uji efektivitas ekstrak madu multiflora dalam … · laporan penelitian berjudul uji efektmtas...
TRANSCRIPT
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK MADU MULTIFLORA
DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN
BAKTERI Salmonella typhi
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
FAHRUL ABDULLAH HUDRI
1111103000070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strala 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Symif
Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakuta
Ciputat, 16 September 2Ol4
Fahrul Abdullah Hudri
t.
, . " '
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK MADU MULTIFLORA DALAM
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI S alm onella typhi
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
,' Oleh
Fahrul Abdullah Hudri
NIM: 1111103000070
M.Biomed
PROGRAM STT'DI PEI\IDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNTVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H I 20t4M
l t l
Pembimbing I
-'*--::q'E!
{
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul UJI EFEKTMTAS EKSTRAK MADUMULTIFLORA DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERISalmonella typhi yang diajukan oleh Fahrul Abdullah Hudri (NIM:1111103000070), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan IlmuKesehatan pada 16 September 2014.Laporan penelitian ini telah diterima sebagaisalah satu syarat memperqleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada ProgramStudi Pendidikan Dokter.
Ciputat, 16 September 2014
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
.Sl M.Biomed
Pembimbing I
dr. Lucky M.Biomed
Penguji II
,'---:-:-\' l l \ r \\YI, IAA
dr. Intan Keumala O"*i, Sp. MK
Dekan FKIK
I
PIMPINAN FAKI]LTAS
UIN Kapr
[-udin, Sp. And
dr. Rahmatina, Sp. KK
tr.KIK UIN
tv
Prof. DR. Ardini, M.Gizi, SpGK
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan di
Laboratorium mikrobiologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa terdapat bantuan, bimbingan, nasihat, dan
dukungan dari berbagai pihak yang sangat berguna bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
3. Yuliati S.Si, M.Biomed selaku pembimbing pertama.
4. dr. Lucky Briliantina, M.Biomed selaku pembimbing kedua.
5. Orang tua (dr. Muhammad Fuad dan Hj. Merry Mariam )
6. Saudara kandung ( dr. Achmad Iskandar dan Fadhel Muhammad)
7. dr. P.A. Kodrat Pramudho, S.K.M, M. Kes selaku Kepala Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pencegahan Penyakit Menular Jakarta
8. Ninik S, S.K.M, M.kes selaku Kepala Seksi Teknologi Laboratorium Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pencegahan Penyakit Menular
Jakarta
9. Suhartono, S.T, M.Kes selaku Kepala Bidang Analisis Dampak Kesehatan
Lingkungan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pencegahan
Penyakit Menular Jakarta
10. Ibu Murni selaku staf Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pencegahan Penyakit Menular Jakarta
11. Dosen dan staf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
12. Rekan-rekan seperjuangan PSPD 2011
vi
Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Maka
dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan untuk
penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembacanya.
Ciputat, 16 September 2014
Penulis
vii
ABSTRAK
Fahrul Abdullah Hudri. Program Studi Pendidikan Dokter. Uji Efektivitas
Madu Multiflora dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Salmonella
typhi. 2014.
Madu merupakan keanekaragaman hayati dan berpotensi besar dalam
perkembangan obat-obatan herbal, madu memiliki potensi dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Salah satu senyawa antibakteri dalam madu adalah
flavonoid yang mampu merusak integritas dinding sel sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri, salah satunya bakteri Salmonella typhi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri madu multiflora
dalam menghambat pertumbuhan Salmonella typhi. Madu multiflora diekstraksi
menggunakan dua pelarut yaitu aseton dan n-heksan. Hasil ekstrak madu
multiflora berupa residu/cairan dan sedimen/endapan. Madu multiflora murni
tanpa proses ekstraksi dan ekstrak madu dibuat dalam berbagai konsentrasi yaitu
20%, 25%, 50%, 100% lalu diuji aktivitas antibakterinya terhadap pertumbuhan
Salmonella typhi dengan teknik disc diffusion. Kloramfenikol 30 ug digunakan
sebagai kontrol positif dan pelarut aseton dan n-heksan sebagai kontrol negatif.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan/bermakna
antara tiap jenis ekstrak dan konsentrasi terhadap zona hambat yang terbentuk
(dengan nilai sigifikansi Kruskal-Wallis p = 0,000). Madu multiflora murni dan
ekstrak sedimen dengan pelarut aseton memiliki efektivitas lemah dalam
menghambat pertumbuhan Salmonella typhi, sedangkan kelompok uji ekstrak
madu dengan pelarut n-heksan tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan
Salmonella typhi.
Kata kunci: madu, antibakteri, Salmonella typhi
viii
ABSTRACT
Fahrul Abdullah Hudri. Medical Education Courses. Efectiveness Test of
Multiflora Honey in Inhibiting Growth Bacteria Salmonella typhi. 2014
Honey is a biodiversity and has a great potentially in the development of herbal
medicine, honey has has a potential to inhibit the growth of bacteria. One of the
antibacterial compounds in honey is a flavonoid that capable of damaging the
integrity of the cell wall so it can inhibit the growth of bacteria, one of which is
Salmonella typhi. This study was conducted to determine the antibacterial activity
of multiflora honey in inhibiting the growth of Salmonella typhi. Multiflora honey
is extracted using two solvents, they are acetone and n-hexane. Result of extract
multiflora honey are residue and sediment. Natural Multiflora honey without
extraction process and honey extracts made in different concentrations, they are
20%, 25%, 50%, 100% and be tested antibacterial activity against the growth of
Salmonella typhi by disc diffusion technique. 30 ug of chloramphenicol was used
as a positive control and acetone and n-hexane as a negative control. Statistic
analysis showed that there was significant difference/meaning between each type
of extract and concentration to inhibition zone that formed (with Kruskal-Wallis
significance value p = 0,000). Natural Multiflora honey and sediment extracts
with acetone as a solvent has a weak effectiveness in inhibiting the growth of
Salmonella typhi, whereas the test group honey extract with n-hexane as a solvent
was not effective in inhibiting the growth of Salmonella typhi.
KEYWORDS : Honey, Antibacteria, Salmonella typhi
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
ABSTRAK .............................................................................................................vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum...................................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 3
1.4.1 Bagi Peneliti ........................................................................................ 3
1.4.2 Bagi Institusi ....................................................................................... 4
1.4.3 Bagi Masyarakat .................................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5
2.1 Landasan Teori ................................................................................................... 5
2.1.1 Morfologi dan Klasifikasi Lebah Madu ................................................ 5
2.1.2 Jenis-Jenis Lebah Madu ....................................................................... 5
x
2.1.3 Definisi dan Proses Pembuatan Madu .................................................. 7
2.1.4 Jenis-Jenis Madu ................................................................................. 8
2.1.5 Komposisi Madu ................................................................................. 9
2.1.6 Antibakteri pada Madu ...................................................................... 10
2.1.7 Morfologi dan Klasifikasi Salmonella typhi ....................................... 12
2.1.8 Struktur Antigen Salmonella typhi ..................................................... 13
2.1.9 Epidemiologi Demam Tifoid dan Patogenesis Salmonella typhi ......... 14
2.1.10 Gejala Klinis Demam Tifoid .............................................................. 16
2.1.11 Mekanisme Kerja Antibakteri ............................................................ 18
2.1.12 Metode Uji Aktivitas Antibakteri ....................................................... 19
2.2 Kerangka Teori ................................................................................................. 21
2.3 Kerangka Konsep ............................................................................................. 21
2.4 Definisi Operasional ........................................................................................ 22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 24
3.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 24
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................... 24
3.3 Sampel Penelitian ............................................................................................. 24
3.4 Identifikasi Variabel ......................................................................................... 25
3.4.1 Variabel Bebas .................................................................................. 25
3.4.2 Variabel Terikat ................................................................................. 25
3.5 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................... 25
3.5.1 Alat Penelitian ................................................................................... 25
3.5.2 Bahan Penelitian ................................................................................ 26
3.6 Cara Kerja Penelitian ....................................................................................... 26
3.6.1 Sterilisasi Alat ................................................................................... 26
3.6.2 Pembuatan Media Nutrient Agar ........................................................ 26
xi
3.6.3 Kultur Bateri ...................................................................................... 26
3.6.4 Prosedur Ekstraksi ............................................................................. 26
3.6.5 Pembuatan Variabel Konsentrasi ....................................................... 27
3.6.6 Uji Efektivitas Madu terhadap Salmonella typhi ................................ 27
3.7 Pengolahan dan Analisis Data ......................................................................... 28
3.8 Alur Penelitian .................................................................................................. 29
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 30
4.1 Hasil Uji Standarisasi Madu ............................................................................ 30
4.2 Hasil Ekstrak Madu .......................................................................................... 30
4.3 Uji Statistik Data .............................................................................................. 31
4.4 Hasil Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Madu terhadap Salmonellatyphi 32
4.5 Keterbatasan Penelitian.................................................................................... 38
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................. 39
5.1 Simpulan ........................................................................................................... 39
5.2 Saran ................................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 40
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Ekstraksi Cair-cair Madu Multiflora ............................................... 30
Tabel 4.2 Hasil Pengolahan Data............................................................................. 31
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Zona Hambat .............................................................. 33
Tabel 4.4 Kriteria Zona Hambat Menurut CLSI ...................................................... 36
Tabel 4.5 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri ................................ 36
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Lebah Apis mellifera .............................................................................. 7
Gambar 2.2 Pewarnaan flagel Salmonella typhi ....................................................... 12
Gambar 2.3 Patogenesis Salmonella typhi ............................................................... 16
Gambar 4.1 Hasil Pengukuran Zona Hambat ........................................................... 36
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Madu SNI 01-3545-2004 ................................................................ 44
Lampiran 2 Hasil Uji SNI Madu ............................................................................. 45
Lampiran 3 Hasil Uji Efektivitas Ekstrak Madu Multiflora Terhadap Salmonella
typhi........................................................................................................................ 47
Lampiran 4 Cara Menghitung Pengenceran ............................................................. 49
Lampiran 5 Alat dan Bahan..................................................................................... 50
Lampiran 6 Riwayat Penulis ................................................................................... 51
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini sedang berkembang pengobatan alternatif menggunakan
herbal, salah satunya adalah madu. Madu adalah zat manis yang dihasilkan
oleh lebah madu, berasal dari nektar bunga yang berkembang atau dari
sekresi tanaman yang dikumpulkan oleh lebah madu, kemudian diubah
bentuk dan dikombinasikan dengan zat khusus yang ada pada tubuh lebah,
selanjutnya disimpan hingga masak di dalam sel-sel madu.1
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW madu telah dipergunakan
untuk pengobatan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Quran
surat An-Nahl ayat 69 yang berbunyi : “Dari perut lebah itu keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-
orang yang memikirkan.”
