screening saham syariah dan implementasinya
Post on 08-May-2023
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
SCREENING SAHAM SYARIAH DAN IMPLEMENTASINYA
TERHADAP PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
(Studi Perusahaan pada Daftar Efek Syariah)
Disertasi
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Doktor dalam Bidang Pengkajian Islam
Oleh:
Fauzani
NIM: 31141200000052
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM
Konsentrasi Ekonomi Islam
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2021
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena atas segala rahmat dan
inayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi di
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurahkan keharibaan jungjungan alam, nabi Muhammad SAW, keluarga,
para sahabat, dan kaum muslimin yang selalu istiqomah mengikuti sunnahnya.
Penyelesaian disertasi ini, tak lepas dari dukungan dan kontribusi banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan
penuh hormat, pertama-tama penulis sampaikan kepada Rektor UIN Syarif
Hidayutullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.,
beserta jajarannya, Direktur SPs UIN Jakarta Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar,
MA. Begitu pula halnya kepada Dr. Hamka Hasan, Lc., MA selaku Wakil Direktur,
Prof. Dr. Didin Saepudin, MA selaku Ketua Program Studi Doktor dan Arif Zamhari,
MA.g., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya juga disampaikan
kepada Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM selaku
Pembimbing yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan kritik
membangun secara kontinue kepada penulis sehingga penyelesaian disertasi ini bisa
sampai pada ujian tahap akhir. Kesediaan beliau melakukan sharing dan berdiskusi
secara langsung tentang konsep yang dibahas dalam disertasi ini sehingga
mempermudah penulis dalam menuangkan pikiran secara sistematis dan terarah
dalam penulisan disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada team penguji, terdiri dari Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH,
MA, MM, Prof. Dr. U. Maman, M.Si, dan Prof. Dr. Muhammad Bin Said, yang penuh
dedikasi memberikan saran dan komentar mengarahkan penulis saat ujian promosi
agar disertasi ini bisa lebih mampu berkontribusi untuk orang banyak.
Penulis juga tidak lupa sampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh
civitas akademika SPs UIN Jakarta mulai dari para Guru Besar dan Dosen yang telah
melakukan transfer of knowledge kepada penulis. Terima kasih dukungan dari
seluruh pegawai dan staf sekretariat SPs, staf Pepustakaan SPS UIN Jakarta, dengan
penuh keikhlasan mereka melayani penulis dalam menyiapkan berbagai kebutuhan
dan fasilitas yang dibutuhkan agar bisa menyelesaikan disertasi ini dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Agama RI atas
beasiswa program 5000 Doktor yang diberikan pada tahun 2014, walaupun tidak
diberikan bantuan sampai penyelesain akhir studi terkait diberlakuan peraturan baru,
namun tentunya tetap harus disyukuri dan banyak berterima kasih.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ketua STAI Ma’arif Sarolangun, Dr.
Fahrizal, M.Pd dan seluruh civitas akademik sebagai tempat penulis mengabdi yang
telah memberikan kesempatan dan motivasi kepada penulisan untuk melanjutkan
kuliah ke jenjang S3.
iii
Dengan kerendahan hati dari lubuk hati yang paling dalam, penulis haturkan
rasa ta’zim kepada orang tua penulis, Iliyasak (alm) dan Fatimah (Mak), H. Jubni,
S.IP., ME (Ayah) dan Hj. Yunani (Umak) serta keluarga besar yang tak pernah
berhenti berdo’a dan memberikan motivasi serta dukungannya. Semoga senantiasa
diberikan kesehatan di tengah kondisi Covid-19 sekarang ini, diberikan keberkahan
dan kebahagiaan dalam hidup oleh Allah SWT. Spesial kepada istriku Permata Neka,
STr.Keb dengan penuh kesabaran telah memberikan dukungan, doa, dan cinta
kasihnya. Tiga putra yang selalu Abi banggakan: M. Kafa Zhafar al-Fayyadh, M.
Aufa Zhafran al-Fatih, dan M. Aflah Rafan al-Hannan, semoga menjadi anak-anak
shalih dan dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya demi menggapai cita-cita.
Akhirnya, penulis menyadari adanya kekurangan dan kektidaksempurnaan
disertasi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang
bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi sempurnanya disertasi ini. Semoga
disertasi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi pegaliat dunia saham dan
pembuat kebijakan dalam industri pasar modal syariah. Mohon maaf atas kekhilafan
dan keterbatasan. Semoga Allah SWT. selalu meridhai setiap langkah perjuangan
kita. A<mi>n Ya> Rabbal ‘A <lami<n.
Jakarta, Juni 2021
Penulis,
Fauzani
viii
ABSTRAK
Disertasi ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang screening saham
syariah dan implementasinya terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahan pada Daftar Efek Syariah (DES). Proses screening saham tersebut tidak
terlepas dari Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK sebagai regulator yang
menentukan saham sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DSN-MUI dan OJK
dituntut untuk menentukan standarisasi screening saham pada objek usaha
(kualitatif) dan rasio finansial (kuantitatif) serta tingkat toleransinya. Selanjutnya,
mengkaji perusahaan yang terdaftar pada DES yang telah melewati proses screening
apakah mampu mengungkapkan tanggung jawab sosial.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah Fatwa DSN-MUI dan Peraturan
OJK. Selain itu, laporan tahunan perusahaan pada DES dari tahun 2013-2017 untuk
memperkuat analisis empiris kebijakan screening saham syariah terhadap tanggung
jawab sosial. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis (Shar‘i) dan
ekonomi. Selanjutnya, data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis isi
(content analysis).
Temuan disertasi ini membuktikan bahwa semakin ketat proses screening
saham maka akan semakin banyak perusahaan yang dapat mengungkapkan tanggung
jawab sosialnya. Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK tentang kebijakan screening saham syariah hanya lebih ketat pada kriteria objek usaha, sedangkan kriteria rasio
keuangan belum sepenuhnya mampu dan masih memberikan toleransi dengan
ambang batas yang relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan perusahaan pada DES belum
mampu sepenuhnya mengungkapkan tanggung jawab sosialnya berdasarkan laporan
tahunan perusahaan dengan menggunakan pendekatan Islamic Social Reporting
(ISR).
Hasil penelitian ini sependapat dengan pemikiran Adam dan Bakar (2014)
bahwa screening saham harus dilakukan untuk mengeliminasi saham yang diyakini
tidak dapat diterima oleh investor Islam. Blancard dan Monjon (2014) juga
menjelaskan bahwa emiten yang masuk ke pasar modal syariah tanpa proses
screening akan menyebabkan tingginya biaya pemurnian dan menekan kinerja
keuangan emiten. Penelitian serupa oleh Erragraguy Elias (2015) mengungkapkan
bahwa sebagai tolak ukur saham yang sesuai dengan prinsip syariah adalah yang
memiliki nilai tanggung jawab sosial.
Sebaliknya, disertasi ini tidak sependapat dengan Alhabsyi (2008),
Khatkhatay dan Nisar (2007) serta Derigs dan Marzban (2008) bahwa pada kondisi
sekarang ini saham murni syariah dan terbebas dari spekulasi hampir mustahil
ditemukan dalam proses screening. Pernyataan serupa oleh AlSaadi (2017),
Binmahfous, dan Hasan (2013) menyatakan bahwa proses screening yang ditetapkan
oleh fatwa syariah tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah, karena screening
syariah hanya berkonsentrasi pada negatif screening, sehingga kesejahteraan
ekonomi, sosial, dan lingkungan kurang diperhatikan.
Kata Kunci: Screening Saham, Tanggung Jawab Sosial, Daftar Efek Syariah.
ix
ABSTRACT
This dissertation aims to explores the policy of sharia stock screening and
the implementation of corporate social responsibility disclosure in the Sharia
Securities List (DES). The share screening process is inseparable from the DSN-MUI
fatwa and OJK regulations as the regulator that determines shares in accordance with
sharia principles. DSN-MUI and OJK must establish a standardized inventory
inspection for business objects (qualitative) and financial ratios (quantitative) as well
as tolerance levels. Then companies registered with DES that have passed the
verification process are examined to determine whether they are able to disclose
social responsibility.
The primary data of this research are the DSN-MUI Fatwas and OJK’s
Regulations. In addition, to strengthen empirical analysis of Islamic stock screening
policies on social responsibility the researcher took the company annual report on
DES from 2013-2017. The data are analysed by using juridical (Shar'i) and economic
approachs. Then the data is analyzed using content analysis.
This dissertation argues the higher stock screening process the more
companies express their social responsibility. The DSN-MUI fatwas and OJK
regulations regarding the sharia stock screening policy are stringent to the criteria
for business objects, than the criteria for financial ratios whose not yet fully capable
and still tolerate a relatively high threshold. This resulted in companies at DES are
not being able to fully express their social responsibility based on the company's
annual report using the Islamic Social Reporting (ISR) approach.
The argument of this dissertation concur with Adam and Bakar (2014) who
stated that stock screening must be carried out to eliminate stocks that are believed
to be unacceptable to Islamic investors. Blancard and Monjon (2014) also explained
that issuers that enter the Islamic capital market without conducting a screening
process will cause high refining costs and will suppress the issuer's financial
performance. Similar research by Erragraguy Elias (2015) revealed that as a
benchmark for stocks that are in accordance with sharia principles are those that have
values of social responsibility.
On the other hand, this dissertation disagrees with Alhabsyi (2008),
Khatkhatay and Nisar (2007), and Derigs and Marzban (2008) that at present
conditions pure Islamic stocks and free from speculation in the screening process are
almost impossible to find. Similar statements by AlSaadi, Binmahfous, and Hasan
stated that the screening process established by the sharia fatwas are not fully in
accordance with sharia principles because sharia screening only concentrates on
negative screening so that it does not pay attention to economic, social and
environmental welfare.
Keywords: Stock Screening, Social Responsibility, Sharia Securities List.
x
ملخص البحث
ملسؤولية ا لإلفصاح عن هالفرز الشرعي لألسهم وتنفيذيسعى هذا البحث إىل استكشاف , وال (DES) االجتماعية يف الشركات املدرجة لقائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية
الشرعية الوطنية جمللس العلماء اإلندونيسي اهليئة عن فتاوى زلفر اذلك عملية اءات جر إميكن فصل هذه (DSN-MUI ( ومجيع لوائح هيئة اخلدمات املالية )OJK) بصفتها اجلهة املنظمة اليت حتدد األسهم
مل ) عايريوفقا اإلندونيسي العلماء جمللس الوطنية الشرعية اهليئة يلتزم اإلسالمية. -DSNالشريعة MUI( وهيئة اخلدمات املالية )OJK) دة لفرز األسهم على كائنات األعمال إبنشاء املعايري املوح
قة مبستوى التسامح. يتم تقييم الشركاتابإلضافة إىل هذا س)النوعية( والنسب املالية )الكمية( امللحاليت متت ابلفعل جتاوز عملية (DES) قائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية املسجلة يف
املسؤولية االجتماعية. فصاحاإلز ملعرفة ما إذا كانت قادرة على الفر فتاوى من البحث هذا يف األولية املصادر العلماء تتكون جمللس الوطنية الشرعية اهليئة
ابإلضافة إىل ذلك, (OJKيئة اخلدمات املالية )هل اللوائح التنظيمية ( وDSN-MUIاإلندونيسي ) املدرجة لقائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالميةدخلت فيها التقارير السنوية للشركات
(DES) األسهم املتوافقة مع فرزوذلك لتعزيز التحليل التجرييب لسياسات 2017-2013 سنة منمث يتم حتليل البياانت حيثمنهجا فقهيا واقتصادي , الشريعة يف املسؤولية االجتماعية. ويتناول البحث
.ابستخدام حتليل احملتوىأثبت هذا البحث أنه كلما كانت عملية فرز األسهم تتزايد صرامة ، زادت قدرة الشركات فقد
عنعلى عن إفصاح الصادرة الفتاوى وتعترب االجتماعية. الوطنية جمللس مسؤوليتها الشرعية اهليئة املالية )DSN-MUIالعلماء اإلندونيسي ) ( املتعلقة OJK( واللوائح املعتمدة من هيئة اخلدمات
بسياسة فرز األسهم املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية تستدعي إجراءات عملية فرز األسهم أكثر صرامة , ويدل ذلك النسب املالية ليست قادرة متاما بعد واصفاتيف مشاريع بند كائن من األعمال بينما م
ويؤدي ذلك إىل أنه مل تتمكن للشركات نسبي ا.وفري الفرص ال يزال مفتوحا مع عتبة عالية على أن تبشكل كامل عن فصاحمن اإل (DES) املدرجة لقائمة األوراق املالية املتوافقة مع الشريعة اإلسالمية
تماعية اإلسالمية مسؤوليتها االجتماعية بناء على التقرير السنوي للشركات ابستخدام هنج التقارير االج(ISR.)
xi
بضرورة إجراء فرز األسهم (2014) آدم وبكار مع تفكري كانت نتائج هذا البحث تتفققبل املستثمرين اإلسالميني. وأوضح بالنكارد أهنا غري مقبولة من للتخلص من األسهم اليت يعتقد
أن املصدرين الذين يدخلون يف أسواق رأس املال اإلسالمية بدون إجراء عملية (2014) وموجنونيتفق هذا البحث و ء املايل للمصدر. األدا من حد فرز سيؤدي إىل ارتفاع تكاليف التكرير وكذلك سي
حيث قال أبن املعايري الشرعية لألسهم هي اليت هلا من قيم ( 2015)مع حبوث إراجراجوي إلياس املسؤولية االجتماعية.
، ودريغز (2007)، وخطايت ، ونصار ( 2008)وال يتفق هذا البحث مع أراء احلبسي يكاد يكون من املستحيل العثور على أسهم إسالمية على أنه يف الظروف احلالية( 2008)ومارزابن
( 2013)حمفوس وحسن ن وب (2017) خالصة وخالية من املضاربة يف عملية الفرز. وأفاد السعدييف تصرحيات مماثلة أبن قيام عملية الفرز اليت أقرهتا الفتاوى الشرعية ال يتوافق متاما مع ضوابط الشريعة
للفرز فقط ألن الفرز الشرعي لألسه التأثري السليب يقل لفت االنتباه إىل حتفظ إىل أنم يركز على الرفاهية االقتصادية واالجتماعية والبيئية.
الشريعة مع املتوافقة املالية األوراق قائمة اإلجتماعية, املسئولية األسهم, فرز املفتاحية: الكلمات اإلسالمية
xii
PEDOMAN PENULISAN
KUTIPAN DAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Disertasi ini menggunakan sistem penulisan kutipan dan bibliografi model Turabian,
sementara pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan adalah ALA-LC
Romanization Tables.
A. Konsonan
ا
ب
=
=
Tak
dilangbangkan
b
ز
=
z ف = f
q = ق s = س t = ت
k = ك sh = ش th = ث
l = ل }s = ص j = ج
m = م }d = ض h = ح
n = ن }t = ط kh = خ
h = ه }z = ظ d = د
w = و ‘ = ع dh = ذ
y = ي gh = غ r = ر
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah a A ـــ
Kasrah i I ـــ
Dhammah u U ـــ
2. Vokal rangkap
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan ya ai A dan i ـــي
Kasrah dan wau au A dan u ـــو
Contoh;
H{aul : حول H{usain : حسين
xiii
C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan Alif a> a dan garis di ataas ــا
Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ــي
Dhammah dan wau u> u dan garis di atas ــو
D. D. Ta’ Marbutah
Transliterasi ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata
sesudahnya maupun tidak. Contoh;
مرأة: Mar’ah
مدرسة: Madrasah
المنورة المدينة: Al-Madinah al-Munawwarah
E. Shaddah Shaddah atau Tashdid ditransliterasi ini dilambangkan dengan huruf yang sama
dengan huruf yang bershaddad. Contoh;
ربنا: Rabbana
نزل: Nazzala
F. Kata Sandang
Kata sandang “ال” dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya. Kata
sandang dikuti oleh huruf syamsiyah maka akan ditulis sesuai dengan harus
bersangkutan, namun bila diikuti oleh huruf qamariyah akan ditulis “al.”
Selanjutnya al ditulis lengkap seperti kata al-Qamaru (القمر) dan al-syamsiyah
seperti ar-rajulu (الرجل). Contoh:
شمسال : ash-Shams لنعيم ا : an-Na'i>m
al-Qalam : القلم
G. Pengecualian Transliterasi
Pengecualian transliterasi adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim
digunakan dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
Contoh kata dalam bahasa Arab yang dikecualikan transliterasinya adalah
seperti lafaz Allah, asma’ al-husna, dan ibn. Namun demikian, lafaz-lafaz
tersebut tersebut tetap akan ditransliterasi bila terdapat dalam konteks aslinya
dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................................... iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... v
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ...................................... vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvi
DAFTAR GRAFIK .............................................................................................. xvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Permasalahan .............................................................................. 14
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ............................................. 15
D. Kajian Terdahulu yang Relevan .................................................. 16
E. Metodologi Penelitian ................................................................ 20
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 23
BAB II DISKURSUS SCREENING SAHAM SYARIAH DAN
PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL ...................... 25
A. Prinsip Dasar Saham Syariah pada Pasar Modal Syariah ............ 25
B. Perbandingan Metodologi Screening pada Pelbagai Indeks
Saham Syariah Global ................................................................. 31
C. Konsep Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial pada Manajemen
Investasi ...................................................................................... 43
BAB III DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN OTORITAS JASA
KEUANGAN .................................................................................... 75
A. Dewan Syariah Nasional (DSN) ................................................. 75
B. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ..................................................... 85
BAB IV SCREENING SAHAM SYARIAH MENURUT FATWA DSN-MUI
DAN PERATURAN OJK .................................................................. 91
A. DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa Standar Screening Saham
Syariah ........................................................................................ 91
B. OJK dalam Menetapkan Peraturan Standar Screening Saham
Syariah ........................................................................................ 111
xv
BAB V IMPLEMENTASI SCREENING SAHAM SYARIAH PADA
DAFTAR EFEK SYARIAH DALAM MENGUNGKAPKAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL ...................................................... 121
A. Penilaian Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
pada DES .................................................................................... 121
B. Implementasi Screening Saham Syariah terhadap Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosila Perusahaan pada DES ............................ 135
C. Urgensi Mas}lah}ah sebagai Dasar Hukum terhadap Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan pada DES ........................................... 169
D. Saham Syariah yang Memiliki Tanggung Jawab Sosial ............. 174
BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 191
A. Kesimpulan ................................................................................ 191
B. Saran dan Rekomendasi .............................................................. 192
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 195
GLOSARIUM ..................................................................................................... 215
INDEKS .............................................................................................................. 221
LAMPIRAN
BIODATA PENULIS
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kriteria Screening menurut Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK
terhadap Kegiatan Bertentangan Syariah ....................................... 9
Tabel 1.2 Hasil Proses Pengambilan Sampel .................................................. 22
Tabel 2.1 Screening batas utang pada berbagai indeks .................................... 41
Tabel 5.1 Pengungkapan ISR Tema Pembiayaan dan Investasi ..................... 124
Tabel 5.2 Pengungkapan ISR Tema Produk dan Jasa ..................................... 127
Tabel 5.3 Pengungkapan ISR Tema Karyawan .............................................. 128
Tabel 5.4 Pengungkapan ISR Tema Masyarakat ............................................. 129
Tabel 5.5 Pengungkapan ISR Tema Lingkungan ............................................ 131
Tabel 5.6 Pengungkapan ISR Tema Tata Kelola Perusahaan ......................... 131
Tabel 5.7 Daftar Perusahan Skor Indeks Tema IST Tertinggi ........................ 133
Tabel 5.8 Pengungkapan Kehalalan Produk Thn. 2013-2017 ......................... 153
Tabel 5.9 Skor Pengungkapan IST Tema Karyawan ...................................... 159
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Aset .................. 113
Grafik 4.2 Persentase rata-rata total utang bunga terhadap aset ................ 114
Grafik 4.3 Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Ekuitas .............. 115
Grafik 4.4 Persentase rata-rata Utang Bunga terhadap Ekuitas .................. 115
Grafik 4.5 Perkembangan Saham Syariah ................................................... 116
Grafik 4.6 Rasio Keuangan pendapatan bunga dan total pendapatan ......... 118
Grafik 4.7 Persentase pendapatan bunga .................................................... 118
Grafik 5.1 Total Skor Indeks ISR Tahun 2013-2017 .................................. 122
Grafik 5.2 Total Skor Indeks ISR Masing-masing Tema
Tahun 2013-2017 ........................................................................ 124
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses screening indek saham syariah di Malaysia .................... 37
Gambar 2.2 Tiga Dimensi Berkelanjutan ...................................................... 52
Gambar 2.3 Kerangka Syariah Tanggung Jawab Sosial ................................ 63
Gambar 3.1 Susunan Pengurus DSN-MUI .................................................... 77
Gambar 3.2 Sturuktur Organisasi OJK .......................................................... 87
Gambar 4.1 Proses Screening Saham Syariah ............................................... 98
Gambar 5.1 Konsep Pengawasan Pasar Eksternal ......................................... 185
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Investasi sebagai salah satu aktivitas mu’a>malah ma>liyah (kegiatan
ekonomi) tidak terlepas dari kajian hukum Islam.1 Pada dasarnya Islam adalah
agama yang pro investasi, karena diyakini membawa pada peningkatan
produktifitas sektor rill dan memberikan manfaat bagi umat.2 Oleh karena itu,
Islam melarang sumber daya yang dimiliki seseorang hanya disimpan dan tidak
produktif (idle asset).3 Namun, bukan berarti penggunaan kekayaan tersebut dengan
bebas tanpa ada peraturan, melainkan harus tetap memperhatikan rambu-rambu
yang berlaku jangan sampai melanggar dari prinsip-prinsip syariah.4
Salah satu sarana investasi melalui penanaman saham syariah pada pasar
modal. Kajian mengenai saham syariah baik berkaitan masalah hukum maupun
praktik jual belinya telah menjadi perbincangan para pakar akademik, ulama fikih
(fuqaha>’), dan praktisi ekonomi sejak tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena
larangan Islam terhadap aktivitas bisnis tertentu yang terus berkembang. Oleh
karena itu, untuk memenuhi kepentingan pemodal muslim yang mengharapkan
kegiatan investasinya berdasarkan prinsip syariah, maka di sejumlah bursa efek
dunia telah disusun indeks yang secara khusus terdiri dari komponen saham-saham
yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah.5
1Secara bahasa kata hukum berasal dari kata Arab h}ukm (jamaknya ah}ka>m) yang
berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman, dan lain-lain. Kata hukum dalam
al-Qur’an antara lain digunakan untuk pengertian “putusan” atau “ketetapan” yang ada
hubungan dengan perbuatan Allah dan ada juga berhubungan dengan perbuatan manusia.
Namun ketika konteks hukum di hubungkan dengan “Islam” dalam al-Qur’an sama sekali
tidak ditemukan. Dalam al-Qur’an yang ada kata syariah, fikh, hukum Allah, dan yang
seakar dengannya. Karenanya dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum
syariah dan hukum fikih, karena arti syarak dan fikih mencakup di dalamnya. Lebih lengkap
lihat Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), 41- 43. 2 Nurul Huda, “Kinerja Pasar Modal Syariah Indonesia Suatu Kajian terhadap
Saham Syariah”, Makalah di sampaikan dalam Diskusi Bulanan IAEI, FE Yarsi, (11
Agustus 2006). 3Shafiqur Rahman, “Ethical Investment in Stock Screening and Zakat on Stock”,
Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015): 39-62. 4Yani Mulyaningsih, “Kriteria Investasi Syariah Dalam Konteks Kekinian,” dalam
Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 91. Lihat juga Zamir Iqbal, An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice (Singapore: Jhon Wiley & Sons, 2007), 172.
5Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana, 2008), 45. Lihat juga Hakim, S. and M. Rashidian, "Risk and Return of
2
Sebagai pelopor yang menetapkan indeks syariah di perkenalkan oleh RHB
Unit Trust Management Berhad di Malaysia pada tahun 1996, menyusul Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) pada tahun 1999, Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI) dan Global Islamic Index Series (FTSE) keduanya diluncurkan pada tahun
1999. 6 Sejak itu, indeks syariah global dan lokal terkenal lainnya terus
diperkenalkan, antara lain Morgan Stanley Capital International World Islamic Index (MSCI) pada tahun 2007, Kerachi Meezan Index pada tahun 2009, dan
STOXX Europe Islamic Index pada tahun 2011.7
Untuk konteks Indonesia, kemunculan produk syariah pertama kali di pasar
modal Indonesia ditandai dengan diluncurkannya Danareksa Syariah oleh PT
Danareksa Investment Management (DIM) pada 3 Juli 1997. DIM merupakan reksa
dana saham pertama kali secara eksplisit menyatakan investasinya bersifat syariah.
Selanjutnya, pada 3 Juli 2000 Bursa Efek Indonesia (BEI) bekerja sama dengan PT
Danareksa Investment Management meluncurkan indeks saham Jakarta Islamic Index (JII) merupakan indeks terakhir yang terdiri dari 30 saham paling likuid dan
memenuhi prinsip syariah.8 Namun, pasar modal syariah hadir secara resmi di
Indonesia pada 14 Maret 2003, berdasarkan penandatanganan Nota Kesepahaman
antara Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK)
dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).9
Penandatanganan Nota Kesepahaman tersebut menjadi pijakan dukungan
yang kuat terhadap pengembangan pasar modal berbasis syariah di Indonesia,
terutama sejak Bapepam-LK tahun 2006 menerbitkan Peraturan Bapepam-LK
Nomor IX.A13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan Nomor IX.A.14 tentang Akad-
akad yang digunakan dalam penerbitan efek syariah di pasar modal dan diikuti
dengan peluncuran Daftar Efek Syariah (DES)10 oleh Bapepam-LK pada tanggal 12
Islamic Stock Market Indexes", Presented at the International Seminar of Nonbank Financial Institutions: Islamic Alternatives, Kuala Lumpur, Malaysia. (2004), 1.
6Atina Shofawati, “Islamic Screening Mechanism of Islamic Capital Market- A
Comparison Between the Fatwa- DSN-MUI, the Kuala Lumpur Stock Exchange Islamic
Index and the Dow Jones Islamic Market Index”, The International Conference of Organizational Innovation (ICOI-2018): 1141-1151. Lihat juga, Al-Bashir, “Comments of
Muhammad Al-Bashir Muhammad Al-Amine on Reviewing the Concept of Shares:
Towards Dynamic Legal Perspective”, http://www.kantakji.com/media/163527/file521.pdf
(artikel diakses 02 Juni 2018). 7 Ramazan Yildirim dan Bilal Ilhan, “Shari’ah Screening Methodology-New
Shari’ah Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol.
14, No. 1, (January-March, 2018): 168-189. 8Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Cet.
IV (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 230. 9Abdul Manan, Aspek Hukum dalam Penyeleggaraan Investasi di Pasar Modal
Syariah Indonesia (Jakarta: Kencana, 2012), 114. Lihat juga Bapepam dan LK, “Sejarah
PasarModalSyariah,”http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html,
(artikel diakses 02 Juni 2015). 10Daftar Efek Syariah adalah kumpulan efek syariah, yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. Terbagi menjadi
3
September 2007. Sejak pertama kali diterbitkan berjumlah 174 saham syariah
terbukti terus bertambah tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana tampak pada Grafik
1.1 yang tercatat dari periode 1 tahun 2013 sampai periode 2 tahun 2019 berikut
ini.
Grafik 1.1
Perkembangan Saham Syariah
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (OJK).11
Berdasarkan Grafik 1.1 di atas, nampak jelas perkembangan saham syariah
yang terdaftar pada DES setiap tahunnya terus meningkat. Berawal dari 302
perusahaan periode pertama tahun 2013 terus meningkat hingga mencapai 451
perusahaan periode kedua tahun 2019. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa
keinginan masyarakat dan investor terhadap pertofolio efek syariah semakin besar
dikarenakan efek syariah merupakan alternatif lain bagi masyarakat, khususnya
masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.12
Saham sebelum terdaftar sebagai indeks syariah pada Daftar Efek Syariah
(DES), seluruh emiten yang terdaftar (listing) perlu dilakukan screening terlebih
dahulu sebagai perbedaan mendasar dengan saham konvensional. Dengan demikian,
seluruh proses screening bertujuan untuk mengidentifikasi saham-saham yang
melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti praktik riba, perjudian (maysir), dan
dua jenis, yaitu Pertama DES periodik, merupakan DES yang diterbitkan secara berkala
yaitu pada akhir Mei dan November setiap tahunnya. Kedua DES insidentil, merupakan
DES yang diterbitkan tidak secara berkala. https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-
statistik/daftar-efek-syariah/default.aspx (diakses pada 09 Juni 2016). 11 DES periode II tahun 2019 ditetapkan melalui Surat Keputusan Dewan
Komisioner OJK Nomor KEP-76/D.04/2019 tentang Daftar Efek Syariah, yang berlaku 1
Desember 2019 sampai dengan 31 Mei 2020. 12Rizki Dwi Kurniawan dan Nadia Asandimitra, “Analisis Perbadingan Kinerja
Indeks Saham Syariah dan Kinerja Indeks Saham Konvensional,” Jurnal Ilmu Manajemen, Vol. 2, No. 4; (2014): 1355.
4
ketidakpastian (gharar).13 Namun, terjadi perbedaan pendapat menyikapi proses
screening terhadap emiten, di antaranya diungkapkan oleh Alhabsyi, mengatakan
bahwa saham harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah atau terlepas dari
spekulasi adalah suatu keharusan. Akan tetapi menurutnya, pada situasi sekarang
ini tidak memungkinkan sepenuhnya dilarang dan terbebas dari spekulasi dalam
proses screening.14
Pendapat senada diungkapkan sebelumnya oleh Khatkhatay dan Nisar
mengatakan bahwa saham sepenuhnya murni syariah sangat langkah bisa
diterapkan.15 Bahkan Derigs dan Marzban dengan tegas mengatakan bahwa hampir
mustahil dapat menemukan kegiatan investasi yang sepenuhnya memenuhi kriteria
kepatuhan syariah. 16 Argumen mereka bahwa sebagian besar negara memiliki
lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan
institusi tersebut tidak akan bisa menghindar dari kegiatan riba yang sudah jelas
dilarang dalam Islam. Di samping itu, screening untuk saham syariah adalah proses
yang membosankan dan menghambat investor untuk berinvestasi.17
Usmani juga punya pendapat yang serupa bahwa sangat sulit menemukan
perusahaan yang benar-benar telah memenuhi prinsip syariah, karena ahli fiqh
memiliki berbagai pengertian mendefinisikan kepatuhan dan ketidakpatuhan
terhadap syariah itu sendiri.18 Kafou dan Chakir berpendapat bahwa terjadinya
perbedaan pandangan tersebut tidak dapat dihindari, bahkan perbedaan ini sudah
ada dari sebelum diterapkannya indeks syariah, semua tergantung pada metodologi
screening yang dijadikan standar dari masing-masing lembaga fatwa.19
13Elfakhani, S and Hassan, MK, “Performance of Islamic Mutual Funds, paper
Presented of Economic Research Forum,” The 12th Annual Conference, Kairo, (19-21
Desember 2005). 14Alhabsyi, S. Y. “Stock Screening Process,” Islamic Finance Bulletin (2008, June):
24-30. 15Khatkhatay, M.H. and Nisar, S. “Investment in Stocks: A Critical Review of
Dow Jones Shariah Screening Norms,” Paper presented at the International Conference on Islamic Capital Markets. (2007), http://www.kantakji.com/fiqh/Files/Fatawa/15404.pdf
(artikel diakses 15 Juni 2015). 16Derigs, M. and Marzban, S. “Review and analysis of current Shariah-compliant
equity screening practices”. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance
and Management, Vol 1 (2008): 285-303. 17Siddiqi, M.N “Shariah, Economics and the Progress of Islamic Finance: The Role
of Shariah Experts,” 7th Harvard Islamic Forum on Islamic Finance, (2006). Lihat juga
Popotte, M.: Industry Snapshot: Opening the Black Box of Shariah Stock Screening,”
http://www.opalesque.com/OIFIArticle/96/the_Black_Box_of_Shariah_Stock850.html
(diakses 06 Maret 2016). 18Maulana Taqi Usmani, “Principles of Shari’ah Governing Islamic Investment
Funds,” International Journal of Islamic Financial Services , Vol 1 (2), (1999): 45-58. 19Ali Kafou and Ahmed Chakir, “From Screening to Compliance Strategis: The
Case of Islamic Indices with Application on “MASI”, Islamic Economic Studies Vol. 25,
No. Special Issues, (April 2017): 55-84.
5
Abdullah Alsaadi et al. menyatakan bahwa proses screening saham syariah
yang diterapkan oleh komite syariah tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip
syariah. Hal ini karena proses screening yang dilakukan secara eksklusif hanya
berkonsentrasi pada screening negatif atau pada aktivitas bisnis (core bisnis) dari
pada memperhatikan kesejahteraan sosial, lingkungan, dan transparansi.20 Bahkan,
Binmahfouz dan Hasan melakukan kritikan tegas, menurutnya bagaimana bisa
sebuah perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kerusakan
lingkungan dapat menjalankan prinsip-prinsip syariah? Bukankah harusnya
sebaliknya, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip fundamental keuangan dan
investasi Islam yang lebih mengedepankan nilai etika dan akhlak dalam semua
aktivitas ekonomi.21
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa
proses screening pada saham syariah tidak sepenuhnya dapat diterapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Ini juga tentunya yang membuat sebagian fuqaha>’ mengharamkan praktik jual beli saham. Karena praktik jual beli saham menurut
sebahagian pendapat, sarat dengan unsur gharar atau tindakan spekulatif. Tujuan
investor melakukan jual beli saham hanya untuk mendapatkan capital gain, bukan
untuk tujuan kepemilikan perusahaan. Di samping itu, memiliki motif
memanfaatkan ketidakpastian untuk keuntungan jangka pendek (short term). 22
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni> dalam
bukunya, al-Niza>m al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m, menegaskan bahwa shirkah musahamah adalah bentuk shirkah yang batal secara hukum, karena tidak terdapat ijab dan
kabul bagi yang berserikat. Transaksi hanyalah sepihak dari para investor yang
menyertakan modalnya dengan cara membeli saham di pasar modal tanpa
perundingan atau negosiasi dengan pihak perusahaan.23
Argumen tersebut diperkuat oleh al-Sabatin menurutnya halal atau
tidaknya saham dilihat dari perseroan yang mengeluarkan saham. Jika perusahaan
tersebut tidak bertentangan dengan syarat-syarat perusahaan dalam Islam, maka
dibolehkan menanamkan saham pada perusahaan tersebut. Namun, secara tegas al-
Sabatin mengatakan perusahaan yang tidak bertentangan dengan syariah Islam
pada realitanya tidak ada bahkan tidak terbayang dalam pemikiran apalagi pada
prakteknya.24
20Abdullah Alsaadi et al., “Corporate Social Responsibility, Shariah-Compliance,
and Earnings Quality”, J Financ Serv Res (2017):169–194. 21 BinMahfouz, S., & Kabir Hassan, M. “Sustainable and socially responsible
investing: Does Islamic investing make a difference?,” Humanomics, 29 (3), (2013): 164-
186. 22Rodney Wilson, “Islamic finance and Ethical Investment”, International Journal
of Social Economics, Vol. 24 No. 11, (1997): 1325-1342. Lihat juga M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (UI-Pres, 2011), 206.
23Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni>, al-Niza>m al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m (Beirut:Dar el Ummah,
2004), 3. 24 Yusuf al-Sabatin, al-Buyu>‘ al-Qadi>mah wa al-Mu‘a>s}irah wa al-Bu>rs}a>t al-
Maha>lliyah wa al-Duwaliyyah (Beirut: Dar el-Bayariq, 2002), 53.
6
Terhadap pemikiran dari kelompok di atas yang secara mutlak menolak
saham sebagai bagian dari shirkah musa>hamah bahkan mengharamkan karena
dianggap batal secara hukum, penulis sendiri kurang sependapat atas pandangan
tersebut. Hal ini karena tidak ada nas} secara qat}‘i baik al-Qur’an maupun hadits
yang secara eksplisit mengharamkan praktik saham. Oleh karena itu, adanya
pandangan bahwa shirkah pada saham tidak memenuhi syarat-syarat akad, ijab, dan
kabul perlu dikaji ulang, karena pada praktiknya bahwa sebenarnya ada kesepakatan
sebelum melakukan investasi antara pemilik modal dengan pihak perusahaan,
misalnya diwakilkan kepada manager investasi untuk mengelola dana tersebut, hal
ini tentu telah mewakili unsur dalam ijab dan kabul.
Begitu juga halnya terhadap pernyataan bahwa tidak mungkin bisa terbebas
dari gharar atau tindakan spekulasi dalam praktik saham. Diakui, memang untuk
menghindar sepenuhnya sulit untuk dipraktikkan, namun setidaknya secara
bertahap ada upaya untuk menghindar dari praktik yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah tersebut. Salah satu upaya dilakukan dengan melakukan
proses screening terhadap saham syariah. Di samping itu, bahwa saham sudah
menjadi kebutuhan masyarakat muslim sebagai salah satu wadah investasi dan
sebagai penggerak perekonomian suatu negara yang sepatutnya diakomodir.
Pandangan penulis di atas, sejalan dengan pemikiran Gholamreza Zandi,
menurutnya bahwa di setiap negara pasar modal sangat penting sebagai salah satu
penggerak perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, sistem pasar ekuitas harus
diawasi dengan benar. Metodologi screening adalah salah satu elemen penting
dalam melakukan pengawasan terhadap emiten di pasar modal yang perlu
ditingkatkan dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan, status saham pada sebuah
negara akan mempengaruhi terhadap keputusan investor terutama investor Muslim
untuk berinvestasi.25
Adam dan Bakar juga mengungkapkan bahwa syariah screening harus
dilakukan untuk mengeliminasi saham yang diyakini tidak dapat diterima oleh
investor Islam, yaitu terlibat dalam aktivitas bisnis yang dilarang dalam Islam,
seperti perjudian (maysir), ketidakpastian yang berlebihan (gharar), dan riba. 26
Tidak hanya sebatas itu, Jaballah dkk. menjelaskan bahwa screening juga mengkaji
pada aspek keuangan, yaitu memberikan informasi bagi investor bahwa persoalan
utang perusahaan terbatas dianggap positif oleh investor dan tingkat utang
perusahaan yang rendah menunjukkan risiko kebangkrutan yang lebih rendah.27
Penelitian senada disampaikan oleh Blancard dan Monjon, menjelaskan
bahwa emiten yang masuk ke pasar modal syariah tanpa adanya proses screening
25 Gholamreza Zandi, dkk, “Stock Market Screening: An Analogical Study on
Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets,” Asian Social Science; Vol. 10, No.
22; (2014): 270. 26Adam, N. L., & Bakar, N. A. “Shariah screening process in Malaysia”, Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 121, (2014): 113-123. 27 Jaballah, J., Peillex, J., & Weill, L., “Is being Sharia compliant worth it?”,
“Economic Modelling, 72 (2018): 353-362.
7
diawal akan menyebabkan tingginya biaya pemurnian dan akan menekan kinerja
keuangan emiten tersebut.28 Penelitian ini secara eksplisit membuktikan pentingnya
screening agar mengurangi biaya pemurnian dan kinerja keuangan perusahaan akan
lebih baik.
Penelitian Erragraguy Elias mengungkapkan bahwa sebagai tolak ukur
saham yang sesuai dengan syariah adalah yang di dalamnya memiliki nilai
tanggung jawab sosial. Untuk membuktikannya, Elias melakukan perbandingan
antara screening prinsip-prinsip etika Islam dan praktik Socially Responsible Investment (SRI). Studi beliau fokus pada integrasi kriteria lingkungan, sosial, dan
tata kelola (ESG) ke dalam investasi yang sesuai dengan syariah. Hasil penelitian
beliau menyimpulkan bahwa tidak ada yang merugikan efek apabila dikaitkan
screening ESG dengan etika Islam bahkan menghasilkan kinerja yang jauh lebih
tinggi untuk portofolio dengan kinerja positif dalam tata kelola selama periode
2008-2011.29
Lebih lanjut dilakukan oleh Seif El-Din I Taj walaupun tidak secara
langsung berpendapat bahwa penting melakukan proses screening dan mengatakan
haramnya saham, akan tetapi berdasarkan penelitian beliau membuktikan bahwa
sebenarnya masih terdapat unsur gharar dan kurangnya pengetahuan
(jaha>la/ignorance) dalam transaksi stock market syariah. Hal ini menunjukkan
bahwa pentingnya melakukan screening tersebut. Oleh karena itu, menurutnya
harus ada regulasi dan aturan yang bisa meminimalisir unsur-unsur tersebut.30
Pendapat di atas sejalan dengan Zamir Iqbal, menurutnya bahwa meskipun
ada unsur gharar transaksi saham di pasar modal, tapi itu dapat di terima karena
semua transaksi itu didasarkan kepada analisis fundamental variable-variabel
ekonomi dan merupakan subjek level ketidakpastian yang dapat diterima, dalam
artian bukan sepenuhnya spekulasi murni. Bahkan ia menegaskan bahwa pada
dasarnya konsep pasar saham sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, hanya
saja tidak semua bisnis yang terdaftar pada pasar saham sepenuhnya sesuai dengan
syariah. Oleh karena itu, penting dilakukan screening terhadap emiten yang
melanggar dari aturan hukum Islam. Permasahan ini tentunya sebagai tantangan
bagi perkembangan pasar modal Islam.31
Pernyataan sama disampaikan oleh Sami al-Suwailem bahwa dalam pasar
modal syariah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lebih lanjut ia
menggambarkan, bahwa transaksi dalam pasar modal syariah berbeda dengan
permainan judi yang mengandung unsur spekulatif. Dalam permainan lotre,
28Gunther Capelle-Blancard dan Stephanie Monjon, “The Performance of Socially
Responsible Funds Does The Screening Process Matter?,” European Financial Management, 20 (3), (2014): 494–520.
29 Erragraguy Elias, "The performance of Socially Responsible Investment:
Evidence from Shariah-Compliant Stock”, Finance Reconsidered, (2015): 1- 41. 30Seif El-Din I Taj El-D, “Towards an Islamic Model of Stock Market,” J. KAU:
Islamic Econ., Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26. 31Zamir Iqbal, An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice, 68 dan 173.
8
misalnya, kemungkinan menang kepada kedua belah pihak yang bermain adalah
mustahil (impossible), karena ia merupakan a zero sum game, di mana yang
menang adalah satu pihak dan yang lain dirugikan. Berbeda halnya dalam stock market, semua partisipan mempunyai peluang yang sama untuk menang.32
Dalam konteks para fuqaha>’, temuan disertasi ini juga memperkuat
pemikiran S{a>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-S{ult}a>n dalam al-Ashum h}ukmuh}a> wa-A<tha>ruha>, dan Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l dalam al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi>. Keduanya telah sepakat bahwa saham dalam
Islam adalah bagian dari investasi yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Oleh karena itu, setiap transaksi hakikatnya adalah boleh (muba>h}) kecuali jika
melanggar prinsip-prinsip syariah, maka dilarang dilakukan. Screening saham
sebagai upaya menjaga saham syariah, dengan melakukan dua ketegori penilaian.
Yaitu pertama, diharamkan syariah karena bendanya (li ‘aynih) atau zatnya. Seperti
khamar, babi, bangkai, dan darah. Kedua, haram li-ghayrih. Yakni halal zatnya akan
tetapi haram cara memperolehnya, seperti ribá, maysir, mencuri, dan lain-lain.33
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, penelitian ini memberikan
kontribusi terhadap perdebatan yang sedang berlangsung di kalangan akademik dan
praktisi Islam, dengan menganalisis persoalan screening saham terhadap emiten
yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES) dalam mengungkapkan tanggung
jawab sosial. Lebih tepatnya, penelitian ini memberikan kontribusi tentang
perkembangan screening syariah yang tidak hanya fokus pada objek usaha dan rasio
keuangan, tetapi secara praktik juga akan melihat pada aspek-aspek lingkungan,
sosial, dan tata kelola perusahaan dengan menggunakan pendekatan Islamic Social Reporting (ISR).
Secara umum, proses screening terdapat dua aspek yang harus dipenuhi
emiten agar perusahaannya dapat masuk DES, yaitu aspek kualitatif dan aspek
kuantitatif. Aspek kualitatif meliputi kriteria obyek usaha, apakah perusahaan
tersebut bergerak dalam sektor yang bertentangan dengan prinsip syariah seperti
unsur-unsur riba, gharar, maysir, perdagangan yang tidak disertai dengan
penyerahan barang/jasa (future non delivery trading/margin trading), barang atau
jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; dan melakukan transaksi yang
mengandung unsur suap. Selanjutnya, aspek kuantitatif (akuntansi), seperti debt and equity ratio dan valuasi atas hasil appraisal bisnis yang bersangkutan.34
Obyek usaha emiten (perusahaan) merupakan penyeleksian terhadap bisnis
yang dijalankan oleh setiap emiten pada aspek kehalalannya. Kriteria halal dan
haram merupakan kriteria mendasar dan bersifat mutlak bagi setiap emiten agar
32 Sami Al-Suwailem, “Towards Objective Measure of Gharar in Exchange,”
Islamic Economic Studies, Vol.7. No.1 dan 2 (April 2000): 80. 33Sa>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Sult}a>n, al-Ashum h}ukmuh}a> wa-a>sa>ruha
(Saudi Arabia: Da>r ibn Jauzi , 2006), 62. Lihat juga Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l dalam
al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi ((Saudi Arabia: Da>r Ibn Al-
Jauzi>, 2005), I52. 34Elfakhani, S and Hassan, 2005, “Performance of Islamic Mutual Funds, paper
Presented of Economic Research Forum, 12th Annual Conference, 19-21 Desember, Kairo.
9
dapat menjadi saham syariah. Kriteria setiap negara tentunya bisa saja memiliki
standar yang berbeda karena merupakan keputusan mutlak oleh dewan syariah pada
masing-masing negara.35
Di Indonesia, penilaian terhadap obyek usaha investasi pada pasar modal
berdasarkan pada keputusan Fatwa DSN-MUI dan keputusan Ketua OJK. Fatwa
DSN-MUI No: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal pada Pasal 3 ayat 2 terhadap
jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah dan
Keputusan Peraturan OJK Nomor 35/POJK/201736 tentang Kriteria dan Penerbitan
Daftar Efek Syariah.
Tabel 1.1
Kriteria screening Saham menurut Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK
Fatwa DSN-MUI Peraturan OJK
Fatwa DSN-MUI Nomor: 40/DSN-
MUI/X/2003 Pasal 3 ayat 2 tentang
emiten yang menerbitkan Efek
Syariah:
a. Perjudian dan permainan yang
tergolong judi atau perdagangan
yang dilarang;
b. Lembaga keuangan konvensional
(ribawi>), termasuk perbankan
dan asuransi konvensional;
c. Produsen, distributor, serta
pedagang makanan dan
minuman yang haram; dan
d. produsen, distributor, dan/atau
penyedia barang-barang ataupun
jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat
e. Melakukan investasi pada
POJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang
Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek
Syariah:37
a. Perjudian dan permainan yang
tergolong judi;
b. Jasa keuangan ribawi;
c. Jual beli risiko yang mengandung
ketidakpastian (gharar) dan atau judi
(maysir); d. Memproduksi, mendistribusikan,
memperdagangkan, dan/atau
menyediakan:
- barang dan atau jasa yang haram
karena zatnya (h}ara>m li-dha>tih);
- barang dan atau jasa yang haram
bukan karena zatnya (h}ara>m li-ghayrih) yang ditetapkan oleh
DSN-MUI;
35Syafiq M. Hanafi, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45
No. II, (Juli-Desember 2011): 1406. 36Sebelumnya Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP.-130/BL/2006 yang
kemudian direvisi. 37Sebelumnya Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP.-181/BL/2009 tentang
Penerbitan Efek Syariah dengan sedikit perbedaan bahwa pada peraturan Bapepam-LK
2009 belum mencantumkan rasio keuangan. Kemudian Peraturan Ketua Bapepam-LK
Nomor: KEP-208/BL/2012 tentang kriteria dan penerbitan daftar efek syariah baru
menetapkan rasio keuangan dan mengganti melakukan transaksi yang mengandung unsur
suap (risywah) dengan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip syariah.
10
emiten (perusahaan) yang pada
saat transaksi tingkat (nisbah)
hutang perusahaan kepada
lembaga keuangan ribawi lebih
dominan dari modalnya.
- barang dan atau jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat; dan
/atau
- barang atau jasa lainnya yang
bertentangan dengan prinsip
syariah berdasarkan ketetapan dari
DSN-MUI
e. Melakukan kegiatan lain yang
bertentangan dengan prinsip syariah
berdasarkan ketetapan dari DSN-
MUI.
Sumber: Data diolah oleh penulis dari Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK
Berdasarkan Tabel 1.1 bahwa antara Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK
terdapat persamaan dalam hal melakukan screening terhadap kriteria usaha emiten
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, investor muslim
dapat menginvestasikan dananya pada proyek pembangunan di sektor riil atau
perdagangan yang diperbolehkan oleh syariah kecuali industri yang memproduksi
barang haram, misalnya industri perjudian, lembaga keuangan konvesional (ribawi>), produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram, dan
sebagainya.
Namun jika diperhatikan terhadap obyek usaha berdasarkan keputusan
DSN-MUI dan Peraturan OJK, sangat sedikit secara eksplisit menjelaskan jenis-
jenis kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini tentunya
jauh berbeda jika dibandingkan dengan fatwa dewan pada negara yang lain.
Misalnya pada Dow Jones Islamic Markert Index (DJIM), 38 melarang alkohol,
minuman keras, tembakau, senjata, alat perang, pornografi serta industri hiburan.
Malaysia melakukan screening berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan
oleh Majelis Penasehat Syariah Syariah Advisory Council (SAC) dari Komisi
Sekuritas Malaysia (SC), yaitu dengan melakukan screening terhadap dua indek
saham syariah di Malaysia, Kuala Lumpur Syariah Indek (KLSI) dan Rashid Husein
Berhad Islamic Market Indek (RHBIMI), di antaranya melarang judi, maysir, hiburan yang bertentangan dengan syariah, tembakau serta produk turunannya.39
Beberapa kriteria tersebut, terhadap usaha emiten tidak ditemukan dalam
kajian fikih muamalat dan merupakan persoalan hukum yang bersifat ijtiha>di>. Misalnya perusahaan rokok dan persenjataan dipandang sebagai kegiatan usaha
38Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) sebagai pasar indek Islam pertama di
dunia muslim pada Februari 1999 yaitu berdasarkan Sharia Suvervisory Board (SSB).
Sharia Suvervisory Board (SSB) dari Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) melakukan
filterisasi terhadap saham-saham halal berdasarkan aktivitas bisnis dan rasio finansialnya.
Lihat www.djindexes.com (diakses 06 April 2015). 39 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in
Malaysia” Procedia - Social and Behavioral Sciences 121, ( 2014 ): 116.
11
yang bersifat membahayakan baik untuk kesehatan maupun perdamaian dunia.
Oleh karena itu, perluasan larangan usaha tersebut sebenarnya bertujuan untuk
melindungi kepentingan (mas}lah}ah) manusia dibandingkan kepentingan bisnis itu
sendiri.40 Dalam artian mengutamakan kemaslahatan dan menghindari usaha yang
bersifat kemudharatan dan merusak moral.
Dalam konteks ini, menurut penulis penting bagi DSN-MUI dan OJK
mencantumkan secara eksplisit dengan menambah beberapa kriteria usaha emiten,
misalnya larangan perusahaan tembakau dan pornografi, walaupun perusahaan go public di Indonesia relatif belum sebanyak dibandingkan di dua indeks tersebut.41
Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan, apalagi jika melihat konteks
setting sosio-cultural masyarakat Indonesia mayoritas muslim terbesar di dunia,
tidak menutup kemungkinan suatu saat misalnya, emiten berbau pornografi
terdaftar pada indeks saham syariah yang dapat merusak moral bangsa.
Selanjutnya, OJK juga melakukan screening terhadap total hutang yang
berbasis bunga dan total pendapatan bunga dikenal dengan rasio finansial.
Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan
Penerbitan Daftar Efek Syariah tentang kriteria dan penerbitan daftar efek syariah
yaitu tidak melebihi rasio-rasio keuangan sebagai berikut. Pertama, Total utang
yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat
puluh lima persen). Kedua, Total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal
lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain tidak
lebih dari 10% (sepuluh persen);
Kriteria rasio finansial di atas, kalau diperhatikan lebih didasarkan pada
screening rasio finansial pada kinerja keuangan perusahaan yang diperbolehkan
menurut ketentuan syariah. Kriteria tersebut menyangkut sumber dana dari utang
dan jumlah maksimal pendapatan non-halal. Perusahaan syariah yang mendapatkan
dana pembiyaan atau sumber dana dari utang pada indek syariah di Indonesia
adalah jumlah total yang menggunakan bunga tidak melebihi 45%% terhadap total
aset. Ketentuan ini menyebabkan bercampurnya modal syariah dengan modal
ribawi yang sulit untuk dilakukan pemisahan dan pengawasannya.
Berdasarkan data di atas dapat dipahami bahwa perusahaan yang tercatat di
Daftar Efek Syariah (DES) masih menggunakan hutang perusahaan dengan
mekanisme bunga, bahkan Indonesia boleh sampai 45% berbasis bunga. Besaran
rasio ini lebih tinggi jika dibandingkan batasan Sharia Suvervisory Board (SSB)
terhadap DJIM dengan 33%. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perusahaan
40Syafiq M. Hanafi. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” 1406. 41Menurut hasil penelitian Siddiqui bahwa jumlah perusahaan yang sesuai dengan
proses screening pada pasar modal syariah Amerika Serikat adalah jauh lebih besar
dibandingkan Negara-negara muslim, seperti Malaysia atau Indonesia. Lihat, Siddiqui, R.
“Shari'ah compliance, performance, and conversion: the case of the Dow Jones Islamic
Market Indexs,” Chicago Journal of Internasional Law, (2007): 496
12
di Asia Tenggara termasuk Indonesia memiliki rata-rata tingkat hutang yang
tinggi.42
OJK juga memberikan batasan pendapatan non-halal antar indek syariah
dengan menetapkan tidak lebih dari 10%. Tampak bahwa dibolehkannya investasi
pada perusahaan yang pendapatannya mengandung ribawi ini tidak konsisten
dengan prinsip awal hukum riba dalam prinsip-prinsip syariah. Dalam praktiknya di
Indonesia masih memberikan sejumlah kelonggaran pada emiten yang masih
bergerak pada bidang pendapatan tidak halal, dengan syarat tidak boleh lebih dari
10%. Langkah ini dilakukan dengan alasan mengingat hampir tidak mungkin
mendapatkan emiten yang tidak terlibat dengan bunga dalam aktivitas bisnisnya.43
Berbeda halnya dengan Malaysia, menetapkan batasan yang bervariasi yaitu dari
yang terendah 5% sampai yang tertinggi 20%.44 Terjadinya perbedaan tersebut
sebenarnya dilihat dari aspek objek usaha emiten (kualitatif) yang dijalankan oleh
setiap emiten.45
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam menjalankan proses
screening atau penyaringan terhadap emiten yang akan memperdagangkan
sahamnya pada pasar modal syariah berbagai lembaga pengindeks saham syariah di
negara yang memiliki pasar modal syariah tidak hanya melakukan penilaian
terhadap objek usaha emiten, namun juga melakukan penilaian terhadap rasio
keuangan emiten, yang mana setiap negara memiliki standar indeks saham syariah
berbeda baik pada objek usaha maupun rasio keuangan.
Secara konseptual, dapat dijelaskan bahwa sesuatu yang diharamkan dalam
Islam dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, haram karena bendanya yang
haram. Kedua, haram karena selain bendanya, misalnya ada unsur Najsy, bay al-Ma‘du>m, gharar, riba, dan ihtikar.46 Sementara itu, implementasinya di Indonesia,
investasi di pasar modal syariah hanya baru melakukan screening secara ketat
terkait dengan sesuatu dikatakan haram karena bendanya (business screening)
terhadap perusahaan penerbit saham. Karenanya, perusahaan yang ingin
menerbitkan saham harus terbebas dari sektor usaha yang aktivitas bisnisnya
berkaitan dengan benda haram tidak boleh listing di pasar modal syariah.
Sementara untuk sesuatu yang haram karena selain zatnya masih dimungkinkan
42 Lang, Leslie dan Young, “Debt and Expropriation,” Working Paper,
www.yahoo.com2000. (diakses 28 Juli 2015). 43Yani Mulyaningsih, “Kriteria Investasi Syariah dalam Konteks Kekinian”, dalam
Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, 115-
116. Lihat juga M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, 210. 44 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in
Malaysia,” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121, ( 2014 ): 116.
45 Ali Waris, Hafiz Ali Hassan, Sayyid Khawar Abbas, Muhammad Mohsin,
Nauman Waqar, “Sharia Screening Process: A Comparison of Pakistan and Malaysia,”
Assian Journal of Multidiscplinary Studies, 6, (2018): 13-21. 46Sa>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Sult}a>n, al-Asham h}ukmuh}a> wa-a>sa>ruha,
62. Lihat juga Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l, al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi, I52.
13
adanya kompromi, seperti halnya masalah riba, gharar (terkait aktivitas spekulasi),
dan praktik lainnya. Terjadinya pilihan kompromi tersebut dilakukan, karena pada
zaman modern ini belum memungkinkan mengimplementasikan prinsip-prinsip
syariah tersebut secara totalitas.47
Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan screening saham pada kriteria
obyek usaha tidak hanya difokuskan pada negative screening (obyek emiten yang
bersifat halal dan haram), akan tetapi juga menekankan positive screening terhadap
aktivitas perusahaan yang dianggap memberikan kemaslahatan umat manusia dan
perbaikan dunia, seperti menjaga konservasi lingkungan hidup, adanya jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja, persamaan gaji, produk ramah lingkungan, dan
lain-lain yang dikenal dengan istilah memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) dalam menjalankan perusahaannya.48
Ungkapan tanggung jawab sosial sebagai salah satu bentuk akuntabilitas
perusahaan yang mana perusahaan tidak hanya dituntut dan dihadapkan pada
tanggung jawab yang berpijak pada kondisi keuangannya (ekonomi) saja tetapi juga
masalah sosial dan lingkungan.49 Konsep ini dalam Islam dikenal dengan istilah
Islamic Social Reporting (ISR), 50 sedangkan barat dengan istilah ethical
investment (IE), 51 atau socially responsible investment (SRI) yang telah
berkembang sejak awal periode 1970-an. 52 Konsep investasi etis yang
47Yani Mulyaningsih, “Kriteria Investasi Syariah Dalam Konteks Kekinian,” dalam
Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, 104. 48Maria Torres, Maria AŁngeles Fernandez-Izquierdo and Maria Rosario Balaguer
Franch, “The social responsibility performance of ethical and solidarity funds: an approach
to the case of Spain” Business Ethics: A European Review Blackwell Publishing Ltd.
Volume 13 Numbers ( 2004), 17. 49Lantos mengungkapkan bahwa dalam tanggung jawab sosial perusahaan terdapat
tiga tipe tanggung jawab, yaitu tangung jawab etis, altruistik, dan strategis. Lihat G. P.
Lantos, “The Ethicality of Altruitistic Corporate Social Responsibility,” Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 No. 3, (2002): 205-230.
50 Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive,”
Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2, (2002). 51Wilson membagi ethical investment kepada dua jenis, yaitu negatif dan positif.
Investasi negative maksudnya perusahaan diseleksi jangan sampai bergerak pada sektor
industri yang bertentangan dengan moral. Sedangkan kriteria positif adalah perusahaan
tersebut harus peduli atau ramah terhadap lingkungan. Lihat Wilson, R., “Islamic Finance
and Ethical Investmen,” International Journal of Social Economic, (1997): 24. 52Dunia barat mengenal investasi etis sejak sekte Quaker menolak aktivitas bisnis
yang berkaitan dengan perang dan perdagangan budak pada abad ke 16-17. Kalangan
muslim telah menjalankan investasi etis 12 abad lebih dulu dibanding dunia barat, tetapi
kalangan barat telah memperluas jangkauan negative screening dalam investasi seperti yang
kita kenal saat ini. Lihat M. Hanafi, Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham
Syari’ah Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones, 1416. Lihat juga, Haas, Robert, Robert
Brady, Barbara Widstrand, “Screening Investment of Stakeholders: SRI in USA,” Social Investment Forum, (2003): 12-15.
14
mengembangkan investasi melarang aktivitas yang bertentangan dengan moral,
seperti pornografi, minuman keras, nuklir, senjata, dan tembakau.53
Karenanya, para pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh
keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan juga memberikan kontribusi positif
atas segala dampak dari kegiatan bisnisnya terhadap lingkungan sosial. Namun
permasalahannya, bagaimana Islam menyikapinya, walaupun berbagai nilai-nilai
universal dalam Islam ada hubungan dengan konsep SRI oleh Barat, di antaranya
komitmen untuk mendahulukan kepentingan sosial, peduli terhadap lingkungan,
dan menghindari kegiatan berbahaya, misalnya larangan pembuatan senjata,
produksi alkohol atau tembakau. Perbedaannya, bahwa tanggung jawab sosial
dalam Islam dibangun untuk melindungi kepentingan (mas}lah}ah) manusia
dibandingkan kepentingan bisnis itu sendiri.54 Bisnis tidak akan berjalan sukses
tanpa memperhatikan mas}lah}ah, bahkan investor harus mengorbankan beberapa
bagian dari kinerja keuangan untuk mencapai tujuan sosial yang dianggapnya lebih
penting.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis merasakan penting untuk
mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap kebijakan screening saham syariah di
Indonesia, baik secara konsep yang telah dirumuskan oleh DSN-MUI bersama OJK
maupun dalam tataran implementasi kepada berbagai bentuk transaksi atau
instrumen bisnis saham pada setiap perusahaan yang terdaftar pada Daftar Efek
Syariah (DES) dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul berkenaan
dengan screening pada saham syariah, antara lain adalah:
a. Perdebatan disekitar saham tidak hanya dalam hal menyikapi hukum saham,
tetapi juga terhadap praktik jual beli. Hal ini terjadi, karena tidak semua
pemikir Islam sepakat bahwa setelah dilakukan screening saham, sehingga
saham tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
b. Kriteria screening masing-masing negara memiliki perbedaan. Perbedaan
tersebut dikarenakan keputusan dewan syariah pada masing-masing negara
berbeda.
c. Standar screening saham syariah memiliki dua aspek, yaitu aspek kualitatif dan
aspek kuantitatif. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, banyak saham
syariah yang memenuhi standar secara kualitatif tetapi belum secara
kuantitatif.
53 Jolly, C., “Ethical Demands and Requirements in Investment Management,”
Business Ethics: A European Review, 2:4, (1993): 171–177. 54M. Hanafi Syafiq, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45
No. II, (Juli-Desember 2011): 1406.
15
d. Nilai universal pelaku bisnis Islam dan Barat memiliki kesamaan terhadap
pengungkapkan tanggung jawab sosial. Namun ada perbedaan bahwa tanggung
jawab sosial dalam Islam di bangun atas dasar melindungi kepentingan
(mas}lah}ah) manusia di bandingkan kepentingan bisnis itu sendiri.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka
masalah utama yang akan diteliti dan dijawab sebagai rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah menganalisis “Bagaimana screening saham syariah menurut
Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK sehingga mampu menghasilkan tanggung
jawab sosial baik bagi investor, emiten, dan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah?” Dengan mengacu pada masalah utama tersebut,
maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
a. Bagaimana DSN-MUI menetapkan fatwa tentang standar screening saham
syariah?
b. Bagaimana OJK menetapkan peraturan tentang standar screening saham
syariah?
c. Bagaimana implementasi kebijakan screening saham syariah pada perusahaan
yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah dalam mengungkapkan tanggung
jawab sosial?
3. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini
penulis perlu untuk melakukan suatu batasan, sehingga tidak terlalu luas dan keluar
dari masalah inti yang dibahas. Untuk itu penulis memfokuskan penelitian terhadap
kebijakan screening saham syariah menurut DSN-MUI dan Otoritas Jasa Keuangan
serta implementasinya pada perusahaan Daftar Efek Syariah dalam mengungkapkan
tanggung jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Obyek penelitian difokuskan pada saham yang terdaftar
pada DES berdasarkan laporan tahunan (annual report) dengan rentang waktu 5
tahun terhitung dari tahun 2013-2017.
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
a. Menganalisis dan mengelaborasi DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang
standar screening saham syariah.
b. Menganalisis dan mengelaborasi OJK dalam menetapkan peraturan tentang
standar screening saham syariah.
c. Mengeksplorasi dan mensintesiskan implementasi screening saham syariah
pada perusahaan yang terdaftar pada Dafar Efek Syariah dalam
mengungkapkan tanggung jawab sosial.
16
2. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Menghasilkan kebijakan screening saham syariah yang dapat diaplikasikan
secara operasional oleh saham syariah di DES sehingga perdebatan tentang
keraguan masyarakat halal atau haramnnya saham dapat terpecahkan.
b. Menjadi acuan dan bahan pertimbangan bagi DSN-MUI dan OJK dalam
membuat fatwa dan peraturan terhadap screening saham syariah dalam upaya
menciptakan tanggung jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat.
D. Kajian Terdahulu yang Relevan
Sebelum melakukan penelitian, maka perlu dilakukan kajian terdahulu yang
ada relevansinya dengan tema disertasi ini. Berdasarkan penelusuran peneliti,
bahwa penelitian yang berkaitan tentang screening saham diakui oleh penulis sudah
banyak yang membahasnya, akan tetapi lebih pada secara empiris bukan pada
kebijakan atau sebaliknya masih secara normatif dan belum membahas secara
komprehensif. Beberapa kajian antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Noor
Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar dalam penelitiannya berjudul Shariah Screening Process in Malaysia. 55 Adam dan Abu Bakar menjelaskan proses
screening dirancang untuk menghindar dari unsur-unsur yang melanggar aturan dan
pedoman Syariah Islam, yaitu berpedoman kepada al-Qur'an, dan hadith. Di antara
larangan Islam adalah praktek riba, perjudian (maysir), dan ketidakpastian (Gharar). Untuk mengatasi masalah ini, para ulama telah menetapkan beberapa kriteria yang
dapat diterima bagi perusahaan untuk melakukan bisnis agar terhindar dari
pendapatan non-halal.
Penelitian ini hanya fokus kepada proses screening sebelum disertifikasi
sebagai saham syariah oleh Sharia Suvervisory Board (SSB), sedangkan konsep
screening itu sendiri tidak dibahas secara komprehensif. Penelitiannya juga
dilengkapi dengan melakukan perbandingan kriteria screening antara Sharia
Suvervisory Board (SSB) dan Dow Jones Islamic Market Indexes (DJIM) dilihat
pada aspek aktivitas bisnis dan rasio finansial, namun pembahasannya hanya
menjelaskan perbedaan kriteria screening yang ada pada ke dua dewan syariah
tersebut, tanpa memberikan konsep screening yang sesuai dengan hukum Islam
(Shariah Compliant) dan implementasinya terhadap tanggung jawab sosial
perusahaan yang terdaftar.
Maiyaki dalam penelitian yang berjudul Principles of Islamic Capital Market (ICM).56 Penulis membuktikan bahwa pasar modal syariah di dunia global
lebih unggul dan terus berkembang dengan pesat. Hal ini berawal dari
55 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in
Malaysia,” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121 (2014). Published by Elsevier
Ltd. 56 Ahmad Audu Maiyaki, “Principles of Islamic Capital Market,” International
Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences Vol. 3,
No. 4, (October 2013).
17
kemampuannya untuk mendukung sistem keuangan global terutama setelah
kegagalan sistem keuangan konvensional menghadapi krisis global. Lebih lanjut,
beliau juga menjelaskan screening saham syariah yang dilakukan oleh Dow Jones
Islamic Index (Amerika Serikat), Meezan Islamic Fund Criteria (Pakistan), Kuala
Lumpur Stock Exchange Shari'ah Index (Malaysia). Dewan syariah tersebut
menetapkan pedoman bagi investor yang dilakukan dengan dua cara yaitu screening
kualitatif dan kuantitatif, keduanya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh dewan penasihat Syariah. Dewan ini mengawasi dan memastikan bahwa
semua ekuitas yang terdaftar pada ICM adalah benar-benar syariah compliant. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasar modal syariah memiliki kinerja
yang relatif lebih baik dibandingkan pasar modal konvensional. Oleh karena itu,
Pasar modal syariah di seluruh dunia harus berusaha untuk berpartisipasi secara
aktif di pasar global, dengan selalu memperhatikan standar etika dan prinsip-prinsip
syariah.
Dalam penelitian ini membicarakan prinsip pasar modal syariah, akan
tetapi dengan konteks yang berbeda yaitu lebih kepada perkembangan pasar modal
syariah di dunia global. Walaupun pada salah satu pembahasannya ada sedikit
membahas persoalan saham berkaitan masalah screening saham yang dibagi dalam
dua macam, yaitu screening kualitatif dan kuantitatif namun tidak secara spesipik
menjelaskan kedua macam screening tersebut dan implementasinya pada saham
syariah.
Wee Ching Pok dalam penelitiannya yang berjudul Analysis of Syariah Quantitative Screening Norms Among Malaysia Syariah-compliant Stocks, 57
bertujuan untuk menguji apakah kriteria screening syariah diadopsi oleh SAC dari
SC Malaysia jauh lebih liberal daripada penyedia indeks terkemuka di dunia. Untuk
membuktikannya, peneliti melakukan penelitian sejauh mana saham syariah SAC
SC Malaysia memenuhi kriteria screening kuantitatif yang ditetapkan oleh tiga
indeks ekuitas terkemuka, terdiri dari DJIM, S & P, dan penyedia indeks FTSE
syariah berdasarkan daftar yang dirilis oleh SC pada tanggal 31 Mei 2010.
Untuk membuktikannya, 477 (56,3%) perusahaan Syariah go public dari
846 perusahaan yang menjadi populasi, diuji dengan menggunakan rasio keuangan,
yaitu rasio likuiditas, rasio bunga, rasio hutang dan rasio pendapatan non-halal
yang digunakan oleh penyedia indeks terkemuka dunia. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat (12.16%) perusahaan yang memenuhi kriteria DJIM
dan (63,10%) perusahaan yang memenuhi syarat kriteria FTSE. Dengan demikian
dapat simpulkan, bahwa saham syariah Malaysia lebih mudah dan lebih longgar
daripada saham syariah di tempat lain. Bahkan menurut pernyataan beliau, kriteria
screening saham di Malaysia terlalu 'liberal'. Penelitian ini berbeda dengan
pembahasan penulis karena penelitian ini fokus pada aplikasi screening saham
secara kuantitatif di berbagai indeks saham syariah pada negara yang berbeda
dengan melakukan komparasi.
57 Wee Ching Pok, “Analysis of Syariah quantitative screening norms among
Malaysia Syariah-compliant stocks,” Investment Management and Financial Innovations,
Volume 9, Issue 2, (2012).
18
Penelitian senada dilakukan oleh Gholamreza Zandi, dkk. Dalam Stock Market Screening: An Analogical Study on Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets. 58 Penelitian ini mencoba melakukan perbandingan saham syariah-compliant terdaftar di Bursa Malaysia. Apakah saham yang telah melewati proses
screening oleh SAC SC juga diterima sebagai saham syariah oleh Indeks
Internasional. Sebagai sampel 35 saham syariah terdaftar di Bursa Malaysia diuji
terhadap empat kriteria penyaringan saham, terdiri dari DJIM, MSCI, FTSE dan S
& P. Hasilnya menunjukkan bahwa saham syariah-compliant terdaftar di Bursa
Malaysia tidak semuanya diterima pada saham Syariah-Compliant dalam empat
Indeks DJIM, MSCI, FTSE, dan S & P. Hal ini disebabkan oleh utang yang tinggi
dan kapitalisasi pasar yang rendah merupakan faktor utama menjatuhkan saham
syariah Malaysia dari empat Indeks yang lain.
M. Cholil Nafis dalam bukunya (seri disertasi) yang berjudul “Teori Hukum Ekonomi Syariah.” Menurutnya walalupun pasar modal syariah sudah melewati
proses screening dengan batasan aset yang mengandung riba adalah 30% dari total
aset emiten, akan tetapi timbul pertanyaan apakah ada jaminan bahwa aset suatu
emiten yang mengandung usur riba tidak lebih dari 30%. Oleh karena itu,
permasalahannya bukan pada berapa persen ada unsur ribawi, karena banyak atau
sedikit tetap haram hukumnya. Disamping itu, beliau juga mengkritik fatwa DSN-
MUI hanya melihat persoalan pasar modal dari sudut barang yang diperjualbelikan
dan proses transaksi antara pihak penjual dan pembeli yang harus sesuai prinsip-
prinsip syariah. Padahal tidak hanya sebatas itu, penting juga diperhatikan
perseroannya. Hal ini penting karena perseroan adalah bentuk kerjasama antara dua
orang atau lebih, perlu menerapkan prinsip syariah, misalnya keharusan akad, ija>b dan qabu>l dalam menjalankan bisnis.59
Dalam penelitian tersebut, diakui penulis sedikit ada kesamaan, yaitu
secara konseptual sama-sama mengkaji fatwa DSN-MUI dan hubungannya dengan
screening, namun kajiannya lebih fokus pada konsideran, landasan hukum, dan
keputusan ditetapkannya fatwa tersebut. Sementara itu, penulis selain meneliti hal
tersebut secara konsep juga melihat dinamika ditetapkannya fatwa tersebut,
hubungan fatwa dengan peraturan Bapepam-LK dan implementasinya pada Dafar
Efek Syariah dalam mewujudkan tanggung jawab sosial setiap emiten.
Penelitian Agus Triyanta dalam penelitiannya berjudul Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait Screening Criteria di Jakarta Islamic Index.60 Memaparkan bagaimana konsep gharar dalam hukum keuangan Islam, serta
bagaimana implementasinya dalam Screening Criteria pada Jakarta Islamic Index
(JII). Untuk membuktikannya, peneliti mengumpulkan berbagai data berupa norma
dan peraturan, baik berasal dari hukum Islam maupun yang dikeluarkan oleh
58 Gholamreza Zandi, dkk, “Stock Market Screening: An Analogical Study on
Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets,” Asian Social Science; Vol. 10, No.
22, Published by Canadian Centerof Science and Education, (2014): 270. 59M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, 208-210. 60Agus Triyanta, “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait
Screening Criteria di Jakarta Islamic Index,” Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober (2010).
19
lembaga pemerintah terkait dengan pasar modal. Berdasarkan data tersebut beliau
menyimpulkan bahwa gharar yang ada dalam hukum Islam adalah suatu unsur
tersembunyi yang dapat menyebabkan kerugian atau bahaya dari para pihak yang
terlibat dalam sebuah transaksi. Untuk membuktikan kriteria syariah bagi proses
screening (seleksi) pada JII ada dua aspek yang dilakukan, yaitu: Pertama, perusahaan yang masuk pada JII adalah perusahaan yang tidak menyelenggarakan
layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, gharar dan perjudian
(maysir). Kedua, perdagangan yang dilakukan di JII haruslah memenuhi prinsip
kehati-hatian (ih}tiyat}), tidak spekulatif dan manipulatif (dharar, gharar, riba, maysir, risywah, dan kezaliman). Penelitian Agus Triyanta ini diakui penulis,
memang mengkaji konsep screening pada Fatwa DSN-MUI dan Bapepam-LK serta
implementasinya pada Jakarta Islamic Index. Namun penelitian ini tidak dilakukan
dengan komprehensif, hanya sebatas persoalan gharar dilihat kriteria usaha.
Berbeda dengan penulis konsep screening juga dapat dilakukan pada aspek rasio
finansial.
Penelitian Erragraguy Elias yang berjudul The performance of Socially Responsible Investment: Evidence from Shariah-Compliant Stock mengungkapkan
bahwa sebagai tolak ukur saham yang sesuai dengan prinsip syariah adalah di
dalamnya memiliki nilai tanggung jawab sosial. Untuk membuktikannya, Elias
melakukan perbandingan antara screening prinsip-prinsip etika Islam dan praktik
Socially Responsible Investment (SRI). Studi ini fokus pada integrasi kriteria
lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) ke dalam investasi yang sesuai dengan
Syariah. Hasil penelitian beliau menyimpulkan bahwa tidak ada efek yang
merugikan apabila dikaitkan screening ESG dengan etika Islam bahkan
menghasilkan kinerja yang jauh lebih tinggi untuk portofolio dengan kinerja positif
dalam tata kelola selama periode 2008-2011.61
Terakhir penelitian Kuncoro Hadi yang berjudul Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap Pertumbuhan Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah). 62 Menurutnya bahwa terjadi perbedaan tentang struktur
modal perusahaan ketika dikaitkan dengan utang. Di mana Indonesia sudah
menetapkan kebijakan sharia screening terhadap struktur modal perusahaan yang
terdaftar di Daftar Efek Syariah yang membolehkan rasio utang berbasis bunga
sampai 45%. Menurut Hadi ada dua teori yang berbeda dalam menyikapinya,
Pertama, teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi hutang maka semakin tinggi
nilai perusahaan (modigliani miller theory dan trade off theory). Para
pendukungnya, seperti Fraser, Zhang dan Derashid, Levati, dan Prashant. Kedua,
teori yang menyatakan bahwa semakin rendah utang maka semakin tinggi nilai
perusahaan (pecking order theory), para pendukungnya, seperti Nikolaos, Dimitrios,
dan Zee.
61 Erragraguy Elias, "The performance of Socially Responsible Investment:
Evidence from Shariah-Compliant Stock”, Finance Reconsidered, (2015): 1- 41. 62 Kuncoro Hadi yang berjudul: Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap
Pertumbuhan Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah), (Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
20
Terhadap dua teori yang berbeda tersebut, Hadi lebih sependapat dengan
yang kedua, yakni semakin rendah utang semakin bagus performance perusahaan,
sebab banyaknya utang perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap nilai
perusahaan. hal ini juga yang telah dipraktekkan di Indonesia, membatasi rasio
utang tidak lebih 45% berdasarkan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP-
208/BL/2012 dengan melakukan screening terhadap industri syariah. Dalam
penelitian tersebut diakui penulis walaupun ada sedikit kesamaan, terutama sama-
sama mengkaji kebijakan screening syariah, namun kajiannya hanya fokus pada
rasio keuangan tepatnya masalah rasio total hutang yang berbasis bunga bukan
pada objek usaha dan pendapatan non halal. Sementara itu, penulis selain meneliti
hal tersebut secara konsep juga mengkaji implementasinya pada Daftar Efek
Syariah dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah suata proses penelitian atau pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
agama. 63 Oleh karena itu, agar penelitian ilmiah dapat diterima dan dipercaya
kebenarannya, tentunya harus mampu disusun dengan menggunakan metode yang
tepat dan benar.
