yuridis sosiologis pengetatan pemberian remisi bagi narapidana

33
NURUL SYAFUAN, SH.,MM ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS PENGETATAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA DIBUAT OLEH NURUL SYAFUAN, SH.,MM NIM : 10720054

Upload: syafuan-syaripi-majid-sh-mm-mh

Post on 25-Jul-2015

576 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS PENGETATAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA

DIBUAT OLEH

NURUL SYAFUAN, SH.,MMNIM : 10720054

UNIVERSITAS BOROBUDURMAGISTER ILMU HUKUM

Page 2: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS PENGETATAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA

OLEH NURUL SYAFUAN, SH.,MM

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit sosial berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Lebih memprihatinkan lagi adalah pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh para anggota legislatif (DPR) dengan dalih studi banding, THR, uang perjalanan, sampai pada keinginan untuk diadakan fasilitas kerja yang super mewah seperti mobdin dan gedung baru DPR yang anggarannya mencapai 1,1 Triliun. Contoh tersebut hanya sebagian kecil diantara banyak korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan, seperti kasus Gayus yang menyeret para petinggi Dirjen Pajak, kasus Wisma Atlet yang

Page 3: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

melibatkan para pemimpin di Partai Demokrat, kasus cek perjalanan oleh Nunun dkk, atau di Kemenakertrans yang lagi-lagi bekerjasama dengan wakil rakyat di Banggar.

Hal diatas sangat ironis mengingat Negara ini masih sangat belum maju dan sedang membutuhkan perekonomian dan stabilitas hukum dan keamanan yang bagus, rakyat yang mayoritas masih di garis kemiskinan. Bahkan Pemerintah dan lembaga-lembaga hukum pun dapat dikatakan lambat atau malah tidak mampu menangani kasus-kasus tersebut. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan, korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju.

Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.

Dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, Pemerintah telah melakukan upaya-upaya, baik strategi preventif, deduktif, maupun represif. Pembentukan badan yang independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk tahun 2003 berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan khusus tindak pidana korupsi, serta adanya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Strategi represif dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada

Page 4: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Upaya yang dilakukan Pemerintah yaitu menjatuhkan hukuman/ pemidanaan yang seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi. Salah satunya dengan munculnya ide moratorium yang akhirnya dibenahi istilahnya menjadi pengetatan.

Kebijakan ini berisi keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI, Amir Syamsuddin yang berisi pengetatan/ pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi.

Pengetatan pemberian remisi dan bebas bersyarat bagi terpidana korupsi merupakan semangat yang perlu didukung oleh kita semua. Hal ini juga dinilai positif oleh banyak kalangan dan akan memberi efek jera bagi koruptor.

Namun masalah mulai muncul ketika terdapat sesuatu yang salah didalamnya. Kebijakan pengetatan tersebut ternyata belum dibuat peraturannya. Masalah semakin besar ketika ada korban yang dirugikan oleh kebijakan itu.

Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Paskah Suzetta disebut-sebut sebagai korban kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Kebijakan itu sekaligus dianggap sebagai tindakan penyanderaan kepada Paskah yang sudah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat.Sebagaimana diberitakan, sejumlah terpidana korupsi kasus suap cek pelawat batal bebas bersyarat akibat pemberlakuan kebijakan pengetatan tersebut. Salah satunya adalah politisi Partai Golkar, Paskah Suzetta. Berdasar surat Ditjen Pemasyarakatan, Anggota DPR 1999-2004 itu dijadwalkan keluar dari LAPAS Klas I Cipinang. Namun, tepat pada hari yang ditetapkan itu, MenkumHAM Amir Syamsuddin mengeluarkan kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor.

Ini berarti kebijakan tersebut tidak memberi rasa keadilan bagi narapidana yang seharusnya mendapatkan hak yang sama.

Kebijakan moratorium yang diubah menjadi pengetatan remisi, menurut sebagian pakar Hukum, melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 5: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Selain itu, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam ketentuan dari UU Pemasyarakatan dan ketentuan dari Peraturan Pemerintah tentang Remisi, Pembebasan Bersyarat dan Asimilasi diatur bahwa setiap narapidana mempunyai hak mendapatkan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat.

Kebijakan yang dinilai sepihak tersebut mengundang reaksi dari sejumlah kalangan. Permasalahannya, jika Menkumham ingin memberlakukan moratorium soal remisi dan pembebasan bersyarat, harus diterbitkan terlebih dahulu peraturannya yang jelas.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, penulis ingin membahas serta menuangkan dalam bentuk Makalah dengan judul “ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS PENGETATAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA”

2. Rumusan Masalah

Adapun mengenai masalah dalam penulisan ini dengan mendasarkan pada latar belakang yang terjadi, maka rumusan masalah dapat dirumuskan secara baku sebagai berikut:

1. Apakah Pembebasan Bersyarat dan remisi itu, serta bagaimana prosedurnya?2. Dimanakah letak kelemahan hukum pelaksanaan kebijakan pengetatan remisi bagi narapidana?3. Bagaimana rakyat seharusnya dalam menilai kebijakan pengetatan remisi bagi narapidana pelaku tipikor?

3. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Mengetahui prosedur pembebasan bersyarat bagi narapidana dan kriteria dalam pelaksanaan Pemberian Pembabasan Bersyarat.

2. Mengetahui kelemahan kebijakan pengetatan yang dikeluarkan Pemerintah ditinjau dari segi yuridis.

Page 6: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

3. Mengetahui nilai-nilai positif yang sebenarnya dari kebijakan Pengetatan remisi dan PB untuk narapidana tindak pidana korupsi, ditinjau dari segi sosiologis.

4. Metodologi Penulisan

Dalam suatu penelitian tentunya kita memerlukan data yang cukup akurat, untuk mendapatkan data tersebut kita harus menggunakan suatu cara. Adapun cara untuk mendapatkan data itulah yang biasa disebut metode. Jadi dalam penggalian data, penggunaan suatu metode memegang peranan yang sangat penting dalam suatu penelitian yang bersifat ilmiah, karena suatu penelitian tergantung pada tepat tidaknya dalam penerapan suatu metode yang digunakan tersebut.

Dalam penelitian ini, penulis dapat memperoleh data sesuai yang diinginkan berkaitan dengan tema penelitian penulis, yaitu menganalisa kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dari nilai-nilai kepastian hukum, keadilan masyarakat, dan asas manfaat, karena kondisi-kondisi pendorong seperti:1. Semakin menjamurnya korupsi di negeri ini, yang mengakibatkan kerugian Negara yang tak hingga dan secara tidak langsung bagi rakyat Indonesia yang mayoritas masih hidup dalam kemiskinan.

2. Munculnya pro dan kontra terhadap kebijakan pengetatan pemberian remisi dan PB bagi narapidana korupsi.

3. Semakin banyak dan meningkatnya angka kriminalitas korupsi tersebut, serta Pemerintah yang terkesan pro Kapitalis menyebabkan hukum sulit untuk ditegakkan.

4. Penulis ingin menganalisa, tidak hanya dari satu sisi saja (dari sisi hukum tertulis), namun juga dari keadilan masyarakat (sosiologis) dan mengetahui mana yang lebih banyak, apakah kerugian, ataukah manfaatnya dari pelaksanaan pengetatan remisi dan PB yang dikeluarkan Pemerintah.

Sebagai langkah awal untuk memperoleh hasil yang obyektif dan benar, serta data yang benar dengan obyek penelitian yang akan diteliti, maka dalam melakukan penelitian harus menggunakan suatu metode agar mendapatkan suatu kesimpulan yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Peranan metodologi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai berikut :

Page 7: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap.

2. Memberikan kemampuan yang lebih besar untuk melakukan penelitianinterdisipliner.3. Memberikan kemampuan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.

4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat

Sedangkan dalam penelitian ini penulis menyusun dengan mempergunakan pendekatan secara yuridis sosiologis. Yang dimaksud yuridis adalah dengan melihat aspek-aspek hukum yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tentang Pemasyarakatan dan Pembebasan Bersyarat. Secara sosiologis disini dimaksudkan bahwa penelitian ini didasarkan pada realita dan kenyataan sosial yang ada pada masyarakat.

Penggunaan metode tersebut mengingat bahwa permasalahan yang diteliti erat hubungannya dengan ketentuan hukum yang berlaku dan penerapannya dalam praktek yang dikembangkan dalam realita kehidupan masyarakat.

A. Perspektif dan Ruang Lingkup

Sebagaimana telah diuraikan didepan maka apa yang peneliti anggap menarik dan khas tersebut tentunya akan memiliki suatu ruang lingkup pembahasan yang cukup luas dan menyeluruh sehingga banyak melibatkan instansi terkait. Oleh karena itu diperlukan dan diberikan batasan-batasan agar dalam membahas nantinya tidak terlalu melebar dan kehilangan arah tujuan penelitian itu sendiri.

Dalam penelitian ini peneliti fokuskan pada tujuan Pengetatan pemberian pembebasan bersyarat pada narapidana, kelemahan pelaksanaan kebijakan tersebut, manfaat apa yang diperoleh didalamnya, baik dalam proses Pengetatan pemberian pembebasan bersyarat maupun hasil final yang akan dicapai dan apa saja kendala yang akan ditemui serta upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi kendala-kendala yang timbul tersebut.

