jurnal hukum dan pembangunan ekonomi
TRANSCRIPT
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 1
JURNAL HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Ketua Dewan Redaksi
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS
Prof. Dr. Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.
Sekretaris Dewan Redaksi
Sekretaris Program S3 Ilmu Hukum UNS
Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum.
Sekretaris Program S2 Ilmu Hukum UNS
Dr. M. Hudi Asrori S.,S.H.,M.Hum.
Anggota Redaksi
Mulyanto,S.H.,M.Hum.
Ayub Torry Satriyo Kusumo,S.H.,M.H.
Sholikhah, S.H.,M.H.
Lushiana Primasari, S.H.,M.H.
Editor
Dr. Pujiyono, SH, M.H.
Achmad,S.H.,M.H.
Anugrah Adiastuti,S.H.,M.H.
Dr. Agus Riwanto,S.H.,S.Ag.,M.Ag.
Pembantu Pelaksana
Rino Martino,S.Sos.
Lely Annisa S.Hut.
Diah Suryani,S.P
Alamat Redaksi
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Jalan Ir. Sutami No. 36 A Kentingan, Surakarta Telp (0271) 666450 ext 133
email : [email protected]
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20142
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 3
DAFTAR ISI
Suramnya Eksistensi Lembaga Arbitrase Di Indonesia
Pujiyono ........................................................................................................................................... 5
Urgensi Akomodir Calon Presiden Perseorangan Dalam Sistem Pemilihan Umum Presiden Dan
Wakil Presiden Di Indonesia
Yusuf Akbar Amin ............................................................................................................................ 17
Penerapan Pola Enclave Pada Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas (Free Trade
Zone) Di Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau
Veronica Maximilian Ekarunia Widyastuti ........................................................................................ 25
Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Perintah Ditahan Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi
Sinarta Henry Dunant Sinuraya ....................................................................................................... 35
Penanggulangan Perambahan Hutan Di Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Menurut
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Antoni .............................................................................................................................................. 42
Peran Notaris Ppat Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Di Bpr. Nguter
Surakarta
Muhammad Yusuf ............................................................................................................................ 51
Kedudukan Alat Bukti Elektronik Dalam Proses Pembuktian Tindak Pidana Kejahatan Mayantara
(Cyber Crime) (Analisis Perkara Nomor: 19/PID.SUS/2011/PN.SKA Di Pengadilan Negeri Kelas
IA Khusus Surakarta Mengenai Pengaksesan Tanpa Hak Akun E-Mail)
Muhammad Nur Ronggo Dinoyo ..................................................................................................... 61
Efektivitas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Terhadap Perempuan
Dan Anak Korban Kekerasan Di Kabupaten Bojonegoro
Neneng Rika Jazilatul Kholidah ....................................................................................................... 71
Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Ingkar Janji Kawin (Studi Kasus Di Kota Kupang
Propinsi Nusa Tenggara Timur)
Yuce Abrianus Kohe Selan .............................................................................................................. 79
Pelaksanaan Prinsip Syari’ah Dalam Akad Dan Penyelesaian Sengketa Syari’ah Pada Lembaga
Perbankan Syari’ah Di Indonesia
Didiek Noeryono Basar.................................................................................................................... 87
Politik Hukum Hak Merk Dalam Rangka Hubungan Antara Prinsip-Prinsip Trips Agreement Dengan
Kepentingan Nasional Berkaitan Dengan Kesiapan Indonesia Menghadapi Perdagangan Bebas
Aditya Sukma Pradhana .................................................................................................................. 96
Politik Hukum Dalam Penjaminan Dana Simpanan Nasabah Lembaga Perbankan Di Indonesia
Adhiputro Pangarso Wicaksono ...................................................................................................... 103
HUKUM DAN
PEMBANGUNAN EKONOMI
ISSN 2338-1051
Volume II No. 2, Agustus 2014
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20144
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 5
SURAMNYA EKSISTENSI LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA
Pujiyono
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : [email protected]
Abstract
In society will have been conflict at the time. Especially for the claim of rights or interest in the business activities. The society need a model of conflict resolution that make their business keep running well. Today arbitration overview as important legal institution as one dispute resolution out of court settlement that based on one bussiness arbitration agreement that made by the parties.The exist of arbitration institution based on the Law number 30th of 1999 about Arbitration an Alternative Dispute Resolution. This law has a good quality, so many hopes are depended on by bussiness society to solve their business conflicts. Arbitration institution have many positive aspect, such as the confidentially of the dispute parties, and the time of resolution that related in short time. But the hopes are not equal with the reality. The objective of this paper is to know the bleak of arbitration institution for solving business conflicts. And the follow up of that sentence is knowing the steps to make arbitration running well for solving bussiness conflict.
Keywords : Arbitration, resolution , business conflict
Abstrak
Sengketa selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Khususnya sengketa karena perebutan hak maupun
kepentingan dalam bisnis. Masyarakat membutuhkan model penyelesaian sengketa yang tetap menjamin
bisnis mereka berjalan. Saat ini arbitrase merupakan perangkat hukum yang penting sebagai salah satu
jalur penyelesaian sengketa di luar pengadilan penyelesaian yang berdasarkan pada perjanjian tertulis
para pihak. Eksistensi lembaga arbitrase didasarkan pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase merupakan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini memiliki kualitas yang baik,
begitu banyak harapan yang tergantung pada masyarakat bisnis untuk menyelesaikan konflik bisnis mereka. Lembaga arbitrase memiliki berbagai keunggulan, seperti kerahasiaan dari pihak sengketa, dan
waktu penyelesaian yang relatif singkat. Tetapi tidak semua harapan masyarakat tersebut sesuai dengan
kenyataan, ada juga sisi lemah arbitrase. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui suramnya
lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis dan untuk langkah-langkah guna membuat
model arbitrase berjalan dengan baik untuk menyelesaikan sengketa bisnis.
Kata kunci : Arbitrase, resolusi, sengketa bisnis
Suramnya Eksistensi Lembaga ...
A. Pendahuluan
Model penyelesaian sengketa bisnis
diharapkan semakin cepat, efektif dan efisien, karena dengan membiarkan sengketa berlarut-
larut akan mengakibatkan perkembangan
pembangunan ekonomi yang tidak efisien,
produktivitas menurun, dunia bisnis mengalami
kemandulan dan biaya produksi meningkat.
