02 halaman isi prosiding sinasja...

11
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 371 Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Studi Kasus: Tanggal 3 Mei 2017 di Kota Bandung) Atmospheric Dynamics Analysis of Hail Event Utilizing Radar and Himawari-8 Satellite Imagery (Case Study: May 3, 2017 in Bandung City) Jaka Anugrah Ivanda Paski *) , Donaldi Sukma Permana, Alpon Sepriando, Dyah Ajeng S. Pertiwi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Pada tanggal 3 Mei 2017 telah terjadi kejadian cuaca ekstrem yang berupa hujan es di sertai petir dan angin kencang di beberapa wilayah di kota Bandung yaitu wilayah Buah Batu, Soekarno Hatta, Cibaduyut, Kopo, Antapani, Mochammad Toha dan Jalan Natuna. Dengan mengacu pada data angin gradien dan observasi sinoptik, maka dilakukan analisis dinamika atmosfer saat kejadian memanfaatkan data citra radar dan satelit Himawari-8. Hasil penelitian dan analisis menunjukan bahwa telah terjadi kejadian hujan es di sertai petir dan angin kencang yang di buktikan dengan hasil catatan pengamatan synoptik di Stasiun Geofisika Bandung yang mengalami perbedaan suhu yang cukup signifikan pada selang jam 07.00 WIB hingga 10.00 WIB sebesar 4.6 °C. dan terjadi peningkatan kecepatan angin menjadi 27 km/jam. Analisis citra radar menggunakan produk CMAX dan CAPPI menunjukan pertumbuhan awan dengan nilai reflektifitas hingga > 60 dBz pada pukul 14.00-15.00 WIB. Dari analisa satelit Himawari-8 menunjukan adanya awan dengan suhu puncak kurang dari -70ᵒC, selain itu dilakukan analisa menggunakan produk RGB Day Micrphysics untuk mengidentifikasi fenomena overshooting pada awan Cumulonimbus di wilayah kota Bandung. Kata kunci: hujan es, radar, satelit, day microphysics ABSTRACT - On May 3rd, 2017, there was an extreme weather event in the form of hail along with lightning and high winds in several areas in Bandung, namely Buah Batu, Soekarno Hatta, Cibaduyut, Kopo, Antapani, Mochammad Toha and Jalan Natuna. Referring to the gradient wind and synoptic observation, atmospheric dynamics analysis was performed during the event utilized radar and satellite images of Himawari-8 data. The results of research and analysis showed that there has been an occurrence of hail in lightning and strong winds in the proof with the results of synoptic observation records in Bandung Geophysical Station that experienced a significant temperature difference at 7:00 am until 10:00 pm at 4.6 ° C, and an increase in wind speed to 27 km / hour. Radar image analysis using CMAX and CAPPI products showed cloud growth with reflectivity values up to> 60 dBz at 14.00-15.00 WIB. The analysis of the Himawari- 8 satellite showed a cloud with a peak temperature of less than -70ᵒC, in addition to analysis using RGB Day Microphysics products to identify the phenomenon of overshooting in Cumulonimbus cloud in the Bandung city. Keywords: hail, radar, satellite, day microphysics 1. PENDAHULUAN Hujan es (hail) biasanya terjadi pada wilayah ekstra-tropis karena memiliki lapisan beku (freezing level) yang relatif lebih rendah (Fadholi, 2012). Freezing level merupakan ketinggian dimana lapisan atmosfer memiliki suhu 0ºC sehingga tetes air membeku. Freezing level pada wilayah tropis lebih tinggi dibanding dengan wilayah ekstra-tropis akibat suhu permukaan wilayah tropis lebih tinggi (Hidayati dkk, 2015). Hail juga dapat terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki suhu udara permukaan yang hangat dan kelembaban udara yang cukup tinggi meskipun pada musim kemarau (Karmini, 2000). Hail dapat terjadi dari awan Cumulonimbus (Cb) dengan updraft yang kuat yang memungkinkan terbentuknya partikel es. Menurut Houze (1993) updraft kuat (10- 40 m/det) dalam supercell memungkinkan terbentuknya hail yang sangat besar. Hail terjadi di wilayah tropis jika partikel es yang jatuh dari awan Cb berurukuran sangat besar dan tetap berbentuk partikel es meskipun mengalami gesekan di dalam awan. Menurut Rogers dan Yau (2006), hail terbentuk ketika tetes hujan yang berukuran besar yang membeku tumbuh melalui proses koalisi dan koalisensi dari tetes awan yang kelewat jenuh. Hail yang dihasilkan oleh awan Cb dengan jumlah dan ukuran yang signifikan membawa dampak yang besar terhadap lingkungan seperti tanaman pangan, kendaraan dan bangunan. (Cică, R. dkk, 2015).

