tugas skripsi novita
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan tidak dapat digerakan tanpa adanya dukungan dana terutama
yang berasal dari dalam negeri sehingga pada sektor ini penerimaan dalam negeri
sangat diperlukan. Pemerintah berupaya setiap tahunnya penerimaan dalam
negeri terutama dari pajak terus meningkat. Demikian penting pajak bagi negara,
maka pemungutannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 23 huruf (a), bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan
Undang-undang.
Bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya, oleh karena itu wajar apabila mereka
diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang
diperolehnya kepada negara melalui pajak, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB). Pengaturan PBB, terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985,
yang di ubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak
Bumi dan Bangunan atau yang disebut dengan UUPBB.Undang-undang ini
merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas
bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, penguasaan
dan/atau perolehan manfaat atas bangunan.
Untuk memudahkan wajib pajak menerapkan kewajibannya, maka
pemerintah menyediakan berbagai fasilitas diantaranya adalah: Bank, Pos dan
Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Hal ini menunjukan
begitu besarnya perhatian dan fasilitas yang diberikan kepada wajib pajak
untuk melaksanakan kewajibannya, tetapi dilapangan dalam penerapan
pemungutan PBB tidak semudah yang dibayangkan karena masih ada wajib pajak
yang belum menyadari akan pentingnya pemenuhan kewajiban tersebut bagi
dirinya dan Negara, sehingga mereka belum mau membayar PBB.
Dalam hal penerapan pemungutan PBB pada Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Lampung Utara, ditemukan bahwa terdapat permasalahan
ketidakpatuhan/kelalaian wajib pajak PBB di Kabupaten lampung Utara. Hal ini
tergambar data tentang target dan capaian pendapatan pajak PBB Kabupaten
Pinrang tahun anggaran 2010, sebagai berikut:
PBB yang ditergetkan oleh APBD sebesar Rp.4.998.769.768,- tetapi
realisasinya hanya mencapai Rp.3.698.369.808,- atau 73,99%dengan capaian
terendah yang terdapat di Kecamatan Watang Sawitto yaitu Rp.246.313.030,- atau
57,22%.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti dan mengkaji permasalahan yang ada dan membahas permasalahan
tersebut kedalam bentuk skripsi yang berjudul: “Penerapan Sanksi Administrasi
Terhadap Ketidakpatuhan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Di
Kecamatan Watang Sawitto Kabupaten Pinrang”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana bentuk-bentuk atau jenis-jenis
sanksi administrasi dalam penerapan terhadap ketidakpatuhan membayar pajak
bumi dan bangunan, yaitu berupa :
1. Bagaimana penerapan sanksi administrasi terhadap ketidakpatuhan wajib
pajak dalam membayar PBB di Kecamatan Watang Sawitto Kabupaten
Pinrang?
2. Faktor-faktor apakah yang menghambat penerapan sanksi administratif
terhadap ketidakpatuhan wajib pajak dalam membayar PBB di Kecamatan
Watang Sawitto Kabupaten Pinrang ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami:
1. Untuk mengetahui dan memahami penerapan sanksi administrasi terhadap
ketidakpatuhan wajib pajak dalam membayar PBB.
2. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang menghambat penerapan sanksi
administrasi terhadap ketidakpatuhan wajib pajak dalam membayar PBB.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bermanfaat, baik secara teoritis dan praktis :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan berguna untuk dapat menemukan atau
menghasilkan tatacara penerapan sanksi administrasi kepada wajib pajak PBB
yang tidak patuh menunaikan kewajiban.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini berguna sebagai acuan atau referensi bagi pemerintahan
daerah dalam rangka menghasilkan keputusan pemberian sanksi administrasi
terhadap wajib pajak PBB yang tidak patuh menunaikan kewajibannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian PBB
Pengertian PBB menurut UUPBB adalah iuran yang dikenakan terhadap
pemilik, pemegang kekuasaan, penyewa dan yang memperoleh manfaat dari
bumi dan atau bangunan. Pengertian Bumi disini adalah termasuk permukaan
bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bumi menunjuk pada permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada
tanah dan atau perairan dan digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat
berusaha.
Dari peranan di atas, dapat disimpulh\kan bahwa pengertian PBB adalah
iuran yang dikenakan terhadap orang atau badan yang secara nyata mempunyai
hak, memilik, menguasai dan memperoleh manfaat dari buni dan bangunan.
