universitas indonesia dampak konflik terhadap...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
DAMPAK KONFLIK TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT
(STUDI KASUS ACEH)
TESIS
AKHIRUDDIN MAHJUDDIN
NPM: 0806429675
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
JAKARTA JULI 2012
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DAMPAK KONFLIK TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT
(STUDI KASUS ACEH)
TESIS
Diajukansebagaisalahsatusyaratuntukmemperolehgelar MagisterEkonomi (M.E.)
AKHIRUDDIN MAHJUDDIN
0806429675
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
KEKHUSUSAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK JAKARTA JULI 2012
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan dibawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata ditemukan melakukan tindakan plagiarisme, saya
akan bertanggungjawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia.
Jakarta, 9 Juli 2012
Akhiruddin Mahjuddin
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiridan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
NAMA : AKHIRUDDIN MAHJUDDIN
NPM : 0806429675
TANDA TANGAN :
TANGGAL : 9 Juli 2012
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama : Akhiruddin Mahjuddin NPM : 0806429675 Program Studi : Manajemen Sektor Publik Judul Tesis : DampakKonflikTerhadapPerkembanganEkonomi
dan Tingkat Kesejahteraan Rakyat (StudiKasus Aceh) Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Mandala Manurung, S.E., M.E. ................................ Penguji :DR. Andi Fahmi Lubis. ................................ Penguji :Iman Rozani, S.E., M.Soc.Sc. ................................ Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 9 Juli 2012
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-NYA, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penyusunan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, niscaya sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Mandala Manurung, S.E., M.E., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini;
2. Keluarga besar Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia serta seluruh tenaga pengajar yang telah memberikan kontribusi positif sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini;
3. Orang tua, Istri tercinta, dan anak-anak tersayang, yang telah memberikan pengorbanan luar biasa berupa waktu, tenaga, dan pikiran yang senantiasa memotivasi agar saya tetap semangat hingga akhirnya saya dapat menyelesaikan studi;
4. Para pihak yang telah memberikan data dan informasi yang dibutuhkan, khususnya ”laskar” Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesiaserta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
5. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua dan semoga tesis ini memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pegetahuan.
Jakarta,9 juli 2012
Akhiruddin Mahjuddin
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Akhiruddin Mahjuddin NPM : 0806429675 Program Studi : ManajemenSektor Publik Fakultas : Ekonomi Jenis karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalti-Free Right) atas karya ilmiah saya berjudul :
DampakKonflikTerhadapPerkembanganEkonomidan Tingkat Kesejahteraan Rakyat (StudiKasus Aceh)
Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juli 2012
Yang menyatakan,
( Akhiruddin Mahjuddin)
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia vii
ABSTRAK Nama : Akhiruddin Mahjuddin Program studi : Manajemen Infrastruktur Judul : Dampak Konflik Terhadap Perkembangan Ekonomi
dan Tingkat Kesejahteraan Rakyat (Studi Kasus Aceh) Dosen Pembimbing : Mandala Manurung, S.E.,M.E.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan dan perkembangan perekonomian dan tingkat kesejahteraan rakyat Propinsi Aceh pada periode sebelum konflik(1980-1989), masa konflik (1990-2005) dan pasca perjanjian Helshinky (2006-2011).
Metodologi penelitian ini pada dasarnya merupakan studi empiris. Desain penelitian yang dipakai adalah metodologi deskriptif kualitatif.Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif atau analisis ekonometrika. Data sekunder terutama bersumber terutama dari BPS, Pemda Aceh, World Bank dan sumber lain yang valid. Terdapat dua model yang diestimasi yaitu: Model 1: LYRNM = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik Model 2: LYRMIGAS = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik
Hasil penelitian menunjukkan Konflik berpengaruh negatif secara keseluruhan tehadap kinerja ekonomi. Konflik juga telah memperburuk tingkatkesejahteraan rakyat dimana kemiskinan, pendidikan dan kesehatan selama periode konflik terutamadi wilayah konflik juga terus memburuk. Selama periode pengamatan, PDRB tidak termasuk Migas lebih stabil dibandingkan dengan PDRB Migas, ini memberi harapan untuk memperbaiki Aceh dengan tidak mengandalkan sektor Migas.Dengan menggunakan metode ekonometrik dapat disimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan APBD rill terhadap pertumbuhan PDRB tidak termasuk Migas sangatlah kecil.Hasil estimasi dengan menggunakan variabel terikat PDRB Migas ternyata hasilnya sangat tidak baik, hal ini menunjukkan bahwa perkembangan PDRB Migas sulit dikontrol atau dikelolah oleh pemerintah. Ini tidak lepas dari peranan sektor Migas dan begitu fluktuatifnya bisnis Migas di pasar internasional. Hasil analisis data berdasarkan kabupaten/kota menunjukkan antara lain bahwa daerah penghasil sumberdaya alam khususnya Migas merupakan daerah yang mengalami konflik berat, ketimpangan struktur produksi ditunjukkan ketergantungan yang besar terhadap Migas. Saran kebijakan pemerintah Aceh harus segera dan terus menerus melakukan lagkah-langkah pemulihan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh, tidak cukup hanya berhenti pada perjanjian Helshinki tapi perlu perbaikan-perbaikan internal khususnya pada Pemerintahan Aceh meliputi: penentuan prioritas utama pembangunan yang berkaitan langsung dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki kinerja perekonomian serta kesejahteraan rakyat Aceh Kata kunci : Dampak konflik, perkembangan ekonomi, tingkat kesejahteraan rakyat Daftar Kepustakaan : 32 buku, 11 jurnal, 19 website, 1 majalah
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia viii
ABSTRACT
Name : Akhiruddin Mahjuddin Study Program : Infrastructure Management Title : The Impact of Political Conflict on Economic and
Social Welfare Development (Aceh Case Study) Supervisor : Mandala Manurung, S.E.,M.E.
This research aims to analyze the growth and development of the economy and the welfare of the people of Aceh Province in the period before the conflict (1980-1989), the conflict (1990-2005) and post-agreement Helshinky ( 2006-2011).
The methodology of this study is basically an empirical study. Research design used in the conduct of research is a qualitative descriptive methodology. In addition, quantitative analysis or econometric analysis. Secondary data is mainly sourced mainly from the BPS, the Aceh government, World Bank and other valid resources.There are two models are estimated as follows: Model 1: LYRNM = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik Model 2: LYRMIGAS = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik
The results showed an overall negative impact Conflict against economic performance. The conflict has also exacerbated the level of prosperity in which poverty, education and health over a period of conflict especially in conflict area also continued to deteriorate. During the observation period, GDP excluding oil and gas were more stable than oil and gas GDP, this gives hope to improve Aceh's oil and gas by not relying to oil and gas. By using econometric methods can be concluded that the effect of investment growth, labor force growth and growing budget rill on the growth of GDP excluding oil and gas is very small. Estimation results using the dependent variable was the result of Oil and Gas GDP is not very good, this suggests that the development of oil and gas GDP is difficult to control or managed by the government. It can not be separated from the role of oil and gas sector and so fluctuated oil and gas business in international markets. The results of data analysis by district / city showed inter alia that the area of natural resources, especially oil and gas producer is an area that experienced heavy conflict, discrepancy production structure shown a great dependence on oil and gas.
Aceh government's policy advice should be immediately and continuously perform recovery steps of the economy and welfare of the people of Aceh, not enough to stop the Helshinky agreement but necessary internal improvements, especially in Aceh Government include: determination of development priorities that are directly related to government efforts improve economic performance and welfare of the Acehnese Key words: Impact of political conflict, economic development, social welfare Bibliography : 32 books, 1 jurnal, 19 websites, 1 magazine
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS…………………………….. iii LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………… iv KATA PENGANTAR ....……………………………………………… v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………… vi ABSTRAK …………………………………………………………………. vii ABSTRACT..................................................................................................... viii DAFTAR ISI ………………………………………………………………. ix DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xi DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xiii DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ……………………………………… xiv BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5 1.4. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 5 1.5. Metodologi Penelitian ................................................................... 6
1.5.1.Model Yang Diestimasi ………………………………...…... 7
1.5.2.Penjelasan Variabel-Variabel Yang Digunakan Dalam Regresi ......................................................................................... 9 1.6. Kerangka Berpikir Penelitian ........................................................ 10 1.7. Sistematika Pembahasan ............................................................... 11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 13 2.1. Pembangunan Ekonomi Dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat ... 13 2.2. Faktor-faktor Non Ekonomi Penentu Pertumbuhan Ekonomi ........ 21 2.3. Konflik Sebagai Resiko Dalam Proses Modernisasi ...................... 23
2.4. Dampak Negatif Konflik Terhadap Perekonomian Dan Kesejahteraan Rakyat.............................................................. 27
2.5. Studi-studi Sebelumnya ................................................................ 30 BAB 3 GAMBARAN RINGKAS PROVINSI ACEH............................ 34 3.1. Gambaran Umum .......................................................................... 34 3.2. Pemerintahan ................................................................................ 34 3.2.1.Sejarah Ringkas Pemerintahan Aceh .................................... 34 3.2.2. Struktur Pemerintahan ......................................................... 35 3.2.3. Wilayah Administrasi .......................................................... 36 3.3. Perekonomian ............................................................................... 40 3.3.1.Potensi Perekonomian .......................................................... 40 3.3.2. Potensi Sektor Pertanian ...................................................... 40
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia x
3.3.3. Keuangan Daerah ................................................................ 47 3.4.Kependudukan dan Ketenagakerjaan .............................................. 50 3.5.Kesejahteraan Rakyat ..................................................................... 54 3.5.1. Pendidikan .......................................................................... 54 3.5.2. Sosial dan Kesehatan........................................................... 55 3.5.3. Penduduk Miskin ................................................................ 55 3.5.4. Indeks Pembangunan Manusia(IPM) ................................... 57 3.5.5. HAM dan Rekonsiliasi ........................................................ 59 3.6. Periodesasi Konflik Aceh ................................................................ ..... 60 BAB 4 ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN.................................. 62 4.1. Perkembangan Kinerja Ekonomi Makro ........................................ 62 4.1.1.Pertumbuhan Ekonomi ......................................................... 63 4.1.2.Stabilitas Harga Umum ........................................................ 66 4.1.3.Tingkat Pengangguran.......................................................... 68 4.1.4.Struktur Produksi ................................................................. 70 4.1.5.Struktur Pengeluaran ............................................................ 73 4.2. Analisis Kinerja Ekonomi Makro Tingkat Kabupaten/Kota ........... 79 4.3.Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Rakyat ................................ 83 4.3.1.Kemiskinan .......................................................................... 83 4.3.2.Pendidikan ........................................................................... 89 4.3.3.Kesehatan ............................................................................ 95 4.4.Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh .................. 96 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI..................................... 107 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 107 5.2. Rekomendasi ................................................................................ 108 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 110 LAMPIRAN ........................................................................................... 115
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Perbandingan Perkembangan Kinerja Ekonomi Aceh Periode Pra Konflik, Periode Konflik dan Pasca Perdamaian Helsinki . 4 Tabel 3.1. Administrasi Pemerintahan Provinsi Aceh .............................. 37 Tabel 3.2. Jumlah KWH Yang Dibangkitkan dan Banyaknya Pelanggan PT. PLN (Persero) Wilayah Aceh, Tahun 1995-2010 .............. 44 Tabel 3.3. Penyebaran Penduduk Aceh Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006-2010 .................................................................... 51 Tabel 3.4. Indikator Ketenagakerjaan Tahun 2010-2011 .......................... 53 Tabel 3.5. Indikator Kemiskinan, 2010-2011 ........................................... 57 Tabel 3.6. Indeks Pembangunan Manusia dan Reduksi Shortfall Menurut
Kabupaten/Kota 2009-2011 .................................................... 58 Tabel 4.1. Perbandingan Perkembangan Kinerja Ekonomi Aceh Periode Pra Konflik, Periode Konflik dan Paska Perdamaian Helsinki . 62 Tabel 4.2. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh Periode 1980-1989 .................................................................. 70 Tabel 4.3. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh Periode 1990-2005 (% PDRB Riil) ......................................... 71 Tabel 4.4. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh Periode 2006-2010 .................................................................. 72 Tabel 4.5. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh Berdasarkan Pengeluaran Periode 2006-2010 .......................... 73 Tabel 4.6. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh Berdasarkan Pengeluaran Periode 1990-2005 (% PDRB Riil) 74 Tabel 4.7. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh Berdasarkan Pengeluaran Periode 2006-2010 ........................ 75 Tabel 4.8. Peranan Perekonomian Kabupaten di Wilayah Konflik Berat dalam Perekonomian Aceh (% PDRB Provinsi Aceh Berdasarkan Harga Konstan) ................................................... 80 Tabel 4.9. Perbandingan tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi Wilayah Aceh Utara dan Kota Banda Aceh 1995-2008 (%/Th) 82 Tabel 4.10. Perkembangan Porsi Penduduk Miskin Kota Dan Desa Aceh 2000-2010 (Persen Total Penduduk) ....................................... 84 Tabel 4.11. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Di Aceh 2005-2010 ................................................................. 97 Tabel 4.13. Data Perusahaan PMA/PMDN Provinsi Aceh Tahun 2006-2011 99 Tabel 4.14. APBD Rill Aceh Tahun 1979-2010 ......................................... 102 Tabel 4.15. Komposisi Pendapatan Provinsi............................................... 104 Tabel 4.16. Komposisi Sektoral Belanja Pemerintah Provinsi Aceh ........... 105
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Solow Model ......................................................................... 16
Gambar 2.2. Dampak Kenajuan Teknologi………………………………… 17
Gambar 3.1. Peta Administrasi Wilayah Provinsi Aceh .............................. 38
Gambar 3.2. DOK Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Provinsi Aceh .. 49
Gambar 4.1. Perkembangan PDRB Harga Konstan 2000 Aceh 1979-2010
(Miliar Rupiah) ...................................................................... 64
Gambar 4.2. Peranan Migas Dalam Perekonomian Aceh 1975-2010
(Persen PDRB harga konstan 2000) ....................................... 76
Gambar 4.3. Perkembangan Kemiskinan di Aceh Periode Konflik dan
Paska Konflik ........................................................................ 86
Gambar 4.4. Perkembangan Jumlah SD Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 90
Gambar 4.5. Perkembangan Jumlah SMP Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 91
Gambar 4.6. Perkembangan Jumlah SMA Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 92
Gambar 4.7. Perkembangan Jumlah SMK Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 92
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Model Regresi Model 1 Dependent Variable: LYRNM .......... 115
Lampiran 2. Model Regresi Model 1 Dependent Variable: LYRMIGAS .... 116
Lampiran 3. Model Regresi Model 2 Dependent Variable: LYRNM .......... 117
Lampiran 4. Model Regresi Model 2 Dependent Variable: LYRMIGAS .... 118
Lampiran 5. Tabel Indikator Ekonomi Aceh .............................................. 119
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AAF : Asean Aceh Fertilizer
ACOR : Average Capital-Output Ratio
ADHB : Atas Dasar Harga Berubah
ADHK : Atas Dasar Harga Konstan
AIA : Otoritas Interim Afganistan
AK : Angkatan Kerja
APBA : Anggaran Pendapatan Belanja Aceh
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja kabpaten/Kota
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Biaya Negara
BB : Bukit Barisan
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPS : Badan Pusat Statistik
CoHA : Cessation of Agreement
COR : Capital-Output Ratio
DAU : Dana Alokasi Umum
DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan
DOK : Dana Otonomi Khusus
DOM : Daerah Operasi Militer
GAM : Gerakan Aceh Mereka
GDP : Gross Domestic Product
GKG : Gabah Kering Giling
GNP : Gross National Product
ICOR : Incremental Capital-Output Ratio
IHI : Indeks Harga Implisit
ILO : International Labor Organization
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
KKR : Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia xv
KWH : Kilowatt Hour
LNG : Liquid Natural Gas
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
NRM : Nepal Resident Mission
NSB : Negara Sedang Berkembang
OKI : Organisasi Konfrensi Islam
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
PD : Perusahaan Daerah
PDB : Produk Domestik Bruto
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
PIM : Pupuk Iskandar Muda
PLN : Perusahaan Listrik Negara
PMA ; Penanaman Modal Asing
PMDM : Penanaman Modal Dalam Negeri
PMTRB : Pembentukan Modal Tetap Regional Bruto
PPh : Pajak Penghasilan
PT : Perusahaan Terbatas
RI : Republik Indonesia
SAFTA : Sabang Free Trade Area SD : Sekolah Dasar
SDA : Sumber Daya Alam
SDM : Sumber Daya Manusia
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
SMP : Sekolah Menengah Pertama
TA : Tahun Anggaran
TPI : Tempat Pelelangan Ikan
UU : Undang – Undang
UUD : Undang – Undang Dasar
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Universitas Indonesia xvi
UNDP : United Nation Depelovment Program
UUPA : Undang-undang Pemerintahan Aceh
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara teoritis peningkatan kapasitas produksi suatu perekonomian sangat
menentukan tingkat kesejahteraan rakyat (standar hidup rakyat). Dalam konteks
negara sedang berkembang (NSB) pembangunan kapasitas produksi dapat
diidentikkan dengan pembangunan ekonomi (economicdevelopment) yang secara
garis besar dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara
untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan peningkatan taraf hidup masyarakat
umumnya. Secara spesifik pembangunan ekonomi merupakan proses yang dapat
menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka
panjang (Arsyad, 1998).
Untuk meningkatkan kapasitas produksi dibutuhkan investasi, peningkatan
jumlah kualitas angkatan kerja dan teknologi yang lebih tinggi (Mankiw, 2003;
Blanchard,2006). Pemupukan barang modal, peningkatan kuantitas dan kualitas
angkatan kerja atau sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan atau kemajuan
teknologi ini akan terganggu jika perekonomian tersebut mengalami konflik yang
berkepanjangan. Di bawah ini adalah contoh beberapa negara-negara tertinggal
dunia, karena konflik militer dan atau politik yang berkepanjangan.1
1. Somaliadi pesisir Afrika Timur yang ada secara de juretidak mempunyai otoritas
pemerintah pusat yang diakui, tidak ada mata uang nasional atau ciri-ciri lain yang
berhubungan dengan sebuah negara berdaulat. Otoritas secara de facto berada di
tangan pemerintah yang tidak diakui, yaitu Somaliland, Puntland dan gembong
1 http://aselabar.wordpress.com/2011/01/27/14-negara-negara-tertinggal-di-dunia
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
2
Universitas Indonesia
militan kecil yang saling bermusuhan. Somalia menduduki peringkat 1 Failed State
Index selama beberapa tahun terakhir.
2. Sudan di Timur Laut Afrika yang merupakannegara terluas di Afrika dan di daerah
Arab dan negara terluas kesepuluh di dunia. Pada tahun 2001, Bank Dunia
memperkirakan akibat konflik tingkat partisipasi murni siswa Sekolah Dasar turun
menjadi hanya 46%. Pendidikan di tingkat menengah dan pendidikan tinggi
mengalami stagnasi yang serius, karena sebagian besar penduduk berjenis kelamin
laki-laki melaksanakan dinas militer sebelum dapat menyelesaikan pendidikan
mereka.
3.Republik Demokratik Congo. Perang saudara berlangsung berkepanjangan sejak
1998 telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Aksi kekerasan telah
menghancurkan infrastruktur dan perekonomian negara tersebut. Akhirnya PBB
mengambil alih permasalahan di negara itu dan memaksa Presiden Joseph Kabila
menyelenggarakan Pemilihan Umum pada 30 Juli 2006.
4.Republik Afrika Tengah. Pada asalnya satu koloni negara Perancis, Republik Afrika
Tengah merdeka pada tahun 1960. Negara baru ini dengan cepat jatuh pada
pemerintahan diktator dibawah presiden pertamanya, David Dacko. Pada tahun 1966
Dacko digulingkan oleh sepupunya, Jean Bedel Bokassa yang mendirikan kerajaan
militan dan menjadi diktator yang berperangai rumit. Pada tahun 1976 Bokassa
mendeklarasikan dirinya sebagai maharaja dan dinobatkan dalam upacara yang serba
mewah dan mahal yang dikritik oleh banyak negara lain. Dia juga kerap melanggar
hak asasi manusia serta menyokong gerakan anti-Perancis. Akibatnya, pemerintahan
Perancis mendukung suatu kup terhadap pemerintahannya dan pada 1979 Dacko
kembali berkuasa di negara tersebut. Pemberontakan yang kedua terjadi pada 1981,
dan pemerintahan demokrasi mulai berkuasa pada 1993. Namun pada 2003, suatu
kudeta terjadi sekali lagi, di mana François Bozizé mengambil alih kekuasaan.
5.Irak. Sebuah negara yang selalu dilanda konflik di Timur Tengah atau Asia Barat
Daya, yang meliputi sebagian terbesar daerah Mesopotamia serta ujung barat laut dari
Pegunungan Zagros dan bagian timur dari Gurun Suriah. Negara ini berbatasan
dengan Kuwait dan Arab Saudi di selatan, Yordania di barat, Suriah di barat laut,
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
3
Universitas Indonesia
Turki di utara, dan Iran di timur. Irak mempunyai bagian yang sangat sempit dari
garis pantai di Umm Qashr di Teluk Persia.
6. Afghanistan. Merupakan sebuah negara yang relatif miskin, sangat bergantung
pada pertanian dan peternakan. Ekonominya melemah akibat kerusuhan politik dan
militer terkini, tambahan kemarau keras dengan kesulitan bangsa antara 1998-2001.
Sebagian penduduk mengalami krisis pangan, sandang, papan, dan minimnya
perawatan kesehatan. Kondisi ini diperburuk oleh operasi militer dan ketidakpastian
politik. Inflasi menyisakan banyak masalah. Menyusul perang koalisi yang dipimpin
AS yang menimbulkan jatuhnya Taliban pada November 2001 dan pembentukan
Otoritas Interim Afganistan (AIA) yang diakibatkan dari Persetujuan Bonn Desember
2001, usaha Internasional untuk membangun kembali Afganistan ditujukan di
Konferensi Donor Tokyo untuk Rekonstruksi Afganistan pada Januari 2002, di mana
$4,5 juta dikumpulkan untuk dana perwalian yang akan diatur oleh Bank Dunia.
Wilayah prioritas untuk rekonstruksi termasuk konstruksi pendidikan, kesehatan, dan
fasilitas kesehatan, peningkatan kapasitas administratif, perkembangan sektor
pertanian, dan pembangunan kembali jalan, energi, dan jaringan telekomunikasi.
7. Pakistan di Asia Selatan yang berbatasan dengan India, Iran, Afganistan, China
dan Laut Arab. Dengan lebih dari 150 juta penduduk, Pakistan menduduki peringkat
keenam negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Ia juga menduduki
peringkat ketiga dalam negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia (setelah
Indonesia dan India) dan juga salah satu anggota penting OKI.
8. Burma (Myanmar)di Asia Tenggara. Negara seluas 680 ribu km² dengan jumlah
penduduk lebih dari 50 juta ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta
tahun 1988. Pada 1988, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang
pemerintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak
kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3000 orang
terbunuh. Pada pemilu 1990 partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi
memenangi 82 persen suara namun hasil pemilu ini tidak diakui rezim militer yang
berkuasa.
Di Indonesia daerah konflik, juga mengalami kemandekan (stagnasi)
peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu wilayah di Indonesia yang selama satu
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
4
Universitas Indonesia
generasi ini mengalami konflik adalah provinsi Aceh. Konflik berkepanjangan yang
disertai dengan kekerasan, segregasi sosial, dan ketercabutan warga yang hengkang
dengan terpaksa dari tanah leluhurnya. Belum lagi krisis ekonomi yang menciptakan
kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran, kemiskinan, ketidak adilan, korupsi, dan
kelas pariah. Kebijakan desentralisasi pun tidak mampu memberi solusi akan
permasalahan pelik ini. Bahkan lebih parahnya, kebijakan otonomi daerah yang
digulirkan hanya memberi ruang bagi penguasa daerah baru untuk meraup
keuntungan dari pemekaran daerah.
Tabel 1.1. di bawah ini memberikan sedikit gambaran tentang perkembangan
ekonomi Aceh selama rentang waktu tiga puluh tahun.
Tabel 1.1. Perbandingan Perkembangan Kinerja Ekonomi Aceh
Periode Pra Konflik, Periode Konflik dan Pasca Perdamaian Helsinki
IndikatorEkonomi Periode Pra Konflik (1980-
1989)
Periode Konflik (1990-
2005)
Periode Pasca Perjanjian Helsinski
(2006-2010)
Pertumbuhan Ekonomi1(%/Tahun)
10 -2,5 -2,7
Laju Inflasi2
(%/Tahun) 5,9 17,7 5.7
Tingkat Pengangguran3 (% Angkatan Kerja)
6,6 7,5 5,3
Sumber: Diolah dari data BPS ; Catatan:1)Harga konstan 2000 termasuk minyak dan gas
;2)Berdasarkan Deflator PDB; 3) = Angka rata-rata
Data-data pada Tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa konflik telah
menyebabkan perekonomian Aceh mengalami pertumbuhan negatif yang
berkepanjangan. Pada hal selama satu dekade tahun sebelum konflik, perekonomian
Aceh tumbuh rata-rata sekitar 10% per tahun atau lebih tinggi dari rata-rata
pertumbuhan nasional selama periode yang sama. Pertumbuhan ekonomi yang
rendah, selama periode konflik juga disertai dengan laju inflasi yang tinggi, yaitu
sekitar 18% per tahun, selama periode 1990-2005. Selain pertumbuhan ekonomi yang
negatif dan laju inflasi yang tinggi, selama periode konflik, perekonomian Aceh juga
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
5
Universitas Indonesia
mengalami tingkat pengangguran terbuka yang tinggi, yaitu rata-rata 7,5% Angkatan
Kerja (AK). Di beberapa tahun tertentu selama periode konflik tingkat pengangguran
lebih tinggi dari 10% AK, yaitu tahun 1997 (10% AK), 1999(14,6% AK) dan tahun
2000 (17,4% AK).
Buruknya kinerja ekonomi selama periode krisis, secara teoritis akan
menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat. Pada tahun 2005 telah disepakati upaya
damai berdasarkan perjanjian Helsinky. Namun data-data di atas menunjukkan kinerja
ekonomi khususnya pertumbuhan ekonomi belum mengalami perbaikan yang berarti.
1.2. Perumusan Masalah
1. Benarkah konflik Aceh telah memperburuk tingkat pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian Aceh, sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan
rakyat?
2. Benarkah Perjanjian Damai Aceh telah memperbaiki tingkat pertumbuhan dan
perkembangan struktur produksi perekonomian Aceh?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tingkat pengangguran,
perkembangan struktur produksi dan pengeluaran agregat Propinsi Aceh pada
periode sebelum konflik (1980-1989), masa konflik (1990-2005) dan pasca
perjanjian Helshinky (2006-2010).
2. Menganalisisperkembangan kesejahteraan rakyat di Provinsi Aceh yang diukur
dengan indikator kemiskinan,pendidikan dan kesehatan pada periode sebelum
konflik (1980-1989), masa konflik (1990-2005) dan paska perjanjian Helshinky
(2006-2010).
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
6
Universitas Indonesia
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memperdalam analisis, maka penelitian ini difokuskan pada beberapa
hal berikut:
1. Analisis pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota di Aceh.
2. Kinerja ekonomi makro di ukur dengan pertumbuhan ekonomi, stabilitas
harga umum dan tingkat pengangguran.
3. Perkembangan ekonomi, dievaluasi dengan perkembangan struktur produksi
dan pengeluaran agregat.
4. Perkembangan tingkat kesejahteraan, terutama diukur dengan tingkat
pendidikan, kesehatan dan tingkat kemiskinan
5. Periode pengamatan dikelompokkan menjadi 3 bagian: periode sebelum
konflik (1980-1989), masa konflik (1990-2005) dan paska perjanjian
Helshinky (2006-2010).
1.5. Metodologi Penelitian
Studi ini pada dasarnya merupakan studi empiris. Untuk mencapai tujuan-
tujuan penelitian akan digunakan analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Data
yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data
primer dikumpulkan terutama melalui observasi dan wawancara. Data sekunder
bersumber terutama pada Badan Pusat Statistik (BPS), Pemerintah Daerah Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam dan dokumentasi-dokumentasi khususnya dokumentasi
ilmiah yang dinilai relevan dengan tujuan penelitian.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber terutama dari:
-Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat dan provinsi Aceh
-Pemerintah Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
-Bank Indonesia
-Bank Dunia (World Bank)
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
7
Universitas Indonesia
-ILO
-UNDP
-dan dokumentasi ilmiah yang dinilai relevan dengan tujuan penelitian
1.5.1.Model Yang Diestimasi
Untuk menjawab secara langsung atau tidak langsung pertanyaan-pertanyaan
penelitian, maka ada dua model yang akan diestimasi, perbedaan model pertama
dengan kedua hanya pada variabel terikatnya. Model yang akan diestimasi adalah
sebagai berikut.
