132 hukum dan pembangunan

12
132 Hukum dan Pembangunan UPAYA PENCEGAHAN DINI PENY ALAHGUNAAN NARKOBA: Pendahuluan SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM Muhammad Mustofa The attempt to prevent drug misuse must be considered as a part of the attempt to prevent abnormal behaviours. In this case, the program pembinaan generasi muda or youth program is essential. This effort is an internalised attempt to re-build the individual moral and ethical mindset in order to mature both one's personality and social junction. Externally, it is an attempt to re-build a conducive social structure to help maintain a certain state of avoidance for our children from the temptations and influence of drugs and other abnormal social behaviours. Penyalahgunaan narkoba telah dipandang sebagai suatu perilaku menyimpang yang serius di tanah air ini. Hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya dua undang-undang yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkoba dan diberikannya sanksi yang berat bagi pelaku pelanggarannya. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut Jenderal Polisi Dai Bachtiar, ketika ia menjabat sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Narkotika Nasional, data penyalahguna narkoba saampai dengan tahun 2000 yang tercatat dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta menunjukkan peningkatan dari tahun ke talmn. Tahun 1996 tercatat 1.779 orang, tahun 1997 sebanyak 3.653 orang, talmn 1998 sebanyak 5.008 orang, tahun 1999 sebanyak 8.823 orang, dan tahun 2000 hingga bulan Juni sudah tercatat 3.185 orang. Sementara itu dalam data RSKO tersebut tercatat bahwa kelompok usia muda (antara 15 tahun April - lUlli 2002

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 132 Hukum dan Pembangunan

132 Hukum dan Pembangunan

UPAYA PENCEGAHAN DINI PENY ALAHGUNAAN NARKOBA:

Pendahuluan

SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

Muhammad Mustofa

The attempt to prevent drug misuse must be considered as a part of the attempt to prevent abnormal behaviours. In this case, the program pembinaan generasi muda or youth program is essential. This effort is an internalised attempt to re-build the individual moral and ethical mindset in order to mature both one's personality and social junction. Externally, it is an attempt to re-build a conducive social structure to help maintain a certain state of avoidance for our children from the temptations and influence of drugs and other abnormal social behaviours.

Penyalahgunaan narkoba telah dipandang sebagai suatu perilaku menyimpang yang serius di tanah air ini. Hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya dua undang-undang yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkoba dan diberikannya sanksi yang berat bagi pelaku pelanggarannya. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut Jenderal Polisi Dai Bachtiar, ketika ia menjabat sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Narkotika Nasional, data penyalahguna narkoba saampai dengan tahun 2000 yang tercatat dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta menunjukkan peningkatan dari tahun ke talmn. Tahun 1996 tercatat 1.779 orang, tahun 1997 sebanyak 3.653 orang, talmn 1998 sebanyak 5.008 orang, tahun 1999 sebanyak 8.823 orang, dan tahun 2000 hingga bulan Juni sudah tercatat 3.185 orang. Sementara itu dalam data RSKO tersebut tercatat bahwa kelompok usia muda (antara 15 tahun

April - lUlli 2002

Page 2: 132 Hukum dan Pembangunan

Upaya Pencegahan Dini Penya/ahgunaan Narkoba 133

hingga 29 tahun) yang tercatat sebagai pengguna merupakan 94 % dari keseluruhan pengguna narkoba (Dai Bachtiar, 2001). Menurut perkiraan Dr.dr Salamun, SpM, salah seorang aktivis rehabilitasi pengguna narkoba, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sebanyak 1,6 juta orang (Salamun, 2001).

