laporan akhir ekpd 2009 sulawesi selatan - unhas
Post on 28-May-2015
348 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Tujuan
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari
pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang
disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Kunci
keberhasilan pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan nasional
secara efisien dan efektif, termasuk penyebaran hasilnya secara merata di seluruh
Indonesia adalah koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah,
antarsektor, antara sektor dan daerah, antarprovinsi, antarkabupaten/kota, serta antara
provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk
mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil
pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata.
Pembangunan daerah, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, selain
berkepentingan terhadap penyelenggaraan pembangunan sektoral nasional didaerah,
juga berkepentingan terhadap pembangunan dalam dimensi kewilayahan. Dua
kepentingan tersebut menjadikan aktivitas pembangunan daerah berkenaan sekaligus
dengan tujuan pencapaian sasaran-sasaran sektoral nasional di daerah dan tujuan
pengintegrasian pembangunan antarsektor di dalam satu wilayah. Dalam perspektif ini,
dalam upaya merealisasikan tujuan-tujuan pembangunan di atas, fungsi dan peran
Pemerintah Daerah adalah sangat penting, terutama dalam era desentralisasi dan
otonomi daerah dewasa ini.
Pada era desentralisasi saat ini, Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah
daerah untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing, sesuai
kewenangan yang dimiliki.
Meskipun desentralisasi dan otonomi daerah telah berjalan sekitar sembilan
tahun dan banyak kemajuan pembangunan telah dihasilkan, namun perlu tetap disadari
bahwa perjalanan kearah pelaksanaan pembangunan yang optimal masih jauh dan masih
membutuhkan serangkaian usaha perbaikan-perbaikan. Untuk itu pada evaluasi kinerja
pembangunan daerah 2009 dilaksanakan untuk menilai relevansi dan efektivitas kinerja
pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004 - 2008. Evaluasi ini juga dilakukan
untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan/sasaran yang
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 2
diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan daerah
tersebut, seperti halnya pembangunan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tujuan evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk
menilai relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu
2004-2008. Untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan/sasaran
yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan
daerah tersebut.
1.2. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan evaluasi kinerja pembangunan
daerah (EKPD) 2009 adalah laporan yang berisi :
1. Data dan informasi hasil evaluasi kinerja pembangunan di daerah Sulawesi
Selatan.
2. Analisa evaluasi kinerja pembangunan sesuai indikator hasil (outcomes) yang
mencerminkan tujuan / sasaran pembangunan daerah meliputi:
a. Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi.
b. Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia.
c. Tingkat Pembangunan Ekonomi.
d. Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam.
e. Tingkat Kesejahteraan sosial.
1.3. Metodologi
Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil
adalah sebagai berikut:
1. Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator pendukung terpilih yang
memberikan kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes).
2. Pencapaian indikator hasil (outcomes) dihitung dari nilai rata-rata indikator
pendukung dengan nilai satuan yang digunakan adalah persentase.
3. Indikator pendukung yang satuannya bukan berupa persentase maka tidak
dimasukkan dalam rata-rata, melainkan ditampilkan tersendiri.
4. Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna
negatif, maka sebelum dirata-ratakan nilainya harus diubah atau dikonversikan
terlebih dahulu menjadi (100%) – (persentase pendukung indikator negatif).
Sebagai contoh adalah nilai indikator pendukung persentase kemiskinan semakin
tinggi, maka kesejahteraan sosialnya semakin rendah.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 3
5. Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari penyusun indikator hasil dibagi
jumlah dari penyusun indikator hasil (indicator pendukungnya). Contoh untuk
indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial disusun oleh:
• persentase penduduk miskin
• tingkat pengangguran terbuka
• persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
• presentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia
• presentase pelayanan dan rehabilitasi sosial
Semua penyusun komponen indikator hasil ini bermakna negatif (Lihat No.4).
Sehingga:
Indikator kesejahteraan sosial = {(100% - persentase penduduk miskin) + (100%
- tingkat pengangguran terbuka) + (100% - persentase pelayanan kesejahteraan
sosial bagi anak) + (100%- persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut
usia) + (100% - persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial} /5
Untuk menilai kinerja pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan adalah
Relevansi dan Efektivitas. Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauh mana
tujuan/sasaran pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan
utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren
capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan
nasional. Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian
antara hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas
pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah membaik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan dapat melalui:
1. Pengamatan langsung Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan
di daerah, diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, politik,
lingkungan hidup dan permasalahan lainnya yang terjadi di wilayah provinsi terkait.
2. Pengumpulan Data Primer Data diperoleh melalui FGD dengan pemangku kepentingan pembangunan daerah.
Tim Evaluasi Provinsi menjadi fasilitator rapat/diskusi dalam menggali masukan dan
tanggapan peserta diskusi.
3. Pengumpulan Data Sekunder Data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah seperti BPS daerah,
Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 4
Mekanisme pelaporan akhir EKPD yang akan ditulis untuk mencapai maksud dan tujuan
kegiatan ini adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Mekanisme Pelaporan
Sistematika laporan digambarkan sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Tujuan
1.2. Keluaran
1.3. Metodologi
1.4. Sistematika Penulisan
BAB II. HASIL EVALUASI
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian Indikator
2.1.1.1. Grafik capaian indikator outcomes provinsi
outcomes nasional dan analisa
2.1.1.2. Analisis Relevansi
2.1.1.3. Analisis efektifitas
Tim Evaluasi Provinsi
Tim Sekretariat Nasional
Laporan Awal t
2009
Tim Evaluasi Provinsi
Tim Sekretariat N asional
Draft Laporan Akhir
Awal Sept 2009
Hasil Review Disampaikan pada Seminar Akhir (2 Des 09) untuk mendapatkan masukan/penyempurnaan
Akhir Okt 2009
Tim Evaluasi Provinsi
Tim Sekretariat Nasional
Laporan Akhir dan Ringkasan Eksekutif
Mid Des
2009
Review Laporan Akhir
Tim Evaluasi Provinsi
2009
Review Laporan Awal Tim Evaluasi Provinsi
Awal Agustus
Awal Sept
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 5
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 2.2.1. Capaian Indikator
2.2.1.1. Grafik capaian indikator outcomes provinsi
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes
nasional dan analisa
2.2.1.2. Analisis Relevansi
2.2.1.3. Analisis efektifitas
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI 2.3.1. Capaian Indikator
2.3.1.1. Grafik capaian indikator outcomes provinsi
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes
nasional
2.3.1.2. Analisis Relevansi
2.3.1.3. Analisis efektifitas
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 2.3.3. Rekomendasi Kebijakan
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 2.4.1. Capaian Indikator
2.4.1.1. Grafik capaian indikator outcomes provinsi
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes
nasional
2.4.1.2. Analisis Relevansi
2.4.1.3. Analisis efektifitas
2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 2.4.3. Rekomendasi Kebijakan
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT 2.5.1. Capaian Indikator
2.5.1.1. Grafik capaian indikator outcomes provinsi
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes
nasional dan analisa
2.5.1.2. Analisis Relevansi
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 6
2.5.1.3. Analisis efektifitas
2.5.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 2.5.3. Rekomendasi Kebijakan
BAB III. KESIMPULAN
1.4. Anggota Tim Evaluasi Provinsi
Anggota Tim dari Provisi Sulawesi Selatan, yakni :
1. Dr. Rusnadi Padjung, MSc, sebagai koordinator Tim Provinsi
2. Dr. Dwia Aries Tina P, MA., sebagai Tenaga Ahli
3. Dr. Suratman, MS., sebagai Tenaga Ahli
4. Dr. Darmawan Salman, MS., sebagai Tenaga Ahli
5. Dr. Junaedi Muhidong, MSc., sebagai Tenaga Ahli
6. Dr. Hasrat Arief Saleh, M.S., sebagai Tenaga Ahli
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 7
BAB II HASIL EVALUASI
2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.1. Capaian Indikator
Secara umum tingkat pelayanan publik di Sulawesi Selatan capaiannya lebih
rendah dari pada capaian nasional, sementara tingkat demokrasi capaiannya diatas rata-
tata nasional. Hal ini terlihat dari beberapa indikator baik pada pelayanan publik, maupun
pada tingkat demokrasi yang dapat dibandingkan. Beberapa indikator lainnya karena
ketidaktersediaan data, analisisnya dilakukan tanpa perbandingan dengan data nasional.
Adapun indikator yang dapat dibandingkan adalah capaian persentase perda pelayanan
satu atap dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan presiden. Kendati demikian
analisis terhadap data yang tersedia tetap dilakukan dengan data-data pendukung
lainnya yang punya keterkaitan dengan data-data tersebut (selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel-1),
Tabel-1
Perbandingan Capaian Tingkat Pelayanan Publik dan Tingkat Demokrasi Sulawesi Selatan dengan Nasional 2004 – 2009
Indikator Hasil Nasional/Sulsel Capaian Tahun
Pelayanan Publik 2004 2005 2006 2007 2008 2009Persentase jumlah kasus korupsi yang tertangani dengan yang dilaporkan
Nasional 97,00 97,00 94,00 94,00 94,00 - Sulsel - - 67,65 87,18 74,60 75,00
Persentase aparat yang berijazah minimal S1
Nasional 29,90 31,00 31,93 30,60 30,99 - Sulsel 37,16
Persentase jumlah Kab/Kota yg memiliki Perda pelayanan satu atap
Nasional 2,05 2,05 21,59 61,29 74,31 - Sulsel 8,70 13,04 17,39 21,74 52,17 52,17
Demokrasi Gender Development Index (GDI)
Nasional 63,94 65,13 65,30 65,8 65,8 - Sulsel 56,90 57,40 59,80
Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Nasional 59,67 61,32 61,80 62,10 62,10 - Sulsel 49,20 50,00 51,80
Tingkat Partisipasi Politik Masy. dalam pemilihan Kepala Daerah Provinsi
Nasional Sulsel 69,60
Tingkat Partisipasi Politik Masy. dalam pemilihan Legislatif
Nasional 75,19 71,00 Sulsel 73,20
Tingkat Partisipasi Politik Masy. dalam pemilihan Presiden
Nasional 75,98 73,00 Sulsel 82,70 73,40
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 8
Pada Tabel-1 terlihat bahwa tiga indikator pelayanan publik yakni: 1) persentase
jumlah kasus korupsi yang tertangani dengan yang dilaporkan; 2) persentase aparat yang
minimal berijazah S1; dan 3) persentase jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Perda
pelayanan satu atap; menunjukkan bahwa untuk indikator persentase jumlah kasus
korupsi yang tertangani dengan yang dilaporkan di Provinsi Sulawesi Selatan masih lebih
rendah daripada capaian penanganan kasus korupsi di Indonesia. Namun demikian
capaian persentase tersebut menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Sulawesi
Selatan relatif sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Ditinjau dari capaian persentase jumlah kabupaten/kota yang memiliki Perda
Pelayanan Satu Atap, Sulawesi Selatan hanya lebih tinggi pada capaian tahun 2004 dan
2005, sedangkan capaian tahun 2006 hingga 2008 dibawah capaian nasional. Dalam
kaitannya dengan capaian persentase aparat yang berijazah minimal S1, berdasarkan
data yang tersedia yang dapat dibandingkan hanyalah data tahun 2008, dimana capaian
persentase Sulawesi Selatan 6,17% diatas capaian nasional.
Grafik-1. Perbandingan Capaian Indikator Perda Pelayanan Satu Atap Sulawesi Selatan dengan
Nasional dilihat dari Pelayanan Publik
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 9
Selanjutnya untuk tingkat demokrasi yang terdiri atas 5 indikator yakni gender
development index (GDI); gender empowerment index (GEM), tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam pemilihan kepala daerah provinsi, legislatif dan presiden. Data pada
tabel-1 juga menunjukkan bahwa capaian angka GDI dan GEM Sulawesi Selatan yang
bisa dibandingkan yakni dari tahun 2004-2007 masih berada dibawah capaian nasional,
sedangkan tingkat partisipasi politik masyarakat khususnya pemilihan legislatif dan
Pilpres capaiannya lebih tinggi daripada capaian nasional.
