vol. v no. 01 i p3di januari 2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 01/I/P3DI/Januari/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 VONIS RINGAN TERHADAP KORUPTOR Puteri Hikmawati *) Abstrak Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta terhadap Angie, terdakwa kasus suap penganggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional. Vonis tersebut dianggap terlalu ringan, sehingga KPK akan mengajukan banding. Vonis ringan mendapat sorotan publik karena tidak memenuhi rasa keadilan. Political will Penyelenggara Negara dalam memberantas korupsi sebenarnya sudah terlihat dengan banyaknya regulasi yang menjadi dasar penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi kepada koruptor. Namun, terdapat kerancuan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu dalam Pasal 12 dan Pasal 11, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi penegak hukum dalam penerapannya. Selain itu, Pasal 18 yang memuat pidana tambahan jarang digunakan oleh hakim. Walaupun ada kelemahan dalam undang- undang, dengan moral dan nurani, hakim akan menjatuhkan vonis secara proporsional, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. A. Pendahuluan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) Jakarta pada 10 Januari 2013 menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta terhadap Angelina Sondakh (Angie), terdakwa kasus suap penganggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional. Vonis tersebut di bawah dua pertiga dari tuntutan yang diajukan Jaksa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yaitu hukuman 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan membayar uang pengganti Rp32 miliar. Jaksa KPK mendakwa Angie dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 12 huruf a juncto (jo) Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU No. 31 Tahun 1999) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau, Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1931 jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dakwaan alternatif lainnya, Pasal 11 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman dalam Pasal 12 adalah penjara seumur hidup dan denda paling *) Peneliti bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: yulia-indahri

Post on 16-Apr-2015

78 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

VONIS RINGAN TERHADAP KORUPTOR (Puteri Hikmawati) POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA 2013 DAN PERAN PARLEMEN (Poltak Partogi Nainggolan) RSBI PASCA-PUTUSAN MK (Faridah Alawiyah) KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK DAN UPAYA PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI LISTRIK (Nidya Waras Sayekti) PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014 (Indra Pahlevi)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 01/I/P3DI/Januari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

VONIS RINGAN TERHADAP KORUPTOR

Puteri Hikmawati*)

Abstrak

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta terhadap Angie, terdakwa kasus suap penganggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional. Vonis tersebut dianggap terlalu ringan, sehingga KPK akan mengajukan banding. Vonis ringan mendapat sorotan publik karena tidak memenuhi rasa keadilan. Political will Penyelenggara Negara dalam memberantas korupsi sebenarnya sudah terlihat dengan banyaknya regulasi yang menjadi dasar penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi kepada koruptor. Namun, terdapat kerancuan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu dalam Pasal 12 dan Pasal 11, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi penegak hukum dalam penerapannya. Selain itu, Pasal 18 yang memuat pidana tambahan jarang digunakan oleh hakim. Walaupun ada kelemahan dalam undang-undang, dengan moral dan nurani, hakim akan menjatuhkan vonis secara proporsional, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

A. PendahuluanMajelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi (Pengadilan Tipikor) Jakarta pada 10 Januari 2013 menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta terhadap Angelina Sondakh (Angie), terdakwa kasus suap penganggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional. Vonis tersebut di bawah dua pertiga dari tuntutan yang diajukan Jaksa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yaitu hukuman 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan membayar uang pengganti Rp32 miliar.

Jaksa KPK mendakwa Angie dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 12 huruf a juncto (jo) Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU No. 31 Tahun 1999) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau, Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1931 jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dakwaan alternatif lainnya, Pasal 11 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman dalam Pasal 12 adalah penjara seumur hidup dan denda paling

*) Peneliti bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 2 -

banyak Rp1 miliar. Sementara Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 mengatur pidana tambahan berupa perampasan harta kekayaan milik terdakwa yang berasal dari korupsi.

Majelis Hakim diketuai oleh Sudjatmiko dan hakim anggota Marsudin Nainggolan, Afiantara, Alexander Marwata, dan Hendra Yosfin. Menurut Majelis Hakim, dari sejumlah dakwaan Jaksa, hanya dakwaan ketiga yang terbukti, yaitu menerima pemberian atau hadiah melalui perantara dari Grup Permai yang diwakili oleh Mindo Rosalina Manulang. Dakwaan ketiga tersebut berdasarkan Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999, sedangkan dakwaan sesuai Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan.

Vonis terhadap Angie tersebut dinilai terlalu ringan, sehingga KPK akan mengajukan banding atas vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut. Keputusan banding didasarkan pada sejumlah alasan, antara lain, Jaksa KPK meyakini sudah mempunyai ratusan bukti kuat untuk menjerat Angie. Selain itu, Jaksa keberatan karena hakim tidak menjerat Angie dengan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 terkait uang pengganti. Padahal, Angie terbukti melakukan tindak pidana korupsi, meski hanya terjerat dakwaan ketiga.

Vonis ringan tidak hanya dijatuhkan terhadap Angie, selama ini tidak sedikit penjatuhan vonis oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor jauh daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Vonis ringan terhadap Angie dan kasus korupsi lain mendapat sorotan berbagai kalangan karena dianggap mengabaikan rasa keadilan masyarakat, dan menimbulkan pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan JPU. Apakah penyebab vonis ringan koruptor karena ketiadaan political will, minimnya perangkat hukum, atau tidak adanya nurani penegak hukum?

B. Political Will Penyelenggara Negara dalam Pemberantasan Korupsi

Dalam tataran formal, political will Penyelenggara Negara dalam memberantas korupsi sebenarnya terlihat. Pembentukan lembaga khusus, seperti KPK dengan UU No. 30 Tahun 2002 dan Pengadilan Tipikor dengan UU No. 46 Tahun 2009, merupakan contoh kuatnya komitmen politik Negara dalam memberantas korupsi. KPK merupakan lembaga independent dalam pemberantasan korupsi yang memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah tidak memerlukan prosedur khusus, seperti meminta izin, dalam memeriksa tersangka.

Negara juga memiliki sejumlah regulasi yang menjadi landasan bagi penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi kepada para koruptor. Regulasi tersebut berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, serta surat edaran Mahkamah Agung dan Jaksa Agung.

Beberapa regulasi tersebut, adalah:1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999;2. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;3. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

Tabel 10 Kasus Korupsi yang Divonis Ringan di Pengadilan Tipikor Jakarta

No. Kasus Tuntutan Vonis1 Suap Hakim PN Jakarta Pusat Syariffudin 20 tahun 4 tahun2 Hakim PHI Imas Dianasari 13 tahun 6 tahun3 Gayus Tambunan 20 tahun 7 tahun4 Walikota Semarang Soemarmo 5 tahun 1,5 tahun5 Wa Ode Nurhayati 14 tahun 6 tahun6 Soemartono, anggota DPRD Semarang 5 tahun 2,5 tahun7 Muhammad Nazaruddin 7 tahun 4 tahun8 Nunun Nurbaeti 4 tahun 2,5 tahun9 Syahrial Oesman (kasus Tanjung Api-Api) 4 tahun 1 tahun10 Dhana Widyatmika (suap pajak) 12 tahun 7 tahun

Sumber: ICW, sebagaimana dikutip dari “Vonis Rendah Koruptor Bukti dari Jaksa KPK Terlalu Lemah,” Suara Pembaruan, 14 Januari 2013.