Terdapat politik hukum yang menarik dan baru dalam kedua undang-undang tersebut. Pertama untuk memastikan bahwa sanksi hukuman sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat dirumuskan adanya hukuman mininal atau denda minimal sebagai pembatas minimal hukuman yang dapat dijatuhkan hakim. Kedua, bagi pengguna narkotika dan psikotropika, hakim yang mengadili selain menjatuhkan hukuman kepada pelaku pelanggaran ia juga dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan (Lihat pasal 47 , UU No. 2211977, dan pasal 41 UU No. 511977). Ketiga, kepada masyarakat diberi kesempatan untuk berperan serta dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

Dilihat dari aspek perlindungan masyarakat dan pencegahan dini penyalahgunaan narkoba, ketentuan perintah oleh hakim untuk dilakukan pengobatan kepada pengguna menjadi penting untuk didiskusikan. Kalau perintah pengobatan tersebut merupakan keputusan pengadilan, maka segala sarana dan prasarana pengobatan haruslah diselenggarakan oleh negara. Bila memperhatikan kepentingan pengguna, maka seharusnya pengobatan sudah harus dilakukan sejak seorang tersangka pelanggaran narkoba ditahan oleh polisi. Sebab penghentian seketika penggunaan narkoba terhadap mereka yang sudah kecanduan akan dapat berakibat negatif kepadanya. Kalau hanya bertumpu kepada rumusan undang­undang tersebut, maka pengobatan terhadap pengguna narkoba baru dimulai setelah hal itu diputuskan oleh pengadilan.

Apabila kita telaah lebih jauh, usaha pengobatan yang tidak mudah dan tidak murah bila menjadi konsentrasi dari keputusan hakim dalam menerapkan kedua undang-undang di atas, sesungguhnya akan dapat menjadi kontra-produktif. Biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi terhadap 1,6 juta pengguna narkoba (yang diperkirakan oleh Salamun) dalam jangka waktu dua tahun akan membutuhkan dana sebesar Rp 38 trilyun, dengan perhitungan setiap pengguna membutuhkan dana Rp I juta per bulan (1.600.000 orang X 24 bulan X Rp I juta). Apabila penguna narkoba tersebut tidak dirawat, mereka membutuhkan konsumsi narkoba sebesar Rp 50.000/hari, dan akan mencapai jumlah Rp 80 milyar/hari hanya untuk kebutuhan narkoba. Sementara itu masih terdapat kontroversi terhadap efektifitas pengobatan terhadap pencandu · narkoba. Apalagi

Nomor 2 Tahun XXXlI

Page 3: 132 Hukum dan Pembangunan

134 Hukum dan Pembangunan

sebanyak 30 % pengguna narkoba dalam mengkonsumsi . narkoba mempergunakan jaarum suntik yang rentan terhadap penularan HIY/AIDS, dan 80 % dari pengguna jarum suntik tersebut tertular HIY / AIDS yang memerlukan pemeriksaan laboratorium paling sedikit dua kali setahun dengan biaya Rp 2 juta/orang. Biaya pengobatan HIY/AIDS yang diperlukan perorang dengan obat generik adalah Rp 10 juta/tahun (Salamun, 2001). Betapa dilihat dari segi pembiayaan untuk mengobati atau memasok kebutuhan pengguna narkoba memerlukan biaya yang luar biasa besar. Dan ini jelas suatu pengeluaran untuk aktivitas yang sesungguhnya mubazir .

