, 2012). - sinta.unud.ac.id · stromal, sel sistem imun dan inflama si, faktor pertumbuhan,...
Post on 25-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Karsinoma payudara merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada
perempuan. Diperkirakan jutaan perempuan di seluruh dunia terkena karsinoma
payudara tiap tahunnya. Karsinoma ini merupakan salah satu masalah kesehatan
yang penting dan menjadi penyebab kematian terbanyak pada perempuan. Angka
kematian dapat diturunkan apabila deteksi dini, diagnosis, dan penatalaksanaan
karsinoma ini dilakukan secara tepat dan cepat.
Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak kedua di dunia, dengan
perkiraan 1,67 juta kasus karsinoma baru yang didiagnosis pada tahun (Globocan,
2012). Angka kejadian pada negara berkembang mencapai 6%, di mana angka
kejadiannya mencapai dua kali lipat pada daerah lain (Muhammad et al., 2012).
Sekitar 100.000 kasus baru terdiagnosis dan sekitar 30.000 pasien meninggal
akibat karsinoma ini di Amerika Serikat setiap tahunnya. Sedangkan di Inggris
sekitar 26.000 kasus baru dan 15.000 kematian terjadi setiap tahunnya (Tanwani
and Majeed, 2009).
Di Indonesia berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter
Ahli Patologi Indonesia (IAPI) pada tahun 2011, karsinoma payudara di Indonesia
mengalami peningkatan menjadi 28,99%. Sementara itu di Bali pada tahun 2011
merupakan kejadian karsinoma peringkat pertama sebesar 23,33% dari
2
keseluruhan karsinoma primer pada wanita, di mana terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2006 sebesar 21,45% (DitYanMed, 2006, 2011).
Karsinoma payudara di dunia lebih sering terjadi pada wanita dengan usia
yang lebih tua dengan puncak insiden pada usia 75-80 tahun. Karsinoma payudara
sangat jarang terjadi sebelum usia 25 tahun (Lester, 2015). Di Indonesia dan Bali,
sebagian besar kasus karsinoma payudara terdiagnosis pada rentang usia 35-44
tahun (DitYanMed, 2006, 2011).
Perjalanan akhir dari karsinoma payudara ini tergantung dari gambaran
biologis karsinoma yaitu tipe histologis atau molekular serta perluasan dan
penyebaran karsinoma tersebut. Faktor prognosis dari karsinoma ini dibagi
menjadi dua kelompok yaitu faktor prognosis yang berhubungan dengan perluasan
karsinoma (stadium) dan yang berhubungan dengan biologis karsinoma. Faktor
prognosis yang berhubungan dengan perluasan karsinoma adalah adanya ukuran
tumor, invasi limfovaskular, metastasis kelenjar getah bening, dan metastasis jauh.
Tipe histologis khusus, derajat histologis, tingkat proliferasi, reseptor estrogen,
reseptor progesteron, reseptor HER-2, dan subtipe molekular merupakan faktor
prognosis yang berhubungan dengan biologis karsinoma (Lester, 2015).
Derajat histologis pada karsinoma invasif tipe tidak spesifik dinilai
berdasarkan penggabungan skor penilaian tiga karakteristik yaitu formasi tubular
(kelenjar), pleomorfia inti sel, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar.
Penilaian derajat histologis ini mengacu pada Nottingham Grading System atau
disebut juga Nottingham Combined Histologic Grade/Patey & Scarff and Bloom
& Richardson modified by Elston & Ellis (Colditz dan Chia, 2012).
3
Pada dekade terakhir, penelitian tentang tumor microenvironment (TME)
berkembang dengan pesat dan mulai turut dipertimbangkan sebagai salah satu
faktor prognosis (Scully et al., 2012). Tumor microenvironment terdiri dari sel
stromal, sel sistem imun dan inflamasi, faktor pertumbuhan, pembuluh darah dan
limfe, serta matriks ekstraseluler (ECM). Pada keadaan normal jaringan stroma
memiliki kemampuan sebagai pertahanan terhadap keganasan melalui mekanisme
supresi respon imun dan menekan proses karsinogenesis. Akan tetapi sel
karsinoma dapat merubah dan memodulasi lingkungan mikro di sekitar tumor
untuk mendukung pertumbuhan dan sifat progresivitas tumor (Li et al., 2007;
Rohan et al., 2014). Sel-sel epitelial dapat juga berkonversi menjadi sel-sel
mesenkimal melalui proses yang dikenal sebagai epithelial-mesenchymal
transition (EMT). Hal ini akan meningkatkan kapasitas migrasinya (Lee and
Nelson, 2012).
Perubahan karakteristik morfologi sel pada EMT berhubungan dengan
beberapa perubahan ekspresi molekul. Molekul ini sering digunakan sebagai
penanda untuk mendeteksi EMT. Salah satunya adalah peningkatan ekspresi
protein matrix metalloproteinases yaitu MMP-2, MMP-3, dan MMP-9 (Lee dan
Nelson, 2012).
Matriks metalloproteinase merupakan suatu kelompok endopeptidase yang
tergantung pada zinc dan terlibat dalam degradasi matriks ekstraselular baik pada
proses fisiologis maupun patologis. Pada keadaan fisiologis MMP ini membantu
proses morfogenesis, angiogenesis, dan perbaikan jaringan. Sementara pada
4
proses patologis, MMP terlibat pada terjadinya sirosis, artritis, dan kanker (Farina
and Mackay, 2014).
MMP-9 atau gelatinase B lebih banyak mendapat perhatian oleh karena
aktivitas dan regulasinya lebih kompleks dibandingkan semua kelompok MMP
yang lain (Loffek et al., 2011).
Pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik MMP-9 mengalami
regulasi melalui interaksi antara sel tumor dengan lingkungan mikro di sekitarnya,
yaitu sel stroma, sel endotel, dan sel radang. Sudah sangat diakui peranan sel
radang seperti makrofag, neutrofil, sel mast sel dendritik, dan sel T pada inisiasi
dan progresi tumor. Sel tumor ini mampu menghasilkan faktor-faktor pro-
inflamasi dan MMP berperan pada progresivitas tumor (Deryugina dan Quigley,
2006).
Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik terlibat pada semua tahap progresivitas sel kanker mulai dari proliferasi,
angiogenesis, apoptosis, epithelial-mesenchymal transition (EMT), dan
metastasis. Proses metastasis dimudahkan oleh kemampuan sel tumor untuk
berubah dari bentuk sel epitel yang tidak mampu bergerak menjadi sel
mesenkimal yang mampu bergerak (Farina dan Mackay, 2014). MMP-9 ini
dikatakan berpartisipasi dalam invasi tumor dan metastasis dengan menurunkan
matriks ekstraselular pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik
(Mahmood et al., 2015) (Benson et al., 2013).
Beberapa penelitian yang menghubungkan ekspresi MMP-9 dengan derajat
histologis pada karsinoma payudara sudah pernah dilakukan. Pada penelitian yang
5
dilakukan oleh Irianiwati et al. terhadap 50 kasus karsinoma payudara, dilakukan
pulasan MMP-9 untuk menilai perburukan derajat histologisnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekspresi MMP-9 berbeda bermakna pada derajat tinggi
dibandingkan derajat rendah (Irianiwati et al, 2012).
Penelitian oleh Yousef et al. ekspresi tinggi MMP-9 ditemukan pada
karsinoma payudara dengan derajat keganasan yang tinggi. Sedangkan pada
jaringan payudara normal tidak ditemukan adanya ekspresi dari MMP-9 (Yousef
et al., 2014).
Penelitian oleh Mahmood dan kawan-kawan di Irak menghubungkan antara
ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada
karsinoma payudara stadium II dan III. Didapatkan korelasi yang signifikan antara
ekspresi MMP-9 dengan beberapa variabel klinikopatologis, yaitu: stadium tumor,
derajat histologis, tipe histologis, dan status metastasis limfonodi (Mahmood et
al., 2015).
Vasaturo et al. di Italia melakukan penelitian ekspresi MMP-2 dan MMP-9
pada pasien karsinoma payudara. Dengan hasil penelitian menunjukkan tampak
perbedaan yang bermakna pada pasien-pasien karsinoma payudara bila ditinjau
dari sudut pandang variabel derajat histologis (Vasaturo et al., 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Benson et al. di India terhadap 39 sampel
kanker payudara dan 16 jaringan payudara yang normal, menunjukkan adanya
peningkatan MMP-9 secara berbeda pada jaringan kanker payudara (Benson et
al., 2013).
6
Di Finlandia ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dianalisis oleh Pellikainen et al.
secara imunohistokimia dalam prospektif seri besar dari 421 pasien kanker
payudara. MMP-9 terekspresi dalam sitoplasma sel-sel ganas dan stroma. Ekspresi
tinggi MMP-9 dalam sel karsinoma terkait stadium tumor, sedangkan ekspresi
positif pada stroma dikaitkan dengan faktor-faktor agresif. Evaluasi ekspresi
MMP-9 juga memberikan informasi tentang prognosis kanker payudara
(Pellikainen et al., 2014).
Hasil kontradiktif didapatkan oleh Wu dan kawan-kawan melalui
penelitiannya di Cina berusaha mencari signifikansi antara ekspresi MMP-9
dengan berbagai variabel klinikopatologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan semua variabel
penelitian yang dievaluasi termasuk derajat histologis (Wu et al., 2014).
Meskipun penelitian yang menghubungkan ekspresi MMP-9 dengan derajat
histologis pada karsinoma payudara sudah pernah dilakukan akan tetapi masih
terdapat hasil yang kontradiktif. Di samping itu, penelitian yang menunjukkan
adanya pengaruh antara ekspresi MMP-9 dengan karakteristik derajat histologis
pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik sampai saat ini belum pernah
dilakukan di Bali, sehingga sangat menarik untuk dilakukan penelitian tersebut
agar dapat memahami keterlibatan MMP-9 pada progresivitas karsinoma
tersebut.
Pada penelitian ini dilakukan pulasan imunohistokimia MMP-9 untuk melihat
apakah ada hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada
karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik.
7
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas yaitu masih ditemukannya
ketidaksesuaian pendapat di antara para peneliti mengenai hubungan antara
ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis
pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik?
2. Apakah ekspresi MMP-9 mempengaruhi faktor karakteristik derajat histologis
yang paling dominan pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik?
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat
histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik.
2. Membuktikan bahwa ekspresi MMP-9 mempengaruhi faktor karakteristik
derajat histologis yang paling dominan.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1.Manfaat Akademik
1. Memberikan informasi data molekular tentang ekspresi MMP-9 yang
dihubungkan dengan derajat histologis karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik.
8
2. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai ekspresi MMP-9 yang dapat
mempengaruhi faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan,
serta pengetahuan yang mendukung MMP-9 dan derajat histologis sebagai
faktor prognostik dalam diagnosis karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik.
1.4.2.Manfaat Praktis
Memberikan informasi tambahan kepada klinisi bahwa ekspresi MMP-9 yang
tinggi berkaitan dengan derajat histologis yang lebih tinggi pula dan memiliki
prognosis yang lebih buruk, sehingga penanganan karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik dapat dilakukan lebih baik.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Payudara
2.1.1 Klasifikasi Karsinoma Payudara
Karsinoma payudara merupakan kelompok lesi yang heterogen. Pada tahap
pertumbuhannya dibagi menjadi karsinoma in situ dan karsinoma invasif.
Karsinoma duktal dan lobular merupakan tumor yang paling sering didapat
meliputi 70-80% dari keseluruhan karsinoma invasif pada payudara (Ellis et al.,
2012). Karsinoma insitu merupakan proliferasi sel-sel neoplastik yang belum
menembus membran basal duktus maupun lobulus, sedangkan apabila sel-sel
neoplastik tersebut telah menembus membran basal dan menginfiltrasi stroma
disebut sebagai karsinoma invasif. Sel-sel tersebut kemudian mampu menginvasi
pembuluh limfe maupun pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan metastasis
pada kelenjar getah bening maupun dapat bermetastasis jauh (Lester, 2010).
Berikut ini adalah klasifikasi karsinoma payudara invasif menurut klasifikasi
World Health Organization (WHO) (Ellis et al., 2012):
1. Invasive carcinoma of no special type (NST)
2. Invasive lobular carcinoma
3. Tubular carcinoma
4. Cribriform carcinoma
5. Mucinous carcinoma
6. Carcinoma with medullary features
10
7. Metaplastic carcinoma
8. Carcinoma with apocrine differentiation
9. Salivary gland / skin adnexal type tumours
10. Adenoid cystic carcinoma
11. Mucoepidermoid carcinoma
12. Polymorphous carcinoma
13. Carcinoma with signet-ring cell differentiation
14. Carcinoma with neuroendocrine features
15. Invasive papillary carcinoma
16. Invasive micropapillary carcinoma
17. Inflammatory carcinoma
Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik yang sebelumnya disebut juga
karsinoma duktal invasif tipe tidak spesifik adalah keganasan yang terjadi pada
sel-sel epitel duktuli payudara, terutama sel-sel dari terminal duct lobular unit
(TDLU) yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor ini tidak
membentuk suatu pola tipe histologis tertentu (Ellis et al., 2012).
Diklasifikasikan sebagai karsinoma invasif tipe tidak spesifik apabila
komponen gambaran tidak spesifiknya lebih dari 50% massa tumor dengan
pemeriksaan dari potongan yang representatif. Jika gambaran tidak spesifik
kurang dari 50% atau sekitar 10% - 49% dari massa tumor dan sisanya adalah tipe
spesifik maka disebut kelompok campuran yaitu campuran karsinoma invasif tipe
tidak spesifik dan tipe spesifik (Ellis et al., 2012).
11
2.1.2 Epidemiologi Karsinoma Payudara
Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak kedua di dunia, dengan
perkiraan 1,67 juta kasus karsinoma baru yang didiagnosis pada tahun 2012 (25%
dari semua jenis karsinoma) (Globocan, 2012). Di mana merupakan keganasan
yang paling sering dan penyebab kematian terbanyak pada wanita baik di negara
maju maupun negara berkembang. Angka kejadian pada negara berkembang
mencapai 6%, di mana angka kejadiannya mencapai dua kali lipat pada daerah
lain (Muhammad et al., 2012). Setiap tahun di Amerika Serikat sekitar 100.000
kasus baru terdiagnosis dan sekitar 30.000 pasien meninggal akibat karsinoma ini.
Sedangkan di Inggris sekitar 26.000 kasus baru dan 15.000 kematian terjadi setiap
tahunnya (Tanwani and Majeed, 2009).
Di Indonesia berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter
Ahli Patologi Indonesia (IAPI) pada tahun 2006 karsinoma payudara menempati
peringkat kedua dari seluruh kasus karsinoma sebesar 22,8%. Karsinoma
payudara merupakan karsinoma ke-2 tersering pada wanita setelah karsinoma
leher rahim. Pada tahun 2011, karsinoma payudara di Indonesia mengalami
peningkatan menjadi 28,99%. Sementara itu di Bali pada tahun 2006, karsinoma
payudara merupakan karsinoma kedua yaitu sebesar 21,45%. Pada tahun 2011
kejadian karsinoma payudara di Bali menempati peringkat pertama sebesar
23,33% dari keseluruhan karsinoma primer pada wanita (DitYanMed, 2006,
2011).
Karsinoma payudara lebih sering terjadi pada wanita dengan usia yang lebih
tua dengan puncak insiden pada usia 75-80 tahun. Usia rata-rata saat diagnosis
12
adalah 61 tahun pada wanita kulit putih, 56 tahun pada Hispanik, dan 46 tahun
pada wanita Afrika-Amerika. Karsinoma payudara sangat jarang terjadi sebelum
usia 25 tahun (Lester et al., 2015). Di Indonesia dan Bali, sebagian besar kasus
karsinoma payudara terdiagnosis pada rentang usia 35-44 tahun (DitYanMed,
2006; DitYanMed, 2011).
