tradisi nyadran

17
Tradisi Nyadran Biasanya menjelang bulan Ramadhan, masyarakat di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta akan melakukan sebuah tradisi tahunan peninggalan dari nenek moyang, yaitu Tradisi Nyadran atau Sadranan. Tradisi ini diwujudkan dengan ziarah ke makam para leluhur dengan ritualnya yang meliputi pembersihan makam-makam, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Para peserta yang berziarah pun membawa makanan, seperti tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak. Mereka juga membawa kemenyan dan aneka macam bunga, seperti mawar, melati, dan kenanga. Nyadran berasal dari kata “srada’ yang berarti peringatan 12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran, syukuran dilengkapi dengan doa yang merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rezeki yang diperoleh selama ini dan harapan atas rezeki yang akan datang. Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran ini memiliki kesamaan dengan tradisi “craddha” yang ada pada masa kerajaan Majapahit. Kesamaannya ialah pada ritual manusia yang berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang merupakan bentuk penghormatan kepada yang sudah meninggal. Nyadran ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan kaum muslim karena sebagian besar menganggap tradisi ini dianggap perilaku syirik karena menggunakan sesaji. Namun, bagi masyarakat yang mempercayainya, nyadran ini adalah peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan dan selama tidak menyembah makam maka dianggap sah-sah saja. Dulunya, tradisi semacam nyadran ini dilakukan oleh masyarakat Hindu dan Budha, namun semenjak Islam datang, tradisi ini terakulturasi dengan budaya Islam yang telah dimodifikasi oleh wali songo.

Upload: alv-vhya-neystha

Post on 25-Oct-2015

175 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

jkxcjkjxnjdnc

TRANSCRIPT

Tradisi Nyadran

Biasanya menjelang bulan Ramadhan, masyarakat di beberapa

wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta akan melakukan sebuah tradisi tahunan peninggalan dari nenek

moyang, yaitu Tradisi Nyadran atau Sadranan. Tradisi ini diwujudkan dengan ziarah ke makam para

leluhur dengan ritualnya yang meliputi pembersihan makam-makam, memanjatkan doa permohonan

ampun, dan tabur bunga. Para peserta yang berziarah pun membawa makanan, seperti tumpeng,

apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak. Mereka juga membawa kemenyan dan aneka

macam bunga, seperti mawar, melati, dan kenanga.

Nyadran berasal dari kata “srada’ yang berarti peringatan 12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran,

syukuran dilengkapi dengan doa yang merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka

atas rezeki yang diperoleh selama ini dan harapan atas rezeki yang akan datang. Menurut catatan

sejarah, tradisi nyadran ini memiliki kesamaan dengan tradisi “craddha” yang ada pada masa kerajaan

Majapahit. Kesamaannya ialah pada ritual manusia yang berkaitan dengan leluhur yang sudah

meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang merupakan bentuk

penghormatan kepada yang sudah meninggal.

Nyadran ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan kaum muslim karena sebagian besar

menganggap tradisi ini dianggap perilaku syirik karena menggunakan sesaji. Namun, bagi masyarakat

yang mempercayainya, nyadran ini adalah peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan dan

selama tidak menyembah makam maka dianggap sah-sah saja.

Dulunya, tradisi semacam nyadran ini dilakukan oleh masyarakat Hindu dan Budha, namun semenjak

Islam datang, tradisi ini terakulturasi dengan budaya Islam yang telah dimodifikasi oleh wali songo.

Di dalam nyadran terdapat inti budaya Jawa yaitu harmoni dalam hubungan antar manusia, alam

semesta, dan juga roh gaib. Oleh sebab itu, nyadran ini menyertakan sesajian. Aneka makanan,

kemenyan, dan bunga, memiliki arti simbolis. Tumpeng melambangkan sebuah pengharapan kepada

Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (anak ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia

ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja melambangkan suatu harapan supaya

kelak hidup bahagia, jajanan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan, kemenyan merupakan

sarana permohonan pada waktu berdoa, dan bunga melambangkan keharuman doa yang keluar dari

hati yang tulus.

