5. peraturan dan regulasi - gunadarmaiwangsa.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/56945/5...5....
TRANSCRIPT
5. Peraturan dan Regulasi
Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law, dimana ruang
lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek
hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai
online dan memasuki dunia cyber atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu
merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, dan
peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat
pula diartikan sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya
diasosiasikan dengan internet.
Cyber Law Negara Indonesia:
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu
adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik.
Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-
undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal
yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan
konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan
mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang
memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya.
Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru
ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari
13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya
dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada
Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal 28: Berita bohong dan Menyesatkan, Berita kebencian dan permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekekrasan dan Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyber law ini yang terkait dengan terotori.
Misalkan, seorang cracker dari sebuah Negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah
situs di Indonesia. Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas
crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang
dapat dilakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata
lain, dia kehilangan kesempatan/ hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.
Cyber Law Negara Malaysia:
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyber Law pertama yang disahkan oleh parlemen
Malaysia. Tujuan cyberlaw ini adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk
menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan
transaksi bisnis. Pada cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997.
Cyberlaw ini praktis medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi
dari lokasi jauh melalui penggunaan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan
computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan
computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual,
pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang
lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi
internet.
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk
meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria.
Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam
European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah
diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga
Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas,
bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional. Konvensi ini
dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan
Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi
kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data
komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya
kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan
domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan
cepat.
3. Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian
antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi
Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan
Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan
kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk
mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk
diakses oleh Negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk diajdikan norma dan
instrument Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi
kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam
pengembangan teknologi informasi.
Perbedaan Cyber Law, Computer Crime Act, dan Council of Europe Convention on
Cybercrime
Cyber Law: merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu dan
peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu.
Computer Crime Act (CCA): merupakan undang-undang penyalahgunaan informasi
teknologi di Malaysia.
Council of Europe Convention on Cybercrime: merupakan organisasi yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia internasional. Organisasi ini dapat
memantau semua pelanggaran yang ada di seluruh dunia.
UU ITE dan UU No. 19 Tentang Hak Cipta
Pengertian UU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai
perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik
transaksi maupun pemanfaatan informasinya.
Sisi Positif UU ITE
Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE mempunyai sisi positif
bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di
Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan
berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap
tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.
Sisi Negatif UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi negatifnya. Contoh kasus Prita
Mulyasari yang berurusan dengan Rumah Sakit Omni Internasional juga sempat dijerat dengan
undang-undang ini. Prita dituduh mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam
undang-undang konsumen dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk menyampaikan keluh
kesah mengenai pelayanan publik. Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih antara UU
ITE dengan UU konsumen. UU ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang
tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menghambat
kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas bahwa negara menjamin kebebasan setiap
warga negara untuk mengeluarkan pendapat.
Undang – Undang Hak Cipta No. 19 Tentang Hak Cipta
Pengertian
Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan
hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya
seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya
tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik,
rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan
televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak cipnyataannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan
komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 aya t (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
(9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
Contoh Kasus
Contoh kasus pelanggaran UUHC? Klaim Malaysia atas lagu rasa sayange, reog ponorogo,
kuda kepang, batik, wayang kulit, angklung, dan masih banyak klaim yang lainnya Penyebab
munculnya penyalahgunaan UUHC?
– Kurangnya kesadaran akan pentinganya hak cipta di kalangan masyarakat Indonesia.
– Motif ekonomi yang memaksa masyarakat untuk melakukan pelanggaran hak cipta.
LINGKUP HAK CIPTA, PERLINDUNGAN, PEMBATASAN
HAK CIPTA, DAN PROSEDUR PENDAFTARAN HAKI
1. Ketentuan Hukum
Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga
memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu
ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Hak cipta
berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat
mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan
sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak
komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta
merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara
mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti, paten yang memberikan hak monopoli
atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan
sesuatu melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu yang berlaku
saat ini Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut pengertian hak
cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 ayat
1).
2. Lingkup Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Diatur Di Dalam Bab 2 Mengenai Lingkup Hak Cipta pasal 2-28 :
a. Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah,
kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama
atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala
bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan
seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran,
bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
b. Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara,
peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan
pengadilan atau penetapan hakim atau keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya.
3. Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil
karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Kemudian yang
dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan memperbanyak ciptaan
atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a.Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan
semua hasil karya tulis lain.