Page 3: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 3 -

4. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi;

5. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;

6. SE Mahkamah Agung RI No. 12 Tahun 2010 tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana Korupsi; dan

7. SE Jaksa Agung tentang Percepatan Penanganan Kasus Korupsi Tahun 2004.

Namun, banyaknya regulasi belum menjamin pemberantasan korupsi berjalan efektif. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyelenggara negara yang saat ini terjerat korupsi dan jumlahnya semakin meningkat.

C. Perbedaan Persepsi Aparat Penegak Hukum dalam Penerapan UU No. 31 Tahun 1999

Ada kerancuan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999. Hal itu dapat dilihat, antara lain dalam Pasal 12 dan Pasal 11.Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12), dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sementara itu, Pasal 11 memuat norma tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya, dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Norma tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 11 sebenarnya tidak jauh berbeda. Dalam Pasal 12 hadiah atau janji diberikan kepada penyelenggara negara untuk “menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya,” sedangkan dalam Pasal 11 hadiah atau janji tersebut diberikan karena “kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.” Namun, sanksi pidana yang diancamkan jauh berbeda, sehingga dugaan adanya mafia peradilan di balik vonis ringan majelis hakim tidak terhindarkan tetapi sulit untuk dibuktikan.

Tugas jaksalah untuk membuktikan dakwaannya di persidangan. Oleh karena itu, profesionalitas jaksa dalam melakukan pembuktian tindak pidana korupsi harus lebih ditingkatkan. Penuntut umum harus memberikan bukti-bukti yang obyektif dan ilmiah.

UU No. 31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana tambahan selain pidana pokok. Pasal 18 ayat (1) menyebutkan:

“Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah: a. Perampasan barang bergerak yang

berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.”

Page 4: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 4 -

Dengan penerapan Pasal ini harta kekayaan terpidana yang diperoleh dari hasil korupsi dapat disita oleh Negara.Namun, Pasal ini jarang dikenakan oleh majelis hakim. Kerancuan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 menimbulkan perbedaan persepsi aparat penegak hukum dalam penerapannya, contoh dalam kasus Angie.

D. Moral dan Nurani Penegak Hukum dalam Pemberantasan Korupsi

Pada prinsipnya regulasi dapat dianggap sudah komprehensif untuk menjadi dasar penegak hukum dalam memberantas korupsi. Namun, moral dan nurani penegak hukum belum melengkapi penerapan regulasi tersebut. Bila menggunakan nurani, hakim akan menjatuhkan vonis secara proporsional meskipun undang-undang mempunyai kekurangan. Kehadiran moral dan nurani membuat penegak hukum tidak hanya mempertimbangkan keadilan formal dalam konteks hukum, tetapi juga keadilan substansial, yakni keadilan bagi masyarakat.

E. Penutup

Vonis ringan terhadap koruptor dianggap mengabaikan rasa keadilan masyarakat, karena korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Political will Penyelenggara Negara dalam memberantas korupsi sebenarnya terlihat dengan banyaknya regulasi yang sudah dibuat. Namun, kerancuan ketentuan norma-norma tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 dengan variasi hukuman menimbulkan perbedaan persepsi penegak hukum dalam penerapannya, sehingga memungkinkan untuk memberikan vonis ringan. Kekurangan undang-undang tersebut tidak akan menjadi masalah apabila penegak hukum, khususnya hakim menggunakan nurani dalam menjatuhkan sanksi secara proporsional, dengan memperhatikan keadilan bagi masyarakat.

Rujukan:1. “KPK Siapkan Banding Vonis Angelina,”

Kompas, 11 Januari 2013. 2. “KPK Banding Vonis Angie,” Suara

Pembaruan, 12 Januari 2013.3. “Vonis Rendah Koruptor Bukti dari Jaksa

KPK Terlalu Lemah,” Suara Pembaruan, 14 Januari 2013.

4. “Vonis bagi Angie Abaikan Rasa Keadilan,” Media Indonesia, 14 Januari 2013.

5. “Koruptor Pantas Dihukum Berat,” Suara Pembaruan, 15 Januari 2013.

6. “Vonis Ringan Koruptor,” Media Indonesia, 15 Januari 2013.

7. “KPK Banding atas Kasus Angie. Inilah Alasan KPK Ajukan Banding,” http://www.rimanews.com, diakses 16 Januari 2013.

8. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

9. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 5: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 01/I/P3DI/Januari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA 2013

DAN PERAN PARLEMENPoltak Partogi Nainggolan*)

Abstrak

Refleksi dan proyeksi politik luar negeri untuk tahun 2013 telah dilakukan oleh Kemlu. Penilaian atas relevansi selanjutnya perlu dilakukan untuk mengukur sejauh mana sasaran dapat dicapai secara optimal. Untuk itu, analisis kritis atas perkembangan hubungan internasional ke depan perlu dibuat, dengan membandingkannya dengan langkah yang telah dan harus diambil parlemen (DPR), terutama Komisi I.

A. PendahuluanSebagaimana di banyak negara, di setiap

awal tahun dilakukan refleksi pelaksanaan politik luar negeri tahun sebelumnya dan juga presentasi garis-garis besar rencana pelaksanaan politik luar negeri tahun baru yang tengah dan akan dilalui dalam periode satu tahun ke depan. Kementerian Luar Negeri (Kemlu), sebagai ujung tombak pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada 4 Januari 2013, telah melakukan penilaian dan paparan atas berbagai langkah kebijakan yang akan diambil Indonesia di tahun 2013. Kepada pers Menlu Marty Natalegawa mengungkapkan 9 refleksi dan rencana: (1) Prioritas kerja sama bilateral dengan mitra strategis dan negara sahabat; (2) Peningkatan diplomasi ekonomi bagi konsolidasi pasar tradisional dan non-tradisional; (3) Pengintensifan perundingan perbatasan dengan negara tetangga; (4) Peningkatan perlindungan WNI dan TKI; (5) Pemeliharaan

perdamaian dan stabilitas di kawasan; (6) Mendorong konsolidasi demokrasi dan HAM di kawasan dan global; (7) Memperkuat ketahanan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan; (8) Berkontribusi bagi pemeliharaan perdamaian, keamanan, dan keadilan pada tataran global; dan (9) Mendorong terwujudnya tatanan ekonomi dan pembangunan dunia yang berkeadilan.

Untuk menilai apakah refleksi dan langkah-langkah di tahun 2013 ini relevan dan realistis atau tidak, tentu dibutuhkan sebuah analisis. Upaya ini penting untuk menjadi perhatian parlemen (DPR), terutama Komisi I dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) lain yang terkait. Alasannya, Kemlu dan AKD tersebut merupakan pemangku kepentingan yang masing-masing mewakili pihak pemerintah dan parlemen, yang harus duduk bersama menentukan kebijakan nasional, terutama di bidang luar negeri.

