demam tifoid.doc
Post on 16-Jan-2016
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DEMAM TIFOID
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Penyakit ini
disebabkan oleh kuman Salmonella typhy yang merupakan bakteri gram negatif,
tidak berkapsul, mempunyai flagel, mempunyai antigen somatic (O) dari
oligosakarida, antigen flagelar (H) dari protein, dan antigen selubung (K) dari
polisakarida. Ada beberapa spesies lain yaitu paratifi A, paratifi B, dan paratifi C
yang merupakan penyebab demam paratifoid.
EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia, termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam UU No 6 tahun 1962 dan dapat
menimbulkan wabah.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta persediaan air
minum yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Di Indonesia insiden demam
tifoid sekitar 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka
kematian 2%
PATOGENESIS
Masuknya kuman S. typhy dan S. paratyphy ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang tekontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Kuman selanjutnya
dibawa ke plaque peyer ileum distal kemudian menuju KGB mesenterika dan
melalui duktus thoracicus kuman memasuki peredaran darah (menimbulkan
1
bakteriemia I yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendothelial terutama hati dan limpa. Di dalam organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel (ruang sinusoid)
untuk selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia
II yang disertai dengan gejala dan tanda penyakit infeksi sistemik (simptomatik)
seperti bemam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi. Gejala klinis ini disebabkan oleh pengaruh
endotoksisn pada hipotalamus, maupun pengaruh sitokin proinflamasi yang
diproduksi oleh makrofag yang terinfeksi kuman.
Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama kandung empedu yang diekskresikan secara intermitten ke dalam
lumen usus . Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama akan terulang
kembali.
Di dalam plaque peyer, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhy intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis jaringan). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyer yang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor endotel kapiler dan
mengakibatkan timbulnya komplikasi seperti gangguan neoropsikiatrik,
kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium.
MANIFESTASI KLINIS
2
Umumnya menyerang penderita kelompok umur 5-30 tahun. Laki-laki
sama dengan wanita. Masa inkubasi antara 10-14 hari. Gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai berat.
Pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk dan epistaksis. Sifat demamnya meningkat perlahan-lahan dan terutama
pada sore hinggga malam hari
Pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas berupa demam , bradikardi
relatif (peningkatan suhu 1oC tidakdidikuti peningkatan denyat nadi 8x permenit),
lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa samnolen, stupor, koma,
delirium,atau psikosis, serta roseolae (jarang)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah
Leukopeni atau leukosit normal, atau leukositosis
Anemia
Trombositopenia
Aneosinofilia
Limfositosis
Neutropenia
LED meningkat
SGPT/SGOT meningkat
2. Uji Widal
Dilakukan untuk menentukan adanya aglutinin di dalam serum
pasien yaitu aglutini O (dari tubuh kuman) , H (dari flagella kuman), dan
Vi (dari simpai kuman). Dari ketiganya hanya anlutinin O dan H yang
digunakan, dimana semakin tinggi titernya, maka semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
3
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, dan meningkat dengan cepat dan mencapai kadar puncaknya pada
minggu ke empat, dantetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul agglutinin O kemuidian diikuti agglutinin H. Pada orang
yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan
dan agglutinin H selama 9-12 bulan.
Beberapa hal yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini
dengan antibiotic, gangguan pembentukan antibody, pemberian
kortoikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemic, riwayat
vaksinasi, reaksi amnestik, dan factor teknik pemeriksaan laboraorium
3. Kultur darah
Hasil biakan kuman paling tinggi pada I sakit (80-90%), minggu II
(20-25%), minggu III (10-15%). Hasil biakan darah positif memastikan
demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam
tifoid karena kemungkinan pasien telah mendapatkan terapi antibiotic,
volume darah kurang, adanya riwayat vaksinasi, dan saat pengambilan
darah setelah minggu kedua.
4. Tes diazo positif
a. Urine + reagen diazo + beberapa tetes ammoniak 30% (dalam tabung
reaksi) dikocok buih berwarna merah atau merah muda
b. Biakan kuman dari specimen urin paling tinggi pada minggu II/III
diagnosis pasti atau carier
5. Pemeriksaan tinja
a. Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja kadang-kadang darah
b. Biakan kuman daris pecimen tinja pada minggu II/III sakit diagnosis
pasti atau carier
6. ELISA
4
a. Deteksi antibody menggunakan antigen O, H ,dan Vi dapat
mendeteksi antibody Ag A, Ig M, dan Ig G S. typhy
b. Dengan menggunakan protein Ag khusus disebut “Dot enzyme
immuno assay” (Dot EIA) dengan menggunakan kertas nitroselulose
(tes dipstick) Dapat mendiagnosis dengan cepat (3-4 jam), Jika Ig
M (+) maka demam tifoid akaut, Jika Ig G (+) berarti relaps.
7. Deteksi DNA
a. Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe) kurang sensitive
bila jumlah S. typhy dalam darah sedikit
b. PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi strain S. thypi
dan untuk membuat vaksin. Waktu pemeriksaan cepat (6 jam) tetapi
akurat
8. Deteksi antigen
a. Tes koagulasi lebih cepat dari biakan kuman. Menggunakan
antisera Vi
b. Tes ELISA Digunakan ELISA indirek dari bahan air seni dan darah
penderita, atau digunakan antibody monoclonal yang ditempelkan pada
kertas nitroselulose
9. Pemeriksaan Sutul
Dengan biakan sumsum tulang. Merupakan tindakan invasive,
akan tetapi cara ini sangat sensitive (95%) dimana tidak dipengaruhi oleh
pemberian antibiotic dan fase penyakit
TERAPI
1. Istirahat dan perawatan
Tujuannya adalah mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas
5
panas dan mobilisasi dilakukan bertahap, dan bila pasien tidak sadar,
posisi diubah ubah setiap 2 jam
2. Diet dan terapi penunjang (simptomatik)
Tujuannya mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien
secara optimal. Diberikan makanan yang rendah serat dan mudah dicerna.