2.1.3 Derajat Histologis Karsinoma Payudara
Diagnosis pada karsinoma payudara berdasarkan tipe histologis saja tidak cukup
untuk menentukan terapi akhir. Oleh karena itu, dibuatlah sistem derajat
histologis, oleh karena baik dalam menentukan diagnostik dan terapeutik.
Karsinoma payudara dengan derajat histologis baik umumnya memiliki prognosis
yang baik, sedangkan tumor-tumor derajat histologis buruk akan berkembang
cepat dan memiliki prognosis yang kurang baik.
Derajat histologis karsinoma payudara ini dinilai berdasarkan sistem
Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-
Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham
Grading System. Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan tiga
karakteristik tumor yaitu formasi tubular (kelenjar), pleomorfisme inti sel, dan
hitung mitosis. Sistem ini menggunakan skor 1 sampai skor 3 yang dinilai secara
individual pada tiap faktor (Tabel 2.1) (Ellis et al., 2012).
Formasi tubular dinilai dari jumlah persentase struktur gambaran glanduler
atau kelenjar yang jelas menunjukkan adanya lumen di tengahnya. (Ellis et al.,
2012). Seluruh bagian tumor ditinjau dengan lapangan pandang kecil. Ambang
13
batas yang dipakai adalah 10% dan 75%. Skor 1 apabila mayoritas tumor
memiliki struktur tubular dan kelenjar sebanyak > 75%, skor 2 bila tumor
mengandung struktur tubular dan kelenjar sebanyak 10-75%, sedangkan skor 3
bila tumor mengandung struktur tubular sebanyak < 10% disajikan dalam gambar
2.1 (Anonim, 2005; Hoda et al., 2014).
Gambar 2.1 Gambaran derajat histologis dari karsinoma payudara invasif. A. Derajat histologis rendah dengan bentukan kelenjar yang terbentuk dengan baik. B. Derajat histologis sedang dengan pola pertumbuhan kelenjar yang kompleks.
C.Derajat histologis buruk dengan pola pertumbuhan solid, arsitektur nonglanduler. (Hoda et al., 2014).
Pleomorfisme inti sel dinilai dari regularitas ukuran inti dan bentuk sel epitel,
dimana peningkatan iregularitas membran inti dan rasio inti/sitoplasma menjadi
tanda bertambahnya skor pleomorfisme inti sel (Ellis et al., 2012). Dimulai dari
nilai skor 1 sampai 3. Skor 1 bila inti hampir serupa ukurannya (<1,5 kali dari sel-
14
sel epitelial payudara normal), batasnya regular, kromatin inti uniform, beberapa
kasar, sedikit variasi bentuk dan ukurannya (pleomorfia inti yang minimal), dan
anak inti tidak tampak jelas. Dikatakan skor 2 apabila sel lebih besar daripada sel
normal, inti membesar (1,5-2 kali ukuran inti sel-sel epitelial normal) terdapat
variasi yang sedang dalam ukuran dan bentuknya (pleomorfia inti ringan sampai
sedang), inti open vesikular, dan anak inti terlihat namun kecil dan tidak nyata.
Dan skor 3 bila inti semakin membesar (>2 kali ukuran inti sel epitel normal),
ukuran dan bentuknya sangat bervariasi (pleomorfia inti berat), biasanya dengan
bentuk bizarre dan sangat besar, kromatin inti vesikular, sering dengan anak inti
yang sangat jelas terlihat disajikan dalam gambar 2.2 (Anonim, 2005; Hoda et al.,
2014).
Gambar 2.2 Gambaran inti dari karsinoma payudara invasif. A. Derajat rendah dengan inti kecil. B. Derajat sedang. C. Derajat tinggi dengan pleomorfik inti
yang memiliki nukleolus yang prominen. (Hoda et al., 2014).
15
Hitung mitosis dilakukan dimulai dari bagian tepi tumor dan bila terdapat
heterogenesitas maka daerah yang dihitung adalah yang paling banyak
mengandung mitosis (Ellis et al., 2012). Penghitungan mitosis dinilai dengan
menghitung jumlah mitosis per 10 lapang pandang besar mikroskop atau High
Power Field (HPF) dengan pembesaran 400x. Cut-off point untuk skor mitosis
tergantung dari besarnya area lapang pandang objektif masing-masing mikroskop,
sehingga perlu mengkalibrasi mikroskop dengan ukuran diameter dari lapang
pandang besar (objektif 40x) disajikan dalam gambar 2.3 (Colditz and Chia,
2012).
Gambar 2.3 Hitung skor mitosis berdasarkan luas lapang pandang besar mikroskop (Colditz and Chia, 2012).
16
Skor dari ketiga penilaian tersebut dijumlahkan menghasilkan total skor
dengan rentang 3-9, kemudian dikatakan derajat histologis 1 atau baik bila skor
yang didapat adalah 3-5, derajat histologis 2 atau sedang bila total skor yang
didapat adalah 6-7 sedangkan derajat histologis 3 atau buruk bila total skor yang
didapat 8-9 (disajikan dalam tabel 2.1 dan gambar 2.4) (Lester et al., 2015;
Colditz and Chia, 2012; Hoda et al., 2014).
Tabel 2.1 Metode semi-kuantitatif penilaian derajat histologis karsinoma payudarainvasif (Ellis et al., 2012).
Gambaran Skor
Bentukan tubular dan kelenjar
Pada mayoritas tumor (> 75%)
Derajat sedang (10-75%)
Sedikit atau tidak ada (<10%)
1
2
3
Pleomorfia inti
Sel-sel uniform, kecil, pleomorfia inti ringan
Peningkatan sedang dalam bentuk dan ukuran (pleomorfia
sedang)
Bentuk sangat bervariasi (pleomorfia berat)
1
2
3
Hitung mitosis
Tergantung dari luas lapang pandang besar mikroskop Lihat nilai pada
gambar 2.3
Derajat akhir
Dijumlah semua skor dari bentukan kelenjar, pleomorfia inti
sel, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar
Derajat histologis I : total skor 3 – 5
Derajat histologis II : total skor 6 – 7
Derajat histologis III : total skor 8 – 9
17
Gambar 2.4 Derajat histologis karsinoma payudara invasif Modified Bloom-Richardson Histologic Grading (Hoda et al., 2014).
Gambar 2.5 Gambaran karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III (Lester, 2010)
18
2.1.4 Stadium Karsinoma Payudara
Sistem stadium karsinoma payudara yang dipergunakan adalah sistem TNM dari
American Joint Committee on Cancer (AJCC) berdasarkan evaluasi terhadap
tumor (T), keterlibatan kelenjar getah bening (N), dan metastasis jauh (M) (Ellis
et al.,2012). Kategori T, N, dan M dikombinasikan untuk membuat 5 stadium
yaitu stadium 0, I, II, III, dan IV yang memberikan informasi tentang keadaan
penyakit ( ukuran tumor, invasi kulit atau dinding dada, dan keterlibatan kelenjar
getah bening) serta metastasis jauh. Gambaran ini digunakan untuk
mengklasifikasikan penderita karsinoma payudara kedalam kelompok prognosis
demi kepentingan pengobatan, konseling, dan uji klinis (Ellis et al.,2012; Moelans
and Diest, 2012).
Stadium karsinoma payudara berdasarkan AJCC yaitu :
Stadium 0 : Ductal carcinoma in situ (DCIS) atau Lobular carcinoma in situ
(LCIS); harapan hidup 5 tahun adalah 93%.
Stadium I : Karsinoma invasif dengan ukuran 2 cm atau kurang tanpa
terkenanya kelenjar getah bening dan tanpa metastasis jauh;
harapan hidup 5 tahun adalah 88%.
Stadium II : Karsinoma invasif dengan ukuran 5 cm atau kurang disertai
metastasis ke kelenjar getah bening aksila yang tidak terfiksasi
dan tanpa metastasis jauh atau karsinoma invasif dengan ukuran
lebih dari 5 cm tanpa metastasis ke kelenjar getah bening atau
tanpa metastasis jauh; harapan hidup 5 tahun adalah 74-81%.
19
Stadium III : Karsinoma invasif dengan ukuran lebih dari 5 cm dengan
metastasis ke kelenjar getah bening atau karsinoma invasif ukuran
berapapun dengan metastasis ke kelenjar getah bening yang
terfiksir; atau karsinoma yang menginvasi dinding dada, kulit,
edema, serta beradang, jika tidak ditemukan metastasis jauh;
harapan hidup 5 tahun adalah 41-67%.
Stadium IV : Karsinoma invasif ukuran berapapun dengan metastasis ke tempat
jauh (termasuk kelenjar getah bening supraklavikula ipsilateral);
harapan hidup 5 tahun adalah 15% (Moelans and Diest, 2013).
2.1.5 Karsinogenesis
Penyebab karsinoma payudara berhubungan erat dengan faktor genetik dan
pengaruh hormonal (Lester et al., 2015). Pada literatur lain dikatakan faktor diet,
faktor hormonal dan reproduksi, serta faktor terpapar radiasi juga ikut
berpengaruh (Colditz and Chia, 2012). Sebagian besar perubahan genetik
berperan dalam pertumbuhan karsinoma payudara di mana riwayat keluarga
dengan karsinoma payudara akan lebih berisiko. Faktor hormonal dan reproduksi
yang mempengaruhi antara lain meliputi usia pertama kali menstruasi,
nulliparitas, usia saat kelahiran anak pertama, tidak menyusui, usia menopause,
dan penggunaan kontrasepsi oral. Sedangkan faktor diet berupa peningkatan berat
badan pada wanita postmenopause, westernized diet, kurangnya olahraga,
kurangnya asupan buah dan sayuran, merokok serta alkohol (Colditz and Chia,
2012).
20
Adanya mutasi gen BRCA 1 pada kromosom 17q21.3 dan mutasi gen BRCA
2 pada kromosom 13q12-13 pada beberapa kasus menunjukkan bahwa mutasi ini
sangat berpengaruh. Kedua gen ini berperan dalam repair DNA sebagai gen
supresor karena inaktif atau defek keduanya germ line mutation dan somatic
mutation. Mutasi yang mempengaruhi proto-onkogen dan gen penekan tumor di
epitel payudara ikut serta dalam proses transformasi onkogenik. Di antara
berbagai mutasi tersebut ekspresi berlebihan proto-onkogen ERBB2 atau HER-
2/neu mengalami amplifikasi pada 30% kanker payudara. Ketidakseimbangan
hormon sangat berperan terhadap pertumbuhan karsinoma payudara. Banyak
faktor risiko yang telah disebutkan nuliparitas, usia subur yang lama, usia lanjut
saat memiliki anak pertama menunjukkan peranan kadar estrogen terhadap risiko
karsinoma payudara. Reseptor estrogen dan progesteron secara normal terdapat di
epitel payudara berinteraksi dengan promotor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh
sel kanker payudara untuk menciptakan mekanisme autokrin perkembangan tumor
(Lester et al., 2015).
Beberapa gen yang terlibat dalam karsinogenesis payudara adalah gen
penekan tumor yaitu BRCA1, BRCA2, dan gen P53 serta onkogen yang terdiri
dari gen HER2, gen apoptosis, gen reseptor steroid (Estrogen Receptor dan
Progesteron Receptor), gen adhesi sel dan invasif, serta gen angiogenesis.
Apoptosis diperlukan untuk menghancurkan sel-sel dengan kerusakan DNA atau
sel-sel yang telah menjadi sel kanker. Beberapa onkogen seperti Bax dan Bcl2, c-
myc dan P53 terlibat dalam pengaturan sinyal proapoptosis dan anti apoptosis
yang dikontrol oleh beberapa gen. Bcl2 mengatur pelepasan protein mitokondria
21
seperti sitokrom. Sitokrom c berikatan dengan faktor lainnya untuk membentuk
kompleks aktivasi disebut apoptosom. Apoptosom yang aktif akan mengaktifkan
caspase yang akhirnya akan menyebabkan apoptosis. Hormon-hormon steroid
juga dikenal dapat menyebabkan up-regulation atau down-regulation apoptosis
dengan jalan mengontrol kematian sel yang dimediasi P53 (Boder, 2013).
Perubahan genetik dan epigenetik yang diperlukan untuk karsinogenesis
menimbulkan perubahan morfologi yang dikenali sebagai lesi payudara, yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko perkembangan kanker. Perubahan awal
tersebut adalah perubahan proliferatif, yang berasal dari hilangnya sinyal
menghambat pertumbuhan, menyimpangan kenaikan sinyal pro-pertumbuhan,
atau penurunan apoptosis. Selama perkembangan tumor, klonal ganas menjadi
abadi dan memperoleh kemampuan pembentukan neo-angiogenesis. Gambaran
morfologi dan biologis karsinoma biasanya terbentuk pada tahap insitu, karena di
sebagian besar kasus lesi insitu mirip karsinoma invasif yang menyertai. Langkah
akhir dari karsinogenesis adalah perubahan lesi insitu menjadi karsinoma invasif
(Lester et al., 2015).
Berdasarkan jalur molekular terdapat tiga jalur utama dalam perkembangan
kanker payudara (Gambar 2.6). Jalur yang terbanyak adalah terjadinya karsinoma
ER positif, HER2 negatif. Terjadi pada penderita dengan mutasi germline
BRCA2. Jalur ini berhubungan dengan delesi kromosom 16q dan penambahan
kromosom 1q serta aktivasi mutasi PIK3CA. Lesi prekursor yang sering
ditemukan adalah flat epithelial atypia dan atypical hyperplasia. Jalur kedua yaitu
karsinoma HER2 positif. Ditemukan pada penderita dengan mutasi germline TP53
22
dan terjadi amplifikasi gen HER2. Lesi prekursor yang ditemukan adalah atypical
apocrine adenosis. Jalur yang paling jarang adalah karsinoma ER dan HER2
negatif. Pada karsinoma ini lesi prekursor tidak jelas, kemungkinan karena
perkembangan lesi yang sangat cepat menjadi karsinoma. Sering ditemukan pada
penderita dengan mutasi germline BRCA1, sedangkan pada tumor sporadic
terjadi mutasi pada TP53 (Tamaki et al., 2013; Lester et al., 2015).
Gambar 2.6 Jalur utama perkembangan kanker payudara (Lester, 2015).
2.2 Tumor microenvironment
Solid tumor merupakan “organ like structure” terdiri atas sel tumor dan stromal.
Pada dekade terakhir, penelitian tentang tumor microenvironment (TME)
berkembang dengan pesat (Scully et al., 2012). Tumor microenvironment terdiri
dari sel stromal, sel sistem imun dan inflamasi, faktor pertumbuhan, jaringan
pembuluh darah dan limfe, serta matriks ekstraseluler (ECM). Pada keadaan
normal jaringan stroma memiliki kemampuan sebagai pertahanan terhadap
23
keganasan melalui mekanisme supresi respon imun dan menekan proses
karsinogenesis. Akan tetapi sel karsinoma dapat merubah dan memodulasi
lingkungan mikro di sekitar tumor untuk mendukung pertumbuhan dan sifat
progresivitas tumor melalui sekresi berbagai sitokin, kemokin, dan faktor
pertumbuhan serta enzim-enzim proteinase. Stroma akan menjadi reaktif terhadap
stimulus dari sel-sel karsinoma (Li et al., 2007; Rohan et al., 2014).
Sel-sel epitelial dapat juga berkonversi menjadi sel-sel mesenkimal melalui
proses yang dikenal sebagai epithelial-mesenchymal transition (EMT). EMT dan
proses sebaliknya, mesenchymal-epithelial transition (MET), meregulasi stadium
awal pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Reaktivasi EMT pada masa
lanjut dianggap sebagai upaya fisiologis untuk mengontrol inflamasi dan
memulihkan jaringan yang rusak. EMT juga terlibat dalam proses patologis
seperti fibrosis dan karsinoma. Perkembangan dan patologikal EMT
dilambangkan oleh berbagai spektrum perubahan morfologi, ekspresi gen, dan
jalur-jalur sinyal (Lee and Nelson, 2012).
