validasi efektivitas nanopestisida minyak...
TRANSCRIPT
VALIDASI EFEKTIVITAS NANOPESTISIDA MINYAK
SERAI WANGI TERHADAP Potyvirus PENYEBAB PENYAKIT
MOSAIK DAN VEKTORNYA PADA TANAMAN NILAM
NURAINI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
VALIDASI EFEKTIVITAS NANOPESTISIDA MINYAK SERAI WANGI
TERHADAP Potyvirus PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK DAN
VEKTORNYA PADA TANAMAN NILAM
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NURAINI
11140950000003
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
Nuraini, Validasi Efektivitas Nanopestisida Minyak Nanopestisida terhadap
Potyvirus Penyebab Penyakit Mosaik dan Vektornya pada Tanaman Nilam.
Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Dr. Priyanti, M.Si
dan Dr. Rita Noveriza, M.Sc. 2019
Infeksi virus dapat menyebabkan penurunan terhadap produksi minyak nilam.
Virus dominan yang ditemukan pada tanaman nilam adalah Potyvirus sebagai penyebab penyakit mosaik yang ditularkan kutu daun sebagai serangga vektor.
Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi efektivitas nanopestisida minyak serai wangi konsentrasi 1% terhadap Potyvirus dan vektornya pada tanaman nilam di
dua daerah yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe. Perlakuan yang diberikan yaitu nanopestisida minyak serai wangi konsentrasi 1%, pestisida
serai wangi komersil, insektisida bahan aktif deltrametrin, dan kontrol. Intensitas penyemprotan dilakukan satu bulan sekali selama enam bulan. Jumlah tanaman
yang diamati di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe masing-
masing yaitu 4000 tanaman nilam. Parameter yang diamati adalah kejadian gejala penyakit mosaik, kejadian kerusakan daun menggulung, intensitas serangan
penyakit mosaik, intensitas kerusakan daun menggulung, tingkat efikasi, dan kehilangan hasil. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian nanopestisida
minyak serai wangi 1% di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe berpengaruh nyata terhadap parameter intensitas serangan penyakit mosaik.
Pemberian nanopestisida minyak serai wangi konsentrasi 1% berbeda nyata dengan kontrol dan insektisida sintetis pada parameter intensitas serangan
penyakit mosaik. Aplikasi nanopestisida minyak serai wangi konsentrasi 1%
efektif untuk menekan perkembangan Potyvirus penyebab penyakit mosaik dan serangan kutu daun (Aphis gossypii) sebagai serangga vektor pada tanaman nilam
dengan nilai efikasi yaitu sebesar 14,70% dan 39,88% di Kabupaten Bandung Barat dan 33,85% dan 12,67% di Kabupaten Konawe.
Kata kunci: Kutu daun; minyak serai wangi; nanopestisida; nilam; Potyvirus
vi
ABSTRACT
Nuraini, Validation of Effectiveness Nanopesticide of Sweet Lemon Grass Oil
Against Potyvirus causing Mosaic Disease and Vectors on Patchouli Plant.
Skripsi. Department of Biology, Faculty of Science and Technology, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervised by Dr. Priyanti,
M.Si and Dr. Rita Noveriza, M.Sc. 2019
Viral infection can decrease production of patchouli oil. Potyvirus is a genus of
viruses which dominant found on patchouli plants. Potyvirus can caused mosaic
disease which is transmitted by aphids as an insects vector. This study aims to
validate of the effectiveness of nanopesticides of sweet lemon grass oil with 1%
concentration againts Potyvirus and vectors on patchouli plants in West Bandung
Regency, West Java Province and Konawe Regency, Southeast Sulawesi
Province. The treatments given were nanopesticides of sweet lemon grass oil with
1% concentration, commercial citronella pesticides, syinthetic insecticides, and
controls. Intensity of spraying given on patchouli plant is once a month for six
months. Total of plants observed in West Bandung and Konawe Regency were
8000 patchouli plants. The parameters observed were incidance of mosaic disease,
incidence of aphid attack, intensity of the mosaic disease, intensity of aphid
attack, level of efficacy, and loss of yield. The statistic test results show that the
nanopesticides of citronella oil with 1% concentration in West Bandung and
Konawe Regency significantly affected to parameters intensity of mosaic disease
attack, Nanopesticides of sweet leom grass oil with 1% concentration was
significantly different from the control and synthetic insecticides on the intensity
of mosaic disease attacks. Aplication nanopesticides of citronella oil with 1%
concentration is effective to suppressing of mosaic disease caused by Potyvirus
and aphids (A.gossypii) attack as vector insects on patchouli plants with efficacy
values of 14.70% and 39.88% in West Bandung Regency and 33.85% and 12.67%
in Konawe Regency.
Keywords: Aphids; nanopesticides; patchouli; Potyvirus; sweet lemon grass oil
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat yang tiada terhingga
kepada setiap hamba-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya serta
pengikut beliau hingga akhir zaman. Dengan rasa syukur, penulis dapat
menyelesaikan dan menyusun skripsi yang berjudul “Validasi Efektivitas
Nanopestisida Minyak Serai Wangi 1% terhadap Potyvirus Penyebab
Penyakit Mosaik dan Vektornya pada Tanaman Nilam”.
Penyelesaian tulisan ini tentunya tidak luput atas bantuan berbagai pihak,
pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih dengan rasa hormat kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.stud. selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing I
yang memberikan arahan dalam penulisan skripsi.
3. Dr. Rita Noveriza, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang berperan dalam
memberikan arahan baik secara tulisan maupun teknis pengerjaan.
4. Dr. Dasumiati, M.Si selaku dosen penguji seminar proposal, seminar hasil
serta dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan
saran kepada penulis.
5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku dosen penguji seminar proposal
yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
6. Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku dosen enguji seminar hasil yang telah
memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
7. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) dan Kebun
Percobaan Manoko Lembang, Bandung sebagai tempat penulis melakukan
penelitian skripsi.
8. Segenap dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi atas
ilmu pengetahuan dan ilmu hidup yang dengan ikhlas diajarkan kepada
penulis.
viii
9. Semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan motivasi yang
diberikan untuk penulis.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan dalam kegiatan dan penulisan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memiliki
kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.
Jakarta, Agustus 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. v
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3. Hipotesis ............................................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 4
1.6. Kerangka Berpikir ................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Nilam ......................................................................................... 5
2.2. Virus yang Menginfeksi Tanaman Nilam............................................. 8
2.3. Gejala Mosaik Akibat Infeksi Potyvirus pada Tanaman Nilam ........... 9
2.4. Penularan dan Penyebaran Virus pada Tanaman Nilam ..................... 10
2.5. Minyak Serai Wangi sebagai Pestisida Nabati ................................... 11
2.6. Nanopestisida Melalui Teknologi Nanoemulsi .................................. 12
2.7. Pembuatan Formulasi Nanopestisida Serai Wangi .............................. 13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 14
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................... 14
3.3. Rancangan Penelitian.......................................................................... 14
3.4. Cara Kerja ........................................................................................... 15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penyakit mosaik pada tanaman nilam di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Konawe ............................................................ 21
4.2. Vektor Penyebab Penyakit Mosaik di Kabupaten Bandung Barat
dan Kabupaten Konawe ..................................................................... 25
4.3. Uji Serologi dengan Metode ELISA................................................... 28
4.4. Bobot Terna Basah dan Terna Kering ................................................ 30
4.5. Produksi minyak Rendemen Minyak dan Kadar Patchouli
Alkohol pada Tanaman Nilam ............................................................ 32
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 34
5.2 . Saran .................................................................................................... 34
x
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35
LAMPIRAN .......................................................................................................... 40
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian validasi efektivitas nanopestisida serai
wangi terhadap Potyvirus penyebab penyakit mosaik dan vektornya
pada tanaman nilam .............................................................................. 5
Gambar 2. Tanaman nilam P. cablin .................................................................... 6
Gambar 3. Gejala infeksi Potyvirus pada tanaman nilam ...................................... 9
Gambar 4. Daun menggulung oleh kutu daun ada pucuk .................................... 11
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Skor dan deskripsi gejala mosaik pada tanaman nilam ...................... 16
Tabel 2. Kategori dan kriteria serangan kutu daun pada tanaman nilam ......... 16
Tabel 3. Rata-rata persentase kejadian gejala, intensitas penyakit mosaik
dan tingkat efikasi pada tanaman nilam di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Konawe ............................................................ 21
Tabel 4. Rata-rata persentase kejadian kerusakan, intensitas kerusakan
daun menggulung dan tingkat efikasi pada tanaman nilam di
Kabupaten Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe ........ 25
Tabel 5. Deteksi serologi potyvirus sebelum aplikasi di Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Konawe ............................................ 28
Tabel 6. Deteksi Potyvirus setelah aplikasi di Kabupaten Bandung Barat
dan Kabupaten Konawe .................................................................... 29
Tabel 7. Bobot terna basah dan bobot terna kering di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Konawe ........................................................... 31
Tabel 8. Produksi minyak, rendemen minyak dan kadar patchouli alkohol
pada tanaman nilam ............................................................................ 32
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Desain Bagan Rancangan Percobaan Kabupaten Bandung Barat 40
Lampiran 2. Desain Bagan Rancangan Percobaaan Kabupaten Konawe ......... 41
Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik Kejadian Gejala Penyakit Mosaik di
Kabupaten Bandung Barat ............................................................. 42
Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Intensitas Serangan Penyakit Mosaik di
Kabupaten Bandung Barat ............................................................. 42
Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Kejadian Gejala Penyakit Mosaik di
Kabupaten Konawe ...................................................................... 43
Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Intensitas Serangan Penyakit Mosaik di
Kabupaten Konawe ....................................................................... 44
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Kejadian Kerusakan Daun Menggulung
di Kabupaten Bandung Barat ......................................................... 45
Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Intensitas Kerusakan Daun Menggulung
Kabupaten Bandung Barat ............................................................. 45
Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Kejadian Kerusakan Daun Menggulung
di Kabupaten Konawe .................................................................... 46
Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Intensitas Kerusakan Daun Menggulung
di Kabupaten Konawe ................................................................... 46
Lampiran 11. Hasil Statistik Bobot Terna Basah Tanaman nilam
di Kabupaten Bandung Barat......................................................... 47
Lampiran 12. Hasil Statistik Bobot Terna Kering nilam Kabupaten Bandung
Barat .............................................................................................. 47
Lampiran 13. Hasil Statistik Bobot Terna Basah di Kabupaten Konawe ........... 48
Lampiran 14. Hasil Statistik Bobot Terna kering di Kabupaten Konawe............ 48
Lampiran 15. Persiapan Benih Nilam .................................................................. 49
Lampiran 16. Proses Kegiatan Lapangan ............................................................ 50
Lampiran 17. Deteksi Virus secara Serologi dengan Metode ELISA ................. 51
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan tanaman penghasil minyak
atsiri yang sangat bermanfaat sebagai bahan fiksatif pada indutri parfum, bahan
obat-obatan dan pestisida. Minyak nilam di Indonesia dikenal dengan patchouli
oil telah menjadi salah satu komoditas ekspor non migas yang menghasilkan
devisa bagi negara. Indonesia merupakan penghasil minyak nilam terbesar di
dunia yang setiap tahunnya memasok 70% hingga 90% kebutuhan dunia. Volume
ekspor minyak nilam dunia tercatat 1.500 ton per tahun (DAI, 2017). Nilam (P.
cablin Benth.) adalah tanaman introduksi yang berasal dari Filipina, kemudian
masuk ke Indoensia. Daerah sentra produksi nilam di Indonesia terdapat di
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Nangroe Aceh
Darusalam, kemudian berkembang di Provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan daerah lainnya (Nuryani, Emmyzar
& Wiratno, 2006).
Hal ini menjadi pendorong petani di Indonesia termasuk daerah Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat sebagai dataran tinggi dan daerah Kabupaten Konawe,
Sulawesi Tenggara sebagai dataran rendah untuk membudidayakan tanaman
nilam. Varietas nilam yang telah dilepas dan direkomedasikan adalah nilam
varietas ‘Patchoulina 2’. Nilam varietas ‘Patchoulina 2’ memiliki keunggulan
pada produksi minyak dan kadar patchouli alkohol yang tinggi (Hadipoentyanti,
2014). Namun tidak jauh berbeda dengan tanaman lain, kendala pada produksi
nilam adalah adanya gangguan serangan penyakit seperti penyakit mosaik yang
disebabkan oleh infeksi virus. Penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh
Miftakhurohmah, Suastika & Asmira (2013) bahwa tanaman nilam telah terinfeksi
virus mosaik di Lembang, Jawa Barat, sementara Taufik, Asmar, Andi,
Gusnawaty & Sarawa (2014) melaporkan bahwa gejala mosaik ditemukan pada
tanaman nilam di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
Penyakit mosaik menjadi penyakit yang cukup serius dikarenakan dapat
menyebar dengan cepat. Virus yang dominan bersosiasi dengan tanaman nilam
2
dan menunjukkan gejala mosaik adalah vrius yang berasal dari genus Potyvirus
(Noveriza, Suastika, Hidayat, & Kartosuwondo, 2012a). Penyebaran virus mosaik
dilapangan dapat melalui benih yang terinfeksi dan ditularkan oleh kutu daun
sebagai serangga vektor. Spesies kutu daun yang paling banyak ditemukan pada
pertanaman nilam di Indonesia adalah Aphis gossypii dan Brachycaudus sp (Ordo:
Hemiptera). (Noveriza Noveriza, Suastika, Hidayat, & Kartosuwondo, 2012a).
