· web viewproduksi pertanian terutama beras mengalami stagnasi yang diikuti dengan kenaikan harga...

174
PERTANIAN, PENGAIRAN, DAN KEHUTANAN

Upload: vuongnhan

Post on 18-Jun-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERTANIAN, PENGAIRAN, DANKEHUTANAN

BAB XII

PERTANIAN, PENGAIRAN, DAN KEHUTANAN

A. PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian, pengairan, dan kehutanan pada hakekatnya merupakan upaya untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya lahan dan air serta sumber daya hayati secara produktif dan berkelanjutan. Upaya tersebut merupakan pengamalan dari amanat Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar -besar kemakmuran rakyat. Upaya di bidang pertanian dan kehutanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, bahan baku industri, ekspor, dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin pembangunan yang berkesinambungan.

XII/3

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dan dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia dari sejak sebelum kemerdekaan. Sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan bersandar pada sektor pertanian. Produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hampir seluruhnya dihasilkan oleh pertanian rakyat. Namun demikian selama masa penjajahan, pertanian rakyat tidak banyak mengalami kemajuan. Bahkan di Jawa, petani pada dasarnya mensubsidi perusahaan besar dengan upah dan sewa tanah yang rendah. Sebagai warisan kolonial struktur pertanian bersifat dualistik, antara sektor pertanian rakyat yang tradisional dengan usaha pertanian besar khususnya perkebunan yang modern yang ditangani oleh kaum pendatang.

Dalam rangka politik etis, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 mendirikan Departemen Landbouw, Neiverheid en Handel (Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan), disusul dengan pembentukan Landbouw Voorlichtings Dienst (Dinas Penyuluhan Pertanian) pada tahun 1910 sebagai cikal bakal Dinas Pertanian Rakyat. Namun lembaga tersebut tidak efektif dalam mentransformasikan pertanian rakyat karena memang usaha ke arah itu tidak dilakukan dengan sangat sungguh-sungguh.

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah memberikan perhatian khusus pada pembangunan pertanian. Upaya pokok untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk dititikberatkan pada peningkatan produktivitas usaha tani. Pada tahun 1947 melalui "Rencana Kasimo", diupayakan peningkatan produksi pangan melalui perbaikan usaha tani. Setelah pengakuan kedaulatan ada "Rencana Kesejahteraan Istimewa" (RKI) yang merencanakan pembangunan Balai Benih, pengelolaan dan perbaikan pengairan perdesaan, pembangunan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD), Percobaan Pengusahaan Tanah Kering (PPTK),

XII/4

perbaikan lahan kritis, serta pembangunan taman ternak dan pusat -pusat pembibitan ternak. Pada tahun 1958 didirikan "Padi Sentra", yaitu intensifikasi yang dipusatkan pada sentra-sentra produksi padi melalui pemberian kredit natura dan modal kerja kepada petani. Dengan terus meningkatnya impor beras, Kementerian Pertanian Kabinet Kerja memutuskan bahwa dalam tiga tahun sejak tahun 1959 Indonesia harus sudah swasembada beras, dan untuk itu dibentuk Komando Operasi Garakan Makmur (KOGM). Namun upaya-upaya tersebut tidak dapat terlaksana karena situasi politik dan keamanan yang senantiasa bergejolak dan terbatasnya dana yang dapat disediakan untuk mendukung pelaksanaannya.

Konsep intensifikasi kemudian diperbaharui berdasarkan hasil Pilot Proyek Demonstrasi Panca Usaha Lengkap yang dilakukan di Karawang pada musim tanam (MT) 1963/64. Panca Usaha merupakan paket teknologi berupa penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, perbaikan pengolahan lahan, serta pengaturan tata air irigasi. Pada MT 1964/65 dilaksanakan Demonstrasi Massal (Demas) intensifikasi seluas 10.200 hektare di 15 propinsi sentra produksi dengan hasil yang sangat menggembirakan. Namun kondisi sosial ekonomi dan politik pada saat itu sangat tidak memungkinkan bagi penerapan konsep intensifikasi ini secara cepat dan meluas. Bahkan kegiatan petani sangat terganggu dengan memanasnya situasi politik terutama karena agitasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Produksi pertanian terutama beras mengalami stagnasi yang diikuti dengan kenaikan harga yang tinggi.

Kelangkaan beras dan membumbungnya harga-harga mencerminkan keadaan ekonomi pada saat meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI. Ketidaktegasan sikap pemerintah terhadap PKI dan kenaikan dari harga-harga yang makin tidak terkendali telah memicu

XII/5

terjadinya serangkaian demostrasi yang dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Demonstrasi mahasiswa dan pelajar tersebut mencapai puncaknya pada bulan Januari 1966, dengan mengumandangkan Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA), yaitu pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga.

Dalam situasi demikian lahirlah Orde Baru yang bertekad untuk memperbaiki seluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk kehidupan ekonomi, kembali secara murni dan konsekuen pada pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945. Setelah melalui masa stabilisasi dan rehabilitasi, dilancarkan pembangunan nasional dengan titik berat pada pembangunan ekonomi yang ditekankan pada pembangunan sektor pertanian dengan sasaran terutama pada peningkatan produksi pangan dan penciptaan lapangan kerja sekaligus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Upaya untuk membangun sektor pertanian pada saat itu dititikberatkan pada program intensifikasi yang dikenal dengan Bimbingan Massal (Bimas) yang merupakan pelaksanaan Panca Usaha lengkap didukung oleh bantuan kredit murah. Pada tahun 1968 diperkenalkan varietas unggul baru PB5 dan PB8 yang memiliki potensi produksi lebih tinggi, tanggap terhadap pemupukan, dan berumur pendek serta lebih tahan terhadap hama penyakit dibanding varietas unggul sebelumnya. Dengan makin meluasnya pelaksanaan Bimas dan makin tumbuhnya kesadaran petani untuk menerapkan teknologi anjuran, maka sejak tahun 1968 dilaksanakan program Intensifikasi Massal (Inmas) yang merupakan program intensifikasi tanpa bantuan kredit murah.

XII/6

Pada awal Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP) I, berdasarkan Keppres Nomor 95 Tahun 1969 pelaksanaan program intensifikasi Bimas dan Inmas dikembangkan dan lebih dimantapkan dengan dibentuknya Badan Pengendali Bimas, sebagai badan koordinasi lintas sektor yang diketuai Menteri Pertanian. Struktur organisasi Bimas dikembangkan sampai ke tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan, yang masing-masing diketuai oleh Gubernur, Bupati dan Camat. Untuk mengatasi kekurangan dana bagi pengadaan dan penyaluran pupuk, pestisida dan alat-alat pertanian telah dilibatkan 7 perusahaan asing dalam bentuk Bimas Gotong Royong. Program ini berjalan selama empat musim tanam, kemudian diperbaiki dengan Bimas Nasional yang Disempurnakan (BND). Berdasarkan hasil pilot proyek Unit Desa BRI di Yogyakarta pada MT 1969/70 dilakukan pembaharuan terhadap konsep BND dalam upaya mendekatkan pelayanan kepada petani di perdesaan dengan konsep Unit Desa. Dengan Inpres Nomor 4 Tahun 1973 dibentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), yaitu suatu areal persawahan seluas 600 - 1.000 hektare yang memiliki unsur-unsur pelayanan berupa catur sarana, yakni penyuluhan oleh PPL; perkreditan oleh BRI Unit Desa; penyaluran sarana produksi (saprodi) oleh kios/warung Unit Desa; dan pengolahan serta pemasaran hasil oleh Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/Koperasi Unit Desa (KUD).

Guna mensukseskan pelaksanaan program intensifikasi sekaligus meningkatkan pendapatan petani, pembinaan BUUD/KUD selanjutnya diatur dengan Inpres Nomor 2 tahun 1978. Kemudian dengan Inpres Nomor 4 Tahun 1984 pembinaan dan pemantapan sistem organisasi KUD makin disempurnakan.

Dalam rangka mengembangkan usaha tani kecil, pelaksanaan program intensifikasi dilakukan melalui pendekatan kelompok. Untuk itu dibentuk kelompok tani yang beranggota 25-30 orang, sebagai

XII/7

kelompok belajar dan sekaligus sebagai kelompok usaha untuk membina kerjasama antar petani. Sejak tahun 1974 diperkenalkan Intensifikasi Khusus (Insus) yang merupakan pengelolaan intensifikasi usaha tani padi pada hamparan kelompok. Penanaman serentak pada satu hamparan tersebut dilakukan juga dalam rangka menanggulangi ledakan hama wereng, sekaligus dibarengi dengan penggunaan varietas unggul tahan wereng (VUTW). Di samping itu, diterapkan pula Operasi Khusus (Opsus) untuk daerah-daerah yang belum terjangkau program intensifikasi, khususnya di wilayah terpencil atau wilayah produksi padi gogo dan gogo rancah. Dalam perkembangan selanjutnya digalang kerjasama antar kelompok tani dalam satu wilayah yang luas, seperti wilayah irigasi tersier atau Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian (WKBPP). Pola intensifikasi tersebut dikenal dengan Supra Insus, yang di beberapa daerah mencapai areal seluas 5 - 10 ribu hektare. Supra Insus ini merupakan unit pengembangan dengan skala usaha ekonomis yang dilayani oleh KUD, baik dalam penyaluran sarana produksi, pengolahan hasil maupun pemasarannya. Partisipasi petani dalam Supra Insus merupakan upaya mengembangkan kerjasama yang melembaga antara kelompok tani dengan KUD. Areal intesifikasi yang belum melaksanakan pengelolaan berkelompok melalui Insus dan Supra Insus dikategorikan sebagai Intensifikasi Umum (Inmum).

Melalui berbagai pola intensifikasi tersebut di atas, petani makin terbiasa bekerja dengan menerapkan teknologi yang sesuai, sehingga produktivitas terus meningkat. Sementara itu dalam rangka mempercepat peningkatan produksi padi dilaksanakan pula upaya rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru. Sawah-sawah baru tersebut segera dimanfaatkan dalam perluasan areal intensifikasi. Upaya peningkatan produksi melalui intensifikasi juga didukung oleh penyediaan pupuk yang diproduksi dalam negeri , pengembangan benih-benih unggul baru, serta

XII/8

kebijaksanaan harga dan subsidi yang memberikan perangsang pada petani untuk menerapkan teknologi baru. Terjadilah apa yang disebut Revolusi Hijau, yang mengantarkan pada salah satu keberhasilan pembangunan yang menonjol dalam PJP I, yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Pada tahun 1984 tersebut produksi beras mencapai 25,8 juta ton dengan luas panen 9,8 juta hektare, diantaranya luas panen intensifikasi sekitar 7,4 juta hektare, serta melibatkan sekitar 12 juta keluarga tani.

Meluasnya pelaksanaan program intensifikasi dengan menggunakan paket sarana produksi telah mendorong meningkatnya penggunaan pestisida secara kurang bijaksana yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan terbunuhnya musuh-musuh alami, serta timbulnya eksplosi hama. Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 1986 telah dilarang penggunaan 57 jenis pestisida, dan pengendalian hama terpadu (PHT) dijadikan sebagai strategi pengendalian llama dan penyakit. Para petani dilatih tentang penerapan teknik-teknik PHT melalui metode dinamika kelompok dalam Sekolah Lapangan PHT (SLPHT). Sejak tahun 1989 subsidi pestisida dihapus. Sementara itu dalam rangka meningkatkan pendapatan, taraf hidup dan kemandirian petani ditetapkan tatanan kelembagaan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang antara lain memberi kebebasan kepada petani untuk memilih pengusahaan komoditas yang paling menguntungkan.

Pada tahun terakhir PJP I produksi beras mencapai 31.318 ribu ton dengan luas panen 11,0 juta hektare diantaranya luas panen inten -sifikasi sekitar 9,5 juta hektare. Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 jumlah keluarga tani adalah 21,5 juta dengan pemilikan rata-rata lahan 0,83 hektare, yang sebagian besar mengusahakan tanaman pangan.

XII/9

Pembangunan perkebunan mempunyai arti penting khususnya dalam rangka meningkatkan ekspor serta perluasan lapangan kerja. Sejarah perkembangan perusahaan pertanian berskala besar dimulai dengan usaha perkebunan pada jaman penjajahan Belanda, yang didorong oleh berkembangnya permintaan pasar dunia pada waktu itu. Melalui Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) tahun 1830-1870, terutama di Jawa dengan memanfaatkan lahan subur dan tenaga kerja murah, dikembangkan usaha perkebunan yang menghasilkan berbagai komoditas ekspor seperti gula tebu, kopi, teh, tembakau, karet dan sebagainya. Sistem perkebunan besar swasta makin berkembang setelah pemerintah kolonial mengeluarkan Agrarische wet pada tahun 1870, yang memungkinkan pengusaha dapat memperoleh konsesi lahan selama 75 tahun. Semenjak itu usaha perkebunan besar berkembang di Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat serta Sulawesi Selatan. Pada tahun 1930 tercatat 180 pabrik yang mengolah hasil-hasil perkebunan, dan mempekerjakan sekitar 800 ribu tenaga kerja. Pada tahun 1938 terdapat 2.400 buah perkebunan di Jawa dan luar Jawa yang menguasai tanah sekitar 2,5 juta hektare. Pada tahun 1938 perusahaan-perusahaan milik pemerintah Belanda bergabung menjadi Gouvernements Landbouw Bedrijven (GLB).

Dalam periode pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan usaha perkebunan hampir tidak terurus dan bahkan banyak areal yang ditebangi dan ditanami dengan tanaman bahan makanan.

Setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, dalam rangka nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda termasuk perkebunan, maka kebun-kebun milik GLB menjadi milik pemerintah RI yang dikelola di bawah unit organisasi Pusat Perkebunan Negara (PPN). Pada masa perjuangan pengembalian Irian Barat, pemerintah memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan Belanda, yang

XII/10

dituangkan dalam Keputusan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan Nomor 1063/PMT/1957, Tahun 1957 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1958. Untuk mengelola perusahaan-perusahaan di bidang perkebunan tersebut pada tahun 1963 dibentuk 4 (empat) Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunanan Negara (BPU-PPN), yang membina unit PN Perkebunan di daerah yaitu BPU-PPN Gula dan Karung Goni dengan 50 PPN Gula dan 3 PPN Karung Goni, BPU-PPN Karet dengan 17 PPN Karet, BPU-PPN Tembakau dengan 7 PPN Tembakau, dan BPU Aneka Tanaman dengan 14 PPN Aneka Tanaman.

Dalam masa sebelum Orde Baru, produksi perkebunan tidak banyak mengalami kemajuan, bahkan yang terjadi adalah kemunduran. Sektor perkebunan bahkan telah menjadi ajang pertarungan politik. Pada masa itu, sektor perkebunan masih merupakan penghasil devisa, namun jumlahnya terbatas dan nilainya makin mengecil.

Banyak gejolak politik yang digerakkan oleh PKI dalam rangka memanaskan situasi menuju pemberontakan G.30.S/PKI berkisar di sekitar masalah tanah dan terjadi di daerah perkebunan.

