sebutan al-Bauqi.10
Pada tahun 691 H. ia pindah pergi ke kota
Bagdad untuk belajar dan menghafal kitab fikih al-Muharrar (sebuah buku
pegangan mazhhab Hanbali), dan mendiskusikannya dengan Syaikh Taqiyuddin
al-Zarirati, salah seorang pakar fikih Irak. Di samping itu, ia belajar bahasa arab,
dan ilmu sharaf kepada Abu Abdullah Muhammad ibn al-Husein al-Musili, dan
belajar ilmu ushul fiqh kepada Nashr al-Faruqi, dan ulama yang lainnya.
Kemudian, ia juga belajar ilmu hadis kepada al-Rasyid bin al-Qasim, Isma‟il bin
al-Tabbal, Abdurrahman bin Sulaiman al-Harani, Abu Bakar al-Qalanisi, dan
kepada ulama-ulama hadis yang lainnya.
10
Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (T.tp.: Dar al-Fikr al-
Arabi, tt.), h. 70
6
Selain spesifikasi ilmu-ilmu tersebut di atas, ia juga belajar ilmu cara
berdiskusi (al-jadl) sehingga ia pandai dalam mengemukakan pokok-pokok
pikirannya dengan sistematis, belajar cara berdiskusi mengkritisi teks-teks
alQur‟an, belajar ilmu mantik, dan ilmu faraidh. Al-Thufi juga menyusun sebuah
buku berjudul al-akbar fi Qawa‟id al-Tafsir dan ia mengatakan di dalam
mukaddimah bukunya ditujukan kepada mereka yang mau mengembangkan
pergulatan pemikiran intlektualitasnya untuk mencari kebenaran, bukan kepada
mereka yang terikat oleh pendapat orang lain, atau mencari kebenaran melalui
pendapat orang lain. Pada tahun 704 H. ia pindah pergi mencari ilmu ke
Damaskus, Syiria. Di tempat ini ia banyak berdiskusi secara intens dengan para
pakar dibidangnya masing-masing, terutama dengan pakar ilmu fikih, ilmu hadis,
dan ilmu tafsir dari kalangan mazhhab Hanbali, termasuk dalam pergulatan
wacana pemikiran intlektualitas di tempat ini adalah Syaikh Taqiyuddin ibn
Taimiyyah. Dari Damaskus kemudian ia pindah pergi ke Mesir. Di tempat ini
tampak pemikiranpemikirannya yang liberal (al-hurr al-fikr) sebagaimana terjadi
pada masa sebelumnya. Selama tinggal di Mesir, at-Thufi pernah diarak di
jalanan Kairo, dipenjarakan dan dibuang oleh penguasa karena permintaan ahli
fikih Hanbali ortodoks dan hakim waktu itu, yaitu Sa‟d ad-Din al-Harisi (w. 711
H). 11
At-Thufi dengan pendapatnya yang asional dianggap melawan hakim,
melawan hukum, melawan penguasa dan hadis-hadis Nabi shallallahu „alaihi
wasallam.
Menurut Roy Purwanto, berdasarkan penelitian Ibn Rajab, ada sekitar 30
buku yang memuat pandangan at-Thufi tentang maslahat, namun hingga saat ini
buku-buku tersebut tidak ditemukan, kecuali satu yaitu Syarah al-Arba‟in
anNawawiyyah karya tangan at-Thufi, yang memang sengaja “dibiarkan” oleh
11 Abdullah M. al-Husein al- Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum Najmuddin
at-Thufi, terj. Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 30. (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2014), hlm. 117
7
Ibn Rajab dengan tujuan untuk dikritik dan menyerang balik pemikiran-
pemikiran at-Thufi.
Kemudian perjalanan al-Thufi selanjutnya, pada tahun 714 H. ia
memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan pada tahun
berikutnya 715 H. ia berangkat lagi untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya.
Sebagai akhir dari perjalanan petualangannya ia kembali ke negeri Syam, dan
berdomisili di Palestina (Yurusalam Baitul Maqdis) hingga akhir hayatnya,
meninggal dunia pada 716 H.
Al-Thufi merupakan seorang ulama yang cerdas, pandai, dan pintar. Pada
tahun 691 H, ia telah menghafal kitab al-Muharar fi al-Fiqh al-Hanbali, yang
merupakan kitab fikih rujukan mazhab Hanbali, dan ia mendiskusikannya dengan
Syekh Taqi az-Zarzirati, seorang ulama besar mazhab Hanbali pada masa itu.
Kebanyakan guru-gurunya adalah ulama-ulama besar mazhab Hanbali di
zamannya, sehingga tidak mengherankan apabila at-Thufi dianggap sebagai
penganut mazhab tersebut. Berbekal berbagai ilmu yang dikuasai, at-Thufi
berupaya untuk mengembangkan pemikirannya dan mengajak para ulama pada
zamannya untuk berpegang teguh pada al-Qur‟an dan as-Sunnah secara langsung
dalam mencari kebenaran, tanpa terikat kepada orang lain atau mazhabab fikih
manapun. Ajakannya itu dituangkan dalam kitabnya al-Akbar fi Qawa‟id
atTafsir, yaitu kitab yang membahas kaidah-kaidah tafsir. Dalam rangka
kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran tersebut, al-Thufi tidak saja
mempelajari berbagai kitab dalam mazhab Sunni, tetapi juga banyak mempelajari
literatur-literatur Syi‟ah di zamannya. Ketika itu dikotomi Sunni-Syi‟ah sangat
kuat, tetapi at-Thufi tidak terpengaruh dengan dikotomi tersebut. At-Thufi
dikenal sangat ekstrim dalam beberapa pemikirannya, bahkan tidak jarang ia
mengkritik sebagian dari sahabat-sahabat besar (kubar ash-shahabah), dan berani
berbeda pendapat dengan mereka. Keberanian at-Thufi dalam melontarkan
pemikiranpemikirannya yang cenderung melawan mainstream pemikiran yang
8
berkembang pada masanya telah membuat ia sering keluar masuk penjara. Dalam
perjalanan hidupnya, at-Thufi menyempatkan diri mengunjungi Baitullah guna
menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah dalam waktu yang cukup lama.
At-Thufi meninggal dan dikuburkan di negeri al-Khalil (baldah al-Khalil) pada
tahun 716 H/1316 M.12
Al-Thufi terkenal sebagai sosok orang yang ceradas, berani dalam
mengemukakan pendapat dan pemikirannya. Maka dari itu, wajar bila al-Thufi
banyak meninggalkan karya-karya yang memuat pemikirannya yang terbilang
banyak dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadits,
metodologi hukum islam, hukum islam, logika, bahasas dan sastra.
Menurut riwayat, al-Thufi tidak kurang meninggalkan karyanya dari 100
judul buku yang ia tulis dengan memuat berbagai macam topik. Akan tetapi,
sebagian dari buku-buku tersebut masih berbentuk manuskrip hingga sulit untuk
di cari atau hilang entah kemana. Salah satu karya al-Thufi yang hilang dan
mendapat banyak tanggapan dan kritik adalah buku yang berjudul Daf‟ al-Malam
„an Ahl al-Manthiq wa al-kalam. Karya tersebut menegaskan bahwa al-Thufi
adalah seorang pemikir islam rasional dan progresif sehingga perinsip-perinsip
logika rasional yang diusung oleh orang-orang terdahulu termasuk muktazilah
berhak untuk dibela.13
a. Dianatara karya al-Thufi dalam bidang ilmu al-Qur‟an dan Hadits adalah:
1. Al-Iksir Fi Qawaid al-Tafsir
Kitab ini berisi tentang kaidah-kaidah tafsir yang diperlukan
oleh para mufassir, terlebih yang berkaitan dengan ilmu balaghah.
Dalam mukaddimahnya, al-Thufi menjelaskan tentang tafsir dan
takwil kemudian membagi kitab menjadi tiga bagian, yaitu pertama,
12 Abd. Wahab Khallaf, Mashadir at-Tasyri‟ Al-Islami Fi Ma La Nash Fihi (Kuwait: Dar al-Qalam,
1972), hlm. 97 13 Mustafa Zaid, Al-Maslahah Fi al-Tasyri‟… hlm. 91
9
mberbicara tentang hal-hal yang tidak perlu dilakukan oleh seorang
mufassir dalam menjelaskan makna dan ayat-ayat samarkedua,
berbicara tentang ilmu-ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir
dan ketiga, berbicara tentang ilmu balaghah dan topik-topik inti serta
problematika balaghah.
2. Al-Isyarat al-Ilahiyat ila al-Mabahits al-Ushuliyyah
Buku ini berbicara tentang ilmu kalam dan ilmu ushul fiqh dalam
al-Qur‟an. Al-Thufi menafsirkan ayat demi ayat dan menghubungkannya
dengan permasalahan yang berkaitan dengan ilmu kalam dan ushul al-
fiqh.
3. Idah al-Bayan an Ma‟na Umm al-Qur‟an
Inti bahasan kitab ini mengenai Ulum al-Qur‟an, keutamaan surah al-
fatihah dan penjelasan tentang kandungan surah al-fatihah terkait
maksud al-Qur‟an diturunkan. Bab I menjelaskan tentang kata- „Am al-
Qur‟an dan bab ke II tentang kalimat mujmal dan mufashal dan bab ke
III tentang urutan penjelasan makna al-Quran dan sebagai penutup berisi
tentang keutamaan surah-surah.
4. Tafsir Surah Qaf dan al-Naba
5. Mukhtashar Ma‟alin
Berisi keterangan bahwa al-Fatihah mengandung seluruh makna
kandungan al-Qur‟an
6. Jadl Al-Qur‟an
Tentang karya ini, seorang ulama besar yang disebut-sebut sebagai
mujaddid, Jalal al-Din al-Suyuthi pernah menukil kitab ini dalam salah
10
satu kitabnya tentang ulum al-Qur;an berjudul al-Itqan. Namun, kitab al-
Thufi ini hingga sekarang kitab utuhnya tidak ditemukan.14
7. Bughyat al-Wasil ila Ma‟rifah al-Fawashil
Kitab ini pernah dijadikan rujukan oleh al-Suyuthi dalam menulis al-
Itqan, namun hingga sekarang kitab utuhnya tidak ditemukan.
8. Dll.
b. Karya-Karya al-Thufi di bidang Teologi
1. Bugyah al-Sail fi Ummahat al-Masail
Kitab ini menurut para ulama berisi tentang kedokteran, namun sayang
kitab ini hingga saat ini versi utuhnya tidak ditemukan. Al-Thufi pernah
menyebut karyanya ini dalam suatu keterangan dalam kitab al-Iksir fi
Qawaid al-Tafsir.15
2. Qudwat alMuhtadin ila Maqashid al-Din
Kitab ini tersimpan dalam beberapa perpustakaan dalam bentuk
manuskrip. Salah satuya perpustakaan Madinah.16
3. Halal al-„Aqdi fi Ahkam al-Mu‟taqid
4. Al-Intisharat al-Islamiyyah fi Kasyf Syibah al-Nashraniyyah
Kitab ini berisi tentang perbandingan agama dan krtik terhadap
pemikiran orang kristen terutama dihilangkannya tentang kenabian
Muhammad. Kitab meripakan karya utuh al-Thufi yang pemikiran-
pemikirannya dapat ditemukan disini.17
5. Dll.
c. Karya-Karya dibidang Ushul al-Fiqh
1. Mukhtashar al-Raudlah al-qudamah
14 Jalal al-Din al-SUyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid 2 (Beirut: Daar al-Fikr, Tanpa Tahun), h.
135 15
Najm al-Din Al-Thufi, Al-Iksir fi Qawaid al-Tafsir, h. 4 16
Saifudin Zuhri, Maslahah dan Implikasinya, h. 59 17
Najm al-Din Al-Thufi, Al-Intisharat al-Islamiyyah fi Kasyf Syibah al-Nashraniyyah Jilid I (riyad:
Maktabah Abikan, 1999),h. 77-78
11
2. Syarh al-Raudlah
Kitab ini terdiri dari tiga jilid tentang ushul al-fiqh dan merupakan salah
satu karya al-Thufi yang bisa dijumpai Allah.
