transformasi identitas gerakan -...

36
167 ENAM TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN DARI “PENAMBANG” MENJADI MASYARAKAT ADAT Pengantar Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung, paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek lingkungan hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan hadirnya PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak ini kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau yang juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya kapitalisme (Fauji, 2005). Dimulai dengan melakukan mobilisasi sumberdaya (the resource mobilization) hingga membingkai (framing) berorientasi pada identitas (the social identity) dengan memanfaatkan peluang-peluang atau kesempatan politik (political oppurtunity) yang sedang terjadi khususnya di Indonesia, seperti yang diungkapkan Sukmana (2016), McAdam, McCarthy dan Zald (2004) dan Singh (2007). Awalnya melakukan gerakan reformasi (reformative movement) yang dilakukan para penambang rakyat untuk mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup terbatas kemudian berkembang menjadi gerakan transformasi (transformative movement) dengan mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh, seperti menegaskan kembali

Upload: duonghuong

Post on 13-Mar-2019

247 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

167

ENAM

TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN

DARI “PENAMBANG” MENJADI

MASYARAKAT ADAT

Pengantar

Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung,

paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan

dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek lingkungan

hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan hadirnya

PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak ini

kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau yang

juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya kapitalisme

(Fauji, 2005).

Dimulai dengan melakukan mobilisasi sumberdaya (the resource mobilization) hingga membingkai (framing) berorientasi pada identitas

(the social identity) dengan memanfaatkan peluang-peluang atau

kesempatan politik (political oppurtunity) yang sedang terjadi

khususnya di Indonesia, seperti yang diungkapkan Sukmana (2016),

McAdam, McCarthy dan Zald (2004) dan Singh (2007). Awalnya

melakukan gerakan reformasi (reformative movement) yang dilakukan

para penambang rakyat untuk mengubah masyarakat namun dengan

ruang lingkup terbatas kemudian berkembang menjadi gerakan

transformasi (transformative movement) dengan mencoba mengubah

masyarakat secara menyeluruh, seperti menegaskan kembali

Page 2: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

168

identitasnya dengan mentransformasikan identitas gerakan penambang

menjadi gerakan masyarakat adat ketika berhadapan dengan PT IMK.

Transformasi identitas gerakan dimungkinkan karena munculnya

kesadaran dari para aktor yang berjuang secara sosial dengan

membangun identitas gerakan agar mampu menciptakan ruang

demokratis bagi aksi sosial otonomnya (Manan, 2005). Bagaimana

proses untuk membangun identitas (baru) tersebut akan dijelaskan

dengan mendeskripsikan kondisi, faktor dan kekuatan pendukung yang

digunakan para aktor untuk menciptakan identitas, solidaritas dan

mempertahankannya. Hal lain adalah mendeskripsikan keterkaitan

antara PT IMK dengan isu-isu dalam konflik, serta mendeskripsikan

latar sosial dan budaya aksi kolektif sebagaimana kondisi dan kekuatan

pendukung ini membentuk dan mencetak perenungan dan kesadaran

para aktor dalam situasi konkrit aksi kolektif dan gerakan sosial.

Membangun Ideologi Gerakan

Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampu

menjembatani persoalan struktural yang dihadapi penambang

memaksa mereka melakukan transformasi identitas perjuangan dari

penambang menjadi masyarakat adat, seperti yang diungkapkan salah

seorang tokoh tambang rakyat.43 Secara umum tujuan utama

penambang ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif

dan berorientasi material, yakni hanya terpaku pada motif ekonomi

yaitu penguasaan kembali lobang-lobang tambang emas yang selama

ini sudah diusahakan mereka sendiri. Tindakannya cenderung pada

upaya secara paksa agar dapat mengambil-alih kembali lobang tambang

tersebut sebagaimana yang juga dilakukan oleh para penguasa (negara)

dan pengusaha terhadap mereka. Wujud nyata aksinya dilakukan

melalui unjuk rasa, maupun aksi-aksi protes lainnya baik secara damai

maupun dengan cara kekerasan agar dapat mengambil alih kembali

(reklaming) lobang tambang tersebut. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.

43 Wawancara dilakukan dengan Bapak Murin dan Bapak Arsad pada tanggal 10 Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.

Page 3: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

169

Dalam kasus PT IMK, faktor utama penyebab terjadinya aksi-aksi

perlawanan para penambang dan masyarakat pada umumnya terhadap

PT IMK dikarenakan multiinterpretasi dan ketiadaan pegangan

bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak menguasai

tambang, siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak

dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan

tambang. Akibat dari ketidakjelasan tersebut, maka masing-masing

pihak (pemerintah, perusahaan, dan masyarakat) saling mengklaim

bahwa merekalah yang lebih berhak dari pihak lainnya. Misalnya

ketika PT IMK memperoleh Kontrak Karya dari Presiden langsung

melakukan “penggusuran” terhadap seluruh aktifitas tambang rakyat.

Didukung oleh aparat Satuan Tugas dari Pemerintah Daerah Tingkat II

Barito Utara, PT IMK menggusur tambang rakyat kerikil I, Kerikil II,

dan Kerikil III di wilayah Kecamatan Siang. Bahkan penambang yang

digusur tidak memperoleh ganti rugi dengan jalan apapun sesuai

dengan perintah Bupati, dengan alasan mereka “menggusur” karena

harus menertibkan Tambang Rakyat Tanpa Ijin (PETI). Dipihak lain,

para penambang merasa bahwa mereka pemilik yang “sah” karena

usaha pertambangan awalnya dilakukan oleh mereka.

Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013

Gambar 6.1.

Lobang Tambang Emas Yang Diperebutkan

Page 4: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

170

Berbagai perlawanan terhadap PT IMK baru dimulai pada tahun

1993 melalui aksi demonstrasi baik di lingkungan Kecamatan Siang

Selatan, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, hingga

ke Jakarta dan sampai di kantor pusat PT Indo Muro Kencana di

Australia. Para penambang menuntut ganti rugi lahan karena tanah

dan usaha tambangnya diambil alih dan dikelola oleh PT IMK. Namun

usaha ini tidak memperoleh hasil karena PT IMK sudah mengantongi

ijin dari pemerintah seperti yang dijelaskan mantan pegawai PT IMK. 44

Ketidakjelasan peroleh ganti rugi, seolah-olah dapat memberikan

penjelasan secara aktual perlunya melakukan transformasi struktur dan

bentuk gerakan sosial yang lebih humanis dan emansipatoris.

Berbagai simbol perjuangan kemudian diproduksi berbasis pada

rasa ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma

politik, tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para

penambang dan keluarganya serta berbagai bentuk praktek-praktek

yang merugikan mereka. Puncaknya terjadi pada tahun 1999 ketika

para penambang mengusir sejumlah karyawan PT IMK dari areal

tambang Batu Tambang (Betmen), Lungkuh Jua dan Bakit Kaya dengan

mengusung mandau. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.

Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013

Gambar 6.2.

Aksi Pengusiran Staf Pengemboran di Lapangan

44 Wawancara dilakukan dengan Mantan Pegawai PT IMK Bapak Ayin pada tanggal 11 Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.

Page 5: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

171

Mereka juga melakukan aksi pengambil-alihan atau reklaiming

wilayah Halubai, Permata, Elpi dan Batu Badinding yang sedang

ditambang dan berproduksi. Tindakan ini dilakukan karena PT IMK

menguasai, memanfaatkan, dan mendistribusi hasil-hasil tambang yang

menjadi pendukung kehidupan mereka termasuk melakukan ekspansi

batas wilayah kehidupan mereka. Namun aksi pengambil-alihan

tambang tidak bertahan lama, karena pihak PT IMK kemudian

menimbun tambang dan mengisi air sehingga masyarakat tidak bisa

memperoleh apapun dari hasil tambangnya, seperti pada gambar 6.3. di

bawah ini.

Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)

Gambar 6.3.

Lokasi Tambang Sebelum dan Sesudah Dialiri Air

Di pihak lain komitmen dan solidaritas para penambang untuk

terus memperjuangan hak-hak mereka ternodai karena ada anggota

aksi “membelot dan membela” PT IMK. Dengan kata lain, para

penambang tidak pernah mampu membangun identitas secara kolektif

guna membangun solidaritas dan komitmen ketika berhadapan dengan

PT IMK. Akibatnya aksi-aksi yang mereka lakukan selalu “gagal”.

Belajar dari kegagalan aksi, ada sejumlah aktor yang terlibat dalam

aksi membangun jaringan dan mengembangkan partisipasi aktor

lainnya di luar wilayah tambang. Aktor yang dimaksud adalah

sejumlah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau yang biasa disebut

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti; JATAM, WALHI,

Tambang sebelum dialiri air Tambang sesudah dialiri air

Page 6: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

172

ALPERUDI, ELSAM, YLBHI, Tapal dan Kantor Hukum Ahmad Yani.

