jurnal hukum dan pembangunan ekonomi

17

Upload: others

Post on 25-Apr-2022

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Page 2: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 1

JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Ketua Dewan Redaksi

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS

Prof. Dr. Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.

Sekretaris Dewan Redaksi

Sekretaris Program S3 Ilmu Hukum UNS

Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum.

Sekretaris Program S2 Ilmu Hukum UNS

Dr. M. Hudi Asrori S.,S.H.,M.Hum.

Anggota Redaksi

Mulyanto,S.H.,M.Hum.

Ayub Torry Satriyo Kusumo,S.H.,M.H.

Sholikhah, S.H.,M.H.

Lushiana Primasari, S.H.,M.H.

Editor

Dr. Pujiyono, SH, M.H.

Achmad,S.H.,M.H.

Anugrah Adiastuti,S.H.,M.H.

Dr. Agus Riwanto,S.H.,S.Ag.,M.Ag.

Pembantu Pelaksana

Rino Martino,S.Sos.

Lely Annisa S.Hut.

Diah Suryani,S.P

Alamat Redaksi

Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Jalan Ir. Sutami No. 36 A Kentingan, Surakarta Telp (0271) 666450 ext 133

email : [email protected]

Page 3: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20142

Page 4: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 3

DAFTAR ISI

Suramnya Eksistensi Lembaga Arbitrase Di Indonesia

Pujiyono ........................................................................................................................................... 5

Urgensi Akomodir Calon Presiden Perseorangan Dalam Sistem Pemilihan Umum Presiden Dan

Wakil Presiden Di Indonesia

Yusuf Akbar Amin ............................................................................................................................ 17

Penerapan Pola Enclave Pada Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas (Free Trade

Zone) Di Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau

Veronica Maximilian Ekarunia Widyastuti ........................................................................................ 25

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Perintah Ditahan Dalam Perkara Tindak Pidana

Korupsi

Sinarta Henry Dunant Sinuraya ....................................................................................................... 35

Penanggulangan Perambahan Hutan Di Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Menurut

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Antoni .............................................................................................................................................. 42

Peran Notaris Ppat Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Di Bpr. Nguter

Surakarta

Muhammad Yusuf ............................................................................................................................ 51

Kedudukan Alat Bukti Elektronik Dalam Proses Pembuktian Tindak Pidana Kejahatan Mayantara

(Cyber Crime) (Analisis Perkara Nomor: 19/PID.SUS/2011/PN.SKA Di Pengadilan Negeri Kelas

IA Khusus Surakarta Mengenai Pengaksesan Tanpa Hak Akun E-Mail)

Muhammad Nur Ronggo Dinoyo ..................................................................................................... 61

Efektivitas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Terhadap Perempuan

Dan Anak Korban Kekerasan Di Kabupaten Bojonegoro

Neneng Rika Jazilatul Kholidah ....................................................................................................... 71

Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Ingkar Janji Kawin (Studi Kasus Di Kota Kupang

Propinsi Nusa Tenggara Timur)

Yuce Abrianus Kohe Selan .............................................................................................................. 79

Pelaksanaan Prinsip Syari’ah Dalam Akad Dan Penyelesaian Sengketa Syari’ah Pada Lembaga

Perbankan Syari’ah Di Indonesia

Didiek Noeryono Basar.................................................................................................................... 87

Politik Hukum Hak Merk Dalam Rangka Hubungan Antara Prinsip-Prinsip Trips Agreement Dengan

Kepentingan Nasional Berkaitan Dengan Kesiapan Indonesia Menghadapi Perdagangan Bebas

Aditya Sukma Pradhana .................................................................................................................. 96

Politik Hukum Dalam Penjaminan Dana Simpanan Nasabah Lembaga Perbankan Di Indonesia

Adhiputro Pangarso Wicaksono ...................................................................................................... 103

HUKUM DAN

PEMBANGUNAN EKONOMI

ISSN 2338-1051

Volume II No. 2, Agustus 2014

Page 5: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20144

Page 6: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 5

SURAMNYA EKSISTENSI LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA

Pujiyono

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email : [email protected]

Abstract

In society will have been conflict at the time. Especially for the claim of rights or interest in the business activities. The society need a model of conflict resolution that make their business keep running well. Today arbitration overview as important legal institution as one dispute resolution out of court settlement that based on one bussiness arbitration agreement that made by the parties.The exist of arbitration institution based on the Law number 30th of 1999 about Arbitration an Alternative Dispute Resolution. This law has a good quality, so many hopes are depended on by bussiness society to solve their business conflicts. Arbitration institution have many positive aspect, such as the confidentially of the dispute parties, and the time of resolution that related in short time. But the hopes are not equal with the reality. The objective of this paper is to know the bleak of arbitration institution for solving business conflicts. And the follow up of that sentence is knowing the steps to make arbitration running well for solving bussiness conflict.

Keywords : Arbitration, resolution , business conflict

Abstrak

Sengketa selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Khususnya sengketa karena perebutan hak maupun

kepentingan dalam bisnis. Masyarakat membutuhkan model penyelesaian sengketa yang tetap menjamin

bisnis mereka berjalan. Saat ini arbitrase merupakan perangkat hukum yang penting sebagai salah satu

jalur penyelesaian sengketa di luar pengadilan penyelesaian yang berdasarkan pada perjanjian tertulis

para pihak. Eksistensi lembaga arbitrase didasarkan pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase merupakan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini memiliki kualitas yang baik,

begitu banyak harapan yang tergantung pada masyarakat bisnis untuk menyelesaikan konflik bisnis mereka. Lembaga arbitrase memiliki berbagai keunggulan, seperti kerahasiaan dari pihak sengketa, dan

waktu penyelesaian yang relatif singkat. Tetapi tidak semua harapan masyarakat tersebut sesuai dengan

kenyataan, ada juga sisi lemah arbitrase. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui suramnya

lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis dan untuk langkah-langkah guna membuat

model arbitrase berjalan dengan baik untuk menyelesaikan sengketa bisnis.

Kata kunci : Arbitrase, resolusi, sengketa bisnis

Suramnya Eksistensi Lembaga ...

A. Pendahuluan

Model penyelesaian sengketa bisnis

diharapkan semakin cepat, efektif dan efisien, karena dengan membiarkan sengketa berlarut-

larut akan mengakibatkan perkembangan

pembangunan ekonomi yang tidak efisien,

produktivitas menurun, dunia bisnis mengalami

kemandulan dan biaya produksi meningkat.

