transmigrasi kolonisasi
TRANSCRIPT
TUGAS MATA KULIAH
GEOGRAFI TRANSMIGRASI DAN PEMUKIMAN
(BAB VII. SEJARAH KOLONISASI DAN TRANSMIGRASI)
Oleh:
Milaty Eka Rini 1213034050
Novi Yuli Ervianni 1213034052
Nur Humairoh 1213034054
Nurhikmah 1213034056
Okta Vianti 1213034058
Rahmawan Santoni 1213034062
Septiaredy Nurmalianto 1213034064
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
BAB VII. SEJARAH KOLONISASI DAN TRANSMIGRASI
Pada Permulaan Abad ke-20 (XX)
Pemerintah colonial Belanda mulai menyadari bahwa kemiskinan sedang
meningkat di Pulau Jawa dengan alasan kepadatan penduduk makin tinggi. Pada
tahun 1900 jumlah penduduk di Jawa ± 18,7 juta jiwa. Pada tahun 1815 menurut
Rafles hanya ± 4,6 juta jiwa. Sensus tahun 1905 jumlah penduduk di Jawa ± 30,1
juta jiwa dan 17,5 juta jiwa.
Kemiskinan di pedesaan Jawa, karena perubahan ekonomi pedesaan bekerjanya
penduduk desa di perusahaaan-perusahaan asing di bidang produksi dan ekspor
tanaman, dagang, seperti : tembakau, gula, yang berakibat buruk bagi penduduk di
Jawa, walau pada tahun 1900 Belanda telah mengubah focus usaha
perkebunannya ke Pulau Sumatera tetapi keadaan sosial ekonomi di Pedesaan
Jawa tetap suram.
Van Deventer menyarankan bahwa pendidikan, irigasi, dan emigrasi dapat
memperbaiki keadaan sosial ekonomi di Pulau Jawa. Atas dasar itu pemerintah
colonial Belanda melaksanakan kolonisasi. Penempatan petani di daerah padat
penduduk di Pulau Jawa ke daerah-daerah kosong di luar Pulau Jawa untuk
memecahkan masalah kemiskinan.
Sejarah tansmigrasi di Indonesia di mulai :
1. Dimulai tahun 1905 memindahkan 155 keluarga dari kedudukam Jawa
Tengah ke desa baru dekat Gedong Tataan di sebelah selatan Way Sekampung
oleh H. G. Heyting
2. Tahun 1909 didirikan pemukiman kecil di Bengkulu.
3. Tahun 1922
Didirikan pemukiman besar di Wonosobo, kota Agung, Lampung Selatan.
Didirikan pemukiman besar di dekat Sukadana, Lampung Tengah.
Pemukiman kecil-kecil di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan
Sulawesi.
4. Akhir tahun 1941 telah ada 173.959 orang yang tinggal di proyek-proyek
kolonisasi di Lampung.
5. Setelah merdeka program kolonisasi diteruskan pembangunan Indonesia
dengan istilah Transmigrasi di tahun 1950-an dan 1960-an. Aspek
kependudukan diprioritaskan agar kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan
Pulau Bali untuk di pedesaan dapat dikurangi.
6. 1969 mulai Repelita I. program transmigrasi ditekankan untuk
mengembangkan sumber daya alam di daerah yang lebih padat di luar Pulau
Jawa dan Pulau Bali dilengkapi prasarana, sehingga pemukiman baru punya
landasan ekonomi.
Kolonisasi Transmigrasi di desa Bagelen,Lampung
A. Ikhtisar dan Penilaian tentang Usaha Kolonisasi Pemerintah Hindia-
Belanda
Pemerintah Belandar sebenarnya tidak perhatian terhadap kolonialisasi
pertanian sampai di taun 1930-an, tetapi sebagai Peonale sanksi, yaitu suatu
peraturan pemerintah Hindia-Belanda, yang dikeluarkan tahun 1910 yang
memberi hak kepada majikan untuk mengikat dan menguasai sepenuhnya
kaum buruhnya yang berbangsa Indonesia.