Page 8: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

B. Sumber Bahan Hukum

1. Jenis Bahan Hukum

Dalam rangka mengumpulkan data pada penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis Bahan Hukum yaitu :

a. Primer

Yaitu data yang didapat penulis dari peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Pemasyarakatan diantaranya Undang-undang tentang Pemasyarakatan, Keputusan Menteri, Peraturan Pemerintah dan Peraturan perundangan lain yang mengatur tentang Pemasyarakatan dan sistem-sistemnya, baik yang perolehannya dari Instansi berwenang ( dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I ), maupun dari Website/ media yang diperoleh melalui Internet.

b. Sekunder

Yaitu Bahan-bahan pendukung yang dapat berupa buku-buku literatur tentang penelitian, dokumen dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan dan obyek penelitian, berupa sumber data tertulis.

2. Sumber Bahan Hukum

Untuk memperoleh data-data yang terkait dengan obyek penelitian maka peneliti mendapat sumber data melalui:

Studi Pustaka ( Library Reasearch )

Yaitu dengan cara mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah dan pendapat para ahli yang ada hubungannya dengan obyek penelitian.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik Pengumpulan bahan dilakukan dengan cara Dokumentasi Hukum, yaitu pengumpulan data dengan cara menggunakan dokumen-dokumen

Page 9: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

yang ada di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur untuk melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian yaitu dokumen-dokumen yang berhubungan langsung dengan permasalahan yang penulis teliti.

D. Cara Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik atau cara yang dilakukan penulis adalah dengan cara Dokumentasi Hukum, yaitu pengumpulan Bahan Hukum dengan cara menggunakan dokumen-dokumen yang ada di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur untuk melengkapi data-data yang diperlukan dalam penulisan yaitu dokumen-dokumen yang berhubungan langsung dengan permasalahan yang penulis teliti.

E. Analisa Bahan Hukum

Dari hasil penelitian yang telah terkumpul, seperti yang diperoleh di lapangan dan data kepustakaan, maka penulis selanjutnya menganalisa data tersebut secara deskriptif analitis yaitu data-data yang telah diproses akan dianalisa dan digambarkan sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu kesimpulan.

F. Sistematika Pertanggungjawaban

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi menjadi 4 ( empat ) bab, yang masing-masing bab dijabarkan lenih lanjut dalam beberapa subbab, yaitu:

Bab I: Pendahuluan. Berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian.

Bab II: Tinjauan umum tentang pembebasan bersyarat dan remisi narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan, serta pengertian kebijakan pengetatan terhadap narapidana.

Bab III: Merupakan bab yang memaparkan hasil penelitian yang digunakan sebagai sumber data untuk menjawab permasalahan yang ada, pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat sebagai kebijakan yang bertujuan menekan angka korupsi, namun disertai dengan kelemahan hukum.

Bab V: Penutup. Berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Page 10: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

G. Dasar Hukum Penulisan

Dalam melaksanakan penulisannya, penulis tidak boleh secara serta merta menuliskan bahan yang diperolehnya. Tetapi di sini penulis harus memiliki dasar pemikiran yang mempunyai kekuatan atau ketetapan pasti ditinjau dari ilmu Hukum. Inilah yang dapat kita sebut sebagai Dasar hukum. Dasar Hukum yang dipakai dalam penulisan ini adalah:

a. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

b. UU Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan khusus tindak pidana korupsi.

c. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang durubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dan PP Nomor 32 Tahun 1999 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

e. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

f. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tanggal 16 Agustus 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

BAB II

TINJAUAN UMUM REMISI, PEMBEBASAN BERSYARAT, DAN PENGETATAN

Page 11: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

1. Sistem Pemasyarakatan

Seseorang perlu ditinjau apa hakekatnya dan apa sebenarnya tujuan pemidanaan itu. Hal tersebut menimbulkan beberapa teori dan membawa kita pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan itu dikenakan suatu hukuman pidana? Di bawah ini akan diuraikan secara singkat tujuan pemidanaan maengingat hal tersebut harus diperhitungkan oleh hakim dalam pemberian pidana. Secara garis besar terdapat tiga teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu:

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan. Teori ini beranggapan bahwa setiap kejahatan harus diikuti dan dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan ditentukannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat masa depan.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan. Teori ini beranggapan bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaatnya pidana masyarakat atau bagi si penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga ke masa depan. Oleh karena itu perlu ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjauhkan pidana saja. Tujuan tersebut semata-mata harus diarahkan ke arah pencegahan( prevensi ) atau agar kejahatan tersebut tidak diulang lagi. Usaha prevensi selain ditujukan kepada si penjahat, juga ditujukan kepada orang lain.