2.2.1 Sel Epitelial dan Mesenkimal
Sel-sel epitelial dan mesenkimal dikarakteristikkan oleh keunikan fenotip dan
morfologi masing-masing. Gambaran perbedaan antara keduanya disajikan dalam
gambar 2.7. Sel epitelium yang tipikal adalah lembaran sel yang dihubungkan
dengan kompleks junctional yang spesifik antar selnya, meliputi tight junctions,
adherens junctions, desmosomes, dan gap junctions. Lembaran epitelial
menunjukkan karakteristik terpolarisasi dengan pola apical-basal dan normalnya
24
berhubungan erat dengan sel tetangganya, sehingga menghambat potensi
pergerakan dan disosiasinya dari lembaran sel (Lee and Nelson, 2012).
Sebaliknya, sel-sel mesenkimal tidak membentuk lembaran sel yang reguler
dan tidak memiliki kompleks adesi interseluler spesifik. Sel ini memiliki bentuk
yang relatif elongated dibandingkan sel epitelial dan menunjukkan polaritas end-
to-end dan adesi fokal. Hal ini meningkatkan kapasitas migrasinya. Sel-sel
mesenkimal bermigrasi dengan mudah di dalam jaringan secara individual
ataupun bersama-sama membentuk untaian (Lee and Nelson, 2012).
Gambar 2.7Gambaran umum sel-sel epitelial dan mesenkimal (Lee and Nelson, 2012).
2.2.2 Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT)
Epithelial-mesenchymal transition dideskripsikan sebagai perubahan cepat serial
pada fenotip seluler. Selama EMT, sel-sel epitelial mengubah struktur perlekatan
25
sel dan polaritasnya sehingga menjadi terisolir, motil, dan resisten terhadap
kematian sel. Istilah EMT sering diaplikasikan pada peristiwa-peristiwa biologis
bagaikan sebuah proses yang terlindung, akan tetapi kenyataannya, proses yang
berhubungan dengan EMT dapat bervariasi dalam intensitas mulai dari kehilangan
polaritas sel yang tersamar sampai pemrograman ulang sel secara total
(Klymkowsky and Savagner, 2009).
Epithelial-mesenchymal transition dapat diklasifikasikan dalam tiga subtipe
(Gambar 2.8). Tipe 1 EMT melibatkan transisi dari sel epitel primordial ke sel
motil mesenkimal dan berhubungan dengan generasi bermacam-macam jenis sel
selama perkembangan embrio dan organogenesis. Jenis ini tidak menyebabkan
fibrosis atau menginduksi invasi, dan dalam banyak kasus, sel-sel mesenkimal
yang dihasilkan kemudian menjalani MET yang selanjutnya menimbulkan epitel
sekunder. Tipe 2 EMT melibatkan transisi dari sel epitel sekunder untuk jaringan
fibroblas dan berhubungan dengan penyembuhan luka, regenerasi jaringan, dan
fibrosis organ (Lee and Nelson, 2012).
Berbeda dengan tipe 1, tipe 2 EMT diinduksi dalam menanggapi peradangan,
tetapi berhenti setelah peradangan dilemahkan, terutama selama penyembuhan
luka dan regenerasi jaringan. Selama jaringan fibrosis, tipe 2 EMT terus merespon
peradangan secara persisten, yang mengakibatkan kerusakan jaringan (Lee and
Nelson, 2012).
Tipe 3 EMT terjadi pada sel-sel karsinoma yang telah terbentuk sebagai
tumor padat dan berhubungan dengan transisi ke sel-sel tumor metastatik yang
memiliki potensi untuk bermigrasi melalui aliran darah, dan dalam beberapa kasus
26
membentuk tumor sekunder di tempat lain melalui MET. Selama tipe 3 EMT,
beberapa sel tetap mempertahankan sifat epitel sementara memperoleh
karakteristik mesenkimal dan sel-sel lainnya melepaskan karakteristik epitelnya
dan menjadi sepenuhnya mesenkimal (Lee and Nelson, 2012).
Gambar 2.8Berbagai jenis tipe EMT (Lee and Nelson, 2012).
Konversi epitelial menjadi mesenkimal memerlukan perubahan dalam hal
morfologi seluler, adesi, dan kapasitas migrasi. Berbagai marka biologis telah
dikemukakan untuk mengenali ketiga subtipe EMT (Tabel 2.2). Spektrum
perubahan yang terjadi selama EMT tidak selalu identik dan mungkin ditentukan
oleh integasi sinyal-sinyal ekstraseluler (Lee and Nelson, 2012).
27
Tabel 2.2 Kriteria mayor untuk mendeteksi EMT, termasuk marka-marka yang sudah ditegakkan, fenotip ((Lee and Nelson, 2012).
Marka Fenotip EMT
- Berbentuk spindel, fenotip fibroblast-like- Peningkatan motilitas dan kapasitas migrasi- Peningkatan resistensi terhadap kematian sel dan apoptosis- Mempertahankan fenotip ini setelah stimuls dihentikan
EMT Proteome
Protein yang menurun selama EMT- E-cadherin, ZO-1, mucin1, cytokeratin, occludin, desmoplakin,
collagen IV, laminin 1, MiR-200 familyProtein yang meningkat selama EMT
- Faktor transkripsi: Snail (Snai1/Snail1), Slug (Snai2/Snail2), ZEB1(TCF8/δEF1), ZEB2 (SIP1), E47 (TCF3), E2-2 (TCF4, Twist1,FOXC2
- Matrix metalloproteinases: MMP2, MMP3, MMP9- Protein permukaan sel: N-cadherin, OB-cadherin, α5β1 integrin, αVβ6
integrin, DDR2- Marka cytoskeletal: vimentin, fibronectin, αSMA, FSP1- Faktor transkripsi yang bertranslokasi dalam inti: β-catenin, NF-ƙB,
Smad 2/3- miRNA: miR 10b, miR-21x- HSP-47
Perubahan Minor
- Filamen intermediate dan mikrofilamen yang banyak- Hilangnya kondensasi kromatin berhubungan dengan adanya multipel
nukleoli- Granul lisosom yang berlimpah
Sinyal-sinyal yang Memicu EMT
- Faktor pertumbuhan dan sitokin: TGFβ, EGF, HGF, FGF- Komponen ECM melalui integrin- Protein Wnt, Notch- Hipoksia- ROS- Stres mekanik
28
2.3 Matriks Metalloproteinase (MMP)
2.3.1 Struktur, Jenis, dan Fungsi Umum MMP
Matriks metalloproteinase adalah kelompok endopeptidase yang tergantung pada
zinc. Protein ini terlibat dalam degradasi matriks ekstraselular, serta berperan
penting pada proses fisiologis maupun patologis. Pada keadaan fisiologis MMP
membantu proses morfogenesis, angiogenesis, dan perbaikan jaringan. Sementara
pada proses patologis, MMP terlibat pada terjadinya sirosis, arthritis dan
karsinoma (Yabluchanskiy et al., 2013; Gong et al., 2014). Jerome Gross dan
Charles Lapiere adalah orang yang pertama kali menemukan MMP pada
metamorfosis ekor kecebong di tahun 1962. Triple helix kolagen didegradasi jika
ekor kecebong ditempatkan pada matriks kolagen kecebong yang
bermetamorfosis (Loffek et al., 2011; Ansari et al., 2013).
Matriks metalloproteinase mengandung beberapa komponen dengan fungsi
yang berbeda-beda berupa :
1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif.
Domain ini mengandung “Cystein switch” yakni residu cystein unik dan
selalu terjaga, yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat
aktivasi enzim, bagian ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara
intraseluler atau MMP lainnya dan protease serin secara ekstraseluler.
2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion
Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini
berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan
berikatan dengan substrat.
29
3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur
atau bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi
untuk menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-C.
Bagian ini sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim.
4) Domain terminal-C yang menyerupai hemopexin
(hemopexin like - domain) merupakan domain yang rangkaiannya
menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida domain ini
tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar yang
disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar protein
dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP berinteraksi
pada area ini (Nagase et al., 2005; Ansari et al., 2013).
Berdasarkan struktur tersebut, MMP diklasifikasikan menjadi empat
kelompok yaitu archetypal MMPs, matrilysins, gelatinases dan furin-activatable
MMPs. Archetypal MMPs terbagi lagi menjadi tiga kelompok kecil sesuai dengan
kandungan subsrat spesifiknya yaitu kolagenase, stromelysin, dan kelompok
lainnya. Matrilysins merupakan kelompok MMP yang tidak memiliki hemopexin
domain. Sementara gelatinases mengandung struktur fibronectin berulang di
dalam catalytic domain-nya dimana MMP-2 (Gelatinase A) dan MMP-9
(Gelatinase B) termasuk didalamnya. Kelompok furin-activatable mengandung
furin recognition motif termasuk diantaranya secreted, membrane type dan type II
transmembrane (Nagase et al., 2005; Gong et al., 2014).
Aktivitas MMP megalami regulasi ketat pada berbagai tingkat sebelum
menjadi bentuk aktif. Regulasi ini terjadi baik pada tingkat mRNA maupun
30
aktivasi protein melalui aktivator dan inhibitornya serta berbagai sel di lingkunagn
sekitar tumor. Seperti misalnya MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik mengalami regulasi melalui interaksi antara sel tumor dengan
lingkungan mikro di sekitarnya seperti sel stroma, sel endotel, makrofag, maupun
sel radang neutrofil. Sudah sangat diakui peranan sel radang seperti makrofag,
neutrofil, sel mast sel dendritik, dan sel T pada inisiasi dan progresi tumor. Sel
tumor ini mampu menghasilkan faktor-faktor pro-inflamasi dan MMP berperan
pada progresivitas tumor (Deryugina dan Quigley, 2006). Co-culture sel tumor
dengan sel stroma secara in vitro mampu meningkatkan ekspresi pro-MMP-9 di
sel tumor dan menekan regulasi inhibitornya (TIMPs) di sel stroma. Co-culture sel
tumor dengan sel endotel juga mampu meningkatkan ekspresi MMP-9 serta
meningkatkan kemampuan invasi sel tumor melalui peningkatan sekresi IL-6 oleh
sel endotel. Sitokin dan faktor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh sel tumor,
endotel dan sel radang di lingkungan mikro tumor bersama-sama meregulasi
ekspresi MMP-9, baik melalui jalur autokrin maupun parakrin (Gong et al., 2014).
Fungsi fisiologis MMP tampak signifikan selama perkembangan embriogenik
di mana MMP memegang peranan penting pada proses remodeling ECM yang
merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Secara
sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis
normal (Gambar 2.9), yaitu:
1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM
2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM
31
3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan
langsung, pelepasan dari simpanan, atau memodulasi aktivitas
penghambatnya.
Gambar 2.9 Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal
(Ansari et al., 2013).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketidakseimbangan antara aktivasi
dan inhibisi mengarahkan MMP pada kondisi patologis seperti misalnya
keganasan. Pada kondisi ini MMP dihasilkan langsung oleh sel tumor maupun sel
fibroblast pada stroma dan sel makrofag melalui rangsangan sel tumor (Gialeli et
al., 2010; Kumar et al., 2015). Selanjutnya MMP akan menyebabkan degradasi
komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial yang tersusun
atas kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Proses metastasis suatu karsinoma
32
diawali oleh interaksi antara sel tumor dengan ECM. Pertama-tama sel tumor
harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan ikat,
dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis
pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami
ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis
dan merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya
perubahan interaksi sel tumor , degradasi ECM, perlekatan ke komponen ECM,
dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2015).
Tahap pertama proses invasi yaitu disosiasi sel terjadi karena kelainan
molekul adhesi interseluler seperti E-cadherins yang menyebabkan perlekatan
antar sel berkurang sehingga sel mudah terlepas dari tumor primer dan meluas ke
jaringan sekitarnya. Tahap kedua berupa proses degradasi lokal membran basalis
dan jaringan ikat interstisial. Proses ini melibatkan enzim proteolitik seperti MMP
yang dapat disekresikan langsung dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel
stroma seperti fibroblast dan sel inflamasi. Protease lain yang juga disekresikan
yaitu cathepsin D dan urokinase plasminogen activator. Untuk mengatur invasi
tumor, MMP bukan hanya mengubah komponen yang tidak larut pada membran
basalis dan matriks interstisial, tetapi juga melepaskan growth factor yang
disimpan ECM seperti misalnya VEGF (Deryugina and Quigley, 2006; Bouchet
et al., 2014; Kumar et al., 2015).
2.3.2 Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9)
Matriks metalloproteinase-9 dikenal sebagai enzim metallo-multidomain yang
mampu mendegradasi matriks ekstraselular selama proses invasi dan metastasis.
33
Secara struktural MMP-9 termasuk dalam kelompok gelatinase B dengan catalytic
site tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh
ulangan tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi substrat besar seperti elastin
dan penghancuran kolagen (Gambar 2.10) (Patil and Kundu, 2006). Dalam regio
ini, asam amino Asp309, Asn319, Asp232, Tyr320 dan Arg3076 penting untuk
pengikat gelatin. Catalytic site tetap dipertahankan dalam bentuk tidak aktif oleh
amino-terminal pro-peptide PRCGXPD, dengan koordinasi cysteine bersama
katalitik Zn2+. Ujung terminal COOH dari MMP-9 mengandung domain
hemopexin yang mengatur ikatan dengan substrat, berinteraksi dengan inhibitor
dan membantu ikatan ke permukaan sel. Domain O-glycosylated sentral
memberikan fleksibilitas molekuler, mengatur spesifisitas substrat MMP-9 invasi
yang bergantung MMP-9, interaksi dengan TIMP dan lokalisasi permukaan sel.
Domain ini membantu pergerakan MMP-9 sepanjang substrat makromolekuler
dan melepaskan ikatan kolagen sebelum dipecahkan oleh enzim lainnya (Loffek et
al., 2011; Farina and Mackay, 2014).
Gambar 2.10 Struktur MMP-9 (Gelatinase B) (Loffek et al., 2011)
Matriks metalloproteinase-9 dihasilkan baik oleh sel tumor maupun sel di
sekitar lingkungan tumor seperti sel fibroblast di stroma, sel endotelial, sel
34
polimorfonuklear (PMN), keratinosit, makrofag dan beberapa sel epitel (Verma
and Hansch, 2006; Loffek et al., 2011). Akibatnya aktivasi dan produksi MMP-9
atau gelatinase B sangat dipengaruhi oleh interaksi komponen tersebut di atas.
Selain fungsinya dalam proses metastasis, MMP 9 juga memainkan peran penting
pada proses fisiologis seperti penyembuhan luka. Inhibisi terhadap aktivitas
enzimatik MMP-9 dilakukan oleh inhibitor protease sistemik α2-makroglobulin,
anggota famili TIMP dan antagonis terhadap domain hemopexinnya sendiri
(Vempati et al., 2007; Farina and Mackay, 2014; Gong et al, 2014). Mekanisme
yang menyebabkan ketidakseimbangan antara MMP-9 dan TIMP terutama TIMP-
1 mengarahkan MMP-9 untuk terlibat dalam proses patologis tumor (Gialeli et al.,
2010; Farina and Mackay, 2014).
Saat ini diketahui MMP-9 bukan hanya memiliki kemampuan dalam
mendegradasi kolagen tipe IV, komponen utama dari membran basalis epitel dan
vaskuler; fibronektin dan gelatin yang memegang peranan penting dalam proses
invasi dan metastasis, namun juga memiliki potensi pro-onkogenik antara lain
transformasi neoplastik, inisiasi tumor dan instabilitas genetik. MMP-9 dapat
menempati inti sel, meskipun memiliki sinyal lokalisasi inti klasik yang rendah
dan aktivitas gelatinase inti menyatu dengan peningkatan fragmentasi DNA.
Gelatinase inti ini mendegradasi matriks protein inti yaitu PARP (poly-ADP-
ribose-polymerase) dan menghindarkannya dari proses perbaikan DNA (Gialeli et
al., 2010; Farina and Mackay, 2014).
Matriks metalloproteinase-9 dan TIMP-1 terekspresi dalam jumlah besar di
dalam berbagai tipe sel dan disekresikan dalam bentuk komplek pro-MMP-
35
9/TIMP-1. Lingkungan tumor yang mengandung sel tumor, stroma, dan elemen
radang memberikan kontribusi dalam menjaga stabilitas kompleks tersebut.