Banyak kesalahan pemerintah Belanda tentang kolonialisasi, antara lain :
Proyek Gedong Tataan dilaksanakan tanpa pra survey pemetaan lahan
yang teliti. Yaitu tanpa rencana lokasi desa-desa lahan persawahan,
system irigasi di masa yang akan datang.
Akibatnya sejumlah desa tersebar di lahan-lahan yang rendah yang
semestinya untuk sawah.
Sejarah Gedong Tataan tahun 1905 dan 1932 pemeritah Belanda tidak
yakin jika para colonial pertanian akan berhasil.
Faktor penting pada tahun 1920-1929 bahwa pemerintah Belanda
mengalami kemakmuran yaitu terjadinya perluasan perkebunan-
perkebunan milik orang barat yang memberi kesempatan kerja berpuluh
ribu pekerja dari Pulau Jawa danSumatera.
OKI pemerintahan Belanda lebih tertarik untuk memindahkan para buruh
dan koloni-koloni untuk mendirikan koloni pertanian di perkebunannya
dan pada awal tahun 1930-an ada pembatasan ketat pada industry
perkebunan yang membahayakann Belanda.
Atas dasar hal-hal tersebut akhirnya eksperimen di Gedong Tataan terbukti
menjadi usaha percobaan yang berharga bagi pemerintahannya. Bahwa tingkat
penghidupan kolonis di luar Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, telah
masuk perdagangan dunia saat itu. Karena penduduk tani telah berubah menjadi
penghasil bahan ekspor dan telah mengabaikan hasil tanaman pangan.
Oleh karena itu tujuan akhir yaitu menciptakan desa-desa dan masyarakat-
masyarakat di luar Jawa oleh pemerinath Belanda, merupakan duplikat yang tepat
seperti desa-desa di Jawa, yang berperan bagi penghidupan lebih tinggi behasil
diciptakan pemerintah Belanda. Contoh: kolonis tercukupinya kebutuhan
hidupnya, membayar pajak tanah. Pemerintah Belanda menyarankan agar setiap
keluarga kolonis diberi alokasi tanah pertanian yang lebih luas, agar dapat
menanam tanaman perdagangan seperti : kaet, kopi, lada, tembakau, dan tanaman
pangan lainnya.
Para kolonis sebagai petani ini rata-rata jumlah keluarganya 5 rang, maka dalam
satu pemukiman kepadatan penduduk bertambah 500 orang/km2 lahan pertanian.
Kondisi inilah penyebab generasi keturunan akan mengalami kemiskinan, akibat
budaya warisan harta (orang-orang tua) dan bagi generasi barunya berikutnya
harus mencari lahan baru di luar daerah tersebut atau akan bertahan dengan
kemiskinannya.
Ada pandangan bahwa setiap penyimpangan dari cara hidup tradisional orang
Jawa akan membahayakan keberhasilan kolonialisasi pertanian. Bahwa kepadatan
penduduk di pedesaan Jawa memaksa petani jawa menanam tanaman pangan,
untuk konsumsi rumah tangga sendiri. Pengaruh kolonialisasi pertanian
menyebabkan:
1. Lahan yang tidak dimanfaatkan dapat difungsikan baik untuk mukim atau
desa, persawahan, perkebunan, dan lain-lain dapat dimanfaatkan bagi
perkembangan dan kemajuan hidup bangsa dan Negara.
2. Penduduk asli yang mencari kayu, lading berpindah jadi petani yang menetap.
B. Penyelenggaraan Kolonisasi dan Tansmigrasi (M. Amral Syamsu)
I. Sejarah kolonialisasi tahun 1905-1942 terdiri dari tiga penyelenggaraan:
a) 1905-1911, semua penyelenggaraan kolonialisasi ini merupakan
pekerjaan percobaan untuk menemukan cara sebagai dasar
penyelenggaraan kolonialisasi yang cepat.