Grafik- 2. Perbandingan Capaian Indikator Perda Pelayanan Satu Atap Sulawesi Selatan dengan
Nasional dilihat dari Pelayanan Publik
Pembahasan yang lebih detail tentang tingkat pelayanan publik dan tingkat
demokrasi dengan data-data pembanding lainnya dapat disimak dari pembahasan
tentang capaian indikator berikut ini
2.1.2. Analisis Indikator Spesifik dan Menonjol
Salah satu indikator menonjol dalam peningkatan pelayanan publik dan demokrasi
adalah penanganan korupsi. Sebagaimana diketahui pada level Provinsi terdapat tiga
institusi/lembaga yang terlibat dalam penegakan hukum yakni: kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Dalam penanganan korupsi, yang dimaksud dengan kasus korupsi yang
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 10
“tertangani” adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan
dan sedang diproses + kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh kejaksaan dari
kepolisian, sedangkan yang dimaksud kasus korupsi yang “dilaporkan” adalah seluruh
kasus korupsi yang laporannya diterima secara langsung oleh kejaksaan dari masyarakat
atau sumber lain + kasus korupsi yang pelimpahannya diterima oleh kejaksaan dari
kepolisian.
Berdasarkan definisi tersebut, persentase jumlah kasus korupsi yang tertangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan dapat dilihat pada tabel-2.
Tabel-2:
Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani (Tahap Penuntutan) Dibandingkan Dengan yang Dilaporkan Tahun 2004-2009
Wilayah 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kab/Kota se-SulSel
- Dilaporkan - Tertangani
%
Data tdk tersedia
Data tdk tersedia
26 16
61,54
37 33
89,19
42 34
80,95
41 35
85,37
Kejati SulSel
- Dilaporkan - Tertangani
%
Data tdk tersedia
Data tdk tersedia
8 7
87,50
2 1
50,00
21 13
61,90
31 19
61,29
Total - Dilaporkan - Tertangani
%
Data tdk tersedia
Data tdk tersedia
34 23
67,65
39 34
87,18
63 47
74,60
72 54
75,00 Sumber : Hasil Olahan Data dari Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, 2009
Berdasarkan Tabel-2. terlihat besarnya pertambahan jumlah kasus korupsi yang
dilaporkan dan yang tertangani dari tahun 2006 hingga September 2009. Semakin
besarnya persentase tersebut pada satu sisi bisa dijadikan tolok ukur betapa kerasnya
kerja para jaksa di Sulawesi Selatan dalam memberantas korupsi, namun pada sisi lain
grafik kenaikannya juga dapat diartikan bahwa kerja keras para jaksa ternyata masih
kurang memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Sebagai bahan perbandingan, pada tabel-3. ditampilkan jumlah kasus korupsi
yang diterima laporannya oleh Kepolisian dengan kasus korupsi yang telah diselesaikan.
Konsep “diselesaikan” dari data kepolisian adalah kasus korupsi yang telah dilimpahkan
oleh kepolisian ke kejaksaan yang selanjutnya akan memasuki tahap penuntutan di
pengadilan.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 11
Tabel-3
Perbandingan Jumlah Kasus Korupsi yang Diterima laporannya oleh Kepolisian Dengan Jumlah Kasus Korupsi yang Telah Diselesaikan Tahun 2004-2009
Kasus 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Dilaporkan 22 16 20 29 28 17
Diselesaikan 19 9 16 19 26 11
% 86,36 56,25 80,00 65,52 92,86 64,71
Sumber : Hasil Olahan Data Kepolisian Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara. 2009.
Selanjutnya penanganan kasus korupsi yang memasuki tahapan banding di
pengadilan tinggi (lihat tabel-4) menunjukkan relatif cukup besarnya jumlah kasus korupsi
yang diterima oleh pengadilan tinggi dari pengadilan negeri pada tahun 2006 dan 2007,
sedangkan ditinjau dari jenis putusan pada tahapan banding, ternyata persentase kasus
korupsi yang diputus bebas oleh pengadilan tinggi reratanya dari tahun 2004 hingga
tahun 2005 adalah 21,69%.
Meskipun besaran persentase ini tidak dapat dijadikan bukti melemahnya
komitmen terhadap pemberantasan korupsi di Sulawesi Selatan, namun efek jera yang
diharapkan belum efektif. Bahkan berdasarkan data yang diperoleh dari kejaksaan tinggi
Sulawesi Selatan (lihat kembali tabel 2) angka absolut dan persentase pertambahannya
dari tahun 2006-2009 menunjukkan kecenderungan yang cukup besar.
Tabel-4
Jumlah Kasus Korupsi yang Diterima oleh Pengadilan Tinggi dari Pengadilan Negeri Menurut Jenis Putusan (Terbukti atau Bebas)Tahun 2004-2009
Kasus 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pengadilan Negeri 6 19 26 23 16 14
Jenis Putusan
Terbukti
Persentase ( % )
6
100,00
11
57,89
20
76,92
14
60,87
13
81,25
11
78,57
Bebas
%
0
0,00
6
31,58
5
19,23
9
39,13
3
18,75
3
21,43
Masih dalam proses/ Tunggakan Persentase (%)
0 0,00
2 10,53
1 3,85
0 0,00
0 0,00
0 0,00
Sumber : Hasil Olahan Data Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan. 2009.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 12
Indikator lain yang menonjol adalah penyelenggaraan layanan satu atap.
Pada sisi lain oleh karena indikator yang digunakan adalah “peraturan daerah”
maka meskipun terdapat beberapa kabupaten yang telah melaksanakan
pelayanan satu atap namun dengan payung hukum SK Bupati, maka dalam
evaluasi ini tidak dimasukkan sebagai kabupaten/kota yang telah memiliki
peraturan daerah pelayanan satu atap. Upaya pemerintah daerah dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan
satu atap, kemudian dikembangkan menjadi pelayanan satu pintu. Sepintas kedua
konsep ini sama, namun apabila dicermati ternyata dalam implementasi berbeda.
Dalam implementasi konsep pelayanan satu atap, kecenderungan yang terlihat
adalah sejumlah unit kerja ditempatkan dalam satu atap/di lokasi tertentu, tetapi
dalam memberikan pelayanan setiap unit kerja tersebut bekerja sendiri-sendiri
atau menerbitkan izin sendiri, sedangkan dalam konsep pelayanan satu pintu,
keterpaduan pemberian pelayanan lebih ditonjolkan. Jadi berbagai jenis perizinan
yang diurus oleh masyarakat pintu masuk dan keluarnya sama dan dikerjakan
oleh aparat yang ditempatkan pada kantor pelayanan (perizinan) terpadu tersebut.
Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang telah memiliki peraturan daerah
pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada tahun 2008. Hasil penelusuran
tim evaluasi menunjukkan bahwa hal ini juga banyak dipengaruhi oleh terbitnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, dimana sejumlah daerah memberikan respons yang positif dan
melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP tersebut.
Tabel-6
Persentase Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Peraturan Daerah tentang Pelayanan Satu AtapTahun 2004-2009 (Jumlah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan sebanyak 23)
Pelayanan Satu Atap/Pintu 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah 2 3 4 5 12 12
% 8,70 13,04 17,39 21,74 52,17 52,17
Sumber : Hasil Olahan Data Pemprov Sulsel dan Kab/Kota Se-Sulsel. 2009.
(Kabupaten Toraja Utara yang baru terbentuk belum dimasukkan dalam
perhitungan)
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 13
Untuk pencapaian tingkat demokrasi, tolok ukur yang digunakan mencakup
lima indikator hasil yakni: (1) Gender Development Index (GDI); (2) Gender
Empowerment Meassurement (GEM); (3) Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat
Dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi; (4) Tingkat Partisipasi Politik
Masyarakat Dalam Pemilihan Legislatif; dan (5) Tingkat Partisipasi Politik
Masyarakat Dalam Pemilihan Presiden. Evaluasi berdasarkan kelima indikator
tersebut perkembangan/trendnya juga dilihat sejak tahun 2004 sebagai tahun
dasar hingga tahun 2009.
Dalam hal pengarusutamaan gender, tabel-7 menujukkan bahwa angka
Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Meassurement
(GEM) di Sulawesi Selatan masih di bawah GDI dan GEM nasional. Artinya,
pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi pembangunan yang
dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender di Sulawesi Selatan
belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Tabel-7
Perbandingan Angka Gender Development Index dan Angka Gender Empowerment Meassurement dengan Human Development Index
Tahun 2004-2009
Indikator Capaian Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Index (GDI)
- Nasional - Sulsel
63,94 56,90
65,13 57,40
65,30 59,80
65,80
Gender Empowerment Meassurement GEM)
- Nasional - Sulsel
59,67 49,20
61,32 50,00
61,80 51,80
62,10
Menyangkut tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala
daerah provinsi, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, terlihat bahwa tingkat
partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan presiden lebih tinggi dibanding dua
jenis pemilihan yang lain. Selanjutnya apabila capaian Sulawesi Selatan
dibandingkan dengan capaian Nasional, ternyata tingkat partisipasi politik
masyarakat Sulawesi Selatan lebih tinggi dari pada capaian nasional.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 14
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
1. Penanganan korupsi, sebagai bagian dari perbaikan demokrasi dan kebijakan
publik, selain diupayakan melalui tindakan pemberantasan yang bisa memberi
efek jera agar perilaku korupsi dapat ditekan, idealnya juga ditekankan pada
upaya pencegahan melalui perbaikan sistem administrasi birokrasi dan perbaikan
sistem penggajian pegawai/aparat.
2. Peningkatan partisipasi politik masyarakat dalam pemeilihan kepala daerah,
pemilu legislatif dan pemilihan presiden, selain didorong dalam makna
peningkatan jumlah orang yang terlibat dalam pemilihan, idealnya juga didorong
kearah minimalisasi potensi konflik antar pendukung dan perbaikan efisiensi
penyelenggaraan kampanye.
2.2 TINGKAT KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
2.2.1. Capaian Indikator Kualitas Sumberdaya Manusia
a. Capaian Indikator IPM
Dilihat dari indikator IPM, capaian kualitas SDM Sulawesi Selatan selama
2004-2008 berada dibawah rata-rata nasional. Rata-rata IPM nasional telah
mencapai angka di atas 70 sejak tahun 2006 dan bertahan hingga 2008,
sementara rata-rata IPM Sulawesi Selatan mencapai angka di atas 70 nanti pada
tahun 2008.
Dilihat dari aspek relevansinya, terlihat bahwa pada tahun 2007-2008 tren
pencapaian IPM Sulawesi Selatan sejalan dengan tren pencapaian IPM nasional,
yakni sama-sama meningkat. Ini menunjukkan bahwa pada 2007-2008 upaya
pembangunan bidang pembangunan manusia di IPM Sulawesi Selatan relevan
dengan arah kebijakan dan pencapaian IPM nasional. Pada periode sebelumnya,
yakni 2004-2006, terdapat perbedaan tren dimana tren pencapaian IPM nasional
meningkat sedangkan tren pencapaian IPM Sulawesi Selatan menurun. Ini
mengindikasikan rendahnya relevansi dari pembangunan kualitas SDM Sulawesi
Selatan pada 2004-2006.
Dilihat dari aspek efektivitasnya, terlihat bahwa rata-rata pencapaian IPM
Sulawesi Selatan meningkat terus dari tahun ke tahun sejak 2004 hingga 2009. Ini
menunjukkan bahwa upaya pembangunan yang dijalankan selama ini cukup
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 15
efektif, meskipun dengan efektivitas itu angka IPM yang dicapai belum mampu
menyamai rata-rata angka IPM nasional.
Grafik - 2.2.1:
Perbandingan capaian indikator indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Selatan dan Nasional dilihat dari indikator IPM
b. Capaian Indikator Kualitas SDM ( satuan % )
Indikator kualitas SDM yang satuannya % dalam EKPD ini adalah bidang
pendidikan mencakup indikator angka partisipasi murni, angka putus sekolah, angka
melek huruf, persentase guru yang layak mengajar; dalam bidang pendidikan mencakup
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang; serta dalam bidang keluarga berencana mencakup
indikator penduduk berKB dan laju pertumbuhan penduduk.
Rata-rata capaian indikator kualitas SDM Sulawesi Selatan yang satuannya %
menunjukkan angka dibawah rata-rata nasional pada tahun 2004-2005, tetapi pada tahun
2006 capaian Sulawesi Selatan sudah menyamai capaian nasional, dan pada tahun
2007-2008 sudah di atas rata-rata nasional. Indikator yang paling berkontribusi di atas
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 16
rata-rata nasional pada 2007-2008 adalah persentase penduduk berKB dan persentase
guru yang layak mengajar Sekolah Menengah. Sedangkan indikator yang nyata dibawah
rata-rata nasional adalah angka melek huruf.