Setelah Orde Baru, diambil langkah-langkah untuk menata kembali usaha perkebunan secara bertahap. Menyadari besarnya potensi sektor ini baik untuk perolehan devisa maupun lapangan kerja, pemerintah Orde Baru mulai membangun kembali perkebunan-perkebunan yang terlantar dan tidak terpelihara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 1968, BPU-BPU PPN dibubarkan dan dibentuk 28 unit perusahaan, yaitu PN Perkebunan I sampai dengan XXVIII. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 dan PP Nomor 12 Tahun 1969 dilakukan pengalihan PN menjadi PT Perkebunan (Persero) atau PTP. Sejak saat

XII/11

itu program peremajaan mulai dilancarkan. Untuk mengatasi keterbatasan dana pada tahun 1968 diperkenalkan sistem pungutan Cess atas komoditas ekspor perkebunan. Sebagian besar dana pungutan tersebut digunakan untuk pembangunan perkebunan rakyat. Pada tahun 1976 Cess dihentikan karena dianggap tidak efektif.

Pada tahun 1973 dengan bantuan dana dari Bank Dunia dilaksanakan pengembangan perkebunan rakyat di Sumatera Utara sebagai rintisan pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP), dan pengembangan perkebunan rakyat di Jawa Barat yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai rintisan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pengembangan perkebunan rakyat melalui pola PIR dimulai tahun 1977 dengan dana pinjaman luar negeri, sedangkan pola UPP dimulai pada tahun 1979. Untuk mempercepat pembangunan perkebunan di luar Jawa telah dikembangkan PIR Perkebunan yang dikaitkan dengan transmigrasi berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1986.

Sampai dengan akhir PJP I telah dibangun perkebunan rakyat baru seluas 1,6 juta hektare dengan komoditas utama kelapa, karet, kelapa sawit, dan kopi yang melibatkan sekitar 1,2 juta keluarga tani. Dengan keberhasilan pola PIR Perkebunan, dikembangkan pula PIR untuk peternakan dan perikanan rakyat, yaitu PIR Perunggasan, PIR Persusuan, dan PIR Tambak.

Pada akhir PJP I luas perkebunan rakyat mencapai 10,7 juta hektare dengan komoditas utama kelapa, karet, kopi, cengkeh, lada, kakao, jambu mete, tebu dan tembakau. Areal perkebunan besar negara mencapai 946,2 ribu hektare dengan komoditas utama kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu. Sedangkan perkebunan besar swasta mencapai sekitar 1,4 juta hektare dengan komoditas utama

XII/12

kelapa sawit, tebu, karet dan teh. Bidang perkebunan keseluruhannya menyerap tenaga kerja sekitar 5,3 juta orang. Sumbangan PDB subsektor perkebunan pada tahun 1993 mencapai Rp9.014,8 miliar atau 15,3 persen dari PDB sektor pertanian sebesar Rp58.963,4 miliar, dan penerimaan ekspor mencapai US$3,3 miliar.

Usaha di bidang peternakan telah dirintis sejak jaman kolonial Belanda antara lain oleh Dr. J. Merkens yang pada tahun 1923 telah memberikan sumbangan pengetahuan tentang peternakan domba Garut, sapi Bali, dan ayam Kedu sebagai ternak asli Indonesia.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ternak guna mendukung perluasan pabrik gula dalam tahun 1830-1835 dilakukan impor sapi Ongole dari India. Sapi impor ini kemudian ternyata menimbulkan wabah penyakit ngorok di Jawa Barat serta penyakit mulut dan kuku di Jawa Timur tahun 1884. Kaum penjajah dalam memenuhi kebutuhan susu melakukan impor sapi perah pertama kali dari Belanda pada tahun 1891. Pada tahun yang sama dilakukan pula impor sapi Ongole secara besar-besaran. Lemahnya kelembagaan pada waktu itu menyebabkan terjadinya persilangan sapi Ongole dengan sapi Frisian Holland yang kemudian dikenal dengan sapi Grati dengan tingkat produksi susu yang rendah. Pada tahun 1841 dibentuk Dinas Kehewanan di daerah-daerah dan pada tahun 1905 dibentuk Jawatan Kehewanan Pusat (Burgelijk Veeartsenijkundige Dienst atau BVD). Pada tahun 1912 timbul penyakit rinder pest yang telah menyebabkan kematian pada ternak sapi sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar.

Pada masa penjajahan Jepang pembinaan peternakan hampir tidak dilakukan bahkan untuk kepentingan konsumsi terjadi pemotongan yang berlebihan sehingga mengakibatkan pengurasan populasi ternak sapi dari sekitar 4.604 ribu ekor menjadi 3.840 ribu ekor atau turun

XII/13

16,5 persen; kuda dari sekitar 740 ribu ekor menjadi 500 ribu ekor atau turun 32 persen; kambing dari sekitar 7.600 ribu ekor menjadi 6.100 ribu ekor atau turun 20 persen; dan babi dari sekitar 1.320 ribu ekor menjadi 530 ribu ekor atau turun 60 persen.

Setelah kemerdekaan, pengembangan peternakan mulai mendapat perhatian kembali, antara lain dengan didirikannya Induk Taman Ternak dengan tujuan memelihara bibit ternak unggul untuk disebarkan kepada masyarakat melalui Taman Ternak yang didirikan di berbagai kabupaten. Induk Taman Ternak yang dikembangkan antara lain adalah Induk Taman Ternak Baturaden, Jawa Tengah; Induk Taman Ternak Rembangan, Jawa Timur; dan Induk Taman Ternak Padang Mengatas, Sumatera Barat. Impor ayam ras telah dilakukan pada tahun 1950-an, namun sifatnya baru dalam taraf hobi dan belum mengarah pada usaha intensif.

Meskipun telah ada berbagai upaya namun sampai pada masa menjelang Orde Baru kondisi peternakan tidak banyak mencatat kemajuan. Perkembangan populasi ternak berjalan sangat lamban, antara lain karena tingkat kematian yang tinggi. Bahkan beberapa jenis ternak mengalami penurunan populasi. Sistem peternakan rakyat di Indonesia pada umumnya bersifat tradisional dengan peran utama ternak sebagai sumber tahungan dan tenaga kerja. Upaya pengembangan peternakan rakyat menghadapi kendala terutama karena rendahnya kemampuan sumber daya manusia dan keterbatasan dana.

Pada masa Orde Baru, pemerintah menyadari bahwa basis peternakan yang sebagian besar berada ditangan rakyat perlu segera dibenahi. Untuk itu ditetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan pada tahun 1967 juga dilakukan survei inventarisasi hewan (SIH) nasional.

XII/14

Upaya terobosan dalam subsektor peternakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein rakyat Indonesia dilakukan melalui pengembangan ayam ras dengan menggunakan bibit unggul ayam ras. Usaha peternakan ayam ras berkembang dengan pesat, terutama sejak dilancarkannya program Bimas ayam pada tahun 1972. Pada tahun 1981 ditetapkan Keppres Nomor 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras yang telah mendorong perkembangan lebih maju lagi peternakan ayam rakyat. Ketentuan ini diperbaharui lagi dengan Keppres Nomor 22 Tahun 1990 dalam rangka memberikan perhatian khusus pada usaha peternakan rakyat terutama yang tergabung dalam wadah koperasi. Skala usaha broiler pada peternakan rakyat dari 4.500 ekor per siklus diperbesar menjadi 15 ribu ekor per siklus, dan ayam petelur dari 5 ribu ekor menjadi 10 ribu ekor per siklus. Sedangkan swasta besar diberi kesempatan untuk melakukan kerjasama dengan peternakan rakyat melalui pola PIR Perunggasan.

Sementara itu perkembangan peternakan sapi perah diwarnai oleh membanjirnya susu impor murah. Untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah sekaligus meningkatkan pendapatan peternak sejak tahun 1978 telah dilaksanakan pembenahan pemasaran susu yang di koordinasikan oleh lembaga Menteri Muda Urusan Koperasi. Harga susu ditingkatkan dari rata-rata sekitar Rp65,00 per kilogram menjadi Rp165,00 per kilogram untuk luar Jakarta dan Rp185,00 per kilogram untuk Jakarta. Pada tahun 1979 dibentuk Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI), yang kemudian diubah menjadi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

Untuk mendorong perkembangan sapi perah disusun program pengembangan sapi perah secara terpadu melalui satu paket kebijaksanaan yang terdiri atas impor sapi perah, perbaikan mutu

XII/15

genetik melalui kawin suntik, dan pelayanan kredit sapi perah. Pada tahun 1982 ditetapkan pengkaitan impor bahan baku susu oleh Industri Pengolah Susu (IPS) dengan kewajiban menyerap susu segar dalam negeri (SSDN) melalui pengaturan rasio susu (perbandingan SSDN dan impor) serta kewajiban menunjukkan bukti serap (BUSEP) pembelian susu dalam negeri sebagai persyaratan memperoleh ijin impor. Untuk mengendalikan pelaksanaan kebijaksanaan tersebut ditetapkan Inpres Nomor 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, serta dibentuk Tim Koordinasi Persususan.

Sampai dengan tahun 1993 koperasi yang bergerak dalam bidang persusuan telah berjumlah 206 buah dengan jumlah anggota 83.902 orang yang memiliki sapi perah sebanyak 236.386 ekor. Untuk meningkatkan mutu genetik sapi perah, sejak awal Repelita IV telah dilaksanakan uji alih janin (embryo transfer).

Pembangunan peternakan selama PJP I telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada awal PJP I, populasi ternak sapi baru mencapai 6,6 juta ekor, kerbau 2,9 juta ekor, kambing 7,3 juta ekor, domba 3,6 juta ekor, babi 2,7 juta ekor, dan kuda 612 ribu ekor. Pada awal PJP II populasi ternak sapi telah meningkat menjadi 11,3 juta ekor, kerbau 3,1 juta ekor, kambing 11,9 juta ekor, domba 6,5 juta ekor, babi 9,0 juta ekor kecuali kuda menurun menjadi 585 ribu ekor. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam subsektor peternakan adalah sekitar 2,4 juta orang.

Di bidang perikanan, sebagai bangsa bahari sejak jaman dahulu perikanan merupakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Kegiatan budidaya perikanan telah berkembang sejak sebelum penjajahan kolonial Belanda, terutama tambak bandeng di Gresik dan kolam- kolam ikan di Jawa Barat.

XII/16

Pada masa penjajahan kolonial Belanda usaha perikanan laut telah mulai diatur antara lain melalui Staat's Blad Nomor 157 Tahun 1916 tentang usaha perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang yang dibatasi dalam jarak 3 mil laut, dan Visscherij Ordonnantie Nomor 396 Tahun 1920 tentang perlindungan sumber daya perikanan dari penggunaan bahan kimia dan peledak. Selanjutnya pemanfaatan sumber daya ikan wilayah pantai, diatur melalui Kust Visscherij Ordonnantie (Peraturan Perikanan Pantai) Nomor 144 Tahun 1927, dan batas yuridiksi laut Indonesia (perairan teritorial) ditetapkan sejauh 3 mil dari garis pantai dalam Staat's Blad Nomor 145 Tahun 1927. Batas tersebut secara yuridis tetap berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa wilayah laut Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai.

Pada masa sebelum Orde Baru pembangunan perikanan berkembang sangat lambat. Daerah penangkapan ikan yang sangat luas belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan dan tingkat gizi masyarakat maupun sebagai penghasil devisa. Kondisi nelayan dan kehidupan masyarakat desa pantai juga sangat memprihatinkan.

Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

XII/17

Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga acapkali menimbulkan konflik. Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980 pukat harimau dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia.

Usaha perikanan berkembang makin pesat setelah dunia internasional menyepakati konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara kepulauan atas perairan di dalam kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara.

Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI, luas perairan laut Indonesia yang semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi.

XII/18

Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan Undang-undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan di beberapa tempat telah menunjukkan tanda-tanda melebihi daya dukung alam, sehingga untuk menjamin hasil perikanan yang optimum dan lestari, pada tahun 1985 ditetapkan total penangkapan yang diperkenankan (Total Allowable Catch/TAC).

Sampai saat ini potensi sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sekitar 6,7 juta ton per tahun, terdiri atas sekitar 4,4 juta ton di perairan Indonesia dan 2,3 juta ton di perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut secara keseluruhan telah mencapai sekitar 41 persen. Potensi perairan umum seperti danau, waduk, rawa, sungai, dan genangan air lainnya mencapai areal sebesar 14 juta hektare, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 35 persen. Potensi budidaya tambak adalah sekitar 830 ribu hektare, dengan tingkat pemanfaatan mencapai 37 persen.

Untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya perikanan, saat ini telah ada 28 unit galangan kapal milik swasta dan BUMN yang mampu membuat kapal penangkap ikan berukuran 30-250 GT. Di samping itu, di berbagai daerah di wilayah Indonesia ditemui banyak galangan kapal tradisional atau perajin-perajin pembuat perahu kayu. Sampai dengan tahun 1993 jumlah pelabuhan perikanan yang telah dibangun mencapai 32 buah dan pangkalan pendaratan ikan mencapai 560 buah.

Selama PJP I produksi perikanan telah tumbuh dengan cepat, yaitu dari 1,2 juta ton pada awal PJP I menjadi 3,8 juta ton pada akhir PJP I. Produksi perikanan laut meningkat sebanyak 4 kali menjadi 2,9

XII/19

juta ton dengan jumlah kapal 389.498 buah. Produksi ikan budidaya meningkat 5 kali menjadi 574 ribu ton, sedangkan dari perairan umum peningkatannya masih kecil, yaitu dari 320 ribu ton menjadi 335 ribu ton. Jumlah tenaga kerja yang berkecimpung dalam subsektor perikanan sekitar 2,1 juta orang.

Peningkatan produksi tersebut telah mendorong konsumsi ikan per kapita per tahun dari 9,96 kg pada tahun 1968 menjadi 17,01 kg pada tahun 1993, serta mendorong ekspor hasil perikanan dari 21,7 ribu ton pada tahun 1968 menjadi 529,2 ribu ton pada tahun 1993.

Keberhasilan pembangunan pertanian tidak terlepas dari dukungan pembangunan sektor-sektor lainnya, seperti prasarana, industri, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Di bidang prasarana, khususnya dukungan dari prasarana pengairan sangat besar pengaruhnya. Pembangunan pengairan, khususnya irigasi, secara tradisional telah berkembang ribuan tahun sejak jaman kerajaan-kerajaan Hindu. Sistem irigasi yang sudah panjang sejarahnya adalah irigasi subak di Bali dan irigasi kecil di Jawa.

Pada masa kolonial, pembangunan pengairan didominasi oleh penguasa kolonial yang diabdikan terutama untuk kepentingannya dengan menghilangkan hak penguasaan air yang sebelumnya dimiliki oleh petani. Pada masa ini, segala urusan bangunan, termasuk bangunan pengairan, dikelola langsung oleh Binnenlandsch Bestuur (BB) dibantu oleh para bupati sebagai penguasa di daerah. Pengelolaan oleh lembaga tersebut berlangsung sampai dengan tahun 1854, saat didirikannya Departement der Burgelijk Openbare Werken (BOW) atau Departemen Pekerjaan Umum. Khusus untuk irigasi, pada tahun 1889 dibentuk Bagian Irigasi (Afdeling Irrigatie) dalam Departemen BOW. Selanjutnya, dalam Staat's Blad Nomor 509 tahun 1933, Departemen BOW digabung dengan Gouvernements Bedrijven menjadi Departement van Verkeer en waterstaat.

