skripsi fadhilah abidin_l11110253 (1).docx
TRANSCRIPT
BIOKONSENTRASI FLESHY MACROALGAE TERHADAP LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) DI PULAU
BONEBATANG, BARRANGLOMPO, DAN LAE-LAE CADDI KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
Oleh:FADHILAH ABIDIN
JURUSAN ILMU KELAUTANFAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2014
ABSTRAK
FADHILAH ABIDIN. L111 10 253. “Biokonsentrasi Fleshy Macroalgae terhadap Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) di Pulau Bonebatang, Barranglompo, dan Lae-lae Caddi Kota Makassar” dibawah bimbingan Shinta Werorilangi sebagai Pembimbing Utama dan Rahmadi Tambaru sebagai Pembimbing Anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor biokonsentrasi logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada tiga genus fleshy macroalgae di perairan Pulau Bonebatang, Pulau Barranglompo dan Pulau Lae-lae Caddi Kota Makassar.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Perairan Pulau Bonebatang, Pulau Barranglompo dan Pulau Lae-lae Caddi. Pengukuran konsentrasi logam pada kolom air dan tiga genus fleshy macroalgae yaitu Sargassum, Padina, dan Turbinaria menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Data konsentrasi logam Pb dan Cu pada fleshy macroalgae di ketiga pulau dianalisis menggunakan Anova Tersarang (Nested ANOVA). Untuk mengaji hubungan faktor biokonsentrasi dengan parameter lingkungan, digunakan Principal Components Analysis (PCA). Parameter lingkungan yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, DO, DOM dan kecerahan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman lokasi dan jenis fleshy macroalgae berpengaruh terhadap perbedaan rata-rata Faktor Biokonsentrasi (BCF) pada logam Cu, sedangkan perbedaan rata-rata BCF pada logam Pb hanya dipengaruhi oleh jenis fleshy macroralgae dan rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu yang tertinggi didapatkan pada genus Turbinaria dan Sargassum serta yang paling rendah konsentrasinya pada genus Padina.
Kata Kunci :Biokonsentrasi, Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu), Fleshy Macroalgae, Sargassum, Padina, Turbinaria, Pulau Bonebatang, Barranglompo dan Lae-lae Caddi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut Indonesia memegang peranan penting sebab
memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Indonesia mempunyai perairan laut
yang lebih luas dari daratan, oleh karena itu di kenal sebagai negara maritim.
Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun
fauna (Nybakken, 1992). Namun kekayaan laut Indonesia dapat saja mengalami
pengurangan sebab mendapatkan pengaruh dari pencemaran yang disebabkan
oleh perkembangan industri yang ada di pesisir. Disamping menghasilkan produk
yang bermanfaat, Industri dapat pula menghasilkan produk sampingan berupa
limbah yang sangat mempengaruhi keseimbangan lingkungan jika tidak diolah
terlebih dahulu. Limbah hasil industri yang dibuang tanpa diolah terlebih dahulu
akan menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama lingkungan laut karena
merupakan tempat pembuangan limbah akhir (Wardhana, 2001).
Pencemaran atau polusi adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi dan
komponen lainnya ke dalam air atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan
manusia atau proses alam, sehingga menyebabkan air menjadi terkontaminasi
atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Air sering
tercemar oleh komponen-komponen anorganik, diantaranya logam yang
berbahaya (Wardoyo, 1975).
Logam yang masuk ke sistem perairan baik sungai maupun lautan akan
dipindahkan dari badan perairan melalui tiga proses yaitu pengendapan,
adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan (Geyer, 1981). Di
satu sisi, perairan memiliki tiga media yang dapat dipakai sebagai indikator
pencemaran logam, yaitu air, sedimen dan organisme hidup (Hutagalung,1991).
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa berbagai spesies alga terutama dari
golongan alga hijau (Chlorophyta), alga coklat (Phaeophyta), dan alga merah
(Rhodophyta) baik dalam keadaan hidup (sel hidup) maupun dalam bentuk sel
mati (biomassa) dapat mengadsorpsi ion ion logam (Raya et al., 2012).
Alga mempunyai peranan yang penting dalam ekosistem terumbu karang.
Sebagai produsen primer, alga menambah Carrying Capacity untuk mendukung
ekosistem terumbu karang. Alga merupakan sumber makanan utama bagi ikan
herbivora dan sebagai dasar pada jaring makanan di ekosistem terumbu karang.
Berdasarkan karakterisik ekologi (bentuk daun, ukuran, kekuatan, kemampuan
berfotosintesis, kemampuan bertahan terhadap grazing) dan bentuk
pertumbuhan alga diklasifikasikan ke dalam “functional form groups”, yaitu turf
algae, fleshy algae, dan crustose algae. Yang dimaksud dengan fleshy algae
(fleshy macroalgae) yaitu bentuk alga yang besar, lebih kaku dan secara anatomi
lebih kompleks dibandingkan dengan turf algae, lebih sering ditemukan di daerah
terumbu karang yang datar dan herbivor yang rendah karena kadang mereka
memproduksi partikel kimia yag menghalangi grazing oleh ikan (Mc Cook et al.,
2001).
Crustose algae merupakan alga yang keras dan memiliki pertumbuhan yang
lambat sehingga mengakumulasi logam juga lambat dan Turf alga memilki
ukuran yang lebih kecil dibandingkan fleshy macroalgae. Dengan demikian fleshy
macroalgae mempunyai peran ekologi sebagai pengakumulasi logam dari badan
air, sehingga mengurangi aktivitas logam (Elfrida, 2000). Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian peran fleshy macroalgae sebagai
bioakumulator logam Pb dan Cu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
kedua logam tersebut tidak terlepas dari sifat logam Pb yang non-essensial dan
Cu yang essensial. Logam non-essensial adalah logam yang peranannya dalam
makhluk hidup belum diketahui secara jelas, kandungannya dalam jaringan
organisme sangat kecil dan apabila kandungannya tinggi akan dapat merusak
organ-organ tubuh. Sedangkan logam essensial adalah logam yang peranannya
sudah jelas dan sangat dibutuhkan tubuh, oleh karena sifatnya sangat membantu
proses fisiologi dangan membantu kerja enzim atau pembentukan organ dalam
makhluk hidup yang bersangkutan. Baik yang essensial maupun non-essensial
apabila jumlahnya dalam tubuh berlebih akan bersifat toksik (Vouk (1986) dalam
Kristianingrum (2006)).