Ada pendapat yang sangat pesimis yang mengatakan bahwa tingkat pengulangan penggunaan narkoba (relapse) pasca penyembuhan mencapai angka 99,99 %, namun ada pula yang memberikan angka sekitar 70 %. Berapapun angka relapse penggunaan narkoba , menunjukkan bahwa usaha pengobatan terhadap pecandu narkoba dapat dikatakan sebagai usaha yang mubazir. Kalaupun perintah pengobatan kepada pecandu narkoba tersebut akan dipertahankan, seharusnya perintah itu tidak menjadi beban negara tetapi beban dari terhukum atau pengguna sendiri. Alangkah lebih baik beaya yang besar untuk usaha pengobatan tersebut dipergunakan untuk keperluan lain yang lebih penting bagi hajat hidup masyarakat banyak. Dan kalau kita telaah secara lebih obyektif, ketika seseorang mengkonsumsi narkoba, tiada orang lain yang dirugikan kecuali dirinya sendiri. Oleh karena itu tidakllah layak kalau beban penanggulangan penyalahgunaan narkoba menjadi beban rakyat melalui anggaran belanja negara.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan narkoba kita perlu membuat prioritas­prioritas yang realistis. Pencegahan dini adalah pilihan yang tepa!. Dalam hal ini pengertian pencegahan dini diartikan sebagai memberikan perhatian kepada generasi muda sejak dini agar tidak terjebak dalam penyalahgunaan narkoba. Kalau pengguna sudah dewasa secara hukum, kita dapat mengabaikan perhatian dan meletakkan tanggungjawab pengobatan kepada yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mewujudkan pencegahan dini tersebu!. Makalah ini akan menyoroti usaha pencegahan dini penyalahgunaan narkoba ditinjau secara sosiologi hukum.

April - funi 2002

Page 4: 132 Hukum dan Pembangunan

Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkaba 135

Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba.

Penyalahgunaan narkoba sesungguhnya lllerupakan bentuk perilaku lllenyilllpang, karena tidak sesuai dengan perasaan llloralitas lllasyarakat. Dalam kaitan ini sesungguhnya penyalahgunaan narkoba hanyalah merupakan salah satu dari isu penyimpangan perilaku. Oleh karena itu us aha membangun ketangguhan masyarakat untuk mempertahankan diri dari gangguan penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan sebagai bagian integral dari usaha masyarakat dalalll menghadapi berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Sebagai pencegahan dini maka usaha membuat masyarakat mempunyai ketangguhan menghadapi gangguan penyimpangan perilaku adalah usaha untuk membuat generasi muda tidak terpengaruh untuk melakukan penyimpangan periiaku.

Melllbuat masyarakat aman dari gangguan penyimpangan perilaku seharusnya sudah merupakan mekanisme yang melekat dalam masyarakat itu sendiri dalam bentuk pengendalian sosial. Pengendalian sosial terhadap penyimpangan perilaku yang efektif harus merupakan perwujudan sejumlah asas pengendalian sosial secara sinergis yang meliputi: a. Adanya regulasi yang jelas. b. Adanya sosialisasi regulasi yang terencana. c. Adanya fasilitasi untuk lllengikuti regulasi. d. Penerapan sanksi lllerupakan upaya akhir.

Aspek regulasi.

Memang benar bahwa UU No.5/I997 dan UU NO.22/I997 merupakan regulasi yang cukup jelas tenrang apa yang tidak baleh dilakukan dan sanksi apa yang akan dikenakan bagi pelanggarnya. Namun demikian kalau kedua undang-undang ini secara konsekuen dilaksanakan. yang terjadi adalah adanya pemborosan dana dan tenaga untuk melakukan pengabatan bagi pengguna yang dihukulll. Padahal tingkat relapse penggunaanya tinggi. Dengan demikian perlu adanya penyempurnaan terhadap kedua undang-undang tersebut. Misalnya biaya pengabatan bagi pengguna yang dihukum harus ditanggung oleh terhukum sendiri. Selain itu karena tingkat relapse yang tinggi pula maka para pengguna yang pernah dihukum akan besar kemungkinannya menjadi residivis. Oleh karena itu barangkali perIu dipertimbangkan apakah tidak lebih baik menyediakan "rumah madat" saja bagi pengguna yang sudah dewasa

Namar 2 Tahun XXXII

Page 5: 132 Hukum dan Pembangunan

136 Hukum dan Pembangunan

dengan menerapkan pengawasan yang ketat terhadap rumah madat tersebut. Terdapat pandangan kritis bahwa pada dasarnya klinik atau rumah sa kit rehabilitasi pengguna narkoba yang semakin banyak didirikan belakang ini lebih banyak bertindak sebagai penyedia narkoba karena perkembangan jumlah klinik pengobatan ketergantungan narkoba tidak diikuti dengan adanya pengurangan pengguna narkoba. Tingkat relapse yang tinggi dari pengguna narkoba yang pernah mengalami rehabilitasi, antara lain yang menghasilkan kritik yang pedas ini. Berkaitan dengan ini pencegahan dini penyalahgunaan narkoba dapat difokuskan kepada generasi muda agar tidak terpengaruh untuk menyalahgunakan narkoba.

Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba yang difokuskan kepada generasi muda tidak cukup hanya dalam bentuk larangan-Iarangan, tetapi yang lebih penting adalah merancang aktivitas penghindaran dan penguatan aspek kepribadiannya. Aktivitas penghindaran yang dimaksud di sini adalah suatu program sosial bagi generasi muda sesuai dengan status usianya. Dalam kaitan ini kita perlu memiliki undang-undang pembinaan generasi muda yang terencana yang mengatur hak dan kewajiban mereka sesuai dengan kelompok usianya. Misalnya pada usia 0 hingga 5 tahun, merupakan masa awal pertumbuhan seorang insan sebagai mahluk hidup dan mahluk sosial yang belum dapat menentukan kehendak terbaik bagi dirinya. Kelompok usia ini secara sosial dan hukum perlu diberi status di bawah perlindungan orang tua. Artinya harus ada peraturan perundangan yang memastikan bahwa anak dalam usia 0 - 5 tahun berkembang di bawah naungan orang-tuanya, sedapat mungkin orang . tua kandungnya. Demi perlindungan anak ini maka apabila kita menemukan bahwa orang tua anak tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan peran orang tua secara sosial, maupun secara psikologis , dapat diciptakan hukum untuk mencabut hak perlindungan dari orang tua tersebut dan negara menyerahkan perlindungan anak kepada "orang tua" lain yang cakap.

Setelah anak melampaui usia 5 tahun hingga mencapai usia dewasa (muda), misalnya 18 tahun (sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997), generasi ini diberi status berada di bawah pengawasan orang dewasa. Kepada kelompok usia ini perlu dirancang program-program sosial untuk menghindarkan keterlibatan mereka dalam perilaku menyimpang, termasuk menyalahgunakan narkoba. Sebab pada usia ini mereka sudah mulai bersosialisasi dengan masyarakat, namun mereka belum sepenuhnya dapat mandiri. Oleh karena itu mereka harus selalu berada di bawah pengawasan orang dewasa. Dalam hal ini

April - Juni 2002

Page 6: 132 Hukum dan Pembangunan

Upaya Pencegahan Dini Penya/nhgunaan Narkoba 137

lembaga pendidikan formal dan non formal akan memegang peranan penting.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjalankan fungsi pengawasan dalam rangka melaksanakan fungsi utamanya menyelenggarakan pendidikan. Untuk memastikan bahwa sebagian besar waktu anak selalu berada dalam pengawasan orang dewasa, maka lembaga pendidikan fo rmal harus diselenggarakan sejak pagi hingga sore. Sebab kalau sekolah hanya diselenggarakan sampai siang hari saja atau setengah hari saja (seperti sekarang ini), akan terdapat waktu luang yang cukup banyak yang menempatkan anak tidak berada di bawah pengawasan siapapun. Keadaan ini tentu saja akan merupakan keadaan rawan terhadap pengaruh penyimpangan perilaku. Berdasarkan pengamatan, penyalahgunaan narkoba dan penyimpangan sosial yang lain terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap kelompok usia ini ketika berada di luar pengawasan orang tua (keluarga) maupun berada di luar lingkup sekolah.

