tugas 2 aatl gsmineral dudinasrudin libre

14
ANALISIS APLIKASI TEKTONIK LEMPENG DAN GEOLOGI SUMBER DAYA MINERAL ENDAPAN EMAS EPITERMAL DALAM LINGKUNGAN BUSUR BENUA (THE ENVIRONMENT CONTINENTAL ARC WITH EPITHERMAL GOLD DEPOSITS) Oleh Dudi Nasrudin Usman 270130130501 TUGAS II Tugas ini Disampaikan untuk Mata Kuliah Analisis Aplikasi Tektonik Lempeng dan Geologi Sumber Daya Mineral diampu oleh Prof. (EM). Dr. Ir Adjat Sudradjat, M.Sc dan Ir. Mega Fatima Rosana, M.Sc., Ph.D PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2014

Upload: erwin-bakker

Post on 03-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

mineral

TRANSCRIPT

  • ANALISIS APLIKASI TEKTONIK LEMPENG DAN GEOLOGI SUMBER DAYA MINERAL

    ENDAPAN EMAS EPITERMAL DALAM LINGKUNGAN BUSUR BENUA (THE ENVIRONMENT CONTINENTAL ARC WITH EPITHERMAL GOLD DEPOSITS)

    Oleh Dudi Nasrudin Usman

    270130130501

    TUGAS II

    Tugas ini Disampaikan untuk Mata Kuliah Analisis Aplikasi Tektonik Lempeng dan Geologi Sumber Daya Mineral diampu oleh

    Prof. (EM). Dr. Ir Adjat Sudradjat, M.Sc dan Ir. Mega Fatima Rosana, M.Sc., Ph.D

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN

    BANDUNG 2014

  • i

    ENDAPAN EMAS EPITERMAL DALAM LINGKUNGAN BUSUR BENUA THE ENVIRONMENT CONTINENTAL ARC WITH EPITHERMAL GOLD DEPOSITS

    DUDI NASRUDIN USMAN Mahasiswa Program Doktor Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

    Email : [email protected]

    ABSTRAK

    Proses pergerakan lempeng samudera dan lempeng benua berujung kepada pembentukan kelompok-kelompok busur lempeng, dimana salah satunya yaitu busur benua (continental arc). Busur benua merupakan

    Continental arc atau busur benua adalah jalur gunungapi/volkanik yang terbentuk ketika lempeng samudera bertemu dengan lempeng benua, kemudian lempeng samudera menunjam miring di bawah lempeng benua, lalu pada lempeng benua (sebagai overriding plate) terbentuk jalur gunungapi hasil peleburan sebagian lempeng samudera yang menunjam dan mantel di sekitarnya pada kedalaman 100-150 km.

    Mineralisasi emas di Indonesia terbentuk pada busur andesitik yang terjadi dalam rentang Cretaceous hingga Pliosen (3-20 Ma tahun), terutama pada usia Neogen. Pada masa tersebut, lempeng lempeng yang menyusun Indonesia mulai mengalami pertemuan dan membentuk zonasi tertentu secara aktif. Setiap busur dicirikan oleh mineralisasi spesifik yang menunjukkan bahwa dasar busur berhubungan dengan tumbukan awal dan perubahan dalam polaritas tektonik dan tingkat erosi.

    Tipe deposit emas yang teridentifikasi di Indonesia adalah porfiri tembaga emas, skarn, sistem high dan low epithermal sulphidation, emas sediment-hosted, deposit Au-Ag-barite + base metals dan tipe Kelian, yaitu peralihan tipe porfiri ke sistem epitermal.

    Kata Kunci : Busur Benua (Continental Arc), dan Epithermal Deposits

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    Menurut teori Lempeng Tektonik, lapisan terluar bumi kita terbuat dari suatu lempengan tipis dan keras yang masing-masing saling bergerak relatif terhadap yang lain. Gerakan ini terjadi secara terus-menerus sejak bumi ini tercipta hingga sekarang. Teori Lempeng Tektonik muncul sejak tahun 1960-an, dan hingga kini teori ini telah berhasil menjelaskan berbagai peristiwa geologis, seperti gempa bumi, tsunami, dan meletusnya gunung berapi, juga tentang bagaimana terbentuknya gunung, benua, dan samudra.

    Lempeng tektonik terbentuk oleh kerak benua (continental crust) ataupun kerak samudra (oceanic crust), dan lapisan batuan teratas dari mantel bumi (earth's mantle). Kerak benua dan kerak samudra, beserta lapisan teratas mantel ini dinamakan litosfer. Kepadatan material pada kerak samudra lebih tinggi dibanding kepadatan pada kerak benua. Demikian pula, elemen-elemen zat pada kerak samudra (mafik) lebih berat dibanding elemen-elemen pada kerak benua (felsik).

