30 september dalam kenangan sukarno

Post on 14-Feb-2016

234 Views

Category:

Documents

4 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

My first experience in writing!

TRANSCRIPT

30 SEPTEMBER DALAM KENANGAN SUKARNO

MENGENANG KUDETA MERANGKAK ALA JENDERAL SOEHARTO

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… 2

LATAR BELAKANG…………………………………………………………………. 3

PROLOG………………………………………………………………………………. . 4

KUDETA DIMULAI…………………………………………………………………… 5

DRAMA 11 MARET 1966……………………………………………………………… 7

EPILOG………………………………………………………………………………... .. 10

KESIMPULAN……………………………………………………………………….... .. 11

LAMPIRAN TEKS……………………………………………………………………… 12

SUMBER REFERENSI………………………………………………………………… 28

BAB ILATAR BELAKANG

30 September mungkin menjadi tanggal yang cukup bersejarah bagi seorang anak bangsa bernama Sukarno. Pada tahun 1960, ia berpidato di hadapan wakil-wakil bangsa pada Sidang Umum PBB ke XV yang diberinya judul “To Build the World a New” yang sangat fenomenal itu. Isinya antara lain menawarkan Pancasila agar digunakan di seluruh dunia dan memaparkan idenya mengenai NASAKOM. Tetapi, 5 tahun kemudian, ia dituduh mendalangi coup yang akan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Tapi, nalar mana yang membenarkan seorang Presiden mengkudeta dirinya sendiri?

Sebenarnya juga, kita kurang tepat mengistilahkan G30S ini. Selama ini kita menyebutnya sebagai “Percobaan Kudeta yang mengalami kegagalan”, padahal ada istilah yang lebih singkat dan tentu saja, lebih tepat, yaitu “Usaha Penyelamatan Presiden”. Mengapa? Karena jika diperhatikan, yang ditangkap dan dibunuh lebih dulu adalah para pucuk-pucuk pimpinan Angkatan Darat, sementara menurut kaidah bahasa, kudeta berarti menyingkirkan pucuk pimpinan suatu Negara, dalam hal ini Presiden. Nah, mengapa Cakrabirawa hanya menangkap dan menculik para pemimpin teras Angkatan Darat? Mengapa tidak langsung membunuh Presiden? Hal inilah yang saya coba ungkapkan di sini.

Di luar semua itu, juga ada hal lain, yaitu masalah Dewan Jenderal, karena kenyataannya, di dalam TNI AD tidak ada Dewan Jenderal, yang ada hanya Wanjati (Dewan Jabatan Tertinggi) yang salah satu anggotanya adalah Mayjen. Soeharto, tetapi mengapa ia tidak dijadikan target utama bersama Letjen A.Yani dan Jend. A.H.Nasution?

BAB II

PROLOGDi tahun-tahun antara 1963-1965, situasi politik di Indonesia berubah

dengan sangat cepat. Konsep NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis) yang digadang-gadangkan Presiden Sukarno akhirnya menjadi perimbangan yang tidak sempurna karena pada kenyataannya, konstelasi politik hanya diramaikan oleh Sukarno, PKI, dan militer. Di tahun itu pula, Barisan Pendukung Sukarno (BPS), barisan yang bercorak oposisi dengan Sukarno1 mencapai titik kehancurannya. Keputusan Sukarno untuk keluar dari PBB menjadi pemicu isu tambahan untuk Negara-negara Barat menyerang pendapat Presiden Sukarno tersebut. Dengan keputusan ini, silang-sengketa antara Indonesia dan “Nekolim”2 semakin parah. Bahkan keluar spekulasi bahwa Indonesia akan merapat kepada “Kawan di Utara” yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Kondisi kesehatan Presiden Sukarno sendiri pada waktu itu sendiri tengah menunjukkan penurunan yang parah. Penyakit ginjal yang diidapnya dari tahun 1961 telah mengganggu berbagai aktifitasnya. Meski ia tahu penyakitnya HARUS disembuhkan, ia menolak anjuran tim dokter untuk mengoperasi penyakit ginjalnya di Wina, Austria. Penolakan ini didasari oleh ramalan seorang dukun yang menyatakan ia akan mati oleh pisau3. Atas saran Aidit, Sukarno memilih berkonsultasi dengan dokter-dokter dari Cina dan memilih pengobatan secara akupuntur. Untuk membuktikan bahwa ia masih sehat-sehat saja, dalam pidatonya di bulan Januari 1965, ia mengejek “desas-desus Nekolim” yang mengeluarkan rumor tentang kesehatannya yang memburuk.1 Rupanya hanya namanya saja yang mendukung Sukarno,tetapi organisasinya sendiri beroposisi dengan Sukarno.

2 Neo-Kolonialisme, disingkat menjadi “NEKOLIM”, yaitu Negara-negara sekutu Amerika dan Inggris.

3 Dan ternyata benar,ia dibunuh oleh pisau yang tidak terlihat, yaitu kudeta merangkak yang dibuat Jend. Soeharto

Tapi rakyat tak bisa dibohongi begitu saja. Pada siang di hari kudeta itu, ia berpidato di Musyawarah Nasional Teknik di Gelora Bung Karno yang seperti biasanya, berapi-api dan penuh semangat. Tetapi di tengah-tengah pidatonya yang bergelora itu, Presiden Sukarno terpaksa berhenti. Badannya terasa kurang enak. Setelah beristirahat beberapa menit barulah ia dapat melanjutkan pidatonya kembali. Dewi mengatakan “Malam menjelang 30 September, saya sedang makan malam bersama Duta Besar Iran di Italian Embassy. Sementara itu, Bapak berpidato di Senayan. Dari sana, Bapak pulang ke Istana Merdeka untuk ganti baju, kemudian menjemput saya di Italian Embassy. Dari sana kami kemudian pulang bersama-sama ke Wisma Yaso.”4

Dari perkataan Dewi yang demikian itulah yang membuat sebagian orang percaya bahwa Sukarno tidak terlibat dalam G-30-S. Ada juga yang menyebut persis, namun ditambahkan begini:Beberapa jam menjelang dimulainya kudeta, Untung dan Supardjo menemui Sukarno di rumah Dewi. Entah versi mana yang lebih tepat, tetapi intinya tetap mengatakan bahwa pada malam itu Sukarno tengah berada di rumah Dewi.