Dalam usia hingga 18 tahun ini perlu diberlakukan undang-undang tentang perilaku anak (semacam "Juvenile Act" yang diberlakukan di Amerika Serikat) yang mengatur apa yang harus dilakukan anak (yaitu belajar dan menjalani proses sosialisasi nilai dan norma sosial serta nilai dan norma keagamaan) dan apa yang tidak boleh dilakukan (misalnya membolos sekolah, merokok, mengkonsumsi narkoba, alkohol, pornografi, berada di tempat-tempat hiburan malam dsb). Agar ketentuan tersebut dapat lebih efektif dilaksanakan, maka regu lasi tersebut harus secara tegas pula menyebutkan agar orang dewasa dilarang menyuruh membeli rokok , menjual rokok dsb. kepada mereka yang berusia anak lengkap dengan sanksinya.

Setelah usia 18 tahun dilampaui masih perlu pula adanya pengaturan tentang kapan seseorang akan dibiarkan kalau yang bersangkutan memilih untuk melakukan kemaksiatan seperti merokok, minum minuman keras termasuk mengkonsumsi narkoba dan pornografi. Terkait dengan itu perlu pula diatur di tempat-tempat mana saja dan pada usia beraapa kemaksiatan tersebut boleh dilakukan. Negara seperti Amerika Serikat saja yang sering dijadikan acuan modernisasi (dan dicap sebagai negara dengan masyarakat yang mengalami dekadensi moral) memiliki perangkat hukum yang ketat dan dilaksanakns secara tegas terhadap generasi muda. Sebagai contoh konkrit beberapa waktu yang lalu putri Presiden Amerika Serikat ditangkap dan dihukum karena membeli minuman beralkohol sebelum mencapai usia yang dibolehkan oleh hukum. Bahkan ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat menyebutkan bahwa untuk dapat memasuki

Nomor 2 Tahun XXXII

Page 7: 132 Hukum dan Pembangunan

138 Hukum dan Pembangunan

tempat-tempat hiburan malam, seperti nightclub, discotheque, casino seseorang hams sudah bemsia 21 tahun. Hal itu dilakukau karena tempat­tempat hiburan seperti yang tersebut tadi pada umumnya adalah tempat maksiat. Kita sendiri, sebagai bangsa yang mengagungkan filosofi Pancasila tidak mempunyai peraturan pemndangan seperti itu. Dengan demikian, apabila kita mengahadapi tingkat penyimpangan perilaku yang tinggi di kalangan generasi muda, hal itu antara lain karena kita tidak mempunyai peraturan pemndangan yang baik yang mengatur proses sosialisasi dan pengendalian sosial generasi muda untuk mempersiapkan mereka menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Yang terjadi sesungguhnya adalah proses pembiaran terhadap masa depan generasi muda tersebut.

Aspek sosialisasi dari reguJasi

Membuat undang-undang relatif mudah, tetapi membuat undang­undang yang dapat terlaksana secara efektif tidaklah mudah. Aspek penting bagi efektivitas regulasi antara lain adalah apabila ada upaya sosialisasi yang terencana tentang adanya regulasi. Sosialisasi ini hams dilaksanakan sesuai kemampuan intelektualitas sasaran sosialisasi. Apabila lembaga pendidikan formal diberi peran menjadi pengawas utama dari anak usia 5 -18 tahun sebagaimana diusulkan di atas, maka lembaga pendidikan juga hams merupakan lembaga yang efektif untuk melakukan sosialisasi atas regulasi. Namun demikian sosialisasi regulasi tidak berarti harus ada mata pelajaran tertentu yang membahas regulasi tersebut. Dalam hal ini melalui pelaksanaan "hidden curriculum" sosialisasi regulasi akan lebih efektif.