3. Mukhtashar al-Hasil fi Ushul al-Fiqh
Karya al-Thufi ini tidak sampai kepada kita, namun sempat dinukil oleh
Ibnu Rajab dalam Zail al-Thabaqhat.
4. Mukhtashar al-Mahshul
Kitab ini masih dalam berbentuk manuskrip di perpustakaan
Sulaimaniyyah, Turki dan belum diterbitkan.
5. Mi‟raj al-Wushul ila Ilm al-Ushul.
6. Dll.
d. Karya-Karya Al-Thufi dalam bidang Fikih
1. Al-Riyadh al-Nawadzir fi al-Asybah wa al-Nawadzir
Kitab ini bercerita tentang ilmu al-Qur‟an dan beberapa perumpaman
dalam al-Qur‟an.
2. Al-Qawaid al-Kubro
Kitab ini berisi tentang kaidh-kaidah fikih mazhab Hanbali. Untuk saat
ini kitab ini tidak dapat ditemukan terkecuali nukilan-nukilannya dalam
kitab Zail Thabaqhat karya Ibnu Rajab dan Kasyf al-Dzunun karya
Musthafa Haji Khalifah.
3. Al-Qawaid al-Sughra
Kitab ini sering kali disebut al-Thufi dalam karya-karyanya yang sampai
pada kita. Akan tetapi kitab ini untuk saat ini sudah tidak bisa dijumpai.
4. Syarh Nisf Mukhtashar al-Haraqi.
5. Dll.
e. Karya-Karya Al-Thufi dalam Bidang Bahasa, Sastra dan lain-lain
1. Al-Sa‟aqat al-Ghadlabiyyah „ala Munkir al-„Arabiyyah
Kitab ini merupakan salah satu karya al-Thufi yang sampai pada kita dan
diterbitkan oleh Maktabah al-Abikan.
12
2. Al-Risalah al-Uluwiyat fi al-Qawaid al-„Arabiyyah
3. Ghaflath al-Mujtaz fi „Ilm al-Haqiqat wa al-Majaz
4. Dll.
C. Latar Belakang dan Lahirnya Teori Maslahah Al-Thufi
Islam mengalami sebuah masa keemasan sekitar tahun pertama Hijriah s.d
tahun pertengahan empat hijriah dimana produktifitas pemikiran dan inovasi
pemikiran muncul ke permukaan dengan lahirnya para imam mazhab besar (al-
mazahib al-„arba‟ah). Akan tetapi pasca munculnya para Imam mazhab ini, umat
islam tidak banyak melakukan pengayaan dan pengembangan bahkan
pembaharuan terhadap pemikiran-pemikiran mereka. hal yang demikian ini
akhirnya melahirkan sikap taklid, stagnansi dan puncaknya lahir slogan-slogan
pintu ijtihad telah tertutup (The closure the gate ijtihad/insidad bab al-ijtihad.)18
Hukum islam mengalami kemunduran yang cukup lama yaitu dari pertengahan
abad keempat hijriyah sampai pada akhir abad ketigabelas hijriyah.19
Al-Thufi lahir ditengah-tengah kondisi umat islam sedang dilanda
kejumudan, stagnasi dan kemunduran. Produktifitas para ulama dalam menulis
pemikiran-pemikirannya hanya berisikan tentang pengulangan terhadap apa yang
telah dicetuskan ulama sebelumnya. Proses Ijtihad dan pembaharuan hukum pada
masa ini benar-benar mati, setiap orang hanya melakukan pengulangan tanpa
melakukan pembaruan terhadap problem-problem yang terjadi. Pada masa ini
teks-teks lebih dominan daripada proses ijtihad itu sendiri. orang lebih memilih
menyelesaikan masalah dengan teks daripada berijtihad dan menyelesaikannya
sendiri.
18 Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwin al-Qal al-„Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-
„Arabiyyah, 1989), bab 11 19
Josep Scacht, An Introduction To Islamic Law (London: Oxford at The Clarendon Press,1971), h. 72
13
Sebagai bentuk dari kepeduliannya terhadap kondisi umat islam yang
sedang mengalami kemunduran, al-Thufi lahir dengan membawa gagasan yang
radikal dan liberal. Ia menginginkan dan sekaligus mengingatkan para ulama
untuk melakukan pembaharuan hukum melalui proses ijtihad dengan cara tidak
menjadikan pendapar para imam mazhab satu-satunya kebenaran. Problematika
umat yang muncul dapat diatasi melalui proses ijtihad dengan mengutamakan
maslahah dan manfaat sembari berpegang pada prinsip-prinsip syariah yang
bersifat universal dan menyeluruh. Al-maslahah adalah inti dan sumbu ajaran
islam dan hukum islam, oleh karenanya segala bentuk hukum yang tidak selaras
dengan maslahah dan manfaat manusia harus di nomor duakan atau dianggap
tidak berlaku. Inti dari ajaran al-Thufi terlebih yang akan dibahas pada BAB ini
adalah konsep maslahahnya sebagai maqasid al-syariah yang berbeda dengan
konsep maslahah para ulama lain. Berikut penjelasan maslahah al-Thufi sebagai
intisari dari pemikirannya.
D. Konsep Maslahah Al-Thufi
a. Makna Maslahah Menurut Al-Thufi
Menurut al-Thufi, kata maslahah memiliki bentuk yang sama
dengan kata maf‟alah. Lafadz Al-maslahah Terambil dari kata al-Salah
(kebaikan, kegunaan, validitas dan kebenaran), yang berarti bahwa sesuatu
berada dalam bentuk yang sempurna sesuai dengan tujuan atau sasaran
yang dimaksudkan, seperti pena dalam bentuknya yang tepat untuk
menulis atau pedang berada dalam bentuknya yang tepat sebagai alat
untuk menebas.20
Yang membedakan al-Thufi dengan yang lainnya mungkin terletak
pada pendefinisian maslahah dari dua aspek. Pertama aspek urf dan kedua
20
Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-
Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 139
14
aspek syara‟. Al-Thufi memedakan pengertian al-maslahah berdasarkan
urf dan maslahah berdasarkan syara‟. Maslahah secara „urf adalah sebab
atau sesuatu berupa tindakan yang mendatangkan kepada kebaikan dan
kemanfaatan, seperti berdagang yang dapat menghasilkan keuntungan.
Sedangkan maslahah berdasarkan syara‟ adalah suatu sebab atau tindakan
yang menghasilkan tujuan al-syaari (Allah) baik berupa ibadah atau
„adah. Maslahah menurut al-Thufi dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, maslahah yang sesuai dengan tujuan syaari berupa Ibadah dan
maslahah yang kemanfaatannya kembali kepada manusia dan mengatur
manusia seperti halnya adah.
Disini mulai terlihat bagaimana paradigma al-Thufi tentang
maslahah yang berbeda dengan pemikir-pemikir lainnya. Klasifikasi
maslahah menjadi maslahah yaang manfaatnya kembali kepada pembuat
hukum (Allah) dan maslahah yang manfaatnya kembali kepada manusia
adalah tipologi pemikiran al-Thufi tentang konsep maslahahnya. Ia
membedakan mana maslahah yang konkret dan mana maslahah yang
abstrak, sama seperti tentang kajian maqasid al-syariah sebagai konsep
yang abstrak dan maqasid al-syariah sebagai sebuah pendekatan yang
bersifat konkret dan realistis.21
Al-Thufi mengatakan “bahwa segala sesuatu yang beriringan
atau sesuai dengan maksud pembuat syariat, baik berupa ibadah ataupun
adalah dinamakan maslahah”. Itu artinya disamping Allah dan rasulnya
sebagai pembuat hukum (syaari), maka manusiapun dengan akal budinya
dapat menjadi pembuat hukum (syaari), namun dalam hal adah atau
muamalah saja. Tidak dalam hal ibadah. Untuk menentukan Maslahah
dalam hal ibadah adalah mutlak hak preogratif Allah, sebagaimana
21
Imam Ahmad Mawardi, Fiqih Minoritas: Fiqh Al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqasid Al-Syariah dari
Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010), h. 175
15
menentukan maslahah dalam hal mualamalah atau „adah bisa ditentukan
oleh manusia. berdasarkan ini al-Thufi mendefinisikan al-maslahah
kedalam dua termonologi. Pertama maslahah berdasarkan syar‟i dan
maslahah berdasakna „adah.
Inilah yang membedakan termonologi maslahah al-Thufi dengan
ulama lainnya, sebab ulama lainnnya memberikan terminologi maslahah
masih sebagai konsep yang tunduk dibawah nash. Imam al-Ghazali
misalnya, Al-Gazâli (w. 505 H), mengatakan bahwa makna genuine dari
maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau
menyingkirkan/menghindari kemudaratan/bahaya ( Jalb al-Manfaat atau
Daf‟u al-Mafsadah ) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam
arti terminologi syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan Syara‟
yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta
kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat
menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasi
sebagai maslahah, sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan
merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah
dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasi sebagai al-
maslahah.22
Untuk mencegah kesalah fahaman atas definisi yang ia
lontarkan, Al-Ghazali kemudian sebagaimana terangkum secara jelas
dalam al-Mustasfa-nya menegaskan bahwa yang ia maksud dengan
maslahah sebagai menarik manfaat dan menolak kerusakan adalah
perspektif Syaari (pembuat hukum) bukan manusia sebagai pelaksana
hukum.
22 Abu Hamid, Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, Tahqiq wa Ta‟liq Muhammad
Sulaiman Al-Asyqar (Beirut: Mu‟assasat al-Risalah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417
16
Al-Syaukani juga mendefinisikan maslahah dengan terminologi
yang hampir sama dengan al-Ghazali. Menurutnya, maslahah adalah
memelihara tujuan syara‟ dengan cara menghindarkan manusia dari
kerusakan.23
Sedangkan al-Syatibi mendefinisikan maslahah dari dua
sudut pandang, yaitu dari aspek terjadinya maslahah dalam realitas dan
dari aspek tergantungnya syara‟ kepada maslahah. Dari aspek terjadinya
maslahah dalam sebuah realitas berarti sesuatu yang kembali kepada
tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya. Maslahah
jenis ini dinamakan pula oleh al-Syatibi dengan nama maslahah yang
duniawi atau temporal. Sedangkan maslahahah yang menjadi
ketergantungan syara‟ berarti maslahah yang menjadi tujuan dari
penetapan hukum syara‟.24
Dilain kesempatan al-Syatibi tidak mengakui al-Maslahah yang
bersifat temporal (duniawi) sebagai dalil syara‟ bahkan menurutnya
maslahah yang bertentangan dengan nash tetap tidak dapat dipakai sebagai
sebuah dalil karena maslahah sejenis ini tidak mutlak atau tidak murni. 25
Namun disini dapat dipahami bahwa konsep maslahah al-Thufi dengan
Al-Syatibi memiliki kemiripan yaitu sama-sama membagi maslahah
terhadap kedua terminologi.
Izz al-Din Ibn Abd Al-Salam memiliki konsep maslahah yang
sama dengan Al-Syatibi dan Al-Thufi. Ia membagi maslahah menjadi dua.