Dilihat dari kriteria relevansi, tren capaian peningkatan kualitas manusia Sulawesi
Selatan pada tahun 2005-2006 sama dengan tren nasional yakni mengalami penurunan.
Pada tahun 2006-2007, tren nasional sudah mengalami peningkatan, dan peningkatan
tersebut berlanjut hingga 2007-2008. Sementara itu, tren pencapaian Sulawesi Selatan
masih berlanjut menurun pada 2006-2007, nanti pada 2007-2008 menunjukkan tren
meningkat.
Berlanjutnya tren penurunan dalam capaian kualitas SDM Sulawesi Selatan
kemungkinan terkait dengan kurang intensifnya program/kegiatan tersebut mengingat
saat berlangsung pemilihan gubernur sehingga aktivitas pembangunan dan pelayanan
agak terganggu. Pada 2007-2008 tren naik mulai terjadi, kemungkinan ini terkait dengan
pemerintahan yang sudah berjalan baik pasca pemilihan gubernur sehingga
program/kegiatan pembangunan juga berjalan baik.
Dilihat dari kriteria efektivitas, capaian indikator kualitas manusia Sulawesi Selatan
meningkat terus dari tahun ke tahun sejak 2004 hingga 2008, bahkan pada 2007 dan
2008 berhasil melewati capaian nasional. Ini menunjukkan bahwa upaya pembangunan
yang berjalan cukup efektif mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan terkait
peningkatan kualitas manusia. Program KB relatif dapat mengendalikan pertumbuhan
penduduk sehingga pertumbuhan penduduk dapat ditekan, dan ini seiring dengan
penduduk berKB yang semakin besar porsinya.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 17
Grafik - 2.2.2:
Perbandingan capaian indikator kualitas SDM Sulawesi Selatan dan Nasional dilihat dari indikator IPM
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Indikator paling spesifik dan menonjol dalam pencapaian kualitas manusia di
Sulawesi Selatan adalah IPM. Meskipun dalam indikator IPM terdapat aspek ekonomi
yakni daya beli, tetapi dua indikator lainnya terkait langsung dengan kualitas manusia
yakn indeks pendidikan dan indeks kesehatan. Secara umum IPM Sulawesi Selatan
masih dibawah rata-rata nasional, dan posisi relatiffnya dengan provinsi lain di Indonesia
adalah 21. Dengan posisi itu, IPM Sulawesi Selatan termasuk dalam 10 terendah IPMnya
di Indonesia, meskipun pada tahun 2008 nilainya sudah diatas 70.
Tren meningkat IPM Sulawesi Selatan pada 2007-2008 sebagian besar terkait
dengan program pendidikan gratis serta pemberantasan buta aksara yang berjalan sejak
2007. Pendidikan gratis dapat menekan angka putus sekolah yang pada gilirannya
memperbaiki angka rata-rata lama sekolah, sementara pemberantasan buta huruf dapat
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 18
meningkatkan angka melek aksara. Kedua indikator ini amat menentukan kecenderungan
naik pada IPM Sulawesi Selatan, mengingat pada indikator angka harapan hidup
(kesehatan) dan daya beli (ekonomi) pencapaian Sulawesi Selatan sudah di atas rata-rata
nasional.
Bila dianalisis lebih jauh, tren meningkat pada IPM Sulawesi Selatan berpeluang
besar untuk berlanjut, mengingat pemenuhan hak dasar masyarakat terkait pembangunan
manusia merupakan substansi pokok visi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2014. Dengan
visi demikian, kebijakan pokok yang berjalan adalah pendidikan gratis dan kesehatan
gratis, yang kalau berjalan baik akan berkontribusi langsung pada pencapaian indeks
pendidikan dan indeks kesehatan.
Salah satu faktor yang menjadikan efektivitas program/kegiatan peningkatan
kualitas manusia di Sulawesi Selatan belum memposisikan IPM Sulawesi Selatan di atas
rata-rata nasional adalah sulitnya menuntaskan pemberantasan buta huruf dan menekan
angka putus sekolah. Sebagian besar penduduk buta huruf berdiam di pelosok, mereka
adalah para orang tua atau generasi yang lahir tahun 1950-an ketika kawasan pelosok
Sulawesi Selatan masih dilanda kekacauan akibat pemberontakan DI/TII sehingga
banyak penduduk usia sekolah saat itu yang tidak masuk sekolah. Ini menjadikan
program pemberantasan buta huruf efektivitasnya tidak cukup untuk mengangkat IPM
Sulawesi Selatan di atas rata-rata nasional. Sementara itu, angka putus sekolah
umumnya terjadi pada anak-anak di dataran tinggi ataupun di pesisir dan pulau. Mereka
umumnya keluar dari sekolah karena lebih memilih mencari nafkah sebagai nelayan,
petani, tukang becak dan sebagainya, dimana orang tuanya juga mendorong untuk
bekerja. Ini menjadikan sehingga bukan saja soal faktor biaya tetapi juga faktor budaya
dan perilaku masyarakat (orang tua) dalam hal nilai pendidikan bagi anaknya.
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan
1. Program/kegiatan penuntasan pemberantasan buta aksara di Sulawesi Selatan
seyogianya diarahkan lebih terfokus dan tuntas. Terfokus dan tuntas berarti
bahwa kegiatan pemberantasan buta hurus harus fokus menemukan orang-
orang yang buta aksara dan menuntaskan pemberantasan buta aksaranya. Sub-
dinas Pendidikan Luar Sekolah yang menjalankan tugas ini idealnya membangun
sinergitas dengan daerah kabupaten/kota dalam menemukan dan menuntaskan
pemberantasan buta aksara. BPS juga idealnya berperan lebih substansial yakni
menunjukkan lokasi-lokasi dari rumah tangga buta aksara.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 19
2. Program/kegiatan pendidikan gratis yang saat ini didorong pemerintah Sulawesi
Selatan idealnya diperkuat sinergitasnya dengan upaya serupa pada
kabupaten/kota dan perhatian pada anak-anak yang bekerja sehingga
meninggalkan bangku sekolah idealnya didekati untuk bisa menjadi murid
sekolah kembali. Sekedar pendidian gratis (yang digalakkan selama ini) belum
cukup untuk menekan angka putus sekolah, program/kegiatan ini harus mencari
dan menjangkau anak usia sekolah yang saat ini teah bekerja untuki disadarkan
dan dianaliss komitmennya bagi tim nasional.
3. Revitalisasi keluarga berencana dengan fokus pada keluarga miskin dan keluarga
di daerah terpencil. Pertumbuhan penduduk pada keluarga miskin perlu menjadi
perhatian karena angka kelahiran yang tinggi pada golongan tersebut identik
dengan reproduksi SDM berkualitas rendah berhubung lemahnya kemampuan
mereka dalam akses penddidikan dan cenderung mendorong anaknya ke dunia
kerja. Dengan fokus program KB pada keluarga miskin maka pengaruh tekanan
kemiskinan atas rendahnya kualitas SDM dapat diredam. Begitu pula program
KB pada daerah terpencil, khususnya pada komunitas dataran tinggi, pesisir dan
pulau, akan berefek meredam pengaruh tekanan populasi atas eksploitasi
lingkungan dan dengan itu kualitas SDM dapat lebih meningkat pada lokasi-
lokasi spesifik tersebut.
2.3. Tingkat Pembangunan Ekonomi
2.3.1. Capaian Indikator
Tiga indikator utama yang digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan
ekonomi, yaitu kinerja ekonomi makro, investasi dan infrastruktur. Untuk ekonomi makro,
ukuran-ukuran yang digunakan adalah: 1) laju pertumbuhan ekonomi; 2) persentase
ekspor terhadap PDRB; 3) persentase output manufaktur terhadap PDRB; 4) persentase
output UMKM terhadap PDRB; 5) pendapatan perkapita; dan 6) laju inflasi. Sedangkan
kinerja invesatsi dilihat dari dua sisi, yaitu investasi modal asing (PMA) dan modal dalam
negeri (PMDN). Untuk infrastruktur, ukuran yang digunakan adalah panjang jalan negara,
provinsi dan kabupaten menurut kondisinya (baik, sedang dan buruk). Berikut ini akan
disajikan kinerja ketiga macam indikator ini:
Ekonomi Makro
Data persentase output UMKM tidak dapat diprofil karena sulitnya mendapatkan
data yang berkualitas. Oleh karena itu hanya lima jenis data yang menjadi perhatian dari
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 20
analisis ini. Mengingat satuan ke lima indikator ekonomi makro yang dianalisis relatif
beragam, maka tiga indikator pertama (laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor
terhadap PDRB, dan persentase output manufaktur terhadap PDRB) diolah terpisah dari
dua indikator lainnya. Kinerja ketiga indikator ini dibandingkan dengan kinerja nasional
disajikan pada Gambar 2.3.1.
Grafik 2.3.1 menunjukkan
bahwa kinerja laju pertumbuhan
ekonomi sulsel sampai dengan
tahun 2008 selalu lebih baik
dari kinerja nasional. Demikian
juga, kinerja persentase ekspor
terhadap PDRB, kecuali pada
tahun 2004. Namun demikian,
harus diakui bahwa kinerja
output manufkatur di Sulsel
belum menggembirakan
dibandingkan kinerja nasional.
Jika ketiga indikator di atas dirata-ratakan, maka akan tanpak bahwa kinerja
ekonomi makro Sulsel relatif menggembirakan. Nampak bahwa, nilai rata-ratanya
meningkat dari tahun ke tahun sampai dengan tahun 2008 (Data tahun 2009 dikeluarkan
karena data dua variabel lainnya tidak ada sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan
bias nilai rata-rata).
Untuk menunjukkan bahwa bahwa kinerja ketiga variable di atas cukup baik, maka
tren rata-rata nilainya juga dihitung. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tren ini cukup
positif juga dan melampui kinerja tren nasional. Grafik dari nilai rata-rata indikator dan
trennya disajikan pada Grafik 2.3.2 dan 2.3.3.
0
5
10
15
20
25
30
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
2004 2005 2006 2007 2008 2009
%
Laju Pertumbuhanekonomi
Persentase eksporterhadap PDRB
Persentase outputManufakturterhadap PDRB
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 21
Grafik 2.3.2.
Perbandingan kinerja rata-rata ketiga indikator (laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor terhadap PDRB, dan persentase output manufaktur terhadap PDRB) Sulsel
terhadap kinerja nasional.
0
4
8
12
16
20
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% P
ertu
mbu
han
Ekon
omi M
akro
(R
erat
a 3
vari
able
)
NasionalSulsel
Gambar 2.3.3.
Perbandingan kinerja tren rata-rata ketiga indikator (laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor terhadap PDRB, dan persentase output manufaktur terhadap PDRB)
Sulsel terhadap kinerja nasional.
0
4
8
12
16
20
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% P
ertu
mbu
han
Ekon
omi M
akro
(R
erat
a 3
varia
ble)
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Tren
Per
tum
buha
nCapaianNasionalCapaianSulselTrenNasionalTren Sulsel
Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita juga memiliki peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini
menggembirakan karena dapat secara langsung mengindikasikan adanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Walaupun demikian, nilai pendapatan ini masih jauh lebih
rendah dari rata-rata pendapatan nasional seperti dapat dilihat pada Grafik 2.3.4. Hal
yang relatif meresahkan adalah gap pendapat perkapita antara nasional dan Sulsel
meningkat dari tahun ke tahun seperti grafik yang disajikan pada Grafik 2.3.5.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 22
Tren peningkatan pendapatan perkapita seperti ditunjukkan pada Grafik 2.3.6 juga
menunjukkan fenomena yang sama. Peningkatan pendapatan perkapita jelas selalu lebih
rendah dari peningkatan pendapatan perkapita nasional.
Grafik 2.3.4. Perbandingan kinerja pendapatan perkapita Sulsel terhadap kinerja nasional.
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00N
asio
nal
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
Nas
iona
l
Sul
sel
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pem
dapa
tan
per
kapi
ta, R
p ju
ta
Grafik 2.3.5. Perilaku gap pendapatan perkapita Sulsel dan pendapatan perkapita nasional.
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
2004 2005 2006 2007 2008
Gap
Pen
dapa
tan
Nas
iona
l vs
Suls
el (J
uta
Rp)
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 23
Grafik 2.3.6. Tren Pertumbuhan pendapatan perkapita Sulsel dan nasional.
