toller koster (1)

34
MAKALAH MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2014/2015 “TOLLER KOSTER” TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK (KOTORAN SAPI) SECARA DIGESTER KELOMPOK 6 AGINTA PUTRI REHULINA K. 140410120037 ANNAS DWITRI MALIK 140410120075 DANIA CLARISA 140410120079 IRINA ANINDYA M. 140410120013 NOVIYANTI SHOLEHA 140410120059 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN

Upload: agintakeliat

Post on 19-Jan-2016

64 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Toller Koster (1)

MAKALAH MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN

SEMESTER GENAP

TAHUN AJARAN 2014/2015

“TOLLER KOSTER”

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK (KOTORAN SAPI) SECARA DIGESTER

KELOMPOK 6

AGINTA PUTRI REHULINA K. 140410120037

ANNAS DWITRI MALIK 140410120075

DANIA CLARISA 140410120079

IRINA ANINDYA M. 140410120013

NOVIYANTI SHOLEHA 140410120059

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2014

Page 2: Toller Koster (1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, biomassa selain digunakan untuk tujuan primer seperti untuk membuat

serat, bahan pangan, bahan pakan ternak, minyak nabati, dan bahan bangunan, biomassa juga

digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Sumber energi biomassa mempunyai

beberapa kelebihan antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui

(renewable) sehingga dapat menjadi sumber energi yang berkesinambungan (suistainable).

Penggunaan biomassa untuk energi di tingkat rumah tangga pada umumnya dalam bentuk

bahan bakar langsung. Namun demikian, sejak diperkenalkan pengelolaan dan pemanfaatan

limbah biomassa untuk energi, beberapa daerah khususnya di perdesaan telah memanfaatkan

limbah kotoran ternak, tinja, dan sampah organik rumah tangga untuk pengadaan energi

rumah tangga, diantaranya untuk memasak, penerangan, pemanas, dan listrik.

Biomassa adalah “segala material biologis, yang berasal dari tanaman atau hewan,

yang bisa digunakan untuk memproduksi panas dan/atau tenaga, bahan bakar termasuk bahan

bakar transportasi, atau sebagai pengganti produk dan material berbasis fosil”. Dengan

pengertian tersebut maka yang termasuk dalam kategori biomassa antara lain tanaman,

pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian dan perkebunan, limbah hutan, limbah industri

yang tidak mengandung zat kimia, tinja, sampah organik, dan kotoran ternak. Dengan

bantuan teknologi, biomassa ini dapat diubah menjadi bioenergi dan akan menghasilkan

panas, gerak, atau listrik.

Pada saat ini, dimana harga bahan bakar minyak (BBM) cenderung terus meningkat

dan pasokan di berbagai daerah cenderung menipis atau langka, maka peran biomassa mulai

diperhitungkan menjadi salah satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri,

baik berupa bahan bakar nabati, maupun listrik dan gas. Menurut Kementerian ESDM,

potensi biomassa Indonesia sangat besar yaitu sekitar 49.810 MW, namun kapasitas

terpasang masih berskala kecil yaitu sekitar 445 MW. Di Indonesia, biomassa yang ada saat

ini dan digunakan untuk bahan baku energi termasuk bahan bakar adalah biomassa yang nilai

ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya.

Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya

cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan

perhatian terhadap energi terbarukan semakin meningkat, terutama pada sumber-sumber

Page 3: Toller Koster (1)

energi terbarukan di sektor pertanian seperti komoditi tanaman pangan, hortikultura,

perkebunan dan peternakan. Secara lebih sempit lagi, diungkapkan komoditas-komoditas

utamanya, yaitu padi, jagung, ubi kayu, kelapa, kelapa sawit, tebu, jarak pagar, sagu serta

ternak besar (sapi/kotoran sapi).

Limbah ternak pada umumnya adalah kotoran dan air kencing hewan ternak. Limbah

ini merupakan limbah organik yang terurai, mengandung bahan nutrisi seperti nitrogen dan

fosfor. Kuantitas dan kualitas kotoran ternak berbeda bergantung pada jenis hewan ternak,

bobot, pakan ternak, jumlah air minum, sistem reproduksi, musim dan kondisi hewan ternak.

Hewan ternak yang umum dipelihara di Indonesia, terutama di perdesaan adalah sapi,

kambing, kerbau, ayam atau unggas lainnya, dan kuda. Produk lain dari limbah hewan adalah

limbah dari rumah pemotongan hewan dan hasil samping rumah potong dan pengolahan

daging.

Energi yang dihasilkan dari proses pengelolaan limbah ternak ini disebut dengan

biogas. Proses pengelolaan limbah ternak sendiri dimulai dengan pengumpulan kotoran

ternak dari dalam kandang. Pengumpulan kotoran ternak harus dilakukan dengan baik agar

tidak tercampur dengan benda lain jenis anorganik, seperti plastik, kayu, dan lain-lain yang

menyebabkan tidak terbentuknya gas dalam digester. Hasil akhir fermentasi kotoran ternak

yang menjadi biogas dialirkan ke rumah-rumah untuk energi memasak.