Model 1:
LYRNMt = α0 +α1LPORINVt +α2LAKt +α3LAPBDRt +α4KONFLIK +εt
LYRNMt = Logaritma Produk Domestik Regional Bruto non
minyak dan gas (PDRB tidak termasuk Migas) riil
tahun dasar 2000 pada tahun t
LYRMIGASt = Logaritma Produk Domestik Regional Bruto
termasuk minyak dan gas (PDRB Migas) riil tahun
dasar 2000 pada tahun t
LPORINVt Logaritma porsi investasi dalam PDRB harga
konstan 2000 pada periode t
LAKt Logaritma angkatan kerja pada tahun t
LAPBDR Logaritma APDB riil pada tahun t yaitu APBD
nominal pada tahun t dideflasi dengan Deflator
PDB pada tahun t
KONFLIK Adalah variabel boneka (dummy variable) untuk
melihat dampak konflik terhadap pertumbuhan
ekonomi. Nilai 1 adalah untuk periode konflik,
Dimana,
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
8
Universitas Indonesia
yaitu tahun 1990-2005. Nilai 0 untuk periode pra
konflik (1980-1989) dan paska konflik (2006-2010)
α0 = Konstanta
α1, 2, 3, 4 = Koefisien regresi
εt = Error
Model 2
LYRMIGAS
t
= β
0
+β1LPORINV
t
+β2LAK
t
+β3LAPBDR
t
+β4KONFLI
K
+ε
t
LYRMIGASt = Logaritma Produk Domestik Regional Bruto
termasuk minyak dan gas (PDRB Migas) riil tahun
dasar 2000 pada tahun t
LPORINVt Logaritma porsi investasi dalam PDRB harga
konstan 2000 pada periode t
LAKt = Logaritma angkatan kerja pada tahun t
LAPBDR = Logaritma APDB riil pada tahun t yaitu APBD
nominal pada tahun t dideflasi dengan Deflator PDB
pada tahun t
KONFLIK = Adalah variabel boneka (dummy variable) untuk
melihat dampak konflik terhadap pertumbuhan
ekonomi. Nilai 1 adalah untuk periode konflik, yaitu
tahun 1990-2005. Nilai 0 untuk periode pra konflik
(1980-1989) dan paska konflik (2006-2010)
β0 = Konstanta
Dimana,
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
9
Universitas Indonesia
β1, 2, 3, 4 = Koefisien regresi
εt = Error
1.5.2.Penjelasan Variabel-Variabel Yang Digunakan Dalam Regresi
Variabel Notasi Teknik Penghitungan/Sumber Data
PDRB termasuk minyak dan gas Harga Konstan 2000
YRMIGAS Data diperoleh dari BPS, karena selama periode pengamatan telah terjadi beberapa perubahan tahun dasar (1975,1983,1993 dan 2000), maka tahun dasar disamakan dahulu. Termasuk minyak dan gas
PDRB non minyak dan gas Harga Konstan 2000
YRNM Data diperoleh dari BPS, karena selama periode pengamatan telah terjadi beberapa perubahan tahun dasar (1975,1983,1993 dan 2000), maka tahun dasar disamakan dahulu. Tidak memasukkan minyak dan gas
Porsi Investasi Dalam PDRB PORINV PORINVt=(PMTRB/PDRB riil termasuk Migas)x100
It= Investasi pada tahun t dihitung dengan menggunakan angka pembentukan modal tetap regional bruto (PMTRB) harga konstan 2000
Konflik Konflik Berdasarkan periodesasi konflik menurut KOMNAS Perempuan, pernyataan mantan pangdam I/BB serta pendapat M Adli Abdullah maka disimpulkan konflik di Aceh dalam penelitian ini di mulai sejak tahun 1990 ditandai dengan diberlakukannya operasi jaring merah, dan berakhir tahun 2005 dengan adanya penandatangan damai antara RI dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan demikian periode tahun 1980-1989 merupakan periode pra konflik, periode tahun
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
10
Universitas Indonesia
1990-2005 merupakan periode konflik dan tahun 2006-2010 merupakan periode paska konflik.
1.6. Kerangka Berpikir Penelitian
Diagram di bawah ini, memberikan penjelasan tentang kerangka berpikir
teoritis yang akan digunakan untuk analisis penelitian.
Konflik politik yang berkepanjangan,akan memperburuk ekspektasi. Pada hal
aktifitas-aktifitas ekonomi yang amat menentukan kapasitas produksi perekonomian
seperti invetasi, konsumsi, pasokan faktor produksi amat ditentukan oleh tingkat
ekspektasi (Mankiw, 2003 dan Blanchard, 2006).
Dampak memburuknya ekpektasi terhadap permintaan agregat, dapat dilihat
dari menurunnya komponen-komponen permintaan agregat itu sendiri, yaitu
konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor neto.
Sedangkan dampak memburuknya ekspektasi terhadap penawaran agregat
dapat dilihat dari menurunnya penawaran agregat jangka pendek (short run aggregate
Konflik
Jangka
Panjang
Permintaan
Agregat
Memburuknya
Kinerja
Ekonomi
Makro
Memburuknya
Tingkat
Kesejahteraan
Rakyat
Memburuknya
Ekspektasi
Penawaran
Agregat
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
11
Universitas Indonesia
supply), maupun kapasitas produksi (long run aggregate supply). Dalam jangka
pendek, memburuknya ekspektasi menyebabkan sisi penawaran mengalami apa yang
disebut adverse supply shock. Sedangkan dalam jangka panjang, memburuknya
ekspektasi menyebabkan mandeknya pemupukan barang modal akibat menurunya
investasi dan berkurang jumlah dan atau kualitas sumber daya manusia. Jika konflik
terus berlajut yang terjadi adalah penurunan kapasitas produksi perekonomian.
Gangguan pada sisi permintaan dan penawaran agregat, selanjutnya akan
memperburuk kinerja ekonomi makro yang diukur terutama dengan laju pertumbuhan
ekonomi, stabilitas harga umum (laju inflasi) dan tingkat pengangguran. Konflik akan
menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat rendah bahkan negatif, laju
inflasi menjadi tinggi atau sangat tinggi, tingkat pengangguran juga menjadi sangat
tinggi, struktural dan kronis.
Memburuknya kinerja ekonomi makro akan menyebabkan memburuknya
standar hidup atau tingkat kesejahteraan rakyat. Ukuran-ukuran yang umumnya
digunakan untuk menunjukkan terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan rakyat
memburuknya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta membesarnya jumlah atau
porsi penduduk miskin. Salah satu ukuran terbaru untuk menilai tingkat kesejahteraan
rakyat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Memburuknya tingkat
kesejahteraan rakyat akan terlihat dari memburuknya nilai IPM.
1.7. Sistematika Pembahasan
Peneilitian ini ditulis dalam bentuk tesis yang terbagi dalam 6 (enam) bab
berikut ini.
BAB 1. Pendahuluan
Bab ini diuraikan latar belakang pemikiran, perumusan permasalahan, tujuan
penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, kerangka berpikir
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika pembahasan.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
12
Universitas Indonesia
BAB 2. Telaah Teoritis
Bab ini akan membahas mengenai teori yang melandasi penelitian berdasarkan hasil
telaahan kepustakaan dan hasil penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan.
BAB 3. Gambaran Umum Provinsi Aceh
Dalam gambaran umum akan diuraikan mengenai keadaan atau kondisi dari obyek
penelitian yang diteliti, dimana akan dijelaskan antara lain sejarah perkembangan
Aceh, kondisi terkini perekonomian dan non ekonomi yang berkaitan dengan
pertumbuhan PDRB Aceh.
BAB 4. Analisa Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini akan disajikan hasil analisis deskriptif, analisis ekonometrik dan
pembahasan yang mendalam berdasarkan metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini.
BAB 5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil
penelitian.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
13 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Ekonomi Dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan
pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan
disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan
pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Todaro (2003) mendefinisikan
pembangunan sebagai pertumbuhan (growth) dan perubahan (change). Development
= Growth + Changes.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi
apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan
ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Sedangkan yang
dimaksud dengan perubahan adalah perubahan-perubahan yang prinsip mencakup
perubahan struktur produksi maupun pengeluaran, perubahan sikap dan perubahan
kelembagaan.
Dengan demikian pertumbuhan ekonomi merupakan bagian integral dari
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat
kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output
produksi yang dihasilkan.Pembangunan ekonomi mencakup juga kemajuan-kemajuan
yang lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat
perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor
perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang
menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Di
sini terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan
ekonomi.Pembangunan sebagai suatu proses, artinya bahwa pembangunan merupakan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
14
Universitas Indonesia
suatu tahap yang harus dijalani olehsetiap masyarakat atau bangsa. Sebagai contoh,
manusia mulai lahir, tidak langsung menjadi dewasa, tetapi untuk menjadi dewasa
harus melalui tahapan-tahapan pertumbuhan. Demikian pula, setiap bangsa harus
menjalani tahap-tahap perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan
sejahtera.Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan
perkapita. Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus
dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita.
Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua
elemen yang terdapat dalam suatu negara untuk berpartisipasiaktif dalam proses
pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita
mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.Peningkatan pendapatan
perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dapat
dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan perkapita dalam jangka
panjang cenderung meningkat. Hal ini tidak berarti bahwa pendapatan perkapita harus
mengalami kenaikan terus menerus. Misalnya, suatu negara terjadi musibah bencana
alam ataupun kekacauan politik, maka mengakibatkan perekonomian negara tersebut
mengalami kemunduran. Namun, kondisi tersebut hanyalah bersifat sementara yang
terpenting bagi negara tersebut kegiatan ekonominya secara rata-rata meningkat dari
tahun ke tahun (Bannock, Graham, R. E. Baxter dan Evan Davis. 2004).
Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan atau memperbaiki
kesejahteraan (standar hidup) rakyat. Pada awalnya pembangunan ekonomi akan
memperbaiki kinerja ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi yang relatif baik dan
stabil, membaiknya stabilitas harga umum dan menurunnya tingkat pengangguran.
Perbaikan kinerja ekonomi terutama disebabkan meningkatnya kapasitas produksi
akibat meningkatnya stok barang modal, meningkatnya kualitas SDM dan
penggunaan teknologi yang lebih tinggi, serta perbaikan manajemen. Perbaikan-
perbaikan di atas akhirnya menyebabkan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat
dievaluasi dengan peningkatan pendapatan, penambahan dan perluasan kesempatan
kerja yang permanen. Kemajuan-kemajuan ini akan menurunkan jumlah atau porsi
penduduk miskin, membaiknya tingkat kesehatan dan harapan hidup, membaiknya
tingkat pendidikan atau secara keseluruhan membaiknya kualitas sumber daya
manusia.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
15
Universitas Indonesia
Mankiw (2003) menyatakan bahwa dalam jangka panjang yang akan
menentukan tingkat kesejahteraan suatu bangsa atau negara adalah peningkatan
kapasitas produksi perekonomian daerah dan nasional. Umumnya para ahli ekonomi
sependapat bahwa faktor yang memungkinkan tercapainya pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang dan stabil adalah peningkatan penggunaan input dan
peningkatan efisiensi penggunaan input.
Ada banyak model yang mencoba menjelaskan bagaimana suatu
perekonomian dapat bertumbuh. Berikut ini adalah uraian dua model pertumbuhan
yang dianggap relevan dengan kebutuhan studi, yaitu Teori Pertumbuhan Neo Klasik ,
Teori Pertumbuhan Harrod Domar dan Teori Pusat Pertumbuhan.
Teori Neo-klasik (Neo-Classic Theory)
Teori pertumbuhan ekonomi Neoklasik (neoclasical growth thoery) atau
yang disebut Teori Pertumbuhan Solow (Solow growth theory) menekankan
pentingnya penggunaan barang modal dan tenaga kerja dalam perekonomian. Suatu
perekonomian akan mengalami pertumbuhan output per kapita (Y/L) bila stok barang
modal per kapita (K/L) terus meningkat. Namun dengan asumsi teknologi konstan dan
fungsi produksi bersifat constan return to scale, suatu ketika perekonomian akan
stabil pada tingkat pendapatan per kapita (Y/L) tertentu. Pada waktu tertentu,
ekonomi memiliki sejumlah modal, tenaga kerja, dan pengetahuan yang
kombinasinya menghasilkan output. Fungsi produksi akan berbentuk: Y(t) = F(K(t),
A(t)L(t)) dimana t adalah waktu
Gambar 2.1 di bawah ini menggambarkan kerangka pemikiran model Solow
tentang hubungan antara stok barang modal per kapita (k) dengan ouput riil per kapita
atau PDB riil per kapita (y). Gambar 2.1 juga menunjukkan apa yang disebut dengan
kondisi keseimbangan stabil (steady state).
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
16
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. Solow Model
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa PDB riil per kapita (atau y =Y/L) ditentukan
oleh stok barang modal per kapita (k=K/L). Garis lurus (n+d)k menunjukkan
kebutuhan investasi yang terdiri kebutuhan untuk depresiasi (dk) dan untuk
mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja (nd), dengan asumsi tenaga kerja tumbuh
sebesar n per tahun. Kurva s menunjukkan tingkat kemampuan tabungan yang
mengambarkan kemampuan akumulasi barang modal sebagai fungsi PDB riil per
kapita (y).
Berdasarkan Gambar 2.1 perekonomian akan mencapai kondisi keseimbangan
stabil (steady state) pada saat tingkat pendapatan per kapita adalah y2 dan stok barang
modal/kapita adalah k2. Kondisi keseimbangan stabil adalah kondisi dimana,
kemampuan saving hanya dapat menutupi kebutuhan depresiasi. Dengan kata lain
kondisi keseimbangan stabil adalah kondisi dimana stok barang modal per kapita (k)
tidak dapat bertambah lagi, sehingga ouput per kapita (y) tidak dapat bertambah lagi.
Hal ini disebabkan kemampuan tabungan hanya cukup untuk menutupi kebutuhan
investasi untuk penyusutan dan penambahan tenaga kerja.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
17
Universitas Indonesia
Dalam perkembangan selanjutnya model Solow diperbaiki dengan membuat
asumsi bahwa teknologi diasumsikan dapat berkembang namun sifatnya eksogen.
Kemajuan teknologi yang sekalipun sifatnya eksojenus ini menyebabkan bahwa
tenaga kerja dapat menjadi lebih produktif. Secara grafis hal ini digambarkan dengan
bergesernya kurva produksi ke atas, sehingga kondisi keseimbangan stabil dapat
dicapai pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi seperti yang
diilustrasikan oleh gambar 2.2. di bawah ini.
Gambar 2.2 Dampak Kemajuan Teknologi
Dalam perkembangan selanjutnya model pertumbuhan Solow dikembangkan
dengan membuat asumsi bahwa teknologi dapat dikendalikan kemajuannya oleh
perusaan melalui kegiatan riset dan pengembangan (r&d). Perusahaan-perusahaan
yang mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk riset, dalam jangka panjang
akan menikmati peningkatan produktivitas karena kemajuan teknologi. Model
pertumbuhan ini dikenal sebagai model pertumbuhan ekonomi endojenus
(endogenous growth model). Model ini memberi penjelasan mengapa negara-negara
maju (Barat dan Jepang), semakin maju sementara negara-negara berkembang tetap
tertinggal. Salah satu penjelasannya adalah negara-negara maju memiliki
kemampuan dan kemauan dalam melakukan riset/penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
(n+d)k
k k1 k2
y1
y2
k
y1 =
y2 =
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
18
Universitas Indonesia
Karena menekankan pentingnya peningkatan stok barang modal dan
perbaikan efisiensi, model Solow cukup baik digunakan untuk menjelaskan mengapa
ada perekonomian yang kaya dengan pendapatan per kapita yang tinggi, sementara
ada negara-negara yang miskin dengan pendapatan per kapita yang rendah. Implikasi
dari model Solow adalah sebuah perekonomian yang terus meningkatkan pendapatan
per kapitanya bukan saja bila mampu memperbaiki tingkat tabungan dan
menggunakan teknologi yang lebih tinggi, tetapi juga memperbaiki kualitas SDM.
Sebab penggunan teknologi yang tinggi tanpa perbaikan kualitas SDM, tidak akan
terlalu berguna. Hal lain, yang juga dapat dilakukan adalah mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk.
Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik, ambruknya produksi per kapita
sebauh perekonomian disebabkan menurun drastisnya stok barang modal/kapita. Bila
kualitas SDM sudah baik, perekonomian akan mampu memulihkan output/kapita bila
stok barang modal per kapita dipulihkan melalui investasi. Mankiw (2007)
mengambil contoh Jepang dan Jerman. Meskipun dewasa ini kedua negara itu
merupakan adidaya ekonomi, namun pada tahun 1945 perekonomian kedua negara
tersebut carut-marut. Perang Dunia II telah menghancurkan sejumlah besar persediaan
modal mereka. Namun dalam beberapa dekade setelah perang, kedua negara itu
mengalami tingkat pertumbuhan paling pesat dalam catatan sejarah. Antara tahun
1948 dan 1972, output per kapita tumbuh sebesar 8,2 persen per tahun di Jepang dan
5,7 persen per tahun di Jerman, bandingkan dengan hanya 2,2 persen per tahun di
Amerika Serikat.
Pengalaman pascaperang Jepang dan Jerman tidak begitu mengejutkan dari
sudut pandang model pertumbuhan Solow. Dalam perekonomian dalam kondisi
mapan. Sekarang jika perang telah menghancurkan sebagian persediaan modal (Yaitu
persediaan modal merosot dari k* ke k pada Gambar 2.1. Tidaklah mengherankan
tingkat output langsung jatuh. Tetapi jika tingkat tabungan – bagian output yang
dimasukkan ke dalam tabungan dan investasi – tidak berubah, perekonomian
kemudian akan mengalami periode pertumbuhan yang tinggi. Output tumbuh karena
pada persediaan modal yang lebih rendah, lebih banyak modal yang ditambahkan
melalui investasi ketimbang yang digerogoti melalui depresiasi. Pertumbuhan yang
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
19
Universitas Indonesia
tinggi ini terus berlanjut sampai perekonomian mendekati kondisi mapannya. Jadi,
meskipun bagian persediaan modal yang hancur langsung mengurangi output, hal itu
diikuti dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan normal.
”Keajaiban” pertumbuhan pesat di Jepang dan Jerman, sesuai dengan prediksi model
Solow untuk negara-negara yang persediaan modalnya mengalami penurunan drastis
akibat perang.
Teori Harod Domar
Prathama dan Mandala (2008) menyatakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan melihat peranan investasi sangat
penting dalam pertumbuhan ekonomi, sebab investasi akan meningkatkan stok barang
modal, yang memungkinkan peningkatan output.
Dalam jangka panjang investasi mempunyai pengaruh ganda. Di satu sisi
investasi mempengaruhi permintaan agregat di sisi lain investasi juga mempengaruhi
kapasitas produksi nasional dengan menambahkan stok modal yang tersedia. Harrod
menyimpulkan agar suatu ekonomi nasional selalu tumbuh dengan kapasitas produksi
penuh yang disebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady-state
growth), efek permintaan yang ditimbulkan dari penambahan investasi harus selalu
diimbangi oleh efek penawarannya tanpa terkecuali. Tetapi investasi dilakukan oleh
pengusaha yang mempunyai pengharapan yang tidak selalu sama dari waktu ke
waktu, karena itu keseimbangan ekonomi jangka panjang yang mantap hanya dapat
dicapai secara mantap pula apabila pengharapan para pengusaha stabil dan
kemungkinan terjadinya hal itu sangat kecil, seperti yang dikemukakan oleh Joan
Robinson (golden age).
Harrod juga mengemukakan bahwa sekali keseimbangan itu terganggu, maka
gangguan itu akan mendorong ekonomi nasional menuju ke arah depresi atau inflasi
sekular. Karena itu Harrod melambangkan keseimbangan ekonomi tersebut sebagai
keseimbangan mata pisau, mudah sekali tergelincir dan sekali tergelincir semuanya
akan menjadi hancur (jadi keseimbangan yang tidak stabil). Teori pertumbuhan
ekonomi Domar hampir mirip dengan teori Harrod walaupun ada beberapa perbedaan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
20
Universitas Indonesia
yang mendasar pula antara kedua teori itu. Perbedaan itu khususnya menyangkut
mengenai tiadanya fungsi investasi pada model Domar, sehingga investasi yang
sebenarnya tidak ditentukan di dalam teorinya. Karena itu kesulitan pencapaian
keseimbangan ekonomi jangka panjang yang mantap bagi Harrod, disebabkan oleh
sulitnya kesamaan v dan vr atau laju pertumbuhan yang disyaratkan dengan laju
pertumbuhan natural, sedang bagi Domar kesulitan itu timbul karena adanya
kecenderungan masyarakat untuk melakukan investasi yang relatif terlalu rendah
(underinvestment).
Dalam konsep ICOR, investasi adalah total dari pembentukan modal tetap dan
stok barang yang terdiri atas gedung, mesin dan perlengkapan, kendaraan, stok bahan
baku dan sebagainya. Nilai dalam investasi terdiri dari :
a) Pembelian barang modal baru.
b) Pembuatan/perbaikan besar barang yang sifatnya menambah umur atau
meningkatkan kemampuan.
c) Penjualan barang modal bekas.
d) Perubahan stok.
Konsep COR ada 2, yaitu average capital-output ratio (ACOR) dan
incremental capital-output ratio (lCOR). ACOR menunjukkan hubungan antara stok
modal yang ada dan aliran output lancar yang dihasilkan. ICOR menunjukkan;
perbandingan antara kenaikan tertentu pada stok modal (delta K) dan kenaikan Output
atau pendapatan (delta Y). Besamya COR tergantung pada teknik produksi yang
digunakan. Pada sektor yang teknik produksinya bersifat padat modal, COR-nya akan
tinggi. Sebaliknya, sektor dengan teknik produksi padat karya, COR-nya akan rendah.
Sektor-sektor seperti transportasi, telekomunikasi, perhubungan, perumahan, dan
industri barang modal akan mempunyai COR sektoral yang relatif tinggi. Nilai COR
yang tinggi pada sektor-sektor tersebut disebabkan oleh modal besar yang dibutuhkan
untuk menghasilkan setiap output yang diinginkan. Dengan kata lain, sektor-sektor
tersebut merupakan sektor yang menggunakan teknik produksi yang bersifat lebih
pada modal dibandingkan sektor-sektor lainnya.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
21
Universitas Indonesia
Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory)
Teori pusat pertumbuhan merupakan salah satu teori yang dapat
menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara
sekaligus. Maka dengan demikian teori pusat pertumbuhan merupakan salah satu alat
untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang,yaitu
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah. Teori ini juga
dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan
perkotaan terpadu.
Pusat pertumbuhan jika dilihat secara fungsional adalah suatu lokasi
konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya
memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan
ekonomi baik kedalam maupun keluar (derah belakangnya). Secara geografis pusat
pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan
sehingga menjadi pusat daya tarik yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik
untuk berlokasi di daerah tersebut dan memanfaatkan fasilitas yang ada. Tidak semua
kota generative dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan
harus memiliki empat cirri yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam
kegiatan yang memiliki nilai ekonomi,adanya multiflier effect (efek
ganda),konsentrasi geografis,dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakang.
(Robinson,2004: 115).
2.2. Faktor-faktor Non Ekonomi Penentu Pertumbuhan Ekonomi
Kelemahan utama teori-teori pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan para
ekonom adalah mengabaikan faktor-faktor institusi, tata nilai maupun faktor-faktor
non ekonomi lainnya. Pada hal pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh
faktor-faktor ekonomi, tetapi juga faktor-faktor non ekonomi. Perbedaan faktor-faktor
non ekonomi inilah yang menyebab mengapa kebijakan ekonomi yang sama akan
memberikan hasil berbeda bila diterapkan di beberapa negara atau wilayah yang
berbeda. Beberapa faktor non ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan adalah;
faktor sosial-budaya, faktor politik dan administratif.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
22
Universitas Indonesia
Faktor sosial budaya dapat menjadi penghambat atau pendukung proses
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Ada kebajikan-kebajikan lokal yang dapat
dijadikan modal untuk mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan ekonomi membutuhkan langkah-langkah penyesuaian di bidang sosial
budaya, agar mampu menjadi pendorong dan pendukung kemajuan/perubahan.
Kegagalan pengelolaan faktor sosial budaya merupakan salah satu penyebab
munculnya konflik yang berkepanjangan.
Struktur politik yang berpengaruh terhadap stabilitas politik, juga
mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Wilayah-wilayah yang struktur
politiknya rapuh atau tidak seimbang, seperti dapat lihat pada banyak negara di Afrika
dan Amerika Selatan, akan berhadapan dengan ketidakstabilan politik yang
berkepanjangan. Selanjutnya ketidakstabilan politik ini akan menurunkan tingkat
investasi, menganggu upaya-upaya peningkatan kualitas SDM terutama melalui
pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Faktor adminsitrasi juga amat menentukan stabilitas dan kesinambungan
pertumbuhan maupun perkembangan ekonomi. Dalam banyak kasus, kegagalan
pembangunan di negara-negara sedang berkembang (NSB) lebih banyak disebabkan
oleh lemahnya daya dukung administrasi negara atau birokrasi pemerintah untuk
mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Lemahnya daya dukung administrasi ini bisa
disebabkan rendahnya kapasitas birokrasi dan atau terlalu muluknya target-target
pembangunan yang ditetapkan oleh para elit politik/kekuasaan (Tjiptoherijanto,
Manurung, 2010).
Menurut Nurkse (dalam Jhingan, 1995 : 93) : “Pembangunan ekonomi
berkaitan dengan peranan manusia, pandangan masyarakat, kondisi politik, dan latar
belakang historis”. Didalam Pertumbuhan ekonomi, faktor sosial, budaya, politik dan
psikologis adalah sama pentingnya dengan faktor ekonomi. Kondisi sosial yang kacau
karena konflik di suatu daerah pasti juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, Koentjaraningrat (1984) salah satu resiko dari
keragaman masyarakat Indonesia adalah sulitnya mengintegrasikan potensi
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
23
Universitas Indonesia
keragaman tersebut untuk tujuan pembangunan. Selanjunya, Koentjaraningrat
mengemukakan ada empat submasalah yan harus diperhatikan, yaitu:
1. Masalah mempersatukan aneka warna suku bangsa
2. Masalah hubungan antara umat beragama
3. Masalah hubungan mayoritas-minoritas
4. Masalah mengintegrasikan kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya dan Timor-Timur
dengan kebudayaan Indonesia.2
2.3. Konflik Sebagai Resiko Dalam Proses Modernisasi
Apa yang diutarakan Koentjaraningrat, maupun para ahli ilmu sosial lainnya
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang kuat dan stabil membutuhkan
fondasi integrasi tata nilai, perdamaian dan perlakuan adil para pelaku ekonomi, tanpa
memandang garis keturunan, suku maupun agama. Dalam kenyataannya, pengelola
perbedaan-perbedaan tersebut amat sulit dan karenanya harus dilakukan dengan sabar
dan seksama. Kompleksitas faktor-faktor non ekonomi seperti yang diuraikan di atas
menunjukkan bahwa pengabaikan faktor-faktor tersebut amat berisiko.
Lewis A. Coser dalam bukunya The Function of Social Conflict melihat
bahwa konflik adalah perselisihan nilai nilai tuntuntan mengenai status, kekuasaan
dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak dapat memenuhi untuk semua
yang membutuhkannya. Pihak-pihak yang berselisih tidak hanya berusaha
mendapatkan apa yang di inginkan, tetapi juga bagai mana mereka saling
memojokkan, merugikan atau bila perlu menghancurkan lawan-lawannya. Hak itu,
menurut kaum Marxian, dipandang sebagai gejala social yang selalu hadir dalam
masyarakat.3
2Pada masa itu, Irian Jaya adalah Papua dan Papua Barat saat ini. Sedangkan Timor-Timur masih
merupakan bagian negara RI, yaitu sebagai provinsi ke 27.
3K.J Vegaar, Realitas social, Jakarta: Gramedia, 1990,hal. 211-212.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
24
Universitas Indonesia
Menurut Wese Becker, konflik merupakan proses sosial dimana orang atau
kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain
yang di sertai dengan ancaman atau kekerasan. Dalam Bukunya International Politik,
K.J Holsti mengemukakan bahwa Konflik yang menimbulkan kekerasan yang
terorganisir muncul dari suatu kombinasi khusus para pihak, pandangan yang
berlawanan mengenai suatu isu, sikap bermusuhan, dan tipe-tipe tindakan diplomatik
dan militer tertentu. Bentuk konflik biasanya teridentifikasikan oleh suatu kondisi
oleh sekelompok manusia, yang di dalamnya terdiri dari suku, etnis, budaya, agama,
ekonomi, politik, sosial yang berbeda beda.