BAB III

KUDETA DIMULAIPagi tanggal 1 Oktober 1965, Sukarno terburu-buru keluar rumah Dewi

jam 6.30 karena pada pukul 7.00 ia harus menerima Waperdam5 II J. Leimena dan Men/Pangad Letjen. Ahmad Yani dalam acara minum kopi di Istana Merdeka. Ketika akan berangkat, Suparto, sopir mobil kepresidenan menyampaikan informasi yang didapatnya dari Mangil, isinya mengenai peristiwa penembakan di rumah Menko Hankam/KSAB Jendral A. H. Nasution dan Waperdam II J. Leimena6 pada pukul 4.00 pagi tadi. Presiden Sukarno segera memerintahkan Suparto menghentikan mobil kepresidenan yang baru bergerak beberapa meter itu dan memanggil Mangil serta meminta penjelasan rinci mengenai peristiwa naas tersebut. Setelah mendengar laporan lengkap mengenai peristiwa itu, Sukarno bertanya “Baiknya bagaimana, saya di sini dulu atau langsung ke Istana?” Mangil dengan tenang mengatakan “Sebaiknya di sini dulu pak, karena saya sendiri masih menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman mengenai kebenaran peristiwa 4 Zara,M.Yuanda;Sakura di tengah Prahara,Ratna Sari Dewi Sukarno,Yogyakarta,Ombak,2008,hal. 44

5 Wakil Perdana Menteri, jabatan tertinggi yang kala itu setara dengan Wakil Presiden atau Perdana Menteri.

6 Yang kebetulan bertetangga, A. H. Nasution di Jl.Teuku Umar 40 dan J. Leimena di Jl.Teuku Umar 36

ini.” Mangil pun dimarahi “Bagaimana kamu ini, peristiwa pukul 4.00 pagi sampai sekarang belum kamu ketahui dengan jelas..”. Sukarno akhirnya berangkat ke Istana dengan rute Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan M.H.Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat dan berakhir di jalan Medan Merdeka Utara. Ketika berada di atas Jembatan Dukuh Atas, Mangil dikabari Jatiman bahwa benar telah terjadi penembakan dan ada sejumlah pasukan RPKAD yang “terasa sangat mencurigakan” tengah berada di daerah seputar Monas. Pikiran utama Mangil ketika itu adalah bagaimana caranya agar Presiden Sukarno bisa terselamatkan dari pasukan tersebut, sementara rombongan semakin mendekati Bundaran Hotel Indonesia. Sementara itu, menurut Jatiman, semua kendaraan yang berasal dari Bundaran HI dialihkan ke jalan Medan Merdeka Selatan. Akhirnya diputuskan bahwa mereka membawa Presiden Sukarno menuju rumah istrinya, Haryati, di daerah Slipi. Di sana telah ada Maulwi Saelan yang akan melaporkan dengan lebih lengkap mengenai peristiwa penembakan tersebut.

Pukul 7.00 pagi Sukarno tiba di rumah Haryati dan diiringkan masuk oleh Saelan. Di sanalah Sukarno baru mengetahui mengenai G 30 S. Pagi itu juga Sukarno memerintahkan untuk menghentikan gerakan tersebut dan mengontak seluruh panglima. Tetapi hari itu jaringan telepon telah dikuasai pasukan ‘Dewan Revolusi’ sehingga menyebabkan jaringan komunikasi lumpuh. Akhirnya Suparto diminta mengontak langsung seluruh panglima. Sementara Suparto mencoba mengontak seluruh panglima, Mangil dan Saelan berunding ‘akan dibawa kemana Presiden?’

Saelan mengusulkan agar Sukarno dibawa ke rumah Sie Ban Ho di Jalan Wijaya I,Kebayoran Baru yang sudah dibeli Resimen Cakrabirawa. Mula-mula usul itu disetujui, tetapi setelah Suparto kembali pukul 8.30 dan mengatakan bahwa ia hanya berhasil mengontak Men/Pangau Laksda Omar Dhani, Saelan berubah pikiran dan membawa Sukarno ke Halim. Ini sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Cakrabirawa yang mengatakan : Jikalau dalam perjalanan Presiden ada hal-hal yang dirasa mengancam keselamatan pribadi Presiden, maka perjalanan dialihkan menuju Mabes salah satu angkatan. Sebenarnya ada beberapa pilihan bagi Sukarno,yaitu : Pertama ke Lanud Halim Perdanakusumah karena ada pesawat kepresidenan Jetstar C-140 disana, Kedua ke Pelabuhan Tanjung Priok karena di sana berlabuh kapal Kepresidenan RI Varuna dan terakhir ke Istana Bogor karena di sana terparkir Helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V. Ternyata Sukarno memilih ke Halim Perdanakusumah. Dari sinilah mulai muncul spekulasi bahwa Sukarno terlibat G 30 S. Rute yang diambil Sukarno ketika itu adalah