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pend
apat
an p
er k
apita
(Rp
juta
)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
Tren
Per
tum
buha
n
CapaianNasionalCapaianSulselTren NasionalTren Sulsel
Laju Inflasi
Laju inflasi Sulsel relatif sejalan dengan laju inflasi pada tingkat nasional. Pola
inflasi ini dapat dilihat pada Grafik 2.3.7. Kinerja Sulsel yang relatif signifikan menahan
laju inflasi terlihat jelas pada tahun 2006, dimana laju inflasi Sulsel sekitar separuh dari
tingkat inflasi nasional. Tingkat inflasi tahun 2009 juga diramalkan akan jauh lebih rendah
dari pada laju inflasi tingkat nasional. Walaupun demikian data laju inflasi tahun 2009
untuk tingkat nasional belum diperoleh.
Grafik 2.3.7. Perbandingan laju inflasi tingkat Sulsel dan nasional.
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju
infla
si (%
)
NasionalSulsel
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 24
Investasi PMA dan PMDN
Perbandingan pertumbuhan investasi PMA dan PMDN disajikan pada Grafik 2.3.8.
Pertumbuhan yang relatif signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan tingkat nasional
terjadi pada tahun 2008 untuk PMDN. Pada tahun 2009, tingkat pertumbuhan invesatsi di
Sulsel juga cukup tinggi baik untuk PMA maupun PMDN.
Grafik 2.3.8.
Perbandingan laju pertumbuhan investasi di tingkat Sulsel dan nasional.
-200
-100
0
100
200
300
400
Nas
iona
l
Suls
el
Nas
iona
l
Suls
el
Nas
iona
l
Suls
el
Nas
iona
l
Suls
el
Nas
iona
l
Suls
el
Nas
iona
l
Suls
el
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% P
ertu
mbu
han
Persentanse PertumbuhanRealisasi Investasi PMA Persentase PertumbuhanRealisasi Investasi PMDN
Dilihat dari nilai rata-rata kedua jenis investasi ini, memang nampak bahwa pada
dua tahun terakhir, kinerja investasi di Sulsel cukup baik, seperti dapat dilihat pada Grafik
2.3.9. Tren pertumbuhannya juga cukup baik dibandingkan dengan tren nasional, Grafik
2.3.10.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 25
Grafik 2.3.9. Perbandingan rata-rata laju pertumbuhan investasi (PMA dan PMDN)
di tingkat Sulsel dan nasional.
-80
-40
0
40
80
120
160
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rat
a-ra
ta p
ertu
mbu
han
inve
stas
i PM
A+P
MDN
(%)
NasionalSulsel
Grafik 2.3.10. Perbandingan tren laju pertumbuhan investasi (PMA dan PMDN)
di tingkat Sulsel dan nasional.
-80
-40
0
40
80
120
160
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rat
a-ra
ta p
ertu
mbu
han
inve
stas
i PM
A+P
MDN
(%)
-20
0
20
40
60
80
Tren
Per
tum
buha
n
NasionalSulselNasionalSulsel
Infrastruktur
Data tentang kondisi jalan negara, provinsi dan kabupaten sulit distratifikasi
menurut tahunn karena perbedaan format data dari berbagai sumber data termasuk BPS.
Namun demikian pada tahun 2008, total panjang jalan di Sulsel mencapai 23.307 km.
Dari total ini, jalan negara dan provinsi masing-masing sepanjang 1.556 km dan 1.209
km, sisanya jalan kabupaten. Kualitas jalan nasional cukup baik dimana pada tahun 2009
hanya sekitar 43 km yang tergategori rusak. Namun secara total (nasional, provinsi dan
kabupaten), panjang jalan yang rusak mencapai 7.435 km.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 26
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Terdapat empat indikator yang spesifik dan sangat menonjol pada aspek
pembangunan ekonomi di Sulsel yakni: 1) laju pertumbuhan ekonomi; 2) persentase
ekspor terhadap PDRB; 3) pendapatn perkapita; dan 4) pertumbuhan investasi.
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Seperti diutarakan sebelumnya, laju pertumbuhan ekonomi Sulsel dari tahun ke
tahun cukup baik, bahkan melampaui kinerja laju pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan
pada tahun 2008, pada saat resesi ekonomi dunia yang begitu buruk, laju pertumbuhan
ekonomi Sulsel masih dapat bertahan pada angka di atas 7%. Secara keseluruhan laju
pertumbuhan ekonomi Sulsel relatif stabil selama periode 2004 sampai 2009 seperti
ditunjukkan pada Grafik 2.3.11.
Kondisi yang begitu stabil menunjukan bahwa instrumen pereknomian Sulsel
relatif baik. Instrument yang ada telah mampu menjaga stabilitas, termasuk stabilitas
politik dan keamanan, yang mampu menjaga kegairahan perekonomian Sulsel. Usaha-
usaha pemerintah dalam pembangunan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan), bidang
pertanian seperti perbaikan irigasi, pencetakan sawah baru, perbaikan tanaman kakao
cukup berperan signifikan dalam menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi Sulsel.
Pengembangan sektor parawisata juga turut berpengaruh dalam menjaga pertumbuhan
ekonomi.
Grafik 2.3.11. Laju pertumbuhan ekonomi Sulsel 2004-2009
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Laju
Per
tum
buha
n Ek
onom
i (%
)
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indikasi lain adalah semakin padatnya penumpang melalui pelabuhan udara
Sultan Hasanuddin. BPS Sulsel melaporkan bahwa: “Pada tahun 2007 penumpang yang
berangkat melalui pelabuhan udara Hasanuddin sebanyak 1.514.914 orang, atau
meningkat sebesar 6,59 persen dibandingkan tahun 2006, dimana penumpang yang
berangkat sebesar 1.421.245 orang. Sedangkan penumpang yang masuk Sulawesi
Selatan melalui pelabuhan udara Hasanuddin pada tahun 2006 sebanyak 1.509.649 jiwa
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 27
dan meningkat menjadi 1.646.318 jiwa pada tahun 2007 atau naik sebesar 9,05 persen.
Arus barang yang dibongkar melalui Pelabuhan Udara Hasanuddin tercatat 37.267 ton
yang terdiri dari 20.085 ton bagasi, 16.550 ton barang/kargo dan 632 ton paket pos.
Sedangkan barang yang dimuat melalui Pelabuhan Udara Hasanuddin tahun 2007
tercatat 60.033 ton yang terdiri dari 31.918 ton bagasi, 26.313 ton barang/cargo dan
sisanya sebanyak 802 ton paket pos”.
Persentase ekspor terhadap PDRB
Peningkatan volume dan nilai ekspor Sulsel selama ini juga cukup baik. Sayang
data yang ada hanya mencakup periode 2004-2007. Oleh karena itu, grafik persentase
nilai ekspor terhadap PDRB Sulsel yang disajikan pada Gambar 2.3.12 hanya mencakup
periode ini. Walaupun demikian, tren dari kinerja ekspor ini terhadap peningkatan PDRB
Sulsel sangat baik. Ekspor hasil pertanian, seperti kakao, semakin bergairah akibat
peningkatan harga jual di pasar internasional. Harga hakao pada tahun 2006 yang hanya
sekitar Rp 11.000 per kg telah melonjak mencapai harga Rp 20 ribuan sejak tahun 2007
lalu. Pada tahun 2009, harga kakao bahkan telah mencapai Rp 25.000 per kg. Ekspor
komoditi penting Sulsel yang mengalami penurunan adalah komoditi-komoditi yang terkait
dengan hasil hutan, seperti kayu jadi, kayu olahan, kayu lapis dan rotan. Nilai ekspor
komoditi penting Sulsel pada tahun 2006, 2007 dan 2008 masing-masing mencapai (US$)
1.7 Milliar, 2.7 Milliar dan 1.8 Milliar.
Grafik 2.3.12.
Persentase nilai ekspor terhadap PDRB Sulsel 2004-2007
0.00
6.00
12.00
18.00
24.00
30.00
Eksp
or te
rhad
ap P
DRB
(%)
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 28
Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita Sulsel juga cukup menggembirakan kalaupun secara umum
masih dibawah nasional. Perbaikan pendapatan perkapita dari tahun ke tahun cukup
menggembirakan seperti dapat dilihat pada Grafik 2.3.13. Keadaan ini sejalan dengan
semakin menurunnya angka pengangguran yang tahun 2008 hanya mencapai 311.768
orang dari sebelumnya tahun 2007 sebesar 372.714 orang. Sebaliknya jumlah angkatan
kerja yang bekerja meningkat dari sebesar 2.939.463 orang pada tahun 2007 menjadi
3.136.111 orang pada tahun 2008. Perbaikan Bandara Sultan Hasanuddin dan semakin
berkembangnya usaha jasa di Sulsel telah semakin menggairahkan perekonomian Sulsel.
Industri hotel semakin berkembang ditandai dengan peningkatan jumlah hotel di Sulsel
dimana pada tahun 2006 hanya sebanyak 416 buah menjadi 487 buah pada tahun 2008.
Grafik 2.3.13. Penadapatan perkapita Sulsel 2004-2009
0.00
3.00
6.00
9.00
12.00
Pen
dapa
tan
Per
kapi
ta (R
p Ju
ta)
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bukti lain dari semakin membaiknya kinerja ekonomi di Sulsel adalah semakin
padatnya kendaraan bermotor di jalan. Grafik dibawah (Grafik 2.3.14) akan menunjukkan
peningkatan jumalah kendaraan dari tahun 2005 ke 2008. Jumlah sepeda motor pada
tahun 2008 naik 57.6% dibandingkan dengan tahun 2006. Sedangkan mobil naik dari
33% pada periode yang sama.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 29
Grafik 2.3.14. Jumlah kendaraan bermotor di Sulsel 2004-2009
1,376,931
873,823
232,184
174,333
-
600,000
1,200,000
1,800,000
2,400,000
3,000,000
3,600,000
2005 2006 2007 2008
Jum
lah
Kend
araa
n
MobilSepeda motorTotal
Pertumbuhan Investasi
Pertumbuhan investasi juga semakin baik, paling tidak seperti ditunjukkan pada
tahun 2008 dan 2009, Grafik 2.3.15. Investasi pada bidang-bidang industri keuangan dan
pengolahan hasil dan perdagangan serta jasa (hotel dan restoran) banyak mendominasi
peningkatan ini. Nilai PMDN dan PMA pada tahun 2009 masing-masing mencapai sekitar
Rp 3 triliun dan US$ 60 juta.
Grafik 2.3.15. Pertumbuhan investasi (PMA dan PMDN) di Sulsel 2004-2009
0
30
60
90
120
150
Pen
dapa
tan
Perk
apita
(Rp
Juta
)
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Hal yang dapat menjadi kendala dari masuknya investasi di Sulsel adalah
ketersediaan listrik. Sejak beberapa tahun terakhir ini, provinsi ini mengalami masalah
kelistrikan. Pada musim kemarau, frekuensi kejadian pemadaman listrik relatif tinggi.
Ketersediaan air bersih juga dapat menjadi kendala dikemudian hari. Seperti halnya listrik,
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 30
air dari PDAM teutama untuk wialyah kota Makassar dan sekitarnya tidak mengalir pada
saat musim kemarau.
Jalan negara dan provinsi yang panjangnya sekitar 2.765 km dan sekitar 21.541
km jalan kabupaten (Grafik 2.3.13) cukup membantu pergerakan barang dari satu
kabupaten ke kabupaten lain untuk menggairahkan perekonomian termasuk investasi.
Namun tingkat kerusakan dari total jalan negara, provinsi dan kabupaten yang mencapai
7.435 km pada tahun 2008 dapat menjadi kendala serius dalam meransang investasi di
wilayah ini. Bahkan, tanpa penanganan yang baik, kendala kualitas jalanan ini akan
mengganggu pergerakan perkenomian secara umum.
Grafik 2.3.13. Kondisi jalan negara, provinsi dan kabupaten di Sulsel 2008
Kondisi Jalan Negara + Provinsi + Kabupaten (km) Tahun 2008
Baik, 10617.9
Sedang, 6253.72
Rusak ringan , 4701.58
Rusak Berat, 2733.93
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan uraian di atas, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Sulsel, hal-hal
berikut ini perlu mendapatkan perhatian:
1. Usaha-usaha peningkatan pendapatan perkapita perlu terus dilakukan dengan
mengengksplorasi peluang-peluang peningkatan usaha dan investasi yang
memungkinkan terjadinya penyerapan tenaga kerja.
2. Kebijakan-kebijakan insentif perlu dibangun oleh pemerintah terutama untuk
mendorong investasi di Sulsel. Kebijakan ini dapat berupa kepastian hukum,
insentif pajak, promis dan kemudahan dalam administrasi.
