yastri rustina-fah 5
TRANSCRIPT
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
1/87
KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR
SEBAGAI PRESIDEN RI KE-4 TERHADAP
REFERENDUM ACEH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh
Yastri Rustina
NIM: 103022027529
Di Bawah Bimbingan
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A
NIP: 150 240 083
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1429 H. /2008 M.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
2/87
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4
Terhadap Referendum Aceh telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 Juni 2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Humaniora (S. Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 06 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M. A Usep Abdul Matin, S.Ag, M. A, M. A NIP: 150 247 010 NIP:150 288 391
Anggota
Penguji, Pembimbing
Dra. Hj. Tati Hartimah M. A Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M. A NIP: 150 240 484 NIP: 150 240 083
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
3/87
KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR SEBAGAI PRESIDENRI KE-4 TERHADAP REFERENDUM ACEH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora
Oleh
Yastri Rustina
NIM: 103022027529
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H. /2008 M.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
4/87
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya ataumerupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 06 Juni 2008
Yastri Rustina
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
5/87
ABSTRAK
Yastri Rustina
Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum
Aceh
Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur dalammenghadapi referendum Aceh adalah mengadakan dialog dengan masyarakatAceh dengan damai. Tuntutan referendum dengan opsi merdeka tidak dapatdipenuhi oleh pemerintah karena persoalan Aceh masih bisa diatasi dengan caralain salah satunya melalui dialog. Selain itu pula Presiden Gus Dur berhasil
mengadakan perundingan dengan GAM yang dilakukan di Swiss danmenghasilkan adanya Jeda Kemanusiaan di Aceh. Pernyataan Gus Dur mengenai persetujuan dilaksanakannya referendum di Aceh bukanlah suatu kebijakan akantetapi itu hanyalah pernyataan pribadi dari Presiden Gus Dur.
Referendum Aceh merupakan tuntutan dari masyarakat Aceh dimana didalamnya terdapat dua opsi pilihan yaitu berpisah dari Indonesia atau tetap bergabung. Referendum ini berawal dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat dari masa Soekarno sampai masa Orde Baru pimpinan Soeharto,dimana saat itu diberlakukannya Daerah Operasi Militer atau yang biasa disebutDOM. DOM diberlakukan untuk menumpas Gerakan-Gerakan Pengacau
Keamanan akan tetapi pada prakteknya rakyat Aceh yang tidak bersalah menjadikorbannya. Referendum muncul dari demonstrasi para mahasiswa yangterinspirasi oleh peristiwa Timor Timur. Dalam perkembangannya merekamendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh yang kemudian mengadakanSidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh yang menghasilkan duaopsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan seorang presidendalam hal ini Presiden Gus Dur menangani masalah referendum Aceh ini. Melalui berbagai sumber Presiden memang sempat mengemukakan bahwa ia setujudengan adanya referendum di Aceh namun dalam referendum tersebut tidak ada
opsi merdeka ia hanya menawarkan otonomi khusus ataupun otonomi istimewa.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
6/87
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim.
Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat iman dan islam dan hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam
senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para
sahabatnya serta para pengikutnya.
Akhirnya dengan limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui
dalam mencari sumber pustaka maupun wawancara, namun banyak pengalaman
yang penulis dapat dari kesulitan dan hambatan tersebut. Alhamdulillah hal
tersebut dapat teratasi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing
Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.
2. Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,
selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
3. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan pengarahan yang sangat berharga kepada
penulis sampai tulisan ini selesai.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
7/87
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
8/87
Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang
telah turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis hanya dapat
berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak dapat diterima sebagai amal shaleh
dan mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT atas
bantuan yang diberikan kepada penulis. Amin Ya Rabbal’alamin.
Jakarta, 06 Juni 2008
Penulis
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
9/87
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 5
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................... 6
D. Metodelogi Penelitian .................................................................. 7
E. Survei Pustaka...............................................................................
8
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 10
BAB II BIOGRAFI GUS DUR
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan........................................... 11
B.
Prestasi dan Karya-Karya Tulis Gus Dur............................................
15
a. Prestasi Gus Dur............................................................................
15
b.
Karya-Karya Tulis Gus Dur..........................................................
18
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
10/87
C. Gus Dur Sebagai Presiden...................................................................
20
BAB III GAMBARAN UMUM ACEH
A. Letak Geografi dan Demografi ........................................................... 28
B.
Keadaan Sosial dan Budaya................................................................ 32
C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan ..................................... 39
BAB IV REFERENDUM ACEH
A. Latar Belakang Munculnya Referendum Aceh...................................
49
B. Langkah Menuju Referendum Aceh ................................................... 57
C. Kebijakan politik Gus Dur Dalam Menghadapi Referendum Aceh ...
59
D. Implikasi dan Reaksi Dari Referendum Aceh.....................................
66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................75
LAMPIRAN ........................................................................................................81
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
11/87
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat sebagai
Presiden RI ke-4 mulai 21 Oktober 1999 pada hari Gus Dur dilantik hingga Juli
2001 dengan mengalahkan calon lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri.
Pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup pada tanggal 20 Oktober 1999
di parlemen menghasilkan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 suara
untuk Megawati, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Maka hasil sidang yang
diperoleh mengumumkan dan menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua
Umum Pengurus Besar NU sebagai presiden RI ke-4, periode 1999 sampai 2004
menggantikan B.J. Habibie.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belum
memuaskan banyak pihak sehingga banyak anggota MPR/DPR yang di dalam
Sidang Umum tahun 1999 menolak hasil pertanggungjawaban Habibie, Sehingga
terjadi perubahan peta politik di mana Habibie mundur setelah
pertanggungjawabannya ditolak. Akhirnya pencalonan pun terpecah menjadi 2
kubu yaitu Megawati yang dicalonkan PDI-P dan Gus Dur yang dijagokan oleh
Poros Tengah.
Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden
dan wakil presiden dalam sidang umum MPR 1999 memberi harapan yang besar
bagi bangsa Indonesia. Harapan besar itu pada umumnya bersumber dari
keinginan kolektif agar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik nasional segera
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
12/87
pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk dilanda
krisis ekonomi dan politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor mengapa
harapan masyarakat sangat besar terhadap duet kepemimpinan Gus Dur-Mega.
Pertama, kecuali Soekarno-Hatta yang dipilih secara aklamasi oleh anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk pertama kalinya
sepanjang sejarah Indonesia merdeka, presiden dan wapres dipilih secara
demokratis oleh para anggota MPR hasil pemilu 1999 yang relatif damai dan
demokratis pula. Kedua, K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan
kombinasi dari dua golongan bangsa yang terpenting yaitu islam disatu pihak dan
golongan nasional lainnya.1
Harapan itu pun sirna ketika kritikan terhadap pemerintahan Gus Dur
terjadi sejak ia tidak mampu untuk memperbaiki kondisi negara ini. Kritikan
terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur mengumumkan Kabinet
Persatuan Nasional di mana kekuatannya merupakan hasil kompromi dari partai-
partai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur akan lebih ramping
dari kabinet sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak bahkan ada dua
departemen yang dihapus, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,
yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan
penerbitan dan pemberitaan dalam media.
Gus Dur mempunyai daftar panjang yang luar biasa mengenai apa yang
harus dikerjakan dan masalah apa yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah
mengatasi gerakan separatis di Papua Barat dan Aceh. Sebagai presiden, Gus Dur
terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh dalam
1 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atasKonflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 17
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
13/87
menegosiasikan suatu penyelesaian. Tapi sayangnya masalah yang ada di Aceh
tidaklah semudah yang diperkirakan. Dalam menghadapi tuntutan rakyat Aceh
yang meminta referendum dalam hitungan minggu, Gus Dur mencoba mengulur
waktu. Dengan berbuat demikian ia masuk dalam suatu pola sikap yang
merugikan posisinya sebagai presiden.2
Kebijakan Gus Dur dalam menangani konflik pemerintah dengan GAM
dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang cenderung lebih lunak dan toleran
seperti kebijakannya yang mengijinkan OPM mengibarkan bendera bintang kejora
dan bahkan ia memberi sumbangan untuk kongres rakyat Papua. Ini berdampak
negatif dan menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI, karena kesempatan tersebut
digunakan OPM sebagai sarana sosialisasi gagasan dan Konsolidasi gerakan
pemisahan diri.3 Kemudian kebijakannya di Aceh dengan memberikan jeda
kemanusian di Aceh dan memberikan janji kepada GAM untuk melakukan
referendum di Aceh. Ia berkeinginan agar setiap penyelesaian konflik ini
dilakukan secara dialogis dan bukan dengan kekerasan.