Upload: others

Post on 23-Sep-2019

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

371

Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Studi Kasus: Tanggal 3 Mei 2017 di Kota

Bandung)

Atmospheric Dynamics Analysis of Hail Event Utilizing Radar and Himawari-8 Satellite Imagery (Case Study: May 3, 2017 in Bandung City)

Jaka Anugrah Ivanda Paski*), Donaldi Sukma Permana, Alpon Sepriando, Dyah Ajeng S. Pertiwi

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Pada tanggal 3 Mei 2017 telah terjadi kejadian cuaca ekstrem yang berupa hujan es di sertai petir dan angin kencang di beberapa wilayah di kota Bandung yaitu wilayah Buah Batu, Soekarno Hatta, Cibaduyut, Kopo, Antapani, Mochammad Toha dan Jalan Natuna. Dengan mengacu pada data angin gradien dan observasi sinoptik, maka dilakukan analisis dinamika atmosfer saat kejadian memanfaatkan data citra radar dan satelit Himawari-8. Hasil penelitian dan analisis menunjukan bahwa telah terjadi kejadian hujan es di sertai petir dan angin kencang yang di buktikan dengan hasil catatan pengamatan synoptik di Stasiun Geofisika Bandung yang mengalami perbedaan suhu yang cukup signifikan pada selang jam 07.00 WIB hingga 10.00 WIB sebesar 4.6 °C. dan terjadi peningkatan kecepatan angin menjadi 27 km/jam. Analisis citra radar menggunakan produk CMAX dan CAPPI menunjukan pertumbuhan awan dengan nilai reflektifitas hingga > 60 dBz pada pukul 14.00-15.00 WIB. Dari analisa satelit Himawari-8 menunjukan adanya awan dengan suhu puncak kurang dari -70ᵒC, selain itu dilakukan analisa menggunakan produk RGB Day Micrphysics untuk mengidentifikasi fenomena overshooting pada awan Cumulonimbus di wilayah kota Bandung.

Kata kunci: hujan es, radar, satelit, day microphysics

ABSTRACT - On May 3rd, 2017, there was an extreme weather event in the form of hail along with lightning and high winds in several areas in Bandung, namely Buah Batu, Soekarno Hatta, Cibaduyut, Kopo, Antapani, Mochammad Toha and Jalan Natuna. Referring to the gradient wind and synoptic observation, atmospheric dynamics analysis was performed during the event utilized radar and satellite images of Himawari-8 data. The results of research and analysis showed that there has been an occurrence of hail in lightning and strong winds in the proof with the results of synoptic observation records in Bandung Geophysical Station that experienced a significant temperature difference at 7:00 am until 10:00 pm at 4.6 ° C, and an increase in wind speed to 27 km / hour. Radar image analysis using CMAX and CAPPI products showed cloud growth with reflectivity values up to> 60 dBz at 14.00-15.00 WIB. The analysis of the Himawari-8 satellite showed a cloud with a peak temperature of less than -70ᵒC, in addition to analysis using RGB Day Microphysics products to identify the phenomenon of overshooting in Cumulonimbus cloud in the Bandung city.

Keywords: hail, radar, satellite, day microphysics

1. PENDAHULUAN

Hujan es (hail) biasanya terjadi pada wilayah ekstra-tropis karena memiliki lapisan beku (freezing level) yang relatif lebih rendah (Fadholi, 2012). Freezing level merupakan ketinggian dimana lapisan atmosfer memiliki suhu 0ºC sehingga tetes air membeku. Freezing level pada wilayah tropis lebih tinggi dibanding dengan wilayah ekstra-tropis akibat suhu permukaan wilayah tropis lebih tinggi (Hidayati dkk, 2015). Hail juga dapat terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki suhu udara permukaan yang hangat dan kelembaban udara yang cukup tinggi meskipun pada musim kemarau (Karmini, 2000). Hail dapat terjadi dari awan Cumulonimbus (Cb) dengan updraft yang kuat yang memungkinkan terbentuknya partikel es. Menurut Houze (1993) updraft kuat (10- 40 m/det) dalam supercell memungkinkan terbentuknya hail yang sangat besar. Hail terjadi di wilayah tropis jika partikel es yang jatuh dari awan Cb berurukuran sangat besar dan tetap berbentuk partikel es meskipun mengalami gesekan di dalam awan. Menurut Rogers dan Yau (2006), hail terbentuk ketika tetes hujan yang berukuran besar yang membeku tumbuh melalui proses koalisi dan koalisensi dari tetes awan yang kelewat jenuh. Hail yang dihasilkan oleh awan Cb dengan jumlah dan ukuran yang signifikan membawa dampak yang besar terhadap lingkungan seperti tanaman pangan, kendaraan dan bangunan. (Cică, R. dkk, 2015).

Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Paski, dkk.)

