tutorial skenario 4
TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 2 BLOK 9 (NEOPLASMA)
Perdarahan Per-Rectum
NAMA TUTOR :
Dyah Ratna Budiani, Dra, M.Sc
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 14
Andini Eka Putri G0011020 Iriyanti Maya Sari B G0011116
Ardian Pratiaksa G0011034 Maria Mumtaz G0011132
Chrystina Yurita P G0011060 Putri Cahyaningsih G0011160
Dien Adiparadana G0011074 Reza Yunita Sari G0011168
Dyonisa Nasirochmi P G0011078 Vicianita Putri U G0011206
I Kadek Rusjaya G0011110
Program Studi Pendidikan DokterFakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap penyakit yang berhubungan dengan neoplasma maligna mempunyai ciri khas
masing-masing, mulai dari gejala, kecenderungan, epidemiologi, dan lain-lain. Tak
jarang, suatu malignancy tidak terlalu menunjukkan abnormalitas walaupun sebenarnya
sangat berbahaya. Pada malignancy, setiap detail gejala sampai penatalaksanaan harus
benar-benar diperhatikan. Salah satu malignancy yang akan dibahas adalah kanker
kolorektal, yang merupakan suatu tumor ganas saluran cerna yang paling sering
ditemukan.
Berikut skenario yang akan dibahas:
Perdarahan Per-Rectum
Seorang penderita laki-laki umur 43 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan
utama perdaraan per-rectum disertai lender sejak 3 bulan lalu.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dan phisik tidak didapatkan kelainan. Hanya
merasa berat badannya menurun, selanjutnya dirujuk oleh dokter puskesmas ke bagian
bedah RSUD Dr.Moewardi.
Dilakukan pemeriksaan rectal toucher: teraba massa pada jam 12, permukaan
mukosa kasar berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan, sarung tangan
berlendir darah positif. Dilakukan biopsi cubit, didapatkan 4 keping kecil jaringan warna
putih, konsistensi agak rapuh. Hasil dikirim untuk pemeriksaan histopatologis. Selain itu
juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Penyakit apa sajakah yang memungkinkan terjadinya perdarahan per-rectum yang
disertai lendir?
2. Bagaimana berat badan pasien bisa menurun?
3. Apakah kaitan antara umur dan jenis kelamin dengan keluhan-keluhan yang diderita
pasien?
4. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan rectal toucher dan biopsi cubit?
5. Bagaimana bisa terjadi perdarahan per-rectum yang disertai lendir?
6. Apa diagnosis dan bagaimana patofisiologinya?
7. Bagaimana patogenesis molekuler dari penyakit ini?
8. Pemeriksaan penunjang apa sajakah yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit ini?
10. Apa saja faktor resiko dari penyakit ini dan bagaimana pencegahannya?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui penyakit pada skenario, epidemiologi, serta patofisiologi dan
patogenesisnya.
2. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
penyakit ini.
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada penyakit ini.
4. Untuk mengetahui faktor resiko dan pencegahan penyakit ini.
1.4 MANFAAT PENULISAN
1. Mahasiswa dapat lebih memahami aspek-aspek klinis dan biologi molekuler
neoplasma ganas pada rektal.
2. Mahasiswa dapat lebih memahami perbedaan penyakit-penyakit non-neoplasma dan
neoplasma jinak ataupun ganas yang sering memberikan gejala klinis yang hampir
sama.
3. Mahasiswa dapat lebih memahami cara mendiagnosis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, faktor resiko, dan pencegahan penyakit.
1.5 HIPOTESIS
Dari skenario diatas, didapatkan gejala-gejala dan faktor-faktor risiko yang cenderung
mengarah pada karsinoma kolorektal. Namun, hal ini perlu dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
BAB IIDISKUSI DAN PEMBAHASAN
Neoplasma dapat terjadi di sel, jaringan, ataupun organ. Salah satunya adalah kanker
kolorektal atau karsinoma kolorektal.
Enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang akan menentukan fenotipe
keganasan sel kanker (proses malignansi) :
1. Dapat menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan
Onkogen adalah gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel
kanker, gen ini hasil mutasi dari gen protoonkogen. Sel kanker memutasi mulai
dari pembentukan faktor pertumbuhan sendiri, jenjang transduksi sinyal sampai
pengendalian siklus sel.
Faktor Pertumbuhan
Sel kanker mampu menyintesis faktor pertumbuhan yang sama kepada mana
sel tersebut responsif. Misalnya yang terjadi pada PDGF (platelet-derived
growth factor) dan TGF-α (transforming growth factor α).
Reseptor Faktor Pertumbuhan
Beberapa onkogen yang mengkode reseptor faktor pertumbuhan. Yang sering
ditemukan adalah ekspresi berlebihan reseptor faktor pertumbuhan. Ekspresi
berlebihan reseptor faktor pertumbuhan juga menyebabkan reaksi berlebihan
dalam kadar faktor pertumbuhan normal.
Protein Transduksi Sinyal
Memutasi gen yang mengkode komponen di jalur penghantar sinyal. Dua
anggota penting dalam kategori ini adalah RAS dan ABL.
Protein RAS mutan mengalami aktivasi terus menerus sehingga tidak mampu
menghidrolisis GTP sehingga sel terus menerus dapat rangsangan dan
proliferasi berlebihan.
Faktor Transkripsi Nukleus
Semua gen-gen hasil mutasi tersebut selanjutkan masuk ke nukleus dan
ditranskripsi. Protein MYC berikatan dengan DNA, menyebabkan aktivasi
transkripsional beberapa gen terkait pertumbuhan. Dan ketika terjadi mutasi
pada DNA pengkode protein MYC maka akan terjadi proliferasi yang
berlebihan juga.
