translate an surya
DESCRIPTION
TranslateTRANSCRIPT
PRINSIP-PRINSIP TERAPI HORMON ADJUVAN
Pada terapi kebanyakan tumor padat, terapi adjuvan sistemik secara khusus
mengacu pada penggunaan kemoterapi sitotoksik setelah pembedahan untuk
mencegah mikrometastate secara klinis dari kegagalan terapi jangka panjang. Selain
itu, karena kanker payudara sering distimulasi oleh estrogen endogen, bentuk terapi
adjuvan lain yang dapat digunakan adalah endokrin atau hormonal.
Efek-efek terapi hormonal pada kanker payudara tercatat pertama kali lebih
dari 100 tahun yang lalu ketika Beatson mendeskripsikan regresi kanker payudara
stadium lanjut setelah oophorektomi. Setelah itu, ablasi ovarium (khususnya melalui
irradiasi) menjadi terapi kanker payudara dengan metastase dan dengan cepatnya
beralih ke terapi adjuvan. Pada tahun 1960-an, terapi hormonal menggantikan terapi
pembedahan dan radiasi sebagai terapi farmakologis ablasi ovarium. Terapi ini
menginduksi supresi sintesis estrogen (menggunakan agonis luteinizing hormone
releasing hormone [LHRH]) dan memblok ikatan estrogen ke reseptor estrogen (ER;
menggunakan tamoksifen). Sejak tahun 1970-an, berbagai uji acak terkontrol
(randomized controlled trials) membuktikan keampuhannya untuk menurunkan
tingkat relaps (kekambuhan) dan kematian.
Reseptor Estrogen
Hormon steroid estrogen dan progesterone terlibat dalam perkembangan
normal payudara dan perubahan payudara yang terlihat dengan siklus menstruasi dan
kehamilan. Kedua hormon tersebut mempengaruhi proses molekuler yang terlibat
dalam pembelahan, diferensiasi, dan fungsi. Kedua hormon tersebut tidak bekerja
sendirian, tetapi berinteraksi dengan hormon steroid lainnya (glukokortikoid),
hormone peptida (insulin, prolaktin, oksitosin, dan hormon pertumbuhan), dan faktor
pertumbuhan peptida (faktor pertumbuhan epidermal, faktor pertumbuhan fibroblast,
insulin-like growth factor, dan faktor pertumbuhan transformasi).
Aksi reseptor estrogen berbeda dengan kebanyakan aksi reseptor kelompok
hormon steroid. Reseptor khusus hormon steroid disebut sebagai reseptor translokasi.
Reseptor ini terdistribusi pada sitoplasma yang bebas hormon, berpindah ke nukleus
ketika sel terstimulasi oleh hormon. Reseptor estrogen bekerja sebagai faktor
transkripsi dependen ligand dan umumnya terletak di nukleus yang bebas dan berisi
estrogen. Estrogen berdifusi melalui sel dan berikatan dengan ligand-binding domain
reseptor estrogen. Hal ini menyebabkan perubahan dramatik pada konformasi
reseptor, menghasilkan disasosiasi reseptor dari protein tahan panas 90 (heat shock
protein/HSP-90) dan heterodimerisasi. Kompleks ini dapat berikatan dengan sekuens
DNA dan menyebabkan aktivasi represi gen target, yang selanjutnya menghasilkan
ikatan langsung dengan elemen respon estrogen (estrogen response element) di
promoter gen target atau memperkuat aksi ko-aktivasi pada situs promoter yang telah
ditentukan.
Ada dua tipe isoform reseptor estrogen, yaitu reseptor alfa (ER-α) dan
reseptor beta (ER-β). Kedua reseptor tesebut memiliki struktur dasar yang sama dan
tersusun atas 6 komponen atau “domain” A-F. Estradiol berikatan pada situs ikatan
ligand yang terletak di domain E, yang kemudian memicu dimerisasi, yang
dibutuhkan untuk ikatan DNA. Domain D berisikan sinyal lokalisasi nukleus. Kedua
isoform mengikat estrogen dengan afinitas yang sama dan mengaktivasi ekspresi gen
yang berisi elemen respons estrogen (estrogen response element) pada jalur estrogen-
dependen dan berdiferensiasi pada domain transaktivasi A/B N terminal, regio yang
meningkatkan fungsi aktivasi transkripsi. Namun, properti transkripsi reseptor
estrogen alfa dan beta berbeda demikian pula dengan distribusinya. Reseptor estrogen
alfa diekspresikan pada payudara, ovarium, uterus, tulang, dan hipotalamus,
sedangkan reseptor estrogen beta terutama ditemukan pada ovarium, hipotalamus,
korteks serebri dan organ reproduksi pria, seperti testis dan prostat.