Jembatan Semanggi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Bypass, Pondok Gede, baru masuk Kompleks Halim Perdanakusumah. Agar tidak mencolok, Presiden memakai mobil VW Kodok warna biru laut. Di sana Ia sempat bertemu Dewi selama beberapa jam. Setelah di sana seharian dan bertemu sejumlah pembantu-pembantunya, ia memutuskan pergi ke Istana Bogor lewat Parung, yang ketika itu masih sangat rusak kondisinya, memakai mobil Prince pukul 22.50 WIB.7

BAB IV

DRAMA 11 MARET 1966

7 Adam, Asvi Warman; Pelurusan Sejarah Indonesia; Ombak; 2007; hal. 140

11 Maret 1966. Sukarno tengah memimpin sidang kabinet Dwikora di Istana Negara. Brigjen Sabur sudah berkali-kali mengirim memo kepada Pangdam Jaya, Mayjen Amir Mahmud yang mengatakan bahwa ada pasukan RPKAD yang tidak dikenal sedang bergerak menuju Istana Negara, tetapi tidak ditanggapi sedikitpun. Akhirnya Sabur mengirim memo langsung menuju Presiden Sukarno, isinya “Pak, ada unidentificated force8 yang bergerak dari Glodok menuju Istana. Untuk keamanan, bapak dimohon segera mengakhiri sidang.”. Setelah menerima memo tersebut, Sukarno memutuskan segera mendiskors sidang dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II J. Leimena,Sukarno sendiri pergi ke Istana Bogor menggunakan helikopter kepresidenan. Sukarno ditemani Mangil dan Sabur. Sebelum terbang, pilot helikopternya dipesani Mangil “jangan mengarah langsung ke Istana Bogor. Siapa tahu pasukan yang ditempatkan di Monas tidak disiplin,nanti helikopter ini ditembaki mereka.”.

Sementara itu, Di Istana Negara, sidang kabinet segera dibubarkan oleh Waperdam II J. Leimena. Menteri Urusan Veteran Mayjen. Basuki Rahmat, Menteri Perdagangan Mayjen. M. Jusuf serta Pangdam Jaya Mayjen. Amir Mahmud berencana menyusul Presiden Sukarno ke Bogor. Mereka langsung menyetujui usul itu. Mereka berangkat ke Bogor menggunakan Helikopter dari Istana Negara.

Sukarno tiba di Bogor dengan muka masam. Hartini bertanya “Lho Mas, ada apa? Tumben pagi-pagi sudah tiba.9” Sukarno hanya menjawab “Tien situasi genting”. Hartini paham dengan apa yang dikatakan situasi genting itu. Sukarno segera masuk ke Pavilyun II Istana Bogor dan mengambil air wudhu dan bersembahyang sementara Hartini menyiapkan menu makan siang kesukaan suaminya, sayur lodeh dan tempe goreng. Tidak seperti biasanya “Bapak hanya makan sedikit, agaknya nafsu makannya menghilang..” kenang Hartini10.

Ketiga jenderal tiba di Istana Bogor pukul 13.00 tetapi baru bisa bertemu Sukarno pada pukul 14.30. Hartini mengatakan “Walau sudah sempat tidur wajah Bapak masih tetap tidak cerah. Ketika sepintas lalu melihat ketiga jenderal tersebut dari kejauhan Bapak segera membuang muka. Melihat gelagat yang ditunjukkan Bapak saya memberanikan diri mengatakan ‘Mengapa mereka tidak ditemui? Kasihan kan, sudah datang dari jauh malah 8 Pasukan tidak dikenal yang belakangan diketahui adalah pasukan RPKAD-REV pimpinan Sarwo Edhie Wibowo.

9 Biasanya Sukarno tiba setiap Jumat sore dan kembali hari Senin pagi,sementara ketika itu masih Jumat pagi menjelang siang.

10 Nugroho,Arifin.S;Biografi Hartini Sukarno,Yogyakarta,Ombak,2009 hal. 143

tidak ditemui..”11. Sukarno sendiri marah karena merasa dibohongi dengan adanya pasukan liar mengepung Istana Negara. Wajahnya yang masam dari beberapa jam sebelumnya berubah cerah begitu mengetahui Men/Pangad Jend. Soeharto sanggup mengatasi keadaan jika diberi kepercayaan. Di luar perkiraan, Sukarno menyetujui dan menunjuk tim penyusun konsep yaitu : Basuki Rahmat sebagai ketua, M. Jusuf menjadi anggota, dan Sabur sendiri menjadi sekretaris. Konsep dasar yang dibuat Basuki Rahmat diberikan kepada Sukarno yang kemudian meminta pendapat Waperdam I Subandrio, Waperdam II Leimena, dan Waperdam III Chairul Saleh yang menyusul Sukarno pergi ke Bogor. Setelah ketiga Waperdam memberikan pendapatnya masing-masing, konsep itu segera diketik dan diajukan kembali kepada Sukarno. Menjelang penandatanganan, Sabur mengatakan “Secara teknis admininstratif pak, ini tidak bisa dipertanggung jawabkan, karena permulaan kalimat pada halaman kedua tidak ada pada akhir halaman pertama.”. Sukarno memandangi ketiga jenderal dengan tajam. Sebelum Sukarno sempat berkomentar apa-apa, Amir Mahmud berkata “buat apa segala macam persoalan teknis-teknisan itu? Ini kan dalam suasana revolusi. Kita semua sudah menjadi saksinya!”

Ketiga jenderal ini menuntut Sukarno untuk menandatangani surat yang (katanya) berisi mengenai keamanan negara termasuk dirinya dan keluarganya. Sukarno sempat bingung ketika membaca surat yang ia sendiri tidak tahu isinya apa.Ia meminta pertimbangan dari Subandrio “Ban,kamu setuju?” tanyanya. ”Kalau Bapak setuju, saya juga setuju”. Surat itu akhirnya ditandatangani Sukarno dan disaksikan oleh sembilan orang; yaitu: Subandrio, Leimena, Chairul Saleh, Hartini, Mangil, Basuki Rahmat, M. Jusuf, dan terakhir Amir Mahmud.