2. Objek PBB
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU PBB, yang menjadi Objek PBB adalah
bumi dan atau bangunan. bumi, permukaan bumi, tanah (perairan) dan tubuh
bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan yang juga dijadikan objek PBB
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan
atau perairan. Selanjutnya penjelasan dari Pasal 1 Angka (2) UUPBB,
menguraikan lebih lanjut mengenai pengertian bangunan yang menjadi objek PBB
adalah :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komplek suatu bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu
kesatuan denan kompleks banguan tersebut;
b. Jalan TOL;
c. Kolam renang;
d. Pagar mewah;
e. Tempat olahraga;
f. Galangan kapal;
g. Darmaga;
h. Taman mewah;
i. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas;
j. Pipa minyak;
k. Fasilitas lain yang memberi manfaat
Dalam rangka memberikan manfaat kepada pemerintahan atau berupaya
dalam pelaksanaan pemungutan PBB secara adil maka undang-undang
memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur tentang
klasifikasi objek pajak.yang dimaksud dengan klasifikasi objek bumi dan
bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan
digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak
terhutang.
Menurut Mardiasmo (2002:271) dalam menentukan klasifikasi bumi
dan bangunan Menteri Keuangan harus memperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Bumi/tanah:
1) Letak;
2) Peruntukan;
3) Pemanfaatan;
4) Kondisi;
b. Bangunan:
1) Bahan yang digunakan;
2) Rekayasa;
3) Letak;
4) Kondisi lingkungan dan lain-lain;
Objek PBB yng tidak dikenakan PBB pasal 3 UUPBB yaitu objek pajak
yang :
a. Digunakan semata-semata untuk melayani kepentingan umum yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan
itu;
c. Merupakan hutan lindung, hutan seuka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani oleh suatu hak;
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsultan berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh mentri keuangan;
f. Objek pajak digunakan oleh untuk penyelenggaraan pemerintahan;
g. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (OJOPTKP) ditetapkan
paling besar Rp.12.000.000 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib pajak.
3. Subjek PBB
Subjek PBB menurut Pasal 4 UUPBB adalah orang atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas
bangunan.Selanjutnya dapat dirinci, bahwa yang dimksud subjek pajak
sebagaimana dimaksudkan diatas adalah terdiri dari orang atau badan yang:
a. Memiliki atau mempunyai hak atas bumi dan atau bangunan:
1) Memiliki atau mempunyai hak atas bumi (tanah) saja;
2) Memiliki atau mempunyai hak atas bangunan saja; dan
3) Memiliki atau mempunyai hak atas bumi (tanah dan bangunan).
b. Menguasai bumi dan atau bangunan:
1) Menguasai bumi (tanah) saja;
2) Menguasai bangunan saja; dan
3) Menguasai bumi (tanah) dan bangunan;
c. Memperoleh manfaat atas bumi dan atau bangunan:
1) Memperoleh manfaat atas bumi (tanah) saja;
2) Memperoleh manfaat atas bangunan saja; dan
3) Memperoleh manfaat atas bumi (tanah) dan bangunan.
Berdasarkan rincian diatas, dapat disimpulkan bahwa subjek PBB adalah:
a. Pemilik;
b. Pemegang kekuasaan;
c. Penyewa atau sebagainya.
Subjek pajak sebagaimana diuraikan diatas, adalah pihak yang berkewajiban
mendapatkan objek pajak dan membayar PBB. Dalam hal ini disebut wajib pajak.
Terhadap objek pajak yang belum jelas wajib pajaknya, UUPBB memberikan
wewenang pada Ditjen pajak untuk menetapkan subjek pajak sebagai wajib
pajak.sebagai keseimbangan, UUPBB memberikan hak kepada subjek pajakyang
telah ditetapkan sebagai wajib pajak untuk dapat memberikan keterangan secara
tertulis kepada Ditjen pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak
dimaksud.atas keberatan tersebut dalam waktu sebulan sejak diterimannya surat
keterangan ini Ditjen pajak akan mengeluarkan surat keputusan disertai dengan
alasan-alasannya. ( Pasal 4 UUPBB).