Akibatnya, konsumen adalah pihak yang

paling dirugikan. Di samping itu, peningkatan

kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum

pekerja juga terhambat 1, maka dunia bisnis disini

menuntut cara penyelesaian sengketa yang cepat,

efektif dan efisien. Menurut M. Yahya Harahap, Pengalaman dan pengamatan telah membuktikan,

penyelesaian sengketa melalui pengadilan relatif

lambat dikarenakan 2 :

1 Suyud Margono. 2000. ADR Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor:

Ghalia Indonesia. Hal. 122 M. Yahya Harahap. 1993. Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan

Standar Hukum Eksekusi. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hal. 232

Page 7: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20146 Suramnya Eksistensi Lembaga ...

1. Penuh dengan formalitas,

2. terbuka upaya banding, kasasi dan

peninjauan kembali sehingga jalannya proses

penyelesaian, bisa berliku-liku dan memakan

waktu yang sangat panjang. Bisa berbilang

tahun bahkan puluhan tahun,

3. belum lagi munculnya berbagai upaya

intervensi atau perlawanan dari pihak ketiga

(derden verzet), menyebabkan penyelesaian

semakin rumit dan panjang.

Hadirnya arbitrase semagai model resolusi

sengketa bisnis memberikan berbagai jawaban

atas kegundahan para pelaku bisnis ketika

berhadapan dengan model sengketa litigasi.

Arbitrase merupakan institusi penyelesaian

sengketa yang menggunakan pendekatan

pertentangan (adverserial) dengan hasil win

lose yang dipilih sebagai alternatif oleh pelaku

bisnis3. Di Indonesia, kedudukan arbitrase

diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).

Munculnya UU Arbitrase memberikan optimisme

untuk menjawab kegundahan para pelaku bisnis,

bahkan ketika itu UU Arbitrase sempat diklaim

sebagai UU Non Litigasi yang probussiness, yang ditunjukkan dengan karakteristik progresif

dan sangat protektif. Progresifitas UU Arbitrase bisa dilihat di Pasal 10 yang menyatakan bahwa

meskipun perjanjian arbitrase bersifat assesoir,

namun berakhirnya perjanjian pokok tidak berarti

menghentikan perjanjian arbitrase. Sementara

sifat protektif bias dilihat dalam Pasal 3 dan Pasal

11 yang menjelaskan tentang kewenangan mutlak

lembaga arbitrase dan menolak campur tangan

lembaga ajudikasi publik. Berbagai keunggulan

karakteristik arbitrase yang menghadirkan

optimisme tersebut, antara lain :

1. Bersifat rahasia (confidential), sehingga

menjamin kerahasiaan para pihak.

2. Prosedurnya sederhana dan cepat

3. Para pihak yang bersengketa dapat

memilih orang/lembaga (arbiter) yang akan

menyelesaikan sengketa. Para pihak dapat

memilih arbiter yang menurut keyakinannya

mempunyai pengetahuan, pengalaman serta

latar belakang yang memadai mengenai

masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

Para pihak dapat menentukan pilihan hukum

untuk menyelesaikan masalah, proses, dan

tempat penyelenggaraan arbitrase.

4. Putusannya bersifat final, binding (mengikat)

dan memiliki daya paksa.4

Dengan kelebihan-kelebihan ini maka

penyelesaian sengketa melalui arbitrase

seharusnya lebih diminati daripada proses

litigasi dalam menyelesaikan sengketa bisnis.

Kini, sudah lebih dari satu dasa warsa UU

Arbitrase berlaku di Indonesia, namun faktanya

optimisme yang terbangun diawal kelahiran UU

Arbitrase belum menemukan kesesuaian fakta.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

sebagai lembaga arbiter terkemuka di Indonesia,

Bandung, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Medan

, Palembang, Batam dan Jambi, dengan kantor

Pusat di Jakarta yangberalamat di Wahana Graha

Lt. 1 & 2 Jl. Mampang Prapatan No. 2 Jakarta

12760. Belum semua daerah ada lembaga

arbitrase. Selain itu, penggunaan lembaga

arbitrase sebagai jalur resolusi sengketa bisnis

relatif masih sedikit. Sejak BANI berdiri tahun 1977

hingga tahun 2013 kurang dari 600 kasus yang

masuk. Bahkan hingga tahun 2006 baru 298 kasus

yang masuk. Kondisi lebih mengkhawatirkan ada

pada BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah

Nasional). Sejak didirikan 2003 lalu, sengketa

yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah

Nasional terhitung kurang dari 20 kasus.

Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan

dengan jumlah sengketa bisnis yang diajukan

melalui jalur litigasi (hanya di PN Jakarta Pusat)

pertahunnya rata-rata memeriksa dan memutus

sekitar 600-700 sengketa bisnis. Bahkan jumlah

kasus yang diselesaikan melalui BANI yang berdiri

sejak tahun 1977 masih kalah dibanding Singapore

International Arbitration Centre (SIAC) yang lahir

pada tahun 1991, tapi telah menyelesaikan sekitar

600 sengketa bisnis sampai tahun 2003, dan

tahun 2004 & 2005 SIAC telah menyelesaikan

152 sengketa bisnis.

Minimnya daya kenal pengusaha terhadap

eksistensi Arbitrase sebagai jalur resolusi bisnis

menjadi ironi. Ironi selanjutnya adalah mengenai

tumpulnya putusan arbitrase. Berdasar Pasal 3

dan Pasal 11 UU Arbitrase, semestinya pengadilan

tidak memilki kewenangan untuk memeriksa

sengketa yang ada klausul arbitrasenya. Namun

hakim masih menerima sengketa yang diajukan

oleh salah satu pihak padahal ada klausul arbitrase.

Padahal prinsip penanganan sengketa di lembaga

arbitrase adalah limited court involvement, yang

3 Adi Sulistiyono. 2007. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia. Surakarta : UNS Press. Hal. 1394 Suyud Margono. Op cit. hal. 2

Page 8: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 7Suramnya Eksistensi Lembaga ...

telah memberikan kewenangan bagi lembaga

arbitrase untuk bertindak dengan keterlibatan

yang hampir nihil dalam penangananan sengketa

bisnis. UU Arbitrase yang sudah sedemikian baik

tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Harapan

untuk menselaraskan dinamisasi bisnis dengan

resolusi sengketa melalui lembaga arbitrase

tidak menemukan titik temu. Keinginan berbagai

kalangan untuk memposisikan lembaga arbitrase

sebagai pengisi kekurangan lembaga litigasi juga

menjadi pupus. Kondisi tersebut apabila dibiarkan

akan berdampak pada tidak berkembang, suram

bahkan matinya lembaga arbitrase sebagai model

resolusi sengketa bisnis.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode penelitian

hukum empiris karena permasalahan yang

dibahas berkenaan dengan realita yang dihimpun 5. Data diperoleh dari data primer dan sekunder.