Sumber konflik sendiri terletak pada hubungan antara sistem-sistem negara-
negara kebangsaan yang dilandasi oleh konsep ”egosentrisme”, yaitu aspirasi untuk
mempertahankan dan meningkatkan kekuatan serta kedudukan negara dalam
hubungannya dengan negara lain. Bila suatu negara terlalu berpegang teguh kepada
pengakuan universal atas kemerdekaan politiknya dan kebebasan memilih serta
bertindak, ia akan menemui dilema karena ia pun harus menghormati kebebasan dan
kemerdekaan yang sama dari setiap negara lain. Akan tetapi sebenarnya tidak ada
negara satu pun yang bisa mempercayai negara lain, artinya keselamatan negara
tergantung kepada usaha-usaha sendiri, karena itu setiap negara harus bersikap hati-
hati dalam memelihara hubungan dengan negara lain.
Menurut Louis Kriesberg, kajian tentang konflik dapat di bedakan menjadi
empat hal, yaitu (1) isu yang dikonflikkan; (2) karakteristik daru kelompok-kelompok
yang berkonflik; (3) hubungan antara kelompok-kelompok yang berkonflik; (4) cara
yang di gunakan oleh masing –masing kelompok dalam berkonflik.4 Mengenai
karakteristik dari kelompok-kelompok yang berkonflik, secara umum dapat d bedakan
dalam dua hal, yaitu (1) kejelasan batas-batas antara kelompok-kelompok yang
berkonflik, dan (2) derajat pengorganisasian masing-masing kelompok.5
4Louis Kiesberg, Social conflict, second Edition, Englewood Clifft, N.Y: Prantice Hall, Inc, 1382, hak.
36.
batas-batas
5Louis Kiesberg, Social conflict, op.cit, hal. 119.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
25
Universitas Indonesia
kelompok yang berkonflik erat kaitannya dengan pola interaksi dan komunikasi yang
dikembangkan oleh komitmen anggota dalam kelompoknya.
Para teoritisi konflik mencoba menjelaskan proses modernisasi sebagai
pergolakan-pergolakan yang tidak tampak (disensus), ketidakseimbangan,
antagonisme kelas dan revolusioner. Ada tiga ketegangan teori konflik yang relevan
secara langsung maupun tidak langsung dengan proses modernisasi, yaitu; teori-teori
Marxis, teori-teori perjuangan kekuasaan dan teori-teori revolusi yang diharapkan.
Teori-teori Marxis menyatakan bahwa keberadaan kelas-kelas sosial yang berbeda
merupakan sumber konflik. Misalnya konflik antara petani yang tidak memiliki tanah
dengan golongan tuan tanah, antara elit politik dan elit militer. Elemen-elemen model
konflik menurut pandangan Marxis adalah polarisasi kelas secara radikal, eksploitasi
buruh, akumulasi keuntungan, peperangan kelas, revolusi kekerasan dan penciptaan
kembali satu tatanan sosial baru. Teori-teori perjuangan kekuasaan menekankan
negara sebagai pemeran utama konflik, khususnya berkembangannya peranan
kekuasaan militer pada saat NSB melaksanakan modernisasi. Kegagalan para
pemimpin sipil melaksanakan modernisasi memberikan kesempatan kepada para
pemimpin militer untuk berkuasa. Namun dalam perjalanan selanjutnya pemimpin
militer akan terus berupaya mempertahankan dominasinya dengan memperlemah para
pemimpin sipil.Teori-teori revolusi yang diharapkan mencoba menjelaskan konflik-
konflik di wilayah pedesaan, revolusi-revolusi kaum borjuis maupun, maupun
revolusi-revolusi konservatif yang berujung pada fasisme. Ketiga teori-teori tersebut
menunjukkan bahwa konflik-konflik yang terjadi dapat merupakan konflik antar
kelas, konflik nilai-nilai maupun konflik kepribadian (Abraham, 1991).
Konflik Internal
Studi konflik internal mengemuka dalam dekade terakhir ini, terutama
bersamaan dengan makin maraknya konflik horizontal antar ras, etnis dan agama di
dalam wilayah suatu negara. Sangat ironis bahwa ketika konflik ideologi mewarnai
era perang dingin telah mulai mereda, konflik-konflik internal di dalam batas wilayah
suatu wilayah dalam bentuk gerakan separatis dan kerusuhan massal ternyata menelan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
26
Universitas Indonesia
korban manusia yang makin besar. Contoh, pada tahun 1994 di Rwanda dalam kurun
waktu hanya 3 bulan sekitar 800 ribu sampai 1 juta manusia terbunuh, sebagian besar
dari mereka adalah kelompok minoritas Tutsi.
Menurut Michel E. Brown, menyebutkan beberapa alasan mengapa konflik
internal penting untuk dilakukan tidak hanya dalam studi ilmu politik tetapi juga
dalam kurikulum Hubungan Internasional, yaitu;Pertama, konflik internal telah
merebak ke banyak negara dan menimbulkan aksi-aksi kekerasan.Kedua, konflik
internal telah menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya
akibat konflik, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan
pengusiran.Ketiga, konflik internal penting karena sering melibatkan negara-negara
tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik perbatasan. Pengungsi yang
menyeberang ke negara tetangga atau pemberontakan yang mencari perlindungan ke
negara tetangga dapat menimbulkan permasalahan baru yang dapat memicu konflik
bersenjata antar negara yang bertetangga.Keempat, konflik internal penting karena
sering mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang
terancam kepentingannya dan organisasi internasional.
Menurut Edward Azar, menyebutkan ada 4 pra-kondisi yang mengarah pada
terjadinya atau pemicu konflik internal, yaitu :Pertama, hubungan yang tidak
harmonis antara kelompok identitas seperti suku, agama dan budaya dengan
pemerintah. Pemerintah cenderung tidak mengakui eksistensi kelompok identitas
tersebut dan bahkan berusaha mengeliminasinya demi kepentingan dan keutuhan
negara. Akibatnya, terjadi pertentangan terhadap kelompok identitas tertentu dan
mendorong para anggotanya untuk melakukan perlawanan terhadap negara. Sebagai
contoh, pemerintah Orde Baru telah mengancam eksistensi kelompok identitas Aceh
dan Papua sehingga mereka bangkit dan melakukan perlawanan bersenjata terhadap
pemerintah pusat.Kedua, konflik juga dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah
telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi proses
kemiskinan. Proses secara ekonomi telah menciptakan kemiskinan sementara
kekuatan ekonomi dan politik dari pusat menikmati surplus ekonomi sebagai hasil
eksploitasi SDA di daerah-daerah yang dilanda konflik. Seperti contoh, bagi rakyat
Aceh dan Papua bahwa di tengah kekayaan alam mereka yang berlimpah terdapat
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
27
Universitas Indonesia
jumlah penduduk miskin yang tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah-
daerah lain yang tidak memiliki SDA.Ketiga, sebab konflik internal berkaitan dengan
karakteristik pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan aspirasi politik dari
masyarakat. Dalam hal ini pemerintah pusat menyakini asumsi bahwa kekuasaan yang
terpusat (sentral) menjamin kontrol yang efektif atas masyarakat. Bahkan kekuatan
militer digunakan terhadap setiap bentuk protes atau perlawanan terhadap
pemerintahan yang otoriter. Pemerintah daerah juga tidak dapat berfungsi sebagai alat
perjuangan kepentingan masyarakat daerah dikarenakan elit-elit daerah ikut
menikmati eksploitasi SDA.Keempat, konflik internal dikaitkan dengan International
Linkages, yaitu sistem ketergantungan yang terjadi antara negara dengan sistem
ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih memihak
kekuatan modal asing daripada kepentingan penduduk lokal. Misalnya, dalam rangka
melindungi kepentingan investor asing pemerintah rela menindas rakyatnya sendiri
dan mengabaikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia.
2.4. Dampak Negatif Konflik Terhadap Perekonomian Dan Kesejahteraan Rakyat
Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa konflik merupakan resiko dari
modernisasi yang tidak dikelola dengan baik. Karena itu amat relevan untuk
membahas apa saja dampak negatif konflik terhadap tingkat kesejahteran rakyat.
Sejumlah ahli telah mempelajari kerugian output dalam konflik, seperti Knight
et al. (1996), Collier (1997), dan Staines (2004). Collier (1997) menyelidiki
konsekuensi dari perang saudara untuk GDP dan komposisinya menggunakan data
yang komprehensif set semua perang saudara selama 1960-1992. Menggunakan
model dari efek ekonomi dari perang saudara dan periode pasca perang, kertas ini
menemukan bahwa PDB per kapita, selama perang saudara, penurunan pada tingkat
tahunan sebesar 2,2% relatif terhadap pasangannya. Penjelasan yang diusulkan dalam
makalah ini adalah bahwa penurunan ini sebagian karena perang langsung
mengurangi produksi, dan sebagian karena itu menyebabkan hilangnya bertahap
modal akibat kerusakan, tidak hemat, dan substitusi dari portofolio di luar negeri.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
28
Universitas Indonesia
Staines (2004) mengeksplorasi dinamika pra-1990 dan paska konflik 1990-
menemukan perbedaan signifikan dalam durasi dan biaya konflik di dua periode.
Pertumbuhan PDB riil adalah 1,7% di bawah normal untuk konflik sebelum tahun
1990, dekat dengan perkiraan Collier. Namun, untuk konflik setelah tahun 1990,
pertumbuhan PDB riil adalah 12,3% di bawah normal, jauh lebih dari konflik
sebelumnya. Negara-negara dengan konflik sebelum tahun 1990 mengalami kontraksi
yang relatif sederhana diikuti oleh periode pemulihan yang panjang selama konflik itu
sendiri, sehingga menghasilkan tingkat GDP riil per kapita tidak jauh di bawah level
pra-konflik dan GDP riil lebih besar dari sebelum konflik. Untuk konflik setelah
tahun 1990, laju dan kedalaman kontraksi jauh lebih parah dan biasanya terus
berakhirnya konflik, mengakibatkan tingkat output masih jauh di bawah level pra-
konflik.Hasil penelitian Staines (2004) menunjukkan bahwa konflik sebelum 1990:
pertumbuhan PDB riil sebesar 1,7 persen di bawah pertumbuhan normal. Konflik
setelah 1990: pertumbuhan PDB riil sebesar 12,3 persen di bawah pertumbuhan
normal.
Penelitian Ra dan Singh (2005) menyatakan bahwa konflik semakin
mempengaruhi kinerja ekonomi Nepal sejak tahun 2001. Pertumbuhan ekonomi
melambat menjadi rata-rata 1,9% dari tahun anggaran (TA) 2002-FY2004 periode
dibandingkan dengan 4,9% pada dekade sebelumnya itu. Lebih dari 12.000 orang
tewas, infrastruktur fisik telah hancur, ribuan orang telah mengungsi, gangguan
ekonomi telah meningkat, dan pengeluaran pembangunan telah menurun tajam. Studi
ini dilakukan oleh Resident Mission Nepal Bank Pembangunan Asia (NRM) untuk
mengukur biaya ekonomi dari konflik, dan efek dari belanja pembangunan menurun
pada pembangunan ekonomi Nepal.
Konflik juga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas investasi.
Kuantitas investasi diukur dengan nilai investasi, sedangkan kualitas investasi diukur
dari kandungan teknologinya. Selain memperburuk investasi, konflik juga
menurunkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik karena tewas
akibat konflik, mengungsi dan bahkan brain drain. Sementara itu SDM yang masih
bertahan, umumnya berkualitas rendah. Menurunnya kuantitas dan kualitas investasi
maupun SDM selanjutnya akan menurunkan stabilitas perekonomian makro, yang
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
29
Universitas Indonesia
umumnya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah bahkan negatif, laju
inflasi yang tinggi dan juga tingginya tingkat pengangguran. Akhirnya memburuknya
kinerja ekonomi makro akan menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat diukur dengan
banyaknya penduduk miskin dan menderita. Hal ini sesuai dengan telaah Neo Klasik
Solow Model (Mankiw,2009).
Knight et al. (1996), dan Knight (1996) menyatakan bahwa perang menjadi
pengaruh yang kuat terhadap penurunan tingkat investasi. Sedangkan menurut Collier
(1997): PDB per kapita menurun sebesar 2,2 persen per tahun jika dibandingkan
dengan periode sebelum perang terjadi.
Konflik juga menurunkan kesejahteran rakyat karena menimbulkan masalah
kemiskinan massal dan kronis. Berdasarkan teori konflik dalam perspektif
institusional dinyatakan bahwa masyarakat tersusun dalam struktur dimana sebagian
anggota masyarakat mempunyai kekuatan ( power ) termasuk penguasaan sumber
daya, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibanding anggota masyarakat yang
lain. Dengan demikian lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan
sosial ekonomi dalam sistem sosialnya dengan menggunakan instrumen institusi
sosial.yang ada. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi
yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai kekuasan. Sumber-sumber dan
kesempatan dibanding yang lain. Pada umumnya lapisan yang menguasai kekuasaan
dan sumber-sumber ini cenderung ingin mempertahankan status quo dalam rangka
mempertahankan posisi dan kepentingannya ( Parrillo, 1987 : 29 dalam Soetomo,
2006 : 117 ).
Menurut teori konflik dalam perspektif institusional masalah kemiskinan
bukan disebabkan karena cacat individual dari kalangan miskin seperti cacat bawaan,
cacat fisik maupun mental atau cacat kultural, melainkan disebabkan oleh Institutional
discrimination, terutama dalam bentuk penguasaan kekuasaan, sumber-sumber,
peluang, akses terhadap informasi dan berbagai bentuk pelayanan dalam berbagai
struktur masyarakat. Kemiskinan disini bukan karena orang-orangnya malas, lemah
atau karena kulturnya tidak mendorong untuk bekerja keras melainkan karena kondisi
struktural ( Soetomo, 2006 : 119 ).
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
30
Universitas Indonesia
2.5. Studi-studi Sebelumnya
Di bawah ini adalah uraian tentang beberapa studi sebelumnya, yang relevan
dengan kebutuhan studi.
Propatria Insitute (2009)
Hasil penelitian bahwa pada upaya post conflict peacebuilding, penataan
birokrasi mendorong peningkatan kapasitas produksi barang-barang publik dasar
seperti kesehatan, pendidikan yang diikuti dengan peningkatan kapasitas delivery.
Dalam konteks post conflict peacebuilding, penekanan pada peran negara
(pemerintah) dititikberatkan pada upaya menormalkan fungsi dasar negara untuk
menyediakan keamanan. Pendekatan keamanan yang digunakan mengacu pada
konsep keamanan manusia (human security), yang menekankan pada keadilan sosial
dan kesejahteraan ekonomi, dengan keamanan individu dan masyarakat sebagai
prioritas. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah harus dapat melaksanakan fungsi
esensial yang dapat menjadi pondasi dasar segera pasca perjanjian damai.
Penataan birokrasi dengan prinsip governance adalah salah satu upaya
meningkatkan kapasitas distributif dan tingkat responsif pemerintah pasca konflik.
Salah satu fungsi esensial tersebut adalah operasi stabilisasi dan pemulihan pasca
konflik. Operasi ini merupakan modalitas awal yang harus diupayakan efektivitasnya
dalam menjawab tantangan peacebuilding di daerah pasca konflik. Tujuan dari
operasi ini adalah untuk menciptakan lingkungan yang stabil pasca-konflik segera
setelah tercapainya kesepakatan damai yang memungkinkan berlangsungnya langkah-
langkah pembangunan yang lebih bersifat jangka panjang. Operasi tersebut
melingkupi kontrol atas potensi kekerasan, penanggulangan aksi kejahatan serius,
pengembalian fungsi tradisional kepolisian, kemampuan untuk mengidentifikasi dan
menghadapi masalah strategic deception oleh “spoilers of peace”, dan mencakup
berbagai kegiatan untuk memperbaiki infrastruktur ekonomi yang rusak maupun
hancur akibat konflik. Langkah-langkah tersebut harus dapat dengan segera
menunjukkan dan melahirkan keuntungan perdamaian (peace dividend) tidak hanya
bagi pihak-pihak yang bertikai tetapi juga bagi masyarakat umumnya.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
31
Universitas Indonesia
Mencegah konflik berulang dilakukan pada masa stabilisasi dan pemulihan
pasca konflik dengan mengontrol (menghilangkan) potensi kekerasan melalui DDR,
penanggulangan aksi kejahatan serius yang menghambat proses perdamaian, serta
kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghadapi ancaman yang datang dari
kelompok spoilers of peace di samping pengembalian fungsi tradisional kepolisian
untuk menjaga ketertiban dan perbaikan infrastruktur ekonomi yang rusak dan hancur
akibat konflik.
Lebih lanjut, Propatria Institute menyatakan bahwa pemerintahan lokal
menjadi instrumen penting yang utama karena ia merupakan manifestasi politik
daerah yang mengembang fungsi negara untuk memproduksi dan men-delivery
political goods bagi warganya. Konflik adalah ekspresi dari lemahnya struktur negara
(weak state) yang menempatkan negeri ini dalam situasi politik mati hidup (the
politics of survival). Pengalaman Indonesia menunjukkan pasca 1998 terjadi
pergeseran mendasar dari central rule menjadi multi actors rule. Sementara itu
birokrasi kehilangan watak monolitiknya semenjak desentralisasi karena
memunculkan lapis-lapis pemerintahan yang semakin tebal (multilayer governance)
yang juga berpengaruh terhadap semakin majemuknya birokrasi.
Peranan yang dimainkan negara dalam konteks kewaspadaan dan respon dini
adalah dengan meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi dan
mendistribusikan public goods bagi warganya. Hal tersebut akan mengembalikan
legitimasi pemerintah terutama bila dalam pengelolaan pemerintahan, pemerintah
mengadopsi prinsip-prinsip good governance yang membuka ruang bagi berjalannya
fungsi pemerintahan yang normal.
Dengan mengadopsi prinsip governance, pemerintah ditempatkan sebagai
salah satu aktor dari multi-aktor yang terlibat dalam urusan publik. Dengan demikian,
penataan birokrasi diarahkan untuk membuka peluang bagi aneka kekuatan dalam
policy process. Peluang lain yang dimungkinkan adalah peningkatan kapasitas deteksi
dini dan responsiveness bureaucracy melalui penataan sistem data dan sebagainya.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
32
Universitas Indonesia
Nazamudin (2007)
Menurut Nazamuddin, 2007, biaya ekonomi akibat konflik antara
lainterjadinya perpindahan internal dan eksternal penduduk (external and internal
displacement of people), penurunan pengeluaran pemerintah untuk sektor publik dan
peningkatan anggaran keamanan, resiko investasi meningkat sehingga menambah
biaya investasi, dan produksi tidak lagi efisien dan barang yang dihasilkan tidak lagi
kompetitif
Hasil penelitian Nazamuddin, 2007 di Aceh menunjukkan bahwa:
- periode ‘conflict’ untuk periode 2005-2009 jika pengeluaran pemerintah menurun
sebesar 4,2 persen maka pertumbuhan PDB turun sebesar 8,3 persen atau
mengalami penurunan rata-rata 1,7 persen per tahun.
- periode ‘high conflict’ jika pengeluaran pemerintah menurun dua kali lebih besar
(8,4 persen) maka pertumbuhan PDB menurun sebesar 10,3 persen atau mengalami
penurunan rata-rata sebesar 2,1 persen per tahun.
Lindgren (2006)
Penelitian Lindgren (2006), biaya ekonomi akibat konflik di Sri Lanka antara
lain loss of production yaitu selisih selisih antara produksi aktual (percent of actual
GDP in conflict) dan produksi counterfactual nilai produksi counterfactual adalah
perubahan nilai investasi akibat kenaikan anggaran militer, peningkatan anggaran
militer akan mengurangi investasi dan selanjutnya akan memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan penelitian Lindgren menyatakan bahwa
perbandingan antara metode yang berbeda untuk memperkirakan biaya ekonomi dari
konflik memang menunjukkan bahwa metode pemodelan cenderung memberikan
perkiraan hampir sama daripada metode akuntansi jika semua studi dimasukkan. Jika
dua penelitian yang mendasar tidak termasuk metode akuntansi memberikan
perkiraan yang lebih tinggi. Kesimpulannya adalah bahwa masalah hasil kredibel
memberikan keuntungan yang jelas untuk metode akuntansi karena sulit untuk
menilai validitas model yang terdiri dari persamaan ekonometrik. Hal ini terutama
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
33
Universitas Indonesia
signifikan untuk non-ekonom dan sejak keputusan konfliks jarang diambil oleh para
ekonom ini sangat penting.
Simulasi di atas tidak memperkirakan dampak kerusakan infrastruktur
ekonomi, perpindahan orang, dan terganggunya kegiatan ekonomi pada pertumbuhan
PDB. Dampak yang lebih rendah investasi swasta dalam konflik ini juga tidak
sepenuhnya tercermin. Dengan demikian, biaya keseluruhan dari konflik untuk
periode tahun 2005- 2009 akan cenderung lebih tinggi. Juga, efek dari konflik pada
PDB pertumbuhan akan tetap baik setelah konflik telah selesai, seperti belanja
pembangunan rendah selama konflik akan telah menurunkan modal ekonomi, dan
pengeluaran pembangunan akan membutuhkan waktu untuk sembuh. Perlu dicatat
bahwa pertumbuhan PDB 3% terdahulu oleh Nepal selama konflik jauh lebih rendah
dari hilangnya pertumbuhan 12,1% diperkirakan oleh Staines (2004) untuk negara-
negara yang terkena dampak konflik di 1990-an, dan lebih dekat dengan hilangnya
2,2% yang diperkirakan oleh Collier (1997) untuk negara-negara konflik pra-1990.
Tidak seperti mayoritas negara-negara dianalisis dengan Staines, Nepal telah
mendapatkan manfaat dari aliran pengiriman uang dari negara luar negeri. Hal ini
mungkin telah diperbaiki secara signifikan yang merugikan dampak konflik terhadap
pendapatan dan kemiskinan. Namun, pertumbuhan 1,7% disebabkan penurunan
pengembangan pengeluaran dalam skenario konflik merupakan proporsi yang
signifikan dari pertumbuhan secara keseluruhan kerugian.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
34 Universitas Indonesia
BAB 3
GAMBARAN RINGKAS PROVINSI ACEH
3.1. Gambaran Umum
Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam terletak di kawasan paling ujung dari
bagian utara Pulau Sumatera yang sekaligus juga merupakan ujung paling barat
wilayah Indonesia. Secara geografis dikelilingi oleh laut yaitu selat Malaka, Selat
Benggala dan Samudra Indonesia pada koordinat 1º 40' - 6º 30' lintang Utara dan 94º
40' - 98º 30' Bujur Timur. Topografi berbukit dan bergunung yang mencapai sekitar
68% luas wilayah. Sedangkan daerah datar dan landai hanya sekitar 32% luas
wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat di bagian tengah Aceh yang
merupakan gugusan pegunungan Bukit Barisan. Daerah dengan topografi berbukit
dan landai yang terletak di bagian utara dan timur Aceh. Daerah Aceh memiliki
ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Luas Provinsi Aceh pada
saat ini adalah 57.365,57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra, yang
terdiri atas 119 buah pulau, 73 sungai yang besar dan 2 buah danau6
3.2. Pemerintahan
.
3.2.1.Sejarah Ringkas Pemerintahan Aceh
Aceh telah dikenal sejak abad ke-6, sebagai kerajaan oleh pedagang Cina dan
India. Beberapa kerajaan Islam yang pertama dikenal antara lain Kerajaan Peurelak
dan Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh mulai menjadi besar ketika Kesultanan
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada abad ke-16, dimana perdagangan yang dulunya
berpusat di Malaka pindah ke Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan
Ali Mughayatsyah7
6
. Dalam perjalanannya kerajaan tersebut mencapai puncak
http://aceh.bps.go.id/I.htm
7 Diolah dari http://www.acehprov.go.id/6;Aceh-Ensiklopedi dan berbagai sumber lainnya
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
35
Universitas Indonesia
keemasan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, dengan wilayah
kekuasaan mencapai pesisir Sumatera Barat. Selain itu, Aceh juga telah menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat termasuk Inggris, Ottoman dan
Belanda. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami kemunduran yang
ditandai dengan Traktat London pada 1924, yang menyerahkan kawasan taklukan
Inggris di Sumatera kepada Belanda. Meskipun mengalami kemunduran namun Aceh
mampu memberikan perlawanan kepada Belanda dalam perang terlama yang dihadapi
Belanda yakni Perang Aceh pada periode 1873 sampai 1942.
3.2.2. Struktur Pemerintahan
Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan
Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai
lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan
daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir
diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu
bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta
politik di Aceh secara berkelanjutan.
UU 11 Tahun 2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang
Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Materi UU ini, selain itu materi
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
36
Universitas Indonesia
kekhususan dan keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11 Tahun
2006, sebagian besar hampir sama dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Oleh karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah
(sepanjang hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh).8
3.2.3. Wilayah Administrasi
Wilayah Provinsi Aceh mempunyai batas-batas sebagai berikut:
1. sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka;
2. sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara;
3. sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan
4. sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Wilayah Provinsi Aceh dibagi dalam 18 Kabupaten dan 5 Kota. Tabel 3.1 di
bawah ini memberikan informasi tentang pembagian wilayah adminsitratif pada
tingkat kabupaten – kota beserta ibu kota dan luas masing-masing kabupaten/kota.
8Karena begitu banyak materi mengenai pemerintahan Aceh dan diluar cakupan studi ini, maka yang ingin mengetahui lebih jauh, slihakan membaca UU 11/2006.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
37
Universitas Indonesia
Tabel 3.1. Administrasi Pemerintahan Provinsi Aceh
Keterangan Sumber: Luas 1 ) adalah luas menurut Final Report RTRWP DI Aceh 2000, p.IV-8 Luas 2 ) adalah luas menurut Laporan Kemajuan RTRWP ACEH 2004, p.III-5 Luas 5 ) adalah luas menurut Buku Aceh Dalam Angka 2008, p.33. Luas 3 ) adalah luas menurut Laporan Kemajuan RTRWP ACEH 2004, p.IV-17 Luas 4 ) adalah luas menurut Laporan Akhir RTRWP ACEH 2006, p.2-80 *) Luas Kabupaten Pidie Jay amasih tergabung denganK abupaten Pidie. **) Luas Kota Subulussalam masih tergabung denganK abupaten Aceh Singki.l Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, http://aceh.bps.go.id/, 2012
Sedangkan posisi geografis, masing-masing kabupaten-kota dapat dilihat pada
Gambar 3.1 tentang peta wilayah administrasi Aceh di bawah ini.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
38
Universitas Indonesia
Gambar 3.1. Peta Administrasi Wilayah Provinsi Aceh Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Aceh_dati2l.jpg
Sampai dengan tahun 1998,wilayah administratif Aceh terdiri atas 10
Kabupaten/kota yaitu Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar,
Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
39
Universitas Indonesia
Tengah, Kabupaten Tenggara, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh selatan.
Langkah-langkah pemekaran yang berlangsung sejak 1999 telah menyebabkan saat
ini povinsi Aceh terbagi menjadi 23 kabupaten/kota, yaitu 18 kabupaten (Aceh Besar,
Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Bener Meriah,
Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh
Barat Daya, Aceh Singkil, Siemeulue) dan 5 kota (Banda Aceh, Sabang,
Lhokseumawe, Langsa dan Subussalam).
Wilayah-wilayah yang mengalami pemekaran adalah Aceh Utara, Aceh Barat,
Aceh Timur, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Selatan serta Aceh Singkil.
Dimana kabupaten Bireuen pisah dari kaupaten Aceh Utara,kabupaten Simeuleu pisah
dari kabupaten Aceh Barat pada tanggal 4 Oktober 1999 (UU no 48 tahun 1999
tentang pemekaran kabupaten Bireuen dan kabupaten Simeulue) dan tanggal 20 april
1999 kabupaten aceh singkil pisah dari kabupaten Aceh Selatan (UU no 14 tahun
1999). Tahun 2001 kota Lhokseumawe pisah dari kabupaten Aceh Utara pada tanggal
21 Juni 2001 (UU no 2 tahun 2001), sedangkan kota Langsa pisah dari kabupaten
Aceh Timur pada tanggal 21 Juni 2001 (UU no 3 tahun 2001). Tanggal 10 April 2002
kembali terjadi pemekaran sebanyak 5 kabupupaten di Aceh yaitu kabupaten Nagan
Raya dan kabupaten Aceh Jaya pisah dari kabupaten Aceh Barat, kabupaten Aceh
Barat Daya pisah dari kabupaten Aceh Selatan, kabupaten Aceh Tamiang pisah dari
kabupaten Aceh Timur, dan kabupaten Gayo Lues pisah dari kabupaten Aceh
Tenggara (UU no 4 tahun 2002). Tanggal 18 Desember 2003 kabupaten Bener Meriah
pisah dari kabupaten Aceh Tengah (UU no 41 tahun 2003. Dan terakhir tahun 2007,
tanggal 2 Januari 2007, kabupaten Pidie Jaya pisah dari kabupaten Pidie (UU no 7
tahun 2007), kota Subussalam pisah dari kabupaten Aceh Singkil (UU no 8 tahun
2007).9
9Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemekaran_daerah_di_Indonesia#Nanggroe_Aceh_Darussalam
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
40
Universitas Indonesia
3.3. Perekonomian
3.3.1.Potensi Perekonomian
Dengan letak dan posisi Aceh yang berada di ujung utara/barat pulau Sumatera dan
dikelilingi oleh laut secara umum dipengaruhioleh persimpangan arus dan gerakan
Samudera Hindia, Selat Malaka dan LautCina Selatan yang berinteraksi dengan daratan
pulau Sumatera, SemenanjungMalaka, Kepulauan Andaman dan Nikobar, maka
menampilkan ekosistem lautdisepanjang pesisir Aceh yang sangat sesuai bagi kehidupan
biota laut.Selain memilikikekayaan berupa sumber daya alam yang sangat melimpah, juga
sumber dayahayati disektor kelautan dan perikanan yang belum dimanfaatkan secara
optimal.