Infiltrasi neutrofil pada tumor menyebabkan keluarnya MMP-9 yang tidak terikat
TIMP dan memfasilitasi perubahan sifat sel tumor (Gambar 2.11) (Gialeli et al.,
2010; Farina and Mackay, 2014; Vandooren et al., 2013).
Gambar 2.11 Peranan MMP-9 yang tidak terikat TIMP yang berasal dari sel radang PMN sel tumor dalam inisiasi tumor dan promosi instabilitas genetik. melalui degradasi ECM, pelepasan dan aktivasi kemokin, sitokin, dan growth factor (Farina and
Mackay, 2014)
Peranan MMP-9 yang berasal dari sel radang neutrofil juga tampak pada
inisiasi adenoma intestinal. Ini dibuktikan oleh penurunan lesi adenoma sebanyak
40% pada heterozygous APC (APC-min) knockout mice yang mengalami
defisiensi MMP-9. Pada tumor hepar MMP-9 dilaporkan menginisiasi sel tumor
melalui pelepasan proteolitik dan aktivasi TGFβ dan VEGF. Sementara pada
epitel payudara manusia, MMP-9 meningkatkan ekspresi onkoprotein HER2/Neu,
36
menghambat apoptosis, dan menyebabkan transformasi fenotip sel normal di
mana ekspansi klonal sel ini merupakan langkah penting proses progresivitas
tumor (Farina and Mackay, 2014).
Stem cell niche merupakan lokasi spesifik dan unik yang mengatur jumlah,
self-renewal dan pembelahan stem cell baik pada sel normal maupun sel tumor.
Pada sel tumor stem cell niche ini mempengaruhi heterogenitas tumor, metastasis
dan resistensi terapi yang diregulasi oleh kondisi-kondisi di dalam tumor dan
didukung oleh stress yang berhubungan dengan tumor seperti misalnya hipoksia.
MMP-9 dikatakan berimplikasi terhadap perubahan perilaku stem cell niche dan
sumsum tulang. MMP-9 mendegradasi matriks ekstraselular stem cell niche
sehingga menyebabkan aktivasi dan mobilisasi stem cell hemopoetik. Hal ini
difasilitasi oleh perubahan bentuk stem cell terikat membran menjadi stem cell
bebas yang mampu meningkatkan promosi c-KIT terkait proliferasi sel. MMP-9
juga melepaskan stem cell prekursor sel endothelial dari sumsum tulang yang
berkontribusi dalam angiogenesis. Interaksi antara stroma-derived factor (SDF)-1
dan reseptor kemokin CXCR4 penting dalam fungsi sel progenitor dan induksi
ekspresi MMP-9 (Gong et al., 2014 ).
Matriks metalloproteinase-9 juga dikenal sebagai gen penting yang
berhubungan dengan proses transisi EMT dan sekaligus menjadi penyebab EMT
(Gambar 2.12) (Gialeli et al., 2010). Ini merupakan proses perubahan sel epitel
yang tidak dapat bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak. Proses
ini penting pada pertumbuhan (tipe 1), penyembuhan luka normal atau fibrosis
patologis (tipe 2) dan proses metastasis sel karsinoma (tipe 3). Sel EMT tipe 3
37
fundamental untuk progresi tumor menjadi metastasis, dan baik reaktivasinya
dalam dehistologis sel karsinoma maupun aktivasi dalam stem cell, mampu
menginduksi fenotip dan motilitas sel karsinoma menjadi invasif (Farina and
Mackay, 2014).
Gambar 2.12 Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9
(Farina and Mackay, 2014)
2.3.3 Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9 / Gelatinase) dan Peranannya
pada Karsinoma Payudara
Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik
terlibat pada semua tahap progresivitas sel kanker mulai dari proliferasi,
angiogenesis, apoptosis, epithelial-mesenchymal transition (EMT), dan metastasis
(Gong et al., 2014). Matriks metalloproteinase-9 ini juga mampu mendegradasi
matriks ekstraselular dari stem cell niche yang mengakibatkan terjadinya
38
perubahan bentuk stem cell niche menjadi bentuk bebas, dan selanjutnya
meningkatkan promosi c-KIT yang terkait dengan proliferasi sel. Proses
angiogenesis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dipicu melalui
mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks penyimpanannya. Proses
ini difasilitasi oleh MMP-9 yang tidak terikat TIMP-1 yang sekaligus mampu
melepaskan faktor pertumbuhan FGF dan VEGF dari matriks. Proses metastasis
dimudahkan oleh kemampuan sel tumor untuk berubah dari bentuk sel epitel yang
tidak mampu bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak (EMT).
Matriks metalloproteinase-9 dikatakan juga terlibat pada proses ini (Farina dan
Mackay, 2014).
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti hubungan
dan peranan MMP-9 pada karsinoma payudara. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Irianiwati et al. (2012) terhadap 50 kasus karsinoma payudara, dilakukan
pulasan MMP-9 untuk menilai perburukan derajat histologisnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekspresi MMP-9 berbeda bermakna pada derajat tinggi
dibandingkan derajat rendah, di mana ekspresi tinggi MMP-9 ditemukan pada
karsinoma payudara derajat tinggi (Irianiwati et al., 2012).
Penelitian serupa dilakukan oleh Yousef et al. terhadap 200 kasus karsinoma
payudara yang dibagi menjadi tiga derajat histologis. Penghitungan ekspresi
MMP-9 dilakukan secara semi kuantitatif berdasarkan presentase jumlah sel yang
terpulas positif dengan intensitas pewarnaan. Sel yang mengekspresikan MMP-9
akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma
(Gambar 2.12). Pada penelitian ini, sampel dibagi menjadi dua yaitu ekspresi
39
MMP-9 dengan tingkat rendah dan tingkat tinggi. Hasil dari penelitian ini
didapatkan ekspresi MMP-9 tingkat tinggi pada karsinoma payudara derajat tinggi
(Gambar 2.13) (Yousef et al., 2014).
Gambar 2.13Ekspresi MMP-9 pada jaringan payudara normal
A. Pulasan positif lemah MMP-9 pada kelenjar payudara normal yang terpulas pada sel epitel luminal dan myoepitel. Sel stromal di
sekitarnya tidak terpulas (pada 75% pasien) B. Pulasan positif lemah MMP-9 pada sitoplasma sel epitel luminal, myoepitel, dan sel stroma di antara asinus
jaringan payudara normal (Yousef et al.,2014).
Penelitian karsinoma payudara di negara Irak tahun 2015 yang dilakukan oleh
Mahmood dan kawan-kawan, menghubungkan antara ekspresi MMP-2 dan MMP-
9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada karsinoma payudara stadium II
dan III. Penelitian dilakukan dengan jumlah pasien sebanyak 64 orang. Hal ini
serupa dengan metode penelitian-penelitian sebelumnya. Didapatkan korelasi
yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan beberapa variabel
klinikopatologis, yaitu: stadium tumor, derajat histologis, tipe histologis, dan
status metastasis limfonodi (Mahmood et al., 2015).
Di Italia, penelitian ekspresi MMP-2 dan MMP-9 pada pasien-pasien dengan
karsinoma payudara, dilakukan dengan mengambil level plasmadari MMP
40
tersebut. Jadi, penilaian tidak didasarkan pada pewarnaan IHK. Penelitian
dilakukan terhadap 50 pasien karsinoma payudara dan 30 pasien fibroadenoma.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna ekspresi MMP-
9 plasma antara pasien-pasien dengan karsinoma dan fibroadenoma. Perbedaan
yang bermakna ekspresi MMP-9 plasma didapatkan pada pasien-pasien karsinoma
payudara bila ditinjau dari sudut pandang variabel derajat histologis (Vasaturo et
al., 2012).
Penelitian di India dengan 39 sampel kanker payudara dan 16 jaringan
payudara yang normal menunjukkan adanya peningkatan MMP-9 secara berbeda
pada jaringan kanker payudara dengan jaringan payudara yang normal. Dimana
tampak peningkatan ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara (Benson et al.,
2013).
Di Finlandia ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dianalisis secara imunohistokimia
dalam prospektif seri besar dari 421 pasien kanker payudara. MMP-9 terekspresi
dalam sitoplasma sel-sel ganas dan stroma. Ekspresi tinggi MMP dalam sel
karsinoma terkait stadium tumor, sedangkan ekspresi positif pada stroma
dikaitkan dengan faktor-faktor agresif. Evaluasi ekspresi MMP-9 menambahkan
informasi tentang prognosis kanker payudara (Pellikainen et al., 2014).
Hasil kontradiktif didapatkan oleh Wu dan kawan-kawan melalui
penelitiannya di Cina pada tahun 2014, mereka berusaha mencari signifikansi
antara ekspresi MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada 41
spesimen operasi mastektomi tanpa riwayat terapi sebelumnya (radioterapi dan
kemoterapi). Kasus-kasus dievaluasi dengan variabel tipe histologis, derajat
41
histologis, metastasis limfonodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan semua variabel penelitian
yang dievaluasi (Wu et al., 2014).
Sebagai kesimpulan, data-data yang dikumpulkan mendukung hipotesis
bahwa ekspresi MMP-9 berhubungan dengan derajat histologis. Namun tidak
dijelaskan apakah ada perbedaan bermakna antara tiap variabel
klinikopatologisnya.
42
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Progresivitas sel karsinoma erat kaitannya dengan kemampuan proliferasi, invasi,
serta metastasis. Pada karsinoma payudara tipe tidak spesifik, progresivitas sel
kanker secara histopatologis ditentukan berdasarkan sistem Nottingham Combined
Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom-Richardson Grading
System). Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan tiga karakteristik
tumor yaitu formasi tubular (kelenjar), pleomorfisme inti sel, dan jumlah mitosis.
Diagnosis pada karsinoma payudara berdasarkan tipe histologis saja tidak
cukup untuk menentukan terapi akhir dan memprediksi prognosis pasien. Oleh
karena itu, dibuatlah dengan sistem derajat histologis. Karsinoma payudara
dengan histologis baik umumnya memiliki prognosis yang baik, sedangkan
tumor-tumor derajat histologis buruk akan berkembang cepat dan memiliki
prognosis yang kurang baik.
Proses invasi serta metastasis melibatkan beberapa tahap salah satunya adalah
degradasi komponen matriks ekstraselular (ECM). Proses ini melibatkan suatu
protease utama yaitu matriks metalloproteinase (MMP), salah satunya adalah
MMP-9. Secara struktural MMP-9 termasuk dalam kelompok gelatinase B dengan
catalytic site tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site
oleh ulangan tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi kolagen tipe IV.
43
Matriks metalloproteinase-9 dihasilkan baik oleh sel tumor maupun sel di
sekitar lingkungan tumor seperti sel fibroblas di stroma, sel endotel pembuluh
darah, sel polimorfonuklear, keratinosit, makrofag, dan beberapa sel epitel
sehingga aktivasi dan produksinya sangat dipengaruhi oleh interaksi komponen
tersebut. Faktor pertumbuhan dan sitokin yang disekresikan oleh sel tumor,
stroma, dan sel radang di lingkungan mikro tumor bersama-sama dapat
meningkatkan ekspresi MMP-9 melalui jalur autokrin dan parakrin.
Selanjutnya MMP-9 yang berasal dari neutrofil meregulasi penarikan perisit,
apoptosis, pengambilan dan mobilisasi sumsum tulang yang mengandung
prekursor angiogenik ke stroma tumor sehingga meningkatkan proses angiogenik
dan vaskulargenik. Pada saat proses angiogenik oleh sel tumor terjadi, MMP-9
juga memicu tombol angiogenik melalui mobilisasi dan aktivasi mitogen
angiogenik dari matriks penyimpanannya. Selain itu MMP-9 mampu melepaskan
faktor pertumbuhan FGF dan VEGF, urokinase plasminogen activator (uPA),
serpin protease nexin-1 (PN-1) yang penting pada proses invasi dan angiogenesis.
Progresi tumor primer hingga menjadi tumor metastasis merupakan suatu
proses yang kompleks. MMP-9 memegang peranan penting pada hampir setiap
tahap proses progresivitas tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai penanda
penting progresivitas karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. Ekspresi
MMP-9 diduga berkaitan dengan derajat karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik berdasarkan sistem Nottingham Grading System yang ditelusuri pada
penelitian ini.
44
3.2. Konsep Penelitian
Bertolak dari kerangka berpikir di atas, maka dibuat konsep penelitian :
Gambar 3.1
Bagan Konsep Penelitian
Keterangan: : Variabel yang diteliti
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada
karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik.
2. Terdapat pengaruh ekspresi MMP-9 dalam menentukan faktor
karakteristik derajat histologis yang paling dominan.
MMP-9
Karsinoma Payudara Invasif
Tipe Tidak Spesifik
Derajat Histologis I
Derajat Histologis II
Derajat Histologis III
Skor Formasi Tubular
Skor Pleomorfia Inti
Skor Hitung Mitosis per 10 lapang pandang
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan
rancangan potong lintang (cross-sectional analytic study). Bagan rancangan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar dari 31 Agustus 2016 – 30 November 2016.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah gambaran mikroskopis dari bahan biopsi dan
operasi mastektomi penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik
derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF
46
Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan mikroskopis dari
bahan biopsi dan operasi mastektomi penderita karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa imunohistokimia
MMP-9 di Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi
4.4.1.1. Populasi target
Populasi penelitian ini adalah semua sediaan blok parafin dari penderita
karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang
diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi dan operasi mastektomi di Bali.
4.4.1.2. Populasi terjangkau
Populasi penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita karsinoma
payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa
secara histopatologi dari hasil biopsi dan operasi di Bagian/SMF Patologi
Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah sediaan blok parafin penderita karsinoma payudara
invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara
histopatologi dari hasil biopsi dan operasi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK
47
UNUD/RSUP Denpasar dari tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Juli 2016
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.3 Kriteria Inklusi
1. Sediaan blok parafin yang berasal dari bahan biopsi atau operasi payudara
yang mengandung cukup jaringan tumor karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dan memenuhi
kriteria karakteristik bentukan tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis per
10 lapang pandang besar mikroskop.
2. Sediaan blok parafin yang berasal dari bahan biopsi atau operasi karsinoma
payudara invasif tipe tidak spesifik yang belum mendapat radioterapi,
kemoterapi, dan terapi hormonal.
4.4.4 Kriteria Eksklusi
1. Sediaan dari sisa frozen section karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik.
2. Sediaan yang mengandung infiltrasi padat sel radang PMN neutrofil dan
makrofag.
3. Sediaan dari bahan biopsi dengan ukuran yang tidak mencukupi untuk
menentukan derajat histologisnya.
4. Blok parafin yang berjamur.
48
4.4.5 Besar Sampel
Pada penelitian ini besar sampel dihitung dengan rumus (Araoye, 2003):
n = Z α2PQ
d2
Keterangan:
n = besar sampel
P = prevalensi karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik pada penelitian
terdahulu
Q = 1-P
d = deviasi di populasi (15%)
α = tingkat kemaknaan 95% (Zα = 1,96)
Jumlah sampel (n) dihitung dengan rumus di atas. Di mana Zα2 yaitu 1,96 x 1,96
dikalikan dengan P sebesar 0,545, kemudian dikalikan oleh Q yaitu 1-P = 0,455.
Lalu dibagi dengan d2 yaitu 0,0225. Dan didapatkan hasil yang paling besar yaitu
42,34. Oleh karena adanya kemungkinan drop out/data blank, maka ditambahkan
10% sehingga sampel menjadi 42,34 + 4,234 = 46,57 dan dibulatkan menjadi 47
sampel. Jadi besar sampel keseluruhan dalam penelitian ini adalah 47 sampel.
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut :
a. Dari populasi sediaan blok parafin diadakan pemilihan sampel berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi.
49
b. Populasi terjangkau yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk
mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 47 sediaan.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel tergantung : - Ekspresi MMP-9.
- Karakteristik derajat histologis.
2. Variabel bebas : Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik
derajat histologis I, II, dan III.