Terdapat beberapa cara untuk mengolah kotoran sapi menjadi biogas, yakni dengan

teknologi digesi anaerob menggunkan bioreaktor (biodigester) biogas kotoran ternak dan

penyerapan karbondioksida hasil pembakaran dengan larutan natrium hidroksida dan dengan

metode pirolisis. Pemanfaatan limbah ternak dan sampah di tingkat rumah tangga tidak saja

mendatangkan manfaat berupa penyediaan energi bagi rumah tangga, namun juga menjaga

kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar, sekaligus berdampak langsung terhadap

kesehatan fisik masyarakat sendiri. Dengan pemanfaatan sampah dan limbah, penyakit

endemik seperti demam berdarah dapat berkurang. Pengguna biogas juga mendapatkan

dampak ekonomi dari hasil samping biogas berupa slurry atau pupuk organik yang dapat

dijual atau digunakan langsung di kebun petani. Pengguna biogas rata-rata tidak membeli gas

komersial (LPG) yang harganya cenderung meningkat dan pasokannya sering terlambat.

Pemanfaatan biogas dalam rumah tangga telah menghemat biaya sekitar 2 sampai 3 tabung

gas ukuran 3 kg per bulan. Selain itu, para ibu sudah tidak dipusingkan lagi dengan pasokan

gas yang sering datang terlambat atau harga gas LPG yang mahal.

Page 4: Toller Koster (1)

1.2 Identifikasi Masalah

1) Apa yang dimaksud biogas.

2) Apa saja kandungan limbah kotoran sapi/ternak.

3) Apa saja teknologi yang dapat digunkan untuk mengolah limbah kotoran sapi/ternak

menjadi biogas.

1.3 Tujuan

1) Mengetahui salah satu hasil pemanfaatan biomassa, yakni biogas.

2) Mengetahui cara pengolahan kotoran sapi/ternak menjadi biogas berdasarkan

komponen-komponen yang terkandung dalam kotoran sapi/ternak.

Page 5: Toller Koster (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biogas

Menurut Sri (2008:14) dalam Gunawan (2013), biogas adalah gas yang dihasilkan

dari proses penguraian bahan organik (fermentasi) oleh mikroorganisme dalam keadaan

anaerob. Bahan organik seperti sisa tanaman ataupun kotoran hewan dapat digunakan sebagai

bahan dasar produksi biogas. Berdasarkan pendapat Sri, biogas termasuk sumber energi yang

dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa. Dengan demikian, produksi

biogas memberikan keuntungan bagi lingkungan karena prosesnya memanfaatkan material

sisa yang biasanya dibuang.

Biogas juga dikenal sebagai gas rawa atau lumpur dan bisa digunakan sebagai bahan

bakar. Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas

(Sunaryo, 2014).

Komponen biogas yang dihasilkan dari proses fermentasi berupa gas methan (CH4)

sekitar 54-70%, gas karbondioksida (C02) sekitar 27-45%, nitrogen (N2) 3% - 5%, hidrogen

(H2) sebesar 1%, 0,1% karbonmonoksida (CO), 0,1% oksigen (O2), dan sedikit hidrogen

sulfida (H2S). Gas methan (CH4) yang merupakan komponen utama biogas merupakan bahan

bakar yang berguna karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4800

sampai 6700 kkal/m3, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8900 Kcal/m3.

Karena nilai kalor yang cukup tinggi itulah biogas dapat dipergunakan untuk keperluan

penerangan, memasak, menggerakan mesin, dan sebagainya. Kesetaraan biogas dengan

sumber energi lain, yaitu 1 m3 biogas setara dengan; elpiji 0,46 kg, 0,62 liter minyak tanah,

0,52 liter minyak solar, 0,80 liter minyak bensin, 1,50 m3 gas kota dan3,50 kg kayu bakar

(Sunaryo, 2014).

Biogas berpotensi sebagai energi ramah lingkungan dan juga sebagai energi

terbarukan. Hal tersebut disebabkan biogas memiliki rantai karbon yang pendek. Bahkan,

biogas yang berupa gas metana hanya memiliki 1 atom karbon. Dengan demikian, setiap

pembakaran 1 molekul biogas hanya menghasilkan 1 molekul karbon dioksida. Berbeda

dengan bensin yang memiliki jumlah atom karbon sekitar 7-8. Akibatnya, pembakaran 1

Page 6: Toller Koster (1)

molekul bensin menghasilkan karbon dioksida sebanyak 7-8 molekul. Selain itu, biogas juga

cenderung lebih mudah terbakar sempurna dibandingkan bahan bakar fosil. Hal tersebut

disebabkan perbedaan struktur molekul biogas dan bahan bakar fosil (Gunawan, 2013).