3.3.2. Potensi Sektor Pertanian
Potensi sektor primer Aceh dapat dilihita dari potensi sektor pertanian dan
pertambangan.Daerah Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian dan
perkebunan. Pertanian di daerah Aceh menghasilkan beras, kedelai, ubi kayu, ubi
jalar, jagung, kacang kedelai, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan di bidang
perkebunan, Aceh menghasilkan coklat, kemiri, karet, kelapa sawit, kelapa, kopi,
cengkeh, pala, nilam, lada, pinang, tebu, tembakau, dan randu. Daerah Aceh juga
banyak menghasilkan sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti bawang merah, cabe,
kubis, kentang, kacang panjang, tomat, ketimun, pisang, mangga, rambutan, nangka,
durian, jambu biji, pepaya, dan melinjo.
Sektor pertanian adalah motor penggerak perekonomian masyarakat Aceh.
Pada 2005, memiliki lahan sawah beririgasi teknis seluas 96.683 ha, beririgasi
setengah teknis 44.230 ha dan beririgasi non teknis seluas 74.027 ha. Produksi padi
tercatat sebesar 1.411.649 ton Gabah Kering Giling (GKG) dimana mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2004 sebesar 1.552.083 atau 9,22%. Penurunan ini
akibat luasnya kerusakan lahan akibat tsunami. Secara umum padi sawah
mendominasi persediaan pangan dibandingkan dengan padi ladang, hanya
berproduksi 8.509 ton dibanding padi sawah dengan produksi 1.403.139 ton tahun.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
41
Universitas Indonesia
Luas areal irigasi yang dikelola Dinas Sumber Daya Air Provinsi Aceh terdiri
dari: (1) jaringan irigasi teknis; (2) setengah teknis dan (3) jaringan irigasi sederhana
(tradisional) dengan jumlah total luas areal potensial 214.940 ha pada tahun 2005.
Jika dibandingkan tahun 2004 dengan luas 214.939 ha terdapat penurunan pada
tanggal 26 Desember Tahun 2004 provinsi Aceh dilanda gempa yang sangat dahsyat,
yang telah memporak porandakan seluruh asset daerah, termasuk didalamnya aset
irigasi. Sampai dengan tahun 2006 hanya 70% dari daerah Irigasi yang berfungsi
dengan baik dan 30% tidak berfungsi karena jaringan yang belum lengkap atau
mengalami degradasi akibat kurang pemeliharaan.
Sumber daya pertanian di Aceh tersebar di daerah Subulussalam, Singkil, Kota
Lokop, dan Pulau Banyak. Potensi hasil perkebunan rakyat dan kehutanan tersebar di
Krueng Jreu, Krueng Baro, Seulimun dan Takengon, meliputi komoditas utama kopi,
kayu, kulit kayu, dan rotan.
Hasil hutan di Provinsi Aceh dalam buku BPS tahun 1998 tidak terlalu
lengkap dibandingkan sektor lain. Data yang ada hanya menunjukkan produksi kayu
bulat di setiap kabupaten, yang diperinci menurut PKT-HPH, IPK-HPH, dan IPK non-
HPH. Data kayu bulat provinsi Aceh tahun 1996/1997 sebagai berikut; PKT-HPH
adalah 606.345,01 m3; IPK-HPH adalah 100.914,87 m3, dan IPK non HPH adalah
72.116,24 m3. Dengan demikian, total hasil kayu bulat Aceh pada tahun tersebut
adalah 1.025.471,45 m3.
Aceh juga angat potensil dalam hal perikanan yang terdiri atas perikanan
darat dan laut. Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan
salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5
persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai Rp 1,59 triliun pada tahun 2004
(Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2005). Potensi produksi perikanan tangkap
mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454
ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Produksi
perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen
(87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
42
Universitas Indonesia
budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian
utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu
berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit
yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar
kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh
Selatan.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di
Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan
sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat
36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak
bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh
Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat
pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan
pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan
sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan.
Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Di sektor peternakan, Aceh menghasilkan ternak sapi potong, kerbau, kuda,
kambing, domba, ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur, dan itik.
3.3.3. Potensi Sektor Pertambangan
Potensi hasil tambang di Aceh, antara lain meliputi gas alam, minyak bumi,
batu bara, emas, dan tembaga. Gas alam dan minyak bumi yang ada di Arun dan
daerah lainnya di Aceh telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
devisa negara. Aceh juga memiliki bahan tambang, seperti tembaga, timah hitam,
minyak bumi, batubara, dan gas alam. Selain itu, terdapat tambang emas di daerah
Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Tambang biji besi terdapat di Aceh
Besar, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Tambang mangan terdapat di Kabupaten Aceh
Tenggara dan Aceh Barat. Sementara tambang biji timah, batu bara, dan minyak bumi
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
43
Universitas Indonesia
terdapat di Aceh Barat dan Aceh Timur, yakni di Rantau Kuala dan Simpang
Peureulak, serta gas alam di daerah Lhok Sukon dan Kabupaten Aceh Utara.
Penyebaran potensi ertambangan yang di hasil kan provinsi Aceh, antara lain
:
• Emas, di Woyla.
• Seunagan, Aceh Barat.
• Pisang Mas di Beutong.
• Payakolak, Takengon Aceh Tengah.
• Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat.
• Batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan.
3.3.4. Potensi Sektor Industri
Di bidang industri, daerah Aceh memiliki potensi cukup besar terutama
industri hasil hutan, perkebunan, dan pertanian, seperti minyak kelapa sawit, atsiri,
karet, kertas, serta industri hasil pengolahan tambang yang belum berkembang secara
optimal. Jenis industri yang ada meliputi industri makanan, minuman, dan tembakau;
industri tekstil dan pakaian jadi; industri kayu, bambu, rotan, dan sejenisnya; industri
kertas dan barang-barang dari kertas; industri kimia dan barang-barang dari kimia;
industri logam dan barang-barang dari logam. Hasil produksi komoditas industri
utama berupa semen, pupuk, kayu gergajian, moulding chips, plywood, dan kertas.
Aceh memiliki sejumlah perusahaan-perusahaan raksasa di sektor industri.
Dintaranya adalah; PT. Arun, PT. PIM, PT. AAF, Lafarge Semen Andalas, Exxon
Mobil. Sebagian besar perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di industri minyak
dan gas (Migas).
3.3.5. Infrastruktur
Listrik
Tabel 3.1 menunjukkan perkembangan KWH listrik yang dibangkitkan PLN
Aceh dan perkembangan jumlah pelanggan, selama periode 1995-2010.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
44
Universitas Indonesia
Tabel 3.2. Jumlah KWH Yang Dibangkitkan dan Banyaknya Pelanggan
PT. PLN (Persero) Wilayah Aceh, Tahun 1995-2010
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, http://aceh.bps.go.id/, 2012
Data di atas menunjukkan bahwa setelah mengalami peningkatan yang
konsisten selama periode 1995-1998, jumlah listrik dihasilkan oleh PLN pada periode
1999 sampai 2010 terus mengalami penurunan. Jumlah listrik yang dihasilkan PLN
tahun 2010 adalah kurang dari separuh jumlah listrik yang dihasilkan pada tahun
1998. Sekalipun jumlah listrik yang dihasilkan mengalami penurunan, tetapi jumlah
pelanggan terus meningkat. Pada tahun 1995 jumlah pelanggan adalah 334.206,
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
45
Universitas Indonesia
sedangkan pada tahun 2010 adalah 987.027. Dengan demikian jumlah pelanggan PLN
naik hampir 3 kali lipat selama 15 tahun terakhir ini.
Jalan Raya
Sampai tahun 2010 panjang jalan raya kabupaten/kota adalah 13.581 kilo
meter. Hanya sepanjang 2.409 kilo meter (18%) saja yang dalam kondisi baik.
Sedangkan jalan yang rusak adalah sepanjang 4.130 meter atau 30% total panjang
jalan. Dilihat dari jenis permukaan, hanya sekitar 5.589 kilo meter jalan atau sekitar
42% yang merupakan jalan aspal. Sisanya merupakan jalan kerikil dan tanah.
Total jalan provinsi sampai tahun 2010 adalah 1.813 kilo meter. Hanya
separuhnya yang merupakan jalan aspal. Sedangkan kondisi jalan provinsi yang
berkualitas baik kurang dari 50%. Panjang jalan negara di provinsi Aceh pada tahun
2010 adalah 1.803 kilo meter, dimana sekitar 62% yang berada dalam kondisi baik.
Selama tahun 2006-2010, panjang jalan di Aceh bertumbuh relatif lambat,
karena selama 4 tahun panjang jalan hanya bertambah 900 kilo meter dan sebagian
besar merupakan jalan kabupaten-kota.
Pelabuhan dan bandara
Pemerintah, Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota dapat
membangun pelabuhan dan bandar udara umum di Aceh. Pengelolaan pelabuhan dan
bandar udara yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah
Kabupaten/Kota dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah
Kabupaten/Kota. Pelabuhan dan bandar udara umum yang pada saat Undang-Undang
ini diundangkan, dikelola oleh badan usaha milik negara (BUMN) dikerjasamakan
pengelolaannya dengan Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
46
Universitas Indonesia
Sabang free trade area (SAFTA)
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang adalah suatu
kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari:
• tata niaga;
• pengenaan bea masuk;
• pajak pertambahan nilai; dan
• pajak penjualan atas barang mewah.
Gubernur selaku wakil Pemerintah berwenang melarang jenis barang tertentu
untuk dimasukkan ke dalam atau dikeluarkan dari kawasan Sabang. Pemerintah
bersama Pemerintah Aceh mengembangkan Kawasan Perdagangan Sabang sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi regional melalui kegiatan di bidang perdagangan, jasa,
industri, pertambangan dan energi, transportasi dan maritim, pos dan telekomunikasi,
perbankan, asuransi, pariwisata, pengolahan, pengepakan, dan gudang hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, dan industri dari kawasan sekitarnya.
Untuk memperlancar kegiatan pengembangan Kawasan Sabang, Pemerintah
melimpahkan kewenangan di bidang perizinan dan kewenangan lain yang diperlukan
kepada Dewan Kawasan Sabang. Dewan Kawasan Sabang juga menerima
pendelegasian kewenangan di bidang perizinan dan kewenangan lain yang diperlukan
untuk pengembangan Kawasan Sabang, dari Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten
Aceh Besar dan Pemerintah Kota Sabang. Kewenangan Dewan Kawasan Sabang
dilaksanakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang untuk mengeluarkan izin
usaha, izin investasi, dan izin lain yang diperlukan para pengusaha yang mendirikan
dan menjalankan usaha di Kawasan Sabang.
Fasilitas khusus
Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan secara bebas dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan
pajak, bea, atau hambatan perdagangan lainnya, kecuali perdagangan dari daerah yang
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
47
Universitas Indonesia
terpisah dari daerah pabean Indonesia. Penduduk di Aceh dapat melakukan
perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat menyediakan
fasilitas perpajakan berupa keringanan pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan
pajak-pajak dalam rangka impor barang modal, dan bahan baku ke Aceh dan ekspor
barang jadi dari Aceh, fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan
oleh Pemerintah Aceh.
3.3.3. Keuangan Daerah
Selama periode 1983-2010 nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
provinsi Aceh meningkat hampir 3000 kali lipat. Peningkatan terpesat mulai terlalu
antara tahun 2001-2005 dan mengalami percepatan antara tahun 2006-2010. Namun
bila dihitung dari nilai riil, selama periode 1983-2010 APBD provinsi Aceh
meningkat 175 kali lipat. Hal ini menunjukkan peningkatan APBD daerah yang
sangat tinggi.
Dalam perkembangan terbaru, berdasarkan undang-undang, Pendapatan
Daerah bersumber dari; (1)Pendapatan Asli Daerah; (2)Dana Perimbangan;(3) Dana
Otonomi Khusus; dan lain-lain pendapatan yang sah. Sedangkan sumber Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota terdiri atas: pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik
Aceh/Kabupaten/Kota dan hasil penyertaan modal Aceh/Kabupaten/ Kota, zakat; dan
lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli Kabupaten/Kota yang sah.
Dana perimbangan terdiri atas; bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sebesar 90% (sembilan puluh persen); bagian dari penerimaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80%; bagian dari
penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi
dalam negeri dan PPh Pasal 21) sebesar 20%; bagian dari kehutanan sebesar 80%;
bagian dari perikanan sebesar 80%; bagian dari pertambangan umum sebesar 80% ;
bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80% ; bagian dari pertambangan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
48
Universitas Indonesia
minyak sebesar 15%; dan bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30%; tambahan
dana bagi hasil bagian dari pertambangan minyak sebesar 55%; dan tambahan dana
bagi hasil bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40% .
Sampai tahun 2010, sumbangan PAD dalam penerimaan relatif masih kecil,
yaitu kurang dari 20% penerimaan APBA. Dengan demikian dalam hal penerimaan
APBA masih memiliki ketergantungan yang besar kepada pemerintah pusat.
Dana Otonomi Khusus
Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang
ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta
pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai
dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% plafon Dana Alokasi
Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh
yang besarnya setara dengan 1% plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Dana
Otonomi Khusus berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh.
Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang
diatur dalam Qanun Aceh. Dana otonomi khusus untuk tahun pertama mulai berlaku
sejak tahun anggaran 2008.
Qanun Nomor 2 tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian tambahan Dana
Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus (DOK) mengatur 60%
dari DOK akan dialokasikan untuk membiayai program-program pembangunan
pemerintah kabupaten/kota (misalnya, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur)
melalui program bersama antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
dan sisanya sebesar 40% akan digunakan untuk membiayai program-program
provinsi, yang juga dilaksanakan di kabupaten/kota, seperti ditampilkan pada Gambar
3.2.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
49
Universitas Indonesia
Gambar 3.2. DOK Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Provinsi Aceh Sumber : Pemerintah Aceh, Depkeu, Universitas Syiah Kuala, dan perhitungan staff Bank
Dunia.
Catatan : Gambar balok berdasarkan harga konstan 2006, gambar garis harga sekarang untuk setiap tahun.
Menyusul peningkatan yang sangat besar pada sisi pendapatan, pengeluaran
publik secara keseluruhan di Aceh telah meningkat. Setelah terjadinya penurunan tipis
pada tahun 2005, pengeluaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mulai
meningkat secara signifikan pada tahun 2006. Total pengeluaran daerah di Aceh naik
hampir dua kali lipat pada tahun 2006 dibandingkan dengan tingkat pengeluaran pada
tahun 2005.
Keuangan Syariah
Zakat, harta 'wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul
Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun. Zakat yang dibayar menjadi faktor
pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
Kewenangan Eksklusif
Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan untuk lembaga
keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam penyaluran kredit di Aceh
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah
Aceh dapat menetapkan tingkat suku bunga tertentu setelah mendapatkan kesepakatan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
50
Universitas Indonesia
dengan lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank terkait.
Pemerintah Aceh dapat menanggung beban bunga akibat tingkat suku bunga untuk
program pembangunan tertentu yang telah disepakati dengan DPRA. Bank asing
dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Perekonomian di Aceh merupakan perekonomian yang terbuka dan tanpa
hambatan dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.
Perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing
demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola
pembangunan berkelanjutan.
Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya
alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan
kewenangannya yang meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan
mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan
yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan
berkelanjutan.
3.4.Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Pada tahun 1983 jumlah penduduk Aceh sekitar 2,8 juta jiwa, sedangkan pada
tahun 2010 jumlahnya adalah sekitar 4,5 juta jiwa. Dengan demikian selama satu
generasi (25 tahun) jumlah penduduk Aceh meningkat tidak sampai dua kali lipat.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
51
Universitas Indonesia
Tabel 3.3. Penyebaran Penduduk Aceh Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006-2010
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, http://aceh.bps.go.id/, 2012
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Provinsi Aceh, jumlah penduduk
Provinsi Aceh pada bulan Desember 2009 adalah 4.664.987 jiwa dengan kepadatan
76 jiwa/km2. Mayoritas penduduknya beragama Islam dengan persentase 98,87
persen. Sedangkan 0,87 persen beragama Protestan, 0,15 persen beragama Budha,
0,09 persen beragama Katholik dan minoritas beragama Hindu sebesar 0,02 persen.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
52
Universitas Indonesia
Distribusi penduduk sebanyak 12,25 persen berdomisili di Kabupaten Aceh
Utara yaitu 493.670 jiwa, 11,77 persen berdomisili di Kabupaten Pidie atau 474.539
jiwa dan sisanya tersebar di seluruh Aceh. Sedangkan sebanyak 28.597 jiwa
berdomisili di Pulau Sabang, menjadikannya sebagai daerah dengan populasi terkecil.
Kota Sabang yang dahulu terkenal dengan pelabuhan bebasnya (1980-an) masih
mempunyai penduduk paling sedikit dibandingkan dengan daerah lainnya. Status
Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan pelabuhan bebasnya ternyata belum
mampu menarik penduduk pindah ke daerah kepulauan tersebut.
Kepadatan penduduk di Provinsi Aceh tahun 2009 mencapai 76 orang/km2.
Namun, penduduk yang menyebar di 23 Dati II berbeda kepadatannya antar daerah.
Daerah terpadat adalah kota Banda Aceh yang rata-rata per kilometernya wilayahnya
dihuni oleh sekitar 2.916 jiwa. Lalu kota Lhokseumawe dan kota Langsa masing-
masing 854 jiwa/km2 dan 525 jiwa/km2. Sebaliknya, daerah yang paling jarang
penduduknya yaitu hanya 13 jiwa/km2 adalah Kabupaten Gayo Lues.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
53
Universitas Indonesia
Tabel 3.4 di bawah ini memberikan gambaran ketenagakerjaan Aceh tahun
2010-2011.
Tabel 3.4. Indikator Ketenagakerjaan Tahun 2010-2011
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, http://aceh.bps.go.id/, 2012
Data pada Tabel 3.4 di atas menunjukkan bahwa sekitar 70% penduduk Aceh
merupakan penduduk usia kerja. Sekitar 66% penduduk usia kerja merupakan
angkatan kerja (AK). Data juga menunjukkan tingkat pengangguran di Aceh selama
tahun 2010-2011 masih tinggi, karena masih lebih tinggi dari 8% AK.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
54
Universitas Indonesia
3.5.Kesejahteraan Rakyat
3.5.1. Pendidikan
Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan tersebut
diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai Islam, budaya, dan kemajemukan bangsa.
Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Pemerintah Pusat, Pemerintahan
Aceh, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota mengalokasikan dana untuk membiayai
pendidikan dasar dan menengah.
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menyediakan
pendidikan layanan khusus bagi penduduk Aceh yang berada di daerah terpencil atau
terbelakang. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota memberikan
kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat dan dunia usaha untuk menyelenggarakan dan mengembangkan
pendidikan yang bermutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah,
Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan untuk mendapatkan tenaga kependidikan yang professional dari luar
negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh meningkatkan
fungsi Majelis Pendidikan Daerah yang merupakan salah satu wadah partisipasi
masyarakat dalam bidang pendidikan yang tata cara pembentukan, susunan dan
fungsinya diatur dalam Qanun Aceh.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang
berlandaskan nilai Islam dengan mengikutsertakan masyarakat dan lembaga sosial.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengakui,
menghormati dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan
sekolah sebagai muatan lokal. Pemerintah dan Pemerintah Aceh memelihara dan
mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
55
Universitas Indonesia
merawatnya sebagai warisan budaya Aceh sesuai dengan peraturan perundang-
undangan diatur dengan Qanun Aceh.
3.5.2. Sosial dan Kesehatan
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota membangun panti sosial
bagi penyandang masalah sosial dengan memberikan peran kepada masyarakat
termasuk lembaga swadaya masyarakat. Setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Setiap penduduk Aceh berkewajiban untuk ikut serta dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan
lingkungan.
Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan
yang menyeluruh tanpa biaya. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota
wajib memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan standar pelayanan minimal
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan
syari’at Islam. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
mengikutsertakan lembaga sosial kemasyarakatan untuk berperan dalam bidang
kesehatan. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan
lembaga sosial kemasyarakatan untuk berperan dalam program perbaikan, pemulihan
psikososial, dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana alam.
3.5.3. Penduduk Miskin
Persentase penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis
Kemiskinan) di Aceh pada bulan September 2011 sebesar 19,48 persen. Angka ini
menurun dibandingkan dengan Maret 2011 yaitu sebesar 19,57 persen.
Selama periode Maret 2011-September 2011, persentase penduduk miskin di
daerah perkotaan menurun 0,66 persen (dari 13,69 persen menjadi 13,03 persen),
sementara di daerah perdesaan meningkat 0,14 persen (dari 21,87 persen menjadi
22,01 persen).
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
56
Universitas Indonesia
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan lebih besar
dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan,
dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan
pada September 2011 sebesar 76,42 persen sedangkan pada Maret 2011 sebesar 76,41
persen.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan
adalah beras, rokok kretek filter, ikan tongkol/tuna/cakalang, gula pasir, telur ayam
ras, dan cabe merah. Untuk komoditi bukan makanan yang berpengaruh terhadap nilai
Garis Kemiskinan adalah biaya pakaian jadi, perumahan, bensin, dan listrik.
Pada periode Maret 2011-September 2011, Indeks Kedalaman Kemiskinan
(P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung menurun. Hal ini
mengindikasikan rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis
kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
Tabel 3.5 di bawah ini memberikan perkembangan indikator kemiskinan
provinsi Aceh,selama tahun 2010-2011.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
57
Universitas Indonesia
Tabel 3.5. Indikator Kemiskinan, 2010-2011
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, http://aceh.bps.go.id/, 2012
Data pada Tabel 3.5 di atas menunjukkan bawa sampai tahun 2011 jumlah
penduduk miskin di Aceh masih besar yaitu sekitar 900.000 jiwa atau sekiatr 20%
penduduk Aceh. Dengan demikian sampai tahun 2011 satu di antara 5 penduduk Aceh
adalah orang miskin.
3.5.4. Indeks Pembangunan Manusia(IPM)
Pembangunan manusia diartikan sebagai ‘proses memperbesar rentang pilihan
masyarakat’. Diusulkan untuk pertama kali pada 1990 oleh UNDP di dalam laporan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
58
Universitas Indonesia
global Human Development, konsep ini dikembangan oleh dua ekonom, yaitu
Mahbub ul Haq dan Amartya Sen. Tabel berikut ini menunjukkan IPM Aceh.
Tabel 3.6 di bawah ini menunjukkan perkembangan angka IPM
kabupaten/kota Aceh selama periode 2010-2011.
Tabel 3.6. Indeks Pembangunan Manusia dan Reduksi Shortfall
Menurut Kabupaten/Kota 2009-2011
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, http://aceh.bps.go.id/, 2012
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
59
Universitas Indonesia
Tabel 3.6. menggambarkan kualitan pembangunan manusia setiap kabupaten.
Dari data di atas terlihat kualitas IPM kota lebih baik dibanding kabupaten, kecuali
kota Subussalam. IPM kota Banda Aceh merupakan IPM tertinggi yaitu 77,00 pada
tahun 2009 meingkat menjadi 77,45 pada tahun 2010. Sedangkan kabupaten Gayo
Lues merupakan IPM terendah yaitu 67,59 tahun 2009 kemudian mengalami
perbaikan sangat sedikit tahun 2010 yaitu 67,86. Secara umum IPM Aceh pada tahun
2009 yaitu 71,31 yang mengalami perbaikan sangat kecil yaitu 71,70 pada tahun
2010.
3.5.5. HAM dan Rekonsiliasi
Setiap penduduk berhak: antara lain atas kebebasan untuk melakukan
penelitian akademik, kreasi seni, sastra, dan aktivitas budaya lain yang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam; Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah UU
11/2006 diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh yang
putusannya memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi
bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan
melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang
bermartabat.
Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi dibentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi
manusia di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat
mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tata
cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas,
dan biaya penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh selanjutnya
akan diatur dengan Qanun Aceh.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
60
Universitas Indonesia
3.6. Periodesasi Konflik Aceh
Komnas Perempuan (2007), membagi konflik Aceh kedalam 3 periodesasi
yaitu:
a. Masa Daerah Operasi Militer ≤1999)
Sebagai daerah konflik bersenjata, khususnya setelah tahun 1989 ketika Aceh
dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer/DOM, perempuan secara khusus menjadi
bagian strategi perang dari pihak-pihak yang bertikai. Masa operasi militer ini
berlangsug bahkan setelah pemeritah RI mencabut status DOM pada 7 Agustus 1998.
Kebijakan ini diikuti penarikan sejumlah pasukan non organik dan disertai pernyataan
lisa Panglima ABRI jenral Wiranto tentang permintaan maaf atas berbagai tindak
kekerasan yang terjadi oleh aparat militer.
b. Masa Dialog Damai (2000-Mei 2003)
Masa ini ditandai denga kesepakatan antara pemerinah RI dan GAM pada 12 Mei
2000 tentang penetapan Jeda Kemanusiaan yang mulai berlaku pada 2 juni 2000. Jeda
Kemanusiaan bertujuan antara lain untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan pada
masyarakat korban akibat konflik di Aceh melalui Komte Bersama Kemanusiaan dan
untuk meningkatkan langkah-langkah membangun kepercaan untuk mendapatkan
solusi damai terhadap situasi konflik di Aceh. Karena dinilai gagal, upaya mencapai
perdamaian ditindaklanjuti dengan Perjanjian Penghentian Permusuhan (Cessation of
Agreement/CoHA) yang ditandaangani pada 9 Desember 2002 dan melibatkan pihak
international. CoHA pun kemudian gagal untuk menghentikan permusuhan dan
tindakan kekerasan dari kedua belah pihak.
c. Masa Darurat Militer dan Sipil (19 Mei 2003-15 Agustus 2005)
Gagalnya CoHA ditanggapi pemerintah RI denaga memberlakukan Keppres No 28
tahun 2003. Sejak 19 Mei 2003 sampai dengan 19 November 2003, Aceh dinyatakan
sebagai daerah yang berada dalam status Darurat Militer. Status ini diperpanjang
berdasarkan Keppres No 97 tahun 2003 sampai dengan 19 November 2004. Baru
pada 15 Mei 2005, status Darurat Militer dicabut dan diganti ke status Darurat Sipil.
Bagi masyarakat, perubahan dari darurat Militer ke Darurat Sipil tidak mempunyai
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
61
Universitas Indonesia
signifikansi kerena kekerasan, tekanan dan pembatasan pada kebebasan sipil terus
berlangsung.
Masa Penandatanagan MoU Damai Antara Pemerintah RI da GAM
Bencana tsunami yang menghantam sebagian besar wilayah Aceh membawa
kehancuran yang begitu massif -bukan hanya dari segi kerusakan fisik tetapi juga
kehilangan nyawa- dan sekaligus mendorong dibukanya fase baru dialog damai antara
RI da GAM difasilitasi oleh pemerintah Finlandia. Sejak 15 Agustus 2005, melalui
penandatanagan MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM, konflik bersenjata di
Aceh dinyatakan berakhir.
Al Chaidar, Sayed, dan Yarmen (1999) mengutip pernyataan mantan Pangdam
I/Bukit Barisan Mayjen TNI HR Pramono (1990-1993), bahwa selama tahun 1990-
1992, Kodam I/BB melancarkan operasi jaring I dan operasi jaring. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan M Adli Abdullah yang menyatakan Daerah Operasi Militer
(DOM) Aceh tidak ada, yang ada adalah operasi jaring merah yang dimulai tahun
1990.10
Berdasarkan sumber diatas maka disimpulkan konflik di Aceh dalam penelitian
ini di mulai sejak tahun 1990 ditandai dengan diberlakukannya operasi jaring merah,
dan berakhir tahun 2005 dengan adanya penandatangan damai antara RI dan GAM di
Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan demikian periode tahun 1980-1989
merupakan periode pra konflik, periode tahun 1990-2005 merupakan periode konflik
dan tahun 2006-2010 merupakan periode pasca konflik.