*) Peneliti bidang Bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 6 -

B. Realistiskah?

Dapat dikatakan, refleksi dan penilaian Kemlu terlalu normatif, dan luput menyusun sasaran spesifik, sebagai tindak lanjut dari langkah di tahun sebelumnya, yang seharusnya terkoordinasi antar-sektor dan antar-pemangku kepentingan. Sebagaimana diketahui, baru beberapa bulan lalu Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah mengajukan diri sebagai tuan rumah pelaksanaan Konperensi World Trade Organization (WTO) di Bali untuk Desember 2013 mendatang. Seharusnya langkah-langkah kebijakan luar negeri sebagai persiapan untuk mendukung suksesnya pelaksanaan Konperensi WTO tersebut sudah tampak. Sebab, inisiatif Kemdag menggagas Indonesia sebagai tuan rumah dibebani agenda besar untuk mengatasi kemandekan Putaran Doha hingga dewasa ini dalam mendorong kemajuan realisasi perdagangan bebas. Sekalipun terdengar berita bahwa Kemlu kurang mendukung inisiatif ini, karena pesimis dengan prospek keberhasilan pencapaian targetnya, namun, jika sudah menjadi keputusan nasional, maka Kemlu harus mendukungnya. Memang dari 9 refleksi dan proyeksi Kemlu, pada urutan ke-2 disebutkan penekanan “diplomasi ekonomi yang diarahkan pada konsolidasi pasar tradisional dan perluasan pasar non-tradisional,” dan pada urutan ke-9 disebutkan kepentingan “mendorong tatanan ekonomi dan pembangunan dunia yang berkeadilan.” Juga disebut bahwa “Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri WTO di tahun 2013.” Tetapi, terkesan dukungan masih setengah hati untuk membuat langkah terobosan menciptakan perdagangan dunia, yang tidak hanya bebas, namun juga adil (fair), setelah dalam beberapa tahun belakangan mengalami stagnasi.

Banyaknya agenda besar lain membuat proyeksi politik luar negeri Indonesia menjadi kurang fokus. Selain itu juga dipertanyakan, dalam pembuatan pengagendaan tuan rumah konperensi tingkat menteri WTO, apakah tidak ada koordinasi antara Kemlu dan Kemdag dalam menjalankan kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia, yang sesungguhnya merupakan persinggungan dari dua pemangku kepentingan yang berbeda? Padahal, pelaksanaan politik luar negeri dilandaskan pada doktrin dasar, bersinerginya berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai sebuah kepentingan nasional

yang optimal. Tampaknya koordinasi antara Menko Polhukam dan Menko Perekonomian juga tidak berjalan baik. Sebab, seharusnya persiapan pelaksanaan pertemuan tingkat menteri WTO ini sudah disiapkan sejak dini, mengingat sulitnya menjembatani perbedaan kepentingan yang kompleks di antara banyak negara, yang telah menggagalkan beberapa perundingan (sebelumnya). Dikhawatirkan, akibat persiapan yang tidak terkoordinasi dengan baik, pelaksanaan pertemuan di Bali pada Desember 2013 nanti tidak akan banyak manfaat.

Relevansi refleksi dan proyeksi awal tahun Kemlu tersebut juga dipertanyakan dengan persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Di sini ketersinggungan dengan kebijakan luar negeri Indonesia di APEC sebagai bagian dari proyeksi ke-7, yakni “memperkuat ketahanan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif.” Menlu Natalegawa mengungkapkan, “sebagai Ketua APEC, Indonesia memiliki peluang untuk berkontribusi bagi pembentukan tatanan ekonomi masa depan.” Namun, elaborasi untuk langkah antisipasi dan persiapan pelaksanaan APEC tahun 2013 ini, belum ada. Padahal, penyelenggaraan event besar dan mahal itu harus dimulai sedini mungkin dan dilakukan sebaik-baiknya, agar Indonesia meraih sasaran yang maksimal.

Dalam penjelasan awal tahun, Menlu mengatakan, politik luar negeri Indonesia jelas dan nyata. Tetapi, pernyataan tersebut seperti bersifat defensif. Karena, dalam kenyataannya langkah Kemlu lambat, maju-mundur, dan tidak konsisten. Sebagai contoh, baru saja menjelaskan 9 proyeksi kebijakan Indonesia itu, Menlu segera ke Myanmar membicarakan nasib kaum Rohingya, untuk mendorong pemerintah Myanmar menuntaskan solusi tuntas masalah etnis minoritas itu. Sementara, beberapa kesempatan besar sebelumnya yang tersedia ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu pemimpin Myanmar dan juga tokoh demokrasi, Aung San Suu Kyi, diabaikan. Di luar itu, forum-forum multilateral, yang juga spesifik, dalam kerangka ASEAN, tidak dimanfaatkan secara maksimal. Sebaliknya, pemerintah Myanmar justru menggunakan kunjungan Menlu Natalegawa pada 8 Januari 2013 untuk memberi beban RI agar membangun tempat-tempat perlindungan bagi pengungsi Rohingya di negerinya, dengan mengabaikan

Page 7: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 7 -

pemberian hak kewarganegaraan bagi kaum minoritas itu.

Pencatuman proyeksi di tahun 2013 untuk konsolidasi demokrasi dan HAM di kawasan dan global juga menjadi ironis ketika hingga kini pelanggaran HAM di tanah air cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya intoleransi atas kelompok-kelompok minoritas. Terkait Myanmar, sikap baru Indonesia dalam soal penghormatan HAM juga disambut skeptis, karena pemerintah SBY dan Kemlu RI tidak berbuat dan, bahkan tidak berkomentar apa-apa ketika pemerintah Myanmar melakukan serangan militer membabi-buta atas kelompok minoritas Kachin. Sementara, perlindungan atas nasib WNI/TKI di mancanegara, terutama Timur-Tengah dan Malaysia, terlalu lambat diberikan, yakni ketika masalah sudah muncul, akibat ancaman hukuman mati yang meningkat belakangan. Tekanan tidak bisa dilakukan terhadap negara-negara Arab, dan juga Malaysia, untuk membela nasib TKI yang tidak bersalah, atau mengalami tindakan kesewenang-wenangan, mengingat keterbatasan kapasitas diplomasi Kemlu dan posisi Indonesia yang amat tergantung pada pasar kerja mancanegara yang rendah kualitasnya.

Kritik senada juga dapat disampaikan terhadap perubahan sikap Indonesia yang drastis dan tiba-tiba dalam menyikapi perkembangan politik di Suriah, dengan menyerukan Presiden Assad segera mundur. Selama ini Indonesia berdiam diri terhadap aksi brutal rezim otoriter Assad atas masyarakat sipil dan eskalasi kekerasan di sana. Peran Indonesia dalam menciptakan perdamaian (peacemaking) dunia karenanya diragukan. Sikap baru Indonesia pun baru disampaikan setelah Presiden Mursi dari Mesir, yang mendukung kelompok perlawanan di Suriah, menyerukan Assad untuk segera mundur dan diadili karena kejahatan perangnya yang telah menyebabkan 60 ribu orang tewas. Tetapi, yang jelas, Presiden SBY tidak menyerukan Assad agar diadili untuk tindakan kekerasannya atas rakyat sipil.