Teori Gabungan. Teori menggabungkan antara Teori Absolut dan Teori Relatif. Jadi disamping mengakui bahwa tujuan pemidanaa itu adalah untuk pembalasan, juga mengakui pola unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.

Di Indonesia, dewasa ini menganut falsafat pembinaan narapidana, yaitu apa yang disebut dengan nama “Pemasyarakatan”, sedangkan istilah penjara diubah namanya menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” yang digunakan sebagai tempat untuk membina dan sekaligus sebagai tempat untuk mendidik narapidana. Pemasyarakatan yang dimaksud disini harus diartikan dengan “memasyarakatkan” kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna( helthily re-entry into community ) yang pada hakekatnya adalah “resosialisasi”.

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan Pembinaan Warga

Page 12: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara Pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem Pemidanaan dalam tata Peradilan Pidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, tujuan pemasyarakatan berbunyi:

"Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab."

Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan. Berdasarkan keterangan ini yang dimaksud dengan "agar menjadi manusia seutuhnya" adalah upaya untuk memulihkan narapidana kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya.

2. Warga Binaan Pemasyarakatan

Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

3. Remisi dan Pembebasan Bersyarat.

A. Pembebasan Bersyarat dan Prosedurnya

Page 13: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hak-hak narapidana adalah sebagai berikut

(1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya

(2) Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani

(3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

(4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

(5) Menyampaikan keluhan

(6) Mendapatkan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

(7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

(8) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya

(9) Mendapatkan pengurangan masa pidana( Remisi )

(10) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

(11) Mendapatkan pembebasan bersyarat

(12) Mendapatkan cuti menjelang bebas

(13) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pembinaan narapidana salah satu perwujudannya berupa proses “Pembebasan bersyarat”, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya.

Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007, yang dimaksud dengan Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3( dua pertiga ) masa pidananya

Page 14: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan Bersyarat dilaksanakan sesuai asas-asas dalam penyelenggaraan tugas umum Pemerintah dan pembangunan serta berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang tertentu.

Adapun tujuan dari Pembebasan Bersyarat adalah:

a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Narapidana dan Anak didik Pemasyarakatan ke arah pencapaian tujuan pembinaan yaitu agar kelak mereka dapat kembali dan diterima oleh masyarakat bahkan lebih berguna ke depannya.

b. Memberi kesempatan kepada Narapidana untuk pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana.Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan Pemasyarakatan.

Bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana( KUHP ) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya. Masyarakat diharapkan turut berperan dalam memberikan pembinaan dan pendidikan bagi narapidana.

Jadi bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu, mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana dan menyelesaikan pencatatannya secara administratif yang disusul dengan observasi/ identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu Dewan Pemasyarakatan, kemudian baru ditentukan bentuk dan cara pembinaan yang akan diberikannya antara lain penempatannya, di samping diberikan tentang hak dan kewajibannya serta tata cara hidup di dalam lembaga. Setelah pembinaan berjalan beberapa lama kemudian diadakan pertemuan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP) dengan

Page 15: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

mengikutsertakan narapidana yang bersangkutan dan evaluasi keadaanya apakah yang bersangkutan telah memperoleh kemajuan atau kemunduran dalam hal tingkah lakunya. Pembinaan selanjutnya ditentukan oleh Dewan sesuai dengan kemajuan atau kemundurannya setelah diadakan koreksi seperlunya. Usaha konseling semacam ini diadakan secara berkala dan bila terus ada kemajuan maka sudah waktunya narapidana yang bersangkutan diusulkan untuk dilepas dengan persyaratan, tapi apabila tidak, maka narapidana tetap menjalani masa pembinaannya sampai habis masa pidananya.

Selama dalam lembaga, sebagai hasil conselling Dewan bila ada kemajuan narapidana yang bersangkutan dapat diperlonggar kebebasannya, hingga makin dekat pergaulannya dengan masyarakat , baik berupa mendapat pekerjaan maupun pendidikan, olah raga, kesenian, kesempatan beribadah dan lain-lain di luar lembaga bersama-sama dengan masyarakat, juga berhubungan dengan keluarganya. Dengan demikian secara progresif narapidana tahap demi tahap dengan kemajuan-kemajuan pada pribadinya, mendekati hari lepasnya. Usaha pelepasan dengan persyaratan merupakan mata terakhir dari usaha pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan, di samping remisi yang diberikan pada setiap tanggal 17 Agustus bila berkelakuan baik.

B. Remisi

Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Th 1999, pengertian Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, yang menyebutkan:

1. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.