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor biokonsentrasi
logam Pb dan Cu pada beberapa jenis fleshy macroalgae di perairan Pulau
Bonebatang, Pulau Barranglompo dan Pulau Lae-lae Caddi Kota Makassar.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi peran fleshy
macroalgae dalam mengakumulasi logam Pb dan Cu dari perairan laut.
C. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup penelitian adalah mengukur parameter lingkungan seperti
kandungan Pb dan Cu, suhu, salinitas, kecerahan, DO, DOM, dan pH serta
mengidentifikasi beberapa jenis fleshy macroalgae di perairan Pulau
Bonebatang, Pulau Barranglompo dan Pulau Lae-lae Caddi Kota Makassar.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai bulan Desember
2013 di Perairan Pulau Bonebatang, Pulau Barranglompo dan Pulau Lae-lae
Caddi. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan
Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Gambar 4. Lokasi Penelitian
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi : perahu motor
digunakan untuk transportasi ke lapangan; kamera bawah air digunakan sebagai
dokumentasi di dalam perairan; GPS (Global Positioning System) untuk
menentukan posisi pengambilan sampel; kantong sampel digunakan sebagai
tempat menyimpan sampel; botol polietylen digunakan untuk mengambil sampel
pada kolom air; termometer digunakan untuk mengukur suhu; Handrefractometer
untuk mengukur salinitas; Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) AA-6200
untuk mendeteksi kandungan logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu); alat selam
dasar atau SCUBA digunakan untuk pengambilan sampel makroalga dan air laut;
botol sampel digunakan untuk mengambil sampel air; pH meter digunakan untuk
mengukur pH dan suhu perairan, Sechi disk untuk mengukur kecerahan. Alat
pemotong untuk memotong alga, pengambilan sampel alga dan air laut
dimasukkan dalam coolbox untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Bahan yang digunakan kertas label, kantong sampel dan aquades.
C. Tahapan Penelitian
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan dalam penelitian ini meliputi studi literatur dilakukan untuk
mencari literatur yang sesuai dengan topik penelitian melalui berbagai sumber
antara lain jurnal dan artikel ilmiah lainnya, konsultasi dengan pembimbing
mengenai arah dari penelitian ini.
2. Tahap penentuan lokasi sampling
Stasiun pengambilan sampel ditentukan di tiga pulau, pada Kepulauan
Spermonde.Lokasi penelitian ini adalah perairan Pulau Bonebatang dengan
alasan pulau ini letaknya jauh dari daratan Kota Makassar dan tidak
berpenduduk, Pulau Barranglompo alasannya jauh namun berpenduduk dan
Pulau Lae-lae Caddi alasannya dekat dengan daratan Kota Makassar.
3. Tahap pengambilan sampel fleshy macroalgae dan air laut
a. Pengambilan sampel fleshy macroalgae
Pengambilan sampel fleshy macroalgae dilakukan pada kedalaman yang
sama sebanyak 3 genus alga yaitu Sargassum, Padina, dan Turbinaria.
Pengambilan sampel fleshy macroalgae dilakukan dengan cara dipotong di
pangkal tumbuh (thallus batang) dari substrat dimana ia tumbuh dengan
menggunakan pisau/skop kecil.
b. Pengambilan sampel air laut
Sampel air diambil di kolom air pada permukaan tempat tumbuhnya alga
menggunakan botol plastik 500ml, selanjutnya dimasukkan ke dalam cool box.
4. Tahap Preparasi Fleshy Macroalgae
Preparasi sampel fleshy macroalgae dilakukan untuk memisahkan sampel
dengan bahan-bahan anorganik dengan langkah sebagai berikut:
a. Ambil sampel (fleshy macroalgae) kemudian dicuci dengan menggunakan
air mengalir dan selanjutnya dicuci kembali dengan menggunakan
aquades.
b. Setelah sampel dicuci dengan menggunakan aquades kemudian sampel
ditaruh di atas cawan petri kemudian dimasukkan ke dalam oven untuk
dikeringkan pada suhu 105 0C selama 2 hari.
c. Kemudian sampel ditimbang sebesar 5 gr.
d. Setelah sampel ditimbang kemudian masukkan ke dalam cawan porselin
lalu ditambahkan HNO3 dan H2SO4 masing-masing sebanyak 5 mL.
e. Setelah sampel didinginkan kemudian larutkan sampel tersebut dalam
aquades kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring
sebanyak 50 ml.
f. Selanjutnya sampel disimpan ke dalam botol kaca dan siap untuk
dianalisis.
5. Tahap Preparasi Sampel Air Laut
Preparasi dalam sampel air dengan mengacu pada SNI 06-6989.8-2004
BSN, (2004) dalam Samawi dkk. (2010), dengan langkah kerja sebagai berikut:
a. Contoh air diambil sebanyak 100 ml yang sudah dikocok sampai
homogen kemudian dimasukkan kedalam gelas piala.
b. Kemudian ditambahkan 5 ml asam nitrat (HNO3).
c. Contoh dipanaskan di atas pemanas listrik sampai larutan sampel kering.
d. Kemudian ditambahkan 50 ml aquades, masukkan ke dalam labu ukur
100 ml melalui kertas saring dan tempatkan 100 ml dengan aquades.
e. Sampel disimpan kedalam botol plastik dan siap untuk dianalisis
menggunakan AAS.
