2. dari lokal ke internasional- mengamati proses internasionalisasi

Upload: ahmad-asy-sodik

Post on 30-Oct-2015

82 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Dari Lokal ke Internasional: Mengamati Gejala InternasionalisasiGlobalisasi & Konflik Etnis

2

Dari Lokal ke Internasional:

Mengamati Gejala Internasionalisasi

Lebih banyak negara di dunia yang terlahir sebagai negara heterogen, terdiri lebih dari satu etnis, dibandingkan dengan yang terlahir sebagai negara homogen. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara batas-batas teritorial dengan batas-batas kultural. Masalah-masalah ini secara mudah memicu tumbuhnya nasionalisme etnis yang dapat berkembang menjadi konflik etnis jika sentimen etnis tersebut tidak dikelola secara benar oleh pemerintah nasional. Entitas sebuah negara dikukuhkan dengan perjanjian internasional, sementara aktor-aktor sosial yang berada di berbagai negara melakukan interaksi sosial, ekonomi dan budaya. Namun sifat perbatasan (border) yang porous menyebabkan sebuah negara tidak bisa dengan mudah menghindar dari masuknya aliran barang, berita maupun manusia, termasuk mudahnya konflik nasional merembet ke negara lain.

Seringkali juga meningkatnya intensitas konflik etnis di sebuah negara merupakan hasil dari peristiwa di luar batas negara yang peristiwa tersebut tidak dapat dikontrol oleh pemerintah nasional. Nasionalisme etnis dapat menjadi faktor penganggu bagi kristalisasi nilai-nilai kesadaran nasionalisme di tingkat negara (civic nationalism). Banyak negara pasca-kolonial menghadapi masalah integrasi nasional yang bersumber pada pertikaian etnis yang belum terselesaikan, bahkan setelah negara yang bersangkutan bertahun-tahun lepas dari penjajahan.

Konflik berbasis etnis selama ini dikenal sebagai konflik nasional yang berada di ranah domestik. Keberagaman etnis dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya menghasilkan konflik etnis, dan tidak setiap konflik etnis menghasilkan kekerasan. Pemerintah di setiap negara memperlakukan konflik etnis sebagai urusan dalam negeri yang penyelesaiannya dilakukan melalui cara-cara yang dikehendaki masing-masing pemerintah nasional. Cara-cara yang ditempuh bervariasi, mulai cara-cara politik/persuasif sampai pendekatan militer. Alasan utama yang mendasari mengapa konflik etnis diperlakukan hanya sebatas masalah nasional tidak terlepas dari sistem Westphalian yang menempatkan doktrin kedaulatan sebagai dasar bertindak setiap negara semenjak lebih dari tiga abad.

Doktrin kedaulatan tersebut menghendaki integritas kewilayahan (teritori) sebagai faktor yang harus dijunjung tinggi. Hal tersebut mengakibatkan domestikasi konflik etnis; artinya konflik etnis hanya boleh menjadi urusan negara dan negara berupaya semaksimal mungkin mencegah agar konflik etnis tidak menjadi masalah internasional. Tidak ada satu negara pun yang membiarkan konflik etnis berkembang menjadi bola liar di tingkat internasional. Konflik etnis, dengan demikian menjadi salah satu isu keamanan manusia non-konvensional yang telah mencuri perhatian masyarakat internasional. Sifat transnasional konflik etnis menjadi salah satu bahan kajian baru dalam studi hubungan internasional. Pada kenyatannya, amat sulit bagi beberapa kasus konflik etnis domestik untuk tidak bermutasi menjadi konflik internasional karena beberapa sebab. Berubahnya sifat konflik tersebut secara nyata merupakan ancaman bagi stabilitas dalam sistem internasional. Banyak konflik etnis menjadi dilema keamanan bagi negara-negara tetangga dan menjadi keprihatinan kolektif sehingga memerlukan tindakan kolektif pula untuk mengelolanya. Berkembangnya interdependensi, globalisasi, dan interakasi antarmanusia, antarperadaban, dan relatif semakin dekatnya jarak antarberbagai tempat di dunia menyebabkan isu-isu domestik tidak dapat ditampung, diisolasi maupun disembunyikan dari pengamatan khalayak internasional. Perkembangan ini telah meresahkan setiap pemerintah nasional yang memiliki masalah dengan konstituennya di tingkat nasional. Konflik antara negara dan masyarakat yang pada awalnya hanya menjadi konsumsi domestik telah berubah menjadi masalah internasional, yang secara potensial dapat berpengaruh pada proses resolusi konflik. Aktor-aktor yang terlibat dalam konflik etnis, seperti gerakan-gerakan pemisahan diri dan diaspora tidak lagi dapat dikategorikan semata dalam aktor domestik karena kegiatan mereka yang melintas batas negara. Mereka telah menjadi salah satu aktor internasional baru yang layak mendapat perhatian. Apalagi dengan melihat kenyataan bahwa beberapa gerakan etno-nasionalis telah menjalin dukungan dan kerjasama dengan organisasi teroris internasional. Bahkan dalam beberapa kasus, konflik etnis telah memicu, dan berkembang menjadi konflik antaranegara sehingga memerlukan aktivitas diplomatik dalam menghadapinya.

Berkembangnya masalah lokal/nasional menjadi masalah internasional merupakan gejala yang terjadi sejak hampir tiga dasawarsa terakhir. Apakah gejala yang dapat diamati dari sebuah konflik etnis di peringkat nasional berkembang menjadi konflik internasional yang dapat berdampak destruktif bagi stabilitas sistem? Benar bahwa tidak semua konflik etnis berdimensi internasional karena terdapat beberapa kasus konflik etnis yang dapat dihindarkan dari proses pelebaran sehingga tidak sampai mengganggu stabilitas sistem. Berubahnya sifat konflik dari masalah nasional menjadi konflik yang menarik perhatian internasional dapat diamati melalui beberapa variabel yang dapat diperlakukan sebagai indikator. Melalui beberapa variabel indikator dapat diamati apakah sebuah konflik etnis di tingkat nasional telah mengalami proses internasionalisasi.

