2 bab ii tinjauan pustaka 2.1 baja karboneprints.umm.ac.id/40305/3/bab ii.pdfmemiliki kandungan...
TRANSCRIPT
5
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baja Karbon
Dalam berbagai bidang seperti pada konstruksi bangunan, komponen
permesinan, mesin perkakas, bahan rel kereta api, komponen perkapalan,
komponen otomotif, alat-alat berat dan juga perapian, baja karbon merupakan
logam yang paling sering digunakan. Sutrisno (2013) menerangkan bahwa baja
karbon memiliki kemampuan las begitu baik, mampu dilakukan suatu proses
mengenai permesinan, juga memilki sifat tangguh. Baja karbon dapat
diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu (Rusmadi dan Feidihal, 2006) :
1. Baja Karbon Rendah
Kandungan yang ada pada baja karbon jenis ini ialah 0,008% - 0,3% C. Baja ini
memiliki kandungan karbon sebesar 10 – 30 kg dalam tiap satu tonnya. Dalam
perindustrian, baja batang atau progil, baja strip serta plat-plat baja merupakan
bentuk baja yang dibuat dari baja karbon rendah ini. Bersumber pada jumlah
kandungan karbon tersebut, maka baja karbon rendah ini dapat digunakan
sebagai berikut :
• Baja karbon rendah yang memiliki kandungan karbon antara 0,008% - 0,10%
C akan dibuat menjadi plat baja atau baja strip.
• Baja karbon rendah dengan kandungan karbon 0,05% C akan dijadikan
keperluan pada badan-badan suatu kendaraan. Kekuatan tarik dari baja ini
berkisar antara 40 kg mm-2.
6
• Baja karbon rendah yang memiliki kandungan karbon antara 0,15% - 0,25%
C maka akan digunakan sebagai konstruksi jembatan, banguan atau dijadikan
baja konstruksi
2. Baja Karbon Sedang
Kandungan kadar karbon dari baja karbon sedang ini anatara 0,30% - 0,60%
C. Dari setiap ton baja karbon sedang ini memiliki kandungan karbon sebesar
30 – 60 kg. Dalam penggunaannya, baja karbon sedang ini sering dijadikan
sebagai bahan material dalam pembuatan alat-alat perkakas serta bagian-
bagian pada mesin. Berdasarkan dari jumlah kandungan karbon tersebut, maka
baja karbon sedang ini dapat digunakan sebagai berikut :
• Baja karbon rendah yang memiliki kandungan karbon sebanyak 0,40% C
digunkan untuk keperluan industri otomotif misalnya seperti bahan untuk
pembuatan mur, baut, poros engkol, batang torak, dan lain sebagainya.
• Baja karbon rendah dengan kandungan karbon sebanyak 0,50% C akan
dijadikan atau dipergunakan untuk membuat roda gigi, martil, dan alat
penjepit (clamp).
• Baja karbon rendah yang memiliki kandungan karbon antara 0,55% -
0,60% C akan dipergunakan untuk membuat pegas (spring).
3. Baja Karbon Tinggi
Kandungan kadar karbon pada baja karbon tinggi ini berkisar antara 0,70% -
1,30% C, disamping itu kandungan karbon dari tiap satu ton baja jenis ini ialah
sekitar 70 – 130 kg. Baja karbon jenis ini sering dipergunakan untuk pekerjaan-
pekerjaan yang mengalami panas (heat treatment). Berdasarkan dari jumlah
7
kandungan karbonnya baja karbon jenis ini dapat dipergunakan untuk hal-hal
seperti berikut :
• Untuk baja karbon tinggi dengan kandungan karbon sebanyak 0,95% C
dapat dipergunakan untuk pembuatan pegas, palu atau martil, gergaji,
paron atau landasan, dan pahat-pahat potong.
• Untuk baja karbon tinggi dengan kandungan karbon sebanyak 1% - 1,5%
dapat dipergunakan untuk pembuatan pisau cukur, kikir, mata gergaji dan
bola-bola untuk bantalan bearing.
Bagaimanapun, ada kelemahan dari suatu baja yakni kemampuan tahan
terhadap korosi yang relatif rendah. Kualitas dari logam baja tersebut akan
mengalami penurunan jika baja berhubungan secara langsung dengan udara
maupun fluida dan juga adanya kontak langsung dengan material lain yang dapat
menimbulkan gesekan pada material dimana hal tersebut dapat menimbulkan
keausan pada material (Sutrisno, 2013).