Penyakit mosaik pada tanaman nilam dapat menurunkan berat terna basah berat
terna kering dan kadar minyak tanaman nilam berturut-turut mencapai 34,65%,
40,42% dan 9,09% (Noveriza, Suastika, Hidayat, & Kartosuwondo, 2012b).
Teknik pengendalian penyakit mosaik yang telah dilaporkan, diantaranya
kultur meristem apikal dan perlakuan air panas pada stek batang (Noveriza et al.,
2012c) serta penggunaan pestisida kimia sebagai pengendali serangga vektor akan
tetapi belum memberikan hasil yang optimal. Dadang (2006) menginformasikan
bahwa penggunaan pestisida kimia dapat menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan dan penggunanya, contohnya gangguan pada sistem pernapasan.
Pendekatan lain yang berpotensi mengendalikan virus yaitu menggunakan
metabolit sekunder tanaman yang bersifat sebagai antivirus.
Penggunaan minyak serai wangi sebagai pestisida merupakan salah satu
komponen pengendalian yang ramah lingkungan dan lebih aman secara kesehatan
serta diharapkan dapat melengkapi komponen pengendalian yang sudah ada.
Minyak serai wangi mengandung geraniol 81,67% dan sitronelal 13,95% yang
berfungsi sebagai antimikroba. Mariana dan Noveriza (2013) melaporkan aplikasi
minyak serai wangi 1,2% dapat menghambat perkembangan virus mosaik nilam
sebesar 89,78% pada tanaman uji di rumah kaca.
Kelemahan pestisida nabati yang mengandung minyak atsiri adalah mudah
menguap dan tidak stabil. Oleh karena itu, bahan aktif minyak atsiri perlu
diformulasikan dalam bentuk yang lebih stabil, diantaranya partikel nano
(Noveriza et al., 2017). Teknologi nano dapat memperkecil partikel hingga
berukuran nano (10-9m) dan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas bahan aktif minyak serai wangi. Hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Noveriza et al. (2017) melaporkan bahwa formula nanoemulsi
serai wangi konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% yang terbaik dalam menekan
3
perkembangan Potyvirus adalah konsentrasi 1% pada tanaman nilam varietas
sidikalang.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian mengenai validasi efektivitas
nanopestisida minyak serai wangi dengan konsentrasi 1% untuk pengendalian
Potyvirus penyebab penyakit mosaik dan vektornya pada tanaman nilam varietas
‘Patchoulina 2’ belum dilakukan di lokasi Kabupaten Bandung Barat sebagai
dataran tinggi dan Kabupaten Konawe sebagai dataran rendah. Oleh karena itu,
penelitian ini perlu dilakukan agar dapat memberikan informasi mengenai
keefektifan nanopestisida minyak serai wangi terhadap Potyvirus penyebab
penyakit mosaik dan vektornya sehingga petani dapat meningkatkan produksi
nilam lebih optimal.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan dari penelitian ini adalah apakah nanopestisida minyak serai wangi
konsentrasi 1% efektif mengendalikan Potyvirus penyebab penyakit mosaik
tanaman nilam var. Patcoulina 2 dan vektornya di Kabupaten Bandung Barat,
Jawa Barat dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara?
1.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah nanopestisida minyak serai wangi dengan
konsentrasi 1% efektif mengendalikan Potyvirus penyebab penyakit mosaik
tanaman nilam var. Patcoulina 2 dan vektornya di Kabupaten Bandung Barat,
Jawa Barat dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memvalidasi efektivitas
nanopestisida minyak serai wangi dengan konsentrasi 1% terhadap Potyvrus
penyebab penyakit mosaik tanaman nilam var. Patcoulina 2 dan vektornya di
Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dan Kabupaten Konawe, Sulawesi
Tenggara.
4
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
1) Informasi kepada petani tentang keefektifan penggunaan nanopestisida
minyak serai wangi untuk mengendalikan Potyvirus penyebab penyakit
mosaik dan vektor pada tanaman nilam var. Patcoulina 2 Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
2) Informasi kepada para peneliti bahwa nanopestisida minyak serai wangi
dapat berperan sebagai bahan pestisida untuk pengendalian penyakit pada
tanaman.
5
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian validasi efektivitas nanopestisida minyak
serai wangi terhadap Potyvirus penyebab penyakit mosaik dan
vektornya pada tanaman nilam
Tanaman nilam sebagai komoditas minyak
atsiri penghasil sumber devisa di Indonesia
Kendalanya produksi nilam belum optimal
Penyakit mosaik pada tanaman nilam
Infeksi Virus
Pestisida kimia
Pencemaran
lingkungan
(residu zat kimia)
dan berdampak
pada kesehatan
Pestisida nabati
Kelemahan Pestisida minyak atsiri tidak stabil
Nanopestisida minyak Serai wangi konsentrasi 1% lebih stabil
dan lebih efektif
Minyak Serai wangi
Genus Potyvirus Penyebaran: benih yang
terinfeski dan serangga
vektor (kutu daun)
Pemberian pestisida
Validasi efektivitas nanopestisida minyak Serai wangi 1%
terhadap Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman
nilam di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Nilam
Tanaman nilam (Pogostemon cabilin Benth.) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak nilam (Patchouli Oil).
Berdasarkan taksonominya, tanaman nilam termasuk anggota suku Labiate
(Rukmana, 2003). Secara umum, di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat
dibedakan berdasarkan karakter morfologi. Ketiga jenis nilam tersebut adalah
Pogostemon cablin Benth., Pogostemon heyneatus Benth. dan Pogostemon
hortensis Backer (Sahwalita & Herdiana, 2015) (Gambar 2).
Gambar 2. Tanaman nilam P.cablin (Entheology, 2002)
Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah berhasil mengembangkan
varietas unggul nilam yaitu ‘Tapak Tuan’, ‘Lhokseumawe’ dan ‘Sidikalang’
(Nuryani, 2006). Selain tiga varietas tersebut, varietas nilam yang telah dilepas
dan direkomedasikan adalah varietas ‘Patchoulina 1’ dan ‘Patchoulina 2’. Nilam
varietas ‘Patchoulina 2’ memiliki keunggulan pada produksi minyak dan kadar
patchouli alcohol yang tinggi serta tahan terhadap penyakit layu bakteri
(Hadipoentyanti, 2014).
Tanaman nilam adalah tanaman semak yang tumbuh di iklim tropis. Tanaman
nilam yang berasal dari perbanyakan vegetatif biasanya memiliki akar serabut
yang kuat sehingga dapat berdiri tegak. Akar-akar tanaman nilam yang telah
dewasa dapat menembus lapisan tanah sekitar 20-30 cm. Tanaman nilam varietas
‘Patcoulina 2’ memiliki batang berbentuk bersegi 4 (guadrangularis) dan
Bunga
7
bercabang. Percabangan tanaman nilam berbentuk simpodial. Batang bagian
pangkal berwarna coklat keabu-abuan, warna batang bagian tengah berwarna
hijau keabu-abuan dan warna bagian pucuk ungu keabu-abuan (Trisilawati &
Hadipoentyanti, 2015).
Tanaman nilam varietas ‘Patcoulina 2’ memiliki daun bagian permukaan
berwarna hijau tua dan bagian bawah daun berwarna hijau keunguan. Bentuk
pangkal daun berbetuk delta dan bentuk ujung daun runcing-tumpul. Daun nilam
memiliki panjang berkisar antara 2,76 ± 6,88 cm, lebar daun berkisar 2,68 ± 6,02
cm dan tebal daun berkisar 0,07 ± 0,34 cm. Duduk daun berseling berhadapan,
permukaan berbulu halus (villosus), agak kasar dan bergelombang (Trisilawati &
Hadipoentyanti, 2015).
Nilam dapat tumbuh dan berkembang di dataran rendah sampai dataran tinggi
dengan ketinggian 1.200 m dpl. Rekomendasi wilayah pengembangan untuk
nilam varietas ‘Patchoulina 2’ adalah dataran rendah sampai dengan dataran
medium yaitu pada ketinggian 100-700 m dpl (Trisilawati & Hadipoentyanti,
2015). Pada dataran rendah kadar minyak lebih tinggi (>2%) tetapi kadar
patchouli alcohol lebih rendah (<30%), sebaliknya pada dataran tinggi kadar
minyak rendah (<2%), kadar patchouli alcohol lebih tinggi (> 30%) (Nuryani,
2006).
Nilam dapat tumbuh di berbagai jenis tanah seperti andosol, latosol, regosol,
podsolik, kambisol), akan tetapi tanaman nilam dapat tumbuh lebih baik pada
tanah yang gembur dan banyak mengandung humus. Lahan harus bebas dari
penyakit terutama penyakit layu bakteri, budog, nematoda dan penyakit yang
disebabkan oleh jamur (Nuryani, 2005) serta setek benih nilam harus bebas dari
infeksi virus.
Tanaman nilam termasuk tanaman yang mudah tumbuh seperti tanaman herba
lainnya, namun untuk memperoleh produksi yang maksimal diperlukan
kemasaman yang sesuai untuk pertumbuhannya. Nilam dapat tumbuh dengan baik
pada kisaran pH antara 6-7 (Nuryani, 2006). Kondisi ekologi yang sesuai dengan
jenis tanaman akan menyebabkan tanaman tumbuh secara maksimal. Tanaman
nilam menghendaki iklim sedang dengan suhu yang panas dan lembap. Suhu
optimum untuk tanaman nilam adalah 24-28° C dengan kelembaban udara relatif
8
antara 70-90% (Sahwalita & Herdiana, 2015).
Nilam dapat tumbuh baik dengan intensitas cahaya matahari antara 75-100%.
Cahaya matahari berperan penting sebagai sumber energi untuk fotosintesis setiap
tanaman sehingga tanaman ini lebih cocok ditempatkan pada cahaya matahari
yang langsung untuk dapat meningkatkan kadar minyaknya. Tanaman yang
ternaungi memiliki kadar minyak rendah (Nuryani, 2005). Menurut Rao et al.
(1997) menginformasikan bahwa pemberian naungan 50% menghasilkan kadar
minyak 3,40% dengan kandungan patchouli alcohol (PA) 36,7%. Sementara itu
Singh dan Guleria (2012) menginformasikan bahwa pemberian naungan 70%
menghasilkan kadar minyak 2,18% dengan kandungan PA 40,9%.
Manfaat dari tanaman nilam adalah adanya kandungan patchouli alcohol
dengan rumus kimia C15H26.. Patchouli alcohol berfungsi sebagai fiksasi minyak
atsiri lainnya sehingga harumnya dapat bertahan lama dan tidak cepat menguap.
Minyak nilam digunakan sebagai bahan campuran parfum dan kosmetik
(diantaranya untuk pembuatan sabun, pasta gigi, sampo, dan deodoran),
kebutuhan industri makanan (penambah rasa), kebutuhan farmasi (untuk
pembuatan antiradang, antifungi, antiserangga) serta berbagai kebutuhan industri
lainnya (Mangun, 2008). Oleh karena itu minyak nilam memiliki harga jual yang
tinggi yaitu berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 650.000 per Kg (Tribun news,
2018).
2.3. Virus yang menginfeksi tanaman nilam
Virus adalah mikroorganisme yang sangat sederhana, tersusun dari rangkaian
asam nukleat (RNA atau DNA) yang bersifat infeksius (dapat menginfeksi
tanaman) dan diselubungi oleh mantel protein (coat protein). Umumnya virus
tanaman hanya dapat hidup di dalam sel-sel tanaman yang hidup, meskipun
beberapa virus tertentu (Tobacco mosaic virus atau TMV) bersifat sangat stabil
dan mampu bertahan dalam keadaan inaktif pada daun tembakau sakit yang sudah
kering (Agrios, 2005). Jika lingkungan tempat hidupnya cocok virus dapat aktif
dan bersifat infeksius lagi.
Infeksi virus pada tanaman nilam pertama kali dilaporkan oleh Gama et al.
(1982) di Brazil yang teridentifikasi sebagai Tobacco Necrosis Virus (TNV) dan
9
Patchouli Virus X (Filho et al, 2002). Pada pertanaman nilam di Jepang
ditemukan Patchouli Mild Mosaic Virus (PatMMV) dan Patchouli Mottle Virus
(PatYMV) (Natsuaki et al. 1994). Di India, Singh et al. (2009) mendeteksi Peanut
Stripe Virus (PStV), sedangkan Zaim et al. (2013) melaporkan Patchouli Yellow
Mosaic Virus (PatYMV).