Akibatnya, konsumen adalah pihak yang
paling dirugikan. Di samping itu, peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum
pekerja juga terhambat 1, maka dunia bisnis disini
menuntut cara penyelesaian sengketa yang cepat,
efektif dan efisien. Menurut M. Yahya Harahap, Pengalaman dan pengamatan telah membuktikan,
penyelesaian sengketa melalui pengadilan relatif
lambat dikarenakan 2 :
1 Suyud Margono. 2000. ADR Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor:
Ghalia Indonesia. Hal. 122 M. Yahya Harahap. 1993. Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan
Standar Hukum Eksekusi. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hal. 232
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20146 Suramnya Eksistensi Lembaga ...
1. Penuh dengan formalitas,
2. terbuka upaya banding, kasasi dan
peninjauan kembali sehingga jalannya proses
penyelesaian, bisa berliku-liku dan memakan
waktu yang sangat panjang. Bisa berbilang
tahun bahkan puluhan tahun,
3. belum lagi munculnya berbagai upaya
intervensi atau perlawanan dari pihak ketiga
(derden verzet), menyebabkan penyelesaian
semakin rumit dan panjang.
Hadirnya arbitrase semagai model resolusi
sengketa bisnis memberikan berbagai jawaban
atas kegundahan para pelaku bisnis ketika
berhadapan dengan model sengketa litigasi.
Arbitrase merupakan institusi penyelesaian
sengketa yang menggunakan pendekatan
pertentangan (adverserial) dengan hasil win
lose yang dipilih sebagai alternatif oleh pelaku
bisnis3. Di Indonesia, kedudukan arbitrase
diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).
Munculnya UU Arbitrase memberikan optimisme
untuk menjawab kegundahan para pelaku bisnis,
bahkan ketika itu UU Arbitrase sempat diklaim
sebagai UU Non Litigasi yang probussiness, yang ditunjukkan dengan karakteristik progresif
dan sangat protektif. Progresifitas UU Arbitrase bisa dilihat di Pasal 10 yang menyatakan bahwa
meskipun perjanjian arbitrase bersifat assesoir,
namun berakhirnya perjanjian pokok tidak berarti
menghentikan perjanjian arbitrase. Sementara
sifat protektif bias dilihat dalam Pasal 3 dan Pasal
11 yang menjelaskan tentang kewenangan mutlak
lembaga arbitrase dan menolak campur tangan
lembaga ajudikasi publik. Berbagai keunggulan
karakteristik arbitrase yang menghadirkan
optimisme tersebut, antara lain :
1. Bersifat rahasia (confidential), sehingga
menjamin kerahasiaan para pihak.
2. Prosedurnya sederhana dan cepat
3. Para pihak yang bersengketa dapat
memilih orang/lembaga (arbiter) yang akan
menyelesaikan sengketa. Para pihak dapat
memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta
latar belakang yang memadai mengenai
masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalah, proses, dan
tempat penyelenggaraan arbitrase.
4. Putusannya bersifat final, binding (mengikat)
dan memiliki daya paksa.4
Dengan kelebihan-kelebihan ini maka
penyelesaian sengketa melalui arbitrase
seharusnya lebih diminati daripada proses
litigasi dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
Kini, sudah lebih dari satu dasa warsa UU
Arbitrase berlaku di Indonesia, namun faktanya
optimisme yang terbangun diawal kelahiran UU
Arbitrase belum menemukan kesesuaian fakta.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
sebagai lembaga arbiter terkemuka di Indonesia,
Bandung, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Medan
, Palembang, Batam dan Jambi, dengan kantor
Pusat di Jakarta yangberalamat di Wahana Graha
Lt. 1 & 2 Jl. Mampang Prapatan No. 2 Jakarta
12760. Belum semua daerah ada lembaga
arbitrase. Selain itu, penggunaan lembaga
arbitrase sebagai jalur resolusi sengketa bisnis
relatif masih sedikit. Sejak BANI berdiri tahun 1977
hingga tahun 2013 kurang dari 600 kasus yang
masuk. Bahkan hingga tahun 2006 baru 298 kasus
yang masuk. Kondisi lebih mengkhawatirkan ada
pada BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional). Sejak didirikan 2003 lalu, sengketa
yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional terhitung kurang dari 20 kasus.
Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan
dengan jumlah sengketa bisnis yang diajukan
melalui jalur litigasi (hanya di PN Jakarta Pusat)
pertahunnya rata-rata memeriksa dan memutus
sekitar 600-700 sengketa bisnis. Bahkan jumlah
kasus yang diselesaikan melalui BANI yang berdiri
sejak tahun 1977 masih kalah dibanding Singapore
International Arbitration Centre (SIAC) yang lahir
pada tahun 1991, tapi telah menyelesaikan sekitar
600 sengketa bisnis sampai tahun 2003, dan
tahun 2004 & 2005 SIAC telah menyelesaikan
152 sengketa bisnis.
Minimnya daya kenal pengusaha terhadap
eksistensi Arbitrase sebagai jalur resolusi bisnis
menjadi ironi. Ironi selanjutnya adalah mengenai
tumpulnya putusan arbitrase. Berdasar Pasal 3
dan Pasal 11 UU Arbitrase, semestinya pengadilan
tidak memilki kewenangan untuk memeriksa
sengketa yang ada klausul arbitrasenya. Namun
hakim masih menerima sengketa yang diajukan
oleh salah satu pihak padahal ada klausul arbitrase.
Padahal prinsip penanganan sengketa di lembaga
arbitrase adalah limited court involvement, yang
3 Adi Sulistiyono. 2007. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia. Surakarta : UNS Press. Hal. 1394 Suyud Margono. Op cit. hal. 2
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 7Suramnya Eksistensi Lembaga ...
telah memberikan kewenangan bagi lembaga
arbitrase untuk bertindak dengan keterlibatan
yang hampir nihil dalam penangananan sengketa
bisnis. UU Arbitrase yang sudah sedemikian baik
tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Harapan
untuk menselaraskan dinamisasi bisnis dengan
resolusi sengketa melalui lembaga arbitrase
tidak menemukan titik temu. Keinginan berbagai
kalangan untuk memposisikan lembaga arbitrase
sebagai pengisi kekurangan lembaga litigasi juga
menjadi pupus. Kondisi tersebut apabila dibiarkan
akan berdampak pada tidak berkembang, suram
bahkan matinya lembaga arbitrase sebagai model
resolusi sengketa bisnis.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian
hukum empiris karena permasalahan yang
dibahas berkenaan dengan realita yang dihimpun 5. Data diperoleh dari data primer dan sekunder.