Selain itu, tujuan mengembangkan jaringan adalah agar mereka dapat

mengembangkan sumberdaya serta meningkatkan mobilisasi kekuatan

aksi perlawanan. Pada akhirnya dengan memperluas jaringan dan

partisipasi aktor, para penambang dapat memperluas medan atau area

perlawanan ke tingkat nasional maupun internasional serta

memberikan peluang dan kapasitas para penambang untuk terus

meningkatkan aksi-aksi perlawanan terhadap PT IMK.

Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sebenarnya para

penambang memiliki peluang untuk memperoleh ijin penambangan

secara legal melalui pendirian koperasi. Karenanya pada tahun 2004,

para penambang khususnya di Desa Marindu bersepakat mendirikan

Koperasi diberi nama dengan Koperasi “Harapan Bersama” dengan ijin

No. 412.32/BH/178/2004 tanggal 5 Januari 2004. Dengan berdirinya

koperasi, harapan para penambang memperoleh legitimasi atau ijin dari

negara. Namun kenyataannya semangat masyarakat mendirikan

koperasi ini tidak dibarengi dengan komitmen dan keseriusan para

pengurusnya untuk mengelolanya. Koperasi kemudian tidak berjalan

lagi dan Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD) dengan

sendirinya dicabut oleh pemerintah.

Perasaan pengabaian yang dilakukan PT IMK kepada para

penambang yang juga sebagian besar adalah masyarakat adat Dayak

Siang Murung kembali muncul karena institusi adat dan nilai-nilai

budaya mereka (Dayak) mulai dihancurkan. Hal ini terjadi karena PT

IMK terus memperluas wilayah eksploitasinya sampai ke puncak

Gunung Puruk Kambang yang bagi orang Dayak adalah wilayah

keramat. Selama ini wilayah kramat puncak Gunung Puruk

keberadaannya dipelihara dan dijaga, karena bagi mereka sebagai

tempat turunnya nenek moyang suku Dayak Siang Murung. Karenanya

wilayah ini tidak saja bernilai ekonomis semata melainkan juga

mempunyai nilai sosial dan spiritual, seperti pada gambar 6.4. di bawah

ini.

Page 7: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

173

Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)

Gambar 6.4.

Lokasi Bukit Puruk Kambang Yang Sebagian Sudah Dieksploitasi

Terbuka struktur peluang politik baik di tingkat nasional maupun

di tingkat lokal, sebenarnya memberi ruang bagi munculnya

perubahan identitas gerakan “penambang” menjadi gerakan masyarakat

adat dengan menegaskan kembali keberadaan lembaga adat yang

sampai saat ini keberadaannya masih diakui oleh masyarakat, dalam

hal ini keberadaan Damang Kepala Adat atau Kepala Adat. Selain

adanya kelembagaan adat, kehadiran organisasi masyarakat adat

lainnya, seperti; Perhimpunan Masyarakat Pulou Basan yang terdiri

dari para Damang Ketua Adat, Kelompok-kelompok Masyarakat Adat

di masing-masing Wilayah Desa Oreng Kambang, turut memperkuat

perubahan identitas pergerakan tersebut. Terlebih keberadaan

Kelembagaan Adat diakui keberadaanya melalui Peraturan Daerah

(Perda) No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di

Kalimantan Tengah juga dapat mengukuhkan perubahan identitas

gerakan tersebut. Perda No. 16 Tahun 2008 pasal 9, ayat (1) fungsi

Damang Kepala Adat adalah mengurus, melestarikan, memberdayakan

dan mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat

dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya; menegakkan hukum adat

dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat

dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir, dan sebagai penengah

dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat

Page 8: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

174

berdasarkan hukum adat. Selanjutnya dalam pasal (2) selain fungsi

sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) Damang Kepala Adat juga

mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian

terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas dan fungsinya

kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota.

Munculnya gerakan reformasi juga merupakan pintu pembuka

berkembangnya gerakan sosio-politik dari para penambang menjadi

gerakan sosial-politik masyarakat adat. Negara juga dihadapkan pada

posisi kontrol politik yang lemah terhadap setiap aksi, terlebih ketika

aksi kekerasan menjadi salah satu bentuk bagian. Peluang politik ini

dengan cepat direspon para penambang, karena mereka sudah

memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi

untuk melawan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh negara.

Seiring bergulirnya reformasi hingga pemberlakuan otonomi

daerah pada tahun 1999 sebagai era perubahan sosial-politik penuh

keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke

demokrasi, ternyata tidak membawa dampak berarti bagi gerakan para

penambang untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik

para elit politik, elit agama, kalangan intelektual dan berbagai

organisasi rakyat ternyata cenderung membiarkan para penambang

bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut hak yang

selama ini diabaikan. Meskipun demikian ada banyak organisasi non

pemerintah (ornop) yang peduli untuk memberikan advokasi dan

pendampingan bagi para penambang dalam melakukan perjuangan.

Penelitian menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak

terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan

sosial mungkin agak kecil skalanya. Hal ini terlihat dari kronologis aksi

demonstasi yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan

kekerasan menghancurkan fasilitas milik perusahaan serta melakukan

pembakaran. Ketika struktur politik membuka peluang bagi gerakan

sosial mereka, aktivitas gerakan cenderung menjadi semakin radikal.

Meskipun masa pemeritahan Orde Baru terkenal represif dengan

melakukan tekanan secara politik sangat kuat sehingga penambang

yang berani melawan adalah mereka yang benar-benar militan.

Page 9: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

175

Perilaku militansi penambang dan kontrol politik negara masih ada

hingga saat ini terutama yang dilakukan pihak pasukan keamaman

(Brimob) membuat reaksi penambang justru cenderung terbuka dan

lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Hal ini

mungkin berbeda dengan komunitas penambang di berbagai wilayah

konflik lainnya yang beragam dalam merespon peluang-peluang politik

yang ada termasuk situasi yang ada, kemungkinan resiko yang akan

mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai.

Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama dengan

lembaga-lembaga non pemerintah di atas, kesadaran politik

penambang dapat dibangun. Kerja bersama ini merupakan proses

dimana para penambang dapat melakukan penilaian kembali atas

dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan

kepentingan bersama di antara mereka. Kesadaran politik penambang

tidak hanya memahami posisi marginal mereka secara sosial maupun

politik sehingga memberi peluang untuk mencari alternatif strategi

gerakan lain guna mencapai tujuan mereka. Termasuk dengan

mengubah identitas gerakan itu sendiri dari penambang menjadi

masyarakat adat.

Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto

merupakan momentum bagi mereka juga untuk mendorong agenda

reformasi melalui penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam

kesadaran politik, karena pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap

kemungkinan dilakukan mobilisasi tindakan. Setelah presiden Soeharto

lengser dan rezim Orde Baru dapat dijatuhkan, kemudian para aktivis

gerakan masyarakat mulai beralih pada pentingnya membantu

masyarakat adat melalui gerakan-gerakan sosial masyarakat adat.

Seperti yang dilakukan oleh LMMDD-KT yang sejak awal tahun

2005 sudah melakukan pendampingan masyarakat adat yang tersingkir

akibat masuknya investor di Kalimantan Tengah melalui berbagai aksi,

seperti melakukan pendampingan dan penyadaran secara langsung

turun ke tengah-tengah kehidupan para penambang rakyat. Hasil

pendampingan dan penyadaran kemudian direspon dan ditindaklanjuti

dengan merancang berbagai aksi demontrasi yang lebih luas.

Page 10: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

176

Beragam upaya dilakukan oleh LMMDD-KT, baik pada konstruksi

gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah komunitas para

penambang rakyat dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus,

perumusan tuntutan, penyadaran sosial-politik melalui kegiatan

pendampingan bagi para penambang yang menjadi korban dengan

hadirnya PT IMK. Selain itu juga dilakukan aktivitas “diskusi

kampung” pada beberapa desa lainnya untuk mengidentifikasi dan

merumuskan strategi bersama (dokumen LMMDDKT, 2013).

Di sini para penambang yang juga sebagian besar adalah warga

masyarakat adat Siang Murung, mendiskusikan berbagai hal yang

mengakibatkan penderitaan mereka dan tidak terselesaikannya konflik

yang dialami terutama keberadaan pertambangan rakyat yang diambil

alih oleh PT IMK. Kemudian mereka melakukan artikulasi pemecahan

masalah hasil identifikasi, paling tidak berupa rencana dan strategi

tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan

konflik yang tentunya dapat menguntungkan para penambang rakyat.