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
1. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik adalah keganasan yang terjadi
pada sel-sel epitel duktuli payudara, terutama sel-sel dari terminal duct
lobular unit (TDLU) yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan
tumor ini tidak membentuk suatu pola tipe histologis tertentu.
Diklasifikasikan sebagai karsinoma invasif tipe tidak spesifik apabila
komponen gambaran tidak spesifiknya lebih dari 50% massa tumor dengan
pemeriksaan dari potongan yang representatif. Jika gambaran tidak spesifik
kurang dari 50% atau sekitar 10-49% dari massa tumor dan sisanya adalah
tipe spesifik maka disebut kelompok campuran yaitu campuran karsinoma
invasif tipe tidak spesifik dan tipe spesifik.
2. Karakteristik derajat histologis : karakteristik derajat histologis terdiri dari
formasi tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis. Masing-masing
50
karakteristik memiliki skor 1 sampai 3. Formasi tubular diamati dengan
mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 dengan pembesaran lemah
40 kali, dilihat seluruh lapang pandang. Skor 1 bila bentukan tubular lebih
dari 75%, skor 2 bentukan tubular 10%-75%, skor 3 bila bentukan tubular
kurang dari 10%. Penghitungan pleomorfia inti diamati dengan mikroskop
cahaya binokuler merk Olympus CX21 dengan pembesaran lemah 40 kali
sampai pembesaran kuat 400x dilihat seluruh lapang pandang. Skor 1 bila sel-
sel uniform, kecil, pleomorfia inti ringan, skor 2 bila peningkatan inti sedang
dalam bentuk dan ukuran dikatakan pleomorfia inti sedang, skor 3 bila bentuk
sangat bervariasi dikatakan sebagai pleomorfia inti berat. Penghitungan
mitosis diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21
dinilai dengan menghitung jumlah mitosis per 10 lapang pandang besar
mikroskop atau High Power Field (HPF) dengan pembesaran 400x.
Penghitungan dengan cara mencari massa tumor yang padat dan dinilai secara
random meaner. Skor 1 bila hitung mitosis ≤ 12 per 10 lapang pandang besar
mikroskop, skor 2 bila hitung mitosis 13-24 per 10 lapang pandang besar
mikroskop dan skor 3 bila hitung mitosis ≥ 25 per 10 lapang pandang besar
mikroskop (Colditz dan Chia, 2012).
3. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I : kelompok
keganasan payudara yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli payudara yang
ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak membentuk suatu
pola tipe histologik tertentu sesuai kriteria WHO tahun 2012 dengan skor
total derajat histologis bernilai 3, 4, atau 5 poin berdasarkan Nottingham
51
Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom-
Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham Grading
System (Colditz dan Chia, 2012).
4. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis II :
kelompok keganasan payudara yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli
payudara yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak
membentuk suatu pola tipe histologik tertentu sesuai kriteria WHO tahun
2012 dengan skor total derajat histologis bernilai 6 atau 7 poin berdasarkan
Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-
Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham
Grading System (Colditz dan Chia, 2012).
5. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis III :
kelompok keganasan payudara yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli
payudara yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak
membentuk suatu pola tipe histologik tertentu sesuai kriteria WHO tahun
2012 dengan skor total derajat histologis bernilai 8 atau 9 poin berdasarkan
Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-
Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham
Grading System (Colditz dan Chia, 2012).
6. Ekspresi MMP-9 adalah penilaian protein MMP-9 secara imunohistokimia
menggunakan Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam
kemudian secara semikuantitatif diamati dengan mikroskop cahaya binokuler
merk Olympus CX21 dimulai dari pembesaran lemah 40 kali untuk melihat
52
persentase sel tumor yang terpulas positif sampai pembesaran kuat 400 kali
untuk menilai intesitas pewarnaan pada sel yang terpulas positif. Sel yang
mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel
epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan
perkalian skor persentase sel yang terpulas positif dan intensitas
pewarnaannya. Berdasarkan persentase sel yang terpulas positif oleh MMP-9
maka dibagi menjadi skor 0-4 yaitu : 0 (tidak terwarnai), 1+ (1-10% sel
terpulas), 2+ (10-50% sel terpulas), 3+ (50-70% sel terpulas), dan 4+ (70-
100%). Berdasarkan intensitas warna coklat pada sel ganas yang
menunjukkan pulasan positif MMP-9 maka dibagi menjadi skor 0-3 yaitu : 0
(negatif), 1 (lemah), 2 (sedang) dan 3 (kuat). Skor persentase dari sel yang
terpulas positif kemudian dikalikan dengan skor intensitasnya, sehingga
didapatkan hasil perkalian 0-12 dan dibagi menjadi skor 0-4 yaitu tingkat
rendah dan skor 5-12 yaitu tingkat tinggi (Yousef et al.,2014). Pemeriksaan
imunohistokimia MMP-9 dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK
Universitas Udayana. Interpretasi ekspresi MMP-9 dilakukan oleh peneliti
dan 2 orang dosen pembimbing tanpa mengetahui data kliniko-patologi
pasien.
7. Ekspresi MMP-9 adalah imunoskor dari skor presentase sel yang dikalikan
dengan intensitas warna dan kemudian akan diuji analisis dengan Chi-square
test dan One-way Annova test.
8. Dari ketiga faktor derajat histologis yaitu formasi tubular, pleomorfia inti, dan
hitung mitosis akan diuji analisis dengan uji regresi logistik untuk
53
menentukan faktor mana yang paling dominan yang dipengaruhi oleh
ekspresi MMP-9.
4.6 Bahan Penelitian
1. Bahan pemeriksaan histopatologi berupa blok parafin dari bahan biopsi
dan operasi mastektomi pasien yang menderita karsinoma payudara
invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa
secara histopatologi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar, dan slide dengan pengecatan H&E.
2. Reagen pewarnaan Harris’s hematoksilin dan eosin.
3. Phosphate buffer saline (PBS).
4. Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam.
5. DAB (3,3’-diaminobenzidine).
6. Streptavidin Peroxidase.
7. Reagen pewarnaan Harris’s hematoksilin.
8. Alkohol 50% hingga alkohol absolut.
9. Xylol.
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Buku Registrasi Pemeriksaan Histopatologi Bagian/SMF Patologi
Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar tahun 2013 hingga 2016
untuk mencari data pasien yang menderita karsinoma payudara invasif tipe
54
tidak spesifik derajat histologis I, II, III dari 1 Januari 2013 sampai dengan
31 Juli 2016.
2. Mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21, untuk mengevaluasi
sediaan karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I,
II, III pulasan H&E, serta menilai ekspresi MMP-9.
3. Ocular micrometer lense model XY11.
4. Metode pulasan imunohistokimia MMP-9 menggunakan Monoclonal
Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam.
5. Mikrotom Leica RM 2125 dan Leica RM 2235.
6. Waterbath dan hot plate.
7. Gelas obyek merk Sail dan Sigma dengan ukuran lebar satu inchi, panjang
tiga inchi, dan tebal 1,2 mm.
8. Pipet mikro.
9. Staining jar.
10. Inkubator dan aluminium chamber.
11. Rotator.
12. Oven microwave.
4.8 Prosedur Penelitian
4.8.1 Cara Pengumpulan Data
1. Peneliti mencari sediaan penderita yang didiagnosis sebagai karsinoma
payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, III dari bahan biopsi
dan operasi mastektomi yang diperiksa secara histopatologis dari tanggal 1
55
Januari 2013 sampai dengan 31 Juli 2016 di Bagian /SMF Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai nomor-nomor di atas,
dikumpulkan, dievaluasi, dan dilakukan diagnosis ulang oleh peneliti dan dua
orang ahli Patologi Anatomi.
3. Apabila dalam proses penilaian ditemukan preparat yang sulit dievaluasi oleh
karena warna yang mulai pudar, maka akan dilakukan proses pewarnaan
kembali. Apabila preparat berjamur atau rusak, dilakukan pemotongan ulang
blok parafin dan dipulas dengan pulasan rutin menggunakan Harris’s
Hematoksilin dan Eosin. Prosedur pulasan H&E sesuai dengan prosedur
pulasan yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar.
4. Memilih preparat yang digunakan sebagai dasar untuk mencari blok parafin.
Preparat yang dipilih untuk pemeriksaan imunohistokimia MMP-9 adalah
preparat yang mengandung massa tumor terbanyak.
5. Peneliti mencari blok parafin yang sesuai dengan preparat yang dipilih dan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
6. Blok parafin dipotong setebal tiga µm dengan mikrotom untuk pulasan
imunohistokimia di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
7. Melakukan pulasan imunohistokimia MMP-9 dengan menggunakan metode
streptavidin biotin kompleks Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen,
Abcam.
56
8. Pemeriksaan pulasan imunohistokimia MMP-9 dilakukan oleh peneliti dan
dua orang ahli Patologi Anatomi.
9. Blok parafin yang sudah selesai diproses, dikembalikan ke Bagian /SMF
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah,
Denpasar.
10. Slide preparat H&E yang sudah selesai dinilai rediagnosis, dikembalikan ke
Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar.
11. Pencatatan dan pengumpulan data.
12. Analisis data.
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan
1. Prosedur pemeriksaan makroskopis dan pemilihan sampel menggunakan
prosedur yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, yaitu:
a. Identifikasi spesimen dan formulir.
b. Lakukan pemeriksaan bahan sesuai kaidah keilmuan.
c. Catat dan buat ilustrasi hasil pemeriksaan makroskopis tersebut pada form.
d. Jika sampel besar, lakukan pemilihan sampel sesuai kaidah keilmuan. Jika
sampel kecil, semua jaringan diproses.
57
2. Prosedur prosesing jaringan menggunakan prosedur yang rutin dikerjakan di
Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, yaitu:
a. Masukkan sampel ke dalam kaset-kaset jaringan, selanjutnya fiksasi
dengan formalin buffer 10% semalaman.
b. Pindahkan kaset-kaset jaringan ke dalam mesin tissue processor otomatis
(24 jam).
c. Keluar dari tissue processor, jaringan-jaringan tersebut selanjutnya.
diembedding dengan parafin cair dan dibiarkan memadat (menjadi blok
parafin).
d. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica RM 2125 dan Leica
RM 2235 dengan ketebalan empat μm.
e. Masukkan hasil potongan mikrotom ke dalam waterbath.
f. Tempelkan hasil potongan mikrotom di atas gelas obyek merk Sail Brand
dengan ukuran lebar satu inchi, panjang tiga inchi dan tebal 1,2 mm; yang
sudah diberi nomor lab dengan pensil kaca (menjadi preparat).
3. Prosedur pulasan H&E menggunakan prosedur pulasan yang rutin dikerjakan
di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
/RSUP Sanglah Denpasar, yaitu:
58
a. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak empat kali masing-
masing celupan selama tiga sampai lima menit.
b. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan kosentrasi menurun
menggunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, dan alkohol 50%,
masing-masing celupan selama tiga sampai lima menit.
c. Masukkan ke air selama 10 menit.
d. Rendam preparat dalam cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 –
15 menit.
e. Cuci dengan air selama 10 menit.
f. Celupkan dalam HCl 0,4% sebanyak satu sampai dua celup.
g. Cuci dengan air selama lima sampai 10 menit.
h. Celupkan dalam Lithium karbonat 5% sebanyak tiga celup.
i. Cuci lagi dengan air selama lima sampai 10 menit.
j. Rendam dalam larutan Eosin selama 15 detik sampai dua menit.
k. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat
mengunakan alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol 95%
masing-masing celupan selama tiga sampai lima menit.
l. Penjernihan dengan xilol sebanyak empat kali celupan, lama masing-
masing celupan selama tiga sampai lima menit.
m. Mounting menggunakan entelan dan preparat ditutup dengan kaca
penutup.
n. Beri label.
59
5. Prosedur pulasan imunohistokimia MMP-9 menggunakan prosedur pulasan
imunohistokimia yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK
Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, yaitu:
a. Dipotong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan
ketebalan tiga μm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah
dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar 1 inchi,
panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
b. Diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37o C selama 1 malam.
c. Dideparafinisasi dengan xylol, preparat dicelupkan ke dalam xylol
sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit.
d. Direhidrasi dengan alkohol bertingkat yaitu alkohol absolut 2 kali,
alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing 3 menit.
e. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit.
f. Diteteskan H2O2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh permukaan
jaringan selama 15 menit.
g. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit.
h. Dicuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masing-
masing selama 10 menit.
i. Direndam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di
dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan pemanasan
tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan pemanasan
sedang (50oC) selama 5 menit.
j. Dinginkan pada suhu kamar.
60
k. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
l. Teteskan 40 μl antibodi primer menggunakan antibody monoclonal
MMP-9 dari Abcam yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama
30 menit pada suhu kamar atau semalam pada suhu 40C.
m. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
n. Diteteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit.
o. Dicuci dengan BS sebanyak 2 kali, masing-masing 10 menit.
p. Diteteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit.
q. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
r. Diteteskan dengan reagen DAB selama 10 menit.
s. Dicuci dengan air mengalir.
t. Dipulas dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.
u. Dicuci dengan air mengalir.
v. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat yaitu alkohol 70%, alkohol 80%,
alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing selama 3 menit.
w. Dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit.
x. Ditutup dengan cover glass.
6. Dibuatkan pula pengecatan IHK untuk kontrol positif dan negatif.
7. Pemeriksaan IHK MMP-9 dikerjakan di laboratorium IHK bagian Patologi
Anatomi FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.
8. Pencatatan dan pengumpulan data.
9. Analisis data
61
4.8.3 Alur Penelitian
Skema alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2Alur Penelitian
62
4.9 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif.
2. Uji korelasi dengan uji chi square berdasarkan uji silang 3x2.
3. Uji korelasi dengan uji one way Annova bila berdistribusi normal atau uji
Kruskal-Wallis bila berdistribusi tidak normal.
4. Untuk mengetahui faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan
dalam menentukan ekspresi MMP-9 dilakukan uji regresi logistik.
5. Uji kemaknaan ditentukan pada p<0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai
Confident Interval (CI) 95%.
63
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan
rancangan potong lintang (cross-sectional study). Jumlah besar sampel sebanyak
47 sampel karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II,
dan III. Sampel tersebut terdiri dari 7 sampel derajat histologis I, 18 sampel
derajat histologis II, dan 22 sampel derajat histologis III. Subyek penelitian
berasal dari blok parafin bahan biopsi dan operasi mastektomi dari penderita
karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik yang diperiksa secara histopatologi
di bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari tanggal 1 Januari 2013 sampai 31 Juli
2016 yang kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia dengan MMP-9. Pada
penelitian ini, data usia dilakukan analisis deskriptif terlebih dahulu dan hasil
analisis deskriptif karakteristik sampel penelitian dan derajat histologis disajikan
pada Tabel 5.1, Tabel 5.2 dan Tabel 5.3.
Rentang usia pasien pada penelitian ini bervariasi yaitu mulai dari usia 30
tahun sampai 70 tahun dengan jumlah terbanyak pada rentang usia 40-49 tahun
baik pada derajat histologis I, II, maupun III (Tabel 5.1 dan Gambar 5.1).
64
Tabel 5.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Kelompok Usia dan Derajat Histologis
Usia Derajat histologis I
Derajat histologis II
Derajat histologis III
Total
30-39 Tahun 1 1 2 4
40-49 Tahun 4 3 11 18
50-59 Tahun 0 9 7 16
60-69 Tahun 2 4 2 8
70-79 Tahun 0 1 0 1
Jumlah 7 18 22 47
Gambar 5.1.Karakteristik Usia Subyek Penelitian
Rerata usia untuk keseluruhan kasus penderita karsinoma payudara invasif
tipe tidak spesifik dalam penelitian ini adalah 51,45±8,87 tahun, sedangkan rerata
usia untuk masing-masing derajat histologis yaitu derajat histologis I adalah
48,14±9,39 tahun dengan rentang usia 38 sampai 62 tahun, derajat histologis II
65
adalah 54,89±8,66 tahun dengan rentang usia 39 sampai 70 tahun, derajat
histologis III adalah 49,68±8,32 dengan rentang usia 30 sampai 69 tahun.