Bagian ini berupaya mengidentifikasi dan menguraikan beberapa faktor yang dapat dilihat sebagai ukuran bahwa telah terjadi perubahan sifat sebuah konflik, dari lokal menjadi internasional. Konflik etnis meng-internasionalisasi bila memenuhi sedikitnya kriteria-kriteria berikut ini:1. Terdapat dukungan dari pihak luar/eksternal yang berasal dari:

a. Ethnic kin dan diasporaEthnic kin (kerabat sesama etnis) dan diapora merupakan aliansi etnis yang berpengaruh kuat pada proses internasionalisasi konflik etnis. Saudara sesama etnis adalah sumber dukungan utama bagi sekelompok etnis yang sedang bertikai. Terdapat kecenderungan keberpihakan dari sebuah kelompok etnis kepada kelompok etnis lain yang terdepresi pada sebuah wilayah di luar wilayah yang dihuni oleh etnis simpatisan tersebut. Nepotisme etnis ini merupakan gejala yang wajar dan alamiah. Dukungan yang diberikan berdasarkan faktor genetik oleh blood brothers berdampak signifikan bagi etnis yang sedang menghadapi pertikaian, baik dengan negara (konflik vertikal) maupun dengan kelompok etnis lain (konflik horizontal). Menurut teori nepotisme etnis a la Berghe, terdapat kecenderungan predisposisi perilaku yang bersifat umum untuk berfihak pada organisme yang memiliki hubungan biologis dengan si aktor. Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin kuat preferensi perilakunya. Dengan demikian terdapat kecenderungan favoritisme dalam perilaku mendukung konflik berbasis etnis. Hal ini relevan dengan interpretasi politik Darwinian yang berakar pada teori evolusi sosiobiologis mengenai seleksi kekerabatan (Vanhanen 1999, 1-2).

Dalam konflik etnis pemisahan diri, dukungan bagi ethnic kin diberikan ketika ethnic kin mendapat represi dari pihak (negara/rejim/aktor) lain. Pada umumnya pihak pemberi dukungan pada ethnic kin di tempat lain berpegang pada prinsip conventional wisdom. Prinsip ini tidak memungkinkan sebuah negara yang mengalami konflik etnis serupa di negaranya sendiri memberi dukungan pada ethnic kin yang hendak memisahkan diri dari negara induknya (Saideman 2001, 2). Prinsip ini masih dipertahankan sebagai sebuah norma standar, namun di sisi lain prinsip ini sering sulit untuk dipatuhi oleh para aktor. Komunitas diaspora merupakan kelompok etnis yang bermigrasi dan menetap di luar wilayah negara induknya (home country) yang secara potensial dapat berperan ganda, sebagai pihak yang membantu resolusi konflik dengan peran intervensi konstruktifnya maupun pihak yang membantu meningkatkan intensitas aspek kekerasan (violence) di negara induk. Beberapa masyarakat diaspora pada awalnya datang sebagai pengungsi atau pencari suaka, seperti yang dapat ditemui di kalangan diaspora Sri Lanka di Jerman dan Inggris. Perang, status yang tidak jelas dan rasa tidak aman di negara induk merupakan beberapa pemicu untuk menjadi diaspora.

Zunzer (2004, 13) menekankan bahwa diaspora memiliki potensi untuk menjadi pihak yang dapat membantu transformasi konflik etnis berkepanjangan (protracted). Diaspora dapat menjalankan perannya melalui,

supporting the conflicting parties as they argue about ways to achieve a negotiated settlement and empowering them, in the medium term, to initiate a sustainable process for overcoming the conflict causes by themselves. This in turn means that conflict prevention and conflict transformation activities are interdependent and must involve key state and civil society actors.

Zunzer melihat bahwa peran positif diaspora, dalam berbagai kasus konflik etnis, sebagai agen perdamaian perlu mendapat perhatian. Diaspora memiliki potensi dalam transformasi konflik melalui peran sosio-ekonomi dan politik yang signifikan. Konflik etnis di Sri Lanka, misalnya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan dialektik di antara diaspora Sri Lanka (yang sebagian besar terdiri dari kaum Tamil dan sebagian kecil Sinhala), host country (tempat tinggalnya) dan home country (negara asalnya) dan LTTE. Mereka tidak hanya merespon setiap perkembangan yang terjadi di Sri Lanka tetapi juga memberikan dukungan ekonomi dan politik melalui jalur-jalur dan jejaring formal dan informal. Diaspora Sri Lanka generasi ketiga yang pada umumnya lebih terpelajar mendukung transformasi LTTE dari organisasi militer murni menjadi organisasi politik. Diaspora Sri Lanka di London memberi sumbangan penting atas menurunnya aktivitas LTTE di Inggris setelah kaum diaspora berhasil mempengaruhi pemerintah Inggris sehingga undang-undang anti-terorisme disetujui oleh parlemen Inggris. Undang-undang tersebut berdampak pada larangan segala bentuk kegiatan LTTE di Inggris (Zunzer 2004, 20).

Selain berperan positif, ikatan etnis lintas batas negara dapat menjadi faktor pencipta ketidakamanan. Diaspora sering berperan sebagai sponsor bagi keberhasilan pemberontakan terhadap negara. Berbagai pemberontakan di belahan dunia mana pun, seperti di Algeria, Azerbaijan, Mesir, Sri Lanka, India, Indonesia, Kosovo, Turki, Irlandia Utara, Israel, Rwanda, Rusia, menerima berbagai bentuk dukungan dari komunitas migrant mereka masing-masing dalam bentuk uang, senjata maupun dukungan non-fisik seperti dukungan diplomatik dan penggalangan lobi-lobi internasional. Dukungan diaspora inilah yang menyebabkan pemberontak mampu meningkatkan kapabilitas perjuangannya memungkinkan mereka untuk bertahan dari serangan-serangan balik (counterinsurgency) yang dilakukan pemerintah.