Disinilah kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan

rumusan tuntutan-tuntutan penambang rakyat atas persoalan

penguasaan terhadap lobang-lobang tambang yang dihadapi dan cara-

cara yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan

merubah identitas gerakan dari “penambang rakyat” menjadi

“masyarakat adat”.

Oleh karena itu, peran aktor dalam meningkatkan kesadaran

politik dan mobilisasi sumberdaya penambang menjadi sangat

menentukan. Ketika identitas kolektif penambang tersebut sudah

masuk pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami perubahan

identitas gerakan dari “penambang” menjadi “masyarakat adat” maka

akan menjadi politik identitas yang memungkinkan para penambang

untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik. Akibatnya kesadaran

politik penambang dapat berkembang dalam kerangka identitas

kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui interaksi dalam

komunitas para penambang itu sendiri yang juga masyarakat adat

Dayak kemudian berubah sesuai peluang politik dan kemampuan

Page 11: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

177

mobilisasi sumber daya yang tersedia dan peluang bagi perubahan

identitas sebuah gerakan sosial.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penambang

rakyat dengan strategi utama melakukan pendudukan kembali lobang-

lobang tambang dikuasakan kepada PT IMK oleh negara dilakukan

pada tahun 1993 telah menunjukkan keberhasilan untuk membangun

kekuatan sebuah gerakan sosial baru yang sekaligus memperlihatkan

kekuatan politik tertentu. Hal ini mendorong untuk mengembangkan

strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah strategi dan isu

gerakan dari penambang menjadi masyarakat adat, yakni strategi untuk

memobilisasi opini publik karena mereka mayoritas masyarakat adat.

Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini mengajak Kepala

Adat Dayak Oreng Kambang untuk terlibat dan menjadi bagian dari

gerakan guna menegaskan identitas dengan menempatkan kembali

peran lembaga adat yang sudah ada di masyarakat. Selain itu juga

dilakukan pemetaan geokultural untuk menegaskan adat wilayah

trasidional.45 Dengan strategi ini tentunya dapat menarik simpati

khalayak dalam memperjuangkan isu hak-hak atas potensi tambang

sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas lobang tambang rakyat

yang telah diambil alih PT IMK. Perubahan strategi perjuangan dari

penambang menjadi masyarakat adat ditargetkan dapat memberikan

perubahan arah gerakan, dan lebih jauh lagi dalam rangka

mempertahankan kembali identitas ke-dayak-an.

Diasumsikan bahwa pemimpin informal, seperti Kepala Adat

Dayak dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki

kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari

perjuangan mereka. Dipihak lain bahwa dengan keterlibatan Kepala

Adat perjuangan mereka tidak semata-mata hanya untuk

memperjuangkan tuntutan ganti rugi melainkan upaya

memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang

dikuasai mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang

45 Wilayah adat atau wilayah tradisional dimaknai sebagai wilayah total meliputi; tanah, teritori, dan sumber daya alam sampai ranah kebudayaan (Usop, 1996).

Page 12: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

178

menyebut tanah mereka seperti susu ibu yang memiliki kedalaman dan

hubungan batiniah (Fauzi, 2006).

Sebagai simbol perlawanan masyarakat adat Dayak, mereka

kemudian melakukan upacara adat memasang Hinting Pali atau

Maniring Hinting. Hal ini dilakukan karena orang Dayak mempunyai

hubungan yang sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya.

Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan

ini tidak mudah untuk dipahami dan dimengerti atau dipercayai oleh

orang lain. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan

akan simbol-simbol tertentu adalah hal yang wajar, walaupun

sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk memahami

dan menginterpretasi simbol-simbol tersebut.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai budaya orang

Dayak, bersumber dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata

“Haring” yang artinya kehidupan ada dengan sendirinya). Pada intinya

kepercayaan Kaharingan ini percaya pada segala benda dan makhluk

yang memiliki Gana (Roh), dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti

tercantum dalam tutur Balian : Inyaho hai mamparuguh tungkupah, kilat panjang mampa rinjet ruang (Guntur/suara agung membuka

kuasanya, kilat panjang menggerakkan ruang/membelah-belah

angkasa).

Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini digambarkan

dengan simbol Batang Garing/Haring (Pohon Kehidupan) yang di

dalamnya terdapat burung Tingang (Enggang) sebagai simbol penguasa

dunia atas dan Tambun (Naga) sebagai simbol penguasa dunia bawah.

Dalam konteks gerakan perlawanan, simbol Batang Garing dipahami

oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia

dengan alam dan keseimbangan hubungan antar manusia yang

seharusnya didukung oleh negara dalam rangka mengimplementasikan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan atau oleh Usop, Sidik

(2012) dikonsepkan dengan pembangunan berbasis pada masyarakat

adat dimana secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis lestari

dan secara budaya tidak merusak.

Page 13: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

179

Dalam kehidupan sehari-hari, umat Kaharingan percaya kepada

mahluk-mahluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu

keselamatan manusia, memberi rezeki dan menyebarkan penyakit, dan

lain-lain yang tersebar di air (sungai, danau, dan laut), gunung, hutan,

tanaman, dan tempat-tempat tertentu. Bagi pemeluk Kaharingan,

makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam menentukan

kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana

alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka, walaupun penyebab

munculnya tindakan itu akibat perbuatan manusia itu sendiri. Oleh

karena itu, wujud tertinggi dalam praktek kepercayaan Kaharingan

adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar Pali (pantangan) dan

melaksanakan upacara ritual yang meliputi gawi belom (upacara

kehidupan) seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan

manajah antang dan gawi matei (upacara kematian) seperti upacara

tiwah.

Orang Dayak pada masa keemasan sebelum membuka lahan baik

untuk pertanian dan berladang terlebih dahulu membuat tanda supaya

orang lain tidak merampas atau menyerobot serta menggarap ladang di

tempat yang diberi tanda (simbol adat berupa Tarinting atau Hinting)

atau memberi patok pada kayu dari setiap sudut rintisan areal dari

tanah kosong yang akan digarapnya (Salilah, 1977:1).

Hinting atau Tarinting dapat diartikan sebagai suatu tanda

larangan atau simbol lokal masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah

untuk menandai suatu areal pertanian/ladang dan areal ritual

keagamaan dalam Kaharingan. Tanda atau simbol maniring hinting

tersebut jika berada di ladang atau tanah garapan seseorang berarti

menandakan kepemilikan dan hak bagi si pemilik atas lahan/areal. Jika maniring hinting didapati dalam upacara atau di depan rumah orang

yang sedang melaksanakan Balian. Balian adalah nyanyian disertai

tetabuhan musik tradisional Dayak dalam upacara Tiwah. Tiwah

adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial) dalam

agama Kaharingan yang bertujuan untuk menghantarkan roh ke langit

ke tujuh atau surga. Dalam upacara keagamaan Kaharingan artinya

dilarang melakukan tindakan atau perbuatan tidak senonoh di dalam

Page 14: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

180

garis batas/portal adat seperti berkelahi, berjudi dan perbuatan yang

tidak senonoh apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah dapat

dikenakan singer atau membayar denda adat sesuai dengan hukum adat

yang berlaku di daerah itu.

Tradisi maniring hinting dalam konteks perlawanan dan

perjuangan hak-hak atas penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat

adat Dayak dari para pengusaha atau investor, dalam praktiknya

melakukan hal yang melanggar adat tidak mentaati adat atau

melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut

orang yang belom dia bahadat (hidup tidak beradat). Karena itu,

maniring hinting menjadi salah satu cara penanaman nilai-nilai dan

norma-norma yang berfungsi memelihara tertib sosial dalam

kehidupan masyarakat adat Dayak.

Maniring artinya membentangkan/mengencang tali, hinting

artinya larangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting

membentangkan tali larangan bertujuan untuk mempertahankan hak-

hak seseorang atau kelompok dengan cara membuat tanda atau simbol

dengan membentangkan tali larangan dari rotan atau tali dari akar

kayu dan digantung pada tali rotan tersebut daun lenjuang atau sawang

disertai cacah pada permukaan depan daun dengan kapur sirih

berwarna putih yang dalam konteks ini menandakan bahwa areal

tanah yang ditandai dengan maniring hinting. Simbol tali rotan dalam

maniring hinting berarti masih dimungkinkan adanya negosiasi dalam

musyawarah atau kesepakatan dalam menyelesaikan masalah sengketa

tanah. Sesuai dengan tujuan maniring hinting yang memanggil gana

atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja dilakukan guna menjadi

saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa yang

bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting adalah

menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah tersebut.