Biogas dapat berdampak positif dan negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Biogas membantu menurunkan gas emisi rumah kaca sehingga laju pemanasan global dapat

diperlambat. Selain itu, biogas yang dihasilkan secara tidak langsung berhasil mengurangi

tingkat pencemaran. Hal tersebut disebabkan produksi biogas memanfaatkan material sisa

limbah organik yang biasanya dibuang begitu saja. Biogas berdampak negatif jika

produksinya tidak dilakukan secara teliti. Sebagai contoh, jika reaktor biogas tidak tertutup

rapat, biogas dapat keluar ke atmosfer. Biogas yang keluar ke atmosfer menyebabkan

pemanasan global karena biogas mengandung gas metana. Gas metana adalah salah satu gas

yang dapat merusak lapisan ozon. Gas metana yang terkandung dalam biogas menyebabkan

lapisan ozon berlubang sehingga radiasi panas matahari dapat langsung masuk ke bumi dan

mengakibatkan suhu di bumi meningkat (Gunawan, 2013).

2.2 Biogas Kotoran Ternak (Sapi)

Bahan baku biogas adalah limbah organik dan bakteri metanogen. Menurut Rika

(2011:79) dalam Gunawan (2013), limbah peternakan berupa kotoran ternak memamah biak

sangat baik digunakan sebagai bahan baku produksi biogas. Hal tersebut disebabkan oleh

kandungan selulosa dan lignin yang tinggi pada kotoran ternak memamah biak, terutama

kotoran sapi. Selain itu, ada beberapa bahan tambahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan

biogas. Bahan tambahan tersebut antara lain, air, bakteri pembentuk asam, dan cairan rumen.

Seekor sapi dewasa rata-rata menghasilkan kurang lebih 10 kg kotoran sapi setiap

hari. Untuk menghasilkan 1 m3 biogas, diperlukan kira-kira 20 kg kotoran sapi. Jadi dalam

sehari 1 ekor sapi menghasilkan 0,45 m3 biogas atau 1 kg kotoran sapi menghasilkan kurang

lebih 0,05 m3 biogas. Dalam penggunaan sehari-hari, untuk memasak air 1 liter, dibutuhkan

40 lt (0,04 m3) biogas, dalam waktu 10 menit. Untuk menanak 1/2 kg beras, dibutuhkan rata-

rata 0,15 m3 gas bio, dalam 30 menit. Penggunaan sehari-hari dalam rumah tangga

dibutuhkan rata-rata 3 m3 gas (GTZ, 1997) dalam (Sunaryo, 2014).

Page 7: Toller Koster (1)

Menurut Rika (2011:79) dalam Gunawan (2013), kotoran sapi tersusun atas 22,59%

selulosa, 18,32% hemiselulosa, 10,20% lignin, 34,72% total karbon organik, dan 1,26% total

nitrogen. Selain itu, kotoran sapi juga mengandung 0,37% fosfor dan 0,68% kalium. Susunan

kotoran sapi juga bisa dinyatakan dengan jumlah kotoran padat dan jumlah kotoran cair.

Selain itu, rasio C/N juga bisa digunakan untuk menyatakan susunan kotoran sapi secara

praktis.

Pada kotoran sapi, padatan-cairan berjumlah 23,59 kg padat/hari dan 9,07 kg cair/hari.

Semakin tinggi jumlah kotoran padat, produksi biogas akan menjadi lebih banyak, dan juga

sebaliknya. Menurut Sri (2008:20) dalam Gunawan (2013), kotoran sapi memiliki rasio C/N

sekitar 24. Rasio C/N tersebut menunjukkan hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen

yang terdapat pada kotoran sapi. Jika rasio C/N tinggi, nitrogen akan dikonsumsi secara cepat

oleh bakteri metanogen dan produksi biogas akan menurun. Sebaliknya jika rasio C/N

rendah, produksi biogas akan meningkat. Rasio C/N yang optimum untuk produksi biogas

adalah sekitar 24-30. Dengan demikian, kotoran sapi dapat menghasilkan biogas dalam

jumlah yang besar.

Bakteri metanogen adalah bakteri yang terdapat pada bahan-bahan organik dan

menghasilkan metana secara anaerob. Tujuan pemberian bakteri metanogen ini adalah untuk

memfermentasikan kotoran sapi menjadi biogas. Berdasarkan bentuk selnya, bakteri

metanogen dapat dibedakan menjadi Methanobacterium, Methanobacillus, dan

Methanococcus. Ketiga macam bakteri metanogen tersebut memiliki sifat-sifat fisiologi

seperti bakteri pada umumnya. Dengan demikian, fase kehidupan bakteri metanogen perlu

dikontrol secara teliti agar produksi biogas berlangsung lebih cepat (Gunawan, 2013).

Bahan tambahan yang diperlukan pada proses produksi biogas antara lain, air, bakteri

asidogen, dan biostarter. Air pada produksi biogas dibutuhkan untuk memecah selulosa

menjadi monomer glukosa. Bakteri asidogen berfungsi untuk memfermentasikan monomer

Page 8: Toller Koster (1)

glukosa menjadi asam. Biostarter diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi, contoh

lumpur aktif, cairan rumen, dan timbunan sampah (Gunawan, 2013).