XII/20

Pembangunan irigasi mulai mendapat perhatian yang besar dari pemerintah kolonial pada awal abad XX, setelah dikumandangkannya politik etis (etische politiek). Namun demikian, pada dasarnya pembangunan irigasi adalah tetap untuk. kepentingan dan keuntungan pemerintah kolonial, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pada beberapa daerah yang dibangun irigasinya, pemerintah kolonial juga mendapatkan keuntungan dengan naiknya sewa tanah yang dibayar oleh perusahaan perkebunan. Beberapa jaringan irigasi besar yang dibangun sampai dengan tahun 1930, antara lain adalah irigasi Ciujung (31,2 ribu hektare), Karawang (78 ribu hektare), Cimanuk (89 ribu hektare), Pemali (31,2 ribu hektare), Demak (33,7 ribu hektare), Sidoarjo (34 ribu hektare), Warujayeng (15,2 ribu hektare), serta Banyuwangi (35 ribu hektare). Pada tahun 1936 diberlakukan Algemeen Miter Reglement (AWR), yaitu suatu peraturan yang menyangkut secara umum peraturan-peraturan peng-airan, yang selanjutnya dipakai sebagai dasar pengelolaan pengairan.

Setelah kemerdekaan, pengelolaan pengairan yang semula adalah untuk kepentingan penguasa (kolonial), diarahkan kembali untuk kepentingan masyarakat. Pembangunan pengairan ditangani oleh Jawatan Pengairan yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum (PU). Salah satu gagasan pengembangan pengairan pada masa itu dicetuskan oleh DR. Ir. W.J.van Blomenstein pada tahun 1948 yang menggunakan pendekatan pengembangan secara terpadu. Gagasan ini memberikan gambaran tentang kemungkinan pengembangan sungai di seluruh Jawa sebagai satu kesatuan berikut pembangunan sejumlah waduk, antara lain Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur di S.Citarum.

Dalam masa Republik Indonesia Serikat (RIS) masalah pengairan ditangani oleh Departemen Pekerjaan Umum yang berada di bawah

XII/21

Kementerian Perhubungan, Tenaga, dan Pekerjaan Umum. Sementara itu, di pusat pemerintahan negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta, pembangunan pengairan ditangani oleh Jawatan Pengairan dan Assainering yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan. Dualisme kewenangan serta wilayah tersebut berjalan sampai kembali menjadi negara kesatuan yang berlandaskan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Sesudah itu, pembangunan pengairan ditangani oleh Jawatan Pengairan yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Pada masa itu, meskipun kondisi politik dan ekonomi sering kali tidak stabil, telah dibangun beberapa waduk, seperti Waduk Cacaban dengan kapasitas 90 juta meter kubik di Jawa Tengah yang mulai beroperasi tahun 1958, serta Waduk Darma dengan kapasitas 40 juta meter kubik di Jawa Barat yang mulai beroperasi tahun 1962.

Setelah kembali ke UUD 1945, pada tahun 1959 Jawatan Pengairan diubah menjadi Direktorat Jenderal Pengairan, dan berada di bawah Menteri Muda Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT). Pada tahun 1960 terjadi perubahan struktur kabinet yang mengubah Menteri Muda Pekerjaan Umum dan Tenaga menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga. Sejak saat itu, dimulai pelaksanaan proyek-proyek besar seperti pembukaan lahan pasang surut di Kalimantan dan Sumatera, pembangunan Waduk Jatiluhur dengan kapasitas sekitar 3 milyar meter kubik, serta pembuatan terowongan Tulung Agung. Pada tahun 1966 Kementerian PUT berubah menjadi Departemen Pekerjaan Umum (PU), dan salah satu tugasnya tetap menangani pembangunan pengairan.

XII/22

Walaupun telah dilakukan pembangunan beberapa prasarana pengairan, namun sebagian besar jaringan irigasi masih merupakan peninggalan jaman kolonial. Sampai dengan awal masa Orde Baru, jaringan irigasi tersebut tidak memperoleh pemeliharaan dan perbaikan yang memadai, sehingga pada awal PJP I sebagian besar jaringan irigasi tidak berfungsi dengan baik. Dengan keadaan tersebut, dan tingginya laju pertambahan jumlah penduduk, produksi beras tidak dapat memenuhi kebutuhan, sehingga pemerintah terpaksa melakukan impor beras dalam jumlah yang cukup besar.

Pembangunan pengairan pada PJP I diarahkan terutama untuk mendukung peningkatan produksi pangan, melalui upaya perbaikan dan rehabilitasi jaringan irigasi, serta pembangunan jaringan irigasi baru. Pembangunan jaringan irigasi baru juga dilaksanakan di luar Jawa, sehingga selain dapat menambah areal baru, sekaligus mendukung upaya mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa melalui program transmigrasi serta mempercepat pertumbuhan kawasan di luar Jawa. Dalam pada itu, penanganan pembangunan pengairan tetap berada pada Direktorat Jenderal Pengairan di bawah Departemen PU, yang pada tahun 1968 berubah menjadi Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL). Selanjutnya, pada tahun 1978 Departemen PUTL berubah kembali menjadi Departemen PU.

Selama PJP I telah berhasil dibangun jaringan irigasi baru sekitar 1,6 juta hektare, perbaikan dan rehabilitasi jaringan irigasi pada areal sekitar 2,9 juta hektare, serta pengembangan daerah rawa seluas sekitar 1,2 juta hektare. Pada akhir Repelita V luas keseluruhan sawah beririgasi termasuk yang berada di daerah rawa meliputi areal sekitar 5,7 juta hektare. Selain itu, telah dibangun pula jaringan irigasi tambak yang melayani areal tambak seluas sekitar 18

XII/23

ribu hektare dan perlindungan kawasan dari ancaman banjir maupun lahar gunung berapi sekitar 1,9 juta hektare. Sekitar 40 unit waduk dan 164 unit embung juga telah dibangun dengan tujuan untuk penyediaan air bagi berbagai keperluan termasuk pengendalian banjir, di samping sejumlah waduk yang khusus untuk pembangkit tenaga listrik. Beberapa waduk besar telah dibangun antara lain Karang Kates (Ir. Sutami), Selorejo, dan Wlingi di Jawa Timur, Sempor, Wadaslintang, Wonogiri, dan Kedung Ombo di Jawa Tengah, Palasari di Bali, serta Batujai di NTB. Selanjutnya dalam Repelita V juga telah dirintis upaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang efisien dengan melibatkan petani pemakai air.

Sementara itu, berbagai perangkat peraturan perundang-undangan untuk pengembangan dan pengelolaan pengairan juga terus dilengkapi dan disempurnakan. Pada tahun 1974 ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 tentang Pengairan yang merupakan penyempurnaan AWR tahun 1936. Sebagai kelengkapan dari undang-undang tersebut, telah diterbitkan 8 Peraturan Pemerintah, 1 Keputusan Presiden, 2 Instruksi Presiden, dan 6 Peraturan Menteri PU.

Pembangunan pengairan telah berhasil mendukung peningkatan produktivitas pertanian dan menambah luas area persawahan baru, sehingga swasembada beras pada tahun 1984 dapat dicapai. Selanjutnya, upaya pengendalian banjir telah meningkatkan rasa aman masyarakat terhadap ancaman bencana banjir dan lahar gunung berapi, khususnya di daerah permukiman dan sentra produksi pertanian.

Pembangunan kehutanan dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi hutan yang meliputi fungsi ekologi, ekonomi, dan fungsi

XII/24

sosial. Pembangunan kehutanan telah dilakukan sejak adanya upaya budidaya jati di Jawa dan dipulau Muna yang dikembangkan pada zaman kolonial Belanda dengan menggunakan teknik silvikultur Jerman. Hasil kayu yang bermutu tinggi tersebut dipergunakan terutama dalam pembuatan kapal, bantalan rel kereta api di samping sebagai bahan bangunan dan perabot rumah tangga. Sistem pemangkuan hutan dirintis oleh pemerintah kolonial. Penebangan secara belandong di Jawa dan Madura diganti dengan penebangan secara persil. Dengan Bosch Reglement 1874, wilayah hutan dibagi menjadi daerah-daerah kesatuan pemangkuan hutan.

Kondisi hutan pada awal kemerdekaan terutama di Pulau Jawa telah mengalami kerusakan yang parah. Selama masa penjajahan Jepang, sekitar 500 ribu hektare atau 17,0 persen hutan di Jawa mengalami kerusakan. Pada masa revolusi fisik, fungsi hutan di samping sebagai sumber produksi kayu, berperan pula sebagai basis pertahanan para pejuang dan sebagai sumber bahan makanan. Setelah pengakuan kedaulatan, upaya untuk melakukan reboisasi telah dimulai, namun hasilnya tidak menggembirakan, karena lemahnya kelembagaan dan tidak tersedianya dana yang memadai. Melalui PP Nomor 64 Tahun 1957, sebagian dari urusan kehutanan diserahkan kepada pemerintah daerah dengan dibentuknya Dinas Kehutanan Daerah di beberapa propinsi. Pada tahun 1961 dibentuk Perusahaan Kehutanan Negara (PERHUTANI) terutama untuk mengelola hutan-hutan jati di pulau Jawa.

Pembangunan kehutanan pada masa sebelum Orde Baru diwarnai oleh eksploitasi hasil hutan yang kurang terencana, penyerobotan areal hutan, dan meluasnya perladangan yang menimbulkan tanah kritis sekitar 42 juta hektare. Sementara itu potensi hutan tropika basah yang sangat luas di luar Jawa belum dimanfaatkan karena lemahnya kemampuan teknologi dan terbatasnya dana.

XII/25

Dalam masa Orde Baru, pembangunan kehutanan ditingkatkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Selanjutnya dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN, pengusahaan hutan terutama di luar Jawa mengalami perkembangan yang sangat cepat.

Pada awal PJP I, pemanfaatan sumber daya hutan terutama ditujukan untuk menghasilkan modal dalam mempercepat pembangunan diberbagai bidang lainnya. Upaya ini dilakukan melalui pemberian ijin penanaman modal asing dan modal dalam negeri dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang pada akhir PJP I berjumlah 575 unit dengan luas 61,7 juta hektare. Pada akhir tahun 1970-an ekspor kayu telah menempatkan sektor kehutanan menjadi penghasil devisa nomor dua setelah minyak dan gas bumi. Namun eksploitasi hutan yang berlebihan telah mengakibatkan rusaknya kawasan hutan di beberapa daerah dan daerah aliran sungai. Untuk mengembalikan fungsi hutan yang rusak, sejak Repelita III upaya reboisasi dan rehabilitasi hutan serta lahan kritis dilakukan dengan lebih intensif.

Sejak tahun 1985 diterapkan kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat. Sedangkan ekspor rotan asalan telah dilarang pada tahun 1979, kemudian larangan tersebut dicabut pada tahun 1986, dan diberlakukan kembali pada tahun 1989. Upaya mencegah ekspor bahan mentah tersebut dimaksudkan untuk mendorong perkembangan industri pengolahan hasil hutan dalam negeri seperti kayu gergajian, plywood dan pengolahan hasil hutan lainnya guna meningkatkan nilai tambah dan memperluas kesempatan kerja, serta sekaligus menjaga kelestarian hutan. Sejak awal PJP I diberlakukan sistem Tebang Pilih

XII/26

Indonesia (TN) yang kemudian pada tahun 1989 telah dikembangkan menjadi sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI). Sementara itu sejak tahun 1987 dikembangkan hutan tanaman industri (HTI), antara lain untuk mengatasi kekurangan bahan baku industri, sekaligus juga untuk menghutankan kembali areal hutan yang rusak.

Industri pengolahan hasil hutan telah berkembang sangat pesat, sehingga pada akhir PJP I, industri hasil kayu telah menghasilkan devisa sebanyak US$5.901,2 juta, dan menempati urutan kedua dalam perolehan devisa setelah minyak dan gas bumi. Industri ini telah mempekerjakan sekitar 360 ribu orang. Namun demikian, dalam perkembangannya dihadapi masalah karena kapasitas industri pengolahan kayu melebihi kemampuan penyediaan bahan baku dari hutan alam.

Pembangunan kehutanan juga berupaya untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada peningkatan manfaat hutan bagi masyarakat sekitar hutan, selain dikembangkan hutan rakyat serta hutan kemasyarakatan. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang Nasional, pembangunan kehutanan dilaksanakan dengan makin terintegrasi dengan pembangunan sektor lainnya melalui pengaturan peruntukan kawasan. Dalam kaitan ini, pada tahun 1993 pemerintah telah menyerahkan sebagian urusan kehutanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II dan membentuk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah.

Indonesia memiliki hutan negara seluas 140,4 juta hektare dan hutan rakyat yang telah dibangun sampai dengan akhir PJP I seluas 366 ribu hektare. Hutan negara terdiri atas hutan lindung seluas 30 juta hektare, hutan produksi seluas 64 juta hektare, hutan konservasi seluas 27,4 juta hektare serta kawasan konservasi alam dan hutan wisata seluas 19 juta hektare. Kawasan hutan tetap seluas 130 juta

XII/27

hektare yang terdiri atas hutan lindung, kawasan konservasi dan hutan wisata, serta hutan produksi akan terus dipertahankan dalam rangka memantapkan fungsi ekonomis dan ekologis hutan secara berkesinambungan.

Hutan merupakan sumber kehidupan manusia serta lingkungan hidup. Oleh karena itu pengelolaan hutan senantiasa dikaitkan dengan kebijaksanaan lingkungan hidup. Dalam rangka itu masyarakat diupayakan untuk turut serta bertanggung jawab, termasuk para pengusaha. Pengusaha di bidang kehutanan turut bertanggung jawab dalam memelihara kelestarian hutan. Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam memelihara kelestarian hutan di wilayahnya. Pemerintah membantu dengan dana penghijauan dan reboisasi yang diberikan melalui program Inpres.

Pembangunan ekonomi dalam PJP I telah berhasil memperbaiki struktur ekonomi nasional, yang telah beralih dari titik berat sektor pertanian ke sektor industri, Secara keseluruhan sumbangan sektor pertanian termasuk kehutanan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional menurun dari 47,0 persen pada awal Repelita I menjadi 17,6 persen pada akhir Repelita V. Demikian pula sumbangan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja nasional pada periode yang sama menurun dari 64,2 persen menjadi sekitar 46,1 persen. Meskipun pangsanya berkurang, sektor pertanian tetap berperan penting dalam perekonomian, dan telah mencatat banyak kemajuan, antara lain dengan swasembada pangan serta peningkatan taraf hidup petani. Berkurangnya secara cepat jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagian besar dikarenakan kemajuan taraf hidup masyarakat yang bergerak di sektor pertanian.

XII/28

Upaya pembangunan bidang pertanian, pengairan dan kehutanan yang diuraikan di atas selama PJP I telah konkrit menciptakan landasan bagi pembangunan yang makin meningkat dalam PJP II, diawali dengan Repelita VI.

B. PERTANIAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan pertanian dalam Repelita VI sesuai amanat GBHN 1993 adalah meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan, meningkatnya diversifikasi usaha dan hasil pertanian, serta meningkatnya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang didukung oleh industri pertanian. Menjadi sasaran pula pembangunan pertanian dalam Repelita VI adalah meningkatnya produktivitas tenaga kerja dan kesempatan kerja di sektor pertanian, terwujudnya penyediaan pangan yang beraneka ragam, dan hasil pertanian dengan mutu dan derajat pengolahan hasil yang lebih baik, serta meningkatnya peran pertanian dalam pembangunan wilayah. Sasaran selanjutnya adalah terpeliharanya kemantapan swasembada pangan, meningkatnya kemampuan petani dalam menerapkan dan menguasai teknologi pertanian, meningkatnya produktivitas usaha tani, meningkatnya daya saing dan pangsa hasil pertanian di pasar dalam negeri dan luar negeri, makin berfungsi dan meningkatnya kemampuan kelembagaan pertanian dalam mengembangkan agrobisnis dan agroindustri.

Dalam Repelita VI sektor pertanian diperkirakan tumbuh dengan rata-rata sebesar 3,4 persen per tahun. Untuk itu, pertumbuhan tanaman pangan dan hortikultura sebesar 2,5 persen, peternakan 6,4 persen, perkebunan 4,2 persen, perikanan

XII/29

5,2 persen per tahun. Sasaran penyerapan tenaga kerja adalah sekitar 1,9 juta orang. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB akan menurun dari 20,2 persen pada tahun 1993 menjadi sekitar 17,6 persen pada tahun 1998, atau menurun sekitar 2,6 persen per tahun.

Kebijaksanaan untuk mencapai sasaran tersebut antara lain adalah meningkatkan efisiensi sistem produksi pertanian dan mengem-bangkan iklim usaha yang sehat untuk meningkatkan investasi di bidang pertanian, terutama untuk mendukung pengembangan usaha pertanian rakyat; menjaga kestabilan harga pangan melalui pe -ngendalian harga, khususnya harga pangan yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan riil dan kestabilan ekonomi; mengembangkan usaha pertanian rakyat terpadu melalui sistem agrobisnis, termasuk mengembangkan sistem lembaga keuangan di perdesaan, meningkatkan penyediaan sarana produksi, dan mengembangkan kelembagaan pemasaran, serta meningkatkan peranan koperasi/KUD di perdesaan; menyederhanakan prosedur perizinan dan meningkatkan jaminan kepastian berusaha; mendorong investasi di bidang usaha pertanian di daerah tertinggal, terutama di kawasan timur Indonesia dan daerah tertinggal lainnya di kawasan barat Indonesia; memperluas usaha diversifikasi komoditas dalam usaha tani rakyat dan diversifikasi wilayah; serta meningkatkan konservasi dan rehabilitasi tanah kritis, lahan pertanian yang diterlantarkan serta mencegah eksploitasi sumber daya perikanan laut yang melampaui daya dukung lestari sumber daya.

Untuk mencapai sasaran serta melaksanakan kebijaksanaan tersebut di atas disusun program pembangunan, yang terdiri atas program pokok dan program penunjang. Program pokok meliputi program peningkatan produksi pangan; program peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas tenaga kerja pertanian; program pengembangan ekspor hasil pertanian; program pembinaan

XII/30

dan pengembangan kelembagaan pertanian; serta program peningkatan produksi dan diversifikasi pertanian. Adapun program penunjang terdiri atas program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanian; program penelitian dan pengembangan pertanian dan program pengembangan transmigrasi.

Program-program tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat melalui dana APBN maupun non APBN dengan memberikan perhatian khusus kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, serta pelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

Secara umum pelaksanaan pembangunan pertanian pada tahun pertama Repelita VI merupakan kelanjutan, peningkatan, perluasan dan pembaharuan dari pelaksanaan repelita-repelita sebelumnya. Dalam Repelita VI perhatian khusus diberikan kepada pengembangan agrobisnis, pengembangan kelembagaan petani serta desentralisasi penyelenggaraan pembangunan, terutama dalam pelaksanaan pembangunan pertanian yang dibiayai melalui APBN, yaitu program pembangunan pertanian rakyat terpadu; program pembangunan usaha pertanian; dan program pengembangan sumber daya, sarana dan prasarana pertanian.

Produksi hasil pertanian pada tahun 1994 secara keseluruhan meningkat, terutama dalam komoditas prioritas seperti peternakan, perikanan dan hortikultura. Sedangkan dalam produksi padi, sasaran produksi tahun 1994 tidak tercapai, bahkan menurun sebesar 3,2 persen. Penyebabnya terutama adalah karena musim kemarau yang panjang, serta bencana banjir di beberapa daerah.

XII/31

Untuk mengatasi masalah penyediaan pangan beras nasional, dalam musim tanam rendengan 1994/95 dan musim gadu 1995 telah dilakukan upaya khusus untuk meningkatkan produksi padi melalui percepatan pengolahan tanah pada areal yang mengalami kekeringan, penanaman padi gogo sebagai tanaman sela di areal perkebunan, rehabilitasi irigasi kecil/perdesaan, peningkatan mutu intensifikasi.

a. Program Pokok

1) Program Peningkatan Produksi Pangan

Tujuan program peningkatan produksi pangan adalah untuk meningkatkan taraf hidup petani dan masyarakat melalui pendekatan pertanian rakyat terpadu dalam rangka memelihara. kemantapan swasembada pangan dan penyediaan bahan baku industri pangan. Fokus kegiatan program ini adalah meningkatkan produktivitas usaha tani melalui peningkatan mutu perluasan dan areal intensifikasi; menyediakan bibit unggul dan sarana produksi; memperbaiki pengelolaan pasca panen dengan menggunakan alat dan mesin pertanian; dan meningkatkan penyerapan teknologi konservasi.

Untuk meningkatkan produksi pangan, maka usaha intensifikasi berupa Bimas, Inmas, Inmum, Insus, dan Supra Insus ditingkatkan. Mutu intensifikasi ditingkatkan melalui pembinaan kelompok tani dan penyuluhan agar para petani menggunakan benih bersertifikat, pemupukan secara efisien dan seimbang, pengendalian hama terpadu (PHT), penggunaan teknologi usaha tani hemat air serta teknologi pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil.

Pada tahun pertama Repelita VI produksi padi mengalami penurunan sebesar 3,2 persen dibanding dengan akhir Repelita V, yaitu dari 48.181 ribu ton menjadi 46.641 ribu ton (Tabel XII-1).

XII/32

Realisasi luas panen intensifikasi padi yang meliputi MT 1993/94 dan MT 1994/95 juga mengalami penurunan sebesar 0,4 persen. Penurunan tersebut berasal dari Inmum sebesar 21,1 persen, sebaliknya Insus mengalami kenaikan sebesar 3,2 persen (Tabel XII-2). Penurunan ini terutama disebabkan karena kemarau panjang, dan banjir pada sentra-sentra produksi sehingga luas panen dan hasil rata-rata per hektare mengalami penurunan sebesar 2,5 persen dan 0,5 persen (Tabel XII-3 dan Tabel XII-4). Menurunnya areal pertanaman tersebut ternyata membawa pengaruh pula pada penurunan penggunaan pupuk sebesar 2,1 persen (Tabel XII-5). Untuk mendukung peningkatan produksi beras, pada tahun 1994 dilaksanakan pengembangan tanaman padi gogo varietas baru sebagai tanaman tumpang sari pada areal perkebunan sekitar 100 ribu hektare, disertai peningkatan pemanfaatan areal irigasi pedesaan seluas 150 ribu hektare pada 4 propinsi (Jabar, Jateng, Jatim dan Bali), dan pemanfaatan areal pertanian di daerah transmigrasi 32 ribu hektare.

Luas panen ubi kayu, ubi jalar, dan kedele pada tahun pertama Repelita VI juga mengalami penurunan masing-masing 3,2 persen, 12,0 persen, 4,3 persen dibanding dengan luas panen pada akhir Repelita V , yang mengakibatkan turunnya produksi yang cukup besar masing-masing 9,0 persen, 11,6 persen, dan 8,4 persen (Tabel XII-6). Penurunan produksi palawija tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain juga karena pengaruh kemarau panjang, menurunnya minat menanam palawija karena harga di tingkat petani yang rendah dan belum dikuasainya teknologi secara tepat.

Produksi sayur-sayuran pada tahun pertama Repelita VI meningkat 0,4 persen, sebaliknya buah-buahan mengalami penurunan sebesar 0,2 persen dibanding dengan akhir Repelita V (Tabel XII- 7). Dalam hal buah-buahan, perdagangan yang makin bebas dan

XI/33

pasar yang makin terbuka menyebabkan mengalirnya buah-buahan subtropis impor yang menyaingi hasil produksi buah-buahan dalam negeri.

Produksi berbagai komoditas perkebunan penting pada tahun pertama Repelita VI mengalami peningkatan yang cukup berarti. Produksi inti sawit, minyak sawit, teh, kopi, kelapa/kopra, dan gula tebu masing-masing meningkat sebesar 20,1 persen, 19,7 persen, 2,4 persen, 1,7 persen, 1,0 persen, dan 0,9 persen dibanding tahun sebelumnya.

Produksi perkebunan rakyat yang pada tahun pertama Repelita VI mengalami peningkatan adalah tembakau, kapas, kakao, teh, lada, dan kopi dengan peningkatan masing-masing sebesar 15,0 persen, 11,1 persen, 4,6 persen, 3,3 persen, 2,6 persen, dan 1,5 persen. Dalam tahun yang sama produksi gula tebu meningkat sebesar 0,3 persen dibanding akhir Repelita V (Tabel XII-8). Peningkatan produksi gula tersebut erat kaitannya dengan jumlah areal tebu rakyat intensifikasi yang meningkat sebesar 1,0 persen dibanding dengan tahun terakhir Repelita V (label XII-9).

Produksi perkebunan besar swasta yang mengalami peningkatan adalah kelapa/kopra, kopi, dan inti sawit masing-masing meningkat sebesar 15,3 persen, 11,2 persen, dan 3,2 persen (Tabel XII-10). Produksi perkebunan besar negara yang meningkat adalah minyak sawit, inti sawit, gula tebu, dan kakao masing-masing sebesar 30,9 persen, 29,0 persen, 4,2 persen dan 3,7 persen dibanding dengan akhir Repelita V (label XII-11).

Selama Repelita V populasi ternak pada umumnya meningkat, kecuali kerbau dan kuda yang mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,2 persen dan 3,7 persen. Namun demikian peningkatan

XII/34

populasi ini tidak dapat mengimbangi meningkatnya permintaan daging dalam negeri, sehingga dikuatirkan dalam Repelita VI akan terjadi pengurasan populasi ternak. Untuk mempertahankan populasi ternak dan menjaga stabilitas pasar dalam negeri, diambil kebijaksanaan untuk mengadakan impor sapi bakalan guna digemukkan dan dipotong di dalam negeri. Pada tahun pertama Repelita VI seluruh populasi ternak mengalami kenaikan dibanding dengan akhir Repelita V. Kenaikan tertinggi terjadi pada ayam broiler yaitu sebesar 12,2 persen, sedangkan kenaikan paling rendah terjadi pada ternak sapi perah yaitu 0,3 persen (Tabel XII- 12). Sementara itu penyebaran bibit sapi, kerbau dan kambing/domba mengalami penurunan masing-masing 13,3 persen, 71,5 persen dan 0,5 persen dibanding tahun sebelumnya (Tabel XII - 13). Dalam upaya meningkatkan populasi dan produksi ternak, upaya inseminasi buatan amat penting, dan untuk itu diperlukan tenaga-tenaga inseminator dan vaksinator yang handal. Pada tahun pertama Repelita VI jumlah tenaga vaksinator meningkat 21,4 persen, sebaliknya jumlah tenaga inseminator malah menurun 31,3 persen, antara lain sebagai akibat terjadinya alih profesi (Tabel XII - 14)Produksi daging, telur dan susu selama awal Repelita VI menunjukkan kenaikan masing-masing sebesar 6,6 persen, 1,2 persen dan 0,3 persen dibanding akhir Repelita V (Tabel XII-15). Tingginya produksi daging antara lain karena keberhasilan PIR perunggasan dan penggemukan sapi rakyat yang telah berkembang di beberapa daerah.

Upaya peningkatan produksi perikanan ditempuh melalui pengembangan paket program intensifikasi dan ekstensifikasi, baik perikanan laut maupun perikanan darat. Usaha intensifikasi ini didukung dengan pembangunan prasarana perikanan, pengem- bangan teknologi dan penyediaan sarana produksi. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dibangun pelabuhan perikanan

XII/35

sebanyak 33 buah dan pangkalan pendaratan ikan (PPI) sebanyak 560 buah. Pembangunan/rehabilitasi saluran tambak telah mencapai sekitar 1.501 kilometer yang dapat mengairi tambak seluas sekitar 70.637 hektare. Pengembangan teknologi produksi mencakup penyediaan benur unggul, pakan ikan berkualitas tinggi, pengelolaan usaha serta teknik penangkapan ikan. Pemanfaatan sumber daya perikanan di daerah perairan ZEEI telah dilaksanakan sejak tahun 1990 dengan menggunakan sistem charter. Dengan paket deregulasi pada bulan April 1995 pemanfaatan sumber daya perikanan di daerah perairan ZEEI akan ditingkatkan melalui pengembangan usaha swasta patungan.

Perkembangan produksi perikanan pada tahun pertama Repelita VI secara keseluruhan meningkat sebesar 5,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan produksi usaha budidaya perikanan melalui tambak dan kolam mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu masing-masing sebesar 8,8 persen dan 7,0 persen. Produksi ikan laut dan ikan darat mengalami kenaikan masing-masing sebesar 5,9 persen dan 5,8 persen (label XII-16).

2) Program Peningkatan Kesempatan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja Pertanian

Tujuan program peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas tenaga kerja pertanian adalah meningkatkan dan memperluas kesempatan kerja di perdesaan seiring dengan meningkatnya efisiensi dan produktivitas tenaga kerja. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain adalah mendorong investasi di bidang agrobisnis dan agroindustri di perdesaan; menerapkan teknologi tepat guna serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja; dan mendorong realokasi sumber daya pada kegiatan yang produktivitasnya lebih tinggi.

XII/36

Dalam rangka meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian telah dilaksanakan kegiatan intensifikasi usaha tani tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan melalui penerapan teknologi tepat guna, pelatihan dan penyuluhan serta sekolah lapangan bagi petani dan kelompok tani. Penggunaan alat dan mesin pertanian seperti traktor, alat pengering padi, alat penyosoh padi, alat pembersih gabah, alat perontok padi, penggilingan padi, serta motorisasi kapal-kapal perikanan dalam tahun-tahun terakhir merupakan upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja di samping untuk mengatasi berkurangnya tenaga kerja pertanian.

Kesempatan kerja juga meningkat dengan bertambahnya kapasitas dan luas usaha pertanian. Misalnya areal sawah baru yang dicetak pada tahun pertama Repelita VI yang mencapai 30 ribu hektare, akan menciptakan banyak kesempatan kerja baru, terutama di daerah transmigrasi. Areal perkebunan juga bertambah luas terutama di luar Jawa melalui pola PIR, Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP), serta pola swadaya. Pada awal Repelita VI, luas areal perkebunan rakyat yang terdiri atas tanaman tahunan dan tanaman semusim mengalami kenaikan sebesar 2,1 persen. Pada tanaman tahunan kenaikan luas areal perkebunan rakyat terbesar adalah pada komoditas pala dan kelapa sawit, masing-masing sebesar 18,0 persen dan 12,4 persen. Selanjutnya, luas tanaman semusim yang mengalami kenaikan adalah tembakau, kapas dan sereh wangi masing-masing sebesar 14,2 persen, 7,4 persen dan 5,7 persen (Tabel XII-17).