Salah satu bentuk dukungan dari diaspora bagi keberhasilan perjuangan LTTE adalah keberhasilan diaspora dalam memberikan label pada diri mereka sebagai victim diaspora (Wyland 2004, 413) dan memanfaatkan etos demokrasi liberal di beberapa negara Barat bagi didirikannya kantor-kantor perwakilan LTTE, seperti Eelam House di London, yang berfungsi sebagai markas besar LTTE di luar Sri Lanka (Byman 201, 44). Padatnya aktivitas politik diaspora Tamil di berbagai tempat, terutama mereka yang tinggal di negera-negara Barat, mantan presiden Sri Lanka J.R. Jayewardene memberi mereka sebutan sebagai the worlds most powerful minority (Wyland 2004, 415).

Sebagai kelompok yang tinggal jauh dari tanah leluhurnya, diaspora memiliki kesempatan dan keleluasaan yang lebih besar dalam menentukan pilihan politiknya dibandingkan jika mereka tinggal di tanah leluhur. Demikian pula dalam mengambil posisi politik yang dikehendaki, diaspora memiliki lebih banyak pilihan. Dalam kaitan dengan perannya sebagai mediator etnis, menurut Wyland (2004, 418), diaspora memiliki potensi untuk berperan penting dalam keberhasilan perjuangan kemerdekaan berbasis etnis, karena:

In the diaspora, it became possible to explore and express Tamil cultural, linguistic, and religious identity as never before. Associations were formed, both with an eye toward facilitating integration in the host country as well as toward maintaining ties with the homeland, namely through supporting the quest for Tamil independence. Migration from Sri Lanka has resulted in Tamil identity-building from abroad as well as material support for the creation of a separate Eelam.

Diaspora etnis memberi dukungan materi dan non-materi bagi aktivitas politik yang termobilisasi (Carment dan James, nd, np). Contohnya, para elit Tamil memanfaatkan identitas diaspora dan berhasil memobilisasi mereka yang tinggal di berbagai negara, yang perjuangannya berpengaruh pada dinamika konflik di Sri Lanka. Cara-cara yang digunakan oleh diaspora tersebut antara lain: (a) pertukaran informasi diantara sesama komunitas Tamil melalui koran, radio, internet, dan organisasi etnis; (b) menyebarkan kesadaran atas perjuangan Tamil melalui pawai, konferensi dan berbagai lobi ke pejabat-pejabat negara; (c) penggalangan dana, baik melalui cara-cara legal maupun ilegal. Propaganda yang dilakukan terus menerus tentang penderitaan kaum Tamil telah mampu membangkitkan rasa bersalah pada diaspora Tamil. Kegiatan-kegiatan ini berdampak pada keberlanjutan perjuangan kemerdekaan di Sri Lanka (Wyland 2004, 18). Sama halnya dengan diaspora Siprus, Yunani, Turki, pada umunya mereka seringkali bersikap nasionalis bahkan chauvinis bila berhadapan dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik di tanah leluhur. Demikian pula dengan diaspora Yahudi yang mendukung terbentuknya negara Israel dan diaspora Irlandia yang mendukung berdirinya negara Irlandia (Anthias 1998, 567).

b. Negara

Negara masih merupakan kekuatan dominan dalam politik internasional dan negara merupakan salah satu aktor pendukung proses internasionalisasi konflik etnis. Keterlibatan negara sebagai pihak ketiga dalam konflik etnis di suatu negara bukanlah sebuah kenyataan baru. Sebuah negara yang terlibat dalam konflik etnis dapat berperan sebagai pihak pendamai maupun sebagai pihak yang memperkeruh konflik.

Sekali pun banyak aktor-aktor non-negara memberi dukungan pada salah satu kelompok etnis yang bertikai, dukungan yang mereka berikan tidak melebihi skala dan jumlah dukungan yang diberikan oleh negara. Pada era Perang Dingin, dukungan negara membawa dampak besar pada efektivitas perjuangan kelompok etnis. Penelitian Byman et al (2001, 10) menunjukkan bahwa negara merupakan sponsor penting pemeliharaan konflik etnis dengan memberikan bantuan militer, politik dan kegiatan logistik, baik dalam skala terbatas maupun besar. Salah satu contohnya adalah Libya yang secara aktif membantu Gerakan Aceh Merdeka. Dukungan tersebut setidaknya terjadi sampai dengan tahun 1991. Terbatasnya jumlah personel dan logistik yang didapatkan GAM, menyebabkan organisasi ini tidak memiliki potensi berkembang untuk menjadi konflik internasional.

Salah satu bentuk dukungan negara yang mampu mengubah bentuk konflik lokal menjadi internasional adalah dukungan India pada LTTE. Intervensi India atas masalah etnis Sri Lanka menyebabkan terganggunya keseimbangan power di Asia Selatan. Intervensi India pada krisis etnis di Sri Lanka selama tahun 1980-an, salah satunya disebabkan oleh kekhawatiran India atas berkembangnya sentimen pemisahan diri di Tamil Nadu, wilayah India yang berdekatan dengan Sri Lanka. Selain itu India mulai merasa terganggu dengan membanjirnya pengungsi Tamil dari wilayah Jaffna menuju India. Kedua negara tersebut berusaha menyelesaiakan masalah Tamil secara diplomatik maupun militer. New Delhi dan Colombo menandatangani Perjanjian Perdamaian pada Juli 1987 (Indo-Sri Lankan Peace Accord). Berdasarkan Perjanjian tersebut militer India memiliki kewenangan untuk memadamkan pemberontakan Tamil Eelam. Intervensi militer India tersebut berdampak pada permusuhan LTTE terhadap India. Oposisi LTTE pada aliansi New Delhi-Colombo ditunjukkan dengan pembunuhan tiga tokoh penting, yaitu Deputi Menteri Pertahanan Sri Lanka Ranjan Wijerante; Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi; dan Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa (Chalk 2003, 134).

