612026sh formulasi biskuit rendah indeks glikemik fix al

60
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217 12 Artikel Penelitian Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik (BATIK) Dengan Subtitusi Tepung Pisang Klutuk (Musa balbisiana Colla) dan Tepung Tempe Formulation Low Glycemic Indeks Biscuit using Banana and Tempe Flour Ika Heri Kustanti, Rimbawan, Leily Amalia Furqon. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 28 Agustus 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 30 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017 Abstrak Penatalaksanaan diet bagi penderita diabetes mellitus (DM) dilakukan dengan pengaturan pola makan untuk mengontrol kadar glukosa darah. Konsep Indeks Glikemik (IG) merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memilih pangan yang baik dalam pengelolaan kadar glukosa darah. Salah satu bahan pangan lokal yang berpotensi untuk dapat digunakan sebagai pengganti terigu dan memiliki IG rendah adalah pisang (46-51). Biskuit juga disubtitusi dengan tepung tempe karena tepung tempe mempunyai nilai IG yangan relatif rendah. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi biskuit rendah IG dengan substitusi tepung pisang dan tepung tempe sebagai salah satu alternatif pangan bagi diabetic. Tepung pisang klutuk dipilih karena masih pemanfaatannya masih terbatas. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat faktor proposi penambahan tepung pisang klutuk yaitu 0%(F0), 20%(F1), 30%(F2) dan 40%(F3). Selain itu, semua perlakuan kecuali F0 (kontrol) disubtitusi juga dengan tepung tempe kedelai sebesar 5%. Kandungan gizi biskuit terpilih berdasarkan pertimbangan mutu kimia dan organoleptik adalah F1 dengan kadar air 4,88%, kadar abu 2,03%, kadar protein 7,53%, kadar lemak 28,12%, serat kasar 1,87%, karbohidrat 56,23%, serat pangan 13,5%, total pati 44,54%, daya cerna pati 60,4%. Nilai indeks glikemik biskuit tepung pisang klutuk adalah 36 dan termasuk rendah. Biskuit pisang klutuk dapat dijadikan salah satu alternatif pangan fungsional terutama bagi diabetic. Kata kunci : diabetes, indeks glikemik rendah, pisang klutuk, pangan fungsional, serat pangan Abstract This research is aimed to produce low Glycemic Index (GI) biscuit by substituting wheat flour with klutuk banana flour and tempe flour. Banana is known to have low GI (46 – 51). Soybean and its products are also known as potential sources of protein as well as having low GI. Klutuk banana is selected due to its under-utilised usage in food production. A completely randomized design was applied by involving four factors of klutuk banana flours which were 0% (F0), 20% (F1), 30%(F2) and 40%(F3). In addition, The treatments (F1-F3) also used 5 percent tempe flour. The results showed that panelists acceptance declined with increasing substitution of klutuk banana flour. Biscuit with substitution of 20% klutuk banana flour (F1) was then selected as the most potential formulation based on its physico-chemical properties, nutritional qualities and sensory evaluation. The selected (F1) klutuk banana biscuit contained 4.88% moisture, 2.03% ash, 7.53% protein, 28.12% fat, 1.87% crude fiber, 56.23% carbohydrates, 13.5% dietary fiber, 44.54% total starch, 60.4% starch digestibility. Glycemic index of the selected biscuit was 36 (low GI). Klutuk banana biscuits may be used as an alternative functional food, especially for diabetic. Keyword : diabetes, dietary fiber, functional food, klutuk banana, low glycemic index Pendahuluan Diabetes adalah suatu penyakit dimana pankreas tidak dapat menghasilkan insulin (hormon pengatur glukosa darah) atau terjadinya resistansi insulin sehingga menyebabkan glukosa darah meningkat saat diperiksa. Resistensi insulin banyak ditemui bersamaan dengan resiko kardiovaskular lainnya, seperti hipertensi, dislipidemia, yang bersifat aterogenik (Rohman, 2007). Penyakit Diabetes Melitus (DM) saat ini menjadi masalah paling umum di dunia, baik di negara maju maupun berkembang (PERKENI, 2006). WHO memperkirakan pada tahun 2025, Indonesia akan menempati peringkat lima di dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 12.4 juta jiwa (Suyono, 2006). Persatuan Diabetes Indonesia (2011) melaporkan bahwa jumlah penderita DM di Jawa Timur sebesar 6% dari total jumlah penduduk sebanyak 37.476.757 orang (Sensus Penduduk, 2010). Prevalensi DM meningkat dari tahun 2007 sampai tahun 2013 hampir di semua provinsi di Indonesia (Riskesdas, 2013). Terapi bagi penderita DM dilakukan dengan tujuan memelihara dan menjaga kesehatan secara optimal agar dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Waspadji (2002) menjelaskan bahwa alternatif lain yang kemudian menjadi pilihan adalah pengaturan pola makan yang sehat untuk menekan peningkatan kadar glukosa darah. Konsep Indeks Glikemik (IG) merupakan pendekatan untuk memilih pangan yang baik, khususnya pangan sumber karbohidrat. Konsep ini berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, memilih pangan untuk berolahraga, dan mengurangi resiko menderita penyakit degeneratif. Lebih lanjut Rimbawan dan Siagian (2004) mengatakan bahwa konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal pangan sumber karbohidrat berdasarkan kecepatannya meningkatkan kadar glukosa darah. Pangan yang

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

12

Artikel Penelitian Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik (BATIK) Dengan Subtitusi Tepung Pisang Klutuk (Musa balbisiana Colla) dan Tepung Tempe Formulation Low Glycemic Indeks Biscuit using Banana and Tempe Flour Ika Heri Kustanti, Rimbawan, Leily Amalia Furqon. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 28 Agustus 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 30 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Penatalaksanaan diet bagi penderita diabetes mellitus (DM) dilakukan dengan pengaturan pola makan untuk

mengontrol kadar glukosa darah. Konsep Indeks Glikemik (IG) merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memilih pangan yang baik dalam pengelolaan kadar glukosa darah. Salah satu bahan pangan lokal yang berpotensi untuk dapat digunakan sebagai pengganti terigu dan memiliki IG rendah adalah pisang (46-51). Biskuit juga disubtitusi dengan tepung tempe karena tepung tempe mempunyai nilai IG yangan relatif rendah. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi biskuit rendah IG dengan substitusi tepung pisang dan tepung tempe sebagai salah satu alternatif pangan bagi diabetic. Tepung pisang klutuk dipilih karena masih pemanfaatannya masih terbatas. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat faktor proposi penambahan tepung pisang klutuk yaitu 0%(F0), 20%(F1), 30%(F2) dan 40%(F3). Selain itu, semua perlakuan kecuali F0 (kontrol) disubtitusi juga dengan tepung tempe kedelai sebesar 5%. Kandungan gizi biskuit terpilih berdasarkan pertimbangan mutu kimia dan organoleptik adalah F1 dengan kadar air 4,88%, kadar abu 2,03%, kadar protein 7,53%, kadar lemak 28,12%, serat kasar 1,87%, karbohidrat 56,23%, serat pangan 13,5%, total pati 44,54%, daya cerna pati 60,4%. Nilai indeks glikemik biskuit tepung pisang klutuk adalah 36 dan termasuk rendah. Biskuit pisang klutuk dapat dijadikan salah satu alternatif pangan fungsional terutama bagi diabetic.

Kata kunci : diabetes, indeks glikemik rendah, pisang klutuk, pangan fungsional, serat pangan

Abstract This research is aimed to produce low Glycemic Index (GI) biscuit by substituting wheat flour with klutuk

banana flour and tempe flour. Banana is known to have low GI (46 – 51). Soybean and its products are also known as potential sources of protein as well as having low GI. Klutuk banana is selected due to its under-utilised usage in food production. A completely randomized design was applied by involving four factors of klutuk banana flours which were 0% (F0), 20% (F1), 30%(F2) and 40%(F3). In addition, The treatments (F1-F3) also used 5 percent tempe flour. The results showed that panelists acceptance declined with increasing substitution of klutuk banana flour. Biscuit with substitution of 20% klutuk banana flour (F1) was then selected as the most potential formulation based on its physico-chemical properties, nutritional qualities and sensory evaluation. The selected (F1) klutuk banana biscuit contained 4.88% moisture, 2.03% ash, 7.53% protein, 28.12% fat, 1.87% crude fiber, 56.23% carbohydrates, 13.5% dietary fiber, 44.54% total starch, 60.4% starch digestibility. Glycemic index of the selected biscuit was 36 (low GI). Klutuk banana biscuits may be used as an alternative functional food, especially for diabetic.

Keyword : diabetes, dietary fiber, functional food, klutuk banana, low glycemic index

Pendahuluan Diabetes adalah suatu penyakit dimana pankreas

tidak dapat menghasilkan insulin (hormon pengatur glukosa darah) atau terjadinya resistansi insulin sehingga menyebabkan glukosa darah meningkat saat diperiksa. Resistensi insulin banyak ditemui bersamaan dengan resiko kardiovaskular lainnya, seperti hipertensi, dislipidemia, yang bersifat aterogenik (Rohman, 2007). Penyakit Diabetes Melitus (DM) saat ini menjadi masalah paling umum di dunia, baik di negara maju maupun berkembang (PERKENI, 2006). WHO memperkirakan pada tahun 2025, Indonesia akan menempati peringkat lima di dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 12.4 juta jiwa (Suyono, 2006). Persatuan Diabetes Indonesia (2011) melaporkan bahwa jumlah penderita DM di Jawa Timur sebesar 6% dari total jumlah penduduk sebanyak 37.476.757 orang (Sensus Penduduk, 2010). Prevalensi DM meningkat

dari tahun 2007 sampai tahun 2013 hampir di semua provinsi di Indonesia (Riskesdas, 2013).

Terapi bagi penderita DM dilakukan dengan tujuan memelihara dan menjaga kesehatan secara optimal agar dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Waspadji (2002) menjelaskan bahwa alternatif lain yang kemudian menjadi pilihan adalah pengaturan pola makan yang sehat untuk menekan peningkatan kadar glukosa darah. Konsep Indeks Glikemik (IG) merupakan pendekatan untuk memilih pangan yang baik, khususnya pangan sumber karbohidrat. Konsep ini berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, memilih pangan untuk berolahraga, dan mengurangi resiko menderita penyakit degeneratif. Lebih lanjut Rimbawan dan Siagian (2004) mengatakan bahwa konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal pangan sumber karbohidrat berdasarkan kecepatannya meningkatkan kadar glukosa darah. Pangan yang

Page 2: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

13

memiliki IG tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat, demikian pula sebaliknya.

Salah satu bahan pangan lokal yang dapat digunakan sebagai pengganti terigu dan memiliki IG rendah sebesar 46-51 adalah pisang. Nilai IG tersebut lebih rendah dibandingkan dengan ubi jalar ungu (54 - 68) (Rimbawan dan Siagian, 2004). Potensi Indonesia sangat besar untuk produksi pisang karena dari tahun ke tahun mengalami peningkatan misalnya tahun 2013 hasilnya 6.279.279 dan tahun 2014 mencapai 7.008. 407 (Kementan, 2014). Pisang klutuk termasuk pisang yang kurang dimanfaatkan. Pemanfaatannya masih terbatas pada penepungan, kripik bahkan hanya dijadikan bahan campuran makanan rujak (Margono, 2000). Pisang klutuk memiliki kandungan tinggi serat dan sumber fenol. Pada pisang klutuk kandungan serat kasar sebesar 6,9 % (Endra, 2006). Makanan dengan kadar serat kasat tinggi cenderung meningkatkan bobot feses, menurunkan waktu transit di dalam saluran cerna, dan serat pangan yang dapat mengontrol metabolisme glukosa dan lipid (Almatsier, 2004).

Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu adanya modifikasi produk makanan yang berbahan baku dengan IG rendah dimana makanan tersebut tetap mampu memberikan kontribusi kecukupan gizi bagi penderita DM. Salah satu makanan yang disukai oleh hampir semua tingkat umur adalah biskuit. Produk biskuit bermacam-macam bentuk salah satu bentuknya adalah Cookies. Biskuit dapat dijadikan sebagai pangan fungsional apabila biskuit tersebut memiliki sifat fungsional bagi kesehatan, diantaranya dapat mengontrol kadar glukosa darah dan memiliki indeks glikemik yang rendah. Sifat fungsional tersebut dapat diperoleh melalui perubahan ingredient utama yaitu penggantian terigu dengan bahan pangan lain yang memiliki kadar serat lebih tinggi dan IG yang relatif rendah. Biskuit merupakan salah satu produk makanan yang mulai dikembangkan sebagai makanan selingan penyandang DM. Pola makan penyandang DM dengan porsi kecil dan sering, sehingga selain makanan utama juga dibutuhkan makanan selingan untuk mencukupi kebutuhan gizi serta membantu mengendalikan glukosa darah (Franz, 2012). Pangan berbasis kedelai juga diketahui mempunyai kadar protein relatif tinggi dan nilai IG yangan relatif rendah. Oleh karena itu, penambahan tepung tempe pada pembuatan biskuit diharapkan dapat membantu menurunkan nilai IG pangan.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya penelitian tentang formulasi pisang klutuk yang sudah menjadi tepung dalam rangka pembuatan biskuit yang rendah indeks glikemik. Diharapkan biskuit tersebut dapat menjadi salah satu pangan alternatif dan fungsional food bagi penderita diabetes sekaligus dalam rangka diversifikasi pangan. Materi dan Metode

Bahan utama yang digunakan yaitu pisang klutuk yang diperoleh dari petani yang memiliki pekarangan/tanaman pisang klutuk dan pasar tradisional Desa Semanding, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang – Jawa Timur. Tempe yang digunakan berasal

dari Sanan, Malang. Bahan-bahan untuk membuat biskuit, yaitu tepung terigu segitiga biru, sorbitol, susu skim, margarin, kuning telur, garam, dan soda kue. Bahan-bahan untuk analisis yaitu K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH, H2BO3, indikator campuran metil redmetilen blue, HCl, heksana, glukosa murni, air destilata, etanol 95%, larutan asetat 1 N, larutan iod, buffer fosfat pH 6 dan pH 7, buffer asetat pH 4.75 dan bahan- bahan untuk analisis proksimat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kimia yang dilakukan meliputi: Kadar Air (AOAC, 2005), Kadar Abu Metode Gravimetri (AOAC, 2005), Kadar Protein metode mikro kjeldahl (AOAC, 2005), Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 2005), Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC, 1995), Kadar Serat Kasar (AOAC, 2005), Kadar Karbohidrat By Different (AOAC, 2005), Total Pati (Apriyantono et al, 1989, dengan modifikasi), daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al, 1992), Uji indeks Glikemik (Jenkins et al, 2002). Penelitian pendahuluan dimulai pembuatan tepung pisang klutuk dan tepung tempe kedelai. Tahap pembuatan tepung pisang klutuk adalah pisang klutuk dikupas dari kulitnya. Pisang diiris tipis dengan ketebalan 30 x 30 mm kemudian direndam dengan bahan perlakuan (air/larutan NaCl) selama 30 menit. dan dikeringkan pada suhu 800C selama 10 jam. Setelah kering, pisang digiling dan diayak menggunakan ayakan tepung 35 mesh (Musita, 2014). Tahap pembuatan tepung tempe dimulai dari tempe segar yang dikukus selama 15 menit kemudian diiris tipis dengan ukuran 5 x 5 x 0,5 cm, kemudian dikeringkan pada suhu 700C selama 10 jam. Selanjutnya tempe digiling dan diayak menggunakan ayakan tepung 35 mesh. Metode ini adalah modifikasi dari Musita (2014).

Penelitian utama meliputi formulasi biskuit, analisis kimia dan analisis indeks glikemik. Resep formulasi “BATIK” merupakan hasil modifikasi dari Seprina (2010). Formula tersebut disajikan pada Tabel 1. Adapun skema proses pembuatan biskuit adalah margarin, gula, garam dan bahan pengembang dicampur sampai terbentuk krim homogen dengan menggunakan mixer. Selanjutnya, ditambahkan telur dan dikocok dengan kecepatan rendah dan selama pembentukan krim dan ditambahkan susu skim. Pada tahap akhir ditambahkan tepung terigu dan diaduk dengan tangan kemudian tepung pisang klutuk sampai tercampur halus kemudian ditambahkan tepung tempe kedelai. Pengadukan dilakukan sampai terbentuk adonan yang mengembang dan mudah dibentuk (kalis). Biskuit dicetak sesuai dengan selera (berat 7-8 gram) dengan ketebalan 50 mm. Biskuit dioven pada suhu 160oC selama 20 - 30 menit. Metode ini adalah modifikasi dari Faridah (2008) Analisis dan Pengolahan Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang digunakan dalam penelitian ini yaitu subtitusi tepung pisang klutuk dengan tingkatan proporsi yang berbeda setiap taraf perlakuan. Selain itu di

Page 3: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

14

subtitusi tepung tempe pada formula 1 sampai 3. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16. Hasil penilaian mutu kimia dianalisa menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) program SPSS 16, jika ada pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) (Setyaningsih et al, 2010). Hasil dan Pembahasan Formulasi “BATIK”

Formulasi dilakukan untuk mendapatkan komposisi yang sesuai dengan perbandingan subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe. Tujuan dari formulasi adalah menghasilkan produk yang sesuai SNI 01-2973-2011 tentang syarat mutu biskuit berupa cookies dan produk mampu memberikan manfaat lebih bagi konsumen. Hasil formulasi dengan komposisi bahan yang disajikan pada Tabel 1 kemudian dianalisis kadar zat gizi proksimatnya.

Gambar 1 Biskuit Hasil Formulasi

Karakteristik Biskuit

Karakteristik yang dinilai berdasarkan SNI 2973: 2011 tentang syarat mutu biskuit adalah kadar air dan kadar protein. Selain syarat mutu tersebut, pada penelitian ini dilakukan pula penilaian mutu secara kimia (serat pangan, total pati, daya cerna pati, kadar lemak, serat kasar, energi, karbohidrat) dan indeks glikemik.

Penilaian mutu secara kompleks diharapkan mampu meningkatkan kualitas produk biskuit yang dihasilkan. Hasil analisis disajikan pada Tabel 2. Kadar Air

Kadar air berhubungan dengan tekstur yang dihasilkan pada produk biskuit pisang klutuk. Kadar air biskuit pisang klutuk mengalami peningkatan pada setiap taraf perlakuan (F0 – F3). Pada F0-F2 kadar air biskuit dibawah 5% sehingga memenuhi standar maksimum kadar air SNI 2973 : 2011 yaitu 5 g/100 g. Pada taraf perlakuan F3 tidak memenuhi standar kadar air yang ditentukan oleh SNI karena kadar airnya sebesar 7,06 g/100 g. Ighfar (2012) menuliskan bahwa kadar air pada produk biskuit perlu dibatasi 5 – 10% untuk menjaga tekstur biskuit agar tetap renyah. Hal tersebut menunjukkan bahwa biskuit pisang klutuk tiap taraf perlakuan masih memenuhi syarat kadar air untuk menghasilkan produk biskuit dengan tekstur yang renyah

Hasil analisis statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,047) terhadap kadar air biskuit pisang klutuk. Lebih lanjut, analisis Least Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk 20% (F1) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar air yang signifikan sampai dengan subtitusi sebanyak 40% (F3). Peningkatan kadar air taraf perlakuan (F3) dipengaruhi oleh penambahan air yang lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain (F0-F2). Hal tersebut dilakukan karena adonan F3 masih terlalu keras/tidak dapat dioleni sehingga perlu penambahan air yang lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain dengan suhu dan waktu pemanggangan yang sama.

Air dalam pengolahan biskuit berfungsi untuk mengikat dan mencampurkan bahan-bahan subtitusi sehingga terbentuk adonan yang kalis dan dapat dicetak. Sebagaimana dijelaskan Soenaryo (1985)

Tabel 1 Formulasi “Batik” biskuit tepung pisang klutuk dan tepung tempe kedelai Formulasi “BATIK” (biskuit tepung pisang klutuk dan tepung tempe kedelai)

F0/ Kontrol (g) (100 : 0 : 0)

F1 (g) (75 : 20 : 5)

F2 (g) (65 : 30 : 5)

F3 (g) (55 :40 : 5)

Tepung terigu 13 96 82,5 70,5 Tepung pisang klutuk 0 26.5 40 52 Tepung tempe kedelai 0 7.5 7.5 7.5 Susu skim 10 10 10 10 Sorbitol 5 5 5 5 Margarin 80 80 80 80 Maizena 10 10 10 10 Kuning Telur 10 10 10 10 Tabel 2 Hasil analisis proksimat biskuit

Komposisi F0 F1 F2 F3 Kadar Air (%bb) ± SD 3,39a ±0.02 4,88b ± 0.28 4,06b ±0.64 7,06c ±0.77 Kadar Abu (%bb) ± SD 1,75a±0.54 2,03a ±0.03 2,25a±0.02 2,44a±0.04 Kadar Protein (%bb) ± SD 7,49a±0.14 7,53a±0.07 7,20b±0.10 7,09b±0.06 Kadar Lemak (%bb) ± SD 27,58a±0.39 26,84a±1.41 27,88a±1.11 27,61a±1.22 Kadar Karbohidrat(%bb)± SD 58,88a±0.15 56,87a±1.29 56,14a±0.71 52,66b±1.97 Kadar Serat kasar (%bb)±SD 1,23a±0.35 1,87b±0.06 2,48c±0.35 3,17d±0.12

Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda menurut uji lanjut LSD pada taraf 5%.

Page 4: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

15

bahwa kegunaan air pada pengolahan produk pangan adalah untuk media reaksi antara glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal dari glutein. Meskipun telah diupayakan setiap taraf perlakuan mendapatkan perlakuan yang sama, antara lain penambahan garam, susu, margarin, ketebalan adonan, suhu pengovenan, lama pengovenan serta pengemasan. Kadar Abu

Kadar air biskuit pisang klutuk mengalami peningkatan pada setiap taraf perlakuan (F0 – F3). Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi tepung pisang klutuk akan meningkatkan kadar abu biskuit. Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar abu terendah adalah F0 (1,75%) dan tertinggi adalah F3 (2,44%). Hasil analisis statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,068) terhadap kadar abu biskuit pisang klutuk. Tidak ada perbedaan antara perlakuan F0 – F3 dimana subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe tidak mempengaruhi kadar abu biskuit pisang klutuk. Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa bahan organik didekstruksi (Sudarmadji, 2003). Kadar Protein

Kadar protein biskuit pisang klutuk mengalami penurunan pada setiap taraf perlakuan (F0 – F3). Kadar protein tertinggi adalah F1 sebesar 7,53% dan terendah F3 (7,09%) telah memenuhi standar minimum SNI 2973:2011, yaitu 5 g/100 g. Hasil analisis statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,043) terhadap kadar protein biskuit pisang klutuk. Lebih lanjut, analisis Least Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk 20% (F1) masih belum menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Perlakuan F0 dan F1 mengandung kadar protein yang hampir sama sedangkan hasil berbeda mulai ditunjukkan pada perlakuan F2 (30%) subtitusi tepung pisang klutuk. Kontribusi protein biskuit pisang klutuk bervariasi karena berasal dari tepung terigu, tepung pisang klutuk, susu skim dan tepung tempe kedelai. Tepung tempe mengandung protein lebih besar (40%) daripada tepung pisang klutuk yang hanya 5,3% (Tabel 2). Sarwono (2003) menyebutkan bahwa kadar protein pada tepung tempe sebesar 43,31%.

Kadar protein biskuit pisang klutuk juga dipengaruhi oleh penambahan kuning telur. Muchtadi (2010) menyebutkan bahwa kandungan protein pada kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan putih telur, yaitu masing-masing 16,1 g/100g dan 10,6 g/100 g. Selain itu, penggunaan kuning telur pada adonan biskuit pisang klutuk akan menghasilkan biskuit kering yang lebih renyah daripada jika menggunakan seluruh bagian telur. Kuning telur juga akan menambahkan warna pada hasil akhir produk cookies (U. S Wheat Associates, 1981). Pada pengolahan biskuit pisang klutuk, penambahan telur ayam bagian kuning hanya 20 gram

atau 1 butir, lebih rendah daripada pengolahan biskuit subtitusi residu ekstraksi pati jagung (Zea mayz L.) (Seprina, 2010). Kadar Lemak

Kadar lemak biskuit pisang klutuk relatif sama pada tiap taraf perlakuan. Kadar lemak tertinggi adalah F2 sebesar 27,88% dan terendah adalah F1 (26,84%). Hal tersebut disebabkan oleh bahan utama penyusun biskuit yang rendah lemak yaitu tepung pisang klutuk dan tepung terigu masing-masing sebesar 0,9 g/100 g (Tabel 2) dan 1 g/100 g (Bogasari, 2011). Bahan yang berkontribusi terhadap kadar lemak biskuit pisang klutuk adalah margarin. Jumlah penambahan margarin yang sama pada tiap taraf perlakuan menghasilkan kadar lemak yang relatif sama pada tiap taraf perlakuan. Hasil analisis statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,468) terhadap kadar lemak biskuit pisang klutuk.

Kontribusi lemak pada perlakuan F0-F3 juga berasal dari tepung tempe. Kadar lemak tepung tempe cukup tinggi yaitu sebesar 26,58% (Tabel 3). Cahyadi (2006) menyebutkan bahwa selain sebagai sumber protein, tepung tempe kedelai juga merupakan sumber lemak. Tepung tempe kedelai mengandung lemak sebesar 22,2%. Sebagian besar lemak yang ada pada tepung tempe kedelai merupakan lemak tak jenuh yaitu asam linoleat yang merupakan asam lemak utama pada tempe yang secara spesifik bersifat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Lebih lanjut Mann (2007) menjelaskan bahwa jika konsumsi energi dari lemak jenuh diganti oleh asam linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan kolesterol darah sehingga tidak terjadi hiperlipidemia akibat hiperglikemik Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat biskuit pisang klutuk mengalami penurunan pada setiap taraf perlakuan (F0 – F3). Kadar terendah sebesar 52,66% (F3) dan kadar tertinggi sebesar 58,88% (F0). Kadar karbohidrat biskuit pisang klutuk relatif menurun dengan peningkatan substitusi tepung pisang klutuk dan pengurangan penggunaan terigu. Hal ini disebabkan kadar karbohidrat pada tepung pisang klutuk sebesar 70 g/100 g (Tabel 2) lebih rendah daripada tepung terigu yaitu 73 g/100 g (Bogasari, 2011). Hasil analisis statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,031) terhadap kadar karbohidrat biskuit pisang klutuk. Lebih lanjut, analisis Least Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk 20% - 30% (F1 dan F2) masih belum menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan F0. Namun subtitusi tepung pisang klutuk sebesar 40% memberikan hasil yang signifikan/ berbeda terhadap kadar karbohidrat biskuit.

Menurunnya kadar karbohidrat biskuit pisang klutuk setiap peningkatan subtitusi tepung pisang klutuk merupakan keunggulan tersendiri apabila dikonsumsi penderita DM. Bagi penderita DM harus membatasi

Page 5: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

16

konsumsi karbohidrat jenis monosakarida karena meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat. Berbeda dengan karbohidrat jenis polisakarida termasuk oligosakarida yang banyak terdapat pada buah-buahan salah satunya pisang. Jenis karbohidrat polisakarida (kompleks) akan merespon glukosa secara lambat sehingga tidak terjadi peningkatan kadar glukosa darah secara cepat. Fungsi utama karbohidrat yaitu sumber energi dimana satu gram karbohidrat setara dengan 4 Kalori (Winarno, 2004). Bahan pangan yang mengandung karbohidrat oligosakarida (kompleks) akan melalui beberapa tahap pemecahan dalam proses metabolisme sebelum menghasilkan glukosa sehingga proses metabolisme relatif lebih lama. Makanan yang mengandung karbohidrat kompleks baik bagi penderita DM karena tidak meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat. Kadar Serat Kasar

Kadar serat kasar biskuit pisang klutuk mengalami peningkatan pada setiap taraf perlakuan (F0 – F3). Kadar serat kasar biskuit pisang klutuk berkisar antara 1,23% (F0) – 3,17% (F3). Semakin tinggi subtitusi tepung pisang klutuk maka kadar serat kasar biskuit pisang klutuk akan meningkat. Hasil analisis statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk dan tepung tempe memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,001) terhadap kadar serat kasar biskuit pisang klutuk. Lebih lanjut, analisis Least Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa subtitusi tepung pisang klutuk 20% (F1) sudah menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan F0. Semakin tinggi subtitusi tepung pisang klutuk maka kadar serat kasar akan semakin tinggi/ berbeda nyata.

Kadar serat kasar tepung pisang klutuk sebesar 5,56% (Tabel 2). Selain itu, tepung tempe kedelai juga merupakan sumber serat. Tepung tempe kedelai memiliki serat yang merupakan karbohidrat atau polisakarida sebanyak 7,2 g/100g yang tidak dapat dicerna oleh tubuh. Kadar bahan-bahan tersebut lebih tinggi dibandingkan tepung terigu yang hanya mengandung 0,3% serat kasar (Mahmud, 2009).

Tabel 3 Hasil analisis mutu organoleptik

Perlakuan Atribut organoleptik Rasa Warna Aroma Tekstur

F0 5,73a 6,17a 6,00a 5,52a F1 4,30ab 4,20ab 4,45ab 4,58ab F2 3,67b 3,80b 3,81b 4,35ab F3 3,63b 3,67b 3,68b 3,45b

Keterangan : berdasarkan uji Kruskal Wallis (p < 0.05) sehingga dilakukan uji lanjut. Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji lanjut Man Whitney α = 5%) Mutu Organoleptik

Uji orgaloleptik terhadap biskuit pisang klutuk dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap beberapa atribut sensori biskuit seperti warna, aroma, rasa dan tekstur yang hasilnya dibandingkan antar tiap perlakuan. Uji organoleptik produk adalah untuk

memberikan pendapat yang nyata mengenai disukai atau tidak disukainya suatu produk (Hariom et al, 2006).

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi subtitusi tepung pisang klutuk maka tingkat kesukaan panelis semakin menurun. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Damayanti (2005) yang menyebutkan bahwa penambahan bahan sumber serat pada jajanan pasar akan menurunkan tingkat penerimaan panelis baik aroma, rasa, tekstur maupun warna. Berdasarkan pertimbangan menggunakan metode pembobotan eksponensial (MPE) (Setyaningsih, 2010) maka perlakuan 1 dipilih sebagai perlakuan terbaik. Pembobotan dipilih berdasarkan hasil mutu kimia biskuit dan rata-rata nilai organeptik dengan perbandingan 50 : 50.

Hasil analisis mutu kimia dan indeks glikemik biskuit formulasi dari penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil Analisis Formula Terbaik

Jenis Analisis Hasil Analisis F1 (20%) Total pati (%) 44,54 Daya cerna pati (%) 60,4 Serat pangan (%) 13,55 Indeks Glikemik 36,17

Total Pati

Total pati biskuit subtitusi pisang klutuk sebesar 44,54%. Pisang klutuk merupakan jenis pisang yang memiliki pati resisten 1 cukup tinggi yaitu 39,35% (Musita, 2008). Pati sresisten (RS) sangat bermanfaat bagi penyandang DM. Hal tersebut dikarenakan pati resisten mampu menahan sistem pencernaan sehingga lebih lama dicerna. RS menurunkan efek glikemik serta sensitif terhadap hormon insulin sehingga dapat menurunkan potensi diabetes tipe 2 (Herawati, 2010). Daya Cerna Pati

Daya cerna pati biskuit pisang klutuk sebesar 60,4%. Hidrolisis pati resisten oleh enzim pencernaan umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga proses produksi glukosa menjadi lebih lambat. Hal ini selanjutnya berkorelasi dengan respons glikemik plasma (Raben et al, 1994). Secara tidak langsung, RS mempunyai nilai fungsional bagi penyandang diabetes. Serat Pangan

Kadar serat pangan biskuit yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar serat pangan produk biskuit komersial pada umumnya. Diet cukup serat menyebabkan terjadinya kompleks karbohidrat dan serat, sehingga daya cerna karbohidrat berkurang. Keadaan tersebut mampu meredam kenaikan glukosa darah dan menjadikannya tetap terkontrol (Santoso, 2011). Analisis Indeks Glikemik

Hasil penentuan IG biskuit yang diperoleh dari penelitian ini disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 2.

Page 6: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

17

Tabel 5 Perhitungan nilai indeks glikemik responden Responden Nilai IG 1 31,97 2 26,61 3 35,65 4 41,12 5 30,09 6 42,51 7 42,47 8 36,71 9 38,67 10 35,96 Rata-rata 36,18 Standar Deviasi 5,35

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai indeks

glikemik biskuit pisang klutuk sebesar 36,8 dan termasuk dalam kategori rendah (Low GI < 55). Pangan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga puncak kadar glukosa darah juga akan rendah, berarti fluktuasi peningkatan kadar gula relatif pendek. Hal ini sangat penting bagi penderita diabetes dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Informasi IG pangan dapat membantu penderita DM dalam memilih makanan yang tidak meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Pangan IG rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan, dan kadar glukosa darah (Widowati, 2007).

Gambar 2. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah dan Pangan Uji

Kesimpulan

Penggunaan 5% tepung tempe dapat mempertahankan kadar protein biskuit akibat pengurangan penggunaan tepung terigu. Formulasi pengembangan biskuit subtitusi pisang klutuk sebesar 0% (F0), 20% (F1), 30% (F2) dan 40% (F3) menurunkan penerimaan panelis terhadap biskuit yang dihasilkan dari tingkatan suka menjadi agak tidak suka. Pemilihan perlakuan terbaik (F1) memiliki skor rata-rata penerimaan panelis biasa sampai suka dan kategori IG rendah yaitu 36. Kandungan gizi biskuit pisang klutuk terpilih adalah kadar air 4,88%, kadar abu 2,03%, kadar protein 7,53%, kadar lemak 26,84%, serat kasar 1,87%, karbohidrat 56,87%, serat pangan 13,5%, total pati 44,54%, daya cerna pati 60,4%. Biskuit pisang klutuk

dapat dijadikan salah satu alternatif pangan fungsional terutama bagi penyandang diabetes mellitus. Saran

Biskuit pisang klutuk masih memiliki skor penerimaan panelis yang agak rendah sehingga perlu adanya reformulasi ulang untuk lebih meningkatkan daya terima panelis (warna, tekstur, aroma dan rasa) menjadi sangat suka. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengolah tepung pisang klutuk menjadi produk lain dalam rangka peningkatan diversifikasi pangan dan meningkatkan nilai tambah pisang klutuk seperti bolu, cake atau produk bakery lainnya.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih ditujukan pada PT Indofood Sukses Makmur Tbk. yang telah memberikan dana penelitian dalam program Indofood Riset Nugraha Periode 2015- 2016. Daftar Pustaka Badan Standardisasi Nasional. 2011. Mutu dan Cara Uji

Biskuit (SNI 01- 2973-2011). Jakarta (ID) : BSN. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID)

: Gramedia Pustaka Utama AOAC. 2005. Official Method of Analysis of the

Association of Official Analitycal Chemists. 18th ed. Maryland: AOAC International. William Harwitz (ed). United States of America.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Press

BPS. 2010. Sensus Penduduk Indonesia. Jakarta (ID): BPS

Bogasari. 2011. Cake Making. Jakarta (ID) : Major Program Bogasari Baking Centre

Damayanti D.I. 2005. Pengaruh Jenis dan Proporsi Serat Cincau Dalam Tepung Terhadap Karakteristik Brownies fungsional. (Skripsi). Lampung: Unila.

Endra Y. 2006 . Analisis Proksimat dan Komposisi Asam Amino Buah Pisang Batu (Musa balbisiana Colla). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, dan Indrasti D. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.