Jarum jam menunjukkan pukul 20.30, ketiga jenderal tersebut berpamitan kepada Presiden Sukarno untuk menyerahkan Supersemar itu kepada Men/Pangad Jend. Soeharto. Mendapat SP 11 Maret, tindakan Soeharto tidak dapat dikontrol lagi. Tindakan pertamanya adalah membubarkan PKI dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang12. Mendengar hal itu Sukarno bagai mendengar guntur menggeledek di tengah siang bolong. Ia memerintahkan Leimena ke Jakarta untuk meminta pertanggung jawaban Soeharto dan memanggil Jusuf-Basuki-Amir ke Bogor. Di sana mereka dimarahi habis-habisan, “Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah ke Soeharto!”

Keesokan harinya Sukarno mengeluarkan SP 13 Maret yang intinya mencabut SP 11 Maret. Ia memberikan SP 13 Maret ini kepada Leimena dan Brigjen. Hartono (Komandan KKO) dengan maksud agar disampaikan kepada Soeharto. Memang surat itu disampaikan, tetapi tidak digubris lagi oleh

11 Nugroho,Arifin.S;op.cit;hal. 144

12 Yang juga sudah dinantikan bayak orang,apalagi kaum militer.

Soeharto. Bahkan ia mengatakan “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!”

17 Agustus 1966. Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke 21. Sukarno13 naik ke podium di Halaman Istana Merdeka. Ia berpidato di hadapan rakyat yang nantinya pidato itu akan dikenang dengan judul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Dalam pidato itu ia menjelaskan SP 11 Maret dan G 30 S. Berikut saya cantumkan beberapa bagian pidato tersebut.

……..Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya SP 11 maret itu adalah satu “transfer of authority”. Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Perintah pengamanan jalannya any pemerintahan…….

…….Bahwa perintah saya 11 Maret itu adalah perintah yang tepat dan benar. Bukan satu perintah yang tidak tepat dan tidak benar. Bukan satu perintah yang tidak tepat dan tidak benar, tetapi tepat dan benar…………..

……dengan jiwa kita yang sedalam-dalamnya, maka pokok intisari mandat, pokok intisari mandat, yang saya terima dari MPRS ialah membangun bangsa, nation building, dari kemerosotan zaman kolonial yang untuk dijadikan suatu bangsa yang berjiwa, yang dapat dan mampu menghadapi semua tantangan! Atau bangsa yang merdeka, di dalam abad ke 20 ini…..

…..Sesungguhnya toh, bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan tahap pertamanya, membangun jiwa bangsa! Bukankah demikian?....

……Sudah terang, Gestok kita kutuk! Dan saya,saya mengkutuk pula! Dan seperti yang sudah kukatakan berulang kali dengan jelas dan tandas, yang bersalah harus dihukum! Untuk itulah aku bangunkan Mahmilub, tetapi mengapa kita sesudah terjadinya Gestok itu harus mengubah arah, mengubah haluan….

Kita semua telah mengetahui bagaimana akhir drama ini, yaitu dengan jatuhnya Sukarno dan naiknya Soeharto ke tampuk pimpinan. Walaupun Sukarno sudah memberikan pidato pertanggung jawaban yang diberi nama “Nawaksara” dan memberikan “Pelengkap Nawaksara” yang menjadi permintaan MPRS tetapi di kemudian hari tetap saja ditolak.

13 Yang telah kehilangan kira-kira sepertiga jabatannya.

BAB VEPILOG

Kala akhir kekuasaan Sukarno semakin dekat, ia semakin merasa kalah. Jika sewaktu awal tahun 1966 jika ia berpidato maka di dalam pidatonya selalu ada kalimat ‘saya merasa dikentuti’, Maka menjelang akhir 1966 dan awal 1967 ia hanya berujar pelan di akhir pidatonya ‘I am still President, still Supreme Commander of the Armes Force’. Bahkan,ketika ia masih dalam masa menanti keputusan MPRS kepada dirinya, ia mengatakan ‘Biarlah aku lepaskan jabatan kepresidenanku ini daripada harus menyaksikan perang saudara yang nantinya akan dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan Nekolim.’

20 Februari 1967. kaum militer yang berkawan dengan Soeharto tengah bergembira. Hari itu Sukarno mengumumkan penyerahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Pengumuman itu ibarat racun yang disuntikkan kepada dirinya yang seketika membuat nadinya berhenti berdenyut. Apa lagi yang dapat diperbuat kepada bangsanya? Bambang Widjanarko menuturkan ‘Kelihatan benar betapa terpukul hatinya saat itu. Lama ia duduk diam tanpa berkata-kata. Akhirnya ia menarik nafas panjang dan berujar “Aku telah berusaha memberikan yang terbaik bagi nusa dan bangsa Indonesia”’

Masih di tahun yang sama, tanggal 12 Maret ia benar-benar dilucuti seluruh kekuasaannya. Hal ini terjadi karena Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan dari presiden Sukarno. Ia benar-benar terguncang. Pengumuman itu resmi membuat ia menjadi tahanan rumah semenjak tanggal 12 Maret 1967, tanggal mulai berlakunya Tap MPRS tersebut.14

Hartini mempunyai cerita “Suatu saat ketika Bapak sudah ditahan di Bogor (1968) saya bertanya ‘Pak, apakah Bapak masih menjadi Presiden?’ Bapak tidak menjawab. Beliau hanya mengatakan, ‘Saya hanya teken surat (SP 11 Maret). Isinya pengamanan saya serahkan kepada Soeharto. Mestinya,kalau sudah aman, kekuasaan itu dikembalikan, tetapi ia main patgulipat. Dia sendiri jadi Presiden dan Bapak kalah’.

