uji teratogenik
DESCRIPTION
toksikologiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tetap sehat di masa kehamilan merupakan dambaan setiap wanita yang sedang
hamil. Masa-masa kehamilan merupakan masa-masa penting dan kritis bagi
perkembangan dan pertumbuhan bayi yang dikandung. Pertumbuhan dan perkembangan
tersebut sangat dipengaruhi oleh zat-zat yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil dan janin.
Banyak zat-zat berbahaya yang beredar di sekeliling kita. Zat-zat berbahaya tersebut
sangat membahayakan kesehatan ibu-ibu hamil beserta bayi yang dikandungnya. Untuk
mengetahui keamanan suatu zat atau obat yang dikonsumsi oleh wanita selama masa
kehamilan maka perlu dilakukan beberapa uji reproduksi terhadap obat atau zat yang
memiliki potensi besar dikonsumsi oleh wanita hamil, salah satunya adalah uji
keteratogenikan.
Uji keteratogenikan merupakan uji ketoksikan yang khas dimana obat yang
diberikan selama masa organogenesis (pembentukan organ pada janin) yang dilihat apakah
dapat memberikan kelainan atau cacat bawaan pada janin yang dikandung hewan uji dan
apakah dosis berkaitan dengan cacat yang timbul tersebut.
Obat X merupakan salah satu produk obat yang telah diklaim antara lain dapat
mengobati sakit kepala karena flu, masuk angin. Uji keteratogenikan dari obat X dapat
memberi informasi apakah obat ini memberi efek teratogenik pada janin.
B. PERMASALAHAN
1. Apakah obat X dapat menimbulkan efek teratogenik pada janin hewan uji?
2. Pada dosis berapa obat X memberikan efek toksik pada janin?
3. Bagaimana pengaruh obat X terhadap biometrika janin atau jabang bayi, grosmorfologi,
histopatologi, dan kelainan rangka?
C. MANFAAT
1. Manfaat Teoritis
Landasan evaluasi batas aman dan resiko penggunaan suatu obat oleh ibu hamil,
terutama kaitannya dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.
1
Untuk mengetahui efek toksisitas obat X selama masa kehamilan hewan uji pada
biometrika janin, grosmorfologi, histopatologi, dan kelainan rangka.
2. Manfaat Praktis
Untuk mencegah efek toksik kalau nanti obat X beredar di pasaran. Caranya dengan
label : peringatan, tidak digunakan pada ibu hamil.
D. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksaaan, luaran, dan
manfaat uji keteratogenikan sesuatu obat.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan/ cacat bawaan
pada diri janin yang dikandung oleh hewan uji.
Menentukan apakah cacat tersebut terkait dengan dosis obat yang diberikan.
2
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. UJI TERATOGENIK
Teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan wujud
dari perkembangan yang menyimpang dari sifat, struktur, dan fungsi alaminya yang
meliputi studi tentang perkembangan abnormal dan cacat bawaan. Zat kimia yang secara
nyata akan mempengaruhi perkembangan janin sehingga menimbulkan efek yang berubah
–ubah mulai dari letalis sampai kelainan bentuk (malformasi) dan keterhambatan
pertumbuhan yang disebut zat embriositik. Malformasi janin disebut terata dan zat kimia
yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau zat teratogenik (Loomis, 1978).
Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Salah satu tindakan untuk
mencegah terjadinya teratogenesis akibat ulah manusia adalah melakukan berbagai jenis
uji pada sejumlah besar obat, zat tambahan makanan, pestisida, bahan pencemar
lingkungan, dan zat kimia lainnya untuk menentukan potensi teratogenesisnya (Lu, 1995).
1. Embriologi
Setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, dan
organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu metamorphosis dan periode
perkembangan janin sebelum dilahirkan (Lu, 1995).
2. Tahap Pradiferensiasi
Selama tahap ini, embrio tidak rantan terhadap zat teratogen. Zat ini dapat
menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio, atau tidak
menimbulkan efek yang nyata. Bahkan bila terjadi efek yang agak berbahaya, sel
yang masih hidup akan menggantikan kerusakan tersebut dan membentuk embrio
normal. Lamanya resistensi ini berkisar antara 5 sampai 9 hari, tergantung dari jenis
spesiesnya (Lu, 1995).
3. Tahap Embrio
Dalam periode ini sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan
organisasi. Selama periode ini organogenesis terjadi. Akibatnya embrio sangat
rentan terhadap efek teratogen. Periode ini biasanya berakhir setelah beberapa waktu
yaitu hari ke – 10 sampai haroi ke – 14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke –
14 pada manusia (Lu, 1955).
3
4. Tahap Janin
Tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi. Dengan demikian,
selama tahap ini, teratogen tidak mungkin menyebabkan cacat morfologik, tetapi
dapat mengakibatkan kelainan fungsi. Cacat morfologik umumnya mudah dideteksi
pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti
gangguan SSP, mungkin tidak dapat didiagnosis segera setelah kelahiran (Lu, 1995).
5. Cara Kerja Teratogen
Beberapa jenis zat kimia telah terbukti bersifat teratogen pada hewan uji. Mengingat
beragamnya sifat zat – zat ini, tidak mengherankan bila banyak mekanisme yang
terlibat dalam efek teratogennya.
Gangguan terhadap Asam Nukleat
Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat, atau
translasi RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit, dan intercalating agent (Lu,
1995).
Kekurangan Pasokan Energi dan Osmolaritas
Hipoksia dan zat penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan
mengurangi oksigen dalam proses metabolism yang membutuhkan oksigen dan
mungkin juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas (Lu, 1995).
Penghambatan Enzim
Penghambatan enzim, seperti 5-fluorourasil, dapat menyebabkan cacat karena
mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat
ditetase. Contoh lainnya, 6-aminonikotinamid menghambat glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (Lu, 1995).
Lainnya
Hipervitaminosis A dapat menyebabkan kerusakan ultrastruktural pada membrane
sel embrio hewan pengerat, suatu mekanisme yang dapat menerangkan teratogenisitas
vitamin A. factor fisika yang dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan
hipertemia, serta trauma mekanik (Lu, 1995).
Wujud dari efek teratogen dapat berupa cacat structural, penghambatan
pertumbuhan, dan kematian. Ada tidaknya pemenjanan teratogen yang menghasilkan
kelahiran abnormal tergantung dari berbagai factor. Dua dari banyak factor yang penting
adalah dosis (tingkat pemejanan) dan waktu pemejanan. Efek waktu pemejanan pada
teratogenesis dapat terjadi karena variasi kejadian selama masa yang berbeda pada periode
kehamilan. Hal tersebut mendukung alasan bahwa waktu pemejanan zat teratogenik
4
merupakan hal yang kritis dalam menentukan efek yang potensial. Pemejanan selama
masa awal (awal implantasi) berpengaruh pada kemmatian embrio. Pemejanan pada masa
akhir (pada manusia trimester ketiga) sangat mungkin berpengaruh pada penghambatan
pertumbuhan. Pemejanan pada masssa tengah, masa organogenesis, akan sangat mungkin
berpengaruh pada kerusakan struktur. Pemejanan teratogen selama periode kritis
perkembangan janin kemingkinan besar akan menyebabakan malformasi pada system
organ (Stein dan Brown, 1996).
Uji Keteratogenikan. Maksud uji ini untuk menentukan pengaruh sesuatu senyawa
terhadap janin dalam hewan bunting. Hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis,
roden dan nirroden. Dalam pemilihan hewan uji ini, yang perlu diperhatikan adalah umur,
berat badan, keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap teratogen
(Donatus, 2005).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji ini adalah peringkat dosis, frekuensi
dan saat pemberian senyawa uji, dan pengamatannya. Dlaam uji ini, sekurang – kurangnya
digunakan tiga peringkat dosis, yang berkisar antara dosis letal terhadap induk atau semua
janin dan dosis yang tidak memiliki efek tertogenik. Dosis tertinggi yang digunakan tidak
boleh menunjukkan pengaruh negative terhadap induk. Dosis teratogenik erat kaitannya
dengan factor genetic hewan uji. Menurut Palmer (1978), bila rasio dosis antara hewan uji
dan manusia belum diketahui, maka dosis teratogenik dapat diperkirakan dari harga LD50
induk (antara ¼ sampai 1/3 LD50 induk). Bila terdapat kesulitan dalam menentukan LD50
induk, maka dosis teratogenik dapat dicari secara tentatif (misal 1x, 2x, 4x, dan seterusnya
dosis manusia) (Donatus, 2005).
Masa pengamatan dimulai sejak diakhirirnya masa bunting hewan uji, yakni 12 – 14
jam sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah seisar. Keteratogenikan senyawa uji
ditegaskan mengikuti tekni morfologi yang meliputi biometrika janin (angka resorpsi,
angka cacat, berat janin, panjang janin), gross morfologi (pengamatan makroskopis adanya
cacat badaniah), histopatologi (pengamatan mikroskopis adanya cacat selular), dan
pewarnaan alizarin S (pengamatan kelainan skeletal) (Donatus, 2005).
B. LANDASAN TEORI
Uji keteratogenikan merupakan salah satu golongan uji ketoksikan khas. Uji
keteratogenikan adalah suatu uji yang digunakan untuk menentukan pengaruh suatu
senyawa terhadap janin dalam hewan bunting. Uji keteratogenikan bermanfaat sebagai
5
patokan batas aman dan resiko penggunaan obat tertentu oleh wanita hamil, terutama yang
berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.
Masa pengamatan uji keteratogenikan dimulai sejak diakhirinya masa bunting
hewan uji, yakni sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah siesar (Donatus, 2005).
Yang harus diperhatikan dalam uji ini adalah peringkat dosis, frekuensi dan saat
pemberian senyawa uji, dan pengamatannya.
Dasar uji keteratogenikan adalah pengawinan hewan uji, penegasan masa bunting,
penetapan masa organogenesis tersidik, pemeriksaan dan pengamatan tolok ukur kualitatif
dan kuantitatif kecacatan atau kelainan pada masa kelahiran normal, dan analisis serta
evaluasi hasil.
C. HIPOTESIS
1. Obat X dapat menimbulkan efek teratogenik pada janin hewan uji.
2. Pada dosis tertinggi obat X memberikan efek toksik pada janin hewan uji.
3. Obat X memberi pengaruh terhadap biometrika janin atau jabang bayi, grosmorfologi,
histopatologi, dan kelainan rangka.
6
BAB III
METODE PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni karena subjek uji
penelitian ini diberi perlakuan yaitu pemberian peringkat dosis obat X untuk mengetahui
efek toksik keteratogenikan pada hewan uji yang sedang bunting.
B. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel utama
Variabel bebas: tiga (3) peringkat dosis senyawa X yang diberikan pada hewan uji dan
dosis dari kontrol negatif.
2. Variabel tergantung
Biometrika janin / jabang bayi, grosmorfologi, histopatologi, kelainan rangka pada
janin hewan uji.
3. Variabel pengacau
Variabel yang dikendalikan
a. Hewan uji, tikus putih (Ratus norvegius) betina perawan galur Wistar, umur
2,5-3 bulan, berat badan 150-200 gram, sebanyak 40 ekor. Beberapa ekor tikus
putih pejantan galur Wistar digunakan untuk mengawinkan tikus betina. Hewan
percobaan diperoleh dari IMONO Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. Jenis alat-alat gelas yang digunakan
c. Jenis alat dan metode injeksi yang digunakan meliputi jalur klinis manusia yaitu
per oral.
d. Jenis obat X yang digunakan
e. Pelarut obat X yang digunakan (Aquadest)
f. Waktu pemejanan pada saat organogenesis (hari ke 7-17 masa bunting)
Variabel yang tidak dikendalikan
Jumlah makanan yang dikonsumsi hewan uji
C. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
spuit injeksi per oral
timbangan elektrik
seperangkat alat bedah
mikroskop
7
preparat histopatologi obyek glass
2. Bahan
Hewan uji, tikus putih (Ratus norvegius) betina perawan galur Wistar, umur
2,5-3 bulan, berat badan 150-200 gram, sebanyak 40 ekor. Beberapa ekor tikus
putih pejantan galur Wistar digunakan untuk mengawinkan tikus betina. Hewan
percobaan diperoleh dari IMONO Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Senyawa uji : obat X
Senyawa kontrol negatif : pelarut senyawa uji, yaitu Aquadest
Bahan penunjang yang lain : KOH 1%, NaCl 0,9%, alizarin 0,1%
D. CARA KERJA
1. Pemilihan hewan uji
Memilih hewan uji paling tidak terdiri dari 2 jenis hewan, roden ( misalnya mencit dan
tikus) dan nirodden (kelinci) yang masih perawan dan daur estrusnya teratur
↓
Pemilihan berdasarkan jumlah umur, berat badan, keperawatan, keteraturan daur estrus,
periode laktasi pendek, jumlah anak dan kerentanan terhadap teratogen (dengan
memejani hewan bunting dengan senyawa uji yang dosisnya setara dengan LD50 nya)
2. Pengelompokkan hewan uji
Adaptasikan hewan uji dengan suasana laboratorium selama 1 minggu
↓
Kelompokkan hewan uji sesuai dengan peringkat dosis yang diberikan, ditambah 1 atau
2 kelompok kontrol negatif dan 1 kontrol positif bila perlu
↓
Masing – masing kelompok paling tidak terdiri dari 20–30 ekor hewan untuk mencit
dan tikus atau 12 ekor untuk kelinci
3. Pemeriksaan daur estrus
Sebelum hewan uji dikawinkan, dilakukan pemeriksaan daur estrus dengan cara usap
vagina, sebagai berikut :
↓
8
Siapkan larutan fisiologis (NaCl 0,9 %) dan pegang mencit atau tikus dengan cara
lazim menggunakan tangan kiri sehingga berada dalam posisi punggung di bawah
↓
Ambil pipet tetes yang telah berisi larutan fisiologi secukupnya dengan tangan kanan
↓
Masukkan pipet ke liang vagina dengan hati–hati, kemudian tekan karet pipet agar
larutan fisiologis masuk ke liang vagina. Dalam keadaan pipet tetap tertekan, tunggu
sebentar selanjutnya lepaskan tekanan pada pipet agar larutan fisiologis tadi tersedot
kembali dalam pipet ( disebut cairan apusan vagina, berwarna agak keruh )
↓
Teteskan cairan apusan vagina yang didapat pada gelas obyek
↓
Amati tipe – tipe sel epitel vagina di bawah mikroskop dan berdasarkan temuan tipe sel
tersebut selanjutnya dapat ditegaskan fase daur estrus yang sedang dialami oleh hewan
uji
↓
Hewan uji yang memiliki daur estrus yang teratur dipersiapkan untuk dikawinkan
(mencit atau tikus dikatakan daur estrusnya teratur bila berlangsung selam 4 – 5 hari)
↓
Sebaiknya pemeriksaan daur estrus ini dilakukan sebanyak 2 kali
4. Pengawinan dan penetapan masa bunting
Hewan uji yang memiliki daur estrus yang teratur, selanjutnya dikawinkan dengan
pejantan dengan cara sebagai berikut :
↓
Hewan yang sedang ada dalam fase proestrus pada pagi hari, sore hari masukkan dalam
1 kandang dengan pejantannya (5–6 sore adalah waktu yang paling disenangi )
↓
Pisahkan betina dari pejantannya pada pagi hari berikutnya, dan periksa apusan
vaginanya secara mikroskopis seperti cara pemeriksaan daur estrus (bila ada sperma
berarti sudah kawin)
↓
9
Hari ke nol masa bunting hewan uji dihitung sejak ditemukannya sperma dalam apus
vagina selanjutnya masa organogenensis dan masa kelahiran normal dapat ditetapkan
sesuai hewan uji yang digunakan
5. Tata cara pemberian dosis sediaan uji
Dosis yang diberikan paling tidak terdiri dari 3 peringkat dosis
↓
Dosis teratogenik umunya terletak antara dosis letal terhadap induk atau semua janin
dan yang tidak menimbulkan efek teratogenik
↓
Dosis teratogenik ini kemungkinan dapat ditentukan dari harga LD50 senyawa uji pada
induk ( antara ¼ - ⅓ LD50 induk )
↓
Apabila terjadi kesulitan penentuan harga LD50, contohnya pada obat tradisional, dosis
teratogenik dapat di cari secara tentatif ( missal 1x, 2x, 4x dan seterusnya dosis terapi
untuk manusia)
↓
Dari ketiga peringkat dosis, dosis tertinggi yang digunakan tidak boleh memperlihatkan
efek negatif pada induk ( misal sedasi ) dan dosis terendahnya harus meliputi dosis
terapi
↓
Jalur pemberian paling tidak harus meliputi jalur klinis manusia. Peringkat dosis
sediaan uji, diberikan dengan kekerapan 1x sehari, selama masa organogenesis hewan
uji terkait
6. Pemeriksaan dan pengamatan
Masa pengamatan dimulai sejak diakhiri masa bunting hewan uji, yakni 12 – 14 jam
sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah seisar yang caranya sebagai
berikut:
↓
Siapkan peralatan yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi dengan eter
↓
Lakukan anestesi terhadap hewan uji, setelah ditimbang beratnya
↓
10
Setelah hewan teranestesi, ambil dan letakkan pada papan fiksasi serta lukukan
pembedahan sebagaimana cara lazim pengambilan cuplikan hayati, sampai terlihat
uterus yang berisi janin
↓
Keluarkan uterus dan corpora luteanya. Kemudian pisahkan ( potong ) uterus dari
corpora luteanya dan induk dikorbankan
↓
Sayat dinding uterus secara longitudinal guna mengeluarkan janin yang ada didalamnya
↓
Janin yang terambil kemudian dipisahkan dari plasenta, dan masing – masing
dibersihkan dari lendir atau selaput yang menyelimutinya. Tempatkan bekas plasenta
pada uterus, disebutkan tempat implementasi
↓
Kumpulkan janin, plasenta, uterus, dan corpora lutea pada tempat terpisah, guna
pemeriksaan dan pengamatan selanjutnya yang meliputi : pengamatan biometrika janin,
gros morfologi, histopatologi, dan kelainan rangka
↓
Pemeriksaan gros morfologi meliputi pengamatan adanya cacat makroskopi pada
tangan, kaki, ekor, telinga, mata, bibir, celah langit, dan adanya kongesti
↓
Pengamatan histopatologi meliputi pengamatan adanya cacat mikroskopis ( selular ).
Secara rambang, beberapa jabang bayi masing – masing induk diambil cuplikan
organnya, masukkan dalam formalin 10 % guna pembuatan preparat histology
mengikuti cara pengamatn hematoksilineosin
↓
Kelainan rangka meliputi pemeriksaan terhadap system rangka tubuh (skeletal).
Beberapa jabang bayi masing – masing teknik pewarnaaan alizarin’s sebagai berikut :
(a) fiksasi jabang bayi dengan etanol absolute selama 2 hari, (b) isi rongga perut dan
rongga dada dikeluarkan, (c) jabang bayi dimaserasi dengan KOH 1% selama 2 hari
sampai dagingnya mengelupas dan transparan ( ganti KOH 2x sehari ), (d) masukkan
jabang bayi ke dalam alzarin’s 0,1 % dalam KOH 1 % selama 10 menit, (e) bilas
dengan KOH 1 % sampai warna ungu hilang, (f) masukkan jabang bayi tersebut
berturut – turut ke dalam campuran KOH-gliserin (3:1, 2:2, 1:1) masing – masing
selama 1 hari, (g) masukkan dalam gliserin murni
11
↓
Pemeriksaan dilakukan dengan kaca pembesar ( data : purata penulangan sternum,
vertebrata, dan rusuk ; prosentase janin yang mempunyai penulangan karpal dan tarsal ;
prosentase kelainan rangka sumbu jabang bayi
7. Analisa dan evaluasi hasil
Perbedaan jumlah kematian dan jumlah cacat antar kelompok perlakuan dianalisis
secara statistic ( Chi kuadrat ), sedang data biometrika lain dengan analisis varian pola
searah, taraf kepercayaan 95 %
↓
Perbedaan antara kelompok perlakuan dianalisis dengan metode Khi kuadrat, taraf
kepercayaan 95 %
↓
Perbedaan antara kelompok perlakuan dianalisis secara statistika mengikuti tata cara
Mann-Whitney, taraf kepearcayaan 95 %
↓
Berdasar analisa kuantitatif di atas, potensi keteratogenikan obat uji dapat dievaluasi
demikian pula kekerabatannya dengan dosis obat uji. Secara kualitatif, wujud dan sifat
makroskopis, mikroskopis maupun skeletal juga dapat dievaluasi
E. TATA CARA ANALISIS
Mengamati biometrika janin atau jabang bayi, gros morfologi, histopatologi, dan
kelainan rangka yang secara kuantitatif dapat digunakan untuk menentukan potensi
keteratogenikan obat uji dan kekerabatannya dengan dosis obat uji. Serta secara kualitatif,
dapat untuk menentukan wujud dan sifat makroskopis, mikroskopis maupun skeletal.
12
DAFTAR PUSTAKA
Donatus, I.A., 2005, Toksikologi Dasar, Edisi II, 207, Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi Dasar Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Palmer, A.K., 1978, The Design of Subprimate Animal Studies. In Wilson, J.G. and
Fraser, F.C.(Eds). Handbook of Toxicology. Vol. 4. Plenum Press, New York
Loomis, I.A., 1978, Essential of Toxicology, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus,
Toksiklogi Dasar, Edisi III, 242 – 248, IKIP Semarang Press, Semarang
Lu, F.C., 1995, Basic Toxicology Fundamentals, Target Organ, and Birds, diterjemahkan
oleh Edi Nugroho, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko,
Edisi II, 154 – 165, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
13
TUGAS
1. Mengapa dalam uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan pada masa
organogenesis?
2. Mengapa hewan yang dipilih sebagai subyek uji keteratogenikan sebaiknya memiliki daur
estrus yang teratur, anaknya banyak, masih perawan, dan masa laktasinya pendek?
3. Mengapa masa bunting hewan uji harus diakhiri beberapa waktu sebelum masa kelahiran
normal dengan cara bedah seisar?
4. Jelaskan tujuan, sasaran, dan manfaat uji keteratogenikan sesuatu obat?
5. Sebutkan kategori risiko obat yang berdasarkan criteria keamanan penggunaan bagi wanita
hamil menurut FDA! Jelaskan adan beri contoh zat aktif obatnya!
JAWABAN :
1. Dalam uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan pada masa organogenesis karena
masa organogenesis merupakan masa pembentukan organ namun organ tersebut belum
berfungsi dan efek keteratogenikan ini terlihat dari adanya cacat makroskopis dan
mikroskopis yang meliputi kelainan tangan, kaki serta organ lainnya dan juga sistem
rangka. Oleh karena itulah pada uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan pada masa
organogenesis.
2. Hewan yang dipilih sebagai subjek uji keteratogenikan sebaiknya memiliki daur esterus
yang teratur, anaknya banyak, masih perawan, dan masa laktasinya pendek karena bila
hewan uji memiliki daur esterus yang teratur, maka akan lebih mudah memperkirakan
tingkat kesuburan hewan uji yaitu waktu perkawinan dan perkiraan lama kehamilan.
Hewan yang dipilih yang jumlah anaknya banyak agar hasil yang diperoleh lebih akurat,
karena akan lebih mudah membandingkan antara jumlah anak yang cacat/ mati dengan
kontrol. Dipilih hewan uji yang masih perawan untuk mengeliminasi faktor yang tidak
diinginkan dalam pengamatan janin dan sistem hormonal hewan uji yang masih perawan
belum berubah. Untuk mendapatkan hewan uji yang yang masih perawan dilakuakn
dengan cara pemisahan antara hewan uji jantan dan betinba setelah masa laktasinya
berakhir. Dipilih hewan uji yang masa laktasinya pendek agar dapat dipisahkan antara
hewan uji jantan dan betina sehingga dapat dihasilkan hewan uji yang murni dan masih
perawan.
3. Masa bunting hewan harus diakhiri beberapa waktu sebelum masa kelahiran normal
dengan cara bedah seisar karena supaya dalam uji teratogenik diperoleh data yang lebih
akurat, karena apabila hewan uji dipejankan obat dan terjadi kecacatan pada janin yang
14
dilahirkan. Kecacatan tersebut bukan berasal dari obat yang dipejankan tapi dari posisi
kelahirannya seperti sungsang atau terjepit untuk menghindari dimakannya anak yang
lahir cacat itu oleh induknya. Oleh karena itu, masa bunting hewan uji harus diakhiri
beberapa waktu sebelum kelahiran normal dengan bedah seisar.
4. Tujuan, sasaran, dan manfaat uji teratogenikan sesuatu obat yaitu : uji teratogenik
merupakan salah satu jenis uji ketksikan khas, yaitu uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan selama proses atau masa organogenesis suatu obat dapat menyebabkan kelainan
atau cacat bawaan pada janin yang dikandung oleh hewan uji dan apakah cacat tersebut
berkerabat dengan dosis yang diberikan.
Tujuan
Untuk mengetahui apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan/ cacat bawaan pada
diri janin yang dikandung oleh hewan uji.
Sasaran
Janin tikus yang masih berada dalam kandungan
Manfaat
Sebagai landasan evaluasi batas keamanan dan resiko penggunaan suatu obat oleh
wanita hamil, utamanya yang berkaitan dengan obat yang diberikan dengan cacat
bawaan janin yang dikandungnya.
5. Kategori risiko obat yang berdasarkan kriteria keamanan penggunaan bagi wanita hamil
menurut FDA yaitu :
Kategori A
Penelitian pada wanita hamil dengan menggunakan pembanding tidak menunjukkan
resiko peningkatan abnormalitas pada janin. Contoh : Zinc acetat dan Pyridoxine.
Kategori B
Penelitian pada hewan uji ini menunjukkan bukti addanya bahaya obat terhadap janin,
namun demikian belum ada penelitian yang memadai pada wanita hamil, dengan
menggunakan pembanding atau penelitian pada hewan uji yang menunjukkan efek tak
dikehendaki tapi tidak menunjukkan resiko terhadap janin. Contoh : Chlorphenamine
dan Ciclopirox.
Kategori C
Penelitian padda hewan uji telah menunjukkan efek yang tidak dikehendaki terhadap
janin namun belum ada penelitian yang memadai pada wanita hamil, dengan
menggunakan pembanding. Contoh : Amoxapin dan Rifamisin
Kategori D
15
Terdapat penelitian yang memadai pada wanita hamil dengan menggunakan
pembanding/pengamatan menunjukkan resiko bagi janin. Namun demikian harus
dipertimbangkan manfaat pemberiaan obat dibandingkan resiko yang timbul. Contoh
Aminoglutethimide dan Arsenic trioxide.
Kategori X
Penelitian yang memadai pada wanita hamil dengan menggunakan pembanding/ pada
hewan yang telah menunjukkan bukti positif terjadinya abnormalitas janin. Penggunaan
obat dengan kategori resiko ini, merupakan kontraindikasi bagi wanita yang sedang
hamil/akan hamil. Contoh : Abarelix dan Alpprostadil.
16