Ekspresi reseptor estrogen dan penurunan jumlah reseptor progesteron pada
kanker payudara merupakan faktor penting dalam memperkirakan respons terhadap
terapi hormonal adjuvan. Reseptor estrogen dan progesteron dapat diukur melalui
perhitungan rata-rata ligand-binding assay (LBA) yang terlibat dalam ikatan
kompetitif ligand steroid radiolabel atau penggunaan antibodi spesifik terhadap
reseptor dengan pewarnaan imunohistokimia dan enzim immunoassay.
Reseptor Estrogen Alfa vs Reseptor Estrogen Beta
Walaupun ekspresi reseptor estrogen alfa merupakan faktor prognostik yang layak
(yang berarti pasien yang memiliki reseptor estrogen positif memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan pasien yang memiliki reseptor estrogen negatif walaupun
tidak diterapi, diperkirakan 5-10% menurunkan risiko kekambuhan), keberadaan
reseptor estrogen pun menjadi alat prediktif penting (pasien dengan reseptor estrogen
positif akan memiliki respons yang lebih baik terhadap terapi hormonal dibandingkan
dengan pasien dengan reseptor estrogen negatif. Selain itu, penggunaan tamoksifen
selama 5 tahun berkaitan dengan penurunan risiko realtif kekambuhan sebanyak 50-
60% dan penurunan risiko relatif kematian sebanyak 25% pada perempuan penderita
kanker payudara dengan reseptor estrogen positif. Sementara itu, tidak hubungan
yang signifikan manfaat penggunaan tamoksifen pada perempuan penderita kanker
payudara dengan reseptor estrogen negatif. Tingkat responsbilitas berkaitan dengan
analisis kuantitatif terhadap reseptor. Tingkat responsbilitas terhadap terapi hormonal
meningkat dengan banyaknya jumlah reseptor estrogen yang berada dalam tumor.
Lalu, bagaimana dengan reseptor estrogen beta? Walaupun, reseptor estrogen beta
ada di kanker payudara, perannya dalam perkembangan kanker payudara belum
diketahui. Beberapa penelitian menyatakan adanya manfaat reseptor estrogen beta,
reseptor tersebut memberikan perlindungan terhadap aktivitas mitogenik estrogen
dan berhubungan kanker payudara tanpa nodul dan stadium awal (derajat rendah).
Tumor payudara dengan reseptor estrogen positif memberikan respons yang baik
terhadap terapi hormonal. Sebaliknya, penelitian lain menemukan bahwa reseptor
estrogen beta merupakan faktor prognostik yang buruk, terkait efek resistensi
endokrin. Penelitian lebih lanjut tentang hal ini sedang dijalankan. Studi lebih lanjut
tentang subtipe kedua reseptor estrogen ini dilakukan untuk menentukan subgroup
yang bermanfaat bagi variasi terapi hormonal. Walaupun demikian, saat ini
pengukuran rutin terhadap reseptor estrogen beta belum menunjukkan manfaat bagi
penatalaksanaan kanker payudara.
Ekspresi Reseptor Progesteron
Walaupun progesteron dibutuhkan untuk perkembangan payudara, kebanyakan
penelitian terfokus pada estrogen dan reseptor estrogen. Masih belum jelas apakah
reseptor progesterone merupakan faktor prognostik yang signifikan. Saat ini, kita
mengukur reseptor estrogen dan reseptor progesteron secara rutin. Bagaimana
reseptor estrogen membantu pembuatan keputusan klinik? Keberadaan reseptor
progesteron menunjukkan bukan hanya keberadaan reseptor estrogen, tetapi
menunjukkan berfungsinya reseptor estrogen, yang merupakan faktor penting untuk
menilai respons terapi hormonal. Dengan demikian, ekspresi kedua reseptor
menunjukkan respons yang lebih baik terhadap terapi hormonal adjuvan.
Modulator Reseptor Estrogen Selektif
Modulator reseptor estrogen selektif (Selective Estrogen Receptor
Modulators/SERMs) merupakan inhibitor kompetitif ikatan estrogen-reseptor
estrogen. SERMs terdiri atas tamoksifen, taloksifen, dan obat-obat lainnya.
Sebelumnya, kelompok obat ini dikenal sebagai antiestrogen, namun hal ini salah
karena komponen zat obat ini dapat bekerja sebagai antagonis estrogen pada jaringan
tertentu, namun dapat menjadi agonis pada jaringan lainnya. Mekanisme kerja obat
ini merupakan kombinasi efek antagonis dan agonis bertanggung jawab terhadap efek
terapi dan efek samping golongan obat ini. Aktivitas antagonis ini bermanfaat untuk
menghambat pertumbuhan sel kanker payudara, namun mengganggu siklus
menstruasi. Demikian pula, aktivitas agonis yang bermanfaat untuk mencegah
demineralisasi tulang, namun berdampak buruk karena menyebabkan peningkatan
risiko kanker rahim dan tromboemboli.
