i dampak positif undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal dalam menciptakan...
TRANSCRIPT
i
DAMPAK POSITIF UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DALAM MENCIPTAKAN
SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum
Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah
Oleh:
Bintan Dzumirroh Ariny
NPM 21150433100018
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2018 M
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala
pertolongan, rahmat dan taufiq-Nya. Tak lupa sholawat dan salam Penulis
dihaturkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Sehingga Tesis ini
dapat diselesaikan dalam memenuhi gelar Magister Hukum Ekonomi Syariah.
Kesyukuran dan anugerah bagi Penulis atas terselesaikannya Tesis ini.
Menempuh berbagai usaha dan upaya, penyelesaian Tesis ini tidak terlepas dari
dorongan motivasi, bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan ungkapan terima kasih yang tak terhingga Penulis
ucapkan kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. H. Asep Saepuddin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Nurhasanah, M.Ag., Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi
Syariah sekaligus Dosen Pembimbing Tesis.
4. Ahmad Chairul Hadi, MA., Sekretaris Program Studi Magister Hukum
Ekonomi Syariah
5. Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA., Dosen Penasihat Akademik.
6. Segenap Dosen Pengajar/Pengampu Mata Kuliah Magister Hukum
Ekonomi Syariah.
iii
7. Seluruh Civitas Akademika Magister Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya teman-
teman MHES Angkatan 2016.
8. Orang-Orang yang selalu mendoakan dan memberikan penyemangat
Penulis, Kedua Orang Tua Tercinta H. Abdullah Fanani, SH dan Hj.
Masruroh Agustini, ST.MT Kedua Mertua Tercinta H. Moch. Husin dan
Hj. Khusnul Khotimah. Suami Tercinta Chairul Lutfi, S.HI., SH, MH dan
Puteri Tercinta Kanza Berliana Istibaqoh Ghaisani yang akan segera
menjadi kakak untuk adiknya. Saudara/ Saudara Tercinta A. Zaky Balya
Anggara, ST. Candra Haromain Ahmad Hisyam, Chairul Umam., A.md,
Ika Yuliani, SH,. Madinatul Munawwarah serta seluruh keluarga besar
Penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
9. Seluruh Sahabat/Teman baik di Akademik maupun Organisasi yang telah
memberikan dukungan dan motivasinya dalam penulisan tesis ini.
Semoga Allah senantiasa memberikan pahala atas semua jasa baik doa,
dukungan, bantuan, dan pengorbanan yang telah diberikan kepada Penulis atas
proses penyelesaian Tesis ini baik yang Penulis sebutkan maupun tidak.
Penulis,
Bintan Dzumirroh Ariny
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Bintan Dzumirroh Ariny
NIM : 21150433100018
Program Studi : Magister Hukum Ekonomi Syariah
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : ―Dampak Positif Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Dalam
Menciptakan Sistem Jaminan Produk Halal Di Indonesia” adalah karya asli
saya, kecuali kutipan-dkutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila ada
kesalahan dan kekeliruan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya
yang berakibat pada pembatalan gelar kesarjanaan saya.
Demikian surat pernyataan ini dibuat tanpa paksaan dari siapapun.
Jakarta, 16 Oktober 2018
Bintan Dzumirroh Ariny
v
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul : ―Efektivitas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal Dalam Menciptakan Sistem Jaminan
Produk Halal Di Indonesia‖ yang ditulis oleh :
Nama : Bintan Dzumirroh Ariny
NIM : 21150433100018
Program Studi : Magister Hukum Ekonomi Syariah
Telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diajukan ke sidang tesis.
Jakarta, 21 September 2018
Dr. Nurhasanah, M.Ag
vi
PENGESAHAN TIM PENGUJI SIDANG UJIAN PENDAHULUAN TESIS
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
Majelis Sidang Pendahuluan Tesis Program Studi Magister Hukum Ekonomi
Syariah menyetujui Tesis:
Nama : Bintan Dzumirroh Ariny
NIM : 21150433100018
Judul : Dampak Positif Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal Dalam
Menciptakan Sistem Jaminan Produk Halal Di
Indonesia.
Tesis ini sudah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji
sehingga disetujui untuk diajukan ke ujian tesis.
Disahkan oleh Majelis Sidang Pendahuluan Tesis:
Nama Jabatan TTD
Dr. Nurhasanah, M.Ag Ketua Majelis/
Pembimbing
Ahmad Chairul Hadi, MA
Sekretaris
Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma, S.H, M.A, M.M. Penguji I
Dr. Ali Hanafiah Selian, S.H, M.H
Penguji II
Jakarta, 15 Oktober 2018
a.n Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Ketua Program Studi
Magister Hukum Ekonomi Syariah
Dr. Nurhasanah, M.Ag
NIP. 1974081720022013
i
i
ABSTRAK.
Tesis ini menjelaskan faktor filosofis, faktor sosiologis dan faktor yuridis
dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal dengan melihat pada teori politik hukum, dan menganalisis
kelebihan-kekurangan pelaksanaan Jaminan Produk Halal setelah Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang dilihat pada
teori sistem hukum.
Penelitian tesis ini termasuk penelitian hukum normatif. Untuk
memecahkan isu hukum yang dihadapi, dengan kemampuan untuk
mengidentifikasi permasalahan yang terjadi. Mengambil bahan hukum primer
Risalah Sidang Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan bahan hukum
sekunder yang berasal dari buku (teks), jurnal, peraturan terkait dan bahan
sekunder lainnya. Dengan melakukan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual.
Kesimpulan tesis ini bahwa Pembentukan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal tidak terlepas dari: a) Faktor filosofis yaitu Pembukaan (preambule)
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menjelaskan Penjabaran
nilai-nilai Pancasila. Dan Beberapa ayat Al-Quran yang menyatakan hal tersebut
di antaranya : Q.S. Al-Baqarah (2) : 168,, b) Faktor Sosiologis yaitu umat Islam di
Indonesia sebagai konsumen terbesar, membutuhkan hak konstitusional untuk
memperoleh perlindungan hukum dalam mengkonsumsi produk sesuai dengan
syariah Islam. c) Faktor yuridis yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.Kelebihan pelaksanaan jaminan produk halal pasca undang-undang
JPH a) Sertifikasi halal bersifat wajib (Mandatory) dilakukan oleh pelaku usaha,
b) BPJPH sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan jaminan
produk halal, c) Adanya Anggaran baik APBN atau APBD untuk sertifikasi halal,
d) masa berlaku sertifikat halal hingga 5 tahun.
Kata Kunci : Dampak Positif, Jaminan Produk Halal, Sertifikasi Halal,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .............................................................. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. v
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7
C. Batasan Masalah .................................................................................. 9
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 9
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 9
F. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10
G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan..................................................... 11
H. Metodologi Penelitian .......................................................................... 18
I. Sistematika Penulisan .......................................................................... 22
BAB II KAJIAN TEORI: POLITIK HUKUM, TUJUAN HUKUM,
DAN SISTEM HUKUM ................................................................................ 24
A. Politik Hukum ..................................................................................... 24
B. Teori Tujuan Hukum ........................................................................... 37
C. Teori Sistem Hukum ........................................................................... 40
BAB III SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL .................................... 46
A. Konsep Halal ........................................................................................ 46
B. Konsep Produk Halal .......................................................................... 50
C. Sertifikasi Halal Sebelum Terbentuknya Undang-Undang Jaminan
Produk Halal ......................................................................................... 52
D. Anotasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal ......................................................................................... 63
BAB IV FAKTOR PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL .. 67
A. Aspek Filosofis Pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal ..................................................................................................... 67
B. Aspek Sosiologis Pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal. .................................................................................................... 70
iii
C. Aspek Yuridis Pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal. .................................................................................................... 75
D. Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal ............................................ 88
E. Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi Mengenai Rancangan pada
Undang-Undang Jaminan Produk Halal............................................... 95
F. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Sebelum Undang-
Undang Jaminan Produk Halal disahkan ............................................. 105
G. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Setelah Undang-
Undang Jaminan Produk Halal disahkan ............................................. 114
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 150
A. Kesimpulan ......................................................................................... 150
B. Saran ..................................................................................................... 153
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 155
iv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1.1 : Penelitian Terdahulu Tentang Jaminan Produk Halal ............. 11
Tabel 2.1 : Indikator Sistem Politik Dan Karakter Produk Hukum ............ 34
Gambar 3.1 : Proses Sertifikasi Halal di LP POM MUI Sebelum
Implementasi Undang Undang Jaminan Produk Halal ......... 57
Tabel 4.1 : Tabulasi Peraturan Tentang Jaminan Produk Halal .................. 76
Tabel 4.2 : Permasalahan Dalam Pembahasan Jaminan Produk Halal ....... 93
Tabel 4.3 : Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi DPR RI ..................................... 96
Gambar 4.4 : Data dan Tabel Sertifikasi Halal LPPOM MUI Pusat Januari –
Oktober 2017 ............................................................................ 119
Gambar 4.5 : Data dan Tabel Sertifikasi Halal LPPOM MUI Provinsi
Januari - Oktober 2017 ............................................................. 120
Tabel 4.6 : Peraturan Turunan Pelaksanaan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal.............................................................................. 124
Tabel 4.7 : Proses Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Oleh
LP POM dan BPJPH ............................................................... 146
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 29 bahwa
kebebasan untuk memeluk dan menjalankan ibadah agama masing- masing
merupakan hak asasi yang dijamin oleh Negara. Selain hak tersebut, setiap warga
negara berhak mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan hidup
yang layak. Hak asasi tersebut merupakan upaya negara dalam melindungi bangsa
Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan umum. Termasuk dalam
mengkonsumsi dan menggunakan produk-produk yang tersebar di Indonesia.1
Produk-produk yang berupa makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika,
produk rekayasa genetik dan produk bahan kimia biologi dapat digunakan oleh
masyarakat selama produk tersebut halal dan sesuai dengan syariat Islam.
Sebagaimana dalam Surat An-Nahl ayat 114 dan ayat 115 yang menjelaskan
untuk menkonsumsi makanan yang halal dan melarang mengkonsumsi makanan
yang haram.
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar
di dunia. Adanya produk-produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika,
produk rekayasa genetik dan produk bahan kimia biologi yang terjamin
kehalalannya menjadi faktor terpenting untuk dikonsumsi dikalangan masyarakat
Muslim khususnya. Negara berhak untuk melindungi hak atas kenyamanan,
1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
2
keamanan, dan keselamatan bangsanya sebagai konsumen yang menggunakan
produk-produk yang tersebar di Indonesia.2
Selain itu gaya hidup halal di masyarakat bukan hanya monopoli Muslim
dan agama tertentu saja. Gaya hidup halal juga menjadi tren masyarakat dunia.
Mulai dari produk pangan, produk halal, kosmetik, obat-obatan hingga pariwisata
halal sudah menjadi perhatian masyarakat global. Sehingga saat ini negara
berlomba membangun industri halal guna pemenuhan pasar dunia yang
potensinya sangat besar, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Timur
Tengah Turki, Rusia, Afrika dan negara-negara Eropa. Indonesia sebagai negara
dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim harus mampu menjadi negara
pengekspor pangan dan produk halal di pasar dunia.3
Permasalahan kehalalan suatu produk di Indonesia menjadi perhatian baik
dalam negeri maupun luar negeri. Tahun 1988 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sebagai representatif dari para tokoh-tokoh Ulama yang menyadari akan tanggung
jawab melindungi masyarakat Muslim dalam memperoleh kehalalan suatu
produk. Produk tersebut diantaranya makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika,
produk rekayasa genetik dan produk bahan kimia biologi.
Pada tahun 1988 kemunculan kasus adanya beberapa jenis makanan dan
minuman yang mengandung lemak babi. Kenyataan ini didasarkan karena
ditemukannya bahan baku makanan, minuman dan kosmetika yang mengandung
unsur mencurigakan seperti gelatin, shortening, lesitin, dan lemak yang sangat
2 Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3 Pendapat Ihsan Abdullah (Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch) dalam Artikel
Gaya Hidup Halal Sudah Jadi Tren Masyarakat Dunia https://www.republika.co.id/berita/gaya-
hidup/wisata-halal/16/10/17/of6bhh301-gaya-hidup-halal-sudah-jadi-tren-masyarakat-dunia
diakses tanggal 18 September 2018
3
mungkin berasal dari hewan babi. Kasus ini menyebabkan keresahan oleh
masyarakat, termasuk para produsen yang menyebabkan penurunan penjualan
hingga 80 persen.4
Hal tersebut juga sangat dirasakan oleh PT. Food Specialities Indonesia
(FSI), produsen susu Dancow harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk
mengklarifikasi berita tersebut melalui iklan karena keresahan akan bahan baku
produk, Anthony F Walker sebagai Direktur PT. Food Specialities Indonesia
memutuskan untuk menolak menerima susu asal daerah Boyolali. Artinya, mata
pencaharian 71 ribu peternak sapi di daerah itu terancam. Kemudian Dirjen POM
Depkes Anthony lega, menyatakan bahwa lesitin yang menjadi bahan susu
Dancow dicurigai berasal dari lemak babi Tragedi nasional lemak babi ini
meresahkan batin umat Islam, mengguncang dunia industri pangan serta
mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional.5
Setelah persoalan tersebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan
Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan (LP POM) yang disahkan pada
tanggal 6 Januari 1989 sebagai lembaga yang berperan penting dalam menjaga
kehalalan produk-produk yang beredar dimasyarakat, membenahi masalah dalam
makanan (sehubungan dengan kehalalannya) sehingga dapat menentramkan
perlindungan hukum terhadap konsumen konsumen muslim khususnya.6
4 Ma’ruf Amin, Fatwa Halal Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar, Jurnal
Halal No 103 Th. XVI Tahun 2013, (Jakarta : LPPOM MUI, 2013), h. 20 5 Prof. Dr. Hj Aisjah Girindra, Sertifikasi Halal Dongkrak Omzet dalam berita
Republika.co.id tanggal 30 Desember 2008 yang diakses tanggal 8 Mei 2018 /
http://www.republika.co.id/berita/shortlink/23324 6 Tulus Abadi, Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberian Informasi dan Produk Halal, h.
55
4
Sebelum permasalahan lemak babi pada tahun 1998 ada fakta terkait
makanan dan minuman yang beredar di Indonesia. Sertifikasi dan penandaan
kehalalan produk baru menjangkau sebagian kecil produsen. Berdasarkan data
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005
menunjukkan tidak lebih dari 2000 produk yang meminta pencantuman tanda
halal. Saat ini sudah naik signifikan sudah lebih dari 200.000 produk yang
memperoleh izin edar dari BPOM.7
Penanganan label halal sudah dimulai belasan tahun yang lalu dengan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976 tanggal 10
November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang
Mengandung Bahan Berasal dari Babi. Peraturan ini mengharuskan semua
makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempel dengan label
bertuliskan ―mengandung babi‖ dan diberi gambar seekor babi berwarna merah
diatas dasar putih. Bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Makanan dan
Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), label dibagikan secara cuma-cuma pada
perusahaan yang memerlukan.8
Menurut Sunarto Prawirosujanto9 apabila terdapat perusahaan yang ingin
mencantumkan label halal diperbolehkan namun harus bertanggung jawab.
Dikarenakan belum ada undang-undang khusus yang mengatur hal itu, perusahaan
7 Data diambil 5 tahun terakhir oleh Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan diakses
dari http://www.pom.go.id/new/ 8 Henry F. Isnaeni, Sejarah Awal Label Halal, diakses pada tanggal 14 Mei 2018 dari
https://historia.id/agama/articles/sejarah-awal-label-halal-PNRMZ 9 Perwakilan dari Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan
5
yang menyatakan produknya halal namun terbukti tidak halal dapat dituntut
sebagai penipuan sesuai undang-undang yang ada. 10
Pada perdagangan regional dan internasional persoalan sertifikasi dan
labelisasi halal suatu produk menjadi perhatian baik dimasyarakat. Hal ini
memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam diseluruh dunia dalam
menjawab tantangan globalisasi pemasaran berbagai produk. Perdagangan
internasional telah menganut sistem pasar bebas, diantaranya Pasar Bebas
ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA), Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
Amerika Free Trade Area (NAFTA), serta Organisasi Perdagangan Internasional
(World Trace Organization) telah memberikan ketentuan mengenal pedoman
halal. Dengan demikian penandaan halal terhadap produk menjadi salah satu
instrumen penting untuk memperkuat persaingan produk domestik di pasar
internasional.11
Di Indonesia, pemberian sertifikasi kehalalan produk telah lama dilakukan
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan keputusan yang dikeluarkan
oleh Komisi Fatwa. Pengaturan sertifikasi halal dan labelisasi halal dilakukan oleh
Pemerintah dengan menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yaitu,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1966 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967
Tentang Ketentuan Pokok dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8
10
Henry F. Isnaeni, Sejarah Awal Label Halal, diakses pada tanggal 14 Mei 2018 dari
https://historia.id/agama/articles/sejarah-awal-label-halal-PNRMZ 11
Sekretariat Komisi VIII DPR RI, Proses Pembahasan RUU Tentang Jaminan Produk
Halal, h. 4
6
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan beberapa peraturan pelaksana
terkait kehalalan produk.12
Adanya beberapa peraturan tersebut, pada implementasinya masih
menimbulkan tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak sistemik. Karena masih
menggunakan pendekatan sektoral dan parsial. Oleh karena itu, peraturan
perundang-undangan tersebut belum memberikan kepastian hukum dan jaminan
hukum terhadap umat muslim dalam mengenal produk halal yang tersebar di
pasar global.13
Pada tahun 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) berinisiatif mengusulkan RUU tentang Jaminan Produk Halal. Setelah 8 tahun
melalui pembahasan, RUU tersebut akhirnya dapat disahkan DPR menjadi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 (UU JPH) pada tanggal 17 Oktober 2014.
Adanya undang-undang ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi
konsumen, khususnya masyarakat muslim sebagai konsumen terbesar.
Pemaparan fakta diatas merupakan dasar pentingnya dibentuk sistem
jaminan produk halal di Indonesia. Oleh karena itu perlunya undang-undang
khusus yang menangani sistem jaminan produk halal untuk mengisi kekosongan
hukum yang ada pada peraturan-peraturan sebelumnya. Serta menjadi upaya
pemerintah mengatur sistem jaminan produk halal yang tidak hanya melingkupi
makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika melainkan mengatur produk yang
berasal dari bahan kimia, biologi dan rekayasa genetik.
12
Lies Afroiyani, Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal oleh Majelis Ulama Indonesia,
dalam Jurnal Kebijakan dan Analisa Produk Vo. 18. (Jakarta : 2014), h. 37 13
Sekretariat Komisi VIII DPR RI, Proses Pembahasan RUU Tentang Jaminan Produk
Halal, h.6
7
Namun setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal ini disahkan sampai dengan tahun 2017 instrumen lembaga dan
sistem yang diamanahkan oleh undang-undang tersebut belum dapat
direalisasikan. Diantaranya pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), peraturan pelaksana yang
diterbitkan oleh lembaga dan kementerian. Sehingga beberapa kasus yang terjadi
dalam kurun waktu 2,5 tahun (2015-pertengahan 2017) yang belum merasakan
hadirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Pada akhir 2017 terdapat kasus dari brand ternama BreadTalk belum
bersertifikat halal MUI. Namun, khusus gerai Breadtalk yang di Banten, sudah
mendapatkan sertifikat halal MUI Banten. Dalam proses perpanjangan sifatnya
harus nasional. Yang semestinya restoran yang sifatnya nasional itu disertifikasi
oleh MUI Pusat. Tapi karena sertifikat ini berlaku sampai sekarang, namun masih
menunggu sampai Februari atau Maret 2018. 14
Pemaparan kasus diatas
merupakan contoh bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal selama hampir 3 tahun belum memberikan
kepastian hukum terhadap produk-produk yang tersebar di Indonesia. Oleh karena
itu, diharapkan upaya pemerintah untuk dapat memenuhi amanah sebagaimana
dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
B. Identifikasi Masalah
Pada konsep pengaturan jaminan produk halal tidak hanya meliputi
permasalahan syariat. Akan tetapi kajian jaminan produk halal mencakup
14
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/info-halal/read/2018/02/08/135020/lppom-
mui-bread-talk-belum-bersertifikat-halal.html diakses pada tanggal 16 Agustus 2018
8
beberapa ilmu pengetahuan. Peran pemerintah sangatlah penting dalam menjamin
kehalalan produk-produk yang tersebar di Indonesia serta memberikan kepastian
hukum di masyarakat. Beberapa permasalahan terkait pengaturan sistem jaminan
produk halal adalah:
Pertama: Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pula
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan banyaknya produk olahan
yang berasal dari bahan halal yang kemudian melalui proses pengolahan dan
pencampuran dengan bahan yang lainnya. Sehingga sangat penting untuk menguji
kehalalan produknya.
Kedua: Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras dan agama.
Tentunya dalam hal ini sebagai umat Islam mengharapkan produk halal untuk
dikonsumsi. Karena umat muslim juga mempunyai hak kenyamanan, keamanan,
dan mendapatkan informasi yang jelas. Namun selama ini sertifikat halal hanya
bersifat suka rela apakah mampu diubah menjadi suatu keharusan untuk dilakukan
oleh para produsen.
Ketiga: Pemerintah dan Legislatif, berperan aktif dalam perumusan
perundang-undangan sistem jaminan produk halal. Namun, pembahasan rumusan
undang-undang ini berlangsung lama oleh legislatif. Oleh karena itu, hal ini
menyebabkan masyarakat sudah menunggu terlalu lama sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap konsi undang-undang jaminan masih dipertanyakan.
Keempat: Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal telah disahkan
pada Oktober 2014. Hingga akhir 2017 instrumen dan lembaga sebagaimana yang
diamanahkan dalam undang-undang tersebut belum terbentuk. Dalam hal ini, para
9
produsen dan konsumen belum merasakan adanya kepastian hukum dari undang-
undang tersebut.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan paparan identifikasi masalah tersebut maka penelitian ini
dibatasi pada proses perumusan undang-undang jaminan produk halal yang
dilakukan oleh legislatif. Sebagaimana dalam proses perumusan undang-undang
tidak terlepas dari pengaruh sosiologis, politik, ekonomi dimasyarakat serta
pembahasan undang-undang oleh legislatif dan kelebihan-kekurangan pada
pelaksanaan jaminan produk halal setelah undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan batasan masalah penelitian tersebut maka pokok
pembahasan pada rumusan masalah penelitian ini sebagaimana berikut:
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ?
2. Apa kelebihan dan kekurangan pelaksanaan jaminan produk halal setelah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
disahkan ?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah:.
10
1. Untuk menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal. Baik dari faktor sosiologis, yuridis, maupun politik.
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis kelebihan dan kekurangan
pelaksanaan jaminan produk halal setelah Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal disahkan.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal sebagai alat untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi pada jaminan produk halal serta menjelaskan
kelebihan dan kekurangan jaminan produk halal pasca Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi
pemikiran dalam menganalisa problem pelaksanaan jaminan produk
halal yang terjadi setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal dan menjadi bahan kajian lebih lanjut.
b) Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini menjadi pengetahuan
lebih mendalam tentang jaminan produk halal terutama dalam
pelaksanaannya. Serta dapat menjadi panduan dalam proses penerapan
jaminan produk halal pasca Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
11
c) Bagi pemerintah, penelitan ini menjadi pertimbangan untuk
memberikan solusi terhadap problema yang ada pada pelaksanaan
jaminan produk halal pasca Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
disahkan.
G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian terdahulu adalah penelitian yanmg dilakukan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya tentang Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal dan sertifikasi halal di Indonesia. Berikut adalah penelitian
yang telah dilakukan:
1. Penelitian Endah Dwi Rohayah15
Endah Dwi Rohayah, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel
Surabaya, pada tahun 2016 menulis Tesis yang berjudul Politik Hukum Islam
dalam Regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia menyimpulkan bahwa suatu
produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi aspek sosiologis,
yuridis, maupun filosofis tempat hukum itu dihasilkan. Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal terbentuk karena akar sosiologis
yang kuat dimana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun, pro
dan kontra dikalangan umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan sumber
teks hukum Islam sendiri memungkinkan adanya perbedaan interpretasi terhadap
hukum halal dan haram ini. Selain itu perbedaan tingkat pemahaman masyarakat
terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra. Disamping itu politik hukum Islam
bergulir sejalan dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat untuk menerapkan
15
Endah Dwi Rohayah, ―Politik Hukum Islam dalam Regulasi Jaminan Produk Halal di
Indonesia‖ (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2016).
12
syariah Islam dalam ranah positivisasi hukum yang tercermin dalam aspek yuridis
terbentuknya regulasi jaminan produk halal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
nilai-nilai hukum Islam sangat berperan dalam menentukan esensi Undang-
Undang Jaminan Produk Halal dengan mengedepankan prinsip Al-Maqashid
Syariah.
Dalam penelitian ini terdapat persamaan-perbedaan dengan penelitian
peneliti. Pada hal persamaan, penelitian membahas tentang Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kemudian, perbedaanya
terdapat pada objek materiil yang diteliti. Penelitian ini berkaitan dengan politik
hukum dalam perumusan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal, dan penelitian yang dilakukan Endah Dwi Rohayati
berkaitan dengan politik hukum Islam (aspek syariah) dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
2. Penelitian Murjani16
Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Fenomena Volume VII No. 2
Tahun 2015 ditulis oleh Murjani, Mahasiswa IAIN Samarinda pada tahun 2015
yang berjudul Sistem Jaminan Produk Halal Dan Thayyib di Indonesia dalam
Aspek Yuridis dan Politis menyimpulkan permasalahan sistem jaminan produk
halal yang selama ini berlaku (ius constitutum) dan rancangan konstruksi sistem
jaminan produk halal dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
yang akan diberlakukan (ius contituendum). Demi terbangunnya sistem jaminan
produk halal yang ideal dalam konteks keindonesiaan. Pemerintah meninjau
16
Murjani, ―Sistem Jaminan Produk Halal Dan Thayyib di Indonesia dalam Aspek Yuridis
dan Politis‖, (Samarinda : IAIN Samarinda, 2015).
13
kembali keberadaan sistem Jaminan Produk Halal. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan LPOM MUI telah melakukan pengawasan terhadap sistem jaminan
produk halal. Kebijakan hukum yang sudah tepat, karena amanat Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal akan mewajibkan pada
setiap produsen untuk melakukan sertifikasi halal pada setiap produk yang
dipasarkan.
Problematika tumpang tindihnya peraturan yang masih berlaku saat ini
harus segera diakhiri dengan upaya unifikasi hukum dengan lahirnya Undang-
Undang Jaminan Produk Halal yang menjadikan BNP2H sebagai institusi
persertifikasi produk halal. Dan MUI masih memiliki peran strategis karena setiap
tetap dilibatkan dalam membangun kontruksi sistenm jaminan produk halal
bersama BNP2H dan MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
memfatwakan halal dan tidaknya suatu produk.
3. Penelitian Asep Syarifudin Hidayat dan Mustholih Siraj17
Penelitian Anggota Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (DPN-APSI),
Asep Syarifudin Hidayat dan Mustholih Siraj, yang diterbitkan Jurnal Ahkam
Volume XV Nomor 2 July 2015 dengan judul Sertifikasi Halal dan Sertifikasi
Non Halal Pada Produk Pangan Industri menyimpulkan sertifikasi halal pada
produk pangan sesuangguhnya memiliki fungsi dan peran yang sangat
menentukan bukan dari konsumen (masyarakat) tapi juga dari perspektif usaha.