TRADISI NYADRAN

TRADISI NYADRAN DI DESA GROGOLAN, 

KEC. NOGOSARI, KAB. BOYOLALI

Menjelang bulan Ramadhan lalu, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan upacara

nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan

dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bisa kita jumpai di Desa

Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Kegiatan masyarakat Grogolan

tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan

ampun, dan tabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng,

apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan

ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu,

mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar,

melati, dan kenanga. Dan inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu karena ia tumbuh dalam

masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi

hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan

dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal

Apakah Tujuan Tradisi Nyadran Di Desa Grogolan??

Mbah Wiriyo,(72 tahun) salah satu warga dan merupakan pemuka penting didesa

Grogolan ini, berhasil kami temui dan kami mintai keterangan seputar tradisi nyadran yang ada

di desa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam

kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di

masyarakat kita. ’’ Kami hanya meneruskan tradisi yang telah ditinggalkan nenek moyang dari

dulu mas, jadi kalo ditanya soal sejak kapan tradisi ini berlangsung saya sendiri pribadi kurang

tahu, mungkin sudah sejak jaman Para Wali mungkin mas.’’ Papar mbah Wiriyo.

Jadi pada intinya masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini

adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi

bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan. Beliau juga

menjelaskan bahwa, kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau

orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu.

Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing

Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini,

menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem. Selain di daerah Jawa

Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon,

nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas . Tujuan utama dari upacara ini

adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah

karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat

lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yaitu adus (mandi).

Padusan merupakan kegiatan mandi (bersih diri), yang mempunyai makna persiapan lahir dan

batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan di sumber-sumber air yang

dianggap sakral/suci.

Untuk masyarakat di desa Grogolan kebanyakan banyak yang melakukan tradisi

padusan ke daerah sakral yang ramai pengunjung seperti Kedung Boyo, Tlatar, Pengging

dan Lain-lain.

Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran di desa ini seringkali

mengundang perdebatan di kalangan umat Islam. Memang secara kuantitas, tidak semua warga

di desa Grogolan turut ikut melakukan tradisi ini. Ada sebagian yang tidak ikut nyadranan,

karena mereka mempunyai prinsip yang jelas dan mendasar. Mereka yang menolak tradisi

nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan tidak perlu dilaksanakan. Sedangkan yang

menghendaki nyadran berpendapat kalau tradisi nyadran sah-sah saja, asal tidak menyembah

makam leluhur. Salim (60 tahun) salah satu warga Desa Grogolan juga,dia adalah salah satu

orang dari warga tersebut yang tidak setuju dengan tradisi yandran ini. ’’Sebenarnya tradisi ini

adalah tradisi yang semestinya harus ditinggalkan, kenapa mas bisa saya katakan seperti

itu? Kerena tradisi ini melanggar aturan agama islam. Tradisi ini tidak diajarkan dalam

islam dan merupakan perbuatan Syirik dan syirik itu perbuatan dosa besar jadi saya tidak

setuju dengan keberlangsungan tradisi ini mas..! ’’ Tutur pak Salim dengan suara agak

lantang. Memang tradisi ini kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha. Tradisi semacam

nyadran telah dikenal nenek moyang kita sejak dahulu. Setelah Islam masuk ke Nusantara

(sekitar abad ke-13), tradisi semacam nyadran yang telah dikenal masyarakat ini, perlahan-lahan

mulai terakulturasi dengan ajaran Islam. Saat Wali Songo menyiarkan Islam di Jawa, tradisi ini

kembali “dimodifikasi”. Akhirnya terjadi perpaduan ritual, antara kepercayaan masyarakat Jawa

dengan ajaran Islam, yang lalu menghasilkan tradisi nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti

budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan

harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-

roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk

“menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.

Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan

sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (ayam yang dimasak

utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja

melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia, jajan pasar melambangkan harapan

berkah dari Tuhan, ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna

permohonan ampun jika melakukan kesalahan, kemenyan merupakan sarana permohonan pada

waktu berdoa, dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka

“bawaan” ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-

makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam

nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan.

Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga

dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji

diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan

keselarasan dengan seluruh alam. Nyadran juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan

atas rejeki yang diterima dan menghormati leluhur.

Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat

melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan,

kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar

anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.

Namun tetap saja pandangan seseorang itu berbeda-beda. Ada yang menganggap itu baik

disatu sisi juga ada yang menanggap itu tidak baik. Dan hal itu wajar terjadi adanya

karena seperti kita ketahui bersama bahwa kita hidup dalam kebersamaan dan

masyarakat multi cultural.

Nah dengan berbagai sumber informasi tadi dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran

khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah

tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan

ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.

Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?

Desa Grogolan dihuni oleh banyak komunitas penduduk yang mana berbeda agama dan

mempunyai kepercayaan masing-masing. Setelah kami mencari keterangan yang cukup

terpercaya yaitu mengambil simple dari beberapa orang penduduk di daerah itu bahwa mereka

tahu akan hal itu (ketidakharmonisan persepsi) dan mereka berusaha untuk tidak

mempermasalahkan hal itu. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang

menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang

berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal

itu.

Jadi pada intinya, mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk

melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan

keyakinan seseorang dan patut untuk dihargai dan dihormati.

 

B. TRADISI NYADRAN DALAM KONTEKS UMUM

MASYARAKAT JAWA

Nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini

dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk

pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya

dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah.

Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki

kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana

nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan

pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya

hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran

merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga

sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.

Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan

kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang

diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.

Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan

makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur

sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan

sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.

Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak.

Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun

pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater

(dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap)

kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai

ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang

berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam

leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara

muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam

acara kenduri itu.

Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk

bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud

untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia

menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum

(ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon

maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana

ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa,

semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.

Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri,

maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum

diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi

gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati

diberi gandhulan.

Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga

ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi.

Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di

kota-kota besar.

Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau

anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari

yang tua kepada yang muda.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

  Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur

menjelang bulan Ramadhan.

  Nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit

ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita.

  Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam,

sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.

  Kegiatan Tradisi Nyadran di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, di

antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur

bunga.

  Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja,

jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman.

  Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut

tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia,

seperti mawar, melati, dan kenanga.

  Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini,

menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem.

  Tujuan masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek

moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka

menyangkut keselarasan dalam kehidupan.

  Nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus

bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di

dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat.

  Tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan

masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut

melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.

  Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?

Mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi

nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut

untuk dihargai dan dihormati. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan

apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya

masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya

beberapa saj yang melakukan hal itu.

Tradisi Sekaten Keraton Kasunanan SurakartaMay 18, 2013 By Wawan Surajah Leave a Comment

Sekaten adalah salah satu tradisi Keraton Surakarta yang paling dikenal dan ditunggu kehadirannya setiap tahun. Tradisi yang telah digelar sejak era raja-raja terdahulu sejatinya adalah sebuah upacara peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai tuntunan bagi umat manusia.

Nama tradisi ini berasal dari kata dalam Bahasa Arab, Syahadatain, (dua kalimat Syahadat, yakni persaksian umat Islam bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah), rutin diselenggarakan oleh pihak Keraton menjelang hari perayaan lahirnya Sang Penuntun. Yaitu menjelang Maulid Nabi atau menjelang tanggal 12 bulan Rabiul Awal (Hijrah) atau 12 bulan Mulud (Jawa).

Mulainya tradisi Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya dua gamelan pusaka Keraton yaitu, gamelan Kyai Guntur Madu dan gamelan Kyai Guntur Sari. Kedua gamelan pusaka Keraton ini nantinya akan ditata di Bangsal Pagongan, Masjid Agung Surakarta, untuk kemudian dibunyikan selama satu minggu penuh. Terhitung dari tanggal 5 bulan Mulud hingga 11 bulan Mulud.

Dalam tradisi Sekaten Keraton Surakarta ini masing-masing perangkat gamelan pusaka akan melantunkan dua gending berbeda secara bergantian. Pertama gending Rembu dimainkan pada Kyai Guntur Madu sementara Kyai Guntur Sari memainkan gending Rangkung.

