tradisi nyadran
DESCRIPTION
jkxcjkjxnjdncTRANSCRIPT
Tradisi Nyadran
Biasanya menjelang bulan Ramadhan, masyarakat di beberapa
wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta akan melakukan sebuah tradisi tahunan peninggalan dari nenek
moyang, yaitu Tradisi Nyadran atau Sadranan. Tradisi ini diwujudkan dengan ziarah ke makam para
leluhur dengan ritualnya yang meliputi pembersihan makam-makam, memanjatkan doa permohonan
ampun, dan tabur bunga. Para peserta yang berziarah pun membawa makanan, seperti tumpeng,
apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak. Mereka juga membawa kemenyan dan aneka
macam bunga, seperti mawar, melati, dan kenanga.
Nyadran berasal dari kata “srada’ yang berarti peringatan 12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran,
syukuran dilengkapi dengan doa yang merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka
atas rezeki yang diperoleh selama ini dan harapan atas rezeki yang akan datang. Menurut catatan
sejarah, tradisi nyadran ini memiliki kesamaan dengan tradisi “craddha” yang ada pada masa kerajaan
Majapahit. Kesamaannya ialah pada ritual manusia yang berkaitan dengan leluhur yang sudah
meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang merupakan bentuk
penghormatan kepada yang sudah meninggal.
Nyadran ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan kaum muslim karena sebagian besar
menganggap tradisi ini dianggap perilaku syirik karena menggunakan sesaji. Namun, bagi masyarakat
yang mempercayainya, nyadran ini adalah peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan dan
selama tidak menyembah makam maka dianggap sah-sah saja.
Dulunya, tradisi semacam nyadran ini dilakukan oleh masyarakat Hindu dan Budha, namun semenjak
Islam datang, tradisi ini terakulturasi dengan budaya Islam yang telah dimodifikasi oleh wali songo.
Di dalam nyadran terdapat inti budaya Jawa yaitu harmoni dalam hubungan antar manusia, alam
semesta, dan juga roh gaib. Oleh sebab itu, nyadran ini menyertakan sesajian. Aneka makanan,
kemenyan, dan bunga, memiliki arti simbolis. Tumpeng melambangkan sebuah pengharapan kepada
Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (anak ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia
ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja melambangkan suatu harapan supaya
kelak hidup bahagia, jajanan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan, kemenyan merupakan
sarana permohonan pada waktu berdoa, dan bunga melambangkan keharuman doa yang keluar dari
hati yang tulus.
TRADISI NYADRAN
TRADISI NYADRAN DI DESA GROGOLAN,
KEC. NOGOSARI, KAB. BOYOLALI
Menjelang bulan Ramadhan lalu, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan upacara
nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan
dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bisa kita jumpai di Desa
Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Kegiatan masyarakat Grogolan
tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan
ampun, dan tabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng,
apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan
ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu,
mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar,
melati, dan kenanga. Dan inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu karena ia tumbuh dalam
masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi
hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan
dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal
Apakah Tujuan Tradisi Nyadran Di Desa Grogolan??
Mbah Wiriyo,(72 tahun) salah satu warga dan merupakan pemuka penting didesa
Grogolan ini, berhasil kami temui dan kami mintai keterangan seputar tradisi nyadran yang ada
di desa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam
kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di
masyarakat kita. ’’ Kami hanya meneruskan tradisi yang telah ditinggalkan nenek moyang dari
dulu mas, jadi kalo ditanya soal sejak kapan tradisi ini berlangsung saya sendiri pribadi kurang
tahu, mungkin sudah sejak jaman Para Wali mungkin mas.’’ Papar mbah Wiriyo.
Jadi pada intinya masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini
adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi
bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan. Beliau juga
menjelaskan bahwa, kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau
orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu.
Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing
Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini,
menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem. Selain di daerah Jawa
Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon,
nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas . Tujuan utama dari upacara ini
adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah
karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat
lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yaitu adus (mandi).
Padusan merupakan kegiatan mandi (bersih diri), yang mempunyai makna persiapan lahir dan
batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan di sumber-sumber air yang
dianggap sakral/suci.
Untuk masyarakat di desa Grogolan kebanyakan banyak yang melakukan tradisi
padusan ke daerah sakral yang ramai pengunjung seperti Kedung Boyo, Tlatar, Pengging
dan Lain-lain.
Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran di desa ini seringkali
mengundang perdebatan di kalangan umat Islam. Memang secara kuantitas, tidak semua warga
di desa Grogolan turut ikut melakukan tradisi ini. Ada sebagian yang tidak ikut nyadranan,
karena mereka mempunyai prinsip yang jelas dan mendasar. Mereka yang menolak tradisi
nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan tidak perlu dilaksanakan. Sedangkan yang
menghendaki nyadran berpendapat kalau tradisi nyadran sah-sah saja, asal tidak menyembah
makam leluhur. Salim (60 tahun) salah satu warga Desa Grogolan juga,dia adalah salah satu
orang dari warga tersebut yang tidak setuju dengan tradisi yandran ini. ’’Sebenarnya tradisi ini
adalah tradisi yang semestinya harus ditinggalkan, kenapa mas bisa saya katakan seperti
itu? Kerena tradisi ini melanggar aturan agama islam. Tradisi ini tidak diajarkan dalam
islam dan merupakan perbuatan Syirik dan syirik itu perbuatan dosa besar jadi saya tidak
setuju dengan keberlangsungan tradisi ini mas..! ’’ Tutur pak Salim dengan suara agak
lantang. Memang tradisi ini kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha. Tradisi semacam
nyadran telah dikenal nenek moyang kita sejak dahulu. Setelah Islam masuk ke Nusantara
(sekitar abad ke-13), tradisi semacam nyadran yang telah dikenal masyarakat ini, perlahan-lahan
mulai terakulturasi dengan ajaran Islam. Saat Wali Songo menyiarkan Islam di Jawa, tradisi ini
kembali “dimodifikasi”. Akhirnya terjadi perpaduan ritual, antara kepercayaan masyarakat Jawa
dengan ajaran Islam, yang lalu menghasilkan tradisi nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti
budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan
harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-
roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk
“menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.
Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan
sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (ayam yang dimasak
utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja
melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia, jajan pasar melambangkan harapan
berkah dari Tuhan, ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna
permohonan ampun jika melakukan kesalahan, kemenyan merupakan sarana permohonan pada
waktu berdoa, dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka
“bawaan” ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-
makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam
nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan.
Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga
dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji
diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan
keselarasan dengan seluruh alam. Nyadran juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan
atas rejeki yang diterima dan menghormati leluhur.
Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat
melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan,
kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar
anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.
Namun tetap saja pandangan seseorang itu berbeda-beda. Ada yang menganggap itu baik
disatu sisi juga ada yang menanggap itu tidak baik. Dan hal itu wajar terjadi adanya
karena seperti kita ketahui bersama bahwa kita hidup dalam kebersamaan dan
masyarakat multi cultural.
Nah dengan berbagai sumber informasi tadi dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran
khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah
tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan
ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.
Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?
Desa Grogolan dihuni oleh banyak komunitas penduduk yang mana berbeda agama dan
mempunyai kepercayaan masing-masing. Setelah kami mencari keterangan yang cukup
terpercaya yaitu mengambil simple dari beberapa orang penduduk di daerah itu bahwa mereka
tahu akan hal itu (ketidakharmonisan persepsi) dan mereka berusaha untuk tidak
mempermasalahkan hal itu. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang
menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang
berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal
itu.
Jadi pada intinya, mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk
melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan
keyakinan seseorang dan patut untuk dihargai dan dihormati.
B. TRADISI NYADRAN DALAM KONTEKS UMUM
MASYARAKAT JAWA
Nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini
dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk
pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya
dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki
kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana
nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan
pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya
hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran
merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga
sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.
Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan
kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang
diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan
makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur
sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan
sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak.
Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun
pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater
(dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap)
kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai
ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang
berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam
leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara
muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam
acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk
bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud
untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia
menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum
(ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon
maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana
ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa,
semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri,
maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum
diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi
gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati
diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga
ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi.
Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di
kota-kota besar.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau
anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari
yang tua kepada yang muda.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur
menjelang bulan Ramadhan.
Nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit
ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita.
Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam,
sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.
Kegiatan Tradisi Nyadran di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, di
antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur
bunga.
Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja,
jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman.
Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut
tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia,
seperti mawar, melati, dan kenanga.
Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini,
menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem.
Tujuan masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek
moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka
menyangkut keselarasan dalam kehidupan.
Nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus
bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di
dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat.
Tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan
masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut
melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.
Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?
Mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi
nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut
untuk dihargai dan dihormati. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan
apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya
masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya
beberapa saj yang melakukan hal itu.
Tradisi Sekaten Keraton Kasunanan SurakartaMay 18, 2013 By Wawan Surajah Leave a Comment
Sekaten adalah salah satu tradisi Keraton Surakarta yang paling dikenal dan ditunggu kehadirannya setiap tahun. Tradisi yang telah digelar sejak era raja-raja terdahulu sejatinya adalah sebuah upacara peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai tuntunan bagi umat manusia.
Nama tradisi ini berasal dari kata dalam Bahasa Arab, Syahadatain, (dua kalimat Syahadat, yakni persaksian umat Islam bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah), rutin diselenggarakan oleh pihak Keraton menjelang hari perayaan lahirnya Sang Penuntun. Yaitu menjelang Maulid Nabi atau menjelang tanggal 12 bulan Rabiul Awal (Hijrah) atau 12 bulan Mulud (Jawa).