Sehari setelah terpilih menjadi presiden, Gus Dur berjanji untuk
menjanjikan Aceh sebagai kunjungan perdananya dengan sasaran penyelesaian
kasus Aceh yang sudah berkepanjangan itu. Janjinya tersebut ternyata beralih arah
dari ujung barat pulau Sumatera ke luar negeri untuk mengunjungi beberapa
negara seperti Singapura, Cina, Amerika, Malaysia dan negara-negara di Timur
Tengah. Yang lebih menarik lagi adalah dalam perjalanannya itu sang presiden
dengan tegas mengatakan di dalam buku Tamaddun dan Sejarah bahwa “kalau
untuk Timor Timur bisa diberikan referendum dengan opsi gabung atau pisah
2 Kompas, 22 April 20003 Budiarto Danudjaja, Hari-Hari Indonesia Gus Dur , (Jakarta: Galang Pres, 1999), h. 152
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
14/87
dengan Indonesia, kenapa untuk Aceh tidak bisa”. Janji ini menjadi obat mujarab
bagi bangsa Aceh. Tidak lama kemudian, setelah kembali dari keliling dunia, Gus
Dur kembali memutarbalikan janji dan fakta yang sudah ada. Gus Dur tetap akan
memberikan referendum untuk Aceh akan tetapi dengan opsi otonomi luas dan
sempit. Disini nampak sekali bahwa presiden sepertinya hendak mempermainkan
istilah referendum yang sudah dikenal luas sebagai sebuah solusi untuk
menentukan sikap, apakah tetap bergabung dengan negara tersebut atau pisah
untuk waktu yang tidak terbatas.4
Semenjak menjadi presiden, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah
besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara tentang perjuangan
hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1999-2001) telah
memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Paling tidak selama kurang dua tahun banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi
bangsa. Bahkan proyek Desakralisasi Istana, Supremasi Sipil, Konflik dengan
parlemen menjadi wacana yang menakjubkan dimasanya.5
Gus Dur menjadi sosok paling unik, khas dan cukup fenomenal. Tidak saja
dalam jagat organisasi NU, tetapi juga jagat ke-Indonesiaan. Unik, khas dan
fenomenal karena dalam diri Gus Dur melekat sejumlah predikat yang cukup
beragam dari budayawan, agamawan, intelektual sampai pada politikus.6
Untuk itu penulis berusaha mengkaji kebijakan politik Gus Dur selama ia
menjabat sebagai presiden RI dan hanya terfokus kepada kebijakannya terhadap
referendum Aceh. Dengan ini penulis mengajukannya sebagai karya ilmiah skripsi
4
Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003), h. 162-163
5 Khamami Zada, ed. Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:LAKPESDAM, 2002), h. 7
6 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur , (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 67
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
15/87
dengan judul: “Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4
Terhadap Referendum Aceh”.
B.
Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Identifikasi Masalah
Masalah pokok yang menjadi dasar pikiran dari penulisan ini
adalah, apa latar belakang diadakannya referendum Aceh? Siapa sajakah
yang berperan penting dalam referendum Aceh? Bagaimana langkah untuk
menuju referendum Aceh? Bagaimana langkah politik Gus Dur dalam
menghadapi referendum Aceh? Adakah unsur-unsur lain yang terkait
dengan diadakannya referendum Aceh selain unsur politik? Bagaimana
implikasi dan reaksi terhadap referendum Aceh? Apakah tercetusnya
referendum Aceh hanya diwakili oleh kaum elit atau masyarakat
seluruhnya? Apakah referendum Aceh efektif untuk penyelesaian masalah
di Aceh?
2.
Pembatasan Masalah
Masalah atau pertanyaan tersebut penting untuk dicermati akan
tetapi skripsi ini hanya akan membatasi pada latar belakang diadakannya,
langkah menuju referendum Aceh, langkah politik Gus Dur dalam
menghadapi referendum Aceh, serta reaksi dan implikasi diadakannya
referendum Aceh.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
16/87
3.
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah:
a.
Apa yang melatarbelakangi dilaksanakannya referendum Aceh?
b. Bagaimana langkah menuju referendum Aceh?
c. Apa saja langkah Politik Gus Dur dalam menghadapi referendum
Aceh?
d. Bagaimana implikasi dan reaksi terhadap tercetusnya referendum
Aceh?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah penulis sampaikan,
maka tujuan diadakannya penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya referendum Aceh
b. Untuk mengetahui langkah-langkah politik menuju referendum Aceh
yang dilakukan oleh Gus Dur?
c. Untuk mengetahui implikasi dan reaksi yang ditimbulkan dengan
adanya referendum Aceh
2.
Manfaat Penulisan
Menambah khazanah keilmuan mengenai suatu kebijakan maupun
mengenai suatu tuntutan referendum.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
17/87
D.
Metodologi Penelitian
Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis menggunakan metode:
1.
Teknik Pengumpulan data
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, ditinjau dari jenis datayang diperoleh adalah jenis metode penelitian kepustakaan atau libraryresearch, dengan cara meneliti berbagai sumber buku, majalah, surat kabar danlainnya, di berbagai perpustakaan antara lain Perpustakaan Utama UIN,Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan PBNU, Perpustakaan DPR/MPR,Perpustakaan Nasional, Wahid Institute serta perpustakaan umum lainnya yangtentu mempunyai data yang berkaitan dengan karya tulis ini. Selain itu juga penulis melakukan wawancara untuk melengkapi data-data yang telah ada.
2.
Metode analisa data
a.
Heuristik
Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yang
dilakukan oleh penulis adalah memilih data yang memang sesuai
dengan topik. Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber,
kemudian ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai
jenisnya.
b.
Kritik sumber
Yaitu mencari kevaliditasan sumber sejarah atau informasi
dengan kata lain penulis akan menilai, menguji, dan menyeleksi
sumber sejarah yang otentik dan relevan. Sumber-sumber yang telah
didapat kemudian akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern
dan ekstern.
c.
Interpretasi
Memberikan penafsiran terhadap fakta sejarah dengan cara
menerangkan peristiwa yang telah terjadi dan mengaitkannya dengan
sumber sejarah yang didapat dari pengumpulan data tersebut.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
18/87
3.
Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan
skripsi, tesis, dan disertasi UIN Jakarta tahun 2007 cetakan kedua.
E.
Survei Pustaka
Pembahasan tentang Aceh telah banyak dilakukan, karya tersebut antara lain:
1. Bara Dalam Sekam
Buku ini,7 membahas mengenai pencarian akar masalah dan solusi atas
gejolak serta ledakan kekerasan di sejumlah daerah rawan konflik di tanah
air, dalam bahasan ini yaitu Aceh, Maluku, Riau dan Papua. Keempat
daerah yang disorot di sini telah mengalami konflik dan gejolak lokal
dengan intensitas persoalan yang paling mendasar dari berbagai konflik
dan gejolak lokal tersebut.
2. Tamaddun dan Sejarah
Buku ini,8 membahas tentang kondisi histories-sosiologis Aceh sejak
masa awal berdirinya, mengungkapkan tentang keinginan besar Aceh
dengan berkiblat kepada adat istiadat, budaya, tradisi keagamaan, selain
itu buku ini juga membahas tentang politik yang merujuk kepada prinsip
dan asas-asas politik Islam yang masih dalam koridor ke-Aceh-an. Di buku
7 Riza Sihbudi, et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atasKonflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001)
8 Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003)
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
19/87
ini penulis ingin menyajikan fakta dan keinginan yang sebenarnya dari
masyarakat yang sudah lama terkungkung dalam ketidakjelasan dan
ketidakadilan hidup seperti dalam hal pembagian pengolahan sumber daya
alam Aceh serta budaya kekerasan sampai saat itu. Masalah Aceh
membutuhkan penanganan yang khusus dan berkelanjutan.
3.
Aceh Win-Win Solution
Buku ini,9 menceritakan tentang bagaimana solusi atau penyelesaian
tentang konflik-konflik di Aceh, setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh
merasa dikhianati dan bahkan dilupakan. Tuntutan mereka untuk
mendirikan provinsi tersendiri dengan status daerah istimewa ditolak
pemerintah pusat. Kekecewaan telah dialami Aceh, termasuk
pemberlakuan DOM dan berbagai pelanggaran HAM. Karena itu buku ini
membahas mengenai bagaimana mencari solusi terhadap peristiwa-
peristiwa tersebut, dari mulai penyelesaian Aceh secara damai atau melalui
dialog.
Dari tiga buku di atas dapat diambil persamaannya yaitu
bagaimanakah seharusnya penyelesaian terhadap kasus Aceh tersebut, di
dalamnya termasuk opsi otonomi ataupun referendum. Yang membedakan
antara skripsi ini dengan buku-buku tersebut adalah bagaimana kebijakan
Presiden Gus Dur saat itu dalam menghadapi isu referendum Aceh
tersebut.
F.
Sistematika Penulisan
9 Musni Umar. ed, Aceh Win-Win Solution (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002)
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
20/87
Untuk memudahkan penulisan maka diperlukan sistematika penulisan.
Untuk itu penulis membagi materi ke dalam beberapa bab yaitu,
Bab I : Bab ini terdiri dari pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penelitian, survei pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini penulis mulai melakukan pembahasan mengenai biografi
Gus Dur meliputi: latar belakang keluarga dan pendidikan, prestasi dan
karya-karya tulis Gus Dur, Gus Dur sebagai presiden.
Bab III : Gambaran umum tentang Aceh, meliputi: geografi dan demografi
Aceh, keadaan sosial dan budaya serta perjalanan politik Aceh pasca
kemerdekaan.
Bab IV : Munculnya referendum Aceh, yaitu latar belakang dilaksanakannya
referendum Aceh, langkah menuju referendum Aceh, kebijakan politik
Gus Dur dan implikasi dan reaksi dilaksanakannya referendum Aceh
Bab V : Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
21/87
BAB II
BIOGRAFI GUS DUR
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Gus Dur panggilan akrab K.H. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama
Abdurrahman Ad-dakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang Jawa
Timur, ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H. Abdul Wahid
Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng
dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia,
bahkan barangkali juga di dunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang.
Ibunya Hj. Sholehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syamsuri, pendiri
pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois Aam Syuriah PBNU setelah K.H.
Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian secara genetik, Gus Dur memang
keturunan darah biru dan jika meminjam istilah Clifford Geertz, ia tergolong
seorang santri dan Priyayi sekaligus, baik dari trah ayah maupun ibu, Gus Dur
sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur
adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia.10
Meski demikian, sejarah hidup Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan
seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat
kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pondok pesantren. Dalam usia lima
tahun, ia sudah lancar membaca Al-Qur’an, gurunya waktu itu adalah
kakeknya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari. Pada masa kecilnya, Gus Dur tidak
seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama
10 Tim Incres, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur , (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h. 4
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
22/87
kakeknya daripada bersama ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknyalah Gus
Dur banyak mengenal tokoh-tokoh penting politik.
Masa kecilnya ia lewatkan di kawasan Menteng, Jakarta. Disini, antara lain ia
bertetangga dengan keluarga Prof. Rooseno, dan Toeti Heraty, (salah seorang
anak Prof Rooseno), teman Gus Dur semasa kecil. Selain itu, seraya belajar di
sekolah SD umum, Gus Dur juga dikirim ayahnya untuk mengikuti les privat
bahasa Belanda kepada seorang warga Jerman yang masuk Islam, Willem
Buhl, yang mengganti namanya menjadi Iskandar. Inilah yang mengantarnya
ke khazanah musik klasik, karena lagu-lagu itu diputar untuk mempermudah
pelajaran bahasa Belandanya.
Selanjutnya pada April 1953, ketika itu Gus Dur berumur 13 tahun, Gus Dur
harus sudah kehilangan ayahnya, dan hidup sebagai anak yatim. Wahid Hasyim
ayahandanya meninggal dunia pada usia 38 tahun karena kecelakaan kendaraan.
Pada saat itu Gus Dur melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bersama
ayahnya. Ia berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika mobilnya
terbalik, ayahnya terlempar keluar dan terluka parah. Sehari kemudian ia
meninggal dunia.11
Lepas SD, Gus Dur masuk sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Jakarta, namun itu hanya berlangsung satu tahun. Sebab tahun berikutnya, ia
dikirim ke pesantren Krapyak. Namun rupanya ia tidak betah di pesantren itu. Gus
Dur masih ingin melanjutkan pelajarannya di sebuah SMEP yang dikelola gereja
katolik setempat. Maka ia pun pindah ke Jogjakarta, dan kos di rumah K.H.Junaid,
seorang guru SMEP sekaligus pemimpin Muhammadiyah di kota itu. Setelah
11 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2005), h. 339-340
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
23/87
paginya mengaji kepada Kiai Ma’sum di pesantren Krapyak, siangnya sekolah di
SMEP, malamnya berdiskusi mengenai berbagai hal dengan K.H.Junaid dan
anggota Muhammadiyah. Di Jogjakarta, kebiasaan membacanya mulai meningkat.
Disinilah ia mulai belajar bahasa Inggris. Karya sastrawan dunia, seperti
Hemingway, Steinbeck, Malraux atau Faulkner sudah dibacanya. Sementara
Sumantri, anggota PKI yang menjadi salah seorang gurunya memberikan buku-
buku Marxis-Lennis. Maka, selain Das Kapitas, dalam usia remaja itu, ia juga
sudah membaca What Is To Be Done, petunjuk praktis Lennin tentang bagaimana
melakukan revolusi.12
Setelah menamatkan pendidikannya di SMEP, Gus Dur banyak
menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren yang berada di
bawah naungan NU. Pada mulanya ia mondok di Tegal Rejo Magelang (1957-
1959). Selama ia di pesantren ini, Gus Dur menunjukkan bakat dan kemampuan
dirinya dalam bidang ilmu agama Islam di bawah naungan Kiai Khudori, selain
belajar ilmu agama Islam, selama di pesantren ini, Gus Dur banyak menghabiskan
waktunya untuk membaca buku-buku karangan sarjana barat. Kemampuan Gus
Dur membaca buku-buku barat tersebut jarang dimiliki oleh para santri pada
umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang dimulainya sejak usia dini.
Menyebabkan Gus Dur sudah mengenal karya-karya sastra tingkat dunia,
pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, Lenin,
Gramsei, Mao Zedong.
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Gus Dur menimba ilmu di Muallimat
Bahrululum, Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Selanjutnya pada tahun 1964 ia
12 Forum Keadilan, (30-31 Oktober 1999), h. 70
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
24/87
berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo hingga
tahun 1966. Selama belajar di Mesir, Gus Dur banyak menggunakan waktunya
untuk menonton film-film terbaik Perancis, Inggris dan Amerika, serta membaca
buku-buku di perpustakaan Al-Azhar Kairo, hal ini ia lakukan karena ia merasa
kecewa dengan sistem pengajaran di Al-Azhar yang dinilainya sudah ketinggalan
zaman.13
Tidak cocok dengan atmosfer dunia intelektual di tempat belajarnya yang
menekankan pada metode hapalan, Gus Dur justru banyak belajar secara mandiri
(otodidak), saat itu ia banyak menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan
terlengkap di kota Kairo, yaitu American University Library. Dari Kairo, ia
pindah ke Baghdad Gus Dur justru bukan memperdalam studi-studi keislaman,
akan tetapi mempelajari sastra dan kebudayaan Arab, Filsafat Eropa dan Teori
Sosial.14
Perjalanan panjang Gus Dur di luar negeri berakhir pada tahun 1971, ketika
akhirnya dia harus kembali kepangkuan ibu pertiwi di pondok pesantren. Gus Dur
menikah dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang anak, Allisa
Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus dan
Inayah Wulandari.
B. Prestasi dan Karya Tulis Gus Dur
13 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan, h. 340-34114 Faisal Ismail, Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik , (Jakarta: Proyek
Peningkatan Pengkajian kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan BeragamaBadan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Depag RI 2004), H. 190-191
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
25/87
a. Prestasi Gus Dur
Setelah Gus Dur kembali ke Indonesia, dengan bekal ijazah S1
Universitas Baghdad, pada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga
tahun 1974. Ketika itu pula, ia menekuni kembali bakatnya menulis dan
menjadi kolumnis. Tahun 1974, Gus Dur diminta K.H.Yusuf Hasyim,
pamannya untuk membantu di pondok pesantren Tebu Ireng di Jombang. Gus
Dur menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebu Ireng hingga tahun
1980. Selama periode inilah secara teratur ia semakin terlibat dalam
kepengurusan NU dengan menjabat sebagai Wakil Khatib Syuriah PBNU.
Dari sini Gus Dur mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan
kepesantrenan di berbagai tempat, dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun
kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada
program training-training. Di LP3ES, ia bekerjasama dengan M. Dawam
Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
masyarakat pesantren. Kemudian dalam perkembangannya, bersama para kiai
yang dimotori oleh LP3ES, Gus Dur mendirikan P3M (Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat).15 Pembentukkan P3M ini berawal
dari dinamika pemikiran dan keberhasilan program LP3ES selama tahun 70-an
serta bisa ditariknya Pondok Pesantren dalam proses perubahan sosial dan
politik. Peranan yang dilakukan P3M salah satunya adalah mendukung
proyek-proyek pembangunan secara kritis misalnya lewat program KB
(Keluarga Berencana).
15 Tim Incres, Beyond The Symbol, h. 19-20
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
26/87
Setelah pindah ke Jakarta, ia merintis karir sebagai pengasuh pondok
pesantren Ciganjur. Pada seluruh waktu sepanjang dekade 80-an, Gus Dur
tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan
agamawan. Darah seninya yang kental sempat menarik jalan hidupnya, pada
tahun 1983, Gus Dur ditawari menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
Taman Ismail Marzuki. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu pun diterimanya.
Kemudian ia juga menjadi ketua juri Festival Film Indonesia (FFI), 1986-
1987, itulah awal aktualisasi perjalanan kebudayaan Gus Dur. Keputusan
tersebut mendapat reaksi dari para kiai NU, akan tetapi ia tetap menerimanya,
karena memang Gus Dur sangat menyenangi bidang kesenian terutama
perfilman. Pada tahun 1984, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 1984-
1999.
Selain itu Gus Dur menduduki jabatan sebagai salah seorang presiden pada
Konferensi Dunia Untuk Agama dan Perdamaian (World Council For Religion
and Peace) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Lalu ia menjadi Anggota
Dewan Pembina Institute Simon Perez yang berpusat di Tel Aviv Israel,
menurutnya undangan menjadi anggota ini justru menunjukkan penghormatan
penting bagi NU dan pertanda adanya kesadaran internasional yang sejati,
keterlibatannya ini membuka jalan untuk memperjuangkan misi islam dan
sekaligus misi perdamaian di antara sesama umat beragma di dunia.16
ketertarikannya terhadap Israel juga terlihat ketika ia menjadi presiden di
mana ia mengadakan hubungan dagang dengan negara tersebut. Selain itu juga
Gus Dur menjadi Dewan Penasihat pada Internasional Dialoque Foundation
16 Laode Ida, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Raja Grafindo1999), h. 261
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
27/87
on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di Den Haag Belanda. Di
Indonesia, selain menjadi pendiri Forum Demokrasi (FORDEM), ia adalah
penggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI). Jadi tidak salah
jika Gus Dur, setelah menjadi presiden, memberikan status yang sama kepada
umat Konghucu dalam merayakan hari besar mereka. Dalam konteks
pendirian Fordem awal 1991, di mana Gus Dur menjadi Ketua Umum adalah
salah satu bukti perhatiannya yang besar terhadap proses demokratisasi.17
Sebagai implikasi dari pemikiran dan gerakan sosialnya, Gus Dur pernah
menerima penghargaan sebagai Man of The Year 1990 dan oleh majalah editor
Harian Surya Surabaya ia juga pernah diberi gelar Tokoh Terpopuler . Pada
tanggal 31 Agustus 1993, ia juga memperoleh penghargaan Magsaysay dari
Filiphina. Ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran
dan kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat demokratis, terbuka dan toleran.