2. Remisi Umum adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.

3. Remisi Khusus adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh

Page 16: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya 1 (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.

4. Remisi Tambahan adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan.

5. Narapidana yang berkelakuan baik ialah Narapidana yang mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi.

6. Yang dimaksud dengan berbuat jasa kepada negara adalah jasa yang diberikan dalam perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara.

7. Perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan antara lain :

a. Menghasilkan karya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan.

b. Ikut menanggulangi bencana alam.

c. Mencegah pelarian dan gangguan keamanan serta ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara atau Cabang Rumah Tahanan Negara.

d. Menjadi donor organ tubuh dan sebagainya.

C. Pengertian Moratorium dan Pengetatan

Dalam suatu bidang hukum, moratorium (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah otorisasi legal untuk menunda kewajiban tertentu selama batas waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan untuk mengacu ke waktu penundaan kewajiban itu sendiri, sementara otorisasinya disebut sebagai undang-undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya ditetapkan pada saat terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial, misalnya, pada saat Perang Jerman-Perancis, pemerintah Perancis mengundangkan undang-undang moratorium.Dalam wawancara wartawan tempo dengan Denny Indrayana yang dirilis

Page 17: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

tempointeraktif.com, Denny menekankan bahwa kebijakan yang dilakukan adalah pengetatan.

Artinya Kemenkumham akan memperketat syarat pemberian remisi kepada narapidana koruptor dan sudah diberlakukan terutama untuk poin remisi koruptor hanya diberikan kepada mereka yang bertindak sebagai “justice collaborator” dan “wistleblower”. Ia mengatakan jika dulu remisi diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik, maka khusus bagi koruptor penilaian berkelakuan baik harus lebih diperjelas yakni bertindak sebagai “justice collaborator” atau pun “wistleblower”.

Dari pengertian tersebut diatas kita dapat menyimpulkan bahwa arti dari Moratorium Remisi adalah Penundaan pemberian remisi dan Pembebasan Bersyarat sampai batas waktu yang ditentukan. Sedangkan Pengetatan adalah memperketat syarat dan kriteria seorang narapidana untuk dapat/ tidaknya diberikan potongan kurungan (Remisi) dan Pembebasan dengan syarat.

Page 18: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

BAB III

ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS PENGETATANPEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA

1. Ide Pengetatan

Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang mengeluarkan pengetatan pemberian remisi (pengurangan hukuman) bagi terpidana korupsi dinilai sebagian pihak sebagai kebijakan yang prematur dan melanggar HAM, Karena Banyak narapidana yang batal bebas.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyatakan, moratorium remisi bagi narapidana korupsi yang pernah digulirkannya bukan dimaksud pemberhentian sementara, melainkan lebih sebagai upaya memperketat pemberian remisi.

"Moratorium yang dimaksud adalah pengetatan. Kebijakan ini sudah diambil, yang ada kontrol ketat. Kontrol yes, obral no," kata Denny, dalam diskusi mingguan bertema Permisi Numpang Remisi di Warung Daun, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 15 Juni 2011 lalu.

Denny mengaku tidak ingin terjebak dalam penggunaan istilah teknis "moratorium". Apa pun namanya, kebijakan itu tetap bertujuan mengontrol pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana perkara korupsi. Sebelumnya, Denny dan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengeluarkan wacana moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku koruptor. Namun wacana itu menuai kritik dari sejumlah kalangan.

Page 19: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Di balik sejumlah kecaman itu, Denny mengubah istilah moratorium itu menjadi "pengetatan".

2. Kasus Paskah Suzetta

Sebagaimana diberitakan di media massa, sejumlah terpidana korupsi kasus suap cek pelawat batal bebas bersyarat akibat pemberlakuan kebijakan pengetatan tersebut. Salah satunya adalah politisi Partai Golkar, Paskah Suzetta.

KPK telah menjatuhkan hukuman kepada puluhan mantan anggota DPR dalam kasus suap Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta dijatuhi hukuman penjara 16 bulan oleh hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Paskah dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam kasus pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia pada 2004. Hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.50 juta subsider tiga bulan penjara.Dalam persidangan, Paskah yang juga mantan anggota DPR, menyatakan tidak bersalah. Yang juga dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam kasus ini adalah Achmad Hafiz Zawawi, Martin Brian Seran, Bobby Suhardiman, dan Anthony Zedra Abidin. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman penjara 16 bulan untuk Baharuddin Aritonang, Asep Ruchimat Sudjana, Teuku Muhammad Nurlif, Hengky Baramuli, dan Reza Kamarullah.

