agromedia 26-1

75
1 ISSN 0215-8302 AGROMEDIA Berkala Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian ISI 1 Model Kuadrat Terkecil Untuk Peramalan Populasi Sapi Potong Di Kabupaten Blora Rudy Hartanto …………………………………………………………………… 2 Dampak Penggunaan Pupuk Dan Pestisida Yang Berlebihan Terhadap Kandungan Residu Tanah Pertanian Bawang Merah Di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal Karyadi ……………………………………………………………………………. 3 Lingkar Skrotum, Volume Testis, Volume Semen Dan Konsentrasi Sperma Pada Beberapa Bangsa Sapi Potong Irene Sumeidiana Kuswahyuni ………………………………………………… 4 Jumlah Mikroba Dan pH Rumen Serta Efisiensi Produksi Susu Sapi Friesian Holstein Akibat Penambahan Tepung Daun Katu (Sauropus Androgynus, L. Merr) Dalam Ransum Sumardi ........................................................................................................ 5 Pemanfaatan Pupuk Kascing Untuk Pembibitan Kamboja Jepang (Adenium, Sp.) Sri Suratiningsih, Endah Hasrati, dan Harum Sitepu ................................... 6 Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan Studi Kasus Di Kota Semarang Efriyani Sumastuti ……………………………………………………………….. 7 Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan Terhadap Sifat Organoleptik Dan Daya Awet Ikan Asap Umi Suryanti and Sulistyowati …………………………………………………. 8 Fertilitas Telur Ayam Buras (Gallus domesticus) Akibat Pemberian Vitamin E Dalam Ransum. Raga Samudera ........................................................................................... 1 10 20 27 37 46 56 65 Volume 26, Nomor 1 Pebruari 2008 Hal.

Upload: agromedia-farming

Post on 14-Mar-2016

262 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Agromedia 26-1 Februari 2008

TRANSCRIPT

Page 1: Agromedia 26-1

1

ISSN 0215-8302

AGROMEDIABerkala Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian

ISSN 0215-8302

AGROMEDIA ISI

1 Model Kuadrat Terkecil Untuk Peramalan Populasi Sapi Potong Di Kabupaten Blora Rudy Hartanto ……………………………………………………………………

2 Dampak Penggunaan Pupuk Dan Pestisida Yang Berlebihan Terhadap Kandungan Residu Tanah Pertanian Bawang Merah Di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal Karyadi …………………………………………………………………………….

3 Lingkar Skrotum, Volume Testis, Volume Semen Dan Konsentrasi Sperma Pada Beberapa Bangsa Sapi PotongIrene Sumeidiana Kuswahyuni …………………………………………………

4 Jumlah Mikroba Dan pH Rumen Serta Efisiensi Produksi Susu Sapi Friesian Holstein Akibat Penambahan Tepung Daun Katu (Sauropus Androgynus, L. Merr) Dalam Ransum Sumardi ........................................................................................................

5 Pemanfaatan Pupuk Kascing Untuk Pembibitan Kamboja Jepang (Adenium, Sp.)Sri Suratiningsih, Endah Hasrati, dan Harum Sitepu ...................................

6 Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan Studi Kasus Di Kota Semarang Efriyani Sumastuti ………………………………………………………………..

7 Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan Terhadap Sifat Organoleptik Dan Daya Awet Ikan Asap Umi Suryanti and Sulistyowati ………………………………………………….

8 Fertilitas Telur Ayam Buras (Gallus domesticus) Akibat Pemberian Vitamin E Dalam Ransum.Raga Samudera ...........................................................................................

1

10

20

27

37

46

56

65

ISSN 0215-8302

AGROMEDIAVolume 26, Nomor 1 Pebruari 2008

ISSN 0215-8302

AGROMEDIAHal.

Page 2: Agromedia 26-1

2 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

ISSN 0215-8302

AGROMEDIABerkala Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian

AGROMEDIA merupakan media komunikasi hasil karya ilmiah, yang digunakan untuk menyampaikan informasi ilmiah hasil penelitian oleh segenap sivitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang, dan para penulis lain dalam bidang ilmu-ilmu pertanian/ agribisnis.

AGROMEDIA terbit dua nomor (Pebruari dan Agustus) untuk setiap volume dalam satu tahun. Agar tulisan naskah dapat dimuat, para penulis penyumbang naskah dimohon memperhatikan Petunjuk Penulisan pada halaman sampul belakang. Penyunting berhak mengubah redaksional, dan sistematika penulisan, tanpa mengubah makna isi naskah.

ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Pengarah/PelindungR. Pramono

(Ketua STIP Farming Semarang)

Pemimpin Penyunting Efriyani Sumastuti

Penyunting PelaksanaKaryadi

Anggota PenyuntingSumardi Saparto

Umi Suryanti

Mitra Bestari/ Penelaah AhliRykson Situmorang (Fak.Pertanian IPB)

Umiyati Atmomarsono (Fak.Peternakan Undip) Sutrisno Anggoro (Fak.Perikanan & Kelautan Undip)

PenerbitPusat Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang

AlamatJl. Pawiyatan Luhur IV/15 Bendan Duwur Semarang 50235

Tlp.: (024)-8361051; Fax : (024)-8441430 e-mail : [email protected]

Page 3: Agromedia 26-1

3

EditorialSalam Redaksi

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, bahwa Agromedia-berkala ilmiah ilmu-ilmu pertanian Volume 26 Nomor 1 bulan Pebruari 2008 dapat hadir di tengah-tengah kita semua. Terbitan ini merupakan terbitan yang sekian kalinya dengan perubahan penampilan dalam ukuran serta gaya selingkung yang telah disesuaikan dengan instrumen terbaru dari Dirjen Dikti.

Pada edisi ini, naskah bidang peternakan mendominasi, disamping bidang-bidang yang lain. Bidang peternakan meliputi peramalan populasi sapi potong, lingkar skrotum volume testis volume semen dan konsentrasi sperma pada beberapa bangsa sapi potong, jumlah mikroba dan pH rumen serta efisiensi produksi susu sapi Friesian Holstein akibat penambahan tepung daun katu, fertilitas telur ayam buras akibat pemberian vitamin E dalam ransum.

Di bidang pertanian menampilkan dampak penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan terhadap kandungan residu tanah pertanian, pemanfaatan pupuk kascing untuk pembibitan kamboja jepang, sedang di bidang pengolahan menampilkan kajian penggunaan bahan tambahan makanan terhadap sifat organoleptik dan daya awet ikan asap, dan yang terakhir bidang sosial ekonomi membahas tentang perilaku tabungan rumah tangga petani dan nelayan.

Dari staf redaksi memohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan terbitnya Agromedia majalah berkala ilmiah ilmu-ilmu pertanian sehubungan dengan pergantian staf redaksi, sehingga baru terbit edisi ini yaitu volume 26 nomor 1 untuk bulan Pebruari 2008.

Akhir kata, semoga paparan dalam naskah yang terbit pada nomor ini, dapat memenuhi harapan para pembaca.

Selamat membaca,

Semarang, Pebruari 2008

Dewan Penyunting

Page 4: Agromedia 26-1

1 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

MODEL KUADRAT TERKECIL UNTUK PERAMALAN POPULASI SAPI POTONG DI KABUPATEN BLORA

(THE LEAST SQUARE MODELS FOR FORECAST OF BEEF CATTLE POPULATION IN BLORA REGENCY)

Rudy HartantoFakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRACT

The aim of this research was to look for trends model of most least square type precisely to forecast beef cattle population in Blora Regency. This research use data from the statistics offi ce of beef cattle population in Blora Regency from year 1987 – 2006. Data was analysis with least square models in linear, quadratic and exponential types. The fi t model for forecasting was quadratic model with equation Y = 175.521,20 + 1.717,64 X + 47,04 X2 ( R2 = 0,94). In the year 2009 of beef cattle population in Blora Regency was forecasting 247.861 head.

Key words : least square models, linear, quadratic, exponential, population, beef cattle

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mencari model trend jenis kuadrat terkecil yang paling tepat untuk meramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora. Penelitian ini menggunakan data populasi sapi potong di Kabupaten Blora dari tahun 1987 – 2006 yang di peroleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora. Berdasarkan data tersebut dilakukan peramalan berdasarkan model trend jenis kuadrat terkecil pola linier, kuadratik dan eksponensial. Model kuadrat terkecil yang paling tepat meramal adalah model kuadratik dengan bentuk Y = 175.521,20 + 1.717,64 X + 47,04 X2 (R2 = 0,94). Diramalkan pada tahun 2009 populasi sapi potong di Kabupaten Blora mencapai 247.861 ekor.

Kata kunci : model kuadrat terkecil, linier, kuadratik, eksponensial, populasi, sapi potong

Page 5: Agromedia 26-1

2

PENDAHULUANKabupaten Blora merupakan sentra

sapi potong di Propinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2006 menduduki peringkat pertama dalam jumlah populasi sapi potong sebesar 218.575 ekor atau 15,70% dari total sapi potong di Propinsi Jawa Tengah sebesar 1.392.590 ekor (Anonim, 2007). Sapi potong merupakan sumber daging utama bagi penduduk indonesia selain unggas, babi, kambing dan domba. Populasi sapi potong di Kabupaten Blora perlu dipertahankan jumlahnya, bahkan kalau bisa ditingkatkan sesuai daya tampung dari daerah tersebut. Bagi keperluan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora di bidang peternakan, perlu diketahui perkiraan jumlah sapi potong pada tahun mendatang. Perkiraan ini disebut proyeksi atau peramalan populasi di masa mendatang berdasarkan data populasi masa lalu yang runtut catatannya.

Peramalan merupakan suatu proses untuk mengetahui peristiwa yang akan datang dengan menggunakan data masa lalu yang bersifat kualitatif dan kuantitatif serta didasarkan pada variabel independen dan variabel dependen (Supranto, 2000). Awat (1990) menjelaskan bahwa peramalan merupakan kegiatan untuk mengetahui nilai variabel yang dijelaskan (variabel dependen) pada masa akan datang dengan mempelajari variabel-variabel independen pada masa lalu. Deret berkala/data berkala (time series) merupakan catatan yang runtut mengenai sesuatu variabel dalam jangka waktu tertentu. Menurut Igbal (2002), data berkala merupakan data yang disusun berdasarkan urutan waktu atau data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu.

Tujuan dari analisis statistik mengenai deret berkala adalah untuk mengetahui kecenderungan nilai suatu

variabel dari waktu ke waktu dan meramal (to forcast) nilai suatu variabel pada suatu waktu tertentu (Algifari, 1993). Menurut Supranto (2000), tujuan dari analisis statistik deret berkala adalah untuk mengetahui perkembangan waktu / beberapa kejadian serta hubungan / pengaruhnya terhadap kejadian lain. Penggunaan analisis runtun waktu akan membantu dalam memprediksi kejadian di masa mendatang.

Trend merupakan gerak yang menentukan arah dari time series yang pada umumnya dalam jangka waktu yang panjang (Pasaribu, 1983). Trend merupakan gerakan jangka panjang, lamban dan berkecenderungan menuju satu arah, naik atau turun (Dajan, 1995). Model trend mengenai data deret berkala dari populasi sapi potong di Kabupaten Blora dapat menggunakan metode moving average, semi average dan kuadrat terkecil (pola linier, kuadratik dan eksponensial). Metode kuadrat terkecil dapat digunakan untuk meramalkan kejadian lebih dari satu tahun kedepan dari data awal. Dajan (1995) menyatakan bahwa metode kuadrat terkecil pola linier adalah suatu model dimana variabel X (sebagai periode waktu) berpangkat paling tinggi satu. Kelebihan model ini adalah dalam menggambarkan garis trend yang lebih objektif. Metode kuadrat terkecil pola kuadratik adalah salah satu bentuk trend non linier dimana variabel X mempunyai pangkat paling tinggi dua. Metode kuadrat terkecil pola eksponensial merupakan bentuk trend non linier yang lain, dengan variabel X berfungsi sebagai pangkat. Kelebihan model kuadratik dan eksponensial adalah hasil yang memuaskan ditinjau dari ketelitian nilai-nilai trend yang didapat dan kekurangannya yaitu perhitungan yang relatif rumit.

Penentuan tepat tidaknya suatu

Rudy Hartanto; Model Kuadrat Terkecil Untuk Peramalan Populasi Sapi Potong

Page 6: Agromedia 26-1

3 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

model peramalan terhadap data yang dimiliki dapat menggunakan berbagai kriteria berkaitan dengan goodness of fi t yang menunjukkan bagaimana model peramalan dapat menghasilkan peramalan yang baik. Selain aspek goodnes of fi t tersebut ada tiga kriteria yang perlu untuk dipertimbangkan, yaitu : 1) pola data : penting dalam pemilihan model peramalan, karena masing-masing model mempunyai karakteristik sendiri; 2) faktor biaya peramalan; 3) faktor kemudahan menerapkannya. Suatu model time series dikatakan baik apabila telah sesuai dengan kenyataan. Apabila kesalahan (error) model semakin kecil, maka model bisa dikatakan baik (Thomopoulos, 1980). Makridakis et al. (1983) menyatakan bahwa ketepatan peramalan pada umumnya menggunakan kriteria sebagai berikut: nilai sidik ragam (F-test), koefi sien determinasi (R2), kuadrat tengah galat (mean square error (MSE)), persentase galat (persentage error (PE)).

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari model trend jenis kuadrat terkecil yang paling tepat untuk meramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora berdasarkan data tahun 1987 - 2006.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data populasi sapi potong di Kabupaten Blora dari tahun 1987 – 2006 yang di peroleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora (Anonim, 1987-2006). Berdasarkan data tersebut dilakukan peramalan berdasarkan model trend jenis kuadrat terkecil. Model kuadrat terkecil yang dihitung adalah pola linier, kuadratik dan eksponensial sebagai berikut (Sudjana, 1996) :1). Metode kuadrat terkecil pola Linier

X b a Y +=

Harga koefi sien a dan b dihitung dengan cara mensubtitusikan sistem persamaan normal berikut:

Xb n a Y ∑+=∑

2Xb Xa Y X ∑+∑=∑ dimana : X = periode waktu

Y = nilai observasi2). Metode kuadrat terkecil pola kuadratik

2X c X b a Y ++=Harga koefi sien a, b dan c dihitung dengan cara mensubstitusikan sistem persamaan normal berikut:

2Xc Xb n a Y ∑+∑+=∑32 Xc Xb Xa Y X ∑+∑+∑=∑

4 322 Xc Xb Xa YX ∑+∑+∑=∑dimana : Y = nilai ramalan (trend)X = periode waktuY = nilai observasi

3). Metode kuadrat terkecil pola Eksponensial

dalam bentuk logaritma

b log X a log Ylog +=harga koefi sien a dan b dihitung dengan cara mensubtitusikan sistem persamaan normal berikut:

Xb log a logn Y log ∑+=∑2Xb log X a log Y log X ∑+∑=∑

Berdasarkan Makridakis et al. (1983) dan Sudjana (1996), pengukuran kesesuaian model peramalan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode:1). Nilai Sidik Ragam (F-Test)

F-test = Galat TengahKuadrat

RegresiTengahKuadrat

xabY =

Page 7: Agromedia 26-1

4

0.0020000.0040000.0060000.0080000.00

100000.00120000.00140000.00160000.00180000.00200000.00220000.00240000.00

1987

1989

1991

1993

1995

1997

1999

2001

2003

2005

Tahun

Popu

lasi

(eko

r)

Ilustrasi 1. Plot Data Runtun Waktu dari Populasi Sapi Potong di Kabupaten Blora

Model yang dipilih menghasilkan F-test bermakna dengan nilai terbesar.2). Koefi sien determinasi (R2)

R2 = x100%Total Kuadrat Jumlah

Regresi Kuadrat Jumlah

Model yang dipilih mempunyai nilai R2 terbesar (mendekati 100%). 3). Kuadrat Tengah Galat (Mean Square Error, (MSE))

Galat Bebas DerajatGalat Kuadrat JumlahMSE =

Model yang dipilih mempunyai nilai MSE paling kecil.4). Persentase Galat (Percentage Error,(PE))

PE = x100%Pengamatan Nilai

Galat Nilai

Nilai yang negatif akan dimutlakkan untuk mencari rata-rata PE. Model yang dipilih adalah yang mempunyai nilai PE terkecil.

Proses perhitungan dilakukan dengan bantuan paket program statistik SPSS dan Excel untuk meningkatkan akurasi (Santoso dan Ashari, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data dan Pola Sebaran Data Runtun Waktu Populasi Sapi PotongPlot data runtun waktu untuk

variabel populasi sapi potong di Kabupaten Blora selama 20 tahun dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Pola garis trend pada Ilustrasi 1, menunjukkan plot garis yang perlahan-lahan meningkat dari tahun ke tahun yang mengindikasikan terbentuknya pola yang mengikuti gerakan trend sekuler naik. Gerak trend yang secara perlahan-lahan

naik dimulai pada tahun 1988 meskipun pada tahun 1994 terjadi penurunan sedikit tapi tidak mengubah pola pada tahun berikutnya, yaitu tetap mengikuti pola trend naik. Hal ini sesuai dengan pendapat Boedijoewono (1987) bahwa gerakan yang mengikuti pola naik dalam jangka panjang pada waktu tertentu disebut trend

sekuler naik. Pola linearitas dari sebaran data

runtun waktu ini diindikasikan dari adanya kecenderungan peningkatan populasi ternak pada periode pengamatan 20 tahun tersebut. Namun pola kuadratik dan eksponensial juga dimungkinkan karena adanya peningkatan yang perlahan dan adanya penurunan walaupun sedikit yaitu dari tahun 1987 (176.428 ekor) ke 1988 (148.984 ekor) serta dari tahun 1993 (166.856 ekor) ke 1994 (163.403 ekor). Oleh karena itu perlu di cari ketiga model tersebut yang kemudian dipilih berdasarkan kriteria nilai sidik ragam (F-test), koefi sien determinasi (R2), kuadrat tengah galat (mean square error (MSE)), dan persentase galat (persentage error (PE)).

Perkembangan sapi potong yang cenderung meningkat ini kemungkinan dikarenakan reproduksi ternak

Rudy Hartanto; Model Kuadrat Terkecil Untuk Peramalan Populasi Sapi Potong

Page 8: Agromedia 26-1

5 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

yang tidak dipengaruhi oleh musim. Menurut Blakely dan Bade (1991) dan Partodihardjo (1992), ternak ruminansia besar dalam keadaan normal, proses reproduksinya terjadi setahun sekali dan pada ruminansia kecil bisa terjadi dua kali dalam setahun sehingga reproduksi ternak tidak dipengaruhi oleh musim. Selain itu juga karena didukung oleh kebijakan Kabupaten Blora. Kebijakan tersebut dibuktikan dengan membuat dan mengembangkan Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang bertujuan untuk membantu peternak agar tidak kesulitan dalam mengawinkan ternaknya melalui kawin suntik dengan kualitas pejantan yang baik, sehingga perkembangan ternak ruminansia selalu meningkat. Pemerintah daerah Kabupaten Blora selain mendirikan BIB juga mendirikan Perusda Mix Farming yang merupakan percontohan penggemukan sapi potong yang ideal di daerah tersebut.

Ternak sapi potong di Kabupaten Blora sebagian besar berfungsi sebagi tabungan dan berperan dalam pertanian. Ternak yang dipelihara terutama sapi potong dipelihara untuk membantu dalam mengolah tanah dan tabungan untuk menopang kebutuhan ekonomi, yang

berarti tiap-tiap petani di daerah Blora memiliki satu atau beberapa sapi untuk keperluan mengolah tanah mengingat salah satu fungsi sapi potong dimanfaatkan tenaganya, yakni untuk membajak sawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Busono (1997) dan Sunarso (2003) yang menyatakan di Indonesia ternak ruminansia melengkapi dan menunjang berlangsungnya pertanian tanaman pangan dengan menyediakan tenaga kerja disamping untuk menghasilkan pupuk dan penghasilan tambahan.

Pemilihan Model Kuadrat Terkecil

Model trend jenis kuadrat terkecil yang digunakan dalam pendugaan dan peramalan, dengan indikator nilai sidik ragam (F-test), koefi sien determinasi (R2), mean square error (MSE) dan percentage error (PE), untuk populasi sapi potong di Kabupaten Blora terangkum pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukan nilai sidik ragam (F-test) pada model kuadrat terkecil pola linear, kuadratik dan eksponensial mempunyai hasil yang sangat signifi kan (p<0,01). Berdasarkan Sudjana (2003), hasil yang sangat signifi kan ini menunjukan

Tabel 1. Berbagai Model Trend Jenis Kuadrat Terkecil dengan Indikator Statisik pada Populasi Sapi Potong di Kabupaten Blora

Model Kuadrat Terkecil

Persamaan F-Test R2

(%)MSE PE

(%)

Linier Y = 181.777,20 + 1.717,64 X 119** 87 65.907.078 2,94

Kuadratik Y = 175.521,20 + 1.717,64 X

+ 47,04 X2

270** 94 31.379.686 2,06

Eksponensial Y = (180.559,28) (1,00939)X 145** 89 55.570.016 2,68

Page 9: Agromedia 26-1

6

0.0030000.0060000.0090000.00

120000.00150000.00180000.00210000.00240000.00270000.00300000.00

1987

1989

1991

1993

1995

1997

1999

2001

2003

2005

2007

2009

2011

Tahun

Popu

lasi

(eko

r)

Y Pengamatan Y Dugaan dan Ramalan

Ilustrasi 2. Grafi k antara Data Populasi Pengamatan dengan Pendugaan dan Peramalan Berdasarkan Model Kuadrat Terkecil Pola Kuadratik

bahwa semua model tersebut mempunyai pengaruh yang nyata terhadap hasil ramalan atau dapat digunakan untuk meramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora. Hal ini juga terlihat dari nilai koefi sien determinasi yang tinggi yaitu pola linier 87%, pola kuadratik 94% dan pola eksponensial 89%. Nilai PE dari ketiganya juga baik yaitu pola linier 2,94%, pola kuadratik 2,06% dan pola eksponensial 2,68%. Nilai PE ini sudah sesuai dengan pendapat Makridakis et al. (1983) dan Gordeyase Mas et al. (2007) yang menyatakan bahwa model trend sudah efi sien sebagai alat penduga jika nilai PE di bawah 5%.

Walaupun ketiga model kuadrat terkecil tersebut dapat digunakan, tetap harus dipilih salah satu diantaranya yang nantinya ditetapkan sebagai model yang paling tepat digunakan untuk meramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora. Pemilihan ini didasarkan pada model yang mempunyai nilai sidik ragam (F-test) terbesar, koefi sien determinasi (R2) terbesar, mean square error (MSE) terkecil dan percentage error (PE) terkecil. Berdasarkan kriteria tersebut maka dipilih model kuadrat terkecil pola kuadratik karena memiliki nilai sidik ragam (F-test) terbesar yaitu 269,90, koefi sien determinasi (R2) terbesar yaitu 94%, mean square error (MSE) terkecil yaitu 31.379.686 dan percentage error (PE) terkecil yaitu 2,06%.