Kadar air pada kotoran sapi juga dapat menyatakan susunan kotoran sapi. Artinya,

kadar air pada kotoran sapi digunakan untuk menentukan berapa banyak air yang harus

ditambahkan untuk menghidrolisis kotoran sapi tersebut. Kadar air harus diperhatikan agar

tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit. Hal tersebut disebabkan kadar air pada

kotoran sapi penting dalam proses biologis pembuatan biogas (Gunawan, 2013).

2.3. Teknologi Pengolahan Biogas Kotoran Ternak

Biokonversi anaerob bahan organik dan pencemar merupakan suatu teknologi yang

dikembangkan untuk melindungi lingkungan melalui pengelolaan limbah dan air limbah.

Produk akhir biokonversi kondisi anaerob adalah biogas suatu campuran metana dan karbon

dioksida yang bermanfaat, sebagai sumber energi terbarukan. Digesi (pencernaan) anaerob

merupakan proses sederhana secara teknologik yang membutuhkan energi rendah untuk

mengubah bahan organik dari berbagai jenis air limbah, buangan padat dan biomassa menjadi

Page 9: Toller Koster (1)

metana. Aplikasi teknologi yang lebih luas sekarang menjadi kebutuhan dalam usaha menuju

pembangunan berkelanjutan dan produksi energi terbarukan (Sasongko, 2010).

Dekomposisi mikrobiologis anaerob merupakan proses dimana mikroorganisme

menggunakan energi dan tumbuh dengan memetabolisa bahan organik dalam lingkungan

anaerob memproduksi metana. Proses digesi anaerob dapat dibagi menjadi empat tahap

berikut, masing-masing menuntut karakteristik kelompok mikroorganisme sendiri (Sasongko,

2010).

Pembentukan biogas oleh mikroba pada kondisi anaerob (Haryati, 2006 dalam Mara, 2012)

meliputi tiga tahap proses yaitu, (Haryati, 2006 dalam Mara, 2012):

a. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi peruraian bahan-bahan organik mudah larut dan

bahan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan

struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer.

b. Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang

terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk

Page 10: Toller Koster (1)

asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederahana ini yaitu asam asetat

propionat, format, laktat, alkohol dan sedikit butirat, gas karbon dioksida, hidrogen,

dan amonia.

c. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri

pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen

sulfur lainnya menjadi sulfur sulfida.

Bakteri campuran terlibat dalam proses perubahan bentuk (tranformasi) senyawa-

senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi menjadi metana. Interaksi sinergi di

antara berbagai kelompok mikroba terjadi pada perombakan anaerob limbah kotoran sapi.

Gas metana dibebaskan, dalam suatu lingkungan anaerobik, dari asam cuka oleh

Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Methyloccoccus

akan merombak gas dalam suatu lingkungan aerobic. Terdapat dua kelompok bakteri

metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/

kemolitotrof) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik

metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton 1999

dalam Sasongko, 2010)

Digesi anaerob merupakan proses biologis, yang sangat kuat dipengaruhi oleh faktor-

faktor lingkungan. Faktor utama pengendali itu antara lain: suhu, pH, alkalinitas dan senyawa

beracun (De Mes et al 2003 dalam Sasongko, 2010).

Faktor-faktor kimia fisika penting yang mempengaruhi proses digester anaerob

(Sasongko, 2010) :

1. Nutrisi

Mikroorganisme membutuhkan beberapa jenis unsur hara bergantung pada komposisi

kimia bahan sel. Konsentrasi minimum unsur hara yang dibutuhkan sebaiknya ada dalam

media agar dapat menjadi pakan proses pencernakan anaerob. Nutrisi itu adalah:

1) Hydrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), and Karbon (C): sebagai bahan utama

penyusun bahan organik

2) Sulfur: kebutuhan untuk sintesis asam amino.

3) Phosphorus: komponen penting dalam asam nukleat.

4) Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), and Ferrum (Fe): dibutuhkan untuk

aktifitas ensim dan komponen-komponen logam kompleks.

Page 11: Toller Koster (1)

2. Suhu

Suhu merupakan faktor sangat penting yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme.

Suhu optimal proses digester anaerob adalah 30-40 oC. Suhu optimal untuk proses digesi

anaerob mesophilic (30-40 oC) dan thermophilic (50-60o C). Proses digesi anaerob sangat

peka terhadap perubahan suhu, suhu opitmal didapat pada suhu 52-58 oC. Dampak negatif

dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari 60 oC. Karena baik toksisitas ammonia meningkat

dengan meningkatnya suhu, sementara kekentalan bahan tercernak rendah pada suhu tinggi

(substrat lebih encer pada suhu tinggi) yang memudahkan difusi bahan terlarut. Di lain pihak

pada suhu di bawah 50 oC laju pertumbuhan bakteria termofilik rendah dan tercuci populasi

mikroba dapat terjadi terkait dengan laju pertumbuhan bakteri rendah dari pada laju tinggal

hidrolik.

3. pH

Interval pH terjadinya pembentukan biogas adalah 6.0 hingga 8.5, nilai pH di luar

interval ini dapat menyebabkan proses tak seimbang. Parameter ini berpengaruh pada

pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi disosiasi ammonia, sulfida dan asam-asam organik,

yang mana merupakan senyawa untuk proses pencernakan anaerob penting.