3. Segala perangkat kebijakan harus dieksplorasi kembali untuk melihat koherensi
antar kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Sulsel.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 31
4. Kegiatan yang memungkinkan terjadinya ekonomi biaya tinggi harus diminimalkan
sehingga pergerakan jasa dan barang menjadi lebih efisien dan ekonomis.
5. Ketersediaan listrik dan air harus menjadi perhatian sehingga tidak menurunkan
minat para investor di wilayah ini.
6. Kondisi keamanan wilayah harus dijaga sekondusif mungkin sehingga semua
pihak merasa nyaman berdomisili di wilayah ini.
7. Kualitas transportasi (darat, laut dan udara) perlu semakin ditingkatkan sehingga
lalu lintas perputaran barang dan jasa semakin lancar untuk mendukung
perekonomian Sulsel.
8. Kualitas jalan negara dan provinsi serta kabupaten perlu dijaga dengan baik
sehingga tingkat kerusakan dapat diminimalkan.
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
2.4.1 Capaian Indikator
Pencapaian indikator hasil (outcomes) kualitas pengelolaan sumberdaya alam
disusun berdasarkan lima indikator pendukung (output) yaitu persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, luas rehabilitasi lahan luar hutan, luas
kawasan konservasi, jumlah tindak pidana perikanan, persentase terumbu karang
dalam keadaan baik, dan luas kawasan konservasi laut. Tiga indikator output yang
disebutkan pertama merefleksikan tingkat pengeloaan sumberdaya alam di darat
sedangkan tiga yang disebutkan terakhir merupakan indikator kuaitas pengeloaan
sumnberdaya laut.
Berhubung karena satuan ke-enam indikator tersebut beragam (persen, luas,
dan jumlah kejadian), maka hanya indikator output dengan satuan persentase dirata-
ratakan untuk memberikan gambaran tentang kualitas pengeloaan sumberdaya alam
di Sulawesi Selatan dibandingkan dengan kualitas pengeloaan seumberdaya alam
nasional. Kedua indikator tersebut adalah persentase luas lahan rehabiliutasi
terhadap keseluruhan luas lahan kritis di dalam hutan, dan persentase terumbu
karang yang masih baik. Perbandingan indikator outcome tersebut ditampilkan pada
grafik berikut
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 32
Grafik di atas menunjukkan bahwa kulitas pengeloaan sumberdaya alam di Sulawesi
Selatan terus menurun sejak tahun 2004 hingga tahun 2009. dan secara umum selalu
berada di bawah rata-rata capain nasional. Pola fluktuasi capaian pengeloaan
kualitas sumberdaya alam antara provinsi Sulawesi Selatan dengan nasional secara
umum sama, kecuali pada tahun 2006 dimana capaian di Sulawesi Selatan lebih
baik dari capaian nasional.
Menurunnya kualitas pengeloaan sumberdaya alam dapat dipertegas dengan
tren yang sering bernilai negatif sepanjang tahun 2004 hingga tahun 2009, kecuali
dari tahun 2005 ke tahun 2006, baik secara nasional maupun di Provinsi Sulawesi
Selatan. Meskipun demikian, tren Sulawewsi Selatan cenderung lebih baik dari pada
tren nasional, sehingga dari tahun 2008 ke tahun 2009 capaian kulaitas pengeloaan
sumberdaya alam di Sulawesi Selatan relatif konstan.
Analisis Relevansi
Dengan membandingkan tren kualitas pengeloaan sumberdaya alam antara
Sulawesi Selatan dengan nasional, dapat diketahui apakah tujuan/sasaran
pembangunan yang direncanakan dalam pengeloaan sumberdaya alam mampu
menjawab permasalahan utama/tantangan. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, dan sebagaimana yang ditunjukkan pada grafik, sebelum tahun 2007,
tren Sulawesi Selatan lebih baik dari tren nasional. Artinya, pembangunan dalam
bidang sumberdaya Alam di Sulawesi Selatan sejalan bahkan memberikan kontribusi
yang besar bagi tujuan pembangunan kulaitas sumberdaya alam nasional. Namun
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 33
demikian pada tahun 2007 tren Sulawesi Selatan lebih rendah dari tren nasional,
yang mengindiksikan bahwa pada tahun itu, kontribusi Sulawesi Selatan bagi
pencapaian sasaran pembangunan di bidang kulitas sumberdaya alam dan dalam
menjawab permasalahan kualitas sumberdaya alam nasional rendah. Kondisi ini
berlanjut hingga tahun 2008. Pada tahun 2009 diperkirakan tren Sulawesi Selatan
akan membaik, dimana tingkat pengeloaan sumberdaya alam akan relatif sama
dengan tahun 2008. Meskipun demikian, jika secara nasional, tren 2007-2008
berlanjut, maka tren Sulawesi Selatan tetap lebih rendah dari tren nasional.
Tren perkembangan luas rehabilitasi
lahan luar hutan, indikator output yang dapat
memberikan gambaran kualitas sumberdaya
alam, di Sulawesi Selatan juga sejalan
dengan tren nasional, seperti yang
ditunjukkan pada grafik sebelah kanan. Hal
ini juga dapat menegaskan bahwa
pembagunan SDA di SulSel relevan dengan
sasaran pembangunan sumberdaya alam
Idikator output yang lain yang
dapat memberikan gambaran kualitas
pengeloaan sumberdaya alam adalah
luas lahan konservasi di daratan. Tren
perubahan luas lahan konservasi
menunjukkan nilai yang selalu negatif
yang menunjukkan luas lahan konservasi
terus menurun, baik secara nasional
maupun di Sulawesi Selatan. Dari grafik
terlihat bahwa tren Sulawesi Selatan berada di bawah tren nasional pada tahun 2005,
tetapi selanjutnya sama dan akhirnya pada tahun 2007 lebih baik dari tren nasional.
Dengan perubahan gren seperti ini maka dapat dikatakan bahwa berdasarkan luas
lahan konservasi, pembangunan kualitas pengeloaan sumberdaya alam di Sulawesi
Selatan telah sejalan dengan sasaran pemabangunan sumberdaya alam nasional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hingga tahun 2007 pembangunan
kualitas sumberdaya alam di Sulawesi Selatan sejalan dengan sasaran
pembangunan nasional atau mampu berkontribusi bagi penyelesaian permasalahan
kulitas sumberdaya alam secara nsional. Tetapi mulai tahun 2007, kontribusi tersebut
melemah.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 34
Analisis Efektivitas
Dengan membandingkan kualitas sumberdaya alam antara tahun berjalan dengan
tahun sebelumnya, maka dapat diketahui sejauhmana efektivitas pembangunan
dalam bidang pengeloaan sumberdaya alam di Sulawesi Selaan. Seperti yang
ditunjukkan pada grafik, kualitas sumberdaya alam pada tahun 2005 lebih baik dari
tahun 2004, demikian juga dengan tahun 2006 lebih baik dari tahun 2005. Dengan
demikian dapat disebutkan pada pada tahun 2005 dan 2006, pembangunan dalam
bidang pengeloaan sumberdaya alam di Sulawesi Selatan cukup efektif. Namun
demikian, kualitas sumberdaya alam pada tahun 2007 lebih rendah daripada tahun
2006, demikian juga dengan 2008 lebih rendah dari tahun 2007. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pada tahun 2007 dan tahun 2008, pembangunan dalam
bidang pegeloaan sumberdaya alam di Sulawesi Selatan kurang efektif.
Efektifnya pembangunan sumberdaya Alam pada tahun 2005 dan 2006
tersebut terutama dikontribusi oleh meningkatnya persentase rehabilitasi lahan kritis
di dalam hutan menjadi 78% pada tahun 2005 dan 98% pada tahujn 2006. Sejalan
dengan itu, penurunan efektivitas pembangunan pada tahun 2007 dan 2008 juga
dikontribusi oleh menurunnya secara signifikan persentase rehabilitasi lahan kritis
dalam hutan pada tahun tersebut, yatitu menjadi hanya 27% pada tahun 2006 dan
14% pada tahun 2008.
Pembangunan sumberdaya alam
kehutanan, berdasarkan dua indikator
output yaitu luas lahan yang
direhabilitasi di luar hutan dan luas
lahan konservasi di daratan, dapat
dinilai efektif. Seperti yang dapat
ditunjukkan pada grafik beikut, luas
lahan rehabilitasi luar hutan dan luas
konservasi meningkat dalam periode
2004-2009. Bahkan, terjadi peningkatan
sangat signifikan pada luas lahan
rehabilitasi luar hutan dari sekitar 2
ribuan hektar pada tahun 2007 menjadi
80 ribuan hektar pada tahun 2008 dan
diperkirakan 90,000 ha pada tahun
2009. Sebaliknya, menjadi terjadi
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 35
peningkatan secara konsisten pada luas kawasan konservasi dari tahun 2005 hingga
tahun 2009, terjadi penurunan sigvinifikan dari 304 ribu ha pada tahun 2004 menjadi
258 ribu ha pada tahun 2005.
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Dari dua indikator output yang dipakai mengukur outcome capaian pengeloaan
sumberdaya alam, persentase rehabilitasi terhadap total lahan kritis di dalam hutan
memiki fluktuasi yang tinggi sehingga capaian kualitas sumerdaya alam dari tahun ke
tahun sangat bervariasi. Seperti yang dapat dilihat pada Grafik di bawah, pada tahun
2005, persentase lahan yang direhabilitasi meningkat secara signifikan menjadi 78%
dari hanya 57% tahun sbelumnya. Angka ini selanjutnya meningkat lagi menjadi 98%
pada tahun 2006.
Persentase lahan yang direhabilitasi selanjutnya turun secara signifikan
menjadi 27% pada tahun 2007, dan hanya 14 % pada tahun 2008. Pada tahun 2009,
persentase lahan yang direhabilitasi terhadap total laha kritis di kawasan hutan
diperkirakan sama dengan tahun 2008 yaitu sekitar 14%.
Fluktuasi persentase lahan yang yang direhabilitasi terhadap total luas lahan
kritis di kawasan hutan dalam periode 2004 – 2009 ditunjukkan pada Gambar berikut.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 36
Tidak seperti persentase lahan yang direhabilitasi, persentase terumbu karang yang
masih baik secara konsisten menurun dari 30% pada tahun 2004 menjadi hanya 22%
pada tahun 2009, seperti yang ditunjukkan pada Gambar berikut.
Meskipun sejumlah program konservasi terumbu karang telah dilakukan di provinsi
Sulawesi Selatan dari berbagai sumber dana, termauk program Coremap I dan
program Coremap II, laju pengrusakan terumbu karang ternyata tidak bisa dihentikan.
Penyebaran kondisi terumbu karang di perairan ulawesi Selatan ditunjukkan
pada Table berikut
Tabel 2.4.1
Penyebaran kondisi terumbu karang di perairan sulawesi Selatan
Kawasan Jumlah Stasiun
Sangat Baik (%)
Baik (%)
Kritis (%)
Rusak (%)
Kepulauan Supermonde 61 2 13 34 51 Laut Flores 118 2 26 37 35 Teluk Bone 78 10 10 17 63 Selat Makassar 8 0 0 25 75 Rata rata Sul Sel 265 4 18 30 48
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan kualitas
sumberdaya alam di Sulawessi Selatan dalam lima tahun terakhir ini relevan dengan
pembangunan nasional, artinya sejalan dengan pencapaian nasional. Dengan kata
lain, Sulawesi Selatan berkontreibusi pada pencapaian nasinal. Jika pencapaian
nasional tersebut sesuai dengan sasaran, maka pembangunan telah dapat
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 37
menyelesaikan masalah dalam kualitas sumberdaya alam. Namun demikian
pencapaian tersebut tidak efektif. Oleh karena itu direkomendasi kebijakan berikut :
1. Pembangunan kualitas sumberdaya alam perlu diefektifkan dengan
memperbaiki format dan frame work nya, terutama yang berhubungan dengan
perencanaan, pelibatan selurih stakeholder, dan pengendalian dan
pemantauan program
2. Jangkauan pembangunan kualitas sumberdaya alam perlu ditingkatkan, baik
secara spasial sehingga mencakup lebih banyak wilayah juga seara tematik
sehingga terjadi atas berbagai program pada berbagai khasanah (laut, darat,
hutan, pesisir, pegunungan).