    Di bawah litosfer terdapat lapisan batuan cair yang dinamakan astenosfer. Karena suhu dan tekanan di lapisan astenosfer ini sangat tinggi, batu-batuan di lapisan ini bergerak mengalir seperti cairan (fluid).

    Lempeng tektonik bisa merupakan kerak benua atau samudera, tetapi biasanya satu

    lempeng terdiri atas keduanya. Misalnya, Lempeng Afrika mencakup benua itu sendiri dan sebagian dasar Samudera Atlantik dan Hindia. Perbedaan antara kerak benua dan samudera ialah berdasarkan kepadatan material pembentuknya. Kerak samudera lebih padat daripada kerak benua dikarenakan perbedaan perbandingan jumlah berbagai elemen, khususnya silikon. Kerak samudera lebih padat karena komposisinya yang mengandung lebih sedikit silikon dan lebih banyak materi yang berat. Dalam hal ini, kerak samudera dikatakan lebih bersifat mafik ketimbang felsik. Maka, kerak samudera umumnya berada di bawah permukaan laut seperti sebagian besar Lempeng Pasifik, sedangkan kerak benua timbul ke atas permukaan laut, mengikuti sebuah prinsip yang dikenal dengan isostasi.

  • 2

    1.1 Busur Benua (Continental Arc)

    Continental arc atau busur benua merupakan bagian dari proses diatas dimana sebagai jalur gunungapi/volkanik yang terbentuk ketika lempeng samudera bertemu dengan lempeng benua, kemudian lempeng samudera menunjam miring di bawah lempeng benua, lalu pada lempeng benua (sebagai overriding plate) terbentuk jalur gunungapi hasil peleburan sebagian lempeng samudera yang menunjam dan mantel di sekitarnya pada kedalaman 100-150 km.

    Continental arc dapat dikenal juga sebagai Island arc merupakan busur kepulauan yang terbentuk akibat terjadinya pergerakan lempeng samudera dari Mid Oceanic Redge (MOR) yang secara terus menerus sehingga membentuk suatu busur kepulauan. Dilihat dari gambar 1 diatas island arc terletak pada zona subduction karena island arc yang sudah terbentuk dibawa oleh pergerakan lempeng samudera. Magma yang dihasilkan bersifat basah.

    Gambar 1. Skema Diagram untuk Menggambarkan Bagaimana Dip Dangkal Slab

    Mensubduksi dapat Mendorong Keluar Astenosfer dari Mantel Atasnya

  • 3

    Proses diatas dalam gambar, apabila memperhatikan sifat magma busur kepulauan

    akan cenderung bersifat mafic-intermediate atau basa- menengah; tetapi sifat magma busur benua akan cenderung bersifat intermediate-silicic atau menengah- asam. Dan perbedaan jenis magma ini akan berpengaruh kepada aktivitas gunungapi dan mineralisasi, artinya akan punya implikasi ke masalah kebencanaan dan mineral ekonomik.

    Berdasarkan aktivitas tektonik yang terjadi di sepanjang busur magmatik, daerah bagian timur Indonesia didominasi oleh bentukan porfiri dan skarn, serta sebagian kecil endapan hidrotermal sulfidasi tinggi dan sediment hosted. Barat Indonesia memiliki mineralisasi cenderung berupa endapan epitermal sulfidasi rendah yang terjadi di daerah paparan Sunda yang relatif dangkal. Aktivitas busur magmatik dan bentuk mineralisasi memiliki hubungan yang menunjukkan identifikasi perbedaan antara lingkungan tektonik selama pembentukan porfiri emas-tembaga, skarn dan deposit sulfidasi tinggi. Pembentukan mineralisasi Au-Ag-Cu base metals terjadi di lingkungan submarine dangkal saat larutan sulfida yang hasilnya juga menghasilkan mineralisasi sulfidasi tinggi di sekitar sub-aerial batuan vulkanik, dan daerah lantai samudera.

    Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi gempa. Hal ini terjadi karena letak dari Indonesia yang merupakan pusat pertemuan dari lempeng-lempeng antara lain

    Eurasia,Filipina, Caroline, Indo-Australia, Pasifik dan beberapa lempeng minor lainnya (Hamilton,1979). Selain itu juga di sebabkan oleh aktifitas tektonik dari lempeng-lempeng tersebut. Lempeng-lempeng tersebut terus bergerak sepertihalnya lempeng Eurasia dan Indo-Australia yang memiliki pergerakan rata-rata ke arah utara, sedangkan pergerakan lempeng Filipina cenderung ke arah barat laut (Hamilton, 1979 dan Puspito, 1995 dalam USGS, 2011). Terkait dengan lempeng filipina, lempeng Caroline memiliki pergerakan ke arah tenggara di bagian palung Aru dan ke arah barat laut di bagian palung Yap (Seno, dkk., 1992 dalam USGS, 2011).

  • 4

    Gambar 2. Busur magmatik Cenomic Mayor dan Mengandung Emas dan Tembaga : I : Deposit Emas

    dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Lokasi dari Busur Magmatik yang dimodifikasi dari Hamilton (1979), Hutchison (1989), Yamada et aj. (1990), Mitchell dan Leach (1991), Carlile dan Mitchell (1994), dan Carwin (1996, 2000). Sebagian besar dari deposito ini mengandung> 1 Moz

    Au.

    1.2 Hubungan Busur Benua dan Endapan Epitermal

    Proses utama tektonik di daerah geologi Indonesia untuk daerah busur magma dan asosiasinya terhadap mineralisasi emas dan tembaga dibagi menjadi :

    a. Pembentukan ophiolite, tumbukan, dan perubahan busur Pembentukan ophiolit terjadi karena pengangkatan kerak samudera sebagai hasil

    pemekaran lantai samudra, naik ke atas kerak benua yang pasif dan dipengaruhi juga aktivitas intrusi andesitk pada kerak yang ditumpangi. Secara tektonik, ophiolit yang terbentuk mendorong terjadinya pembentukan patahan pada busur belakang sehingga mengakibatkan perubahan subduksi pada ke arah baru. Pada kerak benua yang

    ditumpangi terjadi pemekaran sehingga terbentuk cekungan di busur belakang. Oleh karena lempeng terus bergerak, pemekaran dan subduksi terjadi bersamaan sehingga potensi cebakan endapan mineral terbentuk tinggi karena aktivitas tersebut yang langsung berhubungan dengan magma.

  • 5

    b. Busur magmatik Tipe busur magmatik di Indonesia terbagi atas mafik dan andesitik. Batuan mafik

    volkanik kebanyakan berada pada daerah bekas laut, yang didominasi basalt atau balastik andesite dan generasinya. Akan tetapi dominasi busur magmatik Indonesia berupa busur andesitic yang banyak ditemukan di sekitar daerah perairan dangkal. Dominasi rhyolit yang membatasi dan menyusun lantai benua. Intrusi andesitik ini mengidikasikan bahwa terjadi stress lemah yang mengakibatkan tarikan sepanjang busur dan mungkin berhubungan dengan mundurnya palung di daerah subduksi lempeng samudera.

    Endapan bijih epithermal adalah endapan yang terbentuk pada lingkungan hidrothermal dekat permukaan, mempunyai temperatur dan tekanan yang relatif rendah berasosiasi dengan kegiatan magmatisme kalk-alkali sub-aerial, sering kali (tidak selalu) endapannya dijumpai di dalam produk volkanik (dan sedimen volkanik).

    Tabel 1. Ciri-ciri Umum Endapan Epithermal (Lindgreen, 1933)

    Parameter Uraian Kedalaman Permukaan hingga 1.500 m Temperatur 50 200 0C Pembentukan Pada batuan sedimen atau batuan, terutama yang berasosiasi dengan

    batuan intrusive dekat permukaan atau ekstrusif, biasanya disertai sesar turun, kekar, dsb.

    Zona Bijih Urat-urat yang simple, beberapa tidak beraturan dengan pembentukan kantong-kantong bijih, juga seringkali terdapat pada pipa dan stockwork.