Siklin dan Kinase Dependen-Siklin
Dapat dicontohkan dengan gen siklin, berfungsi mengaktifkan gen CDK
(berfungsi mendorong sel masuk ke siklus sel). Jika terjadi mutasi gen siklin
juga memicu terjadinya proliferasi sel yang berlebihan.
2. Insensitivitas terhadap penghambat pertumbuhan
Gen RB merupakan suatu contoh yang baik pada tahap ini. RB berfungsi
sebagi rem untuk menghambat melajunya sel dari fase G1 ke fase S pada siklus sel.
Protein RB dalam bentuk aktif akan terhipofosforilasi, inaktif dalam bentuk
hiperposforilasi. Ketika RB teraktifasi proses transkripsi akan terhambat, pada gen
mutan proses ini tidak berjalan, sehingga proses transkripsi terus berlanjut.
3. Menghindari apoptosis
Mutasi juga terjadi pada gen yang mendorong dan menghambat apoptosis.
Misalnya jika terjadi ekspresi berlebihan protein BCL2 dapat melindungi sel tumor
dari apoptosis.
4. Potensi replikasi tanpa batas
Sel tumor dapat menciptakan cara untuk menghindari dari proses penuaan;
dengan cara mengaktifkan enzim telomerase yang dapat mempertahankan panjang
telomer dan menghambat penuaan sel.
5. Angiogenesis berkelanjutan
Pada awal pertumbuhannya, sebagian besar sel tumor manusia tidak memicu
angiogenesis (mampu membentuk vaskularisasi sendiri). Angiogensis merupakan
aspek biologik yang sangat penting pada keganasan.
6. Kemampuan menginvasi dan beranaksebar (metastasis)
Penyebaran tumor adalah suatu proses rumit yang melibatkan serangkaian
tahapan, dapat dijelaskan secara ringkas pada gambar di bawah ini :
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kolon-Rektum
Anatomi Kolon
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
1,5 m yang terentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sekitar 6,5 cm,
makin dekat anus diameternya makin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, sigmoid dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan appendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar
dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus
dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus
besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, dan
desenden. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas
berturut – turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Sigmoid mulai
setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah
membelok ke kiri sewaktu sigmoid bersagtu dengan rektum. Bagian utama usus besar
yang terakhir disebut rektum, yang membentang dari sigmoid hingga anus. Satu inci
terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani
eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada
suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi belahan kanan (sekum,
kolon asenden, dan dua pertiga proksimal koln transversum), dan arteria mesentrika
inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens,
sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari
arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan
aorta abdominalis.
Aliran balik vena dari koln dan rektum superior adalah melalui vena mesentrika
superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal
yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan
darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik.
Persyarafan usus besar dilakukan oleh sistem syaraf otonom dengan perkecualian
sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian volunteer. Serabut parasimpatis
berjalan melalui syaraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan syaraf oelvikus
yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan
medula spinalis melalui syaraf splangnikus. Serabut syaraf ini bersinaps dalam ganglia
seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan
simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum.
Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.
Anatomi Rektal
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal.
Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter.
Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani
dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke
difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm,
dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang
terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa,
muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.
Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media,
dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika
inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a.
iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena
hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah
kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v.
porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan
di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati.
Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, vena iliaka
interna dan sistem vena kava.
Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya
menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi
dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal.
Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis
seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4. Serabut ini
mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2,
3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah
ke dalam jaringan.
Fisiologi Kolorektal
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rectum. Dalam keadaan normal
kolon menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus setiap hari. Isi usus yang disalurkan
ke kolon terdiri dari residu makanan yang tidak dapat dicerna missal selulosa, komponen
empedu yg tidak diserap,dan sisa cairan. Apa yg tersisa untuk dieliminasi disebut feses.
Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat, .Kontraksi haustra secara perlahan
mengaduk isi kolon maju mundur. Berawal dari dari gerakan ritmisitas otonom sel otot
polos kolon (membentuk haustra)-> letak haustra berubah sewaktu waktu yang semula
melemas untuk membentuk kantung secara perlahan berkontraksi sementara bagian yang
semula berkontraksi melemas untuk membentuk kantung baru. Hal ini menyebabkan isi
kolon terpajan ke mukosa absorptif. Sewaktu makanan masuk ke lambung terjadi
gerakan massa di kolon yang terutama disebabkan oleh refleks gastrokolon. Terpicu
reflek reflek untuk memindahkan isi yang sudah ada ke bagian saluran cerna yang lebih
distal dan member jalan bagi makanan baru tersebut. Sehingga reflek gastrokolon
mendorong isi kolon ke dalam rectum yang memicu reflek defekasi.
Gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rectum, terjadi peregangan
rectum yang kemudian merangsaaang reseptor regang di dinding rectum dan memicu
reflek defekasi. Reflek ini disebabkan oleh sfingter anus internus untuk melemas dan
rectum serta kolon sigmoid berkontraksi kuat. Apabila sfingter anus eksternus juga
melemas terjadi defekasi.
2.2 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal
Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya, dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus ini terjadi di
kolon dan 2/3 di rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak (98%), jenis
lainnya yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%). Insiden karsinoma
kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi demikian juga angka kematiannya. Insiden
pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda. Sekitar 75 %
ditemukan di rektosigmoid. Ca kolorektal banyak terjadi pada laki-laki, dengan prevalensi
pria dengan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada usia 40-60 tahun. Resiko Ca
Kolorektal meningkat setelah usia 35 tahun dan memuncak pada usia 65 tahun. Di Negara
barat, perbandingan insiden pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di
rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia lanjut. Pemeriksaan cocok dubur
merupakan penentu karsinoma rectum.