4. Ammonia

Konsentrasi ammonia tinggi (NH3/NH4+) dalam biomas dapat menghambat proses

digesi anaerob. Kotoran hewan (urin) mengandung ammonia tinggi, karena itu menghambat

proses. Tapi belum diketahui pada konsentrasi ammonia berapa proses digesi anaerob

berhenti. Hambatan dengan ammonia lebih tinggi pada reaktor termofilik dari pada reaktor

mesofilik berdasarkan kenyataan bahwa bentuk ammonia yang tak terionisasi (ammonium)

NH3 bertanggungjawab untuk hambatan ammonia.

5. Penghambat Substrat.

Senyawa yang didegradasi dengan mudah, misalnya protein dan lemak dapat

menghambat proses perombakan. Senyawa-senyawa ini mengandung asam lemak rantai

panjang yang dapat menghambat mikroba dalam pembangkit biogas. Karena itu tambahan

mendesak asam lemak rantai panjang dapat menghambat mikroorganisme dalam pembangkit

Page 12: Toller Koster (1)

biogas. Oleh karena itu penambahan mendadak senyawa-senyawa ke dalam digester anaerob

dapat menghambat proses digesi anaerob.

6. Senyawa racun

Beberapa unsur dapat menyebabkan kematian bakteri anaerob, misalnya logam berat

dan pelarut organik. Tetapi banyak senyawa-senyawa racun dapat diserap oleh bahan netral

dalam digester dan dengan demikian terhindar efek negatifnya pada proses digesi.

2.3.1 Teknologi Digesi Anaerob

2.3.1.1 Reaktor Biogas (Biodigester)

Menurut Sunaryo (2014), reaktor biogas adalah wadah terjadinya fermentasi bahan

organik menjadi biogas yang bekerja dengan prinsip menciptakan suatu tempat penampungan

bahan organik pada kondisi anaerob (bebas oksigen) sehingga bahan organik tersebut dapat

difermentasi oleh bakteri metanogen untuk menghasilkan biogas. Biogas yang timbul

kemudian dialirkan ketempat penampungan biogas sedangkan lumpur sisa aktifitas

fermentasi dikeluarkan lalu dijadikan pupuk alami yang dapat dimanfaatkan untuk usaha

pertanian maupun perkebunan.

Reaktor biogas diisi dengan cara batch feeding atau continuous feeding. Batch feeding

adalah pengisian reaktor biogas yang dilakukan sekali sampai penuh, lalu ditunggu sampai

biogas dihasilkan. Setelah biogas tidak lagi dihasilkan, isian reaktor dibongkar dan diisi

kembali dengan bahan organik yang baru. Continuous feeding adalah pengisian reaktor

biogas yang dilakukan setiap hari dalam jumlah tertentu (Gunawan, 2013).

Digester biogas memiliki tiga macam tipe dengan keunggulan dan kelemahannya

masing-masing. Ketiga tipe biogas tersebut adalah, (Sunaryo, 2014):

a. Tipe fixed domed plant

Terdiri dari digester yang memiliki penampung gas dibagian atas digester. Ketika gas

mulai timbul, gas tersebut menekan lumpur sisa fermentasi (slurry) ke bak slurry. Jika

pemasukan kotoran ternak dilakukan terus menerus, gas yang timbul akan terus menekan

slurry sampai keluar dari bak slurry. Gas yang timbul akan tertampung diatas kotoran yang

mengalami fermentasi dan akan digunakan/dikeluarkan lewat pipa gas yang berada diatas

digester menuju tempat penampungan.

Page 13: Toller Koster (1)

Kelebihan: tidak ada bagian yang bergerak, awet (berumur panjang), dibuat di dalam tanah

sehingga terlindung dari berbagai cuaca atau gangguan lain dan tidak membutuhkan ruangan

(diatas tanah).

Kelemahan: rawan terjadi kertakan di bagian penampung gas, tekanan gas tidak stabil

karena tidak ada katup gas.

b. Tipe floating drum plant

Terdiri dari satu digester dan penampung gas yang bisa bergerak. Penampung gas ini akan

bergerak keatas ketika gas bertambah dan turun lagi ketika gas berkurang, seiring dengan

penggunaan dan produksi gasnya.

Kelebihan: konstruksi alat sederhana dan mudah dioperasikan. Tekanan gas konstan karena

penampung gas yang bergerak mengikuti jumlah gas. Jumlah gas bisa dengan mudah

diketahui dengan melihat naik turunya drum.

Kelemahan: digester rawan korosi sehingga waktu pakai menjadi pendek.

c. Tipe baloon plant

Konstruksi sederhana, terbuat dari plastik yang pada ujung-ujungnya dipasang pipa masuk

untuk kotoran ternak dan pipa keluar peluapan slurry. Sedangkan pada bagian atas dipasang

pipa keluar gas.

Kelebihan: biaya pembuatan murah, mudah dibersihkan, mudah dipindahkan.

Kelemahan: waktu pakai relatif singkat dan mudah mengalami kerusakan.