372

Pada tanggal 3 Mei 2017 telah terjadi kejadian cuaca ekstrim di wilayah kota Bandung meliputi beberapa wilayah yaitu Buah Batu, Soekarno Hatta, Cibaduyut, Kopo, Balai Kota, Antapani, Kopo Sayati, Mochammad Toha, dan Jalan Natuna dengan di tandai hujan dengan intensitas lebat disertai petir dan es. Sebagaimana telah diketahui, bahwa cuaca ekstrim merupakan suatu fenomena cuaca yang jarang dan tidak lazim terjadi. Cuaca ekstrim sangat mungkin terjadi di wilayah Kota Bandung karena kontur topografi dan letak geografisnya. Peluang terjadinya pertumbuhan awan konvektif yang menjadi salah satu penyebab cuaca ekstrim sangat besar berdasarkan faktor regional dan lokal seperti efek siklon tropis, eddy, dan daerah shearline (daerah belokan angin) (Paski, 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika atmosfer saat terjadi fenomena cuaca ekstrim hujan es di Kota Bandung pada tanggal 3 Mei 2017 dan bagaimana perubahan kondisi cuaca saat terjadi fenomena cuaca ekstrim tersebut. Kajian analisis ini difokuskan pada analisa menggunakan data radar cuaca berdasarkan pancaran energi radar yang dipantulkan kembali oleh butiran-butiran air di dalam awan dan digambarkan dengan produk reflektifitas dengan satuan dBZ (decibel). Semakin besar energi pantul yang diterima oleh radar maka semakin besar juga nilai dBZ dan semakin besar intensitas hujan yang terjadi (Samriyanto, 2010). Selain data radar, citra satelit Himawari-8 juga digunakan untuk menggambarkan kondisi dinamika atmosfer saat terjadi fenomena cuaca ekstrim hujan es di Bandung dengan menganalisa cakupan luas awan, perubahan suhu puncak awan dan memanfaatkan produk RGB (red green blue) day microphysics.

Data reflektifitas radar cuaca dapat digunakan untuk mendeteksi kejadian hujan es (Nelson and Wiit, 1991). Nilai reflektifitas yang cukup tinggi pada radar sering digunakan untuk mendeteksi keberadaan hujan es, terutama untuk tujuan prakiraan dan analisis kejadian hujan es (Punge dkk, 2013). Radar cuaca digunakan untuk prakiraan kondisi cuaca terkini (nowcasting) dan peringatan dini untuk fenomena cuaca yang ekstrim dan membahayakan oleh prakirawan BMKG. Pada kasus kejadian hujan, radar cuaca digunakan untuk mengukur radiasi gelombang elektromagnetik yang kembali dari objek sehingga diketahui reflektifitas atau nilai Z sebagai volume presipitasi (Sobli dkk, 2013). Radar cuaca memiliki resolusi temporal yang tinggi yaitu 10 menit dalam penyimpanan data sehingga dapat mendeteksi hail dengan ketinggian kontur reflektifitas 45 dBZ dan ketinggian objek (awan) harus melampaui ketinggian dari freezing level lebih dari 1.4 km (Federer, 1976).

Keberadaan satelit Himawari-8 yang dimulai pada tahun 2015 memiliki 16 kanal sebagai generasi pembaruan dari MTSAT-2 (Multi Transpose Satellite-2) mempermudah pengamatan pertumbuhan awan konvektif secara lebih detil (JMA, 2015). Satelit Himawari-8 sebagai generasi baru dari satelit MTSAT-2 dilengkapi sensor bernama Advanced Himawari Imager (AHI), yang memiliki resolusi temporal, spektral dan spasial lebih baik dibandingkan seri sebelumnya. Kanal pada Himawari-8 terdiri dari 3 kanal visibel, 3 kanal near infrared (NIR) dan 10 kanal infrared (IR). Untuk resolusi spasial pada Himawari-8 terdiri dari 0.5 km dan 1 km untuk kanal cahaya tampak (visible), 2 km untuk data kanal IR serta 1 km dan 2 km untuk data kanal NIR. Untuk resolusi temporal, Himawari-8 memiliki resolusi tiap 10 menit untuk pengamatan global dan 2,5 menit untuk pengamatan khusus (Pandjaitan dan Andersen, 2015). Dengan banyaknya kanal yang tersedia itu pada satelit Himawari-8, maka para penggunanya dapat membuat produk RGB dengan mengkombinasikan beberapa kanal (Kushardono, 2012).

2. METODE

Data yang dipergunakan dalam tulisan adalah data gradien angin yang diperoleh dari Bureau of Meteorology (BOM) (www.bom.gov.au), data sinoptik tanggal 3 Mei 2017 yang diperoleh dari Stasiun Geofisika Bandung, data radar cuaca EEC C-Band Doppler Tangerang, data citra satelit Himawari-8 tanggal 3 Mei 2017 yang diperoleh dari BMKG (www.satelit.bmkg.go.id). Metode analisis yang digunakan adalah dengan menganalisis data gradien angin untuk melihat faktor regional yang mempengaruhi terjadinya cuaca ekstrim tanggal 3 Mei 2017. Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran kondisi cuaca di Kota Bandung pada saat sebelum dan setelah kejadian dilakukan dengan menganalisis data hasil pengamatan sinoptik dari Stasiun Geofisika Bandung, data radar cuaca dan satelit.