2.3 Patofisiologi Karsinoma Kolorektal
Mukosa rektum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada
adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi
sel-sel tersebut, yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC)
yang menyebabkan replikasi yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel
tersebut menyebabkan terjadi mutasi yang mengaktivasi K-Ras onkogen dan mutasi gen
p53, hal ini akan mencegah apoptosis dan memperpanjang hidup sel.
Pada skenario terdapat keluhan berupa terjadinya perdarahan per rektal. Perdarahan
rektal (hematochezia) adalah keluarnya darah lewat anus, biasanya bercampur dengan
feses dan atau bekuan darah. Tingkat keparahan perdarahan rektal tergantung banyaknya
darah yang keluar. Biasanya perdarahan bisa terjadi sedang dan dapat berhenti dengan
sendirinya.
Pasien dengan perdarahan sedang mengeluarkan darah berwarna merah gelap dalam
jumlah yang banyak biasanya dapat bercampur dengan feses dan atau bekuan darah.
Pasien dengan perdarahan parah bisa melakukan satu atau beberapa kali defekasi dengan
jumlah darah yang sangat banyak. Perdarahan sedang atau parah aan sangat cepat
mengurangi cadangan darah dalam tubuh, sehingga pasien mengalami rasa lemah,
mengantuk, pucat, hampir pingsan, dan tanda-tanda hipotensi. Apabila perdarahan hebat
bisa terjadi syok karena kehilangan darah.
Perdarahan per rektal keluar dari kolon, rektum, atau anus. Kolon adalah bagian dari
traktus gastrointestinal yang dilewati oleh makanan dari usus halus. Kolon
bertanggungjawab terhadap absrobsi air dari makanan yang telah didigesti dan
menyimpannya hingga dikeluarkan oleh tubuh dalam bentuk feses.
Warna darah perdarahan per rektal biasanya tergantung dari lokasi perdarahannya.
Semakin dekat dengan anus maka semakin terang warna merah pada darah tersebut.
Perdarahan pada anus, rektum, dan sigmoid kolon berwarna merah terang, sedangkan
perdarahan pada kolon transversal dan kolon kanan berwarna merah gelap.
Pada beberapa pasien, darah dari kolon bagian kanan bisa hitam, dan berbau tidak
enak. Feses yang hitam dan bau disebut melena. Melena terjadi ketika darah bercampur
dengan asam lambung baik pada usus halus maupun, usus besar untuk waktu yang cukup
lama. Sehingga darah akan merombak darah menjadi zat kimia yang disebut hematin
yang berwarna hitam.
Berat badan adalah pengurangan massa tubuh ditandai dengan hilangnya jaringan
adiposa (lemak tubuh) dan otot rangka. Penurunan berat badan adalah gejala yang paling
umum dari kanker dan sering efek samping dari pengobatan kanker. Ada banyak alasan
untuk penurunan berat badan pada pasien kanker, termasuk nafsu makan kerugian karena
pengaruh pengobatan kanker (kemoterapi, terapi radiasi, atau terapi biologis) atau faktor
psikologis seperti depresi. Pasien dapat menderita anoreksia dan kehilangan keinginan
untuk makan, dan dengan demikian mengkonsumsi lebih sedikit energi.
Penurunan berat badan mungkin juga menjadi konsekuensi dari kebutuhan yang
meningkat untuk kalori (energi) akibat infeksi, demam , atau efek dari tumor atau
perawatan kanker. Jika infeksi atau demam hadir, perlu untuk mempertimbangkan bahwa
ada peningkatan kalori membutuhkan sekitar 10% sampai 13% per derajat di atas 98,6 ° F
(37° C). Oleh karena itu, asupan energi harus ditingkatkan untuk kenaikan suhu tubuh ini.
Dari skenario yang disebutkan bahwa pasien mengalami penurunan berat badan
meskipun dari hasil pemeriksaan fisik dan tanda vital semuanya normal, ada indikasi
bahwa pada pasien terjadi keganasan di dalam saluran pencernaannya, sel-sel tumor
menyebabkan metabolisme tubuh menjadi cepat sehingga kalori menjadi cepat terbakar,
selain itu sifat tumor adalah angiogenesis, hal ini juga menyebabkan adanya peredaran
darah baru di sel sel tumor tersebut, dan nutrisi yang dibawa oleh pembuluh darah tubuh
banyak terserap oleh pembuluh darah dari tumor tersebut. Massa arah jam 12
merupakan tumor pada rectum. Permukaan kasar berbenjol-benjol merupakan salah
satu ciri khas pada tumor dengan pertumbuhan abnormal mukosa. Konsistensi rapuh
menunjukkan pre-keganasan karena berarti banyak sel yang mengalami nekrosis dan
kematian. Tidak nyeri tekan karena tidak ada neurovaskularisasi pada jaringan di
sekitar tumor. Sarung tangan lendir darah positif menunjukkan tanda-tanda keganasa.
Lendir bisa disebabkan karena epitel kelenjar usus yang berproliferasi berlebihan pada
akhirnya juga akan menyebakan sekresi musin yang berlebihan.