Setelah satu seminggu dimainkannya dua gending tadi. Seluruh kegiatan dalam perayaan ini akan ditutup dengan Grebeg Mulud tepat di hari perayaan Maulid Nabi di Masjid Agung Surakarta. Grebeg Mulud inilah yang disebut sebagai upacara adat yang paling besar dan paling banyak menyedot perhatian masyarakat luas jika dibandingkan dengan Grebeg Syawal atau Grebeg Besar.

Selain puncak acara Grebeg dan tabuh gamelan pusaka. Salah satu tontonan yang paling diminati adalah pasar malam Sekaten. Pasar malam sendiri digelar di Alun-Alun Utara. Khusus untuk pasar malam biasanya sudah buka jauh hari sebelum Sekaten sendiri digelar di Masjid Agung Surakarta. Pasar malam yang banyak menyuguhkan tontonan, hiburan, dan jajanan juga biasa tutup paling akhir meskipun seluruh kegiatan utama sudah selesai digelar.

Selain tradisi di bulan Mulud ini, kota Solo masih memiliki beragam upacara adat lainnya yang dapat dijadikan rujukan wisata budaya kota Solo. Seperti Kirab Malam Suro, Grebeg Mulud, Grebeg Poso, Grebeg Syawal, Grebeg Besar, dan masih banyak lainnya lagi. Simak seluruhnya secara komplit ditautan ini.

Tradisi Lebaran, Warga Rebutan Gunungan di Keraton SoloBrowser anda tidak mendukung iFrame

Senin, 20 Agustus 2012 18:59 wib

Keraton Surakarta (foto: Joglosemar.co.id)

SOLO – Ratusan warga Solo, Jawa Tengah, berebut mengambil gunungan dalam Grebeg Syawal, yang digelar Kesunanan Keraton Surakarta di halaman Mesjid Agung Kesunanan, Senin siang, yang merupakan hari kedua lebaran.

Seolah tak perduli dengan terik matahari yang menyengat, mereka saling dorong, saling sikut, untuk mendapatkan berkah gunungan. Warga meyakini bahwa makanan dan hasil bumi dalam gunungan akan mendatangkan berkah.

Dua buah gunungan itu yakni gunungan jaler atau pria, dan gunungan wadon atau wanita, tadinya diarak dari dalam keraton dengan kawalan prajurit. Kemudian, dibawa menuju Masjid Agung di alun-alun utara. Kedua gunungan ini berisi hasil bumi, serta makanan tradisional. Selanjutnya keduanya didoakan oleh pemuka agama serta abdi dalem keratin.

Setelah didoakan, gunungan jaler menjadi rebutan warga. Dalam waktu yang cukup singkat, isi gunungan ludes. Sedangkan gunungan wadon, diarak kembali ke halaman kori kemandungan

keraton untuk diperebutkan warga disana.

Tradisi berebutan gunungan di kalangan warga dikenal dengan ngalap berkah. Artinya, warga yang berhasil mendapatkan hasil bumi dalam gunungan dipercayai akan mendapatkan berkah dari Tuhan.

Menariknya, rebutan gunungan juga diikuti oleh pengunjung yang bukan merupakan warga Solo. Darman misalnya. Warga Salatiga ini mengaku akan memasak sebagian hasil bumi yang didapatnya. Sementara sisanya disimpan agar mendapat berkah. “Akan saya masak, dan sisanya disimpang,” kata Darman.

Menurut kerabat Keraton Surakarta, KP Edhi Wirabhumi, makna dari Grebeg Syawal ini adalah ucap syukur kepada Tuhan yang telah menjaga umatnya selama sebulan berpuasa. “Gunungan ini diharapkan mendatangkan berkah bagi seluruh warga. Dengan gunungan berisi makanan ini, diharapkan warga belajar bahwa ada yang kebih penting dari makanan jasmani,” ujarnya.

Sementara warga yang kurang beruntung dan tidak kebagian, terpaksa harus mengais sisa gunungan yang berserakan di tanah. Tradisi turuntemurun ini seolah tidak pernah hilang di tengah kemajuan jaman.