uji teratogenik

24
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tetap sehat di masa kehamilan merupakan dambaan setiap wanita yang sedang hamil. Masa-masa kehamilan merupakan masa-masa penting dan kritis bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi yang dikandung. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh zat-zat yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil dan janin. Banyak zat-zat berbahaya yang beredar di sekeliling kita. Zat-zat berbahaya tersebut sangat membahayakan kesehatan ibu-ibu hamil beserta bayi yang dikandungnya. Untuk mengetahui keamanan suatu zat atau obat yang dikonsumsi oleh wanita selama masa kehamilan maka perlu dilakukan beberapa uji reproduksi terhadap obat atau zat yang memiliki potensi besar dikonsumsi oleh wanita hamil, salah satunya adalah uji keteratogenikan. Uji keteratogenikan merupakan uji ketoksikan yang khas dimana obat yang diberikan selama masa organogenesis (pembentukan organ pada janin) yang dilihat apakah dapat memberikan kelainan atau cacat bawaan pada janin yang dikandung hewan uji dan apakah dosis berkaitan dengan cacat yang timbul tersebut. Obat X merupakan salah satu produk obat yang telah diklaim antara lain dapat mengobati sakit kepala karena flu, masuk angin. Uji keteratogenikan dari obat X dapat memberi informasi apakah obat ini memberi efek teratogenik pada janin. 1

Upload: prasetyo-hendy-kurniawan

Post on 21-Jan-2016

1.137 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

toksikologi

TRANSCRIPT

Page 1: Uji Teratogenik

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tetap sehat di masa kehamilan merupakan dambaan setiap wanita yang sedang

hamil. Masa-masa kehamilan merupakan masa-masa penting dan kritis bagi

perkembangan dan pertumbuhan bayi yang dikandung. Pertumbuhan dan perkembangan

tersebut sangat dipengaruhi oleh zat-zat yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil dan janin.

Banyak zat-zat berbahaya yang beredar di sekeliling kita. Zat-zat berbahaya tersebut

sangat membahayakan kesehatan ibu-ibu hamil beserta bayi yang dikandungnya. Untuk

mengetahui keamanan suatu zat atau obat yang dikonsumsi oleh wanita selama masa

kehamilan maka perlu dilakukan beberapa uji reproduksi terhadap obat atau zat yang

memiliki potensi besar dikonsumsi oleh wanita hamil, salah satunya adalah uji

keteratogenikan.

Uji keteratogenikan merupakan uji ketoksikan yang khas dimana obat yang

diberikan selama masa organogenesis (pembentukan organ pada janin) yang dilihat apakah

dapat memberikan kelainan atau cacat bawaan pada janin yang dikandung hewan uji dan

apakah dosis berkaitan dengan cacat yang timbul tersebut.

Obat X merupakan salah satu produk obat yang telah diklaim antara lain dapat

mengobati sakit kepala karena flu, masuk angin. Uji keteratogenikan dari obat X dapat

memberi informasi apakah obat ini memberi efek teratogenik pada janin.

B. PERMASALAHAN

1. Apakah obat X dapat menimbulkan efek teratogenik pada janin hewan uji?

2. Pada dosis berapa obat X memberikan efek toksik pada janin?

3. Bagaimana pengaruh obat X terhadap biometrika janin atau jabang bayi, grosmorfologi,

histopatologi, dan kelainan rangka?

C. MANFAAT

1. Manfaat Teoritis

Landasan evaluasi batas aman dan resiko penggunaan suatu obat oleh ibu hamil,

terutama kaitannya dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.

1

Page 2: Uji Teratogenik

Untuk mengetahui efek toksisitas obat X selama masa kehamilan hewan uji pada

biometrika janin, grosmorfologi, histopatologi, dan kelainan rangka.

2. Manfaat Praktis

Untuk mencegah efek toksik kalau nanti obat X beredar di pasaran. Caranya dengan

label : peringatan, tidak digunakan pada ibu hamil.

D. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksaaan, luaran, dan

manfaat uji keteratogenikan sesuatu obat.

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan/ cacat bawaan

pada diri janin yang dikandung oleh hewan uji.

Menentukan apakah cacat tersebut terkait dengan dosis obat yang diberikan.