Data primer bersumber dari BANI (Badan

Arbitrase Nasional Indonesia) dan BASYARNAS

(Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang

berwenang sebagai badan penyelesaian sengketa

perdagangan dengan menggunakan model

arbitrase yang dikumpulkan melalui observasi

dan wawancara. Data sekunder bersumber dari

dokumen yang bersifat pribadi dan publik, serta

data sekunder di bidang hukum. Pengumpulan

data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan

content analysis dokumen, arsip, bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Data yang

telah terkumpul disusun secara induktif dengan

mengidentifikasi, menglasifikasikan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, kemudian

ditarik kesimpulan

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Limited Court Involvement

Dalam rangka mengungkap penyebab

kematian lembaga arbitrase sebagai

resolusi sengketa bisnis, maka hukum harus

dilihat dalam perspektif makro. Artinya,

bekerjanya hukum harus dilihat sebagai

suatu sistem yang utuh, dimana hukum itu

hidup dalam suatu interaksi antara berbagai

faktor pendukungnya. Lawrence Friedman

mengatakan bahwa a legal system an actual

operation is complex organism in which structure, substance and culture interaction 6.

Dalam konteks ke-Indonesiaan teori Friedman

tersebut perlu dilengkapi, yakni komponen

pendukung bekerjanya sistem hukum meliputi

struktur, substansi, budaya, pendidikan

hukum dan politik hukum pemerintah. 7

Komponen struktur, ialah kelembagaan

yang diciptakan oleh sistem hukum itu

dengan berbagai macam fungsinya dalam

rangka mendukung bekerjanya sistem

hukum. Dalam komponen struktur ini dikenal

berbagai institusi yang bertugas sebagai

pelaksana dan penegak hukum. Komponen

kultur, ialah nilai-nilai yang merupakan

pengikat sistem itu serta menentukan tempat

sistem hukum itu di tengah-tengah kultur

masyarakat secara keseluruhan. Komponen

kultur akan menentukan kapan dan mengapa

serta dimana masyarakat akan datang dan

mentaati hukum atau justru mengabaikannya.

Komponen substansi, ialah semua output

dari sistem hukum. Dalam pengertian ini

termasuk norma-norma, peraturan, doktrin

dan sebagainya yang mengatur kehidupan

masyarakat . Komponen pendid ikan

hukum tercermin dari eksistensi lembaga

pendidikan formal, khusunya di Fakultas

Hukum. Komponen politik hukum pemerintah

tercermin dalam Program Legislasi Nasional

(prolegnas) dan daya dukung pemerintah

terhadap suatu perundang-undangan.

Arbitrase merupakan suatu metode

penyelesaian sengketa yang sering juga

disebut dengan pengadilan wasit. Sehingga

para “arbiter” dalam peradilan arbitrase

berfungsi memang layaknya seorang “wasit”

(referee) (Munir Fuady, 2000:12). Menurut

Huala Adolf, arbitrase adalah penyerahan

sengketa secara sukarela kepada pihak

ketiga yang netral yang mengeluarkan

putusan yang bersifat final dan mengikat

(binding) 8.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

5 Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal. 436 Lawrence M. Friedman. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Jakarta: Nusa Media. Hal. 15-187 Adi Sulistiyono. 2007. Pembangunan Hukum Ekonomi untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030. Pidato

Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 17 Nopember 20078 Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 23

Page 9: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20148 Suramnya Eksistensi Lembaga ...

dimaksud dengan arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di

luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan

bahwa sengketa yang dapat diselesaikan

melalui arbitrase hanya sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang

menurut hukum dan peraturan perundang-

undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak

yang bersengketa. Yang dimaksud dengan

ruang lingkup hukum perdagangan adalah

kegiatan-kegiatan di bidang perniagaan,

perbankan, keuangan, penanaman modal,

industri, hak kekayaan intelektual (Penjelasan

Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase).

Di Indonesia, kita sudah lama juga

mengenal lembaga arbitrase, bahkan dalam

Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

(BRv), yang berlaku sejak tahun 1849, juga

terdapat pasal-pasal tentang arbitrase. Dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

yang berlaku untuk golongan Bumiputera,

baik HIR maupun RBg tidak mengatur tentang

arbitrase. Hanya lewat Pasal 377 HIR dan

Pasal 705 RBg, ketentuan-ketentuan dalam

Rv berlaku juga untuk golongan Bumiputera.

Dengan berdasar pada Pasal 377 HIR, 705

RBg tersebut apabila seorang Bumiputera

hendak tunduk pada peraturan orang Eropa,

maka ketentuan arbitrase yang terdapat

dalam Rv Pasal 615 sampai 651 juga

diberlakukan bagi orang Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka berdasarkan

Pasal II peraturan peralihan Undang-Undang

Dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase

masih berlaku untuk orang Indonesia. Pada

tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa

Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdiri

sebagai lembaga penyelesaian sengketa

bisnis di luar badan peradilan konvensional

yang ada di Indonesia. Pendirian BANI

berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang

dan Industri (KADIN) Indonesia No. SKEP /

152 / DPH / 1977.

Sengketa bisnis yang diajukan ke

arbitrase harus didasarkan pada kesepakatan

tertulis yang dibuat para pihak tentang

pemilihan model arbitrase sebagai resolusi

sengketa. Perjanjian arbitrase ini bisa

dibuat sebelum sengketa terjadi (pactum de

compromitendo) maupun sesudah sengketa

(akta kompromis). Hal tersebut didasarkan

pada Pasal 7, 8, 9 UU Arbitrase. Pada

prinsipnya kontrak arbitrase merupakan

suatu kontrak buntutan (accesoir), tetapi ada

beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya

sebagai accesoir tersebut tidak diikuti secara

penuh, yaitu, jika perjanjian pokok batal maka

kontrak arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10

huruf h Undang-Undang Arbitrase). Klausul

arbitrase yang biasa direkomendasikan oleh

BANI sebagai berikut :

“Semua sengketa yang timbul dari

perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus

oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) menurut peraturan-peraturan BANI,

yang keputusannya mengikat kedua belah

pihak yang bersengketa sebagai keputusan

dalam tingkat pertama dan terakhir”

Suatu klausula arbitrase yang telah

termuat dalam kontrak arbitrase baik yang

dibuat bersama perjanjian pokok atau di

luar perjanjian pokok, merupakan dasar

yang kuat yang dapat digunakan oleh para

pihak untuk mengajukan permohonan

penggunaan arbitrase sebagai resolusi

sengketa bagi mereka. Klausul arbitrase

memberikan kompetensi absolute bagi

lembaga arbitrase untuk menyelesaikan

sengketa yang timbul dari kontrak bisnis

yang dibangun para pihak. Karena kontrak

yang dibangun oleh kedua belah pihak

merupakan Undang-Undang bagi para pihak

yang telah membuatnya. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 3 UU Arbitrase : “Pengadilan

Negeri tidal berwenang untuk mengadili

sengketa para pihak.” Ketentuan tersebut

lebih ditegaskan pada Pasal 11 Undang-

Undang Arbitrase, yaitu :

Ayat (1) : “adanya suatu perjanjian

arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak

untuk mengajukan penyelesaian sengketa

atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjian ke Pengadilan Negeri”.