Model yang paling baik adalah pola kuadratik dengan bentuk Y = 175.521,20 + 1.717,64 X + 47,04 X2 (R2 = 0,94). Berdasarkan Sudjana (2003), nilai koefi sien determinasi (R2) sebesar 94% ini berarti melalui model kuadrat terkecil pola kuadratik tersebut populasi sapi potong (Y) dapat dijelaskan oleh waktu (X) sebesar 94%, sedangkan 6 % sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

Peramalan Populasi Sapi Potong di Kabupaten Blora Grafi k model kuadrat terkecil pola kuadratik yang digunakan untuk meramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora dapat dilihat pada

Ilustrasi 2. Hasil pendugaan dan peramalan

dengan menggunakan model kuadratik dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 didapatkan nilai residual berkisar antara -10.931,26 sampai 16.561,31. Nilai residual tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1987 diduga sebesar 159.866,69 ekor, tetapi kenyataannya 176.428 ekor UT, sedangkan pada tahun 1988 diduga sebesar 159.915,26 ekor, tetapi pada kenyataannya 148.984 ekor. Residual terkecil diperoleh pada tahun 1998 yaitu sebesar –142,44 dimana diduga sebesar 181.097,44 ekor, tetapi pada kenyataannya sebesar 180.955 ekor. PE terbesar terjadi pada tahun 1987 sebesar 9,39% diikuti tahun 1988 sebesar –7,34%. Untuk tahun 1987 dan 1988

Rudy Hartanto; Model Kuadrat Terkecil Untuk Peramalan Populasi Sapi Potong

Page 10: Agromedia 26-1

7 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Tabel 2. Nilai Y Dugaan Populasi Ternak Ruminansia yang Diperoleh dari Model Kuadrat Terkecil Pola Kuadratik

Tahun Y Pengamatan Y Dugaan dan Ramalan

PE

---------------------- ekor ---------------------- ------- % ------- 1987 176.428 159.866,69 9,39 1988 148.984 159.915,26 -7,34 1989 154.365 160.340,12 -3,87 1990 156.513 161.141,29 -2,96 1991 163.552 162.318,75 0,75 1992 165.525 163.872,52 1,00 1993 166.856 165.802,59 0,63 1994 163.403 168.108,96 -2,88 1995 170.005 170.791,63 -0,46 1996 175.896 173.850,60 1,16 1997 179.578 177.285,87 1,28 1998 180.955 181.097,44 -0,08 1999 185.552 185.285,32 0,14 2000 188.620 189.849,49 -0,65 2001 196.420 194.789,97 0,74 2002 202.567 200.106,75 1,21 2003 209.089 205.794,82 1,57 2004 215.344 211.869,20 1,61 2005 217.497 218.317,88 -0,38 2006 218.575 225.136,86 -3,00 2007 - 232.335,15 -2008 - 239.909,73 -2009 - 247.860,61 -2010 - 256.187,80 -2011 - 264.891,28 -

Rata–rata PE setelah dimutlakkan 2,06

model kuadratik belum bisa menduga populasi secara baik karena PE diatas 5%, namun secara keseluruhan dalam 20 tahun model kuadratik sudah baik karena

akan memiliki titik balik minimum P (- b/2a ; -(b2 – 4ac) / 4a) (Wirodikromo, 1997). Berdasarkan model kuadratik Y = 175.521,20 + 1.717,64 X + 47,04 X2 (R2

rata-rata PE akhir sebesar 2,06%. Model kuadratik mempunyai grafi k

berbentuk parabola yang dapat terbuka ke atas atau terbuka ke bawah. Jika parabola terbuka ke atas maka akan mempunyai titik balik minimum dan jika parabola terbuka ke bawah akan mempunyai titik balik maksimum. Parabola berbentuk Y = ax2 + bx + c dan jika a > 0 maka

= 0,94) maka grafi k berbentuk parabola terbuka ke atas dengan titik balik minimum akan tercapai pada tahun ke –18,26 dengan populasi sebesar 159.841 ekor. Jika diasumsikan setiap tahun pendataan populasi diakhiri pada bulan Desember, maka tahun ke -18,26 yang merupakan titik balik minimum terletak pada tahun 1988 bulan April. Sebelum titik balik

Page 11: Agromedia 26-1

8

minimum grafi k turun dan setelah titik balik minimum grafi k naik, sehingga untuk peramalan setelah tahun 2006 dengan menggunakan model kuadratik tersebut populasi sapi potong akan selalu naik. Berdasarkan Tabel 2 terlihat diramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora untuk tahun 2009 sebesar 247.861 ekor, tahun 2010 sebesar 256.188 ekor dan tahun 2011 sebesar 264.891 ekor.

KESIMPULANModel kuadrat terkecil yang paling

tepat untuk menduga dan meramal populasi ternak ruminansia di Kabupaten Blora adalah model kuadratik dengan bentuk Y = 175.521,20 + 1.717,64 X + 47,04 X2 (R2 = 0,94). Diramalkan populasi sapi potong di Kabupaten Blora untuk tahun 2009 sebesar 247.861 ekor

DAFTAR PUSTAKA

Algifari. 1993. Statistika Ekonomi I. Edisi Pertama. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.

Anonim. 1987 – 2006. Blora dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora, Blora.

Anonim. 2007. Jawa Tengah dalam Angka. Bada Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, Semarang.

Awat, N.J. 1990. Metode Peramalan Kuantitatif. Liberty, Yogyakarta.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).

Boedijoewono, N. 1987. Pengantar Statistik Ekonomi dan Bisnis. Jilid I. Edisi Keempat. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Busono, W. 1997. Potensi Ternak Ruminansia Besar di Jawa Timur. Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Dajan, A. 1995. Pengantar Metode Statistik. Jilid I. LP3ES, Jakarta.

Gordeyase Mas, I.K., R. Hartanto dan W.D. Prastiwi. 2007. Proyeksi daya dukung pakan limbah tanaman pangan untuk ternak ruminansia di Jawa Tengah. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 32 : 285 – 292.

Iqbal, M.H. 2002. Pokok-pokok Materi Statistik I (Statistika Deskriptif). Edisi Kedua. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Makridakis, S., S.C. Wheelwright and V.E. McGee. 1983. Forecasting : Method and Applications. 2nd Ed. John Wiley & Sons, New York.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan Ketiga. Mutiara, Jakarta.

Pasaribu, A. 1983. Pengantar Statistik. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Santoso, P.B. dan Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS. Andi, Yogyakarta.

Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Tarsito, Bandung.

Rudy Hartanto; Model Kuadrat Terkecil Untuk Peramalan Populasi Sapi Potong

Page 12: Agromedia 26-1

9 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Sudjana. 2003. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi Bagi Para Peneliti. Tarsito, Bandung.

Sunarso. 2003. Pakan Ruminansia dalam Sistem Integrasi Ternak – Pertanian. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Badan Penerbit Undip, Semarang.

Supranto, J. 2000. Metode Ramalan Kuantitatif untuk Perencanaan Ekonomi dan Bisnis. Cetakan Kedua. Rineka Cipta, Jakarta.

Thomopoulos, N.T. 1980. Applied Forecasting Methods. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey.

Wirodikromo, S. 1997. Matematika. Erlangga, Jakarta.

Page 13: Agromedia 26-1

10

THE EFFECTS OF THE EXCESSIVE USE OF FERTILIZER AND PESTICIDE TO THE CONTENTS OF RESIDUE IN A SHALLOT FARMING LAND IN GEMUH

SUBDISTRICT (KECAMATAN), KENDAL COUNTY (KABUPATEN)

DAMPAK PENGGUNAAN PUPUK DAN PESTISIDA YANG BERLEBIHAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU TANAH PERTANIAN BAWANG MERAH DI

KECAMATAN GEMUH KABUPATEN KENDAL

KaryadiSekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang

ABSTRACT

The purpose of this study is to observe the water and land pollution in a farming land as the effects of the excessive use of agro chemistry substances; fertilizer and pesticide. The amount of usage that is more than prescribed has led to the increasing contents of heavy metal in the residue. In the long run, this may lead to the decrease of productivity level of the farming land. The data includes 7 (seven) kinds of pesticides and a sample of soil (before and after planting). The content of heavy metal of the sample was examined using AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Previous studies showed that the average of heavy metal content in pesticides is 9.01 mg/kg. In this study, the content of heavy metal before planting was 34,874.40 mg/kg and the content of Pb after harvest was 77,946 mg/Ha. Thus, the increase of the content was 43071, 60 mg = 43.072 gram/Ha. As a matter of fact, the use of pesticides can only increase Pb content up to 2.9501 gram/Ha. The content of heavy metal after harvest was 77.946 gram/Ha. Although this is still below the critical standards of European Union (EU), which is Pb (50-300) mg/kg, the result of this study still needs to be taken into consideration.

Keywords: agro chemistry, residue, heavy metal, AAS

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pencemaran air dan tanah

pada lahan pertanian yang disebabkan oleh pemakaian bahan agrokimia (pupuk dan pertisida) yang berlebihan (tidak sesuai dengan anjuran), sehingga terjadi residu bahan kimia logam berat, dan dampak yang terjadi akibat pemakaian pupuk dan pestisida secara berlebihan, yang dimungkinkan dapat menurunkan produktivitas pertanian untuk tahun-tahun mendatang. Materi penelitian berupa 7 (tujuh) macam pestisida yang ada di pasaran, sampel tanah sebelum dan sesudah ditanami bawang merah, kemudian dianalisis kandungan logam berat tersebut di laboratorium dengan menggunakan alat AAS (Atomic Adsorpsion Spectrophotometer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata bahan pestisida mengandung logam berat rata-rata 9,01 mg/kg. Kandungan logam berat dalam tanah sebelum tanam = 34.874,40 mg/Ha, dan kandungan Pb dalam tanah sesudah panen = 77.946 mg/Ha. Jadi ada tambahan (akumulasi) yang merupakan selisih antara sebelum tanam dan sesudah panen = 43071,60 mg = 43,072 gram/Ha. Dalam

Karyadi; Dampak Penggunaan Pupuk dan Pestisida

Page 14: Agromedia 26-1

11 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

kenyataan di lapangan pestisida hanya dapat menambah Pb sebanyak = 2,9501 gram/Ha. Kandungan logam berat sesudah panen sebesar 77,946 gram/Ha, jika dibandingkan dengan standar European Union (EU), Pb(50-300) mg/kg belum melebihi standart kritis untuk logam berat, tetapi perlu tetap diwaspadai.

Kata Kunci: bahan agrokimia, residu, logam berat, AAS

PENDAHULUAN

Bahan-bahan agrokimia mengandung logam berat terutama kadmium (Cd) yang terdapat dalam pupuk fospat, dan logam berat plumbum (Pb) yang terdapat dalam residu pestisida, yang secara akumulatif akan mengganggu kesehatan manusia dan dapat menurunkan sumber daya alam dan produktivitas tanah pertanian. Untuk itu kita perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya pencemaran bahan agrokimia khususnya residu pestisida yang mengandung logam berat Pb terhadap sumber daya tanah pertanian, air dan tanaman di sentra-sentra produksi tanaman pangan dan sayuran (Anonimous., 2003). Dengan mengetahui informasi tersebut upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan tanah pertanian yang diakibatkan oleh residu penggunaan pestisida yang berlebihan dapat dilakukan dengan pencegahan sedini mungkin.

Menurut data dari Dinas Pertanian Kabupaten Kendal, bawang merah yang dihasilkan. pada tahun 2000, produktivitasnya hampir 9 ton per hektar, sedangkan pada tahun 2008 rata-rata produksinya hanya mencapai 4 s/d 6 ton per hektarnya.Hal ini disebabkan tanah lahan pertahian sudah jenuh kebanyakan bahan kimia sehingga menurunkan produktivitas tanah yang ditanami bawang merah. Karena itu, perlu adanya peremajaan lahan tanah pertanian dengan menggunakan pupuk organik atau

kompos. (http://www.kabupaten-kendal.go.id/ind/pertanian.htm)

Sistem pertanian konvensional mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan umpamanya: pencemaran air tanah, pencemaran air permukaan oleh bahan kimia pertanian yang pada gilirannya akan membahayakan kesehatan manusia dan hewan, pengaruh negatif dari senyawa-senyawa kimia di bidang pertanian juga berpengaruh pada mutu dan kesehatan makanan, menurunkan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik fl ora dan fauna yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Meningkatnya daya ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida, merosotnya daya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan, dan berkurangnya bahan organik ketergantungan yang makin kuat terhadap sumber daya alam tidak terbaharui (non-renewable natural resources), resiko kesehatan/keamanan manusia pelaku pekerja di bidang pertanian (Anonimous, 1986 ).

Jelaslah bila kegiatan pertanian konvensional tidak dikendalikan, maka lingkungan hidup akan semakin merosot kualitasnya. Biaya produksi sarana pertanian konvensional akan semakin mahal, sehingga sistem pertanian tersebut tidak akan bermanfaat lagi.

Oleh karenanya hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah terjadinya pencemaran air dan tanah pada lahan pertanian yang

Page 15: Agromedia 26-1

12

disebabkan oleh pemakaian pupuk dan pertisida yang berlebihan (tidak sesuai dengan anjuran), sehingga terjadi residu bahan kimia logam berat, dan sampai saat ini belum diketahuinya dampak yang terjadi akibat pemakaian pupuk dan pestisida secara berlebihan, yang dimungkinkan dapat menurunkan produktivitas pertanian untuk tahun-tahun mendatang.

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran air dan tanah pada lahan pertanian yang disebabkan oleh pemakaian pupuk dan pertisida yang berlebihan (tidak sesuai dengan anjuran), sehingga terjadi residu bahan kimia logam berat, dan dampak yang terjadi akibat pemakaian pupuk dan pestisida secara berlebihan, yang dimungkinkan dapat menurunkan produktivitas pertanian untuk tahun-tahun mendatang.

MATERI DAN METODE

Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang, dan lokasi di lapangan adalah lahan pertanian tanaman bawang merah di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal untuk musim tanam Maret 2007. Penentuan sampel secara purporsive random sampling dan lokasi pengambilan sampel tetap mempertimbangkan bahwa lokasi sampel harus jauh dari jalan raya agar supaya kandungan Cd dan Pb yang terdapat dalam tanah dan tanaman betul-betul dari pupuk dan pestisida sebagai sumbernya, sehingga kecil sekali kemungkinan Cd/Pb yang besasal dari polusi transportasi.

Bahan yang dipakai adalah bahan agrokimia yang terdiri dari Insektisida, dengan code: Ps1, Fungisida, dengan code: Ps2, Herbisida, dengan code: Ps3,

demikian pula untuk penggunaan pupuk, dikelompokkan menjadi: pupuk jenis 1, dengan code Pp1, pupuk jenis 2, dengan code Pp2, dan pupuk jenis 3, dengan code Pp3, serta contoh tanah sebanyak 12 sampel sebelum ditanami dan 12 sampel tanah sesudah ditanami bawang merah.

Peralatan yang dipakai adalah peralatan lengkap yang dipakai untuk pengujian tanah seperti tempat melarutkan, alat untuk mengukur volume, neraca, pemanasan dan AAS (Atomic Adsorpsion Spectrophotometer) untuk mengetahui kandungan logam berat Cd/Pb (ppm) dalam tanaman/tanah dalam bentuk akumulasi kandungan Cd/Pb.

Penelitian tentang tanah dilakukan dengan dua tahap, yaitu awal, dan akhir musim tanam bawang merah dengan mengadakan penanaman di lahan pertanian. Pengambilan sampel tanah pada persiapan lahan pertanian sebelum ditanami bawang merah untuk mengetahui kandungan logam berat Cd dan Pb mula-mula (C0). Kandungan logam berat Cd dan Pb mula-mula (C0) diambil pada lahan sawah/tegalan yang sama sekali belum pernah ditanami bawang merah minimal selama dua tahun terakhir, atau sawah/tegalan yang belum pernah disemprot dengan pestisida sama sekali selama kurun waktu tersebut sebagai kontrol. Sampel awal (C1) diambil sebanyak 4 (empat) sampel contoh tanah pada lahan sawah seluas 0,5 Ha (50 x 100 m) pada saat sebelum tanam, dengan cara mixing (campuran) dari empat lokasi titik dicampur hingga merata, kemudian baru dianalisa secara laboratoris. Dengan demikian lahan dengan luas 0,5 Ha diambil 12 titik, kemudian dibuat sampel sebanyak 3 contoh seperti pada denah lokasi titik sampel dibawah ini.

Dengan cara yang sama tahap berikutnya diambil 3 (tiga) sampel setelah

Karyadi; Dampak Penggunaan Pupuk dan Pestisida

Page 16: Agromedia 26-1

13 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

bawang merah berumur menjelang panen pada hari ke 45 (hari ke 45 adalah penyemprotan terakhir satu minggu sebelum panen dan rata-rata umur bawang merah 45-52 hari).

Variabel yang diamati adalah

kandungan logam berat Cd/Pb mula-mula dalam tanah (C0, C11, C12, C13), dan kandungan logam berat Cd/Pb menjelang pasca panen pada hari ke 46 (C21, C22, C23). Pemeriksaan sampel tanah dan pestisida secara laboratorium dapat

Lokasi sampel tanah (12 titik =3 sampel) Lokasi Kontrol (4 titik=1 sampel)

Gambar 1. Lokasi Titik-titik pengambilan sampel tanah

100 meter

50 meter

Gambar 2. Diagram Alir Pengujian Sampel Tanah Secara Laboratorium

Sampel

52 HST

Pupuk/Pestisidayang dipakai Petani

PupukInsektisida FungisidaNematida Herbisida

Sumber Cd/Pb

Sumber Cd/Pb

Sumber Cd/Pb

0 HST

TTK sampel 1 TTK sampel 2 TTK sampel 3 TTK sampel 4

TTK sampel 5 TTK sampel 6 TTK sampel 7 TTK sampel 8

TTK sampel 9 TTK sampel 10 TTK sampel 11 TTK sampel 12

TTK sampel 1 TTK sampel 2 TTK sampel 3 TTK sampel 4

TTK sampel 5 TTK sampel 6 TTK sampel 7 TTK sampel 8

TTK sampel 9 TTK sampel 10 TTK sampel 11 TTK sampel 12

Sampel kontrol

C11

C12

C13

C0

C21

C22

C23

AAS

HASIL

Page 17: Agromedia 26-1

14

digambarkan pada diagram alir berikut ini.Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:1. Untuk mengetahui apakah lahan

pertanian bawang merah di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal sudah terakumulasi oleh logam berat Cd/Pb atau belum, maka hasil analisis laboratorium logam berat Cd/Pb dibandingkan dengan kriteria Ditjen POM Depkes dan kriteria menurut CAC (Codex Alimentarius Commission),

yaitu komisi internasional yang dibentuk oleh FAO dan WHO telah menetapkan Maximum Residue Limits (MRLs) pestisida.

2. Indonesia Juga telah mengatur batas maksimum residu pestisida berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan nomor: 881/MENKES/SKB/VIII/1996 dan nomor: 711/Kpts/TP.270/8/96 tanggal 22 Agustus 1996.

C0 C11 C12 C13 C21 C22 C23

DAMPAK PENGGUNAAN PUPUK DAN PESTISIDA YANG BERLEBIHAN PADA LAHAN PERTANIAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU TANAH

PERTANIAN BAWANG MERAH DI KEC.GEMUH KAB. KENDAL

Persiapan Lahan

Aplikasi

Informasi Pemakaian Pestisida

Penentuan Sampel Pestisida Penentuan Sampel

Analisis Dengan AAS Analisis Dengan AAS

Cd/Pb Pos Cd/Pb Neg Cd/PbCd/Pb Neg

Tidak Ada Akumulasi Cd/Pb dlm Tanah/Tan Ada Akumulasi Cd/Pb dlm Tanah/Tan

Pembahasan

HasilKesimpulanRekomendasi

P1 .... P7

Gambar 3. Diagram Alir Pola Pikir Penelitian

Karyadi; Dampak Penggunaan Pupuk dan Pestisida

Page 18: Agromedia 26-1

15 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Tabel 1. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Dalam Pestisida Yang Digunakan Petani Pada Lahan Bawang Merah di Kecamatan Gemuh Kab.Kendal

No JenisPestisida

BahanAnalisis (BA)

Bahan Aktif KandunganLogam Berat Pb (mg/Kg)

Metode Uji

1 (P1) BA.192 Propinep 70 % 12,48 AAS 2 (P2) BA.193 Mankozep 80 % 19,37 AAS 3 (P3) BA.194 Karbofuran 3 % 18,41 AAS 4 (P4) BA.195 Oksifluorfen 240 g/l 0,87 AAS 5 (P5) BA.198 Propinep 70% 2,04 AAS 6 (P6) BA.241 Triozopos 200 g/l 6,87 AAS 7 (P7) BA.242 Profenofos 430 g/l 3,06 AAS Rata-rata 9,01 Sumber: Hasil Analisis Balai Penelitian dan Pengambangan Industri Semarang, 2008.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pendahuluan ini untuk memastikan bahwa petani bawang merah yang memakai pestisida mengandung logam berat Pb atau tidak. Untuk itu perlu pengujian sampel pestisida secara laboratoris seperti yang tercantum pada lampiran kemudian hasilnya dirangkum seperti pada tabel berikut ini.

Hasil analisis sampel tanah untuk berat jenis/bulk density (ρ) tanah = 1,10 kg/liter, maka berat tanah yang terkena pestisida dapat dihitung: Berat tanah = 6000 (liter/Ha) x 1,10 (kg/liter) = 6.600 kg/Ha.

Menurut Tabel 2 rata-rata kandungan Pb dalam tanah sebelum tanam = 5,284 mg/kg. Jadi total Pb dalam tanah sebelum tanam = 5,284 (mg/kg)x 6600 (kg/Ha) = 34.874,40 mg/Ha. Selanjutnya pada

Kandungan Pb dalam pestisida bervariasi dari yang terkecil yaitu P4 sebesar 0,87 mg/kg dan yang terbesar kandungannya adalah P2 sebesar 19,37 mg/kg, dengan rata-rata kandungan 9,01 mg/kg. Dari tujuh macam pestisida ini yang ada dipasaran tidak ada satupun dalam labelnya yang mencantumkan kandungan logam berat Pb, tetapi hanya mencantumkan bahan aktifnya saja.

Analisis Tanah Kandungan Pb Sebelum Tanam dan Sesudah Panen, menurut perhitungan untuk luas lahan 1 Ha = 100 m x 100 m = 10.000 m2, efektif dapat ditanami bawang merah sekitar 60% = 0,6 x 10.000 = 6.000 m2. Jika ketebalan tanah yang terkena semprot 0,1 cm ( 0,001 m), maka volume tanah = 0,001 (m) x 6.000 (m2) = 6 m3 /Ha = 6000 liter/Ha.

Tabel 2 rata-rata kandungan Pb dalam tanah sesudah panen = 11,81 mg/kg. Jadi total Pb dalam tanah sesudah panen = 11,81x 6600 (mg/kg)(kg/Ha) = 77.946 mg/Ha. Jadi ada tambahan (akumulasi) yang merupakan selisih antara sebelum tanam dan sesudah panen = (77.946 - 34.874,40) mg = 43071,60 mg = 43,072 gram/Ha.

Analisis kemungkinan penambahan logam berat Pb yang diakibatkan oleh pemakaian pestisida yang berlebihan pada lahan pertanian bawang merah belum mendukung jika dibandingkan dengan kandungan logam berat Pb yang ada dalam tanah.

Hal yang demikian mungkin saja dapat terjadi karena: (1). Keanekaragaman sampel tanah yang tinggi sehingga belum

Page 19: Agromedia 26-1

16

dapat mewakili sampel yang ada pada lahan seluas satu hektar. Karena sampelnya adalah zat padat, maka untuk membuat yang betul-betul homogen agaknya adalah sulit, jika dibandingkan dengan sampelnya berupa cairan. Hal ini dapat ditunjukkan pada hasil analisis Tabel.2 kandungan logam berat Pb sebelum tanam memunjukkan

perbedaan yang sangat mencolok. (2). Jumlah sampel sebaiknya cukup untuk mewakili luas lahan, karena pada dasarnya makin banyak jumlah sampel akan lebih baik. (3). Pestisida bukanlah satu-satunya penyumbang logam berat Pb dalam tanah. Masih banyak sumber kontaminan logam berat Pb, seperti pupuk (diduga mempunyai kandungan Pb

Tabel 2. Hasil Analisis Tanah Kandungan Logam Berat Pb pada Lahan Bawang Merah di Kecamatan Gemuh Kab.Kendal

No Kode Sampel Kandungan Logam Berat Pb Dalam Tanah (mg/Kg)

Metode Uji

1 C0 3.99 AAS

2 C11C12C13Rata-rata

9,1923,6163,045

5,284

AAS AAS AAS

3 C20C21C22C23Rata-rata

11,2211,9312,4011,70

11,81

AAS AAS AAS AAS

Sumber: Hasil Analisis Balai Penelitian dan Pengambangan Industri Semarang, 2008

Menurut Tabel 3. dalam kenyataan di lapangan pestisida hanya dapat menambah Pb sebanyak = 2,9501 gram/Ha.

Tabel 3. Banyaknya Logam Pb Dalam Tanah Berdasarkan Konsentrasi Pestisida Yang Disemprotkan Pada Lahan Pertanian Dalam (mg/Ha)

No JenisPestisida

PrekuensiPenyemprotan (x)

Pb dlm Pestisida(mg/Kg)

DosisPestisida(g/Ha)

TambahanLogam Berat (mg/Ha)

1 (P1) 12 12,48 14400 179,71 2 (P2) 12 19,37 12000 232,44 3 (P3) 2 18,41 128000 2356,48 4 (P4) 3 0,87 5020 4,37 5 (P5) 12 2,04 18280 37,30 6 (P6) 8 6,87 10520 72,29 7 (P7) 12 3,06 22060 67,50 Jumlah 2.950,10

Sumber: Data primer yang diolah, 2008

Karyadi; Dampak Penggunaan Pupuk dan Pestisida

Page 20: Agromedia 26-1

17 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

yang lebih besar, terutama pada pupuk fosfat), maka perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pupuk dan pestisida pada lahan pertanian. (4). Tanaman bawang merah adalah tanaman yang banyak membutuhkan air, dan setiap saat perlu disiram melalui saluran air yang ada disekelilingnya, maka sangat mungkin air yang disiramkan ini mengandung Pb dari hasil perlindian pupuk yang dipakai sehingga terjadi akumulasi. (5). Perlindian juga dapat terjadi apabila air yang dipakai untuk menyiram mengandung logam berat Pb yang bersumber dari tanah itu sendiri, karena sebelum aplikasi pestisida ini dilakukan (sebelum tanam) tanah sudah mengandung logam berat Pb yang cukup signifi kan yaitu sebesar 5,284 ppm. (6). Aliran air tanah yang diduga juga mengandung berbagai logam berat, diantaranya timbal, sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.

Dampak Pestisida Terhadap Tanah Pertanian

Peningkatan input energi seperti pupuk kimia, pestisida maupun bahan-bahan kimia lainnya dalam pertanian dengan tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping membutuhkan biaya usahatani yang tinggi, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida di luar kontrol akan dapat merusak tanah dan tolerannya suatu jenis hama dan penyakit tertentu terhadap pestisida, disamping juga dapat menghilangkan jenis predator dan parasitoid yang bermanfaat. Kerusakan lingkungan terutama kerusakan lahan pertanian dapat diamati secara langsung, yaitu tanah akan menjadi keras dan pecah-pecah pada musim kemarau, namun pada musim penghujan tanah menjadi liat sehingga akan menyulitkan dalam

pengolahan tanah. Dampak yang lebih dirasakan oleh para petani adalah hasil panen yang selalu menurun untuk setiap musimnya, pada hal cara budidayanya sudah cukup memadai.