Jikalau ada yang berbohong maka salah satu dari pihak yang

bersengketa akan mengalami kematian dan malapetaka yang akan

dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence) tersebut kepada pihak yang

Page 15: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

181

memang sengaja melanggar, memutus, membongkar, melanggar serta

menyerobot tanah tersebut. 46

Dalam konteks seperti ini, masyarakat adat Dayak mempunyai

kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud kekuasaan dan kekayaan

menurut Liqua (2016) lain berbentuk “hak atas wilayahnya”:

1. Apabila melebihi kehidupan keseharian harus dengan

ijin/kesepakatan masyarakat (usaha yang umum dilakukan

masyarakat dalam satu wilayah tertentu) secara spontanitas.

Contoh: menangkap ikan di luhak (sungai kecil) atau ayap pada

musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak berkelebihan.

2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang

terjadi di wilayahnya.

3. Orang luar yang akan memanfaatkanya harus dengan ijin dan

membayar uang pengakuan (mesi recognitie retribusi) kepada

masyarakat adat; kontribusi ini untuk pembangunan daerah

tersebut. (tidak boleh diatur oleh Peraturan Pemeritah seperti

ketentuan pokok kewajiban investor dalam membayar

pajak/kontribusi kepada daerah dan pusat, tapi harus berpijak

pada kesepakatan dengan daerah penghasil atauotonomi khusus

desa).

4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara

perorangan) oleh warga.

5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing (pihak

asing walau dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk

apapun).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan orang Dayak

sudah memiliki ideologi yang kuat dan berakar yang biasanya

dikonsepkan dengan religi orang Dayak. 47 Ideologi atau religi ini pula

46 Kasus meninggalnya salah satu Damang Kepala Adat dikarenakan membuka tali atau patok agar perusahaan dapat masuk dan melakukan aktifitas (Hasil wawancara dengan Kepala Adat Oreng Kambang, 11 Juli 2016 di Oreng Kambang). 47 Radam (1987:17) dan Miden (1999:65) menyatakan religi orang Dayak dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi dan

Page 16: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

182

yang kemudian menjadi pendukung utama terjadinya transformasi

identitas gerakan dari penambang menjadi gerakan masyarakat adat. 48

Dengan ideologi atau religi ini, orang Dayak mampu merespon

hadirnya dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke

hampir semua relung kehidupan orang Dayak, yaitu negara (state) dan

pasar (the market). Tindakan yang mereka lakukan adalah

melaksanakan ritual-ritual sebagai sistem simbol yang teratur dalam

suasana hati (sentimen) tertentu dan sebagai sarana untuk

berkomunikasi dengan jaga rayanya agar dapat menjembatani berbagai

kebutuhan yang saling bertentangan sebagai pernyataan diri dengan

penguasaan diri. Di dalam ritual-ritual tersebut juga terkandung segala

aturan, norma dan etika untuk mengatur hubungan manusia dengan

manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature).

Isu Penting Melandasi Munculnya Gerakan Masyarakat Adat

Munculnya tindakan kolektif yang dilakukan masyarakat adat

Oreng Kambang merupakan tindakan yang diorientasikan pada

seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan makna-makna kultural yang

mendukung berkembangnya kesadaran politik, dan yang mengilhami

sekaligus meligitimasi gerakan perlawanan yang dilakukan. Dalam

kerangka ini pula, maka isu terkait hak-hak adat atas penguasaan

sumberdaya alam menjadi sprit perjuangan orang Dayak melawan PT

IMK.

Orang Dayak percaya bahwa tanah dan alam sekitar mempunyai

pola hubungan religius sehingga dalam memanfaatkan, dan

menentukan sistem pemilikan, dan melakukan ekstraksi sumber daya

eskatologis serta aktifitas-aktifitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenal ikatan sosial. 48 Religi bagi orang Dayak dapat dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenalkan ikatan sosial. Karena religi atau satu unsur yang membentuk religi juga dapat dikatakan sebagai keyakinan (belief) dari sistem ideologi yang menjadi inti dari kebudayaan orang Dayak.

Page 17: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

183

alam harus diatur (King, 1978; dan Ukur, 1992). Karenanya bagi orang

Dayak, tanah dan alam sekitar menghubungkan generasi masa lalu,

sekarang dan yang akan datang (Djuweng, 1992). Salah satunya terkait

dengan keberadaan Gunung Puruk Kambang yang kemudian dijadikan

sebagai wilayah suci dan sakral bagi orang Dayak dan oleh pemerintah

dijadikan sebagai Situs Budaya untuk dilestarikan.

Selanjutnya mengacu pada Odop dan Lakon (2009:23-25) alamnya

orang Dayak memiliki 3 (tiga) unsur penting membentuk jati diri atau

identitas orang Dayak, yaitu: hutan, tanah, dan air. Ekosistem hutan

dan orang Dayak tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu

kesatuan utuh kehidupan orang Dayak sejak awal keberadaannya di

muka bumi hingga kematiannya. Hal ini terlihat jelas dalam wujud

persekutuan hidup dan kemandirian orang Dayak sebagai suatu

“masyarakat kecil” hutan yang berkelanjutan. Hutan bagi orang Dayak

merupakan dunia, sumber kehidupan, darah dan jiwa (Pilin dan

Petebang, 1999). Mereka percaya bahwa hutan, tanah, dan sungai itu

dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus yang dibedakannya dari

roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam diri manusia

hidupnya berkreasi karena terkait dengan roh di luar manusia. Roh di

luar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat tidak

baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat baik

selalu akan melindungi manusia, sedangkan roh yang bersifat tidak

baik selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan ini

kemudian mereka ungkapkan melalui berbagai ritual sewaktu memulai

aktivitas perladangan.

Orang Dayak sebelum membuka hutan untuk aktivitas

perladangannya dilakukan sesuai aturan adat dan ritual-tirual yang

harus dijalaninya sebagai mekanisme mengatur hubungan antara

manusia, tanah dan hutan (Ukur, 1985). Institut Dayakologi menolak

anggapan bahwa aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan

merusak hutan. Pasalnya orang Dayak sudah mempunyai sistem

pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system) (Pilin

dan Petebang, 1999:13) dimana tanah, sungai dan hutan adalah tiga

elemen terpenting yang memungkinkan seseorang hidup sebagai orang

Page 18: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

184

Dayak sejati. Untuk mempertahankan eksistensi dan cara hidup

mereka yang khas orang Dayak menerapkan tujuh prinsip dalam

menejemen pemanfaatan sumber daya alam, yaitu : (1)

kesinambungan; (2) kolektivitas; (3) keanekaragaman; (4) subsistensi;

(5) organik; (6) ritualitas; dan (7) hukum adat.

Hasil analisis di lapangan menunjukkan telah terjadi pergeseran

pola usaha yang berpengaruh pada cara masyarakat memanfaatkan

lahan dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an,

masyarakat Dayak masih banyak yang mencari kayu ulin, kayu gaharu,

pantung, berburu hewan liar, dan mendulang emas secara tradisional.

Pada tahun 1990-an, usaha-usaha tersebut mulai sulit dilakukan karena

kelangkaan sumberdaya, akibat semakin intensifnya eksploitasi

terhadap sumberdaya hutan. Pada tahun 2000-an pola usaha dan

pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat Dayak masih menunjukkan

ketergantungan yang tinggi usaha penambangan emas, karet dan padi

ladang dengan sistem berpindah-pindah.

Selain ritual, orang Dayak juga memiliki mitos-mitos sebagai

sistem simbol menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan

kata-kata lisan secara langsung tetapi lebih sebagai teguran

seperti“pandehen utus” (pengokoh ketahanan suku dan bangsa). Mitos

ini dikembangkan untuk mengisi ruang yang diperlukan dalam

pemikiran orang Dayak. Karena mitos bagi orang Dayak adalah juga

sebuah religi yang juga berfungsi sebagai perisai yang melindungi atau

menghalangi seseorang dari kecenderungannya berlebihan untuk

memberlakukan alam. Selain itu, mitos bagi orang Dayak berfungsi

sosial guna mengatur, mempertahankan, dan memindahkan sentimen-

sentimen sebagai landasan kelangsungan dan ketergantungan sekalian

orang dalam masyarakat yang bersangkutan, dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Mitos bagi orang Dayak kemudian dapat dipahami

sebagai rasionalisasi dari berbagai pengalaman-pengalaman dan

pengetahuan-pengetahuan yang baru sebagai penunjang guna

memelihara eksistensi atau identitas ke Dayak-annya.

Proses munculnya pemilikan tanah secara tradisional didahului

oleh adanya hubungan antara tanah dengan orang atau orang-orang

Page 19: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

185

yang menggarapnya. Tahap berikutnya muncul hak (yakni sesuatu

yang merupakan pilihan bagi si penyandang hak). Namun bagi

masyarakat adat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa “kewajiban”

karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan misalnya

pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka

aksesnya terhadap tanah menjadi hilang, meski seringkali bersifat

sementara. Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu

adalah “hak” (misalnya diberi hak untuk mengelola HPH selama 25

tahun), baru kemudian muncul hubungan dengan tanahnya.

Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah disebutkan,

lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru

dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998).

Cara pemindah-tanganan hak atas tanah di dalam masyarakat

Dayak adalah melalui : (1) jual-beli (hajual hapili), (2) perwarisan, (3)

pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai

(sanda, hasanda) dan (6) perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak

atas tanah terjadi bilamana seorang keluarga tertentu sangat

membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya

sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara

Tiwah, dan lain-lain.

Menurut UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun

1960, pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti pola ladang

berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan warga desa di sebagian

wilayah Kalimantan Tengah, relatif sulit untuk mendapat pengakuan

formal. Hal ini menyebabkan jaminan hukum bagi masyarakat lokal

cenderung lemah dibandingkan perusahaan atau pihak swasta. Tanpa

kejelasan status hak, masyarakat adat tidak mempunyai kekuatan

untuk mempertahankan tanah yang telah mereka manfaatkan secara

turun temurun. Pada kasus pengambilalihan lahan untuk proyek-

proyek swasta yang didukung oleh kebijakan pemerintah, ganti rugi

untuk lahan yang diambil alih kemungkinan tidak dibayar.

Perusahaan-perusahaan pertambangan menguasai dan memanfaatkan

lahan dan hutan dengan membawa ijin formal dari pemerintah

Page 20: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

186

mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerah-daerah yang

secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat adat.

Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van

Vollenhoven, “hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh

Mahadi, “hak wilayah” oleh M. Tauuchid dan “hak ulayat” oleh

Soekanto Ridwan (1982) dalam (Florus, Paulus, 1994: 55). Konsep yang

paling banyak digunakan kemudian adalah “hak ulayat”.

Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

kehidupan dan kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat penting

untuk Masyarakat Adat Dayak, karena tanah adat merupakan

penunjang keberlangsungan hidup dan sarana untuk meningkatkan

kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Karena itu

tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat masyarakat adat baik

kolektif (ulayat) maupun perorangan di Kalimantan Tengah perlu

diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan Pemerintah

Provinsi dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No.

16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan

Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13/2009 Jo

Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang

Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan

Tengah harusnya menjadi kekuatan mendukung gerakan perlawanan

masyarakat adat. Tanah adat yang diolah dan dikuasai masyarakat adat

selama ini, secara yuridis sudah diharmoniskan sehingga memiliki

sandaran hukum tertulis atau hukum positif.

Terkait isu penguasahaan sumberdaya alam (tanah) yang

menyangkut kontrol hukum positif atas tanah lokal oleh negara

tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh masyarakat adat

dikarenakan pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah. Perwakilan

masyarakat adat menolak sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai

tanah negara ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

masyarakat adat.

Selanjutnya kaitan antara hukum adat dan tanah adat Dayak dapat

dilihat dalam berbagai dimensi, diantaranya :

Page 21: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

187

1. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam

kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-

pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-

pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional.

2. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah

ke Damangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang

dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun

bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik

perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui

oleh Damang Kepala Adat.

3. Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun

temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh

para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat

disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.

4. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang

diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah,

warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam

tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.

5. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak

perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan

sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di

atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.

6. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis)

yang selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum

gabungan para Mantir/Let adat baik yang berada di kecamatan

maupun di desa/kelurahan.

7. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua

Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang

berwenang menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu

wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil

pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan

Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan,

Page 22: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

188

para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir

Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah

kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat oleh

Bupati/Walikota.

8. Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki

wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam

wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari

himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan

tidak dapat dipisah-pisahkan.

9. Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah

perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota

Kerapatan Mantir Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan

anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat

desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan adat yang

berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam

menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan berjumlah 3 orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan

berjumlah 3 orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan

oleh keputusan Bupati/Walikota.

10. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-

istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat dayak itu

tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga

untuk memperkokoh keberadaan masyarakat adat Dayak

bersangkutan.

11. Identifikasi dan inventarisasi adalah pendataan dan pencatatan

pemilik tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, serta

penentuan areal tanah adat yang akan didaftarkan untuk

mendapat Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak

Adat di atas Tanah (Buku Panduan Pembuatan Surat

Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas

Tanah.

Page 23: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

189

Mengacu Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah

No.16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan

Tengah, Bab XIV Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan bahwa :

(1) Hak-hak adat Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah

adalah tanah adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian,

kesusasteraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta,

bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional, tata

ruang, dan ekosistem.

(2) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengakui,

menghormati dan menghargai keberadaan hak-hak

masyarakat adat Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1)

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang

undangan yang berlaku.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan

Peraturan Gubernur.

Atas dasar berbagai isu di atas, maka dapat dikatakan bahwa

bentuk penegasan kembali hukum adat dan tanah adat menjadi isu

utama untuk melakukan transformasi identitas gerakan penambang

menjadi gerakan masyarakat adat. Gerakan yang awalnya adalah

perjuangan para penambang yang terbatas berkembang ke gerakan

trasformasi sosial dan politik yang lebih luas melalui gerakan

mempertahankan hak-hak adat.

Menuju Gerakan Mempertahankan Hak-hak Adat

Sebutan suku Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-sub suku

Dayak yang ada di Kalimantan, mulai dikenal pada saat dilakukan rapat

damai yang dihadiri kepala-kepala suku adat Dayak se Kalimantan di

Tumbang Anoi dari tanggal 22 Mei -24 Juli 1894. (Ilon, 1987a; Usop,

1994:v-vii dan Kurniawan, 2007). Rapat ini merupakan peristiwa yang

sangat bersejarah pada abad ke-19 untuk merintis persatuan dan

kesatuan dengan mengokohkan sistem adat-istiadat dan tata krama

maupun sikap moral (Ilona, 1987:7) melalui berbagai penyelesaian

Page 24: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

190

konflik antar suku Dayak terkait dengan kegiatan ritual adat seperti

saling bunuh (habunu), saling potong kepala (hakayau), dan saling

memperbudak (hajipen) diantara suku-suku Dayak yang kemudian

dikenal dengan rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Semangat

ini yang kemudian disebut dengan “semangat Anoi” mendorong

kesadaran orang Dayak salah satunya adalah pentingnya

mempertahankan hak-hak adat Dayak.

Walaupun umurnya lebih dari seratus tahun lalu terpedam dalam

sejarah, namun “semangat Anoi” masih tetap diakui oleh orang Dayak

sebagai peristiwa bersejarah yang terbesar dan unik karena mampu

menghadirkan tokoh-tokoh adat (informal leader) +1.000 orang

mewakili 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan. Rapat

akbar ini merupakan persidangan pengadilan adat terbesar untuk

menyelesaikan hampir 300 perkara berkaitan dengan konflik antar

suku Dayak selama dua bulan (60 hari) untuk menghasilkan sejumlah

peraturan adat. Disepakati 96 pasal Hukum Adat untuk menjadi

pedoman bagi para Damang Kepala Adat di seluruh Kalimantan yang

kebanyakan bertugas mengatur tentang sanksi-sanksi adat di dalam

interaksi sesama orang Dayak maupun dalam kehidupan perladangan.

Misalnya tradisi saling potong kepala (hakayau) sudah tidak terjadi lagi

dimana kepala manusia simbol diganti dengan buah kelapa. 49

Rapat damai ini juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan

tertinggi yaitu; persaudaraan, perdamaian, dan kesadaran tertib hukum

yang diwujudkan dalam perilaku, sebagai terbitnya cahaya peradaban

untuk menyinari hutan belantara Kalimantan. Manarik dalam rapat

ini, pihak Belanda (Kontrolir Tanah Dayak A.C. da Hee dan Kontrolir

Melawi J.P.J. Barth) yang menginisiasi rapat ini menampilkan diri

lebih sebagai saudara sesama manusia daripada sebagai penguasa. Sikap

ini disambut dengan semangat yang sama dengan bahasa yang berbeda:

Belanda, Melayu, dan Dayak yang kemudian melahirkan Pakat Dayak.

Pakat Dayak berisikan; (1) perang antara Belanda dan pasukan

Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masing-masing;

(2) mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan

49 Wawancara dengan tokoh Dayak di Palangkaraya pada tangga 13 Nopermber 2011.

Page 25: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

191

membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada

kedaulatan dan status lembaga adat (Kedamangan); (3) semua pihak

sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku); (4)

dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali

dilakukan dengan latar belakang dendam; (5) menghentikan kegiatan

kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala

untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan); (6) menghentikan

kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual

beli budak); (7) menyempurnakan warisan turun temurun yang

dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang

dijalankan pemerintah; dan (8) memberi kesempatan untuk berbagai

pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan

dicarikan penyelesaiannya.