Virus yang dominan menginfeksi tanaman nilam adalah kelompok Potyvirus
antara lain PatMoV, PStV, TeMV, dan PatYMV tergolong ke dalam genus
Potyvirus, famili Potyviridae. Potyvirus terdiri atas satu partikel berbentuk batang
lentur dengan panjang 680-900 nm dan diameter 12 nm. Genom Potyvirus ialah
RNA utas tunggal berorientasi positif (+ssRNA), berukuran kurang lebih 10 kb
dan satu subunit capsid protein (CP) (Agrios, 2005).
2.4. Gejala Mosaik Akibat Infeksi Potyvirus pada Tanaman Nilam
Banyaknya jenis virus pada tanaman nilam menyebabkan gejala mosaik
bervariasi. Gejala mosaik kuning ditemukan pada pertanaman nilam di Indonesia
yang berasosiasi dengan PatMoV (Sumardiyono et al., 1995). Selain infeksi
tunggal juga ditemukan infeksi ganda. Gejala mosaik parah terdeteksi disebabkan
oleh PatMMV dan PatMoV (Sugimura et al., 1995). Berikut ini gambar gejala
mosaik yang disebabkan oleh Potyvirus pada tanaman nilam.
Gambar 3. Gejala infeksi Potyvirus pada tanaman nilam seperti nilam tidak
bergejala (Miftakhurohmah et al., 2013) (a); gejala mosaik lemah
(Miftakhurohmah et al., 2013) (b); gejala mosaik berat ( Noveriza et
al., 2012a) (c); gejala mosaik dan malformasi daun (Hasan et al.,
2014) (d)
Tanaman nilam yang terinfeksi Potyvirus menunjukkan gejala mosaik baik
mosaik lemah maupun mosaik berat serta malformasi daun (Taufik et al., 2012).
Tanaman nilam dengan infeksi berat sering menunjukkan gejala mosaik yang
d c a b
10
disertai dengan terjadinya perubahan bentuk dan permukaan daun menjadi
bergelombang. Daun bergelombang dikarenakan bagian daun yang berwarna hijau
muda atau kuning dibandingkan yang berwarna hijau normal. Bagian yang
menipis ini lebih banyak mengandung virus sehingga menyebabkan sel-sel daun
memendek (Miftakhurohmah et al., 2013).
2.5. Penularan dan Penyebaran Virus pada Tanaman Nilam
Infeksi virus pada umumnya bersifat sistemik, bergerak dari sel ke sel melalui
plasmodesmata dan secara pasif bersama asimilat melalui jaringan pembuluh. Hal
ini berarti virus tersebar ke seluruh jaringan tanaman dan mampu melakukan
perbanyakan (multiplikasi). Multiplikasi RNA/DNA dan selubung mantel
proteinnya terjadi secara terpisah yang pada akhirnya akan bersatu membentuk
partikel virus baru. Multiplikasi virus pada umumnya terjadi dalam jaringan-
jaringan muda yang aktif melakukan metabolisme (Agrios, 2005).
Penularan dan penyebaran Potyvirus dan Fabavirus pada tanaman dapat
melalui berbagai cara, yaitu pelukaan halus, benih bibit tanaman terinfeksi, dan
serangga vektor. Potyvirus dan Fabavirus adalah kelompok virus yang secara
alami dapat ditularkan dan disebarkan oleh kutu daun (Hampton et al., 2005).
Kedua kelompok virus tersebut ditularkan secara non persisten (Noveriza, 2012)
dan juga ditularkan secara mekanis. Persentase infeksi virus yang ditularkan
melalui serangga vektor pada pertanaman nilam di India mencapai 27% (Sastry &
Vasanthakumar, 1981).
Sebagaimana telah dicantumkan dalam Al-Qur’an mengenai serangga yang
merugikan salah satunya yaitu kutu yang dapat merusak dan menurunkan hasil
produksi tanaman pertanian dan perkebunan dalam surat Al-A’raf ayat 133
sebagai berikut:
م فادع والد ل والض لت فاستكبروا وكانوا قوما فأرسلنا عليهم الطوفان والجراد والقم مجرمين آيات مفص
Artniya: ”Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan
darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan
kaum yang berdosa”
Kutu daun Aphis gossypii efektif menularkan TeMV (Potyvirus) pada
tanaman nilam, dalam waktu inokulasi 5 menit, persentase infeksi virus mencapai
11
30% (Noveriza, 2012). Kutu daun A. gosyypii berwarna hijau kekuningan sampai
hijau, membentuk koloni di permukaan bawah daun dan tangkai pucuk
menyebabkan pucuk daun menggulung karena serangga tersebut menghisap
cairan tanaman (Gambar 4). Serangga tersebut ditemukan di seluruh pertanaman
nilam di Indonesia. Selain itu, Myzus persicae juga pernah dilaporkan mengoloni
tanaman nilam oleh Natsuaki et al. (1994).
Gambar 4. Daun menggulung oleh kutu daun pada pucuk. pucuk daun nilam
menggulung (Noveriza, 2013b) (a); kutu daun Aphis gossypii
perbesaran 30x (b)
Cara penyebaran utama virus yang terjadi di lapangan dapat melalui bahan
tanaman yang terinfeksi. Perbanyakan benih dari tanaman yang terinfeksi tanpa
adanya seleksi merupakan salah satu penyebab utama tingginya kejadian penyakit
pada pertanaman nilam di India (Sastry & Vasanthakumar, 1981) dan Indonesia
(Hartono & Subandiyah, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 2.680
stek nilam yang ditanam di lapang sebanyak 2.386 stek dinyatakan terinfeksi oleh
virus atau persentase kejadian penyakit mencapai 89% (Sastry & Vasanthakumar,
1981).
2.6. Minyak Serai Wangi Sebagai Pestisida Nabati
Pestisida kimia telah digunakan secara luas dan menjadi salah satu kebutuhan
dalam produksi pertanian akan tetapi penggunaannya memiliki risiko karena
racunnya terhadap kesehatan (WHO, 2008). Residu dari pestisida kimia dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan dan gangguan pada kesehatan manusia
(Chen et al., 2011), Sebagai contoh residu arsen dalam urin manusia dapat
menyebabkan anemia (Fikri et al., 2012). Selain itu dampak penggunaan pestisida
b a
12
terhadap kesehatan petani yaitu berupa mual-mual, muntah, pusing dan gatal-gatal
pada kulit (Amilia et al., 2016).
Penggunaan pestisida kimia menimbulkan banyak dampak negatif sehingga
perlu mencari pestisida berbahan aktif yang ramah seperti memanfaatkan
metabolit sekunder tanaman. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai sebagai
pestisida nabati adalah serai wangi. Serai wangi merupakan tanaman penghasil
minyak atsiri dengan kandungan geraniol 81,67% dan sitronelal 13,95%. Menurut
Soenang (2016) bahwa senyawa citronellal merupakan racun kontak yang masuk
ke dalam tubuh serangga melalui kulit atau lubang-lubang alami dari tubuh
serangga. Setelah masuk, racun akan menyebar ke seluruh tubuh serangga dan
menyerang sistem syaraf sehingga dapat mengganggu aktivitas serangga dan
serangga akan mati.
Selain itu, senyawa citronellal juga bekerja sebagai racun perut yang masuk
melalui mulut serangga, setelah menghisap cairan daun yang telah disemprot
dengan minyak serai wangi. Cairan tersebut masuk ke saluran pencernaan melalui
kerongkongan serangga yang akan mengakibatkan terganggunya aktivitas makan
kutu daun Aphis gossypii sehingga menurunnya aktivitas makan kutu daun A.
gossypii secara perlahan-lahan dan akhirnya mati (Nechiyana et al., 2011).
Trizelia (2001) menyatakan bahwa residu pestisida menyebabkan aktivitas makan
serangga menurun bahkan dapat terhenti.
Metabolit sekunder dari Cymbopogon nardus (serai wangi) telah dilaporkan
juga bersifat sebagai antibakteri dan anti-jamur (Williamson, 2007). Entigu et al.
(2013), telah berhasil mengisolasi fraksi metanolik dari minyak Serai wangi yaitu
octadecanoid acid-methyl ester dan terbukti bersifat sebagai antiviral. Aini et al.
(2006) melaporkan bahwa fraksi dan subfraksi dari C. nardus dapat menghambat
perkembangan virus pada fase replikasi virus.
2.7. Nanopestisida melalui teknologi nanoemulsi
Akhir-akhir ini pemanfaatan nanoteknologi telah banyak digunakan dalam
berbagai bidang salah satunya (nanopupuk, nanopestisida dan nanosensor).
Nanopestisida adalah struktur rekayasa kecil yang bersifat sebagai pestisida atau
formulasi aktif bahan yang bersifat sebagai pestisida dan berukuran nanometer
Minyak Serai wangi
13
(Chipa, 2017). Peneliti telah banyak mengembangkan berbagai jenis nanopestisida
salah satunya adalah nanoemulsi.
Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparent, tembus cahaya dan
merupakan dispersi minyak dan air yang distabilkan oleh lapisan film dari
surfaktan atau molekul surfaktan, yang memiliki ukuran droplet berkisar 50–500
nm (Shakeel et al., 2008). Ukuran droplet nanoemulsi yang kecil membuat
nanoemulsi stabil secara kinetik. sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan
kriming selama penyimpanan (Solans et al., 2005).
2.8. Pembuatan Formulasi Nanopestisida Minyak Serai Wangi
Pembuatan nanopestisida dilakukan melalui proses nanoemulsifikasi
menggunakan energi rendah dengan mekanisme difusi spontan dan inversi fase.
Nanoemulsi dibentuk dengan penambahan emulsifier yang mengandung Tween
80. Emulsifier ditambahkan pada persentase 10-100% dari fase minyak (bahan
aktif) yang digunakan. Fase pendispersi dibuat dari bufer fosfat untuk menjaga
kestabilan pH emulsi sehingga destabilisasi emulsi akibat pengaruh pH dapat
diabaikan. Nanoemulsi minyak serai wangi terbentuk melalui kedua mekanisme
emulsifikasi pada persentase emulsifier Tween 80 yang berbeda (Noveriza et al.,
2017)
Pada mekanisme inversi fase, nanoemulsi minyak Serai wangi mulai
terbentuk pada persentase emulsifier 40%, sedangkan pada mekanisme difusi
spontan, nanoemulsi mulai terbentuk pada persentase emulsifier 50%. Pada
persentase emulsifier yang rendah, emulsi tidak terbentuk. Pada peningkatan
persentase emulsifier, secara berangsur pemisahan fase yang terjadi semakin
menurun. Nanoemulsi yang diperoleh disimpan dalam botol gelas untuk
digunakan lebih lanjut (Noveriza et al., 2017).
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Oktober 2018 di
Laboratorium Proteksi Tanaman, Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balittro),
Bogor, Kebun Percobaan Manoko, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dan
Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu peralatan lapangan dan peralatan laboratorium. Peralatan lapangan yang
digunakan adalah plastik sampel, kamera ponsel dan penyemprot pestisida.
Peralatan laboratorium yang digunakan adalah mikropipet, plat mikrotiter, dan
microplate reader MP96 UV-SAFAS MONOCO.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih nilam varietas
‘Patchoulina 2’ berasal dari Kebun Penangkar Benih di daerah Cikole, Lembang,
nanopestisida minyak serai wangi berasal dari Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat, Bogor, pestisida serai wangi komersil (ASIMBO), insektisida sintetis
(DECIS), sample extraction buffer, larutan Phosphate Buffer Saline Tween 1x
(PBST 1x), larutan p-Nitrophenyl Phosphate (PNP), ECI buffer, antibodi (Agdia:
anti-poty), dan konjugat (Agdia: anti-mouse).
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri
atas 4 perlakuan yaitu nanopestisida minyak serai wangi 1% , pestisida serai
wangi komersil (ASIMBO 0,5%), insektisida sintetis (bahan aktif deltametrin
25g/l) dan Kontrol tanpa pestisida. Masing-masing perlakuan terdiri dari 10
ulangan baik di Kabupaten Bandung Barat dengan ketinggian 1.200 m dpl dan
Kabupaten Konawe dengan ketinggian 55 m dpl (Lampiran 1 dan 2). Setiap
ulangan diwakili oleh 100 tanaman.
15
3.4.Cara kerja
3.4.1. Persiapan Stek Nilam dan Penyemaian di Kabupaten Bandung Barat
dan Kabupaten Konawe
Persiapan stek tanaman dilakukan di Kebun Percobaan Manoko Lembang,
Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dan Kabupaten Konawe, Sulawesi
Tenggara. Nilam yang digunakan berasal dari stek nilam varietas Patchoulina 2
yang diperoleh dari tanaman induk berusia 6 bulan dengan panjang setek 20-30
cm dan mempunyai 3-4 mata tunas (Lampiran 15). Sebelum dilakukan
penyemaian, stek nilam diberi hormon pertumbuhan akar dengan cara merendam
sedikit pangkal batang ke dalam hormon tersebut guna menginduksi akar.