Franz M. 2012. Medical Nutrition Therapy for Diabetes Mellitus and Hypoglicemia of Nondiabetic Origin. In: Mahan LK, Escott-stump S, Janice LR, editors. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 13th Edition. Philadelphia: WB Saunders Company.. p. 675-708.

Hariom SBN, Prakash M, dan Bhat KK. 2006. Vanilla flavor evaluation by sensory and electronic nose techniques. Journal of Sensory Studies, 21, 228– 239.

Herawati H. 2011. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. 30 (1).

Igfar A. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Labu Kuning (Cucurbita Moschata) Dan Tepung Terigu

100.9

142

158.2 165.1156.7

140.5

126

78.4

93.7 97 98.7 96.8 91.182.9

1030507090110130150170

0 15 30 45 60 90 120

Kada

rGluko

saDarah

(mg/dl)

Waktu(Menit)

Glukosamurni

Biskuitpisangklutuk

Page 7: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.217

18

Terhadap Pembuatan Biskuit. Makassar. Universitas Hasanuddin.

Jenkins. D.J.A, C.W.C. Kendall, L.S.A. Augustin, S. Franceschi, M. Hamidi, A. Marchie, A.L. Jenkins and M. Axelsen. 2002. Glycemic index: overview of implications in health and disease. Am. J. Clin. Nutr. 76(1): 266S-273S.

Kementan. 2014. Total produksi pisang tahun 2013-2014. Jakarta (ID) :www. deptan.go.id

Mahmud et al. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Mann, Jim and A. Stewart Truswell (ed). 2007. Essentials of human nutrition (Third edition). London (UK): Oxford University Press.

Margono T. 2000. Anggur Buah Pisang Klutuk. Jakarta: Grasindo

Muchtadi D, Palupi NS, dan Astawan M. 1992. Metode Kimia, Biokimia, dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.IPB, Bogor.

Muchtadi D. 2010. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Hal 20-160

Musita. Nanti. 2008. Kajian dan Karakteristik Pati Resisten dari Beberapa Jenis Pisang. Tesis Pasca Sarjana Teknologi Agroindustri Unila. Lampung.

Musita. Nanti. 2014. Pemanfaatan Tepung Pisang Batu (Musa Balbisiana Colla) Pada Pembuatan Kue Brownies. Jurnal Riset Industri 2014; 8:3 hal 171-178: Desember 2014

PERKENI. 2006, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta (ID) : PERKENI

PERKENI. 2011, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta (ID) : PERKENI

Raben A., Tagliabue, A., Christensen, N. J., Madsen, J.,Holst, J. J., And Astrup, A. 1994. Resistant Starch: The Effect On Postprandial Glycemia, Hormonal Response, And Obesity. Am. J. Clin.Nutr. 60:544

Rimbawan, dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Jakarta

Riskesdas. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia

Rohman M.S. 2007. Patogenesis dan Terapi Sindroma Metabolik. Jurnal Kardiologi Indonesia. J Kardiol Ind 2007; 28:160-168 ISSN 0126/3773

Santoso A. 2011. Serat Pangan (Dietary Fiber) dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Magistra No.75 th XXIII, ISSN 0215-9511

Sarwono B. 2003. Membuat Tempe Dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.

Seprina A. 2010. Kajian Substitusi Tepung Terigu dan Residu Ekstraksi Pati Jagung (Zea mayz L.) dalam Pembuatan Biskuit Berserat. (Skripsi) Universitas Lampung. Bandar Lampung

Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press.

Sudarmadji S., B. Haryono, dan Suhardi. 2003. Prosedur Analisa Bahan Makanan Pertanian. Liberty, Yogyakarta

Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dalam : Effri Welly. 2003. Pengaruh Proporsi Tepung Sukun ( Artocarpus communis) Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Biskuit. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung

Suyono S. DM di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 1852-56.

Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko K. 2003 Hasil Penelitian Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta (ID) : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Widowati S. 2007. Sehat dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor (ID). Vol 29. No. 3.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Page 8: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.211

1

Artikel Penelitian Kajian Potensi Kulit Domba Asal Brebes sebagai Bahan Dasar Produksi Gelatin Halal Study Potential Sheep Skin Origin Brebes for Basic Materials Halal Gelatin Production Muhamad Hasdar* dan Yuniarti Dewi Rahmawati Fakultas Sumberdaya dan Teknologi, Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Muhadi Setiabudi, Brebes *)Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 20 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 7 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak

Pemanfaatan gelatin sudah sangat luas dan sudah menjadi bagian dalam lifestyle masyarakat Indonesia. Namun gelatin yang beredar di Indonesia adalah barang impor, sehingga menimbulkan ketergantungan. Untuk mengurangi ketergantungan diperlukan solusi alternatif produksi gelatin halal. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sifat fisik dan kimia gelatin kulit domba asal Brebes yang diproduksi menggunakan basa kuat jenis NaOH dan selanjutnya dibandingkan dengan sifat-sifat gelatin komersial yang distandarkan oleh SNI dan GMIA. Rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan digunakan sebagai desain penelitian. Tiga waktu curing (2, 4, dan 6 jam) dan tiga konsentrasi bahan (0,1%, 0,2%, 0,3% b/v) digunakan sebagai perlakuan. Bahan baku berupa kulit domba umur 1 - 2 tahun dan NaOH sebagai bahan curing . Penelitian ini menghasilkan rendemen 13,58 - 15,59%, kadar air 8,37 - 8,83%, kadar abu 1,36 - 1,77%, kadar lemak 0,63 - 0,91%, dan kadar protein 85,51 - 86,63%. Gelatin yang diproduksi dari kulit domba asal Brebes menggunakan bahan curing jenis NaOH memiliki sifat yang mirip dengan gelatin komersial yang distandarkan SNI dan GMIA. Produksi gelatin optimum dihasilkan dari penerapan waktu curing 6 jam pada konsentrasi 0.3% (b/v).

Kata kunci: Gelatin Brebes, gelatin halal, konsentrasi NaOH, kulit domba, potensi kulit Abstract

Utilization of gelatin is very spacious and has become part of the lifestyle of Indonesian society. However gelatin circulating in Indonesia are imported goods, so addictive. To reduce dependence alternative solution is needed gelatin halal production. This research was conducted to study the physical and chemical properties of gelatin sheepskin from Brebes manufactured using strong base type of NaOH and then compared with the properties of commercial gelatin standardized by SNI and GMIA. Completely randomized design with 3 x 3 factorial design with three replications was used as a research design. Three curing time (2, 4, and 6 hours) and three concentrations of materials (0.1%, 0.2%, 0.3% w/v) were used as treatments. Raw materials such as lambskin aged 1-2 years and NaOH as curing materials. This research resulted in the yield of 13.58 to 15.59%, the water content of 8.37 to 8.83%, ash content of 1.36 to 1.77%, the fat content of 0.63 to 0.91%, and protein content 85 , from 51 to 86.63%. Gelatin is produced from sheepskin from Brebes using NaOH kind curing materials have properties similar to the commercial gelatin standardized SNI and GMIA. Gelatin optimum production resulting from the application curing time of 6 hours at a concentration of 0.3% (w / v). Keywords : Gelatin Brebes, gelatin halal, concentration of NaOH, sheepskin, skin potential Pendahuluan

Kebutuhan gelatin di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan pesat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan lifestyle yang sangat cepat. Didalam kehidupan sehari-hari gelatin telah dimaanfaatkan sebagai bahan makanan (misalnya sebagai agen pembentuk gel, pengental, pengemulsi, pembentuk busa dan edible coating), produk farmasi (misalnya kapsul lunak dan keras), di bidang kedokteran (misalnya sebagai penutup luka) dan dalam banyak aplikasi pada non-pangan (misalnya fotografi). Diperkirakan sekitar 59% gelatin yang telah dibuat di seluruh dunia digunakan untuk memproduksi makanan, 31% diaplikasikan pada produk farmasi, 2% dimanfaatkan untuk industri fotografi, dan sekitar 8% diaplikasikan dalam bidang lain (GME, 2015). Hal ini disebabkan oleh keunikan dan sifat fungsionalnya yang luas untuk aplikasi dalam berbagai industri dan juga untuk meningkatkan kandungan protein pada bahan

pangan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak faham akan produk gelatin dan manfaat gelatin. Selama ini gelatin yang beredar di Indonesia sudah berbentuk kapsul atau sudah teraplikasi dalam makanan, hal ini dikarenakan Indonesia masih mengimpor gelatin dari Amerika dan Eropa. Akhirnya Indonesia mengalami ketergantungan kesedian gelatin dari tahun ke tahun.

Ketergantungan akan gelatin impor harus dicarikan solusi alternatif, salah satu solusi alternatif yaitu dengan memanfaatkan bahan baku lokal sebagai bahan baku gelatin. By-product ternak domba berupa kulit domba sebagai sumber bahan baku yang sangat berlimpah di Kabupaten Brebes, sehingga bisa menjadi bahan baku lokal yang ketersediaanya mudah untuk didapatkan. Potensi kulit domba sebagai sumber gelatin halal dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah populasi ternak tersebut di Kabupeten Brebes. Data dari Dinas Peternakan Kabupeten Brebes (2015),

Page 9: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.211

2

jumlah populasi ternak domba Kabupaten Brebes tahun 2011 yaitu 168.961 ekor terjadi peningkatan jumlah populasi sejak tahun 2009 yaitu 10.510 ekor. Berat kulit dari domba berkisar 12 – 15 % dari berat tubuh, sehingga ini menggambarkan potensi besar kulit domba Kabupeten Brebes. Apalagi didukung dengan budaya masyarakat Brebes yang menyukai daging domba sebagai panganan yang diyakini memiliki khasiat khusus.

Pengolahan kulit domba asal Kabupeten Brebes sebagai bahan dasar pembuatan gelatin halal sampai saat ini belum ada kajian, sehingga perlu dilakukan suatu kajian untuk menggali potensi kulit ternak domba lokal asal Kabupeten Brebes sebagai bahan baku gelatin halal. Pada penelitian ini akan memanfaatkan bahan kimia NaOH sebagai bahan curing (perendam) dan akan dikombinasikan dengan lama waktu curing. Materi dan Metode Materi

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kulit domba yag berasal dari Kabupaten Brebes yang berumur 1 - 2 tahun. Bahan curing yang digunakan yaitu NaOH dengan konsentrasi 0,1%, 0,2%, dan 0,3%. Bahan lain yang digunakan yaitu aquades dan air. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan gelatin adalah timbangan analitik, saringan, hot plate, termometer, gelas ukur, gelas beaker, cawan petri, labu ukur, erlemeyer.

Metode

Penelitian berlansung selama periode Juli – November 2015. Penelitian ini meliputi proses pembuatan gelatin dan analisa karakteristik proksimat (AOAC, 2005) gelatin meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar air, dan kadar abu, serta analisa rendemen. Proses Pembuatan Gelatin

Kulit domba segar yang didapatkan dari rumah pemotongan hewan di Kabupaten Brebes terlebih dahulu dipisahkan antara kulit dan wool dengan menggunakan silet kerok yang tajam. Kemudian

dilakukan penmbuangan sisa-sisa daging atau lemak yang masih menempel pada kulit dengan menggunakan pisau tajam. Lalu selanjutnya dicuci dengan air bersih. Kulit yang telah bersih dari wool dan sisa-sisa daging/lemak ditiriskan agar air tidak banyak tertinggal dikulit. Kemudian dilakukan penimbangan kulit segar lalu di kulit segar dikecilkan ukurannya menjadi ± 2 x2 cm. Selanjutnya direndam pada larutan NaOH 0.1%, 0.2% dan 0.3% (b/v) dengan lama waktu perendaman/curing yang berbeda yaitu selama 2 jam, 4 jam dan 6 jam. Hasil curing kulit domba kemudian di ekstrak dengan menggunakan metode hot treatment dengan temperatur 50 – 55oC yang dilakukan secara bertingkat selama 4 jam, 3 jam, dan 2 jam. Selanjutnya untuk mempermudah proses pengeringan, gelatin di cetak dan dikeringkan dalam kardus yang diberi 3 lampu dengan daya sebesar 10 watt, metode pengeringan ini memodifikasi proses pengeringan yang telah dilakukan oleh Juliasti et al., (2014). Analisis Statistik

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 3, bahan curing yang digunakan yaitu NaOH (g/l), sebagai faktor pertama yaitu lama waktu konsentrasi bahan curing (0,1%, 0,2%, dan 0,3 % b/v) dan faktor kedua yaitu lama waktu curing (2 jam, 4 jam, dan 6 jam). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali. Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis ragam. Semua data yang diperoleh, kemudian dianalisis dengan metode One-Way ANOVA pola faktorial menggunakan SPSS 17.0 Statistic Software. Level signifikan yang ditetapkan sebesar α = 0,05.

Hasil dan Pembahasan Rendemen

Rendemen merupakan ukuran dari persentase berat gelatin yang didapat dari konversi kolagen pada kulit. Semakin besar rendemen yang dihasilkan, menunjukkan metode yang dilakukan semakin efisien dan efektif. Persentase rendemen gelatin kulit domba asal Brebes dengan perlakuan perbedaan konsentrasi NaOH dan lama waktu curing tampil pada Tabel 1.

Tabel 1. Rendemen (%) gelatin kulit domba asal Brebes

Lama Waktu Curing Konsentrasi NaOH

Rata - rata 0.1% 0.2% 0.3%

2 jam 13,58 ± 0,05 14,15 ± 0,08 14,46 ± 0,12 14,07 ± 0,08c 4 Jam 14,14 ± 0,06 14,32 ± 0,06 14,49 ± 0,08 14,32 ± 0,07c 6 Jam 14,21 ± 0,17 14,52 ± 0,21 15,59 ± 1,20 14,77 ± 0,53d

Rata - rata 13,98 ± 0,09a 14,33 ± 0,12a 14,85 ± 0,47b Keterangan : notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tabel 2. Kadar air (%) gelatin kulit domba asal Brebes

Lama Waktu Curing Konsentrasi NaOH

Rata-rata 0,1% 0,2% 0,3%

2 Jam 8,73 ± 0,52 8,73 ± 0,25 8,83 ± 0,36 8,76 ± 0,38 ns 4 Jam 8,71 ± 0,22 8,54 ± 0,01 8,41 ± 0,01 8,55 ± 0,08 ns 6 Jam 8,43 ± 0,19 8,37 ± 0,28 8,63 ± 0,32 8,48 ± 0,26 ns

Rata-rata 8,62 ± 0,31ns 8,55 ± 0,18 ns 8,62 ± 0,23 ns Keterangan : ns = non significant

Page 10: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.211

3

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa faktor konsentrasi NaOH dan faktor lama curing menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), namun tidak terdapat interaksi dari konsentrasi NaOH dan faktor lama curing. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu curing akan meningkatkan rendemen gelatin. Cho et al. (2006) menyatakan bahwa rendemen gelatin akan meningkat secara kontinyu seiring dengan besarnya kenaikan konsentrasi bahan curing. Penggunaan bahan kimia yang tepat akan membantu memecah ikatan hidrogen dalam gel yang terhidrolisis. Banyaknya gel dari ikatan hidrogen yang dipecah oleh bahan kimia curing akan memudahkan larutnya kolagen dalam air panas, sehingga memaksimalkan perolehan gelatin (Choa et al., 2005).

Konsentrasi NaOH yang tinggi dapat memecah ikatan peptida pada molekul protein kolagen kulit dengan baik, sehingga rendemen yang dihasilkan pula lebih banyak. Rendemen gelatin yang dihasilkan dalam proses produksi tergantung pada proses yang dilakukan terhadap protein kolagen (Kasankala et al., 2007). Hal ini disebabkan oleh banyaknya NaOH yang dapat mempercepat laju hidrolisis sehingga proses transformasi kolagen menjadi gelatin akan semakin banyak (Zhou dan Regenstein, 2004).

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa secara rata-rata terjadi peningkatan nilai rendemen dengan bertambahnya waktu curing dan konsentrasi NaOH. Rata-rata rendemen yang dihasilkan pada peneltian ini yaitu 13,58% - 15,59%, dapat dikatakan rendemen penelitian ini lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian Said et al., (2011a) dengan rata-rata

rendemen 12,37% - 14,69%.

Kadar Air Persentase kadar air gelatin kulit domba asal

Brebes dengan perlakuan perbedaan konsentrasi NaOH dan lama waktu curing ditampilkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2. Menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH, lama waktu curing, dan interaksi konsentrasi NaOH dengan lama waktu curing tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air gelatin. Pada penelitian ini lama pengeringan 24 jam dengan temperatur 40 - 60oC, sehingga diperoleh kualitas gelatin dengan kadar air yang sama. Metode pengeringan sangat berpengaruh pada produk yang dihasilkan. Pada penelitian ini menggunakan pengeringan sederhana dengan memanfaatkan kardus yang diberi lampu bolham dan dikeringkan selama 24 jam, temperatur pada ruangan kardus berkisar 40 - 60oC. Pada pengukuran kadar air, air yang terukur adalah jenis air yang berada dalam bentuk terikat secara fisik dan air yang berada dalam bentuk bebas pada gelatin. Alat, temperatur dan lama pengeringan merupakan faktor yang mempengaruhi nilai kadar air bahan hasil pengeringan gelatin. Temperatur yang terlalu tinggi akan mengakibatkan gelatin menjadi mudah retak dan patah (Schrieber dan Gareis, 2007). Kadar air pada gelatin kering akan yang sangat mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, misalnya terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatik, sehingga dapat menimbulkan perubahan sifat dan nilai gizi bahan pangan (Astawan dan Aviana, 2003).

Kadar Air yang dihasilkan oleh penelitian ini

Tabel 3. Kadar abu (%) gelatin kulit domba asal Brebes

Lama Waktu Curing Konsentrasi NaOH

Rata - rata 0,1% 0,2% 0,3%

2 Jam 1,59 ± 0,10 1,59 ± 0,19 1,45 ± 0,10 1,54 ± 0,13abc 4 Jam 1,55 ± 0,27 1,67 ± 0,18 1,77 ± 0,11 1,66 ± 0,18b 6 Jam 1,47 ± 0,15 1,36 ± 0,13 1,49 ± 0,06 1,44 ± 0,11c

Rata-rata 1,54 ± 0,17ns 1,54 ± 0,17 ns 1,57±0,09 ns Ket : notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

ns = non significant Tabel 4. Kadar lemak (%) gelatin kulit domba asal Brebes

Lama Waktu Curing Konsentrasi NaOH

Rata - rata 0,1% 0,2% 0,3%

2 Jam 0,91 ± 0,05 0,79 ± 0,09 0,66 ± 0,05 0,79 ± 0,06 ns 4 Jam 0,84 ± 0,02 0,79 ± 0,04 0,74 ± 0,04 0,79 ± 0,29 ns 6 Jam 0,71 ± 0,04 0,73 ± 0,02 0,63 ± 0,03 0,69 ± 0,09 ns

Rata-rata 0,82 ± 0,03 ns 0,77 ± 0,05 ns 0,68 ± 0,04 ns Ket : ns = non significant Tabel 5. Kadar protein (%) gelatin kulit domba asal Brebes

Lama Waktu Curing Konsentrasi NaOH

Rata-rata 0,1% 0,2% 0,3%

2 Jam 85,90 ± 0,29 86,30 ± 0,36 86,35 ± 0,41 86,18 ± 0,35 ns 4 Jam 85,51 ± 0,99 86,32 ± 0,36 86,13 ± 0,66 85,99 ± 0,67 ns 6 Jam 86,08 ± 1,23 86,38 ± 0,42 86,63 ± 0,07 86,36 ± 0,57 ns

Rata-rata 85,83 ± 0,84ns 86,33 ± 0,38 ns 86,37 ± 0,38 ns Ket : ns = non significant

Page 11: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.211

4

masih yaitu 8,37 - 8,83% dan masih mengikuti standar yang ditetapkan oleh standar nasional Indonesia No. 06-3735 -1995 adalah maksimum 16%. Selain itu, kadar air gelatin hasil penelitian ini juga memenuhi standar gelatin untuk bahan pangan (14%) maupun standar untuk bahan farmasi (14%). Hal ini menunjukan proses pengeringan yang dilakukan sudah tepat. Pengeringan dengan metode sederhana ini mampu mengevaporasi air pada cairan kolagen hasil esktrasi kulit domba.

Kadar air pada penelitian ini hampir mirip dengan kadar air gelatin yang dihasilkan oleh penelitian Amertaningtyas et al., (2014) yaitu 8,69 - 9,29%, hal ini disebabkan karena bahan curing yang digunakan berasal dari golongan alkali dan bahan baku yang digunakan juga hampir mirip yaitu kulit ternak kecil. Namun penelitian ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian Juliasti et al., (2015) yang menghidrolisis tulang kaki kambing dengan asam klorida sehingga menghasilkan gelatin dengan kadar air 13,20 - 14,67%.

Kadar abu

Kadar abu pada pangan menunjukan adanya zat anorganik atau mineral lain yang menjadi sisa hasil pembakaran. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan metode yang digunakan dalam pengabuan. Selain itu keadaan abu juga menunjukkan kemurnian bahan dan ketepatan proses pembuatannya. Kadar abu gelatin berbahan baku domba Brebes ditunjukan pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil analisis ragam yang disajikan pada Tabel 3. menunjukkan bahwa lama waktu curing memberikan pengaruh pada yang signifikan pada kadar abu. Hal ini disebabkan oleh kemampuan NaOH untuk melonggarkan ikatan molekul protein, perendaman yang lebih lama akan memberikan peluang pada ikatan molekul protein menjadi longgar sehingga memudahkan proses hidrolisis. Hal ini sejalan dengan penelitian Puspawati et al., (2012) yang menyatakan bahwa perendaman kulit kaki ayam yang lama (3 hari) akan menyebabkan tropokolagen mengalami swelling (mengembang) yang belebihan yang mengakibatkan rantai tropokolagen akan larut dalam larutan NaOH sehingga menurunkan rendemen ekstrak gelatin.

Berdasarkan sajian Tabel 3. menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH tidak berpengaruh nyata pada kadar abu. Hal ini disebabkan konsentrasi NaOH yang digunakan pada setiap perlakuan memliliki interval yang tidak begitu lebar, sehingga kadar abu yang dihasilkan berdasarkan konsentrasi NaOH tidak berbeda antar perlakuan. Menurut Gomes-Guillen et al. (2002) bahwa besar kecilnya kadar abu gelatin sangat dipengaruhi oleh proses perendaman dan konsentrasi bahan kimia, sehingga bahan kimia yang berkonsentrasi tinggi memungkinkan terjadinya pembengkakan kulit yang berlebihan menyebabkan hilangnya molekul protein dan mengendapnya mineral yang tidak dibutuhkan. Mineral yang tidak dibutuhkan ini akan menyebabkan kadar abu yang tinggi pada gelatin (Puspawati et al., 2012). Faktor pendukung yang menyebabkan kadar abu menjadi tinggi adalah

preparasi awal penyiapan bahan baku. Bahan baku yang masih belum bersih akan mengakibatkan kadar abu makin meningkat. Faktor lain yang meyebabkan kadar abu pada gelatin tinggi yaitu proses penyaringan kolagen yang tidak tepat. Penyaringan yang meninggalkan endapan akan menimbulkan kadar abu yang tinggi.

Kadar abu gelatin dari penelitian ini berkisar antara 1,36 - 1,77% masih lebih baik dari penelitian Sugihartono et al., (2015) yang menghidrolisis kulit pikel domba yang menghasilkan kadar abu yang tinggi yaitu 1,75 - 4,94%. Semua nilai kadar abu gelatin yang diperoleh dari penelitian ini memenuhi standar mutu Standar Nasional Indonesia 06-3735-1995 yaitu kadar abu gelatin maksimum 3,25%.

Kadar Lemak

Kadar lemak dalam produk gelatin berkaitan langsung dengan sumber bahan baku yang digunakan. Gelatin yang diproduksi dari bahan baku yang mengandung kadar lemak tinggi cenderung akan menghasilkan produk gelatin dengan kadar lemak yang tinggi pula. Nilai rataan kadar lemak gelatin yang diproduksi selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis ragam yang disajikan pada Tabel 4. menunjukkan bahwa kadar lemak gelatin kulit domba tidak memberikan pengaruh yang signifikan di setiap perlakuan baik perlakuan konsentrasi NaOH, lama waktu curing, maupun interaksi antar kedua faktor. Hal ini dipengaruhi oleh bahan baku yang dipakai mempunyai umur yang relatif sama yaitu 1 - 2 tahun dengan jenis kelamin jantan. Selain itu proses penghilangan lemak saat pengulitan pun memberikan dampak yang sama pada kadar lemak gelatin yang dihasilkan. Namun jika dilihat dari rata-rata kadar lemak dari semua perlakuan terjadi penurunan pada variabel lama waktu curing dan variabel konsentrasi NaOH walaupun yang tidak signifikan. Penurunan kadar lemak yang tidak signifikan ini diakibatkan oleh kemampuan basa NaOH yang sedikit demi sedikit dapat mengurai protein dan lemak yang terkandung dalam kulit. Hal ini dapat dilihat saat proses ekstraksi dengan pemanasan, lemak akan keluar dari kulit dan pengapung dipermukaan. Saat lemak yang mengapung dipermukaan harus segera dipisahkan dan diambil dengan cara manual, sehingga protein kolagen hasil ekstraksi tidak mengandung lemak yang berlebihan.

Kadar lemak gelatin pada penelitian ini yaitu 0,63 - 0,91% masih lebih tinggi dari kadar lemak gelatin yang dihasilkan oleh Said et al., (2011b) yaitu berkisaran 0,23 - 0,35% hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan baku yang berbeda. Kadar lemak domba yang dipelihara di daerah pantura lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak kambing yang dipelihara dengan cara di umbar di pegunungan. Disisi lain kadar lemak gelatin hasil penelitian ini juga lebih rendah dibanding kadar lemak gelatin komersial. Rendahnya persentase kadar lemak pada gelatin yang dihasilkan kemungkinan disebabkan temperatur ekstraksi yang digunakan juga sangat rendah yaitu 50 - 60oC dan pemisahan secara manual antara larutan kolagen dengan lemak saat proses ekstraksi. Kisaran nilai kadar lemak ini cukup

Page 12: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.211

5

baik, karena sebagian besar tidak melebihi 5% yang merupakan batasan nilai maksimal untuk persyaratan mutu gelatin GMIA.

Kadar Protein

Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kolagen, sehingga kadar protein yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Tingkat pelarutan protein kolagen dipengaruhi oleh waktu dan konsentrasi bahan curing yang digunakan. Kadar protein gelatin komersial yang beredar dipasaran berkisar 85 - 90% (Schrieber dan Gareis, 2007). Kadar protein dari penelitian ini disajikan pada Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 5. terlihat terjadi peningkatan rata-rata protein pada faktor konsentrasi NaOH walaupun tidak signifikan. Hal ini dapat menggambarkan bahwa kadar protein dengan menggunakan konsentrasi NaOH 0,1% - 0,3% tidak jauh berbeda walau terjadi peningkatan. Berdasarkan hasil yang diperoleh kadar protein yang tertinggi diperoleh pada gelatin yang di-curing selama 6 jam dengan konsentrasi NaOH 0,3%. Kombinasi ini merupakan kombinasi terbaik dalam perolehan gelatin karena kadar protein yang tinggi berkaitan langsung dengan sifat-sifat fisik dari gelatin tersebut seperti kekuatan gel dan viskositas. Pada proses pembentukan biopolimer alami seperti gelatin, maka sifat-sifat pendukung seperti keluatan gel dan viskositas sangat diperlukan untuk memperbaiki struktur dan kemampuan biopolimer untuk menghambat transfer massa dari lingkungan, namun dengan syarat kualitas kadar proteinya pun lebih baik (Chen, 1995). Selain itu kadar protein yang baik dari gelatin diharapkan akan memberikan sumbangan tambahan zat gizi terhadap produk pangan olahan selanjutnya.

Menurut Schrieber dan Gareis, (2007) bahwa peningkatan kadar protein berkaitan dengan perubahan jumlah struktur ikatan asam amino yang menyusun molekul protein kolagen yaitu -Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-4Hyp-Gly-Pro-. Peningkatan konsentrasi molekul protein kolegen akan menyebabkan semakin banyak ikatan asam amino yang terpecah sehingga semakin banyak protein yang larut pada saat dilakukan proses ekstraksi. Peningkatan waktu curing dan konsentrasi bahan menyebabkan serabut kolagen menyusut dan mudah untuk larut saat ekstraksi yang memudahkan pembentukan gelatin (Astawan dan Aviana, 2003).

Kadar protein hasil penelitian ini yaitu 85,51 - 86,63%, masih lebih rendah dibandingkan oleh penelitian Said et al. (2011c) yaitu 89,37 - 90,74%, hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan kimia yang berbeda. Biasanya bahan kimia asam lebih baik dari pada bahan kimia basa, sehingga lebih disukai namun bahan kimia asam harganya lebih mahal. Kadar protein penelitian ini masih memenuhi standar yang ditetapkan GMIA (2015), yaitu antara 84 - 90%.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, Kualitas gelatin berbahan baku domba asal Brebes yang di curing dengan NaOH memiliki kualitas yang

baik sesuai standar SNI dan GMIA. Kualitas gelatin terbaik yaitu rendemen 15,59, kadar air 8,37% , kadar abu 1,36%, pH 6,01, kadar lemak 0,63%, dan kadar protein 86,63%. Gelatin terbaik dari penelitian ini yaitu pada perlakuan konsentrasi NaOH 0,3% dan lama waktu curing 6 jam yang menghasilkan rendemen 15,59%. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bappeda Kabupaten Brebes melalui Riset Unggulan Daerah tahun 2015 yang telah memberi dukungan pendanaan terhadap penelitian ini. Daftar Pustaka Amertaningtyas, D., Thohari, I., Purwadi, Radiati, L.A.,

Rosyidi, D., dan Jaya F. 2014. Pengaruh Konsentrasi Larutan Kapur Sebagai Curing Terhadap Kualitas Fisiko-Kimia dan Organoleptik Gelatin Kulit Kambing Peranakan Ettawah (PE), Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 24 (2), pp.1-7.

Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. AOAC, Inc, Virginia.

Astawan, M dan Aviana ,T. 2003. Pengaruh Jenis Larutan Serta Metode Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, kimia dan Fungsional Gelatin Dari Kulit Ikan Cucut, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 14(1), pp.7-13.

Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 06-3735-1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin, Jakarta.

Chen, H. 1995. Functional Properties And Applications of Edible Films Made of Milk Proteins, Journal of Dairy Science, 78(11), pp. 2563-2583.

Cho, S-H., Jahncke, M.L., Chin, K-B., and. Eun, J-B. 2006. The ffect of Processing Conditions on The Properties of Gelatin From Skate (Raja kenojei) Skin, Food Hydrocolloids, 20 (6), pp. 810-816.

Choa, S.M., Gub, Y.S., and Kima, S.B. 2005. Extracting Optimization and Physical Properties of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Skin Gelatin Compared to Mammalian Gelatins, Food Hydrocolloids, 19, pp. 221–229.

Dinas Peternakan Kabupaten Brebes. 2015. Data Populasi Domba Kabupeten Brebes. http://www.dinnak.web.id/p/blog-page_318.html. [Diakses tanggal 25 April 2015].

GME. 2015. Gelatine.org Market Data 2011. Gelatine Manufacture of Europe. http://www.gelatine.org/en/gelatine/history/html. [Diakses 27-11-15]

GMIA. 2015. Gelatin Manufacturer Institute of America 2015, The Gelatin Handbook. http://www.gelatin-gmia.com/gelatinhandbook.html. [Diakses 27-11-15].

Gomes-Guillen, M.C., J. Turney, M.D. Fernandez Diaz, N. Ulmo, M.A. Lizarbe and P. Montero. 2002.

Page 13: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.211

6

Structural and Physical Properties of Gelatin Extracted From Different Marine species : Comparative Study. Food Hydrocolloids, 16 (1), pp. 25-34

Juliasti, R., Legowo, A.M., dan Pramono, Y.B. 2015. Pemanfaatan Limbah Tulang Kaki Kambing Sebagai Sumber Gelatin Dengan Perendaman Menggunakan Asam Klorida, Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 4(1), pp.5-10.

Kasankala, L.M., Xue, Y., Weilong, Y., Hong, S.D dan Q, He. 2007. Optimization of gelatine Extraction From Grass Carp (Catenopharyngodon idella) Fish Skin by Response Surface Methodology, Bioresource Technology, 98(17), pp,3338-3343.

Puspawati, N.M., Simpen, I.N., dan Miwada, I.N.S. 2012. Isolasi Gelatin Dari Kulit Kaki Ayam Broiler Dan Karakterisasi Gugus Fungsinya Dengan Spektrofotometri FTIR, Jurnal Kimia, 6 (1), pp. 79-87

Said, M.I., Likadja, J.C. dan Hatta M. 2011a, Pengaruh Waktu Dan Konsentrasi Bahan Curing Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Gelatin Kulit

Kambing Yang Diproduksi Melalui Proses Asam. JITP, 1(2), pp.199-128.

Said, M.I., Triatmojo, S., Erwanto, Y., dan Fudholi, A. 2011b, Karakteristik Gelatin Kulit Kambing Yang Diproduksi Melalui Proses Asam dan Basa. Agritech, 31(3), pp. 190-200.

Said, M.I., Triatmojo, S., Erwanto, Y., and Fudholi, A. 2011c, Gelatin Properties of Goat Skin Produced by Calcium Hydroxide as Curing Material, Media Peternakan, 34 (3), pp. 184-189

Schrieber, R., and Gareis, H. 2007. Gelatine Handbook, Theory and Industrial Practice, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.KGaA, Weinheim.

Sugihartono, Sutyasmi, S., dan Prayitno. 2015. Pemanfaatan Trimming Kulit Pikel Sebagai Flokulan Melalui Hidrolisis Kolagen Menggunakan Basa Untuk Penjernihan Air, Majalah Kulit, Karet, Dan Plastik, 31(1), pp. 37-44.

Zhou, P. and Regenstein, J.M. 2004. Optimization of Extraction Conditions for Pollock Skin Gelatin, Journal of Food Science, 69(5), pp.393-398.

Page 14: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.212

7

Artikel Penelitian Pengaruh Pretreatment Iradiasi Microwave pada Hidrolisis Kitosan dengan Enzim Cellulase The Effect of Microwave Irradiation Pretreatment on Chitosan Hydrolysis using Cellulase Enzyme Nur Rokhati1* , Bambang Pramudono1, Mohammad Sulchan2 , Anggara Eka Permana1, Suryo Tetuko1 1Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang 2Jurusan Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponeogoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected])Artikel ini dikirim pada tanggal 20 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 7 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Kitosan merupakan polimer alam yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin yang terkandung di dalam

cangkang binatang invertebrata terutama crustacea seperti udang dan rajungan. Karena sifatnya yang biocompatible, biodegradable, bioaktivitas, dan tidak beracun, kitosan telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang seperti pangan, nutrisi, farmasi, medis, dan pertanian. Kitosan memiliki berat molekul yang tinggi, viskositas tinggi, dan kelarutan di dalam air yang rendah, sehingga akan menghambat aplikasinya. Salah satu metode yang umum dilakukan untuk menurunkan berat molekul kitosan adalah hidrolisis enzimatis. Kelemahan dari metode ini adalah laju reaksi yang lambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pretreatment iradiasi microwave pada hidrolisis enzimatis kitosan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pretreatment iradiasi microwave dapat meningkatkan laju penurunan berat molekul dan viskositas larutan kitosan. Hidrolisis kitosan dengan pretreatment iradiasi microwave pada power 120 watt selama 9 menit dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam air dari 0,02% menjadi 0,26% (berat/volume). Analisis FTIR menunjukkan bahwa struktur kimia produk hidrolisis mirip dengan kitosan awal.