Tahun 1969, Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso, rumah istrinya, Ratna Sari Dewi, yang sudah meninggalkan Indonesia sejak November 1966. Di sana ia diinterogasi yang hasilnya nantinya akan disebut “Dokumen Slipi”. Dalam salah satu interogasi ia pernah berbicara “Kenyataannya, pemegang SP 11 Maret tidak menjalankan perintah yang ada di dalam SP 11 Maret itu sendiri.”

Ketika membaca kutipan tersebut terang saya kaget, Bukankah ketika berpidato tanggal 17 Agustus 1966 ia malah berterima kasih kepada Soeharto karena telah melaksanakan SP 11 Maret dengan baik?

BAB VIKESIMPULAN

Menurut saya,ini bukanlah suatu coup yang didalangi PKI15 dan organisasi massanya, tetapi lebih kepada pertentangan dua kubu di dalam Angkatan Darat, yaitu antara kubu Soeharto dengan kubu A.Yani, seperti kata Sukarno dalam salah satu pidatonya. Bahkan Omar Dhani, Men/Pangau ketika itu mengeluarkan pengumuman beberapa hari setelah kudeta yang gagal 14 Nuryati,Reni;Tragedi Sukarno,Yogyakarta,Ombak,2008;hal 53-57

15 Seperti yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah.

tersebut, bahwa Lubang Buaya16 tidak berada di wilayah TNI AU, tetapi berada di wilayah TNI AD17 sendiri. Hanya saja ketika daerah Lubang Buaya berhasil diinvasi, yang ditemui hanya segelintir perwira TNI AU dan Pemuda Rakyat serta Gerwani. Maka dari itu Soeharto dan kroni-kroninya menyebut bahwa PKI dan TNI AU terlibat peristiwa tersebut. Tetapi, setelah saya renungkan, maka saya bisa menarik kesimpulan secara resmi bahwa SUKARNO TIDAK TERLIBAT G 30 S (TANPA) PKI!

Sekian, Merdeka!

BAB VII

LAMPIRAN TEKS

PERNYATAAN ANGKATAN UDARA

REPUBLIK INDONESIA16 Tempat jenazah para Jenderal ditemukan.

17 Atau lebih tepatnya Kodam Jaya.

1.AURI tidak turut campur dalam Gerakan 30 September.

2.AURI setuju dengan tiap gerakan pembersihan yang diadakan di tubuh tiap alat revolusi sesuai dengan garis Pemimpin Besar Revolusi.

3.AURI tidak turut campur dalam urusan rumah tangga lain angkatan.

4.AURI tidak tahu-menahu mengenai Dewan Revolusi Indonesia maupun susunan personalianya.

PAU Halim Perdanakusumah

2 Oktober 1965

OMAR DHANI

Laksamana Madya Udara

PENGUMUMAN PRESIDEN

TANGGAL 20 FEBRUARI 1967

TENTANG PENYERAHAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

PENGUMUMAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS

PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

KAMI,PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

Setelah menyadari konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa, dan negara, maka dengan ini saya umumkan:

Pertama : Kami, Presiden Indonesia/Mandataris MPRS/Pangti ABRI, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Tap No.XV/MPRS/66,Jenderal TNI Soeharto, sesuai dengan jiwa Tap No.XV/MPRS/66 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.

Kedua : Pengemban Tap No.IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu jika dirasa perlu.

Ketiga : Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintahan dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga, dan menegakkan revolusi, dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas pengemban Tap No.IX/MPRS/1966 seperti di atas.

Keempat : Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada rakyat dan MPRS.

Semoga Tuhan yang Maha Esa melindungi rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.

Jakarta, 20 Februari 1967

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS

PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

SOEKARNO.18

KETETAPAN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN

RAKYAT SEMENTARA

REPUBLIK INDONESIA

NO.XXXIII/MPRS/1967

TENTANG

PENCABUTAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

18 Nuryati,Reni;Tragedi Sukarno;Yogyakarta,Ombak,2008;hal.53-54

DARI PRESIDEN SUKARNO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

SEMENTARA REPUBLIK INDONESIAMenimbang

a.Bahwa keseluruhan Pidato Presiden/Mandataris MPRS yang disampaikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul “ NAWAKSARA” dan surat Presiden/Mandataris MPRS tertanggal 10 Januari 1967 No.01/Pres/1967 tentang Pelengkap NAWAKSARA, tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya, Anggota-anggota MPRS pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggung jawaban tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra revolusi G 30 S/PKI19, beserta epilognya, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak.

b.Bahwa Presiden/Mandataris MPRS telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Negara kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 seperti dinyatakan dalam Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967.

c.Bahwa berdasarkan laporan tertulis Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 dalam suratnya No.R.032/’67, yang dilengkapi dengan pidato laporannya di hadapan sidang MPRS berpendapat, bahwa ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan G.30.S/PKI.

Memperhatikan:

1.Resolusi dan Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, tanggal 9 dan 23 Februari 1967.

2.Pidato Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada Pembukaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

3.Pidato sambutan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada Pembukaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

4.Keterangan Pemerintah di depan DPR-GR pada tanggal 4 Maret 1967.

5.Pidato laporan Pangkopkamtib/Pengemban Tap MPRS No.IX/MPRS/1966 di hadapan SI MPRS pada tanggal 7 Maret 1967.

Mengingat:

1.Pembukaan UUD 1945, beserta penjelasannya.