    Logam Bijih Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi dan U Mineral Bijih Native Au, Ag, electrum, Cu, Bi Pirit, Markasit, Sfalerit, Galena,

    Kalkopirit, Cinabar, Stibnite, Realgar, Orpiment, Ruby, Silver Argentite, Selenides, Telluries

    Mineral Penyerta (Gangue) Kuarsa, Chert, Kalsedon, Ametis, Serisit, Klorit rendah Fe, Epidot, Karbonat, Fluorit, Barite, Adularia, Alunit, Dickite, Rhodochrosite, Zeolit

    Ubahan Batuan Samping Sering sedikit certification (silisifikasi), kaolinisasi, piritisasi, dolomitisasi, kloritisasi

    Tekstur dan Struktur Crustification (banding), sangat umum sering sebagai fine banding, cockade, vugs, urat terbreksikan. Ukuran butir (Kristal) sangat bervariasi

    Beberapa endapan epithermal pada umumnya (tidak selalu) endapannya dijumpai dalam produk volkanik (dan sedimen volkanik). Dalam sistem epithermal sulfidasi rendah, fluida magmatik yang didominasi gas (SO2 dan HCl) direduksi pada saat bereaksi dengan batuan samping (wall rock) sehingga terjadi dilusi (pengenceran) akibat adanya sirkulasi fluida meterorik (air hujan).

  • 6

    Gambar 3. Model Konsep Busur Magmatic untuk Epitermal Au-Ag dan porfiri Au-Cu

    (Corbett, 2000)

    Proses tersebut terjadi pada bagian bawah dari sistem sulfidasi rendah yang membawa zat volatil (termasuk unsur logam didalamnya), hal ini menyebabkan fluida didominasi oleh H2S sebagai sumber sulfur yang paling besar yang juga melarutkan garam (terutama NaCl) pada temperatur 170-270oC dan kedalaman 50-1000 m (Hedenquist & Houghton, 1988 dalam Corbett dan Leach, 1996).

    Endapan epitermal logam dasar dan mulia adalah banyak macamnya, mencerminkan perbedaan tektonik, batuan beku dan kedudukan strukturnya dimana mereka terbentuk, dan melibatkan banyak proses didalam pembentukkannya. Kebanyakan dari endapan epitermal terbentuk dalam suatu level kerak bumi yang dangkal, dimana perubahan tiba-tiba dalam kondisi fisik dan kimianya menghasilkan endapan logam dan hadir bersama ubahan hidrotermal (White dan Hedenquist, 1990).

  • 7

    Gambar 3. Model Endapan untuk Epitermal Emas Perak

    (Sumber : Arribas & White, 1996)

    Mineralisasi emas di Indonesia terbentuk pada busur andesitik yang terjadi dalam rentang Cretaceous hingga Pliosen (3-20 Ma tahun), terutama pada usia Neogen. Pada masa tersebut, lempeng lempeng yang menyusun Indonesia mulai mengalami pertemuan dan membentuk zonasi tertentu secara aktif. Setiap busur dicirikan oleh mineralisasi spesifik yang menunjukkan bahwa dasar busur berhubungan dengan tumbukan awal dan perubahan dalam polaritas tektonik dan tingkat erosi.

    Tipe deposit emas yang teridentifikasi di Indonesia adalah porfiri tembaga emas, skarn, sistem high dan low epithermal sulphidation, emas sediment-hosted, deposit Au-Ag-barite + base metals dan tipe Kelian, yaitu peralihan tipe porfiri ke sistem epitermal.

  • 8

    Endapan emas epiterrnal bentuknya adalah sangat bervariasi, dari vein-vein kuarsa

    tipis sampai deposit endapan disseminated yang besar, dan terdapat dalam lingkungan geologi yang berbeda, oleh karena itu rnereka memperlihatkan suatu rentang yang lebar dari signatures geokimia dan geofisika, juga ciri-ciri tonal pengindraan jauh (Eddy Sumardi, 2009).

  • 9

    BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

    2.1 Busur Magmatik Indonesia

    Sebagai daerah pertemuan tiga lempeng aktif, Indonesia juga memiliki daerah busur kepulauan yang menyebar sepanjangan wilayah timur selatan Indonesia. Pergerakan lempeng lempeng secara aktif pada masa neogen menyusun Indonesia menjadi beberapa jalur aktif busur magmatik. Secara umum, sistem busur magmatik di Indonesia adalah hasil kompleks sejarah aktivitas tektonik, termasuk di dalamnya subduksi dan busur magmatik, rotasi dan perpindahan busur, pemekaran busur belakang, pembentukan ophiolit danpenumbukan yang akibatkan perubahan arah busur, patahan stike-slip dan

    kemungkinan karena pemanjangan kerak.

    Busur Kalimantan Tengah (Pertengahan Tertiary dan Neogen)

    Busur ini selama bertahun-tahun diperkirakan dari kehadiran kondisi sisa erosi selama akhir Oligocene hingga awal Miosen yang sifatnya andesitik hingga trachy-andesitik di daerah sekitar ativitas vulkanik. Kebanyakan dari yang ditemukan berasosiasi dengan emas. Mineralisasinya berupa peralihan epitermal ke porfiri. Di bagian barat, mineralisasi berasosiasi dengan batuan hasil erupsi dan intrusi dioritik.

    2.2 Kontrol Regional terhadap Mineralisasi

    Mineralisasi endapan Au-Ag-Cu base metals dipengaruhi oleh kontrol regional terhadap kondisi tektonik yang ada. Kontrol yang terjadi dibagi menjadi hubungannya mineralisasi dengan busur magmatik, asal kerak dan umur busur, serta berhubungan syn-mineralization regional.

    Terhadap hubungan dengan busur magmatik, deposit di Indonesia berhubungan dengan busur magmatik andesitik yang terbentuk selama dan secara cepat dalam aktivitas magma. Ini menunjukkan bahwa mineralisasi yang terjadi berkaitan dengan subduksi lantai samudera. Deposit epithermal Indonesia terbentuk di sepanjang busur benua yang merupakan busur kepulauan yang bergabung dengan Sundaland selama masa mineralisasi karena penebalan kerak dan pemanjangan intensif.

  • 10

    Kebanyakan mineralisasi terjadi pada masa Neogen yang mengindikasikan bahwa mineralisasi juga sebenarnya tidak bergantung pada umur kerak yang tersubduksi. Hubungan antara usia busur dijelaskan dengan erosi sebagai akibat pengangkatan selama aktivitas vulkanik dan erosi yang berhubungan dengan kegiatan orogenik yang pengaruhi selama pasca mineralisasi saat perubahan polaritas busur. Syn-mineralization regional berkaitan dengan perbedaan jenis mineralisasi di daerah timur dan barat Indonesia karena perbedaan aktivitas lempeng yang mendominasi. Pemahaman tatanan geologi dan tektonik berbasis teori plate tectonics: Berbasis paradigma Plate tectonics, saat ini telah semakin meningkat pemahamam terhadap kerangka geologi dan tektonik wilayah laut dalam (deep sea geologic and tectonic framework) dari negara kepulauan Indonesia.

    Kriteria Endapan Epitermal :

    1. Endapan hidtrotermal yang terbentuk pada kedalaman dangkal (1-2km) dan memiliki temperatur

  • 11

    BAB III SIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan penjelasan pada point-point diatas, maka dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut ;

    1. Sifat magma busur kepulauan akan cenderung bersifat mafic-intermediate atau basa- menengah; tetapi sifat magma busur benua akan cenderung bersifat intermediate-silicic atau menengah- asam. Dan perbedaan jenis magma ini akan berpengaruh kepada aktivitas gunungapi dan mineralisasi, artinya akan punya implikasi ke masalah kebencanaan dan mineral ekonomik.

    2. Endapan emas epiterrnal bentuknya adalah sangat bervariasi, dari vein-vein kuarsa tipis sampai deposit endapan disseminated yang besar, dan terdapat dalam lingkungan geologi yang berbeda.

  • 12

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Arribas, A., Jr., 1995, Characteristics of high-sulfidation epithermal deposits, and their relation to magmatic fluid, in Thompson, J.F.H., ed., Magmas, fluids and ore deposits: Mineralogical Association of Canada Shortcourse Series, v. 23, p. 419-454.

    2. Eddy S, 2009, Tinjauan Emas Epitermal pada Lingkungan Volkanik, Kelompok Program Penelitian Bawah Permukaan, Pusat Sumber Daya Geologi.

    3. Greg John Corbett, T. M. Leach, 1996, Society of Economic Geologists (U.S.), Society for Mining, Metallurgy, and Exploration (U.S.) SME, Copper ores - 203 pages.

    4. Hamilton W, 1979, Tectonics of Indonesian Region, Geological Survey Professional Paper, Washington.

    5. Lindgren, W., 1922, A suggestion for the terminology of certain mineral deposits: Economic Geology, v. 17, p. 292-294.

    6. Lindgren, W., 1933, Mineral deposits, 4th edition: New York, McGraw-Hill, 930 p. 7. R.C. PATEL etc, 2011, Geology, Structural and Exhumation History of the Higher

    Himalayan Crystallines in Kumaon Himalaya, India, JOURNAL GEOLOGICAL SOCIETY OF INDIA. Vol.77, pp.47-72.

    8. R.J. Herrington and D. Brown, 2011, The Generation and Preservation of Mineral Deposits in ArcContinent Collision Environments. Frontiers in Earth Sciences, DOI 10.1007/978-3-540-88558-0_6, # Springer-Verlag Berlin Heidelberg.