Pakat Dayak juga merupakan bentuk kesepakatan, kerukunan,

persatuan dan kesatuan langkah dan pandangan pada suatu kurun

waktu. Karenanya Pakat Dayak dapat dikatakan sebagai institusi atau

sebagai sekumpulan norma dan perilaku yang tetap sepanjang waktu

dengan cara memberi tujuan yang bernilai kolektif (Uphoof, 1986:1-

19) yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai kerangka interaksi dan

integrasi dimana jati diri orang Dayak akan terus berkembang dari

waktu ke waktu dalam mengisi ruang pembangunan atau dalam ruang

membentuk peradapan. Selain itu, Pakat Dayak juga digunakan sebagai

alat perjuangan, karena pengertian pakat mengandung suatu kebulatan

pikiran, pandangan dan langkah ke suatu tujuan atau suatu pencerahan

pikiran atau kebangkitan atau kebangkitan kembali kebudayaan

(cultural revival) (Usop, 1994:v-vii).

Walaupun rapat damai di Tumbang Anoi (1894) merupakan

sejarah besar bagi orang Dayak, tetapi sebagian orang Dayak

menganggap pertemuan tersebut merupakan kekalahan dan

mengembangkan mentalitas budak di kalangan orang Dayak sebagai

politik desivilasi “ragi usang” (Kusni, 2010). Orang Dayak kemudian

memiliki rasa rendah diri sampai-sampai ada yang tidak mengakui

dirinya orang Dayak dan mau berbahasa Dayak. Kesalahan rapat damai

di Tumbang Anoi, dikoreksi setelah 25 tahun kemudian, tepatnya pada

Page 26: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

192

tanggal 18 Juli 1919 dengan didirikannya organisasi oleh beberapa

tokoh Dayak yang diberi nama dengan Pakat Dayak atau Serikat

Dayak. Berdirinya organisasi ini bersamaan dengan berdirinya Boedi

Oetomo (20 Mei 1908) dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya di

berbagai pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Apakah berdirinya

organisasi Pakat Dayak tidak terpisahkan dari Gerakan Kebangkitan

Nasional untuk kemerdekaan Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh.

Namun demikian, dengan berdirinya organisasi ini diharapkan dapat

melahirkan kesadaran “baru” tentang pentingnya gerakan membela

harkat dan martabat orang Dayak, baik secara politik, ekonomi, budaya

maupun sosial.

Meskipun Pakat Dayak sudah dibentuk, tetapi masih banyak

orang Dayak yang belum sadar pentingnya membangun integritas ke-

Dayak-an karena mereka tetap merasa dirinya sebagai Dayak Oot

Danum, Dayak Ngaju, Dayak Siang, Dayak Bakumpai dan Dayak

Maanyan, yang berasal dari daerah utus itu dan utus ini. Hal ini

terlihat dari upaya membentuk Komite Kesadaran Bangsa Dayak tahun

1938 agar orang Dayak memiliki wakil di Parlemen Belanda

(Volksraad) di Betawi. Komite ini kemudian menyebarkan selebaran

(yang dikenal sebagai Suara Dayak) untuk disampaikan ke berbagai

pelosok sungai atau DAS, walaupun pada akhirnya tidak berhasil

membawa wakil orang Dayak duduk di Parlemen Belanda (Van

Klinken, 2004:18).

Perjuangan selanjutnya terjadi dari tahun 1953-1957 setelah

Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dengan melibatkan banyak

aktor dan organisasi kemasyarakatan, seperti: pasukan khusus (Pasus);

Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS); Serikat Keharingan

Dayak Indonesia (SKDI); Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) dll berjuang

untuk membentuk Daerah Otonom (Provinsi Kalimantan Tengah),

lepas dari wilayah administrasi Kalimantan Selatan. Untuk

mempersiapkan segala sesuatu membentuk Daerah Otonom, maka

pada tahun 1956 beberapa tokoh Dayak dan organisasi kemasyarakatan

di bawahnya menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah

(KRKT) di Banjarmasin. Latar belakang dilaksanakan kongres ini salah

Page 27: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

193

satunya menyiapkan proposal pembentukan provinsi Kalimantan

Tengah. Dasar pembentukan adalah secara geografis luas Kalimantan

Tengah 1,5 kali dari luas pulau Jawa, memiliki sumber daya manusia

kurang lebih 450.000 jiwa pada tahun 1957, serta memiliki sumber

daya alam yang sangat besar untuk menunjang pemerintahan.

Pertimbangan lain bahwa faktor etnologis, sosiologis dan psykologi

lebih didominasi oleh masyarakat dari suku Dayak (Jidan, 1994 dan

Usop, 1978). Gerakan ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya

UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang dicatat dalam Lembaran Negara

No. 53 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Otonom

Kalimantan Tengah. Oleh karenanya KRKT yang diselenggarakan di

Banjarmasin dijadikan sebagai tonggak penyelenggarakan KRKT

berikutnya dan kemudian disebut sebagai KRKT I.

Pada masa Orde Baru, tepatnya memperingati 100 tahun Rapat

Tumbang Anoi (tahun 1994), beberapa tokoh adat Dayak dari berbagai

latar belakang berkumpul dan menyepakati perlunya membentuk

Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah

yang disingkat LMMDD-KT. Lembaga selanjutnya dijadikan sebagai

wadah atau ranah (field) untuk membangun jaringan hubungan-

hubungan antar orang Dayak, seperti yang dikembangkan oleh

Bourdieu (Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J, 2008:525).

Pembentukan lembaga ini terinspirasi dari gerakan Pakat Dayak yang

telah berjuang pada masa kolonial. Karenanya LMMDD-KT dibentuk

bukan sebagai gerakan instan tetapi gerakan untuk terus menginstitu-

sionalisasikan Pakat Dayak dalam kehidupan orang Dayak. 50

Sejak dibentuk, LMMDD-KT melakukan berbagai tindakan

kolektif melalui aksi-aksi massa untuk memperjuangkan kepentingan

orang Dayak. Salah satu aksi massa yang pernah dilakukan adalah

menolak calon Gubernur Kalimantan Tengah “dropping” pusat (Karna

Suwanda adalah calon Gubernur ketiga yang ditolak) dengan

melakukan demo besar-besaran oleh masyarakat menuntut dipilihnya

“putera daerah” pada tahun 1996. Namun akhirnya calon gubernur

50 Wawancara dilakukan dengan tokoh adat Dayak pada tanggal 05 Maret 2010 di Palangkaraya.

Page 28: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

194

dropping pusat yang dipilih adalah Warsito Rasman (masa bakti 17 Juli

1994 hingga Juli 1999). Untuk menegaskan sikap ini, LMMDD-KT

kembali menyelenggarakan KRKT II pada tahun 1995 di Palangkaraya.

Butir-butir kesepakatan hasil KRKT II adalah; (1) tetap

memperjuangkan Gubernur berasal putra daerah; (2) memperjuangkan

untuk memperoleh otonomi daerah; dan (3) memperjuangkan hak-hak

adat orang Dayak.

Terlepas dari kegagalan untuk mempengaruhi pemerintah agar

memilih Gubernur Kalimantan Tengah dari orang Dayak, namun

perjuangan ini memunculkan kembali politik etnis atau politik Dayak

atau Pan Dayak. Hal ini terjadi karena sejak kemerdekaan, apalagi pada

masa pemerintahan Orde Baru orang Dayak terus termajinalisasi.

Dengan menggunakan stigma sosial yang negatif dan

mengatasnamakan pembangunan, orang Dayak kemudian

dikategorikan sebagai “suku terasing” atau sebagai yang others sehingga

perlu dilakukan program relokasi seperti yang dilakukan pada masa

kolonial Belanda (Mutia, 2006:14-15), dan juga dibeberapa negara di

Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Filipina (Ghee dan Gomes, 1993).

Di balik alasan memberadabkan dan memodernkan orang Dayak yang

disodorkan untuk mendukung program relokasi, tetapi kerap kali

terdapat kaitan langsung untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya.