Madu dipercaya memiliki aktivitas antibakteri. White (1975)
melaporkan bahwa aktivitas antibiotika yang ditemukan dalam madu
ditentukan oleh tiga system.2 Ketiga sistem tersebut adalah keasaman,
tekanan osmosis dan substrat inhibitor. Faktor-faktor penentu tersebut
berkerja sendiri-sendiri ataupun bersamaan mengurangi kehadiran atau
pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme kontaminan.3
Aktivitas antibakteri madu sendiri telah dijelaskan pada banyak
penelitian. Erywiatno (2012) melaporkan bahwa madu dapat menghambat
pertumbuhan Streptococcus pyogenes dengan kadar hambat minimal
(KHM) sebesar 95%.4 Hafidiani (2001) melaporkan adanya aktivitas
antibakteri dari jenis madu monoflora (madu randu, madu rambutan, madu
kelengkeng, madu karet, madu mahoni, madu kopi dan madu mangium)
dan madu multiflora yang cukup signifikan (diameter zona hambat 20–30
mm, menggunakan metode sumur dengan diameter 4 mm) terhadap bakteri
2
Salmonella sp., Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus, Bacillus substilis dan Pseodomonas aeruginosa.5
Suryani & Meida, (2004) melaporkan bahwa madu memiliki aktivitas
antibakteri terhadap Escherichia coli dengan kadar hambat minimal
(KHM) 20,8% dan kadar bunuh minimum (KBM) 50%, Shigella
dysentriae (KHM 0,179% dan KBM 0,358%), Vibrio cholera (KHM
15,625% dan KBM 41,67%), Staphylococcus aureus (KHM 16,67% dan
KBM 33,33%), dan Salmonella typhi (KHM 18,88% dan KBM 37,76%).6
Suganda (2005) menyebutkan bahwa madu memiliki aktivitas antibakteri
terhadap Salmonella typhi dengan KBM sebesar 18%.7
Salmonella typhi merupakan bakteri berbentuk batang, berukuran
0,7-1,5 μm x 2,0-5,0 μm, bersifat Gram negatif sehingga memilki
komponen outer layer (lapisan luar) yang tersusun dari LPS
(lipopolisakarida) dan dapat berfungsi sebagai endotoksin, bergerak
dengan flagel peritrik, dan tidak membentuk spora. Salmonella typhi
merupakan bakteri penyebab demam tifoid.8
Di negara berkembang, antibiotik yang tersedia untuk pengobatan
demam tifoid adalah ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol.9
Kloramfenikol merupakan drug of choice untuk infeksi Salmonella sejak
tahun 1948. Keampuhan kloramfenikol pada pengobatan demam tifoid
telah diakui berdasarkan efektivitasnya terhadap Salmonella typhi di
samping harganya yang relatif murah. Setelah bertahan sekitar 25 tahun,
dilaporkan oleh beberapa peneliti di berbagai negara adanya strain
Salmonellla typhi yang resisten terhadap kloramfenikol.10
Peneliti India melaporkan adanya kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol pada tahun 1970, sedangkan di Mexico pertama
kali dilaporkan pada tahun 1972. Resistensi tersebut ternyata diikuti oleh
adanya resistensi Salmonella typhi terhadap obat-obat lain yang biasa
digunakan untuk mengobati demam tifoid. Pada saat itu kotrimoksazol
baru ditemukan sebagai pengganti kloramfenikol untuk mengobati demam
tifoid, akan tetapi ternyata kotrimoksazol cepat menjadi resisten.9, 10, 11
3
Saat ini dilaporkan banyak kasus resisten dengan banyak obat
(multidrugs resisten).12
Oleh karena itu perlu ditinjau lebih dalam tentang
efektivitas ekstrak madu dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi sehingga nantinya dapat dipergunakan sebagai terapi
alternatif terhadap penyakit demam tifoid. Jenis madu yang digunakan
adalah madu multiflora. Hal ini didasarkan pada penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya (penelitian Hafidiani, 2001).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana efektivitas madu multiflora dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui efektivitas madu multiflora dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui jenis ekstrak (sedimen madu
multiflora+aseton/sedimen madu multiflora+n-heksan/madu
multiflora tanpa ekstrak) dan konsentrasi yang paling efektif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mendapat
gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Memperoleh suatu pengalaman dalam bidang penelitian
eksperimental terutama bidang kesehatan.
4
1.4.2 Bagi Institusi
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan
bahan bacaan bagi mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan dapat digunakan sebagai dasar atau acuan untuk
penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Memberi informasi kepada masyarakat bahwa madu
multiflora dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif terhadap
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonella typhi.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Morfologi dan Klasifikasi Lebah Madu
Lebah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang
hidup soliter dan yang hidup berkoloni. Lebah madu termasuk
serangga sosial yang hidup berkoloni. Setiap lebah mempunyai
tugas khusus yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
koloninya. Di dalam sebuah sarang, koloni itu terdiri atas tiga
anggota masyarakat lebah, yaitu seekor lebah ratu, ratusan lebah
jantan, dan ribuan lebah pekerja.13
Klasifikasi lebah sosial13
Divisio : Arthropoda
Subdivisio : Mandibulata
Classis : Insecta (Hexapoda)
Ordo : Nymenoptera
Genus : Apidae
Species : Apis indica, Apis mellifica, Apis dorsata, dan
Apis trigona
2.1.2 Jenis-Jenis Lebah Madu
Jenis lebah madu yang banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia ada empat jenis, yaitu Apis indica, Apis mellifica
(disebut juga Apis mellifera), Apis dorsata, dan Apis trigona. Dari
keempajenis lebah madu tersebut yang banyak
dipelihara/diternakkan oleh masyarakat adalah Apis indica dan
Apis mellifera.14
Apis indica umumnya dikenal sebagai lebah unduan, lebah
lalat, tawon laler (bahasa jawa), lebah gula, lebah sirup atau lebah
kecil.14
Lebah jantan berpantat tumpul dan tidak bersengat, warna
6
tubuhnya hitam, panjangnya 1.3 cm. Lebah pekerja berpantat
runcing dan bersengat, warna tubuhnya hitam dengan strip kuning,
panjangnya 1.1 cm. Lebah ratu berbadan panjang dan besar,
berpantat runcing dan bersengat, berwarna kelabu sampai hitam,
panjangnya 1.5 cm.13
Produksi madunya tidak begitu banyak, yaitu
sekitar 6-12 kilogram setiap tahun untuk satu koloni.14
Apis indica
ini secara alami paling luas penyebarannya di dunia. Ia tersebar di
Asia Selatan (India, Pakistan, Srilangka) dan Asia Tenggara
(Malaysia, Indonesia, Filipina), selanjutnya ke Cina dan Jepang.13
Apis mellifera sering juga disebut lebah Italia, lebah impor
Australia, lebah madu Internasional, lebah Selandia Baru atau
lebah Melli.14
Lebah madu ini aslinya berasal dari daerah
subtropis, yaitu Benua Eropa. Ukurannya 1¼ kali lebih besar
daripada lebah madu tropika Apis indica, yaitu panjang lebah ratu
sekitar 1.9 cm, lebah jantan sekitar 1.65 cm, dan lebah pekerja
sekitar 1.35 cm. Ciri khas lebah madu Eropa ini adalah memiliki
gelang berwarna kuning di belakang abdomen, warna tubuh
bervariasi dari coklat gelap sampai kuning hitam.13
Lebah ini
cukup mudah untuk diternakkan dan produksi madunya cukup
tinggi, yaitu sekitar 30-60 kg per tahun untuk setiap koloni. Lebah
ini banyak diternakkan oleh pemerintah (Dinas Kehutanan/Perum
Perhutani) dan perusahaan-perusahaan swasta.14
7
2.1.3 Definisi dan Proses Pembuatan Madu
Madu adalah zat manis yang dihasilkan oleh lebah madu,
berasal dari nektar bunga yang berkembang atau dari sekresi
tanaman yang dikumpulkan oleh lebah madu, kemudian diubah
bentuk dan dikombinasikan dengan zat khusus yang ada pada
tubuh lebah, selanjutnya disimpan hingga masak di dalam sel-sel
madu.1
Madu dibuat oleh lebah yang bahan bakunya diambil dari
nektar yang diproduksi bunga, kadang-kadang madu juga
diproduksi dari honey dew, yaitu cairan hasil ekskresi serangga
yang terdapat pada jaringan floem. Ekskresi tersebut mengandung
gula sehingga menarik lebah untuk mengumpulkannya.15
Lebah dewasa menghisap nektar dengan belalainya. Kontak
terjadi antara nektar dengan cairan saliva lebah yang mengandung
enzim-enzim hidrolase yang berakibat terjadinya pemecahan gula.