4. Tinjauan Tentang Sanksi Administrasi
a. Pengertian Sanksi Administrasi dan Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Sanksi merupakan penegak hukum selain pengawasan,sanksi merupakan
bagian penting dalam setiap peraturan parunang-undangan. Sanksi biasanya
dicantumkan pada bagian akhir suatu perundang-undangan (incaun
davenenum ). Sanksi diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin penegakan
hukum administrasi, karena sanksi mempuyai sifat memaksa.
Menurut Philipus M Hadjon (2002 : 245) mendefinisikan secara jelas
tentang pengertian sanksi administrasi, tetapi hanya memberikan batasan bahwa
dalam hukum administrasi, penggunaan dan penerapan sanksi administrasi
merupakan wewenang pemerintah. Sanksi administrasi ditinjau dari hukum
administrasi, karena merupakan alat kekuasaan yang bersifat publik yang dapat
digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban
yang telah ditetapkan dalam norma hukum administrasi negara.
S Prajudi Atmosudirjo (1994 : 141) mendefinisikan secara jelas
tentang pengertian sanksi administrasi tetapi hanya menyebutkan bahwa bilamana
dalam suatu tindakan hukum administrasi terhadap suatu ikatan hukum (r
echts betr ekking ) diantara administrasi dan seorang warga masyarakat, dimana si
warga masyarakat terikat (veplich ting) untuk melakukan atau memenuhi
sesuatu, sedangkan ia lalai atau tidak dapat menunaikannya, maka administrasi
dapat melakukan danksi hukum adminstrasi negara terhadapnya tanpa perantara
atau melalui hakim.
Dari kedua pendapat diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian
sanksi administrasi adalah alat kekuasaan pemerintah yang bersifat publik
memaksa, yang digunakan sebagai reaksi dari kelalaian warga masyarakat
terhadap kewajibannya, yang pelaksanaannya tidak memerlukan putusan
pengadilan terlebih dahulu.
Menurut Rochmat Soemitro (1991:84) mengatakan bahwa sanksi
administrati sifat dan pelaksanaanya lian dari pada sanksi pidana. Sanksi
administratif adalah hukuman yang dijatuhkan oleh pejabat administrasi terhadap
wajib pajak yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang dikualifikasikan
lebih ringan dari pada tindak pidana, yang selalu berupa sejumlah uang, baik suatu
jumlah tetap atau suatu perkalian atau persentase dari jumlah pajak yang terutang.
Sedangkan menurut Marsono (1986:46) sanksi administrasi merupakan sanksi
yang dikenakan bagi subyek pajak atau wajib pajak dalam hal tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan data obyek pajak dan waktu
pembayaran pajak.
b. Jenis Sanksi Administrasi
Menurut Philipus M Hadjo (2002 : 245) sanksi Administrasi terdiri dari :
1) Paksaan pemerintah (bes tuurs dw ang), yaitu tindakan nyata yang
dilakukan oleh odgan pemerintahan atau atas nama pemerintah untuk
memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki
pada keadaan semula terhadap hal yang telah dilakukan atau sedang
dilakukan yang bertentangan dengan peraturan perudang-undangan.
2) Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan.
3) Pengenaan denda administrasi yang bersifat tambahan terhadap
hukuman yang telah dijatuhkan atas pelanggaran peraturan perundang-
undangan, sanksi ini biasanya terdapat pada hukum pajak, jaminan
sosial dan hukum kepegawaian.
4) Pengenaan uang paksa (dw angs om ) diterapkan kepada warga negara
yang tidak mematuhi atau melanggar peraturan perundang-undangan .
Menurut Bambang Waluyo (1989:84) dalam bukunya tindak pidana
perpajakan menyatakan bahwa saksi administratif sampai dengan saksi pidana
yang berupa saksi pidana pencabutan kemerdekaan dikenakan terhadap wajib
pajak yang menyimpang dari ketentuan kewajiban perpajakan. Dan saksi
administratif perpajakan itu sendiri ada 3 (tiga) macam yang dapat dikenakan
terhadap wajib pajak sesuai dengan sistem Undang-Undang perpajakan, tiga
macam sanksi administrasi tersebut adalah:
a. Denda Aministrasi;
b. Sanksi Bunga;
c. Sanksi Kenaikan Pajak;
Berdasarkan dari tiga macam sanksi administrasi tersebut adalah:
1) Denda administrasi
Besar saksi administrasi yang berupa denda administrasi sangat
bervariasi dan bergantung pada tingkat kepatuhan wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban formal penyampaian Surat Pemberutahuan Tahunan
(SPT), seperti:
a) Adanya kekeliruan dalam pengisian SPT
b) Adanya kelalaian pengisian faktur pajak dan
c) Adanya keterlambatan pembayaran pajak terhutang.