Data primer bersumber dari BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia) dan BASYARNAS
(Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang
berwenang sebagai badan penyelesaian sengketa
perdagangan dengan menggunakan model
arbitrase yang dikumpulkan melalui observasi
dan wawancara. Data sekunder bersumber dari
dokumen yang bersifat pribadi dan publik, serta
data sekunder di bidang hukum. Pengumpulan
data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan
content analysis dokumen, arsip, bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Data yang
telah terkumpul disusun secara induktif dengan
mengidentifikasi, menglasifikasikan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, kemudian
ditarik kesimpulan
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Limited Court Involvement
Dalam rangka mengungkap penyebab
kematian lembaga arbitrase sebagai
resolusi sengketa bisnis, maka hukum harus
dilihat dalam perspektif makro. Artinya,
bekerjanya hukum harus dilihat sebagai
suatu sistem yang utuh, dimana hukum itu
hidup dalam suatu interaksi antara berbagai
faktor pendukungnya. Lawrence Friedman
mengatakan bahwa a legal system an actual
operation is complex organism in which structure, substance and culture interaction 6.
Dalam konteks ke-Indonesiaan teori Friedman
tersebut perlu dilengkapi, yakni komponen
pendukung bekerjanya sistem hukum meliputi
struktur, substansi, budaya, pendidikan
hukum dan politik hukum pemerintah. 7
Komponen struktur, ialah kelembagaan
yang diciptakan oleh sistem hukum itu
dengan berbagai macam fungsinya dalam
rangka mendukung bekerjanya sistem
hukum. Dalam komponen struktur ini dikenal
berbagai institusi yang bertugas sebagai
pelaksana dan penegak hukum. Komponen
kultur, ialah nilai-nilai yang merupakan
pengikat sistem itu serta menentukan tempat
sistem hukum itu di tengah-tengah kultur
masyarakat secara keseluruhan. Komponen
kultur akan menentukan kapan dan mengapa
serta dimana masyarakat akan datang dan
mentaati hukum atau justru mengabaikannya.
Komponen substansi, ialah semua output
dari sistem hukum. Dalam pengertian ini
termasuk norma-norma, peraturan, doktrin
dan sebagainya yang mengatur kehidupan
masyarakat . Komponen pendid ikan
hukum tercermin dari eksistensi lembaga
pendidikan formal, khusunya di Fakultas
Hukum. Komponen politik hukum pemerintah
tercermin dalam Program Legislasi Nasional
(prolegnas) dan daya dukung pemerintah
terhadap suatu perundang-undangan.
Arbitrase merupakan suatu metode
penyelesaian sengketa yang sering juga
disebut dengan pengadilan wasit. Sehingga
para “arbiter” dalam peradilan arbitrase
berfungsi memang layaknya seorang “wasit”
(referee) (Munir Fuady, 2000:12). Menurut
Huala Adolf, arbitrase adalah penyerahan
sengketa secara sukarela kepada pihak
ketiga yang netral yang mengeluarkan
putusan yang bersifat final dan mengikat
(binding) 8.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
5 Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal. 436 Lawrence M. Friedman. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Jakarta: Nusa Media. Hal. 15-187 Adi Sulistiyono. 2007. Pembangunan Hukum Ekonomi untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030. Pidato
Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 17 Nopember 20078 Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 23
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 20148 Suramnya Eksistensi Lembaga ...
dimaksud dengan arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan
bahwa sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa. Yang dimaksud dengan
ruang lingkup hukum perdagangan adalah
kegiatan-kegiatan di bidang perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal,
industri, hak kekayaan intelektual (Penjelasan
Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase).
Di Indonesia, kita sudah lama juga
mengenal lembaga arbitrase, bahkan dalam
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
(BRv), yang berlaku sejak tahun 1849, juga
terdapat pasal-pasal tentang arbitrase. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
yang berlaku untuk golongan Bumiputera,
baik HIR maupun RBg tidak mengatur tentang
arbitrase. Hanya lewat Pasal 377 HIR dan
Pasal 705 RBg, ketentuan-ketentuan dalam
Rv berlaku juga untuk golongan Bumiputera.
Dengan berdasar pada Pasal 377 HIR, 705
RBg tersebut apabila seorang Bumiputera
hendak tunduk pada peraturan orang Eropa,
maka ketentuan arbitrase yang terdapat
dalam Rv Pasal 615 sampai 651 juga
diberlakukan bagi orang Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka berdasarkan
Pasal II peraturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase
masih berlaku untuk orang Indonesia. Pada
tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa
Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdiri
sebagai lembaga penyelesaian sengketa
bisnis di luar badan peradilan konvensional
yang ada di Indonesia. Pendirian BANI
berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) Indonesia No. SKEP /
152 / DPH / 1977.
Sengketa bisnis yang diajukan ke
arbitrase harus didasarkan pada kesepakatan
tertulis yang dibuat para pihak tentang
pemilihan model arbitrase sebagai resolusi
sengketa. Perjanjian arbitrase ini bisa
dibuat sebelum sengketa terjadi (pactum de
compromitendo) maupun sesudah sengketa
(akta kompromis). Hal tersebut didasarkan
pada Pasal 7, 8, 9 UU Arbitrase. Pada
prinsipnya kontrak arbitrase merupakan
suatu kontrak buntutan (accesoir), tetapi ada
beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya
sebagai accesoir tersebut tidak diikuti secara
penuh, yaitu, jika perjanjian pokok batal maka
kontrak arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10
huruf h Undang-Undang Arbitrase). Klausul
arbitrase yang biasa direkomendasikan oleh
BANI sebagai berikut :
“Semua sengketa yang timbul dari
perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) menurut peraturan-peraturan BANI,
yang keputusannya mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa sebagai keputusan
dalam tingkat pertama dan terakhir”
Suatu klausula arbitrase yang telah
termuat dalam kontrak arbitrase baik yang
dibuat bersama perjanjian pokok atau di
luar perjanjian pokok, merupakan dasar
yang kuat yang dapat digunakan oleh para
pihak untuk mengajukan permohonan
penggunaan arbitrase sebagai resolusi
sengketa bagi mereka. Klausul arbitrase
memberikan kompetensi absolute bagi
lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul dari kontrak bisnis
yang dibangun para pihak. Karena kontrak
yang dibangun oleh kedua belah pihak
merupakan Undang-Undang bagi para pihak
yang telah membuatnya. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 UU Arbitrase : “Pengadilan
Negeri tidal berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak.” Ketentuan tersebut
lebih ditegaskan pada Pasal 11 Undang-
Undang Arbitrase, yaitu :
Ayat (1) : “adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjian ke Pengadilan Negeri”.