Secara simultan, pemerintah juga begitu bangga mengedepankan peran Indonesia untuk terlibat dalam menjaga perdamaian dunia dengan mengirim banyak pasukan TNI dan Kepolisian dalam peacekeeping missions di Timur-Tengah dan Afrika. Tampak kebijakan ego sektoral dalam hal ini, yakni antara Kementerian Pertahanan

(Kemhan) yang bangga mempromosikan pasukan penjaga perdamaian hasil binaannya dengan Kemlu, yang terbatas kapasitas dan ruang diplomasi di fora internasional. Kritik logis yang muncul adalah, jika mengirim peacekeeping force begitu antusias, mengapa untuk melakukan peacemaking tidak? Mudah-mudahan langkah maju Menlu tidak dibebani agenda lain Presiden untuk lebih meraih citra di dunia internasional terkait rencana prospektifnya setelah menyelesaikan jabatan kepresidenanannya.

C. Sikap DPR

Dari perspektif parlemen, dalam soal hubungan luar negeri, parlemen tidak mempunyai agenda yang dibangun untuk mendukung kebijakan luar negeri yang telah diproyeksikan Kemlu/pemerintah secara tidak terfokus itu. Terlepas dari ini, untuk isu perbatasan, respons DPR pada tahun-tahun belakangan memang jauh lebih maju ketimbang yang dilakukan pemerintah, terutama dalam menanggapi klaim dan pelanggaran wilayah, hilangnya atau maju-mundurnya patok perbatasan, klaim warisan budaya, pelecehan terhadap WNI, khususnya TKI. Diplomasi yang ofensif terus diperlihatkan DPR, terutama Komisi I, dengan mendatangi Kuala Lumpur, KBRI, dan mitra kerja mereka seperti parlemen dan kalangan pemerintah Malaysia.

Langkah lebih maju lagi yang telah diperlihatkan parlemen adalah respons mereka terhadap isu Palestina. Anggota Komisi I telah menembus blokade Israel dengan segala resiko, dengan mengunjungi wilayah Tepi Barat untuk menyatakan dukungan kemerdekaan kepada Palestina dan rakyatnya yang terus menghadapi ancaman militer Israel. Sayangnya, untuk merespons meningkatnya intoleransi dan mengurangi eskalasi kekerasan di dalam negeri, langkah DPR masih tampak lambat dan belum maksimal. Sekalipun DPR untuk pertama kalinya telah menyelenggarakan interfaith dialogues, namun upaya itu perlu didorong kontinuitasnya dan ditindaklanjuti dengan mendukung pembuatan legislasi yang kondusif dan mencabut peraturan perundang-undangan yang justru memberi peluang bagi meningkatnya intoleransi antar-kelompok dan golongan.

Page 8: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 8 -

D. Penutup

Agar kebijakan luar negeri Indonesia di tahun 2013 dapat mencapai sasaran maksimal, selain lebih fokus, sinergi antara langkah pemerintah dan parlemen harus dilakukan. Kedua pihak tersebut tidak boleh berjalan masing-masing dengan target peningkatan citranya, sebab, sasaran politik luar negeri adalah kepentingan dan tujuan nasional.

Untuk penyusunan refleksi kebijakan luar negeri tahun sebelumnya dan proyeksi tahun berikutnya, perlu dilakukan koordinasi pemerintah dan parlemen, khususnya Kemlu dan Komisi I, sehingga refleksi yang dibuat bisa tepat, dan proyeksi yang disusun juga relevan, karena sejalan dan didukung oleh kebijakan di DPR. Dengan kata lain, produk-produk fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR akan bersinergi secara komprehensif dengan langkah Kemlu dan kebijakan luar negeri pemerintah. Tidak perlu ada ego sektoral, instansi, institusi negara, ataupun kompetisi di antara mereka untuk pencapaian sasaran kepentingan nasional di fora internasional.

Rujukan: 1. Aris Heru Utomo, “Politik Luar Negeri RI

Sekarang Lebih Percaya Diri,” 19 September 2012, http://www.republika.co.id, diakses 8 Januari 2013.

2. Dessy Sagita, “Menlu: 2013, Prioritaskan Perlindungan WNI di Luar Negeri,” 4 Januari 2013, http://www.beritasatu.com, diakses 8 Januari 2013.

3. “Ini Refleksi dan Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia,” 28 Desember 2012, http://www.republika.co.id, diakses 8 Januari 2012.

4. “Dewi Fortuna Puji Kebijakan Diplomasi Publik Deplu,” 6 September 2008, http://www.antaranews.com, diakses 8 Januari 2013.

5. “Menlu: Politik Luar Negeri Indonesia Jelas dan Nyata,” 4 Januari 2013, http://www.tribunenews.com, diakses 8 Januari 2013.

6. ”9 Refleksi Kementerian Luar Negeri,” 4 Januari 2013, http://www.tempo.co, diakses 8 Januari 2013.

7. “Myanmar Minta Indonesia Membangun Shelter,” Kompas, 9 Januari 2013: 10.

8. “Permintaan SBY pada Assad,” Kompas, 9 Januari 2013: 6.

9. “Pidato Pernyataan Tahunan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, RM Marty M. Natalegawa, Tahun 2013,” Kemenlu RI, 4 Januari 2013, http://www.kemlu.go.id, diakses 8 Januari 2013.

Page 9: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 01/I/P3DI/Januari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

RSBI PASCA-PUTUSAN MK

Faridah Alawiyah*)

Abstrak

Salah satu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan adalah penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Namun dalam perjalanannya, pelaksanaan RSBI telah menimbulkan pro dan kontra hingga akhirnya diajukan untuk dilakukannya uji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan gugatan tersebut dan label RSBI sudah tidak dapat digunakan lagi. Kemudian, penyusunan regulasi serta formula baru bagi eks RSBI harus terus dikawal agar tetap sesuai dengan amanah konstitusi.

A. Pendahuluan

Sebagaimana amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dalam perwujudannya, Pemerintah merumuskan pendidikan bertaraf internasional yang tertuang dalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berdasarkan undang-undang tersebut, Pemerintah kemudian menyusun program dalam bentuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional

(RSBI) yang diarahkan untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pengaturan mengenai RSBI kemudian dijabarkan dalam Permendiknas No. 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

SBI merupakan bentuk perwujudan sekolah yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang kemudian diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu dari negara anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan beberapa negara maju lainnya dengan tujuan peningkatan kualitas pendidikan serta meningkatkan daya saing bangsa.

Namun, penyelenggaraan RSBI kemudian menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Hingga akhirnya penyelenggaraan RSBI pun digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

*) Peneliti bidang Studi Pendidikan pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 10 -

Akhirnya, pada Selasa 8 Januari 2013 lalu, MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU Sisdiknas mengenai Sekolah Bertaraf Internasional. Dengan begitu RSBI kemudian dinyatakan bubar oleh MK.

B. Persoalan RSBI

Dalam penyelenggaraannya, RSBI memiliki konsep pendidikan yang ideal. Namun kemudian, berbagai persoalan serta kritik mengenai kenyataan di lapangan mulai muncul. Berbagai persoalan terkait RSBI antara lain:1. Penyelenggaraan RSBI akan melahirkan

konsep pendidikan yang diskriminatif dan eksklusif di mana RSBI hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan/kecerdasan yang unggul melalui proses seleksi yang sangat ketat. Padahal pendidikan bermutu merupakan hak semua peserta didik tanpa terkecuali. Selain itu, pembedaan antara RSBI-SBI dan non-RSBI-SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.