Ayat (2) : “Pengadilan Negeri wajib

menolak dan tidak akan ikut campur tangan

di dalam suatu penyelesaian sengketa yang

telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali

dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam

undang-undang ini”.

2. Suramnya Lembaga Arbitrase di Indonesia

Kehadiran lembaga arbitrase sebagai

model resolusi sengketa bisnis diharapkan

mampu mengis i kekosongan ruang

antara dinamisasi bisnis dan lembaga

Page 10: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 9Suramnya Eksistensi Lembaga ...

peradilan formal (litigasi). Ditengah tidak

berkembangnya lembaga arbitrase sebagai

resolusi sengketa bisnis, eksistensi model

litigasi di kalangan pebisnis masih sangat

dominan. Ada 7 (tujuh) faktor yang selama

ini menghambat perkembangan lembaga

arbitrase, yaitu: 1) Ketentuan hukum

yang mengatur masalah arbitrase belum

banyak diketahui dan dipahami oleh para

pelaku bisnis; 2) Belum adanya budaya

arbitration minded di kalangan pengusaha

di Indonesia; 3) Belum banyak diantara

kalangan pengusaha yang berani membawa

sengketa mereka keluar dari jalur ajudikasi

publik (baca : peradilan), karena selama

ini mereka belum mengetahui keberhasilan

arbitrase atau BANI dalam menangani

sengketa bisnis ; 4) Profesionalitas dan

kredibilitas arbiter, baik secara pribadi maupun

dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia

belum banyak diketehui oleh para pelaku

bisnis; 5) Belum banyak konsultan hukum di

Indonesia yang mengarahkan kliennya untuk

menyelesaikan snegketa melalui lembaga

arbitrase ; 6) Kurangnya itikad baik para

pihak dalam melakukan resolusi sengketa

melalui lembaga arbitrase ; dan 7) Kurangnya

pemahaman hakim-hakim tentang masalah

arbitrase, sehingga seringkali sengketa yang

berdasarkan klausul arbitrase tetap saja

pengadilan menanganinya. 9

Ketujuh hambatan tersebut bila dikaitkan

dengan teori berlakunya sistem hukum,

penulis kelompokkan ke dalam 5 (lima)

hambatan utama perkembangan arbitrase di

Indonesia, yaitu :

a. Hambatan Struktur

H a m b a t a n s t r u k t u r b a g i

perkembangan arbitrase di Indonesia

ada 2 (dua) hal, yakni pertama, masalah

minimnya sosialisasi dari para pemanggil

kebijakan, yakni pembuat UU Arbitrase

maupun lembaga arbitrase institusional

(misal BANI) dan kedua masalah perilaku

hakim yang masih menerima sengketa

yang jelas merupakan kewenangan

absolut lembaga arbitrase maupun

keengganan para pengacara dan

konsultan hukum untuk mengarahkan

para klien mereka melakukan resolusi

sengketa melalui lembaga arbitrase.

1) Kurangnya Sosialisasi

Titik balik Arbitrase di Indonesia

terjadi pada tahun 1999 yakni dengan

dikeluarkannya UU Arbitrase. Ada

optimisme dari pelaku bisnis untuk

menyelesaikan sengketa bisnis

mereka, namun demikian tidak

sedikit masyarakat yang kurang

mengerti, termasuk kalalangan

masyarakat bisnis. Pemahaman

masyarakat terhadap Arbitrase

bukan menjadi jaminan bahwa

Arbitrase akan menjadi salah satu

solusi bagi sengketa bisnis yang

paling populer. Sering kali terjadi

kesalahan pemahaman terhadap

eksistensi arbitrase sebagai resolusi

sengketa bisnis.

Persepsi tersebut antara lain adalah

sebagian pelaku bisnis menilai

bahwa lembaga arbitrase adalah

model resolusi sengketa untuk

kalangan kelas atas. Yakni hanya

akan memeriksa dan memutus

sengketa-sengketa dengan nilai

nominal yang besar dan cenderung

menutup pintu bagi sengketa dengan

nominal kecil.

Arbitrase belum banyak diketahui

oleh masyarakat. Hal tersebut

tercermin dari masih sedikitnya

jumlah sengketa yang ditangani

oleh BANI. BANI sebagai lembaga

arbitrase terbesar di Indonesia

belum mampu mempblikasikan

dirinya secara baik dan luas sebagai

lembaga arbitrase untuk resolusi

sengketa bisnis. Meskipun kelahiran

BANI diprakarsai oleh KADIN,

namun banyak para pelaku usaha

yang belum mengetahuinya. Selama

ini BANI memang kurang intensif

dalam melakukan sosialisasi kepada

masyarakat perihal fungsi dan

kedudukannya. Ketidaktahuan

dan ketidakpahaman masyarakat

bisnis terhadap arbitrase selain

eksistensi kelembagaan yang tidak

cukup dikenal (misalnya BANI), para

arbiter yang ada dalam lembaga

arbitrase pun juga tidak cukup

dikenal mengenai sepak terjangnya

dalam menyelesaikan sengketa

9 Adi Sulistiyono. Op cit. Hal : 143-144

Page 11: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201410 Suramnya Eksistensi Lembaga ...

bisnis, sehingga mengenai keahlian,

profesionalitas dan kredibilitas

arbiter yang “mungkin” lebih baik

dibanding hakim menjadi kurang

diketahui oleh para pelaku bisnis.

Jauh sebelum kedua hal tersebut,

ketidakpopuleran arbitrase di

I ndones ia d i sebabkan o leh

ketentuan mengenai arbitrase yakni,

UU Arbitrase yang kurang diketahui

dan dipahami oleh kalangan

bisnis. Karakteristik arbitrase yang

memiliki berbagai keunggulan dalam

melakukan resolusi sengketa bisnis

sebagaimana dituangkan dalam

UU Arbitrase menjadi tidak berdaya

guna karena ketidakpopuleran

aturan mengenai arbitrase.