Di dalam kantung madu (honey sack) terjadi pengurangan
kandungan air hingga mencapai kadar air kira-kira 40%.16
Tahap selanjutnya adalah pematangan madu yang terjadi
dalam sarang lebah. Selama pematangan ini nektar terinversi
berada di dalam sel madu yang masih terbuka. Sementara proses
inversi lanjutan berlangsung terjadi pula penurunan kadar air,
karena adanya perbedaan tekanan uap air antara cairan bakal madu
dengan udara luar. Hal ini berlangsung terus dengan kipasan sayap
Gambar 2.1 Lebah Apis mellifera
Sumber : http://newswatch.nationalgeographic.com
8
lebah yang dapat mengatur kelembaban udara sampai didapatkan
kadar air sekitar 20%.16
Nektar adalah cairan yang kandungan utamanya terdiri dari
berbagai macam gula. Senyawa lain adalah senyawa bernitrogen,
berbagai mineral, vitamin, asam organik, pigmen dan sedikit zat
beraroma.17
Proses pembentukan madu dari nektar terdiri dari empat
tahap yaitu : (a) pengumpulan nektar dari tumbuhan oleh lebah
madu, (b) pengubahan nektar menjadi gula invert, (c) pengurangan
kadar air dan (d) pematangan madu.18
2.1.4 Jenis-Jenis Madu19
Karakteristik madu disesuaikan dengan sumber nektarnya
yaitu flora, ekstra flora, dan madu embun. Dikenal pula madu
monoflora yang artinya berasal dari satu tumbuhan utama dan
poliflora/multiflora yaitu berasal dari nektar beberapa jenis
tumbuhan bunga. Madu yang berasal dari satu jenis bunga
dinamakan berdasarkan sumber nektarnya misalnya madu bunga
matahari, madu kelengkeng, dan madu jeruk.
Madu monoflora mempunyai wangi, warna, dan rasa yang
spesifik sesuai dengan sumbernya. Madu poliflora/multiflora dapat
dinamakan sesuai dengan lokasi tempat madu dikumpulkan
misalnya madu Sumbawa, madu Bangka, atau madu Timor.
Madu juga dapat dicirikan sesuai letak geografis di mana
madu tersebut diproduksi. Misalnya madu Timur jauh, Bashkirian,
Yaman, Cina, Selandia Baru, dan lain-lain. Jenis madu berdasarkan
teknologi perolehannya dibagi menjadi madu peras (strained
honey) dan madu ekstraksi. Madu peras merupakan madu yang
diperas langsung dari sarangnya. Madu ekstraksi adalah madu yang
didapat dari proses sentrifugasi.
9
2.1.5 Komposisi Madu
A. Kadar Air
Kadar air dalam madu secara langsung menentukan kualitas
madu, jika kadar air tinggi kualitas madu rendah. Adapun kadar air
dalam madu dipengaruhi oleh iklim, pengelolaan saat panen, dan
jenis nektar/cairan manis yang dikumpulkan lebah.20
B. Karbohidrat
Karbohidrat dalam bentuk gula adalah komponen utama
madu, membentuk sekitar 95% madu berdasarkan bobot kering.21
Gula utama yang terdapat dalam madu adalah fruktosa (38%),
glukosa (31%), maltosa (7.2%), dan sukrosa (1.5%) dan dalam
bentuk lain (1.5%).22
Konsentrasi gula yang tinggi ini
menyebabkan osmolaritas tinggi, yang menghambat pertumbuhan
mikroba.23
C. Asam Organik
Madu mengandung banyak asam organik dengan nilai pH
3.5-5.5.18
Terdapat 30 macam asam organik dalam madu.24
Asam
organik yang secara umum terdapat dalam madu adalah asam
glikonat, asam asetat, asam sitrat, asam laktat, asam suksinat, dan
asam format.25
Asam glikonat merupakan hasil dari aksi glucose-
oxidase lebah pada glukosa nektar.26
D. Enzim
Kandungan enzim dalam madu terdiri dari invertase,
amilase, glukosa oksidase, katalase, dan asam fosfatase. Invertase
berfungsi mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
Amilase berfungsi menghidrolisis pati menjadi dekstrin atau gula.
Glukosa oksidase berfungsi mengubah glukosa menjadi
glukonolakton yang dapat membentuk asam glukonat dan hidrogen
peroksida. Katalase berfungsi mengubah peroksida menjadi air dan
oksigen. Asam fosfatase berfungsi memindahkan fosfat anorganik
dari fosfat organik.27
10
2.1.6 Antibakteri pada Madu
White (1975) melaporkan bahwa aktivitas antibiotika yang
ditemukan dalam madu ditentukan oleh tiga sistem. Ketiga sistem
tersebut adalah keasaman, tekanan osmosis dan substrat inhibitor.2
Faktor-faktor penentu tersebut berkerja sendiri-sendiri ataupun
bersamaan mengurangi kehadiran atau pertumbuhan sebagian besar
mikroorganisme kontaminan.3
A. Tekanan Osmosis
Pada dasarnya madu merupakan larutan lewat/sangat jenuh
(supersaturated) dari karbohidrat, sehingga dikatakan medium
hiperosmotik. Jika organisme bersel satu masuk ke dalam
medium ini, perbedaan tekanan osmosis yang sangat besar
mengakibatkan mikroorganisme kehilangan cairan karena
proses osmosis. Hal ini membuat mikroorganisme tersebut
akan mati.5
B. Keasaman
Secara umum madu memiliki pH rata-rata 3,9 dengan
rentang antara 3,4 – 6,1 dan kandungan asam 0,57% dengan
rentang 0,17-1,17% terutama asam glukonat. Nilai pH madu
yang cukup rendah ini disebabkan oleh beberapa kandungan
asam organik yang terdapat dalam madu.2 Total asam dalam
madu berjumlah sedikit, tetapi dapat mempengaruhi kestabilan
madu terhadap mikroorganisme. Asam glukonat adalah asam
yang utama dalam madu, dihasilkan oleh dekstrosa melalui
kerja enzim yang ditemukan dalam madu, enzim ini dikenal
sebagai glukosa oksidase.28
Beberapa ahli berpendapat bahwa pada hakikatnya
keasaman tidak penting terhadap daya antibakteri madu, tetapi
hal tersebut tidak berarti bahwa keasaman tidak mempengaruhi
antibakteri madu. White (1992) melaporkan bahwa dari 540
contoh yang diteliti rataan pH madu adalah3,9 dengan Antara
11
3,2 -4,5. Derajat keasaman ini sendiri akan mencegah sebagian
besar bakteri patogen.20
C. Substrat Inhibitor/Antibakteri
Beberapa senyawa yang dilaporkan sebagai antibakteri
dalam madu antara lain : inhibine (peroksida), pinosembrin,
senyawa terpen, benzyl alcohol, asam siringat (asam 3,5-
dimetoksi-4-hidroksibenzoat), metil 3,5-dimetoksi-4-
hidroksibenzoat (metil siringat), asam 3,4,5-
trimetitoksibenzoat, asam 2-hidroksi-3-fenilpropionat, asam 2-
hidroksibenzoat,dan 1,4-dihidroksibenzena.29
Terdapat dua sorotan utama terhadap bahan antibakteri
pada madu yang sering disebut, yaitu inhibine dan non-
inhibine. Senyawa pertama sensitif terhadap panas dan cahaya
yang berasal dari peroksida (H2O2) yang dihasilkan oleh enzim
glukosa oksidase.2,20
Senyawa inhibine ini diyakini oleh
beberapa ilmuwan sebagai senyawa utama penyebab
antibakteri pada madu.2
Beberapa peneliti lain menemukan bahwa senyawa non-
peroksidalah yang lebih berperan terhadap antibakteri dalam
madu. Aktivitas antibakteri non-peroksida dapat tahan terhadap
panas dan cahaya dan tetap ada setelah penyimpanan dalam
waktu yang lama.30
Bogdanov (1989) melaporkan senyawa antibakteri madu
berasal dari flavonoid.31
Jenis-jenis flavonoid yang terdapat
dalam madu diantaranya adalah myricetin, tricetin, quercetin,
luteolin, quercetin-3-methyl ether, kaempferol, pinobankins,
genkwanin, isorhamnetin, benzoic acid, ferulic acid, galangin,
pinocembrin, protocatechuic, dan lain-lain.32
Flavonoid dapat merusak membran sel dengan cara
menghambat sintesis makromolekul.33
Flavonoid juga dapat
mendepolarisasi membran sel dan menghambat sistesis DNA.
RNA. maupun protein yang sudah diobservasi pada S.aureus.33
12
Selain itu flavonoid juga dapat menghambat fungsi membran
sitoplasma dan menghambat metabolisme energi pada
bakteri.34
2.1.7 Morfologi dan Klasifikasi Salmonella typhi
Salmonella typhi merupakan bakteri berbentuk batang,
berukuran 0,7-1,5 μm x 2,0-5,0 μm, bersifat Gram negatif sehingga
memilki komponen outer layer (lapisan luar) yang tersusun dari
LPS (lipopolisakarida) dan dapat berfungsi sebagai endotoksin,
bergerak dengan flagel peritrik, dan tidak membentuk spora. Pada
media MacConkey membentuk koloni transparan karena bakteri
tidak memfermentasikan laktosa, dengan diameter koloni 2-4 mm.