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Berdasarkan bidang keilmuan penulis, penelitian ini merupakan penelitian
ekonomi Islam, yakni penelitian ini mengkaji konsep-konsep ekonomi Islam terkait
dengan konsep screening saham syariah menurut Fatwa DSN-MUI dan Peraturan
OJK, kemudian dikaitkan dengan melihat fakta atau implementasi yang terjadi di
lapangan dengan menggunakan data-data kuantitatif terhadap laporan tahunan
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di DES untuk membuktikan tanggung jawab
sosial perusahaan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
(Shar‘i) dan ekonomi. Pendekatan yuridis dipilih mengkaji Fatwa DSN-MUI dan
Peraturan OJK tentang screening saham syariah, sehingga diperoleh data-data
secara yuridis-normatif yang penulis merasa perlu menganalisanya dari kaca mata
shar‘i. Di mana tujuan utama dari syariah (maqa>s}id al-shari>‘ah) itu sendiri adalah
adanya mas}lah}ah. Selanjutnya, formulasi ini diimplementasikan ke dalam sistem
ekonomi. Penulis akan menjelaskan fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan
mengenai kebijakan screening saham syariah di Daftar Efek Syarih (DES),
bagaimana implementasi kebijakan screening tersebut terhadap tanggung jawab
sosial perusahaan yang pada gilirannya akan memperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif mengenai persoalan yang diteliti.
63Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Gaung Persada, 2009), 11.
21
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan
(library research). Sebagai data primer dalam penelitian ini adalah: 1) Fatwa DSN
No. 20/DSN-MUI/IV/2001; 2) Fatwa DSN No: 40/DSN-MUI/X/2003; 3) Peraturan
Bapepam-LK No: KEP-314/BL/2007; 4) Peraturan Bapepam-LK No: KEP-
181/BL/2009; 5) Peraturan Bapepam-LK No: KEP-208/BL/2012; dan 6) peraturan
OJK Nomor 35/POJK.04/2017. Di samping itu, untuk menganalisis tanggung jawab
sosial dengan melihat laporan tahunan perusahaan pada DES sebagai data lapangan
baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif untuk memperkuat analisa empiris
kebijakan screening saham syariah terhadap tanggung jawab sosial.
Adapun data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan secara maksimal
bahan-bahan pustaka yang relevan untuk menjawab permasalahan penelitian, di
antaranya, Peraturan Bank Indonesia dan kitab-kitab fiqh muamalah tentang norma
atau kaidah sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum Islam, terkait dengan
konsep screening saham syariah dan hubungannya dengan pengungkapan tanggung
jawab sosial. Sumber data diperoleh dari berbagai artikel jurnal, buku ilmiah, koran,
majalah,64 serta penulis juga memanfaatkan teknologi internet, yaitu sebagai upaya
mencari artikel atau tulisan-tulisan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
bahasan yang sedang dikaji. Peneliti juga menggunakan data dari wawancara tidak
terstruktur (unstructured interview) 65 dengan seorang anggota DSN-MUI yang
membidangi pasar modal syariah dan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang harus pertama kali dimiliki adalah Fatwa DSN-MUI dan
Peraturan OJK. Selanjutnya mengumpulkan data daftar perusahaan yang masuk
DES. Adapun data yang diperoleh dari DES sebagai populasi berjumlah 375
perusahaan, lalu diseleksi untuk dijadikan sampel.66 Metode pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling yang
bertujuan untuk proses pengambilan sampel dengan membatasi jumlah sampel
sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti sendiri.67
64 Lexy J. Mowleong, Metedologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-13 (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), 113. 65Wawancara tidak terstruktur dapat digunakan secara bebas dimana si peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan secara sistematis, dalam
pengertian hanya berupa garis besar-garis terhadap permasalahan yang akan ditanyakan.
Lihat, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2013), 74. 66Sampel merupakan bagian dari populasi atau sejumlah cuplikan tertentu yang
diambil dari suatu populasi. Lihat lebih lengkap Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif, (Jakarta: PT. GrapindoPersada, 2008), 162.
67Purposive sampling merupakan salah satu teknik yang paling sering digunakan
dalam penelitian kuantitatif. Uma Sekaran dan Bougie, Metode Penelitian untuk Bisnis (Jakarta: Salemba Empat, 2017), 89.
22
Adapun tahapan pengambilan sampel dalam penelitian ini sebagaimana di
jelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.2
Hasil Proses Pengambilan Sampel
No. Kriteria Jumlah
Perusahaan
1. Perusahaan yang masuk dalam DES selama
sepuluh periode dan secara berturut-turut tercatat
(listed) di BEI selama kurun waktu 2013-2017.
182
2. Eliminasi perusahaan yang menggunakan mata
uang selain Rupiah
(35)
3. Eliminasi perusahaan yang laporan tahunannya
tidak tersedia secara lengkap di situs official website BEI (www.idx.com), atau official website OJK (http://ojk.go.id) atau situs masing-
masing perusahaan.
(8)
Total Perusahaan 139
Sumber: Hasil olah penulis
Dengan demikian, jumlah sampel yang terpilih dalam penelitian ini
sebanyak 139 perusahaan.
4. Teknis Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kajian isi (content analysis) atau yang sering dikatakan sebagai analisis isi, 68 yaitu suatu teknik
sistematika untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya terhadap data atau fakta
yang disusun dari berbagai data baik data primer maupun sekunder, kemudian
menarik kesimpulan melalui usaha memunculkan karakteristik pesan yang
dilakukan secara logis, kritis, objektif, dan sistematis.69
Dalam penelitian ini content analysis yang dimaksud adalah untuk
mengkaji terhadap kebijakan screening saham syariah menurut Fatwa DSN-MUI
dan Peraturan OJK. Di samping itu, untuk mengidentifikasi jenis pengungkapan
tanggung jawab sosial dengan menggunakan alat ukur Islamic Social Reporting
68Content Analysis adalah upaya untuk menelaah maksud dari isi sesuatu bentuk
informasi yang termuat dalam dokumen, syair, lukisan, pidato tertulis, naskah atau
perundang-undangan. Lihat. Earl Babbie, The Practice of Social Research (Belfast
California: Wardswort Publishing, 1980), 267. Belakangan berkembang Contents Analysis juga dapat digunakan untuk menganalisis surat kabar, situs web, iklan, rekaman wawancara,
dan juga laporan tahunan perusahaan. Sujono dan Abdurrahman, Metodologi Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 13.
69Bagong Suryanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2005), 125.
23
(ISR) dengan cara membaca dan menganalisis laporan tahunan, laporan Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dan laporan PROPER terhadap
perusahaan yang terdaftar pada DES, untuk melihat seberapa besar tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sudah melalui proses
screening saham sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam disertasi ini direncanakan akan disajikan dalam enam
bab yang disusun secara sistematis dan saling terkait. Bab pertama merupakan
bagian pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah. Bagian ini
menjelaskan bahwa terjadi perbedaan dikalangan ulama dan pemikir ekonomi Islam
tentang konsep screening saham syariah. Perbedaan ini disinyalir oleh adanya
kebijakan atau fatwa yang berbeda yang ditetapkan oleh dewan syariah masing-
masing negara. Selain itu, bab ini juga menjelaskkan tujuan dan manfaat penelitian
yang dijadikan langkah awal sebelum melakukan analisa lebih jauh terhadap
permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan penelitian terdahulu yang relevan
berguna untuk apakah penelitian ini sudah pernah dilakukan, di samping itu untuk
membedakan peneliti dengan penelitian sebelumnya dan untuk menghindar
terjadinya plagiasi. Adapun metode penelitian berguna untuk mengarahkah
penelitian ini agar lebih fokus, yaitu dengan menggunakan beberapa pendekatan,
proses pengumpulan sampai pada analisis data. Pada bagian akhir Bab I ini adanya
sistematika penulisan untuk memberikan gambaran secara umum hubungan antara
satu bab dengan bab yang lain.
Bab kedua masuk pada kerangka teori atau perdebatan akademik yang
membahas tentang diskursus screening saham dan pengungkapan tanggung jawab
sosial, terdiri dari tiga sub bab pokok pembahasan. Bagian ini penting dimasukkan
pada bab kedua bertujuan untuk menjelaskan lebih jauh prinsip dasar saham
syariah, melakukan perbandingan terhadap kriteria screening saham pada pelbagai
indeks syariah dan konsep tanggung jawab sosial pada manajemen investasi.
Bab ketiga gambaran umum daripada objek penelitian. Terdiri dari dua sub
bab pembahasan, sub bab pertama membahas sekilas tentang lembaga Dewan
Syariah Nasional (DSN) terdiri dari sejarah awal pembentukan, kedudukan DSN
dalam menetapkan fatwa, dan metodologi penetapan fatwa DSN-MUI. Bagian
kedua gambaran singkat tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), membahas sekilas
tentang sejarah pembentukan, struktur OJK, dan fungsi dan tugas OJK terhadap
pasar modal syariah
Bab keempat sudah masuk kepada bagian awal daripada objek penelitian,
yaitu menganalisis standar screening saham syariah menurut fatwa DSN-MUI dan
peraturan OJK. Bab ini penting untuk diuraikan, dalam rangka memberikan
gambara latar belakang dan pemicu ditetapkannya produk hukum baik Fatwa DSN-
MUI atau Peraturan OJK. Bagian pertama membahas screening saham syariah
menurut DSN-MUI. Meliputi fatwa DSN-MUI tentang screening saham syariah,
analisis terhadap fatwa DSN-MUI dan kaitannya dengan screening saham syariah,
dan DSN-MUI dalam melakukan proses screening saham syariah. Bagian kedua,
24
membahas peranan OJK dalam menetapkan peraturan standar screening saham
Syariah. Meliputi screening rasio utang berbasis bunga terhadap total aset dan
screening rasio pendapatan bunga terhadap total pendapatan.
Bab kelima lebih kepada wujud nyata bentuk tanggung jawab sosial setiap
perusahaan yang ada pada DES. Pada bab ini peneliti akan melakukan penilaian
indeks ISR untuk melihat persentase dari beberapa indikator tanggung jawab sosial
dari masing-masing parusahaan yang ada pada DES. Selanjutnya mengkaji secara
komprehensif implementasinya pada setiap perusahaan di DES dalam mewujudkan
tanggung jawab sosial. Bahkan, lebih detail sejauh mana kesedian perusahaan untuk
mengorbankan keuangannya demi mewujudkan tanggung jawab sosial berdasarkan
laporan tahunan yang sudah dipublikasikan. Terakhir, memberikan kesadaran bagi
perusahaan bahwa pentingnya mengedepankan konsep mas}lah}ah dan terakahir
memberikan pencerahan bagaimana bisa merealisasikan saham syariah yang benar-
benar memiliki rasa tanggung jawab sosial bukan hanya kepentingan bisnis atau
keuntungan semata.
Bab keenam merupakan bagian akhir dari keseluruhan penelitian ini. Bab
penutup ini akan dilengkapi dengan beberapa saran dan rekomendasi yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada semua pihak. Khususnya kepada
DSN-MUI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjadi acuan dan bahan
pertimbangan dalam membuat peraturan serta bagi perusahaan-perusahaan di DES
sehingga tidak ada lagi ada perdebatan tentang keraguan masyarakat halal atau
haramnya investasi pada pasar modal syariah umumnya dan khususnya di saham
syariah.
25
BAB II
DISKURSUS SCREENING SAHAM SYARIAH
DAN PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Pembahasan dalam bab ini mengenai tinjauan teoritis konsep screening saham syariah dan tanggung jawab sosial perusahaan. Pembahasan pertama,
menguraikan tentang prinsip dasar saham syariah, yaitu mengeksplorasi peranan
saham syariah sebagai bagian dari investasi pada pasar modal syariah dengan
syarat tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Kedua, perbandingan kriteria
screening saham syariah pada berbagai indeks saham syariah di sebahagian negara
global. Pembahasan ini di dasari oleh tidak adanya regulasi yang sama dalam
menetapkan standarisasi screening saham syariah pada setiap fatwa dewan syariah,
khususnya dalam menetapkan kriteria objek usaha (kualitatif) dan rasio finansial
(kuantitatif) pada indeks syariah.
Selanjutnya, pembahasan pengungkapan tanggung jawab sosial pada
manajemen investasi. Pada bagian ini akan dijelaskan pelaporan tanggung jawab
sosial pada bisnis konvensional dan perspektif Islam dengan melakukan studi
komparasi.
A. Prinsip Saham Syariah pada Pasar Modal Syariah
Masyarakat muslim saat ini terkenal memiliki religiusitas yang tinggi
sehingga berimplikasi pada penerapan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitas
kehidupan. Oleh karena itu, ketersediaan instrumen keuangan syariah, seperti
perbankankan, asuransi, dan pasar modal sangat penting sebagai wadah investasi
bagi masyarakat muslim untuk memenuhi aktivitas ekonominya agar sesuai
syariah.1
Saham merupakan salah satu media investasi2 pada pasar modal. Secara
global, peran pasar modal sebagai salah satu pilar penting dalam meningkatkan
sistem keuangan perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan
yang menggunakan pasar modal sebagai media untuk menyerap investor dan
1Atina Shofawati, “Islamic Screening Mechanism of Islamic Capital Market- A
Comparison Between the Fatwa- DSN-MUI, the Kuala Lumpur Stock Exchange Islamic
Index and the Dow Jones Islamic Market Index”, The International Conference of Organizational Innovation (ICOI-2018): 1141-1151.
2 Kata investasi berasal dari bahasa Inggris Investment yang memiliki arti
“menanam”. Dalam kamus istilah Pasar Modal dan Keuangan kata investasi diartikan
sebagai penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan. Lihat Johar Arifin, Kamus Istilah Pasar Modal, Akuntansi, Keuangan, dan Perbankan (Jakarta: Gramedia, 1999), 125.
26
memperkuat posisi keuangannya.3 Dengan demikian, pentingnya peranan saham
dalam rangka memobilisasi dana dari masyarakat dan dapat juga dijadikan sebagai
indikator perekonomian suatu negara.4 Namun, saham yang ada selama ini masih
banyak terjadi perbedaan tentang kebolehannya, karena sebagian ada yang
berpandangan masih mengandung berbagai hal yang menyimpang dari prinsip-
prinsip syariah, seperti riba, maysir, dan gharar (spekulasi).5
Instrumen investasi yang diperdagangkan di pasar modal ada yang bersifat
kepemilikan dan utang (bonds). 6 Adapun Instrumen pasar modal yang bersifat
kepemilikan adalah saham dan yang bersifat utang adalah obligasi. 7 Saham
merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling populer yang tidak
berdiri sendiri, namun terkait erat dengan pasar modal sebagai tempat perdagangan
dan juga terkait dengan perseroan publik (Perseroan Terbatas) sebagai pihak yang
menerbitkannya. Oleh karenanya, saham merupakan salah satu instrumen pasar
modal yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek.8
Saham merupakan instrumen pasar modal berupa surat bukti kepemilikan
atas suatu perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam
nominal atau persentase tertentu. Abdul Aziz mendefinisikan saham sebagai tanda
penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau
perseroan terbatas. Dengan menyatakan modal tersebut, maka pihak tersebut
memiliki klaim atas pendapatan perusahaan, klaim atas aset perusahaan, dan
berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).9 Pengertian yang
sama juga diungkapkan oleh Veithzal Rivai dkk., secara sederhana saham dapat
3Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010), 68. Lihat
juga, Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2008), 217.
4Muhammad, Dasar- Dasar Keuangan Islami (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), 147. 5Seif El-Din I Taj El-D, “Towards an Islamic Model of Stock Market,” J. KAU:
Islamic Econ, Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26. 6Jenis efek Syariah yang ada di pasar modal syariah mencakup saham syariah,
obligasi syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lihat
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 40/DSN-MUI/X/2003. Belakangan, instrumen
keuangan syariah bertambah dalam fatwa DSN-MUI Nomor 65/DSN-MUI/III/2008 tentang
Hak Memesan Efek TErlebih Dahulu (HMETD) Syariah dan fatwa DSN-MUI Nomor
66/DSN/MUI/III/2008 tentang Waran Syariah pada tanggal 6 Maret 2008. 7Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), 194-195; Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2006), 163. 8M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), 78. 9Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah, 84.
27
didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan
dalam suatu perusahaan.10
Sementara menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia,11 saham
merupakan surat berharga yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau yang biasa disebut emiten. Saham
menyatakan bahwa pemilik saham tersebut adalah juga pemilik sebagian dari
perusahaan tersebut. Dengan demikian, apabila seorang investor membeli saham,
maka ia pun menjadi pemilik dan disebut pemegang saham perusahaan.
Dengan kata lain, saham adalah surat berharga yang bersifat kepemilikan
terhadap suatu perusahaan. Wujud saham adalah berupa selembar kertas yang
menerangkan siapa pemiliknya. Semakin banyak saham yang ia miliki, maka
semakin besar pula kekuasaan dan wewenangnya pada perusahaan tersebut. Selain
dari deviden yang dapat diperoleh para pemegang saham (stock holder), nilai
keuntungan yang merupakan selisih positif harga beli dan harga jual saham (capital gain) juga merupakan benefit selanjutnya yang dapat dinikmati oleh pemegang
saham.
Secara praktis dalam Islam instrumen saham belum terjadi pada zaman
nabi Muhammad SAW. dan para sahabat. Pada masa tersebut yang dikenal
hanyalah praktek perdagangan barang riil seperti layaknya yang terjadi pada pasar
biasa. Dengan demikian, pada masa itu pengakuan kepemilikan sebuah perusahaan
atau jual beli atas sebuah aset hanya melalui mekanisme jual beli belum dinyatakan
dalam bentuk saham seperti sekarang ini.12
Dalam literatur fiqh kontemporer, saham diambil dari istilah musa>hamah,
yang berasal dari kata sahm (stock) ,13 yang berarti saling memberikan saham atau
bagian.14 Dalam akad ini tujuan dari pemilik saham adalah menerima pengembalian
sesuai dengan persentase modalnya apabila perusahaan yang menerbitkan saham
tersebut mengalami keuntungan. Sebaliknya, jika perusahaan mengalami kerugian
pemilik sahampun ikut serta menanggung kerugian sesuai dengan persentase
modalnya. Oleh karena itu, musa>hamah diklasifikasikan oleh ahli fiqh kontemporer
sebagai salah satu bentuk shirkah atau musha>rakah (perserikatan dagang) yang
10Veithzal Rivai dkk, Bank and Financial Institution Management (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007), 984. 11Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-
undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 12Mohammad Heykal, Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2012), 42. 13Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khali>l, al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-
Fiqhi al-Isla>mi (Saudi Arabia: Da>r Ibn Al-Jauzi>, 2005), 47. 14Pengertian saham dimaksud hanya ada dalam fiqh kontemporer sementara tidak
ditemukan dalam fikih klasik. Persoalan ini timbul belakangan termasuk dalam akad
syirkah (perserikatan dagang) yang kemudian dikenal dengan istilah syirkah al-hasan. Lebih lengkap lihat Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet 1, (Jakarta:
PT. Ichtar Baru Van Hoeve, 1996), 1244.
28
sifatnya bagi penanam modal adalah untuk mengharapkan keuntungan, sedangkan
bagi pengelola atau pemilik perusahaan dimaksudkan untuk pengembangan
usaha.15
Pada prinsipnya, investasi pada saham syariah tidak terlalu berbeda dengan
investasi pada saham konvensional. Namun, terdapat beberapa perbedaan filosofis
yang mendasari perbedaan tersebut. Investasi pada saham syariah harus didasarkan
pada 3 prinsip utama syariah, yaitu dilarangnya riba (bunga), maysir (judi), dan
ghahar (ketidak pastian/spekulasi).
Prinsip riba merupakan bagian dari mekanisme pembiyaan dalam pasar
modal konvensional. Berbeda dengan pasar modal syariah melarang adanya praktik
riba. Pelarangan tersebut telah diatur dalam berbagai ayat al-Qur’an. Akibat
larangan tersebut sehingga dalam mekanisme pembiyaan di pasar sekuritas,
investasi syariah tidak menerapkan bunga namun menerapkan mekanisme profit-loss sharing. Dalam hal ini, investasi mengikatkan entitas atau individu dengan
aset yang bersangkutan sehingga terjadi proses pertanggungjawaban yang adil.16
Unsur gharar atau ketidakpastian yang tercermin dalam upaya spekulasi
juga sangat dilarang dalam investasi Islam. Meskipun unsur kepastian hampir tidak
mungkin bisa diprediksi, namun investor harus mendasari keputusan investasinya
dengan menghitung risiko dan return yang akan dihadapinya atas dasar berbagai
kajian baik aspek makro yaitu fundamental ekonomi maupun aspek mikro yaitu
kinerja perusahaannya, yang tidak bisa ditentukan di depan tapi hanya dapat
diestimasikan. Nurul Huda menyatakan bahwa kegiatan seperti ini disebut rational speculation, yang pada gilirannya akan mendorong terakumulasinya kapital, karena
setiap investasi setiap orang didasari pada pencapaian performa perusahaan, dan
sebaliknya, disebut blind speculation yang dilarang dalam Islam merupakan
15Terhadap shirkah musa>hamah sebagai sistem yang digunakan dalam transaksi
saham, namun pada kenyataannya tidak semua fuqaha kontemporer sepakat dengan itu,
sehingga terjadi perbedaan tentang kebolehannya. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok
yang berbeda dalam menyikapinya. Kelompok pertama, yang membolehkan secara mutlak
diwakili oleh Abdul Wahab Khalaf dan Muhammad ‘Abduh yang berpendapat bahwa para
fuqaha mengenai persyaratan tidak boleh ada bagian tertentu bagi salah seorang anggota
shirkah, tidaklah memiliki dalil syar’i yang kuat. Pendapat kedua, kelompok yang
membolehkan tetapi dengan syarat tidak adanya riba dalam shirkah kecuali dalam keadaan
dharurat, antara lain diwakili oleh Mahmud Syaltut dan Muhammad Yu>suf Mu>sa yang
sama-sama melihat urgensi shirkah bagi pemenuhan kebutuhan umat. Kelompok ketiga,
membolehkan dengan syarat tidak adanya unsur riba dan penggunaan harta shirkah untuk
keperluan yang bukan diharamkan. Kelompok ini antara lain diwakili oleh Ali al-Khafif,
‘Abdul al-Khiyath, Sholeh Marzuki, dan al-Khaslishi. Argumen utama pendapat kelompok
ini adalah aspek kebutuhan masyarakat terhadap shirkah ini sebagai sesuatu yang secara
syar’i harus diakomodasi, juga formatnya yang dekat dengan shirkah ‘inan. Lebih lengkap
lihat, Rahmani Timurita Yulianti, “Direct Financial Market: Islamic Equity Market (Bursa
Saham dalam Islam),” Almawarid, Vol. XI, No. 1, (Feb-Agust 2010): 21-26. 16Agus Triyanta, “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait
Screening Criteria di Jakarta Islamic Index,” Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober (2010):
626.
29
kegiatan yang hanya mencari keuntungan jangka pendek dari ketidakpastian yang
lebih banyak membawa pada gejala negatif dalam perekonomian, seperti perjudian,
short selling, dan insider trading.17
Pendapat senada diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhayli, gharar dapat
diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, gharar fahisy. Gharar fahisy adalah gharar yang memang jelas-jelas tingkat gharar-nya sangat tinggi. Gharar fahisy ini
menurut para ulama disepakati tidak boleh ada di dalam kontrak. Kedua gharar yasir. Gharar yasir ini adalah tingkat gharar-nya sangat tipis atau kecil, dan di
samping itu terkadang sesuatu hal yang terkadang tidak mungkin dapat dihindari
dalam sebuah kontrak atau transaksi.18
Melihat berbagai pandangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa gharar yasir atau gharar yang ringan ini memang sebagian orang tidak mempermasalahkan
atau memang tidak mungkin untuk diketahui. Di samping itu, gharar semacam ini
secara umum dipandang sebagai sesuatu yang dapat ditolerir atau dimaklumi. Oleh
karenanya, gharar (spekulasi) dalam Islam tidak dilarang sejauh hal tersebut
didasarkan pada kalkulasi rasional untuk mendapatkan keuntungan yang
memberikan kontribusi pada sektor riil, dan bukan pada keuntungan pribadi yang
dapat membawa destabilitas pasar modal. Karenanya motivasi terjadinya spekulasi
perlu dipandang secara cermat.
Lebih lanjut, perilaku investor menjadi dasar dalam melihat apakah
spekulasi itu konstruktif atau sebaliknya. Artinya, tidak dapat dipungkiri bahwa
perilaku untuk mendapat keuntungan jangka pendek bisa saja terjadi baik di pasar
konvensional maupun syariah. Bedanya, di pasar modal syariah, upaya untuk
berprilaku semacam itu ditekan dan diminimalisir dengan aturan hukum.
Terkait dengan upaya meminimalisir dampak spekulasi dan pembebasan
bunga, pasar modal syariah mampu berfungsi untuk memisahkan operasi kegiatan
bisnis dari fluktuasi untuk memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi
jangka pendek pada harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal
konvensional. Namun, praktik pembebasan bunga secara total masih sulit
dilakukan mengingat bunga telah menjadi bagian dalam sistem perekonomian
dunia, maka negara-negara Islam biasanya mengadopsi sistem yang masih
menggunakan bunga. Dengan second-best solution semacam ini tetap
memungkinkan pasar Islami untuk berinteraksi dalam sistem keuangan dunia. Oleh
karena itu, dalam ekonomi syariah terdapat mekanisme cleansing atau pembersihan
pendapatan yang diperoleh dari kegiatan yang haram, atau kegiatan yang masih
memiliki tingkat pelanggaran prinsip syariah.
Mengingat unsur spekulasi sangat sulit dicegah, peraturan dan perangkat
pasar modal syariah harus dapat menyaring motif tersebut. Hal ini
17Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah
(Jakarta: Kencana, 2008), 59. 18 Wahbah Al-Zuhayli, “Financial Transaction in Islamic Jurisprudence.”
Translation of Al-Fiqh al-Islamiy wa ’Adillatuh,” Vol 1, Mahmoud A.El-Gamal, Trans,
(2003): 84-85.
30
diimplementasaikan dalam beberapa bentuk mekanisme, misalnya dengan
menetapkan minimum holding period atau jangka waktu memegang saham
minimum dalam bertransaksi. Dengan aturan ini, saham tidak bisa diperjualbelikan
setiap saat, sehingga meredam motivasi mencari untung dari pergerakan harga
saham semata. Persoalan timbul, pertanyaannya adalah berapa lama minimum
holding period yang wajar. Pembatasan itu memang meredam spekulasi, akan
tetapi juga membuat investasi di pasar modal menjadi tidak likuid. Padahal bukan
tidak mungkin seorang investor yang rasional betul-betul membutuhkan likuiditas
mendadak. Sehingga, ia harus mencairkan saham yang dipegangnya dan ia
terhalang karena belum lewat masa minimum holding period-nya.19
Metwally, seorang pakar ekonomi Islam dan modeling economics mengusulkan bahwa jangka waktu minimum holding period untuk menahan aset
setidaknya satu minggu. Di samping itu, ia juga memandang perlu adanya celling price berdasarkan nilai pasar perusahaan. Konsep ini masih dipertimbangkan
karena pada praktiknya, jangka waktu minimum sulit ditentukan karena terkait
dengan kebutuhan likuiditas investor yang tidak bisa diprediksi. Lebih lanjut,
Akram Khan juga mengusulkan, untuk mencegah spekulasi di pasar modal maka
jual beli saham harus diikuti dengan serah terima bukti kepemilikan fisik saham
yang diperjual belikan. Namun, hal ini juga akan sulit untuk dijalankan dalam
praktiknya.20
Begitu pentingnya tiga hal tersebut sehingga dibutuhkan mekanisme
proses screening atau penyeleksian atas saham. Untuk lebih jelasnya, berikut ini
akan dijelaskan beberapa prinsip dasar untuk menyatakan bahwa suatu saham bisa
dikategorikan tidak melanggar ketentuan syariah. 21 Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara
pengelolaan perusahaan yang mengeluarkan saham (emiten) atau perusahaan
publik yang menerbitkan saham syariah tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah, yang terbebas dari unsur riba dan gharar serta memiliki produk
yang halal.
2. Emiten yang menerbitkan saham syariah wajib untuk menandatangani dan
memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas saham syariah yang
dikeluarkan.
3. Perusahaan tersebut mempunyai sosial responsibility yang tinggi sehingga
punya kepedulian terhadap umat, dan memiliki ethical behaviour. Sektor
kegiatan usaha oleh perusahaan yang bersangkutan.
4. Sektor pemodalan perusahaan pada indeks bursa saham Islam memiliki
pemodalan sebagai berikut:
19Nurul Huda dan Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, 79-80. 20Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah,
78-82. 21 Rahmi Timorita Yulianti, “Direct Financial Market: Islamic Equity Market
(Bursa Saham dalam Islam)”, Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, (Februri-Agustus 2010): 23.
Lihat juga, Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah, 89.
31
a. Rasio atas utang dan ekuitas (debt to equity ratio)
b. Cash and interest bearing securities to equity ratio
c. Rasio atas kas dan aset (cash to aset ratio).
Sementara Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid menjelaskan, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan baik investor maupun oleh emiten saat dibukanya
penawaran umum pada pasar perdana, antara lain: 22
1. Efek yang diperjual belikan harus sejalan dengan prinsip syariah, seperti saham
syariah dan sukuk yang terbebas dari unsur riba (interest) dan gharar (ketidakpastian).
2. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah. Karenanya,
bentuk usaha seperti kasino, perusahaan rokok, minuman keras, dan bisnis
asusila akan membuat emiten tidak boleh masuk dalam bursa saham dan
obligasi Islami.
3. Semua efek harus berbasis pada harta (berbasis aset) atau transaksi yang riil,
bukan mengharapkan keuntungan dari kontrak utang piutang. Oleh karena itu,
hasil investasi yang akan diterima permodal merupakan fungsi dari manfaat
yang diterima perusahaan dari dana atau harta hasil penjualan efek.
4. Semua transaksi tidak mengandung ketidakjelasan yang berlebihan (gharar) atau spekulasi murni.
5. Mematuhi semua aturan Islam yang berhubungan dengan utang piutang,
seperti tidak dibenarkan jual beli utang dengan cara diskon; tidak boleh ada
kompensasi yang berdasarkan pada pembaharuan (rescheduling) dari utang dan
tidak benarkan melakukan jual beli forward pada transaksi valuta asing.
B. Perbandingan Metodologi Screening pada Pelbagai Indeks Saham Syariah
Global
Perdebatan sekitar metodologi screening saham syariah sampai sekarang
masih terus berlangsung dan selalu hangat untuk diperbincangkan. Metodologi
Screening adalah proses seleksi suatu efek konvensional agar bisa masuk dalam
kategori efek syariah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Proses
penyaringan baik secara kualitatif maupun kuantitatif bertujuan agar jangan
sampai bercampur kriteria antara yang halal dan haram. Di samping itu,
mempersempit jumlah saham yang memenuhi syarat untuk investasi, sehingga
menghasilkan lebih sedikit jumlah saham yang tersedia untuk membentuk
portofolio yang efisien.23
22Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2008), 128-129. 23Shaharuddin Ayedh, A. M. A., & Kamaruddin, M. I. H. “Shariah Screening
Methodology: Does It ‘Really’Shariah Compliance?”, IQTISHADIA, 12, (2), (2019): 144-
172.
32
Ada banyak yang membuat terjadinya inkonsistensi metodologi penyaringan
saham syariah di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan Dewan Pengawas masing-
masing negara berbeda dalam menerapkan persyaratan emiten yang akan
diklasifikasikan menjadi saham syariah. Dewan Pengawas masing-masing negara
merujuk pada pendapat ulama klasik yang berbeda ketika menentukan kriteria yang
akan diterapkan pada indeks masing-masing negara. Perbedaan penggunaan kriteria
oleh ulama juga dipengaruhi oleh kondisi obyektif masing-masing negara yang
berkaitan dengan jumlah perusahaan, obyek usaha, dan karakteristik
keuangannya.24
Terjadi perbedaan dalam menyikapi persoalan proses screening saham, ada
yang menolak dan mengatakan tidak penting untuk dilakukan, seperti pernyataan
Al-Habsyi,25 Khatkhatay dan Nisar,26 dan Donia dan Marzban,27 yang berargumen
bahwa pada kondisi sekarang ini saham dalam proses screening sepenuhnya untuk
menerapkan murni dan terbebas dari spekulasi sangat langkah dan hampir mustahil
bisa diterapkan. Alasannya, sebagian besar negara memiliki lembaga keuangan
konvensional, sehingga perusahaan dihadapkan pada praktik riba saat berhadapan
dengan lembaga tersebut.
Pernyataan di atas bertolak belakang dengan beberapa pemikiran yang lain,
menyimpulkan bahwa penting melakukan proses screening. Misalnya pemikiran
Gholamreza Zandi,28 Seif el-Din I Taj,29 Zamir Iqbal,30 dan Sami al-Suwailem.31
Semuanya sepakat bahwa di setiap negara pasar modal sangat penting sebagai
salah satu penggerak perekonomian suatu negara. Karenanya, sistem pasar ekuitas
24Syafiq M. Hanafi, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol.
45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1405. 25 Alhabsyi, S. Y. “Stock Screening Process,” Islamic Finance Bulletin (2008,
June), 24-30. 26Khatkhatay, M.H. and Nisar, S. “Investment in Stocks: A Critical Review of
Dow Jones Shariah Screening Norms,” Paper presented at the International Conference on Islamic Capital Markets. (2007), http://www.kantakji.com/fiqh/Files/Fatawa/15404.pdf
(diakses 02 April 2015). 27 Donia, M. and Marzban, S.. “Identifying Shariah-Compliant Equities a
Challenging Task, Global Islamic Finance,” 2008) http://www.global-islamic-
finance.com/2008/11/identifying-shariah-compliant-equities.html (diakses 06 April 2015). 28 Gholamreza Zandi, dkk, “Stock Market Screening: An Analogical Study on
Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets,” Asian Social Science; Vol. 10, No.
22; (2014): 270. 29Seif El-Din I Taj El-D, “Towards an Islamic Model of Stock Market,” J. KAU:
Islamic Econ., Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26. 30Zamir Iqbal, An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice (Jhon Wiley
& Sons, Singapore, 2007), 172. 31 Sami Al-Suwailem, “Towards Objective Measure of Gharar in Exchange,”
Islamic Economic Studies, Vol.7.No.1 dan 2 (April 2000): 80.
33
harus diawasi dengan baik, salah satu pengawasan di maksud dengan melakukan
screening terhadap emiten sebelum masuk pada indek saham syariah.
Secara umum, proses screening terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi
emiten agar perusahaannya dapat masuk indeks saham syariah, yaitu kriteria
kualitatif dan aspek kuantitatif. Aspek kualitatif meliputi kriteria obyek usaha
emiten (perusahaan), merupakan inti bisnis (core bisnis) yang dijalankan oleh
setiap emiten dan harus bersifat halal menurut ajaran Islam. Halal dan haram
merupakan kriteria mendasar yang harus dipenuhi oleh emiten. Kriteria tersebut
merupakan keputusan mutlak yang diterapkan oleh dewan syariah masing-masing
negara.32 Halal dan haram mengalami perluasan makna dan meliputi segala sesuatu
yang dianggap berbahaya (mudharat) dan demi kepentingan umum (maslahah).
Oleh karena itu, negara yang telah memiliki keragaman usaha emiten, maka
pelarangan obyek usaha lebih luas dibanding negara yang relatif belum memiliki
keragaman usaha emitennya.
Adapun kriteria kuantitatif (akuntansi), seperti debt and equity ratio dan
valuasi atas hasil appraisal bisnis yang bersangkutan.33 Merupakan kriteria yang
diperuntukkan pada aspek keuangan perusahaan yang terdiri dari aspek modal,
utang, pendapatan non halal, likuiditas, dan piutang perusahaan. Kriteria yang
digunakan perusahaan masing-masing negara juga berbeda dengan melihat kondisi
emiten dan keputusan dewan syariah.
Penyedia screening saham syariah ini telah mengeluarkan berbagai jenis
metodologi skrining yang akan dijelaskan di sub bab berikut. Pertanyaan yang
mungkin timbul dari perbedaan tersebut adalah metodologi mana yang paling baik
atau paling 'Islami' dalam melakukan pemeriksaan saham syariah. Karena
masalahnya metodologi yang digunakan oleh indeks internasional dapat berubah
dari waktu ke waktu, efek pada kinerja saham dapat menjadi salah satu penentu
untuk memodifikasi metodologi penyaringan.
1. Kriteria Screening Saham Syariah di Indonesia
Untuk konteks Indonesia, screening indek saham syariah pertama
dilakukan pada Jakarta Islamic Index (JII) yang mencakup 30 jenis saham sebagai
langkah awal perkembangan pasar modal di Indonesia. Saham syariah tersebut
merupakan sekumpulan saham yang telah diseleksi oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ)
bersama dengan PT Dana Reksa Investment Management (DIM). Secara formal,
penyeleksian saham syariah di Indonesia secara umum mengacu pada nota
kesepahaman antara Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) yang ditindaklanjuti dengan keputusan Ketua Bapepam-LK yang dilanjutkan
32Syafiq M. Hanafi, “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones,” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol.
45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1406. 33Elfakhani, S and M.K. Hassan, “Performance of Islamic Mutual Funds,” Paper
Presented on Economic Research Forum, 12th Annual Conference, (Kairo: 19-21 December
2005).
34
dengan nota kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO (Self Regulatory Organizations). Dengan adanya Nota Kesepahaman tersebut menjadi pijakan
dukungan yang kuat terhadap pengembangan pasar modal berbasis prinsip syariah
di Indonesia yang menyepakati adanya pola hubungan koordinasi, konsultasi, dan
kerjasama untuk pengaturan yang efektif dan efisien dalam rangka akselerasi
pertumbuhan produk keuangan syariah.34
Keputusan DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal Pasal 3 angka 2
menjelaskan jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
Syariah, antara lain:
1. perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
2. lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi
konvensional;
3. produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan
4. produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang
merusak moral dan bersifat mudarat.
5. melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi
tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih
dominan dari modalnya;
Kriteria DSN-MUI tersebut dipertegas dengan Peraturan OJK Nomor
35/POJK.04/20017 Tentang Kriteria dan Penerbitan Efek Syariah menjelaskan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah antara lain:
1. perjudian dan permainan yang tergolong judi;
2. jasa keuangan ribawi;
3. jual beli risiko yang mengandung ketidakpastian (gharar) dan atau judi
(maysir);
4. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau menyediakan:
a. barang dan atau jasa yang haram karena zatnya (haram li-dzatihi);
b. barang dan atau jasa yang haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan atau
c. barang dan atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; dan /atau
d. barang atau jasa lainnya yang bertentangan dengan prinsip syariah
berdasarkan ketatapn DSN-MUI;
5. melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip syariah berdasarkan
ketetapan dari DSN-MUI.
34Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, 125-126; Rahmi
Timorita Yulianti, “Direct Financial Market: Islamic Equity Market (Bursa Saham dalam
Islam)”, 23; Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Prenada
Media Kencana, 2009), 116-117. Lihat juga Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 4.
35
Kriteria yang menjelaskan objek usaha emiten (perusahaan) yang
bertentangan dengan prinsip Syariah di atas, baik yang telah ditetapkan oleh DSN-
MUI atau Bapepam-LK pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Pada umumnya,
keduanya sama-sama melarang terhadap usaha yang terdapat ribawi, jual beli risiko
yang mengandung gharar, maysir, dan pedagang makanan dan minuman yang
haram serta penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat
mudarat.
Kriteria kuantitatif (akuntansi) pada Pasar Modal Syariah di Indonesia
telah diatur dalam POJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan
Daftar Efek Syariah yaitu tidak melebihi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:
1. total hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih
dari 45%; dan
2. total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan
dengan total pendapatan (revenue) tidak lebih dari 10%;
2. Kriteria Screening Saham Syariah di Malaysia
Indek saham syariah di Malaysia pertama diperkenalkan oleh Rashid
Husein Berhad Unit Trust Bhd pada tahun 1996 didirikan oleh swasta yang
diperkenalkan oleh Rashid Hussein group Malaysia. RHBIMI ini adalah indek yang
berbasis kapitalisasi yang didasarkan pada perusahaan yang terdaftar di papan
utama dan papan kedua Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE). Kedua, Kuala
Lumpur Shariah Index (KLSI) yang didirikan oleh pemerintah Malaysia pada
tanggal 17 April 1999 yang terdiri dari saham-saham yang tercatat pada papan
utama Kuala Lumpur Composite Index (KLCI). Dengan demikian, munculnya dua
indek tersebut menunjukkan besarnya minat investor lokal dan asing yang ingin
berinvestasi. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari emiten yang selalu
bertambah dan saat ini saham syariah telah menguasai 88% dari seluruh saham
yang tercatat di KLSE pada tahun 2010.35 KLSI ssendiri yang awalnya hanya ada
279 perusahaan per 17 April 1999, namun telah berkembang menjadi 696
perusahaan per 29 November 2019, yang merupakan 77% dari total perusahaan
yang terdaftar di Bursa Malaysia.36
Untuk dapat dimasukkan ke dalam indek syariah, maka saham-saham
perusahaan tersebut harus mengalami penyaringan sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh the Shariah Advisory Council (SAC), badan khusus yang dibentuk
oleh the Securities Commision (SC) Malaysia. SAC menerapkan kriteria
35 Mohammad Ma’sum Billah, Applied Islamic Law of Trade and Finance
(Selangor: Sweet & Maxwell Asia, 2009), 87. 36SC., “List of Shariah-Compliant Securities by SC’s Shariah Advisory Council”,
Kuala Lumpur: Securities Commission of Malaysia (SC), (2019), https://
www.sc.com.my/development/islamic-capital-market/list-of-shariah-compliant-securities
by-scs-shariah-advisory-council, (diakses 7 Mei 2020).
36
penyaringan tersebut dengan dua metode, yakni secara kualitatif dan kuantitatif.37
Pertama, pendekatan kualitatif dilakukan untuk menyeleksi objek usaha pada
perusahaan agar tidak bergerak pada aktivitas yang dilarang oleh Islam, antara lain
terlibat dalam kegiatan sebagaimana disebutkan di bawah ini:38
1. Jasa keuangan berbasis bunga
2. Aktivitas yang mengandung unsur permainan, judi, maysir
3. Perusahaan atau menjual dan memproduksi produk nonhalal
4. Asuransi konvensional
5. Aktivitas hiburan yang bertentangan dengan syariah
6. Militer dan tenaga nuklir
7. Perusahaan yang memproduksi dan menjual tembakau dan produk turunannya
8. Jasa perantara dan perdagangan saham yang diragukan kesyariahannya
9. Aktivitas perusahaan yang dianggap bertentangan dengan syariah.
Kedua, kriteria kuantitatif sebagai dasar penyeleksain rasio finansial
perusahaan. Untuk menentukan toleransi percampuran antara saham yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan terhadap pendapatan dan keuntungan
sebelum pajak sebuah perusahaan. Shariah Advisory Council (SAC) menetapkan
beberapa pembanding yang didasarkan pada ijtihad. Jika pendapatan dari usaha
yang tidak diperbolehkan syariah melebihi batas, maka saham perusahaan tersebut
tidak dikatagorikan sebagai saham syariah. Batasan tersebut adalah:
a. Batasan 5%
Batasan ini dipergunakan dari berbagai aktivitas bisnis yang secara tegas
dilarang oleh syariah seperti bunga (riba, dari lembaga keuangan konvensional
seperti bank, perjudian dan aktivitas minuman keras dan babi).
b. Batasan 10%
Batasan ini dipergunakan dari berbagai aktivitas bisnis yang dilarang tetapi
sangat sulit dihindari, seperti bunga simpanan deposito perbankan konvensional
dan tembakau.
c. Batasan 20 %
Batasan ini dipergunakan terhadap penenerimaan sewa dari aktivitas bisnis
yang tidak diperkenankan oleh syariah seperti penerimaan dari perjudian, minuman
keras dan lainnya.
d. Batasan 25%
Batasan ini dipergunakan untuk aktivitas bisnis yang diperbolehkan oleh
syariah dan memiliki kemaslahatan tetapi masih terdapat unsur yang dapat
37M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht, Islamic Capital Markets Products and
Strategies (United Kingdom: A John Wiley and Sons, Ltd., Publication), 56-57. 38Noripah Kamso dan Tsu Mae ng, Investing in Islamic Funds (Singapore: Jhon
Wiley & Sons Singapore, 2013), 72.
37
mempengaruhi kesyariahan aktivitas tersebut. Aktivitas tersebut adalah hotel,
perdagangan saham, dan aktivitas bisnis yang bertentangan dengan syariah.
Secara substansi, angka toleransi 5% sampai mencapai 25% menunjukkan
bahwa tidak ada kejelasan hukum yang pasti terhadap indeks saham syariah. Di
Malaysia, toleransi pendapatan nonhalal yang jelas dilarang oleh syariah angka
toleransinya paling rendah yakni 5%. Aktivitas bisnis dengan batasan 5% adalah
aktivitas bisnis dengan bunga, perjudian, minuman keras, dan babi. Toleransi 10%
diberikan pada aktivitas bisnis yang sangat sulit menghindari aktivitas bunga,
seperti penyimpanan deposito pada perbankan konvensional dan pendapatan dari
tembakau yang menjadi bisnis perusahaan. Batasan 20% dipergunakan pada
pendapatan yang segmen bisnis merupakan campuran antara bisnis yang
diperbolehkan oleh syariah dan bisnis dilarang syariah, seperti minuman keras,
perjudian, dan lainnya. Batasan 25% dipergunakan untuk aktivitas bisnis yang
diperbolehkan syariah tetapi bercampur dengan hal-hal dilarang oleh syariah,
seperti bisnis hotel, restoran, jual beli saham, dan perantara perdagangan saham. 39
Gambar 2.1
Proses screening indek saham syariah di Malaysia
39 Noor Latiffah Adam dan Nordin Abu Bakar, “Shariah Screening Process in
Malaysia,” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121, ( 2014 ): 116.
Primary Shariah Screening
Core business activities 1 Non-Halal Stop/Reject
out
Mixed business
activities
Halal & Non-
halal
Proced to the
Next level 2
Core business activities Halal & Non-
halal
Proced to the
Next level 3
Secondary Shariah Screening
Quantitative analysis
Compare the income generated
from non-halal activities to the
total revenue & profit before tax
Qualitative analysis
Analysis based on:
Image Maslahah
Urf Umum balwa
38
Sumber: Kabir Hasssan dan Michael Mahlknecht, 2009.
Ketentuan tersebut merupakan ijtihad ulama Malaysia dan merupakan
batasan paling toleran dan relatif lebih longgar dalam indek syariah. Kriteria
tersebut menjadikan saham syariah sangat dominan pada Bursa Efek Kuala
Lumpur dengan 88% dari seluruh total saham terdaftar. Perbedaan tersebut karena
Malaysia dalam melakukan proses screening saham syariah lebih menitikberatkan
pada aspek objek usaha emiten atau penilaian secara kualitatif.40
Selanjutnya, batasan screening kuantitatif tersebut, terdapat revisi kriteria
oleh Security Commission (SC) di tahun 2013, terlihat lebih ketat dari
sebelumnya. Dalam perubahan proses screening syariah, Security Commission
(SC) memberlakukan 5% untuk pendapatan dari sumber non halal seperti dari bank
konvensional dan asuransi, perjudian, babi, minuman keras, tembakau, dan lain-
lain. Kemudian, 20% digunakan untuk pendapatan dari kegiatan usaha yang terdiri
dari usaha perhotelan dan pialang saham. Selain pendekatan pendapatan, rasio
finansial juga diterapkan oleh Security Commission (SC), terdiri dari dua tolak
ukur. Pertama, rasio kas atas total aset tidak boleh melebihi 33%. Pertimbangan
dari tolak ukur tersebut adalah bahwa aset tetap dalam perspektif Islam adalah aset
yang menghasilkan uang, artinya, Islam mendorong produktivitas aset itu sendiri.
Kedua, hutang atas total aset. Pada rasio ini ambang batasnya adalah 33%, yang
artinya total hutang yang dimiliki oleh perusahaan tidak boleh melebihi batas
tersebut. Namun, perseroan bisa melampaui patokan tersebut jika sumber utangnya
berasal dari transaksi kepatuhan syariah (shariah compliance). Dengan demikian,
ambang batas rasio 33% hanya berlaku untuk hutang yang bersumber dari
konvensional.41
40 Waris Ali, dkk., “Sharia Screening Process: A Comparison of Pakistan and
Malaysia,” Assian Journal of Multidiscplinary Studies, Vol. 6, (2018): 13-21. 41 Kasi, U., & Muhammad, J., “Strict and Uniform Shariah Screening
Methodologies in Selected Asian Countries in Comparison with the United States”, Asian Journal of Finance & Accounting, 8 (1), (2016): 38.
Banchmark
5 % Riba, Gambling,
Liquor, Pork
20% Mixed
Rental Income
10 % Interest
Income, tobacco
25% Hotel
39
3. Kriteria Screening Saham Syariah di Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI)
Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) meluncurkan pasar indek Islam
pada Februari 1999 dan merupakan indeks Islam pertama di dunia muslim.42 Sharia Suvervisory Board (SSB) sebagai dewan syariah terhadap Dow Jones Islamic
Market Index (DJIM) yang bertujuan melakukan filterisasi terhadap saham-saham
halal berdasarkan aktivitas bisnis dan rasio finansialnya. Berdasarkan filterisasi
tersebut terdapat 2700 saham dari 64 indek negara yang di sesuai dengan prinsip
syariah. DJIMI mencakup 10 sektor ekonomi, 19 sektor pasar, 41 grup industri, dan
114 sub grup.43 SSB secara lebih spesifik langsung mengeluarkan perusahaan yang
memiliki usaha dalam bidang-bidang berikut:
a. Alkohol
b. Minuman keras dan produk turunannya
c. Jasa Keuangan Konvensional
d. Industri Hiburan
e. Tembakau
f. Senjata dan alat pertahanan
Ada tiga kriteria rasio keuangan yang harus dipenuhi oleh perusahaan agar
prinsip-prinsip syariah dan harus kurang dari 33%, yaitu:44
1. Rasio hutang:45
Total debt
Trailing 24 months average market capitalization < 33%
42Pencetus dan perintis ide pendirian Dow Jones Islamic Market Index (DJIM)
adalah A. Rushdi Siddiqui. Ia sebelumnya pernah bekerja sebagai analis saham di sebuah
perusahaan invesment bank di Wall Street sebagai analis. Tugas utamanya adalah meneliti
saham-saham yang listing di bursa, seperti saham perbankan, asuransi dan lembaga
investasi. Ia telah meneliti apakah usaha para emiten sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
Pelan tapi pasti, hasil kerja kerasnya membuahkan hasil. Analis ini berhasil mengumpulkan
1.708 emiten yang berasal dari 34 negara di dunia. Berdasarkan temua itu, lalu ia
menyodorkan ide pembentukan indeks syariah kepada David Moran, pimpinan Dow Jones Index. Moran akhirnya tertarik pada usulan tersebut dan mengajak Siddiqui bergabung
dengan Dow Jones. Dua bulan kemudian ia berhasil merekalisasikan indeks syariah dengan
dibereikan nama Dow Jones Islamic Market (DJIM) dan ia pun terpilih menjadi direktur
pertama waktu itu. Lihat, Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, 141-142.
43Noripah Kamso dan Tsu Mae ng, Investing in Islamic Funds (Singapore: Jhon
Wiley & Sons Singapore, 2013), 69. 44 Noripah Kamso dan Tsu Mae eng, Investing in Islamic Funds ,70. 45This screening process will exclude the companies for wich totak debt divided by
trailing Twelv Month Average Market Capitalization (TTMAMC) is greater than or equal
to 33%.
Computed as: = Total Interest Bearing Debt
12 months Average Market Cap x 100
40
2. Rasio kas:46
Total cash and interest-bearing securities
Trailing 24 months average market capitalization < 33%
3. Rasio piutang:47
Account receivable
Trailing 24 months average market capitalization < 33%
4. Kritik atas Perbedaan Kriteria Screening Saham Syariah
Screening saham syariah yang ditetapkan oleh dewan syariah pada setiap
negara berbeda, baik pada objek usaha begitu juga rasio keuangan yang diterapkan,
sehingga sampai saat ini tidak ada standar screening syariah internasional memiliki
kesepakatan. Dengan demikian, saham didistribusikan di seluruh dunia, apakah
saham tersebut sesuai dengan syariah atau tidak, tergantung pada negara penerbit
saham itu sendiri.48 Misalnya, kriteria objek usaha, Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) terdiri dari rokok, pertahanan atau alat perang dan hiburan yang
dilarang, sedangkan di Malaysia kriteria tentang persepsi publik dan imej
perusahaan harus baik. Kriteria-kriteria tersebut merupakan kriteria usaha yang
tidak diperbolehkan dalam saham syariah pada dua indek tersebut. Di samping itu,
tidak ditemukan dalam kajian fikih muamalat dan merupakan persoalan hukum
yang bersifat ijtiha>di. Untuk Indonesia sendiri di Bursa Efek Indonesia (BEI)
kriteria perusahaan syariah relatif lebih sedikit dibanding Dow Jones Islamic
Market dan Malaysia. Perusahaan pornografi, prostitusi, pembuatan dan pemasaran
senjata misalnya, tidak terdaftar di BEI. Perusahaan go publik di Indonesia relatif
belum sebanyak di banding di dua indek tersebut.
Kriteria rasio kuantitatif (akuntansi) merupakan batasan rasio keuangan
perusahaan yang dibolehkan menurut ketentuan syariah. Kriteria tersebut meliputi
rasio utang, rasio aset, pendapatan non-halal, likuiditas dan piutang. Namun, tidak
ada sumber-sumber Islam secara eksplisit menyatakan ambang batas yang dapat
diterima untuk analisis keuangan, para dewan syariah menetapkan ini sesuai
46Liquid Assets to TTMAMC
Computed as: = Cash Deposito + Marketable Securities + Interest Bearing Instruments x 100
TTMAMC 47Receivable to TTMAMC
Computed as: = Cash Deposito + Marketable Securities + Interest Bearing Instruments x 100
TTMAMC
Lebih lengkap lihat M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht, Islamic Capital Markets Products and Strategies (United Kingdom: A John Wiley and Sons, Ltd.,
Publication), 66. 48 Wan Zainal, et al., “Disputes And Resemblance: Comparative Analysis Of
Shariah Advisory Committee Methodology And International Indices”, Malaysian Accounting Review, Vol. 15, No. 2, (2016).
41
dengan upaya interpretatif. Hal ini tentunya membuat kepatuhan pada prinsip-
prinsip syariah menjadi diskusi kritis, karena proses screening yang berbeda di
seluruh dewan Syariah, tergantung pada tingkat liberalisme Islam masing-masing
mereka.
Terkait dengan rasio utang, ada perbedaan masing-masing indek syariah.
Rasio utang di DJIM adalah 33% terhadap kapitalisasi pasar selama satu tahun.
Rasio utang tersebut setara dengan sepertiga total jumlah utang perusahaan yang
diperbolehkan menurut ketentuan syariah oleh SBB. Begitu juga dengan indeks
syariah yang lain, hampir sama untuk ambang batas hutang, yaitu kurang 33 %,
seperti S&P Sharī‘ah, Islamic MSCI, FTSE Sharī‘ah, dan Islamic STOXX.
Namun, berbeda dalam hal menghitung rasio hutang ada indeks berdasarkan
kapitalisasi pasar dan berdasarkan total aset. Sebagaimana terdapat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.1
Screening batas utang pada berbagai indeks
Sumber: Ali Kafou dan Ahmed Chakir49
Jauh berbeda dengan indeks rasio screening utang di Indonesia, rasio utang
berbasis bunga terhadap total ekuitas sebesar 0,82. Hal ini setara dengan 45:55
(total utang berbasis bunga dibandingkan total aset). Perbedaan rasio utang
tersebut, antara 33% dan 45% menunjukkan bahwa toleransi batasan bunga dalam
utang di Indonesia lebih besar jika dibandingkan yang lain. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa tingkat kebutuhan utang perusahaan di Indonesia relatif masih
tinggi sehingga perusahaan mendanai operasionalisasi dengan dana pinjaman yang
masih dominan dengan sistem bunga. Batasan toleransi tersebut menunjukkan
bahwa perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek masih sedikit. Kelonggaran
49Ali Kafou dan Ahmed Chakir, “From Screening to Compliance Strategies: The
Case of Islamic Stock Indices with Application on “MASI”, Islamic Economic Studies Vol.
25, No. Special Issue, (April 2017): 55-84.
42
tersebut dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi perusahaan untuk
tercatat sebagai saham syariah.
Berbeda lagi halnya dalam menentukan rasio pendapatan non halal pada
masing-masing indeks syariah. Setiap dewan syariah berbeda dalam
menetapkannya. Indonesia menetapkan 10% dan Malaysia menetapkan batasan
yang beragam dari 5%, 10%, sampai 20%. Batasan tersebut diperoleh dari total
pendapatan perusahaan. Lain lagi halnya dengan DJIM tidak didasarkan pada
prosentase pendapatan non halal akan tetapi lebih pada jumlah kas dan penempatan
dana perusahaan pada surat berharga dengan rasio di bawah 33%.
Terjadinya perbedaan fatwa dewan syariah dari berbagai negara untuk
menilai pengukuran kuantitatif dan kualitatif menunjukkan bahwa fatwa
memainkan peran penting untuk menentukan kepatuhan syariah dalam industri
keuangan syariah. Mengingat pentingnya proses screening dalam industri keuangan
syariah, dewan fatwa syariah harus mengelolanya dengan baik serta meningkatkan
proses screening untuk menjaga kepercayaan stakeholders keuangan syariah yang
akan mempengaruhi kinerja pelaku keuangan syariah. Di samping itu, fatwa yang
dibuat akan mempengaruhi masyarakat sebagai pihak yang terlibat pada industri
keuangan syariah.50
Dengan demikian, diakui meskipun kriteria screening syariah umumnya
digunakan dan diterima secara umum pada indeks syariah, namun tampaknya tidak
ada kode etik investasi syariah yang seragam atau seperangkat kriteria screening
syariah yang telah ditentukan sebelumnya. Menarik untuk dicatat bahwa Akademi
Fiqih Islam Internasional (OKI) belum mengeluarkan resolusi yang mengadopsi
atau mendukung metodologi penyaringan rasio keuangan. Namun, beberapa
anggota Akademi Fiqih Islam Internasional, dalam kapasitas individu mereka
sebagai anggota dewan syariah dari indeks syariah terkemuka dan AAOIFI telah
menyetujui penyaringan rasio keuangan.51
Beberapa ahli terkemuka banyak menyarankan bahwa sebaiknya
metodologi penyaringan dapat diseragamkan sehingga tidak ada lagi perbedaan
untuk bisa menjadi saham syariah global. Dengan memiliki metodologi
pemeriksaan saham standar, investor dari seluruh dunia dapat berdagang tanpa
perlu memeriksa status kepatuhan untuk setiap bursa. Ini akan mendorong
investasi asing dan dengan demikian memperluas ekonomi dunia.52
50 Faaza Fakhrunnas, “Fatwa on the Islamic Law Transaction and Its
Role in the Islamic Finance Ecosystem”, Al Tijarah: Vol. 4 No. 1, (Juni 2018): 42-53. 51 Shafiqur Rahman, “Ethical Investment in Stock Screening and Zakat on Stock”,
Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015): 39-62. 52 Gholamreza Zandi, et.al “Stock Market Screening: An Analogical Study on
Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets”, Asian Social Science; Vol. 10, No.
22, (2014): 270-279.
43
C. Konsep Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial pada Manajemen Investasi
1. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Pengungkapan (disclosure)) secara sederhana dapat diartikan sebagai
pengeluaran informasi yang diberikan oleh perusahaan. 53 Suatu pengungkapan
harus memuat semua informasi termasuk informasi kuantitatif (seperti persediaan
dalam nilai mata uang) dan kualitatif (seperti tuntutan hukum).54
Menurut Evans dan Dean bahwa pengungkapan erat kaitannya dengan
empat pertanyaan, yaitu pertama, untuk siapa informasi diungkapkan?, kedua, mengapa pengungkapan perlu untuk dibuat?, ketiga, berapa banyak informasi yang
harus diungkapkan?, dan keempat, kapan informasi harus diungkapkan. Keempat
pertanyaan tersebut harus dijawab oleh perusahaan yang akan melakukan
pengungkapan untuk mengetahui siapa saja pihak yang akan menggunakan
informasi, tujuan dan alasan dilakukannya pengungkapan, banyaknya
pengungkapan yang diungkap, dan waktu yang tepat untuk melakukan
pengungkapan.55
Ada dua macam tipe pengungkapan dalam laporan keuangan (financial report) dan laporan tahunan (annual report), 56 yaitu pengungkapan wajib
(mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). 57
Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh
peraturan yang berlaku. Dalam hal ini, peraturan yang berlaku di Indonesia adalah
peraturan mengenai pengungkapan laporan keuangan dikeluarkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) melalui Surat
Edaran Nomor: SE-02/PM/2002, Surat Edaran Nomor: SE-02/BL/2008, dan Surat
Edaran Nomor: SE-03/BL/2011 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan
53Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana Sularto, “Pengaruh Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas Voluntary
Disclosure Laporan Keuangan Tahunan,” Proceeding PESAT, Vol. 2 (2007): 53-61. 54GAAP 98: Interpretation and Application of Generally Accepted Accounting
Principles, 1998, Wiley, 42 55 James R. Evans and Jr. James W. Dean, Total Quality: Management,
Organization, and Strategy 3rd. (Ohio: South-Western, 2003), 145. 56 Laporan tahunan (annual report) merupakan alat yang digunakan oleh
manajemen untuk melakukan pengungkapan dan pertanggungjawaban kinerja perusahaan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat. Namun, menurut Darwin
saat ini berkembang pelaporan perusahaan mengenai kinerja ekonomi, sosial, dan
lingkungan yang berdiri sendiri dan terpisah dari laporan tahunan perusahaan, yang dikenal
dengan Sustainability Report (SR). Perusahaan-Perusahaan di Indonesia yang sudah
membuat sustainability report antara lain adalah PT Astra Internasional, PT Aneka
Tambang, dan PT Bukit Asam. Ali Darwin, “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan
Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia,” EBAR (Economic, Business Accounting
Review). Corporate Social Responsibility. Edisi III/ Sept – Des 2006. 57William R Scott, Financial Accounting Theory, Edisi 6 (New Jersey: Prentice
Hall, 2012), 15-17
44
Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik dan Ikatan Akuntansi
Indonesia.
Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan melebihi yang
diwajibkan. Pengungkapan sukarela yang termasuk dalam kategori ini adalah
pengungkapan tambahan terkait informasi keuangan perusahaan dan pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan yang seringkali diungkapkan dalam bentuk
laporan tahunan (annual report). Menurut Sudarmadji dan Sularto pengungkapan
sukarela merupakan berapa banyak informasi yang diungkapkan suatu perusahaan
melebihi yang diwajibkan oleh Bapepam dan LK. Pengungkapan sukarela
merupakan cara untuk mewujudkan transparansi dalam bidang bisnis. Selain itu,
pengungkapan sukarela dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pengguna
laporan keuangan lainnya.58 Dengan kata lain, pengungkapan suka rela yang lebih
luas merupakan salah satu cara bagi manajer untuk meningkatkan kredibilitas
perusahaan.
Meek et.al dalam Benardi memaparkan bahwa pengungkapan sukarela
merupakan pilihan bebas bagi manajemen perusahaan untuk memberikan informasi
keuangan dan informasi non-keuangan yang dianggap relevan untuk pengambilan
keputusan oleh para pengguna laporan keuangan.59
Berdasarkan dua macam bentuk pengungkapan laporan tersebut, yang
sangat penting untuk diperhatikan adalah ketika pengungkapan yang sifatnya
sukarela (voluntary disclosure). Karena tidak ada yang memonitor dan tidak ada
standar yang jelas berapa banyak perusahaan mengeluarkan dana untuk dana
kepentingan lain. Oleh karena itu, sepatutnya informasi keuangan yang diberikan
dan pelaksanaan tanggung jawab sosial kiranya harus diberikan pengungkapan
secara memadai selain pengungkapan minimum yang diwajibkan agar dapat
dipahami oleh para pengguna.
Dalam perspektif ekonomi, menurut Verrecchia, bahwa perusahaan akan
mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut akan meningkatkan nilai
perusahaan.60 Berbeda dengan Islam tidak hanya melihat pada peningkatan nilai
perusahaan akan tetapi perusahaan akan menghasilkan pengungkapan yang benar,
adil, dan transparan apabila memiliki akuntabilitas, yakni akuntabilitas terhadap
Allah SWT. Konsep dasar akuntabilitas Islam ini percaya bahwa seluruh sumber
daya yang telah disediakan dan diciptakan adalah untuk kemaslahatan setiap
58Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana Sularto, “Pengaruh Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas Voluntary
Disclosure Laporan Keuangan Tahunan,” Proceeding PESAT, Vol. 2 (2007): 53-61. 59Meliana Benardi, dkk., “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan
dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi,” Jurnal Symposium Nasional Akuntasi (SNA) XII (Palembang, 2009).
60 Verrecchia, R. E. “Discretionary Disclosure,” Journal of Accounting and Economics, Vol. 5 No. 3 (1983): 179-194.
45
manusia. Oleh karena itu, pengungkapan fakta keuangan harus berisi informasi
yang benar, akurat, dan tersedia bebas untuk para pengguna laporan keuangan.61
Akhtaruddin mengungkapan bahwa permintaan terhadap penerbitan
informasi keuangan perusahaan di seluruh dunia terus meningkat. Hal ini karena
para pengguna informasi keuangan perusahaan mulai menyadari akan pentingnya
informasi tersebut. Namun, biasanya pengungkapan yang disajikan tidak
memenuhi kebutuhan para pengguna informasi keuangan perusahaan karena
manajer cenderung mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri. Hal ini
menimbulkan kesenjangan pengungkapan (disclosure gap) atau lebih dikenal
dengan principal-agent problems.62
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengungkapan wajib
merupakan pengungkapan yang timbul sebagai konsekuensi dari keberadaan
perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Sedangkan, pengungkapan
sukarela merupakan pengungkapan yang murni timbul dari hasil analisis cost and benefit perusahaan yang bersangkutan. Pengungkapan yang lebih banyak
membutuhkan biaya dan sangat penting untuk diperhatikan adalah pengungkapan
yang sifatnya sukarela. Oleh karena itu, wajar apabila perusahaan melakukan
pengungkapan sukarela yang bentuk dan isinya berbeda, karena tidak ada yang
memonitor dan tidak ada standar yang jelas berapa banyak perusahaan
mengeluarkan dana untuk kepentingan di luar perusahaan.
Terkait dengan pengertian tanggung jawab sosial atau lebih dikenal dengan
istilah Corporate Social Responsibility (CSR, hingga saat ini belum ada kesamaan
pemahaman pengertian dan belum ada upaya melacak perkembangan pengertian
tersebut secara universal.63 Masing-masing pihak memiliki definisi dan interpretasi
yang berbeda. Perbedaan ini terjadi sesungguhnya merupakan cerminan dari
perbedaan latar belakang serta pola pikir para praktisi dan lembaga/organisasi yang
mendefinisikannya, walaupun secara garis besar dapat terlihat bahwa mereka telah
memiliki benang merah yang sama.
Terdapat banyak definisi, antara lain pengertian secara formal mengenai
CSR diperoleh dari hasil dialog internasional bertajuk “The World Business Council for Sustainable Development” (WBCSD) Stakeholder Dialogue on CSR” di Netherlands pada 6-8 September, sebagai lembaga internasional yang
beranggotakan perusahaan multinasional 1998. Definisi CSR menurut WBCSD
adalah “Corporate social responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the work force and their families as well as of the local
61Siti Amerieska, dkk., “Akuntabilitas pada Baitul Maal Wat Tamwil Ditinjau dari
Perspektif Shari’ate Enterprise Theory,” Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, Vol. 2 No. 1
(2012: 27-39. 62M. Akhtaruddin, “Corporate Mandatory Disclosure Practicies in Bangladesh,”
The International Journal of Accounting, Vol. 40 No. 4 (2005): 399-422. 63 Garriga and Mele, “Corporate Sosial Responsibility Theories: Mapping the
Territory” Journal of Business Ethics, Vol. 53 (2004): 51-71.
46
community and society at large,” CSR merupakan suatu bentuk komitmen bisnis
berkelanjutan dari dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas
masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.64
Pengertian CSR juga dikemukakan oleh World Bank (2002), “CSR is committment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are both good for business and good for development,” CSR merupakan suatu komitmen bisnis untuk
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang dapat bekerja
dengan karyawan dan perwakilan mereka, masyarakat sekitar dan masyarakat yang
lebih luas untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara yang baik bagi bisnis
maupun pengembangan.65
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa satu kata kunci penting
yakni “komitmen” perusahaan sebagai pelaku bisnis untuk dapat berprilaku etis
dan turut berkontribusi dalam membangun perekonomian negara. Ungkapan serupa
disampaikan oleh Kotler and Lee, menurutnya pengertian CSR yang dikembangkan
saat ini adalah pengembangan CSR dari Bowen yang mendasari CSR sebagai
komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan komunitas melalui praktik-praktik
kebijakan bisnis dengan keterlibatan dari sumber-sumber perusahaan.66
Lain lagi halnya menurut Business in the Community (BITC) dalam
Grosser dan Moon (2005), pelaporan CSR seharusnya tidak hanya berisi komitmen,
tetapi juga berisi elaborasi antara komitmen tersebut dengan hasil yang dicapai.
Pelaporan CSR dapat memperluas praktik bisnis karena perusahaan mengakui
manfaat pelaporan tersebut lebih dari sekedar reputasi yang akan diperoleh apabila
dialog dengan para pemangku kepentingan dilakukan secara lebih terbuka dan
seimbang. Dengan kata lain, pelaporan CSR memiliki peran penting dalam
menentukan kesuksesan suatu perusahaan.
Ungkapan serupa menurut ISO 26000, CSR adalah bentuk kepedulian
sosial perusahaan yang saat ini menjadi aspek penting dalam rangka meningkatkan
kinerja perusahaan. Kontribusi perusahaan terhadap komunitas merupakan salah
satu bentuk keterlibatan perusahaan dalam mengoptimalkan di bidang sosial,
ekonomi, dan lingkungan sehingga dapat mewujudkan pembangunan secara
64The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) merupakan
lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120
perusahaan multinasional yang berasal dari 30 negara. Lihat WBCSD, CSR: Meeting Changing Expectations (World Business Council on Sustainable Development, 1998): 3;
M. Rahman Nurdizal, dkk., Panduan Lengkap Perencanaan CSR (Depok: Penebar Swadaya,
2011), 20. 65 Fox, Ward and Howard (2002), 1, dalam Agnes Sunartiningsih, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat (Aditya Media-Fisip UGM, 2004), 217. 66Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing The Most
Good foor Your Company and Your Cause (Jhon Wiley & Sons Inc, New Jersey, 2005), 1.
47
berkelajutan. Di samping itu harus sejalan dengan hukum yang berlaku dan
terintegrasi dengan seluruh komponen organisai.67
Untuk konteks Indonesia, Bisnis Watch Indonesia mendefinisikan CSR
sebagai komitmen perusahaan pada perilaku etis. Etis dalam artian berlaku adil
(fair) dan bertanggung jawab pada stakeholders. Dengan demikian CSR dampak
mengurangi dampak negatif pada masyarakat dan mengupayakan dampak positif
pada masyarakat.
Berdasarkan dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian CSR menjadi sangat beragam. Intinya, CSR merupakan tanggung jawab
bisnis secara etis kepada pemangku kepentingan. Pemikiran ini dilandasi bahwa
perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada pemegang saham
(shareholder) tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak lain yang
berkepentingan (stakeholder) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban
terhadap pemegang saham.68
Oleh karena itu, kesadaran untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial
merupakan suatu keharusan bagi perusahaan, bahkan menjadi tren global seiring
dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk
yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah
sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. 69 Tren di bidang pasar modal
misalnya, penerapan indeks yang memasukkan ketegori saham-saham yang telah
mempraktikkan tanggung jawab sosial. Misalnya, New York Stock Exchange
memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI).70
Dengan demikian, bila ditelaah CSR berhubungan erat dengan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana bahwa suatu
perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya
tidak semata berdasarkan faktor keuntungan (profitability) perusahaan semata,
misalnya deviden melainkan juga harus mengedepankan bisnis yang berkelanjutan
(sustainability).
67 International Organization for Standarization (ISO) sebagai induk organisasi
standarisasi internasional, berinisatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim
yang membidani lahirnya panduan standarisasi CSR yang diberi nama ISO 26000.
http/www.iso.org/iso/socialresbonsibility.pdf. (diakses 5 Agustus 2017). 68 Rika Nurlela dan Islahuddin, “Pengaruh Corporate Social Responsibility
Terhadap Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Managemen Sebagai Variabel
Modetaring (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta),”
Simposium Nasional Akuntansi XI. (Juli 2008). 69 Elsa Rumiris Monika dan Dwi Hartanti, “Analisis Hubungan Value Based
Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis Indonesia (Studi
Kasus Perusahaan SWA 100 2006)”, Simposium Nasional Akuntansi XI, (Juli 2008). 70 Mas Ahmad Daniri, “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”,
http://development.bumn.go.id (diakses 13 Oktober 2017).
48
2. Teori Konsep Tanggung Jawab Sosial
Teori yang mengatakan bahwa kewajiban perusahaan tidak hanya kepada
shareholder tetapi juga terhadap stakeholeders sehingga muncul beberapa teori
yang menjadi dasar konsep CSR, antara lain meliputi: pertama, teori legitimasi.
Sebuah teori yang menjelaskan bahwa perusahaan akan secara sukarela
melaporkan aktivitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang
diharapkan komunitas. Teori legitimasi didasarkan pada gagasan terdapat kontrak
sosial antara organisasi dan masyarakat. Kontrak sosial dapat didefinisikan
sebagai ekspektasi eksplisit dan implisit dari masyarakat terkait bagaimana
perusahaan seharusnya beroperasi.71
Kedua, teori stakeholder, 72 menjelaskan bahwa perusahaan bukanlah
entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun memberikan
manfaat bagi stakeholder atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam
perusahaan. Dengan demikian, keberadaan perusahaan sangat dipengaruhi oleh
dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
Teori ini menunjukkan bahwa kebutuhan pemegang saham tidak dapat
dipenuhi tanpa memuaskan kebutuhan pemangku kepentingan lainnya. Ketika
perusahaan berhasil melayani para pemegang saham, hal itu mungkin pengaruh
dari stakeholder lain. Oleh karena itu, manager diharapkan dapat melakukan
aktivitas-aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholders, dan melaporkan
aktivitas-aktivitas tersebut. Menurut Freeman, stakeholder sebagai redistribute benefits to stakeholders, dan redistribute important decision-making power to stakeholders.73 Artinya, stakeholders pada dasarnya dapat mengendalikan atau
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi
yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh
besar kecilnya kekuatan yang mereka miliki atas sumber tersebut. Kekuatan
tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi
yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh,
kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi
konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan.74 Oleh karena itu,
ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi
perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan
keinginan stakeholders.
71Deegan, Craig. Financial Accounting Theory, (McGraw-Hill: Australia Chapter
1), 253. 72Teori ini diperkenalkan oleh Freeman pada pertengahan 1980-an. Dalam teori ini,
Freeman mendefiniskan stakeholders yaitu, “any group or individual who can affect or is
affected, by the achievement of the organization’s objective”. Donald Nurnberg, “The
Ethic of Corporate Govermance”, London Metropolitan University, (Agustus 2016). 73R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach. (New
York: Cambridge University Press, 2010). 74 Kariyoto, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam
Perspektif Teoritis,” Jurnal Tema, Vol. 10, No. 1 (2011): 24-38.
49
Ketiga, teori keagenan (agency theory), yaitu berkaitan dengan hubungan
antara prinsipal (pemegang saham) dan agen (manajemen). Prinsipal (pemegang
saham) merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak
atas nama prinsipal, sedangkan agen (manajemen) merupakan pihak yang diberi
amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan.75
Teori keagenan yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1997)
menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai kepentingan yang
berbeda.76 Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan
antara pemegang saham/pemilik (principal) dengan manajemen (agent).77
Konflik kepentingan antara pemegang saham/pemilik (principal) dengan
manajemen (agen) terjadi karena ketidakseimbangan informasi yang dimilki oleh
principal dibandingkan dengan informasi perusahaan yang dimiliki oleh agen.
Perbedaan informasi yang dimilki oleh manajer dan pemilik (asimetri informasi) seringkali lebih menguntungkan pihak manajer karena mengetahui kegiatan
perusahaan sehari-hari secara mendetail. Pemisahaan tanpa disertai pengawsan
yang baik dapat memberikan keleluasan bagi pengelola perusahaan untuk
memaksimalkan kepentingannya sendiri melalui pembebanan biaya yang
ditanggung oleh pemilik perusahaan.78 konflik kepentingan ini yang lebih dikenal
dengan istilah agency problem.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Bambang menyatakan bahwa
teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu 1) manusia pada
umumnya mementingkan diri sendiri (self interest) 2) manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan 3)
manusia selalu menghindari resiko (risk averse).79 Berdasarkan asumsi sifat dasar
manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu
mengutamakan kepentingan pribadinya. Manajer sebagai pengelola perusahaan
lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang
akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban
memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang
diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti
75Lex Donaldson and James H. Davis “Stewardship Theory or Agency Theory:
CEO Governance and Shareholder Returns”, Australian Journal of Management, Vol. 16,
No. 1, (June 1991): 49-65. 76M.C. Jensen and W.H. Meckling, “Theory of the Firm: Managerial behavior,
agency costs, and ownership structure,” Journal of Financial Economics, Vol 3, No. 4
(1976): 305–360. 77Sunarto, “Teori Kegenan dan Manajemen Laba”. Kajian Akuntansi, Vol. 1 No. 1
(Pebruari 2009): 13-28. 78Herry dan Hamin, “Tingkat Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan: Bukti
Empiris pada Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Riset & Bisnis, Vol. 1, No. 2 (Desember 2006): 135-151.
79 Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka, “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi pada Perusahaan Go Public Sektor Manufaktur)”, Simposium Nasional Akuntansi X, (Juli 2007).
50
laporan keuangan. Laporan keungan tersebut penting bagi para pengguna
ensternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling
besar ketidakpastiannya.
Dengan demikian, doktrin CSR merupakan salah satu aspek penting dari
akuntabilitas suatu perusahaan, sehingga perusahaan tidak hanya mempunyai
kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal hanya kepada pemegang saham
(shareholder) saja, tetapi juga terhadap pihak lain yang berkepentingan
(stakeholder), seperti pelanggan (customer), pegawai, komunitas, investor,
pemerintah, suplier bahkan juga kompetitor. Di samping itu, mempertimbangkan
dampak sosial, etika, dan lingkungan yang lebih luas di samping kekhawatiran
keuangan. Namun terjadi banyak perbedaan bentuk laporan dalam mewujudkan
tanggung jawab sosial tersebut. Perbedaan tidak hanya sebatas pada nama dan
definisinya, namun juga aplikasinya. Baik laporan CSR menurut ekonomi
konvensional begitu juga dalam ekonomi Islam.