2

Page 3: Uji Teratogenik

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. UJI TERATOGENIK

Teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan wujud

dari perkembangan yang menyimpang dari sifat, struktur, dan fungsi alaminya yang

meliputi studi tentang perkembangan abnormal dan cacat bawaan. Zat kimia yang secara

nyata akan mempengaruhi perkembangan janin sehingga menimbulkan efek yang berubah

–ubah mulai dari letalis sampai kelainan bentuk (malformasi) dan keterhambatan

pertumbuhan yang disebut zat embriositik. Malformasi janin disebut terata dan zat kimia

yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau zat teratogenik (Loomis, 1978).

Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Salah satu tindakan untuk

mencegah terjadinya teratogenesis akibat ulah manusia adalah melakukan berbagai jenis

uji pada sejumlah besar obat, zat tambahan makanan, pestisida, bahan pencemar

lingkungan, dan zat kimia lainnya untuk menentukan potensi teratogenesisnya (Lu, 1995).

1. Embriologi

Setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, dan

organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu metamorphosis dan periode

perkembangan janin sebelum dilahirkan (Lu, 1995).

2. Tahap Pradiferensiasi

Selama tahap ini, embrio tidak rantan terhadap zat teratogen. Zat ini dapat

menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio, atau tidak

menimbulkan efek yang nyata. Bahkan bila terjadi efek yang agak berbahaya, sel

yang masih hidup akan menggantikan kerusakan tersebut dan membentuk embrio

normal. Lamanya resistensi ini berkisar antara 5 sampai 9 hari, tergantung dari jenis

spesiesnya (Lu, 1995).

3. Tahap Embrio

Dalam periode ini sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan

organisasi. Selama periode ini organogenesis terjadi. Akibatnya embrio sangat

rentan terhadap efek teratogen. Periode ini biasanya berakhir setelah beberapa waktu

yaitu hari ke – 10 sampai haroi ke – 14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke –

14 pada manusia (Lu, 1955).

3

Page 4: Uji Teratogenik

4. Tahap Janin

Tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi. Dengan demikian,

selama tahap ini, teratogen tidak mungkin menyebabkan cacat morfologik, tetapi

dapat mengakibatkan kelainan fungsi. Cacat morfologik umumnya mudah dideteksi

pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti

gangguan SSP, mungkin tidak dapat didiagnosis segera setelah kelahiran (Lu, 1995).

5. Cara Kerja Teratogen

Beberapa jenis zat kimia telah terbukti bersifat teratogen pada hewan uji. Mengingat

beragamnya sifat zat – zat ini, tidak mengherankan bila banyak mekanisme yang

terlibat dalam efek teratogennya.

Gangguan terhadap Asam Nukleat

Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat, atau

translasi RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit, dan intercalating agent (Lu,

1995).

Kekurangan Pasokan Energi dan Osmolaritas

Hipoksia dan zat penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan

mengurangi oksigen dalam proses metabolism yang membutuhkan oksigen dan

mungkin juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas (Lu, 1995).

Penghambatan Enzim

Penghambatan enzim, seperti 5-fluorourasil, dapat menyebabkan cacat karena

mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat

ditetase. Contoh lainnya, 6-aminonikotinamid menghambat glukosa 6-fosfat

dehidrogenase (Lu, 1995).

Lainnya

Hipervitaminosis A dapat menyebabkan kerusakan ultrastruktural pada membrane

sel embrio hewan pengerat, suatu mekanisme yang dapat menerangkan teratogenisitas

vitamin A. factor fisika yang dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan

hipertemia, serta trauma mekanik (Lu, 1995).

Wujud dari efek teratogen dapat berupa cacat structural, penghambatan

pertumbuhan, dan kematian. Ada tidaknya pemenjanan teratogen yang menghasilkan

kelahiran abnormal tergantung dari berbagai factor. Dua dari banyak factor yang penting

adalah dosis (tingkat pemejanan) dan waktu pemejanan. Efek waktu pemejanan pada

teratogenesis dapat terjadi karena variasi kejadian selama masa yang berbeda pada periode

kehamilan. Hal tersebut mendukung alasan bahwa waktu pemejanan zat teratogenik

4

Page 5: Uji Teratogenik

merupakan hal yang kritis dalam menentukan efek yang potensial. Pemejanan selama

masa awal (awal implantasi) berpengaruh pada kemmatian embrio. Pemejanan pada masa

akhir (pada manusia trimester ketiga) sangat mungkin berpengaruh pada penghambatan

pertumbuhan. Pemejanan pada masssa tengah, masa organogenesis, akan sangat mungkin

berpengaruh pada kerusakan struktur. Pemejanan teratogen selama periode kritis

perkembangan janin kemingkinan besar akan menyebabakan malformasi pada system

organ (Stein dan Brown, 1996).