Luas areal perkebunan besar negara mengalami kenaikan sebesar 2,1 persen. Luas areal tanaman tahunan untuk perkebunan besar negara yang mengalami kenaik-an adalah pala, kakao, kelapa sawit, dan karet masing-masing sebesar 10,7 persen, 4,5 persen, 3,4 persen,

XII/37

dan 1,6 persen. Selanjutnya luas areal tanaman semusim yang mengalami kenaikan adalah tembakau sebesar 8 persen (Tabel XII-18).

Perluasan kesempatan kerja juga didukung oleh perluasan usaha perikanan dan peternakan. Dalam usaha perikanan terdapat pertambahan jumlah perahu/kapal motor dan tanpa motor penangkap ikan yang dalam tahun 1994/95 masing-masing telah meningkat 3,3 persen dari 141.753 buah menjadi 146.380 buah dan 1,1 persen dari 247.745 buah menjadi 250.350 buah (Tabel XII-19). Jumlah Kawasan Industri Ternak (KINAK) juga berkembang, sehingga sampai awal Repelita VI mencapai 78 buah, terdiri dari PIR sapi potong 43 buah, PIR ayam ras pedaging 31 buah dan PIR ayam ras petelur 4 buah.

Perluasan dan peningkatan berbagai usaha pertanian telah menciptakan pertambahan lapangan kerja. Selama periode 1990-1994 sektor pertanian menyerap sekitar 2,4 juta angkatan kerja baru atau meningkat rata-rata sekitar 1,7 persen per tahun. Meskipun secara absolut jumlah tenaga kerja pertanian meningkat, akan tetapi jika dibandingkan dengan total tenaga kerja maka secara rela t if persentasenya mengalami penurunan. Di lain pihak produktivitas tenaga pertanian yang diukur dari produk domestik bruto rill per tenaga kerja mengalami peningkatan.

3) Program Pengembangan Ekspor Hasil Pertanian

Tujuan program pengembangan ekspor hasil pertanian adalah meningkatkan penerimaan devisa dengan meningkatkan daya saing hasil pertanian. Kegiatan pokoknya adalah meningkatkan efisiensi sistem produksi dan tataniaga hasil pertanian, memperbaiki mutu dan efisiensi pengolahan hasil, serta meningkatkan promosi dan perluasan akses pasar.

XII/38

Nilai ekspor hasil pertanian pada tahun 1994/95 mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Komoditas seperti kopi; minyak sawit dan biji kelapa sawit; lada; karet; serta produk unggas meningkat lebih dari 40 persen, yaitu masing-masing meningkat sebesar 141,4 persen; 102,0 persen; 44,3 persen; 42,4 persen; dan 71,9 persen. Beberapa komoditas lain seperti bungkil kopra; teh; tapioka dan bahan makanan lainnya; tembakau; udang, ikan dan hasil hewan lainnya;. serta kulit mengalami kenaikan masing-masing sebesar 34,5 persen, 31,5 persen, 25,7 persen, 15,8 persen, 15,3 persen, dan 20,6 persen dibandingkan tahun 1993/94.

Nilai ekspor komoditas penting seperti udang, ikan dan hasil hewan lainnya mengalami peningkatan dari US$1.499,3 juta pada tahun 1993/94 menjadi US$1.729,1 juta pada tahun 1994/95. Karet meningkat dari US$1.003,1 juta menjadi US$1.428,5. juta. Minyak sawit dan biji kelapa sawit dari US$518, 4 juta menjadi US$1.047,0 juta. Kopi mengalami peningkatan dari US$392,1 juta menjadi US$946,7 juta. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh semakin tingginya permintaan di pasar internasional.

Dilihat dari volumenya, sejalan dengan meningkatnya produksi, kemampuan untuk mengekspor hasil pertanian dan menghasilkan devisa juga meningkat. Pada awal Repelita VI, volume ekspor hasil-hasil pertanian terpenting mengalami peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan ekspor tertinggi terjadi pada ekspor kacang tanah, lada, dan minyak sawit meningkat sebesar 102,6 persen, 29,2 persen, dan 20,8 persen dibanding akhir Repelita V (Tabel XII-20). Sementara itu volume ekspor udang, ikan segar, dan karet masing-masing meningkat sebesar 1,0 persen, 2,3 persen, dan 2,5 persen (Tabel XII-21 dan Tabel XII-22). Volume ekspor daging broiler, dan DOC ayam bibit yang merupakan komoditas ekspor baru meningkat sangat pesat yaitu

XII/39

masing-masing 1.603,7 persen, dan 94,2 persen dibanding dengan akhir Repelita V (Tabel XII-23).

4) Program Pembinaan dan Pengembangan Kelembagaan Pertanian

Tujuan program pembinaan dan pengembangan kelembagaan pertanian adalah untuk menata dan membina kelembagaan pertanian guna memantapkan serta memperlancar proses pembaharuan dalam penyelenggaraan kegiatan pertanian. Program ini difokuskan pada kegiatan untuk mengembangkan kelompok tani dan koperasi pertanian; mengembangkan kemitraan usaha antara petani/koperasi dengan usaha besar BUMN/swasta; meningkatkan mutu dan kemampuan aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan; serta menata dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan di bidang pertanian.

Dalam rangka pengembangan dan pemantapan kelompok tani dan koperasi pertanian, jumlah kelompok tani yang telah dibina sampai dengan tahun pertama Repelita VI adalah sebanyak 365,5 ribu kelompok, dengan jumlah anggota sekitar 14,4 juta orang. Para anggota kelompok didorong untuk berpartisipasi aktif di dalam koperasi/KUD, sehingga tidak kurang dari 6,6 juta orang atau 45,8 persen secara formal telah menjadi anggota koperasi.

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan dilakukan berbagai upaya, antara lain melalui proyek peningkatan pendapatan petani kecil (P4K) yang telah dimulai sejak Repelita IV. Sampai dengan bulan Maret 1994 telah dibina 40.293 kelompok petani kecil (KPK) yang beranggota 20-25 orang setiap kelompok, yang pembinaannya dititikberatkan pada proses dinamika kelompok. Rencana kegiatan ekonomi kelompok dibahas dan dirumuskan oleh kelompok itu sendiri

XII/40

dengan bimbingan penyuluh sebagai fasilitator. Jumlah kredit yang telah disalurkan mencapai sekitar Rp47,5 miliar, dengan tingkat tunggakan kredit hanya 1,8 persen.

Akses para petani terhadap kredit masih sangat terbatas. Kredit usaha tani (KUT) yang disediakan pemerintah pun belum seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh petani, antara lain karena terjadinya tunggakan oleh KUD. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan dan memperluas ketersedian sumber permodalan bagi kegiatan intensifikasi mulai MT 1995 diberlakukan KUT pola khusus. Dalam penyaluran KUT pola khusus ini dapat diikutsertakan semua KUD tanpa mengkaitkan dengan masalah tunggakan kredit. Dengan kebijaksanaan ini akan dapat dilibatkan sekitar 5 ribu KUD, dari sebelumnya hanya sekitar 2 ribu KUD.

Guna mendukung pembangunan pertanian yang berorientasi agrobisnis, memasuki awal Repelita VI telah dibentuk Badan Agribisnis dilingkungan Departemen Pertanian. Dalam rangka penataan kelembagaan BUMN dilingkungan Departemen Pertanian telah dilakukan restrukturisasi BUMN dari 27 unit menjadi 9 unit, untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan keterpaduan dalam pengembangan dan diseminasi teknologi pertanian sesuai dengan kondisi fisik dan sosial ekonomi wilayah, pada awal Repelita VI telah dibentuk 17 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) regional. Khusus dalam upaya mempercepat aplikasi bioteknologi peternakan pada tahun 1994 telah dibentuk Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Jawa Barat.

5) Program Peningkatan Produksi dan Diversifikasi Pertanian

Tujuan program peningkatan produksi dan diversifikasi pertanian adalah untuk meningkatkan keanekaragaman hasil pertanian dan

XII/41

produk olahannya dalam rangka memanfaatkan peluang pasar domestik maupun internasional. Kegiatan pokoknya antara lain adalah mempercepat peningkatan produksi komoditas unggulan terutama peternakan, perikanan, dan hortikultura; mendorong perluasan areal pertanian pada lahan kering, gambut, dan pasang surut; mengembangkan sistem usahatani terpadu; serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya perairan terutama pada ZEEI.

Dalam upaya peningkatan produksi dan diversifikasi pertanian peran investasi sangat penting. Pada tahun pertama Repelita VI persetujuan penanaman modal dalam negeri di sektor pertanian mencapai Rp6,5 triliun atau meningkat 40,4 persen dibanding akhir tahun Repelita V. Sedangkan persetujuan penanaman modal asing mencapai US$743 juta atau meningkat 231,5 persen dibanding akhir tahun Repelita V.

Untuk mendorong diversifikasi komoditas, agrobisnis peternak-an, perikanan darat dan hortikultura ditumbuhkembangkan dan dipadukan dengan usaha tani yang telah ada. Pada tahun pertama Repelita VI telah dilaksanakan pengembangan tumpang sari padi gogo varietas baru seperti Gajah Mungkur, dan Way Rarem pada areal perkebunan rakyat. Tanaman nenas telah pula dikembangkan sebagai tumpang sari pada PIR perkebunan kelapa hibrida di propinsi Riau seluas 4.500 hektare, yang sekaligus dilengkapi dengan pabrik untuk mengolah kelapa dan nenas.

Pada areal persawahan beririgasi teknis telah dikembangkan budidaya mina padi yang pada tahun pertama Repelita VI telah mencapai 133.750 hektare. Budidaya mina padi terus berkembang berkat berhasilnya program PHT yang meminimalkan penggunaan pestisida pada tanaman padi. Untuk komoditas pertanian yang mengalami kelebihan produksi seperti cengkeh, pada tahun pertama

XII/42

Repelita VI telah dilanjutkan upaya penggantian tanaman cengkeh pada perkebunan rakyat seluas 15 ribu hektare dengan tanaman lain seperti kopi dan jambu mete.

Dalam rangka mengembangkan usaha ekonomi rakyat berskala ekonomi guna mendorong perkembangan agrobisnis di perdesaan, pada tahun pertama Repelita VI telah disalurkan paket terpadu pengembangan tanaman pangan untuk 137 ribu hektare, perkebunan 9.500 hektare, peternakan terdiri atas unggas sebanyak 417 ribu ekor dan kambing/domba sebanyak 85 ribu ekor, perikanan 237 unit kapal dan alat tangkap, serta 764 unit pengembangan budidaya perikanan. Guna meningkatkan intensitas pemanfaatan pekarangan telah dibina 1.250 kelompok wanita tani (KWT) yang didukung oleh penyediaan 25 ribu paket pengembangan pekarangan.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pertanian

Program ini bertujuan meningkatkan keahlian dan keterampilan bagi penyuluh pertanian, petugas unit pelayanan dan pengembangan, melalui kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan lapangan.

Pada tahun pertama Repelita VI telah dibina kelompok tani dan nelayan sebanyak 265.523 kelompok termasuk wanita tani sebanyak 5.695 kelompok dan taruna tani sebanyak 7.071 kelompok. Penyuluh pertanian berjumlah 39.860 orang yang terdiri atas 2.320 orang penyuluh pertanian spesialis (PPS) dan 37.540 orang penyuluh pertanian lapangan (PPL). Dalam proses penyuluhan dan peningkatan swadaya masyarakat peran Kontak Tani Nasional Andalan (KTNA) yang berjumlah 95 orang semakin penting.

XII/43

Pendidikan pertanian pada tahun pertama Repelita VI telah menghasilkan 227 orang Diploma 3 dan 96 orang Diploma 4 lulusan Sekolah Tinggi Perikanan (STP), 685 orang lulusan Akademi Penyuluhan Pertanian (APP), dan 10.497 orang lulusan Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP).

2) Program Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan, penguasaan dan penerapan teknologi pertanian. Kegiatan penelitian yang menghasilkan teknologi pertanian merupakan salah satu komponen pokok dalam rangka peningkatan produktivitas, mutu hasil dan keberlanjutan sistem pertanian. Diseminasi teknologi dilaksanakan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pertanian. Agar penelitian dan pengembangan pertanian menghasilkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, pada tahun pertama Repelita VI kegiatan yang partisipatif seperti on farm research lebih ditingkatkan. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI penelitian di bidang tanaman pangan telah menghasilkan 70 varietas padi, 18 varietas kedele dan 12 varietas kacang tanah. Di bidang peternakan telah dihasilkan teknologi pakan melalui pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri, vaksinasi penyakit tetelo melalui pakan, budidaya kelinci Rex yang menghasilkan kulit bulu kualitas ekspor, dan teknologi alih janin (embryo transfer) pada ternak sapi. Di bidang perikanan telah dihasilkan teknologi perbenihan bandeng, teknik ablasi pada perbenihan udang, inovasi produksi benur dan nener skala rumah tangga (backyard hatchery). Di bidang perkebunan telah dihasilkan 2 varietas kelapa sawit, 2 klon baru kakao, 2 klon unggul kopi dan 3 varietas kapas. Penelitian alat dan mesin pertanian sederhana telah menghasilkan alat pembuat briket urea dan aplikator urea tablet.