3. Pelaporan CSR pada Bisnis Konvensional
Terdapat banyak bentuk pelaporan CSR sebagai bentuk pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan yang berkembang dewasa ini. Pelaporan CSR
merupakan salah satu aspek penting dari akuntabilitas perusahaan terhadap sosial
dan lingkungan. Hal ini selaras dengan semakin meluasnya bentuk-bentuk
akuntansi sosial sejak tahun 1970-an, di pasar modal misalnya, New York Stock
Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI), London Stock
Exchange memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial
Times Stock Exchange (FTSE) memiliki FTSE4 Good. Inisiatif ini bahkan mulai
diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan
Singapore Stock Exchange.80
Dalam 20 tahun terakhir, Socially Responsible Investment (SRI) semakin
menarik minat investor individu dan swasta, serta akademisi.81 SRI sendiri secara
formal sudah lama dipraktikkan oleh investor-investor religius hampir 100 tahun
yang lalu, di mana mereka menghindar dari menginvestasikan dananya pada
perusahaan yang menghasilkan alkohol, rokok, tembakau, dan judi. 82 Menurut
80Soraya Fitria dan Dwi Hartanti, “Studi Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan
Global Reporting Initiative Index Dan Islamic Social Reporting Index”, Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto, (2010): 2.
81Elias Erragraguy, Christophe Revelli, “Should Islamic investors consider SRI
criteria in their investment strategies?” Elsevier, Finance Research Letters 14 (2015): 11-
19. 82 Socially Responsible Investment (SRI) telah mengalami perkembangan yang
cepat di Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Berawal pada tahun 1920 di Inggris ketika
Gereja Methodist mulai menghindar dari ‘sinful stocks’ dalam kebijakan investasi. Pada
tahun 1960, gerakan keuangan-moralis ini mulai menyebar ke seluruh Eropa, Gereja dan
kelompok agama berusaha untuk menempatkan investasi keuangan mereka sejalan dengan
pandangan dan prinsip-prinsip mereka. Pada 1971, di dorong oleh United Methodist Church
dan respons kekhawatiran etis tentang persenjataan, the Pax World Fund lahir. Kemudian,
51
Peter D. Kinder, gerakan ini lahir pada tahun 1920 di Inggris, ketika Gereja
Methodist mulai menghindarkan diri dari keuntungan “sinful stocks” (saham
berdosa) terdiri dari tembakau dan alkohol dalam kebijakan investasi.83
Banyak penulis telah mencoba untuk membuat sebuah definisi yang lebih
komprehensif, namun belum ada yang konsensus secara tegas. Antara lain, menurut
Cowton mendefinisikan Socially Responsible Investments (SRI) atau ethical investment sebagai orang-orang yang menggunakan kriteria etika dan sosial dalam
pemilihan dan pengelolaan portofolio investasi.84
Di samping itu, istilah SRI dan ethical investment sering digunakan secara
bergantian, namun ada yang membedakan kedua istilah tersebut. Ethical investment merupakan konsep yang reaktif dengan ruang lingkup lebih sempit
yang biasanya memerlukan screening negatif. SRI, di sisi lain, termasuk konsep
proaktif yang akan mencari perusahaan yang menjunjung tinggi praktek yang baik,
dan berusaha untuk mengubah perilaku perusahaan melalui keterlibatan positif
dengan manajemen. Dengan kata lain, SRI dipandang sebagai istilah umum yang
lebih luas yang mencakup investasi etis, sosial, dan lingkungan.85
Definisi lain datang dari the European Social Investment Forum (EuroSIF)
menyatakan bahwa SRI menggabungkan tujuan keuangan investor dengan
keprihatinan mereka tentang permasalahan sosial, lingkungan, dan etika. 86 Di
samping itu, memperhatikan tata kelola perusahaan, sehingga menjadi lingkungan,
sosial, dan tata kelola yang baik. Dengan demikian, menghasilkan kinerja keuangan
sesuai dengan dikemukakan oleh John Eklington (1997), terkenal dengan The Triple Botton Line yang terdapat dalam buku Cannibalts with Forks: The Triple Botton Line of Twentieth Century Business. Dalam buku tersebut, ia menjelaskan
bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada
single botton line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan
dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus
berpijak pada triple botton lines. Di sini botton line lainnya, selain finansial adalah
sosial dan lingkungan. Umumnya dikenal sebagai "three P’s rule: people, planet and profit”.87
pada tahun 1984, Friends Provident sebuah perusahaan asuransi yang didirikan oleh The
Society of Friends meluncurkan the Friend Provident Stewardship. 83Peter D. Kinder, Socially Responsible Investing: An Evolving Concept in a
Changing World. KLD Research & Analytics, (2005), 11-12. 84Cowton, C, “the Development of Ethical Investment Product,” in A.R. Prindl
and B. Prodan (ed.), Ethical Confilict in Finance (Blackwell: Oxford, 1994). 85Charles Scanlan (ed.), “Socially Responsible Investment: A Guide for Pension
Schemes and Charities (London: Key Haven Publication, 2005). 86 EuroSIF, “European Sri Study 2006,” European Social Investment Forum,
(2006):1. 87J. Elkington. Cannibal With Work: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business, Gabriola Island (BS: New Society Publisher. 1997), 7.
52
Gambar 2.2
Tiga Dimensi Berkelanjutan
Sumber: Dyllick dan Hockerts (2002).
Berdasarkan Gambar 2.2 menunjukkan bahwa terdapat tiga dimensi utama
dalam pembangungan berkelanjutan (sustainable), yakni ekonomi, ekologi, dan
sosial. Dengan demikian, kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai
perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu, dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial harus dipenuhi secara simultan untuk mencapai
keberlanjutan jangka panjang karena ketiga dimensi tersebut saling berhubungan
dan saling mempengaruhi satu sama lain.88
Ungkapan serupa juga disampaikan oleh the North American Social
Investment Forum hanya sedikit ada perberbedaan, yang menyatakan bahwa
socially responsible investments (SRI) merupakan proses investasi yang
mempertimbangkan konsekuensi sosial dan lingkungan dari investasi, baik positif
maupun negatif, dalam konteks analisis keuangan yang lebih ketat.89
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kesimpulannya bahwa SRI tidak
hanya mempertimbangkan aspek keuangan investor saja akan tetapi juga harus
memperhatikan permasalahan sosial, lingkungan, dan etika. Investasi tidak akan
berjalan dengan baik tanpa memperhatikan tiga aspek tersebut. Bahkan, investor
harus mengorbankan beberapa bagian dari kinerja keuangan untuk mencapai tujuan
sosial yang dianggapnya lebih penting.
Luc Renneboog dkk., mengungkapkan bahwa Social Responsible Investment (SRI) sering juga disebut Ethical Investment atau Sustainable Investment,90 belakangan terus berkembang pesat di seluruh dunia, mencerminkan
88 Thomas Dyllick and Kai Hockerts, “Beyond The Business for Corporate
Sustainability,” John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment (2002): 130-141.
DOI:10.1002/bse.323. 89The Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in The
US (2005), www. Socialinvest.org (diakses 19 Maret 2016). 90Konsep dasar SRI bercita-cita untuk memperhatikan pentingnya isu-isu sosial,
etika, dan lingkungan dalam melakukan keputusan investasi. Namun, tidak semua sepakat
Economic
Sustainability
Environmental
Sustainability Social
Sustainability
53
meningkatnya kesadaran investor mengintegrasikan tata kelola sosial, lingkungan,
dan pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan investasi saham pada
perusahaan.91 Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan investor agar
berkesempatan memperoleh return investasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip
yang diyakini dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka miliki.92
Menurut Ethical Investment Association Australian investasi yang
bertanggung jawab adalah sebuah pendekatan untuk investasi yang secara jelas
mengakui relevansi investor terhadap lingkungan, sosial, tata kelola (ESG), dan
kesehatan jangka panjang serta stabilitas pasar secara keseluruhan. Pendapat
senada diungkapkan oleh Social Investment Forum, SRI sebagai motivasi untuk
“Build a better tomorrow while earning competitive return today. 93 Dengan
demikian melakukan investasi tidak hanya bertujuan untuk maksimisasi
kesejahteraan pemilik modal, tetapi juga memastikan bahwa perusahaan tersebut
tetap berada dalam domain investasi yang tidak merugikan pihak lain.
SRI merupakan investasi yang berkembang sangat pesat dalam beberapa
tahun terakhir. Menurut laporan Social Investment Forum ditemukan bahwa Di
Eropa aset SRI mencapai hampir 1,15 milyar euro, yang terdiri dari 10-15% dari
keseluruhan aset yang dikelola. Terbukti bahwa 94% dari aset tersebut milik
investor institusi, dana pensiun dan gereja, misalnya Gereja Methodist, Quaker,
Presbiterian dan Anglikan. Di Australia, dana meningkat 32% dalam setahun yaitu
dari A$10,5 miliar pada 2001 menjadi A$13,9 miliar pada 2002. Di Amerika
Serikat pada 2005 tercatat dana SRI mencapai US$2,29 Triliun SRI juga semakin
dengan konsep ini, banyak kritik dari berbagai kalangan terhadap konsep ini. Hal ini selain
belum konsensus di dalam dunia akademik tentang definisi yang digunakan juga bahwa
bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dana SRI, termasuk istilah 'SRI' itu sendiri
belum jelas. Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan filosofi investasi ini,
misalnya social investment, mission-based investing, green investment, dan masih banyak
lagi istilah yang digunakan, tetapi dua istilah yang paling populer dan sering digunakan
adalah ethical investment dan socially respobsible investment (SRI). Perbedaannya Istilah
ethical investment banyak digunakan di Inggris, Kanada dan Australia sementara di
Amerika lebih banyak menggunakan istilah Socially Resposible Intestment. Lebih lengkap
lihat Paul Hawken, Socially Responsible Investing (California: Natural Capital, 2004);
Severyan T. Bruyn, The Field of Social Investment (Cambridge: Cambridge University
Press, 1987); Steven D. Lydenberg & Peter D. Kinder, Mission-Based Investing (Boston
Mass: KLD, 1998), dan R. Hinkel., Kraus A., & Zechner, J., “The Effect of Green
Investment on Corporate Behaviour,” Journal of Financial and Quantitative Analysis, 36
(2001): 431; Hellsten, S. and C. Mallin, “Are Ethical or Socially Responsible Investments
Socially Responsible?”, Journal of Business Ethics, 66 (2006): 396-406. 91Luc Renneboog, Jenke Ter Horst, and Chendi Zhang b, “Socially responsible
investments: Institutional aspects, performance, and investor behavior,” Journal of Banking & Finance 32 (2008): 1723–1742.
92Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 86.
93Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in US, SRI, (2007), www. Socialinvest.org (diakses 25 Maret 2016).
54
penting di Amerika Serikat pada 2005, di mana sekitar 2,29 miliar dolar, atau 9,4%
dari total aset yang dikelola.94
Pada awalnya, untuk mengetahui perusahaan yang akan dilibatkan dalam
SRI hanya melalui proses screening negatif atau positif terhadap kriteria tertentu
yang telah ditetapkan, kemudian ditetapkan mana yang bisa menerima dana SRI
dan mana yang tidak. Namun, akhir-akhir ini pelibatan berkembang, manajer
investasi membuat kontak yang aktif dengan perusahaan untuk meningkatkan
perilaku mereka sehubungan dengan isu etika, sosial, dan lingkungan. Perusahaan
yang akan menerima SRI perlu menjaga keterbukaan (transparency), laporan
tahunan harus menjelaskan secara rinci hal-hal seperti sumber-sumber material,
pengelolaan SDM, di samping tentunya keuangan perusahaan. Jadi, SRI
mempertimbangkan baik kebutuhan finansial investor maupun dampak investasi
tadi pada masyarakat.95
Pada umumnya SRI berkaitan dengan investasi dalam saham suatu
perusahaan. Investor yang bertanggung jawab secara sosial, harus merasa nyaman
dengan bagaimana perusahaan tadi dikelola sebelum ia membeli sahamnya.
Investor harus yakin terhadap masalah ini baik jika ia membeli saham secara
langsung maupun melalui fund manager. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh
Inggris oleh Asosiasi perusahaan penjamin (The Association of British Insurrers)
mengeluarkan panduan yang membawa tanggung jawab sosial ke dalam pemikiran
dan praktik mainstream investasi. Sejak juli 2000, dana pensiun mengelurkan
pernyataan tentang prinsip-prinsip investasi yang menyatakan sejauh mana
pertimbangan etika, sosial, dan lingkungan diperhatikan dalam proses investasi.
Dalam perkembangannya, SRI tidak hanya membatasi diri dengan tidak
menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan rokok,
alkohol, dan judi, melainkan melangkah lebih jauh dengan memasukkan 4 aspek:
Pertama, Social Research. Aspek ini diperlukan untuk mencari perusahaan-
perusahaan dengan manajemen yang baik dan risiko rendah. Dalam screening
terhadap perusahaan, menurut Kerr & Zubevich hal-hal yang mereka lakukan
adalah:
1. Negative Screens. Kriteria seleksi yang digunakan mengharuskan fund manager mengeliminasi jenis-jenis aktivitas atau instrumen tertentu. Misalnya
negative screen akan mencoret individu pada perusahaan yang berkaitan
dengan uranium, pembalakan hutan, dan sebagainya.
2. Positive Screens. Dengan pendekatan ini, fund manager akan memberikan
preferensi pada investasi atau aktivitas tertentu yang dinilai bertanggung
94The Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in The
US (2005), www. Socialinvest.org (diakses 25 Maret 2016). 95Jusmaliani, “Investasi yang Islami: Investasi dengan Etika,” dalam Jusmaliani,
Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2008), 62-68.
55
jawab secara sosial dan lingkungan. Misalnya pada perusahaan yang
menghasilkan energi hijau yang terbarukan.
3. Best of Sector Screens. Semua perusahaan dibuat peringkatan dengan kriteria
sosial dan lingkungan. Kemudian investasi dilakukan hanya pada perusahaan-
perusahaann yang ratingnya tinggi pada setiap sektor industri.
Selain ketiga cara melakukan screening ini, ada pula yang menggunakan
keterlibatan konstruktif (constructive engagement). Dengan pendekatan ini, isu-isu
sosial dan lingkungan tertentu ditentukan oleh fund manager. Jika investasi sudah
dilakukan pada suatu perusahaan, namun kinerja perusahaan tadi ketika diukur
dengan isu yang berkembang buruk, maka fund manager akan mendorong
perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya.
Kedua, Shareholder Advocacy. Dalam hal ini subyektifitas nilai-nilai
individu perlu dipetimbangkan, karena apa yang dianggap etis oleh individu yang
satu belum tentu juga dianggap etis oleh yang lainnya. Misalnya pendanaan untuk
perusahaan yang mendukung aborsi, produksi senjata, hak azasi manusia, produksi
kertas yang mencemari lingkungan dan lain sebagainya. Shareholder Advocacy
bentuknya beragam, sejak dari hubungan telepon, menyurati, sampai dengan
mengisi formulir resolusi pemegang saham agar perusahaan melakukan tindakan
tertentu.
Ketiga, Social Venture Capital. Menempatkan dana pada tahap awal di
perusahaan-peruahaan (misal di perusahaan yang bergerak di bidang energi
alternatif) adalah cara yang menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat sebelum saham-saham tadi diperdagangkan pada publik. Investasi di
awal ini akan menjamin perusahaan dengan pendanaan yang dibutuhkan dan sering
memberi keuntungan yang sehat bagi pemilik saham.
Keempat, Community Investing. Menyalurkan kredit yang terjangkau pada
masyarakat yang tidak dapat dilayani oleh pasar kredit. Ini akan membantu dalam
menciptakan lapangan kerja, membangun rumah ataupun mendanai fasilitas
masyarakat. Investor sering siap menerima hasil investasi yang lebih rendah untuk
mendorong lebih banyak investasi yang akan membantu masyarakat.
Berbagai kebijakan yang telah ditetapkan dalam SRI dengan konsep dan
berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, agar manfaat yang akan
diperoleh tidak hanya sebatas investasi demi mendapat keuntungan materi, namun
juga pertimbangan sosial dan lingkungan. Namun, pada praktiknya tidak semua
pihak sepakat dan mendukung konsep SRI ini. Di tengah kecenderungan
pertumbuhannya yang pesat tidak terlepas dari berbagai kritikan, di antaranya
datang dari kelompok Investment-U. Mengikuti pernyataan Friedman, mengatakan
bahwa dalam ekonomi neo-klasik rasionalitas ekonomi adalah satu-satunya bentuk
rasionalitas yang bertujuan untuk membuat uang. Di bidang investasi,
mensyaratkan bahwa satu-satunya fokus investor yang rasional dimaksud adalah
untuk memaksimalkan pengembalian keuangan atau nilai sekarang bersih dari
investasi yang dilakukan. Ia menegaskan SRI tidak lebih dari sekedar smart money karena bagaimanapun tanggung jawab sosial hanyalah produk sampingan suatu
56
usaha yang berhasil dan bukan prinsip untuk memotivasi pemodal. Jika ini
merupakan tujuan utama dari usaha maka haruslah ada cara untuk mengukurnya.96
Pendapat kelompok ini berdasarkan fakta studi yang dilakukan Wharton
School pada tahun 2003 yang menyimpulkan bahwa investor SRI menderita
kerugian 3,5 % points per tahun. Selanjutnya investor SRI tertinggal dari inverstor
non-SRI dengan 18 % per tahun. Investasi USS 100,000 untuk periode 20 tahun
pada SRI hanya akan menghasilkan 5,5% pertahun sedangkan non-SRI 8% per
tahun yang jika dikonversi adalah kehilangan laba sejumlah USS 174,000
(Investment U).
Pendapat senada diungkapkan Rothchild, bahwa membatasi pilihan
kesempatan investasi akan memperburuk kinerja portofolio investor. Ia
mengungkapkan Limitating choices based on non-financial criteria is detrimental to financial gains of portofolio performance. Hal tersebut dikarenakan beberapa
ethical fund yang ditelitinya secara rata-rata underperform (lebih jelek)
dibandingkan S&P 500. Di samping itu, Grossman dan Sharpe beragumentasi
bahwa portofolio SRI juga akan kurang likuid.97
Ungkapan Milton Friedman dan beberapa pendapat serupa lainnya,
tentunya tidak semuanya sejalan dan sepakat. Beberapa dekade terakhir adanya
pemikiran baru di kalangan ekonom dan filsuf moral, sepakat pentingnya
memasukkan nilai etika dalam ekonomi. Meskipun masih mempertahankan
perspektif utilitarian. Amartya Sen misalnya, menyoroti pentingnya dalam
investasi untuk mengenali motivasi individu, selain kepentingan pribadi juga
perhatian yang lebih besar dan lebih eksplisit untuk pertimbangan etis yang
membentuk perilaku manusia.98
Berdasarkan beberapa studi dan penelitian yang telah dilakukan jauh
sebelumnya, misalnya ketika diluncurkannya Domini 400 Social Index pada tangal
1 May 1990, terdiri dari 250 saham dari S&P 500 dan 150 saham lain di luar S&P
500 yang dianggap sangat bertanggung jawab secara sosial. Index komitmen untuk
mengeluarkan segala investasi yang di dalamnya terdapat kegiatan alkohol,
tembakau, perjudian, nuklir, dan persenjataan. Berdasarkan laporan bulan Mei
1998, diperoleh temuan menarik yang menunjukkan bahwa selama lima tahun
terakhir sampai 30 April 1998, annualized return Domini 400 Social Index ternyata
lebih tinggi dari S&P 500. Social index tercatat menghasilkan 24,3% annulaized return, dibandingkan 23.23% yang dihasilkan S&P 500.99
Penelitian Richard Hudson menunjukkan bahwa 70% kalangan investor
Dow Jones melakukan investasi pada Investment Ethics sebagai diversifikasi
96 Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its
Profit,” The New York Times Magazine, (1970). 97Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek
Manajemen Portofolio Syariah, 89. 98Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford: Brasil Blackwell, 1987). 99Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek
Manajemen Portofolio Syariah, 87.
57
portofolio investasi mereka. Motivasi investor tersebut beragam, para investor
menilai bahwa IE relatif memiliki risiko yang lebih kecil dibanding saham biasa
karena telah melewati seleksi.100 Alasan lain menunjukkan bahwa investasi pada IE
merupakan bagian dalam keikutsertaan mereka untuk berinvestasi yang didukung
oleh masyarakat luas. Ketertarikan investor pada IE menunjukkan bahwa IE dapat
memberikan tingkat keuntungan finansial yang kompetitif dan keuntungan
nonfinansial. Keuntungan nonfinansial yang diperoleh adalah investasi yang
didukung masyarakat luas untuk menuju perubahan dunia yang lebih baik.101
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, setidaknya memberikan
sanggahan terhadap anggapan yang menolak konsep SRI dan beberapa studi yang
mengatakan bahwa investasi tanpa mempertimbangkan sosial dan lingkungan lebih
unggul dibandingkan dengan investasi yang lain.
4. Pelaporan CSR Perspektif Islam: Islamic Social Reporting (ISR)
Bagian kedua ini berusaha untuk menjelaskan pengungkapan tanggung
jawab sosial dari perspektif Islam. Konsep CSR tidak hanya berkembang pada
ekonomi konvensional, tetapi juga berkembang dalam ekonomi Islam. Bahkan
konsep tanggung jawab sosial dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru, jauh
sebelumnya dalam al-Qur’an telah dijelaskan, seperti dalam QS. al-Ru>m [30]: 41-
42, QS. al-A‘ra>f [7]: 56-58, dan QS. Al-Qas{as} [28]: 77 secara umum menjelaskan
bahwa kerusakan yang terjadi di bumi diakibatkan oleh tangan manusia sendiri,
serta QS. Al-Ma>’idah [5]: 2 menjelaskan adanya anjuran untuk melaksanakan
hubungan atau interaksi sosial antar manusia. Oleh karena itu, manusia harus
bertanggung jawab terhadap Allah dalam melaksanakan aktivitasnya dalam upaya
mencapai ridho-Nya.102 Sehingga hubungan dan tanggung jawab antar manusia
dengan Allah ini akan melahirkan kontrak relijius (divine contract) dan bukan
sekedar kontrak sosial belaka (social contract).103
Siwar dan Hossain juga menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. memiliki hubungan yang relevan dan berkontribusi
terhadap konsep social report yang terus berkembang saat ini, sehingga dapat
dijadikan sebagai landasan tanggung jawab sosial perusahaan. Di mana nabi
Muhammad SAW. merupakan utusan Allah SWT. untuk semesta alam. Islam tidak
hanya sebuah agama, melainkan juga sebagai petunjuk kehidupan bagi umatnya. Di
samping itu, bahwa Islam menempatkan manusia sebagai khalifah Allah SWT.
Oleh karenanya, manusia memiliki tanggung jawab untuk memelihara seluruh
100Richard Hudson, “Business Ethics Quarterly,” Vol. 15, Issue 4, 641-657. 101 Diana J Beal, Michelle Goyen, and Peter Phlilips, “Why Do We Invest
Ethically?” The Journal of Investing, Fall, (2005): 33. 102Al-Attas Naquib Syed Muhammad,1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam cet.
Ke-7 (Bandung: Mizan, 1996) 103Fathi Osman, “Islam and Human Rights: The Challenge to Muslims and the
World”, dalam Rethinking Islam and Modernity, Essay in Honour of Osman (London: The
Islamic Foundation, 2001), 122.
58
ciptaan Allah SWT.104
Namun permasalahannya, bagaimana Islam menyikapinya, walaupun
berbagai nilai-nilai universal dalam Islam ada hubungan dengan konsep SRI oleh
Barat, di antaranya dalam hal komitmen untuk mendahulukan kepentingan sosial,
peningkatan kesejahteraan manusia, peduli terhadap lingkungan, kepedulian
keadilan ekonomi dan sosial, dan menjunjung tinggi untuk menghindari kegiatan
berbahaya, misalnya larangan pembuatan senjata, produksi alkohol atau tembakau.
Perbedaannya, bahwa tanggung jawab sosial dalam Islam dibangun berasal dari
paradigma ila>hi. Tanggung jawab sosial menjaga hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. Inti dari
paradigma ini adalah gagasan tentang tauhid (keesaan Allah), di mana semua
ciptaan hanya tunduk dan tidak menyekutukan-Nya.105 Dengan demikian, larangan
usaha tersebut sebenarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan (mas}lah}ah)
manusia dibandingkan kepentingan bisnis itu sendiri. 106 Dalam artian,
mengutamakan kemaslahatan dan menghindari usaha yang bersifat mudharat dan
merusak moral serta implikasinya pada isu tanggung jawab sosial dalam urusan
ekonomi terutama dalam investasi Islam.
Ada banyak definisi mas}lah}ah107 yang dikemukakan oleh ulama us}u>l al-fiqh, baik ulama klasik maupun kontemporer, yang seluruhnya mengandung esensi
yang sama. Secara sederhana, mas}lah}ah diartikan sesuatu yang baik, bermanfaat
dan dapat diterima oleh akal sehat, baik dalam arti menarik keuntungan atau
kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindar kemudharatan. al-Ghaza>li>
mendefinisikan mas}lah}ah adalah mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menolak kemudharatan (kerusakan). Dalam rangka memelihara tujuan syara’
(dalam menetapkan hukum). Dalam upaya memperoleh kesejahteraan (mas}lah}ah)
ada lima tujuan dasar 1) agama (di>n); 2) hidup atau jiwa (nafs); 3) kelurga atau
keturunan (nasl); 4) harta atau kekayaan (māl); dan 5) intlektual atau aqal (‘aql).108
Definisi senada tentang mas}lah}ah juga dikemukakan oleh Fakhr al-Di>n al-
104C. Siwar, and M. T. Hossain, “An analysis of Islamic CSR Concept and The
Opinion of Malaysian Managers”, Management of Environmental Quality: An International Journal, Vol. 20 (2009): 290-298.
105 M. Aslam Haneef, “ Islam, Its Worldview and Islamic Economics,” IIUM Journal of Economic and Management, 5, 1 (1997).
106Syafiq, M. Hanafi. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indeks Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones.” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol.
45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1406. 107Mas}lah}ah berasal dari kata s}-l-h}; ia merupakan bentuk masdar dari kata kerja
salaha dan saluha, secara etimologi berarti manfaat, bagus, baik, layak, dan sesuai. Kata
maslahah yang bentuk jamaknya adalah masalih (kebaikan) kebalikan dari al-fasad (kerusakan). Ibn al-Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), 348; Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, jld.1 Cet. Ke-5 (Jakarta: Prenada Media, 2014), 323. 108Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fá fi> ‘Ilm al-Us}u>l (Beiru>t: Dar al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2008), 286-287. Lihat juga, Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Jld. 2 (Beirut: Da>r al-Nahdah, T.t.), 109.
59
Rāzi109 al-T{ūfi, 110 al-Shat}ibi>, 111 Khalla>f,112
Abū Zahrah,113 dan lain sebagainya.
Semua definisi yang mereka buat memiliki arti yang hampir punya kesamaan
dengan definisi yang dibuat al-Ghaza>li> sebelumnya. Hal ini jika diperhatikan
bahwa definisi-definisi oleh ulama belakangan hanya mengembangkan definisi
yang dibuat oleh al-Ghaza>li>. Perbedaannya hanya terletak pada uraian mereka
tentang cakupan, kewenangan, dan pemakaian mas}lah}ah dalam pengambilan atau
penetapan hukum.
Dari definisi al-Ghaza>li> tersebut, mas}lah}ah terkait erat dengan maqa>s}id al- shari>‘ah. Dalam hal ini, al-Ghaza>li> merinci keterkaitan maslahat tersebut. Ada
kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal yang penting (d}arūri>yah), ada
kemaslahatan yang terakit dengan hal-hal sekunder (h}aji>yah), dan ada
kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal pelengkap (tah}sīni>yah). 114 Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi al- Ghaza>li> mas}lah}ah di atas menjadi
bukti bahwa beliaulah yang secara teoritik merumuskan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah yang kemudian secara luas dan mendalam dikembangkan oleh al-Shat}ibi>.
Konsep mas}lah}ah al-Shat}ibi> dianggap telah banyak mengembangkan teori
maqa>s}id al-shari>‘ah. Dalam banyak kajiannya, konsep mas}lah}ah sering dipakai
secara bergantian dengan maqa>s}id al-shari>‘ah dengan arti yang lebih kurang sama.
Jika mas}lah}ah adalah konsep kebaikan yang diakui secara umum, maka maqa>s}id al-shari>‘ah adalah instrumen yang menopang dan mengoperasikan konsep mas}lah}ah tersebut. Menurut al-Shat}ibi>, tujuan awal pemberlakuan syariah adalah
mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok yang telah disebutkan di atas,
yang sering disebut sebagai al-kulli>yah al-khamsah atau al-d}arūri>yah al-khamsah. 115 Namun, tidak hanya sebatas itu, harus dipahami dalam arti luas,
termasuk semua manfaat yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, orang-orang
109 Fakhr al-Di>n al-Rāzi>, al-Mahsūl fi> ‘Ilmi al-Us}ūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1988), 67. 110Najm al-Din al-T{ūfi>, Sharh al-Arba‘īn, dimuat dalam lampiran Must}afá Zayd,
al-Maslahat fi al-Tashrī’ al-Islāmi> wa Najmuddin al-T{ūfi (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi>,
1954), 18. 111Ibra>hi>m ibn Musá al-Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Sharī‘ah, jilid II (Beirut:
Da>r al-Ma’rifah, t.t.), 16. 112Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}ūl al-Fiqh, Cet. 8 (Mesir: Maktabat al-Da‘wah
al-Islāmiyah Shabāb, 1990), 356. 113Muhammad Abū Zah{rah, Us{ūl al-Fiqh (Mesir: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 366. 114Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Must}as{fá fi> ‘Ilm al-Us}u>l, 274. 115 Dalam contoh klasik al-Shat}ibi menyatakan bahwa tidak terwujudnya
kebutuhan d}arūriyāt akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan manusia bahkan berakibat
fatal bagi kelangsungan hidup manusia di dunia dan akhirat secara keseluruhan. Sementara
pengabaian pada kebutuhan h}ājiyāt tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok,
akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam
merealisasikannya, sedangkan tidak terpenuhinya kebutuhan tah{sīniyāt membawa upaya
pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lihat Abū Isha>q al-Shat}ibi, al-Muwa>faqa>t fî Us}u>l al-Sharī‘ah, 8-11.
60
dari individu dan masyarakat, material, moral dan spiritual, serta
mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang.
Dari paparan ulama us}u>l al-fiqh nampak jelas bahwa ide sentral dan
sekaligus yang menjadi tujuan akhir dari maqa>s}id al-shari>‘ah adalah mas}lah}ah. Oleh karenanya, kemaslahatan yang hendak dicapai oleh syariah bersifat umum
dan universal, bukan hanya untuk kepentingan individu melainkan untuk semua
manusia, disamping itu bukan hanya untuk terbatas masa tertentu, melainkan juga
untuk sepanjang kehidupan manusia di bumi.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Chapra dkk., bahwa gagasan
pelestarian lima unsur maqa>s}id (sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghaza>li> dan
disepakati al-Shat}ibi>) harus dianggap sebagai dasar atau pokok dari mas}lah}ah dalam mengisi pembangunan ekonomi. Beliau menjelaskan prinsip menjaga jiwa
manusia, memperkaya keimanan, intelek, keturunan dan menjaga harta benda
merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan
ekonomi dengan mengabaikan aspek prasyarat di atas (lima unsur maqa>s}id) dalam
rangka merealisasikan visi Islam memang akan membuat dunia Islam meraih
pertumbuhan yang lebih tinggi dalam jangka pendek, namun akan sulit menjaga
kesinambungannya dalam jangka panjang karena akan meningkatnya
ketidakmerataan, ketidaksejahteraan, disentegrasi keluarga, kriminal, dan
ketegangan sosial.116 Oleh karena itu, lima unsur maqa>s}id harus menjadi sebagai
dasar dari mas}lah}ah, baru kemudian unsur-unsur lain dari maqa>s}id yang dianggap
ada hubungan yang tentu penting dalam keberlanjutan jangka panjang untuk
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, selain dari gagasan umum mas}lah}ah, dua
tujuan lain dari syariah yang telah diakui secara luas oleh para ahli hukum adalah
'membangun keadilan' dan 'mendidik individu’. 117 Fazlur Rahman lalu
meringkasnya ke dalam konsep monoteisme dan keadilan sosial.118
Belakangan Yusuf al-Qard{awi mengembangkan prinsip mas}lah}ah dengan
menyatakan, “di mana ada kemaslahatan, di sanalah terdapat hukum Allah”. Di
bagian lainnya, al-Qard}awi menyebutkan bahwa menjaga lingkungan sama dengan
menjaga agama merusak lingkungan dan abai terhadap lingkungan sama dengan
menodai kesucian agama serta meniadakan tujuan-tujuan syari’ah.119
Melihat dari prinsip al-Qard{awi tersebut, nampaknya ia ingin
mengembangkan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah dari al-Shat}ibi> yang menyatakan
bahwa pemeliharaan atas al-d}arūri>yah al-khamsah adalah sebuah kemutlakan total
116M. Umer Chapra, Shiraz Khan & Al Shaikh Anas Ali, The Islamic Vision of
Depelopment in the Light of Maqasid al-Shariah (London: International Institute of Islamic
Thought, 2008), 5. Lihat juga M. Umer Chapra, “Ethics and Economics: an Islamic
Perspektive” Islamic Economic Studies Vol. 16. No. 1-2 (August 2008-Jan 2009). 117Mohammad Hashim Kamali, Shiraz Khan & Al-Shaikh Anas Ali, Maqasid al-
Shari’ah Made Simple (London: International Institute of Islamic Thought, 2008). 118Fazlur Rahman, “Interpreting al-Qur’an,” Inquiry, (Mei 1986): 49. 119Yusuf al-Qarad{awi, al-Ijtiha>d al-Mu‘as}ir (Beirut: Al-Maktab Al-Isla>mi, 1998),
68.
61
yang meliputi pemeliharaan atas keberadaannya dan pemeliharaan atas
kepunahannya. Meski konsep ini dikemukakan pada abad ke-14 Masehi (masa
hidup al-Shat}ibi>), namun prinsip-prinsip dasarnya dapat digunakan dengan
modifikasi-modifikasi baru dalam upaya Islam melakukan konservasi lingkungan
sebagai bahagian tanggung jawab sosial.
Dengan demikian walaupun secara eksplisit al-Shat}ibi tidak menjelaskan
h}ifz{ al-‘a>la>m (konservasi lingkungan) sebagai bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah,
namun terdapat beberapa penjelasan al-Qur’an maupun hadist yang menerangkan
urgensi pemeliharaan lingkungan/alam. 120 Karena itu, h}ifz al-‘a>la>m dapat
dijadikan sebagai mediator utama bagi terlaksananya al-d}arūri>yah al-khamsah
tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Shat}ibi>, menurutnya bahwa “telah
di ketahui bahwa diundangkannya syariah Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan makhluk secara mutlak.”121
Begitu juga halnya meski teori mas}lah}ah sudah ada pada zaman al-
Ghaza>li>, namun argumen prinsipnya masih relevan dengan isu-isu lingkungan
hidup dengan memperluas cakupan argumen instrumentalnya. Karena itu,
memelihara alam semesta merupakan pesan moral yang bersifat universal yang
telah disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup
merupakan bagian integral dari tingkat keimananan seseorang.
Berangkat dari dinamisnya konsep maqa>s}id al-shari>‘ah, elaborasi-elaborasi
mas}lah}ah terus mengalami dinamika dan berkesinambungan. Must}afa Abu-Sway,
misalnya, juga menggunakan konsep mas}lah}ah sebagai pedoman memproteksi
lingkungan. Dia memakai konsep ini dalam bingkai maqa>s}id al-shari>‘ah. Bahkan ia
berpendapat bahwa memelihara lingkungan adalah tujuan tertinggi syariah.122
Pendapat semacam ini, tentu saja sangat tegas dan belum pernah disampaikan oleh
ulama sebelumnya, apalagi ulama-ulama klasik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang perlu diperhatikan dalam
mewujudkan tanggung jawab sosial adalah memperkuat konsep mas}lah}ah dan
120Mohammad Shomali menyatakan bahwa terdapat lebih dari 750 ayat di dalam
al-Qur’an yang terkait dengan alam. Demikian pula ada sejumlah kasus di mana Allah
mengambil sumpah dengan memakai fenomena lingkungan/alam, seperti: ‘al-fajr’ (fajar),
dan sumpah dengan menyebut ‘pohon ara dan pohon zaitun’
Kata air (al-mā’), bumi (al-
‘ardh), binatang ternak (al-’anfāl), langit (al-samā’). Aspek-aspek lingkungan di dalam al-
Qur’an selain yang telah disebut di atas, ada lagi ayat-ayat yang secara tegas dan spesifik
bicara soal krisis lingkungan. Di antaranya: QS, al-Rūm [30]:41, al-Wāqi’ah [56]:68-70,
al-A’rāf [7]:56,
dan al-An’ām [6]:38. Dalam empat ayat itu, membahas tentang krisis
lingkungan yang meliputi kompenen daratan, lautan, binatang, dan jenis makhluk lainnya.
Lebih lengkap lihat, Mohammad Shomali, “Aspects of Environmental Ethics: An
Islamic Perspective,” http://www.thinkingfaith.org/articles/200811111.htm, (diakse 15
Maret 2016). 121Ibrahim ibn Musa al-Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t fî> Us}u>l al-Sharī‘ah, 11. 122Must}afa Abu-Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, Fiqh
al-Bî’ah fî al-Islām, http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/htm. 1998 (diakses 25 Maret
2016).
62
maqa>s}id shari>‘ah sehingga mencakup konservasi lingkungan sebagai bahagian
tanggung jawab sosial yang patut tetap harus di jaga kelestariannya.
Terkait dengan adanya kebutuhan mengenai pengungkapan tanggung
jawab sosial sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, saat ini marak diperbincangkan
mengenai Islamic Social Reporting Index (selanjutnya disebut indeks ISR). Indeks
ISR dikembangkan oleh Haniffa (2002) berisi kompilasi item-item standar CSR
yang ditetapkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI)123 yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Othman
et al di Malaysia. Secara khusus indeks ISR adalah perluasan dari social reporting yang meliputi harapan masyarakat tidak hanya mengenai peran perusahaan dalam
perekonomian, tetapi juga peran perusahaan dalam perspektif spiritual.124 Selain
itu, indeks ISR juga menekankan pada keadilan sosial terkait pelaporan mengenai
lingkungan, hak minoritas, dan karyawan.
Hannifa menambahkan bahwa aspek spritual harus dijadikan sebagai fokus
utama dalam pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan karena para pembuat
keputusan Muslim memiliki ekspektasi agar perusahaan mengungkapkan
informasi-informasi terbaru secara sukarela guna membantu dalam pemenuhan
kebutuhan spiritual mereka. Oleh karena itu, ia memandang bahwa untuk
mengungkapkan semuanya itu, perlu dibuat kerangka khusus untuk pelaporan
pertanggungjawaban sosial yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
123 Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions
(AAOIFI) adalah lembaga internasioal independen yang didukung oleh lebih dari 200
lembaga anggota dari 45 negara, termasuk di dalamnya bank sentral, Lembaga keuangan
Syariah, dan partisipan lain dari kalangan industri perbankan dan keuangan internasional.
Tujuan utama Lembaga ini adalah menyiapkan standar akuting, auditing, tata kelola, etika,
dan Syariah untuk Lembaga keuangan dan industri berlandaskan Syariah. Lembaga ini
didirikan pada 1 Safar 1410 H/ 26 Februari 1990 di Aljzair, kemudian didaftarkan pada 11
Ramadhan 1411 H/27 Maret 1991 di Bahrain. Info lengkap dapat ditemukan di
http://www.aaoifi.com. Lihat juga Zulkifli Hasan, Legal Aspects of Islamic Finance (Kuala
Lumpur: Universitas Sains Islam Malaysia, 2012),
http://zulkiflihasan.fileswordpress.com/2008/06/shariah-governance-framework-ifsb-and
aaoifi.pdf (diakses 27 maret 2018). 124R. Othman & Md. Thani, A., “Islamic social reporting of listed companies in
Malaysia,” International Business and Economics Research Journal, Vol. 9, No. 4, (2010):
135-144.
63
Gambar 2.3
Kerangka Syariah Tanggung Jawab Sosial
Kerangka Syariah
Tawh}i>d
(Unity of God)
Philosophical view
Pointi
Divine Law for Human Conduct:
Divine Ethical
Concepts:
Sumber: Haniffa, (2002)
Berdasarkan pada Gambar 2.3 di atas, nampak jelas bahwa faktor penting
yang menjadi dasar syariah dalam pembentukan ISR adalah Tawh}i>d. 125 Dengan
125 Begitu pentingnya bertauhid dalam kehidupan sehingga ada pendapat yang
mengatakan bahwa tawh}i>dillah dapat dibagi menjadi tiga jenis, pertama, tawh}i>d Rubu>bi>yah
Ethics
Iman (Faith)
Taqwa (Piety)
Amanah (Trust)
Ibadah (Workship)
Khilafah (Vicegerent)
Ummah (Community)
Akhirah Day of Reckoning
Adl (Justice) v Zulm (Tyranny)
Halal (Allowable) v Haram (Forbidden)
I’tidal (Moderation) v Israf (Extravagance)
Politics Economy Social
Accounting
ISR
Qur’an
Hadith
Ijma
Qias
Ijtihad
Fiqh
Shari’a (the pathway)
Objective:
To establish social justice and seek success
in this world and here after (Al-falah)
64
cara tidak menyekutukan-Nya, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, tunduk
terhadap segala perintah-Nya, dan menjauhi dari segala larangan-Nya.
Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah mengatakan: “Orang yang mau
mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi
ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah SWT serta taat kepada Rasulullah
SAW. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini, fitnah, musibah, paceklik,
dikuasai musuh penyebabnya adalah tidak mencontoh kehidupan Rasulullah SAW
dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah swt. Orang yang merenungi hal ini
dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya
maupun diluar dirinya.”
Pemahaman yang totalitas tentang konsep tawh}i>d (shaha>dah) ini
berimplikasi kepada keseluruhan kegiatan kehidupan dan perilaku manusia di
dunia. Shaha>dah adalah kesaksian sekaligus pernyataan moral yang mendorongnya
secara menyeluruh termasuk dalam merumuskan kehidupan ekonomi umat
manusia.126
Selanjutnya, tawh}i>d melahirkan aturan-aturan yang dibutuhkan manusia
dalam kehidupan sehari-hari, yakni prinsip-prinsip syariah. Prinsip tersebut berasal
dari tiga sumber utama. Secara hierarki, sumber prinsip-prinsip syariah berawal
dari al-Qur’an, hadits, fikih, lalu sumber-sumber lain seperti qias, ijtihad, dan ijma.
Prinsip-prinsip syariah fokus pada menegakkan keadilan sosial dan mencapai
kesukesan di dunia dan akhirat (al-Fala>h}).
Gambar 2.2 juga menunjukkan bahwa konsep tawh}i>d tidak terhenti hanya
pada prinsip-prinsip syariah namun juga konsep etika. Secara umum, nilai-nilai
etika dalam Islam terdiri dari sepuluh konsep yang dapat dikelompokkan, terdiri
dari hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia,
dan hubungan manusia dengan alam semesta. Penerapan sepuluh konsep tersebut
adalah iman berarti percaya kepada kita suci al-Qur’an sebagai pedoman bagi
manusia. Taqwa berarti mematuhi segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangan-Nya. Amanah dari Sang Pencipta kepada manusia adalah menjaga
memelihara, dan melestarikan segala ciptaan-Nya. Ibadah merupakan bentuk
adalah pengesaan Allah dalam hal segala perbuatannya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri
yang menciptakan alam semesta dan isinya. Pada jenis ini, semua manusia secara fitrah,
telah mengakui dan membenarkan hal ini, termasuk orang kafir dan musyrik, karena sudah
fitrah manusia untuk mengakuinya. Kedua, tawh}i>d Ulu>hi>yah adalah mengesakan Allah
dengan perbuatan berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa, nadzar, kurban,
takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan ina>bah (kembali). Ketiga, tawh}i>d
Asma wa S}ifat. Tauhid ini adalah beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya.
Pengenalan manusia terhadap asma> wa s}ifat Allah akan membawa dampak besar dalam
sikap dan perilaku. Di antaranya Allah itu al-Rahma>n (Maha Pengasih), al-Rahi>m (Maha
Penyayang), al-Ghaffar (Maha Pengampun), dan lain sebagainya yang tercermin dalam
Asma’ al-Husna. Abdullah Fauzan, Tauh}i>d Shaleh bin Fauzan jilid 1-3 (Jakarta: Da>r al-
Haq, 1999). 126 Abu A’la al-Mawdudi, The Process of Islamic Revolution (Lahore: Islamic
Publications , 1967), 41.
65
penyembahan manusia kepada Allah SWT. Khila>fah merupakan konsep di mana
manusia sebagai utusan Allah SWT wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan
bumi milik-Nya. Ummah mengandung arti suatu sistem mengedepankan keadilan
sosial. Akhirah Day of Reckoning merupakan konsep percaya pada akhir di mana
segala perbuatan baik dan buruk manusia di bumi akan diberikan balasan berupa
pahala dan dosa. Adl mengandung arti adil, lurus, atau tidak berbuat kejam (zalim).
Islam mengenal dua titik ekstrim hukum atas sebuah tindakan, yakni halal dan
haram. Halal merupakan sesuatu yagn sah, sedangkan haram merupakan sesuatu
yang dilarang. Konsep etika yang terakhir adalah bersikap sederhana (i’tidal) tanpa
bersikap berlebih-lebihan.
Prinsip-prinsip syariah tidak hanya berisi konsep-konsep etika dalam
perspektif Islam, tetapi juga berisi berbagai macam petunjuk yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Sesuai dengan Gambar
4.1 di atas, ISR berada pada lingkup aspek ekonomi atau lebih spesifik berada pada
lingkup aspek akuntansi.
Berikut ini enam tema kerangka pengungkapan ISR dengan rujukan utama
tetap pada Haniffa (2002) yang kemudian sedikit dimodifikasi oleh Othman et.al (2009) dengan menambah pengungkapan tata kelola perusahaan dan item-item
lain, antara lain:
a. Pembiayaan dan Investasi (Finance and Investment)
Indikator yang diungkapkan dalam tema pembiayaan dan ivestasi terdapat
beberapa tema pengungkapan, antara lain: praktek interest-free (riba) dan
speculative-free (gharar). Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-Ziya>dah), berkembang (An-Nuwuw), meningkat (al-Irtifa’), dan membesar (al-‘uluw). Antonio memaparkan mengenai masalah riba sebagai setiap penambahan
yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti (‘iwad) yang
dibenarkan syariah.127
Sama halnya dengan riba, gharar juga secara tegas dilarang dalam Islam.
Gharar merupakan ketidakpastian yang terjadi ketika terdapat incomplete information antara kedua belah pihak yang bertransaksi, bisa saja dalam hal
kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan dan akad. Salah satu contoh bentuk
transaksi yang mengandung gharar adalah perdagangan tanpa penyerahan barang
(future non delivery trading), transaksi lease and purchase (sewa-beli), melakukan
penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (short selling), jual beli valuta
asing bukan transaksi komersial (arbitage) baik spot maupun forward, dan
transaksi-transaksi derivatif lainnya.128 Oleh karena itu, untuk menjunjung tinggi
nilai transparansi kepada stakeholders, seluruh sumber pembiayaan dan investasi
yang mengandung riba dan gharar harus diidentifikasi dan dilaporkan secara jelas.
127M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), 37-38. 128Zainul Arifin, Dasar-dasar Manjemen Bank Syariah (Jakarta: Azkia Publisher,
2009), 57.
66
Selanjutnya, aspek lain yang harus diungkapkan oleh perusahaan-
perusahaan yang menjalankan prinsip-prinsip syariah adalah praktik pembayaran
zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi seluruh umat Muslim atas harta benda
yang dimiliki ketika mencapai nisab, tidak terkecuali bagi perusahaan sebagai
bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah dan wujud akuntabilitas perusahaan
kepada masyarakat. Aspek lainnya terkait dengan kebijakan atas keterlambatan
pembayaran hutang dan kebangkrutan klien. Penangguhan atau penghapusan utang
harus dilakukan dengan adanya penyelidikan terlebih dahulu kepada pihak debitur
atau klien terkait ketidakmampuannya dalam pembayaran hutang. Penangguhan
atau penghapusan utang merupakan suatu bentuk sikap tolong-menolong (ta‘a>wun)
yang dianjurkan di dalam Islam.129
Item pengungkapan selanjutnya adalah current value balance sheet. Prinsip
current value balance sheet bertolak dari konsep kewajiban membayar zakat,
pengungkapan penuh (full disclosure), serta dalam rangka mencapai keadilan sosial
ekonomi (socio-economy justice). Namun, di Indonesia tidak berlaku, karena
PSAK Indonesia masih memberlakukan nilai historis atas nilai-nilai neraca. Salah
satu aspek yang masih mengandung nilai historis adalah pengukuran setelah
pengakuan aset tidak berwujud. Oleh karena itu, aspek ini tidak relevan untuk
dijadikan kriteria dalam pengungkapan penelitian ini.
Kriteria pengungkapan selanjutnya terkait dengan Value added statement. Menurut Staden value added adalah nilai yang tercipta dari hasil aktivitas
perusahaan dan karyawan-karyawannya. Sedangkan value added statement merupakan pernyataan yang melaporkan perhitungan nilai tambah beserta
pemanfaatannya oleh para pemangku kepentingan perusahaan. 130 Istilah value added statement pada dewasa ini diartikan lebih merujuk pada laporan
pertambahan nilai. Value Added Statement lebih berkembang di negara-negara
maju dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga, dalam
penelitian ini istilah value added statement lebih merujuk pada pernyataan nilai
tambah yang ada dalam laporan tahunan perusahaan.
Berdasarkan pembahasan di atas, kriteria pengungkapan pada tema
pembiyaan dan investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang
mengandung riba, gharar, zakat, kebijakan piutang, dan pernyataan nilai tambah
perusahaan.
b. Produk dan Jasa (Products and Services)
Barang atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan sudah seharusnya
diungkapkan secara menyeluruh pada laporan tahunan. Pada industri manufaktur
misalnya, produk yang dijalankan harus yang ramah lingkungan (green product). Tidak sedikit kerusakan yang terjadi di bumi ini tidak hanya isu nasional
melainkan juga isu internasional di seluruh belahan dunia disebabkan oleh produk
129QS. al-Baqarah [2]: 280. 130 Staden, C.v. The Value Added Statement: Bastion of Social Reporting or
Dinosaur of Financing Reporting? 1-15.
67
atau jasa yang tidak ramah dengan lingkungan. Seperti terjadinya pemanasan
global (global warming), polusi air bersih, kekeringan, hutan gundul, efek rumah
kaca, dan lain-lain.
Selanjutnya, termasuk status kehalalan produk (halal status of the product) juga harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Secara logis, tujuannya
agar para pemangku kepentingan mengetahui apakah barang atau jasa tersebut
diperbolehkan atau dilarang oleh agama Islam sehingga dapat membantu mereka
dalam mengambil keputusan. Di Indonesia, status kehalalan suatu produk
diketahui setelah mendapatkan sertifikat kehalalan produk dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Setelah produk dinyatakan halal, hal lain yang juga penting terutama bagi
pihak konsumen adalah tentang keamanan dan kualitas suatu produk (product safety and quality). Produk yang berkualitas dan aman akan meningkatkan
kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap suatu perusahaan. Kualitas dan
keamanan suatu produk perusahaan dinyatakan dengan adanya ISO 9000:2000
yang merupakan sertifikat manajemen mutu.
Pengungkapan selanjutnya adalah mengenai keluhan konsumen atau
pelayanan pelanggan. Suatu perusahaan diharapkan tidak hanya berfokus pada
produk yang dihasilkan (product-oriented) atau terhenti pada kegiatan jual beli,
tetapi juga memberikan pelayanan terhadap konsumen yang memuaskan
(consumer-oriented) dengan tujuan untuk menarik investasi-investasi lain. Salah
satu bentuk kebijakan yang berorientasi pelanggan adalah dengan menyediakan
pusat layanan keluhan konsumen setelah proses jual beli.
Berdasarkan pemaparan di atas, kriteria pengungkapan pada tema produk
dan jasa terdiri dari produk ramah lingkungan, kehalalan produk, keamanan dan
kualitas produk, dan pelayanan pelanggan.
c. Karyawan (Employes)
Karyawan salah satu faktor penting maju mundurnya suatu perusahaan.
Oleh karena itu, karyawan harus diperlakukan secara adil dan dibayar secara wajar.
Selain itu, pemberi kerja juga harus memenuhi kewajiban terhadap karyawan
dalam hal kebutuhan spritual mereka. Gray et al. pernah melakukan penelitian
terhadap laporan CSR di UK pada periode 1979-1991. Hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa pengungkapan paling luas laporan CSR terjadi pada tema
karyawan.131 Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan
pengungkapan seluas-luasnya terkait dengan aspek-aspek karyawan dalam laporan
tahunan.
Dalam penelitian ini, kriteria pengungkapan pada tema karyawan yang
digunakan adalah jam kerja, hari libur dan cuti, tunjangan, remunerasi, pendidikan
dan pelatihan kerja (pengembangan sumber daya manusia), kesetaraan hak antara
131 Gray, R., Kouhy, R., and Laver, S. “Corporate Social and Environmental
Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure,”
Accounting Auditing and Accountability, Vol. 8, (1995): 47- 77.
68
pria dan wanita, keterlibatan karyawan dalam diskusi manajemen dan pengambilan
keputusan, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, lingkungan kerja, karyawan
dari kelompok khusus (misalnya capek fisik, mantan narapidana, mantan pecandu
narkoba), karyawan tingkat atas melaksanakan ibadah bersama-sama dengan
karyawan tingkat menengah dan tingkat bawah, karyawan muslim diperbolehkan
menjalankan ibadah di waktu-waktu shalat dan berpuasa saat ramadhan, dan
tempat ibadah yang memadai.
d. Masyarakat (Society theme)
Item-item pengungkapan dalam tema masyarakat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sodaqoh/donasi, wakaf, qard al-h}asan, sukarelawan dari pihak
karyawan, pemberian beasiswa sekolah, pemberdayaan kerja bagi siswa yang lulus
sekolah/kuliah berupa magang atau praktik kerja lapangan, pengembangan dalam
kepemudaan, peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin, kepedulian terhadap
anak-anak, kegiatan amal/bantuan/kegiatan sosial lain, dan mensponsori berbagai
macam kegiatan, seperti kesehatan, hiburan, olahraga, budaya, pendidikan dan
keagamaan. Menurut Haniffa bahwa konsep dasar yang mendasari tema ini adalah
ummah, amanah, dan adl. Konsep tersebut menekankan pada pentingnya saling
berbagi dan meringankan beban orang lain dengan hal-hal yang telah disebutkan
pada item-item pengungkapan di atas. Perusahaan memberikan bantuan dan
kontribusi kepada masyarakat dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan membantu menyelesaikan permasalahan sosial di
masyarakat seperti membantu memberantas buta aksara, memberikan beasiswa,
dan lain-lain.
e. Lingkungan (Environment)
Dalam tema ini, Hanifa menegaskan bahwa penting bagi seluruh makhluk
hidup untuk melindungi lingkungan sekitarnya. Konsep yang mendasari tema
lingkungan dalam penelitian ini adalah mizan, i‘tida>l, khilafah, dan akhirah. Konsep-konsep tersebut menekankan pada prinsip keseimbangan, kesederhanaan,
dan tanggung jawab dalam menjaga lingkungan. Oleh karena itu, informasi-
informasi yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya dan program-
program yang digunakan untuk melindungi lingkungan harus diungkapkan dalam
laporan tahunan perusahaan.
f. Tata kelola perusahaan (Corporate Governance)
Tema tata kelola perusahaan dalam ISR merupakan penambahan dari
Othman et.al (2009) dimana tema ini tidak bisa dipisahkan dari perusahaan guna
memastikan pengawasan pada aspek syaraiah perusahaan. Pada tema tata kelola
perusahaan dalam sistem ekonomi Islam memiliki cakupan yang lebih luas
dibandingkan dengan tata kelola perusahaan dalam sistem ekonomi
69
konvensional. 132 Kemunculan tata kelola perusahaan dalam Islam berasal dari
konsep kha>lifah.133 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surat al-
Baqarah [2]: 30 berikut:
إن ئكة للمل ربك قال من إوذ فيها تعل أ قالوا خليفة رض
ٱل ف جاعل
علم ما أ قال إن لك س ونقد بمدك نسبح ونن ٱلماء ويسفك فيها ل يفسد
تعلمون
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui".
Makna ayat di atas dengan sangat jelas bahwa Allah Swt. menjadikan
manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia ditunjuk Allah Swt. sebagai pengganti-
Nya dalam mengolah bumi sekaligus memakmurkannya. Manusia diberi tugas dan
tanggung jawab untuk menggali potensi-potensi yang terdapat di bumi ini,
mengolahnya, dan menggunakannya dengan baik sebagai sarana untuk beribadah
kepada Allah Swt. Kedudukan istimewa manusia menuntut tanggung jawab besar
tidak hanya kepada masyarakat atau pemangku kepentingan, tetapi juga kepada
Allah SWT sebagai pemilik dari bumi beserta isinya. Dalam Islam, tujuan utama
akuntabilitas adalah semata-mata untuk mencapai fala>h} dan kesejahteraan sosial
sedangkan dalam ekonomi konvensional, tujuan utama akuntabilitas adalah sebagai
bentuk transparansi dalam rangka menciptakan pasar efisien yang sesuai dengan
aturan yang berlaku.
Pada tema yang ke enam ini, terdapat beberapa penyesuaian kriteria
pengungkapan ISR. Diantaranya kriteria pengungkapan terkait jumlah pemegang
saham muslim dan persentase Dewan Direksi Muslim. Kedua tema tersebut
perusahaan-perusahaan Indonesia tidak mencantumkan informasi mengenai agama
dan profil mereka pada laporan tahunan perusahaan, sehingga pada bagian ini yang
132 Abu-Tapanjeh, A.M. “Corporate governance from the Islamic perspektive: A
comparative analysis with OECD principles,” Critical Perspectives on Accounting, 20,
(2009): 556-567. 133Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini pada hakekatnya
menunjukkan bahwa manusia tidak lain hanyalah wakil belaka atau petugas yang bekerja
pada milik Allah demi kebaikan masyarakat Islam. Karena kewajiban wakil adalah harus
merasa terikat dengan ajaran-ajaran siapa yang diwakilinya dan tidak boleh keluar
daripadanya. Ahmad Muhammad al’Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, terj. Abu Ahmadi dan Anshori Umar
(Surabaya: Bina Ilmu, 1980), 39.
70
membedakan kondisi Indonesia dengan kondisi Malaysia. Malaysia dikenal sebagai
negara yang dominan warganya memeluk agama Islam, sehingga Muslim atau
tidaknya seseorang dapat diidentifikasi secara langsung melalui nama
penduduknya. Di samping itu, terkait kriteria pengungkapan kegiatan yang
mengandung judi tidak dimasukkan dalam tema tata kelola perusahaan karena
sudah termasuk dalam tema pembiayaan dan investasi. Dengan demikian terdapat
enam kriteria yang disajikan dalam penelitian ini, yakni status kepatuhan terhadap
syariah, struktur kepemilikan saham, profil dewan direksi, pengungkapan ada atau
tidaknya praktik monopoli usaha/menimbun bahan kebutuhan pokok/manipulasi
harga, pengungkapan ada atau tidaknya perkara hukum, dan kebijakan anti korupsi.
Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) memaparkan bahwa pedoman
umum prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dalam ekonomi Islam terbagi menjadi
lima, yaitu:
1) Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan
cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku bisnis syariah harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Oleh karena
itu, bisnis syariah harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan pelaku bisnis syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku
kepentingan dan masyarakat pada umumnya. Akuntabilitas juga dapat diartikan
sebagai sikap yang bertanggungjawab apabila terjadi kesalahan, mengambil
langkah yang tetap untuk memperbaiki kesalahan tersebut, dan melakukan
tindakan pencegahan agar kejadian tersebut tidak lagi terulang.
2) Keterbukaan (transparency).
Transpransi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan
informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan.
Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara
objektif dan sehat. Adanya informasi yang akurat dan dapat diaudit oleh pihak
ketiga yang independen sebagai laporan kepada pemegang saham, sehingga
pemegang saham dapat mengetahui perkembangan dan kemerosotan perusahaan.
Konsep transparansi, perusahaan harus mengungkapkan informasi yang terkait
dengan kebijakan-kebijakan perusahaan, aktivitas-aktivitas bisnis yang dilakukan,
kontribusi perusahaan terhadap masyarakat, penggunaan sumber daya yang telah
dimanfaatkan, dan upaya perlindungan lingkungan.
3) Tanggung jawab (responsibility)
Konsep tanggung jawab erat kaitannya dengan konsep akuntabilitas.
Pelaku bisnis syariah untuk lebih mematuhi aturan-aturan yang digariskan dalam
pengelolaan perusahaan. Peraturan yang ditetapkan pemerintah berupa perundang-
undangan, ketentuan bisnis syariah, serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
71
masyarakat dan lingkungan. Tanggung jawab atas perbuatan manusia akan diminta
baik di dunia apalagi di akhirat nantinya.
4) Independensi
Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap
berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi resiko. Karenanya,
bisnis syariah harus dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak
tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat intervensi oleh pihak manapun.
5) Kewajaran dan Kesataraan
Kewajaran (fairness) dan kesetaraan mengandung unsur kesamaan
perlakuan dan kesempatan. Kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil
dalam dunia bisnis. Setiap keputusan bisnis, baik dalam skala individu maupun
lembaga, hendaklah dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa
yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada
dasarnya, semua keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang seimbang dengan
apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisni, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan ke lima prinsip di atas, merupakan tolak ukur sejauh mana
saham syariah mampu melaksanakan tata kelola perusahaan sesuai dengan prinsip
syariah.134 Tanpa adanya penerapan tata kelola perusahaan yang efektif, saham
syariah akan sulit untuk bisa memberikan keyakinan kepada stakeholders untuk
membuktikan kinerjanya yang efektif. Selain itu, kelima prinsip juga sebagai
penyeimbang antara kinerja bisnis yang beorientasi profit dengan kinerja sosialnya
sebagai wujud tangung jawab sosial perusahaan. Hannifa menambahkan bahwa
tanggungjawab sosial perusahaan pada sistem konvensional hanya fokus pada
aspek material dan moral berbeda dalam Islam dengan menambahkan aspek
spritual.
5. Pelaporan CSR di Indonesia
Konsep CSR di dunia telah menggeliat sejak tahun 1950-an, 135 tetapi
khusus di Indonesia baru dimulai sejak 1990-an, berawal dari program PUKK
(Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi), kemudian semakin meluas
penyelenggaraan CSR di lingkungan BUMN dan perusahaan swasta, didorong oleh
SK Menteri BUMN No. 03/Keputusan PER-5/MBU/2007, yang mewajibkan semua
134Menurut Budi Untung dari kelima macam prinsip tersebut, bahwa yang sangat
berhubungan dengan pelaksanaan CSR adalah prinsip bertanggungjawab (responsibility).
Hal ini menurutnya karena prinsip akuntabilitas, keterbukaan, independensi, kewajaran dan
kesetaraan hanya mementingkan kelangsungan perusahaan pada kepentingan pemegang
saham (shareholders), sedangkan prinsip responsibility mengedepankan kepentingan
stakeholders. Lihat Budi Untung, CSR dalam Dunia Bisnis, 10. 135 Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yang
berjudul “Social Responsibilities of the Businessman” Karya Howard R. Bowen.
72
BUMN untuk melaksanakan CSR dalam bentuk Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PK-BL).136
Dasar hukum sebagai regulasi pelaksanaan CSR di Indonesia mengenai
pelaporan CSR telah diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang dituangkan
dalam Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1
(Revisi 2009) paragraf 12 yang berbunyi sebagai berikut:
Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan
mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor lingkungan hidup
memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan
sebagai kelompok pengguna laporan yang menganggap peranan penting.
Laporan tahunan tersebut di luar ruang lingkup standar Akuntansi
Keuangan.
Selain organisasi IAI, Pemerintah juga turut mendukung praktik pelaporan
CSR melalui Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
atau dalam UU PT dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)
menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perseroan di Indonesia, yang
secara substansial Pasal 74 ayat (1) UU PT menjelaskan bahwa perusahaan yang
menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakaan tangung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).
Selanjutnya, disebutkan bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban
tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam
UU Penanaman Modal pasal 15 disebutkan bahwa setiap penanam modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial persahaan. Terkait dengan
sanksi, pasal 34 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban
tersebut dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal,
atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 tersebut terkesan seolah-olah
hanya perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam yang mempunyai
kewajiban. Namun, jika dikaji lebih lanjut dengan mambaca penjelasan Pasal 74
ayat (1) maka akan muncul penafsiran yang lebih luas terhadap subyek yang
dikenai kewajiban TJSL. Penjelasan Pasal 74 ayat (1) menyebutkan “Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah
perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam. Adapun yang dimaksud “perseroan yang menjalankan usahanya berkaitan
dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak
memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi
kemampuan sumber daya alam.137
Persoalan kemudian muncul, UU PT tidak memberikan batasan mengenai
kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Pada
136Budi Untung, CSR dalam Dunia Bisnis (Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 114. 137Mahmuddin Yasin, dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL, 33.
73
tataran implementasi hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir dan
ketidakpastian hukum. Penafsiran secara luas terhadap pasal 74 ayat 1 UU PT
beserta penjelasannya yang didasarkan pada pemikiran bahwa pada hakekatnya
setiap perseroan, sekecil apapun penggunaannya akan selalu menggunakan sumber
daya alam dalam menjalankan aktivitasnya dan akibat dari penggunaan sumber
daya alam tersebut dapak berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam
apabila penggunaannya tidak memperhatikan aspek lingkungan, akan bermuara
pada kesimpulan bahwa semua perseroan memiliki kewajiban melakukan TJSL.
Mengingat pentingnya TJSL tersebut, sehingga juga diatur dalam undang-
undang yang lain, bahkan sangat dimungkinkan perseroan yang kegiatan usahanya
di luar bidang atau tidak berkaitan dengan sumber daya alam tetap dikenai
kewajiban. Contohnya Undang-undang RI No. 25 Tahun 2008. Pasal 15, 17, dan 34
tentang Penanaman Modal. Mewajibkan setiap perusahaan untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial dan melestarikan lingkungan. Bahkan pada pasal 15
ditegaskan bagi perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka
undang-undang memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis,
pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan kegiatan
usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 Ayat (1) No. 25 tahun 2008
tentang Penanaman Modal).
Sejalan dengan hal tersebut, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, di mana
tanggung jawab perusahaan adalah melanjutkan komitmen sebagai bisnis untuk
bersikap secara ethic, bermoral dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi
serta meningkatkan kualitas kehidupan dari tenaga kerja dan keluarganya maupun
komunitas lokal dan masyarakat.
Selain itu, Peraturan Bapepam-LK Nomor X.K.6 tentang Kewajiban
Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik menyatakan
bahwa salah satu isi dari laporan tahunan wajib memuat uraian singkat mengenai
penerapan tata kelola perusahaan yang telah dan yang akan dilaksanakan oleh
perusahaan dalam periode laporan keuangan tahunan terakhir, salah satunya
mengenai aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab
sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Di antara Undang-undang dan peraturan di atas, yang secara tegas
mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan pengungkapan CSR adalah Undang-
undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74. Berdasarkan pasal
tersebut, meskipun pelaporan CSR di Indonesia bersifat wajib, namun pelaporan
CSR belum memilki standar baku yang berlaku umum terkait dengan hal-hal apa
saja yang harus diungkapkan di dalamnya sehingga setiap perusahaan dapat
melakukan pelaporan CSR yang berbeda-beda. Pedoman yang paling banyak
digunakan oleh perusahaan-perusaaan diseluruh dunia adalah Sustainability Reportin Guidelines yang dikenal dengan Kerangka Pelaporan Global Reporting Guidelines yang diterbitkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) pada tahun
2000, 2003, dan 2006 (G3). Keseluruhan dokumen-dokumen Kerangka Pelaporan
GRI dikembangkan menggunakan proses konsensus melalui dialog antara
74
pemangku kepentingan bisnis, kominitas investor, tenaga kerja, masyarakat sipil,
akuntan, akademisi, dan lain-lain.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa UU tersebut bukan lagi suatu
tanggung jawab biasa (responsibility), tetapi merupakan suatu kewajiban hukum
(liability) yang memiliki sanksi hukum jika tidak dilaksanakan dengan baik.
Karenanya, dengan adanya regulasi ini diharapkan ada keserasian hubungan dan
simbiosis mutualisme antara perseroan dan lingkungan sosial. Mengingat peran
serta dunia usaha dalam mengimplementasikan CSR selama ini masih lebih banyak
bersifat voluntary dan philanthropy sehingga jangkauan program CSR yang
dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha relatif terbatas dan tidak efektif.138
138Mahmuddin Yasin, dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL, 37.
75
BAB III
DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN)
DAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
A. Dewan Syariah Nasional (DSN)
1. Sejarah awal pembentukan DSN
Rekomendasi pembentukan DSN berawal dari Lokakarya keuangan syariah
oleh MUI, untuk merespon meningkatnya pendirian lembaga keuangan yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariah pada 29-30 Juli 1997 di Jakarta. Berlanjut
dengan pengesahan Tim Pembentukan DSN tanggal 14 Oktober 1997, mereka
menyepakati pembentukan DSN dan menyampaikannya ke pengurus MUI dan
akhirnya sejak 1998 DSN resmi didirikan oleh MUI sebagai lembaga di bawah
MUI.1 Meskipun demikian, pengukuhan DSN baru dilakukan melalui SK Dewan
Pimpinan MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999, dan
dilantik oleh Menteri Agama H. A. Malik Fadjar.2
Struktur kepengurusan DSN pada awal dilantik terdiri dari dua bagian,
yaitu pengurus yang bersifat umum (Pengurus Pleno), dan Badan Pengurus Harian
Dewan Syariah Nasional (BPH-DSN). Pengurus Pleno di mana Ketua dan
Sekretarisnya dijabat secara ex. officio oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum
MUI, yaitu Prof. KH. Ali Yafie (Ketua) dan Drs. H.A. Nazri Adlani (Sekretaris),
sedangkan BPH-DSN dipimpin oleh KH. Ma’ruf Amin (Ketua) dan H. M. Ichwan
Syam (Sekretaris), di dampingi oleh seorang wakil ketua dan seorang wakil
sekretaris, serta seorang bendahara.
Seiring perkembangan waktu dan pergantian Dewan Pimpinan MUI,
struktur dan personal Susunan Pengurus DSN pun mengalami penyesuaian.
Berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI (DP MUI) No. Kep-98/MUI/III/2001
tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI Masa Bakti tahun 2000-
2005. Susunan pengurus pleno baru DSN-MUI terdiri atas 26 orang, dengan
pimpinan dijabat secara ex. officio oleh KH. M.A. Sahal Mahfudh (Ketua) dan
Prof. Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris), di dampingi oleh dua wakil ketua dan
seorang sekretaris. Sedangkan BPH-DSN beranggotakan 13 orang dengan
1 MUI adalah organisasi keagamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi
kepada salah satu partai politik, mazhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di
Indonesia. Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan,
Cet. I (Bandung: Roskarya, 2000, 65. Memiliki lima fungsi utama, yaitu: 1) Sebagai
pewaris tugas-tugas para Nabi; 2) Sebagai pemberi fatwa; 3) Sebagai pembimbing dan
pelayan umat; 4) Sebagai perbaikan (isla>h) dan pembaharuan (al-tajdi>d), dan 5) Sebagai
penegak amar ma’ruf dan nahi munkar. Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988,
Edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), 63. 2Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional, dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (Jakarta: DSN-MUI-BI, 2003), cetakan kedua, bagian III.
76
pimpinan yang sama dengan periode kepengurusan sebelumnya. Lalu berdasarkan
SK DP MUI Nomor Kep-200/MUI/VI/2003 tentang Pengembangan Organisasi dan
Keanggotaan Dewan Syariah Nasional Periode Tahun 2000-2005, jumlah Pengurus
DSN-MUI bertambah menjadi 57 orang, termasuk di dalamnya 18 anggota BPH
DSN-MUI.
Pimpinan dan anggota Pleno DSN-MUI masa bakti 2005-2010 yang
ditetapkan pada tanggal 13 Juli 2007 terdiri 37 orang yang meliputi; Ketua, Ketua
Pelaksana, Empat orang wakil ketua, Sekretaris, Dua orang wakil sekretaris dan
Anggota. Sementara BPH-DSN Periode 2005-2010 terdiri dari 21 orang yang
meliputi: 1 orang ketua, 1 orang ketua pelaksana, 3 orang wakil ketua, 1 orang
sekretaris, 2 orang wakil sekretaris, 1 orang bendahara, dan 13 orang anggota
kelompok kerja (Pokja) perbankan dan pegadaian, kelompok kerja asuransi dan
perniagaan, dan kelompok kerja pasar modal dan program. Namun demikian, antara
pengurus pleno dan Badan Pelaksana terdapat seorang ketua yang merangkap
pengurus (jabatan), seperti KH. Ma’ruf Amin, Drs. Ichwan Sam dan Dr. H.
Hasanuddin. Maka jumlah seluruh pengurus Pleno dan BPH menurut surat
keputusan MUI sebanyak 58, tetapi jumlahnya 55 orang. Oleh karena itu, struktur
pengurus 2005-2010 sedikit berbeda dengan sebelumya, baik dari jumlah anggota
maupun menambah bidang lain terutama pada BPH-DSN dengan menambah
Kelompok kerja (Pokja) Asuransi, Perbankan dan Pegadaian, Pasar Modal Dan
Program Program.
Selajutnya, perkembangan struktur juga terjadi pada tahun 2015-2020.
Berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI (DP MUI) No. Kep-7211/MUI/XI/2017
tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI Masa Bakti tahun 2015-
2020. Susunan pengurus baru DSN-MUI terdiri atas 58 orang, dengan pimpinan
dijabat secara ex officio oleh KH. Ma’ruf Amin (Ketua) dan Dr. H. Anwar Abbas,
M.M., M.Ag. (Sekretaris), di dampingi oleh tiga wakil ketua dan seorang
sekretaris. Sedangkan BPH-DSN beranggotakan 49 orang.
Dari jumlah pengurus dibandingkan periode sebelumnya baik pengurus
pleno maupun BPH-DSN mengalami peningkatan yang tinggi. Hal ini terjadi di
samping memang menambah jumlah anggota pada setiap susunan pengurus juga
pada BPH-DSN dengan menambah beberapa bidang pada Kelompok kerja (Pokja)
yang sebelumnya cuma terdiri dari tiga bagian bertambah menjadi lima bagian
dengan mengganti nama bidang yang ada sebelumnya, antara lain: Bidang
Perbankan Syariah, Bidang Pasar Modal Syariah, Bidang IKNB Syariah, Bidang
Industri bisinis dan Ekonomi Syariah, Bidang Edukasi, Sosialisasi, dan
Literasi/DSN-MUI Institute. Rangkap jabatan juga terjadi yaitu antara pengurus
pleno dan BPH terdapat seorang Ketua yang merangkap pengurus (jabatan), seperti
KH. Ma’ruf Amin (Ketua) dan Anwar Abbas (Sekretaris).
Terakhir pengurus DSN-MUI periode 2021-2025. Berdasarkan SK Dewan
Pimpinan MUI (DP MUI) No. Kep-146/DP-MUI/XII/2020 tentang Susunan dan
Personalisa Pengurus DSN-MUI Masa Khidmat 2021-2025. Terjadi perbedaan jika
dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, baik secara struktur maupun
jumlah pengurus. Pada struktur misalnya, periode sebelumnya terjadi rangkap
77
Sumber: https://dsnmui.or.id/kami/pengurus/
jabatan. Ketua dan Sekretaris pada pengurus Pleno dan BPH adalah orang yang
sama dijabat secara ex officio Ketua dan Sekerataris Umum MUI, namun pada
periode sekarang dijabat oleh orang yang berbeda. Ketua Pleno dijabat oleh K.H.
Miftachul Akhyar dan sebagai sekretaris Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A.,
sementara Ketua BPH dijabat oleh Dr. K.H. Hasanudin, M.Ag. dan sebagai
sekretaris Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag. DSN-MUI juga dibantu
oleh Sekretariat terdiri dari Kepala Sekretariat dan dibantu oleh 10 orang staf.
Perbedaan juga terdapat dari jumlah personalia pengurus. Periode
sebelumnya berjumlah 58 anggota bertambah menjadi 135 anggota. Periode
sebelumnya pada tingkat pleno, wakil ketua hanya 3 orang bertambah jadi 4 orang,
Sekretaris dibantu oleh 2 orang wakil sekretaris, dan 66 orang anggota. Sementara
pada tingkat Badan Pelaksanan Harian (BPH) kompisi bidang pada Kelompok
kerja (Pokja) masih sama dengan sebelumnya, yaitu terdiri dari 5 kelompok kerja,
akan tetapi juga terjadi penambahan jumlah personalia pengurus. Struktur
Organisasi Pengurus DSN-MUI masa khidmat 2021-2025 sebagaimana terdapat
pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.1
Susunan Pengurus DSN-MUI Masa Khidmat 2021-2025
PENGURUS PLENO
BADAN PELAKSANA
HARIAN
Pojka
Perbankan
Syariah
Pokja Pasar
Modal Syariah
Pokja Industri
Bisnis dan Eko.
Syariah
Pokja Edukasi,
soialisasi dan
literasi
Ketua DSN-MUI
Ex. Officio Ketua Umum MUI
Sekretaris
Ketua BPH
Pojka IKNB
Syariah
Sekretaris BPH
Bendahara BPH
Sekretaris DSN-MUI
Ex. Officio Sek. Umum MUI
Wakil Sekrataris
Anggota
Wakil Ketua BPH
Wakil Sekretaris BPH
Wakil Bendahara BPH
Wa
78
Struktur organisasi DSN-MUI sebagaimana terdapat dalam gambar di atas
adalah Pengurus Pleno dan BPH-DSN. Pengurus pleno yang merupakan organisasi
tertinggi dalam DSN-MUI. Ketua pleno adalah ex. Officio ketua umum MUI,
sehingga koordinasi tertinggi dalam organisasi DSN berada di tingkat pleno.