2.4 Patogenesis Molekuler Karsinoma Kolorektal
Epitel normalMutasi lokus APC di kromosom 5q
Epitel hiperproliferatifHilangnya metilasi DNA
Adenoma diniMutasi gen RAS di kromosom 12p
Adenoma intermedietHilangnya gen penekan tumor di kromosom 18q
Adenoma lanjutHilangnya p53 di kromosom 17p
Karsinoma
PATOGENESIS MOLEKULER CA COLORECTAL
LOH (Lost of Heterozigocity) RER (Replication Error)
Gen yang berperan : Gen yang berperan:
APC MSH2
DCC MLH1
P53 PMS1
RAS PMS2
Jalur LOH
Mutasi pada gen penekan tumor yang disebut APC (Adenomatous Poliposis Coli)
APC secara normal berfungsi untuk meningkatkan penguraian β-katenin. Mutasi pada
APC mengakibatkan hilangnya fungsi dari APC sehingga β-katenin yang seharusnya
terdegradasi menjadi tidak terdegradasi, lalu menumpuk. Tumpukan dari β-katenin
berpindah ke nukleus dan menyebabkan transkripsi beberapa gen, seperti MYC dan
siklin D1. MYC dan Siklin D1 mendorong proliferasi sel, sehingga pada mutasi APC,
terjadi proliferasi yang berlebihan dari sel.
Mutasi pada RAS
Ras berfungsi untuk menghantarkan rangsang yang diterima Reseptor Growth Factor
pada sel ke nukleus. Rangsang ini akan memacu pertumbuhan dan proliferasi sel.
Secara normal, RAS yang aktif terikat oleh guanosin trifosfat dan RAS inaktif terikat
guanosin difosfat. Setelah menghantarkan suatu sinyal, RAS akan mengalami
mekanisme inaktivasi dengan defosforilasi yang menyebabkan guanosin yang terikat
pada RAS kehilangan satu gugus fosfat. Pada mutasi gen K-RAS, mekanisme
inaktivasi ini tidak terjadi, sehingga seolah-olah RAS terperangkap dalam keadaan
aktif. Hal ini membuat rangsang dari Growth factor diteruskan secara terus-menerus
ke nukleus yang akhirnya memacu proliferasi sel yang berlebihan. Selain itu, ternyata
RAS juga berfungsi untuk mencegah apoptosis pada saat aktif, karena RAS mampu
menghambat kinerja P53. Sehingga, pada mutasi RAS, apoptosis tidak bisa
dijalankan. Hal ini akan memperburuk keadaan.
Delesi 18q21
Sedikitnya, terdapat 3 jenis gen penekan kanker pada 18q21, mereka ialah DCC,
DPC4, dan SMAD2. Pada karsinoma kolon DCC disebut-sebut sebagai gen yang
mengalami delesi. Tetapi belum jelas gen mana yang relevan dengan proses
karsinogenesis kolon. DCC berfungsi untuk mengkode suatu molekul perekat sel yang
disebut netrin-1, yang berperan dalam fungsi axon. Sedangkan, DPC4 dan SMAD2
berfungsi mengkode TGF- β. TGF- β sendiri sebenarnya berfungsi untuk menghambat
siklus gen. Sehingga, pada delesi 18q21, maka TGF- β tidak terkode, sehingga tidak
terjadi mekanisme penekanan pertumbuhan sel-sel kanker.
Mutasi P53
Salah satu fungsi dari P53 adalah menginisiasi apoptosis pada sel-sel abnormal yang
biasanya ditandai dengan pemendekan telomer pada sel. Secara normal, sel-sel
dengan telomer pendek akan diapoptosis. Tapi pada mutasi P53, sel-sel abnormal
tersebut bisa lolos dan tetap mengadakan pembelahan selanjutnya, ditambah dengan
pemanjangan telomer dengan enzim telomerase yang dimiliki sel-sel tumor. Hal ini
akan membuat sel-sel kanker lebih leluasa berproliferasi.
Jalur RER
Jalur kedua ini ditandai dengan lesi genetik DNA mismatch repair genes. Seperti pada
skema APC , terjadi akumulasi mutasi gen tetapi gen yang terlibat berbeda dan tahapan
mutasi tersebut tidak menimbulkan perubahan morfologik yang nyata. Gannguan perbaikan
DNA yang disebabkan oleh inaktivasi gen perbaikan ketidakcocokan DNA merupakan awal
yang mendasar dan mungkin mengawali karsinogenesis kanker kolobrektum
Mutasi herediter pada lima gen perbaikan ketidakcocokan DNA (MSH2, MSH6,
MLH1, PMS1, PMS2) yang menyebabkan timbulnya karsinoma kolon nonpoliposis
herediter (HNPCC)
Hilangnya gen perbaikan ketidakcocokan DNA menghasilkan keadaan hypermutable,
dimana sekuensi DNA yang biasanya stabil (mikrosatelit) menjadi tidak stabil selama
proses replikasi DNA (instabilitas mikrosatelit)
Tidak akan berbahaya apabila sekuensi mikrosatelit terletak pada regio noncoding.
Tetapi sebagian sekuensi mikrosatelit terletak pada promoter gen yang mengkode gen
pengendali pertumbuhan sel seperti BAX dan reseptor TGF-β tipe II.
Dari kedua jalur tersebut, FAP yang menyebabkan terbentuknya tumor dari defek pada
system perbaikan ketidakcocokan DNA belum diidentifikasi. Tumor yang terbentuk
sempurna dari jalur RER memeperlihatkan gambaran morfologik khas, termasuk lokasi
tumor yag secara umum sering terdapat di kolon proksimal, histology musinosa dan infiltrasi
limfosit. Secara umum, tumor yang terbentuk dari jalur RER memiliki prognosis yang lebih
baik daripada tumor yang terbentuk dari jalur APC (Robbin, 2007).