Puncaknya melalui Sidang Umum MPR-RI Oktober 1999, ia terpilih
sebagai Presiden RI ke-4, saat sekitar sebulan lagi ia akan mengakhiri masa
jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU yang telah dijabatnya selama 15
tahun.
18
Dari banyaknya prestasi yang ia raih, Gus Dur ternyata bukan hanya
seorang agamawan, melainkan ia juga seorang budayawan dan politisi. Ketika
ia berada di tengah komunitas NU, ia berperan sebagai ulama sekaligus Ketua
PBNU, ketika ia berada di DKJ, ia berperan sebagai budayawan, dan ketika
17 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur , (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 85-86
18 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid , (Jogjakarta: LKIS 2000), h. 148
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
28/87
bersama Megawati, Habibie dan tokoh-tokoh lainnya, ia memainkan peranan
sebagai politisi. Gus Dur selain seorang intelektual dan seorang pemikir, ia
juga seorang aktivis organisasi.
b. Karya Tulis Gus Dur
Sebagai seorang intelektual, Gus Dur mengkomunikasikan pemikiran-
pemikirannya lewat tulisan-tulisan dalam berbagai topik yang beberapa di
antaranya sudah dijadikan buku, sebagian lainnya telah menjadi artikel ilmiah
bagian dari sebuah buku editorial. Gagasan-gagasan dan sikapnya dalam
menanggapi persoalan yang berkembang di masyarakat banyak dijumpai
dalam buku hasil karyanya. Di samping yang termuat di media massa, jurnal
laporan penelitian atau dapat ditemukan dalam hasil wawancara. Diantara
karya-karya Gus Dur yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah
sebagai berikut:
1. Prisma Pemikiran Gus Dur
Buku ini,19 tidak menekankan terhadap topik tertentu, tetapi lebih pada
pemikiran Gus Dur secara umum terkait dengan hubungan agama dan
HAM. Buku ini berisi 17 artikel yang memuat sejumlah gagasan besar Gus
Dur tentang perlunya penafsiran kembali ajaran agama dan dialektikanya
dengan diskursus ke-indonesia-an. Bagaimana seharusnya menempatkan
ajaran agama dalam konteks pembangunan dan kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi titik tolak acuan bagi Gus Dur dalam memetakan posisi
agama dalam diskursus modernitas.
2. Tuhan Tidak Perlu Dibela
19 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur , (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting: M. Shaleh Isre
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
29/87
Dari judulnya, buku ini20 terkesan provokatif, namun berisi kritik
mendasar terhadap bangunan pengetahuan, pemikiran dan gerakan yang
ditampilkan oleh komunitas muslim yang pada saat itu gemar menampilkan
sosok sektarianisme. Buku ini, merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang
dimuat di Majalah Tempo pada paro tahun 1980-an. Isi buku ini
mencerminkan sikap Gus Dur untuk lebih mengedepankan semangat
persamaan, keadilan dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi
berbagai perkembangan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia. Sebuah
buku yang juga menampilkan suatu sikap kearifan hidup untuk tidak banyak
mencela pemahaman keagamaan orang lain, sekaligus menghormatinya
dalam kerangka demokratisasi dan hak asasi manusia.
3. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.
Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4
Buku ini,21 menceritakan tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur yang
terekam dalam harian Kompas. Buku ini merupakan upaya memahami
ucapan, pemikiran, dan kiprah Gus Dur secara rasional dan mengambil
pelajaran dan kritik atasnya. Buku ini menghimpun pemikiran Gus Dur
sekitar soal-soal agama Islam dan negara. Pemikiran tentang sikap soal
kepemimpinan politik, serta kepemimpinan dalam bidang moral, spiritual
yang sudah melewati wacana NU. Dalam buku ini juga berisi tentang ajakan
Gus Dur untuk membangun tradisi politik yang demokratis dan demokrasi di
Indonesia. Selain itu buku ini juga berisi pemikiran Gus Dur sekitar politik
20
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting:M. Shaleh Isre
21 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan PemikiranK.H.Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999) penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
30/87
Indonesia kontemporer, kepemimpinan politik, hubungan antara individu
dan negara, masalah HAM, dwifungsi ABRI dan pengembangan demokrasi.
C. Gus Dur Sebagai Presiden
Mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI ke-2 untuk masa jabatan yang
ketujuh pada tanggal 21 Mei 1998, adalah tonggak sejarah yang sangat
menentukan bagi perjalanan bangsa negara ini ke masa depan. Pada tanggal itu
juga merupakan waktu yang sangat bersejarah, karena terjadi proses peralihan
kekuasaan dari orang kuat Indonesia, Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden
B.J. Habibie. Habibie disumpah menjadi Presiden ke-3 di tengah persoalan bangsa
yang sangat berat, dan dipundaknya telah ada beban untuk melaksanakan agenda
reformasi yang menjadi tuntutan bangsa, dari mulai memberantas KKN sampai
perbaikan krisis ekonomi.22
Di bawah kepemimpinan Habibie, ternyata rakyat belum puas akan
kinerjanya. Pada tanggal 10 November 1998, demonstrasi yang didominasi oleh
mahasiswa menuntut agar Habibie segera menyerahkan kekuasaan kepada
pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Presidium kepemimpinan pro-reformasi
yang terdiri atas Megawati (PDI-P), Gus Dur (PKB), Amien Rais (PAN), Uskup
Belo dan Sultan Hamengkubuwono X.23
Selanjutnya, pemilihan umum pun dilakukan. PDI-P di bawah pimpinan
Megawati berhasil menduduki peringkat pertama, mengalahkan Golkar yang
selama Orde Baru memimpin perolehan suara. Tempat ketiga dan keempat
22 Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan NU Dalam Pentas Politik Nasional, (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2003), h. 111-117
23 Chriss Manning dan Peter Van Diermen, Indonesia di Tengah Transisi:Aspek-AspekSosial dari Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 21
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
31/87
diduduki oleh PKB yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan PPP yang
dipimpin oleh Hamzah Haz. Urutan selanjutnya ditempati oleh PAN pimpinan
Amien Rais, yang akhirnya membawa ia untuk menduduki jabatan Ketua MPR.
Penyusunan pemerintahan menjadi tugas Presiden yang akan dipilih oleh MPR
dengan 700 anggotanya dalam bulan Oktober 1999. Oleh karena itu, lama
sebelum hasil pemungutan suara diumumkan pada tanggal 1 September, pusat
perhatian para pemimpin partai bergeser. Kalau semula mereka mengupayakan
dukungan rakyat, sekarang mereka beralih ke perundingan di antara mereka untuk
menjajaki bersama kemungkinan perlunya koalisi. Sepanjang hampir seluruh
kurun waktu antara pemilihan umum dan pemilihan presiden, calon yang berada
paling depan menuju kursi kepresidenan adalah calon dari Golkar, Habibie dan
calon dari PDI-P Mega. Mula-mula Megawati mengandalkan dukungan PKB dan
PAN, mitra-mitra PDI-P dalam koalisi informal yang muncul dari apa yang
disebut Komunike Paso tanggal 18 Mei, sementara Habibie bersandar pada
dukungan PPP dan militer, dan menyebut Wiranto sebagai Wapres yang
cenderung dipilihnya nanti.
Perkembangan terpenting dalam bulan-bulan setelah pemilihan umum
adalah kemunculan apa yang disebut Poros Tengah, sebuah aliansi partai-partai
muslim yang dirintis oleh Hamzah Haz dan diumumkan oleh Amien Rais pada
tanggal 20 Juli 1999. Logikanya ialah bahwa dengan jumlah gabungan sebesar
sekitar 200 kursi di MPR, partai-partai muslim dapat menandingi Golkar atau
PDI-P, sehingga berposisi untuk menempatkan calonnya di Istana. Calon yang
disepakati ialah Abdurrahman Wahid. Selain itu, Golkar sendiri jauh dari utuh.
Fraksi reformis pimpinan Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman tidak gembira
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
32/87
dengan pencalonan Habibie. Ini membuat Marzuki mengajukan tawaran sejumlah
nama lain untuk dicalonkan menjadi Presiden, di dalamnya terdapat beberapa
nama termasuk Jendral Wiranto, yang waktu itu menjabat sebagai Panglima TNI
dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Nasional. Muncul juga spekulasi bahwa
fraksi Akbar akan bergabung dengan Megawati untuk memagari kemungkinan
bahwa fraksi Poros Tengah yang muslim akan mengambil kekuasaan.
Dalam suasana SI MPR yang digelar di bawah pimpinan Amien Rais,
Sidang menolak pertanggungjawaban presiden RI ke-3 Prof B.J Habibie, dan
setelah itu Golkar kehilangan calon presidennya. Kemudian Golkar memberi
suara untuk suara untuk beralih kepada Gus Dur, daripada memilih Megawati.