Pemberian makanan padat dini terbukti dapat mempercepat penyembuhan
3. Antibiotik
a. Kloramfenikol
Merupakan DOC demam tifoid. Dosis 4 x 500 mg/hr (PO/IV)
diberikan sampai 7 hari bebas demam. Obat ini rata-rata dapat
menurunkan demam setelah hari ke 5-7,2
b. Tiamfenikol
Dosis 4 x 500 mg . Rata-rata demam turun setelah hari ke 5-6
c. Kotrimoksazole
Dosis 2 x 2 tablet dan diberikan selama 2 minggu
d. Ampisilin dan amoksisilin
Dosis 59-150 mg/kgBB dan diberikan selama 2 minggu
e. Sefalosporin generasi III (ceftriakson)
Dosis 3-4 gr dalam dekstrosa 100 cc diberi selama ½ jam perinfus
sekali sehari. Diberi selama 3-5 hari
f. Golongan fluorokuinolon
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hr selama 14 hari
- Siprofloksasin 2 x 500 mg/hr selama 6 hari
- Ofloksasin 2 x 400 mg/hr selama 7 hari
- Pefloksasin 400 mg/hr selama 7 hari
- Fleroksasin 400 mg/hr selama 7 hari
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid, peritonitis, atau perforasi, serta syok
septic
6
4. Kortikosteroid
Pengguanaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami syok septic. Dosis 3 x 5 mg
KOMPLIKASI
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra intestinal
a. Kardiovaskuler : syok septic, miokarditis, trombophlebitis
b. Darah : anemia hemolitik, trombositipenia, DIC, Anemia
hemolitik, trombositopeni, DIC, uremia hemolitik
c. Paru : Pneumoni, pleuritis, empiema
d. Hati dan kandung empedu : Hepatitis tiposa, kolesistitis
e. Ginjal : Glomerulonefritis, pyelonefritis, perinefritis
f. Tulang : Osteomyelitis, periostitis, Artritis
g. Neuropsikiatri : Delirium, psikosis,meningismis, meningitis, GBS,
polyneuritis.
DIAGNOSIS BANDING
Richettiozis
Brucellosis
Tularamia
Lepstopirosis
Viral hepatitis
Cytomegalovirus
Malaria
Lymphoma
Infections mononukleosis
7
PENCEGAHAN
Orang sehat
1. Pengawasan higiene dan sanitasi lingkungan hidup
Perlu adanya WC umum, persediaan air bersih, tempat pembuangan
sampah rumah tangga
2. Pengawasan higiene makanan dan minuman
Memasak makanan, merebus air minum, memperhatikan cara penyajian
makanan
3. Higiene perorangan
Mencuci tangan, BAB di WC, dll
Vaksinasi
Dianjurkan untuk wisatawan ke daerah endemic dan pekerja laboratorium
1. Acetone inactivated vaccine
- Merupakan kuman mati
- 2 vaksin: K acetone inactivated vaccine dan L heatphenol
inactivated vaccine
- Efektifitas 51-88%
- ES: 32-54% berupa demam, sekit kepala, reaksi local tempat
suntikan
- Cara pemberian : 0,5 cc s.c. dilanjutkan 1 cc s.c. . 7-10 hari
kemudian
- Efektif minimal 1 tahun
2. Oral live attenuated vaccine (TY21la)
- Kuman hidup yang dilemahkan
- Imunitas 3-6 th
- Booster 5 th kemudian
- Berhasil dicoba di Chili dan Mesir tapi gagal di Indonesia
3. Vi parental Vaksin
- Booster setelah 5 th
- Dapat diberikan pada anak > 6 bln
8
- Dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam satu alat
suntik
Penderita
1. Tidak perlu ruang khusus
2. Tirah baring. Diet diperhatikan
3. Sterilisasi pakaian, bahan, dan alat yang digunakan penderita
4. cuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir
5. Hati-hati dengan air seni, tinja dan muntahan penderita
“carrier”
1. Tidak boleh jadi tukang masak
2. Pendidikan : kesadaran untuk tidak menulari orang lain
Carrier” kronis
Adalah individu yang mengeluarkan S. typhy baik dari tinja maupun air
seninya selama 1 tahun atau lebih
Sumber infeksi berasal dari kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis,
batu, kelainan anatomi)
Jika medikamentosa anti tifoid gagal, dilakukan operasi untuk
menghilangkan batu/memperbaiki kelainan anatomi
Terapi : amoksisillin 3 x 1000-2000 mg (6 minggu)
Ciprofloxasin 2 x 500 mg/hr atau Norfloxasin 2 x 400 mg/hr (4
minggu), Kotrimoksasol 2 x 2 tab (6 minggu)
Jika urinary carrier karena infeksi cacing schistosoma, ditambah
praziquantel.
PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman, dan kecepatan pengobatan. Pasien dapat
dipulangkan dan dilanjutkan pengobatan di rumah bila tidak demam selama 24
9
jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, perbaikan klinis dan tidak dijumpai
komplikasi,
10
top related