Menurut penelitian sebelumnya pemakaian dosis pestisida (ml/Ha, g/Ha) untuk tanaman bawang merah dengan kelipatan volume aplikasi yang jauh berbeda diatas anjuran, hasil panen yang diperoleh tidak jauh berbeda atau sama saja (Djojosumarto ,2002), oleh karena itu bahan-bahan kimia tersebut dapat tetap tinggal sebagai residu dan terakumulasi dalam tanah dan pada hasil tanaman, tanah tercuci ke dalam air sungai akibatnya dapat berbahaya bagi kehidupan manusia maupun hewan.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa volume aplikasi yang berlebihan suatu pestisida tidak mempengaruhi efi kasi (jawa: ampuh, mandi), pestisida pada tanaman sejauh konsentrasi penggunaannya mengikuti rekomendasi yang dianjurkan. Lagi pula volume aplikasi yang berlebihan tidak selalu meningkatkan deposit, dalam arti suatu bahan aktif yang betul-betul menempel pada bidang sasaran, tetapi justru meningkatkan kontaminasi tanah karena run off.

Volume aplikasi yang berlebihan, basah kuyup, yang melebihi batas kapasitas retensi tanaman (sampai menetes, run off), dapat menimbulkan hal-hal yang kuang baik karena: (1). Bahan aktif yang menempel pada bidang sasaran berkurang, karena sebagian bahan aktif pestisida ikut terbuang bersama larutan semprot yang menetes ke tanah. (2). Karena bahan aktif terbuang, maka efi kasi pestisida akan berkurang. (3). Terbuangnya bahan aktif berarti suatu pemborosan. (4). Bahan aktif yang menetes ke tanah akan mencemari

Page 21: Agromedia 26-1

18

lingkungan.

Kajian Pestisida Pada Lahan Pertanian Pengamatan di lapangan adalah pengaruh penggunaan sarana produksi yang berbentuk bahan agrokimia (pupuk urea, KCl, pupuk cair anorganik, pestisida, dll.) yang berakibat pada turunnya tingkat keasaman tanah (pH) dan rusaknya tanah akibat akumulasi residu kimia. Perlu diketahui bahwa lahan-lahan pertanian di daerah penelitian ini rata-rata memiliki pH berkisar antara 4,5-5,5. Menurut beberapa literatur, rendahnya pH tanah berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah karena terjerap oleh kation H, Fe dan Al. Disamping itu, tidak dikembalikannya bahan-bahan organik dalam tanah yang turut terangkut sewaktu panen, membuat tanah-tanah menjadi marginal dicirikan dengan rendahnya daya jerap air (pecah-pecah bila musim kemarau). Bila hasil penelitian ini signifi kan, maka dapat dibayangkan generasi kita selanjutnya, akan memerlukan biaya inputan yang cukup besar untuk mengembalikan kesuburannya. Hasil penelitian ini gunakan sebagai bahan masukkan PEMDA agar mengarahkan kebijakan disektor pertaniannya dengan mengurangi penggunaan saprodi anorganik tersebut dan mensosialisasikan perlunya pengembangan pertanian organik melalui penggunaan pupuk kompos, pupuk kandang, pestisida nabati, dll. Satu hal yang perlu disadari bahwa pemerintah selalu menjadikan parameter peningkatan produksi sebagai parameter keberhasilan pembangunan di sektor pertanian, padahal peningkatan produksi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Ada dugaan,

paradigma lama tersebut turut andil mendorong penggunaan saprodi anorganik yang berlebihan di kalangan petani. Target peningkatan produksi membuat mereka lupa bahwa dunia ini perlu dan akan diwariskan dan tentunya tidak ingin tercatat dalam sejarah sebagai generasi yang mewariskan kerusakan alam.

KESIMPULAN

Pemakaian pestisida yang tidak sesuai dengan anjuran akan merusak lahan pertanian dan lingkungan di sekitarnya. Total Pb dalam tanah sebelum tanam = 34.874,40 mg/Ha atau 5,284 mg/kg, dan total Pb dalam tanah sesudah panen = 77.946,00 mg/Ha atau 11,81 mg/kg. Namun demikian jika dibandingkan dengan standar European Union (EU), Pb(50-300) mg/kg belum melebihi standart kritis untuk logam berat, tetapi perlu tetap diwaspadai.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1994, Pemeriksaan Pestisida Secara Sederhana. Direktorat Jendral Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta.

___________, 2002, Penggunaan Pestisida Secara Benar Dengan Residu Minimum, Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Jakarta.

___________, 2003, Pencemaran Bahan Agrokimia Perlu Diwaspadai, dalam Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian ISSN 0216-4427 vol.25

Karyadi; Dampak Penggunaan Pupuk dan Pestisida

Page 22: Agromedia 26-1

19 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

No.6 Th. 2003

___________, 2003, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, ISSN 0216-4427 Vol. 25 N0. 6.

Arikunto.S, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.

Darmawijaya M. Isa,1990, Klasifi kasi Tanah Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Djojosumarto. P, 2002, Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian, Kanisium Yogyakarta.

Hardjowigeno. S, 1987, Ilmu Tanah, PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Hairiah, K, 2002, Pertanian Organik : Suatu Harapan Atau Tantangan, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

Iqbal, H. Z. and M.A. Qodir, 1990, AAS Determination of Lead and Cadmium in Leaves Polluted by Vehicles Exhoust. Interface, Juornal Environmental Analytic Chemistry. 38 (4) : 533 – 538

Kasumbogo Untung, 1984, Pengantar Analisis Ekonomi Pengelolaan Hama Terpadu, Andi Offset, Yogyakarta.

Silitonga, C, 1994. LISA, Sistem Pertanian Akrab, Buletin Kyusei Nature Farming 03 (2) : 69 - 70.

Soeriaatmaja, dkk.1993, Residu Insektisida

Pada Tanaman Sayuran di Sentra ProduksiSayuran Dataran Rendah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Buletin Penelitian Hortikultura, Vol. XXV No. 3 Tahun 1993.

Sumarno, I. G. Ismail dan Ph. Soetjipto, 2000, Konsep Usahatani Ramah Lingkungan. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan, Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Puslitbangtan, Bogor. p. 55-74.

Suwirma. S, Surtipanti. S, dan Thamsil. L, 1988, Distribusi Logam Berat Hg, Pb, Cd, Cr, Cu, dan Zn dalam Tubuh Ikan, Majalah Batan. 9 (8) : 9 – 16.

http://www.kabupaten-kendal.go.id/ind/pertanian.htm; visit: 11/03/05; 9.45 AM

http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=4506

http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp?kategori=Health&newsno=2935,visit:20/3/05:4.53

http://pustaka.bogor.net; visit 13/04/05: 11.45 h t t p : / / r u d y c t . t r i p o d . c o m / s e m 1 _

0 2 3 / m a d e _ s u w e n a . h t m , visit:20/3/2005;10.14 AM

h t tp : / /www.dep tan .go . id /komis i_pestisida/bmr/bmrp.htm, visit: 15/3/2005: 7.25 PM

http://rudyct.250x.com/sem1_012/budi_nugroho.htm, visit: 20/3/2005: 9.56 AM

h t t p : / / r u d y c t . t r i p o d . c o m / s e m 1 _023/group6_123.htm, visit 20/3/2005;10.27AM

[email protected]

Page 23: Agromedia 26-1

20

LINGKAR SKROTUM, VOLUME TESTIS, VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PADA BEBERAPA BANGSA SAPI POTONG

( SCROTUM CIRCUMFERENCE, TESTIS VOLUME, SEMEN VOLUME AND SPERM CONCENTRATION OF BEEF CATTLES )

Irene Sumeidiana Kuswahyuni

ABSTRACT

The research is meant to fi nd out the scrotum circumference, testis volume, semen volume, and sperm concentration on Simmental, Limousine and Brahman cattle.

The research materials are scrotum and testis of 8 Simmental, 5 Limousine, 4 Brahman, also semen from ejaculation of those 3 cattle. The research instruments are thread-gauge, gauge glass, bucket, scaled tubes and spectrophotometer. Parameter being observed in this research is scrotum circumference, testis volume, semen volume, and sperm concentration. The data was processed by using “Independent Sample Comparison”.

Conclusion obtained in this research is that scrotum circumference and testis volume is affected of Simmental, Limousine and Brahman breed (thit > ttab 0,05), but does not affect (thit < ttab 0,05) on semen volume and sperm concentration.

Keywords: Scrotum, Testis, Semen, Sperm, Cattles

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui lingkar skrotum, volume testis, volume semen dan konsentrasi sperma pada sapi potong bangsa Simmental, Limousin dan Brahman.

Materi penelitian yang digunakan adalah skrotum dan testis dari 8 ekor sapi Simmental, 5 ekor sapi Limousin dan 4 ekor sapi Brahman, serta semen hasil ejakulasi dari ke-3 bangsa tersebut. Peralatan yang digunakan adalah pita meter, gelas ukur, ember, tabung penampung berskala dan spektrofotometer. Parameter yang diamati meliputi lingkar skrotum, volume testis, volume semen dan konsentrasi sperma. Data diolah dengan menggunakan “Independent Sample Comparison”.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lingkar skrotum dan volume testis berbeda nyata antar bangsa Simmental, Limousin dan Brahman (thit > ttab 0,05), akan tetapi volume semen dan konsentrasi sperma tidak berbeda nyata (thit < ttab 0,05).

Kata Kunci : Skrotum, Testis, Semen, Sperma Sapi.

Irene Sumeidiana K; Lingkar Skrotum Pada Beberapa Bangsa Sapi

Page 24: Agromedia 26-1

21 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi ternak. Peningkatan kualitas produksi ternak dapat dicapai dengan penyediaan bibit dan lingkungan yang baik. Sedangkan peningkatan produksi ternak dapat dilakukan dengan mengoptimalkan efi siensi reproduksinya, yaitu dengan melaksanakan perkawinan melalui inseminasi buatan.

Pejantan dengan kualitas genetik yang unggul sebagai produsen semen, penting untuk diperhatikan dalam program inseminasi buatan. Oleh sebab itu diperlukan adanya seleksi untuk memilih pejantan dengan performans yang baik. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pejantan untuk mengawini sejumlah betina, memproduksi sperma dan tingginya fertilitas. Produksi optimum sperma pada masing-masing bangsa berbeda menurut potensi genetiknya.

Perbaikan kondisi badan atau bobot badan mampu meningkatkan volume semen dan besarnya lingkar testis, sedangkan kualitas semen sangat ditentukan ukuran testis (Wijono, 1998). Lingkar skrotum. mencerminkan ukuran dari testis dan menyatakan banyaknya jaringan atau tubuh seminiferi yang berfungsi untuk memproduksi sperma. Perkembangan lingkar skrotum pada bangsa Indicus lebih lambat bila dibandingkan dengan bangsa Taurus. Dengan demikian dapat diduga bahwa produksi semen pada bangsa Taurus lebih tinggi bila dibandingkan dengan bangsa Indicus. Namun, korelasi positif antara ukuran tubuh, testis dan produksi semen ini belum tentu berlaku untuk bangsa Taurus yang hidup di lingkungan tropis.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui lingkar skrotum,

volume testis, volume semen dan konsentrasi sperma pada sapi potong bangsa Simmental, Limousin dan Brahman. Manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai ukuran lingkar skrotum, volume testis, volume semen dan konsentrasi sperma sapi Simmental, Limousin dan Brahman yang diharapkan dapat digunakan dalam proses seleksi.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan materi skrotum dan testis dari 8 ekor sapi Simmental, 5 ekor sapi Limousin dan 4 ekor sapi Brahman, dan semen dari ketiga bangsa tersebut. Sapi yang digunakan memiliki kisaran umur 2,5 sampai 3 tahun. Kisaran bobot badan Simmental, Limousin dan. Brahman secara berurutan yaitu 975 ± 91 kg, 914 ± 72 kg, dan 593 ± 57,50 kg di Balai Inseminasi Buatan Ungaran.

Peralatan yang digunakan adalah pita meter untuk mengukur lingkar skrotum, gelas ukur untuk mengukur volume air, ember, tabung penampung berskala untuk mengukur volume semen, dan “Spektrofotometer” untuk mengukur konsentrasi sperma.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi : lingkar skrotum, volume testis, volume semen, dan konsentrasi sperma pada beberapa sapi potong.

Pengukuran lingkar skrotum dan volume testis dilakukan di lapangan dan pengamatan terhadap volume semen dan konsentrasi sperma tiap individu dilakukan di dalam laboratorium.

Pengukuran lingkar skrotum dilakukan dengan melingkarkan pita ukur pada bagian terlebar dari skrotum (Sorensen, 1979), lingkar skrotum

Page 25: Agromedia 26-1

22

dinyatakan dalam centimeter (cm).Pengukuran terhadap volume

testis dilakukan dengan cara memasukkan testis kedalam ember yang telah diisi air. Volume testis diketahui dengan mengukur air luapan yang tertampung dalam ember. Pengukuran volume testis ini didasarkan pada azas archimedes yang menyatakan bahwa volume benda yang dikenakan terhadap zat cair, sama dengan volume zat cair yang dipindahkan (Sears dan Zemansky, 1994), Setelah pengukuran terhadap volume testis dan lingkar skrotum, 1-3 hari kemudian dilakukan penampungan semen untuk mengetahui volume semen dan konsentrasi spermatozoa yang digunakan sebagai data sekunder.

Volume semen dapat diketahui dengan cara membaca tabung penampungan berskala pada vagina buatan (Toelihere, 1981). Volume semen dinyatakan dalam satuan mililiter (ml). Pemeriksaan konsentrasi semen dilakukan dengan menggunakan alat “spektrofotometer” (Salisbury dan VanDemark,1985). Konsentrasi sperma dinyatakan dalam juta per mililiter semen.

Hipotesis PenelitianUntuk mengetahui lingkar skrotum,

volume testis, volume semen dan konsentrasi pada bangsa sapi Simmental, Limousine, Brahman

H0 : mA = mB = mC

Hi : mA ≠ mB ≠ mc

Analisis DataSetelah data diperoleh lingkar

skrotum, volume testis, volume testis dan konsentrasi sperma dianalisis dengan metode “Independent Sample Comparison”. Uji yang digunakan adalah

uji - t student, sesuai dengan petunjuk Steel dan Torrie (1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lingkar Scrotum dan Volume Testis Beberapa Bangsa Sapi Potong. Lingkar skrotum adalah lingkar tengah kedua testis dengan menurunkan kedua testis kedalam kantong skrotum dan diukur bagian tengah yang terbesar (Sorensen, 1979). Hasil penelitian mengenal lingkar skrotum dan volume testis dapat dilihat pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa rataan ukuran lingkar skrotum dan volume testis pada ketiga bangsa berbeda nyata (t hit > t tab 0,05). Ukuran lingkar skrotum secara berturut berdasarkan besar yaitu, Simmental 45,42 cm, Limousin 35,60 cm dan Brahman 32,00 cm. Sedangkan ukuran volume testis adalah Simmental 1361,71 ml, Limousin 729,93 mi, dan Brahman 451,25 mi.

Hasil ini didukung oleh kenyataan bahwa bangsa Taurus (Simmental dan Limousin) dan Indicus (Brahman) memiliki karakteristik performans yang berbeda sesuai dengan genetiknya. Ukuran lingkar skrotum relatif berbeda menurut bangsa dan bobot badannya. Bangsa Taurus cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari bangsa Indicus, dengan demikian terdapat perbedaan pada ukuran testis. Hal ini sesuai dengan pendapat Wijono (1998) bahwa terdapat korelasi antara berat badan dan ukuran testis.

Bentuk, ukuran dan lokasi testis bervariasi antar bangsa (Hafez, 1980). Bentuk testis pada sapi jantan bulat panjang terletak didalam kantong skrotum dan tergantung pada khordata spermatikus dan bagian anterior testis lebih ke bawah atau posisi ventral. Panjang testis 10 - 12,5

Irene Sumeidiana K; Lingkar Skrotum Pada Beberapa Bangsa Sapi

Page 26: Agromedia 26-1

23 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Tabel 1. Rataan Lingkar Skrotum dan Volume Testis dari Bangsa Simmental Limousin dan Brahman.

Parameter yang Bangsa Diamati

Simmental Limousin Brahman

Lingkar Scrotum (cm) 45,42a 35,60b 32,00c

Volume Testis (ml) 1361,71a 729,93b 451,25c

Superskrip yang berbeda dalam baris sama menunjukkan hasil berbeda nyata (t hitung > t tabel 5 %).

cm dan lebar 5 - 6,25 cm dengan berat rataan 500 g (Salisbury dan VanDemark, 1985).Kecermatan pengukuran sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu pada waktu pengukuran. Suhu testis selalu lebih rendah dari suhu badan dan berusaha menyamai suhu di sekelilingnya (Djanuar, 1977). Pada waktu pengukuran, testis cenderung naik mendekat ke perut saat pencelupan pertama, kedalam air.

Produksi Semen Beberapa Sapi Potong.

Produksi semen dapat dinyatakan dalam jumlah mililiter setiap ejakulasi (volume semen) dan banyaknya sperma per mililiter plasma (konsentrasi). Hasil pengamatan mengenai produksi semen pada bangsa Simmental, Limousin dan Brahman dapat dilihat pada Tabel 2, terlihat bahwa rataan volume semen sapi Simmental, Limousin dan Brahman berada dalam kisaran normal, sesuai dengan pendapat Hafez (1980) dan Toelihere (1979) secara berturut - turut yaitu 5 - 8 ml dan 1 - 15 ml.i

Hasil analisis terhadap volume semen antar bangsa, menunjukkan tidak berbeda nyata (t hit < t tab 0,05).

Lindsay et. al. (1982), menyatakan bahwa volume semen sapi bervariasi dari 1- 15 ml tergantung pada bangsa, umur dan frekuensi penampungan. Ditekankan pula oleh Salisbury dan VanDemark (1985) bahwa pada umumnya volume semen akan bertambah sesuai dengan besar tubuh, Perubahan keadaan reproduksinya, daya kekuatan dan frekuensi penampungan .

Dengan manajemen dan kisaran umur yang sama, selayaknya terdapat perbedaan volume semen antara bangsa sesuai potensi genetiknya. Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa semakin tinggi berat badannya, maka semakin tinggi pula berat testisnya karena kelenjar yang menghasilkan plasma semen juga turut berkembang. Dengan kenyataan demikian seharusnya sapi Simmental dan Limousin mampu menghasilkan semen dengan volume yang relatif lebih tinggi. Ditekankan pula oleh Wijono (1998) bahwa perbaikan bobot badan mampu meningkatkan volume semen.

Hasil pengamatan menunjukkan kemampuan memproduksi semen yang relatif tidak berbeda. Hal ini berkaitan dengan kemampuan adaptasi dari bangsa Taurus di lingkungan yang berbeda dari tempat asalnya. Kenyataan ini didukung oleh pernyataan Djanuar (1977), yaitu

Page 27: Agromedia 26-1

24

pejantan-pejantan yang didatangkan dari luar negeri tidak mempunyai kulit skrotum yang cukup tebal dibandingkan dengan sapi-sapi setempat. Hal ini memberikan suhu testis yang terlalu tinggi, sehingga dapat mengganggu proses spermatogenesis. Seperti diketahui bahwa suhu testis selalu lebih rendah dari suhu badan, dan berusaha menyamai suhu disekelilingnya. Dan skrotum berfungsi sebagai termoregulator (Salisbury dan VanDemark, 1985).

Frekuensi penampungan relatif sama pada tiap pejantan dengan 2-3 kali ejakuasi. Banyaknya ejakulasi mempengaruhi volume semen. Frekuensi penampungan dan ejakulasi yang terlalu sering akan menurunkan jumlah dan kualitas semen. Banyaknya ejakulasi dan kualitas semen tergantung pada banyak dan kualitas pakan yang diberikan. Pejantan yang terlalu gemuk, kadang-kadang menghasilkan semen yang kurang baik, dan banyak diantara sel-sel sperma yang abnormal atau kurang daya pembuahannya. Namun, pejantan yang kurang pakan juga sama jeleknya dengan pemberian pakan yang berlebihan (Djanuar, 1977). Pakan yang diberikan pada materi penelitian adalah sama menurut kebutuhannya, sehingga volume tidak berbeda diantara bangsa Simmental, Limousin dan Brahman (t hit < t tab 0,05)

Kualitas semen dipengaruhi pula oleh libido sexual pejantan. Adanya perangsangan yang berulang dengan selang waktu antar rangsangan yang masih dekat, dapat meningkatkan hormon gonadotropin yang akan menginduksi hormon testosteron untuk spermatogenesis yang optimum (Djanuar, 1977). Dikatakan pula oleh Hafez (1980), volume semen merupakan cairan yang berasal dari kelenjar aksesori yang produksinya dirangsang oleh adanya hormon testosteron. Perangsangan yang relatif sama pada materi penelitian, menyebabkan produksi semen tidak berbeda nyata (t hit < t tab 0,05)

Jika disimak lebih lanjut, kemampuan memproduksi semen individu-individu antar bangsa, didapatkan hasil yang relatif berbeda. Hal ini dimungkinkan oleh kemampuan adaptasi yang berbeda dalam lingkungan ekstrim (berbeda comfort zone), yang menekan munculnya potensi genetik secara optimal. Dengan demikian kemampuan untuk memproduksi semen pada ternak yang telah beradaptasi menurun, walaupun secara performans lebih dekat ke bangsa Taurus.

Konsentrasi sperma sapi Simmental, Limousin dan Brahman (Tabel 2) secara berurutan yaitu 1217,96 juta / ml ; 1481,40 juta / ml ; dan 1475,34 juta / ml, secara statistic tidak berbeda nyata (t

Tabel 2. Rataan Produksi Semen Sapi Simmental, Limousin dan Brahman.

Parameter yang Bangsa Sapi Diamati

Simmental Limousin Brahman

Volume Semen (ml) 5,90 5,01 4,72

Konsentrasl (juta / ml) 1217,96 1481,40 1475,34

Irene Sumeidiana K; Lingkar Skrotum Pada Beberapa Bangsa Sapi

Page 28: Agromedia 26-1

25 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

hit < t tab 0,05). Konsentrasi tersebut berada dalam kisaran normal, sesuai dengan pendapat Hafez (1980) yaitu 1000 - 1800 x 106 / ml.

Produksi sperma pada bangsa Simmental sedikit lebih rendah dari bangsa Limousin dan Brahman. Dan ditemukan individu dalam bangsa yang memiliki produksi sperma relatif lebih rendah dari rataan bangsanya. Kedua hal tersebut dimungkinkan terjadi karena bobot badan sapi terlalu tinggi. Kualitas maupun kuantitas semen dari seekor sapi jantan dipengaruhi oleh faktor umur, bangsa, besar badan, nutrisi dan frekuensi penampungan semen (Hafez, 1980). Kondisi badan yang mengarah pada terjadinya kegemukan atau kekurusan ternak sebagai satu faktor penganggu aktivitas reproduksi (Toelihere, 1979).

Semakin tinggi berat badan sapi, semakin tinggi pula berat testisnya dengan demikian bertambah pula jumlah tubuli seminiferi. Produksi sperma akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah tubuli seminiferi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Hewan yang terlalu tinggi berat badannya (mencapai 1000 kg ) tidak baik digunakan sebagai pejantan dengan tujuan penghasil sperma. Karena pada ternak yang terlalu gemuk banyak penimbunan lemak pada skrotum, sehingga mempengaruhi proses spermatogene-sis (Toelihere, 1981) yaitu menurunkan produksi sperma. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Wijono (1998) bahwa kualitas semen sangat ditentukan oleh ukuran testis. Penurunan kepadatan sperma secara otomatis menurunkan volume semen.

Kenyataan ini tidak sesuai dengan harapan penggunaan pejantan pemacek, yaitu memperoleh volume sedikit dengan kepadatan sperma yang tinggi. Dengan pertimbangan tersebut, maka suatu hal

yang wajar jika kemampuan memproduksi semen dari bangsa Taurus (Simmental dan Limousin) yang beradaptasi di lingkungan tropis, relatif tidak berbeda nyata dengan bangsa Indicus (Brahman). Kenaikan berat badan yang diikuti dengan kenaikan berat testis, tetapi tidak menyebabkan meningkatnya jumlah spermatozoa dalam testis. Dimungkinkan oleh kurang berperannya FSH yang berfungsi untuk menstimulir pertumbuhan sel-sel graminatif dari tubuli seminiferi dan mendorong proses spermatogenesis secara sempurna (Salisbury dan VanDemark, 1985).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini disimpulkan sebagai berikut :

1. Lingkar skrotum dan volume testis berbeda nyata antar bangsa Simmental Limousin dan Brahman (t hit > t tab 0.05)

2. Volume semen dan konsentrasi sperma tidak berbeda nyata antar bangsa ( t hit < t tab 0,05 )

DAFTAR PUSTAKA

Djanuar, R. 1977. Buku Pedoman Inseminasi Buatan Secara Praktis. Bagian Reproduksi Hewan. Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto.

Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger. Philadelphia.

Lindsay, D.R, K.W. Entwistle, dan A. Winantea. 1982. Reproduction in Domestic Livestock in

Page 29: Agromedia 26-1

26

Indonesia. University of Quennsland Press, Melbourne.

Salisbury, G.W dan N.L. Van Demark. 1985. Fisiologi dan Reproduksi pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh R. Djanuar).

Sears, F.W dan M.W. Zemansky. 1994. Fisika untuk Universitas 1. Bina Cipta, Jakarta.

Sorensen, A.M. 1979. Animal Reproduction. Mc. Graw-Hill Publications in the Agricultural Sciences, New York.

Stell, R.G.D dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-3. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta. (Diterjemahkan oleh B. Sumantri

Toelihere, M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung

Wijono, D.B. 1998. Peran bobot badan dan ukuran testis sapi potong pejantan terhadap kemampuan produksi dan tingkat kualitas semen. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Hal. 228-232.

Irene Sumeidiana K; Lingkar Skrotum Pada Beberapa Bangsa Sapi

Page 30: Agromedia 26-1

27 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

JUMLAH MIKROBA DAN pH RUMEN SERTA EFISIENSI PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN AKIBAT PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KATU (Sauropus

androgynus, L. Merr) DALAM RANSUM

Microbial and Ruminal pH, and Milk Production Effi ciency of Friesian Holstein Dairy Cow Administered “Katu” (Sauropus androgynus L. Merr.) powder in Ration

SumardiSTIP Farming Semarang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian katu pada sapi laktasi Friesian Holstein terhadap jumlah mikroba rumen, derajat keasaman (pH) rumen, dan Efi siensi Produksi susu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2004 di peternakan sapi perah PT. ARGA SARI, Desa Winong, Kecamatan Kota, Kabupaten Boyolali. Materi penelitian yang digunakan terdiri atas: 1) 12 ekor sapi FH laktasi kedua bulan kelima dengan bobot badan rata-rata awal 415,42 kg ± 47,30 kg (CV = 11,38%) dan rata-rata produksi susu awal 8,95 liter ± 1,28 liter (CV = 14,20%). 2) Pakan yang digunakan jerami jagung dan 3) Katu yang diberikan dalam bentuk tepung daun. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diuji adalah: T0 = Jerami jagung + Konsentrat (60%) + Katu 0,00 % BB sebagai kontrol; T1 = Jerami jagung + Konsentrat (60%) + Katu 0,02 % BB; T2 = Jerami jagung + Konsentrat (60%) + Katu 0,04 % BB. Parameter yang diukur meliputi : 1) Jumlah mikroba rumen, 2) pH rumen, dan 3) efi siensi produksi susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung katu dalam ransum berpengaruh terhadap rata-rata jumlah mikroba rumen dimana rata-rata perlakuan T0,

T1 dan T2 masing-masing sebesar 5,15x106; 2,01x108 dan 4,2x106 CFU/ml cairan rumen (P<0,05); namun tidak berpengaruh terhadap rata-rata pH rumen dimana rata-rata untuk perlakuan T0,

T1 dan T2 masing-masing 8,00; 8,00 dan 8,25; serta efi siensi produksi susu untuk T0,

T1 dan T2 masing-masing sebesar 19,02; 19,23 dan 17,77%.Kesimpulan dari hasil penelitian adalah pemberian tepung daun katu sampai dengan

0,04% BB dalam pakan sapi perah Friesian Holstein laktasi tidak memberikan pengaruh terhadap kondisi saluran pencernaan, dan efi siensi produksi, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah mikroba rumen.

Kata kunci : katu, mikroba, pH, efi siensi produksi susu.

ABSTRACT

The objective of this research was to investigate the effect of dietary Sauropus androgynus (L) Merr (Katu) on microbial and ruminal pH, and milk production effi ciency in dairy cows. The research was undertaken in CV. Argasari dairy farm, Boyolali. Twelve Friesian Holstein (FH) dairy cows in 5th month of 2nd years lactation period

Page 31: Agromedia 26-1

28

with average of body weight and milk yield are 415.42 ± 47.30 kg (CV = 11.38%) and 8.95 ± 1.28 l/d (CV = 14.20%), respectively, were used in this research. Diets were corn straw, concentrate and katu powder. The dairy cows were assigned into 3 treatments (T0 = corn straw + concentrate 60% + without katu powder; T1 = corn straw + concentrate 60% + katu powder 0.02% BW; and T2 = corn straw + concentrate 60% + katu powder 0.04% BW). Parameters observed were ruminal microbial and ruminal pH, and milk production effi ciency. Data were analyzed by Analysis of Covariance (ANACOVA). The results shown that treatment infl uenced: 1) the average of ruminal microbial wich T0, T1 and T2 treatments were 5.14x106; 2.01x108 and 4.2x106 CFU/ml; 2) but treatment did’nt infl uenced the everage of ruminal pH wich T0, T1 and T2 treatments were 8.00; 8.00 and 8.25; and 3) didn’t infl uenced the everage of milk production effi ciency T0, T1 and T2 were 19.02; 19.23 and 17.77%. Conclution of this research showed that dietary Sauropus androgynus (L.) Merr in dairy cows diets at doses 0.02 and 0.04% BW doesn’t able on ruminal pH, milk production effi ciency, but able on ruminal microbial.

Keywords: Sauropus androgynus (L.) Merr, microbial, milk production effi ciency.

PENDAHULUAN

Upaya pemecahan masalah rendahnya produktivitas susu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan jalan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing pada saat sapi bunting, sedangkan pada saat sapi laktasi dapat dilakukan dengan meningkatkan proses metabolisme zat-zat makanan.

Rendahnya performans ternak ruminansia disebabkan biosintesis protein mikroba dalam retikulo-rumen tidak mencapai maksimum sebagai akibat kekurangmampuan menyediakan amonia (N-NH3) dan asam lemak terbang (volatile fatty acids;VFA) dalam jumlah cukup (Sunarso, 2003).

Katu (Sauropus androgynus (L) Merr. bisa dijadikan alternatif sebagai suplemen ransum dalam rangka meningkatkan produktivitas susu sapi

perah. Katu mengandung beberapa zat kimia, antara lain: asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (androstan) yang berfungsi untuk pembentukan hormon estrogen yang berperan dalam pemanjangan sistem saluran; hormon progesteron berfungsi untuk meningkatkan (pembentukan) jumlah percabangan sistem saluran; dan hormon laktogen plasenta berperan untuk meningkatkan jumlah sel epitel. Kandungan kimia lain katu adalah asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl-3-enylacetate yang berperan dalam meningkatkan kinerja mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan VFA. Dengan meningkatnya VFA maka asam asetat, asam propionat dan asam butirat akan meningkat pula. Asam butirat dan asam asetat digunakan sebagai bahan sintesis susu dan asam propionat pada proses gluconeogenesis di hati akan diubah menjadi glukosa, dan glukosa

Sumardi ; Jumlah Mikroba Dan Ph Rumen Serta Efi siensi Produksi Susu Sapi

Page 32: Agromedia 26-1

29 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

akan diubah menjadi laktosa susu yang akan mengikat air di dalam susu, sehingga produksi susu juga bisa meningkat.

Kecernaan pada ruminansia tergantung pada populasi dan jenis mikroba yang terdapat dalam rumen. Kehidupan mikroba rumen tergantung pada jumlah nutrien yang berasal dari pakan. Untuk perkembangbiakan mikroba rumen membutuhkan minimal 8% protein pakan atau rata-rata membutuhkan minimal 50 mg/l cairan rumen. Defi siensi protein akan menurunkan aktivitas mikrofl ora rumen dan laju digesti sellulosa. Konsentrasi NH3 yang optimal diperlukan untuk memaksimalkan laju fermentasi di dalam rumen dan juga memaksimalkan sintesis protein mikroba (Shain et al., 1998).

Bakteri selulolitik membutuhkan NH3 sebagai sumber N (Libaoux dan Peyraud, 1998). Chikunya et al. (1996) menyatakan bahwa amonia merupakan prekursor utama protein mikroba dan esensial untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri rumen.

Fermentasi dapat menyebabkan

terjadinya depolimerasi substrat. Kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral pada substrat pakan akan mengalami perubahan oleh aktivitas dan perkembangbiakan mikroba (Pederson, disitasi Nurwantara et al., 2001). Menurut Winarno dan Fardiaz disitasi Nurwantara et al., (2001), proses fermentasi pada substrat pakan akan menghasilkan nilai gizi yang lebih baik karena adanya aktivitas mikroba yang katabolik dan menghasilkan enzim untuk merubah komponen pakan kompleks menjadi bentuk sederhana. Proses fermentasi suatu bahan pakan dapat diartikan sebagai proses biokimia yang menghasilkan energi, komponen organik bertindak sebagai penerima elektron (Suwaryono dan Ismeini, disitasi Nurwantara et al., 2001).

Efi siensi produksi diukur dengan membandingkan produksi energi dalam susu dengan kebutuhan energi pakan. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tinggi efi siensi produksi dari ternak yang bersangkutan. Maka dari itu efi siensi produksi mejadi

Tabel 1. Komposisi Kimia Katu dalam 100 g Daun Basah (Suprayogi, 2000)

Nutrien Djojosoebagio

(1965)Depkes RI

(1972)NIN

(1978)Padmavathi

(1990)

Air (g) PK (g) Lemak (g) KH (g) Pati (g) SK (g) Carotene(μg)Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Vit. C (mg) Ca (mg) P (mg) Energi (kal/g)

78,26,51,8

-2,82,2

-------

81,04,81,0

11,0--

10.020,00,1

-239,0204,0

83,059

73,66,83,2

--

1,45706,0

0,481,32

247,0570,0200,0

-

69,97,41,1

--

1,85.600,0

0,50,21

244,0771,0543,0

-

Page 33: Agromedia 26-1

30

penting sebab sebuah teknologi akan layak diterapkan kalau tingkat efi siensinya memadai. Dikatakan lebih lanjut bahwa efi siensi produksi sapi perah berkisar 28 – 34%. Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa rata-rata efi siensi produksi air susu kelompok domba yang disuperovulasi lebih tinggi (31,82%) dibandingkan dengan kelompok domba yang nirsuperovulasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung daun Katu dalam ransum terhadap: Jumlah mikroba, pH Rumen, dan Efi siensi produksi susu sapi perah Friesien Hollstein.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di peternakan sapi perah CV. ARGA SARI yang berlokasi di Desa Winong, Kecamatan Kota Boyolali.

Pakan yang digunakan hijauan jerami jagung segar, umur 50 hari dan konsentrat yang terdiri dari bekatul, bungkil kopra, bungkil kelapa sawit, wijen, gluten, kulit kopi, BR (sisa pakan ayam), kalsit, premix dan garam. Perbandingan bahan kering hijauan dan konsentrat yaitu 40 : 60.

Katu diberikan dalam bentuk serbuk. Dibuat dari daun katu yang dikeringkan di dalam oven selama 36

jam dengan suhu 600 C, kemudian dihaluskan dengan blender. Komposisi Bahan Penyusun Konsentrat penelitian tercantum pada Tabel 2.

Materi penelitian dipilih dari sejumlah sapi laktasi yang ada di perusahaan berdasarkan kriteria : (1) tahun laktasi kedua, (2) bulan laktasi kelima, (3) bobot badan seragam dan (4) produksi susu seragam. Dari materi yang ada terpilih sebanyak 12 ekor sapi latasi dengan rata-rata bobot badan 415,42 ± 47,30 kg (CV = 16,20%), produksi susu rata-rata per hari 8,95 ± 1,28 liter (CV = 14,30%).

Sapi perah sebanyak 12 ekor secara acak dengan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dua perlakuan dan satu kontrol yang masing-masing diulang empat kali. Semua sapi diberi ransum yang sama yaitu hijauan dan konsentrat. Banyaknya ransun dihitung berdasarkan bahan kering sebanyak 2,5% dari bobot badan masing-masing sapi. Pemberian katu dihitung berdasarkan persentase dari bobot badan sapi. Pemberian katu untuk kontrol (T0) sebanyak 0%, perlakuan T1 sebanyak 0,02% dan untuk perlakuan T2 sebanyak 0,04%.

Perlakuan-perlakuan yang diterapkan sebagai berikut : T0 = Jerami jagung (40%) + Konsentrat (60%) + Katu 0% dari BB, sebagai kontrol; T1 = Jerami jagung (40%) + Konsentrat (60%) + Katu

Tabel 2. Komposisi Bahan Penyusun Konsentrat

No Bahan Kandungan

No Bahan Kandungan

12345

BekatulBungkil kopra Bungkil kelapa sawit Wijen Gluten

.. % .. 24,015,012,510,025,0

6789

10

Kulit kopi BR (sisa pakan ayam)GaramKalsit

..% ..5,05,02,01,40,1

Sumardi ; Jumlah Mikroba Dan Ph Rumen Serta Efi siensi Produksi Susu Sapi

Page 34: Agromedia 26-1

31 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

0,02 % dari BB; dan T2 = Jerami jagung (40%) + Konsentrat (60%) + Katu 0,04% dari BB

Data dianalisis dengan Analisis Kovarian (ANAKOVA) dengan program SAS dan dilanjutkan dengan Uji Duncan’s (α = 0.05). Model linier Anakova dasar RAL sebagai berikut :

Yij = μ + αi + β1 (X1ij + X1..) + β2 (X2ij + X2..) + εij i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3, 4

dimana :

Yij = pengamatan dari sapi ke–j yang mendapat ke-i

μ = rataan umumαi = pengaruh perlakuan katu ke-Iβ1 = koefi sien regresi untuk X1

(bobot badan awal)β2 = koefi sien regresi untuk X2

(produksi susu awal)X1ij = bobot badan awal sapi ke-i

yang mendapat katu ke-jX2ij = produksi susu awal sapi ke-j

yang mendapat katu ke-iX1.. = rataan dari bobot badan awalX2.. = rataan dari produksi susu awal

εij = galat akibat perlakuan katu ke-i dan ulangan ke-j

Parameter yang diamati meliputi Jumlah mikroba rumen, dihitung per mililiter isi rumen.; Derajat keasaman (pH), diukur bersamaan pengambilan cairan rumen untuk keperluan penghitungan mikrobia rumen; dan Efi siensi produksi, diukur dengan membandingkan produksi energi dalam air susu yang dihasilkan dengan energi pakan yang dikonsumsi. Energi susu dianalisis dengan menggunakan bom kalorimeter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata jumlah mikroba cairan rumen pada tiga jam sesudah pemberian pakan akibat pemberian aras katu yang berbeda pada perlakuan T0, T1 dan T2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah mikroba cairan rumen perlakuan T1, T0 dan T2 berturut-turut sebanyak 2,01x108, 5,15x106 dan 4,725x106 CFU/ml. Jumlah terbanyak diperoleh pada perlakuan T1 dan jumlah paling sedikit pada perlakuan T2. Penambahan katu

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Mikroba Cairan Rumen Tiga Jam Sesudah Pemberian Pakan akibat Penambahan Tepung Katu pada Ransum

Ulangan Perlakuan

T0 T1 T2

……………………… CFU/ml ….…………………….. 1234

7.800.0002.600.0005.400.0004.800.000

260.000.00014.000.000

350.000.000180.000.000

2.600.000 6.300.000 7.300.000 2.700.000

Rataan 5.150.000a 201.000.000b 4.725.000a

* Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05)

Page 35: Agromedia 26-1

32

pada ransum memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mikroba cairan rumen sapi laktasi dan ada perbedaan yang nyata antar rata-rata perlakuan (P<0,05). Perlakuan T0 berbeda nyata dengan perlakuan T1 (P<0,05) demikian juga perlakuan T1 berbeda nyata dengan perlakuan T2 (P<0,05), tetapi perlakuan T0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan T2. Beberapa faktor yang mempengaruhi populasi mikroba rumen adalah ransum, pelarutan “dilution rate” dan perubahan-perubahan diurnal. Sedangkan beberapa zat makanan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah nitrogen (N), energi, mineral dan asam lemak rantai bercabang.

Cara dan frekuensi pemberian pakan sama antara perlakuan T0, T1 dan T2, sehingga bukan merupakan penyebab terjadinya perbedaan rata-rata antar perlakuan, demikian juga rata-rata konsumsi BK, PK, konsumsi energi dan produksi NH3 rumen tidak berbeda nyata antar perlakuan. Perbedaan rata-rata antar perlakuan disebabkan oleh pemanfaatan N pada perlakuan T1 lebih efi sien, hal ini terlihat pada nilai rata-rata retensi N, dan BV untuk perlakuan T1 lebih tinggi dibanding perlakuan T0 dan T2 yang masing-masing besarnya 70,54%, 81,44%, ; 64,97%, 79,44% dan 65,92%, 78,58%. Rendahnya rata-rata perlakuan T2 disebabkan pemberian katu dengan kadar 0,04% BB diduga zat anti bakteri yang terkandung didalam katu sudah meracuni mokroba tertentu yang ada, Hal ini sesuai hasil penelitisn Santoso et al. (2001), bahwa katu mengandung senyawa anti bakteri.

Seperti dikatakan Piliang dan Djojosoebagio (1991) bahwa Nilai Biologis Protein merupakan indeks kualitas protein yang berasal dari makanan,

mencerminkan persentase protein yang diabsorbsi, semakin besar perbandingan protein yang tinggal dalam tubuh makin besar nilai biologis atau kualitas protein, yang berarti kemanfaatan protein yang terserap lebih tinggi. Jumlah mikroba cairan rumen ini masih dibawah rata-rata kandungan jumlah mikroba yang terdapat didalam cairan rumen sapi pada umumnya 109 CFU tiap ml isi rumen dan jumlah protozoa bervariasi 105 sampai 106 CFU/ml. Rendahnya jumlah mikroba pada sapi penelitian baik pada perlakuan T0, T1 maupun T2 diduga karena pH cairan rumen diatas 7,3, maka penyerapan amonia dari rumen dipercepat sehingga tidak sempat digunakan untuk perkembangan mikroba rumen. Seperti dikemukakan oleh Bird dan Leng (1978) disitasi Kuswandi (1993), bahwa tersedianya N sebanyak 3,5 – 4 g/100g bahan organik tercerna diperkirakan optimal untuk pertumbuhan mikroba. Dikatakan lebih lanjut, bahwa tinggi rendahnya konsentrasi amonia di dalam cairan rumen dapat dipergunakan sebagai indikator adanya sintesis protein mikrobia. Konsentrasi amonia di dalam cairan rumen merupakan keseimbangan antara laju produksi amonia dari makanan dan senyawa endogenus dengan penyerapan atau penggunaan untuk pertumbuhan mikrobia. Efi siensi maksimum pembentukan mikrobia di rumen (in vitro) 50 mg N amonia/l, tetapi secara in vivo beragam menurut jenis ransum, yaitu 20 – 80 mg/dl (Pisulewski et al., 1981). Amonia sangat penting karena merupakan bahan baku untuk membentuk sel-sel mikrobia rumen yang berfungsi dalam metabolisme protein (Leng et al., disitasi Kuswandi, 1993), disamping asam lemak terbang bercabang. Rendahnya jumlah mikroba rumen mungkin disebabkan pH cairan rumen yang tinggi. Hal ini sesuai pendapat Pitt

Sumardi ; Jumlah Mikroba Dan Ph Rumen Serta Efi siensi Produksi Susu Sapi

Page 36: Agromedia 26-1

33 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

et al. (1996) yang menyatakan bahwa pH rumen mempengaruhi pertumbuhan mikroba, kecernaan, dan produksi VFA.

Kinerja mikroba rumen diukur dengan membandingkan hasil kerja mikroba berupa produk VFA total dengan jumlah mikroba rumen, semakin tinggi nilai perbandingan tersebut maka semakin tinggi pula kinerja mikroba rumen.

Berdasarkan pengertian tersebut maka rata-rata kinerja rumen tertinggi dicapai pada perlakuan T2 diikuti perlakuan T0 dan T1 berturut-turut sebesar 0,8937; 0,4271 dan 0,0674 dan setelah dilakukan analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05).

Tingginya kinerja mikroba pada perlakuan T2 disebabkan kandungan asam oxocyclopenthyl yang berperan dalam merangsang kinerja mikroba rumen dalam tepung katu perlakuan T2 lebih tinggi dibanding T0 dan T1. Seperti dikatakan Suprayogi (2000), bahwa katu mengandung senyawa asam oxocyclopenthyl enyl-acetat yang berperan dalam merangsang kinerja mikroba rumen.

Rata-rata derajat keasaman (pH) cairan rumen yang diberi suplemen katu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa pH cairan rumen antara kelompok sapi T0, T1 dan T2 nilainya hampir sama yaitu 8,00, hanya pada T2 8,25 dan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0,05), sehingga pemberian katu tidak berpengaruh nyata terhadap pH cairan rumen. Derajat keasaman (pH) cairan rumen dipengaruhi oleh macam pakan yang diberikan, frekuensi makan ternak. Serta imbangan produk NH3 rumen yang bersifat basa dan VFA rumen yang bersifat asam.

Tidak berbedanya pH rumen antar perlakuan disebabkan ransum yang diberikan pada kelompok sapi T0, T1 dan T2 mempunyai tingkat fermentabilitas yang sama dan hasilnya berupa NH3 dan VFA yang tidak berbeda nyata pula antar perlakuan. Arora (1989) disitasi Eliharsidas (2000), melaporkan bahwa pH rumen lebih kurang tetap karena adanya produk fermentasi berupa VFA dan NH3-N. Perubahan pada hasil fermentasi rumen akan mempengaruhi pH cairan rumen dan populasi mikroba.

Pada penelitian ini pH cairan rumen berisar antar 8 dan 8,25, ini lebih tinggi dari kisaran pH normal (berkisar antara 6 sampai 7), tingginya pH cairan rumen

Tabel 4. Rata-rata Derajat Keasaman (pH) Cairan Rumen Tiga Jam Sesudah Pemberian Pakan

Ulangan Perlakuan

T0 T1 T2

1234

8,008,008,008,00

8,008,008,008,00

8,00 8,00 8,00 9,00

Rataan 8,00a 8,00a 8,25a

* Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05)

Page 37: Agromedia 26-1

34

sudah nampak pada 0 jam sebelum makan, yaitu rata-rata sebesar 8,75, 8,67 dan 8,00 pada kelompok sapi T0, T1 dan T2

Rata-rata efi siensi produksi susu akibat pemberian aras katu yang berbeda pada ransum dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 5.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa efi siensi produksi susu pada penelitian ini tertinggi dicapai pada kelompok sapi T1, diikuti T0 dan T2, berturut-turut sebesar 19,23%, 19,02% dan 17,77%. Analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata antar perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05). Tidak adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan disebabkan produksi VFA tidak berbeda nyata, kadar hormon T3 tidak berbeda nyata, disamping konsumsi dan kebutuhan energi masing-masing perlakuan juga tidak berbeda nyata, serta produksi susu tidak berbeda nyata.

Efi siensi produksi susu merupakan perbandingan antara energi yang terkandung dalam susu dengan energi yang terkandung di dalam pakan. Rendahnya efi siensi produksi dalam penelitian ini juga diduga disebabkan oleh rendahnya energi yang terkandung di dalam susu. Rendahnya energi yang

terkandung di dalam susu disebabkan rendahnya kandungan lemak susu, sebab lemak merupakan suatu senyawa yang mengandung energi cukup tinggi.

Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya efi siensi produksi adalah faktor iklim tropis yang lebih panas, dimana iklim sangat besar pengaruhnya terhadap sistem metabolisme tubuh dalam metabolisme substrat pakan menjadi produksi susu. Di daerah tropis ternak justru lebih banyak kehilangan energi metabolisme tubuh yang hanya digunakan untuk mempertahankan sistem heat increament yakni untuk menyesuaikan temperatur tubuh dengan lingkungan yang selalu berubah-ubah, yang sebenarnya energi tersebut dapat dimanfaatkan atau dikonversi untuk menambah produksi air susu (Blakely dan Bade, 1994).

Nilai efi siensi ini belum optimal, dan masih dibawah rata-rata efi siensi produksi susu sapi perah pada umumnya, seperti yang dikatakan Brody (1945), bahwa efi siensi produksi sapi perah berkisar 28 – 34%. Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa rata-rata efi siensi produksi air susu kelompok domba yang disuperovulasi lebih tinggi (31,82%) dibandingkan dengan kelompok domba yang nirsuperovulasi.

Tabel 5. Rata-rata Efisiensi Produksi Susu

Ulangan Perlakuan

T0 T1 T2

…………………………… % ………………………….. 1234

26,2613,8816,3119,60

22,5115,8525,6712,86

15,23 24,89 21,62 9,32

19,02a 19,23a 17,77a

* Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05)

Sumardi ; Jumlah Mikroba Dan Ph Rumen Serta Efi siensi Produksi Susu Sapi

Page 38: Agromedia 26-1

35 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis statistik dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penambahan katu dengan aras berbeda sampai dengan 0,04% BB pada ransum sapi laktasi dapat meningkatkan efektivitas kinerja mikroba rumen, tetapi tidak mempengaruhi efi siensi penggunaan pakan untuk meningkatkan efi siensi produksi susu.