PAN yang didirikan Amien Rais bersama PK yang bernuansa Islam membentuk
fraksi reformasi, lalu mereka mengusung Gus Dur ke kursi presiden.24
Pidato pertanggungjawaban Habibie ditanggapi skeptis jauh sebelum
dibacakan. Pertanggungjawaban Habibie itu telah dinilai secara apriori oleh
sebagian fraksi dan anggota MPR bahkan sebelum Presiden Habibie
menyampaikan laporannya ada pihak-pihak di MPR yang menolak pidato
pertanggungjawaban tersebut, padahal mereka belum melihatnya.25
Pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dikarenakan berbagai alasan
salah satunya adalah kebijakannya terhadap Timor Timur untuk referendum yang
akhirnya Timor Timur pisah dari Indonesia, lambannya ia dalam mengadili
mantan Presiden Soeharto dan tidak meningkatnya perekonomian Indonesia.
Akhirnya Golkar menarik Habibie dari persaingan pemilihan Presiden, tempat Habibie digantikan oleh AkbarTanjung yang ketika itu telah menjabat sebagai Ketua DPR. Akan tetapi, karena menyadari bahwa Akbar bukan calon yangkemungkinan besar untuk berhasil, maka baru beberapa jam Golkar sudah menarik kembali calonnya dan menyalurkan
24 Inu Kencana,et.al , Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama 2006), h. 52-53
25 Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan,2000), hal 339
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
33/87
seluruh dukungannya kepada satu-satunya calon dari Poros Tengah Abdurrahman Wahid. Setelah bergabungnya Golkar,Amien menghubungi Gus Dur dan ternyata Gus Dur menyetujui untuk terus lanjut ke pemilihan kursi Presiden.
Gus Dur memang relative diterima semua pihak dan yang lebih penting lagi,
rupanya ia telah mendapat restu dari K.H. Abdullah Faqih pemimpin Pondok
Pesantren Langitan Tuban yang sangat disegani warga NU. Restu ini membuat
fraksi PKB, yang sebelumnya mendukung Megawati, berpindah dan menyokong
sepenuhnya kepada Gus Dur. Gedung MPR 20 Oktober 1999, Sidang Umum
MPR berujung dramatis. Gus Dur yang dikenal sebagai Ketua Umum PBNU
terpilih menjadi Presiden RI. Ia mengalahkan Megawati, Ketua Umum PDI-P.
Sebanyak 373 dari 691 anggota MPR memberikan suaranya untuk Kiai tersebut.
Naiknya Gus Dur tak lepas dari faktor Poros Tengah yang dimotori oleh Amien
Rais.
Gus Dur yang menggantikan Habibie karena pertanggungjawabannya
ditolak dalam sidang umum MPR, mengemban estafeta kepemimpinan nasional
yang tidak ringan. Gus Dur dihadapkan dengan persoalan bangsa yang menuntut
untuk secepatnya dicarikan jalan keluarnya, sehingga Indonesia dapat bangun dari
keterpurukannya dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Warisan
kemiskinan, pemutusan hubungan, kemerosotan nilai tukar rupiah, hutang luar
negeri satu sisi, dan sisi lain tuntutan agenda reformasi harus sama-sama
mendapat perhatian yang serius.
Harapan perbaikan ekonomi di tangan Gus Dur sangat besar, karena ia
dipilih secara demokrasi dan dinilai proses sidang pemilihannya transparan,
diliput oleh media dalam dan luar. Namun harapan itu hanyalah tinggal harapan,
karena presiden baru ini tidak mengetahui apa yang diderita rakyatnya, merasa
tidak mempunyai beban, maka langkah-langkah yang diambil bukan mengarah
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
34/87
pada pemulihan ekonomi, sebaliknya malah memperparah ekonomi. Pada bulan
pertama pemerintahan Gus Dur, yang seharusnya menyamakan persepsinya
dengan kabinet terutama tim ekonominya, dalam mencari solusi dari krisis
ekonomi, tidak dimanfaatkan Gus Dur, sebaliknya malah membuat statement-
statement yang merusak pasar. Salah satu contohnya adalah Gus Dur ingin
membuka hubungan dagang dengan Israel di mana banyak kalangan yang
menentang terutama dari kalangan Islam. Karena protes tersebutlah menyebabkan
berkurangnya investor asing yang datang ke Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Riza Sihbudi kepada majalah Forum
Keadilan, Gus Dur tetap ingin membuka hubungan dagang dengan Israel, yang
terbukti justru membangkitkan protes-protes dari kalangan masyarakat Islam. Jika
aksi itu semakin luas, tampaknya tidak ada investor asing yang mau datang ke
Indonesia. Padahal menurut Menlu Alwi Shihab yang menjabat pada saat itu,
pembukaan hubungan dagang dengan Israel dimaksudkan untuk menarik para
investor besar Amerika yang umumnya keturunan Yahudi.26
Masalah ekonomi memang sangat rumit, berkali-kali Gus Dur mengatakan
bahwa perekonomian Indonesia akan pulih dalam beberapa bulan, bahkan terakhir
ia mengatakan pada tahun 2004 nanti GDP Indonesia akan mencapai US$ 5.000
per orang, nyatanya rupiah terus terpuruk, inflasi melambung dan lebih-lebih lagi
hutang terus bertumpuk. Rakyat tidak lagi dapat diberi janji, mereka perlu visi dan
langkah nyata.27
26 Riza Sihbudi. “Politik Luar Negeri Gus Dur,” Forum Keadilan, 21 November 1999, h.11
27 Ira Rakhmawati, Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang Akbar dengan Elite Politik Lainnya: Dari anak bangsa, (Jakarta: Bina Pariwara, 2001), h. 21
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
35/87
Memang, setelah Gus Dur menduduki kursi kepresidenan, pemerintahannya
segera diwarnai oleh perseteruan keras di antara berbagai unsur kabinet dalam
memperebutkan kontrol atas lembaga-lembaga strategis. Hal yang tidak kalah
penting, adalah keterlibatan dirinya dalam sejumlah skandal yang berkaitan
dengan mobilisasi terselubung dana-dana politik. Dua skandal yang menonjol
adalah mobilisasi persediaan dana politik melalui penggunaan uang dari dana
pensiun pegawai badan logistik negara, serta rekening hibah illegal dari Sultan
Brunei yang masing-masing populer dengan sebutan Bullogate dan Bruneigate.28
Kritik kepada presiden juga mengarah kepada kebijakan politiknya meski
beberapa di antaranya masih dalam taraf ide atau gagasan yang dianggapnya
hanya membuat kontroversi. Mengenai kunjungan-kunjungannya ke luar negeri
yang terlalu sering dan memakan waktu cukup lama, telah dianggap pemborosan.
Kemudian, bahwa kabinetnya yang mengakomodasikan banyak partai,
sebagaimana sebelum diramalkan banyak orang akan sangat resisten bagi
munculnya konflik internal, mulai memperlihatkan tanda-tanda. Belum genap tiga
bulan usia kabinetnya, satu personel telah jadi korban. Hamzah Haz, yang karena
dugaan kuat terlibat dalam money politic menjelang pemilihan presiden dalam SU
MPR 1999, harus diberhentikan di tengah jalan. Padahal, presiden sendiri telah
dengan tegas saat pelantikan kabinetnya menyatakan tidak ada rencana untuk
melakukan resuffle.29
Kepercayaan terhadap Gus Dur mulai turun, karena ketidakmampuannya
memberantas KKN, ditambah perilaku ekonomi yang ia lakukan. Selain dari
28 Vedi.R.Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES 2005), h.
29 Khamami Zada (ed), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:LAKPESDAM 2002), h. 38-39
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
36/87
ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Gus Dur, orang-orang kabinet pun
merasa tidak puas terhadap kinerja Gus Dur. Banyak kalangan mengatakan bahwa
Gus Dur berjalan sendiri. Gus Dur mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
kurang menguntungkan kelompok partai tertentu, terutama terhadap partai-partai
Poros Tengah atau pun partai Golkar, yang membuat menteri-menteri dari partai-
partai itu bekerja setengah hati. Mereka tidak berada dalam situasi psikologis yang
nyaman di dalam kabinet karena adanya pernyataan-pernyataan Gus Dur yang
tidak jelas ujung pangkalnya. Sepeti tuduhannya terhadap beberapa menteri yang
diduga terlibat KKN.
Gus Dur mengeluarkan pernyataan tersebut di hadapan masyarakat dan
mahasiswa Indonesia di Salt Lake City, Amerika, ketika ia berkunjung ke negara
tersebut pada November 1999. Di antara nama-nama tersebut adalah, Menteri
Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Hamzah Haz, Menteri Tenaga
Kerja Bomer Pasaribu dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla.30
Pada waktu Gus Dur menjadi presiden, disintegrasi bangsa semakin terbuka
dengan dibiarkannya beberapa daerah menyuarakan keinginan untuk
memisahkan diri dari NKRI, misalnya Riau, Jatim, Madura, Aceh, Irian Jaya.
Pemicunya adalah lepasnya Timtim. Kecenderungan Gus Dur yang berjalan
sendiri tanpa dipertimbangkan dampaknya bagi masyarakat luas, misalnya
perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, toleransi pengibaran bendera
bintang kejora oleh Presiden merupakan langkah yang kontraproduktif. Model
30 “Tebak-Tebakan ala Gus Dur.” Forum Keadilan, 28 November 1999, h. 18-19
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
37/87
jalan sendiri ini menguntungkan Gerakan Papua Merdeka, dan menambah
tugas baru buat aparat keamanan.
Puncaknya pada Sidang Istimewa (SI) MPR 2001, Gus Dur turun dari kursi Presiden karena di-impeach oleh MPR.Kesalahannya adalah pertama, mengabaikan Memorandum I yang berisikan bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 pasal 9 tentang sumpah jabatan dan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kedua, mengabaikan Memorandum II dimana Gus Dur diberi kesempatanselama satu bulan untuk meperbaiki kinerjanya sebagaimana yang telah diatur dengan ketetapan MPR No III/MPR/1978dan pasal 7 Tap MPR mengatur, apabila dalam waktu satu bulan presiden tidak mengindahkan Memorandum II, DPR dapatmeminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa.