Data radar cuaca diolah dengan menggunakan perangkat lunak wradlib yang merupakan salah satu paket (library) dari bahasa pemrograman Python yang dikembangkan oleh Universitas Postdam dan Universitas Stuttgart, Jerman (Pfaff dkk, 2012). Data radar cuaca EEC Tangerang telah berhasil diolah menggunakan Wradlib-Python (Permana dkk, 2016). Wradlib memiliki fungsi yang penting dalam proses pengolahan data radar cuaca, seperti membaca format data, mendefinisikan koordinat pada peta, mengkonversi reflektivitas ke dalam intensitas curah hujan, mengidentifikasi dan menghapus sinyal kesalahan (clutter) dan visualisasi data. Dalam pengolahan data radar dilakukan penghapusan sinyal kesalahan (clutter removal) yang disebabkan oleh faktor-faktor non-meteorologis seperti adanya objek di permukaan bumi (pegunungan, bukit, gedung tinggi)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

373

atau objek di udara (pesawat udara, burung, dan sebagainya) oleh clutter filter yang dikembangkan oleh Gabella dan Notarpietro (2002). Untuk kesalahan atenuasi (attenuation correction) yang biasa disebabkan oleh radome (penutup radar) dikoreksi menggunakan metode yang dikembangkan oleh Kraemer dan Verworn (2009). Analisis citra radar menggunakan produk CMAX (Maximum Constant Altitude Plan Position Indicator) di lokasi kejadian. Dengan mengacu pada hubungan antara jarak dan ketinggian elevasi radar, dimana lokasi Bandung yang berjarak kurang lebih 150 km dari radar, sehingga elevasi terendah yang terukur sekitar ketinggian 2 km (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Diagram Scan Strategy height – range pada radar EEC C-Band Doppler Tangerang

Data satelit Himawari-8 diolah menggunakan program SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis). SATAID adalah satu perangkat lunak yang dijalankan pada sistem operasi Windows yang berfungsi untuk mengolah data biner menjadi citra. Ada beberapa variasi program SATAID seperti GMSLPD yang dikhususkan untuk analisa siklon tropis (Tanaka, 2009). Analisis citra satelit Himawari-8 dilakukan secara keseluruhan dengan menampilkan sebaran awan Cb, suhu puncak awan dan analisis produk RGB Day Microphysics pada saat terjadi hujan es tanggal 3 Mei 2017. Pada Day Microphysics menggunakan pengaturan Red (VIS0.8 µm), Green (NIR3.9 µm), Blue (IR10.8 µm) (JMA, 2015).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Angin Gradien dan Sinoptik Permukaan

Hasil analisis angin gradien pada tanggal 3 Mei 2017 pukul 00.00 UTC yang di keluarkan oleh BOM menunjukan adanya sirkulasi eddy di sebelah utara Pulau Jawa sehingga memicu terbentuknya shearline (daerah belokan angin) mengakibatkan perlambatan aliran massa udara (Gambar 2). Perlambatan aliran massa udara ini menyebabkan penumpukan uap air di daerah sekitar belokan angin sehingga mengakibatkan pertumbuhan awan konvektif. Selain itu, daerah konvergensi angin di sekitar wilayah Jawa Barat menyebabkan pertemuan massa udara sehingga terjadi pengangkatan massa udara yang selanjutnya memicu terjadi proses konvektif. Massa udara yang masuk ke wilayah Jawa Barat berasal dari Australia (angin timuran), namun jika dilihat lebih seksama, massa udara yang masuk melewati Samudra Hindia selatan Indonesia, sehingga banyak uap air yang terbawa ke wilayah Jawa Barat. Terdapatnya beberapa faktor regional penyebab cuaca buruk sangat memungkinkan terjadi hujan es di daerah Kota Bandung.

Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Paski, dkk.)

374

Gambar 2. Angin Gradien 00.00 UTC (Sumber: bom.gov.au)

Tabel 1. Data Sinoptik (pengamatan Cuaca) di Stasiun Geofisika Klas I Bandung Tanggal 03 Mei 2017

Jam (WIB) Tekanan Udara (mb)

Suhu Udara ( C)

Kelembaban Udara (%)

Arah Angin (berasal dari)

Kecepatan Angin (km/jam)