10M. Adli Abdullah adalah Doktor hukum dan pengajar Fakultas Hukum di Universitas Syah Kuala
sekaligus sebagai pengamat sejarah Aceh. Pernyataan tersebut dikonfimasikan secara langsung
kepada peneliti melalui telpon.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
62 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Perkembangan Kinerja Ekonomi Makro
Tabel 4.1 di bawah ini memberikan gambaran awal tentang perkembangan
kinerja ekonomi makro di provinsi Aceh, selama tiga puluh tahun terakhir. Sesuai
kebutuhan studi, maka perkembangan selama tahun 1980-2010 dikelompokkan
menjadi tiga periode, yaitu Pra Konflik (1980-1989), Periode Konflik (1990-2005)
dan Periode Paska Konflik, yang ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian damai
di Helsinki pada tahun 2005.
Tabel 4.1. Perbandingan Perkembangan Kinerja Ekonomi Aceh
Periode Pra Konflik, Periode Konflik dan Paska Perdamaian Helsinki
Indikator
Ekonomi
Periode
Pra
Konflik
(1980-
1989)
Periode Konflik (1990-2005) Periode
Paska
Perjanjian
Helsinski
(2006-2010)
1990-
1995
1996-
2000
2001-
2005
1990-
2005
Berdasarkan Data PDRB termasuk minyak dan gas harga konstan 2000 Pertumbuhan
Ekonomi1(%/Tahun) 10 -3,4 -5,5 -1,0 -2,5 -2,7
Laju Inflasi2
(%/Tahun) 5,9 16,6 32,5 13,4 17,7 5.7
Berdasarkan Data PDRB tidak termasuk minyak dan gas harga konstan 2000
Pertumbuhan
Ekonomi1(%/Tahun) 4,7 6,8 -3,2 3,0 2,2 4,6
Laju Inflasi2
(%/Tahun) 12,9 11,9 25,9 9,7 15,6 5,2
Tingkat Pengangguran3
(% Angkatan Kerja) 6,6 6,6 10 5 7,5 5,3
Sumber: Diolah dari data BPS ; Catatan:1)Harga konstan 2000;2)Berdasarkan Deflator PDB; 3) =
Angka Rata-Rata
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
63
Universitas Indonesia
4.1.1.Pertumbuhan Ekonomi
Konflik Aceh bermula dengan gangguan-gangguan kecil yang lebih bersifat
protes rakyat yang berkembang menjadi sporadis, kemudian semakin berlarut-larut,
dan sewaktu-waktu menjadi parah, reda dan parah lagi. Akar masalahnya adalah
ketidakadilan pembangunan dan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis pada
masa Orde Baru. Namun karena setiap pernyataan ketidak puasan atau protes dari
rakyat ditangani dengan pendekatan milietr maka kondisi keamananlah yang
kemudian menjadi lebih menonjol. Akibatnya permasalahan tidak pernah
terselesaikan secara tuntas.Keadaan menjadi bertambah parah dengan adanya operasi
militer, yang lebih dikenal dengan istilah DOM (Daerah Operasi Militer) yang diakui
sangat sadis itu. Semua ini sesungguhnya menjadi pelajaran yang amat pahit untuk
tidak diteruskan dan diulangi lagi dimasa depan.11
Apapun penyebabnya, konflik Aceh yang dibiarkan berlarut-larut telah
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Gambar 4.1 di bawah ini menunjukkan bahwa
diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) termasuk minyak dan gas
(Migas) dan tidak termasuk Migastahun dasar 2000, perekonomian Aceh terus
memburuk selama periode konflik tahun1990-2005.
11Said Zainal Abidin, Kondisi Perekonomian Aceh dan Upaya Penyelamatan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
64
Universitas Indonesia
Gambar 4.1. Perkembangan PDRB Harga Konstan 2000 Aceh 1979-2010(Miliar Rupiah) Sumber : Diolah dari data BPS berbagai tahun
Dari gambar PDRB Riil berdasarkan tahun dasar 2000, tercatat bahwa
sebelum konflik PDRB riil berkisar antara 18-40 trilyun Rupiah.Sedangkan selama
konflik tercatat PDRB riil sangat tinggi antara 35-54 Trilyun Rupiah.Kemudian pada
periode setelah konflik turun lagi menjadi berkisar antara 33-36 Trilyun Rupiah.
Angka PDRB riil mencapai tertinggi pada tahun 1991, yaitu pada tahun awal periode
konflik. Hal ini sangat menarik untuk dicermati, mengingat pada masa konflik justru
PDRB lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelum dan sesudah konflik. Namun
kemungkinan meningkatnya nilai PDRB riil selama 1990-1991 lebih disebabkan
dampak dari kondisi-kondisi periode sebelum konflik. Setelah tahun 1991 PDRB riil
terus mengalami tren penurunan. Bahkan nilai PDRB riil tahun 2010 adalah sama
dengan nilai PDRB riil tahun 1988 atau nilai 24 tahun yang lalu.
Pola perkembangan seperti yang terlihat dalam Gambar 4.1. dapat dijelaskan
dengan menggunakan data pertumbuhan ekonomi pada Tabel 4.1.
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
6000000019
7919
8719
9520
03
PDRB Riil 2000
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
1980
1988
1996
2004
PDRB Non Migas
PDRB Non Migas
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
65
Universitas Indonesia
Sebelum periode konflik ekonomi Aceh mampu tumbuh rata-rata 10% per
tahun. Selama periode ini, tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 10% per tahun
tercapai pada tahun 1980, 1983 dan 1984. Tingkat pertumbuhan tertinggi pada
periode ini adalah 25%/tahu di than 1980. Sedangkan tingkat pertumbuhan terendah
terjadi pada tahun 1986 yaitu 0,5%. Pola pertumbuhan ekonomi Aceh periode Pra
Konflik tampaknya berhubungan dengan pergerakan harga minyak bumi.
Selama periode konflik pertumbuhan ekonomi umumnya selalu negatif.Secara
keseluruhan, selama periode 1990-2005 pertumbuhan ekonomi Aceh rata-rata -2,5%
per tahun. Tingkat pertumbuhan yang positif, hanya terjadi pada 1996 dan tahun
2001-2003. Tingkat pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 1992 yaitu -23,9%
yang jauh lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan pada krisis ekonomi 1998,
yaitu -9,3%/tahun.
Konflik militer telah menyebabkan banyak orang tidak dapat mengusahakan
lahannya dan dipaksa masuk ke tempat-tempat pengungsian atau dipindahkan,
sehingga lahan dan harta milik mereka terbengkalai (Barron et al, 2005).Konflik
tersebut berdampak buruk pada lingkungan usaha di provinsi tersebut sebab para
tentara baik militer maupun GAM menuntut “pajak” dari usaha-usaha berskala kecil
maupun besar, serta dari masyarakat (Schulze, 2004; Sukma, 2004). Serangan-
serangan yang dilancarkan terhadap lahan gas bumi beserta fasilitas pengolahannya
semakin menjadi-jadi, sehingga PT. Arun pun terpaksa menutup pabrik LNG-nya
pada tahun 2001 selama lima bulan karena kurangnya keamanan.
Penandatanganan MoU dua tahun kemudian yang mengakhiri konflik selama
30 tahun tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik akan terulang kembali.
Hal ini merupakan penghalang utama bagi investasi jangka panjang di provinsi
tersebut.Prasarana umum juga terkena dampak yang cukup buruk selama masa
konflik.Sekitar 11 hingga 20% dari keseluruhan jumlah prasarana transportasi terkena
dampak langsung dari konflik tersebut, tergantung jenis prasarananya (Bank Dunia/
Program Pembangunan Kecamatan, 2007).Kerusakan serupa juga tercatat dialami
oleh prasarana-prasarana lainnya (air, listrik) dan bahkan sebagian besar prasarana
rusak berat karena kurangnya pemeliharaan, yang sangat berkaitan dengan adanya
konflik tersebut.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
66
Universitas Indonesia
Paska perjanjian damai Helsinky perekonomian Aceh masih mengalami
pertumbuhan negatif, yaitu rata-rata -2,7%/tahun. Tingkat pertumbuhan terendah
terjadi pada tahun 2009 yaitu -5,9%/tahun. Namun tahun 2010, pertumbuhan ekonomi
Aceh untuk pertama kalinya mencapai angka positif, yaitu 2,8%/tahun. Laju
pertumbuhan ini lebih rendah dari laju pertumbuhan nasional yang waktu itupun
relatif rendah, yaitu 4,5% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian damai
yang sudah disepakati selama lima tahun belum berhasil sepenuhnya memulihkan
pertumbuhan ekonomi Aceh
Namun pola yang berbeda terlihat bila analisis menggunakan PDRB riil tidak
termasuk Migas. Dari gambar 4.1 terlihat bahwa walaupun sangat fluktuatif , PDRB
riil tidak termasuk Migas menunjukkan tren yang meningkat. Selama periode sebelum
konflik laju pertumbuhan ekonomi adalah 4,7%/tahun yang jauh lebih rendah
dibanding dengan laju pertumbuhan PDRB riil termasuk Migas. Namun selama
periode konflik (1990-2005) PDRB riil tidak termasuk Migas mengalami
pertumbuhan 2,2%/tahun. Dalam periode-periode yang lebih pendek, hanya pada
periode 1995-2000 saja yang mengalami pertumbuhan negative yaitu -3,2%/tahun.
Sedangkan pada periode 1990-1995 pertumbuhan relative tinggi yaitu 6,9%/tahun dan
periode 2000-2005 juga lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan PDRB riil
termasuk Migas. Selama periode paska perdamaian Helsinki, pertumbuhan PDRB riil
Migas mencapai 4,6%/tahun yang juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan PDRB riil termasuk Migas pada periode yang sama.
Data di atas menunjukkan bahwa sekalipun selama periode pengamatan, nilai
PDRB riil tidak termasuk Migas selalu lebih kecil dibanding PDRB riil termasuk
Migas, namun tingkat perkembangannya cenderung positif dan lebih stabil
dibandingkan dengan PDRB riil termasuk Migas.
4.1.2.Stabilitas Harga Umum
Dalam studi ini stabilitas harga umum dievaluasi dengan menggunakan indeks
harga umum Deflator PDB atau Indeks Harga Implisit (IHI) yang memasukkan
seluruh jenis barang/jasa dalam perhitungannya. Dengan demikian IHI memberikan
gambaran perkembangan perubahan harga (inflasi) yang paling agregat.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
67
Universitas Indonesia
Data pada Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa selama periode Pra Konflik,
inflasi di Aceh rata-rata adalah 5,9%/tahun. Namun bila dilihat angka inflasi tahunan,
Aceh beberapa kali mengalami inflasi lebih tinggi dari 10%/tahun, seperti tahun 1980
(50,2%/tahun), 1983 (27,6%/tahun) dan 1986(21,9%/tahun).
Selama periode konflik 1990-2005, inflasi di Aceh rata-rata adalah
17,7%/tahun. Bila diamati dengan interval waktu yang lebih pendek, maka inflasi
tertinggi terjadi selama periode 1996-2000 yaitu rata-rat 32,5%/tahun. Sedangkan
inflasi terendah terjadi pada periode 2001-2005 yaitu 13,4%/tahun. Inflasi tahunan
yang tertinggi terjadi tahun 1998 yaitu 61,2%/tahun. Selama periode konflik Aceh
berkali-kali mengalami inflasi yang lebih tinggi dari 20% per tahun, yaitu tahun 1992
(41,8%/tahun), 1993(21,5%/tahun), 1995 (22,7%/tahun), 1998 (61,2%/tahun),
2000(44,9%/tahun) dan 2005 (30,7%/tahun). Bila memasukkan tahun-tahun dimana
Aceh mengalami inflasi lebih tinggi dari 10%/tahun), dapat dikatakan bahwa selama
periode konflik, sekitar lebih dari separuh tahun dijalani denganinflasi yang tinggi.
Selama periode paska konflik inflasi di Aceh adalah rata-rata 5,7% /tahun.
Inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu 15,5%/tahun. Sedangkan inflasi
terendah terjadi pada tahun 2009 (1,9%/tahun). Bila dibandingkan dengan tingkat
nasional, inflasi di Aceh sangat fluktuatif dari -11%/tahun pada tahun 1989 hingga
61,2% pada tahun 1998 saat terjadi krisis moneter. Sejak pertengahan tahun 2007,
inflasi di Aceh tehitung lebih rendah dari tingkat nasional. Setelah meningkat tajam
pada tahun 2005, ketika proses rekonstruksi dimulai, inflasi terhitung tinggi pada
beberapa tahun kedepan. Pada tahun 2008, searah dengan menurunnya aktifitas
rekonstruksi dan membaiknya rantai barang dan jasa telah mengakibatkan rendahnya
inflasi.Pada bulan February 2009, inflasi tercatat sebesar 5,9% (YoY), jauh dibawah
tingkat nasional pada 8,6% dan 7,7% untuk provinsi Sumatera Utara.12
Ketika berbicara tentang laju inflasi di Aceh, mungkin menjadi sebuah
kecemasan baru bagi masyarakat Aceh ketika angka mencapai 11%/tahun yang lebih
tinggi dari inflasi nasional yang hanya 6,5%/tahun yaitu meurunnya kemampuan
12http://www -
wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2009/07/01/000333038_200907010
14828/Rendered/PDF/491870NEWS0BAH1AEU1june091bhs1final.pdf
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
68
Universitas Indonesia
membeli barang/jasa.13
4.1.3.Tingkat Pengangguran
Inflasi juga mempengaruhi aspek pendidikan dan kesehatan
yang seyogyanya menjadi prioritas negara. Tingginya laju inflasi tanpa adanya upaya
pemerintah dalam membendungnya akan semakin memundurkan pendidikan dan
kesehatan daerah kita. Sebelumnya juga begitu kompleks permasalahan yang dialami
kedua bidang ini, mulai rendahnya pelayanan publik, tingginya biaya, dan segala
kesalahan administrasi yang dilakukan oleh pemerintah (kesalahan administarsi
merupakan bahasa lain dari korupsi).
Gejala-gejala ini sudah umum dialami oleh Aceh. Akumulasi masalah terus
berlanjut. Satu permasalahan belum selesai, sudah muncul lagi permasalahan baru.
Realitas ini akan terus berlanjut seperti putaran roda yang tak berujung jika
pemerintah tidak memiliki nurani yang jujur dalam berkuasa. Harga barang pokok
perlahan-lahan mulai naik, dan masyarakat harus berpikir untuk membelanjakan
barang sesuai dengan pendapatan yang diterimanya.
Bila menggunakan deflator PDRB berdasarkan PDRB tidak termasuk Migas,
terlihat bahwa laju inflasi umumnya lebih rendah dibanding dengan menggunakan
PDRB riil termasuk Migas. Hanya pada periode sebelum konflik, laju inflasi lebih
tinggi dibandingkan dengan menggunakan data PDRB riil termasuk Migas.
Data Pada tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa sebelum periode konflikpun
tingkat pengangguran di Aceh sudah tinggi, yaitu rata-rata 6,6% AK. Tingkat
pengangguran ini jauh lebih tinggi dari tingkat pengangguran nasional pada periode
yang sama yang hanya sekitar 2,5% AK. Tingkat pengangguran di Aceh
menunjukkan pola yang unik, karena selama 16 tahun (1980-1996) angkanya tidak
pernah berubah yaitu 6,6% AK setiap tahun.
Pada periode konflik tingkat pengangguran di Aceh rata-rata 7,5% AK.
Tingkat pengangguran tertinggi terjadi selama periode 1996-2000, yaitu 10% AK.
Tingkat pengangguran ini sekitar dua kali lipat tingkat pengangguran nasional pada
periode yang sama. Tingkat pengangguran yang terjadi pada tahun-tahun; 1997
(10% AK), 1999 (14,6% AK) dan 2000 (17,4% AK). 13T. Mukhlis, Inflasi, 1 Dari 1001 Masalah Aceh
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
69
Universitas Indonesia
Tingkat pengangguran di Aceh pada beberapa tahun selama periode paska
konlik yaitu tahun 2008-2010 rata-rata 7,4% AK. Tingkat pengangguran ini lebih
rendah dari tingkat pengangguran nasional yang pada periode tersebut masih sekitar
9% AK. Selama tahun 2005-2007 tingkat pengangguran amat rendah, karena rata-rata
di bawah 2% per tahun. Hal ini harus diteliti lebih lanjut, atau kemungkinan ada salah
pelaporan dari BPS.
Bila dibandingkan dengan laju inflasi maupun tingkat pertumbuhan ekonomi,
maka tingkat pengangguran di Aceh adalah indikator ekonomi makro yang paling
stabil perkembangannya. Namun karena tingkat pengangguran stabil pada tingkat
yang di atas rata-rata nasional, maka kemungkinan besar pengangguran di Aceh
bersifat struktural dan kronis.
Data PDRB untuk Aceh menunjukkan bahwa perbandingan porsi PDRB
Migas dan PDRB tidak termasuk Migas terhadap PDRB riil Aceh menunjukkan
fluktuatif menurun.Presentase Porsi PDRB Migas terhadap PDRB riil lebih besar
dibandingkan dengan PDRB tidak termasuk Migas terhadap PDRB riil, khususnya
pada periode sebelum konflik.Porsi ini berangsur menjadi semakin mendekati
seimbang pada periode setelah konflik. Hal ini menunjukkan bahwa Migas tidak lagi
menjadi primadona dalam menggerakkan ekonomi Aceh.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada beberapa tahun belakangan di dorong oleh
usaha-usaha rekonstruksi dan ketersediaan dana yang cukup besar untuk ini. Sejalan
dengan menurunnya usaha-usaha rekonstruksi, sektor-sektor yang terkait rekonstruksi
mengalami perlambatan atau pertumbuhan negatif, seperti sektor bangunan dan
transportasi.Perekonomian Aceh tercatat menurun sebesar 8,3% jika termasuk Migas.
Perekonomian Aceh mengalami perubahan yang cukup besar dalam beberapa
tahun terakhir. Tsunami dan usaha rekonstruksi yang cukup besar dan penurunan
cadangan Migas yang turut mengakibatkan kesulitan perhitungan statistik terutama
pada sisi produksi. Beberapa data pertumbuhan seperti penurunan cadangan Migas
sebesar 50% sepertinya tidak sejalan dengan sumber data lain seperti yang dilaporkan
oleh Departeme Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketidakkonsistensian ini mungkin
disebabkan oleh lemahnya pengumpulan data yang sampai dewasa ini merupakan
masalah umum perekonomian Indonesia.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
70
Universitas Indonesia
4.1.4.Struktur Produksi
Tabel 4.2 di bawah ini menunjukkan perkembangan struktur produksi agregat
Aceh selama periode Pra Konflik. Data tersebut menunjukan bahwa struktur produksi
ekonomi Aceh adalah kurang seimbang.
Peranan sektor sektor sekunder meningkat pesat dari 4% PDRB riil pada tahun
1980 menjadi 63,9% PDRB riil pada tahun 1989. Dengan demikian peranan sektor
sektor sekunder meningkat 16 kali lipat dalam waktu kurang dari sepuluh tahun.
Namun peningkatan peranan sektor sekunder yang sangat cepat tersebut di atas, lebih
disebabkan meningkatnya peranan Migas. Perkembangan peranan sektor Migas ini
nampaknya menjadi pendorong peningkatan peranan sektor industri dari 1,69%
PDRB riil pada tahun 1980 menjadi 20,7% PDRB riil tahun 1989.
Tabel 4.2. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh
Periode 1980-1989
Tahun
Perta- nian
Pertam- bangan
Primer
Migas
Indu- stri
Lis- trik
Kons- truksi
Sekunder
Perda- gangan
Angk- utan
Keua- ngan
Peme- rintah
Tersier
1980
18.18 65.57
83.74 -
1.61
0.08
2.26 3.95 4.14
3.38
1.11
3.67 12.31
1981
18.64 62.80
81.44 -
1.71
0.08
2.66 4.45 4.48
4.77
1.22
3.65 14.11
1982
17.73 61.40
79.13 -
1.90
0.10
2.82 4.82 4.87
5.51
1.26
4.41 16.05
1983
5.98 16.49
22.47
71.17
0.62
0.03
0.67 72.50 1.83
1.68
0.32
1.19 5.02
1984
4.68 16.87
21.54
73.01
0.55
0.03
0.46 74.04 1.72
1.43
0.26
1.00 4.42
1985
8.22 22.31
30.54
41.14
20.99
0.06
0.61 62.79 2.93
1.67
0.39
1.68 6.67
1986
9.24 22.70
31.93
40.24
19.95
0.06
0.59 60.85 3.13
1.81
0.44
1.84 7.22
1987
8.71 21.27
29.97
40.71
21.72
0.07
0.53 63.03 3.02
1.84
0.44
1.70 7.00
1988
8.29 21.73
30.02
40.94
21.48
0.07
0.68 63.17 3.02
1.74
0.43
1.61 6.81 1989 6.71 23.65 30.36 42.54 20.70 0.07 0.57 63.88 2.43 1.36 0.38 1.59 5.76
Sumber : Diolah dari data BPS berbagai tahun
Peranan sektor primer mengalami penurunan drastis dari 83,7% PDRB riil
pada tahun 1980 menjadi 30,4% PDRB riil pada tahun 1989. Penurunan sektor
sekunder disebabkan penurunan peranan sektor pertambangan. Sementara itu peranan
sektor pertanian selama periode 1980-1989 juga mengalami penurunan drastis. Pada
tahun 1980 sektor pertanian menyumbang 18,2% PDRB riil, tetapi pada tahun 1989
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
71
Universitas Indonesia
hanya menyumbang 6,7% PDRB riil.Sektor yang pernannya kecil dan terus menurun
selama periode pra konflik adalah sektor tersier. Pada tahun 1980 sektor primer
menyumbang 12,3% PDRB riil, tetapi pada tahun 1989 peranannya tinggal 5,8%
PDRB riil. Sektor yang paling dominan di sektor tersier adalah sektor perdagangan
yang pernah mencapai 4,9% PDRB riil tahun 1982.
Tabel 4.3 berikut ini memberikan gambaran tentang perkembangan struktur
produksi agregat perekonomian Aceh, periode konflik.
Tabel 4.3. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh
Periode 1990-2005(% PDRB Riil)
Tahun
Perta- nian
Pertam- bangan
Primer
Migas
Indu- stri
Lis- trik
Kons- truksi
Sekunder
Perda- gangan
Angk- utan
Keua- ngan
Peme- rintah
Tersier
1990
5.97 26.96
32.93
43.29
17.93
0.07
0.67 61.95 2.14
1.21
0.34
1.44 5.13
1991
7.71 26.11
33.83
39.96
18.73
0.08
1.17 59.95 2.57
1.87
0.34
1.44 6.23
1992
9.43 25.31
34.75
36.64
19.52
0.10
1.67 57.94 3.00
2.53
0.35
1.44 7.31
1993
11.12 24.53
35.65
33.39
20.29
0.12
2.16 55.97 3.42
3.17
0.35
1.44 8.38
1994
12.81 23.74
36.55
30.14
21.06
0.14
2.66 54.00 3.84
3.82
0.36
1.44 9.45
1995
14.47 22.97
37.44
26.95
21.82
0.16
3.14 52.07 4.25
4.45
0.36
1.44 10.49
1996
16.11 22.21
38.32
23.79
22.57
0.18
3.61 50.15 4.65
5.08
0.37
1.43 11.53
1997
16.93 21.24
38.17
19.75
22.26
0.19
3.90 46.10 4.82
5.44
1.11
4.37 15.74
1998
19.35 19.40
38.76
18.01
22.95
0.23
3.48 44.67 5.37
6.51
(0.28)
4.97 16.57
1999
20.70 17.96
38.66
16.51
22.77
0.25
3.01 42.54 5.51
7.22
0.76
5.31 18.80 2000 15.28 25.41 40.69 26.14 13.32 0.09 3.59 43.14 8.79 2.73 0.48 4.17 16.17
2001
18.51 21.73
40.24
20.89
14.76
0.11
3.17 38.93 11.54
3.46
0.61
5.22 20.82
2002
13.99 27.23
41.22
26.57
13.03
0.08
2.72 42.40 8.92
2.71
0.57
4.17 16.38
2003
13.55 27.98
41.53
27.35
12.39
0.09
2.57 42.40 8.56
2.66
0.70
4.16 16.07
2004
15.33 23.66
38.99
22.93
14.07
0.11
2.88 40.00 9.24
2.88
0.93
7.96 21.01
2005
16.94 21.15
38.09
20.31
12.57
0.13
2.77 35.78 11.33
3.79
0.96
10.04 26.12 Sumber: Diolah dari data BPS
Data pada Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa peranan sektor primer relatif
stabil yaitu rata-rata 38% PDRB riil. Selama periode konflik, peranan sektor pertanian
meningkat drastis dari 6% PDRB riil pada tahun 1990 menjadi 16,9% PDRB riil
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
72
Universitas Indonesia
tahun 2005. Sedangkan peranan sektor pertambangan mengalami sedikit penurunan.
Namun dibandingkan dengan peranan selama periode sebelum konflik, maka peranan
pertambangan selama periode konflik mengalami penurunan drastis.
Selama periode konflik peranan sektor sekunder terus mengalami penurunan
menjadi hanya kurang dari separuh dari periode sebelum konflik. Hal ini berkaitan
dengan juga terus menurunya peranan Migas dari 43,3% PDRB riil pada tahun 1990,
menjadi 20,3% PDRB riil pada tahun 2005. Sedangkan sektor yang mengalami
peningkatan pesat di sektor sekunder adalah sektor konstruksi dari 0,67% PDRB riil
pada tahun 1990 menjadi 2,8% PDRB riil pada tahun 2005.
Yang menarik adalah selama periode konflik peranan sektor tersier justru terus
meningkat, dari hanya 5,3% PDRB riil tahun 1990 menjadi 26,1% PDRB riil pada
tahun 2005. Sektor yang paling cepat peningkatan peranannya adalah sektor
perdagangan dan pemerintahan.
Tabel 4.4. menunjukkan perkembangan struktur produksi agregat Aceh selama
periode paska konflik.
Tabel 4.4. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh
Periode 2006-2010
Tahun
Perta- nian
Pertam- bangan
Primer
Migas
Indu- stri
Lis- trik
Kons- truksi
Sekunder
Perda- gangan
Angk- utan
Keua- ngan
Peme- rintah
Tersier
2006
17.08 20.80
37.88
19.31
10.84
0.14
4.09 34.38 12.09
4.18
1.07
10.41 27.74
2007
18.85 17.78
36.63
15.92
10.38
0.19
4.96 31.45 13.09
4.94
1.23
12.67 31.93
2008
20.85 14.43
35.28
12.43
10.51
0.23
5.56 28.73 15.03
5.49
1.40
14.07 35.99
2009
24.31 8.88
33.19
6.56
11.16
0.34
6.30 24.36 17.55
6.51
1.73
16.66 42.46
2010
24.82 8.53
33.35
6.10
9.78
0.34
6.57 22.80 18.52
6.81
1.74
16.78 43.85 Sumber: Diolah dari data BPS
Selama periode paska konflik, hanya sektor tersier yang mengalami
peningkatan peranan dalam struktur produksi agregat Aceh. Pada tahun 2006 peranan
tersier adalah 10,41% PDRB riil, meningkat menjadi 43,9% PDRB riil pada tahun
2010.Namun sayangnya, sektor yang paling dominan dan terus meningkat peranannya
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
73
Universitas Indonesia
adalah sekor pemerintah. Pada tahun 2006 peranan sektor pemerintah adalah 10,41%
PDRB riil, meningkat menjadi 16,8% PDRB riil pada tahun 2010.
4.1.5.Struktur Pengeluaran
Tabel 4.5 di bawah ini memberikan gambaran tentang perkembangan struktur
pengeluaran agregat Aceh selama periode pra konflik.
Tabel 4.5. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh
Berdasarkan PengeluaranPeriode 2006-2010
Tahun Rumah Tangga
LSM
Kon- sumsi
Pemerintah
Modal
Stok
Ekspor
Impor
1983 13.67 0.16 2.49 7.55 2.77 63.04 10.32
1984 13.32 0.15 2.15 2.78 4.18 71.32 6.10
1985 13.33 0.14 2.06 3.93 3.81 70.29 6.43
1986 13.87 0.15 2.29 2.78 4.97 70.44 5.50
1987 14.98 0.20 4.02 3.94 2.49 64.85 9.52
1988 14.81 0.20 3.80 3.31 2.59 66.52 8.77
1989 15.31 0.21 4.11 5.03 3.15 64.54 7.64 Sumber: Diolah dari data BPS
Selama periode pra konflik, peranan ekspor dalam pengeluaran agregat sangat
besar yang mencapai rata-rata 67,3% PDRB riil. Hal ini berhubungan erat dengan
perkembangan peranan sektor pertambangan dan Migas. Pengeluaran nomor dua
terbesar adalah konsumsi rumah tangga yang bila ditambah dengan konsumsi lembaga
nir laba, peranannya rata-rata adalah 16,2% PDRB riil. Sedankan porsi pengeluaran
investasi (pembentukan modal tetap domestic bruto, (PMTDB) ternyata sangat kecil,
yaitu rata-rata hanya 4,2% PDRB riil.