Secara rinci denda administrasi yang dimaksud meliputi:
i. Denda administrasi sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
dan 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dikenakan terhadap wajib
pajak yang tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
SPT, yaitu apabila terlambat menyampaikan SPT melampaui batas
20 (dua puluh) hari bagi penyampaian surat pemberitahuan masa
dan 3 (tiga) bulan bagi penyampaian surat pemberitahuan tahunan.
(Pasal 3 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
selanjutnya disebut UU KUP).
ii. Denda administrasi sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang
dibayar. Sanksi ini dikenakan terhadap wajib pajak yang dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terhutang ( Pasal 8 Ayat (3) UU KUP). Pasal 8 Ayat (3)
menyebutkan bahwa: sekalipun telah dilakukan tindak
pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan wajib
pajak sebagai mana dimaksud dalam Pasal 38 UU KUP, terhadap
ketidak benaran wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila wajib pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidak benaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
iii. Denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari dasar pengenaan
pajak, dikenakaan terhadap pengusaha kena pajak yang tidak
melaporkan usahanya kepada Direktur Jenderal pajak ditempat
pengusaha bertempat tinggal atau berkedudukan dan tidak
membuat atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak ( Pasal 14
UUKUP).
iv. Denda administrasi sebesar 2% (dua persen ) sebulan. Menurut
Pasal 11 Ayat (3) UU PBB: pajak yang terhutang yang pada saat
jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar,
dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dau persen) sebulan,
yang dihitungdari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
v. Denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak. Denda
administrasi sebesar ini dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak
menyampiakan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP dan setelah
ditegur secara tertulis melalui surat teguran ( Pasal 9 Ayat (2) dan
Pasal 10 Ayat (2) huruf a dan Ayat (3) UU PBB).
vi. Denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang
terhutang. Pengenaan sanksi yang demikian ditujukan terhadap
wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata jumlah
pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak ( Pasal 10
Ayat (2) huruf b dan Ayat (4) UU PBB).
vii. Denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari bea
materai yang tidak atau kurang dibayar.
2) Sanksi Bunga
Pengenaan sanksi berupa bunga sebesar 2% perbulan dikenakan
terhadap wajib pajak yang pembayaran pajaknya tidak sesuai dengan
ketentuan atau terlambat dibayar ( Pasal 8 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (3) dan
Pasal 19 UU KUP)
3) Sanksi Kenaikan Pajak
Wajib pajak melakukan ketidak benaran dalam pengisian SPT
dapat dikenakan sanksi berupa ketetapan pajak tambahan dengan kenaikan
pajak sebesar 50% (lima puluh persen) bagi wajib pajak yang membayar
sendiri beban pajaknya ataau 100% bagi pemotong atau pemungut pajak
(Pasal 15 UU KUP). Sanksi administrasi adalah hukuman ringan dari pejabat
administrasi terhadap subyek pajak atau wajib pajak yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Perpajakan (UU PBB) yang berlaku, sanksi
administrasi tersebut dapat berupa bunga, denda dan kenaikan jumlah pajak
yang harus dibayarkan.
c. Sanksi Administrasi Dalam UUPBB
Sanksi administratif bagi wajib PBB telah diatur dalm UUPBB yaitu Pasal
9 Ayat (2), Pasal 10 Ayat (2), (3) dan Ayat (4) dan dalam Pasal 11 Ayat (3)
UUPBB adalah sebagai berikut:
a. Denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak bagi wajib pajak
yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP)
walaupun sudah ditegur secara tertulis seperti yang dirumuskan dalam Pasal 9
Ayat (2) dan Pasal 10 Ayat (2) huruf a dan Ayat (3) UUPBB yaitu:
Pasal 9 Ayat (2) menyebutkan bahwa :
Surat pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
harus diisi dengan jelas, benar,dan lengkap serta ditandatangani dan
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi obyek pajak,selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal
diterimanya surat pemberitahuan Obyek Pajak dan Subyek Pajak.