2.Keputusan Pimpinan MPRS No.13/B/1967 tentang Penolakan Pidato Pelengkap NAWAKSARA.

MEMUTUSKANMenetapkan

KETETAPAN TENTANG PENCABUTAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA DARI PRESIDEN SUKARNO

19 Kala itu yang digunakan memang masih memakai kata ‘PKI’ di akhir kata G.30.S

BAB IPasal I

Menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusionil, sebagaimana kewajiban layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945

Pasal II

Menyatakan Presiden Sukarno tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap MPRS sebagai yang memberi mandat, yang diatur dalam

Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal III

Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno serta segala

kekuasaan pemerintah Negara yang diatur dalam UUD 1945.

Pasal IV

Menetapkan berlakunya Tap MPRS No.XV/MPRS/1966 dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Tap MPRS No.IX/MPRS/1966, sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 UUD 1945

hingga dipilihnya Presiden oleh MPRS berdasarkan hasil Pemilihan Umum.

Pasal V

Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

BAB IIPasal VI

Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut DR.Ir.Sukarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan

dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.

Pasal VII

Ketetapan ini berlaku pada hari ditetapkannya dan mempunyai daya laku surut pada tanggal 22 Februari 1967.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 12 Maret 1967.

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA

REPUBLIK INDONESIA

Dr. A.H. Nasution

Jenderal TNI

Wakil Ketua, Wakil Ketua

Osa Maliki H.M. H.M. Subchan Z.E.

Wakil Ketua Wakil Ketua

M.Siregar Mashudi

Pd. Sekretaris Umum MPRS

Abdulkadir Besar, SH

Letkol CKH Nrp. 1631520

Jakarta,10 Januari 1967

Kepada Yth. Pimpinan MPRS

Di JAKARTA

No:01/Pres/67

Hal:Pelengkapan Pidato Nawaksara

20 Nuryati,Reni;Tragedi Sukarno;Yogyakarta,Ombak,2008;hal.55-59

Saudara-saudara,

Menjawab nota Pimpinan MPRS No. Nota 2/Pimp.MPRS/1966 perihal melengkapi laporan pertanggungjawab sesuai dengan keputusan MPRS No.5/MPRS/1966, maka dengan ini saya menyatakan:

I. Dalam UUD 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum Sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan-jawab atas hal-hal yang "cabang". Pidato saya yang saya namakan "Nawaksara" adalah atas kesadaran dan tanggung jawab saya sendiri, dan saya maksudkan sebagai semacam "Progress-report sukarela" tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan bahwa MPR menentukan garis-garis besar haluan Negara, dan tentang pelaksanaan garis-garis-besar haluan Negara inilah Mandataris harus mempertanggung-jawabkan (Lihat UUD pasal 3). Juga dalam penjelasan daripada pasal 3 UUD ini nyata benar, bahwa Mandataris harus mempertanggung-jawabkan tentang pelaksanaan keputusan MPR mengenai garis-garis-besar haluan Negara itu. Dus tidak tentang hal-hal lain. Namun, "for the sake of state-speech making", maka atas kehendak saya sendiri saya mengucapkan "Nawaksara" itu.

II. Sebagai pemenuhan daripada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hubungan fungsional antara Presiden/Mandataris dengan MPRS, maka setelah berkonsultasi dengan Presidium Kabinet Ampera, khususnya dengan Pengemban SP 11 Maret 1966, dan para Panglima Angkatan Bersenjata beberapa kali, dengan ini saya menyampaikan penjelasan-penjelasan sebagai pelengkap Nawaksara sebagai berikut :

Pertama-tama saya memperingatkan Saudara-saudara bahwa saya di samping "Nawaksara" itu telah menyerahkan banyak lampiran kepada MPRS. Dan saya sekarang mengajak Saudara-saudara dan segenap Rakyat Indonesia untuk menyadari lagi, bahwa situasi politik di tanah-air kita adalah gawat, sehingga kita bersama harus berusaha sekuat tenaga untuk meniadakan situasi-konflik, demi untuk menyelamatkan Revolusi kita. Untuk itu, maka perlu kita kembali kepada prinsip perjoangan yang berulang-ulang saya tandaskan, yaitu: pemupukan persatuan dan kesatuan di antara segenap kekuatan progressif revolusioner di kalangan Rakyat Indonesia, serta menekan kepada kewaspadaan istimewa terhadap baha~a kekuatan kontra revolusi di dalam Negeri dan bahaya kekuatan subversif--kontra revolusioner di luar Negeri.

Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G.30.S/PKI, maka saya sendiri nyatakan:

a. G.30.S. ada satu "complete overrompeling" bagi saya.b. Saya, dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966

mengutuk Gestok. 17 Agustus saya berkata: "sudah terang, Gestok kita kutuk! Dan saya, saya mengutuknya pula! " Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan

dengan jelas dan tandas, bahwa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB."

c. Saya telah memberi autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isra dan Mi'raj di Istana Negara yang lalu, yang antara lain berbunyi: "Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30-September yang didalangi oleh PKI, berkesimpulan bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah Gestok. "

Autorisasi ini saya berikan kepada Jenderal Soeharto, pagi sebelum ia mengucapkan pidato itu pada malam-harinya di Istana Negara. Saya memang selalu memakai kata Gestok. Pembunuhan kepada Jenderal-jenderal dan ajudan dan pengawal-pengawal terjadi pada I Oktober pagi-pagi sekali. Saya menyebutnya "Gerakan Satu Oktober", -- singkatnya, Gestok.

d. Penyelidikan yang seksama menunjukkan, bahwa peristiwa G-3~-S itu ditimbulkan oleh "pertemuannya" tiga sebab, yaitu: a. kebelingeran pimpinan PKI, b. kelihaian subversi Nekolim, c. memang adanya oknum-oknum yang "tidak benar".

e. Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan-jawab atas terjadinya G-30-S atau yang saya namakan Gestok itu? Tidakkah misalnya Menko Hankam (waktu itu) juga bertanggung jawab? Sehubungan dengan ini saya menanya:

Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh Presiden~Pangti dengan penggranatan hebat di Cikini? Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh saya dalam "peristiwa Idhul Adha?" Siapa yang bertanggung jawab atas pembrondongan dari pesawat udara kepada saya oleh Maukar? Siapa yang bertanggung jawab atas penggranatan kepada saya di Makassar? Siapa yang bertanggung jawab atas pemortiran kepada saya di Makassar? Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di dekat gedung Stanvac? Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di sebelah Cisalak? Dll. Dll. Syukur Alhamdulillah, saya dalam semua peristiwa itu dilindungi oleh Tuhan! Kalau tidak, tentu saya sudah mati terbunuh! Dan mungkin akan Saudara namakan satu "tragedi nasional" pula. Tetapi sekali lagi saya menanya: Kalau saya disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G-30-S, maka saya menanya: siapa yang harus dimintai pertanggunganjawab atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti, dalam tujuh peristiwa yang saya sebutkan di atas itu? Kalau bicara tentang "Kebenaran dan Keadilan", maka saya pun minta, "Kebenaran dan Keadilan"!

f. Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi? Marilah kita sadari, bahwa keadaan ekonomi sesuatu bangsa atau Negara, bukanlah disebabkan oleh satu orang saja, tetapi adalah satu resultante daripada proses faktor-faktor objektif dan tindakan-tindakan daripada keseluruhan aparatur pemerintahan dan masyarakat. Satu contoh pertanyaan: Siapakah yang bertanggung jawab atas terus menanjaknya

harga-harga dewasa ini, dan macetnya banyak perusahaan-perusahaan swasta?

Sebagaimana telah saya kemukakan dalam salah satu pidato saya, maka saya mengkonstatir bahwa dengan adanya peristiwaperistiwa seperti Dl/TII, PKI-Madiun, Andi Azis, RMS, PRRI/Permesta, (juga di sini saya menanya: siapa yang harus bertanggung jawab?)-maka kita tidak boleh tidak tentu mengalami kemunduran di segala bidang. Dengan sendirinya kemunduran itu menyangkut pula pada bidang ekonomi.

g. Tentang "kemerosotan akhlak"? Di sini juga saya sendiri saja yang harus bertanggung jawab? Mengenai soal akhlak, perlu dimaklumi bahwa keadaan akhlak pada suatu waktu adalah hasil perkembangan daripada proses kesadaran dan laku-tindak masyarakat dalam keseluruhannya, yang tidak mungkin disebabkan oleh satuorang saja. Satu contoh pertanyaan misalnya: Siapakah yang bertanggung jawab bahwa sekarang ini puluhan pemudi sekolah menengah dan Mahasiswa-wanita menjadi korban daripada perbuatan a-moral?

h. Dus: Dengan menyadari adanya faktor-faktor yang kompleks, yang menjadi sebab-musabab dari terjadinya peristiwa-peristiwa sebagai termaktub di atas, demikian pula mengingat kompleksitas dari pengaruh-pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut kepada segala bidang, maka tidak adillah kiranya hal-hal itu dite, kankan pertanggungan-jawabnya kepada satu orang saja.

i. Demikianlah jawaban saya atas surat Saudara-saudara tertanggal 22 Oktober itu. Hendaknya jawaban saya ini Saudara anggap sebagai pelengkap Nawaksara, yang Saudara minta, sebagai pelaksanaan daripada keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.

Wassalam, PRESIDEN/MANDATARIS MPRS.

SUKARNO. 21

Surat Mantan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.22

Kepada Yth.21 http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/presiden.htm

Saudara Presiden RI

Jenderal Soeharto

Saudara,

Maafkanlah saya,bahwa saya lagi-lagi kirim surat hal apa-apa kepada Saudara. Lebih dahulu saya mengucapkan beribu-ribu terma kasih ke-pada Saudara,bahwa saya Saudara per-bo-leh-kan ke Jakarta. Hawa Jakarta ternyata baik bagi sa-ya. Rematik saya sudah berkurang. Tetapi ada beberapa hal yang membuat ke-ada-an saya di Jakarta itu kurang me-nye-nan-g-kan.

a.Ny.Sugio, yang sudah enam tahun mem-bantu rumah tangga saya di Jalan Gatot Subroto (ru-mah itu adalah milik istri saya De-wi,milik pe-nuh) tidak diijinkan mem-bantu rumah tang-ga lagi, sehingga se-gala sesuatu (termasuk uru-san beras, gu-la, kopi dan sebagainya) saya sen-diri yang harus mengurusnya. Tolong Sau-dara, to—long supaya Ny.Sugio boleh lagi menjadi pe—mimpin rumah tangga saya.

b.Ada lagi satu hal yang menyolok hati: Ibu Hadi, pengasuh anak-anak saya yang pe-rem-puan, terutama Ra-ch-mawati, ia sudah hamper 20 tahun men-jadi “emban” anak-anak perem-puan saya, juga tidak boleh masuk Slipi

c.Anak-anak Hartini yang di Bogor sudah sa-tu rumah dengan ibunya dan saya, yaitu anak-anak Hartini dari suaminya yang ter-da-hulu, dua anak tiri saya yang amat cinta ke-pa-da saya, juga tidak boleh bertemu dengan sa-ya. Siapa lagi yang harus saya tangisi me-ngenai hal-hal ini, kecuali Saudara? Tolonglah, Saudara!

d.Tolong,supaya saya lekas sembuh, tanpa gangguan-gangguan pikiran se-bagai tersebut di atas. Saya ingin ziarah pu-sara Bapak, ingin menegok rumah tang-ga yang lain-lain, juga belum boleh.