Pertama, maslahah duniawi yang bisa diketahui oleh akal. Kedua,
maslahah ukhrawi yang hanya bisa diketahui berdasarkan petunjuk wahyu
(naqli). Konsep maslahah al-Thufi, Al-Syatibi dan Izz al-Din Ibn Abd Al-
23 Al-Syaukani, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haq min „Ilm al-Ushul, (Riyadh: Daar al-Fadilah, 1421
H), Vol. 2. H. 990 24
Asy Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1. 1997 M/1417 H)
Vol. 2. H. 44 25
Asy Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1. 1997 M/1417 H)
Vol. 2. H. 44
17
Salam memiliki kesamaan yaitu membagi konsep maslahah pada ranah
Duniawi dan ukhrawi atau dalam konsep maslahahnya al-Thufi dikenal
dengan maslahah Adah atau muamalah dan maslahah ibadah. Hanya saja,
Izz al-Din Ibn Abd Al-Salam dan al-Syatibi tidak mengakui keberadaan
Malsahah duniawi sebagai sebuah dalil, sedangkan Al-Thufi mengakuinya
sebagai sebuah dalil syara‟.
Berdasarkan perbandingan antara definisi dan konsep maslahah al-
Thufi dengan ulama lain, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
maslahah al-Thufi mempunyai semangat berbeda dan lebih progresif
dengan memberikan porsi lebih kepada akal manusia untuk menentukan
maslahah dalam hal adah/muamalah. Dengan kata lain, al-Thufi
membenarkan bahwa maslahah adalah sesuatu yang konkrit, relistis dan
nyata dalam kehidupan manusia bukan sesuatu yang abstrak dan
mengawang dalam fikiran Tuhan.
b. Makna Hadits La Dlarar Wa La Dlirara
Konsep maslahah yang didengungkan oleh al-Thufi berawal ketika
ia menjelaskan tentang tafsir salah satu hadits Nabi Nomor 32 dalam kitab
Arba‟in al-Nawawi. Hadits tersebut berbunyi:
لا ضرر ولا ضرار
Menurut al-Thufi hadits tersebut berkualitas hasan yang
diriwayatkan dengan mata rantai periwayatan (sanad) yang lengkap oleh
Ibn Majah, al-daaruquthnu dan lainnya. Dalam al-Muwattha karya Imam
Maik, hadits ini diriwayatan dari „Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi
Muhammad Saw berupa hadits mursal dengan tidak menyebutkan Abi
Sid. Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan yang saling
menguatkan.
18
Mengacu pada hadits ini, yang dimaksud dengan hadits La Dlrara
wa La Dlirar adalah tidak boleh berbuat bahaya pada diri sendiri dan
orang lain dan tidak boleh berbuat bahaya beserta orang lain ( لا نحىق ولا
tanpa alasan khusus atau tanpa dibenarkan ) إنحاق ضرر ولا فعم ضرر يع أحذ
oleh syara‟. Artiya terdapat suatu tindakan manusia yang dapat
menimbulkan kerugian atau bahaya pada orang lain atau diri sendiri tetapi
hal itu dibolehkan atau legal secara syara‟ seperti hukuman had, diyat dan
lainnya. Jadi penafsiran redaksi “tidak boleh berbuat bahaya terhadap
diri sendiri dan orang lain” bersifat khsusu dan partikular. Pembatasan
berdasarkan syara‟ ini penting karena suatu kerugian, bahaya atau
kejahatan yang didasarkan pada hukum Tuhan yang pasti (Al-Hukm al-
Qadri al-Ilahiy) tidak boleh ditentang . pengecualian terhadap tindakan
yang menyebabkan timbulnya kerugian karena adanya sebab tertentu
(Mujabin Khas) didasarkan pada fakta bahwa hukuman had (Qishash,
potong tangan, hukum cambuk dll) merupakan perbuatan merugikan atau
melukai orang-orang yang berhak untuk menerimanya, dan hal itu
dibenarkan berdasarkan Nash dan Konsensus Ulama (Ijma‟).26
Al-Thufi menyebut dua hal mendasar, yaitu pertama, semua
bentuk kerugian dan kerusakan sosial harus ditolak, dilarang dan dicegah
oleh hukum (nafy al-dlrar wa al-mafasid syar‟an),. Kedua, penolakan atau
pelarangan hukum terhadap tindakan merugikan terhadap orang lain
berlaku umum sepanjang masa, kecuali pada kasus-kasus tertentu yang
sanksi hukumnya dipandang perlu oleh ijma‟
Ringkasnya hadits لا ضرر ولا ضرار tersebut oleh al-Thufi dijadikan
sebagai argumen utama atas eksistensi maslahah. Al-Thfi menjadikan
26 Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 136
19
hadits ini sebagai prinsip dasar kemaslahatan manusia yang berada jauh di
atas sumber lainnya.
c. Mendahulukan Maslahah diatas Nash al-Syariah dan Ijma’
Puncak pemikiran (ultimate meaning) dari seorang tokoh progresif
sepanjang sejarah ini adalah “taqdim al-maslahah „ala al-nash wa al-
ijma‟” yaitu mendahulukan maslahah diatas nash dan konsensus ulama.
Bagi al-Thufi, bunyi teks-teks al-Qur‟an dan hadits serta konsesnus para
ulama atau ketentuan-ketentuan hukum yang disebutkan secara jelas dan
eksplisit dalam sumber-sumber hukum islam dalam aspek muamalah tidak
berarti semua itu mengandung maslahah. Hal ini berbeda halnya dengan
aspek ibadah yang harus diterima secara apa adanya karena ia merupakan
ranah ilahiyyah yang merupakan hak preogratif Allah, seperti shalat lima
waktu, puasa bulan ramadhan, haji dan ibadah lainnya. Pandangan ini
berbeda dengan pemikir-pemikir maslahah lainnya yang berpendapat
bahwa segala ketentuan hukum Tuhan harus diyakini mengandung
maslahah meskipun dalam relitanya tidak demikian. oleh karenanya, al-
Thufi dikenal sebagai seorang pemikir hukum islam pertama yang
memunculkan ruang dialog dan diskusi tentang tentang taarudh baina al-
nash wa al-maslahah atau menghadap-hadapkan antara al-nash dan al-
maslahah.27
Menurut al-Thufi, berdasarkan penelitiannya hanya terdapat
sembilan belas sumber hukum islam yang diakui oleh para ulama, yaitu
(1) al-kitab, (2) al-Sunnah, (3) Ijma‟ al-Ummah (konsensus ulama secara
menyeluruh), (4) Ijma‟ ahl al-Madinah (konsensus masyarakat Madinah),
(5) al-Qiyas (analogi), (6) Qaul al-Shabi (pendapat sahabat Nabi), (7) al-
27 Sarifudin, Hukum Islam Progresif: Tawaran Teori Maslahat At-Thufi sebagai Epistemologi untuk
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3 | No. 2 | September
2019 | Halaman : 135-154
20
Maslahah al-Mursalah (kepentingan publik), (8) Istishab (anggapan tetap
sahnya hukum yang lama), (9) al-Baraah al-Ashliyah (pembebasan dari
suatu aturan hukum yang asal), (10) al-„Awaid (kebiasaan yang diterima
masyarakat), (11) al-Istiqra (penelitian), (12) Sad al-Dzara‟i (tindakan
hukum kontributif), (13) Istidlal (demonstrasi atau deduksi), (14)
Istihasan (preferensi), (15) al-Akhad bi al-Khaf (pengambilan beban yang
paling ringan), (16) al-„Ishmah, (terlindungi dari dosa), (17) Ijma‟ ahl al-
Kufah (konsesnus penduduk Kufah), (18) Ijma al-Asyrah (konsensus
sahabat nabi yang 10, yang telah diberi kabar gembura masuk surga), (19)
Ijma‟ al-Khulafa al-Arba‟ah (konsensus khalifah yang empat). Sebagian
sumber hukum diatas disepakati oleh seluruh ulama (muttafaq „alaih) dan
sebagian yang lain dierselisihkan (mukhtalaf fih).28
Diantara sembilan belas sumber humum islam tersebut, menurut
al-Thufi yang paling kuat (al-aqwa) menempati posisi pertama adalah al-
Nash (al-Kitab,al-Sunah) dan Ijma‟. Namun demikian, terdapat sumber
hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan sumber hukum yang kuat
tersebut (aqwa al-aqwa) yaitu al-maslahah atau kepentingan umum.
Dalam permasalahan-permasalaha hukum, kemaslahatan manusia
menempati urutan yang paling kuat dan pertama. Artinya, ia memiliki
prioritas lebih diatas seluruh sumber hukum lainnya, termasuk al-Qur‟an,
al-Sunnah dan al-Ijma‟.
At-Thufi juga menjelaskan bahwa inti dari seluruh ajaran Islam
yang termuat dalam nas adalah maslahat (kemaslahatan) bagi umat
manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyari‟atkan dan
kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nas, baik oleh
nas tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nas.
28
Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-
Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 138
21
Maslahat, menurutnya merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri
dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syarak.29
Lebih jauh lagi, at-Thufi menjelaskan bahwa maslahat merupakan
dalil syar‟i yang paling kuat di antara dalildalil syar‟i lainnya, sehingga
harus didahulukan dari nas dan ijma. Dalam pandangannya, nas, ijma, dan
dalil-dalil syariat yang lain hanyalah merupakan wasilah (perantara)
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (masalih annas). Sedangkan
kemaslahatan manusia merupakan maqasid (tujuan) dari diturunkannya
syariat Islam. Oleh sebab itu, wajib mendahulukan maqasid (maslahat)
dari wasilah (nas, ijma, dan dalil lainnya). Karena alasan ini pula,
maslahat bisa me-nasakh (menghapus) atau membatalkan sebagian
hukum syariat yang dihasilkan dari dalil lain (nas dan ijma), karena
kepentingan menjaga maslahat.
Al-nash dan ijma‟ sebagai sumber hukum islam yang paling kuat
tersebut, kata al-Thufi memiliki dua kemungkinan ketika dihadap-
hadapkan dengan maslahah. pertama adakalanya nash dan ijma‟ selaras
dengan maslahah, kedua nash dan ijma‟ bertentangan dengan maslahah
atau nash dan ijma‟ tidak mengandung maslahah dalam implementasinya.
Lebih lengkapnya al-Thufi mengatakan demikian:
ااىفاليوأةحلصمالةايعارقافويناأم اإه,ث اعجلاوص لن اااىوق أرشعةعسالتةل دلاهىذو
Sembilan belas sumber hukum islam ini yang paling kuat adalah al-nash
dan ijma‟. Keduanya adakalanya sejalan dengan maslahah atau
bertentangan.
29 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 125.
22
Untuk yang pertama, yaitu ketika nash dan ijma‟ tersebut sejalan
dengan maslahah, maka kita dapat mengamalkan nash dan ijma tersebut
dan menjadikannya sebagai sebuah hukum.
ةايعرواعجالوص النيىومكلالىعالثلثوةل دالتقفإت دقذإاعزن لوتمعناوهبافاىقاف ونإف
ااررضلوررضعليوالصلةوالسلم :لولوق نمةادفت سمالةحلصلم
akan tetapi, apabila nash dan ijma‟ tersebut menyalahi ketentuan
kemaslahatan manusia, maka maslahah harus diberikan prioritas
lebih dibandingan dengan teks atau kemaslahatan manusia harus
didahulukan daripada teks melalui takhsish (mengambil hukum yang lebih
spesifik dari yang umum) atau bayan (hukum yang lebih jelas).
Dan untuk yang kedua, yaitu ketik nash dan ijma‟ tidak selaras
dengan nilai-nilai maslahah, maka yang harus didahulukan adalah
kemaslahatan manusia.