2.2 Korosi
Korosi dapat diartikan sebagai suatu masalah yang muncul diberbagai
peralatan terutama yang berbahan dasar dari logam contohnya mesin, gedung,
mobil, kapal, dan lain-lain. Korosi sendiri merupakan reaksi dimana reaksi tersebut
melibatkan suatu logam dengan senyawa lain yang ada di sekitarnya dan dapat
memunculkan suatu senyawa yang tidak diinginkan. Degradasi atau bisa disebut
dengan penurunan mutu pada suatu material merupakan hasil dari suatu peristiwa
korosi, oleh karena itu logam dianggap sebagai material yang kurang bermanfaat.
(Turnip, Sri Handani, dan Sri Mulyadi, 2015).
8
Karat pada permukaan logam merupakan zat yang dihasilkan dari proses
terjadinya korosi pada logam. Produk korosi ini memiliki ciri-ciri fisik seperti zat
padat dengan warna coklat kemerahan yang mana sifatnya rapuh sekaligus berpori.
Hal ini mengakibatkan besi menjadi karat/berkarat ketika dibiarkan tanpa adanya
pencegahan pada material tersebut. Pada proses terjadinya korosi bagian tertentu
dari logam akan berlaku sebagai katoda (elektroda positif, kutub positif) dimana
fungsinya sebagai suatu tempat berlangsungnya proses reaksi reduksi serta bagian
lainnya menjadi anoda (kutub negatif, elektroda negatif) material logam mengalami
proses oksidasi. Dan elektron akan mengalir dari suatu anoda ke katoda, sehingga
terjadilah peristiwa korosi (Oktakimia, 2015).
Korosi dapat menimbulkan dampak kerusakan yang cukup besar. Hal
tersebut dapat mempengaruhi kehidupan atau kegiatan manusia, jika dilihat dari
segi ekonomi serta lingkungannya. Dari segi ekonomi misalnya seperti biaya untuk
bahan bakar yang cukup tinggi serta energi yang diakibatkan oleh kebocoran uap,
tingginya biaya perawatan bila suatu mesin terserang korosi, serta kerugian
produksi yang dialami suatu industri sebagai akibat dari terhentinya pekerjaan saat
perbaikan suatu bahan material yang mengalami korosi, dan dampak korosi yang
dapat mempengaruhi lingkungan adalah pencemaran lingkungan sebagai akibat
dari adanya suatu proses pengkaratan pada logam dari berbagai konstruksi
(Trethewey dkk, 1991).
2.2.1 Mekanisme Terbentuknya Korosi
Korosi dapat digambarkan sebagai suatu penurunan kualitas logam yang
penyebabnya ialah rekasi elektrokimia dengan lingkungannya. Korosi
diilustrasikan sebagai suatu sel galvanis yang memiliki “hubungan pendek” yang
9
mana pada beberapa daerah permukaan logam merupakan katoda serta bagian
lainnya merupakan anoda, dan juga “rangkaian listrik” yang dilengkapi oleh suatu
rangkaian elektron yang menuju kepada besi itu sendiri.
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Korosi (Haryono dkk, 2010)
Penulisan suatu mekanisme korosi yang terjadi pada logam besi (Fe) adalah
sebagai berikut:
Fe(s) + H2O(l) + ½ O2(g) → Fe(OH)2(s)
Hasil sementara yang didapat berupa Fero hidroksida [Fe(OH)2], dimana secara
alami dapat teroksidasi oleh air dan udara yang menjadi feri hidroksida [Fe(OH)3],
oleh karena mekanisme reaksi yang terjadi selanjutnya ialah:
4 Fe(OH)2(s) + O2(g) + 2H2O(l) → 4Fe(OH)3(s)
Ferri hidroksida akan berubah menjadi Fe2O3 yang bewarna merah kecoklatan
dimana sering disebut dengan karat (Vogel, 1979).
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Korosi
Laju korosi pada baja karbon dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
sebagai berikut :
10
1. Air (H2O) dan Oksigen (O2)
Pada reaksi yang terjadi saat proses korosi, air dianggap sebagai salah satu
faktor yang paling penting. Sedangkan udara sendiri juga banyak mengandung
uap air (lembab) dan hal itulah yang mempercepat terjadinya proses korosi.