Selain itu bakteri Salmonella typhi juga memiliki pili atau fimbriae
yang berfungsi untuk adesi pada sel host yang terinfeksi.8
Berdasarkan kebutuhan oksigen, Salmonella typhi
merupakan bakteri yang bersifat fakultatif anaerob.8 Salmonella
typhi tumbuh optimum pada suhu 37°C dengan pH antara 6-8.
Salmonella typhi dapat hidup di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu hingga beberapa minggu.12
Gambar 2.2 Pewarnaan flagel Salmonella typhi
Sumber : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/1048.htm
13
2.1.8 Struktur Antigen Salmonella typhi
Salmonella typhi merupakan bakteri enterik yang bersifat
Gram negatif, memiliki antigen permukaan yang cukup kompleks.
Antigen tersebut mempunyai peran penting dalam proses
patogenitas, selain itu juga berperan dalam proses terjadinya respon
imun pada individu yang terinfeksi. Antigen permukaan tersebut
terdiri dari antigen flagel (antigen H), antigen somatik (antigen O),
dan antigen kapsul atau antigen K (antigen Vi).8
Antigen O disebut juga sebagai antigen dinding sel karena
antigen tersebut merupakan bagian outer layer dari dinding sel
bakteri Gram negatif. Antigen O tersusun dari LPS
(lipopolisakarida) yang berfungsi pula sebagai endotoksin, resisten
terhadap pemanasan 100°C, alkohol dan asam, reaksi aglutinasinya
berbentuk butir pasir.8
Antigen H atau antigen flagel terdiri dari suatu protein yang
dikode oleh gen flg yang berada pada lokus fliC. Antigen H bersifat
termolabil dan dapat dirusak oleh alkohol, pemanasan pada suhu di
atas 60°C dan asam, dimana pada reaksi aglutinasinya berbentuk
butir-butir pasir yang hilang bila dikocok. Antigen H terdiri dari 2
fase yaitu antigen H fase 1 (H1) dan antigen H fase 2 (H2)
sehingga dapat dijumpai Salmonella typhi serovar H1 dan
Salmonella typhi serovar H2. Antigen H1 sendiri terdiri dari H1-d
dan H1-j sehingga dapat dijumpai pula Salmonella typhi serovar
H1-d yang tersebar luas di seluruh dunia dan Salmonella typhi
serovar H-j yang hanya dijumpai di Indonesia. Strain bakteri
Salmonella typhi serovar H-j bersifat kurang invasif apabila
dibandingkan dengan Salmonella typhi serovar H-d.35
Antigen Vi atau antigen kapsul terdiri dari polimer
polisakarida dan bersifat asam. Antigen Vi berfungsi sebagai
antiopsonik dan antifagositik. Ekspresi antigen tersebut dikode oleh
gen tviA yang berada dalam lokus via B. Tidak semua strain
Salmonella typhi mengekspresikan antigen Vi.36
Antigen ini mudah
14
rusak oleh pemanasan selama 1 jam pada suhu 60°C, penambahan
fenol dan asam, dimana pada reaksi aglutinasinya berbentuk seperti
awan.8
2.1.9 Epidemiologi Demam Tifoid dan Patogenesis Salmonella typhi
Salmonella typhi merupakan bakteri penyebab demam
tifoid. Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, khususnya pada
negara berkembang yang memiliki kondisi sanitasi buruk. Demam
tifoid bersifat endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Caribbean,
dan Oceania, tetapi 80% kasus datang dari Banglades, China,
India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan, atau Vietnam.37
Di
Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di
Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan
500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%.12
Patogenesis Salmonella typhi
Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian bakteri
mati dalam lambung dan sebagian lagi berhasil lewat dan masuk ke
usus halus.38
Salmonella typhi memasuki sistem host (pejamu)
terutama melalui ileum distal. Mereka memiliki fimbriae khusus
yang mengikuti epitel yang berada disekitar plakat Peyer,
kemudian mereka menempel pada epitel tersebut.39
Setelah itu
bakteri ini menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia bakteri ini di fagosit oleh makrofag.
Salmonella typhi memiliki antigen kapsular Vi yang menutupi
PAMPs (pathogen-associated molecular pattern) sehingga dapat
menghindari sel imun mengenali bakteri tersebut.40
Salmonella
typhi dapat menggunakan sistem selular makrofag untuk reproduksi
mereka.41
Melalui makrofag mereka di bawa ke plakat peyer dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
15
melalui duktus torasikus bakteri yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah.38
Ketika bakteri ini terus
bermultiplikasi dan mencapai densitas kritikal, bakteri ini memicu
makrofag untuk apoptosis, lalu keluar ke aliran darah untuk
kemudian menginvasi organ-organ tubuh.42
Bakteri kemudian
menginfeksi kantung empedu. Hasilnya adalah organisme masuk
kembali ke saluran gastrointestinal dalam empedu dan menginfeksi
kembali plakat peyer. Bakteri yang tidak menginfeksi host
(pejamu) kembali biasanya berada dalam tinja dan bisa
menginfeksi host (pejamu) lain.42, 43
Orang yang membawa bakteri namun tidak menimbulkan
gejala (asimtomatik) disebut karier. Karier kronis bertanggung
jawab terhadap banyaknya transmisi organisme. Ketika
asimtomatik, mereka dapat terus mengeluarkan bakteri dalam tinja
mereka selama beberapa dekade. Organisme tersebut mengisolir
(sequestrasi) diri mereka dalam batu empedu atau epitel kantung
empedu atau mungkin intraseluler, dalam epitel itu sendiri.44
Bakteri yang diekskresikan oleh karier sendiri dapat memiliki
berbagai genotipe, sehingga sulit untuk melacak wabah asalnya.45
16
2.1.10 Gejala Klinis Demam Tifoid12
Kumpulan gejala-gejala klinis demam tifoid disebut
sindrom demam tifoid. Beberapa gejala klinis pada demam tifoid
yang sering muncul diantaranya :
a. Demam
Demam merupakan gejala utama demam tifoid. Pada awal
sakit demam kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu tubuh
sering naik turun. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam
lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari demam semakin
tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala yang
sering dirasakan di daerah frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua
intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus
Gambar 2.3 Patogenesis Salmonella typhi
Sumber : http://emedicine.medscape.com
17
(demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga
suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal pada akhir minggu
ketiga. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat
menimbulkan kejang.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap akibat
demam yang lama. Bibir kering dan kadang pecah-pecah. Lidah
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih (coated tongue atau
selaput putih), ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, dan
pada penderita anak jarang ditemukan. Umumnya penderita sering
mengeluhkan nyeri perut, khususnya di daerah epigastrium (nyeri
ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan
berupa penurunan kesadaran ringan. Sering ditemukan kesadaran
apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat,
tak jarang penderita sampai somnolen dengan koma atau gejala-
gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan
toksisk, gejala delirium lebih menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa, sering ditemukan membesar. Hati teraba
kenyal dan nyeri tekan.
e. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak
diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering
dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Bradikardi
relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaaan yang sulit dilakukan. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio
18
abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang ditemukan,
lebih sering ditemukan epistaksis.
2.1.11 Mekanisme Kerja Antibakteri46
Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu
pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri. Berdasarkan
aktivitasnya zat antibakteri dibagi menjadi dua, yaitu bakteriostatik
dan bakteriosida. Bakteriostatik adalah zat anti bakteri yang
memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri, namun tidak
mematikan. Bakteriosida adalah zat antibakteri yang memiliki
aktivitas membunuh bakteri. Mekanisme kerja antibakteri dibagi
menjadi empat, yaitu:
A. Menghambat sintesis dinding sel
Bakteri memiliki lapisan luar yang kaku, yaitu dinding sel.
Dinding sel menjaga bentuk dan ukuran mikroorganisme, yang
memiliki tekanan osmosis internal yang tinggi. Kerusakan pada
dinding sel (contohnya oleh lisozim) atau inhibisi dari
pembentukannya akan menyebabkan lisisnya sel. Contoh
antibakteri dengan mekanisme kerja ini adalah penisilin,
sefalosporin, vankomisin, basitrasin, sikloserin, dan ampisilin.
B. Menghambat fungsi membran sel
Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran
sitoplasma yang berfungsi sebagai sawar permeabilitas yang
selektif, melakukan transport aktif, sehingga mengontrol
komposisi di dalam sel. Jika integritas dari membran plasma
terganggu, makromolekul dan ion akan keluar dari sel,
menyebabkan kerusakan atau kematian sel. Contoh antibakteri
dengan mekanisme ini adalah amfoterisin B, kolistin,
poimiksin, imidazole, dan polien.
C. Menghambat sintesis protein
Untuk kelangsungan hidupnya bakteri membutuhkan
protein. Sintesis protein berlangsng didalam ribosom. Bakteri
19
memiliki ribosom 70S yang terdiri dari 2 sub unit, yaitu 30S
dan 50S. Gangguan pada sub unit ribosom tersebut dapat
mengganggu proses sintesis protein. Contoh antibakteri dengan
mekanisme ini adalah eritromisin, linkomisin, aminoglikosida,
dan kloramfenikol.
D. Menghambat sintesis asam nukleat
Contoh obat yang bekerja dengan mekanisme ini adalah
kuinolon, primetamin, rifampin, sulfonamid, trimethoprim, dan
trimetrexate. Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri
dengan berikatan kuat dengan RNA polimerase bakteri
sehingga menghambat sintesis RNA bakteri. Golongan
kuinolon dan fluorokuinolon menghambat sintesis DNA bakteri
dengan menghambat DNA girase. Untuk banyak
mikroorganisme, p-aminobenzoic acid (PABA) merupakan
metabolit yang esensial. PABA merupakan prekursor untuk
sintesis asam nukleat. Sulfonamid merupakan struktur analog
dari PABA dan menghambat dihydropteroate synthetase.