DAFTAR PUSTAKA

Brody, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Hafner Publishing Company, Inc. New York.

Chikunya, S, C.J. Newbold, L. Rode, X.B. Chen, dan R.J. Wallace. 1996. Infl uence of dietary rumen-degradable protein on bacterial growth in the rumen of sheep receiving different energy sources. Anim. Feed Sci. and Technol. 3497 – 3513.

Elihasridas. 2000. Estimasi sintesis protein mikroba dalam rumen sapi yang diberi ransum ampas sagu urea komplek.. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. 6 (1): 67-72.

Kuswandi, 1993. Kegiatan mikrobia di rumen dan manipulasinya untuk menaikkan efi siensi produksi ternak. Buletin Peternakan. 17: 68 – 76.

Liboux, S.L. dan J.L. Peyroud. 1998. Effect of forage particle size and intake level on fermentation patterns and sites and extent of digestion in diary cows fed mixed diets. Anim. Feed Sci. and Tech. 73: 131 – 150.

Nurwantara, L.K., E. Pangestu, M. Christiyanto, Surono dan A. Subrata. 2001. Pengaruh fermentasi dengan Saccharomyces cereviceae terhadap nilai gisi biji sorghum. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 26 (1) : 20-26.

Piliang, WG. dan S. Djojosoebagio. 1991. Fisiologi Nutrisi Vol. I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen. Pendidikan Tinggi, PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Pisulewski, P.M., A.U. Okorie, P. J. Buttery, W. Haresign dan D. Lewis, 1981. Ammonia concentration and protein synthesis in the rumen. J. Food Sci. Agric. 32: 759 – 766.

Pitt, R.E., J.S. Van Kessel, D.G. Fox, A.N. Pell, M.C. Barry, dan P.J. Van Soest. 1996. Prediction of ruminal volatile fatty acids and pH within the net carbohydr te and protein system. J. Anim. Sci. 74: 226 –244.

Santoso, S.O., M. Hasanah, S. Yuliani, A. Setiawati, Y. Mariana, T. Handoko, Risfaheri, Anggraeni, A. Suprayogi, N. Kusumorini dan W. Winarno. 1997. Production of Medicine Product from Katuk’s leaves (Sauropus androgynus Merr) to increase the secretion and quality of best milk. Integrated Priorities Research (Riset Unggulan Terpadu II).

Santoso, U., E. Handayani dan Suharyanto. 2001. Effect of Sauropus androgynus (Katu) leaf extract on growth, fat accumulation and fecal microorganisms in broiler chickens. J. Ilmu Ternak dan Veteriner: 6 (4): 220–226

Page 39: Agromedia 26-1

36

Shain, D.H., R.A. Stock, T.J. Klopfenstein, dan D.W. Herdd. 1998. Effect of synchronizing the rate of dietary energy and nitrogen release on rumen fermentation and microbial protein synthesis in sheep. J. Dairy Sci. 76: 242 – 472.

Sudjatmogo. 1998. Pengaruh Superovulasi dan Kualitas Pakan terhadap Pertumbuhan dalam Upaya Meningkatkan Produksi Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Desertasi Doktor).

Sudjatmogo, Sunarso dan Iswanti. 1988. Pengaruh Pemberian Berbagai Tingkat Konsentrat dalam Ransum terhadap Produksi Kadar Lemak dan Berat Jenis Air Susu Sapi Perah Friesian Holstein. Proceeding Seminar Progam Penyediaan Pakan

dalam Upaya Mendukung Industri Peternakan Menyongsong Pelita V. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

Sunarso, 2003. Pakan Ruminansia dalam Sistem Integrasi Ternak – Pertanian. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Diponegoro. Semarang.

Suprayogi, A. 1993. Meningkatkan produksi susu kambing melalui daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Agrotek, 1 (2) : 61-62.

Suprayogi, A. 2000. Studies on The Biological Effects of Sauropus androgynus (L.) Merr. : Effects on Milk Production and The Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. Georg-August-University Gottingen, Gottingen. (Doctoral Deseertation)

Sumardi ; Jumlah Mikroba Dan Ph Rumen Serta Efi siensi Produksi Susu Sapi

Page 40: Agromedia 26-1

37 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

PEMANFAATAN PUPUK KASCING UNTUK PEMBIBITAN KAMBOJA JEPANG(Adenium, Sp.)

(UTILIZATION OF KASCING MANURE FOR KAMBOJA JEPANG (Adenium, Sp.) SEEDLINGS)

Sri Suratiningsih, Endah Hasrati dan Harum Sitepu

ABSTRACT

Utilization of Kascing manure for Kamboja Jepang (Adenium,Sp) seedlings is one of the alternative that able to increase the growth quality of adenium seed which can be showed by the better growth of root, stem and leaf.Research has a purpose to determine, Is there any difference between media added by kascing manure and media without kascing manure added in adenium seedlings and also the best for seedlings compared to media which added by fi re hull of rice and manure.Research conducted by experiment method, using Randomized Block Design (RBD) with three treatments of media composition, such as: Sand (5) : Kascing Manure (1), Sand (5) : Manure (1) and Sand (2) : Manure (1) Fire Hull of rice (1) with ten times replication.The analyzed parameter is grow percentage, fast grow, length of root, amount of root, length of stem, diametre of stem and amount of leaf. Analysis and data interprete conducted by Anova and DMRT in 5% probability level.The result of research showed that the highest grow percentage which used Sand : Kascing manure, then Sand : Manure, after that Sand : Manure : Fire Hull of rice, that is frequent, starts from 90%, 70% and 30%. Fast grow which used Sand media : Kascing manure also faster than the other, which is frequently from the day 4, 9 and 11. Length of root and amount of leaf for Sand media : Kascing manure. There is signifi cant different (P<0,05) with Sand : Manure and Sand : Manure: Fire Hull of rice beside that there is not signifi cant different (P>0,05) between Sand : Manure with Sand : Manure : Fire Hull of rice. Amount of root, length of stem, diametre of stem, there is signifi cant different (P<0,05) from all of them between three treatments.The conclusion is, there is signifi cant different (P<0,05) between seedlings media which is added by Kascing manure with the media without added by Kascing manure, also seedlings media with composition Sand (5) : Kascing manure (1) is the best compared to seedlings media Sand (5) : Manure (1) and Sand (2) : Manure (1) : Fire Hull of rice (1)

Keywords : Adenium, Sp.; kascing manure; seedlings media.

ABSTRAK

Pemanfaatan pupuk kascing untuk pembibitan Kamboja Jepang (Adenium, Sp.) merupakan salah satu alternatif yang mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan bibit Adenium yang dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan akar, batang dan daun yang lebih baik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara media yang ditambah pupuk kascing dengan yang tidak ditambah pupuk kascing dalam pembibitan Adenium, serta yang paling baik untuk pembibitan dibandingkan media yang ditambah sekam bakar dan pupuk kandang.Penelitian dilaksanakan dengan metode Eksperimen,

Page 41: Agromedia 26-1

38

menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan komposisi media, yaitu : Pasir (5) : Pupuk Kascing (1), Pasir (5): Pupuk kandang (1) dan Pasir (2) : Pupuk Kandang (1) : Sekam Bakar (1) dengan ulangan sebanyak sepuluh kali. Parameter yang diamati adalah : persentase tumbuh, kecepatan tumbuh, panjang akar, jumlah akar, panjang batang, diameter batang dan jumlah daun.. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan Anova dan DMRT pada 5 % level probabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : persentase tumbuh yang paling tinggi adalah yang menggunakan Pasir : Pupuk Kascing, kemudian Pasir : Pupuk Kandang, lalu Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar, yaitu berturut-turut : 90 %, 70 % dan 30 %. Kecepatan tumbuh yang menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing juga lebih cepat dibandingkan yang lain, yaitu berturut-turut pada hari ke 4, 9 dan 11. Panjang akar dan jumlah daun untuk media Pasir : Pupuk kascing ada perbedaan nyata (P<0,05) dengan media Pasir : Pupuk Kandang dan Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar. Sedangkan untuk Pasir : Pupuk Kandang dengan Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar tidak berbeda nyata (P>0,05). Jumlah akar, panjang batang, diameter batang semuanya ada beda nyata (P<0,05) antara tiga perlakuan. Kesimpulannya adalah : ada perbedaan yang nyata (P<0,05) antara media pembibitan yang ditambah pupuk kascing dengan yang tidak ditambah pupuk kascing, serta media pembibitan dengan komposisi Pasir (5) : Pupuk Kascing (1) adalah yang paling baik dibandingkan dengan media pembibitan Pasir (5) : Pupuk Kandang (1) dan Pasir (2) : Pupuk Kandang (1) : Sekam Bakar (1).

Kata kunci : Adenium, Sp.,pupuk kascing, media pembibitan.

PENDAHULUAN

Salah satu ciri masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang semakin bertambah . Pada tahun 1990, jumlah penduduk Indonesia 178.298.497 jiwa dan pada tahun 2000 sejumlah 203.025.313 jiwa (Mulyadi, 2003). Pertambahan penduduk tersebut pasti akan menimbulkan berbagai masalah , seperti kebutuhan pangan, sandang, papan yang meningkat. Di sisi lain terjadinya peningkatan jumlah angkatan kerja, kesehatan, pencemaran limbah rumah tangga dan limbah pertanian /peternakan. (Sumarwoto, 1989). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, masalah limbah peternakan yang berupa kotoran , juga akan semakin meningkat. ( Soeriaatmadja, 1982).

Kascing adalah kotoran atau feses cacing tanah, disebut juga Kasting atau vermicompost. Kascing dapat dibuat dengan menggunakan berbagai macam media, misalnya : sampah dapur, jerami, seresah maupun kotoran ternak. (Suratiningsih, 1992). Kascing yang diproduksi oleh kegiatan kewirausahaan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) “Farming” Semarang dibuat dari kotoran sapi. Pemilihan media dari kototan sapi dimaksudkan untuk memanfaatkan limbah peternakan yang dihasilkan pada usaha peternakan sapi. Sebenarnya kotoran sapi yang telah dibuat pupuk kompos juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi limbah tersebut, namun dengan digunakannya sebagai media cacing tanah akan diperoleh proses pengomposan yang lebih cepat, tidak

Sri Suratiningsih, Endah Hasrati dan Harum Sitepu ; Pemanfaatan Pupuk Kascing

Page 42: Agromedia 26-1

39 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

berbau serta diperoleh pupuk cair selain kascing. (Suratiningsih, 1997). Menurut Kale (1998), penggunaan kascing untuk berbagai macam tanaman biji-bijian, rempah-rempah, sayur-sayuran, buah-buahan maupun tanaman hias di India memberikan tanggapan yang sangat baik akan manfaat kascing. Pengaruh kascing terhadap tanaman tergantung dari dosis, waktu pemakaian, jenis tanah dan jenis tanaman (Mulat, 2003). Selain peternakan sapi, pembuatan kascing dan pupuk cair, kegiatan kewirausahaan yang lain adalah pembibitan Kamboja Jepang (Adenium, Sp.). Adenium sampai saat ini masih banyak digemari masyarakat, baik masyarakat lapis atas maupun bawah banyak yang berminat. Adenium dengan bonggol yang besar dengan bentuk yang unik serta penampilan bunganya yang berwarna-warni, menjadikan tanaman hias Adenium dengan harga sampai jutaan rupiah. Permintaan Adenium, baik mulai dari yang masih kecil sampai dewasa masih terus mengalir, bahkan dari pembudaya kewalahan menyediakannya.. Hal ini disebabkan, untuk menghasilkan bonggol yang siap untuk disambung, memerlukan waktu sampai dengan 6 bulan. Salah satu cara agar diperoleh bonggol dapat dilakukan dengan perbanyakan biji. Media yang disukai Adenium adalah porous (remah), karena bila tidak porous batang Adenium akan menjadi busuk. Jika dilihat dari syarat tersebut , pupuk kascing merupakan salah satu pupuk organik yang cocok , karena mempunyai ciri khas mudah buyar atau pecah jika dikepal. Hal ini disebabkan , pupuk kascing memiliki kandungan berukuran pasir paling dominan, yaitu : 50 – 60 %. Mengingat tekstur pupuk kascing yang remah berukuran pasir serta kebutuhan media yang porous untuk Adenium, kemungkinan besar

pupuk kascing akan cocok digunakan sebagai media pembibitan Adenium dan diharapkan waktu yang diperlukan untuk pertumbuhannya akan lebih cepat. Sampai sejauh ini belum diketahui tentang dosis penggunaan pupuk kascing yang paling baik dan tepat untuk pembibitan Adenium , karena pengaruh pupuk kascing sangat ditentukan oleh dosisnya. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang dosis yang paling sesuai. Namun, untuk mengetahui dosis penggunaan pupuk kascing tersebut secara tepat , harus dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan pupuk kascing terhadap kualitas bibit Adenium terlebih dahulu dengan dosis yang sudah umum diterapkan sebagai media tanam atau pemupukan. Semakin meningkatnya limbah kotoran ternak, bila tidak dimanfaatkan akan mengakibatkan pencemaran lingkungan yang semakin membahayakan bagi kehidupan manusia. Salah satu cara yang paling bijak untuk mengatasinya, adalah menjadikannya limbah kotoran ternak sebagai bahan media perkembang-biakan cacing tanah untuk menghasilkan pupuk organik , berupa : pupuk kascing dan pupuk cair. Manfaat pupuk kascing sendiri sebenarnya sudah banyak dibuktikan oleh para pembudidaya tanaman sayuran, tanaman rempah dan tanaman hias (Darmi dan Mizwar, 1988 dan Karjono, 1999). Diharapkan pula, pupuk kascing ini kelak bermanfaat pula untuk media pembibitan Adenium,Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan media pembibitan antara yang menggunakan pupuk kascing dengan yang tidak menggunakan pupuk kascing, dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata antara media pembibitan yang ditambah pupuk kascing dengan yang tidak ditambah

Page 43: Agromedia 26-1

40

pupuk kascing serta media yang paling baik untuk pembibitan Kamboja Jepang (Adenium,Sp).

MATERI DAN METODE

Penelitian agronomis dilaksanakan di Rumah Kaca di Kompleks Kebun Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian “Farming” Semarang mulai bulan Februari sampai dengan Agustus 2006. Subyek yang diteliti adalah biji Adenium Sp. Dengan menggunakan biji lokal jenis Adenium Obesum (Anonim, 2003 ; Sugih, 2003 ; Beikram dan Agus Handoko, 2004). Bahan lain dan alat yang digunakan adalah : pasir, pupuk kascing, pupuk kandang (manure), sekam bakar, gelas plastik, pot plastik, sprayer, plastik UV, net, jangka sorong, penggaris, alat tulis, pengukur kelembaban , pengukur suhu, timbangan, pisau, gunting, label, cethok dan bak plastik. Urutan kerja dalam melakukan pembibitan Adenium adalah sebagai berikut :: seleksi biji Adenium untuk menyiapkan biji yang seragam, menyiapkan media sesuai dengan macam perlakuannya, membuat alur persemaian sedalam 1 cm pada media, menempatkan benih dalam alur dengan jarak 3 cm, diinkubasikan selama dua bulan, pengontrolan kelembaban setiap hari dan penyemprotan air dengan sprayer, setiap 3 hari sekali dilakukan pengamatan batang dan daun.serta memindahkan bibit ke media permanen setelah berumur dua bulan, sambil diamati jumlah dan panjang akar, panjang dan diameter batang serta jumlah daunnya. Penelitian ini dilakukan dengan metode Eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan sepuluh ulangan. Adapun perlakuannya adalah :

P1 = Media Pasir : Pupuk Kascing = 5 : 1; P2 = Media Pasir : Pupuk Kandang dan P3 = Media Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar = 2 : 1 : 1. Parameter yang diamati meliputi : persentase pertumbuhan, kecepatan tumbuh, panjang akar, jumlahnakar, panjang batang, diameter batang dan jumlah daun. Setelah data terkumpul,dilakukan uji statistik dengan Anova dan apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan Uji Ganda menggunakan DMRT dengan level 5 % probabilitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Salah satu cara perbanyakan Adenium agar dihasilkan bonggol yang baik adalah dengan cara perbanyakan generatif. Cara ini dimulai dengan menyemai biji yang sudah tua dan pecah sendiri, ke dalam media tanam yang sesuai. Pada umumnya media semai yang digunakan adalah campuran dari sekam bakar, pasir dan pupuk kandang. Pupuk kandang yang digunakan dapat berasal dari sapi, ayam, kambing, kascing dan lain-lain. Salah satu pupuk kandang yang belum banyak digunakan adalah kascing. Padahal menurut Murat (2003), kascing mengandung unsur hara yang lengkap serta mengandung giberelin, sitokinin dan auksin. Hormon-hormon tersebut dapat mempengaruhi kemunculan akar, peningkatan jumlah akar dan pertumbuhan tanaman. Dalam penelitian ini, pupuk kascing (kascing manure) digunakan sebagai pengganti pupuk kandang (manure), sebagai media semai.Kelebihan kascing yang lain adalah tidak berbau ( karena sudah diuraikan oleh cacing tanah) serta mempunyai tekstur yang menyerupai pasir yang dimungkinkan cocok untuk kebutuhan

Sri Suratiningsih, Endah Hasrati dan Harum Sitepu ; Pemanfaatan Pupuk Kascing

Page 44: Agromedia 26-1

41 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

penyemaian Adenium Sp.Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Persentase dan Kecepatan Tumbuh Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa persentase pertumbuhan yang paling tinggi (90 %) adalah yang menggunakan media pembibitan Pasir dan Pupuk Kascing dengan perbandingan 5 : 1, kemudian berturut-turut Pasir : Pupuk kandang = 5 : 1 yang menghasilkan pertumbuhan 70 % dan terakhir Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar = 2 : 1 : 1, menghasilkan pertumbuhan sebesar 30 %. Disamping penggunaan media semai dengan penambahan pupuk kascing menghasilkan persentase pertumbuhan yang paling tinggi, penggunaan media ini juga ditunjukkan kecepatan tumbuh yang paling cepat yang ditandai dengan munculnya perkecambahan dalam tempo yang paling dini dibandingkan dengan media yang lain., yaitu pada hari ke-4, sedangkan untuk media Pasir : Pupuk Kandang , pada hari ke-9 dan hari ke-11 untuk media Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar. Terjadinya pertumbuhan yang lebih cepat dan

persentase tumbuhnya yang lebih besar, kemungkinan disebabkan oleh kandungan unsur hara yang terdapat di dalam pupuk kascing. Menurut Mulat (2003), pupuk kascing mengandung unsur hara cukup lengkap yang siap diserap dan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Disamping itu pupuk kascing juga mengandung hormon-hormon perangsang pertumbuhan , yaitu : giberelin 2,75 %, sitokinin 1,05 % dan auksin 3,80 %. Didukung pula oleh Kyte (1996), bahwa pada komposisi perbandingan kandungan auksin yang lebih besar biasanya akan memacu pertumbuhan akar tanaman.Diperkuat pula oleh pendapat Suratiningsih (1998), bahwa hormon perangsang tumbuh sangat mempengaruhi daya kecambah. Jadi keberadaan hormon giberelin , sitokinin dan auksin tersebut merupakan sinergi untuk menghasilkan pertumbuhan. Sifat pupuk kascing secara fi sik mempunyai tekstur yang didominasi ukuran pasir (diameter butiran 0,05 – 2,00 mm). Tekstur ini menyebabkan pupuk kascing bersifat remah atau mudah buyar jika dikepal. Pemberian pupuk kascing pada media tanam dapat membuka agregat atau pori sehingga membentuk

Tabel 1. Hasil Pengamatan Rata-rata Pertumbuhan Biji Adenium Sp

No Parameter Media Pembibitan

Pasir (5) P. Kascing (1)

Pasir (5) P. Kandang (1)

Pasir (5) P. Kandang (1)

1 Persentase tumbuh 90 % 70 % 30 %2 Kecepatan tumbuh Hari ke-4 Hari ke-9 Hari ke-113 Panjang akar 2,92 *) 1,52 1,784 Jumlah akar 8*) 5*) 3*)5 Panjang batang 2,96 *) 2,68 *) 2,40 *)6 Diameter batang 2,24*) 1,80 *) 1,63 *)7 Jumlah daun 8 *) 6 5

Sumber : Data hasil pengamatan yang telah diolah dan tanda *) beda nyata (P<0,05)

Page 45: Agromedia 26-1

42

terowongan kecil untuk mengalirkan air dan udara ke dalam media. Kondisi ini tidak menyebabkan media jenuh akan air, sehingga sangat cocok untuk digunakan sebagai media pembibitan tanaman, khususnya Adenium, karena tanaman ini tidak suka air, mengingat tanaman Adenium banyak dijumpai di daerah gurun yang kering. Jika air di dalam media semai berlebihan dengan tekstur media yang tidak porous (kedap air), menyebabkan benih maupun tanaman akan menjadi busuk. Data dari hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator pertumbuhan yang dilihat melalui persentase tumbuh dan kecepatan tumbuh pada pembibitan dengan media Pasir : Pupuk Kascing = 5 : 1, merupakan media yang paling baik dalam penelitian yang dilakukan untuk pembibitan Adenium.

Pertumbuhan Akar Hasil pengamatan dari pertumbuhan akar Adenium pada hari ke-30 dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa panjang akar rata-rata yang paling panjang adalah pada media pembibitan Pasir : Pupuk Kascing = 5 : 1, dengan panjang akar 2,92 cm, pada media pembibitan Pasir : Pupuk Kandang = 5 : 1, panjang akar hanya mencapai 1,52 cm dan pada media pembibitan Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar= 2 : 1 : 1, menghasilkan akar dengan panjang 1,78 cm. Setelah dilakukan analisis statistika ditunjukkan bahwa panjang akar untuk media Pasir : Pupuk Kascing berbeda nyata (P<0,05) dengan media lainnya, yaitu : Pasir : Pupuk kandang dan Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar. Sedangkan untuk media Pasir : Pupuk Kascing, tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan media Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar. Terjadinya pertumbuhan

akar dengan hasil yang terpanjang pada media Pasir : Pupuk Kascing tersebut karena adanya kandungan unsur hara yang lebih lengkap serta hasil kerja dari hormon-hormon perangsang pertumbuhan , yaitu : giberelin, sitokinin dan auksin yang terkandung di dalamnya. Menutur Yusnita (2003), pengkulturan untuk merangsang pembentukan akar biasanya menggunakaan zat pengatur tumbuh auksin. Juga oleh Overbeek (1968) dan Weier (1974) dilaporkan bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dengan komposisi perbandingan auksin yang lebih tinggi , ditunjukkan adanya pertumbuhan akar yang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan tunas. Rata-rata jumlah akar antara tiga macam media pembibitan dari yang terbanyak secara berurutan, yaitu ; media Pasir : Pupuk Kascing,8 buah; media Pasir : Pupuk Kandang, 5 buah dan kemudian terakhir media Pasir : Pupuk kandang : Sekam Bakar, 3 buah. Berdasarkan uji statistika didapatkan hasil bahwa antar perlakuan media pembibitan saling berbeda nyata (P<0,05). Jumlah akar yang terbanyak pada media Pasir : Pupuk Kascing tersebut membuktikan bahwa peranan hormon auksin dalam pupuk kascing lebih nyata dibanding dengan media lainnya. Mengingat hormon auksin sudah banyak dibuktikan fungsinya sebagai perangsang pembentukan akar baru serta mendorong proses morfogenesis akar, auksin juga mempengaruhi kestabilan genetik tanaman. Berdasarkan hasil penelitian, dapat digunakan sebagai petunjuk bagi para pembudidaya tanaman Adenium dalam mempersiapkan bibit yang memiliki bonggol berkualitas dengan menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing = 5 : 1. Karena pada penggunaan media tersebut dapat

Sri Suratiningsih, Endah Hasrati dan Harum Sitepu ; Pemanfaatan Pupuk Kascing

Page 46: Agromedia 26-1

43 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih cepat dengan indikator percepatan pertumbuhan akar ( akar cepat panjang dan jumlahnya banyak).

Pertumbuhan Batang Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh kualitas bibit tanamannya. Bila diinginkan pertumbuhan tanaman yang optimal (baik), maka harus dipilih bibit yang berkualitas baik. Pertumbuhan bibit tanaman yang baik dapat diindikasikan dari pertumbuhan calon batangnya. Hasil penelitian mengenai panjang dan diameter batang bibit Adenium dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan batang pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa panjang batang yang terpanjang pada media Pasir : Pupuk Kascing= 5 : 1, dengan panjang batang 2,96 cm, kemudian 2,68 cm untuk media Pasir : Pupuk Kandang. Sedangkan pada media Pasir : Pupuk kandang : Sekam Bakar, hanya menghasilkan 2,40 cm. Berdasarkan analisis statistika ditunjukkan bahwa panjang batang rata-rata antar perlakuan media pembibitan berbeda nyata (P<0,05). Terjadinya panjang batang bibit Adenium pada media Pasir : Pupuk Kascing yang secara nyata paling dominan dibanding kedua media lainnya, karena kandungan unsur hara yang lengkap dan terdapatnya zat pengatur pertumbuhan giberelin, sitokinin dan auksin dengan kadar auksin yang terbesar. Seperti yang dikatakan oleh Santoso (2002), bahwa auksin mempunyai efek membesarkan sel jaringan tanaman. Mekanisme kerjanya berawal dari meningkatnya isi sel, tanpa diikuti dengan perkembangan dinding selnya, sehingga menimbulkan tekanan turgor. Dan kondisi ini akan mendorong kerja enzim selulose untuk mematahkan ikatan selulose pada dinding primernya. Akibatnya dinding sel menjadi elstis dan

sel semakin membesar. Rata-rata diameter batang yang terbesar adalah dari bibit Adenium yang menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing, dengan hasil 2,24 cm, disusul pada media Pasir : Pupuk Kandang dengan hasil 1,80 cm dan terakhir pada media Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar dengan hasil 1,63 cm. Berdasarkan analisis statistika ditunjukkan bahwa antar perlakuan media pembibitan berbeda nyata (P<0,05).Diameter batang Adenium yang menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing paling besar dibanding dengan diameter batang yang dihasilkan dari dua perlakuan media pembibitan lainnya. Hal ini disebabkan adanya kandungan auksin yang lebih dominan dibandingkan dengan kandungan sitokininnya. Peran auksin yang telah banyak diketahui adalah selain memacu pembentukan dan pertumbuhan akar baru, juga mendorong proses morfogenesis akar, mempengaruhi kestabilan genetik tanaman serta mempunyai efek membesarkan sel, sehingga dapat memperbesar diameter batang dalam tempo yang relatif lebih singkat dibanding dua perlakuan media pembibitan lainnya. Ditinjau dari hasil pengamatan pada pertumbuhan batang Adenium sangat dianjurkan untuk menggunakan media pembibitan yang baik dan tepat yaitu dengan menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing dengan perbandingan 5 : 1, agar didapatkan bibit Adenium yang memiliki bonggol yang berkualitas yang didasarkan atas laju percepatan pertumbuhan batang , baik dari panjang batang maupun diameter batangnya.

Pertumbuhan Daun Pertumbuhan daun pada tanaman Adenium pada umumnya hanya sebagai

Page 47: Agromedia 26-1

44

pendukung untuk memenuhi kualitas totalnya serta sebagai pendukung fotosintesa, sehingga untuk keperluan tanaman hias, kadang-kadang daun justru dirontokkan untuk memperoleh bunga yang diinginkan. Namun pada pengerjaan pembibitan, pertumbuhan daun dijadikan indikator untuk menilai keberhasilan dalam membentuk bibit yang berkualitas. Pada Tabel 1 dapat dilihat banyaknya daun Adenium yang dihasilkan dari tiga macam perlakuan media pembibitan. Terbukti bahwa yang menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing menghasilkan daun yang terbanyak , yaitu : 8 helai, kemudian disusul pada media Pasir : Pupuk Kandang, 6 helai dan media Pasir : Pupuk kandang : Sekam Bakar, bahkan hanya 5 helai. Berdasarkan analisis statistika ditunjukkan bahwa ada perbedaan nyata (P<0,05) antara pembibitan yang menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing dengan dua perlakuan media yang lain. Sedangkan antara media Pasir : Pupuk Kandang dengan media Pasir : Pupuk Kandang : Sekam Bakar tidak berbeda nyata (P>0,05). Kejadian ini disebabkan karena media pembibitan yang menggunakan pupuk kascing akan lebih terjamin pemenuhan unsur haranya dibanding dengan media lainnya (Mulat, 2003). Jumlah mikroba yang banyak dengan aktivitas yang tinggi akan mempercepat proses mineralisasinya. Disamping itu, pelepasan unsur-unsur hara dari kotoran cacing menjadikan pasokan nutrisi bagi tanaman. Dengan demikian pembibitan Adenium yang menggunakan media Pasir : Pupuk Kascing dengan perbandingan 5 : 1 merupakan tindakan yang tepat untuk mendapatkan bibit Adenium yang berkualitas.

KESIMPULAN

1. Ada perbedaan pertumbuhan secara nyata (P<0,05) antara pembibitan yang menggunakan media yang ditambah pupuk kascing dengan media yang tidak ditambah pupuk kascing, ditinjau dari persentase pertumbuhan, kecepatan tumbuh (perkecambahan), panjang akar, jumlah akar, panjang dan diameter batang serta jumlah daun pada pembibitan Kamboja Jepang (Adenium Sp)

2. Pembibitan Kamboja Jepang (Adenium Sp) secara generatif yang paling baik dihasilkan dari penggunaan media Pasir :Pupuk Kascing dengan perbandingan 5 : 1.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Hasilkan Bonggol Adenium Kualitas Prima . Trubus. Depok.

Beikram dan Agus Handoko. 2004. Mempercantik Penampilan Adenium. Agromedia Pustaka, Depok.

Darmi dan Rizwar. 1988. Produksi Kotoran (Casting) Cacing Tanah Pontoscolex corentrurus dan Pheretima capensis dengan Pemberian Makan Berupa Material Tumbuhan dan Kotoran ternak (Laporan Penelitian , Universitas Bengkulu).

Kale, RP. 1998. Earthworm: Nature Gift for Utilization of Organic Wastes, dalam Earthworm Ecology (Edited by Clive, A. Edward), St. Lucie Press, USA.

Karjono. 1999. Sayuran Subur Berkat

Sri Suratiningsih, Endah Hasrati dan Harum Sitepu ; Pemanfaatan Pupuk Kascing

Page 48: Agromedia 26-1

45 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Kascing.Trubus, No. 357 (bulan Agustus).

Kyte, L. and John Kleyn. 1996. Plants from Test Tubes, An Introduction to Microprapagation. Timber Press, Portland Origon.

Mulat, T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kascing Pupuk Organik Berkualitas. Agromedia Pustaka, Depok.

Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia dalam Perspektif Pembangunan, Raja Grafi ndo perkasa, Jakarta.

Overbeek, J. 1968. The Control of Plant Growth, Scientifi c American, USA.

Santoso dan Fatimah Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman, Universitas Muhammadiyah Malang , Malang.

Soeriaatmadja. 1982. Ilmu Lingkungan, ITB, Bandung.

Sugih, Octa. 2003. 88 Variasi Adenium Agar Rajin Berbunga, Penebar Swadaya, Depok.

Sumarwoto, Otto. 1989. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Jakarta.

Suratiningsih , S. 1992. Pengaruh Kotoran dan Seresah terhadap Populasi Cacing Tanah (Pheretima Sp). (Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian “Farming” Semarang)

_____________ 1997. Kajian tentang Bahan-bahan Pemercepat Proses Pengomposan Sampah. (Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian “Farming” Semarang)

_____________ . 1998. Pemanfaatan Sampah Rumah Tangga melalui Pembuatan Pupuk Organik dengan Penambahan EM Bokhasi. (Laporan Penelitian Sekolah Tinggi ilmu Pertanian “Farming” Semarang).

Weier, T.E. 1974. An Introduction to Plant Biology, Wiley International.

Yustina. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efi sien. Agromedia Pustaka, Tangerang.

Page 49: Agromedia 26-1

46

PERILAKU TABUNGAN RUMAH TANGGA PETANI DAN NELAYANSTUDI KASUS DI KOTA SEMARANG

FARMER AND FISHERMAN HOUSEHOLD SAVING BEHAVIORIN SEMARANG CITY

Efriyani SumastutiSTIP Farming Semarang

ABSTRACT

Household saving behavior, especially farmer and fi sherman household are relatively diffi cult to be observed since they always change. Beside, factors determining household saving are complex and varied, among others, monthly income, demographic and social economic factors. The study is aimed at (1) analyzing farmer and fi sherman household saving behavior (2) identifying factors affecting the household saving behavior. A cross-section household survey was conducted in Semarang city. The survey included thirty selected samples with purposive sampling. Description analyzed and estimated with the log-linear OLS method were employed to identifi ed household saving behavior. The estimation result showed that there was a positive and signifi cant effect of permanent income and lifetime expectation towards the household saving. On the other hand, a negative and signifi cant effect was shown regarding the effect of age, dependency ratio and consumption towards the household saving.

Keywords: household saving, farmer and fi sherman

ABSTRAK

Perilaku tabungan rumah tangga, khususnya rumah tangga petani dan nelayan sampai saat ini relatif sulit diketahui karena selalu mengalami perubahan. Faktor-faktor yang menentukan perilaku tabungan rumah tangga sangat kompleks dan bervariasi, antara lain pendapatan, faktor demografi dan kondisi sosial ekonomi. Penelitian ini dilakukan untuk (1). Menganalisis perilaku tabungan rumah tangga petani dan nelayan; (2). Mengidentifi kasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tabungan rumah tangga petani dan nelayan. Penelitian dilakukan terhadap 30 rumah tangga di Kota Semarang dengan purposive sampling. Analisis yang digunakan adalah deskriptif dan estimasi log-linier dengan metode OLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani dan nelayan ( 73,3 % ) menabung sejumlah 51 – 350 ribu rupiah. Dari hasil estimasi diketahui bahwa perilaku tabungan rumah tangga dipengaruhi secara positif oleh pendapatan permanen dan harapan hidup serta dipengaruhi secara negatif oleh umur, dependency ratio dan konsumsi.

Kata kunci : tabungan rumah tangga, petani dan nelayan.

Efriyani Sumastuti ; Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan

Page 50: Agromedia 26-1

47 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan di negara sedang berkembang adalah keterbatasan dana untuk keperluan investasi. Negara sedang berkembang pada umumnya membiayai investasi dengan cara mengintensifkan usaha mobilisasi tabungan dari berbagai sumber, baik tabungan domestik maupun asing.

perkotaan lebih besar daripada di daerah pedesaan. Besarnya proporsi tabungan masyarakat-PDRB wilayah Kota di Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 diketahui bahwa proporsi tabungan masyarakat-PDRB Kota Semarang paling tinggi daripada wilayah Kota lain di Jawa Tengah. Kecenderungan proporsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Proporsi Tabungan Masyarakat per PDRB 6 Kota di Jawa Tengah (%)

No 2001 2002 2003 2004 2005

1 Semarang 7,70 6,91 7,00 6,99 8,23

2 Salatiga 5,91 5,69 5,92 5,81 6,05

3 Magelang 6,34 6,20 6,14 6,04 6,13

4 Surakarta 6,45 6,32 6,25 6,25 6,50

5 Pekalongan 5,90 5,84 5,90 5,93 6,02

6 Tegal 6,12 6,22 6,10 6,10 5,97

Sumber : SEKD Jawa Tengah, 2003 dan 2006 diolah.

Faktor penentu tabungan domestik adalah perilaku tabungan perusahaan dan tabungan rumah tangga. Di Negara sedang berkembang, perilaku tabungan rumah tangga lebih berperan daripada tabungan perusahaan. Hal tersebut terjadi karena tabungan rumah tangga juga meliputi tabungan yang berasal dari hasil perusahaan-perusahaan non korporasi yang jumlahnya jauh lebih besar daripada perusahaan korporasi (Arsyad L, 1999). Jawa Tengah secara administratif terdiri dari 29 Kabupaten dan 6 Kota dengan karakteristik yang berbeda. Perbedaan lokasi antara Kabupaten dan Kota mengakibatkan perbedaan perilaku menabung rumah tangga. Perbedaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Gupta (1970) di India, yang menemukan bahwa keinginan menabung di daerah

Gambar 1. menunjukkan bahwa proporsi tabungan-PDRB di wilayah Kota di Jawa Tengah berfl uktuasi dan cenderung mengalami kenaikan. Kota Semarang mempunyai proporsi paling tinggi diantara lima wilayah Kota yang lain. Oleh sebab

Gambar 1. Proporsi Tabungan Masyarakat-PDRB 6 Kota di Jawa Tengah (Sumber : SEKD Jawa Tengah, 2003 dan 2006 diolah )

Page 51: Agromedia 26-1

48

itu Kota Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian ini karena mempunyai potensi tabungan yang relatif tinggi dibandingkan Kota lain di Jawa Tengah.

Di Indonesia penelitian tentang tabungan rumah tangga telah dilakukan oleh Brata (1999) dan Sutarno (2005). Hasil empiris Brata menyatakan bahwa faktor pendapatan, pendidikan, jenis kelamin dan tipe industri berpengaruh secara positif dan signifi kan terhadap tabungan rumah tangga, sedangkan umur dan sumber pendapatan tidak berpengaruh. Sutarno mengemukakan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap tabungan rumah tangga dan jumlah konsumsi serta jenis pekerjaan berpengaruh negatif, sedangkan dependency ratio tidak berpengaruh.

Menurut Keynes (1936), pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan tabungan domestik maupun tabungan rumah tangga. Hal tersebut secara empiris telah diuji oleh Mansoer dan Suyanto (1998), Knight dan Levinson (1999), Brata (1999), Palar (2000), Sarantis dan Stewart (2001), Kwack (2003) dan Sutarno (2005) dengan hasil positif dan signifi kan. Dalam perkembangan selanjutnya Friedman (1957) membedakan pendapatan menjadi dua, yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Untuk pendapatan sementara, Moradaglu dan Taskin (1996) telah menguji secara empiris dengan hasil positif dan signifi kan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku tabungan rumah tangga petani dan nelayan; serta mengidentifi kasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tabungan rumah tangga petani dan nelayan.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu mengumpulkan informasi dari responden yang diharapkan dapat mewakili seluruh populasi. Obyek penelitian adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya mempunyai pekerjaan sebagai petani dan nelayan serta penduduk Kota Semarang. Daerah penelitian meliputi seluruh Kecamatan yang ada di Kota Semarang. Jumlah sampel untuk masing-masing Kecamatan dihitung secara proporsional dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael (Sugiyono, 2001) sebanyak 30 responden. Penentuan responden yang diwawancara ditentukan secara purposive, berdasarkan pada pertimbangan :

1. pekerjaan pokok adalah petani dan atau nelayan

2. Akomodatif dan dapat memberikan data secara lengkap dan representatif

Untuk mengetahui perilaku

tabungan rumah tangga dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk mengetahui faktor yang menentukan perilaku tabungan rumah tangga digunakan fungsi log-linier dan metode OLS, dengan persamaan :

Penjelasan persamaan :S = tabungan rumah tangga (Ribu Rp)a = koefi sien parameterYp = pendapatan permanen rumah

tangga (Ribu rupiah)YT = pendapatan sementara rumah

tangga (Ribu rupiah)AGE = umur kepala rumah tangga

(tahun)ED = tingkat pendidikan kepala rumah

tangga (tahun)

uKONSaDRaHDPaEDaAGEaYaYaaS TP ++++++++= lnlnlnlnlnlnlnln 76543210

Efriyani Sumastuti ; Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan

Page 52: Agromedia 26-1

49 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

HDP = harapan hidup rumah tangga (tahun)

KONS= pengeluaran konsumsi rumah tangga (Ribu rupiah)

DR = dependency ratiou = error

Pengolahan data untuk analisis dalam penelitian ini menggunakan paket program Software SPSS 13.0 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani dan NelayanSecara keseluruhan, deskripsi data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

tabungan dalam penelitian ini merupakan selisih antara pendapatan (permanen dan sementara) dan pengeluaran konsumsi. Besarnya penyebaran pendapatan dan pengeluaran konsumsi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.Tabel 2. Deskripsi Data Hasil Penelitian

No Variabel Satuan Rerata

12345678

TabunganPendapatan permanenPendapatan sementaraUmur kepala rtPendidikan kepala rt Harapan hidup Dependency ratioKonsumsi

Ribu Rp Ribu Rp Ribu Rp TahunTahunTahun

Ribu Rp

206,131.999,00 259,67 49,80 8,60

36,73 1,09

1.768,33

Sumber : data primer diolah

Tabel 2 menunjukkan rata-rata variabel tabungan, pendapatan permanen, pendapatan sementara, umur kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, harapan hidup, dependency ratio dan pengeluaran konsumsi hasil penelitian. Penyebaran masing masing variabel secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 - 10. Penyebaran jumlah dan pola tabungan petani dan nelayan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga petani dan nelayan (73,3 %) menabung dengan kisaran 51 – 350 ribu rupiah. Jumlah

Tabel 3. Tabungan Rumah Tangga

No Tabungan(Ribu rupiah)

Jumlahresponden

1234

< 50 51 – 200

201 – 350 351 – 500

6 (20) 10 (33,3) 12 (40) 2 (6,7)

Jumlah 30 (100) Sumber : data primer diolah, Ket: angka dalam kurung merupakan persentase (%)

Tabel 4. Penyebaran Pendapatan dan pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga

No Kisaran (juta rupiah) Pendapatan perrmanen Pengeluaran konsumsi

12345

< 1 1,1 – 2,0 2,1 – 3,0 3,1 – 4,0

> 4,1

4 (13,3) 18 (60)

4(13,3) 2 (6,7) 2 (6,7)

4 (13,3) 18 (60)

4 (13,3) 4 (13,3)

0 (0)

Sumber : data primer diolah, Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase (%)

Tabel 5. Penyebaran Pendapatan Sementara Rumah Tangga

No Kisaran (juta rupiah)

Pendapatansementara

12345

< 100 110 – 300 310 – 500 510 – 700 > 710

12 (40) 8 (26,7) 8 (26,7) 0 (0) 2 (6,6)

Sumber : data primer diolah, Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase (%)

Pendapatan permanen dalam penelitian ini diproksi dengan jumlah pendapatan rumah tangga yang dihasilkan dari pekerjaan utama/pokok kepala rumah tangga, istri, anak maupun anggota rumah tangga lain. Dari Tabel 2 dan 4

Page 53: Agromedia 26-1

50

diketahui bahwa secara keseluruhan besarnya pendapatan permanen rata-rata adalah Rp 1.999.000,00, tetapi apabila dilihat dari kisaran pendapatan, maka kisaran 1,1 – 2,0 juta rupiah mempunyai persentase responden tertinggi (60%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden (60%), mempunyai pendapatan permanen dengan kisaran 1,1-2,0 juta rupiah. Apabila pendapatan permanen rata-rata dihitung dalam satu tahun, maka besarnya adalah Rp23.988.000,- (2263 USD). Angka tersebut jauh dibawah angka yang dikeluarkan oleh World bank, yang menyatakan bahwa pendapatan penduduk Indonesia rata-rata adalah 4000 USD. Hal ini terjadi karena pekerjaan petani dan nelayan lebih mengutamakan pada kekuatan fi sik. Di Indonesia, pekerjaan kasar (yang mengutamakan kekuatan fi sik) pada umumnya memiliki tingkat upah rendah. Pendapatan sementara merupakan pendapatan yang berasal dari pekerjaan sampingan kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga lain. Dari Tabel 2 dan 5 diketahui bahwa secara keseluruhan besarnya pendapatan sementara rumah tangga rata-rata pada saat penelitian dilakukan adalah Rp259.670,00, tetapi apabila dilihat dari kisaran pendapatan, maka kisaran di bawah 100 ribu rupiah mempunyai persentase responden tertinggi (40%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden (40%), mempunyai pendapatan sementara dengan kisaran di bawah 100 ribu rupiah. Hal ini terjadi karena terbatasnya waktu dan tenaga yang dimiliki untuk dialokasikan pada pekerjaan sampingan. Berdasarkan pada kebutuhan hidup minimum Kota Semarang, yaitu sebesar Rp 605.210,- (BPS, 2006), yang

dikalikan dengan jumlah anggota rumah tangga rata-rata 3 sampai 4, maka data hasil penelitian berada dalam kisaran kebutuhan hidup minimum di Kota Semarang. Konsumsi rumah tangga petani dan nelayan sebagian besar mempunyai kisaran 1,1 – 2,0 juta rupiah (60%). Hal ini sejalan dengan besarnya pendapatan permanen yang diterima (lihat Tabel 2 dan 4). Dengan demikian rumah tangga mengalokasikan hampir seluruh pendapatan permanennya untuk keperluan konsumsi. Jumlah pengeluaran konsumsi tersebut berada dalam kisaran kebutuhan hidup minimum di Kota Semarang. Proporsi tabungan rumah tangga terhadap pendapatan permanen, pendapatan sementara dan pendapatan total dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Proporsi Tabungan Rumah Tangga terhadap Pendapatan

No Proporsi (%) Petani & Nelayan

1 Tabungan-pendapatanpermanen

10

2 Tabungan-pendapatansementara

79

3 Tabungan-pendapatantotal

9,2

Sumber : data primer diolah

Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi tabungan terhadap pendapatan permanen rumah tangga petani dan nelayan sebesar 10 %. P r o p o r s i tabungan terhadap pendapatan total secara ekonomi dapat disebut sebagai propensity to save (keinginan menabung). Berdasarkan pada Tabel 6 maka dapat diketahui bahwa rumah tangga petani dan nelayan mempunyai keinginan menabung sebesar 9,2 % dari pendapatan total.

Efriyani Sumastuti ; Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan

Page 54: Agromedia 26-1

51 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Distribusi umur kepala rumah tangga petani dan nelayan dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 diketahui bahwa secara keseluruhan kelompok umur 31-50 tahun mencapai 60% responden. Hal ini terjadi karena pekerjaan di bidang pertanian dan perikanan membutuhkan ketahanan dan kekuatan fi sik, sehingga pada usia diatas 60 tahun sudah tidak efi sien lagi bekerja di sektor ini. Kelompok umur kurang dari 30 tahun tidak ada, karena pada rentang usia tersebut masih dalam proses menyelesaikan pendidikan atau masih dalam status belum menikah, sehingga masih menjadi beban tanggungan orang tua. Pada kelompok umur berikutnya (31- 40 tahun), persentase responden meningkat sebab pada usia tersebut umumnya sudah menyelesaikan pendidikan formalnya dan menikah. Setelah menikah dan sebagai kepala rumah tangga, tentunya harus dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya sendiri.

dilaksanakan dengan teknologi sederhana dan seadanya. Dengan tingkat pendidikan formal tersebut, maka pola pikir dan wawasan kepala rumah tangga petani dan nelayan menjadi sangat terbatas dan sulit untuk dapat menerima teknologi baru untuk peningkatan produktivitas.

Tabel 7. Umur Kepala Rumah Tangga

No Klas Umur (thn)

Jumlahresponden

12345

< 30 31– 40 41 – 50 51 – 60

> 61

0 (0) 10 (33,3) 8 (26,7) 4 (13,3) 8 (26,7)

Jumlah 30 (100) Sumber : data primer diolah, Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase (%)

Penyebaran tingkat pendidikan kepala rumah tangga petani dan nelayan dapat dilihat pada Tabel 8. Kepala rumah tangga petani dan nelayan pada umumnya berpendidikan formal SD dan SLTP, sebab pekerjaan ini biasanya merupakan pekerjaan turun temurun dan

Tabel 8. Pendidikan Formal kepala Rumah Tangga

No Tingkatpendidikan

Jumlahresponden

1234

SDSLTPSLTAPerguruan Tinggi

12 (40) 10 (33,3) 8 (26,7)

0 (0)

Jumlah 30 (100)

Sumber : data primer diolah, Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase (%)

Dependency ratio dalam penelitian ini merupakan rasio antara jumlah anggota rumah tangga yang tidak bekerja dengan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja. Besarnya dependency ratio dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Dependency Ratio (DR) Rumah Tangga

Sebagian responden ( 73%) memiliki nilai dependendency ratio kurang dari satu. Hal tersebut juga terjadi pada semua jenis pekerjaan utama kepala rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga sudah membatasi

No DR Jumlah responden

12345

< 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 3,0 3,1 – 4,0

> 4,1

22 (73,3) 6 (20) 2 (6,7) 0 (0) 0 (0)

Jumlah 30 (100)

Sumber : data primer diolah, Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase (%)

Page 55: Agromedia 26-1

52

jumlah anggotanya. Angka tersebut tidak terlepas dari program pemerintah yang selama ini dicanangkan, yaitu keluarga berencana (KB). Dengan adanya program tersebut, pada umumnya rumah tangga membatasi untuk mempunyai 2 anak. Apabila kedua orang tua bekerja, maka besarnya dependency ratio menjadi kurang atau sama dengan 1. Harapan hidup rumah tangga dalam penelitian ini merupakan selisih antara angka harapan hidup Kota Semarang (71,8 tahun) dengan rata-rata umur dari anggota rumah tangga, seperti pada Tabel 2 dan 10. Dari Tabel 2 diketahui bahwa harapan hidup

terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku tabungan rumah tangga petani dan nelayan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 10. Harapan Hidup Rumah Tangga

No Harapan hidup (tahun)

Jumlahresponden

12345

< 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40

> 41

2 (6,7) 4 (13,3) 4 (13,3)

2 (6,7) 18 (60)

Jumlah 30 (100)

Sumber : data primer diolah, Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase (%)

rumah tangga rata-rata hasil penelitian adalah 36,73 tahun. Angka tersebut masih berada dalam kisaran lamanya hidup di Kota Semarang, yaitu antara 15 – 49 tahun (IPM Kota Semarang, 2005). Apabila dilihat dari kisarannya, maka harapan hidup di atas 41 tahun mencapai jumlah responden tertinggi (60%).

Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani dan Nelayan Hasil analisis regresi log-linier

Tabel 11. Hasil Analisis Regresi

VariabelPetani

dannelayan

Konstanta 12,357(2,404)**

Pendapatan permanen 4,386(4,946)***

Pendapatan sementara 0,399(1,625)

Umur kepala rumah tangga -3,785(-3,890)***

Pendidikan kepala rumah tangga 0,692(0,848)

Harapan hidup 0,810(2,902)***

Dependency ratio -0,900(-3,613)***

Konsumsi -4,238(-4,503)***

Jumlah sampel FR2 adjusted

3022,032***

0,835Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan t statistik. **signifikan pada α=5 %;***signifikan pada α =1%.

Hubungan antara pendapatan permanen dan tabungan adalah positif dan signifi kan dengan derajat signifi kansi 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan permanen akan meningkatkan besarnya tabungan. Elastisitas tabungan terhadap pendapatan permanen sebesar 4,386, berarti apabila pendapatan permanen naik sebesar satu persen, maka tabungan akan meningkat sebesar 4,386 persen. Hasil empiris ini sesuai dengan banyak studi sebelumnya, seperti Moradaglu dan Taskin (1996) dengan nilai 1,818; Mansoer dan Suyanto (1998) untuk Indonesia dengan nilai 0,001, Palar (2000) di Sulawesi Utara dengan nilai 0,218, Nugroho dan Widiastuti (2003) di Yogyakarta dengan nilai 0,196 dan

Efriyani Sumastuti ; Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan

Page 56: Agromedia 26-1

53 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Kwack (2003) di Korea dengan nilai 0,51. Variabel pendapatan sementara mempengaruhi tabungan rumah tangga secara positif tetapi tidak signifi kan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan sementara akan meningkatkan besarnya tabungan. Elastisitas tabungan terhadap pendapatan sementara sebesar 0,399, berarti apabila pendapatan sementara naik sebesar satu persen, maka tabungan akan meningkat sebesar 0,399 persen. Proporsi antara tabungan dan pendapatan sementara adalah 79%, berarti rumah tangga menabung rata-rata sebesar 79% dari pendapatan sementaranya. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila rumah tangga mendapatkan upah di luar pekerjaan utama, maka akan ditabung sekitar tiga per empat bagian.

Umur kepala rumah tangga berpengaruh negatif dan signifi kan pada derajat signifi kansi 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur kepala rumah tangga akan menurunkan tabungan rumah tangga. Dari nilai elastisitas tabungan terhadap umur kepala rumah tangga dapat dikatakan bahwa apabila umur kepala rumah tangga naik 1 % maka tabungan rumah tangga akan berkurang sebesar 3,785%. Besarnya tabungan rumah tangga tidak dapat terlepas dari besarnya pendapatan rumah tangga. Dari hasil studi ini dan studi empiris sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pendapatan rumah tangga berpengaruh secara positif dan signifi kan terhadap tabungan rumah tangga. Menurut teori siklus hidup, umur akan menentukan pola penghasilan seseorang, yang berbentuk huruf ”U” terbalik, seperti pada Gambar 2. Berdasarkan pada Gambar 2 diketahui bahwa pendapatan akan meningkat dengan bertambahnya umur seseorang,

kemudian mencapai puncak pada umur tertentu dan setelah itu mengalami penurunan. Teori tersebut sesuai dengan hasil studi ini. Dalam Penelitian ini tidak dilakukan stratifi kasi umur, sehingga tidak diketahui secara pasti pada umur berapa tabungan akan meningkat, mencapai puncak dan mengalami penurunan. Hasil empiris oleh Attanasio (1997) di USA melakukan stratifi kasi berdasarkan pada 10 kelompok umur, mulai umur 28 – 74 tahun dengan masing-masing skala umur 5 tahun. Hasil studi menunjukkan bahwa sampai umur 48 tahun, hubungan antara umur dan tabungan positif, tetapi setelah umur tersebut hubungannya menjadi negatif. Harris, Loundes dan Webster (2002) melakukan studi yang sama di Australia dengan stratifi kasi umur yang berbeda, yaitu didasarkan pada 6 kelompok umur, mulai umur 18 – 64 tahun dengan skala umur yang bervariasi (antara 4-9 tahun). Hasil studi empiris menunjukkan bahwa sampai umur 54 tahun, hubungan antara umur dan tabungan positif, tetapi setelah itu hubungan menjadi negatif.

Pendapatan Ip

0 P T Umur

Gambar 2. Hubungan Umur dan Pendapatan Keterangan : P = umur pada saat pendapatan

Page 57: Agromedia 26-1

54

mencapai puncak dan T = umur pada saat meninggal; Ip = pendapatan tertinggi yang dapat

dicapai

Pendidikan kepala rumah tangga menunjukkan pengaruh positif dan signifi kan terhadap tabungan rumah tangga. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga petani dan nelayan rata-rata adalah 8,6 tahun atau setara dengan SLTP tetapi tidak lulus. Hal tersebut didukung Hasil yang tidak signifi kan ini karena pendidikan kepala rumah tangga petani dan nelayan sebagian besar (40%) adalah SD. Hubungan antara harapan hidup rumah tangga dengan tabungan rumah tangga adalah positif dan signifi kan dengan derajat signifi kansi 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harapan hidup rumah tangga akan meningkatkan besarnya tabungan. Elastisitas tabungan terhadap harapan hidup sebesar 0,810, berarti apabila harapan hidup naik sebesar satu persen, maka tabungan akan meningkat sebesar 0,810 persen. Hubungan yang positif antara tabungan dan harapan hidup dalam studi ini sesuai dengan hasil empiris yang dilakukan oleh Kwack (2003) pada rumah tangga di Korea, dengan nilai koefi sien regresi sebesar 0,45. Hubungan antara tabungan rumah tangga dan dependency ratio adalah negatif dan signifi kan pada derajat signifi kansi 1%. Hal tersebut menujukkan bahwa semakin tinggi beban ketergantungan dalam rumah tangga maka akan mengakibatkan tabungan rumah tangga menurun. Dari nilai elastisitas tabungan terhadap dependency ratio diketahui apabila dependency ratio rumah tangga meningkat 1%, maka jumlah tabungan rumah tangga akan menurun sebesar 0,900%. Hasil studi yang dilakukan oleh Moradaglu

dan Taskin (1996) di negara berkembang dan industri, dengan hasil yang berbeda. Untuk negara industri mempunyai nilai koefi sien 0,038 sedangkan untuk negara berkembang -0,006. Loayza dan Shankar (2000) di India dengan nilai koefi sien -1,26 sedangkan Sarantis dan Stewart (2001) di USA dengan nilai 0,089. Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan hasil empiris sebelumnya, karena Indonesia termasuk negara berkembang.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga berpengaruh negatif dan signifi kan pada derajat signifi kansi 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menurunkan tabungan rumah tangga. Dari nilai elastisitas tabungan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat dikatakan bahwa apabila pengeluaran konsumsi rumah tangga naik 1 % maka tabungan rumah tangga akan berkurang sebesar 4,238%. Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak dapat terlepas dari besarnya pendapatan rumah tangga.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari hasil studi ini adalah:1. Sebagian besar petani dan nelayan (

73,3 % ) menabung sejumlah 51 – 350 ribu rupiah.

2. Proporsi tabungan rumah tangga terhadap pendapatan adalah 9,2 %

3. Perilaku tabungan rumah tangga dipengaruhi secara positif dan siginikan oleh pendapatan permanen dan harapan hidup serta dipengaruhi secara negatif dan signifi kan oleh umur, dependency ratio dan konsumsi.

4. Hubungan perilaku tabungan rumah tangga dengan pendapatan sementara dan pendidikan kepala rumah tangga adalah positif tetapi tidak signifi kan.

Efriyani Sumastuti ; Perilaku Tabungan Rumah Tangga Petani Dan Nelayan

Page 58: Agromedia 26-1

55 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad L, 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi ketiga, p. 130-138, Bagian Penerbit STIE YKPN, Yogyakarta.

Attanasio O.P, 1997. ”Cohort Analysis of Saving Behavior by US Household”. The Journal of Human Resources, XXXIII,3.

Biro Pusat Statistik , 2005. IPM Kota Semarang. Semarang

------, 2006. Jawa Tengah dalam angka. Semarang.

Brata A.G, 1999. ”Household Saving Behavior : The Case of Rural Industry in Bantul”. CSIS, 28 (1), p.75-86.

Friedman M, 1957. “A Theory of The Consumption Function”. The National Bureau of Economic Research, Princeton University Press.

Gupta K.L, 1970. ”On Some Determinants of Rural and Household Saving Behavior”. Economic Record. December, 1970, p.578-583.

Harris M.N, Loundes J dan Webster E, 2002. “Determinants of Household Saving in Australia”. The Economic Record, Vol 78, No 241, p. 207-223.

Keynes J.M, 1936. The General Theory of Employment Interest and Money. Harcourt, Brace and Company, New York.

Knight B dan Levinson A, 1999. ”Rainy Day Funds and State Government Savings”. National Tax Journal, Vol. LII, No. 3, p.459-472.

Kwack S.Y, 2003. ”Household Saving Behavior and the Effect of Income Growth Evidence from Korean Household Survey Data”. Seoul

Journal of Economics, Vol. 16, No. 3.

Loayza N dan Shankar, 2000. ”Private Saving In India”. The World Bank Economic Review, Vol. 14, No. 3, p.571-594.

Mansoer F.W dan Suyanto, 1998. ”Perilaku Tabungan: Kasus Perbandingan Negara-negara Asean dan Negara Industri Maju 1989-1996”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 13, No. 2, p. 61-70.

Moradaglu G dan Taskin F, 1996. ”Differences in Household savings Behavior : Evidence from Industrial and Developing Contries”. The Developing Economies, XXXIV-2 (June), p. 138-153.

Nugroho M.A.S dan Widiastuti N, 2003. ”Pengaruh Relijiusitas, Pendapatan dan Tanggungan Keluarga terhadap Jumlah Tabungan”. Telaah Bisnis, Vol. 4, No. 2, Desember.

Palar S.W, 2000. ”Determinant Analysis of Public Savings in North Sulawesi”. Economic Journal FE-Unpad, Vol. XV, No. 2, September.

Sarantis N dan Stewart C, 2001. ”Saving Behaviour in OECD Countries : Evidence From Panel Cointegration Tests”. The Manchester School Supplement.

Statistik Ekonomi Keuangan Daerah (SEKD) Jawa Tengah, 2003 dan 2006. Semarang.

Sugiyono, 2001. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit Alfabeta, Bandung.

Sutarno, 2005. Perilaku Menabung Rumah Tangga di Pedesaan (Studi Kasus di Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten). Tesis IESP tidak dipublikasikan, UNDIP, Semarang.

Page 59: Agromedia 26-1

56

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK DAN DAYA AWET IKAN ASAP

( STUDY OF USING FOOD ADDITIVES ON THE ORGANOLEPTIC QUALITYAND THE PRESERVATION OF SMOKED FISH )

Umi Suryanti and Sulistyowati Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang

ABSTRACT

The alternative of fi sh harvested handling that many people had been done is smoking process. The smoking process purposes to increase the organoleptic quality and to preserve the fi shery products. The weakness of traditionally smoked fi sh products are limited preservation, just two days. This research purposed to determine the effect of food additives (acetic acid and propionic acid) on the organoleptic quality and preservation of smoked fi sh products.

The experiments are : (1) smoking process without food additive, (2) smoking process wth acetic acid, (3) smoking process with propionic acid. As the control sample was the smoked fi sh that bought from the traditional market. The kind of fi sh that used in this research is “sembilang” fi sh (Plotosus canius). The analysis had been doing are organoleptic analysis to colour, texture, and aroma of smoked fi sh, and microbiology analysis that consist of microbe test, Eschericia coli, and fungi.

The conclusion of this research are that using of acetic acid and propionic acid can increase the colour , texture, and aroma of smoked fi sh, but not signifi cance different among the experiment used acetic acid and used propionic acid. The smoked fi sh products in this research also has better preservation. Keywords : food additive, smoked fi sh, organoleptic quality, preservation.

ABSTRAK

Salah satu cara penanganan hasil perikanan yang banyak dilakukan oleh masyarakat, terutama di derah pantai adalah pengasapan. Selain untuk memperbaiki sifat organoleptik beberapa jenis ikan, proses pengasapan juga merupakan upaya pengawetan ikan. Salah satu kelemahan produk hasil pengasapan yang banyak dilakukan secara tradisional adalah daya awet ikan asap yang terbatas hanya dua hari. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan tambahan makanan yang berupa asam asetat dan asam propionat terhadap sifat organoleptik dan daya awet ikan asap. Perlakuan yang dicoba adalah : (1). proses pengasapan tanpa bahan tambahan makanan, (2). proses pengasapan dengan penambahan asam asetat, (3). proses pengasapan dengan penambahan asam propionat, dan sebagai kontrol atau pembandingnya adalah ikan asap yang dibeli dari pasar. Jenis ikan yang digunakan dalam penelitian adalah ikan sembilang (Plotosus canius). Pengujian yang dilakukan adalah uji

Umi Suryanti and Sulistyowati ; Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Page 60: Agromedia 26-1

57 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

organoleptik terhadap warna, tekstur, dan aroma ikan asap, serta uji mikrobiologis yang meliputi uji kuman, bakteri Eschericia coli , dan jamur.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan asam asetat dan asam propionat dapat memperbaiki warna, tekstur, dan aroma ikan asap dibandingkan kontrol, namun tidak ada perbedaan yang signifi kan antara perlakuan dengan asam asetat dengan asam propionat. Ikan asap hasil proses pengasapan dalam penelitian daya awetnya juga lebih baik dibanding kontrol.,

Kata kunci : bahan tambahan makanan, ikan asap, sifat organoleptik, daya awet.

PENDAHULUAN

Pada musim-musim tertentu jumlah ikan hasil tangkapan para nelayan sangat melimpah, sehingga banyak ikan hasil tangkapan yang tidak dapat terjual dalam keadaan segar, sehingga nelayan berusaha menjual dalam bentuk lain. Mulailah mereka memikirkan cara pengolahan atau pengawetan ikan agar ikan hasil tangkapan mereka tetap dapat dijual dan dikonsumsi. Sebagian masyarakat menginginkan ikan hasil olahan setengah jadi yang lebih awet. Salah satu cara pengolahan ikan yang diterapkan adalah pengasapan. Jenis ikan yang diasap umumnya adalah ikan laut yang aroma dan rasanya amis, sehingga kurang disukai bila dikonsumsi segar. Pengasapan ikan banyak dilakukan oleh nelayan karena mempunyai beberapa keuntungan, antara lain hasil pengasapan tersebut lebih awet, dapat mengurangi aroma dan rasa amis ikan, memberikan aroma dan rasa khas hasil pengasapan, mengokohkan tekstur ikan, dan mudah dilakukan secara sederhana serta biayanya tidak mahal. Meskipun demikian, dari hasil pengamatan di lapangan, ternyata ikan asap yang dijual di pasar hanya bertahan paling lama dua hari, dan setelah itu mulai terjadi perubahan-perubahan yang mengarah pada kerusakan. Perubahan

yang terjadi misalnya bau dan rasa yang tidak enak dan mulai timbul lendir pada permukaannya. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperpanjang daya awet ikan asap, dengan memberikan bahan tambahan selama proses pengasapannya. Penggunaan bahan tambahan pada pengolahan ikan sangat dibutuhkan mengingat komoditas ikan sangat mudah rusak. Dengan produk ikan asap yang lebih awet diharapkan dapat dikonsumsi lebih lama dan jangkauan pemasarannya bisa lebih luas. Selanjutnya diharapkan pula produk ikan asap ini akan menjadi produk makanan khas kota Semarang selain bandeng presto. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi yang memadai tentang bahan tambahan yang dapat digunakan dalam proses pengasapan ikan dan dapat menghasilkan ikan asap yang lebih awet serta kualitasnya lebih baik. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan tambahan makanan yang berupa asam asetat dan asam propionat terhadap sifat organoleptik dan daya awet ikan asap. Menurut Eddy Afrianto dan Evi Liviawaty (1989), yang dapat meningkatkan daya awet ikan dalam proses pengasapan adalah unsur-unsur kimia yang terdapat

Page 61: Agromedia 26-1

58

dalam asap. Unsur-unsur kimia tersebut berperan sebagai : (1). desinfektan yang menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme penyebab pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan, (2). Pemberi warna pada tubuh ikan sehingga ikan yang telah diawetkan dengan proses pengasapan berwarna coklat keemasan yang dapat menarik selera konsumen, (3). Bahan pengawet, karena komponen dalam asap mampu memberikan daya tahan pada daging ikan untuk melawan proses ketengikan.Komponen kimia dalam asap adalah air, aldehid, keton, phenol, alkohol, karbondioksida, asam asetat, dan asam formiat (de Mann, 1998). Pengawetan pada ikan bertujuan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran ikan dengan cara menghambat atau menghentikan sama sekali penyebab penurunan mutu maupun penyebab kerusakan ikan. Adapun tujuan utama proses pengawetan pada pengolahan ikan asap adalah untuk mencegah proses pembusukan pada ikan asap, terutama pada saat produksi melimpah, memperluas jangkauan pemasaran ikan asap, serta meningkatkan pendapatan nelayan atau petani ikan. Dalam proses pengawetan pada ikan asap dapat ditambahkan zat aditif yang aman. Menurut Winarno dan Titi Sulistyowati (1994) bahan tambahan makanan (BTM) adalah bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama produksi, pengolahan, pengemasan atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Pemberian BTM hanya dibenarkan apabila ditujukan untuk keperluan sebagai berikut : (1). Untuk mempertahankan nilai gizi makanan, (2). Untuk konsumsi segolongan orang tertentu yang memerlukan makanan diet, (3). Untuk mempertahankan mutu, atau kestabilan makanan, atau (4). untuk memperbaiki sifat-sifat organoleptiknya.

Penggunaan BTM tidak diperbolehkan untuk maksud-maksud sebagai berikut : (1). Menyembunyikan cara pembuatan atau pengolahan yang tidak baik, (2). Menipu konsumen. Penggunaan BTM juga tidak diperbolehkan apabila dapat mengakibatkan penurunan nilai gizi pada makanan (Fachrudin, 1998).

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2008 di Laboratorium Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang dan Balai Laboratorium Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah di Semarang. Sebagai bahan baku penelitian adalah ikan sembilang yang diperoleh di Tambaklorok Semarang. Ikan sembilang adalah salah satu jenis ikan yang kurang disukai untuk konsumsi segar karena citarasanya sangat amis dan teksturnya agak lembek. Untuk proses pengasapan digunakan bahan bakar tempurung kelapa yang sudah kering. Dalam penelitian pengasapan ini digunakan dua macam bahan tambahan yaitu asam asetat dan asam propionat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tungku pengasapan, pisau, talenan, baskom, serta peralatan untuk uji laboratoris. Variabel perlakuan yang diteliti adalah :

1. Pengasapan tanpa bahan pengawet.

2. Pengasapan dengan asam asetat 5%.

3. Pengasapan dengan asam propionat 5%.

4. Kontrol, yaitu ikan asap yang dibeli di pasar tradisional.

Masing-masing perlakuan tersebut

Umi Suryanti and Sulistyowati ; Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Page 62: Agromedia 26-1

59 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

dilaksanakan dalam 3 (tiga) kali ulangan. Prosedur pengasapan ikan sampai dengan pengujiannya adalah :

1. Ikan dicuci dan disiangi, atau dibersihkan dari insang dan isi perutnya.

2. Ikan dipotong dengan ukuran yang seragam.

3. Pemisahan sampel ikan untuk variasi perlakuan, yaitu :a. Sampel ikan yang diasap tanpa

bahan pengawet.b. Sampel ikan yang diasap

dengan sebelumnya direndam dalam asam asetat 5% selama 30 menit.

c. Sampel ikan yang diasap dengan sebelumnya direndam dalam asam propionat 5% selama 30 menit.

d. Kontrol, yaitu sampel ikan asap yang dibeli di pasar tradisional.

4. Ikan diangin-anginkan selama 10 menit.

5. Pengasapan ikan secara tertutup, dengan melakukan pembalikan secara periodik agar hasil pengasapan merata. Pengasapan dilakukan selama 30 (tiga puluh) menit.

6. Penyimpanan ikan asap.7. Pengujian kualitas organoleptik

dilakukan setelah 2 (dua) hari penyimpanan, pengujian mikrobiologis dilakukan 2 (dua) hari dan 7 (tujuh) hari setelah penyimpanan.Parameter yang diukur dalam

penelitian ini adalah kualitas ikan asap secara organoleptik dan mikrobiologis. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi uji perbedaan dan uji kesukaan terhadap warna, tekstur, dan aroma. Metode yang digunakan untuk uji perbedaan dan uji

kesukaan adalah scoring test,. Pada uji organoleptik, yang diperiksa adalah jumlah kuman, ada tidaknya Eschericia coli, serta ada tidaknya jamur. Hasil uji organoleptik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap keawetan ikan asap. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA), dan untuk mengetahui signifi kansi perbedaan antar perlakuan dilakukan uji F.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengasapan merupakan salah satu alternatif penanganan hasil perikanan. Cara ini banyak dilakukan oleh nelayan atau petani ikan karena mudah, sederhana, dan tidak membutuhkan biaya yang besar. Umumnya pengasapan dilakukan dalam tungku pengasapan yang permanen. Pada penelitian ini, sebagai tungku pengasapan digunakan drum yang telah dimodifi kasi menjadi ruang atau alat pengasapan. Selain karena ukurannya yang cukup untuk skala laboratorium, alat tersebut juga tidak permanen tempatnya, atau dapat dipindah-pindah. Sifat Organoleptik Ikan Asap Pengujian organoleptik pada ikan hasil pengasapan dilakukan 2 (dua) hari setelah pengasapan. Pengujian organoleptik dalam penelitian ini meliputi uji perbedaan dan uji kesukaan terhadap warna, tekstur, dan aroma ikan asap. Berdasarkan hasil uji organoleptik terhadap ikan asap dengan perlakuan yang berbeda, diperoleh data pada tabel-tabel berikut. Berdasarkan data pada Tabel 1, ditunjukkan bahwa warna ikan asap yang menggunakan asam asetat dan asam propionate berbeda nyata dengan warna

Page 63: Agromedia 26-1

60

ikan asap tanpa bahan pengawet dan ikan asap control, namun tidak ada perbedaan signifi kan antara warna ikan asap yang menggunakan asam asetat dengan yang menggunakan asam propionate. Salah satu efek yang diperoleh dari hasil pengasapan adalah terjadinya pewarnaan (pencoklatan). Perubahan warna tersebut terjadi akibat berlangsungnya reaksi antara komponen

pengawet dan pada kontrol, sehingga memberikan warna coklat yang disukai oleh panelis. Pada perlakuan pengasapan dengan penambahan asam asetat dan asam propionat, dihasilkan ikan asap yang warnanya coklat pucat. Dengan adanya asam, sebagian protein ikan mengalami perubahan, sehingga hal itu berpengaruh pada tidak maksimalnya perubahan warna (pencoklatan) yang terjadi.

Tabel 1. Warna ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Rerata Warna

Tanpa bahan pengawet 2,88b Coklat

Ditambah asam asetat 5% 2,23a Coklat pucat

Ditambah asam propionat 5% 2,36a Coklat pucat

Kontrol 3,47c Coklat

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (α 5%)

Tabel 2. Tingkat kesukaan pada warna ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Rerata Tingkat kesukaan

Tanpa bahan pengawet 2,38a Suka

Ditambah asam asetat 5% 3,14b Kurang suka

Ditambah asam propionat 5% 3,27b Kurang suka

Kontrol 2,29a Suka

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (α 5%)

phenol dalam asap dengan komponen protein dan gula dalam daging ikan. Di samping itu juga terjadi reaksi maillard antara gugus amino dengan gula dalam daging ikan akibat proses pemanasan selama pengasapan (de Mann, 1998 dan Winarno, 1981). Reaksi tersebut berjalan normal pada ikan asap tanpa bahan

Selain itu, pada beberapa jenis bahan makanan dan minuman, asam organik terbukti memucatkan warna. Panelis menyukai warna ikan asap tanpa bahan pengawet dan ikan asap kontrol karena salah satu karakteristik ikan asap adalah berwarna coklat, bukan coklat pucat.

Umi Suryanti and Sulistyowati ; Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Page 64: Agromedia 26-1

61 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa tekstur ikan asap kontrol agak keras, berbeda dengan tekstur sampel ikan asap lainnya yang keras. Penyebabnya adalah perbedaan penguapan air yang berlangsung selama proses pengasapan. Dengan waktu pengasapan yang lebih singkat (rata-rata 10 menit) tentunya penguapan air tidak sebanyak seperti pada pengasapan yang 30 menit dan hal itu berpengaruh pada kekerasan tekstur daging ikan.

Berdasarkan hasil pengamatan, tekstur ikan asap control berbeda secara signifi kan dengan sampel lainnya, hanya ikan asap kontrol yang tampak berlendir. Hal itu menunjukkan bahwa sudah terjadi kerusakan pada ikan asap tersebut. Lendir timbul dapat diakibatkan oleh

aktivitas mikroorganisme dan enzim, atau autolisis pada komponen daging ikan tersebut. Ikan asap kontrol diolah (diasap) dalam waktu yang lebih singkat dibanding tiga perlakuan lainnya. Menurut para perajin ikan asap, proses pengasapan dilakukan rata-rata selama sepuluh menit. Hal itu tentunya berpengaruh pada hasil pengasapannya. Pengeringan selama pengasapan tidak sempurna, terutama pada bagian dalam daging ikan. Kondisi tersebut memungkinkan mikroorganisme dapat beraktivitas dan merusak produk ikan asap, atau dengan kata lain daya awetnya rendah.

Hal itu menurunkan penilaian panelis terhadap tekstur ikan asap kontol, demikian pula pada hasil uji tingkat kesukaan yang ada pada Tabel 4.

Tabel 3. Tekstur ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Rerata Tekstur

Tanpa bahan pengawet 2,41 b Keras, kering

Ditambah asam asetat 5% 1,74a Keras, kering

Ditambah asam propionat 5% 1,67a Keras, kering

Kontrol 3,16c Agak keras, agak

berlendir

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (α 5%)

Tabel 4. Tingkat kesukaan pada tekstur ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Rerata Tingkat kesukaan

Tanpa bahan pengawet 1,71a Suka

Ditambah asam asetat 5% 1,54a Suka

Ditambah asam propionat 5% 1,62a Suka

Kontrol 3,88c Sangat tidak sukab

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (α 5%)

Page 65: Agromedia 26-1

62

Tabel 5. Aroma ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Rerata Aroma

Tanpa bahan pengawet 2,47b Khas, tidak amis

Ditambah asam asetat 5% 1,70a Khas, tidak amis

Ditambah asam propionat 5% 1,61a Khas, tidak amis

Kontrol 3,66c Amis

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (α 5%)

menimbulkan aroma amis, sehingga ikan asap yang dihasilkan tidak beraroma amis lagi.

Dari hasil pengamatan di lokasi produksi ikan asap tradisional, proses pengasapan dilakukan rata-rata selama 10 menit. Singkatnya waktu pengasapan tentu berpengaruh pada kesempurnaan proses penguapan air dan senyawa volatile, salah satunya adalah yang menimbulkan aroma amis. Penguapan air dan senyawa volatile berlangsung lebih sempurna pada pengasapan yang dilakukan sendiri selama penelitian.

Lamanya proses pengasapan juga menyebabkan reaksi antara komponen dalam asap dengan komponen dalam daging ikan berjalan optimal sehingga dihasilkan aroma khas ikan asap yang

Selanjutnya, hasil pengujian aroma ikan asap dan tingkat kesukaannya dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan hasil uji organoleptik seperti yang disajikan pada Tabel 5, aroma ikan asap kontrol masih amis, berbeda dengan aroma ikan asap yang menggunakan asam asetat atau asam propionate, maupun ikan asap tanpa kedua asam tersebut. Proses pengasapan yang dilakukan dalam penelitian berlangsung selama 30 (tiga puluh) menit dan secara berkala dilakukan pembalikan ikan yang diasap. Hal itu bertujuan agar proses pengeringan selama pengasapan dapat berjalan sempurna dan merata. Selama proses tersebut terjadi penguapan sebagian air dan senyawa volatil (senyawa yang mudah menguap) yang

Tabel 6. Tingkat kesukaan pada aroma ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Rerata Tingkat kesukaan

Tanpa bahan pengawet 1,86 Sukaa

Ditambah asam asetat 5% 1,64a Sukaa

Ditambah asam propionat 5% 1,72a Sukaa

Kontrol 3,79c Tidak sukab

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (α 5%)

Umi Suryanti and Sulistyowati ; Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Page 66: Agromedia 26-1

63 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

disukai oleh panelis. Pada ikan asap kontrol, aroma amis masih terdeteksi dan hal itu tidak disukai oleh panelis. Ikan sembilang adalah jenis ikan gemuk (berkadar lemak tinggi), dan secara umum ada korelasi bahwa semakin tinggi kadar lemak pada hasil hewani maka aromanya pun semakin amis. Sebenarnya proses pengasapan juga bertujuan untuk mengurangi aroma dan rasa amis pada ikan. Oleh karena itu proses pengasapan ikan harus dilakukan dalam waktu yang cukup untuk berlangsungnya reaksi-reaksi perubahan yang diharapkan. Pada proses pengasapan secara tradisional waktu pengasapan yang hanya 10 menit tidak cukup untuk menghilangkan aroma dan rasa amis. Sementara itu proses pengasapan dalam penelitian dilakukan selama 30 menit, dan ternyata dapat menghasilkan ikan asap yang tidak amis.

Hasil Pengujian Kuman, Eschericia coli dan Jamur

Berdasarkan hasil pengujian mikrobiologis yang dilakukan, diperoleh data pada Tabel 7. Uji mikrobiologis yang meliputi keberadaan kuman, bakteri Eschericia coli, dan jamur dilakukan 5 (lima) hari setelah pengasapan. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jumlah kuman untuk semua

perlakuan adalah sama, demikian pula dengan hasil uji jamur. Sampai dengan 5 (lima) hari penyimpanan ternyata tidak terdeteksi adanya pertumbuhan jamur. Daging ikan bukan media yang sesuai untuk pertumbuhan jamur, apalagi dengan adanya proses pengasapan maka kandungan air pun berkurang, atau ikan menjadi lebih kering. Seperti diketahui, umumnya jamur tumbuh pada kondisi lembap. Adanya proses pengasapan juga menghasilkan komponen asap yang dapat menghambat pertumbuhan jamur. Keberadaan bakteri Eschericia coli sering dihubungkan dengan sanitasi dan higiene bahan, proses pengolahan, dan tempat pengolahan. Pada ikan asap kontrol positif terdeteksi adanya bakteri Eschericia coli. Hal itu menunjukkan bahwa sanitasi dan higiene ikan, proses dan tempat pengasapan tidak baik. Karena banyaknya ikan yang diasap dan mengejar waktu pemasaran, maka seringkali kebersihan ikan yang akan diasap kurang diperhatikan, demikian pula dengan tempat preparasi (penyiapan) ikan. Pada ikan asap hasil penelitian tidak terdeteksi adanya bakteri Eschericia coli. Selama penelitian tentunya kebersihan bahan (ikan), proses pengasapan, dan tempatnya lebih diperhatikan, sehingga bakteri tersebut tidak dapat tumbuh. Adanya bakteri Eschericia coli pada

Tabel 7. Hasil uji mikrobiologis ikan asap dengan perlakuan yang berbeda.

Perlakuan Jumlah kuman Eschericia coli Jamur

Tanpa bahan pengawet 1 x 101 /gram Negatif Negatif

Ditambah asam asetat 5% 1 x 101 /gram Negatif Negatif

Ditambah asam propionat 5% 1 x 101 /gram Negatif Negatif

Kontrol 1 x 101 /gram Positif Negatif

Page 67: Agromedia 26-1

64

bahan makanan perlu diwaspadai karena dapat menjadi indikasi tumbuhnya bakteri patogen yang mempunyai kondisi pertumbuhan yang sama dengan Eschericia coli.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kualitas organoleptik ikan asap yang meliputi warna, tekstur, dan aroma dipengaruhi secara signifi kan oleh penambahan asam asetat dan asam propionat. Penambahan asam asetat dan asam propionat terbukti dapat meningkatkan sifat organoleptik ikan asap, namun di antara kedua jenis asam tersebut tidak ada perbedaan yang signifi kan. Ikan asap yang menggunakan asam asetat dan asam propionat juga lebih disukai oleh panelis dibanding yang tidak menggunakan asam.

Penambahan asam asetat dan asam propionat juga menghambat kerusakan secara mikrobiologis, namun tidak terdapat perbedaan yang signifi kan dengan ikan asap yang tidak menggunakan asam.

Proses pengasapan yang dilakukan dalam penelitian lebih higienis dibanding pengasapan ikan pada kontrol, ditunjukkan dengan hasil uji bakteri Eschericia coli.

Saran yang dapat disampaikan adalah agar sanitasi dan higiene bahan, tempat, dan proses pengasapan lebih diperhatikan karena menentukan keawetan ikan asap yang dihasilkan. Selain itu, untuk memperbaiki kualitas, terutama secara organoleptik, disarankan untuk menggunakan asam asetat atau asam propionat dalam jumlah (dosis) yang sudah direkomendasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Evi Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.

Yogyakarta.

De Mann, J.M. 1998. Kimia Makanan. Penerbit ITB. Bandung.

Fachrudin, L. 1998. Memilih dan Memanfaatkan Bahan Tambahan . Trubus Agriwidya.

Ungaran.

Hadi, S. 1981. Metodology Resserarch. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kristiyanti. 1999. Pengawetan Makanan dengan Pengeringan. Universitas Kristen Satya

Wacana. Salatiga.

Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Swadaya. Jakarta.

Wibowo, S. 1995. Industri Pengasapan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Winarno, FG. 1981. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta.

Winarno, FG. Dan Titi Sulistyowati. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan

Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Yogyakarta.

Umi Suryanti and Sulistyowati ; Kajian Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Page 68: Agromedia 26-1

65 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

FERTILITAS TELUR AYAM BURAS ( Gallus domesticus )AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN E DALAM RANSUM

The Egg Fertility of Domestic Fowl effect given of Vitamin E in Ration

Raga Samudera(Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian / STIPER Amuntai)

ABSTRACT

The research was done to know infl uence of vitamin E in Ration on egg fertility of domestic fowl and this research used 100 females and 20 males domestic fowl old age 12 month

Design of experiment this research using Completely Randomized Design. The treatment which tried are E0 (no vitamin E ), E1 (addition of Vitamin E 50 IU), E2 (addition of vitamin E 100 IU) , E3 (addition of vitamin E 150 IU) and E4 (addition of vitamin E 200 IU) /kg ration.

The prime subject matter that noticed was egg fertility, and the supporting is Hen Day Average (HDA). For which knowing effect of treatments performed varian analysis and to compare inter treatment using Least Signifi cant Difference Test Method with level of trust 5 % and 1 %.

The result of research could be conclused that addition of vitamin E in ration gave a signifi can effect against egg fertility of domestic fowl but unsignifi can for HDA . The Highest egg fertility was happened in E4 (70,0 %). namely to give 100 IU/kg ration or 100 mg/kg ration

Keywords : egg fertility, domestic fowl. vitamin E, ration,

ABSTRAK

Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh vitamin E dalam ransum terhadap pertilitas telur ayam buras dan penelitian ini menggunakan 100 betina dan 20 jantan ayam buras lokal berumur 12 bulan

Rancangan eksperimen penelitian ini menggunakan Completely Randomized Design, perlakuan percobaan adalah E0 (tanpa vitamin E ), E1 (penambahan Vitamin E 50 IU), E2 (penambahan vitamin E 100 IU) , E3 (penambahan vitamin E 150 IU) dan E4 (penambahan vitamin E 200 IU) /kg ransum.

Perihal pokok utama yang dicatat adalah daya tunas telur dan pendukung adalah Hen Day Average (HDA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis varian dan perbandingan antar perlakuan digunakan Least Signifi cant Difference Test Method dengan tingkat 5% dan 1%.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan vitamin E dalam ransum memberi pengaruh nyata terhadap daya tunas telur ayam buras tetapi tidak berpengaruh

Page 69: Agromedia 26-1

66

terhadap HDA. Daya tunas telur tertinggi terjadi pada perlakuan E2 (70%) yakni diberikan 100 IU/kg ransum atau 100 mg/kg ransum..

Kata kunci : daya tunas telur, ayam kampung, vitamin E, ransum

PENDAHULUAN

Pengembangan peternakan pada masa ini sudah maju demikian pesatnya dan salah satu usaha pengembangannya adalah peternakan ayam buras, karena sifat dari ternak ini sudah lama dikenal di masyarakat. Keberadaannya di tengah masyarakat pedesaan maupun perkotaan, berpotensi untuk dikembangkan sebagai ternak produksi dan mempunyai prospek untuk masa mendatang.

Ayam buras merupakan ternak unggas yang dapat dijadikan alternatif untuk dikembangkan sebagai sumber protein hewani, karena secara teknis mudah diternakkan dan tidak terlalu memerlukan modal besar (Adil, 1990). Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ayam buras sebagaimana halnya ternak lainnya yakni faktor makanan.

Agar memperoleh produktivitas ayam yang baik diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan baik jumlah maupun mutunya. Gizi yang dibutuhkan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Kelalaian peternak dalam mengelola makanan ternak dapat mengakibatkan kegagalan usaha atau kerugian. Dalam usaha penetasan telur sering ditemukan kegagalan yakni banyaknya telur tetas yang daya tunasnya rendah. Salah satu penyebabnya adalah peternak kurang memperhatikan makanan untuk ayam bibit, salah satunya kandungan vitamin E dalam ransum yang kurang.

Menurut Wahju (1997) salah satu

akibat kekurangan vitamin E adalah kegagalan reproduksi, yakni degenerasi embrio pada betina dan kemajiran pada ayam jantan.

MATERI DAN METODE

Materi1. Ayam buras betina sebanyak 100 ekor

dan jantan sebanyak 20 ekor berumur 12 bulan.

2. Ransum ayam petelur produksi PT. Japfa Cofeed.

3. Vitamin E merk Widamine bentuk tablet produksi PT. Samphindo Kimia dan Farmasi Industri.

Alat1. Kandang ukuran 1 x 1 m sebanyak 20

petak.2. Timbangan merk O’haus kapasitas

2610 g dengan tingkat ketelitian 0,1 g3. Mesin tetas kapasitas 300 butir 1

buah4. Tempat pakan dan minum masing-

masing 20 buah.5. Blender6. Mesin pencampur pakan.7. Termometer merk Flying Fish8. Alat candling berupa senter9. Egg tray.

Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan, yaitu dengan perlakuan :

E0 = tanpa penambahan vitamin EE1 = vitamin E 50 IU/kg ransum

Raga Samudera ; Fertilitas Telur Ayam Buras

Page 70: Agromedia 26-1

67 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

E2 = vitamin E 100 IU/kg ransumE3 = vitamin E 150 IU/kg ransumE4 = vitamin E 200 IU/kg ransum

Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksankan di

Desa Banua Asam Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Kalsel.

Pelaksanaan1. Ayam yang digunakan dalam

penelitian terlebih dahulu diseleksi sesuai dengan anjuran. Ayam yang telah diseleksi dimasukkan dalam petak kandang percobaan dengan perbandingan jantan betina 1 : 5 untuk setiap unit kandang yang diambil secara acak. Setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat makan dan minum dan lampu pijar sebagai penerangan di malam hari.

2. Pakan diberikan secara ad libitum sebanyak tiga kali sehari yaitu pagi hari pukul 07.00 Wita, siang hari pukul 13.00 Wita dan sore hari pukul 17.00 Wita.

3. Pemberian air minum satu kali sehari yaitu pada pagi hari bersamaan dengan pemberian pakan secara ad libitum

4. Telur tetas dari masing-masing petak percobaan yang akan dimasukkan ke dalam mesin penetas adalah telur tetas yang berumur lima hari. Pada rak penetasan dibuat petak-petak sebanyak 20 petak dan setiap petak berisi 10 butir telur tetas dari masing-masing perlakuan yang diambil secara acak. Pada hari keenam diakukan candling untuk mengetahui daya tunas telur.

5. Vaksinasi dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit

ND dengan menggunakan vaksin strain Komarov melalui suntikan intra muskuler dengan dosis 1 cc/ekor.

6. Suhu kandang diukur tiga kali sehari pada pagi, siang dan sore hari.

Variabel yang DiamatiVariabel utama yang diamati

adalah daya tunas telur yang diperoleh dari banyaknya telur tertunas dibadi jumlah telur yang ditetaskan dikalikan seratus persen. Sedangkan parameter penunjang yang diamati adalah produksi telur yang diperoleh dari banyaknya jumlah telur yang dihasilkan per hari dibagi jumlah ayam betina dikalikan seratus persen.

Analisis DataUntuk mengetahui pengaruh

perlakuan dilakukan analisis ragam, dimana sebelum diuji terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas Bartlett. Jika menunjukkan hasil berpengaruh nyata atau sangat nyata , maka penghitungan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Tunas TelurBerdasarkan hasil penghitungan

ana -lisis ragam diketahui bahwa penambahan vitamin E dalam ransum berpengaruh sangat nyata terhadap daya tunas telur ayam buras . Rata-rata daya tunas masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan E1 , E2 , E3 dan E4 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan E0 Daya tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan E2 (vitamin E 100 IU/kg ransum),yakni sebesar 70,0 %

Page 71: Agromedia 26-1

68

dan terendah pada perlakuan E0 (tanpa penambahan vitamin E) yakni sebesar 45,0 %.

Adanya perbedaan angka ini dimungkinkan bahwa penambahan vitamin E dalam ransum dapat meningkatkan kesuburan reproduksi ayam buras. Penambahan vitamin E diatas kebutuhan normal tidak memberikan pengaruh terhadap daya tunas telur. Penurunan angka daya tunas telur pada perlakuan E3 dimungkinkan akibat tidak stabilnya vitamin E dalam ransum selama dalam penyimpanan dan perlakuan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1983) bahwa pemberian vitamin E yang melebihi kebutuhan normal hanya memberikan pengaruh terhadap meningkatnya antibodi secara efi sien pada ayam muda maupun ayam dewasa dan meningkatkan proteksi terhadap E. coli.

Menurut Wahju (1997) bahwa penurunan daya tunas telur akan nyata terjadi bila ayam dewasa diberi ransum dengan tingkat vitamin E rendah pada waktu panjang. Degenerasi testes timbul pada ayam jantan yang diberi ransum defi sien vitamin E selama periode panjang.

Kondisi penyimpanan dan

pemberian makanan harus dikontrol karena dapat mempengaruhi stabilitas vitamin E dalam ransum. Disamping itu pengaruh lingkungan dimana ternak itu berada harus diperhatikan karena berbagai stress dapat mempengaruhi kebutuhan vitamin E (Parakkasi, 1983).

Produksi TelurBerdasarkan hasil penghitungan

ana -lisis ragam diketahui bahwa penambahan vitamin E dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi telur harian (Hen Day Average). Rata-rata produksi telur harian masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Rata-rata Daya Tunas Telur Ayam Buras

Perlakuan Daya Tunas (%)

E0

E1

E2

E3

E4

45,0 a

60,0 b

70,0 b

67,5 b

67,5 b

Keterangan : huruf yang sama pada kolom daya tunas menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5 %

Tabel 2. Rata-rata HAD (%)

Perlakuan HDA (%)

E0

E1

E2

E3

E4

43,10

43,09

42,38

44,04

43,81

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata produksi telur harian (HDA) tertinggi diperoleh pada perlakuan E3 yakni sebesar 44,01 % dan terendah pada perlakuan E2 yakni sebesar 42,38 %.

Menurut Sarwono (1995) bahwa yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ayam buras agar menghasilkan produksi telur yang baik adalah kandungan protein ransum yang mencukupi kebutuhan ternak sebagai sumber zat pembangun untuk pertumbuhan, mengganti sel yang rusak dan membentuk telur.

Raga Samudera ; Fertilitas Telur Ayam Buras

Page 72: Agromedia 26-1

69 , Vol. 26, No. 1 Pebruari 2008ISSN 0215-8302

AGROMEDIA

Produksi telur ayam kampung dibandingkan dengan ayam bibit unggul hasilnya masih jauh di bawah. Ayam kampung hanya menghasilkan produksi telur 41,3 % Hen Day, sedangkan pada ayam petelur unggul sebesar 70,9 %. Tinggi rendahnya produksi telur dipengaruhi oleh keturunan, makanan, pemeliharaan dan penyakit (Rasyaf, 1994).

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Penambahan vitamin E dalam

ransum sangat nyata meningkatkan daya tunas telur ayam buras. Daya tunas tertinggi diperoleh pada penambahan vitamin E 100 IU/kg ransum yakni sebesar 70,0 %.

2. Penambahan vitamin E dalam ransum tidak mempengaruhi produksi telur harian ayam buras (HDA). Proudksi telur harian dalam penelitian ini berkisar antara 40,95 – 45,71 %.

Saran Agar diperoleh telur tetas dengan

daya tunas yang baik maka disarankan untuk menambahkan vitamin E dalm ransum ayam buras sebanyak 100 IU/kg ransum atau 100 mg/kg ransum

DAFTAR PUSTAKA

Adil, S. P., 1990. Pengembangan Ayam Buras sebagai Salah Satu Alternatif

Pemenuhan Gizi. Majalah Mahasiswa Peternakan Universitas Udayana (4): 18 – 20. Bali.

Parakkasi, A., 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit Angkasa.

Bandung.

Rasyaf, M., 1995. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sarwono, 1997. Beternak Ayam Buras. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wahju, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

.Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1989.

Prinsip dan Prosedur Statiska. Suatu Pendekatan

Biometrek. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 73: Agromedia 26-1

INDEK SUBYEK

AAS 2 Adenium, Sp 5 ayam kampung 8 bahan agrokimia 2 bahan tambahan makanan 7 daya awet 7 daya tunas telur 8 efi siensi 4 eksponensial, 1 ikan asap 7 katu 4 linier, kuadratik, 1 logam berat 2 media pembibitan 5 mikroba 4 model kuadrat terkecil 1

petani dan nelayan 6 pH 4 populasi, 1 produksi susu. 4 pupuk kascing 5 ransum 8 residu 2 sapi potong 1 semen 3 sifat organoleptik 7 skrotum 3 sperma sapi 3 tabungan rumah tangga 6 testis 4 vitamin E 8

Page 74: Agromedia 26-1

PETUNJUK PENULISAN UNTUKAGROMEDIA BERKALA ILMIAH ILMU-ILMU PERTANIAN

AGROMEDIA menerima naskah karya ilmiah hasil penelitian dalam cakupan ilmu-ilmu pertanian dari para pembaca yang belum dan tidak akan dipublikasikan pada media cetak lain. Naskah diketik dengan Microsoft Word dengan font Arial 11pada kertas HVS ukuran kuarto dengan jarak 1,5 spasi dan panjang tulisan berkisar antara 12-15 halaman. Naskah mohon disusun atas bagian-bagian sebagai berikut : Judul, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan huruf kapital. Jumlah suku kata tidak lebih dari 20 suku kata. Nama Penulis, disebutkan nama(-nama) penulis diikuti tentang profesi, instansi dan alamat tempat bekerja, telepon, dan e-mail penulis. Abstrak, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, singkat dan padat, dengan jumlah suku kata tidak lebih dari 200 kata, serta di bawahnya ditulis kata kunci (key words). Pendahuluan, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan (hendaknya mengacu pada pustaka yang up to date), dan tujuan penelitian. Materi dan Metode, memuat waktu penelitian, materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan singkat, analisis kimia (bila menggunakan), dan analisis statistik data kajian. Hasil dan Pembahasan, hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan atau grafi k dilengkapi dengan nomor dan judul. Tabel dan gambar hasil kutipan sumbernya disebutkan sesuai Daftar Pustaka. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian secara jelas yang dirujukkan dengan bahan pustaka yang relevan, hendaknya tidak bersifat spekulatif dan tidak keluar dari ruang lingkup penelitian. Kesimpulan (dan Saran), kesimpulan merupakan hasil konkret ataupun keputusan dari penelitian yang dilakukan, dan saran merupakan tindak lanjut bagi pengembangan penelitian berikutnya. Tidak lebih dari satu alinea. Ucapan Terimakasih (acknow ledment), apabila ada disajikan secara jelas dan singkat, misalnya kepada sponsor penelitian. Daftar Pustaka, mencantumkan semua

pustaka berikut keterangan yang lazim dengan tujuan supaya mudah menelusurinya. Disusun dengan memuat nama penulis menurut abjad dan tahun mulai tahun yang lama (untuk satu penulis yang sama). Apabila tulisan merujuk ke Web Site, maka kode Web Site hendaklah ditulis dalam Daftar Pustaka. Contoh penulisan Daftar Pustaka :

Jurnal/majalah :Tjondronegoro, P.D., and A.W. Gunawan. 2000.

The role of Glomus fasciculatum and soil water condition on growth of soybean and maize. J.Mikrobiol. Indonesia 5: 1-3.

Buku :Smith, S.E., and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal

Symbiosis. Academic Press, New York.Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi

Ternak. Edisi ke-4., Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan K. Praseno).

Bab dalam Buku Kumpulan Makalah :Weeks, T.E.S. 1991. Hormonal control of

glucose metabolism. In : Physiological Aspect of Digestion and Metabolism in Ruminants. T. Tsuda, Y. Sasaki, and R. Kawashima (eds). Academic Press, SanDiego, p.183-200.

Artikel dalam Prosiding :Zaurbin, R., dan P. Wahid. 1995. Kesesuaian

lingkungan tanaman panili. Pros. Temu Tugas Pemantapan Budidaya dan Pengolahan Panili di Lampung, Bandar Lampung 15 Maret 1995: h.47-58.

Skripsi/Tesis/Desertasi :Rudarmono, 2000. Penampilan

beberapa Genotipe Cabai Merah pada Pertanaman Tunggal dan Tumpangsari d e n g a n Singkong. (Tesis S-2, Program Pascasarjana, Unpad)

Naskah disertai CD dikirim ke alamat Redaksi, atau e-mail : [email protected]

Page 75: Agromedia 26-1