Kata kunci : pretreatment; microwave; kitosan; hidrolisis; cellulase

Abstract Chitosan is a natural polymer obtained from the deacetylation of chitin contained in shells of invertebrates,

especially crustaceans such as shrimp and crab. Because it is biocompatible, biodegradable, bioactivity, and non-toxic, chitosan has been widely used in various fields such as food, nutritional, pharmaceutical, medical, and agriculture. Chitosan has a high molecular weight, high viscosity, and solubility in water is low, so it will hamper application. One common method to lower the molecular weight of chitosan is the enzymatic hydrolysis. The disadvantage of this method is the reaction rate is slow. This study aims to assess the microwave irradiation pretreatment on enzymatic hydrolysis of chitosan. The results showed that pretreatment microwave irradiation can increase the rate of decrease in molecular weight and viscosity of chitosan solution. Pretreatment of chitosan hydrolysis with microwave irradiation at 120 watts power for 9 minutes can increase the solubility of chitosan in water from 0.02% to 0.26% (weight / volume). FTIR analysis showed that the hydrolysis products of the chemical structure is similar to the initial chitosan.

Keywords: pretreatment; microwave; chitosan; hydrolysis; cellulase

Pendahuluan Kitosan merupakan polisakarida alami yang

terdiri dari 2 jenis monomer dengan ikatan β-1,4 antara 2-amino-2-deoksi-D-glukopyranosa dan 2-acetamido-2-deoksi-D-glukopyranosa yang perbandingannya tergantung pada derajat deasetilasi. Kitosan merupakan produk turunan kitin yang terkandung di dalam cangkang binatang invertebrata terutama crustacea seperti udang dan rajungan yang telah mengalami proses deasetilasi. Kitosan telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang aplikasi seperti dalam bidang nutrisi (suplemen dan sumber serat), bidang pangan (nutraceutical, flavor, pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih minuman, antimicrobial), bidang medis (contact-lens, membran untuk dialisis darah, anti-tumor, penurun kolesterol, mencegah diabetes melitus), bidang lingkungan dan pertanian (fertilizer dan fungisida). Hal ini dikarenakan sifat dari kitosan yang

biocompatible, biodegradable, bioaktivitas, dan tidak beracun (Prasertsung et al. 2013).

Kitosan memiliki berat molekul dan viskositas tinggi, serta kelarutan yang rendah di dalam air atau larutan dengan pH relatif netral. Hal ini menghambat pengaplikasian kitosan. Kitosan dengan berat molekul rendah (LMWC/low molecular weight chitosan) tanpa mengubah struktur kimianya, menunjukkan tingkat kelarutan yang cukup tinggi di dalam air, meningkatkan sifat bioaktivitasnya seperti anti-tumor, anti mikroba, dan anti-radang (Xie et al. 2009; Prasertsung et al. 2013).

Salah satu metode yang umum dilakukan untuk menurunkan berat molekul adalah hidrolisis. Hidrolisis kitosan merupakan proses dekomposisi kimia dari kitosan yang terjadi karena adanya pemutusan ikatan glikoksida yang menghubungkan antar monomer dalam polimer kitosan melalui reaksi dengan air sehingga

Page 15: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.212

8

membentuk bagian-bagian penyusun yang lebih sederhana dan memiliki berat molekul yang lebih rendah. Hidrolisis parsial kitosan menghasilkan oligomer berupa rantai oligoglukosamine sedangkan hidrolisis sempurna kitosan menghasilkan monomer glukosamine dan asetilglukosamine (Sun et al. 2013).

Hidrolisis kitosan dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya hidrolisis kimia, hidrolisis enzimatis, hidrolisis iradiasi, dan hidrolisis oksidatif. Hidrolisis kimia seperti menggunakan larutan asam, memiliki masalah dalam limbah kimia yang dihasilkan seperti kontaminasi lingkungan dan menyebabkan korosi pada alat proses. Hidrolisis oksidatif seperti menggunakan hidrogen peroxida memiliki kelebihan dalam proses yang sederhana dan relatif ramah lingkungan, namun kekurangannya yaitu beberapa reaksi samping dapat terjadi selama hidrolisis dan dapat mengubah struktur struktur kimia dari kitosan. Hidrolisis enzimatis memiliki kelebihan yaitu dalam menghasilkan produk hidrolisis yang spesifik dan proses dilakukan pada kondisi kamar. Sedangkan hidrolisis iradiasi memiliki keunggulan dalam hal yield produk yang tinggi (Li et al. 2012; Prasertsung et al. 2013).

Hidrolisis enzimatis kitosan merupakan proses hidrolisis dengan bantuan enzim. Jenis enzim spesifik yang dapat digunakan dalam hidrolisis kitosan adalah chitosanase dan β-D-glucosaminidase (Sun et al. 2013). Namun saat ini enzim tersebut masih mahal dan ketersediaannya terbatas. Maka muncul penelitian-penelitian hidrolisis kitosan dengan menggunakan enzim lain, diantaranya enzim lipase, selulase, α-amilase, pektinase, pepsin, protease netral, dan papain. (Oviedo et al. 2007; Su et al. 2013; Wasikiewicz & Yeates 2013).

Untuk meningkatkan yield pada konsentrasi kitosan yang sama maka dilakukan suatu tahap pretreatment dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas enzim pada proses hidrolisis. Peningkatan aktivitas enzim pada proses hidrolisis disebabkan melemahnya ikatan glikoksida antar monomer pada polimer kitosan. Salah satu jenis pretreatment yaitu iradiasi microwave (Ha et al. 2011; Tsubaki & Azuma 2013). Teknologi iradiasi microwave sudah diakui sebagai alat yang sangat membantu dalam proses sintesis organik dan proses yang melibatkan polimer (Ha et al. 2011). Pada penelitian ini dikaji pengaruh pretreatment dengan menggunakan iradiasi microwave pada proses hidrolisis kitosan dengan enzim cellulase.

Materi dan Metode Materi

Bahan yang digunakan yaitu kitosan produksi PT. Biotech Surindo, Cirebon, Indonesia (DD ≈ 80,4%), asam asetat glasial, natrium asetat, NaOH (99%). Enzim cellulase, K3[Fe(CN)6], dan glukosamine dari Sigma Aldrich. Alat yang digunakan yaitu Sharp Microwave Oven R-222Y(W), Shaker merk Wisecube, UV-Vis Spectronic-20, FTIR Perkin Elmer Spectrofotometer, magnetic stirer, termometer, dan alat gelas.

Metode Penelitian berlangsung selama periode

September 2015 – Maret 2016. Penelitian ini meliputi proses hidrolisis kitosan, uji gula pereduksi, uji viskositas, penentuan nilai berat molekul, uji FTIR, dan uji kelarutan. Hidrolisis Kitosan

Kitosan dilarutkan ke dalam larutan buffer asetat pH 5 dengan konsentrasi 1% w/v larutan. Larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian diiradiasi dengan microwave pada variabel power (40, 120) watt dan waktu (3,6, dan 9) menit. Setelah diiradiasi, larutan ditambahkan enzim cellulase dengan perbandingan enzim:substrat (1:100) w/w. Larutan dihidrolisis selama 24 jam pada kondisi operasi 50oC, pH 5. Larutan yang sudah terhidrolisis direndam dalam air mendidih selama 10 menit untuk menonaktifkan enzim. Kemudian larutan dibagi dua bagian yaitu pertama untuk uji gula pereduksi dan uji viskositas, sedangkan yang kedua larutan diendapkan dengan menambahkan larutan NaOH lalu endapan dikeringkan untuk uji FTIR dan uji kelarutan.

Uji Gula Pereduksi

Uji gula pereduksi dilakukan untuk mengetahui banyaknya pemotongan rantai polimer kitosan. Pemotongan rantai polimer akan menghasilkan gugus aldehid yang memiliki sifat pereduksi. Penentuan jumlah gula pereduksi dilakukan dengan menggunakan metode Schales (Imoto & Yagishita, 1971). 3 ml sampel larutan kitosan ditambahkan 4 ml larutan Schales (0,5 gram potasium ferisianida dalam 1 liter sodium karbonat 0,5 M). Kemudian larutan dididihkan selama 15 menit. Larutan didinginkan dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Larutan standar yang digunakan adalah glukosamine HCl. Uji viskositas

Penentuan viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viskosimeter ostwald. Aquadest dimasukkan ke dalam viskosimeter kemudian diukur waktu laju alirnya. Setelah itu sampel larutan kitosan yang telah dihidrolisis dimasukkan ke dalam viskosimeter dan diukur waktu laju alirnya. Nilai viskosimeter ditentukan dengan persamaan :

𝜂"# =𝑡 − 𝑡'𝑡'

Keterangan : ηsp = viskositas spesifik t = waktu laju alir sampel to = waktu laju alir aquadest Penentuan Nilai Berat Molekul

Viskositas intrinsik dapat ditentukan dengan mengukur viskositas spesifik pada beberapa konsentrasi dan mengekstrapolasi grafik ηsp/c versus c pada konsentrasi sama dengan nol.

𝜂"#𝑐= 𝜂 + 𝑘′ 𝜂 ,𝑐

Page 16: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.212

9

Setelah mengetahui viskositas instrinsik, maka BM kitosan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Mark Houwink.

𝜂 = 𝐾𝑀/ Keterangan : [η] = viskositas intrinsik K = 3,5 x 10-4 ml/g M = BM α = 0,76 Uji FTIR

Pengamatan terhadap gugus fungsional menggunakan uji Fourier Transform Infra-Red (FTIR). Pada uji ini diamati panjang gelombang untuk mengetahui keberadaan gugus fungsional yang terkandung dalam kitosan. Pada kitosan akan diamati spektrum dari gugus OH dan NH2.

Uji Kelarutan

Padatan kitosan sebanyak 1 gram dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest. Diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 24 jam. Setelah itu larutan disaring, lalu padatan dikeringkan. Padatan ditimbang sampai diperoleh berat kosntan. Selisih antara berat kertas saring awal dan berat padatan dengan kertas saring adalah hasil dari kelarutan kitosan dalam aquadest. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh power dan waktu iradiasi microwave terhadap hasil akhir proses hidrolisis berupa jumlah gula pereduksi dan nilai viskositas larutan ditunjukkan Gambar 1, 2, 3, dan 4. Iradiasi microwave mentransfer sejumlah energi secara langsung dan cepat ke dalam larutan kitosan berdasarkan pada power dan waktu operasi yang digunakan (Tsubaki & Azuma 2013). Pada penelitian ini digunakan power microwave sebesar 40 dan 120 watt dengan waktu iradiasi 3, 6, dan 9 menit. Pemilihan waktu dan power operasi iradiasi microwave didasarkan pada temperatur akhir larutan yang dihasilkan setelah melalui tahap pretreatment. Larutan kitosan dengan pretreatment power iradiasi 40 watt dan 120 watt dengan waktu iradiasi 9 menit menghasilkan temperatur akhir larutan sebesar 35oC dan 71oC. Jika digunakan waktu iradiasi yang lebih lama dan power yang lebih tinggi diperkirakan akan terjadi penguapan pada larutan kitosan yang mengakibatkan kurang akuratnya nilai viskositas larutan yang dihasilkan.

Peningkatan temperatur pada larutan kitosan disebabkan adanya vibrasi molekul pada larutan kitosan yang dipengaruhi gerakan osilasi gelombang mikro (microwave). Vibrasi ini menimbulkan singgungan antar molekul yang menghasilkan panas sehingga temperatur larutan menjadi meningkat (Wasikiewicz & Yeates, 2013).

Perbedaan nilai viskositas dan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan pada 40 watt dan 120 watt disebabkan adanya perbedaan jumlah energi yang ditransfer ke dalam larutan kitosan. Pada power 40 watt dengan waktu iradiasi 9 menit, energi yang ditransfer sebesar 21,6 kJ, sedangkan pada power 120 watt untuk waktu iradiasi yang sama, energi yang ditransfer sebesar 64,8 kJ. Energi ini yang menyebabkan terjadinya perenggangan ikatan glikoksida pada kitosan (Ha et al. 2011). Semakin besar energi yang ditransfer maka semakin banyak ikatan glikoksida yang melemah sehingga pada proses hidrolisis enzimatis, jumlah ikatan glikoksida yang terputus semakin banyak. Semakin banyaknya ikatan glikoksida yang terputus pada saat hidrolisis enzimatis menyebabkan semakin menurunnya nilai viskositas larutan dan meningkatnya jumlah gula pereduksi. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan jumlah gula pereduksi dan penurunan nilai viskositas pada power 120 watt lebih besar dibandingkan dengan power 40 watt (Ha et al. 2011).

Perbedaan energi yang ditransfer akan menghasilkan perbedaan temperatur akhir larutan kitosan setelah melalui tahap pretreatment. Pada power 40 watt dengan waktu iradiasi 3 menit didapatkan temperatur akhir larutan T = 27oC; waktu iradiasi 6 menit T = 31oC; dan waktu iradiasi 9 menit T = 35oC. Jumlah energi yang ditransfer untuk power 40 watt dengan waktu iradiasi (3, 6, dan 9) menit sebesar (21,6; 43,2; dan 64,8) kJ. Energi yang ditransfer menyebabkan vibrasi pada molekul kitosan yang dipengaruhi oleh gerakan osilasi gelombang mikro (microwave). Vibrasi ini menimbulkan gesekan yang menghasilkan panas sehingga temperatur larutan menjadi meningkat (Wasikiewicz & Yeates 2013). Dengan demikian, semakin besar energi yang ditransfer maka temperatur akhir larutan kitosan akan semakin meningkat.

Sejumlah energi yang ditransfer mengakibatkan terjadinya pemanasan secara internal pada larutan kitosan sehingga ikatan glikoksida pada rantai polimer menjadi lebih renggang/melemah (Ha et al. 2011). Dengan melemahnya ikatan glikoksida ini, ikatan tersebut menjadi lebih mudah untuk diputus pada proses hidrolisis enzimatis menggunakan enzim cellulase. Semakin banyak ikatan glikoksida yang terputus maka semakin besar penurunan nilai viskositas larutan dikarenakan berat molekul (BM) kitosan menjadi lebih kecil dan semakin banyak jumlah gula pereduksi yang dihasilkan (Su et al. 2013).

Tabel 1 menunjukkan adanya pengaruh pretreatment iradiasi microwave terhadap hasil proses hidrolisis enzimatis menggunakan enzim cellulase. Pretreatment iradiasi microwave memberikan pengaruh berupa perenggangan ikatan glikoksida pada rantai polimer kitosan sehingga ikatan tersebut menjadi lemah

Tabel 1. Perbandingan karakteristik kitosan

Karakteristik Gula Pereduksi (g /g kitosan)

Viskositas (cp)

BM (kD)

Kelarutan (%)

Sebelum Hidrolisis 0,007 49,3 126,9 0,02 Hidrolisis Dengan Pretreatment 0,101 3,24 46,44 0,26

Page 17: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.212

10

dan lebih mudah untuk diputus pada saat proses hidrolisis (Ha et al. 2011). Pengaruh ini dapat dibuktikan dari perbedaan nilai gula pereduksi dan viskositas larutan yang dihasilkan setelah proses hidrolisis. Jumlah gula pereduksi dan penurunan viskositas larutan kitosan dengan pretreatment microwave lebih tinggi dibandingkan dengan larutan tanpa pretreatment microwave.

Gambar 1. Pengaruh power iradiasi terhadap jumlah gula pereduksi

Gambar 2. Pengaruh power iradiasi terhadap nilai akhir viskositas larutan

Pemutusan ikatan glikoksida pada saat hidrolisis

menyebabkan turunnya berat molekul (BM) kitosan sehingga larutan kitosan lebih encer yang ditandai

dengan menurunnya nilai viskositas larutan (Oviedo et al. 2007). Selain itu, pemutusan ikatan glikoksida juga mempengaruhi jumlah gula pereduksi yang ada karena setiap pemutusan ikatan glikoksida menghasilkan gugus aldehid pada ujung rantai yang bersifat pereduksi (Su et al. 2013). Dengan menurunnya berat molekul (BM) kitosan maka kelarutannya dalam aquadest menjadi semakin tinggi. Hal ini dikarenakan gugus aldehid yang terbentuk akibat pemutusan ikatan glikoksida bersifat polar. Sifat polar ini yang menjadikan kitosan lebih mudah berinteraksi dengan air sehingga kitosan lebih mudah larut (Rochima, 2007).

Gambar 3. Pengaruh waktu iradiasi terhadap jumlah gula pereduksi

Gambar 4. Pengaruh waktu iradiasi terhadap nilai akhir viskositas larutan

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0 5 10 15 20 25

gulare

duksi(∆D

420

)

waktu(jam)

120W40WTanpaTreatment

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25

Viskosita

s(Cp

)

Waktu(jam)

TanpaTreatment40W120W

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0 5 10 15 20 25

gulare

duksi(∆D

420

)

waktu(jam)

9menit6menit3menitTanpaTreatment

0

10

20

30

40

50

60

0 5 10 15 20 25

Viskosita

s(Cp

)

Waktu(jam)

TanpaTreatment3menit6menit9menit

Gambar 5. Hasil analisis FTIR (a) Kitosan awal; (b). Kitosan dengan iradiasi microwave

Page 18: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.212

11

Analisis struktur kimia kitosan dengan FTIR (Fourier Transform Infra-Red) sebelum dan sesudah hidrolisis ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil analisis FTIR pada puncak absorbansi 3540,26 cm-1; 3439,97 cm-1 menunjukkan adanya N-H dan O-H stretch pada kitosan awal dan kitosan hasil pretreatment iradiasi microwave. Absorbansi 2915,92 cm-1; 2920,19 cm-1 mengindikasikan adanya C-H stretch pada kitosan awal dan kitosan hasil pretreatment iradiasi microwave. Adanya N-H bend ditunjukkan oleh absorbansi 1662,93 cm-1 pada kitosan awal dan 1650,54 cm-1 pada kitosan hasil pretreatment iradiasi microwave. Absorbansi 1559,07 cm-1; 625,38 cm-1 mengindikasikan adanya –NH2 bend pada kitosan awal dan 1560,31 cm-1; 655,42 cm-1 pada kitosan hasil pretreatment iradiasi microwave (Chen et al. 2012). Adanya C-N ditunjukkan oleh absorbansi 1319,71 cm-1 pada kitosan awal dan 1258,04 cm-1 pada kitosan hasil pretreatment iradiasi microwave (Lizardi-Mendoza et al. 2016). Kesimpulan

Hidrolisis kitosan dengan pretreatment iradiasi microwave pada power 120 watt selama 9 menit dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam air dari 0,02% menjadi 0,26% (berat/volume). Analisis FTIR menunjukkan bahwa struktur kimia produk hidrolisis mirip dengan kitosan awal. Ucapan Terima Kasih

Ucapan terimakasih kepada Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas bantuan dana penelitian unggulan Perguruan Tinggi tahun anggaran 2016. Daftar Pustaka Chen, Q. et al., 2012. Hydrolysis of chitosan under

microwave irradiation in ionic liquids promoted by sulfonic acid-functionalized ionic liquids. , 97.

Ha, S.H. et al., 2011. Microwave-assisted pretreatment of cellulose in ionic liquid for accelerated enzymatic hydrolysis. Bioresource technology, 102(2), pp.1214–9.

Imoto & Yagishita, 1971. Activity Measurement of Lysozyme. , 35(7).

Li, K. et al., 2012. International Journal of Biological Macromolecules Microwave-assisted degradation of chitosan for a possible use in inhibiting crop pathogenic fungi. International Journal of Biological Macromolecules, 51(5), pp.767–773.

Lizardi-Mendoza, J., Argüelles-Monal, W.M. & Goycoolea, F.M., 2016. Chemical Characteristics

and Functional Properties of Chitosan, Elsevier Inc.

Mello, P.A., 2014. Microwave Heating, Elsevier. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-59420-4.00002-7.

Oviedo, A. et al., 2007. High yield production of monomer-free chitosan oligosaccharides by pepsin catalyzed hydrolysis of a high deacetylation degree chitosan. , 342, pp.2750–2756.

Pan, S. & Wu, S., 2011. Preparation of water-soluble chitosan by hydrolysis with commercial glucoamylase containing chitosanase activity. European Food Research and Technology, 233(3), pp.325–329.

Prasertsung, I., Damrongsakkul, S. & Saito, N., 2013. Degradation of b -chitosan by solution plasma process ( SPP ). Polymer Degradation and Stability, 98(10), pp.2089–2093.

Rochima, E., 2007. Karakterisasi kitin dan kitosan asal limbah rajungan cirebon jawa barat. , X, pp.9–22.

Su, P. et al., 2013. Application of cellulase-polyamidoamine dendrimer-modified silica for microwave-assisted chitosan enzymolysis. Process Biochemistry, 48(4), pp.614–619.

Sun, Y. et al., 2013. International Journal of Biological Macromolecules Preparation of d -glucosamine by hydrolysis of chitosan with chitosanase and ␤ - d -glucosaminidase. International Journal of Biological Macromolecules, 61, pp.160–163.

Tsubaki, S. & Azuma, J., 2013. Bioresource Technology Total fractionation of green tea residue by microwave-assisted alkaline pretreatment and enzymatic hydrolysis. Bioresource Technology, 131, pp.485–491.

Wasikiewicz, J.M. & Yeates, S.G., 2013. “ Green ” molecular weight degradation of chitosan using microwave irradiation. Polymer Degradation and Stability, 98(4), pp.863–867.

Xia, Z., Wu, S. & Chen, J., 2013. Preparation of water soluble chitosan by hydrolysis using hydrogen peroxide. International Journal of Biological Macromolecules, 59, pp.242–245.

Xie, Y. et al., 2009. Preparation of chitooligosaccharides by the enzymatic hydrolysis of chitosan. Polymer Degradation and Stability, 94(10), pp.1895–1899.

Xing, R. et al., 2005. Salt-assisted acid hydrolysis of chitosan to oligomers under microwave irradiation. Carbohydr Res., 340, pp.2150–2153.

Page 19: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

23

Artikel Penelitian Kajian Karakteristik Beras Analog Berbahan Dasar Tepung dan Pati Ubi Ungu (Ipomea batatas) Study Characteristics of Analog Rice Made from Purple Sweet Potato (Ipomea batatas) Flour and Starch Noer Abyor Handayani*, Heri Cahyono, Wiwit Arum, Indro Sumantri, Purwanto, Danny Soetrisnanto Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 20 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 29 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017 Abstrak

Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari bahan-bahan seperti umbi-umbian dan serealia. Ubi ungu (Ipomea batatas) adalah salah satu potensi lokal pangan yang layak dikembangkan sebagai bahan baku beras analog. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbandingan komposisi tepung pati ubi ungu terhadap nilai gizi, sifat fisikokimia, sifat hedonik beras analog dibandingkan dengan beras padi, serta menentukan komposisi bahan baku terbaik dari beras analog ubi ungu. Penelitian ini terdiri dari 3 tahapan utama, yaitu tahap pembuatan tepung dan pati ubi ungu, tahap fortifikasi yang dilakukan bersamaan dengan proses pembuatan beras analog, serta tahap analisis hasil. Penelitian ini menggunakan variasi komposisi tepung dan pati ubi ungu sebesar 100:0 (A); 90:10 (B); 80:20 (C); 70:30 (D); 60:40 (E) dengan basis 100 gram. Beras Delangu digunakan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi pati dalam beras analog ubi ungu, maka kandungan amilosa meningkat, tekstur beras semakin keras dan tidak mudah rapuh, daya rehidrasi tinggi, dan densitas kamba rendah. Beras analog dengan komposisi 80% tepung dan 20% pati (kode C) merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Produk ini memiliki rasa, tekstur, dan kenampakan yang menyerupai beras pada umumnya. Beras analog kode C kaya akan kandungan protein 6,7337%, kadar amilosa 15,56%, nilai densitas kamba 0,638 g/ml dan daya rehidrasi sebesar 1,5 ml/g. Nilai gizi, sifat fisikokimia dan sifat hedonik beras analog memiliki karakteristik yang menyerupai beras Delangu. Berdasarkan beberapa parameter, beras analog memiliki keunggulan dibandingkan beras Delangu. Kata kunci: beras analog, ubi ungu, tepung ubi ungu, pati ubi ungu, sifat fisikokimia Abstract Analog rice is artificial rice made from materials such as tubers and cereals. Purple sweet potato (Ipomea batatas) is one of the local potential to adequate food as a raw material of analog rice. This study aimed to assess the effect of sweet potato flour and starch to the nutritional value, physicochemical properties, hedonic properties compared with the commercial rice “Delangu”, as well as determining the composition of the best raw materials from analog sweet purple rice. The study consists of three main stages, production of sweet potatoes flour and starch, fortification stage was carried out simultaneously with the process of making rice analog, as well as the results of the analysis phase. Composition of purple sweet potato flour and starch were used to produce analog rice, such as 100: 0 (A); 90:10 (B); 80:20 (C); 70:30 (D); 60:40 (E) on the basis of 100 grams. Rice “Delangu” used as control variables in this study. The results showed that the higher composition of starch, the amylose content will increase, the texture of the rice is getting harder and not easily fragile, capacity rehydration is increasing, and low bulk density. Rice analog with a composition of 80% flour and 20% starch (code C) is a preferred product by the panelists. This product has the taste, texture, and appearance that resembles rice in general. Analog rice code C-rich protein content of 6.7337%, 15.56% amylose content, Kamba density value of 0.638 g / ml and rehydration power of 1.5 ml / g. Nutritional value, physicochemical properties and hedonic properties of analog rice has characteristics that resemble “Delangu”. Based on several parameters, analog rice has advantages over rice “Delangu”. Keywords: analog rice, purple sweet potato, sweet potato flour, sweet potato starch, psychochemical properties Pendahuluan Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat di Indonesia, namun meningkatnya kebutuhan komoditas beras tidak diimbangi dengan produksi beras dalam negeri, sehingga Pemerintah terpaksa melakukan impor beras untuk memenuhi permintaan masyarakat (Zaeroni and Rustariyuni, 2016). Diversifikasi produk pangan menyerupai beras merupakan salah satu alternatif solusi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat. Produk tersebut dapat

mengandung nilai gizi yang lebih unggul bila dibandingkan dengan beras. Indonesia memiliki potensi keaneragaman sumber karbohidrat non beras cukup banyak, namun belum dimanfaatkan secara optimal (Samad, 2003). Ubi ungu (Ipomea batatas) merupakan salah satu potensi pangan alternatif yang layak untuk dikembangkan. Komposisi betakaroten dalam ubi ungu mencapai 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan wortel serta memiliki 110-210 mg antosianin setiap 100 gram tepung (Handayani et al., 2014; Lila, 2004).

Page 20: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

24

Karbohidrat yang terdapat pada ubi jalar ungu termasuk karbohidrat kompleks dengan Glycemic Index (GI) 54 yang rendah, sehingga aman dikonsumsi penderita diabetes (Widyaningtyas and Susanto, 2014).

Beberapa penelitian mengenai beras analog telah dilakukan oleh Noviasari et al., 2013; Lumba, 2012; Herawati and Widowati, 2009. Kajian proses pembuatan dan karakteristik beras analog dari ubi jalar (Ipomea batatas) telah berhasil dilakukan (Herawati and Widowati, 2009). Noviasari et al., 2013 berhasil membuat beras analog dengan memanfaatkan jagung putih sebagai bahan baku. Lumba (2012) menggunakan tepung umbi daluga (Cyrtosperma merkusii (hassk) schott) dalam pembuatan beras analog (Lumba, 2012). Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian mengenai pembuatan beras analog dari kombinasi tepung ubi ungu dan pati ubi ungu belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbandingan komposisi tepung ubi ungu dan pati ubi ungu terhadap kandungan gizi, sifat fisikokimia, serta sifat organoleptik beras analog ubi ungu bila dibandingkan dengan beras padi. Komposisi bahan baku terbaik dari beras analog ubi ungu juga dibahas dalam artikel ini. Materi dan Metode Materi Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi ungu yang diperoleh dari Ambarawa. Air demineralisasi diperoleh dari hasil produksi Laboratorium Proses Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro Pembuatan Tepung Ubi Ungu Pembuatan tepung ubi ungu dilakukan menggunakan tahapan yang dikembangkan oleh Herawati dan Widowati (2009) dengan modifikasi. Tahapan-tahapan tersebut yaitu pengupasan dan pencucian ubi ungu, penyawutan atau pengirisan ubi hingga tipis agar proses pengeringan dapat berlangsung lebih cepat. Selanjutnya, sawut direndam dalam sodium bisulfit 0,3% selama 1 jam agar warna ubi ungu tetap terjaga. Sawut dikeringkan dalam oven dengan suhu 60°C selama 12 jam. Sawut yang sudah kering selanjutnya digiling menjadi tepung dan diayak dengan ayakan 80 mesh. Pembuatan pati ubi ungu dilakukan metode yang dikembangkan oleh Herawati dan Widowati (2009), yaitu menyikat ubi yang tidak dikupas, lalu diparut dan diaduk/diperas, kemudian dilakukan penyaringan dan pengendapan. Selanjutnya, endapan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60°C sampai kering. Pati kemudian digiling dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh. Pembuatan Beras Analog Ubi Ungu Pembuatan beras analog ubi ungu dilakukan dengan mengadopsi penelitian Sumardiono et al., (2014). Air sebanyak 100 ml (perbandingan air dan tepung 1 : 1) dipanaskan hingga mencapai suhu 80°C. Hasil campuran tepung dan pati sebanyak 100 gram.

Komposisi tepung dan pati ubi ungu diatur sedemikian rupa sesuai dengan variabel yang ditetapkan, seperti variasi A (100:0); B (90:10); C (80:20); D (70:30); E (60:40). Air yang telah dipanaskan ditambahkan kedalam campuran sambil dipanaskan kembali sedikit demi sedikit di atas kompor listrik. Pemasakan dilakukan sambil diaduk selama 20 menit. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, dan kadar amilosa. Sedangkan, sifat fisika yang dianalisis adalah daya rehidrasi, tekstur (hardness), densitas kamba, dan SEM. Analisis proksimat

Analisa proksimat dilakukan pada produk beras analog berbahan dasar ubi ungu. Analisis proksimat terdiri dari analisa lemak metode ekstraksi, analisis protein metode Kjeldahl, analisis kadar abu, analisis kadar air, serta analisis karbohidrat metode by difference menggunakan metode AOAC (2006) Analisis Lemak

Analisis lemak dilakukan dengan menimbang 3 gram sampel berupa serbuk kering yang dibungkus dengan kertas saring. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan di atasnya diletakkan kondensor. Labu ekstraksi kemudian diisi dengan 350 ml n-hexane dan dipanaskan menggunakan pemanas water bath. Proses ekstraksi lemak dilakukan selama 6 jam. Setelah selesai, kemudian kertas saring berisi sampel dikeluarkan dari extractor dan dikeringkan. Sampel dikeringkan dengan cara di oven dengan suhu 130°C selama 1 jam, kemudian sampel dalam kertas saring ditimbang (AOAC, 2006). Prosentasi lemak dapat diketahui dengan menghitung selisih berat total basah dan berat total kering dibagi dengan berat total basah dikurangi berat kertas saring. Berat total basah dan kering adalah berat sampel ditambah berat kertas saring sebelum dan sesudah dimasukkan oven.

Analisis Protein dengan Metode Kjeldahl

Sebanyak 10 gram sampel ditimbang, dimasukkan ke dalam lagu digester, selanjutnya ditambahkan 10 gram Na2SO4 anhidrit, 5 gram CuSO4.5H2O dan 30 ml H2SO4 98% (AOAC, 2006). Panaskan labu digester di atas kompor dengan posisi sedikit miring agar pemanasan merata, lakukan proses dekstruksi protein hingga larutan berwarna jernih atau hijau muda (hijau pucat). Dinginkan labu, tambahkan aquadest secukupnya, lalu masukkan ke dalam labu distilasi. Tambahkan 4 gram Zn untuk mencegah terjadinya bumping serta percikan. Selama proses distilasi, tambahkan 100 ml larutan NaOH 5 N, selanjutnya distilat ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi asam boraks jenuh sebanyak 150 ml. Proses dilakukan sampai NaOH habis. Untuk menentukan kadar protein, titrasi distilat yang diperoleh menggunakan HCl yang telah distandardisasi terlebih dahulu. Prosentasi protein dapat diketahui dengan menghitung perkalian antara Volume bersih, N HCl, angka 14, dan angka 6,25 kemudian dibagi dengan

Page 21: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

25

berat sampel. Volume bersih adalah selisih volume sampel dengan volume blanko.

Analisis Karbohidrat dengan Metode By Difference

Analisis karbohidrat dilakukan menggunakan metode penghitungan kadar karbohidrat by difference (AOAC, 2006). Prosentasi karbohidrat dapat diketahui dengan menghitung selisih kadar total 100% dengan kadar protein, lemak, abu dan air. Analisis Kadar Abu

Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu ke dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu ruangan. Selanjutnya, 3 – 5 gram sampel ditimbang kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 550°C sampai sampel berubah menjadi abu atau mencapai berat konstan. Kemudian, didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu ruangan secara konstan dan ditimbang (AOAC, 2006). Prosentasi kadar abu dapat diketahui dengan membagi berat abu dengan berat sampel.

Analisis Kadar Air

Cawan kering kosong yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu. Sebanyak 3 gram sampel di letakkan diatas cawan, kemudian ditimbang beratnya. Pastikan oven telah panas dan siap untuk mengeringkan sampel, selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 130°C selama 1 jam. Setelah selesai dikeringkan, cawan dipindah ke dalam desikator. Cawan didinginkan sampai suhu konstan dan hingga berat sampel serta cawan tetap (AOAC, 2006). Prosentase air dapat diketahui dengan menghitung selisih berat total basah dan berat total kering dibagi dengan berat total basah dikurangi berat cawan. Berat total basah dan kering adalah berat sampel ditambah berat cawan sebelum dan sesudah dimasukkan oven. Analisis Kadar Serat

Sampel sebanyak 5 g dimasukan kedalam erlenmeyer 500 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama kurang lebih 30 menit. Lalu ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1,25 N dan dididihkan selama 30 menit. Dalam keadaan panas, sampel disaring dengan kertas Whatman No. 40 setelah diketahui bobot keringnya. Kertas saring yang digunakan, dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 dan etanol 95%. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-110oC sampai bobotnya konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang (AOAC, 2006). Prosentase kadar serat dihitung dengan membagi berat endapan kering dengan berat sampel.

Analisis kadar amilosa

Prinsip pengukuran amilosa adalah berdasarkan pembentukan warna biru akibat reaksi amilosa dengan iod yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Analisis amilosa terdiri dari 2

tahapan yaitu pembuatan kurva standard dan penetapan amilosa pada sampel. Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg, lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 ml, lalu ditambahkan etanol 1 ml dan NaOH 1 N sebanyak 9 ml. Larutan standar didiamkan selama 24 jam dan ditambahkan aquades hingga tanda tera. Larutan standar dipipet masing-masing sebanyak 1,2,3,4, dan 5 ml lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 ml. masing-masing larutan ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak 0,2, 0,4, 0,6, 0,8, dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. larutan ditambahkan aquades hingga tanda tera, dikocok lalu didiambkan selama 20 menit, lalu diukur intensitas warnanya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Penetapan amilosa pada sampel

Sampel beras analog yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml kemudian diberi 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. larutan dibiarkan selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100 C̊ selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air suling menjadi 100 ml, dipipet sebanyak 5 ml dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml yang berisis 60 ml air, kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml I2 2% dan diencerkan sampai volume 100 ml. larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

Analisis daya rehidrasi

Sampel sebanyak 1 gram ditambah 10 ml air dan diaduk, kemudian didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Campuran tersebut kemudian dimasukkan dalam centrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Daya rehidrasi dihitung dengan membagi selisih volume air mula-mula dengan volume supernatant dengan bobot sampel (Handayani et al., 2014). Analisis tekstur (hardness)

Pengujian tekstur menggunakan alat Texture Profile Analysis (TPA). Parameter pada uji tekstur adalah hardness (tingkat kekerasan) dengan menggunakan kecepatan 0,5 mm/s dengan nilai deformasi sebesar 0,2 mm. Analisis densitas kamba

Analisis densitas kamba dilakukan merujuk pada metode yang digunakan oleh Handayani et al. 2014 dengan kombinasi. Sampel dengan ukuran yang sama dimasukkan ke dalam gelas ukur hingga volume 10 ml dan diketuk-ketuk sebanyak 25 kali. Kemudian, sampel tersebut ditimbang. Nilai densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat sampel dengan volume sampel.