Amerika Serikat juga terlibat dalam konflik etnis bagi pemisahan diri Kosovo dari Yugoslavia yang menyebabkan munculnya krisis di Balkan. Atas nama menghentikan pembersihan etnis di Kosovo oleh penguasa Yugoslavia, Slobodan Milosevic, AS melancarkan intervensi kemanusiaan, yang disebut Amerika sebagai a just and necessary war dan the new interventionism (Chomsky 1999, 3-4). Konflik Kosovo tidak saja melibatkan AS, tetapi juga organisasi internasional seperti NATO dan PBB. Dalam kaitan ini, konflik Kosovo tidak bisa lagi sekedar dipandang sebagai konflik etnis lokal yang terjadi antara etnis Albania (di Kosovo) versus Yugoslavia yang didominasi oleh etnis Serbia, namun sifat konflik telah bermutasi menjadi konflik internasional karena keterlibatan aktor-aktor internasional sebagai pihak ketiga. Dengan terlibatnya berbagai aktor eksternal, intervensi kemanusiaan AS di Kosovo menjadi salah satu episode aksi AS yang paling kontroversial dalam sejarah perang AS.

Deklarasi kemerdekaan Eritrea dari Etiopia pada Juli 1991 merupakan salah satu contoh keberhasilan gerakan pemisahan diri yang melibatkan aktor eksternal setelah melalui perang selama tiga puluh tahun. Konflik pemisahan diri Eritrea menyebabkan terlibatnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis dan PBB. Internasionalisasi konflik Eritrea sudah bermula sejak tahun 1940an. Indikator internasionalisasi sudah dapat diamati sejak awal, ketika melibatkan empat negara pemain kunci di Tanduk Afrika dan ketika Four Powers gagal disepakatinya cara penyelesaian konflik. Internasionalisasi konflik di Tanduk Afrika tersebut mulai menarik super power maupun dunia internasional pada umumnya. Baik Eritrea maupun Ethiopia sangat bergantung pada bantuan militer dua super power: AS mendukung Ethiopia dan Uni Soviet mendukung Eritrea, walaupun AS sebenarnya menghendaki federasi Eritrea ke dalam Ethiopia. Perang tiga puluh tahun antara Eritrea-Ethiopia disebabkan karena komplikasi kepentingan negara-negara besar tersebut. Berakhirnya konflik Eritrea-Ethiopia bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin. Kasus ini membuktikan bahwa internasionalisasi konflik domestik berpengaruh pada durasi waktu yang panjang atas konflik tersebut.

2. Menghasilkan pengungsi

Pengungsi, yang merupakan korban kekerasan politik di negaranya, merupakan salah satu indikator yang dapat diidentifikasi sebagai faktor internasionalisasi konflik etnis. Pertikaian etnis di sebuah negara secara signifikan dapat meningkatkan jumah pengungsi ke negara lain dan kedatangan pengungsi di tempat baru tersebut secara potensial dapat menimbulkan berbagai konflik baru yang berdimensi ekonomi, sosial maupun politik. Sejak tahun 1980an pengungsi lebih banyak dihasilkan oleh konflik etnis daripada oleh bencana alam atau konflik-konflik lain (Weiner 1996 dalam Saideman 2001, 3). Konflik etnis yang berdampak pada mengalirnya pengungsi terjadi di banyak tempat, seperti Vietnam, Armenia, Azerbaijan, Burma, Ethipia, Georgia, Sri Lanka, dan Yugoslavia. Mengalirnya pengungsi menarik perhatian aktor eksternal dan mereka berusaha untuk mencari cara terbaik untuk mengatasinya.

Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain yang disebabkan karena ketidakamanan di negara induk lebih banyak membawa dampak negatif terutama bagi populasi negara induk, seperti menurunnya standar hidup, penularan penyakit, perdagangan gelap, kecenderungan terjadinya kejahatan, dan berbagai dampak negatif lainnya. Mengalirnya pengungsi juga membebani negara tujuan karena pengungsi memerlukan makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang harus dipenuhi oleh negara tujuan. Beban menjadi lebih berat bagi negara-negara miskin, seperti datangnya pengungsi Albania ke Macedonia. Ilmuwan politik seperti Aristide Zolberg dan Astri Suhrke berpendapat bahwa pengungsi adalah kelompok istimewa. Menurut mereka,

Refugee status is privilege or entitlement, giving those who qualify access to certain scarce resources or service outide their own country, such as admission into another country ahead of a long line of claimants, legal protection abroad, and often some material assistance from public or private agencies (Zolberg at al 1989, 3 dalam Newland 1993, 144).

Sejak berakhirnya Perang Dingin, negara-negara maju lebih banyak didatangi oleh pengungsi dari negara miskin yang mengalami konflik etnis, seperti yang terjadi di Eropa. Negara-negara maju di Eropa, menjadi tujuan utama pengungsi dari wilayah-wilayah konflik di Eropa Timur seperti Yugoslavia. Negara-negara etnokratik seperti Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, Israel dan Myanmar memiliki kecenderungan mengalirkan lebih banyak pengungsi ke negara-negara sekitarnya karena kelompok etnis lain, selain etnis dominan memiliki potensi untuk mengalami asimilasi paksa (forced assimilation), pengusiran dan penganiayaan, dan lebih buruk lagi, pembersihan etnis (ethnic cleansing). Perebutan sumber (alam, kekuasaan) dan kekhawatiran etnis dominan untuk tidak memperoleh sumber-sumber tersebut merupakan faktor terpenting yang menjadi penyebab kesewenang-wenangan rejim etnokratik yang dapat menjadi penyebab konflk etnis. Rejim etnokratik mengingkari kewajiban dalam melindungi warga negara, sehingga persoalan perlindungan warga negara menjadi tanggungjawab pihak lain.