Stek nilam di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe disemai
dalam 4000 polibag berukuran 10 x 15 cm yang berisi media tanah dan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1 (80 kg tanah : 40 kg pupuk) sebelum ditanam
ke lapangan untuk menghindari kematian setek, pada saat disemai setek nilam
disungkup untuk menghindari serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
selama 29 hari di dalam rumah kawat. Setelah 29 hari sungkup dibuka dan nilam
dipindahkan ke lapangan untuk tahap aklimatisasi. Selama aklimatisasi benih
nilam kembali disungkup menggunakan jaring-jaring selama 18 hari (Lampiran
15) Setelah 18 hari sungkup dibuka dan benih nilam siap untuk ditanam di lahan
tanam.
3.4.2. Persiapan Lahan dan Penanaman Nilam di Kabupaten Bandung Barat
dan Kabupaten Konawe
Lahan yang berada di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe
dibagi ke dalam 10 blok yang jumlahnya sama dengan banyaknya ulangan
(Lampiran 1 dan 2). Setiap blok dibagi ke dalam 4 petak sesuai dengan jumlah
pelakuan (Lampiran 1 dan 2). Kemudian dilakukan pencangkulan dan pembuatan
lubang tanam dengan ukuran 15x15 cm dengan jarak tanam 60x40 cm. Setiap
lubang tanam diberikan pupuk kandang sebanyak 1000 g per lubang sebagai
pupuk dasar dan didiamkan selama 2 hari. Penempatan perlakuan ke dalam petak
pada setiap blok dilakukan secara acak. Masing-masing petak ditanam 100
individu nilam.
16
3.4.3. Pengamatan Gejala pada Tanaman Nilam di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Konawe
Proses pengamatan gejala penyakit (Lampiran 16) dilakukan setiap 1 bulan
sekali selama kurun waktu 6 bulan. Metode pengamatan yang digunakan adalah
metode skoring (Tabel 1 dan 2) yaitu dengan melihat secara langsung kondisi
tanaman berdasarkan gejala umum yang tampak seperti bercak kuning pada pucuk
daun dan jumlah daun menggulung (diakibatkan adanya serangan vektor).
Tabel 1. Skor dan deskripsi gejala mosaik pada tanaman nilam
Skoring Deskripsi Gejala
0 Tanaman sehat, tidak bergejala
1 Ringan, gejala belang pada beberapa bagian daun dan klorosis
2 Sedang, seluruh bagian tanaman bergelaja mosaik
3 Berat, seluruh bagian tanaman bergejala mosaik dan terjadi
malformasi
(Noveriza et al., 2017)
Tabel 2. Kategori dan Kriteria Serangan Kutu Daun pada Tanaman Nilam
Kategori Tingkat (%) Kriteria
0 X=0 Tidak ada serangan
1 1-10% Serangan ringan
2 11-50% Serangan sedang
3 51-75% Serangan berat
4 >75% Serangan sangat berat
3.4.4. Pengambilan Sampel Daun
Teknik pengambilan sampel tanaman nilam di Kabupaten Bandung Barat dan
Kabupaten Konawe dilakukan menggunakan purposive sampling dengan
mengambil bagian pucuk daun tanaman nilam yang bergejala (Lampiran 16).
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat sebelum aplikasi
perlakuan dan setelah aplikasi perlakuan pada tanaman nilam di lahan tanam.
Sampel pucuk daun diambil sebanyak 400 individu tanaman nilam (10 individu
setiap ulangan pada seluruh perlakuan). Kemudian dibawa ke Laboratorium
Balittro untuk dideteksi virus dengan menggunakan metode serologi ELISA.
3.4.5. Teknik Aplikasi Nanopestisida Serai Wangi pada Skala Lapang
Formula nanopestisida minyak serai wangi yang digunakan merujuk pada
penelitian Noveriza et al. (2017) yang berasal dari Balai Besar Penelitian dan
17
Pengembangan Pascapanen, Bogor dengan ukuran droplet partikel yaitu 203,1
nm. Formula nanopestisida minyak serai wangi 1%, pestisida serai wangi
komersil, dan insektisida sintetis diaplikasikan masing-masing pada 1000 individu
tanaman nilam.
Aplikasi pertama dilakukan saat 2 hari sebelum tanaman nilam diaklimatisasi
di lahan tanam dengan volume 50 ml/L untuk nanopestisida minyak serai wangi
1% dan pestisida serai wangi komersil 25 ml/L untuk insektisida sintetis 2 ml/L.
Aplikasi berikutnya dilakukan setalah tanaman berusia 1 hari setelah tanam di
lapangan dengan volume 250 ml/20 L untuk nanopestisida minyak serai wangi
1% dan pestisida serai wangi komersil 100 ml/ 20 L.
Aplikasi nanopestisida minyak serai wangi 1% dan pestisida serai wangi
komersil selanjutnya dilakukan dengan volume 500 ml/50 L dan 250 ml/50 L
pada usia tanaman 1 bulan dan 2 bulan setelah tanam, volume 1000 ml/100 L dan
500 ml/100 L pada usia tanaman 3 bulan, 4 bulan dan 5 bulan setelah tanam.
Aplikasi insektisida sintetis dilakukan dengan interval waktu yang sama namun
dengan volume 50 ml/15 L. Intensitas penyemprotan dilakukan 1 bulan sekali.
Aplikasi nanopestisida minyak serai wangi 1% disemprotkan pada semua bagian
tanaman nilam (lampiran 16).
3.4.6. Deteksi Serologi Virus (Potyvirus)
Deteksi virus dengan menggunakan metode serologi ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent Assay) mengacu pada protokol yang dibuat oleh produsen
pembuat antiserum (Agdia-USA). Deteksi virus dilakukan di Laboratorium
Proteksi Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO).
Uji ELISA dilakukan pada seluruh perlakuan saat tanaman nilam berusia 1 bulan
setelah tanam dan 6 bulan setelah tanam. Sampel daun nilam yang diuji sebanyak
400 individu tanaman nilam (10 individu dari setiap ulangan seluruh perlakuan).
Sampel daun nilam yang telah dikoleksi kemudian ditimbang secara komposit
sebanyak 0,1 g dari setiap 10 individu. Sampel digerus dalam plastik sampel tebal
yang telah ditambahkan sampel extraction buffer. Cairan daun nilam yang
dihasilkan dari gerusan tersebut dimasukkan ke dalam lubang sumuran plat
mikrotiter sebanyak 100 µL per lubang (Lampiran 17). Pada plat disertakan juga
18
kontrol positif Potyvirus, kontrol negatif, dan buffer sebagai pembanding. Plat
mikrotiter lalu diinkubasi dalam wadah plastik yang lembab selama 1 jam pada
suhu ruang 25°C. Plat mikrotiter kemudian dicuci menggunakan larutan PBST
sebanyak 8 kali. Antibodi yang telah dilarutkan dengan ECI buffer dimasukkan ke
dalam sumuran sebanyak 100 µL per lubang. Plat mikrotiter diinkubasi kembali
selama 2 jam pada suhu ruang 25°C.
Plat mikrotiter kembali dicuci dengan larutan PBST sebanyak 8 kali.
Sebanyak 100 µL konjugat yang telah dilarutkan dalam ECI buffer dimasukkan ke
dalam masing-masing lubang sumuran. Plat kembali diinkubasi selama 1 jam
pada suhu ruang 25°C. Plat dicuci kembali dengan larutan PBST sebanyak 7 kali.
Sebanyak 100 µL larutan PNP dimasukkan ke lubang plat mikrotiter dan kembali
diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang 25°C. Sampel kemudian diukur nilai
absorbansinya menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 405 nm.
Hasil pembacaan dinilai positif apabila nilai absorban sampel 1,5 kali lebih besar
dari nilai absorban kontrol negatif.
3.4.7. Parameter Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian ini mengacu pada Noveriza et al.,
(2017) diantaranya adalah persentase kejadian gejala penyakit mosaik, intensitas
penyakit mosaik, persentase kejadian serangan kutu daun Aphiis gosyipii,
intensitas kerusakan, tingkat efikasi, deteksi virus dengan metode serologi dan
kehilangan hasil dengan menghtung bobot terna basah dan bobot terna kering
1) Kejadian Gejala Penyakit Mosaik.
Kejadian gejala mosaik adalah perbandingan antara jumlah tanaman yang
bergejala mosaik dengan jumlah tanaman yang diamati baik bergejala maupun
tidak (total jumlah tanaman). Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai
berikut:
% KP =𝑛
𝑁 x 100 %
Keterangan:
KP = kejadian penyakit
n = jumlah tanaman yang bergejala mosaik
N = Jumlah total tanaman
19
2) Intensitas Serangan Penyakit
𝐼 =∑(𝑛𝑖 𝑥 𝑣𝑖)
𝑍 𝑥 𝑁 𝑥 100 %
Keterangan:
I = intensitas serangan penyakit
ni = jumlah tanaman padda setiap kategori serangan
vi = nilai skala dari setiap kategori serangan
Z = nilai skala dari setiap kategori serangan tertinggi
3) Kejadian Kerusakan Daun Menggulung
Kejadian kerusakan daun menggulung merupakan persentase tingkat serangan
yang dilakukan oleh kutu daun (Aphis gossypii) terhadap tanaman nilam dengan
berdasarkan jumlah daun yang menggulung. Perhitungan menggunakan rumus:
% KH =𝑛
𝑁 x 100 %
Keterangan:
KH = kejadian kerusakan daun menggulung
n = jumlah tanaman yang pucuk daunnya menggulung
N = Jumlah total tanaman
1) Intensitas kerusakan
𝐼𝑃 = ∑(𝑛𝑣)
𝑧 𝑥 𝑁𝑥 100 %
Keterangan:
IP = intesitas kerusakan daun menggulung (%)
n = jumlah tanaman terserang menurut kategori (skor 0,1,2,3,4)
v = nilai skala (skor) dari setiap kategori
z = nilai skala (skor) dari kategori serangan tertinggi
N = jumlah seluruh tanman yang diamati (n0 + n1 +...+n6)
2) Tingkat Efikasi
Tingkat efikasi pestisida adalah tingkat efektivitas pestisida terhadap
organisme pengganggu. Penentuan tingkat efikasi pestisida bertujuan untuk
melihat keampuhan dari suatu pestisida terhadap organisme sasaran. Perhitungan
tingkat efikasi menggunakan rumus:
𝐸𝐼 = ( 𝐶𝑎 − 𝑇𝑎
𝐶𝑎 ) 𝑥 100 %
20
Keterangan:
EI = kefektifan formula nanopestisida yang diuji (%)
Ca = persentase intensitas kerusakan tanaman pada petak kontrol
Ta = persentase kerusakan tanaman pada petak perlakuan
Formula yang diuji dinilai efektif apabila nilai tingkat efikasi (EI) ≥ 30%.
3) Kehilangan Hasil
Kehilagan hasil dihitung dengan menimbang bobot terna basah (g) dan terna
kering (g) tanaman nilam pada panen pertama (umur tanaman 6 bulan).
Kehilangan hasil tanaman dihitung berdasarkan formula standar dan dibandingkan
dengan kontol tanpa perlakuan. Selanjutnya dianalisis kadar minyak dan kadar PA
pada setiap perlakuan.
3.4.8. Analisis Data
Data yang diperoleh dari masing-masing pengujian dianalisis menggunakan
program aplikasi SPSS versi 22, kemudian data dianalisis dengan Analysis of
Variance (ANOVA) jika data berdistribusi normal. Hasil yang berpengaruh nyata
di uji lanjut dengan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf
kepercayaan 5%. Apabila data tidak berdistribusi normal maka data dianalisis
dengan uji Kruskal Wallis. Jika terdapat perlakuan yang berpengaruh nyata maka
diuji lanjut dengan uji Mann Withney U pada taraf 5%.
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Nanopestisida Minyak Serai Wangi terhadap Penyakit Mosaik pada
Tanaman Nilam di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe
Parameter penelitian yang diamati untuk mengetahui penyakit mosaik pada
tanaman nilam di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe meliputi
kejadian gejala penyakit dan intensitas serangan penyakit mosaik. Hasil analisis
statistik menunjukkan seluruh perlakuan berpengaruh nyata terhadap kejadian
gejala penyakit dan intensitas serangan penyakit mosaik pada tanaman nilam
varietas ‘Patchoulina 2’, kecuali kejadian gejala penyakit di Kabupaten Bandung
Barat (P>0,05) (Lampiran 3,4,5 & 6). Rata-rata kejadian gejala dan intensitas
serangan penyakit seluruh perlakuan pada 4000 tanaman nilam di Kabupaten
Bandung Barat adalah >58,00% dan >19,00%, sementara di Kabupaten Konawe
adalah >25,00% dan >9,00% (Tabel 3).