2.1.12 Metode Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode :
A. Metode difusi
Metode difusi merupakan metode yang paling sering
digunakan. Metode ini dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu
metode silider, metode lubang/sumur, dan metode cakram
kertas/disc diffusion. Metode sumur yaitu membuat lubang pada
agar padat yang telah diinokulasi bakteri. Kemudian lubang
diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah itu di
inkubasi, lalu pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada
tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang.47
Disc diffusion
dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone)
yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam
ekstrak.48
20
B. Metode pengenceran/dilusi
Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri
diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi.
Kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspense
bakteri uji dalam media cair. Lalu diinkubasi dan diamati ada
atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan
terjadinya kekeruhan. Larutan uji senyawa antibakteri pada
kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa ada pertumbuhan
bakteri uji ditetapkan sebagai kadar hambat minimum (KHM).
Selanjutnya KHM tersebut dikultur ulang pada media cair tanpa
penambahan bakteri uji ataupun senyawa antibakteri, dan
diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat
jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai kadar bunuh
minimum (KBM).49
21
2.2 Kerangka Teori
2.3 Kerangka Konsep
22
2.4 Definisi Operasional
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Hasil ukur
Skala
ukur
Variabel Terikat (Dependent)
Zona Hambat
Diameter zona
hambat pada
pertumbuhan
bakteri
Salmonella
typhi secara in
vitro
Penggaris Diameter zona
hambat (mm) Numerik
Variabel Tidak Terikat (Independent)
Madu
Multiflora
Konsentrasi
madu
multiflora
tanpa proses
ekstraksi
Mikropipet
Jumlah madu
sesuai dengan
variasi
konsentrasi
Kategorik
Residu (Madu
Multiflora +
Aseton)
Konsentrasi
residu madu
multiflora
dengan proses
ekstraksi
menggunakan
pelarut aseton
Mikropipet
Jumlah ekstrak
madu sesuai
dengan variasi
konsentrasi
Kategorik
Sedimen
(Madu
Multiflora +
Aseton)
Konsentrasi
sedimen madu
multiflora
dengan proses
ekstraksi
menggunakan
pelarut aseton
Mikropipet
Jumlah ekstrak
madu sesuai
dengan variasi
konsentrasi
Kategorik
Residu (Madu Konsentrasi Mikropipet Jumlah ekstrak Kategorik
23
Multiflora +
n-Heksan)
residu madu
multiflora
dengan proses
ekstraksi
menggunakan
pelarut n-
heksan
madu sesuai
dengan variasi
konsentrasi
Sedimen
(Madu
Multiflora +
n-Heksan)
Konsentrasi
sedimen madu
multiflora
dengan proses
ekstraksi
menggunakan
pelarut n-
heksan
Mikropipet
Jumlah ekstrak
madu sesuai
dengan variasi
konsentrasi
Kategorik
Kontrol
Negatif
Pelarut dalam
proses
ekstraksi yang
digunakan
sebagai kontrol
pertumbuhan
Salmonella
typhi secara in
vitro
Mikropipet
Cakram uji
berisi aseton
dan n-heksan
Kategorik
Kontrol
Positif
Antibiotik
yang
digunakan
sebagai kontrol
pertumbuhan
Salmonella
typhi secara in
vitro
-
Jumlah cakram
satu buah
berisi
antibiotic
kloramfenikol
Kategorik
24
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian uji eksperimental
secara in vitro dengan menggunakan teknik disc diffusion untuk melihat
peranan ekstrak madu dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pembelian dan verifikasi/determinasi madu dilakukan di Taman
Wisata Lebah Madu Cibubur daerah Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur.
Pengekstrakan madu dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit Jakarta. Kultur bakteri dan uji sensitivitas
madu dilakukan di Laboraturium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Februari s/d september 2014.
3.3 Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan bakteri Salmonella typhi yang
ditanamkan dalam media nutrient agar. Karena pada penelitian ini
menggunakan uji in vitro maka jumlah sampel sama dengan jumlah
pengulangan.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jumlah kelompok
sebanyak 7 kelompok. Madu multiflora tanpa perlakuan ekstraksi dan
ekstrak madu multiflora dengan variasi konsentrasi 20% , 25% , 50% ,
100%, serta kontrol positif menggunakan antibiotik kloramfenikol 30 ug
maupun kontrol negatif menggunakan pelarut aseton dan n-heksan
berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Fatimah,
2011).50
Pada penelitian ini dilakukan dengan empat kali pengulangan yang
didapatkan melalui rumus Federer sebagai berikut :
25
Keterangan :
k = jumlah kelompok perlakuan
n = jumlah sampel dalam tiap kelompok
Dalam penelitian ini, k = 7, sehingga didapatkan :
(7-1).(n-1) ≥ 15
6.(n-1) ≥ 15
6n - 6 ≥ 15
6n ≥ 21
n ≥ 21/6
n ≥ 4 (hasil pembulatan)
3.4 Identifikasi Variabel
3.4.1 Variabel Bebas
Madu multiflora tanpa perlakuan ekstraksi dan hasil
ekstraksi madu multiflora yang berasal dari lebah Apis mellifera
berupa sedimen dari pelarut aseton dan n-heksan dengan berbagai
variasi konsentrasi (20% , 25% , 50% , 100%), kontrol positif
menggunakan antibiotik kloramfenikol 30 ug serta kontrol negatif
menggunakan pelarut aseton dan n-heksan.
3.4.2 Variabel Terikat
Zona hambat (zona bening) pada pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi di media nutrient agar yang diukur diameternya
menggunakan penggaris dengan satuan milimeter (mm).
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
3.5.1 Alat Penelitian
Labu ukur, corong pisah, shaker, oven, inkubator,
autoclave, spatula, timbangan elektronik, gelas kimia, cawan petri,
tabung reaksi, rak tabing, pipet, mikropipet, pinset, baki, labu
(k-1).(n-1) ≥ 15
26
Erlenmeyer, ose, penggaris, korek api, bunsen, kertas, alat tulis,
label, kapas swab, laminar air flow, pengukur waktu, tisue, vortex,
kamera.
3.5.2 Bahan Penelitian
Madu multiflora, aseton, n-heksan, larutan NaCl, nutrient
agar, blank disc, antibiotic disc kloramfenkol.
3.6 Cara Kerja Penelitian
3.6.1 Sterilisasi Alat
Seluruh peralatan yang akan digunakan dicuci bersih
terlebih dahulu lalu dikeringkan dan dibungkus dengan kertas.
Kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150°C selama
15 menit.
3.6.2 Pembuatan Media Nutrient Agar
Larutkan 10 gram nutrient agar ke dalam 500 ml akuades
di dalam labu erlenmeyer lalu di aduk menggunakan stirrer dan
dipanaskan sampai mendidih selama ± 10 menit. Setelah itu
disterilkan dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.
Setelah itu tuangkan nutrient agar tersebut ke dalam cawan petri
sebanyak 10-20 ml.
3.6.3 Kultur Bateri
Biakan murni bakteri Salmonella typhi digoreskan dengan
ose pada nutrient agar secara aseptis lalu cawan petri ditutup.
Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.
3.6.4 Prosedur Ekstraksi
Proses ekstrasi madu multiflora menggunakan metode
ekstraksi cair-cair dengan perbandingan (madu : pelarut = 1 : 1).
Masukkan madu multiflora sebanyak 150 ml ke dalam corong
pisah A dan B. Lalu ditambahkan pelarut 150 ml aseton pada
corong pisah A dan 150 mL n-heksan pada corong pisah B
sehingga didapat hasil (A=Campuran madu multiflora+aseton dan
B=Campuran madu multiflora+n-heksan). Kemudian masing-
masing corong pisah dikocok dengan soker selama 3 jam. Lalu
27
pindahkan masing-masing larutan dari corong pisah ke gelas beker
yang berbeda (C=hasil ekstrak madu multiflora+aseton dan
D=hasil ekstrak madu multiflora+n-heksan) dan didiamkan selama
12-24 jam untuk untuk memisahkan fase organik dengan residu
secara sempurna. Kemudian pisahkan fase organik dengan residu
ke gelas beker yang berbeda menggunakan pipet sehingga didapat
hasil (C=Sedimen/endapan hasil ekstrak madu multiflora+aseton,
D= Sedimen/endapan hasil ekstrak madu multiflora+n-heksan, E=
Residu/cairan hasil ekstrak madu multiflora+aseton dan
F=Residu/cairan hasil ekstrak madu multiflora+n-heksan).
Kemudian dipekatkan menggunakan oven dengan suhu 80oC.
3.6.5 Pembuatan Variabel Konsentrasi
Untuk membuat konsentrasi madu multiflora tanpa
perlakuan ekstraksi maupun ekstrak madu multiflora sebesar 20%,
25%, 50%, dan 100% maka digunakan rumus :
Semua konsentrasi ekstrak madu dibuat dalam 5 ml. Sehingga
volume zat terlarut yang digunakan saat konsentrasi 20%, 25%,
50%, dan 100% berturut-turut yaitu 1 ml, 1,25 ml, 2,5 ml, dan 5
ml.
3.6.6 Uji Efektivitas Madu terhadap Salmonella typhi
Ambil bakteri Salmonella typhi sebanyak satu ose lalu
masukkan ke dalam tabung reaksi berisi NaCl. Kemudian di aduk
menggunakan vortex dan disamakan kejernihannya dengan 0,5 Mc
farland. Kemudian celupkan swab kapas ke dalam larutan biakan
bakteri Salmonella typhi tersebut lalu digoreskan secara merata ke
nutrient agar yang telah berada di cawan petri.