Pengurus pleno inilah yang akan bertanggung jawab kepada stakeholders (pemangku kepentingan) DSN, yakni majelis Ulama Indonesia. Anggota pengurus
Pleno terdiri dari para pimpinan MUI, beberapa anggota komisi fatwa, para pakar
hukum Islam dari perguruan tinggi Islam, para pakar ekonomi dan keuangan Islam,
para pelaku ekonomi dan keuangan Islam, dan para ahli dalam bidang muamalah
dari pondok pesantren. Pengurus BPH adalah organisasi yang secara teknis
menjalankan tugas-tugas DSN-MUI. BPH terdiri dari para ahli hukum Islam dan
para ahli di bidang ekonomi dan keuangan Islam, baik dalam bidang perbankan,
asuransi, pasar modal, pegadaian, dan perniagaan lain yang Islami. BPH
bertanggung jawab langsung kepada Pengurus Pleno DSN. Pelaksanaan tugas BPH
terbagi menjadi lima kelompok kerja yang masing-masing diketuai oleh seorang
ketua bidang. Mereka adalah kelompok kerja bidang perbankan syariah, bidang
pasar modal syariah, bidang industri bisnis dan ekonomi syariah, bidang IKNB
syariah, dan bidang edukasi, sosialisasi dan literasi/DSN-MUI Institute.3
2. Kedudukan DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa
Penting untuk diketahui bahwa pada umumnya dalil-dalil muamalah yang
dikandung oleh al-Qur’an 4 dan al-Sunnah bersifat global (mujma>l) dan sedikit
sekali yang terperinci dan qat}‘i, sehingga memiliki banyak peluang untuk
melakukan jalan ijtihad hukum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Djamil bahwa
secara umum ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,
bersifat absolut, universal, dan permanen, yaitu al-Qur’an dan hadits mutawatir
yang penunjukannya sudah jelas. Kedua, bersifat relatif, tidak universal, dan tidak
permanen, yaitu ajaran Islam hasil dari proses ijtihad.5
Menurut Abu> Zahrah bahwa تتناهى والنصوص تتناهى ال احلوادث إ ن (sesungguhnya peristiwa itu tidak terbatas sementara nas} itu terbatas).6 Dalam
aktivitas ekonomi misalnya, Islam memberikan pedoman baik yang termaktub di
dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Namun, permasalahan yang tidak diatur
3Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor 02
Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (PRT DSN-MUI) Nomor 02 Tahun 2000 Pasal 2. 4Jumlah ayat al-Qur’an yang berbicara langsung tentang muamalah hanya berkisar
antara 230 sampai dengan 250 ayat. ‘Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Us}l al-Fiqh Cet. 8 (Mesir: Maktabat al-Da‘wah al-Islāmiyah Shabāb, 1990), 22-23.
5 Fatuhurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 27-28.
6Muh{ammad Abu> Zahrah, al-Jari>mah wa al-‘uku>bah fi> al-fiqh al-Isla>mi (Cairo: Da>r
al-Fikr al-‘Arabi, 1998), 165.
79
secara jelas dalam kedua sumber hukum tersebut, diperoleh ketentuannya dengan
jalan ijtihad, 7 agar pemeluknya terdorong aktif, kreatif, dan produktif dalam
menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang terus berkembang dengan pesat.8
Menurut Mudzhar bahwa ada empat macam produk pemikiran hukum
Islam, yaitu kitab-kitab fiqh, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim
(qa>nu>n), keputusan-keputusan pengadilan agama (qad}a>), dan fatwa-fatwa ulama.
Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khas dan
perbedaan dalam menyikapi persoalan hukum, di antaranya kalau fatwa dan kitab-
kitab fikih tidak mempunyai daya ikat berbeda dengan keputusan pengadilan dan
peraturan perundangan di Indonesia yang sifatnya mengikat, di samping itu fatwa
dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik sementara kitab-kitab fiqh
sifatnya kebal terhadap perubahan dan meliputi semua aspek bahasan hukum
Islam.9
Al-Qard}a>wi menegaskan bahwa ada beberapa prinsip dasar atau metode
dalam mengistinbat}kan fatwa. Pertama, tidak fanatik dan tidak taqli>d buta; kedua,
mempermudah atau memperingan; ketiga, berbicara kepada manusia dengan
bahasa zamannya; keempat, menghindar dari sesuatu yang tidak bermafaat; kelima
bersikap moderat, antara memperlonggar dan memperketat; keenam, memberikan
hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan yang cukup.10
Terhadap prinsip yang kedua mempermudah atau memperingan ada
hubungan dengan screening saham oleh Fatwa DSN-MUI. Kaidah ini didasarkan
pada dua alasan: 1) bahwa syariah dibangun atas dasar memberikan kemudahan
dan menghilangkan kesulitan bagi manusia; 2) karakteristik zaman yang terus
berubah. Lalu bersikap moderat juga ada hubungan. Sikap moderat ini adalah sikap
yang paling banyak dipegang oleh al-Qardawi sebagaimana diakui beliau sendiri.
Moderat disini adalah sikap pertengahan, antara tafrith (meringan-ringankan)
dengan ifrath (memberat-beratkan), antara orang yang hendak melepaskan hukum
yang telah ditetapkan dan alasan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Fatwa merupakan nasihat, petuah, dan respon terhadap peristiwa hukum.
Pemberi fatwa (mufti>) dalam merespons peristiwa hukum tidak selalu atas dasar
adanya pertanyaan yang diajukan individu, masyarakat maupun lembaga tetapi
bisa juga inisiatif mufti> sendiri untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang
7Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang
bersifat zanni>, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya. Al-A<midi>, al-Ih}ka>m fi> Usu>l al-Ah}ka>m, jld 4 (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, tt), 218. 8 Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan
Realita Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI, 2003), 84-
85. 9Mohammad Atho Mudzhar “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhy
Munawwar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1994). 10 Yusuf al-Qard}a>wi, Fata>wa Mu‘as}irah, Cet. Ke-8 (al-Qaherah: Daral-Qalam,
2000), 107-142.
80
dihadapi. Mehmood menambahkan bahwa fatwa akan dikeluarkan apabila terdapat
beberapa hal yang sangat penting bagi umat baik dalam bidang ekonomi, sosial,
pribadi, dan kepentingan umum. Selain itu, kondisi masyarakat yang berbeda juga
dapat menghasilkan pendapat hukum yang berbeda. 11 Oleh karena itu, fatwa
bersifat dinamis, situsional, kasuistik, dan temporal.
Fatwa-fatwa hukum Islam yang dikeluarkan oleh MUI ditetapkan dalam
Surat Keputusan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997. Dalam surat keputusan ini
terdapat tiga hal, yaitu dasar umum penetapan fatwa, prosedur fatwa, teknik serta
kewenangan organisasi dalam menetapkan fatwa. Dasar umum penetapan fatwa
adillat al-ahka>m yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat dengan
berpijak pada al-Qur’an, H{adith, Ijma‘ dan qiya>s dan dalil hukum lainnya.12
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dalam menetapkan
suatu fatwa menggunakan metodologi dan argumentasi yang digunakan oleh
fuqaha>, baik imam mazhab maupun bukan, kemudian dilakukan pemilihan
pendapat yang paling kuat tanpa harus terikat dengan pendapat imam mazhab
tertentu (tarji>h). Apabila permasalahan tersebut tidak terdapat dalil qat}‘i yang
mengaturnya maka dilakukanlah dengan cara ijtiha>d jama>‘i (kolektif). Dalam
menentukan pendapat yang paling baik, komisi fatwa tidak hanya memperhatikan
kekuatan argumentasi dalam ber istinba>t, tetapi juga memperhatikan dan
mempertimbangkan pendapat yang mengandung mas}lah}at paling besar bagi
masyarakat.
Setiap negara dalam memfungsikan fatwa beragam, setidaknya dapat
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, negara yang menempatkan syari’at Islam
sebagai dasar dan Undang-undang negara, sehingga fatwa menjadi keputusan
hukum yang sifatnya mengikat. Kedua, negara yang berdasarkan hukum sekuler,
maka fatwa tidak berperan dan tidak memiliki fungsi apapun. Ketiga, negara yang
menggabungkan antara hukum sekuler dengan hukum Islam, maka fatwa berfungsi
hanya berlaku dalam ranah hukum Islam.13
Dari ketiga pola tersebut, yang ketiga ini tentunya yang berlaku di
Indonesia, termasuk di dalamnya fatwa DSN-MUI.14 Dengan demikian, DSN-MUI
11Mehmood, M. I. “Islamic concept of Fatwa, Practice of Fatwa in Malaysia and
Pakistan: The Relevance of Malaysian Fatwa model for legal system of Pakistan Fatwa in
Islamic Law”, Mehmood, Arts Social Science Journal, 4 (9), (2015): 46–51. 12Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Persada, 2006), 196 13 J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (New York: New
York University Press, 1959), 86. 14Umat Islam Indonesia dengan berbagai macam faham dan organisasi, sehingga
memiliki banyak lembaga fatwa. Setiap organisasi memiliki lembaga fatwa dengan nama
sendiri. Seperti Nahdatul Ulama (NU) memiliki forum kajian keagamaan dan lembaga
fatwa dengan nama Lembaga Bahthul Masa>’il, Sarekat Islam (SI) memiliki lembaga fatwa
yang disebut Majelis Syuro, Muhammadiyah memiliki lembaga fatwa yang disebut Majelis
Tarjih, Persatuan Islam (Persis) memiliki lembaga fatwa yang disebut Dewan Hisbah, al
Jami‘at al-Was}liyah memiliki lembaga fatwa yang disebut Dewan Fatwa, dan Majelis
81
merupakan mitra lembaga pemerintah yang diberi amanat oleh undang-undang
untuk menetapkan fatwa-fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah kepada
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam menjalankan aktivitasnya. Peraturan
perundang-undangan menyebutkan bahwa lembaga yang mempunyai otoritas
menentukan aspek kesyariahan dalam bidang ekonomi dan keuangan adalah MUI.
Lalu dibentuk lembaga khusus bernama Dewan Syariah Nasional (DSN) pada
tahun 1999. Ketentuan hukum itu bagi LKS sangat penting dan menjadi dasar
hukum utama dalam perjalanan operasinya. Tanpa adanya ketentuan hukum akan
menyulitkan LKS dalam menjalankan seluruh aktivitasnya.15
DSN-MUI merupakan satu-satunya badan yang berwenang dan mempunyai
tugas utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk, dan jasa
kuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa. Berdasarkan fatwa ini menjadi
pedoman bagi OJK untuk mengeluarkan peraturan dengan prinsip syariah pada
pasar modal syariah. Februari tahun 2017 DSN-MUI telah mengeluarkan 109 fatwa
yang berkaitan dengan transaksi ekonomi (fiqh mu’amalah). Fatwa-fatwa tersebut
meliputi fatwa tentang transaksi perbankan syariah, fatwa tentang pasar modal
syariah, fatwa tentang obligasi syariah, fatwa tentang ekspor-impor syariah, dan
fatwa tentang asuransi syariah.16
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I, keberadaan DSN-MUI menjadi
penting ketika lembaga yang seharusnya mempunyai kewenangan mengurus LKS
tidak diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk merumuskan
prinsip-prinsip syariah ke dalam fatwa. DSN-MUI yang diberikan hak tersebut oleh
peraturan perundang-undangan untuk menetapkan fatwa telah mengemukakan
bahan-bahan fatwa yang diperlukan oleh lembaga regulator atau ahli perekonomian
dan keuangan syariah. Sehingga kedudukan DSN-MUI terhadap lembaga regulator
yang lain adalah sebagai mitra kerja.
Dalam keputusan MUI disebutkan bahwa DSN bertugas membantu pihak
terkait, seperti OJK dalam menyusun peraturan untuk lembaga keuangan syariah
dengan cara: 1) menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; 2)
mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan 3) mengeluarkan fatwa atas
Ulama Indonesia (MUI) juga mempunyai wadah untuk menyelesaikan masalah keagamaan
dan fatwa yang disebut Komisi Fatwa. Namun yang menjadi mitra dengan pemerintah
hanya Fatwa MUI. Murtadho Ridwan, “Analisis Penyerapan Fatwa DSN-MUI Tentang
Asuransi Syariah ke dalam PSAK 108,” ADDIN, 141-142. 15 Dalam al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m istilah muamalah berarti hukum
syariah yang berkaitan degan urusan hidup secara umum. Sementara Wahbah
mengemukakan muamalah termasuk kepada bahagian dari syariah Islam terdiri dari hukum-
hukum ‘amali, yaitu hukum yang berkaitan dengan bidang ibadah dan hukum yang
berkenaan dengan bidang muamalah. Louis Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A‘la>m (Beiru>t: Da>r al-Mashriq, 1986), 531. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz 2 (Damsyiq: Da>r al-Fikr), 19.
16https://dsnmuiinstitute.com/profil/ (diakses 23 September 2018).
82
produk dan jasa keuangan syariah, dan 4) mengawasi penerapan fatwa yang telah
dikeluarkan. 17
Secara operasional DSN berwenang untuk 1) mengeluarkan fatwa yang
mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masig lembaga keuangan syariah
dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait 2) mengeluarkan fatwa yang
menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia 3) memberikan
rekomendasi dan /atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk
sebagai dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah 4)
mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negari, dan 5) memberikan peringatan kepada lembaga keuangan
syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
DSN.
3. Metodologi penetapan Fatwa DSN-MUI
Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan
kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum-hukum yang dalam
penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (al-nus}us al-shari>‘ah)
menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang terus
muncul, seiring perkembangan zaman yang tidak tercakup dalam nas}-nas}
keagamaan yang tersurat. Di sinilah kemudian pentingnya peran fatwa sebagai
peran sentral guna menjawab berbagai macam persoalan tersebut.18
Fatwa MUI berdasarkan forum yang menetapkannya terbagi empat jenis,
hal ini sebagaimana terdapat dalam website resmi MUI. Pertama, fatwa yang
dihasilkan melalui rapat Komisi Fatwa MUI. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi
Fatwa MUI diikuti oleh seluruh anggota Komisi Fatwa dengan melakukan
pengkajian terhadap suatu permasalahan. Misalnya komisi fatwa tentang hukum
menggunakan atribut non muslim. Sebelum membahas sebuah masalah, rapat
terlebih dahulu mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dari Mustafti (orang atau lembaga yang meminta fatwa) ataupun para ahli dalam bidang yang
berkaitan dengan masalah tersebut, sehingga menghasilkan fatwa yang tepat.
Kedua, fatwa yang dihasilkan melalui Musyawarah Nasional (Munas)
MUI. Pelaksanaan Munas MUI lima tahun sekali, terakhir pada tahun 2015. Di
antara fatwa yang dihasilkan fatwa kriminalisasi hubungan suami istri dan fatwa
tentang pendayagunaan Ziswaf untuk pembangunan sarana air bersih.
Ketiga, fatwa yang dihasilkan melalui rapat Dewan Syariah Nasioanal
(DSN). Fatwa yang dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam
adanya penerapan perekonomian dan keuangan sesuai dengan tuntunan syariah
17Keputusan DSN-MUI Nomor 01 Tahun 2000. 18 Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia Kajian Kritis
tentang Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya (Jakarta: Gramedia, 2016), 159-163.
83
Islam. Misalnya, fatwa asuransi syariah, saham syariah, reksadana syariah, dan
lain-lain.
Keempat, fatwa yang dihasilkan melalui Ijtima‘ Ulama. Merupakan fatwa
hasil pertemuan seluruh komisi fatwa se-Indonesia terdiri dari Komisi Fatwa Pusat
dan Provinsi, Lembaga Organisasi Kemasyarakatan Islam tingkat pusat, dan unsur
pesantren serta Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia dalam rangka membahas
masalah-masalah strategis kebangsaan dan keummatan. Misalnya hasil ijtima’
terakhir dilaksanakan pada tahun 2015 menghasilkan keputusan tentang kedudukan
pemimpin yang tidak menempati janji, kriteria pengkafiran, radikalisme agama,
penyerapan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Dari keempat jenis fatwa
tersebut fatwa ijtima’ ulama memiliki posisi yang lebih kuat karena ini merupakan
hasil pembahasan yang dilakukan oleh ulama se Indonesia.
Menurut Rumadi Ahmad ada empat fase yang dilalui dalam mengkaji
metodologi penetapan fatwa MUI sejak awal berdirinya.19 Fase pertama (1975-
1986), ditandai dengan tidak adanya pedoman baku dalam menetapakan fatwa.
Beberapa fatwa menurut Atho Mudzhar merujuk kepada al-Qur’an dan hadits, atau
merujuk pada naskah fikih, namun ada juga yang tidak menggunakan dalil sama
sekali dalam menetapkan fatwa. 20 Fase kedua (1986-1997), ditandai dengan
terbitnya Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa yang ditetapkan melalui rapat
pengurus MUI tanggal 18 Januari 1986. Pedoman tersebut terdiri dari 5 pasal,
antara lain menyatakan: Dasar-dasar fatwa disebutkan yaitu al-Qur’an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Metode yang digunakan dalam menetapkan fatwa harus melalui
Komisi Fatwa. Dalam rapat Komisi Fatwa tersebut selain dihadiri oleh para
anggota Komisi juga mengundang tenaga ahli sebagai peserta rapat apabila
dipandang perlu.
Fase Ketiga (1997-2002), melakukan pembaharuan terhadap pedoman
tahun 1986 dengan membuat pedoman baru yang diputuskan tanggal 2 Oktober
1997 melalui SK Dewan Pimpinan MUI Nomor: U-596/MUI/IX/1997. Dari segi isi
tidak begitu banyak perubahan dengan yang sebelumnya, namun di dalamnya
menjelaskan lebih rinci prosedur penetapan fatwa. Fase keempat (2003 –
sekarang), terbitnya pedoman dan prosedur dalam penetapan fatwa MUI dalam
ijtima’ ulama tahun 2003.
Secara garis besar, dari keempat fase tersebut bahwa tidak ada perbedaan
yang mendasar. Perbedaannya hanya pada penempatan klausul-klausul, misalnya
klausul mengenai keharusan meninjau pendapat ulama, dalam SK 1997
ditempatkan pada Dasar Umum sementara dalam Pedoman 2003 ditempatkan pada
metode. Perbedaan lainnya adalah dimasukkannya beberapa ketentuan baru pada
pedoman 2003 yang belum diatur sebelumnya, seperti dimasukkannya aspek
maqa>s}id al-Syari>‘ah sebagai satu pertimbangan penting dalam pembuatan fatwa.
Ma’aruf Amin menjelaskan, bahwa ada tiga pendekatan atau metode yang
dipergunakan dalam menetapkan fatwa, yaitu pendekatan nas} qat}‘i, pendekatan
19Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama, 156.
20Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, 80.
84
qauli dan pendekatan manha>ji.21 Melaui ketiga pendekatan itu, setiap persoalan
yang muncul diharapkan akan mampu terjawab. Pertama, pendekatan nas} qat}‘i digunakan dengan mendasarkan fatwa pada nas} al-Qur’an dan hadits. Kedua, pendekatan qauli adalah pendekatan dalam menetapkan fatwa dengan mendasarkan
pada pendapat para imam madzhab dalam kitab-kitab terkemuka (al-kutu>b al-mu‘tabarah). Pendekatan ini menurut Amin memiliki beberapa persyaratan, yaitu
hanya terdapat satu pendapat yang dianggap masih relevan dengan konteks
kekinian serta illat nya tidah berubah.
Pendekatan ketiga (manha>ji). Pendekatan ini baru bisa dipergunakan jika
kedua pendekatan sebelumnya tidak dapat menjawab permasalahan yang akan
difatwakan. Pendekatan ini diterapkan dengan menggunakan kaidah-kaidah pokok
(al-qawa>‘id al-us}u>li>yah) ditambah metodologi yang dikembangkan oleh imam-
imam madzhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan ini
dilakukan melalui ijtihad kolektif (ijtiha>d jama>‘i) 22 dengan menggunakan metode
al-jam‘u wa al-taufiq (menemukan titik temu di antara pendapat para imam
madzhab), tarji>h}i> (memilih pendapat yang paling kuat dalil dan argumentasinya)
dengan cara perbandingan madzhab, ilha>qi (mencari padanan kasus dengan kasus-
kasus yang ada dalam kitab-kitab mu’tabarah) dan istinba>ti> (menggunakan qiya>s,
istis}la>hi, dan sadd al-adhari‘ah) dengan tetap senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umum (masha>lih al-‘a>mmah dan maqa>s}id al-Syari>‘ah).23
Dalam konteks pengembangan lembaga kuangan syariah, Frank E. Vogel
memetakan bahwa terdapat empat metode yang biasa digunakan ulama untuk
mengembangkan produk lembaga keuangan syariah. Pertama, melakukan ijtihad
langsung dari sumber hukum, yakni al-Qur’an dan Sunnah, yang bertujuan untuk
menemukan instrumen hukum baru yang belum pernah dirumuskan oleh para
ulama sebelumnya. Kedua, ijtihad tidak langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, yaitu
dengan memilih pendapat ulama yang sudah ada. Metode memilih ini memiliki
tiga kriteria dalam melakukan proses pemilihan. Kriteria itu tersusun dari yang
paling ambisius, karena ketatnya, sampai pada yang paling longgar. Kriteria
pertama, kembali pada al-Qur’an dan Sunnah dan kaidah untuk menentukan
pendapat terbaik atau paling kuat berdasar teks wahyu. Kriteria kedua,
mengevaluasi sebuah pendapat dengan aturan internal yang ditetapkan mazhab
tertentu. Kriteria ketiga, menguji pendapat yang mana yang paling dapat
melahirkan kemaslahatan umum. Kriteria terakhir ini disebut oleh Vogel sebagai
utilatarian choice. Metode ketiga, mengizinkan seseorang untuk mengadopsi
sebuah ketentuan, termasuk produk keuangan konvensional, walaupun
21Ma‘ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Islam (Jakarta: LeKAS, 2007), 261. 22 Pengertian Ijtiha>d Kolektif menurut Musfiri>n al-Qaht}a>n adalah pengerahan
segala kemampuan mayoritas pakar dalam mengetahui hukum shara‘ dan kesepakatan
mereka atasnya setelah dilakukan musyawarah. Musfiri>n al-Qaht}a>n, Manhaj Istinba>t} Ahka>m al-Nawa>zil al-Fiqhiyah al-Mu‘a>s}irah ( Jiddah: Da>r Ibn Hazam, 2010 ), 233.
23KH. Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: eLSAS, 2017),
269-271. Lihat juga Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta:
Erlangga), 5-6.
85
bertentangan dengan ketentuan syariah karena alasan d}aru>rah (necessity). Metode
keempat, mencari jalan keluar dari kebuntuan hukum dengan terobosan hukum
melalui celah hukum yang masih ada (the legal artifices hiyal).24
Dengan demikian dapat dipahami jika melihat keempat metode Vogel
tersebut dapat dikategorisasikan menjadi dua kelompok. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh al-Zaybari dalam Sofian Hakim yaitu dua metode pertama Vogel
termasuk fatwa tergolong ketat (al-Tashdi>d fi> al-Fatwa>), ditandai dengan
pengembangan produk lembaga keuangan syariah yang selau merujuk pada teks al-
Qur’an dan hadits atau pendapat ulama dalam memahami teks. Lalu untuk dua
metode terakhir termasuk fatwa yang longgar (al-Taysi>r fi> al-Fatwa>). Disebut
longgar karena masih ada peluang untuk menyisakan celah hukum. 25
B. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
1. Sejarah singkat pembentukan OJK
Sejarah awal sebelum berganti nama menjadi Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dinamakan dengan Bapepam. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52
Tahun 1976 tentang Pasar Modal. Bapepam merupakan Badan Pelaksana Pasar
Modal, yakni pihak yang melakukan pengelolaan, pengaturan, penilaian, dan
pengawasan di bursa efek. Bapepam dipimpin oleh seorang ketua yang diangkat
oleh presiden, dan dalam melaksanakan tugasnya, ia bertanggung jawab kepada
menteri Kuangan RI. Pada mulanya, terjadi dualisme dalam pelaksanaan tugas
Bapepam ini, yaitu selain bertindak sebagai penyelenggara, juga bertindak sebagai
pembina dan pengawas. adanya dualisme ini ditemukan hambatan-hambatan
akhirnya dihilangkan dengan keluarnya Kepres Nomor 53 Tahun 1990 tentang
Pasar Modal dan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1548 Tahun 1990.
Lahirnya kedua peraturan ini akhirnya dualisme pelaksanaan tugas dihapus
sehingga lembaga ini dapat memfokuskan diri pada pengawasan dan pembinaan
pasar modal.26
Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal yang
mencabut Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1976 telah mengubah Bapepam
dari Badan Pelaksana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. 27
24Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance; Religion, Risk
and Return (The Hague: Kluwer Law International, 1998), 34. 25Sofian Hakim, Dinamika Fatwa Mudharabah dan Murabahah di Indonesia dan
Malaysia (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2019), 36-37. 26Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), 12. 27Secara umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 mengatur kewenangan dan
tugas dari Bapepam sebagai: 1) Lembaga pembina; 2) Lembaga pengatur; 3). Lembaga
pengawas. Ketiga kewenangan ini dilakukan oleh Bapepam dengan tujuan mewujudkan
terciptanya pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi kepentingan
pemodal dan masyarakat. (Pasar 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995).
86
Dengan demikian, Bapepam dipisahkan dari Bursa Efek karena menimbulkan
konflik kepentingan. Bagaimana mungkin sebuah badan dapat melaksanakan
fungsinya secara maksimal kalau mempunyai fungsi ganda? Di satu sisi berfungsi
mengelola kegiatan pasar modal sementara pada sisi lain mempunyai kewenangan
mengeluarkan serangkaian regulasi untuk mengatur mekanisme di pasar modal dan
pada saat yang sama mempunyai fungsi melakukan pengawasan terhadap sebuah
kegiatan yang dilakukannya sendiri. Atas dasar itulah, Bapepam dipisahkan dari
Bursa Efek, Bapepam difungsikan sebagai Otoritas Pengawas di pasar modal.
Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor KMK
606/KMK.01/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, organisasi unit eselon I
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan unit eselon I Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan (DJLK) digabungkan menjadi satu organisasi unit eselon I,
yaitu menjadi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-
LK).
Perubahan terakhir dan berlaku sampai sekarang diganti menjadi Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). OJK lahir berawal dari terbitnya Undang-undang Nomor 21
Tahun 2011. Dengan penerbitan dan berlakunya UU OJK tersebut menandakan
terjadinya pergeseran model pengawasan dalam industri keuangan, pengawasan
Bank yang selama ini berada dibawah pengawasan Bank Indonesia (BI) dan
pengawasan pada lembaga keuangan non bank yang berada dibawah pengawasan
Badan Pengawas Pasar Modal maupun Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang
dilimpahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian, kehadiran
OJK menyebabkan semua industri jasa keuangan akan disatukan pengawasannya di
bawah satu atap, sehingga tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab terhadap
pengawasannya. Sistem pengawasan terpadu ini juga akan semakin memudahkan
dalam pertukaran informasi antar lembaga keuangan.28
Setelah Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 disahkan, Presiden Republik
Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2012 menetapkan
struktur organisasi OJK terdiri dari sembilan anggota dewan komisioner Otoritas
Jasa Keuangan, termasuk dua anggota komisioner ex-officio dari Kementerian
Keuangan dan Bank Indonesia serta menetapkan tujuh anggota pelaksana kegitan
operasional.
Struktur Dewan Komisioner terdiri atas:
a. Ketua merangkap anggota;
b. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite merangkap anggota;
c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
28 Muhammad Fakhri Amir “Peran Dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Dalam Sistem Keuangan Di Indonesia (Perspektif Hukum Islam), Al-Amwal, Vol 5 No. 1 (Maret 2020).
87
f. Kepala Dewan Audit merangkap anggota;
g. Anggota yang membidangi Edukasi dan perlindungan konsumen;
h. Anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan
Gubernur Bank Indonesia; dan
i. Anggota ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat
setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
Sementara pelaksana kegiatan operasional terdiri atas:
a. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;
b. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;
c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan sektor
Perbankan;
d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan
Sektor Pasar Modal;
e. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang
Pengawas sektor IKNB;
f. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko;
dan
g. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen
memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Gambar 3.2
Sturuktur Organisasi OJK
Sumber: www.ojk.go.id
Struktur organisasi OJK sebagaimana terdapat dalam Gambar 3.2
menunjukkan bahwa setiap Kepala Eksekutif dibantu oleh Deputi Komisioner dan
Kepala Departemen yang masing-masing membawahi suatu bidang yang spesifik.
88
Misalnya, Kepala Eksekutif Pasar Modal dibantu oleh Deputi Komisioner
Pengawas Pasar Modal I dan Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II. Di
bawah dua Deputi Komisioner tersebut ada Departemen Pengawasan PM 1A,
Departemen Pengawasan PM 1B, Departemen Pengawasan PM 2A dan
Departemen Pengawasan PM 2B.
2. Fungsi dan Tugas OJK tehadap Pasar Modal Syariah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Hal ini sejalan
dengan tujuan dibentuknya OJK yaitu: Pertama, agar keseluruhan kegiatan di
dalam sector jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel. Kedua, Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil. Ketiga, Mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat. Disamping itu tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor perekonomian.29
Dalam sektor pasar modal OJK memiliki peran khusus, di antaranya
memperkuat dasar hukum, mengupayakan insentif untuk produk syariah,
memperluas peran pelaku pasar modal syariah, memperkuat landasan hukum pada
transaksi di dalam pasar modal syariah.30
Adapun tugas pokok Otoritas Jasa Keuangan pada sektor pasar modal
antara lain:
a. Menyusun peraturan pelaksanaan bidang Pasar Modal.
b. Melaksanakan Protokol Manajemen Krisis Pasar Modal.
c. Menetapkan ketentuan akuntasi di bidang Pasar Modal.
d. Merumuskan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang Pasar
Modal.
e. Melaksanakan analisis, pengembangan dan pengawasan Pasar Modal termasuk
Pasar Modal Syariah.
f. Melaksanakan penegakan hukum di bidang Pasar Modal.
g. Menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh
OJK, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
h. Merumuskan prinsip-prinsip Pengelolaan Investasi, Transaksi dan Lembaga
Efek, dan tata kelola Emiten dan Perusahaan Publik.
i. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperolah izin
usaha, persetujuan, pendaftaran dari OJK dan pihak lain yang bergerak di
bidang Pasar Modal.
j. Memberikan perintah tertulis, menunjuk dan/atau menetapkan penggunaan
pengelola statuter terhadap pihak/lembaga jasa keuangan yang melakukan
29Irham Fahmi, Manajemen Perbankan Konvensional & Syariah (Jakarta, Mitra
Wacana Media. 2015), 21. 30https://www.kompasiana.com (diakses 12 Februari 2018).
89
kegiatan di bidang Pasar Modal dalam rangka mencegah dan mengurangi
kerugian konsumen, masyarakat dan sektor jasa keuangan.
k. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Dewan Komisioner.
Pelaku pasar modal yang mencakup pengawasan Otoritas Jasa Keuangan
ini antara lain, perusahaan efek, wakil perusahaan efek, pengelolaan investasi,
emiten dan perusahaan publik, Lembaga dan profesi penunjang pasar modal serta
pasar modal syariah. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang dibuat untuk sektor
pasar modal juga mencakup hal yang paling terkecil. Misalnya, POJK Nomor
29/POJK.04/2017 tentang laporan Wali Amanat atau POJK Nomor
23/POJK.04/2017 tentang Prospektus Awal dan Info Memo.
91
BAB IV
SCREENING SAHAM SYARIAH MENURUT
FATWA DSN-MUI DAN PERATURAN OJK
Sejarah panjang perkembangan pasar modal di Indonesia, hingga 1970
sebagian besar masyarakat muslim tidak dapat terlibat dalam investasi di pasar
modal. Hal ini disebabkan karena larangan Islam pada aktivitas-aktivitas bisnis
tertentu. Untuk memenuhi kepentingan pemodal yang ingin menjalankan kegiatan
investasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah, maka di sejumlah bursa efek
syariah di dunia telah disusun indeks dengan melakukan filterisasi terlebih dahulu,
agar kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.1
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa setiap negara
memiliki metodologi berbeda-beda dalam proses dan menetapkan standarisasi
screening saham syariah.2 Perbedaan tersebut didasari oleh tidak adanya regulasi
yang sama pada setiap dewan syariah dalam menghasilkan fatwa pada masing-
masing negara.
Untuk membahas lebih lanjut, pada sub-sub bab berikut ini akan menelaah
secara mendalam terhadap fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh DSN-MUI dan
Peraturan OJK terkait kebijakan screening saham syariah yang mempengaruhi
perkembangan saham syariah di Indonesia.
A. DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa Standar Screening Saham Syariah
Keberadaan Fatwa DSN-MUI menjadi standar tunggal untuk meyakinkan
masyarakat yang ingin menjalankan bisnis ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Keberadaan fatwa telah mengalami pergeseran, jika secara teoritik fatwa
tidak mengikat, namun secara de jure dan de facto sebenarnya mengikat. Artinya,
fatwa akan mengikat industri khususnya di bidang keuangan syariah. 3 Hal ini
sebagaimana pernyataan fatwa DSN bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI
1Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah
(Jakarta: Kencana, 2008), 45. 2Untuk negara-negara Asean berdasarkan temuan Ardiansyah, dkk. memiliki dua
kecenderungan berbeda. Bagi negara dengan mayoritas penduduknya muslim dibuktikan
dengan banyaknya ahli syariah, maka mereka akan menggunakan model screening berdasarkan kebijakan lembaga fatwa yang ada di negara tesebut, seperti Indonesia dan
Malaysia, sementara bagi negara yang mayoritas bukan muslim, mereka lebih cenderung
menggunakan model screening yang banyak digunakan secara global, misalnya DJIM,
FTSE, dll. Model yang kedua ini dianut oleh Singapura, Thailand, dan Filipina. Lihat M.
Ardiansyah, dkk., “Telaah Kritis Model Screening Saham Syariah menuju Pasar Tunggal
ASEAN.” Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 16, No. 2 (2016):
197-216. 3Laldin, M. A., Khir, M. F. A., & Parid, N. M. “Fatwas in Islamic Banking: a
Comparative Study Between Malaysia and Gulf Cooperation Council (Gcc Countries),
International Shari’ah Reseach Academy for Islamic Finance ISRA INCEIF, (2012):1–40.
92
mengikat bagi perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia,
meskipun pengikatan fatwa DSN-MUI melalui proses otorisasi dari regulator
(pemerintah). Namun, keberadaan fatwa menjadi dasar bagi peraturan Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan, Pasar Modal, dan lembaga regulasi lainnya
dalam menetapkan peraturan atau undang-undang yang berlaku.4
Di samping itu, isu nilai-nilai syariah pada perusahaan yang ditetapkan
oleh dewan fatwa menjadi suatu hal penting yang sangat diperhatikan oleh banyak
investor, baik individu dan institusi. Kebanyakan investor menjadi tertarik untuk
menginvestasikan uangnya pada industri keuangan syariah karena dianggap
sebagai industri etis dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ini artinya, ada
beberapa investor religius yang tidak hanya berinvestasi untuk mencari uang
(profit) tetapi juga harus patuh pada nilai-nilai syariah. Investor jenis ini terutama
berasal dari Timur Tengah yang merupakan investor kaya yang memiliki banyak
uang, berusaha untuk berinvestasi hanya pada saham-saham yang sesuai dengan
syariah.5
Oleh karenanya, pertumbuhan dan perkembangan luar biasa dalam industri
keuangan global tentunya tidak terlepas peran dari dewan syariah. Salah satu
bidang yang mempengaruhi pertumbuhan keuangan Islam baru-baru ini adalah
investasi di pasar saham internasional. Menurut Thomson Reuters sebagaimana
dikutip oleh Yildirim dan Ilhan melaporkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata
8% per tahun, dengan aset dana Islam yang dikelola sekitar USD 65 miliar pada
tahun 2015 dan USD 88 miliar pada tahun 2020.6
DSN-MUI tentunya juga berperan sangat penting terhadap perkembangan
LKS di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan, LKS mampu bertahan tidak terlepas
dari pengawasan DSN-MUI. Sebagaimana menurut Herwidyatmono, bahwa DSN
mempunyai wewenang penuh untuk memberikan keputusan tentang berhak
4 Hasanuddin mencatat bahwa ada banyak peraturan lembaga negara yang
bersumber dari fatwa DSN-MUI, baik di lembaga perbankan maupun non bank. Misalnya
1) Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor per-04/BI/ 2007 Tentang akad-akad yang
digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiyaan berdasarkan prinsip syariah, tanggal 10
Desember 2007. Peraturan ini mengatur tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan
di pasar modal sesuai dengan prinsip syariah. Peraturan ini dipengaruhi oleh Fatwa DSN
tentang akad-akad. 2) peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 Tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah. Dalam ketentuan ini selain mengakui keberadaan DSN-MUI dan DPS, juga
diatur tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan pembiyaan syariah. Hasanudin,
“Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 146-148. 5Pok, W. C., “Analysis of Syariah Quantitative Screening Norms Among Malaysia
Syariah-Compliant Stocks”, Investment Management and Financial Innovations,
9 (2), (2012): 69–80. 6 Ramazan Yildirim dan Bilal Ilhan, “Shari’ah Screening Methodology – New
Shari’ah Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol.
14, No. 1, (January-March, 2018): 168-189.
93
tidaknya sebuah efek menyandang label syariah. Hal ini sesuai dengan tugas DSN
yang memberikan fatwa-fatwa sehubungan dengan kegiatan emisi, perdagangan,
pengelolaan pertofolio efek-efek syariah, dan kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan efek-efek syariah.7
DSN-MUI juga mempunyai hubungan yang erat dengan permasalahan di
pasar modal syariah bahkan berfungsi sebagai pusat referensi (reference center) atas semua aspek-aspek syariah. Salah satunya fatwa tentang screening saham
syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Menurut penulis, fatwa DSN tentang
screening saham walaupun secara eksplisit tidak dibunyikan pada Surat Keputusan
tentang screening namun dari keputusan hukum yang dihasilkan dapat dipahami
bahwa ada standarisasi hukum yang harus dipatuhi oleh emiten sebelum
perusahaan tersebut terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES).
Dikeluarkannya fatwa biasanya karena adanya permintaan fatwa (mustafti) dari pemerintah ataupun masyarakat terhadap permasalahan yang sedang aktual
pada saat itu, pun demikian fatwa screening saham syariah DSN menerbitkan
fatwa tersebut berdasarkan kepada kebutuhan negara dan masyarakat melakukan
investasi pada pasar modal. Pasar modal yang sudah ada dianggap tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah, sehingga diperlukan fatwa khusus tentang pasar
modal untuk dijadikan pedoman bagi para pelaku ekonomi syariah dalam
melakukan investasi pada pasar modal.
1. Fatwa DSN-MUI tentang Screening Saham Syariah
Fatwa yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah Fatwa DSN
Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan
Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Bila diperhatikan dari ketiga metode
penetapan fatwa, jika dilihat pada persoalan hukum pasar modal tepatnya saham
syariah tentunya timbul pertanyaan, pendekatan mana yang digunakan oleh DSN-
MUI, sehingga saham tidak dilarang dalam syariah Islam karena telah memenuhi
prinsip-prinsip syariah. Untuk pendekatan yang pertama misalnya, yakni nas} qat}‘i tentunya tidak tepat karena tidak ada nas} secara eksplisit membolehkan jual beli
saham dalam al-Qur’an dan hadits, sementara untuk pendekatan yang kedua
(pendekatan qauli) juga tidak terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab persoalan saham
adalah masalah baru yang belum ada dalam kitab-kitab terkemuka (al-kutu>b al-mu‘tabarah) di samping itu tidak semua ulama dan imam-imam mazhab fiqh
sepakat membolehkan adanya praktik saham. Lalu untuk pendekatan yang ketiga
(manha>ji), tentunya perlu dikaji secara mendalam, sebab manha>ji terbagi lagi
menjadi beberapa bagian.
Oleh karena itu, permasalahan ini harus direspon dan dicari jawabannya,
sebab tidak mungkin berbagai macam masalah tersebut dibiarkan tanpa ada
jawaban, dengan alasan tidak ada nas{ atau tidak ada qaul dalam al-kutu>b al-mu‘tabarah atau karena masalah itu belum pernah dilontarkan ulama terdahulu
7Herwidyatmono, “Prinsip-prinsip Pengaturan Pasar Modal Syariah di Indonesia,”
Makalah Peluncuran Pasa Modal Syariah, Jakarta (2003).
94
atau suatu kebijakan yang belum pernah ditetapkan oleh ulama terdahulu.
Karenanya, perlu adanya suatu manha>j yang dijadikan pedoman untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru tersebut.8 Ditetapkannya fatwa tersebut
tujuan utamanya jelas untuk membolehkan lembaga keuangan non bank termasuk
jual beli saham dengan berbagai argumen yang dijelaskan pada bagian konsideran
fatwa.9
Secara umum, setiap fatwa yang dihasilkan dapat dipetakan menjadi tiga
bagian, yaitu konsideran (pertimbangan-pertimbangan), isi atau substansi fatwa,
dan penutup. Pada bagian konsideran fatwa tersebut, terlihat setidaknya ada tiga
hal yang menjadi pertimbangan DSN-MUI menetapakan fatwa tersebut. Yakni,
pertimbangan secara sosial-ekonomi, juridis-formal, dan berupa dalil-dalil al-
Qur’an, hadits, dan kaidah-kaidah fiqh.
Menurut Mudzhar, fatwa itu sendiri berupa pernyataan-pernyataan yang
diumumkan baik oleh komisi Fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriyah fatwa
pada intinya tidak ada perbedaan yang mendasar, biasanya dimulai dengan
keterangan bahwa komisi telah melakukan sidang pada tanggal tertentu berkaitan
dengan pertanyaan yang diajukan oleh orang atau badan tertentu. Kemudian
dilanjutkan dengan dalil-dalil sebagai dasar penetapan. Dalil-dalil biasanya dimulai
dengan ayat al-Qur’an disertai hadits-hadits yang terkait ditambah pendapat para
ulama dalam kitab-kitab fiqh. Dalil rasional juga diberikan sebagai keterangan
pendukung. Setelah itu barulah diberikan pernyataan fatwa itu sendiri dan biasanya
dicantumkan di bagian akhir.10
Pertimbangan yang bersifat sosial-ekonomi dari fatwa tersebut terdapat
empat alasan. Pertama, perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari
perkembangan pasar modal; kedua, pasar modal berdasarkan prinsip syariah telah
dikembangkan di berbagai negara; ketiga, umat Islam Indonesia memerlukan Pasar
modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip syariah; keempat, untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di
Bidang Pasar Modal.
Pertimbangan yang berupa dalil nas} al-Qur’an, Hadits, dan kaidah fiqh.
Secara umum, pertimbangan yang berupa dalil dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Ayat al-Qur’an sebanyak 5 ayat, hadits nabi Muhammad Saw sebanyak 10 hadits
dan 2 kaidah fiqh.
Lima ayat tersebut terdiri dari: QS. al-Baqarah [2]: 275 tentang kehalalan
jual beli dan keharaman riba; QS. al-Baqarah [2]:278-279 tentang perintah untuk
meninggalkan sisa-sisa riba sebagai tanda orang yang beriman; QS. al-Nisa>’ [4]: 29
tentang larangan memakan dengan cara yang batil; QS. al-Jumu‘ah [62]: 10
tentang boleh bertebaran untuk mencari rizki dengan syarat telah menunaikan
8Ma‘ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Islam, 257. 9 Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003. 10Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, 80.
95
kewajiban shalat; dan QS. al-Ma>’idah [5]: 1 tentang sebagai tanda orang beriman
akan menjaga dengan baik akad-akad jangan sampai terjadi kecurangan.
Sepuluh Hadits yang dijadikan dalil adalah: 1) HR. Ibn Ma>jah dari ‘Uba>dah
ibn Sha>mit, Ah{mad dari ibn ‘Abbas, dan Ma>lik dari Yah}ya tentang tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan begitu juga orang lain; 2) HR. al-Khomsah dari
Hukaim ibn H{iza>m) tentang larangan menjual sesuatu yang tidak ada pada diri
kita; 3) HR. al-Khomsah dari ‘Amr ibn Syu’aib tentang tidak halal (memberikan)
pinjaman dan penjualan, tidak halal (menetapkan) dua syarat dalam suatu jual beli,
tidak halal keuntungan sesuatu yang tidak ditanggung resikonya, dan tidak halal
(melakukan) penjualan sesuatu yang tidak ada padamu; 4) HR. al-Baihaqi> dari Ibn
Umar tentang larangan praktek jual beli gharar; 5) HR. Muttafaq ‘alaih tentang
larangan melakukan penawaran palsu (al-najs); 6) HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi,
dan al-Nasa>’i tentang larangan praktek pembelian ganda pada satu transaksi
pembeliaan; 7) HR. Baihaqi dari Hukaim ibn Hizam tentang larangan menjual
sesuatu hingga kita memilikinya; 8) HR. Al-Tirmizi dari ‘Amr ibn ‘Auf tentang
pentingnya perdamaian kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram. 9) HR. Abu> Dawud, al-Da>r quthni, al-H{a>kim, dan al-
Baihaqi tentang pentingnya kejujuran dan berbisnis; 10) HR. Muslim tentang
tidaklah melakukan ihtikar (penimbunan/monopoli) kecuali orang yang bersalah.
Sedangkan kaidah fiqh yang dijadikan dalil ada dua macam. Pertama,
hukum pokok dalam bermuamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.11 Kedua, tidak boleh melakukan perbuatan hukum
atas milik orang lain tanpa seizinnya.12
Pertimbangan terakhir yang bersifat yuridis formal adalah: Pertama,
pendapat para ulama: 1) pendapat Ibn Quda>mah dalam al-Mughni tentang
bolehnya dua orang bermitra membeli porsi mitra serikatnya karena membeli pihak
lain; 2) pendapat Wah}bah al-Zuhaili> tentang bertransaksi dengan saham hukumnya
boleh; 3) pendapat banyak ulama yang membolehkan jual beli saham pada
perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan
oleh Dr. Muhammad ‘Abd al-Ghaffar al-Syari>f, Dr. Muhammad Yu>suf Musa; Dr.
Muhammad Rawas Qal’ahji; Shaikh Dr. ‘Umar ibn ‘Abd ‘Azi>z al-Matrak. 4)
Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi suatu surat
berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat
berharga (bi-idhni sha>rikihi). Dalam Al-Majmu‘ Sharh al-Muhadhzab IX/265 dan
Al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuhu IV/881; 5) Keputusan Muktamar ke-7 Majma‘
Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah tentang boleh menjual atau menjamin saham
dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan.
Kedua, Keputusan dan Rekomendasi Lokakarya Alim Ulama tentang
Reksa Dana Syariah tanggal 24-25 Rabi’ul Awal 1417 H/ 29-30 Juli 1997 M.
Ketiga, Undang-Undang RI nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Keempat,
األصل ىف املعامال ت األابحة ما مل يدل دليل على حترميها 11 ال جيوز ألأ حد أن يتصرف يف ملك الغري بال إذنه 12
96
SK DSN - MUI No. 01 Tahun 2001 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah
Nasional. Kelima, Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan Bapepam tanggal
14 Maret 2003 M./ 11 Muharram 1424 H dan Pernyataan Bersama Bapepam, APEI,
dan SRO tanggal 14 Maret 2003 tentang Kerjasama Pengembangan dan
Implementasi Prinsip Syariah di Pasar Modal Indonesia. Keenam, Nota
Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO tanggal 10 Juli 2003 M/ 10 Jum.
Awal 1424 H tentang Kerjasama Pengembangan dan Implementasi Prinsip Syariah
di Pasar Modal Indonesia. Ketujuh, Workshop Pasar Modal Syariah di Jakarta pada
14-15 Maret 2003 M/11-12 Muharram 1424 H; Kedelapan, Pendapat peserta Rapat
Pleno Dewan Syariah Nasional MUI pada hari Sabtu, tanggal 08 Sya’ban 1424
H./04 Oktober 2003 M.13
2. Analisis terhadap Fatwa DSN-MUI dan Kaitannya dengan Screening Saham
Syariah
Berdasarkan isi dari konsideran fatwa tersebut di atas, jika diperhatikan
metode yang gunakan lebih kepada pendekatan minha>ji. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa faktor: 1) pertimbangan sosial-ekonomis lebih dikarenakan permintaan
negara terhadap perkembangan pasar modal dan keinginan umat Islam memiliki
pasar modal sesuai dengan prinsip syariah. 2) dilihat dari dalil baik al-Qur’an dan
Hadits tidak ada yang secara tegas menyinggung masalah saham, walaupun
mencantumkan banyak ayat dan hadits tapi penggunaannya masih bersifat umum
dan tidak bersinggungan langsung dengan saham syariah pada pasar modal. Lain
halnya ketika DSN menjelaskan pada aspek yuridis formal, dijelaskan lebih tegas
dan komprehensif berdasarkan pendapat para ulama dengan pendekatan ijtihad
kolektif (ijtiha>d jama>‘i) melalui metode al-jam‘u wa al-taufi>q (menemukan titik
temu di antara pendapat para imam madhhab), seperti pendapat Ibn Qudamah,
Wahbah al-Zuhaili, Muhammad ‘Abd al-Ghaffar al-Shari>f, dan lainnya, keputusan-
keputusan, dan nota kesepahaman. Ini membuktikan bahwa kebolehan pasar modal,
masih terjadi perbedaan di kalangan para ulama.
Selanjutnya, terkait dengan ketentuan isi fatwa, yang terdiri dari tujuh bab
yang memuat delapan pasal. Bab I membahas tentang ketentuan umum yang terdiri
dari pengertian beberapa istilah dalam pasar modal. Pada ketentuan umum ini,
fatwa DSN sepenuhnya menggunakan istilah dalam bahasa ekonomi modern yang
telah dinyatakan oleh Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Di dalamnya
tidak ada menyingung corak pemikiran atau metode penetapan hukum yang
digunakan, sebab hanya menjelaskan tentang difinisi pasar modal yang tidak ada
kaitannya dengan perbedaan pendapat imam mazhab fiqh. Bab II prinsip-prinsip
syariah di Bidang Pasar Modal, Prinsip syariah yang dimaksud tidak dipaparkan
secara jelas dan terperinci, tetapi hanya menetapkan harus sesuai dengan syariah.
Bab III Emiten yang menerbitkan efek syariah. Bab IV Kriteria dan Jenis efek
syariah. Bab V Transaksi efek. Bab VI Pelaporan dan keterbukaan informasi. Bab
VII Ketentuan dan penutup.
13Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003.
97
Dalam penelitian ini, penulis hanya fokus membahas Fatwa DSN pada Bab
III dan Bab V. Bertujuan agar lebih fokus dan sesuai kepada permasalahan yang
diteliti, yakni tentang konsep screening yang dilakukan oleh DSN-MUI. Pada Bab
III Pasal 3 menjelaskan beberapa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan
prinsip syariah, antara lain: 1) perjudian, dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang dilarang; 2) lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk
perbankan dan asuransi. 3) produsen, distributor, serta perdagangan makanan dan
minuman yang haram; dan 4) produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-
barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; 5) melakukan
investasi pada emiten yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utang perusahaan
kepada lembaga keungan ribawi lebih dominan dari modalnya (ekuitas).14
Bagian ini menurut penulis ada kesamaan dengan fatwa sebelumnya, pada
Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk
Reksa Dana Syariah. Bab IV Pasal 8, yang menjelaskan tentang jenis usaha emiten
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dijelaskan bahwa di antara
usaha-usaha yang bertentangan dengan syariah Islam antara lain: 1) Perjudian dan
permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; 2) Usaha ribawi
termasuk perbankan dan asuransi konvensional; 3) memproduksi, mendistribusi,
serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram; 4) memproduksi,
mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat.15
Sedikit perbedaan, dengan menambah satu ayat lagi pada fatwa DSN-MUI
tahun 2003, yaitu melakukan investasi pada emiten yang pada saat transaksi
tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan
dari modalnya. Sebenarnya pada Fatwa DSN-MUI tahun 2001 juga dijelaskan
namun pada pasal yang lain dan lebih jelas dengan mencantumkan angka
persentase di dalamnya, yaitu pasal 10 tentang kondisi emiten yang tidak layak.
Dalam pasal tersebut dijelaskan suatu emiten tidak layak diinvestasikan oleh reksa
dana syariah apabila suatu emiten memiliki nisbah utang terhadap modal lebih dari
82% (utang 45%, modal 55%).16
3. DSN-MUI dalam Melakukan Proses Screening Saham Syariah
Pada bagian akhir sub bab ini akan melihat bagaimana DSN-MUI
melakukan proses screening terhadap perusahaan sebelum masuk Daftar Efek
Syariah. Proses tersebut secara umum sebenarnya ada kesamaan dengan OJK
karena berdasarkan nota kesepahaman antara dua lembaga ini. Walaupun pada
bagian tertentu nantinya ada perbedaan. Hal ini sebagaimana terlihat pada gambar
di bawah ini.
14 Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003, pasal 3. 15 Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001, pasal 8. 16 Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001, pasal 10.
98
Gambar 4.1
Proses Screening Saham Syariah
Sumber: Materi TOT Pasar Modal Syariah OJK, 2015.
Berdasarkan gambar di atas, bahwa ada dua kriteria proses screening
syariah sebelum terdaftar sebagai saham syariah pada DES, yakni screening kriteria objek usaha (kualitatif) dan screening rasio finansial (kuantitatif). Sejalan
dengan yang ditetapkan oleh ke dua fatwa di atas, agar emiten tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah, maka oleh DSN emiten tidak boleh menjalankan
usahanya dalam bidang usaha yang diharamkan. seperti judi, usaha ribawi,
makanan dan minuman yang haram, dan yang merusak moral dan membawa
mudharat.
Dengan demikian, apabila dikaji isi dari ke dua fatwa tersebut, pada satu
sisi menunjukkan bahwa DSN serius ingin membuktikan bahwa emiten yang sudah
lulus proses screening benar-benar sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Namun, kalau dikaji lebih jauh larangan tersebut sebenarnya DSN hanya
memberikan ketegasan screening pada objek barang atau jasa yang haram karena
dzatnya (haram lidhatihi), belum sepenuhnya pada yang haram selain dzatnya
(haram lighairihi). Perlu dipertegas bahwa tujuan penyaringan syariah kualitatif
adalah untuk mengecualikan perusahaan dengan kegiatan bisnis utama yang tidak
diperbolehkan.17
Dari fatwa tersebut DSN secara tegas menjelaskan di antara jenis usaha
yang dikatakan haram karena dianggap bertentangan dengan syariah Islam. Banyak
ayat al-Qur’an dan hadits yang secara tegas menjelaskan haramnya
17Habib, F., & Faruq Ahmad, A. U. “Revisiting the AAOIFI Shariah Standards’
Stock Screening Criteria”, International Journal of Business & Society, 18, (1), (2017):
151-166.
99
memperdagangkan barang-barang yang diharamkan oleh syariah, misalnya ayat al-
Qur’an dan hadits tentang keharaman khamar, bangkai, babi, dan berhala berikut
ini:
إنذما ين ءامنوا ها ٱلذ يأ زلم رجس من عمل ي
نصاب وٱل
ٱلمر وٱلميس وٱل
يطن فٱجتنبوه لعلذكم تفلحون ٩٠ٱلشذHai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS. al-Ma>idah [5]: 90).
Rasulullah bersabda:
ع رسول اللهأ صلى هللا عليه ـ أنهه سأ عبدأ اللهأ ـ رضى هللا عنهما وسلم عن جابأرأ بنأ كهة بأ وهو ، الفتحأ عام والأنزأيرأ "يـقول تةأ والميـ المرأ بـيع حرهم ورسوله الله إأنه
."واألصنامأ
Dari Ja>bir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma>, sesungguhnya ia mendengar
Rasulullah bersabda pada tahun Fath} (Makkah), dan ia berada di Makkah,
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual-beli khamr,
bangkai, babi, dan berhala”.18
Al-Qard}awi menegaskan bahwa Islam melarang aktivitas apa pun yang
membawa kepada kemaksiatan hukumnya tetap haram meskipun sesuatu itu
dianggap bermanfaat bagi manusia tetapi termasuk dalam kemaksiatan. Dengan
demikian, emiten yang melakukan aktivitas perdagangan dengan produk yang
haram hukumnya adalah haram. Termasuk dalam kategori ini adalah sekuritas
perusahaan rokok, hotel, ritel, minuman keras, perbankan, dan emiten lain yang
mempraktikkan sistem bunga.19
Menurut penulis, permasalahan haram terkait objek usaha (h}ara>m li dhatihi) adalah persoalan hukum yang sudah final dan tidak perlu diperdebatkan
keharamannya, sebab benda yang halal maupun yang haram sudah jelas. Lain
halnya ketika berbicara permasalahan haram li ghairihi terdapat banyak perdebatan
ulama di dalamnya. Hal ini karena haram li ghairihi meliputi dua aspek, yaitu pada
satu aspek disyariatkan, akan tetapi pada aspek yang lain dilarang karena bersifat
mudharat. Misalnya, melaksanakan shalat dengan pakaian yang di-gasab (mencuri)
18HR. al-Bukhari, 2/779 no. 2121; Muslim, 3/1207 no. 1581. 19 Yu>suf al-Qarad}awi, Halal dan Haram Dalam Islam (Jakarta: Robbani Press,
2000), 351.
100
dan bertransaksi jual beli saat kumandang adzan shalat Jum’at berlangsung. 20
Haram seperti ini yang banyak ditemukan dalam praktik muamalah, karena amat
sulit untuk diidentifikasi beberapa transaksi yang pada objek barang dan jasanya
itu sah namun kemudian pada akad atau proses transaksi terdapat hal-hal keliru
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Berdasarkan fatwa DSN tersebut bahwa perusahaan dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok, yaitu: (1). Perusahaan dengan operasi dan transaksi yang
diizinkan. Saham perusahaan ini dapat dimiliki dan diperdagangkan; (2).
Perusahaan dengan operasi dan transaksi terlarang: Misalnya, layanan keuangan
konvensional, daging babi, alkohol, tembakau, hiburan. Saham perusahaan-
perusahaan ini tidak dapat dimiliki dan diperdagangkan; (3). Perusahaan dengan
operasi yang diizinkan tetapi juga terlibat dalam transaksi yang tidak diizinkan.
Misalnya, deposito terhadap bunga, memperoleh hutang berbunga, dan pendapatan
non-halal.21
Emiten untuk jenis yang pertama tentu saja boleh diperdagangkan di bursa
efek karena aktivitasnya sudah jelas halal. Emiten jenis yang kedua, seperti
perusahaan memproduksi minuman keras, perjudian, pelacuran, dan aktivitas
haram lainnya tentu saja dilarang karena bertentangan dengan syariah Islam.
Sementara untuk emiten jenis ketiga, misalnya sekuritas persahaan yang modalnya
halal tetapi untuk meningkatkan laveragenya menggunakan pinjaman ribawi, atau
ia menjalankan akad-akad haram seperti money laoundry, atau lain sebagainya.
Dari ketiga jenis emiten tersebut, jenis yang ketiga ini banyak ditemukan
di pasar modal syariah, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Para fukaha sendiri
berbeda pendapat menyikapinya, ada yang membolehkan dan ada juga yang secara
mutlak mengharamkan. Perbedaan pendapat ini sebagaimana penulis peroleh dari
Sahroni dan Karim dalam bukunya Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi yang mereka kutif dari beberapa sumber. 22 Di antaranya
pendapat Lembaga Fiqh Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dana halal yang
bercampur dengan dana nonhalal hukumnya haram. Dilansir berdasarkan
Keputusan lembaga fikh Islam No. 7/1/65, pada pertemuan ke-7 sebagai berikut:
غرضها اإلسهام يف شركات حرمة يف كالتعامل أنه الخالف حمرم األساسي شركات أو ابلراب يف حرمةاإلسهام واألصل . هبا املتاجرة أو احملرمات إنتاج
تتعامالحياان بلمحر مات كالراب وحنوه اب لرغم من أن أنشطتها األساسية مشروعة
20 Anas Muh}ammad Ah}mad Di>n, “al-H{ara>m li- Ghayrih: Dira>sah Naz}ari>yah
Tat}biqi>yah ‘ala al-Nawa>zil”, (Thesis: Ja>mi‘at Umm al-Qura´, 1435 H), 174-178. 21Ramazan Yildirim dan Bilal Ilhan, “Shari’ah Screening Methodology – New
Shari’ah Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol.
14, No. 1, (January-March, 2018): 168-189.. 22 Oni Sahroni dan Adiwarman Karim dalam bukunya Maqashid Bisnis &
Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 218-
224.
101
Bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada
perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan usaha yang haram, seperti
transaksi ribawi, memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang
haram. Pada prinsipnya, haram membeli saham pada perusahaan yang
kadang-kadang melakukan transaksi yang seperti transaksi ribawi dan sejenisnya, walaupun kegiatan utama perusahaan tersebut itu adalah usaha
yang halal.23
Sebagai dalil yang digunakan adalah kaidah fiqh berikut:
إذا اجتمع احلال ل واحلرام غلب احلرام Jika bercampur dana halal dan haram, maka menjadi dana haram.24
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jika dana yang halal lebih
dominan daripada dana non-halal, maka keseluruhan dana tersebut menjadi halal.25
Dengan beberapa argumen berikut:
a. Kaidah fiqh
لأألكثر حكم الكل Hukum mayoritas sama seperti hukum keseluruhan.26
جيوز تبعا ما ال جيوز استقالالHal yang dibolehkan karena sifatnya pelengkap, itu menjadi tidak
dibolehkan karena sifatnya independen.27
b. Maslahat (al-Hajah al-Syar‘iyah).
Kedua kaidah fiqh dan dalil mashlahat di atas menjelaskan bahwa yang
menjadi standar adalah bagian yang lebih dominan, jika yang menjadi standar
adalah pendapatan halal, maka seluruh dana tersebut menjadi halal, dan begitu pula
sebaliknya, karena hukum mayoritas seperti hukum keseluruhan.
Ibn Nujaim al-Hanafi juga berpendapat bahwa jika dalam suatu negara,
dana halal bercampur dengan dana haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan
diambil, kecuali jika dalil yang menunjukkan bahwa dana tersebut haram.28
23 Qararat wa taushiyat majma al-Fiqh al-Islami at-tabi’li li munadzamati al-
Mu’tamar- al Islami. Hlm. 212. 24 Jala>l al-Di>n abd. al-Rahman al-Suyu>t}i, Al-Ashbah Wa Al-Naz}a>ir, (Beiru>t: Da>r
al-Kutub al-‘ilmi>ah, 1983), 105. 25Al-Musahamah fi asy-syarikat tata‘amalu bi al-fawa‘id al-ribawiyah, Abd as-
Sattar Abu Guddah, al-Haihah asy-syar‘iyah li al-barakah, Majmuatudallah al-barakah,
(Jeddah, 2003), 306. Lihat juga asy-Syarhu al-Kabir ma‘a dasuqi (3/15). 26 al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam Syarh
Majallati al-Ahkam, Ali Haidar, 1/183. 27al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/183.
102
Ungkapan serupa disampaikan oleh Imam Nawawi, bercampurnya dana
haram yang tidak terbatas dengan dana halal yang terbatas di suatu negeri, maka
tidak lantas menjadikan pembelian di negeri itu haram. Dibolehkan membeli
sesuatu yang tidak dapat dipastikan keharamannya hingga ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa sesuatu itu haram. Jika tanda-tanda seperti itu tidak ada,
sesuatu itu tidak haram tetapi meninggalkan perbuatan tersebut itu dicintai Allah
SWT, setiap kali dana haram tersebut banyak, maka harus disikapi dengan wara‘.29
Ibn Taimiyah mengungkapkan, adapun orang yang bertransaksi secara
ribawi, maka yang dominan adalah halal kecuali diketahui bahwa yang dominan
adalah makruh. Karena jika seseorang menjual 1000 seharga 1.200 maka yang
haram adalah marginnya saja. Jika pendapatannya terdiri dari dana halal dan haram
yang bercampur, maka bagian yang haram ini tidak mengharamkan bagian yang
halal, ia bisa mengambil bagian yang halal tersebut, sebagaimana jika dana miliki
dua orang syarik, dana syirkah telah bercampur dan menjadi milik kedua, maka
dana tersebut dibagi kepada dua syarik tersebut. begitu juga dana halal bercampur
dengan dana haram maka persentase dana haram dikeluarkan, maka sisanya adalah
dana halal.30
Ibn Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa dibolehkan melakukan transaksi
dengan seseorang yang hartanya merupakan percampuran antara yang halal dan
haram, namun harta halalnya harus lebih banyak. Jika mayoritas hartanya haram,
Imam Ahmad berpendapat untuk menjauhinya.
Menurut Adiwarman Karim dan Oni Sahroni bahwa pendapat yang kedua
ini lebih tepat untuk diterapkan, karena beberapa hal: Pertama, Umum al-balwa,
maksudnya dana halal yang bercampur tersebut menjadi sulit dihindarkan dalam
aktivitas bisnis dan/atau selain bisnis. Kedua, Raf‘ul haraj wa al-hajah al-ammah (meminimalisir kesulitan dan memenuhi hajat umum), di antaranya, lingkungan
dan pranata ekonomi masih belum islami; masyarakat yang belum paham ekonomi
syariah, industri konvensional yang mendominasi, sehingga transaksi dengan
konvensional menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Ketiga, Muro‘at qowa‘id al-katsrah wa al-ghalabah¸ standar hukum adalah bagian lebih dominan. Keempat, kaidah sebagian fuqaha tentang tafriq shafqah (memisah transaksi halal dari
transaksi yang haram).
Fatwa DSN-MUI juga banyak dilandasi kaidah tafri>q al-h}ala>l min al-hara>m (memisahkan yang halal dari yang haram) dan i‘a>dat al-nazar. tafri>q al-h}ala>l min al-hara>m memiliki prinsip apabila harta yang halal bercampur dengan yang haram
sedangkan bagian yang haram dapat diidentifikasi dan dipisahkan, maka harta yang
tersisa hukumnya halal. Hal ini disebabkan harta oleh fiqh dinyatakan haram
bukanlah benda haram karena zatnya tapi karena cara memperolehnya. i‘a>dat al-
28 Ibn Nujaim, Al-Asybah wa al-Nadzair, 345. 29Abi Zakariya al-Anshari, Al-Majmu´ Sharh al-Muhadzdzab, (al- Mathba‘ah al-
Muniriyah), 418. 30Ibn Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet.
I), 268.
103
nazar (telaah ulang) adalah melakukan kajian kembali terhadap alasan hukum
(‘illah) dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu persoalan. Hal ini dilakukan
karena alasan hukum yang dikemukakan oleh mereka dianggap tidak lagi cocok
dengan kondisi saat ini.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, walaupun ada peluang dan
kecenderungan membolehkan pendapatan halal yang bercampur dengan yang
haram asal tidak berlebihan, namun sebisa mungkin untuk menghindari
perdagangan sekuritas jenis ketiga ini. Sebagaimana yang terjadi pada regulasi
saham syariah di Indonesia, berdasarkan Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/20017
screening saham pada rasio keuangan yang membolehkan penghasilan riba asal
tidak lebih dari 10%. DSN-MUI beranggapan bahwa 10% adalah batas yang wajar
dan masih kecil jika dibandingkan dengan KLSI Malaysia yang sampai 20% untuk
pendapatan non-halal. Namun, harapannya 10% ini bukan berarti berlaku untuk
selamanya, suatu saat bisa turun jadi 5% ketika sudah banyak emiten yang
terdaftar pada saham syariah. Hal ini sebagaimana yang dipraktikkan sebagian
besar metodologi penyaringan syariah di seluruh dunia global menggunakan
ambang batas 5% sebagai persentase yang diperbolehkan, seperti oleh Dow Jones
Islamic World Index (DJIMI), Financial Times Stock Exchange Shariah Index
(FTSE), Standard and Poor's Shariah Index (S&P), Morgan Stanley Compliance
Islamic Index (MSCI), Thompson Reuters Ideal Ratings Islamic Indices dan
STOXX Europe Islamic Index adalah persentase yang diperbolehkan atas
pendapatan yang tidak sesuai dengan Syariah dari total pendapatan bisnis. Bahkan
tidak menutup kemungkinan 0%, artinya tidak ada satu persen pun dari pendapatan
perusahaan yang tidak sesuai dengan syariah.31
Poin yang ke-5 masih pada pasal dan ayat yang sama (Pasal 3 ayat 2),
menjelaskan perusahaan bertentangan dengan prinsip syariah bahwa transaksi
tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keungan ribawi lebih dominan
dari modalnya. Permasalahan ini sebenarnya sudah ditetapkan oleh Fatwa DSN
20/DSN-MUI/IV/2001 Pasal 10 poin b dengan secara tegas menetapkan persentase
di dalamnya. Di mana suatu emiten tidak layak diinvestasikan oleh Reksa Dana
Syariah apabila emiten memiliki nisbah utang terhadap modal lebih dari 82%
(utang 45%, modal 55 %).32
Adanya peluang dibolehkan rasio utang terhadap ekuitas kepada lembaga
keuangan ribawi dengan syarat tidak melebihi 45% penting untuk dikaji ulang.
Karena jika dibandingkan dengan indeks syariah di negara lain, misalnya KLSI,
DJIMI, S&P Shariah, dan ISRA Bloomberg menggunakan 33%, AAOIFI, STOXX
Europe Islamic Index dan Thompson Reuters Ideal Ratings Islamic Indic
menggunakan 30%, FTSE dan MSCI menggunakan 33,33% sebagai persentase
31A.M.A. Ayedh, et.al., “Challenging the Current Shariah Screening Methodology
Assessments in Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI)”, International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Science Vol.9 No. 4, (October 2019):
253-268. 32 Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001, tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi
Untuk Reksa Dana Syari'ah, Pasal 10 poin b.
104
yang diizinkan. 33 Hal ini tentunya jauh berbeda dengan ambang batas yang
diterapkan di Indonesia mencapai 45%.
Menurut Ayedh, dkk.34 perbedaan fatwa ulama terhadap besaran persentase
yang diperbolehkan karena berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Sa’ad ibn Abi> Waqqa>s berikut:
أو كبري -الث لث والث لث كثري Sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak atau besar.35
Hadith ini kurang tepat dijadikan dasar hukum dan di luar konteks. 36
Pertama, Hadith ini hadir dalam konteks wasiat, Rasulullah menganjurkan Sa’ad
untuk menyumbangkan hanya sepertiga dari kekayaannya dan menyimpan dua
pertiga untuk putrinya, bukan tentang pendapatan yang sesuai dengan syariah.37
Kedua, Hadith ini dengan jelas menyatakan sepertiga, yang artinya 33,33%.
Dengan demikian, dua jumlah lainnya yang digunakan oleh beberapa metodologi
penyaringan syariah utama yaitu 30% dan 33% tidak bisa dikatakan akurat jika
jumlahnya berdasarkan hadis ini. Ketiga, di mana sepertiga mengacu pada total
ekuitas yang dimiliki oleh Sa’ad ibn Abi> Waqqa>s (tidak termasuk hutangnya).38
Lalu bagaimana dengan fatwa DSN-MUI, apakah yang menjadi dasar
hukum sehingga membolehkan ambang batas utang berbasis bunga mencapai 45%.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Kanny Hidaya mengungkapkan
bahwa 45% tersebut masih di bawah 50% sementara aset mencapai 55 %, sehingga
masih pada ambang batas yang wajar. Hal ini dinisbatkan kepada pendapat Imam
al-Ghazali yang mengatakan bahwa dalam sebuah bisnis atau usaha modal harus
lebih besar dari utang.39 Ke depan kita berharap apabila sudah banyak investor
33A. M. A Ayedh, Shaharuddin, A., & Kamaruddin, M. I. H. “Shariah Screening
Methodology: Does It ‘Really’Shariah Compliance?”, IQTISHADIA, 12, (2), (2019): 144-
172. 34A.M.A. Ayedh, et.al., “Challenging the Current Shariah Screening Methodology
Assessments in Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI)”, International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Science Vol.9 No. 4, (October 2019):
253-268. 35S}ah}i>h} al-Bukhari, Hadits No. 5659.
36 Saeed bin Mahfooz and Ahmed Habib, “Shariah Investment Screening Criteria: A
Critical Review”, Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics, 27 (1), (2014):
3-36. 37 Mohammed Obaidullah, “Islamic Financial Services”, Islamic Economics
Research Center, Jeddah: King Abdulaziz University, (2005). 38 R. Yildirim, & Ilhan, B., “Shari'ah Screening Methodology - New Shari'ah
Compliant Approach”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 14, (1), (2018):
168-191. 39Yoyok Prasetyo, “Rasio Keuangan Sebagai Kriteria Saham Syariah”, Jurnal
Ekubis, Vol. 1, No. 1 (Februari 2017): 161-171.
105
menanam sahamnya pada saham syariah maka ambang batas tersebut bisa
dikurangi, ungkapnya. 40
Di samping itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah tidak hanya
terjadi pada tataran praktik, tetapi juga pada tataran teori. Salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah teori bagaimana dengan nilai perusahaan yang memiliki
utang. Menurut teori konvensional, utang merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan nilai perusahaan. Teori ini di antaranya dikemukakan oleh
Modigliani & Miller dan Trade off Theory. Mereka menyatakan bahwa semakin
besar utang suatu perusahaan, maka semakin besar nilai perusahaan karena nilai
perusahaan adalah total saham ditambah utang.41
Teori ini ditolak oleh Steward C Meyrs seorang Profesor Ekonomi
Keuangan di MIT Sloan School of Management (1984) mengatakan bahwa
pertumbuhan nilai perusahaan mengikuti kaidah yaitu semakin rendah utang maka
akan semakin tinggi nilai perusahaan.42 Teori ini lebih dikenal dengan pecking
order theory.43
Lalu bagaimana kecenderungan teori ekonomi syariah, apakah lebih
cenderung kepada teori Modigliani & Miller atau sebaliknya lebih kepada teori
Pecking Order, khususnya kebijakan screening saham di Indonesia terhadap rasio
keuangan yang menetapkan rasio utang berbasis bunga maksimum 45% dari total
aset.
Teori yang pertama tentunya bertolak belakang dan tidak sejalan dengan
Islam, memang Islam mengajarkan bahwa peningkatan nilai perusahaan adalah
keuntungan. Namun, hukumnya menjadi haram bila peningkatan nilai itu
merugikan pihak lain. Karenanya, teori yang mengakui utang sebagai harta (aset)
perusahaan dianggap bertentangan dengan syariah. Pengakuan utang sebagai aset
termasuk dalam kategori memiliki harta dengan cara batil yang dilarang dalam
Islam.
Hal ini karena setiap pinjaman berdampak pada pembayaran bunga.
Adakalanya perusahaan mengalami keuntungan namun tidak menutup
kemungkinan mengalami kerugian hanya karena beban pinjaman. Salah satu
tindakan penyelamatan adalah mengurangi jumlah utang, diganti dengan modal
atau ekuitas. Ini berarti perusahaan akan menjual sekuritas baru untuk membayar
40Kanny Hidaya, Pengurus Pleno DSN-MUI, Wawancara, 08 Februari 2017. 41Franco Modigliari and Merton H. Miller, “Corporate Income Taxes and the Cost
of Capital A Correction,” The American Economic Review Vol. 53, No. 3 (Jun 1963), 433-
443. http://www.jstor.orf/stable/1809167, (artikel diakses 22 November 2018). 42Steward C Meyrs And Majluf Nicholas S, “Corporate Financing and Investment
Decisions When Firms Have Information that Investors Do Not Have,“ Journal of Financial Economics 13 (1984): 187-221.
43Terhadap perdebatan dua teori ini dibahas dengan lengkap oleh Kuncoro dalam
disertasinya. Kuncoro Hadi, “Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap Pertumbuhan
Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah)” (Disertasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
106
utang dan tindakan ini akan merubah komposisi modal menjadi bertambah dan
pinjaman menjadi kecil.
Penting untuk diketahui bahwa konsep utang dalam Islam terbagi menjadi
dua macam, yaitu utang melalui pinjaman (al-Qard}) 44 dan utang melalui
pembiayaan (al-Dayn). 45 Utang melalui pinjaman berbeda dengan utang
pembiayaan. Hal ini karena utang pinjaman muncul disebabkan pemberi pinjaman
(kreditor) memberikan pinjaman kepada debitor (muqtarid}), baik berupa barang
ataupun uang. Pinjaman ini akan dibayar kembali dengan jenis dan jumlah yang
sama pada waktu yang telah disepakati dan tidak boleh ada imbalan, hadiah atau
penambahan di dalamnya.46 Lain halnya penambahan tersebut tidak disyaratkan di
awal pinjaman, hanya sebatas berbuat baik maka hal ini dibelolehkan. Akad ini
dibolehkan karena bersifat tabarru‘ dalam upaya menghilangkan kesulitan dan
berusaha membantu memenuhi keperluan seseorang.47
Berbeda halnya dengan utang yang timbul sebagai akibat dari kontrak
pembiayaan jual beli, seperti utang yang timbul karena adanya transaksi
perdagangan, karena utang dalam bentuk ini mengindikasikan adanya pemindahan
hak milik kepada orang lain dan terjadi penundaan tangungjawab yang
menyebabkan pertukaran nilai. Beberapa kontrak dimaksud adalah bay‘ bithaman ‘ajil, bay‘ al-mura>bah}ah, ija>rah, bay‘ al-sala>m, al-istisna’ yang mana semua jenis
perdagangan ini berbentuk utang, dimana penyerahan barangnya dilakukan saat
sekarang, sedangkan pembayarannya dilakukan secara berutang pada masa yang
akan datang.
سم فٱكتبوه جل مين ءامنوا إذا تداينتم بدين إل أ ها ٱلذ ي
أ ي
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. (QS. al-Baqarah [2]: 282.
Ayat 282 tesebut menjelaskan arti pentingnya dokumen yang akurat dalam
transaksi perdagangan yang dilakukan secara berutang, karena penyerahan atau
pembayaran dilakukan pada masa yang akan datang. Transaksi seperti ini mesti
dijelaskan secara terperinci waktu penyerahannya, maupun waktu pembayarannya,
44 Qard} artinya memotong. Karena orang yang meminjam memotong hartanya
untuk diberikan pada peminjam. Menurut istilah qard} menyerahkan harta kepada orang lain
untuk digunakan dan akan dikembalikan pada masa yang telah disepakati. Al-Jazirim,
Kitab al-Fiqh ‘ala> mad}a>hib al-Arba‘ah (Qaherah: Maktabah Tija>rah Kubra>, 1969), 339. 45Utang berupa pembiayan lebih dikenal dengan istilah al-Dayn. Dalam Majallah
al-Ahkam dijelaskan al-dayn adalah sesuatu yang t}abit pada tanggungan, seperti jumlah
uang dirham yang berada pada tanggungan seseorang. Lihat Al-Majalla al-Ahkam al-‘Adli>yah, 1968, Ed. Ke-5: 33.
46Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh. 47 QS. Al-Baqarah [2]: 245.
107
serta hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan kontrak, dan
menuliskan jumlah utangnya.
Kata dayn dan tada>yantum merupakan kunci utama dalam traksaksi. Utang
dalam konteks ini dimaksud terhadap penundaan tanggung jawab yang muncul dari
kontrak yang melibatkan pertukaran nilai. Karena itu, tanggungjawab yang muncul
dari penundaan ini merujuk kepada utang. Hal ini berbeda dengan tanggungjawab
yang muncul dari pinjaman secara langsung atau qard}, yang mana ia juga
merupakan penundaan tanggungjawab, tetapi kontrak ini bukan muncul dari
pertukaran nilai.
Di samping itu, kata tada>yantum menunjukkan pada fenomena sosial yang
selalu berulang, di mana ia digunakan untuk mendorong sifat timbal balik dan
pertukaran barang serta penjelasan terhadap dasar tanggungjawab yang tertunda.
Kenyataannya kata tada>yantum dalam teks tersebut diikuti oleh bi dayn
(kewajiban pada yang akan datang) mengimplikasikan suatu penekanan yang
menegaskan teks yang sebelumnya dan membuktikan tema dari perbincangan ini
adalah al-dayn (utang).
Terhadap utang perusahaan pada saham syariah tentunya lebih tepat
disebut utang yang berbentuk pinjaman qard}, karena tidak terjadi transaksi
perdagangan di dalamnya. Sebagai konsekuensinya, tidak boleh mengambil
keuntungan dari sesuatu yang diutangkan. Namun permasalahannya, siapa yang
mau memberikan pinjaman tanpa ada margin keuntungan di dalamnya. Apalagi
adanya kebolehan utang yang diperoleh dari lembaga kuangan ribawi yang sudah
jelas berorientasi kepada profit dan komersil. Sementara para ulama telah ijma’
tentang diharamkannya mengambil bunga sebagai uang pengganti pinjaman, baik
bunga itu dalam bentuk tambahan jumlah atau kriteria (kualitas) mereka sepakat
bahwa itu adalah riba yang diharamkan.48
Selanjutnya, pada Bab V pasal 5 menjelaskan transaksi yang dilarang. Ayat
1 menjelaskan pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian
serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manupulasi yang di dalamnya
mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat, dan kezhaliman.
Kegiatan tersebut lalu dijelaskan pada ayat berikutnya, meliputi: 1) Najsy, yaitu
melakukan penawaran palsu; 2) Bai al-Ma’du>m yaitu melakukan penjualan atas
barang yang belum dimiliki (short selling); 3) Insider trading, yaitu memakai
informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atau transaksi yang dilarang;
4) Menimbulkan informasi yang menyesatkan; 5) Margin Trading, yaitu melakukan
transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atau
kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut; dan 6) Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek
Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan
48Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam terj.
(Jakarta: Darul Haq, 2008), 259.
108
mempengaruhi pihak lain; 7) dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-
unsur di atas.49
Bagian ini menurut penulis juga ada kesamaan dengan fatwa sebelumnya,
pada Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi
untuk Reksa Dana Syariah. Bab IV Pasal 9, yang menjelaskan tentang Prinsip
pelaksanaan investasi adalah kehati-hatian (prudential management/ihtiyath) serta
tidak boleh melakukan spekulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar. Tindakan ini dijelaskan pada ayat berikutnya, terdiri dari: 1) Najsy, yaitu
melakukan penawaran palsu; 2) Bai al-Ma’dum yaitu melakukan penjualan atas
barang yang belum dimiliki (short selling); 3) Insider trading yaitu
menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang
dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang; 4) Melakukan
investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utangnya lebih
dominan dari modalnya.50
Kalau dilihat isi kedua fatwa yang telah dijelaskan di atas, banyak terjadi
kesamaan, terutama dalam hal persyaratan emiten biar bisa dikatakan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Kedua fatwa ini dikeluarkan dengan
fase yang berbeda, yakni fase ketiga dan keempat.
Terlepas dari persoalan kenapa terjadi adanya kesamaan terhadap dua
fatwa ini, bahkan dengan tahun yang berbeda ketika ditetapkan, yang terpenting
dari semua itu adalah peneliti ingin menjelaskan bahwa bagaimana ke dua fatwa ini
mampu menjadi standarisasi screening saham syariah di Indonesia.
Dalam ke dua fatwa tersebut menjelaskan tidak boleh melakukan spekulasi
yang di dalamnya mengandung unsur gharar. Gharar di maksud terbagi menjadi
tiga macam, yaitu: 1) gharar al-kathi>r¸ yaitu gharar yang jumlah atau kuantitasnya
banyak, hukumnya dilarang karena merusak transaksi. Hal ini didasarkan kepada
ijma’. Seperti menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di
udara; 2) gharar al-ya>sir, yaitu gharar yang jumlah atau kuantitasnya sedikit,
hukumnya dibolehkan menurut ijma’. Seperti transaksi membeli rumah tetapi
fondasi rumahnya tidak dapat dilihat; 3) gharar al-mutawassit} yaitu gharar yang
jumlah dan kuantitasnya pertengahan, hukumnya masih diperbincangkan, namun
ukuran untuk mengetahui banyak atau sedikitnya dikembalikan kepada kebiasaan.
51
Ibn Rusyd menjelaskan bahwa gharar al-kathi>r pada mulanya terdapat pada
kecurangan dan pengurangan informasi tentang sifat dan barang yang
diperjualbelikan, keraguan akan adanya, keraguan dalam kuantitasnya, informasi
tentang harga yang tidak wajar dalam bentuk pembayaran. Gharar juga berkaitan
dengan masa pembayaran dan penyerahan barang berdasarkan waktu yang telah
disepakati. Lebih jauh Ibnu Rusyd menambahkan bahwa jenis yang pasti dari
49Fatwa DSN Nomor 40/DSN-MUI/X/2003, pasal 5. 50Fatwa DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, pasal 9. 51Mohammad Hashim Kamali, Islamic Commercial Law, an Analysis of Future
and Options, (Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, 2002), 78.
109
perdagangan yang termasuk gharar kathir adalah dilarang berdasarkan hadits.52
Yusuf Qardawi mengungkapkan apabila kualitas gharar tersebut sedikit, maka jual
beli menjadi tidak haram, karena sudah difahami melalui‘urf.53
Sementara itu ulama kontemporer seperti al-Zarqa‘ meyimpulkan gharar mengikut konteks tersendiri, yaitu tipu daya melalui perkataan ataupun perbuatan
dalam rangka menarik minat seseorang untuk melakukan suatu kontrak. Ia bagi
menjadi dua macam, yaitu gharar qauli dan gharar fi‘li.54
Ada beberapa unsur suatu perbuatan tersebut tergolong kepada gharar, yaitu; 1) Barang yang diperdagangkan belum ada; 2)Penjual tidak dapat
menyerahkan barang; 3) Penjualan barang dilakukan dengan cara melakukan
transaksi; 4) Kontraknya tidak jelas sehingga dapat menggiring pembeli kepada
suatu praktik penipuan.55
Ulama klasik membedakan antara gharar yang membatalkan akad dan
gharar yang dimaafkan. Berkaitan dengan ini mayoritas fuqaha meletakkan tiga
syarat bagi suatu gharar yang dimaafkan, yaitu 1) gharar tersebut kecil; 2) barang
yang diperdagangkan tersebut diperlukan oleh masyarakat; 3) gharar tidak mampu
dielakkan melainkan dengan mashaqqah yang dilegitimasi oleh syara‘.
Meskipun demikian, pada praktiknya di lapangan agak sulit memberikan
batasan tindakan gharar karena besar atau kecil perbuatan gharar tersebut memiliki
tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan pengembalian lebih terhadap apa yang
dikorbankan atau dikeluarkan. Sementara DSN tidak menjelaskan dalam fatwanya
batasan gharar dimaksud. Apakah larangan praktek gharar dimaksud adalah gharar secara umum atau ada pengecualian bagi gharar al-yasi>r atau gharar al-mustawassit} sehingga masih dimaafkan dalam proses screening saham syariah.
Fatwa DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 Pasal 11 menjelaskan bahwa
ada tiga penghasilan investasi yang diperoleh dari saham berupa dividen, rights, dan capital gain. Dividen merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan
dari laba bersih setelah dipotong pajak (net income afer tax) atau laba ditahan
(retained earning) yang dihasilkan emiten. Selain berbentuk tunai, deviden
seringkali dibagikan dalam bentuk saham dan biasanya dividen ini dibagikan
setelah adanya persetujuan pemegang saham dengan pemilik perusahaan. 56
52Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid, Juz 2, hlm. 148-149. 53Yu>suf al-Qard}a>wi, al-Halal wa al-Hara>m fi> al-Isla>m (al-Maktaba al-Isla>mi> li al-
Tiba‘ah wa al-Nashr, 1967), 209. 54Must}afa al-Zarqa‘, al-Madkhal al-Fiqh al-‘am, Juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 379-
380. 55Al-Sanhuri>, Masa>dir al-Haq fi al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz 3 (Qaherah: Da>r Ihya> al-
Turath al-‘Arabi, 1967), 13. 56 Penyebab deviden sering dibagikan dalam bentuk saham adalah karena
perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan atau memerlukan biaya untuk
pengembangan. Oleh karena itu laba bersih setelah pajak sangat diperlukan oleh semua
pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, karena hal ini akan menunjukkan dana yang
masih tersedia, apakah itu untuk membayar deviden bagi para pemegang saham, atau
110
Biasanya dilakukan setahun sekali. Agar para investor berhak atas dividen,
pemodal tersebut harus memegang saham tersebut untuk kurun waktu tertentu
hingga kepemilikan saham tersebut diakui sebagai pemegang saham yang sah dan
berhak atas dividen.57
Rights yang merupakan hak yang diberikan emiten kepada investor untuk
memesan efek lebih dahulu. Sedangkan capital gain merupakan keuntungan yang
diperoleh dari jual-beli saham di pasar modal yang diperoleh dari selisih antara
harga beli dan harga jual. 58 Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas
perdagangan di pasar sekunder. Umumnya investor jangka pendek mengharapkan
keuntungan dari capital gain. Saham memungkinkan pemodal mendapatkan
keuntungan dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang singkat. Namun,
seiring dengan berfluktuasinya harga saham, maka saham juga dapat membuat
investor mengalami kerugian besar dalam waktu singkat. Dengan demikian, saham
memiliki karakteristik The high risk the high return. Hal ini sejalan dengan
pendapat Speidel yang menyatakan bahwa semakin tinggi resiko suatu portofolio
yang ditanggung, maka semakin tinggi return yang akan diharapkan dalam jangka
panjang.59
Untuk itu, keuntungan yang diperoleh para investor tidak saja melalui
pembagian deviden dan rights, tetapi diperoleh dari selisih harga jual dan harga
beli. Seorang investor hanya berpedoman pada simbol dan pergerakan harga saham
apakah ia berkeinginan untuk buy atau sell.
Terjadinya ketidak stabilan harga saham pada bursa efek karena
dipengaruhi oleh keadaan pasar yang berubah-ubah (fluktuatif). Apabila pasar
bergairah (bullish), maka hampir semua harga saham di bursa efek mengalami
kenaikan. Sebaliknya, apabila pasar lesu (bearish), harga saham akan ikut
mengalami penurunan. Perubahan psikologi pasar dapat menyebabkan harga surat
berharga anjlok terlepas dari adanya perubahan fundamental atas kemampuan
perolehan laba perusahaan.60
Lebih jauh Jones dalam Tandelilin mendefinisikan pasar bullish sebagai
suatu kecenderungan pergerakan naik (upward trend) yang terjadi di pasar modal.
Hal ini ditandai dengan kecenderungan peningkatan harga-harga saham (indeks
ditahan dalam rangka pengembangan atau mempertahankan usaha di masa datang. Lihat
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 109-111. 57Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Hukum Pasar Modal di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), 19. 58 Sebalik dari capital gain adalah Capital loss, yaitu kerugian akibat harga beli
saham lebih tinggi dibanding harga saham ketika dijual. 59 Ari Noviastuty, “Evaluasi Kinerja Portofolio Antara Saham Syariah dengan
saham konvensional di Bursa Efek Indonesia”, Performance Vol. 14 No. 2 (September,
2011): 2. 60Gatot Supramono, Transaksi Bisnis Saham & Penyelesaian Sengketa Melalui
Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2014), 34.
111
pasar) yang mampu menembus nilai di atas harga (indeks pasar) sebelumnya,
ataupun kalau ada penurunan harga tidak sampai melewati batas harga (indeks)
terbawah yang terjadi sebelumnya. Sedangkan istilah pasar bearish diartikan
sebaliknya, yaitu kecenderungan pergerakan turun (downward trend) yang terjadi
di pasar modal. Indikasinya adalah jika harga (indeks) baru gagal menembus batas
tertinggi harga sebelumnya, atau jika penurunan harga (indeks) yang terjadi
mampu menembus batas bawah harga (indeks) yang terjadi sebelumnya.61
Menyikapi adanya capital gain yang bisa saja menjadi tujuan utama
investor untuk melakukan investasi perdagangan saham di lantai bursa, tentunya
perlu disikapi lebih arif. Karena yang terjadi niatan investor untuk melakukan
investasi bukan lagi untuk membantu emiten dalam mengembangkan usahanya
dengan memberikan suntikan modal, akan tetapi hanya mengharapkan keuntungan
dalam jumlah besar dengan menjual dan membeli saham dalam waktu singkat.
Dalam Islam apakah ini tidak termasuk bahagian dari spekulasi, yang jelas-jelas
dilarang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Demikian beberapa analisis penulis terhadap fatwa-fatwa DSN-MUI
terkait permasalahan screening saham syariah. Agar bisa berjalan dengan baik
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka harus ada ‘etika’ pada setiap aktivitas
ekonomi. Jika diperhatikan bahwa etika ekonomi Islam dalam fatwa DSN lebih
dominan pada aspek normatif, yaitu lebih banyak ditemukan pada bagian
pertimbangan dan dasar hukum fatwa, sementara pada bagian putusan fatwa, etika
ekonomi tidak sebanyak yang ditemukan pada konsiderannya. Hal ini menunjukkan
bahwa normativitas etika berasal dari sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, hadits,
dan kaidah fiqh. Namun, etika objek akad lebih banyak ditemukan pada bagian
putusan daripada konsiderannya.
Etika ekonomi tersebut mencukupi untuk mendukung aspek terpenuhinya
ketentuan syariah terutama untuk menghindari larangan riba. Namun begitu,
karena etika tersebut dominan pada ranah konsideran hukum, penerapan kepatuhan
syariah menuntut komitmen pihak-pihak yang melakukan kontrak.
B. OJK dalam Menetapkan Peraturan Standar Screening Saham Syariah
OJK memiliki peranan khusus terhadap pasar modal syariah, di antaranya
memperkuat dasar hukum, mengupayakan insentif untuk produk syariah,
memperluas peran pelaku pasar modal syariah, dan memperkuat landasan hukum
pada transaksi di dalam pasar modal syariah.62
Ke empat peran di atas sangat erat dengan keterlibatan OJK terhadap
screening saham syariah terutama upaya memperkuat dasar hukum, sebagaimana
telah diatur dalam nota kesepahaman Bapepam LK dengan Fatwa DSN MUI.
Karenanya, jika dihubungkan dengan fatwa yang keluarkan oleh DSN-MUI yang
61Jones, Charles P, 2000, Investment Analysis and Management, Tenth Edition,
(New York: John Wiley & Sons, Inc. Tandelilin, Eduardus, 2001), 261. Analisis Investasi
dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta), 2001. 62https://www.kompasiana.com (diakses 12 Februari 2018).
112
mana tidak serta merta fatwa tersebut bisa diterapkan dalam Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) yang ada di Indonesia. Fatwa tersebut perlu diimplementasikan
dalam hukum positif, baik dalam bentuk UU, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan
Menteri Keuangan, dan Peraturan OJK. Terjadinya proses perubahan fatwa
tersebut disebut taqni>n.63
Proses taqni>n salah satunya Fatwa DSN-MUI yang diadopsi ke dalam
peraturan Bapepam-LK. Misalnya Fatwa DSN-MUI Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003
tentang emiten yang menerbitkan Efek Syariah diadopsi oleh Keputusan Ketua
Bapepam-LK Nomor: KEP.-181/BL/2009 tentang penerbitan efek syariah.
Selanjutnya Fatwa DSN 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang pedoman pelaksanaan
investasi untuk Reksa Dana Syariah diadopsi oleh Peraturan Ketua Bapepam-LK
Nomor: KEP-314/BL/2007 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah
yang dimuat dalam Peraturan II.K1.64 Dengan demikian, banyak Peraturan OJK
yang secara substansi merupakan akomodasi dari Fatwa DSN-MUI.
1. Screening Rasio Utang Berbasis Bunga Terhadap Total Aset
Secara umum Fatwa DSN-MUI dan Peraturan OJK memiliki kesamaan,
maka disebut dengan nota kesepahaman. Namun, jika diperhatikan secara detail,
bahwa ada perbedaan yang mendasar antara keduanya, di antaranya pada kriteria
rasio keuangan (kuantitatif) dalam menetapkan rasio total utang yang berbasis
bunga. Awalnya berdasarkan nota kesepahaman Fatwa DSN No: 20/DSN-
MUI/IV/2001 dan Peraturan Bapepam-LK Nomor: KEP-314/BL/2007 bahwa total
hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total ekuitas tidak lebih dari
45%:55%. Namun pada tahun 2012 Bapepam-LK merubah kebijakan tersebut
tanpa ada nota kesepahaman dengan DSN-MUI, yaitu melalui penerbitan
Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP-208/BL/2012 merubah pembanding
63Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa upaya taqni>n dalam bidang ekonomi Syariah
sudah mulai dilakukan sejak awal 1990, di mana saat itu MUI mengadakan lokakarya yang
salah satu hasilnya adalah membentuk Tim Perbankan MUI guna merintis pendirian bank
tanpa bunga di Indonesia. Upaya ini mendapat respon dari pemerintah dengan memuat
aturan yang mengakomodasi operasional perbankan operasional perbankan dengan system
bagi hasil dalam UU nomor 7 tahun 1992. Selanjutnya UU ini diubah dengan UU nomor 10
tahun 1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang secara
eksplisit adanya dual banking system. 64Hasanuddin mencatat ada banyak peraturan lembaga negara yang bersumber dari
fatwa DSN, antara lain: 1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah; 2) Peraturan Ketua
Bapepam LK Nomor 04/BI/2007 tentang Akad-akad yang digunakan dalam kegiatan
perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; 3) Peraturan Ketua Bapepam LK
Nomor: Per-03/BI/2007 tentang Kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah. Hasanuddin, Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia,” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008),
119-120.
113
-
5.000
10.000
15.000
20.000
2013 2014 2015 2016 2017
Rasio Keuangan
Utang Bunga Aset
total ekuitas (modal) menjadi total asset yang terus berlanjut sampai sekarang
dengan Peraturan POJK Nomor 35/POJK.04/2017.65
Grafik 4.1
Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Aset
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis
Grafik 4.1 sebagai standar rasio keuangan menunjukkan sebagai data
pembanding antara utang berbasis bunga dan total aset dalam lima tahun pada
DES. Data tersebut nampak jelas bahwa pada tahun 2013 dan 2014 utang bunga
terhadap total aset terdapat perbedaan signifikan berada antara angka 6000 dan
14.000, namun tahun 2015 dan 2016 total utang bunga menurun pada angka 5000
terakhir tahun 2017 kembali naik pada angka 6000, sementara total aset
mengalami kenaikan dari angka 16.000 pada tahun 2016 jadi 18.000 pada tahun
2017. Berdasarkan data tersebut, walaupun ada perbedaan yang signifikan total
utang berbasis bunga terhadap aset namun jika dipersentasekan secara rata-rata
masih ambang batas yang cukup tinggi jika berpedoman pada standar screening saham yang ditetapkan oleh DSN-MUI dan OJK. Hal ini sebagaimana dijelaskan
pada grafik di bawah ini.
65Dalam melakukan analisis keuangan perusahaan, ada alat ukuran yang sangat
penting untuk diperhatikan oleh investor, yaitu ukuran solvabilitas. Solvabilitas dapat
dibagi menjadi tiga macam: (1) Debt to Asset Ratio (DAR), merupakan rasio yang
digunakan untuk membandingkan besarnya aktiva perusahaan dengan jumlah hutang secara
total. (2) Debt to Equity Ratio (DER), merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui
perbandingan yang menunjukkan total utang dengan ekuaitas (modal bersih) yang dimiliki
perusahaan setelah membayarkan semua kewajibannya. (3) Tangible Assets Debt Coverage, merupakan rasio solvabilitas yang dapat digunakan untuk mengatahui
perbandingan antara hutang jangka panjang yang ditanggung oleh perusahaan dengan
aktiva tetap terwujud. Accounting, “Memahami Rasio Solvabilitas untuk Pengembangan
Perusahaan”, https://www.harmony.co.id/blog/memahami-rasio-solvabilitas-untuk-
pengembangan perusahaan diakses pada 22 Oktober 2020).
114
46 44 38
35 37
-
10
20
30
40
50
2013 2014 2015 2016 2017
Persentase
Grafik 4.2
Persentase rata-rata total utang bunga terhadap aset
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis
Berdasarkan grafik 4.2 di atas menunjukkan bahwa persentase rata-rata
total utang yang berbasis bunga setiap tahun terus berkurang, dari 46% tahun 2013
terus menurun ke 37% pada tahun 2017. Ini artinya secara rata-rata dari seluruh
perusahaan yang berjumlah 139 perusahaan mulai tahun 2014 hingga tahun 2017
telah memenuhi salah satu syarat sebagai saham syariah karena rasio utang hanya
45%. Namun jika di lihat rasio keuangan per perusahaan selama lima tahun bahwa
terdapat berjumlah 60 perusahaan total utangnya melebihi 45%, sisanya 79
perusahaan memenuhi kriteria screening bahkan ada sebagian perusahaan total
utangnya di bawah 10% berjumlah 4 perusahaan.
Keadaan ini berbeda ketika sebelum terjadinya perubahan peraturan.
Perubahan standar kriteria ini menyebabkan adanya kelonggaran dalam rasio
keuangan saham syariah di Indonesia. Kelonggaran perubahan peraturan ini
terletak pada emiten yang mempunyai modal negatif (negatif equity) yang pada
keputusan sebelumnya tidak dapat masuk DES karena rasionya negatif, sehingga
jika modalnya negatif berarti rasio utang berbasis bunga terhadap total modal juga
negatif. Dengan peraturan yang baru di mana pembandingnya adalah total asset,
maka emiten-emiten yang mempunyai modal negatif pun masih ada peluang untuk
masuk, karena walaupun modalnya negatif tetapi assetnya bisa saja positif.
Keadaan ini sebagaimana di jelaskan pada grafik berikut.
115
-
5.000
10.000
15.000
20.000
2013 2014 2015 2016 2017
Rasio Keuangan
Utang Bunga Ekuitas
85 80
61 50 47
-
20
40
60
80
100
2013 2014 2015 2016 2017
Persentase
Grafik 4.3
Rasio Keuangan Utang Bunga terhadap Total Ekuitas
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis
Grafik 4.3 sebagai rasio keuangan menunjukkan data pembanding antara
total utang berbasis bunga dan total modal (ekuitas) tiap tahun pada DES. Data
tersebut nampak jelas bahwa dari tahun 2013 sampai 2015 total hutang berbasis
bunga dan ekuitas tidak jauh berbeda, yaitu berada antara angka 6000 sampai 9000.
Baru kemudian tahun 2016 dan 2017 terjadi peningkatan dan perbedaan jumlah
signifikan, berbanding 5000 total utang dan 14000 total ekuitas. Ini membuktikan
bahwa rata-rata modal perusahaan kebanyakan diperoleh dari utang perusahaan.
Grafik 4.4
Persentase rata-rata utang bunga terhadap ekuitas
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis
Grafik 4.4 menunjukkan persentase rata-rata total utang berbasis bunga
terhadap ekuitas dari seluruh perusahaan yang diteliti dari tahun 2013-2017
menunjukkan bahwa ada penurunan persentase dari 85% tahun 2013 turun menjadi
47% tahun 2017. Namun walaupun ada penurunan persentase yang cukup
116
signifikan tentunya tidak banyak yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah,
dari 139 DES hanya 40 perusahaan yang memenuhi syarat, sementara sisanya yang
99 tidak memenuhi persyaratan, karena rasio keuangan masih jauh di atas 45%,
sementara DSN-MUI dan OJK sendiri menetapkan 45% sebagai standar maksimal
total utang yang berbasis bunga. Dengan demikian, jika ambang batas ini masih di
berlakukan untuk mengukur rasio keuangan dalam screening saham syariah maka
tentunya banyak perusahaan tidak memenuhi syarat, karena rata-rata rasio utang
melebihi dari 45% yang pada akhirnya membuat proses penyaringan saham syariah
bisa lebih ketat.
Kelonggaran ini menurut Prasetyo bisa jadi disebabkan masukan dari para
pelaku pasar yang menghendaki saham yang berkapitalisasi besar namun bermodal
negatif karena terjangan krisis bisa masuk kembali menjadi saham Syariah. 66
Kelonggaran rasio utang berbasis bunga ini juga bisa terlihat dari jumlah saham
syariah yang masuk ke dalam DES sebelum dan sesudah peraturan ini mengalami
perubahan. Pada tahun 2011 ketika masih menggunakan acuan Peraturan
Bapepam-LK Nomor: KEP-314/BL/2007 ada sebanyak 253 saham syariah per
november 2011, sementara sejak ditetapkan Peraturan Bapepam-LK Nomor: KEP-
208/BL/2012 terdapat 321 saham Syariah per november 2012, yang mana
mengalami kenaikan jumlah sebanyak 68 saham Syariah.
Grafik 4.5
Perkembangan Saham Syariah
Sumber: OJK
Terjadinya perubahan ini walaupun secara akuntansi sama tetapi pada
aplikasinya memberikan pengaruh yang berbeda yaitu masuknya emiten yang
bermodal negatif seperti yang telah disebutkan di atas. Emiten yang bermodal
66 Yoyok Prasetyo, “Rasio Keuangan Sebagai Kriteria Saham Syariah”, Jurnal
Ekubis, Vol. 1, No. 1 (Februari 2017): 161-171.
117
negatif pasti akan mempunyai utang yang besar. Hal ini menurut pengertian bahwa
modal (equitas) merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yang merupakan
selisih antara aktiva (asset) dan kewajiban (utang) yang ada. Jika suatu emiten
modalnya negatif maka konsekuensinya utangnya akan menjadi besar. Hal ini
karena penjumlahan modal dan utang yang berupa asset bernilai positif.
Padahal kalau peraturan OJK konsisten terhadap nota kesapahaman dengan
fatwa DSN-MUI bahwa modal harus lebih besar dari utang, maka secara otomatis
emiten yang modalnya negatif tidak akan pernah masuk DES. Modal negatif
emiten adalah disebabkan oleh kerugian emiten dalam beberapa tahun berjalan,
sehingga kerugian ini menggerogoti modal emiten. Hal ini tentunya menjadi
indikasi awal bahwa emiten tersebut kurang baik kinerjanya.
Untuk itu, sebaiknya OJK mengembalikan lagi kriteria rasio utang berbasis
bunga terhadap modal bukan terhadap asset yaitu dikembalikan seperti pada
Peraturan Bapepam-LK Nomor: KEP-314/BL/2007. Bahkan jika perlu mengambil
filosofi bahwa modal harus lebih dominan terhadap hutang secara umum baik
ribawi maupun non ribawi, maka rasio yang paling tepat adalah Debt to Equity Ratio (DER) sebagai salah satu kriteria saham syariah.
2. Screening Rasio Pendapatan Bunga terhadap Total Pendapatan
Screening rasio finansial yang kedua adalah pendapatan bunga dan non
halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan (revenue) bahwa tidak lebih
dari 10%. Terhadap rasio ini tidak terdapat dalam Fatwa DSN-MUI sebelumnya,
sehingga dapat dipahami bahwa kebijakan tersebut murni berdasarkan keputusan
Bapepam LK sendiri tanpa diadopsi atau ada akta kesepahaman dengan Fatwa
DSN. Belakangan diketahui berdasarkan pengakuan dari OJK bahwa ada surat
persetujuan rapat DSN-MUI Nomor: B-370/DSNMUI/ X/2011 tanggal 20 Oktober
2011 perihal Penjelasan DSN-MUI atas penggunaan Total Asset sebagai Pengganti
Total Ekuitas dalam Kriteria Rasio Keuangan Saham Syariah. Hal ini dilakukan
karena jika harus menunggu fatwa akan memerlukan waktu dan prosedur yang
lama. Oleh karenanya, tidak mengapa landasannya adalah surat persetujuan bukan
dalam bentuk fatwa, dan hal ini dikemukakan oleh wakil sekretaris BPH DSN-
MUI. Alasannya karena produk hukum dari DSN-MUI bisa dalam bentuk fatwa
dan surat persetujuan.67 Keadaan ini sebagaimana di jelaskan pada grafik berikut.
67Yoyok Prasetyo, “Rasio Keuangan Sebagai Kriteria Saham Syariah”, Jurnal
Ekubis, Vol. 1, No. 1 (Februari 2017): 161-171.
118
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
2013 2014 2015 2016 2017
Rasio Keuangan
Pendapatan Bunga Total Pendapatan
1,79
2,50
1,86 1,56
2,30
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
2013 2014 2015 2016 2017
Persentase
Grafik 4.6
Rasio Keuangan pendapatan bunga dan total pendapatan
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis
Grafik 4.6 sebagai rasio keuangan menunjukkan data pembanding antara
pendapatan bunga dan non halal lainnya terhadap total pendapatan tiap tahun pada
DES. Data tersebut nampak jelas bahwa rata-rata total pendapatan bunga dari
tahun 2013 sampai 2017 tidak ada perbedaan yang signikan, yaitu antara 1800 dan
2400 begitu juga total pendapatan berada sekitar 100.000 sampai 111.000. Lalu
jika dipersentasekan pendapatan bunga dan total pendapatan tersebut dapat
diketahui bahwa pendapatan perusahaan yang bersumber dari non-halal dan bunga
di bawah 10%. Hal ini sebagaimana di jelaskan pada grafik berikut.
Grafik 4.7
Persentase pendapatan bunga
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan, data diolah penulis
119
Grafik tersebut membuktikan bahwa rata-rata pendapatan perusahaan DES
hanya sedikit diperoleh dari pendapatan bunga dan non-halal lainnya. Hal ini
sebagaimana dapat dilihat pada grafik bahwa dari tahun 2013 sampai 2017 tidak
ada yang lebih dari 10%, walaupun terjadi naik turun dari setiap tahunnya tapi
masih di bawah standar rasio keuangan yang ditetapkan oleh OJK. Berdasarkan
hasil penelitian dari 139 perusahaan bahwa hanya ada satu perusahaan rata-rata
melebihi ambang batas yaitu 10,62%, yaitu PT Surya Semesta Internusa Tbk.
(Infrastruktur). Namun jika dianalisis pada laporan keuangan perusahaan tersebut
ternyata perusahaan tidak secara ekplisit dalam laporan laba rugi mengungkapkan
bersumber dari pendapatan bunga namun bersumber dari pendapatan lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa pendapatan lainnya bisa saja diperoleh dari
pendapatan sewa, pendapatan bunga, dan deviden sehingga belum bisa dipastikan
apakah yang dimaksud pendapatan lainnya perusahaan tersebut murni bersumber
dari pendapatan bunga.
Ambang batas ini termasuk kecil jika dibandingkan dengan negara
Malaysia yang membolehkan pendapatan non halal dari 5% hingga boleh sampai
20% dari total pendapatan. Namun, setidaknya ada keputusan bersama minimal
dengan DSN-MUI sebagai lembaga yang diberikan otoritas oleh pemerintah
mengeluarkan fatwa tentang perkembangan LKS. Pertanyaannya kemudian kenapa
DSN tidak mengeluarkan fatwa yang sama sebagaimana ketika ditetapkan rasio
total utang terhadap aset sebelumnya agar regulasi ini lebih kuat terutama bagi
umat Islam yang masih meragukan melakukan investasi pada saham syariah.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Kanny Hidaya 68
menurutnya bahwa diterapkannya kriteria rasio finansial tersebut oleh DSN-MUI
dan Bapepam-LK dengan pertimbangan masih sedikitnya investor yang menanam
modalnya di saham syariah. Jika harus diperketat pada ambang batas kurang dari
45% terhadap modal yang diperoleh dari utang berbasis bunga dan kurang 10%
pendapatan non halal antar indeks dikhawatirkan akan sedikit perusahaan yang
lolos dari proses screening. Pendapat serupa disampaikan oleh Nur Sigit Warsidi
bahwa ke depan secara bertahap bisa saja dikurangi menjadi 30% pada utang
berbasis bunga dan 5% pada pendapatan non-halal ketika sudah banyak perusahaan
yang terdaftar.69 Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang mereka gunakan sebagai
landasan hukum:
إذا ضاق األمر اتسع إذا اتسع األمر ضاق
Segala sesuatu, jika sempit maka menjadi luas, dan jika (kembali) luas
maka menjadi sempit.70
68Kanny Hidaya, Pengurus Pleno DSN-MUI, Wawancara, 08 Februari 2017. 69Nur Sigit Warsidi, Direktur Pasar Modal Syariah, Wawancara, 03 April 2017. 70Al-Ima>m Jala>l al-Di>n Abd al-Rah}man al-Suyut}i, Al-As}ba>h wa al-Naz}a>ir (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1983), 83.
120
Bagian akhir sub bab ini peneliti menyampaikan bahwa DSN-MUI dan
OJK sebaiknya melakukan revisi pada standar screening tersebut secara progresif
dan berkala, dengan membuat nota kesepahaman untuk menghindari kesalahan
persepsi atau pemahaman publik mengenai screening saham syariah di Indonesia.71
Meskipun ada peraturan yang direvisi oleh OJK, yaitu peraturan OJK No. 35/POJK
04/2017 namun isi kebijakannya terutama pada rasio keuangan tidak mengalami
perubahan, baik pada rasio utang yang mengandung bunga maupun rasio
pendapatan bunga dan tidak halal lainnya terhadap total pendapatan masih sama
dengan peraturan yang ada sebelumnya.
71Rahmati Muin, dkk., “Tinjauan Metode Screening Saham Syariah Pada Bursa
Efek Indonesia”, Laa Maisyir Vol. 7, No. 1, (Juni 2020): 115-128.
121
BAB V
IMPLEMENTASI SCREENING SAHAM SYARIAH PADA
DAFTAR EFEK SYARIAH DALAM MENGUNGKAPKAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Keberadaan perusahaan tidak bisa berdiri dalam ruangan yang steril.
Perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri
saja sehingga teralienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat
sekitar. Bagaimanapun, keberadaan perusahaan merupakan pertemuan sejumlah
kepentingan. Ada kepentingan bisnis, ada pula kepentingan sosial dan lingkungan.1
Karenanya, perusahaan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan
tersebut melalui sejumlah kegiatan dan inisiatif sosial yang berdampak positif bagi
masyarakat, lingkungan, dan ekonomi pada umumnya sehingga perusahaan dapat
tumbuh dengan sehat dalam suatu ekosistem yang berkelanjutan (sustainable).
Untuk membuktikan semua hal tersebut, dibutuhkan guideline untuk
mengukur sejauh mana perusahaan-perusahaan yang masuk DES yang berjumlah
139 perusahaan mengungkapkan tanggung jawab sosial sesuai standar Fatwa DSN-
MUI dan Peraturan OJK melalui laporan tahunan (annual raport). Hal ini
sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa perusahaan yang terdaftar pada
DES telah melewati proses screening sehingga apakah sudah mampu
mengakomodir terhadap kepentingan-kepentingan tersebut.
A. Penilaian Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada DES
Penting dilakukan penilaian terhadap adanya pengungkapan kinerja sosial
oleh perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada DES, terutama sekali bagi
investor. Investor akan mempertimbangkan sebelum melakukan investasi
berdasarkan informasi yang didapat, sehingga dalam pengambilan keputusan
investor tidak semata-mata mendasarkan pada informasi laba saja, namun juga
infomasi kinerja sosial perusahaan.2
Untuk Indonesia sejauh ini untuk mengukur pengungkapan tanggung jawab
sosial pada perusahaan terdaftar pada DES masih mengacu kepada Global Reporting Initiative Index (indeks GRI). Padahal, terkait dengan adanya kebutuhan
mengenai pengungkapan kinerja sosial yang bersifat suka rela saat marak
diperbincangkan mengenai pengungkapan kinerja sosial dalam konteks syariah
dengan menggunakan model indeks Islamic Social Reporting (ISR). Oleh karena
itu, peneliti pada bagian ini akan menganalisis pengungkapan tanggung jawab
sosial dengan menggunakan model indeks ISR dengan analisis data dilakukan
1 Mahmuddin Yasin, dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL,
(Semarang: Universitas Dipenogoro, 2013), xviii. 2 Yosefa Sayekti dan Ludovicus Sensi Wondabio, “Pengaruh CSR Disclosure
Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi X, (2007).
122
26932712
27512771
2826
2600
2650
2700
2750
2800
2850
2013 2014 2015 2016 2017
Tot
al s
kor
inde
ks IS
R
TAHUN
dengan memberikan tanda checklist pada tiap item yang mengungkapkan aktivitas
sosial pada laporan tahunan. Jika terdapat satu item yang diungkapkan maka akan
diberikan skor angka “1”, dan jika tidak maka akan mendapatkan skor angka “0”.
Pemberian tanda checklist didasarkan pada content analysis yang terdapat
dalam laporan tahunan, laporan keberlanjutan, dan/atau laporan PKBL dalam
kurun waktu 2013-2017. Indeks ISR yang digunakan sebagai indikator dalam
pelaporan kinerja sosial perusahaan bisnis syariah terbagi menjadi 6 tema, yaitu:
Tema Pendanaan dan investasi, produk dan jasa, karyawan, masyarakat,
lingkungan, dan tata kelola perusahaan. Di mana total item yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 44 item setelah dilakukan modifikasi oleh peneliti di mana
yang relevan dengan pengungkapan annual report dari perusahaan yang terdaftar
dan lebih sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia.
Berikut ini skoring pelaporan kinerja sosial pada perusahaan yang terdaftar
pada DES dengan melihat pada tabel di bawah ini.
1. Skor Indeks Pelaporan ISR
Skor indeks ISR dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan
metode content analysis terhadap laporan perusahaan yang masuk dalam sampel
perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES) dalam
kurun waktu 2013-2017. Hasil content analysis total skor indeks ISR ini secara
lebih lengkap disajikan pada grafik 5.1 di bawah ini:
Grafik 5.1
Total Skor Indeks ISR Tahun 2013-2017
Sumber: Hasil pengolahan data
Grafik 5.1 menunjukkan, bahwa total skor indeks ISR tahun 2013-2017
dapat dilihat bahwa secara keseluruhan skor indeks ISR mengalami peningkatan
setiap tahunnya, yaitu dengan total sebanyak 2.693 pokok pengungkapan di tahun
2013 dan terus meningkat hingga 2.826 pokok pengungkapan di tahun 2017. Hal
123
ini menandakan bahwa perusahaan yang kegiatan operasinya sesuai dengan prinsip
syariah terus mengalamai peningkatan setiap tahunnya. Ini menunjukkan
perusahaan telah melakukan peningkatan pelaksanaan, pelaporan, dan
pengungkapan tanggung jawab sosial yang sesuai dengan prinsip syariah selama
kurun waktu 2013-2017. Hasil ini tentunya diharapkan memberikan dampak positif
bagi perkembangan praktik tanggung jawab sosial sesuai dengan prinsip syariah
bagi perusahaan DES di Indonesia.
Terjadi kenaikan pengungkapan ISR setiap tahunnya sangat dimungkinkan
karena terbitnya Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tangung jawab
sosial dan lingkungan perseroan terbatas melengkapi panduan penting bagaimana
tanggung jawab sosial dan lingkungan di laksanakan. Sehingga tidak bisa
dipungkiri hal tersebut cukup mempengaruhi beberapa poin pengungkapan
tanggung jawab sosial pada masing-masing perusahaan.
Namun terjadi perbedaan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial
secara syariah pada setiap perusahaan, walaupun secara rata-rata, semua
perusahaan telah melaksanakan sub item dari kategori ini, akan tetapi tidak ada
satu perusahaan yang melaporkannya secara sempurna (100%) pada seluruh sub
item berdasarkan model indeks ISR. Ada perusahaan yang telah mampu
melaporkan tanggung jawab sosial secara syariah dengan baik, sebaliknya ada juga
perusahaan yang mengungkapkannya dengan sangat minim meskipun perusahaan
tersebut telah dikategorikan sebagai perusahaan syariah oleh OJK dan DSN-MUI
melalui proses screening saham.
Terjadinya perbedaan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial secara
syariah setiap perusahaan disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu faktor internal
dan eksternal perusahaan. Salah satu faktor internal adalah kebijakan pimpinan
setiap perusahaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Fitria dan Hartanti bahwa
kebijakan pimpinan sangat mempengaruhi pola pelaksanaan tanggung jawab sosial
di perusahaan syariah.3 Sedangkan, salah satu faktor eksternal adalah tekanan dari
para pemangku kepentingan masing-masing perusahaan syariah untuk
melaksanakan, melaporkan, dan mengungkapkan tanggung jawab sosial yang
sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial
secara syariah sifatnya sukarela, jadi tidak ada standar mengenai pelaksanaan
tanggung jawab sosial secara syariah sehingga pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan menjadi tidak seragam.
2. Skor Pengungkapan ISR pada masing-masing Tema
Pembahasan content analysis juga dapat dilakukan dari segi masing-
masing tema indeks ISR yang diperoleh dari laporan tahunan perusahaan. Indeks
ISR terdiri dari enam tema, antara lain pembiayaan dan investasi, produk dan jasa,
karyawan, masyarakat, lingkungan, dan tata kelola perusahaan. Hasil content
3 Soraya Fitria dan Dwi Hartanti, “Islam dan Tanggung Jawab Sosial: Studi
Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan Global Reporting Initiative Indeks dan Islamic Social Reporting Indeks”. Simposium Nasional Akuntansi 13 Purwokerto, (2010): 2.
124
Pembiyaandan Investasi
Produk danJasa
Karyawan Masyarakat LingkunganTata KelolaPerusahaan
2013 385 288 734 622 306 358
2014 386 289 736 624 308 369
2015 397 298 736 626 310 384
2016 399 300 740 624 308 400
2017 401 307 737 631 318 432
0100200300400500600700800
Sko
r In
deks
ISR
TEMA PELAPORAN
analysis skor indeks ISR masing-masing tema disajikan lebih lengkap
pergerakannya dari tahun ke tahun seperti terdapat pada grafik di bawah ini:
Grafik 5.2
Total Skor Indeks ISR Masing-masing Tema Tahun 2013-2017
Sumber: Hasil pengolahan data
Grafik 5.2 menunjukkan bahwa secara umum skor indeks ISR masing-
masing tema mengalami peningkatan selama tahun 2013-2017, walaupun tidak
terlalu signifikan, kecuali tema masyarakat dan lingkungan yang mengalami naik
turun. Tema masyarakat terjadi penurunan dari 626 pengungkapan pada tahun
2015 menjadi 624 pokok pengungkapan tahun 2016 kemudian naik kembali
menjadi 631 pengungkapan tahun 2017. Selajutnya tema lingkungan mengalami
penurun dari 310 pengungkapan tahun 2015 turun menjadi 308 tahun 2016
kemudian naik cukup siginifikan yaitu 318 pengungkapan tahun 2017. Selebihnya
tema pengungkapan yang terus mengalami peningkatan dari tahun 2013 sampai
2019. Diantaranya Tema pembiayaan dan investasi meningkat dari 385 pokok
pengungkapan di tahun 2013 terus meningkat menjadi 401 pokok pengungkapan di
tahun 2017. Tema produk dan jasa mengalamai peningkatan dari 288 pokok
pengungkapan di tahun 2013 terus meningkat menjadi 307 pokok pengungkapan di
tahun 2017. Selain itu, tema karyawan juga mengalami kenaikan dari 734 pokok
pengungkapan pada tahun 2013 menjadi 737 pokok pengungkapan pada tahun
2017. Terakhir, tema tata kelola perusahaan yang mengalami peningkatan cukup
signifikan di bandingkan tema yang lain, yaitu dari 358 pokok pengungkapan pada
tahun 2013 menjadi 432 pada tahun 2017.
125
Berdasarkan grafik 5.2 di atas, untuk memberikan penjelasan dari masing-
masing tema akan diuraikan satu per satu. Berikut ini adalah penjelasan hasil
content analysis untuk setiap tema indeks ISR dengan menggunakan persentase.
a. Tema Pembiayan dan Investasi
Tema pembiayaan dan investasi terdiri dari lima pokok pengungkapan,
meliputi pengungkapan aktivitas riba, gharar, zakat, kebijakan keterlambatan
piutang dan penghapusan piutang tak tertagih, dan pernyataan nilai tambah
perusahaan. Tabel 5.1 mengungkapkan persentase pengungkapan berdasar item-
item pengungkapan dengan tema pembiayaan dan investasi.
Tabel 5.1
Pengungkapan ISR Tema Pembiayaan dan Investasi
No. Item Hasil Skoring
(persen)
1. Aktivitas yang mengandung riba 100
2. Aktivitas yang mengandung gharar 40
3. Aktivitas Zakat 0,7
4. Kebijakan keterlambatan piutang dan
penghapusan piutang tak tertagih
68
5. Pernyataan Nilai Tambah Perusahaan 75
Sumber: Hasil pengolahan data
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 139 perusahaan yang menjadi sampel
penelitian semua perusahaan melaporkan item riba, menunjukkan angka 100%.
Pengungkapan tersebut mencakup jumlah utang yang mengandung bunga, jumlah
beban bunga, tujuan penggunaan utang yang mengandung bunga, serta pendapatan
bunga.
Pengungkapan apakah perusahan melakukan kegiatan yang mengandung
gharar atau tidak hanya menunjukkan angka 40%, berarti 60% lagi perusahaan
tidak melaporkan item tersebut. Dari data yang diperoleh setiap tahun ada
peningkatan jumlah perusahaan yang mengungkapkanya, namun tidak signifikan.
Pada tahun 2013 ada 47 perusahaan terus meningkat mencapai 61 perusahaan pada
tahun 2016 dan 2017. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan syariah di Indonesia
dalam mengungkapkan kegiatan gharar masih sangat minim sementara sudah
melewati proses screening sebelum perusahaan tersebut terdaftar sebagai
perusahaan menjalankan prinsip syariah dalam operasionalnya, padahal syarat
mendasar perusahaan tersebut dikatakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
salah satunya adalah harus terbebas dari unsur gharar di dalamnya. Oleh karena itu
harus menjadi perhatian terutama DSN-MUI untuk meyakinkan para investor
muslim agar mau melakukan investasi pada saham syariah.
126
Lalu untuk pengungkapan item yang ke tiga dalam hal aktivitas perusahaan
yang melaporkan pembayaran zakat. Saham syariah sebagai bahagian dari produk
pasar modal syariah sudah sepatutnya perusahaan yang terdaftar pada DES
melakukan pembayaran zakat dan mengungkapkannya kepada publik. Namun,
kenyataannya dalam hal ini hanya 0,7% atau hanya ada satu perusahaan yang
mengungkapkan hal tersebut, yaitu hanya perusahaan Astra International (ASII)
yang secara konsisten mengungkapkan dari tahun 2013 sampai tahun 2017. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut belum secara jelas dan tegas
pentingnya mengungkapkan kegiatan zakat. Dengan tidak diungkapkannya perihal
zakat dalam laporan perusahaan mengundang dua kemungkinan, yakni bisa saja
perusahaan telah membayar zakat akan tetapi tidak mengungkapkannya di laporan
perusahaan atau perusahaan memang tidak membayar zakat sama sekali sehingga
perusahaan tidak mengungkapkan dalam laporan tahunannya.
Selanjutnya, item kebijakan keterlambatan pembayaran piutang dan
penghapusan piutang tak tertagih. Lebih dari setengah perusahaan sampel
mengungkapkan kebijakan tersebut, di mana persentasenya mencapai 68%. Skor
ini menunjukkan bahwa perusahaan syariah di Indonesia sudah mulai baik dalam
mengungkapkan penghapusan piutang tak tertagih. Hal ini karena memang telah
diberlakukannya PSAK 50 (Revisi 2006) pada 1 Januari 2010. Dalam PSAK 50
tersebut dijelaskan bahwa perusahaan harus mengungkapkan mengenai resiko-
resiko yang melekat pada kegiatan usaha perusahaan, salah satunya adalah risiko
kredit. Dampak dari hal tersebut membuat sebagian besar perusahaan
mengungkapkan kebijakan atas pembayaran piutang dan penghapusan piutang
tertagih secara lebih komprehensif.
Pokok pengungkapan yang terakhir dalam tema ini terkait dengan ada atau
tidaknya pernyataan nilai tambah dalam laporan perusahaan. Jumlah perusahaan
yang mengungkapkan hal ini relatif cukup tinggi dalam kurun waktu tahun 2013-
2017 dengan persentase 75% karena pernyataan nilai tambah biasanya
diungkapkan pada bagian visi, misi, nilai-nilai perusahaan, laporan Dewan
Komisaris, atau laporan Dewan Direksi yang isinya cenderung hampir sama setiap
tahunnya.
Secara keseluruhan, jumlah perusahaan yang mengungkapkan tiap-tiap
item pengungkapan pada tema investasi dan keuangan cukup stabil, kecuali untuk
item gharar dan zakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perusahaan masih
belum sepenuhnya mengungkapkan tema investasi dan keuangan ini secara baik.
Perlu untuk meningkatkan kualitas pengungkapan agar lebih sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.
b. Tema Produk dan Jasa
Dalam tema produk dan jasa terdapat empat pokok pengungkapan, antara
lain: pengungkapan terkait dengan produk atau kegiatan operasi ramah lingkungan,
status kehalalan produk, keamanan dan kualitas produk, serta yang terakhir
pelayanan pelanggan.
127
Tabel 5.2
Pengungkapan ISR Tema Produk dan Jasa
No. Item Hasil Skoring
(persen)
6. Produk/kegiatan operasi ramah lingkungan 79
7. Status kehalalan produk 12
8. Keamanan dan Kualitas produk 75
9. Pelayanan pelanggan 47
Sumber : Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa tema produk dan jasa yang
pertama adalah terkait dengan pengungkapan produk atau kegiatan operasi ramah
lingkungan. Dapat di lihat bahwa hampir semua perusahaan mengungkapkan
produk atau kegiatan operasional yang ramah lingkungan yang dilakukan oleh
masing-masing perusahaan, hanya 21% atau 29 perusahaan saja dari total 139
perusahaan yang tidak mengungkapkan item terkait produk atau kegiatan ramah
lingkungan. Bahkan terus menunjukkan peningkatan dari 109 tahun 2013 menjadi
112 perusahaan tahun 2017 yang mengungkapan item produk atau kegiatan ramah
lingkungan.
Selanjutnya, pokok pengungkapan yang berhubungan dengan status
kehalalan produk, sebagian besar perusahaan masih tidak mengungkapkan
mengenai kehalalan produknya dalam laporan perusahaan di mana dibuktikan item
ini hanya mempunyai persentase 12% atau 17 perusahaan dari 139 perusahaan
sampel. Selama tahun pengamatan yang selalu mengungkapkan mengenai biasanya
perusahaan yang bergerak di industri food and baverages, seperti perusahaan
Indofood (INDF dan ICBP), selain itu juga ada perusahaan yang bergerak di bidang
agriculture-palm oil (LSIP) dan consumer goods (Unilever-UNVR). Perusahaan
yang tidak mengungkapkan kehalalan produk dalam laporannya bukan berarti
produk yang dihasilkan perusahaan tersebut tidak halal, perusahaan yang
mengungkapkan status kehalalan produk adalah perusahaan yang bergerak pada
sektor makanan dan minuman, agriculture, serta industri farmasi. Mengingat,
perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada DES bergerak di berbagai sektor, maka
perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di domain tersebut tidak
mengungkapkan status kehalalan produk, karena produk yang dihasilkan tidak
dikonsumsi oleh masyarakat.
Pokok pengungkapan berikutnya adalah keamanan dan kualitas produk,
persentase pengungkapan selama tahun pengamatan adalah 75%, ini menunjukkan
bahwa hanya sebahagian kecil perusahaan tidak mengungkapkan item keamanan
dan kualitas produk dalam laporan tahunannya. Sedangkan pengungkapan terakhir
terkait pelayanan pelanggan hanya mencapai 47%. Ini menunjukkan bahwa tidak
mencapai setengah dari jumlah perusahaan yang diteliti, yaitu hanya berjumlah ±
65 perusahaan setiap tahunnya.
128
Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan tema
produk dan jasa mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan pengungkapan
tersebut diharapkan dapat memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh para
konsumen.
c. Tema Karyawan
Tema karyawan terdiri dari tiga belas pokok pengungkapan, meliputi
berbagai hal sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.3
Pengungkapan ISR Tema Karyawan
No. Item Hasil Skoring
(persen)
10. Jam kerja 13
11. Hari libur dan cuti 13
12. Tunjangan 91
13. Remunerasi 68
14. Pendidikan dan pelatihan 43
15. Kesetaraan hak antara pria dan wanita 47
16. Keterlibatan karyawan dalam diskusi/
pengambilan keputusan 5,2
17. Kesehatan dan keselataman kerja 83
18. Lingkungan kerja 79
19. Karyawan dari kelompok khusus (disabilitas) 2,2
20. Karyawan yang lebih tinggi melaksanakan
ibadah bersama karyawan bawahannya
0,7
21. Karyawan muslim boleh menjalankan ibadah
shalat dan puasa Ramadhan
0,7
22. Tempat ibadah yang memadai 32
Sumber : Hasil pengolahan data
Item tunjangan merupakan pokok pengungkapan paling tinggi, hingga
mencapai 91% selama periode pengamatan peneliti, di mana hanya terdapat 12
perusahaan saja yang tidak mengungkapkan item ini selama tahun pengamatan.
Begitu juga pengungkapan terkait tentang kesehatan dan keselamatan tertinggi ke
dua dengan persentase mencapai 83%.
Selanjutnya, perusahaan melakukan pengungkapan mengenai lingkungan
kerja juga menunjukkan persentase yang cukup tinggi mencapai 79%. Terakhir
pokok pengungkapan yang mempunyai persentase masih di atas 50% adalah
remunerasi dengan persentase 68%. Selebihnya menunjukkan pengungkapan yang
129
mempunyai persentase yang rendah, yaitu di bawah 50% bahkan ada yang hanya
0,7% yaitu pada pengungkapan karyawan muslim boleh menjalankan ibadah shalat
dan puasa ramadhan. Ini artinya bahwa hanya terdapat 1 perusahaan dari 174 yang
mengungkapkan item tersebut selama tahun pengamatan, yaitu perusahaan PT
Indo Acidatama Tbk (SRSN) bergerak pada sektor industri dasar dan kimia.
Dari serangkaian hasil di atas menunjukkan bahwa item pengungkapan
tunjangan, kesehatan keselamatan kerja, lingkungan kerja, dan remunerasi
merupakan pokok pengungkapan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan.
Hal ini menunjukkan bahwa aspek tersebut merupakan aspek paling penting bagi
kesejahteraan dan keselamatan karyawan sehingga perusahaan sudah selayaknya
memberikan reward kepada seluruh karyawan yang bernilai lebih.
Pada bagian lain terlihat bahwa perusahaan tidak terlalu menaruh perhatian
penuh pada pengungkapan jam kerja, hari libur dan cuti, kesamaan gender,
keterlibatan karyawan dalam diskusi manajeman dan pengambilan keputusan,
karyawan dari kelompok khusus, karyawan yang lebih tinggi melaksanakan ibadah
bersama karyawan bawahannya, karyawan (muslim) diperbolehkan menjalankan
ibadah di waktu-waktu shalat dan berpuasa di saat ramadhan, dan tempat ibadah
yang memadai. Hal ini ditandai bahwa persentase item-item pengungkapan
tersebut rata-rata 40% ke bawah. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa terdapat
hak-hak dasar karyawan (muslim) yang belum sepenuhnya diungkapkan secara baik
dalam laporan tahunan perusahaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan
yang terdapat pada DES belum mengungkapkan aspek-aspek karyawan dengan
baik. Perusahaan sudah seharusnya memenuhi kebutuhan spiritual tiap
karyawannya dan mengungkapkannya dalam laporan perusahaan sebagai suatu
bentuk pelaporan sosial perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
d. Tema Masyarakat
Pokok pengungkapan pada tema masyarakat terbagi menjadi sebelas
bagian. Untuk lebih jelasnya sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.4
Pengungkapan ISR Tema Masyarakat
No. Item Hasil Skoring
(persen)
23. Sedekah, donasi atau sumbangan 94
24. wakaf 1,3
25. Qard Hassan 4,9
26. Sukarelawan dari kalangan karyawan 9,4
27. Pemberian beasiswa sekolah 45
28. Pemberdayaan kerja para lulusan 32
130
sekolah/kuliah (praktek kerja lapangan).
29. Pengembangan generasi muda 24
30. Peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin 36
31. Kepedulian terhadap anak-anak 39
32. Kegiatan Amal atau sosial 91
33. Mensponsori kegiatan-kegiatan kesehatan,
budaya, pendidikan, keagamaan, dll.
71
Sumber : Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel di atas, pengungkapan yang paling menonjol untuk
diungkapkan selama tahun pengamatan adalah pengungkapan terkait dengan
sedekah, donasi atau sumbangan 94%, kegiatan amal atau sosial 91% serta
mensponsori kegiatan di berbagai bidang 71%. Hal ini mengindikasikan bahwa
sebagian besar perusahaan yang terdaftar pada DES di Indonesia telah memiliki
kesadaran yang baik mengenai pentingnya berbagi dalam bentuk kegiatan amal,
sedekah, dan mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dengan tujuan untuk saling
meringankan beban orang lain. Namun tentunya ke depan masih perlu untuk
ditingkatkan dengan harapan bisa mencapai 100%.
Selanjutnya pengungkapan dengan skor di bawah 50% adalah pemberian
beasiswa hanya 45%, kepeduliaan terhadap anak-anak 39%, peningkatan kualitas
hidup masyarakat miskin 36%, pemberdayaan kerja para lulusan 32%,
pengembangan generasi muda 24%. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar
perusahaan belum mampu sepenuhnya memiliki tanggung jawab untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat sebagai salah satu upaya
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan negara.
Pokok pengungkapan tiga yang terakhir menunjukkan pengungkapan yang
sangat rendah di bawah 10%. Yaitu sukarelawan dari kalangan karyawan 9,4%,
Qard Hassan 4,9%, dan wakaf 1,3%. Ketiga program tersebut merupakan program
yang tidak umum dimiliki seluruh perusahaan. Karakteristik ketiga program
tersebut sifatnya bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan dengan
memperhitungkan terlebih dahulu tujuan, biaya, dan manfaat dari program tersebut
bagi perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepedulian
perusahaan terhadap masyarakat tergolong cukup baik. Penjelasan terkait
mengenai pihak yang menerima bantuan dan bukti konkrit berupa foto pada
dasarnya telah diungkapkan oleh sebagian perusahaan secara luas dalam laporan
tahunan. Walaupun, masih ditemukannya keterbatasan dalam pengungkapan
aspek-aspek yang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah. Seperti wakaf dan qard hassan yang tidak hanya sebatas ibadah sosial namun juga diyakini bagi umat
Islam ada nilai spritual di dalamnya.
131
e. Tema Lingkungan
Tabel 5.5
Pengungkapan ISR Tema Lingkungan
No. Item Hasil Skoring
(persen)
34. Konservasi lingkungan hidup 82
35. Kegiatan mengurangi efek pemanasan global 72
36. Pendidikan mengenai lingkungan hidup 18
37. Audit lingkungan/pernyataan verifikasi
independen
23
38. Sistem manajemen lingkungan/kebijakan 28
Sumber : Hasil pengolahan data
Tema lingkungan terbagi menjadi lima tema, dalam kurun waktu 2013-
2017, pokok pengungkapan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan dengan
persentase sebanyak 82% adalah konservasi lingkungan hidup. Pokok
pengungkapan tertinggi kedua adalah pokok kegiatan mengurangi efek terhadap
pemanasan global sebanyak 72%. Kegiatan tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk minimalisasi polusi, pengelolaan limbah, pengelolaan air bersih, dan lain-
lain.
Salah satu tanda yang menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sistem
manajemen lingkungan yang baik terlihat dari kepemilikan sertifikasi ISO 14001
Sistem Manajemen Lingkungan. Kedua pokok pengungkapan tersebut sebagian
besar dilakukan oleh perusahaan di industri pertambangan, properti, dan
perkebunan.
Berikutnya tiga pokok pengungkapan yang tidak mencapai 50%, yaitu
sistem manajemen lingkungan 28%, audit lingkungan 23%, dan pendidikan
mengenai lingkungan hidup 18%. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak
banyaknya perusahaan yang melakukan dan mengungkapkan mengenai pernyataan
verifikasi independen atau audit lingkungan adalah faktor biaya. Oleh karena itu,
biasanya perusahaan yang telah melakukan dan mengungkapkan hal tersebut
hanyalah perusahaan-perusahaan besar.
f. Tema Tata Kelola Perusahaan
Tabel 5.6
Pengungkapan ISR Tema Tata Kelola Perusahaan
No. Item Hasil Skoring
(persen)
39 Status kepatuhan terhadap syariah 0
132
40 Struktur kepemilikan saham 100
41 Profil dewan direksi 99
42 Pengungkapan praktik monopoli 0,7
43 Pengungkapan adanya perkara hukum 51
44 Kebijakan anti korupsi 29
Sumber : Hasil pengolahan data
Tema tata kelola perusahaan mencakup enam pokok pengungkapan. Pokok
pengungkapan yang paling tinggi adalah sktruktur kepemilikan saham mencapai
100%, ini artinya bahwa diungkapakan oleh seluruh perusahaan. Selanjutnya pokok
pengungkapan profil dewan direksi mencapai 99%. Kedua pokok pengungkapan
tersebut merupakan pokok pengungkapan yang diwajibkan oleh OJK sehingga
semua perusahaan dipastikan melaporkan item tersebut pada laporan tahunannya.
Berikutnya, pokok pengungkapan yang mencapai 51% adalah
pengungkapan adanya perkara hukum. Selebihnya pokok pengungkapan kebijakan
anti korupsi hanya 29%, pengungkapan praktik monopoli 0,7%. Terakhir pokok
pengungkapan status kepatuhan terhadap syariah tidak ada satupun perusahaan
yang mengungkapkannya.
3. Pengungkapan dengan Skor Indeks Tema ISR tertinggi
Pada bagian ini akan membahas terkait daftar perusahaan dengan skor
indeks ISR tertinggi dan terendah per masing-masing tema. Setiap perusahaan
memiliki concern yang berbeda-beda terhadap aspek yang ingin perusahaan
tonjolkan dalam laporan-laporan ataupun press release yang perusahaan terbitkan.
Aspek-aspek tersebut tentu selaras dengan visi dan misi perusahaan dalam rangka
mencapai tujuan perusahaan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila perusahaan
dengan karakteristik bisnis yang berbeda memiliki kecenderungan pengungkapan
yang berbeda atas ke enam tema indeks ISR tersebut.
Tabel 5. 7
Daftar Perusahaan dengan Skor Indeks Tema ISR Tertinggi
No Tema
Skor Indeks Tema ISR Tertinggi
2013 2014 2015 2016 2017
Kode Sk
or Kode
Sk
or Kode
Sk
or Kode
Sk
or Kode
Sk
or
1. Pembiayaan
dan Investasi
ASII
5
ASII
5
ASII
1
ASII
5
ASII
5
2. Produk dan
Jasa
DVLA
ICBP
INAF, INDF
KAEF, MBTO
MERK, DNET
4 DVLA,
ICBP,
INAF, INDF
KAEF, MBTO
MERK,DNET
4 DVLA
ICBP
INAF, INDF
KAEF,MBTO
MERK, TCID
4 DVLA
ICBP
INAF, INDF
KAEF, KLBF
MBTO,
4 DVLA
ICBP
INAF, INDF
KAEF,KLBF
MBTO,
4
133
DNET, MICE
MERK
TCID,DNET
MICE
MERK
TCID, DNET
MICE
3. Karyawan ANTM,
PTBA,
TINS,
WIKA,
TLKM
9 ANTM,
PTBA,
TINS,
WIKA,
TLKM
9 ANTM,
PTBA,
TINS,
WIKA,
TLKM
9 ANTM,
PTBA,
TINS,
WIKA,
TLKM
9 ANTM,
PTBA,
TINS,
WIKA,
TLKM
9
4. Masyarakat ELSA,
INTP,SMGR
,ASII,DILD,
UNTR
8 ELSA,
INTP,SMG
R,ASII,AP
LN,DILD,
UNTR
8 ELSA,
INTP,SMG
R,ASII,APL
N,DILD,U
NTR
8 INTP,SM
GR,ASII,
UNTR,
8 INTP,SMG
R,ASII,AP
LN,DILD,
UNTR.
8
5. Lingkungan ELSA, PTBA
TINS, INDF,
ADHI
5 ELSA, PTBA
TINS, INDF,
ADHI
5 ELSA, PTBA
TINS, INDF,
ADHI
5 ELSA,
PTBA
TINS,INDF,
ADHI
5 ELSA,
PTBA
TINS, INDF,
ADHI
5
6. Tata Kelola
Perusahaan
PTBA
TINS, SMGR,
ASII, AISA
INAF, KLBF
UNVR, ASRI
BSDE, CTRA,
TLKM, AKRA
4 INTP 5 INTP,
MERK
5 MERK 5 MERK 5
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 5.7 di atas, penjelasan untuk masing-masing tema akan
dijelaskan satu persatu. Pertama, daftar perusahaan yang memiliki kecenderungan
pengungkapan pada tema pembiyaan dan investasi ada peningkatan setiap
tahunnya. Pengungkapan tertinggi hanya ada satu perusahaan yang mampu
mengungkapkan ke lima item indikator pengungkapan. Yaitu PT Astra
International Tbk. bergerak pada sektor industri. Sementara perusahaan perusahaan
yang lain rata-rata hanya mampu mengungkapkan 3-4 indikator. Seperti PT Elnusa
Tbk. pada sektor industri pertambangan dan PT. Intiland Development Tbk. di
sektor industri properti.
Kedua, perusahaan yang concern dengan tema produk dan jasa juga
mengalami peningkatan, bahkan bervariatif pada setiap tahunnya. Dari 8
perusahaan tahun 2013-2014 meningkat menjadi 10 perusahaan 2015 dan terus
meningkat menjadi 11 perusahaan pada tahun 2016-2017. Tiga perusahaan yang
bertambah hingga tahun 2017 yaitu, TCID, MICE, dan KLBF. Salah satu
perusahaan yang tetap fokus pada pengungkapan produk dan jasa adalah PT. Kimia
Farma (Persero) Tbk (KAEF). Seperti diketahui PT. Kimia Farma merupakan
perusahaan BUMN dan perusahaan manufaktur yang bergerak dalam bidang
kesehatan. Dengan demikian, sudah sewajarnya PT. Kimia Farma melakukan
pengungkapan yang lebih utama pada tema produk dan jasa karena bidang
usahanya berhubungan dengan tanggung jawab moral kesehatan masyarakat luas.
PT. Kimia Farma harus meyakinkan masyarakat luas bahwa obat-obatan yang
dihasilkan merupakan produk yang ramah lingkungan, halal, aman untuk
dikonsumsi, serta memiliki kualitas terbaik.
134
Ketiga, adalah tema karyawan. Dalam tema ini terdapat lima perusahaan
memiliki skor indeks ISR tertinggi pada tema karyawan dalam kurun waktu 2013-
2017. Tiga perusahaan pertama bergerak pada industri pertambangan (ANTM,
PTBA, TINS), sementara dua perusahaan lagi pada industri properti (WIKA) dan
infrastruktur TLKM). Dalam berbagai laporannya kelima peruasahaan memang
terlihat memiliki komitmen penuh untuk selalu meningkatkan kesejahteraan para
karyawannya.
Keempat, tema masyarakat. Memiliki perbedaan jumlah pengungkapan
hampir pada setiap tahunnya. Tahun 2013 ada enam perusahaan, 2014 dan 2015
naik menjadi tujuh perusahaan, 2016 turun hanya ada empat perusahaan, dan 2017
kembali naik ada enam perusahaan. Ketujuh perusahaan juga bergerak dalam
bidang usaha yang berbeda. PT Elnusa Tbk (ELSA) merupakan perusahaan
pertambangan, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT Semen
Indonesia Tbk (SMGR) keduanya bergerak pada sektor dasar dan kimia, PT. Astra
International Tbk (ASII) perusahaan aneka industri, PT. Agung Pomoro Land Tbk.
((APLN) dan PT Intiland Developments Tbk. (DILD) keduanya bergerak pada
sektor properti, dan terakhir PT. United Tractors Tbk. (UNTR) merupakan
perusahaan bergerak pada sektor perdagangan. Ke tujuh perusahaan tersebut,
walaupun bergerak pada sektor usaha yang berbeda namun memiliki satu kesamaan
mengungkapkan pentingnya peran masyarakat bagi perusahaan.
Kelima, tema lingkungan merupakan tema indeks ISR yang cukup banyak
mendapat sorotan dari masyarakat. Dalam penelitian ini terdapat bahwa ada lima
perusahaan pada tahun 2013 dan bertahan sampi 2017 dengan jumlah perusahaan
yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Kelima perusahaan tersebut tiga
pertama bergerak dalam bidang industri pertambangan, perusahaan keempat pada
industri konsumsi, dan perusahaan kelima pada industri properti.
Keenam, tema tata kelola perusahaan. Pada tema ini tahun 2013 terdapat
13 perusahaan, namun turun drastis tahun 2014 hanya tinggal satu perusahaan, lalu
naik lagi menjadi dua perusahaan tahun 2015 dan turun lagi sisa satu perusahaan
pada tahun 2016 dan 2017. Adanya perbedaan pada setiap tahunnya disebabkan
ada perbedaan skor tertinggi antara tahun 2013 dan 2014-2017.
Hasil keenam tema tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-
perusahaan yang terdaftar pada DES belum mampu secara komprehensif
mengungkapkan tanggung jawab sosial pada laporan tahunan perusahaannya,
hanya sebahagian kecil yang mengungkapkannya. Sepatutnya, perusahaan DES
harus mampu memberikan informasi lebih lengkap, apalagi sebagai acuan investasi
bagi para investor yang ingin berinvestasi pada saham syariah. Karenanya, banyak
perusahaan pada DES hanya mampu menyajikan informasi mengenai daftar
perusahaan-perusahaan yang sudah di screening tanpa memberikan informasi lebih
detail mengenai misalnya apakah kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut
telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
135
B. Implementasi Screening Saham Syariah terhadap Pengungkapan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan pada DES
Komitmen mengenai pentingnya praktik pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan secara umum telah banyak diterapakan di Indonesia, tidak
terkecuali perusahaan terdaftar pada Daftar Efek Syariah (DES), terlepas berapa
besar persentase pada masing-masing perusahaan dalam mengungkapkannya. Di
samping adanya undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga
adanya kesadaran bagi setiap perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pengungkapan
tangung jawab sosial ini sangat penting terutama bagi investor. Investor akan
mempertimbangkan informasi CSR yang diungkapan dalam laporan tahunan
perusahaan, sehingga dalam pengambilan keputusan investor tidak semata-mata
mendasarkan pada informasi profit saja.4
Hal ini dapat dibuktikan dari kebijakan screening saham erat kaitannya
bahwa setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan bisnis harus sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Secara eksplisit disebutkan dalam Fatwa DSN-MUI No.
40/DSN-MUI/X/2003 bahwa melarang kegiatan usaha yang bertentangan dengan
prinsip syariah salah satu poinnya menyebutkan memproduksi, mendistribusi,
dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat.
Kriteria DSN-MUI tersebut dipertegas dengan Peraturan OJK Nomor:
35/POJK.04/2017 menjelaskan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip
prinsip syariah selain larangan memproduksi, mendistribusikan,
memperdagangkan, dan atau menyediakan barang dan atau jasa yang haram karena
zatnya (haram li-dzatihi), haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang
ditetapkan oleh DSN-MUI dan poin ke 3 barang dan atau jasa yang merusak moral
dan bersifat mudarat.
Berdasarkan Fatwa DSN dan Peraturan OJK tersebut di atas, maka
menurut penulis bahwa screening saham syariah ada hubungan terhadap tanggung
jawab sosial perusahaan. Hal ini berdasarkan kalimat larangan “kegiatan usaha
yang bertentangan prinsip syariah adalah barang atau jasa yang dapat merusak
moral dan bersifat mudarat”. Ini artinya perusahaan-perusahaan yang terdaftar
pada DES seharusnya terbebas dari merusak moral dan membawa mudharat,
misalnya larangan merusak kelestarian lingkungan dan alam sekitar.
Konsep ini sejalan dengan konsep tanggung jawab sosial oleh SRI dari
barat. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada sosial, lingkungan, dan
etika. Umumnya dikenal sebagai "three P’s rule: people, planet and profit”. Menunjukkan bahwa terdapat tiga dimensi utama dalam pembangungan
berkelanjutan (sustainable), yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Dengan demikian,
kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara
4 Yosefa Sayekti dan Ludovicus Sensi Wondabio, “Pengaruh CSR Disclosure
Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar (2007).
136
berkelanjutan (sustainable) karena ketiga dimensi tersebut saling berhubungan dan
saling mempengaruhi satu sama lain.5
Bahkan Islam tidak hanya sebatas menjaga tiga hal tersebut tapi juga
hubungan spritual. Sebagaimana diungkapkan oleh Hannifa bahwa tanggungjawab
sosial perusahaan pada sistem konvensional hanya fokus pada aspek material dan
moral berbeda dalam Islam dengan menambahkan aspek spritual, beliau kenal
dengan Islamic Social Reporting (ISR). 6
Berdasarkan laporan tahunan perusahaan DES dengan menggunakan
pendekatan Islamic Social Reporting (ISR) bahwa setiap perusahaan sudah
menerapkannya, sebagaimana telah di bahas pada sub bab sebelumnya. Tinggal
lagi permasalahannya adalah sejauh mana perusahaan tersebut mampu
mengimplementasikan tanggung jawab sosial tersebut terhadap perusahaannya.
Berdasarkan pengungkapan ISR, ada banyak bentuk penerapan tanggung jawab
sosial yang telah dilakukan bagi perusahaan 7 yang terdaftar pada DES, yaitu
terbagi kepada enam pokok pembahasan.
1. Tema Pendanaan dan investasi
Tema pendanaan dan investasi terdiri dari lima pokok pengungkapan.
Pertama, yaitu pokok pengungkapan aktivitas yang mengandung unsur riba. Merupakan pokok pengungkapan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan.
Semua perusahaan mengungkapkan bahwa terlibat dalam praktik riba hingga
mencapai 100%. Pengungkapan tersebut mencakup jumlah utang yang
mengandung bunga, jumlah beban bunga, tujuan penggunaan utang yang
mengandung bunga, serta pendapatan bunga.
Selanjutnya, aktivitas perusahaan mengandung g{}{{}}}}harar hanya 40% yang
mengungkapkan pada laporan tahunan, tentunya juga belum tau pasti 60% sisanya
yang tidak mengungkapkan pada laporan tahunan bahwa tidak terlibat dalam
aktivitas gharar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan syariah di
Indonesia belum secara komprehensif mampu mengungkapkan sepenuhnya apakah
mereka terlibat dalam kegiatan gharar atau tidak.
5 Thomas Dyllick and Kai Hockerts, “Beyond The Business for Corporate
Sustainability,” John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment (2002): 130-141.
DOI:10.1002/bse.323. 6 Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspective,”
Indonesian Management and Accounting Research Journal, Vol. 1 No. 2 (2002) 7Di dalam al-Qur’an banyak di singgung secara eksplisit tentang industri antara
lain: industry besi, baja, dan kuningan. Saba‘ [34]: 10,11, dan 12; industri perhiasan emas,
perak, mutiara, dan sustra. Al-Insa>n [76]: 15-16, Al-Kahfi {[18]: 31; industri minyak nabati
dan pertambangan. Al-Mu’minun [23]: 20, Al-Hadid [57]: 25; industri tekstil dan kaca. An-
Nahl [16]: 80. An-Naml [27]: 44; industri keramik, batu bata, dan bangunan. Al-Qasa>s
[28]38, al-Mu’min [40]: 36-37, Al-Fajr [89]: 6-9; industri perkapalan. Hu>d [11]: 37, 38, dan
42. Al-Qamar [54]: 13-14.
137
Terhadap dua item pengungkapan tersebut, jika dihubungkan dengan
Fatwa DSN-MUI disebutkan bahwa salah satu kriteria prinsip-prinsip syariah pada
pasar modal syariah adalah terbebas dari unsur riba dan gharar,8 begitu juga dengan
keputusan OJK.9 Ini menunjukkan bahwa belum tegasnya DSN-MUI dan OJK
dalam proses screening sehingga terkesan masih terlalu longgar dalam proses
penyeleksian saham syariah. Belum lagi ketidakjelasan besarnya persentase
praktek riba yang terjadi pada setiap perusahaan. Hal ini karena pada laporan
tahunan perusahaan tidak dirincikan secara komprehensif besarnya keterlibatan
dalam praktek riba dan terjadinya gharar pada perusahaan bersangkutan.
Para pakar cendikiawan muslim kontemporer telah memberikan beberapa
dasar pemikiran logis bagi larangan riba (bunga) dengan menunjukkan secara tidak
langsung konsekuensi dari praktek bunga pada masyarakat, yaitu merupakan
bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi yang merusak inti ajaran Islam tentang
keadilan sosial. Karena itu, penghapusan bunga dari sistem ekonomi ditujukan
untuk memberikan keadilan ekonomi, keadilan sosial, dan perilaku ekonomi yang
benar secara etis dan moral. 10
Di samping itu, bahwa eksistensi riba tidak sesuai dengan sistem nilai
Islam, yang melarang semua bentuk pencarian kekayaan yang tidak bisa
dibenarkan. Riba yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak setara
dan karena itu tidak dibenarkan, berbeda dari perdagangan yang menghasilkan
pertukaran nilai setara. Dengan menghilangkan riba, tiap pihak dalam akad
mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada akhirnya akan mengarah
kepada distribusi penghasilan yang setara dan kemudian sistem ekonomi yang
lebih adil.11
Sementara itu, dasar pemikiran dari mengapa al-Qur’an mewahyukan ayat
yang tegas melarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi
dan mendukung sistem ekonomi yang bertujuan menegakkan keadilan sosial
ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Karena itu Islam mengutuk
semua bentuk eksploitasi khususnya ketidakadilan. Dalam al-Qur’an ditemukan
informasi mengenai riba terulang sebanyak delapan kali terangkum dalam empat
surat yang berbeda, yaitu: al-Ru>m [30]: 39; A<li ‘Imra>n [3]: 130; al-Baqarah [2]:
275-279; al-Nisa>’ [4]: 161. Beragamnya ayat tentang riba tersebut sehingga yang
membuat kemudian al-S{a>bu>ni> dan Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi>, berkesimpulan
bahwa larangan terhadap praktik riba tersebut terjadi secara bertahap dan perlu
proses. Pada tahap awal riba dilarang karena ada unsur negatif di dalamnya, al-
Ru>m [30]: 39, berlanjut al-Nisa>’ [4]: 161 yang memberikan isyarat keharamannya,
8 Keputusan DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. 9Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar
Efek Syariah. 10Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory
and Practice (Singapore: Jhon Wiley & Son, 2007), 81-83. 11Zamir Iqbal and Abbad Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance, 82.