Pengungsi dapat mengakibatkan terganggunya keamanan negara penerima. Datangnya pengungsi secara potensial juga dapat mengakibatkan berubahnya keseimbangan demografi. Lebih jauh, negara penerima pengungsi sangat rentan terhadap terjadinya konflik antarwarga negara (civil war), seperti yang dinyatakan oleh Salehyan dan Gleditsch (2006, 338), bahwa:

refugees and conflict by arguing that refugees facilitate the spread of rebel networks and negative externalities to receiving areascountries that experience an influx of refugees from neighboring states are significantly more likely to experience civil wars themselves. Thus population movements are an important factor contributing to the regional clustering of violence and the diffusion of conflict.

Konflik etnis yang menyebabkan melimpahnya pengungsi ke negara lain merupakan masalah keamanan yang memerlukan manajemen kolektif. Pengungsi yang mencari perlindungan di tempat lain sebagai hasil konflik etnis di negaranya, dapat disebabkan karena negara tidak bersedia melindungi warga negaranya dan karena ketidakmampuan negara dalam melakukanya, yang dua hal ini harus dibedakan. Rejim etnokratik yang melepaskan tanggungjawab perlindungan etnis minoritasnya memiliki masalah atas compliance terhadap hukum internasional yang berkonsekuensi pada pemberian sanksi; Sementara negara lemah yang tidak mampu melindungi warganya sendiri merupakan pihak yang perlu mendapat bantuan internsional.

3. Melibatkan PBB dalam resolusi konflik etnis

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang memiliki tanggung jawab dalam mencari jalan keluar atas berbagai konflik etnis yang terjadi. Peran PBB sebagai badan dunia penyelesai konflik etnis selama ini dianggap kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai persoalan, baik substansi maupun teknis. Terdapat dua hal penting dalam melihat keterlibatan PBB dalam resolusi konflik etnis.

Pertama, PBB seringkali mengalami kesulitan menempatkan diri sebagai pendamai karena harus berhadapan dengan berbagai kepentingan yang tumpang tindih dari aktor-aktor yang terlibat dalam konflik etnis. Lebih jauh lagi, resolusi konflik etnis tidak jarang menemui jalan buntu ketika dihadapkan pada kepentingan negara-negara besar. Keterlibatan negara besar seringkali justru mempersulit resolusi konflik etnis. Diplomasi PBB dalam menangani berbagai konflik etnis seringkali juga mengalami kegagalan, selain karena campur tangan negara besar, juga karena berkaitan dengan masalah kedaulatan, yang berakibat pada penolakan negara atas campur tangan asing untuk urusan konflik etnis yang masih dipandang sebagai urusan dalam negeri. Pasal 2 (7) Piagam PBB menyatakan bahwa PBB tidak memiliki otoritas untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di dalam yurisdiksi domestik sebuah negara. PBB juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta negara lain untuk intervensi dalam penyelesaian masalah dalam negeri sebuah negara berdaulat. Prinsip non-intervention masih menjadi pegangan kuat bagi PBB untuk membatasi tindakannya.

Sebagai lembaga internasional yang beranggotakan entitas politik berdaulat, PBB juga seringkali merasa enggan terlibat dalam menyelesaikan kasus-kasus konflik etnis. Keengganan PBB sebagai penyelesai konflik etnis, seperti yang diutarakan oleh Pierre van den Burghe, bahwa, The UN is first and foremost an organization of states, not of nations, and since most states are, in fact threatened by the claims of nations, it is little wonder that the UN is pro-state and anti-nation (dikutip dari Ryan 1995, 155 dari Kuper 1981, 161). Atas dasar alasan tersebut tidak mengherankan bila PBB memiliki alasan untuk tidak berperan aktif dalam konflik penyelesaian etnis.

Kedua, sekalipun PBB sulit berposisi tegas dalam urusan konflik etnis, namun tidak jarang berbagai persoalan konflik etnis mengharuskan PBB untuk terlibat, baik sebagai penjaga perdamaian, mediator maupun manajemen pemberian bantuan pada hal-hal yang terkait dengan konflik etnis. Idealnya PBB adalah pihak ketiga yang dapat diterima pihak-pihak yang bertikai sebagai pendamai. Jika diukur secara kualitatif, keterlibatan PBB bervariasi, mulai dari keterlibatan secara intensif maupun partial. Hal tersebut tergantung pada beberapa faktor seperti tingkat kekerasan konflik, lokasi, pihak yang berkonflik, keterlibatan pihak ketiga, posisi penguasa, dan sebagainya.

Meningkatnya tuntutan kepada PBB untuk menangani berbagai masalah keamanan dunia menyebabkan meningkatnya peran PBB untuk terlibat dalam beberapa kasus konflik etnis. Beberapa konflik etnis yang melibatkan PBB secara intensif dapat ditemukan dalam misi-misi perdamaian di banyak negara, yang melibatkan PBB dalam perannya sebagai peacekeeper, peacemaker dan peacebuilder.