2.5 Faktor Resiko
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker colorectal yaitu:
a. Umur :
Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini menimpa
penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70 tahun
(lansia). Kanker colorectal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang
memiliki riwayat colitis ulseratif atau polyposis familial.20
b. Faktor Genetik:
Meskipun sebagian besar kanker colorectal kemungkinan disebabkan oleh faktor
lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi bahwa
ada kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker colorectal. Risiko
terjadinya kanker colorectal pada keluarga pasien kanker colorectal adalah sekitar 3
kali dibandingkan pada populasi umum. Dua sindrom kelainan genetic yang umum
dan berhubungan dengan kanker kolorektal adalah FAP (Familial Adenomatous
Polyposis) dan HNPCC (Hereditary non-polyposis colorectal cancer).
Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker colorectal
diantaranya sindrom poliposis. Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung
1% dari semua kanker colorectal. FAP disebabkan karea adanya mutasi pada gen
APC yang diturunkan dari orang tua. Sekitar 1% kanker kolorektal disebabkan oleh
FAP. Biasanya terdapat pertumbuhan polip dalam jumlah yang banyak (ratusan
hingga ribuan) dan akan berkembang menjadi satu atau lebih polip. Sekitar umur 40
tahun, sebagian besar akan tumbuh menjadi kanker, bila operasi pencegahan gagal
dilakukan.
HNPCC dikenal juga sebagai sindrom Lynch yang kurang lebih menyebabkan
kanker kolorektal sekitar 2-3%. HNPCC disebabkan karena perubahan pada gen yang
memperbaiki DNA. Jumlah polip yang ada tidak sebanyak FAP yang bisa mencapai
ribuan.
c. Faktor Lingkungan
Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting
pada kejadian kanker colorectal. Risiko mendapat kanker colorectal meningkat pada
masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker colorectal yang
rendah ke wilayah dengan risiko kanker colorectal yang tinggi. Hal ini menambah
bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh pada
karsinogenesis.
d. Gaya Hidup
1. Konsumsi
Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker colorectal.
Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko timbulnya
kanker colorectal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat
12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah (misal daging sapi,
kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi atau lebih) akan
mengalami peningkatan risiko kanker colorectal sebesar 35% dibandingkan orang
yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu.Menurut Daldiyono et al. (1990),
dikatakan bahwa serat makanan terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam
tractus digestivus. Serat makanan ini akan menyerap air di dalam colon, sehingga
volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rectum, sehingga
menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan demikian tinja yang mengandung
serat akan lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu
antara masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak
dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek, menyebabkan
kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa colorectal menjadi singkat, sehingga
dapat mencegah terjadinya penyakit di colon dan rectum. Di samping menyerap air,
serat makanan juga menyerap asam empedu sehingga hanya sedikit asam empedu yang
dapat merangsang mukosa colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal dapat
dicegah.
1. Aktivitas
Risiko kanker meningkat pada orang yang jarang beraktivitas dan menurun pada orang
giat beraktivitas.
3. Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan risiko pertumbuhan dan kematian akibat kanker
colorectal meningkat. Obesitas meningkatkan risiko pada laki-laki dan perempuan,
dimana lebih menunjukkan hubungan yang lebih kuat pada laki-laki.
4. Merokok
Merokok memang sering terjadi pada kanker paru-paru, namun menyebabkan adanya
substansi pemicu kanker tertelan dan menyebabkan kanker sistem pencernaan, seperti
kanker colorektal.
5. Alkoholisme
Kanker colorectal mempunyai hubungan dengan alkoholisme berat. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena alkoholisme yang berat cenderung mempunyai asam
folat yang relative rendah.
e. Polyposis Familial
Polyposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden pada populasi
umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi 100-10.000 dalam setiap
usus yang terserang. Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip adenomatosun
bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar pada mukosa colon.
Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit di
abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil yang mengganggu
penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan awal dewasa dan risiko
karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah sekitar 90% pada usia 40
tahun.
f. Polip Adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur sesudah
dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan laki-laki lebih banyak
dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak pada colon sigmoid
(60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip
terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan ukuran 1,2 cm atau
lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma. Semakin besar diameter polip semakin
besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian puncak polip, baik pada
epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan
tangkai serta basis polip. Risiko terjadinya kanker meningkat seiring dengan
meningkatnya ukuran dan jumlah polip.
g. Adenoma Vilosa
Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma colon. Terbanyak
dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa massa papiler, soliter, tidak
bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip.
Adenoma vilosa mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan
diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%. Semakin besar diameter
semakin tinggi pula insiden kanker.
h. Colitis Ulserosa
Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker colorectal yang berhubungan dengan colitis
ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun, dan 10,8% pada 50
tahun.Colitis ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa colon dan
beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip
yaitu penonjolan mukosa colon yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit yang
sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai adanya pseudopolip merupakan
resiko tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus demikian harus dipertimbangkan
tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah terjadinya karsinoma (preventif) dan
menghindari penyakit yang sering berulang-ulang. Karsinoma yang timbul sebagai
komplikasi colitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat tumbuh dan metastasis.
2.6 Gejala Klinis
Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam.
Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB
Feses yang lebih kecil dari biasanya
Keluhan tidak nyamaN pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada
perut
Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
Mual dan muntah,
Rasa letih dan lesu
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah
gluteus.