Page 22: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

26

Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy) Struktur morfologi beras analog ubi ungu dapat

dilihat menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) (S-4800 scanning electron micrograph, Hitachi High Technologies Corporation, Tokyo, Japan). Analisis Hedonik

Satu per satu sampel diberikan kepada panelis untuk dicicipi. Setelah itu, panelis diminta untuk memberikan penilaian pada kolom kode sampel dengan cara memasukkan nomor (berdasarkan tingkat kesukaan). Nomor 1 digunakan untuk mengindentifikasikan rasa tidak enak, nomor 2 untuk rasa enak, dan nomor 3 untuk rasa sangat enak. Netralkan indra pengecap panelis dengan air putih setelah mencicipi satu sampel. Himbau panelis agar tidak membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. Hasil dan Pembahasan Kandungan gizi beras analog ubi ungu

Kandungan nutrisi dari beras analog ubi ungu dapat dilihat dengan menggunakan analisis proksimat, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1. Hasil analisis lemak menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi pati maka menginisiasi terjadinya interaksi pati dengan molekul asam lemak bebas, sehingga dapat menghasilkan kadar lemak yang tinggi (Prosky and Devries, 1992). Kandungan lemak pada beras analog ubi ungu (1,1101%-1,1233%) masih dibawah beras Delangu. Kadar lemak ini masih lebih kecil dibandingkan beras analog pada penelitian yang dilakukan Noviasari et al. (2013), yaitu sebesar 1,20% -1,96%. Kandungan lemak yang rendah dapat mencegah beras analog menjadi tengik sehingga memiliki masa simpan yang lebih lama.

Total protein dalam beras dapat dilihat pada Tabel 1. Beras analog ubi ungu memiliki kadar protein 4,3395% hingga 9,3470%. Semakin tinggi komposisi pati dalam beras analog, maka kadar protein menjadi semakin rendah karena protein yang larut air sebagian ikut terbuang dalam proses pembuatan pati. Kadar protein tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan beras Delangu sebesar 3,3563%, serta lebih besar dibandingkan dengan beras analog ubi daluga (0,66%) (Lumba, 2012). Hasil analisis kadar karbohidrat beras analog ubi ungu dapat dilihat pada Tabel 1. Karbohidrat dalam beras ubi ungu menyerupai kandungan karbohidrat pada beras Delangu dan beras analog umbi daluga (83%) (Lumba, 2012). Kadar karbohidrat tertinggi terdapat pada sampel E yaitu sebesar 83,6659% dan terendah pada sampel A sebesar 72,9622%.

Kadar abu menunjukkan jumlah mineral yang terdapat di dalam suatu bahan. Hasil analisis kadar abu pada beras analog ubi ungu berkisar antara 2,6231% hingga 2,8216% (Tabel 1). Beras Delangu memiliki kadar abu sebesar 3,0374% dan lebih rendah bila dibandingkan dengan beras analog ubi ungu. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar serat kasar beras analog ubi ungu adalah 1,2521%-1,3367%. Semakin tinggi kadar pati dalam komposisi beras analog ubi ungu, maka kadar serat kasar semakin tinggi. Hal ini karena adanya pati resisten yaitu jenis pati yang tidak tercerna (resisten) dalam saluran sistem pencernaan manusia. Kadar air beras analog ubi ungu (Tabel 1) berkisar antara 8,0497% hingga 13,9576%. Kadar air ini telah mendekati kadar air Beras Delangu sebesar 11,8082%. Angka kadar air yang aman untuk penyimpanan beras yaitu <14%, sehingga mampu mencegah pertumbuhan kapang yang sering hidup pada serealia/biji-bijian.

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Beras Analog Ubi Ungu Sampel Lemak (%bb) Protein (%bb) Air

(%bb) Abu

(%bb) Karbohidrat

(%bb) Serat Kasar (%)

A 1,1101 9,3470 13,9576 2,6231 72,9622 1,2521 C 1,1145 6,7337 10,3985 2,7769 78,9764 1,3365 E 1,1233 4,3395 8,0497 2,8216 83,6659 1,3367

Beras Delangu

1,3078 3,3563 11,8082 3,0374 80,4903 1,5063

Tabel 2. Hasil Analisis Kadar Amilosa Beras Analog Ubi Ungu

Sampel Komposisi Kadar amilosa (%) Tepung (%) Pati (%) A 100 - 10,65 B 90 10 13,90 C 80 20 15,56 D 70 30 16,40 E 60 40 20,39

Beras Delangu - - 25,13 Tabel 3. Hasil Analisis Densitas Kamba Beras Analog Ubi Ungu

Beras Densitas Kamba (g/ml) Sampel A 0,486 Sampel B 0,464 Sampel C 0,638 Sampel D 0,598 Sampel E 0,514

Beras Delangu 0,810

Page 23: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

27

Pengaruh komposisi pati terhadap kadar amilosa beras analog ubi ungu

Amilosa adalah senyawa polimer glukosa yang memiliki rantai lurus dan tidak bercabang (Zhou et al., 2013). Amilosa merupakan faktor penting yang mempengaruhi kekuatan gel pati karena akan membentuk struktur bahan pangan menjadi keras setelah dingin (Fitriyanto and Putra, 2013). Kadar amilosa yang terkandung di dalam bahan baku pembuatan beras analog ubi ungu mempengaruhi sifat dari beras dan nasi yang dihasilkan, seperti tingkat kepulenan dan sifat fungsional (Noviasari et al., 2013). Kadar amilosa menentukan tekstur dari nasi yang dihasilkan, pera tidaknya nasi, pulen tidaknya nasi, cepat mengeras serta lekat atau tidaknya nasi. Semakin tinggi kadar amilosa yang terdapat pada beras, maka akan menghasilkan nasi dengan tingkat pera yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar amilosa beras analog ubi ungu berkisar antara 10,65% – 20,39%.

Semakin tinggi komposisi pati dalam beras analog, maka semakin tinggi kandungan amilosa, dan tekstur beras semakin pera atau keras. Berdasarkan klasifikasi kandungan amilosa, beras dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok amilosa rendah (12,1% – 20,0%), kelompok amilosa sedang (20% – 24%), dan kelompok amilosa tinggi (>25%) (Juliano, 1994). Beras analog ubi ungu merupakan beras dengan amilosa rendah. Beras yang mengandung amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang pulen dan tekstur yang lunak (Budijanto dan Yuliyanti, 2002). Amilosa merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus dan tidak bercabang. struktur tersebut menyebabkan amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan sulit untuk dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004). Kadar amilosa yang rendah akan membuat nasi semakin mudah untuk dicerna.

Figur 1. Hasil Analisis Daya Rehidrasi Beras Analog Ubi Ungu Daya rehidrasi beras analog ubi ungu

Rehidrasi menunjukkan kemudahan penyerapan air dan kecepatan rekonstitusi (Nugroho et al., 2006). Daya rehidrasi yang tinggi memerlukan jumlah air yang lebih sedikit untuk proses rehidrasinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya rehidrasi suatu produk instan adalah jenis bahan dasar dan komposisi kimianya (Slamet, 2011). Figur 1 menunjukkan nilai

daya rehidrasi dari beras analog ubi ungu berkisar antara 1,0 – 1,8 ml/g. Daya rehidrasi paling tinggi dimiliki oleh sampel E sebesar 1,8 ml/g dengan komposisi pati sebesar 40 %. Komposisi pati yang tinggi dapat meningkatkan daya rehidrasi. Kemampuan pati untuk mengikat air dipengaruhi oleh gugus hidroksil bebas. Semakin banyak gugus hidroksil, maka semakin banyak jumlah air yang terikat dengan pati, sehingga daya rehidrasi menjadi semakin tinggi. Widowati et al. (2010) menyatakan bahwa bahan pangan dengan kadar pati yang tinggi akan semakin mudah menyerap air. Hal ini disebabkan oleh tersedianya molekul amilopektin yang bersifat reaktif terhadap molekul air, sehingga jumlah air yang terserap ke dalam bahan pangan semakin banyak. Analisis Densitas Kamba Beras Analog Ubi Ungu

Densitas kamba adalah pengukuran berat jenis produk kering yang dihitung berdasarkan bobotnya dalam suatu wadah (Schutyser et al., 2015). Densitas kamba dipengaruhi oleh densitas padatan, geometri, ukuran, dan sifat permukaan dari partikel individunya (Fellows, 2002). Suatu bahan dinyatakan kamba apabila memiliki nilai densitas kamba yang rendah. Densitas kamba yang rendah (voluminous) menunjukkan bahwa dalam volume tertentu yang sama, produk tersedia dalam berat yang lebih sedikit dan menunjukkan kepadatan gizi yang rendah pula. Hal ini berarti bahwa semakin rendah nilai densitas kamba, maka bahan pangan tersebut akan cenderung lebih cepat memberi rasa kenyang, akan tetapi, asupan gizinya belum dapat terpenuhi (Handayani et al. 2014; Arifianti, 2012).

Figur 2. Hasil Analisis Fisik Tekstur (Hardness) Beras Analog Ubi Ungu

Tabel 3 menunjukkan nilai densitas kamba dari beras analog ubi ungu. Nilai densitas kamba beras analog pada berbagai komposisi (0,464-0,598 g/ml) lebih rendah bila dibandingkan dengan beras Delangu (0,810 g/ml). Beras analog ubi ungu memiliki berat yang lebih kecil dibandingkan beras Delangu pada volume yang sama.

Hasil analisis densitas kamba beras analog ubi ungu bertujuan untuk mengetahui volume dan porositas beras. Berdasarkan data yang tersaji di atas, beras

Page 24: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

28

analog sampel C memiliki densitas kamba yang lebih besar dibanding beras analog sampel lain. Hal ini menunjukkan bawa porositas dari beras analog tersebut lebih rendah, di mana porositas dari beras analog ini dipengaruhi oleh kandungan gizi beras analog maupun proses pembuatan yang meliputi pengeringan. Proses pengeringan membuat beras analog kehilangan air sehingga beras analog menjadi lebih poros.

Selama proses pemasakan beras, terjadi pengembangan atau ekspansi beras. Pengembangan atau ekspansi beras selama pemasakan akan meningkatkan volume nasi, tetapi menurunkan massa. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat ekspansi beras, akan menyebabkan densitas kamba semakin rendah (Noviasari et al., 2013). Dalam penelitian ini, beras analog ubi ungu sampel C memiliki densitas kamba yang lebih rendah dibanding beras Delangu. Densitas kamba yang tergolong rendah ini akan membuat konsumen menjadi cepat kenyang, namun asupan gizinya menjadi kurang (Handayani et al., 2014; Adzim et al., 2014).

Figur 3. Hasil Nilai Rata-Rata Uji Hedonik Parameter Aroma

Figur 4. Hasil Nilai Rata-Rata Uji Hedonik Parameter Rasa Karakteristik tekstur beras analog ubi ungu

Pengujian tekstur dilakukan menggunakan Texture Profile Analysis (TPA). Hardness (tingkat kekerasan) merupakan salah satu parameter uji tekstur. Kekerasan (hardness) adalah gaya yang berupa tekanan atau tegangan yang diperlukan untuk merubah bentuk fisik bahan (Chen et al., 2012). Figur 2 memperlihatkan nilai tingkat kekerasan pada produk beras analog ubi ungu.

Nilai kekerasan beras ubi ungu pada berbagai komposisi berkisar antara 8,4167 Newton hingga 9,9

Newton. Sampel yang memiliki tekstur paling keras yaitu sampel E (9,9 Newton) sedangkan sampel dengan tekstur paling rapuh yaitu sampel A sebesar 8,4167 Newton. Beras Delangu membutuhkan energi sebesar 9,28335 Newton untuk mengalami deformasi sebesar 0,2 mm.

Figur 2 juga menunjukkan bahwa tingkat kekerasan beras analog ubi ungu pada sampel B,C,D,E lebih tinggi bila dibandingkan dengan beras Delangu. Parameter tingkat kekerasan berpengaruh sangat besar dalam beras analog karena akan menentukan konsistensi bentuk beras analog yang biasanya rawan pecah (hancur). Semakin tinggi kandungan pati pada komposisi beras analog menunjukkan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi beras analog yang rendah pati, seperti yang ditunjukkan oleh Figur 2. Hal ini sesuai dengan fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya pada pengaruh amilosa terhadap tekstur beras analog yang dihasilkan. Uji Hedonik Parameter Aroma

Pada pengujian hedonik terhadap parameter aroma (Figur 3), beras analog terbaik terdapat pada sampel A (2,15), D (2,2), dan E (2,25). Pada formula ini, dihasilkan aroma beras analog yang tidak begitu kuat, sedangkan formula lainnya cenderung beraroma ubi ungu yang sangat kuat. Pada umumnya, konsumen kurang menyukai aroma yang menyengat. Sedangkan, berdasarkan hasil analisis varian, diperoleh nilai F hitung (0,1286 %) yang lebih kecil dibanding F tabel 5% (2,71%) dan F tabel 1% (4,1%). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada tingkat 5% dan tidak ada beda nyata antar sampel pada tingkat 1%. Perlakuan yang diberikan pada tiap sampel tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada rasa beras analog ubi ungu.

Figur 5. Hasil Nilai Rata-Rata Uji Hedonik Parameter Tekstur Uji Hedonik Parameter Rasa

Pada pengujian hedonik terhadap parameter rasa (Figur 4), beras analog dengan nilai terbaik terdapat pada sampel C (2,2), D (2,4), dan E (2,35). Penilaian panelis pada sampel tersebut dengan tingkat penerimaan enak menuju sangat enak dikarenakan beras analog pada formula ini memiliki rasa yang hambar sehingga mendekati rasa beras pada umumnya. Berdasarkan hasil analisis varian, diperoleh

Page 25: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

29

nilai F hitung sebesar 0,95716% yang lebih kecil dibandingkan F Tabel 5% dan F Tabel 1% berturut-turut 2,71% dan 4,1%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antar sampel pada tingkat 5% dan 1%. Perlakuan yang diberikan pada tiap sampel tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada rasa beras analog ubi ungu.

Figur 6. Hasil Nilai Rata-Rata Uji Hedonik Parameter Kenampakan

Figur 7. Hasil Nilai Rata-Rata Uji Hedonik Parameter Keseluruhan Uji Hedonik Parameter Tekstur

Pada hasil pengujian hedonik beras analog terhadap parameter tekstur (Figur 5), diperoleh nilai terbaik yang terdapat pada sampel A (2,25), B (2,3), dan C (2,3). Penilaian panelis terhadap tekstur beras analog terbaik dengan penerimaan enak menuju sangat enak. Perlakuan yang diberikan pada tiap sampel tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada rasa beras analog ubi ungu. Pada umumnya, konsumen cenderung menyukai nasi yang tidak pera, namun juga tidak terlalu pulen. Formula beras analog pada sampel A, B, dan C menghasilkan nasi dengan tekstur yang mendekati nasi pada umumnya. Hasil analisis varian diperoleh nilai F hitung sebesar 1% lebih kecil dibandingkan F Tabel 5% dan F Tabel 1% berturut-turut yaitu 2,71% dan 4,1%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antar sampel pada tingkat 5% dan 1%. Perlakuan yang diberikan kepada masing-masing sampel tidak memberikan perbedaan yang nyata pada tekstur beras analog ubi ungu. Uji Hedonik Parameter Kenampakan

Pada hasil pengujian nasi dari beras analog ubi ungu terhadap parameter kenampakan (Figur 6),

diperoleh sampel B (2,05) dan C (2,3) sebagai beras analog dengan nilai terbaik. Pada formula beras analog ini, dihasilkan kenampakan beras analog ubi ungu yang menyerupai bentuk dari beras biasa. Pengujian hedonik juga dilakukan menggunakan analisis varian. Berdasarkan hasil analisis varian, diperoleh nilai F hitung sebesar 0,7435% lebih kecil dibandingkan F tabel 5% dan F tabel 1% berturut-turut yaitu 2,71% dan 4,1%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antar sampel pada tingkat 5% dan 1%. Perlakuan yang diberikan pada masing-masing sampel tidak memberikan perbedaan nyata pada kenampakan beras analog ubi ungu. Uji Hedonik Keseluruhan

Berdasarkan nilai rata-rata hasil pengujian hedonik secara keseluruhan (Figur 7), diperoleh sampel C sebagai beras analog dengan nilai terbaik dari parameter aroma, rasa, tekstur, dan kenampakan. Penilaian secara keseluruhan dilakukan berdasarkan aroma, rasa, tekstur, dan kenampakan nasi dari beras analog ubi ungu. Pada sampel C, beras analog memiliki rasa, tekstur, dan kenampakan yang menyerupai beras pada umumnya, walaupun masih beraroma ubi ungu. Kandungan amilosa beras analog sebesar 15,56% termasuk ke dalam beras yang tidak pera dan tidak pulen pula. Sampel C memiliki kadar karbohidrat (78,9764%) lebih kecil dibandingkan kadar karbohidrat pada beras Delangu, namun memiliki kadar protein yang lebih besar dibandingkan beras Delangu yaitu 6,7337% (Tabel 1).

Figur 8. Hasil Analisis SEM Beras Analog Ubi Ungu Sampel C

Figur 9. Hasil Analisis SEM Beras Delangu Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy) Berdasarkan hasil uji hedonik keseluruhan (Figur 7), diperoleh bahwa komposisi beras analog terbaik terdapat pada sampel C. Sampel C (Figur 8) dan beras

Page 26: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.210

30

Delangu (Figur 9) dianalisis SEM guna mengetahui struktur mikroskopik dari keduanya. Kesimpulan

Berdasarkan nilai rata-rata hasil hedonik secara keseluruhan, diperoleh sampel C (80% tepung, 20% pati) sebagai beras analog dengan nilai terbaik. Pada sampel ini, beras analog memiliki rasa, tekstur, dan kenampakan yang menyerupai beras pada umumnya, walaupun masih beraroma ubi ungu. Hasil analisis kimia menunjukan bahwa beras analog terbaik pada penelitian ini mengandung lemak 1,1145%, protein 6,7337%, air 10,3985% , abu 2,7769%, karbohidrat 78,9764%, dan serat kasar 1,3365%. Kandungan amilosa beras analog sebesar 15,56%, sehingga termasuk dalam golongan beras beramilosa rendah. Hasil analisis fisik beras analog terbaik pada penelitian ini menunjukkan bahwa beras analog ubi ungu terbaik memiliki daya rehidrasi 1,5, tekstur (kekerasan) sebesar 9,75 Newton, dan densitas kamba 0,638 gr/ml. Ucapan Terimakasih

Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Teknik Universitas Diponegoro yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Penelitian Dasar Tahun 2016 berdasarkan SK Rektor Universitas Diponegoro Nomor: 563/UN7.P/HK/2016. Daftar Pustaka Adzim, M.F., Putri, S.K., Handayani, N.A. 2014.

Fortifikasi FeSO4 pada tepung ubi ungu (ipomoea batatas l.) sebagai bahan dasar pembuatan bubur bayi instan. Prosiding Seminar Rekayasa Kimia dan Proses.

Arifianti, A., Katri, A. R. B., Rachmawanti, A. D., Riyadi, P.N.H. 2012. Karakterisasi bubur bayi instan berbahan dasar tepung millet (Panicum sp) dan tepung beras hitam (Oryza sativa L. Japonica) dengan flavor alami pisang ambon (Musa paradisiaca var. sapientum). Jurnal Teknosains Pangan, 1(1), 1-8.

AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 2006. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC.

Budijanto, S., Yuliyanti. 2012. Studi persiapan tepung sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) dan aplikasinya pada pembuatan beras analog. Jurnal Teknologi Pertanian, 13, 177–186.

Chen, J., Khandelwal, N., Liu, Z., Funami, T. 2013. Influences of food hardness on the particle size distribution of food boluses. Archives of oral biology, 58(3), 293-298.

Fellows, P.J. 2009. Food processing technology: principles and practice. Elsevier.

Fitriyanto, M., Putra, S.R. 2013. Karakterisasi beras buatan (artificial rice) dari campuran tepung sagu (Metroxylon sp.) dan tepung kacang hijau. Jurnal Sains dan Seni Pomits, 2, 1–3.

Handayani, N. A., Santosa, H., Kusumayanti, H. 2014. Fortifikasi inorganik zink pada tepung ubi jalar ungu sebagai bahan baku bubur bayi instan. Reaktor, 15(2), 111-116

Herawati, H., Widowati, S. 2009. Karakteristik beras mutiara dari ubi jalar (Ipomea batatas). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 5 : 37-44.

Juliano, B.O., Hicks, P.A., Ton That, T. 1994. Utilization of rice functional properties to produce rice food products with modern processing technologies. International Rice Commission Newsletter (FAO), 39, 163-178.

Lila, M. A. 2004. Anthocyanins and human health: an in vitro investigative approach. Journal of Biomedicine and Biotechnology, 5, 306-313.

Lumba, R., Mamuaja, C.F., Djarkasi, G.S.S., Sumual, M.F. 2012. Kajian pembuatan beras analog berbasis tepung umbi daluga (Cyrtosperma merkusii (Hassk) Schott). Jurnal Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, 1-13

Prosky, L., DeVries, J.W. 1992. Controlling dietary fiber in food products. New York: Van Nostrand Reinhold

Noviasari, S., Kusnandar, F., Budijanto, S. 2013. Pengembangan beras analog dengan memanfaatkan jagung putih. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 24(2), 194–200.

Nugroho, E.S., Tamaroh, S., Setyowati, A. 2006. Pengaruh konsentrasi gum arab dan dekstrin terhadap sifat fisik dan tingkat kesukaan temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb) Madu Instan, LOGIKA, 3(2), 78-86.

Rimbawan dan Siagian, A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penebar Swadaya.

Samad, Y. 2003. Pembuatan beras tiruan (artificial rice) dengan bahan baku ubi kayu dan sagu. Jurnal Sains dan Teknologi, 2, 36-40.

Slamet, A. 2011. Fortifikasi Tepung Wortel dalam Pembuatan Bubur Instan untuk Peningkatan Provitamin A. Agrointek, 5(1), 1-8.

Schutyser, M.A.I., Qiu, J., Almeida-Rivera, C., Khalloufi, S., van Dalen, G., Benali., M. 2015. Porosity Predictions of Processed Food Materials using Experimental Data of Bulk Density and Volume Shrinkage. In Proceedings Eurodrying conference.

Sumardiono, S., Pudjihastuti, I., Poerwoprajitno, A.R., Suswadi, M.S. 2014. Physichocemical Properties of Analog Rice from Composite Flour: Cassava, Green Bean and Hanjeli. World Applied Sciences Journal, 32(6), 1140-1146.

Widowati, S., Nurjanah, R., Amrinola, W. 2010. Proses pembuatan dan karakterisasi nasi sorgum instan. Prosiding Pekan Serealia Nasional, 35-48

Widyaningtyas, M., Susanto, W.H., 2014. Pengaruh jenis dan konsentrasi hidrokoloid (carboxy methyl cellulose, xanthan gum, dan karagenan) terhadap karakteristik mie kering berbasis pasta ubi jalar varietas ase kuning. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(2), 417-423.

Zaeroni, R., Rustariyuni, S.D. 2016. Pengaruh produksi beras, konsumsi beras dan cadangan devisa terhadap impor beras di Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana, 5(9), 993-110

Zhou, X., Wang, R., Zhang, Y., Yoo, S. H., Lim, S.T. 2013. Effects of amylose chain length and heat treatment on amylose–glycerol monocaprate complex formation. Carbohydrate polymers, 95(1), 227-232.

Page 27: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.209

19

Artikel Penelitian Hubungan Sanitasi Dengan Status Bakteriologi Koliform dan Keberadaan Salmonella sp pada Jajanan di Sekolah Dasar Wilayah Kecamatan Tembalang, Semarang The Relations with Sanitation and the Status of Bacteriological (Coliform and Existence Salmonella sp) in Region Elementary School in Tembalang, Semarang Ririh Citra Kumalasari1, Martini1, Susiana Purwantisari2 1 Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang 2Jurusan Biologi, Fakultas Sain dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected])Artikel ini dikirim pada tanggal 20 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 29 Desember 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Foodborne disease adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme hidup yang

masuk bersama makanan. Produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan cemaran bakteri patogen dapat mengakibatkan terjadinya foodborne disease. Anak sekolah merupakan usia yang rentan terhadap infeksi bakteri sehingga membutuhkan makanan yang cukup secara kuantitas dan kualitas agar memiliki keadaan atau status gizi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sanitasi dengan kontaminasi bakteri pada makanan jajanan di kantin sekolah dasar yang berada Kecamatan Tembalang. Penelitian ini dilakukan berdasarkan analitik observasional dan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian sejumlah 48 jajanan yang dijual di sekolah dasar. Pemeriksaan kontaminasi bakteri didasarkan angka koliform dan Salmonella sp. Data dianalisis dengan Chi-squre test. Hasil penelitian menunjukkan jajanan yang dijajakan di kantin Sekolah Dasar yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 85% karena mengandung koliform, dan sebanyak 40% telah terkontaminasi Salmonella. Disimpulkan bahwa faktor sanitasi dan hygiene penjual berhubungan dengan kontaminasi bakteri pada makanan jajanan. Pendidikan kesehatan tentang pengelolaan makanan yang aman bagi anak sekolah perlu diberikan pada penjual makanan di sekolah dasar.

Kata kunci: bakteri, jajanan, koliform, salmonella

Abstract Foodborne disease is a disease caused by pathogenic microorganisms that enter with food. Food

products that do not meet the requirements of quality, safety and contamination of pathogenic bacteria may result in foodborne disease. School-age child is susceptible to bacterial infections and need sufficient food in quantity and quality so as to have a state or a good nutritional and can strengthen the body's immune system. This study aims to determine the relationship between sanitation and bacterial contamination of street food in the school cafeteria in Tembalang, Semarang. This research used observational analytic and cross sectional approach. The research used 48 sample of snacks that were sold in elementary schools. Examination was done to calculate coliform bacteria and Salmonella sp. Data were analyzed with Chi-squre test. The results showed that 85% of snacks was contaminated by Coliform and 40% of snack was contaminated with Salmonella. The factors associated with bacterial contamination and bacteriological status in elementary school snacks were knowledge of the seller, the seller sanitation practices, as well as sanitary place to sell. Hygienic education on management to prepare food should be conducted.

Keywords: bacteria, snack, coliform, salmonella, foodborne disease

Pendahuluan Insidensi foodborne disease di dunia meningkat

terus dan terjadi outbreak. Di Indonesia, foodborne disease pada tahun 2014 menduduki peringkat pertama dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit. Posisi pertama yaitu penyakit diare dan gastroenteritis karena infeksi tertentu, posisi kedua demam tifoid dan paratifoid menduduki posisi ketiga. Hasil Riset Kesehatan menyatakan, angka prevalensi nasional untuk diare adalah sebesar 3,5%. Dimana provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi diare klinis >9% serta menempati urutan ketiga jumlah perkiraan kasus diare yakni sebanyak

1.337.427 jiwa pada tahun 2015 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012). Jumlah penderita diare di Kota Semarang tahun 2015 sebanyak 42.349 penderita dengan angka kesakitan sebesar 23 per 1000 penduduk. Dari angka tersebut cakupan diare pada golongan umur lebih dari 5 tahun tercatat sebanyak 26.264 penderita. Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang pada tahun 2015 menunjukkan bahwa diantara 17 kecamatan, Kecamatan Tembalang memiliki angka kejadian diare yang masih cukup tinggi yaitu 28-55 per 1000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2013)

Page 28: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.209

20

Di Indonesia, demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kejadian antara 350-810 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid sebesar 1,6%. Berdasarkan data dari WHO, Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan demam tifoid yang cukup tinggi yaitu 2,16%. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015 menyatakan demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2015 yaitu sebanyak 41 (Syahrurachman, 2010). Data dari WHO (2015) dan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kasus demam tifoid di wilayah Kecamatan Tembalang sebanyak 788 kasus dengan kasus pada usia sekolah dasar (5-12 tahun) sebesar 298 kasus. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dyah Puji pada tahun 2015 di jajanan sekitar SD di wilayah Semarang, kontaminasi E. coli positif pada makanan 61,3 %, pada minuman sebesar 52% sedangkan kualitas air bersih 68% yang tidak memenuhi syarat. (Hidayat, 1995). Pada penelitian yang dilakukan Endah Setyorini pada jajanan kantin SD di wilayah Gunung Pati Kabupaten Semarang, yang memiliki MPN melebihi batas yang ditentukan sekitar 69,2 % (Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 2004)

Bakteri sangat erat kaitannya dengan kondisi kebersihan, bahkan adanya bakteri indikator sanitasi (Fardiaz, 2000) Salah satu bakteri yang sering dijadikan indikator terjadinya pencemaran makanan adalah Koliform. Bakteri-bakteri indikator sanitasi umumnya adalah bakteri yang lazim hidup pada usus manusia. Salmonella merupakan bakteri indikator keamanan pangan. Hal ini karena semua serotipe Salmonella yang diketahui di dunia ini bersifat patogen. Anak di bangku Sekolah Dasar termasuk kelompok umur yang rentan terhadap kejadian penyakit, maka perlu diperhatikannya asupan yang masuk dalam diri anak. Jika kualitas makanan jajanan buruk akan mempengaruhi proses belajar mengajar dan berdampak pada prestasi belajar anak di Sekolah. Selain itu, anak Sekolah Dasar masih dalam masa tumbuh kembang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilaksanakannya suatu penelitian untuk mengetahui total kuman Koliform dan keberadaan Salmonella sp pada jajanan di Sekolah Dasar Kecamatan Tembalang, Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis status mikrobiologis makanan yang dijual di sarana jajanan Sekolah Dasar di Kecamatan Tembalang

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain studi cross sectional dengan sampel berupa makanan yang dijual di kantin dan luar kantin salah satu Sekolah Dasar di wilayah

Kecamatan Tembalang. Populasi dari penelitian ini adalah 48 Sekolah Dasar di Wilayah Kecamatan Tembalang dengan pengambilan teknik pengambilan total sampling. Sampel diperoleh dengan cara membeli semua makanan yang dijual di kantin dan di luar kantin berupa gorengan dan cilok dengan wadah sesuai yang digunakan pedagang pada saat menjual makanannya sejumlah 96 sampel makanan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kesehatan Masyarakat. Metode yang digunakan adalah kultur. Untuk pemeriksaan Salmonella sp digunakan media Selenite Enrichment Broth dan Salmonella Shigella Agar (SSA). Sampel ditanam pada media Selenith Enrichmen Broth lalu diinkubasi selama 24 jam. Hasil perbanyakan ditanam pada media SSA lalu diinkubasi kembali selama 24 jam. Selanjutnya koloni tersangka ditanam ke media biokimia yang terdiri Simmon Citrate, Indol, Motil, dan TSIA lalu diinkubasi 24 jam kemudian dilakukan pembacaan hasil.Selain dengan pengambilan sampel penelitian ini juga mengukur sanitasi penjual makanan yang di golongkan pada pengetahun sanitasi, praktik sanitasi, kualitas makanan, penyimpanan makanan, dan sanitasi tempat. Hasil dari laboratorium dan observasi di analisis secara univariat dan bivariat dengan menghubungkan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan uji chi square.

Hasil dan Pembahasan

Jumlah Sekolah Dasar di Kecamatan Tembalang sebanyak 48 Sekolah Dasar. Namun terdapat 2 Sekolah yang telah tereliminasi dikarenakan tidak ditemukannya sampel makanan yang dimaksud oleh peneliti yaitu gorengan pada kantin sekolah dan cilok (makanan asal daerah Jawa Barat yang terbuat dari tapioka) pada pedagang kaki lima. Dua SD ini yaitu MI Falahiyah di Kelurahan Rowosari dan MI Iftahul Ulum di Kelurahan Sambiroto. Sedangkan terdapat 2 Sekolah Dasar yang tidak ada sampel gorengan yaitu SD Al-Azzam dan Bina Harapan. Didapat jumlah sampel cilok 46 dan sampel gorengan 44, maka jumlah sampel keseluruhan sebanyak 90. Gambaran status bakteriologi yang diukur dari standar Koliform dengan metode MPN dan menggunakan tabel Mac Crady serta melihat keberadaan Salmonella sp.

Sebagian besar sampel makanan yang diambil dari kantin dan PKL di lingkungan sekolah tidak memenuhi syarat MPN Koliform (67,8%), dalam Tabel 1. Cilok lebih besar MPN yang tidak memenuhi syarat jika dibanding dengan jajanan kantin (70,0%). Besar sampel yang terkontaminasi Salmonella sebanyak 37,8% dan kemudian diidentifikasi spesies Salmonella yang ditemukan 4 jenis Salmonella yang ditemukan (Tabel 3). Oleh karena itu didapatkan status bakteriologi pada jajanan disekitar sekolah dasar. Sebagian sampel makanan terkontaminasi bakteri yaitu Koliform dengan MPN tidak memenuhi syarat dan ditemukannya Salmonella sebesar 82,2 %.

Page 29: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.209

21

Terdapat 4 jenis Salmonella yang ditemukan dan spesies Salmonella yang banyak ditemukan pada sampel adalah jenis Salmonella choleraesius sebanyak 50%. Sedangkan Salmonella parathypi A dan B yang menyebabkan demam tifoid juga banyak ditemukan. Adapula jenis Salmonella yang masih jarang yaitu Salmonella gallinarum pada 1 sampel makanan (3,0 %)

Pengetahuan Penjual gorengan di kantin dan cilok di lingkungan sekolah dengan diberikan 10 pertanyaan dengan masing-masing point memiliki skor 10, maka hasil dari pengetahuan penjual gorengan di kantin sekolah. Penjual jajanan di sekolah sebagian besar memiliki pengetahuan yang kurang baik mengenai sanitasi makanan sebanyak 58 orang (64,5 %), seperti dalam Tabel 4. Item pertanyaan dalam penentuan pengetahuan terdiri dari sanitasi, makanan sehat, mencuci tangan, kebersihan diri, dan sanitasi tempat. Menurut Notoatmodjo, pendidikan dan pengetahuan yang cukup tinggi dapat berguna untuk membina proses intelektual penjamah makanan, dan pengetahuan responden tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terhadap sanitasi perorangan. Semakin besar pengetahuan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar keinginannya untuk dapat memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan (Supardi, 2009) Tabel 3 Jenis spesies Salmonella yang teridentifikasi pada Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar No Jenis Salmonella Frekuensi Persentase

(%) 1. Salmonella choleraesius 17 50,0 2. Salmonella parathypi A 8 23,5 3. Salmonella parathypi B 8 23,5 4. Salmonella gallinarum 1 3,0

Sebagian besar penjual belum mengetahui

bagaimana tindakan penanganan makanan, belum mengetahui penggunaan alat pelindung dan alat bantu capitan ketika menjamah makanan, dan belum mengetahui bagaimana seharusnya cara penyimpanan makanan yang telah matang. Hasil uji statistik hubungan antara pengetahuan penjual makanan dengan status bakteriologi diperoleh nilai p yaitu 0,035

(p<0,05), ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan penjual dengan status bakteriologi pada gorengan di kantin Sekolah Dasar di Kecamatan Tembalang.