Sosialisasi tentang dampak negatif penyalahgunaan narkoba dapat juga diberikan dalam bentuk bahan bacaan untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Dulu, pernah terdapat suatu bahan bacaan di sekolah yang menceritakan tentang bagaimana negatifnya penggunaan candu. Dalam bahan bacaan tersebut diceritakan ada seorang petani yang menjual ternaknya ke kota karena memerlukan uang untuk membeli bib it tanaman. Sepulang dari pasar menjual ternak, petani tersebut melewati suatu "mmah madat". Ada seorang pegawai mmah madat yang bertugas mencari konsumen seperti seorang sale promotion. Peetugas sales promotion membujuk petani yang habis menjual ternaknya tersebut dengan mengatakan bahwa kalu ingin menikmati keindahan surga maka rumah

April - funi 2002

Page 8: 132 Hukum dan Pembangunan

Upaya Pencegahnn Dini Penyalahgunaan Narkoba 139

madat tersebut tempatnya. Akhirnya si petani terbujuk dan terperangkap menjadi pecandu madat. Bibit tanaman yang akan dibeli tidak terbeli, rumah tangganya berantakan. Bahan bacaan seperti itu yang tidak secara indoktrinatif menggambarkan pengaruh negatif madat, akan lebih mudah dicerna oleh akal sehat anak usia sekolah daripada menyebarluaskan poster dan slogan-slogan anti narkoba,

Aspek fasilitasi untuk mengikuti regulasi.

Aspek fasilitasi ini merupakan berbagai usaha yang dilakukan untuk membuat agar generasi muda usia sekolah betul-betul terhindar dari kemungkinan menyalahgunakan narkoba. Penyelenggaraan wajib belajar dengan pengertian bahwa sampai dengan usia tertentu (18 lahun) negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma dengan kualitas yang sarna di mana saja di tanah air ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari fasilitasi tersebut. Dengan demikian peraturan perundangan yang menjamin penyelenggaraan wajib belajar tersebut juga merupakan bentuk fasilitasi , padahal sampai sekarang ini kit a belum mempunyai undang-undang wajib belajar. Demikian pula alokasi anggaran pendidikan pad a APBN dan APBD juga harus secara proporsional mencukupi bagi penyelenggaraan wajib belajar.

Fasilitasi yang tidak kalah pentingnya dari penyelenggaraan wajib belajar adalah perwujudan dari konstitusi, misalnya: bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; dan bahwa fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh negara. Kalau janji-janji konstitusi tersebut tidak terselenggara, akan sulit rasanya menyelenggarakan program penghindaran generasi muda dari kemungkinan terlibat penyalahgunaan narkoba. Di Indonesia ini masih terdapat anggapan bahwa anak merupakan aset keluarga, sehingga apabila orang tuanya miskin maka anak harus membantu keluarganya untuk mencari natkal,. Dengan demikian menyelenggarakan wajib belajar saja tanpa diikuti dengan menyejahterakan orang tuanya akan merupakan usaha yang tidak efektif.

Aspek fasilitasi ini akan lebih mudah dice rna melalui analogi di bawah ini. Dalam rangka menerapkall nilai-nilai kebersihan dibuat peraturan (regulasi) "dilarallg membuallg sampah sembarangan". Kemudiall ulltuk membuat agar peraturan tersebut diketahui oleh orang banyak dibuat berbagai poster dan himbauan "buanglah sampah ditempatnya", atau "bersih pallgkal sehat', "kebersihan pangkal dari

Nomor 2 Tahun XXXI!

Page 9: 132 Hukum dan Pembangunan

140 Hukum dan Pembangunan

keimanan" dst. Pembuatan poster adanya larangan dan himbauan tersebut adalah bentuk sosialisasi dari nilai dan aturan tentang kebersihan. Namun demikian regulasi dan sosialisasi tersebut belum menjamin bahwa nilai­nilai kebersihan akan terwujud. Dalam hal ini perlu adanya fasilitasi dalam bentuk menyediakan tempat sampah dan tempat pembuangan sampah yang memadai. Kalau fasilitasi tempat sampah dan tempat pembuangan sampah tidak tersedia, maka menerapkan sanksi bagi seseorang yang membuang sampah sembarangan bukanlah merupakan tindakan bijaksana.