Ayat (2) : “Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan ikut campur tangan
di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang ini”.
2. Suramnya Lembaga Arbitrase di Indonesia
Kehadiran lembaga arbitrase sebagai
model resolusi sengketa bisnis diharapkan
mampu mengis i kekosongan ruang
antara dinamisasi bisnis dan lembaga
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 9Suramnya Eksistensi Lembaga ...
peradilan formal (litigasi). Ditengah tidak
berkembangnya lembaga arbitrase sebagai
resolusi sengketa bisnis, eksistensi model
litigasi di kalangan pebisnis masih sangat
dominan. Ada 7 (tujuh) faktor yang selama
ini menghambat perkembangan lembaga
arbitrase, yaitu: 1) Ketentuan hukum
yang mengatur masalah arbitrase belum
banyak diketahui dan dipahami oleh para
pelaku bisnis; 2) Belum adanya budaya
arbitration minded di kalangan pengusaha
di Indonesia; 3) Belum banyak diantara
kalangan pengusaha yang berani membawa
sengketa mereka keluar dari jalur ajudikasi
publik (baca : peradilan), karena selama
ini mereka belum mengetahui keberhasilan
arbitrase atau BANI dalam menangani
sengketa bisnis ; 4) Profesionalitas dan
kredibilitas arbiter, baik secara pribadi maupun
dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia
belum banyak diketehui oleh para pelaku
bisnis; 5) Belum banyak konsultan hukum di
Indonesia yang mengarahkan kliennya untuk
menyelesaikan snegketa melalui lembaga
arbitrase ; 6) Kurangnya itikad baik para
pihak dalam melakukan resolusi sengketa
melalui lembaga arbitrase ; dan 7) Kurangnya
pemahaman hakim-hakim tentang masalah
arbitrase, sehingga seringkali sengketa yang
berdasarkan klausul arbitrase tetap saja
pengadilan menanganinya. 9
Ketujuh hambatan tersebut bila dikaitkan
dengan teori berlakunya sistem hukum,
penulis kelompokkan ke dalam 5 (lima)
hambatan utama perkembangan arbitrase di
Indonesia, yaitu :
a. Hambatan Struktur
H a m b a t a n s t r u k t u r b a g i
perkembangan arbitrase di Indonesia
ada 2 (dua) hal, yakni pertama, masalah
minimnya sosialisasi dari para pemanggil
kebijakan, yakni pembuat UU Arbitrase
maupun lembaga arbitrase institusional
(misal BANI) dan kedua masalah perilaku
hakim yang masih menerima sengketa
yang jelas merupakan kewenangan
absolut lembaga arbitrase maupun
keengganan para pengacara dan
konsultan hukum untuk mengarahkan
para klien mereka melakukan resolusi
sengketa melalui lembaga arbitrase.
1) Kurangnya Sosialisasi
Titik balik Arbitrase di Indonesia
terjadi pada tahun 1999 yakni dengan
dikeluarkannya UU Arbitrase. Ada
optimisme dari pelaku bisnis untuk
menyelesaikan sengketa bisnis
mereka, namun demikian tidak
sedikit masyarakat yang kurang
mengerti, termasuk kalalangan
masyarakat bisnis. Pemahaman
masyarakat terhadap Arbitrase
bukan menjadi jaminan bahwa
Arbitrase akan menjadi salah satu
solusi bagi sengketa bisnis yang
paling populer. Sering kali terjadi
kesalahan pemahaman terhadap
eksistensi arbitrase sebagai resolusi
sengketa bisnis.
Persepsi tersebut antara lain adalah
sebagian pelaku bisnis menilai
bahwa lembaga arbitrase adalah
model resolusi sengketa untuk
kalangan kelas atas. Yakni hanya
akan memeriksa dan memutus
sengketa-sengketa dengan nilai
nominal yang besar dan cenderung
menutup pintu bagi sengketa dengan
nominal kecil.
Arbitrase belum banyak diketahui
oleh masyarakat. Hal tersebut
tercermin dari masih sedikitnya
jumlah sengketa yang ditangani
oleh BANI. BANI sebagai lembaga
arbitrase terbesar di Indonesia
belum mampu mempblikasikan
dirinya secara baik dan luas sebagai
lembaga arbitrase untuk resolusi
sengketa bisnis. Meskipun kelahiran
BANI diprakarsai oleh KADIN,
namun banyak para pelaku usaha
yang belum mengetahuinya. Selama
ini BANI memang kurang intensif
dalam melakukan sosialisasi kepada
masyarakat perihal fungsi dan
kedudukannya. Ketidaktahuan
dan ketidakpahaman masyarakat
bisnis terhadap arbitrase selain
eksistensi kelembagaan yang tidak
cukup dikenal (misalnya BANI), para
arbiter yang ada dalam lembaga
arbitrase pun juga tidak cukup
dikenal mengenai sepak terjangnya
dalam menyelesaikan sengketa
9 Adi Sulistiyono. Op cit. Hal : 143-144
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201410 Suramnya Eksistensi Lembaga ...
bisnis, sehingga mengenai keahlian,
profesionalitas dan kredibilitas
arbiter yang “mungkin” lebih baik
dibanding hakim menjadi kurang
diketahui oleh para pelaku bisnis.
Jauh sebelum kedua hal tersebut,
ketidakpopuleran arbitrase di
I ndones ia d i sebabkan o leh
ketentuan mengenai arbitrase yakni,
UU Arbitrase yang kurang diketahui
dan dipahami oleh kalangan
bisnis. Karakteristik arbitrase yang
memiliki berbagai keunggulan dalam
melakukan resolusi sengketa bisnis
sebagaimana dituangkan dalam
UU Arbitrase menjadi tidak berdaya
guna karena ketidakpopuleran
aturan mengenai arbitrase.