138
dan tahap berikutnya secara eksplisit redaksi ayatnya menyatakan keharaman
tentang riba yang diungkapkan dalam A<li ‘Imra>n [3]: 130, serta tahap terakhir
diharamkan secara konkret dalam berbagai bentuknya dalam al-Baqarah [2]: 278.12
Sementara itu ulama tafsir lainnya memberi penjelasan bahwa kandungan
al-Ru>m [30]: 39 itu adalah merupakan riba atas pemberian sesuatu kepada orang
lain karena ada motif-motif tertentu, seperti menginginkan balasan hadiah yang
lebih besar atau karena ingin mendapatkan fasilitas, dengan demikian tidak
berdasarkan keikhlasan murni. Pendapat tersebut berpijak dari riwayat berasal dari
Ibn Abbas yang menyatakan bahwa riba dalam al-Ru>m [30]: 39 ini adalah riba
berkaitan dengan hadiah yang mengharapkan balasan yang lebih besar.
Rashid Rid}á mengemukakan pendapat yang menarik, Ia berpendapat bahwa
riba yang diharamkan itu adalah adanya unsur berlipat ganda di dalamnya. Rashid
Rid}a menjadikan A<li ‘Imra>n [3]: 130 sebagai yang substansial mengenai keharaman
riba. Pendapatnya ini terlihat jelas ketika ia mengaitkan kata الربوا dalam surat al-
Baqarah [2]: 275-278 yang difahaminya mempunyai unsur berlipat ganda.
Pendapat ini didukung argumentasi bahwa kata الربوا dalam surat A<li ‘Imra>n 130
dan surat al-Baqarah 275-278 sama-sama berbentuk makrifat. Menurutnya, bahwa
telah menjadi kaidah bahasa, apabila terdapat kosa kata berbentuk ma’rifat
mengalami pengulangan, maka pengertian kosa kata kedua (kata الربوا dalam surat
al-Baqarah) sama dengan pengertian لربواا dari kosa kata pertama dalam surat A<li
‘Imra>n ayat 130. Dengan demikian berarti, bahwa الربوا dimaksud pada tahapan
kedua (surat al-Baqarah ayat 275-278) adalah bentuk 13.أضعافا مضاعفا
Sementara itu menurut Abu> Zahrah, riba yang diharamkan oleh al-Qur’a>n
adalah setiap tambahan sebagai imbalan masa tertentu yang ditangguhkan, baik
yang bersifat konsumtif maupun produktif.14
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor menjelaskan setidaknya ada dua
persyaratan dibolehkan pemasukan yang berasal dari bunga, yaitu: Pertama,
pemegang saham harus menolak dan mengekpresikan ketidaksetujuannya terhadap
bunga tersebut, kalau perlu menentang aktivitas tersebut berkembang pada saat
rapat umum pemegang saham tahunan perusahaan. Kedua, melakukan pembersihan
pendapatan bunga melalui pemberian sumbangan. Oleh karena itu, pendapatan
bunga dalam dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham harus diberikan
untuk amal sosial dan tidak boleh diambil oleh pemegang saham sebagai bagian
dari keuntungan yang diperoleh. Misalnya terdapat 10% dari keseluruhan
12Muh}ammad ‘Ali> al-S}a>bu>ni>, Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-
Qur’a>n (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Islami>yah, 2001), 389. Lihat juga Ah}mad ibn Must}afa> al-
Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> (Kairo: Shirkah Maktabah Must}afa> al-Ba>b al-H{alabi>, 1946), 59-
61. 13Muh}ammad Rashid Rid}á Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-
‘Ilmi>yah, 1999), 145. 14Muh}ammad Abu> Zahrah, Buh}u>th fi al-Riba> (Kairo: Da>r al-Buh}u>th al-‘Ilmi>yah,
tt), 125.
139
pemasukan berasal dari simpanan berbasis bunga, maka 10% deviden tersebut
harus diberikan untuk amal agar dapat mensucikan pendapatan dividen.15
Berdasarkan dua persyaratan tersebut, jelas bahwa sebenarnya Islam
menolak pendapatan yang diperoleh dari bunga. Jika pun terdapat pendapatan dari
hasil bunga harus ditentang dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik saham.
Terhadap dua persyaratan tersebut, untuk konteks saham-saham syariah di
Indonesia menurut pengamatan penulis belum berjalan dengan maksimal. Adanya
penolakan dan mengekpresikan ketidaksetujuan oleh pemegang saham pada saat
rapat umum tahunan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, pun demikian
mengeluarkan seluruh pendapatan bunga untuk disumbangkan kepada pihak yang
berhak menerimanya juga tidak diungkapkan berapa persentase yang dikeluarkan
untuk amal kebajikan pada laporan tahunan perusahaan yang diperoleh dari hasil
pendapatan bunga.
Ke depan sudah seharusnya, DSN mempertegas setiap emiten untuk bisa
menghindar dari praktik riba. Untuk menjaga terjadinya perdebatan adanya
pemahaman bahwa praktik riba sedikit ataupun banyak tetap di larang dan tidak
ada ‘illat yang membolehkannya. Hal ini permasalahannya bukan pada berapa
persentasi unsur ribawi yang dipraktikkan. Dengan demikian saham yang
diterbitkan dan diperdagangakan dari suatu emiten yang terlibat unsur ribawi
menjadi haram. Sebab terjadi percampuran antara modal yang halal dengan modal
yang haram, sehingga tidak bisa dipilah-pilah lagi mana modal murni dengan
bunganya.16
Setelah larangan praktek riba, menurut Bal‘abbas muncul larangan-
larangan lainnya dalam akad keuangan Islam, seperti ihtika>r (monopoli), gharar (ketidakpastian), jaha>lah (ketidakjelasan), maysir (judi), tadli>s (informasi palsu),
dan sebagainya. Sama halnya zakat sebagai fondasi sistem ekonomi syariah
mencakup kepada berbagai jenis pemberian, seperti sedekah sunat, kafarat, wakaf,
wasiat, waris, hibah, dan sebagainya.17
Pengungkapan selanjutnya tentang pengungkapan gharar. Gharar merupakan ketidakpastian yang terjadi akibat incomplete information dalam lima
hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan, dan akad. 18 Sementara itu yang mengungkapkan dalam laporan tahunan hanya mencapai 40
persen. Ini artinya bahwa hanya 45 persen perusahaan yang terlibat dalam praktek
gharar. Perusahaan yang terlibat tersebut ternyata terdapat antara praktek gharar
15Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory
and Practice, 245.
16 Taqyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif
Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 124. 17‘Abd. al-Razzaq Sa‘id Bal‘abbas, “Hal Qas}ar al-Fuqaha>’ al-Mu‘a>s}irun fi Bayan
Us}u>l al-Niz}a>m al-Iqtisa>d al-Isla>my?,” Jurnal Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz,
Vol. 21, No.1. 18 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet-7 (Jakarta: Azkia
Publisher, 2009), 76.
140
dalam bentuk warant dan option,19 sementara untuk praktek hegding, short selling,
dan derivatif lainnya tidak ada yang mengungkapkannya.20
Waran menurut Undang Undang No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada
pemegang efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu
setelah enam bulan atau lebih sejak efek dimaksud diterbitkan.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa waran adalah hak
untuk membeli saham atau obligasi bukan kewajiban dengan harga yang telah
ditentukan sebelumnya oleh penerbit waran atau emiten. Ini artinya jika pemilik
waran tidak mau melaksanakan haknya menukar jadi saham maka tidak masalah,
tapi kalau tidak dieksekusikan maka waran tersebut akan hangus setelah jatuh
tempo.
Waran sendiri merupakan sekuritas atau efek yang sebenarnya adalah
sebuah call option. Biasanya, produk ini diterbitkan ketika perusahaan melakukan
initial pulic offering (IPO) atau right issue. Tujuannya supaya investor semakin
tertarik untuk ikut dalam aksi korporasi perusahaan (IPO/right issue) dan biasanya
dilakukan bagi perusahaan yang saham publiknya sedikit kurang likuid. Jadi,
warrant dan option sebenarnya fungsinya adalah sebatas pemanis (sweetener)21 karena dikenal sebagai salah satu efek yang diperjualbelikan di pasar modal yang
secara fisik belum ada tetapi sudah bisa diperjualbelikan sebagai turunan langsung
dari saham.22
19Salah satu instrument derivatif yang memegang perang penting dalam pasar
derivatif adalah opsi. Berdasarkan jenis hak yang diberikan kepada pemegangnya, opsi
terbagi menjadi dua yaitu opsi beli (call option) dan opsi jual (put option). Opsi beli adaah
yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli sejumlah tertentu saham suatu
perusahaan dengan harga dan waktu tertentu. Sedangkan opsi jual memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menjual sejumlah tertentu saham perusahaan dengna harga dan waktu
tertentu pula. Sedangkan bila berdasarkan periode waktu dan hak yang dimiliki
pemegangnya, opsi terbagi menjadi dua tipe yaitu American Option dan European Option.
American merupakan suatu tipe opsi yang mengizinkan pemilik dari opsi untuk meng-
exercise opsi tersebut kapan saja baik sbelum jatuh tmepu maupun pada saat jatuh tempo.
Sedangkan, European mengizinkan pemilik dari opsi untuk meng-exercise opsi hanya pada
saat jatuh tempo. Sawidji Widioatmodjo, Cara Sehat Investasi di Pasar Modal (Jakarta:
Elex Media Computindo, 2005), 163. 20 Bentuk gharar dalam ekonomi konvensional meliputi perdagangan tanpa
penyerahan (future non delivery trading) atau margin trading, jual beli valuta asing bukan
transaksi komersial (arbitrage) baik spot maupun forward, melakukan penjualan melebihi
jumlah yang dimiliki atau beli (short selling), melakukan transaksi pure swap, capital, lease, future warant, option, dan transaksi-transaksi derivatif lainnya. Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, 81.
21Adrian Sutedi, Pasar Modal: Mengenal Nasabah sebagai Pencegahan Pencucian Uang (Bandung: Alfabeta, 2013), 108.
22Aturan Daftar Efek Syariah Terbelit Waran Dan Option
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17458/aturan-daftar-efek-syariah-terbelit
waran-dan-option/ (diakses 27 Agustus 2019).
141
Dalam transaksi jual beli waran di bursa tidak terlepas dari empat hal,
yaitu harga wajar, tanggal jatuh tempo untuk eksekusi/penebusan, harga
penebusan/eksekusi, dan harga saham induk dari waran dimaksud. Pertama,
mencari harga wajar sebuah waran, yaitu dengan melihat harga saham induknya
dikurangi harga eksekusi. Misalnya, saham WXYZ sekarang sudah menjadi Rp.600
per saham sedangkan harga eksekusi sebesar Rp.500. Maka rumusnya Rp. 600 –
Rp.500 = Rp.100. Itu lah harga wajar sahamnya dan menjadi acuan untuk jual beli
waran.
Lalu harus mengetahui tanggal jatuh tempo eksekusi atau penebusan waran
menjadi saham berguna sebagai proyeksi dan strategi apakah akan menjual atau
membeli waran tersebut. Dalam masalah ini, bagi pemilik waran, jika dia tidak
berminat menggunakan haknya menebus menjadi saham sedangkan masa jatuh
tempo misalnya tinggal dua bulan lagi maka dia harus menjual. Berapapun itu
harganya karena gratis. Namun bagi investor yang berniat membeli waran tersebut,
perhitungannya harus matang. Jika sisa hanya dua bulan jelang jatuh tempo
penebusan sedangkan harga induk sahamnya, misalnya saham WXYZ, itu tadi
tiba-tiba turun menjadi Rp.400, resikonya adalah rugi besar. Sebab saat jatuh
tempo terjadi dan dia harus menebusnya menjadi saham maka ada potensi nombok
Rp.100 sebab harga penebusan alias eksekusinya waran itu menjadi saham
ditetapkan Rp.500. Di sisi lain, jika dia mau jual lagi, harga waran yang terimbas
negatif berupa penurunan harga saham induknya sampai di bawah harga eksekusi,
nilainya bisa turun parah bahkan bisa sampai Rp 1 per waran. Sebaliknya, jika
harga saham induknya naik, harga transaksi waran di bursa juga bisa ikut naik
bahkan persentase kenaikannya jauh melebihi persentase kenaikan harga saham
induknya. Sebab selain ada selisih, ada analisa juga, misalnya kelak harga saham
induknya akan naik lebih tinggi lagi. Tentu saja dengan asumsi perusahaan
penerbit saham itu kinerjanya bagus atau ada proyeksi positif di masa mendatang.
Adanya praktek seperti ini sudah jelas di larang dalam Islam.23
Inilah yang membuat waran masih ada sebahagian yang melarang, karena
ada untung-untungan di dalamnya dan memperjualbelikan yang secara fisik belum
ada. Berdasarkan analisa jatuh tempo dan kondisi perusahaan. Jika prediksinya
tepat bisa untung namun kalau prediksi salah bisa berakibat rugi besar. Ini juga
yang kemudian DSN-MUI mempermasalahkan keberadaan waran ini sebelum
masuk emiten pada DES. Sebagaimana di sampaikan oleh Anggota DSN MUI
Mohammad Hidayat tahun 2007 mengatakan waran dan option bersinggungan
dengan prinsip-prinsip syariah. Artinya, ada prinsip-prinsip syariah yang
dikhawatirkan akan terlanggar. Hidayat menjelaskan "Salah satu prinsip syariah
yang tidak boleh dilanggar, khususnya untuk produk waran dan option ini adalah
yang bersifat gharar (tidak jelas) dan maysir (judi). Itulah yang dikhawatirkan
kalau produk ini bisa memasuki wilayah itu," ucapnya kepada hukumonline.
23http://investasiku.co.id/blog/blog_id/mengenal-waran-pemanis-yang-bisa
berubah-jadi-pahit-2017-11-28-15-19-34 (diakses 22 Januari 2019).
142
Belakangan DSN akhirnya membolehkan praktek waran pada pasar modal.
Hal ini berdasarkan fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN/MUI/III/2008 tentang
Waran Syariah pada tanggal 6 Maret 2008. Dalam fatwa tersebut menjelaskan
waran berdasarkan prinsip syariah adalah efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek yang termasuk dalam Daftar
Efek Syariah (DES) untuk memesan saham dari emiten pada harga tertentu untuk
jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih sejak diterbitkannya tersebut. Dengan
demikian berdasarkan fatwa ini dapat dipahami waran adalah produk turunan
saham (derivatif) yang dinilai sesuai dengan kriteria DSN. Pemilik saham dengan
waran diperbolehkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain
dengan mendapat imbalan.24 Sementara fatwa DSN-MUI dan Bapepam LK sendiri
sudah mentapkan sebelumnya dalam nota kesepahaman tentang kriteria efek yang
dapat dimasukkan dalam Daftar Efek Syariah (DES) bahwa terbebas dari transaksi
yang di dalamnya mengandung unsur d}arar, gharar, riba, maisir, rishwah, maksiat
dan kezhaliman. Lalu kenapa praktek ini terjadi pada beberapa perusahaan DES,
ini lah yang menjadi permasalahan bahwa masih ada kelonggaran-kelonggaran
pada saham syariah walaupun sudah melewati proses screening sebelumnya.
Dari 139 perusahaan di DES bahwa tidak sampai setengahnya perusahaan
yang menginformasikan bahwa terlibat kegiatan gharar, padahal kalau kita melihat
dari beberapa pemikiran ulama klasik bahwa pada zaman sekarang untuk terlepas
dari praktik gharar bukan persoalan gampang dan mustahil keseluruhan dapat
dihindari dan dihapuskan dalam praktik jual beli. Ini juga yang kemudian membuat
sebagian ada yang membolehkan praktik gharar selagi tidak terlalu banyak. Yusu>f
Qard}awi misalnya, mengungkapkan bahwa gharar yang di larang adalah yang
sifatnya al-kathi>r¸ yakni jumlah atau kuantitas ghararnya banyak karena merusak
transaksi sementara gharar al-yasi>r (sedikit) dan tidak sampai menimbulkan
kerugian dan resiko yang besar hukumnya menjadi tidak haram, karena sudah
difahami melalui‘urf.25
Pendapat sama dari Ibn Qayyim bahwa gharar dalam jumlah sedikit atau
tidak mungkin dihindari dan tidak mempengaruhi keabsahan akad berbeda
24Awaluddin, “Pasar Modal Syariah : Analisis Penawaran Efek Syariah Di Bursa
Efek Indonesia”, Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 2, (2016): 137-150. 25‘Urf adalah sesuatu yang manusia sepakat atas perbuatan itu dalam hidupnya.
‘Urf dapat dibedakan menjadi‘Urf s}ahih dan Urf fa>sid. Urf s}ahih adalah apa-apa yang
diketahui orang banyak, tidak menyalahi syariat, tidak mengharamkan sesuatu yang haram
dan tidak membatalkan sesuatu yang wajib. Sedangkan Urf fa>sid yaitu apa yang saling
dikenal manusia, tapi bertentangan dengan syariat, atau menghalalkan sesuatu yang haram,
atau mengharamkan sesuatu yang halal, atau membatalkan sesuatu yang wajib.Yulizar D.
Sanrego Nz, Falsafah Ekonomi Islam: Ihtiar Membangun dan Menjaga Tradisi Ilmiah Paradigma dalam Menggapai Falah (Jakarta: Karya Abadi, 2014), 133. Lihat juga Yu>suf al-
Qard}a>wi, al-Halal wa al-Hara>m fi> al-Isla>m (al-Maktabah al-Isla>mi> li al-Tiba‘ah wa al-
Nashr, 1967), 209.
143
masalahnya gharar dengan nisbah besar atau mungkin untuk dihindari maka tetap
diharamkan.26
Hashim Kamali dalam Islamic Commercial Law menjelaskan bahwa untuk
dapat memiliki akibat hukum gharar ada empat syarat. Pertama, tingkatan gharar tersebut sangat tinggi (eksessif). Kedua, harus terjadi pada kontrak yang bersifat
kumulatif (mu‘awad{a>t), bukannya semacam pemberian (tabarru‘at). Ketiga,
kesamaran itu terjadi pada objek utama, bukan objek pelengkap. Keempat, bahwa
objek dalam kontrak tersebut bukan suatu barang yang sedang dalam kebutuhan
mendesak. Dari empat hal di atas, meski gharar itu dapat berupa berbagai macam,
namun empat elemen gharar tersebut dengan jelas memberikan batasan bahwa
tidak setiap gharar berperan sebagai faktor yang dapat melarang suatu transaksi.
Hanya gharar yang tinggi tingkatannya (eksessif) yang pada gilirannya jika sebuah
kontrak terlibat hal ini akan menjadikan kerugian di salah satu pihak, lain halnya
gharar tingkat rendah yang sudah umum terjadi dan sulit dihindari serta biasanya
diterima oleh para pihak.27
Erwandi Tarmizi juga memberikan pemahaman yang sama dengan
memetakan bahwa ada beberapa kriteria gharar yang tergolong diharamkan dengan
beragumen kepada beberapa hadits dan pendapat ulama, yaitu 1) tingkatan nisbah
gharar dalam akad yang besar; 2) keberadaan gharar dalam akad mendasar bukan
sebagai akad pengikut;28 3) akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad
yang dibutuhkan orang banyak; 4) gharar terjadi pada akad jual beli.29
Selanjutnya menurut Al-Sanhuri bahwa ada beberapa unsur suatu
perbuatan tersebut tergolong kepada gharar, yaitu 1) barang yang diperdagangkan
belum ada; 2) penjual tidak dapat menyerahkan barang; 3) penjualan barang
dilakukan dengan cara melakukan transaksi; 4) kontraknya tidak jelas sehingga
dapat menggiring pembeli kepada suatu praktik penipuan.30
Dari beberapa macam gharar yang dikemukakan di atas, lalu yang menjadi
pertanyaannya, apakah praktik gharar yang terjadi pada perusahaan DES termasuk
26Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad Cet. XXVII
(Kuwait: Maktabah AL Manar, 1994), 820. 27Muhammad Hashim Kamali, Islamic Commercial Law; an Analysis of Futures
and Options (Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher, 2002), 84. 28Erwandi menjelaskan adapun gharar pada akad hanya sebagai pengikut maka
dibolehkan karena tidak merusak akad. Dengan demikian menjual binatang ternak yang
bunting, menjual binatang yang menyusui, dan menjual pohon yang ada sebagian buahnya
yang belum matang hukumnya dibolehkan. Hal ini disebabkan janin, susu, dan buah
tersebut tidak jelas, karena keberadaanya dalam akad hanya sebagai pengikut dan bukan
tujuan akad jual beli. Sebagaimana hadits Nabi SAW:
ط املبتاع )رواه البخارى واملسلم( من ابتاع خنال بعد أن تـؤبر ، فثمرهتا للبائع إال أن يشت 29Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, Cet-21 (Bogor: Berkat
Mulia Insani, 2019), 248-251. 30Al-Sanhuri>, Masa>dir al-Haq fi al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz 3 (Qaherah: Da>r Ihya> al-
Turath al-‘Arabi, 1967), 13.
144
gharar yang dibolehkan atau dilarang. Hal ini tentunya belum bisa di jawab dengan
tegas, karena untuk memenuhi syarat gharar yang dibolehkan harus memenuhi
beberapa persyaratan di atas. Hal ini tentunya susah bagi perusahaan untuk
membuktikannya, misalnya tingkat nisbah gharar tidak jelas apakah tergolong
tinggi atau rendah, karena tidak disampaikan dalam laporan tahunan begitu juga
bahwa gharar bisa dimaafkan barang yang diproduksi haruslah termasuk yang
dibutuhkan orang banyak. Sementara tidak semua perusahaan DES memproduksi
kebutuhan orang banyak, ada yang bergerak pada industri batu bara, semen, kebun
sawit, properti, dan lain sebagainya.
Ungkapan berikutnya adalah kewajiban zakat, yang mana hanya ada satu
perusahaan yang mengungkapkan dalam laporan tahunannya dari tahun 2013-2017,
yaitu perusahaan PT Astra International (ASII). Ironis memang, begitu banyak
perusahaan yang masuk DES hanya satu perusahaan yang mengungkapkannya.
Tidak terbayangkan, jika perusahaan pada DES bersedia mengeluarkan zakatnya,
tentu sangat membantu masyarakat miskin minimal di sekitar perusahaan tersebut
beroperasi.
Sebab zakat merupakan poros dan urat nadi sumber keuangan negara dalam
Islam, meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi.31 Dalam bidang moral dengan
mengeluarkan zakat akan mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya
terhadap harta yang dimiliki. Dalam bidang sosial, sebagai instrumen khas yang
diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan
menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam
bidang ekonomi, mencegah penumpukan harta kekayaan yang hanya terdapat pada
kalangan elit ekonomi saja.32
Namun pada kenyataannya zakat, infak, dan sedekah (ZIS) sebagai sumber
pendanaan sosial ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan sosio-ekonomi
yang dihadapi masyarakat. Padahal, berdasarkan sejumlah penelitian, potensi zakat
di Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun. Namun, yang baru terkumpul hanya 0,2
persen atau Rp 6 triliun pertahun. Ini artinya, masih ada sebesar 98 persen lagi
yang belum terkumpul.33
31 Keberhasilan zakat ini setidaknya bisa terlihat pada zaman pemerintahan
khalifah Umar ibn Abdul Aziz, hanya dalam waktu sekitar dua tahun lima bulan masa
pemerintahannya, program ZIS terbukti dapat menghilangkan kemiskinan di wilayah yang
dipimpinnya. Bahkan hasil dana zakat yang terkumpul dikirim ke negara tetangga,
khususnya Afrika Utara yang masih hidup penuh kemiskinan. Lihat Multifiah, “Peranan
Zakat, Infak, dan Shadaqah Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Miskin,” Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Vol 21, Nomor 1, (Februari 2009): 2.
32Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995), 256; Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), 80
33 Republika.co.id, “Kemenag:Potensi Zakat Nasional Capai Rp217 Triliun”,
www.republika.co.id/berita/dunia-islam-nusantara/18/02/23/p4mlgs409-kemenag-potensi-
zakat-nasional-capai-rp-217-triliun. (Diakses 22 Desember 2019).
145
M. Fahim Khan memberikan perspektif dinamis bahwa zakat memberikan
efek positif bagi perekonomian. Dengan memberikan model sederhana meskipun
terdapat kemungkinan penurunan aggregate savings bagi perusahaan dalam jangka
pendek, tetapi penurunan tersebut segera berbalik dan mendorong income dan
pertumbuhan jangka panjang yang lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi ketika kondisi
ekonomi masyarakat miskin semakin membaik akan membuka peluang kegiatan
perusahaan semakin produktif yang pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas
pendapatan perusahaan.34
Lalu pertanyaannya, kenapa perusahaan yang terdaftar di DES banyak
tidak mengungkapkannya, jika dilihat dari nama-nama pemilik perusahaan pada
tingkat direksi dan dewan komisaris bisa jadi memang kebanyakan mereka non
Muslim sehingga tidak ada kewajiban untuk membayar zakat, berbeda halnya
dengan Malaysia, Muslim atau tidaknya seseorang dapat langsung diindentifikasi
secara langsung melalui nama penduduknya. Namun, terlepas dari itu semua, yang
terpenting adalah dilihat pada aspek kelembagaan, setidaknya pemerintah
membuat ketegasan ketika perusahaan tersebut tergolong perusahaan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah tentunya juga ada kewajiban membayar zakat di
dalamnya, sebagaimana lembaga perbankan syariah sudah menerapkan kewajiban
zakat pada setiap bank syariah.35
Hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 pasal 4
menjelaskan, bahwa perbankan syariah memiliki kewajiban untuk menjalankan
fungsi menghimpun (funding) dan menyalurkan (lending) dana dari masyarakat.
Selain itu, dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitulmal, 36
yakni menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana
sosial lainnya, dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.37
34M. Fahim Khan, Essay in Islamic Economic (UK: Islamic Foundation, 1995),
175. 35 Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan 20 Badan/Lembaga sebagai
penerima zakat atau sumbagan keagamaan yang sifatnya wajib. Zakat atau sumbangan
keagamaan ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2011. 36 Baitulmal dalam Islam adalah Gudang kekayaan negara yang di dalamnya
terdapat hak orang- orang miskin pada masing-masing bagiannya. Hal itu karena Baitulmal
ada empat macam; 1). Baitulmal untuk menyimpan harta rampasan perang 2). Baitulmal
untuk menyimpan pungutan upeti dan pajak. 3). Baitulmal untuk menyimpan zakat. 4).
Baitulmal untuk harta yang tidak bertuan. Muh}ammad Abu> Zahrah, Buh}u>th fi al-Riba, 14-
16. 37Dengan adanya UU ini sebagian Bank ada yang memiliki yayasan atau lembaga
amil zakat perusahaan sendiri. Misalnya, Bank Muamalat Indonesia mendirikan Baitul Mal
Muamalat, Bank Syariah Mandiri mendirikan Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS)
BSM Umat. Sebagian Bank yang lain dengan bermitra dengan pihak lain. Misalnya, Bank
Syariah Mega Indonesia (BSMI) bekerja sama dengan beberapa yayasan social seperti
Yayasan Islam al-Muawanah pimpinan Prof. Dr. Umar Shihab, Yayasan Bintang Rahman
(RS. Sari Asih), Lazis Muhammadiyah, Lazis Nahdatul Ulama, Pesantren-psantren, dan
Majelis Ulama Indonesia. Bank Syariah Mega Indonesia: Laporan Tahunan 2010.
146
Dalam Islam sendiri telah telah diatur tentang zakat investasi berbentuk
saham, walaupun terjadi perbedaan berapa persentase yang harus dikeluarkan,
yaitu ada dua pendapat. Pendapat pertama, datang dari beberapa ulama terkemuka
abad ke-20, seperti Muhammad Abu Zahrah, 'Abd al-Rahman Hasan, dan Abd al-
Wahhab Khallaf, berpendapat bahwa saham dianggap sebagai barang yang dapat
diperdagangkan (urud al tija>rah), maka kewajiban zakatnya sebagai barang niaga.
Penghitungan berdasarkan nilai pasarnya saat jatuh tempo zakat ditambah semua
pembagian pendapatan dari tahun tersebut dalam bentuk dividen. Adapun ukuran
zakatnya adalah 2,5 persen. Pendapat ini sejalan dengan al-Qardawi (1999), The
Zakat Foundation of America, The International Islamic Fiqh Academy of the OIC
(OKI) karena pendekatan ini lebih cocok untuk pembayar zakat karena lebih
sederhana dan mudah penghitungannya.
Pendapat kedua, investasi saham diperlakukan seperti tanah pertanian dan
dibebaskan dari zakat. Jika seorang investor telah membeli saham dengan tujuan
untuk investasi jangka panjang, keuntungan sebenarnya - dan bukan modal
produktif itu sendiri-yang harus dikeluarkan zakatnya. Pendapatan dari saham
serupa dengan “hasil dari tanah yang dibajak” dan oleh karena itu dividen dan
capital gain dikenakan zakat dengan tarif 10 persen. Hal ini dikiaskan dengan
keuntungan dari lahan pertanian yang diairi oleh air hujan dan bukan dengan
mekanisme irigasi. Amana Mutual Funds Trust dan Mahmoud Abu-Saud
mendukung pendapat ini, menurutnya lebih rasional dan lebih adil memperlakukan
investasi sama dengan menggarap lahan pertanian, terutama di zaman sekarang ini
di mana kegiatan industri, komersial, dan pertanian telah menjadi begitu terkait
dan saling bergantung sehingga sulit untuk memisahkan atau membedakannya dari
yang lain. Belakangan di ketahui al-Qardawi lebih cenderung mendukung pendapat
kedua walaupun awalnya beliau lebih menyukai pendapat pertama yang
memperlakukan investasi pada saham sebagai aset yang dapat diperdagangkan
yang tunduk pada zakat sebesar 2,5 persen. Tampaknya al-Qardawi percaya bahwa
kedua pendapat itu masuk akal dan menyarankan bahwa metode mana pun dapat
dipilih oleh pengelola zakat atau muzakki.38
Choudhuri menegaskan bahwa zakat merupakan salah satu syarat dan
komponen penting dalam laporan keuangan perusahaan yang menjalankan prinsip-
prinsip syariah. Model analisis keuangan yang ditawarkan juga berbanding lurus
antara zakat, income, dan employment, karena ide dasar diwajibkan zakat adalah
transformasi produktif sehingga bisa tumbuh dan berkembang.39
Oleh karena itu, pemerintah memiliki peranan yang amat penting dalam
pengelolaan zakat, sebab tanpa landasan dan yudisial yang kuat dari negara, tidak
mungkin zakat bisa berjalan dengan baik. Kewajiban zakat di Indonesia sebenarnya
38Shafiqur Rahman, “Ethical Investment in Stock Screening and Zakat on Stock”,
Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015): 39-62. 39M. A. Choudury, Contribution to Islamic Economy Theory: A Study in Social
Economic (London: MacMillan, 1992), 81.
147
sudah diatur oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-undang, Keputusan
Presiden dan Keputusan Menteri tentang zakat, yaitu:
1. Pada tanggal 23 September 1999, disahkan Undang-undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dan pada tanggal itu pula diundangkan oleh
Menteri Negara Sekretaris Negara RI, Muladi, dengan Lembaran Negara RI
Tahun 1999 Nomor 164.
2. Tahun yang sama, diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama Nomor 581
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
3. Tahun 2001, keluar pula Keputusan Presiden RI Nomor 8 tahun 2001 tentang
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
4. Tahun 2003, dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.40
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tersebut, hasil
amandemen Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
karena dianggap belum mampu menjawab pemasalahan pengelolaan, namun
mengakibatkan terjadinya perdebatan serius. Salah satu isu kritis yang menjadi
perdebatan adalah sentralisasi zakat. Sebagian kalangan menghendaki zakat
dikelola oleh negara, baik secara langsung atau tidak langsung. Zakat dikelola
negara secara langsung sebagai satu instrumen pendapatan negara, selain pajak.
Adapun dikelola negara secara tidak langsung berarti zakat dikelola oleh Badan
Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Kelompok lain mengharap pengelolaan
zakat diserahkan kepada masyarakat, peran negara sebatas sebagai pengawas dan
regualator saja.41
Dengan dikeluarkan Undang-undang amandemen tersebut tentunya umat
Islam di Indonesia sepatutnya merasa lega, karena kedudukan zakat sudah
menempati posisi formal dan memiliki regulasi payung hukum yang kuat di
Indonesia. Pada Bab II Pasal 5 ayat 1 secara tegas menyebutkan, “Untuk
melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZ”. 42 Berdasarkan
40 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 711-744. 41Muhammad Maksum, “Pengelolaan Zakat Perspektif Peraturan Perundangan”
diambil dari Muhammad Atho Mudzar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif: Dinamika Integrasi Ilmu Hukum, Hukum Ekonomi dan Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), 64-65.
42Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Bab I Pasal 1 dijelaskan
bahwa ada tiga organisasi zakat yang diakui, yaitu BAZNAS, Lembaga Amil Zakat (LAZ),
dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang
memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
148
UU tersebut, pemerintah mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) yang langsung di
bawahi negara. Badan amil zakat didirikan pada semua tingkatan, mulai tingkat
nasional hingga kabupaten/kota. Posisi ini semakin diperkuat dengan keputusan
Presiden RI Nomor 8 Tahun 2001 tentang dibentuknya Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS).
Reduksi undang-undang tersebut kalau diperhatikan dengan seksama masih
memiliki kelemahan, yaitu pemerintah hanya memiliki wewenang untuk
membentuk amil zakat yang bertugas untuk mengumpulkan dana zakat dan
mendistribusikannya kepada yang mustahik. Untuk itu ada beberapa kelemahan,
yaitu: pertama, tidak ada wewenang BAZ untuk bertindak dan bertanggungjawab
memungut zakat terhadap muzakki. Kedua, BAZ tidak diberikan wewenang dan
tangung jawab menghitung harta muzakki, sedangkan muzakki sama sekali tidak
dibebankan sanksi bagi yang sudah diwajibkan untuk berzakat (muzakki) untuk
dibayar kepada negara, hal ini sifatnya hanya kesadaran (volountary system(. Ketiga, tidak ada mekanisme yang jelas apabila muzakki membagi-bagi zakatnya
kepada mustahiq, apakah perlu memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ,
kemudian disahkan oleh BAZ, dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika
membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang
telah dikeluarkan.43
Berbeda dengan negara muslim lainnya, misalnya Malaysia, regulasi yang
berlaku di negara tersebut menetapkan bahwa zakat dapat mengurangi kewajiban
pajak. Hal itu berlaku jika Muzaki membayarkan zakatnya ke lembaga zakat yang
diakui oleh kerajaan seperti Pusat Pungutan Zakat (PPZ) Selangor. Jadi, jika
seorang Muzaki membayar zakat ke PPZ, maka zakat yang telah dibayarkan bisa
mengurangi beban pajak yang ditanggung. Mekanisme zakat pengurang pajak di
Malaysia sudah sangat jelas. Dalam pelaksanaannya pajak akan langsung mengalir
ke pemerintah dan zakat ke lembaga pengelola zakat. Dalam praktiknya, dengan
adanya kejelasan mekanisme ini penerimaan zakat di Malaysia cenderung naik dan
pada saat bersamaan penerimaan pajak juga mengalami peningkatan.44
Sedikit berbeda dengan Arab Saudi, bahwa zakat dan pajak dikelola di
bawah Kementerian Keuangan melalui badan khusus yang bernama Department of
Zakat and Income Tax (Mashlahah az-Zakaah Wa ad-Dakhl). Sejak tahun 1951 M.
pelaksanaan zakat diatur oleh Undang-undang berupa Keputusan Raja (Royal Court) No. 17/2/28/8634 tertanggal 7 April 1951 M (29/6/1370 H) yang
menetapkan sistem wajib zakat (zakat syar’i). Dalam keputusan tersebut zakat
diwajibkan sesuai dengan ketentuan syariah Islam dan diwajibkan kepada individu
Adapun UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk BAZNAS untuk membantu
mengumpulkan zakat. 43Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan
Pasar, 83-84. Sukron Jamil, LAZIS Masjid al-Markaz al-Islami; Menuju Medel Untuk Keadilan Sosial dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar, Revatalisasi Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 208.
44www.republika.co.id, akses 14 November 2020.
149
dan perusahaan yang memiliki kewarganegaraan Arab Saudi. Dalam perkembangan
peraturan berikutnya pemerintah Arab Saudi membolehkan bagi individu untuk
menyalurkan sendiri zakatnya maksimal setengah dari pembayaran zakatnya, dan
sisanya harus disetorkan ke Kementerian Keuangan, sedangkan untuk perusahaan
harus menyetor semua kewajiban zakatnya ke Kementerian Keuangan melalui
Department of Zakat and Income Tax.45 Salah satu keunggulan dalam pengelolaan
zakat di Arab Saudi adalah pengumpulan zakat dan pajak telah menggunakan
sistem online. Department of Zakat and Income Tax di negara tersebut memiliki
pusat data dan informasi yang lengkap dan didukung perangkat ICT (Information and Communication Technology).46
Dalam Islam sendiri banyak di singgung dalam banyak ayat al-Qur’an47
dan hadits yang menjadi dalil bahwa kewajiban zakat bukan semata-mata bersifat
amal karitatif (kedermawanan), melainkan juga kewajiban bersifat mutlak dan
otoritatif (ijba>ry).48 Artinya, kewajiban tersebut tidak hanya sebatas kesadaran
pemilik harta, tetapi pemerintah harus turun tangan memungut langsung walaupun
45 Kementerian Agama RI, Modul Penyuluhan Zakat, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam
Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013) h. 78 46Nurul Huda, Keuangan Publik Islami, Pendekatan Teoritis dan Sejarah (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2012), h. 347. 47Yusu>f al-Qard}awi mengungkapkan bahwa perkataan zakat disebut dalam dalam
Al-Qur’an sampai 27 kali dan selalu dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Yusu>f al-
Qard}awi, (1997). Fiqh al-Zakat, (Beiru>t: Mu’assasat al-Risa>lah, 1997). Ulama yang lain
berpendapat bahwa terdapat delapan puluh ayat kata-kata kewajiban zakat dirangkaikan
dengan kata-kata shalat. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Kuwait: Da>r el-Bayan,
1968), 5. Ada juga yang mengatakan sampai delapan puluh dua kali disebutkan dan selalu
dirangkaikan dengan shalat. Lihat Nazaruddin Umar, Makalah Zakat dan Peran Negara dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia, dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit,
M. Arifin Purwakananta, Noor Aflah, (Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot Padang,
2008), 36. 48Kata“ijbari” secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory). K. Lubis
dan Komis mendefiniskan yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Ijbari juga
berlaku dalam hukum waris, artinya bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak
peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya
itu dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia
tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya; karena dengan
kematiannya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu
suka atau tidak. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (Burgerlij Wetboek) disingkat (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan
pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan
sendirinya. Dalam (BW) ini diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan,
karena menerima akan membawa akibat menanggung risiko untuk melunasi utang pewaris.
Lubis. K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
36.
150
dengan secara paksa ketika mereka menolak untuk membayarnya.49 Sebagaimana
dinyatakan secara tegas dalam al-Qur’a>n:
تك خ صلو إنذ عليهم وصل بها وتزكيهم تطهرهم صدقة لهم مو
أ من ذ
سميع عليم ذهم وٱللذ سكن ل
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Taubah [9]:
103).
Ada banyak hikmah dan fungsi zakat dalam Islam, di samping dapat
membersihkan dan mensucikan dari perbuatan dosa, karenanya zakat menempati
posisi yang sangat urgen. Sayyid Qut}ub mengungkapkan setidaknya ada dua fungsi
dibalik kewajiban zakat, yaitu: Pertama zakat sebagai asuransi sosial (al-ta‘mi>n al-ijtima>‘i>). Nasib manusia tidak konstan pada satu kondisi saja, adakalanya orang
yang wajib membayar zakat pada masa tertentu karena memiliki kekayaan banyak,
dan tidak menutup kemungkinan pada masa berikutnya ia malah termasuk orang
yang berhak menerima zakat karena jatuh miskin. Kedua, zakat berfungsi sebagai
jaminan sosial (al-d}ama>n al-ijtima>‘i>), melalui zakat orang-orang yang selama
hidupnya belum memiliki kesempatan mendapatkan rezeki yang mencukupi,
kewajiban orang-orang Islam yang mampu untuk membantu mencukupi kebutuhan
hidup mereka.50
Pada masa mendatang, kita mengharapkan semoga perhatian pemerintah
terhadap persoalan zakat terus meningkat dengan terus membenahi Badan Amil
Zakat yang ada serta terus menyempurnakan undang-undang zakat sehingga
kewajiban zakat tidak lagi sifatnya suka rela akan tetapi wajib untuk dibayar
kepada negara bagi yang tidak mengeluarkannya ada konsekuensi hukum yang
harus diterima.
2. Tema Produk dan Jasa
Tema produk dan jasa salah satunya pengungkapan produk atau kegiatan
operasi ramah lingkungan. Berdasarkan hasil uji indeks ISR pada Sub Bab
sebelumnya bahwa hampir semua perusahaan mengungkapkan produk atau
kegiatan operasional yang ramah lingkungan, hingga mencapai 79% dari berbagai
macam perusahaan. Pada bagian ini nampaknya pemerintah berhasil memberikan
49 Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia (Depok:
PrenadaMedia, 2015), 249. 50Sayyid Qut}b, Fi> Zhila>l al-Qur’a>n (Beiru>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabiy, 1971),
244.
151
kesadasaran kepada perusahaan agar memproduksi barang yang ramah terhadap
lingkungan.
Salah satu bentuk keseriusan pemerintah dengan menetapkan industri hijau
sebagai salah satu tujuan pembangunan industri, sebagaimana tercantum dalam
UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Industri hijau sudah dimulai sejak
tahun 2010 dan kepesertaannya bersifat partisipatif, sukarela (tidak ditunjuk), dan
terbuka bagi seluruh industri nasional baik skala besar, menengah maupun kecil.
Pemerintah memberikan apresisasi bagi perusahaan yang ramah
lingkungan, melalui Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartanto,
menganugerahkan penghargaan industri hijau kepada industri yang telah
melakukan upaya penghematan dan penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) yang
ramah lingkungan dan terbarukan. Hingga Tahun 2018 menyerahkan Penghargaan
Industri Hijau kepada 143 perusahaan yang terdiri dari 87 perusahaan mendapat
level 5 dan 56 perusahaan dengan level 4.51 Ini menjadi indikasi bahwa industri
nasional semakin peduli terhadap penerapan industri hijau dalam proses
produksinya, di samping Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang
Pemberdayaan Industri, mengatur pemerintah pusat dan daerah memprioritaskan
penggunaan produk yang memiliki Sertifikat Industri Hijau.
Industri hijau 52 adalah Industri yang dalam proses produksinya
mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara
berkelanjutan, sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi
masyarakat.53
Beberapa perusahaan menerapkan industri ramah lingkungan yang terdiri
dari berbagai sektor. Antara lain, PT BISI International Tbk. (Pertanian). Sebagai
wujud peduli dengan lingkungan hidup perusahaan telah mengikuti standar
PROPER, 54 antara lain pengujian limbah cair dilakukan setiap bulan dan
pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Pada sebagian proses
51Klasifikasi penghargaan industri hijau dimulai dari level 1 sampai 5, di mana
level 5 merupakan peringkat tertinggi. 52Secara umum Industri hijau memiliki karakteristik, antara lain menggunakan
bahan kimia yang ramah lingkungan, menerapkan reduce, recycle, reuse dan recovery pada
proses produksi, menggunakan intensitas energi yang rendah, menggunakan intensitas air
yang rendah, menggunakan SDM yang kompeten, melakukan minimisasi limbah dan,
menggunakan teknologi rendah karbon.. 53UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
54 Penilaian PROPER (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) adalah program
penilaian kinerja lingkungan dilakukan oleh sebuah tim ahli dan independen di bawah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan merupakan salah satu instrumen
pengawasan pengelolaan lingkungan perusahaan di semua sektor dengan tujuan untuk
mendorong perusahaan agar menerapkan sistem yang baik dalam pengelolaan lingkungan.
Mencakup berbagai kriteria, di antaranya ijin lingkungan dan pengelolaan limbah
berbahaya, hingga pengendalian polusi udara dan air serta pengendalian kerusakan
lingkungan.
152
produksi, yaitu di fasilitas pengeringan, perseroan telah menggunakan gelondong
jagung sebagai bahan bakar sehingga dapat mengurangi pemakaian solar dan
batubara. Selain itu, kerak yang dihasilkan dari pembarakan tersebut dapat
digunakan sebagai pupuk yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat.55
Selanjutnya, PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (Pertambangan),
melakukan pencegahan dan pengendalian dampak tambang batubara terhadap
lingkungan. Banyak solusi yang dilakukan, antara lain pengelolaan dan pengolahan
limbah dengan menerapkan prinsip 3R: reuse (pemakaian ulang), reduce
(mengurangi limbah), dan recycle (daur ulang). Khusus limbah mengandung bahan
berbahaya dan beracun (B3) dikelola dengan cara diserahkan kepada pihak ketiga
berizin untuk diolah lebih lanjut. Oleh pihak ketiga diolah menjadi kompos,
konstruksi paving black, dan campuran bahan peledak ANFO. Tidak hanya sebatas
itu, pasca tambang perusahaan melakukan reklamasi di areal tambang dan kegiatan
penanaman Daerah Aliran Sungai (DAS) di dalam dan/atau diluar kawasan hutan
area tambang. 56 Kegiatan rehabilitasi DAS dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi daerah aliran sungai sehingga daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga.57
Berikutnya perusahaan pada sektor perdagangan, jasa, dan investasi, salah
satunya PT United Tractors Tbk. Untuk menjaga lingkungan perseroan
memfokuskan kegiatan pada 3 asek kegiatan, yaitu mengurangi penggunaan
sumber daya alam dan meningkatkan efisiensi energi, mengurangi limbah, emisi
dan gas rumah kaca, dan menghindari zat-zat yang menyebabkan penipisan ozon,
dan pengelolaan limbah, baik limbah cair maupun padat.
Dua perusahaan berikutnya masih pada sektor produk ramah lingkungan,
namun bergerak pada industri barang konsumsi. Pertama, PT Indofood CBP Sukses
Makmur Tbk. termasuk salah satu meraih green industry award dari Kementerian
Perindustrian atas kinerjanya di bidang manajemen lingkungan dan sumber daya,
bahkan termasuk pada level lima selama lima tahun belakangan. Bentuk kegiatan
produk ramah lingkungan, antara lain: 1) pengelolaan jejak karbon; 2) mendorong
perilaku ramah lingkungan di tempat kerja; 3) pengelolaan air, dan 4) pengelolaan
limbah.58
Kedua, PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Bentuk produk ramah lingkungan,
antara lain: 1) Konsep Hemat Energi melalui konsep energi terbarukan. Kimia
Farma telah menggunakan lampu penerangan Light Emitting Diode (LED) yang
merupakan teknologi ramah lingkungan dan kebijakan penggunaan Air Conditioner
55Laporan tahunan PT. BISI International Tbk.
56Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2010
jo PP No.105 Tahun 2015 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.P.50/ Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016
Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tanggal 1 Juni 2016. 57Laporan Tahunan PT Indo Tambangraya Megah Tbk. 58Laporan Tahunan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.
153
(AC) di seluruh kantor dengan mengatur suhu 220-230 C; 2) sistem pengelolaan
limbah. Kimia Farma sangat memperhatikan dampak limbah yang dihasilkan oleh
pabrik pembuatan obat, sehingga banyak upaya untuk mengembangkan konsep
pengelolaan limbah secara aktif, misalnya pengelolaan limbah berbasis efisiensi
dan penggunaan kembali atau recycle, pengelolaan sampah organik menjadi pupuk
organik, pengelolaan limbah/sampah cair dan sampah padat; 3) Pengurangan emisi
gas rumah kaca.59
Dari beberapa perusahaan yang diungkapkan, dapat dipahami bahwa
hampir semua perusahaan ada kesamaan terhadap program-program yang dibuat
dalam upaya produk yang ramah lingkungan, mulai dari konsep hemat energi,
menggunakan teknologi rendah karbon, sampai kepada menerapkan prinsip 3R:
reuse (pemakaian ulang), reduce (mengurangi limbah), dan recycle (daur ulang)
pada proses produksi.
Program ini tentunya sejalan dengan apa yang diharapkan oleh DSN-MUI
dan Bapepam LK. Secara tegas disebutkan dalam Fatwa DSN No. 20/DSN-
MUI/IV/2001 dan No: 40/DSN-MUI/X/2003, juga Keputusan Ketua Bapepam-LK
Nomor:KEP-181/BL/2009 dan Nomor: KEP-208/BL/2012 melarang memproduksi,
mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat.
Selanjutnya, pengungkapan yang berhubungan dengan status kehalalan
produk. Kalau dilihat dari pembahasan sebelumnya, yang mana sebagian besar
perusahaan masih belum mengungkapkan pada laporan tahunan perusahaan, di
mana hanya 12% atau 17 perusahaan dari 139 perusahaan yang konsisten dari
tahun 2013-2017. Bahkan dari tabel menunjukkan nampaknya perusahaan lebih
menekankan pada keamanan dan kualitas produk mencapai 75% dan memberikan
pelayaan maksimal pada pelanggan mencapai 47%. Ironis sebenarnya ditengah
regulasi yang sudah jelas ditetapkan oleh DSN MUI dan Bapepam-LK secara tegas
larangan memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau
menyediakan barang dan atau jasa yang haram karena zatnya (hara>m li-dhatihi) pada setiap perusahaan yang dinyatakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Lebih lengkap bisa dilihat pada tabel 5.8 di bawah ini.
Tabel 5.8
Pengungkapan Kehalalan Produk
Tahun 2013-2017
Industri
Barang Konsumsi
Perdagangan, Jasa,
dan Investasi
1. PT Tiga Pilar Sejahtera Food
Tbk.
2. PT Darya-Varia Laboratoria Tbk.
1. PT Indoritel Makmur Internasional
Tbk.
2. PT Multi Indocitra Tbk.
59Laporan Tahunan PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
154
3. PT Indofood CBP Sukses
Makmur Tbk.
4. PT Indofarma (Persero) Tbk.
5. PT Indofood Sukses Makmur
Tbk.
6. PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
7. PT Martina Berto Tbk.
8. PT Merck Tbk.
9. PT Mustika Ratu Tbk.
10. PT Mayora Indah Tbk.
11. PT Sekar Laut Tbk.
12. PT Mandom Indonesia Tbk.
13. PT Ultrajaya Milk Industry &
Trading Company Tbk.
14. PT Unilever Indonesia Tbk.
3. PT Fast Food Indonesia Tbk.
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel 5.8 di atas nampak jelas bahwa dari 17 perusahaan tidak
semuanya bergerak pada sektor industri barang konsumsi, hanya 14 perusahaan
selebihnya 3 perusahaan lagi pada sektor perdagangan, jasa, dan investasi.
Keseluruhan jumlah perusahaan pada sektor industri barang konsumsi berjumlah 20
perusahaan, ini artinya terdapat 6 perusahaan yang tidak mengungkapkan
kehalalan pada produk yang dihasilkannya. Di antaranya, PT Akasha Wira
International Tbk. (ADES), PT Kedawung Setia Industrial Tbk. (KDSI), PT Kalbe Farma
Tbk. (KLBF), PT Langgeng Makmur Industri Tbk. (LMPI), PT Pyridam Farma Tbk.
(PYFA), dan PT Tempo Scan Pacific Tbk. (TSPC). Sepatutnya bahwa semua
perusahaan yang bergerak dalam bidang konsumsi mengungkapkan kehalalan
produk yang dihasilkan, tidak tau pasti alasan kenapa tidak seluruh perusahaan
mampu mengungkapkannya.
Padahal penting untuk diungkapkan kehalalan suatu produk, sebagaimana
sudah diatur dalam Undang-undang Nomor: 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal terdiri atas 11 bab dan 69 pasal. Achmad Syalabi Ichsan mengatakan
kekuatan utama UU JPH tersebut yang mana sifatnya mandatory (diwajibkan) bagi
semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat
sertifikasi dan labelisasi.60Artinya, jika halal maka dilabelkan halal, sebaliknya jika
haram dilabelkan tidak halal.
60Ada tiga Lembaga yang terkait untuk menerbitkan sebuah sertifikat halal. Ketiga
Lembaga tersebut yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia. Adapun fungsi BPJPH untuk
menerbitkan sertifikat halal yang ditetapkan MUI, mencabut registrasi sertifikat halal,
menetapkan dan mengakreditasi LPH, menerima laporan pemeriksaan LPH, melaporkan
hasil pemeriksaan LPH kepada MUI. LPH berfungsi untuk mengaudit dan memeriksa
produk yang diajukan pelaku usaha, melaporkan hasil pemeriksaaan kepada BPJPH
155
Dengan disahkan UU JPH tersebut secara yuridis tentunya dapat
memberikan perlindungan bagi konsumen dan memberi kepastian bagi konsumen
Muslim di Indonesia untuk dapat mengonsumsi produk halal lagi baik. Banyak
kasus yang cukup melukai hak konsumen. Seperti kasus biskuit mengandung babi
di gerai Indomaret,61 rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah yang tidak
bersitifikat halal yang mencapai hampir 90% di seluruh Indonesia, sapi
gelonggongan, ajinomoto (2001), ayam tiren, vaksin meningitis (2009), bakso tiren
(2012), dan lain sebagainya. Dengan demikian, pengesahan UU JPH ini sebagai
jawaban atas penantian panjang umat Islam atas kepastian hukum mengonsumsi
produk halal.62
Ada sedikit kelemahan terhadap UU JPH tersebut yaitu belum memberikan
sanksi. Meski mewajibkan sertifikasi halal, tidak ada satu pun pasal menghukum
kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan sertifikasi. Sanksi hanya diterapkan
untuk produk yang sudah bersertikasi, tapi tidak melakukan kewajiban, seperti
tidak mencantumkan label halal sifatnya pun masih sebatas sanksi adiministrasi.63
Sangat disayangkan jika perusahaan di Indonesia tidak mampu
mengungkapkan bahwa perusahaannya termasuk produk halal. Karena kehalalan
produk bukan hanya sebatas ikatan emosional agama dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat Muslim semata, namun sebagai potensi untuk
menarik investor dan peluang pasar bahkan kepada investor luar negeri. Menurut
M. Irvan produk yang berlabel halal dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi
karena dapat meningkatkan daya saing produk di pemasaran.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan industri halal perlu dilakukan
transformasi industri halal. Transformasi dalam pandangan Meitra Ninanda adalah
dengan melakukan perubahan paradigma pelaku bisnis dalam meningkatkan
produk-produk halal. Pelaku industri harus mampu menjadikan halal produk
sebagai suatu gaya hidup (life style) dalam masyarakat. Termasuk juga setiap
upaya menggali potensi Industri halal yaitu dengan memanfaatkan jumlah umat
Islam di seluruh dunia.
Hal ini sebagaimana lagi semangat-semangatnya dipraktekkan oleh
Malaysia. Kini Malaysia sudah mencitrakan dirinya Halal Hab dunia di bawah
naungan JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia). Malaysia menjadi pusat
sertifikasi halal dunia dan akan mempromosikan dirinya ke tingkat global.
sementara MUI bertugas untuk menerima laporan pemeriksaan LPH dari BPJPH,
menetapkan fatwa halal produk, menyertifikasi auditor halal. Lihat lengkap lihat Farid
Wadji, Jaminan Produk Halal di Indonesia: Urgensi Sertifikasi dan Labelisasi Halal (Depok: RajaGrafindo, 2019), 2.
61Republika, 29 Mei 2014. 62Farid Wadji, Jaminan Produk Halal di Indonesia, 2.
63Secara normatif peraturan hukum yang mengatur sertifikasi halal sebenarnya
sudah ada sebelumnya walaupun hanya bersifat sukarela. Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen, dan Pasal 98 ayat (3) UUNomor: 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
156
Berbagai inisiatif mereka berikan untuk mewujudkan semuanya itu. Misalnya
dengan membentuk badan khusus yang bertugas mendorong industri halal yaitu
Halal Development Corporation (HDC) sebagai pusat rujukan halal. Bahkan HDC
memperkenalkan aplikasi halal (smartphone) untuk memudahkan konsumen
mencari lokasi makanana dan restoran yang halal dengan menggunakan perangkat
teknologi GPS (Global Positioning System).64
Keadaan ini, jika dibandingkan dengan Indonesia sangat jauh tertinggal
dalam hal standar halal. Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) Bambang
Prasetyo mengatakan Indonesia sangat jauh tertinggal dari Malaysia dalam hal
standar. Dari total yang diperdagangkan di Tanah Air, baru 20% yang berlabelkan
halal, sedangkan di Malaysia sudah di atas 90%.
Oleh karena itu, jika tidak memanfaatkan kesempatan ini, maka Indonesia
akan tertinggal jauh. Karena industri halal bukan hanya untuk kalangan Muslim,
namun juga non-muslim. Halal selain menjadi alat untuk memasuki pasar yang
lebih luas, juga gerbang untuk memasuki pasar dan komunitas global. Untuk
mempermudah langkah ini, perlu adanya strategi dalam mengembangkan industri
makanan halal itu. Paling tidak harus ada beberapa unsur yang dipenuhi dalam
mengupayakan percepatan pengembangan industri makanan halal, antara lain:
industri, pemerintah, lembaga sertifikasi, dan akademisi yang berperan aktif dan
membuat kerja sama yang baik dengan industri.65
Terhadap dua ungkapan tersebut, yakni produk ramah lingkungan dan
produk halal menurut pengamatan penulis bahwa perusahaan-perusahaan yang
terdaftar pada DES sebagian besar sudah sejalan dengan harapan Fatwa DSN dan
Peraturan OJK, yakni bagaimana produk yang dihasilkan halal dan tidak merusak
moral dan bersifat mudharat atau efek negatif. Bahkan perusahaan-perusahaan
tersebut juga mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan
lingkungan, seperti pengelolaan limbah hasil produksi menjadi pupuk kompos,
pengelolaan limbah/sampah cair dan sampah padat, dan pengurangan emisi gas
rumah kaca (GRK), dan lain sebagainya. Dengan demikian, ke depan diharapkan
bahwa screening saham tidak cukup dilihat pada aspek negatif produk (negatif screening), namun juga lebih memperhatikan aspek positif (positive screening) dari
produk yang dihasilkan bagi masyarakat dan lingkungan.
3. Tema Karyawan
Karyawan salah satu faktor penting maju mundurnya suatu perusahaan.
Oleh karena itu, karyawan harus diperlakukan secara adil dan dibayar secara wajar.
64
Farid Wadji,“Transformasi Industri Halal”
http://faridwajdi.com/detailpost/transformasi-industri-halal (diakses 22 November 2019).
65Farid Wadji, Jaminan Produk Halal di Indonesia, 10.
157
Selain itu, pemberi kerja juga harus memenuhi kewajiban terhadap karyawan
dalam hal kebutuhan spritual mereka.66
Persoalan ketenagakerjaan atau buruh merupakan persoalan yang cukup
banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik ekonom, pemerhati
hukum, maupun pengambil kebijakan. Ini menujukkan bahwa begitu banyak
permasalahan buruh, misalnya upah yang tidak layak, jaminan kesehatan,
remunerasi, dan persoalan lainnya. Untuk Indonesia sendiri, dengan jumlah
penduduk 2 juta lebih di mana lebih dari 85% penduduknya beragama Islam. Dari
85% tersebut, lebih dari 50% berprofesi sebagai buruh yang terdiri dari buruh
pabrik, buruh lepas, buruh tani, buruh pasar, buruh nelayan, dan lain-lain. Sehingga
dapat dipahami bahwa ketika membicarakan persoalan hak buruh, secara tidak
langsung kita sedang membicarakan hak-hak kaum mislimin itu sendiri yang ada di
Indonesia.67
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bahwa tema karyawan secara umum
sudah mengungkapkan dengan baik, rata-rata mencapai lebih 80%. Walaupun dari
13 item tersebut ada sebagian yang masih rendah, seperti memfasilitasi bagi
karyawan muslim untuk menjalankan ibadah shalat dan puasa Ramadhan hanya
0,7%. Namun bukan berarti ada larangan dari perusahaan bahwa tidak boleh
mengerjakan ibadah. Selanjutnya, melibatkan karyawan dari kelompok disabilitias
juga sedikit hanya 2,2%. Berikut ini beberapa perusahaan yang melaporkan hampir
dari seluruh item yang ada pada tema karyawan.
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Perseroan memiliki kepedulian
yang tinggi terhadap karyawannya. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir semua
laporan tentang karyawan perusahaan ikut terlibat di dalamnya, yakni dari 14 item
laporan sampai 9 yang diungkapkan dalam laporan tahunan. Di antaranya,
perseroan memberikan kesempatan yang sama untuk rekrutmen pekerja tanpa
memandang pria, wanita, etnik, agama, gender dan sebagainya. Dalam upaya
meningkatkan kualitas SDM, menyelenggarakan berbagai Program Pelatihan dan
Pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan bisnis. Perusahaan juga telah
memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB), bentuknya seperti kewajiban dan hak
pegawai, hari kerja, jam kerja, dan kerja lembur, cuti dan izin meninggalkan
pekerjaan, pembinaan dan pengembangan, jaminan sosial dan jaminan
pemeliharaan kesehatan, keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan hidup dan
lain sebagainya. Adanya Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan bagi para pegawai dan keluarga mereka
dikelola ke dalam dua kelompok yaitu kesehatan kerja yang bersifat medis, dan
kesehatan kerja yang bersifat kesehatan lingkungan kerja. Untuk yang bersifat
medis, Perseroan memiliki unit Rumah Sakit Bukit Asam sedangkan untuk
kesehatan lingkungan kerja dikelola oleh satuan kerja KP& K3L-UPTE.68
66 Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive,”
Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2, (2002). 67Isnaini Hrp, dkk., Hadis-hadis Ekonomi, Cet-2 (Jakarta: Kencana, 2017), 71. 68Laporan tahunan PT Tambang Batubara Bukit Asam.
158
PT Sat Nusapersada Tbk memiliki program pengembangan SDM
merupakan perencanan pengembangan pegawai agar berkembang ke arah yang
lebih baik, meningkat kompetensi, keterikatan, dan mampu menghasilkan kinerja
yang maksimal. Untuk mewujudkannya dengan kegiatan Pelatihan dan
Pengembangan SDM. Bentuk kegiatannya, antara lain Pelatihan P3K, Pelatihan
Mikroelektronika, Pelatihan bahasa mandarin, Pelatihan Satpam oleh Polda Kepri,
Training strategi membangun struktur & skala upah, Business analysis manager,
Training K3 boiler kelas 1, dan sebagainya. Satnusa memberikan kesempatan
pengembangan kompetensi bagi seluruh karyawannya tanpa membedakan gender,
ras, warna kulit, agama, kondisi fisik, atau asal negara mereka. Salah satu bentuk
komitmen atas kepedulian terhadap kesejahteraan karyawannya dengan
menerapkan beberapa program, antara lain: 1) Program pemeriksaan kesehatan; 2)
Didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan
Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan
Jaminan Pensiun (JP). Program Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan,
dengan menyediakan fasilitas dan alat proteksi/pelindung diri, pembentukan
Panitia Pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan penyediaan
perlengkapan kerja. Program Asuransi Kecelakaan diri untuk Pengemudi dan
Penumpang Bus Karyawan Perusahaan menetapkan jumlah dan besarnya
remunerasi berdasarkan posisi, kompetensi, dan akuntabilitas dengan menciptakan
ekuitas internal berdasarkan kriteria yang bersifat obyektif.69
PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk. sebagai perusahaan yang bergerak
dalam bidang infrastruktur, utilitas, dan transportasi termasuk salah satu yang
paling banyak mengungkapkan kepedulian terhadap karyawan dalam laporan
tahunnya, yaitu terdapat 10 item yang diungkapkan dari 14 pengungkapan
terhadap karyawan. Di antaranya, pengembangan karyawan Departemen SDM
bersama pimpinan menjalankan Talent Management, beberapa talent sudah dipilih
dan mulai diberikan penugasan khusus untuk mempercepat proses pengembangan.
Kebijakan remunerasi juga terus diperbaiki untuk bisa menghasilkan standar
remunerasi yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Yaitu dengan
memberikan imbalan yang setara dengan tugas, peran, dan tanggung jawab
(internal equity) serta sejalan dengan kondisi pasar (external equity). Tidak hanya
sebatas itu, perusahaan juga berupaya untuk memperbaiki strategi pemberian
bonus dan insentf agar bisa tepat sasaran juga terus dilakukan. Bidang Kesehatan,
semua karyawan yang berhak diberi asuransi kesehatan, dan berupaya menyediakan
lingkungan kerja yang sehat, dan terakhir keselamatan kerja, yang mana banyak
kebijakan dan sistem keselamatan kerja untuk menjamin keselamatan karyawan
MBSS dan memperkecil frekuensi kecelakaan. 70
Dari serangkaian hasil di atas menunjukkan bahwa item pengungkapan
remunerasi, tunjangan, kesehatan keselamatan kerja, lingkungan kerja, serta
pendidikan dan pelatihan kerja merupakan pokok pengungkapan yang paling
69Laporan tahunan PT Sat Nusapersada Tbk. 70Laporan tahunan PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk.
159
banyak dilakukan oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa aspek tersebut
merupakan aspek paling penting bagi kesejahteraan karyawan sehingga perusahaan
sudah selayaknya memberikan reward kepada seluruh karyawan yang bernilai
lebih. Hasil content analysis menunjukkan bahwa seluruh perusahaan berkomitmen
untuk selalu meningkatkan kualitas karyawannya.
Namun terdapat sedikit kekurangan bahwa perusahaan tidak terlalu
perhatian pada tiga item pengungkapan, yaitu 1) mengakomodir karyawan dari
kelompok khusus, seperti cacat fisik, mantan narapidana, mantan pecandu dan
narkoba; 2) karyawan yang lebih tinggi di perusahaan melaksanakan ibadah
bersama-sama dengan karyawan tingkat menengah dan tingkat bawah; 3)
karyawan muslim diperbolehkan menjalankan ibadah shalat wajib dan berpuasa di
saat Ramadhan pada hari kerja sehingga tidak memasukkan dalam laporan
tahunannya. Berdasarkan data tidak banyak perusahaan yang mampu
mengungkapkannya, tidak sampai 2 persen. Ini artinya dari 134 perusahaan hanya
3 perusahaan yang mengungkapkannya. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tabel di
bawah ini.
Table 5.9
Skor Pengungkapan ISR Tema Karyawan
Item Disabilitas Item Ibadah Bersama Boleh Menjalankan
Ibadah
1. PT PP London
Sumatra Indonesia
Tbk. (Pertanian)
1. PT Tiga Pilar Sejahtera
Food Tbk. (Barang
konsumsi)
1. PT Indo Acidatama
Tbk. (Dasar dan
kimia)
2. PT Sampoerna Agro
Tbk. (Pertanian)
2. PT Salim Ivomas
Pratama Tbk.
(Pertanian)
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel tema karyawan di atas terlihat jelas bahwa hanya ada tiga
perusahaan yang mengungkapkan pada item disabilitas, satu perusahaan
mengungkapkan terlibatnya atasan dalam melaksankan ibadah bersama
bawahannya, dan hanya 1 perusahaan yang secara langsung membolehkan
melaksanakan ibadah wajib baik shalat, puasa, dan sebagainya. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat hak-hak dasar karyawan (muslim) yang belum
sepenuhnya diungkapkan secara baik dalam laporan tahunan perusahaan. Untuk itu
ke depan penting bagi perusahaan memperhatikan tiga hal ini, terutama
memberikan kebebasan dan kesempatan bagi karyawanya untuk melaksanakan
ibadah, terutama ibadah wajib walaupun tidak ada perusahaan yang melarang
secara tertulis, namun akan lebih baik disampaikan dalam laporan tahunannya
sebagai suatu bentuk pelaporan sosial perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip
160
syariah. Misalnya ada waktu istirahat ketika jadwal masuk waktu shalat sehingga
tidak terganggu ibadah seseorang untuk dekat dengan Tuhan-nya. Dalam Islam
sangat dianjurkan punya etos kerja namun jangan sampai pekerjaan tersebut
membuat kita lalai mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.
4. Tema Masyarakat
Terhadap tema masyarakat secara umum perusahaan belum sepenuhnya
mengungkapkan dalam laporan tahunannya. Hal ini dapat dilihat dari skor 14 item
pengungkapan hanya item sedekah dan kegiatan amal yang memiliki skor cukup
tinggi hingga mencapai 94%, selebihnya rata-rata rendah, terutama wakaf 1,3%
dan qard hassan 4,9%, begitu juga ungkapan membantu peningkatan kualitas hidup
masyarakat miskin hanya 36%.
Sedekah dan bentuk amal lainnya tidak ada batasan banyaknya, berbeda
halnya dengan kewajiban zakat yang wajib dibayar setelah sampai nisab dan haul. al-Ghazali mengungkapkan, bahwa kadar yang diwajibkan zakat hanyalah standar
minimum yang mesti dibayarkan seseorang. Karena itu, tidak benar pendapat
sebagian menyatakan bahwa mengeluarkan sebagian harta di luar zakat hanya
bersifat sunat belaka. Menurutnya sedekah, menyantuni anak yatim, infaq juga
merupakan kewajiban bagi mereka yang memiliki kelebihan harta dalam ukuran
tertentu.71
Barangkali, inilah yang menjadi rahasia mengapa di dalam al-Qur’an zakat
sering diwakili oleh kata al-s}adaqah, haqqun ma‘lu>m, dan lain sebagainya. Karena
memang makna yang terkandung di dalamnya bukan hanya mengacu pada
kewajiban zakat belaka, tapi juga kewajiban lain seperti yang disebutkan
sebelumnya.72
Sabda Rasulullah SAW dalam haditsnya,
فيل عن شريك عن اىب محزة عن عن عبد هللا بن عبد الرمحن عن حممد بن الطعامر الشعىب عن فاطمة بنت قيس عن النىب صلى هللا عليه وسلم قال : ان ىف املال
حقا سوى الز كاة ) رواه التمذى (.
“Dari Abdullah Ibn Abdul Rah}man dari Muh}ammad Ibn al-T}ufail dari
Shuraik dari Abi H}amzah dari Amir al-Sa‘bi dan Fatimah Bint Qais dan
Nabi Muhammad Saw ia bersabda: sesungguhnya dalam harta itu ada
kewajiban selain zakat. (HR. At-Tarmidhi).”73
71Al-Ghazali, al-Isla>m al-Muftara> ‘Alaih (Kuwait: Da>r al-Baya>n, tt), 156. 72 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan
Pasar, 74. 73Abi> ‘I>sa> Muh}ammad ibn ‘Isa> ibn Su>rah ibn Mu>sa> al-Tirmidhi, Ja>mi’ al-Tirmizi,
Cet. I (Riyad: Da>r al-Sala>m li al-Nasy wa al-Tawzi’, 1999), 169.
161
Hadits di atas jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa ada
kewajiban lain yang melekat pada harta kekayaan selain zakat. Para ahli terbagi
menjadi dua pendapat tentang ada tidaknya kewajiban harta selain mengeluarkan
zakat. Pertama, sebagian besar para ahli beranggapan bahwa satu-satunya
kewajiban dalam harta adalah zakat dan orang yang telah mengeluarkan zakat
tidak dibebani lagi dengan kewajiban yang lain, kecuali hanya sekedar anjuran agar
dapat ganjaran pahala yang besar. Kedua, sebagian ahli berpendapat bahwa ada
kewajiban lain dalam harta selain zakat, seperti halnya memberikan hak kerabat,
hak tamu dan berbagai kewajiban lainnya.74
Ibn Hazm termasuk salah seorang fuqaha yang setuju dengan pendapat
yang kedua ini, bahkan menurutnya bahwa suatu kewajiban sosial di samping zakat
yang dibebankan kepada orang-orang kaya di setiap negara untuk menanggulangi
secara bersama-sama kebutuhan orang fakir dan miskin. Sedang pihak penguasa
boleh campur tangan untuk menekan mereka dalam pelaksanaannya, apabila harta
zakat dan harta kaum muslimin yang lain tidak mencukupi untuk mengatasi
kebutuhan-kebutuhan pokok fakir dan miskin tersebut.75
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa tuntutan kepada orang yang
memiliki kekayaan untuk membantu pakir miskin tidak hanya sebatas kewajiban
mengeluarkan zakat, namun bisa dengan bersedekah, berinfak, dan sebagainya
sebagai wujud kepekaan sosial dengan sesama umat manusia. Sementara
pemerintah dengan powernya memerintahkan kepada orang-orang yang memiliki
kekayaan untuk menanggulanginya sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok
mereka.
Metwally berpendapat bahwa keberhasilan perusahaan tidak hanya
dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat keuntungan yang diperoleh, tetapi juga
oleh pengeluaran yang bersifat sosial dalam bentuk charity atau good deeds. 76 Oleh
karena itu, perusahaan terdaftar di DES sepatutnya harus mampu mencapai tingkat
keuntungan yang wajar guna mempertahankan kegiatan usahanya dengan mencoba
memaksimumkan fungsi daya guna. Fungsi daya guna tersebut merupakan fungsi
dari jumlah pengeluaran untuk sedekah, Infaq, wakaf, dan amal kebajikan lainnya,
dengan konsekuensi keuntungan berkurang setelah mengeluarkan pembayaran
zakat yang sifatnya wajib. Pengeluaran perusahaan untuk amal akan meningkatkan
permintaan akan produksi. Berarti tingkat pengeluaran untuk sedekah pada
74Suhar, Paradigma Politik Hukum Islam: Manajemen Pendistribusian Pendapatan
dan Kekayaan Negara (Jakarta: Hayfa Press, 2007), 149. 75Ibn Hazm berpedoman kepada QS. Ash Shu‘ara>’ [26]: 17 dan QS. Ya > Si>n [36]:4.
Allah mewajibkan untuk memberikan hak orang-orang miskin, Ibn Sabil, dan orang-orang
yang menjadi tanggungan, demikian juga hak kerabat. Allah juga mewajibkan unutk
berbuat ihsan kepada kedua orang tua, orang-orang miskin, tetangga dan melarang manusia
untuk berlaku jahat, tanpa ada keraguan. Abu> Muhammad ‘Ali> Ibn Ah}mad Ibn Sa’i>d Ibn
Hazm al-Andalu>si>, al-Muhalla> bi al-At}ar, jld 4, (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988),
281. 76 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Terj. M. Husein Sawit,
(Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995), 36-37.
162
akhirnya akan menghasilkan efek penggandaan terhadap kenaikan kemampuan beli
masyarakat.
Persoalannya, walaupun item sedekah, donasi dan kegiatan amal cukup
tinggi hingga mencapai 94%, namun hal ini tidak memiliki efek positif dan tidak
berbanding lurus bagi item yang di bawahnya terutama keterlibatan perusahaan
meningkatkan kualitas masyarakat miskin hanya mencapai 36%.
Didin Hafidhudin menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadi kemiskinan. Pertama, kultural, terjadinya kemiskinan
disebabkan tidak mau bekerja dan malas; Kedua, sturuktural, terjadinya
kemiskinan disebabkan oleh orang lain, kebijakan berbagai peraturan yang tdak
menguntungkan dan pola ketidakadilan kepada pakir miskin; Ketiga, natural, adanya perbedaan dengan dua faktor di atas, yakni kemiskinan yang terjadi karena
faktor alam disekelilingnya yang tidak mendukung, seperti tanah tandus, tidak ada
aliran sungai, dan sebagainya.77
Sebagai solusi ada dua instrumen publik yang saling melengkapi untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi ditengah
masyarakat. Pertama, perlu adanya perhatian dan tanggungjawab pemerintah untuk
mencukupi dan menfasilitasi kebutuhan rakyatnya, khususnya kaum fakir dan
miskin. Kedua, pentingnya tolong menolong diantara sesama masyarakat, terutama
antara si kaya dengan si miskin sehingga semuanya dapat menikmati kehidupan
yang layak dan bermartabat dan tidak terjadi jurang pemisah diantara dua belah
pihak.78
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa mengatasi kemiskinan tidak
cukup hanya tugas pemerintah, namun juga kepada yang memiliki kemampuan
termasuk tentunya perusahaan-perusahaan di DES yang menjadi objek dalam
penelitian ini. Lalu pertanyaannya apa saja upaya dan kontribusi perusahaan untuk
menyelesaikan kemiskinan ini, antara lain: PT Astra Agro Lestari dengan program
pemberdayaan ekonomi masyarakat melaui program kemitraan. Ada beberapa pola
kemitraan yang dikembangkan di antaranya pola kerjasama kemitraan dengan para
petani Plasma/KKPA dan pola kemitraan IGA (Income Generating Activities).
Perseroan melibatkan peran serta masyarakat dalam menjalankan industry kelapa
sawit berkelanjutan. Melalui program kemitraan diharapkan dapat mendorong
multiplier effect terhadap perekonomian dan kemajuan masyarakat yang berada di
sekitar areal perkebunan.79
Kontribusi yang serupa diungkapkan oleh PT Aneka Tambang Tbk.
Bergerak dalam bentuk Program Kemitraan. Program ini diwujudkan dengan
77Didin Hafidhudin dan Ahmad Juwaini, Membangun Peradaban Zakat Meniti
Jalan Kegemilangan Zakat, (Jakarta: Bamuis BNI dan Divisi Publikasi Institut Manajemen
Zakat, 2007), 23-24. 78 Tulus, Makalah Strategi Lembaga Pengelola Zakat dalam Mengurangi
Kemiskinan dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit, M. Arifin Purwakananta, Noor
Aflah, (Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot Padang, 2008), 170. 79Laporan tahunan PT. Astra Agro Lestari
163
memberikan pinjaman modal usaha disertai dengan pendampingan dan pembinaan
agar menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Pada tahun 2017, realisasi
penyaluran dana PK mencapai Rp. 17,93 miliar yang terdiri dari Rp. 16, 51 miliar
untuk pinjaman mitra binaan dan Rp. 1,42 miiliar untuk pembinaan mitra binaan.