6. Tahap pengukuran kandungan logam Pb dan Cu dalam fleshy
macroalgae
Tahap berikutnya hasil preparasi sampel air laut dan fleshy macroalgae
diukur kandungan logam Pb dan Cu menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometer (flame, 6200 Shimadzu).
a. Pembuatan Larutan
Larutan standar dibuat dengan mengambil 5mL larutan standar yang
berkontaminasi Cu dan Pb 100mg/L. Kemudian dimasukkan kedalam labu ukur
yang berisi air distilasi dengan volume air 10mL. Konsentrasi ini kemudian
diencerkan kembali menjadi konsentrasi 0.1mg/L; 0.2ml/L ; 0.3ml/L; 0.4ml/L;
0.5ml/L dengan memakai mikropipet volume 5mL.
b. Pengoperasian Alat AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer)
Setelah sampel telah dihomogenkan maka siap untuk analisis dengan
menggunakan AAS dengan cara membuka aliran gas yang sesuai dengan
kebutuhan logam dan mengganti lampu katoda yang sesuai dengan kebutuhan
panjang gelombang logam kemudian dipasangkan pada AAS.
Setelah itu dipantau melalui komputer yang telah terhubung langsung
dengan alat AAS untuk melihan respon alat jika siap untuk digunakan, kemudian
mengatur software untuk analisis logam dengan cara memasukkan data
banyaknya sampel, blanko dan ukuran larutan standar. Setelah komputer siap
nyalakan api pembakaran (flame) sehingga api berwana hijau kebiruan. Lalu
mengukur tekanan udara sebesar 1.8, dengan deteksi limit alat tiap logam
adalah: Cu (0.05 ppm) dan Pb (0.01 ppm) dengan menggunakan gas nitros,
acetylen dan argon.
Pengoperasian AAS di mulai dengan memasang terlebih dahulu lampu
katoda yang sesuai dengan logam yang akan di analisis. Kemudian, AAS
dihubungkan dengan sumber arus, dan lampu dipanaskan sampai 10 menit. Api
pembakar (flame) dinyalakan dengan bantuan asitelin. Intensitas api diatur
hingga memberikan warna biru. Setelah itu, panjang gelombang diatur untuk
memperoleh serapan maksimum setiap unsur. Posisi lampu juga diatur untuk
memperoleh serapan maksimum. Aspirasi larutan belangko kedalam nyala udara
asetilen, penunjukan hasil bacaan pengukuran harus nol dengan menekan
tombol nol. Secara berturut-turun konsentrasi larutan baku diaspirasi kedalam
AAS, dan dilanjutkan dengan larutan contoh. Hasil pengukuran serapan atom
akan dicatat, kemudian dihitung untuk mendapat konsentrasi logam pada larutan
contoh.
7. Perhitungan Faktor Biokonsentrasi (BCF)
Untuk menghitung faktor biokonsentrasi pada hewan (Bioconcentration
Factor) dengan rumus (Van Esch, 1977 dalam Pratono, 1985) sebagai berikut:
Keterangan :
BCF = Faktor biokonsentrasi
Corganisme = Konsentrasi logam di organisme (mg/kg)
Cair = Konsentrasi logam di air (mg/kg)
8. Pengukuran parameter insitu
a. Pengukuran suhu dan pH menggunakan pH meter.
b. Salinitas menggunakan handrefractometer.
c. Kecerahan menggunakan sechi disk.
d. Pengukuran oksigen terlarut dengan metode titrasi. Untuk analisis
laboratorium menggunakan metode titrimetri (Hutagalung et al., 1997),
dan dilaksanakan di laboratorium, dengan cara ;
i) Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian
ditambahkan 2 ml mangan sulfat (MnSO4) dengan menggunakan pipet,
lalu sampel tersebut diaduk dengan cara membolakbalik botolnya.
ii) Ditambahkan 2 ml NaOH + Kl kemudian ditutup dan botol sampel
dibolak balik sampai terbentuk endapan coklat.
iii) Lalu ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat kemudian tutup dan membolak-
balik botol sampel hingga sampel berwarna kuning tua.
iv) Diambil 10 ml air dari botol sampel, masukkan kedalam Erlemeyer.
v) Titrasi dengan Na-thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari
kuning tua ke kuning muda. Tambahkan 5-8 tetes indikator amylum
hingga terbentuk warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-thiosulfat
sampai bening ;
Perhitungan DO :
e. Pengukuran DOM dilakukan di Laboratorium dengan cara sebagai
berikut:
i) Prinsip Kerja
Pemeriksaan residu terlarut dilakukan dengan cara menimbang
berat residu yang lolos melalui kertas saring yang berpori < 0,45 µm dan
telah dikeringkan pada suhu 103-105 0C.
ii) Cara Kerja
Penimbangan cawan kosong dilakukan dengan cara :
a) Cawan kosong dipanaskan dalam tanur pada suhu 550 ± 50 0C selama
1 jam, kemudian dibiarkan di dalam tanur hingga hampir dingin.
b) Didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang
dengan neraca analitik.
c) Dipanaskan kembali cawan kosong dalam oven pada suhu 103-105
0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15
menit.
d) Timbang kembali dengan neraca analitik.
e) Ulangi langkah (c) dan (d) hingga diperoleh berat tetap (kehilangan
berat <4%) misalnya B mg.
Penyaringan contoh dilakukan dengan cara:
a) Kertas saring disiapkan pada alat penyaring, kemudian saring contoh
sebanyak 250 ml.
b) Selanjutnya ambil filtrat sebanyak 100ml, kemudian tuangkan ke dalam
cawan yang telah diketahui beratnya dan banyak contoh yang diambil
disesuaikan dengan kadar residu terlarut di dalam contoh uji sehingga
berat residu terlarut yang diperoleh antara 2,5 mg sampai 200 mg.
c) Lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 103-105 0C selama 1 jam,
kemudian dinginkan dalam desikator selama 15 menit.
d) Timbang cawan berisi residu terlarut tersebut dengan neraca analitik.
e) Ulangi langkah (c) sampai (d) hingga diperoleh berat tetap (kehilangan
berat 4<%) misalnya A mg.