2) Intervensi Pengadilan
Intervensi Pengadi lan dalam
proses arbitrase dimungkinkan
dalam tiga hal, yakni pendaftaran
dan pembatalan putusan arbitrase
serta penolakan putusan arbitrase
asing. Pada prinsipnya pelaksanaan
Putusan Arbitrase bersifat sukarela
dan mengikat para pihak, namun
jika ternyata ada salah satu pihak
yang tidak mau melaksanakan
secara sukare la maka a tas
permohonan para pihak (pihak yang
menang) maka Putusan tersebut
akan didaftarkan di Pengadilan
N e g e r i u n t u k m e m p e r o l e h
exequatur (kekuatan eksekutorial).
Karakteristik putusan lembaga
arbitrase adalah bersifat final and
binding, namun demikian putusan
yang dihasilkan tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial secara
otomatis. Putusan tersebut harus
didaftarkan dulu ke PN (Pengadilan
Negeri) setempat. Pendaftaran
Putusan Arbitrase (nasional) ke
Pengadilan Negeri telah diatur
dalam ketentuan Pasal 59 – 64
UU Arbitrase. Seddangkan untuk
putusan lembaga arbitrase asing
diatur dalam Pasal 65-69 UU
Arbitrase.
In tervensi Kedua adalah
dalam proses pembatalan putusan
arbitrase. Pembatalan putusan
arbitrase diatur dalam Pasal 70 UU
Arbitrase. Pembatalan putusan ini
diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dalam hal sebagai berikut
(Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase
Nomor 30 Tahun 1999) :
a. Surat atau dokumen yang
diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan
palsu ;
b. Sete lah putusan d iambi l
ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak
lawan ;
c. Putusan diambil dari hasil
tipu muslihat yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Peno lakan pe laksanaan
Putusan Arbitrase asing didasarkan
pada dua hal yakni pelanggaran
pada UU tentang obyek arbitrase
dan karena alasan ketertiban
umum. Untuk alasan pertama
tidak pernah terjadi karena sudah
terjadi kesesuaian anatar ketentuan
internasional mengenai arbitrase
dan UU Arbitrase, tapi untuk alasan
ketertiban umum sering dijadikan
tameng untuk menolak pelaksanaan
putusan arbitrase asing. Sebagai
contoh adalah dalam kasus Bankers
Trust Company dan Bankers Trust
International PLC (BT) melawan
PT Mayora Indah Tbk (Mayora),
PN Jakarta Selatan tetap menerima
gugatan Mayora (walaupun ada
klausul arbitrase didalamnya)
dan menjatuhkan putusan No.46/
Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember
1999, yang memenangkan Mayora.
Ketua PN Jakarta Pusat dalam
putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.
Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/
Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3
Februari 2000, menolak permohonan
BT bagi pelaksanaan putusan
Arbitrase London, dengan alasan
pelanggaran ketertiban umum,
(bahwa karena perkara tersebut
masih dalam proses peradilan dan
belum memiliki kekuatan hukum
tetap maka bila diproese hakim
berpendapat akan melanggar
ketertiban umum). Penolakan PN
Jakarta Pusat tersebut dikuatkan
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 11Suramnya Eksistensi Lembaga ...
oleh Putusan Mahkamah Agung
No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000,
tanggal 5 September 2000.
Ketertiban umum dijadikan
dalih untuk menolak permohonan
arbitrase. Ketertiban umum sendiri
adalah suatu sendi-sendi dan
nilai-nilai asasi dari hukum dan
kepentingan nasional suatu negara.
Pada suatu ketika ketertiban umum
dapat diartikan sebagai “tata tertib”
kehidupan suatu masyarakat yang
meliputi kehidupan kesadaran
hukum, moral dan agama. Selain
itu, dapat juga diartikan sebagai nilai
yang berkaitan dengan budaya dan
rasa kepatutan dan keadilan suatu
bangsa.
Undang-Undang Arbitrase
pada bagian penjelasannya tidak
mendefinisikan atau membatasi
ketert iban umum. Akibatnya,
definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak
un tuk memin ta pemba ta lan
eksekusi dari Pengadilan. Sulit
untuk mengklasifikasikan putusan arbi t rase yang bertentangan
dengan ketertiban umum karena
hal tersebut merupakan keputusan
dari pengadilan dan akan diputuskan
secara kasus per kasus. ketertiban
umum, itu sendiri mengandung
batasan yang sangat luas, multitafsir
dan dapat berubah menurut waktu
dan tempat. Ketertiban umum juga
ada yang bermakna internal (internal
public order) dan ada juga yang
menyangkut international order.
Ketertiban umum internal adalah
ketentuan-ketentuan yang yang
hanya membatasi perseorangan
sedangkan keter t iban umum
eksternal adalah kaidah-kaidah
yang bertujuan untuk melindungi
kesejahteraan negara dalam
pengertian seluruhnya. Namun
dalam implementasinya, hal ini tidak
terlalu mudah dibedakan. Setiap
negara memiliki aturan, kaidah dan
ukuran ketertiban umumnya sendiri.
Keputusan arbitrase asing yang
bertentangan dengan ketertiban
umum dapat dibatalkan dan tidak
dapat dilaksanakan di Indonesia.
Putusan arbitrase tersebut hanya
bersifat titel eksekutor saja, yang
belum merupakan perintah (prima facie). Sedangkan pelaksanaan
menurut Majelis Arbitrase, tetap
harus tunduk pada hukum acara
Indonesia. Alasan kepentingan
umum dapat dipakai sebagai
alasan pembatalan terhadap suatu
putusan arbitrase (Huala Adolf,
2002:127). Lembaga ketertiban
umum ini seyogiyanya hanya dipakai
sebagai tameng dan tidak sebagai
suatu pedang untuk menusuk
hukum asing. Dengan kata lain,
fungsinya hanya defensif, hanya
sebagai perlindungan dan bukan
meniadakan pemakaian hukum
asing (Sudargo Gautama, 2004:134).
D e n g a n d e m i k i a n l e m b a g a
ketertiban umum di satu sisi dapat
memberikan perlindungan hukum
bagi suatu negara dari putusan
arbitrase asing yang mungkin
merugikan kepentingan negara
yang bersangkutan, akan tetapi di
sisi lain seringkali bisa dijadikan alat
bagi negara yang dikalahkan untuk
secara sengaja mencegah putusan
arbitrase internasional tersebut
walaupun secara material pada
dasarnya putusan dimaksud dapat
dilaksanakan
Hal la in ada lah su l i tnya
melakukan eksekusi putusan
arbitrase. Berdasarkan informasi
yang dikumpulkan hukumonline
di Panitera Arbitrase Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, untuk tahun
1999 ada 6 putusan arbitrase asing
yang dideponir untuk selanjutnya
dimintakan eksekuatur kepada
Ketua Pengadilan. Keenam kasus
tersebut melibatkan Bankers Trust
Co Ltd dan BT Prima Securites
melawan PT Mayora Indah Tbk
dan PT Jakarta International Hotel
Development Tbk. Tidak satu
pun dari keenam kasus tersebut
yang dikeluarkan eksekusinya.