Dalam penentuan praktik sanitasi, peneliti melakukan observasi penggunaan alat-alat serta menanyakan kepada responden terkait kebiasaan yang dilakukan dalam menerapkan sanitasi makanan di sekolah dasar tersebut. Praktik sanitasi dikatakan baik apabila penjual telah menerapkan lebih dari 50 % parameter (Tabel 4) yang telah ditentukan, maka hasil dari observasi dan kuesioner terkait praktik sanitasi. Penjual gorengan di kantin Sekolah dan cilok di lingkungan sekolah sebagian besar belum menerapkan praktik sanitasi sebesar 60 orang (54,5 %) dalam menentukan praktik sanitasi terdiri dari beberapa hal diantaranya penggunaan celemek, penggunaan tutup kepala, mencuci tangan, kondisi lap, dan kebersihan diri. Penjamah makanan jajanan adalah orang yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan makanan dan peralatannya sejak persiapan hingga penyajian, penjual gorengan merupakan penjamah utama gorengan (Notoatmodjo, 2010) Tabel 4 Gambaran Pengetahuan, Praktik dari responden penelitian dan Kualitas Makanan jajanan Anak Sekolah Dasar Item Pernyataan Frekuensi Persentase

(%) Pengetahuan Kurang baik 58 64,5 Baik Praktik Sanitasi Tidak Menerapkan Menerapkan Kualitas Makanan Tidak Baik Baik Sanitasi Tempat Tidak Sesuai Sesuai

32

60 30

35 55

56 34

35,5

66,7 33,3

38,8 61,2

64,0 36,0

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada

penjual gorengan di kantin Sekolah Dasar di Kecamatan Tembalang, beberapa check list praktik

Tabel 1 Kontaminasi Bakteri pada Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar Jenis Makanan Parameter

Koliform Salmonella sp TMS MS Ditemukan Tidak

f % f % f % f % Gorengan Kantin 29 66,0 15 34,0 15 34,0 29 66,0 Cilok 32 70,0 14 30,0 19 41,3 27 58,7 Total 61 67,8 29 32,2 34 37,8 56 62,2

Keterangan : TMS = Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan, MS = Memenuhi Syarat Kesehatan Tabel 2. Status Kontaminasi Bakteri Berdasarkan Parameter koliform dan Salmonella pada Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar

Jenis Makanan Status Bakteriologi Jajanan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Memenuhi Syarat (MS)

f % f % Gorengan 37 84,1 7 15,9 Cilok 37 80,0 9 20,0 Total 74 82,2 16 17,8

Page 30: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.209

22

sanitasi diamati. Beberapa praktik sanitasi yang berhubungan dengan kontaminasi bakteri dengan nilai p<0,05 adalah penggunaan celemek, mencuci tangan sebelum menangani makanan, dan kondisi lap. Sedangkan untuk penggunaan penutup kepala dan kebersihan kuku tidak berhubungan dengan kontaminasi bakteri. Pada hasil Penelitian Rahmawati (2011) menyatakan bahwa penggunaan celemek dengan kontaminasi bakteri dengan p=0,039 (Rahmawati, 2011). Penelitian oleh Susanna dan Hartono (2003) di wilayah Jakarta mencatat 43% pedagang makanan tidak melakukan cuci tangan baik sebelum dan setelah menjamah makanan. Kebiasaan tersebut dapat menjadi sumber kontaminan terhadap kebersihan makanan yang ditanganinya.

Dalam penentuan kualitas bahan makanan, peneliti melakukan menanyakan kepada responden terkait kualitas bahan makanan. Kualitas makanan dikategorikan baik apabila memenuhi lebih dari 50 % parameter yang telah ditentukan. Sebagian besar jajanan di lingkungan sekolah memiliki kualitas makanan yang baik sebesar 55 orang (61,2%). Hal ini didasarkan pada kualitas bahan makanan, kualitas pengolahan, dan kualitas penyimpanan. Dan yang merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas penyimpanan makanan. Hasil analisis bivariat oleh Rahmawati (2011) menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara penyimpanan makanan dengan kontaminasi bakteri pada jajanan (p=0,015) di kantin Sekolah Dasar Kecamatan Banyumanik (Rahmawati, 2011). Namun berbeda dengan penelitian Uly (2007) yang menyebutkan ada hubungan antara penyimpanan makanan dengan keberadaan bakteri Salmonella dengan nilai p=0,03 (Ray, 2001)

Dalam penentuan sanitasi tempat, peneliti melakukan observasi lingkungan sekitar kantin dan peralatan sanitasi penunjang. Sanitasi tempat dikategorikan baik apabila memenuhi lebih dari 50 % parameter yang telah ditentukan, maka hasil dari observasi terkait sanitasi tempat penjual gorengan di kantin sekolah sebagian besar memiliki sanitasi tempat berjualan yang tidak sesuai sebesar 28 orang (64,0 %). Dalam penentuan sanitasi tempat terdiri dari jarak sumber pencemar, kondisi tempat sampah, dan keberadaan vektor. Jarak sumber pencemar berhubungan dengan kontaminasi bakteri. Sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa jarak sumber pencemar mempengaruhi kontaminasi kuman pada jajanan di kanti SD dengan nilai p=0,023 (Hidayat, et al.,1995). Kesimpulan

Sampel makanan yang memiliki angka Most Probable Number Koliform tidak memenuhi syarat sebanyak 67,8% dan kontaminasi bakteri Salmonella sp pada jajanan di Sekolah Dasar Kecamatan Tembalang 37,8% sehingga status bakteriologi makanan jajanan di Sekolah Dasar yang terkontaminasi sebanyak 82,2 %. Dalam penelitian mikrobiologi penanaman bakteri Salmonella ditemukan 4 jenis

Salmonella pada jajanan kontaminan, yaitu Salmonella choleraesius, Salmonella parathypi A, Salmonella parathypi B, dan Salmonella gallinarum. Penelitian ini dapat membuktikan adanya hubungan bermakna antara pengetahuan sanitasi, penggunaan celemek, kegiatan mencuci tangan sebelum menangani makanan, kualitas penyimpanan makanan, dan jarak sumber pencemar dengan status bakteriologi gorengan di kantin Sekolah Dasar Kecamatan Tembalang Daftar Pustaka Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil

Data Kesehatan Indonesia. Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2013. Profil Data

Kesehatan Kota Semarang. Semarang. Syahrurachman, A. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi

Kedokteran: Jakarta. Bina Rupa Aksara. Hidayat, T.S., Mujianto, T.T., Susanto, D. 1995. Pola

Kebiasaan Jajan Murid Sekolah Dasar dan Ketersediaan Makanan Jajanan Tradisional di Lingkungan Sekolah di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. Yogyakarta. Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia.

Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 2004. Pedoman pengelolaan dan penyehatan makanan warung sekolah. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. Jakarta.

Fardiaz, S. 2000. Riset Mikrobiologi Pangan untuk Peningkatan Keamanan Pangan di Industri. Yayasan Srikandi. Bogor.

Supardi, Sukamto. 2009. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung Penerbit Alumni.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rhineka Cipta. Jakarta.

Rahmawati P.A. 2011. Faktor Penyebab Kontaminasi Bakteri pada Jajanan di Sekolah Dasar Kecamatan Banyumanik. Skripsi FKM UNDIP. Semarang..

Rosania. 2015. Pengaruh Higiene dan Sanitasi dengan Kontaminasi Salmonella pada Jajanan Sekolah Dasar Kecamatan Mejobo, Kudus. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang : S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat UNNES.

Susanna, D., Hartono, B. 2003. Pemantauan Kualitas Makanan Ketoprak dan Gado-gado di Lingkungan Kampus UI Depok Melalui Pemeriksaan Bakteriologis. Makara Seri Kesehatan 7(1): 21-29.

Uly D. 2007. Survey Keberadaan Salmonella sp Dalam Nasi Rames pada Kantin Sekolah Dasar Wilayah Kerja Puskesmas Sambiroto. Skripsi S1 FKM Universitas Diponegoro.

Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology.Boca Raton: CRC Press.

World Health Organization. 2005 Penyakit Bawaan Makanan Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC. 2005.

Page 31: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.213

31

Artikel Penelitian Prototype Penyimpanan Buah dan Sayur Menggunakan Ozon dan Metode Evaporative Cooling sebagai Sistem Pendingin Prototype Fruit and Vegetable Storage using Ozon and Evaporative Cooling Method as Cooling System Aji Prasetyaningrum*, Muqsit Bramantiya, Alwi Meidianto, Pajar Saputra, Fauzia Dara Qonita, Nadia Sevi Ardiana Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 20 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 29 Desember 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017 Abstrak

Buah dan sayur merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Namun, selama penyimpanan terjadi penurunan kualitas pada buah dan sayur yang disebabkan oleh tumbuhnya bakteri dan mikroorganisme. Metode pengawetan yang efektif, hemat energi dan ramah lingkungan dibutuhkan untuk memperpanjang masa simpan buah dan sayur tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah prototype untuk mengatasi permasalahan tersebut. Prototype yang dirancang memanfaatkan ozon dan evaporative cooling untuk sistem pendinginan. Reaktor Dielectric Barrier Discharge (DBD) dengan konfigurasi elektrode jaring-jaring digunakan untuk menghasilkan ozon sebagai desinfektan. Pembangkitan ozon membutuhkan daya total sebesar 15 watt. Pot refrigerator digunakan sebagai sistem pendingin hemat energi. Kondisi pada tempat penyimpanan, jumlah bakteri dan kondisi fisik pada buah dan sayur digunakan untuk menguji prototype. Prototype yang dihasilkan mampu mencapai suhu 25oC dengan relative humidity sebesar 95% pada tempat penyimpanannya. Buah dan sayur dengan jumlah bakteri awal sebanyak 6,5x103 CFU/100mL mampu berkurang menjadi 3,5x103 CFU/100mL setelah dicuci menggunakan ozon. Setelah penyimpanan selama tiga hari jumlah bakterinya menjadi 5,6x103 CFU/100mL, sedangkan variabel kontrol mencapai 16,6x103 CFU/100mL. Treatment yang dilakukan mampu menghambat perkembangan bakteri hingga dua kali lipatnya. Prototype yang dihasilkan mampu meningkatkan massa buah dan sayur dengan tampilan yang lebih segar dibanding variabel kontrol setelah disimpan selama tiga hari.

Kata kunci : buah, ozon, pengawetan, prototype, sayur Abstract

Fruits and vegetables were known as a food with high nutritional value and providing beneficial to health. However, after the harvest and during storage there was a decrease in the quality of fruits and vegetables caused by the growth of bacteria and microorganisms. This study aimed to produce a prototype to overcome these problem. Prototype was designed to utilize ozone and evaporative cooling for refrigeration. The conditions at the storage place, the number of bacteria, and the physical condition of the fruit and vegetables were used to test the prototype. The prototype reached temperatures of 25oC with a relative humidity of 95% in storage. Fruits and vegetables with the initial bacterial counts as much as 6.5x103 CFU/ml was able to be reduced to 3.5x103 CFU/ml after washing using ozone. After storage for three days the amount of bacteria was 5.6x103 CFU/ml, whereas the control variable reached 16.6x103 CFU/ml. Treatment could inhibit the growth of bacteria up to twice. The resulting prototype was able to increase the mass of fruits and vegetables with a fresh look compared to the control three days of storage.

Keywords : fruits, ozone, preservation, prototype, vegetables Pendahuluan

Buah dan sayur merupakan salah satu bahan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut data BPS (2015) produksi buah dan sayur di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Buah dan sayur dipanen mengalami penurunan kualitas setelah dilakukan panen (Artés et al., 2009). Penurunan kualitas buah dan sayur terjadi akibat adanya pertumbuhan mikrooganisme (Bozkurt et al., 2016) dan proses pematangan (Kasso dan Bekele., 2016). Untuk meningkatkan masa simpan buah dan sayur setalah panen dapat dilakukan dengan cara konvensional seperti pemanasan, pendinginan atau merubahnya menjadi jenis yang makanan lain, seperti jus buah (Miller et al., 2013).

Proses pendingian pada buah dan sayur dapat menghambat proses pertumbuhan bakteri dan mengurangi laju pemantangan (Alhamdan et al., 2015). Penggunaan metode ini tidak dapat membunuh bakteri yang terdapat pada buah dan sayur. Untuk menghilangkan bakteri tersebut dibutuhkan metode tertentu seperti pemanasan, High Pressure Package (HPP), radiasi ultraviolet, ultrasonik, medan listrik, iradiasi dan plasma dingin (Li dan Farid., 2016). Pengembangan teknologi plasma untuk menghasilkan ozon telah banyak dikembangkan dalam bidang pangan (Patil et al., 2014). Ozon memiliki sifat oksidator kuat yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri pada bahan pangan (Lyu et al. 2016). Keunggulan teknologi ozon adalah “green technology”, karena tidak

Page 32: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.213

32

meninggalkan residu dan ozon mudah terdekomposisi menjadi oksigen (Lovato et al., 2009). Penggunaan suhu yang tinggi merupakan salah satu penyebab ozon mudah terdekomposisi menjadi oksigen (Sung et al., 2013). Oleh karena itu, kombinasi penggunaan ozon dan pendinginan dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan buah dan sayur.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan prototype alat penyimpanan buah dan sayur. Untuk menurunkan konsumsi daya yang dibutuhkan, maka sistem pendigin menggunakan metode Evaporative Cooling (Anyanwu, 2004). Sistem pendingin dirancang menggunakan pot refrigerator yang mampu menghasilkan suhu dibawah suhu ruangan (Date, 2012). Ozon dihasilkan menggunakan reaktor jenis Dielectric Barrier Discharge (DBD) dengan konfigurasi elektrode jaring-jaring.

Materi dan Metode Materi

Alat yang digunakan adalah pembangkit ozon menggunakan reactor lucutan korona jenis dielectric barrier discharge (DBD) dengan konfigurasi jaring-jaring. Lucutan plasma dihasilkan dari sumber tegangan 6 KV dengan spesifikasi total daya 15 watt. Sistem dirancang secara semi batch dengan laju alir gas ozon 3 L/menit. Refrigerator dirancang menggunakan pot tanah liat dengan logam silinder berada dibagian dalam. Termometer ruangan (p.a Corona) digunakan untuk mengukur suhu didalam tempat penyimpanan.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah H2SO4 (p.a Merck), Na2S2O3 (p.a Merck), KI (p.a Merck), indikator amilum, pasir dan silica gel. Pasir diletakkan diantara pot tanah liat dan logam silinder (Gambar 1). Pasir tersebut dibasahi dengan air untuk difungsikan sebagai pendingin menggunakan metode Evaporative Cooling. Penelitian ini menggunakan anggur merah (Vitis vinifera), caisim (Brassica rapa kelompok pekinensis) dan sawi putih (Brassica rapa kelompok parachinensis) sebagai sampel buah dan sayur. Petrifilm (3M) digunakan sebagai media untuk menguji jumlah total bakteri sebelum dan sesudah treatment pada buah dan sayur.

Gambar 1. Sistem Pendingin Pot Refrigerator Tampak Atas Metode

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro selama periode Januari-April 2016. Buah dan sayur dibedakan menjadi dua

kelompok yaitu dicuci dengan ozon kemudian disimpan pada sistem pendingin dengan dialir ozon (variabel treatment), dan tanpa dicuci kemudian disimpan pada ruangan terbuka (variabel kontrol). 1. Pelarutan ozon

Ozon yang dihasilkan oleh ozon generator dialirkan kedalam air untuk proses pelarutan. Ozon dilarutkan kedalam air pada berbagai waktu berbeda. 2. Pencucian

Buah dan sayur dicuci dengan air yang telah dilarutkan ozon. Proses pencucian dilakukan dengan cara membasuh buah dan sayur sebanyak dua kali. Buah dan sayur yang telah dicuci kemudian disimpan didalam pot refrigerator. 3. Pengawetan

Buah dan sayur sebelum disimpan diujikan terlebih dahulu jumah total koloninya. Kemudian buah dan sayur disimpan didalam pot refrigerator selama tiga hari. Setiap hari ozon dialirkan kedalam pot refrigerator selama lima menit. Setelah disimpan selama tiga hari dilakukan kembali pengujian total koloni pada buah dan sayur. 4. Pengujian

Suhu didalam pot refrigerator diukur menggunakan termometer ruangan. Ozon yang terlarut didalam air dihitung menggunakan Persamaan (1), (Rakness et al. 1996). Kemudian buah dan sayur yang telah dicuci dijadikan jus kemudian dianalisa jumlah bakterinya menggunakan metode Total Plate Count (TPC). Pengamatan fisik juga dilakukan dengan membandingkan buah dan sayur yang telah disimpan selama tiga hari didalam pot refrigerator dan ruangan terbuka. KonsentrasiOzon ppm = 0123×56789823×66789823

5:;<=>97=?>;×@AB8C8D3... (1)

Hasil dan Pembahasan Kinerja Pot Refrigerator

Menurut analisa yang dilakukan Date (2012) suhu didalam pot refrigerator mampu berada dibawah suhu sekitarnya. Pengukuran menggunakan termometer menujukkan suhu didalam pot refrigerator mencapai 25oC, dibawah suhu kamar, yaitu 30oC. Suhu didalam pot refrigerator berada dibawah suhu sekitarnya, akibat adanya penguapan air yang terkandung di dalam pasir. Air akan menyerap panas disekitarnya untuk proses penguapan sehingga suhu menjadi turun. Panas disekitar pasir tersebut akan ditransferkan kedalam pot refrigerator, sehingga suhu didalamnya juga menjadi lebih dingin.

Selain menurunkan suhu system pot refrigerator juga mampu untuk meningkatkan nilai relative humidity dibandingkan lingkungan sekitarnya (Date, 2012). Nilai relative humidity didalam pot refrigerator dihitung menggunakan psychometric chart (Poling et al., 2008). Hasil sebesar 95% relative humidity didapatkan didalam pot refrigerator, sedangkan nilai relative humidity disekitar alat mencapai 70%. Suhu dan relative humidity yang didapatkan sesuai dengan analisa yang dilakukan oleh Date (2012) dengan suhu lebih rendah dan relative humidity lebih tinggi.

Page 33: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.213

33

Ozon Terlarut Konsentrasi ozon yang terlarut didalam air untuk

mencuci buah dan sayur diuji dengan metode iodometri. Proses pelarutan ozon selama lima menit mampu menghasilkan ozon terlarut sebesar 33,6 ppm (Figur 1). Konsentrasi tersebut tergolong tinggi karena ozon terlarut dengan konsentrasi berkisar antara 0,03-20 ppm dapat digunakan untuk membunuh bakteri (Ramos et al., 2013).

Figur 1. Konsentrasi Ozon Terlarut Pada Berbagai Waktu Jumlah Bakteri pada Buah dan Sayur

Total jumlah bakteri yang terdapat pada buah dan sayur diuji menggunakan metode TPC. Pada hari ke-0 untuk variabel kontrol memiliki jumlah bakteri sebanyak 6,5x103 CFU/100ml. Setelah dilakukan treatment jumlah bakteri berkurang menjadi 3,5x103 CFU/100ml. Proses pencucian dengan ozon mampu menghilangkan bakteri hingga 46% dari jumlah awal. Penurunan tersebut masih belum cukup signifikan karena proses pencucian buah dan sayur berlangsung relatif singkat.

Figur 2 menunjukkan perkembangan bakteri pada buah dan sayur selama tiga hari. Pada variabel treatment memiliki jumlah bakteri sebanyak 5,6x103

CFU/100ml, sedangkan variabel kontrol 16,6x103 CFU/100ml. Selama tiga hari, bakteri pada variabel treatment mengalami perkembangan sebanyak 2,1x103

CFU/100ml, sedangkan pada kontrol negatif mengalami perkembangan hingga 1,01x104 CFU/100ml.

Konstanta perkembangan bakteri dan doubling time pada perkembangannya dapat dihitung menggunakan Persamaan 2 dan 3 (Widdel, 2007). Hasil menunjukkah bahwa buah dan sayur yang ditreatment mampu menghambat perkembangan bakterinya. Nilai konstanta perkembangan bakteri dan doubling time pada buah dan sayur dapat dilihat pada Tabel 1. Treatment pada buah dan sayur menggunakan ozon dan pendingin pot refrigerator mampu menghambat perkembangan bakteri hingga dua kali lipatnya.

Figur 2. Perkembangan Bakteri pada Buah dan Sayur

𝜇 = F

GHGI(ln A

AI) …(2)

𝑡N =FO(ln A

AI)… (3)

Dimana µ = Konstanta perkembangan bakteri t = waktu t0 = waktu mula-mula td = doubling time N = Jumlah bakteri saat waktu (t) N0 = Jumlah bakteri saat waktu (t0)

Tabel 1. Konstanta Perkembangan Bakteri dan Doubling Time Variabel µ (hari-1) td (hari)

Treatment 0,157 4,424 Kontrol 0,313 2,218

Kondisi Fisik pada Buah dan Sayur Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa

variabel treatment memiliki tampilan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kontrol. Penyimpanan selama tiga hari telah menunjukkan perbedaan signifikan antara variabel treatment dan variabel kontrol. Kontrol menunjukkan telah mengalami pembusukan, sedangkan pada variabel treatment masih menunjukkan kondisi segar.

Gambar 2. Tampilan Fisik Buah dan Sayur (a. Treatment; b. Kontrol)

a b

Page 34: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.213

34

Buah dan sayur yang ditreatment didalam prototype memiliki kualitas yang lebih baik secara fisik diakibatkan adanya penghambatan perkembangan bakteri serta suhu penyimpanan yang lebih dingin. Perkembangan bakteri yang terhambat menyebabkan jumlah bakteri pada buah dan sayur semakin sedikit, sehingga proses pembusukan dapat dihambat (Bozkurt et al., 2016). Selain itu, penyimpanan pada suhu dingin juga mampu memperlambat proses pematangan (Alhamdan et al., 2015). Prototype dengan kombinasi ozon dan pendigin terbukti secara efektif sebagai media penyimpan.

Figur 3. Perubahan Massa yang Terjadi pada Buah dan Sayur (Figur kiri adalah treatment; Figure kanan adalah kontrol)

Figur 3 menunjukkan terjadi adanya perubahan massa pada buah dan sayur yang telah disimpan selama tiga hari. Proses tersebut terjadi akibat adanya perpindahan massa air (Watanabe et al., 2015). Pada variabel treatment terjadi pertambahan berat pada buah dan sayur. Sistem pot refrigerator yang mampu menurunkan suhu dan meningkatkan relative humidity menjadi penyebab kenaikan massa pada buah dan sayur yang disimpan dalam prototype. Relative humidity yang semakin tinggi menjadi indikator tingginya kadar air disekitar, sehingga terjadi perpindahan massa air dari udara menuju kedalam buah dan sayur. Pada variabel kontrol terjadi penurunan massa yang diakibatkan karena terjadi proses perpindahan massa air dari buah dan sayur ke udara sekitar (Becker et al., 2014).

Kesimpulan Hasil pengujian menunjukkan suhu penyimpanan

didalam pot refrigerator mampu mencapai 25oC dengan relative humidity sebesar 95%. Buah dan sayur yang ditreatment mampu menghambat perkembangan bakteri hingga dua kali lipatnya. Buah dan sayur yang disimpan didalam prototype selama tiga hari mengalami peningkatan massa buah dan sayur dengan tampilan yang lebih segar dibanding variabel kontrol setelah disimpan selama tiga hari. Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) DIKTI tahun anggaran 2016 yang membantu dalam pendanaan kegiatan penelitian ini.

Daftar Pustaka Alhamdan, A. 2015. Cryogenic freezing of fresh date

fruits for quality preservation during frozen storage. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences.

Anyanwu, E.E. 2004. Design and measured performance of a porous evaporative cooler for preservation of fruits and vegetables. Energy Conversion and Management, 45(13-14), 2187–2195.

Artés, F. 2009. Sustainable sanitation techniques for keeping quality and safety of fresh-cut plant commodities. Postharvest Biology and Technology, 51, 287–296.

Becker, B.R., Fricke, B.A. 2014. Transpiration and Respiration of Fruits and Vegetables. Universidad of Missouri.

Bozkurt, F. 2016. Effect of vaporized ethyl pyruvate as a novel preservation agent for control of postharvest quality and fungal damage of strawberry and cherry fruits. LWT - Food Science and Technology, 65,1044–1049.

Date, A.W. 2012. Heat and mass transfer analysis of a clay-pot refrigerator. International Journal of Heat and MassTransfer, 55 (15-16), 3977–3983.

Green, D.W., Robert, H.P. Perry's Chemical Engineers' Handbook 8th ed. New York. USA : Mc-Graw.

Kasso, M., Bekele, A. 2016. Post-harvest loss and quality deterioration of horticultural crops in Dire

Tabel 2. Hasil Tampilan Fisik pada Buah dan Sayur

Sampel Hari Kontrol Negatif Treatment Warna Tekstur Aroma Warna Tekstur Aroma

Anggur Merah Ke-0

Cerah Padat Segar Cerah Padat Segar Sawi Putih Cerah Padat Segar Cerah Padat Segar Caisim Cerah Padat Segar Cerah Padat Segar Anggur Merah

Ke-1 Gelap Lunak Segar Cerah Padat Segar

Sawi Putih Pucat Lunak Busuk Cerah Lunak Segar Caisim Pucat Layu Busuk Cerah Padat Segar Anggur Merah

Ke-2 Gelap Lunak Busuk Cerah Padat Segar

Sawi Putih Pucat Lunak Busuk Pucat Padat Segar Caisim Pucat Layu Busuk Pucat Padat Segar Anggur Merah

Ke-3 Gelap Lunak Busuk Cerah Padat Segar

Sawi Putih Pucat Lunak Busuk Pucat Padat Segar Caisim Pucat Layu Busuk Pucat Padat Segar

Page 35: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.213

35

Dawa Region, Ethiopia. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences.

Li, X., Farid, M., 2016. A review on recent development in non-conventional food sterilization technologies. Journal of Food Engineering.

Lovato, M.E., Martín, C.A., Cassano, A.E. 2009. A reaction kinetic model for ozone decomposition in aqueous media valid for neutral and acidic pH. Chemical Engineering Journal, 146(3), 486–497.

Lyu, F. 2016. Effect of pretreatment with carbon monoxide and ozone on the quality of vacuum packaged beef meats. Meat Science, 117,137–146.

Miller, F.A., Silva, C.L.M., Brandão, T.R.S. 2013. A Review on Ozone-Based Treatments for Fruit and Vegetables Preservation. Food Engineering Reviews, 5(2), 77–106.

Patil, S. 2014. Influence of high voltage atmospheric cold plasma process parameters and role of relative humidity on inactivation of Bacillus atrophaeus spores inside a sealed package. Journal of Hospital Infection, 88(3), 162–169.

Rakness, K., Gordon, G., Langlais, B. 1996. Guideline for measurement of ozone concentration in the process gas from an ozone generator.

Ramos, B. 2013. Fresh fruits and vegetables - An overview on applied methodologies to improve its quality and safety. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 20,1–15.

Sung, T.-L. 2013. Effect of pulse power characteristics and gas flow rate on ozone production in a cylindrical dielectric barrier discharge ozonizer. Vacuum, 90, 65–69.

Watanabe, T. 2015. The influence of inhibit avoid water defect responses by heat pretreatment on hot air drying rate of spinach. Journal of Food Engineering, 168,113–118.

Widdel, F. 2007. Theory and measurement of bacterial growth. Di dalam Grundpraktikum Mikrobiologie, 1–11.

Page 36: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.216

36

Catatan Penelitian Fraksinasi dan Karakterisasi Komponen Rasa Gurih pada Bumbu Penyedap Fractionation and Characterization of Umami Compound in Seasoning Moh Taufik1*, Della Rahmawati2 1Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Bioindustri, Universitas Trilogi 2Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Swiss German *Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 9 September 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak

Bumbu penyedap merupakan salah satu bahan yang mempunyai rasa gurih dan sering digunakan dalam memasak. Rasa gurih dari bumbu penyedap berasal dari berbagai komponen rasa yang terdapat dalam bumbu penyedap. Penelitian ini bertujuan untuk memisahkan fraksi komponen rasa gurih pada pada bumbu penyedap dan mengetahui karakteristik dari komponen tersebut. Hasil fraksinasi senyawa rasa dengan kromatografi filtrasi gel menunjukkan terdapat tiga fraksi, yaitu fraksi I, fraksi II dan fraksi III. Berdasarkan uji taste dilution analysis (TDA) menunjukkan bahwa fraksi I mempunyai intensitas rasa gurih terendah, sedangkan fraksi yang mempunyai intensitas rasa gurih tertinggi adalah fraksi III. Hasil analisis dengan high performance liquid chromatography (HPLC) menunjukkan terdapat 16 senyawa pada fraksi III yang diduga berkontribusi terhadap rasa gurih. Kata kunci: bumbu penyedap, komponen rasa gurih, fraksinasi, karakterisasi Abstract

Seasoning was one of the ingredients commonly used in cooking. The umami taste of seasoning was derived from various taste components. The objectives of this research were to separate umami fractions in seasoning and to know the characteristics of its components. The results of fractionation by gel filtration chromatography showed three fractions in seasoning i.e. fraction I (FI), fractions II and fraction III. The taste test dilution analysis (TDA) indicated that the fraction FI had the lowest umami intensity, while the highest umami intensity was fraction III. The results of analysis by high performance liquid chromatography (HPLC) showed 16 compounds in fraction III that maybe contribute to umami taste in seasoning. Keywords: seasoning, umami compounds, fractionation and characterization Pendahuluan

Rasa gurih merupakan salah satu dari lima rasa dasar yaitu manis, pahit, asam dan asin (Temussi, 2011). Diketahui beberapa senyawa memiliki kontribusi terhadap timbulnya rasa umami, yaitu monosodium glutamat (MSG), inosin monofosfat (IMP) dan guanosin monofosfat (GMP) (Kuninaka, 1967). Campuran dari ketiga senyawa tersebut menghasilkan sifat sinergis pada perbandingan tertentu (Yamaguchi et al., 1971).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain MSG, IMP dan GMP, peptida dengan sekuen tertentu juga mempunyai rasa gurih. Peptida merupakan kumpulan dari 2-50 asam amino yang terikat satu sama lain melalui ikatan peptida. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis protein, baik protein nabati (Schlichtherle-Cerny dan Amadò, 2002) atau hewani (Maehashi et al., 1999) yang mempunyai rasa gurih. Peptida yang mempunyai rasa gurih mengandung asam glutamat dalam sekuennya yaitu H-Lys-Gly-Asp-Glu-Glu-Ser-Leu-Ala-OH (Temussi, 2011).

Bumbu penyedap merupakan salah satu bahan yang mempunyai rasa gurih. Bumbu penyedap sering digunakan untuk menambah cita rasa gurih pada masakan olahan daging yang dicampur dengan sayuran. Banyak komponen yang terdapat dalam bumbu penyedap tersebut yang berkontribusi terhadap timbulnya rasa gurih. Tujuan penelitian ini adalah untuk

memisahkan fraksi komponen rasa gurih pada pada bumbu penyedap dengan kromatografi filtrasi gel dan mengetahui karakteristik dari komponen tersebut melalui uji Taste Dilution Analysis (TDA) dan analisis profil senyawa rasa dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Materi dan Metode Materi

Bahan yang digunakan adalah bumbu penyedap rasa (minimarket, Indonesia), bahan pengepak kolom Sephadex G-15 (GE Healthcare, Amerika Serikat), air bebas ion, garam NaCl dan MSG. Alat-alat yang digunakan adalah kolom gelas (60 cm x 2,5 cm), fraction collector SF-100 (Tokyo, Jepang), spektrofotometer UV-Vis 160 (Shimadzu, Jepang), high performance liquid chromatography (HPLC) 1200 Series (Agilent Technologies, Amerika Serikat) yang dilengkapi dengan kolom RP-HPLC Zorbax C-18 (46 x 150 mm, ukuran partikel 5 µm).

Metode Fraksinasi Senyawa Rasa

Larutan bumbu penyedap 20% (b/v) dimasukkan ke dalam kolom Sephadex G-15. Kemudian dielusi dengan air bebas ion sebanyak 3-5 mL, hingga diperoleh 60 tabung eluat dengan volume 6 mL menggunakan fraction collector. Masing-masing eluat

Page 37: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.216

37

yang terkumpul dalam tabung reaksi dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 254 nm.

Karakterisasi Senyawa Rasa Pemilihan Panelis

Pemilihan panelis dilakukan dengan uji segitiga terhadap larutan monosodium glutamat/MSG (4 mM) dan NaCl (12 mM) dengan menggunakan air sebagai pembedanya. Panelis diminta membedakan sampel larutan tersebut dengan dua sampel lainnya yang hanya berupa air. Panelis yang menjawab 100% benar terpilih sebagai panelis untuk uji taste dilution analysis (TDA).

Taste Dilution Analysis

Taste dilution analysis (TDA) dilakukan sesuai dengan prosedur yang dideskripsikan oleh Frank et al. (2001). Sampel berupa larutan dari fraksi hasil pemisahan dengan Sephadex G-15 dengan beberapa tingkat pengenceran (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128 dan seterusnya) diuji dengan uji segitiga menggunakan air sebagai pembeda. Pengenceran tertinggi dimana sampel masih dapat dibedakan rasanya dengan dua sampel air, maka disebut sebagai faktor dilusi (FD). Nilai TDA dari suatu sampel atau fraksi merupakan nilai FD yang sama dari minimal tiga panelis, demikian juga dengan deskripsi rasa, harus terdapat deskripsi yang sama minimal tiga panelis.

Profil Senyawa Rasa

Instrumen high performance liquid chromatograph (HPLC) digunakan untuk mengetahui peak-peak dominan yang terdapat pada fraksi yang intensitas rasa gurihnya tertinggi. Kolom HPLC yang digunakan adalah C18 (15 cm × 4.6 cm i.d), sedangkan fase gerak yang digunakan adalah fase gerak A (air bebas ion) dan fase gerak B (asetonitril 100 %). Elusi dilakukan secara gradien dari 0% B hingga 50% B selama 20 menit, kemudian 50% B menjadi 100% B selama 5 menit dengan laju rata-rata 1,0 mL/menit pada suhu ruang. Deteksi dilakukan pada panjang gelombang UV 214 nm.

Hasil dan Pembahasan Fraksinasi Senyawa Rasa

Fraksinasi senyawa rasa pada bumbu penyedap dilakukan dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel dengan kolom Sephadex G-15. Sephadex G-15 akan memisahkan berdasarkan bobot molekul dan interaksi dengan fase diam. Molekul yang ukurannya lebih besar dari ukuran pori-pori gel (≤1500 Da) akan keluar lebih dahulu (DeCourcy, 2009). Pemisahaan juga berdasarkan interaksi dengan fase diam, molekul yang cenderung bersifat polar akan lebih tertahan dibandingkan dengan molekul yang nonpolar.

Nilai absorbansi dari hasil fraksinasi senyawa rasa pada bumbu penyedap pada panjang gelombang 254 nm dapat dilihat pada Figur 1. Berdasarkan figur tersebut terlihat terdapat tiga fraksi, yaitu fraksi I (FI, tabung 8-11), fraksi II (FII, tabung 12-16) dan fraksi III

(FIII, tabung 17-22). Dilihat dari kepolarannya, kemungkinan senyawa-senyawa yang terdapat pada FIII mempunyai polaritas tertinggi dibandingkan senyawa-senyawa yang terdapat pada fraksi lain. Menurut Sigma (2010), sephadex G-15 bersifat sangat polar karena memiliki kandungan gugus hidroksil yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan senyawa-senyawa yang bersifat lebih polar akan keluar terakhir.

Figur 1. Nilai absorbansi hasil fraksinasi bumbu penyedap dengan kromatografi filtrasi gel.