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
c. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
d. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime.
e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,
seni patung, kolase, dan seni terapan. Arsitektur, peta, seni batik.
f. Fotografi dan Sinematografi.
g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalih
wujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan
tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua
Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan
yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8, Yaitu :
Program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca
dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam merancang
instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2 ayat 2, Yaitu :
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer
(software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan
ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
4. Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian
ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau
dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat
nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan
dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini
adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk
pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya
tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara
lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama
ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta)
program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya,
untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
5. Prosedur Pendaftaran HAKI
Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta pasal 35 bahwa pendaftaran hak
cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) yang
kini berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak
cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HAKI. Permohonan
pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan
formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HAKI.
“Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HAKI
dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI
diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
Undang-undang nomor 36 tentang telekomunikasi, azas, tujuan
telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyelidikan,
sanksi administrasi, dan ketentuan pidana
Pada undang – undang no. 36 Pasal 1 dinyatakan :
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari
setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam
bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan
bertelekomunikasi.
Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan
penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis
dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan
keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan
memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan
lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat
mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru,
dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil
konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan
penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan
kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan
telekomunikasi, penquasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat
internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas
perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai
kesepakatan multilateral. Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas
dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral
menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan
General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15
April 1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994,
penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas
dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan
penyelenggaraan telekomunikasi.
Pada UU No. 36 tentang Telekomunikasi
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi:
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan hukum yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang
menyimpangdari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang digunakan
atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
g. menyegel dan/atau menyita alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang digunakan
atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal
25 ayat (2),Pasal 26 ayat (1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33
ayat (2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau
Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal
36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau
dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal
52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Dari semua pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat saya ambil bahwa undang-
undang no 36 tidak mempunyai keterbatasan jadi siapa saja boleh mengirimkan dan
menerima segala bentuk informasi dan dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di
dunia telkomunikasi diatur pada pasal 22 dengan itu masyarakat dapat menikmati
telekomunikasi dengan baik dan nyaman.
Latar Belakang Indonesia Memerlukan UU ITE
1. Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian nasional
transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin cepat
perkembangannya setiap tahun
2. Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah dilakukan
secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)
3. Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara jumlah
pengguna internet anak-anak semakin meningkat.
4. Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera tujuan
yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari Indonesia sering
terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada kompetitor.
5. Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder) atau
Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.(sumber :
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yakni:
masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-commerce, azas
persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan
intelektual (HaKI) dan Hukum Internasional serta azas Cybercrime.
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah di susun sejak tahun
2001. Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh
dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen
Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang
kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi
(RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim
yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono),
sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
disahkan oleh DPR. Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui Departemen Komunikasi
dan Informasi (Depkominfo) telah mengesahkan undang–undang baru tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang-Undang ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai
perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik
transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman
hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis
di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan
diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada
di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi
elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law
on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna
mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang
diatur, antara lain:
1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5
& Pasal 6 UU ITE);
2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU
ITE); dan
4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28,
dan Pasal 29 UU ITE);
2. akses ilegal (Pasal 30);
3. intersepsi ilegal (Pasal 31);
4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan
hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Bagian-bagian UU ITE :
Bab 1 : Ketentuan Umum (Pasal 1)
Bab 2 : Asas & Tujuan (Pasal 2 – Pasal 3)
Bab 3 : Informasi Elektronik (Pasal 4 – Pasal 16)
Bab 4 : Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Pasal 12 – Pasal 18)
Bab 5 : Transaksi Elektronik (Pasal 19 – Pasal 25)
Bab 6 : Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual & Perlindungan Hak Pribadi (Pasal 26 –
Pasal 28)
Bab 7 : Pemanfaatan Teknologi Informasi Perlindungan Sistem Elektronik (Pasal 29 – Pasal
36)
Bab 8 : Penyelesaian Sengketa (Pasal 37 – Pasal 42)
Bab 9 : Peran Pemerintah & Masyarakat (Pasal 43 – Pasal 44)
Bab 10 : Yurisdiksi (Pasal 45 – Pasal 46)
Bab 11 : Penyidikan (Pasal 47)
Bab 12 : Ketentuan Pidana (Pasal 48 – Pasal 52)
Bab 13 : Ketentuan Peralihan (Pasal 53)
Bab 14 : Ketentuan Penutup (Pasal 54)
Yurisdiksi dalam UU ITE
UU ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam UU ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun diluar
wilayah hukum Indonesai, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau
di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Yang dimaksud merugikan kepentingan Indonesia adalah meliputi, kerugian yang
ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis,
harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan Negara, kedaulatan Negara,
warga negara, serta badan hukum Indonesia.
UU ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang
berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh WNI, tetapi juga berlaku untuk perbuatan
hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh Wni
maupun WNA atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki
akibat hukum di Indonesia,mengingat pemanfaatan TI untuk Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik dapat bersifat Lintas Terotorial atau Universal.