Dalam menjalankan tugas-tugas administratifnya di berbagai negara, peran PBB sebagai peacekeeper (penjaga perdamaian) dijalankan melalui operasi penjaga perdamaian (peacekeeping operations) dengan menghadirkan secara fisik pasukan militer asing. Target operasi ini adalah menghentikan peperangan antara pihak yang berkonflik, terutama melucuti senjata dan menghentikan baku tembak antarpara tentara pihak yang berkonflik. Cara demikian ditempuh agar tercipta situasi damai bagi negosiasi politik dan operasi pemulihan keamanan. Berbeda dengan peacekeeper, peacemaking (pencipta perdamaian) merupakan upaya penyelesaian konflik oleh pihak ketiga dengan melibatkan aktivitas politik dan diplomatik yang bertujuan membawa para pemimpin dari pihak yang bertikai mencapai kesepakatan melalui negosiasi perdamaian. Metoda yang digunakan dapat berbentuk arbitrasi, mediasi dan fasilitasi. Sedangkan peacebuilding adalah kegiatan jangka panjang yang berdimensi sosial-ekonomi dan kultural, ditujukan terutama untuk anggota masyarakat dari pihak-pihak yang bertikai agar masyarakat dapat mengubah perilaku, persepsi dan citra negatif atas pihak lawan (Taras dan Ganguly 2002, 94-97).

Peran-peran di atas dapat dilakukan oleh pihak ketiga siapa pun, termasuk PBB. Sepanjang tahun 1948 sampai dengan 2008, PBB menjalankan banyak misi perdamaian, diantaranya adalah PBB UNAMID (Darfur); UNMIS (Sudan); UNMIL (Liberia); MINURSO (Sahara Barat); UNAMET, UNTAET, UNMIT (Timor Leste); UNMOGIP (Jammu dan Kashmir); UNFICYP (Siprus Yunani dan Siprus Turki); UNOSOM (Somalia); UNOMUR (Uganda-Rwanda); UNOMIG (Georgia); UNMIK(Kosovo); UNMEE (Ethiopia dan Eritrea) (http://www.un.org/Depts/dpko/list/list.pdf. Akses 04/02/09).

Sekalipun PBB telah berupaya menjadi pihak ketiga dalam penyeleseaian konflik etnis di berbagai wilayah, PBB memiliki keterbatasan dalam menjalankan perannya. Hal tersebut menjadi sasaran kritik banyak pihak yang melihat bahwa PBB tidak berhasil menjalankan perannya dengan baik. Kekerasan etnis yang berlangsung terus menerus di Bosnia, Rwanda dan Somalia merupakan sedikit contoh kegagalan PBB menjalankan fungsinya. Betts (dalam Taras dan Ganguly 2002, 94) menyatakan bahwa kegagalan pihak ketiga, termasuk PBB dalam misi-misi resolusi konflik disebabkan karena pada umumnya mereka menjalankan fungsi monitoring gencatan senjata (cease-fire) yang belum tercipta pada saat mereka menjalankan fungsi monitoring tersebut. Dengan kata lain, para pelaku misi perdamaian melakukan pemantauan perdamaian pada situasi damai yang sebenarnya tidak pernah ada, atau belum tercipta di wilayah tersebut. Dalam kasus Bosnia, Rwanda dan Somalia, PBB gagal melaksanakan tugasnya karena terdapat destructive misconception, sebuah praduga yang keliru atas terdapatnya perdamaian yang sesungguhnya tidak pernah terjadi. Hal tersebut disebabkan karena sesungguhnya perdamaian yang diasumsikan para peacekeepers belum tercipta. Betts kemudian menganjurkan untuk dilakukanya operasi peace enforcement dalam konflik etnis untuk meyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa tidak banyak yang mereka peroleh dengan cara bertikai.

Keterbatasan-keterbatasan PBB dalam merespon persoalan keamanan dunia mendorong badan dunia ini untuk mengambil langkah nyata. Di tengah-tengah krisis harapan dan tingginya tuntutan pada PBB untuk berperan lebih efektif dalam masalah keamanan, PBB memberikan respon positif. Salah satu upaya rasional dan koheren PBB dalam merespon keamanan internasional adalah Laporan Sekretaris Jendral PBB, Boutros Boutros Ghali pada tahun 1992 yang berjudul An Agenda for Peace. Sekali pun tidak dimaksudkan sebagai solusi komprehensif atas berbagai persoalan keamanan dunia, Laporan ini memuat rencana PBB dalam menjalankan berbagai perannya dalam mengatasi masalah-masalah keamanan terasuk himbauan untuk menambah dana bagi pasukan-pasukan PBB. Laporan tersebut dianggap sebagai langkah berani karena selama ini PBB dipandang tidak memiliki kapabilitas memadai dalam mengatasi berbagai masalah keamanan internasional, termasuk ketidakberdayaan PBB dalam mengambil inisiatif diplomasi preventif, peacemaking dan peacekeeping (Roberts 1993, 208-210).

4. Berkaitan dengan terorisme internasional

Konflik etnis yang melibatkan unsur kekerasan seringkali menggunakan cara-cara terorisme untuk mencapai tujuannya. Fakta ini bukan merupakan hal yang baru karena banyak kasus membuktikan hal tersebut. Tidak saja konflik etnis yang terjadi di negara sedang berkembang (LTTE, Jammu-Kashmir), hal serupa yang terjadi di negara maju pun (IRA, Basque) menggunakan taktik yang sama. Sekalipun demikian tidak berarti semua konflik yang menggunakan taktik terorisme internasional diidentifikasikan dengan konflik yang berdimensi terorisme internasional.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara kelompok-kelompok pemberontak etnis dengan terorisme internasional. Hubungan antaraktor non-negara yang melakukan kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan (violence) sangat kompleks dan terbukti meningkat setelah Perang Dingin. Seperti yang dinyatakan oleh Oehme III (2008, 81) terdapat hubungan dan keterkaitan antara teroris, pemberontak dan kriminal yang membentuk konvergensi. Kekuatan ini terutama muncul dan tumbuh subur pada situasi security gap, yaitu sebuah kondisi yang terjadi di antara masa pasca konflik dan masa rekonstruksi.