Proses yang menyebabkan obat tersebut memiliki efek positif pada suatu
jaringan, namun berdampak negatif pada jaringan lainnya baru mulai dimengerti.
Salah satu kemungkinan penyebab hal tersebut adalah perubahan konformasi reseptor
yang mengikuti pengikatan reseptor estrogen oleh SERMs. Hal ini menimbulkan
interaksi dengan kofaktor yang menentukan regulasi gen. Ko-aktivator dan ko-
represor ini sensitif terhadap perbedaan ikatan antara reseptor estrogen dengan
estrogen atau SERM. Ketika estrogen berikatan dengan reseptor estrogen, ko-
aktivator menginisiasi interaksi antara reseptor dengan apartus transkripsi yang
menyediakan bahan baku untuk aktivasi gen. Ko-represor menghalangi aktivitas ini.
Ketika reseptor estrogen berikatan dengan SERM, domain ikatan ligand berubah
yang menyebabkan ikatan ko-represor lebih banyak daripada ikatan ko-aktivator.
Variabel lain yang menentukan aktivitas agonis atau antagonis pada suatu
jaringan spesifik adalah konsentrasi relatif reseptor estrogen beta. Tamoksifen, yang
menunjukkan aktivitas agonis pada beberapa jaringan berikatan dengan reseptor
estrogen alfa, namun saat berikatan dengan reseptor estrogen beta, tidak timbul
aktivitas agonis tersebut. Selain itu, efek parsial aktivitas agonis tamoksifen melalui
reseptor estrogen alfa dapat hilang akibat koekspresi reseptor estrogen beta. Ketika
koekspresi terjadi pada sel tumor, reseptor estrogen beta berfungsi sebagai inhibitor
transdominan terhadap aktivitas transkripsi reseptor estrogen alfa dalam menurunkan
tingkat kejenuhan hormon dan menurunkan seluruh sensivitas seluler terhadap
estradiol.
Tamoksifen
Tamoksifen merupakan terapi hormonal kanker payudara yang paling banyak
dipelajari dan obat antikanker yang paling banyak dideskripsikan di dunia.
Tamoksofen diberikan pada dosis 20 mg/hari selama 5 tahun. Percobaan peningkatan
dosis hingga 30-40 mg/hari tidak menunjukkan peningkatan efektivitas terapi.
Beberapa percobaan menunjukkan perbedaan variasi durasi pemberian obat.
Sedikitnya empat percobaan menunjukkan perbaikan prognosis pada pemberian
terapi obat tamoksifen selama 5 tahun dibandingkan pemberian selama 2 tahun.
Sementara itu, pemakaian tamoksifen selama 5 tahun masih kontroversial. Dua dari
tiga percobaan, percobaan National Surgical and Adjuvant Breast Projects (NSABPs)
dan Scottich menunjukkan pemakaian tamoksifen lebih dari 5 tahun berkaitan dengan
prognosis yang buruk. Peningkatan insidens kanker endometrium meningkat dua kali
lipat pada perempuan dengan kanker payudara yang mengkonsumsi tamoksifen lebih
dari 5 tahun (2,1% vs 1,1%). Satu dari tiga percobaan, Eastern Cooperation
Oncology Group (ECOG) menunjukkan pemakaian jangka panjang tamoksifen
meningkatkan keberhasilan bebas dari relaps (kekambuhan) dan keberhasilan terapi
keseluruhan. Follow-up jangka panjang menunjukkan rangkaian penggunaan
inhibitor aromatase setelah pemakaian tamoksifen selama 5 tahun menyokong
optimalisasi terapi.
Manfaat Tamoksifen dalam Terapi Adjuvan
Kekambuhan (Relaps) dan Kematian
Kemoterapi dinilai bermanfaat setelah dilakukan diskusi panjang dari
percobaan individu dan data dari EBCTCG. Tinjauan dari tahun 1998 menunjukkan
penurunan proporsi rekurensi (kekambuhan) sebanyak 47% dan perbaikan tingkat
kematian hingga 10 tahun sebanyak 27%. Tinjauan lanjut tahun 2000 yang diperoleh
dari data EBCTCG menunjukkan manfaat ini didapatkan memanjang hingga 15
tahun.
Studi pemakaian tamoksifen selama 1, 2, dan 5 tahun menunjukkan makin
besar efek terapi yang didapatkan seiring dengan pertambahan durasi terapi.
EBCTCG tidak dapat menilai durasi pemakaian tamoksifen lebih dari 5 tahun, tetapi
data dari studi sebelumnya menyebutkan isu ini. Data tersebut juga meliputi sekitar
8.000 pasien yang terlibat dalam studi ini, tetapi memiliki reseptor estrogen negatif
atau risiko rendah. Oleh karena itu, pasien-pasien jelas sekali tidak mendapatkan
manfaat dari terapi ini.