Kasus ini berawal dari pengakuan mantan anggota DPR Agus Tjondro Prayitno yang mengatakan ada aliran dana bagi sejumlah anggota DPR ketika memilih deputi gubernur senior Bank Indonesia. Menurut Agus, sejumlah anggota DPR menerima uang ratusan juta rupiah dalam bentuk cek pelawat. Agus sendiri telah divonis 15 bulan penjara.

Berdasarkan surat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang diterbitkan pada 12 Oktober 2011, Anggota DPR 1999-2004 itu dijadwalkan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang pada 30 Oktober 2011. Namun, tepat pada hari yang ditetapkan itu, Menkumham Amir Syamsuddin mengumumkan kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor.

Karena itu, Paskah akan mengajukan somasi kepada Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin terkait penangguhan pembebasan bersyarat yang sedianya dilakukan pada 30 Oktober 2011. Paskah Suzetta batal bebas

Page 20: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

karena adanya kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Wajar apabila Paskah mengambil langkah hukum. Sebab pembebasan bersyarat sudah diatur dalam Undang-undang Pemasyarakatan. Menurut Kuasa hukumnya, Paskah tengah memikirkan langkah hukum berikutnya, apalagi selama persidangan, Paskah selalu bersikap sopan dan kooperatif. Selain itu, Paskah juga tidak terbukti menikmati hasil pidana.

3. Pengetatan Bertabrakan Dengan Undang-undang

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan Tahun 1992 telah dituangkan tentang hak-hak narapidana yang pada huruf i dan k menyebutkan bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) dan berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Ayat (2) UU ini menerangkan bahwa ketentuan dan syarat untuk mendapatkan haknya dalam Pasal 1 lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Kebijakan moratorium yang diubah menjadi pengetatatan remisi itu melanggar Undang-undang No.12/1995 tentang Pemasyarakatan dan PP No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, termasuk remisi. karena titik lemah ini, maka muncul daftar antrian penggugat kepada Menkumham dan Wamenkumhan. Diantaranya Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR RI dari Partai Golkar, kemudian ada mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra yang melayangkan somasi kepada Wamenkumham Denny Indrayana dan mengancam akan menggugat secara hukum jika somasinya tidak diindahkan.

Pengetatan remisi yang dirumuskan Kementerian Hukum dan HAM saat ini, sangat rapuh untuk dilaksanakan. Kebijakan ini lahir dengan proses yang agak dipaksakan. Karena abnormal, kebijakan ini pada akhirnya hanya mengundang polemik.Pada saat pemberantasan korupsi membutuhkan kemauan politik yang kuat, konsistensi dan sikap tegas tanpa toleransi, Pemerintah justru dapat dimungkinkan mengobral remisi. Karena eksperimental, bahwa kebijakan ini perlu direview.

Page 21: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Bukan karena kita ingin membela terpidana koruptor, melainkan karena alasan keputusan itu ambivallen. Hal ini bias berarti penguasa dilegalkan bertindak semena-mena.Kebijakan moratorium tersebut melanggar aturan ketentuan dari Undang-Undang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah tentang Remisi, Pembebasan bersyarat, dan Asimilasi, yang mengatur bahwa setiap narapidana mempunyai hak mendapatkan itu.

4. Pengetatan Perlu Didukung

Pro kontra kebijakan moratorium (penangguhan sementara) dengan cara memperketat pemberian remisi (pengurangan hukuman) dan pembebasan bersyarat kepada terpidana korupsi atau teroris masih berlangsung. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD termasuk kalangan yang pro terhadap kebijakan tersebut.

Ia menilai jika Kemenkumham mengeluarkan moratorium remisi bagi terpidana tertentu merupakan hal yang prematur sebelum ada perangkat hukumnya. “Jangan diomongin dulu, terus dibuat peraturannya, ini terkesan diskriminatif. Tetapi, Seperti kebijakan pengetatan syarat pemberian remisi bagi terpidana kasus-kasus tertentu dengan syarat-syarat khusus boleh saja dilakukan lewat aturan yang lebih teknis (peraturan menteri) dan ini tak langgar undang-undang,” katanya.

Selain itu, regulasi itu juga harus diimbangi dengan pengetatan pengawasan terhadap tim penilai pemasyarakatan di setiap lembaga pemasyarakatan. Sebab, mereka yang menilai dan mengusulkan setiap terpidana tertentu untuk memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat kepada menteri. Kalau tim penilainya 'tidak sehat', pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bisa saja diperjualbelikan, sehingga harus ada evaluasi dan pengawasan ketat juga terhadap setiap personil tim penilai ini.

Dukungan dengan syarat hadir dari ICW. Meski mendukung adanya pengetatan pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap terpidana kasus korupsi, namun Indonesia Corruption Watch (ICW) tetap khawatir bahwa kebijakan itu rawan penyimpangan. Hal ini jika kebijakan tersebut disusun tanpa aturan jelas yang tertulis.