Reaksi yang terjadi saat proses korosi pada permukaan suatu logama merupakan
reaksi redoks. Reaksi yang muncul merupakan sel Volta mini, salah satu
contohnya adalah terjadinya korosi pada besi apabila ada oksigen (O2) serta air
(H2O). Saat peristiwa korosi terjadi, oksigen akan tereduksi ketika larut dalam
air, sebaliknya fungsi air itu sendiri adalah sebagai suatu media atau tempat
terjadinya reaksi redoks. Cepat lambatnya dari proses korosi pada permukaan
logam bergantung pada jumlah O2 dan H2O. Jadi, ketika air dan oksigen
jumlahnya bertambah, proses terjadinya korosi pada logam akan semakin lebih
cepat.
2. Larutan Garam Elektrolit
Larutan garam elektrolit adalah media yang dianggap baik sebagai tempat
berlangsungnya transfer muatan. Hal ini menyebabkan oksigen yang ada di
udara lebih muda untuk mengikat elektron. Contoh cairan yang memiliki
kandungan larutan garam elektrolit adalah air hujan yang didalamnya
terkandung asam dan air laut yang didalamnya terkandung garam. Jadi air hujan
maupun air laut dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi laju
korosi. Proses tersebut dapat terjadi karena naiknya konduktivitas pada larutan
garam dimana larutan garam yang lebih konduktif dan menyebabkan
peningkatan pada laju korosi. Disamping itu kondisi pada air laut garam juga
mempercepat laju korosi pada suatu logam, penyebabnya ialah lebih
11
konduktifnya larutan garam tersebut. Peningkatan laju korosi juga terjadi
karena adanya konsentrasi elektrolit yang cukup besar yang mampu
meningkatkan laju aliran elektron.
3. Permukaan logam yang tidak rata
Pada permukaan suatu logam yang tidak rata atau sering disebut permukaan
kasar dapat memudahkan terjadinya kutub-kutub muatan, diaman akan
memiliki peran sebagai anoda dan katoda. Korosi pada logam akan sulit terjadi
apabila permukaan logam tersebut rata atau licin, karena sulit terjadinya kutub-
kutub yang bertidak sebagai anoda dan katoda. Sedangkan timbulnya beda
potensial serta kecenderungan menjadi anoda yang terkorosi terjadi pada
permukaan logam kasar. Proses korosi akan cepat terjadi bila logam tersebut
memiliki potensial lebih rendah.
4. Pengaruh logam lain
Jika terdapat dua logam dengan beda potensial bersinggungan dan terjadi pada
lingkungan yang berair atau lembap, secara langsung akan terjadi sel
elektrokimia, sehingga logam yang memiliki potensial yang lebih randah akan
segera melepaskan elektron (oksidasi) jika logam tersebut bersentuhan dengan
logam yang memilki potensial lebih tinggi dan proses oksidasi akan terjadi
melalui oksigan dari udara. Bila merujuk pada deret sel volta, dari kiri ke kanan
terjadinya proses reduksi semakin mudah, sebaliknya dari kanan ke kiri
terjadinya proses oksidasi semakin mudah. Deret sel volta tersebut dapat dilihat
di bawah ini:
Li, K, Ba, Ca, Na,Mg, Al, Mn, Zn, C, Fe , Cd, Ca, Ni, Sn, Pb, H, Sb, Bi, Cu,
Hg, Ag, Pt dan Au.
12
5. Bakteri
Pada proses terjadinya korosi ada beberapa bakteri yang dapat mempercepat
proses korosi, hal ini disebabkan karena bakteri dapat memproduksi karbon
dioksida (CO2) dan hidrogen sulfida (H2S), selama putaran hidupnya. Karbon
dioksida yang dihasilkan oleh bakteri tersebut berperan dalam penurunan pH
secara berarti yang dapat meningkatkan kecepatan laju korosi. Dalam kondisi
anaerob, H2S dan besi sulfida (Fe2S2) hasil reduksi sulfat (SO42-) oleh bakteri
pereduksi sulfat, hal tersebut dapat mempercepat korosi apabila sulfat ada di
dalam air. Zat-zat inilah yang dapat mempercepat terjadinya korosi. Bakteri besi
(iron bacteria) akan berkembang pada logam yang mengalami korosi, hal ini
disebabkan bakteri dapat berkembang secara pesat dalam kondisi air yang
memiliki kandungan besi.