Konsumen membutuhkan produk pangan aman dikonsumsi, dan bergizi serta
sehat mendatangkan ketentraman secara batin yang tidak bercampur dengan
17
Asep Syarifudin Hidayat dan Mustholih Siraj, ―Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non
Halal Pada Produk Pangan Industri‖, (Jakarta Selatan : DPN APSI, 2015).
14
bahan-bahan non halal. Dari aspek pelaku usaha mereka membutuhkan konsumen
yang loyal sebagai target pemasaran produk yang mereka hasilkan. Terlebih pada
saat ini makanan (pangan) halal bukan lagi dibutuhkan oleh masyarakat muslim
tetapi dibutuhkan juga oleh masyarakat non muslim.
Lahirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal terbilang sangat lambat
dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura yang telah melangkah begitu
jauh dalam merespon kebutuhan makanan (pangan) halal. Indonesia telah
memiliki pelabuhan yang menjadi pintu masuk bagi pengekspor barang ke Timur
Tengah yang mengisyaratkan produk yang diimpor harus bersertifikat halal.
Sebagai negara yang mayoritas muslim terbesar di dunia, sudah semestinya
Indonesia bisa mengejar ketertinggalan tersebut sehingga tidak lagi dijadikan
objek pemasaran produk yang berasal dari negara-negara lain.
4. Penelitian Nidya Waras Sayekti18
Pada tahun 2014 dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik Vol.2
Nomor 5 Nidya Waras Sayeti menulis tentang Jaminan Produk Halal Perspektif
Kelembagaan. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sertifikasi halal tidak
lagi menjadi ranah hukum agama, tetapi melebar dalam komodifikasi dagang.
Meskipun pada awalnya ditampilkan sebagai instrumen yang tepat bagi umat
Islam. Negara-negara sekuler pun berkomitmen serius untuk turut memproduksi
barang-barang halal, dan terkadang justru lebih terjamin ketimbang produksi yang
dilakukan oleh negara-negara Islam.
18
Nidya Waras Sayekti, ―Jaminan Produk Halal Perspektif Kelembagaan” (Jakarta: P3DI
Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2014)
15
Berkaitan sertifikasi halal oleh MUI dan situasi masyarakat Indonesia
yang dibuktikan
dengan kronologi munculnya kebijakan sertifikasi halal di Indonesia dan
perkembangannya hingga sekarang menunjukkan kebijakan ini lebih banyak
dicampuri tindakan-tindakan bersifat politis. Kenyataan juga menunjukkan
kehadiran sertifikasi halal tidak sepenuhnya diterima oleh berbagai kalangan.
Dengan alasan sertifikasi halal akan menghambat kehidupan
keberagaman di Indonesia dan menyudutkan hak-hak umat beragama lainnya.
Namun di
satu sisi menguntungkan umat Islam, dan bahkan terasa mengistimewakannya.
Persoalan legitimasi—terutama dasar hukum atas insitusi sertifikasi
halal—menjadi konflik yang pelik bagi MUI. Inilah yang harus kita perhatikan
bersama. Rasionalitasnya, jika
pemerintah memang mendukung langkah MUI sebagai institusi yang sah, harus
segera disahkan undang-undang yang mengatur dengan jelas. Undang-undang
yang dimaksud yaitu mengenai kewajiban produsen dalam menjamin kehalalan
produk yang dihasilkan dan MUI ditunjuk dengan tegas sebagai lembaga penerbit
sertifikasi halal yang sah.
5. Penelitian Muhammad Zumar Aminuddin19
Penelitian yang dilakukan Muhammad Zumar Aminuddin, dari IAIN
Surakarta dengan judul Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia
dan Thailand. Penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam Jurnal Shahih Vol.1
19
Muhammad Zumar Aminuddin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia
dan Thailand, (Surakarta: IAIN Surakarta, 2015)
16
Nomor 1 menyimpulkan Penanganan sertifikasi halal di Indonesia selama ini
dilakukan oleh Lembaga Pengkajian dan Penelitian Obat-obatan dan makanan
(LPPOM) MUI, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang merupakan wadah
ulama Indonesia dari berbagai unsur Islam yang ada di Indonesia. Namun dengan
keluarnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal,
sertifikasi halal menjadi wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Produk halal
(BPJPH) yang merupakan lembaga negara. Artinya terjadi pergeseran dari
gerakan civil society ke program negara. Sertifikasi halal di Thailand menjadi
wewenang Central Islamic Council of Thailand (CICOT) yang merupakan wadah
ulama Thailand di tingkat nasional. Dukungan negara berupa pendanaan dan
dukungan lain dalam bentuk lembaga kajian ilmiah yaitu Halal Center Institute di
Chulakungcorn University.
6. Penelitian Susilowati Suparto20
Pada Jurnal Mimbar Hukum Vol. 28 Nomor 3 Tahun 2016, Susilowati
suparto menuliskan tentang Harmonisasi dan Sinkronisasi Pengaturan Sertifikasi
Halal terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”. Penelitian tersebut
mengungkapkan selama BPJPH belum terbentuk sertifikasi halal tetap
dilaksanakan oleh LPPOM MUI. Praktik penyelenggaraan sertifikasi halal oleh
LPPOM MUI bersifat Sukarela, sehingga sertifikasi halal menunggu itikad baik
dari para pelaku usaha. Hal ini menyebabkan tidak semua produk tersertifikasi.
Sehingga belum memberikan kepastian hukum jaminan produk halal bagi
konsumen muslim.
20
Susilowati suparto, Djanurdi, Deviana Yuanita Sari, dan Agusuwandono, Harmonisasi
dan Sinkronisasi Pengaturan Sertifikasi Halal terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia,
(Bandung: Universitas Padjajaran, 2016)
17
BPJPH dalam penyelenggaraannya bekerja sama dengan MUI dan LPH.
Pada hal ini BPJPH mensinergikan fungsi, tugas dan kewenangan
kementerian/lembaga terkait dalam proses sampai dengan pengawasan pasca
diterbitkannya sertifikasi halal.
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu tentang Jaminan Produk
No Peneliti/Tahun Judul Penelitian Objek Formiil ObjekMateril
1 2 3 4 5
1 Endah Dwi
Rohayah/ UIN
Sunan
Ampel/2016
Politik Hukum Islam
dalam Regulasi
Jaminan Produk
Halal di Indonesia
Politik Hukum
Islam
Regulasi
Jaminan
Produk Halal
2 Murjani/ IAIN
Samarinda/2015
Sistem Jaminan
Produk Halal dan
Thayib di Indonesia :
Tinjauan Yuridis dan
Politis
Sistem Jaminan
Produk Halal
Tinjauan
dalam aspek
yuridis dan
politis
3
Nidya Waras
Sayekti/P3DI
Bidang Ekonomi
dan Analisis
Kebijakan
Publik/2015
Jaminan Produk
Halal Perspektif
Kelembagaan
Jaminan Produk
Halal
Perspektif
Kelembagaan
4 Muh. Zumar
Aminuddin/ IAIN
Surakarta/ 2016
Sertifikasi Produk
Halal : Studi
Perbandingan
Indonesia dan
Thailand
Sertifikasi Produk
Halal
Studi
Perbandingan
Indonesia dan
Thailand
5 Susilo Suparto, Harmonisasi dan Harmonisasi dan Perlindungan
18
Djunardi/
Departemen
Hukum Perdata-
Universitas
Padjajaran/2016
Sinkronisasi
Pengaturan
Kelembagaan
Sertifikasi Halal
Terkait Perlindungan
Konsumen Muslim
Indonesia
Sinkronisasi
Pengaturan
Kelembagaan
Sertifikasi Halal
Konsumen
Muslim
Indonesia
6 Asep Syarifudin
Hidayat dan
Mustholih Siraj/
DPN-APSI/ 2015
Sertifikasi Halal dan
Sertifikasi Non Halal
Pada Produk Pangan
Industri
Sertifikasi Halal
dan Sertifikasi Non
Halal
Produk
Pangan
Industri
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yang merupakan
kegiatan penelitian untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi, dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi.21
Jenis penelitian
yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan
bahan sekunder.22
Pada penelitian jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam perundang-undangan atau peraturan.
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Edisi Revisi Cet.ke VI, Jakarta : Kencana,
2010), h. 63. 22
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta : Rajawali
Press, 2006), h. 18.
19
2. Pendekatan Penelitian
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama,
pendekatan perundang-undangan (statute approach) untuk menelaah perundang-
undangan dan peraturan yang termasuk dalam isu hukum yang diteliti. Kedua,
pendekatan konseptual (conseptual approach), untuk mengetahui serta menelaah
konsep yang berasal dari doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dan hukum
yang berkaitan.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) peneliti memahami
hierarki dan asas hukum dalam peraturan perundang-undangan atau pendekatan
dengan menggunakan legislasi dan regulasi.23
Peneliti telah menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) untuk menelaah isu hukum dalam peraturan perundang-undangan atau
regulasi berdasarkan topik penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pada metode pendekatan konseptual (conceptual approach) peneliti
memahami substansi hukum dan prinsip yang ditemukan dalam suatu pandangan
atau doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep dan prinsip dapat
ditemukan dalam peraturan/undang-undang.24
Peneliti telah menggunakan
pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk menelaah konsep dan
pandangan doktrin para tokoh yang terdapat dalam rumusan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
23
Marzuki, Penelitian Hukum, h. 137. 24
Marzuki, Penelitian Hukum, h. 178.
20
3. Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum
primer dan sekunder :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai otoritas
paling utama yaitu Risalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menguatkan bahan hukum
primer dan dapat dipergunakan dengan memperjelas konsep dalam penelitian.25
Dalam penelitian ini bahan sekunder terdiri dari buku yang berkaitan dengan
jaminan produk halal, sertifikasi halal, politik hukum, dan jurnal-jurnal serta
peraturan perundang-undangan terkait yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan sumber data sebagai penjelasan bahan hukum
primer dan baham hukum tersier. Dalam hal ini beberapa bahan hukum tersier
seperti kamus, ensiklopedia, bibliografi yang berhubungan dengan penelitian.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Penelitian Hukum Normatif, h. 12.
21
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
a. Penentuan Bahan Hukum
Peneliti telah menentukan bahan hukum yang relevan terhadap penelitian
yang dilakukan. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) maka peneliti melakukan pencarian hasil pembahasan suatu
peraturan untuk menelaah faktor dan konsep hukum yang sesuai Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
b. Inventarisasi Bahan Hukum
Peneliti telah mengumpulkan dengan cara inventarisasi bahan hukum dan
cara studi kepustakaan yaitu dengan mencari dan mengumpulkan berbagai
bahan hukum primer,sekunder, dan tersier.
c. Pengkajian Bahan Hukum
Peneliti telah melakukan pengkajian bahan hukum. Dengan pengkajian
bahan hukum inilah proses pemahaman serta rasionalisasi terhadap konsep dan
teori.
d. Pengolahan Bahan Hukum
Peneliti telah melakukan pengolahan bahan hukum dengan cara editing.
yaitu pemeriksaan kembali bahan hukum yang diperoleh terutama dari
kelengkapannya, kesesuaian, dan relevansinya dengan kajian yang diteliti.
22
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi
dalam lima bab. Setiap bab mempunyai beberapa sub bab.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini mengemukakan pendahuluan yang menyajikan latar belakang,
Identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II : Politik Hukum, Teori Kepastian Hukum, dan Teori Sistem Hukum
Bab ini menguraikan beberapa teori diantaranya adalah pengertian dan
ruang lingkup politik hukum, teori kepastian hukum dan teori sistem
hukum.
Bab III: Jaminan Produk Halal
Bab ini menguraikan tentang: 1) Konsep halal dan Produk halal, 2)
Sertifikasi Halal Sebelum Terbentuknya Undang-Undang Tentang
Jaminan Produk Halal, 3) Anotasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal.
Bab IV: Faktor-Faktor Pembentukan Undang-Undang Tentang Jaminan Produk
Halal
Bab ini membahas tentang 1) Aspek filosofis undang-undang jaminan
produk halal 2) Aspek sosiologis pembentukan undang-undang jaminan
produk halal, 3) Aspek yuridis pembentukan undang-undang jaminan
produk halal, 4) Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal, 5) Pandangan
23
Akhir Fraksi-Fraksi Mengenai Rancangan Mengenai Rancangan pada
Undang-Undang Jaminan Produk Halal,6) Penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal Sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal disahkan,
7) Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Setelah Undang-Undang
Jaminan Produk Halal disahkan.
Bab V: Penutup
Bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dari pemaparan
yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Bab ini dimaksudkan
untuk memberikan atau menunjukkan bahwa problem yang diajukan dalam
penelitian ini bisa dijelaskan secara komperehensif dan diakhiri dengan
saran-saran untuk pengembangan studi lebih lanjut
24
BAB II
KAJIAN TEORI: POLITIK HUKUM TUJUAN HUKUM
DAN SISTEM HUKUM
A. Politik Hukum
1. Pengertian Politik Hukum
Istilah politik dalam Bahasa Arab disebut dengan “ ياسة yang berarti ”الس
siasat, dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan politic yang berarti bijaksana.
Pada pembicaraan sehari-hari diartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk
mewujudkan tujuan.26
Istilah politik pertama kali dikenalkan melalui buku Plato yaitu yang
berjudul Politeia yang dikenal dengan republik, dan selanjutnya muncul karya
Aristoteles yang berjudul Politeia. Dari kedua karya tersebut, yang dipandang
sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang saat ini. Politik merupakan
istilah yang diartikan untuk konsep pengaturab masyarakat, sebab kedua karya
tersebut menyangkut tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah
pemerintahan yang dijalankan oleh rezim demi terwujudnya masyarakat yang
baik.27
Terdapat beberapa pandangan ahli, yang mendefinisikan politik. Menurut
Meriam Budiardjo28
, politik merupakan berbagai kegiatan dalam suatu sistem
negara berkaitan dengan proses yang menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai
26
Abdul Manan. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek Ketatanegaraan
Islam dan Sistem Hukum Barat, (Jakarta : Prenada Media, 2016), h. 1 27
Abdul Manan. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek Ketatanegaraan
Islam dan Sistem Hukum Barat, h.2 28
Mariam Budiardjo, Dasar Ilmu Poltik, (Jakarta : Gramedia, 1982), h.8
25
oleh suatu negara. Pandangan Deliar Noer29
bahwa politik adalah kegiatan atau
aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan untuk memberikan pengaruh,
dengan cara mengubah atau mempertahankan susunan masyarakat.
Pandangan lain dari Roger. H. Soltau30
mengemukakan pengertian politik
adalah ―Political Science, then, is going to be study of state, its aims and
purposes, the institutions by which those are going to be realized, its relation with
its individual members and written about all these questione.”
(Ilmu Politik, untuk selanjutnya akan dianggap pelajaran tentang negara
maksud, dan tujuan negara, lembaga yang melaksanakan tujuan tersebut,
hubungan antara negara dengan warganya, serta hubungan antarnegara dan juga
apa yang dipikirkan warganya serta hubungan antar negara dan juga apa yang
dipikirkan warganya, keluhan ditulis dalam pertanyaan).
Definisi yang dikemukakan oleh Bellfroid bahwa rechtpolitiek yaitu
proses pembentukan hukum positif (ius constitutum) dari hukum yang akan dan
harus ditetapkan (ius constituendum) untuk memenuhi kebutuhan perubahan
dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan
kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu ―whatever the
government choose to do or not to do‖.31
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris policy atau dalam bahasa
Belanda politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum
29
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, (Jakarta : Rajawali Press, 1982), h. 36 30
Abdul Manan. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek Ketatanegaraan
Islam dan Sistem Hukum Barat, h.2 31
Sri Wahyuni, ―Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam)‖, Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003
26
yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-
bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan,dengan suatu tujuan yang mengarah pada upaya mewujudkan
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).
Selanjutnya, kata ―hukum‖ berasal dari Bahasa Arab ―Al-Hukm” yang
berarti suatu keputusan. Dalam Black’s Law Dictionary32
dijelaskan bahwa : ―Law
in genesic tense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controling
authority and having binding legal force”
Secara sederhana, Sri Soemantri Martosoewignjo33
bahwa hukum
merupakan seperangkat aturan tindakan dan tingkah laku yang ada dalam
masyarakat. Adapun pengertian dari Oxford English Dictionary adalah : ―Law is
the body of role, whether formally enacted or customary, whish a state or
community recognized as binding on its members or subjects.” (Hukum adalah
kumpulan aturan, perundang-undangan, atau hukum kebiasaan, dimana suatu
negara atau masyaraat mengakuinya sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan
mengikat terhadap warganya)
Mahfud Md34
mendefinisikan politik hukum adalah Legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan perbuatan
hukum baru maupun hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Padmo
32
Hanry Compell Black, Black’s Dictionary, St Paul : Wet Publishing, 1991, h. 614 dalam
kutipan buku Abdul Manan. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek Ketatanegaraan
Islam dan Sistem Hukum Barat, h. 4 33
Sri Sumantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Cet. 1,
Bandung : Alumni Press, 1992), h. 33 34
Mahfud Md, Poltik Hukum di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), h. 1
27
Wahjono35
dalam bukunya menjelaskan bahwa politik hukum merupakan
kebijakan penyelenggaraan negara yang bersifat mendasar dalam menentukan
arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang
akan dibentuk dan tengang apa yang dijadikan kriteria umtuk menghukumkan
sesuatu berkaitan dengan hukum yang akan datang.
Satjipto Rahardjo menjelaskan politik hukum adalah aktivitas (kegiatan)
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan
hukum tertentu dalam masyarakat (lebih menitikberatkan pada pendekatan
sosiologis).36
Dari berbagai definisi yang tersebut adanya substansi yang sama bahwa
politik hukum merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan
untuk mencapai tujuan suatu negara. Hukum diposisikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan negara. Sehingga secara praktis politik hukum juga dapat
digunakan oleh pemerintah untuk mencapai sistem hukum nasional yang sesuai
dengan tujuan negara.37
Dasar definisi yang telah dikemukakan tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa negara mempunyai tujuan yang harus dicapai dan adanya upaya itu
dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alat pemberlakuan atau
penindaklanjutan hukum sesuai dengan tahapan perkembangan yang dihadapi
35
Pahmo Wahjojo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Cet-II. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1986). h. 160 36
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Cet.Ke-3, Bandung : Citra Aditya, 1991), h.352 37
C.F.G Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1991), h.1
28
oleh masyarakat dan negara kita. Pandangan hukum sebagai produk politik38
memposisikan bahwa hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan
oleh politik. Apalagi dalam tataran ide atau cita hukum. Dalam hal ini, bukan
hanya hukum (dalam arti Undang-Undang) dalam produk politik tetapi juga
mencakup hukum dalam arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang
Dasar 1945.
Menurut K.C. Wheare mengatakan bahwa, ―Constitution, when they are
framed and adopted, tend to reflect the dominant belieft and interest or some
compromise between conflicting beliefs and interests, which are characteristic the
society at the time. A constitution is indeed the resultant of parallelogramof
forces-political, economic and social which operate at that time of its adoption”.
Dari pengertian Wheare tersebut jelas bahwa konstitusi (yang ada dalam arti
mencakup semua peraturan perundang-undangan dalam pengorganisasian negara)
merupakan produk kesepakatan politik, ekonomi, dan budaya yang sangat
mempengaruhi.39
Selain Wheare, ada 2 pakar yang mengemukakan bahwa asumsi dan
konsep tertentu hukum merupakan produk perkembangan atau keadaan politik.
Menurut Ismail Sunny40
mengatakan dari sudut pandangan hukum, suatu revolusi
jaya dengan sendirinya merupakan suatu kenyataan yang menciptakan hukum,
38
Istilah hukum sebagai produk politik merupakan pandangan dari Mahfud Md yang
berangkat dari cakupan studi ruang lingkup politik hukum dan latar belakang politik dibalik
lahirnya hukum dan pengaruhnya terhadap produk hukum. 39
K.C. Wheare, the Modern Consstitutions, (Oxford University : Third Impression,
London, New York, Torontom 1975), h. 67 40
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Cet. V, Jakarta : Aksara Baru, 1983), h.
1
29
oleh karena itu kesahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia harus
dipertimbangkan dengan menunjuk pada berhasilnya revolusi Indonesia.
Selanjutnya, dalam buku General Theory of Law and State, Hans Kelsen
mengatakan bahwa suatu keadaan politik yang menimbulkan pemerintahan dan
hukum baru dapat sah sebagai pemerintah dan konstitusi baru sejauh pemerintah
tersebut secara politik mampu mempertahankan dan memberlakukan. (If the New
Goverment is able to maintain the new constitution are, according to
Internasional law, the legitimate goverment and the valid constitution of the
state)41
Beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar ahli hukum
mengantarkan pemahaman bahwa studi politik hukum mencakup legal policy
(sebagai kebijakan resmi negara) tentang hukum yang diberlakukan atau tidak
diberlakukan. Terdapat perbedaan cakupan antara politik hukum dan studi politik
hukum, karena cakupan politik hukum bersifat kebih formal pada kebijakan resmi
sedangkan studi politik hukum mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang
terkait dengannya.42
Menurut Mahfud Md ruang lingkup studi politik hukum mencakup tiga
hal, diantaranya sebagai berikut :
1) Kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau
tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara.
2) Latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, atas lahirnya politik
hukum.
41
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Cambridge : Harvard University Press,
1945) h.365 42
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h.3-4
30
3) Penegakan hukum didalam kenyataan lapangan.
Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa pandangan tentang studi
politik hukum adalah :
1) Apa yang ingin dicapai dengan sistem hukum yang ada.
2) Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut.
3) Kapan waktu hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana
perubahan itu sebaiknya dilakukan.
4) Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang membantu
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut secara baik.43
Dalam ruang lingkup kegiatan politik hukum adalah meliputi beberapa hal
sebagaimana berikut :
1) Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang meneruskan politik
hukum.
2) Proses pendekatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi (sebagaimana
terdapat pada point 1) ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-
undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan
menetapkan hukum.
3) Fakta-fakta yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum baik
yang akan datang maupun yang sudah ditetapkan.
43
Abdul Manan. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek Ketatanegaraan
Islam dan Sistem Hukum Barat, h. 9
31
4) Pelaksanaan dan peraturan yang merupakan implementasi dari politik
hukum suatu negara.44
2. Konfigurasi Politik di Indonesia
Berdasarkan beberapa definisi ahli bahwa hukum adalah instrumen dari
politik atau keinginan politik pada pembentukan perundang-undangan untuk
sebuah kepentingan. Oleh karena itu, pembentukan undang-undang menjadi
medan pertarungan dan pembenturan dari berbagai kepentingan yang kemudian
mencerminkan suatu konfigurasi kekuatan dan kepemtingan yang ada pada
masyarakat.45
Istilah konfigurasi merupakan arti dari bentuk wujud yang
menggambarkan orang atau benda). Menurut Mahfud Md konfigurasi
disandingkan dengan susunan konstelasi politik. Istilah konstelasi politik yang
tediri dari dua kata yaitu konstelasi dan politik. Konstelasi yang berartu gambaran
atau keadaan yang diperlihatkan (yang sedang terjadi). Pada negara demokratis,
pemerintah menjadi cerminan dari kekuatan yang ada dalam masyarakat. Oleh
karena itu, konstelasi politik adalah rangkuman dari kehendak-kehendak politik
masyarakat.46
Oleh karena itu, Mahfud Md mengemukakan perjalanan konfigurasi
politik sangat berkaitan dengan perjalanan politik dalam mempengaruhi hukum
44
Abdul Manan. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek Ketatanegaraan
Islam dan Sistem Hukum Barat, h. 10 45
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
(Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2002), h. 26 46
Mahfud Md, Politik Hukum, h. 76
32
dengan cara melihat kondisi kekuasaan yang ada dibelakang pembuatan dan
proses penegakan hukum.47
Terdapat dua konsep konfigurasi politik hukum yaitu:
1) Konfigurasi politik demokratis dengan ciri melahirkan hukum yang
responsif. Merupakan susunan sistem politik dengan membuka kesempatan
(peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan
kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan
politik.48
2) Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir
seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini
ditandai dengan dorongan elite kekuasaan untuk melaksanakan persatuan
untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik
oleh elite politik yang kekal, serta dibalik itu semua ada yang membenarkan
konsentrasi kekuasaan. 49
Sebagaimana dalam penjelasan diatas, bahwa dalam suatu pemerintahan
terdapat konfigurasi politik yang sesuai pada rezminya. Selain itu, terdapat
karakteristik produk hukum di Indonesia yang terbagi menjadi dua:50
47
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h. 77 48
Pengertian tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Henry B. Mayo, An Introduction to
Democratic Theory, (Network : Oxford University Press, 1960), h. 70 yang dikutip oleh Mahfud
Md dalam buku Politik Hukum di Indonesia, h.31 49
Pengertian tersebut disunting dari pengerttian totaliterisme sebagaimana dikemukakan
oleh Carter dan Herz yang dikutip oleh Mahfud Md dalam buku Politik Hukum di Indonesia, h.31 50
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h. 31-32
33
1) Produk hukum responsif / populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Pada
proses perancangannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
baik dari kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.
Oleh karena itu, hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan
kelompok sosial ataupun individu dalam masyarakat.
2) Produk hukum konservatif atau Ortodoks adalah produk hukum yang
isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan
keinginan pemerintah, bersifat positivis-intrumentalis yaitu menjadi alat
pelaksanaan ideologi dan program negara. Kemudian bersifat tertutup
terhadap tuntutan kelompok masyarakat maupun individu didalam
masyarakat.
Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya
bersifat partisipatif. Yaitu mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi
masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat.
Melihat pada fungsinya juga, karakter hukum responsif juga bersifat aspiratif.
Artinya memuat materi yang secara umum sesuai denga aspirasi dan kehendak
masyarakat yang dilayaninya. Pada segi penafsiran, biasanya memberi peluang
bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan
pelaksanaan.51
Berbeda dengan produk hukum yang bersifat Ortodoks bersifat sentralistik
dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan
51
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h. 33
34
eksekutif. Hukum ini juga bersifat positivis-instrumentatif. Memuat materi yang
lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat
materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan
program pemerintah.Pada segi penafsiran, memberikan peluang luas kepada
pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan
lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah. 52
Tabel 2.1 Indikator Sistem Politik Dan Karakter Produk Hukum
Konfigurasi Politik Demokratis Konfigurasi Politik Otoriter
Parpol dan Parlemen kuat
menentuka haluan atau
kebijakan negara
Parpol dan Parlemen lemah,
dibawah kendali eksekutif
Lembaga Eksekutif
(pemerintah) netral
Lembaga Eksekutif (Pemerintah)
Intervensionis
Pers bebas, tanpa sensor dan
pemberendelan
Pers terpasung, diancam sensor
dan pemberendelan
Karakter Produk Hukum
Responsif
Karakter Produk Hukum
Ortodoks
Pembuatannya partisipatif Pembuatannya Sentralistik –
Dominatif
Muatannya Inspiratif Muatannya positivist –
Instrumentalistik
Rincian isinya limitatif Rincian isinya open
interpretative
35
Perkembangan konfigurasi politik di Indonesia sampai sekarang
menunjukkan bahwa senantiasa terjadi pergantian, pergeseran, atau tolak tarik
antara konfigurasi demokratis dan ikonfigurasi otoriter. Gambaran spesifik
konfigurasi politik Indonesia sebagai berikut:
1) Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 terjadi pembalik arah
dan penampilan konfigurasi politik. Periode ini politik menjadi cenderung
sangat demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal.
Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1959, saat presiden Soekarno
menghentikan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini juga
pernah berlaku tiga macam konstitusi yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS
1949 dan UUDS 1950. Namun konfigurasi politik yang ditampilkan saat
itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah partai-
partai saat itu lebih dominan. Pada saat yang sama posisi pemerintah
sangat lemah dan sangat mudah dijatuhkan dengan ―mosi‖ di parlemen.
Begitu juga dengan kebebasan pers untuk mengekspresikan temuan, opini
dan kritik-kritiknya.53
2) Konfigurasi politik demokratis54
adalah sistem politik yang membuka
peluang dan kesempatan bagi partisipasi rakyat secara ikut aktif
memutuskan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan oleh wakil
rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana kebebasan politik. Pada
periode 1945-1959 mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi
53
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h.360 54
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis : Antara Otonomi dan Kontrol, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1985), h.8-9
36
otoriter sejak tahun 1957. Ketika presiden soekarno melemparkan
konsepsinya tentang demokrasi terpimpin. mkonfigurasi politik
sebelumnya dinilai sangat bertentangan dengan budaya di Indonesia, oleh
karena itu harus ditinggalkan. Sangat terlihat pada demokrasi terpimpin
tidak ada demokrasi, yang terjadi adalah sikap otoriter pemerintah yang
berpusat di Istana presiden sangat kuat. Sehingga lembaga perwakilan
rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR seringkali di Intervensi dengan
dikeluarkannya Penpres dan Perpu akhirnya parlemen hasil pemilu ini
dibubarkan dengan adanya Penpres. Kebebasan pers mulai ditekan,
melalui pemberedelan, sensor dan pemenjaraan. Pada demokrasi terpimpin
ada tiga kekuatan besar yang saling tarik-menarik dan memanfaatkan yaitu
Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia (PKI)
3) Konfigurasi politik otoriter pada era globalisasi terpimpin berakhir pada
tahun 1966 ketika Orde Baru yang berintikan Angkatan Darat tampil
sebagai pemeran utama dan membentuk rezim baru. Tampilnya ABRI
diberi jalan oleh peristiwa G/30 S/PKI yang menyebabkan PKI dan
Soekarno sendiri tak dapat mempertahankan jabatannya. Pada awal Orde
Baru memulai langkah politiknya dengan demokratis-liberal. Tetapi,
langgam tersebut hanya sementara yaitu selama pemerintah berusaha
membentuk format baru politik Indonesia. Setelah terbentuknya Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1969 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
37
1969 serta hasil dari Pemilu Tahun 1971. Maka sistem politik beralih ke
arah yang lebih otoritarian.55
Berikut ini ciri otoritarian pada konfigurasi politik Orde Baru
terlihat pada: Pertama, sistem kepartaian yang hegemonik, sangat
kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik
nasional adalah partai yang mendukung dan didukung dengan kuat oleh
pemerintah, yaitu Partaia Golkar. Kedua, peranan eksekutif sangat
dominan yang ditandai tindakan-tindakan intervensionis dan pembentukan
jaringan-jaringan korporatis serta produk hukum. Ketiga, kebebasan pers
yang relatif terbatas. Dengan demikian, konfigurasi era Orde Baru lebih
menonjolkan ciri otoriternya sehingga dikualifikasikan sebagai konfigurasi
politik otoriter. Oleh karena itu, pada era Orde Baru ini keputusan bidang
legislasi lebih banyak diwarnai oleh visi pemerintah. Termasuk Lembaga
Surat Izin Terbit (LSIT) yang dulunya dikecam sebagai alat yang
memberendel pers eksistensinya dipertahankan melalui Lembaga Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).56
B. Teori Tujuan Hukum
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki kekuasaan yang dapat
berbuat untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi dunia. Kekuasaan yang
menjadi titik sentral dari seluruh kehidupan manusia dalam melakukan kegiatan di
dunia. Manusia merupakan pelaku atau subyek bukan alat atau obyek yang
55
Giovanni Sartori, Parties And Party System, A Framework for analtis (Cambridge:
Cambridge Universities Press), h. 47. 56
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h.363
38
memiliki kepentingan dan tuntutan yang diharapkan dapat terlaksana dengan
baik.57
Kaidah hukum melindungi kepentingan manusia terhadap bahaya yang
mengancam juga mengatur hubungan diantara manusia. Mengatur hubungan
diantara manusia agar tercipta ketertiban atau stabilitas dan diharapkan dapat
dicegah atau diatasi terjadinya konflik atau gangguan kepentingan-kepentingan.
Mengatur hubungan manusia dan meningkatkan atau mengembangkan
hubungan antar manusia. Kaidah hukum fungsinya melindungi kepentingan
manusia, baik secara individual maupun secara kelompok maka manusia yang
memiliki kepentingan hukum itu dihayati, dipatuhi, dilaksanakan dan ditegakkan.
Kesadaran pada diri manusia pada dasarnya adalah manusia memerlukan
perlindungan kepentingan yaitu hukum yang dipatuhi dan dilaksanakan serta
ditegakkan agar kepentingannya maupun kepentingan orang lain terlindungi dari
ancaman disekelilingnya.58
Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa hukum sebagai alat yang
merupakan sarana dan langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita – cita bangsa dan tujuan
negara. Negara mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai
tujuan dengan menggunakan hukum sebagai alat melalui pemberlakuan atau
penindak berlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahap-tahap perkembangan
yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.59
57
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Jakarta : Cahaya Atma, 2012), h. 13 58
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, h. 17 59
Mahfud Md, Poltik Hukum di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), h. 2
39
Menurut Radbruch, hukum memiliki tiga aspek yaitu :
1) Aspek keadilan yang merujuk pada ―kesamaan hak didepan hukum‖.
Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama
dari pada dan kemanfaatan dan kepastian hukum.
2) Aspek kemanfatan yang menunjukkan tujuan dari hukum yaitu
memajukan kebaikan hidup manusia dalam yang menentukan isi hukum,
Untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia sebagai suatu nilai
dalam hukum. Nilai kebaikan bagi manusia dapat dihubungkan dalam tiga
subyek diantaranya individu, kolektivitas dan kebudayaan.60
3) Aspek kepastian menunjukkan pada jaminan bahwa hukum (yang berisi
keadilan dan norma yang memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi
sebagai peraturan yang ditaati. Pertama, hukum itu positif. Kedua, hukum
itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu
dengan adanya keterangan. Ketiga, kenyataan (fakta) harus dirumuskan
dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
pemaknaan Di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif
tidak boleh mudah berubah.61
Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam
pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam
kehidupan masyarakat
60
Bernard, L.Yahya, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
h.130-131 61
Bernard, L.Yahya, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
h. 131
40
C. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil
tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum yaitu substansi
(isi) hukum meliputi perangkat perundang-undangan, struktur hukum merupakan
aparat penegak hukum dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living
law) yang dianut dalam suatu masyarakat.62
1. Struktur Hukum (Legal Structure)
Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem
struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan
baik. Struktur hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mulai
dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang
menyatakan ―Fiat Justitia Et Pereat Mundus‖ meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat
penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Suatu peraturan
perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang
baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak
hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak
hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen
62
Lawrence M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. (Bandung : Nusa Media
2011). h. 7
41
yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa
faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada
masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak
hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan “To begin with, the legal
sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the
number and size of courts; their jurisdiction …Strukture also means how the
legislature is organized …what procedures the police department follow, and so
on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system…a kind of still
photograph, with freezes the action.”63
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan
ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka
periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya.
Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan
sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada
dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.
Struktur merupakan pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum
dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan
bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan
dan dijalankan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem
63
Lawrence .M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 5-6
42
hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi
penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.64
2. Substansi Hukum
Substansi hukum menurut Friedman “Another aspect of the legal system is
its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of
people inside the system the stress here is on living law, not just rules in law
books”.65
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansi. Substansi
merupakan aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam
system itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi
aparat penegak hukum.
Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem
substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan.
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru
yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).66
Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem
Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah
menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah
peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak
64
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta : Gunung Agung, 2002), h.8 65
Lawrence .M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 12 66
Lawrence .M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 14
43
tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di
Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP.
Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan ―tidak ada suatu perbuatan pidana yang
dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya‖.67
Sehingga bisa atau
tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut
telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
3. Budaya Hukum
Budaya atau kultur hukum menurut Lawrence M. Friedman adalah sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalah gunakan.
Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin
tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik
dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara
sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum.68
Berdasarkan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman menjadi
pedoman dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah
bagian dari struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat, dan lembaga
permasyarakatan. Interaksi antar komponen pengabdi hukum ini menentukan
kokoh nya struktur hukum. Walau demikian, tegaknya hukum tidak hanya
ditentukan oleh kokohnya struktur, tetapi juga terkait dengan kultur hukum di
67
Lihat dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 68
Lawrence .M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 16
44
dalam masyarakat. Namun hingga kini ketiga unsur sebagaimana yang dikatakan
oleh Friedman belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur
hukum dan budaya hukum.
Berkaitan dengan budaya hukum, Friedman berpendapat : “The third
component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes
toward law and legal system their belief …in other word, is the climinate of social
thought and social force wich determines how law is used, avoided, or abused”.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum
yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.69
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial
tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk
menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang
lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah
atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum
tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya
penegakan hukum (law enforcement) yang baik.70
Sependapat dengan M. Friedman, Sajtipto Rahardjo menjelaskan hukum
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri
69
Lawrence .M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 17 70
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta : Kencana,
2013), h. 40
45
atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum
diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi
substansi, struktur dan kultur hukum. Kesemuanya itu sangat berpengaruh
terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum. Dari beberapa definisi tersebut, dapat
kita artikan bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa
hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk
mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Tingkat
efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhan warga
masyarakat terhadap aturan hukum yang telah dibuat. 71
Menurut Achmad Ali jika suatu aturan hukum dapat ditaati oleh sebagian
besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka dapat diartikan bahwa aturan
hukum tersebut efektif. Namun demikian meskipun sebuah aturan yang ditaati
dapat dikatakan efektif, derajat keefektivannya masih bergantung pada
kepentingan mentaatinya. Jika ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum
karena kepentingan yang bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat
ketaatannya dinilai sangat rendah. Berbeda ketika ketaatannya berdasarkan
kepentingan yang bersifat internalization, yakni ketaatan karena aturan hukum
tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat
ketaatan seperti inilah yang merupakan derajat ketaatan tertinggi.72
71
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas,
2010), h. 8 72
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum. h. 27
46
BAB III
JAMINAN PRODUK HALAL
A. Konsep Halal
Dalam penyusunan undang-undang Jaminan Produk Halal konsep
berkaitan dengan ―produk‖ seharusnya dipahami secara menyeluruh supaya
perumusan dan penerapan bisa dapat dilakukan dengan baik. Kata ―Halalan‖
berasal dari kata ―Halla‖ yang berarti ―tidak terikat‖. Kata ―Halalan‖ berarti hal-
hal yang boleh dan dapat dilakukan dengan ketentuan yang melarangnya. Dalam
pengertian bahasa halal adalah perbuatan yang dibolehkan, diharuskan, diizinkan
dan dibenarkan atas syariat Islam. Sedangkan, haram adalah perkara atau
perbuatan yang dilarang atau tidak diperbolehkan oleh Syariat Islam
Dasar pertama yang ditetapkan Islam adalah bahwa segala sesuatu yang
diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram kecuali
karena ada ketentuan yang sah dan tegas dari Allah dan Rasul yang
mengharamkannya. Kalau tidak ada ketentuan yang sah, misalnya karena ada
sebagian hadis lemah atau tidak ada ketentuan yang tegas menunjukan haram,
maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu halal dan mubah sebagian
hadis lemah atau tidak ada ketentuan yang tegas menunjukan haram,maka hal
tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu halal dan mubah.
Berikut ini beberapa ayat AI-Quran yang memerintahkan untuk memakan
makanan yang halal, antara lain:
ا ٱلاص أي ي ۥ لكنأ عذ ي إيأط ت ٱلش ل تتبعا خط لا طيباا
ض حل رأ ا فى ٱلأ كلا هو
بيي ه
47
Artinya: Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal
dan
baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah
musuh yang nyata bagi kalian" (QS. Al-Baqarah : 168).
بذى )ياا أتنأ إيا تعأ إىأ ك كزا لل اشأ ا الذيي آها كلا هيأ طيبات ها رسقأاكنأ (۱٧۲أي
م الذ م عليأكن الأويأتة ل إوا حز طز غيأز باغ فوي اضأ لغيأز للا ل ب ها أ أشيز ن الأخ لحأ
غفر رحين إى للا (۱٧۳)عاد فل إثأن عليأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-
baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-
benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Baqarah Ayat 172-173).
Berdasarkan ayat di atas, terdapat 5 (lima) macam makanan yang
diharamkan (qardhawi, 1993), dengan rincian sebagai berikut:
1. Diharamkannya Bangkai
Bangkai adalah binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada
suatu usaha manusia yang memang sengaja disembelih atau dengan
berburu. Salah satu sebab diharamkannya bangkai adalah karena binatang
yang mati dengan sendirinya umumnya mati karena suatu sebab, mungkin
karena penyakit yang mengancam atau karena keracunan makanan.
Penyebab yang tidak jelas tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan
bahaya pada manusia. Dalam AI-Qur'an, Allah memperinci yang dimaksud
dengan bangkai. Dalam Surat Al-Maidah Ayat 3 yang artinya:
"Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang
disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati)
48
karena dipukul, yang (mati)karena jatuh dari atas, yang (mati) karena
ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas kecuali yang
dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala. "
2. Diharamkannya Darah yang Mengalir
Orang-orang jahiliyah dahulu jika merasa lapar diambilnya sesuatu yang
tajam lalu ditusukkan kepada unta atau binatang lain dan darahnya yang
mengalir dikumpulkan kemudian diminum. Mengeluarkan darah dengan
cara seperti itu menyakiti binatang dan diduga berbahaya bagi kesehatan
sebagaimana halnya bangkai. Darah yang diharamkan untuk dikonsumsi
hanyalah darah yang mengalir.
3. Diharamkannya Babi
Perilaku babi yang suka makan makanan yang kotor-kotor dan najis
menjadikan babi dianggap sebagai binatang yang kotor. Terlebih ilmu
pengetahuan telah membuktikan bahwa memakan daging babi dapat
membahayakan kesehatan karena mengandung cacing pita. Sebagaimana
dalam Qur’an Surat AI-A'raf: 156 yang artinya "Dan Allah mengharamkan
atas mereka yang kotor."
4. Diharamkannya Binatang yang Disembelih Bukan Karena Allah
Yang dimaksud binatang yang disembelih bukan karena Allah adalah
binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya
nama berhala kaum penyembah berhala dahulu (watsaniyyin) apabila
hendak menyembelih binatang mereka sebut nama berhala mereka seperti
Latta dan Uzza. Jadi, sebab diharamkannya disini adalah untuk melindungi
49
kemurnian aqidah dan memberantas kemusyrikan. Oleh karena itu, dalam
penyembelihan diberlakukan berbagai syarat, yaitu:
a. Binatang tersebut harus disembelih atau ditusuk (nahr) dengan suatu alat
yang tajam yang dapat mengalirkan darah dan mencabut nyawa binatang
tersebut, baik alat itu berupa batu ataupun kayu.
b. Penyembelihan atau penusukan itu harus dilakukan di leher binatang
tersebut, yaitu bahwa kematian binatang tersebut adalah akibat dari
terputusnya urat nadi atau kerongkongannya.
c. Tidak disebut selain asma Allah.
d. Harus disebutnya nama Allah (membaca bismillah) ketika
menyembelih).
5. Diharamkan Khamr
Satu lagi makanan/minuman yang diharamkan dalam AIQur'an selain yang
terkandung dalam surat AI-Maidah ayat 3, yaitu khamr. Khamr adalah
bahan yang mengandung alkohol yang memabukkan. Khamr diharamkan
karena jika telah memabukkan, dapat menghalangi jiwa dari mengingat
Allah dan kewajibankewajiban agama yang lainnya. Dalam hubungannya
dengan masyarakat, khamr juga dapat menimbulkan permusuhan dan
kebencian akibat perbuatan-perbuatan buruk di luar kesadaran.
Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 90-91 "Hai orang-
prang yang beriman! Sesungguhnya arak, judi, berhala, dan undian adalah
kotor dari perbuatan syaithan. 0leh karena itu, jauhilah dia supaya kamu
bahagia. Syaithan hanya bermaksud untuk mendatangkan permusuhan dan
50
kebencian diantara kamu disebabkan khamr dan judi, serta menghalangi
kamu ingat kepada Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mau
berhenti?"
B. Konsep Produk Halal
Di dalam ajaran Islam, makanan dan minuman merupakan tolok ukur
dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk
perilaku seseorang. Sehingga, umat muslim harus memperhatikan kehalalan suatu
produk yang dikonsumsi dan digunakanannya.
Secara konsep, pengertian produk menurut Kotler dan Amstrong 73
adalah:
"A product as anything that can be offered to a market for attention, acquisition,
use or consumption and that might satisfy a want or need". Pengertian tersebut
mengartikan bahwa produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk
mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan dan yang dapat memuaskan
keinginan atau kebutuhan konsumen.
Menurut Stanton74
"A product is asset of tangible and intangible attributes,
including packaging, color, price quality and brand plus the services and
reputation of the seller". Pengertian suatu produk adalah kumpulan dari atribut-
atribut yang nyata maupun tidak nyata, termasuk di dalamnya kemasan, warna,
harga, kualitas dan merk ditambah dengan jasa dan reputasi penjualannya.
Sehingga, produk dapat disimpulkan sebagai segala sesuatu yang
ditawarkan kepada suatu pasar untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan
73
Philip, Kotler. Manajemen Pemasaran Edisi Milenium Jilid 1&2. (Prenhalindo: Jakart,
2000), h. 40 74
Stanton, William. Prinsip-prinsip Pemasaran Jilid Kedua Edisi Ketujuh. (Erlangga:
Jakarta, 1996), h.7
51
masyarakat/konsumen. Produk yang perlu dijaga kehalalannya yaitu produk yang
dikonsumsi masuk ke dalam tubuh dan bersentuhan langsung dengan kulit
manusia, seperti: makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk
biologi, dan produk rekayasa genetik. Jika dikaitkan dengan produk farmasetik,
makanan, dan minuman, maka halal dapat dimaknai sebagai produk farmasetik,
makanan atau minuman yang diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh seorang
muslim.75
Pengertian produk halal menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah
produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai syariat Islam yaitu:
a. Tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta
tidak menggunakan alkohol sebagai ingridient yang sengaja ditambahkan.
b. Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang disembelih
menurut tata cara syariat Islam.
c. Semua bentuk minuman yang tidak beralkohol.
d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau
barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu
dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat Islam.76
Selain ketentuan tersebut di atas, sesuai dengan kemajuan teknologi,
banyak dari bahan-bahan yang halal menjadi tidak halal karena tercampur dengan
bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang tidak halal. Akhirnya
yang halal dan yang haram menjadi tidak jelas, bercampur aduk dan banyak yang
75
Abdul Rohman, Pengembangan dan Analisis Produk Halal, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), hal. 1.
52
syubhat (samar-samar, tidak jelas hukumnya). Menghadapi kasus semacam ini
maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya makanan olahan yang telah
tersentuh teknologi dan telah diolah sedemikian rupa menjadi samar (syubhat).
Di dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan produk halal adalah
produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan
produk rekayasa genetik, yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat. Untuk
memastikan suatu produk halal atau tidak, diperlukan pemeriksaan secara
menyeluruh oleh auditor yang berkompeten di bidang syariat dan ilmu
pengetahuan. Suatu produk harus terjaga kehalalannya sesuai syariat, dimulai
sejak proses pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan,
dan proses penyajian kepada konsumen.
C. Sertifikasi Halal Sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Sertifikat halal77
adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat
atau Provinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan
kosmetika yang diproduksi oleh perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal
oleh LPPOM MUI. Pemegang otoritas menerbitkan sertifikasi halal adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang). saat ini secara teknis ditangani oleh
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LP POM 78
Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari
Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam
meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988. Berawal dari
77
Nama lain Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syariat Islam 78
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
(Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2015), h.15
53
kesadaran terhadap produk halal dimulai dari Universitas Brawijaya Malang yang
mencuri perhatian berdasarkan hasil temuan ilmiah Prof. Dr. Ir. Tri Susanto.,
M.App.Sc pada tahun 1988, yang membuktikan bahwa produk makanan yang
beredar di lingkungan mahasiswa sekitar ternyata banyak mengandung bahan
tidak halal. Produk-produk tersebut tergolong cukup strategis dan banyak
dikonsumsi oleh mahasiswa karena mencakup susu dan mie. Berdasarkan
penelitian Prof. Tri Susanto, diperkirakan terdapat kandungan bahan gelatin,
shortening, lecithin, dan lemak yang kemungkinan berasal dari babi pada produk-
produk tersebut.79
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan
pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI
menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996 ditandatangani Nota
Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan
MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan
Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang
menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan
pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.80
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LP POM MUI
menggunakan prosedur yang tertuang dalam Standard Operation Procedure
(SOP). Panduan ini senantiasa ditingkatkan dan kembangkan sesuai dengan
pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan. Adapun pimpinan LP POM MUI
79
Pidato Profesor Sukoso, M.Sc dalam Acara Seminar pada tanggal 25 April 2018
http/Malang- Merdeka.com%20%20 Awal kesadaran label halal di Indonesia lahir dari
Malang.htm/ diakses pada tanggal 15-5-2018 80
Tentang LP POM MUI,
www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1 diakses pada 15-5-2018
54
pada periode pertama dipimpin oleh Dr. Ir. M. Amin Aziz (1989-1993), periode
kedua dipimpin oleh Prof. Ir. Aisjah Girindra (1993-2006), periode ketiga
dipimpin oleh Dr. Ir. HM. Nadratuzzaman Hosen (2006-2011), dan periode
selanjutnya dipimpin oleh Ir. Lukmanul Hakim, M.si.81
LPPOM MUI melakukan kerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian,
Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan Perguruan Tinggi di Indonesia antara
lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka,
Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim Semarang, serta
Universitas Muslimin Indonesia Makasar.
Bagi konsumen, sertifikat halal berfungsi sebagai: a) terlindunginya
masyarakat muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang
tidak halal, b) secara kejiwaan perasaan hati dan batin konsumen akan tenang, c)
mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram, d)
Sertifikasi halal juga akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
terhadap konsumen
Bagi produsen, sertifikat halal mempunyai peran sangat penting yaitu: a)
sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, mengingat
masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup muslim, b) meningkatkan
kepercayaan dan kepuasaan konsumen, c) meningkatkan citra dan daya saing
81
LP POM MUI, Indonesia Halal Directory, (Jakarta : LP POM MUI, 2010). h. 10
55
perusahaan, d) sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan
pemasaran, e) memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya
saing dan omset produksi dan penjualan.82
Sertifikasi halal diberlakukan bukan hanya untuk produk dalam negeri
tetapi juga produk luar negeri. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga yang
terlibat diantaranya adalah a) Departemen Agama, b) Badan POM, c) MUI
(Komisi Fatwa MUI, LP POM MUI, dan Departemen Pertanian) yang tegabung
dalam Komite Halal Indonesia atau KHI.
Sertifikasi halal berlaku selama dua tahun dan dapat diperbarui selama
dua tahun dan dapat diperbarui untuk jangka waktu yang sama. Setiap pelaku
usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal terhadap produknya mencantumkan
keterangan atau tulisan dan nomor sertifikat pada label setiap produk. Selama
masa berlaku sertifikat halal tersebut, perusahaan harus dapat memberikan
jaminan bahwa segala perubahan baik dari penggunaan bahan, pemasok maupun
teknologi proses hanya dapat dilakukan dengan sepengetahuan dari LP POM MUI
yang menerbitkan sertifikat halal.Yang mana proses ini tertuang dalam sistem
jaminan halal. 83
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI
melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga dan kementerian serta sejumlah
perguruan tinggi di Indonesia. Khusus dengan BPOM, LPPOM MUI bekerja sama
dalam pencantuman sertifikat halal MUI pada kemasan untuk produk yang
82
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP
POM MUI) Jawa Timur, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, (Surabaya: Lutfiansah
Mediatama, 2004), h.43 83
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h.117
56
beredar di Indonesia. Berikut alur proses sertifikasi halal yang dilaksanakan oleh
LPPOM MUI sebelum diimplementasikannya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal 84
84
Nidya Waras Sayekti, ―Jaminan Produk Halal Perspektif Kelembagaan. Jurnal Ekonomi
& Kebijakan Publik, Vol. 5 No. 2, Desember 2014. h.199
57
Gambar 3.1 Proses Sertifikasi Halal di LP POM MUI sebelum implementasi
Undang-Undang Jaminan Produk Halal85
85
Dilihat di www.halalmui.org
58
Berdasarkan alur tersebut, pelaku usaha melakukan pendaftaran
sertifikasi halal langsung kepada LPPOM MUI dengan dua persyaratan yang
harus dipenuhi sebelum dilakukannya audit, yaitu kelengkapan dokumen dan
pelunasan pembiayaan. Biaya yang diperlukan untuk pengurusan sertifikasi halal
ini adalah Rp1 juta sampai dengan Rp5 juta per sertifikat untuk perusahaan
menengah ke atas, dan Rp0 sampai dengan Rp2,5 juta per sertifikat untuk
perusahaan kecil-menengah, tergantung besar atau kecilnya perusahaan. Biaya
tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun
on site (lapangan). Biaya tersebut belum termasuk biaya transportasi dan
akomodasi untuk melakukan audit lapangan. Adapun biaya transportasi dan
akomodasi ditentukan oleh perusahaan yang mengajukan sertifikasi dan disepakati
dalam sebuah akad dengan perusahaan pengaju sertifikat halal.86
Sebagai upaya untuk mengefektifkan dan menjaga kesinambungan
pelaksanaan sertifikasi halal serta memperlancar kerja sistem administrasi
sertifikasi halal yang telah ditetapkan. MUI telah membuat standar persyaratan
sertifikasi halal dalam bentuk buku seri HAS 23000 yang mencakup pedoman
untuk produk pangan dan olahan, restoran dan Rumah Potong Hewan (RPH).
HAS 23000 ini kemudian dijadikan standar dalam forum internasional World
Halal Food Council (WHFC).87
86
Inilah Biaya untuk Bisa Raih Label Halal dari MUI‖,
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/26/1446338/Inilah.Biaya.untuk.Bisa.Raih.Label.