Page 14: Toller Koster (1)

Besarnya biodigester yang dibuat harus disesuaikan dengan ketersedian bahan baku

limbah organik yang tersedia. Tabel dibawah ini menunjukkan parameter dalam menentukan

ukuran biodigester (Sunaryo, 2014).

Ukuran dan dimensi biodigester telah diputuskan berdasarkan jangka waktu

penyimpanan 50 hari dari 60% penyimpanan gas. Bahan baku segar yang diisikan kedalam

digester harus berada didalam digester setidaknya 50 hari sebelum dikeluarkan. Tempat

pengolahan harus dapat menampung 60% gas yang diproduksi dalam waktu 24 jam. Ukuran

digester biogas diputuskan berdasarkan jumlah bahan baku harian yang tersedia. Tempat

pengolahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, produksi gas akan kurang dan efeknya gas

yang dikumpulkan dalam penampung tidak akan memiliki tekanan yang cukup untuk

mendorong slurry yang telah mengalami proses anaerob ke dalam saluran outlet (Sunaryo,

2014).

Menurut Rika (2011:104) dalam Gunawan (2013), ada 3 tingkatan proses produksi biogas

yaitu hidrolisis, pengasaman, dan metanogenesis. Ketiga tahapan tersebut mengacu pada

berbagai reaksi dan interaksi yang terjadi di antara bakteri metanogen, non-metanogen, dan

bahan yang diumpankan ke dalam reaktor biogas sebagai input.

(1). Hidrolisis

Tahap produksi biogas dimana kotoran sapi yang mengandung selulosa dilarutkan

dalam air sehingga terurai menjadi monomer-monomer glukosa. Tahapan ini serupa dengan

penguraian karbohidrat pada pencernaan manusia dimana amilum akan dipecah menjadi

glukosa oleh enzim pencernaan. Pada hidrolisis biogas, selulosa dari kotoran sapi diuraikan

dengan mencampurkan air.

(2). Pengasaman

Tahap produksi biogas dimana monomer glukosa diubah menjadi asam oleh bakteri

asidogen. Asam yang terbentuk pada tahap ini berupa asam asetat dan asam lemak. Selain

asam, pada tahapan ini juga dihasilkan gas hidrogen(H2), gas karbon dioksida (CO2), dan

Page 15: Toller Koster (1)

alkohol sebagai hasil sampingan. Proses pengasaman ini mirip dengan proses pengasaman

susu menjadi yoghurt.

(3). Metanogenesis

Tahap fermentasi asam yang terbentuk dari proses sebelumnya menjadi metana.

Tahapan ini memerlukan bantuan dari bakteri metanogen. Pada tahapan ini, fase kehidupan

bakteri metanogen perlu diperhatikan. Fase kehidupan itu meliputi fase lag, log, stasioner,

dan kematian. Dengan mengontrol ketiga fase kehidupan itu secara teliti, laju produksi biogas

dapat ditingkatkan.

Faktor-faktor yang memengaruhi produksi biogas, (Gunawan. 2013):

a. Temperatur

Temperatur yang paling optimum untuk produksi biogas adalah 27-28oC.

b. pH

Produksi biogas secara optimum dapat dicapai apabila nilai pH dari campuran input di

dalam reaktor berada pada kisaran 6-7. Jika nilai pH berada di luar kisaran tersebut,

bakteri cenderung menghentikan proses fermentasi. Hal tersebut disebabkan bakteri-

bakteri metanogen sangat peka terhadap pH. Bahkan, bakteri metanogen tidak dapat

hidup dibawah pH 6,6.

c. Laju Pengumpanan

Laju pengumpanan adalah jumlah bahan yang dimasukkan ke dalam satu meter kubik

reaktor per hari. Laju pengumpanan kotoran sapi yang optimum adalah 6 kg kotoran

sapi per m3 reaktor. Jika laju pengumpanan terlalu besar, asam yang dihasilkan bakteri

asidogen akan terakumulasi. Akumulasi asam pada reaktor mengakibatkan produksi

metana terganggu.

d. Bahan Penghambat

Ion mineral, logam berat, dan detergen termasuk bahan penghambat yang dapat

meracuni mikroorganisme bila konsentrasinya melebihi batas normal.

2.3.1.2 Penyerapan CO2 Dengan Larutan NaOH

Limbah peternakan merupakan salah satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan

untuk mengahasilkan biogas. Menurut Sofian (2008) kandungan biogas didominasi oleh gas

metana (CH4), kemudian disusul oleh karbondioksida (CO2). Dimana diketahui CO2

merupakan sisa hasil dari suatu pembakaran maka akan menggangu proses pembakaran itu

Page 16: Toller Koster (1)

sendiri, hal ini menyebabkan panas yang dihasilkan masih rendah sehingga kualitas nyala api

biogas masih belum optimum. Oleh karena itu dibutuhkan usaha untuk menurunkan kadar

CO2 yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas dari biogas itu sendiri (Made, 2012).

Salah satu usaha yang dilakukan untuk menurunkan kadar CO2 dalam biogas adalah

dengan cara menyerap CO2 dengan larutan NaOH. Faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi

adalah konsentrasi dari larutan penyerap, semakin tinggi konsentrasi larutan penyerap, maka

penyerapan CO2 akan semakin maksimal (Made, 2012).

Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur yang sangat tinggi atau rendah.

Produksi biogas yang ideal berada pada daerah mesofilik yaitu antara 25-30° C. Biogas yang

dihasilkan diluar kondisi tersebut mempunyai kandungan karbon yang lebih tinggi. Untuk

mendapatkan biogas dengan memanfaatkan kotoran ternak diperlukan suatu ruangan yang

kedap udara seperti tangki atau bangunan yang berfungsi sebagai tempat pencerna atau

tempat terjadinya fermentasi, tempat ini disebut digester. Tipe digester yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu tipe batch. Pada tipe batch bahan organik di tempatkan di tangki tertutup

dan diproses secara anaerobik selama 1-2 bulan tergantung pada jumlah bahan yang

dimasukkan.

Dalam proses fermentasi bakteri juga menghasilkan gas sebagai akibat dari

pembongkaran substrat yang berlangsung oleh aktivitas bakteri. Gas yang dihasilkan dapat

berupa karbondioksida (CO2), hydrogen (H2), metan (CH4), nitrogen (N2), dan amoniak (NH3)

(Dwidjoeputra, 2005 dalam Made, 2012) :

1. Karbondioksida (CO2) timbul karena aktivitas bakteri, gas ini dapat timbul sebagai

hsil pernafasan aerob maupun anearob, kebanyakan senyawa yang cepat terurai oleh

bakteri serta menghasilkan CO2 adalah golongan gula.

2. Hidrogen, gas ini biasa timbul bersama CO2 sebagai hasil penguraian karbohidrat atau

asam amino. Echerichia coli dalam keadaan tertentu dapat menguraiakan asam semut

(HCOOH) menjadi CO2 dan H2

3. Gas metan, gas ini timbul sebagai hasil penguraian bermacam-macam senyawa

organik. Methano bacterium dalam keadaan anaerob menghasilkan metan.

4. Nitrogen, gas ini timbul akibat penguraian nitrat maupun nitrit, peristiwa ini dikenal

sebagai denitrifikasi. Denitrifikasi terjadi di tempat-tempat tertutup.

5. Amoniak, merupakan hasil penguraian protein dan senyawa-senyawa lain yang

mengandung nitrogen.

Page 17: Toller Koster (1)

Proses Absorpsi Karbondioksida CO2

Absorbsi merupakan salah satu proses pemisahan dengan mengontakkan campuran

gas dengan cairan sebagai penyerapnya, penyerap tertentu akan menyerap satu atau lebih

pada komponen gas. Absorbsi dapat berlangsung dalam dua macam proses, yaitu absorbsi

fisik dan absorsi kimia. Absorbsi fisik yaitu absorbsi dimana gas terlarut dalam cairan

menyerap tanpa disertai reaksi kimia. Contohnya, absorbsi gas H2S dengan air, metanol, atau

propilen. Absorbsi kimia yaitu absorbsi dimana gas terlarut dalam larutan penyerap disertai

reaksi kimia. Contohnya, absorbsi gas CO2 dengan larutan Na2CO3, NaOH, K2CO3 dan lain

sebagainya (Made, 2012).

Salah satu metode yang kini dikembangkan dalam proses pemisahan CO2 dan

campuran gas adalah dengan menggunakan membran sebagai kontaktor gas-cair. Bila pelarut

yang digunakan adalah NaOH maka absorbsi yang terjadi akan secara kimia, dikarenakan

terjadinya reaksi kimia secara langsung antara CO2 dengan larutan NaOH. Proses absorbsi

atau pemisahan gas CO2 oleh NaOH dapat dilihat pada reaksi berikut ini :

CO2 + 2NaOH → Na2CO3 + H2O

Reaksi kimia yang terjadi adalah ineversible, dimana CO2 pada fase gas akan

diabsorbsi oleh larutan NaOH pada fase cair. Pada saat gas mendekati interfase cair, gas CO2

akan larut dan langsung bereaksi dengan larutan NaOH. Kontaktor membran adalah suatu

alat yang dapat mengakomodasi pepindahan masa gas-cair ataupun cair-cair tanpa adanya

dispersi satu fase ke fase lainnya. Tidak seperti kolom kontaktor konvensional, membran

yang umum digunakan adalah membran serat berongga (hollow fiber) berpori mikro

(microporous memebrane), yaitu membran dengan struktur berongga yang padat saling

terhubung dan terdistribusi acak. Perpindahan massa antar fasa pada kontaktor membran

didorong oleh adanya perbedaan konsentrasi antar fasa dan penurunan tekanan yang

diperlukan untuk menahan interfasa antar fluida sangant kecil (Kartohardjono; dkk, 2010

dalam Made, 2012).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan digester tipe batch untuk percobaan dengan kapasitas 30

liter. Dalam percobaan ini tahap penelitian terbagi menjadai beberapa proses yaitu (Made,

2012):

Page 18: Toller Koster (1)

a. Tahap Pembuatan Biogas

1. Membuat bahan isian dengan komposisi sebagai berikut :

Komposisi A adalah 10 gr ragi, 50% air dan 50% kotoran sapi.