Demikianlah, Saudara Presiden, ”ta-ngi-san” saya kepada Saudara Presiden. To-longlah!

Sebelumnya saya mengucapkan be-ri-bu-ribu terima kasih.

Hormatsaya,

Sukarno

3 November 196823

22 Surat ini saya tulis sesuai aslinya,jadi jika ada suatu hal yang dirasa aneh harap maklum.

23 Nuryati,Reni;Tragedi Sukarno;Yogyakarta,Ombak,2008;hal.99-100

Saudara-saudara sekalian,

I. RETROSPEKSI Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul "Ambeg Parama-Arta" tentang hal ini:

1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi. Dalam pidato saya "Ambeg Parama-Arta" itu, saya berkata: "MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi: "PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA".

Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah "Pemimpin Besar Revolusi Indonesia", yaitu: "PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA"!

Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali!!

"Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar "Melaksanakan". "Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan"!

Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima pengangkatan sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya! Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya!

Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: "Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi dengan ridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rakyat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota

MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!

Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat "Ambeg Parama-Arta".

Saudara-saudara sekalian, Dari Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.

Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun - dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita. Saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta' mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.

2. Pengertian Mandataris MPRS. Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar '45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian Undang-Undang Dasar '45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!

Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: "Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian."

Saudara-saudara sekalian, Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.

3. Pengertian Presiden seumur hidup Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: "Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali." Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!

II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN. Kembali sekarang sebentar kepada Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya "Berdikari" pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:

1. Trisakti. Pertama : bahwa Revolusi kita mengejar suatu Ide Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.

Kedua : bahwa Revolusi kita berjuang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongannya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!

Ketiga : bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!

Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik "Ambeg Parama-Arta", maupun "Berdikari" telah Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan "Berdiri di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.

Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti

kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajurit-prajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.

2. Rencana Ekonomi Perjuangan. Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa "self-reliance" ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoangan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.

Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.

3. Pengertian Berdikari. Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang" telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.

Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan."

Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.

III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.

Dekon kita pun adalah Manipol di bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan "political-economy"-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun

1966-1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.

IV. DETAIL KE-DPR Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garis-garis besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.

V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN

Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.

Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.

VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945 Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPR-GR memajukan:

a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.

b. RUU Pemilihan Umum.

c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

VII. WEWENANG MPR DAN MPRS Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.

Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2). Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.

VIII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas

bertujuan agar terjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).

Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2). Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.

IX. PENUTUP Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.

Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.

Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.

Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu.

Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Re-so-pim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini.

Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini "Pidato Sembilan Pokok". Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?

Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa". Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-sad, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama terutama dengan perkataan "Nawa"; "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "AKSARA", dus "NAWA AKSARA" atau kalau mau disingkatkan "NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama "Sembilan Ucapan Presiden". "NAWA SABDA". Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh, Presiden bersabda". Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan "Aksara"; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta

wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA .

Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: "Saya tinggalkan this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin."

Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.

Saya berjumpa dengan orang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: "The cause of freedom is a deathless cause.” The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.

Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless service.

Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of freedom is deathless cause". Saya berkata "not only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a deatheless service".

Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang: the service of

freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.

Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.

Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and to this great service.

Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian. Sekianlah.24

KEPUTUSAN PRESIDEN R.I.NO.44 TAHUN 1970

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:1. Bahwa sesudah menderita sakit yang lama dan setelah dilakukan usaha-usaha perawatan untuk menyembuhkannya,pada tanggal 21 Juni 1970 DR.Ir.Soekarno telah wafat.2. Bahwa dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 telah dilakukan pemeriksaan menurut hukum, yang berhubung dengan kesehatannya

24 http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=pustaka&id=11

belum memungkinkan dilakukan pemeriksaan tingkat terakhir dan pengajuan perkaranya kedepan pengadilan.3. Bahwa Bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila patut memberikan penghargaan yang wajar atas jasa-jasa DR.Ir.Soekarno terhadap nusa dan bangsa sebagai Proklamator Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945Mengingat:1. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945;2. Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967

MEMUTUSKANMenetapkan:Pertama : Menyelenggarakan upacara pemakaman kenegaraan sebagai penghormatan Negara kepada Almarhum DR.Ir.Soekarno sebagai Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia.Kedua : Menetapkan tempat makam jenazah Almarhum DR.Ir.Soekaeno di BlitarKetiga : Memberikan kesempatan kepada mereka yang berhasrat untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada jenazah Almarhum DR.Ir.Soekarno di tempat pembaringan jenazah di Wisma Yaso,Slipi,Jakarta dan di tempat pemakaman di Blitar.Keempat : Mengibarkan Bendera Nasional setengah tiang selama 7 hari terhitung sejak tanggal 21 Juni 1970.Kelima : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya,tanggal 21 Juni 1970.

Ditetapkan di; JakartaPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTOJenderal TNI

SUMBER REFERENSI

BUKU

Adam,Asvi Warman;Pelurusan Sejarah Indonesia;Yogyakarta,Ombak,2007

Nugroho,Arifin Suryo;Biografi Hartini Soekarno;Yogyakarta,Ombak,2008

Nuryati,Reni;Tragedi Sukarno;Yogyakarta,Ombak,2009

Zara,M.Yuanda;Sakura Di Tengah Prahara,Ratna Sari Dewi Sukarno;Yogyakarta,Ombak,2010

INTERNET

http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/presiden.htm

http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=pustaka&id=11

top related