Rumus perhitungan DOM:
Keterangan :
A = berat cawan berisi residu tersuspensi, dalam mg
B = berat cawan kosong, dalam mg (SNI. 1989)
D. Analisis Data
Data konsentrasi logam Pb dan Cu pada fleshy macroalgae di ketiga pulau
dianalisis menggunakan Anova Tersarang (Nested ANOVA) dengan program
SPSS versi 16.0. Untuk mengetahui kaitan konsentrasi logam dan parameter
lingkungan dianalisis dengan metode Principal Components Analysis (PCA)
dengan bantuan perangkat lunak Biplot.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Biokonsentrasi Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu)
1. Konsentrasi Logam Pb dan Cu pada Fleshy Macroalgae
a. Logam Pb
Hasil analisis konsentrasi logam Pb pada tiap spesies fleshy macroalgae di
Pulau Bonebatang, Barranglompo dan Lae-lae Caddi dapat dilihat pada Gambar
5.
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
iaBonebatang Barrang Lompo Lae-Lae Caddi
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Kons
entr
asi l
ogam
Pb
(mg/
kg)
Gambar 5. Rata-rata konsentrasi Pb pada fleshy macroalgae
Dari gambar 5 dapat dilihat rata-rata konsentrasi logam Pb di Pulau
Bonebatang berkisar 4,12-9,87 ppm, di Pulau Barranglompo berkisar 5,18-9,82
ppm dan berkisar 3,50-9,45 ppm. Konsentrasi yang paling tinggi untuk logam Pb
adalah Turbinaria dan Sargassum serta yang paling rendah konsentrasinya
adalah Padina.
Dari hasil analisis Nested Anova (Lampiran 4), menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan konsentrasi logam Pb pada fleshy macroalgae di tiga lokasi
penelitian (P>0,05), namun terdapat perbedaan konsentrasi logam Pb di fleshy
macroalgae yang tersarang pada lokasi (P<0,05). Tidak adanya perbedaan
konsentrasi logam Pb pada fleshy macroalgae di tiga lokasi penelitian diduga
disebabkan sumber logam Pb bisa berasal selain dari aktivitas setempat dan
daratan utama, juga dari atmosfir. Oleh karena itu logam Pb bisa terakumulasi
pada semua lokasi penelitian.
Dilihat dari konsentrasi logam yang terkandung dalam tiga genus alga diatas
semuanya berbeda-beda. Hal ini sesuai yang dikatakan Aprilia & Purwani (2013)
bahwa kemampuan dalam beradaptasi pada lingkungan tercemar logam dan
kemampuan dalam mengakumulasi logam tidak dimiliki oleh semua tumbuhan.
Beberapa tumbuhan yang mampu mengakumulasi logam juga memiliki
kemampuan yang berbeda-beda. Jika dilihat dari morfologinya memang sangat
berbeda untuk genus Padina, karena genus ini hanya menyerupai lembaran,
seperti diungkapkan Taylor (1979) bahwa rumput laut ini terlalu banyak ditempeli
kalsium hingga warnanya coklat keputih-putihan sehingga penyerapan logamnya
juga rendah, sedangkan untuk genus Sargassum dan Turbinaria menyerupai
tumbuhan darat, memiliki thallus daun dan thallus batang, dan tepi thallus
daunnya sama-sama bergerigi.
b. Logam Cu
Hasil analisis konsentrasi logam Cu pada tiap spesies fleshy macroalgae di
Pulau Bonebatang, Barranglompo dan Lae-lae Caddi dapat dilihat pada Gambar
6.
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Bonebatang Barrang Lompo Lae-Lae Caddi
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
Kons
entr
asi l
ogam
Cu
(mg/
kg)
Gambar 6. Rata-rata konsentrasi Cu pada fleshy macroalgae
Dari gambar 6 diatas dapat dilihat rata-rata konsentrasi logam Cu pada
fleshy macroalgae di Pulau Bonebatang berkisar 0,02-0,98 ppm, di Pulau
Barranglompo berkisar 0,13-0,22 ppm dan di Pulau Lae-lae Caddi berkisar 0,12-
0,28 ppm. Konsentrasi yang paling tinggi pada logam Cu adalah Turbinaria dan
Sargassum serta yang paling rendah konsentrasinya adalah Padina.
Dari hasil analisis Nested Anova (Lampiran 5), menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan konsentrasi logam Cu pada fleshy macroalgae di tiga lokasi
penelitian (P>0,05), namun terdapat perbedaan konsentrasi logam Cu di fleshy
macroalgae yang tersarang pada lokasi (P<0,05). Tidak adanya perbedaan
konsentrasi logam Cupada fleshy macroalgae di tiga lokasi penelitian diduga
disebabkan karena sifatnya sangat membantu proses fisiologi dangan membantu
kerja enzim, juga diperlukan dalam proses fotosintesis sebagai agen bagi
transfer hidrogen dan berperan dalam pembentukan protein atau pembentukan
organ dalam makhluk hidup yang bersangkutan.
Turbinaria memilki thallus yang kaku dan berdaging tebal, Sargassum
memiliki thallus batang yang silinder dan thallus daun yang menyerupai pedang
dan memilki gelembung udara sebagai penegak tumbuhnya di perairan, Padina
memiliki thallus yang berwarna kecoklatan berupa lembaran-lembaran.
Turbinaria dan Sargassum memiliki konsentrasi logam Cu yang tinggi
dibandingkan Padina. Hal ini sesuai yang dikatakan Elfrida (2000) bahwa alga
coklat Turbinaria yang termasuk dalam fleshy alga mempunyai efisiensi
penyerapan yang cukup tinggi terhadap ion logam Cu dan Zn yaitu 97,91% dan
96,38%.
2. Konsentrasi Logam Pb dan Cu pada kolom air
Hasil analisis konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air tiap pulau dapat
dilihat pada Gambar 7 (a) dan (b).