2. Penyelenggaraan RSBI berpotensi adanya komersialisasi. Meski sudah menerima pembiayaan dari pemerintah, namun RSBI masih seringkali memungut biaya yang sangat tinggi dari orang tua siswa. Seperti kita ketahui bahwa, banyak orang tua yang harus membayar sampai puluhan juta rupiah untuk bisa masuk ke sekolah RSBI dengan alasan biaya pengembangan. Hal ini mengindikasikan bahwa RSBI hanya diperuntukkan bagi anak orang kaya. Bahkan banyak ungkapan bahwa SBI merupakan “Sekolah Bertarif Internasional.” Kondisi ini jelas bertentangan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all) dari UNESCO, di mana kesempatan belajar untuk masyarakat yang mampu maupun masyarakat yang tidak mampu sama besarnya. Tidak ada diskriminasi antara “si kaya” dan “si miskin,” semua itu demi pemerataan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia seluruhnya.

3. Konsep RSBI cenderung lebih menekankan pada pembangunan dan pemenuhan infrastruktur gedung dan berbagai perlengkapan lainnya daripada proses pembelajarannya itu sendiri. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI lebih

mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik.

4. Bahasa Indonesia seharusnya menjadi bahasa pengantar dalam pembelajaran, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pada kenyataannya sekolah RSBI mengutamakan penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu bahasa daerah, yang seharusnya menjadi unggulan, ikut menjadi terabaikan. Hal ini memicu anggapan bahwa anak yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik lebih pintar dibandingkan dengan anak yang memiliki bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang baik. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI-SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.

C. RSBI Tidak Sesuai Konstitusi

Berdasarkan alasan di atas, maka MK mengabulkan permohonan gugatan terhadap Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas. Dalam pembacaan amar putusan, MK menyebutkan Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. RSBI dinilai bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Beberapa alasan pembubaran RSBI berdasarkan “ringkasan permohonan perkara tentang pelaksanaan program RSBI dan sekolah bertaraf internasional dapat mengesampingkan sistem pendidikan nasional” antara lain: 1. Bahwa para Pemohon menyatakan dana

untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI berasal dari APBN berpotensi untuk terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan dan tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan, karena terdapat sekolah yang tidak menggunakan dana ini untuk

Page 11: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 11 -

meningkatkan mutu sekolah melainkan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu seharusnya dengan dana untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI orang tua murid tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah yang pada prakteknya pihak sekolah setiap bulan masih memungut biaya pendaftaran, biaya gedung, dan biaya pendidikan.

2. Bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, jika dilihat dari tujuannya agar Indonesia memiliki lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan di negara maju sangat baik, namun hal ini belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.

3. Bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa dan menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasional” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan pendidikan bertaraf internasional menurut Pasal 50 UU Sisdiknas menimbulkan dualisme pendidikan.

4. Bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk liberalisasi pendidikan karena negara mengabaikan kewajibannya membiayai sepenuhnya pendidikan dasar dan membiarkan sekolah yang menyelenggarakan program RSBI dan SBI untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat.

5. Bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan hal ini melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga yang sederhana atau tidak mampu. Program ini memang memberikan kuota bagi siswa miskin yang berprestasi namun hal ini dipertanyakan lagi bagaimana dengan siswa yang tidak berprestasi, mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

6. Bahwa Pemohon mendalilkan satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia karena proses

pendidikan RSBI dan SBI menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahasa pengantar dan karakter yang hendak dibangun dari sekolah berstandar internasional dinilai tidak melahirkan manusia berkepribadian Indonesia.

D. RSBI Pasca-Putusan MK

Lalu bagaimana sekolah eks RSBI pascaputusan MK? Dikabulkannya gugatan tersebut menjadikan label RSBI yang saat ini telah mencapai lebih dari 1300 sekolah tidak dapat digunakan kembali. Selanjutnya, berbagai regulasi yang menyangkut RSBI pun harus dicabut. Pencabutan status RSBI dilakukan secara bertahap pada masa transisi. Masa transisi ini dilakukan karena kegiatan belajar mengajar untuk tahun pelajaran 2012-2013 masih berlangsung sampai akhir semester ini. Kemendikbud juga telah mengeluarkan surat edaran penghentian seluruh pungutan di SD dan SMP bekas RSBI. Tahun pelajaran 2013-2014 barulah seluruh sekolah menerapkan sistem yang sama dengan sekolah lainnya.

Sampai saat ini, Pemerintah masih terus mematangkan bentuk yang sesuai bagi sekolah eks RSBI agar kekhawatiran penurunan kualitas pendidikan, baik sarana maupun prasarana, tidak terjadi. Salah satu alternatif adalah mengalihkan status RSBI menjadi sekolah mandiri sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005. Namun, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud, Suyanto, menyatakan bahwa hal itu akan menjadikan status RSBI lebih turun daripada kualitas sebelumnya, karena label sekolah mandiri digunakan untuk sekolah yang menuju standar internasional.

E. Penutup

Dicabutnya RSBI tidak boleh menjadi awal mundurnya mutu pendidikan di Indonesia. Nilai-nilai positif seperti manajemen pengelolaan pendidikan, budaya mutu, kedisiplinan dan nilai positif lainnya dari penyelenggaraan RSBI harus tetap dibina dan dipertahankan. Namun, potensi liberalisasi, diskriminasi, kastanisasi, dan komersialisasi dalam RSBI harus segera dihapuskan. Regulasi baru yang sedang disiapkan formulanya oleh pemerintah terhadap sekolah

Page 12: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 12 -

eks RSBI harus jelas. Jangan sampai sekolah eks RSBI hanya akan berubah nama namun masih menggunakan sistem yang sama.

DPR-RI melalui Komisi X yang membidangi pendidikan melalui fungsi pengawasan dan anggarannya harus terus melakukan koordinasi dengan Pemerintah terhadap putusan MK tersebut yang selanjutnya mengawal regulasi serta formula yang disiapkan untuk sekolah eks RSBI sehingga praktik-praktik yang berpotensi liberalisasi, komersialisasi, diskriminasi, kastanisasi, tidak terjadi lagi di dunia pendidikan.

Rujukan:1. Permendiknas RI No. 7 Tahun 2009

tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 5/PUU-X/2012.

3. Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor 5/PUU-X/2012 tentang Pelaksanaan Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional dapat Mengesampingkan Sistem Pendidikan Nasional.

4. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

5. “Kebijakan Pemerintah tentang RSBI/SBI,” http://gurupembaharu.com, diakses 14 Januari 2013.

6. “Kemendikbud-MK Sepakati Transisi RSBI,” http://www.jambi-independent.co.id, diakses 14 Januari 2013.

7. “MK: RSBI Tidak Sesuai Konstitusi,” http://edukasi.kompas.com, diakses 14 Januari 2013.

8. “Pasca Putusan RSBI Kemdikbud Akan Bicara dengan MK,” http://edukasi.kompas.com, diakses 14 Januari 2013.

9. “RSBI Bubar Kemendikbud Rintis Sekolah Berkualitas,” http://www.metrotvnews.com, diakses 14 Januari 2013.

10. “Sisi Positif RSBI Harus Terus Dilanjutkan,” http://edukasi.kompas.com, diakses 14 Januari 2013.

11. “Sekolah Bekas RSBI Mungkin Jadi Sekolah Mandiri,” http://edukasi.kompas.com, diakses 10 Januari 2013.

Page 13: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 13 -

Vol. V, No. 01/I/P3DI/Januari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK DAN UPAYA

PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI LISTRIK

Nidya Waras Sayekti*)

Abstrak

Kebijakan pemerintah untuk menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 15% pada 2013 merupakan salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan energi listrik di negara ini. Kebijakan pemerintah tersebut di satu sisi dapat mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi energi, namun di sisi lain juga dapat melemahkan dunia usaha. Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji kenaikan TDL dan memikirkan lebih jauh pembangunan infrastruktur energi dalam menghasilkan listrik dengan mengoptimalkan sumber daya panas bumi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional.

A. Pendahuluan

Kebijakan pemerintah untuk menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 15% pada 2013 secara bertahap yang sudah berlangsung awal tahun ini mengundang perdebatan di kalangan publik. Sebagian pihak yang setuju dengan kebijakan ini menyatakan alasannya bahwa besaran subsidi listrik sudah terlampau tinggi sehingga membahayakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal lain yang mendorong dikeluarkannya kebijakan ini adalah adanya Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa kondisi PLN pada 2009 – 2010 mengalami kerugian sebesar Rp36 triliun.

Sementara itu, pihak yang menolak kenaikan TDL beralasan banyak pengusaha kecil yang dirugikan. Kenaikan TDL bisa

menyebabkan daya saing industri kecil dalam negeri melemah sehingga berdampak terhadap etintas-etintas lain, misalnya industri manufaktur. Kalangan pengusaha meminta kenaikan TDL untuk ditunda tahun depan karena tahun ini para pengusaha baru menghadapi beban kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sangat tinggi yaitu, lebih dari 44%. Hal tersebut dapat melemahkan dunia usaha. Meskipun pemerintah berjanji tidak menaikkan tarif untuk pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA, namun banyak industri kecil saat ini yang menggunakan daya di bawah 1.300 VA, artinya bahwa industri kecil tetap akan terkena dampak dari kenaikan TDL ini.

Kebijakan pemerintah dalam menaikkan TDL merupakan salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan energi listrik di negara

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 14 -

ini. Namun, terlepas dari semua itu, yang menjadi permasalahan besar adalah biasanya kenaikan TDL maupun Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu diikuti dengan naiknya harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji kenaikan TDL dan memikirkan lebih jauh pembangunan infrastruktur energi dalam menghasilkan listrik, baik itu dalam pemanfaatan energi alternatif atau bukan. Hal ini bertujuan agar biaya produksi listrik menjadi lebih murah dan tepat sasaran. Di samping itu, PLN seyogyanya juga secara berkelanjutan melakukan pembenahan internal dengan sebaik-baiknya, melakukan efisiensi di berbagai pos pengeluaran sehingga secara eksternal dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dukungan masyarakat juga diperlukan, salah satunya dengan menggunakan listrik sehemat-hematnya.

B. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Energi Listrik

Kenaikan TDL sebesar 15% ternyata belum bisa menjamin pasokan listrik bebas dari pemadaman. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan energi listrik adalah dengan rencana pembangunan 4 (empat) Gardu Induk (GI), yakni 2 unit di Sumatera, I unit di Jawa, dan 1 unit di Sulawesi. Sangat disayangkan pembangunan infrastruktur energi ini tidak terealisasi pada 2012. Terhambatnya pembangunan keempat GI tersebut dikarenakan PT PLN tidak mampu menyerap dana APBN 2012 yang sudah tersedia untuk kepentingan tersebut.

Menurut Direktur Perencanaan dan Konstruksi PT PLN Nasri Sebayang, persoalan di bidang rasio elektrifikasi adalah pembangunan infrastruktur di bidang ketenagalistrikan, sesuai UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan harus terintegrasi mulai pembangkit, transmisi, jaringan distribusi, hingga ke end user.

Berdasarkan Keputusan Dirjen Ketenagalistrikan No, KP01/KPA/600.2/2012 tentang Rencana Umum Pengadaan Pembangunan

Jaringan Transmisi, Gardu Induk, Jaringan Distribusi dan gardu Distribusi, serta Program Listrik Murah Tahun Anggaran 2012, Rp502 miliar dialokasikan untuk pembangunan induk jaringan, yang terdiri dari pembangunan GI, transmisi, dan jaringan. Adapun untuk listrik pedesaan dialokasikan Rp2,54 triliun.

Nasri mengakui, dari total dana itu, PLN hanya dapat menyerap separuh anggaran yang ditetapkan. Penyebabnya ialah banyak kendala di lapangan, khususnya masalah pembebasan lahan. Ia berharap pembangunan GI dapat selesai pada 2014. Namun berdasarkan ketentuan APBN, proyek itu hanya berlaku satu tahun anggaran dan tidak berlaku tahun jamak atau multiyears. Alternatifnya, proyek tersebut bisa berlanjut setelah diajukan lagi pada APBN perubahan atau menggunakan dana Anggaran PLN (APLN).

Di sisi lain, Manajer PLN Balikpapan Ismail Deu menyatakan belum bisa memastikan tidak akan terjadi pemadaman bergilir selama 2013 karena banyak faktor, seperti tahun lalu terjadi 285 kali pemadaman karena ada pemasangan sebagian peralatan akibat gangguan cuaca, seperti tanah longsor. Pemadaman bergilir juga masih sering terjadi di Kota Palembang dan kabupaten-kabupaten lain di Sumatera Selatan, seperti di Kabupaten Pagaralam dalam sehari terjadi 10 kali pemadaman. Di Garut Jawa Barat, warga mengeluh setiap Senin dan kamis Puasa

Tabel Proyek Pelistrikan yang Belum Selesai

No. Paket PekerjaanBiaya(Rp

miliar)Lokasi

1. Pembangunan 3 SUTT 150 kV dan 1 GI 150 kV.

264,81 Kalimantan

2. Pembangunan 9 GI 150 Kv 94,66 Sulawesi, Maluku, dan Papua

3. Pembangunan 2 SUTT 150 kV, 1 UGC 150 kV, 1 GITET 500 kV, 2 GI 150 kv, dan 1 GIS 150 kV.

84,85 Jawa dan Bali

4. Pembangunan 1 SUTT 150 kV dan 2 GI 150 Kv

60,90 Sumatera

5. Pembangunan jaringan distribusi, GI, dan program listrik murah

2.548,19 Seluruh Indonesia

Sumber: PLN/Tim Riset Media IndonesiaKeterangan:GITET: Gardu Induk Tegangan Ekstra TinggiSUTT: Saluran Udara Tegangan TinggiUGS: Underground CableGIS: Gas Insulated Substation Extension

Page 15: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 15 -

listrik, bahkan 40 ribu warga belum dapat aliran listrik.

Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menilai dalam proses pembangunan keempat proyek semestinya dibuat aturan pelaksanaan lebih terperinci, harus ada evaluasi setiap tahun, bagaimana metodologi dan prosesnya, serta harus ada sanksi terhadap PLN jika pembangunan tidak sesuai. Sedangkan menurut Anggota Komisi VII DPR RI, Alimin Abdullah menilai tidak terealisasinya GI itu lebih disebabkan permasalahan profesionalitas, ada sesuatu yang misprogram dan misplanning. Karena, apabila melihat data Ditjen Ketenagalistrikan menunjukkan dalam tiga tahun terakhir realisasi pembangunan proyek itu memang mengecewakan. Pada 2010 realisasi proyek itu hanya mencapai 68,3%, tahun 2011 menjadi 42%, dan pada 2012 mencapai 44,66%. Padahal kinerja PLN atas proyek yang sama pada 2008 dan 2009 jauh lebih baik, yakni mencapai masing-masing 98% dan 95%.

Sedangkan menurut Manajer Senior Komunikasi PT PLN (persero), Bambang Dwiyanto, pihaknya tidak mengurusi masalah kenaikan TDL yang saat ini tengah dikeluhkan konsumen. Menurutnya, ada atau tidak ada kenaikan tarif, upaya peningkatan pelayanan tetap dilakukan karena domain PLN adalah pelayanan listrik. Pemadaman listrik oleh PLN akan ditekan semaksimal mungkin, sebagai contoh angka SAIDI (System Average Interruption Duration Index) dan SAIFI (System Average Interruption Frekuention Index) terus menurun dari tahun ke tahun. Adapun SAIDI dan SAIFI adalah indikator rata-rata lama padam dan frekwensi padam per pelanggan sesuai standar benchmark industry kelistrikan internasional.

Kenaikan TDL merupakan domainnya pemerintah dalam rangka pengurangan subsidi energi khususnya subsidi listrik yang diperkirakan pada tahun 2013 mencapai Rp93,52 triliun. Hal ini dilakukan karena Pemerintah membutuhkan dana untuk melakukan pembangunan infrastruktur lainnya termasuk perluasan jaringan listrik untuk menerangi 25% warga Indonesia yang sampai saat ini belum menikmati listrik. Untuk itu, pemerintah melalui Nota Keuangan Presiden RI tanggal 29 Agustus 2012 tentang RAPBN 2013, menyebutkan bahwa besaran subsidi listrik tahun 2013 sekitar Rp78,63 triliun sehingga diperlukan adanya penyesuaian terhadap tarif listrik. Disebut penyesuaian, karena tidak

semua mengalami kenaikan dan agar tujuan subsidi tepat sasaran.

Ia menambahkan tertundanya proyek pembangunan GI merupakan kewenangan dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan dana APBN. Sedangkan PLN bertugas melaksanakan proyek kelistrikan yang sumber dananya berasal dari APLN.

Menanggapi hal itu, Dirjen Ketenagalistrikan ESDM, Jarman, mengakui bahwa untuk kinerja unit proyek induk, terutama GI dan transmisi memang tidak tercapai karena soal pertanahan, tapi program listrik perdesaan tercapai 90% secara fisik.

Selain pembangunan GI yang belum selesai, dalam rangka pemenuhan pasokan energi listrik, pemerintah telah meresmikan dua proyek panas bumi yakni Pembangkit Listrik Panas Bumi Kamojang Unit 5 di Garut (Jawa Barat) berkapasitas 30 MW, dan pengembangan Lapangan Panas Bumi Lahendong (Sulawesi Utara) untuk suplai uap ke PLTP Unit 4 Lahendong. Dua proyek yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy ini merupakan bagian dari tekad Pertamina mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, terutama yang bersumber dari panas bumi.

Indonesia tercatat sebagai negeri yang menyimpan 40% dari potensi panas bumi dunia. Posisi yang di kelilingi gunung api telah memberikan potensi panas bumi yang mampu membangkitkan listrik hingga sekitar 29.000 megawatt dan sekitar 22 persen atau 6.096 MW berada di Jawa Barat. Namun kapasitas yang baru terpasang hanya sebesar 1.226 MW atau 4% dari total potensi. Tahun ini, pemerintah hanya berani menargetkan pemanfaatan panas bumi menjadi 6 persen dan hingga tahun 2014, Kementerian ESDM menargetkan 7–8% dari potensi panas bumi sudah dieksploitasi. Padahal dengan memanfaatkan energy panas bumi, subsidi energi bisa ditekan. Dalam APBN 2013, subsidi energy Rp274,7 triliun. Sebagai perbandingan, tarif khusus listrik berbasis panas bumi yang ditetapkan pemerintah 10 – 17 sen USD per kWh untuk kontrak baru. Adapun biaya pokok penyediaan listrik untuk pembangkit yang memakai BBM lebih dari 26 sen dollar AS per kWh.

Untuk mempercepat pengembangan energi baru terbarukan tersebut, perlu kebijakan yang menyeluruh dan konsisten dari pemerintah.

Page 16: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 16 -

Selain mempermudah perizinan proyek panas bumi, perlu kebijakan semestinya mulai mengalihkan dana subsidi untuk pengembangan panas bumi dan jenis energi baru terbarukan lainnya.

C. Penutup

Kebijakan pemerintah menaikkan TDL sebesar 15% pada tahun 2013 merupakan salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan energi listrik di negara ini. Di satu sisi pemerintah bermaksud mengurangi subsidi listrik yang menjadi beban APBN, namun di sisi lain dapat menyebabkan daya saing industri kecil dalam negeri melemah. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji penaikan TDL dan memikirkan lebih jauh pembangunan infrastruktur energi dalam menghasilkan listrik, baik itu dalam pemanfaatan energi alternatif atau bukan.

Salah satu alternatif solusinya dalam memenuhi kebutuhan energi listrik adalah dengan pemanfaatan energi panas bumi yang baru dieksploitasi sebesar 4% dari potensi yang dimiliki oleh Indonesia sehingga subsidi energi yang membebani APBN dapat ditekan. Oleh karena itu, DPR perlu mendorong pemerintah untuk segera mengoptimalkan sumber daya panas bumi guna dimanfaatkan untuk penyediaan energi listrik.

Rujukan:1. “Penaikan TDL Perlu Dikaji Ulang,” Media

Indonesia, 14 Januari 2013.2. “Tarif Naik, Listrik Tetap Byarpet,” Media

Indonesia, 14 Januari 2013.3. “Segera Evaluasi Kinerja Proyek Gardu

Induk PLN,” Media Indonesia, 15 Januari 2013.

4. “Kenaikan Tarif Listrik bukan Urusan PLN,” http://www.metrotvnews.com/, diakses 15 Januari 2013.

5. “Pengusaha Minta Kenaikan Listrik dan Gas Ditunda Tahun Depan,” http://finance.detik.com/, diakses 15 Januari 2013.

6. “Panas Bumi Digalakkan, Potensi Listrik Panas Bumi Indonesia 29.000 Megawatt,” Kompas, 14 Januari 2013.

7. “Energi Panas Bumi, Perlu Konsistensi,” Kompas, 15 Januari 2013.