Pertimbangannya, sebagaimana
dijelaskan di atas, putusan arbitrase
London apabila dijalankan akan
mengganggu ketertiban umum.
Untuk tahun 2000 hanya ada 2 kasus
yang terdaftar, tetapi hanya satu
yang telah dikeluarkan eksekusinya.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201412 Suramnya Eksistensi Lembaga ...
Pada perkara Noble Cocoa (salah
satu Divisi dari Noble Americas
Corp) melawan PT Wahana
Adireksa, Ketua Pengadilan telah
mengeluarkan penetapan eksekusi
(eksekuatur) pada Agustus 2000
dengan nomor 143/2000. Satu
kasus lainnya, menurut panitera
arbitrase, tidak jelas bagaimana
akhirnya. Kemungkinan pihak yang
kalah telah mau melaksanakan
secara sukarela.10
b. Hambatan Substansi
Pada dasarnya UU Arbitrase sudah
sangat baik, hanya dibutuhkan dukungan,
itikad baik dan konsistensi bagi semua
pihak dalam mengembangkan lembaga
arbitrase sebagai resolusi sengketa
bisnis. UU Arbitrase berusaha mengatur
semua aspek baik hukum acara
maupun substansinya, serta ruang
lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase
nasional dan internasional. Upaya
memasukkan semua aspek arbitrase
ke dalam satu undang-undang arbitrase
nasional dapat mendatangkan banyak
persoalan dan membingungkan, baik
mengenai letak pengaturannya maupun
materinya. Tentang letak pengaturan,
misalnya tentang “prinsip pembatasan
intervensi pengadilan” sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2),
yaitu: “Pengadilan Negeri wajib menolak
dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini.” Ayat (2)
tersebut tidak berhubungan dengan
ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1)
yang mengatur mengenai “perjanjian
arbitrase”, serta diletakkan pada bab
yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III
tentang syarat arbitrase, pengangkatan
arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model
Law, prinsip ini (limited court involvement)
diletakkan pada bagian Ketentuan Umum
(General Provisions).
Pada saat yang lain pula UU
Arbitrase masih mengijinkan peran
pengadilan untuk terlibat dalam proses
resolusi sengketa di lembaga arbitrase.
Peran pengadilan juga penting dalam
hal penunjukkan arbiter atau majelis
arbitrase bisa dilihat dalam Pasal 13
ayat (1) dan (2) dan Pasal 19 ayat (4)
UU Arbitrase. Pasal 59 ayat (1) mengenai
pendaftaran putusan arbitrase, Pasal
61 – Pasal 67 tentang eksekusi putusan
oleh pengadilan. Untuk permohonan
eksekusi memang sudah tepat, tetapi
begi tu terbukanya ce lah masuk
intervensi pengadilan sebagaimana
disebut dalam Pasal 68, membuka
peluang bagi hakim pengadilan untuk
terlibat pemeriksaan substantif, hal
ini yang menyebabkan banyak kasus
penolakan putusan arbitrase asing
di Indonesia dan bisa berujung pada
public distrust. Ketiadaan batas waktu
pendaftaran putusan arbitrase asing
juga menimbulkan problematik hukum
tersendiri.
c. Hambatan Kultur
Kultur para pelaku bisnis di Indonesia
masih memepercayakan resolusi
sengketa mereka pada lembaga ajudikasi
publik yang secara konvensional dan
turun temurun digunakan sebagai jalur
resolusi sengketa mereka. Masyarakat
masih kurang percaya terhadap eksistensi
lembaga arbitrase sebagai model resolusi
sengketa bisnis. Sebagian pelaku bisnis
masih menganggap lembaga arbitrase
tak ubahnya dengan badan pengadilan.
Sebagian mereka tidak percaya dengan
asas dan keunggulan lembaga arbitrase
sebagai resolusi sengketa bisnis. Bahkan,
masyarakat menganggap penyelesaian
lewat jalur litigasi/pengadilan lebih
menguntungkan.
Kekurangpercayaan masyarakat
tersebut beralasan dan ternyata sesuai
dengan beberapa data. Sebagai
contoh, selama BANI memeriksa dan
menyelesaikan kasus sengketa bisnis,
berdasar 180 hari, namun ternyata ada
12 % penyelesaian melebihi batas waktu
yang telah ditentukan oleh UU Arbitrase. 11 Memang UU Arbitrase membolehkan
jangka waktu tersebut melebihi 180
hari, namun demikian angka 12 %
10 Hukum Online. 11 BANI Newsletter. Quarterly Newsletter. 1 Oktober 2007 : 4
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 13Suramnya Eksistensi Lembaga ...
memberikan gambaran bahwa resiko
bersengketa melalui lembaga arbitrase
juga dimungkinkan lama selayaknya
dalam lembaga pengadilan.
Perilaku hakim di pengadilan yang
kerap menyimpangi ketentuan Pasal 3
dan Pasal 11 UU Arbitrase menjadikan
prinsip limited court invovelment seperti
tidak berguna. Para konsultan hukum
maupun pengacara di Indonesia
juga masih enggan menyarankan
kl ien mereka untuk bersengketa
menggunakan lembaga arbitrase.
Dugaannya adalah masalah “kue” dan
ketidaktahuan mengenai ketentuan
arbitrase. Kasus-kasus sengketa
arbitrase pada umumnya memang
sengketa dengan nominal besar, tentu
uang yang :beredar” juga cukup besar,
sehingga “kue” besar ini cukup sayang
kalau dilewatkan. Sedangkan masalah
ketidaktahuan para hakim, diungkapkan
oleh ketua BANI, Priyatna Abdurrasyid
yang mengatakan hampir seluruh
hakim belum mengetahui mengenai
masalah arbitrase. Demikian pula
dengan perilaku pengacara, kebiasaan
beresolusi sengketa menggunakan
proses litigasi yang bermacam-macam
(gugatan, banding, kasasi, peninjauan
kembali dan belum lagi upaya hukum
lain/proses pidana) dan lama telah
membuat pola kerja para advokat cukup
nyaman, sehingga mereka enggan
untuk menyarankan kepada kliennya
menyelesaikan sengketa menggunakan
lembaga arbitrase.