b) 1912-1922, sesudah BB. De Graft meninjau ke daerah – daerah
kolonialisasi di Lampung tahu 1910 dan menetapkan system kolonialisasi
didasarkan pada utang-hutang. Tujuannya penghematan biaya
kolonialisasi, tetapi cara penyelenggaraannya sebagaimana biasanya. Para
kolonis penghidupannya makin sukar, penyelenggaraannya lebih baik dan
pada tahun 1922-1923 pengirman kolonis terpaksa dihentikan.
c) 1932-1942, dimulai pengiriman kolonis, karena desakan daro Negara
Belanda berhubung dihapusnya Poenale Sanksi. Sistem bawaan sebagai
dasar penyelenggaraan kolonialisasi di masa itu ternyata hasilnya
memuaskan bagi pemindahan kolonis dalam jumlah besar dengan biaya
sedikit.
Pada tahun 1905-1911 penyelenggaraan kolonialisasi dengan system Cuma-Cuma
hanya dapat dipindahkan rata-rata 860 jiwa/ tahun. Tujuan kolonialisasi yaitu
untuk mempertinggi taraf hidup rakyat, tetapi tidak Nampak hasilnya. Sebab
utamanya yaitu karena pembangunan masyarakat kolonis di Sumatera di dasarkan
pada adat, hukum, dan susunan masyarakat kuno seperti yang terdapat di Pulau
Jawa dulu. Alasan-alasannya dalam mempertahankan adat budaya sediri, sebagai
berikut:
a) Petani di Jawa tidak ingin meninggalkan desanya, apabila dipindahkan ke
tempat yang baru maka cara-cara hidupnya seperti tempat asalnya.
b) Pemindahan kolonis semakin lancer bila daerah baru susunan dan bentuk
desanya sama seperti di Jawa.
c) Dengan cara membawa susunan masyarakat tani di Jawa ke daerah koloni,
ternyata biaya kolonialisasipun rendah.
d) Dengan cara membawa susunan bentuk desa, sama seperti di Jawa
Suatu akibat dari 4 hal tersebut ternyata menimbulkan perselisihan dan
pertentangan kedua suku asli dan pendatang yang sukar dihindarkan. Menurut Dr.
Burger bahwa orang mendapat kesan :
1. Pemerintah menginginkan pertumbuhan kolonialisasi sebagai tiruan dari
masyarakat dimana para kolonis berasal.
2. Seharusnya pemerintah membimbing ke suatu arah dimana para kolonis
beradaptasi dengan dunia barunya.
Menurut Bung Hatta bahwa kemelaratan para kolonis karena mereka tetap
mempertahankan cara hidupnya yang seperti masyarakat di Jawa.
II. Penyelenggaraan Transmigrasi
Transmigrasi yang di laksanakan pemerintah RI tahun 1950 belum memuaskan
dan belum manyenangkan. Walau jumlah penduduk yang di pindahkan banyak
rata- rata setiap tahunya di banding sebelum perang dunia 11. Misalnya jumlah
penduduk yang di pindahkan rata-rata 21.000 jiwa/tahun. Tujuan transmigrasi
bukan hanya untuk mengurangi kepadatan dan kelebihan jumlah penduduk di
pulau jawa saja, tetapi seperti pp tanggal 17 februari 1953 no.BU/1-7-2-/501 yaitu
untuk mempertinggi tingkat kemakmuran rakyat.
Atas dasar itu maka keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi, bukan karena
banyaknya jumlah penduduk dan banyaknya yang dapat di pindahkan dari pulau
jawa ke pulau-pulau lain di luar jawa. Tetapi bagaimana kemakmuran dan
penghidupan ekonomi penduduk yang di pindahkan. Contoh : pada tahun 1950-
1955 pemerintah memindahkan 5491 keluarga transmigrasi orang-orang bukan
tani di belitang, metro, dan lain-lain untuk tani.
Maka mereka meninggalkan daerah calon transmigrasi tersebut. Ringkasan bahwa
pelaksanaan transmigrasi pemerintahan RI tahun 1955, belum berhasil seperti
yang di harapkan mencapai kemakmuran dan kesejahteraannya. Hal ini karena
persiapan dan perencanaannya tidak sempurna yaitu tidak mengadakan studi
kelayakan di lapangan dengan para transmigran.