Penyaluran dana PK terbagi menjadi 7 sektor yakni industri, perdagangan,
perkebunan, peternakan, pertanian, perikanan, dan jasa.80
PT Citatah Tbk sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap masyarakat
di sekitar pabrik dan tambang dengan melaksanakan bakti sosial berupa sembako
dan hewan Qurban pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tahun 2017. Selain itu,
sumbangan berupa program pengembangan masyarakat setempat yang mencakup
perawatan jalan, perbaikan infrastruktur, dan rehabilitasi masjid termasuk
memasok material bahan bangunan serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.81
PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Program kemitraan, yakni membantu
tumbuh dan berkembangnya usaha kecil dan koperasi yang mandiri melalui
penyaluran dan pembinaan tangguh dan berdaya saing, mampu meningkatkan
penyerapan tenaga kerja melalui pengelolaan yang profesional, dan etika.82
Astra International (Aneka Industri) melakukan pemberdayaan ekonomi
masyarakat melalui peningkatan keterampilan wirausaha berbasis ekonomi kreatif,
dukungan pemasaran, penguatan forum “AKU BISA” (Asosiasi Pelaku Usaha
Kecil Binaan Astra) yang berfokus pada masyarakat dan penyandang disabilitas.
PT Total Bangun Persada Tbk. (Properti). Dalam bidang pengembangan
sosial dan kemasyarakat, Perseroan mengacu pada ISO 26000 dengan ruang
lingkup: 1) keterlibatan masyarakat dalam pendidikan dan kebudayaan; 2)
penciptaan lapangan kerja dan peningkatan keterampilan; 3) pengembangan dan
akses terhadap teknologi informasi; 4) Kesejahteraan dan peningkatan pendapatan;
5) Kesehatan; 6) investasi sosial.
Demikian beberapa bentuk kegiatan perusahaan yang bergerak dalam sosial
kemasyarakatan. Dari pelaporan setiap perusahaan tersebut dapat dipahami bahwa
ada persamaan namun ada juga yang berbeda dalam hal bentuk kegiatan sosial
kemasyarakatan. Ini membuktikan bahwa beragamnya bentuk kegiatan yang
dilakukan. Walaupun secara umum mengakui sebagai dasar kegiatannya Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Pemerintah
No. 47 Tahun 2012 dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, wajib
dilaporkan dalam suatu kesatuan dengan Laporan Tahunan Perusahaan.
Penulis menyimpulkan bahwa bentuk pengungkapan sosial kemasyarakatan
setiap perusahaan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu 1) bakti sosial berupa
pemberian sembako, donor darah, dan penyaluran hewan qorban; 2) pemberdayaan
ekonomi masyarakat melaui program kemitraan dan pemberdayaan. Misalnya,
kerjasama kemitraan dengan para petani plasma, memberikan pinjaman modal
80Laporan tahunan PT Aneka Tambang Tbk. 81Laporan tahunan PT CITATAH Tbk 82Laporan tahunan PT Semen Indonesia (Persero)
164
usaha, wirausaha berbasis ekonomi keratif, dan membantu tumbuh dan
berkembangnya usaha kecil dan koperasi.
Dengan demikian, dari sekian banyak perusahaan yang telah berupaya
memberantas kemiskinan yaitu berjumlah 50 perusahaan dari 139 perusahaan
sebagian hanya sebatas dalam bentuk kegiatan sosial dan sifatnya konsumtif,
misalnya dengan memberikan bantuan khitanan massal, atau mendirikan tempat
ibadah, namun sebagian perusahaan ada juga dalam bentuk yang sifatnya
produktif, misalnya memberikan modal kerja, mendirikan kegiatan unit usaha, atau
membekali mereka dengan keterampilan sehingga bisa mandiri tanpa harus minta
belas kasih dari orang lain. Hal ini karena dengan memberdayakan masyarakat
miskin dengan cara mengangkat derajat taraf hidup masyarakat khususnya yang
bermukim di sekitar perusahaan lebih bermanfaat daripada hanya memberikan
bantuan yang sifatnya konsumtif.
5. Tema lingkungan (Enviroment)
Dari lima item tema lingkungan yang paling banyak pada item konservasi
lingkungan hidup83 hingga mencapai 82%. Terhadap item ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan tema dua sebelumnya, yaitu tentang produk atau kegiatan operasi
ramah lingkungan. Perbedaannya hanya kalau yang pengungkapan sebelumnya
lebih kepada bagaimana produk yang dihasilkan jangan sampai merusak
lingkungan dan masyarakat sementara konservasi lingkungan lebih kepada
keterlibatan dan kepedulian perusahaan dalam menjaga lingkungan hidup yang
berkelanjutan (sustability).
Mudhofir mengatakan konservasi sumber daya alam merupakan langkah
nyata advokasi untuk menanggulangi krisis lingkungan. Jadi konservasi adalah
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan teratur
baik sumber daya hayati dan non hayati dengan melindungi proses-proses ekologis
dalam sistem penyangga kehidupan dan juga pengawetan keanekaragaman hayati.84
Beikut ini beberapa perusahaan yang terlibat dalam konservasi lingkungan,
antara lain, PT Resource Alam Indonesia Tbk. bergerak dalam usaha tambang.
Perseroan melakukan berbagai kegiatan pelestarian lingkungan hidup yang dibagi
menjadi kegiatan lingkungan hidup internal dan eksternal. Kegiatan lingkungan
83Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together)
dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang
kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Dalam arti luas,
konservasi adalah pemakaian dan perlindungan sumber daya-sumber daya alam secara
berkelanjutan meliputi tanaman (hutan), binatang, deposit-deposit mineral, tanah, air
bersih, dan bahan bakar fosil seperti batu bara, petroleum, dan gas-gas alam. Muhammad
Fathurrohman, “Metode Dan Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi Serta Konsep Konservasi
Lingkungan,” https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/11/metode-dan-ijtihad-
yusuf-al-qardhawi-serta-konsep-konservasi-lingkungan/, (artikel diakses 04 Januari 2020). 84Abdullah Mudhofir, Al-Quran dan Konservsi Lingkungan: Argumen Konservasi
Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).
165
internal terdiri dari Perseroan melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi pada
lokasi pertambangan. Pada tahun 2017 lahan yang telah direklamasi seluas 29,65
Ha. dan yang telah direvegetasi seluas 39,76 Ha dari total lahan yang dibuka untuk
tambang seluas 158,28 Ha. Sementara kegiatan lingkungan hidup eksternal, antara
lain, 1) turut serta dalam program KALTIM GREEN, yaitu “One Man Five Trees” yang dicanangkan oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; 2) berperan aktif di
berbagai kegiatan memperingati Hari Lingkungan Hidup; 3) pemberian sumbangan
bibit pohon dan melakukan penanaman di sejumlah titik; 4) normalisasi sungai; 5)
sosialisasi bahaya kolam bekas tambang (Void) ke sekolah-sekolah di sekitar
lingkungan tambang dari jenjang PAUD sampai dengan SMA.85
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Perusahaan yang bergerak di
sektor pertambangan batubara sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan yang
mana berpartisipasi aktif dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL)86 sebagai wujud pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
kehidupan masyarakat dan kelestarian lingkungan sekitar perusahaan. Beberapa
bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain, 1) konstruksi Kebun Raya Sriwijaya,
2) penanaman Hutan Kota H. Kalamudin, 3) Pembangunan kota wisata tanjung
enim, dan 4) pembangunan agroforestry, sylvopastura, dan agroindustri.87
PT Bumi Serpong Damai Tbk. Bentuk nyata kegiatan konservasi
lingkungan yaitu dalam rangka memperingati Hari Pohon Sedunia, yang jatuh
tanggal 28 November setiap tahunnya, sekaligus Bulan Menanam Nasional (BMN)
yang diperingati setiap Desember, Perusahaan melakukan upaya nyata pelestarian
lingkungan dengan menanam dan membagikan 1.000 batang pohon kepada
masyarakat. Kegiatan tersebut dipusatkan di kawasan Vanya Park, dan BSD
City.88
Ungkapan berikutnya item pendidikan mengenai lingkungan hidup
merupakan bahagian dari konservasi lingkungan. Yaitu membangun kesadaran bagi
masyarakat pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini sebagaimana
dilakukan oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. bergerak dalam usaha Industri
Dasar dan Kimia. Salah satu program CSR yang menjadi fokus Perseroan adalah
Tanggung Jawab Lingkungan Hidup yang merefleksikan kesadaran semua pihak di
Perseroan akan perlunya menjaga lingkungan. Perseroan senantiasa bekerja untuk
mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya mengelola
lingkungan secara arif. Perseroan merujuk ke ISO 14001 Environmental
85Laporan Tahunan PT Resource Alam Indonesai Tbk.
86Pelaksanaan PKBL tersebut berpedoman pada Peraturan Menteri Negeri BUMN
No. 09/MBU/07/2015 tanggal 3 Juli 2017 tentang Program Kemitraan dan Program Bina
Lingkungan Badan Usaha Milik Negara beserta perubahan dan penerapan pasal 74 Undang-
Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 87Laporan Tahunan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. 88Laporan Tahunan PT Bumi Serpong Damai Tbk.
166
Management System, sebuah standar internasional untuk Sistem Pengelolaan
Lingkungan (SPL).89
Kegiatan yang serupa oleh PT Agung Podomoro Land Tbk. Berpartisipasi
aktif dalam pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) seiring pertumbuhan perusahaan Mendorong agar organ Perseroan dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi
dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan, serta kesadaran akan
adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pemangku kepentingan maupun
kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan.90
Berdasarkan beberapa kegiatan tersebut maka dapat dipahami bahwa
bentuk kegiatan dari setiap perusahaan hampir sama sebagai upaya memberikan
kesadaran bagi karyawan dan masyarakat begitu pentingnya menjaga alam,
menghemat sumber energi, sumbangan bibit pohon, dan melakukan penanaman
yang kesemuanya itu demi menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Dalam Islam sendiri sebenarnya sudah jauh sebelumnya diajarkan
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini sebagaimana terdapat
penjelasannya dari al-Qur’an, antara lain al-Rūm [30]:41, al-Wāqi’ah [56]:68-70,
al-A’rāf [7]:56, dan al-An’ām [6]: 38. Dalam empat ayat itu, membahas tentang
krisis lingkungan yang meliputi kompenen daratan, lautan, binatang, dan jenis
makhluk lainnya.
Begitu pentingnya, sehingga banyak berpendapat bahwa menjaga
korservasi lingkungan merupakan kewajiban. Hal ini sebagaimana diungkapkan
oleh Yusuf al-Qard}awi, menurutnya bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan
mengenai pemeliharaan alam semesta (h}ifz{ al-‘a>la>m). Pertama, pemeliharaan
alam semesta dipandang sebagai bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah. Dalam
pandanganya, ketersediaan lingkungan hidup yang baik akan menentukan
terwujudnya norma-norma yang sesuai syariah. Bahkan ia merumuskan istilah hifz} al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-di>n (memelihara lingkungan adalah bagian dari
memelihara agama), h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-nafs (memelihara
lingkungan adalah bagian dari memelihara jiwa), h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-nasl (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara keturunan),
h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-‘aql (memelihara lingkungan adalah bagian
dari memelihara akal), h}ifz{ al-bi>’ah min al-muha>faz}ah ‘ala> al-ma>l (memelihara
lingkungan adalah bagian dari memelihara harta).91
Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulli>yah al-khamsah) al-Shat}ibi,
namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan: ma> la> yatimmu al-waji>b illa> bihi> fahuwa al-wa>jib (sesuatu yang menjadi mediator pelaksanaan
sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat
dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta tidak termasuk dalam
89Laporan Tahunan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. 90Laporan Tahunan PT Agung Podomoro Land Tbk 91Yu>suf al-Qarad{awi, Al-Ijtiha>d al-Mu‘as{ir (Beirut: Al-Maktab Al-Isla>mi, 1998),
70.
167
kategori al-kulli>yah al-khamsah, tetapi al-kulli>yah al-khamsah itu tidak mungkin
terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta diabaikan.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Jasser Audah bahwa diantara
fungsi maqa>s}id al-shari>‘ah membuka sarana (fat} al-zara‘i) dan memblokir sarana
(sadd al-zara‘i). Memblokir sarana (sadd al-zara‘i) bermakna melarang sebuah
aksi legal, karena akan mengakibatkan aksi yang tidak legal. Menurutnya,
pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya aksi illegal yang
melebihi kemungkinan tidak terjadinya. Sebaliknya, maqa>s}id al-shari>‘ah untuk
membuka sarana bagi tujuan mas}lah}ah.92 Sebagai contoh, upaya memelihara jiwa
tidak akan berhasil dengan baik apabila kita mengabaikan pemeliharaan terhadap
lingkungan, upaya pemeliharaan keluarga tidak akan berhasil dengan sempurna
apabila kita mengabaikan pemeliharaan lingkungan, dan seterusnya terhadap
pemeliharaan al-d}arūri>yah al-khamsah.
Pendapat senada oleh ‘Abd al-Majid al-Najja>r dalam bukunya Maqa>s}id al-Shari>‘ah biab‘a>d Jadi>dah, menguraikan banyak ayat yang menjelaskan keharusan
untuk menjaga lingkungan dan ancaman bagi orang yang merusaknya. Oleh karena
itu, ia memasukkan dalam bukunya ini h}ifz} al-bi>’ah sebagai bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah. Menurutnya wujud kepedulian Islam terhadap lingkungan tersebut dapat
dibagi menjadi empat bagian: 1) keharusan untuk menjaga lingkungan dari
tindakan destruktif; 2) menjaga lingkungan dari segala macam bentuk pengotoran
dan pencemaran; 3) menjaga lingkungan dari prilaku konsumtif yang berlebihan; 4)
menjaga lingkungan dengan cara reboisasi.93
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa Islam sangat
peduli terhadap lingkungan. Oleh karena itu, menjaga konservasi lingkungan
sebagai bagian tanggung jawab sosial setiap perusahaan yang wajib di jaga
kelestariannya dan jangan sampai merusaknya karena akan berakibat patal bagi
yang lain.
6. Tata Kelola Perusahaan (corporate governance)94
Menurut Turnbull corporate governance adalah suatu sistem perusahaan
terhadap pengawasan internal sesuai maksud pemilik perusahaan dalam mengelola
92 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), 95. 93‘Abd al-Majid al-Najja>r, Maqa>s}id al-Shari>‘ah biab‘ad Jadi>dah (Beirut: Da>r al-
Garb al-‘Arabi>, 2008), 208-239.
94 Kebanyakan peneliti tidak mampu membedakan antara istilah corporate
governance dengan istilah good corporate governance, namun kedua istilah tersebut
sebenarnya ada perbedaan. Istilah corporate governance menunjuk kepada suatu konsep
atau suatu sistem dalam mengelola perusahaan; sistem ini menunjukkan adanya struktur
perusahaan terdiri dari organ dan key position. Sementara istilah good corporate governance sebagai hasil penerapan konsep yang ingin dicapai. Sehingga dapat dipahami
apabila capaian penerapan corporate governance dalam suatu perusahaan tidak berjalan
sesuai konsep atau bahkan sampai terjadi pelanggaran, maka keadaan seperti ini disebut
bad corporate governance atau low corporate governance.
168
risiko-risiko yang penting guna memenuhi tujuan bisnisnya dengan mengamankan
aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham. 95 Jika
diperhatikan apa yang ditulis oleh Turnbull ini lebih fokus kepada pengawasan
internal guna menyelamatkan aset perusahaan.
Lain halnya menurut Institusi Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), corporate governance sebagai sebuah elemen kunci
dalam memperbaiki efisiensi ekonomi dan tumbuhnya peningkatan kepercayaan
investor, meliputi suatu hubungan di antara manejemen perusahaan seperti direksi,
pemegang saham (shareholder ) dan pemangku kepentingan (stakeholder). Di
samping itu juga menyediakan struktur di mana tujuan perusahaan ditetapkan dan
pengawasan pelaksanaan telah ditentukan.96
Ahmad Syakhroza merumuskan suatu sistem yang dipakai untuk
mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi pengelolaan sumber daya
organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif dengan prinsip-prinsip
transparan, accountable, responsible, independent dan fairness dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.97
Dari beberapa definisi yang sudah dikemukakan di atas, bisa dipahami
bahwa corporare governance adalah aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas
antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang akan melakukan
pengawasan terhadap keputusan tersebut. Baik itu dilingkungan internal terdiri
dari pemegang saham, direksi,98 komisaris,99 dan karyawan maupun di lingkungan
eksternal terdiri dari regulator, auditor, pemasok, agen, konsumen, dan lain-lain,
semuanya berinteraksi dengan baik. Secara keseluruhan diharapkan akan
meningkatkan atau memaksimalkan nilai tambah bagi pemegang saham.
Sementara itu, pengertian corporate governance tidak ditemukan dalam
undang-undang pereroan terbatas nomor 40 tahun 2007 dan juga undang-undang
perbankan syariah nomor 21 tahun 2008, keduanya hanya menyebutkan prinsip
corporate governance atau tata kelola perusahaan. Tidak terkecuali Bank Indonesia
95Turnbull, “International Control Guidance for Directors on the Combined Code”
London: The Institute of Chartered Accountants in England & Wales (September 1999):
46. www.jstor.org/stable/3867928 (diakses 19 Februari 2018). 96Organization for Economic Co-operation and Development, OECD Principles of
Corporate Governance (Perancis: OECD Publications Service, 2004), 15. 97 Akhmad Syakhroza, “Best Practices Corporate Governance Dalam Konteks
Kondisi Lokal Perbankan Syariah,” Majalah Usahawan No. 06 (Juni 2003), 14.
98 Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
sepenuhnya atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, mewakili Perseroan
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar di
bawah pengawasan Dewan Komisaris.
99Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang memiliki tugas dan bertanggung
jawab atas pengawasan kebijakan kepengurusan dan jalannya pengurusan pada umumnya,
baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan yang dilakukan oleh Direksi,
memberikan nasihat kepada Direksi serta mengawasi penerapan GCG di Perseroan.
169
tidak menyatakan terminologi corporate governance hanya menjelaskan prinsip-
prinsipnya yang tertera dalam surat Edaran huruf A Umum angka 1.100
Tata kelola yang bagus memiliki pedoman umum prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan. Dalam ekonomi Islam sendiri terbagi menjadi lima prinsip,
yaitu akuntabilitas, keterbukaan, tanggungjawab, independensi, dan kewajaran dan
kesetaraan. Sementara ISO 26000 sebagai standar International membagi kepada
prinsip dasar dalam melaksanakan tata kelola perusahaan, yaitu: 1) akuntabilitas;
2) tranparansi; 3) berprilaku etis; 4) menghormati kepentingan stakeholders; 5)
kepatuhan pada aturan hukum; 6) mematuhi norma perilaku Internasional; 7)
menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
Lalu jika dilihat dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada DES,
hampir semua perusahaan memberikan informasi pada laporan tahunannya. Hal ini
bisa dilihat dari 6 pokok pengungkapan ada yang mencapai 100%, seperti struktur
kepemilikan saham dan profil dewan direksi 99%. Ini menunjukkan bahwa dari 174
perusahaan semuanya menyampaikan pada laporan tahunan setiap perusahaan. Hal
ini sebagaimana terdapat pada laporan tahunan dua perusahaan di bawah ini.
PT Agung Podomoro Land Tbk. (Properti). Penerapan tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance) di Perseroan berlandaskan pada
komitmen untuk menciptakan perusahaan yang transparan, akuntabel,
bertanggjung jawab, independen, dan memperhatikan kesetaraan dan kewajaran di
dalam setiap kegiatan usaha yang dijalankannya. Pelaksanaan praktik-praktik GCG
merupakan salah satu langkah penting yang diwajibkan bagi Perseroan sebagai
perusahaan terbuka yang bertujuan untuk meningkatkan dan memaksimalkan nilai
perusahaan, mendorong pengelolaan perusahaan yang profesional, transparan, dan
efisien, sehingga memacu kinerja finansial dan operasional perusahaan serta
meningkatkan kepercayaan investor. Untuk mewujudkan ke lima prinsip tersebut
yang mana perusahaan memiliki struktur kepemilikan saham, profil dan struktur
dewan direksi, pengungkapan tidak adanya perkara hukum dan perusahaan
menetapkan kebijakan anti korupsi yang berlaku di lingkungan perseroan dengan
melibatkan seluruh karyawan, pelanggan, mitra bisnis maupun pemangku
kepentingan, sebagai upaya untuk memberikan keyakinan kepada stakeholders.101
PT Sampoerna Agro Tbk. (Pertanian). Sampoerna Agro juga menyadari
bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)
sangat penting bagi perusahaan dalam mewujudkan keunggulan bisnis dan
pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan, di tengah kondisi pasar yang
semakin dinamis dan sarat persaingan. Perseroan berlandaskan pada lima prinsip
GCG, yakni transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan
kewajaran pada setiap aktivitas perusahaannya.102
100Bank Indonesia, Surat Edaran No. 12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang
pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. www.bi.go.id (diakses 27 Mei 2018).
101Laporan Tahunan PT Agung Podomoro Land Tbk. 102Laporan Tahunan PT Sampoerna Agro Tbk.
170
Namun demikian walaupun sebagian besar perusahaan telah terlibat dalam
tema tata kelola perusahaan, akan tetapi ada sedikit kekurangan dan kelemahan
terutama pada profil dewan direksi dan dewan komisarias. Direksi dan Komisaris
menurut teori agency103 dapat dikatakan sebagai agen atau perwakilan dari para
pemegang saham yang mengurus perseroan sedangkan menurut teori stewardship104 merupakan orang kepercayaan yang membantu pemegang saham untuk mengelola
perusahaan. Dari kedua teori tersebut sebenarnya tidak jauh beda, intinya bahwa
direksi dan komisaris mempunyai tanggung jawab terhadap segala tindakan
pengurusannya kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).105
Oleh karena itu, dikarenakan anggota Direksi mempunyai tanggung jawab
terhadap semua pemegang saham, penting bahwa perusahaan hendaknya dikelola
secara profesional, dalam artian dikelola oleh orang-orang yang mempunyai
keahlian bidang ekonomi syariah. Misalnya, profil latar belakang pendidikan
direksi, yang mana tidak ada memiliki keahlian di bidang ekonomi syariah,
sebahagian besar dari pendidikan umum. Sementara Bapepam-LK sendiri memang
tidak menetapkan adanya syarat keahlian syariah tersebut untuk menjadi direksi
sebuah perusahaan. Walaupun ada peraturan OJK Nomor 33/POJK.4/ Tahun 2014
menjelaskan syarat menjadi Direksi harus memiliki akhlak, moral, dan juga
memiliki pengetahuan atau keahlian di bidang yang dibutuhkan perusahaan publik.
Pada peraturan OJK tersebut disebutkan memiliki pengetahuan atau keahlian
sesuai kebutuhan perusahaan publik bukan pengetahuan atau keahlian ekonomi
Syariah.106
Persoalan yang sama pada tingkat Dewan Komisaris, bahwa syarat mutlak
untuk menjadi seorang komisaris tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan
emiten atau perusahaan publik, anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau
pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. 107 Tidak adanya
103Teori agensi terfokus pada dua individu yaitu prinsipal dan agen. Baik prinsipal
maupun agen diasumsikan sebagai orang-orang ekonomi yang rasional yang semata-mata
termotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga sering terjadi konfil kepentingan. Lihat Eko
Raharjo, “Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntasi,” Fokus Ekonomi, Vol.2 No. 1 (Juni 2007): 37-46.
104Teori Stewardship didefinisikan sebagai situasi dimana manajer sebagai pihak
yang tidak mempunyai kepentingan pribadi tapi lebih mementingkan keinginan prinsipal,
yakni baik bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Lihat Eko Raharjo, “Teori Agensi
dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntasi,” : 37-46. 105Tarmizi Achmad, “Dewan Komisaris dan Transparansi: Teori Keagenan atau
Teori Stewardship,” Jurnal Keuangan dan Perbankan Syariah, Vol. 16, No.1 (Januari 2012):
1-12. 106Peraturan OJK Nomor 33/POJK.4/ Tahun 2014 Tentang Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan.
107 POJK No. 33/2014 tentang direksi dan dewan komisaris emiten, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan
OJK Nomor 21/POJK.04/2015 tentang Penerapan Pedoman Tata Kelola Perusahaan
Terbuka.
171
persyaratan lain, misalnya harus memiliki keahlian di bidang syariah. Semua profil
komisaris tidak ditemukan harus memiliki keahlian di bidang syariah. Padahal
keahlian ini pada salah seorang komisaris diperlukan ketika membaca dan
mengevaluasi laporan keuangan khususnya pada penerapan akuntansi syariah, dan
juga laporan mengenai operasional produk, dan hal-hal lain yang perlu dibahas
dengan para direksi perusahaan.
Dengan adanya fenomena ini, kelihatannya regulator belum memikirkan
implikasi pengaturan pengangkatan direksi dan dewan komisaris perusahaan yang
memiliki keahlian syariah. Syarat ahli syariah tersebut diperlukan, bila tidak ada
ahli syariah sulit menyamakan persepsi dan mindset mereka yang berasal dari pasar
modal konvensional. Kita tidak mengharapkan seluruh direksi atau komisaris
memiliki keahlian syariah, tapi cukuplah secara berimbang dari komposisi
ditentukan ada yang memiliki keahlian di bidang syariah. Di samping itu juga
berguna secara sosiologis untuk membangun image kepercayaan yang positif dari
masyarakat terhadap pasar modal syariah yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.
Setelah membahas tuntas komitmen setiap perusahaan yang terdaftar di
DES terhadap tanggung jawab sosial pada laporan tahunannya yang berjumlah 174
perusahaan publik, penulis menyimpulkan bahwa belum ada perusahaan yang
mampu memberikan informasi secara total. Oleh karenanya, perlu didorong secara
lebih komprehensif agar tidak sekedar berhenti pada proses screening untuk
membuktikan bahwa perusahaan tersebut sebagai sarana investasi yang sejalan
dengan prinsip-prinsip syariah, namun juga mendorong perusahaan yang mampu
berorientasi pada pemenuhan tujuan utama syariah (maqa>s}id al-shari>‘ah) itu
sendiri, yaitu adanya konsep mas}lah}ah.108
C. Urgensi Mas}lah}ah sebagai Dasar Hukum Terhadap Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan pada DES
Implikasi dari konsep maslah{ah{ bagi perusahaan yang terdaftar pada DES
setelah proses screening, yang mana tidak boleh perusahaan tersebut hanya
berorientasi pada profit, melainkan juga harus berusaha menjalankan fungsi
pembinaan masyarakat, menegakkan keadilan, dan mengupayakan pemerataan
kemaslahatan ekonomi serta mampu memelihara kelestarian lingkungan
sekitarnya. Di samping itu, mereka juga harus terbebas dari kegiatan perjudian,
pornografi, alkohol, degradasi lingkungan, gharar, ihtikar, dan kegiatan lainnya
yang mengandung riba dan kemudaratan.
Ke depan konsep maslah{ah{ ini harus dipikirkan oleh DSN-MUI dan OJK
dalam menetapkan screening saham syariah, sehingga antara regulasi dan
penerapan pada perusahaan DES berbanding lurus. Prinsip dasar syariat Islam di
tengah-tengah kehidupan umat manusia tidak lain adalah bertujuan bagaimana
mampu merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudharatan dalam berbagai
aspek yang menyangkut hajat hidup manusia banyak, baik dalam persoalan dunia
108M.A. Choudury, ”Islamic Economics and Finance: Where Do They Stand?,”
International Journal of Accounting and Finance, Vol. 1, Issue 2, (2008): 24-25.
172
maupun akhirat. Begitu juga hendaknya yang terjadi pada saham syariah di
Indonesia.
Dengan demikian, maslah{ah{ sebagai salah satu acuan pengembangan
ekonomi syariah sangatlah urgent, sebab kehadiran lembaga-lembaga keuangan
syariah, misalnya, juga didasarkan kepada mas}lah}ah. Inovasi pelaksanaan zakat
produktif dan wakaf tunai juga didasarkan kepada mas}lah}ah. Singkatnya, semua
aktivitas dan perilaku dalam perekonomian tidak terlepas dari pijakan maslah{ah{.
Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh
syariah. Sebaliknya, jika di sana ada kemudaratan dan mafsadah, maka praktiknya
tidak dibenarkan.
Fenomena perkembangan pasar modal syariah tentu harus diimbangi
dengan upaya-upaya cerdas sebagai bentuk pengembangan ekonomi syariah. Jika
memperhatikan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, prinsip utama dalam
formulasi saham syariah harus menuju ke arah terciptanya kemaslahatan.
Penempatan mas}lah}ah sebagai prinsip utama dalam saham syariah ini menjadi
penting, sebab mas}lah}ah merupakan konsep yang paling penting di dalam syariah
guna mewujudkan gagasan ideal maqasidh syariah.109
Dinamika kemajuan sains dan teknologi modern telah menimbulkan
dampak besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap kegiatan ekonomi
dan bisnis baik di Indonesia maupun dalam skala global. Cara berekonomi dan
berbisnis mengalami perkembangan yang luar biasa yang tidak terbayangkan
sebelumnya, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, mobile banking,
perdagangan internasional/ekspor impor dengan media L/C, jaminan fidusia (rahn tasjiliy) dalam pembiayaan, dan sebagainya. Demikian juga lembaga-lembaga
keuangan syariah, seperti asuransi, sukuk, pegadaian, leasing, pasar modal, obilagasi, MLM (multi level marketing) tidak terlepas dari imbas kemajuan
tersebut.
Oleh karenanya, untuk menghadapi perubahan dan kemajuan sains dan
teknologi yang pesat tersebut haruslah senantiasa didasarkan kepada mas}lah}ah. Jadi, untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom Muslim cukup dengan
berpegang kepada mas}lah}ah, di samping keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan
(tawa>zun). Kemaslahatan dalam ekonomi sangat mungkin dapat dijangkau dan
ditemukan oleh akal pikiran manusia. Dengan demikian, ketika berpedoman pada
konsep mas}lah}ah pada berbagai aktivitas produksi, maka dengan sendirinya emiten
yang terdaftar di DES tersebut akan mendapatkan legalitasnya dalam Islam.
Dalam Islam bahwa agama dan kegiatan bisnis memiliki posisi yang sangat
penting dan mulia, karena bukan hanya sekedar pilihan melainkan justru
diperintahkan. Namun, bisnis yang dimaksud tentunya tidak hanya sebatas
memperoleh keuntungan materi semata, jauh dari itu Islam menyuruh umatnya
untuk menggunakan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat salah satunya
tanggung jawab sosial terhadap sesama. Kesadaran yang telah dibangun bersama
sebagai komitmen untuk membangun masyarakat muslim yang ciri dasarnya
109Abdul Ghofur, Falsafah Ekonomi Syariah (Depok: Raawali Pers, 2020), 64.
173
adalah ta‘awun (tolong menolong), takaful (saling menanggung), dan tad{a>mun (memiliki solidaritas).110
Hal inilah yang membedakan prinsip CSR dalam Islam dengan prinsip CSR
secara konvensional. CSR dalam Islam diwarnai dimensi religiusitas dan
spritualitas yang menjadi roh dalam pelaksanaan, sehingga CSR bukan sekedar
kewajiban bisnis semata akan tetapi CSR merupakan kesadaran bagi perusahaan
agar mampu memberikan kontribusi positif sebesar-besarnya bagi lingkungan
sekitarnya dan ikut berkontribusi dalam pembangunan.
Berbeda dengan prinsip CSR secara konvensional yang dianggap hanya
sebagai kewajiban bisnis semata. Oleh karena itu, Swasono berpandangan bahwa
CSR harus diarahkan pada alturism-filantropis yang merupakan tuntunan hidup
dan aturan dalam agama.111 Di Indonesia alturism-filantropis sudah menjadi sebuah
kewajiban bagi perseroan dengan diterapkannya UU Nomor 40 tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas. Dengan adanya Undang-undang ini pemerintah
mendorong badan usaha baik punya pemerintah maupun swasta untuk bersifat
altruistik, artinya pemerintah mendidik masyarakatnya untuk menghindari sifat
egoistik dan mengemban karakter peduli terhadap kesejahteraan orang lain.
Dengan kata lain, CSR merupakan salah satu derivate dari tanggung jawab sosial
sebagai manusia (human social responsibility) dan tanggung jawab sosial sebagai
warga negara (citizen social responsibility) sebagai anggota masyarakat.112 Namun
keberadaan CSR tidak boleh melepas kemandirian ekonomi rakyat dan
menempatkannya sebagai penerima aliran dana CSR sebagai ketergantungan.
Untuk menjelaskan konsep mas}lah}ah pada CSR secara komprehensif, perlu
menganalisis berbagai tingkat proses pengambilan keputusan pada masing-masing
prinsip. Pada tingkatan pertama (d}arūri>yah), manager diharapkan berusaha untuk
melindungi kebutuhan pemangku kepentingan utama (al-d}arūri>yah al-khamsah)
dan publik secara umum. Sebagai contoh dalam penerapan CSR, perusahaan harus
melindungi kebutuhan dasar dengan menyediakan ruang ibadah, memberikan
jaminan kesehatan, dan perlindungan keselamatan kerja bagi karyawan. Oleh
karena itu, perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk
menghindari kegiatan yang dapat menganggu dan memberi efek negatif dalam
kehidupan masyarakat.113
110 Edi Suharto, “Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan”,
http://www.policy.hu/suharto/Naskah persen20PDF/ModalSosialIslamDompetDhuafa.pdf
(diakses pada Februari 2016). 111Sri Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme
(Jakarta: Yayasan Hatta, 2010), 55. 112Sri Edi Swasono, “Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi
dan Kesejahteraan Sosial,” Prosiding Kongres Pancasila V (Yogyakarta: PSP Universitas
Gajah Mada, 2013), 107. 113Asyraf Wajdi Dusuki and Nurdianawati Irwani Abdullah, “Maqa>s}id al-Shari>‘ah,
Mas}lah}ah, and Corporate Social Responsibilty”, The American Journal of Islamic Social Science, 24:1, (2008).
174
Begitu tanggung jawab tingkat (d}arūri>yah) ini telah terpenuhi, perusahaan
harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang kedua, yakni sekunder
(h}aji>yah). Pada tingkatan ini yang mana perusahaan tidak wajib untuk
melaksanakannya, akan tetapi jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kesulitan-
kesulitan bagi perusahaan di masa yang akan datang. Misalnya, seorang manager
akan terus memperpanjang komitmen tanggung jawab sosialnya dengan
memperluas kebutuhan pokok karyawan, seperti gaji yang adil dan tempat kerja
yang aman, memberikan pelatihan-pelatihan bagi karyawan secara
berkesinambungan dalam meningkatkan sumber daya manusia karyawan. Hal ini
tidak benar-benar urgen dan krusial, karena mengabaikan tingkatan ini tidak
mengancam keberadaan karyawan. Namun dengan asumsi, ketika memenuhi
kebutuhan ini akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan.
Pada tingkat tertinggi, sebagai kebutuhan pelengkap (tah}sīni>yah). Di mana
perusahaan diharapkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial mereka dengan
terlibat langsung dalam kegiatan yang dapat meningkatkan kehidupan masyarakat
menjadi lebih baik. Contohnya dengan membantu orang-orang miskin yang
sifatnya pemberdayaan dan memberikan bantuan beasiswa kepada anak-anak.
Terhadap ketiga tingkatan tersebut, menurut penulis untuk kasus Indonesia
mengeluarkan rakyat dari kemisikinan tergolong memenuhi kebutuhan d}arūri>yah. Mengingat kondisi objektif kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia, secara
statistika masih terdapat 40 juta jiwa yang hidup dalam garis kemiskinan. Nilai ini
jika dihubungkan lagi dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta dan 80
persen-nya beragama Islam, maka dapat disimpulkan dari nilai 40 persen
penduduk miskin itu adalah umat Islam, jadi sekitar 35 juta adalah penduduk
muslim yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Dengan berpatokan pada kondisi di atas, maka pemulihan dan peningkatan
sentra-sentra ekonomi juga berada dalam posisi d}arūri>yah yang wajib segera
dipenuhi untuk mengeliminasi angka kemisikinan pada umat Islam. Oleh karena
itu, mengeluarkan rakyat dari belenggu kemiskinan bukan hanya tanggung jawab
negara, melainkan juga tanggung jawab seluruh umat Islam termasuk perusahaan
yang terdaftar pada DES, karenanya dituntut secara bersama-sama untuk
mengimplementasikan nilai ukhuwah, insa>niyah, ta‘a>wun, sebagai kewajiban
internal umat Islam dan sebagai tanggung jawab sosial ekonomi terhadap
sesamanya.114
D. Saham Syariah yang Memiliki Tanggung Jawab Sosial
1. Prinsip Dasar Produksi pada Saham Syariah
Dalam proses produksi115 yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah harus
memerhatikan beberapa aspek, antara lain jumlah produksi, kualitas produksi,
114 Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia: Perspektif
Sosioyuridis (Jakarta: elSAS, 2006), 294-295. 115 Muhammad Rawwas Qalahji dalam Nadratuzzaman Hosen memberikan
padanan kata “produksi” dalam Bahasa Arab dengan kata al-inta>j yang secara harfiyah
175
efisiensi produksi, dan produksi yang tidak merusak alam. Dengan demikian proses
produksi hendaknya dilakukan secara efisien. Dalam artian proses produksi
tersebut menggunakan sumber-sumber alam yang optimum. Proses produksi yang
efisien akan berdampak pada penggunaan sumber-sumber alam yang efisien dan
berdampak pada biaya produksi yang murah dan akan menjadikan harga jual
produk tersebut menjadi murah pula. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Al-
Furqan [25]: 67. Di samping itu, aktivitas produksi yang dilakukan tidak boleh
membuat kerusakan, baik itu merusak tanaman, binatang, atau bentuk kerusakan di
muka bumi lainnya sebagaimana tercantum dalam al-Baqarah [2]: 205 dan al-
Qashash [28]: 77.
OJK bersama DSN-MUI sebagai perpanjangan tangan negara memiliki
peran penting dalam memastikan bahwa produk syariah diregulasi secara
komprehensif meskipun diimplementasikan secara parsial, baik aspek legalitas
maupun aspek maqa>s{id al-shari>’ah di bidang ekonomi dan keuangan. Hal ini akan
menyediakan dasar bagi pengawasan terhadap fungsi dan kinerja produk syariah
yang lebih total karena acuan yang lebih komprehensif dan didukung oleh negara.
Dengan demikian, produk syariah sekaligus akan berfungsi sebagai duta bagi nilai-
nilai syariah sekaligus konkretisasi nilai-nilai demokrasi ekonomi Pancasila yang
mengamanatkan keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi yang seluas-luasnya
kepada seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menjaga integrasi komprehensif nilai-nilai syariah dalam produk
syariah, maka produk syariah tidak boleh dibiarkan larut ke sistem kapitalisme.
Sebagaimana ditegaskan oleh Dawam Rahardjo bahwa produk syariah harus
didorong lebih positif dengan bertolak dari ontologi ekonomi syariah yang
berorientasi ekosistem, ekologis, anti penindasan dan konsentrasi kekuatan
ekonomi, mengutamakan kerjasama dan menyelanggarakan perdagangan yang
berkeadilan menuju kepada kesejahteraan sosial.116
Pada umumnya perusahaan-perusahaan kapitalis mencurahkan segala
potensi yang mereka miliki untuk mencapai laba (profit) atau keuntungan material
(uang) secara optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan selalu berusaha
mencari peluang dan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat
memberikan nilai tambah, agar tujuan perusahaan tercapai baik jangka pendek
(short run profit) maupun jangka panjang (long run profit).117 Jika hal itu tidak
dimaknai dengan ijadul sil‘atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyim min ‘anashir al-inta>j dhamina itharu zamanin muhabbadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan
unsur-unsur produksi yang terbingkai dalm waktu yang terbatas). Nadratuzzaman Hosen,
dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam (Jakarta: PKES, 2009), 116.
116 M. Dawam Rahardjo, “Kritik Nalar Ekonomi Islam.” dalam Kritik Nalar
Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom Institute, 2012), 178. Sri Edi
Swasono, “Ekonomi Islam dalam Pancasila,” Makalah International Seminar on Implementation of Islamic Economics, UNAIR Surabaya, (2009): 9.
117Abdul Ghofur, Falsafah Ekonomi Syariah, 104
176
dapat dikendalikan, kemungkinan akan muncul dampak-dampak negatif yang dapat
merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan konsep produksi dalam ekonomi syariah.
Khaf, misalnya mengungkapkan bahwa kegiatan produksi dalam perspektif Islam
sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materilnya
saja akan tetapi juga moralitas untuk kemudian sebagai sarana mencapai tujuan
hidup, yaitu kebahagian dunia dan akhirat (fala>h), sehingga produk-produk yang
menjauhkan manusia dari nilai-nilai moral di larang dalam Islam.118 Ini artinya
bahwa profit bukanlah merupakan tujuan utama dari produksi akan tetapi hanya
sebatas tujuan yang melekat.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh ‘Abd al-Rah}man Yusro Ah}mad
bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan tolak ukur adalah nilai
manfaat (utility) yang diperoleh dari hasil produksi tersebut. Karenanya, produksi
harus mengacu dalam bingkai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi seseorang
ataupun sekelompok masyarakat.119
Oleh karena itu, hal penting menyertai motivasi produsen adalah masalah
etika dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana diketahui, keuntungan maksimal
telah menjadi sebuah intensif yang teramat kuat bagi produsen untuk
melaksanakan produksi. Akibatnya, motivasi untuk mencari keuntungan maksimal
sering kali menyebabkan perusahaan mengabaikan etika dan tanggung jawab
sosialnya, meskipun mungkin tidak melakukan pelanggaran terhadap undang-
undang yang berlaku. Bahkan, terkadang segala sesuatu dilakukan oleh perusahaan
dalam rangka untuk mencapai keuntungan setinggi mungkin.
Kajian ekonomi kapitalis menyatakan secara tegas bahwa satu-satunya
fungsi dunia usaha adalah melakukan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan
keuntungan, sepanjang hal ini didasarkan pada aturan hukum (rule of the game)
yang berlaku. Dengan kata lain mereka hanya perlu patuh pada hukum formal
saja.120 Karenanya, jika hanya hukum formal jadi pedoman bisa berakibat buruk,
karena aturan formal hanyalah buatan manusia yang secara politis dapat direkayasa
dan terkadang tidak menyentuh kepada kebutuhan hakiki masyarakat yang ada.
Di samping itu, ekonomi konvensional kadang tidak memikirkan ke mana
produknya mengalir, sepanjang efisiensi ekonomi tercapai dengan keuntungan yang
memadai. Pun jika yang mengkonsumsi barang/jasa tersebut hanya kalangan
tertentu yang berakibat pada timbulnya budaya konsumerisme tidak menjadi
permasalahan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan prisip-prinsip dasar
118 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam, terj Machnun Husein dari judul aslinya The Islamic Economy, Analytical of The Functioning of the Islamic Economic System (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995),
36-38. 119 ‘Abd al-Rah}man Yusro Ah}mad, Muqaddimah fi> ‘ilm al-iqtis}a>d al-Isla>miy
(Iskandariyah, 1988), 39. 120M. Dawam Raharjo, Arsitektur Ekonomi Islam Menuju Kesejahteraan Sosial
(Bandung: Mizan, 2015), 238.
177
dalam ekonomi syariah yang menekankan bahwa motivasi produsen semestinya
sejalan dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika
tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan materil dan spritual untuk
menciptakan mas}lah}ah, maka motivasi produsen tentu saja mencari mas}lah}ah, di
mana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Dengan demikian, produsen dalam pandangan ekonomi syariah adalah mas}lah}ah maximizer.
Sebagai solusi menjawab permasalahan-permasalahan di atas, penting
untuk memunculkan prinsip-prinsip syariah dalam berbagai aktivitas ekonomi baik
secara konseptual-teoretik maupun aktualisasinya, sebagai sebuah sistem yang
utuh dan applicable di antara sejumlah sistem ekonomi yang lebih dahulu
berkembang dan dipraktekkan di Indonesia. Dengan mengaktualisasikan prinsip
dasar tersebut dalam aktivias kegiatan ekonomi sebagai upaya untuk memahami,
mengkonseptualisasikan, dan mewujudkan prinsip-prinsip tersebut bagi
perusahaan, masyarakat, dan lingkungan.
a. Prinsip halal dan haram dalam produksi
Prinsip dasar dalam ekonomi Syariah tentang produksi yaitu adanya
perintah untuk mencari sumber-sumber yang halal dan baik bagi produksi dan
memanfaatkan output produksi pada jalan kebaikan dengan cara tidak menzalimi
pihak lain. Sebagai contoh memiliki kebun anggur tapi didistribusikan hasil
panennya untuk bahan minuman keras. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa
pengaturan akad tidak saja pada prosesnya, tetapi juga pada dampak yang
ditimbulkan darinya.121 Oleh karena itu, penentuan input dan output dari produksi
haruslah sesuai dengan prinsip dasar ekonomi syariah dan tidak mengarah kepada
kerusakan dan kemudharatan.122 Allah SWT berfirman dalal al-Qur’an:
يطن ٱلشذ ت خطو تتذبعوا ول طيب ا حلل رض ٱل ف ا ممذ كوا ٱنلذاس ها ي
أ ي
بني إنذهۥ لكم عدو م
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. al-
Baqarah [2]: 168).
121Misalnya menjual barang yang dapat menghantarkan pada perbuatan dosa dan
tindakan permusuhan dihukumi transaksinya tidak sah. Contoh menjual vcd porno, menjual
Senjata di daerah konflik, menjual minuman keras, menjual bahan dan sarana pembuatan
barang haram, dan sebagainya. Sa‘d al-Di>n Muhammad al-Kibby, al-Mu‘a>malat al-Ma>liyah al-Mu‘ashirah, 188.
122 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah (Jakarta: Kencana, 2015), 123.
178
Ayat di atas memberikan penegasan bahwa dalam mengonsumsi barang
haruslah dipastikan kehalalan dan kelayakannya dan tidak boleh mengikuti
kecenderugan nafsu syaitan. Perkataan hala>lan t}aiban merupakan kata kunci dalam
menentukan sebuah objek atau benda dapat tidaknya mengkonsumsi dengan
mempergunakan indra yang diberikan Tuhan yang tetap mengacu pada syariah-
Nya.
Sementara standar kehalalan dan keharaman suatu objek dapat dilihat dari
dua sudut. Pertama, haram li-za>tihi, objek atau benda yang akan dikonsumsi asal
dan zatnya memang sejak awalnya diharamkan dan tidak ada tawar mewar lagi
terhadapnya. Dan segala derivasi dari objek yang zatnya haram adalah juga
diharamkan. Kedua, haram ‘arid (diharamkan karena sesuatu sebab). Suatu objek
mungkin zatnya/wujudnya bukan termasuk yang diharamkan, akan tetapi karena
proses atau cara perolehan dan pengolahannya di dalamnya mengandung unsur-
unsur keharaman, seperti uang sogok, hasil korupsi, hasil judi, hasil penjualan
dengan cara spekulasi, dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan upaya mendapatkan harta, baik untuk digunakan secara
jasmaniah maupun untuk dikonsumsi, Allah SWT mengingatkan agar senantiasa
tetap dalam koridor ketentuannya, yaitu:
تكون ن أ إلذ بٱلبطل بينكم لكم مو
أ كلوا
تأ ل ءامنوا ين ٱلذ ها ي
أ ي
ا كن بكم رحيم نفسكم إنذ ٱللذ تجرة عن تراض منكم ول تقتلوا أ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS. al-Nisa>’ [4]: 29).
Ayat ini sangat relevan dengan aktivitas ekonomi yang mengajarkan
manusia untuk mendapatkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Secara kodrati manusia diberikan hak otonomi untuk bertindak dan menuai
hasilnya. Namun demikian, dalam bertindak senantiasa menghindari ke arah batil,
artinya yang bertentangan dengan syariah Islam. Jika sebuah tindakan dalam
kualifikasi batil kemudian dilanjutkan dengan mengkonsumsi hasilnya, merupakan
tindakan batil yag berantai, hal ini sungguh bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Islam di bidang ekonomi. Salah satu praktek ekonomi secara batil yang sudah
mengkristal dalam kehidupan yang harus dikikis secara total.
Dalam pandangan ini, terlihat jelas bahwa nilai yang terutama dalam
kegiatan ekonomi, bukanlah terletak pada hasil yang dicapai akan tetapi yang lebih
utama terletak dalam prosesnya. Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam pendekatan
yang tepat digunakan bukan hanya pendekatan hasil, melainkan pendekatan
proses.
Dengan demikian, di masa yang akan datang secara perlahan diharapkan
kompromi ini dapat dihapuskan, jangan sampai terus menjadi perdebatan di
179
kalangan intelektual. Sebagai langkah awal yang digunakan dalam rangka
kompromi tersebut yaitu melakukan proses pemurnian terhadap pendapatan
(cleansing or purifying process) agar tidak terjadi keraguan atas pendapatan yang
mungkin tercampur dengan yang non-halal. Karena dalam Islam disyaratkan bahwa
yang halal harus dipisahkan dengan yang haram agar terpenuhi kriteria investasi
yang berprinsipkan syariah tersebut.123
b. Pencegahan dari ketidakamanan produk
Kemajuan teknologi dan berkembangnya volume perdagangan menuntut
pengawasan yang ekstra terhadap risiko-risiko yang mungkin timbul akibat
penggunaan produk tertentu. Hal ini seharusnya menjadikan pelaku usaha lebih
berhati-hati dan bukan pembeli yang berhati-hati. Karena mayoritas pembeli atau
konsumen tidak mengetahui kemajuan teknologi, yang berdampak pada keamanan
produk yang mereka konsumsi. Adanya ketidakmampuan konsumen dalam
menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang
dipasarkan, menyebabkan hal tersebut disalahgunakan oleh para pelaku usaha.
Sehingga konsumen dengan sangat mudah terkena dampak yang membahayakan
akibat efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian produk yang ada di
pasaran.124
Permasalahan ini sebagaimana pernah terjadi pada zaman Ibn Taimiyah,
dalam bukunya al-H{isbah fi> al-Isla>m mengungkapkan bahwa wali al-h{isbah hendaknya menghukum para ahli kimia yang pandai memalsukan mata uang,
barang-barang perhiasan, wangi-wangian, dan lain sebagainya. Ketika mereka
menyatakan bahwa barang yang mereka jual merupakan ciptaan Allah (asli),
padahal itu adalah barang ciptaan mereka.125 Ungkapan serupa disampaikan oleh
Ibn Qayyim al-Jawzi>yah menyatakan bahwa hakikat ilmu kimia, bisa
menyerupakan antara yang asli dan yang buatan kimia dan perbuatan-perbuatan
semacam ini sangat banyak terjadi, dilakukan oleh mereka yang menguasai
keahlian ini.126
Menarik untuk kemudian dikaji, bahwa pada masa Ibn Taimiyah dan Ibn
Qayyim al-Jawzi>yah, sudah terdapat barang-barang palsu produk kimiawi yang
kemudian di pasarkan dengan informasi palsu, bahwa barang-barang tersebut asli.
Akan tetapi belum ada catatan tentang pemakaian bahan kimia dalam bahan
makanan. Terlebih lagi perkembangan pertanian dengan bioteknologi. Di era
sekarang, bahan-bahan kimia telah dipakai bahan pembuat makanan, artinya
123Sofyan Syafri Harahap, Teori Akuntansi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),
293-294. 124Muhammad & Alimin, Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam
(Yogyakarta: BPFE, 2005), 216. 125Ibn Taimiyah, Al-Hisbah fi> al-Isla>m¸ Tahqi>q: Sai>d Muhammad bin Abi> Sa‘a>dah
(Kuwait: Da>r al-Arqa>m, 1983), 20. 126 Ibn Qayyim al-Jawzi>yah, al-T}uruq al-Hukmi>yah fi al-Siya>sa>t al-Shar‘i>yat
(Kairo: al-Mus‘assasat al-Atabi>yah, 1961), 281.
180
tingkat kerusakannya lebih tinggi karena bahan kimia sangat sudah terserap tubuh
manusia. Dan potensi manusia untuk sakit pun semakin besar, dikarenakan mereka
nyaman mengonsumsi segala jenis makanan yang berbahan kimia, tanpa adanya
kesadaran dalam diri mereka bahwa barang yang dikonsumsi tersebut tidak sehat
dan membahayakan bagi kehidupan.127
Hal tersebut sangat berseberangan dengan konsep maqa>s}id shari>‘ah dalam
ekonomi Islam, terutama yang berkaitan dengan produksi. Seorang produsen ketika
memproduksi suatu barang/jasa hendaknya selalu mengingat keamanan produk/jasa
yang mereka tawarkan. Karena aktivitas produksi bukan hanya berkaitan dengan
profit dan benefit, melainkan juga berkaitan dengan penegakan kemaslahatan
masyarakat. Sudah seharusnya produk yang ada bisa menjaga beberapa aspek
dalam maqa>s}id al-shari>‘ah yang mencakup penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Dengan memperhitungkan aspek keamanan dan kesehatan dalam
komposisi produk yang dipasarkan, maka akan merealisasikan penjagaan ke lima
hal tersebut. Sebaliknya, ketika produsen memproduksi produk yang
membahayakan, maka akan menimbulkan kerusakan dalam diri manusia dan hal ini
bertentangan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.
Oleh karena itu salah satu sikap para pelaku pasar modal syariah adalah
mesti memberi manfaat terhadap orang lain, dan tidak saling merugikan. Lebih
mengutamakan sifat amanah dan jujur supaya tidak membawa kerugian kepada
pelaku pasar yang lain. Rasulullah SAW telah menjelaskan mengenai tentang
pentingnya sifat jujur:
ر الصهدوقأ األمأي مع النهبأيأي, والصهدأيقأي, والشهداءأ التهاجأDari Abu Sa‘id dari Nabi SAW berkata: pedagang yang jujur dan amanah,
ditempatkan bersama para Nabi, siddiqin, dan syuhada’ (HR. Tirmiz}i).
c. Efisiensi sumber daya dan menjaga kelestarian lingkungan
Dalam upaya memaksimalkan keuntungan ekononomi konvensional sangat
mendewakan produktitivitas dan efisiensi ketika berproduksi. Sikap ini sering
membuat mereka mengabaikan masalah-masalah ekternal perusahaan, ataupun
dampak negatif akibat adanya proses produksi. Dampak negatif tersebut kerap kali
menimpa sekelompok masyarakat yang tidak berhubungan dengan aktivitas
produksi baik sebagai konsumen, distributor, produsen, maupun menjadi bagian
dari faktor industri itu sendiri, misalnya sebagai tenaga kerja diperusahaan
tersebut. Negative externalities yang ditumbulkan bisa berupa polusi udara, polusi
tanah, polusi air, eksploitasi terhadap sumber daya alam, pencemaran lingkungan
di daerah sekitar pabrik, penipuan produk halal terhadap konsumen, dan lain
sebagainya.128 Begitu besarnya dampak negatif dalam kehidupan masyarakat, maka
127 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 255-256. 128 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 122.
181
masyarakat pun menginginkan agar dampak negatif ini dikendalikan sehingga
dampak negatif yang ditimbulkan tidak semakin besar.
Kelompok yang paling banyak menderita yaitu masyarakat sekitar pabrik
karena pencemaran lingkungan dan kerusakan alam yang secara tidak langsung
akan menimbulkan bencana. Padahal, semua manusia harus menyadari bahwa
sesungguhnya alam dan juga sumber daya yang diperoleh darinya bukan hanya
diperuntukkan untuk diri sendiri dan kehidupan masa kini. Akan tetapi jauh ke
depan, generasi akan datang juga mempunyai hak yang sama atas alam ini.129
Tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah mengelola
sumber daya yang telah disediakan olah Allah secara efisien dan optimal agar
kesejahteraan dan keadilan dapat ditegakkan. Allah SWT berfirman:
هنذ ى فسوذ ماء ٱلسذ إل ٱستوى ثمذ ا جيع رض ٱل ف ا مذ لكم خلق ي ٱلذ هو ء عليم ت وهو بكل ش سبع سمو
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah [2]: 29).
Kandungan ayat tersebut sangat bernilai ekonomi. Yaitu berkaitan dengan
tugas kekhalifahan manusia di bumi mengandung dua dimensi pokok jika
dibandingkan dengan peran dan tugas malaikat. Pertama tugas kekhalifahan itu
mengusung misi perpanjangan tangan Tuhan ke bumi, manusia sebagai mandataris
maka ia harus melaksanakan tugas sesuai yang diamanatkannya, khususnya tugas
penghambaan langsung kepada Tuhan, seperti halnya malaikat. Kedua, tugas
kekhalifahan juga bermakna pemberian otonomi dalam rangka memakmurkan
dunia dalam kehidupan seluas-luasnya sesuai prinsip pemberi kuasa (Allah) beserta
segenap kewenangan dan kebebasan yang diberikan kepadanya. Pada tugas inilah
Allah memberikan peran khusus bagi manusia melebihi tugas malaikat.130
Sebagai konsekuensi tugas kekhalifahan harus melaksanakan dan
menyeimbangkan hubungan vertikal (Allah) dan hubungan horizontal (sebagai
khalifah di bumi). Di satu sisi aktivitas ‘ubudiyah harus berlangsung dengan baik
dan pada sisi lainnya nilai-nilai ‘ubudiyah itu harus mewarnai aktivitas yang
sifatnya muamalah.
Lebih dari itu, seorang mulim tidak hanya bekerja demi mencapai
mas}lah}ah komunitas manusia, tetapi juga wajib bekerja untuk memanfaatkan
seluruh makhluk hidup, termasuk hewan dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu
konsep halal dalam Islam tidak hanya sebatas dimensi pada produk yang hasilkan
129 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 123. 130 Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif
Sosioyuridis) (Jakarta: elSAS, 2006), 223.
182
akan tetapi juga proses produksinya jangan sampai produk yang dihasilkan tersebut
merusak terhadap lingkungan dan sebagainya.
Dari Anas ibn Ma>lik r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda:
ما مأن مسلأم يـغرأس غرسا, أو يـزرع زرعا فـيأكل مأنه طري أو إأنسان أو هبأيمة إأاله كان له بأهأ صدقة
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman
kemudian pohon/tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau
binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits
no. 2321).
Hadits ini memberikan pelajaran bagi kita semua tentang betapa
pentingnya menjaga kelestarian alam yang kita tempati ini. Kita sebagai manusia
tidak ada larangan untuk mengelolanya, seperti dimanfaatkan untuk bercocok
tanam misalnya, akan tetapi jangan sampai merusaknya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ekonom Islam Iman al-Ghazali, bahwa produksi adalah
pengerahan secara maksimal sumber daya alam (raw material) oleh sumber daya
manusia (SDM), agar menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia tanpa harus
merusaknya.131
2. Urgensi Lembaga Pengawas (Hisbah) pada Pasar Modal Syariah
Di Indonesia agar aktivitas perdagangan pada pasar modal berjalan dengan
baik dan lancar, maka dipercayakan kepada Bapepam-LK (sekarang OJK).
Lembaga ini bertugas mengawasi semua aktivitas pasar di bursa saham agar tidak
menyimpang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar modal.
Namun bagiamanapun masih banyak terdapat aktivitas-aktivitas yang merugikan
investor, seperti short selling, spekulasi, dan penipuan.132
Dengan demikian, lembaga pengawas syariah memiliki peranan yang
sangat penting bagi perkembangan pasar modal syariah. Sebagaimana yang sudah
diterapkan bagi Bank Syariah berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas telah mengisyaratkan dalam satu pasalnya, yaitu
kewajiban adanya lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank
syariah di Indonesia untuk memastikan bahwa produk yang ditawarkan kepada
masyarakat sesuai syariah Islam. 133 Dengan disahkannya Undang-undang ini
menunjukkan bahwa salah satu yang membedakan perbankan syariah dengan
perbankan konvensional adanya DPS. Ditetapkannya Undang-undang perseroan
131Abdur Rahman, Ekonomi al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam
Ihya>’ ‘Ulu>muddi>n (Surabaya: Bina Ilmu, 2010), 102-103. 132Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 293. 133Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 109.
Lihat juga Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 32.
183
terbatas tersebut juga menunjukkan merupakan bukti kuat legitimasi dan politik
hukum di Indonesia yang mendukung sepenuhnya perkembangan bank syariah di
Indonesia.
Meskipun keberadaan DPS sebagian kalangan mengganggap masih
dipertanyakan fungsinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wafik Grais and
Matteo Pellegrini, berdasarkan hasil penelitian keduanya terhadap beberapa bank
Islam di beberapa negara, seperti Jordan, Malaysia, Kuwait, Mesir, Rusia,
Baharain, Pakistan, Dubai, Thailand, Indonesia, Filifina, dan Emirat membuktikan
bahwa praktik yang terjadi pada bank Islam sangat tergantung kepada DPS,
sementara DPS belum pasti bisa berlaku independen, merahasiakan informasi, dan
konsistensi pernyataan antara DPS di berbagai negara dan masalah regulator di
negara-negara muslim.134
Berbeda halnya dengan pasar modal di Indonesia belum memiliki Undang-
undang yang jelas mewajibkan adanya lembaga pengawas syariah terhadap
perusahaan yang terdaftar pada saham syariah. Untuk perusahaan publik yang
terdaftar pada DES berdasarkan undang-undang hanya diharuskan setiap
perusahaan memiliki Dewan Komisaris yang bertugas untuk mengawasi kinerja
direksi perusahaan agar jangan melanggar dari tujuan perusahaan.135 Yang jelas
tujuan di maksud bukan tujuan menjalankan prinsip-prinsip syariah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pasar modal hanya memiliki pengawasan
sebatas administrasi keuangan melalui dewan komisaris yang dipilih oleh
perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham sementara dalam hal
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah tidak dimiliki.
Sudah seharusnya pasar modal syariah di Indonesia juga memiliki Dewan
Pengawas Syariah yang sifatnya independen dan terpisah dengan pasar modal
konvensional. Karena dikhawatirkan masih terdapat aktivitas-aktivitas merugikan
investor, seperti jual beli singkat (short selling), spekulasi, dan penipuan. Selama
ini yang terjadi, DSN hanya bertugas untuk menetapkan produk atau instrumen-
instrumen harus mengikut kriteria syariah dan mereka tidak langsung mengawal
bagaimana kegiatan transaksi pada pasar modal syariah dijalankan. Tegasnya
bahwa keberadaan dewan syariah hanya berdiri di luar bursa. Mereka tidak
mengetahui dengan pasti bagaimana pelaku pasar melakukan jual beli dan
bagaimana instrumen yang ada diperdagangkan di pasar modal.136 Berbeda halnya
dengan Malaysia, Dewan syariah pasar modalnya bersifat independen sebagai
lembaga khusus yang berwenang mengurusi pasar modal syarah di Malaysia.137
134 Wafik Grais dan Matteo Pellegerini, “Corporate Governance and Shariah
Compliance in Institutions Offering Islamic Financial Services.” World Bank Policy Research Working Paper 4054 (November 2006). http://elibrary.worldbank.org/doi.
(diakses 12 Februari 2018). 135Peraturan OJK Nomor 33/POJK.04/2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik. 136Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 294. 137 Lembaga di maksud adalah Suruhunjaya Sekuriti atau Security Commision
(SC), didirikan dengan Akta Suruhunjaya Sekuriti Tahun 1993, di bawah kewenangan
184
Berkenaan dengan hal ini, erat hubungannya apa yang telah dilakukan Rasulullah
Saw. menegur terhadap pedagang di pasar yang berniat ingin menipu pembeli.
صلى هللا عليه وسلم مر على صربة طعام فأدخل عن أيب هريرة مث أن رسول هللا السماء اي قال أصابته الطعام ما هذا اي صاحب فقال بلال فنالت أصابعه فيها يده رسول هلل قال أفال جعلته فوق الطعام كي يراه الناس من غشنا فليس مين )رواه املسلم(
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah melalui suatu timbunan
makanan, kemudian Rasul Allah memasukkan tangannya ke dalam
timbunan tersebut, sehingga jari-jarinya terkena basah. Kemudian
Rasulullah bertanya: “Apakah ini hai pemilik makanan ?” menjawab kena
hujan ya Rasulullah, lalu beliau bersabda mengapa tidak engkau letakkan
saja dibahagian atas agar orang lain dapat melihatnya? Siapa menipu, maka
bukan dari ummatku (HR. Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, nampak jelas bahwa Rasulullah SAW ikut
serta melakukan pengawasan secara langsung ke pasar untuk melihat praktik yang
terjadi, di mana terdapat salah seorang pedagang yang melakukan penipuan
sehingga pembeli tidak mengetahuinya. Penipuan yang semacam ini tidak mungkin
diketahui dengan pasti kalau tidak beliau langsung mengawasi perdagangan
tersebut. Oleh karenanya, para pelaku pasar bisa saja berbuat apa saja terhadap
instrumen yang mereka miliki, sementara investor sebagai pembeli tidak
mengetahuinya yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi investor di pasar
modal.
Oleh karenanya, penting adanya dewan pengawas supaya turut mengawasi
bagaimana sikap dan perilaku pedagang dan pembeli pada pasar modal, juga harus
memahami bagaimana kondisi keuangan perusahaan, sehingga bermanfaat untuk
menciptakan pasar modal yang sesuai dengan prinsip syariah. Di samping itu juga
untuk meyakinkan investor bahwa perusahaan tersebut terbebas dari riba, spekulasi
dan sebagainya.138
Sebagaimana diungkapkan oleh Ika Yunia Fauzia berdasarkan pemikiran
Muhammad Fa>ruq al-Nabha>ny. Menurutnya bahwa penting adanya lembaga h}isbah
yang di bagi menjadi pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal
dalam pasar mencakup bagaimana seorang pelaku pasar bersikap baik dalam segala
bentuk transaksi yang dilakukannya. Perilaku yang baik dalam diri seorang pelaku
pasar berdasarkan ajaran Islam. Ketika seseorang sudah bersyahadat dan mengaku
dirinya sebagai seorang muslim, maka kewajibannya tidak hanya berhenti di
Menteri Keuangan. Dewan ini terpisah dengan dewan Syariah nasional yang bertugas untuk
memberikan persetujuan, rekomendasi, dan mengawasi industri sekuritas. Ia merupakan
badan pengawas tunggal dan independent untuk melakukan pengawasan dan
pengembangan aktifitas pasar modal di Malaysia. Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009), 231.
138Edi Dwi Efendi, “Idealitas dan Realitas Pasar Modal” Republika, 23 April 2003.
185
wilayah yang bersifat ritual, seperti shalat akan tetapi ketika ia berdagang,
memproduksi, atau mengkonsumsi dan berbagai kegiatan lainnya, harus didasarkan
karena motivasi ibadah kepada Allah. Dengan begitu, maka ia akan selalu
mengawasi dirinya agar tidak masuk ke area yang dilarang oleh Allah dan
perbuatan yang merugikan orang lain.139
Adapun pengawasan eksternal dilakukan oleh suatu institusi pengawas
pasar bertujuan untuk menghindari perilaku yang menyimpang dari para pelaku
bisnis di dalam pasar. Seorang pengawas pasar mempunyai kewenangan untuk
menindak para pelaku kejahatan di dalam pasar. Kejahatan tersebut bisa saja
berbentuk beberapa kecurangan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak mana
pun. Untuk lebih jelas mekanisme tersebut pada gambar di bawah ini:
Gambar 5.1 Konsep Pengawasan Pasar Eksternal140
139 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kahar Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 214 140 Muhammad Fa>ruq al-Nabha>ni>, al-Ittija>h al-Jama>‘i fi> al-Tas}ri> al-Iqtis}a>di> al-
Isla>mi> (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985), 360.
3. Negara menetapkan jaminan sosial dalam masyarakat
Negara bertanggungjawab atas fakir miskin, anak-anak
yatim, dan para pengangguran, juga atas janda dan orang-
orang jompo. Yaitu, dibiayai dari uang kas negara yang
dahulu dkenal Bait al-Ma>l.
4. Negara dan para pemimpinnya wajib menjaga dan
melindungi aset umum. Dan, menindak seseorang ataupun
kelompok yang merusak dan menguasai aset tersebut.
2. Menjaga dan mengawasi kemaslahatan publik
1) Menghukum bagi yang menggunakan uangnya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang berlaku;
2) Pengawasan adanya praktik riba;
3) Pengawasan terhadap keuangan individu, jika dianggap
merugikan masyarakat ataupun hukum yang beralaku;
4) Membela seseorang yang menjadi korban kejahatan
ekonomi;
5) Pelanggaran terhadap ih}tika>r; 6) Penetapan harga sesuai dengan kemaslahatan konsumen
dan produsen;
Tugas
Negara
1. Mengawasi jalannya perekonomian
Diadakannya al-Niz}a>m al-H}isbah: Muslim, berakal, kuat,
bijaksana, jujur, dan berani memerangi ketidakadilan.
Beberapa tindakan ih}tisa>b antara lain:
1) Memberikan teguran kepada yang melanggar;
2) Memberikan nasihat;
3) Dengan tindakan (batasan yang wajar);
4) Penjara.
186
Berdasarkan gambar di atas nampak jelas pentingnya lembaga pengawas
eksternal. Adanya aturan pengawasan (niz}a>m al-h}isbah) dimulai dengan
ditunjuknya oleh pemerintah seseorang yang bertugas mengawasi kegiatan
perekonomian, dengan beberapa persyaratan, antara lain Muslim yang berakal,
kuat, bijaksana, jujur, dan berani memerangi ketidak adilan. Adapun bentuk ih}tisab (pengawasan) antara lain: 1) dengan memberikan teguran kepada yang melanggar,
2) dengan memberikan nasihat ketiga teguran tidak berhasil; 3) dengan tindakan
(dengan syarat dalam Batasan yang wajar); dan 4) pelaku kejahatan pasar
dipenjara. Dalam Islam dikenalkan suatu konsep tentang tanggung jawab negara di
dalam mengawasi pertumbuhan ekonomi, yang di dalamnya juga membahas
tentang pengawasan negara terhadap praktik-praktik muamalat yang dilarang.141
Beberapa aturan niz}a>m al-h}isbah menunjukkan bahwa yang bertugas pada
institusi hisbah harus berani berbuat kebaikan (ma‘ruf) dan mencegah segala
kemungkaran.
ة يدعون مذأ منكم بٱلمعروف وينهون عن ٱلمنكر ولكن مرون
ويأ إل ٱلي
ئك هم ٱلمفلحون ول وأ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]:104)
Menurut al-Mubarak institusi h}isbah berfungsi sebagai pengawal dari
pemerintah melalui aktivitas perseorangan khususnya dalam bidang moral, agama,
dan ekonomi. Dalam artian berkaitan dengan kehidupan bersama untuk mencapai
keadilan dan kejujuran berdasarkan prinsip syariah Islam. 142 Dengan demikian
tugas institusi al-Niz}a>m al-H}isbah salah satunya adalah mengawal berbagai
aktivitas ekonomi pasar modal yang diangkat oleh penguasa sebagai wakilnya.
Tugas utamanya adalah melakukan pengawasan secara kontiniu terhadap kegiatan
yang berjalan di pasar, seperti mengurangi takaran, mengawasi harga supaya stabil,
dan menjaga kualitas barang. Karena itu peranan Dewan Pengawas Syariah yang
ada di Indonesia seharusnya juga demikian, tidak hanya sebatas mengawasi dan
menentukan mana instrumen yang tidak melanggar prinsip syariah, namun juga
harus mengawal setiap praktik perusahaan yang terjadi di pasar.
3. Bursa Efek Syariah sebagai Solusi Penerapan Prinsip-prinsip Syariah
Sistem ekonomi konvensional telah mengkristal, menggurita, dan melekat
dalam sistem perekonomian global. Dalam kondisi seperti ini paling tidak
memunculkan tiga pilihan yang harus ditempuh perilaku ekonomi syariah.
141 Muh}ammad Fa>ruq al-Nabha>ni>, al-Ittija>h al-Jama>‘i fi> al-Tas}ri> al-Iqtis}a>di> al-
Isla>mi> , 360-402. 142A.A Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah, terj. H. Anshari Thalib (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1997), 236.
187
Pertama, memandang dan menerima praktek ekonomi konvensional itu karena
tidak mungkin bisa menghindar karena bunga belum tentu sama dengan riba,
makanya boleh-boleh saja untuk ikut terlibat di dalamnya. Kedua, mengupayakan
proses islamisasi kegiatan ekonomi seperti yang banyak diterapkan saat ini, secara
bertahap mengembangkan ekonomi syariah namun tidak pindah rumah hanya
melakukan pembaharuan dan penggantian perabotnya agar sesuai dengan nilai-nilai
ekonomi syariah. Ketiga, melakukan tindakan radikal dengan meninggalkan semua
konsep-konsep ekonomi konvensional dengan menggantinya sistem ekonomi yang
baru.
Untuk praktik yang terjadi pada pasar modal syariah di Indonesia lebih
cenderung pada tingkatan yang kedua. Yaitu melakukan islamisasi pada pasar
modal dengan syarat bahwa produk-produk yang ditawarkan tidak bertentang
dengan prinsip-prinsip syariah. Kedepan diharapkan tentunya tidak lagi saham
syariah berbasis produk atau melakukan islamisasi akan tetapi harus berani tidak
menyatu dengan lembaga Bursa Efek konvensional.
Adanya keinginan yang kuat dari kaum Muslim untuk melakukan investasi
pada pasar modal berdasarkan prinsip-prinsip syariah (syariah complaint), maka
merupakan keharusan untuk mewujudkan kebutuhan terhadap pasar modal syariah
tersebut, karena pasar modal konvensional melaksanakan transaksi perdagangan
yang tidak sejalan dengan prinisip-prinsip syariah. 143 Perlu diyakini bahwa
berpegang pada nilai-nilai keislaman, termasuk melakukan transaksi di pasar
merupakan tindakan-tindakan awal untuk menegakkan prinsip perdagangan yang
jujur, adil, tidak serakah, monopoli, spekulasi, insider trading serta menghindari
umat Islam dari belenggu sistem riba. Memelihara harta merupakan salah satu hal
yang penting karena merupakan bagian dari mas}lah}ah.
Di samping itu, pasar modal konvensional sudah tidak lagi menarik bagi
investor. Kalangan yang tertarik hanyalah para spekulan. Investor enggan
memasuki pasar modal karena takut menjadi korban permainan bursa yang sangat
spekulatif, tidak sehat, dan tidak fair. Contoh kasus adalah emiten yang melakukan
kecurangan dengan membuat manupulasi laporan keuangan. Seorang analis yang
membeberkan fakta tersebut malah menjadi tersangka. Ini membuktikan tidak
sehat dan tidak fair-nya pasar modal konvensional.144
Saat ini, kita bisa menyaksikan bahwa sistem bisnis yang berbasis syariah
menjadi trend dunia apalagi di masa yang akan datang. Kedepan apabila pasar
modal konvensional tidak segera dibenahi, maka akan kehilangan atau bahkan
mungkin ditinggalkan oleh para investor yang menjadikan Islam sebagai way of life. Investor ketika berinvestasi tidak hanya dipengaruhi oleh keuntungan yang
akan mereka dapati, akan tetapi juga oleh nilai-nilai agama. Masyarakat
menginginkan investasi yang sehat material dan spritual. Hal ini dapat dilihat
143Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 290. 144Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 325-326
188
adanya kecenderungan bahwa perekonomian modern mulai melirik syariah sebagai
platform dunia usaha.145
Bursa Efek Indonesia tidak mau ketinggalan terhadap peluang besar ini.
Untuk menyambut new trend’s demand146 dan supply pada sektor keuangan, DSN
bersama Bapepam-LK meluncurkan pasar modal syariah dengan pendekatan
produk. Terjadinya new trend’s demand itu sesusai dengan hukum pasar sehingga
memerlukan adanya supply produk yang dapat menjawab trend tersebut, yakni
produk-produk yang berprinsip Islam (Islamic product). Islamic product merupakan
produk yang mewajibkan adanya keterbukaan dan transpransi yang didukung oleh
pasar yang fair.
Langkah maju untuk mengurangi pelanggaran syariah di pasar modal
konvensional ini belum sepenuhnya dapat menghilangkan pelanggaran syariah pada
transaksi di bursa efek. Secara tidak sadar dan tanpa disengaja, masih banyak
praktik yang sebenarnya menyuburkan praktik perdagangan atau bisnis dan
lembaga yang melanggar syariah. 147 Dengan demikian, yang dibutuhkan tidak
cukup produk syariah dari bursa efek sebagaimana yang ada di Indonesia,
melainkan harus mampu menghadirkan bursa efek syariah khusus yang terpisah
dari pasar modal konvensional sebagaimana pada Bank Syariah.148 Langkah radikal
ini diperlukan untuk menciptakan pasar modal yang terbebas dari pelanggaran
syariah.149
Hal ini tentunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan negara lain,
Malaysia misalnya, walaupun penduduk Muslimnya hanya sekitar 52 persen
ternyata investasi dan sektor keuangan syariah di sana berkembang dengan pesat,
bahkan sudah mampu bersaing dan sejajar dengan lembaga keuangan konvensional.
Pesatnya perkembangan tersebut karena mereka telah memiliki pasar modal murni
syariah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Achsien (2000) menunjukkan
bahwa kinerja Syariah Fund, yang diukur menggunakan Risk-adjusted return dengan indeks Sharpe, Treynor, dan Jensen membuktikan bahwa Syariah Fund
lebih unggul dari semua kompetitornya, yaitu Fund Konvensional Rashid Husein
145Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 229. 146New trend’s demand di maksud adalah munculnya permintaan (demand) pasar
yang membutuhkan keterbukaan dan transpransi pasar serta adanya pasar yang fair. 147Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 175. 148 Jika ditinjau dari aspek yuridis, perkembangan bank syariah mengamali
beberapa amandemen UU. Berawal UU No. 7 Tahun 1992. UU ini lalu diamandemen
dengan UU No. 10 Tahun 1998 terakhir ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Dengan diberlakukannya UU khusus yang mengatur perbankan syariah
serta instrumen hukumnya, maka landasan hukum bank syariah cukup jelas dan kuat baik
dan diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para investor semakin tertarik
untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan syariah di Indonesia semakin
lebih baik lagi. Abdul Rasyid, “Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,” https://business-
law.binus.ac.id/2015/06/02/hukum-perbankan-syariah-di-indonesia/ (diakses 23 Desember
2019). 149Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 174.
189
Bhd, Islamic Index, dan KLSE Composite Index. Semua ini bisa berjalan berkat
dukungan dari semua pihak, baik lembaga swasta maupun pemerintah, terutama
tentunya peran serta kerajaan yang sangat mendukung perkembangan institusi
keuangan syariah di Malaysia.150 Di samping itu, untuk membangun kepercayaan
kepada semua pihak terdapat beberapa pihak yang terlibat, di antaranya Bank
Negara Malaysia, pengawas dan pengelola pasar modal (Security Commision), dan
agen pengukuran.151
Dengan jumlah emiten 311 saham syariah dari 535 total saham yang
tercatat di BEI pada tahun 2006, bahwa 61% atau lebih dari setengah aktivitas
perdagangan di BEI didominasi oleh saham syariah. 152 Ini membuktikan
sebenarnya Indonesia sudah mampu untuk mendirikan bursa efek syariah. Minimal
emiten-emiten yang ada bisa melakukan dual listing pada bursa saham. Walapun
proses untuk mewujudkan semua itu bukanlah proses yang mudah. Proses ini
memerlukan kajian yang mendalam, baik secara fikih maupun secara praktis.