Selama periode konflik peranan ekspor dalam perekonomian Aceh adalah
fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan. Pola yang sangat fluktuatif juga
terlihat dalam hal peranan impor. Komponen pengeluaran agregat yang peranannya
terus membesar adalah konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga nir laba. Pada
tahun 1990 peranan komponen konsumsi rumah tangga adalah 15,7% PDRB riil dan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
74
Universitas Indonesia
meningkat menjadi 26,4% PDRB riil pada tahun 2005. Peranan rata-rata konsumsi
rumah tangga adalah 26,4% PDRB riil.
Tabel 4.6 di bawah ini memberikan gambaran tentang perkembangan struktur
pengeluaran agregat Aceh selama periode konflik.
Tabel 4.6. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh
Berdasarkan Pengeluaran Periode 1990-2005 (% PDRB Riil)
Tahun Rumah Tangga LSM
Kon- sumsi
Pemerintah Modal Stok Ekspor Impor
1990 15.71 0.22 4.17 5.59 3.05 63.65 7.61
1991 16.37 0.24 4.29 5.69 2.96 63.06 7.40
1992 17.09 0.25 4.37 5.61 2.91 62.49 7.29
1993 24.25 0.30 5.20 8.27 2.85 52.15 6.99
1994 31.41 0.35 6.02 10.94 2.78 41.81 6.69
1995 31.99 0.36 6.14 10.86 3.57 40.86 6.23
1996 31.97 0.36 6.22 12.22 2.36 40.71 6.16
1997 31.42 0.35 6.52 11.71 2.41 39.83 7.75
1998 31.47 0.37 7.67 11.31 2.45 37.79 8.95
1999 34.06 0.39 7.29 10.57 2.47 35.66 9.56
2000 24.72 0.16 4.43 5.34 3.48 56.96 4.92
2001 34.72 0.23 8.75 8.75 1.84 33.42 12.29
2002 20.49 0.16 7.32 9.99 (0.70) 61.28 1.47
2003 27.71 0.22 12.97 0.81 4.56 50.19 3.54
2004 22.39 0.19 13.69 6.58 0.77 54.57 1.82
2005 26.39 0.18 16.02 10.83 1.22 32.96 12.39 Sumber: Diolah dari data BPS
Yang juga harus dicermati lebih lanjut adalah porsi investasi dalam
pengeluaran agregat. Setelah mengalami peningkatan selama periode 1990-1996,
memasuki tahun 1997 sampai 2005 porsinya terus menurun. Porsi rata-rata investasi
selama periode konflik adalah 8,4% PDRB riil. Hal ini menunjukkan betapa
rendahnya pemupukan barang modal di Aceh selama periode konflik.
Tabel 4.7 di bawah ini memberikan gambaran tentang perkembangan struktur
pengeluaran agregat Aceh selama periode paska konflik.Persentase pengeluaran
terbesar PDRB selama setelah konflik bergeser sebelumnya adalah Ekspor yang
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
75
Universitas Indonesia
mencapai antara 37% turun menjadi 25%.Namun terjadi peningkatan signifikan pada
pengeluaran rumah tangga yang naik lebih dari 28% menjadi 32%.Sedangkan
pengeluaran lainnya seperti konsumsi pemerintah juga meningkat menjadi 21%.
Pengeluaran lainnya lembaga swadaya masyarakat, modal, stok dan impor kurang dari
20%.14
Tabel 4.7. Perkembangan Struktur PDRB Harga Konstan 2000 Aceh
Berdasarkan Pengeluaran Periode 2006-2010
(% PDRB Riil)
Tahun Rumah Tangga LSM
Kon- sumsi
Pemerintah Modal Stok Ekspor Impor
2006 27.61 0.24 18.65 12.95 2.80 36.49 1.26
2007 27.41 0.24 17.41 12.81 1.44 33.73 6.96
2008 28.20 0.26 16.08 13.50 0.91 32.83 8.22
2009 30.84 0.28 20.87 13.91 (1.27) 26.40 8.96
2010 32.01 0.30 21.20 14.31 (0.86) 24.70 8.35 Sumber: Diolah dari data BPS
Hal ini menjadi persoalan yang patut diwaspadai. Menurut Kepala BPS Aceh,
Syech Suhaimi, pada bulan Februari 2011 nilai ekspor Aceh mengalami penurunan
jika dibandingkan Januari 2011 yaitu dari US$ 97,1 juta menjadi US$ 73,01 juta, atau
menurun sekitar 34,92%.Menurut Syech, penurunan nilai ekspor tersebut dipicu
turunnya ekspor minyak dan gas (Migas) berupa liquid natural gas (LNG) sebesar
36,02%. “Ekspor gas masih dominan, sehingga turunnya ekspor bahan itu sangat
berpengaruh nilai ekspor Aceh. Nilai ekspor kelompok nonkomoditas Migas
mengalami peningkatan sebesar 0,86% yakni bahan kimia nonorganik berupa
anhydrous ammonia dengan nilai US$ 2,68 juta yang diekspor ke Vietnam, Thailand
dan Malaysia.Selain itu, katanya, Banda Aceh pada April 2011 mengalami deflasi
sebesar 0,23% yang disebabkan penurunan harga pada kelompok bahan makanan
seperti beras, sayur bayam, ikan bandeng dan cabai merah.
14 Aceh Bisnis Selasa, 03 Mei 2011 06:59 WIB,
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/05/03/31957/ekspor_aceh_turun_3492persen/
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
76
Universitas Indonesia
Komponen pengeluaran agregat yang mengalami peningkatan pesat adalah
impor, yaitu dari 1,3% PDRB riil pada tahun 2006 menjadi 8,35% PDRB riil pada
tahun 2010. Komponen pengeluaran agregat yang peranannya juga meningkat pesat
selama periode 2006-2010 adalah konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan
investasi. Namun porsi investasi masih di bawah 15% PDRB riil, sementara kenaikan
peranannya juga relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa selama tiga puluh tahun
terakhir, kecepatan pertumbuhan barang modal di Aceh relatif lambat.
4.1.6.Peranan Minyak dan Gas
Dari uraian-uraian sebelumnya, sebenarnya sudah terlihat bahwa peranan
minyak dan gas (Migas) dalam perekonomian Aceh, relatif sangat besar. Hal inilah
yang bila tidak segera diperbaiki akan menimbulkan ketergantungan yang terus
menerus terhadap Migas.
Gambar 4.2 di bawah ini menunjukkan perkembangan peranan Migas dalam
perekonomian Aceh selama beberapa dekade.
Gambar 4.2. Peranan Migas Dalam Perekonomian Aceh 1975-2010
(Persen PDRB harga konstan 2000)
Sumber: Diolah dari data BPS
0,010,020,030,040,050,060,070,080,0
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
Axi
s T
itle
Peranan Migas
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
77
Universitas Indonesia
Gambar 4.2 di atas menunjukkan bahwa peranan Migas sebelum konflik dari
tahun 1975-1989 sangat dominan hingga mencapai 70%, kemudian selama konflik
tahun 1990-2005 berangsur menurun dominasinya menjadi berkisar antara 40-50%,
dan terus berlanjut menurun setelah konflik hanya mencapai 11%.
Data PDRB untuk Aceh menunjukkan bahwa perbandingan porsi PDRB
Migas dan PDRB tidak termasuk Migas terhadap PDRB riil Aceh menunjukkan
fluktuatif menurun.Presentase Porsi PDRB Migas terhadap PDRB riil lebih besar
dibandingkan dengan PDRB tidak termasuk Migas terhadap PDRB riil, khususnya
pada periode sebelum konflik.Porsi ini berangsur menjadi semakin mendekati
seimbang pada periode setelah konflik.Hal ini menunjukkan bahwa Migas tidak lagi
menjadi primadona dalam menggerakkan ekonomi Aceh.
Hal ini disebabkan antaralain: 1) Turunnya produksi Migas Aceh; 2)
Terganggunya Produksi Migas Aceh; dan 3) Khusus tahun 1998-2000 terjadi
peningkatan Ekspor non-Migas terutama kopi akibat Rupiah terdeprsesiasi oleh
Dollar Amerika yang terjadi pada masa krisis ekonomi.Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh World Bank April 2008 menyatakan terdapatnya tren yang jelas
dimana struktur perekonomian Aceh bergeser menjauh dari sektor pertambangan dan
industri yang bergantung dari Migas. Kedua konstribusi sektor ini terhitung sebesar
56% dari ekonomi Aceh pada tahun 2003, dan telah menurun sebesar 32% pada tahun
2007. Penurunan konstribusi kedua sektor ini diimbangi oleh pertumbuhan dari sector
jasa-jasa seperti perdagangan, bangunan dan transportasi, yang secara keseluruhan
terhitung sebesar 44% pada tahun 2007, meningkat dari 26 persent pada tahun 2003.
Sedangkan sektor pertanian meningkat dari 17% tahun 2003, menjadi 23% pada tahun
2007 (World Bank, April 2008). Sejalan dengan data yang diungkapkan oleh World
Bank, ILO juga mengungkapkan terjadi penyusutan deposit gas, porsi komoditas ini
dalam PDRB berkurang menjadi 19,3% pada tahun 2008, akibatnya sektor-sektor
yang berkaitan dengan Migas mengalami nasib sama. ILO mengatakan bahwa industri
Migas kehilangan sekitar 58,6% outoutnya antara tahun 2003-2008. Akibatnya sektor
Migas yang mendukung perekonomian setempat dengan menciptakan usaha-usaha
terkait seperti pupuk dan semen. Output dari sector-sektor termasuk dua produk yang
tadi disebutkan berkurang dari 1,672 milyar rupiah pada tahun 2002 menjadi 944
milyar rupiah. Karena produk bahan bakar mineral dan minyak mencakup 96,6% nilai
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
78
Universitas Indonesia
ekspor komoditas di Aceh tahun 2007, ekspor bersih mengalami penurunan yang luar
bias (ILO, Agustus 2010). Demikian halnya dengan permintaan kopi Arabika dapat
ditunjukkan dengan adanya peningkatan permintaan produk kopi Arabika Organik ke
PD. Genap Meupakat yaitu 350 ton pada tahun 1992 naik menjadi 1000 ton tahun
1999/2000 (Adri,1999).
Meskipun cadangan Migas yang dimiliki Aceh saat ini berkurang banyak
namun tetap saja masih menyisakan beberapa lapangan yang berpotensi untuk
dikembangkan dan menghasilkan Minyak dan Gas. Hal ini disebabkan selama kurun
waktu tiga dekade konflik beberapa lapangan Migas yang sudah memiliki cadangan
terbukti, belum btereksploitasi, diantaranya :
• Blok A (blok ini dikelola oleh Medco Energy) dan saat ini memasuki tahapan
eksploitasi (Produksi).Blok ini diprediksi bisa menghasilkan gas sebesar 125
MMSCFD.Berada diwilayah Aceh Timur.
• Blok Perlak (Blok ini dikelola oleh PT. Pertamina, dan yang menjadi Operatornya
adalah PT. Pacific Oil & Gas sebagai partner Kerja Sama Operasi), Blok ini saat ini
dalam persiapan untuk produksi (yang sempat terhenti pembangunan fasilitas
produksinya pada awal tahun 2008, akibat turunnya harga minyak pada titik
terendah, sehingga menurunkan nilai keekonomian). Blok Perlak ini diprediksi
menghasilkan Crude Oil +/- 4000 BOPD. Berada di Perlak Aceh Timur.
• Blok Kueng Mane (dikelola Oleh ENI Spa), blok ini berada di pantai Krueng Mane
(offshore) Aceh Utara dan dalam persiapan menuju tahap Eksploitasi (Produksi),
sudah ditemukan cadangan gas terbukti, hingga saat ini ENI Spa dalam proses untuk
mengajukan POD ke BP. Migas, dari Blok A ini diprediksikan bisa menghasilkan
gas +/- 60 MMSCFD, dan rencananya juga untuk memenuhi kebutuhan industri di
Aceh.
• Adapun blok Migas lainnya masih dalam tahapan Eksplorasi (seismic & Drilling)
yaitu : Blok Seureuway di sepanjang pantai Bagok Nurussalam Aceh Timur
(Pengelola : Transword Seureuway Ltd) serta Blok pantai Lhokseumawe (Pengelola
: Zaratex), Kontraktor di kedua blok ini masih aktif melakukan kegiatan eksplorasi
hingga saat ini.15
15http://bagokenergy.blogspot.com/
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
79
Universitas Indonesia
Penurunan peranan Migas dalam perekonomian Aceh, terutama memasuki
periode konflik juga disebabkan beberapa hal. Pertama, adalah menurunnya porsi
belanja APBA dalam sektor pertambahan. Pada tahun 2001 APDB yang dialokasi
untuk pengembangan sektor pertambangan adalah 5,4%, 2002 sebesar 4,4%, 2003
sebesar 2,1%, 2004 dan 2005 sebesar 1,9%, 2006 sebesar 2,4% dan 2007 sebesar
2,1% dari total belanja pemerintah (Bank Dunia, 2008).
4.2.Analisis Kinerja Ekonomi Makro Tingkat Kabupaten/Kota
Analisis kinerja ekonomi makro pada tingkat kabupaten/kota amat dibutuhkan
untuk melengkapi/memperdalam pemahaman tentang kinerja ekonomi makro
provinsi Aceh. Namun karena masalah keterbatasan dan inkonsistensi data, maka
analisis dibatasi pada beberapa wilayah penting dan dalam periode waktu yang lebih
pendek (1995-2010). Ada beberapa catatan yang disampaikan berdasarkan
keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi, yaitu:
1. Kinerja ekonomi yang dapat diamati adalah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
harga umum (laju inflasi)
2. Periode pengamatan yang konsisten adalah periode 2000-2008 yang dibagi
menjadi dua periode yang lebih pendek yaitu 2000-2005 (periode konflik) dan
2006-2008 (periode paska konflik).
3. Data untuk Aceh Utara merupakan penggabungan data tiga wilayah yaitu
kabupaten Aceh Utara, kabupaten Bireun dan kota Lhokseumawe.
Peranan Ekonomi di Wilayah-Wilayah Konflik
Belum ada kesepakatan yang bulat wilayah-wilayah mana yang dapat
dikatakan sebagai pusat konflik.Namun ada kesepakatan umum(referensi) bahwa
wilayah-wilayah Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie merupakan tempat
terjadinya konflik dengan intensitas tinggi dan luas (konflik berat). Sementara itu
daerah-daerah yang bebas konflik, hanya Aceh Tenggara, beberapa wilayah di Aceh
Selatan, Kota Banda Aceh dan Kota Sabang. Sedangkan wilayah-wilayah lain
merupakan wilayah seperti Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Besar merupakan
wilayah konflik dengan kategori kategori sedang dan atau rendah.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
80
Universitas Indonesia
Data-data menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang dilanda konflik dengan
intensita yang tinggi, umumnya merupakan daerah yang kaya akan sumber daya
minyak yaitu Aceh Timur dan Aceh Utara. Misalkan pada tahun 1995 sumbangan
Migas dalam PDRB riil Aceh Utara mencapai 76%. Angka ini sedikit lebih rendah
dibanding dengan tahun 1993 yang mencapai 80% PDRB riil. Pada tahun 2000
sumbangan Migas mencapai 82% PDRB riil Aceh Utara. Sedangkan pada tahun 2008
menurun drastis tetapi masih merupakan 52% PDRB riil. Sementara itu di Aceh
Timur, walaupun nilai PDRB riil hanya kurang dari separuh PDRB riil Aceh Utara,
namun sumbangan Migas masih sekitar 70% PDRB riil. Pada tahun 2008 pola yang
terlihat selama periode 1990an tidak berubah drastis. Di kabupaten Aceh Utara
sumbangan Migas dalam perekonomian masih lebih dari 50%. Sedangkan di kota
Lhokseumawe yang merupakan pecahan kabupaten Aceh Utara masih lebih besar dari
60%. Di kabupaten Aceh Timur peranan Migas masih mencapai 70% PDRB riil
Data pada Tabel 4.8 di bawah ini menunjukkan daerah-daerah yang dilanda
konflik justru memberikan konstribusi sangat besar dalam PDRB termasuk Migas.
Tabel 4.8. Peranan Perekonomian Kabupaten di Wilayah Konflik Berat dalam Perekonomian
Aceh (% PDRB Provinsi Aceh Berdasarkan Harga Konstan) 1995 2000 2005 2008
Total Daerah Konflik Berat 78,2 71,9 66,5 65
Aceh Utara 63 56,4 22/43 19/39
Daerah Non Konflik 5,9 5,9 6,1 9,8 Sumber: diolah dari data BPS
Data pada Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa selama periode 1995-2008,
daerah-daerah non konlik memberikan konstribusi yang sangat kecil yaitu kurang dari
10% PDRB riil Aceh termasuk Migas. Bahkan sebelum tahun 2000 kontribusi
wilayah-wilayah damai hanya 5% PDRB riil termasuk Migas. Dengan demikian lebih
dari 90% output agregat provinsi Aceh berasal dari wilayah-wilayah yang terlanda
konflik. Sampai tahun 2008 sekitar tiga perempat produksi Aceh berasal dari daerah-
daerah konflik berat. Data juga menunjukkan bahwa sekalipun pada 2005-2008
peranannnya menurun, Aceh Utaramemegang peranan dominan dalam perekonomian
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
81
Universitas Indonesia
Aceh. Sampai tahun 2008, sumbangan wilayah Aceh Utara dalam PDRB riil
termasuk Migas masih mencapai 40% total PDRB riil provinsi Aceh.
Data-data di atas mengindikasikan setidak-setidaknya ada dua persoalan besar
dalam perekonomian Aceh, yaitu ketergantungan yang tinggi terhadap Migas dan
buruknya distribusi PDRB antar wilayah atau adanya disparitas antar wilayah yang
relatif buruk. Ketergantungan yang besar terhadap Migas untuk provinsi Aceh dan
wilayah Aceh Utara maupun Aceh Timur menunjukkan ketimpangan struktur
produksi agregat yang sangat serius. Sedangkan terkonsentrasinya kegiatan ekonomi
pada sektor Migas di wilayah Aceh Utara dan Timur, pada saat yang bersamaan juga
menimbulkan masalah disparitas wilayah yang serius.
Pertumbuhan Ekonomi Dan Inflasi
Perkembangan pemekaran wilayah sejak tahun 1999 sampai dengan 2007,
telah menyulitkan melakukan analisis kinerja ekonomi tingkat kabupaten/kota dalam
jangka yang relatif panjang. Selain itu keterbatasan data dan masalah inkonsistensi
data menyebabkan hanya indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang dapat
teramati.
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya terlihat bahwa peranan
perekonomian di wilayah-wilayah konflik mencapai sekitar 90% PDRB riil termasuk
Migas. Data juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh PDRB di wilayah konflik
berasal dari Aceh Utara. Sedangkan lebih dari separuh PDRB di wilayah-wilayah non
konflik berasal dari kota Banda Aceh. Dengan demikian sekitar 60% PDRB riil Aceh
berasal dari kabupaten Aceh Utara dan kota Banda Aceh. Namun bila melihat nilai
PDRB kedua daerah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai PDRB riil kota
Banda Aceh hanya sekitar seperlima nilai PDRB riil wilayah Aceh Utara.
Dengan mempertimbangkan uraian pada paragraf di atas, maka dapat
dikatakan bahwa bahwa wilayah Aceh Utara dan kota Banda Aceh dianggap
repersentatif untuk mewakili perkembangan kinerja ekonmi khususnya inflasi dan
pengangguran di wilayah konflik dan non konflik, maka akan dievaluasi
perkembangan kinerja ekonomi makro di kedua wilayah tersebut untuk mendapatkan
perbandingan kinerja ekonomi di wilayah yang terlanda konflik dan tidak terlanda
konflik. Tabel 4,9 di bawah ini menunjukkan perbandingan perkembangan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
82
Universitas Indonesia
pertumbuhan ekonomi dan inflasi menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan
inflasi Aceh Utara dan Banda Aceh selama 1995-2008.
Tabel 4.9. Perbandingan tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi
Wilayah Aceh Utara dan Kota Banda Aceh 1995-2008 (%/Tahun)
Sumber: Diolah dari data BPS
Data pada Tabel 4,9 di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di
wilayah Aceh Utara selama periode 2000-2008 adalah negatif bila dievaluasi dengan
menggunakan PDRB riil termasuk Migas. Namun laju pertumbuhan PDRB tidak
termasuk Migas adalah positif bahkan pada periode 1995-2000 mendekati angka 10%
per tahun. Kendatipun demikian laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDRB riil
tidak termasuk Migas di wilayah Aceh Utara adalah lebih rendah dari kota Banda
Aceh. Selama periode 2000-2008 laju pertumbuhan ekonomi Aceh Utara adalah
7,8%/tahun, sedangkan kota Banda Aceh mencapai 9,1% /tahun. Pada periode-
periode yang lebih pendek juga terlihat bahwa secara keseluruhan pertumbuhan
ekonomi kota Banda Aceh lebih tinggi dibanding Aceh Utara.
Sementara itu laju inflasi di wilayah Aceh Utara berdasarkan PDRB termasuk
Migas adalah selalu lebih tinggi dibanding dengan bila dihitung berdasarkan PDRB
riil tidak termasuk Migas. Selama tahun 2000-2008 laju inflasi di Aceh Utara
berdasarkan PDRB riil termasuk Migas adalah 8,3%/tahun, sedangkan berdasarkan
PDRB riil tidak termasuk Migas adalah 7,6%/tahun. Laju inflasi di kota Banda Aceh
1995-2000 2000-2005 2006-2008 2000-2008
Aceh Utara
PDRB Termasuk Migas
Pertumbuhan Ekonomi - -5,7 -6,6 -5,7
Inflasi - 9,6 7,4 8,3
PDRB Tidak Termasuk Migas
Pertumbuhan Ekonomi 9,9 3,9 7,8
Inflasi - 8,0 6,1 7,6
Kota Banda Aceh
Pertumbuhan Ekonomi 1,9 4,3 6,2 9,1
Inflasi 8,8 4,9 7,9 8,0
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
83
Universitas Indonesia
selama periode 2000-2008 adalah lebih rendah dibanding laju inflasi di wilayah Aceh
Utara. Namun pada periode 2006-2008 laju inflasi di kota Banda Aceh adalah lebih
tinggi dari Aceh Utara bila dihitung berdasarkan PDRB riil tidak termasuk Migas.
Meskipun, masih harus dikonfirmasi lebih lanjut, namun dapat disimpulkan
bahwa kota Banda Aceh sebagai wilayah yang tidak terlanda konflik kinerja ekonomi
makro relative lebih baik dibanding dengan Aceh Utara yang adalah wilayah terlanda
konflik. Sedangkan bila dievaluasi dengan menggunakan PDRB riil non Migas, maka
dapat disimpulkan bahwa kinerja ekonomi makro di wilayah Aceh Utara adalah lebih
stabil dibandingkan bila menggunakan PDRB riil non Migas.
4.3.Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Rakyat
4.3.1.Kemiskinan
Meskipun kaya akan gas dan sumber daya alam lainnya saat ini, Aceh
termasuk wilayah yang paling besar penduduk miskinnya. Menurut angka resmi,
tingkat kemiskinan secara keseluruhan di Aceh pada tahun 2004-yaitu 28,4%jauh
lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional Indonesia, sebesar 16,7%. Angka
ini juga lebih tinggi daripada provinsi tetangga, Sumatera Utara, yang tingkat
kemiskinannya relatif rendah sebesar 14,9%.Pada tahun 2004, angka kemiskinan di
Aceh mencapai 17,6% di perkotaan dan 32,6% di pedesaan.Tabel 4.10. menunjukkan
perkembangan tingkat kemiskinan di Aceh selama satu dekade terakhir.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
84
Universitas Indonesia
Tabel 4.10. Perkembangan Porsi Penduduk Miskin Kota Dan Desa Aceh 2000-2010
(Persen Total Penduduk)
Tahun Miskin Kota % Miskin Kota Miskin Desa % Miskin Desa
2000 102,300 2.512 492,800 12.10
2001 112,100 2.706 646,500 15.61
2002 201,100 4.827 998,800 23.98
2003 223,900 5.308 1,030,300 24.42
2004 198,700 4.875 957,500 23.49
2005 222,900 5.529 943,500 23.40
2006 226,900 5.463 922,800 22.22
2007 218,800 5.180 864,700 20.47
2008 195,800 4.560 763,900 17.79
2009 182,200 4.176 710,700 16.29
2010 173,400 3.858 688,500 15.32
Sumber: BPS, 2012
Data pada Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa secara absolute jumlah
penduduk miskin di desa adalah sekitar 4 kali lipat jumlah penduduk mikin.
Sedangkan porsi penduduk miskin di desa antara 5 atau 6 kali lipat porsi penduduk
miskin di kota. Porsi penduduk miskin di Aceh,selama beberapa tahun terakhir
adalah lebih tinggi dari porsi penduduk miskin nasional.
Data kemiskinan tingkat kabupaten menunjukkan bahwa wilayah-wilayah
yang tingkat kemiskinannya tinggi merupakan daerah yang berada di pedalaman
pedesaan dan kabupaten-kabupaten yang lebih terpencil, sementara wilayah-wilayah
sekitar Banda Aceh memiliki tingkat kemiskinan paling rendah. Analisis peralihan
masuk dan keluar dari kemiskinan mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat
membantu rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan, seperti kepemilikan usaha-
usaha non-pertanian, diversifikasi tanaman pertanian, bantuan bencana atau
pendidikan dari kepala rumah tangga.
Karakteristik kemiskinan lainnya yang terkait dengan tingginya tingkat
kemiskinan yaitu ukuran rumah tangga yang lebih besar, tingkat pendidikan yang
lebih rendah, rumah tangga yang dikepalai perempuan, dan rumah tangga dengan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
85
Universitas Indonesia
mata pencaharian di bidang pertanian. Hubungan antara karakteristik ini dengan
kemiskinan masih tetap relatif stabil setelah masa tsunami yang menunjukkan bahwa
faktor pokok penentu kemiskinan tidak berubah meskipun terjadi perubahan yang
cepat dalam aspek politik dan sosialekonomi.
Ada beberapa faktor penyebab kemiskinan di Aceh, yaitu konflik militer,
kemiskinan struktural dan bencana alam tsumani pada tahun 2004. Kelompok yang
miskin secara struktural, contohnya adalah mereka yang miskin sebelum bencana
tsunami, dan kelompok yang “terguncang”, yaitu mereka yang kehilangan harta benda
pribadinya karena terkena tsunami. Banyak dari kelompok yang terguncang memiliki
kapasitas produktif, misalnya pendidikan dan tabungan yang dapat mereka gunakan
untuk memperlancar konsumsi, merupakan hal yang tidak dimiliki oleh mereka yang
miskin secara struktural.Para pelaku pembangunan dalam melakukan aktivitasnya
perlu membedakan dua kelompok ini ketika merancang proyek dan kebijakan.
Kemiskinan di Aceh sedikit meningkat paperiode 1980-1989 yaitu 10% per
tahun, kemudian periode 1990-2005 yaitu -2,5% per tahun dan periode 2006-2010
masih -2,7 per tahunsca bencana tsunami, dari 28,4%pada tahun 2004 mencapai
32,6% pada tahun 2005. Hal ini berlawanan dengan tingkat penurunankemiskinan
yang terjadi pada wilayahwilayah lain di Indonesia. Peningkatan tersebuttermasuk
relatif kecil mengingat besarnya kerusakan dan kerugian yang disebabkan
olehtsunami dan juga mencerminkan dampak yang positif dari upaya awal
rekonstruksi. Tingkatkemiskinan menurun pada tahun 2006 hingga mencapai
26.5%lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, menunjukkan bahwa
peningkatan kemiskinan yang berkaitan dengan tsunami tidak berlangsung lama dan
aktivitas rekonstruksi kemungkinan besar memfasilitasi penurunan tersebut. Pada
tahun 2006, tingkat kemiskinan diAceh menurun, sementara tingkat kemiskinan di
wilayah-wilayah lain meningkat. Walaupundemikian, kemiskinan di Aceh tetap jauh
lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sumber penyebab kemiskinan terbesar di Aceh adalah konflik militer yang
telah menyebabkan masyarakat kehilangan kesempatan untuk membangun kapasitas
produksi dan kapasitas diri. Konflik militer juga telah menyebabkan migrasi keluar
rakyat, khususnya mereka yang berketrampilan maupunberpendidikan tinggi.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
86
Universitas Indonesia
Umumnya bersamaan dengan migrasi keluar, sumber daya keuangan juga akan keluar
dari wilayah konflik.
Banyak penduduk desa mengatakan bahwa konflik adalah sumber utama
kemiskinan.Selama konflik, rasa ketakutan dan ketidakpercayaan biasa dialami dan
banyak penduduk tidak dapat bertani, berdagang, menangkap ikan, dan melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya.Pembunuhan serta cedera fisik dan mental menghalangi
para petani untuk mengolah lahan mereka dan banyak pekerjaan-pekerjaan pertanian
yang terbengkalai sementara para pekerjanya meninggalkan daerah tersebut untuk
menghindari konflik dan hasil panen seringkali terabaikan atau dicuri(Jamassy,2007).