XII/44

TABEL XII — 2PERKEMBANGAN HASIL RATA—RATA DAN LUAS PANEN PADI PROGRAM INTENSIFIKASI1)

1968, 1989 — 1993,1994(ribu ton)

XII/45

XII/46

XII/47

TABEL XII — 4PERKEMBANGAN HASIL RATA—RATA PADI PER HA 1)

1968, 1989 — 1993, 1994(ton per ha) 2)

Awal Repelita V Repelita VINo. Daerah PJP—I

(1968) 1989 1990 1991 1992 19933)

19944)

1. Jawa 2,43 4,96 5,02 5,09 5,09 5,13 5,13

2. Luar Jawa 1,81 3,49 3,54 3,59 3,60 3,62 3,62

3. Indonesia 2,13 4,25 4,30 4,35 4,34 4,37 4,35

1) Angka tahunan2) Dalam gabah kering giling3) Angka diperbaiki4) Angka sementara

XII/48

TABEL XII — 5PERKEMBANGAN PENGGUNAAN PUPUK PADA PROGRAM TANAMAN PANGAN1)

1968, 1989 — 1993, 1994(ton zat Hara)

Awal PJP—I

Repelita V Repelit

a VINo. Jenis Pupuk

(1968) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. N 95.000 1.496.649 1.345.000

1.360.000

1.356.276

1.271.602

1.261.582

2. P205 24.400 601.282 528.000

557.000 450.016

416.341

97.937

3. K20 400 289.397 126.000

267.000 96.260 59.366 351.687

Jumlah 119.800 2.387.328 1.999.000

2.184.000

1.902.552

1.747.309

1.711.206

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/49

XII/50

TABEL XII — 7PERKEMBANGAN LUAS PANEN,

PRODUKSI DAN HASIL RATA—RATA HORTIKULTURA 1)

1968, 1989 — 1993, 1994

Awal Repelita V

Repelita VINo. Uraian Satuan PJP—I

(1968) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. Luas panen :Sayuran ribu ha 660 1.487 828 885 855 842 849Buah—buahan ribu ha 488 598 698 753 561 460 511

2. Produksi :Sayuran ribu ton 1.791 4.935 4.644 5.518 6.633 6.586 6.612Buah—buahan ribu ton 2.272 4.526 5.484 5.869 5.608 5.629 5.619

3. Hasil rata—rata :Sayuran Kuintal/ha 29,85 33,18 56,09 62,35 77,58 78,25 77,89Buah—buahan kuintal/ha 46,56 75,66 78,57 77,94 99,96 122,34 110,01

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/51

TABEL XII - 8PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN RAKYAT 1)

1968, 1989 - 1993, 1994(ribu ton)

Awal Repelita V Repelita VINo. Jenis Komoditi P IP - I

(1968) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 19943 3)

1. Karat 531,0 853,0 913,0 919,0 1.030,4 1.102,0 1.117,8

2. Kelapa/kopra 1.131,0 2.193,0 2.313,0 2.317,0 2.426,0 2.557,9 2.578,9

3. Kopi 144,0 377,0 384,0 390,0 408,8 410,0 416,0

4. Te h 33,0 25,0 31,0 32,0 31,8 36,6 37,8

5. C e n g k e h 17,0 53,0 64,0 82,0 70,3 65,7 66,8

6. La d a 47,0 68,0 70,0 69,0 64,9 65,7 67,4

7. Tembakau 54,0 77,0 152,0 157,0 109,6 118,9 136,7

8. Gula tebu 203,0 1.621,0 L609,0 1.610,0 1.652,7 1.684,6 1.689,5

9. Ka p a s 4) - 38.374,0 32.857,0 13.443,0 12.670,0 13.772,0 15.304,0

10. M a t o 0,5 68,3 97,4 118,4 145,6 187,5 196,2

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Dalam ton

XII/52

TABEL XII - 9

PERKEMBANGAN AREAL TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI 1)

1978, 1989 - 1993, 1994(Hektare)

Akhir Repelita V

Repelita VINo. Lokasi Repelita

(1978) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. Jawa Barat 4) 6.086 13.857 13.296 13.665 14.705 14323 12.004

2. Jawa Tengah 4) 19.352 68.660 68.664 68358 66327 64.448 71.020

3. D.I. Yogyakarta 4) 2.509 6.387 6.410 6.621 6.744 6.787 4.709

4. Jawa Timur 4) 49.685 131.021 132.128

136.660 140.701 152.336 152.855

5. Sumatera Utara 5) - 584 482 625 1.861 1.640 1.910

6. Lampung 6) - 3.884 3.894 4.569 6.236 9.166 7.903

7. Kalimantan Selatan 7)

- 5.656 5.665 5.296 6.252 6.188 6.738

8. Sumatera Selatan 8) - - 5 240 193 982 1.268

Jumlah 77.632 230.049 230.544

236.034 243.019 255.870 258.407

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Mulai tahun 19755) Mulai tahun 19856) Mulai tahun 19867) Mulai tahun 19888) Mulai tahun 1990

XII/53

TABEL XII — 14P E R K E M B A N G A N JUMLAH TENAGA INSEMINATOR DAN VAKSINATOR 1)

1973, 1989 — 1993, 1994(orang)Akhir Repelita V Repelita VI

No. Jenis Tenaga Repelita I(1973) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1.Kader peternak 782 6.900 6.900 9.927 11.439 12.542 13.731

2.Inseminator 26 2.717 2.890 3.860 4.232 4.497 3.090

3.Laboratori/diagnostik 14 669 805 907 957 943 929

4. Vaksinator - 6.568 7.485 7.987 &087 10.293 12.499

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/58

TABEL XII — 16PERKEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN 1)

1968, 1989 — 1993, 1994(ribu ton)Awal Repelita V Repelita VI

No. Jenis hasil PJP—I(1968) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. Ikan laut 723 2.272 2.370 2.505 2.692 2.886 3.056

2. Ikan darat 437 765 793 807 851 909 962

Usaha Budidaya 117 451 496 510 541 574 616— Tambak 45 258 287 293 337 355 387— Kolam 53 113 121 127 117 142 152— Sawah 19 80 88 90 87 77 77

Perairan Umum 320 314 297 297 310 335 347

Jumlah 1.160 3.037 3.163 3.312 -3.543 3.795 4.018

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/60

XII/61

TABEL XII — 19PERKEMBANGAN JUMLAH PERAHU/KAPAL PERIKANAN LAUT 1)

1968, 1989 — 1993, 1994(buah)Awal Repelita V Repelita VI

No. Jenis Perahu/Kapal PJP —I(1968) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. Perahu/kapal motor 5.707 116349 119.686 122.609 129.523 141.753 146380

2. Perahu tanpa motor 278.206 '218.023 225359 226.610 229.383 247.745 250350

Jumlah 283.913 334.372 345.045 349.219 358.906 389.498 396.730

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementaraX

II/63

TABEL XII - 20PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL PERTANIAN TERPENTING 1)1968,1989 - 1993, 1994(ribu ton)

Awal Repelita V Repelita VINo. Jenis Produksi P IP - I

(1968) 1989 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. Karet 770,9 1.151,8 1.077,3 1.220,0 1325,6 1.214,6 1.244,92. Minyak sawit 152,4 917,2 973,6 1.167,7 1.030,3 1.632,0 1.971,73. T e h 20,2 114,7 110,9 110,2 121,2 123,9 84,94. K o p i 84,7 357,4 421,8 380,6 249,8 349,9 289,35. L a d a 24,6 42,8 48,4 50,3 61,4 27,7 35,86. Tembakau 8,2 17,4 17,4 22,4 28,4 37,3 30,97. Udang (segar/awetan) 2,9 77,2 94,0 95,6 100,5 98,6 99,58. Ikan segar 3,4 81,7 107,9 84,0 95,0 262,1 268,29. Kulit ternak 5,4 2,3 2,8 1,6 1,5 1,3 1,410. Jagung 91,0 233,9 136,6 33,2 149,7 52,1 34,111. Kacang tanah 9,5 0,7 0,3 0,2 0,7 1,3 2,512. Gaplek/Ubi Kayu 162,0 1.194,7 3.603,9 2.379,4 873,4 925,0 684,9

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/64

TABEL XII - 21PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL PERIKANAN 1)

1968, 1989 - 1993, 1994(ton)Awal Repelita V Repelita VI

No. Jenis Komoditi PJP-I(1968) 1989 1990 1991 1992 2) 1993 2) 1994 3)

1. Udang segar/awetan 2.902 77.190 94.037 95.627 100.455 98.569 99.523

2. Ikan segar 3.416 81.689 107.851 83.985 94.976 262.093 268.214

3. K a t a k - 4.570 3.916 5.082 5.630 4.912 3.858

4. Ikan hiss 23 1.624 1.827 2.322 2.593 3.161 3.232

5. Ubur-ubur 1.935 5.668 2.222 4.210 2.610 3.834 4.038

6. Lainnya 13.376 57.849 110388 217.817 215.103 156.644 141.705

Jumlah 21.652 228.590 320.241 409.043 421367 529.213 520.570

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/56

TABEL XII - 23PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL TERNAK 1)

1968, 1989 - 1993, 1994(ton)Awal Repelita V Repelita VI

No. Jenis Hasil Ternak PJP-I(1968) 1984 1990 1991 1992 1993 2) 1994 3)

1. K u l i t : (ton) 5355,6 2.300,2 2.821,7 1.572,7 1.457,4 1.268,2 1385,7S a p i 1.462,0 1.624,3 1.537,6 1.056,1 1.080,3 975,8 969,6K e r b a u 696,7 7,5 0,4 6,3 24,9 21,8 77,2K a m b i n g 2.037,1 340,2 239,0 168,9 99,5 68,4 134,4D o m b a 1.159,8 328,2 1.044,7 341,4 252,7 202,2 204,5

2. Tulang dan tanduk (ton) 8351,0 5.277,0 4.990,9 4.124,9 2.506,9 2.178,8 2.747,9

3. DOC ayam bibit (ribu ekor) _ 198,2 800,2 701,9 240,9 63,8 123,9

4. Daging ayam broiler (ribu ton) _ - 141,2 213,4 718,0 63,6 1.103,3

5. B a b i (ribu ekor) _ 66,0 160,0 284,0 211,2 185,4 154,8

6. Bulu bebek (ton) _ 171,0 52,8 195,7 273,9 222,9 250,5

7. Telur bebek (ribu butir) _ 4.381,4 761,4 1.756,3 634,0 7,3 5,4

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XII/67

3) Program Pengembangan Transmigrasi

Program ini bertujuan untuk mendukung pengembangan pertanian di daerah permukiman dan lingkungan transmigrasi. Dalam Repelita VI ditekankan pengembangan transmigrasi pola agro-estate dengan komoditas andalan berskala ekonomi yang mempunyai peluang pasar dan sesuai dengan agroekosistem setempat.

Sampai dengan Maret 1994 transmigrasi pola PIR-Trans yang dimulai sejak tahun 1986, telah direalisir sekitar 419.074 hektare, yang terdiri. dari plasma 297.056 hektare dan inti 122.018 hektare, dengan jumlah KK yang ditempatkan sebanyak 108.072 KK. Lokasi PIR-Trans diutamakan di 11 propinsi di luar Jawa dengan komoditas kelapa sawit, kelapa hybrida dan kakao.

Dengan program transmigrasi pola pangan, pada tahun pertama Repelita VI, telah ditempatkan 250.575 KK dengan potensi perluasan areal pertanian sekitar 625 ribu hektare, yang terdiri dari lahan pekarangan dan lahan usaha.

C. PENGAIRAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI

GBHN 1993 mengamanatkan bahwa air, tanah, dan lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk keperluan permukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan dan kelistrikan, serta prasarana pembangunan lainnya. Pembangunan pengairan dilakukan pula

XII/68

dengan pendekatan terpadu sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan hidup, berkembangnya pembangunan wilayah dan daerah, serta berkembangnya perindustrian dan sektor ekonomi lainnya, yang semuanya ini membutuhkan sumber daya air sebagai keperluan hidup dan pendukung pembangunan.

Dalam Repelita VI, pembangunan pengairan diarahkan pada penyediaan air yang memadai bagi permukiman, pertanian, industri, pariwisata, 'kelistrikan, dan keperluan lainnya. Dalam rangka ini, sasaran pembangunan pengairan pada akhir Repelita VI adalah tersedianya sumber daya air sekitar 210 meter kubik per detik bagi permukiman untuk mencakup sekitar 72 persen dari jumlah penduduk, sekitar 3.700 meter kubik per detik untuk mengairi sawah seluas 6.200 ribu hektare, sekitar 380 meter kubik per detik untuk mengairi tambak seluas 370 ribu hektare, sekitar 20 meter kubik per detik untuk mengairi padang penggembalaan ternak seluas 50 ribu hektare, dan sekitar 110 meter kubik per detik untuk sektor industri serta pariwisata.

Untuk menunjang sasaran penyediaan sumber daya air tersebut, sasaran pembangunan fisik selama Repelita VI adalah terwujudnya pembangunan sejumlah prasarana pengairan, seperti waduk, bendung, dan saluran irigasi berikut penyiapan lahan sawah yang diperlukan, pengembangan daerah rawa, dan tambak, serta untuk pembangkit tenaga listrik. Sasaran lain adalah terselenggaranya pengendalian sungai, termasuk pengendalian banjir dan pengamanan daerah pantai.

Kebijaksanaan yang ditempuh untuk mencapai berbagai sasaran pembangunan pengairan dalam Repelita VI pada pokoknya adalah meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengalokasian air, memantapkan prasarana pengairan, meningkatkan pemanfaatan

XII/69

sumber daya air, mengendalikan kerusakan lingkungan hidup, dan memantapkan kelembagaan pengairan.

Untuk mencapai sasaran dan melaksanakan kebijaksanaan pembangunan pengairan tersebut di atas, dilaksanakan lima program pokok dan lima program penunjang. Program pokok terdiri atas program pengembangan dan konservasi sumber daya air; program penyediaan dan pengelolaan air baku; program pengelolaan sungai, danau, dan sumber air lainnya; program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi; program pengembangan dan pengelolaan daerah rawa. Adapun program penunjang terdiri atas program pendayagunaan dan pengembangan kelembagaan; program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; program penyelamatan hutan, tanah, clan air; program pembinaan daerah pantai; serta program penelitian dan pengembangan teknologi pengairan.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

Dalam Repelita VI pembangunan pengairan menggunakan pendekatan wilayah sungai sebagai batasan perencanaan dan pengembangan sumber daya air. Dengan pendekatan tersebut, pengembangan, pengelolaan, dan alokasi sumber daya air pada masing-masing wilayah sungai akan dapat dilaksanakan secara terpadu sesuai dengan tuntutan permasalahannya.

Dalam tahun pertama Repelita VI, pembangunan pengairan telah meningkatkan penyediaan air dengan selesainya pembangunan beberapa waduk, embung, saluran pembawa, dan bendung termasuk bendung karet di beberapa tempat. Upaya tersebut telah meningkatkan penyediaan air baku untuk permukiman, industri, dan pariwisata dengan sekitar 25 persen, yaitu dari sebesar 155 meter kubik per detik

XII/70

pada akhir Repelita V menjadi 194 meter kubik per detik. Di samping itu, pembangunan pengairan juga telah meningkatkan produktivitas lahan pertanian melalui perbaikan dan rehabilitasi jaringan irigasi, serta menambah areal produksi pertanian melalui pembangunan jaringan irigasi, pencetakan sawah, dan pengembangan daerah rawa secara lebih intensif. Selanjutnya, juga telah dilakukan upaya pengendalian banjir termasuk banjir lahar, sehingga meningkatkan rasa aman masyarakat dari ancaman bencana banjir. Adapun kegiatan pembangunan pada tahun pertama Repelita VI dalam masing-masing program adalah sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pengembangan dan Konservasi Sumber Daya Air

Kegiatan program ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan sumber daya air melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas prasarana pengairan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di perdesaan dan daerah terisolasi. Upaya meningkatkan keandalan penyediaan air di musim kemarau untuk permukiman, pertanian, dan keperluan lainnya, antara lain dilaksanakan dengan pembangunan waduk berbagai ukuran. Pembukaan lahan baru untuk pertanian serta pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri, juga telah meningkatkan tuntutan penyediaan air.