2) Intervensi Pengadilan

Intervensi Pengadi lan dalam

proses arbitrase dimungkinkan

dalam tiga hal, yakni pendaftaran

dan pembatalan putusan arbitrase

serta penolakan putusan arbitrase

asing. Pada prinsipnya pelaksanaan

Putusan Arbitrase bersifat sukarela

dan mengikat para pihak, namun

jika ternyata ada salah satu pihak

yang tidak mau melaksanakan

secara sukare la maka a tas

permohonan para pihak (pihak yang

menang) maka Putusan tersebut

akan didaftarkan di Pengadilan

N e g e r i u n t u k m e m p e r o l e h

exequatur (kekuatan eksekutorial).

Karakteristik putusan lembaga

arbitrase adalah bersifat final and

binding, namun demikian putusan

yang dihasilkan tidak mempunyai

kekuatan eksekutorial secara

otomatis. Putusan tersebut harus

didaftarkan dulu ke PN (Pengadilan

Negeri) setempat. Pendaftaran

Putusan Arbitrase (nasional) ke

Pengadilan Negeri telah diatur

dalam ketentuan Pasal 59 – 64

UU Arbitrase. Seddangkan untuk

putusan lembaga arbitrase asing

diatur dalam Pasal 65-69 UU

Arbitrase.

In tervensi Kedua adalah

dalam proses pembatalan putusan

arbitrase. Pembatalan putusan

arbitrase diatur dalam Pasal 70 UU

Arbitrase. Pembatalan putusan ini

diajukan kepada Ketua Pengadilan

Negeri dalam hal sebagai berikut

(Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase

Nomor 30 Tahun 1999) :

a. Surat atau dokumen yang

diajukan dalam pemeriksaan,

setelah putusan dijatuhkan,

diakui palsu atau dinyatakan

palsu ;

b. Sete lah putusan d iambi l

ditemukan dokumen yang

bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak

lawan ;

c. Putusan diambil dari hasil

tipu muslihat yang dilakukan

oleh salah satu pihak dalam

pemeriksaan sengketa.

Peno lakan pe laksanaan

Putusan Arbitrase asing didasarkan

pada dua hal yakni pelanggaran

pada UU tentang obyek arbitrase

dan karena alasan ketertiban

umum. Untuk alasan pertama

tidak pernah terjadi karena sudah

terjadi kesesuaian anatar ketentuan

internasional mengenai arbitrase

dan UU Arbitrase, tapi untuk alasan

ketertiban umum sering dijadikan

tameng untuk menolak pelaksanaan

putusan arbitrase asing. Sebagai

contoh adalah dalam kasus Bankers

Trust Company dan Bankers Trust

International PLC (BT) melawan

PT Mayora Indah Tbk (Mayora),

PN Jakarta Selatan tetap menerima

gugatan Mayora (walaupun ada

klausul arbitrase didalamnya)

dan menjatuhkan putusan No.46/

Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember

1999, yang memenangkan Mayora.

Ketua PN Jakarta Pusat dalam

putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.

Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/

Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3

Februari 2000, menolak permohonan

BT bagi pelaksanaan putusan

Arbitrase London, dengan alasan

pelanggaran ketertiban umum,

(bahwa karena perkara tersebut

masih dalam proses peradilan dan

belum memiliki kekuatan hukum

tetap maka bila diproese hakim

berpendapat akan melanggar

ketertiban umum). Penolakan PN

Jakarta Pusat tersebut dikuatkan

Page 12: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 11Suramnya Eksistensi Lembaga ...

oleh Putusan Mahkamah Agung

No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000,

tanggal 5 September 2000.

Ketertiban umum dijadikan

dalih untuk menolak permohonan

arbitrase. Ketertiban umum sendiri

adalah suatu sendi-sendi dan

nilai-nilai asasi dari hukum dan

kepentingan nasional suatu negara.

Pada suatu ketika ketertiban umum

dapat diartikan sebagai “tata tertib”

kehidupan suatu masyarakat yang

meliputi kehidupan kesadaran

hukum, moral dan agama. Selain

itu, dapat juga diartikan sebagai nilai

yang berkaitan dengan budaya dan

rasa kepatutan dan keadilan suatu

bangsa.

Undang-Undang Arbitrase

pada bagian penjelasannya tidak

mendefinisikan atau membatasi

ketert iban umum. Akibatnya,

definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak

un tuk memin ta pemba ta lan

eksekusi dari Pengadilan. Sulit

untuk mengklasifikasikan putusan arbi t rase yang bertentangan

dengan ketertiban umum karena

hal tersebut merupakan keputusan

dari pengadilan dan akan diputuskan

secara kasus per kasus. ketertiban

umum, itu sendiri mengandung

batasan yang sangat luas, multitafsir

dan dapat berubah menurut waktu

dan tempat. Ketertiban umum juga

ada yang bermakna internal (internal

public order) dan ada juga yang

menyangkut international order.

Ketertiban umum internal adalah

ketentuan-ketentuan yang yang

hanya membatasi perseorangan

sedangkan keter t iban umum

eksternal adalah kaidah-kaidah

yang bertujuan untuk melindungi

kesejahteraan negara dalam

pengertian seluruhnya. Namun

dalam implementasinya, hal ini tidak

terlalu mudah dibedakan. Setiap

negara memiliki aturan, kaidah dan

ukuran ketertiban umumnya sendiri.

Keputusan arbitrase asing yang

bertentangan dengan ketertiban

umum dapat dibatalkan dan tidak

dapat dilaksanakan di Indonesia.

Putusan arbitrase tersebut hanya

bersifat titel eksekutor saja, yang

belum merupakan perintah (prima facie). Sedangkan pelaksanaan

menurut Majelis Arbitrase, tetap

harus tunduk pada hukum acara

Indonesia. Alasan kepentingan

umum dapat dipakai sebagai

alasan pembatalan terhadap suatu

putusan arbitrase (Huala Adolf,

2002:127). Lembaga ketertiban

umum ini seyogiyanya hanya dipakai

sebagai tameng dan tidak sebagai

suatu pedang untuk menusuk

hukum asing. Dengan kata lain,

fungsinya hanya defensif, hanya

sebagai perlindungan dan bukan

meniadakan pemakaian hukum

asing (Sudargo Gautama, 2004:134).