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
38/87
BAB III
GAMBARAN UMUM ACEH
A. Geografi dan Demografi
Aceh atau secara resmi, Nangroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah
Istimewa yang terletak di Pulau Sumatra. Secara geografis Aceh terdiri atas 9
kabupaten, 2 kodya, 3 kotip, 142 kecamatan dan 5463 desa. Luas wilayahnya
adalah 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra persegi,
yang meliputi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan status daerah
istimewa. Aceh terletak di barat laut Sumatra.31 Aceh dikelilingi Selat Melaka di
sebelah Utara, Provinsi Sumatera Utara di Timur dan Lautan Hindi di Selatan dan
Barat. Ibukota Aceh adalah Banda Aceh yang dulunya dikenali sebagai Kutaradja.
Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah
seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.
Aceh mempunyai lahan hutan terluas yaitu mencapai 39.615.76 km persegi,
diikuti lahan perkebunan kecil seluas 3.135.22 km persegi, sedangkan lahan
pertambangan mempunyai luas terkecil yaitu 4,42 km persegi. Aceh mempunyai
luas perairan 56.563 km persegi yang terdiri dari laut teritorial 23.563 km persegi
dan perairan laut dalam 33.000 km persegi. Di samping zona ekslusif ekonomi
(ZEE) 200 mil dari pantai.32
Adapun kegiatan dalam bidang perkebunan di daerah ini dapat dibagi
menjadi 2, perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Adapun perincian dari hasil
31 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi AtasKonflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau , (Bandung: Mizan 2001), h. 31
32 Zulkifli Husin, et,al, Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan Jakarta), h. 8
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
39/87
perkebunan sebagai berikut: karet, minyak sawit, inti sawit, kelapa, kopi, cengkeh,
pala, lada dan cokelat.33
Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera secara historis mempunyai
peranan penting dalam pelayaran dan perniagaan dunia yang melalui selat Malaka,
bandar-bandar Aceh menjadi sangat penting sebagai bandar penghubung yang
melayani kebutuhan perbekalan seperti bahan makanan, air dan keperluan sehari-
hari. Ini yang menghantarkan Aceh menjadi mahkota alam yang merupakan
bandar penghubung dalam hal ini jalur pelayaran dagang antara Timur Tengah,
Eropa, Kerajaan Demak, Brunei, dan Turki Usmani.34
Aceh merupakan salah satu provinsi kaya di Indonesia. Tanahnya subur,
banyak komoditas padi dihasilkan Aceh, tembakau, kelapa sawit, dan kopi.
Kekayaan mineral juga banyak. Sejak lama, berbagai industri sudah dibangun di
Aceh. Hasil ladang minyak dan pabrik pupuk Aceh merupakan salah satu sumber
pendapatan negara. Pantai-pantainya indah dan berbagai kawasan perairan laut
kaya akan ikan. Di sejumlah pulau kecil di lepas pantai, banyak terdapat hutan
bakau yang dikelilingi terumbu karang yang indah sehingga cocok menjadi
kawasan wisata. Pulau-pulau kecil lainnya dipenuhi pohon kelapa yang buahnya
banyak diperdagangkan ke berbagai wilayah lain.
Daerah Aceh mempunyai potensi dan sumber daya alam yang cukup besar,
baik di bidang pertanian, perindustrian, pertambangan maupun pariwisata. Namun
potensi ini belum banyak dikembangkan karena sulitnya medan dan kurangnya
sarana dan prasarana lainnya.
33 Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1990), cet 1, h.38
34 Denys Lombard, Kerajaan Aceh, (Jakarta: Balai Pustaka 1986), h. 96-99
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
40/87
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
41/87
sehingga belum juga dapat dipasarkan dan dipromosikan ke wisatawan asing
maupun domestik.37
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku kaum dan bangsa.
Bentuk fisikal mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropa dan
India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia,
Cham, Cochin China dan Kamboja. Kumpulan-kumpulan etnik yang terdapat di
Aceh adalah orang Aceh yang terdapat di merata Aceh, orang Gayo di Aceh
Tengah, sebagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues, orang Alas di Aceh
Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang, Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan
Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau
Simeulue. Aceh juga mempunyai bilangan keturunan Arab yang tinggi. Sebuah
suku bangsa berketurunan Eropa juga terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.
Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah dari keturunan askar-askar Portugis
yang telah memeluk agama Islam. Pada umumnya, mereka mengamalkan budaya
Aceh dan hanya boleh bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1905, diperkirakan penduduk Aceh tidak lebih dari 750.000 jiwa,
termasuk penduduk pulau sekitarnya. Menurut data tahun 1987 penduduk Daerah
Istimewa Aceh sekitar 3,12 juta jiwa. Sebagian besar penduduk daerah ini adalah
penduduk asli yang sudah sejak dahulu tinggal di daerah ini. Kepadatan penduduk
di Daerah Istimewa Aceh tidak merata di setiap daerah. Sebagian besar tinggal di
daerah rendah atau daerah dekat pantai. Daerah pedalaman hanya sedikit didiami.
Di pedalaman ini hanya ada satu kota kabupaten, yaitu Takengon. Sebagian besar
tanah masih berupa hutan lebat atau padang ilalang. Kurangnya penduduk, luas
37 Profil Provinsi, h. 219
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
42/87
lahannya, dan sulit komunikasi antar daerah masih menjadi halangan besar bagi
pembangunan di daerah ini.38 Pada tahun 1990, Aceh baru berpenduduk 3.415.875
jiwa, dari penduduk sejumlah itu lebih dari 70%nya bermukim di pedesaan dan
berusaha di sektor pertanian. Karena itu pula sektor pertanian masih memegang
peranan penting dalam perekonomian daerah, meskipun sektor-sektor lainnya
seperti industri dalam tahun terakhir ini telah pula memberi kontribusi yang cukup
besar.
Mengenai pembangunan, di Aceh menganut konsep keseimbangan dalam
usaha mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan sosial yang tinggi sekaligus
meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat di
daerah ini. Pembangunan di daerah pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan
pembangunan yang berlangsung di daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh swasta (masyarakat). Pembangunan di Aceh didasarkan pada 4
trilogi pembangunan, yaitu trilogi pembangunan nasional, trilogi pemerintah
daerah, trilogi keistimewaan Aceh, dan trilogi etos kerja. Mengingat Aceh masih
relatif tertinggal dibanding provinsi lain di Indonesia, maka, secara operasional
usaha pembangunan di daerah ini tidak memadai lagi ditempuh dengan cara-cara
yang konvensional semata.
B. Keadaan Sosial dan Budaya
Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan sehingga setiap kebudayaan berbeda wujudnya dengankebudayaan yang lain. Aceh pun memiliki kebudayaannya sendiri. Dengan polesan warna Islam yang kental, maka budayaAceh berkembang tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni, melainkan dalam suatu peradaban yang tinggi
Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama dinusantara berdiri di daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa agama yang masuk ke daerah ini adalah Islam, yang dalam batas tertentu telah tersebar dan teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaurdengan unsur India dan Persia ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan tradisi Aceh. Namun dalam
38 B. Setiawan, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I , (Jakarta: Delta Pamungkas2004), h. 39
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
43/87
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
44/87
menginginkan adanya referendum di Aceh akan tetapi golongan uleebalang hanya
menginginkan diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh.
Masyarakat Aceh adalah penggolongan rakyat dalam kelompoknya soeke
(suku) atau Kawon (kaum) penggolongan atas kawon ini didasarkan atas
keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Kawon terdiri
dari 4, yaitu:
1. Kawon Imeuet Peut (kaum imam empat) adalah mereka yang berasal dari
orang Hindu yang telah memeluk islam.
2. Kawon Lherentoih (suku 300) adalah mereka yang berasal dari orang-orang
mantir dan batak.
3. Kawon Tok Baru adalah mereka yang terdiri dari orang-orang asing seperti
orang Arab, orang parsi dan orang Turki.
4.
Kawon Ia Sandang adalah orang hindu yang bekerja untuk majikan masing-
masing.43
Masing-masing kawon ini mempunyai pimpinan yang dipilihnya sendiri-
sendiri dan disebut Panglima Kawon. Walaupun kedudukannya turun temurun,
kalau Panglima Kawon yang baru sudah dipilih harus disahkan oleh Ulebalang
yang berkuasa dimana Panglima Kawon itu bertempat tinggal. Ulebalang adalah
penguasa sebuah Nangroe (negeri) yaitu gabungan beberapa mukim. Para
Ulebalang menerima kekuasaannya langsung dari Sultan Aceh. Mereka
memerintah secara turun temurun dan setiap penggantian pimpinan harus
disyahkan oleh Sultan.
43 Marwati Djoened , Sejarah Nasional Indonesia, h. 86-87
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
45/87
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
46/87
untuk membedakan mana rumah dan yang mana Meunasah dan sekaligus juga
orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.45
Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa
tiang, namun memakai pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi
semen tangga dari batu untuk memasuki tempat ibadah, namun gedungnya sendiri
selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu (Mehrab/Merab)
untuk menunjukkan kiblat ke ka’bah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan
tempat ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan
yang lebih megah itu disebut Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.
Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal inidisebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan daerah tetangga danasing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar inimemperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalamterbentuknya kebudayaan nasional Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telahmengalami perkembangan lebih lanjut.46
Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah. Bahasa Aneuk Jamee khusus digunakan oleh penduduk di AcehSelatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa
yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat. 47
Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu
provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,
karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebahagian besar
warganya yang menganut agama Islam.
Peradaban Aceh menduduki tempat tertinggi pada masa Sultan Iskandar, pada masa ini terjadilah peleburan antaranilai-nilai ke-Acehan, keislaman dan kenusantaraan secara padu. Aceh merupakan sebuah komunitas plural Islam yang berperadaban tinggi. Istana diperindah, kemewahan pengiring raja yang besar jumlahnya, kesusastraan yang berkembangdengan sangat pesat, perdebatan keagamaan yang sangat rumit yang diikuti oleh alim ulama terpelajar dari India dan daritempat yang lebih jauh lagi. Istana dihias dengan indah, batu-batu permata menghiasi dinding-dindingnya, ada pula taman-taman. Selain istana dan taman yang menakjubkan yaitu terdapat karya sastra. Beberapa karya besar di Aceh bukan karyayang disampaikan secara turun temurun dengan lisan, bukan dongeng yang terlalu sering dianggap merupakan intikesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan prosa yang baik dan benar, di berbagai tulisannya dihiasi dengansajak yang ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama pengarangnya. 48
Peradaban inilah yang memberikan Aceh rasa percaya diri sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, yang muliadan berbudi kebangsaan yang luhur. Kebudayaan Aceh yang telah mengalami perkembangan sejak beberapa abad yang laludan diperkirakan telah berkembang sejak pada masa abad ke-13 dan mencapai puncaknya pada masa abad ke-17 sekitar pemerintah Sultan Iskandar Muda. Kebudayaan Aceh mengalami pasang surut akibat kolonialisasi Belanda dan perpecahan
45 Taufik Abdullah , Agama dan Perubahan, h. 746
Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, ( Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980), h.115-116
47 B. Setiawan , Ensiklopedi Nasional, h. 4148 Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia 2006), h. 212
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
47/87
dari dalam masyarakat Aceh sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan berhadapan pula dengan kebudayaan nasional.49
C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1947. Kemerdekaan tersebut
terdorong oleh kejadian sejarah lain, yaitu kekalahan tentara Nippon dalam perang
Asia Timur Raya melawan sekutu, pimpinan Amerika Serikat. Berita tentang
proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada
tanggal 21 Agustus 1945, berkat adanya informasi dari Ghazali Yunus dan kawan-
kawan yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, kantor penerangan Jepang
(Hodoko) dan Atjeh Sinbun. Berita kemerdekaan ini disambut gegap gempita oleh
rakyat Aceh.50
Dalam perkembangan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Aceh
merupakan wilayah yang mempunyai andil cukup besar bagi pertumbuhan
Republik Indonesia. Ketika pertama kali Bung Karno datang ke Aceh
mengadakan pertemuan empat mata dengan Gubernur Militer Aceh Teungku
Daud Beureuh untuk mengumpulkan dana buat pembelian pesawat terbang,
masyarakat Aceh dengan tangan terbuka dan kerelaan menerimanya. Pada tahun
1948, Bung Karno datang ke Aceh untuk kedua kalinya dengan meminta Teungku
Daud Beureuh agar rakyat Aceh mengambil bagian yang aktif dalam perjuangan
melawan Belanda. Persetujuan ini dilakukan dengan syarat agar setelah
perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh dibolehkan menjalankan syariat Islam.
Akan tetapi, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah
49 Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998 , (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), h. 9-10
50 Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:Cita Panca Serangkai 1993), h. 97-98
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
48/87
tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak dikabulkan. Bahkan
otonomi Aceh dihapuskan dan Teungku Daud Beureuh dicurigai.51
Perjuangan rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun melawan Belanda tak dapat
dikatakan mempunyai dasar lain kecuali mempertahankan agama, sehingga
perang melawan Belanda itu dinamakan perang sabil yaitu perang
mempertahankan agama Allah, dan mereka yang tewas dalam perang tersebut
dianggap mati syahid. Perang Aceh yang dahsyat itu berlangsung selama 31 tahun
yang berakhir pada tahun 1904 dengan kemenangan Belanda, akan tetapi dalam
hatinya rakyat Aceh masih belum menerima kekuasaan Belanda. Ternyata
beberapa kali setelah tahun 1904, terjadi pemberontakan terhadap Belanda,
misalnya di Bakongan antara tahun 1925-1927, di Lhong pada tahun 1933.
Kemudian pemberontakan Aceh yang paling besar terhadap Belanda adalah ketika
pemerintah Belanda menghadapi musuh dari luar yaitu Jepang pada waktu Perang
Pasifik, sehingga ketika bala tentara Jepang masuk ke Aceh, mereka tidak
menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah lebih dahulu pergi
untuk menyelamatkan diri.52 Dilihat dari inilah Bung Karno meminta Aceh untuk
berperang aktif dalam melawan Belanda karena keteguhan hati mereka dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan Islam.
Kemerdekaan Indonesia disambut oleh rakyat Aceh dengan gegap gempita.
Mereka bertekad akan mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan merdeka
atau mati syahid. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan
kemerdekaan sehingga rencana Belanda hendak menduduki Aceh tidak dapat
terlaksana. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini para ulama berada di
51 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam, h. 33-3452 Ismail Suny, Bunga Rampai Aceh, h. 30-31
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
49/87
garis depan. Setelah kemerdekaan, di Aceh berkumandang seruan-seruan rakyat
agar hukum-hukum Islam dilaksanakan sepenuhnya. Akan tetapi pemimpin-
pemimpin Aceh melihat waktunya belum tepat untuk memenuhi tuntutan rakyat
tersebut. Karena itu ketika Bung Karno meminta rakyat Aceh untuk berperang
aktif melawan Belanda, Teungku Daud Beureuh selaku wakil rakyat Aceh
meminta agar setelah perjuangan selesai Aceh dibolehkan menjalankan Syariat
Islam. Permintaan ini pun disanggupi oleh Bung Karno. Tetapi setelah perjuangan
selesai Bung Karno tidak menepati janjinya. Ini dibuktikan oleh pidato presiden
Sukarno di Amuntai yang menyatakan tidak menyukai lahirnya negara islam dari
Republik Indonesia, hal ini membuat kecewa rakyat Aceh yang telah diberi janji,
padahal Aceh tidak berniat untuk mendirikan Negara Islam, mereka hanya ingin
menjalankan Syariat Islam.53
Kekecewaan rakyat Aceh sampai ke telinga Imam NII Kartosuwiryo, yang
segera mengirim seorang utusannya Abdul Fatah alias Mustafa, untuk mendekati
para pemimpin Aceh pada awal tahun 1952. Melalui Abdul Fatah, Kartosuwiryo
mengirimkan sebuah salinan dakwahnya tentang gerakan DI/TII, dan mengajak
para pemimpin Aceh untuk bergabung. Ajakan ini mendapat sambutan baik di
Aceh.
54
Akibat pencabutan Aceh sebagai daerah otonom yang luas dan hanya diberi
status karesiden inilah, akhirnya hubungan antara Aceh dengan pemerintah
pusat merenggang, dan terjadilah keinginan untuk membentuk Negara Islam
Aceh pada tahun 1953, yang kemudian dikenal dengan pemberontakan Daud
53 M. Nur EL Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Agung 1982), h. 41-67
54 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990), h. 89
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
50/87
Beureuh. Unsur kekecewaan daerah terhadap pusat inilah yang
melatarbelakangi mengapa Daud Beureuh mendirikan Negara Islam.
Pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletuslah suatu peristiwa yang
merupakan suatu tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Oleh pemerintah pada
waktu itu, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, peristiwa ini
dinamakan peristiwa Daud Beureuh atau pemberontakan Daud Beureueh.
Sedangkan rakyat Aceh menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa berdarah. Pada
tanggal tersebut, Daud Beureuh, seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat,
mantan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, mengangkat senjata
terhadap pemerintah pusat dan memproklamasikan Aceh sebagai negara Islam.
Daud Beureuh bersikeras bahwa tidak ada penyelesaian apapun sampai
pemerintah pusat mengakui hak rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam di
daerah itu. Untuk mendukung pendapatnya, Daud menegaskan bahwa Islamlah
yang mendorong para ulama berjuang dalam pemberontakan itu, dan karena Islam
pula mereka mendesak rakyat supaya berpartisipasi. Karena memang tuntutan
rakyat yang ingin menjalankan syariat Islam inilah awal mula peristiwa Daud
Beureuh terjadi.
Untuk menandai lahirnya sejarah baru itu tidak diadakan suatu rapat umum
atau upacara yang meriah. Sebagai gantinya, hanya naskah proklamasi dan sebuah
keterangan politik yang dibacakan dan disebarkan di Indra Puri, sebuah kampung
di sebelah selatan Kutaraja. Adapun isi naskah tersebut adalah:
PROKLAMASI
Berdasarkan pernjataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21
Sjawal 1368/7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwiryo atas nama umat islam
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
51/87
Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi
sebagian dari pada Negara Islam Indonesia.55
Atas Nama Umat IslamDaerah Atjeh dan SekitarnyaTTDTeungku Muhammad DaudBeureuh
Tertanggal:
Atjeh Darus’salam:
13 Muharram 1373
21 September 1953
Namun demikian, naskah-naskah ini sebenarnya bukanlah merupakan suatu
tanda pembukaan lembaran baru sejarah Aceh, sebab pemberontakan itu telah
dimulai sehari sebelum proklamasinya sendiri. Kerumunan-kerumunan rakyat
dengan bendera Tentara Islam Indonesia (TII), yang dilengkapi senjata tajam serta
satu atau dua pucuk senjata api, terlihat di kampung-kampung sepanjang jalan
raya dan jalan kereta api. Mereka sedang bersiap-siap menyerang kota di
sekitarnya. Keadaan menjadi begitu kacau, dan jam malam diberlakukan di kota-
kota. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh agar menjauhkan diri dari
Darul Islam dan tetap setia kepada pemerintah yang sah. Namun demikian, seruan
tersebut tidak membantu pemerintahan daerah yang telah kacau tersebut.56
Setahun setelah peristiwa Daud Beureuh, muncullah peristiwa Pulot-Cot
Jeumpa pada bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar.