اةايعريدقت بجاواىفالخنإواتيتفلاقيرطبالملانيب الوصيصخالت قيرطابمهيلعةحلصلم
انيلب اقيرطبأنرقاللىعةن الس مدقات ماكملليطعالت اومهيلع
Namun, apabila nash dan ijma‟ tersebut saling berlawanan dengan
kemaslahatan manusia, maka harus di dahulukan kemaslahatan manusia
melalui takhsis dan bayan (sebagaimana mendahulukan al-sunnah
daripada al-Qur‟an melalui bayan) bukan dengan tidak menggunakannya
sama sekali.
Menurut al-Thufi, kemaslahatan manusia pada dasarnya adalah
tujuan didalam dirinya sendiri, sehingga perlindungan terhadapnya
menjadi prinsip hukum tertinggi atau sumber hukum yang paling kuat
(aqwa al-adillah al-syar‟iyyah). Akan tetapi keharusan mendahulukan
23
maslahah daripada nash dan ijma‟ ini hanya berlaku dalam aspek
muamalah atau „adah bukan aspek ibadah. Hal ini karena sesuatu yang
harus diikuti sebagai otoritas adalah bukan kesimpulan-kesimpulan atau
kesepakatan para ahli hukum atau penafsiran mereka terhadap teks-teks
agama. Dengan kata lain, hakim tertinggi untuk menentukan
kemaslahatan manusia atau kehidupan duniawi manusia bukanlah “teks
keagamaan” tetapi tuntutan-tuntutan akal atau intelegnsi dalam seluruh
kehidupan manusia sendiri.
Berkaitan dengan ini, al-Thufi menegaskan bahwa dirinya tidak
menafikan nash dan ijma sebagai sumber hukum islam yang mengandung
maslahah. Hanya saja, nash dan Ijma‟ tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai referensi utama dan mutlak untuk menentukan kemaslahatan
kehidupan sosial manusia. keduanya hanya dapat dijadikan sebagai
sebuah sumber hukum yang mutlak dalam aspek ibadah. Aspek ibadah
inilah yang referensi utamanya atau sumber mutlaknya nash dan ijma‟
yang mana kandungan maslahahnya hanya Tuhan yang maha tahu.
Sedangkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan sosialnya dapat
ditentukan oleh manusia itu sendiri. Dengan bahasa yang ringkas,
kemaslahatan manusia dalam kehidupan sosial adalah puncak tujuan dari
syariat islam (quthb maqsud al-syariah) yang khsusus diberikan untuk
kebaikan manusia, sehingga manusia sendiri yang boleh menentukannya
karena syariat telah mendelegasikan untuk menentukannya. Sedangkan
kemaslahatan dalam aspek ibadah adalah mutlak hak Tuhan sehingga
hanya Tuhan sendiri yang berhak dan dapat menentukan maslahah atau
24
tidaknya, sementara manusia hanya dapat mentaati dan menuruti
perintahnya.30
Paparan taqdim al-maslahah al-nash dan ijma‟ sebagai puncak
dari pemikiran al-Thufi diatas, memiliki kesamaan dengan pemikiran
Ibnu Rusyd (W 595 H/1198 M). Seorang ulama dan pembaharu
bermazhab Maliki dan hidup lebih awal dari al-Thufi ini dalam sebuah
karyanya berjudul “Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati
min al-itishal” (Diferensiasi dan Harmonisasi antara Syariah dan Filsafat)
mengemukakan sebuah postulat yang sangat menarik tentang hubungan
dan posisi sebuah nash ketika berhadapan dengan akal:
وإ كات انشريعة طمت ته فلا يخهى ظاهر انطك أ يكى يىافما نا أدي إنيه انثرها فيه
طهة هانك تأويهه أويخانفا فإ كا يىافما فلا لىل هانك وإ كا يخانفا
Sebuah syariat (nash) tidak terlepas dari dua kemungkinan. Pertama, ia
selaras dengan akal, dan kedua bertentangan dengan akal. Apabila nash
itu selaras atau sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran rasional, maka
tidak menjadi soal. Akan tetapi, apabila nash itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebenaran rasional, maka harus ditakwil.31
Sebagai seorang pemikir dan ahli hukum islam dan banyak
menguasai ilmu lainnya termasuk filsafat, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa
antara filsafat atau kebenaran-kebenaran rasional tidak akan pernah
bertentangan dengan syariat, atau sebuah syariat apabila ia memang
adalah benar-benar sebuah kebenaran dan mendorong seseorang untuk
mengetahui tentang sesuatu yang benar, maka saya pastikan-kata Ibnu
30
Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-
Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 141 31
Ibnu Rusyd, Kitab Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati min al-itishal
(Cairo: Daar al-Ma‟aarif, Tanpa Tahun), h. 32
25
Rusyd wahai kaum muslimin- bahwa akalpun atau pengetahuan
rasionalpun tidak akan menyalahi kepada ketentuan-ketentuan atau
prinsip syariah. Hal ini karena sebuah kebenaran tidak akan bertentangan
dengan kebenaran yang lainnya, akan tetapi ia akan saling bersinergi dan
saling menguatkan.32
Ada empat prinsip yang dipegang at-Thufi tentang maslahat yang
menyebabkan pandangannya berbeda dengan jumhur ulama, yaitu: 33
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan,
khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Pandangan ini
berbeda dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa
sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai
dengan akal, namun kemaslahatan itu harus mendapatkan
dukungan dari nas atau ijma, baik bentuk, sifat maupun
jenisnya. Peran dan kemampuan akal di dalam “mendeteksi”
kemaslahatan dan kemafsadatan juga diakui oleh ulama lain,
sebagaimana ditegaskan oleh „Izzuddin Ibn „Abd as-Salam.34
2. Maslahat merupakan dalil mandiri (dalil mustaqil) dalam
menetapkan hukum. Oleh sebab itu, untuk kehujjahan
maslahah tidak diperlukan dalil pendukung, dengan
argumentasi bahwa maslahat itu didasarkan kepada akal
semata.
3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat
kebiasaan, adapun dalam lapangan ibadah atau ukuran-ukuran
32 Ibnu Rusyd, Kitab Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati min al-itishal (Cairo: Daar al-Ma‟aarif, Tanpa Tahun), h. 31 s.d 32 33
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr,2017), Jilid 2, h. 94, Mustafa
Zaid, Al-Maslahah Fi Tasyri Al-Islam Wa Najmuddin at-Thufi (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964),
hlm. 127-132. 34
Izzuddin Ibn „Abd as- Salam, Qawa‟id Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam (Beirut: Muasasah ar-
Rayyan, 1998), juz 1, hlm. 6-7.
26
(alMuqaddirat) yang ditetapkan syara, seperti salat zuhur
empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan tawaf
dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena
masalah-masalah seperti itu merupakan hak Allah semata.
4. Maslahat merupakan dalil syara paling kuat. Oleh sebab itu,
at-Thufi menegaskan, apabila ada kontradiksi antara maslahat
dengan nas maupun ijma, maka yang harus didahulukan atau
dimenangkan adalah maslahat dengan cara Takhsis nas atau
Bayan.
Jika diteliti lebih jauh, gagasan maslahat at-Thufi ini ternyata
memiliki semangat yang sama dengan ajaran hukum progresif yang
ditawarkan oleh begawan hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo yang
landasan filosofinya diambil dari ajaran filsafat hukum alam Yunani,
di samping mazhab sejarah, freirechtslehre, legal realism, sociological
jurisprudence, dan critical legal studies. Hukum progresif Stajipto
Rahardjo menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai
institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya
bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi
(law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh
Satjipto Rahardjo sebagai berikut : Hukum progresif tidak memahami
hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.
Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara
terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada
tingkat kesempurnaan yang lebih baik.Kualitas kesempurnaan disini
bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan,
27
kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang
selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).35
Dalam konteks tersebut, hukum akan tampak selalu bergerak,
berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini
akan mempengaruhi pada cara pelaksanaan hukum kita, yang tidak
akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan
hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum
yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang
maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum
sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil
sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, akan tetapi manusialah
yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
Selin itu, hukum progresif mengajarkan bahwa hukum semata-
mata untuk kemanusiaan dan keadilan. hukum progresif berangkat dari
asumsi dasar bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Artinya,
segala ketentuan hukum adalah sebuah sarana untuk manusia
semata0mata untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena
itu, hukum progresif menolak aliran-aliran positivisme atau legisme
yang menjadikan bunyi norma sebagai satu-satunya hukum. Hukum
progresif mengajarkan bahwa kesejahteraan manusia dan
kemaslahatan adalah inti dari sebuah hukum.36
Akhirnya, adalah sesuatu yang kiranya tepat dan selaras jika
penulis mengatakan bahwa teori hukum islamnya al-Thufi adalah
doktrin hukum progresif islam yang hanya berorientasi pada
35 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia,
Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Semarang. 2006. Hlm. 9 36
Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal
Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014
28
kehidupan manusia riil yang lebih baik dan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.
E. Ulama Yang Setuju Dengan Konsep Maslahah al-Thufi
Terdapat sekian banyak ulama atau cendikiawan muslim yang memiliki
pandangan yang sama dengan Najm al-Din al-Thufi. Diantara ulama itu, adalah:
a. Ibrahim Husain
Ibrahim Husain dalam komentarnya terhadap al-Thufi
menyatakan bahwa maslahah al-thufi harus dipahami dalam konteks
ushul al-fiqh. Ia mengandaikan terjadinya benturan antara nash atau
ijma dengan maslahah. Benarkah terjadi pertentangan diantara
keduanya tersebut ? al-Thufi tampaknya sedang berandai-andai dan
tampaknya, menurut Ibrahim Husain, ia belum pada tahap praktis dan
belum mengungkanpak kasus relistis yang menunjukan pandangannya
tersebut.
Selain itu pula harus dipahami bahwa al-Thufi baru berbicara
secara teoritis belum sampai pada tataran fiqih. Oleh karena itu yang
perlu dilakukan oleh mereka yang sepaham dengan al-Thufi adalah
membela atau paing tidak membahas premis dasar argumen
tersebut.37
b. Munawwir Sjadzali
Munawwir Sjadzali dalam gagasannya tentang reaktualisasi
ajaran Islam sejak tahun 1985 dalam berbagai macam kesempatan
sosialisasi, berulang kali mengutif konsep maslahah al-Thufi dan
konsep adat Abu Yusuf sebagai salah satu pendukung gagasannya.
Mulai tahun 90-an ide-idenya mendapat sambutan yang hangat
terutama ide tentang reaktualisasi ajaran islam mengenai perbankan
37 Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Munawwir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta:IPHU Kerjasama dengan Paramadina, 1995), h. 257-2581
29
dan waris.38
Munawwir dalam bukunya; Ijtihad Kemanusiaan banyak
mengungkapkan ulama-ulama besar yang sejalan dengan pemikiran
al-Thufi, diantaranya Abu Yusuf, Izzuddin Ibn Abd as-Salam, Ibn
Qayyim, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
Jalaludiin al-Afghani. Dari kalangan mufassir diantaranya, Tanthowi
Jauhar, Al-Maraghi dan Sayyid Qutub.
Pada akhir kesimpulan, Munawwir Sjadazli mengungkapkan
kalau kita dengan rasa penuh tanggung jawab kepada Islam berusaha
memahami islam yang luhur itu dengan memanfaatkan akal budi,
maka kita bukan yang pertama yang berbuat demikian, karena ulama-
ulama zaman dulu telah banyak yang melakukannya seperti Umar ibn
Khattab dan al-Thufi.
c. Abu Yusuf al-Hanafi
Pada zaman khalifah Harun al-Rasyid, Abu Yusuf menjabat
sebagai Hakim Agung (MA). Senada dengan al-Thufi ia bependapat
suatu nash yang dulu dasarnya adat kemudian adat itu telah berubah,
maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nash itu.