Peran pemerinah pusat perlu ditingkatkan dalam pengeloaan sumberdaya alam,
paling tidak dalam lenyediaan dana dalam bentuk block grant untuk dilakasanakan di
daerah.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 38
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT
2.5.1. Capaian Indikator
Misi pertama pembangunan Sulawesi Selatan tahun 2008-2028 adalah
mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. Misi yang terkandung
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2008-2028 itu
menjelaskan bahwa kualitas manusia mengandung arti memiliki jatidiri dan wawasan
yang luas sehingga selain mampu mengaktualisasikan dirinya secara mandiri, juga
mampu bersikap dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota dari
tatanan pada berbagai strata dan sebagai makhluk menyadari bahwa ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa merupakan suatu keniscayaan.
Dalam konteks kesejahteraan rakyat, kemandirian dan aktualisasi diri yang
menjadi esensi misi pembangunan Sulawesi Selatan itu bisa dilihat dari seberapa besar
setiap anggota masyarakat bisa berpartisipasi dalam dunia kerja yang bisa memberinya
penghasilan yang cukup sehingga terhindar dari kemiskinan, serta seberapa besar
anggota masyarakat yang mengalami masalah sosial yang mengurangi kemampuannya
berpartisipasi bisa diatasi sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain, minimal mengatasi
masalahnya sendiri.
Pencapaian indikator hasil (outcomes) tingkat kesejahteraan rakyat disusun
berdasarkan lima indikator pendukung (output) yang meliputi persentase penduduk
miskin, tingkat pengangguran terbuka, persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi
anak, persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia, dan presentase
pelayanan dan rehabilitasi sosial. Dua dari kelima indikator pendukung tersebut, yaitu
persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak dan presentase pelayanan dan
rehabilitasi sosial masih terdiri lagi atas sejumlah sub-indikator pendukung. Persentase
pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak terdiri atas persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak terlantar, anak jalanan, anak balita terlantar, dan
pelayanan bagi anak nakal. Sementara presentase pelayanan dan rehabilitasi sosial
terdiri atas pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat, tunasosial – dalam hal ini
dikhususkan tuna susila, dan pada korban penyalahgunaan narkoba.
Berdasarkan hasil perhitungan sejumlah indikator pendukung tersebut, diperoleh
gambaran umum mengenai capaian indikator hasil (outcomes) tingkat kesejahteraan
rakyat di Propinsi Sulawesi Selatan dan nasional, sebagaimana tergambar pada grafik.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 39
Analisis Relevansi
Grafik menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan tren
pembangunan kesejahteraan rakyat yang terlihat pada tren capaian tingkat
kesejahteraan sosial dari tahun ke tahun. Namun tren meningkat itu juga terjadi pada
tingkat nasional, di mana tren capaian tingkat kesejahteraan rakyat di Sulawesi
Selatan yang lebih fluktuatif seringkali berada di atas, sementara pada waktu yang
lain berada di bawah dari capaian secara nasional. Tren peningkatan kesejahteraan
rakyat yang memadai terjadi sampai tahun 2007, lalu menunjukkan kecenderungan
berfluktuasi sesudahnya.
Selama dua tahun awal perhitungan, yaitu 2005 dan 2006, tren capaian tingkat
kesejahteraan rakyat di Sulawesi Selatan selalu berada di bawah tren nasional, yaitu
-3,50% pada tahun 2005 dan -1,54% pada tahun 2006, sementara tren nasional
adalah -2,80% dan 1,37%. Namun pada tahun 2007, kenaikan tren capaian tingkat
kesejahteraan rakyat di Sulawesi Selatan terus meningkat sampai tingkat tertingginya
sebesar 1,99%, berada di atas tren nasional yang mulai menurun menjadi 0,86%.
Tren nasional ini hanya meningkat sedikit pada tahun 2008 menjadi 0,93, sebelum
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 40
kemudian menurun lagi menjadi 0,70% pada tahun 2009. Pada tahun 2008, tren
tingkat kesejahteraan sosial Sulawesi Selatan kembali bergerak ke bawah tren
nasional menjadi -0,69%, lalu naik kembali ke titik mendekati yang pernah dicapai
dua tahun sebelumnya menjadi 1,97% pada tahun 2009.
Gambaran perbandingan tren capaian tingkat kesejahteraan rakyat di Sulawesi
Selatan sebagaimana telah digambarkan menunjukkan kecenderungannya untuk
berada di sekitar tren capaian secara nasional. Hal ini menunjukkan pula bahwa
tujuan/sasaran pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang direncanakan relatif
mampu menjawab permasalahan utama/tantangan yang dihadapi, yaitu sejalan
dengan capaian pembangunan bidang kesejahteraan rakyat nasional. Bahkan jika
membandingkan antara tren pada tahun 2005 yang berada di bawah tren nasional
dan tren pada tahun 2009 yang berada di atas tren nasional, maka terdapat
kecenderungan tren capaian tingkat kesejahteraan rakyat di Sulawesi Selatan yang
lebih baik dibandingkan tren nasional. Kekurangannya adalah tren Sulawesi Selatan
sejak tahun 2007 sampai 2009 cenderung lebih kurang stabil dibandingkan tren
nasional, sehingga kecenderungannya untuk beberapa tahun ke depan bersifat lebih
sulit diprediksi.
Analisis Efektivitas
Seberapa besar kesesuaian antara hasil dan dampak pembangunan bidang
kesejahteraan rakyat terhadap tujuan kemandirian dan aktualisasi diri anggota
masyarakat yang menjadi esensi misi pembangunan Sulawesi Selatan akan
menggambarkan efektivitas kinerja pembangunan kesejahteraan di daerah ini. Hal itu
bisa diukur dengan melihat sejauh mana capaian pembangunan kesejahteraan rakyat
daerah membaik dari waktu ke waktu.
Berdasarkan grafik tampak bahwa sekali pun tingkat kesejahteraan rakyat di
Sulawesi Selatan selalu berada di atas tingkat kesejahteraan secara nasional, tetapi
perkembangannya dari tahun ke tahun tidak selalu membaik. Keadaan itu
menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat di daerah ini semakin mendekati kondisi
nasional pada tahun-tahun terakhir yang jika kecenderungan itu terus berlanjut akan
berkemungkinan mengalami kondisi yang lebih buruk.
Hal lain yang menjadi gambaran umum efektivitas pembangunan kesejahteraan
rakyat ini adalah tidak adanya kestabilan peningkatan dari tahun ke tahun. Sekali pun
mengalami peningkatan yang relatif kecil, tetapi sejak tahun 2005 telah terjadi
peningkatan capaian indikator kesejahteraan rakyat secara nasional yang konsisten
atau terus-menerus. Sementara capaian indikator kesejahteraan rakyat Sulawesi
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 41
Selatan terus mengalami perbaikan dan penurunan secara fluktuatif dari tahun ke
tahun.
Pada tahun 2004, Sulawesi Selatan telah mencapai taraf kesejahteraan rakyat
yang tertinggi selama ini, yaitu 37,35. Pada saat itu capaian indikator tingkat
kesejahteraan rakyat secara nasional berada di bawahnya sebesar 35,62. Namun
angka ini tidak bisa dipertahankan dan turun menjadi 36,08 pada tahun 2005, dan
mencapai tingkatan terendahnya pada tahun 2006 sebesar 35,54. Selama tiga tahun
berikutnya, capaian indikator kesejahteraan rakyat Sulawesi Selatan terus
berfluktuasi, yaitu 36,26 pada tahun 2007, lalu turun menjadi 36,01 pada tahun 2008,
dan naik lagi menjadi 36,73 pada tahun 2009.
Fluktuasi angka capaian indikator tingkat kesejahteraan rakyat di Sulawesi
Selatan dari tahun ke tahun menunjukkan tidak stabilnya efektivitas kemajuan yang
dicapai dalam pembangunan di bidang ini. Oleh karenanya, perlu dicermati lebih jauh
indikator pendukung (output) apa saja yang berperan penting dalam membentuk
capaian indikator kesejahteraan yang demikian.
2.5.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Berdasarkan lima indikator pendukung (output) yang membentuk capaian
indikator kesejahteraan rakyat di Sulawesi Selatan, maka dua di antaranya
menunjukkan kecenderungan membaik dari tahun ke tahun, yaitu kecenderungan
penurunan persentase penduduk miskin dan menurunnya tingkat pengangguran
terbuka. Artinya, sejak tahun 2004 sampai tahun 2009 telah terjadi kecenderungan
meningkatnya persentase penduduk yang tidak lagi tergolong miskin dan
meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bekerja dari yang sebelumnya
menganggur.
Menurunnya persentase penduduk miskin ini bisa disebabkan oleh
meningkatnya angkatan kerja yang memperoleh pekerjaan, karena dengan
memperoleh pekerjaan berarti mereka akan memperoleh penghasilan untuk
menaikkan kesejahteraan hidupnya. Namun demikian, berkurangnya penduduk
miskin juga bisa merupakan indikasi dari adanya perbaikan remunerasi dari
penduduk yang sebelumnya sudah bekerja. Meski pun tidak diteliti lebih jauh yang
mana di antara keduanya yang lebih berpengaruh dalam mengurangi tingkat
kemiskinan, tetapi penurunan persentase penduduk miskin dan tingkat pengangguran
terbuka mengindikasikan membaiknya kesejahteraan rata-rata penduduk di Sulawesi
Selatan.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 42
Meskipun mengalami perbaikan dalam indikator penurunan kemiskinan dan
pengangguran, tetapi di tiga indikator lain yang tergolong indikator pelayanan
kesejahteraan sosial mengalami kecenderungan penurunan. Ketiganya juga memiliki
pola penurunan yang sama, yaitu pola penurunan yang tajam selama periode tahun
2004 – 2006, kemudian mengalami fluktuasi naik turun meskipun dengan
kecenderungan menurun sampai tahun 2009. Selain itu, meskipun secara umum
terdapat dua pola perubahan indikator pendukung capaian kesejahteraan di Sulawesi
Selatan, tetapi kedua pola itu memiliki kemiripan dengan yang terjadi secara nasional.
Hal ini mengindikasikan pula kemungkinan masih kuatnya keterkaitan antara usaha-
usaha perbaikan kesejahteraan pada tingkat nasional dengan perubahan
kesejahteraan di Sulawesi Selatan.
Dari lima indikator pendukung (output) yang membentuk capaian indikator
kesejahteraan, terdapat dua di antaranya yang rata-rata sejak tahun 2004 sampai
2009 berada di bawah capaian nasional, yaitu tingkat pengangguran terbuka yang
lebih tinggi dan persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang rata-
rata lebih rendah. Dengan demikian, indikator yang menunjukkan kondisi yang lebih
baik di Sulawesi Selatan dibandingkan secara nasional adalah kesejahteraan rakyat
yang dilihat dari lebih rendahnya persentase penduduk miskin, persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak yang lebih tinggi, dan persentase pelayanan dan
rehabilitasi sosial yang juga lebih tinggi.
Sumber: 1. Bappenas. Tabel Indokator EKPD 33 Provinsi. 2009. 2. BPS. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Maret 2009.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 43
Grafik menunjukkan bahwa sejak 2004 sampai 2009, persentase penduduk
miskin di Sulawesi Selatan telah turun 2,59% dari 14,9% menjadi 12,31%. Lima tahun
itu, hanya pada tahun 2005 sedikit mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya,
kemudian secara konsisten turun sampai tahun 2009. Penurunan yang paling tajam
terjadi pada dua tahun terakhir, yaitu rata-rata satu persen per tahunnya.
Sumber: 1. Bappenas. Tabel Indokator EKPD 33 Provinsi. 2009. 2. BPS. Survey Angkatan Kerja Nasional. Februari, 2009.
Berada jauh di atas nasional yang sebesar 9,86, tingkat pengangguran terbuka
di Sulawesi Selatan pada tahun 2004 mencapai 15,93. Angka yang sudah tinggi ini
masih saja mengalami peningkatan menjadi 18,64 pada tahun 2005, kemudian
secara terus-menerus mengalami penurunan pada empat tahun berikutnya. Bahkan
pada tahun 2009, tingkat pengangguran di Sulawesi Selatan telah turun menjadi
8,7%. Jika pada tahun 2004, selisih persentase pengangguran terbuka Sulawesi
Selatan dibandingkan nasional sangat besar yaitu mencapai sekitar 6%, maka pada
tahun 2009 di bawah 1%. Hal itu menunjukkan kemampuan Sulawesi Selatan dalam
menekan angka pengangguran terbuka yang lebih cepat dibandingkan penurunan
secara nasional, sehingga persentasenya terus turun mendekati angka nasional. Jika
tren penurunan itu terus berlanjut, maka Sulawesi Selatan sangat mungkin pada
tahun-tahun berikutnya memiliki persentase pengangguran terbuka di bawah rata-rata
nasional.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 44
Sumber: Dinas Kesos dan Linmas Propinsi Sulawesi Selatan. 2009.