Blank disc direndam di dalam wadah yang berisi fase
organik maupun residu ekstrak aseton/n-heksan dan juga madu
Konsentrasi
Volume zat terlarut
Volume zat terlarut + volume pelarut
100% X =
28
multiflora tanpa perlakuan ekstraksi serta kontrol negatif (aseton
dan n-heksan) selama 15 menit. Setelah itu blank disc yang sudah
direndam dan juga disc antibiotik kloramfenikol 30 ug diletakkan
di nutrient agar yang telah digores secara merata dengan larutan
biakan bakteri Salmonella typhi. Kemudian di inkubasi didalam
inkubator dengan suhu 37°C selama 24 jam. Setelah itu disc akan
berdifusi pada media nutrient agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
di permukaan nutrient agar (pada penelitian ini Salmonella typhi).
Kemudian diukur diameter zona hambat tersebut menggunakan
penggaris dengan ukuran millimeter (mm).
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
Uji statistik yang digunakan adalah uji one way ANOVA
jika distribusi data normal. Jika distribusi data tidak normal maka
digunakan uji statistik Kruskal-Wallis. Uji statistik one way
ANOVA/Kruskal-Wallis digunakan untuk melihat adanya
perbedaan bermakna atau tidak antara jenis ekstrak dan berbagai
konsentrasinya dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi. Analisis Post Hoc/uji lanjutan menggunakan uji
Mann-Whitney untuk menentukan jenis ekstrak mana dan
konsentrasi berapa yang memiliki kebermaknaan. Analisis data
menggunakan program SPSS (Statistical Product of Service
Solution) for Windows version 16.0.
29
3.8 Alur Penelitian
30
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Standarisasi Madu
Telah dilakukan uji standarisasi sampel madu multiflora murni oleh
PT. Madu Pramuka di Laboraturium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar
Industri Agro. Berdasarkan uji Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-
3545-2004. maka dari hasil 10 parameter yang sudah dilakukan pada uji
madu multiflora yaitu uji aktifitas enzim diastase. hidroksimetilfurfural
(HMF). gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa). sukrosa. tingkat
keasaman. padatan yang tak larut dalam air. abu. cemaran logam baik
timbal (Pb) maupun tembaga (Cu). dan juga cemaran arsen (As) telah
memenuhi standarisasi uji.
4.2 Hasil Ekstrak Madu
Penelitian ini menggunakan dua jenis pelarut yang berbeda sifat
kepolarannya. Tujuannya adalah untuk memisahkan zat aktif pada madu
dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memudahkan
pemisahannya digunakan corong pisah dan di kocok menggunakan soker
selama tiga jam. Kemudian dihasilkan fasa residu/cair pada bagian atas
dan fasa sedimen/endapan pada bagian bawah. Pada ekstrak madu
menggunakan pelarut aseton dihasilkan fasa residu/cairan berwarna bening
keemasan dan endapan berwarna coklat.
Tabel 4.1 Hasil Ekstraksi Cair-cair Madu Multiflora
Jenis
pelarut
Fasa residu/cair Fasa
sedimen/endapan
Aseton Cairan berwana bening
keemasan
Warna coklat agak
kental
n-Heksan Cairan berwarna
bening
Warna coklat agak
kental
31
Pada ekstrak madu menggunakan pelarut n-heksan dihasilkan fasa
residu/cair berwarna bening dan endapan/sedimen berwarna coklat. Lalu
fasa residu/cair dan fasa sedimen/endapan dipisahkan dan dimasukkan ke
dalam gelas beker yang berbeda. Kemudian gelas beker dimasukkan
kedalam oven untuk menguapkan pelarut sehingga fasa tersebut menjadi
lebih pekat. Selanjutnya diencerkan untuk mendapatkan variasi konsentrasi
yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri.
4.3 Uji Statistik Data
Pada penelitian ini digunakan program SPSS untuk uji statistik
data. Hal pertama yang dilakukan adalah uji normalitas untuk mengetahui
distribusi data normal atau tidak. Uji normalitas pada penelitian ini
menghasilkan nilai signifikansi 0.000 (p<0.05) yang mengindikasikan
bahwa distribusi data tidak normal. Oleh karena itu. untuk melakukan uji
hipotesis digunakan metode uji Kruskal-Wallis.
Tabel 4.2 Hasil Pengolahan Data
Parameter Mean SD
Madu Multiflora 100% 10.5000 0.57735
Madu Multiflora 50% 8.2500 0.50000
Sedimen (Madu Multiflora +
Aseton) 100% 10.2500 0.50000
Sedimen (Madu Multiflora +
Aseton) 50% 8.7500 0.50000
Residu (Madu Multiflora +
Aseton) 100% 7.7500 0.50000
Residu (Madu Multiflora +
Aseton)) 50% 7.0000 0.00000
Sedimen (Madu Multiflora + n-
Heksan) 100% 9.0000 1.00000
Sedimen (Madu Multiflora + n-
Heksan) 50% 7.6667 0.57735
32
Kloramfenikol 30ug (Madu
Multiflora) 30.0000 0.00000
Kloramfenikol 30ug (Sedimen
(Madu Multiflora + Aseton)) 29.5000 0.57735
Kloramfenikol 30ug (Residu
(Madu Multiflora + Aseton)) 29.5000 0.57735
Kloramfenikol 30ug (Sedimen
(Madu Multiflora + n-Heksan)) 29.333 0.57735
Uji Kruskal-Wallis menghasilkan nilai signifikansi 0.000 (p<0.05)
yang mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan signifikan/bermakna
pada tiap jenis ektrak dan konsentrasi terhadap zona hambat yang
terbentuk. Hasil uji Post Hoc/uji lanjutan dengan menggunakan uji Mann-
Whitney menunjukkan bahwa kelompok madu multiflora dengan
konsentrasi 100% memiliki peran lebih baik dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi daripada kelompok yang lain.
4.4 Hasil Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Madu terhadap Salmonella
typhi
Uji efektivitas antibakteri ekstrak madu dilakukan terhadap bakteri
Salmonella typhi yang bersifat Gram negatif secara in vitro menggunakan
metode disc diffusion. Terbentuknya zona bening di sekitar cakram
mengindikasikan adanya hambatan terhadap pertumbuhan koloni bakteri
Salmonella typhi. Kemudian diameter zona bening/hambat tersebut di ukur
menggunakan penggaris dan dinyatakan dalam satuan ukur millimeter
(mm). Semakin besar/luas zona bening/hambat yang terbentuk
mengindikasikan bahwa semakin besar pula aktivitas antibakteri madu.
Diameter zona hambat/bening yang dibentuk oleh variasi konsentrasi
ekstrak madu pada koloni bakteri dibandingkan dengan zona
bening/hambat disekitar cakram yang berisi kontrol positif kloramfenikol
30ug dan kontrol negatif baik aseton maupun n-heksan. Jika zona
hambat/bening yang dihasilkan oleh ekstrak madu lebih besar daripada
33
kontrol positif maka ekstrak madu tersebut sangat efektif sebagai
antibakteri. Sebaliknya jika zona hambat/bening yang dihasilkan oleh
ekstrak madu lebih kecil daripada kontrol positif maka ekstrak madu
tersebut kurang efektif sebagai antibakteri. Dari hasil pengukuran zona
hambat dapat dilihat bahwa zona hambat yang dibentuk oleh madu
multiflora (10.50 mm) jauh lebih kecil dibandingkan dengan zona hambat
yang dibentuk oleh kontrol positif (kloramfenikol 30 ug) (30 mm). Hal ini
mengindikasikan bahwa madu multiflora kurang efektif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.
Tujuan digunakannya kontrol negatif adalah untuk memastikan
bahwa tidak ada pengaruh dari pelarut terhadap zona hambat yang
dihasilkan oleh ekstrak madu. Jika kontrol negatif menghasilkan zona
hambat/bening maka efek antibakteri pada ekstrak madu akan berkurang
validitasnya. Hasil uji aktifitas antibakteri pada madu multiflora terdapat
pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Zona Hambat
No Sampel Zona hambat dengan Satuan Ukur (mm)
I II III IV Rata-rata
1 Madu Multiflora
100 % 11 10 10 11 10.50
50 % 9 8 8 8 8.25
25 % 0 0 0 0 0
20 % 0 0 0 0 0
Kontrol Positif
(Kloramfenikol 30 ug)
30 30 30 30 30
2 Residu/cairan
(Madu Multiflora +
Aseton)
100 % 8 8 7 8 7.75
50 % 7 7 7 7 7
25 % 0 0 0 0 0
20 % 0 0 0 0 0
Kontrol Positif
(Kloramfenikol 30 ug)
29 30 29 30 29.50
Kontrol Negatif (Aseton) 0 0 0 0 0
3 Sedimen
(Madu Multiflora +
Aseton)
34
100 % 11 10 10 10 10.25
50 % 9 9 9 8 8.75
25 % 0 0 0 0 0
20 % 0 0 0 0 0
Kontrol Positif
(Kloramfenikol 30 ug)
30 29 29 30 29.50
Kontrol Negatif (Aseton) 0 0 0 0 0
4 Residu/cairan
(Madu Multiflora + n-
Heksan)
100 % 0 0 0 0 0
50 % 0 0 0 0 0
25 % 0 0 0 0 0
20 % 0 0 0 0 0
Kontrol Positif
(Kloramfenikol 30 ug)
30 29 30 30 29.75
Kontrol Negatif (n-
Heksan)
0 0 0 0 0
5 Sedimen
(Madu Multiflora + n-
Heksan)
100 % 8 10 9 - 9
50 % 7 8 8 - 7.67
25 % 0 0 0 - 0
20 % 0 0 0 - 0
Kontrol Positif
(Kloramfenikol 30 ug)
29 30 29 - 29.33
Kontrol Negatif (n-
Heksan)
0 0 0 - 0
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa zona hambat
paling besar ditunjukkan oleh madu multiflora murni dengan konsentrasi
100% dibandingkan dengan parameter uji lain. Zona hambat yang
terbentuk sebesar 10.50 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa madu
multiflora murni tanpa proses ektraksi memiliki daya hambat lebih besar
dibandingkan dengan parameter uji lain. Hal ini terjadi karena madu
multiflora murni mengandung senyawa antibakteri aktif baik bersifat
polar, non-polar, maupun semi polar dan gabungan ketiganya inilah yang
menyebabkan madu multiflora murni memiliki zona hambat yang paling
besar. Selain itu, pada proses ekstraksi madu dilakukan pemanasan dengan
oven untuk memekatkan ekstrak sehingga dapat merusak senyawa
inhibine/peroksida sebagai salah satu senyawa antibakteri yang terdapat
35
dalam madu. Akibatnya zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak madu
lebih kecil daripada zona hambat yang dibentuk oleh madu multiflora
tanpa proses ekstraksi. Senyawa yang memiliki tingkat kepolaran rendah
yaitu isoflavones. flavones. methylated flavones. dan flavonols. Sedangkan
senyawa yang memiliki tingkat kepolaran lebih tinggi yaitu flavonoid
glycosides dan aglycones.