Misalnya Nabi pernah mengatakan bahwa takaran dalam jual beli
gandum mengikuti takaran kebiasaan adat setempat itu, tetapi
kemudian kebiasaan itu berubah. Al-Thufi berani berbeda dengan
ulama lain, ia berpendapat apabila terjadi pertentangan antara nash
dengan adat kebiasaan, maka nash tersebut harus ditinggalkan,
dengan kata lain adat itulah yang kemudian harus diutamakan.39
38 Munawwir Sjadzali, Reaktualisasi, h. 77-78 39 Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri al-Islami, (Beirut: Daar al-Malayin, 1961), h. 170
1
BAB IV
ANALISIS WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
MASLAHAH NAJMUDDIN AL-THUFI
Sebelum menganalisis tentang waris beda agama di Indonesia dalam
perpsktif Maslahah Najmuddin al-Thufi, pertama-tama penulis akan melakukan
analisis terhadap waris beda agama sendiri dalam islam. Hal ini dilakukan agar
menghasilkan sebuah pengetahuan yang komprehensif, obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
A. Analisis Dalil Waris Beda Agama
Berkaitan dengan waris beda agama, sumber hukum islam primer yang
secara jelas menyebutnya hanyalah sumber hukum islam yang kedua, yaitu al-
hadits. Sementara itu, tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur‟an yang secara
eksplisist dan jelas menyebutkan waris beda agama, baik yang membolehkan
atau yang melarang. Akan tetapi, terdapat ayat-ayat al-Qur‟an yang melarang
orang islam bergaul, berteman dekat, menjadi wali atau mengangkat wali
(tauliyyah) orang-orang non Islam. Ayat-ayat ini memiliki makna yang umum
dan tidak spesifik maknanya. Ayat yang oleh sebagian orang dijadikan
sebagai dalil waris beda agama dalam melarangnya diantaranya surat al-
maidah ayat 51 dan surah al-Nisa ayat 141.
Surat al-Nisa ayat 141 berbunyi:
الذينيتربصونبكمفإنكانلكمفتحمناللقالواألنكنمعكموإنكانللكافريننصيب .قالواأل
.فاللهيكمبينكميومالقيامةولنيعلاللللكافرينعلىالمؤمنينستحوذعليكموننعكممنالمؤمني
سبيل
2
Dalam beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu
Katsir, tafsir Al-Jami li Ahkam al-Qur‟an karya Al-Qurtubi disebutkan bahwa
ayat tersebut berbicara tentang karakter orang-orang munafik yang standar
ganda. Mereka memiliki karakter ganda sesuai dengan kondisi yang
menguntungkannya. Ia akan berpura-pura baik terhadap orang-orang mukmin
demi mendapatkan harta rampasan perang, tetapi akan jahat terhadap orang-
orang mukmin dan baik terhadap orang-orang kafir manakala mereka menang
dalam perang. Untuk memberikan semangat kepada orang-orang mukmin,
Allah menegaskan bahwa dia (Allah) tidak akan memberikan jalan bagi
orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. Jadi sudah jelas dan
dapat dipahami bahwa ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan larangan
waris beda agama.
Al-Qurthubi, dalam tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, menyebutkan
tiga permasalahan yang timbul dari akhir ayat 141 surah al-Nisa diatas.
Pertama, para ulama memiliki 5 penafsiran tentang akhir ayat tersebut yaitu:1
1. Berdasarkan penuturan sayyidina Ali ra. yang dimaksud dengan
akhir ayat tersebut adalah pada hari kiamat. Bukan dikhidupan
dunia.
2. Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada kaum kafir
untuk menguasai negara Islam.
3. Allah tidak akan memberikan kekuasaan kepada orang kafir untuk
meguasai orang-orang mukmin, terkecuali mereka berdua saling
berkonsolidasi untuk menghancurkan oraang muknin.
4. Allah tidak akan memberikan jalan (kekuasaan) kepada orang kafir
untuk menguasai orang mukmin dalam urusan agama (syara‟).
1Abi Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurhtubi, Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an wa al-
Mubayyin Lima Tadlamnahu min al-Sunnah wa ayi al-Furqan, (Libnan: Muassasah al-Risalah, TT), h.
187 s.d 190
3
5. Allah tidak akan memberikan jalan 9dalam hal ini maksudnya
adalah argumentasi rasional/ hujjah aqliyyah) untuk menguasai
dan mengalahkan orang mukmin.
Permasalahan kedua, sebagaimana telah disampaikan oleh Ibnu Arabi
dan para Ulama lainnya, bahwa ayat ini menunjukan seorang kafir atau non
muslim tidak berhak (tidak sepatutnya) memiliki atau menguasai seorang
budak (hamba sahaya yang muslim). Ayat ini memberikan motivasi kepada
orang muslim agar jangan sampai seorang budak dimiliki oleh seorang
tuannya yang non muslim atau kafir.
Permasalah ketiga, berkaitan dengan kepemilikan budak muslim yang
dikuasai oleh seorang Nashrani atau Kristen. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat.
Sementara itu menurut Fakhrudin al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-
Qhaib, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, Abu Hayyan al-Andalusi dalam
tafsir Al-Bahr al-Muhith dan Wahbah Al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir
menyebutkan bahwa ayat tersebut hanya berbicara tentang kekuasaan.2 Kata
sabil yang berarti adalah jalan dalam pandangan Rasyid Ridha bermakna
umum, yaitu kekuasaan secara mutlak baik dunia maupun akhirat. Tetapi
sekali lagi hanya menyangkut tentang kekuasaan dan politik.3
Dari penjelasan diatas, menjadi jelas dan gamblang bahwa inti dari
ayat tersebut sama sekali tidak berbicara tentang waris beda agama terlebih
yang melarang. Jika kemudian ada usaha untuk menarik atau menjadikan ayat
tersebut sebagai dalil dalam aspek hukum, maka paling mentok, ayat tersebut
berbicara mengenai kepemilikan budak yang muslim oleh tuannya yang non
2 Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1981), Jilid 11, h. 83, lihat
juga Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Munsyi Majallah al-Manar, TT), Jilid 5, h. 466 dan Abu
Hayyan al-Andalusi, Tfsir Al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Daar al-Kutub al-Islami, 2010), Jilid 3, h. 379 3 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Munsyi Majallah al-Manar, TT), Jilid 5, h.
4
musli dan tidak berkaitan dengan waris beda agama terkecuali sedikit
penfasiran al-Qurthubi saja.
Sumber hukum primer Islam yang jelas dan gamblang berbicara
tentang waris beda agama adalah hadits nabi Muhammad Saw yang banyak
termuat dalam kitab-kitab hadits. Kitab hadits dengan validitas dan otoritas
paling tinggi dalam bidang hadits yaitu sahih Bukhari dan sahih Muslim juga
mengemukakan hadits waris beda agama tersebut. Selain itu, Ibnu Majah (w:
275 H) dalam kitab sunan-nya juga mengemukakan hadits dengan redaksi
(matn) yang sama. Hadits tersebut berbunyi:
حذثا أتى عاصى ع ات جريج ع ات شهاب ع عهي ت حسي ع عرو ت ثا ع أساية ت
زيذ رضي الله عها أ انثي صلى الله عليه وسلم لال: لايرث انسهى انكافر ولا انكافر انسهى
Hadis tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari: Kitab Al-Hajj Hadis
nomor 1485; Kitab al-Jihād wa al-Sair Hadis nomor 2830; Kitab al-
Maghāzi, Hadis nomor 3946; Shahih Muslim: Kitab al-Farā‟id, Hadis
nomor 3027; Sunan Tirmidzi: Kitab al-Farā‟id „an Rasulillah, Hadis nomor
2521; Sunan Abu Daud: Kitab al-Farâid, Hadis nomor 2521-2522; Sunan
Ibnu Majah: Kitab al-Farā‟id, Hadis nomor 2719-2720; Musnad Ahmad:
Musnad al-Anshar, Hadis nomor 20752, 20757, 20771, 20807, 20819; Al-
Muwatha Imam Malik: Kitab al-Farā‟id, Hadis nomor 959-960; dan Sunan
Al-Darimi: Kitab al-Farâ‟id, Hadis nomor 2871, 2873, 2874.
Hadits tersebut dari aspek sampainya kepada kita (i‟tibar wushulihi
ilaina) atau kuntitas rawinya termasuk kedalam hadits ahad dengan
tingkatan garib mutlak 4 dan dari aspek kualitasnya tergolong kedalam
kategori hadits sahih.
4 Gharib adalah sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi pada setiap tingkatan sanad atau
sebagian sanadnya. Hadits Garib terbagi kedalam dua bagian yaitu garib mutlak dan garib nisbi. Garib
5
Kelompok ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits ahad
menghasilkan pengetahuan yang bersifat pasti ( yaqin qath‟i) sehingga bisa
menopang sebuah ketentuan yang mengikat, bukan saja dalam persoalan
ibadat (hukum yang berkaitan dengan peribadatan) dan muamalat (hukum
yang berkaitan dengan interaksi sosial) tapi juga dalam persoalan „aqaid
(akidah dan keimanan).5 Mazhab-mazhab pemikiran lainnya tidak
berpendapat demikian. Beberapa diantaranya menegaskan bahwa hadits ahad
sama sekali tidak menghasikan pengetahuan apa-apa dan tidak boleh
dijadikan acuan dalam persoalan hukum. Namun, mayoritas ulama
berpendapat bahwa hadits-hadits semacam itu, meskipun tidak menghasilkan
pengetahuan yang pasti, memberikan sebuah kemungkinan bahwa
periwayatan tersebut valid (zhan). Lebih jauh lagi mayoritas ahli hukum
berpendapat bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai acuan dalam
prsoalan furu bukan dalam persoalan ushul meskipun dengan beberapa
ketentuan, seperti yang dikemukakan oleh al-mazhib al-Arba‟ah.6
Terlepas dari persoalan kualitas dan kuantitas hadits tersebut, yang
menjadi soal dalam hadits tersebut adalah pendapat ulama yang melarang
Muslim mewarisi kafir atau sebaliknya tampak litterlijk, artinya tidak
mengaitkan teks dengan maksud yang ingin dicapai oleh teks tersebut, yaitu
kemaslahatan. Pendapat tersebut juga cenderung melupakan bahwa hadis
yang melarang Muslim dan kafir saling mewarisi adalah hadis āhad yang
berstatus zannī, baik tsubūt maupun dalālah-nya. Disebut zanni al-Tsubut
karena hadis tersebut adalah hadis ahad. Dikatakan zanni Al-dalālah karena
mutlak adalah sebuah hadits yang hanya rawi pokoknya yaitu sahabat Nabi hanya berjumlah satu
orang saja, sedangkan gharib Nisbi adalah hadits dengan rawi satu pada salah satu tingkatan sanad dan
lebih dari satu pada tingkatan pokok sanad (sahabat). Lihat Mahmud al-Than, Taisir Mustalah al-
Hadits, (Semarang: al-Haramain, TT), h. 28 5 Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta:
Serambi, 2004), h. 322 6 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2017), Jilid 1, h. 450 s.d 453
6
lafaz kāfir dalam hadits tersebut dapat diartikan lebih dari satu makna (aam)
karena kata kāfir dari sudut pandang keterkaitannya dengan hukum Islam
(Syari‟ah) dapat bermakna kāfir harbī dan dzimmī, mu‟ahad, dan musta‟man.