Figur 2. Nilai faktor dilusi (FD) dari masing-masing fraksi

Figur 3. Kromatogram hasil analisis fraksi III dengan HPLC pada panjang gelombang 214 nm Karakterisasi Fraksi Senyawa Rasa

Karakterisasi dilakukan terhadap tiga fraksi hasil fraksinasi, yaitu fraksi I (FI), fraksi II (FII) dan fraksi III (FIII). Dua karakteristik yang dianalisa, yaitu karakteristik sensori dan profil senyawa rasa dari fraksi yang intensitas rasa gurihnya tertinggi. Karakteristik sensori yang dianalisa adalah intensitas rasa gurih dan asin. Intensitas rasa gurih dan asin diuji dengan taste dilution analysis (TDA). Intensitas rasa gurih dan asin dengan uji TDA dapat dilihat dari nilai faktor dilusi (FD). Nilai FD yang tinggi menandakan intensitas rasa yang semakin tinggi.

Uji TDA dilakukan dengan menggunakan 8 panelis terpilih. Perbandingan hasil uji TDA dari sampel dan tiga fraksi dapat dilihat pada Figur 2. Fraksi yang

Page 38: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.216

38

mempunyai intensitas rasa gurih terendah adalah FI, sedangkan fraksi yang mempunyai intensitas rasa gurih tertinggi adalah FIII. Menurut Apriyantono et al. (2004), fraksi yang berat molekulnya kurang dari 500 Da mempunyai intensitas rasa gurih paling tinggi.

Profil senyawa rasa dari fraksi yang intensitas rasa gurihnya tertinggi, yaitu FIII, ditentukan dengan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC). Panjang gelombang yang digunakan adalah 214 nm. Panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimum untuk peptida dan asam amino bebas (Gallant, 2011). Hasil analisis FIII dengan menggunakan HPLC dapat dilihat pada Figur 3.

Berdasarkan figur tersebut terlihat ada 16 senyawa rasa yang terdeteksi pada FIII. Senyawa rasa tersebut kemungkinan berkontribusi terhadap tingginya rasa gurih pada FIII. Senyawa rasa yang terdapat pada FIII diduga adalah peptida hidrofilik yang bersifat gurih. Menurut Arai et al. (1972), peptida yang bersifat hidrofilik, yaitu Glu-Asp, Glu-Glu, Asp-Glu, Thr- Glu, Asp-Glu-Ser, Glu-Gly-Ser dan Asp-Asp-Asp-Asp, memiliki deskripsi seperti rasa gurih dan mouthfeel yang serupa dengan MSG. Kesimpulan

Hasil fraksinasi bumbu penyedap dengan kromatografi filtrasi gel menunjukkan terdapat tiga fraksi, yaitu fraksi I (FI), fraksi II (FII) dan fraksi III (FIII). Hasil uji taste dilution analysis (TDA) menujukkan FI mempunyai intensitas rasa umami terendah, sedangkan FIII mempunyai intensitas rasa umami tertinggi. Hasil analisis HPLC pada panjang gelombang 214 nm menunjukkan terdapat 16 senyawa yang diduga berkontribusi terhadap rasa gurih pada bumbu penyedap. Daftar Pustaka Apriyantono, A., Setyaningsih, D., Hariyadi, P., Nuraida,

L. 2004. Sensory and peptides characteristics of soy sauce fractions obtained by ultrafiltration. In F. Shahidi, A. M. Spanier, C.-T. Ho, & T. Braggins (Eds.), Quality of fresh and processed foods (pp. 213–226). New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Arai, S., Yamashita, M., Fujimaki, M. 1972. Glutamyl oligopeptides as factors responsible for tastes of a proteinase-modified soybean protein. Agricultural and Biological Chemistry 36: 1253-1256.

DeCourcy, K. 2009. Column Chromatography Kit Information Manual. Blacksburg: Fralin Life Science Institute, Virginia Tech

Frank, O., Ottinger, H., Hofmann, T. 2001. Characterization of an intense bitter-tasting 1h,4h-quinolizinium-7-olate by application of the taste dilution analysis, a novel bioassay for the screening and identification of taste-active compounds in foods. Journal of Agricultural and Food Chemistry 49: 231-238.

Gallant, S.R. 2011. Immunoaffinity Chromatography of Proteins. In Aguilar MI (Ed.). HPLC of Peptides and Proteins Method and Protocols (pp 103-109). New Jersey: Humana Press Totowa.

Kuninaka, A. 1967. Flavor Potentiators. In Symposium on Foods: The Chemistry an Physiology of FlaVors; Schultz, H. W., Day, E. A., Libbey, L. M., Eds.; AVI Publishing Company: Westport,CT, pp 515-535

Maehashi, K., Matsuzaki, M., Yamamoto, Y, Udaka, S. 1999. Isolation of peptides from an enzymatic hydrolysate of food proteins and characterization of their taste properties. Bioscience Biotechnology Biochemistry 63:555–9.

Schlichtherle-Cerny, H., Amadò, R. 2002. Analysis of taste-active compounds in an enzymatic hydrolysate of deamidated wheat gluten. Journal of Agricultural and Food Chemistry 50:1515–1522.

Sigma. 2010. Gel filtration chromatography. https: //www.sigmaaldrich.com/ content/dam/ sigma-aldrich/life-science/proteomics-and protein/proteomics /chromatography_ gel_filtration.pdf. Diakses tanggal 07 September 2016.

Temussi, P.A. 2011. The good taste of peptides. Journal of Peptide Science 18(2):73-82

Yamaguchi, S. 1967. The synergistic taste effect of monosodium glutamate and disodium 5’-inosinate. Journal of Food Science 32:473–478.

Page 39: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.206

39

Catatan Penelitian Karakteristik Permen Karamel Susu Rendah Kalori dengan Proporsi Sukrosa dan Gula Stevia (Stevia rebaudiana) yang Berbeda Characteristics of Low Calorie Milk Caramel Candy by Different Proportion of Sucrose and Stevia Sugar (Stevia rebaudiana) Nida Faradillah*, Antonius Hintono, Yoyok Budi Pramono Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang, *Korespondensi dengan penulis ([email protected])Artikel ini dikirim pada tanggal 3 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 10 Agustus 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pemanis rendah kalori terhadap nilai

kalori, tingkat kemanisan dan tekstur permen karamel susu telah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan proporsi sukrosa dan gula stevia yang berbeda yaitu 100% : 0%, 75% : 25%. 50% : 50%, 25% : 75% dan 5 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan semakin banyak gula stevia yang digunakan dan semakin sedikit sukrosa yang digunakan, nilai kalori permen karamel semakin rendah, dengan nilai 4371,96±4,76 kal/g; tingkat kemanisan 7,94±0,19°Brix dan pada tekstur menunjukkan bahwa permen karamel susu disukai oleh panelis.

Kata kunci: permen karamel, sukrosa, gula stevia.

Abstract The study aims to determine the used of low-calorie sweetener effects for calorify value, sweetness and texture

of caramel milk candy was conducted in the Laboratory of Food Chemistry and Nutrition, Faculty of Animal Science and Agriculture, University of Diponegoro. The research method used a completely randomized design with 4 treatments using different proportion between sucrose and stevia sugar 100% : 0%, 75% : 25%, 50% : 50%, 25% : 75% in 5 replications. Based on the research, using of sugar stevia more and the other hand less of sucrose showed that value of calorie was low (4371.96 ± 4.76 cal/g); value of sweetness was 7.94 ± 0.19 °Brix and texture analyis showed that milk caramel candy fulfilled the preference of panelists.

Keywords: milk caramel candy, sucrose, stevia sugar.

Pendahuluan Permen karamel susu merupakan salah satu

makanan ringan dengan bahan utamanya adalah susu dan gula. Karakteristik permen karamel yang dihasilkan dapat dipengaruhi dari jenis susu yang digunakan. Kandungan pada susu yang berperan penting dalam pembuatan permen karamel susu adalah laktosa dan protein. Protein serta gula (laktosa) yang terdapat di dalam susu akan menghasilkan reaksi pencoklatan atau biasa disebut dengan reaksi maillard apabila mengalami proses pemanasan. Adapun pengaruh komponen susu pada saat proses pemanasan yaitu dapat menyebabkan pengurangan kandungan gizi karena mengalami proses pemanasan dengan suhu yang tinggi sekitar 120°C dengan waktu yang cukup lama. Protein pada susu dapat mempengaruhi elastisitas permen (Jackson, 1995). Selain protein, kadar air susu juga diduga dapat mempengaruhi karakteristik permen karamel susu. Kadar air bahan yang rendah dapat menyebabkan tekstur keras, akan tetapi apabila kadar air pada bahan tinggi dapat menyebabkan tekstur lembek pada permen karamel susu (Harahap, 2010).

Permen karamel susu yang saat ini beredar di pasaran pada umumnya menggunakan gula tebu (sukrosa) yang memiliki kalori yang tinggi. Oleh sebab itu, perlu dicari upaya pembuatan permen karamel susu

yang rendah kalori. Salah satunya yaitu dengan menggunakan pemanis rendah kalori. Pemanis rendah kalori ini dapat berupa pemanis buatan maupun alami. Akan tetapi, pemanis buatan dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia karena memiliki sifat karsinogenik yaitu dapat menyebabkan kanker sehingga penggunaan pemanis alami lebih disarankan karena pemanis alami lebih baik daripada pemanis buatan. Salah satu jenis pemanis alami rendah kalori yang dapat digunakan adalah gula stevia.

Gula stevia merupakan jenis gula rendah kalori yang berasal dari daun Stevia rebaudiana yang telah mengalami proses ekstraksi dan dapat disubstitusikan sebagai pengganti gula (sukrosa). Gula stevia memiliki sifat yang berbeda dengan sukrosa seperti memiliki kalori yang rendah, memiliki tingkat kemanisan 300 kali dari sukrosa, akan tetapi gula stevia memiliki after taste pahit ketika dikonsumsi (Rukmana, 2003). Berdasarkan sifat dari gula stevia tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik permen karamel susu dengan penggunaan gula stevia (Stevia rebaudiana).

Sampai saat ini, informasi mengenai penggunaan dan manfaat gula stevia masih belum banyak diketahui, terutama jika diaplikasikan ke dalam produk pangan seperti permen karamel susu. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat sangat bermanfaat terutama untuk mengatasi

Page 40: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.206

40

permasalahan-permasalahan permen karamel susu, salah satunya yaitu mengenai kalori.

Berdasarkan sifat dari gula stevia tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik permen karamel susu dengan penggunaan gula stevia (Stevia rebaudiana) dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik permen karamel susu yang dihasilkan dengan penggunaan gula stevia dengan kadar yang berbeda, seperti tingkat kemanisan, kalori dan tekstur pada permen karamel dan untuk mengetahui kadar gula stevia yang paling optimal dalam pembuatan permen karamel susu yang disukai. Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat menghasilkan diversifikasi produk olahan pangan yang berasal dari susu berupa permen karamel yang rendah kalori sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes dan tidak mengganggu kesehatannya, memberikan informasi yang akurat mengenai penggunaan optimal dari gula stevia untuk pembuatan permen karamel susu sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai jual susu.

Materi dan Metode Materi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu sapi murni, gula (sukrosa), gula stevia, margarin dan agar-agar. Peralatan yang digunakan adalah kompor, wadah anti lengket (teflon), timbangan analitik, pisau, cetakan permen, kertas label, alat tulis, kertas pembungkus permen, refractometer, digital colormeter, bomb kalorimeter dan alat-alat penunjang lainnya. Metode

Penelitian ini meliputi proses pembuatan permen karamel susu diawali dengan pencampuran semua bahan, kemudian diaduk hingga mengkaramel, dituang ke dalam loyang dan dipotong. Variabel yang diamati adalah nilai kalori, tingkat kemanisan dan tekstur. Pada tekstur melibatkan 20 panelis semi terlatih dengan skor 1 sampai 7.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 pengulangan, dimana perlakuan tersebut adalah T0= 100%:0%, T1= 75%:25%, T2= 50%:50%, T3= 25%:75%. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut: T0 (Perlakuan kontrol dengan sukrosa 100%), T1 (Substitusi sukrosa 75% dan gula stevia 25%), T2 (Substitusi sukrosa 50% dan gula stevia 50%), T3 (Substitusi sukrosa 25% dan gula stevia 75%) dengan formula pembuatan permen karamel susu dapat dilihat pada Tabel 1. Proses Pembuatan Permen Karamel Susu

Pembuatan permen karamel susu dilakukan dengan menggunakan mentega, sukrosa dan gula stevia yang ditimbang sesuai dengan formula yang terdapat pada Tabel 1. Kemudian susu dimasukkan ke dalam wajan dan ditambahkan mentega, sukrosa, serta gula stevia sesuai perlakuan. Susu, mentega, sukrosa, dan/atau gula stevia diaduk hingga sebagian sukrosa dan gula stevia larut dan tercampur, lalu kompor dinyalakan dengan api besar sambil terus diaduk sampai suhu 100°C. Api dikecilkan saat susu pada wajan sudah

mulai terkaramel sambil terus dilakukan pengadukan. Bahan dituangkan sedikit ke dalam air untuk mengetahui apakah bahan sudah mengkaramel atau belum. Ketika bahan telah mengeras setelah dimasukkan ke dalam air, itu menandakan bahwa bahan telah terkaramelisasi. Permen karamel yang telah jadi dituang ke dalam loyang lalu diratakan, kemudian dilakukan pemotongan sebelum permen karamel mengeras, dan didiamkan sampai mengeras selama kurang lebih 10-15 menit, kemudian permen dikemas dan disimpan untuk dilakukan pengujian Tabel 1. Formula Permen Karamel Susu dari tiap Perlakuan.

Bahan Perlakuan T0 T1 T2 T3

Susu (g) 515 386,68 258,36 130,04 Gula (sukrosa) (g) 100 75 50 25 Gula stevia (g) - 0,08 0,16 0,25 Margarin (g) 10 7,5 5 2,5

Pengujian Parameter

Parameter permen karamel susu yang diamati untuk menentukan karakteristik dari permen karamel susu yaitu nilai kalori, warna, tingkat kemanisan, serta sifat hedonik atau kesukaan. Nilai Kalori

Kalori diuji dengan menggunakan alat bom kalorimeter. Sampel diletakkan pada wadah sampel kemudian ditimbang sebanyak 1 gram dan dicatat beratnya. Kawat wolfarm diukur dengan panjang 10 cm. Sampel diletakkan pada home sampel dan pada kawat wolfarm. Katup pembuang udara pada home sampel ditutup dan penguncinya dikencangkan. Selang oksigen pada home sampel dipasang, kemudian oksigen (O2) diisi pada panel alat bom kalorimeter dan ditekan sampai tekanan 25 atm untuk mengisi oksigen. Home sampel yang terisi oksigen dimasukkan secara hati-hati ke dalam bom kalorimeter. Kabel penghantar panas pada home sampel dipasang dan chamber sampel ditutup pada alat bom kalorimeter. Air dimasukkan ke dalam alat bom kalorimeter sebanyak 2 liter. Tombol start pada panel control ditekan kemudian tombol enter ditekan 2 kali lalu data berat sampel dimasukkan dan ditekan lagi untuk membakar sampel selama 7 menit. Kemudian hasil dicatat dan dihitung dengan menggunakan rumus:

Kalori= W x T -e1-e2

m Keterangan :

W = Ketetapan (2645,57) T = (T2-T1) e1 = Kawat terbakar x 2,3 kalori e2 = Titrasi x 1 kalori m = Berat sampel (gram)

Warna Warna permen karamel diukur dengan

menggunakan alat digital colormeter. Digital colormeter diaktifkan dengan menekan tombol on. Pengukuran diawali dengan standarisasi alat menggunakan keramik standar yang memiliki nilai L, a, b. Kemudian ujung lensa

Page 41: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.206

41

alat ditempelkan pada permukaan permen karamel yang akan diamati. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali pada daerah yang berbeda dan dirata-rata kemudian dikonversikan. Pada pengukuran warna permen karamel, nilai a dan b tidak digunakan, sebab dalam penelitian tidak ditemukan variasi yang berarti terhadap nilai a dan b. Hanya nilai L yang menunjukkan perubahan. Semakin tinggi nilai L maka semakin cerah warna yang dihasilkan, begitu pula sebaliknya.

Tingkat Kemanisan

Pengukuran tingkat kemanisan dilakukan dengan menggunakan Abbe refractometer. Sampel permen karamel dimortar kemudian ditimbang sebanyak 1 g, aquadest ditambahkan pada sampel sebanyak 9 ml dan dikocok sampai homogen. Kemudian lakukan pengujian menggunakan refractometer. Sebelum digunakan, permukaan prisma refractometer dibersihkan dahulu dengan alkohol dan tissue. Setelah itu cairan permen diteteskan ke permukaan prisma sampai memenuhi media. Refractometer ditutup dan diamati tingkat kandungan gulanya. Tingkat kemanisan dinyatakan besarannya dalam °Brix (gram sukrosa/100 gram sampel), yang sebanding dengan persentase sukrosa dalam sampel. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin tinggi kandungan gulanya dan rasanya semakin manis.

Sifat Hedonik Permen Karamel Susu

Sifat hedonik terhadap rasa, aroma dan tekstur dilakukan secara organoleptik menggunakan metode uji hedonik. Dalam pengujian ini digunakan 20 panelis agak terlatih dan dimintai tanggapan pribadi tentang kesukaan atau ketidaksukaan. Preparasi sampel untuk pengujian hedonik yaitu sampel diletakkan diatas wadah yang telah diberi kode 3 digit yang merupakan kode sampel secara acak. Kemudian panelis memberikan skor dalam skala berikut: 7= sangat suka, 6= suka, 5= agak suka, 4= netral, 3= agak tidak suka, 2= tidak suka, dan 1= sangat tidak suka

Analisis Statistik

Hasil yang diperoleh dari pengujian nilai kalori dan tingkat kemanisan dianalisis dengan ANOVA (Analysis of Variance). Jika perlakuan berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf signifikansi 5%. Sedangkan data hasil pengujian hedonik dianalisis dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis.

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengujian nilai kalori, tingkat kemanisan dan tekstur permen karamel susu dengan penggunaan proporsi sukrosa dan gula stevia yang berbeda dapat

dilihat pada Tabel 2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penggunaan pemanis sukrosa (kontrol) dan substitusi antara sukrosa dan gula stevia memberi pengaruh nyata terhadap nilai kalori permen karamel susu. Nilai kalori tertinggi pada permen karamel susu ditunjukkan pada penggunaan sukrosa 100% (kontrol) yaitu sebesar 5206,65 kkal/gram dan nilai kalori terendah ditunjukkan pada perlakuan ke-4 (T3) dengan perbandingan sukrosa 25% dan gula stevia 75% yaitu sebesar 4371,96 kkal/gram.

Penggunaan sukrosa pada pembuatan permen karamel menyebabkan kalori yang dihasilkan permen karamel menjadi sangat tinggi. Menurut Wulandari et al., (2014), sukrosa digunakan sebagai bahan pemanis yang memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi yaitu sebesar 400 kalori dalam 100 gram bahan. Semakin tinggi penambahan sukrosa maka jumlah kalori yang dihasilkan pun akan semakin tinggi pula. Sukrosa sering dijadikan sebagai tolak ukur atau patokan untuk pengukuran tingkat kemanisan. Menurut Wulandari et al., (2014), sukrosa memiliki intensitas rasa manis sebesar 100%. Menurut Rukmana (2003), gula stevia memiliki tingkat kemanisan 300 kali sukrosa. Oleh sebab itu, pada perlakuan ke-4 (T3) dengan penurunan jumlah sukrosa, sebanding dengan penurunan nilai kalori yang dihasilkan, karena asupan kalori dari sukrosa yang berkurang dan tidak adanya kandungan kalori pada gula stevia atau biasa disebut sebagai zero calorie.

Hasil pengukuran tingkat kemanisan (°Brix) permen karamel susu dengan perbedaan proporsi sukrosa dan gula stevia dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kemanisan permen karamel susu tidak berbeda nyata, karena penggunaan proporsi gula stevia yang lebih sedikit. Hal ini karena kemanisan gula stevia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sukrosa. Menurut Rukmana (2003), gula stevia memiliki tingkat kemanisan 300 kali dari sukrosa, sehingga dengan tingkat kemanisan gula stevia yang lebih tinggi maka penggunaannya menjadi lebih sedikit 300 kali dibandingkan dengan sukrosa. Tingginya tingkat kemanisan pada gula stevia ini disebabkan oleh komponen steviosida yang terdapat di dalam daun stevia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Raini dan Isnawati (2011) yang menyatakan bahwa stevia mengandung steviosida yang merupakan bahan pemanis non tebu dengan tingkat kemanisan sekitar 200-300 kali dari gula tebu dan diperoleh dengan cara mengekstrak daun stevia.

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur permen karamel susu berkisar antara 4,70 – 5,60 yaitu pada tingkat netral sampai suka. Tekstur yang dihasilkan dengan penambahan gula stevia memiliki tekstur yang kasar. Hal ini disebabkan karena jumlah padatan yang

Tabel 2. Hasil Pengujian Nilai Kalori, Tingkat Kemanisan, dan Tekstur. Parameter Pengujian Perlakuan (T)

T0 T1 T2 T3 Nilai Kalori 5206,65 ± 3,62a 4904,06 ± 2,55b 4648,17 ± 5,42c 4371, 96 ± 4,76d Tingkat Kemanisan 7,96 ± 0,21a 7,90 ± 0,16a 7,84 ± 0,15a 7,94 ± 0,19a Tekstur 5,60 ± 1,14a 5,80 ± 0,89a 5,25 ± 1,16ab 4,70 ± 1,08b

Keterangan: Nilai superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan beda nyata (p < 0,05)

Page 42: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.206

42

dihasilkan oleh stevia lebih sedikit sehingga kristal-kristal es yang dihasilkan menjadi besar (Wulandari et al., 2014). Nilai tekstur (keempukan/kekerasan) berhubungan dengan kadar air yang terkandung di dalam permen (Nisa et al., 2015). Noviyanti (2012) menambahkan bahwa kadar air bahan tinggi dapat menyebabkan tekstur lembek pada permen karamel susu tetapi apabila kadar air bahan rendah dapat menyebabkan tekstur keras.

Peningkatan dan penurunan tekstur (keempukan) dapat dipengaruhi oleh adanya proses pemanasan dan sifat bahan penyusun permen itu sendiri (Wulandari et al., 2014). Tekstur (keempukan) dihubungkan dengan sifat higroskopis permen akibat reaksi gula. Permen karamel yang baik memiliki tekstur yang kenyal dan lembut (Usmiati dan Abu Bakar, 2009).

Kesimpulan

Semakin tinggi penggunaan sukrosa dan semakin rendah penggunaan gula stevia, nilai kalori permen karamel susu semakin tinggi, tingkat kemanisan standar dan permen sangat disukai. Begitupun sebaliknya, semakin rendah penggunaan sukrosa dan semakin tinggi penggunaan gula stevia membuat nilai kalori permen karamel semakin rendah, tingkat kemanisan yang standar dan permen disukai. Permen karamel susu yang paling baik dan penggunaan gula stevia yang optimum dengan nilai kalori rendah, tingkat kemanisan yang sama dan permen karamel susu yang disukai terdapat pada permen karamel susu dengan perbandingan proporsi sukrosa 25% dan gula stevia 75%.

Daftar Pustaka Harahap, S.B. 2010. Pengaruh Perbandingan

Konsentrasi Sukrosa dengan Sirup Glukosa dan Lama pemasakan terhadap Mutu Kembang Gula Kelapa. Departemen Teknologi Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. (Skripsi)

Jackson, E.P. 1995. Sugar Confectionery Manufacture 2nd Edition. Blackie Academy and Professional, An Imprint of Chapman and Hall, New York

Nisa, M.A., Susilo, B., Hendrawan, Y. 2015. Pengaruh pengendalian suhu berbasis logika fuzzy dan kecepatan pengadukan pada evaporator vakum double jacket terhadap karakteristik fisik permen susu. J. Bioproses Komoditas Tropis 3(2): 9-16

Noviyanti, Y. 2012. Pengaruh waktu pemanasan dan jenis susu terhadap sifat organoleptik permen karamel susu. Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. (Laporan Penelitian)

Raini, M., Isnawati, A. 2011. Kajian: khasiat dan keamanan stevia sebagai pemanis pengganti gula. Media Litbang Kesehatan 2(4): 145-156.

Rukmana, R. 2003. Budi Daya Stevia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Usmiati, S., Bakar, A. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Press, Bogor.

Wulandari, B., Ishartani, D., Afandi, D.R.. 2014. Penggunaan pemanis rendah kalori pada pembuatan velva ubi jalar oranye (Ipomoea batatas L.). J. Teknosains Pangan 3(3): 12-2.

Page 43: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.207

43

Catatan PenelitianMutu Kimia dan Organoleptik Tape Hasil Fermentasi Umbi Talas Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) dengan Berbagai Konsentrasi Ragi Quality of Chemical and Organoleptic Tape from Fermented Taro Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) with Various Concentration of YeastFariza Amelia Anisa*, V. Priyo Bintoro, NurwantoroProgram Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang*Korespondensi dengan penulis ([email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 28 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 Agustus 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetauhi adanya perbedaan mutu kimia dan organoleptik tape hasil

fermentasi umbi talas kimpul dengan berbagai konsentrasi ragi. Mutu kimia meliputi total padatan terlarut, kadar alkohol dan nilai pH. Organoleptik meliputi rasa manis, rasa asam, tekstur dan kesukaan. Penelitian ini menggunakan ragi tape merk Na Kok Liong (NKL) dengan berbagai konsentrasi ragi (0,25%; 0,50%; 0,75%; 1,00%). Pengolahan data mutu kimia menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan data organoleptik menggunakan Krusskal Wallis. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi ragi memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap total padatan terlarut, kadar alkohol, nilai pH dan organoleptik rasa asam. Pada konsentrasi ragi 0,25% dihasilkan total padatan terlarut sebesar 11,6 oBrix, kadar alkohol sebesar 8,85%, nilai pH sebesar 4,85 dan organoleptik rasa asam dihasilkan dengan skor agak asam. Semakin besar konsentrasi ragi yang digunakan maka semakin tinggi kadar alkohol, semakin menurun total padatan terlarut dan semakin rendah nilai pH. Pembuatan tape talas kimpul sebaiknya digunakan konsentrasi ragi dibawah 0,25%.

Kata kunci : tape, umbi talas kimpul, konsentrasi ragi

AbstractThis study was aimed to reveal the differences in chemical and organoleptic quality of tape fermented taro

kimpul with various concentrations of yeast. Quality chemicals include total dissolved solids, alcohol content and pH values. Organoleptic test used sweetness taste, sourness taste, texture and preference. This study used yeast tape brand of Na Kok Liong (NKL) with various concentrations of yeast (0.25%; 0.50%; 0.75%; 1.00%). Data were analysed using Analysis of Variance (ANOVA) and data of organoleptic quality was used Krusskal Wallis to calculate. The results showed that the treatment of various concentrations of yeast had significant effect (p <0.05) of total dissolved solids, alcohol content, pH values and organoleptic sour taste. At a concentration of 0.25% yeast generated total dissolved solids of 11.6 oBrix, the alcohol content of 8.85%, the pH value of 4.85 and organoleptic of sourness taste were slightly acidic. The higher concentration of yeast, the higher alcohol content, the lower at total dissolved solids and the lower at pH value. Tape taro kimpul should be used in yeast concentration below 0.25%. Keywords: tape, taro timpul, concentration of yeast

PendahuluanTanaman pangan sumber karbohidrat memiliki

peranan penting dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Salah satu contohnya yaitu tanaman talas sebagai sumber karbohidrat yang terdiri dari beberapa varietas. Pada umumnya, bagian dari tanaman talas yang dapat dipanen adalah umbinya. Salah satu umbi dari varietas talas yang memiliki kandungan karbohidrat cukup tinggi adalah umbi talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium). Menurut Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009), kandungan karbohidrat yang terdapat dalam umbi talas kimpul adalah sebesar 34,2 g/100 g.

Tape adalah makanan tradisional yang mudah dalam pengolahannya dan tidak membutuhkan biaya mahal. Tape merupakan makanan khas olahan dari aneka bahan pangan yang mengandung karbohidrat. Proses pembuatan tape melalui proses fermentasi diperlukan ragi tape yang akan mengubah karbohidrat dalam bahan menjadi gula dan alkohol (Rukmana dan Yuniarsih, 2001).

Didalam ragi tape mengandung beberapa mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri. Kapang Amylomyces rouxii dan Candida pellicullosa termasuk dalam organimse yang bersifat amilolitik kuat. Khamir Saccharomyces cerevisiae merupakan sugar fermenter kuat yang menguraikan gula menjadi etanol dengan kadar etanol yang tinggi, berbeda dengan Hansenula anomala yang relatif tidak tinggi dalam menghasilkan kadar etanol. Bakteri Acetobacter spp. yang menguraikan etanol menjadi asam asetat dan sering bekerja sama dengan yeast dalam fermentasi alkohol (Owens, 2015).

Dari sebuah penelitian bahwa mikroba yang paling berperan dalam proses fermentasi tape adalah kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces rouxii), khamir Endomycosis (Saccharomycopsis) burtonii dan Saccharomyces cereviseae. Proses fermentasi tape dibagi menjadi dua tahap yaitu perubahan pati menjadi gula oleh kerja kapang dan perubahan gula menjadi alkohol oleh kerja khamir (Raharjanti, 2006).

Page 44: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.207

44

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu kimia (total padatan terlarut, kadar alkohol, nilai pH) dan organoleptik tape hasil fermentasi umbi talas kimpul yang diberi berbagai konsentrasi ragi. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai perbedaan mutu kimia (total padatan terlarut, kadar alkohol, nilai pH) dan organoleptik tape hasil fermentasi umbi talas kimpul dengan berbagai konsentrasi ragi serta penggunaan konsentrasi ragi yang sesuai untuk menghasilkan tape umbi talas kimpul yang berkualitas. Materi dan Metode Materi Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas kimpul, ragi tape Na Kok Liong (NKL) dengan kepadatan 2,4 x 108 CFU/g, daun pisang, besek, aquades, alat pengukus, nampan, baskom, kompor, pisau, sendok, timbangan, pipet tetes, piknometer, labu ukur, alat destilasi, erlenmeyer, refraktometer, dan pH meter. Metode Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2015 – Februari 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Jurusan Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan respon yang diamati adalah mutu kimia (kadar alkohol, total padatan terlarut, nilai pH) dan organoleptik. Perlakuan yang diberikan dibagi dalam 4 taraf dengan 5 kali ulangan. Adapun taraf perlakuan yang diterapkan yaitu: T1 : Konsentrasi ragi tape 0,25% dari berat umbi T2 : Konsentrasi ragi tape 0,50% dari berat umbi T3 : Konsentrasi ragi tape 0,75% dari berat umbi T4 : Konsentrasi ragi tape 1,00% dari berat umbi Pembuatan Tape Umbi Talas Kimpul Bahan utama umbi talas kimpul, dicuci bersih. Kemudian, direbus selama 30 menit. Kulit umbi talas kimpul dikupas bersih dan dagingnya dipotong bentuk balok dengan ukuran 10x3x2 cm. Lalu, ditimbang sebanyak 100 g untuk setiap unit percobaan. Setelah suhu umbi kimpul sama dengan suhu kamar, ditaburi ragi dengan konsentrasi ragi sesuai perlakuan 0,25% ; 0,50% ; 0,75% ; dan 1,0% dari berat umbi talas kimpul. Umbi talas kimpul yang telah diberi ragi, dibungkus dengan daun pisang dan disimpan dalam besek pada suhu ruang selama 2 hari (48 jam) agar fermentasi berjalan sempurna (Rukmana dan Yuniarsih termodifikasi, 2001). Analisis Statistik Data mutu kimia (total padatan terlarut, kadar alkohol, nilai pH) yang diperoleh, kemudian dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan apabila signifikan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Hasil dari organoleptik diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan dengan uji non parametric Kruskal Wallis selanjutnya apabila signifikan dilakukan uji lanjut

Mann Whitney. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0 Statistic Software. Total Padatan Terlarut Pengukuran kadar total padatan terlarut dilakukan dengan refraktometer. Refraktometer dikalibrasi terlebih dahulu dengan aquades dan dikeringkan dengan menggunakan tisu. Sebanyak 5 g tape di peras dengan kain saring hingga mendapat sari tapenya. Selanjutnya, diteteskan pada permukaan prisma refraktometer, kemudian prisma ditutup dan dipastikan tidak ada gelembung udara. Pembacaan skala indeks bias dilihat pada lubang pengamat refraktometer (Legowo et al., 2005) Kadar Alkohol Metode pengujian kadar alkohol dilakukan dengan menggunakan metode piknometer (Azizah et al., 2012). Sampel dihaluskan sebanyak 100 g dimasukkan dalam labu ukur kemudian ditambahkan aquades sebanyak 100 ml selanjutnya didestilasi hingga suhu 110oC. Destilat ditampung di erlenmeyer hingga volume 20 ml. Destilat kemudian dimasukan kedalam piknometer yang sebelumnya telah diketahui beratnya. Destilat dimasukkan hingga memenuhi piknometer, kelebihan destilat pada puncak pipa kapiler dibersihkan. Permukaan luar piknometer dikeringkan dengan kertas tisu dan ditimbang beratnya. Selanjutnya, prosedur yang sama dilakukan pada aquades sebagai pembanding. Berdasarkan hasil perhitungan berat jenis alkohol yang diperoleh, dapat diketahui kadar alkohol yang terkandung dengan mengonversikannya menggunakan tabel konversi BJ alkohol. Tabel konversi BJ alkohol terdapat dalam buku Perry Chemical Engineers Handbook. Selanjutnya, dicari kadar alkohol dalam larutan sampel dengan cara memasukkan pada kurva standar menggunakan persamaan garis lurus dari kurva standar yaitu y = -0,0016x + 0,9949. Nilai pH Cara menggunakan pH meter yang pertama adalah pH meter harus distandarisasi dengan larutan buffer standar (pH 4 dan pH 7). Elektroda pada pH meter dicelupkan dalam larutan buffer, dibilas dengan air dan dikeringkan (Harrigan, 1998). Sampel tape diambil 1 g lalu ditambahkan aquades sebanyak 9 ml. Kemudian, elektroda dicelupkan untuk mengukur sampel dan pH muncul di monitor. Organoleptik Uji organoleptik menggunakan cara kerja uji skoring, 25 panelis diminta memberikan skor sesuai dengan kesan yang diperoleh dari kriteria yang diberikan dalam form kuisioner dengan skala 1 sampai 4. Panelis diminta untuk menguji dengan kriteria rasa manis, rasa asam, tekstur dan kesukaan (Koswara, 2006) Hasil dan Pembahasan Total Padatan Terlarut Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa konsentrasi ragi yang semakin meningkat menghasilkan total padatan terlarut yang semakin menurun. Hal ini