Tujuan UU ITE
1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari MID (Masyarakat Informasi
Dunia)
2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran
dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan TI seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab.
5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara TI.
Pro dan Kontra UU ITE
Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008 dan kemudian diundangkan 21
April 2008 silam, UU ITE sudah disambut pro dan kontra. Dukungan dan penolakan UU ITE
juga disuarakan oleh publik, terutama para blogger Indonesia. Suara yang mendukung UU ITE
mengatakan kurang lebih bahwa undang-undang tersebut merupakan gebrakan dalam hukum
Indonesia. Undang-Undang ITE dilihat sebagai produk hukum yang cukup berani untuk
mengatur suatu komunitas atau interaksi masyarakat yang tercipta melalui internet. Demikian
antara lain pendapat Robaga G. Simanjuntak, advokat-blogger.
Sementara, mereka yang menolak UU ITE pada umumnya keberatan dengan sebagian
substansinya yang dinilai berpotensi mengancam hak kebebasan menyatakan pendapat yang
dijamin konstitusi. Karena itu advokat-blogger lainnya, Anggara, dalam salah artikelnya
menyatakan di antaranya “UU ITE jelas merupakan ancaman serius bagi blogger Indonesia”.
Di mata Anggara, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE yang berpotensi menimpa blogger
di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)], dan penyebaran kebencian berdasarkan suku,
agama, ras dan antargolongan (SARA) [Pasal 28 ayat (2)].
Lepas dari berbagai pendapat di atas, substansi tertentu di dalam UU ITE boleh jadi memang
perlu mendapat perhatian serius dari para pengguna internet pada umumnya, tidak hanya
blogger. Khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ada tiga unsur yang dikandung Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu (1) unsur setiap orang; (2) unsur
dengan segaja dan tanpa hak; serta (3) unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat diketahui bahwa cakupan pasal tersebut sangat luas.
Bahkan, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga
pasal tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal
tersebut sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya.
Contoh Kasus Pelanggaran UU ITE
Seperti yang kita ketahui, kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap UU
ITE yang mengemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan
masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial seperti facebook dan
twitter.
Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni
Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak
mendapat kesembuhan namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak
memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak
memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan
pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai
mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan
merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita
Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat
ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal
pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang berimbas
dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”. Pada tanggal 29
Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Contoh kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor
11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INTERNET
BANKING
Kata internet perbankan sering kita dengar yaitu merupakan suatu layanan yang diberikan suatu
bank dalam media internet agar proses atau sesuatu hal yang behubungan dengan perbankan
menjadi lebih cepat dan mudah.
Akan tetapi dengan adanya layanan ini menyebabkan suatu permasalahan yang terjadi yaitu
terjadi serangan oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang bersifat aktif seperti hal nya
ialah penyerang sendiri tanpa perlu menunggu user. Beberapa jenis serangan yang dapat
dikategorikan ke dalam serangan aktif adalah man in the middle attack dan trojan horses.
Ada layanan yang diberikan internet perbankan yaitu antara lain nya dengan diberlakukannya
fitur two factor authentication, dengan menggunakan token. Penggunaan token ini akan
memberikan keamanan yang lebih baik dibandingkan menggunakan username, PIN, dan
password. Dengan adanya penggunaan token ini,bukan berarti tidak ada masalah yang
terjadi,seperti hal nya Trojan horses adalah program palsu dengan tujuan jahat yaitu dengan
cara menyelipkan program tersebut kedalam program yang sering digunakan.
Dan dalam hal penangulangan nya bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkait tentang
masalah keamana system informasi.dan berikut ini yang peraturan yang dikeluarkan oleh bank
Indonesia sebagai berikut ini :
1. Mengembangkan wadah untuk melakukan hubungan informal untuk menumbuhkan
hubungan formal.
2. Pusat penyebaran ke semua partisipan.
3. Pengkinian (update) data setiap bulan tentang perkembangan penanganan hukum
4. Program pertukaran pelatihan.
5. Membuat format website antar pelaku usaha kartu kredit.
6. Membuat pertemuan yang berkesinambungan antar penegak hukum.
7. Melakukan tukar menukar strategi tertentu dalam mencegah atau mengantisipasi
cybercrime di masa depan.
Dengan adanya peraturan ini dapat menyelesaikan segala permasaahan yang terjadi pada
internet perbankan di Indonesia,dan segala kegiatan perbankkan melalui media internet dapat
berjalan dengan cepat,aman dan mudah digunakannya.
· Internet Banking adalah salah satu pelayanan jasa Bank yang memungkinkan nasabah untuk
memperoleh informasi, melakukan
· komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet, dan bukan
merupakan Bank yang hanya menyelenggarakan layanan perbankan melalui internet, sehingga
pendirian dan kegiatanInternet Only Bank tidak diperkenankan.