Pada tahun pertama Repelita VI, telah dilakukan penyelesaian pembangunan 3 unit waduk yaitu Tiu Kulit, Mamak, dan Pengga di NTB. Selain itu juga dilanjutkan pembangunan beberapa waduk yang akan berfungsi multi guna, yaitu Waduk Bili-Bili dan Kalola di Sulawesi Selatan, Pondok di Jawa Timur, Sermo di Yogyakarta, dan

XII/71

Batutegi di Lampung. Juga telah dimulai pelaksanaan pembangunan Waduk Wonorejo di Jawa Timur, dan dilanjutkan pekerjaan persiapan pembangunan Waduk Jatigede di Jawa Barat, Pandanduri Swangi, Pelaparado, Gapit, dan Sumi di NTB. Kecuali itu dilakukan pula rehabilitasi waduk yang telah lama beroperasi untuk meningkatkan efisiensi dan keamanannya, antara lain Waduk Jatiluhur dan Darma di Jawa Barat, serta Cacaban, Nglangon, dan Penjalin di Jawa Tengah. Telah dibangun pula embung-embung untuk keperluan pertanian, peternakan, dan air minum perdesaan sebanyak 33 unit di daerah yang relatif terbatas ketersediaan airnya, yang sebagian besar berlokasi di NTB dan NTT. Pembangunan tersebut menambah jumlah waduk menjadi 43 unit, dan jumlah embung menjadi 197 unit (Tabel XII-24).

Untuk pengembangan serta pengaturan alokasi air secara terpadu, pada tahun pertama Repelita VI dilaksanakan penyusunan rencana pengembangan dan konservasi sumber daya air pada 5 wilayah sungai, antara lain di wilayah sungai Pemali-Comal di Jawa Tengah, serta Cimanuk dan Citarum di Jawa Barat. Selain itu, untuk mewujudkan pengelolaan sumber air secara efektif dan efisien, telah dirintis pembentukan unit pengelola sumber air pada beberapa wilayah sungai, antara lain di S.Cisanggarung di Jawa Barat dan S.Opak di Yogyakarta.

2) Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku

Program ini ditujukan untuk meningkatkan penyediaan air baku untuk permukiman, industri, pariwisata, dan keperluan lainnya, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Dalam tahun pertama Repelita VI, telah dilaksanakan pembangun-an waduk muara di Bali dan 8 unit bendung serta pembangunan 47 kilometer saluran pembawa air baku (Tabel XII-24) antara lain

XII/72

untuk permukiman dan pariwisata di Nusa Dua, Bali; industri dan permukiman di kota Jakarta, Semarang, dan Surabaya; serta persiapan pembangunan bendung dan saluran pembawa air baku untuk zona industri Cilegon. Di samping itu, dilaksanakan pula rehabilitasi dan pemeliharaan saluran pembawa air baku untuk kota Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin.

3) Program Pengelolaan Sungai, Danau, dan Sumber Air Lainnya

Program ini ditujukan untuk melestarikan kondisi dan fungsi sumber air sekaligus menunjang daya dukung lingkungannya serta meningkatkan nilai manfaatnya. Dalam rangka itu, berbagai prasarana pengendali telah dibangun untuk mengamankan daerah permukiman dan sentra produksi dari daya rusak air.

Dalam tahun pertama Repelita VI dilaksanakan kegiatan perbaikan dan pengendalian alur sungai pada beberapa ruas sungai yang dianggap kritis, dengan pembangunan prasarana pada ruas sungai sepanjang sekitar 400 kilometer (Tabel XII-24), antara lain berupa waduk tunggu, tanggul, perbaikan alur, perkuatan tebing, saluran banjir, dan pompa. Kegiatan tersebut ditujukan untuk meningkatkan perlindungan dari bahaya banjir pada areal seluas sekitar 45 ribu hektare di daerah perkotaan antara lain di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung, serta daerah produksi pertanian di sepanjang sungai antara lain Bengawan Solo, Brantas, Citanduy, Cimanuk, Indragiri, dan Batanghari. Pembangunan berbagai prasarana tersebut telah meningkatkan luas areal yang diamankan dari bencana banjir dari sekitar 1,99 juta hektare pada akhir Repelita V menjadi 2,03 juta hektare (Tabel XII-24). Selanjutnya, dalam mengatasi bencana banjir lahar akibat letusan C. Merapi pada bulan Nopember 1994, telah diselesaikan pembangunan Baru 3 unit

XII/73

bangunan pengendali dan kantung lahar, dan peningkatan 1 unit prasarana yang ada. Kegiatan lain adalah pembangunan bangunan pengendali di G. Semeru dan G. Kelud.

Selanjutnya, dilaksanakan pula operasi dan pemeliharaan pada sungai sepanjang kurang lebih 920 kilometer (Tabel XII-24), khususnya yang termasuk dalam Program Kali Bersih, antara lain pada sungai-sungai Krueng Aceh di Aceh, Ciliwung dan Mookervaart di Jakarta, Kapuas di Kalimantan Barat, Mahakam di Kalimantan Timur, serta Tukad Badung di Bali. Kegiatan operasi dan pemeliharaan itu mencakup pula bangunan persungaian dan pengendali banjir yang telah dibangun, serta 5 danau yang kondisinya sudah kritis dan memerlukan perhatian untuk pelestariannya (Tabel XII-24), antara lain pada danau Toba di Sumatera Utara, Sidenreng di Sulawesi Selatan, dan Limboto di Sulawesi Utara.

4) Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi

Kegiatannya ditujukan untuk mendukung upaya memperta-hankan kemandirian di bidang pangan, khususnya beras, dan menunjang peningkatan produksi pertanian lainnya, dengan tersedianya prasarana irigasi yang mantap.

Pada tahun pertama Repelita VI dilaksanakan pembangunan jaringan irigasi baru seluas 85 ribu hektare (label XII-24), pada lahan tadah hujan maupun pembukaan lahan baru, antara lain di daerah irigasi Komering di Sumatera Selatan, Riam Kanan di Kalimantan Selatan, Pengga di NTB, Lembor dan Mautenda di NTT, Langkeme dan Bila di Sulawesi Selatan. Pembangunan tersebut meliputi saluran primer dan saluran sekunder sepanjang 690 km, bendung 39 unit, serta pencetakan sawah baru seluas 30 ribu hektare (label XII-24).

XII/74

Selanjutnya, pembangunan jaringan irigasi air tanah telah dilaksana-kan pada daerah pertanian yang sulit terjangkau oleh irigasi konvensional, khususnya pada daerah yang sumber air permukaannya terbatas, sekaligus untuk menyediakan air minum perdesaan, antara lain di Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Di samping itu, untuk mengembalikan kinerja jaringan irigasi yang mengalami kerusakan akibat umur atau terkena bencana, dilaksanakan rehabilitasi pada areal seluas 140 ribu hektare (Tabel XII-24), antara lain pada daerah irigasi di propinsi D.I. Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Untuk memelihara produktivitas lahan persawahan, dilaksana- kan upaya untuk mempertahankan pemeliharaan kinerja prasarana irigasi yang sudah dibangun melalui kegiatan operasi dan pemeliharaan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada jaringan irigasi seluas 5.728.735 hektare yang mencakup saluran primer dan sekunder sepanjang 3.726 kilometer (Tabel XII-24), antara lain di Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I.Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.

Sementara itu, untuk meningkatkan produksi pertanian yang mengalami penurunan akibat terjadinya kemarau panjang, dimulai kegiatan perbaikan dan peningkatan sistem irigasi perdesaan seluas 150 ribu hektare di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Upaya tersebut selain untuk meningkatkan produktivitas juga sekaligus untuk meningkatkan pendapatan petani. Dalam pelaksanaan fisiknya dipakai pola baru yang melibatkan petani secara langsung, sehingga bertambah kuat rasa kepemilikan petani terhadap sistem irigasi desanya.

XII/75

5) Program Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Rawa

Program ini ditujukan untuk menyediakan lahan produksi, baik untuk pertanian maupun perikanan darat, melalui pengaturan tata air daerah rawa. Lahan reklamasi rawa kecuali dimanfaatkan bagi areal produksi tanaman pangan, khususnya di lokasi transmigrasi, di beberapa lokasi juga dikembangkan untuk tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit dan kelapa hibrida.

Pada tahun pertama Repelita. VI, dilakukan peningkatan tata saluran drainasi rawa pasang surut dan rawa non pasang surut seluas 113 ribu hektare (Tabel XII-24), terdiri atas peningkatan saluran primer dan saluran sekunder sepanjang 714 km, antara lain di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya. Peningkatan tata saluran tambak mencakup areal seluas 3.100 hektare, terdiri atas saluran primer sepanjang 60 kilometer dan dilaksanakan antara lain di Aceh, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

b. Program Penunjang

1) Program Pendayagunaan dan Pengembangan Kelembagaan Pengairan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pengairan. Pengembangan kelembagaan telah dilakukan untuk meningkatkan keterpaduan dalam penanganan sumber daya air. Dalam upaya ini termasuk restrukturisasi Direktorat Jenderal Pengairan yang semula mengacu pada bidang tugas secara fungsional menjadi penanganan berdasarkan kewilayahan, pembentukan unit

XII/76

pengelola air di beberapa wilayah sungai, serta pengembangan panitia irigasi menjadi panitia pengairan.

Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pengairan, dicerminkan dalam keikutsertaannya dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) sebagai pelaksanaan dari Inpres Nomor 1 Tahun 1969 serta UU Nomor 11 Tahun 1974 dan PP Nomor 23 Tahun 1982 terus diperluas di berbagai daerah. Realisasi penerapan IPAIR pada tahun pertama Repelita VI mencapai areal seluas 752.524 hektare, mencakup 6.787 Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT. Dengan demikian secara kumulatif sampai dengan akhir tahun pertama Repelita VI program IPAIR sebagai bentuk partisipasi masyarakat telah mencakup secara keseluruhan areal seluas 1.477.350 hektare dan diikuti oleh 12.731 P3A.

Di samping itu, telah diserahkan pengelolaan jaringan irigasi skala kecil dengan luas kurang dari 500 hektare per area yang tersebar di berbagai propinsi mencapai luas total 144.369 hektare kepada 1.846 kelompok tani.

2) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pengairan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pengembangan sumber daya air, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya melakukan efisiensi penggunaan air. Untuk itu telah diselenggarakan berbagai bentuk pendidikan formal, kursus, penataran, serta pelatihan, baik

XII/77

di pusat maupun di daerah. Dalam tahun pertama Repelita VI, telah dilaksanakan berbagai kursus dan kursus singkat yang diikuti oleh tenaga pelaksana pembangunan serta pendidikan sebanyak 119 orang dari berbagai institusi di luar dan di dalam negeri. Kegiatan lain adalah penyuluhan manajemen pengelolaan air yang diikuti oleh 436 kelompok tani.

3) Program Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air

Program ini bertujuan untuk menjaga kualitas lingkungan daerah aliran sungai guna menjaga kelestarian sumber air dan meningkatkan kualitas air sehingga aman bagi kesehatan masyarakat, serta menjaga kualitas lingkungan hidup. Program ini dilaksanakan terkait dengan kegiatan pengembangan dan konservasi sumber daya air, khususnya dalam memelihara dan memperbaiki daerah tangkapan air di sekitar waduk. Selain itu, program ini terkait dengan upaya menjaga kondisi alur sungai dari pengaruh erosi maupun sedimentasi.

4) Program Pembinaan Daerah Pantai

Program ini ditujukan untuk meningkatkan pelestarian fungsi ekosistem pantai dan mengendalikan kerusakan lingkungan pantai, sekaligus mengamankan daerah pariwisata, sentra produksi, daerah padat pembangunan, dan daerah potensial lainnya dari ancaman abrasi pantai. Dalam tahun pertama Repelita VI, telah dilaksanakan kegiatan untuk mengamankan pantai sepanjang 6 kilometer (Tabel XII-24), antara lain untuk melindungi kawasan wisata Sanur, Gianyar, Buleleng, dan Klungkung di Bali, serta prasarana dan sarana perkotaan seperti jalan dan bangunan pasar di Manado, Gorontalo, dan Sangir Talaud.

XII/78

5) Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengairan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya air melalui pengembangan dan penguasaan iptek. Dalam tahun pertama Repelita VI, kegiatannya meliputi inventarisasi sungai serta sumber air lainnya, penelitian pemanfaatan air tanah, penelitian daur ulang limbah rumah tangga, penelitian dan pengembangan pompa air dengan teknologi kincir angin, pengkajian pengembangan turbin hidro dan bendung karet, serta pengembangan kriteria kerja keamanan bendungan.

D. KEHUTANAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI

Dalam Repelita VI sasaran utama pembangunan kehutanan adalah terpeliharanya hutan alam yang masih utuh seluas 92,4 juta hektare. Hal itu berarti pula terpeliharanya potensi hutan alam yang utuh sehingga menghasilkan produksi yang maksimum dan lestari. Sejalan dengan itu semua, penduduk miskin di sekitar dan di dalam hutan meningkat pula kesejahteraannya.

Sasaran produksi kayu bulat selama Repelita VI adalah sekitar 188,3 juta meter kubik atau rata-rata sekitar 37,67 juta meter kubik per tahun. Produksi kayu bulat tersebut bersumber dari hutan alam produksi tetap dengan rata-rata produksi per tahun sekitar 22,53 juta meter kubik, hutan alam konversi 3,72 juta meter kubik, hutan tanaman 2,71 juta meter kubik, dan hutan tanaman rakyat serta kebun rakyat sekitar 8,71 juta meter kubik.

XII/80

Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, kebijaksanaan pembangunan kehutanan pada pokoknya meliputi upaya untuk memantapkan kawasan hutan dan meningkatkan mutu serta produktivitas hutan negara dan hutan rakyat; meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan dan hasil hutan; meningkatkan peran serta masyarakat dan menanggulangi kemiskinan sekitar hutan serta meningkatkan pendapatan daerah tertinggal; meningkatkan peran serta koperasi, usaha menengah, kecil, dan tradisional dalam pembangunan kehutanan; melestarikan hutan sebagai pelindung lingkungan hidup dan ekosistem; dan meningkatkan kemampuan pengelolaan hutan di daerah.

Untuk mencapai sasaran serta melaksanakan kebijaksanaan tersebut di atas disusun program pembangunan, yang terdiri atas program pokok dan program penunjang. Program pokok meliputi program pemantapan kawasan hutan dan peningkatan produktivitas hutan alam; program pembangunan hutan tanaman baru; program pengembangan usaha perhutanan rakyat; serta program pengembangan usaha pengolahan hasil hutan. Sedangkan program penunjang terdiri atas 10 program yaitu program penataan ruang; program penataan pertanahan; program inventarisasi dan evaluasi sumber alam dan lingkungan hidup; program penyelamatan hutan tanah dan air; program rehabilitasi lahan kritis; program pembinaan daerah pantai; program penelitian dan pengembangan kehutanan; program pengembangan usaha menengah dan kecil; program pengerahan dan pembinaan transmigrasi dan perambah hutan; serta program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kehutanan.

XII/81

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

Kegiatan pembangunan kehutanan yang dilakukan pada tahun pertama Repelita VI ditekankan pada pencapaian target pemantapan kawasan hutan tetap, peningkatan pengawasan pengelolaan hutan alam dan proses pengolahan hasil hutan serta pemantapan upaya pengelolaan kawasan konservasi. Target produksi dan ekspor hasil hutan berupa kayu dan kayu olahan tidak dapat tercapai pada tahun pertama Repelita VI karena adanya penurunan harga kayu lapis di pasaran internasional yang mempengaruhi pula volume produksi dalam negeri. Sementara itu pengetatan pengawasan pengelolaan hutan alam telah menurunkan jumlah HPH dan mendorong pengelolaan terpadu antara swasta dan BUMN kehutanan. Pengelolaan kawasan konservasi terus dimantapkan melalui konsep keterpaduan dan mitra sejajar antara masyarakat, swasta dan pemerintah daerah. Di bawah ini uraiannya menurut masing-masing program.

a. Program Pokok

1) Program Pemantapan Kawasan Hutan dan Peningkatan Produktivitas Hutan Alam

Tujuan program pemantapan kawasan hutan dan peningkatan produktivitas hutan alam adalah untuk meningkatkan pemantapan kawasan hutan produksi tetap dan produktivitas hutan alam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri akan hasil hutan secara lestari. Kegiatan pokok yang dilaksanakan adalah memantapkan lokasi kawasan hutan produksi, dan memantapkan pengelolaan hutan produksi secara lestari.