Penerapan sanksi sebagai upaya akhir

Apabila kita sudah mempunyai program-program regulasi , sosialisasi dan fasilitasi dalam pembinaan generasi muda yang merupakan perwujudan pencegahan dini penyalahgunaan narkoba, maka sudah pada tempatnya kita berpikir dan bertindak terhadap pelaku pelanggaran. Meskipun demikian penghukuman terhadap pelaku pelanggaran harus merupakan upaya yang paling akhir untuk dilaksanakan. Sementara itu apabila penerapan sanksi im terpaksa harus dilaksanakan, maka penerapannya harus selektif. Artinya apabila pelaku pelanggaran adalah mereka yang masih tergolong usia muda, maka segala daya harus diupayakan untuk mebuat pelaku yang berusia muda ini dapat betul-betul terintegrasi kembali ke masyarakat.

Penyembuhan secara fisik dan psikologis terhadap pecandu narkoba tidak akan ada gunanya, apabila tidak disertai dengan usaha terapi dan rehabilitasi sosial. Menyebut mereka yang berusia muda yang melakukan penyalahgunaan narkoba sebagai korban penyalahgunaan narkoba merupakan langkah awal yang simpatik. Dengan cara seperti ilu kita mengisyaratkan bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk diterima kembali sebagai bag ian dari warga masyarakat seperti semula.

Dalam cara kerja pengedar narkoba, mereka berusaha keras menjaga "konsumennya". Korban dari pengedar narkoba ini akan selalu dimonitor keberadaannya. Apabila "konsumen" mereka menghilang, para pengedar tersebut akan berusaha keras mencarinya. Dan biasanya, apabila seorang pecandu narkoba yang sudah dinyatakan sembuh dari ketergantungan narkoba bertemu dengan pengedar atau kembali ke Iingkungan tempat ia biasa mengkonsumsi narkoba, kemungkinan terjadinya relapse penggunaan menjadi besar. Oleh karena itu, ketahanan

April - lUlli 2002

Page 10: 132 Hukum dan Pembangunan

UplIYa Pencegahan Dini Penya/ahgunaan Narkoba 141

sosial lingkungan untuk mengidentifikasi pengedar yang berusaha menghubungi bekas konsumennya menjadi penting. Lingkungan sosial tempat tinggal bekas pecandu narkoba dapat didayagunakan untuk membentengi korban penyalahgunaan narkoba tersebut kembali menjadi pengguna. Seringkali, karena kewalahan terhadap gangguan dan godaan pengedar narkoba, ada keluarga yang anggotanya baru saja disembuhkan dari ketergantungan narkoba terpaksa pindah tempat tinggal yang cukup jauh dari tempat tinggal semula. Namun tidak semua keluarga korban penyalahgunaan narkoba mempunyai kemampuan mobilitas seperti itu.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka melakukan pencegahan dini agar supaya generasi mud a tidak terjebak dalam penyalahgunaan narkoba, maka perlu adanya usaha untuk membangun benteng eksternal individu yang kondusif bagi usaha penghindaran dari pengaruh narkoba. Serentak dengan itu dilakukan penguatan internal individu agar tumbuh sikap rasional anti narkoba, melalui pemahaman konkrit atas dampak yang merugikan dari narkoba.

Secara teontls, uraian di atas dapat dijelaskan dengan mempergunakan kerangka teori yang dikemukakan oleh Walter Reckless "A Non-causal Explanation: Containment Theeory" (1962). Reckless berasumsi bahwa dalam struktur sosial terdapat benteng yang dapat melindungi orang dari tindakan yang menyimpang dan melanggar hukum. Sedangkan dalam diri individu terdapat juga benteng yang selaras dengan benteng eksternal terse but. Kedua benteng tersebut berfungsi sebagai penghalang agaar seseorang tidak melakukan penyimpangan norma dan penyimpangan hukum, mengisolasi individu dari pengaruh dan rangsangan demoralisasi (Reckless, 1962: 131-134). Namun demikian agar supaya kedua benteng tersebut berfungsi secara efektif, menu rut Reckless diperlukan sejumlah kondisi, yaitu:

a. Pada tingkat struktur sosial harus terdapat komponen:

1. Struktur peran yang jelas dari setiap individu. 2. Adanya batas tanggung jawab yang rasional bagi setiap individu. 3. Adanya kesempatan bagi setiap individu untuk meraih suatu status. 4. Adanya keakraban masyarakat, termasuk aktivitas bersama dan

kebersamaan. 5. Adanya perasaan kebersamaan (identifikasi diri terhadap kelompok).