Beberapa kelompok pemberontak etnis menggunakan atau memanfaatkan jaringan teroris internasional untuk mencapai tujuannya. Misalnya kelompok MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan MNLF (Moro National Liberation Front) yang bekerjasama dengan Abu Sayyaf, salah satu jaringan Al Qaedah di Asia Tenggara. MILF dan MNLF berjuang menuntut penentuan nasib sendiri dari Pemerintah Filipina. MILF bermaksud mendirikan negara Islam tersendiri, sementara MNLF menghendaki otonomi lebih besar dari pemerintah. Abu Sayyaf muncul di Filipina pada tahun 1990-an, sebagian pejuangnya adalah anggota MNLF dan sebagian lagi merupakan veteran perang Afghanistan. Ditengarai Abu Sayyaf menerima dana dari Osama bin Laden melalui Mohammed Jamal Khalifa, saudara ipar Osama yang memiliki beberapa organisasi kedermawanan (charity) di Filipina Selatan. Menurut laporan Manila Chronicle, mereka banyak melatih para pejuang Abu Sayyaf. MILF dan MNLF menyangkal adanya keterkaitan tersebut, namun hal ini sulit dibuktikan (Niksch 2002, 4). Keterlibatan Abu Sayyaf dalam perjuangan pemisahan diri di Filipina, sebagian juga dipicu oleh dukungan Presiden Arroyo dalam War on Terror menyebabkan pemerintah AS bergerak menempatkan sekitar 650 personel militer di Filipina. Keterlibatan pihak eksternal dalam konflik pemisahan diri menjadikan konflik ini bertransformasi menjadi konflik internasional. Apalagi pihak eksternal yang terlibat adalah kekuatan global. Pada umumnya konflik-konflik yang mengalami proses difusi dan eskalasi lebih sulit diselesaikan.

5. Terdapat elemen iredentisme

Iredentisme merupakan topik yang tidak populer dalam ilmu hubungan internasional. Gerakan ini sering dikesampingkan karena dianggap sebagai bagian dari gerakan pemisahan diri (secessionism) sehingga tidak pernah mendapat penjelasan yang memadai. Selain itu gerakan ini dipandang anarchronistic (ketinggalan zaman), berbeda dengan secessionism yang dapat ditemukan penjelasannya dalam filsafat politik modern tentang hak penentuan nasib sendiri (self-determination). Iredentisme berasal dari kata terra irredenta yang berarti tanah tak tertebus. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan wilayah berbahasa Italia yang berada di bawah kekuasaan Austria selama paruh kedua abad ke sembilan belas. Italia harus berperang melawan Austria untuk memperoleh wilayah tersebut (Chazan 1991).

Iredentisme mencakup pengertian keinginan sebuah wilayah bergabung dengan wilayah/negara lain. Pada dasarnya iredentisme muncul karena terdapat keinginan dari salah satu pihak negara yang berdekatan untuk melindungi, menyelamatkan atau membebasakan saudara se-etnisnya yang menjadi minoritas di wilayah negara tetangganya tersebut. Ikatan emosional yang kuat antara satu kelompok etnis yang terpaksa terpisah menjadi dua negara yang berbeda menyebabkan terjadinya dorongan melakukan iredentisme. Iredentisme dapat memperburuk konflik mayoritas-minoritas dengan memperkuat saling kecurigaan dan permusuhan yang dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan maupun perang. Berdasar pada argument tersebut, Ben-Israel menyatakan iredentisme merupakan ekspresi nasionalisme yang agresif expansionis, berdasarkan pada "atavistic feelings for territory and for kith and kin" (Ben-Israel 1991, 33).

Kasus lain menunjukkan bahwa iredentisme tidak selalu berbasis etnis. Ide pembentukan sebuah negara Islam (daulah islamiyah) di Asia Tenggara menghasilkan gerakan-gerakan pemisahan diri di berbagai negara Asia Tenggara. Kaum minoritas muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar serta beberapa gerakan radikal berbasis agama di Malaysia dan Indonesia menjadi aktor-aktor utama pelaku iredentisme. Iredentisme Islam Asia Tenggara berbasis ideologi, bukan etnis. Lain halnya dengan iredentisme yang terjadi di Eropa, seperti Jerman, Italia, Yunani, Spanyol, Rusia dan Polandia berbasis sejarah, yang merupakan perpaduan antara keinginan etnis untuk bersatu dengan upaya untuk mempertemukan kembali antara negara pada masa lalu (historic states) dengan batas-batas historis (historic boundaries), yang seringkali tidak berkaitan dengan batas-batas etnisitas. Hal ini juga terjadi di Afrika, seperti pada kasus penyatuan Eritrea oleh Ethiopia pada tahun 1952, yang dilihat sebagai kembali ke negara induk, bukan aneksasi (Neuberger 1991, 101).

Bentuk iredentisme yang lain adalah iredentisme yang dilakukan oleh negara (state-sponsored irredentism) menjadi salah satu penyebab krisis masa pasca-Perang Dingin. Ambisi Slobodan Milosevic untuk membangun Serbia Raya dengan cara ekspansi teritorial ke wilayah Bosnia dan pemusnahan etnis non-Serbia, merupakan salah satu contoh iredentisme pasca-Perang Dingin. Minoritas non-Serbia harus mengganti identitas mereka menjadi Serbia. Instabilitas di Balkan setelah disintegrasi Yugoslavia merupakan salah satu bukti bahwa ambisi teritorial pemimpin berdampak pada ketidakamanan sistem. Iredentisme di Balkan menjadi salah satu agenda keamanan AS, semakin memperjelas dimensi internasional konflik etnis. Beberapa kasus iredentisme tersebut membuktikan bahwa masalah ini menjadi isu penting dalam hubungan internasional karena potensinya yang menyebabkan efek instabilitas yang mengganggu sistem.