Pendirian bursa efek syariah memiliki prospek yang menjanjikan, karena
adanya demand dan supply yang potensial, baik dari sisi investor maupun
emiten. 153 Oleh karena itu, sangat dibutuhkan dorongan dari berbagai pihak,
terutama badan legislatif dan pemerintah atau otoritas jasa keuangan untuk
mengeluarkan undang-undang. Para pelaku bisnis dan intelektual muslim,
khususnya yang terlibat dalam bidang investasi harus lebih aktif memasyarakatkan
bursa efek sehingga masyarakat lebih melek terhadap investasi syariah. Demikian
pula, dunia kampus dan lembaga-lembaga pengambangan ekonomi syariah harus
melakukan kajian-kajian ilmiah. Singkatnya, dibutuhkan jamaah yang sangat
heterogen. Jika pihak-pihak tersebut bersatu, niscaya bursa efek yang beroperasi
secara syariah secepatnya bisa terealisasi.
150Hulwati, Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya, 230 151Nik Ramlah Mahmood, Regulatory Framework and the Role of Suruhhanjaya
Sekuritas in Developing the Islamic Capital Market, Prisiding Seminar Kebangsaan
Perbankan dan Investoran Islam (Kuala Lumpur, 1996), 5. 152Nicky Hogan, “Saham Syariah Alternatif Pembiyaan Infrastruktur,” Makalah
Seminar Pasar Modal (18 November 2016). 153Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, 331.
191
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan, penelitian ini merumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
DSN-MUI menetapkan fatwa standar screening saham syariah bertujuan
untuk memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Untuk mencapai hal ini, etika harus berlaku dalam setiap aktivitas
ekonomi. Namun jika dikaji terhadap fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI, etika
dimaksud banyak ditemukan dalam pembukaan (konsideran) dan dasar hukum
fatwa, sedangkan keputusan atau isi fatwa lebih didasarkan pada etika pada objek
usaha, yaitu bahwa perusahaan tidak boleh menjalankan usahanya dalam bidang
usaha yang diharamkan seperti perjudian, usaha ribawi, makanan dan minuman
yang haram, merusak moral, dan membawa mudharat. Hal ini kemudian membuat
screening saham perusahaan di DES lebih selektif terhadap objek barang atau jasa
yang haram karena dzatnya (haram lidhatihi), karena memang isi dari fatwa itu
sendiri lebih berkaitan dengan objek usaha, bukan bagaimana aktivitas ekonomi
yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
OJK selaku otoritas keuangan dalam menetapkan standar screening saham
syariah berdasarkan pada nota kesepahaman dengan Fatwa DSN-MUI, khususnya
mengenai kriteria objek usaha emiten pada Daftar Efek Syariah. Namun untuk
kriteria rasio keuangan OJK merubah kebijakan tersebut tanpa ada nota
kesepahaman dengan DSN-MUI, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Ketua
Bapepam-LK Nomor: KEP-208/BL/2012, dimana total ekuitas (modal) diubah
menjadi total asset yang terus berlanjut sampai sekarang dengan Peraturan POJK
Nomor 35/POJK.04/2017. Hasil kebijakan OJK menunjukkan bahwa screening
saham pada rasio finansial masih memberikan toleransi dengan ambang batas yang
relatif tinggi, terutama pada rasio utang berbasis bunga terhadap total aset, di mana
banyak perusahaan pada DES yang melewati ambang batang 45%. Berdasarkan
rasio keuangan per perusahaan selama lima tahun dari 139 perusahaan, terdapat 60
perusahaan dengan total utang berbasis bunga melebihi 45%, sedangkan sisanya 79
perusahaan memenuhi kriteria saham syariah.
Implementasi screening saham syariah perusahaan yang ada pada DES
untuk mewujudkan tanggung jawab sosial berdasarkan laporan tahunan dari 139
perusahaan menunjukkan bahwa total skor indeks ISR mengalami peningkatan
setiap tahun selama 2013-2017. Berdasarkan data dari total 2.693 pokok
pengungkapan di tahun 2013 dan selanjutnya terus meningkat hingga 2.826 pada
tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan secara umum telah mampu
mengungkapkan tanggung jawab sosial. Namun, tidak ada perusahaan yang
memiliki komitmen untuk mengungkapkan secara total dan lengkap. Di samping
192
itu, sebagian besar bentuk pengungkapan masih sebatas kegiatan sosial yang
sifatnya konsumtif. Ketidaklengkapan suatu perusahaan dalam melaporkan
tanggung jawab sosialnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor. 1) Screening
saham syariah yang diterapkan lebih pada objek usaha; 2) Fatwa DSN-MUI dan
Peraturan OJK tidak secara eksplisit mengharuskan perusahaan memiliki tanggung
jawab sosial; 3) tidak memiliki lembaga pengawas syariah di setiap perusahaan; 4)
lembaga pasar modal syariah masih berbasis produk dan belum mampu menerapkan
pasar modal murni syariah atau memiliki lembaga Bursa Efek Syariah.
B. Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut ini saran dan rekomendasi dari
peneliti agar DSN-MUI dan OJK dalam menetapkan standar screening saham
syariah dan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada DES dapat
ditingkatkan ke arah yang lebih baik.
Pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengembangan
variabel yang lebih bervariatif dan komprehensif. Peneliti selanjutnya perlu
mengkaji lebih jauh tidak hanya pendekatan hukum dan ekonomi, tetapi juga
kepada setting sosial yang mendasari DSN-MUI dan OJK dalam menetapkan
standar screening saham syariah yang berbeda dengan negara lain.
Kedua, DSN-MUI dan OJK perlu melakukan revisi regulasi dalam
menetapkan standar screening saham syariah secara progresif dan berkala dengan
membuat nota kesepahaman untuk menghindari kesalahan persepsi publik
mengenai screening saham syariah di Indonesia. Selama ini screening yang
dimaksud masih terbatas pada core business agar terbebas dari sesuatu yang
diharamkan (hara>m li dhatihi). Seperti berjudi, makanan dan minum yang haram,
merusak moral dan membawa kemudhratan. Semoga kedepannya juga dilakukan
upaya screening pada perusahaan DES yang mampu memberikan kemaslahatan.
Meski ada beberapa regulasi yang telah direvisi oleh OJK, yaitu peraturan OJK No.
35/POJK 04/2017, namun isi kebijakan tersebut, terutama pada rasio keuangan
tidak mengalami perubahan. Baik pada rasio utang yang mengandung bunga
maupun rasio pendapatan bunga dan tidak halal lainnya terhadap total pendapatan
masih sama dengan peraturan sebelumnya.
Ketiga, seluruh perusahaan yang terdaftar di DES selalu mengungkapkan
tanggung jawab sosialnya dalam setiap laporan tahunan. Namun implementasinya
lebih pada keuntungan (profit oriented). Hal ini dapat dibuktikan bahwa masih
banyak perusahaan yang melewati batas persentase maksimal screening saham yang
telah ditetapkan, terutama pada rasio utang bunga terhadap total aset. Oleh karena
itu, penting bagi DSN-MUI dan OJK melakukan ketegasan bahwa bagi yang
melanggar ambang batas tidak akan dimasukkan dalam DES sebagai perusahaan
saham syariah. Hal ini bisa terealisasi dengan baik dan tentunya memerlukan
pengawasan dan kontrol yang ketat di setiap perusahaan.
193
Keempat, Perusahaan yang terdaftar di DES harus mampu mengubah
paradigma program tanggung jawab sosial dari yang berbentuk sedekah, donasi
atau sumbangan (charity) menjadi program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan laporan tahunan, sebagian besar perusahaan pada DES hanya
memberikan sumbangan berupa bantuan yang sifatnya konsumtif dan jangka
pendek kepada masyarakat, terutama terhadap masyarakat yang tertimpa bencana
alam. Namun, belum mampu memberikan bantuan ekonomi jangka panjang dan
berkelanjutan.
195
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
A.A Islahi. Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah, terj. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.
Abdul Aziz. Manajemen Investasi Syariah. Bandung: Alfabeta, 2010.
Abdul Ghofur. Falsafah Ekonomi Syariah. Depok: Rajawali Pers, 2020.
Abdul Manan. Aspek Hukum dalam Penyeleggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia. Jakarta: Kencana, 2012.
____________. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Persada, 2006.
Abdur Rahman. Ekonomi al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya>’ ‘Ulu>muddi>n. Surabaya: Bina Ilmu, 2010.
Abū Zah{rah, Muhammad. Us{ūl al-Fiqh. Mesir: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
____________________. al-Jari>mah wa al-‘uku>bah fi> al-fiqh al-Isla>mi. Cairo: Da>r
al-Fikr al-‘Arabi, 1998.
____________________. Buh}u>th fi al-Riba>. Kairo: Da>r al-Buh}u>th al-‘Ilmi>yah, tt.
Ah}mad, ‘Abd al-Rah}man Yusro. Muqaddimah fi> ‘ilm al-iqtis}a>d al-Isla>miy.
Iskandariyah, 1988.
Ahmad, Rumadi. Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia Kajian Kritis tentang Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya. Jakarta: Gramedia, 2016.
Al’Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim. Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, terj. Abu Ahmadi dan Anshori
Umar Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Al-A<midi. al-Ih}ka>m fi> Usu>l al-Ah}ka>m, jld 4. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.
al-Andalu>si>, Abu> Muhammad ‘Ali> Ibn Ah}mad Ibn Sa’i>d Ibn Hazm. al-Muhalla> bi al-At}ar, jld 4. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
al-Anshari, Abi Zakariya. Al-Majmu´ Sharh al-Muhadzdzab. Al- Mathba‘ah al-
Muniriyah.
Al-Attas Naquib Syed Muhammad. Konsep Pendidikan Dalam Islam cet. Ke-7.
Bandung: Mizan, 1996.
al-Ghaza>li>, Abu> H{a>mid. al-Mustas}fá fi> ‘Ilm al-Us}u>l. Beiru>t: Dar al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2008
__________________. Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Jld. 2. Beirut: Da>r al-Nahdah, T.t.
__________________. Al-Isla>m al-Muftara> ‘Alaih. Kuwait: Da>r al-Baya>n, tt.
196
Al-Ima>m Jala>l al-Di>n Abd al-Rah}man al-Suyut}i. Al-As}ba>h wa al-Naz}a>ir. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1983.
Al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam Syarh
Majallati al-Ahkam, Ali Haidar, 1/183.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Za>d al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad Cet. XXVII.
Kuwait: Maktabah Al Manar, 1994.
______________________. al-T}uruq al-Hukmi>yah fi al-Siya>sa>t al-Shar‘i>yat. Kairo:
al-Mus‘assasat al-Atabi>yah, 1961.
Al-Jazirim. Kitab al-Fiqh ‘ala> mad}a>hib al-Arba‘ah. Qaherah: Maktabah Tija>rah
Kubra>, 1969.
al-Khali>l, Ah}mad ibn Muh}ammad. al-Ashum wa-al-Sanada>t wa-Ah}ka>muh}a> fi> al-Fiqhi al-Isla>mi. Saudi Arabia: Da>r Ibn Al-Jauzi>, 2005.
Al-Mara>ghi>, Ah}mad ibn Must}afa.> Tafsi>r al-Mara>ghi>. Kairo: Shirkah Maktabah
Must}afa> al-Ba>b al-H{alabi>, 1946.
al-Mawdudi, Abu A’la. The Process of Islamic Revolution. Lahore: Islamic
Publications, 1967.
Al-Musahamah fi asy-syarikat tata‘amalu bi al-fawa‘id al-ribawiyah, Abd as-Sattar
Abu Guddah, al-Haihah asy-syar‘iyah li al-barakah, Majmuatudallah al-
barakah, (Jeddah, 2003).
Al-Nabha>ni>, Muhammad Fa>ruq. al-Ittija>h al-Jama>‘i fi> al-Tas}ri> al-Iqtis}a>di> al-Isla>mi>. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985.
Al-Nabha>ni>, Taqi> al-Di>n. Al-Niza>m al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m. Beirut:Dar el Ummah,
2004.
____________________. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Al-Najja>r, ‘Abd al-Majid. Maqa>s}id al-Shari>‘ah biab‘ad Jadi>dah. Beirut: Da>r al-Garb
al-‘Arabi>, 2008.
Al-Qaht}a>n, Musfiri>n. Manhaj Istinba>t} Ahka>m al-Nawa>zil al-Fiqhiyah al-Mu‘a>s}irah. Jiddah: Da>r Ibn Hazam, 2010.
Al-Qarad{awi, Yu>suf. Al-Ijtiha>d al-Mu‘as{ir. Beirut: Al-Maktab Al-Isla>mi, 1998.
________________. Al-Halal wa al-Hara>m fi> al-Isla>m. al-Maktaba al-Isla>mi> li al-
Tiba‘ah wa al-Nashr, 1967.
________________. Fata>wa Mu‘as}irah, Cet. Ke-8. al-Qaherah: Daral-Qalam, 2000.
________________. Fiqh al-Zakat. Beiru>t: Mu’assasat al-Risa>lah, 1997.
Al-Rāzi>, Fakhr al-Di>n. Al-Mahsūl fi> ‘Ilmi al-Us}ūl. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1988.
197
Al-S}a>bu>ni>, Muh}ammad ‘Ali>. Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n. Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Islami>yah, 2001.
al-Sabatin, Yusuf. al-Buyu>‘ al-Qadi>mah wa al-Mu‘a>s}irah wa al-Bu>rs}a>t al-Maha>lliyah wa al-Duwaliyyah. Beirut: Dar el-Bayariq, 2002.
Al-Sanhuri. Masa>dir al-Haq fi al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz 3. Qaherah: Da>r Ihya> al-Turath
al-‘Arabi, 1967.
Al-T{ūfi>, Najm al-Din. Sharh al-Arba‘īn, dimuat dalam lampiran Must}afá Zayd, al-Maslahat fi al-Tashrī’ al-Islāmi> wa Najmuddin al-T{ūfi. Kairo: Dār al-Fikr
al-‘Arabi>, 1954.
Al-Tirmidhi, Abi> ‘I>sa> Muh}ammad ibn ‘Isa> ibn Su>rah ibn Mu>sa>. Ja>mi’ al-Tirmizi, Cet. I. Riyad: Da>r al-Sala>m li al-Nasy wa al-Tawzi’, 1999.
Al-Zarqa‘, Must}afa. al-Madkhal al-Fiqh al-‘am, Juz I. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz 2. Damsyiq: Da>r al-Fikr.
Amin, Ma‘ruf. Prospek Cerah Perbankan Islam. Jakarta: LeKAS, 2007.
____________. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS, 2017.
. Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975.
Jakarta: Erlangga.
Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. New York: New
York University Press, 1959.
Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Arief, Abd. Salam. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita
Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: LESFI,
2003.
Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet-7. Jakarta: Azkia
Publisher, 2009.
Ash-Shawi, Shalah dan Abdullah al-Muslih. Fikih Ekonomi Keuangan Islam terj.
Jakarta: Darul Haq, 2008.
Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 2007.
Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Belfast California: Wardswort
Publishing, 1980.
Barlinti, Yeni Salma. “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia” (Disertasi, Universitas Indonesia, 2010).
Billah, Mohammad Ma’sum. Applied Islamic Law of Trade and Finance .Selangor:
Sweet & Maxwell Asia, 2009.
198
Chapra, M. Umer Shiraz Khan & Al Shaikh Anas Ali. The Islamic Vision of Depelopment in the Light of Maqasid al-Shariah. London: International
Institute of Islamic Thought, 2008.
Charles, P Jones. Investment Analysis and Management, Tenth Edition. New York:
John Wiley & Sons, Inc. Tandelilin, Eduardus, 2001.
Choudury, M. A. Contribution to Islamic Economy Theory: A Study in Social Economic. London: MacMillan, 1992.
Cowton, C. “the Development of Ethical Investment Product,” in A.R. Prindl and
B. Prodan (ed.), Ethical Conflict in Finance. Blackwell: Oxford, 1994.
Craig, Deegan. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill: Australia Chapter 1).
Dahlan, Abdul Azis. dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet 1. Jakarta: PT. Ichtar
Baru Van Hoeve, 1996.
Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Edward, Freeman, R. Strategic Management: A Stakeholder Approach. New York:
Cambridge University Press, 2010.
Evans, James R. and Jr. James W. Dean, Total Quality: Management, Organization, and Strategy 3rd. Ohio: South-Western, 2003.
Fauzan, Abdullah. Tauh}i>d Shaleh bin Fauzan jilid 1-3. Jakarta: Da>r al-Haq, 1999.
Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kahar Riyadi. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqa>s}id al-Shari>‘ah. Jakarta: Kencana, 2015.
Fox, Ward. and Howard (2002), 1, dalam Agnes Sunartiningsih, Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Aditya Media-Fisip UGM, 2004.
GAAP 98: Interpretation and Application of Generally Accepted Accounting Principles, 1998, Wiley, 42
Hafidhudin, Didin dan Ahmad Juwaini. Membangun Peradaban Zakat Meniti Jalan Kegemilangan Zakat. Jakarta: Bamuis BNI dan Divisi Publikasi Institut
Manajemen Zakat, 2007.
Hakim, Sofian. Dinamika Fatwa Mudharabah dan Murabahah di Indonesia dan
Malaysia. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2019.
Hamid, Arifin. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif Sosioyuridis). Jakarta: elSAS, 2006.
Harahap, Sofyan Syafri. Teori Akuntansi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan.
Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996.
199
Hasanudin. “Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008).
Hassan, M. Kabir dan Michael Mahlknecht. Islamic Capital Markets Products and Strategies. United Kingdom: A John Wiley and Sons, Ltd., Publication.
Hawken, Paul. Socially Responsible Investing. California: Natural Capital, 2004.
Heykal, Mohammad. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2012.
Hosen, Nadratuzzaman dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam. Jakarta: PKES, 2009.
Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah.
Jakarta: Kencana, 2008.
Hulwati. Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Ciputat Press, 2009.
Ibn al-Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Ibn Taimiyah. Al-Hisbah fi> al-Isla>m. Tahqi>q: Sai>d Muhammad bin Abi> Sa‘a>dah.
Kuwait: Da>r al-Arqa>m, 1983.
Ibn Taimiyah. Majmu‘ al-Fatawa al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet. I.
Ibra>hi>m ibn Musá al-Shat}ibi>. Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Sharī‘ah, jilid II. Beirut: Da>r
al-Ma’rifah, t.t.
Iggi H. Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2000.
Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik.
Jakarta: Kencana, 2008.
Iqbal, Zamir. An Inroduction to Islamic Finance:Theory and Practice. Singapore:
Jhon Wiley & Sons, 2007.
Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatif . Jakarta: Gaung Persada, 2009.
Isnaini Hrp, dkk., Hadis-hadis Ekonomi, Cet-2. Jakarta: Kencana, 2017.
Jamil, Sukron. LAZIS Masjid al-Markaz al-Islami; Menuju Medel Untuk Keadilan Sosial dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar, Revatalisasi Filantropi Islam. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif
Hidayatullah, 2005.
Jusmaliani. “Investasi yang Islami: Investasi dengan Etika.” dalam Jusmaliani, Ed.,
Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
200
Kamali, Mohammad Hashim, Shiraz Khan & Al-Shaikh Anas Ali. Maqasid al-Shari’ah Made Simple. London: International Institute of Islamic Thought,
2008.
Kamali, Muhammad Hashim. Islamic Commercial Law; an Analysis of Futures and Options. Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 2002.
Kamso, Noripah dan Tsu Mae ng. Investing in Islamic Funds. Singapore: Jhon
Wiley & Sons Singapore, 2013.
Kasmir. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004.
Khaf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Khalla>f, Abd al-Wahha>b. ‘Ilm Us}ūl al-Fiqh, Cet. 8. Mesir: Maktabat al-Da‘wah al-
Islāmiyah Shabāb, 1990.
Khan, M. Fahim. Essay in Islamic Economic. UK: Islamic Foundation, 1995.
Kotler, Philip dan Nancy Lee. Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good for Your Cause. New Jersey: John Willey &Sons Inc, 2005.
Lubis. K dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
1995.
Lydenberg, Steven D. & Peter D. Kinder. Mission-Based Investing. Boston Mass:
KLD, 1998.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A‘la>m. Beiru>t: Da>r al-Mashriq, 1986.
Maksum, Muhammad. “Pengelolaan Zakat Perspektif Peraturan Perundangan”
diambil dari Muhammad Atho Mudzar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif: Dinamika Integrasi Ilmu Hukum, Hukum Ekonomi dan Hukum Keluarga Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.
Mannan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995.
Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Depok:
PrenadaMedia, 2015.
Metwally, M.M. Teori dan Model Ekonomi Islam, Terj. Jakarta: Bangkit Daya
Insana, 1995.
Mowleong, Lexy J. Metedologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-13. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000.
Mudhofir, Abdullah. Al-Quran dan Konservsi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah. Jakarta: Dian Rakyat,
2010.
201
Mudzhar, Mohammad Atho. “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”. dalam Budhy
Munawwar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.
_________________. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Edisi dwi bahasa. Jakarta:
INIS, 1993.
Muhammad & Alimin. Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam.
Yogyakarta: BPFE, 2005.
Muhammad. Dasar- Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonosia, 2004.
__________. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta: PT. GrapindoPersada, 2008.
Mujahidin, Akhmad. Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.
Mulyaningsih, Yani. “Kriteria Investasi Syariah Dalam Konteks Kekinian,” dalam
Jusmaliani, Ed., Investasi Syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
Nachrowi, D.N. & Usman. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 2006.
Nafik HR, Muhammad. Bursa Efek dan Investasi Syariah. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2009.
Nafis. M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. UI-Pres, 2011.
Nurdizal, M. Rahman dkk., Panduan Lengkap Perencanaan CSR. Depok: Penebar
Swadaya, 2011.
Qararat wa taushiyat majma al-Fiqh al-Islami at-tabi’li li munadzamati al-
Mu’tamar- al Islami.
Qut}b, Sayyid. Fi> Zhila>l al-Qur’a>n. Beiru>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabiy, 1971.
Rahardjo, M. Dawam. “Kritik Nalar Ekonomi Islam.” dalam Kritik Nalar Islamisme
dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute, 2012.
________________ . Arsitektur Ekonomi Islam Menuju Kesejahteraan Sosial. Bandung: Mizan, 2015.
Rid}á, Muh}ammad Rashid. Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-
‘Ilmi>yah, 1999.
Rivai, Veithzal dkk,. Bank and Financial Institution Management. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul
Hakim, 2008.
202
Sa>lih} ibn Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Sult}a>n. al-Ashum h}ukmuh}a> wa-a>sa>ruha. Saudi Arabia: Da>r ibn Jauzi , 2006.
Sahroni, Oni dan Adiwarman Karim. Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.
Sanrego Nz, Yulizar D. Falsafah Ekonomi Islam: Ihtiar Membangun dan Menjaga Tradisi Ilmiah Paradigma dalam Menggapai Falah. Jakarta: Karya Abadi,
2014.
Scanlan, Charles (ed.), “Socially Responsible Investment: A Guide for Pension
Schemes and Charities. London: Key Haven Publication, 2005.
Scott, William R. Financial Accounting Theory, Edisi 6. New Jersey: Prentice Hall,
2012.
Sen, Amartya. On Ethics and Economics. Oxford: Brasil Blackwell, 1987.
Severyan T. Bruyn. The Field of Social Investment. Cambridge: Cambridge
University Press, 1987.
Sholahuddin. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2006.
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Prenada Media
Kencana, 2009.
______________. Masa Depan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2014.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: Alfabeta, 2013.
Suhar. Paradigma Politik Hukum Islam: Manajemen Pendistribusian Pendapatan dan Kekayaan Negara. Jakarta: Hayfa Press, 2007.
Sujono dan Abdurrahman. Metodologi Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Cet.
IV. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Supramono, Gatot. Transaksi Bisnis Saham & Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan. Jakarta: Kencana, 2014.
Suryanto, Bagong dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana, 2005.
Sutedi, Adrian. Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
_____________. Pasar Modal: Mengenal Nasabah sebagai Pencegahan Pencucian Uang. Bandung: Alfabeta, 2013.
203
Swasono, Sri Edi. Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme.
Jakarta: Yayasan Hatta, 2010.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jld.1 Cet. Ke-5. Jakarta: Prenada Media, 2014.
Tarmizi, Erwandi. Harta Haram Muamalat Kontemporer, Cet-21. Bogor: Berkat
Mulia Insani, 2019.
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2009.
Tulus. Makalah Strategi Lembaga Pengelola Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit, M. Arifin Purwakananta,
Noor Aflah. Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot Padang, 2008.
Uma Sekaran dan Bougie. Metode Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba
Empat, 2017.
Umar, Nazaruddin. Zakat dan Peran Negara dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia, dalam Southeast Asia Zakat Movement, edit, M. Arifin
Purwakananta, Noor Aflah. Jakarta: FOZ, Domper Dhuafa dan Pemkot
Padang, 2008.
Untung, Budi. CSR dalam Dunia Bisnis. Yogyakarta: Andi Offset, 2014.
Vogel, Frank E. and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance; Religion, Risk and Return. The Hague: Kluwer Law International, 1998.
Wadji, Farid. Jaminan Produk Halal di Indonesia: Urgensi Sertifikasi dan Labelisasi Halal. Depok: RajaGrafindo, 2019.
Widioatmodjo, Sawidji. Cara Sehat Investasi di Pasar Modal. Jakarta: Elex Media
Computindo, 2005.
Yasin, Mahmuddin dkk., Perusahaan Bertanggung Jawab CSR vs PKBL. Semarang:
Universitas Dipenogoro, 2013.
JURNAL
Abu-Tapanjeh, A.M. “Corporate governance from the Islamic perspektive: A
comparative analysis with OECD principles.” Critical Perspectives on Accounting, 20, (2009): 556-567.
Achmad, Tarmizi. “Dewan Komisaris dan Transparansi: Teori Keagenan atau Teori
Stewardship.” Jurnal Keuangan dan Perbankan Syariah, Vol. 16, No.1
(Januari 2012): 1-12.
Adam, Noor Latiffah dan Nordin Abu Bakar. “Shariah Screening Process in
Malaysia.” Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121 (2014): 116.
204
Alhabsyi, S. Y. “Stock Screening Process,” Islamic Finance Bulletin (2008, June):
24-30.
Al-Majalla al-Ahkam al-‘Adli>yah, 1968, Ed. Ke-5: 33.
Al-Qard}awi, Yusuf. Fiqh Prioritas. Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah, 1990.
Alsaadi, Abdullah et al. “Corporate Social Responsibility, Shariah-Compliance, and
Earnings Quality”. J Financ Serv Res (2017):169–194.
Al-Suwailem, Sami. “Towards Objective Measure of Gharar in Exchange”. Islamic Economic Studies, Vol.7. No.1 dan 2 (April 2000): 80.
Al-Zuhayli, Wahbah. “Financial Transaction in Islamic Jurisprudence”. Translation
of Al-Fiqh al-Islamiy wa ’Adillatuh.” Vol 1, Mahmoud A.El-Gamal, Trans, (2003): 84-85.
Amerieska, Siti dkk. “Akuntabilitas pada Baitul Maal Wat Tamwil Ditinjau dari
Perspektif Shari’ate Enterprise Theory.” Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, Vol. 2 No. 1 (2012): 27-39.
Aturan Daftar Efek Syariah Terbelit Waran Dan Option
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17458/aturan-daftar-efek-
syariah-terbelit waran-dan-option/ (diakses 27 Agustus 2019).
Awaluddin. “Pasar Modal Syariah : Analisis Penawaran Efek Syariah Di Bursa Efek
Indonesia”. Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 2, (2016): 137-150.
Bal‘abbas, ‘Abd. al-Razzaq Sa‘id. “Hal Qas}ar al-Fuqaha>’ al-Mu‘a>s}irun fi Bayan
Us}u>l al-Niz}a>m al-Iqtisa>d al-Isla>my?.” Jurnal Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz, Vol. 21, No.1.
Bank Indonesia, Surat Edaran No. 12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. www.bi.go.id (diakses 27 Mei 2018).
Bapepam dan LK,“Sejarah PasarModalSyariah,” http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html,
(artikel diakses 02 Juni 2015).
Beal, Diana J Michelle Goyen, and Peter Phlilips. “Why Do We Invest Ethically?”
The Journal of Investing, Fall, (2005): 33.
Benardi, Meliana dkk., “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan
dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi.” Jurnal Symposium Nasional Akuntasi (SNA) XII (Palembang, 2009).
BinMahfouz, S., & Kabir Hassan, M. “Sustainable and socially responsible
investing: Does Islamic investing make a difference?”. Humanomics, 29 (3),
(2013): 164-186.
205
C., Jolly. “Ethical Demands and Requirements in Investment Management,”
Business Ethics: A European Review, 2:4, (1993): 171–177.
Capelle-Blancard Gunther dan Stephanie Monjon. “The Performance of Socially
Resposnsible Funds Does The Screening Process Matter?.” European Financial Management, 20 (3), (2014): 494–520.
Chapra, M. Umer. “Ethics and Economics: an Islamic Perspektive.” Islamic Economic Studies Vol. 16. No. 1-2 (August 2008-Jan 2009).
Daniri, Mas Ahmad. “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.”
http://development.bumn.go.id (diakses 13 Oktober 2017).
Di>n, Anas Muh}ammad Ah}mad. “al-H{ara>m li- Ghayrih: Dira>sah Naz}ari>yah
Tat}biqi>yah ‘ala al-Nawa>zil”. (Thesis: Ja>mi‘at Umm al-Qura´, 1435 H).
Donaldson, Lex and James H. Davis “Stewardship Theory or Agency Theory: CEO
Governance and Shareholder Returns”. Australian Journal of Management, Vol. 16, No. 1, (June 1991): 49-65.
Donia, M. and Marzban, S. “Identifying Shariah-Compliant Equities a Challenging
Task, Global Islamic Finance.” 2008) http://www.global-islamic-
finance.com/2008/11/identifying-shariah-compliant-equities.html (diakses
06 April 2015).
Dusuki, Asyraf Wajdi and Nurdianawati Irwani Abdullah. “Maqa>s}id al-Shari>‘ah,
Mas}lah}ah, and Corporate Social Responsibilty”, The American Journal of Islamic Social Science, 24:1, (2008).
Dyllick, Thomas and Kai Hockerts. “Beyond The Business for Corporate
Sustainability.” John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment (2002):
130-141. DOI:10.1002/bse.323.
Efendi, Edi Dwi. “Idealitas dan Realitas Pasar Modal” Republika, 23 April 2003.
Elias, Erragraguy. "The performance of Socially Responsible Investment: Evidence
from Shariah-Compliant Stock”. Finance Reconsidered, (2015): 1- 41.
Elkington, J. Cannibal With Work: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business, Gabriola Island. BS: New Society Publisher. 1997.
EuroSIF.“European Sri Study 2006,” European Social Investment Forum, (2006):1.
Fitria, Soraya dan Dwi Hartanti. “Islam dan Tanggung Jawab Sosial: Studi
Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan Global Reporting Initiative Indeks dan Islamic Reporting Indeks.” Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto, (2010): 7.
Friedman, Milton. “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profit.”
The New York Times Magazine, (1970).
Garriga and Mele. “Corporate Sosial Responsibility Theories: Mapping the
Territory”. Journal of Business Ethics, Vol. 53 (2004): 51-71.
206
Grais, Wafik dan Matteo Pellegerini. “Corporate Governance and Shariah
Compliance in Institutions Offering Islamic Financial Services.” World Bank Policy Research Working Paper 4054 (November 2006).
http://elibrary.worldbank.org/doi. (diakses 12 Februari 2018).
Gray, R., Kouhy, R., and Laver, S. “Corporate Social and Environmental
Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK
Disclosure.” Accounting Auditing and Accountability, Vol. 8, (1995): 47-
77.
Haas, Robert, Robert Brady, Barbara Widstrand, “Screening Investment of
Stakeholders: SRI in USA,” Social Investment Forum, (2003): 12-15.
Hadi, Kuncoro. “Pengaruh Kebijakan Sharia Screening terhadap Pertumbuhan Nilai
Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan pada Daftar Efek Syariah)” (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
Hanafi, Syafiq M. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones”. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1406.
Haneef, M. Aslam. “ Islam, Its Worldview and Islamic Economics.” IIUM Journal of Economic and Management, 5, 1 (1997).
Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspective.”
Indonesian Management and Accounting Research Journal, Vol. 1 No. 2
(2002);
Haniffa, R.M. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive.”
Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2,
(2002).
Hasan, Zulkifli. Legal Aspects of Islamic Finance. Kuala Lumpur: Universitas
Sains Islam Malaysia, 2012),
http://zulkiflihasan.fileswordpress.com/2008/06/shariah-governance-
framework-ifsb-and aaoifi.pdf (diakses 27 maret 2018).
Herry dan Hamin. “Tingkat Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan: Bukti
Empiris pada Perusahaan Publik di Indonesia”. Jurnal Riset & Bisnis, Vol.
1, No. 2 (Desember 2006): 135-151.
Herwidyatmono. “Prinsip-prinsip Pengaturan Pasar Modal Syariah di Indonesia.”
Makalah Peluncuran Pasa Modal Syariah, Jakarta (2003).
Hinkel, R. Kraus A., & Zechner, J., “The Effect of Green Investment on Corporate
Behaviour. ” Journal of Financial and Quantitative Analysis, 36 (2001): 431
Hogan, Nicky. “Saham Syariah Alternatif Pembiyaan Infrastruktur.” Makalah Seminar Pasar Modal (18 November 2016).
207
Huda, Nurul. “Kinerja Pasar Modal Syariah Indonesia Suatu Kajian terhadap
Saham Syariah,” Makalah di sampaikan dalam Diskusi Bulanan IAEI, FE
Yarsi, (11 Agustus 2006).
Islamic Capital Market Fact Finding Report OICU-IOSCO. Report Of The Islamic Capital Market Task Force Of The International Organization Of Securities Commissions 2004. http://islamic-finance.netmediaICM-
IOSCOFactfindingReport.pdf (artikel diakses 25 April 2015).
Jensen, M.C. and W.H. Meckling, “Theory of the Firm: Managerial behavior,
agency costs, and ownership structure,” Journal of Financial Economics,
Vol 3, No. 4 (1976): 305–360.
Kafou, Ali and Ahmed Chakir. “From Screening to Compliance Strategis: The Case
of Islamic Indices with Application on “MASI”. Islamic Economic Studies Vol. 25, No. Special Issues, (April 2017): 55-84.
Kariyoto.“Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Perspektif
Teoritis.” Jurnal Tema, Vol. 10, No. 1 (2011): 24-38.
Kinder, Peter D. Socially Responsible Investing: An Evolving Concept in a
Changing World. KLD Research & Analytics, (2005): 11-12.
Kurniawan, Rizki Dwi dan Nadia Asandimitra. “Analisis Perbadingan Kinerja
Indeks Saham Syariah dan Kinerja Indeks Saham Konvensional”. Jurnal Ilmu Manajemen, Vol. 2, No. 4; (2014): 1355.
Lantos, G. P. “The Ethicality of Altruitistic Corporate Social Responsibility,”
Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 No. 3, (2002): 205-230.
Latiffah, Noor Adam and Nordin Abu Bakar. “Shariah Screening Process in
Malaysia”. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 121, ( 2014 ): 116.
Leslie, Lang dan Young. “Debt and Expropriation”. Working Paper, www.yahoo.com2000. (diakses 28 Juli 2015).
M. Akhtaruddin. “Corporate Mandatory Disclosure Practicies in Bangladesh.” The International Journal of Accounting, Vol. 40 No. 4 (2005): 399-422.
M. Ardiansyah, dkk. “Telaah Kritis Model Screening Saham Syariah menuju Pasar
Tunggal ASEAN.” Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan
Vol. 16, No. 2 (2016): 197-216.
M. Derigs and Marzban, S. “Review and analysis of current Shariah-compliant
equity screening practices”. International Journal of Islamic and Middle
Eastern Finance and Management, Vol 1 (2008): 285-303.
M. Popotte. Industry Snapshot: Opening the Black Box of Shariah Stock
Screening”.http://www.opalesque.com/OIFIArticle/96/the_Black_Box_of_
Shariah_Stock850.html (diakses 06 Maret 2016).
208
M.A. Choudury. ”Islamic Economics and Finance: Where Do They Stand?.”
International Journal of Accounting and Finance, Vol. 1, Issue 2, (2008):
24-25.
M.H. Khatkhatay and Nisar, S. “Investment in Stocks: A Critical Review of Dow
Jones Shariah Screening Norms,” Paper presented at the International Conference on Islamic Capital Markets. (2007),
http://www.kantakji.com/fiqh/Files/Fatawa/15404.pdf (artikel diakses 15
Juni 2015).
M.N. Siddiqi. “Shariah, Economics and the Progress of Islamic Finance: The Role
of Shariah Experts,” 7th Harvard Islamic Forum on Islamic Finance,
(2006).
Mahmood, Nik Ramlah. Regulatory Framework and the Role of Suruhhanjaya Sekuritas in Developing the Islamic Capital Market, Prisiding Seminar
Kebangsaan Perbankan dan Investoran Islam (Kuala Lumpur, 1996).
Maiyaki, Ahmad Audu. “Principles of Islamic Capital Market”. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences Vol. 3, No. 4, (October 2013).
Maria Torres, Maria AŁngeles Fernandez-Izquierdo and Maria Rosario Balaguer
Franch, “The social responsibility performance of ethical and solidarity
funds: an approach to the case of Spain” Business Ethics: A European
Review Blackwell Publishing Ltd. Volume 13 Numbers ( 2004), 17.
Meyrs, Steward C And Majluf Nicholas S. “Corporate Financing and Investment
Decisions When Firms Have Information that Investors Do Not Have.“
Journal of Financial Economics 13 (1984): 187-221.
Modigliari, Franco and Merton H. Miller. “Corporate Income Taxes and the Cost of
Capital A Correction.” The American Economic Review Vol. 53, No. 3
(Jun 1963), 433-443. http://www.jstor.orf/stable/1809167, (artikel diakses
22 November 2018).
Monika, Elsa Rumiris dan Dwi Hartanti. “Analisis Hubungan Value Based Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis
Indonesia (Studi Kasus Perusahaan SWA 100 2006).” Simposium Nasional Akuntansi XI, (Juli 2008).
Muhammad Fathurrohman, “Metode Dan Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi Serta Konsep
Konservasi Lingkungan,”
https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/11/metode-dan-ijtihad-
yusuf-al-qardhawi-serta-konsep-konservasi-lingkungan/, (artikel diakses 04
Januari 2020).
Multifiah. “Peranan Zakat, Infak, dan Shadaqah Terhadap Kesejahteraan Rumah
Tangga Miskin.” Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Vol 21, Nomor 1. (Februari
2009):2.
209
Must}afa Abu-Sway. “Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment, Fiqh
al-Bî’ah fî al-Islām.” http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/htm. 1998
(diakses 25 Maret 2016).
Noviastuty, Ari. “Evaluasi Kinerja Portofolio Antara Saham Syariah dengan saham
konvensional di Bursa Efek Indonesia”. Performance Vol. 14 No. 2
(September, 2011): 2.
Nurlela, Rika dan Islahuddin. “Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap
Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Managemen Sebagai
Variabel Modetaring (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di
Bursa Efek Jakarta),” Simposium Nasional Akuntansi XI. (Juli 2008).
Nurnberg, Donald. “The Ethic of Corporate Govermance”. London Metropolitan
University, (Agustus 2016).
Organization for Economic Co-operation and Development, OECD Principles of Corporate Governance (Perancis: OECD Publications Service, 2004), 15.
Osman, Fathi. “Islam and Human Rights: The Challenge to Muslims and the
World”. dalam Rethinking Islam and Modernity, Essay in Honour of Osman. London: The Islamic Foundation, 2001.
Othman, R., et al.“Determinants of Islamic Social Reporting Among Top Shariah-
Approved Companies in Bursa Malaysia.” Research Journal of International Studies, Vol. 12, (2009).
Pok, Wee Ching. “Analysis of Syariah quantitative screening norms among
Malaysia Syariah-compliant stocks.” Investment Management and Financial Innovations, Volume 9, Issue 2, (2012).
R. Othman & Md. Thani, A., “Islamic social reporting of listed companies in
Malaysia.” International Business and Economics Research Journal, Vol. 9,
No. 4, (2010): 135-144.
R. Siddiqui. “Shari'ah compliance, performance, and conversion: the case of the
Dow Jones Islamic Market Indexs”. Chicago Journal of Internasional Law,
(2007): 496.
R.M. Haniffa. “Social Responsibility Disclosure: An Islamic Perspektive”.
Indonesian Management and Accounting Research Journal. Vol. 1 No. 2,
(2002): 128-146
Raharjo, Eko. “Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntasi,”
Fokus Ekonomi, Vol.2 No. 1 (Juni 2007): 37-46.
Rahman, Fazlur. “Interpreting al-Qur’an.” Inquiry, (Mei 1986): 49.
Renneboog, Luc Jenke Ter Horst, and Chendi Zhang b. “Socially responsible
investments: Institutional aspects, performance, and investor behavior,”
Journal of Banking & Finance 32 (2008): 1723–1742.
Republika, 29 Mei 2014.
210
Ridwan, Murtadho. “Analisis Penyerapan Fatwa DSN-MUI Tentang Asuransi
Syariah ke dalam PSAK 108.” ADDIN, Vol. 8, No. 1, (Februari 2014): 137.
S. Elfakhani and Hassan. MK 2005, “Performance of Islamic Mutual Funds, paper
Presented of Economic Research Forum,” The 12th Annual Conference, Kairo, (19-21 Desember 2005).
S. Hakim and M. Rashidian. "Risk and Return of Islamic Stock Market Indexes".
Presented at the International Seminar of Nonbank Financial Institutions:
Islamic Alternatives, Kuala Lumpur, Malaysia. (2004), 1.
S. Hellsten, and C. Mallin. “Are Ethical or Socially Responsible Investments
Socially Responsible?”, Journal of Business Ethics, 66 (2006).
Sayekti, Yosefa dan Ludovicus Sensi Wondabio. “Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada
Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta), Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar (2007).
Seif El-Din I Taj El-D. “Towards an Islamic Model of Stock Market”. J. KAU: Islamic Econ., Vol. 14, (1422 A.H / 2002 A.D): 25-26.
Shomali, Mohammad. “Aspects of Environmental Ethics: An Islamic
Perspective.” http://www.thinkingfaith.org/articles/200811111.htm,
(diakses 15 Maret 2016).
Siwar, C. and M. T. Hossain. “An analysis of Islamic CSR Concept and The
Opinion of Malaysian Managers.” Management of Environmental Quality: An International Journal, Vol. 20 (2009): 290-298.
Social Investment Forum. Report on Responsible Investing Trends in US, SRI. (2007), www. Socialinvest.org (diakses 25 Maret 2016).
Soraya, Fitria dan Dwi Hartant. “Studi Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan
Global Reporting Initiative Index Dan Islamic Social Reporting Index”,
Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto, (2010): 2.
Staden, C.v. The Value Added Statement: Bastion of Social Reporting or Dinosaur
of Financing Reporting? 1-15.
Sudarmadji, Ardi Murdoko dan Lana Sularto. “Pengaruh Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan terhadap Luas
Voluntary Disclosure Laporan Keuangan Tahunan.” Proceeding PESAT, Vol. 2 (2007): 53-61.
Suharto, Edi. “Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan”. (diakses pada
Februari 2016).
Sulaiman, M., “Islamic Corporate Reporting: Between the Desirable and the
Desired,” Research Centre IIUM Publication (2005).
Sunarto. “Teori Kegenan dan Manajemen Laba”. Kajian Akuntansi, Vol. 1 No. 1
(Pebruari 2009): 13-28.
211
Swasono, Sri Edi. “Ekonomi Islam dalam Pancasila.” Makalah International Seminar on Implementation of Islamic Economics, UNAIR Surabaya,
(2009): 9.
________, Sri Edi. “Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi
dan Kesejahteraan Sosial.” Prosiding Kongres Pancasila V. Yogyakarta:
PSP Universitas Gajah Mada, 2013.
Syafiq M. Hanafi. “Perbandingan Kriteria Syari’ah Pada Indkes Saham Syari’ah
Indonesia, Malaysia, dan Dow Jones.” Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 45 No. II, (Juli-Desember 2011): 1405.
Syakhroza, Akhmad. “Best Practices Corporate Governance Dalam Konteks
Kondisi Lokal Perbankan Syariah.” Majalah Usahawan No. 06 (Juni 2003),
14.
The Social Investment Forum, Report on Responsible Investing Trends in The US (2005), www. Socialinvest.org (diakses 19 Maret 2016).
Triyanta, Agus. “Gharar; Konsep dan Penghindarannya pada Regulasi Terkait
Screening Criteria di Jakarta Islamic Index”. Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17
Oktober (2010): 626.
Turnbull. “International Control Guidance for Directors on the Combined Code”
London: The Institute of Chartered Accountants in England & Wales (September 1999): 46. www.jstor.org/stable/3867928 (diakses 19 Februari
2018).
Ujiyantho Muh. dan Bambang Agus Pramuka. “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi pada Perusahaan Go Public Sektor Manufaktur)”. Simposium Nasional Akuntansi X, (Juli 2007).
Usmani, Maulana Taqi. “Principles of Shari’ah Governing Islamic Investment
Funds”. International Journal of Islamic Financial Services , Vol 1 (2),
(1999): 45-58.
Verrecchia, R. E. “Discretionary Disclosure.” Journal of Accounting and Economics, Vol. 5 No. 3 (1983): 179-194.
Wadji, Farid. “Transformasi Industri Halal”
http://faridwajdi.com/detailpost/transformasi-industri-halal (diakses 22
November 2019).
Waris, Ali Hafiz Ali Hassan, Sayyid Khawar Abbas, Muhammad Mohsin, Nauman
Waqar. “Sharia Screening Process: A Comparison of Pakistan and
Malaysia”. Assian Journal of Multidiscplinary Studies, 6, (2018): 13-21.
WBCSD, CSR: Meeting Changing Expectations (World Business Council on
Sustainable Development, 1998): 3.
Wilson, Rodney. “Islamic finance and Ethical Investment”. International Journal of Social Economics, Vol. 24 No. 11, (1997): 1325-1342.
212
Yulianti, Rahmani Timurita. “Direct Financial Market: Islamic Equity Market
(Bursa Saham dalam Islam)”. Almawarid, Vol. XI, No. 1, (Feb-Agust
2010): 21-26.
Zandi, Gholamreza dkk. “Stock Market Screening: An Analogical Study on
Conventional and Shariah-Compliant Stock Markets.” Asian Social Science; Vol. 10, No. 22, Published by Canadian Centerof Science and
Education, (2014): 270.
UNDANG-UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH DAN FATWA
Fatwa DSN-MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001
Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh.
Fatwa DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Fatwa DSN-MUI No. 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu (HMETD) Syariah.
Fatwa DSN-MUI No. 66/DSN/MUI/III/2008 tentang Waran Syariah.
Peraturan Bapepam-LK KEP-208/BL/2012 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar
Efek Syariah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (Permen LHK) No.P.50/
Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan.
Peraturan OJK Nomor 21/POJK.04/2015 tentang Penerapan Pedoman Tata Kelola
Perusahaan Terbuka.
Peraturan OJK Nomor 33/POJK.04/2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik.
Peraturan OJK Nomor 33/POJK.4/ Tahun 2014 Tentang Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan.
Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar
Efek Syariah
Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2010 jo PP No.105 Tahun 2015 Tentang
Penggunaan Kawasan Hutan
POJK No. 33/2014 tentang direksi dan dewan komisaris emiten.
Surat Keputusan DSN-MUI Nomor 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah
Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PRT DSN-
MUI) Nomor 02 Tahun 2000 Pasal 2.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 109.
213
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 32.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Oaatoritas Jasa Keuangan, Pasal 6.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 8 ayat (1)
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, dan Pasal 98 ayat (3)
UU Nomor: 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
WEBSITE
http/www.iso.org/iso/socialresbonsibility.pdf. (diakses 5 Agustus 2017).
http://investasiku.co.id/blog/blog_id/mengenal-waran-pemanis-yang-bisa berubah-
jadi-pahit-2017-11-28-15-19-34 (diakses 22 Januari 2019).
http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html, (artikel
diakses 02 Juni 2015).
http://www.policy.hu/suharto/Naskahpersen20PDF/ModalSosialIslamDompetDhua
fa.pdf (diakses pada Februari 2016).
https://dsnmuiinstitute.com/profil/ (diakses 23 September 2018).
https://www.harmony.co.id/blog/memahami-rasio-solvabilitas-untuk
pengembangan perusahaan (diakses pada 22 Oktober 2020).
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17458/aturan-daftar-efek-syariah
terbelit waran-dan-option/ (diakses 27 Agustus 2019).
https://www.kompasiana.com (diakses 12 Februari 2018).
Republika.co.id (diakses 22 Desember 2019).
www.bi.go.id (diakses 27 Mei 2018).
www.djindexes.com (diakses 06 April 2015).
www.ojk.go.id (diakses pada 09 Juni 2016).
215
GLOSARIUM\
Aset : Semua sumber ekonomi atau nilai suatu kekayaan
oleh suatu entitas tertentu yang diharapkan
memberikan manfaat usaha di kemudian hari. Aset
dimasukkan dalam neraca dengan saldo
normal debit.
Bursa Efek Syariah : Kumpulan efek syariah, yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh
pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
Capital gain
: Keuntungan nilai yang berubah dalam skala besar
ketika melakukan investasi dengan menjual aset
baik itu properti, saham, atau yang lainnya.
Corporate Social Reporting
(CSR)
: Suatu konsep bahwa organisasi, khususnya
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab
terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,
komunitas dan lingkungan dalam segala aspek
operasional perusahaan seperti terhadap masalah-
masalah yang berdampak pada lingkungan.
Daftar Efek Syariah (DES) : Kumpulan Efek Syariah, yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
Dividen
: Bagian dari laba bersih perusahaan dan dibagikan
kepada para pemegang saham dalam periode waktu
tertentu.
Emiten
: Pihak yang menerbitkan menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang telah diatur
dalam peraturan undang-undang yang berlaku.
Fatwa : Pendapat ahli hukum Islam tentang sesuatu yang
ditanyakan
Gharar yasi>r : Tingkat gharar-nya sangat tipis atau kecil, dan di
samping itu terkadang sesuatu hal yang terkadang
tidak mungkin dapat dihindari dalam sebuah
kontrak atau transaksi.
Gharar fahisy : Gharar yang memang jelas-jelas tingkat gharar-nya
sangat tinggi.
Go public : Kegiatan penawaran saham yang dilakukan
perusahaan untuk menjual saham atau efek kepada
216
masyarakat umum sesuai tata cara yang telah
diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan
Pelaksanaannya.
Holding period
: Merupakan periode yang menunjukkan panjangnya
jangka waktu antara pembeli dan waktu penjualan
saham yang dilakukan oleh investor.
Ihtikar : Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seorang
pelaku ekonomi dengan menimbun suatu barang
dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya tanpa melihat kesusahan orang lain.
Ijtihad
: Mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara
bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu
hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad
apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu
pekerjaan.
Insider trading
: Praktik kecurangan yang terjadi ketika ada oknum
yang memanfaatkan informasi material yang
diperoleh (entah dengan cara apa pun) sebelum
dibuka pada publik, demi kepentingannya pribadi.
Dengan berbekal informasi yang belum diketahui
oleh umum itu, sang oknum kemudian melakukan
transaksi demi meraup keuntungan pribadi.
Investasi : Penanaman uang atau modal dalam suatu
perusahaan yang bertujuan untuk memperoleh
keuntungan
Islamic Social Reporting : Standar pelaporan kinerja sosial perusahaan-
perusahaan yang berbasis syariah. Indeks ini lahir
dikembangkan dengan dasar dari standar pelaporan
AAOIFI yang kemudian dikembangkan oleh
masing-masing peneliti berikutnya.
Maqa>s}id al-shari>‘ah : Tujuan yang dikehendaki syariat dan rahasia-
rahasia yang ditetapkan oleh syariat pada setiap
hukum.
Musa>hamah : Salah satu bentuk shirkah yang sifatnya bagi
penanam modal adalah untuk mengharapkan
keuntungan, sedangkan bagi pengelola atau
pemilik perusahaan dimaksudkan untuk
pengembangan usaha.
Otoritas Jasa Keuangan
: OJK sebagai lembaga independen maksudnya
adalah lembaga yangbertugas mengatur dan
mengawasi lembaga keuangan bebas dari campur
217
tangan pihak manapun kecuali untuk hal-hal yang
disebutkan secara tegas dalam UU.
Pajak
: Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Pasar Modal Syariah : Seluruh kegiatan di pasar modal yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Pendapatan : Arus kas masuk yang berasal dari kegiatan normal
perusahaan dalam penciptaan barang atau jasa
yang mengakibatkan kenaikan aktiva dan
penurunan kewajiban.s
Pengungkapan : Pengeluaran informasi yang diberikan oleh
perusahaan. Terbagi pada pengungkapan wajib
(mandatpry disclosure) dan pengungkapan sukarela
(voluntary disclosure).
Qard al-h}asan : Suatu sistem yang berkaitan dengan segala bentuk
pinjaman tanpa imbalan.
Ramah lingkungan (go green)
: Istilah keberlanjutan dan pemasaran yang mengacu
pada barang dan jasa, hukum, pedoman dan
kebijakan yang mengklaim berkurangnya,
minimalnya bahaya, bahkan tidak membahayakan
ekosistem atau lingkungan.
Rasio Solvabilitas : Perbandingan antara besarnya aktiva yang dimiliki
perusahaan dengan utang-utang yang harus
ditanggung.
Riba
: Suatu kegiatan pengambilan nilai tambah yang
memberatkan dari akad perekonomian, seperti jual
beli atau utang piutang, dari penjual terhadap
pembeli atau dari pemilik dana kepada peminjam
dana, baik diketahui bahkan tidak diketahui, oleh
pihak kedua.
Saham Syariah : Efek berbentuk saham yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah di Pasar Modal.
Screening saham : Penentuan kriteria-kriteria yang harus di penuhi
oleh emiten untuk masuk dalam kategori saham
syariah.
218
Sertifikat halal : Pengakuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal
tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Short selling
: Suatu cara yang digunakan dalam penjualan saham
di mana investor atau trader meminjam dana untuk
menjadi saham (yang belum dimiliki) dengan harga
tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan
mengembalikan pinjaman saham ke pialangnya
pada saat saham turun.
Socially Responsible : merupakan proses investasi yang
mempertimbangkan konsekuensi sosial dan
lingkungan dari investasi, baik positif maupun
negatif, dalam konteks analisis keuangan yang
lebih ketat
Stakeholder
: Pihak pemangku kepentingan atau beberapa
kelompok orang yang memiliki kepentingan di
dalam perusahaan yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh tindakan dari bisnis secara
keseluruhan.
Ta‘awun
: Tolong menolong dalam hal kebaikan antar sesama
umat muslim dan bisa dilakukan dimana saja
kapan saja asalkan kita siap untuk menolong orang
yang sedang kesulitan dan butuh pertolongan.
Triple botton : Kerangka kerja akuntansi dengan tiga bagian:
sosial, lingkungan (atau ekologi) dan keuangan.
Us}u>l al-fiqh
: Ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari
kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber
secara terperinci dalam rangka menghasilkan
hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber
tersebut.
Utang : Kewajiban yang muncul karena transaksi
pembelian barang atau jasa secara kredit yang
berhubungan dengan kegiatan operasional
perusahaan dan harus segera dibayarkan dalam
jangka waktu singkat.
Wakaf
: Menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya
tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya
(‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.
219
Warant
: Sebuah hak yang diberikan kepada pemegang
saham untuk membeli lembar saham pada harga
yang telah ditentukan (harga eksekusi) oleh emiten
yang menerbitkannya dalam jangka waktu
tertentu.
Zakat
: Sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat
Muslim dan diberikan kepada golongan yang
berhak menerimanya sesuai dengan syarat yang
telah ditetapkan.
221
INDEKS
A
AAOIFI, 42, 62, 96, 101, 212
Abbas Mirakhor, 26, 135, 136, 137, 195
Abdul Hamid, 31, 34, 39, 197
Abdullah Alsaadi, 5
Adiwarman Karim, 98, 100, 198
ahli fiqh, 4
Ahmad Rodoni, 31, 34, 39
al-Ghaza>li, 58, 59, 60, 61, 191
Alkohol, 39
al-Nabha>ni>, 5
Al-Nabha>ni>, 192
al-Qur’an, 1
Al-Qur’an, 147
Alsaadi, 5, 200
al-Sabatin, 5, 6
Al-Zarqa‘, 193
Amartya Sen, 56
annual report, 15
Aset, 26, 110, 111, 211
asset, 1
Asset, 111, 115
Atho Mudzhar, 75, 79, 82, 83, 92
B
Bapepam-LK, 2, 9, 19, 20, 21, 33, 35, 73, 85,
86, 90, 110, 111, 114, 115, 117, 151, 168,
180, 186, 208
BEI, 2, 22, 40, 187
Bina Lingkungan, 23, 72, 163, 164
Binmahfouz dan Hasan, 5
Budi Untung, 71, 72
C
capital gain, 5
Capital gain, 108, 211
Choudhuri, 144
content analysis, 22, 23
Corporate Governance, 49, 68, 166, 167, 181,
200, 202, 205, 207
CSR, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 57, 58, 62, 67, 71,
72, 73, 74, 119, 133, 163, 171, 197, 199,
203, 206, 207, 211
D
Daftar Efek Syariah, 2, 3, 8, 9, 11, 12, 14, 15,
19, 20, 35, 91, 95, 103, 110, 120, 133, 135,
138, 140, 200, 202, 208, 211
Derigs, 4, 203
Didin Hafidhudin, 160
Dividen, 107, 211
DJIM, 2, 10, 12, 16, 17, 18, 39, 41, 42, 89
Dow Jones Islamic Index, 17
DSN-MUI, 2, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 20,
21, 23, 24, 25, 26, 33, 34, 35, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 89, 90, 91, 92, 94, 95,
100, 101, 102, 103, 104, 106, 107, 109,
110, 112, 114, 115, 117, 118, 119, 121,
123, 133, 135, 139, 140, 151, 169, 173,
189, 190, 206, 208
E
ekuitas, 6, 17
Ekuitas, 115
emiten, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19
Emiten, 30, 31, 44, 73, 88, 94, 98, 114, 168,
181, 208, 211
ethical investment, 13
Ethical investment, 51
F
Fatuhurrahman Djamil, 78
fatwa, 4, 10, 16, 18, 23
Fatwa, 2, 9, 10, 15, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26,
42, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 89, 90,
91, 92, 94, 95, 100, 101, 104, 106, 107,
109, 110, 115, 119, 133, 135, 151, 154,
222
189, 191, 193, 194, 195, 197, 206, 208,
211
Filantropi, 146, 195
Friedman, 55, 56, 201
FTSE, 2, 17, 18, 41, 50, 89, 101
fuqaha>’, 1, 5, 8
Fuqaha>’, 137, 200
G
Gharar, 8, 16, 19, 28, 29, 32, 65, 106, 137,
200, 207, 211
Gholamreza Zandi, 6, 18, 32, 42
H
H{adith, 79
Halal, 33, 65, 97, 107, 140, 152, 153, 154,
192, 199, 207, 213
Haniffa, 13, 62, 63, 65, 68, 134, 155, 202, 205
haram, 8, 9, 10, 12, 13, 18
Haram, 97, 98, 141, 199
Howard R. Bowen, 71
Hulwati, 180, 181, 185, 187, 195
I
Ibn Qayyim, 140, 141, 177, 192
Ibn Taimiyah, 64, 100, 177, 184, 191, 195
Iggi H. Achsin, 53, 56, 195
ihtikar, 13
Ihtikar, 105, 212
Ijtihad, 78, 89, 162, 203, 204, 212
Ika Yunia Fauzia, 175, 178, 179, 182, 183
Indeks, 3, 11, 14, 18, 31, 58, 62, 120, 121,
122, 130, 201, 203, 212
Indonesia, 1, 2, 3, 9, 11, 12, 13, 14, 20, 21, 27,
32, 33, 35, 40, 41, 42, 43, 47, 49, 58, 66,
67, 69, 71, 72, 73, 75, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 89, 90, 91, 92, 94, 98,
101, 102, 103, 106, 108, 110, 112, 118,
119, 120, 121, 123, 124, 128, 132, 133,
134, 137, 140, 142, 143, 144, 145, 147,
148, 151, 152, 153, 154, 155, 157, 161,
162, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173,
175, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 187,
190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 202, 203, 204, 205, 207, 208,
209, 213
Insider trading, 105, 106, 212
Investasi, 1, 2, 12, 13, 26, 27, 28, 29, 30, 34,
43, 52, 53, 54, 55, 56, 65, 88, 89, 95, 101,
106, 109, 123, 130, 138, 151, 182, 185,
186, 187, 191, 195, 197, 198, 199, 212
ISR, 8, 13, 23, 24, 57, 62, 63, 65, 68, 69, 119,
120, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 129,
130, 132, 134, 148, 157, 189
J
Jasser Audah, 165
JII, 2, 19, 33
K
Karyawan, 67, 126, 131, 154, 156, 157
Khatkhatay, 4, 32, 204
Khila>fah, 65
KLSI, 2, 11
Komisaris, 124, 166, 168, 181, 199, 208
Kotler, 46, 196
Kuala Lumpur Stock Exchange, 2, 17, 25, 35
Kualitatif, 20, 21, 195, 196, 198
Kuantitatif, 21, 197
L
laporan tahunan, 15, 20, 21, 22, 23, 24
Laporan tahunan, 43, 72, 150, 155, 156, 160,
161
li-dha>tih, 10
li-ghayrih, 8, 10
lingkungan, 5, 7, 8, 13, 14, 15, 19
Lingkungan, 23, 68, 72, 73, 126, 129, 131,
149, 150, 156, 162, 163, 164, 196, 204,
208
listing, 3, 13
LKS, 80, 81, 90, 110, 117
M
Mahmuddin Yasin, 72, 74, 119
223
Malaysia, 2, 6, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 18,
32, 33, 35, 37, 38, 40, 42, 58, 62, 70, 79,
84, 89, 90, 101, 117, 143, 146, 153, 154,
181, 182, 186, 194, 195, 199, 202, 203,
205, 206, 207
maqa>s}id al-shari>‘ah, 21
Maqa>s}id al-shari>‘ah, 212
mas}lah}ah, 11, 14, 15, 21, 24, 58, 59, 60, 61,
165, 169, 170, 171, 175, 179, 185
Mas}lah}ah, 58, 169, 171, 201
Masyarakat, 25, 46, 68, 75, 127, 131, 158,
185, 194
Metwally, 30, 159, 196
Modigliani, 103
Mudhofir, 162, 196
Muhammad Nafik, 182, 185, 186, 187
musa>hamah, 6, 27, 28
N
Najsy, 12, 105, 106
Nurul Huda, 1
O
OJK, 3, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 20, 21, 22,
23, 24, 34, 75, 81, 85, 86, 87, 88, 89, 95,
96, 101, 109, 110, 112, 114, 115, 117, 118,
119, 121, 130, 133, 135, 154, 168, 169,
173, 180, 181, 189, 190, 208, 212
Oni Sahroni, 98, 100
Option, 138, 200
P
Pajak, 143, 213
pasar modal, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 17,
18, 19, 21, 24
Pasar modal, 17, 91, 92, 180
Pengawas, 2, 32, 43, 81, 85, 86, 87, 90, 180,
181, 184
Pengungkapan, 43, 44, 45, 50, 119, 121, 123,
125, 126, 127, 129, 130, 131, 133, 134,
137, 151, 157, 200, 201, 206
Peraturan Pemerintah, 73, 121, 149, 150, 161,
208
Perusahaan, 11, 19, 22, 30, 36, 40, 43, 44, 47,
49, 54, 68, 72, 73, 74, 88, 98, 103, 111,
119, 123, 125, 127, 129, 130, 131, 133,
137, 149, 155, 156, 161, 163, 165, 168,
169, 181, 190, 199, 201, 202, 204, 205,
206, 207, 208
positive, 13
Positive, 54
prinsip syariah, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 13,
15, 17, 18, 19
Prinsip syariah, 94
Prinsip Syariah, 9
Profit, 56, 201
Q
Qard}, 60, 79, 97, 104, 107, 140, 147, 164, 200
R
Rashid Rid}á, 136
rasio utang, 20
Rasio utang, 41
Responsibility, 5, 13, 43, 45, 46, 47, 48, 56,
134, 155, 196, 200, 201, 202, 203, 204,
205
Riba, 65, 135, 136, 143, 191, 213
Richard Hudson, 56, 57
RUPS, 26, 168
S
saham syariah, 1, 3, 4, 5, 8, 9, 11, 12, 14, 15,
16, 17, 18, 20, 21, 23, 24
Saham syariah, 33, 124
Sayyid Qut}b, 148
Screening, 1, 2, 4, 6, 7, 8, 11, 12, 14, 16, 17,
18, 19, 25, 28, 31, 32, 33, 35, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 89, 90, 91, 94, 95, 96, 98, 101,
102, 103, 109, 110, 115, 118, 133, 144,
189, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 207,
208, 213
Securities Commision, 35
Sedekah, 127, 158
Seif el-Din, 32
Seif El-Din, 7
224
Shareholder, 49, 55, 201
Short selling, 213
Solvabilitas, 111
Stakeholder, 45, 48, 194, 214
T
Ta‘awun, 214
Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni, 5
Tauhid, 64
Tawh}i>d, 63
Triple botton, 214
U
Umar Chapra, 60
Undang-undang, 27, 73, 80, 85, 86, 145, 146,
152, 171, 180, 181, 198
Us}u>l al-fiqh, 214
utang, 7, 11, 18, 20
Utang, 104, 105, 110, 111, 214
W
Wahbah al-Zuhayli, 29
Wakaf, 79, 142, 196, 197, 214
Warant, 214
Y
Yusuf al-Qard{awi, 60
Z
Zakat, 1, 26, 42, 66, 123, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 148, 160, 192, 194, 196, 199,
204, 214
Zamir Iqbal, 1, 7, 8, 26, 32, 135, 136, 137
225
Lampiran 1
SKOR PENGUNGKAPAN ISR INDEX
No. POKOK-POKOK PENGUNGKAPAN
A TEMA PEMBIAYAAN DAN INVESTASI
1 Aktivitas yang mengandung riba (beban bunga dan pendapatan bunga).
2 Pengungkapan aktivitas yang mengandung gharar atau tidak pasti (hegding, future non delivery trading/margin trading, arbitrage baik spot maupun forward, short selling, pure swap, warrant, dan lain-lain.
3 Aktivitas Zakat
4 Kebijakan atas keterlambatan pembayaran piutang dan penghapusan piutang tak
bertagih
5 Pernyataan Nilai Tambah Perusahaan (Value Added Statement)
B TEMA PRODUK DAN JASA
6 Produk atau kegiatan operasi ramah lingkungan (green product)
7 Status kehalalan produk
8 Keamanan dan Kualitas produk
9 Pelayanan pelanggan
C TEMA KARYAWAN
10 Jam kerja
11 Hari libur dan cuti
12 Tunjangan
13 Remunerasi
14 Pendidikan dan pelatihan/pengembangan sumber daya manusia
15 Kesetaraan hak antara pria dan wanita
16 Keterlibatan karyawan dalam diskusi manajemen dan pengambilan keputusan
17 Kesehatan dan keselataman kerja
18 Lingkungan kerja
19 Karyawan dari kelompok khusus (cacat fisik, mantan narapidana, mantan
pecandu dan narkoba).
20 Karyawan yang lebih tinggi di perusahaan melaksanakan ibadah bersama-sama
dengan karyawan tingkat menengah dan tingkat bawah
21 Karyawan muslim diperbolehkan menjalankan ibadah shalat wajib dan berpuasa
di saat Ramadhan pada hari kerja
22 Tempat ibadah yang memadai
D TEMA MASYARAKAT
23 Sedekah, donasi atau sumbangan
24 wakaf
25 Qard Hassan
226
26 Sukarelawan dari kalangan karyawan
27 Pemberian beasiswa sekolah
28 Pemberdayaan kerja para lulusan sekolah/kuliah (praktek kerja lapangan).
29 Pengembangan generasi muda
30 Peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin (underprivileged community)
31 Kepedulian terhadap anak-anak
32 Kegiatan Amal atau sosial lain (bantuan bencana alam, donor darah, sunatan
masal, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.
33 Mensponsori kegiatan-kegiatan kesehatan, hiburan, olahraga, budaya,
pendidikan, dan keagamaan.
E TEMA LINGKUNGAN
34 Konservasi lingkungan hidup
35 Kegiatan mengurangi efek pemanasan global (meminimalisasi polusi lingkungan
hidup, pengelolaan limbah, pengelolaan air bersih, dll.)
36 Pendidikan mengenai lingkungan hidup
37 Audit lingkungan/pernyataan verifikasi independen/pemerintah.
38 Sistem manajemen lingkungan/kebijakan
F TEMA TATA KELOLA PERUSAHAAN
39 Status kepatuhan terhadap syariah
40 Struktur kepemilikan saham
41 Profil dewan direksi
42 Pengungkapan kegiatan terlarang: praktik monopoli/penimbunan bahan
kebutuhan pokok/manipulasi harga.
43 Pengungkapan adanya perkara hukum atau tidak
44 Kebijakan anti korupsi
227
Lampiran 2
DAFTAR PERUSAHAAN SAMPEL
TAHUN 2013-2017
No. Kode Nama Perusahaan Sektor
1. AALI PT Astra Agro Lestari Tbk. Pertanian
2. BISI PT BISI International Tbk. Pertanian
3. IIKP PT Inti Agri Resources Tbk. Pertanian
4. LSIP PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. Pertanian
5. SGRO PT Sampoerna Agro Tbk. Pertanian
6. SIMP PT Salim Ivomas Pratama Tbk. Pertanian
7. ANTM PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Pertambangan
8. CTTH PT Citatah Tbk. Pertambangan
9. ELSA PT Elnusa Tbk. Pertambangan
10. MITI PT Mitra Investindo Tbk. Pertambangan
11. PTBA PT Tambang Batubara Bukit Asam
(Persero) Tbk. Pertambangan
12. SMRU PT SMR Utama Tbk. Pertambangan
13. TINS PT Timah (Persero) Tbk. Pertambangan
14. AKPI PT Argha Karya Prima Industry Tbk. Dasar dan Kimia
15. ALDO PT Alkindo Naratama Tbk. Dasar dan Kimia
16. ALKA PT Alakasa Industrindo Tbk. Dasar dan Kimia
17. AMFG PT Asahimas Flat Glass Tbk. Dasar dan Kimia
18. APLI PT Asiaplast Industries Tbk. Dasar dan Kimia
19. ARNA PT Arwana Citramulia Tbk. Dasar dan Kimia
20. BTON PT Betonjaya Manunggal Tbk. Dasar dan Kimia
21. CPIN PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia
22. DPNS PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk. Dasar dan Kimia
23. GDST PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Dasar dan Kimia
24. IGAR PT Champion Pacific Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia
25. INAI PT Indal Aluminium Industry Tbk. Dasar dan Kimia
26. INCI PT Intanwijaya Internasional Tbk. Dasar dan Kimia
27. INTP PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Dasar dan Kimia
28. JPRS PT Jaya Pari Steel Tbk. Dasar dan Kimia
29. KIAS PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk. Dasar dan Kimia
30. LION PT Lion Metal Works Tbk. Dasar dan Kimia
31. LMSH PT Lionmesh Prima Tbk. Dasar dan Kimia
32. SMCB PT Holcim Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia
33. SMGR PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Dasar dan Kimia
34. SRSN PT Indo Acidatama Tbk. Dasar dan Kimia
35. TOTO PT Surya Toto Indonesia Tbk. Dasar dan Kimia
36. TRST PT Trias Sentosa Tbk. Dasar dan Kimia
37. YPAS PT Yanaprima Hastapersada Tbk. Dasar dan Kimia
38. ASII PT Astra International Tbk. Aneka Industri
39. AUTO PT Astra Otoparts Tbk. Aneka Industri
228
40. INDS PT Indospring Tbk. Aneka Industri
41. KBLI PT KMI Wire and Cable Tbk. Aneka Industri
42. KBLM PT Kabelindo Murni Tbk. Aneka Industri
43. RICY PT Ricky Putra Globalindo Tbk. Aneka Industri
44. SCCO PT Supreme Cable Manufacturing &
Commerce Tbk. Aneka Industri
45. SMSM PT Selamat Sempurna Tbk. Aneka Industri
46. SSTM PT Sunson Textile Manufacturer Tbk. Aneka Industri
47. STAR PT Star Petrochem Tbk. Aneka Industri
48. TRIS PT Trisula International Tbk. Aneka Industri
49. VOKS PT Voksel Electric Tbk. Aneka Industri
50. ADES PT Akasha Wira International Tbk. Barang Konsumsi
51. AISA PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Barang Konsumsi
52. DVLA PT Darya-Varia Laboratoria Tbk. Barang Konsumsi
53. ICBP PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Barang Konsumsi
54. INAF PT Indofarma (Persero) Tbk. Barang Konsumsi
55. INDF PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Barang Konsumsi
56. KAEF PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Barang Konsumsi
57. KDSI PT Kedawung Setia Industrial Tbk. Barang Konsumsi
58. KLBF PT Kalbe Farma Tbk. Barang Konsumsi
59. LMPI PT Langgeng Makmur Industri Tbk. Barang Konsumsi
60. MBTO PT Martina Berto Tbk. Barang Konsumsi
61. MERK PT Merck Tbk. Barang Konsumsi
62. MRAT PT Mustika Ratu Tbk. Barang Konsumsi
63. MYOR PT Mayora Indah Tbk. Barang Konsumsi
64. PYFA PT Pyridam Farma Tbk. Barang Konsumsi
65. SKLT PT Sekar Laut Tbk. Barang Konsumsi
66. TCID PT Mandom Indonesia Tbk. Barang Konsumsi
67. TSPC PT Tempo Scan Pacific Tbk. Barang Konsumsi
68. ULTJ PT Ultrajaya Milk Industry & Trading
Company Tbk. Barang Konsumsi
69. UNVR PT Unilever Indonesia Tbk. Barang Konsumsi
70. ADHI PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Properti
71. APLN PT Agung Podomoro Land Tbk. Properti
72. ASRI PT Alam Sutera Realty Tbk. Properti
73. BEST PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk. Properti
74. BKDP PT Bukit Darmo Property Tbk. Properti
75. BKSL PT Sentul City Tbk. Properti
76. BSDE PT Bumi Serpong Damai Tbk. Properti
77. CTRA PT Ciputra Development Tbk. Properti
78. DART PT Duta Anggada Realty Tbk. Properti
79. DGIK PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk. Properti
80. DILD PT Intiland Development Tbk. Properti
81. EMDE PT Megapolitan Developments Tbk. Properti
82. FMII PT Fortune Mate Indonesia Tbk. Properti
83. GAMA PT Gading Development Tbk. Properti
84. GMTD PT Gowa Makassar Tourism
Development Tbk. Properti
229
85. JRPT PT Jaya Real Property Tbk. Properti
86. KIJA PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. Properti
87. LAMI PT Lamicitra Nusantara Tbk. Properti
88. LPKR PT Lippo Karawaci Tbk. Properti
89. MKPI PT Metropolitan Kentjana Tbk. Properti
90. MTLA PT Metropolitan Land Tbk. Properti
91. PTPP PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk. Properti
92. PWON PT Pakuwon Jati Tbk. Properti
93. RODA PT Pikko Land Development Tbk. Properti
94. SCBD PT Danayasa Arthatama Tbk. Properti
95 SMRA PT Summarecon Agung Tbk. Properti
96. SSIA PT Surya Semesta Internusa Tbk. Properti
97. TOTL PT Total Bangun Persada Tbk. Properti
98. WIKA PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Properti
99. LAPD PT Leyand International Tbk. Infrastruktur
100. NELY PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk. Infrastruktur
101. SDMU PT Sidomulyo Selaras Tbk. Infrastruktur
102. TLKM PT Telekomunikasi Indonesia (Persero)
Tbk. Infrastruktur
103. ACES PT Ace Hardware Indonesia Tbk. Perdagangan
104. AIMS PT Akbar Indo Makmur Stimec Tbk. Perdagangan
105. AKRA PT AKR Corporindo Tbk. Perdagangan
106. ASGR PT Astra Graphia Tbk. Perdagangan
107. BAYU PT Bayu Buana Tbk. Perdagangan
108. BMTR PT Global Mediacom Tbk Perdagangan
109. CNKO PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk. Perdagangan
110. DNET PT Indoritel Makmur Internasional Tbk. Perdagangan
111. EPMT PT Enseval Putera Megatrading Tbk. Perdagangan
112. ERAA PT Erajaya Swasembada Tbk. Perdagangan
113. FAST PT Fast Food Indonesia Tbk. Perdagangan
114. GEMA PT Gema Grahasarana Tbk. Perdagangan
115. GOLD PT Golden Retailindo Tbk. Perdagangan
116. GREN PT Evergreen Invesco Tbk. Perdagangan
117. INPP PT Indonesian Paradise Property Tbk. Perdagangan
118. INTD PT Inter Delta Tbk. Perdagangan
119. KBLV PT First Media Tbk. Perdagangan
120. KOIN PT Kokoh Inti Arebama Tbk Perdagangan
121. LTLS PT Lautan Luas Tbk. Perdagangan
122. MFMI PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk. Perdagangan
123. MICE PT Multi Indocitra Tbk. Perdagangan
124. MPPA PT Matahari Putra Prima Tbk. Perdagangan
125. MTDL PT Metrodata Electronics Tbk. Perdagangan
126. PSKT PT Red Planet Indonesia Tbk. Perdagangan
127. PTSP PT Pioneerindo Gourmet International Tbk.
128. RALS PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Perdagangan
129. RANC PT Supra Boga Lestari Tbk. Perdagangan
130. SDPC PT Millennium Pharmacon International Perdagangan
230
Tbk.
131. SONA PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. Perdagangan
132. SRAJ PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk. Perdagangan
133. TGKA PT Tigaraksa Satria Tbk. Perdagangan
134. TIRA PT Tira Austenite Tbk. Perdagangan
135. TMPO PT Tempo Inti Media Tbk. Perdaganga
136. TURI PT Tunas Ridean Tbk. Perdagangan
137. UNTR PT United Tractors Tbk. Perdagangan
138. WAPO PT Wahana Pronatural Tbk. Perdagangan
139. WICO PT Wicaksana Overseas International Tbk. Perdagangan
top related