Tabel 3. Rata-rata persentase kejadian gejala, intensitas serangan penyakit mosaik
dan tingkat efikasi pada tanaman nilam di kabupaten Bandung Barat dan
Kabupaten Konawe
Keterangan: (A) nanopestisida minyak serai wangi 1%; (B) pestisida serai wangi
komersil; (C) insektisida sintetis; (D) kontrol; (EI) tingkat efikasi. abc superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
Pemberian nanopestisida minyak serai wangi 1%, pestisida serai wangi
komersil dan insektisida sintetis menunjukkan hasil tidak berpengaruh nyata
terhadap kejadian gejala penyakit di Kabupaten Bandung Barat dengan ketinggian
1.200 m dpl. Hal ini diduga terjadi karena pada kondisi lingkungan dengan suhu
rendah, gejala virus tidak terlihat dengan jelas sehingga pada saat pengamatan
tidak ikut di skoring. Sementara pemberian seluruh perlakuan berpengaruh nyata
Perlakuan
Bandung Barat Konawe
Kejadian
penyakit
(%)
Intensitas
penyakit
(%)
EI
(%)
Kejadian
penyakit
(%)
Intensitas
penyakit
(%)
EI
(%)
x ± St.dev x ± St.dev x ± St.dev x ± St.dev
A 53,86 ± 7,89 19,58b ± 2,34 14,70 25,67c ± 8,50 9,09c ± 3,26 33,85
B 58,00 ± 5,23 21,62ab ± 2,02 5,82 28,80bc ± 6,39 10,07bc ± 2,32 26,81
C 58,04 ± 5,41 22,24a ± 1,86 3,12 32,56b ± 5,09 11,31b ± 1,89 17,76
D 59,53 ± 6,75 22,95a ± 3,10 38,79a ± 6,21 13,75a ± 2,32
22
terhadap gejala penyakit di Kabupaten Konawe dengan ketinggian 55 m dpl. Hal
ini diduga karena pada derah dengan kondisi lingkungan sinar matahari yang
cukup menyebabkan gejala terlihat jelas pada saat pengamatan. Menurut Akin
(2006) bahwa timbulnya penyakit yang dipengaruhi oleh virus dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain tanaman inang, virus yang bersifat virulensidan
kondisi lingkungan.
Adanya keberadaan Potyvirus yang menginfeksi tanaman nilam dilapangan
dikarenakan banyaknya jenis inang virus, benih yang terinfeksi serta serangga
vektor kutu daun penular Potyvirus (Miftakhurohmah dan Noveiza, 2015).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Noveriza et al. (2017) melaporkan
bahwa kejadian gejala penyakit mosaik rata-rata yang terendah pada tanaman
nilam varietas ‘Sidikalang’ akibat infeksi Potyvirus terdapat pada perlakuan
nanopestisida minyak serai wangi konsentrasi 1% yaitu sebesar 42,15% di
Provinsi Jawa Barat dan 47,85% di Provinsi Banten.
Berbeda dengan kejadian gejala penyakit mosaik, pemberian nanopestisida
minyak serai wangi 1%, pestisida serai wangi komersil dan insektisida sintetis
berpengaruh nyata di kedua lokasi penelitian. Hal ini diduga karena kandungan
bahan aktif dari setiap perlakuan menunjukkan efikasi dari bahan aktif yang
terkandung di dalamnya sehingga mampu menekan intensitas penyakit mosaik
dan menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi virus. Reitz et al. (2008)
melaporkan bahwa geraniol dari Cymbopogon flexuosus dan Melaleuca
alternifolia dapat menekan virus Spotted wild virus patogen pada tomat.
Minyak serai wangi dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antivirus.
Senyawa pada minyak serai wangi tersususn oleh beberapa senyawa senyawa
fenol, saponin, flavonoid dan terpen yang diduga memliki daya hambat terhadap
bakteri (Suprianto, 2008). Menurut Noveriza (2013) bahwa persentase
penghambatan minyak serai wangi terhadap Potyvirus asal nilam bogor pada
konsentrasi 1,2% mencapai 89,78%. Selain karena bahan aktif yaang terkandung
dalam nanopestisida minyak serai wangi 1% yang dapat menekan virus secara
alami tanaman juga memiliki kapasitas untuk mengenali dan mengaktifkan
pertahanan terhadap infeksi virus (Schoeltz, 2006).
Hasil uji lanjut DMRT terhadap parameter kejadian gejala penyakit mosaik di
23
Kabupaten Konawe dan dan Kabupaten Konawe menunjukkan bahwa perlakuan
A tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Perlakuan A berbeda nyata dengan
perlakuan C dan D, hal ini diduga karena jenis pestisida yang digunakan pada
perlakuan C yaitu insektisida sintetis yang hanya mampu mengendalikan serangga
vektornya. Rata-rata parameter kejadian gejala penyakit mosaik di Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Konawe yang terendah berturut-turut terdapat pada
perlakuan A yaitu 53,86% dan 25,67%. Sementara rata-rata parameter intensitas
serangan penyakit mosaik pada tanaman nilam terendah pada perlakuan A yaitu
19,58% di Kabupaten Bandung Barat dan 9,09% di Kabupaten Konawe.
Rendahnya rata-rata kejadian penyakit dan intesitas penyakit mosaik pada
perlakuan A diduga karena kandungan bahan aktif pada perlakuan A yang
berukuran nano (203,1 nm) dapat langsung menyerap pada permukaan daun nilam
dan menuju patogen target, sehingga perlakuan A memberikan peranan lebih baik
dalam menekan kejadian gejala penyakit dan intensitas serangan penyakit mosaik
pada tanaman nilam, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan
perlakuan B. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Noveriza et al.
(2017) bahwa formula nanoemulsi minyak serai wangi memberikan peranan lebih
baik dalam menekan virus mosaik jika dibandingkan dengan formula serai wangi
bukan nano. Menurut Khan dan Rizvi (2014) bahwa nanopartikel dapat mencapai
virus atau target karena ukurannya yang ultra kecil.
Tingkat efikasi atau efektivitas (EI) tertinggi terhadap penyakit mosaik di
Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe adalah perlakuan A yaitu
14,7% dan 33,85%. Tingginya nilai efikasi pada perlakuan nanopestisida minyak
serai wangi menunjukkan bahwa bahan aktif yang terkandung dari perlakuan
tersebut efektif untuk menekan penyakit mosaik pada tanaman nilam baik di
Kabupaten Bandung Barat sebagai dataran tinggi dan Kabupaten Konawe dataran
rendah. Selain kandungan dari bahan aktif, ukuran droplet juga mempengaruhi
kestabilan dan efikasi dari suatu pestisida. Noveriza et al. (2017) melaporkan
bahwa efikasi nanopestisida dipengaruhi oleh ukuran droplet dan emulsifier yang
terkandung dari suatu pestisida.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Noveriza et al. (2017) bahwa
nilai efikasi nanopestisida minyak serai wangi konsnetrasi 1% lebih tinggi yaitu
24
12,12-48,55% di Provinsi Banten dan 6,38-20,63% di Provinsi Jawa Barat. Hal ini
sama dengan penelitian ini bahwa perlakuan nanopestisida minyak serai wangi
1% memiliki nilai efikasi tertinggi di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten
Konawe. Akan tetapi nilai efikasi di Kabupaten Konawe sebagai dataran rendah
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bandung Barat. Hal ini dikarenakan
intensitas serangan penyakit di Kabupaten Konawe lebih rendah. Kondisi
lingkungan tanaman tumbuh diduga menyebabkan intensitas serangan penyakit di
Kabupaten Konawe lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Bandung
Barat. Ketika virus telah menginfeksi maka kondisi lingkungan akan
mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi virus dan perkembangan gejala
menjadi berat atau tidak bergejala (infeksi laten) (Akin,2006).
Menurut akin (2006) bahwa kondisi lingkungan yang menyebabkan tanaman
rentan terhadap infeksi virus antara lain ketersediaan hara dan air yang tidak
menghambat pertumbuhan tanaman, sinar matahari yang sedang sampai rendah
dan suhu yang berkisar 18°C-30°C. Berkaitan dengan suhu, diketahui bahwa
selama penelitian suhu di Kabupaten Konawe berkisar 22,6°C-31,9°C. Kisaran
suhu ini dianggap berpengaruh negatif terhadap infeksi virus karena besar
kemungkinan kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu dimana tanaman
dapat tumbuh dengan baik sebelum proses infeksi atau menyebabkan
perkembangan virus terhambat. Selain itu, gejala infeksi virus pada tanaman dapat
terlihat jelas.
Suhu mempengaruhi perkembangan gejala penyakit oleh infeksi virus juga
dilaporkan Chellappan et al., (2005) bahwa gemini virus pada tanaman ubi kayu
gejalanya akan berkurang pada daun-daun muda ketika terjadi peningkatan suhu
dari 25°C ke 30°C. Menurut Trisilawati dan Hadipoentyanti (2015) bahwa
wilayah yang direkomendasikan untuk tanaman nilam varietas ‘Patchoulina 2’
agar menghasilkan produksi yang baik adalah pada dataran rendah sampai dengan
dataran sedang yaitu pada ketinggian 100-700 mdpl. Penelitian ini dilakukan di
dua wilayah yaitu dataran dataran tinggi 1.200 mdpl (Kabupaten Bandung Barat)
dan dataran rendah ketinggian 55 mdpl (Kabupaten Konawe). Hal ini diduga
menyebabkan tingginya intensitas serangan penyakit di Kabupaten Bandung Barat
dibandingkan dengan intensitas serangan penyakit di Kabupaten Konawe.
25
Potyvirus mampu menginfeksi berbagai tanaman inang, baik tanaman
monokotil atau dikotil. Menurut Noveriza et al. (2012) bahwa infeksi Potyvirus
pada tanaman nilam bersifat sistemik dibuktikan dengan adanya gejala mosaik
pada plantlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal. Hal ini sesuai dengan
penelitian ini bahwa gejala mosaik pada tanaman nilam yang terinfeksi Potyvirus
tampak pada daun yang baru muncul (pucuk). Menurut Akin (2006) bahwa virus
menyebar dalam tanaman dari sel ke sel melalui plasmodesmata (jarak pendek)
dan melalui jaringan pembuluh floem (jarak panjang).
4.2. Vektor Penyebab Penyakit Mosaik pada Nilam di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten
Parameter penelitian yang diamati untuk mengetahui vektor penyakit mosaik
pada tanaman nilam di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe
meliputi kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan daun menggulung pada
tanaman nilam. Hasil analisis statistik menunjukkan seluruh perlakuan tidak
berpengaruh nyata terhadap kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan daun
menggulung pada tanaman nilam varietas ‘Patchoulina 2’ di Kabupaten Bandung
Barat dan di Kabupaten Konawe (P>0,05) (Lampiran 7, 8, 9 & 10). Rata-rata
kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan daun menggulung pada seluruh
perlakuan di Kabupaten Bandung Barat adalah >1,40% dan>0,40%, sementara di
Kabupaten Konawe adalah >4,60% dan >1,20% (Tabel 4).
Tabel 4. Rata-rata persentase kejadian kerusakan, intensitas kerusakan daun
menggulung dan tingkat efikasi pada tanaman nilam di Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Konawe
Keterangan: (A) nanopestisida minyak serai wangi 1%; (B) pestisida serai wangi
komersil; (C) insektisida sintetis; (D) kontrol; (EI) tingkat efikasi. abc superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
Perlakuan
Bandung Barat Konawe
Kejadian
penyakit
(%)
Intensitas
penyakit
(%)
EI
(%)
Kejadian
penyakit
(%)
Intesitas
penyakit
(%)
EI
(%)
x ± St.dev x ± St.dev x ± St.dev x ± St.dev
A 1,57 ± 1,43 0,43 ± 0,37 39,88 5,92 ± 2,04 1,61 ± 0,62 12,67
B 2,62 ± 2,58 0,71 ± 0,68 1,72 4,95 ± 2,22 1,32 ± 0,58 28,41
C 1,49 ± 2,06 0,48 ± 0,62 33,90 4,69 ± 1,82 1,20 ± 0,48 34,66
D 2,61 ± 2,46 0,71 ± 0,70 6,88 ± 1,39 1,84 ± 0,35
26
Pemberian nanopestisida minyak serai wangi 1% dan pestisida serai wangi
komersil menunjukkan hasil tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian kerusakan
dan intenistas kerusakan daun menggulung pada tanaman nilam di Kabupaten
Bandung Barat dengan ketinggian 1.200 m dpl dan di Kabupaten Konawe dengan
ketinggian 55 m dpl. Hal ini diduga kerana daya racun yang dimiliki
nanopestisida minyak serai wangi 1% terhadap kutu daun rendah (tidak langsung
mematikan) dan daya kerja yang dimiliki juga lambat, sehingga perlakuan yang
diberikan belum mampu menekan kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan
daun menggulung yang disebabkan oleh serangan kutu daun A.gossypii. Menurut
Nechiyana et al. (2011) bahwa adanya pengaruh ketahanan dari tubuh serangga
menyebabkan konsentrasi yang diberikan tidak berpengaruh nyata.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Noveriza et al. (2017) melaporkan
bahwa nanopestisida minyak serai wangi konsentrasi 2% lebih efektif dalam
menekan kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan daun menggulung pada
tanaman nilam varietas ‘Sidikalang’ dibandingkan dengan konsentrasi lainnya.