Nomor 2 Tahun XXXII

Page 11: 132 Hukum dan Pembangunan

142 Hukum dan Pembangunan

6. Identifikasi terhadap beberapa orang dalam kelompok. 7. Tersedia alternatif bagi cara-cara pencarian kepuasan (bila karena

suatu hal terhambat).

b. Pada tingkat individu harus dapat dihasilkan:

I. Citra diri yang baik ketika berhubungan dengan orang lain, kelompok dan lembaga kemasyarakatan.

2. Kesadaran dalam diri sebagai orang yang mempunyai tujuan. 3. Toleransi yang tinggi terhadap keadaan frustasi. 4. Moral dan etika yang mendarah daging. 5. Ego dan superego yang matang (Reckless, 1962: 131-134).

Secara skematis, usaha untuk membangun benteng struktur sosial dalam rangka pembinaan generasi muda dapat digambarkan sebagai berikut:

USIA STATUS TANGGUNG PROGRAM SOSIAL JAWAB HUKUM PEMBINA AN

0-5 Oi bawah Tidak dapat dimintai Kesejabteraan ibu dan Tabun lindungan tanggung jawab. anak.

orang tua. Perlindungan, pengayoman mental dan fisiko

Bimbingan persiapan sosialisasi.

6 - 18 Oi bawah Tanggung jawab Wajib belajar, fasilitas Tahun pengawasan pidana sebagian. rekreasi , seni, olab raga.

orang dewasa. Partisipasi sosial Sosialisasi nilai norma sebagian. sosial dan agama.

Perlindungan dan pengawasan tingkab laku.

19 - 21 Oi bawab Tanggung jawab Persiapan kerja Tahun pembinaan pidana penuh Pendidikan lanjutan.

masyarakat, Partisipasi sosial dengan sebagian.

pengawasan sebagian .

21 Orang dew as a Tanggung jawab Fasilitasi kerja dan

Tabun penuh. pidana dan pembinaan karir.

dst partisipasi sosial secara penuh

April - Juni 2002

Page 12: 132 Hukum dan Pembangunan

Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaall Narkoba 143

Perlu diakui bahwa secara partial sudah tedapat beberapa peraturan perundangan yang dapat dikaitkan dengan program pembinaan generasi muda yang diusulkan. Namun peraturan-peraturan perundangan tadi tidak secara komprehensif merupakan bag ian integral yang secara konseptual dirancang untuk mempersiakan generasi muda untuk menjadi orang dewasa yang mempunyai kematangan kepribadian dan kematangan sosial. Oleh karena itu program pembinaan generasi muda sebagai upaya dini penanggulangan penyimpangan perilaku (termasuk penyalahgunaan narkoba) menjadi tidak dapat diabaikan.

Daftar Pustaka

Bachtiar, Dai "Kebijakan Pemerintah Tentang Narkoba", Makalah, Lokakarya Nasional Peran Lembaga Pendidikan dan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba , LPM UI­Yayasan Panca Sejahtera, 29-30 Oktober.

Reckless, Walter C. "Non-Causal Explanation: Containtment Theory", Excerpta Crimiologica, Marchi April.

Salamun,2001 "Dampak Penyalahgunaan Narkoba Dari Perspektif Ekonomi Mikro", Makalah, Lokakarya Nasional Peran Lembaga Pendidikan dan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba, LPM UI - Yayasan Panca Sejahtera, 29-300ktober.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

Nomor 2 Tahun XXXII