6. Temperatur
Pada suatu proses korosi, temperatur mampu mempengaruhi kecepatan reaksi
redoks. Umumnya, laju korosi menjadi lebih cepat apabila temperatur semakin
tinggi. Penyebab dari hal tersebut ialah karena meningkatnya temperatur yang
berakibat pada peningkatan energi kinetik partikel, sehingga memungkinkan
terjadinya tumbukan efektif yang semakin besar pada reaksi redoks. Contoh
umum dari efek korosi karena pengaruh temperatur ialah pada mesin-mesin atau
perkakas - perkakas yang mana penggunaannya dapat menimbulkan panas yang
disebabkan oleh suatu gesekan (seperti cutting tools) atau terkena panas secara
langsung (seperti mesin pada kendaraan bermotor) (Anonymous, 2015).
13
7. pH
Apabila pH semakin rendah (pH < 4) maka kemungkinan untuk logam tersebut
untuk terkorosi juga semakin besar, dikarenakan pada daerah asam logam mulai
terurai menjadi ion-ion logam. Pada lingkungan yang lebih asam dengan pH < 4
(ada oksigen terlarut), oksida akan terlarut dan proses korosi akan meningkat,
mengarah pada reduksi H+, reaksinya sebagai berikut :
2H+ + 2e- → H2
Berkurangnya deposit pada permukaan logam tersebut dapat meningkatkan
akses pelarutan oksigen, sehingga menyebabkan peningkatan laju korosi pada
logam. Pelarutan oksigen merupakan reaksi reduksi katodik dalam asam
dengan penambahan oksigen terlarut berdasarkan reaksi :
O2 + 4H+ + 4e- → 2H2O
Laju korosi pada suatu daerah dengan pH 4 – 10 tidak bergantung pada pH,
melainkan bergantung pada cepat lambatnya proses difusi oksigen yang terjadi
ke permukan suatu logam. Sedangkan laju korosi pada kondisi pH diatas 10, laju
korosi akan berkurang disebabkan lapisan pasif akan terbentuk pada permukaan
logam (Fontana G, 1986).
2.3 Jenis-Jenis Korosi
Korosi memiliki berbagai macam bentuk dan jenisnya, dari jenis-jenis
tersebut korosi dapat diketahui karakteristiknya. Jenis-jenis korosi diantaranya
adalah :
14
Gambar 2.2 Skema jenis-jenis korosi (Jones, 1992)
1. Korosi Seragam (Uniform Corrosion)
Korosi jenis ini menyerang dengan cara mengikis secara merata permukaan
logam sehingga menybabkan ketebalan dari logam tersebut berkurang sebagai
akibat permukaan terkonversi oleh produk korosi.
2. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)
Korosi dengan bentuk seperti lubang atau cekungan pada permukaan logam
yang disebabkan oleh hancurnya suatu lapisan film dari proteksi logam karena
perbedaan laju korosi antara satu tempat dengan tempat yang lain pada
permukaan logam tersebut.
3. Korosi Celah (Crecive Corrosion)
Korosi celah adalah korosi yang terdapat pada celah 2 logam sejenis yang
disambung. Contohnya seperti pada sambungan bertidih, sekrup-sekrup atau
15
pada kelingan dimana terbentuk karena adanya kotoran-kotoran endapan atau
yang timbul dari produk-produk karat.
4. Stress Corrosion Crecking (SCC)
Korosi ini terjadi pada permukaan logam sampai bagian terdalam logam dan
tidak mudah untuk dilihat. Logam yang mendapat tekanan akan sering
mengalami korosi jenis ini. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari
kombinasi suatu tegangan tarik serta lingkungan yang korosif yang dapat
menyebabkan lemahnya struktur pada logam (Halimatuddahliana, 2003).
5. Erosion Corrosion
Korosi yang disebabkan karena adanya aliran fluida korosif yang mengalir
dengan kecepatan tinggi pada permukaan material logam. Karena kecepatan
tinggi dari aliran fluida korosif inilah yang menyebabkan rusaknya lapisan film
pelindung pada permukaan material.