Staging Karsinoma Kolorektal
Tumor (T)
0 : tidak ada
Is : in situ (terbatas di mukosa)
1 : invasi ke submukosa
2 : invasi muskularis propia
3 : invasi subserosa / lemak perikolon nonperitoneum
4 : invasi struktur di dekatnya
Kelenjar Getah Bening
0 : tidak ada
1 :1-3 kelenjar perikolon positif
2 : lebih dari 4 kelenjar perikolon positif
3 : setiap kelenjar yang positif di sepanjang suatu pembuluh darah bernama
2.7 Diagnosis Banding
Amebiasis : infeksi entamoeba histolytica yang bersarang pada mukosa usus dapat
menyebabkan perdarahan dan penurunan BB.
Kolitis infeksi : infeksi dan peradangan pada usus, bisa karena infeksi shigella atau virus
lain.
Diverticula disease : tonjolan seperti kantung pada dinding yang lemah, bisa
menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjadio perdarahan.
Kolitis ulseratif : inflamasi dan ulserasi kronis pada usus.
Anal fissure : robekan pada mukosa anus.
Hemorroid : pelebaran vena plexus venosus hemorroidalis, bisa internal (tonjolan di
dalam) atau eksternal (tonjolan di luar).
Angiodisplasia : pembuluh darah yang mudah pecah dan rapuh, biasanya pada orang tua
Ca kolorektal : tumor ganas yang paling sering pada saluran pencernaan, tepatnya pada
kolon dan/atau rektal.
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan feses
(seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau terpisah/menetes (terduga
hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya seperti demam
lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola defekasi
(kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut,
pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah dugaan penyebab atau
sumber perdarahan.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter memeriksa
keadaan dinding rektum sejauh mungkin dengan jari; pemeriksaan ini tidak selalu
menemukan adanya kelainan, khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum
menyebar hingga rektum.
2. Pemeriksaan darah dalam tinja.
3. Endoskopi. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat karena selain melihat keadaan dalam
kolon juga bisa bertindak, misalnya ketika menemukan polip endoskopi ini dapat
sekaligus mengambilnya untuk kemudian dilakukan biopsi.
4. Pemeriksaan barium enema dengan double contrast.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan single contrast (barium saja) ataupun double
contrast (barium dan udara). Pada dasarnya ini merupakan x-ray test. Barium yang
dimasukkan dan menyebar di dalam kolon saat x-ray dihidupkan. Udara yang
dimasukkan akan melebarkannya, dan akan tampak visualisasi dari x-ray. Jika ada
area yang dicurigai, perlu dilakukan colonoscopy. DCBE memiliki spesifisitas untuk
adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang
efektif untuk mendeteksi polips di rectosigmoid-colon.
5. Flexible Sigmoidoscopy
Tes ini dilakukan dengan bantuan alat sigmoidscope yang dimasukkan ke
dalam rectum dan dapat menvisualisaskan rectum dan kolon bawah. Prosedur ini
sekaligus dapat dilakukan biopsi. Hasilnya terbukti mengurangi mortalitasi (60%-
80%) dan sensitivitas yang hampir sama dengan colonoscopy (60%-70%). Intepretasi
hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma, atau jaringan
karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan untuk dilakukan
colonoscopy apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan
hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5
tahun.
6. Virtual Colonoscopy
Pada dasarnya colonoscope adalah bentuk yang lebih panjang dari sigmoidscope.
Dengan prosedur yang hampur sama dengan FS, pemeriksaan ini dapat melihat
keseluruhan kolon dan rectum. Pada pemeriksaan ini juga dapat dilakukan biopsy atau
menghilangkan abnormalias seperti polip. Tingkat sensitivitas colonoscopy dalam
mendiagnosis adenokarsinoma atau polip colorectal adalah 95%.
7. CAT Scan
Prosedur ini juga menggunakan x-ray yang akan menghasilkan gambaran cross
sectional. Bisa digunakan pada orang yang tidak mau atau tidak dapat dilakukan tes
invasive. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan
nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon
karena sulitnya dalam menentukan staging dari lesi sebelum tindakan operatif
8. Pemeriksaan kadar CEA (Carcino Embryonic Antigent) darah.
9. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan diagnostik yang
paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren (yang timbul kembali).
10. Pemeriksaan DNA Tinja.
2.9 Penatalaksanaan
Kemoprevensi
Obat Antiinflamatori Nonsteroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan
dengan penurunan mortalitas kanker colorectal. Beberapa OAIN seperti sulindac dan
celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada
pasien dengan FAP (Familial Adenomatous Polyposis). Data epidemiologi
menunjukkan adanya penurunan risiko kanker dikalangan pemakai OAIN namun bukti
yang mendukung manfaat pemberian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah
kanker colorectal sporadik masih lemah.
Pembedahan
Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan,
kolektomi transversal, hemikolektomi kiri atau reseksi anterior, dan reseksi
abdominoperineal. Pembedahan sangat berhasil bila dilakukan pada pasien yang tidak
mengalami metastasis. Pemeriksaan tindak lanjut dengan antigen embrionik adalah
penanda yang sensitif untuk rekurensi tumor yang tidak terdeteksi. Daya tahan hidup
5 tahun adalah sekitar 50%.Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum,
colon ascenden, colon transversum, tetapi lesi di fleksura lienalis dan colon
descenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rectum
proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection). Angka
mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi
maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap metastasis di hati dapat
memberikan hasil 25-35% rata-rata masa bebas tumor (disease free survival rate).
Radiasi
Radiasi pra bedah hanya diberikan pada karsinoma rectum. Sementara itu,
radiasi pasca bedah diberikan jika sel karsinoma telah menembus tunika muscularis
propria, ada metastasis ke kelenjar limfe regional, atau apabila masih ada sisa-sisa sel
karsinoma yang tertinggal akan tetapi belum ada metastasis jauh.