D e n g a n d e m i k i a n l e m b a g a

ketertiban umum di satu sisi dapat

memberikan perlindungan hukum

bagi suatu negara dari putusan

arbitrase asing yang mungkin

merugikan kepentingan negara

yang bersangkutan, akan tetapi di

sisi lain seringkali bisa dijadikan alat

bagi negara yang dikalahkan untuk

secara sengaja mencegah putusan

arbitrase internasional tersebut

walaupun secara material pada

dasarnya putusan dimaksud dapat

dilaksanakan

Hal la in ada lah su l i tnya

melakukan eksekusi putusan

arbitrase. Berdasarkan informasi

yang dikumpulkan hukumonline

di Panitera Arbitrase Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, untuk tahun

1999 ada 6 putusan arbitrase asing

yang dideponir untuk selanjutnya

dimintakan eksekuatur kepada

Ketua Pengadilan. Keenam kasus

tersebut melibatkan Bankers Trust

Co Ltd dan BT Prima Securites

melawan PT Mayora Indah Tbk

dan PT Jakarta International Hotel

Development Tbk. Tidak satu

pun dari keenam kasus tersebut

yang dikeluarkan eksekusinya.

Pertimbangannya, sebagaimana

dijelaskan di atas, putusan arbitrase

London apabila dijalankan akan

mengganggu ketertiban umum.

Untuk tahun 2000 hanya ada 2 kasus

yang terdaftar, tetapi hanya satu

yang telah dikeluarkan eksekusinya.

Page 13: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201412 Suramnya Eksistensi Lembaga ...

Pada perkara Noble Cocoa (salah

satu Divisi dari Noble Americas

Corp) melawan PT Wahana

Adireksa, Ketua Pengadilan telah

mengeluarkan penetapan eksekusi

(eksekuatur) pada Agustus 2000

dengan nomor 143/2000. Satu

kasus lainnya, menurut panitera

arbitrase, tidak jelas bagaimana

akhirnya. Kemungkinan pihak yang

kalah telah mau melaksanakan

secara sukarela.10

b. Hambatan Substansi

Pada dasarnya UU Arbitrase sudah

sangat baik, hanya dibutuhkan dukungan,

itikad baik dan konsistensi bagi semua

pihak dalam mengembangkan lembaga

arbitrase sebagai resolusi sengketa

bisnis. UU Arbitrase berusaha mengatur

semua aspek baik hukum acara

maupun substansinya, serta ruang

lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase

nasional dan internasional. Upaya

memasukkan semua aspek arbitrase

ke dalam satu undang-undang arbitrase

nasional dapat mendatangkan banyak

persoalan dan membingungkan, baik

mengenai letak pengaturannya maupun

materinya. Tentang letak pengaturan,

misalnya tentang “prinsip pembatasan

intervensi pengadilan” sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2),

yaitu: “Pengadilan Negeri wajib menolak

dan tidak akan campur tangan di dalam

suatu penyelesaian sengketa yang telah

ditetapkan melalui arbitrase, kecuali

dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan

dalam Undang-undang ini.” Ayat (2)

tersebut tidak berhubungan dengan

ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1)

yang mengatur mengenai “perjanjian

arbitrase”, serta diletakkan pada bab

yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III

tentang syarat arbitrase, pengangkatan

arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model

Law, prinsip ini (limited court involvement)

diletakkan pada bagian Ketentuan Umum

(General Provisions).

Pada saat yang lain pula UU

Arbitrase masih mengijinkan peran

pengadilan untuk terlibat dalam proses

resolusi sengketa di lembaga arbitrase.

Peran pengadilan juga penting dalam

hal penunjukkan arbiter atau majelis

arbitrase bisa dilihat dalam Pasal 13

ayat (1) dan (2) dan Pasal 19 ayat (4)

UU Arbitrase. Pasal 59 ayat (1) mengenai

pendaftaran putusan arbitrase, Pasal

61 – Pasal 67 tentang eksekusi putusan

oleh pengadilan. Untuk permohonan

eksekusi memang sudah tepat, tetapi

begi tu terbukanya ce lah masuk

intervensi pengadilan sebagaimana

disebut dalam Pasal 68, membuka

peluang bagi hakim pengadilan untuk

terlibat pemeriksaan substantif, hal

ini yang menyebabkan banyak kasus

penolakan putusan arbitrase asing

di Indonesia dan bisa berujung pada

public distrust. Ketiadaan batas waktu

pendaftaran putusan arbitrase asing

juga menimbulkan problematik hukum

tersendiri.

c. Hambatan Kultur

Kultur para pelaku bisnis di Indonesia

masih memepercayakan resolusi

sengketa mereka pada lembaga ajudikasi

publik yang secara konvensional dan

turun temurun digunakan sebagai jalur

resolusi sengketa mereka. Masyarakat

masih kurang percaya terhadap eksistensi

lembaga arbitrase sebagai model resolusi

sengketa bisnis. Sebagian pelaku bisnis

masih menganggap lembaga arbitrase

tak ubahnya dengan badan pengadilan.

Sebagian mereka tidak percaya dengan

asas dan keunggulan lembaga arbitrase

sebagai resolusi sengketa bisnis. Bahkan,

masyarakat menganggap penyelesaian

lewat jalur litigasi/pengadilan lebih

menguntungkan.

Kekurangpercayaan masyarakat

tersebut beralasan dan ternyata sesuai

dengan beberapa data. Sebagai

contoh, selama BANI memeriksa dan

menyelesaikan kasus sengketa bisnis,

berdasar 180 hari, namun ternyata ada

12 % penyelesaian melebihi batas waktu

yang telah ditentukan oleh UU Arbitrase. 11 Memang UU Arbitrase membolehkan

jangka waktu tersebut melebihi 180

hari, namun demikian angka 12 %

10 Hukum Online. 11 BANI Newsletter. Quarterly Newsletter. 1 Oktober 2007 : 4

Page 14: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 13Suramnya Eksistensi Lembaga ...

memberikan gambaran bahwa resiko

bersengketa melalui lembaga arbitrase

juga dimungkinkan lama selayaknya

dalam lembaga pengadilan.

Perilaku hakim di pengadilan yang

kerap menyimpangi ketentuan Pasal 3

dan Pasal 11 UU Arbitrase menjadikan

prinsip limited court invovelment seperti

tidak berguna. Para konsultan hukum

maupun pengacara di Indonesia

juga masih enggan menyarankan

kl ien mereka untuk bersengketa

menggunakan lembaga arbitrase.