Selain hambatan di atas, hambatan
kultur yang lain adalah masalah itikad
baik. Sekalipun arbitrase menggunakan
adversarial system namun arbitrase juga
sangat bergantung pada kerelaan dan
itikad baik para pihak untuk melaksanakan
putusan arbitrase. Lembaga arbitrase
sebagai resolusi sengketa bisnis akan
benar-benar memiliki manfaat jika
para pihak yang bersengketa memiliki
karakter jujur, dapat dipercaya dan
beritikad baik. Artinya para pihak harus
patuh terhadap apapun hasil putusan
lembaga arbitrase. Jika mereka kalah,
harus sukarela melaksanakan, bukan
sebaliknya mencari peluang untuk
mengajukan perlawanan di pengadilan
guna menolak pelaksanaan putusan.
Bila pilihan terakhir ini yang terakhir
yang sering terjadi, persepsi para pelaku
bisnis, khusunya investor luar negeri akan
menurun selayaknya kekurangpercayaan
mereka terhadap lembaga pengadilan.
Sebagai contoh kasus Pertamina
(Persero) dan Pertamina EP melawan
PT Lirik Petrolium. Pertamina berusaha
menolak putusan arbitrase International
Chamber of Commerce (ICC). Berbagai
upaya hukum terus dilakukan untuk
mementahkan putusan arbitrase ICC.
Mulanya, Pertamina mengajukan
permohonan pembatalan arbitrase
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun permohonan Per tamina
kandas lantaran dinilai tak memenuhi
syarat batal sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Upaya
lanjutannya, Pertamina lalu mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Sembari
menunggu pengiriman berkas kasasi ke
MA, Pertamina melayangkan gugatan
perlawanan pihak (partai Verzet) ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT
Lirik Petroleum kembali disasar sebagai
terlawan. Gugatan itu didaftarkan kuasa
hukum Pertamina dari Remy & Partners
pada pertengahan November 2009 dan
teregister No. 445/Pdt.G/2009/PN.JKT.
PST.
Contoh lain adalah Kasus Karaha
Bodas Company (KBC) dengan
Pertamina, kasus Bankers Trust Company,
Bankers Trust International dan PT. BT.
Prima Securities Indonesia dengan
PT. Mayora Indah Tbk sebagaimana
telah diulas sebelumnya, kasus Amco
Asia Corporation tentang Kartika Plaza Hotel dan kasus ConocoPhilips dan PT
Sapta Sarana Personaprima bersepakat
melakukan kerja sama dalam penyediaan
rig untuk proyek pengeboran minyak
dan gas bumi pada ladang minyak di
Corridor Block, sebelah barat laut kota
Palembang.
d. Hambatan Pendidikan Hukum
Fakultas Hukum sebagai salah satu
garda terdepan pengembangan ilmu
hukum yakni dengan eksistensinya
menyiapkan peserta didik menjadi
sarjana hukum yang menguasai hukum
Indonesia; menguasai dasar ilmiah
dan dasar kemahiran kerja untuk
mengembangkan ilmu hukum dan hukum
saat ini cenderung menggabungkan
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201414 Suramnya Eksistensi Lembaga ...
pendidikan hukum akademis dan
pendidikan hukum profesi. Tetapi tidak
semua fakultas hokum di Indonesia
didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai (perpustakaan, laboratorium).
Dan yang lebih menyedihkan, program
Magister Hukum yang diharapkan
mampu menghasilkan lulusan yang
mempunyai kompetensi yang unggul
dibanding program sarjana (S1), dalam
rangka ikut berpartisipasi memberi
solusi memecahkan masalah keadilan
dan masalah kemasyarakatan, ternyata
kualitas lulusannya tidak jauh berbeda
dengan lulusan program sarjana (S1).
Rendahnya mutu lulusan Magister Hukum
disebabkan terjadinya ‘monopsoni’ dalam
pasar pascasarjana, hal ini karena: ijin
pendirian Program Pascasarjana Ilmu
Hukum diberikan secara masal oleh DIKTI,
sehingga masing-masing penyelenggara
ber lomba-lomba memperebutkan
mahasiswa. (Adi Sulistiyono, 2007 :
30-32). Sebagian besar pola pendidikan
hukum di Indonesia adalah pengenalan
pada sistem litigasi. Demikian pula dalam
resolusi sengketa bisnis, pendekatan
litigasi lebih familier di kalangan anak
sekolah maupun mahasiswa (hukum),
sementara eksistensi arbitrase sebagai
resolusi sengketa hanya dijadikan mata
kuliah pelengkap.
e. Hambatan Kelembagaan
Penulis sudah membandingkan
berkunjung di Pengadilan Negeri,
BASYARNAS dan BANI. Mengunjungi
PN memberikan kesan bahwan ini
lembaga yang sudah terkelola dengan
sangat baik dari sisi kelembagaan dan
strukturalnya. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan kunjungan penulis ke
BASYARNAS. Kesan sebagai lembaga
yang mulia dan agung tempat pencari
keadilan susah untuk ditemukan. Padahal
Basyarnas merupakan lembaga arbitrase
yang berperan menyelesaikan sengketa
antara pihak-pihak yang melakukan
akad dalam ekonomi syariah, di luar
jalur pengadilan. Putusan Basyarnas
bersifat final dan mengikat (binding).
Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat
(BAMUI) adalah cikal bakal Basyarnas.
Lembaga ini didirikan berdasarkan SK
No Kep-392/MUI/V/1992, bersamaan
dengan pendirian Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya
untuk menangani sengketa antara
nasabah dan bank syariah pertama
tersebut. Pada tahun 2003, beberapa
bank atau Unit Usaha Syariah (UUS)
lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi
Badan Basyarnas. Perubahan tersebut
berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI
XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.