Lafadz kafir dalam hadits diatas adalah lafadz tunggal (mufrad)
dengan tambahan alif lam sebelumnya. Kriteria lafadz tersebut dalam
diskursus metodologi hukum islam atau ushul al-fiqh masuk dalam kategori
lafadz „aam.7 Konsekuensi dari lafadz aam adalah tidak boleh diguakan dalam
menentukan sebuah hukum sebelum dilakukan takhsish. Para ulama golongan
ini membiarkan kata kafir tetap menjadi lafaz āmm atau mujmal, tanpa adanya
usaha untuk menjadikan kata tersebut khash (mukhasash) sehingga menurut
mayoritas ahli hukum petunjuk hukumnya adalah adalah zanni. Membiarkan
kata yang bermakna „aam atau mujmal untuk dijadikan sebagai sebuah
landasan dalam menentukan sebuah kasus hukum tidak dapat dibenarkan
sebelum dilakukan pengkhususan (takhsish) atau penafsiran terhadap lafadz
tersebut.
انعىو لا يتصىر ف الأحكاو
Lafadz am tidak dapat mengambarkan suatu hukum.
Dengan demikian, hadits larangan waris beda agama diatas dapat
dijadikan sebagai sebuah landasan hukum dalam melarang waris beda agama
setelah dilakukan takhsish dan penafsiran. Makna kafir dalam hadits diatas
harus ditafsirkan dan ditakhsish sehingga memiliki makna yang jelas dan
eksplisit.
Hadits tentang larangan waris beda agama diatas salah satunya dapat
ditakhsish dengan kemaslahatan, sebagaimana disebutkan oleh Najmuddin al-
7 Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2017), Jilid 1, h. 245
7
Thufi8 atau dengan akal sebagaimana disebutkan oleh mayoritas para ahli
hukum. akal dan maslahah dapat dijadikan sebagai sebuah mukhsish untuk
menafsirkan dan menentukan sebuah ketentuan hukum atau lafadz yang
bermakna global. Akal dan maslahah adalah dua dari jenis mukhasish al-
mustaqil atau pentakhsish yang dapat berdiri sendiri.9 Sehingga dengan
demikian hadits tentang larangan waris beda agama harus ditakhsish dengan
menggunakan maslahah atau kemanfaatan atau kebijakan hukum yang lebih
toleran, manusiawi, relevan.
Beberapa para ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al
Jauzi, Yusuf al-Qradhawi dan lainnya mentakwil kata kafir dalam hadits
diatas khusus kafir harbi. Oleh karena kata kafir dalam hadits diatas bermakna
umum, maka harus ditakwil. Menurutnya, yang dimaksud kafir dalam hadits
diatas adalah kafir harbi, sebagaimana Imam Abu Hanifah mnejelaskan bahwa
yang dimaksud kafir dalam hadits “tidak boleh dihukum qisash seorang
muslim yang membunuh kafir” adalah kafir harbi, bukan kafir dzimmi. 10
B. Analisis Waris Beda Agama di Indonesia Perspektif Maslahah Al-Thufi
Pada bagian ini terlebih dahulu ditegaskan bahwa Indonesia sebagai
negara dengan penduduk muslim sebagai mayoritas menyebut dirinya sebagai
8 Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-
Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 141 9 Ulama ahli Ushul al-Fiqh, secara garis besar membagi jenis mukhasish kedalam dua bagian. Pertama,
mukhasish al-mustaqil dan kedua mukhasish ghair al-mustaqil. Sebagian ahli ushul al-fiqh
menggunakan istilah al-mukhasish al-mutashil dan al-mukhasish ghair al-mutasil. Sebagian yang lain
menggunakan istilah al-mukhasish al-muttasil dan al-mukhasish al-munqati‟. Mukhasish al-mustaqil
atau pentakhsish yang berdiri sendiri adalah sesuatu yang bukan bagian dari nash aam ketika sebuah
lafadz disebutkan. Sementara mukhasish ghair al-mustaqil adalah sesuatu (takhisih) yang disebutkan
bersamaan dengan lafadz aam tersebut. Masing-masing dari dua jenis takhsish tersebut memiliki
pembagiaannya. Pentakhsish al-mustaqil mencakup aql, urf, adat, maslahah, nash dan ijma;. Sementara
mukhasish ghair al-mustaqil mencakup istisna (pengecualian), syarat, ghayah dan sifat. Lihat, Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 255 s.d 263. Taaj al-Din al-Subki, Jam‟u al-Jawami; Terjemah
dan Penjelasan Jam‟u al-Jawami‟ (Kediri: Santri Salaf Press, 2014), Juz 2. H. 9 10
Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),
juz, 3, H., 692
8
negara kesatuan republik Indonesia yang menjunjung tinggi perdamaian,
keselamatan dan kesamaan. Indonesia berdasarkan kepada Pncasila bukan
Islam. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-11 Tahun 1935/19 Rabiul Awal
1355 H di Banjarmasin memutuskan dan menyebut Indonesia sebagai daar al-
Salam bukan daar al-Islam.11
Status ini membawa dampak yang besar kedalam berbagai macam
aspek termasuk aspek hukum. Indonesia tidak menggunakan syariah sebagai
undang-undang atau peraturan perundang-undangan secara formal, meskipun
dalam berbagai macam hal, syariah ( fikih) sedikit demi sedikit telah menjadi
undang-undang setelah dilakukan modivikasi atau kontekstualisasi. Indonesia
adalah sebuah negara dengan pancasila sebagai phyosophygrondslagh atau
falsafah dasar negara yang mengakomodir semua agama dan bukan negara
agama termasuk negara Islam. oleh karenanya, peraturan agama hanya dapat
dijalankan secara formal, setelah melalui proses taqinin atau perubahan
kepada udang-undang. Selain itu, karena Indonesia bukan negara islam, maka
konsep status warga negara yang terdapat dalam Negara Islam seperti Kafir
zimmi, mu‟ahad dan lainnya dengan sendirinya tidak lagi berlaku dalam
kehidupan bernegara. Semua warga negara indonesia memiliki status yang
sama dan hak yang sama pula.
Hukum waris di Indonesia diberlakukan sesuai dengan penduduknya
masing-masing. Untuk pemeluk islam, diberakukan hukum waris islam, untuk
pemeluk agama lain diberlakukan hukum waris Eropa (BW) dan untuk
masyarakat adat, diberlakukan hukum waris adat. Hukum waris islam di
Indonesia yang berlaku saat ini adalah hukum waris yang telah dilakukan
modivikasi dan relevansi, artinya bukan murni seperti yang tertuang di kitab-
11 Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Jakarta Selatan: SAS Founation, 2012), h. 257
9
kitab fikih meskipun terdapat juga hal-hal yang sama persis seperti dalam
kitab fikih.
Hal yang tidak mengalami perubahan itu diantaranya adalah waris
beda agama. Di Indonesia, perbedaan agama, dalam waris islam yang berlaku
di Indonesia setelah mengalami taqnin, merupakan salah satu penghalang dari
kewarisan seperti yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, meskipun Mahkamah
Agung telah memberlakukan wasiat wajibah untuk problematika demikian.
jurisprudensi dari Mahkamah Agung tersebut, disebut-sebut sebagai salah satu
putusan progresif dan berkemajuan padahal dalam pandangan penulis,
mengenai waris beda agama, para Ulama terdahulupun masih berbeda
pendapat. Artinya jurispridensi MA tersebut dapat penulis sebut sebagai
putusan atau terobosan yang biasa-biasa saja mengingat ulama terdahulupun
masih berbeda pendapat.
Lalu bagaimana pemberlakuan waris beda agama di Indonesia dilihat
dari maslahah Najm al-Din al-Thufi ? Sebelum menjawab permaslahan diatas,
kita perlu menegaskan dan menjawab apakah diksursus waris termasuk
kedalam urusan ubudiyah atau muamalah ?. Hal ini perlu dijawab secara tegas
karena untuk meganalisisnya dari perspektif maslahah Najm al-Din al-Thufi
harus merupakan urusan muamalah atau interaksi sosial.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar aktivitas
manusia meliputi perbuatan, ucapan dan perjanjian manusia dikelompokan
menjadi dua bagian. Pertama urusan Ibadah dan kedua urusan muamalah.
Ibadah adalah segala hal yang mencakup hubungan manusia dengan tuhannya,
sedangkan muamalah adalah hal-hal yang mencakup hubungan atau interaksi
manusia dengan dengan manusia lainnya. Aspek muamalah, menurut Wahbah
Al-Zuhaili mencakup hukum keluarga, perniagaan, jinayah, pengadilan,
administrasi negara, tata negara dan hukum ekonomi. Diskursus waris adalah
10
bagian dari hukum keluarga karena ia hanya dapat timbul karena ada
keterkaitan keluarga.12
Oleh karenanya, dapat ditarik kesimpulan, bahwa
diskursus waris adalah termasuk aspek mualamah dan karenanya telah
memenuhi syarat sebagai objek kajian maslahah Najm al-Din al-Thufi.
Sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara
nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila
dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena
hukum kewarisan murni mengandung unsur muamalah dan bahkan muamalah
itu sendiri. hubungan kekerabatan antara seseorang dengan seseorang yang
lain tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang
anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu
agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan
hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada
pertalian darah.
Selain itu, hal yang sangat penting dan perlu dipahami oleh semua
orang bahwa prinsip dan dasar dari sistem kewarisan islam adalah al-tanashur
al-Dhair dan al-tarahum, yaitu saling membantu dan mengasihi bukan
kesamaan agama atau kecondongan keimanan yang bersifat abstrak.13
Setiap
pemeluk agama yang resmi di Indonesia bahkan pemeluk kepercayaan seperti
kejawen, Sunda Wiwitan satu sama lain saling membantu dan hidup rukun
selama bertahun-tahun di Indonesia. Oleh karenanya, Ahli waris berhak
menerima sejumlah harta dari harta warisan kerabat yang meninggal atas
dasar saling membantu dan mengasihi. Ia dibantu dan dikasihi dengan
diberikan sejumlah harta dari harta peninggalan. Mengingat objek warisan itu
adalah harta atau materi yang bersifat duniawi maka masuk akal dan wajar
12 Wahbah Al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, (Daaskus: Daar al-Fikr, 1985) h. 19 13
Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),
juz, 3, H., 69
11
jika prinsip dasar waris tersebut adalah saling menolong dan mengasihi. Oleh
karenanya, perbedaan agama sudah sepatutnya dikesampingkan dan tidak
menjadi penghalang kewarisan mengingat prinsip saling membantu dan
mengasihi dengan memberikan materi bahkan lainnya dalam islam tidak
mengenal perbedaan agama dan harus didahulukan.
Hal lain yang perlu diketahui dalam diskursus kewarisan islam bahwa
illat hukum (landasan rasional) atau tujuan pemberlakuan waris dalam islam
adalah al-In‟am (memberikan kenikmatan) yaitu memberikan kesempatan
kepada orang lain yang berhak menerima warisan untuk mendapatkan dan
merasakan serta memiliki harta warisan berupa materi atau lainnya.14
Al-
in‟am atau memberikan hak kepada orang lain untuk merasakan dan
menikmati harta peninggalan kerabatnya melampaui unsur-unsur agama dan
lainnnya artinya ia berhak dan harus didahulukan untuk menikmati harta
peninggalan daripada perbedaan agama itu sendiri. Dengan memberikan hak
seseorang yang berbeda agama untuk menikmati haknya dari harta
peninggalan tidak akan membuat seseorang menjadi murtad atau rela terhadap
kemaksiatan (al-Ridha bi al-Ma‟shiyyat). Mabna atau dasar pemberlakuan
waris dalam islam adalah hukum-hukum zahir atau yang nampak15
sehingga
urusan agama adalah urusan masing-masing pemeluk agama dengan tuhannya
sehingga prinsip saling membantu, menolong dan memberikan hak harus
didahulukan daripada sekedar perbedaan agama.
Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dari asas pemberlakuan warisa
dalam hukum islam sekaligus menjadi tujuan inti dari waris dalam islam
adalah kesejahteraan atau ketercukupan dalam ekonomi. Pemberlakuan waris
dimaksudkan agar ahli waris yang ditinggalkan oleh pewaris tetap dalam
14 Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),
juz, 3, H., 692 15 Ibnu Qayyim al-Jauzi, h. 854
12
keadaan sejahtera dan berkecukupan harta. Hal ini ditegaskan dalam al-
Qur‟an surah al-Nisa ayat sembilan.16
ولي قول واق ولسديداوليخشال ذينلوت ركوامنخلفهمذري ةضعافاخافواعليهمف لي ت قواالل
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka
berbicara dengan tutur kata yang benar”
Menurut penutural al-Qurthubi,17
ayat berisi tentang nasihat kepada
para pewaris agar tidak dampai meninggalkan ahli waris dalam keadaan lapar,
melarat dan miskin harta. Seyongnyanya seorang pewaris meninggalkan harta
yang cukup untuk dijadikan warisan kepada ahli waris yang bersangkutan.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda kepada Sa‟d :
Sesungguhnya ahli warismu yang kamu tinggalkan dalam keadaan
kaya (cukup harta) jauh lebih baik daripada saat kamu tinggalkan
dalam keadaan melarat dan/atau miskin, meminta-minta kepada
orang.
Jadi prinsip dasar dari pemberlakuan waris dalam islam tidak lain
adalah agar ahli waris yang ditinggalkan tidak miskin, kekurangan sampai
meminta-minta kepada orang lain. Hal yang demikian tentunya harus jauh
lebih diprioritaskan dari[ada hal-hal lain termasuk perbedaan agama.
Konsep kemaslahatan sebagai konsep dan tujuan hukum islam yang
paling utama dan paling penting diantaranya dalam diskursus hukum islam
adalah menjaga hubungan baik, menghindari pertikaian, sengketa dan
pertengkaran harus didahulukan daripada menghalangi seseorang untuk
16 Q.S Al-Nisa [4]: (9) 17
Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami li Ahkam al-Qur‟an,
(Beirut, Libnan: Muassasah al-Risalah, 2006), Juz 6, h. 89
13
menerima harta warisan. Kemaslahatan berupa menghindari pertikaian dan
menjaga hubungan kekerabatan dengan cara memberikan hak waris kepada
keluarga beda agama harus lebih didahulukan daripada melarangnya yang
berpotensi besar dan sering terjadi menimbulkan pertikaian dan permusuhan
diantara anggota keluarga.
Dengan demikian, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada
pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham),
keturunan (nasab) dan menantu (musaharah) apapun agamanya. Yang
menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga,
menjaga hubungan keluarga. Logikanya, bila islam menghargai agama lain,
dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis
waris beda agama adalah boleh dan sesuai syariat islam. Lagipula, hal-hal
yang selama ini dianggap sebagai syariat terutama larangan waris beda agama
bukan sesuatu yang absolut dan baku. Ia adalah lebih merupakan hasil
interpretasi jumhur ulama yang tidak menutup kemungkinan salah dan
sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan konteks yang bberbeda. Dulu,
tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya kekhawatiran dan
ketakutan terhadap non muslim yang cenderung diasosiasikan sebagai musuh.
Oleh karenanya, yang terjadi sebenarnya adalah bukan perbedaan agama,
bukan perbedaan teologi tetapi perbedaan kepentingan politik antara
komunitas muslim dan non muslim.
Pertikaian, pertengkaran dan permusuhan antara anggota keluarga
yang salahsatunya terhalangnya mendapatkan warisan akibat perbedaan
agama di Indonesia menjadi dalahsatu kasus yang sering dijumpai. Seorang
kaka bermusuhan dengan adiknya akibat berbeda agama. oleh karena itu,
perbedaan agama sebagai penghalang waris merupakan sesuatu yang
sepatutnya dihapuskan karena madlarat atau dampak buruk yang ditimbulkan.
Kemaslahatan seperti menjaga hubungan keluarga yang harmonis, toleran
14
harus lebih didahulukan salahsatunya dengan menghindari hal-hal yang dapat
menimbulkan madharat yaitu menghapuskan larangan waris beda agama
terlebih dalam konteks Indonesia yang tidak mengenal status penduduk
berdasarkan agama.
C. Wasiat Wajibah Sebagai Solusi Waris Beda Agama di Indonesia
Pemberlakuan larangan waris beda agama sebagaimana tercantum dan
diadopsi oleh Inpres No 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam pasal
pasal 209 ayat 2 rupanya dipandang sebagai suatu masalah atau aturan yang
tidak mencerminkan keadilan. Hukum islam sebagai suatu hukum yang
disyariatkan untuk menciptakan keadilan dengan adanya rumusan hukum
seperti tersebut diatas dirasa menciderai tujuan hukum itu sendiri. Dalam
rangka mengayomi dan memberikan keadilan kepada semua orang tanpa
memandang status agama, maka Jurisprudensi Mahkamah Agung melakukan
sebuah terobosan dan pembaharuan hukum dalam bidang ini dengan tetap
berpatok dan berpegang teguh pada pendapat jumhur ulama yang berpendapat
terhalangnya waris beda agama sembari memberikan hak-haknya kepada ahli
waris untuk mendapatkan haknya dengan cara wasiat wajibah.
Wasiat wajibah adalah sebuah hilah (alternatif) atau perubahan sebuah
hukum dengan cara yang berbeda untuk memberlakukan atau melarang aturan
hukum. Dalam konteks waris beda agama, seorang yang berbeda agama tetap
mendapatkan haknya dari peninggalan muwarits dengan cara wasiat wajibah
dengan tanpa tetap mematuhi atau mengakui pendapat yang melarang. Hanya
saja hak yang ia dapatkan bukan harta warisan tetapi wasiat wajibah.
Pemberlakuan wasiat wajibah dalam diskursus waris beda agama tidak
dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Peraturan
perundang-undangan Indonesia diantaranya adalah KHI hanya
memberlakukan Wasiat wajibah untuk anak angkat sebagaimana disebut
15
dalam pasal 209 ayat 2. Pemberlakuan wasiat wajibah terhadp ahli waris beda
merupakan ijtihad hakim mahakamah agung (MA). MA pertama kali mulai
memberlakukan wasiat wajibah terhadap waris beda agama beradasarkan
putusan Mahkamah Agung (MA) No.368K/AG/1995 dan Putusan Mahkamah
Agung No.16K/AG/2010. Putusan MA tersebut menjadi Jurisprudensi para
hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara waris beda agama.
Pemberlakuan wasiat wajibah tersebut berangkat dari pemberlakuan
hukum islam yang tidak mengakomodasi hak-hak pemeluk agama lain untuk
menerima warisan. Sejak awal, hukum islam (fikih) yang kemudian diadopsi
oleh KHI menutup ruang atau tidak memberikan ventilasi pemikiran bagi non
muslim sehingga dapat dipastikan kesimpulan hukum yang diambil cenderung
kaku dan keras. Pada akhirnya, kesimpulan hukum tersebut menimbulkan
probelamtika hukum yang besar dalam konteks Indonesia oleh sebab hak-hak
pemeluk agama lain tidak terakomodasi. Keadilan dan kemaslahatan sebagai
nilai tertinggi dan tujuan utama hukum harus tunduk pada norma hukum.
Wasiat wajibah adalah solusi bagi probelmatika hukum tersebut.
Wasiat wajibah menjadi dasar bahwa seorang ahli waris non muslim atau ahli
waris muslim dari pewaris non muslim tetap berhak menerima hak-hak
warisan tersebut. Pemberlakuan Wasiat wajibah sebetulnya adalah legitimasi
dan pengakuan para hakim MA secara tidak langsung bahwa larangan waris
beda agama tidak sesuai dengan tujuan dan maslahah hukum islam, terlebih
dalam konteks Indonesia. Perbedaan keyakinan di Indonesia adalah hak asasi
setiap warga negara yang tidak boleh dipangkas dan menimbulkan kerugian,
termasuk hanya karena perbdaan agama.
Tujuan dan spirit utama dalam diskursus waris adalah menjaga
hubungan keluarga agar tetap harmonis. Oleh karenannya, pembagian hak-hak
ahli waris dibagi dengan sedemikian rumit agar benar-benar tidak terjadi
16
masalah. Hal ini ditegaskan oleh KHI bahwa pembagian harta warisan
diperbolehkan dengan cara sama rata. Mengindari Keretakan hubungan
keluarga, pertikaian dan permusuhan yang tidak jarang berdampak kepada
permaslahan yang lebih besar merupakan tujuan utama pemberlakuan waris.
Oleh sebab itu, pemberlakuan wasiat wajibah dimaksudkan untuk menjaga
hubungan baik itu dan menghindari buruk itu diantara para anggota keluarga.
Perbedaan agama sebagai suatu ancaman hubungan harmonis diantara
pemeluk agama dapat dicounter dengan cara pemberlakuan wasiat wajibah.
Sehingga dengan begitu, ahli waris apapun agamanya tetap berhak menerima
harta warisan dari pewaris dengan cara wasiat wajibah. Dan akhirnya
hubungan baik diantara keluarga tetap terjaga.
17
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep maslahah Najm al-Din Al-Thufi dengan tipologinya yang harus
didahulukan daripada teks-teks agama dengan cara takhsish manakala
terjadi paradoks atau pertentangan dengan teks-teks agama (baca: al-
qur‟an dan al-hadits) dan konsensus ulama (ijma‟) diamksudkan dalam
aspek-aspek muamalah atau „adah dan bukan pada aspek „ubudiyah atau
„ibadah. Aspek mualamah adalah aspek sosial dimana manfaat atau
tidaknya suatu tindakan ditentukan oleh akal budi mansuia dan kembali
kepada manusia. Sedangkan aspek ibadah adalah aspek irasional (Gahir
ma‟qul al-ma‟na) dimana maslahah atau tidaknya suatu perbuatan kembali
kepada Allah. Diskursus waris termasuk dalam kategori muamalah
meskipun terdapat bagian-bagian tertentu didalamnya yang sudah
ditentukan secara pasti seperti bagian besar dan/atau kecilnya ahli waris.
Akan tetapi pada prinsipnya diskursus waris adalah diskursus yang
berhubungan antar manusia dalam permasalahan harta.
2. Pendapat jumhur ulama yang melarang waris beda agama dengan landasan
hadits Nabi Muhammad Saw memiliki dalil argumentasi yang lemah atau
marjuh disebabkan pendekatan yang literlijk (tidak mengaitkan dengan
koteks) dan membiarkan lafadz aam tanpa takhsis. Kata Kafir didalam
hadits :
لايرث انسهى انكافر ولا انكافر انسهى
adalah lafadz tunggal (mufrad) dengan tambahan alif lam sebelumnya.
Kriteria lafadz tersebut dalam diskursus metodologi hukum islam atau
ushul al-fiqh masuk dalam kategori lafadz „aam (bermakna umum).
Konsekuensi dari lafadz aam adalah tidak boleh diguakan dalam
menentukan sebuah hukum sebelum dilakukan takhsish. Jumhur ulama
18
membiarkan kata tersebut sebagai lafaz āmm atau mujmal, tanpa adanya
usaha untuk takhsish. Membiarkan kata yang bermakna „aam atau mujmal
untuk dijadikan sebagai sebuah landasan dalam menentukan sebuah kasus
hukum tidak dapat dibenarkan sebelum dilakukan pengkhususan
(takhsish) atau penjelasan (bayan) terhadap lafadz tersebut. Dalam teori
hukum Barat dikenal sebuah asas “Lex Spesialis Derogat Lex Generalis”
bahwa aturan hukum yang spesifik mengenyampingkan aturan hukum
yang umum. Hadits tersebut dalam teori hukum islam pada umumnya
dapat ditaksish dengan hadits lain seperti hadits yang disebutkan oleh
Muadz ibn Jabal bahwa orang islam berhak menjadi ahli waris dari non
muslim dan tidak sebaliknya atau ditakhsish dengan maslahah
sebagaimana ditegaskan oleh al-Thufi. Dalam konteks Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa yang heterogen dimana semua warga negara
memiliki kedudukan yang sama rata didepan hukum (equality before the
law) yang tidak mengenal pembagian jenis warga negara berdasarkan
agama pendapat mayoritas ulama tersebut dipastikan tidak relevan.