Dugaannya adalah masalah “kue” dan

ketidaktahuan mengenai ketentuan

arbitrase. Kasus-kasus sengketa

arbitrase pada umumnya memang

sengketa dengan nominal besar, tentu

uang yang :beredar” juga cukup besar,

sehingga “kue” besar ini cukup sayang

kalau dilewatkan. Sedangkan masalah

ketidaktahuan para hakim, diungkapkan

oleh ketua BANI, Priyatna Abdurrasyid

yang mengatakan hampir seluruh

hakim belum mengetahui mengenai

masalah arbitrase. Demikian pula

dengan perilaku pengacara, kebiasaan

beresolusi sengketa menggunakan

proses litigasi yang bermacam-macam

(gugatan, banding, kasasi, peninjauan

kembali dan belum lagi upaya hukum

lain/proses pidana) dan lama telah

membuat pola kerja para advokat cukup

nyaman, sehingga mereka enggan

untuk menyarankan kepada kliennya

menyelesaikan sengketa menggunakan

lembaga arbitrase.

Selain hambatan di atas, hambatan

kultur yang lain adalah masalah itikad

baik. Sekalipun arbitrase menggunakan

adversarial system namun arbitrase juga

sangat bergantung pada kerelaan dan

itikad baik para pihak untuk melaksanakan

putusan arbitrase. Lembaga arbitrase

sebagai resolusi sengketa bisnis akan

benar-benar memiliki manfaat jika

para pihak yang bersengketa memiliki

karakter jujur, dapat dipercaya dan

beritikad baik. Artinya para pihak harus

patuh terhadap apapun hasil putusan

lembaga arbitrase. Jika mereka kalah,

harus sukarela melaksanakan, bukan

sebaliknya mencari peluang untuk

mengajukan perlawanan di pengadilan

guna menolak pelaksanaan putusan.

Bila pilihan terakhir ini yang terakhir

yang sering terjadi, persepsi para pelaku

bisnis, khusunya investor luar negeri akan

menurun selayaknya kekurangpercayaan

mereka terhadap lembaga pengadilan.

Sebagai contoh kasus Pertamina

(Persero) dan Pertamina EP melawan

PT Lirik Petrolium. Pertamina berusaha

menolak putusan arbitrase International

Chamber of Commerce (ICC). Berbagai

upaya hukum terus dilakukan untuk

mementahkan putusan arbitrase ICC.

Mulanya, Pertamina mengajukan

permohonan pembatalan arbitrase

ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Namun permohonan Per tamina

kandas lantaran dinilai tak memenuhi

syarat batal sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Upaya

lanjutannya, Pertamina lalu mengajukan

kasasi ke Mahkamah Agung. Sembari

menunggu pengiriman berkas kasasi ke

MA, Pertamina melayangkan gugatan

perlawanan pihak (partai Verzet) ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT

Lirik Petroleum kembali disasar sebagai

terlawan. Gugatan itu didaftarkan kuasa

hukum Pertamina dari Remy & Partners

pada pertengahan November 2009 dan

teregister No. 445/Pdt.G/2009/PN.JKT.

PST.

Contoh lain adalah Kasus Karaha

Bodas Company (KBC) dengan

Pertamina, kasus Bankers Trust Company,

Bankers Trust International dan PT. BT.

Prima Securities Indonesia dengan

PT. Mayora Indah Tbk sebagaimana

telah diulas sebelumnya, kasus Amco

Asia Corporation tentang Kartika Plaza Hotel dan kasus ConocoPhilips dan PT

Sapta Sarana Personaprima bersepakat

melakukan kerja sama dalam penyediaan

rig untuk proyek pengeboran minyak

dan gas bumi pada ladang minyak di

Corridor Block, sebelah barat laut kota

Palembang.

d. Hambatan Pendidikan Hukum

Fakultas Hukum sebagai salah satu

garda terdepan pengembangan ilmu

hukum yakni dengan eksistensinya

menyiapkan peserta didik menjadi

sarjana hukum yang menguasai hukum

Indonesia; menguasai dasar ilmiah

dan dasar kemahiran kerja untuk

mengembangkan ilmu hukum dan hukum

saat ini cenderung menggabungkan

Page 15: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201414 Suramnya Eksistensi Lembaga ...

pendidikan hukum akademis dan

pendidikan hukum profesi. Tetapi tidak

semua fakultas hokum di Indonesia

didukung oleh sarana dan prasarana yang

memadai (perpustakaan, laboratorium).

Dan yang lebih menyedihkan, program

Magister Hukum yang diharapkan

mampu menghasilkan lulusan yang

mempunyai kompetensi yang unggul

dibanding program sarjana (S1), dalam

rangka ikut berpartisipasi memberi

solusi memecahkan masalah keadilan

dan masalah kemasyarakatan, ternyata

kualitas lulusannya tidak jauh berbeda

dengan lulusan program sarjana (S1).

Rendahnya mutu lulusan Magister Hukum

disebabkan terjadinya ‘monopsoni’ dalam

pasar pascasarjana, hal ini karena: ijin

pendirian Program Pascasarjana Ilmu

Hukum diberikan secara masal oleh DIKTI,

sehingga masing-masing penyelenggara

ber lomba-lomba memperebutkan

mahasiswa. (Adi Sulistiyono, 2007 :

30-32). Sebagian besar pola pendidikan

hukum di Indonesia adalah pengenalan

pada sistem litigasi. Demikian pula dalam

resolusi sengketa bisnis, pendekatan

litigasi lebih familier di kalangan anak

sekolah maupun mahasiswa (hukum),

sementara eksistensi arbitrase sebagai

resolusi sengketa hanya dijadikan mata

kuliah pelengkap.

e. Hambatan Kelembagaan

Penulis sudah membandingkan

berkunjung di Pengadilan Negeri,

BASYARNAS dan BANI. Mengunjungi

PN memberikan kesan bahwan ini

lembaga yang sudah terkelola dengan

sangat baik dari sisi kelembagaan dan

strukturalnya. Hal tersebut berbanding

terbalik dengan kunjungan penulis ke

BASYARNAS. Kesan sebagai lembaga

yang mulia dan agung tempat pencari

keadilan susah untuk ditemukan. Padahal

Basyarnas merupakan lembaga arbitrase

yang berperan menyelesaikan sengketa

antara pihak-pihak yang melakukan

akad dalam ekonomi syariah, di luar

jalur pengadilan. Putusan Basyarnas

bersifat final dan mengikat (binding).

Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat

(BAMUI) adalah cikal bakal Basyarnas.

Lembaga ini didirikan berdasarkan SK

No Kep-392/MUI/V/1992, bersamaan

dengan pendirian Bank Muamalat

Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya

untuk menangani sengketa antara

nasabah dan bank syariah pertama

tersebut. Pada tahun 2003, beberapa

bank atau Unit Usaha Syariah (UUS)

lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi

Badan Basyarnas. Perubahan tersebut

berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI

XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.