Mulainya tradisi Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya dua gamelan pusaka Keraton yaitu, gamelan Kyai Guntur Madu dan gamelan Kyai Guntur Sari. Kedua gamelan pusaka Keraton ini nantinya akan ditata di Bangsal Pagongan, Masjid Agung Surakarta, untuk kemudian dibunyikan selama satu minggu penuh. Terhitung dari tanggal 5 bulan Mulud hingga 11 bulan Mulud.
Dalam tradisi Sekaten Keraton Surakarta ini masing-masing perangkat gamelan pusaka akan melantunkan dua gending berbeda secara bergantian. Pertama gending Rembu dimainkan pada Kyai Guntur Madu sementara Kyai Guntur Sari memainkan gending Rangkung.
Setelah satu seminggu dimainkannya dua gending tadi. Seluruh kegiatan dalam perayaan ini akan ditutup dengan Grebeg Mulud tepat di hari perayaan Maulid Nabi di Masjid Agung Surakarta. Grebeg Mulud inilah yang disebut sebagai upacara adat yang paling besar dan paling banyak menyedot perhatian masyarakat luas jika dibandingkan dengan Grebeg Syawal atau Grebeg Besar.
Selain puncak acara Grebeg dan tabuh gamelan pusaka. Salah satu tontonan yang paling diminati adalah pasar malam Sekaten. Pasar malam sendiri digelar di Alun-Alun Utara. Khusus untuk pasar malam biasanya sudah buka jauh hari sebelum Sekaten sendiri digelar di Masjid Agung Surakarta. Pasar malam yang banyak menyuguhkan tontonan, hiburan, dan jajanan juga biasa tutup paling akhir meskipun seluruh kegiatan utama sudah selesai digelar.
Selain tradisi di bulan Mulud ini, kota Solo masih memiliki beragam upacara adat lainnya yang dapat dijadikan rujukan wisata budaya kota Solo. Seperti Kirab Malam Suro, Grebeg Mulud, Grebeg Poso, Grebeg Syawal, Grebeg Besar, dan masih banyak lainnya lagi. Simak seluruhnya secara komplit ditautan ini.
Tradisi Lebaran, Warga Rebutan Gunungan di Keraton SoloBrowser anda tidak mendukung iFrame
Senin, 20 Agustus 2012 18:59 wib
Keraton Surakarta (foto: Joglosemar.co.id)
SOLO – Ratusan warga Solo, Jawa Tengah, berebut mengambil gunungan dalam Grebeg Syawal, yang digelar Kesunanan Keraton Surakarta di halaman Mesjid Agung Kesunanan, Senin siang, yang merupakan hari kedua lebaran.
Seolah tak perduli dengan terik matahari yang menyengat, mereka saling dorong, saling sikut, untuk mendapatkan berkah gunungan. Warga meyakini bahwa makanan dan hasil bumi dalam gunungan akan mendatangkan berkah.
Dua buah gunungan itu yakni gunungan jaler atau pria, dan gunungan wadon atau wanita, tadinya diarak dari dalam keraton dengan kawalan prajurit. Kemudian, dibawa menuju Masjid Agung di alun-alun utara. Kedua gunungan ini berisi hasil bumi, serta makanan tradisional. Selanjutnya keduanya didoakan oleh pemuka agama serta abdi dalem keratin.
Setelah didoakan, gunungan jaler menjadi rebutan warga. Dalam waktu yang cukup singkat, isi gunungan ludes. Sedangkan gunungan wadon, diarak kembali ke halaman kori kemandungan
keraton untuk diperebutkan warga disana.
Tradisi berebutan gunungan di kalangan warga dikenal dengan ngalap berkah. Artinya, warga yang berhasil mendapatkan hasil bumi dalam gunungan dipercayai akan mendapatkan berkah dari Tuhan.
Menariknya, rebutan gunungan juga diikuti oleh pengunjung yang bukan merupakan warga Solo. Darman misalnya. Warga Salatiga ini mengaku akan memasak sebagian hasil bumi yang didapatnya. Sementara sisanya disimpan agar mendapat berkah. “Akan saya masak, dan sisanya disimpang,” kata Darman.
Menurut kerabat Keraton Surakarta, KP Edhi Wirabhumi, makna dari Grebeg Syawal ini adalah ucap syukur kepada Tuhan yang telah menjaga umatnya selama sebulan berpuasa. “Gunungan ini diharapkan mendatangkan berkah bagi seluruh warga. Dengan gunungan berisi makanan ini, diharapkan warga belajar bahwa ada yang kebih penting dari makanan jasmani,” ujarnya.
Sementara warga yang kurang beruntung dan tidak kebagian, terpaksa harus mengais sisa gunungan yang berserakan di tanah. Tradisi turuntemurun ini seolah tidak pernah hilang di tengah kemajuan jaman.