Teroboson kebijakan Wakil Menkumham Denny Indrayana patut diapresiasi. Kita patut setuju apabila dalam arti pengetatan Pembebasan Bersyarat an remisi demi rasa keadilan masyarakat, walaupun persoalan aturannya memang bisa diperdebatkan.

Page 22: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Hukum itu harus dimaknai sebagai aturan yang juga dapat memberi rasa keadilan masyarakat. Ini berarti rasa keadilan itu tidak sepenuhnya diukur dengan sebuah Peraturan. Peraturan yang dimaksud yaitu PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Secara spesifik, Pasal 43 ayat (5) PP No. 28 menyebutkan salah satu syarat pemberian remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi, teroris harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

“Rasa keadilan itu memungkinkan menjadi syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu, jadi kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat tidak melanggar hukum, hukum apa yang dilanggar?” (Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi).

Memang remisi, asimilasi, dan pembebasan merupakan hak setiap narapidana yang diatur dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun, hak itu telah didelegasikan lewat Pasal 43 ayat (4) point 3, ayat (5), serta ayat (6) PP No. 28 itu yang juga mensyaratkan rasa keadilan sebagai syarat pemberian remisi, harus mendapatkan pertimbangan dari Dirjen Pemasyarakatan dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri, sekalipun syarat rasa keadilan ini bisa menimbulkan kesewenang-wenangan yang bisa diperdebatkan secara hukum karena abstrak dan sulit diukur.

Maka, berangkat dari situ kebijakan moratorium dengan mengetatkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi bisa dilakukan, dan wajar untuk untuk menerapkan kebijakan itu diperlukan masa transisi.

Karena itu, agar tidak menimbulkan perdebatan di kemudian hari UU Pemasyarakatan perlu direvisi dengan menyatakan pemberian hak remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi terpidana korupsi atau teroris.

PP menyatakan kalau salah satu syarat pemberian remisi harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Memang bila melihat pengaplikasian kebijakan Pengetatan yang mendadak, perlu legislative review, tetapi rasa keadilan masyarakat tidak bisa menunggu selesainya legislative review yang memakan waktu lama, sehingga ada kebijakan transisional dengan memperketat pemberian remisi bagi koruptor.

Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hasril Hertanto

Page 23: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

mengatakan kebijakan moratorium dengan mengetatkan pemberian hak remisi atau pembebasan bersyarat merupakan legal policy pemerintah. “Pemerintah sah-sah saja membuat aturan apapun, apakah itu pengetatan pemberian remisi bagi terpidana korupsi atau menghapus remisi sekalipun nggak masalah karena di Australia juga remisi dihapus untuk semua tindak pidana.”

Kita berharap nantinya, Wamenkumham Denny Indrayana tak akan tebang pilih dalam memberlakukan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi. Latar belakang politik terpidana korupsi juga tidak akan mempengaruhi sikap Kemenkumham dalam memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu.

Pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada terpidana korupsi itu tidak melanggar hak asasi manusia dan Undang-Undang. Sudah sewajarnya jika terpidana korupsi mendapatkan perlakuan berbeda dalam memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat. Hal ini mengingat, kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan luar biasa pula.

Jika pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor tidak diperketat, maka hal itu berpotensi memunculkan jual-beli remisi atau pembebasan bersyarat. Jika “diobral”, yang terjadi adalah jual-beli. Ini dapat menjadi komoditas baik bagi terpidana koruptor maupun penyelenggara pemerintahan. Usulan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat yang kelewat loggar berpotensi besar mengarah pada komersialisasi. Sehingga, pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor perlu dilakukan dengan hati-hati.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, kurang dari dua tahun pasca lahirnya UU Pengadilan Tipikor, sudah 40 terdakwa kasus korupsi yang dibebaskan Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor yang tadinya ditakuti, sekarang mengarah menjadi surga bagi para koruptor lantaran mudahnya mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.

Penuntasan kasus-kasus korupsi adalah bentuk dari dukungan masyarakat. Terpidana korupsi sudah sepatutnya diperlakukan berbeda, termasuk dalam memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat. Sanksi hukumnya tidak dapat disamakan dengan mereka yang mencuri ayam.

Kita berharap, meskipun pengetatan remisi mendapatkan penolakan dari sebagian kalangan, hal itu tidak lantas membuat pemerintah patah semangat. Pemerintah tetap harus memiliki spirit, semangat tinggi, dan tekad untuk menerapkan pengetatan remisi, yang nantinya dapat membuat para koruptor jera.