07.00 925.3 21.8 90 Timur Laut CALM

08.00 925.8 23.0 90 Timur Laut 7

09.00 925.9 24.8 78 Tenggara 13

10.00 925.6 26.4 71 Tenggara CALM

11.00 924.5 27.8 63 Barat Daya 11

12.00 923.7 29.0 61 Barat Daya 13

13.00 922.4 30.0 61 Barat Daya 22

14.00 923.4 29.4 65 Barat 23

15.00 923.1 25.2 80 Timur Laut 27

Dalam data pada Tabel 1, kondisi cuaca pada saat kejadian dari pengamatan beberapa parameter cuaca

terlihat bahwa adanya kenaikan suhu udara yang signifikan pada selang jam 07.00 WIB hingga 10.00 WIB sebesar 4.6 °C. Kenaikan suhu yang signifikan pada rentan waktu tersebut menandakan adanya proses pemanasan dan penguapan secara drastis yang terjadi, kenaikan suhu juga mengindikasikan permukaan yang lebih hangat dibanding atmosfer diatasnya sehingga keadaan atmosfer menjadi labil. Selain itu, terjadi penurunan tekanan udara hingga 2.2 mb pada saat hujan es terjadi. Pada saat hujan lebat yang disertai petir serta hail, terjadi peningkatan kecepatan angin menjadi 27 km/jam dan perubahan arah angin menjadi timur laut. Arah angin ini sesuai dengan arah pergerakan awan Cb di wilayah Bandung, hal ini dapat dilihat pada pembahasan analisa citra radar.

3.2. Analisis Citra Radar

Pada kejadian hujan es yang melanda Kota Bandung tanggal 3 Mei 2017 yang terjadi pada beberapa lokasi di Kota Bandung seperti yang terlihat pada Gambar 3. Analisis kondisi atmosfer berpusat terhadap analisis pertumbuhan dan pergerakan awan Cb yang menjadi penyebab kejadian hujan es. Awan Cb yang tumbuh sangat besar menjadi salah satu indikasi adanya pembentukan partikel es, oleh karena itu dilakukan analisis citra radar cuaca. Intensitas reflektifitas radar cuaca dapat menggambarkan pertumbuhan awan konvektif, semakin besar nilai reflektifitas maka semakin besar dan padat ukuran partikel yang ada di dalam awan konvektif (awan Cb) terutama partikel es.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

375

Gambar 3. Lokasi kejadian hujan es di Kota Bandung

Gambar 4. Diagram time series reflektifitas produk CMAX pada lokasi kejadian hujan es

Analisis produk CMAX radar cuaca EEC C-Band Doppler Tangerang yang diekstrak tiap titik lokasi menggunakan software pengolahan Wradlib-Python terhadap waktu dan disajikan dalam bentuk diagram time series (Gambar 4). Hasil menunjukan bahwa setiap lokasi kejadian hujan es memiliki nilai reflektifitas yang berbeda-beda. Setiap lokasi memiliki nilai CMAX dan waktu mulai yang bervariasi.

Pada pukul 07.04 UTC atau 14.04 LT, terlihat bahwa hampir keseluruhan lokasi kejadian hujan es telah memiliki nilai reflektifitas radar, bahkan lokasi Antapani telah terukur nilai reflektifitas diatas 40 dBZ. Pukul 07.12 UTC (14.12 LT) sampai 07.28 UTC (14.28 LT) merupakan periode maksimum reflektifitas pada sebagian besar lokasi kejadian hujan es seperti Antapani dengan nilai reflektifitas hingga 40 dBz, Buah Batu dengan maksimum reflektifitas hingga 56 dBz, Moch Toha hingga 58 dBz, Jalan Natuna hingga 54 dBz, Cibaduyut hingga 58 dBz, Kopo hingga 61 dBz dan Soekarno Hatta hingga 40 dBz.

Menurut laporan masyarakat, kejadian hujan es melanda Kota Bandung sekitar pukul 14.00 LT – 14.30 LT. Dengan melihat hasil analisis nilai reflektifitas radar produk CMAX pada Gambar 3, nilai maksimum reflektifitas radar di lokasi kejadian sesuai dengan laporan tentang periode kejadian hujan es di Kota Bandung. Hujan es yang terjadi di Kota Bandung di beberapa lokasi terjadi saat nilai reflektifas telah mencapai diatas 40 dBz. Meskipun Kota Bandung berjarak hingga hampir 150 km dari pusat radar yang menyebabkan pengukuran radar dimulai diatas ketinggian 2000 m dari ketinggian bangunan radar Tangerang sesuai dengan diagram Scan Strategy height–range pada radar EEC C-Band Doppler Tangerang (Gambar 1).

0

10

20

30

40

50

60

70

7:04

AM

7:12

AM

7:20

AM

7:28

AM

7:36

AM

7:44

AM

7:52

AM

8:00

AM

8:08

AM

8:16

AM

Refle

ktifi

tas

Rada

r Cen

gkar

eng

(dBZ

)

Time (UTC) pada tanggal 3 Mei 2017

Antapani

Buah Batu

Moch Toha

Jalan Natuna

Cibaduyut

Kopo

Soekarno Hatta

Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Paski, dkk.)