Terdapat empat sub indikator yang digabungkan ke dalam indikator
persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak. Dari keempat sub indikator ini,
dua di antaranya cenderung populasinya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
di Sulawesi Selatan yaitu populasi anak jalanan dan anak nakal. Jumlah anak jalanan
pada tahun 2004 adalah 4.300 naik menjadi 4.874 pada tahun 2009. Sementara anak
nakal naik dari 7.364 pada tahun 2004, menjadi 8.144 pada tahun 2009. Sementara
populasi anak terlantar dan anak balita terlantar telah mengalami penurunan cukup
signifikan. Pada tahun 2004 tercatat ada 112.937 anak terlantar di Sulawesi Selatan,
dan turun menjadi 80.327 orang pada tahun 2009. Penurunan total keempat sub
indikator tersebut yang lebih besar dibanding kenaikannya, menyebabkan secara
keseluruhan jumlah anak yang masih menyandang masalah kesejahteraan sosial di
Sulawesi Selatan menurun.
Hanya saja, penurunan total jumlah anak penyandang masalah kesejahteraan
sosial di Sulawesi Selatan tidak dibarengi dengan perluasan jangkauan pelayanan
kesejahteraan sosial ke mereka. Bahkan mempertahankan jumlah anak yang
memperoleh pelayanan pun tidak mampu dilakukan, bahkan yang terjadi adalah
penurunan jumlah anak penyandang masalah kesejahteraan sosial yang terlayani,
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 45
sehingga persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak ini pun ikut pula
menurun. Sebagai gambarannya, pada tahun 2004 terdapat 5,05% anak penyandang
masalah kesejahteraan sosial yang memperoleh pelayanan, tetapi turun menjadi
1,14% pada tahun 2005. persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak pada
tahun 2004 itu jauh di atas persentase nasional yang baru mencapai 2,18%, tetapi
kemudian memiliki persentase pencapaian yang hampir sama pada tahun 2009,
yaitu 1,14% (Sulsel) dan 1,09% (nasional).
Sumber: Dinas Kesos dan Linmas Propinsi Sulawesi Selatan. 2009.
Mirip dengan yang terjadi pada persentase pelayanan kesejahteraan sosial
bagi anak, persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia juga
meningkat pada tahun 2005, dari 0,69 pada tahun sebelumnya menjadi 1,05. Hanya
saja, kondisinya sangat fluktuatif yang terlihat dari penurunan menjadi 0,43% pada
tahun 2006, naik menjadi 0,86% pada tahun 2007, lalu turun perlahan sampai 0,63%
pada tahun 2009. Dibandingkan keempat indikator kesejahteraan rakyat lainnya,
persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia inilah yang terendah yang
bisa dicapai di Sulawesi Selatan.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 46
Sumber: Dinas Kesos dan Linmas Propinsi Sulawesi Selatan. 2009.
Pada tahun 2004, Sulawesi Selatan tercatat memiliki pencapaian pelayanan
dan rehabilitasi sosial untuk penyandang cacat, tunasosial, dan korban
penyalahgunaan narkoba yang cukup tinggi yaitu mencapai 11,83% dibandingkan
nasional yang berkisar 1%. Namun demikian persentase pelayanan dan rehabilitasi
sosial tersebut terus mengalami penurunan yang sangat tajam pada dua tahun
sesudahnya, yaitu berturut-turut menjadi 6,96% dan 2,58% pada tahun 2005 dan
2006. Tiga tahun sesudahnya capaian pelayanan yang dilihat berdasarkan
persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial di Sulawesi Selatan mengalami fluktuasi
sampai mencapai titik terendah 1,52% pada tahun 2008, lalu naik lagi menjadi 2,91%
pada tahun 2009. Meski pun pencapaian 2,91% pada tahun 2009 sudah cukup jauh
di atas nasional yang diestimasi masih berada di bawah 1%, namun hal tersebut jauh
di bawah persentase yang pernah dicapai lima tahun sebelumnya.
Ada tiga sub indikator yang membentuk data pelayanan dan rehabilitasi sosial
ini yaitu persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat, persentase
pelayanan dan rehabilitasi sosial tunasosial, dan persentase pelayanan dan
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba. Dari ketiganya, populasinya yang
tercatat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Namun jika hanya membandingkan dua
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 47
tahun, yaitu tahun awal penelitian (2004) dan tahun akhir (2009), maka hanya
penyandang cacat yang mengalami peningkatan populasi dari 29.080 menjadi
30.735. Sementara dua sub indikator lainnya mengalami penurunan populasi, yaitu
korban penyalahgunaan narkoba dari 1.574 pada tahun 2004 turun menjadi 1.017
pada tahun 2009, dan tunasosial turun dari 1.206 pada tahun 2004 menjadi 1.196
pada tahun 2009. Namun demikian, peningkatan populasi yang lebih tinggi pada
penyandang cacat, menyebabkan populasi gabungan dari sub indikator ini
meningkat, yaitu dari 31.860 pada tahun 2004 menjadi 32.948 pada tahun 2009.
Jumlah mereka yang mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang
peningkatannya tidak mengikuti peningkatan jumlah populasi, menyebabkan
berfluktuasinya persentase yang terlayani, bahkan terjadi kecenderungan penurunan.
2.5.3 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan kondisi pembangunan kesejahteraan rakyat di Sulawesi Selatan
yang dilihat berdasarkan capaian indikatornya, maka beberapa rekomendasi
kebijakan diajukan sebagai berikut:
1. Meskipun tujuan/sasaran pembangunan bidang kesejahteraan rakyat yang
direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan yang dihadapi,
yaitu sejalan dengan capaian pembangunan bidang kesejahteraan sosial
nasional, namun terdapat kecenderungan tren capaian tingkat kesejahteraan
sosial di Sulawesi Selatan yang lebih kurang stabil dibandingkan tren nasional.
Hal ini memerlukan upaya yang sungguh-sungguh menjaga akselerasi
pembangunan kesejahteraan rakyat, agar kemajuannya dari waktu-ke waktu bisa
dipertahankan.
2. Capaian indikator tingkat kesejahteraan rakyat di Sulawesi Selatan dari tahun ke
tahun berfluktuasi yang menunjukkan tidak stabilnya efektivitas kemajuan yang
dicapai dalam pembangunan di bidang ini, sekalipun sudah terjadi
kecenderungan meningkat sejak tahun 2006. Dengan demikian, aspek efektivitas
ini perlu diperhatikan dalam perencanaan pembangunan kesejahteraan rakyat
agar tidak tertinggal di bandingkan bidang pembangunan lainnya.
3. Perlu melanjutkan program-program penurunan kemiskinan dan pengangguran
terbuka selama ini, karena terbukti cukup efektif. Namun usaha perlu ditekankan
pada upaya penurunan kemiskinan yang cenderung masih lambat. Sementara
dalam usaha penurunan pengangguran, perlu segera dilakukan upaya
menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi tenaga kerja baru yang
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 48
berpendidikan tinggi. Hal itu terkait berubahnya karakteristik pencari kerja yang
semakin berpendidikan tinggi seiring meningkatnya partisipasi sekolah.
4. Dari tiga indikator lain yang bisa digolongkan ke dalam pelayanan kesejahteraan
sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, tampaknya ketiganya
mengalami kecenderunagn penurunan persentase pelayanan. Padahal sejak
tahun 2004, populasi penyandang masalah kesejahteraan sosial yang diukur di
sini tidak mengalami banyak peningkatan populasi, bahkan sebagian dari jenis
penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebut telah menurun jumlahnya.
Karena penanganan masalah ini berada di bawah Dinas Kesejahteraan Sosial
dan Perlindungan Masyarakat (Dinas Kesos & Linmas), yang telah
diotonomisasikan pengelolaannya di bawah pemerintah daerah, maka pemerintah
daerah perlu mereview kembali kebijakannya yang cenderung kurang memberi
perhatian pada pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial ini.
5. Keterlibatan masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga
perlu terus didorong pada upaya-upaya penanggulangan masalah kesejahteraan
sosial. Selain itu pengawasan yang meliputi mutu dan keuangan atas kegiatan
masyarakat dalam penanggulangan masalah kesejahteraan sosial perlu
dilakukan, agar pelayanan mereka terstandarisasi dan akuntabel.
6. Khusus keengganan sebagian masyarakat untuk menyerahkan orang tuanya ke
Panti Wreda, mungkin bisa disiasati dengan mengaitkannya dengan usaha-usaha
pemberdayaan ekonomi keluarga. Untuk itu diperlukan pemberian prioritas
program-program pemberdayaan ekonomi bagi keluarga yang memiliki anggota
lanjut usia yang terlantar, agar keluarga miskin bisa mendukung kesejahteraan
sosial bagi anggotanya yang sudah lanjut usia ini.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 49
BAB III KESIMPULAN
Secara umum capaian kinerja pembangunan Sulawesi Selatan berada pada
kisaran rata-rata capaian kenerja pembangunan nasional selama 2004-2009. Namun
demikian, terdapat beberapa indikator dimana capaian kinerja pembangunan Sulawesi
Selatan masih berada dibawah rata-rata nasional, khususnya indikator IPM sebagai
indikator utama dalam kinerja pembangunan dan otonomi daerah.
Dilihat dari efektivitasnya, secara umum capaian kinerja pembangunan Sulawesi
Selatan meningkat dari tahun ke tahun selama 2004-2009, tetapi peningkatan tersebut
belum sepenuhnya bisa melampaui rata-rata capaian nasional, khususnya dalam
indikator IPM.
Direkomendasikan agar pembangunan pada sektor pendidikan, kesehatan dan
perekonomian dapat diprioritaskan dalam pembangunan Sulawesi Selatan kedepan,
mengingat bahwa dalam hal indikator angka melek aksara, rata-rata lama sekolah
capaian Sulawesi Selatan masih rendah. Begitu pula dalam indikator angka harapan
hidup dan daya beli masyarakat, pencapaiannya belum terlalu menonjol meskipun sudah
diatas rata-rata nasional.
Selain itu, upaya konservasi dan rehabilitasi lingkungan dan sumberdaya alam
perlu diprioritaskan, tidak hanya untuk mengantisipasi perubahan iklim global, juga untuk
mengamankan suplai energi terutama daerah hulu yang menjadi basis pembangkit
tenaga listrik.
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 50
LAMPIRAN : Tabel - 2.2.1:
Indikator Pendukung Capaian Tingkat Kualitas SDM Sulawesi Selatan, Tahun 2004 – 2008 (yang dinyatakan dalam % dan bukan %)
Indikator Pendukung (Output)Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia 65,77 68,12 68,81 69,62 70,22
Angka Partisipasi Murni SD/MI 91,16 91,94 92,76 94,63 94,65
Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs 4,83 5,95 5,95 5,95 6,44 Rata-rata Nilai Akhir SMA/MK/MA 5,56 6,05 6,25 6,24 6,28
Angka Putus Sekolah SD 4,17 1,54 3,83 1,61 1,61
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 51
Angka Putus Sekolah SMP/MTs 12,15 4,49 3,44 4,87 4,87
Angka Putus Sekolah SM 4,41 3,63 3,13 4,35 4,35 Angka Melek Huruf 15 tahun keatas 84,49 84,60 84,30 86,24 86,25 Persentase jumlah guru yg layak mengajar SMP/MTs 79,01 79,14 76,80 87,38 87,38 Persentase jumlah guru yg layak mengajar SM 75,88 80,58 90,61 91,03 91,03
Umur Harapan Hidup 68,70 68,73 69,20 69,40 70,05
Angka Kematian Bayi 47 43 34 41 33
Angka Kematian Ibu 170 163 153 141 116
Prevalensi Guzi Buruk (%) 8,53 7,47 1,32 1,89 1,80
Prevalensi Gizi Kurang (%) 19,62 18,35 13,37 14,74 14,50 Persentase Tenaga Kesehatan/Penduduk 10,8 15 11,6 25,8 26,6 Persentase Penduduk berKB (%) 55,80 56,54 63,31 65,57 69,43 Persentase Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 1,36 1,56 1,79 0,61 0,60
Sumber : Bappenas. Tabel Indikator EKPD 33 Provinsi. 2009.