Page 24: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Dalam sebuah diskusi bertajuk Gerakan Mahasiswa Antikorupsi Satu Hati Satu Tujuan Berantas Korupsi yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menanyakan mengapa yang dipermasalahkan oleh anggota DPR hanya pengetatan pemberian remisi bagi koruptor saja. Ia mengatakan kebijakan pengetatan pemberian remisi ini berlaku bagi terpidana kasus terorisme dan narkoba, tidak hanya pada korupsi. "Kalau yang diributkan hanya pengetatan pemberian remisi pada koruptor saja itu berarti kita mengistimewakan koruptor," ujarnya.

Untuk pelaksanaan kebijakan pengetatan tersebut, cukup diatur dalam aturan internal yaitu Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani Ditjen Pemasyarakatan, Sihabuddin atas nama Menkum dan HAM. SK tersebut ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 2011 lalu. Namun, pemberlakuan kebijakan itu tidak diterapkan sejak SK itu ditetapkan, melainkan sejak dinyatakan bahwa kebijakan tersebut mulai dilaksanakan. Pengetatan remisinya berlaku sejak Dirjen Pemasyarakatan dilantik, sedangkan pembebasan bersyaratnya diberlakukan sejak tanggal 30 Oktober lalu. Sehingga selama belum dilaksanakan selalu dapat ditinjau kembali.

Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan tentang pentingnya penerapan hukuman berat bagi koruptor. Pihaknya berharap agar orang-orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak diberikan hukuman-hukuman yang ringan. Apalagi dengan diberi potongan-potongan hukuman yang gampang diperoleh.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) itu juga mendukung penguatan pemberian hukuman mati kepada koruptor dalam revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Tak hanya itu, Busyro juga menolak wacana tentang pembatasan korupsi Rp 25 juta. Beliau beranggapan apabila kasus-kasus korupsi yang kecil dihapuskan, maka akan berpotensi menimbulkan potensi tindak pidana korupsi yang massif.

Kita harapkan agar masyarakat tidak terprovokasi terkait semua perdebatan moratorium. Mereka yang menghalang-halangi atau menolak, berarti ikut andil mengantarkan negara ini kelak ke ujung jurang kesengsaraan. Penolakan pengetatan remisi kepada narapidana koruptor hanya akan membawa dampak bagi kehidupan rakyat Indonesia. Jika hal tersebut tetap dipertahankan justru akan memperburuk citra penegakan hukum itu sendiri. Akan semakin terpuruklah penegakan hukum di Indonesia di tengah kompetisi dunia yang makin ketat dan sulit untuk mewujudkan negara yang lebih adil, makmur dan sejahtera.

Page 25: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor menuai pro dan kontra. Satu sisi mengatakan, moratorium remisi melanggar hak narapidana dan menabrak peraturan perundang-undangan.

Page 26: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Namun di sisi lain kebijakan itu dinilai sudah tepat untuk membuat jera para koruptor.2. Kelemahan dari Kebijakan Pengetatan dilihat dari nilai kepastian hukum adalah masih terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Remisi, Pembebasan bersyarat, dan Asimilasi, yang mengatur bahwa setiap narapidana mempunyai hak mendapatkan itu.

3. Korupsi membahayakan dan merusak masa depan bangsa. Maka dilihat dengan dua nilai dari tiga pilar penegakan hukum, yaitu keadilan masyarakat dan kemanfaatannya bagi negara, layak jika pemerintah menetapkan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor.

2. Saran

1. Rasa keadilan saat ini masih terus diperdebatkan secara hukum karena ukurannya masih abstrak. Meski demikian, kebijakan Pengetatan yang dilakukan oleh pemerintah perlu dipastikan agar tidak melanggar hukum. Disatu sisi, kebijakan transisi tidak boleh dilakukan terlalu lama dan harus dibakukan.

2. Memang upaya penegakan hukum apalagi terhadap pelaku-pelaku korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa dan berdampak pada berbagai bidang di negeri ini, diperlukan langkah-langkah hukum yang tegas dan cerdas. Namun, Pemerintah juga tidak boleh gegabah dalam pengambilan suatu kebijakan dan mestinya tanpa celah, sehingga tidak menjadi polemik dan justru menambah permasalahan yang semakin kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

Page 27: Yuridis Sosiologis Pengetatan Pemberian Remisi Bagi Narapidana

NU

RU

L S

YA

FU

AN

, S

H.,

MM

Soekanto, Soerjono. 1996, PENGANTAR PENELITIAN HUKUM, Universitas Indonesia, Jakarta

Andi Hamzah, 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta

Ramli Atmasasmita, 1983. Kepenjaraan dalam suatu Bunga Rampai, Cet.1, Armico, Bandung