Bone
bata
ng
Barr
angl
ompo
Lae-
lae
Cadd
i
Lokasi Penelitian
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
a
b
a
Kons
entr
asi l
ogam
Pb
(mg/
kg)
Bone
bata
ng
Barr
angl
ompo
Lae-
lae
Cadd
i
Lokasi Penelitian
00.010.020.030.040.050.060.070.080.09
x
y
z
Kons
entr
asi l
ogam
Cu
(mg/
kg)
(a)(b)
Gambar 7. Konsentrasi rata-rata Pb (a) dan Cu (b) pada kolom air di setiap lokasi (huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada α = 0.05)
Konsentrasi rata-rata logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu) yang berada pada
kolom perairan berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat pada Gambar 7. Dari
hasil analisis Post HocTest (Lampiran 6) untuk logam Pb Pulau Bonebatang dan
Pulau Lae-lae Caddi tidak berbeda nyata (p>0.05), Pulau Bonebatang dan Pulau
Barranglompo berbeda nyata dan Pulau Barranglompo dan Pulau Lae-lae Caddi
berbeda nyata (p<0.05). Sedangkan logam Cu tiap pulau didapatkan perbedaan
yang nyata (p<0.05) antara Pulau Bonebatang, Pulau Barranglompo dan Pulau
Lae-lae Caddi.
Kadar logam Pb dan Cu pada perairan yang dianjurkan WHO adalah kurang
dari 0.01 ppm. Tingginya konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air di Pulau
Barranglompo tidak terlepas dari kondisi pulau tersebut, dimana Pulau
Barranglompo merupakan pulau yang berpenghuni dan mendapat banyak
buangan limbah rumah tangga dan merupakan jalur transportasi kapal-kapal
yang menggunakan bahan bakar yang kesemuanya itu dapat menambah
kandungan Pb dan Cu di perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Palar (1994)
yang mengemukakan bahwa aktivitas manusia, industri galangan kapal dan
berbagai aktivitas pelabuhan lainnya merupakan salah satu jalur yang
mempercepat terjadinya peningkatan kelarutan logam dalam badan air.
3. Bioconcentration Factor (BCF) Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu)
a. Logam Pb
Hasil analisis BCF logam Pb pada tiap spesies fleshy macroalgae di Pulau
Bonebatang, Barranglompo dan Lae-lae Caddi dapat dilihat pada Gambar 8.
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Bonebatang Barrang Lompo Lae-Lae Caddi
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
BCF
loga
m P
b
Gambar 8.Rata-rata BCF Pb pada fleshy macroalgae
Dari gambar 8 diatas dapat dilihat nilai rata-rata BCF logam Pb di Pulau
Bonebatang, dimana nilai BCF Pb pada Sargassum adalah 36,83 kali dari
konsentrasi yang ada di perairan, Padina 17,34 kali dari konsentrasi yang ada
diperairan dan Turbinaria 41,31 kali dari konsentrasi yang ada diperairan. Nilai
rata-rata BCF Pb di Pulau Barranglompo pada fleshy macroalgae berkisar 6,56-
12,38 kali dari konsentrasi yang ada diperairan dan di Pulau Lae-lae Caddi
berkisar 15,29-42,52 kali dari konsentrasi yang ada diperairan.
Berdasarkan hasil analisis Nested Anova (Lampiran 7), menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan nilai BCF logam Pb pada fleshy macroalgae di berbagai
lokasi penelitian (P>0,05), namun terdapat perbedaan konsentrasi logam Pb
pada fleshy macroalgae yang tersarang pada lokasi (P<0,05). Tidak adanya
perbedaan nilai BCF logam Pb pada fleshy macroalgae di berbagai lokasi
penelitian diduga disebabkan sumber logam Pb bisa berasal selain dari aktivitas
setempat dan daratan utama, juga bisa berasal dari atmosfir. Sumber logam Pb
berasal dari aktivitas manusia, industri galangan kapal dan berbagai aktivitas
pelabuhan lainnya merupakan salah satu jalur yang mempercepat terjadinya
peningkatan kelarutan logam dalam badan air (Palar, 1994).
Pb yang terpapar di darat dan dapat masuk ke dalam perairan dalam bentuk
ion Pb2+ dan Pb4+. Ion Pb dapat masuk ke dalam jaringan makhluk hidup
membentuk senyawa kompleks organik protein yang disebut metalotionin. Pb
yang masuk ke perairan dapat diserap dan diakumulasi di dalam thallus. Logam
berat yang diakumulasi di dalam tubuh organisme jika melebihi batas toleransi
dapat merusak sistem metabolisme.
b. Logam Cu
Hasil analisis BCF logam Cu pada tiap spesies Fleshy Macroalgae di Pulau
Bonebatang, Barranglompo dan Lae-lae Caddi dapat dilihat pada Gambar 9.
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Sarg
assu
m
Padi
na
Turb
inar
ia
Bonebatang Barrang Lompo Lae-Lae Caddi
0
5
10
15
20
25
BCF
loga
m C
u
Gambar 9. Rata-rata BCF Cu pada fleshy macroalgae
Dari gambar 9 diatas dapat dilihat rata-rata BCF logam Cu di Pulau
Bonebatang pada Sargassum adalah 13,77 kali dari konsentrasi yang ada di
perairan, Padina 6,79 kali dari konsentrasi yang ada di perairan dan Turbinaria
19,90 kali dari konsentrasi yang ada di perairan.Nilai rata-rata BCF logam Cu di
Pulau Barranglompo berkisar 1,72-2,84 dan di Pulau Lae-lae Caddi berkisar
2,81-6,20 kali dari konsentrasi yang ada diperairan. BCF logam Cu yang tinggi
nilainya adalah Turbinaria dan Sargassum serta yang rendah nilai BCFnya
adalah Padina.
Berdasarkan hasil analisi Nested Anova (Lampiran 8), menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan Nilai BCF logam Cu pada fleshy makroalgae di berbagai
lokasi penelitian (P<0,05), terdapat pula perbedaan Nilai BCF logam Cu pada
alga yang tersarang pada lokasi (P<0,05). Perbedaan Nilai BCF logam Cu pada
lokasi penelitian diduga disebabkan oleh faktor lingkungan, yaitu sumber utama
logam Cu yang bisa berasal dari daratan utama, aktifitas lokasi setempat dan
sumber alamiah pada lokasi serta pengaruh faktor lingkungan lokasitersebut,
misalnya saja pengaruh DO, Suhu dan DOM, apabila nilai DOM tinggi maka nilai
BCF logam pada organism akan berkurang atau berbanding terbalik, sedangkan
Suhu dan DO berbanding lurus dengan nilai BCF logam.