6. Korosi Galvanik (Galvanic Corrosion)
Korosi ini terjadi apabila dua logam yang memiliki potensial berbeda terhubung
melalui elektrolit yang mengakibatkan salah satu dari logam tersebut akan
terkorosi dan yang lainnya akan terlindung dari korosi. Berdasakan dari deret
galvanik, korosi akan lebih mudah menyerang logam yang memiliki potensial
yang lebih rendah.
7. Korosi Batas Butir (Intergranular Corrosion)
Korosi ini terjadi karena adanya crack yang menjalar sepanjang batas butir.
Crack tersebut bisa terbentuk karena adanya chrome pada sekitar batas butir
dan membentuk kromium karbida pada batas butir.
16
8. Dealloying
Korosi jenis ini berhubungan dengan lepasnya suatu unsur paduan yang lebih
aktif (anodik) dari logam paduan, contohnya seperti lepasnya unsur seng pada
kuningan.
9. Corrosion Fatigue Cracking (CFC)
Korosi jenis ini terjadi akibat adanya tegangan fatik pada suatu material pada
lingkungan yang korosif. Hal ini dapat menyebabkan material tersebut terkorosi
pada satu titik dan menimbulkan crack yang akan menjalar berbentuk tidak
serabut.
10. Hydrogen Induced Cracking (HIC)
Korosi ini terjadi akibat adanya teganagan internal pada sutau material
disebabkan karena adanya molekul-molekul gas hidrogen yang berdifusi ke
dalam struktur atom logam. Terbentuknya hidrogen berasal dari hasil reduksi
H2O ataupun dari asam. Hal ini dapat menyebabkan korosi pada material dan
kemudian terjadi patahan getas (Jones, Denny. 1992).
2.4 Perlindungan Korosi
Dalam dunia industri korosi merupakan suatu hal yang merugikan, maka
dari itu diperlukannya metode-metode yang bisa mencegah proses korosi. Metode-
metode yang paling sering digunakan untuk pencegahan proses korosi ialah
(Butarbutar, 2010) :
1. Pelapisan (Coating)
Pelapisan atau Coating merupakan salah satu metode pencegahan korosi dengan
cara memberi atau melapisi logam dengan lapisan pelindung. Lapisan ini
17
berfungsi untuk menghambat reaksi logam dan lingkungannya sebagai akibat
dari kontak langsung logam dengan lingkungan korosif.
2. Pemilihan Material
Dalam konteks pencegahan korosi, pemilihan material bertujuan untuk
menghambat proses pertukaran ion dengan lingkungannya atau bisa juga
dengan memilih material logam atau paduan yang memiliki perbedaan potensial
dengan lingkungan yang tidak terlalu besar. Dalam pengaplikasiannya, jika
lingkungan korosi lebih agrsif (severe) maka diwajibkannya untuk memilih
material logam atau paduan yang memiliki daya tahan terhadap korosi yang
lebih baik dari baja. Hal ini berdasarkan pada aspek dimana logam tersebut bisa
membentuk lapisan film yang memiliki sifat protektif dan recoverability yang
dianggap mencukupi apabila lapisan tersebut terkelupas. Aplikasi ini berkaitan
erat dengan potensial galvanis logam dan tentunya berhubungan dengan
elektrolit atau lingkungan disekitar material.
3. Inhibitor
Inhibisi merupkan asal kata dari inhibitor yang memiliki arti menghambat.
Inhibitor sendiri merupakan sebuah zat yang apabila ditambahakan ke dalam
suatu lingkungan korosif maka dapat mengurangi laju korosi pada suatu
material.
4. Proteksi Katodik (Chatodic Protection )
Proteksi katodik merupakan sistem perlindungan terhadap permukaan logam
dengan menggunkan cara memberikan arus searah kepada permukaan material
logam dan mengkonversikan semua daerah anoda di permukaan material logam
menjadi daerah katoda. Perlindungan jenis ini hanya akan efektif pada sistem
18
yang terendam dan terpendam di dalam tanah. Proteksi katodik ini telah berhasil
dalam mengambat laju korosi pada kapal-kapal laut, instalasi pipa, struktur
pinggir pantai, tangki bawah tanah atau laut, dan lain sebagainya. Dalam sistem
proteksi katodik ada dua cara dalam pemberian arus pada sistem, yaitu :
• Anoda Korban (Sacrificial Anoda)
Pada sistem anoda korban, tidak diperlukannya memberi daya atau arus
listrik karena dari adanya perbedaan potensial dengan struktur yang
dilindunginya anoda korban akan dengan sendirinya membangkitkan arus
listrik yang diperlukan.