Page 45: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.207

45

dikarenakan dengan banyaknya jumlah inokulum yang ditambahkan dalam pembuatan tape umbi talas kimpul, menyebabkan banyaknya kandungan pati yang dibongkar oleh enzim amilase menjadi dekstrin menjadi maltosa menjadi gula. Selanjutnya, gula cepat diubah oleh khamir menjadi alkohol, asam, dan CO2. Sependapat dengan pernyataan Owens (2015) bahwa kapang Amylomycess rouxii memiliki aktifitas amilolitik yang menghasilkan enzim amilase, dengan mengubah pati menjadi gula (maltosa dan glukosa). Jumlah kapang dan menurunnya total gula (termasuk didalamnya polisakarida) berhubungan dengan kadar alkohol yang meningkat. Pada tape umbi talas kimpul yang difermentasi dengan berbagai konsentrasi ragi selama 48 jam menghasilkan total padatan terlarut terendah pada konsentrasi ragi T4 (1,00%) sebesar 11,6 oBrix dan total padatan terlarut tertinggi pada konsentrasi ragi T1 (0,25%) sebesar 20,2 oBrix. Komponen total padatan terlarut dalam tape kimpul diduga adalah dekstrin (oligosakarida), maltosa (disakarida) dan glukosa (monosakarida) yang mana ketiganya dapat larut dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung (2004) bahwa dekstrin adalah zat antara hasil pemecahan amilum yang mana molekulnya lebih sederhana dan lebih mudah larut dalam air, maltosa terdiri dari dua molekul glukosa yang lebih mudah dicerna dan glukosa merupakan gula sederhana yang larut dalam air serta rasanya manis. Pendapat ini diperkuat oleh Djatati et al. (2013) bahwa adanya komponen dektsrin yang terdapat pada filtrat tape umbi talas berpengaruh pada total padatan terlarut dan rendemen. Kadar Alkohol Tabel 1 menunjukan peningkatan konsentrasi ragi tape adalah berbanding lurus dengan meningkatnya kadar alkohol tape umbi talas kimpul. Semakin tinggi konsentrasi ragi yang ditambahkan pada pembuatan tape umbi talas kimpul, berarti semakin banyak inokulum yang bekerja dalam proses fermentasi menyebabkan gula cepat diubah menjadi alkohol. Hal ini sependapat dengan Santi (2008) bahwa penambahan inokulum berpengaruh terhadap hasil alkohol, dengan

bertambahnya inokulum maka kerja khamir Saccharomyces cerevisiae makin cepat untuk mengubah gula menjadi alkohol sehingga menghasilkan kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol tape umbi talas kimpul yang tinggi disebabkan peran khamir Saccharomyces cerevisiae dalam ragi tape sebagai fermenter kuat penghasil alkohol. Sesuai dengan pendapat Owens (2015) bahwa Saccharomyces cerevisiae tidak bersifat amilolitik, dikarenakan pertumbuhannya dalam bahan pangan berkabohidrat tergantung dari mikroba yang menghasilkan gula. Saccharomyces cerevisiae merupakan sugar fermenter kuat yang menguraikan gula menjadi etanol dengan kadar etanol yang tinggi. Tape hasil fermentasi umbi talas kimpul dengan berbagai konsentrasi ragi yang difermentasi selama 48 jam menghasilkan kadar alkohol terendah diperoleh pada konsentrasi ragi T1 (0,25%) sebesar 8,85% dan kadar alkohol tertinggi diperoleh pada konsentrasi ragi T4 (1,00%) sebesar 11,56%. Nilai ini menunjukan hasil yang tidak jauh beda dengan penelitian Yulianti (2014) bahwa kadar alkohol dengan lama fermentasi 48 jam pada tape beras sebesar 7,72%; tape ketan hitam sebesar 6,95% dan tape singkong sebesar 7,12%. Perbedaan kadar alkohol tape umbi talas kimpul dengan tape lainnya disebabkan perbedaan kandungan karbohidrat yang dimiliki pada masing – masing bahan. Hal ini sependapat dengan Yulianti (2014) bahwa kandungan karbohidrat pada masing – masing bahan fermentasi akan menghasilkan kadar alkohol yang berbeda pula. Semakin tinggi kandungan karbohidrat pada bahan, semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Nilai pH Tabel 1 menunjukan bahwa konsentrasi ragi yang semakin meningkat menghasilkan nilai pH yang semakin menurun menyebabkan kondisi semakin asam. Banyaknya inokulum yang ditambahkan menghasilkan semakin besarnya khamir memproduksi alkohol (etanol) sehingga semakin banyak hasil metabolit berupa asam –asam organik. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa dan Prakosa (2010) bahwa semakin tinggi konsentrasi ragi digunakan, kadar asam tape semakin meningkat

Tabel 1. Hasil Kadar Alkohol, Total Padatan Terlarut dan Nilai pH Tape Umbi Talas Kimpul dengan Berbagai Konsentrasi Ragi Perlakuan Rerata

Total Padatan Terlarut (oBrix) Kadar Alkohol (%) Nilai pH T1 20,2±1,09a 8,85±1,15a 4,85±0,22a T2 19,8±1,48a 9,62±1,29ab 4,76±0,12ab T3 12,8±1,09b 10,88±0,92bc 4,61±0,11bc T4 11,6±2,40b 11,56±0,88c 4,50±0,18c

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (p<0,05) Tabel 2. Hasil Organoleptik Tape Umbi Talas Kimpul dengan Berbagai Konsentrasi Ragi

Perlakuan Rasa Manis Rasa Asam Tekstur Kesukaan T1 1,6±0,67ns 2,6±0,70a 2,3±0,66ns 1,8±0,70ns T2 1,7±0,68ns 2,7±0,65a 2,5±0,74ns 2,0±0,62ns T3 1,5±0,57ns 3,1±0,77b 2,4±0,66ns 1,7±0,78ns T4 1,8±0,86ns 2,6±0,69a 2,7±0,58ns 2,1±0,83ns

Keterangan: ns = tidak signifikan. Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (p<0,05)

Page 46: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.207

46

dikarenakan kemampuan ragi untuk menguraikan gula menjadi alkohol lebih besar sehingga reaksi pemecahan alkohol menjadi asam oleh bakteri pembentuk asam semakin besar dan menurunkan nilai pH. Ditambahkan oleh Owens (2015) bahwa bakteri Acetobacter spp. yang menguraikan etanol menjadi asam asetat dan sering bekerja sama dengan yeast dalam fermentasi alkohol. Selain itu, ditemukan dalam tape bakteri asam laktat yang menghasilkan asam laktat. Nilai pH pada tape umbi talas kimpul yang difermentasi selama 48 jam, didapatkan nilai pH tertinggi pada konsentrasi ragi T1 (0,25%) sebesar 4,85 dan nilai pH terendah pada konsentrasi ragi T4 (1,00%) sebesar 4,50. Nilai pH pada tape umbi talas kimpul ini tidak berbeda jauh dibandingkan dengan tape – tape pada umunya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Simbolon (2008) bahwa nilai pH yang dihasilkan dari fermentasi tape ubi jalar ungu dengan semakin banyaknya konsentrasi ragi didapatkan nilai pH yang semakin menurun pada konsentrasi ragi 0,25% sebesar 5,50 dan pada konsentrasi ragi 1,00% sebesar 4,62. Pada tape beras ketan menurut Owens (2015) bahwa pH yang dihasilkan berkisar antara 4,00 sampai 4,20. Organoleptik Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui organoleptik rasa manis, tekstur dan kesukaan menunjukan hasil tidak signifikan berarti terdapat pengaruh tidak nyata (p>0,05) sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Namun, pada organoleptik rasa asam diperoleh hasil signifikan yang berarti terdapat pengaruh nyata (p<0,05) sehingga dilakukan uji lanjut. Tabel 2 menunjukan bahwa organoleptik rasa manis, tekstur dan kesukaan pada tape umbi talas kimpul dengan berbagai konsentrasi ragi T1 (0,25%), T2 (0,50%), T3 (0,75%) dan T4 (1,00%) dapat diketahui tidak adanya perbedaan akibat perlakuan. Hasil organoleptik rasa asam pada tape hasil fermentasi umbi talas kimpul dengan berbagai konsentrasi ragi T1 (0,25%), T2 (0,50%), T3 (0,75%) dan T4 (1,00%) diperoleh masing – masing sebesar 2,6 skor agak asam; 2,7 skor agak asam; 3,1 skor asam dan 2,6 skor agak asam. Semakin besar konsentrasi ragi tape umbi talas kimpul yang digunakan, maka semakin besar nilai organoleptik rasa asam yang dihasilkan. Rasa asam yang dihasilkan disebabkan dari hasil metabolit penguraian pati menjadi alkohol, asam dan CO2. Hal ini sesuai dengan pendapat Owens (2015) bahwa selain dari produksi glukosa, asam laktat dan etanol yang memberikan rasa tape yang manis – asam sedikit aroma alkohol, terdapat mikroba yang digunakan dalam fermentasi juga menghasilkan produk metabolit lain yang berperan dalam rasa dan aroma tape, seperti etil asetat yang dihasilkan pada tape memberikan aroma khas yang kuat. Perbedaan rasa asam yang dihasilkan oleh panelis pada perlakuan tape umbi talas kimpul dengan berbagai konsentrasi ragi dikarenakan ketajaman pengecapan yang dimiliki masing – masing orang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutapea (2006) bahwa perbedaan ketajaman pengecapan diakibatkan perbedaan dari segi faktor keturunan, ada yang memiliki

puting pengecap (taste buds) rasa asam yang lebih peka dibandingkan puting pengecap rasa lainnya sehingga terasa dominan rasa asam. Selain itu, air liur masing – masing orang memiliki cita rasa yang berbeda dan akan mempengaruhi cita rasa makanan yang dicicipinya. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, semakin besar konsentrasi ragi yang digunakan maka semakin menurun total padatan terlarut, semakin tinggi kadar alkohol, dan semakin rendah nilai pH. Total padatan terlarut terendah konsentrasi ragi 1,00% sebesar 11,6 oBrix dan tertinggi konsentrasi ragi 0,25% sebesar 20,2 oBrix. Kadar alkohol terendah konsentrasi ragi 0,25% sebesar 8,85% dan tertinggi konsentrasi ragi 1,00% sebesar 11,56%. Nilai pH tertinggi konsentrasi ragi 0,25% sebesar 4,85 dan nilai pH terendah konsentrasi ragi 1,00% sebesar 4,50. Organoleptik rasa asam terendah konsentrasi ragi 0,25% dengan skor agak asam dan tertinggi konsentrasi ragi 0,75% dengan skor asam. Pada pembuatan tape umbi talas kimpul, sebaiknya konsentrasi ragi yang digunakan adalah kurang dari 0,25% karena kadar alkohol yang dihasilkan sampai konsentrasi ragi 0,25% paling rendah. Daftar Pustaka Azizah, N., Al-Baarri, A.N., Mulyani, S. 2012. Pengaruh

lama fermentasi terhadap kadar alkohol, pH, dan produksi gas pada proses fermentasi bioetanol dari whey dengan substitusi kulit nanas. J. Aplikasi Teknologi Pangan 2 (1) : 72 – 77.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Kimpul (X. sagittifolium Schott.). Lembar Informasi Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi. Kementrian Pertanian. Jakarta.

Djatati, S., Jariyah, Mawarti, T.I. 2013. Pembuatan brem padat dengan substitusi filtrat tape umbi talas. E-Journal UPN Veteran Jatim.

Green, D.W., Perry, R.H. 2008. Perry’s Chemical Engineers’ Handbook 8th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Harrigan, W.F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology 3rd Edition. Academic Press. California,

Hutagalaung, H. 2004. Karbohidrat. USU Digital Library. Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.

Hutapea, A.M. 2006. Keajaiban – Keajaiban dalam Tubuh Manusia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Koswara, S. 2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori) dalam Industri Pangan. Ebook Pangan.

Legowo, A.M., Nurwantoro, Sutaryo. 2005. Analisis Pangan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Owens, J.D. 2015. Indigenous Fermented Foods of Southeast Asia. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton Florida.

Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta.

Raharjanti, D.S. 2006. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan Reduksi Aflatoksin

Page 47: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.207

47

oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Rukmana, R., Yuniarsih, Y. 2001. Aneka Olahan Ubi Kayu. Kanisius. Yogyakarta.

Santi, S.S. 2008. Pembuatan alkohol dengan proses fermentasi buah jambu mete oleh khamir Sacharomices cerevesiae. J. Penelitian Ilmu Teknik Kimia 8 (2): 104 – 111.

Santosa, A., Prakosa, C. 2010. Karakteristik tape buah sukun hasil fermentasi penggunaan konsentrasi ragi yang berbeda. J. Unwidha 22 (73): 48 – 55.

Simbolon, K. 2008. Pengaruh Presentase Ragi Tape dan Lama Fermentasi Terhadap Mutu Tape Ubi Jalar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Yulianti, C.H. 2014. Uji Beda kadar alkohol pada tape beras, ketan hitam dan singkong. J. Teknika 6 (1) : 531- 536.

Page 48: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

48

Catatan PenelitianMutu Kimia dan Organoleptik Ubi Jalar Putih (Ipomoea Batatas) yang Difermentasi dalam Waktu yang BerbedaThe Quality of Chemical and Organoleptic Sweet Potato White (Ipomoea Batatas) Fermented In Different TimesDina Azalea Handayani*, Bambang Dwiloka, dan NurwantoroProgram Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang*Korespondensi dengan penulis ([email protected])Artikel ini dikirim pada tanggal 24 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 4 Agustus 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan mutu kimia dan mutu organoleptik ubi jalar putih

(Ipomoea batatas) yang difermentasi dengan waktu yang berbeda. Parameter pengujian yang digunakan pada mutu kimia meliputi total padatan terlarut, kadar alkohol, pH, dan mutu organoleptik seperti rasa, tekstur, dan tingkat kesukaan dengan lama fermentasi yang berbeda, sebagai perlakuan T1, T2 dan T3 yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Rancangan Acak Lengkap dengan tujuh kali pengulangan digunakan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk parameter mutu kimia, sedangkan mutu organoleptic diuji dengan Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap total padatan terlarut (TPT) dan kadar alkohol. Nilai pH tidak dipengaruhi (p>0,05) oleh lama fermentasi. TPT tertinggi pada lama fermentasi 48 jam, kadar alkohol tertinggi pada lama fermentasi 72 jam, dan nilai pH terendah pada lama lama fermentasi 72 jam. Hasil uji organoleptik, lama fermentasi berpengaruh nyata (p<0,05) pada rasa manis, asam, tekstur dan kesukaan. Rasa manis tertinggi pada lama fermentasi 24 jam, rasa asam tertinggi pada lama fermentasi 72 jam, tekstur terlunak pada 72 jam dan tingkat kesukaan panelis lebih menyukai tape dengan lama fermentasi 24 jam. Semakin lama fermentasi maka meningkatkan TPT, meningkatkan kadar alkohol, menurunkan nilai pH, menurunkan rasa manis, meningkatkan rasa asam, melunakkan tekstur dan menurunkan tingkat kesukaan.

Kata Kunci : ubi jalar putih, lama fermentasi, mutu kimia, mutu organoleptik

AbstractThis study attempts to knows the difference the quality of chemical and the quality of organoleptic sweet potato

white (Ipomoea batatas) with fermentation in various duration of time. The quality of chemical, i.e. dissolved total solids, alcohol content, pH, and the quality of organoleptic, i.e. taste, texture, and preferences after treatment T1, T2 and T3 (i.e. 24 hours, 48 hours and 72 hours, respectively). Completely Randomized Design with 7 times repetition was used in this research. The data were analyzed using ANOVA and Kruskal Wallis. The results indicated that length of fermentation provided significant impact (p<0.05) to the dissolved total solids and alcohol content. pH values was not influenced (p>0.05) by the length of fermentation. The highest dissolved total solids was achieved by fermentation for 48 hours. Highest alcohol content was reached by 72 hours fermentation, and the lowest pH was on 72 hours. Based on organoleptic test results, the length of fermentation provided significant impact (p<0.05) in a sweetness, sourness, texture and preferences. A sweetness was reached highly in fermentation for 24 hours, while a the most sour taste was on fermentation for 72 hours. Mushy texture was reached maximally in 72 hours and the most preferred tape could be reached by 24 hours fermentation.

Keyword : sweet potato white , long fermentation , the quality of chemical , the quality of organoleptic

PendahuluanTape merupakan produk makanan tradisional

Indonesia yang berbahan dasar mengandung karbohidrat yang tinggi serta melalui proses fermentasi dengan hasil produk yang memiliki citarasa manis hingga asam dengan sedikit flavor alkohol. Ada berbagai macam nama tape yaitu peyeum, tapai tela, tapai pulut, dan lain-lain. Indonesia memiliki berbagai sumber bahan pangan yang mengandung karbohidrat seperti singkong, beras ketan, dan ada juga ubi jalar. Jenis tape yang umum dikenal adalah tape singkong dan tape ketan. Pembuatan tape tidak hanya berbahan baku singkong maupun beras ketan, tetapi tape juga dapat dibuat dari ubi jalar karena kandungan karbohidrat ubi jalar relatif tingi.

Ubi jalar putih merupakan jenis ubi jalar yang

memiliki warna daging umbinya putih dengan daging umbi lebih keras dan rasanya manis. Bentuk umbinya sendiri yaitu bulat dengan permukaan kulitnya tidak rata. Ubi jalar putih juga memiliki aroma, rasa dan sifat-sifat yang baik untuk diolah atau dimasak. Kandungan gizi setiap 100 g ubi jalar putih mengandung 123 kalori, protein 1,8 g, lemak 0,7 g, karbohidrat 27,9 g dan air 68,5 g (DKBM, 2005). Karena kandungan karbohidrat ubi jalar putih yang tinggi, kebanyakan masyarakat Indonesia biasa memanfaatkan ubi jalar ini menjadi produk seperti tepung tetapi ubi jalar juga dapat difermentasi. Sesuai dengan pendapat Susanto dan Saneto (1994) bahwa proses fermentasi merupakan salah satu alternatif yang baik dalam memanfaatkan ubi jalar, dan diharapkan masyarakat tidak bergantung pada singkong atau beras ketan sebagai bahan baku pembuatan tape.

Page 49: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

49

Proses fermentasi bahan pangan dapat berlangsung oleh adanya aktivitas beberapa jenis mikroorganisme seperti bakteri, khamir dan kapang. Mikroorganisme yang paling penting yaitu bakteri pembentuk asam laktat, bakteri pembentuk asam asetat dan beberapa jenis khamir penghasil alkohol. Pada proses fermentasi tape tidak diharapkan adanya udara sehingga harus dilakukan dalam kondisi anaerob. Menurut Fardiaz (1992) fermentasi merupakan proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Proses fermentasi tape akan terjadi perombakan gula menjadi alkohol atau etanol, asam asetat, asam laktat, dan aldehid (Amerine et al., 1972). Starter yang digunakan pada proses fermentasi tape, menggunakan bantuan bahan starter ragi tape. Ragi tape merupakan kultur starter kering yang terbuat dari campuran tepung beras, ramuan bumbu, air dan ekstrak gula tebu (Merican dan Queeland, 2004). Ragi tape merupakan populasi campuran yang tediri dari spesies-spesies genus Aspergillus yang dapat memecah pati menjadi glukosa dan Saccharomyces, Candida, Hansenulla yang dapat menguraikan gula menjadi alkohol serta bakteri Acetobacter yang dapat merombak alkohol menjadi asam. Proses fermentasi pada tape biasanya membutuhkan waktu 45 jam dengan menggunakan suhu ruang 28-30oC.

Penelitian ini pada dasarnya difokuskan untuk mengembangkan teori-teori yang ada dengan melihat kandungan karbohidrat dari ubi jalar putih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan mutu kimia ubi jalar yang difermentasi seperti total padatan terlarut (TPT), kadar alkohol, pH dan organoleptik seperti rasa (manis dan asam), tekstur dan kesukaan pada panelis dengan lama fermentasi yang berbeda. Materi dan Metode Materi

Bahan yang digunakan untuk pembuatan tape berbahan dasar ubi jalar adalah ubi jalar putih ±5 kg, ragi tape Na Kok Liong (NKL) 1 bungkus, daun pisang dan aquades. Peralatan yang digunakan untuk pengolahan dan analisa laboratorium meliputi alat-alat pengukus, baskom, panci, kompor, pisau, besek, pH meter, piknometer 50 ml, erlemeyer, labu Kjedahl, refraktometer, alat destilasi dan timbangan analitik.

Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui mutu kima dari tape ubi jalar putih meliputi total padatan terlarut (TPT), kadar alkohol dan nilai derajat keasaman (pH). Sedangkan pada uji organoleptik rasa manis maupun asam, tekstur dan kesukaan. Metode

Penelitian mutu kimia dan organoleptik ubi jalar putih yang difermentasi dalam waktu yang berbeda dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Program Studi Teknologi Pangan, Jurusan Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

Penelitian ini menggunakan 3 macam perlakuan yaitu T1 (lama fermentasi 24 jam), T2 (lama fermentasi

48 jam), dan T3 (lama fermentasi 72 jam). Penelitian meliputi proses pembuatan tape ubi jalar putih, analisa mutu kimia seperti total padatan terlarut (TPT) dengan metode refraktometer, kadar alkohol dengan metode destilasi, dan nilai derajat keasaman (pH). Sedangkan pada analisa mutu organoleptik rasa manis, asam, tekstur, dan kesukaan menggunakan kuesioner dari 25 panelis agak terlatih. Rasa manis dibedakan dengan model skoring; skor 1 (tidak manis), 2 (agak manis), 3 (manis), 4 (sangat manis), sedangkan untuk rasa asam; skor 1 (tidak asam), skor 2 (agak asam), 3 (asam), 4 (sangat asam). Kategori skor tekstur; skor 1 (tidak lunak), 2 (agak lunak), 3 (lunak), 4 (sangat lunak) dan untuk skor kesukaan; skor 1 (tidak suka), 2 (agak suka), 3 (suka), 4 (sangat suka). Pembuatan Tape Ubi Jalar Putih

Bahan utama untuk satu unit percobaan menggunakan ubi jalar putih dengan berat ubi di perkirakan ±200 g dicuci bersih. Ubi jalar dikukus selama 30 menit sampai matang. Kemudian, dikeluarkan dari tempat pengukus dan didinginkan di atas nampan lalu dikupas kulitnya. Ubi jalar putih ditaburi ragi sebanyak 0,5% dari berat ubi jalar putih tersebut. Selanjutnya adalah pembungkusan dengan daun pisang dan penyimpanan dalam besek pada suhu ruang selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam (T1, T2, dan T3). Analisis Statistik

Data hasil uji mutu kimia dianalisis dengan analysis of varian (ANOVA) pada taraf signifikansi 5%. Apabila terdapat signifikansi hasil maka dilanjutkan dengan Duncan. Hasil uji mutu organoleptik diuji terlebih dahulu dihitung normalitasnya dengan menggunakan uji non parametrik yaitu Kruskal Wallis dengan taraf signifikansi 5%, apabila terdapat signifikansi hasil maka di lanjutkan dengan uji Mann-Whitney U. Semua data diolah dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil dan Pembahasan Total Padatan Terlarut (TPT)

Berdasarkan hasil analisa pada uji total padatan terlarut (TPT) dari fermentasi ubi jalar putih dengan waktu yang berbeda yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam didapatkan hasil masing-masing sebesar T1 (28,42oBrix); T2 (30,00oBrix); T3 (29,42oBrix). Berdasarkan hasil dari Tabel 1, pengaruh lama waktu fermentasi terhadap total padatan terlarut memiliki perbedaan nyata (p<0,05).

Hasil uji total padatan terlarut pada fermentasi ubi jalar putih ini terlihat bahwa pada lama fermentasi 48 jam memiliki nilai yang paling tinggi. Selama fermentasi, enzim dari bakteri merombak pati menjadi glukosa sehingga jumlah gula yang terbentuk tinggi. Total padatan terlarut yang terbentuk dari hasil fermentasi ubi jalar putih ini diduga merupakan campuran komponen seperti dekstrin, maltosa dan glukosa dalam ubi jalar yang larut ke dalam air. Kemungkinan juga rasa manis yang dimiliki ubi jalar sebelum difermentasi juga mempengaruhi jumlah TPT. Sesuai dengan pernyataan

Page 50: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

50

Narullita et al. (2013) bahwa total padatan terlarut merupakan seluruh komponen bahan padatan yang ada dan larut dalam air di dalam umbi termasuk gula reduksi, sukrosa, asam organik serta vitamin yang larut dalam air. Kadar Alkohol

Pengujian kadar alkohol hasil fermentasi ubi jalar putih dengan waktu yang berbeda yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam menghasilkan kadar alkohol masing-masing sebesar T1 (2,17%); T2 (2,58%); T3 (7,06%). Berdasarkan hasil dari Tabel 1, pengaruh kadar alkohol dengan lama waktu fermentasi memiliki perbedaan nyata (p<0,05).

Peningkatan jumlah kadar alkohol terhadap lama fermentasi ini adalah karena semakin tinggi jumlah kadar alkohol yang terbentuk. Sesuai dengan pernyataan Hasanah et al. (2012), terdapat pengaruh antara lama fermentasi terhadap jumlah kadar alkohol pada suatu produk. Pada fermentasi 24 jam, alkohol yang dihasilkan masih sedikit, hal ini dikarenakan bakteri Saccharomyces cerevisiae yang ada dalam bahan masih dalam tahap adaptasi dan belum ada pertumbuhan. Pada fermentasi 48 jam mangalami sedikit peningkatan alkohol dari yang sebelumnya. Hal ini disebabkan sudah terjadinya perombakan antara karbohidrat menjadi glukosa, maka pada fermentasi ke-72 jam alkohol yang dihasilkan semakin meningkat karena glukosa yang telah dihasilkan, akan dirombak menjadi alkohol. Asngad dan Suparti (2009) menjelaskan bahwa semakin lama waktu proses fermentasi maka Saccharomyces cerevisiae akan bekerja secara optimal merombak glukosa, sukrosa dan maltosa sehingga mampu menghasilkan alkohol dengan konsentrasi tinggi. Derajat Keasaman (pH)

Berdasarkan hasil analisa uji nilai pH hasil fermentasi ubi jalar putih dengan waktu yang berbeda yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam, didapatkan nilai pH masing-masing sebesar T1 (4,95); T2 (5,00); T3 (4,75). Berdasarkan hasil dari Tabel 1, terlihat tidak ada pengaruh lama waktu fermentasi terhadap nilai pH karena tidak memiliki perbedaan nyata (p>0,05). Tidak adanya pengaruh lama fermentasi terhadap nilai pH ini dapat disebabkan karena kurangnya lama waktu

fermentasi. Terdapat penurunan nilai pH pada fermentasi 72 jam mengalami penurunan nilai pH dari yang sebelumnya yaitu 48 jam. Hal ini sesuai dengan pendapat Adhitya et al. (2012) bahwa semakin lama waktu fermentasi maka kadar keasaman semakin tinggi sehingga nilai pH yang dihasilkan semakin menurun. Rasa

Uji organoleptik penilaian rasa yang digunakan yaitu rasa manis dan asam. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada uji organoleptik untuk rasa manis pada hasil fermentasi ubi jalar putih dengan waktu yang berbeda yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam, masing-masing didapatkan nilai sebesar T1 (2,28); T2 (1,72); T3 (1,66) sedangkan untuk rasa asam masing-masing adalah T1 (2,25); T2 (2,71); T3 (2,94). Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap lama fermentasi dengan rasa manis dan rasa asam yang terbentuk (p<0,05).

Dapat dilihat dari hasil tersebut bahwa rasa manis memiliki kriteria rasa dari tidak manis sampai agak manis, skor tertinggi didapatkan pada fermentasi 24 jam. Sedangkan kriteria untuk rasa asam yaitu dari agak asam sampai asam dengan skor tertinggi diperoleh pada fermentasi 72 jam. Hasil dari rasa manis dan asam ini berbanding terbalik. Rasa agak manis yang dimiliki tape ubi jalar putih pada fermentasi 24 jam disebabkan selama fermentasi tidak ada penambahan bahan gula pasir dan rasa yang terbentuk ini dikarenakan rasa manis yang timbul dari ubi jalar itu sendiri serta belum sempurnanya proses fermentasi. Menurut Santosa dan Prakosa (2010) prinsip dasar dari fermentasi pangan yang mengandung pati adalah perombakan komponen dari pati menjadi dekstrin dan gula selanjutnya menjadi alkohol sehingga menghasilkan rasa manis sedikit alkoholik.

Sedangkan untuk rasa asam yang dimiliki pada fermentasi 72 jam ini dipengaruhi karena lamanya proses fermentasi, semakin lama proses fermentasi maka semakin tinggi rasa asam yang terbentuk. Menurut pendapat Unika (2015) semakin lama proses fermentasi maka semakin banyak pula mikroorganisme yang merombak pati menjadi glukosa hingga menjadi alkohol maka kadar alkohol yang semakin tinggi membuat tape menjadi asam.

Tabel 1. Total Padatan Terlarut, Kadar Alkohol, dan Nilai pH dari Hasil Fermentasi Ubi Jalar Putih dengan Waktu yang Berbeda.

Perlakuan Variabel Total Padatan Terlarut

(oBrix) Kadar Alkohol (%) Nilai pH

T1 28,42±0,97a 2,17±1,68a 4,95±0,73a T2 30,00±1,00b 2,58±1,94a 5,00±0,27a T3 29,42±0,97ab 7,06±2,68b 4,75±0,32a

Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) Tabel 2. Rata-Rata Organoleptik Hasil Fermentasi Ubi Jalar Putih dengan Waktu yang Berbeda

Perlakuan Skor Rasa Manis Skor Rasa Asam Skor Tekstur Skor Kesukaan T1 2,28±0,80a 2,25±0,79a 2,20±0,83a 2,28±0,77a T2 1,72±0,65b 2,71±0,87ab 2,77±0,76b 1,54±0,46a T3 1,66±0,67b 2,94±0,68b 2,85±0,88b 1,81±0,73ab

Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Page 51: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

51

Tekstur Tekstur pada hasil fermentasi suatu bahan

makanan sangat penting dilakukan untuk membedakan tekstur awal sampel dengan tekstur yang dihasilkan setelah fermentasi dengan menggunakan indera perabaan. Pada uji organoleptik untuk tekstur pada hasil fermentasi ubi jalar putih dengan waktu yang berbeda yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam, didapatkan nilai sebesar T1 (2,20); T2 (2,77); T3 (2,85). Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap lama fermentasi dengan tekstur yang terbentuk (p<0,05).

Tekstur pada hasil fermentasi ubi jalar putih ini memiliki hasil kriteria dari agak lunak sampai lunak. Lama fermentasi 72 jam memberikan hasil organoleptik tekstur yang lebih lunak dibandingkan fermentasi 24 jam dan 48 jam. Adanya perbedaan lama waktu fermentasi dapat memberikan pengaruh yang nyata pada tekstur dari hasil suatu produk yang difermentasi. Hal ini sependapat dengan Fahmi dan Nurrahman (2011) bahwa semakin lama fermentasi maka akan menghasilkan tekstur yang lebih lunak dan berair dikarenakan proses fermentasi secara anaerob yang menghasilkan air (H2O). Kesukaan

Kesukaan merupakan keseluruhan tanggapan panelis mengenai beberapa parameter seperti rasa, aroma, tekstur dan warna. Hasil uji organoleptik untuk kesukaan pada hasil fermentasi ubi jalar putih dengan waktu yang berbeda yaitu 24 jam, 48 jam dan 72 jam didapatkan nilai masing-masing sebesar T1 (2,28); T2 (1,54); T3 (1,81). Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap lama fermentasi dengan kesukaan panelis yang dihasilkan (p<0,05).

Lamanya waktu fermentasi yang dilakukan dapat mengubah rasa dan tekstur dari tape ubi jalar putih. Menurut hasil kriteria kesukaan, didapat hasil tidak suka sampai agak suka. Rata-rata panelis memilih hasil fermentasi ubi jalar dengan lama waktu fermentasi 24 jam dikarenakan rasanya yang agak manis dan teksturnya agak lunak dibandingkan dengan lama fermentasi 48 jam dan 72 jam yang rasanya lebih ke asam. Menurut Unika (2015) kesukaan panelis pada tape yang umumnya didapat karena tape memiliki rasa manis karena mengandung gula dan sedikit mengandung alkohol. Kesimpulan

Semakin lama waktu fermentasi ubi jalar putih maka dapat meningkatkan total padatan terlarut,

meningkatkan jumlah kadar alkohol, menurunkan nilai pH, menurunkan rasa manis, meningkatkan rasa asam, melunakkan tekstur dan menurunkan tingkat kesukaan pada panelis. Berdasarkan hasil penelitian, maka sebaiknya dilakukan lama fermentasi 24 jam untuk memenuhi kesukaan panelis yang agak manis, tidak terlalu lunak dan sedikit mengandung alkohol. Daftar Pustaka Adhitya, S.G., Yusa, N.M., Yusasrini, N.L.A.. 2012.

Pengaruh waktu pengukusan dan fermentasi terhadap karakteristik tape ubi jalar ungu (Ipomoea batatas var. Ayamurasaki). J. Ilmu dan Tek. Pangan. 1(1): 1-9.

Amerine, M., Berg, A., Croes, M.V. 1972. The Technology of Wine Making, The AVI Publishing Company, Wesport, Connecticut.

Asngad, A., Suparti. 2009. Lama fermentasi dan dosis ragi yang berbeda pada fermentasi gaplek ketela pohon (Manihot utilissima Pohl) varietas mukibat terhadap kadar glukosa dan bioetanol. J. Penelitian Sains dan Teknologi. 10(1): 1-9.

Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). 2005. Depkes RI. Jakarta.

Fahmi, N., Nurrahman. 2011. Kadar glukosa, alkohol dan citarasa tape onggok berdasarkan lama fermentasi. J. Pangan dan Gizi. 2(3): 25-42.

Fardiaz, S. 1992. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Hasanah, H., A. Jannah dan A. G. Fasya. 2012. Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol tape singkong (Manihot utilissima Pohl). J. Alchemy. 1(2): 68-79.

Merican Z, Queeland, Y. 2004. Tape Processing In Malaysia: A Technology In Transition. Industrialization of Indigeneous Fermented Foods, pp. 247-270. Marcel Dekker Inc., New York.

Narullita, A., Waluyo, S., Novita, D.D. 2013. Sifat fisik ubi jalar (ubi jalar gisting Kabupaten Tanggamus dan jati agung Kabupaten Lampung Selatan) pada dua metode penyimpanan. J. Teknik Pertanian. 2(3): 133-146.

Santosa, A., Prakosa, C. 2010. Karakteristik tape buah sukun hasil fermentasi penggunaan konsentrasi ragi yang berbeda. J. Magistra. 22(73): 48-55.

Susanto, T., Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.

Unika, A. 2015. Pengaruh jumlah ragi dan waktu fermentasi terhadap sifat organoleptik tapai pisang tanduk. E-Journal Boga. 4(1): 192-201.

Page 52: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.221

57

Kadar Antosianin dan Nilai a* pada Tangkai Daun Pepaya setelah Mengalami Pemanasan Oven dan Bleaching Anthocyanine and a* Value on the Petiole of Papaya after Heating Treatment using Oven and Bleaching Method Ahmad Ni'matullah Al-Baarri1,2*, Raras Setyaningsih1, Astrid Agustina Nur Amanah1, Antonius Hintono1 1Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang 2Laboratorium Teknologi Pangan, UPT Laboratorium Terpadu, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected])Artikel ini dikirim pada tanggal 2 Oktober 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 24 Januari 2017. Artikel ini juga dipublikasi secara onlinemelalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Antosianin merupakan senyawa dengan fungsionalitas tinggi sebagai antioksidan yang secara natural

terdapat dalam daun dan batang tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar antosianin dalam tangkai daun pepaya setelah melalui tahap pemanasan dengan suhu 65˚C selama 45 menit dengan menggunakan metode oven dan bleaching. Tangkai daun pepaya segar yang dikumpulkan dari lokasi sekitar penelitian lalu dilakukan maserasi serta dilarutkan ke dalam media etanol yang kemudian diukur kadar antosianinnya dengan menggunakan metode perbedaan nilai pH. Warna larutan (yaitu nilai a*) juga diamati pada larutan tangkai daun pepaya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan dengan metode oven telah memberikan dampak pada penurunan kadar antosianin sebesar 55–69% dari kadar antosianin mula-mula. Perubahan nilai a* juga lebih terlihat pada sampel dengan pemanasan oven yang menandakan bahwa perubahan nilai a* selaras dengan perubahan kadar antosianin pada sampel yang dipanaskan dengan metode oven. Kesimpulannya, pemanasan dapat menyebabkan turunnya kadar antosianin yang cukup tinggi pada tangkai daun pepaya dan dapat mengubah nilai a*. Penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai informasi mengenai upaya penanganan tangkai daun pepaya agar lebih terjaga sifat fungsionalitasnya, baik potensinya sebagai makanan maupun sebagai obat.