Mengiringi perjalanan euforia reformasi, di Kalimantan muncul

konflik etnik antara Madura dan Dayak. Konflik ini mendapatkan

perhatian secara khusus dari Human Right Watch karena memakan

ratusan korban jiwa dan ribuan orang dari etnis Madura harus

mengungsi di berbagai wilayah di Indonesia. Orang Madura

meninggalkan harta bendanya yang jumlahnya tidak sedikit karena

mereka telah hidup puluhan tahun di Kalimantan (data yang

sebenarnya hingga saat ini belum diketahui). Awal mula konflik etnis

ini di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Ketapang pada tahun

1999, kemudian menjalar ke Kalimantan Tengah tepatnya pada tahun

2001 di Sampit. Dimulai perkelahian antar individu, tetapi mampu

memancing menjadi konflik antar etnis, karena salah satu etnis (orang

Dayak) merasa terhina dengan berbagai ucapan dan tindakan yang

Page 29: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

195

merendahkan harkat dan martabat mereka. 51 Penghinaan ini

membangkitkan solidaritas dengan menggunakan berbagai antribut

kebudayaan yang dipercaya memiliki kekuatan untuk melawan. Kode-

kode budaya kemudian digunakan untuk menyatakan perang atau

dalam bahasa Dayak Ngaju Asang yang hanya bisa dimengerti oleh

orang Dayak. Dengan mengirim tombak yang diikat dengan rotan

merah atau telah dijernang yang diartikan orang Dayak menyatakan

perang dengan orang Madura. Orang Dayak yang tinggal terpencar di

pedalaman kemudian turun ke kota untuk melakukan ritual perang

adat yang disebut kayau atau mengayau.

Ritual kayau atau mengayau bermakna sebagai kegiatan

perburuan kepala tokoh-tokoh adat yang menjadi musuh, dimana

kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam upacara Tiwah.

Menurut Mukhlis (2008), kayau terbagi menjadi empat bagian: (1)

Mengayau dalam arti yang sebenarnya yaitu memenggal kepala saat

terjadi peperangan; (2) Mengayau Bajai (buaya) yaitu memenggal

kepala buaya yang menyambar manusia. Menurut tradisi orang Dayak

buaya yang menyambar manusia adalah buaya yang bersalah sehingga

buaya tersebut harus dihukum; (3) Mengayau batang kayu yaitu

memenggal pohon kayu yang dianggap bersalah karena ada orang

Dayak yang ketimpa pohon kayu tersebut sehingga menimbulkan

korban jiwa; dan (4) Mengayau danum (air) yaitu menebas air sungai

jika ada orang Dayak yang tenggelam sehingga perlu dilakukan

pembalasan. Empat bagian ini dilakukan melalui ritual dengan berbagai

macam persembahan, bisa berupa hewan kurban, sesaji dan berbagai

macam perlengkapannya dilakukan oleh basir atau dukun.

Perdebatan apakah kayau digunakan pada saat terjadinya konflik

masih dipertanyakan. Namun menurut seorang anggota Pasus Dayak

menyatakan bahwa; “…sebelum mereka berperang melawan orang

Madura mereka dimandikan terlebih dahulu oleh basir atau dukun

sehingga mereka tidak sadarkan diri (semacam kesurupan) untuk

kemudian berlomba memotong kepala musuh (orang Madura) dengan

51 Hasil wawancara dengan seorang anggota Pasukan Khusus (Pasus) di Sampit, 10 September 2010.

Page 30: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

196

Mandau merupakan bentuk ksatria (Lingu, 2002:75). Kegiatan

memandikan inilah yang oleh orang Dayak disebut sebagai ritual kayau untuk mengubah kekuatan spiritual (spiritual capital) mereka

menghadapi musuh. Dengan menggunakan antribut kebudayaan dalam

konflik dapat menjadi medium perang psikologis, pertahanan, dan

reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas sekaligus

sebagai upaya penegasan solidaritas diri oleh orang Dayak, yang dalam

hal ini diarahkan terhadap para pendatang keturunan Madura.

Tanasaldy dengan mengutip Davidson (2007:477) menyatakan bahwa

konflik paling keras antara orang Dayak dan orang Madura dalam

sejarah dapat dipandang sebagai penegasan diri orang Dayak setelah

sekian lama tertekan dan terpinggirkan.

Dengan semakin meningkatnya ekskalasi konflik, maka LMMDD-

KT pada tahun 2001 menggelar KRKT III di Palangkara dengan acara

khusus membicarakan konflik dengan etnis Madura. KRKT III dihadiri

berbagai elemen masyarakat (elit politik, akademisi, LSM, tokoh adat

dll) dari pusat hingga kabupaten/kota di seluruh Kalimantan Tengah.

Seorang tokoh pemuda Dayak yang mengikuti KRKT III menyatakan

bahwa solidaritas ke-Dayak-an yang muncul sangat kuat dan saling

bahu membahu untuk menutupi seluruh biaya kongres. Tekad yang

kemudian dibangun dalam KRKT III disebut dengan Tekad Damai

Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (TDAB-BK).

Nam Centre (2001, dalam Usop, 2003) menyatakan paling tidak

ada tujuh pokok masalah yang menjadi akar terjadi konflik etnis antara

orang Dayak dengan orang Madura: (1) Kebijakan pembangunan yang

salah dimasa lalu; (2) Pembinaan Sumber Daya Manusia yang kurang

berhasil; (3) Benturan budaya; (4) Ketidakadilan; (5) Kemiskinan; (6)

Keamanan; dan (7) Ketidakpastian penegakkan hukum. Namun yang

menjadi fokus KRKT III lebih menyoroti pada persoalan kebijakan

pembangunan yang dinilai salah pada masa lalu mengakibatkan

terjadinya benturan budaya, tidak ada penegakkan hukum yang

berpihak kepada orang Dayak, tidak terjaminnya keamanan, terjadinya

ketidakadilan, kemiskinan semakin meningkat, dan kebijakan

pembangunan yang sentralistik/otoriter sehingga aspirasi orang Dayak

Page 31: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

197

sebagai akar rumput tersumbat dan merasa terpinggir dan

termarginalkan. Karenanya KRKT III memperjuangkan nilai secara

damai, bahu membahu, melalui organisasi (nilai demokrasi), bila

terpaksa atau terdesak sedia mengangkat senjata bila yakin akan misi

perjuangan, menentang kelaliman dan eksploitasi, monopoli dan

otoriterianisme atau sentralisasi, KKN, menentang kekerasan dan cara-

cara kekerasan.

Butir-butir kesepakatan yang kemudian dihasilkan KRKT III

adalah : (1) menerima TDAB-BK; (2) menerima pusat sebagai mediator;

(3) menolak cara-cara kekerasan; dan (4) menerima dengan bersyarat

bahwa warga masyarakat pengungsi Madura menyatakan diri “siap

damai dan minta maaf”. Agar butit-butir kesepakatan tersebut dapat

dijalankan KRKT III juga meminta kepada pemerintah dan pemerintah

daerah untuk: (1) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang

Kependudukan; (2) terus menjalankan proses hukum; (3)

menghentikan sejenak upaya untuk melakukan pemulangan pengungsi

orang Madura setelah dilakukan pendinginan dinamik, rasa aman oleh

kedua belah pihak; (4) Budaya Betang: dimana bumi dipijak, disitu

langit dijunjung diutamakan; dan (5) melaksanakan pembangunan

secara terpadu dari tingkat pemerintah provinsi maupun

kabupaten/kota. Tindak lanjutnya adalah Pemerintah Provinsi

Kalimatan Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun

2001 tentang Penduduk Dampak Konflik yang berisi lima bab: bab pertama (Ketentuan Umum) dengan pasal 1 beserta 19 ayat, antara lain

tentang: penanganan penduduk dampak konflik adalah upaya

normalisasi kehidupan penduduk daerah, rekonsialiasi, rehabilitasi, ada

tentang nilai-nilai/norma-norma dan hukum, serta kelembagaan adat;

bab kedua (Kebijakan Daerah) berkenaan dengan rekonsiliasi,

rehabitasi, kewenangan dan peranan Damang Kepala Adat; bab ketiga

(Penyelenggaraan Pengembalian Penduduk) berkenaan dengan

pendataan dan pendaftaran penduduk; pengembalian penduduk;

keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan, pengawasan dan

pengendalian; bab empat (Sangsi Hukum dan Hukum Adat); dan bab kelima (Penutup)

Page 32: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

198

Setelah KRKT III, LMMDD-KT menindak-lanjuti upaya

penyelesaian konflik dengan menyelenggarkan pertemuan Tekat

Mufakat Masyarakat Kalimantan (TMMK) di Batu Malang, Jawa Timur

pada tahun 2002. TMMK diselenggarakan untuk menyatukan seluruh

kepentingan orang Dayak di Bumi Kalimantan (empat provinsi). Ada

sembilan butir kesepakatan yang dihasilkan di Batu Malang bahwa

Masyarakat Kalimantan; (1) siap melaksanakan TDAB-BK; (2) bersama

pemerintah secepatnya meningkatkan kurukunan masyarakat yang

multi etnis; (3) berupaya sekuat tenaga mewujudkan normalisasi

melalui penciptaan keadaan aman, damai, dan rasa aman; (4) bertekad

berupaya menghormati budaya masing-masing dengan prinsip “dimana

bumi dipijak, disitu langit dijunjung” untuk berdampingan secara

rukun dan damai; (5) sepakat mengakhiri penderitaan para korban

pertikaian dan keluarga anak bangsa dari keturunan etnis manapun; (6)

keturunan Madura korban kerusuhan diproses pengembaliannya secara

bertahap yang didukung oleh iklim kondusif sesuai dengan kebijakan

Pemeritah dan kebijakan Pemerintah Daerah; (7) mendukung

Pemerintah menegakkan supermasi huku; (8) siap melakukan langkah-

langkah proaktif untuk kehidupan rukun, damai, dan harmonis; dan

(9) implementasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk: (a)

pemulihan sosial kembali ke tempat semula sesuai dengan kondisi

masing-maing daerah; (b) Pemda Kabupaten/Kota se Kalimantan segera

membentuk Perda Kependudukan; (c) langkah-langkah nyata

pemberdayaan masyarakat Kalimantan; (d) bersama seluruh komponen

bangsa mewaspadai dan memerangi provokator; (e) Pemerintah dan

Pemerintah Daerah berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam

pemulangan kembali, pemberdayaan dan relokasi sesuai dengan

kebijakan nasional; (f) dibentuk Polisi sektor di tempat relokasi dan

Pam Swakarsa; (g) untuk melaksanakan (a-f) supaya dibentuk

Kelompok Kerja (Pokja) lintas tokoh dan sektor.