Peta Sebaran Kawasan Transmigrasi di Indonesia
C. Warga Lampung Dan Kedudukan Kaum Pendatang
I. Susunan adat lampung dan pemerintahan bermarga
Masyarakat lampung punya dasar genealogis yang tegas, baru faktor territorial
penting. Menurut van Royen adat lampung berasal dari pegunungan bukit barisan
dan di sekitar danau ranau, belalau (skala berak). Mereka menyusuri lembah-
lembah sungai sambil berladang , berpidah ke dataran rendah dan ada yang ke
muara dua, Palembang, dan ada yang sampai kedaerah yang kini disebut lampung.
Mereka sampai mencapai pantai timur dan selatan.
Kelompok tersebar itu moyangnya berasal dari belalau dan berkembang atas
berbagai cabang cabang keturunan yang pernah mengenal Empat atau Enam ratu
di lampung. Masing-masing ratu berkuasa di wilayah masing-masing, bersama –
sama anak buahnya dan didiami oleh kelampok besar seketurunanya.
1) Percabangan keturunan tersebut menjadikan perbedaan suku-suku asal yang
bercabanglagi menjadi buai dan atas suku.
2) Kesatuan teritorial disebut marga yang bertepatan dengan wilayah kekuasaan
suku asal.
3) Kelompok-kelompok Buai bertempat tinggal terbagi-bagi atas berbagai pekon
(tiyuh, anek, kampung).
4) Di masing-masing pekon, tinggal berbagai suku yang terdiri atas Cangkai
(keluarga besar) yang terbagi-bagi atas Nuwa di masing-masing rumah
(keluarga primer).
Perbedaan atas golongan-golongan itu menurut garis keturunan artinya
menunjukkan urutan lebih tua dan yang lebih muda.
Yang tampil ke depan sebagai pemuka adat seorang laki-laki tertua dari
masing-masing golongan (suku) yang berkumpul di sesat (balai musyawarah
tiap kampung).
Kepala suku (lebih tepat pemuka adat) disebut penyeimbang yaitu seorang
laki-laki tertua menurut keturunan yang berlaku sebagai pengganti pemuka
yang terdahulu pergi (seimbang, artinya pengganti). Dan laki-laki wajib
melanjutkan kebijakan pimpinan nenek moyang seketurunan.
Terjadinya pekon di dalam susunan adat Lampung, karena dasar geneologis
menjadi syarat.
1. Pekon dapat terjadi dari sebuah umbulan.
2. Nuwa yang mula-mula mendiami umbulan.
3. Karena berkembang biak menjadi cangkai dan menetap disitu.
4. Minta pengakuan sebagai suku baru, yang berarti memisahkan diri dari suku
lama, dan
5. Izin untuk jadi wakil-wakil suku yang ada di upacarakan diangkat menjadi
penyeimbang suku baru.
6. Pepadoen berupa bangku dan tempat duduk melambangkan kedudukan adat
sebagai penyeimbang.
7. Dengan upacara adat pula umbulan diresmikan jadi pekon.
8. Nama pekon di umumkan di sesat dan diresmikan dengan naik pepaden.
9. Tiap langkah mencapai pengakuan adat penuh disertai syarat Pembayaran
Ruang Adat (DAU) yang dibagi-bagi kepada para penyeimbang dan adat
persembahan-persembahan kepada penyeimbang suku, tempat memisahkan
diri dengan memotong kerbau sebagai jamuan makan para tamu yang di
undang.
10. Hal ini di perkuat oleh kenyataan bahwa penyeimbang Nuwo-nuwolah (anak
laki-laki tertua) yang diserahi penguasaan atas harta benda suku itu dapat
berupa barang, rumah, bahkan tanah. Anak laki-laki yang muda tidak banyak
mendapat bagiannya atau tergantung dari penyeimbang nuwo.