376

Untuk menganalisis secara spasial citra radar digunakan produk CMAX yakni nilai maksimum dari seluruh lapisan CAPPI setiap 1000 meter hingga ketinggian 18 km. Hasil menunjukan pada pukul 07.04 UTC (14.04 LT) terlihat adanya pertumbuhan awan konvektif dengan nilai reflektifitas berkisar antara 35-45 dBz disekitar lokasi kejadian hujan es yang ditunjukan oleh simbol-simbol seperti pada Gambar 5. Awan konvektif yang kemudian tumbuh menjadi awan Cb ini merupakan awan tunggal yang tumbuh dengan cepat jika dilihat dari perubahan antara pukul 07.04 UTC (14.04 LT) hingga 07.20 UTC (14.20 LT).

Pada pukul 07.12 UTC (14.12 LT) terlihat nilai reflektifitas berkisar diantara 40-55 dBz, dengan lokasi Kopo menjadi wilayah dengan nilai reflektifitas tertinggi hingga >55 dBz. Pertumbuhan awan Cb yang sangat signifikan dalam jangka waktu yang singkat ini mengindikasikan adanya updraft yang cukup besar, hal ini memungkinkan partikel awan tumbuh menjulang dan menyebabkan partikel awan melewati freezing level (lapisan dengan suhu 0 oC). Ketika awan sudah tumbuh melewati freezing level, partikel air yang super dingin membeku menjadi partikel es. Partikel es ini kemudian turun diakibatkan downdraft dan efek grafitasi, ketika partikel ini berukuran sangat besar maka akan tetap turun sebagai partikel es meskipun ada gaya gesek dan suhu semakin hangat di atas permukaan. Dari hasil analisis pada pukul 07.20 UTC (14.20 LT) awan Cb semakin meluas dan nilai reflektifitas semakin besar menunjukan ukuran partikel-partikel semakin padat, pada rentan waktu ini juga terjadi hujan es sesuai dari laporan media masa dan masyarakat disekitar lokasi.

Dari analisis spasial awan Cb pada pukul 07.36 UTC (14.36 LT) hingga 07.52 UTC (14.52 LT), terlihat luasan awan semakin meluas dan menyebar ke arah tenggara dari Kota Bandung. Inti awan Cb (yang ditandai dengan nilai reflektifitas tinggi) mulai bergeser dan bergerak ke arah Tenggara. Pergerakan ini menjauhi lokasi kejadian hujan es seperti Antapani, Buah Batu, Moch Toha, Jalan Natuna, Cibaduyut, Kopo dan Soekarno Hatta.

3.3. Analisis Citra Satelit

Setelah melakukan analisis menggunakan radar cuaca EEC C-Band Doppler Tangerang, analisis dinamika atmosfer juga dilakukan dengan menggunakan satelit Himawari-8. Awan Cb yang menjadi penyebab utama terjadinya hujan es menjadi fokus utama penelitian ini. Analisis citra satelit dilakukan dengan melihat suhu puncak awan di setiap lokasi dan pola spasial awan menggunakan produk RGB Day Microphysics. Pada awan konvektif, suhu puncak awan menunjukan seberapa dingin awan konvektif tersebut, semakin dingin suhu puncak awan semakin tinggi awan konvektif. Suhu puncak awan juga menggambarkan suhu di dalam awan, suhu awan yang sangat dingin menyatakan adanya partikel es terbentuk yang berada pada awan konvektif tersebut.

Berdasarkan citra satelit yang menggunakan kanal IR10.8 µm (Infrared) yang terlihat pada Gambar 6, suhu puncak awan pada lokasi kejadian hujan es menurun hingga dibawah -60 oC sekitar pukul 07.00 UTC atau 14.00 LT di hampir keseluruhan lokasi kejadian hujan es telah memiliki nilai reflektifitas radar. Bahkan, suhu puncak awan mencapai -70 oC setelah pukul 07.30 UTC (14.30 LT). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya awan Cb yang sangat dingin saat kejadian hujan es yang melanda Kota Bandung.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

377

Gambar 5. Citra radar cuaca EEC C-Band Doppler Tangerang kejadian hujan es di Kota Bandung dengan simbol menunjukan lokasi kejadian untuk pukul 07.04 UTC, 07.12 UTC, 07.20 UTC, 07.36 UTC, 07.44 UTC, 07.52 UTC di Antapani (▲), Buah Batu (♦), Moch Toha (●), Jalan Natuna (o), Cibaduyut (★), Kopo (▼), dan Soekarno Hatta (■)

Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Paski, dkk.)

378

Gambar 6. Diagram time series suhu puncak awan pada lokasi kejadian hujan es

Selain melakukan analisis untuk mengetahui suhu puncak awan menggunakan kanal IR10.8 µm (Infrared), analisis dinamika atmosfer dilakukan dengan menggunakan satelit Himawari-8 menggunakan produk RGB Day Microphysics untuk analisis pola spasial awan dengan intepretasi warna. Pemilihan produk RGB Day Microphysics dalam analisis awan konvektif lebih disebabkan karena aktivitas mikrofisika awan menjadi gambaran dinamika atmosfer saat kejadian hujan es di Kota Bandung. Mikrofisika awan sendiri adalah proses dimana terjadi pelepasan energi (panas laten) dari uap air menjadi inti kondensasi dan butiran (tetes) air, adanya penyerapan molekul air pada inti kondensasi dan penggabungan antara butiran di dalam awan. Proses mikrofisika awan yang signifikan menunjukan adanya pertumbuhan awan Cb kuat.