Pasal 10 ayat(2) huruf a menyebutkan bahwa:
Apabila Surat Pemberitahuan Obyek pajak tidak disampaikan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9ayat(2) dan telah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
Pasal 10 ayat(3) menyebutkan bahwa :
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagai mana
dimaksud dalan Ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda
administrasi sebesar 25% (dua puluh lama persen) dihitung dari pokok pajak.
b. denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terhutang bagi wajib
pajak yang melaporkan data obyek pajak tidak benar (lebih kecil dari hasil
pemeriksaan Drirektorat Jendral Pajak). Hal tersebut telah dirumuskan dalam
Pasal 10 Ayat (2) huruf b dan Ayat (4) UUPBB yaitu:
Pasal 10 Ayat (2) huruf b, meyebutkan bahwa apabila berdasarkan
pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih
besar dari jumlah pajak yang dihutangkan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
Pasal 10 Ayat (4) menyebutkan bahwa :
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak senagai mana yang
dimaksud dalam Ayat (2) huruf b,adalah selisih pajak yang terutang
berdasarkan hasil pemeriksan tau keterangan lain dengan pajak yang
terutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak terhutang.
c. dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan,yang dihitung dari saat
jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran. Untuk jangka waktu paling
lama 24 bulan untuk pajak terhutang yang pada saat jatuh tempo
pembayaran tidak dibayar atau pembayaran kurang, seperti yang dirumuskan
dalam:
Pasal 11 Ayat (3) UU PBB yaitu:
Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, yang
dihitung pada saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan. Yang perlu diperhatikan oleh wajib pajak
adalah saat pelunasan denda administrasi tadi ditambah dengan hutang
pajak yang belum atau kurang dibayar yaitu paling lambat dibayar dalam
waktu 1 bulan sejak tanggal diterimanya surat tagihan pajak oleh wajib
pajak. Mengenai tempat pembayaran pajak yang terutang, ditentukan
dibank, kantor Pos dan Giro ataupun tempat lain yang ditunjuk ( Pasal 11
Ayat (4) dan (5) UU PBB).
d. Pengertian Ketidakpatuhan
Kata dasar dari ketidakpatuhan adalah patuh, dan yang dimaksud dengan
patuh adalah taat, setia, atau loyal (M. D. J.AL Barri, 1996:326). Patuh adalah
selalu menurut selalu taat, mematuhi, manaati (Suwardi Notosudirjo,1990 :
223). Sedangkan pengertian patuh menurut kamus Besar
Bahasa Indonesia,(1997:654) adalah suka menurut (perintah dan sebagai),
berdisiplin, mematuhi, mantaati.Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa
ketidakpatuhan adalah sikap yang tidak taat, tidak mematuhi, tidak berdisiplin,
dan tidak menuruti terhadap perintah dan peraturan atau ketentuan yang
berlaku.Ketidakpatuhan wajib pajak (wajib PBB) dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya dapat mempengaruhi penerimaan pajak dan peningkatan
penerimaan pajak. Untuk itu apabila terdapat wajib PBB yang tidak memenuhi
kewajibannya, maka selayaknya pejabat administrasi dari suatu kantor pelayanan
pajak untuk memberi sanksi sesuai aturan yang ada.
e. Jenis Ketidakpatuhan wajib pajak PBB
Ketidakpatuhan wajib pajak dalam UUPBB dapat dirinci sebagai berikut:
1) Wajib pajak tidak menyampaikan SPOP walaupun sudah ditegur secara
tertulis (Pasal 9 Ayat (2) dan Pasal 10 Ayat (2) huruf a UU PBB).
2) Wajib pajak melaporkan data obyek pajak tidak benar (lebih kecil dari
hasil pemeriksaan Ditjen Pajak).(Pasal 10 Ayat (2) huruf b UU PBB).
3) Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau
kurang dibayar (Pasal 11 Ayat (3) UUP BB).
Menurut Salamun AT (1990: 191) terdapat Enam (6) hal yang
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, yaitu:
a. Tarif pajak ;
b. Pelaksanaan penagihan yang rapi, konsisten dan konsekuen;
c. Ada tidaknya sanksi pelanggaran;
d. Pelaksanaan sanksi secara konsisten, konsekuen dan tanpa pandang bulu;
e. Pembelanjaan dan penggunaan dana tersebut harus untuk kepentingan umum
dan kesejahteraan masyarakat, maksudnya adalah hasil dari pajak tersebut
terlihat oleh masyarakat dan berwujud nyata;
f. Pelayanan birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih tanpa adanya
kesulitan, pemungutan liar dan korupsi.