Bulan Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan
peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman
tentara republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Sehingga
55 M Nur El Ibrahimy, TGK. M . Daud Beureuh, h. 156 M. Nur Ibrahimy, h. 86-87
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
52/87
karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorang pun yang mau menamai anaknya
dengan awalan atau akhiran “Mar” di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti
Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, dan ini berlangsung dalam beberapa
tahun. Peristiwa ini masih berhubungan dengan peristiwa Daud Beureuh. Pada
suatu hari di bulan maret 1954, dalam rangka operasi militer mengejar
pemberontak. Sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil. Sesampainya
di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iring-ringan
militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak, tembak menembak terjadi
antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak,
sedang segerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua
kampung yang kemudian namanya menjadi tenar itu.57
Hari itu juga diadakan operasi besar-besaran dalam Kampung Pulot dan Cot
Jeumpa, dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di
sekitar kampung tersebut. Di sinilah mulainya sikap tentara yang sewenang-
wenang. Rakyat menjadi korban karena mereka tidak tahu menahu tentang para
pemberontak. Tentara yang tidak mendapatkan jawaban-jawaban mengenai
pemberontak menjadi marah, dan tentara menembakkan peluru senjatanya ke
arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Inilah awal mula perilaku tentara yang
semena-mena terhadap rakyat.
Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, cepat tersiar ke seluruh pelosok Indonesia.
Selanjutnya kabinet mengirim menteri-menteri untuk mempelajari dari dekat
peristiwa tersebut. Dewan Keamanan Nasional ikut membicarakan, anggota
parlemen Sutarjo menganjurkan agar soal penyelesaian pemberontakan Darul
57 Al Chaidar, Aceh bersimbah Darah, h. 25-26
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
53/87
Islam diarahkan kepada putera Aceh sendiri, dan kepada para pemimpin
pemberontakan diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan baik-
baik, artinya harus dilakukan penyelesaian secara damai dan bijaksana.58
Selanjutnya pada 13 April 1954, pemerintah memberi keterangan dalam rapat
paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa. Dari keterangan
pemerintah, diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian peristiwa Daud
Beureuh ini pemerintah mengambil tindakan kekerasan senjata untuk mengatasi
para pemberontak yang memberontak dengan senjata terhadap pemerintah RI.
Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 1959, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dengan otonom yang luas, khususnya dalam urusan agama, adat dan
pendidikan, sebagai tonggak sejarah dari perkembangan masyarakat Aceh sejak
tahun 1950-an, yang diawali dengan pergolakan berdarah menuju ke zaman
pembaharuan dan zaman kemajuan.59
Untuk mencapai lahirnya propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebelumnya telah
dilakukan beberapa usaha untuk memulihkan keamanan di Aceh oleh pemerintah
pusat. Pada masa pemerintah Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan
keamanan di Aceh telah memilih tindakan kekerasaan senjata dengan harapan
bahwa kaum pemberontak dapat ditumpas pada akhir tahun 1953 atau paling
lambat pada bulan Maret 1954. Ternyata sampai kabinet Ali jatuh pada tahun
1955 keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Setelah itu, kabinet Burhanuddin
Harahap, mencoba pemulihan keamanan dengan cara halus. Ia berusaha
melakukan kontak dengan para pemberontak, tetapi usaha tersebut tidak berhasil.
Bahkan pada tahun 1955, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengirim dua
58 A.Hasjmy , Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan danPerjuangan Kemerdekaan, (Bulan Bintang: Jakarta 1985), h. 457-458
59 Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 177
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
54/87
kurirnya Abdullah Arif dan Hasbullah Daud untuk melakukan kontak dengan para
pemimpin pemberontak namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1957
Kolonel Sjamaun Gaharu Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh)
mengadakan kontak dengan pihak pemberontak, dan usaha tersebut berhasil.
Kemudian diantara pemimpin-pemimpin pemberontak terdapat suatu kesepakatan
yang kemudian terkenal dengan Ikrar Lam Teh, pada 8 April 1957. Atas dasar
Ikrar Lam Teh ini tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan
KDMA untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata. Gencatan
senjata ini berjalan sampai tahun 1959. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959,
Dewan Revolusi mengadakan musyawarah dengan pemerintah RI yang dipimpin
oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, musyawarah pun berhasil dan
memutuskan sejak tanggal 26 Mei 1959, menyatakan bahwa daerah Swatantra
tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh.60
Dari berbagai peristiwa, dapat dilihat bahwa pendirian yang kuat para tokoh
Aceh yang didukung oleh ulama dan masyarakatnya, untuk menuntut
keistimewaan Aceh akhirnya dapat dibuktikan oleh sejarah. Status keistimewaan
Aceh ini kemudian diinformasikan melalui UU No 18 tahun 1965 tentang
Pemerintahan Daerah di mana Aceh memperoleh keistimewaan di bidang agama,
adat dan pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1979 gagasan NAM
(Negara Aceh Merdeka) dimunculkan oleh tokoh yang berasal dari Tiro bernama
Dr. Hasan Tiro. Ia lahir di desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie. Pada masa
Belanda ia adalah salah seorang murid Daud Beureuh di madrasah Blang Paseh di
60 M. Nur El Ibrahimy, TGK M . Daud Beureuh, h. 172-175
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
55/87
Sigli, sedangkan pada masa pendudukan Jepang ia belajar di Perguruan Normal
Islam. Sesudah proklamasi ia berangkat ke Jogjakarta untuk belajar di fakultas
hukum Universitas Islam Indonesia. Ia kembali ke Aceh sebentar untuk bekerja
pada pemerintahan darurat Sjafruddin Prawiranegara. Kembali ke Jogjakarta, ia
menjadi salah seorang dari dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang pada
tahun 1950 menerima beasiswa untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas
Columbia. Di Amerika Hasan Tiro bekerja pada dinas penerangan delegasi
Indonesia di PBB.61 Dia datang ke Aceh dari Amerika dan mengatakan akan
mendirikan NAM. Ada dugaan bahwa lahirnya kelompok Hasan Tiro, dengan ide
NAM, maupun kemudian munculnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang
sering disebut oleh pemerintah dan sebagian masyarakat Aceh waktu itu, terkait
dengan mulai hilangnya keistimewaan Aceh sebagai sebuah wilayah yang
otonom. Pemerintah pusat mengambil posisi tegas dengan lahirnya NAM yang
dianggap sebagai GPK. Mereka dihilangkan dan Dr. Hasan Tiro melarikan diri ke
luar negri. Selang 10 tahun kemudian (1987-1990), muncul kembali peristiwa-
peristiwa gangguan keamanan dengan munculnya kembali GPK-GPK pada tahun
itu.
Penumpasan dilakukan, berkaitan dengan keharusan adanya keamanan di
Aceh pada umumnya dan daerah industri untuk membangun dan mengeksplorasi
kekayaan alam, dan menjaga agar investasi asing masuk ke Aceh. Sejak itulah
Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh dari tahun 1990-1998.62
61 Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka UtamaGrafiti 1995), h. 301
62 Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 37-38
-
8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5
56/87
BAB IV
REFERENDUM ACEH
Latar Belakang Referendum Aceh
Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih terus menjadi tempat
kekerasaan, baik yang dilakukan oleh yang pro pemerintah maupun yang anti
pemerintah. Namun dapat dipastikan dalam hal ini, korban selalu berjatuhan
dari pihak rakyat sipil. Pada tahun 1953-1959 misalnya diperkirakan ratusan
rakyat menjadi korban kasus DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh di
Aceh. Kekerasan juga terjadi saat peristiwa Cumbok yang menyebabkan
banyak sekali Ulebalang yang diculik. Peristiwa Cumbok adalah kasus
pembunuhan terhadap uleebalang di Sigli, karena kaum uleebalang
berkeinginan mengembalikan kekuasaan Belanda di mana dalam masa
penjajahan Belanda di Aceh, mereka sangat diuntungkan oleh Belanda dan
melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Korban
kekerasaan di Aceh mencapai puncaknya adalah pada masa Orde Baru.
63
Persoalan di Aceh dapat digolongkan dalam dua akar masalah, pertama adalah pemberlakuan DaerahOperasi Militer ( DOM ) dan tindak kekerasan militer Orde Baru (Juli 1990-Agustus 1998) maupun sesudah DOM(Agustus 1998-2000) serta tidak seriusnya pemerintahan untuk mengadili para pelaku tindak kekerasaan pada masaDOM maupun pasca DOM.
Pada awal RI terbentuk, saat negara ini belum memiliki apa-apa, rakyat
Aceh melalui dukungan para ulama telah memberikan andil yang amat besar
dalam membantu kelangsungan hidup republik dengan menyumbang sejumlah
63 Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003