• Arus Tanding (Impressed Current)
Sistem proteksi katodik arus tanding merupakan sistem perlindungan dari
korosi yang memanfaatkan arus searah yang berasal dari suatu sumber daya,
dimana kutub positif dari sumber daya tersebut dihubungkan dengan anoda
sedangkan kutub negatifnya dihubungkan dengan sistem yang akan
diproteksi. Pada perlindugan secara anodik (proteksi anodik), tegangan dari
sistem yang akan dilindungi dinaikan sehingga memasuki daerah
anodiknya. Dengan terbentuknya lapisan pasif, maka sistem akan
terlindungi pada kondisi tersebut.
2.5 Mekanisme Inhibitor
Seperti yang telah dijelaskan di atas, inhibitor korosi didefinisikan sebagai
zat kimia yang apabila ditambahkan kedalam suatu lingkungan tertentu dapat
membantu penurunan dari laju penyerangan lingkungan terhadap material logam.
Dalam pengaplikasian jumlah penggunaannya yang sedikit, baik secara kontinu
19
maupun secara pereodik pada selang waktu tertentu. Dalimunthe (2004)
menyatakan bahwa mekanisme kerja inhibitor korosi adalah sebagai berikut:
1. Inhibitor akan teradsorpsi pada permukaan logam serta membentuk lapisan film
dengan ketebalan beberapa molekul inhibitor. Lapisan ini hanya bisa dilihat
dengan menggunkan alat tertentu, namun hal ini dapat menghambat suatu
penyerangan lingkungan terhadap logamnya.
2. Melalui pengaruh lingkungan (misal pH) menyebabkan inhibitor mengendap
dan selanjutnya mulai teradsopsi pada permukaan logam tersebut serta
melidunginya terhadap serangan korosi. Endapan yang terjadi pada permukaan
logam cukuplah banyak, sehingga lapisan tersebut dapat teramati oleh mata.
3. Logam akan dikorosi lebih dulu oleh inhibitor, yang menghasilkan zat kimia
dimana melalui suatu peristiwa adsorpsi dari produk korosi tersebut membentuk
suatu lapisan pasif pada permukaan logam.
4. Inhibitor juga berperan untuk menghilangkan komponen yang agresif dari
lingkungannya.
2.5.1 Klasifikasi Inhibitor
Adapun beberapa klasifikasi jenis-jenis inhibitor diantaranya adalah :
1. Inhibitor Katodik
Inhibitor katodik bekerja dengan cara menghambat reaksi reduksi. Molekul
organik yang bersifat netral akan teradsropsi ke permukaan logam, sehingga hal
tersebut dapat mengurangi akses ion hidrogen menuju ke permukaan elektroda.
Sebagai akibat dari berkurangnya akses ion hidrogen yang menuju ke permukaan
elektroda, hydrogen overvoltage akan meningkat. Hal tersebut dapat
20
menghambat reaksi evolusi hidrogen yang berakibat dapat menurunkan laju
korosi
2. Inhibitor Anodik
Inhibitor jenis ini bekerja dengan cara menghambat reaksi oksidasi. Inhibitor
anodik akan membentuk suatu lapisan pasif pada permukaan logam supaya
logam tersebut tidak teroksidasi (Affifah, Warganegara dan Bundjali, 2016).
3. Inhibitor Presipitasi
Inhibitor presipitasi merupakan sejenis senyawa yang dapat membentuk suatu
endapan pada seluruh permukaan logam. Secara tidak langsung endapan tersebut
berfungsi sebagai lapisan pelindung yang dapat menghambat reaksi anodik dan
reaksi katodik. Silikat dan fosfat adalah contoh dari inhibitor presipitasi.
4. Inhibitor Organik
Pada umumnya inhibitor organik akan melindungi logam dari serangan korosi
dengan cara membentuk suatu lapisan hidrofobik pada permukaan logam.
Efektifitas inhibitor dalam menghambat laju korosi bergantung pada struktur
molekul, komposisi kimia yang dimiliki, serta afinitasnya terhadap permukaan
logam. Pada saat proses pemebentukkan lapisan film ada beberapa variabel yang
dapat mempengaruhinya diantanya variabel temperatur dan variabel tekanan.