Tabel 4.3 juga menunjukkan bahwa pada perlakuan ekstraksi madu
multiflora dengan menggunakan pelarut aseton baik kelompok residu
maupun sedimen menghasilkan zona hambat. Pelarut aseton akan menarik
senyawa polar pada madu sehingga akan bercampur dengan senyawa polar
pada madu dan senyawa non-polar serta semipolar akan tertinggal dalam
endapan/sedimen hasil ektraksi. Sedangkan pada perlakuan ekstraksi madu
multiflora dengan menggunakan pelarut n-heksan hanya kelompok
sedimen saja yang menghasilkan zona hambat. Pelarut n-heksan akan
menarik senyawa yang bersifat non-polar pada madu sehingga akan
bercampur dengan senyawa non-polar madu dan meninggalkan senyawa
polar serta semipolar dalam endapan/sedimen hasil ekstraksi. Dari hasil
penelitian ini dapat dilihat bahwa senyawa polar pada madu multiflora
memiliki efek antibakteri sedangkan senyawa non-polar pada madu
multiflora tidak memiliki efek antibakteri.
Bogdanov (1989) melaporkan senyawa antibakteri madu berasal
dari flavonoid.31
Jenis-jenis flavonoid yang terdapat dalam madu
diantaranya adalah myricetin, tricetin, quercetin, luteolin, quercetin-3-
methyl ether, kaempferol, pinobankins, genkwanin, isorhamnetin, benzoic
acid, ferulic acid, galangin, pinocembrin, protocatechuic, dan lain-lain.32
Flavonoid dapat merusak membran sel dengan cara menghambat
sintesis makromolekul,33
Flavonoid juga dapat mendepolarisasi membran
sel dan menghambat sistesis DNA, RNA, maupun protein yang sudah
diobservasi pada S.aureus.33
Selain itu flavonoid juga dapat menghambat
fungsi membran sitoplasma dan menghambat metabolisme energi pada
bakteri.34
36
Gambar 4.1 Hasil Pengukuran Zona Hambat
Tabel 4.4 Kriteria Zona Hambat Menurut CLSI
Agen
Antimikroba
Kandungan
Cakram
Kriteria Interpretasi Diameter Zona
Hambat dalam mm
susceptible intermediate resistant
Kloramfenikol 30 ug ≥18 13-17 ≤12
Sumber: Clinical and Laboratory Standards Institute 2013
Berdasarkan kriteria zona hambat CLSI guideline 2013, maka zona
hambat yang dibentuk oleh madu multiflora murni dan ekstrak madu
multiflora termasuk dalam kategori resistant.
Tabel 4.5 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri
Diameter Zona terang Respon Hambatan Pertumbuhan
>20 mm Kuat
16-20 mm Sedang
10-15 mm Lemah
<10 mm Tidak Ada
Sumber: Greenwood. 1995
37
Berdasarkan respon hambatan pertumbuhan bakteri menurut
(Greenwood, 1995) maka madu multiflora dengan konsentrasi 100%
dengan rata-rata zona hambat 10.50 mm dan Sedimen (madu multiflora +
aseton) dengan konsentrasi 100% dengan rata-rata zona hambat 10.25 mm
termasuk dalam kategori respon hambatan pertumbuhan lemah. Sedangkan
parameter uji madu lainnya masuk dalam kategori tidak ada respon
hambatan pertumbuhan.
Menurut Hafidiani (2001) yang melakukan penelitian mengenai
aktivitas antibakteri dari beberapa jenis madu monoflora yaitu madu randu,
madu rambutan, madu kelengkeng, madu karet, madu mahoni, madu kopi,
dan madu mangium, serta madu multiflora terhadap bakteri Salmonella
sp., Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Bacillus cereus, Bacills subtilis, dan Pseudomonas aeruginosa
menggunakan metode sumur dengan diameter 4 mm didapatkan hasil yang
cukup signifikan yaitu terbentuk zona hambat antara 20-30 mm.5
Sedangkan pada penelitian ini zona hambat yang paling besar hanya
berdiameter 10,5 mm yang dihasilkan oleh madu multiflora murni 100%.
Perbedaan penelitian Hafidiani (2001) dengan penelitian ini adalah metode
dan media yang digunakan. Metode yang digunakan pada penelitian
Hafidiani (2001) adalah metode sumur dan media yang digunakan adalah
muller hinton agar (MHA). Sedangkan pada penelitian ini digunakan
metode disc diffusion dan media yang digunakan adalah nutrient agar
(NA).
Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Suryani & Meida
(2004) didapatkan bahwa kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh
minimum (KBM) konsentrasi madu terhadap Salmonella typhi berturut-
turut adalah 18,88% dan 37,76%.6 Sementara pada penelitian yang
dilakukan oleh Suganda (2005) didapatkan KBM konsentrasi madu
terhadap Salmonella typhi adalah 18%.7 Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Suryani & Meida (2004) dan Suganda (2005) berbeda dengan hasil
penelitian ini. Pada penelitian ini konsentrasi madu terendah yang
38
menghasilkan zona hambat adalah 50%. Perbedaan hasil penelitian ini
dapat disebabkan oleh berbedanya metode yang digunakan. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Suryani & Meida (2004) dan juga oleh
Suganda (2005) digunakan metode dilusi, sedangkan pada penelitian ini
digunakan metode disc diffusion. Hal lain yang dapat menyebabkan
perbedaan hasil penelitian ini adalah berbedanya jenis madu yang
digunakan. Pada penelitian ini jenis madu yang digunakan adalah madu
multiflora. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani &
Meida (2004) dan juga oleh Suganda (2005) tidak disebutkan jenis madu
yang digunakan.
4.5 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu :
1. Media nutrient agar yang digunakan pada penelitian ini baik untuk
pertumbuhan berbagai bakteri sehingga mudah terkontaminasi.
2. Tidak digunakannya pelarut yang bersifat semipolar sehingga kurang
dapat membandingkan antar kelompok uji.
3. Pada penelitian ini hanya digunakan satu jenis madu sehingga tidak
dapat diketahui jenis madu yang paling efektif dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.
39
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian, madu multiflora murni tanpa perlakuan
ekstraksi dan sedimen ekstrak madu multiflora dengan pelarut aseton
dengan konsentrasi 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi.
2. Menrut klasifikasi Greenwood 1995, madu multiflora tanpa proses
ekstraksi dan sedimen ekstrak madu multiflora dengan menggunakan
pelarut aseton dengan konsentrasi 100% termasuk klasifikasi kategori
lemah dalam respon hambatan pertumbuhan bakteri, Sedangkan
kelompok uji lainnya termasuk kategori tidak ada respon hambatan
pertumbuhan bakteri.
3. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna
antara tiap jenis ekstrak dan konsentrasi terhadap diameter zona
hambat yang terbentuk serta kelompok madu multiflora dengan
konsentrasi 100% memiliki peran lebih baik dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi daripada kelompok yang lain.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut:
1. Menggunakan pelarut yang bersifat semipolar seperti etil asetat untuk
lebih mengetahui perbandingan daya hambat yang lebih baik dari
setiap kelompok.
2. Menggunakan jenis madu lainnya untuk mengetahui jenis madu yang
paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella
typhi.