3. Hadits tersebut dalam pemikiran dan teori hukum Najm al-Din al-Thufi
dapat ditakhsish dengan menggunakan maslahah. Takhsish kata Kafir
dengan pendekatan maslahah dalam diksursus waris beda agama di
Indonesia sebagai negara bangsa yang menjamin kebebasan beragama
dapat berarti menjaga hubungan dan relasi serta harmoni antar anggota
keluarga yang berbeda agama serta menjamin kesejahteraan ahli waris
yang ditinggalkan. Sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan,
baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini
lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai
penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan murni mengandung unsur
muamalah dan bahkan muamalah itu sendiri. hubungan kekerabatan
antara seseorang dengan seseorang yang lain tidak akan pernah terputus
19
sekalipun agama mereka itu berbeda. prinsip dan dasar dari sistem
kewarisan islam adalah al-tanashur al-dlahir dan al-tarahum, yaitu saling
membantu dan mengasihi bukan kesamaan agama atau kecondongan
keimanan yang bersifat abstrak. Illat hukum (landasan rasional) atau
tujuan pemberlakuan waris dalam islam adalah al-In‟am (memberikan
kenikmatan) yaitu memberikan kesempatan kepada orang lain yang
berhak menerima warisan untuk mendapatkan dan merasakan serta
memiliki harta warisan berupa materi atau lainnya atau dengan kata lain
ahli waris yang ditinggalkan mendapatan jaminan kesejahteraan dunia
sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam al-Qur‟an:
خافواعليهمف لي ت قواالل ولي قولواق ولسديداوليخشال ذينلوت ركوامنخلفهمذري ةضعافا
Ayat tersebut menegaskan begitu penting dan harusnya pewaris tidak
meninggalkan ahli waris dalam keadaan lemah secara ekonomi. oleh
karena itu instrumen untuk menuju itu dilakukan melalui proses
pemindahan harta yang bersifat absolut yang disebut dengan waris.
Kemaslahatan sebagaimana dimaksud tersebut memang dapat dicapai
dengan cara pemberlakuan wasiat wajibah itu sendiri, akan tetapi
pemberlakuan wasiat wajibah itu hanya dapat dilakukan setelah
memastikan tidak ada jalan keluar dan dalil larangan waris itu bermakna
pasti. Oleh karenanya pemberlakuan wasiat wajibah dengan tidak
memperhatikan dua hal diatas menjadi problematik.
B. Saran
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis memberikan saran
terhadap beberapa pihak, antara lain sebagai berikut:
1. Terhadap lembaga pengadilan, dalam hal ini penulis memberikan saran
bahwa hakim pengadilan agama sebagai mujthaid yang menangani
20
perkara waris hendaklah berfikir secara komprehensif, obyektif dan
melakukan kajian dan pendalaman sesuai dengan konteks terhadap aturan-
aturan umum yang selama ini dianggap sesuatu yang pasti dan mutlak
dengan merujuk kepada sumber-sumber primer hukum islam dengan
metodologi hukum yang semstinya dengan berpatokan kepada nilai-nilai
atau prinsip-prinsip dasar tujuan hukum islam.
2. Terhadap akademisi, bahwa pendalaman untuk mencari formula hukum
yang berkeadilan sangatlah penting. Oleh karenanya saran dari penulis
adalah pengkajian terhadap aturan-aturan hukum islam dalam hal ini fikih
sebagai produk manusia yang kontekstual dan peraturan perundang-
undangan yang tidak memberikan rasa keadilan atau tidak kontekstual
harus terus di lakukan. Sehingga dapat menjadi kritik dan saran dalam
memajukan hukum yang sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai islam dan
berkeadilan di negara Indonesia
3. Bagi masyarakat, bahwa pemahaman terhadap hukum termasuk hukum
islam haruslah terus ditingkatkan. Pemahaman hukum islam tidak bisa
dilepaskan dari konteks dan kondisi yang menyitarinya. Aturan-aturan
yang dianggap baku tempo dulu, tidak menutup kemungkinan menjadi
pendapat yang berubah dan minoritas pada saat ini oleh karenakeharusan
pembaharuan hukum yang mengharuskannya sehingga trciptalah sebuah
hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
diskriminasi apapun.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ahmad bin Hanbal Hayatuh wa „Ashruh Arauh wa Fiqhuh,
(T.tp.: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.)
Ahmad Al-Daghastani, Maryam. Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala
Mazahib al-Arba‟ah Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo:
Jaami‟ah al-Azhar, 2001 )
Aini Noryamin “Fakta Empiris Nikah Beda Agama “ wawancara diakses pada
tanggal 06 mei 2020 pukul 11.30 dari
http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07lfakta-empiris-nikah-beda-agama/.
Aini, Noryamin. Tradisi Mahar Di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur
Sosial Di Masyarakat Muslim, AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah Volume 14,
Nomor 1, Januari 2014
Al- Jauziyyah, Ibn Qayyim . I‟lam Al-Muwaqi‟in „an Rob Al-„Alamin (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1993)
Al-Jauzy, Ibn Qayyim . Ahkaam Ahl Al-Dzimmah, (Mesir: Ramadi li-Al-Nasyr: 1997)
Al-Qaradhawi, Yusuf . Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab
Al-Islami, 2003)
Al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Mafatih al-Ghaib, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1981),
Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid 2 (Beirut: Daar al-Fikr,
Tanpa Tahun)
Al-Syaukani, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haq min „Ilm al-Ushul, (Riyadh: Daar
al-Fadilah, 1421 H), Vol. 2.
Al-Thufi, Najmd al-Din . Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman,
(Makkah: al-Maktabah al-Makiyyah, tt)
Al-Zuhaili, Wahbah . Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr,2017),
Aqil Siradj, Said. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai
Inspirasi Bukan Aspirasi, (Jakarta Selatan: SAS Founation, 2012)
22
Asy Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1. 1997
M/1417 H) Vol. 2.
Bathras Bustânî, Muhîth al-Muhîth Qamûs muthawwal al-Lughat al-Arabiyah, (t.t:
t.tp,t.th)
Bin Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Fikr)
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur‟an, 1983/1984)
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),h., 33exy J Moelong, Metode Penelitian
Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007)
Hadi, Abdul dan Shofyan Hasan, “Pengaruh Hukum Islam Dalam Pengembangan
Hukum Di Indonesia,” Nurani: Jurnal Kajian Syari‟ah Dan Masyarakat 15,
No. 2 (2015): 89-100, https://doi.org/
https://doi.org/10.19109/nurani.v15i2.284.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos, 1997)
Hasbi al-Shiddieqy, Muhammad . Fikih Mawaris, (Yogyakarta: t.p, t.th)
Ibn „Abd as- Salam, Izzuddin. Qawa‟id Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam (Beirut:
Muasasah ar-Rayyan, 1998)
„Isâ Muhammad bin „Isâ Ibn Saurah al-Tirmidzi, Abi. al-Jâmi‟ al-Shahîh Sunan al-
Tirmidzi, cet. II, (Mesir: Mushthafâ Bab al-Halabî, 1388 H)
Inpres, No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Jamal al-Din Muhammad ibn Makram Ibn Manzur Al-Ifriqi, Abi Al-Fadl. Al-Mishri,
Lisan al-„Arab (Beirut: Daar al-Fikr, 1990 M, Juz 3, h., 199)
Khallaf, Abd. Wahab. Mashadir at-Tasyri‟ Al-Islami Fi Ma La Nash Fihi (Kuwait:
Dar al-Qalam, 1972)
Khan, Qamaruddin. Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Alih Bahasa oleh Anas
Mahyudin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983)
23
Luthfi Fathani, Isamil. Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-
Mu‟amalat (Mesir: Daar al-Salam tt),
M. Abou El-Fadl, Khaled . Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
(Jakarta: Serambi, 2004)
M. al-Husein al- Amiri, Abdullah. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran
Hukum Najmuddin at-Thufi, terj. Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004),
Manan, Abdul. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, ( Depok: Kencana, 2017 )
Manshur bin Yusuf al-Bahuti, Syekh. Raudh al-Murabba‟ Syarah Zad al-Mustaqni‟
wa Ikhtishar al-Muqni‟, (Makkah Mukarramah: Maktab al-Tijarah, t.th)
Martosedono, Amir . Hukum Waris, (Jakarta Barat: Effhar & Dahara Prize, Tanpa
Tahun)
Mawardi, Imam Ahmad . Fiqih Minoritas: Fiqh Al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqasid
Al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010)
Muhammad al-Ghazali, Abu Hamid, . Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, Tahqiq wa
Ta‟liq Muhammad Sulaiman Al-Asyqar (Beirut: Mu‟assasat al-Risalah, 1417
H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurhtubi, Abi Abdillah. Al-Jami‟ li Ahkam
al-Qur‟an wa al-Mubayyin Lima Tadlamnahu min al-Sunnah wa ayi al-
Furqan, (Libnan: Muassasah al-Risalah, TT)
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Imam Abi Abdillah. Shahih Al-Bukhari
(Damaskus-Beirut: Daar Ibn Katsir, 2002)
Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Al-Hafiz Abi Abdillah . Sunan Ibnu Majah (Daar
Ihya‟ Al-Kutub Al-Arabiyyah)
Muhyiddin Abdul Hamid, Muhammad . Ahkam al-Mawarits Fi-Sayariah Al-
Islamiyyah, „Ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Maktabah Ja‟far: 1943 M)
Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat,
Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014
24
Nasrullah, Adon, Agama dan Konflik Sosial, cetakan pertama ( Bandung: Pustaka
Setia, 2015)
Nasution, Harun . Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Salemba: UI Press, 1985)
Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum
Indonesia, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Semarang.
2006
Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar, (Mesir: Munsyi Majallah al-Manar, TT),
Roy Purwanto, Muhammad. Dekonstruksi Teori Hukum Islam: Kritik Terhadap
Konsep Maslahah Najmuddin al-Thufi, (Yogyakarta: KAUKABA
DIPANTARA:2014)
Rusyd, Ibnu. Kitab Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati min al-
itishal (Cairo: Daar al-Ma‟aarif, Tanpa Tahun)
Sarifudin, Hukum Islam Progresif: Tawaran Teori Maslahat At-Thufi sebagai
Epistemologi untuk Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jurnal
Wawasan Yuridika, Vol. 3 | No. 2 | September 2019 |
Schacht, Yoseph. An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendom
Press, 1971)
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Waris Adat (Jakarta: Berita Penerbit, Cet.2,
1997)
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, Alih Bahasa oleh H.M. Mulyadi
Djojowartono, dkk., (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966)
Sulaiman ibn Asy‟asy, Al-Sijistani, Abu Dawud, . Sunan Abi Dawud (Daar al-Kutub
Al-Ilmiyah: Beirut: 2010)
Suparman, Maman . Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015)
Syaltut, Mahmud. Al-Islam Aqidah wa Al-Syari‟ah,(Cairo: Daar al-Syuruuq)
Yusuf Ghazal, Al-Qadi Al-mustasyar Al-syaikh Husain . Al-mirats „ala Mazahib Al-
arba‟ah, Dirasatah Watatbiiqan, (Mesir: Daar al-Fik, 2008)
25
Zaid, Mushtafa. al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufi,
(Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964)
top related