Halal.dari.MUI diakses pada tanggal 15 Mei 2018 87
LPPOM MUI, Pelopor Standar Halal & Pendiri Dewan Pangan Halal Dunia‖,
http://www.halalmui.org /newMUI diakses pada tanggal 15 Mei 2018
59
LPPOM MUI juga telah membuat Ketentuan Sistem Jaminan Halal melalui
suratnya Nomor SK 13/Dir/LPPOM MUI/III/13 tanggal 31 Maret 2013, ketentuan
tersebut memuat sebagai berikut:
1. Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah sistem manajemen terintegrasi yang
disusun, diterapkan dan dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi,
produk, sumber daya manusia, dan prosedur dalam rangka menjaga
kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan persyaratan LPPOM
MUI yang tercantum pada HAS 23000:1 Kriteria Sistem Jaminan Halal.
2. Perusahaan wajib menyusun manual SJH sebagai dokumen utama yang
memuat perencanaan, sekaligus panduan bagi perusahaan bersertifikat
halal MUI dalam menerapkan SJH guna memenuhi kriteria HAS 23000.
Penyusunan manual SJH dapat merujuk pada panduan penyusunan manual
SJH yang sesuai dengan kelompok industri perusahaan (industri
pengolahan, restoran/katering, RPH, jasa).
3. Manual SJH harus disampaikan ke LPPOM untuk aplikasi perusahaan baru dan
aplikasi perpanjangan.
4. Perusahaan wajib menerapkan SJH sesuai dengan manual SJH yang telah
disusun.
5. Implementasi SJH dinilai oleh LPPOM MUI melalui proses audit. Hasil audit
implementasi SJH dinyatakan dalam status implementasi SJH dan sertifikat SJH.
6. Syarat perusahaan memperoleh sertifikat halal yaitu memiliki status SJH
minimum B.
7. Penerbitan status dan sertifikat SJH
8. Informasi yang tercantum pada status dan sertifikat SJH.
60
9. Basis penerbitan status atau sertifikat SJH adalah pabrik/fasilitas produksi.
Untuk pabrik yang benar-benar baru, maka diterbitkan status baru
(pertama). Namun jika suatu pabrik merupakan pabrik baru yang akan
digunakan karena pabrik lama sudah tidak digunakan lagi, maka
status/sertifikat SJH yang diberikan meneruskan pabrik yang lama.
10. Ada industri pengolahan, pemilik status atau sertifikat SJH adalah
perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal yang diperuntukkan pada
fasilitas produksi (pabrik) yang didaftarkan. Ruang lingkup status atau
sertifikat SJH berlaku untuk semua lini produksi dan seluruh produk yang
dihasilkan di pabrik tersebut (termasuk jika ada penambahan lini produksi
baru atau kelompok produk baru).
11. Pada restauran/katering/dapur, pemilik status atau sertifikat SJH adalah
perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal yang diperuntukkan pada
seluruh fasilitas produksi mencakup outlet, dapur, dan gudang.
12. Pada RPH, pemilik status atau sertifikat SJH adalah perusahaan yang
mengajukan sertifikasi halal yang diperuntukkan pada fasilitas produksi
yang didaftarkan. Ruang lingkup status atau sertifikat SJH berlaku untuk
semua lini produksi.
13. Masa berlaku status implementasi SJH adalah 2 tahun dan sertifikat SJH
adalah 4 tahun.
14. Program percepatan untuk mendapatkan status A atau sertifikat SJH dapat
diajukan oleh perusahaan dengan syarat: (i) pengajuan dilakukan minimal
61
setelah enam bulan dari audit yang terakhir, (ii) perusahaan telah
melaksanakan audit internal, dan (iii) laporan berkala telah dikirimkan.
15. Pada program percepatan, masa berlaku status SJH menyesuaikan dengan
masa berlaku Sertifikat halal.
Pada peraturan tersebut, Sistem Jaminan Halal diharapkan perusahaan
dapat menghasilkan produk yang benar terjamin kehalalannya. Adapun komponen
Sistem Jaminan Produk Halal yang disusun oleh perusahaan harus mencakup hal-
hal sebagaimana berikut:
Ragaan diatas memberikan pengertian bahwa siklus Sistem Jaminan
Produk Halal (SJH) antara lainnya saling berkaitan. Dimulai dari kebijakan halal,
kemudian dirumuskan perencanaan (planning), pelaksanaan (implementation),
Kebijakan Halal
(Policy)
Pelaksanaan (Doing)
Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring
and Evaluating)
Tindakan Perbaikan
(Correcting Action)
Perencanaan (Planning)
62
pemantauan dan evaluasi (monitoring and evaluating) dan berakhir dengan
tindakan perbaikan (corrective action). 88
Sistem Jaminan Produk Halal diuraikan secara tertulis dalam bentuk
manual halal, meliputi: a) Pernyataan kebijakan perusahaan tentan halal (Halal
Policy), b) Panduan Halal (Halal Guidelines) dengan berlandaskan Standard
Operating Procedure, c) Sistem Manajemen (Halal Management System), d)
Uraian Kritis Keharaman Produk (Haram Critical Control Point), e) Sistem Audit
Halal (Internal Halal Audit System).89
Ditinjau dari aspek tujuan penyusunan dari Sistem Jaminan Halal (SJH)
adalah untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk
yang dihasilkan dapat selalu dijamin kehalalannya sesuai dengan ketentuan LP
POM. Oleh karena itu, maka prinsip yang ditegakkan dalam operasional adalah:
1. Maqhasid Syariah. Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal (SJH) bagi
perusahaan yang memiliki sertifikat MUI mempunyai maksud memelihara
kesucian agama, pikiran, jiwa, keturunan, dan harta disamping loyalitas
pada negara.
2. Jujur. Perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan
dan proses produkse yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual SJH
serta melakukan operasional produksi halal sehari-hari berdasarkan yang
tertulis didalamnya.
88
LP POM MUI, Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Produk Halal (Halal Assurance
System), (Edisi III, Jakarta, 2005), h. 2 89
LP POM MUI Provinsi Jawa Timur, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, h. 51-53
63
3. Kepercayaan. LP POM-MUI memberikan kepercayaan kepada perusahaan
untuk menyusun sendiri manual SJH-nya berdasarkan kondisi nyata
internal perusahaan.
4. Sistematis. SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam
bentuk manual SJH dan arsip terkait agara bukti pelaksanaan di
lingkungan perusahaan mudah ditelusuri.
5. Disosialisasikan. Implementasi SJH merupakan tanggung jawab bersama
sehingga harus disosialisasikan kepada lingkungan perusahaan.90
D. Anotasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
merupakan peraturan yang menjadi pedoman terhadap kehalalan suatu produk
yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. Undang-undang ini telah diundangkan
pada tanggal 17 Oktober 2014 dan ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Terbentuknya Undang-Undang Jaminan Produk Halal dilandasi dengan
empat pertimbangan, diantaranya:
1. Pertimbangan pertama didasarkan pada ketentuan konstitusional mengenai
agama dan jaminan negara bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya.
Selain ketentuan konstitusional juga didasarkan atas sejumlah hak sebagai
HAM dalam Pasal 28H Ayat (1), Pasal 28J UUD 1945.
90
LP POM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Produk Halal LP POM MUI, (Edisi 4 :
Jakarta, 2004), h. 10
64
2. Pertimbangan kedua adalah jaminan bagi setiap pemeluk agama untuk
beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, dan kewajiban negara
memberikan perlindungan dan jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi
dan digunakan masyarakat. Pertimbangan ini didasari oleh ketentuan
tentang makan dan minum bagi pemeluk agama tertentu yang wajib
memenuhi unsur kehalalan makanan maupun minumannya.
3. Pertimbangan ketiga didasarkan pada kenyataannya bahwa produk yang
beredar dimasyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Produk
makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika yang beredar dan
diperdagangkan belum semua terjamin kehalalannya, walaupun banyak
mayoritas produk makanan dan minuman yang sudah menaruh perhatian
dengan mencantumkan label halal yang diterbitkan oleh LP POM MUI.
4. Pertimbangan keempat adalah perlunya pengaturan mengenai kehalalan
suatu produk guna menjamin kepastian hukum bagi masyarakat, mengingat
selama ini belum ada satupun secara khusus mengatur tentang jaminan
produk halal. Namun, terdapat beberapa peraturan perundangan telah
mengatur ketentuan pencantuman label halal yang dipersyaratkan , namun
kurang diperhatikan oleh masyarakat maupun pelaku usaha. Mengingat
dasar hukum yang diperhatikan oleh masyarakat adalah fatwa MUI tentang
makanan dan minuman.91
91
Lihat Konsideran dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal
65
Bab I : Ketentuan Umum
Pada ketentuan umum yang menjelaskan tentang pengertian-pengertian
istilah (dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal). Asas-Asas dalam
penyelenggara jaminan produk halal, dan Tujuan penyelenggaraan produk
halal.
Bab II : Penyelenggara Produk Halal
Pada Bab ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu: Bagian Pertama tentang
Pembahasan Umum diantaranya penanggung jawab Jaminan Produk Halal dan
Penyelenggaranya, Bagian Kedua tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH), Bagian Ketiga tentang Lembaga Pemeriksa Halal
(LPH).
Bab III : Bahan dan Proses Produk Halal
Pada Bab ini terdiri dari dua bagian: Bagian Pertama, tentang Bahan yang
dikategorikan oleh penyelenggara produk halal. Bagian kedua tentang Proses
Produk Halal
Bab IV: Pelaku Usaha
Pada Bab ini dikhususkan untuk pembahasan Pelaku Usaha. Berkaitan dengan
Hak dan Kewajiban pelaku usaha.
Bab V: Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal
Pada Bab ini terdiri dari beberapa bagian: Bagian pertama tentang
Pengajuan Permohonan dalam memperoleh sertifikat halal, bagian kedua
tentang Lembaga Pemeriksa Halal, bagian ketiga tentang Pemeriksaan dan
Pengujian kehalalan suatu produk, bagian keempat tentang Penetapan
66
Kehalalan Produk, bagian kelima tentang Penerbitan Sertifikat Halal, bagian
keenam tentang Label Halal yang akan dicantumkan dalam produk, bagian
ketujuh tentang Pembaruan Sertifikat Halal, bagian kedelapan tentang
Pembiayaan yang dibebankan Pelaku Usaha.
Bab VI: Kerjasama Internasional
Pada Bab ini mengatur tentang kerjasama internasional yang dilaksanakan
oleh pemerintah dalam pelaksanaan jaminan produk halal .
Bab VII : Pengawasan
Pada Bab ini membahas tentang pengawasan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) terhadap jaminan produk halal.
Bab VIII: Peran Serta Masyarakat
Pada Bab ini membahas tentang Peran Serta Masyarakat dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal. Melalui sosialialisasi maupun
pengawasan terhadap produk halal yang tersebar yang mana jika terjadi hal
yang tidak diinginkan terkait penyelenggaran produk halal dapat melakukan
pengaduan.
Bab IX : Ketentuan Pidana
Pada Bab ini mengatur tentang ketentuan pidana bagi para pelaku usaha
yang tidak menjaga kehalalan produknya dan mencantumkan label yang tidak
sesuai dengan aturan.
Bab X : Ketentuan Peralihan
Bab XI: Ketentuan Penutup
67
BAB IV
FAKTOR PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN
2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
A. Faktor Filosofis Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Keberadaan undang-undang dalam tata hukum nasional merupakan norma
yang menjabarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sehingga adanya nilai filosofis di dalam undang-undang
adalah sebuah kemutlakan. Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Rumusan Pancasila
terdapat di dalam Pembukaan (preambule) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdiri dari empat alinea.
Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan,
ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia.
Selain memuat dasar negara yaitu Pancasila, alinea ke-empat Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat tujuan
negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ke-empat
pokok pikiran mengenai tujuan negara di dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 pada dasarnya untuk mewujudkan
68
cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis
maupun tidak tertulis. 92
Batang tubuh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengatur pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya, dengan kata
lain batang tubuh atau pasal-pasal di dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun1945 merupakan perwujudan cita hukum. Pancasila
sebagai norma filosofis negara sebagai sumber cita hukum yang terumuskan lebih
lanjut dalam tata hukum atau hierarki peraturan perundang – undangan merupakan
kaidah dasar fundamental negara.
Umat muslim merupakan penduduk yang jumlahnya sangat besar di
Indonesia, perlu dilindungi hak-haknya untuk menjalankan syariah dalam
kehidupan sehari-hari. Syariah Islam memerintahkan umatnya agar memakan atau
menggunakan bahan-bahan yang baik, suci, dan bersih. Makanan dan minuman
bagi umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriah an
sich, akan tetapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi.93
Halal dan haram bukanlah hal sederhana yang dapat diabaikan, melainkan
masalah yang amat penting dan mendapat perhatian dari ajaran agama secara
umum. Terutama dalam agama Islam, masalah ini tidak hanya menyangkut
hubungan antar sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Allah
SWT. Seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum
ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram atau yang belum
92
Sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. 93
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h. 253
69
diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat.
Jadi masalah ini mengandung dimensi duniawi dan sekaligus ukhrawi.94
Kebersihan, kesucian, dan baik atau buruk sesuatu pangan dan produk
lainnya termasuk kosmetika dan obat yang digunakan umat Islam senantiasa
terkait dengan hukum halal atau haram. Oleh karena itu umat Islam perlu
mengetahui informasi yang jelas tentang halal dan haram mengenai makanan,
minuman, obat, kosmetika, produk kimia biologis dan rekayasa genetik.
Bagi umat Islam, mengkonsumsi atau menggunakan makanan, minuman,
obat, kosmetika, produk kimia biologis dan rekayasa genetik, bukan hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik akan tetapi terdapat tujuan lain yang
lebih utama yaitu ibadah dan bukti ketaatan kepada Allah SWT dengan cara
menegakkan ajaran Islam melalui pengungkapan maqasid a/ syar'iah. AI Qur'an
dan al Hadist sebagai sumber hukum umat Islam telah jelas dan terang
menetapkan bahwa ada makanan, minuman, obat dan kosmetika yang halal
dikonsumsi atau digunakan, dan sebaliknya ada juga yang haram dikonsumsi atau
digunakan, termasuk produk kimia biologis dan rekayasa genetik, yang dapat
menimbulkan keraguan mengenai halal-haramnya.
Beberapa ayat Al-Quran yang menyatakan hal tersebut di antaranya:
ۥ لك ي إيأط ت ٱلش ل تتبعا خط لا طيباا
ض حل رأ ا فى ٱلأ ا ٱلاص كلا هو أي ي بيي نأ عذ ه
Artinya: Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal
dan
baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah
musuh yang nyata bagi kalian" (QS. Al-Baqarah : 168).
94
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h. 132
70
ا الذيي آها يا بذى )أي أتنأ إيا تعأ إىأ ك كزا لل اشأ (۱٧۲كلا هيأ طيبات ها رسقأاكنأ
م الذ م عليأكن الأويأتة ل إوا حز طز غيأز باغ فوي اضأ لغيأز للا ل ب ها أ أشيز ن الأخ لحأ
غفر رحين )عاد فل إ إى للا (۱٧۳ثأن عليأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-
baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-
benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Baqarah Ayat 172-173).
ن ل أجذ في ها أ قلأ أ لحأ ا أ فحا ا هسأ أ دها ا على طاعن يطأعو إل أىأ يكى هيأتةا أ ها حي إلي هحز
أشيز خ فإ
ل عاد فإى طز غيأز باغ فوي اضأ ب ل لغيأز للا ربك غفر رحينأ قاا أ فسأ ض أ رجأ
Artinya : Katakanlah "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --
karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. Al-Anam Ayat 145)
B. Faktor Sosiologis Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Masyarakat Islam Indonesia yang merupakan bagian terbesar penduduk
Indonesia mulai menyadari bahwa banyak produk yang beredar di pasar diragukan
kehalalannya. Pada kemasan produk tidak ditemukan petunjuk yang menandakan
bahwa produk itu halal dikonsumsi atau digunakan. Padahal, peredaran produk
makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk lainnya sebagai hasil dari
teknologi pangan, rekayasa genetika, atau proses kimia
71
biologik saat ini telah merambah ke berbagai pelosok tanah air.
Umat Islam di Indonesia sebagai konsumen terbesar, membutuhkan hak
konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum dalam mengkonsumsi
produk sesuai dengan syariah Islam. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perlindungan hukum berupa undang-undang yang mengatur mengenai jaminan
kehalalan produk yang dikonsumsi atau digunakan. Undang-undang itulah yang
akan mengatur mengenai tata cara pelaksanaan sistem jaminan produk halal
secara komprehensif yang terdiri dari proses pemeriksaan, sertifikasi, labelisasi,
dan pengawasan.95
Sistem tersebut dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, pihak-pihak
terkait yang berkompetensi di bidang pemeriksaan kehalalan, lembaga yang
berwenang mengeluarkan fatwa halal, dan melibatkan peran serta masyarakat.
Pihak yang melakukan pemeriksaan dan sertifikasi produk halal harus memiliki
pemahaman yang harmonis dan sinergis mengenai syariah dan bidang keilmuan.
Sementara itu, sistem pengawasan dan pengendalian produk halal dilakukan oleh
Pemerintah. Di tingkat internal produsen, diperlukan halal insurance system yang
mengharuskan adanya tim halal dalam perusahaan untuk menjamin kehalalan
produknya.
Penerapan sistem jaminan produk halal ini hendaknya memperhatikan
perkembangan sosiologis masyarakat yang semakin mengarah pada tatanan
kehidupan global dan ekonomi pasar yang terbuka. Diperlukan edukasi dan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai isu kehalalan. Kesadaran masyarakat
95
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal.
h.254
72
untuk mengkonsumsi produk halal tumbuh karena adanya pemahaman yang baik
mengenai syariah kehalalan.
Apabila isu mengenai pentingnya kehalalan mengkonsumsi suatu produk
sesuai dengan syariah disampaikan secara terus-menerus kepada masyarakat,
maka akan ada peningkatan kesadaran masyarakat untuk memilih produk halal.
Kemudian dapat terjadi peningkatan permintaan (demand) terhadap produk halal.
Disinilah akan timbul dorongan bagi pelaku usaha untuk bersaing secara sehat
dalam memproduksi (supply) barang halal dan melakukan sertifikasi serta
labelisasi halal, demi untuk meraih pasar konsumen muslim. Hal ini juga dapat
mendorong munculnya industri halal dalam negeri.96
Sehingga, keuntungan dari sertifikasi halal bukan hanya untuk
perlindungan konsumen muslim tetapi juga persaingan usaha dan peningkatan
pangsa pasar. Undang-undang mengenai Jaminan Produk Halal akan mendorong
daya saing produk nasional mengingat pangsa pasar terbesar bagi para pelaku
usaha adalah masyarakat muslim, bahkan untuk ekspor ke negara muslim di
dunia.97
Dalam hal perdagangan internasional, negara-negara maju (nonmuslim)
banyak yang sudah memiliki kepedulian terhadap kehalalan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi dan persaingan usaha. Ada beberapa negara yang
pemerintahnya telah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan jaminan kehalalan,
proses pemeriksaan, sertifikasi, serta labelisasi. lni artinya mengenai sistem halal
96
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h. 136 97
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h. 137
73
food dalam pergaulan dunia (internasional) bukan merupakan suatu hal yang
baru. Kenyataan pula dalam hubungan perdagangan, produk yang sudah ada
tulisan "Halal" sudah dianggap sebagai produk yang bersih bahkan oleh kalangan
non muslim sekalipun.
Terkait dengan aspek perdagangan antar negara (ekspor-impor) telah pula
menjadi dasar perlakuan boikot dalam perdagangan, disamping untuk
meningkatkan daya saing produk. Oleh karena itu dalam sistem perdagangan
internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat
perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat
Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan
globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas baik tingkat regional maupun
internasional.98
Negara Singapura melalui Majelis Ugama Islam Singapura (Islamic
Religions Council of Singapore) telah mengembangkan MUIS Halal Certification
Standard melalui penerapan General Guidelines for the Development,
Implementation and Management of Halal System. Setiap tahun terjadi
peningkatan signifikan pensijilan halal (sertifikasi halal) yang diajukan pelaku
usaha kepada MUIS. Hal itu disebabkan antara lain karena dukungan dan
peningkatan kesadaran tentang potensi industri makanan halal, konsumen yang
memilih produk halal, serta pertumbuhan ekspor makanan ke dunia Islam.
Singapura telah meraup keuntungan dari sistem pensijilan halal dengan kenaikan
omzet pendapatan sebesar 20 - 25 %.
98
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h. 140
74
Fakta lain dapat dikemukakan bahwa untuk tujuan ekspansi ekspor daging
ke negara-negara berpenduduk Muslim, Australia telah memiliki kurang lebih 6
lembaga sertifikasi halal, diantaranya adalah Australian Halal Authority. Australia
juga mempunyai sistem produk halal untuk cara penyembelihannya sehingga nilai
ekspor daging Australia ke negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah
semakin meningkat.99
Demikian pula perhatian Kerajaan Malaysia terhadap produk halal
dilaksanakan dengan pembentukan Sahagian Kajian Makanan dan Barangan
Gunaan Islam, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), pada tahun 2003.
Namun demikian dari segi pengaturan, Malaysia sudah memiliki ketentuan
berkaitan dengan produk halal sejak tahun 1971 dengan keluarnya Surat
Kenyataan Halal. Tahun 2005, Kerajaan Malaysia telah menetapkan Malaysia
sebagai Pusat Halal Dunia (World Halal Hub). Ambisi ini berdasarkan dukungan
dan kesadaran penuh masyarakatnya untuk mengonsumsi atau menggunakan
produk halal sesuai standar halal Malaysia. Dalam hal labelisasi halal, sejak bulan
November 2003, JAKIM telah mulai menggunakan logo halal baru. Logo halal
baru ini di perkenalkan dengan tujuan untuk penyelarasan di antara negeri-negeri
di seluruh Malaysia.
Di Amerika Serikat, empat negara bagiannya sudah melakukan sertifikasi
produk halal untuk makanan, minuman, obat, kosmetika, dan sebagainya. Di
Singapura dengan penduduk yang multi-etnis, tempat-tempat menjual produk
yang berlabel halal lebih banyak dikunjungi. Pemerintah Singapura memandang
99
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h. 141
75
kehalalan suatu produk sebagai sesuatu hal yang panting, untuk kenyamanan
penduduk serta pendatang muslim. Di lnggris, terdapat banyak lembaga swadaya
masyarakat muslim yang bergerak melakukan sertifikasi halal. Bahkan produsen
dari Gina yang produknya mulai membanjiri pasar di Indonesia memiliki
kesadaran yang cukup tinggi untuk melakukan sertifikasi halal di Indonesia.100
Selanjutnya, dalam hal memperhatikan perspektif ekonomi pelaksanaan
sistem jaminan produk halal berdasarkan asas efektifitas dan efisiensi, atau
dengan kata lain sederhana, cepat, dan biaya murah. Penerapan sistem jaminan
produk halal bukan sama sekali tidak ada biaya yang harus dikeluarkan oleh
Pemerintah. Penyediaan sarana dan prasarana terutama laboratorium pemeriksaan
dan pemantauan serta sumber daya profesional merupakan tantangan yang harus
disediakan dengan dukungan anggaran yang memadai.
C. Faktor Yuridis Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Syariah Islam dengan tegas melarang umatnya mengkonsumsi segala hal
yang tidak halal atau haram. Namun demikian perlindungan bagi hak umat Islam
untuk hidup sehat dan mengkonsumsi atau menggunakan produk halal sesuai
dengan ketentuan Agama Islam (sesuai Kitab suci AI Qur'an dan AI Hadits belum
mendapat perlindungan hukum yang memadai dalam sistem hukum nasional.
Dalam semua peraturan perundang-undangan mengenai atau terkait
dengan produk halal, tidak ada pengaturan yang merujuk pada hadist Nabi bahwa
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya adalah
mutasyabihat. Undang-undang mengenai jaminan produk halal inilah yang akan
100
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h. 141-142
76
mengakomodasi Hadist Nabi ini. Untuk yang mutasyabihat, jika masuk kategori
halal akan ditetapkan halal begitu juga sebaliknya, misalnya untuk produk hasil
rekayasa genetik, dengan demikian melalui undang-undang ini diberikan jaminan
kepastian hukum mana yang halal dan mana yang haram secara tegas dan jelas.101
Pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan Kewajiban
Konstitusional Negara untuk melindungi hak warga negaranya untuk
melaksanakan keyakinan dan ajaran agama tanpa ada hambatan dan gangguan
yang dapat mengganggu tumbuhnya kehidupan beragama di Indonesia.
Berbagai peraturan perundang-undangan secara parsial berkaitan dengan
jaminan produ halal diantaranya sebagai berikut:
Tabel 4.1 Tabulasi Peraturan Tentang Jaminan Produk Halal
NO Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah/ Keputusan
Menteri/Kerjasama
Muatan Pasal
1. Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
Pasal 111 Ayat (4) menyebutkan bahwa
pemberian tanda atau label
(sebagaimana pada ayat 1) harus
dilakukan secara baik dan akurat.
Ketentuan yang dimaksud belum
memberikan jaminan produk halal
sehingga belum memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat
Islam. Oleh karena itu, ketentuan
tersebut belum memadai dan belum
101
Sekretariat DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal, h.143
77
sesuai dengan UUD 1945
2. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 Tentang Pangan
Pasal 30
Ayat (1) ―Setiap orang yang
memproduksi dan memasukkan
kedalam wilayah Indonesia pangan yang
dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada luar, di
dalam, dan atau diluar kemasan
pangan‖.
Ayat (2) ― Label sebagaimana dimaksud
Ayat (1) memuat sekurangnya
keterangan mengenai: a) Nama Produk,
b) Daftar/bahan yang digunakan, c)
berat bersih, d) nama dan alamat pihak
yang memproduksi pangan ke dalam
wilayah Indonesia, e) keterangan
tentang halal dan tanggal, bulan dan
tahun kedaluarsa.‖
Pada penjelasan Pasal 30 Ayat (2) huruf
e dinyatakan bahwa keterangan halal
untuk suatu produk pangan sangat
panting bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk agama Islam.
Namun pencantumannya pada label
pangan baru merupakan kewajiban
apabila setiap orang yang memproduksi
pangan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan menyatakan
bahwa pangan yang bersangkutan
78
adalah halal bagi umat Islam.
Adapun keterangan tentang halal
dimaksudkan agar masyarakat terhindar
dari mengkonsumsi pangan yang tidak
halal (haram). Dengan pencantuman
halal pada label, maka label tersebut
dapat dianggap sebagai pernyataan
kehalalan produk pangan tersebut, dan
setiap orang yang
membuat pernyataan tersebut
bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan itu.
Pasal 31
Ayat (1) Keterangan pada label,
sebagaimana dimaksud pada Pasal 30
ditulis atau dicetak atau ditampilkan
secara tegas dan jelas sehingga dapat
mudah dimengerti oleh masyarakat.
Ayat (2) Keterangan pada label
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditulis atau dicetak dengan
menggunakan bahasa, angka arab, dan
huruf latin.
Ayat (3} Penggunaan istilah asing,
selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan sepanjang tidak ada
padanannya, tidak diciptakan
padanannya, atau digunakan untuk
kepentingan perdagangan pangan ke
luar negeri.
79
Pasal 34
Setiap orang yang menyatakan dalam
label atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan
persyaratan agama atau kepercayaan
tertentu bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan berdasarkan
persyaratan agama atau kepercayaan
tersebut.