Susunan geneologis hanya mengenal lingkungan kekuasaan ratu-ratu sebagai
cerita-cerita legendaries yang Nampak nyata, masyarakat adat di pekon barulah
marga sebagai tingkatan berikutnya. Didalam pemecahan atas pekon-pekon itu
biasanya kekuasaan dari luar yang kuat memasukkan pengaruhnya seperti Sultan
Banten kemudian Belanda.
Misalnya kekuasaan pemerintah Belanda dengan penguasa militernya menindas
Raden Intan pada tahun 1855 di Lampung Selatan dan tidak mengindahkan adat
penduduk. Contohnya susunan adat yang ada marga, kepala kampong jadi
pesuruh pemerintah yang selama ini dihargai warga menjadi semacam rodi. Diatas
pesuruh ditempatkan Demang (bukan orang Lampung) dan controleur Belanda.
Marga dengan hak ulayatnya tidak diakui karena dating si pengusaha-pengusaha
asing yng dijamin pemerintah Belanda sejak tahun 1870. Pada tahun 1928
pemerintahan Belanda mengakui marga di Lampung sebagi daerah otonm
terbawah akibat organisasi-organisasi islam yang berpengaruh di kampung.
II. Masuknya Orang-Orang Bukan Seadat ke dalam Marga
Pendatang masuk dan menetap di Lampung dengan cara sebagai berikut :
1. Membayar ulasan (uang pengakuan) kepada ketua marga (sebenarnya ini
adalah pemerasan).
2. Ada marga penerima pendatang, dengan satu/dua kampong dan makin tumbuh
yang berbeda adat dengan penerima disertai uang pengakuan tersebut.
Contoh :
1. Terjadinya marga baru Kasui (orang-orang Semendo-rebong) di sebagian
wilayah bekas marga Bahuga.
2. Pada tahun 1905 kolonialisasi orang Jawa di Gedong Tataan, Wonosobo
(1922).
3. Kolonialisasi mulai penuh sejak tahun 1930 dari Jawa ditempatkan di atas
wilayah marga Wy Lima dan Way Semah di gedong Tataan.
Untuk kampong-kampung baru orang Jawa di bawah marga ada perbedaan antara
lain : ikatan marga (hubungan pemerintahan) dan ikatan adat, dimana orang
pendatang (Jawa) membawa susunan adat sendiri dan pendatang ini terkena wajib
kerja marga yang ditebus dengan uang. Pembentukan kampong-kampung baru
dari pembukaan hutan untuk daerah transmigrasi lampung, sejak tahun 1950
sebagi berikut:
1. Lampung Tengah, pelaksanaan transmigrasi tak ada hubungan apapun dengan
marga, dan tidak di bawah marga (cukup di isi transmigran). Di Lampung
hanya di dua tempat proyek transmigrasi di tanah marga yaitu sebagai berikut:
Lampung Utara di kampong Mesir Ilir (marga Bahuga) perluasan dari
kolonialisasi di Belitang (daerah Palembang).
Di Kabupaten Lampung Tengah desa Dono Mulyo (nyampir) di kecamatan
Sukadana (marga Gedongwani).
2. Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) yaitu transmigrasi bekas pejuang,
memiliki daerah di Lampung Barat.
3. Transmigrasi spontan, di daerah baru Way Sekampung yang dipindahkan
(Translok-kan) orang-orang Jawa yang berasal di kampong kolonialisasi lama-
lama di Gedong Tataan dan Pringsewu.
D. Target-Target transmigrasi dan Realisasi (Mayling Oey dan Ketut
Sudhana Astika)
Selama periode 1950-1974, pelaksanaan transmigrasi berubah arah ke potensi-
potensi :
a. Periode 1950-1959, di bawah wewenang menteri sosial.
b. Periode 1969-1974, berdasarkan Repelita I, dan 1974-1979 Repelita II.
Semua rencana kualitas pemindahan pendudukan tak terealisasi sampai dengan
Repelita II hanya 20% dari target-targetyang direncanakan.