Hal ini sesuai dengan penelitian ini bahwa daya hambat nanopestisida dengan
konsentrasi 1% rendah (tidak dapat mematikan langsung). Sehingga belum
mampu menekan kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan daun menggulung
pada tanaman nilam varietas ‘patchoulina 2’. Hal ini menunjukkan semakin tinggi
konsentrasi yang diberikan maka akan semakin mampu menekan kejadian
kerusakan dan intensitas kerusakan daun menggulung
Hasil tidak berpengaruh nyata juga ditunjukkan oleh insektisida sintetis dan
pestisida serai wangi komersil. Hal ini diduga karena adanya ketahanan diri dari
tubuh serangga menyebabkan interval penyemprotan yang diberikan yaitu 1 bulan
sekali belum mampu menekan kejadian kerusakan dan intensitas kerusakan daun
menggulung pada tanaman nilam. Menurut Prijono (1999) bahwa kekurangan
penggunaan minyak atsiri pada pestisida yaitu daya kerja yang lambat dan
persistensi senyawa aktif pada pestisida rendah untuk bertahan dilingkungan,
sehingga untuk mencapai pengendalian yang maksimum diperlukan aplikasi
berulang-ulang.
Peneltian yang dilakukan oleh Mardiningsih et al. (2010) melaporkan bahwa
insektisida sintetis berbahan aktif deltrametrin efektif menekan A.gossypii
27
penyebab kerusakan daun menggulung. Hal ini tidak sama dengan perlakuan
insektisida sintetis berbahan aktif deltrametrin yang digunakan, karena belum
mampu menekan kejadian kerusakan daun mengulung pada penelitian ini. Akan
tetapi rata-rata kejadian kerusakan daun menggulung pada tanaman nilam
terendah di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe terdapat pada
perlakuan insektisida sintetis yaitu 1,49% dan 4,69%, walaupun secara statistik
perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata. Sementara rata-rata intensitas
kerusakan daun menggulung pada tanaman nilam terendah terdapat nanopestisida
minyak serai wangi yaitu 0,43% di Kabupaten Bandung Barat dan perlakuan
insektida sintetis yaitu 1,20% di Kabupaten Konawe, walaupun secara statistik
perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata.
Tingkat efikasi tertinggi terhadap vektor penular penyakit mosaik di
Kabupaten Bandung Barat sebagai dataran tinggi terdapat pada perlakuan
nanopestisida serai wangi 1% yaitu 39,88% dan di Kabupaten Konawe sebagai
dataran rendah terdapat pada perlakuan insektisida sintetis yaitu 34,66%.
Tingginya tingkat efikasi pada perlakuan nanopestisida minyak serai wangi di
Kabupaten Bandung Barat dikarenakan intenistas kerusakan daun menggulung
pada tanaman nilam lebih rendah, walaupun hasilnya tidak berpegaruh nyata. Hal
ini menunjukkan bahwa bahan aktif dari nanopestisida minyak serai wangi
berpotensi menekan serangan kutu daun A.gossypii. Menurut Soenang (2016)
senyawa sitronella yang terkandung dalam minyak serai wangi bersifat sebagai
racun dehidrasi dan racun kontak. Menurut Nechiana et al. (2011) bahwa senyawa
sitronella mampu menurunkan aktivitas makan kutu daun A.gossypii secara
perlahan dan akhirnya mati.
Kondisi lingkungan diduga mempengaruhi keberadaan kutu daun A.gossypii
dilapangan. Febriyanti (2010) melaporkan bahwa suhu 26°C mempengaruhi
kepadatan populasi A.cracicivora mencapai 83,62 individu per tanaman.
Berkaitan dengan suhu tersebut bahwa selama penelitian suhu di Kabupaten
Bandung Barat berkisar antara 16°C-22,3°C, suhu tersebut diduga berpengaruh
negatif terhadap keberadaan kutu daun A.gossypii sehingga intensitas kerusakan
daun menggulungnya lebih rendah dibandingkan dengan intensitas kerusakan di
28
Kabupaten Konawe. Suhu optimum yang dibutuhkan oleh A.gossypii untuk
bereproduksi adalah suhu dengan kisaran 21°C-27°C (Capinera, 2007).
Keberdaan vektor dilapangan berperan dalam penyebaran virus karena selain
membawa virus ke tanaman, vektor dapat menularkan vektor dapat menularkan
virus dari tanaman sakit ke tanaman sehat (Agrios, 2005). Menurut Noveriza et al.
(2012a) bahwa Potyvirus pada tanaman nilam ditularkan oleh A.gossypii secara
non persisten. Penularan virus oleh vektor serangga secara non persisten terjadi
bila virus bertahan dalam tubuh serangga dalam waktu yang sangat singkat,
beberapa menit atau jam. Kemudian vektor segera kehilangan daya infeksinya
setelah menginokilasi tanaman sehat.
4.7. Uji Serologi dengan Metode ELISA
Pengamatan gejala di lapangan tidak cukup dalam menentukan virus
penyebab suatu penyakit pada tanaman, karena gejala yang diduga disebabkan
oleh virus pada saat pengamatan bisa saja disebabkan oleh adanya patogen lain,
toksisitas dari serangga maupun adanya pengaruh biotik seperti kelebihan atau
kekurangan unsur hara, stress lingkungan dan sebagainya (Agrios 2005). Oleh
karena itu deteksi serologi ELISA dilakukan guna mendekteksi keberadaan
Potyvirus. Pengujian sampel dengan metode ELISA dilakukan terhadap 400
tanaman pada saat sebelum aplikasi perlakuan dan setelah aplikasi perlakuan pada
tanaman nilam (Tabel 9 dan 10).
Tabel 9. Deteksi Serologi Potyvirus sebelum aplikasi di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Konawe
Kode perlakuan Bandung Barat Konawe
Nilai Absorban Hasil Nilai Absorban Hasil
Kontrol negatif 0,1535
0,1510
Kontrol positif 0,5425
1,4590
A 0,2928 Positif 0,9720 Positif
B 0,4601 Positif 0,8598 Positif
C 0,4029 Positif 0,8276 Positif
D 0,4438 Positif 1,0236 Positif
Keterangan: (A) nanopestisida minyak serai wangi 1%; (B) pestisida serai wangi
komersil; (C) insektisida sintetis; (D) kontrol.
Positif Potyvirus (apabila nilai absorbansi sampel 1,5 kali lebih besar
dibandingkan kontrol negatif)
Hasil deteksi serologi menggunakan uji Enzym Linked Immunosorbent Assay
29
(ELISA) sebelum apliaksi pada tanaman nilam menunjukkkan bahwa sampel
tanaman nilam di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe positif
mengandung Potyvirus penyebab penyakit mosaik (Tabel 10). Hal ini dibuktikan
dengan nilai absorbansi sampel nilam di Kabupaten Bandung Barat dan
Kabupaten Konawe pada masing-masing perlakuan 1,5 kali lebih besar
dibandingkan kontrol negatif. Nilai absorbansi sampel positif di Kabupaten
Konawe lebih tinggi dibandingkan dengan Bandung Barat diduga kerana serangan
kutu daun A. gossypii di Kabupaten Konawe lebih tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa deteksi ELISA sampel nilam setelah
aplikasi juga menunjukkan bahwa semua sampel tanaman nilam positif
mengandung Potyvirus (Tabel 10). Malole (1988) menyatakan bahwa penggunaan
metode ELISA dimulai sejak diketahui bahwa protein termasuk antigen virus
dapat melekat pada sumuran microplate, dengan demikian antigen atau antibodi
dapat diabsorbsi pada permukaan microplate untuk tujuan identifikasi.
Tabel 10. Deteksi Potyvirus setelah aplikasi di Kabupaten Bandung Barat dan
Kabupaten Konawe
Kode perlakuan Bandung Barat Konawe
Nilai Absorban Hasil Nilai Absorban Hasil
Kontrol negatif 0,1035
0,1205
Kontrol positif 0,9340
1,8175
A 0,8592 Positif 1,4993 Positif
B 0,8065 Positif 1,3399 Positif
C 0,8203 Positif 1,4854 Positif
D 0,6946 Positif 1,3956 Positif
Keterangan: (A) nanopestisida minyak serai wangi 1%; (B) pestisida serai wangi
komersil; (C) insektisida sintetis; (D) kontrol.
Positif (apabila nilai absorbansi sampel 1,5 kali lebih besar
dibandingkan kontrol negatif)
Selain ditandai dengan tingginya nilai absorbansi, nilam positif Potyvirus
juga ditandai dengan adanya perubahan warna (kuning hingga kuning terang).
Perbedaan intensitas perubahan warna pada hasil uji ELISA menunjukkan
konsentrasi partikel virus yang terkandung dalam sap (cairan daun nilam yang
terinfeksi) sehingga warna kuning lebih terang mengindikasikan bahwa partikel
virus lebih banyak dibandingkan dengan intesnitas warna kuning lebih rendah,
namun pada dasarnya semua sampel yang yang menunjukkan perubahan warna
30
menjadi kuning adalah positif mengandung Potyvirus (Wahyuni, 2005). Nilai
absorbansi nilam setelah aplikasi lebih tinggi dibandingkan absorbansi nilam
sebelum aplikasi (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi yang dilakukan
pada tanaman nilam perlu diperpendek waktunya dari 1 bulan sekali menjadi 2
minggu sekali agar nanopestisida serai wangi dapat lebih menginduksi ketahanan
tanaman nilam terhadap Potyvirus.
Infeksi Potyvirus pada sampel tanaman nilam setelah aplikasi menunjukkan
bahwa perlakuan nanopestisida minyak serai wangi 1% tidak dapat membasmi
tetapi dapat mengendalikan Potyvirus dilapangan dengan mengurangi kejadian
gejala dan intensitas serangan penyakit mosaik oleh Potyvirus. Adanya Potyvirus
dilapangan bukan hanya ditularkan oleh kutu daun A. gossypii tetapi juga
penggunaan bahan tanaman nilam melalui stek tanaman yang sudah terinfeksi
dapat menyebabkan virus menyebar dengan cepat (Miftahkhurohmah dan
Noveriza 2015).
4.8. Bobot Terna Basah dan Terna Kering
Panen nilam dilakukan sebanyak satu kali pada saat umur tanaman 6 bulan
setalah tanam di lapangan. Tanaman nilam pada umumnya sekali tanam dapat
dipanen sebanyak 3 kali yaitu panen pertama dilakukan setelah umur tanaman 6
bulan kemudian pada panen kedua dan ketiga dilakukan setelah 4 bulan
berikutnya. Berdasarkan hasil analisis statistik bahwa semua perlakuan tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman (bobot terna basah dan terna
kering) di Kabupaten Bandung dan Konawe (Lampiran 11,12,13 & 14 ). Hal ini
diduga karena efek penyakit mosaik terhadap produksi nilam lebih terlihat pada
panen kedua dan ketiga karena setelah dipanen tanaman membutuhkan daun yang
sehat untuk melakukan fotosintesa agar tumbuh dan betunas kembali dengan
cepat. Mahendra et al. (2017) melaporkan bahwa infeksi virus dengan gejala
mosaik mempengaruhi hasil panen pada tanaman tomat. Berikut ini perhitungan
bobot terna basah dan bobot terna kering (Tabel 11).
31
Tabel 11. Bobot Terna Basah dan Bobot Terna Kering di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Konawe
Kode
Perlakuan
Bandung Barat Konawe
Bobot terna
basah (g/tan)
Bobot terna
kering (g/tan)
Bobot terna
basah (g/tan)
Bobot terna
kering (g/tan)
A 268,64 84,62 305, 62 165,06
B 282,63 92,60 317,72 158,27
C 281,84 91,45 325,41 173,11
D 246,71 80,55 335,19 190,26
Keterangan: (A) nanopestisida minyak serai wangi 1%; (B) pestisida serai wangi
komersil; (C) insektisida sintetis; (D) kontrol.
Rata-rata bobot terna basah dan bobot terna kering di Bandung Barat berkisar
antara 246,71-282,63 g/tan 80,55-92,60 g/tan. Sementara di Konawe berkisar
antara 305,62-335,19 g/tan dan 158,27-190,26. Penelitian sebelumya Noveriza et
al. (2012b) melaporkan bahwa serangan Potyvirus pada tanaman nilam dapat
menurunkan bobot terna basah dan terna kering masing-masing mencapai 34,65%
dan 40,42%. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi virus dapat menyebabkan
terjadinya penurunan produksi (bobot terna basah dan bobot terna kering).
Terjadinya gejala mosaik yang disebabkan oleh virus dapat menyebabkan
terganggunya proses fotosintesis yang pada akhirnya dapat berakibat pada
pertumbuhan dan penurunan hasil tanaman (Mahendra et al., 2017).
Berdasarkan hasil perhitungan persentase kehilangan hasil dari penelitian
pada beberapa perlakuan yaitu nanopestisida minyak serai wangi 1% (Perlakuan
A), pestisida serai wangi komersil (Perlakuan B) dan insektisida sintetis komersil
(Perlakuan C) dibandingkan dengan kontrol (perlakuan D) di Kabupaten Bandung
Barat masing-masing berturut-turut sebesar 5,05%, 14,55% dan 13,53%,
sementara di Kabupaten Konawe masing-masing berturut-turut sebesar 13,24%,
16,81% dan 9,01%. Tanaman yang terinfeksi virus biasanya akan mengalami
penurunan bobot terna produksi. Penurunan bobot terna basah dan tena kering
terjadi akibat adanya gangguan sistem metabolisme. Penurunan hormon tumbuh
yang dihasilkan tanaman disertai dengan penurunan jumlah klorofil merupakan
pengaruh umum yang terjadi pada tanaman yang terinfeksi vrius. Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam pertumbuhan tanaman yang berdampak
pada biomassa tanaman (Agrios, 2005).
32
4.9 Produksi minyak Rendemen Minyak dan Kadar Patchouli Alkohol pada
Tanaman Nilam
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi minyak yang
dihasilkan setelah proses penyulingan pada setiap perlakuan di Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Konawe berkisar antara 0,50 ml-0,59 ml dan 0,21
ml-0,26 ml, akan tetapi rata-rata produksi minyak tertinggi di dua lokasi
penelitian tersebut yaitu terdapat pada perlakuan insektisida sintetis (Perlakuan
C). Sementara hasil rendemen minyak yang dihasilkan oleh tanaman nilam pada
setiap perlakuan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe berkisar
antara 0,78%-86% dan 1,26%-1,86%, akan tetapi rata-rata rendemen tertinggi di
dua lokasi yaitu terdapat pada perlakuan nanopestisida minyak serai wangi 1%
(Tabel 12).
Tabel 12. Produksi minyak, rendemen minyak dan kadar patchouli alkohol pada
tanaman nilam
Kode
Perlakuan
Bandung Barat Konawe
Produksi
minyak/tan
(ml)
Rendemen
minyak
(%)
Kadar
PA
(%)
Produksi
minyak/tan
(ml)
Rendemen
minyak
(%)
Kadar
PA
(%)
A 0,53 0,86 30,99 0,21 1,86 32,77
B 0,57 0,78 31,40 0,25 1,47 31,20
C 0,59 0,83 31,02 0,26 1,26 30,87
D 0,50 0,81 30,56 0,23 1,78 31,19
Keterangan: (A) nanopestisida minyak serai wangi 1%; (B) pestisida serai wangi
komersil; (C) insektisida sintetis; (D) kontrol.
Hariyani et al. (2015) melaporkan bahwa rendemen minyak dipengaruhi oleh
umur pemanenan, semakin lama kesempatan tanaman nilam untuk hidup dan
tumbuh. Jumlah daun tanaman nilam akan semakin meningkat dengan umur
panen yang semakin bertambah. Sedangkan rendemen atau kadar minyak yang
paling tinggi terdapat pada tiga pasang daun bagian atas (Santoso, 2007). Karena
daun bagian atas adalah daun paling muda yang proses sintesisnya paling aktif
dan didukung dengan semakin luasnya permuakaan daun nilam menangkap
cahaya matahari secara maksimal. Semakin tinggi proses sintesis maka minyak
yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Menurut Sandes et al. (2012), minyak
nilam dihasilkan pada kelenjer yang terdapat pada bagian mesofil daun.
Pada dasarnya seluruh bagian tanaman nilam seperti akar, batang, tangkai dan
daun mengandung minyak atsiri, namun kadar kandungannya berbeda. Akar dan
33
batang tanaman nilam mengandung minyak dengan mutu yang terbaik, tetapi
kandungan minyaknya hanya sedikit. Kandungan minyak yang terbanyak terdapat
pada daun nilam (Santoso, 2007). Selain produksi dan rendemen minyak nilam,
Kadar PA (Patchouli alkohol) juga merupakan salah satu parameter yang
menentukan mutu minyak nilam.
Kadar PA yang terkandung dalam minyak nilam pada setiap perlakuan di
Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Konawe yaitu >30%. Kadar PA
tertinggi di Kabupaten Bandung Barat terdapat pada perlakuan B (pestisida
berbahan aktif serai wangi) yaitu sebesar 31,40%. Sementara kadar PA di
Kabupaten Konawe tertinggi terdapat pada tanaman nilam yang diberikan
perlakuan A (nanopestisida minyak serai wangi 1%) yaitu sebesar 32,77% (Tabel
14).
Standar internasional untuk mutu terbaik minyak nilam adalah dengan kadar
patchouli alkohol minimal 38% (Essential Oil Associa-tion of USA, 1975), dan
>30% (SNI 06-2385-2006). Dengan demikian berarti kadar patchouli alkohol
dalam minyak nilam yang dihasilkan dalam penelitian ini baik di Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Konawe sudah memenuhi standar mutu SNI 06-
2385-2006 untuk minyak nilam, namun belum memenuhi syarat untuk kadar
patchouli alkohol menurut Es-sential Oil Association (EOA).
Noveriza et al. (2012b) melaporkan bahwa serangan Potyvirus penyebab
gejala mosaik pada tanaman nilam dapat menurunkan produksi kadar minyak
nilam hingga 9,09% dan patchouli alkohol sebesar 5,06%. Menurut Maeda et al.
(1999), penyebab menurunnya kadar minyak pada tanaman yang terinfeksi virus
karena siklus sesquiterpene pada kelenjer minyak mesofil terganggu oleh
keberadaan virus. Pada jaringan tanaman yang terinfeksi Potyvirus akan dapat
ditemukan badan inklusi yang berbentuk silindris dan cakram yang merupakan
hasil agregasi protein virus (Agrios, 2005).
34
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian nanopestisida minyak Serai
wangi 1% efektif untuk menekan Potyvirus penyebab penyakit mosaik dan
serangga vektor kutu daun A. gossypii sebagai penular Potyvirus pada tanaman
nilam terutama varietas ‘Patcoulina 2’ dengan nilai efikasi yaitu sebesar 14,70%
dan 39,88% di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (dataran tinggi) dan 33,85%
dan 12,67% di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (dataran rendah).
5.2. Saran
Adapun saran dari penelitian ini yaitu memperbanyak interval aplikasi
nanopestisida minyak serai wangi 1% mejadi 2 minggu sekali, agar efektivitasnya
lebih meningkat terhadap vektornya.
35
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, N. (2005). Plant pathology: Fifth Edition. New York: Elsevier Academic
Press.
Aini, M.N.N., Said, M.I., Nazlina, I., Hanina, M.N. Ahmad, I. (2006). Screening
for antiviral activity of sweet lemon grass (Cymbopogon nardus L.) fractions.
Journal of Biological Sciences. 6(3), 507-510.
Akin, H. M. 2006. Virologi tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Amilia, E., B. Joy, & Sunardi. (2016). Residu pestisida pada tanaman hortikultura
(Studi kasus di Desa Cihanjuang Rahayu Kecamatan Parongpong Kabupaten
Bandung Barat). Jurnal Agrikultura. 27(1), 23-29.
Entheology. (2002). Pogostemon cablin. Entheology.com [diakses pada 10 Maret
2019].
Chen, C., Qian, Y., Chen, Q., Tao, C., Li, C. Li, Y. (2011). Evaluation of pesticide
residues in fruits and vegetables from Xiamen. Food Control. (22), 1114-
1120.
Chellappan P, R. Vanitharani, F. Obge & C.M. Fauquet. 2005. Effect of
temperatur on Geminivirus-induced RNA silencing in plants. Journal Plant
Physiolog. 138(4), 1828-1841.
Chhipa, H. (2017). Nanopesticide : Current status and future possibilities.
Aricultur Research and Thecnoloy. 5(1), 10-13.
Dadang. (2006). Pengenalan pestisida dan teknik aplikasi. Workshop Hama dan
Penyakit Tanaman Jarak. 33-45.
DAI. (2017). Data atsiri. Jakarta: Dewan Atsiri Indonesia
Febriyanti. (2010). Kepadatan populasi kutu daun (Aphis craccivora Koch) pada
tanaman kacang panjang di Kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji Padang.
Jurnal Sainstek. 2(2), 110-114.
Fikri, E., O. Setiani, Nurjazuli. (2012). Hubungan paparan pestisida dengan
kandunganarsen (As) dalam urin dan kejadian anemia. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 11(1), 29-37.
Filho, P.E.M., R.O. Resende, M.I. Lima, E.W. Kitajima. (2002). Patchouli virus x,
a new Potexvirus from Pogostemon clabin. Annals of Applied Biology. 141,
267–274.
36
Gama, M.I.C.S., E.W. Kitajima, & M.T. Lin. (1982). Properties of a tobacco
necrosis virus isolate from Pogostemon patchouli in Brazil. Phytopathology.
72(5), 529-532.
Hadipoentyanti, E. (2014). Patchoulina nilam unggul toleran layu bakteri. Warta
Litbang Pertanian. 3(5), 4-5.
Hampton, R.O., A. Jensen, & G.T. Hagel. (2005). Attributes of Bean yellow
mosaic Potyvirus transmission from clover to snap beans by four species of
aphids (Homoptera: Aphididae). Journal Econ. Entomol. 98(6), 1816-1823.
Hariyani, Widaryanto, E. Herlina, N. (2015). Pengaruh umur panen terhadap
rendemen dan kualitas minyak atsiri tanaman nilam (pogostemon cablin
benth.). Jurnal proteksi tanaman. 3(3), 205-211
Hartono, S. S. Subandiyah. (2006). Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli
mottle virus pada Tanaman Nilam. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia
12(2), 74-82.
Hasan, A. Taufik, M. S, Gusnawaty, H. Sarawa. (2014). Uji kisaran inang
Potyvirus penyebab mosaik nilam (Pogostemon cablin (blanco) Benth) asal
Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos. 4(3), 194-201.
Hull, R. (2002). Matthews’ Plant Virology. Fourth Edition. Academic Press.
California.
Khan, M.R. & Rizvi, T.F. (2014) Nanotechnology: Scope and application in plant
disease management. Journal of Plant Pathology. 13(3): 214–231.
Maeda, E. Miyake, H. Tomaru, K. (1999). Ultrastructure of mesophyll glands
secreting the aromatic subtances in patchouli leaves. Plants Prody Scient.
2(3), 213-220.
Mahendra, I, B, G. Phabiola, T,A. & Yuliadhi, K,A. (2017). Pengaruh infeksi
beberapa jenis virus terhadap penurunan hasil produksi tanaman tomat
(Solanum lycopersicum Mill.) di Dusun Marga Tengah, Desa Kerta, Kecama
tan Payangan, Kabupaten Gianyar. Jurnal Agroekoteknologi. 6(3), 301-309.
Malole, MB. (1988). Virologi. Bogor: IPB University Press.
Mangun, H. M. S., (2008). Nilam. Jakarta: Penebar Swadaya.
Mardiningsih, T.L., C. Sukmana, N. Tarigan,S. Suriati. (2010). Efektivitas
insektisida nabati berbahan aktif azadirachtin dansaponin terhadap mortalitas
dan intensitas serangan Aphis gossypii Glover. Bul. Littro. 21, 171–183.
Mariana, M. Noveriza, R. (2013). Potensi minyak atsiri untuk mengendalikan
Potyvirus pada tanaman nilam. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 9(2), 53–58.
37
Miftakhurohmah. Noveriza R. (2015). Virus nilam: identifikasi, karakter biologi
dan fisik serta upaya pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian. 34, 1-8.
Miftakhurohmah, G. Suastika, T. Asmira. (2013). Deteksi secara serologi dan
molekuler beberapa jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada
tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.). Jurnal Littri. 19(3), 130-138.
Nechiyana, Sutikno. A. Salbiah, D. (2011). Penggunaan ekstrak daun pepaya
(Carica papaya L.) untuk mengendalikan hama kutu daun (Aphis gossypii G.)
pada tanaman cabai (Capsicum annum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian.
Universitas Riau.
Noveriza, R., Suastika, G., Hidayat, S.H. Kartosuwondo, U. (2012a). Potyvirus
associated with mosaic disease on patchouli (Pogostemon cablin Benth.)
plants in Indonesia. Jurnal ISSAAS. 18(1), 131-146.
Noveriza, R., Suastika, G., Hidayat, S.H. Kartosuwondo, U. (2012b). Pengaruh
infeksi virus mosaik terhadap produksi dan kadar minyak tiga varietas nilam.
Bul Littro. 23(1), 93-101.
Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat, U. Kartosuwondo. (2012c). Eliminasi
Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam (Pogostemon
cablin Benth.) dengan kultur meristem apikal dan perlakuan panas. Jurnal
Littri. 18(1), 107–114.
Noveriza, R., Suastika, G., Hidayat, S. H. Kartosuwondo, U. (2012). Penularan
Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam melalui vektor
Aphis gossypii. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(3), 65.
Noveriza, R. Mariana, M. (2017). Keefektifan formula nanoemulsi minyak serai
wangi terhadap Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam.
Bul Littro. 47-56.
Noveriza, R., Mariana, M., Mardiningsih T. L., & Yiliani S. (2017). Efficiency
formulation of nano biopesticides citronella against mosaic virus on patchouli
and its vektor in the field. International Conference of Essential Oil (ICEO).
1-9.
Nuryani, Y. (2005). Pelepasan varietas unggul nilam. Warta peneltian dan
pengembangan tananan nilam industri. 11(1), 1-3.
Nuryani, Y, Emmyzar & Wiratno. (2006). Budidaya tanaman nilam (Pogostemon
cablin Benth). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Prijono, D. (1999). Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam
PHT. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Inektisida Alami.
Pusat Kajian PHT. IPB. Bogor. 1-7
38
Rao EVS, G. Rao, M.R. Narayana, & S. Ramesh. (1997). Influence of Shaded on
Yield Quality of Patchouli. Ind.Pref. 41, 164-166.
Reitz SR, Maiorino G, Olson S, Sprenkel R, Crescenzi A, Momol MT. (2008).
Interesting plant essential oils and kaolin for the sustainable management of
thrips and Tomato spotted wilt virus on tomato. Plant Disease. 92, 878–886.
Rukmana, R. (2003). Nilam, prospek agribisnis dan teknik budi daya. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Sahwalita Herdiana, N. (2015). Budidaya nilam dan produksi minyak atsiri.
Biodiversity and Climate Change Projec (BIOCLIME). Palembang.
Saenong, M. S. (2016). Tumbuhan indonesia potensial sebagai insektisida nabati
untukmengendalikan hama kumbang bubuk jagung (Sitophilus spp.). Jurnal
litbang pertanian. 35(3), 131-142.
Santoso, H.B. (2007). Bertanam nilam. Yogyakarta.: Kanisius.
Sandes SS, Blank AF, Botanico MP, Blank MFA, Vasconcelos JNC, Mendonca
SAD. (2012) . Estruturas secretoras foliares em patchouli (Pogostemon cablin
(Blanco) Benth.). Scientia Plena. 8(5), 1-6.
Sastry K.S. & Vasanthakumar T. (1981). Yellow mosaic of Patchouli
(Pogostemon patchouli) in India.Current Science. 50(17), 767-768.
Singh, M & Guleria. (2012). Effect of cultivars and fertilizer levels on growth,
yield and quality of patcoli [Pogostemon cablin (Blanco) Benth.] under
shaded condition. Journal of Spices and Aromatic Crops. 21(12), 174-177.
Singh, M.K., V. Chandel, V. Hallan, R. Ram, & A.A. Zaidi. (2009). Occurrence
of Peanut stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants
by meristem tip culture. J. Pla Dis. Prot. 116(1), 2–6.
Solans, C., Izquierdo, P., Nolla, J., Azemar, N. & García-celma, M.J. (2005).
Nano-emulsion. Current Opinion in Colloid and Interface Science. 10, 102–
110.
Sukamto, I.B. Rahardjo, and Y. Sulyo. (2007). Detection of Potyvirus on
patchouli plant (Pogostemon cablin Benth.) from Indonesia. Proceeding of
International Seminar on Essential Oil. Indonesian Essential Oil Council,
Jakarta. 72-77.
Sugimura, Y., B.F. Padayhag, M.S. Ceniza, N. Kamata, S. Eguchi, T.Natsuaki,
and S. Ouda. (1995). Essential oil production increasedby using virus-free
patchouli plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology. 44, 510–
515.
39
Sumardiyono, Y.B., S. Sulandari, S. Hartono. (1995). Penyakit mosaik kuning
pada nilam (Pogostemon cablin). Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar
Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta. 912-916.
Suprianto. (2008). Potensi Ekstrak sereh wangi (Cymbopogon nardus L.) sebagai
anti Streptococcus mutans. Skripsi. Fakultas Ilmu Matematika Dan
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Schoeltz, J.E. (2006). Viral determinants of resistance versus susceptibility ‘in
Loebenstein, G & Carr, JP, (ed.), Natural resistance mechanisms of plants to
viruses. Dordrecht :Spinger pp. 13-43.
Shakeel, F., Baboota, S., Ahuja, A., Ali, J., Faisal, M.S. & Shafiq, S. (2008).
Stability evaluation of celecoxib nanoemulsion containing tween 80. Thai
Journal Pharmacy Scient. 32, 4-9.
Tuhumury,. G.N.C. Leatemia, J. A., Rumthe, R.Y. Hasinu, J.V. (2015). Residu
pestisida produk sayuran segar di kota ambon. Agrologia. 2(1), 99-105.
Tjitrosoepomo G. (2007). Morfologi tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tribun News Aceh. (2018). Harga minyak nilam turun, petani lesu. Aceh.
Tribunnews.com. [diakses pada 10 juni 2018].
Trisilawati, O., E. Hadipoentyanti. (2015). Budidaya tanaman yang baik dan
benar. Bogor: Sirkuler Informasi Teknologi Tanaman Rempah dan Obat
Trizelia. (2001). Pemanfaatan Bacillus thuringiensis untuk pengendalian
Crocidolomia binotalis Zell (Lepidotera: Pyralidae). Jurnal Agrikultura. 19
(3), 184-190.
Wahyuni, W.S. (2005). Dasar-dasar virologi tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University press.
Williamson, E.M. (2007). The medicinal use of essential oils and their
components for treating lice and mite infestations. Natural Product
Communications. 2(12), 1303-1310.
WHO. (2008). Pesticides, children’s health and the environment who training
package for the health sector. World Health Organization. [Diakses pada
tanggal 7 april 2018].
Zaim, M., A. Ali., J. Joseph, and F. Khan. (2013). Serological and molecular
studies of a novel virus isolate causing yellow mosaic of patchouli
Pogostemon cablin (Blanco) Benth. Plos ONE 8 . (12), 1–10.
40
LAMPIRAN
Lampiran 1. Desain Bagan Rancangan Percobaan di Kabupaten Bandung Barat
41
Lampiran 2. Desain Bagan Rancangan Penelitian di Kabupaten Konawe
49 m
42
Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik Kejadian Gejala Penyakit Mosaik di
Kabupaten Bandung Barat
Uji Anova
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 541,743a 12 45,145 1,090 ,406
Intercept 131591,871 1 131591,871 3177,615 ,000
Perlakuan 177,868 3 59,289 1,432 ,255
Ulangan 363,875 9 40,431 ,976 ,481
Error 1118,128 27 41,412
Total 133251,742 40
Corrected Total 1659,871 39
Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Intensitas Serangan Penyakit Mosaik di
Kabupaten Bandung Barat
Uji Anova
Uji Duncan
Perlakuan N Subset
1 2
Nanopestisida 10 19,5780
Pestisida komersil 10 21,6170 21,6170
Insektisida sintetis 10 22,2360
Kontrol 10 22,9510
Sig. ,079 ,270
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 99,352a 12 8,279 1,327 ,260
Intercept 18654,193 1 18654,193 2990,733 ,000
Perlakuan 63,171 3 21,057 3,376 ,033
Ulangan 36,181 9 4,020 ,645 ,749
Galat 168,408 27 6,237
Total 18921,953 40
Corrected Total 267,760 39
43
Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Kejadian Gejala Penyakit Mosaik di
Kabupaten Konawe
Uji Anova
Uji Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3
Nanopestisida 10 25,6730
Pestisida
komersil 10 28,8050 28,8050
Insektisida
sintetis 10 32,5610
Kontrol 10 38,7900
Sig. ,254 ,174 1,000
Source Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1580,308a 12 131,692 3,648 ,003
Intercept 39582,343 1 39582,343 1096,487 ,000
Perlakuan 954,795 3 318,265 8,816 ,000
Ulangan 625,514 9 69,502 1,925 ,091
Error 974,679 27 36,099
Total 42137,331 40
Corrected Total 2554,988 39
44
Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Intensitas Serangan Penyakit Mosaik di
Kabupaten Konawe
Uji Anova
Source Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 216,372a 12 18,031 3,722 ,002
Intercept 4889,405 1 4889,405 1009,269 ,000
Perlakuan 121,567 3 40,522 8,365 ,000
Ulangan 94,805 9 10,534 2,174 ,057
Error 130,802 27 4,845
Total 5236,579 40
Corrected Total 347,174 39
Uji Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3
Nanopestisida 10 9,0950
Pestisida komersil 10 10,0650 10,0650
Insektisida sintetis 10 11,3130
Kontrol 10 13,7510
Sig. ,333 ,216 1,000
45
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Kejadian Kerusakan Daun Menggulung di
Kabupaten Bandung Barat
a. Uji Krusakal Wallis
Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Intensitas Kerusakan Daun Menggulung di
Kabupaten Bandung Barat
Uji Kruskal Wallis
Perlakuan N Mean Rank
Kejadian kerusakan
daun menggulung
Nanopestisida 10 19,15
Pestisida komersil 10 24,20
Insektisida sintetis 10 15,15
Kontrol 10 23,50
Total 40
Test Statisticsa,b
Kejadian kerusakan daun menggulung
Chi-Square 3,891
Df 3
Asymp. Sig. ,273
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Perlakuan N Mean Rank
Intensitas kerusakan
daun menggulung
Nanopestisida 10 18,75
Pestisida komersil 10 23,70
Insektisida sintetis 10 16,55
Kontrol 10 23,00
Total 40
Test Statisticsa,b
Intensitas kerusakan daun menggulung
Chi-Square 2,575
Df 3
Asymp. Sig. ,462
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
46
Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Kejadian Kerusakan Daun Menggulung di
Kabupaten Konawe
Uji kruskal Wallis
Perlakuan N Mean Rank
Kejadian kerusakan
daun menggulung
Nanopestisida 10 20,50
Pestisida komersil 10 15,80
Insektisida sintetis 10 16,40
Kontrol 10 29,30
Total 40
Test Statisticsa,b
Kejadian kerusakan daun menggulung
Chi-Square 2,230
Df 3
Asymp. Sig. ,360
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Intensitas Kerusakan Daun Menggulung di
Kabupaten Konawe
Uji Kruskal Wallis
Perlakuan N Mean Rank
Intensitas kerusakan
daun menggulung
Nanopestisida 10 21,00
Pestisida komersil 10 16,70
Insektisida sintetis 10 15,15
Kontrol 10 29,15
Total 40
Test Statisticsa,b
Intensitas kerusakan daun menggulung
Chi-Square 2,450
Df 3
Asymp. Sig. ,340
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
47
Lampiran 11. Hasil Statistik Bobot Terna Basah di Kabupaten Bandung Barat
Uji Anova
Lampiran 12. Hasil Statistik Bobot Terna Kering di Kabupaten Bandung Barat
Ui Anova
Source Type III Sum
of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 10019,440a 12 834,953 2,241 ,040
Intercept 304888,267 1 304888,267 818,225 ,000
Perlakuan 980,714 3 326,905 ,877 ,465
Ulangan 9038,725 9 1004,303 2,695 ,022
Error 10060,783 27 372,622
Total 324968,490 40
Corrected Total 20080,223 39
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 71477,841a 12 5956,487 3,977 ,001
Intercept 2919878,489 1 2919878,489 1949,703 ,000
Perlakuan 8029,180 3 2676,393 1,787 ,173
Ulangan 63448,660 9 7049,851 4,707 ,001
Error 40435,250 27 1497,602
Total 3031791,580 40
Corrected Total 111913,091 39
48
Lampiran 13. Hasil Statistik Bobot Terna Basah di Kabupaten Konawe
Uji Kruskal Waliis
Test Statisticsa,b
Bobot terna basah
Chi-Square ,610
df 3
Asymp. Sig. ,894
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Lampiran 14. Hasil Statistik Bobot Terna Kering di Kabupaten Konawe
Uji Kruskal Wallis
Perlakuan N Mean Rank
Bobot terna
kering
Nanopestisida 10 20,20
Pestisida komersil 10 19,10
Insektisida sintetis 10 19,10
Kontrol 10 23,60
Total 40
Test Statisticsa,b
Bobot terna kering
Chi-Square ,997
df 3
Asymp. Sig. ,802
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Perlakuan N Mean Rank
Bobot terna basah
Nanopestisida 10 20,00
Pestisida komersil 10 20,60
Insektisida sintetis 10 18,70
Kontrol 10 22,70
Total 40
49
Lampiran 15. Persiapan Benih Nilam
Benih Nilam Proses Stek Nilam
Benih nilam disungkup Benih nilam siap ditanam
Lahan Tanam Lahan Tanam
Di Kabupaten Bandung Barat Di Kabupaten Konawe
50
Lampiran 16. Proses Kegiatan Lapangan
Proses Penanaman Pengambilan sampel
Pengamatan Gejala Penyakit Aplikasi Nanopestisida
Proses Panen
51
Lampiran17. Deteksi Virus secara Serologi dengan Metode ELISA
Penimbangan sampel daun Sampel daun digerus
Sampel ekstraksi daun dalam plat mikrotiter Perubahan warna sampel
Microplate reader MP96 UV-SAFAS MONOCO