Mekanisme pemasukan logam Cu kedalam thallus adalah melalui dinding
sel. Pada dinding sel ini logamCu diikat oleh protein dan polisakarida sehingga
logam Cu dalam bentuk yang toksik Cu2+ menjadi senyawa yang non-toksik
(Lobban, 1994). Logam Cu dalambentuk ion bebas (Cu2+) berpotensial menjadi
toksik apabila masuk menuju bagian sel yang lebih dalam. Hal ini karena logam
Cu akan berasosiasi dengan gugus senyawa penyusun enzim sehingga akan
mempengaruhi aktivitas enzim yang akhirnya menyebabkan gangguan fisiologis
tanaman.
Secara umum dari hasil penelitian nilai BCF Pb lebih tinggi daripada nilai
BCF Cu. Hal ini sesuai dengan sifal dari logam Pb yang non-essensial dan logam
Cu yang essensial. Kristianingrum (2006) bahwa logam non-essensial adalah
logam yang peranannya dalam makhluk hidup belum diketahui secara jelas. Hal
ini yang diduga akan menyebabkan tingginya nilai BCF Pb, karena akan terus
masuk kedalam tubuh makhluk hidup namun tidak digunakan. Sedangkan logam
essensial adalah logam yang peranannya sudah jelas dan sangat dibutuhkan
tubuh, oleh karena sifatnya sangat membantu proses fisiologi dangan membantu
kerja enzim, juga diperlukan dalam proses fotosintesis sebagai agen bagi
transfer hidrogen dan berperan dalam pembentukan protein atau pembentukan
organ dalam makhluk hidup yang bersangkutan, sehingga nilai BCF Cu lebih
rendah.
B. Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan sebagai data pendukung diukur untuk mendapatkan
gambaran tentang kondisi oseanografi secara umum di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Kondisi Oseanografi yang terukur
PulauSuhu (oC)
Salinitas (‰)
pHDO
(mg/L)DOM
(mg/L)Kecerahan
(%)
Bonebatang 28.6 34 7.15 5.1 38.6 8728.9 33 7.16 4.9 33.3 8628.3 34 7.14 5.0 35.8 85
Barranglompo28.6 28 7.32 4.6 37.3 8929.5 28 7.39 4.7 41.8 8829.6 30 7.28 4.3 37.6 90
Lae-lae Caddi31 30 7.37 4.6 37.6 8933 30 7.38 4.3 38.5 8631 30 7.57 4.6 35.9 87
Berdasarkan pengukuran parameter kualitas perairan, kisaran parameter
oseanografi yang terukur meliputi suhu berkisar 28-33 oC. Suhu ini sedikit di atas
dari kisaran suhu atau temperatur untuk pertumbuhan alga yang baik adalah 21–
31,2 oC (Fritsch, 1986).
Salinitas yang diperoleh pada saat pengamatan berkisar 28-34 ppt. Hal ini
sudah mendekati penyataan Doty (1987) bahwa salinitas yang dikehendaki alga
berkisar 29 - 34 ppt. Salinitas air laut juga merupakan salah satu parameter
oseanografi yang berhubungan dengan penyebaran logam di permukaan laut
dan rendahnya salinitas akan menyebabkan besarnya akumulasi logam di
perairan (Hutagalung (1994) dalam Wahab (2009)) .
Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion
hidrogen dalam perairan. Perairan dengan nilai pH=7 adalah netral, pH<7
dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH>7 dikatakan kondisi
perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Dari hasil pengukuran pH perairan
didapatkan nilai pH berkisar 7,14-7,57, dengan demikian logam tersebut pada pH
tinggi (basa) kelarutan logam tidak terlalu meningkat (Palar, 2004).
Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/L pada suhu
0oC dan 8 mg/L pada suhu 25 oC, sedangkan di perairan laut berkisar antara 11
mg/L pada suhu 0 oC dan 7 mg/L pada suhu 25 oC. Hasil pengukuran Oksigen
Terlarut (DO) pada lokasi penelitian yaitu berkisar 4,3-5,1 mg/L, hal ini sudah
sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa kadar oksigen terlarut pada
perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L. Kandungan oksigen terlarut
berbanding terbalik dengan konsentrasi logam yang berada di perairan
(Hutagalung,1991).
Menurut Duursma& Carrol (1996), DOM perairan berasal dari berbagai
sumber, seperti metabolisme sel terluar algae terutama phytoplankton, zat
buangan zooplankton dan organisme besar lainnya, zat buangan tumbuhan,
penguraian organisme tumbuhan dan daratan. Hasil Bahan Organik Terlarut
(DOM) yang didapatkan pada perairan yaitu berkisar 33,3-41,8 mg/L.
Kecerahan yang diperoleh pada saat pengamatan berkisar 85-90 %.
Menurut Wells et al. (1999), di perairan cahaya memiliki dua fungsi utama yaitu
memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan
selanjutnya menyebabkan terjadinya pencampuran massa dan kimia air,
danmerupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan air.
Beberapa fleshy macroalgae mulai tumbuh kurang dari satu meter dengan
penetrasi cahaya yang sampai ke dasar kolam.
C. Keterkaitan Konsentrasi Logam dengan Parameter Lingkungan
Kondisi perairan memiliki peranan penting dalam mendukung kehidupan
alga dan logam yang masuk ke dalam perairan. Pada penelitian ini, kondisi
perairan meliputi suhu, salinitas, pH, DO, DOM, kecerahan, BCF logam Pb dan
Cu pada fleshy macroalgae. Adapun grafik yang menghubungkan pengaruh
kondisi perairan terhadap konsentrasi logam Pb dan Cu menggunakan metode
Principal Components Analysis (PCA) dengan bantuan perangkat lunak Biplot
dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil analisis Principal Components Analysis (PCA) setiap pulau
Hasil PCA memperlihatkan adanya tiga kelompok yang terbentuk yaitu,
kelompok pertama pada Pulau Lae-lae Caddi, kelompok kedua pada Pulau
Barranglompo dan kelompok ketiga pada Pulau Bonebatang. Hal ini berarti tiap
pulau memiliki penciri kondisi lingkungan masing-masing.