Tabel 5.2 Rerata Usia Sampel Penelitian
Variabel
Derajat Histologis
Seluruh derajat
I II III
Usia (tahun) 48,14±9,39 54,89±8,66 49,68±8,32 51,45±8,87
Tabel 5.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Derajat Histologis
Derajat Histologis Jumlah %
I 7 14,9
II 18 38,3
III 22 46,8
Berdasarkan diagnosis didapatkan sampel karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik derajat histologis I sebanyak 7 kasus (14,9%), derajat histologis II
sebanyak 18 kasus (38,3%), dan derajat histologis III sebanyak 22 kasus (46,8%)
seperti yang disajikan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Karakteristik Derajat Histologis
66
5.2 Ekspresi MMP-9
5.2.1 Ekspresi MMP-9 dengan Derajat Histologis
Pada penelitian ini didapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi Kasus berdasarkan Ekspresi MMP-9
Karakteristik Jumlah %
Skor Presentase Sel Ekspresi MMP-9
(0) 0%
(1) 1-10%
(2) 10-50%
(3) 50-70%
(4) 70-100%
0
2
8
10
27
0
4,3
17
21,3
57,4
Skor Intensitas Warna Ekspresi MMP-9
Skor 0 (negatif)
Skor 1 (lemah)
Skor 2 (sedang)
Skor 3 (kuat)
0
14
26
7
0
29,8
55,3
14,9
Penilaian Hasil Ekspresi MMP-9
Tingkat rendah
Tingkat tinggi
20
27
42,5
57,5
Hasil presentase sel pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil
sebagai berikut: tidak tampak ekspresi MMP-9 (skor 0) sebanyak 0 kasus (0%),
ekspresi MMP-9 1-10% (skor 1) sebanyak 2 kasus (4,3%), ekspresi MMP-9 10-
50% (skor 2) sebanyak 8 kasus (17%), ekspresi MMP-9 50-70% (skor 3)
sebanyak 10 kasus (21,3%), dan ekspresi MMP-9 70-100% (skor 4) sebanyak 27
67
kasus (57,4%). Hasil intensitas warna pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel
didapatkan hasil sebagai berikut: tidak terpulas MMP-9 (skor 0), intensitas lemah
(skor 1) sebanyak 14 kasus (29,8%), intensitas sedang (skor 2) sebanyak 26 kasus
(55,3%), dan intensitas kuat (skor 3) sebanyak 7 kasus (14,9%). Berdasarkan hasil
tersebut maka disimpulkan bahwa ekspresi MMP-9 tingkat rendah (yang bernilai
0–4) sebanyak 20 kasus (42,5%) dan ekspresi MMP-9 tingkat tinggi (yang
bernilai 5-12) sebanyak 27 kasus (57,5%).
Tabel 5.5 Penilaian Skor Presentase Sel Ekspresi MMP-9Berdasarkan Derajat Histologis
Skor Presentase Sel MMP-9 Derajat Histologis
I II III
Skor 0 (tidak terwarnai) 0 0 0
Skor 1 (1-10%) 0 2 0
Skor 2 (10-50%) 5 2 1
Skor 3 (50-70%) 2 3 5
Skor 4 (70-100%) 0 11 16
Jumlah 7 18 22
68
Tabel 5.6 Penilaian Skor Intensitas Warna Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat Histologis
Skor Intensitas Warna MMP-9 Derajat Histologis
I II III
Skor 0 (negatif) 0 0 0
Skor 1 (lemah) 3 6 5
Skor 2 (sedang) 4 9 13
Skor 3 (kuat) 0 3 4
Jumlah 7 18 22
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5.5 dapat dilihat skor presentase
sel ekspresi MMP-9 pada derajat histologis I didapatkan skor 0 sebanyak 0 kasus,
skor 1 sebanyak 0 kasus, skor 2 sebanyak 5 kasus, skor 3 sebanyak 2 kasus, dan
skor 4 sebanyak 0 kasus. Derajat histologis II didapatkan skor 0 sebanyak 0 kasus,
skor 1 sebanyak 2 kasus, skor 2 sebanyak 2 kasus, skor 3 sebanyak 3 kasus, dan
skor 4 sebanyak 11 kasus. Derajat histologis III didapatkan skor 0 sebanyak 0
kasus, skor 1 sebanyak 0 kasus, skor 2 sebanyak 1 kasus, skor 3 sebanyak 5 kasus,
dan skor 4 sebanyak 16 kasus. Sedangkan intensitas warna ekspresi MMP-9 pada
derajat histologis I didapatkan skor 0 (negatif) sebanyak 0 kasus, skor 1 (lemah)
sebanyak 3 kasus, skor 2 (sedang) sebanyak 4 kasus, dan skor 3 (kuat) sebanyak 0
kasus. Pada derajat histologis II didapatkan skor 0 (negatif) sebanyak 0 kasus,
skor 1 (lemah) sebanyak 6 kasus, skor 2 (sedang) sebanyak 9 kasus, dan skor 3
69
(kuat) sebanyak 3 kasus. Pada derajat histologis I didapatkan skor 0 (negatif)
sebanyak 0 kasus, skor 1 (lemah) sebanyak 5 kasus, skor 2 (sedang) sebanyak 13
kasus, dan skor 3 (kuat) sebanyak 4 kasus. Kemudian skor presentase sel
dikalikan dengan skor intensitas warna kemudian didapatkan ekspresi MMP-9
tingkat rendah dengan nilai 0-4 dan nilai 5-12 ekspresi MMP-9 tingkat tinggi.
Pada derajat histologis I terdapat 6 kasus ekspresi MMP-9 tingkat rendah dan 1
kasus ekspresi MMP-9 tingkat tinggi. Pada derajat histologis II terdapat 9 kasus
ekspresi MMP-9 tingkat rendah dan 9 kasus ekspresi MMP-9 tingkat tinggi. Pada
derajat histologis III terdapat 5 kasus ekspresi MMP-9 tingkat rendah dan 17
kasus ekspresi MMP-9 tingkat tinggi.
Mengetahui hubungan antara derajat histologis dengan ekspresi MMP-9,
maka dilakukan uji korelasi uji chi square berdasarkan uji silang 3x2 seperti
disajikan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Uji Chi square antara Derajat Histologis dengan Ekspresi MMP-9
Derajat
histologis
Jumlah Kasus Ekspresi
MMP-9 p
Tingkat
Rendah
Tingkat
Tinggi
I 6 1
0,010II 9 9
III 5 17
70
Berdasarkan uji chi square maka terdapat hubungan yang bermakna antara
derajat histologis dengan ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe
tidak spesifik (p=0,010; p<0,05).
Pada penelitian ini data ekspresi MMP-9 terlebih dahulu diuji normalitas data.
Berdasarkan hasil analisis dengan uji Shapiro-Wilk didapatkan data MMP-9 tidak
berdistribusi normal (p<0,05), sehingga digunakan uji nonparametrik yaitu uji
Kruskal-Wallis yang kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil
disajikan dalam Tabel 5.8.
Tabel 5.8Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi MMP-9
Kelompok Subjek n p Keterangan
Derajat Histologis I 7 0,183 Tidak Normal
Derajat Histologis II 18 0,001 Tidak Normal
Derajat Histologis III 22 0,004 Tidak Normal
Data yang tidak berdistribusi normal dapat dilakukan analisis komparabilitas
dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis
didapatkan hasil yang bermakna (p=0,001). Disajikan pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9Perbandingan Ekspresi MMP-9 antar Kelompok Derajat Histologis
Kelompok Subyek n p
Derajat histologis I 7
71
Derajat histologis II 18 0,001
Derajat histologis III 22
Analisis komparabilitas diuji dengan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel
5.10, 5.11, dan 5.12.
Tabel 5.10Perbandingan Ekspresi MMP-9 antara Derajat Histologis I dan II
Kelompok Subjek NMean
MMP-9U p
Derajat Histologis I
Derajat Histologis II
7
18
42,86
68,1123 0,014
Tabel 5.11Perbandingan Ekspresi MMP-9 antara Derajat Histologis I dan III
Kelompok Subjek NMean
MMP-9U p
Derajat Histologis I
Derajat Histologis III
7
22
42,86
81,368 0,000
Tabel 5.12Perbandingan Ekspresi MMP-9 antara Derajat Histologis II dan III
Kelompok Subjek NMean
MMP-9U p
Derajat Histologis II
Derajat Histologis III
18
22
68,11
81,36115 0,024
Pada Tabel 5.10-5.12 tampak hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-
72
Whitney. Hasil tes perbandingan ekspresi MMP-9 antara derajat histologis I dan II
menunjukkan bahwa nilai mean derajat histologis II (68,11%) lebih tinggi
dibandingkan nilai mean derajat histologis I (42,86%) dengan perbedaan selisih
25,25%, nilai U=23 dan nilai p=0,014. Hasil tes perbandingan ekspresi MMP-9
antara derajat histologis I dan III menunjukkan bahwa nilai mean derajat
histologis III (81,36%) lebih tinggi dibandingkan nilai mean derajat histologis I
(42,86%) dengan perbedaan selisih 38,5%, nilai U=8 dan nilai p=0,000. Hasil tes
perbandingan ekspresi MMP-9 antara derajat histologis II dan III menunjukkan
bahwa mean derajat histologis III (81,36%) lebih tinggi dibandingkan nilai mean
derajat histologis II (68,11%) dengan perbedaan selisih 13,25%, nilai U=115 dan
nilai p=0,024. Hal ini berarti bahwa ekspresi MMP-9 paling tinggi ditemukan
pada kelompok derajat histologis III, lalu derajat histologis II, dan ekspresi MMP-
9 paling rendah pada derajat histologis I karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik (p<0,05).
Gambaran ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik derajat histologis I, II, dan III dapat dilihat pada Gambar 5.3, 5.4 dan 5.5.
73
Gambar 5.3Ekspresi MMP-9 pada derajat histologis I dengan intensitas lemah (insert)
Gambar 5.4Ekspresi MMP-9 pada derajat histologis II dengan intensitas sedang (insert)
74
Gambar 5.5Ekspresi MMP-9 pada derajat histologis III dengan intensitas kuat (insert)
5.2.2 Pengaruh Faktor Karakteristik Derajat Histologis
Terdapat tiga faktor karakteristik derajat histologis yaitu formasi tubular,
pleomorfia inti, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar. Mengetahui
faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan yang dipengaruhi oleh
ekspresi MMP-9 maka dilakukan uji regresi logistik.
Uji regresi logistik dilakukan dan didapatkan hasil bahwa hitung mitosis
merupakan faktor yang paling dominan. Pada hitung mitosis didapatkan hasil
yang bermakna dengan hasil p=0,012 (p<0,05), sedangkan untuk faktor formasi
tubular dan pleomorfik inti didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan masing-
masing nilai p=0,922 dan p=0,594 dimana p>0,05 seperti yang disajikan pada
Tabel 5.13.
75
Tabel 5.13 Uji Regresi Logistik
b Sig (p) Exp(b)
Tubular 0,057 0,922 1,059
Pleomorfik 0,312 0,594 1,367
Mitosis 1,204 0,012 3,334
Constant -2,944 0,078 0,053
76
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Ekspresi MMP-9
6.1.1 Hubungan Ekspresi MMP-9 dengan Derajat Histologis
Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik
terlibat pada semua tahap progresivitas sel kanker mulai dari proliferasi,
angiogenesis, apoptosis, epithelial-mesenchymal transition (EMT), dan metastasis
(Gong et al., 2014). Matriks metalloproteinase-9 ini juga mampu mendegradasi
matriks ekstraselular dari stem cell niche yang mengakibatkan terjadinya
perubahan bentuk stem cell niche menjadi bentuk bebas, dan selanjutnya
meningkatkan promosi c-KIT yang terkait dengan proliferasi sel. Proses
angiogenesis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dipicu melalui
mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks penyimpanannya. Proses
ini difasilitasi oleh MMP-9 yang tidak terikat TIMP-1 yang sekaligus mampu
melepaskan faktor pertumbuhan FGF dan VEGF dari matriks. Proses metastasis
dimudahkan oleh kemampuan sel tumor untuk berubah dari bentuk sel epitel yang
tidak mampu bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak (EMT).
Matriks metalloproteinase-9 dikatakan juga terlibat pada proses ini (Farina dan
Mackay, 2014).
Derajat histologis karsinoma payudara duktal invasif tipe tidak spesifik dinilai
berdasarkan Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification
of Scarff-Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan
77
Nottingham Grading System. Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan
tiga karakteristik tumor yaitu formasi tubular, pleomorfia inti sel, dan hitung
mitosis per 10 lapang pandang besar. Berdasarkan penilaian tersebut derajat
histologis dibagi menjadi 3 yaitu derajat histologis I, derajat histologis II, dan
derajat histologis III (Lester et al., 2015; Colditz and Chia, 2012; Hoda et al.,
2014).
Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak
spesifik mengalami regulasi melalui interaksi antara sel tumor dengan lingkungan
mikro di sekitarnya seperti sel stroma, sel endotel, makrofag, maupun sel radang
neutrofil. Sudah sangat diakui peranan sel radang seperti makrofag, neutrofil, sel
mast sel dendritik, dan sel T pada inisiasi dan progresi tumor. Sel tumor ini
mampu menghasilkan faktor-faktor pro-inflamasi dan MMP berperan pada
progresivitas tumor (Deryugina dan Quigley, 2006). Co-culture sel tumor dengan
sel stroma secara in vitro mampu meningkatkan ekspresi pro-MMP-9 di sel tumor
dan menekan regulasi inhibitornya (TIMP) di sel stroma. Co-culture sel tumor
dengan sel endotel juga mampu meningkatkan ekspresi MMP-9 serta
meningkatkan kemampuan invasi sel tumor melalui peningkatan sekresi IL-6 oleh
sel endotel. Sitokin dan faktor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh sel tumor,
endotel dan sel radang di lingkungan mikro tumor bersama-sama meregulasi
ekspresi MMP-9, baik melalui jalur autokrin maupun parakrin (Gong et al., 2014).
Matriks metalloproteinase-9 tampak terpulas pada sebagian besar sel tumor,
sel stroma, endotel, maupun sel radang neutrofil baik pada karsinoma payudara
invasif tipe tidak spesifik dengan histologis tinggi maupun rendah. Hal ini
78
membuktikan bahwa MMP-9 dihasilkan baik oleh sel tumor itu sendiri maupun
melalui interaksi dengan lingkungan mikronya (Farina and Mackay, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Irianiwati et al. terhadap 50 kasus karsinoma
payudara, dilakukan pulasan MMP-9 untuk menilai perburukan derajat
histologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi MMP-9 berbeda
bermakna pada derajat tinggi dibandingkan derajat rendah, dimana ekspresi tinggi
MMP-9 ditemukan pada karsinoma payudara derajat tinggi. Tampak korelasi
bermakna dengan nilai r=0,518 dan p=0,0000. Dan dari penelitian ini disimpulkan
bahwa MMP-9 berperan penting pada perkembangan, derajat histologis, dan
stadium karsinoma payudara (Irianiwati et al., 2012).
Penelitian serupa dilakukan oleh Yousef et al. terhadap 200 kasus karsinoma
payudara yang dibagi menjadi tiga derajat histologis. Penghitungan ekspresi
MMP-9 dilakukan secara semi kuantitatif berdasarkan presentase jumlah sel yang
terpulas positif dengan intensitas pewarnaan. Hasil dari penelitian ini didapatkan
ekspresi MMP-9 tingkat tinggi pada karsinoma payudara derajat tinggi. Ekspresi
MMP-9 dapat membantu memisahkan karsinoma payudara yang agresif seacara
klinis. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa MMP-9 adalah calon gen atau
protein yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan panel multi-gen untuk
memprediksi hasil klinis (Yousef et al., 2014).