Ketentuan tersebut di atas belum
memberikan kepastian hukum mengenai
institusi yang melakukan pemeriksaan
untuk menentukan sertifikasi jaminan
halal
terhadap produk. Hal itulah yang
menjadi dasar yuridis diperlukan suatu
undang-undang baru yang memberikan
kepastian
hukum dan memberikan sertifikasi
halal. Selain itu, ketentuan tersebut
dengan segala kekurangannya yang
hanya mengatur soal pangan, belum
mengatur sama sekali mengenai
kosmetika, obat, produk kimia biologis
dan rekayasa genetik.
3. Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan
Hewan
Pasal 56:
Kesehatan masyarakat veteriner
merupakan penyelenggaraan kesehatan
hewan
dalam bentuk:
80
a. pengendalian dan
penanggulangan zoonosis.
b. penjaminan keamanan,
kesehatan, keutuhan, dan
kehalalan produk hewan
c. penjaminan higiene dan sanitasi.
d. Pengembangan kedokteran
perbandingan.
e. penanganan bencana.
Penjelasan Pasal 56 Huruf b
menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan "penjaminan keamanan,
kesehatan, keutuhan, dan kehalalan
produk hewan" adalah
erangkaian tindakan dan kegiatan untuk
mewujudkan keamanan, kesehatan,
keutuhan, dan kehalalan produk
hewan. Kemudian ketentuan penjelasan
Pasal 56 huruf b mengenai "penjaminan
kehalalan produk hewan" adalah
pengupayaan dan pengondisian produk
hewan yang diperoleh sesuai dengan
syariat agama Islam.
Pasal 58
Ayat (1) Dalam rangka menjamin
produk hewan yang aman, sehat, utuh,
dan halal, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai kewenangan
melaksanakan pengawasan,
pemeriksaan, pengujian, standardisasi,
sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
81
Ayat (2) Pengawasan dan pemeriksaan
produk hewan berturut-turut dilakukan
di tempat produksi, pada waktu
pemotongan, penampungan, dan
pengumpulan, pada waktu dalam
keadaan segar, sebelum pengawetan,
dan pada waktu peredaran setelah
pengawetan.
Ayat (3) Standardisasi, sertifikasi, dan
registrasi produk hewan dilakukan
terhadap produk hewan yang diproduksi
di dan/atau dimasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk diedarkan dan/atau
dikeluarkan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ayat (4) Produk hewan yang diproduksi
di dan/atau dimasukkan ke wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk diedarkan wajib disertai sertifikat
veteriner dan sertifikat halal.
Ayat (5) Produk hewan yang
dikeluarkan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia wajib
disertai sertifikat veteriner dan
sertifikat
Penjelasan Pasal 58 Ayat (4) disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan
"sertifikat halal" adalah surat
keterangan yang dikeluarkan oleh
82
lembaga penjamin produk halal di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
Pasal 8
Ayat (1) pelaku usaha dilarang
memproduksi dan atau
memperdagangkan barang dan atau jasa
yang tidak memenuhi ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan
dalam label.
Namun undang-undang tersebut tidak
mengatur dan tidak pula
mendelegasikan peraturan lebih lanjut
kepada Peraturan Pemerintah, sehingga
ketentuan mengenai
kewajiban pelaku usaha untuk
berproduksi secara halal belum dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pasal 62
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
dimaksud Pasal 8, dipidana penjara
paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.0000, (dua
millar rupiah.
Berbagai pengaturan yang bersifat
parsial tersebut belum terintegrasi satu
dengan yang lain, sehingga sampai saat
ini sistem
83
jaminan produk halal yang memberikan
kepastian hukum bagi konsumen yang
memerlukannya belum juga terwujud
5. Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan
Pasal 2
Ayat (1) Setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan
yang dikemas ke
dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan
label
pada, di dalam dan atau di kemasan
pangan.
Ayat (2) Pencantuman label
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sedemikian rupa sehingga
tidak mudah lepas dari kemasannya,
tidak mudah luntur atau rusak, serta
tercetak pada bagian kemasan pangan
yang mudah dilihat dan dibaca.
Pasal 9
Setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan ke dalam wilayah
Indonesia pangan yang dikemas untuk
di perdagangkan, dilarang
mencantumkan label yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
ini.
84
Sejalan dengan Undang-undang tentang
Pangan, menurut PP ini pencantuman
tulisan halal pada dasarnya bersifat
sukarela
(voluntary). Sifat wajib (mandatory)
hanya berlaku dalam hal pelaku usaha
yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan menyatakannya sebagai
"produk yang halal" dengan mana ia
wajib mencantumkan tulisan halal.
pada label produknya.
6. Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 1983 Tentang K
Kesehatan Masyarakat
Veteriner
Dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah
ini bahwa setiap hewan potong yang
akan dipotong harus sehat dan telah
diperiksa kesehatannya oleh petugas
pemeriksa yang
berwenang, dan pemotongannya harus
dilaksanakan di rumah potong, kecuali
untuk kepentingan keluarga, upacara
adat, dan keagamaan serta
penyembelihan hewan potong secara
darurat.
7. Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2004 Tentang
Keamanan, Mutu, dan Gizi
Pangan
Peraturan Pemerintah ini merupakan
landasan hukum bekerjanya Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (Badan
POM) untuk menjamin kualitas (mutu)
produk yang akan diperdagangkan.
Namun demikian lembaga ini bukan
suatu lembaga yang dimaksudkan untuk
85
memberikan jaminan kehalalan bagi
produk.
8. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor
555/Kpts/TN/1986 tentang
Syarat-Syarat Rumah
Pemotongan Hewan dan
Usaha Pemotongan Hewan
Surat Keputusan ini menetapkan bahwa
rumah pemotongan hewan merupakan
unit/sarana pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging sehat, berfungsi
sebagai tempat dilaksanakannya tempat
pemotongan hewan secara benar, tempat
dilaksanakannya pemeriksaan hewan
sebelum dipotong (ante mortem) dan
pemeriksaan daging (post mortem)
untuk mencegah penularan penyakit
hewan
kepada manusia, tempat untuk
mendeteksi dan memonitor penyakit
hewan.
9. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor
557/Kpts/TN/520/9/1987
Tentang Syarat-Syarat
Rumah Pemotongan Unggas
dan Usaha Pemotongan
Unggas.
Surat Keputusan ini menetapkan rumah
pemotongan unggas/tempat pemotongan
unggas merupakan unit/sarana
pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging unggas sehat,
berfungsi sebagai tempat
dilaksanakannya tempat pemotongan
unggas secara benar, tempat
dilaksanakannya pemeriksaan kesehatan
unggas sebelum dipotong (ante mortem)
dan pemeriksaan daging unggas (post
mortem).
10. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor
Surat Keputusan ini menetapkan bahwa
penanganan daging babi termasuk
86
295/Kptsn/Tn/240/5/1989
tentang Pemotongan Babi
dan Penanganan Daging Babi
dan Hasil Ikutannya.
penyimpanan dan penyiapannya guna
pengolahan lebih lanjut harus terpisah
dari daging hewan lainnya dan tempat
penjualan daging babi di pasar harus
terpisah dari
penjualan daging hewan bukan babi,
dan diberikan tulisan/tanda dengan jelas
menunjukkan bahwa yang ditawarkan
adalah daging babi.
11. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 413/Kptsn/
TN/310/7/1992 Tentang
Pemotongan Hewan Potong
dan Penanganan Daging
beserta Ikutannya
Surat Keputusan ini menetapkan hewan
potong adalah sapi, kerbau, kuda,
kambing dan domba. Penyembelihan
hewan potong
dilakukan oleh juru sembelih Islam
menurut tata cara yang sesuai dengan
fatwa Majelis Ulama Indonesia, antara
lain memutus jalan nafas (hulqum),
memutus jalan makan (mar't), memutus
dua urat nadi (wajadain), dan membaca
basmallah sebelumnya. Hewan potong
yang sebelum disembelih dipingsankan
terlebih dahulu, maka pemingsanannya
dilakukan sesuai dengan fatwa Majelis
Ulama Indonesia.
12. Surat Keputusan Menteri
Nomor 745/Kptsn/
TN/240/12 /1992 tentang
Persyaratan dan Pemasukan
Daging dari Luar Negeri
Surat Keputusan ini menetapkan Nomor
Kontrol Veteriner sebagai registrasi
rumah pemotongan hewan, perusahaan-
perusahaan pengolahan atau usaha-
usaha lainnya yang bergerak dalam
bidang pengumpulan, penampungan,
87
penyimpanan dan pengawetan bahan
asal hewan yang diterbitkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan masyarakat veteriner
13. Keputusan Menteri Agama
Nomor 518 Tahun 2001
tentang Pedoman dan Tata
cara Pemeriksaan dan
Penetapan Pangan Halal
Di dalam surat keputusan ini antara lain
dinyatakan bahwa untuk mendukung
pernyataan halal yang dikeluarkan
produsen atau importir pangan yang
dikemas untuk
diperdagangkan terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan terhadap pangan
tersebut oleh Lembaga Pemeriksa yang
harus diakreditasi oleh Komite
Akreditasi Nasional.
14. Keputusan Menteri Agama
Nomor 519 Tahun 2001
tentang Lembaga
Pemeriksaan Pangan Halal
Keputusan Menteri Agama Rl ini
menetapkan Majelis Ulama Indonesia
sebagai lembaga pelaksana
pemeriksaaan
pangan yang dinyatakan halal yang
dikemas untuk diperdagangkan di
Indonesia.
15. Piagam Kerjasama
Departemen Kesehatan,
Departemen Agama dan
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tentang Pelaksanaan
Pencantuman Label Halal
Pada Makanan.
Piagam Kerjasama yang dibuat tanggal
21 Juni 1996 tersebut menyatakan
sebagai berikut:"Dalam rangka
memberikan kepastian bagi pemeluk
agama Islam halal tidaknya makanan
dan minuman yang beredar, disadari
bahwa sangat panting dilaksanakan
pencantuman label "Halal" pada
kemasan produk makanan dan
88
minuman. Untuk itu Departemen
Kesehatan, Departemen Agama dan
Majelis Ulama Indonesia menggalang
kerjasama
dengan koordinasi yang terpadu,
sehingga
pencantuman label "Halal" termaksud
dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan gambaran inventarisasi peraturan perundang-undangan di atas
dan uraian deskriptif ringkas mengenai substansi yang mengatur tentang produk
halal, dapat dipahami bahwa secara keseluruhan peraturan tersebut masih bersifat
parsial dan tidak terintegrasi dalam satu kesatuan, sehingga belum dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Karena itu diperlukan adanya instrumen
hukum setingkat undang-undang yang mengatur tentang jaminan produk halal.
D. Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal Pada Periode 2004-2009
Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) telah dilakukan oleh
Komisi VIII DPR-RI periode 2004-2009. Pada tepatnya tahun 2008 sampai
dengan tahun 2009. Rancangan Undang-Undang ini merupakan usulan dari
Pemerintah yang dipelopori oleh Kementerian Agama Republik Indonesia
(Kemenag RI) dan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
DPR-RI tahun 2008-2009. Pembahasan dimulai di Masa Persidangan II Tahun
Sidang 2008-2009. 102
102
Sekretariat Komisi VII DPR, Risalah Sidang RUU Jaminan Produk Halal, h. 61
89
Beberapa pendapat dikemukakan oleh pengusaha, dan perusahaan yang
tergabung dalam perkumpulan/asosiasi, diantaranya sebagai berikut:
Pengusaha farmasi Chrisma Albandjar mengatakan, industri obat juga
tergolong sulit untuk menerapkan jika RUU bersifat mandatori. Pasalnya, obat
terbuat dari belasan ribu item yang harus diteliti satu per satu jika sertifikasi halal
menjadi suatu kewajiban. "Bahan baku obat berasal dari berbagai negara dan ada
13.000 item dalam satu obat. Maka untuk menguji satu demi satu akan butuh
waktu panjang dan keahlian khusus untuk melakukan tes. Direktur Regulasi
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Franky berharap RUU
dapat menggerakkan perekonomian nasional, terutama usaha kecil dan menengah
dalam melalui periode krisis. Hingga saat ini, para pengusaha masih
menginginkan agar sertifikasi halal tidak menjadi suatu kewajiban, tetapi
dijalankan dengan prinsip sukarela seperti yang diberlakukan sekarang.
Dikarenakan tidak ada masalah dengan prinsip jaminan produk halal yang dianut
saat ini.
Kepala Bidang Perdagangan Persatuan Pengusaha Kosmetik Indonesia
(Perkosmi) Bambang, produk kosmetik sudah berinisiatif masuk ke pasar muslim
dengan demikian mendorong mereka untuk mendaftarkan produknya. Jika RUU
yang bersifat mandatori diterapkan, para pengusaha kecil dan menengah
membutuhkan insentif untuk kajian bahan baku dalam proses sertifikasi.103
Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) menuai
penolakan pula dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Ketua Dewan
103
Pengusaha libatkan ahli dalam RUU Jaminan Produk Halal dalam Artikel
https://properti.kompas.com/read/2009/08/25/16495245/pengusaha.libatkan.ahli.untuk.ruu.halal
90
Pertimbangan KADIN Jakarta, Dhaniswara K. Harjono menilai RUU tersebut tak
memenuhi syarat sebagai undang-undang. Melihat dari aspek ekonomi, RUU ini
tidak akan membantu dan cenderung merepotkan. RUU ini akan merugikan
kegiatan usaha kecil dan menegah, karena telah terkendala oleh modal dan
ditambah lagi dengan beban pendaftaran sertifikasi.104
Asosiasi Perusahaan Produk Halal Indonesia (APPHI) dan Asosiasi
Pengusaha Importir Daging (Aspidi) menolak Rancangan Undang-Undang
Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Meningkatnya biaya sertifikasi menjadi alasan
utama kedua asosiasi tersebut.105
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir
Daging, Thomas Sembiring juga berpendapat RUU tersebut berpotensi menambah
biaya dan kesulitan di birokrasi. Sebab, jika ada tambahan biaya dipastikan terjadi
kenaikan harga pada konsumen. Kemudian penambahan lembaga sertifikasi halal
selain LPPOM MUI, akan menambah biaya tersendiri dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).106
Menurut Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jakarta,
pembahasan RUU Jaminan Produk Halal yang dilakukan DPR dan pemerintah,
telah menempatkan MUI sebagai faktor yang tidak penting. Padahal, soal halal
atau tidaknya sebuah produk makanan, merupakan masalah agama, dan bukan
birokrasi. Adanya kekhawatiran birokrasi yang tidak imun terhadap kepentingan
politik, bisnis, dan hubungan luar negeri, bisa mengambil keputusan yang tidak
104
Kadin Tolak RUU Jaminan Produk Halal dalam Artikel
https://ekonomi.kompas.com/read/2009/08/26/16421686/kadin.pun.tolak.ruu.jaminan.halal 105
Rencana pemerintah menerbitkan undang-undang Jaminan Produk Halal akan terganjal,‖ dalam
http://nasional.news.viva.co.id/-news/read/727-dua_asosiasi_tolak_ruu_jaminan_produk_halal 106
Rahmah Maulidia, Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk Halal Bagi Konsumen, Jurnal
Justicia Islamica, Vol.10 2 Juli-Des 2013
91
berdasarkan kondisi yang sesungguhnya. Selama ini secara de facto,
penyelenggara jaminan produk halal telah dilaksanakan dengan baik oleh MUI
melalui LPPOM dan Komisi Fatwa MUI. Pembahasan RUU Tentang Jaminan
Produk Halal (JPH) pada periode lalu, tidak dapat terselesaikan. Dikarenakan
selama proses pembahasan RUU ini dapat dikategorisasikan sebagai
permasalahan yang sangat krusial.
Salah satu partai, yaitu Partai Damai Sejahtera (PDS) melalui Anggotanya
Pdt. Tiurlan Basaria Hutagaol dan Stefanus Amalo107
yang menolak terhadap
pembahasan RUU ini. Pemahaman tentang halal tidaknya sebuah produk atau
makanan cukup diserahkan kepada agamanya sendiri untuk memberikan aturan.
Banyak hal yang tidak kita perlukan untuk memancing anarkis. Seharusnya,
keanekaragaman suku bangsa dan agama menjadi pertimbangan untuk membahas
RUU ini karena penentuan haram atau tidak makanan berbeda antara satu daerah
dengan lainnya. Dicontohkan seperti di Bali, Papua, NTT dan Manado, babi
bukan makanan tidak halal tapi justru makanan adat.
Bagi untuk umat Islam daging babi sebuah makanan yang haram, tapi
sebaliknya untuk umat Kristen mengkonsumsi babi diperbolehkan. Artinya,
haramnya umat Islam belum tentu haram untuk umat beragama lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa haram atau tidaknya sebuah makanan tidak bisa dimonopoli
oleh agama. Meski begitu, PDS tidak meminta RUU-JPH dihentikan dibahas.
Mereka ingin melihat substansi dari undang-undang tersebut yang harus meliputi
107
Hal ini diungkapkan oleh perwakilan Anggota Fraksi PDS dalam Rapat Kerja
Pemerintah dengan Komisi VIII pada tanggal 16 Februari 2009. Fraksi PDS Tolak RUU Jaminan
Produk Halal republika.co.id sebagaimana dalam
http://www.republika.co.id/berita/shortlink/31828 diakses pada tanggal 15-8-2018
92
prinsip keadilan dan kesetaraan, sehingga diperlukan adanya perubahan-
perubahan dalam RUU tersebut agar dapat diterima oleh seluruh warga negara
Indonesia. 108
Berbeda dengan Badriah Wahyuni Fraksi PKB berpendapat RUU ini
termasuk dalam kerangka perlindungan konsumen. Tidak ada yang mengatur
pembatasan konsumen untuk mengkonsumsi produk tertentu. RUU ini mengatur
jaminan produk apakah halal mulai dari proses pembuatannya hingga berpindah
ketangan konsumen. Juga sebagai upaya untuk membuat aturan yang lebih kuat
untuk menjamin kehalalan suatu produk. Melihat pada aspek regulasi RUU ini
mendorong agar dunia usaha lebih punya tanggung jawab kepada konsumen
terhadap produk yang mereka jual terutama produk yang sifatnya massive. Karena
kehalalan produk sepertinya belum menjadi kesadaran dunia usaha secara umum.
Selain itu, ada beberapa permasalahan krusial dalam pembahasan RUU
Jaminan Produk Halal ini terutama mengenai: a) Pelaksana JPH (apakah peranan
pemerintah atau lembaga pelaksana JPH ), b) Auditor, c) Laboratorium Pemeriksa
Halal, d) Majelis Ulama Indonesia (MUI).109
108
Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal dijadikan Undang-undang, hukumoline.com
sebagaimana dalam, http://www.hukumonline. com/berita/baca/hol21214/fraksi-pds-tolak-
jaminan-produk-halal-dijadikan-uu. Diakses pada 15-8-2018 109
Sekretariat Komisi VII DPR, Risalah Sidang RUU Jaminan Produk Halal. H. 63
93
Tabel 4.2 Permasalahan Dalam Pembahasan Jaminan Produk Halal
Pasal Isi Pasal
Pasal 3 dan 4
Pasal 19
Mengatur tentang tugas dan wewenang pemerintah dan
wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
pemeriksaan halal, penunjukan auditor dan penetapan
fatwa halal.
Tentang Pembiayaan. Biaya spakah termasuk PNBP
(Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang akan diatur oleh
Peraturan Pemerintah atau biaya promosi dan produksi
yang akan diatur oleh lembaga pemeriksa.
Pasal 20 Wewenang dan Tugas terkait siapa yang melakukan
pemeriksaan produk halal. Pemerintah atau Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang
mengeluarkan fatwa halal.
Pasal 27 Auditor Halal. Merupakan kepanjangan tangan dari
Ulama dalam melakukan analisa dan pengawasan proses
produksi. Kewenangan menetapkan, mengangkat, dan
mengawasi auditor merupakan tugas yang harus dipegang
apakah kewenangan dari Menteri atau Majelis Ulama
Indonesia (MUI)
Pasal 28 Wewenang Menteri Agama. Dalam hal kerjasama
Indonesia dengan Luar Negri. Sebab selama ini hanya
bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia
94
Pada pembahasan RUU tentang Jaminan Produk Halal ini sistematika
Batang Tubuh terdiri dari 12 BAB dan 44 Pasal, sebagaimana uraiannya sebagai
berikut:
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Tugas-tugas dan Wewenang
Bab III Bahan Baku dan Proses Halal
Bagian Kesatu : Bahan Baku
Bagian Kedua : Proses dan Produk Halal yang terdiri dari : 1) Proses
Produk Halal dengan Bahan Baku Produk Hewan, 2) Proses Produk Halal
dengan Bahan Olahan Nabati, 3) Proses Produk Halal dengan Proses
Kimiawi, Proses Biologik dan Proses Rekayasa Genetik
Bagian Ketiga: Lokasi dan Proses Pengolahan Produk
Bab IV: Tata Cara Memperoleh Jaminan Produk Halal
Bab V : Auditor Halal
Bab VI: Kerjasama
Bab VII: Pengawasan
Bab VIII: Sanksi Administratif
Bab IX: Penyidikan
Bab X: Ketentuan Pidana
Bab XI: Ketentuan Peralihan
Bab XII: Ketentuan Penutup
Bellfroid mengemukakan pada proses inilah adanya rechtpolitiek yaitu
sebuah proses pembentukan hukum positif (ius constitutum) dari hukum yang
95
akan dan harus ditetapkan (ius constituendum) untuk memenuhi kebutuhan
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan
dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu
―whatever the government choose to do or not to do”.
Sehingga terbentuklah suatu hukum yang akan diberlakukan untuk
mencapai tujuan negara. Hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan
negara. Secara praktis politik hukum juga dapat digunakan oleh pemerintah untuk
mencapai sistem hukum nasional yang sesuai dengan tujuan negara.110
E. Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi Mengenai Rancangan Undang-Undang
Tentang Jaminan Produk Halal
Pengesahan undang-undang harus melalui proses konstitusional,
pengaturan hukumnya ada pada Pasal 20 Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang
Dasar 1945 setelah perubahan. Sebagaimana dalam Pasa 20 Ayat (4) menyatakan
―Presiden mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang‖. Dengan adanya ketentuannya, berubahnya rancangan
undang-undang menjadi undang-undang adalah adanya perbuatan Presiden untuk
mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-
undang.
Pada Pasal 20 Ayat (5) yang menyatakan dalam hal rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang dan wajib diundangkan.
110
C.F.G Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1991), h.1
96
Undang-Undang Jaminan Produk Halal telah disahkan oleh DPR dalam
rapat paripurna pada tanggal 25 September 2014 oleh Ketua DPR , Marzuki Alie.
Beberapa pandangan fraksi yang menilai bahwa undang-undang menjadi pedoman
penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia.
Tabel 4.3 Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi DPR RI
NO FRAKSI PENDAPAT AKHIR
1. F- Partai Demokrat
DPR-RI
1) Perlunya dibentuk lembaga/badan yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
JPH. Jaminan Produk Halal wajib ditangani
oleh Pemerintah. Selain karena amanat dari
UUD 1945 dan menyangkut mayoritas
rakyat Indonesia dan kepastian hbiukum.
2) Penerbitan dan pencabutan sertifikasi halal
sebagai perwujudan tanggung jawab lembaga
penyelenggaraan JPH. Lebih dari itu,
menerbitkan dan mencabut sertifikat halal
menjadi domain Pemerintah karena terkait
dengan hukum positif karena harus adanya
kepastian hukum.
3) Status hukum menjadi wajib bagi pelaku
usaha yang telah memperoleh sertifikat halal
dan wajib mencantumkan label halal.
4) Peran MUI, F-Demokrat sangat menghargai.
Berkiprah selama kurang lebih 25 Tahun dan
juga menghargai LPPOM MUI untuk
memberikan jaminan halal atas produk yang
beredar di masyarakat. Namun karena tugas
dan tanggung jawab yang besar, peran MUI
97
dirasakan tidak mencukupi.
5) Untuk itu, perlunya campur tangan
pemerintah untuk bekerjasama dengan MUI
untuk mempererat peran masing-masing.
Yaitu dengan sertifikasi auditor halal,
penetapan fatwa halal, akreditasi LPH dan
penandatangan sertifikasi halal.
6) F-Demokrat menyetujui RUU Jaminan
Produk Halal untuk disahkan menjadi
undang-undang.
2. F-GOLKAR DPR
RI
Prinsip dasar dalam penyelenggaraan JPH:
1) Sistem JPH harus mampu memberikan
jaminan dan perlindungan kepada Umat
Islam untuk memperoleh dan mengkonsumsi
produki halal.
2) JPH harus menjamin bahwa proses dan
prosedur audit dan sertifikasi yang terkait
dengan proses halal harus dilakukan dengan
sederhana, mudah dan memiliki kejelasan
waktu demi kemudahan bagi produsen dan
pelaku usaha.
3) JPH harus memberikan jaminan bahwa biaya
audit sertifikasi harus murah dan
proporsional.
Substansi pokok yang menjadi consen fraksi ini:
1) Pemerintah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan JPH. Negara menjadi
aktor utama dalam menjamin kehalalan
produk.
2) Diperlukan lembaga yang berfungsi
melakukan pemeriksaan dan standarisasi
98
kehalalan produk. Lembaga tersebut dibawah
kementerian agama.
3) Posisi RUU yang menjadi undang-undang
bersifat lex specialis dalam mengatur dan
menghimpun regulasi produk halal.
4) RUU JPH mampu membedakan peran
pemerintah, ranah syariah sehingga terjadi
pemisahan antara regulator dan operator.
5) RUU ini memperjelas peran MUI.
6) F-Golkar menyetujui RUU Jaminan
Produk Halal untuk disahkan menjadi
undang-undang.
3. F- PDIP DPR RI 1) Proses JPH dan sertifikasi halal bersifat
mandatory yang dilaksanakan secara bertahap
5 tahun sekali.
2) Sertifikasi halal dilaksanakan oleh pemerintah
dan MUI.
3) Badan sertifikasi halal tidak membebani
anggaran negara.
4) Proses sertifikasi produk halal harus mudah,
cepat dan transparan.
5) F-PDIP menyetujui RUU Jaminan Produk
Halal untuk disahkan menjadi undang-
undang
4. F-PKS DPR RI
1) Pembahasan RUU mencapai 5 tahun lamanya
disebabkan oleh hal yang sulit untuk
disepakati, diantaranya: a) Lembaga/Badan
yang berperan dalam pemeriksaan produk
halal, b) lembaga yang mengeluarkan
sertifikat halal badan/lembaga atau MUI, c)
99
Mekanisme dan konsekuensi sertifikat halal
yang ditandatangani pimpina badan/lembaga
dan MUI atau salah satu diantara keduanya d)
Posisi badan/lembaga dibawah Presiden atau
kementerian, e) Sifat pengaturan
voluntary/mandatory.
2) Namun, seiring berjalannya pembahasan
adanya titik temu antara Pemerintah dan
Komisi VIII DPR RI, meliputi: a) Ruang
lingkup produk yang harus mendapatkan
sertifikasi halal, b) Pemerintah bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan JPH dan
dilaksanakan Menteri Agama. Dalam
pelaksanaaanya dilakukan oleh BPJPH, c)
BPJPH dibantu oleh pemerintah/masyarakat
(lembaga yang berbadan hukum untuk
mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH),
d) Penetapan kehalalan produk dilakukan
MUI yang harus mengikutsertakan Pakar,
Unsur kementerian/lembaga terkait, e)
Sertifikat Halal bersifat mandatory dan
berlaku efektif 5 tahun.