XII/82

Dalam rangka pemantapan kawasan hutan, telah dilakukan upaya inventarisasi hutan, pemetaan, pembuatan Permanent Sample Plot (PSP) dan Temporary Sample Plot (TSP), tataguna dan pengukuhan kawasan hutan, dan telah tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Sampai dengan tahun pertama Repelita VI inventarisasi hutan yang telah dilaksanakan melalui citra satelit mencapai luas 220 juta hektare, atau naik 15,8 persen dibanding dengan akhir Repelita V (Tabel XII-25). Pembuatan temporary sample plots dan permanent sample plots mencapai 1.914 cluster. Inventarisasi potensi di kawasan hutan telah dilaksanakan seluas 97,75 juta hektare. Demikian pula telah dilakukan pembuatan peta berbagai fungsi lahan dari citra satelit dan potret udara. Telah ulang penetapan TGHK telah dilakukan di 22 propinsi di luar Pulau Jawa dengan hasil penunjukan kawasan konservasi seluas 2.398 ribu hektare, dan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 2.013 ribu hektare. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI luas hutan yang mengalami proses tukar menukar adalah 149.577 hektare, mengalami proses pinjam pakai seluas 597:169 hektare, dan pencadangan areal HPH kayu dan non kayu sebanyak 648 unit.

Penataan batas kawasan luar, batas fungsi maupun batas HPH telah dilakukan sepanjang 178.138 kilometer, atau 56,8 persen lebih tinggi dibanding dengan hasil tahun terakhir Repelita V. Penataan batas dilaksanakan dalam rangka pemantapan kawasan hutan tetap seluas 113 juta hektare, terutama guna menjamin kepastian hukum dalam menerapkan sistem pengelolaan dan pengawasan HPH.

Perkembangan pengusahaan hutan yang dilaksanakan oleh swasta terus ditingkatkan pengelolaannya secara makin efektif dan efisien. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI jumlah HPH adalah sebanyak 540 unit, menurun 6,1 persen dibanding dengan akhir tahun Repelita V (Tabel XII-26). Luas areal HPH juga menurun sebesar 1 persen yaitu dari 61.700 ribu hektare pada akhir tahun Repelita V

XII/83

menjadi 61.027 ribu hektare pada tahun pertama Repelita VI. Terjadinya penurunan jumlah dan luas HPH itu, disebabkan makin ketatnya pengawasan pengelolaan HPH disertai tuntutan agar pengusahaan hutan produksi dikelola lebih efisien dan berdaya guna.

Pelaksanaan sistem tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) oleh pemegang HPH merupakan faktor penting dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan alam produksi. Penanaman perkayaan yang dilaksanakan dengan sistem TPTI pada tahun pertama Repelita VI mencapai 625.815 hektare atau 88 persen dari yang direncanakan seluas 707.057 hektare. Produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman pada tahun pertama Repelita VI adalah 21.284 ribu meter kubik. Ini berarti menurun 8,0 persen bila dibanding dengan produksi kayu bulat pada tahun terakhir Repelita V. Penurunan produksi kayu bulat tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa HPH yang tidak berproduksi secara optimal, karena belum mendapatkan surat perpanjangan ijin operasi HPH atau dicabut ijin operasinya (Tabel XII-27).

Peningkatan efisiensi dan produktivitas hutan alam diupayakan seiring dengan pemantapan sistem pengelolaan hutan secara lestari, yang antara lain dilakukan melalui penerapan ecolabelling. Pada tahun 1994 telah berhasil dibentuk lembaga ecolabelling Indonesia yang mandiri. Pemantapan sistem tersebut terus dilanjutkan dengan uji coba dan studi banding dengan negara tropika lainnya.

2) Program Pembangunan Hutan Tanaman Baru

Tujuan program pembangunan hutan tanaman baru adalah untuk meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi. Kegiatan pokoknya adalah membangun HTI.

XII/84

Pada akhir Repelita V, industri kehutanan tumbuh sangat pesat yang mengakibatkan kebutuhan bahan baku sebesar 31,40 juta meter kubik dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 37,68 juta meter kubik per tahun pada tahun 1998. Kebutuhan bahan baku bagi industri dan masyarakat yang dipenuhi dari produksi kayu secara lestari dari hutan alam sejumlah 22,53 juta meter kubik, areal hutan konversi sejumlah 3,72 juta meter kubik, panen HTI sejumlah sekitar 2,71 juta meter kubik, dan potensi kayu dari hutan rakyat dan perkebunan sejumlah 8,72 juta meter kubik.

Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dibangun HTI seluas 1.297 ribu hektare, atau meningkat 23,0 persen dibanding tahun terakhir Repelita V, terdiri HTI pulp dan kayu 132.177 hektare, HTI Trans 40.667 hektare, dan HTI tanaman unggulan setempat seluas 71.944 hektare (Tabel XII-28).

Sementara itu rehabilitasi kawasan hutan yang rusak dan kritis terus dilaksanakan melalui upaya reboisasi dan pengkayaan jenis dari hutan produksi, hutan lindung dan kawasan konservasi lain. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dilaksanakan kegiatan reboisasi seluas 1.731 ribu hektare, atau meningkat 2,0 persen dari tahun terakhir Repelita V.

3) Program Pengembangan Usaha Perhutanan Rakyat

Tujuan program pengembangan usaha perhutanan rakyat adalah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman pada lahan milik rakyat, milik marga, dan hutan konversi yang tidak berhutan. Fokus kegiatannya adalah mengembangkan hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan.

XII/85

Pembangunan hutan tanaman baru dan rehabilitasi lahan kritis dilaksanakan di dalam kawasan tanah milik masyarakat. Di samping itu dikembangkan jenis tanaman kayu energi biomasa, bambu, tanaman untuk pengembangan lebah madu dan ulat sutra, kayu manis, dan buah-buahan. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dibangun hutan rakyat seluas 519.615 hektare atau meningkat 19,0 persen dibanding akhir tahun Repelita V.

Pelaksanaan HPH bina desa telah melibatkan 392 HPH dengan menetapkan desa binaan sebanyak 870 desa dan dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan dan pemantapan pembinaan pertanian menetap, peningkatan kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial budaya, pengembangan sarana umum dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan hidup.

Untuk menunjang pembangunan hutan tanaman baru, kegiatan reboisasi dan penghijauan serta pembangunan hutan rakyat telah ,

didirikan pusat-pusat perbenihan dan pusat persemaian modern yang menggunakan teknologi maju. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah didirikan 8 lokasi persemaian permanen. Upaya sertifikasi benih dan bibit terus dimantapkan melalui Balai Teknologi Perbenihan dan pusat pembibitan.

Budi daya lebah madu dan ulat sutera telah dikembangkan di beberapa daerah di Sulawesi, Sumatera dan Jawa. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah diproduksi 1.301 ton lebah madu dan 180 ton benang sutera, ini berarti terjadi peningkatan produksi masing-masing sebesar 9,7 persen dan 3,4 persen dibanding tahun terakhir Repelita V.

Dalam tahun pertama Repelita VI telah pula diupayakan pembinaan koperasi kehutanan yang bertujuan mendorong peranan

XII/86

koperasi dalam pembangunan kehutanan dan industri kehutanan. Pengalihan sebagian saham HPH kepada koperasi ditujukan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari dan memberikan kesempatan berusaha kepada industri menengah, kecil dan tradisional. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI sebanyak 37 HPH telah mendapatkan persetujuan untuk pengalihan sahamnya kepada koperasi dan dalam proses sekitar 19 HPH.

4) Program Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Hutan

Tujuan program pengembangan usaha pengolahan hasil hutan adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan baik hasil hutan berupa kayu maupun nonkayu.

Pada tahun pertama Repelita VI produksi kayu gergajian, kayu lapis dan pulp masing-masing mencapai 1.611 ribu meter kubik, 8.066 ribu meter kubik, dan 880 ribu meter kubik. Dibandingkan dengan produksi pada tahun terakhir Repelita V terjadi penurunan produksi kayu gergajian dan kayu lapis masing-masing sebesar 28,2 persen dan 18,7 persen, serta kenaikan produksi pulp sebesar 22,2 persen. Penurunan ini disebabkan karena berkurangnya penyediaan bahan baku terutama dari hutan alam dan penurunan harga dipasaran internasional khususnya kayu lapis (Tabel XII-29).

Sementara itu realisasi volume ekspor kayu olahan pada tahun pertama Repelita VI menurun sebesar 9,3 persen, dengan nilai 23,4 persen lebih rendah dibanding akhir Repelita V (Tabel XII-30). Demikian pula halnya dengan volume ekspor kayu gergajian dan kayu lapis ke 14 negara tujuan di Eropa, Asia dan Amerika; pada tahun pertama Repelita VI volume menurun masing-masing sebesar 52,9 persen dan 23,8 persen, dengan nilai masing-masing menurun sebesar

XII/87

48,6 persen dan 29,0 persen. Penurunan ini disebabkan menurunnya harga kayu olahan di pasaran internasional, berkurangnya produksi kayu olahan, dan meningkatnya konsumsi dalam negeri (Tabel XII-31 dan Tabel XII-32).

Untuk meningkatkan devisa dari subsektor kehutanan, ekspor hasil hutan non kayu terus ditingkatkan. Volume ekspor hasil hutan non kayu (tidak termasuk perolehan dari hidupan liar) meningkat sebesar 9,3 persen dengan nilai sebesar 5,2 persen lebih tinggi dibanding akhir Repelita V (Tabel XII-33). Untuk meningkatkan kualitas produksi dan ekspor hasil hutan, pengembangan institusi pengolahan dan pemasaran hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta paket penelitian dan teknologi yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, terus ditingkatkan. Peningkatan teknologi diutamakan untuk efisiensi pengelolaan dan pengolahan hasil hutan serta peningkatan kualitas hasil industri.

b. Program Penunjang

1) Program Penataan Ruang

Program ini ditujukan untuk menata pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah sehingga diperoleh manfaat yang optimal dari pemanfaatan ruang secara nasional dan wilayah. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dilaksanakan identifikasi lahan hutan dalam rangka pemaduserasian TGHK dengan arahan tata ruang wilayah propinsi dan kabupaten di 22 propinsi.

XII/88

2) Program Penataan Pertanahan

Program ini ditujukan untuk meningkatkan ketepatan dan kepastian tentang status hukum dan potensi kawasan hutan. Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan pelepasan areal hutan untuk budidaya pertanian seluas 234.783 hektare dan untuk transmigrasi pada 43 lokasi seluas 141.073 hektare.

3) Program Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Alam dan Lingkungan Hidup

Program ini bertujuan untuk mengembangkan informasi sumber daya alam untuk kepentingan pembangunan. Sampai dengan tahun 1994/95 telah dilaksanakan penafsiran citra landsat seluas 220 juta hektare, penafsiran potret udara skala 1 : 20.000 seluas 10.400 ribu hektare, dan penyusunan data dasar peta digital untuk seluruh Indonesia.

4) Program Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air

Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan dalam memulihkan dan menjaga, serta meningkatkan kelestarian sumber daya hutan terutama di kawasan lindung, sehingga fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan meningkat dan lestari. Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah ditetapkan 31 Taman Nasional dan 353 unit kawasan konservasi yang berbentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru; dan taman laut. Pada tahun 1994/95 telah ditetapkan 9 taman wisata yaitu 3 unit taman hutan raya (Tahura) dan 6 unit taman wisata alam dengan total Was 198.290 hektare (label XII-34).

XII/89

Pengembangan taman nasional dan pembinaan masyarakat yang tinggal di sekitarnya secara terpadu terus ditingkatkan. Beberapa pilot proyek yang telah dilakukan dan menjadi percontohan baik di tingkat nasional maupun internasional adalah Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Leuser, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun, dan Taman Nasional Kutai.

5) Program Rehabilitasi Lahan Kritis

Program ini bertujuan untuk memulihkan kondisi lahan yang sudah kritis, sehingga fungsinya meningkat baik sebagai sumber daya pembangunan maupun sebagai penyangga sistem kehidupan.

Dalam program ini telah dilaksanakan reboisasi hutan lindung dan suaka alam seluas 34.025 hektare. Rehabilitasi lahan kritis seluas 28.096 hektare di 8 propinsi serta penyusunan pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) pada 34 DAS meliputi areal sekitar 6 juta hektare. Pembinaan konservasi tanah dengan fasilitas kredit usaha tani konservasi dilaksanakan di 21 propinsi.

6) Program Pembinaan Daerah Pantai

Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengendalian perusakan lingkungan dan pembinaan pelestarian fungsi ekosistem pantai. Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan penyusunan rancangan rehabilitasi hutan bakau seluas 22 ribu hektare, penyediaan bibit untuk 7.365 hektare, pengelolaan 12 unit percontohan, serta pelatihan bagi 192 orang petugas dan anggota LSM.

XII/90

7) Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Program ini ditujukan untuk mengkaji penerapan ilmu kehutanan dalam rangka pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan, serta pengembangan dan penyebaran berbagai paket teknologi yang diperlukan. Pada tahun pertama Repelita VI telah dihasilkan paket teknologi pengelolaan hutan produksi, metoda penanggulangan kebakaran hutan, serta penguasaan metode pengawetan kayu yang efektif dan efisien. Kegiatan lainnya adalah penyusunan bahan kebijaksanaan seperti kriteria hutan tanaman, kriteria hutan non produktif, dan pedoman HTI.

8) Program Pengembangan Usaha Menengah dan Kecil

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan usaha menengah, usaha kecil dan tradisional dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Pada tahun pertama Repelita VI pembinaan usaha dilaksanakan melalui pengembangan perhutanan rakyat, pembangunan hutan tanaman baru dan pemanfaatan kawasan hutan, serta pengelolaan hasil hutan.

9) Program Pengerahan dan Pembinaan Transmigrasi dan Perambah Hutan

Tujuan utama program ini adalah untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan partisipasi masyarakat transmigrasi serta perambah hutan melalui pengembangan dan pembinaan usaha pertanian. Pada tahun pertama Repelita VI telah disetujui 148 lokasi transmigrasi seluas 259.152 hektare dan telah diserahkan 43 lokasi seluas 141.073 hektare tanah kehutanan untuk menunjang program transmigrasi.

XII/91

10) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Kehutanan

Program ini bertujuan meningkatkan kualitas, kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia di bidang kehutanan, baik yang bekerja di pemerintah maupun swasta.

Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dididik sebanyak 458 orang lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) dan 7.828 orang dari Balai Latihan Kehutanan (BLK). Dengan demikian telah terjadi peningkatan sebesar 559 orang atau 7,2 persen lebih tinggi dibanding dengan tahun terakhir Repelita V (Tabel XII-35).

XII/92

XII/95

XII/96