Uji Keteratogenikan. Maksud uji ini untuk menentukan pengaruh sesuatu senyawa

terhadap janin dalam hewan bunting. Hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis,

roden dan nirroden. Dalam pemilihan hewan uji ini, yang perlu diperhatikan adalah umur,

berat badan, keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap teratogen

(Donatus, 2005).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji ini adalah peringkat dosis, frekuensi

dan saat pemberian senyawa uji, dan pengamatannya. Dlaam uji ini, sekurang – kurangnya

digunakan tiga peringkat dosis, yang berkisar antara dosis letal terhadap induk atau semua

janin dan dosis yang tidak memiliki efek tertogenik. Dosis tertinggi yang digunakan tidak

boleh menunjukkan pengaruh negative terhadap induk. Dosis teratogenik erat kaitannya

dengan factor genetic hewan uji. Menurut Palmer (1978), bila rasio dosis antara hewan uji

dan manusia belum diketahui, maka dosis teratogenik dapat diperkirakan dari harga LD50

induk (antara ¼ sampai 1/3 LD50 induk). Bila terdapat kesulitan dalam menentukan LD50

induk, maka dosis teratogenik dapat dicari secara tentatif (misal 1x, 2x, 4x, dan seterusnya

dosis manusia) (Donatus, 2005).

Masa pengamatan dimulai sejak diakhirirnya masa bunting hewan uji, yakni 12 – 14

jam sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah seisar. Keteratogenikan senyawa uji

ditegaskan mengikuti tekni morfologi yang meliputi biometrika janin (angka resorpsi,

angka cacat, berat janin, panjang janin), gross morfologi (pengamatan makroskopis adanya

cacat badaniah), histopatologi (pengamatan mikroskopis adanya cacat selular), dan

pewarnaan alizarin S (pengamatan kelainan skeletal) (Donatus, 2005).

B. LANDASAN TEORI

Uji keteratogenikan merupakan salah satu golongan uji ketoksikan khas. Uji

keteratogenikan adalah suatu uji yang digunakan untuk menentukan pengaruh suatu

senyawa terhadap janin dalam hewan bunting. Uji keteratogenikan bermanfaat sebagai

5

Page 6: Uji Teratogenik

patokan batas aman dan resiko penggunaan obat tertentu oleh wanita hamil, terutama yang

berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.

Masa pengamatan uji keteratogenikan dimulai sejak diakhirinya masa bunting

hewan uji, yakni sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah siesar (Donatus, 2005).

Yang harus diperhatikan dalam uji ini adalah peringkat dosis, frekuensi dan saat

pemberian senyawa uji, dan pengamatannya.

Dasar uji keteratogenikan adalah pengawinan hewan uji, penegasan masa bunting,

penetapan masa organogenesis tersidik, pemeriksaan dan pengamatan tolok ukur kualitatif

dan kuantitatif kecacatan atau kelainan pada masa kelahiran normal, dan analisis serta

evaluasi hasil.

C. HIPOTESIS

1. Obat X dapat menimbulkan efek teratogenik pada janin hewan uji.

2. Pada dosis tertinggi obat X memberikan efek toksik pada janin hewan uji.

3. Obat X memberi pengaruh terhadap biometrika janin atau jabang bayi, grosmorfologi,

histopatologi, dan kelainan rangka.

6

Page 7: Uji Teratogenik

BAB III

METODE PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni karena subjek uji

penelitian ini diberi perlakuan yaitu pemberian peringkat dosis obat X untuk mengetahui

efek toksik keteratogenikan pada hewan uji yang sedang bunting.

B. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel utama

Variabel bebas: tiga (3) peringkat dosis senyawa X yang diberikan pada hewan uji dan

dosis dari kontrol negatif.

2. Variabel tergantung

Biometrika janin / jabang bayi, grosmorfologi, histopatologi, kelainan rangka pada

janin hewan uji.

3. Variabel pengacau

Variabel yang dikendalikan

a. Hewan uji, tikus putih (Ratus norvegius) betina perawan galur Wistar, umur

2,5-3 bulan, berat badan 150-200 gram, sebanyak 40 ekor. Beberapa ekor tikus

putih pejantan galur Wistar digunakan untuk mengawinkan tikus betina. Hewan

percobaan diperoleh dari IMONO Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Jenis alat-alat gelas yang digunakan

c. Jenis alat dan metode injeksi yang digunakan meliputi jalur klinis manusia yaitu

per oral.

d. Jenis obat X yang digunakan

e. Pelarut obat X yang digunakan (Aquadest)

f. Waktu pemejanan pada saat organogenesis (hari ke 7-17 masa bunting)

Variabel yang tidak dikendalikan

Jumlah makanan yang dikonsumsi hewan uji

C. ALAT DAN BAHAN

1. Alat

spuit injeksi per oral

timbangan elektrik

seperangkat alat bedah

mikroskop

7

Page 8: Uji Teratogenik

preparat histopatologi obyek glass

2. Bahan

Hewan uji, tikus putih (Ratus norvegius) betina perawan galur Wistar, umur

2,5-3 bulan, berat badan 150-200 gram, sebanyak 40 ekor. Beberapa ekor tikus

putih pejantan galur Wistar digunakan untuk mengawinkan tikus betina. Hewan

percobaan diperoleh dari IMONO Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Senyawa uji : obat X

Senyawa kontrol negatif : pelarut senyawa uji, yaitu Aquadest

Bahan penunjang yang lain : KOH 1%, NaCl 0,9%, alizarin 0,1%

D. CARA KERJA

1. Pemilihan hewan uji

Memilih hewan uji paling tidak terdiri dari 2 jenis hewan, roden ( misalnya mencit dan

tikus) dan nirodden (kelinci) yang masih perawan dan daur estrusnya teratur

Pemilihan berdasarkan jumlah umur, berat badan, keperawatan, keteraturan daur estrus,

periode laktasi pendek, jumlah anak dan kerentanan terhadap teratogen (dengan

memejani hewan bunting dengan senyawa uji yang dosisnya setara dengan LD50 nya)

2. Pengelompokkan hewan uji

Adaptasikan hewan uji dengan suasana laboratorium selama 1 minggu

Kelompokkan hewan uji sesuai dengan peringkat dosis yang diberikan, ditambah 1 atau

2 kelompok kontrol negatif dan 1 kontrol positif bila perlu

Masing – masing kelompok paling tidak terdiri dari 20–30 ekor hewan untuk mencit

dan tikus atau 12 ekor untuk kelinci

3. Pemeriksaan daur estrus

Sebelum hewan uji dikawinkan, dilakukan pemeriksaan daur estrus dengan cara usap

vagina, sebagai berikut :

8

Page 9: Uji Teratogenik

Siapkan larutan fisiologis (NaCl 0,9 %) dan pegang mencit atau tikus dengan cara

lazim menggunakan tangan kiri sehingga berada dalam posisi punggung di bawah

Ambil pipet tetes yang telah berisi larutan fisiologi secukupnya dengan tangan kanan

Masukkan pipet ke liang vagina dengan hati–hati, kemudian tekan karet pipet agar

larutan fisiologis masuk ke liang vagina. Dalam keadaan pipet tetap tertekan, tunggu

sebentar selanjutnya lepaskan tekanan pada pipet agar larutan fisiologis tadi tersedot

kembali dalam pipet ( disebut cairan apusan vagina, berwarna agak keruh )

Teteskan cairan apusan vagina yang didapat pada gelas obyek

Amati tipe – tipe sel epitel vagina di bawah mikroskop dan berdasarkan temuan tipe sel

tersebut selanjutnya dapat ditegaskan fase daur estrus yang sedang dialami oleh hewan

uji

Hewan uji yang memiliki daur estrus yang teratur dipersiapkan untuk dikawinkan

(mencit atau tikus dikatakan daur estrusnya teratur bila berlangsung selam 4 – 5 hari)

Sebaiknya pemeriksaan daur estrus ini dilakukan sebanyak 2 kali

4. Pengawinan dan penetapan masa bunting

Hewan uji yang memiliki daur estrus yang teratur, selanjutnya dikawinkan dengan

pejantan dengan cara sebagai berikut :

Hewan yang sedang ada dalam fase proestrus pada pagi hari, sore hari masukkan dalam

1 kandang dengan pejantannya (5–6 sore adalah waktu yang paling disenangi )

Pisahkan betina dari pejantannya pada pagi hari berikutnya, dan periksa apusan

vaginanya secara mikroskopis seperti cara pemeriksaan daur estrus (bila ada sperma

berarti sudah kawin)

9

Page 10: Uji Teratogenik

Hari ke nol masa bunting hewan uji dihitung sejak ditemukannya sperma dalam apus

vagina selanjutnya masa organogenensis dan masa kelahiran normal dapat ditetapkan

sesuai hewan uji yang digunakan

5. Tata cara pemberian dosis sediaan uji

Dosis yang diberikan paling tidak terdiri dari 3 peringkat dosis

Dosis teratogenik umunya terletak antara dosis letal terhadap induk atau semua janin

dan yang tidak menimbulkan efek teratogenik

Dosis teratogenik ini kemungkinan dapat ditentukan dari harga LD50 senyawa uji pada

induk ( antara ¼ - ⅓ LD50 induk )

Apabila terjadi kesulitan penentuan harga LD50, contohnya pada obat tradisional, dosis

teratogenik dapat di cari secara tentatif ( missal 1x, 2x, 4x dan seterusnya dosis terapi

untuk manusia)

Dari ketiga peringkat dosis, dosis tertinggi yang digunakan tidak boleh memperlihatkan

efek negatif pada induk ( misal sedasi ) dan dosis terendahnya harus meliputi dosis

terapi

Jalur pemberian paling tidak harus meliputi jalur klinis manusia. Peringkat dosis

sediaan uji, diberikan dengan kekerapan 1x sehari, selama masa organogenesis hewan

uji terkait

6. Pemeriksaan dan pengamatan

Masa pengamatan dimulai sejak diakhiri masa bunting hewan uji, yakni 12 – 14 jam

sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah seisar yang caranya sebagai

berikut:

Siapkan peralatan yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi dengan eter

Lakukan anestesi terhadap hewan uji, setelah ditimbang beratnya

10

Page 11: Uji Teratogenik

Setelah hewan teranestesi, ambil dan letakkan pada papan fiksasi serta lukukan

pembedahan sebagaimana cara lazim pengambilan cuplikan hayati, sampai terlihat

uterus yang berisi janin

Keluarkan uterus dan corpora luteanya. Kemudian pisahkan ( potong ) uterus dari

corpora luteanya dan induk dikorbankan

Sayat dinding uterus secara longitudinal guna mengeluarkan janin yang ada didalamnya

Janin yang terambil kemudian dipisahkan dari plasenta, dan masing – masing

dibersihkan dari lendir atau selaput yang menyelimutinya. Tempatkan bekas plasenta

pada uterus, disebutkan tempat implementasi

Kumpulkan janin, plasenta, uterus, dan corpora lutea pada tempat terpisah, guna

pemeriksaan dan pengamatan selanjutnya yang meliputi : pengamatan biometrika janin,

gros morfologi, histopatologi, dan kelainan rangka

Pemeriksaan gros morfologi meliputi pengamatan adanya cacat makroskopi pada

tangan, kaki, ekor, telinga, mata, bibir, celah langit, dan adanya kongesti

Pengamatan histopatologi meliputi pengamatan adanya cacat mikroskopis ( selular ).

Secara rambang, beberapa jabang bayi masing – masing induk diambil cuplikan

organnya, masukkan dalam formalin 10 % guna pembuatan preparat histology

mengikuti cara pengamatn hematoksilineosin

Kelainan rangka meliputi pemeriksaan terhadap system rangka tubuh (skeletal).

Beberapa jabang bayi masing – masing teknik pewarnaaan alizarin’s sebagai berikut :

(a) fiksasi jabang bayi dengan etanol absolute selama 2 hari, (b) isi rongga perut dan

rongga dada dikeluarkan, (c) jabang bayi dimaserasi dengan KOH 1% selama 2 hari

sampai dagingnya mengelupas dan transparan ( ganti KOH 2x sehari ), (d) masukkan

jabang bayi ke dalam alzarin’s 0,1 % dalam KOH 1 % selama 10 menit, (e) bilas

dengan KOH 1 % sampai warna ungu hilang, (f) masukkan jabang bayi tersebut

berturut – turut ke dalam campuran KOH-gliserin (3:1, 2:2, 1:1) masing – masing

selama 1 hari, (g) masukkan dalam gliserin murni

11

Page 12: Uji Teratogenik

Pemeriksaan dilakukan dengan kaca pembesar ( data : purata penulangan sternum,

vertebrata, dan rusuk ; prosentase janin yang mempunyai penulangan karpal dan tarsal ;

prosentase kelainan rangka sumbu jabang bayi

7. Analisa dan evaluasi hasil

Perbedaan jumlah kematian dan jumlah cacat antar kelompok perlakuan dianalisis

secara statistic ( Chi kuadrat ), sedang data biometrika lain dengan analisis varian pola

searah, taraf kepercayaan 95 %

Perbedaan antara kelompok perlakuan dianalisis dengan metode Khi kuadrat, taraf

kepercayaan 95 %

Perbedaan antara kelompok perlakuan dianalisis secara statistika mengikuti tata cara

Mann-Whitney, taraf kepearcayaan 95 %

Berdasar analisa kuantitatif di atas, potensi keteratogenikan obat uji dapat dievaluasi

demikian pula kekerabatannya dengan dosis obat uji. Secara kualitatif, wujud dan sifat

makroskopis, mikroskopis maupun skeletal juga dapat dievaluasi

E. TATA CARA ANALISIS

Mengamati biometrika janin atau jabang bayi, gros morfologi, histopatologi, dan

kelainan rangka yang secara kuantitatif dapat digunakan untuk menentukan potensi

keteratogenikan obat uji dan kekerabatannya dengan dosis obat uji. Serta secara kualitatif,

dapat untuk menentukan wujud dan sifat makroskopis, mikroskopis maupun skeletal.

12

Page 13: Uji Teratogenik

DAFTAR PUSTAKA

Donatus, I.A., 2005, Toksikologi Dasar, Edisi II, 207, Laboratorium Farmakologi dan

Toksikologi Dasar Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Palmer, A.K., 1978, The Design of Subprimate Animal Studies. In Wilson, J.G. and

Fraser, F.C.(Eds). Handbook of Toxicology. Vol. 4. Plenum Press, New York

Loomis, I.A., 1978, Essential of Toxicology, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus,

Toksiklogi Dasar, Edisi III, 242 – 248, IKIP Semarang Press, Semarang

Lu, F.C., 1995, Basic Toxicology Fundamentals, Target Organ, and Birds, diterjemahkan

oleh Edi Nugroho, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko,

Edisi II, 154 – 165, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

13

Page 14: Uji Teratogenik

TUGAS

1. Mengapa dalam uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan pada masa

organogenesis?

2. Mengapa hewan yang dipilih sebagai subyek uji keteratogenikan sebaiknya memiliki daur

estrus yang teratur, anaknya banyak, masih perawan, dan masa laktasinya pendek?

3. Mengapa masa bunting hewan uji harus diakhiri beberapa waktu sebelum masa kelahiran

normal dengan cara bedah seisar?

4. Jelaskan tujuan, sasaran, dan manfaat uji keteratogenikan sesuatu obat?

5. Sebutkan kategori risiko obat yang berdasarkan criteria keamanan penggunaan bagi wanita

hamil menurut FDA! Jelaskan adan beri contoh zat aktif obatnya!

JAWABAN :

1. Dalam uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan pada masa organogenesis karena

masa organogenesis merupakan masa pembentukan organ namun organ tersebut belum

berfungsi dan efek keteratogenikan ini terlihat dari adanya cacat makroskopis dan

mikroskopis yang meliputi kelainan tangan, kaki serta organ lainnya dan juga sistem

rangka. Oleh karena itulah pada uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan pada masa

organogenesis.

2. Hewan yang dipilih sebagai subjek uji keteratogenikan sebaiknya memiliki daur esterus

yang teratur, anaknya banyak, masih perawan, dan masa laktasinya pendek karena bila

hewan uji memiliki daur esterus yang teratur, maka akan lebih mudah memperkirakan

tingkat kesuburan hewan uji yaitu waktu perkawinan dan perkiraan lama kehamilan.