Inhibitor organik akan teradsorpsi sesuai dengan muatan ion-ion inhibitor dan
muatan permukaan. Kekuatan dari ikatan adsorpsi adalah faktor yang sangat
penting bagi inhibitor organik tersebut. Inhibitor jenis ini akan menciptakan
suatu penghalang antara logam dengan elektrolitnya dengan cara membentuk
lapisan protektif dari molekul yang teradsorpsi di permukaan logam tersebut.
21
Karena luasan permukaan logam yang terlapisi berbanding lurus dengan
konsentrasi inhibitor yang diberikan, maka kosentrasi inhibitor dalam suatu
elektrolit menjadi sangat penting (Butarbutar, 2010).
2.6 Penelitian Green Corrosion Inhibitor
Dalam dunia indutri saat ini penggunaan inhibitor alami (Green Corrosion
Inhibitor) sangat diperlukan dikarenakan pengaplikasiannya yang ramah linkungan,
harga yang relatif tidak mahal, dan tersedia dalam jumlah banyak. Bahan-bahan
dari alam dengan kandungan atom N, O, P, S dan atom-atom lain yang mana
memiliki pasangan elektron bebas inilah yang bisa digunakan sebagai inhibitor
alami. Unsur N, O, P, S banyak ditemukan pada zat anti oksidan dan tumbuhan.
Flavonoid Tanin, alkaloid, steroid dan saponin serta vitamin C adalah beberepa
contoh dari senyawa antioksidan. Senyawa antioksidan tersebut dapat ditemui pada
bagian tumbuhan seperti daging, kulit, daun, batang, dan akar.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Noor, Evi, dan Zulfiana (2016)
menyebutkan bahwa kandungan dari kulit buah naga merah meliputi flavonoid,
alkaloid, saponin, tanin, steroid, dan vitamin C yang dapat digunkan sebagai bahan
pembuatan inhibitor alami.
Dalam penelitian Abdurahman (2010), penambahan penambahan ekstrak
ubi unggu ke dalam larutan HCl 1 M menyebabkan perubahan warna dan
pembentukan lapisan pelindung pada permukaan baja karbon rendah yang di uji.
Penambahan ekstrak ubi unggu pada larutan HCl 1 M menghasilkan laju korosi
yang lebih rendah pada setiap penurunan pH larutan di semua waktu pengujian.
22
2.7 Perhitungan Laju Korosi dan Efisiensi Inhibitor
2.7.1 Perhitungan Laju Korosi
Untuk mengetahui kecepatan suatu material yang terkorosi dapat dilakukan
dengan cara menghitung laju korosinya. Salah satu metode menghitung laju korosi
yang sering digunakan ialah weight loss. Prinsip dasar dalam peneltian ini yaitu
dengan cara menghitung berat sampel sebelum dan sesudah uji perendaman pada
larutan selama beberapa waktu. Dari pengujian ini bisa didapatkanlah hasil berupa
data berat sampel sebelum dan sesudah uji perendaman. Data tersebut kemudian
dikonversikan menjadi menjadi suatu laju korosi dengan memperhitunkan waktu
perendaman, massa jenis, luas permukaan terendam dan kehilangan berat. Laju
korosi pada lingkungan dapat diketahui dari persamaan laju korosi dibawah ini:
Laju korosi dapat dirumuskan seperti pada persamaan dibawah (Fontana, Mars.G,
1986-analisa laju korosi.05) :
Laju korosi = 534 𝑊
𝐷𝐴𝑡
Keterangan : W = kehilangan berat (mg)
D = densitas (gram/cm3)
A = luas permukaan terendam (in2)
t = waktu (jam)
2.7.2 Efisiensi Inhibitor
Efisiensi inhibitor dapat menunjukkan persentase laju korosi dengan
penambahan inhibitor dibandingkan dengan laju korosi tanpa penambahan inhibitor.
Perhitungan efisiensi inhibisi menggunakan persamaan sebagai berikut (Butarbutar,
2010) :
23
Efisiensi inhibitor = 𝑋𝑎− 𝑋𝑏
𝑋𝑎 𝑥 100%
Keterangan : Xa = laju korosi tanpa inhibitor (mpy)
Xb = laju korosi dengan inhibitor (mpy)