Page 17: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 17 -

Vol. V, No. 01/I/P3DI/Januari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

2014Indra Pahlevi*)

Abstrak

Pada tanggal 7 Januari 2013 KPU menggelar Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Verifikasi dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014. Hasilnya, hanya 10 partai politik yang ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2014. Namun demikian 24 (dua puluh empat) partai politik lainnya yang tidak lolos menilai bahwa KPU bertindak tidak transparan dan diskriminatif dan bahkan hanya mengikuti kehendak partai politik yang duduk di DPR saat ini. Selanjutnya KPU menggelar Rapat Pleno tanggal 14 Januari 2013 guna mengundi nomor urut bagi parati politik peserta pemilu yang akan berlaga di Pemilu 2014. Bagaimana sesungguhnya proses penetapan partai politik peserta pemilu 2014?

A. Pengantar

Penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 sebagaimana tertuang dalam Keputusan KPU No. 7 Tahun 2012 yang kemudian diubah menjadi Keputusan KPU No. 15 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadual Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tahun 2014. Salah satu tahapan yang paling krusial adalah tahapan penetapan Partai Politik Peserta Pemilu 2014. Puncaknya, tanggal 7 Januari 2013 sebagai waktu penetapan partai politik peserta Pemiulu 2014, setelah melalui tahapan verifikasi faktual kepada

seluruh partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi administrasi sejumlah 16 partai politik. Belakangan, 18 partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi menggungat keputusan tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan selanjutnya dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Keputusan DKPP memerintahkan, 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi harus diikutsertakan dalam proses verifikasi faktual oleh KPU. KPU melaksanakan keputusan DKPP tersebut dengan mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi dalam proses verifikasi faktual. Hasilnya, hanya 10 partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemuilu 2014 yaitu Partai Amanat nasional (PAN); PDI

*) Peneliti bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 18 -

Perjuangan; Partai Demokrat; Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); Partai Golongan Karya (Golkar); Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura); Partai Keadilan Sejahtera (PKS); Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Partai Nasional Demokrat (Nasdem); dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Proses selanjutnya adalah pengundian nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu 2014 pada tanggal 14 Januari 2013.

Tabel Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu 2014

No. Urut Nama Partai1. Partai NasDem2. Partai Kebangkitan Bangsa3. Partai Keadilan Sejahtera4. PDI Perjuangan5. Partai Golkar6. Partai Gerindra7. Partai Demokrat8. Partai Amanat Nasional9. Partai Persatuan Pembangunan10. Partai Hati Nurani Rakyat

Hasil Rapat Pleno KPU penetapan Partai Politik Peserta Pemilu 2014 tersebut kemudian dapat digugat oleh Partai Politik yang dinyatakan tidak lolos melalui mekanisme berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu mengajukannya kepada Bawaslu hingga diputus. Selanjutnya, jika belum menghasilkan keputusan final, maka dapat diajukan banding kepada PT Tata Usaha Negara hingga Kasasi ke Mahkamah Agung. Keputusan MA bersifat final. Lalu bagaimana sesungguhnya syarat partai politik peserta pemilu 2014 menurut UU No. 8 Tahun 2012 serta bagaimana proses keberatan yang dapat diajukan?

B. Syarat Peserta Pemilu

Pasal 8 ayat (2) yang sudah direview Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa syarat menjadi peserta Pemilu meliputi:a. Berstatus badan hukum sesuai dengan UU

Partai Politik; b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. Memiliki kepengurusan di 75% jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. Memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;

i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

Berbagai syarat di atas memberikan maksud para pembentuk undang-undang bahwa partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu nasional harus benar-benar berskala nasional atau berada di seluruh wilayah Indonesia yang ditandai oleh syarat harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi serta memiliki kepengurusan minimal 75% di kabupaten/kota dalam satu provinsi (huruf b dan c). Selain itu dukungan masyarakat menjadi sangat penting melalui bukti keanggotaan dari satu partai politik yakni memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik di kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota (huruf f ). Dengan demikian tujuan menciptakan sistem kepartaian yang multi-partai sederhana dapat mendekati kenyataan. Apalagi berdasarkan hasil berbagai survey kredibilitas partai politik di masyarakat terhadap partai politik semakin berkurang, sehingga perlu diperbaiki sistem kepartaian melalui rekayasa perundang-undangan seperti UU No. 8 tahun 2012 ini.

Terkait dengan hasil Rapat Pleno KPU tanggal 7 Januari 2012 yang menetapkan 10 Partai Politik sebagai Peserta Pemilu 2014, dapat diajukan keberatan oleh partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi faktual. Secara umum aturan tentang mekanisme itu tercantum dalam Pasal 259 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 268,

Page 19: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 19 -

dan Pasal 269 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal 259 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 8 Tahun 2012 menyebutkan:

(2) Sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselesaikan terlebih dahulu di Bawaslu.

(3) Dalam hal sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan, para pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan KPU dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan tinggi tata usaha Negara.

Selanjutnya, Pasal 268 UU No. 8 Tahun

2012 menyebutkan:(1) Sengketa tata usaha negara Pemilu adalah

sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

(2) Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara: a. KPU dan Partai Politik calon Peserta

Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan

b. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 75.

Sementara Pasal 269 UU No. 10 Tahun 2012 berbunyi:

(1) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilan tinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.

(2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.

(3) Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara.

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

(5) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dilakukan upaya hukum.

(6) Pengadilan tinggi tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap.

(7) Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(8) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(9) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

(10) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat terakhir dan mengikat

Page 20: Vol. V No. 01 I P3DI Januari 2013

- 20 -

serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

(11) KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

Dengan norma tersebut, seharusnya proses gugatan dan keluarnya keputusan sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 64 hari setelah penyampaian oleh Bawaslu ke PT TUN.

C. Penutup

Keputusan KPU tentang penetapan partai politik peserta Pemilu 2014 yang dilanjutkan dengan pengundian nomor urut peserta Pemilu 2014 merupakan salah satu tahapan yang diamanatkan UU No. 8 Tahun 2012 yakni 15 bulan sebelum pelaksanaan Pemilu 2014. Oleh karena itu berbagai tahapan berikutnya harus sinkron seperti tahapan kampanye serta mekanismenya diiringi berbagai proses penyelesaian sengketa Pemilu itu sendiri sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012.

Rujukan:1. “KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu

2014,” http://www.kpu.go.id, diakses 14 Januari 2013.

2. Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012.3. Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2012.4. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD.5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/

PUU-X/2012.6. “DKPP Keluarkan Keputusan Mengejutkan”

http://www.tribunnews.com, diakses 14 Januari 2013.

7. “Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu 2014,” http://www.kpu.go.id/, diakses 14 Januari 2013.

Bagan Penyelesaian Sengketa Pemilu di PT TUN dan Mahkamah Agung

Keputusan KPU1. Verifikasi Parpol2. Penetapan DCT

Bawaslu(Adjudikasi di

Bawaslu s.d. Putusan Bawaslu)

Gugatan ke PT PTUNPasal 48 jo Pasal 31 ayat (3)

UU Peradilan TUN

Lengkap

Belum Lengkap

Perbaikan oleh

Penggugat

Tidak Me-lengkapi

Gugatan Tidak Dapat

Diterima

Selesai

Dicatatdalam Daftar

Perkara

Sidang Pemeriksaan

Putusan PT PTUN

Putusan Final dan Mengikat

Permohonan Kasasi ke MA

Putusan MA

Pelaksanaan Putusan oleh KPU

3 hari kerja

21 h

ari k

erja

3 hari kerja

7 harikerja

30 hari kerja