Kemoterapi
Kemoterapi diberikan apabila ada metastasis ke kelenjar regional (Dukes C),
tumor telah menembus muskularis propria (Dukes B), atau tumor setelah dioperasi
kemudian residif kembali.Kemoterapi yang biasa diberikan pada penderita kanker
colorectal adalah kemoterapi ajuvan. Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif
akan mengalami rekurensi. Kemoterapi dibedakan menjadi:
1. Kemoterapi Adjuvant
Kemoterapi ini dilakukan setelah operasi atau terapi radiasi. Pada dasarnya ini
adalah bagian dari terapi kuratif. Kemoterapi akan menghancurkan sel-sel kanker
yang masih berada di dalam tubuh walaupun sudah dilakukan operasi atau terapi
radiasi. Dengan kemoterapi ini dapat mengendalikan lesi subklinis, sisa lokal, atau
yang lebih sering ditemukan adalah mikometastatis yang mungkin terdapat.
Kemoterapi ini telah meningkatkan peluang survival pasca operasi kanker tertentu.
Pasien kanker kolon dengan metastatis ke kelenjar limfe regional setelah
operasi reseksi memakai regimen fluorourasil dan asam folinat (CF/5-FU) atau
regimen FOLFOX dan lainnya.
Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker
colorectal setelah operasi. Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak
perlu terapi ajuvan. Pasien kanker colorectal Dukes C yang mendapat levamisol dan 5
FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor
(disease free interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada kanker colorectal
Dukes B.
2. Kemoterapi Neo-adjuvant
Kemoterapi ini dilakukan sebelum operasi atau terapi radiasi. Tujuan utama
dalam kemoterapi ini adalah untuk mengurangi ukuran tumor sehingga lebih mudah
untuk menghancurkan sel-sel kanker saat operasi ataupun terapi radiasi. Selain
mengurangi ukuran tumor, juga dapat memperbaiki pasokan darah. Pada waktu
bersamaan dapat diamati respon tumor terhadap kemoterapi dan secara dini
melakukan terapi lesi metastatik subklinis yang mungkin terdapat.
Penelitian mutakhir menunjukkan kemoterapi neo-adjuvant meningkatkan
peluang operatif (misal untuk kanker kepala leher, kanker sel kecil, osteosarkoma),
mengurangi pelaksanaan operasi yang membawa kecacatan kanker tertentu (laring,
kandung kemih, kanalis analis), dan memperbaiki kualitas hidup.
Jenis Formula Kemoterapi Dosis dan penggunaan Keterangan
Tumor
Karsinoma
Kolorektal
CF/5-FU (Formula
de Gramont, regimen
dua mingguan)
CF 200 mg/m2 ivd 2jam
d1,2
5-FU 400 mg/m2 iv d1,2
5-FU 600 mg/m2 civ 22 jam
d1,2; diulang tiap 2 minggu
Pemberian obat
mengikuti urutan
tersebut
Xeloda (Kapesitabin)
Xeloda 2500 mg/m2 d,
dibagi 2 kali po, d1-14;
diulang tiap 3 minggu
FOLFOX6
Oksaliplatin 100 mg/m2 ivd
d1
CF 400 mg/m2 ivd d1
5-FU 400 mg/m2 iv d1
5-FU 2,4-3,0 g/m2 civ 46
jam; diulang tiap 2 minggu
Pemberian obat
mengikuti urutan
tersebut
FOLFIRI
Irinotekan (CPT-11) 180
mg/m2 iv d1, 5-FU 400
mg/m2 iv d1, 5-FU 2,4-3,0
g/m2 civ 46 jam; diulang
tiap 2 minggu
Dalam 24 jam pasca
pemberian CPT-11,
timbul diare, sakit
perut, dll, harus
diterapi dengan
atropine. Bila setelah
24 jam timbul diare
harus diterapi dengan
imodium
Klasifikasi Dukes
1. Stadium 0 : stadium kanker in situ; pada stadium ini, sel yang abnormal masih di
temukan pada garis batas dalam dari kolon (muscularis mukosa).
2. Stadium 1 : stadium dukes A; kanker telah menyebar pada garis batas dalam dari
kolon hingga dinding dalam dari kolon dan belum menyebar keluar kolon.
3. Stadium 2 : stadium dukes B; kanker telah menyebar ke lapisan otot dari kolon
hingga lapisan ketiga dari lapisan lemak atau kulit tipis yang mengelilingi kolon
dan rectum. Namun belum mengenai kelenjar limfe.
4. Stadium 3 : stadium dukes C; kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi belum
menyebar ke bagian lain daripada tubuh.
5. Stadium 4 : stadium dukes D; kanker telah menyebar ke organ lain dari tubuh
seperti hati dan paru-paru.
Pembahasan 5FU (Fluorourasil)
Agen kemoterapi 5-FU, yang telah digunakan untuk melawan kanker selama sekitar
40 tahun, bertindak dalam beberapa cara, tetapi terutama sebagai inhibitor sintase
timidilat.Mengganggu aksi ini sintesis enzim blok dari pirimidin timidin, yang
merupakan nukleosida diperlukan untuk replikasi DNA. Sintase timidilat methylates
monofosfat deoxyuridine (Dump) menjadi monofosfat timidin (dTMP). Administrasi
5-FU menyebabkan kelangkaan di dTMP, sehingga sel-sel kanker dengan cepat
mengalami kematian sel.
Merupakan analog pirimidin yang terserap ke dalam DNA sebelum pembelahan
terjadi.