Penelitian karsinoma payudara oleh Mahmood et al. di negara Irak
menghubungkan antara ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dengan berbagai variabel
klinikopatologis pada karsinoma payudara stadium II dan III. Penelitian dilakukan
dengan jumlah pasien sebanyak 64 orang. Hal ini serupa dengan metode
79
penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MMP-9
dapat digunakan sebagai biomarker untuk diagnosis karsinoma payudara dalam
menentukan stadium tumor, derajat histologis, tipe histologis, dan status
metastasis limfonodi (Mahmood et al., 2015).
Vasaturo di Italia melakukan penelitian ekspresi MMP-2 dan MMP-9 pada
pasien-pasien dengan karsinoma payudara, dilakukan dengan mengambil level
plasma dari MMP tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 50 pasien karsinoma
payudara dan 30 pasien fibroadenoma. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna ekspresi MMP-9 plasma antara pasien-pasien dengan
karsinoma dan fibroadenoma. Perbedaan yang bermakna ekspresi MMP-9 plasma
didapatkan pada pasien-pasien karsinoma payudara bila ditinjau dari sudut
pandang variabel derajat histologis (Vasaturo et al., 2012).
Di India, Benson melakukan penelitian dengan 39 sampel kanker payudara
dan 16 jaringan payudara yang normal menunjukkan adanya peningkatan MMP-9
secara berbeda pada jaringan kanker payudara dengan jaringan payudara yang
normal. Tampak peningkatan ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara.
Ekspresi MMP-9 diregulasi di jaringan kanker dibandingkan dengan kontrol
dengan nilai p <0,050. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MMP-9 secara
berbeda diatur dalam jaringan kanker payudara dan berperan pada derajat
histologis, metastasis, dan angiogenesis. Dengan demikian, MMP-9 adalah nilai
besar untuk dipelajari sebagai penanda diagnostik dan target terapi (Benson et al.,
2013).
80
Pellikainen et al. di Finlandia melakukan penelitian terhadap ekspresi MMP-2
dan MMP-9 yang dianalisis secara imunohistokimia dalam prospektif seri besar
dari 421 pasien kanker payudara. MMP-9 terekspresi dalam sitoplasma sel-sel
ganas dan stroma. Ekspresi tinggi MMP dalam stadium tumor, sedangkan ekspresi
positif pada stroma dikaitkan dengan faktor-faktor agresif. Evaluasi ekspresi
MMP-9 menambahkan informasi tentang prognosis kanker payudara (Pellikainen
et al., 2014).
Hasil kontradiktif didapatkan oleh Wu dan kawan-kawan melalui
penelitiannya di Cina, mereka berusaha mencari signifikansi antara ekspresi
MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada 41 spesimen operasi
mastektomi tanpa riwayat terapi sebelumnya (radioterapi dan kemoterapi). Kasus-
kasus dievaluasi dengan variabel tipe histologis, derajat histologis, metastasis
limfonodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan
antara ekspresi MMP-9 dengan semua variabel penelitian yang dievaluasi (Wu et
al., 2014).
Pada penelitian yang kami lakukan pada 47 kasus karsinoma payudara invasif
tipe tidak spesifik. Dengan jumlah sampel masing-masing yaitu derajat histologis
I sebanyak 7 kasus (14,9%), derajat histologis II sebanyak 18 kasus (38,3%), dan
derajat histologis III sebanyak 18 kasus (46,8%). Hasil presentase sel pulasan
ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil sebagai berikut: tidak tampak
ekspresi MMP-9 (skor 0) sebanyak 0 kasus (0%), ekspresi MMP-9 1-10% (skor 1)
sebanyak 2 kasus (4,3%), ekspresi MMP-9 10-50% (skor 2) sebanyak 8 kasus
(17%), ekspresi MMP-9 50-70% (skor 3) sebanyak 10 kasus (21,3%), dan
81
ekspresi MMP-9 70-100% (skor 4) sebanyak 27 kasus (57,4%). Hasil intensitas
warna pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil sebagai berikut:
tidak terpulas MMP-9 (skor 0), intensitas lemah (skor 1) sebanyak 14 kasus
(29,8%), intensitas sedang (skor 2) sebanyak 26 kasus (55,3%), dan intensitas
kuat (skor 3) sebanyak 7 kasus (14,9%). Berdasarkan hasil tersebut maka
disimpulkan bahwa ekspresi MMP-9 yang bernilai rendah ada 20 kasus (42,5%)
dan yang bernilai tinggi ada 27 kasus (57,5%).
Interaksi tumor dan lingkungan sekitar juga ikut mempengaruhi ekspresi
MMP-9, dimana semakin banyak sel tumor berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya maka akan semakin kuat ekspresi MMP-9.
Matriks metalloproteinase-9 pada proses keganasan tidak hanya memiliki
kemampuan dalam mendegradasi kolagen tipe IV yang merupakan komponen
utama dari membran basalis epitel dan vaskuler, namun juga memiliki
kemampuan pro-oncogenic yaitu transformasi keganasan, penempelan tumor, dan
instabilitas genetik. Matriks metalloproteinase-9 juga dikenal sebagai gen yang
penting dalam proses transisi epitel menjadi mesenkimal atau yang dikenal
sebagai epithelial mesenchymal transition (EMT) dan sekaligus menjadi penyebab
EMT. Epithelial mesenchymal transition ada 3 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3.
Tipe 3 dari EMT ini berfungsi dalam progresi tumor maupun aktivasi dalam stem
cell serta pergerakan sel kanker menjadi invasif (Gialeli et al., 2010; Farina dan
Mackay, 2014).
Selanjutnya MMP-9 yang berasal dari sel radang neutrofil meregulasi
penarikan perisit serta apoptosis yang mengandung prekursor angiogenik ke
82
stroma tumor, sehingga dapat meningkatkan proses angiogenik dan vaskulogenik.
Proses angiogenik oleh sel tumor terjadi kemudian MMP-9 juga merangsang
angiogenik melalui mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks
penyimpanannya. Selain itu MMP-9 juga mampu melepaskan faktor pertumbuhan
yaitu FGF dan VEGF, serpin protease nexin-1 (PN-1, urokinase plasminogen
activator (uPA) yang penting pada proses invasi dan angiogenesis pada keganasan
(Patil dan Kundu, 2006; Gialeli et al., 2010; Farina dan Mackay, 2014).
Tingginya ekspresi MMP-9 yang sejalan dengan peningkatan derajat
histologis pada penelitian ini menunjukkan peranan penting MMP-9 pada setiap
tahap progresivitas tumor sehingga dapat dijadikan sebagai marka penting
agresivitas karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. Namun hingga saat ini
belum terdapat kesepakatan tentang nilai cut off point ekspresi MMP-9 pada
karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik sehingga menyulitkan dalam
aplikasi klinis.
6.1.2 Faktor Karakteristik Derajat Histologis yang Paling Dominan
Berpengaruh Terhadap Ekspresi MMP-9
Penilaian derajat histologis dengan Nottingham Combined Histologic Grade
(Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom-Richardson Grading System) atau
biasa disebut dengan Nottingham Grading System. Sistem ini menilai karsinoma
payudara berdasarkan tiga karakteristik yaitu formasi tubular, pleomorfia inti sel,
dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar. Selain didapatkannya hubungan
bermakna antara derajat histologis dengan ekspresi MMP-9, pada penelitian ini
dilakukan pula uji regresi logistik untuk menilai faktor karakteristik derajat
83
histologis (formasi tubular, pleomorfia inti sel, atau hitung mitosis) yang paling
dominan dipengaruhi oleh ekspresi MMP-9.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang bermakna dimana menunjukkan
bahwa hitung mitosis merupakan faktor yang paling dominan dengan nilai
p=0,012 (p<0,05). Sedangkan untuk faktor formasi tubular dan pleomorfia inti
didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan masing-masing nilai p=0,922 dan
p=0,594 dimana p>0,05. Hal ini sejalan dengan Boder pada tahun 2013 yang
menunjukkan bahwa pada analisis multivariate, hitung mitosis merupakan
penunjuk faktor prognosis yang lebih baik daripada formasi tubular dan
pleomorfia inti.
Ekspresi MMP-9 lebih tinggi pada derajat histologis yang tinggi termasuk
pada hitung mitosis yang tinggi. Hitung mitosis dapat dipengaruhi oleh laju
proliferasi sel, dimana semakin tinggi laju proliferasi maka akan semakin tinggi
pula hitung mitosisnya dan hal ini menunjukkan suatu agresivitas karsinoma
tersebut. Formasi tubular dan pleomorfia inti tidak berpengaruh dominan oleh
karena penilaian dari kedua hal ini sangatlah subyektif, selain itu pada kedua
faktor tersebut tidak selalu berjalan seiring dengan laju proliferasi.
Hasil yang berbeda dapat disebabkan oleh karena perlakuan jaringan
makroskopis sejak awal yang dapat mempengaruhi hasil skor masing-masing
kriteria, yaitu seperti lama atau cepatnya suatu jaringan tersebut mendapatkan
fiksasi, tipe dari cairan fiksasi yang dipakai, tingkat pH buffer formalin, dan dilusi
dari formalin tersebut.
84
Meskipun pada penelitian ini hitung mitosis memiliki pengaruh yang
dominan, namun semua faktor-faktor karakteristik derajat histologis yaitu formasi
tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis tetap memiliki peranan yang penting
dalam penentuan derajat histologis.
85
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tampak hubungan bermakna antara ekspresi MMP-9 dengan derajat
histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik.
2. Ekspresi MMP-9 mempengaruhi hitung mitosis sebagai faktor
karakteristik derajat histologis yang paling dominan.
7.2 Saran
Ekspresi tinggi MMP-9 dapat digunakan sebagai penanda tingkat agresivitas
tumor yang didiagnosis berdasarkan derajat histologis, dimana berkaitan dengan
faktor prognosis yang lebih buruk, sehingga dapat dipakai untuk petunjuk klinis
yang berhubungan dengan diagnosis dan prognosis pasien agar penanganan
karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dapat dilakukan lebih baik lagi.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan cut off point ekspresi
MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik sehingga didapatkan
keseragaman pelaporan untuk kepentingan aplikasi klinis. Penelitian ini dapat
digunakan sebagai referensi tambahan penelitian-penelitian selanjutnya oleh
karena masih kurangnya penelitian mengenai faktor karakteristik derajat
diferensiasi yang paling dominan yang dipengaruhi oleh ekspresi MMP-9.
86
DAFTAR PUSTAKA
Allison, K.H. 2012. Molecular Pathology of Breast Cancer: What a PathologistNeeds to Know. America : American Journal Clinical Pathology. p. 700-780.
Anonim. 2005. Pathology Reporting of Breast Disease. London : NHS CancerScreening Programmes jointly with the Royal College of Pathologist. p.61-89.
Anonim. 2008. The Pathology Reporting of Breast Cancer, A Guide forPathologists, surgeons, Radiologists and Oncologists third edition.Australia : National Breast and Ovarian Cancer Centre and AustralianCancer Network. p. 22-33.
Ansari, M.A., Shaikh, S., Muteeb, G., Rizvi, D., Shakil, S., Alam, A.,Tripathi, R.,Ghazal, F., Rehman, A., Ali, S.Z., Pandey, A.K., Ashraf, G.M. 2013. Roleof Matrix Metalloproteinases in Cancer. In : Ashraf, G.M., Sheikh, I.A.,editors. Advanced in Protein Chemistry. USA : OMICS group ebook. p.4-10.
Benson, C.S., Babua, S.D., Radhakrishnab, S., Selvamuruganc, N., Sankara, B.R. 2013. Expression of matrix metalloproteinases in human breast cancertissues. Department of Biotechnology, School of Bioengineering, SRMUniversity, Kattankulathur, Chennai, India. Available from :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23568046. Accessed August 2,2016.
Boder, J.M.E. 2013. Nuclear Morphometry, Apoptotic and Mitotic Indices, andTubular Differentiation in Lybian Breast Cancer (tesis). Turky :University of Turky.
Bouchet, S., Bauvois, B. 2014. Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin(NGAL), Pro-Matrix Metalloproteinase-9 (pro-MMP-9) and TheirComplex Pro-MMP-9/NGAL in Leukaemias. Cancers. Sixth edition. p.796-812.
Chakrabarti, S., Zee, J.M., Patel, K.D. 2006. Regulation of matrixmetalloproteinase-9 (MMP-9) in TNF-stimulated neutrophils: novelpathways for tertiary granule release. J. Leukoc. Biol; 79: p. 214-222.
Colditz, G., Chia, K.S. 2012. Invasive Breast Carcinoma: Introduction andGeneral Feature. In: Lakhani, S.R., Ellis, I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H.,Vijver, M.J., editors. WHO Classification of Tumours of the Breast
87
Fourth Edition. Lyon: International Agency for Research on Cancer. p.14-17.
Deryugina, E.I dan Quigley, P.J. 2006. Matrix metalloproteinases and tumormetastasis. Cancer Metastasis Rev; 25: p. 9-34.
Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 2006. Kanker di Indonesia Tahun 2006. DataHistopatologik. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 2011. Kanker di Indonesia Tahun 2011. DataHistopatologik. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Ellis, I.O., Collins, L., Ichihara, S., MacGrogan, S. 2012. Invasive Carcinoma ofNo Special Type. In: Lakhani, S.R., Ellis, I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H.,Vijver, M.J., editors. WHO Classification of Tumours of the BreastFourth Edition. Lyon: International Agency for Research on Cancer. p.34-38.
Falck, A.K., Ferno, M., Bendahl, P.O., Ryden, L. 2013. St Gallen MolecularSubtypes in Primary Breast Cancer and Matched Lymp Node Metastases-Aspect on Distribution and Prognosis for Patients with Luminal ATumours: Result from a Proapective Randomised Trial. BMC Cancer, 13:558. Available from: http://www.biomedcentral.com. Accessed January10, 2016.
Farina, A.R., Mackay, A.R. 2014. Gelatinase B/MMP-9 in Tumour Pathogenesisand Progression. Cancers, 6: p. 240-296.
Gialeli, C., Theocharisand, A.D., Karamanos, N.K. 2010. Roles of matrixmetalloproteinases in cancer progression and their pharmacologicaltargeting. FEBS Journal; 278: p. 16-27.
Globocan. 2012. Global cancer statistics, 2012. Available from:http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.3322/caac.21262/full. AccessedJanuary 15, 2016.
Gong, Y., Chippada-venkata. U.D., William, K. 2014. Review : Roles of MatrixMetalloproteinases and their natural Inhibitors in Prostate CancerProgression. Cancers, 6: p. 1298-1327.
Hoda, S.A., Brogi, E., Koerner, F.C., Rosen, P.P. 2014. Invasive DuctalCarcinoma: Assessment of Prognosis with Morphologic and Biologic
88
Markers. In: Hoda, S.A., editors. Rosen’s Breast Pathology FourthEdition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 413-467.
Irianawati, Harijadi, Prabawa S., Hermanto Y., Septiana A., Arditya, B. 2012. Thecorrelation between TAM, MVD, VEGF, and MMP-9 expressions amongvarious histological progression, histological grading and staging ofbreastcancer.Availablefrom:http://jurnal.ugm.ac.id/bik/article/view/3271.com. Accessed January 7, 2016.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C. 2015. Cellular Responses to Stressand Toxic Insult: Adaptation, Injury, and Death. Robbin and Cotran’sPathology Basic of Diseases. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 1-26.
Lee, K., Nelson, C.M. 2012. New Insights into the Regulation ofEpithelial–Mesenchymal Transition and Tissue Fibrosis. InternationalReview of Cell and Molecular Biology, Volume 294. Elsevier Inc. p. 173-193.
Lester, S.C. 2015. The Breast. In: Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C.,editors. Robbin and Cotran’s Pathology Basic of Diseases EighthEdition.Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 1043-1071.
Li, H., Fan, X., Houghton, J. 2007. Tumor microenvironment: The role of thetumor stroma in cancer. Available from:http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jcb.21159/full. AccessedFebruary 27, 2016.
Loffek, S., Schilling, O., Franzke, C-W. 2011. Biological role of matrixmetalloproteinases: a critical balance. Eur Respir J, 38: p. 191–208.