Namun ketika penulis berkunjung ke

BASYARNAS tampak kantor lengang

hanya ketemu satu staf bernama Ana

Kristiana yang kesehariannya bekerja di

BASYARNAS. Tentu kondisi demikian

tidak akan kita temukan di PN. Hal

ini pulalah yang menjadi salah satu

alasan mengapa para pelaku bisnis

cenderung lebih percaya pada PN untuk

menyelesaikan sengketanya.

f. Hambatan Politik Hukum PemerintahSalah satu prasyarat berkembangnya

arbitrase sebagai resolusi sengketa bisnis

adalah daya dukung pemerintah yang

dibuktikan dengan politik hukumnya.

Arah Politik Hukum Indonesia saat

ini bias dilihat dari Program Legislasi

Nasional (Prolegnas). Isi dari Prolegnas

merupakan gambaran politik hukum

Indonesia dalam kurun waktu lima tahun

ke depan yang ditentukan oleh kekuatan

politik dan pemerintah yang berlaku

pada waktu ini. Prolegnas sebagai

mekanisme hukum merupakan sebuah

tata cara hukum dibuat. Rencana hukum

yang akan diajukan harus mendapat

persetujuan Presiden yang kemudian

Presiden akan berkoordinasi dengan

DPR memalui Badan Legislasi (Baleg).

Sebuah Departemen/Kementrian jika

ingin mengajukan RUU maka harus

dikordinasikan oleh Kementrian Hukum

dan HAM (Kemenhumkam) agar

diserasikan dengan Prolegnas. Apabila

semua alur pengajuan produk hukum

seperti hal demikian maka kita akan

menciptakan proses pembuatan hukum

yang sistematis dan terpadu.

Problemnya adalah ekses paling

nyata dari menguatnya peranan partai

politik dan parlemen pascareformasi

adalah permusyawaratan transaksional

dan saling sandera.. Politik transaksional

hanya akan menghancurkan segala

rancangan pembangunan. Politik tukar

guling menggiring bangsa ini ke jurang

kehancuran. Realitasnya, saat ini para

Page 16: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 15Suramnya Eksistensi Lembaga ...

politikus justru kerap membuat undang-

undang untuk kepentingan sesaat dan

sempit.

Pembuatan UU hampir tidak terlepas

dari transaksi uang dan kepentingan,

kasus cek pelayat, tarik ulur penetapan

UU Migas, UU BI dan lain-lain adalah

buktinya. Disamping itu problem lainnya

adalah sebagian besar UU yang

berkaitan dengan investasi dan ekonomi

di Indonesia adalah bukan murni inisiatif

pemerintah, desakan lembaga dan

Negara donor sering mempengaruhi.

Sebagai contoh pembentukan UU Migas,

UU Kepailitan, termasuk UU Arbitrase

yang diduga melibatkan kepentingan

asing. Rendahnya inisiasi pemerintah

ini diperparah dengan rendahnya daya

respon dan antisipasi atas berlakunya

UU tersebut, termasuk minimnya aturan

pemerintah yang memperkuat UU

Arbitrase. Sebagai bukti, betapa banyak

pemerintah kalah ketika bersengketa

di forum arbitrase internasional. Selain

itu daya dukung pemerintah terhadap

eksistensi dan berkembangnya lembaga

arbitrase juga sangat rendah.

D. Simpulan

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Kehadiran lembaga arbitrase sebagai model

resolusi sengketa bisnis diharapkan mampu

mengisi kekosongan ruang antara dinamisasi

bisnis dan lembaga peradilan formal (litigasi).

Namun kehadiran lembaga arbitrase serasa

tidak dirasakan. Justri lembaga arbitrase sebagai

resolusi sengketa bisnis seolah tenggelam

ditengah eksistensi model litigasi di kalangan

pebisnis masih sangat dominan. Suramnya

eksistensi lembaga arbitrase di Indonesia karena

adanya beberapa hambatan, yaitu : Pertama,

hambatan struktur berupa lemahnya penegakkan

oleh aparat pengambil kebijakan dan aparat

penegak hukum (hakim dan pengacara). Kedua,

hambatan substansi berupa dualisme pengaturan,

khususnya mengenai prinsip pembatasan

intervensi pengadilan. Ketiga, hambatan kultur

berupa kebiasaan dan budaya para pelaku bisnis

di Indonesia masih memepercayakan resolusi

sengketa mereka pada lembaga pengadilan yang

secara konvensional dan turun temurun digunakan

sebagai jalur resolusi sengketa mereka. Keempat,

hambatan pendidikan hukum yang menunjukkan

belum terintegrasinya arbitrase sebagai relosusi

sengekta dalam kurikulum pendidikan. Dan

kelima adalah hambatan kelembagaan, yang

dapat dibandingkan institusi dan infrastruktur

kelembagaan pengadilan jauh lebih memadai

dibanding lembaga arbitrase (BANI, BASYARNAS,

dll)

E. Saran

1. Perlu dilakukan sosialisasi secara massive,

terencana dan terukur perlu dilakukan terus

menerus untuk mempopulerkan eksistensi

lembaga arbitrase sebagai lembaga resolusi

sengketa bisnis.

2. Memasukkan ke dalam kurikulum sistem

pendidikan nasional dari tingkat sekolah dasar

hingga perguruan tinggi.

3. Mendorong pemerintah untuk memberdayakan

lembaga arbitrase dengan memasukkannya

ke dalam strategi dan program pembangunan

ekonomi nasional. Artinya, betapa banyak

ketidakpercayaan investor luar negeri karena

ketidakpastian hukum yang diwujudkan

oleh lembaga pengadilan kita. Membangun

kepastian hukum melalui lembaga litigasi

membutuhkan proses yang lama, oleh karena

itu dalam pemerintah perlu memberdayakan

peranan lembaga arbitrase agar mampu

memnjawab ketidakpercayaan investor luar

negeri terhadap kepastian hukum dalam

sengketa bisnis di Indonesia.

4. Perlu dukungan lembaga pengadilan

khususnya Mahkamah Agung dalam

mengembangkan lembaga arbitrase sebagai

resolusi sengketa bisnis. Dukungan yang

dimaksud adalah dalam kerangka penegakan

prinsip limited court involvement.

Page 17: JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201416 Suramnya Eksistensi Lembaga ...

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono. 2007. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia. Surakarta : UNS Press.

______________. 2007. Pembangunan Hukum Ekonomi untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia

2030. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 17 Nopember 2007

BANI Newsletter. Quarterly Newsletter. 1 Oktober 2007

Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.

Lawrence M. Friedman. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Jakarta: Nusa Media.

M. Yahya Harahap. 1993. Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Munir Fuady. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung : Citra Aditya

Bakti.

Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal. 43

Suyud Margono. 2000. ADR Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia