92304307-ikterus-obstruktif

12
Ikterus Obstruktif (obstructive jaundice) Filed under: Bedah,med papers ningrum @ 6:04 pm PENDAHULUAN Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan. (1) Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. (2) Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphateglucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. (2) DEFENISI Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. (3) Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‗jaune‘ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut. (4) ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya dengan pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya muncul pada 58% populasi. (4)

Upload: merry-dhamayanti

Post on 03-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Ikterus Obstruktif (obstructive jaundice)

Filed under: Bedah,med papers — ningrum @ 6:04 pm

PENDAHULUAN

Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual.

Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang

bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik

sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan

gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik.

Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut

pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi

bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur

intervensi lainnya untuk pengobatan. (1)

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi

serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli

bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas

menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai

jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari

perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. (2)

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah

merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut

ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati

membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl

transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam

glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide

dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan

kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi

urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan

kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. (2)

DEFENISI

Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat

akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40

mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. (3)

Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‗jaune‘ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin

untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh

deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut. (4)

ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER

Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya dengan

pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya terdapat

variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya muncul pada

58% populasi. (4)

Page 2: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral (divertikulum

hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat kehidupan. Bagian ini

terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik

ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan

bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung empedu,

tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan

penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi

duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum. (4)

Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan ekstra-

hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier),

kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik

membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus

hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis merupakan

komponen ekstrahepatik percabangan biliaris. (4)

Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus biliaris

komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat dibagi

menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus

biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum, mengalir secara tangensial

melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor pada bagian kedua

duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter Oddi.

Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau bergabung

bersama duktus pankreatikus (75%) untuk membentuk kanal biasa, yang disebut ampula

Vater. (4)

Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular peribilier.

Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir

kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum. (4)

METABOLISME NORMAL BILIRUBIN

Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin heme

setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau.

Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan

dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel

hati. Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin indirek

berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan melalui

urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin dikonjugasikan dengan asam

glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan ke saluran empedu. Pada reaksi diazo Van

den Berg memberikan reaksi langsung sehingga disebut bilirubin direk. (5)

Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak,

kekurangmampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya

refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan aliran

empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut

hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus. (5)

KLASIFIKASI

Page 3: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-

hepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada

jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai

jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah

kondisi pre-hepatik. (1)

DIAGNOSIS

Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati. (5)

Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,

keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan

pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan

pembedahan. (5)

Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang

menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice ‗medis‘

seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan

ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice ‗surgical‘ melalui

kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin

termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan

reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis

dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik

dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis

viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat

disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker

periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing primer. (2)

Ketika mendiagnosa

jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan pada ambilan bilirubin,

konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik,

yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi.

Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan

pencitraan radiologis non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab

jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan

gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris umum

biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan

jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah

keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu

menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan. (2)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda

stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit karena

pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien

dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan

pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum

Courvoisier). (5)

Page 4: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Hukum Courvoisier

―Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung

empedu‖. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,

ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal. (3)

Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin direk

dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap.

Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi

bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi

bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan

hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum

biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya

meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya

berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 – 8 mg/dL). Alkali

fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin

meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial. (2)

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh

gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin

direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan

saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal

bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui

ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu

adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada

kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses

menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus

(pigmen tidak dapat mencapai usus). (2)

Pemeriksaan Penunjang

USG

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang

pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat

ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor.

Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu

empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi

sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan

penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu

memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. (2)

Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat

menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan

ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi. (2)

Pemeriksaan Radiologi

Page 5: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu

empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat

kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit. (5)

Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan

ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi

melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran

pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada

kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan

yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki

kanul. (5)

Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat

divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC).

Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke

arah hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini

berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi

yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan hati dapat diperlihatkan

lokasinya dengan tepat. (5)

Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan biopsi

jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda

obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu. (5)

JAUNDICE OBSTRUKTIF

Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan terjadinya

kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum sumbatan

melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda adanya

kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan abses menyertai

demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus obstruktif. (5)

Patofisiologi jaundice obstruktif

Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk pencernaan dan

penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan

metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen endogen dan

produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon. (4)

Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen empedu

(yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan cadangannya,

yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena

kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan

malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K);

defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan,

seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. (4)

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin terkonjugasi

mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam empedu

berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid

Page 6: 92304307-Ikterus-Obstruktif

menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis

hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian

besar tidak terpengaruh. (4)

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi

mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu

hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah

fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria

dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi

oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif. (4)

Etiologi jaundice obstruktif

Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya

adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing askaris

sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor

kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum

hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran

empedu. (5)

Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista

koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter papila

vater. (5)

Ringkasnya etiologi disebabkan oleh: koledokolitiasis, kolangiokarsinoma, karsinoma

ampulla, karsinoma pankreas, striktur bilier. (4)

Gambaran klinis jaundice obstruktif

Jaundice, urin pekat, feses pucat dan pruritus general merupakan ciri jaundice obstruktif.

Riwayat demam, kolik bilier, dan jaundice intermiten mungkin diduga

kolangitis/koledokolitiasis. Hilangnya berat badan, massa abdomen, nyeri yang menjalar ke

punggung, jaundice yang semakin dalam, mungkin ditimbulkan karsinoma pankreas.

Jaundice yang dalam (dengan rona kehijauan) yang intensitasnya berfluktuasi mungkin

disebabkan karsinoma peri-ampula. Kandung empedu yang teraba membesar pada pasien

jaundice juga diduga sebuah malignansi ekstrahepatik (hukum Couvoissier). (4)

Pemeriksaan pada jaundice obstruktif

1. Hematologi (4)

Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin terkonjugasi. Serum

gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada kolestasis.

Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu hiperbilirubinemia lebih

rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna ekstra-hepatik. Serum bilirubin

biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase juga

mendadak meningkat 10 kali nilai normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab

obstruksi dihilangkan.

Page 7: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan kanker obstruksi

lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase meningkat 10 kali

nilai normal, namun transamin tetap normal.

Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada karsinoma

pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda tersebut tidak

spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak percabangan hepatobilier lainnya.

1. Pencitraan (4)

Tujuan dibuat pencitraan adalah: (1) memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu

membuktikan apakah jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik), (2) untuk

menentukan level obstruksi, (3) untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi, (4)

memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang mendasarinya (misal,

informasi staging pada kasus malignansi)

USG : memperlihatkan ukuran duktus biliaris, mendefinisikan level obstruksi,

mengidentifikasi penyebab dan memberikan informasi lain sehubuungan dengan penyakit

(mis, metastase hepatik, kandung empedu, perubahan parenkimal hepatik).

USG : identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung

empedu dan duktus biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil

atau striktur. Juga dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan

struktur yang mengelilinginya.

CT : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas, ginjal dan

retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik dengan akurasi

95%. CT dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.

ERCP dan PTC : menyediakan visualisasi langsung level obstruksi. Namun prosedur ini

invasif dan bisa menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis

dan perdarahan.

EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging malignansi

gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi modalitas penting

dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk mendeteksi dan staging

tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris

benigna atau maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.

Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik visualisasi

terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna pada

pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi

bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah

murni diagnostik.

Penatalaksanaan jaundice obstruktif

Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan untuk

menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut

dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor. Upaya

Page 8: 92304307-Ikterus-Obstruktif

untuk menghilangkan sumbatan dapat dengan tindakan endoskopi baik melalui papila Vater

atau dengan laparoskopi. (5)

Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab

sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat

dialirkan. Drainase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa

nasobilier, pipa T pada duktus koledokus atau kolesistotomi. Drainase interna dapat

dilakukan dengan membuat pintasan biliodigestif. Drainase interna ini dapat berupa

kolesisto-jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunostomi atau hepatiko-

jejunostomi. (5)

Page 9: 92304307-Ikterus-Obstruktif

Teratoma sakrokoksigeus adalah neoplasma yang terdiri dari bermacam-macam jaringan

yang berbeda dari ketiga lapisan sel germinal asing pada tempat anatomi dimana jaringan

tersebut muncul yaitu sering terjadi dekat tulang ekor (coccyx), dimana konsentrasi terbesar

sel primitive berada untuk periode waktu yang lama. Tumor ini diyakini berasal dari sel

multipotensial embrio dari Hensen;s node yang terletak di dalam tulang ekor (coccyx).

Teratoma sakrokoksigeus berkembang didalam retroperitoium, daerah sakrokoksigeus, atau

melibatkan keduanya. Sebagian besar merupakan kasus primer.

Epidemiologi Teratoma Sakrokoksigeus adalah tumor jarang. Insiden teratoma sakrokoksigeus 1 dari

35.000 sampai 40.000 kelahiran hidup dan paling sering ditemukan pada wanita dengan

Rasio 3:1 sampai 4:1 pernah dilaporkan. Sakrokoksigeus adalah bagian yang sering terdapat

teratoma pada neonatus (46-65%) Lokasi selanjutnya yang paling sering adalah : gonad (10-

35 %), mediastinal (10-12 %),retroperitoneal (3-5%), cervical (3-6%), Presakral (3-5 %),

system saraf pusat (2-4 %). Tumor ini paling sering ditemuan pada bayi dan anak anak, tetapi

dilaporkan telah ditemukan pada orang dewasa. Ada kecenderungan diantara populasi

pediatrik mengarah ke transformasi maligna pada teratoma sakrokoksigeus dengan

peningkatan umur. Tetapi pada pasien dewasa tumor benigna yang paling sering.

Etiopatologi Teratoma terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrautrin, dapat menjadi sangat besar

pada teratoma sakrokoksigeus seiring dengan perkembangan fetus. Teratoma sakrokoksigeus

muncul dari primitif knot atau hensen‘s node. Hensen‘s node adalah suatu agregasi dari sel

totipotensial yang merupakan pengatur utama pada perkembangan embrionik. Semula

terletak di bagian posterior embrio yang bermigrasi secara caudal pada minggu pertama

kehidupan didalam ekor embrio, akhirnya berhenti di anterior tulang ekor (coccyx). Alur

migrasi dari sel germinal menunjukan lokasi dan patologi yang paling sering terdapat

teratoma (sakrokoksigeus dan gonad). Sel-sel ini dapat meluas ke postero-inferior masuk

daerah glutea dan /atau postero-superior masuk ke rongga abdominopelvik. Pemisahan sel

totipotensial dari hansen‘s node mungkin menyebabkan munculnya teratoma sakrokoksigeus.

Sel pleuripotensial ini melarikan diri dari kontrol pengatur embrionik dan berdiferensiasi

masuk dalam jaringan yang tidak biasa ditemukan pada daerah sakrokoksigeus. Tumor terjadi

dekat dengan tulang ekor, dimana konsentrasi terbesar primitif sel berada untuk waktu yang

lama selama masa perkembangan. Tumor ini diklasifikasikan berdasarkan Altman

classification of Surgical Section of the American Academy of Pediatrics kedalam 4 tipe

yaitu :

1. Tipe I - tumor terutama di bagian luar mengarah dari daerah sakrokoksigeus dan

muncul dengan distorsi bokong

2. Tipe II – tumor terutama diluar , tetapi ada bagian yang luas didalam pelvis.

3. Tipe III – tumor terutama didalam pelvis dengan sedikit pada bagian luar, benjolan

pada bokong.

4. Tipe IV – tumor deluruhnya didalam tanpa ada dibagian luar atau bagian bokong

Sebagian besar teratoma terdapat daerah baik yang padat dan kistik, walaupun teratoma padat

secara lengkap terjadi. Cairan kista dapat sereus, mukoid, darah, dan lapisan kista sering

terdiri dari epitel skuamous serta sebasea dan gigi. Terutama tumor kistik lebih mungkin

benigna dan insiden malignansi meningkat pada sejumlah jaringan padat.9 Teratoma benigna

biasanya berkapsul, dan adanya bagian yang nekrosis atau perdarahan memberi kesan adanya

Page 10: 92304307-Ikterus-Obstruktif

kanker.

Pemeriksaan mikroskopik pada teratoma biasanya menunjukkan variasi jaringan lebih dari

satu lapisan germinal. Pentingnya memiliki keseragaman dalam klasifikasi histologi teratoma

agar evaluasi prognosis yang sesuai dan kelangsungan hidup serta dapat membandingkan

hasil dari laporan bertahap dari institut yang berbeda.

Teratoma diklasifikasikan kedalam tiga kategori histopatologi :

1. Teratoma benigna : Terdapat deferensiasi baik, benigna, matur, hanya jaringan

dewasa

2. Teratoma dengan imatur jaringan embrionik yang bukan maligna seutuhnya, dengan

atau tanpa jaringan matur.

3. Teratoma maligna , dengan jaringan maligna seutuhnya, ditambah jaringan matur dan

/atau embrionik.

Gambaran klinik

Secara klinis, Tumor paling sering muncul sebagai massa yang menonjol antara coccyx dan

anus yang biasa ditutupi dengan kulit normal yang intak. Beberapa pasien, seluruh atau

sebagian benjolan terletak pada permukaan retrorektal atau retroperitoneum. Pada bayi dan

anak-anak, Tumor muncul sebagai massa pada daerah sakropelvis yang menekan kandung

kemih dan rectum. Seringnya gejala obstruksi pada traktus urinarius yang disebabkan oleh

kompresi ureter dan urethra terhadap pubis atau kompresi ureter terhadap pinggiran pelvis

dan terjadi kesulitan defekasi sebagai tanda obstruksi yang mungkin tidak cukup dikenali.

Sebagian kecil pasien dapat mengalami paralysis, nyeri, atau kelemahan pada kaki, terutama

pada stadium lambat dari invasi maligna dari tumor.

Pada teratoma sakrokoksigeus pada fetus, jika tumornya besar, dapat menyebabkan distosia,

kesulitan melahirkan dan perdarahan atau laserasi tumor.

Diagnosis

Diagnosis teratoma sakrokoksigeus biasanya ditegakkan melalui pemeriksaan fisik. Tumor

ini biasanya didiagnosa ketika ditemukan benjolan sacrum yang besar setelah kelahiran yang

sulit atau obstruksi pada kelahiran. Anamnesis didapatkan adanya nyeri rectum, konstipasi,

dan adanya sebuah benjolan.

Teratoma sakrokoksigeus juga sering didiagnosa sebelum bayi lahir dengan pemeriksaan

ultrasonografi fetal. Laporan bertahap diagnosis antenatal pada teratoma sakrokoksigeus

menunjukkan bahwa sebagian besar fetus yang didiagnosa teratoma sakrokoksigeus

kemungkinan meninggal sebelum kelahiran. Diagnosis prenatal penting karena tumor ini

mungkin cukup besar untuk menyebabkan distosia dan ruptur dari tumor dengan perdarahan

masif dapat terjadi selama kehamilan.

Pada sebagian besar kasus, teratoma sakrokoksigeus sangat khas sehingga diagnosisnya

sangat jelas. Kadang-kadang, bagaimanapun diagnosis tidak begitu jelas dan adanya lesi lain

seperti kondroma, fibroma, duplikasi rektal, terutama mielomeningocele dan tumor

neurogenic presakral, harus dikeluarkan. Apabila sulit membedakan teratoma sacrococygeal

dengan lesi lain, studi diagnostic seperti Foto polos, Ultrasonografi, computer tomografi (CT)

atau MRI.

Foto thoraks membantu menyingkirkan penyakit metastase. Foto polos pada sacral dapat

Page 11: 92304307-Ikterus-Obstruktif

menunjukkan adanya kalsifikasi dalam tumor. Ultrasonografi berguna untuk menentukan

sifat lesi (padat atau kistik, adanya komponen intraabdominal dan keterlibatan hati). Baik CT

Scan lateral dan magnetic resonance imaging ( MRI )akan menunjukkan perluasan intrapelvis

dan intraspinal dari lesi sacral dengan rincian yang jelas. Beberapa teratoma mengandung

elemen yolk salk, dimana mengeluarkan alfa–fetoprotein. Deteksi AFP dapat membantu

memperjelas diagnosis dan sering digunakan sebagai marker untuk rekurensi atau efektifitas

pengobatan, tapi metode yang jarang pada diagnosis awal. Pada satu tahap, AFP meningkat

pada 31 dari 32 teratoma maligna. AFP juga ditemukan meningkat pada cairan amnion jika

infan menderita teratoma.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding teratoma sakrokoksigeus adalah meningocele dan berbagai tumor jaringan

lunak. Penting untuk membedakan lipomeningocele dari teratoma. Secara klinis,

lipomeningocele lebih tinggi di belakang dan terletak di atas kanal spinal. Roentgenoram

menunjukkan adanya spina bifida. Disisi lain, Teratoma terletak dibawah belahan intergluteal

dan meluas ke anterior sampai sacrum lebih masuk ke kanal. Presakral meningocele lebih

lembut, dan lebih fluktuasi dari pada teratoma. CT scan akan memudahkan dalam

membedakan meningocele presakral dari teratoma.

Penanganan

Teratoma sakrokoksigeus harus dieksisi lengkap. Lesi Tipe I dan II dapat dimulai pada

daerah posterior melalui chevron insisi dan sagital. Lesi tipe III dan IV harus insisi tambahan

transversal pada perut bagian bawah. Bagian penting pada prosedur termasuk pengangkatan

lengkap pada tumor intak, ligasi arteri sakral tengah, dan eksisi tulang ekor ( coccyx )

bersama tumor.

Jika tumor secara histologi benigna ( hanya jaringan matur) atau mengandung jaringan

embrionik tanpa maligna seutuhnya, eksisi lengkap adekuat. Jika lesi benigna (97 %), tidak

diindikasikan terapi lanjutan. Untuk Tumor yang agresif dan terdapat jaringan malignan

seutuhnya, pembedahan eksisi sendiri tidak adekuat dan pasien harus mendapatkan

kemoterapi dan atau radioterapi. Pasien dengan rekurensi kanker dan tidak dapat dieksisi

diberikan terapi VAC (vinkristin, dactinomycin, cyclophosphamide) ditambah radiasi lokal.

Pasien ini harus dievaluasi setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama dengan pemeriksaan rectal

dan jumlah AFP. Pasien yang diperkirakan rekurensi harus dievalusi dengan pemeriksan

radiologi yang sesuai, Ultrasonografi dan/ atau CT.

Lesi ini paling baik direseksi dalam 24 jam pertama, sejak usus tidak dikoloni pada 24 jam

pertama setelah kelahiran., mengurangi resiko infeksi pada daerah yang terkontaminasi feses

selama reseksi. Perioperatif antibiotic diberikan segera sebelum pembedahan dan dilanjutkan

24-48 jam setelah operasi.

Komplikasi

komplikasi maternal pada kelahiran dapat termasuk seksio sesarea atau kelahiran pervaginam

dengan mekanisme distosia. Komplikasi yang berpeluang terjadi dalam uterus termasuk

polihidramnion dan perdarahan tumor yang menyebabkan anemia dan nonimun hidrops

fetalis. Komplikasi akibat pengaruh benjolan pada teratoma sakrokoksigeus yang besar

Page 12: 92304307-Ikterus-Obstruktif

termasuk pembesaran pinggul, obstruksi saluran cerna, obstruksi urinarius, hidronefrosis dan

hidrop fetalis. Komplikasi berikutnya dari pengaruh benjolan atau pembedahan dapat

termasuk neurogenik bladder, bentuk lain dari inkontinensia urin, inkontinensia fekal, dan

masalah kronik lain yang menyebabkan kerusakan yang mengorbankan saraf dan otot dalam

pelvis. Komplikasi akibat tidak diangkatnya coccyx dapat termasuk rekurensi dan metastase

kanker.

Prognosis

Prognosis teratoma sakrokoksigeus dapat membaik dipengaruhi oleh deteksi prenatal,

rencana penanganan intrapartum, dan cepat dilakukan pembedahan reseksi.

Prognosis pada neonatus berdasarkan klasifikasi teratoma oleh the American Academy of

Pediatrics Surgical Section dengan adanya perluasan tumor, sedangkan prognosis fetus

didasarkan pada ukuran tumor, laju pertumbuhan tumor dan ada tidaknya plasentomegali dan

hidrops fetalis.

Walaupun sebagian besar tumor ini secara histologi benigna, tumor ini dihubungkan dengan

mortalitas dan morbilitas karena pengaruh sekunder dari teratoma sakrokoksigeus seperti

premature, distosia dan trauma kelahiran, perdarahan tumor dan kegagalan sekunder output

yang tinggi.

Adanya tumor yang berukuran besar baik ada atau tidak adanya kalsifikasi dalam tumor tidak

begitu penting apakah lesi benigna atau maligna. Secara histologi tumor benigna,

prognosisnya sangat baik setelah pembedahan eksisi yang adekuat. Prognosis buruk jika

tumor mengandung jaringan maligna. Resiko maligna tergantung pada bagian dan luasanya

tumor serta umur pada saat didiagnosis.