Beberapa indikator yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa konflik etnis bukan lagi sekedar bahasan politik nasional namun telah berkembang menjadi isu internasional. Variabel indikator tersebut hanyalah beberapa saja di antara banyak variabel yang dapat dijadikan petunjuk transformasi konflik etnis ke ranah global. Beberapa isu lintas batas negara seperti hak azasi manusia, krisis sumber daya alam dan lainnya yang dapat meningkatkan intensitas konflik etnis di tingkat nasional, juga menjadi faktor penting dalam proses transformasi konflik ke tingkat internasional.Istilah nepotisme etnis untuk pertama kali diperkenalkan oleh Pierrre L. van den Berghe pada awal 1980-an. Berghe mengemukakan bahwa berbagai bentuk enisitas yang ada dikelompokkan berdasar pada seleksi kekerabatan (kin) dan etnisitas didefinisikan berdasar persamaan keturunan Lebih jauh, Berghe menjelaskan, ethnic and racial sentiments are extension of kinship sentiments. Ethnocentrism and racism are thus extended forms of nepotism the propensity to favor kin over nonkin (Vanhanen 1999, 1).

Dukungan yang diberikan dapat berupa instrumental maupun afeksi (Suhrke dan Noble, 1981 dalam Heraclides 2001, 370). Keterlibatan instrumental dapat berwujud pemberian bantuan ekonomi, dukungan politik, pertimbangan strategis, prestise dan pengaruh internasional, dan hal-hal yang berkaitan dengan politik domestik. Sementara itu, pertimbangan-pertimbangan afektif melibatkan unsur-unsur seperti identitas etnis, agama, ideologi, ketidakadilan sejarah dan iredentisme.

Secara etimologi, kata diaspora berasal dari bahasa Yunani ' berarti biji-biji yang tersebar (Anthias, 1998: 560). Definisi diaspora secara luas mencakup kelompok pengungsi politik, penduduk asing (alien residents), pekerja tamu/asing (guest workers), imigran, orang yang terusir (expellees), minoritas etnis dan rasial, komunitas bangsa asing (overseas communities). Istilah diaspora digunakan oleh kaum yang merasa, mempertahankan, dan menghidupkan kembali ikatan-ikatan/hubungan dengan tanah leluhurnya (Shuval 2002, 41). Secara lebih teperinci, Safran (1991, 83-84 dalam Tsagarousianou 2004, 3) mengajukan definisi diaspora, yang meliputi karakteristik sebagai berikut:

a. Komunitas asal yang tersebar dari tanah airnya ke dua negara atau lebih; mereka terpisah dari lokasi geografisnya namun dipersatukan oleh visi,memori atau mitos tentang tanah leluhurnya;

b. Mereka percaya bahwa mereka tidak akan pernah dapat diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya saat ini, dan karenanya membentuk komunitas otonom untuk memenuhi kebutuhan sosial dan cultural sendiri;

c. Mereka dan keturunannya akan kembali jika kondisi memungkinkan;

d. Mereka mempertahankan dukungan bagi tanah leluhurnya; kegiatan tersebut mampu berlangsung karena didukung oleh solidaritas dan kesadaran komunal.

LTTE kerap diambil sebagai salah satu contoh sukses gerakan pembebasan karena organisasi pemberontak ini dianggap sebagai salah satu organisasi yang paling canggih dan mematikan di dunia. Kelompok ini mampu secara efektif mengontrol wilayah timur laut Sri Lanka, menjalankan pemerintahan virtual di Semenanjung Jaffna sampai dengan tahun 1995. LTTE juga terbukti mampu melakukan perlawanan terhadap pemerintah melalui berbagai spektrum konflik gerilya, seperti melakukan pembunuhan terpilih sampai berbagai aksi terorisme sampai serangan besar berukuran battalion. Pemerintah Kolombo terbukti sering tidak mampu mengalahkan LTTE secara militer karena kekuatan dan militansi para pejuang LTTE yang tidak sebanding dengan kekuatan tentara Sri Lanka (SLAF-Sri Lanka Armed Forces). (Lihat Byman, et al 2001; Wyland, 2004).

Intervensi AS dan NATO ke Kosovo merupakan pelanggaran terhadap Doktrin Powel atau disebut The White House sebagai anti-Powell Doctrine. Doktrin ini merupakan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Collin Powell ini menyatakan bahwa the United States should use military force only after exhausting all other alternatives and then only decisively to achieve clearly defined political objectives (Daalder dan OHanlon 1999, 133)

Pada akhir tahun 1950, Majelis Umum PBB meloloskan resolusi 390A (V) menyatakan bahwa Eritrea harus constitute an autonomous unit federated with Ethiopia under the sovereignty of Ethiopian Crown (Taras dan Ganguly 2002, 216).

Four Powers adalah sebutan untuk empat negara yang terlibat dan berkepentingan secara langsung di Tanduk Afrika, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan Perancis.

Definisi Pengungsi (refugee) telah ditetapkan oleh Konvensi Jenewa tahun 1951. Menurut Konvensi tersebut, yang termasuk dalam karegori pengungsi adalah mereka yang: Owing to a well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside his country of nationality and is unable or, owing to such fear is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and bring outside the country of his former habitual residence as a result o such events, is unable or, owing to such fear is unwilling to return to it (Skehan 2008; Fortin 2000; Newland 1993). Konvensi Pengungsi yang diselenggarakan oleh Organisasi Persatuan Afrika pada tahun 1969 menerima definsi yang dibeikan oleh PBB tersebut, namun menambahkan bahwa pengungsi adalah a person who had to flee his or her country owing to external aggression, occupation, foreign domination, or events seriously disturbing public order (Newland 1993, 144).

34

33