· Internet Banking dapat berupa Informational Internet Banking, Communicative Internet
Banking dan Transactional Internet Banking. Informational Internet Banking adalah pelayanan
jasa Bank kepada nasabah dalam bentuk informasi melalui jaringan internet dan tidak
melakukan eksekusi transaksi (execution of transaction).
· Communicative Internet Banking adalah pelayanan jasa Bank kepada nasabah dalam bentuk
komunikasi atau melakukan interaksi dengan Bank penyedia layanan internet banking secara
terbatas dan tidak melakukan eksekusi transaksi (execution of transaction).
· Transactional Internet Banking adalah pelayanan jasa Bank kepada nasabah untuk melakukan
interaksi dengan Bank penyedia layananinternet banking dan melakukan eksekusi transaksi
(execution of transaction).
· Mengingat aktivitas internet banking yang mengandung risiko tinggi adalah transactional
internet banking, maka kewajiban penerapan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam
Surat Edaran ini hanya diberlakukan bagi penyelenggaraan transactional internet banking.
· Ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu antara lainUndang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan ketentuan Bank Indonesia
tentang Penerapan
· Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) juga berlaku
· dalam hubungannya dengan penyelenggaraan internet banking.
PEDOMAN MANAJEMEN RISIKO
1.Bank yang menyelenggarakan internet banking wajib menerapkan manajemen
risiko pada aktivitas internet banking secara efektif, yang meliputi :
a.pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b.sistem pengamanan (security control);
c.manajemen risiko, khususnya risiko hukum dan risiko reputasi.
2.Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dituangkan dalam
suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis, dengan mengacu pada Pedoman Penerapan
Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet
Banking),yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
Pedoman penerapan manajemen risiko internet banking tersebut merupakan bagian dari
Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Bank secara keseluruhan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum.
3.Bank yang telah melaksanakan aktivitas internet banking dan telah memiliki
kebijakan, prosedur dan atau pedoman tertulis penerapan manajemen risiko pada
aktivitas internet banking wajib menyesuaikan dan menyempurnakan dengan berpedoman
pada Lampiran Surat Edaran ini.
4. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, penyempurnaan pedoman penerapan manajemen risiko
pada aktivitas internet banking sebagaimana dimaksud pada angka 3 wajib dilakukan selambat-
lambatnya tanggal 31 Desember 2004.
PELAPORAN
· Sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank, Bank wajib
menyampaikan laporan rencana perubahan Sistem Teknologi Informasi (TSI) yang
menyangkut perubahan konfigurasi dan prosedur pengoperasian komputer yang terkait dengan
rencana penyelenggaraan internet banking selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender
sebelum pelaksanaan. Format laporan mengacu kepada Formulir Isian TSI yang merupakan
lampiran dari Surat Edaran Nomor 27/9/UPPB tanggal 31 Maret 1995.
· Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Bank yang menyelenggarakan aktivitas
baru internet banking, wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak aktivitas tersebut efektif dilaksanakan. Format laporan
mengacu kepada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003,
yang memuat :
a.Uraian singkat atau penjelasan dan bentuk flow chart dari Prosedur Pelaksanaan (standar
operating procedures/SOP) internet banking;
b.Bagan Organisasi dan kewenangan satuan kerja tertentu yang melaksanakan internet
banking;
c.Hasil analisis dan identifikasi satuan kerja manajemen risiko pada Bank terhadap risiko yang
melekat pada internet banking;
d.Hasil uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko yang melekat pada internet
banking yang dilaksanakan oleh satuan kerja manajemen risiko pada Bank;
e.Uraian singkat mengenai Sistem Informasi Akuntansi untuk transaksi yang dilakukan
melalui internet banking, termasuk penjelasan singkat mengenai keterkaitan sistem informasi
akuntansi tersebut dengan sistem informasi akuntansi Bank secara menyeluruh; dan
f.Hasil analisis aspek hukum untuk internet banking.
· Pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dikecualikan dalam
hal penyelenggaraan aktivitas baru internet banking tersebut telah efektif dilaksanakan oleh
Bank sebelum Bank menyelesaikan action plan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum.
· Bagi Bank yang dikecualikan untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada
angka 3, kewajiban untuk menyampaikan laporan realisasi rencana perubahan TSI yang
menyangkut internet banking selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender setelah rencana
dimaksud dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 27/164/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem
Informasi oleh Bank tetap berlaku.
SANKSI
· Pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka III.1 dan angka
III.4 dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Surat Keputusan Direksi
No. 27/164/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi
oleh Bank.
· Pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka III.2 dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.