Mahmood, N.A., Fakhoury, R.M., Yaseen, N.Y., Moustafa, M.E. 2015. MatrixMetaalloproteinases MMP2 and MMP9 Expression in Stages II-IIIBreast Cancer in Iraqi Women. AL-Mustansiriya Univ, Baghdad Iran.Availablefrom:http://pearlresearchjournals.org/journals/jmbsr/index.html.Accessed February 27, 2016.
Moelans, C.B., Diest, P.J. 2013. Breast: Ductal Carcinoma. Atlas Genet CytogenetOncol Haematol, 17(3).
Muhammad, E.M.S., Ahmad, A.N., Guirguis, M.N., Ali, A.M. 2012.Immunohistochemical MMP9 Expression in Breast Carcinoma with
89
Correlation to Clinico-Pathological Parameters. Med J Cairo Univ.80(2): p. 179-189.
Nagase, H., Visse, R., Murphy, G. 2005. Structure and function of matrixmetalloproteinases and TIMPs. Cardiovascular Research. 69: 562-573.
Patil, D.P., Kundu, G.C. 2006. MMP-9 (matriks metallopeptidase 9 (gelatinase B,92kDa gelatinase, 92kDa type IV collagenase)). Atlas Genet CytogenetOnco Haematol. 10(3): p. 168-170.
Pellikainen, J.M., Ropponen, K.M., Kataja,V.V., Kellokoski, J.K., Eskelinen, M.J.,Kosma, V. 2014. Expression of Matrix Metalloproteinase (MMP)-2 andMMP-9 in Breast Cancer with a Special Reference to Activator Protein-2, HER2, and Prognosis. Available from :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15569994. Accessed August 4,2016.
Rohan, T.E., Xue, X., Lin, H.M., Alfonso, T.M., Ginter, P.S. Tumormicroenvironment of metastasis and risk of distant metastasis of breastcancer.Availablefrom: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24895374.Accessed January 17, 2016.
Scully.O.J., Bay, B., Yip, G., Yu, Y. 2012. Breast Cancer Metastasis. Availablefrom: http://cgp.iiarjournals.org/content/9/5/311.short. Accessed January17, 2016.
Tamaki, M., Kamio, T., Kameoka, S., Kojimahara, N., Nishikawa, T. 2013. TheRelevance of the Intrinsic Subtype to the Clinicopathological Featuresand biomarkers in Japanese Breast Cancer Patients. World Journal ofSurgical Oncology, 11: 293. Available from:http://www.wjso.com/content/11/1/293. Accessed January 27, 2016.
Tanwani, A.K., Majeed, M. 2009. Pattern of Invasive Ductal Carcinoma of Breastaccording to Nottingham Prognostic Index. Ann. Pak. Inst. Med. Sci.5(4): p. 251-254.
Vandooren, J., Van Den Steen, P.E., Opdenakker, G. 2013. Biochemistry andmolecular biology of gelatinase B or matrix metalloproteinase-9 (MMP-9): the next decade. Crit Rev Biochem Mol Biol; 48(3): p. 222-72.
Vasaturo, F., Solai, F., Malacrino, C., Nardo T., Vincenzi, B., Modesti, M., ScarpaS. 2012. Plasma levels of matrix metalloproteinases 2 and 9 correlatewith histological grade in breast cancer patients. University SapienzaItaly. Available from:
90
http://www.pubpdf.com/search/author/Fortunata+Vasaturo. AccessedFebruary 27, 2016.
Vempati, P., Emmanouil, D., Karagianis., Popel, A.S. 2007. A Biochemical Modelof Matrix Metallopreoteinase 9 Activation and Inhibition. J.Biomol.Chem , 282: p. 37585-37596.
Verma, R.P., Hanch, C. 2007. Matrix metalloproteinases (MMPs): Chemical-biological functions and (Q)SARs. 2006. Bioorganic and MedicinalChemistry; 15: p. 2223-2268.
Wu, Q., Yang, Q., Huang, Y., She, H., Liang, J., Yang, Q., Zhang, Z. 2014.Expression and Clinical Significance of Matrix Metalloproteinase-9 inLymphatic Invasiveness and Metastasis of Breast Cancer. XiamenUniversity China. Available from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4028268/. AccessedFebruary 27, 2016.
Yabluchanskiy, A., Ma, Y., Padmanabhan, R.I., Hall, M.E., Lindsey, M.L. 2013.Matrix Metalloproteinase-9: Many Shades of Function of CardivascularDisease. Physiology; 28: p. 391-403.
Yousef, E.M., Tahir, M.R., Pierre, Y.S., Gaboury, L.A.. 2014. MMP-9 expressionvaries according to molecular subtypes of breast cancer. Available from:http://www.biomedcentral.com/1471-2407/14/609. Accessed January 17,2016.
91
Lampiran 1. Ethical Clearance
92
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian
93
Lampiran 3. Data Subyek Penelitian
No.
No. PA USIAGRAD
ETUBULA
RPLEO
MITOSIS
TOTAL JUMLAH SKOR
PRESENTASE SEL
INTENSITAS
HASIL PERKALIA
N
MMP-9
1848PP2013 62 1 2 2 1
52 1 2
R
22730PP201
448 1
2 1 14
3 1 3R
3566PP2015 38 1 1 1 1
33 2 6
T
4802PP2015 44 1 1 2 2
52 2 4
R
52371PP201
540 1
1 1 13
2 2 4R
6931PP2016 60 1 1 2 1
42 1 2
R
71922PP201
645 1
2 1 14
2 2 4R
8445PP2014 70 2 2 2 3
73 2 6
T
92348PP201
460 2
3 2 27
3 2 6T
102404PP201
464 2
3 2 27
4 2 8T
112931PP201
439 2
3 2 16
2 2 4R
123015PP201
440 2
3 2 27
4 1 4R
135848PP201
463 2
2 3 17
1 3 3R
14430PP2015 67 2 3 2 1
64 2 8
T
151533PP201
558 2
3 3 17
4 1 4R
161818PP201
555 2
3 2 16
4 3 12T
172344PP201
555 2
3 3 1
7
4 1 4
R
182848PP201
555 2
2 3 27
4 2 8T
193060PP201
554 2
2 3 16
4 1 4R
203271PP201
545 2
3 2 27
3 1 3R
21795PP2016 57 2 3 2 1
64 1 4
R
22982PP2016 54 2 3 2 2
71 2 2
R
231449PP201
644 2
2 3 16
4 2 8T
242599PP201
657 2
2 3 27
4 2 8T
252752PP201
651 2
3 2 16
2 3 6T
26339PP2014 53 3 3 3 3
93 2 6
T
27739PP2014 49 3 2 3 3
84 2 8
T
28752PP2014 69 3 3 3 2 8 2 1 2 R
29798PP2014 30 3 3 2 3 9 3 2 6 T
30860PP2014 43 3 3 3 3 9 4 1 4 R
311421PP201
458 3
3 3 3 9 4 2 8 T
94
321664PP201
449 3
3 2 3 8 4 1 4 R
333659PP201
451 3
3 3 3 9 3 2 6 T
343790PP201
464 3
3 3 2 8 4 3 12 T
355497PP201
445 3
3 3 3 9 3 2 6 T
36149PP2015 48 3 3 3 2 8 4 2 8 T
37417PP2015 44 3 3 3 2 8 4 2 8 T
38592PP2015 45 3 3 2 3 8 4 2 8 T
39940PP2015 57 3 3 3 3 9 4 3 12 T
402053PP201
548 3
3 3 3 9 4 2 8 T
412341PP201
545 3
3 3 3 9 4 2 8 T
422391PP201
545 3
3 3 3 9 4 2 8 T
432402PP201
554 3
3 3 2 8 4 3 12 T
442973PP201
555 3
3 3 2 8 3 1 3 R
4527PP2016 54 3 3 3 2 8 4 1 4 R
46382PP2016 48 3 3 3 3 9 4 2 8 T
47603PP2016 39 3 3 2 3 8 4 3 12 T
Catatan :
a. Skor persentase sel yang terpulas (distribusi) : 0 (tidak terwarnai), 1 (1-10% sel
terpulas), 2 (10-50% sel terpulas), 3 (50-70% sel terpulas), dan 4 (70-100%).
b. Skor intensitas warna coklat pada sel ganas, sel stroma, sel radang, dan
pembuluh darah : 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), dan 3 (kuat).
c. Hasil perkalian skor presentase sel dan skor intensitas warna dibagi menjadi dua
kategori yaitu : 0-4 tingkat rendah dan 5-12 tingkat tinggi.
95
Lampiran 4. Analisis Statistik
4.a. Hasil Analisis Usia Keseluruhan Derajat Histologis
Frequencies
Statistics
Usia Grade Tubular Pleomorfik Mitosis Kelompok_usia
N Valid 47 47 47 47 47 47
Missing 0 0 0 0 0 0
Mean 51.45 2.32 2.62 2.45 2.00 5.66
Median 51.00 2.00 3.00 3.00 2.00 6.00
Mode 45 3 3 3 1a 5
Std. Deviation 8.868 .726 .644 .653 .834 .939
Minimum 30 1 1 1 1 4
Maximum 70 3 3 3 3 8
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Frequency Table
Usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 30 1 2.1 2.1 2.1
38 1 2.1 2.1 4.3
39 2 4.3 4.3 8.5
40 2 4.3 4.3 12.8
96
43 1 2.1 2.1 14.9
44 3 6.4 6.4 21.3
45 6 12.8 12.8 34.0
48 4 8.5 8.5 42.6
49 2 4.3 4.3 46.8
51 2 4.3 4.3 51.1
53 1 2.1 2.1 53.2
54 4 8.5 8.5 61.7
55 4 8.5 8.5 70.2
57 3 6.4 6.4 76.6
58 2 4.3 4.3 80.9
60 2 4.3 4.3 85.1
62 1 2.1 2.1 87.2
63 1 2.1 2.1 89.4
64 2 4.3 4.3 93.6
67 1 2.1 2.1 95.7
69 1 2.1 2.1 97.9
70 1 2.1 2.1 100.0
Total 47 100.0 100.0
Grade
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 7 14.9 14.9 14.9
2 18 38.3 38.3 53.2
3 22 46.8 46.8 100.0
Total 47 100.0 100.0
97
Tubular
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 4 8.5 8.5 8.5
2 10 21.3 21.3 29.8
3 33 70.2 70.2 100.0
Total 47 100.0 100.0
Pleomorfik
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 4 8.5 8.5 8.5
2 18 38.3 38.3 46.8
3 25 53.2 53.2 100.0
Total 47 100.0 100.0
Mitosis
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 16 34.0 34.0 34.0
2 15 31.9 31.9 66.0
3 16 34.0 34.0 100.0
Total 47 100.0 100.0
98
Kelompok_usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 4 4 8.5 8.5 8.5
5 18 38.3 38.3 46.8
6 16 34.0 34.0 80.9
7 8 17.0 17.0 97.9
8 1 2.1 2.1 100.0
Total 47 100.0 100.0
Statistics
Usia_grade1 Usia_grade2 Usia_grade3
N Valid 7 18 22
Missing 40 29 25
Mean 48.14 54.89 49.68
Median 45.00 55.00 48.50
Mode 38a 55 45
Std. Deviation 9.388 8.663 8.323
Minimum 38 39 30
Maximum 62 70 69
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
99
Frequencies
Statistics
Persentase_sel Intensitas Hasil_kali MMP9 MMP_9
N Valid 47 47 47 47 47
Missing 0 0 0 0 0
Mean 3.32 1.85 6.13 1.57
Median 4.00 2.00 6.00 2.00
Mode 4 2 8 2
Std. Deviation .911 .659 2.886 .500
Minimum 1 1 2 1
Maximum 4 3 12 2
Frequency Table
Persentase_sel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 2 4.3 4.3 4.3
2 8 17.0 17.0 21.3
3 10 21.3 21.3 42.6
4 27 57.4 57.4 100.0
Total 47 100.0 100.0
Intensitas
100
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 14 29.8 29.8 29.8
2 26 55.3 55.3 85.1
3 7 14.9 14.9 100.0
Total 47 100.0 100.0
Hasil_kali
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 2 4 8.5 8.5 8.5
3 4 8.5 8.5 17.0
4 12 25.5 25.5 42.6
6 8 17.0 17.0 59.6
8 14 29.8 29.8 89.4
12 5 10.6 10.6 100.0
Total 47 100.0 100.0
MMP9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid R 20 42.6 42.6 42.6
T 27 57.4 57.4 100.0
Total 47 100.0 100.0
MMP_9
101
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 20 42.6 42.6 42.6
2 27 57.4 57.4 100.0
Total 47 100.0 100.0
4.b. Hasil Analisis Uji Chi-square
Chi square usia terhadap grade
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok_usia * Grade 47 100.0% 0 .0% 47 100.0%
Kelompok_usia * Grade Crosstabulation
Count
Grade
Total1 2 3
Kelompok_usia 4 1 1 2 4
5 4 3 11 18
6 0 9 7 16
7 2 4 2 8
8 0 1 0 1
Total 7 18 22 47
102
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 11.123a 8 .195
Likelihood Ratio 14.111 8 .079
Linear-by-Linear Association .710 1 .399
N of Valid Cases 47
a. 11 cells (73.3%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .15.
Chi square grade terhadap MMP-9
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Grade * MMP9 47 100.0% 0 .0% 47 100.0%
Grade * MMP9 Crosstabulation
Count
MMP9
TotalR T
Grade 1 6 1 7
2 9 9 18
3 5 17 22
Total 20 27 47
Chi-Square Tests
103
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 9.280a 2 .010
Likelihood Ratio 9.832 2 .007
N of Valid Cases 47
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2.98.
Penilaian Skor Presentase Sel Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat
Histologis
104
Penilaian Skor Intensitas Warna Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat
Histologis
4.c. Hasil Uji Normalitas pada berbagai grade
105
4.d. Hasil Analisis Uji Kruskal-Wallis pada berbagai grade
106
4.e. Hasil Analisis Uji Mann-Whitney pada derajat histologis I dan II
Hasil Analisis Uji Mann-Whitney pada derajat histologis I dan III
107
Hasil Analisis Uji Mann-Whitney pada derajat histologis II dan III
4.f. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik
Logistic Regression
108
Block 1: Method = Enter
Iteration Historya,b,c,d
Iteration -2 Log likelihood
Coefficients
Constant Tubular Pleomorfik Mitosis
Step 1 1 52.964 -2.526 .053 .257 1.028
2 52.721 -2.919 .057 .309 1.193
3 52.720 -2.943 .057 .312 1.204
4 52.720 -2.944 .057 .312 1.204
a. Method: Enter
b. Constant is included in the model.
c. Initial -2 Log Likelihood: 64.109
d. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than
.001.
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 11.389 3 .010
Block 11.389 3 .010
Model 11.389 3 .010
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 52.720a .215 .289
109
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 52.720a .215 .289
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter
estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 4.842 7 .679
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
MMP9 = R MMP9 = T
TotalObserved Expected Observed Expected
Step 1 1 4 3.913 1 1.087 5
2 3 4.330 3 1.670 6
3 4 3.302 1 1.698 5
4 4 2.639 2 3.361 6
5 0 .747 2 1.253 2
6 3 2.523 4 4.477 7
7 1 .947 4 4.053 5
8 0 .152 1 .848 1
9 1 1.446 9 8.554 10
Classification Tablea
Observed
Predicted
MMP9Percentage
CorrectR T
Step 1 MMP9 R 11 9 55.0
T 5 22 81.5
110
Overall Percentage 70.2
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Tubular .057 .581 .010 1 .922 1.059 .339 3.308
Pleomorfik .312 .585 .285 1 .594 1.367 .434 4.305
Mitosis 1.204 .481 6.257 1 .012 3.334 1.298 8.567
Constant -2.944 1.670 3.107 1 .078 .053
a. Variable(s) entered on step 1: Tubular, Pleomorfik, Mitosis.
Correlation Matrix
Constant Tubular Pleomorfik Mitosis
Step 1 Constant 1.000 -.531 -.491 -.105
Tubular -.531 1.000 -.268 -.271
Pleomorfik -.491 -.268 1.000 -.224
Mitosis -.105 -.271 -.224 1.000
111
112
top related