Pada intepretasi produk RGB Day Microphysics yang dihasilkan dari pengolahan data satelit Himawari-8 menggunakan perangkat lunak SATAID, warna jingga menunjukan bahwa awan tersebut merupakan awan Cb yang sangat dingin, tebal (tinggi), dengan updraft yang kuat dan partikel es di dalamnya. Warna coklat kehijauan menunjukan awan Cirrus tipis yang dingin. Sedangkan untuk warna merah menunjukan awan-awan hujan yang dapat tumbuh menjadi awan yang lebih besar. Pada produk ini juga kita dapat melihat tekstur dari awan tersebut, dikarenakan dalam pengaturannya menggunakan kanal visible. Overshooting top dapat terlihat dari tekstur awan pada warna jingga, terdapat tekstur gelembung dengan warna sedikit gelap menandakan adanya updraft yang sangat kuat sehingga awan menembus lapisan Tropopause (lapisan batas antara Troposfer dengan Stratosfer).

Berdasarkan analisis produk RGB Day Microphysics seperti yang ditunjukan pada Gambar 7, kotak hitam menunjukan lokasi Kota Bandung dimana kejadian hujan es berlangsung. Terlihat pada gambar, pada pukul 06.00 UTC atau 13.00 LT belum tampak adanya pertumbuhan awan konvektif. Selanjutnya pada pukul 06.30 UTC (13.30 LT) mulai tampak adanya warna merah di bagian utara pada kotak hitam yang mengindikasikan adanya awan konvektif yang mulai tumbuh. Pada pukul 06.50 UTC (13.50 LT), terlihat pada kotak hitam keberadaan awan yang berwarna jingga yang menandakan awan sudah menjadi awan Cb yang memiliki updraft yang kuat dan telah terbentuknya partikel-partikel es di dalamnya. Warna jingga pada kotak hitam semakin meluas hingga pukul 07.30 UTC (14.30 LT) hingga 07.50 UTC (14.50 LT), dimana mulai tampak tekstur puncak awan yang bergelembung danberwarna gelap yang menandakan adanya overshooting top. Rentan waktu ini juga sesuai dengan hasil analisis citra radar yang menunjukan nilai intensitas reflektifitas radar maksimum pada lokasi kejadian hujan es di Kota Bandung. Warna jingga yang menyebar dan menutupi keseluruhan lokasi kejadian hujan es terlihat pada pukul 08.10 UTC (15.10 LT) hingga 08.30 UTC (15.30 LT), namun tekstur dari puncak awan sudah mulai menghilang menandakan puncak awan (anvil) sudah tidak terjadi overshooting top.

-80

-60

-40

-20

0

20

40

6:00 7:00 8:00 9:00

Suhu

Pun

cak

awan

(Ce

lciu

s)

Time (UTC) pada tanggal 3 Mei 2017

Antapani

Buah Batu

Moch Toha

Jalan Natuna

Cibaduyut

Kopo

Soekarno Hatta

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

379

Gambar 7. Produk RGB Day Microphysics dari satelit Himawari-8 pada saat kejadian hujan es di Kota Bandung

menggunakan pengaturan Red (VIS0.8 µm), Green (NIR3.9 µm), Blue (IR10.8 µm reverse) dengan pengaturan gamma Red (1), Green (2.5), Blue (1) pada pukul 06.00 UTC, 06.30 UTC, 06.50 UTC, 07.10 UTC, 07.30 UTC, 07.50 UTC, 08.10 UTC dan 08.30 UTC

4. KESIMPULAN

Kejadian hujan es yang melanda Kota Bandung disebabkan oleh faktor regional dan lokal pengendali cuaca yang mempengaruhi dinamika atmosfer pada lokasi kejadian. Adanya shearline (belokan angin) dan daerah konvergensi angin di wilayah Jawa bagian barat memicu penumpukan massa udara dan pertumbuhan awan

Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Paski, dkk.)

380

konvektif. Hasil catatan pengamatan sinoptik di Stasiun Geofisika Bandung menunjukan wilayah Kota Bandung mengalami kenaikan suhu yang cukup signifikan pada selang jam 07.00 WIB hingga 10.00 WIB sebesar 4.6 °C sehingga mendorong proses penguapan. Pada saat kejadian hujan lebat yang disertai petir serta es, terjadi peningkatan kecepatan angin menjadi 27 km/jam.