Gambar 4.3 di bawah ini menunjukkan bahwa sekalipun perjanjian damai
belum memberikan dampak besar terhadap penurunan kemiskinan, namun
penghentian konflik telah menurunkan penduduk miskin di Aceh.
Gambar 4.3. Perkembangan Kemiskinan di Aceh Periode Konflik dan Paska Konflik Sumber: Diolah dari data BPS
Penduduk miskin kota selama konflik cenderung naik dari 102.300atau 2,5%
pada tahun 2000 naik dua kali lipat menjadi 222.900atau 5,5% pada tahun 2005.
Sedangkan setelah konflik cenderung turun menjadi 173.400 orang atau 3,86% pada
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
30,0%
Axi
s T
itle
Persentase Penduduk Miskin
MiskinKota
MiskinDesa
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
87
Universitas Indonesia
tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di kota berkurang dengan
adanya perdamaian.
Demikian pula dengan jumlah penduduk miskin atau tingkat kemiskinan Aceh
pada tahun 2010 mencapai 861,9 ribu orang atau 20,98% dari jumlah penduduk Aceh.
Kondisi ini mengalami penurunan sekitar 31 ribu orang atau 0,82% jika dibandingkan
pada tahun 2009 dimana jumlah penduduk miskin Aceh mencapai 892,9 ribu orang
atau 21,80% dari jumlah penduduk Aceh.
Selain hal diatas faktor utama yang memperburuk kualitas SDM Aceh yaitu
adanya pengungsian.Besarnya pengungsi di Aceh disebabkan oleh konflik dan
tsunami secara bersama-sama. Sebuah studi yag dilakukan pada tahun 2005
memperkirakan jumlah pengungsi hamper mencapai 350.000 orang. Kabupaten-
kabupaten di sepanjang pantai memiliki jumlah pengungsi yang jauh lebih besar
daripada daerah bagian tengah (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tenggara),
yang menunjukkan bahwa tsunami merupakan penyebab utama pengungsian
(UNDP,2010).Akibat konflik telah mengubah struktur banyak keluarga di Aceh.
Jumlah perempuan pengungsi mencapai 167.000, 14.319 diantaranya adalah janda
dan 20.751 sebagai kepala keluarga. Secara lebih luas, menurut data terbaru terdapat
kira-kira 148.000 janda di Aceh pada tahun 2007. Proporsi kepala keluarga janda di
provinsi Aceh lebih tinggi dari angka nasional, ini merupakan akibat dari konflik, di
mana kemungkinan laki-laki terbunuh lebih besar (Aris Ananta, Lee Poh Onn, Aceh:
A New Dawn, 2007, 55.14).
Tabel 4.11. dibawah ini menununjukkan persentase penduduk miskin menurut
kabupaten pada periode tahun 2005-2010.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
88
Universitas Indonesia
Tabel 4.11. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/KotaDi Aceh 2005-2010
Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Daerah Konlik
Pidie Jaya *) *) 35.0 30.3 28.0 26.1
Nagan Raya 36.2 35.3 33.6 28.1 26.2 24.1
Pidie 36.0 35.3 33.3 28.1 25.9 23.8
Aceh Utara 35.9 35.0 33.2 27.6 25.3 23.4
Aceh Barat 35.5 34.5 32.6 30.0 27.1 24.4
Gayo Lues 34.0 33.5 32.3 26.6 24.2 23.9
Simeulue 34.1 33.8 32.3 26.5 24.7 23.6
Kota Subulussalam **) **) 30.2 29.0 26.8 24.4
Aceh Jaya 31.3 30.4 29.3 23.9 21.9 20.2
Aceh Barat Daya 28.3 28.3 28.6 23.4 21.3 19.9
Daerah Non Konlik
Aceh Singkil 29.2 28.4 28.5 23.3 21.1 19.4
Aceh Timur 30.0 29.9 28.1 24.1 21.3 18.4
Bireuen 29.7 29.1 27.2 23.3 21.7 19.5
Kota Sabang 29.8 28.6 27.1 25.7 23.9 21.7
Aceh Besar 29.4 28.7 26.7 21.5 20.1 18.8
Bener Meriah 28.8 28.0 26.5 29.2 26.6 26.2
Aceh Selatan 27.0 24.6 24.7 19.4 17.5 15.9
Aceh Tengah 27.7 26.7 24.4 23.4 21.4 20.1
Aceh Tamiang 24.5 23.9 22.2 22.3 20.0 18.0
Aceh Tenggara 24.6 23.6 21.6 18.5 16.8 16.8
Kota Langsa 15.0 14.0 14.2 18.0 16.2 15.0
Kota Lhokseumawe 15.9 14.3 12.7 15.9 15.1 14.1
Kota Banda Aceh 8.4 8.3 6.6 9.6 8.6 g 9.2
Provinsi Aceh
28.69
28.28
26.65
23.53
21.8
20.98
Indonesia 16.69 17.75 16.58 15.42 14.15 13.33
*) : Data masih tergabung dengan Kabupaten Pidie **) : Data masih tergabung dengan Kabupaten Aceh Singkil ***) : Data menurut Kabupaten/Kota belum tersedia
Sumber: BPS Aceh 2012, diolah.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
89
Universitas Indonesia
Dalam tiga dekade setelah pernyataan kemerdekaan GAM, perkembangan
Aceh menuju pembangunan manusia mengalami penurunan dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lainnya di Indonesia dan kemiskinan mengalami peningkatan.
Penetapan pengawan militer yang sebenarnya atas wilayah Aceh oleh TNI dan
masuknya para migran Jawa ke daerah-daerah boom minyak, disertai dengan
dominasi mereka atas pekerjaan sipil dengan posisi yang tinggi, semakin
memperburuk ketidaksetaraan dan perbedaan di Aceh(Brown: 2005).
Data pada Tabel 4.9. di atas menunjukkan dua hal. Yang pertama adalah porsi
penduduk miskin di daerah-daerah konflik adalah sangat besar dibanding di daerah
bukan konflik.Bahkan sampai tahun ke empat paska perjanjian damai Helsinky, tidak
ada satupun kabupaten/kota di wilayah konflik yang porsi penduduk miskinnya lebih
rendah dari rata-rata nasional. Pada tahun 2010, wilayah konflik yang memiliki porsi
penduduk terendah adalah Aceh Barat Daya, yaitu 19,9% penduduk atau 1,5 kali lipat
rata-rata nasional. Sementara wilayah yang paling tinggi porsi penduduk miskinnya
yaitu Pidie Jaya mencapai 26,1% penduduk atau sekitar dua kali lipat rata-rata
nasional.Kedua, penurunan porsi penduduk miskin di daerah konflik, paska perjanjian
Helsinky adalah jauh lebih lambat dibanding dengan di daerah-daerah non konflik.
Hal ini dapat dipahami karena tidak mudah memulihkan rasa percaya rakyat, setelah
konflik berlangsung selama sekitar satu generasi.
4.3.2.Pendidikan
Perkembangan pendidikan diukur dengan perkembangan jumlah sekolah dasar
dan menengah, baik negeri maupun swasta, selama 30 tahun terakhir ini.
Gambar 4.4 di bawah ini menunjukkan perkembangan jumlah SD negeri dan
Swasta di Aceh selama periode 1980-2010.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
90
Universitas Indonesia
Gambar 4.4. Perkembangan Jumlah SD Negeri dan Swasta Aceh 1980-
2010Sumber: Diolah dari data BPS
Selama periode 1980-2010 Jumlah SD Negeri dan SD Swasta di Aceh dari
tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.Namun jumlah SD Swasta masih sangat
sedikit dibandingkan SD Negeri.Hal ini karena adanya program SD Inpres yang
selama ini terus dibangun sampai ke pelosok desa. Hanya saja selama periode 1980-
2010 pertambahan jumlah SD di Aceh relatif lambat. Selama periode konflik jumlah
SD mengalami kemandekan. Sedangkan pada periode paska konflik, juga belum
terlihat perkembangan yang berarti.
Sebelum Konflik Selama Konflik Setelah Konflik
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
91
Universitas Indonesia
Gambar 4.5. Perkembangan Jumlah SMP Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 Sumber: Diolah dari data BPS
Gambar 4.5 menunjukkan perkembangan jumlah SMP negeri dan Swasta di
Aceh selama periode 1980-2010. Jumlah SMP Negeri di Aceh dari tahun ke tahun
menunjukkan peningkatan.Namun jumlah SMP Swasta cenderung mengalami
penuruan terutama pada masa konflik.Hal ini karena tidak adanya dukungan
Pemerintah terhadap pihak swasta untuk membangun sekolah di Aceh.
Gambar 4.6 di bawah ini menunjukkan perkembangan jumlah SMA negeri
dan Swasta di Aceh selama periode 1980-2010
Jumlah SMA Negeri di Aceh dari tahun ke tahun menunjukkan tetap, hanya
setelah konflik menunjukkan peningkatan.Namun jumlah SMA Swasta cenderung
mengalami penuruan terutama sebelum dan selama masa konflik.Hal ini karena tidak
adanya dukungan Pemerintah terhadap pihak swasta untuk membangun sekolah di
Aceh.
Sebelum Konflik Selama Konflik Setelah Konflik
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
92
Universitas Indonesia
Gambar 4.6. Perkembangan Jumlah SMA Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 Sumber: Diolah dari data BPS
Gambr 4.7 di bawah ini menunjukkan perkembangan jumlah SMK negeri dan
Swasta di Aceh selama periode 1980-201
Gambar 4.7. Perkembangan Jumlah SMK Negeri dan Swasta Aceh 1980-2010 Sumber: Diolah dari data BPS
Demikian pula jumlah SMK Negeri di Aceh dari tahun ke tahun menunjukkan
tetap, hanya setelah konflik menunjukkan peningkatan.Namun jumlah SMK Swasta
Sebelum Konflik Selama Konflik Setelah Konflik
Sebelum Konflik Selama Konflik Setelah Konflik
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
93
Universitas Indonesia
cenderung mengalami peningkatan terutama selama masa konflik dan setelah
konflik.Hal ini karena adanya dukungan pihak luar negeri dan LSM terhadap pihak
swasta untuk membangun sekolah di Aceh.
Aceh memiliki tingkat partisipasi pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata di Indonesia.Hal ini berlaku terhadap semua tingkatan penghasilan
dan semua jenis pendidikan.Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat pengeluaran
yang tinggi untuk pendidikan serta belanja pendidikan per kapita yang relatif tinggi di
Aceh.Setelah praktis mencapai pendidikan dasar secara menyeluruh, saat ini
pemerintah Aceh mulai memperhatikan peningkatan mutu pendidikan serta
meningkatkan akses ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, terutama untuk segmen
penduduk miskin.Meningkatkan efisiensi alokasi dan teknis untuk belanja pendidikan
haruslah menjadi prioritas utama bagi Pemerintah Aceh.
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh ILO menunjukkan bahwa
sepertiga angkatan kerja di Aceh sekurang-kurangnya mempunyai tingkat pendidikan
sekolah menengah dan 9,9% mempunyai pendidikan diploma atau di atasnya,
sementara rata-rata nasional masing-masing hanya sebesar 29,4% dan 7,1%. Pekerja
perempuan di Aceh mempunyai tingkat capaian pendidikan yang secara signifikan
lebih tinggi: 15% diantaranya pendidikan diploma atau diatasnya, sementara di sisi
lain hanya 7,3% pekerja laki-laki yang mencapai tingkat pendidikan yang sama.
Adanya angkatan kerja yang berpendidkan baik merupakan keunggulan komparatif
Aceh dibandingkan provinsi-provinsi lainnya apabila modal manusia dimanfaatkan
secara optimal dalam kegiatan ekonomi (ILO, Agustus 2010).
Terdapat banyak guru di provinsi, tetapi ketidakhadiran guru dalam mengajar
dan kekurangan guru di pedesaan dan daerah-daerah terpencil dapat mengurangi mutu
pengajaran.Suatu sistem insentif yang berbeda baik bagi sekolah-sekolah maupun
bagi para guru memungkinkan Aceh untuk mengambil manfaat lebih dari belanja
pendidikan per kapita yang relatif tinggi. Sebagai persentase dari total belanja, Aceh
membelanjakan lebih sedikit untuk pendidikan dibandingkan dengan daerahdaerah
lain di Indonesia tetapi mengingat besarnya anggaran Aceh, maka belanja per kapita
menjadi lebih tinggi. Akan tetapi, untuk sektor kesehatan banyak indikator kesehatan
(tingkat morbiditas, imunisasi) di Aceh lebih buruk dibandingkan dengan daerah-
daerah lain di Indonesia.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
94
Universitas Indonesia
Walaupun angkatan kerja di Aceh berpendidikan lebih baik dari rata-rata
tingkat pendidikan angkatan kerja nasional namun komposisi angkatan kerja SMP dan
di bawahnya sangat besar yaitu laki-laki mencapai 64,7% dan perempuan 66,4%. Hal
ini menjelaskan bahwa jika sektor Migas menjadi prioritas pembangunan Aceh, maka
daya serap angkatan kerja di Aceh akan rendah. Oleh karenanya diperlukan strategi
pembangunan industri di Aceh yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan.
Memperburuk kualitas SDM Aceh yaitu adanya pengungsian. Besarnya
pengungsi di Aceh disebabkan oleh konflik dan tsunami secara bersama-sama.
Sebuah studi yag dilakukan pada tahun 2005 memperkirakan jumlah pengungsi
hamper mencapai 350.000 orang. Kabupaten-kabupaten di sepanjang pantai memiliki
jumlah pengungsi yang jauh lebih besar daripada daerah bagian tengah (Aceh Tengah,
Bener Meriah, dan Aceh Tenggara), yang menunjukkan bahwa tsunami merupakan
penyebab utama pengungsian (UNDP,2010).
Dalam tiga dekade setelah pernyataan kemerdekaan GAM, perkembangan
Aceh menuju pembangunan manusia mengalami penurunan dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lainnya di Indonesia dan kemiskinan mengalami peningkatan.
Penetapan pengawan militer yang sebenarnya atas wilayah Aceh oleh TNI dan
masuknya para migran Jawa ke daerah-daerah boom minyak, disertai dengan
dominasi mereka atas pekerjaan sipil dengan posisi yang tinggi, semakin
memperburuk ketidaksetaraan dan perbedaan di Aceh (Brown: 2005).
Untuk membangun kembali sektor pendidikan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah Aceh, harus bekerja keras. Sebab sektor pendidikan adalah yang
paling besar terkena dampak konflik. Sebanyak 900 sekolah hancur pada masa-masa
konflik terparah mulai tahun 1999 dan seterusnya (Bank Dunia, 2006b). Konflik
tersebut telah mempengaruhi seluruh generasi, dan sejumlah besar tentara baru GAM
pada masa-masa konflik terparah (1999 dan seterusnya) adalah anak-anak korban
konflik dari pihak tentara militer dan kepolisian Indonesia.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
95
Universitas Indonesia
4.3.3.Kesehatan
Sebagian besar dari rumah tangga miskin di Aceh tidak mengupayakan
pengobatan ketika sakit dan hal ini dapat terlihat dari indikator-indikator kesehatan
yang relatif buruk di provinsi tersebut.Belanja pemerintah yang besar untuk sektor
kesehatan nampaknya tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat miskin.
Terdapat kesempatan untuk peningkatan belanja provinsi di bidang
kesehatan.Tenaga kerja tidak terdistribusikan secara merata sehingga menciptakan
kesenjangan di pedesaan dan daerah-daerah terpencil.Insentif yang tepat harus
diberikan untuk pekerja-pekerja kesehatan yang bertugas dan tinggal di daerah-daerah
terpencil.Belanja pemerintah harus digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan-
pelayanan, terutama yang digunakan oleh masyarakat miskin, seperti kesehatan
primer dan pelayanan-pelayanan Puskesmas.
Akses ke kesehatan dan pendidikan merupakan dua dimensi penting dari
kemiskinan. Sebagaimana disebutkan dalam Bab 2, kemiskinan bersifat multi dimensi
dan meskipun laporan ini memusatkan perhatian terhadap konsumsi rumah tangga
sebagai ukuran kemiskinan, ukuran-ukuran lain dari kesejahteraan juga sama
pentingnya, misalnya akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan. Pendidikan
adalah faktor penting, salah satunya untuk meningkatkan kemampuan membaca dan
membekali kaum miskin dengan sarana-sarana yang dapat memberikan sumbangan
dan menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi.Pendidikan sangat terkait dengan
kemiskinan di Aceh. Kepala rumah tangga yang telah mengenyam pendidikan di
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas sangat kecil kemungkinannya
untuk masuk dalam golongan masyarakat miskin dibandingkan dengan mereka yang
hanya menyelesaikan pendidikan dasar atau tidak memiliki pendidikan sama sekali.
UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) mengakui pentingnya pendidikan
dengan mengalokasikan sumber daya publik yang relatif tinggi untuk pendidikan.
Sektor kesehatan merupakan dimensi penting lain dari kemiskinan dan ketiadaan
akses ke pelayanan kesehatan memiliki korelasi dengan kemiskinan yang telah
berlangsung lama.
Buruknya akses terhadap sektor pendidikan dan kesehatan semakin
memperburuk memperburuk pula indeks pembangunan manusia (IPM) Aceh, seperti
yang dapat kita lihat pada tabel 3.6.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
96
Universitas Indonesia
Pemerintah Aceh telah melakukan upaya-upaya untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan primer secara cuma-cuma dan menyeluruh.Perbaikan
infrastruktur, terutama infrastruktur pedesaan maupun pelayanan umum untuk
meningkatkan produktivitas di bidang pertanian dan perikanan, merupakan kunci
untuk mengurangi kemiskinan.Bagian ini memusatkan perhatian pada
penyelenggaraan pelayanan umum di bidang pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi,
penyelenggaraan pelayanan umum di bidang lainnya, seperti infrastruktur,
pengembangan pertanian atau penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan,
setidaknya sama pentingnya untuk mengurangi kemiskinan sebagaimana
didokumentasikan dalam laporan ini. Ketersediaan informasi dan ruang lingkup
laporan mencegah analisis yang mendalam tentang belanja pemerintah dan
penyelenggaraan pelayanan publik di bidang-bidang lain. Diperlukan penelitian yang
lebih lanjut untuk menganalisis pola-pola belanja maupun penyediaan pelayanan
umum di bidang-bidang penting lainnya tersebut.
4.4.Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh
Pada bagian ini akan dibahas, sumber – sumber pertumbuhan ekonomi Aceh,
berdasarkan hasil regresi. Model yang diestimasi disusun berdasarkan model Klasik,
yaitu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan input yaitu barang
modal dan tenaga kerja.
Tabel 4.12. di bawah ini adalah perbandingan hasil estimasi dua model regresi
yang dilakukan. Model pertama, variabel terikatnya adalah PDRB riil tidak termasuk
Migas, sedangkan model kedua variabel terikatnya adalah PDRB riil termasuk Migas.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
97
Universitas Indonesia
Tabel 4.12. Perbandingan model yang diestimasi
Periode Pengamatan
1983-2010
Periode Pengamatan
1983-2005
Variabel
Terikat
PDRB riil tidak
termasuk
Migas
Variabel
Terikat
PDRB Riil
Migas
Variabel
Terikat
PDRB riil
tidak
termasuk
Migas
Variabel
Terikat
PDRB Riil
Migas
Konstanta 6,9** 17,2*** 8,8** 17,7***
Porsi investasi 0,15*** 0,05+1 0,09+ -0,03+
Angkatan Kerja 0,52** -0,014+ 0,44* -0,03+
APBD Riil 0,15*** 0,02+ 0,09* 0,007*
Konflik 0,27*** 0,13* 0,43*** 0,22*
MA(1) - 0,77*** - 0,57**
R2/Adj.R2 (%) 89/87 67/60 88/85 64/53
Statistik F 45,3 9,12 29,6 5,8
Statistik DW 1,99 1,81 1,65 1,58
Multikolieritas Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
Jaque Berra 0,40 0,80 0,03 1,53
Catatan:1)= tanpa time lag, tiga regresi lainnya time lag 1 tahun;2) * = signifikan pada α = 10%;2
)** = signifikan pada α = 5%;*** = signifikan pada α = 1%; + = tidak signifikan
Hasil regresi menunjukkan bahwa model pertama adalah jauh lebih baik dari
model kedua, ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, pada model kedua terdetiksi adalah pelanggaran asumsi Klasik, yaitu
adanya heteroskedastisitas. Hal itu ditunjukkan dari nilai statistik DW yang relatif
sangat kecil. Kedua, nilai R2 yang lebih rendah dari 70% menunjukkan bahwa
variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model, tidak mampu menjelaskan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
98
Universitas Indonesia
dengan baik, perubahan-perubahan pada variabel terikat. Ketiga, nilai statistik F yang
sangat kecil, menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama, tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Keempat, pada model
kedua tidak ada satupun variabel teoritis khususnya investasi dan angkatan kerja yang
memilik pengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
Dengan demikian model kedua tidak dapat digunakan untuk analisis sumber-
sumber pertumbuhan ekonomi Aceh.
Sedangkan pada model pertama, semua syarat-syarat untuk dapat
dikategorikan sebagai hasil regresi yang baik, terpenuhi. Yaitu, (1) Tidak ada
pelanggaran asumsi Klasik, yaitu tidak ada masalah heteroskedastisitas dan
multikolinieritas; (2) Nilai R2 yang mencapai 90% menunjukkan bahwa 90%
perubahan pada variabel terikat, yaitu PDRB riil tidak termasuk Migas dapat
dijelaskan oleh variable-variabel bebas yang digunakan.Hasil ini lebih tinggi dari
yang disyaratkan untuk regresi yang menggunakan data runtut waktu (time
series).(3)Statistik t yang signifikan pada derajad keyakinan yang tinggi; (4) statistik
F yang juga sangat signifikan menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel
bebas yang digunakan berpengaruh terhadap variabel terikat.(5)Karena jumlah
observasi lebih kecil dari 30, maka harus dilakukan uji normalitas. Hasil uji
menunjukkan data terdistribusi normal dilihat dari nilai statistic Jaque Berra yang
lebih kecil dari 2,5.
Investasi Riil
Investasi riil berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap PDRB riil
tidak termasuk Migas dengan tenggang waktu 1tahun. Bila investasi riil pada tahun t
tumbuh 1% maka PDRB riil tidak termasuk Migas setahun kemudian akan tumbuh
sebesar 0,15%. Hasil regresi ini menunjukkan percepatan pemupukan barang modal,
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak besar.
Tenggang waktu setahun menunjukkan bahwa investasi yang dilakukan
kemungkinan besar adalah investasi-investasi untuk usaha yang sifatnya bukan padat
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
99
Universitas Indonesia
modal. Tabel 4.13. merupakan Data Perusahaan PMA/PMDN Provinsi Aceh Tahun
2006-2011.
Berdasarkan data rencana dan realisasi investasi yang tercatat pada Badan
Investasi dan Promosi Aceh, sejak tahun 2006 hingga 2008 praktis tidak ada realisasi
investasi. Hanya PMA pada tahun 2007 sebesar USD 17.359.719 pada 11 perusahaan
atau rata-rata 1,5 juta USD. Mulai pada tahun 2009 realisasi investasi PMA 26
perusahaan sebesar USD 395.000 atau rata-rata hanya 15 ribu USD per perusahaan.
dan PMDN 2 perusahaan Rp 79.661.449. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi PMA
dan PMDN sangat kecil. Baru pada tahun 2010 tercatat realisasi investasi PMA yang
signifikan bahkan lebih besar dari rencana yaitu USD 503.198.325,62 pada 28
perusahaan dengan rata-rata USD USD 19.353.820 per perusahaan.
Tabel 4.13. Data Perusahaan PMA/PMDN Provinsi Aceh
Tahun 2006-2011
Realisasi investasi PMA pada tahun 2011 menunjukkan penurunan menjadi
USD 88.065.442 untuk 14 perusahaan atau rata-rata USD 6,3 juta per
perusahaan.Sedangkan realisasi PMDN pada tahun 2011 tercatat Rp
1.266.123.830.367 pada 122 perusahaan dengan rata-rata investasi Rp
10.378.064.183. Menunjukkan bahwa baru pada tahun 2008 investasi di Aceh mulai
kondusif untuk direalisasikan. Pada tahun sebelum 2008 semua rencana investasi
tidak terealisasikan.Pada tahun 2011 terjadi peningkatan nilai realisasi investasi baik
PMA maupun PMDN di Aceh. Walaupun terjadi peningkatan realisasi investasi pada
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
100
Universitas Indonesia
tahun 2011 namun sangatlah rendah. Data Bank Indonesia tentang kredit
menunjukkan bahwa Aceh mempunyai rasio PDB kredit/non-minyak dan gas
terendah kedua di seluruh Indonesia, yang mengindikasikan rendahnya tingkat
investasi di provinsi Aceh (World Bank, 2009).
Rendahnya realisasi investasi di Aceh selama periode 1980 hingga 2005,
terutama periode 1990-2005 disebabkan kegagalan pemerintah untuk memberikan
keamanan di wilayah-wilayah yang terdampak oleh konflik yang cendrung
menurunkan tingkat investasi karena calon investor mempertimbangkan risiko-risiko
keamanan, sehingga mengurangi investasi dalam modal fisik. Setelah perjanjian
damai di Aceh, terdapat masa yang cukup tenang, namun menjelang pemilihan kepala
pemerintahan Aceh tahun 2006 dan pemiliha legislatif tahun 2009 insiden-insiden
kekerasan bersenjata menunjukkan eskalasi yang meningkat. Hal ini menimbulkan
efek negatif bagi iklim berinvestasi di Aceh sehingga investor yang awalnya ingin
melakukan investasi di Aceh menurungkan niatnya.
Angkatan Kerja
Angkatan kerja berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap PDRB riil
tidak termasuk Migas. Bila angkatan kerja pada tahun t tumbuh 1% maka PDRB riil
tidak termasuk Migas pada tahun yang sama akan tumbuh sebesar 0,56%.
Hasil regresi menunjukkan bahwa dampak penambahan tenaga kerja terhadap
pertumbuhan output tidaklah besar. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu kualitas angkatan kerja, status pekerjaan dan lapangan kerja utama.
Kualitas angkatan kerja dilihat dari tingkat pendidikan masih sangat rendah.
Sampai dengan tahun 2010, masih sekitar 42% angkatan kerja yang berpendidikan ≤
SD dan 22% berpendidikan SLTP. Rendahnya kualitas angkatan kerja disebabkan
oleh kondisi kemiskinan dan keamanan. Kemiskinan yang massal dan kronis
menyebabkan rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri secara
mandiri, khususnya melalui perbaikan pendidikan dan atau tingkat kesehatan.
Memburuknya kondisi keamanan telah menyebabkan brain drain dari Aceh ke
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
101
Universitas Indonesia
wilayah yang lain. Akibatnya yang masih tinggal di Aceh adalah angkatan kerja yang
kualitasnya rendah dan atau enggan mengambil resiko.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank, menunjukkan bahwa para
pekerja yang cakap merasa lebih baikmeninggalkan Aceh dan mencari kesempatan-
kesempatan di luar Aceh, yang mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada
kegiatan-kegiatan yang bernilai tinggi yang membutuhkan pekerja-pekerja terampil
dalam jumlah besar (World Bank, Juli 2009).
Dilihat dari sektor usaha tempat bekerja, sampai tahun 2010 masih sekitar
49% angkatan kerja bekerja di sektor pertanian. Sektor kedua terbesar adalah jasa-jasa
yaitu sebesar 19% dan ketiga sektor perdagangan 15,3%. Ketiga sektor ekonomi ini
tidaklah menuntut kualitas SDM yang berpendidikan dan atau berketrampilan tinggi.
Sebab sektor jasa yang berkembang di Aceh bukanlah jasa-jasa modern. Angkatan
kerja yang bekerja di sektor industri pengolahan (manufaktur) hanya 4,7%.
Rendahnya angkatan kerja yang bekerja di sektor manufaktur disebabkan dominannya
peranan industri yang berkaitan dengan Migas. Industri-industri tersebut
membutuhkan SDM berkualitas tinggi, yang pada awal perkembangannya
didatangkan dari wilayah di luar Aceh.
Berdasarkan status pekerjaan, sampai tahun 2010 masih sekitar 69% angkatan
kerja Aceh yang bekerja di sektor informal. Sedangkan yang menjadi karwayan
adalah sebanyak 544.760 jiwa, dimana 80% diantaranya berpendidikan menengah dan
tinggi. Sedangkan porsi karyawan yang berpendidikan tinggi mencapai 30%. Data-
data ini menunjukkan bahwa produktivitas angkatan kerja di Aceh masih relatif
rendah.
APBD Riil
Variabel APBD riil berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap
PDRB riil tidak termasuk Migas. Bila APBD riil pada tahun t tumbuh 1%, maka
PDRB riil tidak termasuk Migas pada periode yang sama akan tumbuh 0,14%.