Apakah ada suatu kelompok yang mendapatkan manfaat lebih dari pemakaian
tamoksifen lebih daripada kelompok lainnnya? Manfaat pemakaian tamoksifen relatif
sama pada kedua kelompok dengan nodul positif dan nodul negatif (walaupun
manfaat absolut jelas lebih tinggi didapatkan oleh kelompok nodul positif) tanpa
tergantung dengan umur, status menopause dan cara pemakaian (pemakaian
tamoksifen sendiri atau terapi kombinasi bersama kemoterapi. Data jelas
menunjukkan bahwa terapi hormonal tidak diindikasikan pada pasien dengan reseptor
estrogen dan reseptor progesteron negatif, namun data belum jelas pada populasi
pasien dengan reseptor estrogen negatif, tetapi reseptor progesteron positif. Tinjauan
ini menunjukkan manfaat pemakaian tamoksifen pada kelompok pasien ini, namun
jumlah populasi terlalu kecil untuk menarik suatu kesimpulan.
Selain penurunan tingkat kekambuhan (relaps) dan kematian, ada beberapa
manfaat lain yang dapat diperoleh dari pemakaian terapi adjuvan tamoksifen.
Tamoksifen berhubungan dengan peningkatan densitas mineral tulang pada wanita
pascamenopause dan penurunan kejadian fraktur. Pemakaian tamoksifen juga
berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol jahat (low-density lipoprotein
cholesterol). Walaupun dihipotesiskan bahwa tamoksifen dapat menurunkan risiko
penyakit jantung koroner dan hanya dilakukan pada sekelompok individu serta belum
divalidasi. Di samping itu, manfaat terbesar dari pemakaian tamoksifen adalah
pencegahan kanker payudara baru. Pada tinjauan tahun 1995, tamoksifen terbukti
dapat menurunkan insidens kanker payudara kontralateral baru hingga 46%. Hasil
yang sama diperoleh pada percobaan preventif NSABP P-01.
Risiko Pemakaian Tamoksifen
Walaupun rasio perbandingan risiko dan manfaat tamoksifen hampir
sebanding, obat ini bukanlah tanpa risiko dan efek samping pemakaian. Tamoksifen
terkait dengan peningkatan insidens hot flafshes, discharge vagina, dan keringat
malam. Disfungsi seksual bukan merupakan keluhan umum yang sering dijumpai,
walaupun terkait dengan kekeringan vagina yang muncul akibat pemakaian obat ini.
Di samping itu, terkait dengan gejala menopause, pemakaian tamoksifen
menginduksi menopause pada wanita perimenopause, walaupun hal ini terbatas pada
wanita yang berumur 45 tahun atau lebih dan merupakan bagian normal dari proses
penuaan. Beberapa studi menunjukkan selain gejala-gejala ini, kualitas hidup wanita
yang menjalani terapi tamoksifen tidak lebih buruk daripada wanita yang menjalani
plasebo signifikan. Tamoksifen juga berhubungan dengan toksisitas okular, terutama
perubahan korneal dan retinopati. Untuk alasan ini, wanita yang memakai tamoksifen
direkomendasikan untuk menjalani evaluasi dasar optalmologi selama terapi awal
tahun pertama penggunaan tamoksifen dan difollow-up secara tepat.
Penyakit tromboembolik merupakan risiko yang paling dikhawatirkan pada
pemakaian tamoksifen karena hal ini dapat menimbulkan akibat yang fatal. Risiko ini
terjadi pada kurang dari 1 % dan lebih umum terjadi pada pasien yang lebih dari 50
tahun.
Risiko yang paling signifikan terjadi pada pemakaian tamoksifen adalah kasus
kanker rahim (uterus). Kebanyakan kasus kanker rahim yang terjadi adalah
adenokarsinoma endometrium, walaupun dilaporkan sebagian kecil kasus kanker
rahim berupa sarkoma uterus, jenis kanker uterus ganas dan agresif. Separuh kasus
bersamaan dengan tumor Mullerian, yang berhubungan dengan penggunaan estogen
dan prognosis yang buruk. Pada percobaan preventif pemakaian tamoksifen, insidens
adenokarsinoma endometrium adalah 2,2 dari 1.000 wanita per tahun (dengan uterus
intak), sedangkan insidens pada pemakaian plasebo adalah 0,71 dari 100 wanita per
tahun. Sementara itu, perbandingan insidens sarkoma uterus 0,17 dan 0. Penapisan
rutin dengan ultrasound vagina atau biopsi endometrium tidak bermanfaat sehingga
tidak direkomendasikan. Selain itu, wanita perlu menjalani konseling dengan
psikiatris akibat perdarahan pervaginam dan evaluasi ginekologis teratur.