Namun ketika penulis berkunjung ke
BASYARNAS tampak kantor lengang
hanya ketemu satu staf bernama Ana
Kristiana yang kesehariannya bekerja di
BASYARNAS. Tentu kondisi demikian
tidak akan kita temukan di PN. Hal
ini pulalah yang menjadi salah satu
alasan mengapa para pelaku bisnis
cenderung lebih percaya pada PN untuk
menyelesaikan sengketanya.
f. Hambatan Politik Hukum PemerintahSalah satu prasyarat berkembangnya
arbitrase sebagai resolusi sengketa bisnis
adalah daya dukung pemerintah yang
dibuktikan dengan politik hukumnya.
Arah Politik Hukum Indonesia saat
ini bias dilihat dari Program Legislasi
Nasional (Prolegnas). Isi dari Prolegnas
merupakan gambaran politik hukum
Indonesia dalam kurun waktu lima tahun
ke depan yang ditentukan oleh kekuatan
politik dan pemerintah yang berlaku
pada waktu ini. Prolegnas sebagai
mekanisme hukum merupakan sebuah
tata cara hukum dibuat. Rencana hukum
yang akan diajukan harus mendapat
persetujuan Presiden yang kemudian
Presiden akan berkoordinasi dengan
DPR memalui Badan Legislasi (Baleg).
Sebuah Departemen/Kementrian jika
ingin mengajukan RUU maka harus
dikordinasikan oleh Kementrian Hukum
dan HAM (Kemenhumkam) agar
diserasikan dengan Prolegnas. Apabila
semua alur pengajuan produk hukum
seperti hal demikian maka kita akan
menciptakan proses pembuatan hukum
yang sistematis dan terpadu.
Problemnya adalah ekses paling
nyata dari menguatnya peranan partai
politik dan parlemen pascareformasi
adalah permusyawaratan transaksional
dan saling sandera.. Politik transaksional
hanya akan menghancurkan segala
rancangan pembangunan. Politik tukar
guling menggiring bangsa ini ke jurang
kehancuran. Realitasnya, saat ini para
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 2014 15Suramnya Eksistensi Lembaga ...
politikus justru kerap membuat undang-
undang untuk kepentingan sesaat dan
sempit.
Pembuatan UU hampir tidak terlepas
dari transaksi uang dan kepentingan,
kasus cek pelayat, tarik ulur penetapan
UU Migas, UU BI dan lain-lain adalah
buktinya. Disamping itu problem lainnya
adalah sebagian besar UU yang
berkaitan dengan investasi dan ekonomi
di Indonesia adalah bukan murni inisiatif
pemerintah, desakan lembaga dan
Negara donor sering mempengaruhi.
Sebagai contoh pembentukan UU Migas,
UU Kepailitan, termasuk UU Arbitrase
yang diduga melibatkan kepentingan
asing. Rendahnya inisiasi pemerintah
ini diperparah dengan rendahnya daya
respon dan antisipasi atas berlakunya
UU tersebut, termasuk minimnya aturan
pemerintah yang memperkuat UU
Arbitrase. Sebagai bukti, betapa banyak
pemerintah kalah ketika bersengketa
di forum arbitrase internasional. Selain
itu daya dukung pemerintah terhadap
eksistensi dan berkembangnya lembaga
arbitrase juga sangat rendah.
D. Simpulan
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Kehadiran lembaga arbitrase sebagai model
resolusi sengketa bisnis diharapkan mampu
mengisi kekosongan ruang antara dinamisasi
bisnis dan lembaga peradilan formal (litigasi).
Namun kehadiran lembaga arbitrase serasa
tidak dirasakan. Justri lembaga arbitrase sebagai
resolusi sengketa bisnis seolah tenggelam
ditengah eksistensi model litigasi di kalangan
pebisnis masih sangat dominan. Suramnya
eksistensi lembaga arbitrase di Indonesia karena
adanya beberapa hambatan, yaitu : Pertama,
hambatan struktur berupa lemahnya penegakkan
oleh aparat pengambil kebijakan dan aparat
penegak hukum (hakim dan pengacara). Kedua,
hambatan substansi berupa dualisme pengaturan,
khususnya mengenai prinsip pembatasan
intervensi pengadilan. Ketiga, hambatan kultur
berupa kebiasaan dan budaya para pelaku bisnis
di Indonesia masih memepercayakan resolusi
sengketa mereka pada lembaga pengadilan yang
secara konvensional dan turun temurun digunakan
sebagai jalur resolusi sengketa mereka. Keempat,
hambatan pendidikan hukum yang menunjukkan
belum terintegrasinya arbitrase sebagai relosusi
sengekta dalam kurikulum pendidikan. Dan
kelima adalah hambatan kelembagaan, yang
dapat dibandingkan institusi dan infrastruktur
kelembagaan pengadilan jauh lebih memadai
dibanding lembaga arbitrase (BANI, BASYARNAS,
dll)
E. Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi secara massive,
terencana dan terukur perlu dilakukan terus
menerus untuk mempopulerkan eksistensi
lembaga arbitrase sebagai lembaga resolusi
sengketa bisnis.
2. Memasukkan ke dalam kurikulum sistem
pendidikan nasional dari tingkat sekolah dasar
hingga perguruan tinggi.
3. Mendorong pemerintah untuk memberdayakan
lembaga arbitrase dengan memasukkannya
ke dalam strategi dan program pembangunan
ekonomi nasional. Artinya, betapa banyak
ketidakpercayaan investor luar negeri karena
ketidakpastian hukum yang diwujudkan
oleh lembaga pengadilan kita. Membangun
kepastian hukum melalui lembaga litigasi
membutuhkan proses yang lama, oleh karena
itu dalam pemerintah perlu memberdayakan
peranan lembaga arbitrase agar mampu
memnjawab ketidakpercayaan investor luar
negeri terhadap kepastian hukum dalam
sengketa bisnis di Indonesia.
4. Perlu dukungan lembaga pengadilan
khususnya Mahkamah Agung dalam
mengembangkan lembaga arbitrase sebagai
resolusi sengketa bisnis. Dukungan yang
dimaksud adalah dalam kerangka penegakan
prinsip limited court involvement.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. II No 2 Agustus 201416 Suramnya Eksistensi Lembaga ...
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono. 2007. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia. Surakarta : UNS Press.
______________. 2007. Pembangunan Hukum Ekonomi untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia
2030. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 17 Nopember 2007
BANI Newsletter. Quarterly Newsletter. 1 Oktober 2007
Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.
Lawrence M. Friedman. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Jakarta: Nusa Media.
M. Yahya Harahap. 1993. Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Munir Fuady. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal. 43
Suyud Margono. 2000. ADR Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia