uji performansi alat pengering gabah tipe dmp ...repository.ub.ac.id/3822/1/fadhilah nurindah...
TRANSCRIPT
i
UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING GABAH TIPE
DMP-1 BERBASIS EFEK RUMAH KACA DENGAN
PENAMBAHAN BATU ALOR HITAM SEBAGAI
PENYIMPAN PANAS
SKRIPSI
Oleh :
FADHILAH NURINDAH HASANAH
NIM 135100207111009
JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING GABAH TIPE
DMP-1 BERBASIS EFEK RUMAH KACA DENGAN
PENAMBAHAN BATU ALOR HITAM SEBAGAI
PENYIMPAN PANAS
Oleh :
FADHILAH NURINDAH HASANAH
NIM 135100207111009
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya, 21 April
1995. Penulis merupakan anak tunggal dari
ayah yang bernama Sutardi dan Ibu
Indahyani. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar di SDN
Lakarsantri II/473 Surabaya pada tahun 2001
sampai pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama
di SMPN 28 Surabaya pada tahun 2007 sampai pada tahun
2010, dan menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 22
Surabaya pada tahun 2010 sampai tahun 2013. Setelah itu,
penulis melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi
di Jurusan Keteknikan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya pada tahun 2013 sampai pada tahun
2017. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Lembaga
Kemahasiswaan Agritech Sport (AS) Fakultas Teknologi
Pertanian (FTP) sebagai ketua divisi Bulutangkis pada tahun
2015/2016 dan sebagai Manager pada tahun 2016/2017.
Selanjutnya penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Teknik
Pertanian (HIMATETA) sebagai staf divisi Dana dan Usaha
pada tahun 2015/2016. Selain itu, penulis juga menjadi asisten
mata kuliah Mekanisasi Pertanian dan Energi Listrik Pertanian
pada tahun 2016.
vi
Alhamdulillah….. Terimakasih Allah SWT
Karya pertama ini, saya persembahkan kepada
Ibu dan Bapak yang selalu mendukung dan mendoakan
kesuksesan saya
“Saya selalu percaya usaha yang diimbangi dengan doa
insyaallah berkah”
vii
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Fadhilah Nurindah Hasanah
NIM : 135100207111009
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul TA : Uji Performansi Alat Pengering Gabah Tipe DMP-1
Berbasis Efek Rumah Kaca Dengan Penambahan
Batu Alor Hitam Sebagai Penyimpan Panas
Menyatakan bahwa,
TA dengan judul diatas merupakan karya asli penulis tersebut
diatas. Apabila dikemudian hari terbukti ini tidak benar saya
bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, 6 Juli 2017
Pembuat Pernyataan,
Fadhilah Nurindah Hasanah
NIM. 135100207111009
viii
Fadhilah Nurindah Hasanah. 135100207111009. Uji
Performansi Alat Pengering Gabah Tipe DMP-1 Berbasis
Efek Rumah Kaca Dengan Penambahan Batu Alor Hitam
Sebagai Penyimpan Panas. Skripsi. Dosen Pembimbing Dr.
Ir. Gunomo Djoyowasito, MS. dan Dewi Maya Maharani,
STP, M.Sc
RINGKASAN
Pengeringan gabah di Indonesia umumnya masih
dilakukan secara tradisional dengan dijemur di bawah terik
matahari secara langsung. Namun pengeringan secara
tradisional dirasa kurang efektif karena cuaca yang tidak
menentu. Dengan demikian, pengeringan gabah membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai kadar air 14%. Oleh karena
itu dibutuhkan alat pengering gabah berbasis efek rumah kaca
dengan penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas.
Tujuan penelitian ini adalah menguji performansi alat pengering
gabah berbasis efek rumah kaca dengan penambahan batu alor
hitam dan membandingkan kinerja alat pengering gabah dengan
proses pengeringan tradisional. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif dengan dua perlakuan, yaitu pengeringan
gabah menggunakan alat pengering dan pengeringan
tradisional. Parameter pengukuran dilakukan dengan
mengamati proses pengeringan gabah pada setiap perlakuan
sebanyak tiga kali pengulangan, dengan pengukuran yang
diamati adalah suhu (°C), kelembaban (%), kecepatan aliran
udara (m/s), lama pengeringan (jam) dan kadar air (%). Hasil uji
performasi pengeringan gabah dengan menggunakan alat
pengering gabah memerlukan waktu pengeringan secara
berturut-turut yaitu 7 jam, 9 jam, dan 7 jam, dengan nilai rata-
rata efisiensi sebesar 16.71%. Ditinjau dari kinerja alat, waku
pengeringan yang dibutuhkan alat pengering gabah mempunyai
ix
nilai rata-rata 1.7 jam lebih cepat dibandingkan dengan
pengeringan gabah tradisional.
Kata Kunci : Efek Rumah Kaca, Gabah, Kolektor Panas,
Pengeringan
x
Fadhilah Nurindah Hasanah. 135100207111009.
Performantion Test of Grain Dryer (Type DMP-1) Based on
Greenhouse Effect With Black Alor’s Stone as Heat Keeper.
Skripsi . Supervisor Dr. Ir. Gunomo Djoyowasito, MS. dan
Dewi Maya Maharani, STP, M.Sc
SUMMARY
Drying grain in Indonesia generally still done traditionally
dried under a blazing sun directly. But drying traditionally
considered less effective because of the uncertain weather.
Thus, grain drying takes a long time to reach a moisture content
of 14%. Therefore it takes grain dryers based greenhouse effect
with the additional of stone black heat storage as alor. The
purpose of this study was to test the performance of grain dryers
based greenhouse effect with the addition of stone alor black
and grain dryers performance compares with traditional drying
process. This research uses descriptive method with two
treatments, namely grain drying using traditional dryers and
drying. Parameter measurement is done by observing the
process of drying grain at each treatment three times of
repetition, with the observed measurement is temperature (°C),
humidity (%), air flow velocity (m/s), long drying (hours) and
moisture content (%). Performance grain drying test result by
using grain dryers require drying time is 7 hours, 9 hours and 7
hours, with an average efficiency of 16.71%. In terms of tool
performance, drying time required of the grain dryers has a
average value 1.7 hours faster than conventional method.
Keywords: Drying, Grain, Heat Collector, The Greenhouse
Effect
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
skripsi yang berjudul “Uji Performansi Alat Pengering Gabah
Tipe DMP-1 Berbasis Efek Rumah Kaca Dengan Penambahan
Batu Alor Hitam Sebagai Penyimpan Panas”. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Gunomo Djoyowasito, MS dan Dewi Maya
Maharani, STP, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan II,
yang telah memberikan bimbingan, arahan, ilmu, dan
pengetahuan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Ary Mustofa Ahmad, MP selaku dosen penguji
atas segala saran dan masukannya.
3. La Choviya Hawa, STP, MP, PhD selaku Ketua Jurusan
Keteknikan Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
4. Kedua orang tua dan segenap keluarga yang selalu
memberi doa, dukungan moril dan finansial kepada
penulis.
5. Teman-teman yang telah memberikan semangat penulis
dalam penyelesaian proposal skripsi.
6. Buana Rimba 22 sebagai wadah tempat penulis
berproses dari masa SMA hingga sekarang
7. Agritech Sport sebagai wadah tempat penulis berproses
selama masa perkuliahan.
8. HIMATETA sebagai wadah tempat penulis berproses
selama masa perkuliahan.
xii
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan proposal skripsi.
Malang, 11 Agustus 2017
Penulis,
Fadhilah Nurindah H
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................... iv
LEMBAR PERSEMBAHAN .................................................... v
RINGKASAN ......................................................................... vii
SUMMARY ............................................................................. ix
KATA PENGANTAR ............................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................... xii
DAFTAR TABEL .................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................... 3
1.5 Batasa Masalah ........................................................ 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 5
2.1 Gabah ....................................................................... 5
2.2 Teknologi Pengeringan ............................................. 6
2.2.1 Pengertian Pengeringan ........................................ 6
2.2.2 Alat dan Mesin Pengering ...................................... 7
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan .. 8
2.3 Efek Rumah Kaca ..................................................... 9
2.4 Parameter Pengeringan .......................................... 11
2.4.1 Kecepatan Aliran Udara Pengeringan ................. 11
2.4.2 Kadar Air .............................................................. 12
2.4.3 Batu Penyimpan Panas ....................................... 13
2.4.4 Suhu Pada Proses Pengeringan ......................... 15
xiv
2.4.5 Kelembaban Pada Proses Pengeringan .............. 16
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................. 17
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ............................ 17
3.2 Alat dan Bahan ....................................................... 17
3.3 Metode Penelitian ................................................... 17
3.3.1 Pelaksanaan Penelitian ....................................... 18
3.4 Perlakuan Pengeringan .......................................... 20
3.4.1 Alat Pengering Gabah ......................................... 20
3.4.2 Pengeringan Tradisional ...................................... 22
3.5 Parameter Pengukuran ........................................... 23
3.6 Efisiensi Pengeringan (%) ...................................... 24
3.6.1 Konsumsi Energi (Qoutput) ................................. 25
3.6.2 Qinput .................................................................. 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................... 29
4.1 Suhu (°C) ................................................................ 29
4.1.1 Suhu Terhadap Intensitas Radiasi Matahari ........ 29
4.1.2 Suhu Terhadap Bagian Alat Pengering ............... 40
4.1.3 Suhu Batu Terhadap Ruang Kolektor .................. 43
4.2 Kelembaban Relatif (%) .......................................... 46
4.3 Kecepatan Aliran Udara (m/s) ................................ 54
4.4 Lama Pengeringan (jam) ........................................ 57
4.5 Kadar Air (%) .......................................................... 60
4.6 Efisiensi Pengeringan (%) ...................................... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 71
LAMPIRAN ............................................................................ 75
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara
Pengulangan 1 ....................................................... 55
Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara
Pengulangan 2 ....................................................... 55
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara
Pengulangan 1 ....................................................... 56
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Lama Pengeringan Pengulangan
1 ............................................................................. 58
Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Lama Pengeringan Pengulangan
2 ............................................................................. 58
Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Lama Pengeringan Pengulangan
3 ............................................................................. 59
Tabel 4.7 Efisiensi Pengeringan Gabah Menggunakan Efek
Rumah Kaca .......................................................... 67
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagian-bagian Gabah ......................................... 5
Gambar 2.2 Efek Rumah Kaca ............................................. 10
Gambar 3.1 Diagram Alir Pengeringan Gabah ..................... 19
Gambar 3.2 Alat Pengering Gabah ....................................... 20
Gambar 3.3 Pengeringan Gabah Tradisional ........................ 22
Gambar 4.1 Suhu Ruang Kolektor dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1 ................................... 30
Gambar 4.2 Suhu Ruang Kolektor dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2 ................................... 30
Gambar 4.3 Suhu Ruang Kolektor dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3 ................................... 31
Gambar 4.4 Suhu Ruang Pengering dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1 ................................... 32
Gambar 4.5 Suhu Ruang Pengering dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2 ................................... 32
Gambar 4.6 Suhu Ruang Pengering dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3 ................................... 33
Gambar 4.7 Suhu Saluran Udara dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1 ................................... 34
Gambar 4.8 Suhu Saluran Udara dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2 ................................... 34
Gambar 4.9 Suhu Saluran Udara dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3 ................................... 35
Gambar 4.10 Suhu Lingkungan dan Intensitas Radiasi Matahari
Pengulangan 1 ............................................... 36
Gambar 4.11 Suhu Lingkungan dan Intensitas Radiasi Matahari
Pengulangan 2 ............................................... 36
Gambar 4.12 Suhu Lingkungan dan Intensitas Radiasi Matahari
Pengulangan 3 ............................................... 37
xvii
Gambar 4.13 Suhu Batu Alor Hitam dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1 ................................ 38
Gambar 4.14 Suhu Batu Alor Hitam dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2 ................................ 38
Gambar 4.15 Suhu Batu Alor Hitam dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3 ................................ 39
Gambar 4.16 Suhu Bagian Semua Alat Pengering dan
Lingkungan Pengulangan 1 ............................ 41
Gambar 4.17 Suhu Bagian Semua Alat Pengering dan
Lingkungan Pengulangan 2 ............................ 41
Gambar 4.18 Suhu Bagian Semua Alat Pengering dan
Lingkungan Pengulangan 3 ............................ 42
Gambar 4.19 Suhu Batu dan Ruang Kolektor Pengulangan
1 ..................................................................... 44
Gambar 4.20 Suhu Batu dan Ruang Kolektor Pengulangan
2 ..................................................................... 44
Gambar 4.21 Suhu Batu dan Ruang Kolektor Pengulangan
3 ..................................................................... 45
Gambar 4.22 Suhu dan Kelembaban Relatif Kolektor
Pengulangan 1 ............................................... 46
Gambar 4.23 Suhu dan Kelembaban Relatif Kolektor
Pengulangan 2 ............................................... 47
Gambar 4.24 Suhu dan Kelembaban Relatif Kolektor
Pengulangan 3 ............................................... 47
Gambar 4.25 Suhu dan Kelembaban Relatif Ruang Pengering
Pengulangan 1 ............................................... 48
Gambar 4.26 Suhu dan Kelembaban Relatif Ruang Pengering
Pengulangan 2 ............................................... 49
Gambar 4.27 Suhu dan Kelembaban Relatif Ruang Pengering
Pengulangan 3 ............................................... 49
Gambar 4.28 Suhu dan Kelembaban Relatif Saluran Udara
Pengulangan 1 ............................................... 50
xviii
Gambar 4.29 Suhu dan Kelembaban Relatif Saluran Udara
Pengulangan 2 ............................................... 51
Gambar 4.30 Suhu dan Kelembaban Relatif Saluran Udara
Pengulangan 3 ............................................... 51
Gambar 4.31 Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan
Pengulangan 1 ............................................... 52
Gambar 4.32 Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan
Pengulangan 2 ............................................... 53
Gambar 4.33 Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan
Pengulangan 3 ............................................... 53
Gambar 4.34 Suhu Ruang Pengering dan Kadar Air Gabah Alat
Pengulangan 1 ............................................... 61
Gambar 4.35 Suhu Ruang Pengering dan Kadar Air Gabah Alat
Pengulangan 2 ............................................... 61
Gambar 4.36 Suhu Ruang Pengering dan Kadar Air Gabah Alat
Pengulangan 3 ............................................... 62
Gambar 4.37 Suhu Lingkungan dan Kadar Air Gabah
Tradisional Pengulangan 1 ............................. 63
Gambar 4.38 Suhu Lingkungan dan Kadar Air Gabah
Tradisional Pengulangan 2 ............................. 63
Gambar 4.39 Suhu Lingkungan dan Kadar Air Gabah
Tradisional Pengulangan 3 ............................. 64
Gambar 4.40 Kadar Air Gabah Alat dan Tradisional
Pengulangan 1 ............................................... 65
Gambar 4.41 Kadar Air Gabah Alat dan Tradisional
Pengulangan 2 ............................................... 65
Gambar 4.42 Kadar Air Gabah Alat dan Tradisional
Pengulangan 3 ............................................... 66
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Rata-rata Intensitas Radiasi Matahari
......................................................................... 76
Lampiran 2. Perhitungan Efisiensi Pengeringan Gabah
Menggunakan Alat .......................................... 77
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian Pengeringan Gabah ... 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beras merupakan makanan pokok yang lebih banyak
dikonsumsi dibandingkan makanan pokok lainnya. Bahkan
untuk memenuhi kebutuhan beras, Indonesia masih mengimpor
dari luar negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Logistik (BPS)
(2014), Indonesia mengimpor beras sebanyak 500.000 ton
pada bulan Agustus 2014. Ketidakcukupan kebutuhan akan
beras di Indonesia disebabkan oleh banyaknya kegagalan yang
dihadapi petani mulai dari pra panen, pemeliharaan, hingga
pasca panen padi. Kegagalan pra panen yang biasa dihadapi
adalah pengairan yang kurang memadai untuk lahan pertanian
dan dapat menyebabkan kekeringan. Kegagalan ketika
pemeliharaan yaitu adanya serangan hama dari serangga
ataupun burung yang biasanya memakan gabah padi.
Sedangkan kegagalan pasca panen yang terjadi yaitu
pengeringan gabah yang kurang sempurna.
Pengeringan gabah di Indonesia umumnya masih
dilakukan secara tradisional dengan dijemur di bawah terik
matahari (memanfaatkan energi matahari secara langsung).
Namun perubahan iklim karena pemanasan global
menyebabkan pengeringan secara tradisional menggunakan
energi matahari kurang efektif dikarenakan cuaca yang tidak
menentu. Dengan demikian, gabah tidak akan kering dengan
optimum dan menimbulkan kerusakan seperti busuk, berjamur
dan tumbuh kecambah. Berdasarkan (Keputusan Bersama
Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan No.
04/SKB/BBKP/II/2002), dalam kondisi demikian, usaha untuk
pengeringan gabah mencapai standart Nasional Indonesia (SNI)
dengan kadar air 14% memerlukan waktu yang lama. Oleh
2
karena itu dibutuhkan alat pengering mekanis yang bisa
membantu proses pengeringan.
Selain untuk mempercepat pengeringan, alat pengering
mekanis juga bertujuan untuk memudahkan pekerjaan petani.
Alat pengering gabah yang sudah ada yaitu memanfaatkan
berbagai macam energi yang ada, salah satunya menggunakan
efek rumah kaca atau bisa disebut juga green house. Dalam
rumah kaca (green house) yang digunakan budidaya terutama
di negara yang mengalami musim salju atau percobaan
tanaman dalam bidang biologi dan pertanian, energi matahari
(panas) yang masuk melalui atap kaca sebagian dipantulkan
keluar atmosfer dan sebagian lainnya terperangkap di dalam
green house sehingga menaikkan suhu didalamnya (Utina,
2009). Pengeringan menggunakan efek rumah kaca dianggap
tepat, dikarenakan matahari merupakan sumber energi terbesar
di bumi ini yang tidak akan habis dan tidak akan berdampak
negatif secara langsung pada lingkungan sekitar.
Melihat pentingnya efektivitas pengeringan, maka perlu
diciptakan inovasi untuk mengembangkan teknologi
pengeringan gabah menggunakan efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas.
Pengering mekanis terdiri dari tiga komponen utama yaitu ruang
kolektor yang dilengkapi dengan batu alor hitam, ruang
pengering dan saluran udara yang dilengkapi dengan kipas DC.
Pengeringan mekanis tersebut diharapkan dapat membantu
dalam pengeringan gabah terutama pada kondisi cuaca yang
tidak menentu.
3
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana performansi alat pengering gabah berbasis efek
rumah kaca dengan penambahan batu alor hitam sebagai
penyimpan panas pada ruang kolektor.
2. Bagaimana hasil perbandingan kinerja alat pengering
gabah berbasis efek rumah kaca yang dilengkapi
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas
dengan proses pengeringan tradisional.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Menguji performansi alat pengering gabah berbasis efek
rumah kaca dengan penambahan batu alor hitam sebagai
penyimpan panas pada ruang kolektor.
2. Membandingkan kinerja alat pengering gabah berbasis efek
rumah kaca yang dilengkapi penambahan batu alor hitam
sebagai penyimpan panas dengan proses pengeringan
tradisional.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat secara
umum dan kepada para petani khususnya, mengenai
pengeringan gabah berbasis efek rumah kaca yang
dilengkapi dengan batu alor hitam sebagai penyimpan
panas.
2. Memberikan solusi kepada petani dalam mengatasi
masalah pengeringan gabah akibat cuaca yang tidak
menentu.
4
1.5 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah
tidak membahas aspek sosial dan ekonomi
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gabah
Gabah merupakan butir padi yang telah rontok dari
malainya. Sebutir gabah terdiri dari satu bagian yang tidak
dimakan (disebut sekam/ pelindung luar) dan satu bagian yang
dapat dimakan (disebut karyopsis/ butiran beras tanpa sekam).
Bagian butir beras terdiri dari lapisan perikarp, testa/tegmen,
lapisan aleuron/ kulit ari, endosperma dan lembaga/ embrio
yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Bila gabah dihilangkan
bagian sekamnya melalui proses penggilingan (pengupasan
kulit), akan diperoleh beras pecah kulit yang sering disebut
sebagai brown rice. Beras pecah kulit ini yang dikategorikan
sebagai whole rice (Astawan dan Leomitro, 2009). Bobot gabah
beragam dari 12 – 44 mg pada kadar air 0%, sedangkan bobot
sekam rata-rata adalah 20% bobot gabah (Karim dan
Suhartatik, 2009).
Gambar 2.1 Bagian-bagian Gabah
6
2.2 Teknologi Pengeringan
2.2.1 Pengertian Pengeringan
Pengeringan (drying) merupakan proses perpindahan
panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi
panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari
permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang
biasanya berupa panas. Pengeringan juga dapat diartikan
memindahkan atau mengambil kandungan zat cair dari benda
padatanya, zat cair yang biasa kita pindahkan dari zat padat
adalah air (Taib et.al., 1988).
Ada beberapa masalah yang sering ditemui dalam
proses pengeringan. Pertama berkaitan dengan mutu hasil
pengeringan. Kedua kapasitas dari proses pengering itu sendiri,
yang menjadi kebutuhan pada saat ini, sehingga perlu dipikirkan
bagaimana membuat mesin pengering yang memiliki kapasitas
besar. Masalah selanjutnya adalah yang berkaitan dengan
kondisi dan sifat dari bahan yang dikeringkan cukup bervariasi
sehingga menuntut adanya modifikasi dari proses pengeringan
tradisional (dengan cara menjemur atau sekedar memanaskan)
menjadi proses-proses pengeringan dengan karakter dan
kemampuan yang lebih spesifik dan dengan kebutuhan masing-
masing produk (Taib, et.al., 1988).
Pengeringan harus segera mungkin dimulai sejak saat
panen. Apabila pengeringan tidak dapat dilangsungkan, maka
usahakan gabah yang tidak ditumpuk tetapi ditebarkan untuk
menghindari terjadinya proses fermentasi. Pengeringan akan
semakin cepat apabila ada pemanasan, perluasan permukaan
gabah dan aliran udara. Adapun tujuan pengeringan gabah
adalah untuk menurunkan kadar air 23-27% menjadi 14%, agar
dapat disimpan lebih lama serta menghasilkan beras yang
berkualitas baik. Proses pengeringan gabah sebaiknya
dilakukan secara merata, perlahan-lahan dan suhu yang tidak
terlalu tinggi (Strumillo and Kudra,1986).
7
2.2.2 Alat dan Mesin Pengeringan
Terdapat berbagai jenis alat pengering buatan antara
lain (Kartasapoetra, 1994):
1. Berbentuk kabinet (rak), dilengkapi dengan rak-rak (3
atau 4 buah) sebagai wadah atau tempat hasil pertanian
yang akan dikeringkan, rak-rak ditempatkan secara
tersusun dalam alat dengan penyebaran udara panas ke
dalamnya selama waktu yang telah ditentukan,
pengeringan akan berlangsung dengan baik mendekati
pengeringan sempurna dengan sinar matahari.
2. Berbentuk kabinet dengan ruangan lebih luas dan lebih
besar, pada alat ini udara panas dialirkan ke dalam
ruangannya melalui pipa-pipa di bagian bawah dan
bagian atas atau lebih jelasnya pipa-pipa di bagian lantai
dan pipa-pipa di bagian atap alat pengering ini.
3. Berbentuk terowongan (tunnel dryer), pada dasarnya alat
pengering ini relatif sama dengan kedua bentuk alat
pengering di atas hanya karena khusus digunakan untuk
menangani sejumlah besar hasil pertanian maka ruang
pengeringannya dibuat lebih luas.
4. Berbentuk rotari (rotary dryer), merupakan alat pengering
yang dapat berputar, yang khusus diperuntukkan
pengeringan hasil pertanian berbentuk biji-bijian, seperti
padi, jagung pipilan, kedelai, sorgum, dan lain-lain.
5. Berbentuk silindris (drum dryer), alat pengering ini
digunakan khusus bagi pengeringan bahan cairan yang
berasal dari hasil pertanian, seperti sari buah (air buah-
buahan), saridele (susu buatan dari bahan kedelai), dan
lain-lain yang berbentuk tepung.
6. Dilengkapi dengan sistem penyemprotan (spray dryer),
alat pengering ini berfungsi mengeringkan bahan cairan
yang juga berasal dari hasil pertanian, yang ke dalam alat
pengering ini bahan cairan disemprotkan melalui sebuah
8
sprayer ke dalam ruangan yang kondisinya panas,
sehingga kandungan air pada cairan akan menguap dan
tinggallah bagian bubuknya (tepung, powder), yang
selanjutnya meluncur ke luar sebagai bubuk hasil
pengeringan yang memuaskan.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pengeringan maksimum adalah sebagai berikut (Estiasih dan
Kgs Ahmadi, 2009):
1. Luas permukaan
Pada pengeringan umumnya, bahan pangan yang akan
dikeringkan mengalami pengecilan ukuran, baik dengan
cara diiris, dipotong, atau digiling. Proses pengecilan
ukuran akan mempercepat proses pengeringan. Hal ini
disebabkan pengecilan ukuran akan memperluas
permukaan bahan, air lebih mudah berdifusi, dan
menyebabkan penurunan jarak yang harus ditempuh oleh
panas.
2. Suhu
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas
dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke
bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air
dari bahan pangan. Apabila udara merupakan medium
pemanas, maka faktor kecepatan pergerakan udara
harus diperhatikan.
3. Kecepatan pergerakan udara
Semakin cepat pergerakan atau sirkulasi udara maka
proses pengeringan akan semakin cepat. Prinsip ini
menyebabkan beberapa proses pengeringan
menggunkaan sirkulasi udara atau udara yang bergerak
seperti pengering kabinet, tunnel dryer, pengering
semprot, dan lain-lain.
9
4. Kelembaban udara (RH)
Semakin kering udara (kelembaban semakin rendah)
maka kecepatan pengeringan semakin tinggi.
Kelembaban udara akan menentukan kadar air akhir
bahan pangan setelah dikeringkan. Proses penyerapan
akan terhenti sampai kesetimbangan kelembaban nisbi
bahan pangan tercapai.
5. Tekanan atmosfer
Pengeringan pada kondisi vakum menyebabkan
pengeringan lebih cepat atau suhu yang digunakan untuk
suhu pengeringan dapat lebih rendah. Suhu rendah dan
kecepatan pengeringan yang tinggi diperlukan untuk
mengeringkan bahan pangan yang peka terhadap panas.
6. Penguapan air
Penguapan atau evaporasi merupakan penghilangan air
dari bahan pangan yang dikeringkan sampai diperoleh
produk kering yang stabil. Penguapan yang terjadi
selama proses pengeringan tidak menghilangkan semua
air yang terdapat dalam bahan pangan.
7. Lama pengeringan
Pengeringan dengan suhu tinggi dalam waktu yang
pendek dapat lebih menekan kerusakan bahan pangan
dibandingkan waktu pengeringan yang lebih lama dan
suhu lebih pendek.
2.3 Efek Rumah Kaca
Matahari merupakan sumber energi utama dari setiap
sumber energi yang terdapat di bumi. Energi matahari sebagian
terbesar dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk
cahaya tampak. Energi ini mengenai permukaan bumi dan
berubah dari cahaya menjadi panas. Efek rumah kaca ini sangat
dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada dibumi, karena
tanpa efek rumah kaca planet bumi akan menjadi sangat dingin
10
lebih kurang 18oC, sehingga seluruh permukaan bumi akan
tertutup lapisan es. Dengan temperature rata-rata sebesar 15
oC, bumi sebenarnya telah lebih panas 33 oC dengan efek
rumah kaca (Utina, 2009).
Dalam rumah kaca (green house) yang digunakan dalam
budidaya terutama di negara yang mengalami musim salju, atau
percobaan tanaman dalam bidang biologi dan pertanian, energi
matahari (panas) yang masuk melalui atap kaca sebagian
dipantulkan keluar atmosfer sebagian lainnya terperangkap di
dalam green house sehingga menaikkan suhu di dalamnya
(Utina, 2009).
Dalam skala yang lebih kecil, hal yang sama juga terjadi
di dalam rumah kaca. Radiasi sinar matahari menembus kaca,
lalu masuk ke dalam rumah kaca. Pantulan dari benda dan
permukaan di dalam rumah kaca adalah berupa sinar
inframerah dan tertahan di atap kaca yang mengakibatkan
udara di dalam rumah kaca menjadi hangat walaupun udara di
luar dingin. Efek memanaskan itulah yang disebut efek rumah
kaca atau ”green house effect” yang dapat dilihat pada Gambar
2.2. Gas-gas yang berfungsi bagaikan pada rumah kaca disebut
gas rumah kaca atau ”green house gases” (Gunawar, 2013).
Gambar 2.2 Efek Rumah Kaca
11
2.4. Parameter Pengeringan
2.4.1 Kecepatan Aliran Udara Pengeringan
Menurut Brooker, et.al., (1974), pada proses
pengeringan udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk
menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan
uap air tersebut. Aliran udara yang cepat akan membawa uap
air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut
menjadi jenuh di permukaan bahan. Semakin besar volume
udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya
dalam membawa dan menampung air di permukaan bahan.
Semakin cepat pergerakan atau sirkulasi udara maka
proses pengeringan akan semakin cepat. Prinsip ini
menyebabkan beberapa proses pengeringan menggunkaan
sirkulasi udara atau udara yang bergerak seperti pengering
kabinet, tunnel dryer, pengering semprot, dan lain-lain (Estiasih
dan Kgs Ahmadi, 2009). Udara merupakan medium yang sangat
penting dalam proses pengeringan, untuk menghantar panas
kepada bahan yang hendak dikeringkan, karena udara satu-
satunya medium yang sangat mudah diperoleh dan tidak
memerlukan biaya operasional. Oleh karena itu untuk
memahami bagaimana proses pengeringan terjadi, maka perlu
ditinjau sifat udara (Sunitra, et.al., 2011).
Kecepatan aliran udara yang tinggi dapat
mempersingkat waktu pengeringan. Kecepatan aliran udara
yang disarankan untuk melakukan proses pengeringan antara
1,5–2,0 m/s. Disamping kecepatan, arah aliran udara juga
memegang peranan penting dalam proses pengeringan. Arah
aliran udara pengering yang sejajar dengan produk lebih efektif
dibandingkan dengan aliran udara yang datang dalam arah
tegak lurus produk (Yani dan Suryadi, 2013).
12
2.4.2 Kadar Air
Kadar air adalah kandungan air yang terdapat dalam
butiran gabah yang dapat dinyatakan dalam persen (Nugraha,
2008). Kadar air akhir dalam bahan umumnya merupakan
tujuan akhir proses pengeringan yang akan berkaitan dengan
lamanya waktu pengeringan. Berbagai penelitian terkait dengan
lamanya waktu yang diperlukan untuk menurunkan kadar air ke
batas aman penyimpanan gabah telah dilakukan. Menurut
Wongpornchai, et.al., (2003), memerlukan waktu 54 jam untuk
menurunkan kadar air gabah dari 28% menjadi 14,12% melalui
penjemuran dan membutuhkan sekitar 8-11 jam untuk
menurunkan kadar air ke titik 13,03% melalui pengeringan
menggunakan udara panas.
Kadar air 14% merupakan kadar air dimana gabah
cukup stabil, artinya tidak mudah terjadi penyerapan air kembali,
sehingga kenaikan kadar air terjadi cukup lambat. Pada kadar
air 14% ini gabah cukup aman disimpan apabila pengaruh
lingkungan tidak merusak, karena panas yang dihasilkan akibat
respirasi butiran maupun jasad renik tidak cukup untuk
menaikkan suhu dan lembab butiran (Listyawati, 2007).
Pada kadar air yang tinggi, gabah relatif lunak, mudah
remuk dan akan diperlukan energi yang lebih banyak untuk
menghasilkan beras pecah kulit, serta tingginya beras patah
saat penyosohan. Gabah dengan kadar air 24 %, akan
mengalami kerusakan dalam 24 jam pada suhu penyimpanan
10 C, sedangkan dengan kadar air 15-18 % mengalami
kerusakan setelah lima hari pada suhu penyimpanan antara 10-
38 C (Prabowo, 2006).
Kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya
kandungan air persatuan bobot bahan yang dapat dinyatakan
dalam persen basis basah (wet basis) atau dalam persen basis
kering (dry basis). Kadar air basis basah mempunyai batas
maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air basis
13
kering dapat lebih dari 100%. Kadar air basis basah (b.b) adalah
perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan
berat total bahan (Rachmawan, 2001). Pengukuran kadar air
dengan menggunakan moisture meter merupakan pengukuran
kadar air dengan basis basah (Warsono, et.al., 2014).
Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan
persamaan 1, berikut ini (Rachmawan, 2001):
M ……....………...(1)
Keterangan:
M = Kadar air basis basah (%bb)
Wm = Berat air dalam bahan (g)
Wd = Berat padatan dalam bahan atau berat bahan
kering (g)
Wt = berat total (g)
Kadar air basis kering (b.k) adalah perbandingan antara
berat air yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada
dalam bahan. Kadar air berat kering dapat ditentukan dengan
persamaan 2, berikut ini (Rachmawan, 2001):
M ………….………(2)
Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah
mengalami pengeringan dalam waktu tertentu sehingga
beratnya konstan. Pada proses pengeringan air yang
terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan,
meskipun demikian hasil yang diperoleh disebut juga sebagai
berat bahan kering (Rachmawan, 2001).
2.4.3 Batu Penyimpan Panas
Energi surya dapat disimpan dalam bentuk energi panas,
energi kimia, energi mekanis dan lain-lain. Pemilihan media
penyimpanan dipengaruhi oleh keadaan alamiah proses yang
akan dilakukan (Duffie and William, 2013). Jika proses yang
dilakukan adalah proses termal, maka penyimpanan dalam
14
bentuk panas adalah yang paling efektif. Penyimpanan panas
dapat dilakukan dalam bentuk panas sensible maupun laten
(Tambunan, et.al., 2006).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyimpan
energi matahari dalam suatu wadah tertutup dengan
menggunakan beberapa cara dan metode sehingga dapat
tersimpan dalam waktu yang lama. Salah satunya
menggunakan kolektor dengan bahan-bahan terdiri dari air,
batu-batuan sebagai bahan dasar yang dimasukkan dalam
suatu wadah sehingga dapat meningkatkan temperature
mencapai 106ºC. Pada penelitian berikutnya, menggunakan
media kimia sebagai bahan kolektor seperti sulfat, clorit, nitrat,
glorit, dan hidrat (Bahari, et.al., 2012).
Menurut Raina (1993), nilai konduktivitas batuan sekitar
0.05 W/m°C sampai 3.0 W/m°C. Konduktivitas termal batuan
dapat diketahui dengan menggunakan suatu metode TDB
(Trancient Divided Bar), dengan cara batuan sampel diletakkan
diantara dua blok tembaga berbentuk silinder, dimana kapasitas
termal batuan diketahui dan disimpan pada suhu kamar. Blok
bawah tembaga didinginkan kemudian perubahan suhu kedua
blok tembaga terus diamati saat sistem berada dalam kondisi
tunak. Kondisi tunak terjadi saat suhu masing-masing bahan
tidak mengalami perubahan pada suhu tertentu, sehingga tidak
terjadinya kesetimbangan termal.
Perambatan panas melalui bahan padat biasanya terjadi
oleh konduksi. Koefisien daya hantar panas k adalah konstanta
yang menghubungkan aliran panas (heat flux) Q dengan
gradien suhu ΔT/ Δx dapat ditentukan dengan persamaan 3 dan
persamaan 4, berikut ini (Surur dan Mochammad, 2015):
Q ……….…...…………………….....(3)
k …………….....………………………… (4)
15
Keterangan:
Q = Kecepatan aliran panas (W)
A = luas penampang (m2)
ΔT = selisih temperatur (ºC)
Δx = Tebal (m)
2.4.4 Suhu Pada Proses Pengeringan
Laju penguapan air bahan dalam pengeringan sangat
ditentukan oleh kenaikan suhu. Semakin besar perbedaan
antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan,
semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan
pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak
dan cepat (Taib, et.al., 1988).
Semakin tinggi suhu yang digunakan untuk pengeringan,
makin tinggi energi yang disuplai dan makin cepat laju
pengeringan. Pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak
bahan, yakni permukaan bahan terlalu cepat kering, sehingga
tidak sebanding dengan kecepatan pergerakan air bahan ke
permukaan. Hal ini menyebabkan pengerasan permukaan
bahan. Selanjutnya air dalam bahan tidak dapat lagi menguap
karena terhalang. Disamping itu penggunaan suhu yang terlalu
tinggi dapat merusak daya fisiologik biji-bijian/ benih (Taib, et.al.,
1988).
Pengeringan bahan hasil pertanian menggunakan aliran
udara pengering yang baik adalah antara 45 ºC sampai 75 ºC.
Pengeringan pada suhu dibawah 45 ºC mikroba dan jamur yang
merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan mutu
produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di atas 75
ºC menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena
perpindahan panas dan massa air yang berdampak perubahan
struktur sel (Setiyo, 2003).
16
2.4.5 Kelembaban Pada Proses Pengeringan
Kelembaban udara mempengaruhi kemampuan udara
untuk memindahkan uap air. Secara umum, kelembaban udara
adalah ukuran kandungan air di udara. Kelembaban udara
dapat dinyatakan dalam dua pengertian yang berbeda yaitu
kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak
adalah massa uap air dalam tiap satuan massa udara kering.
Kelembaban udara relatif adalah perbandingan kelembaban
udara tertentu dengan kelembaban udara jenuh pada kondisi
dan tekanan yang sama. Perbandingan ini dinyatakan dalam
persentase kejenuhan dengan 100 % untuk udara jenuh dan 0
% untuk udara yang benar-benar kering, sedangkan alat ukur
yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara adalah
sling psychrometer. Alat ini terdiri atas dua termometer standar
yang ditancapkan pada suatu kerangka yang dapat diputar.
Termometer pertama ditutup dengan kain basah sedangkan
termometer yang lain dibiarkan terbuka. Sling kemudian diputar,
termometer yang ditutup kain basah menunjukkan suhu wet
bulb sedangkan termometer yang lainnya menunjukkan dry bulb
(Taib, et.al., 1988).
Kelembaban relatif udara pengeringan menunjukkan
kemampuan udara untuk menyerap uap air. Udara panas di
dalam ruang pengering secara perlahan akan memanaskan dan
menguapkan massa air di dalam biji. Uap air tidak langsung
keluar dari ruang pengering melainkan menjenuhkan udara di
sekitar bahan. Semakin rendah kelembaban relatif udara
pengeringan, maka kemampuannya dalam menyerap uap air
akan semakin besar. Hal sebaliknya akan terjadi jika
kelembaban relatif udara pengeringan semakin besar maka
kemampuan dalam menyerap uap air akan semakin kecil
(Widyotomo dan Mulato, 2005).
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di Balai Latihan Kerja Wonojati
Kecamatan Singosari, Malang Jawa Timur. Adapun waktu
pelaksanaan pada bulan Maret s.d. April 2017.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat–alat yang dibutuhkan untuk penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Alat pengering gabah tipe lab DDM berbasis efek rumah
kaca
2. Termokopel: untuk mengukur suhu
3. Hygrometer: untuk mengukur kelembaban
4. Moisture meter: untuk mengukur kadar air
5. Anemometer: untuk mengukur kecepatan aliran udara
6. Stopwatch: untuk mengukur waktu pengeringan
7. Timbangan digital: untuk mengukur massa awal dan
akhir gabah
8. Wadah: untuk menampung gabah
9. Spatula: untuk membolak balikkan gabah
10. Terpal: untuk alas pengeringan gabah manual dibawah
terik matahari secara langsung
Adapun bahan yang dibutuhkan untuk penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Gabah: sebagai sampel penelitian
2. Batu alor hitam: untuk menyimpan panas
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan
melakukan pengukuran terhadap suhu, kelembaban, kecepatan
aliran udara, kadar air, lamanya pengeringan yang dibutuhkan
18
untuk mencapai kadar air akhir gabah 14% serta perhitungan
efisiensi pengeringan. Penelitian ini terdapat 2 perlakuan, yaitu:
1. Pengeringan gabah menggunakan alat pengering
berbasis efek rumah kaca dengan penambahan batu
alor hitam sebagai penyimpan panas.
2. Pengeringan gabah tradisional dibawah terik matahari
secara langsung.
3.3.1 Pelaksanaan Penelitian
Adapun urutan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan, mulai dari alat pengering
berbasis efek rumah kaca dengan penambahan batu
alor hitam sebagai penyimpan panas pada ruang
kolektor serta pengeringan tradisional dibawah terik
matahari secara langsung. Adapun bahan yang akan
dikeringkan yaitu gabah.
2. Setiap perlakuan menggunakan sampel sebanyak 4 kg
gabah dengan kadar air awal 21-20% dan dikeringkan
hingga kadar air akhir gabah 14%.
3. Setiap perlakuan dilakukan pengukuran suhu,
kelembaban, kecepatan aliran udara, kadar air dan
lamanya waktu pengeringan sebanyak 3 kali
pengulangan. Pengukuran dilakukan setiap 1 jam sekali
disertai pemutaran ruang pengering dan pembalikan
gabah 360 sebanyak 3 kali putaran secara manual
hingga kadar air akhir gabah 14%.
4. Pada perlakuan pengeringan gabah menggunakan alat
pengering berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas
dilakukan perhitungan efisiensi pengeringan sebanyak 3
kali pengulangan. Diagram alir pengeringan gabah dapat
dilihat pada Gambar 3.1.
19
Mulai
4 Kg Gabah (Kadar Air
21-20%)
Pengeringan
Efek Rumah
Kaca (kipas
dinyalakan
apabila suhu
>50oC dan
dimatikan
apabila
<35oC)
Pengeringan
Tradisional
Kadar Air
apakah
sudah 14%?
Tidak Tidak
Ya
Pengukuran
setiap 1 Jam
Sekali :
- Suhu (oC)
- Kelembaba
n (%)
- Kecepatan
Aliran
Udara (m/s)
- Kadar Air
(%)
- Pemutaran
Manual 3
Kali 360o
Pengukuran
setiap 1 Jam
Sekali :
- Suhu (oC)
- Kelembaban
(%)
- Kecepatan
Aliran Udara
(m/s)
- Kadar Air
(%)
- Pemutaran
Manual 3
Kali 360o
A
20
Gambar 3.1 Diagram Alir Pengeringan Gabah
3.4 Perlakuan Pengeringan
3.4.1 Alat Pengering Gabah
Gambar alat pengering gabah berbasis efek rumah kaca
menggunakan batu alor hitam penyimpan panas dapat dilihat
pada gambar 3.2.
Gambar 3.2 Alat Pengering Gabah
3
2
Gabah Kering
(Kadar Air 14%)
Selesai
A
2
3
1
21
Keterangan:
1. Ruang kolektor
2. Ruang pengering
3. Saluran udara
Pada gambar diatas terdapat beberapa bagian dari alat
pengering gabah berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas,
diantaranya yaitu:
1. Ruang kolektor
Ruang kolektor pada alat ini mempunyai 2 bagian yaitu
bagian bawah berbentuk balok dengan panjang 0.75m,
lebar 0.43m dan tinggi 0.25m yang di susun batu alor
hitam sebagai penyimpan panas sebanyak satu lapis
dengan berat 20kg dan bagian atas berbentuk prisma
dengan panjang 0.75m, lebar 0.43m, tinggi 0.125m dan
kemiringannya 30 . Bagian ruang kolektor tersebut
berfungsi untuk mengumpulkan panas dari cahaya
matahari yang terakumulasi didalam ruang kolektor dan
tersimpan dalam batu alor hitam sebagai penyimpan
panas yang sewaktu-waktu panas pada batu akan
dikeluarkan apabila suhu pada ruang kolektor lebih
rendah dari pada batu.
2. Ruang Pengering
Ruang pengering alat ini berbentuk silinder dengan
panjang 0.5m dan diameter 0.25m, berfungsi sebagai
tempat pengeringan gabah dengan kadar air awal 23-27
% hingga kadar air akhir gabah 14%. Pada ruang
pengering tersebut dilakukan pemutaran 360 secara
manual sebanyak 3 kali putaran supaya pengeringan
merata.
3. Saluran Udara
Saluran udara pada alat ini berbentuk silinder dengan
panjang 1.2 m dan diameter 0.14m. Bagian saluran
udara dilengkapi dengan kipas DC berbentuk persegi,
22
dengan setiap sisi berukuran 0.12m, jumlah daun baling-
baling 6 pcs, dan dibutuhkan tenaga sebesar 12 V untuk
menggerakkannya. Kipas DC pada penelitian ini
berfungsi untuk menghisap udara panas yang terdapat
dalam ruang kolektor untuk dialirkan menuju ruang
pengering dan menghisap sisa udara pengeringan serta
uap air bahan pada ruang pengering menuju lingkungan
luar.
3.4.2 Pengeringan Tradisional
Gambar pengeringan gabah tradisional dibawah terik
matahari secara langsung dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Pengeringan Gabah Tradisional
Pada perlakuan pengeringan gabah secara tradisional
dibawah terik matahari secara langsung, alas yang digunakan
untuk pengeringan adalah terpal dengan ketebalan pengeringan
gabah sama dengan ketebalan gabah yang ada pada ruang
pengering. Setiap satu jam sekali dilakukan pembalikan gabah
360 secara manual sebanyak 3 kali menggunakan spatula
supaya pengeringan gabah merata. Pengeringan gabah secara
23
tradisional dilakukan 8 jam dalam sehari mulai dari jam 08.00
sampai 16.00 apabila kondisi cuaca tidak hujan.
3.5 Parameter Pengukuran
Parameter pengukuran ini dilakukan dengan mengamati
proses pengeringan gabah pada setiap perlakuan sebanyak 3
kali pengulangan. Parameter pengukuran yang diamati antara
lain yaitu:
1. Suhu ( )
Suhu adalah derajat panas dinginnya suatu benda yang
dinyatakan dalam satuan C. Pengukuran suhu yang
dilakukan pada penelitian kali ini meliputi suhu gabah,
bagian alat pengering, dan lingkungan. Pengukuran
suhu dilakukan dengan menggunakan termokopel setiap
satu jam sekali hingga kadar air akhir gabah 14%. Cara
penggunaan alat termokopel adalah diletakkan pada
setiap titik yang ingin diketahui suhunya dan data loger
akan menampilkan display suhu yang terdeteksi.
2. Kelembaban (%)
Kelembaban adalah kandungan uap air di udara yang
dinyatakan dalam satuan (%). Pengukuran kelembaban
yang dilakukan pada penelitian kali ini meliputi
kelembaban bagian alat pengering dan lingkungan.
Pengukuran kelembaban dilakukan dengan
menggunakan hygrometer setiap satu jam sekali hingga
kadar air akhir gabah 14%. Cara penggunaan alat
hygrometer adalah diletakkan pada setiap titik yang ingin
diketahui kelembabannya dan secara otomatis jarum
pada hygrometer akan menunjukkan angka bacanya.
3. Kecepatan Aliran Udara (m/s)
Kecepatan aliran udara adalah kemampuan pembawa
panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan
serta mengeluarkan uap air yang dinyatakan dalam
24
satuan (m/s). Pengukuran kecepatan aliran udara yang
dilakukan pada penelitian kali ini meliputi bagian alat
pengering dan lingkungan. Pengukuran kecepatan aliran
udara dilakukan dengan menggunakan anemometer
setiap satu jam sekali hingga kadar air akhir gabah 14%.
Cara penggunaan alat anemometer adalah dengan
meletakkan anemometer di atas keluaran saluran udara
dan angka kecepatan angin akan ditampilkan secara
otomatis.
4. Lama Pengeringan (jam)
Waktu pengeringan adalah waktu yang dibutuhkan untuk
menurunkan kadar aie gabah yang dinyatakan dalam
satuan (jam). Pengukuran lama pengeringan dilakukan
dengan menggunakan stopwatch. Cara penggunaan
stopwatch adalah dengan menentukan waktu awal
pengeringan hingga kadar air akhir gabah mencapai
14%.
5. Kadar Air (%)
Kadar air adalah kandungan air dalam suatu gabah yang
dinyatakan dalam satuan (%) dari basis basah.
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan
moisture meter setiap satu jam sekali hingga kadar air
akhir gabah 14%. Cara penggunaan moisture meter
adalah sampel gabah diletakkan pada moisture meter
dan secara otomatis jarum pada moisture meter akan
menunjukkan angka bacanya.
3.6 Efisiensi Pengeringan (%)
Efisiensi pengeringan adalah hasil perbandingan antara
panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan gabah dengan
panas yang dihasilkan dari energi yang masuk pada proses
pengeringan. Energi yang masuk pada proses pengeringan
25
yaitu dari energi matahari. Effisiensi dapat dihitung
menggunakan persamaan 5, berikut ini (Nursanti, 2012):
………...………………………(5)
Keterangan:
Eff = Effisiensi Pengeringan (%)
Qoutput = Energi yang digunakan (kJ)
Qinput = Energi yang masuk (kJ)
3.6.1 Konsumsi Energi (Qoutput)
Konsumsi energi adalah jumlah energi yang terpakai
untuk pemanasan dan penguapan air gabah. Untuk
mengeringkan gabah ada dua faktor yang harus diketahui yaitu
kalor sensibel gabah dan kalor laten gabah. Energi untuk
pemanasa gabah ditentukan dengan persamaan 6 dan
persamaan 7, berikut ini (Henderson and R.L Perry, 1995):
1. Kalor Sensibel
Kalor sensibel adalah kalor yang berguna untuk
menaikkan temperatur gabah basah menjadi temperatur
gabah pada proses pengeringan tanpa terjadi perubahan
fasa.
……..………..…….…………...(6)
Keterangan:
Q1 = Energi untuk pemanasan gabah (kJ)
Cp = Panas jenis gabah (kJ/kg )
= Beda Suhu ( )
m = Massa gabah (kg)
Menurut Muhammad (2011), nilai panas jenis gabah
adalah 1,850 kJ/kg
26
2. Kalor Laten
Kalor laten gabah adalah energi yang digunakan untuk
mengubah air pada gabah menjadi uap.
…………………….…..…………..(7)
Keterangan:
Q2 = Energi untuk penguapan air (kJ)
M = Berat uap air (kg)
Hlb = Panas laten penguapan (kJ/kg).
Nilai panas laten air bergatung suhu ini didekati dengan
persamaan Hlb = (2.501 – (2.361 x 10-3) T).1000 dengan
T adalah suhu dalam (Pada tabel termodinamika).
Misal suhu pengeringan yang didapatkan adalah 30 ,
maka nilai Hlb adalah 2430.17 kJ/kg.
Jadi besarnya energi yang dibutuhkan untuk
memanaskan dan menguapkan air dalam gabah
(Qoutput) dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
Qoutput=Q1+Q2……...……………….…..……..(8)
3.6.2 Qinput
Energi input adalah energi yang masuk pada alat
pengering gabah berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas. Pada
penelitian ini energi input yang dapat dihitung yaitu energi
matahari pada ruang kolektor dan energi matahari pada ruang
pengering. Energi yang dipancarkan ke suatu permukaan
ditentukan dengan persamaan 9 dan 10, berikut ini (Yasa,
2015):
1. Energi Matahari Pada Ruang Kolektor
Energi yang dipancarkan ke suatu permukaan ruang
kolektor
27
Qrs = AC x IT…………..………………….………..(9)
Keterangan:
IT = Intensitas radiasi matahari
(W/m2)
Qrs = Panas radiasi yang diterima (W)
AC = Luas permukaan kolektor (m2)
2. Energi Matahari Pada Ruang Pengering
Energi yang dipancarkan ke suatu permukaan ruang
pengering
Qrs = AC x IT…………..…….....…………………(10)
Keterangan:
IT = Intensitas radiasi matahari
(W/m2)
Qrs = Panas radiasi yang diterima (W)
AC = Luas permukaan kolektor (m2)
Menurut Aditya dan Suryanto (2012), nilai intensitas
radiasi matahari pada cuaca cerah adalah 1000 W/m2 di
permukaan bumi.
Jadi besarnya energi matahari yang masuk pada
alat pengering gabah berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas
(Qinput) dapat ditentukan dengan persamaan 11, berikut
ini:
Qinput = Qrs Ruang Kolektor + Qrs Ruang Pengering ...…(11)
28
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Suhu (°C)
Suhu adalah derajat panas dinginnya suatu benda yang
dinyatakan dalam satuan °C. Adapun pengaruh suhu yang akan
dibahas dalam penelitian kali ini adalah:
4.1.1 Suhu Terhadap Intensitas Radiasi Matahari
Pada penelitian ini sumber energi utama yang digunakan
untuk pengeringan berasal dari panas matahari yang disimpan
pada batu alor hitam. Kemudian ketika malam hari ataupun
cuaca mendung batu alor hitam yang terdapat pada ruang
kolektor akan melepaskan panas untuk menggantikan panas
yang berkurang. Pengukuran suhu dilakukan pada ruang
kolektor, ruang pengering, saluran udara, batu alor hitam yang
terdapat pada ruang kolektor dan lingkungan.
a. Suhu Ruang Kolektor
Hasil pengukuran suhu ruang kolektor terhadap
intensitas radiasi matahari pada perlakuan pengeringan
gabah menggunakan alat pengering gabah disetiap
pengulangan disajikan sebagai berikut:
30
Gambar 4.1 Suhu Ruang Kolektor dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1
Gambar 4.2 Suhu Ruang Kolektor dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2
31
Gambar 4.3 Suhu Ruang Kolektor dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran suhu pada ruang kolektor yang dilakukan
selama tiga kali pengulangan menunjukkan hubungan
antara intensitas radiasi matahari dan suhu adalah
berbanding lurus yaitu peningkatan intensitas radiasi
matahari akan disertai dengan kenaikan suhu (Johan, 2008).
Pada Gambar 4.2 suhu ruang kolektor lama pengeringan
kedua mengalami peningkatan ketika intensitas radiasi
matahari mengalami penurunan dikarenakan suhu batu
yang terdapat pada ruang kolektor melepaskan panas ketika
suhu ruang kolektor lebih rendah dari pada suhu batu. Hal
tersebut juga terjadi pada Gambar 4.3 lama pengeringan ke
empat suhu mengalami penurunan ketika intensitas radiasi
matahari meningkat dikarenakan kipas DC pada alat
pengering dinyalakan untuk mencegah suhu melebihi dari
50 °C.
b. Suhu Ruang Pengering
Hasil pengukuran suhu ruang pengering terhadap
intensitas radiasi matahari pada perlakuan pengeringan
32
gabah menggunakan alat pengering disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.4 Suhu Ruang Pengering dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1
Gambar 4.5 Suhu Ruang Pengering dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2
33
Gambar 4.6 Suhu Ruang Pengering dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran suhu pada ruang pengering yang dilakukan
selama tiga kali pengulangan menunjukkan hubungan
antara intensitas radiasi matahari dan suhu adalah
berbanding lurus yaitu peningkatan intensitas radiasi
matahari akan disertai dengan kenaikan suhu (Johan, 2008).
Pada Gambar 4.5 suhu ruang pengering lama pengeringan
kedua mengalami peningkatan ketika intensitas radiasi
matahari menurun dikarenakan suhu batu yang terdapat
pada ruang kolektor melepaskan panas ketika suhu ruang
kolektor lebih rendah dari pada suhu batu. Hal tersebut juga
terjadi pada Gambar 4.6 lama pengeringan ke empat suhu
mengalami penurunan ketika intensitas radiasi matahari
meningkat dikarenakan kipas DC pada alat pengering
dinyalakan untuk mencegah suhu melebihi dari 50 °C.
c. Suhu Saluran Udara
Hasil pengukuran suhu saluran udara terhadap
intensitas radiasi matahari pada perlakuan pengeringan
34
gabah menggunakan alat pengering disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.7 Suhu Saluran Udara dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1
Gambar 4.8 Suhu Saluran Udara dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2
35
Gambar 4.9 Suhu Saluran Udara dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran suhu pada saluran udara yang dilakukan
selama tiga kali pengulangan menunjukkan hubungan
antara intensitas radiasi matahari dan suhu adalah
berbanding lurus yaitu peningkatan intensitas radiasi
matahari akan disertai dengan kenaikan suhu (Johan, 2008).
Pada Gambar 4.8 suhu saluran udara lama pengeringan
kedua mengalami peningkatan ketika intensitas radiasi
matahari menurun dikarenakan suhu batu yang terdapat
pada ruang kolektor melepaskan panas ketika suhu ruang
kolektor lebih rendah dari pada suhu batu. Hal tersebut juga
terjadi pada Gambar 4.9 lama pengeringan ke empat suhu
mengalami penurunan ketika intensitas radiasi matahari
meningkat dikarenakan kipas DC pada alat pengering
dinyalakan untuk mencegah suhu melebihi dari 50 °C.
d. Suhu Lingkungan
Hasil pengukuran suhu lingkungan terhadap
intensitas radiasi matahari pada perlakuan pengeringan
36
gabah menggunakan alat pengering disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.10 Suhu Lingkungan dan Intensitas Radiasi Matahari
Pengulangan 1
Gambar 4.11 Suhu Lingkungan dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2
37
Gambar 4.12 Suhu Lingkungan dan Intensitas Radiasi Matahari
Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran suhu pada lingkungan yang dilakukan selama
tiga kali pengulangan menunjukkan hubungan antara
intensitas radiasi matahari dan suhu adalah berbanding
lurus yaitu peningkatan intensitas radiasi matahari akan
disertai dengan kenaikan suhu (Johan, 2008). Pada
Gambar 4.11 suhu lingkungan lama pengeringan kedua
mengalami peningkatan ketika intensitas matahari
mengalami penurunan dikarenakan tidak adanya kecepatan
aliran udara lingkungan (nilai kecepatan aliran udara 0 m/s).
Hal tersebut juga terjadi pada Gambar 4.12 lama
pengeringan kedua malah sebaliknya suhu lingkungan
mengalami penurunan ketika intensitas radiasi matahari
meningkat dikarenakan kecepatan aliran udara lingkungan
tinggi mencapai 1.55 m/s.
e. Suhu Batu Alor Hitam
Hasil pengukuran suhu batu alor hitam terhadap
intensitas radiasi matahari pada perlakuan pengeringan
38
gabah menggunakan alat pengering disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.13 Suhu Batu Alor Hitam dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 1
Gambar 4.14 Suhu Batu Alor Hitam dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 2
39
Gambar 4.15 Suhu Batu Alor Hitam dan Intensitas Radiasi
Matahari Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran suhu pada batu alor hitam yang terdapat pada
ruang kolektor dilakukan selama tiga kali pengulangan
menunjukkan hubungan antara intensitas radiasi matahari
dan suhu adalah berbanding lurus yaitu peningkatan
intensitas radiasi matahari akan disertai dengan kenaikan
suhu (Johan, 2008). Pada Gambar 4.13 lama pengeringan
keempat, Gambar 4.14 lama pengeringan kedua dan kelima
serta Gambar 4.15 lama pengeringan keempat suhu batu
mengalami peningkatan ketika intensitas matahari
mengalami penurunan dikarenakan tetap terjadi pemanasan
pada batu oleh intensitas radiasi matahari walaupun dengan
intensitas yang kecil. Hal tersebut juga terjadi pada Gambar
4.13 lama pengeringan kelima suhu batu mengalami
penurunan ketika intensitas radiasi matahari meningkat
dikarenakan kipas DC yang dinyalakan ikut menyerap panas
dari batu.
40
Pada Gambar 4.2, Gambar 4.5, Gambar 4.8, Gambar
4.11 dan Gambar 4.14 lama pengeringan ketujuh, kedelapan
dan kesembilan nilai intensitas radiasi matahari berturut-turut
adalah 3.1126 W/m2, 1.1455 W/m2 dan 1.0902 W/m2. Pada
perlakuan pengeringan gabah menggunakan alat pengering
gabah berbasis efek rumah kaca dengan penambahan batu alor
hitam sebagai penyimpan panas terhadap ketiga pengulangan,
rata-rata intensitas radiasi matahari berturut-turut adalah
371.5963 W/m2, 184.9998 W/m2 dan 430.55 W/m2. Sedangkan
perlakuan pengeringan gabah tradisional dibawah terik matahari
secara langsung terhadap ketiga pengulangan, rata-rata
intensitas radiasi matahari berturut-turut adalah 342.3333333
W/m2, 269.5616455 W/m2 dan 393.2476364 W/m2. Perhitungan
nilai rata-rata intensitas radiasi matahari secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 1. Menurut Septiadi, et.al., (2009), faktor
yang mempengaruhi ketidak seragaman rata-rata intensitas
radiasi matahari pada penelitian adalah kondisi atmosfir, posisi
(garis lintang) dan waktu (jumlah hari dalam tahun dan lama
penyinaran matahari dalam satu hari).
4.1.2 Suhu Terhadap Bagian Alat Pengering
Alat pengering gabah berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas dibagi
menjadi tiga bagian yaitu ruang kolektor, ruang pengering dan
saluran udara. Semua bagian dari alat pengering gabah
tersebut dibuat menyambung antar bagian sehingga suhu dari
ruang kolektor bisa disalurkan menuju ruang pengering dan
selanjutnya sisa suhu pengeringan akan diteruskan pada
saluran udara menuju lingkungan. Hasil pengukuran suhu
terhadap masing-masing perlakuan disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
41
Gambar 4.16 Suhu Bagian Semua Alat Pengering dan Lingkungan
Pengulangan 1
Gambar 4.17 Suhu Bagian Semua Alat Pengering dan Lingkungan
Pengulangan 2
42
Gambar 4.18 Suhu Bagian Semua Alat Pengering dan Lingkungan
Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa suhu
ketiga pengulangan pada ruang kolektor, ruang pengering,
saluran udara dan lingkungan saling berbanding lurus yaitu
penuran suhu ruang kolektor akan disertai dengan penurunan
suhu ruang pengering, saluran udara dan lingkungan (suhu
ruang kolektor lebih besar dari pada ruang pengering, suhu
ruang pengering lebih besar dari pada saluran udara dan suhu
saluran udara lebih besar dari pada lingkungan). Pernyataan
tersebut mendukung hasil penelitian Larasati (2009), yang
menyatakan bahwa suhu ruang pengering akan meningkat
bersamaan dengan meningkatnya suhu lingkungan. Pada
Gambar 4.18 lama pengeringan kedua suhu lingkungan
mengalami penurunan sedangkan suhu ruang kolektor, ruang
pengering dan saluran udara mengalami peningkatan
dikarenakan kecepatan aliran udara lingkungan tinggi mencapai
1.55 m/s. Selanjutnya pada Gambar 4.18 lama pengeringan
ketiga suhu lingkungan mengalami peningkatan sedangkan
suhu ruang kolektor, ruang pengeringa dan saluran udara
43
mengalami penurunan dikarenakan tidak adanya kecepatan
aliran udara lingkungan (nilai kecepatan aliran udara 0 m/s).
Suhu tertinggi ruang kolektor, ruang pengering dan saluran
udara ketiga pengulangan berturut-turut adalah 51.5 °C, 50.8 °C
dan 44.3 °C terdapat pada Gambar 4.16 lama pengeringan ke
tiga. Suhu pada ruang kolektor, ruang pengering dan saluran
udara masih bisa melebihi dari pengukuran ketiga pengulangan
apabila kipas DC tidak dinyalakan, akan tetapi bisa merusak
gabah yang dikeringkan. Sedangkan suhu tertinggi pada
lingkungan mencapai 35.1 °C terdapat pada Gambar 4.16 lama
pengeringan kedua. Sehingga potensi pengeringan gabah pada
alat berpotensi lebih besar dibandingkan dengan pengeringan
tradisional.
4.1.3 Suhu Batu Terhadap Ruang Kolektor
Alat pengering gabah berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas
bertujuan untuk menyimpan panas pada batu alor hitam ketika
intensitas radiasi matahari mengalami peningkatan. Kemudian
ketika malam hari ataupun cuaca mendung batu alor hitam yang
terdapat pada ruang kolektor akan mengeluarkan panas untuk
menggantikan panas yang berkurang. Hasil pengukuran suhu
batu terhadap suhu kolektor pada masing-masing perlakuan
disetiap pengulangan disajikan sebagai berikut:
44
Gambar 4.19 Suhu Batu dan Ruang kolektor Pengulangan 1
Gambar 4.20 Suhu Batu dan Ruang Kolektor Pengulangan 2
45
Gambar 4.21 Suhu Batu dan Ruang kolektor Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas pada ketiga pengulangan
menunjukkan bahwa pengaruh suhu batu terhadap ruang
kolektor sangat tinggi. Hubungan antara suhu batu dan suhu
ruang kolektor adalah berbanding lurus yaitu peningkatan suhu
batu akan disertai dengan peningkatan suhu ruang kolektor.
Menurut Surya (2009), Hukum II termodinamika berbunyi suhu
selalu mengalir dari tempat panas ke tempat dingin. Pada
Gambar 4.19 lama pengeringan keempat serta Gambar 4.21
lama pengeringan ketiga dan keempat suhu batu mengalami
peningkatan ketika suhu kolektor mengalami penurunan
dikarenakan kipas DC pada alat pengering dinyalakan.
Selanjutnya Gambar 4.19 lama pengeringan kelima suhu batu
mengalami penurunana ketika suhu kolektor mengalami
peningkatan dikarenakan suhu batu melepaskan panasnya
untuk menggantikan panas ruang kolektor yang mengalami
penurunan. Sebaliknya pada Gambar 4.20 lama pengeringan
kelima suhu batu mengalami peningkatan ketika suhu ruang
pengering mengalami penurunan dikarenakan suhu kolektor
terlebih dahulu diserap oleh batu. Sehingga dapat diketahui
46
bahwa panas batu alor hitam pada ruang kolektor meningkatkan
panas untuk mempercepat proses pengeringan gabah pada
alat.
4.2 Kelembaban Relatif (%)
Kelembaban relatif adalah kandungan uap air di udara
yang dinyatakan dalam satuan %. Pengukuran nilai kelembaban
relatif dilakukan pada ruang kolektor, ruang pengering, saluran
udara dan lingkungan.
a. Ruang Kolektor
Hasil pengukuran kelembaban relatif ruang kolektor
pada perlakuan pengeringan gabah menggunakan alat
pengering disetiap pengulangan disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.22 Suhu dan Kelembaban Relatif Kolektor Pengulangan 1
47
Gambar 4.23 Suhu dan Kelembaban Relatif Kolektor Pengulangan 2
Gambar 4.24 Suhu dan Kelembaban Relatif Kolektor Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran kelembaban ketiga pengulangan pada ruang
kolektor dipengaruhi oleh suhu. Hubungan antara suhu dan
kelembaban relatif adalah berbanding terbalik yaitu
peningkatan suhu akan disertai dengan penurunan
48
kelembaban relatif (Rahayuningtyas dan Seri, 2016). Suhu
tertinggi terdapat pada Gambar 4.21 lama pengeringan
keempat sebesar 51.5 °C dengan nilai kelembaban 22%.
Sedangkan suhu terendah terdapat pada Gambar 4.24 lama
pengeringan kesepuluh sebesar 26.9 °C dengan nilai
kelembaban 79%.
b. Ruang Pengering
Hasil pengukuran kelembaban relatif ruang
pengering pada perlakuan pengeringan gabah
menggunakan alat pengering disetiap pengulangan disajikan
sebagai berikut:
Gambar 4.25 Suhu dan Kelembaban Relatif Ruang Pengering
Pengulangan 1
49
Gambar 4.26 Suhu dan Kelembaban Relatif Ruang Pengering
Pengulangan 2
Gambar 4.27 Suhu dan Kelembaban Relatif Ruang Pengering
Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran kelembaban ketiga pengulangan pada ruang
pengering dipengaruhi oleh suhu. Hubungan antara suhu
50
dan kelembaban relatif adalah berbanding terbalik yaitu
peningkatan suhu akan disertai dengan penurunan
kelembaban relatif (Rahayuningtyas dan Seri, 2016). Suhu
tertinggi terdapat pada Gambar 4.25 lama pengeringan
keempat dan Gambar 4.27 lama pengeringan ketiga
sebesar 50.8 °C dengan nilai kelembaban 24%. Sedangkan
suhu terendah terdapat pada Gambar 4.26 lama
pengeringan kesepuluh sebesar 26.2 °C dengan nilai
kelembaban 83.5%.
c. Saluran Udara
Hasil pengukuran kelembaban relatif saluran udara
pada perlakuan pengeringan gabah menggunakan alat
pengering disetiap pengulangan disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.28 Suhu dan Kelembaban Relatif Saluran Udara
Pengulangan 1
51
Gambar 4.29 Suhu dan Kelembaban Relatif Saluran Udara
Pengulangan 2
Gambar 4.30 Suhu dan Kelembaban Relatif Saluran Udara
Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran kelembaban ketiga pengulangan pada ruang
pengering dipengaruhi oleh suhu. Hubungan antara suhu
52
dan kelembaban relatif adalah berbanding terbalik yaitu
peningkatan suhu akan disertai dengan penurunan
kelembaban relatif (Rahayuningtyas dan Seri, 2016). Suhu
tertinggi terdapat pada Gambar 4.28 lama pengeringan
keempat sebesar 44.3 °C dengan nilai kelembaban 35%.
Sedangkan suhu terendah terdapat pada Gambar 4.29 lama
pengeringan kesepuluh sebesar 25.4 °C dengan nilai
kelembaban 85%.
d. Lingkungan
Hasil pengukuran kelembaban relatif lingkungan
pada perlakuan pengeringan gabah tradisional disetiap
pengulangan disajikan sebagai berikut:
Gambar 4.31 Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan Pengulangan
1
53
Gambar 4.32 Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan Pengulangan
2
Gambar 4.33 Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan Pengulangan
3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran kelembaban ketiga pengulangan pada
lingkungan dipengaruhi oleh suhu. Hubungan antara suhu
54
dan kelembaban relatif adalah berbanding terbalik yaitu
peningkatan suhu akan disertai dengan penurunan
kelembaban relatif (Rahayuningtyas dan Seri, 2016). Suhu
tertinggi terdapat pada Gambar 4.31 lama pengeringan
keempat sebesar 35.1 °C dengan nilai kelembaban 43%.
Sedangkan suhu terendah terdapat pada Gambar 4.32 lama
pengeringan kesepuluh sebesar 25.2 °C dengan nilai
kelembaban 86%.
Pada masing-masing perlakuan ketiga pengulangan,
urutan nilai kelembaban relatif mulai dari yang terendah adalah
ruang kolektor, ruang pengering, saluran udara dan lingkungan.
Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran suhu yang sudah
dilakukan. Sehingga potensi pengeringan gabah menggunakan
alat lebih besar dibandingkan dengan pengeringan gabah
menggunakan pengeringan tradisional, meskipun demikian
pengaruh kelembaban relatif terhadap waktu pengeringan tidak
sebesar pengaruh suhu udara pengeringan tehadap waktu
pengeringan (Larasati, 2009). Semakin rendah kelembaban
relatif maka semakin besar kemampuan dalam menyerap uap
air dari permukaan gabah, sehingga waktu pengeringan akan
semakin cepat (Graciafernandy, et.al., 2012).
4.3 Kecepatan Aliran Udara (m/s)
Kecepatan aliran udara adalah kemampuan pembawa
panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta
mengeluarkan uap air yang dinyatakan dalam satuan (m/s).
Kecepatan aliran udara alat pengering gabah berbasis efek
rumah kaca dengan penambahan batu alor hitam sebagai
penyimpan panas diperoleh dari tekanan kipas DC yang
berfungsi untuk menghisap udara panas yang selanjutnya akan
menyebar dalam ruang pengering dan sisa udara pengeringan
serta uap air bahan disalurkan menuju lingkungan luar.
Sedangkan pengeringan gabah tradisional dibawah terik
55
matahari secara langsung diperoleh dari kondisi angin
lingkungan sekitar penelitian. Hasil pengukuran kecepatan aliran
udara pada masing-masing perlakuan disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Pengulangan 1
Lama
Pengeringan
(jam)
Kecepatan Aliran Udara (m/s)
Kolektor Ruang
Pengering
Saluran
Udara Lingkungan
0 0 0 0 0.25
1 0 0 0 0.44
2 0 0 0 0.11
3 0 0 0 0.44
4 0.66 0.84 1.52 1.1
5 0 0 0 0.44
6 0 0 0 0.7
7 0 0 0 0.81
8 0 0 0 0.55
Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Pengulangan 2
Lama
Pengeringan
(jam)
Kecepatan Aliran Udara (m/s)
Kolektor Ruang
Pengering
Saluran
Udara Lingkungan
0 0 0 0 0.44
1 0 0 0 0.25
2 0 0 0 0.81
3 0 0 0 0.33
4 0 0 0 0.88
5 0 0 0 0.81
6 0 0 0 1.25
7 0 0 0 0.4
56
8 0 0 0 1.35
9 0 0 0 0.36
10 0 0 0 0.25
11 0 0 0 0.22
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Pengulangan 3
Lama
Pengeringan
(jam)
Kecepatan Aliran Udara (m/s)
Kolektor Ruang
Pengering
Saluran
Udara Lingkungan
0 0 0 0 0.4
1 0 0 0 0.55
2 0 0 0 1.55
3 0.44 0.84 1.74 0
4 0.44 0.89 1.03 0.88
5 0.52 0.99 1.36 1.38
6 0 0 0 0.81
7 0 0 0 0.66
8 0 0 0 0.51
9 0 0 0 0.55
10 0 0 0 1.14
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kecepatan
aliran udara pada alat pengering gabah yang terdiri dari ruang
kolektor, ruang pengering dan saluran udara dilakukan
pengukuran untuk mengetahui nilai kecepatan aliran udara. Nilai
kecepatan aliran udara terbesar alat pengering gabah ketiga
perlakuan adalah 1.74 m/s pada Tabel 4.3 lama pengeringan ke
tiga sedangkan kecepatan aliran udara terbesar lingkungan
ketiga pengulangan adalah 1.55 m/s pada Tabel 4.3 lama
pengeringan ke dua. Kecepatan aliran udara alat pengering
57
gabah dapat dilakukan pengukuran apabila kipas DC yang
terdapat pada saluran udara dinyalakan ketika suhu melebihi
50°C. Menurut Hutomo (1983), suhu pengeringan gabah 45-50
°C merupakan suhu yang optimal untuk menghasilkan mutu
beras giling yang baik. Urutan nilai kecepatan aliran udara pada
alat pengering gabah ketiga pengulangan yang dapat diukur
mulai dari terkecil adalah ruang kolektor, ruang pengering dan
saluran udara dikarenakan letak kipas DC yang berada pada
saluran udara sehingga kemampuan untuk menghisap akan
bertambah besar apabila letaknya berdekatan dengan kipas DC.
Sedangkan nilai kecepatan aliran udara lingkungan pada ketiga
pengulangan hasilnya tidak stabil dikarenakan kecepatan angin
yang tidak bisa diprediksi.
4.4 Lama Pengeringan (jam)
Lama pengeringan adalah waktu yang dibutuhkan utuk
mengeringkan gabah mencapai kadar air akhir 14% yang
dinyatakan dalam satuan (jam). Waktu pengeringan
menggunakan alat pengering gabah berbasis efek rumah kaca
dengan penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas
dilakukan secara kontinyu tanpa dilakukan penyimpanan
sedangkan pengeringan tradisional dibawah terik martahari
secara langsung dilakukan secara kontinyu dengan dilakukan
penyimpanan sementara ketika jam menunjukkan pukul 16.00
dan akan dikeringkan kembali keesokan harinya. Hasil
pengukuran lama pengeringan pada masing-masing perlakuan
disetiap pengulangan disajikan sebagai berikut:
58
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Lama Pengeringan Pengulangan 1
Lama Pengeringan (jam) Kadar Air %
Alat Pengering Tradisional
0 20.5 20.5
1 18.5 19
2 18 18.5
3 16 16.8
4 15.5 15.5
5 14.5 15
6 14.1 14.5
7 13.5 14.1
8 - 13.7
Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Lama Pengeringan Pengulangan 2
Lama Pengeringan (jam) Kadar Air %
Alat Pengering Tradisional
0 20.5 20.5
1 19.2 19.5
2 18.8 18.9
3 17.6 18.1
4 16.3 16.8
5 15.9 16.3
6 15.3 15.5
7 14.5 15.2
8 14.2 15.1
9 13.9 15.4
10 - 14
59
Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Lama Pengeringan Pengulangan 3
Lama Pengeringan (jam) Kadar Air %
Alat Pengering Tradisional
0 20.8 20.8
1 18.6 18.6
2 17.5 18.1
3 16.7 17
4 15.3 16
5 14.8 15.5
6 14.3 15.1
7 13.7 14.8
8 - 14.7
9 - 15.4
10 - 13.5
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada
ketiga pengulangan, waktu pengeringan lebih cepat
menggunakan alat pengering gabah dari pada pengeringan
tradisional. Lama pengeringan menggunakan alat pengering
gabah berturut-turut ketiga pengulangan adalah 7 jam, 9 jam,
dan 7 jam sedangkan pengeringan tradisional adalah 8 jam, 10
jam dan 10 jam. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata
intensitas radiasi matahari berturut-turut ketiga pengulangan
pada pengeringan gabah menggunakan alat adalah 371.5963
W/m2, 184.9998 W/m2 dan 430.55 W/m2. Pada penelitian kali ini
rata-rata intensitas radiasi matahari berpengaruh terhadap lama
pengeringan gabah untuk mencapai kadar air 14%.
Pengeringan gabah paling cepat terjadi pada alat pengering
gabah pada Tabel 4.6 dikarenakan dengan kadar air awal
20.8% (melebihi dari kadar air awal Tabel 4.4 dan Tabel 4.5)
dikeringkan menjadi kadar air akhir 13.8%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi rata-rata intensitas radiasi
60
matahari maka waktu pengeringan akan semakin cepat (Basri,
2017).
4.5 Kadar Air (%)
Kadar air adalah kandungan air dalam suatu gabah yang
dapat dinyatakan dalam satuan % dari basis basah. Pada
penelitian kali ini sampel yang digunakan untuk pengeringan
menggunakan alat pengeringan gabah berbasis efek rumah
kaca dengan penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan
panas dan pengeringan tradisional ketiga pengulangan
sebanyak 4kg dengan kadar air awal gabah 20.5 - 20.8 %
hingga kadar air akhir 14%. Berdasarkan (Keputusan Bersama
Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan No.
04/SKB/BBKP/II/2002), standart kadar air gabah kering siap
giling adalah 14%. Pengukuran kadar air dilakukan pada
pengeringan gabah menggunakan alat pengering, pengeringan
tradisional dan perbandingan antara pengeringan gabah
menggunakan alat pengering dengan pengeringan tradisional.
a. Pengeringan Gabah Menggunakan Alat Pengering
Hasil pengukuran kadar air pada perlakuan
pengeringan gabah menggunakan alat pengering disetiap
pengulangan disajikan sebagai berikut:
61
Gambar 4.34 Suhu Ruang Pengering dan Kadar Air Gabah Alat
Pengulangan 1
Gambar 4.35 Suhu Ruang Pengering dan Kadar Air Gabah Alat
Pengulangan 2
62
Gambar 4.36 Suhu Ruang Pengering dan Kadar Air Gabah Alat
Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa pada
pengeringan gabah menggunakan alat pengering ketiga
pengulangan menunjukkan hasil penuran kadar air yang
berbeda. Hasil kadar air akhir pengeringan gabah
menggunakan alat pengering gabah berturut-turut adalah
13.5%, 13.9% dan 13.7%. Penurunan kadar air sangat
dipengaruhi oleh lama pengeringan. Hubungan antara lama
pengeringan dengan kadar air berbanding lurus yaitu
semakin lama pengeringan maka kadar air gabah akan
semakin turun (Ansar et.al., 201 2).
b. Pengeringan Gabah Tradisional
Hasil pengukuran kadar air pada perlakuan
pengeringan gabah tradisional disetiap pengulangan
disajikan sebagai berikut:
63
Gambar 4.37 Suhu Lingkungan dan Kadar Air Gabah Tradisional
Pengulangan 1
Gambar 4.38 Suhu Lingkungan dan Kadar Air Gabah Tradisional
Pengulangan 2
64
Gambar 4.39 Suhu Lingkungan dan Kadar Air Gabah Tradisional
Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa pada
pengeringan gabah tradisional ketiga pengulangan
menunjukkan hasil penuran kadar air yang berbeda. Hasil
kadar air akhir pengeringan gabah tradisional berturut-turut
adalah 13.5%, 13.9% dan 13.7%. Penurunan kadar air
sangat dipengaruhi oleh lama pengeringan. Hubungan
antara lama pengeringan dengan kadar air berbanding lurus
yaitu semakin lama pengeringan maka kadar air gabah akan
semakin turun (Ansar et.al., 201 2).
c. Perbandingan Pengeringan Gabah Menggunakan
Alat Pengering dan Pengeringan Gabah Tradisional
Hasil perbandingan pengukuran kadar air pada
masing-masing perlakuan disetiap pengulangan disajikan
sebagai berikut:
65
Gambar 4.40 Kadar Air Gabah Alat dan Tradisional Pengulangan 1
Gambar 4.41 Kadar Air Gabah Alat dan Tradisional Pengulangan 2
66
Gambar 4.42 Kadar Air Gabah Alat dan Tradisional Pengulangan 3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa
perbandingan pengeringan gabah menggunakan alat pengering
dan pengeringan gabah tradisional ketiga pengulangan
menunjukkan hasil penuran kadar air yang berbeda. Pada
pengeringan gabah menggunakan alat pengering ketiga
pengulangan, kadar air gabah lebih cepat mengalami
penurunan dibandingkan dengan pengeringan tradisional. Hal
tersebut dikarenakan suhu pada alat pengering gabah lebih
besar dibandingkan dengan suhu lingkungan (Zamharir et.al.,
2016). Pada Gambar 4.41 dan Gambar 4.42 lama pengeringan
kedelapan pengeringan gabah tradisional, kadar air mengalami
peningkatan berturut-turut sebanyak 0.3 % dan 0.7 %
dikarenakan gabah dilakukan penyimpanan sementara ketika
jam menunjukkan pukul 16.00 dan akan dilakukan pengeringan
kembali keesokan harinya untuk mencapai kadar air akhir gabah
14%.
67
4.6 Efisiensi Pengeringan (%)
Efisiensi pengeringan adalah hasil perbandingan antara
panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan gabah dengan
panas yang dihasilkan dari energi yang masuk pada proses
pengeringan. Panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan
gabah berasal dari kalor sensibel dan kalor laten sedangkan
panas yang dihasilkan dari energi yang masuk pada proses
pengeringan berasal dari energi matahari pada ruang kolektor
dan ruang pengering. Hasil perhitungan efisiensi pengeringan
pada masing-masing perlakuan disetiap pengulangan disajikan
sebagai berikut:
Tabel 4.7 Efisiensi Pengeringan Gabah Menggunakan Efek Rumah
Kaca
No. Pengeringan Output (Kj) Qinput (Kj) Efisiensi
Pengeringan (%)
1 Pengulangan 1 749.86 5335.236 14.05
2 Pengulangan 2 796.45 3414.832 23.32
3 Pengulangan 3 788.38 6181.697 12.75
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada
ketiga pengulangan pengeringan gabah menggunakan alat
pengering gabah berbasis efek rumah kaca dengan
penambahan batu alor hitam sebagai penyimpan panas
mempunyai nilai rata-rata efisiensi sebesar 16.71%.
Perhitungan efisiensi pengeringan gabah menggunakan alat
secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Menurut
Hartanto, et.al., (2010), menyatakan bahwa efisiensi
pengeringan tipe rak menggunakan energi matahari mempunyai
nilai efisiensi sebesar 29.6 %. Hal tersebut dikarenakan
pengeringan dilakukan hanya siang hari saja selama tiga hari.
Efisiensi pengeringan terbesar terdapat pada pengulangan
kedua, dikarenakan tidak terdapat penggunaan kipas DC
68
sehingga panas pada alat pengering dapat dimanfaatkan secara
maksimal sedangkan efisiensi pengeringan terkecil terdapat
pada pengulangan ketiga dikarenakan terdapat penggunaan
kipas DC yang lebih lama dibandingkan pengulangan pertama
sehingga panas pada alat pengering belum bisa dimanfaatkan
secara maksimal sebelum dikeluarkan menuju lingkungan.
Menurut Larasati (2009), semakin tinggi efisiensi pengeringan
maka akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk
mengeringkan tiap kg bahan. Efisieni pengeringan ini
menunjukkan baik tidaknya performansi alat untuk pengeringan
atau efektif tidaknya energi panas yang termanfaatkan.
69
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Hasil uji performansi pengeringan gabah pada ketiga
pengulangan dengan menggunakan alat pengering gabah
berbasis efek rumah kaca dengan penambahan batu alor
hitam sebagai penyimpan panas memerlukan waktu
pengeringan berturut-turut yaitu 7 jam, 9 jam, dan 7 jam
untuk mencapai kadar air sebesar 14%, dengan nilai rata-
rata efisiensi sebesar 16.71%.
2. Waktu pengeringan yang dibutuhkan alat pengering gabah
mempunyai nilai rata-rata 1.7 jam lebih cepat dibandingkan
dengan pengeringan gabah tradisional.
5.2 Saran
1. Pada penelitian mendatang disarankan agar ditambahkan
pemutar otomatis pada ruang pengering sehingga
menghasilkan pengeringan yang lebih cepat dan merata.
2. Sebaiknya perlu ditambahkan sensor suhu otomatis untuk
mengoptimalkan kerja kipas DC agar suhu pada alat tidak
melebihi 50°C.
70
71
DAFTAR PUSTAKA
Karim M, A dan E. Suhartatik. 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Aditya, G dan Ari S. 2012. Modifikasi Plat Penyerap Kalor Matahari Dan Alat Pendukungnya Untuk Proses Pengeringan “Plat Galvanis Dan Plat Seng Gelombang”. Semarang: Universitas Diponegoro
Ansar, Cahyawan dan Safrani. 2012. Karakteristik Pengeringan Chips Mangga Menggunakan Kolektor Surya Kaca Ganda. Mataram: Universitas Mataram
Astawan, M dan Andreas, L. 2009. Khasiat Whole Graind Makanan Berserat Untuk Hidup Sehat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bahari, S, Agustinus L, dan Rosmiati. 2012. Pengembangan Model Penyimpanan Energi Matahari Sebagai Energi Alternatif Menunjang Proses Pembuatan Garam Laut. Kupang: Politeknik Negeri Kupang
Basri. 2017. Efisiensi Pengering Produk Menggunakan Alat Pengering Surya Type Down Draf. Kendari: Universitas Haluoleo
Brooker, DB, FW Bakker-Arkema, and CW Hall. 1974. Drying Cereal Grain. Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Wesport
Duffie, JA and William AB. 2013. Solar Engineering of Thermal Processes 4th Edition. Madison: UW-Madison
Estiasih, T dan Kgs Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara
Graciafernandy, Ratnawati dan L. Buchori. 2012. Pengaruh Suhu Udara Pengering dan Komposisi Zeloit 3A Terhadap Lama Waktu Pengeringan Gabah Pada Fluidized Bed Dryer. Semarang: Universitas Diponegoro
Gunawar, PN. 2013. Pengaruh Efek Rumah Kaca Terhadap Lingkungan Hidup. Makassar: UNHAS
72
Hartanto, R, Warji dan Wahyu R. 2010. Karakteristik Pengeringan Kulit Manggis Dengan Alat Pengering Hibrid Tipe Rak. Lampung: UNILA
Henderson, SM and RL Perry. 1995. Agricultural Process Engineering. New York: John Wiley and Sons Inc
Holman, JP. 1993. Perpindahan Kalor. Jakarta: Erlangga Holman, JP. 1988. Thermodynamics. New York: McGraw-Hill Hutomo, GS. 1983. Mempelajari Pengaruh Suhu
Pengeringan dan Kadar Air Gabah Pada Proses Pemberasan Terhadap Rendemen Beras Giling, Beras Kepala, Beras Patah dan Menir. Bogor: IPB
Iskandar, S. 2014. Perpindahan Panas. Yogyakarta: Deepublish
Kartasapoetra, AG. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Jakarta: Rineka Cipta
Larasati, D. 2009. Uji Performansi Pengering Efek Rumah Kaca (ERK)-Hybrid Tipe Rak Berputar Secara Vertikal Untuk Pengeringan Rosela (Hibiscus Sabdariffa L). Bogor: IPB
Lavine, AS, David PD, Frank PI, and Theodore LB. 2006. Fundamentals of Heat and Mass Transfer 6th Edition. USA: John Wiley and Sons
Listyawati. 2007. Kajian Susut Pasca Panen dan Pengaruh Kadar Air Gabah Terhadap Mutu Beras Giling Varietas Ciherang (Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang). Bogor: Institut Pertanian Bogor
Muhammad, A. 2011. Uji Kinerja Alat Pengering Hybrid Tipe Rak Pada Proses Penggilingan Jagung Bertongkol. Lampung: UNILA
Nugraha, S. (2008). Perangkat Praktis untuk Mengukur Kadar Air Gabah dan Beras. Bogor: Balai Besar Litbang Pacsa Panen Pertanian
Nursanti, LS. 2012. Pengeringan Biji Kakao Menggunakan Alat Pengering Hybrid Tipe Rak. Lampung: UNILA
Prabowo, S. 2006. Pengolahan dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Serta Kualitas Beras. Samarinda: Universitas Mulawarman
73
Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas Pertanian. Jakarta: Depdiknas
Rahayuningtyas, A dan Seri IK. 2016. Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara Pada Proses Pengeringan Singkong (Studi Kasus: Pengeringan Tipe Rak). Subang: Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI
Raina, VK. 1993. Concrete for Construction Facts and Practice. New Delhi: Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd
Septiadi, D, Nanlohy, P, Souissa, M, dan Rumlawang, FY. 2009. Proyeksi Potensi Energi Surya Sebagai Energi Terbarukan (Studi Wilayah Ambon dan Sekitarnya). Jakarta: BMKG
Setiyo, Y. 2003. Aplikasi Sistem Kontro Suhu dan Pola Aliran Udara pada Alat Pengering Tipe Kotak untuk Pengeringan Buah Salak. Bogor: IPB
Strumillo, C and Tadeusz K. 1986. Drying: Principles, Applications and Design. Poland: Institute of Chemical Engineering Lodz Technical University
Sunitra, E, Aidil Z, Rivanol C, dan Mulyadi. 2011. Kajian Eksperimental Pengaruh Variasi Kecepatan Udara Panas Terhadap Proses Pengeringan Gabah. Padang: Politeknik Negeri Padang
Surur, RS dan Mochammad AI. 2015. Studi Perlakuan Panas Artificial Aging Terhadap Angka Muai dan Konduktivitas Termal Material Komposit Al-Abu Dasar Batubara. Surabaya: UNESA
Surya, Y. 2009. Suhu dan Termodinamika. Tangerang: PT Kandel
Thaib, G, Gumbira S dan Wiraatmadja S. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Jakarta: PT Mediatama Sarana Perkasa
Tambunan, AH, Kamaruddin A, dan Binsar N. 2006. Analisis Eksergi Penyimpanan Panas Untuk Sistem Pengering Berenergi Surya. Bandung: IPB
74
Utina, R. 2009. Pemanasan Global: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya. Gorontalo: UNG
Warisno, W, Tamrin dan Budianto L. 2014. Analisis Mutu Beras Pada Mesin Penggilingan Padi Berjalan Di Kabupaten Pringsewu. Lampung: UNILA
Widyotomo, S, Sri M dan Edi S. 2005. Kinerja Mesin Pemecah Biji dan Pemisah Kulit Kakao Pascasangrai Tipe Pisau Putar. Jember: Pelita Perkebunan
Wongpornchai, S, K Dumri, Jongkaewwattana S, dan B Siri .2003. Effects Of Drying Methods and Storage Time On The Aroma And Milling Quality Of Rice (Oryza Sativa L.) Cv. Khao Dawk Mali 105. Journal of Food Chemistry. Volume 87, Issue 3:407-414
Yani, E dan Suryadi F. 2013. Karakteristik Pengeringan Biji Kopi Berdasarkan Variasi Kecepatan Aliran Udara Pada Solar Dryer. Padang: Universitas Andalas
Yasa, INWP. 2015. Analisa Performansi Kolektor Surya Pelat Bergelombang Untuk Pengeringan Bunga Kamboja Dengan Empat Sisi Kolektor. Bali: Udayana
Yohan, Y. 2008. Fluktuasi Intensitas Radiasi Matahari Pada Kawasan Padat Polusi dan Hijau Kota Solok. Padang: Universitas Andalas
Zamharir, Sukmawaty dan Asih P. 2016. Analisis Pemanfaatan Energi Panas Pada Pengeringan Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Dengan Menggunakan Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK). Mataram: Universitas Mataram