5FU juga mengalami fosforibosilasi oleh orotat fosforibosil transferase,
Banyak digunakan sebagia terapi paliatif untuk karsinoma kolorektal diseminata dan
karsinoma mammae. Obat ini hanya berguna pada tumor padat(solid). Sebagai obat
tunggal, respons untuk kedua kanker tersebut hanya 20% dan 30%. Bila diberikan
dalam regimen CMF (siklofosfamid, metotreksat, fluorourasil) atau CAF
(siklofosfamid, adriamisin, fuorourasil), fluorourasil merupakan pilihan kemoterapi
adjuvan untuk karsinoma mammae. Fluorourasil juga berguna untuk karsinoma
ovarium, prostat, kepala, leher, pankreas, esofagus, hepatoma.
Efek samping terutama mengenai sistem hemopoietik dan saluran cerna. Leukopenia
merupakan efek samping primernya, pemulihan terjadi apabila dosis dikurangi.
Stomatitis aftosa merupakan petunjuk bahwa obat harus dihentikan secara temporer.
Netralisasi Radikal Bebas
DNA manusia dapat beriktan dengan senyawa kimia yang memiliki satu lengan bebas
/ 1 orbital electron tidak berpasangan misalnya dengan metal dan radikal bebas.
Radikal bebas bebas dapat menyebabkan kerusakan DNA yang dapat memberikan
implikasi pada pembunuhan sel dan perubahan sel menjadi ganas. Sel membentuk
beberapa system enzimatik dan non enzimatik untuk menonaktifkan radikal bebas :
Kerusakan DNA spontan akan langsung mengaktifkan enzim superoksida
dismutase (SOD) untuk mengkatalis radikal bebas
Glutation peroksidase melindungi sel dengan mengkatalis perurusakan radikal
bebas.
Katalase terdapat dalam peroksisom, langsung mendegradasi hydrogen
peroksida
Antioksidan endogen ataupun eksogen (Vit E,A,dan C serta β-karoten) juga
dapat menghambat pembentukan radikal bebas
Zat besi dan tembaga yang diionisasi bebas dapat mengkatalis pembentukan
spesies oksigen reaktif (Robbin, 2007).
Pencegahan
1. Mengubah pola makan dengan mengonsumsi lebih banyak serat.
2. Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi
Penderita kolitis ulseratif atau Crohn lebih dari 10 tahun
Bila telah 20 tahun atau telah ditemukan displasia maka dianjurkan untuk melakukan
kolonoskopi setiap tahun
Penderita pasca polopektomi karena adenoma kolon dan rektum
- Harus ditawarkan kolonoskopi follow up
- Bila ditemukan polip < 1 cm maka dikolonoskopi setiap 5 tahun
- Bila ditemukan adenoma > 3 adenoma atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm
atau adanya displasia berat maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun
Individu yang memilki resiko tinggi menderita FAP berdasarkan riwayat keluarga
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN1) Perdarahan per rectum bisa terjadi karena adanya penyakit di saluran perncernaan bagian
bawah, terutama mulai dari daerah kolon ascenden sampai dengan rectum. Hal ini bisa
disebabkan karena adanya trauma, penyakit bakteriologis, maupun keganasan neoplasma.
2) Pada skenario ini, pasien didiagnosis terkena karsinoma kolorektal berdasarkan
manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan yang ada.
3) Karsinoma kolorektal terjadi di daerah kolon maupun rektum dimana kedua organ ini
merupakan saluran terakhir proses metabolisme zat-zat yang masuk ke tubuh dan sebagai
saluran pembuangan zat-zat yang tidak diperlukan tubuh.
4) Banyak faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya perdarahan ini. Penting bagi dokter
untuk mengetahuinya guna mengatahui diagnosa banding penyakit yang diderita oleh
pasien.
5) Penatalaksanaan pasien dilakukan berdasarkan dengan diagnosa pasti pasien. Untuk
menentukan diagnosa pasti terkadang diperlukan berbagai pemeriksaan penunjang agar
tidak terjadi kesalahan dalam mendiagnosis.
SARANWalaupun karsinoma kolorektal belum diketahui penyebabnya secara pasti, sebagai
tindakan preventif, seseorang harus menghindari faktor-faktor resiko yang bisa menyebabkan
terjadinya karsinoma kolorektal.
Harapan untuk tutorial ke depannya mahasiswa lebih mendalami apa yang akan
didiskusikan, banyak membaca sehingga tutorial tidak macet karena sudah kehabisan bahan
diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 2012. Colorectal Cancer Early Detection.
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003170-pdf.pdf (diakses
tanggal 17 September 2012)
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi., Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi., Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Desen, Wan. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 11. Jakarta
Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 848.
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L., 2007. Buku Ajar Patologi, Ed. 7, Vol.
2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Murray, Robert K; Granner, Daryl K; Rodwell, Victor W. 2009. Biokimia Harper., Edisi 27.
Jakarta: EGC.
Pierce A, Grace & Neil R Borley. 2007. At a Glance : Ilmu Bedah., Edisi 3. Jakarta : EMS.
Price, Sylvia A; Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses – proses
penyakit. Jakarta : EGC.
Siregar, G.A. 2008. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Kanker Usus Besar. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Sobin LH, Wittekind C. 2002. UICC: TNM classification of malignant tumours. 6th ed.
London.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Winawer, SJ., Zauber, AG., Gerdes H., et.al., 1996. Risk of Colorectal Cancer in the Families
of Patient With Adenomatous polyps. National Polyp Study Workgroup. N Engl J
Med 1996:334;81-7.
Youjian, He. 2011. Kemoterapi Tumor Ganas dalam Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis
Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.