3. Tentang uji efektivitas madu dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi secara in vivo.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Crane E. A Book of Honey. Oxford University Press, London. 1990
2. White JW. Antibiotic System in Honeys Nectar and Pollen. Cornell University
press, Ithaca and London. 1975
3. Molan PC. The Antibacterial Activity of Honey. Bee World 73 (In Press).
Internasional Bee Research Association, London. 1993
4. Erywiyatno L, Djoko SSBU, dan Dwi Krihariyani. Pengaruh Madu terhadap
Pertumuhan Bakteri Streptococcus pyogenes. Analis Kesehatan Sains Vol. 01
No. 01. 2012
5. Hafidiani R. Aktivitas Antimikroba Madu Monoflora dan Multiflora. Ilmu
Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2001
6. Suryani L dan S Meida. Daya Antibakteri Madu terhadap Beberapa Kuman
Patogen Secara in vitro. Jurnal Kedokteran Yarsi 12 (3) : 41-45. 2004
7. Suganda J. Uji Efektifitas Madu Sebagai Antimikroba Terhadap Salmonella
typhi Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Brawijaya. 2005
8. Darmawati S. Keanekaragaman Genetik Salmonella typhi. Jurnal Kesehatan
Vol. 2, No.1. 2009
9. Mirza SH. The prevalence and clinical features of multi-drug resistant
Salmonella typhi infections in Baluchistan, Pakistan. Ann Trop Med and
Parasitol 1995
10. Bhutta ZA. MDR Thyphoid: a potential algorithmic approach to diagnosis and
management. Dipresentasikan pada Third Asia-Pacific Symposium on Typhoid
Fever and Other Salmonellosis. Bali, 11 Desember 1997
11. Bhutta ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of multidrug-resistant typhoid fever
with oral cefixime vs intravenous ceftriaxone. Pediatri Infect Dis J 1994
12. MENKES. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364
Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.2006
13. Sarwono B. Lebah Madu. Depok: PT AgroMedia Pustaka. 2003
14. Warisno. Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius. 1996
41
15. Gojmerac WL. Bees, Beekeeping, Honey and Pollination. The AVI Publishing
Co. Inc, Westport, Connecticut. 1983
16. Arguesso TR dan AR Navaro. Microbiology of Ripening Honey. J. App.
Microbiol. Vol 30 (6). The American Society for Microbiology. 1975
17. Sihombing DTH. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. 1997
18. Sukartiko AB. Prosessing Madu Lebah. Prosiding Lokakarya Pembudidayaan
Lebah Madu Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Sukabumi, 20-22
Mei 1986. Perum Perhutani, Jakarta. 1986
19. Susanto A. Terapi Madu. Penebar Swadaya, Depok. 2007
20. White JW. Honey. Di dalam : The Hive and The Honey Bee. Dadant and Sons
Hamilton, Illinois. 1992
21. Bogdanov S, Ruoff K, Persano Oddo L. Physico-chemical methods for
characterization of unifloral honeys: A review. Apidologie, 35 (Suppl. 1) :
S4-S17. 2004
22. White JW. Composition of honey. In E. Crane (Ed), Honey: A comprehensive
survey (pp. 157-158). London: Heinemann. 1979
23. White R and P Molan. Mode of action of honey. A summary of published
clinical research on honey in wound management. R. white and R. Cooper
Aberdeen, Wounds UK Publishing: 130-142. 2005
24. Anklam E. A review of the analytical methods to determine the geographical
and botanical origin of honey. Food Chen. 1998
25. Henriques A. Free radical production and quenching in honeys with wound
healing potential. J Antimicrob Chemother 58(4): 773-7. 2006
26. Mato I, Huidobro JF, Simal-Lozano J, and Sancho MT. Significance of
nonaromatic organic acids in honey. Journal of Food Protection, Vol. 66 No.
12, pp. 2371-2376. 2003
27. Komara S. Kajian Aktivitas dan Identifikasi Kelas Senyawa Antibakteri 5
Jenis Madu Indonesia. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
2002
28. Root AI. The ABC and XYZ of Bee Culture. The A.I. Root Company.
Medina, Ohio. 1980
42
29. The National Honey Board. A Reference Guide from The National Honey
Board. Longmont, USA. 2001
30. Bogdanov S. Characterization of Antibacterial Substances in Honey. Artikel
Swiss Bee Research Centre, Switzerland. 1984
31. Bogdanov S. Determination of Pinocembrin in Honey Using HPLC. Journal of
Apicultural Research 28 page 55-57. 1989
32. Pyrzynska K, M Biesaga. Analysis of Phenolic Acids and Flavonoids in
Honey. Trends in Analytical Chemistry Vol. 28 No. 7. 2009
33. Jean Paul Dzoyem. Hiroshi Hamamoto. Barthelemy Ngameni. Bonaventure
Tchaleu Ngadjui. Kazuhisa Sekimizu. Antimicrobial action mechanism of
flavonoids from Dorstenia Species. Drug Discoveries & Therapeutics. 2013;
7(2):66-72. 2013
34. T.P. Tim Cushnie. Andrew J. Lamb. Review Antimicrobial Activity of
flavonoids. International Journal of Antimicrobial Agents 26 (2005) 343–356.
Elsevier. 2005
35. Grossman DA, Witham ND, Burr DH, Lesmana M, Rubin FA, Schoolnik GK,
Parsonnet J. Flagellar serotypes of Salmonella typhi in Indonesia: relationship
among motility, invasiveness, and clinical illness. The Journal of Infectious
Diseases. United States. (171):212-216. 1995
36. Wain J, Deborah H, Afia Z, Stephen B, Satheesh N, Claire K, Zulfiqar B,
Gordon D, and Rumina, H. Vi Antigen Expression in Salmonella enterica
Serovar Typhi Clinical Isolates from Pakistan. Journal of Clinical
Microbiology p. 1158-1165 Vol. 43 (3):1158-1165. 2005
37. Chau TT, Campbell JI, Galindo CM, Van Minh Hoang N, Diep TS, Nga TT,
et al. Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar typhi in
asia and molecular mechanism of reduced susceptibility to the
fluoroquinolones. Antimicrob Agents Chemother. Dec 2007;51(12):4315-23
38. Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI, Jakarta. 2008
39. Raffatellu M, Chessa D, Wilson RP, Tukel C, Akcelik M, Baumler AJ.
Capsule mediated immune evasion: a new hypothesis explaining aspects of
typhoid fever pathogenesis. Infect Immun. Jan 2006;74(1):19-27.
43
40. de Jong HK, Parry CM, van der Poll T, Wiersinga WJ. Host-pathogen
interaction in invasive Salmonellosis. PLoS Pathog. 2012;8(10):e1002933
41. Ramsden AE, Mota LJ, Munter S, Shorte SL, Holden DW. The SPI-2 type III
secretion system restricts motility of Salmonella-containing vacuoles. Cell
Microbiol. Oct 2007;9(10):2517-29
42. Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al. Typhoid fever. N Engl J Med. Nov 28
2002;347(22):1770-82
43. Christie AB. Infectious Diseases: Epidemiology and Clinical Practice. 4th ed.
Edinburgh, Scotland: Churchill Livingstone; 1987
44. Gonzalez-Escobedo G, Gunn JS. Gallbladder epithelium as a niche for
chronic Salmonella carriage. Infect Immun. Aug 2013;81(8):2920-30
45. Chiou CS, Wei HL, Mu JJ, Liao YS, Liang SY, Liao CH, et al. Salmonella
enterica serovar Typhi variants in long-term carriers. J Clin Microbiol. Feb
2013;51(2):669-72
46. Jawetz, Melnick, & Adelberg. Medical Microbiology24th
Ed. The McGraw-
Hill Companies, USA. 2007
47. Kusmayati dan Agustini NWR. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga (Porphyridium cruentinum). Biodiversitas 8(1) : 48-53. 2007
48. Hermawan A, Hana W, dan Wiwiek T. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper
betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
dengan Metode Difusi Disk. Universitas Erlangga. 2007
49. Pratiwi, Sylvia T. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Erlangga, Jakarta. 2008
50. Fatimah. Karakteristik dan Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari Ekstrak
Madu Sumbawa. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim. 2011
44
Lampiran 1
Uji Madu SNI 01-3545-2004
No Jenis uji Satuan Persyaratan
1 Aktifitas enzim diastase DN Minimal 3
2 Hidroksimetilfurfural (HMF) mg/kg Makssimal 50
3 Air % b/b Maksimal 22
4 Gula pereduksi (dihitung sebagai
glukosa) % b/b Minimal 65
5 Keasaman
ml NaOH
1 N/kg
Maksimal 50
6 Sukrosa % b/b Maksimal 5
7 Padatan yang tak larut dalam air % b/b Maksimal 0,5
8 Abu % b/b Maksimal 0,5
9
Cemaran logam
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
mg/kg
mg/kg
Maksimal 1,0
Maksimal 5,0
10 Cemaran arsen (As) mg/kg Maksimal 0,5
45
Lampiran 2
Hasil Uji SNI Madu
46
47
Sedimen (Madu + Aseton)
Residu (Madu + Aseton)
Madu Multiflora
Lampiran 3
Hasil Uji Efektivitas Ekstrak Madu Multiflora Terhadap Salmonella typhi
48
Lanjutan
Sedimen (Madu + n-Heksan)
Residu (Madu + n-Heksan)
49
Volume zat terlarut + pelarut = 5ml
Volume zat terlarut saat konsentrasi 20 %
20 % = n / 5 mL x 100 %
n = 1 mL
Volume zat terlarut saat konsentrasi 25 %
25 % = n / 5 mL x 100 %
n = 1,25 mL
Volume zat terlarut saat konsentrasi 50 %
50 % = n / 5 mL x 100 %
n = 2,5 mL
Volume zat terlarut saat konsentrasi 100 %
100 % = n / 5 mL x 100 %
n = 5 mL
Keterangan : n = volume zat terlarut
Konsentrasi
Volume zat terlarut
Volume zat terlarut + volume pelarut
100% X =
Lampiran 4
Cara Menghitung Pengenceran
50
Laminar air flow
Autoclave
Inkubator
Vortex
Timbangan elektrik
Larutan Mc Ferland
Madu multiflora
Lampiran 5
Alat dan Bahan
51
Lampiran 6
Riwayat Penulis
Nama : Fahrul Abdullah Hudri
Tempat, tanggal lahir : Bogor, 25 Agustus 1991
Alamat : Nirwana Estate Blok G No.03 RT 03 RW 11 Kel Harapan
Jaya Kec Cibinong
No HP : 08568983942
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1. TK Islam Karya Mukti (1995-1997)
2. SDN Citeureup 4 (1997-2003)
3. SMP Puspanegara (2003-2006)
4. SMAN 1 Bogor (2006-2009)
5. Institut Pertanian Bogor (2009-2011)
6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011-sekarang)