Lampiran-2
Tabel-2.2.2: Indikator Pendukung Capaian Tingkat Kualitas SDM Sulawesi Selatan,
Tahun 2004 – 2008 (yang dinyatakan dalam % saja)
Indikator Pendukung (Output)
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Partisipasi Murni SD/MI
(%) 91,16 91,94 92,76 94,63 94,65
Angka Putus Sekolah SD (%)
(-) 95,83 98,46 96,17 98,39 98,39
Angka Putus Sekolah 87,85 94,51 96,66 95,13 95,13
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 52
SMP/MTs (%0 (-)
Angka Putus Sekolah SM (%)
(-) 95,59 96,37 96,87 95,65 95,65
Angka Melek Huruf 15 tahun
keatas (%) (+) 84,49 84,60 84,30 86,24 86,25
Persentase jumlah guru yg
layak mengajar SMP/MTs (%)
(+) 79,01 79,14 76,80 87,38 87,38
Persentase jumlah guru yg
layak mengajar SM (%) (+) 75,88 80,58 90,61 91,03 91,03
Prevalensi Guzi Buruk (%) (-) 91,47 93,53 98,68 98,21 98,20
Prevalensi Gizi Kurang (%) (-) 80,38 72,65 76,63 85,26 86,50
Persentase Penduduk berKB
(%) (+) 55,80 56,54 63,31 65,57 69,43
Persentase Laju Pertumbuhan
Penduduk (%) (-) 98,64 98,44 98,21 99,39 99,40
Rata-Rata 936/11
= 85,1
946,76/11
=86,06
971/11
=88,27
996,88/11 =90,62
1002/11
=91,09
Tabel-2.2.3: Indikator Pendukung Capaian Tingkat Kualitas SDM Nasional, Tahun 2004 – 2008 (yang dinyatakan dalam % dan bukan %)
Indikator Pendukung (Output)Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia 68,7 69,6 70,1 70,59 70,59
Angka Partisipasi Murni SD/MI 93 93,3 93,54 93,75 93,98
Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs 4,80 5,42 5,42 5,42 6,05
Rata-rata Nilai Akhir 4,77 5,77 5,94 6,28 6,35
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 53
SMA/MK/MA
Angka Putus Sekolah SD 2,97 3,17 2,41 1,81 1,81
Angka Putus Sekolah SMP/MTs 2,83 1,97 2,88 3,94 3,94
Angka Putus Sekolah SM 3,14 3,08 3,33 2,68 2,68
Angka Melek Huruf 15 tahun
keatas 90,40 90,90 91,50 91,87 92,19
Persentase jumlah guru yg
layak mengajar SMP/MTs 81,12 81,01 78,04 86,26 86,26
Persentase jumlah guru yg
layak mengajar SM 69,47 72,44 82,55 84,05 84,05
Umur Harapan Hidup 68,60 69 69,4 69,8 70,5
Angka Kematian Bayi 35 34,75 34,35 34 34
Angka Kematian Ibu 307 262 255 228 228
Prevalensi Guzi Buruk (%)
Prevalensi Gizi Kurang (%) 19,6 19,2 - 13 13
Persentase tenaga
kesehatan/pddk (%) 0,14 0,25 0,25 0,25 0,25
Persentase Penduduk berKB
(%) 56,71 57,89 57,91 57,43 53,19
Persentase Laju Pertumbuhan
Penduduk (%) 1,29 0,83 1,52 1,55 1,28
Sumber : Bappenas. Tabel Indikator EKPD 33 Provinsi. 2009.
Tabel-2.2.4 Indikator Pendukung Capaian Tingkat Kualitas SDM Nasional,
Tahun 2004 – 2008 (yang dinyatakan dalam % saja)
Indikator Pendukung (Output)
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Partisipasi Murni
SD/MI (%)(+) 93 93,3 93,54 93,75 93,98
Angka Putus Sekolah SD 97,03 96,83 97,59 98,19 98,19
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 54
(%) (-)
Angka Putus Sekolah
SMP/MTs (%) (-) 97,17 98,03 97,12 96,06 96,06
Angka Putus Sekolah SM
(%) (-) 96,86 96,92 96,77 97,32 97,32
Angka Melek Huruf 15
tahun keatas (%) (+) 90,40 90,90 91,50 91,87 92,19
Persentase jumlah guru yg
layak mengajar SMP/MTs
(%) (+)
81,12 81,01 78,04 86,26 86,26
Persentase jumlah guru yg
layak mengajar SM (%) (+) 69,47 72,44 82,55 84,05 84,05
Prevalensi Guzi Buruk (%)
(-)
Prevalensi Gizi Kurang (%)
(-) 80,04 80,08 - 87 87
Persentase Penduduk
berKB (%) (+) 56,71 57,89 57,91 57,43 53,19
Persentase Laju
Pertumbuhan Penduduk
(%) (-)
98,71 99,17 98,48 98,45 98,72
Rata-Rata 860,51/10
=86,05
866,57/10
=86,65
793,5/9
=88,16
890,38/10
=89,03
886,96/10
=88,69
Tabel-2.2.5: Perbandingan Rata-Rata Capaian Sulawesi Selatan dengan Nasional dalam Indikator
Kualitas SDM Tahun 2004 – 2008
Rata-Rata Pencapaian Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-rata Pencapaian
Kualitas SDM Sulawesi 85,1 86,06 88,27 90,62 91,09
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 55
Selatan
Rata-rata Pencapaian
Kualitas SDM Nasional 86,05 86,65 88,16 89,03 88,69
Tabel-2.2.6:
Perbandingan Rata-Rata Capaian Sulawesi Selatan dengan Nasional dalam Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2004 – 2008
Rata-Rata Pencapaian Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-rata Pencapaian IPM
Sulawesi Selatan 65,77 68,12 68,81 69,62 70,22
Rata-rata Pencapaian IPM
Nasional 68,7 69,6 70,1 70,59 70,59
Tabel-2.2.7:
Perbandingan Rata-Rata Capaian Sulawesi Selatan dengan Nasional dalam Nilai Akhir Ujian Nasional Tahun 2004 – 2008
Rata-Rata Pencapaian Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-rata Pencapaian Nilai 4,83 5,95 5,95 5,95 6,44
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 56
Akhir SMP/MTs Sulawesi Selatan
Rata-rata Pencapaian Nilai Akhir SMP/MTs Nasional 4,80 5,42 5,42 5,42 6,05
Rata-rata Pencapaian Nilai Akhir SM Sulawesi Selatan 5,56 6,05 6,25 6,24 6,28
Rata-rata Pencapaian Nilai Akhir SM Nasional 4,77 5,77 5,94 6,28 6,35
Tabel 2.3.1. Indikator tingkat pembangunan ekonomi Nasional.
Ekonomi Makro 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan ekonomi Positif 4.25 5.37 5.19 5.63 6.3
Persentase ekspor terhadap
PDRB Positif 20.07 20.84 19.48 21.26 20.34
Persentase output Manufaktur
terhadap PDRB Positif 28.07 27.41 27.54 27.06 27.87
Persentase output UMKM
terhadap PDRB Positif 55.40 53.90 53.49 53.60 52.70
Pendapatan per kapita (dalam
juta rupiah) 10.61 12.68 15.03 17.58 21.7
Laju Inflasi Negatif 6.10 10.50 13.10 6.00 11.06
Investasi
Persentanse Pertumbuhan
Realisasi Investasi PMA Positif 25.82 99.39
-
32.7968.91
-
41.62
Persentase Pertumbuhan
Realisasi Investasi PMDN Positif
-
16.0494.90
-
32.7672.60 43.80
Tabel 2.3.2. Indikator tingkat pembangunan ekonomi Sulsel.
Ekonomi Makro 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Laju Pertumbuhan ekonomi Positif 5.20 6,05 6,72 6.34
7.78 6.02
Persentase ekspor terhadap PDRB Positif 10.61 21.00 20.77 25.48
Persentase output Manufaktur terhadap Positif 13.44 13.78 13.54 13.22
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 57
PDRB Persentase output UMKM terhadap PDRB Positif
Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah) 5.80 6.90 7.98 9.00 10.09 11Laju Inflasi Negatif 6.47 13.30 6.81 12.4 2.7Investasi Persentanse Pertumbuhan Realisasi Investasi PMA
Positif 0.01 39.47 0.20 4.75 -80.42 116.63
Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDN
Positif 4.35 0.15 0.02 357.10 171.43
Infrastruktur Panjang jalan nasional berdasarkan kondisi dalam km:
• Baik 873.78 927.76 925.98 927.75• Sedang 631.44 586.82 592.56 586.83• Buruk 164.36 41.55 37.59 41.55 Panjang jalan provinsi dan kabupaten berdasarkan kondisi dalam km:
• Baik 647.42 456.67 458.22 456.67• Sedang 682.91 432.96 427.22 432.46• Buruk 554.51 319.77 261.64 320.27
Tabel 2.4.1
Penyebaran kondisi terumbu karang di perairan sulawesi Selatan
Kawasan Jumlah Stasiun
Sangat Baik (%)
Baik (%)
Kritis (%)
Rusak (%)
Kepulauan Supermonde 61 2 13 34 51 Laut Flores 118 2 26 37 35 Teluk Bone 78 10 10 17 63
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 58
Selat Makassar 8 0 0 25 75 Rata rata Sul Sel 265 4 18 30 48
Tabel 2.4.2
Indikator Capaian Tingkat Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam, Tahun 2004 – 2009
Indikator Pendukung
(Output)
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kehutanan
Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis
0,57 0,98
Rehabilitasi lahan luar hutan 16,558 1,686 12,494 2,358,00 369.358,5
Luas kawasan konservasi 304.327,22 258.706,17 258.706,17 258.006,17
Kelautan Jumlah tindak pidana perikanan 9 10 11 2
Persentase terumbu karang dalam keadaan baik
22
Luas kawasan konservasi laut 580,765 580,765
Sumber: 1. Bappenas. Tabel Indikator EKPD 33 Provinsi. 2009. 2. BPS Sulawesi Selatan, 2009.
Tabel 2.5.1 Indikator Capaian Tingkat Kesejahteraan Rakyat Nasional,
Tahun 2004 – 2009
Indikator Pendukung (Output)
Tahun
20041 20051 20061 20071 20081 2009
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 59
Persentase penduduk miskin 16,66 16,69 17,75 16,58 15,42 14,153
Tingkat pengangguran terbuka 9,86 14,22 10,28 9,11 8,46 8,144
Persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak
(terlantar, jalanan, balita
terlantar, dan nakal)
2,18 1,952 1,71 1,41 1,25 1,095
Persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi
lanjut usia 1,42 1,062 0,70 0,92 0,72 0,615
Persentase Pelayanan dan
rehabilitasi sosial (penyandang
cacat, tunasosial, dan korban
penyalahgunaan narkoba)
1,00 1,132 1,26 0,53 0,74 0,685
Sumber: 1. Bappenas. Tabel Indikator EKPD 33 Provinsi. 2009. 2. Estimasi berdasarkan rata-rata tahun sebelum dan sesudahnya. 3. BPS. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Maret 2009. 4. BPS. Survey Angkatan Kerja Nasional. Februari, 2009. 5. Estimasi berdasarkan pertumbuhan geometrik tahun 2004 & 2008
Draf Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
BAPPENAS - Universitas Hasanuddin, 2009 60
Tabel 2.5.2 Indikator Capaian Tingkat Kesejahteraan Rakyat Propinsi Sulawesi Selatan,
Tahun 2004 – 2009
Indikator Pendukung (Output) Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase penduduk miskin1 14,9 14,98 14,57 14,11 13,34 12,312
Tingkat pengangguran terbuka1 15,93 18,64 12,76 11,25 10,49 8,703
Persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak
(terlantar, jalanan, balita
terlantar, dan nakal) 4
5,05 6,03 2,02 1,63 1,64 1,14
Persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut
usia4 0,69 1,05 0,43 0,86 0,72 0,63
Persentase Pelayanan dan
rehabilitasi sosial (penyandang
cacat, tunasosial, dan korban
penyalahgunaan narkoba) 4
11,83 6,96 2,58 4,17 1,52 2,91
Sumber: 1. Bappenas. Tabel Indikator EKPD 33 Provinsi. 2009. 2. BPS. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Maret 2009. 3. BPS. Survey Angkatan Kerja Nasional. Februari, 2009. 4. Dinas Kesos dan Linmas Propinsi Sulawesi Selatan. 2009.
top related