Dari ke-Enam hal tersebut empat hal (1-4) hal berada dalam kewenangan
Dirjen Pajak sedangkan sisanya berdada diluar kewenangan Dirjen pajak.
Menurut Salamun AT (1990:191) Sebab-sebab ketidakpatuhan wajib pajak dalam
melaksanakan kewajibanya secara umum dibagi dalam dua bagian:
a. Sebab-sebab yang berasal dari individu:
1) Kondisi ekonomi, yaitu rendahnya tingkat pendapatan;
2) Tingkat pendidikan yang rendah;
3) Kesadaran moral yang rendah;
b. Sebab - sebab yang berasal dari luar individu:
1) Sistem pemungutan itu sendiri;
2) Lemahnya sanksi yang diterapkan;
5. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan PBB
Tata cara pembayaran dan penagihan PBB telah ditentukan dalam Pasal 11,
12, 13, dan 14 UUPBB, yang pokoknya mengatur hal-hal berikut:
a. Jangka waktu pembayaran PBB yang terutang berdasarkan SPPT (Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang), selambat-lambatnya enam bulan sejak
tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
b. Jangka waktu pembayaran PBB yang terutang berdasarkan surat ketetapan
pajak (SKP), selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterimanya SKP
oleh wajib pajak.
c. Denda administrasi atas pajak yang terutang (tidak atau kurang bayar) setelah
jatuh tempo sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh
tempo sesuai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan.
d. Penagihan dengan Surat Tagihan Pajak (STP) harus dilunasi selambat -
lambatnya 1(satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak.
Tempat pembayaran PBB adalag di bank, kantor pos dan giro, dan tempat
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
e. SPPT, SKP dan STP merupakan dasar penagihan pajak.
f. Surat paksa untuk jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak
dibayar pada waktunya.
g. Pelimpahan wewenang penagihan PBB kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota.
6. Dasar Hukum Penerapan Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi terhadap ketidak patuhan wajib pajak dalam membayar
pajak PBB di atur dalam :
a. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang ketentuan umum dan tatacara
perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang KUTAP.
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Perubahan
Pertama Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang PBB.
c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa.
7. Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PBB
Untuk menghitung besarnya PBB, telah ditentukan dalam Pasal 5, 6, dan 7
UU PBB dengan unsur-unsur sebagai berikut:
Uraian dari unsur-unsur tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Tarip Pajak berdasarkan Pasal 5 UUPBB menyebutkan bahwa tariff pajak
yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima per sepuluh
persen).
b. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); NJOP yang berupa tanah (bumi) dan
bangunan dapat ditentukan sebagai berikut:
1) Pendekatan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, yaitu
suatu pendekatan untuk menentukan NJOP dengan cara
membandingkanya dengan harga objek lain yang sejenis dan letaknya
berdekatan serta telah diketahui harga jualnya.
2) Pendekatan nilai perolehan baru, yaitu pendekatan untuk menentukan
NJOP derngan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh/membangun objek pajak dengan dipergunakan unit biaya
dari material/ komponen bangunan.
3) Pendekatan nilai jual pengganti, yaitu suatu pendekatan untuk
menentukan NJOP dengan memperhitungkan hasil produksi/ pendapatan
objek pajak yang bersangkutan. Berdasarkan pasal 6 ayat (2) UUPBB
bahwa besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 tahun oleh mentri keuangan
RI. Namun demikian, untuk daerah tertentu yang tingkat
pembangunannya mengakibatkan peningkatan NJOP-nya terlalu besar,
maka NJOP ditetapkan setahun sekali. Dalam hal penetapan nilai jual
mentri keuangan RI mendengar pertimbangan gubernur serta
memperhatikan asas s elf ass es sm ent (wajib pajak diberi kepercayaan
untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang).
c. Dasar penghitungan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) adalah NJKP yang
ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-
tingginya 100% dari NJOP.
d. Rumusan menghitung PBB untuk menghitung besarnya PBB yang terutang
adalah dengan cara mengalihkan tarif pajak yang besarnya 0,5% (lima per
sepuluh persen) dari NJKP (pasal 7 UUPBB).
PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI
TERHADAP KETIDAKPATUHAN MEMBAYAR PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN
WATANG SAWITTO KABUPATEN PINRANG
NOVITA SARI
106514031
ILMU ADMINISTRASI NEGARAFAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR2013