3) F-PKS menyetujui RUU Jaminan Produk
Halal untuk disahkan menjadi undang-
undang
5. F-PAN DPR RI 1) Fraksi PAN berpendirian bahwa sertifikasi
halal merupakan kewenangan ulama. Tetapi
sesuai dengan otoritas, kompetensi dan
legitimasinya yaitu untuk menetapkan hukum
Islam (syar’i) terhadap kehalalan suatu
produk.
100
2) Pada proses sertifikasi halal ini, mestinya
dapat mengadopsi sistem yang telah dibangun
oleh MUI 25 Tahun. Bahkan fraksi PAN
berpandangan bahwa hanya MUI yang
memiliki otoritas syariah dalam JPH ini.
3) Pada RUU JPH ini, peran MUI sudah
diakomodir dalam aspek sertifikasi auditor
halal, penetapan fatwa halal, akreditasi LPH,
dan penandatanganan sertifikat halal.
4) Terkait kelembagaan sebagai amanat RUU
JPH ini, Peran dan Fungsi BPJPH masih perlu
dikaji ulang supaya nantinya didukung
dengan SDM yang berkompeten dan memiliki
wawasan yang luas tentang kehalalan produk
dalam syariat Islam.
5) Pada aspek pengawasan, mendukung BPJPH
untuk fokus mengawasi Lembaga Pemeriksa
Halal (LPH).
6) Pemerintah dalam hal ini memiliki
kewenangan untuk penegakan hukum
terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
dalam penyelenggaraan JPH.
7) F-PAN menyetujui RUU Jaminan Produk
Halal untuk disahkan menjadi undang-
undang.
6. F-PPP DPR RI 1) Rumusan RUU ini telah menempatkan
pemerintah MUI dan para pemangku
kepentingan lainnya secara proporsional dan
adil.
2) Masyarakat dan pemuka agama
mengkhawatirkan RUU JPH akan
101
melemahkan upaya penjaminan produk halal
yang telah dirintis oleh MUI. Karena MUI
berperan penting dalam membangun
kesadaran masyarakat bahwa sertifikat
kehalalan produk sangat diperlukan.
3) Pada Pasal 9 RUU JPH ini telah dengan tepat
memposisikan MUI sebagai pusat gravitasi
penyelenggaraan JPH. Dan sementara BPJPH
hanya menerima permohonan dari pelaku
usaha, menerbitkan sertifikat halal.
4) Ketentuan kehalalan produk ini menjadi
norma hukum baru dan bersifat wajib. Oleh
karena itu, perlu adanya masa transisi dan
persiapan sekaligus masa edukasi dan
sosialisasi. Lima tahun memada, untuk
menyiapkan BPJPH, LPH serta SDM dan
Laboratorium yang diperlukan.
5) F-PPP menyetujui RUU Jaminan Produk
Halal untuk disahkan menjadi undang-
undang
7. F-PKB DPR RI 1) Dengan mempertimbangkan proses
pembahasan yang berlangsung munculnya
kekhawatiran baik dari Pemerintah maupun
MUI yang notabene memliki otoritas dalam
mengeluarkan rekomendasi kehalalan suatu
produk.
2) Kekhawatiran pemerintah mengenai
pemdaftaran produk yang akan berdampak
pada usaha Mikro, Menengah. Karena selama
ini industri level menengah sebagai penopang
terkuat ekonomi di Indonesia.
102
3) Dinamika masyarakat berkembang pesat, dan
daya kritis serta teliti terhadap hal-hal yang
ada disekitar. banyak instansi diluar
pemerintahan (swasta) baik dunia akademik
atau perguruan tinggo sama-sama memiliki
pengetahuan agama dan teknologi.
4) Kehadiran RUU JPH ini menandai
perkembangan baru dalam merespon realitas
sosiologis-keagaaman serta kemajuan dalam
teknologi.
5) F-PKB menyetujui RUU Jaminan Produk
Halal untuk disahkan menjadi undang-
undang
8. F-GERINDRA
DPR RI
1) Partai Gerindra menikberatkan kepada RUU
JPH supaya memiliki asas akuntabilitas,
transparan, efektif dan efisien profesional.
2) Menyambut baik terciptanya ruang
komunikasi yang baik win win solution antara
pemerintah dengan organisasi-organisasi
Islam di masyarakat.
3) Terkait dengan produk obat-obatan,
hendaknya lembaga yang mengawasi
bekerjasama dengan BPOM.
4) F-Gerindra menyetujui RUU Jaminan
Produk Halal untuk disahkan menjadi
undang-undang
9. F-HANURA DPR
RI
1) Regulasi berkaitan dengan produk halal
bagian dari perlindungan negara terhadap
warga negaranya. Seiring dengan
perkembangan IPTEK dalam hal produk-
103
produk yang tersebar dimasyarakat.
2) Globalisasi perdagangan terkait dengan
sertifikasi kehalalan produk mendapat
perhatian serius dari internasional.
3) Penyelenggaraan undang-undang jaminan
produk halal perlu sinergitas antara
pemerintah dan ulama. Pemerintah
menjalankan pengaturan formal dan
administrasi negara. Dan Ulama menjaga
substansi syariah.
4) F-HANURA menyetujui RUU Jaminan
Produk Halal untuk disahkan menjadi
undang-undang
Perjalanan konfigurasi politik sangat berkaitan dengan perjalanan politik
dalam mempengaruhi hukum dengan cara melihat kondisi kekuasaan yang ada
dibelakang pembuatan dan proses penegakan hukum.111
Melalui pembahasan
rancangan undang-undang yang cukup panjang oleh pemerintah dan legislatif
merupakan proses menciptakan hukum sesuai dengan tujuan negara serta upaya
menjadikan produk hukum yang demokratis dan responsif di masyarakat.
Konfigurasi politik demokratis dengan ciri melahirkan hukum yang
responsif. Merupakan susunan sistem politik dengan membuka kesempatan
(peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan
kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-
wakil rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.
111
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, h. 77
104
Berdasarkan faktor-faktor pembentukan undang-undang jaminan produk
halal dan pandangan serta pendapat akhir fraksi ini merupakan jawaban dari
serangkaian konfigurasi dan konstelasi politik yang terjadi dalam pembahasan
rancangan undang-undang jaminan produk halal. Proses pembahasan RUU
Jaminan Produk Halal sangat sulit dengan berbagai pandangan dan pendapat baik
penerimaan atau penolakan dari para Asosiasi Pengusaha, KADIN, dan
Kementerian terkait. Berbagai pertimbangan dari pemerintah dan legislatif dalam
membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang jaminan produk halal ini
menjadi sebuah produk hukum. Bagi masyarakat, pentingnya legalitas kehalalan
produk dalam menjamin perlindungan bagi konsumen muslim di Indonesia
khususnya.
Partisipasi dari berbagai elemen dalam pembuatan undang-undang
jaminan produk halal ini menjadi salah satu ciri dari produk hukum yang
responsif. karakter hukum responsif juga bersifat aspiratif. Artinya memuat materi
yang secara umum sesuai denga aspirasi dan kehendak masyarakat yang
dilayaninya.112
Peranan dari masyarakat dalam hal ini perwakilan Asosiasi
Pengusaha, Kementerian atau lembaga terkait sangat penting dalam menggali
informasi sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam muatan (isi)
undang-undang jaminan produk halal ini. Meskipun dalam pencapaian tuntutan
dari masyarakat dan kelompok sosial pelaksanaan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal ini masih perlu banyak yang harus dipersiapkan dan dilakukan oleh
112
Pendapat Mahfud Md terkait Produk Hukum Responsif dalam buku Politik Hukum di
Indonesia, h. 31
105
pemerintah, BPJPH sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal, dan kementerian/lembaga terkait. .
F. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Sebelum Undang-Undang
Jaminan Produk Halal disahkan.
Sertifikasi halal sebelum adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal menjadi kewenangan penuh Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LP POM). LP POM didirikan pada 6
Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk
memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada
tahun 1996 ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen
Agama, Departemen Kesehatan dan MUI.
Tahun 1994 LPPOM MUI mengawali kiprah menggagas sertifikasi halal
terhadap pangan yang beredar di pasaran mulai dilakukan. Proses sertifikasi
dilakukan sendiri oleh MUI. Sementara izin label halal pada kemasan pangan
diberikan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) c.q. Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM). Model semacam ini menyebabkan terjadinya dualisme dalam
pengurusan sertifikat dan label halal. Sehingga produk yang sudah mendapatkan
sertifikat halal dari MUI masih harus diperiksa lagi oleh BPOM guna
mendapatkan izin penggunaan logo halal. Untuk memangkas prosedur birokrasi,
21 Juni 1996 melalui piagam kerja sama antara Departemen Kesehatan,
Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia akhirnya disepakati bahwa
pencantuman label halal pada produk pangan akan ditangani bersama oleh tiga
106
instansi tersebut.113
. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan
penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519
Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta
melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat
halal.114
Dalam pelaksanaannya sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI berdasarkan
audit tim gabungan tiga instansi tersebut. Dengan sertifikat halal MUI tersebut
perusahaan bisa langsung mendapatkan izin pencantuman label halal dari BPOM
(Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Sehingga tidak ada lagi dualisme dalam
kepengurusan halal. BPOM telah menyerahkan sepenuhnya sertifikasi halal ini
kepada Komisi Fatwa MUI. Pemberian atau penolakan sertifikat halal sepenuhnya
berada di MUI. Berdasarkan fatwa MUI ini, BPOM akan memberi persetujuan
pencantuman label halal bagi yang memperoleh sertifikat halal, atau memberi
penolakan bagi yang tidak mengantongi sertifikat halal. Hal ini, memberikan
kepastian bagi konsumen dalam mengonsumsi produk makanan.115
Terkait sertifikasi halal, LPPOM MUI telah melakukan sertifikasi terhadap
pelbagai produsen pangan, obat dan kosmetik, baik di dalam maupun di luar
negeri. Guna menjangkau produsen di tingkat daerah LPPOM MUI telah
mengembangkan sayapnya melalui pendirian dan pemberdayaan LPPOM MUI
Daerah di pelbagai wilayah. LPPOM MUI daerah mengeluarkan sertifikat halal
113
Lembaga Pengkajian Obat-Obatan dan Kosmetik (LPPOM MUI), Indonesia Halal
Directory 2013-2014, h.9 114
Tentang LP POM MUI,
www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1 diakses pada 15-5-2018 115
Wiku Adisasmito, ―Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan
Makanan‖, Makalah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, h. 5.
107
untuk produk pangan lokal di daerah seperti pemotongan hewan, produk usaha
kecil dan menengah serta produk daerah lainnya.116
Sertifikasi halal berlaku selama dua tahun dan dapat diperbarui selama
dua tahun dan dapat diperbarui untuk jangka waktu yang sama. Setiap pelaku
usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal terhadap produknya mencantumkan
keterangan atau tulisan dan nomor sertifikat pada label setiap produk. Selama
masa berlaku sertifikat halal tersebut, perusahaan harus dapat memberikan
jaminan bahwa segala perubahan baik dari penggunaan bahan, pemasok maupun
teknologi proses hanya dapat dilakukan dengan sepengetahuan dari LP POM MUI
yang menerbitkan sertifikat halal.Yang mana proses ini tertuang dalam sistem
jaminan halal. 117
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melaksanakan proses sertifikasi
halal, LPPOM-MUI menggunakan prosedur baku sebagai panduan pelaksanaan,
yang kemudian dituangkan dalam bentuk SOP (Standard Operation Procedure).
Panduan ini senantiasa dikembangkan dan terus ditingkatkan, sesuai dengan
kebutuhan maupun perkembangan ilmu dan teknologi. MUI menetapkan tahapan
atau langkah prosedur dan mekanisme penetapan fatwa halal hingga terbitnya
sertifikat halal.118
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang
berbeda namun mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Hasil dari kegiatan
116
Asep Syarifudin Hidayat dan Mustholih Siraj, ―Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non
Halal Pada Produk Pangan Industri‖. h. 204 117
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h.117 118
Majelis Ulama Indonesia, ―Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis
Ulama Indonesia,” dalam Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: PT Erlangga, 2015), h. 27-
28
108
sertifikasi halal adalah diterbitkanna sertifikat halal apabila produk yang
dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikat halal
dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas melaksanakannya yaitu LP
POM MUI. Tujuan akhir sertifikasi halal ini adalah pengakuan bahwa produk ini
telah memenuhi ketentuan halal.119
Sedangkan labelisasi halal adalah
pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk
menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.120
Pada proses labelisasi halal, setiap produsen yang akan mencantumkan
label halal harus memiliki sertifikat halal terlebih dahulu. Tanpa sertifikat halal
MUI, Izin pencantuman label halal tidak diberikan oleh BPOM. Kegiatan dalam
pencantuman label halal ini dikelola oleh Badan Pengawas Obat-Obatan dan
Kosmetik (BPOM). Dalam pelaksanaannya sering terjadi kesimpangsiuran ,
terutama dalam kegiatan labelisasi halal yang telah diterapkan lebih dahulu
sebelum sertifikasi halal.121
Peraturan yang bersifat teknis mengatur masalah pelabelan halal antara
lain Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI No.
427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 (No. 68 Tahun 1985) tentang Pencantuman Tulisan
Halal Pada Label Makanan.122
Jadi sangat jelas bahwa tulisan ―halal‖ yang
dibubuhkan pada label atau penandaan produk makanan dianggap bahwa
119
Sertifikat Halal MUI pertama kali diterbitkan pada tanggal 7 April 1994 untuk produk
dari Unilever. Pada saat itulah produk Unilever mempunyai legitimasi untuk memasang labelisasi
halal. 120
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk
Halal, h. 118 121
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h. 118 122
Pada peraturan ini Pasal 2 disebutkan bahwa “Produsen yang mencantumkan tulisan
“halal” pada label makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut
bagi pemeluk agama Islam”
109
produsen tersebut telah sah dan memenuhi prosedur sertifikasi halal dari LP POM
MUI. Namun apabila produsen tersebut terbukti sebaliknya, maka produsen dapat
dituntut secara hukum karena melakukan pembohongan publik.
Disamping produsen harus bertanggung jawab atas label halal yang
dicantumkan pada produknya, produsen juga berkewajiban melaporkan kepada
pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan RI sebagaimana yang
diamanahkan dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan dalam melakukan pengawasan.
Baik yang bersifat insidental atau mendadak. Berdasarkan peraturan tersebut, ijin
pencantuman label didasarkan atas hasil laporan sepihak perusahaan kepada
Departemen Kesehatan tentang pengolahan dan komposisi bahan. Belum
didasarkan oleh sertifikasi halal.123
Sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal disahkan, dalam upaya
melindungi masyarakat dalam mengkonsumsi produk/barang Pada aspek
penegakan hukumnya, peraturan ini menegaskan hak konsumen yaitu :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
123
Mashudi, Kontruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h. 120
110
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada pengawasannya penyelenggaraan perlindungan konsumen ini dalam
penerapan undang-undangnya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh
Menteri (atau menteri teknis terkait), masyarakat dan Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat. Tugas lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat meliputi kegiatan:124
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa.
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen.
124
Pasal 44 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
111
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen.
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen
Apabila dalam pengawasan ternyata terbukti menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan
atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan tindakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.125
Penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dapat ditempuh melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan. Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dan Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.126
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.127
Menyikapi kasus
tersebut, LP POM MUI berkordinasi dengan dinas terkait dalam penegakan
hukumnya. Pengawasan dan penegakan hukum bersifat a) objektif. Suatu
125
Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen 126
Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen 127
Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
112
kebijakan perlu ditetapkan berdasarkan fakta empiris tanpa ada intervensi dari
berbagai pihak.
Di Indonesia, objektivitas penegak hukum masih diragukan banyak
kalangan. Selanjutnya, b) Jujur, dengan mengkonsumsi makanan halal sangat
penting, oleh karena itu menjadi gerakan bersama untuk menyadarkan masyarakat
pentingnya mengkonsumsi produk halal. c) Integral, pengawasan dan penegakan
hukum sertifikasi halal yang baik jika didasarkan kepada ranah filosofis (hidup di
masyarakat), yuridis (norma-norma yang berlaku), sosiologis (kenyataan yang
diterima dimasyarakat).128
Atas amanat Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pemerintah
membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai alternatif
dalam penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.129
Tugas Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) : a) melaksanakan penanganan dan
penyelesaian dengan cara mediasi dan arbitrase atau konsiliasi, b) memberikan
konsultasi dalam perlindungan konsumen, c) melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku, d) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini, e) menerima pengaduan baik
tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen, f) melakukan penelitian dan pemeriksaan
sengketa perlindungan konsumen, g) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak
adanya kerugian di pihak konsumen, h) memberitahukan putusan kepada pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, i)
128
Mashudi, Kontruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h.249 129
Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
113
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
Selain melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Badan Pengawas Obat, Pangan dan
Kosmetik (BPOM) juga mempunyai Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK)
POM yang berada pada Bagian Pengaduan Konsumen Biro Hukum dan
Hubungan Masyarakat BPOM RI serta dibentuk untuk menampung pengaduan
dan memberikan informasi kepada masyarakat. Unit ini berada di BPOM Pusat
serta Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia.130
Unit Layanan Perlindungan Konsumen (ULPK) melayani pemberian
informasi yang berkaitan dengan keamanan, kemanfaatan, dan mutu serta aspek
legalitas produk Obat, Obat tradisional, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan
Pangan. Selain itu ULPK juga menerima pengaduan yang berkaitan dengan
produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetika, Makanan Suplemen Kesehatan,
Pangan, Bahan Berbahaya, Narkotika, Psikotropik, Zat Adiktif, dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) yang tidak memenuhi syarat, ilegal, dan atau
salah penggunaannya yang dapat merugikan kesehatan.
Unit Layanan Perlindungan Konsumen (ULPK) mempunyai tugas dan
fungsi: 1) Pelaksanaan layanan pengaduan konsumen, 2) Pelaksanaan pengolahan
data dan evaluasi layanan pengaduan konsumen, 3) Pelaksanaan bimbingan
layanan pengaduan konsumen.
130
http://ulpk.pom.go.id/ulpk/ diakses pada tanggal 1 Oktober 2018
114
G. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Setelah Undang-Undang
Jaminan Produk Halal disahkan.
1. Ketentuan Sertifikasi Halal pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal
Pandangan dan pemikiran Halalan Thoyyiban sangat penting untuk
diinformasikan dan diformulasikan secara efektif kepada masyarakat disertai
dengan tercukupinya sarana dan prasarana. Salah satunya dengan hadirnya pranata
hukum yang progresif, responsif yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini.131
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang selama ini tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan. Di sisi lain Undang-Undang Jaminan
Produk Halal ini sebagai payung hukum (umbrella act) bagi pengaturan produk
halal. Pengaturan Jaminan Produk Halal (JPH) dalam undang-undang ini
mencakup berbagai aspek tidak hanya obat, makanan, dan kosmetik akan tetapi
lebih luas dari itu menjangkau produk kimiawi, produk biologi, rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Meskipun saat ini masih menjalani proses persiapan dalam persiapan menuju
2019 mendatang 132
Pengaturannya pun menjangkau kehalalan produk dari hulu sampai hilir.
Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH didefinisikan sebagai
rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan
131
Sofyan Hasan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di
Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), h. 351 132
Lihat Undang-Undang Jaminan Produk Halal Pasal 1 Ayat 1
115
bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian produk. Hal ini bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi
pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produknya.133
Jaminan produk halal secara teknis kemudian dijabarkan melalui proses
sertifikasi. Sebelumnya sertifikasi halal bersifat voluntary, sedangkan dalam
Undang-Undang Jaminan Produk Halal menjadi mandatori. Karena itu, semua
produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib
bersertifikat halal dan berlabel halal. Dan bukan hanya perusahaan besar yang
harus memohon sertifikasi halal dan label halal namun juga industri dan
pengusaha kecil. Hal inilah yang menjadi pembeda utama dengan produk
perundang-undangan sebelumnya.
Sebagai penanggungjawab sistem jaminan halal dilakukan oleh
pemerintah yang diselenggarakan Menteri Agama dengan membentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan
bertanggungjawab kepada Menteri Agama. Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) memiliki kewenangan sebagai berikut:134
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.
b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.
c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
133
Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal 134
Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Produk Halal
116
e. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
f. Melakukan akreditasi terhadap LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)
g. Melakukan registrasi Auditor Halal;
h. Melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. Melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH.135
Dalam melaksanakan wewenangnya BPJPH bekerja sama dengan
Kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan
untuk pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI
dilakukan dalam bentuk sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan produk;
akreditasi LPH.
Untuk membantu BPJPH dalam melakukan pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan produk, pemerintah dan masyarakat dapat mendirikan LPH.
Syarat mendirikan LPH meliputi:136
a. Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b. Memiliki akreditasi dari BPJPH;
c. Memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
d. Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga.
135
Pasal 10 Undang-Undang Jaminan Produk Halal 136
Pasal 13 Undang-Undang Jaminan Produk Halal
117
Tujuan terpenting pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum, Radbruch
berpendapat ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum.
Pertama, hukum itu positif. Kedua, hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum
yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, kenyataan
(fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan
dalam pemaknaan Di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak
boleh mudah berubah.137
Kepastian hukum jaminan produk halal ini mempunyai berbagai fungsi
dan manfaat bagi konsumen dan produsen. Bagi konsumen, terlindunginya
konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan, kosmetika, yang tidak
halal. Kedua, secara kejiwaan perasaan hati dan batin konsumen akan tenang.
Ketiga, mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram.
Keempat, memberikan respon baik yang mengarah kepada perilaku yang
diinginkan untuk memerhatikan produk, peminatan dalam membeli produk.138
Bagi produsen, jaminan produk halal melalui sertifikasi halal mempunyai
peranan penting. Pertama,sebagai pertanggungjawaban terhadap konsumen
muslim mengingat mengkonsumsi produk halal adalah prinsip dari masyarakat
muslim. Kedua, meningkatkan kepercayaan terhadap konsumen. Ketiga,.
Keempat, sebagai alat pemasaran dan Mampu meningkatkan citra perusahaan dan
137
Bernard, L.Yahya, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
h. 131 138
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal.
h.168
118
pelaku usaha memperluas area jaringan pemasaran. Kelima, memberi keuntungan
produsen dengan meningkatkan daya saing dan produksi dan penjualan.139
Sertifikasi halal pasca Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 disahkan
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang
sebelumnya dilakukan oleh LP POM MUI dan Komisi Fatwa. Begitupun dengan
Labelisasi Halal yang sebelumnya dilakukan oleh BPOM, namun saat ini sudah
dialihkan dan dilaksanakan oleh BPJPH. Perubahan ini telah melalui tahapan
konstruksi berpikir yang merupakan suatu keharusan untuk mengarahkan hukum
kepada cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Dan upaya pemerintah untuk
menyatukan proses sertifikasi halal dan labelisasi halal dalam permohonan dan
pelaksanaannya.
Secara konstitutif, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal ini adalah kebijakan resmi pemerintah (produk hukum)
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan karena bertujuan untuk menjamin
perlindungan hukum bagi masyarakat di Indonesia dalam mengkonsumsi produk
halal. Dalam pendapat Sunaryati Hartono bahwa hukum sebagai alat atau sarana
dan langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum
nasional guna mencapai cita – cita bangsa dan tujuan negara. Dan upaya untuk
mencapai tujuan dengan menggunakan hukum sebagai alat melalui pemberlakuan
atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahap-tahap perkembangan
yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.140
139
Muhammad Ibnu, Label : Antara Spiritualis Bisnis dan Komoditas Agama, (Malang :
Madani). h.31 140
Mahfud Md, Poltik Hukum di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), h. 2
119
Berikut data statistik Sertifikasi Halal Indonesia menurut LP POM MUI
Pusat dan LP LP POM MUI Provinsi :141
Gambar 4.4 Data dan Tabel Sertifikasi Halal LPPOM MUI Pusat
Januari - Oktober 2017
DATA SERTIFIKASI HALAL LPPOM MUI PUSAT
PERIODE 2012 - OKT 2017
TAHUN JUMLAH PERUSAHAAN JUMLAH SH JUMLAH PRODUK
2012 626 653 19830
2013 913 1092 34634
2014 960 1310 40684
2015 1052 1404 46260
2016 1335 1789 65594
Okt - 2017 1169 1516 52982
TOTAL 6055 7764 259984
141
Data diambil di
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1
120
Gambar 4.5 Data dan Tabel Sertifikasi Halal LPPOM MUI Provinsi
Januari - Oktober 2017
DATA SERTIFIKASI HALAL LPPOM MUI PROVINSI
PERIODE 2012 - 2016
TAHUN JUMLAH PERUSAHAAN JUMLAH SH JUMLAH PRODUK
2012 5203 5504 13060
2013 5753 5922 29487
2014 9219 9009 27945
2015 6888 7272 30996
2016 5229 5603 48668
TOTAL 32292 33310 150156
2. Tantangan Penerapan Jaminan Produk Halal
Tantangan utama pada penerapan ketentuan Jaminan Produk Halal sebagai
produk legislasi, hasil lembaga eksekutif dan legislatif. Ketiadaan peraturan
pelaksanaan mengharuskan pemerintah kembali mengakomodasi berbagai
kepentingan yang pada dasarnya berbeda satu dan lainnya sebagai kepentingan
antar sektoral. Sebagaimana sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33
121
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Diantaranya kepentingan
Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
BPOM, MUI, dan lembaga terkait lainnya.
Persoalan perbedaan kepentingan satu sama lain ini, sangat terlihat pada
produk-produk yang beredar di pasaran dengan mencantumkan Label Halal dari
BPOM atas persetujuan LP POM MUI, dan ada pula yang mencantumkan Label
SNI yang merupakan kewenangan dari Kementerian Perindustrian. Kemudian
muncul persoalan adanya Label Halal yang tidak ada nomor registrasi dari LP
POM MUI. Hal ini patut dipertanyakan keabsahannya.142
Penerapan Jaminan Produk Halal jika dilihat dari kepentingan antar
sektoral yang berbeda-beda, maka seharusnya kepentingan tersebut tidak sampai
menghambat pemberlakuan efektifnya ketentuan jaminan produk halal di
Indonesia. Persoalan besar dihadapi oleh produk Obat-Obatan dan Kosmetik yang
mana oleh beberapa pihak dikatakan adanya pengecualian dalam perolehan
sertifikasi halal.
Obat-obatan dan kosmetika tergolong belum banyak menerapkan
Sertifikasi Halal dan Label Halal dari kerjasama LP POM MUI dan BPOM.