Setelah melaksanakan TMMK, LMMDD-KT kembali

menyelenggarakan Musyawarah Besar I Damang Kepala Adat se

Kalimantan Tengah (Mubes I DKA-KT) di Palangkaraya pada tahun

yang sama (2002). Ide dasar diselenggarakan musyawarah ini adalah

meletakkan kembali filosofi sebagai landasan untuk terus

Page 33: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

199

memperjuangkan nasib adat orang Dayak sekaligus memberdayakan

masyarakat (community development) agar orang Dayak memahami

dan mengerti hak-haknya atas dasar adatnya. Karenanya peran aktif

Damang sebagai Kepala Adat menjadi penting terutama dengan

memberikan kewenangan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya;

melakukan pemberdayaan masyarakat atau ekonomi rakyat dan

melakukan pemberdayaan atau pelestarian Sumber Daya Alam

(lingkungan hidup/ekologi). Damang Kepala Adat se Kalimantan

Tengah kemudian mendeklarasikan Provinsi Kalimantan Tengah

sebagai Daerah Ekologis atau Daerah Lingkungan Hidup dengan

mengacu pada Program Nasional tahun 1999-2004; UU No. 22 Tahun

1999 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan Perda No. 9 Tahun 2001 tentang

Penduduk Dampak Konflik yang memberikan peranan dan fungsi

kepada lembaga adat yang masih hidup di Kalimantan Tengah.

Dalam perkembangannya hasil-hasil KRKT III belum

diimplementasian sepenuhnya yang kemudian mendorong LMMDD-

KT kembali akan menyelenggarakan KRKT IV. Pada saat wacana akan

diselenggarakan KRKT IV, dinamika politik di antara orang Dayak

telah berubah. LMMDD-KT yang dulunya menjadi aktor untuk

memperjuangkan eksistensi, hak-hak dan identitas orang Dayak (1994-

2001) mulai kehilangan pengaruh. Posisi-posisi kunci yang diduduki

oleh elit politik maupun intelektual orang Dayak mulai meninggalkan

LMMDD-KT menjadi anggota pengurus Majelis Adat Dayak

Kalimantan Tengah (MAD-KT) yang dibentuk pada tahun 2006 (Lingu,

2002). Masuknya elit politik dan intelektual orang Dayak ke dalam

tumbuh MAD-KT yang didukung sepenuh oleh elit yang berkuasa

dalam konteks hubungan patron-klien untuk memanfaatkan peluang

sebagai free-rider karena kekuasaan politik dan ekonomi melalui lobi-

lobi baik dengan pihak penguasa maupun pengusaha. Sebagai free-rider peran yang kemudian dimainkan adalah menjadi wakil dari penguasa

melakukan negosiator agar dapat mempengaruhi dan membujuk orang-

Page 34: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

200

orang Dayak menyerahkan hak-hak historisnya kepada pengusa dan

pengusaha.

Meskipun mulai kehilangan pengaruh, KRKT IV tetap

diselenggarakan pada tahun 2009 guna menjawab berbagai keluhan

dari masyakat (orang Dayak) karena semakin tidak terkendalinya

eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dilakukan para pengusaha

dengan dukungan dari penguasa. Dengan tema: “Tingkatkan

Tanggungjawab Sosial Pemerintah Daerah dan Perusahaan Besar

Swasta Kunci Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat

Demi Harkat dan Martabat Masyarakat Kalimantan Tengah”, melalui

LMMDD-KT, orang Dayak ingin menyuarakan penolakan terhadap

berkembangnya kapitalisme sehingga menempatkan orang Dayak

dipinggiran dan hanya terpusat pada sektor modern yang sifatnya

artifisial. Kondisi ini memperburuk kemiskinan di mana struktur-

struktur sosial-ekonomi terputus dari sumber daya yang bisa diakses

orang Dayak hingga di pedalaman Kalimantan. 52

Kelangsungan hidup orang Dayak sekarang sangat bergantung

mencari kerja, baik di sektor perekonomian formal maupun informal.

Tidak cuma itu, kapitaslime juga dapat menghapuskan inti kebudayaan

orang Dayak yang menjadi simbol identitasnya (the end of the nation state). Kalimantan yang dulu dikenal sebagai bagian dari Indonesia kini

menjadi bagian dari suatu aktivitas global. Dengan perlawanan ini,

orang Dayak hanya ingin mempertahankan simbol identitasnya sambil

mengingat bahwa mereka masih digolongkan miskin meskipun

memiliki sumber daya yang besar. Dalam konteks Kalimantan

walaupun memiliki sumber daya yang besar tetapi masyarakatnya

masih tergolong miskin (pernyataan Gubernur Kalimantan Timur

dihadapan Presiden RI pada acara peresmian Proyek-proyek di

Provinsi Kaltim, di Samarinda 15 Juli 2009, Kompas 16 Juli 2009,

dengan judul pemberitaannya Dominasi Tangan Kuat Tidak Membawa

Keadilan).

52 Hasil wawancara dengan tokoh adat Dayak, Palangkaraya, 03 September 2010).

Page 35: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

201

Untuk itu, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan Kongres

Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) ke V pada tanggal 28-29 Juni 2014

di Gedung Tambun Bungai Palangkaraya. Karena penyelenggaraan

KRKT ini berdekatan dengan pesta politik, Pemilihah Presiden

(Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maka melalui KRKT

diharapkan dapat memberikan masukan dan menjaga kebersamaan

sesuai dengan prinsip rumah panjang atau diberi nama dengan Huma Betang. Prinsip yang dimaksud adalah semangat kebersamaan di dalam

perbedaan (togetherness in diversity). Tema utama yang diangkat

adalah menghadapi Era Ekonomi Pekerja Iptek dan Reformasi serta

membahas masalah-masalah marginalisasi, hutan adat, sengketa lahan,

korupsi, harmonisasi hukum positif dan adat serta desentralisasi

keuangan daerah. Kongres tersebut dihadiri para tokoh adat Dayak

serta mantan pejabat daerah di Kalimantan Tengah. Menurut tokoh

adat Dayak, tema ini sengaja diangkat berdasarkan kondisi yang

dihadapi orang Dayak saat ini dan masa mendatang khususnya di

Kalimantan Tengah.

Satu keputusan penting dari KRKT V yang berhubungan langsung

dengan gerakan perlawanan masyarakat adat Oreng Kambang adalah

membentuk Asosiasi Pertambangan Rakyat Kalimantan (Aspera).

Tugas penting dari asosiasi ini adalah memberikan pendampingan

kepada para penambang rakyat di Kalimantan dan khususnya di

Kalimantan Tengah yang umumnya adalah masyarakat adat Dayak.

Berbagai kegiatan yang dilakukan asosiasi ini, diantaranya

menyelenggarakan seminar dan lokakarya baik pada aras lokal,

nasional maupun internasional. Asosial ini juga mengembangkan

jaringan kerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi maupun

lembaga yang bergerak dalam pendampingan pertambangan rakyat,

salah satunya mengembangkan teknologi penambangan untuk

kepentingan para penambang yang berwawasan lingkungan. Apa dan

bagaimana Asosiasi Pertambangan Rakyat Kalimantan (Aspera) dapat

dilihat pada gambar 6.5 di bawah ini.

Page 36: TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/7/D_902006007_BAB VI.pdf · Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

202

Sumber : http://www.tambang.id/blog/pelayanan-untuk-anggota-asosiasi-

pertambangan-rakyat-kalimantan

Gambar 6.5.

Website Asosiasi Pertambangan Kalimantan