Kelompok pertama dicirikan oleh variabel suhu dan pH serta BCF logam Pb
untuk ketiga genus fleshy macroalgae. Dimana rata-rata suhu yang didapatkan
pada Pulau Lae-lae Caddi adalah 31,7 oC. Hal ini masih sesuai batas minimum
dan maksimum suhu perairan menurut (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono,
2007) yakni berkisar antara 16-17 oC dan sekitar 36 oC. pH yang didapatkan di
Pulau Lae-lae Caddi dengan nilai rata-ratanya yaitu 7,4, dan menurut Effendi
(2003) sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai nilai pH sekitar 7- 8,5. Di Pulau Lae-lae Caddi ini dicirikan pula dengan
nilai BCF Pb yang tinggi hal ini diduga paling dekat dengan daratan utama Kota
Makassar dan jalur keluar masuk kapal ke dan dari pelabuhan Kota Makassar.
Kelompok kedua di Pulau Barranglompo yang dicirikan dengan parameter
DOM dan Kecerahan. Kelompok kedua ini pencirinya diduga karena pulau ini
memiliki banyak aktifitas yang menghasilkan limbah, baik itu limbah rumah
tangga, maupun limbah buangan minyak dari kapal yang berlabuh. Hal ini
sesuai dengan pendapat Palar (1994) yang mengemukakan bahwa aktivitas
manusia, industri galangan kapal dan berbagai aktivitas pelabuhan lainnya
merupakan salah satu jalur yang mempercepat terjadinya peningkatan kelarutan
logam dalam badan air. Kelompok kedua juga ini dicirikan dengan nilai DOM
yang tinggi, menurut Duursma (1963), DOM perairan berasal dari berbagai
sumber, seperti metabolisme sel terluar alga terutama phytoplankton, zat
buangan zooplankton dan organisme besar lainnya, zat buangan tumbuhan,
penguraian organisme tumbuhan dan daratan. DOM yang tinggi menyebabkan
kurangnya penyerapan logam bagi organisme. Hal ini terlihat dari analisis bahwa
di Pulau Barranglompo tidak dicirikan oleh variabel BCF.
Kelompok ketiga dicirikan oleh variabel BCF Cu Sargassum, Cu Turbinaria,
Cu Padina, Salinitas dan DO. Di Pulau Bonebatang didapatkan nilai rata-rata DO
yaitu 5,0 mg/L, dan juga nilai BCF Cu yang tinggi, hal ini diduga karena Pulau
Bonebatang merupakan pulau yang tidak berpenghuni sehingga aktifitas dipulau
ini berkurang sehingga bahan pencemar yang dapat mengurangi kandungan
oksigen terlarut dalam perairan berkurang. Namun, tingginya nilai BCF Cu
karena logam Cu merupakan unsur essensial. Unsur-unsur essensial dalam
bahan organik mati dibebaskan karena aktifitas bakteri. Nilai BCF Cu tinggi
menunjukkan penyerapan logam tinggi di alga, berarti logam biota lebih tinggi dr
logam kolom air, hal ini diduga karena masih kurangnya aktivitas yang
menyebabkan tingginya logam air di Pulau Bonebatang ini. Menurut Svendrup et
al., (1961); Mustamin (2002) kandungan oksigen terlarut di perairan dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain : (1) interaksi antara permukaan air dan atmosfir
(2) kegiatan biologis seperti fotosintesis, respirasi dan dekomposisi bahan
organik (3) arus dan proses percampuran massa air (4) fluktuasi suhu (5)
salinitas perairan (6) masuknya limbah organik yang mudah terurai. Dari
pernyataan di atas sesuai juga dengan hasil yang didapatkan karena di pulau ini
juga terdapat penciri salinitas dimana salinitas rata-rata yang didapatkan di Pulau
Bonebatang ini yaitu 33,7 ppm.
IV. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa;
1. Keragaman lokasi dan jenis fleshy macroalgae berpengaruh terhadap
perbedaan rata-rata Faktor Biokonsentrasi (BCF) logam Cu; sedangkan
perbedaan rata-rata BCF pada logam Pb hanya dipengaruhi oleh jenis fleshy
macroralgae.
2. Rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu yang tertinggi didapatkan pada
genus Turbinaria dan Sargassum serta yang paling rendah konsentrasinya
pada genus Padina.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai konsentrasi logam pada fleshy
algae divisi chlorophyta dan rhodophyta serta konsentrasi logam berat pada
bentuk pertumbuhan turfs algae dan crustose algae.
DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja J. T., A. Zatnika, H.Purwoto, dan S. Istini, 2006. Rumput Laut. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Aprilia, D. D dan Purwani I. K. 2013. Pengaruh Pemberian Mikoriza Glomus fasciculatum terhadap Akumulasi Logam Timbal (Pb) pada Tanaman Euphorbia milii. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol.2 No.1. ITS. Surabaya
Bellinger G.E dan David C.S. 2010. Freshwater Algae. West Sussex : A John Wiley & Sons, Ltd, Publication.
Campbell, P. 2002. Predicting metal bioavailability-applicability of the Biotic Ligant Model; CIESM Workshop Monographs Metal And Radionuclides Bioaccumulation In Marine Organism. Monaco.
Clark. J., Hindelang. T.J. 1989. Capital budgeting: planning and control of capitalexpenditures. New Jersey. Prentice-Hall.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia Press. 179 halaman. Jakarta.
Connel, D. W. dan Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Diaz-Pulido, G. and McCook, L. J. 2008. ‘Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The State of the Great Barrier Reef On-line. Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville.