Hewan yang dipilih yang jumlah anaknya banyak agar hasil yang diperoleh lebih akurat,

karena akan lebih mudah membandingkan antara jumlah anak yang cacat/ mati dengan

kontrol. Dipilih hewan uji yang masih perawan untuk mengeliminasi faktor yang tidak

diinginkan dalam pengamatan janin dan sistem hormonal hewan uji yang masih perawan

belum berubah. Untuk mendapatkan hewan uji yang yang masih perawan dilakuakn

dengan cara pemisahan antara hewan uji jantan dan betinba setelah masa laktasinya

berakhir. Dipilih hewan uji yang masa laktasinya pendek agar dapat dipisahkan antara

hewan uji jantan dan betina sehingga dapat dihasilkan hewan uji yang murni dan masih

perawan.

3. Masa bunting hewan harus diakhiri beberapa waktu sebelum masa kelahiran normal

dengan cara bedah seisar karena supaya dalam uji teratogenik diperoleh data yang lebih

akurat, karena apabila hewan uji dipejankan obat dan terjadi kecacatan pada janin yang

14

Page 15: Uji Teratogenik

dilahirkan. Kecacatan tersebut bukan berasal dari obat yang dipejankan tapi dari posisi

kelahirannya seperti sungsang atau terjepit untuk menghindari dimakannya anak yang

lahir cacat itu oleh induknya. Oleh karena itu, masa bunting hewan uji harus diakhiri

beberapa waktu sebelum kelahiran normal dengan bedah seisar.

4. Tujuan, sasaran, dan manfaat uji teratogenikan sesuatu obat yaitu : uji teratogenik

merupakan salah satu jenis uji ketksikan khas, yaitu uji ketoksikan suatu obat yang

diberikan selama proses atau masa organogenesis suatu obat dapat menyebabkan kelainan

atau cacat bawaan pada janin yang dikandung oleh hewan uji dan apakah cacat tersebut

berkerabat dengan dosis yang diberikan.

Tujuan

Untuk mengetahui apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan/ cacat bawaan pada

diri janin yang dikandung oleh hewan uji.

Sasaran

Janin tikus yang masih berada dalam kandungan

Manfaat

Sebagai landasan evaluasi batas keamanan dan resiko penggunaan suatu obat oleh

wanita hamil, utamanya yang berkaitan dengan obat yang diberikan dengan cacat

bawaan janin yang dikandungnya.

5. Kategori risiko obat yang berdasarkan kriteria keamanan penggunaan bagi wanita hamil

menurut FDA yaitu :

Kategori A

Penelitian pada wanita hamil dengan menggunakan pembanding tidak menunjukkan

resiko peningkatan abnormalitas pada janin. Contoh : Zinc acetat dan Pyridoxine.

Kategori B

Penelitian pada hewan uji ini menunjukkan bukti addanya bahaya obat terhadap janin,

namun demikian belum ada penelitian yang memadai pada wanita hamil, dengan

menggunakan pembanding atau penelitian pada hewan uji yang menunjukkan efek tak

dikehendaki tapi tidak menunjukkan resiko terhadap janin. Contoh : Chlorphenamine

dan Ciclopirox.

Kategori C

Penelitian padda hewan uji telah menunjukkan efek yang tidak dikehendaki terhadap

janin namun belum ada penelitian yang memadai pada wanita hamil, dengan

menggunakan pembanding. Contoh : Amoxapin dan Rifamisin

Kategori D

15

Page 16: Uji Teratogenik

Terdapat penelitian yang memadai pada wanita hamil dengan menggunakan

pembanding/pengamatan menunjukkan resiko bagi janin. Namun demikian harus

dipertimbangkan manfaat pemberiaan obat dibandingkan resiko yang timbul. Contoh

Aminoglutethimide dan Arsenic trioxide.

Kategori X

Penelitian yang memadai pada wanita hamil dengan menggunakan pembanding/ pada

hewan yang telah menunjukkan bukti positif terjadinya abnormalitas janin. Penggunaan

obat dengan kategori resiko ini, merupakan kontraindikasi bagi wanita yang sedang

hamil/akan hamil. Contoh : Abarelix dan Alpprostadil.

16