Tantangan produksi obat-obatan dan kosmetik semakin besar dan kemampuan
sejumlah perusahaan farmasi memproduksi berbagai jenis obar-obatan
mendapatkan perhatian dari sejumlah pemerintah negara lain untuk melakukan
studi perbandingan bisnis perusahaan mereka lebih lanjut.143
142
Abdurrahman Konoras, Jaminan Produk Halal di Indonesia Perspektif Perlindungan
Konsumen, h.83 143
Abdurrahman Konoras, Jaminan Produk Halal di Indonesia Perspektif Perlindungan
Konsumen, h. 87
122
Selanjutnya, tantangan yang akan dihadapi adalah berkaitan dengan posisi
Indonesia sebagai Importir terbesar dalam hal pangan seperti jagung, kedelai,
daging sapi, unggas karena kebutuhan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Impor lainnya juga dilakukan diantaranya, bahan baju, bahan olahan makanan,
yang mana jika masuk ke Indonesia harus memenuhi ketentuan Jaminan Produk
Halal sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang. Dalam hal ini tidak
sedikit negara-negara yang menolak kebijakan dari Pemerintah Indonesia
berkaitan dengan Sertifikasi Halal produk yang di impornya.144
Negara Brazil misalnya mempertanyakan penerapan Sertifikasi Halal di
Indonesia atas impor daging sapi, bahkan mengancam akan mengadukan ke
World Trade Organization (WTO). Dalam hal ini pemerintah memberikan
penjelasan secara baik dan benar mengenai Sertifikasi Halal ini. Karena
ketergantungan impor Indonesia ini merupakan faktor yang perlu dicermati
mengingat kebutuhan domestik yang terus meningkat.
Ketentuan penerapan Jaminan Produk Halal yang dilakukan oleh
pemerintah harus disongsong dengan baik. Karena kehalalan suatu produk sebagai
perwujudan perlindungan hukum terhadap konsumen umum dan konsumen
Muslim pada khususnya. Halalnya suatu produk sangat berkaitan erat dengan
upaya memelihara spiritual konsumen Muslim yang notabennya adalah konsumen
terbesar di Indonesia.
144
Abdurrahman Konoras, Jaminan Produk Halal di Indonesia Perspektif Perlindungan
Konsumen, h. 88
123
3. Problematika Penerapan Jaminan Produk Halal di Indonesia
Namun setelah empat tahun undang-undang ini disahkan, tetapi sampai
saat ini kehadiran undang-undang jaminan produk halal belum dirasakan oleh
masyarakat. Jaminan Produk Halal belum memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tumbuhnya dunia industri dan percepatan produk halal. Peran Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sangat penting dalam pelaksanaan
jaminan produk halal khususnya berkaitan dengan sertifikasi, pendampingan dan
pembiayaan sertifikasi halal bagi produk halal bagi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM).
Oleh karena itu sosialisasi dan edukasi jaminan produk halal harus
disampaikan kepada dunia usaha dan masyarakat. Sikap dari BPJPH sebagai
penyelenggara jaminan produk halal harus tegas dan jelas bahwa sampai saat ini
masih tahap proses dan persiapan untuk melaksanakan amanah undang-undang
jaminan produk halal. Serta belum siap dalam menerima permohonan sertifikasi
halal. Ketidaksiapan BPJPH ini berkaitan dalam persiapan infrastruktur,
organisasi sistem pendaftaran dan tarif sertifikasi. Begitupun kesiapan kerjasama
yang harus dilakukan BPJPH dengan kementerian dan lembaga terkait urusan
perindustrian, kesehatan, pertanian, dan standardisasi dan akreditasi, koperasi dan
usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan. 145
Selain hal tersebut beberapa permasalahan yang muncul pasca terbitnya
Undang-Undang Jaminan Produk Halal juga berkaitan dengan:
145
Pendapat ini disampaikan oleh Ihsan Abdullah, Direktur Eksekutif Halal Watch, dalam
artikel Undang-Undang Jaminan Produk Halal Dinilai Belum Berdampak Pada Masyarakat,
http:///www. UU Jaminan Produk Halal Dinilai Belum Berdampak.htm diakses pada tanggal 17
Januari 2018
124
1) Permohonan dan perpanjangan sertifikasi halal saat ini diajukan ke
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI) atau Badan Pengelola Jaminan Produk Halal
(BPJPH). Sementara kewajiban (mandatory) sertifikasi semakin dekat
yakni 17 Oktober 2019. Sehingga perlunya kerja cepat dalam
mempersiapkan sistem jaminan produk halal dalam waktu 1 tahun
kedepan.
2) Peraturan Pemerintah (PP) yang belum terbit sebagai peraturan pelaksana
Undang-undang (UU) berkontribusi menjadikan tidak berfungsinya
BPJPH secara efektif. Tarik menarik kepentingan antara kementerian
terkait dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
menyebabkan terhambatnya penerbitan PP.146
Dikhawatirkan akan
menimbulkan persoalan baru dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 (UU JPH) dan berimplikasi pada penerapan sistem jaminan
halal di Indonesia. Berikut Peraturan Turunan yang dibutuhkan dalam
Pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal:
Tabel 4.6 Peraturan Turunan Pelaksanaan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal
No Pasal Peraturan
1. Pasal 5 Ayat (1)
Ketentuan tugas, fungsi, dan
susunan organisasi BPJPH
Peraturan Presiden
2. Pasal 11
Kerjasama BPJPH dengan
Peraturan Pemerintah
146
Menurut Ihsan Abdullah, Direktur Indonesia Halal Watch (IHW) dalam
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/04/06/p6r1zd396-fungsi-bpjph-
menjadi-tidak-efektif-karena-pp-belum-terbit
125
kementerian/lembaga terkait,
LPH dan MUI
3. Pasal 16
Ketentuan Lembaga
Pemeriksa Halal
Peraturan Pemerintah
4. Pasal 21 Ayat (3)
Ketentuan mengenai lokasi,
tempat, dan alat Proses
Produk Halal
Peraturan Pemerintah
5. Pasal 22 Ayat (2)
Ketentuan Tata Cara
Pengenaan Sanksi
Administrastif bagi pelaku
usaha yang tidak
memisahkan lokasi , tempat,
dan alat PPH
Peraturan Menteri
6. Pasal 27 Ayat (3)
Ketentuan Tata Cara
Pengenaan Sanksi
Administrastif bagi pelaku
usaha yang tidak melakukan
kewajiban
Peraturan Menteri
7. Pasal 28 Ayat (4)
Ketentuan Penyelia Halal
Peraturan Menteri
8. Pasal 29 Ayat (3)
Ketentuan Tata Cara
Pengajuan Permohonan
Sertifikat Halal
Peraturan Menteri
9. Pasal 30 Ayat (3)
Ketentuan Tata Cara
Penetapan Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH)
Peraturan Menteri
10. Pasal 40
Ketentuan Label Halal
Peraturan Menteri
11. Pasal 41 Ayat (2)
Ketentuan tata cara
pengenaan sanksi
Peraturan Menteri
126
administratif bagi pelaku
usaha yang tidak
mencantumkan Label Halal
tidak sesuai.
12. Pasal 42 Ayat (3)
Ketentuan pembaruan
Sertifikat Halal
Peraturan Menteri
13. Pasal 44 Ayat (3)
Ketentuan biaya Sertifikat
Halal
Peraturan Pemerintah
14. Pasal 45 Ayat (2)
Ketentuan Pengelolaan
Keuangan BPJPH
Peraturan Menteri
15. Pasal 46 Ayat (3)
Ketentuan kerjasama
internasional dalam bidang
Jaminan Produk Halal
Peraturan Pemerintah
16. Pasal 48 Ayat (2)
Ketentuan tata cara
pengenaan sanksi
administratif pelaku usaha
yang tidak melakukan
registrasi.
Peraturan Menteri
17. Pasal 52 Ayat (2)
Ketentuan Pengawasan
Jaminan Produk Halal
Peraturan Pemerintah
18. Pasal 55
Ketentuan tata cara peran
masyarakat dan pemberian
penghargaan
Peraturan Menteri
3) Instrumen lembaga sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH baru
dibentuk pada tahun 2017
(Sebagaimana diatur dalam Pasal 64, bahwa BPJPH harus dibentuk
selambatnya 3 tahun setelah Undang-Undang Jaminan Produk Halal
127
diundangkan). Sehingga perlunya langkah cepat BPJPH melakukan
persiapan-persiapan penerapan sertifikasi halal ini, diantaranya : A)
Perlunya penataan organisasi, tata kerja, dan sumber daya manusia. B)
BPJPH perlu segera bersinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sebagai lembaga fatwa dan lembaga yang selama ini melakukan tugas
sertifikasi ha BPJPH juga harus menetapkan standar dan prosedur-
prosedur yang profesional. Sebagai dasar untuk penetapan fatwa halal oleh
MUI sebagai bagian dari BPJPH. C) BPJPH harus memastikan protap
(prosedur tetap) dan prosedurnya benar-benar profesional sehingga orang
akan yakin dengan badan tersebut. terkait anggaran. D) Menteri Agama
harus segera mengusulkan anggaran untuk BPJPH. Karena sudah menjadi
sebuah badan tersendiri, maka otomatis harus ada peningkatan anggaran.
E) yang harus dilakukan BPJPH adalah sosialisasi. Diharapkan sosialisasi
tentang tugas badan ini, serta pentingnya jaminan produk halal harus lebih
ditingkatkan, dibanding sebelumnya ketika masih ditangani oleh MUI. F)
Sangat penting yang harus dilakukan BPJPH adalah membangun dan
menjaga transparansi dan akuntabilitas badan atau lembaga. Langkah-
langkah harus dilaksanakan dengan waktu yang singkat dan harus
dilaksanakan dengan baik.147
4) Pemerintah telah menyatakan siap menjalankan amanah Undang-Undang
Jaminan Produk Halal namun hal yang penting diperhatikan adalah
penggunaan teknologi dan pemahaman berkaitan dengan sistem, aspek
147
Pendapat Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodik Mudjahid, dalam artikel
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/info-halal/read/2017/10/15/125674/komisi-viii-
bpjph-harus-benar-benar-profesional-dan-transparan.html
128
syariah terhadap produk dan mekanisme pengujian produk di
laboratorium.
5) Menurut Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Prof.
Abdul Djamil,148
proses sertifikasi halal dalam undang-undang ini
dijadikan komoditas politik, ekonomi dan kepentingan, sehingga menjadi
lahan baru untuk korupsi.
6) Industri Farmasi masih belum siap menerapkan kewajiban sertifikasi
produk halal 149
. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah a) Peraturan
pelaksanaan belum diterbitkan, b) Terlalu banyak aspek yang disertifikasi
mulai bahan baku, proses produksi, dan juga pabriknya. Jika hal tersebut
tetap dipaksakan khawatirnya akan terjadi kelangkaan obat. Banyak pabrik
yang harus dikunjungi diantaranya pabrik-pabrik bahan baku, pabrik-
pabrik bahan pengemas, dan lain sebagainya. B) Saat ini masih menjadi
pertimbangan status bagi obat-obatan yang apabila ditemukan belum
bersertifikat halal, tetapi sebenarnya itu adalah halal. Belum tentu obat-
obatan yang tidak disertifikasikan itu memang tidak halal, hanya masih
terkendala dalam sertifikasi.
Kemudian respon pelaku usaha terhadap undang-undang jaminan produk
halal ini Balitbang Kemenag melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa:150
149
Disampaikan oleh Parulian Simanjuntak, Direktur Industri Perusahaan Asing di
Indonesia atau Internasional Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) 150
Artikel Bagaimana Pelaku Usaha Menyikapi Jaminan Produk Halal (17 Oktober 2017
) http://www.nu.or.id/post/read/82039/bagaimana-pelaku-usaha-menyikapi-uu-jaminan-produk-
halal diakses pada tanggal 17 Januari 2018
129
1) Pengetahuan pelaku usaha kecil terhadap Undang-Undang Jaminan
Produk Halal masih rendah. Hal itu disebabkan karena hanya sedikit
pelaku usaha yang mengikuti sosialisasi tentang undang-undang ini.
Dalam hal ini, pemerintah juga sangat minim melakukan sosialisasi terkait
UU JPH ini karena terbatasnya anggaran. Tercatat, hanya ada 4 kali
sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah (Kemenag) Pusat. Sedangkan
Kemenag Provinsi atau Kabupaten/Kota hanya beberapa kali saja dalam
setahun. Hal ini bisa dilihat dari rata-rata indeks kognisi yang hanya pada
angka 31,81.
2) Para pelaku usaha sepakat untuk dilakukannya sertifikasi halal pada produk
mereka. Mengkonsumsi atau menggunakan produk halal bagi seorang
muslim adalah sebuah kewajiban agama yang harus ditunaikan. Mereka
juga menilai bahwa sertifikasi halal bisa menunjang dan meningkatkan
penjualan produk-produk mereka karena masyarakat muslim yakin bahwa
produk mereka memang terjamin kehalalannya. Angka kesetujuan (afeksi)
mereka terhadap sertifikasi halal adalah 72,66.
Berdasarkan fakta diatas bahwa, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal belum memberikan jaminan perlindungan dan
kemanfaatan terhadap produk halal di dunia usaha dan masyarakat. Dimulai dari
BPJPH yang masih dalam proses persiapan penyelenggaraan jaminan produksi
halal, serta proses dalam upaya melaksanakan sosialiasi dan edukasi jaminan
produk halal di masyarakat, penentuan tarif permohonan sertifikasi halal, dan
persiapan sarana prasarana lainnya. Sehingga masih banyak langkah yang harus
130
dilakukan oleh BPJPH untuk mencapai kepastian hukum yang pada akhirnya
dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat.
Oleh karena itu, supaya Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat
berjalan efektif diharapkan adanya upaya kerja keras pemerintah dan masyarakat
dalam melaksanakannya. Mengawali upaya tersebut, dapat melakukan beberapa
langkah diantaranya : 1) Melakukan dan memaksimalkan sosialisasi Undang-
Undang Jaminan Produk Halal ini, 2) Pemerintah harus menuntaskan peraturan
pendukung dalam pelaksanaan jaminan produk halal. Kedua hal ini mengawali
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya jaminan produk halal
pada produk yang beredar.
4. Penegakan Hukum dan Pengawasan Produk Halal
Pada aspek efektifitas hukum Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa
hukum yang efektif bergantung pada tiga unsur sistem hukum yaitu struktur
hukum merupakan aparat penegak hukum, substansi (isi) hukum meliputi
perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup
(living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.151
Ketiga komponen tersebut merupakan kunci dalam penerapan hukum
dimasyarakat. Penerapan hukum pada hakikatnya adalah penyelenggaraan
pengaturan hubungan hukum antara masyarakat dan hukum itu sendiri. Dalam
pengaturan ini meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum (regulation
151
Lawrence M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. (Bandung : Nusa Media
2011). h. 7
131
aspect), penyelesaian sengketa hukum (settkement of dispute), hingga pemulihan
kondisi atas kerugian akibat pelanggaran hukum (reparation of compensation).152
Pada aspek struktur hukum peran penegak hukum sebagai aparat
penegakan hukum pada umumnya menangani masalah kepatutan dan ketaatan
hukum. Hal ini berkaitan dengan efektivitas hukum yang ditentukan oleh taraf
kepatuhan masyarakat terhadap hukum.153
Penegakan hukum dalam sertifikasi
halal berarti penegakan yang didasarkan pada tata hukum tertulis, kaidah dan nilai
mengenai sertifikasi halal terhadap produsen atau para pihak yang tidak mematuhi
hukum yang berlaku, dan tidak bertanggung jawab dan bahkan memenuhi sifat
melawan hukum.
Dalam penegakan hukum peran, fungsi, dan posisi penegak hukum
sangat sentral dan menentukan. Penegak hukum yang mencakup hakim, polisi,
jaksa, dan elemen yang bertugas dilembaga pemasyarakatan. Apabila peraturan
perundangan sudah baik namun mental penegak hukum kurang baik maka akan
berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum.154
Melihat kasus yang beredar, yaitu kasus oplos daging haram yang
mengundang kecurigaan, adanya motif jahat dibalik merebaknya konsumen
dendeng atau abon babi yang bersertifikat halal. Darimana pasokan daging haram
dan menjijikkan itu sehingga dikonsumsi oleh umat Islam.155
Dan sampai saat ini
152
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal.
h.148 153
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung: Bina Ciptam 1983), h. 62-62 154
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum,h. 15 155
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal.
h. 261
Penelitian yang dilakukan oleh penulis buku di Bandung Jawa Barat. Berdasarkan
informasi dari Dinas Peternakan Jawa Barat dan LP POM MUI Jawa Barat.
132
pengawasan terhadap rumah potong hewan bersertifikat halal sangat rendah
karena baru 10% rumah potong hewan pemerintah yang bersertifikat halal.156
Akhir 2017 terdapat kasus dari brand ternama BreadTalk belum
bersertifikat halal MUI serta adanya video adanya tikus yang tersebar di tempat
pembuatan kue brand tersebut. Hal ini mengganggu kenyamanan dan
menimbulkan keresahan bagi konsumen brand kue tersebut. Akibat kejadian ini
masyarakat meragukan kehalalan produk kue tersebut. Adanya penjelasan dari
pihak public relation Breadtalk Indonesia, Agnes Pritanti menyatakan khusus
gerai Breadtalk yang di Banten, sudah mendapatkan sertifikat halal MUI Banten.
Dalam proses perpanjangan sifatnya harus nasional. Yang semestinya restoran
yang sifatnya nasional itu disertifikasi oleh MUI Pusat. Tapi karena sertifikat ini
berlaku sampai sekarang, namun masih menunggu sampai Februari atau Maret
2018.157
Dengan melihat pada kasus-kasus tersebut tanggung jawab pemerintah
dalam melindungi keyakinan dan kepentingan konsumen mayoritas muslim di
negeri ini dinilai rendah. Lemahnya jaminan dan pengawasan mengenai produk
halal dari pemerintah dan jelas merugikan konsumen muslim.
Saat ini upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dalam
mengkonsumsi produk halal dan pelaku usaha dalam proses jaminan produk halal.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
156
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal.
h. 261 157
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/info-halal/read/2018/02/08/135020/lppom-
mui-bread-talk-belum-bersertifikat-halal.html
133
Jaminan Produk Halal, pada aspek pengawasan Pasal 49 yang menyebutkan
BPJPH melakukan pengawasan terhadap Jaminan Produk Halal.
Pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal banyak mengatur kewajiban pelaku usaha dengan tujuan untuk melindungi
konsumen. Namun sebenarnya dalam penegakan hukumnya hanya mengatur
sanksi pidana dan sanksi administratif yang ditempatkan dalam bagian dari
pengawasan.
Dalam upaya pengawasan pelaksanaan jaminan produk halal dilakukan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).158
Pengawasan
Jaminan Produk Halal dilakukan terhadap beberapa hal, diantaranya: a) Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), b) Masa berlaku halal, c) Kehalalan produk, d)
pencantuman Label Halal, e) Pencantuman keterangan Tidak Halal, f) Pemisahan
lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan serta penyajian antara Produk Halal dan tidak Halal, g)
keberadaan Penyelia Halal, h) Kegiatan lain yang berkaitan dengan Jaminan
Produk Halal.159
Pada pengawasan jaminan produk halal juga dilakukan oleh
kementerian/lembaga baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Sebagaimana
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.160
Pengawasan ini juga dapat
dilakukan oleh masyarakat, sebagai konsumen turut serta dalam penyelenggaraan
jaminan produk halal. Peran serta masyarakat ini dapat dilakukan dengan
sosialisasi mengenai JPH dan mengawasi produk halal yang beredar yang
158
Pasal 49 Undang-Undang Jaminan Produk Halal 159
Pasal 50 Undang-Undang Jaminan Produk Halal 160
Pasal 51 Undang-Undang Jaminan Produk Halal
134
berbentuk dalam pelaporan dan pengaduan kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH).161
Ketentuan pidana penyelenggaraan jaminan produk halal dikenakan
kepada Pelaku Usaha yang telah memiliki Sertifikat Halal namun tidak menjaga
kehalalan produknya akan dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000 (Dua Milyar Rupiah).162
Pasal 57 menyebutkan bahwa Setiap orang yang terlibat dalam
penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang
tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Sesuai dengan uraian pertanggungjawaban hukum sebelumnya, maka
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
ini merupakan pertanggung jawaban produk yang bertujuan untuk melindungi
konsumen, meniadakan konsumen untuk membuktikan kesalahan produsen. Dan
produsen berkewajiban membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan.
Konsekuensi logis dari kontruksi hukum bahwa produsen harus membuktikan
bahwa ia tidak bersalah adalah produsen dianggap telah melakukan kesalahan
(presumption of fault) seketika setelah konsumen mengalami kerugian akibat
menggunakan produknya.163
161
Pasal 53 Undang-Undang Jaminan Produk Halal 162
Pasal 56 Undang-Undang Jaminan Produk Halal 163
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2003), h. 123-124
135
Ketentuan pidana pada Pasal 56 tersebut ditunjukkan pada pelaku usaha
yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal,
yang berarti bahwa pemenuhan kehalalan suatu produk merupakan kewajiban dan
tanggung jawab pelaku usaha itu sendiri. Yang jika terbukti nantinya bahwa
produk yang diperdagangkan dan digunakan oleh konsumen ternyata terbukti
mengandung unsur haram maka pelaku sendiri yang wajib membuktikannya.
Namun apabila pelaku usaha tidak bersalah maka dapat meluputkan dari ancaman
pidana pada Pasal 56 tersebut.164
Selain perangkat hukum yang baik, sikap mental produsen menjadi faktor
pendukung dalam pengawasan dan penegakan hukum. Sistem jaminan produk
halal dari produsen yang dibuktikan dengan sertifikasi halal merupakan
kepentingan dan kepedulian banyak pihak. Baik dari LP POM MUI dan
Perusahaan itu sendiri. Komunikasi dan kerjasama yang erat dan komunikatif
harus terjalin baik dari LPPOM MUI dan para produsen.
Selain mental produsen, sikap dan mental konsumen menjadi faktor
pendukung. Dengan sertifikasi halal ini konsumen berhati-hati dalam memilih
produk. Konsumen menjadi memperhatikan produk yang akan dikonsumsi atau
dibeli. Meskipun terkadang adanya keraguan dalam pencantuman label halal yang
ada dikemasan industri kecil. Namun semua ini kembali pada konsumen dalam
memilih produk berdasarkan informasi yang didapatkan baik melalui sertifikasi
halal dan label halal.165
164
Abdurahman Konoras, Jaminan Produk Halal di Indonesia Perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen, h. 75 165
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h. 279
136
Pengawasan dan penegakan hukum adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Keduanya saling berkaitan dalam upaya mewujudkan berlakunya hukum secara
konsisten. Adapun beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pengawasan dan
penegakan hukum sertifikasi produk halal yang menjadikan hukum berfungsi
dalam masyarakat, antara lain: 1) Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, 2)
Penegak hukum, 3) Sarana atau fasilitas yang digunakan, 4) Kesadaran
masyarakat.166
5. Dampak Pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Setelah perdebatan sifat Sertifikasi Halal yang sebelumnya bersifat
Voluntary, saat ini berubah menjadi Mandatori serta lembaga yang mempunyai
otoritas dan bertanggung jawab melaksanakan sertifikasi halal yang saat ini
dipegang oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Undang-
Undang ini berpengaruh pada beberapa hal :167
1) Produk makanan dan minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia
biologi, dan produk rekayasa genetik pada dasarnya haram untuk di
konsumsi kecuali yang ada Label Halalnya.
2) Bukan hanya perusahaan besar yang harus mencantumkan Label Halal
melainkan juga pengusaha kecil meskipun industri kecil (informal) juga
harus mencantumkan Label Halal.
3) Pranata hukum yang tersebar dalam Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan Sejumlah Surat Keputusan (SK) Bersama, Keputusan
Menteri, Piagam Kerja Sama sebagaimana mengatur tentang
166
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 61 167
Mashudi, , Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk
Halal, h. 412
137
Sertifikat/Label Halal yang bersifat Voluntary tidak berlaku lagi. Karena
sebaliknya, Undang-Undang Jaminan Produk Halal mewajibkan
(Mandatory) melakukan permohonan sertifikasi halal dan pencantuman
Label Halal bagi setiap badan usaha yang berbadan hukum ataupun tidak
yang mana menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan,
penyimpanan, pengemasan, distribusi dan penyajian makanan dan
minuman, obat-obatan dan kosmetik, produk kimiawi dan biologi, produk
rekayasa genetik yang dapat mempengaruhi kehalalan suatu produsen.
Pada aspek sosiologis bahwa adanya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal ini sangat strategis dalam upaya menciptakan keamanan dan kenyamanan
masyarakat (produsen dan konsumen). Pengaturan penyimpanan, pendistribusian,
dan penyajian produk halal yang sesuai dengan prosedur hukum justru
mempermudah dalam melayani konsumen muslim. Budaya Pluralisme- bangsa
yang majemuk, dan toleransi dalam konteks budaya Indonesia yang telah
mentradisi. Namun, budaya asal memproduk, membeli, dan melanggar aturan
akan terjadi terus menerus. Misal, penggunaan zat addictive berlebihan, dan
gelatin secara bebas akan terjadi terus menerus jika tidak ada proteksi dari
Indonesia.168
Dampak ekonomi kewajiban Sertifikasi Halal bagi produk kemasan yang
berlaku bagi seluruh pelaku usaha, akan membuka peluang usaha secara jelas dan
produk yang beredar akan aman dikonsumsi oleh masyarakat Muslim khususnya.
Hanya saja pada Anggaran Negara yang digunakan untuk Sertifikasi Halal ini
168
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h. 312
138
harus transparan, akuntabel dan jelas pertanggungjawabannya. Oleh karena itu,
dalam pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Produk Halal akan mempercepat
tujuan negara dalam melindungi bangsa Indonesia. Harga stabilitas nasional
dalam kehidupan bernegara sangat mahal sebagaimana tercermin pada Undang-
Undang Jaminan Produk Halal yang berasaskan perlindungan, keadilan, kepastian
hukum, asas efektivitas dan efisien, asas profesionalitas,169
yang tersirat
didalamnya asas ketentraman batin, asas produktivitas dan daya saing, dan asas
partisipasi publik. Jadi tidak ada pihak yang dirugikan melalui Undang-Undang
Jaminan Produk Halal ini.
6. Substansi dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal
Pada aspek substansi hukum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal terdiri dari 11 Bab dan 68 Pasal. Bab I
menjelaskan Ketentuan Umum. bab II tentang Penyelenggara Produk Halal, bab
III tentang Bahan dan Proses Produk Halal, bab IV tentang Pelaku Usaha, bab V
tentang Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal, bab VI tentang Kerjasama
Internasional, bab VII tentang Pengawasan, bab VIII tentang Peran Serta
Masyarakat, bab IX tentang Ketentuan Pidana. bab X : Ketentuan Peralihan dan
bab XI tentang Ketentuan Penutup.
Dalam undang-undang ini sudah diatur dengan baik acuan dan pedoman
umum dalam penyelenggaraan jaminan produk halal. Namun undang-undang ini
akan berjalan apabila instrumen yang diamanahkan didalamnya telah dibentuk.
169
Sebagaimana dalam Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Produk Halal
139
Diantaranya penerbitan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri guna
mendukung pelaksanaan teknis sertifikasi halal. Ketentuan-ketentuan tersebut
adalah a) ketentuan kerja sama antar Lembaga, b) c) ketentuan terkait Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), d) ketentuan terkait proses produk halal mengenai lokasi,
tempat, alat PPH, e) ketentuan tata cara administratif pengenaan sanksi pelaku
usaha, f) ketentuan tata cara permohonan sertifikasi halal, g) ketentuan tata cara
penetapan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), h) ketentuan labelisasi halal, i)
ketentuan biaya sertifikasi halal, j) ketentuan pembaruan sertifikasi halal, k)
ketentuan pengelolaan keuangan BPJPH, l) ketentuan kerjasama internasional, m)
ketentuan pengawasan jaminan produk halal, n) ketentuan tata cara peran
masyarakat dan pemberian penghargaan. Apabila Peraturan Pemerintah (PP) dan
telah diterbitkan, dan didukung kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait maka
penyelenggaraan jaminan produk halal akan berjalan dengan baik.