Dojlido, J.R. and G.A.Best. 1993. Chemistry Of Water Water Pollution. Ellis Horwood Series In Water And Waste Water Technology. England.
Doty, MS. 1987. The Production and Uses of Eucheuma. Didalam: Doty MS, Caddy JF, Santelices B (editors). Studies of Seven Commercial Seaweeds Resources. FAO Fish. Tech. Paper No. 281 Rome. p 123-161.
Duursma, EK and Carrol J. 1996. Environmental Comparmen; Equilibria and Assessment Of Processes Berween Air, Water, Sediment, and Biota. Berlin Heidenberg, Germany: Spinger – Verlag.
Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kasinus (Anggota IKAPI). Yogyakarta.
Elfrida. 2000. Penyerapan ion Kadmium, Seng dan Tembaga oleh Alga Turbinaria decurrens Borry Secara Statis dan Dinamis. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Universitas Andalas.Padang.
Fatah, K. Phil,H.M., dan Said, A. 2010. Karbon Organic Terlarut Sebagai Indicator Keragaman Hayati Dan Kualitas Hasil Tanggapan Ikan Di Rawan Banjir. Balai Riset Kelautan dan Perikanan-KKP,Jakarta.
Fisher, N. S. 2002. Executive Summary “CIESM Workshop Monographs 19, CIESM Workshop Monographs Metal And Radionuclides Bioaccumulation In Marine Organism. Monaco. P 7-25
Fritsch GJ. 1986. The Structure and Reproduction of the Algae. Volume II. VICAS Publishing House. p 256-287.
Geyer, R.A. 1981. Marine Environment Pollution, 2. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.
Goldman, C.R dan A.J Horne. 1983. Lymnology. Mc Graw Hill International Book Company. Auckland.
Haslam, SM. 1992. River Pollution; An Ecological Perspective. Belhaven Press. London, UK.
Hutabarat, S dan SM. Evans. 1984. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Hutagalung, H. P. 1984. Logam Berat Dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana IX No.1. Hlm : 11-20.
Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat dalam Beberapa Perairan Indonesia. Puslitbang. Oseanologi LIPI. Jakarta. Hlm 45 – 59.
Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae. Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 101 hlm
Kristianingrum, S. 2006. Metode Alternatif untuk mengurangi Pencemaran Logam Berat dalam Lingkungan. Jurdik Kimia FMIPA UNY. Yogyakarta
Kuwabara, J. et al. 2007. Mercury Speciation in Piscivorous Fish from Mining-Impacted Reservoirs Environ. Sci. Technol
Lay, B.W. 1996. Analisis Mikroba di Laboratorium. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
LobbanC. S., dan P. J. Harrison. 1994. Seaweeds Ecology and Physiology. Cambridge University Press. NewYork.
Mansyur, K., 2000. Studi Kelayakan Beberapa Parameter Fisika dan Kimia Oseanografi Untuk Mendukung Ekstensifikasi Budidaya Rumput Laut (Euchema Sp) Teluk Laikang Kec. Mangarabombang Kab.Takalar. Skripsi Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Mc Cook, L. J., J. Jompa & G. Diaz-Pulido. 2001. Competition between corals and algae on corals reef: a review of evidence and mechanisms. Coral Reef 19
Mustamin, 2002. Pola Sebaran Nitrat dan Fosfat di Perairan Sulawesi Utara. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Natasasmita, D. 2012. Kandungan Logam Berat Kadmuim (Cd) Pada Air dan Sedimen Di Pantai Maron, Semarang. Laporan Resmi. Universitas Diponegoro.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. Penerjemah Eidman dkk.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT Rineka. Jakarta.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Pratono, T. 1985. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb), Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) dalam Tubuh Kerang Hijau (Mytilus viridis, L) yang dibudidayakan di Perairan Ancol Teluk Jakarta. Skripsi IPB Bogor
Raya, Indah dan Ramlah. 2012. The Bioaccumulation Of Cd(Ii) Ions On Euchema cottoni Seaweed Bioakumulasi Ion Cd(Ii) Pada Rumput Laut Euchema cottoni. Marina Chimica Acta. FMIPA, UNHAS. Makassar
Samawi,M.F,S.Werorilangi, dan R.Tambaru, 2010. Analisis Potensi Sponge Laut Sebagai Bioakumulator Logam Berat Pb,Cd,Dan Cudari Perairan Laut. Proseding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan Dan Kelautan,UGM, 24 Juli 2010
SNI 06-6992.3-2004 BSN, 2004, SNI Cara Uji Timbal Pb Secara Deskruksi Asam Dengan Apektrofotometer Serapan Atom SSA. Jakarta
SNI M – 03 – 1089 – F, 1990, SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai Kualitas Air. Departmen Pekerjaan Umum. Jakarta
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar Jakarta.
Suseno, Heny. 2011. Bioakumulasi Merkuri dan Metil Merkuri oleh Oreochromis mossambicus menggunakan aplikasi perunut radioaktif: pengaruh konsentrasi, salinitas, partikulat, ukuran ikan dan kontribusi jalur pakan. Disertasi. FMIPA-UI
Svendrup, H. U., M. W. Johnson and R. Fleming, 1961. The Ocean their Physics, Chemistry and General Biology. Practice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Taylor, W. R. 1979. Marine Algae of The Eastern Tropical and Subtropical Coasts of The Americas. University of Michigan Press. USA.
Tebbutt, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth edition. Pergamon Press. Oxford.
Wahab, S. 2009. Analisis Kandungan Seng (Zn) dan Timbal (Pb) pada Jaringan Akar, Daun dan Buah Mangrove Nipah (Nypa fruticans) di Perairan Muara Sungai Tallo Kota Makassar [Skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar
Wardhana, A. W. 2001. Dampak pencemaran lingkungan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Wardoyo, S. T. H., 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. IPB, Bogor
Wells, M, Guggenheim, S, Khan, A, Wardoyo, W dan Jepson. P (1999) : Investing in Biodiversity : A Review Indonesia’s Integrated Conservation and Development Projects. The World Bank East Asia Region. Washington DC.
-