Analisis produk CMAX radar cuaca EEC C-Band Doppler di titik lokasi menunjukan pukul 07.12 UTC (14.12 LT) sampai 07.28 UTC (14.28 LT) merupakan periode maksimum reflektifitas pada sebagian besar lokasi kejadian hujan es, dengan intensitas mencapai hingga >60 dBz di Kopo. Dari analisis spasial produk CMAX, awan konvektif penyebab hujan es merupakan awan Cb tunggal yang tumbuh dan meluas hingga ke arah tenggara Kota Bandung.

Berdasarkan citra satelit Himawari-8 kanal IR10.8 µm (Infrared), suhu puncak awan pada lokasi kejadian hujan es menurun hingga mencapai dibawah -60 oC sekitar pukul 07.00 UTC atau 14.00 LT di hampir keseluruhan lokasi kejadian hujan es dan mencapai -70 oC setelah pukul 07.30 UTC (14.30 LT). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya awan Cb yang sangat dingin saat kejadian hujan es yang melanda Kota Bandung. Dari analisis produk RGB Day Microphysics pada waktu kejadian, awan dengan intepretasi berwarna jingga mendominasi pada saat kejadian hujan es, ditambah dengan terlihatnya overshooting top. Dimana warna jingga menunjukan bahwa adanya awan Cb yang sangat dingin, tebal (tinggi), dengan updraft yang kuat dan partikel es di dalamnya.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Pada akhir penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada kepala sub-bidang pengelolaan citra satelit BMKG beserta staf yang telah membantu dalam penyediaan dan diskusi dalam pengolahan data satelit Himawari-8. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG atas bantuannya dalam pengolahan data radar cuaca EEC C-Band Doppler sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

6. DAFTAR PUSTAKA

Cică, R., Burcea, S. and Bojariu, R., (2015). Assessment of severe hailstorms and hail risk using weather radar data. Meteorological Applications, 4(22), pp.746-753

Fadholi, A., (2012). Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es ( hail). Simetri: Jurnal Ilmu Fisika Indonesia Vol 1 No 2 D

Federer, B., and A. Waldvolgel, (1975). Hail and raindrop size distributions from a Swiss multicell storm. J Appl. Meteor., 14, 91-97

Gabella, M. and Notarpietro, R., (2002). Ground clutter characterization and elimination in mountainous terrain. In Proceedings of ERAD 2002, Delft, The Netherlands, 305–311, available at: http://www.copernicus.org/erad/online/erad-305.pdf

Houze, Robert A., Jr., (1993). Cloud Dynamics, International Geophysics Series, Volume 53, Academic Press, San Diego, CA. 92101- 4311, USA, pp. 573

Rogers, R.R., Yau, M.K., (2006). A Short Course in Cloud Physiscs (Third Edition): Hal 235. Burlington: Elsevier Science

JMA. (2015). Himawari User’s Guide. Diakses pada 1 September 2016 http://www.jma-net.go.jp/msc/en/support/index.html

Karmini, M., (2000). Hujan Es (hail) di Jakarta, 20 April 2000. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, 1 (1), hlm. 27-32

Kraemer, S. and Verworn, H. R., (2009). Improved Radar Data Processing Algorithms for Quantitative Rainfall Estimation in Real Time, Water Sci. Technol., 60, 175–184

Kushardono, D., (2012). Kajian Satelit Penginderaan Jauh Cuaca Generasi Baru Himawari 8 dan 9. Jurnal Inderaja Vol. 3 No.5, Desember 2012

Nelson, S and Wiit, A., (1991). The Use of Single Doppler Radar for Estimating Maximum Hailstone Size. J. Meteor,30,402-431

Pandjaitan, B. dan Andersen, P., (2015). Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia (Studi Kasus: Kebakaran Hutan dan Lahan Di Pulau SumateraDan Kalimantan Pada Bulan September 2015). Paper dipresentasikan pada Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2015, Bogor, Indonesia

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

381

Paski, J. A. I., (2014). Analisis Kejadian Cuaca Ekstrim Tanggal 20 April 2014 di Kota Bengkulu Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit. Buletin Balwil II BMKG. Vol: 4 No 9

Pfaff, T., Heistermann, M., and Jacobi, S., (2012). Wradlib - An open source library for weather radar data processing, In Proceedings of ERAD - Paper presented at the Seventh European Conference on Radar in Meteorology and Hydrology

Permana, D.S., Hutapea, T.D.F., Praja, A.S., Fatkhuroyan, Muzayanah, L.F., (2016). Pengolahan dan Pemulihan Data Radar Cuaca menggunakan Wradlib berbasis Python. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 17 No. 3, hlm. 157-164

Samriyanto., (2010). Analisis Citra Satelit dan Radar untuk Membuat Prediksi Cuaca Ekstrim. Buletin BMKG. Vol : 6 No.4

Tanaka, Y., (2009). SATAID-Powerful Tool for Satellite Analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center, Japan Meteorology Agency (JMA)