Artinya untuk mendorong pertumbuhan PDRB riil tidak termasuk Migas sebesar 1%
maka pertumbuhan PDRB riil harus mencapai 7,2% per tahun.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
102
Universitas Indonesia
Rendahnya dampak pertumbuhan APBD terhadap pertumbuhan ekonomi
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sampai saat ini ketergantungan pemerintah
daerah terhadap transfer pemerintah pusat masih sangat tinggi. PAD provinsi Aceh
hanya menyumbang 10% penerimaan APBD Aceh. Ketergantungan kepada pusat,
menyebabkan pemerintah provinsi tidak memiliki kemampuan besar untuk
mengambil inisiatif pembangunan, sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi. Kedua,
timpangnya struktur alokasi anggaran dimana sebagian besar belanja APBD
digunakan untuk belanja rutin, khususnya belanja pegawai. Ketiga, buruknya sistem
pengelolaan anggaran.
Tabel 4.14. dibawah ini menunjukkan APBD Rill Aceh periode tahun 1979-
2010.
Tabel 4.14. APBD Rill Aceh Tahun 1979-2010
Tahun Indeks Harga
Implisit
APBD (Juta Rp)
APDB Riil (Juta Rp) Tahun
Indeks Harga
Implisit
APBD (Juta Rp)
APDB Riil (Juta Rp)
1979 6.1 5,923 96,518 1995 30.7 63,229 206,246
1980 9.2 8,822 95,711 1996 33.4 255,366 763,431
1981 10.4 9,497 91,449 1997 39.1 269,490 689,762
1982 11.5 3,595 31,245 1998 63.0 172,030 273,065
1983 14.7 5,594 38,105 1999 71.1 251,402 353,758
1984 15.1 18,097 119,601 2000 103.0 269,180 261,422
1985 14.8 21,452 144,690 2001 98.5 226,397 229,848
1986 18.1 20,180 111,642 2002 99.6 1,537,526 1,544,135
1987 16.6 15,719 94,565 2003 104.4 2,064,752 1,977,153
1988 17.8 20,220 113,731 2004 124.7 2,906,743 2,330,502
1989 15.4 31,836 206,412 2005 163.0 4,674,575 2,868,056
1990 14.2 41,252 289,896 2006 188.2 5,944,353 3,158,786
1991 14.8 54,997 372,011 2007 197.6 6,759,485 3,421,236
1992 21.0 52,035 248,228 2008 215.7 10,053,497 4,660,339
1993 25.5 54,058 212,201 2009 219.9 10,057,848 4,574,621
1994 25.0 57,252 229,123 2010 234.4 8,810,804 3,759,513
Sumber : Diolah dari data BPS berbagai tahun
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
103
Universitas Indonesia
Trend dari data diatas menunjukkan bahwa kecendrungan sejak tahun 1979-
1999 APBD rill lebih besar dari pada APBD nominal, namun pada tahun 2001-2010
APBD Riil lebih kecil dari pada APBD nominal. Kecilnya nilai APBD riil Aceh
dikarenakan kemampuan Pemerintahan Aceh dalam mengoptimalkan penerimaan dari
PAD masih sangat kecil. Jika kita cermati APBA dalam beberapa tahun terakhir,
maka akan terlihat betapa kecilnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) Aceh
dalam struktur APBA. Dari total Rp 7,9 triliun APBA 2012 ini, misalnya, kontribusi
PAD hanya Rp 804 miliar (Tabangun Aceh, edisi 20 Desember 2011).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank menunjukkan
Persentase kontribusi PAD Aceh hanya 10% saja dari total APBA, sementara dengan
kompoisi terbesar 90% sisanya, disubsidi oleh Jakarta dengan berbagai sebutan
anggarannya (Otsus, Migas, DAU, dsb). Situasi dengan pola yang persis sama juga
terjadi di kabupaten-kabupaten dan kota di Aceh. Ini menunjukkan bahwa pemerintah
Aceh baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, belum menghasilkan capaian
signifikan dalam menghimpun berbagai sumber daya, sebagai modal pembangunan
yang memungkinkan Aceh secara mandiri membangun dirinya sendiri sekaligus
mengurangi ketergantungannya terhadap Jakarta (World Bank, 2008). Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 4.15. di bawah ini:
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
104
Universitas Indonesia
Tabel 4.15. Komposisi Pendapatan Provinsi
Kuncoro (2004) menyatakan ketergantungan fiskal terlihat dari relative
rendahnya PAD dan dominasi transfer pusat. Hal ini berarti semakin besar persentase
PAD terhadap penerimaan menunjukkan semakin baik kemampuan daerah tersebut
untuk membiayai kebutuhan daerahnya atau semakin kecil ketergantungan pemerintah
daerah terhadap pusat.
Dengan demikinan dapat dinyatakan bahwa suatu daerah mandiri dan
memiliki kemampuan self-financing.Dan inilah sesungguhnya yang menjadi garansi
atas keberlanjutan dan konstanitas pembangunan yang akhirnya akan bermuara pada
the genuine wealthy, kesejahteraan yang sesungguhnya.
Selain kemampuan Aceh untuk membiayai dirinya sangat rendah, juga
managemen dan kualitas belanja Aceh yang buruk, ini dapat dilihat pada Tabel 4.16.
berikut:
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
105
Universitas Indonesia
Tabel 4.16. Komposisi Sektoral Belanja Pemerintah Provinsi Aceh
Tabel 4.16. di atas menunjukkan buruknya politik anggaran yang tergambar
dari kualitas alokasi anggaran persektor.Dimana sektor industri, perdagangan, energi
dan pertambangan hanya memperolehporsi sangat kecil, yaitu tahun 2001 sebesar
5,4%, 2002 sebesar 4,4%, 2003 sebesar 2,1%, 2004 dan 2005 sebesar 1,9%, 2006
sebesar 2,4% dan 2007 sebesar 2,1% dari total belanja pemerintah.
Konflik
Hasil regresi menunjukkan bahwa selama periode konflik pertumbuhan PDRB
riil tidak termasuk Migas lebih tinggi 0,22% dibanding dengan periode selain konflik.
Apakah hasil ini bertentangan dengan kenyataan bahwa selama periode konflik
pertumbuhan ekonomi justru negatif?
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
106
Universitas Indonesia
Lebih tingginya pertumbuhan PDRB riil tidak termasuk Migas selama periode
konflik dapat dijelaskan dari beberapa sisi pandang. Pertama, konflik memang sangat
menganggu perkembangan sektor Migas (pertambangan dan industri). Namun
kegiatan produksi non Migas yang sebenarnya merupakan kegiatan tradisional sejak
Migas belum berperan besar terbukti memiliki daya tahan. Justru selama periode
konflik rakyat didorong untuk bekerja lebih keras. Kedua, Kedua selama periode
konflik, anggaran belanja pemerintah pusat meningkat dan hal itu mendorong
peningkatan belanja barang, jasa dan pegawai, sehingga mendorong pertumbuhan
permintaan agregat.
Namun dampak kenaikan pertumbuhan ekonomi yang relatif sangat kecil ini,
tidak sebanding dengan biaya-biaya yang harus ditanggung oleh rakyat, yaitu
menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat karena kemiskinan dan ketakutan yang
kronis. Tingginya laju inflasi dan tingkat pengangguran selama periode krisis.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
107 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan berdasarkan hasil studi, yaitu;
1. Konflik berpengaruh negatif secara keseluruhan tehadap kinerja ekonomi dimana
angka pertumbuhan ekonomi Aceh periode 1980-1989 yaitu 10% per tahun,
kemudian periode 1990-2005 yaitu -2,5% per tahun dan periode 2006-2010 masih
-2,7 per tahun, laju inflasi periode 1980-1989 yaitu 5,9% per tahun, kemudian
periode 1990-2005 meningkat tajam 17,7% per tahun dan periode 2006-2010 5,7
per tahun. Angka pengangguran periode 1980-1989 yaitu 6,6% per tahun,
kemudian selama periode konflik 1990-2005 meningkat menjadi 7,5% per tahun
dan periode 2006-2010 5,3 per tahun. Konflik juga telah memperburuk
tingkatkesejahteraan rakyat dimana kemiskinan, pendidikan dan kesehatan
selama periode konflik terutamadi wilayah konflik juga terus memburuk.
2. Selama periode pengamatan, PDRB tidak termasuk Migas lebih stabil
dibandingkan dengan PDRB Migas, ini memberi harapan untuk memperbaiki
Aceh dengan tidak mengandalkan sektor Migas.
3. Dengan menggunakan metode ekonometrik dapat disimpulkan bahwa pengaruh
pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan APBD rill
terhadap pertumbuhan PDRB tidak termasuk Migas sangatlah kecil.
4. Hasil estimasi dengan menggunakan variabel terikat PDRB Migas ternyata
hasilnya sangat tidak baik, hal ini menunjukkan bahwa perkembangan PDRB
Migas sulit dikontrol atau dikelolah oleh pemerintah. Ini tidak lepas dari peranan
sektor Migas dan begitu fluktuatifnya bisnis Migas di pasar internasional.
5. Hasil analisis data berdasarkan kabupaten/kota menunjukkan antara lain: a) bahwa
daerah penghasil sumberdaya alam khususnya Migas merupakan daerah yang
mengalami konflik berat; b) ketimpangan struktur produksi ditunjukkan
ketergantungan yang besar terhadap Migas; c) terjadi disparitas antara wilayah
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
108
Universitas Indonesia
yang relatif buruk dimana ada indikasi output ekonomi Aceh hampir 90%
disumbang oleh daerah konflik, dimana sekitar kabupaten Aceh Utara
menyumbang hampir 50%.
6. Pengaruh langkah perdamaian melalui MOU Helshinki terhadap kinerja ekonomi
dan kesejahteraan rakyat Aceh belum terasa selama 5 tahun pertama. Hal ini
disebabkan konflik selama satu generasi telah merusak banyak sendi-sendi
kehidupan dan pemulihannya membutuhkan waktu serta kesabaran.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil studi dapat disampaikan beberapa saran.
Saran studi lebih lanjut:
Berdasarkan hasil penelitian ini perlu dilanjutkan dengan studi-studi yang
lebih spesifik dan mendalam dengan menggunakan data kabupaten/kota,
menelitisecara khusus hubungan antara konflik dengan kemiskinan, pengamatan
meggunakan periode waktu yang lebih panjang, danbila memungkinkan
menggunakan data primer. Hal ini untuk memahami dimensi kualitatif konflik Aceh
khususnya dari sudut pandang rakyat. Analisis ekonomi juga disarankan untuk
melihat lebih spesifik, agar proses evaluasi data maupun pengolahannya dapat
dilakukan lebih seksama. Dengan demikian akurasi studi menjadi lebih baik.
Saran Kebijakan:
1. Pemerintah Aceh harus segera dan terus menerus melakukan langkah-langkah
pemulihan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh, tidak cukup hanya
berhenti pada perjanjian Helshinki tapi perlu perbaikan-perbaikan internal
khususnya pada Pemerintahan Aceh meliputi: penentuan prioritas utama
pembangunan yang berkaitan langsung dengan upaya pemerintah dalam
memperbaiki kinerja perekonomian serta kesejahteraan rakyat Aceh; melakukan
perbaikan terhadap kualitas belanja APBA/APBK; meningkatkan managemen
pengelolaan APBA/APBK; penegakan hukum; dan adanya regulasi khususnya
investasi yang memberikan kepastian hukum dan biaya murah serta pelibatan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
109
Universitas Indonesia
masyarakat di dalamnya baik dari sisi kepemilikan maupun dari aspek
ketenagakerjaan.
2. Terus menyelesaikan secara bertahap dan sistematis akar-akar konflik, khususnya
bidang sosial ekonomi. Dalam hal ini adanya upaya yang sungguh-sungguh dalam
melakukan rahabilitasi baik psikis, fisik dan ekonomi korban serta penciptaan
lapangan kerja bagi korban konflik.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
110 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU BPS Aceh, 2000-2011, Aceh Dalam Angka, Kerjasama Badan Pusat Statistik Dengan
BAPPEDA Provinsi Aceh. Adi, Isbandi Rukminto, 2001, Pemberdayaan, Pengembangan masyarakat dan
Intervensi Komunitas, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Adri (1999), Keragaan Kelembagaan dan Ekonomi Usahatani Kopi Arabika Organik
di Kabupaten Aceh Tengah, Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aris Ananta, Lee Poh Onn, 2007, Aceh: A New Dawn (Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies. Arsyad, Lincoln, 1999, Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. STIE YKPN
Yogyakarta. Bannock, Graham, R. E. Baxter dan Evan Davis. 2004. A Dictionary of Economics.
Inggris: Penguin Books Ltd. Chaidar Al, Sayed Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika, 1999, Aceh Bersimbah
Darah, Cetakan ke Lima. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Coser, Lewis A., 1956, The Function of Social Conflict, Free Press. Dahlan Nasution, Dipl. Ir., 1991,Politik Internasional (Konsep Dan Teori). PT.
Gelora Aksara Pratama, Penerbit Erlangga. ILO, Agustus 2010, Analisis Kesenjangan Keterampilan di Aceh: Dari Rekonstruksi
ke Pertumbuhan Berkelanjutan melalui Pengembangan Keterampilan. K.J Holsti, 1983, Internasional Politic Terjemahan. M. Tahrir Azhary. Politik
Internasional : Kerangka untuk analisis, Penerbit Erlangga. K.J Vegaar, 1990, Realitas social, Jakarta: Gramedia. Komnas Perempuan, 2007, Pengalaman Perempuan Aceh Mencari dan Meniti
Keadilan dari Masa ke Masa, Komnas Perempuan, Jakarta. Krisdyatmiko, 2009, Sosial FISIPOL UGM, Tidak diterbitkan, Yogyakarta. Materi
Kuliah Pemberdayaan Masyarakat, Program S2 Sosiologi Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
111
Universitas Indonesia
Kuncoro, Mudrajat, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluan, Penerbit Erlangga, Jakarta. Louis Kiesberg, 1382, Social conflict, second Edition, Englewood Clifft, N.Y:
Prantice Hall, Inc. Mankiw, Gregory, 2007, Makroekonomi, Edisi Keenam terjemahan, Penerbit
Erlangga, Jakarta. Rahardja, Pratama dan Manurung, Mandala, 2008, Teori Makroekonomi Suatu
Pengantar, Edisi Keempat, Penerbit LP-FEUI, Jakarta. Propatria Institute 2009, Post-Conflict Peacebuilding Reference Manual untuk
Masyarakat Sipil, bekerjasama dengan USAID. Rustiono, 2008, Tesis Analisis Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja, Dan Pengeluaran
Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Tengah. Soetomo, 2006, Masalah Sosial dan Upaya pemecahannya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta Sukirno, Sadono, 2000, Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran Dari
Klasik Hingga Keynesian Baru. Raja Grafindo Pustaka Sullivan, Arthur; Steven M. Sheffrin, 2006,Economics: Principles in Action. Upper
Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. 2006 Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Gava
Media, Yogyakarta. Todaro , Michael, 2004, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi kedelapan,
Penerbit Erlangga. Tomas Hylland Eriksen, 1993, Ethnicity & Nationalism: Antropological Perspective,
London dan Boulder, Colorado: Pluto Press. UNDP,2010, Pembangunan Manusia Aceh. Wese Becker dalam Soejono Soekamto, 1990, Sosiologi : Suatu Pengantar, Rajawali
Pers. Word Bank, 2008, Mengelola Sumber Daya untuk Mencapai Keluaran yang lebih
baik Di Daerah Otonomi Khusus. World Bank, 2008, Kajian Kemiskinan Di Aceh Tahun 2008: Dampak Konflik,
Tsunami, Dan Rekonstruksi Terhadap Kemiskinan di Aceh.
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
112
Universitas Indonesia
World Bank, 2009, Diagnosis Pertumbuhan Aceh Tahun 2009: Mengidentifikasi
Hambatan-Hambatan Utama Pertumbuhan Ekonomi Pasca Konflik dan Pasca Bencana.
Yulius P. Hermawan, 2007,Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional:
Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007. JURNAL Brown, Graham (2005). Horizontal Inequalities, Ethnic Separatism, and Violent
Conflict: The Case of Aceh, Indonesia, Human Development Report Office, Occasional Paper, UNDP, New York.
Collier, P. 1994. Demobilization and Insecurity: a Study in the Economics of the
Transition from War to Peace. Journal of International Development 6. ——— .1997. On Economic Consequences of Civil War. Centre for the Study of
African Economies Working Paper No.97:18. Oxford University. ILO, Agustus 2010, Analisis Kesenjangan Keterampilan di Aceh: Dari Rekonstruksi
ke Pertumbuhan Berkelanjutan melalui Pengembangan Keterampilan. Jamassy, Owin, 2007, “Qualitative analysis of the impact of political conflict –
natural disaster and the distribution of aid on poverty in Nanggro Aceh Darussalam”, laporan latar belakang yang disusun untuk Bank Dunia, Banda Aceh. Tidak diterbitkan.
Knight M., N. Loayza, and D. Villanueva. 1996. The Peace Dividend: Military Spending Cuts andEconomic Growth. IMF Staff Papers 43: 1–37.
Lindgren, 2006, ”The Economic Costs of Civil Wars” http://www. goranlindgren.se/
mina-bocker/the-economic-costs-of-civil-war/ Muhammad Abrar, Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 9, No. 1 April 2010: 79–88
Nazamuddin, 2007, Ekonomi Biaya Tinggi menghambat Investasi di Aceh,
Disampaikan pada TARI Seminar, Kamis 26 April 2007, Balai Sidang Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
Ra dan Singh (2005), Measuring The Economic Costs Of Conflict The Effect Of
Declining Development Expenditures On Nepal’s Economic Growth, Working Paper Series No. 2 Nepal Resident Mission June 2005
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
113
Universitas Indonesia
Staines, N. 2004. Economic Performance over the Conflict Cycle. IMF Working
PaperWP/04/95. MAJALAH Koentowijoyo, 1999, kar-kar Dry field cultivation”, Gatra, 27 maret, 1999. INTERNET Aceh Bisnis Selasa, 03 Mei 2011 06:59
WIB,http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/05/03/31957/ekspor_aceh_turun_3492persen/
Bambang Wahyudi, Resolusi Konflik Pasca MoU Helsinki : Studi Kasus Langsa
Provinsi Aceh, Abstrak. www.fisip.ui.ac.id/agendapasca/bambangwahyudi/abstrak.doc
Bulman Satar, Quo Vadis Aceh Baru, http://aceh.tribunnews.com/2012/05/03/quo-
vadis-aceh-baru http://aselabar.wordpress.com/2011/01/27/14-negara-negara-tertinggal-di-dunia/ http://iwansmile.wordpress.com/teori-konflik-2/ http://deedde.wordpress.com/2011/11/07/potret-retak-nusantara-studi-konflik-di-
indonesia http://www.crayonpedia.org/mw/peristiwa_peristiwa_politik_dan_ekonomi_indonesia
_pasca_pengakuan_kedaulatan_9.1_sanusi_fattah http://bayu96ekonomos.wordpress.com/modul-sim/pengantar-ekonomi-makro/
Pramutoko, Bayu, Pengantar Teori Ekonomi Makro, Materi Kuliah Pengantar Teori Ekonomi Makro
http://bbppksjogja.depsos.go.id/index.php?action=mading.detail&id_mading=6 http://id.wikipedia.org/wiki/Deflator_PDB http://www-
ds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2009/07/01/000333038_20090701014828/Rendered/PDF/491870NEWS0BAH1AEU1june091bhs1final.pdf
http://mindsetbisnisonline.com/produk-domestik-bruto/
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
114
Universitas Indonesia
http://www.undp.or.id/pubs/docs/Aceh%20HDR%20-%20Bahasa%20Indonesia.pdf Said Zainal Abidin, Kondisi Perekonomian Aceh dan Upaya Penyelamatan,
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8587/ Tabangun Aceh, edisi 20 Desember 2011, aceh.tribunnews.com/2012/05/03/quo-
vadis-aceh-baru T. Mukhlis, Inflasi, 1 Dari 1001 Masalah Aceh,
images.hawageulawa.multiply.multiplycontent.com/.../INFLASI,... Warta Waspada Online, Komoditi ekspor Aceh masih minim,
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=56727:komoditi-ekspor-aceh-masih-minim&catid=13&Itemid=26
www.bi.go.id › Home › Publikasi › Kajian Ekonomi Regional www.bps.go.id
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
115
LAMPIRAN I
Dependent Variable: LYRNM Method: Least Squares Date: 07/15/12 Time: 13:59 Sample(adjusted): 1984 2010 Included observations: 27 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 6.961378 2.612905 2.664229 0.0142
LPORINV(-1) 0.144457 0.047814 3.021232 0.0063 LAK 0.520844 0.203781 2.555899 0.0180
LAPBDR 0.148377 0.029259 5.071253 0.0000 KONFLIK 0.273685 0.056619 4.833791 0.0001
R-squared 0.891731 Mean dependent var 16.72085 Adjusted R-squared 0.872045 S.D. dependent var 0.381131 S.E. of regression 0.136334 Akaike info criterion -0.981849 Sum squared resid 0.408910 Schwarz criterion -0.741879 Log likelihood 18.25496 F-statistic 45.29919 Durbin-Watson stat 1.987948 Prob(F-statistic) 0.000000
PORINV AK APBDR KONFLIK PORINV 1.000000 0.685491 0.573852 0.076899
AK 0.685491 1.000000 0.625279 0.173604 APBDR 0.573852 0.625279 1.000000 -0.368142
KONFLIK 0.076899 0.173604 -0.368142 1.000000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2
Series: ResidualsSample 1984 2010Observations 27
Mean -1.62E-16Median 0.008886Maximum 0.233634Minimum -0.259445Std. Dev. 0.125409Skewness -0.227905Kurtosis 2.616228
Jarque-Bera 0.399424Probability 0.818967
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
116
LAMPIRAN II
Dependent Variable: LYRMIGAS Method: Least Squares Date: 07/15/12 Time: 14:08 Sample: 1983 2010 Included observations: 28 Convergence achieved after 73 iterations Backcast: 1982
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 17.23029 2.121205 8.122880 0.0000
LPORINV 0.050517 0.038906 1.298442 0.2076 LAK -0.014119 0.167306 -0.084390 0.9335
LAPBDR 0.018199 0.031789 0.572502 0.5728 KONFLIK 0.129981 0.072246 1.799153 0.0857
MA(1) 0.771903 0.151425 5.097577 0.0000 R-squared 0.674483 Mean dependent var 17.43541 Adjusted R-squared 0.600502 S.D. dependent var 0.190657 S.E. of regression 0.120507 Akaike info criterion -1.206815 Sum squared resid 0.319481 Schwarz criterion -0.921342 Log likelihood 22.89540 F-statistic 9.116953 Durbin-Watson stat 1.813043 Prob(F-statistic) 0.000082 Inverted MA Roots -.77
PORINV AK APBDR KONFLIK PORINV 1.000000 0.685491 0.573852 0.076899
AK 0.685491 1.000000 0.625279 0.173604 APBDR 0.573852 0.625279 1.000000 -0.368142
KONFLIK 0.076899 0.173604 -0.368142 1.000000
0
1
2
3
4
5
6
7
-0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2
Series: ResidualsSample 1983 2010Observations 28
Mean 0.001699Median -0.008138Maximum 0.226920Minimum -0.197901Std. Dev. 0.108764Skewness 0.222264Kurtosis 2.299395
Jarque-Bera 0.803195Probability 0.669250
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
117
LAMPIRAN III
Dependent Variable: LYRNM Method: Least Squares Date: 07/15/12 Time: 14:31 Sample(adjusted): 1984 2005 Included observations: 22 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 8.828045 3.104276 2.843834 0.0112
LPORINV(-1) 0.087481 0.064434 1.357689 0.1923 LAK 0.438340 0.226934 1.931573 0.0703
LAPBDR 0.090883 0.050676 1.793418 0.0907 KONFLIK 0.431229 0.124966 3.450780 0.0031
R-squared 0.874467 Mean dependent var 16.63523 Adjusted R-squared 0.844930 S.D. dependent var 0.370843 S.E. of regression 0.146034 Akaike info criterion -0.813235 Sum squared resid 0.362542 Schwarz criterion -0.565270 Log likelihood 13.94558 F-statistic 29.60558 Durbin-Watson stat 1.647533 Prob(F-statistic) 0.000000
PORINV AK APBDR KONFLIK PORINV 1.000000 0.531372 0.058739 0.598453
AK 0.531372 1.000000 0.390938 0.664875 APBDR 0.058739 0.390938 1.000000 .408373
KONFLIK 0.598453 0.664875 0.408373 1.000000
0
1
2
3
4
5
-0.2 0.0 0.2
Series: ResidualsSample 1984 2005Observations 22
Mean -4.04E-16Median 0.002313Maximum 0.263175Minimum -0.303208Std. Dev. 0.131392Skewness -0.091215Kurtosis 2.977204
Jarque-Bera 0.030983Probability 0.984628
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
118
LAMPIRAN IV
Dependent Variable: LYRMIGAS Method: Least Squares Date: 07/15/12 Time: 14:22 Sample(adjusted): 1984 2005 Included observations: 22 after adjusting endpoints Convergence achieved after 18 iterations Backcast: 1983
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 17.73753 2.403973 7.378423 0.0000
LPORINV(-1) -0.026751 0.045778 -0.584367 0.5671 LAK -0.032592 0.174837 -0.186415 0.8545
LAPBDR 0.006596 0.044829 0.147130 0.8849 KONFLIK 0.223474 0.120935 1.847884 0.0832
MA(1) 0.578438 0.224571 2.575744 0.0203 R-squared 0.642361 Mean dependent var 17.47544 Adjusted R-squared 0.530599 S.D. dependent var 0.179770 S.E. of regression 0.123166 Akaike info criterion -1.123570 Sum squared resid 0.242717 Schwarz criterion -0.826013 Log likelihood 18.35927 F-statistic 5.747567 Durbin-Watson stat 1.582863 Prob(F-statistic) 0.003191 Inverted MA Roots -.58
PORINV AK APBDR KONFLIK PORINV 1.000000 0.531372 0.058739 0.598453
AK 0.531372 1.000000 0.390938 0.664875 APBDR 0.058739 0.390938 1.000000 0.408373
KONFLIK 0.598453 0.664875 0.408373 1.000000 )* = signifikan pada α = 10%;
0
1
2
3
4
5
6
-0.1 0.0 0.1 0.2
Series: ResidualsSample 1984 2005Observations 22
Mean 0.001203Median 0.007153Maximum 0.236773Minimum -0.138729Std. Dev. 0.107501Skewness 0.630481Kurtosis 2.724221
Jarque-Bera 1.527239Probability 0.465977
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
119
LAMPIRAN V Tabel Indikator Ekonomi Aceh
Tahun
PDRB Riil Harga Konstan 2000
(Rp Juta)
PDRB Hrg Berlaku
(Rp Juta)
PMTRB Riil (Rp Juta)
Angatan
Kerja (Jiwa)
Pengangguran (Jiwa)
APBD Nominal (Rp Juta)
1983 23331457.97 3425242 46266281148 1030445 63215 3,594.70 1984 27917561.75 4224206 55388442503 1065180 64472 5,594.10 1985 28675021.28 4251377 56919917243 1098529 66319 18,096.80 1986 28812221.04 5208007 57221070978 1133520 68046 21,451.90 1987 31288178.69 5200828 62169611049 1159411 70351 20,180.00 1988 34124430.44 6067027 67839367714 1191456 72492 15,719.00 1989 43434982.11 6699285 86392179409 1218229 74784 20,220.30 1990 50862664.33 7237788 1.01217E+11 1254157 76503 31,836.40 1991 53902536 7968716 1.0732E+11 1273869 78626 41,252.40 1992 41005302.64 8595679 81682562855 1292123 80397 54,996.50 1993 42721832.19 10883405 85144611559 1323463 82728 52,034.50 1994 44998593.58 11244015 89727195594 1385842 84062 54,058.40 1995 42702131.46 13091228 85190752257 1418180 85246 57,252.10 1996 43758042.76 14636988 87341053345 1650028 87308 63,228.90 1997 43654977.49 17056028 87178990049 1756297 91407 255,366.48 1998 39614372.38 24956859 79149516024 1101843 93564 269,490.29 1999 37981062.73 26991583 75924144405 2024639 108830 172,029.64 2000 34848878.71 35883143 69697757427 1751200 175266 251,401.62 2001 35262979.69 34733472 70561222360 1751200 60911 269,180.12 2002 42338751.33 42157539 84762180163 1679706 294945 226,397.10 2003 44677136.2 46656588 89488303809 1421310 305430 1,537,525.65 2004 40374282.3 50357262 80910061729 1618973 98854 2,064,751.90 2005 34942300.38 56951614 70059312262 1754461 96530 2,906,743.42 2006 36853872.58 69353351 73928868395 1804224 100553 4,674,575.40 2007 35983090.79 71093359 72218063216 1742455 92948 5,944,352.77 2008 34085478.71 73530750 68443641250 1793410 23349 6,759,485.28 2009 32182824.77 70757764 64655294963 1897922 59614 10,053,496.97 2010 33071135.09 77505592 66472981531 1938519 17916 10,057,848.07
Dampak konflik..., Akhiruddin Mahjuddin, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012