Kata kunci: antosianin, nilai a*, pemanasan oven, bleaching, tangkai pepaya

Abstract Anthocyanin has been known as high functional compound and naturally exist in leave or petiole of plant. This

research was done to analyse the anthocyanin in petiole of papaya after heating treatment using oven and bleaching at 65˚C for 45 minutes. The petiole of papaya was collected from the plantation next to campus. After collection, petiole of papaya was macerated and diluted into ethanol to measure the anthocyanin concentration using pH differential method. The a* value of colour was also analysed. The result showed that heating treatment reduced 55–69% anthocyanin from initial concentration and also shifted the a*value. As conclusion, heating process both oven method and bleaching might reduce the anthocyanin and shifted the a* value. This research may provide the beneficial information to find the better treatment of heating to hinder the reduction in functional compounds.

Keywords: anthocyanin, a* value, oven heating, bleaching, petiole of papaya

Pendahuluan Glikosida merupakan senyawa toksik alami

yang terdapat dalam tanaman dan dapat menyebabkan peristiwa keracunan jika ikut serta terkonsumsi (Maziya-Dixon et al., 2007). Tanda dan gejala apabila seseorang mengalami keracunan glikosida adalah mual, muntah, penglihatan kabur, kelelahan dan pusing (Goodman dan Gilman, 2003). Banyak cara untuk dapat menurunkan angka glikosida ini, yaitu dengan fermentasi, pengeringan, dan pemanasan (Rosales-Soto et al., 2016).

Tangkai daun pepaya merupakan produk sampingan hasil pertanian yang kaya akan serat namun belum termanfaatkan dengan baik karena mengandung angka glikosida yang tinggi (Yogiraj et al., 2014). Guna menurunkan angka glikosida ini, proses pengeringan merupakan proses yang murah yang mungkin dapat dilakukan untuk menurunkan angka glikosida dengan cara perombakan senyawa glikosida (Rahmi et al. 2008). Suhu pengeringan dapat ditentukan sesuai dengan

kebutuhan untuk tetap menjaga mutu produk (Hernani dan Nurdjanah, 2009). Suhu pengeringan merupakan faktor penting untuk mencapai kondisi angka glikosida yang rendah namun tetap menjaga tingkat kegunaan produk, seperti sifat antioksidan. Telah banyak dokumentasi yang menyatakan bahwa suhu 30–65°C selama 1 jam adalah cara yang baik untuk menurunkan angka glikosida. Namun sejauh ini, pengeringan yang tepat untuk menurunkan glikosida pada tangkai daun pepaya hingga mencapai angka minimal, belum dilakukan terutama kaitannya dengan upaya mempertahankan sifat fungsional tangkai daun papaya sebagai antioksidan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengeringan guna mengurangi kandungan glikosida dalam tangkai daun papaya namun masih tetap mempertahankan senyawa fungsional lain seperti antosianin yang berperan sebagai zat antioksidan. Penelitan ini diharapkan dapat menghasilkan informasi mengenai cara pengeringan tangkai daun pepaya untuk menghasilkan angka

Catatan Penelitian

Page 53: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.221

58

glikosida yang rendah glikosida namun tetap mempertahankan sifat fungsionalnya. Materi dan Metode Materi

Tangkai daun pepaya segar didapat dari kebun papaya di sekitar tempat penelitian, etanol, asam sulfat, reagen Molisch (dari Laboratorium Kimia Dasar Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro).

Alat yang digunakan antaranya oven dryer merk Getra dengan kisaran suhu dari 30 hingga 130˚C (dengan tingkat kepekaan ±1˚C), waterbath, gelas beker merk Duran 100 ml, centrifuge tube 15 ml, pH meter (Hanna Instrument), spectrophotometer (UV 1280, Schimadzu Japan). Perlakuan Pemanasan Tangkai Daun Pepaya

Tangkai daun pepaya segar dibersihkan dari getahnya dan dipotong dengan panjang sekitar 10±0,5 cm dan ditempatkan diatas alumunium foil. Cara pemanasan tangkai daun pepaya dilakukan dengan menggunakan dua macam perlakuan: pemanasan oven dan bleaching. Keduanya dilakukan pada suhu 65˚C selama 45 menit. Teknik pemanasan oven dilakukan dengan menggunakan oven pengering dan dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Rivai et al. (2010). Perlakuan teknik bleaching dilakukan dengan menjaga agar tangkai daun papaya tidak kontak langsung dengan media air, oleh karena itu sampel ditempatkan di dalam sebuah ziplock plastic PET. Tangkai daun pepaya yang sudah panaskan, lalu segera digunakan untuk melakukan tahap penelitian selanjutnya tanpa adanya penyimpanan. Persiapan sampel

Mula-mula dilakukan penimbangan terhadap seluruh tangkai daun papaya yang telah dipanaskan. Kamudian dilakukan tahap maserasi dan dilanjutkan dengan tahap pelarutan dalam etanol 70% selama 30 menit (Katja dan Suryanto, 2009). Proses ini dilakukan dalam ruangan tanpa cahaya. Hasil rendaman disaring dengan menggunakan kertas Whatman No. 42. Sebanyak 2 ml diambil dan dimasukkan ke dalam centrifuge tube dan sampel siap untuk diuji pada tahap berikutnya. Penentuan Kadar Antosianin

Penentuan total kadar antosianin dilakukan dengan menggunakan metode pH differential yang mengacu pada penelitian sebelumnya (Putri et al., 2015). Mula-mula dilakukan perhitungan absorbansi awal pada panjang gelombang 510 nm terhadap sampel dengan 10 mM larutan buffer KCl pH 1,0 dan diperoleh absorbansi kurang dari 1,2. Selanjutnya pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan pelarut aquades pada panjang gelombang 510 dan 700 nm. Apabila sampel benar-benar jernih maka absorbansi pada 700 nm adalah 0. Sampel pertama disiapkan dengan cara melarutkan sampel ke dalam buffer KCl dan sampel kedua juga dipersiapkan dengan menggunakan 10 mM buffer Na-asetat pH 4,4. Sampel pertama

dibiarkan selama 15 menit, sedangkan sampel kedua dibiarkan selama 5 menit. Selanjutnya kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: Total Antosianin (mg/l) = !#$%#&'#()))

*#+

Keterangan: A : angka absorban dari rumus (A510–A700)pH 1,0–(A510–A700)pH 4,4 BM : Berat molekul Sianidin-3-glukosida = 449,2 g/mol DF : Faktor pengenceran g : Absorptivitas molar Sianidin-3-glukosida yaitu 26.900 L/mol.cm l : tebal kuvet (1 cm) Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dengan menjelaskan pada fenomena yang terjadi berdasarkan data yang dihasilkan dari minimal tiga kali ulangan dan dikaitkan dengan fenomena pada parameter lainnya.

Figur 1. Kadar antosianin tangkai daun pepaya setelah mendapat perlakuan berupa pemanasan dengan metode oven dan bleaching pada suhu 65˚C selama 45 menit. Hasil dan Pembahasan Kadar Antosianin Kadar antosianin pada tangkai daun pepaya dapat dilihat pada Figur 1. Berdasarkan hasil yang diperoleh, didapatkan kesimpulan bahwa semua perlakuan akan menyebabkan penurunan kadar antosianin yang bervariasi. Tampak dalam Figur 1, kadar antosianin dapat menurun dari 6,18±0,3 menjadi 2,34±0,5 dan 3.42±0,9 mg/g, masing-masing pada tangkai daun pepaya hasil pemanasan dengan metode oven dan bleaching. Peneliti terdahulu telah berhasil untuk meneliti kandungan antosianin berupa Delphinidin, Cyanidin, Petunidin, Peonidin serta Malvidin pada buah dan ternyata akan mengalami penurunan sekitar 40% ketika terpapar sinar matahari yang menandakan bahwa

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Kontrol Oven Perebusan

Kada

r Ant

osia

nin

(mg/

g)

Macam Perlakuan

Page 54: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.221

59

antosianin merupakan senyawa yang peka terhadap panas (Tarara et al., 2008). Hal ini sejalan dengan hasil dari penelitian ini yang menunjukkan adanya penurunan sekitar 55–69% akibat adanya pemanasan. Hingga saat ini, belum ada penelitian kadar antosianin mengenai tangkai daun pepaya, namun penelitian antosianin pepaya telah dilakukan. Sian et al., (1991) telah berhasil untuk menentukan kadar antosianin pada pepaya sebanyak 49,3 µg/g, jauh lebih sedikit daripada jumlah antosianin pada tangkai daun pepaya sebagaimana didapat pada penelitian ini. Penelitian tersebut juga berhasil membuktikan bahwa antosianin dapat menurun secara signifikan setelah adanya perlakuan bleaching.

Figur 2. Nilai a* dari sampel yang diambil dari tangkai daun pepaya dengan menggunakan pelarut ethanol setelah mendapat perlakuan pemanasan dengan metode oven (a) dan bleaching (b) selama 45 menit. Nilai a* dapat dikaitkan dengan fenomena warna hijau pada sampel, oleh karena itu, kadar warna hijau pada sampel juga perlu diketahui. Nilai warna kehijauan juga merupakan nilai yang dapat digunakan untuk penentuan intensitas kadar antosianin pada sampel tanaman. Hal ini adalah karena kisaran absorbansi yang optimal untuk menentukan kadar antosianin adalah

berkisar 550 nm yang menunjukkan absorbansi optimal untuk warna kehijauan (Merzlak et al., 2008). Setelah mendapat perlakuan pemanasan baik itu pemanasan dengan metode oven maupun metode bleaching, intensitas nilai a* menunjukkan peningkatan sebesar 10–20 kali lipatnya. Nilai a sebelum mengalami perlakuan pemanasan adalah sebesar 0,12–0,15 dan akan meningkat menjadi 0,95 dan 1,90 setelah masing-masing melewati tahap pemanasan oven dan bleaching. Peningkatan ini merupakan pergeseran puncak dari puncak optimal penentuan kadar antosianin berdasarkan panjang gelombangnya. Oleh karena itu, pergeseran ini menandakan adanya penurunan kadar antosianin pada sampel. Berdasarkan kedua parameter yang diuji pada penelitian ini maka didapat hasil yang saling dapat dikaitkan, yaitu pola perubahan kadar antosianin dengan nilai a* pada sampel. Perubahan nilai yang lebih besar, terjadi pada sampel dengan perlakukan pemanasan oven daripada nilai pada bleaching. Kesimpulan Pemanasan dengan metode oven akan memberikan dampak pada penurunan kadar antosianin yang lebih tinggi daripada pemanasan dengan bleaching. Perubahan nilai a* juga lebih nampak pada sampel dengan pemanasan oven yang menandakan bahwa perubahan nilai a* selaras dengan perubahan kadar antosianin pada sampel. Daftar Pustaka Goodman, Gilman. 2003. The pharmacological basis of

therapeutics. Mc Graw-Hill, New York. Hernani, Nurdjanah, R. 2009. Aspek pengeringan dalam

mempertahankan kandungan metabolit sekunder pada tanaman obat. Perkembangan Teknologi TRO. 21(2): 33-39.

Katja, D.G., Suryanto, E. 2009. Efek penstabil oksigen singlet ekstrak pewarna dari daun bayam terhadap fotooksidadi asam linoleat, protein dan vitamin c. Chemical Program. 2(2): 79-86.

Krishna, K.I., Paridhavi, M., Patel, J.A. 2008. Review on nutritional, medicinal, and pharmacological properties of Papaya (Carica papaya Linn.). Natural Product Radiance 74: 364-373.

Maziya-Dixon, B., Dixon, A. G. O., Adebowale, A. R. A. 2007. Targeting different end uses of cassava: genotypic variations for cyanogenic potentials and pasting properties. International Jounal of Food Science and Technology 42: 969-976.

Merzlyak, M.N., Chivkunova, O.B., Solovchenko, A.E., Naqvi, K.R. 2008. Light absorption by anthocyanins in juvenile, stressed, and senescing leaves. J Exp Bot. 14: 3903–3911.

Putri, N.K.M., Gunawan, I.W.G., Suarsa I,W. 2015. Aktivitas antioksidan antosianin dalam ekstrak etanol kulit buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) dan analisis kadar totalnya. Jurnal Kimia 9(2): 243–251.

Rahmi, B., Yanti, S., Mizumachi, S, Achmadi, J., Kawamoto, Y., Purnomoadi, A. 2008. Pengaruh

00.20.40.60.8

11.21.41.61.8

2

0 15 30 45

Nila

i a*

Lama Waktu Perlakuan (menit)

a

00.20.40.60.8

11.21.41.61.8

2

0 15 30 45

Nila

i a*

Lama Waktu Perlakuan (menit)

b

Page 55: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.221

60

Pengeringan menggunakan Oven dan Freeze Dryer terhadap Kandungan Sianida Umbi dan Batang Ketela Pohon. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 768–771.

Rosales-Soto, M.U., Gray, P.M., Fellman, J.K., Mattinson, D.S., Ünlü, G., Huber, K., Powers, J.R. 2016. Microbiological and physico-chemical analysis of fermented protein-fortified cassava (Manihot esculenta Crantz) flour. LWT-Food Science and Technology 66: 355-360.

Sian, N.K., Ishak, I. 1991. Carotenoid and anthocyanin contents of papaya and pineapple: Influence of

blanching and predrying treatments. Food chemistry 39: 175–185

Tarara, J.M., Lee, J., Spayd, S.E., Scagel, C.F. 2008. Berry Temperature and Solar Radiation Alter Acylation, Proportion, and Concentration of Anthocyanin in Merlot Grapes. Am J Enol Vitic. 59: 235-247

Yogiraj, V., Goyal, P.K., Chauhan, C.S., Goyal, A. 2014. Carica papaya Linn: An Overview. International Journal of Herbal Medicine 2(5): 01-08

Page 56: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

52

Catatan Penelitian Sifat Fisikokimia Roti yang Dibuat Dengan Bahan Dasar Tepung Terigu yang Ditambah Berbagai Jenis Gula Physicochemical Properties of Bread made from Wheat Flour and Different Sugar Melati Citra Anggraeni*, Nurwantoro, Setya Budi Muhammad Abduh Fakultas Peternakan dan Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis ([email protected])Artikel ini dikirim pada tanggal 2 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 4 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2017

Abstrak Penelitian bertujuan untuk mendapatkan roti yang mempunyai sifat fisik yang lebih baik (warna lebih coklat,

tekstur lembut dan empuk, kandungan air optimum, dan ɑw relatif rendah). Bahan yang digunakan dalam pembuatan roti manis yaitu tepung terigu protein tinggi 250 g; ragi 5,5 g; air es 50 ml; susu UHT 65 ml; susu bubuk 12,5 g; bread improver 1,5 g; kuning telur 2 buah; mentega 50 g; garam setengah sendok teh; sukrosa 50 g; fruktosa 50 g; madu 50 g; dan glukosa 50 g. Roti dibuat dengan empat jenis gula sebagai perlakuan yaitu sukrosa (T0), glukosa (T1), fruktosa (T2) dan madu (T3). Alat yang digunakan untuk uji warna (kecerahan) adalah colorimeter, alat uji tekstur (daya iris) dengan universal texture analyzer, alat uji kadar air dengan metode gravimetri, dan alat uji ɑw dengan ɑw-meter dan didapatkan hasil yaitu 18,275%; 0,8016; 0,9581 N/mm2; 70,6(sukrosa); 18,652%; 0,7962; 0,9577 N/mm2; 55,5 (glukosa); 23,084%; 0,8358; 1,047 N/mm2; 58,4 (fruktosa); 22,941%; 0,8736; 0,7035 N/mm2; 67,1 (madu). Fruktosa dan madu menghasilkan kadar air yang tinggi. Sukrosa dan glukosa menghasilkan aktivitas air yang rendah. Madu menghasilkan tekstur paling empuk. Fruktosa dan glukosa menghasilkan warna paling gelap.

Kata kunci: roti manis, sukrosa, glukosa, fruktosa, madu.

Abstract The study aims to obtain bread with better physical properties (brown in color, soft and tender in texture,

optimum moisture and relatively low water activity). High protein flour 250 g; yeast 5.5 g; 50 ml of ice water; 65 ml of UHT milk; 12.5 g of milk powder; bread improver 1.5 g; 2 egg yolks; butter 50 g; half teaspoon salt; 50 g sucrose; 50 g fructose; honey 50 g; and 50 g of glucose were used to prepare the bread samples. Four different sugars were used as the treatments i.e. sucrose (T0), glucose (T1), fructose (T2), and honey (T3). The bread were determined for their moisture by mean gravimetry, water activity by mean ɑwmeter, texture (slicing ability) by mean Universal Texture Analyzer, brightness by mean colorimeter resulted in 18.275%; 0.8016; 0.9581 N/mm2; 70.6 (sucrose); 18.652%; 0.7962; 0.9577 N/mm2; 55,5 (glucose); 23.084%; 0.8358; 1.047 N/mm2; 58.4 (fructose); 22.941%; 0.8736; 0.7035 N/mm2; 67.1 (honey). Fructose and honey resulted in high moisture content. Sucrose and glucose resulted in lowest water activity. Honey resulted in tenderest texture. Fructose and glucose resulted in darkest color.

Keywords: sweet bread, sucrose, glucose, fructose, honey.

Pendahuluan Roti adalah produk makanan yang terbuat dari

tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan dipanggang. Terdapat bahan yang boleh ditambahkan antara lain garam, gula, susu, lemak dan bahan-bahan pelezat seperti coklat, kismis, dan lain-lain (Makmoer, 2003). Di pasaran roti pada umumnya dijual dalam bentuk roti manis dan roti tawar.

Bahan-bahan pembuat roti terdiri dari tepung terigu, ragi, gula, susu, mentega, telur dan lain-lain tergantung jenisnya. Gula ditambahkan pada jenis roti tertentu untuk melengkapi karbohidrat yang ada untuk proses fermentasi dan untuk memberikan rasa manis pada roti. Selain memberikan rasa manis gula juga mempengaruhi tekstur (Buckle et al., 1987). Gula sangat penting peranannya dalam pembuatan roti, diantaranya sebagai makanan ragi, memberi rasa, mengatur fermentasi, memperpanjang umur roti, menambah kandungan gizi, membuat tekstur roti menjadi lebih empuk, memberikan daya pembasahan

pada roti dan memberikan warna coklat yang menarik pada roti (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).

Perubahan utama yang dialami oleh komponen gula dalam makanan selama proses pengolahan dengan pemanasan adalah terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatik (browning reaction) yaitu reaksi karamelisasi dan reaksi Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer, hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno, 2004). Reaksi karamelisasi adalah reaksi yang terjadi karena pemanasan gula pada temperatur di atas titik cairnya yang akan menghasilkan perubahan warna dari gelap sampai coklat (Tranggono dan Sutardi, 1989). Umumnya gula yang digunakan adalah sukrosa (gula pasir atau gula tebu). Gula pasir bersifat non- reduksi sehingga tidak berperan dalam reaksi Maillard, hanya karamelisasi saja. Berdasarkan hal tersebut maka sukrosa akan diganti dengan gula lain yaitu glukosa,

Page 57: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

53

fruktosa, dan madu. Fruktosa dan madu sebagai sumber fruktosa dan glukosa yang memiliki sifat pereduksi yang berperan dalam reaksi Maillard sehingga dimungkinkan menyebabkan sifat fisikokimia yang lebih berwarna coklat dan juga mempengaruhi tekstur, kadar air, dan ɑw. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian sifat fisikokimia roti yang dibuat dengan bahan dasar tepung terigu yang ditambah dengan berbagai jenis gula. Materi dan Metode Materi

Alat yang digunakan dalam pembuatan roti manis yaitu loyang, baskom, kuas, timbangan, oven, gelas ukur, mangkuk, dan plastik wrap. Alat yang digunakan untuk uji warna (kecerahan) menggunakan colorimeter, uji tekstur (daya iris) dengan universal texture analyzer (UTA), uji kadar air dengan metode oven, dan uji ɑw dengan ɑw -meter. Bahan yang digunakan dalam pembuatan roti manis untuk satu unit adonan yaitu tepung terigu protein tinggi 250 g, ragi 5,5 g, susu UHT 65 ml, susu bubuk 12,5 g, kuning telur 2 buah, air es 50 ml, mentega 50 g, garam setengah sendok teh, sukrosa 50 g (Bahalwan, 2014), fruktosa 50 g, madu 50 g, dan glukosa 50 g sesuai perlakuan. Kadar air fruktosa sebesar 18,3% dan kadar air madu sebesar 21,54%. Metode Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2015 – Januari 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Jurusan Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan respon yang diamati adalah kadar air, nilai aw, tekstur (daya iris), dan warna. Perlakuan yang diberikan dibagi dalam 4 taraf dengan 5 kali ulangan. Adapun taraf perlakuan yang diterapkan yaitu T0: menggunakan gula sukrosa T1: menggunakan gula glukosa T2: menggunakan gula fruktosa dan T3: menggunakan madu. Pembuatan Roti Manis

Tahap pembuatan roti adalah pencampuran seluruh bahan (gula sesuai dengan perlakuan sukrosa, glukosa, fruktosa, dan madu), kemudian pengadukan adonan menggunakan mixer dengan kecepatan tinggi, fermentasi selama 1 jam 15 menit, pencetakan, dan terakhir adalah pemanggangan selama 20 menit dengan suhu 170°C. Pengujian Warna

Pengukuran warna meliputi derajat kecerahan (L) dilakukan menggunakan colorimeter. Sampel ditempatkan di bawah lensa kamera colorimeter lalu ditempelkan pada tempat target dan ditutup, kemudian sampel akan terlihat di komputer yang sudah tertangkap lensa kamera. Kursor mouse diletakkan pada tiga titik sampel yaitu sebelah kanan, tengah, dan kiri. Komputer akan memproses angka yang keluar. Hasil akhirnya adalah hasil rata-rata dari 3 titik.

Metode Uji Pengukuran ɑw Aktivitas air diukur dengan menggunakan ɑw -

meter. Sampel diletakkan di dalam tabung plastik dengan cara ditekan-tekan kemudian dimasukkan ke dalam ɑw meter. Tombol start ditekan kemudian tunggu sampai berbunyi. Angka ɑw muncul setelah ɑw meter berbunyi. Pengukuran Kadar Air

Metode pengukuran kadar air menggunakan metode oven (AOAC, 1995). Prinsip pengukuran kadar air ini adalah kehilangan bobot setelah sampel dioven pada suhu 105°C. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven ± 15 menit. Kemudian dinginkan di dalam desikator lalu cawan ditimbang dan dihitung sebagai berat cawan kosong. Sebanyak ± 2 g sampel dalam cawan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105°C selama 6 jam, kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Berat sampel kering dihitung dari selisih berat sampel dalam cawan setelah pengeringan dengan berat cawan kosong. Pengujian Tekstur

Prosedur pengujian hardness (Manual Texture Analyzer – TA-XTPlus): (1) Aksesoris yang digunakan (Knife Probe P/2 dan meja sampel HDP/90) dipasang pada tempatnya. (2) Texture Analyzer diatur sebagai berikut Mode : measure force in compression Option : return to start, Test : Normal, Trigger : 0,5 g Deformation : 30,0 mm, Speed : 0,5 mm/s. (3) Sampel roti diukur ketebalan dan diameternya kemudian diletakkan pada meja sampel. (4) Alat dijalankan, probe akan bergerak menyentuh sampel hingga fracture, kemudian probe berhenti bergerak dan kembali ke posisi semula. (5) Komputer akan memproses data hasil pergerakan alat dan perubahan yang terjadi. Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan One-Way ANOVA menggunakan SPSS 16.0 Statistic Software. Level signifikan yang ditetapkan sebesar α = 0,05 dan dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda Duncan (Sujana, 1994). Data yang dikumpulkan adalah sifat fisik roti yaitu warna, tekstur (daya iris), kadar air dan nilai ɑw. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Air Roti Manis

Analisis kadar air (Tabel 1) menunjukkan bahwa rata-rata kadar air dengan perlakuan gula yang berbeda berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap nilai kadar air roti manis. Nilai rata-rata kadar air pada roti manis sukrosa 18,275%; nilai rata-rata kadar air pada roti manis glukosa 18,652%; nilai rata-rata kadar air pada roti manis fruktosa 23,084%; dan nilai rata-rata kadar air pada roti manis madu 22,941%. Roti manis sukrosa dan glukosa menunjukkan kesetaraan. Roti manis fruktosa dan madu juga menunjukkan kesetaraan. Roti manis sukrosa dan glukosa menunjukkan hasil kadar air yang lebih rendah dari kadar air roti manis fruktosa dan madu. Diurutkan roti

Page 58: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

54

manis dengan kadar air dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah roti manis fruktosa, roti manis madu, roti manis glukosa, dan roti manis sukrosa.

Penggunaan gula reduksi sangat berpengaruh terhadap kadar air pada makanan karena gula tersebut bersifat higroskopis yang artinya memiliki kemampuan dalam mengikat air, semakin banyak konsentrasi gula yang digunakan maka semakin banyak air yang diikat dan menyebabkan kadar air produk meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Pratama et al., (2015) bahwa fruktosa bersifat higroskopis sehingga dapat dengan mudah menyerap air selama penyimpanan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Kurniasari dan Sudarminto (2015) bahwa peningkatan kadar air dipengaruhi oleh gula reduksi, terutama fruktosa maka kadar air menjadi semakin tinggi, gula reduksi bersifat higroskopis sehingga semakin tinggi kandungan gula reduksi maka air yang terikat oleh gula reduksi akan semakin banyak sehingga kadar air semakin meningkat.

Bentuk dari masing-masing gula yang berbeda juga mempengaruhi kadar air roti manis. Sukrosa yang digunakan berbentuk kristal, glukosa yang digunakan berbentuk bubuk, fruktosa dan madu yang digunakan berbentuk cair. Kadar air pada madu dan fruktosa yang digunakan dalam membuat roti manis ini adalah 18,3% dan 21,54%. Kandungan kadar air pada gula yang cukup tinggi inilah yang menyebabkan pada saat proses pemanggangan air yang tertinggal relatif banyak sehingga kandungan kadar air roti manis fruktosa dan madu lebih tinggi dibandingkan kandungan kadar air pada roti manis sukrosa dan glukosa. Kadar air roti manis yang dihasilkan masih dalam batas mutu untuk dikonsumsi karena berdasarkan SNI roti manis (1995) kadar air yang terkandung yang diperbolehkan adalah maksimal 40%. Pengaruh Perlakuan terhadap aw Roti Manis

Analisis nilai ɑw (Tabel 1) menunjukkan bahwa

perlakuan gula yang berbeda berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap nilai ɑw roti manis. Nilai rata-rata ɑw pada roti manis sukrosa 0,8016; nilai rata-rata ɑw pada roti manis glukosa 0,7962; nilai rata-rata ɑw pada roti manis fruktosa 0,8358; dan nilai rata-rata ɑw pada roti manis madu 0,8736. Sukrosa dan glukosa menunjukkan kesetaraan. Roti manis fruktosa menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap roti manis sukrosa, roti manis glukosa, dan roti manis madu. Roti manis madu menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap roti manis sukrosa, roti manis glukosa, dan roti fruktosa. Roti manis sukrosa dan gluksosa memiliki nilai ɑw yang lebih rendah dari roti manis fruktosa dan roti manis madu.

Berdasarkan data yang telah diperoleh kadar air roti manis fruktosa dan roti manis madu juga memiliki angka yang tinggi. Semakin tinggi kadar airnya maka semakin tinggi pula nilai ɑw nya. Hal ini sesuai dengan pendapat Legowo dan Nurwantoro (2005) bahwa hubungan kadar air dengan aktivitas air (ɑw) ditunjukkan dengan kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi pula nilai ɑw nya. Kadar air dinyatakan dalam persen (%) pada kisaran skala 0-100, sedangkan nilai ɑw dinyatakan dalam angka desimal pada kisaran skala 0-1,0. Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur (Daya Iris) Roti Manis

Analisis nilai daya iris (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan gula yang berbeda berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap nilai tekstur (daya iris) roti manis. Nilai rata-rata daya iris pada roti manis sukrosa 0,9581; nilai rata-rata tekstur (daya iris) pada roti manis glukosa 0,9577; nilai rata-rata tekstur (daya iris) pada roti manis fruktosa 1,047; dan nilai rata-rata tekstur (daya iris) pada roti manis madu 0,7035. Roti manis sukrosa, glukosa, dan fruktrosa menunjukkan kesetaraan. Roti manis madu menujukkan perbedaan

Tabel 1. Hasil Kadar Air, Nilai ɑw, Nilai Tekstur (Daya Iris), dan Nilai Warna Roti Manis dengan Jenis Gula (10%) yang Berbeda

Perlakuan Rerata

Kadar Air (%) Nilai aw Nilai Tekstur (N/mm2) Nilai Warna

T1 18,275±2,21a 0,8016±0,02a 0,9581±0,096b 70,6±1,98c T2 18,652±2,30a 0,7962±0,03a 0,9577±0,060b 55,5±3,20a T3 23,084±1,52b 0,8358±0,03b 1,047±0,000 58,4±2,04a T4 22,941±1,48b 0,8736±0,01c 0,7035±0,059c 67,1±1,34b

Figur 1. Visualisasi Warna Roti Manis

Page 59: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

55

yang nyata terhadap roti manis sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Roti manis sukrosa, glukosa, dan fruktosa memiliki nilai daya iris yang lebih besar dari roti manis madu. Nilai daya iris paling rendah menunjukkan roti yang paling empuk.

Gula ternyata berpengaruh terhadap tekstur roti. Hal ini sesuai dengan pendapat Fennema (1985), bahwa gula berfungsi sebagai humektan, membantu pembentukan tekstur, memberi flavor melalui reaksi pencoklatan, dan memberi rasa manis. Roti manis dengan gula madu menghasilkan tekstur yang paling empuk karena madu sebagai bahan baku pembuatan roti mempunyai kadar air paling tinggi yaitu sebesar 21,54%.

Pengaruh Perlakuan terhadap Warna Roti Manis

Analisis nilai warna (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan gula yang berbeda berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap nilai warna roti manis. Nilai rata-rata warna pada roti manis sukrosa 70,6; nilai rata-rata warna pada roti manis glukosa 55,5; nilai rata-rata warna pada roti manis fruktosa 58,4; dan nilai rata-rata warna pada roti manis madu 67,1. Roti manis glukosa dan fruktosa menunjukkan kesetaraan. Roti manis sukrosa menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap roti manis glukosa, fruktosa, dan madu. Roti manis madu juga menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap roti manis sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Roti manis glukosa dan fruktosa memiliki warna yang paling gelap dari roti manis madu dan sukrosa. Nilai warna semakin besar menunjukkan warna semakin cerah (100,0) dan nilai warna semakin kecil menunjukkan warna semakin gelap (0,0). Roti manis glukosa dan fruktosa memiliki warna yang paling gelap. Roti manis madu memiliki warna yang lebih cerah dan diikuti sukrosa yang memiliki warna paling cerah.

Gula sukrosa merupakan gula non reduksi, sedangkan fruktosa dan glukosa merupakan gula reduksi. Gula non reduksi tidak berperan dalam reaksi Maillard, melainkan hanya berperan pada reaksi karamelisasi saja. Gula pereduksi berperan dalam reaksi Maillard dan reaksi karamelisasi. Roti manis glukosa, fruktosa, dan madu (41% fruktosa, 35% glukosa, 1,9% sukrosa) terbukti menghasilkan warna lebih gelap dibandingkan dengan sukrosa karena glukosa, fruktosa, dan madu termasuk dalam gula pereduksi yang menghasilkan reaksi Maillard dan karamelisasi sehingga menghasilkan warna yang lebih coklat (gelap). Hal ini sesuai dengan pendapat Lechevalier et al., (2007) bahwa glukosa ambil bagian dalam reaksi Maillard dan menyebabkan penyimpangan bau, cita rasa, penurunan pH dan warna yang lebih tua (gelap). Hal ini diperkuat oleh pendapat Sari et al., (2013) bahwa asam amino bebas terdapat pada glukosa, fruktosa, dan galaktosa sehingga berperan dalam reaksi Maillard yang menyebabkan reaksi pencoklatan.

Sukrosa adalah gula non reduksi, reaksi yang terjadi hanya karamelisasi saja sehingga menghasilkan warna yang lebih cerah. Karamelisasi pada suhu tinggi, oksidasi asam askorbat dan reaksi Maillard merupakan

tiga jalur utama reaksi pencoklatan non enzimatis. Selama proses memasak, asam amino (bahan penyusun protein) dan gula dapat bereaksi melalui apa yang dikenal dengan reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan penyebab reaksi pencoklatan non enzimatis yang dapat terjadi selama pengolahan dan penyimpanan makanan kering dan setengah lembab yang mengandung protein. Pencoklatan non enzimatis sangat dipengaruhi oleh kondisi reaksi terutama kondisi asam amino atau protein, karbohidrat, aw, kadar air, suhu, pH, oksigen yang tersedia, humektan yang digunakan serta rempah-rempah atau bahan tambahan makanan yang dipergunakan (Purnomo, 1997). Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian roti manis dengan jenis gula yang berbeda dapat disimpulkan bahwa diantara gula yang dipakai, fruktosa dan madu menghasilkan kadar air yang tinggi. Sukrosa dan glukosa menghasilkan aktivitas air paling rendah. Madu menghasilkan tekstur yang paling empuk. Fruktosa dan glukosa menghasilkan warna yang paling gelap.

Untuk mendapatkan roti manis yang empuk madu dapat dipilih sebagai pemanis. Sedangkan untuk mendapatkan warna cenderung coklat, glukosa dapat dijadikan sebagai pilihan. Daftar Pustaka AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists. Washington D.C. Bahalwan, F. 2014. Roti Empuk (Resep Dasar Roti).

NCC Indonesia In Bread. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 1995. Roti Manis. SNI

01-3840-1995. Jakarta: RI. Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., Wootton, M.

1987. Ilmu Pangan. Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. UI-Press. Jakarta.

Fennema, O.W. 1985. Principle of Food Science. Food Chemistry 2nd (ed). Marcel Dekker Inc. New York.

Kurniasari, D.A., Yuwono, S.S. 2015. Pengaruh jenis gula merah dan penambahan bawang putih terhadap sifat bumbu rujak manis cepat saji. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(4): 815-823.

Lechevalier, V., Jeantet, R., Arhaliass, A., Legrand, J, Nau, F. 2007. Egg white drying: Influence of industrial processing steps on protein structure and functionalities. Journal of Food Engineering. 83: 404–413.

Legowo, A.M., Nurwantoro. 2005. Analisis Pangan. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Makmoer, H. 2003. Roti Manis dan Donat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Mudjajanto, E.S., Yulianti, L.N. 2004. Membuat Aneka Roti. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pratama, F., Susanto, W.H., Purwantiningrum, I. 2015. Pembuatan gula kelapa dari nira terfermentasi alami (kajian pengaruh konsentrasi anti inversi dan natrium metabisulfit). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(4): 1272-1282.

Page 60: 612026SH Formulasi Biskuit Rendah Indeks Glikemik FIX AL

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 6 (1) 2017 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.208

56

Purnomo, H. 1997. Studi Tentang Stabilitas Protein Daging Kering dan Dendeng Selama Penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.

Sari, S.R., Baehaki, A, Lestari, S.D. 2013. Aktivitas antioksidan kompleks kitosan monosakarida. Fishtech Unsri. 2(1): 69-73.

Sujana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen (Edisi ketiga). PT. Tarsito. Bandung.

Sutomo, B. 2008. Sukses Wirausaha Roti Favorit. Puspa Swara. Jakarta.

Tranggono, Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.

United States Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Kue dan Roti. Djambatan. Jakarta.

Wibowo, D. 2009. Laporan Magang di Perusahaan Roti Milano Surakarta. Jurusan Teknologi hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.