Struktur lembaga yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan Menteri Agama, Lukman Saifuddin pada
hari Rabu, 11 Oktober 2017 yang saat ini diketuai oleh Profesor Sukoso yang
bekerja sama dengan kementerian dalam urusan pemerintahan diantaranya bidang
perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi,
koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan obat dan
makanan dalam urusan ini ditangani oleh BPOM.170
170
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
140
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian misalnya dalam hal pengaturan serta
pembinaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan
tambahan pangan yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal. Kerja sama
BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan
masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar, serta perluasan
akses pasar. Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan misalnya dalam hal penetapan cara
produksi serta cara distribusi obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik,
alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pertanian misalnya dalam hal penetapan
persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas,
pedoman pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta hasil
ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal
hewan, dan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan hasil pertanian. Kerja
sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang standardisasi dan akreditasi misalnya dalam hal
persyaratan untuk pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan
lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Dalam melaksanakan wewenangnya BPJPH selain bekerja sama dengan
Kementerian dan/atau lembaga terkait, juga bekerja sama Lembaga Pemeriksa
141
Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama BPJPH dengan
LPH dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian Produk. Kerja sama BPJPH
dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi Auditor Halal, penetapan
kehalalan produk, akreditasi LPH.171
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) saat ini memasuki proses pendaftaran
yang masih berlangsung. Sebagian Calon LPH merupakan perguruan tinggi. Dan
sudah masuk 40 pendaftar calon LPH.172
Dalam Pasal 12 menyebutkan: 1)
Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH. 2) LPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu
BPJPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk pendirian LPH sebagaimana
dalam Pasal 13 adalah 1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan a) memiliki kantor sendiri dan
perlengkapannya, b) memiliki akreditasi dari BPJPH, c) memiliki Auditor Halal
paling sedikit 3 (tiga) orang, d) memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja
sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium. 2) Dalam hal LPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus
diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.
Dengan membangun kerjasama dengan kementerian/lembaga terkait
dalam penyelenggaraan jaminan produk halal yang dilakukan dengan permohonan
sertifikasi halal maka ada beberapa keterlibatan pihak yang ikut campur sehingga
membutuhkan durasi waktu yang lama. Serta rawan menimbulkan konflik
171
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal 172
Hal ini disampaikan oleh Siti Aminah, Kepala Pusat Registrasi dan Serifikasi Halal
BPJPH dalam Artikel Harian Nasional
142
kepentingan karena BPJPH menetapkan siapa LPH yang akan digunakan untuk
melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk.
Berkaitan dengan biaya pengajuan sertifikasi halal, menurut Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 44
menjelaskan 1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang
mengajukan permohonan Sertifikat Halal. 2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan
usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
Kriteria ―usaha mikro dan kecil‖ didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang usaha mikro dan kecil. Yang
dimaksud dengan ―pihak lain‖ antara lain Pemerintah melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan
dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi,
dan komunitas.173
Sertifikasi halal bagi usahawan besar dibiayai oleh perusahaan
bersangkutan. Sedangkan khusus pelaku usaha yang merupakan usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM), biaya sertifikasi halal diusulkan sebesar 10 persen.
Menurut Soekoso174
, pemerintah berupaya UMKM hanya dibebani10 persen
biaya pembuatan sertifikat halal. Dan 90 persen berasal dari subsidi pemerintah.
Biaya sertifikat halal sama di setiap provinsi, tergantung pada produk dan
perusahaannya.
173
Lihat dalam penjelasan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal 174
Kepala Badan Penyelenggara Produk Halal, dalam artikel BPJPH Upayakan Biaya
Sertifikasi Halal UMKM Hanya 10 persen https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/18/06/24/patuyo313-bpjph-upayakan-biaya-sertifikat-halal-umkm-hanya-10-persen
143
Dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal telah diatur pedoman
umum penyelenggaraan jaminan produk halal. Namun masih perlu perangkat
peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh pemerintah maupun kementerian.
Karena undang-undang tersebut tidak mengatur penyelenggaraan jaminan produk
halal secara rinci dan harus didukung oleh peraturan turunannya. Kemudian dalam
membahas peraturan-peraturan tersebut diperlukan waktu yang lama dan
berpotensi adanya tumpang tindih dalam peraturan tersebut. Sehingga dapat
memperlambat pelaksanaan undang-undang jaminan produk halal yang
berpengaruh kepada perlindungan produk halal yang tersebar di masyarakat.
Aspek budaya hukum masyarakat erat kaitannya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta
budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai
hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.175
Kesadaran dan kepatuhan masyarakat baik produsen maupun konsumen
dalam pelaksanaan jaminan produk halal ini. Diantaranya adalah 1) Keyakinan
dan rendahnya kesadaran konsumen muslim terkait kewajiban mengkonsumsi
produk halal belum diikuti oleh konsistensinya dalam memilih produk
bersertifikat halal dan standar, sebagai konsumen seringkali memilih harga murah
sebagai penentu pilihan, 2) Produsen sering kali beranggapan bahwa produknya
tidak memakai bahan haram, padahal dugaan ini belum tentu benar karena banyak
bahan tambahan yang berpotensi haram, 3) Pada aspek yuridis, sertifikasi halal
175
Lawrence .M. Friedman,Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 16
144
masih memerlukan peraturan tambahan sehingga harus menunggu sampai
peraturan tersebut diterbitkan. 4) Pada aspek pembiayaan sertifikasi halal yang
masih dianggap beban oleh pelaku usaha dan sertifikasi halal dianggap masih
hanya sebagai kewajiban agama, sosialisasi belum maksimal, isu halal masih
dianggap sebagai sesuatu yang sensitif. 176
Lemahnya respons produsen terhadap tuntutan kehalalan produk, mestinya
menyadarkan untuk turut mengontrol produk yang beredar. Dengan mengubah
paradigma bahwa dengan sertifikasi halal tidak hanya menguntungkan konsumen
tetapi juga produsen. Dan orientasi dari suatu produk bukan hanya ekonomis
tetapi juga kepastian kehalalan produk tersebut.
Namun,dalam penelitian lain menyebutkan ada beberapa perusahaan
yang merespon baik adanya Sertifikasi Halal dengan menyadari akan pentingnya
Sertifikasi Halal. Hal itu dilandasi oleh dua harapan diantaranya: 1) Meningkatkan
produktivitas di pasaran, 2) Memperoleh keamanan dan kepastian hukum dalam
menjalankan roda perusahaan. Beberapa perusahaan mengungkapkan:177
1) Siswanto, salah seorang Staf PT. Alphabet Cahaya Dunia
mengungkapkan salah satu perusahaan Catering di Jakarta yang telah
mempunyai Sertifikat Halal dari LP POM MUI. Menurutnya ada
penambahan pemesanan dalam jumlah yang signifikan antara sebelum dan
sesudah produk bersertifikat halal serta mendapat kepercayaan dari
masyarakat.
176
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal,
h. 263 177
Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal.
h. 150- 154
145
2) Chairuddin Ahmad, Senior Project Manager PT. Wyeth Indonesia, sebuah
perusahaan pelopor dalam produksi susu formula bayi dengan berbagai
perkembangannya seperti protein whey dominan yang mirip dengan
protein dalam ASI. Mengartikan bahwa Sertifikasi Halal sebagai upaya
negara dalam melindungi masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi
produk yang halal.
3) PT. Quindofood, perusahaan yang bergerak dalam bidang industri
makanan tradisional menyatakan bahwa sertifikasi halal direspon dengan
mengoptimalkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJH) di Perusahaan.
Sistem Jaminan Halal (SJH) ini dinilai menguntungkan perusahaan karena
semakin meningkatnya kepercayaan konsumen yang sangat berpengaruh
terhadap penjualan produk. Adanya Sertifikat dan Label Halal
menyebabkan penjualan meningkat. Dan jauh lebih mudah masuk dalam
retail. Upaya untuk menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJH)
adalah dengan menjaga sistem yang diiringi komitmen halal bagi seluruh
bagian Perusahaan.178
4) Bagi PT. Dairy Gold Indonesia, salah satu perusahaan penghasil keju olahan
dengan brand cheesy, mengemukakan bahwa Sistem Jaminan Halal (SJH)
yang menyertakan Sertifikat dan Label Halal guna memperluas wilayah
pemasaran dan meyakini bahwa langkah ini penting untuk dilaksanakan.
Perusahaan ini juga menyatakan bahwa menjamin Pelaksanaan Sistem
Jaminan Produk Halal tidak dari sistem dan produknya saja, akan tetapi dari
178
LP POM MUI, Jurnal Halal : Menentramkan Ummat Nomor 69 Desember Tahun IX
2007, h. 17 dalam buku Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi
Produk h. 152
146
rohani karyawannya. Menjamin pelaksanaan Sistem Jaminan Produk Halal
(SJH) tidak berjalan tetapi kontrol pun dilakukan disetiap pribadi karyawan.
Sebagai upaya persiapan, pembekalan dan sosialisasi juga dijalankan.179
5) Bagi PT. Froozen Food Pahala, perusahaan yang berbidang usaha pada
daging olahan seperti Nugget, sosis, daging asap tanpa bahan pengawet dan
Monosodium Glutamate (MSG). Dengan jaminan kualitas yang terus
dikontrol dan sertifikat halal yang dipegangnya menjadikan produknya
dipercaya, dan dikonsumsi dengan aman.180
Berdasarkan uraian diatas, terdapat perbedaan penyelenggaraan jaminan
produk halal semakin terlihat jelas sebelum dan sesudah adanya Undang-Undang
Jaminan Produk Halal. Namun tidak telepas dengan adanya kekuatan dan
kelemahan dalam proses penyelenggaraannya, sebagaimana dalam uraian berikut:
Tabel 4.7 Proses Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Oleh LP POM dan
BPJPH
Penyelengaraan Jaminan Produk
Halal oleh LP POM
Penyelenggaraan Jaminan Produk
Halal oleh BPJPH
Kekuatan:
1. Infrastruktur dan sistem telah
terbentuk sejak didirikan LP
POM dan berkembang seiring
dengan berjalannya waktu.
2. Permohonan Sertifikasi Halal
Kekuatan:
1. Penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal terstruktur dan
keberadaan LPH sudah
terorganisir.
2. Pembentukan Badan
179
LP POM MUI, Jurnal Halal : Menentramkan Ummat Nomor 80 November-Desember
Tahun XII 2009, h. 23 dalam buku Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat
terhadap Sertifikasi Produk , h. 153 180
180
LP POM MUI, Jurnal Halal : Menentramkan Ummat Nomor 81 Januari- Februari
Tahun XIII 2010, H. 17-18 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap
Sertifikasi Produk , h. 156
147
sudah dilakukan dengan
online.
3. Biaya Sertifikasi Halal yang
tidak membebani
APBN/APBD.
4. Ulama sebagai otoritas utama
dalam menentukan sertifikasi
halal melalui fatwa halal.
5. Alur birokrasi yang tidak
melibatkan banyak pihak atau
lembaga.
6. Sudah memiliki pengalaman
baik dalam maupun luar
negeri.
Kelemahan:
1. Permohonan sertifikasi halal
masih bersifat Sukarela
(Voluntary). Artinya pelaku
usaha tidak memliki
Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) mempunyai
kekuatan hukum karena amanah
dari undang-undang.
3. Auditor Halal wajib berasal
dari enam latar belakang
pendidikan di bidang pangan,
kimia, biokimia, teknik industri,
biologi, atau farmasi.
4. Auditor halal yang tidak
menjalani perannya dengan baik
atau melakukan pelanggaran
tidak dikenakan sanksi baik
pidana ataupun denda.
5. Sertifikasi halal bersifat wajib
(Mandatory) dilakukan oleh
pelaku usaha.
6. Adanya dukungan anggaran
dari pemerintah (APBN) dalam
penyelenggaraan jaminan
produk halal.
7. Masa berlaku sertifikat halal
hingga 5 tahun.
Kelemahan:
1. Dibutuhkan waktu dan biaya
yang tidak sedikit untuk
pembentukan insfrastruktur,
sarana dan prasarana,
sosialisasi. Yang mana bisa
148
kewajiban untuk melakukan
sertifikasi halal.
2. Dukungan anggaran, sarana
dan prasarana dari pemerintah
sangat terbatas.
3. Pengawasan dan penegakan
hukum masih lemah.
4. Masa berlaku sertifikat halal
hanya 2 tahun.
menekan APBN/APBD.
2. Masih menunggu penataan
SDM di BPJPH dalam
persiapan permohonan
sertifikasi halal.
3. Seiring dengan banyak pihak
yang menangani sertifikasi
halal, maka alur dan proses
akan semakin panjang dan
menyulitkan pelaku usaha.
4. Masih perlu mengatur
akuntabilitas dan transaparansi
kinerja.
5. Menunggu peraturan turunan
baik dari pemerintah maupun
peraturan menteri untuk
penyelenggaraan jaminan
produk halal.
6. Dalam menetapkan peraturan
turunannya, membutuhkan
waktu lama dan tidak menutup
kemungkinan adanya
kontradiksi antar peraturan.
7. Rawan terjadi conflict of
interest (konflik kepentingan)
karena BPJPH menetapkan
siapa LPH yang akan digunakan
untuk melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian produk. Di
samping itu, MUI sebagai
lembaga yang mengeluarkan
149
fatwa halal juga memiliki LPH
yaitu LPPOM MUI. Hal
tersebut dapat menimbulkan
dominasi LPH yang melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian
produk.
150
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, tesis ini menyimpulkan Pembentukan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tidak terlepas dari faktor-faktor yang
melatarbelakanginya, yaitu:
a) Faktor filosofis Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang tercermin
dalam Pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang terdiri dari empat alinea. Penjabaran nilai-nilai
Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan
kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa ayat
Al-Quran yang menyatakan bahwa Orang Muslim wajib untuk
mengkonsumsi makanan yang Halal dan Toyyib sebagaimana dalam : Q.S.
Al-Baqarah (2) : 168, 172-173, Q. S. Al-Anam : 145.
b) Faktor Sosiologis Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Umat Islam di
Indonesia sebagai konsumen terbesar, membutuhkan hak konstitusional
untuk memperoleh perlindungan hukum dalam mengkonsumsi produk
sesuai dengan syariah Islam. Penerapan sistem jaminan produk halal ini
hendaknya memperhatikan perkembangan sosiologis masyarakat yang
semakin mengarah pada tatanan kehidupan global dan ekonomi pasar yang
terbuka.
c) Faktor yuridis undang-undang jaminan produk halal. Ada beberapa
peraturan yang melatarbelakangi terbentuknya undang-undang jaminan
produk halal yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
151
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Peranan dari masyarakat dalam hal ini perwakilan Asosiasi Pengusaaha,
Kementerian atau lembaga terkait sangat penting dalam menggali informasi
sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam muatan (isi) Undang-
Undang Jaminan Produk Halal ini. Segala bentuk aspirasi dari berbagai pihak
akan menjadikan Undang-Undang Jaminan Produk Halal bersifat aspiratif karena
mendorong pemerintah dalam melindungi konsumen Muslim khususnya dalam
mengkonsumsi produk yang beredar di Indonesia. Meskipun dalam pencapaian
tuntutan dari masyarakat dan kelompok sosial pelaksanaan Undang-Undang
Jaminan Produk Halal ini masih perlu banyak yang harus dipersiapkan dan
dilakukan. Namun, partisipasi dari berbagai elemen dalam perumusan hingga
pembahasan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Ini menjadi salah satu ciri
dari produk hukum yang responsif.
Kedua, tujuan terpenting pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum
dalam pelaksanaan jaminan produk halal baik dari pengaturan permohonan
sertifikasi halal sampai sanksi yang diberikan pada pelaku usaha yang tidak
menaati undang-undang ini. Selain itu, berbagai fungsi dan manfaat bagi
konsumen untuk memberikan respon baik yang mengarah kepada perilaku yang
diinginkan untuk memerhatikan produk serta peminatan dalam membeli produk.
152
Sedangkan untuk produsen dapat meningkatkan daya minat konsumen terhadap
produk yang diproduksinya.
Substansi Undang-Undang Jaminan Produk Halal sudah tersusun dalam
11 Bab dan 68 Pasal yang mengatur permohonan sertifikasi halal hingga sanksi
terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban dalam penyelenggaran
jaminan produk halal. Penegakan hukum dan pengawasan yang dilakukan ole
BPJPH yang bekerjasama dengan pihak penegak hukum harus dilakukan dengan
baik, untuk menciptakan kenyamanan, ketertiban dan tujuan yang akan dicapai
pada undang-undang ini yaitu melindungi konsumen dalam mengkonsumsi
produk yang beredar. Banyak dari pelaku usaha yang menyadari bahwa
pentingnya untuk melakukan sertifikasi halal pada produk yang diproduksinya.
Guna memberikan kepercayaan kepada konsumen dan upaya untuk meningkatkan
permintaan produk di pasaran.
Setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal disahkan ada beberapa kelebihan dan kelemahan yang terjadi dalam
pelaksanaan jaminan produk halal. Kelebihannya adalah: a) penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal dilaksanakan oleh Badan Penyelanggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) dibawah Kementerian Agama, b) Sertifikasi halal bersifat wajib
(Mandatory) dilakukan oleh pelaku usaha, c) Adanya dukungan anggaran dari
pemerintah (APBN) dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, d) masa
berlaku sertifikat halal hingga 5 tahun. Kelemahannya, a) menunggu peraturan
turunan baik dari pemerintah maupun peraturan menteri untuk penyelenggaraan
jaminan produk halal, b) dalam menetapkan peraturan turunannya, membutuhkan
153
waktu lama dan tidak menutup kemungkinan adanya kontradiksi antar peraturan,
c) dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk pembentukan
insfrastruktur, sarana dan prasarana, sosialisasi. Yang mana bisa menekan
APBN/APBD.
B. Saran
Tesis ini menyarankan kepada Pemerintah setelah terbentuknya Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bertanggung jawab penuh dalam
mengawal pelaksanaan jaminan produk halal ini supaya dapat berjalan dengan
efektif dan cepat. Mengingat sertifkasi halal bersifat Mandatory dan harus
diterapkan pada tahun 2019. Dengan melakukan hal-hal berikut:
1) Persiapan teknis yang matang dan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai faktor pendukung dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
2) Melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap pelaku usaha (perusahaan
maupun UMKM) serta masyarakat guna memberikan kepedulian terhadap
produk yang beredar di Indonesia dan kesadaran hukum bagi masyarakat
akan pentingnya mengkonsumsi/memproduksi produk halal.
3) Mempersiapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan memberikan
sertifikasi kepada LPH supaya dapat bekerja sama dengan BPJPH dalam
memeriksa kehalalan produk sehingga dapat melaksanakan pemeriksaan
produk dengan cepat dan efektif.
Selanjutnya bagi produsen (pelaku usaha) untuk menyadari bahwa
pentingnya sertifikasi halal dan mempersiapka permohonan sertifikasi halal pada
154
produk yang dibuatnya. Guna memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
konsumen yang mengkonsumsinya serta meningkatkan daya jual produk di
pasaran.
155
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abadi, Tulus. Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberian Informasi dan Produk
Halal, Jakarta : Tim Kajian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2011.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta : Gunung Agung, 2002.
__________. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Jurisprudenc) Termasuk Interpretasi Undang-Undang. Jakarta :
Kencana Prenada Group. 2010.
Amiruddin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. VI. Jakarta
: Raja Grafindo Persada. 2012
Apriyantono, Anton Nurbowo. Panduan Belanja dan Konsumsi Halal. Jakarta:
Khairul Bayaan, 2003.
Budiardjo, Mariam. Dasar Ilmu Poltik, Jakarta : Gramedia, 1982.
Dahl, Robert A. Dilema Demokrasi Pluralis : Antara Otonomi dan Kontrol.
Jakarta: CV. Rajawali. 1985.
Fuady. Munir. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum.
Jakarta:Prenadamedia. 2014
Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Bandung : Nusa
Media . 2011.
Hartono. .F.G Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1991.
Hatta. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO : Aspek-Aspek
Hukum dan Non Hukum, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2006.
Ibrahim Jhonny, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing. 2006.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundangundangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan,. Yogyakarta : Kanisius.2010.
K.C. Wheare, the Modern Consstitutions, (Oxford University : Third Impression,
London, New York, Torontom 1975.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Cambridge : Harvard University
Press.
156
Konoras, Abdurrahman. Jaminan Produk Halal di Indonesia: Perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen. Depok : Rajawali Press. 2017
Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran Edisi Milenium Jilid 1&2. Prenhalindo:
Jakarta. 2000.
Irianto, Sulistyowati. Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. 2011.
Syafii, Inu Kencana. Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Pustaka Reka Cipta,
2009.
LPPOM MUI, Sejarah LPPOM, Jakarta : Sekretariat MUI. 2000
___________, Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Produk Halal (Halal
Assurance System. Edisi III, Jakarta: LP POM MUI. 2005.
___________, Panduan Umum Sistem Jaminan Produk Halal LP POM MUI.
Edisi 4 : Jakarta. 2004.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Edisi Revisi Cet.ke VI, Jakarta :
Kencana, 2010.
Mashudi. Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk
Halal. Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Manan, Abdul. Politik Hukum : Studi Perbandingan dalam Praktek
Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat, Jakarta : Prenada
Media, 2016.
Martosoewignjo, Sri Sumantri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet. 1, Bandung : Alumni Press, 1992.
Md, Mahfud. Poltik Hukum di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2014.
Rohman, Abdul. Pengembangan dan Analisis Produk Halal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Cet.Ke-3, Bandung : Citra Aditya, 1991.
_______, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2002.
_________, Penegakan Hukum Progresif. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. 2010
Salman, Otje. Teori Hukum. Bandung: Refika Aditama. 2007.
157
Sartori, Giovanni. Parties And Party System, A Framework for analtis.
Cambridge: Cambridge Universities Press.
Sunny,Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Cet. V, Jakarta : Aksara Baru.
1983.
Soekanto, Soerjono dan Sri Pamudji, Penelitian Hukum Normatif Jakarta :
Rajawali Press, 2006.
_______________, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.
W.J.S Poerwasarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka)
Wahjojo, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Cet-II. Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1986
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika.
2002
William, Stanton. Prinsip-prinsip Pemasaran Jilid Kedua Edisi Ketujuh.
Erlangga: Jakarta. 1996.
Yahya, Bernard, L. dkk. Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Jogjakarta : Genta Publishing. 2010.
Yani, Ahmad. Pembentukan Peraturan Perundang-UndanganYang Responsif.
Jakarta: Konstitusi Press. 2013
B. Jurnal
Afroiyani, Lies. Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal oleh Majelis Ulama
Indonesia, dalam Jurnal Kebijakan dan Analisa Produk Vo. 18. Jakarta :
2014.
Amin, Ma’ruf Fatwa Halal Melindungi Umatdari Kerugian yang Lebih Besar,
Jurnal Halal No 103 Th. XVI, Jakarta : LPPOM MUI, 2013.
Aminuddin, Muhammad Zumar. Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan
Indonesia dan Thailand. Jurnal Shahih Vol.1 Nomor 1. Surakarta: IAIN
Surakarta. 2015.
Huda, Nurul. Pemahaman Produsen Makanan Tentang Sertifikasi Halal dalam
Jurnal Ishraqi Vol.10 Nomor 1 Surakarta : Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
158
May Lim Charity, Halal Product Guarantee in Indonesia, dalam Jurnal Legislasi
Volume 14 No.1 Maret 2017 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
Undangan Kementerian Hukum dan HAM.
Murjani. Sistem Jaminan Produk Halal Dan Thayyib di Indonesia dalam Aspek
Yuridis dan Politis dalam Jurnal Fenomena Volume VII No. 2.
Samarinda : IAIN Samarinda. 2015.
Rohayah, Endah Dwi. Politik Hukum Islam dalam Regulasi Jaminan Produk
Halal di Indonesia. Tesis. Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2016.
Sayekti, Nidya Waras. Jaminan Produk Halal Perspektif Kelembagaan Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Publik Vol.2 Nomor 5, 2014.
Suparto, Susilowati. Dkk. Harmonisasi dan Sinkronisasi Pengaturan Sertifikasi
Halal terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia. Jurnal Mimbar
Hukum Vol. 28 Nomor 3. Bandung: Universitas Padjajaran. 2016.
Syarifuddin, Asep dan Mustolih, Sertifikasi Halal Dan Sertifikasi Non Halal Pada
Produk Pangan Industri dalam Jurnal Al-Ahkam Vol. XV Jakarta :
Ahkam Press, 2015.
Uno, Sandiaga . Menjadikan UKM Semakin Berdaya Saing Tinggi, Jurnal Halal
No. 91 Th. XVI Jakarta : LPPOM MUI, 2011.
Sudarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, dalam Jurnal Hukum
dan Keadilan No.5 Tahun VII, h. 15-16
C. Perundang-undangan dan Peraturan Terkait
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 Tentang K Kesehatan Masyarakat
Veteriner.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
Pangan
159
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN/1986 tentang Syarat-Syarat
Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 557/Kpts/TN/520/9/1987 Tentang Syarat-
Syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kptsn/Tn/240/5/1989 tentang
Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kptsn/ TN/310/7/1992 Tentang
Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging beserta Ikutannya.
Keputusan Menteri Nomor 745/Kptsn/ TN/240/12 /1992 tentang Persyaratan dan
Pemasukan Daging dari Luar Negeri.
Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata
cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga
Pemeriksaan Pangan Halal
D. Berita (Internet)
Bagaimana Pelaku Usaha Menyikapi UU Jaminan Produk Halal?‖
http://www.nu.or.id/post/read/82039/bagaimana-pelaku-usaha-
menyikapi-uu-jaminan-produk-halal diakses 18-01-2018
UUJaminan Produk Halal Berikan Kepastian Hukum Bagi Konsumen‖
((http://poskotanews.com/2017/11/29/mui-jaminan-produk-halal-sudah-
jadi-tren-kehidupan-global/) , diakses 17 Januari 2018
Menag Resmikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal‖
https://news.detik.com/berita/d-3679207/menag-resmikan-badan-
penyelenggara-jaminan-produk-halal diakses 31 Oktober 2017
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Temui Banyak Kendala‖
http://www.suaramerdeka.com/news/detail/12735/Badan-Penyelenggara-
Jaminan-Produk-Halal-Temui-Banyak-Kendala diakses tanggal 17
Januari 2018
Prof. Dr. Hj Aisjah Girindra, Sertifikasi Halal Dongkrak Omzet dalam berita
Republika.co.id tanggal 30 Desember 2008 yang diakses tanggal 8 Mei
2018 / http://www.republika.co.id/berita/shortlink/23324
160
Fraksi PDS Tolak RUU Jaminan Produk Halal republika.co.id
http://www.republika.co.id/berita/shortlink/31828 diakses pada tanggal
15-8-2018
Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal dijadikan Undang-undang,
hukumoline.com,http://www.hukumonline.
com/berita/baca/hol21214/fraksi-pds-tolak-jaminan-produk-halal-
dijadikan-uu. Diakses pada 15-8-2018