Komposisi B adalah 20 gr ragi, 50% air dan 50% kotoran sapi.

Komposisi C adalah 30 gr ragi, 50% air dan 50% kotoran sapi.

2. Mengukur suhu dan pH bahan isian, jika pHnya menunjukan nilai 6,8-8 maka

komposisi limbah siap digunakan.

3. Memasukan komposisi ke dalam digester dengan menyisakan ruang dipermukaan

isian di dalam digester agar aliran gas yang dihasilkan lancar.

b. Tahap Pengukuran Volume

Untuk mengukur volume dari biogas yang dihasilkan alat yang digunakan cukup

sederhana, biogas dari penampungan akan dihubungkan dengan alat pengukur volume.

Adapun alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur volume dari biogas dapat dilihat

pada gambar berikut Setelah penampung gas sudah dihubungkan dengan alat ukur, maka

selanjutnya pengukuran volume biogas dapat dilakukan. Pipa bagian dalam ditarik ke atas

sampai ketinggian air pada tabung bagian luar dan dalam sama. Kemudian mengukur

ketinggian pipa yang ada pada permukaan air, sehingga volume biogas dapat dihitung dengan

persamaan volume selinder. Dalam penelitian ini proses pengukuran volume dilakukan dua

kali yaitu volume gas dari digester dan volume gas setelah porses penyerapan CO2 (Made,

2012).

c. Tahap Pengukuran Kualitas

Tahap pengukuran kualitas biogas ini dilakukan dengan memanaskan 100 cc air

selama tiga menit. Parameter yang diinginkan dari pemanasan ini adalah perubahan

temperatur air yang dipanaskan. pengukuran kulitas ini dilakukan sebelum dan setelah proses

penyerapan CO2 dengan cara melewatkan biogas ke dalam larutan NaOH (Made, 2012).

Hasil

Absorbsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas biogas dengan cara mengontakkan

gas dengan larutan NaOH. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang diberikan maka semakin

tinggi daya yang dihasilkan, hal ini disebabkan oleh penurunan kadar karbondioksida (CO2)

dalam gas, penurunan kadar CO2 ini disebabkan karena reaksinya dengan larutan NaOH, CO2

akan diikat oleh NaOH melalui proses absorbsi, sehingga terjadi pemurnian gas metana

Page 19: Toller Koster (1)

(CH4). Hal ini juga terlihat pada pengurangan volume yang terjadi setelah dilakukan proses

absorbsi, pengurangan volume tersebut terjadi karena pengikatan CO2 oleh NaOH sedangkan

gas metan (CH4) tidak bereaksi dengan larutan NaOH (Made, 2012).

Pada hasil penelitian yang dilakukan, penambahan ragi memberikan pengaruh

terhadap produksi biogas, semakin tinggi konsentrasi ragi maka produksi gas akan semakin

cepat dan meningkat. Produksi gas yang tertinggi didapatkan pada komposisi C dengan

penambahan 30 gr ragi dengan volume rata-rata mencapai 67,381 liter dan volume terendah

dihasilkan oleh komposisi A dengan penambahan 10 gr ragi dengan jumlah volume rata-rata

51,478 liter (Made, 2012).

Absorbsi biogas dengan larutan NaOH dapat meningkatkan kualitas biogas, semakin

tinggi konsentrasi larutan, maka kualitas gas yang dihasilkan akan semakin baik. Kualitas

terbaik didapatkan pada komposisi A denagn perlakuan larutan NaOH 2,5 N sebesar 108,5

Watt, dan kualitas terendah dihasilkan pada komposisi C dengan perlakuan larutan NaOH

1,25 N sebesar 25,67 Watt (Made, 2012).

2.3.2 Metode Pirolisis

Metode lain yang dapat diterapkan untuk menekan volume kotoran sapi agar dapat

termanfaatkan secara maksimal adalah dengan metode termolisis/pirolisis. Dengan metode

ini, seluruh kotoran sapi dapat dikonversi menjadi bahan bakar. Bila biogas hanya

menghasilkan satu jenis bahan bakar dalam fase gas maka pirolisis dapat mengkonversi

kotoran sapi menjadi bahan bakar dalam 3 fase, yaitu fase padat (arang/char), fase cair (tar),

dan fase flammable gas (CH4, CO2, dan H2).

Kelebihan lain dari metode pirolisis bila dibandingkan dengan metode

pengkonversian yang lain adalah waktu pengkonversian yang relatif cepat. Waktu pirolisis

yang digunakan untuk memproses kotoran sapi menjadi bahan bakar alternatif dapat

dilakukan hanya dengan 2 jam saja, dimana waktu tersebut adalah waktu yang sangat singkat

untuk sebuah metode yang dapat menghasilkan bahan bakar alternatif. Selain untuk

mengurangi volume kotoran sapi, penelitian ini juga mempunyai hasil samping berupa arang

yang berguna sebagai bahan bakar padat. Selain bermanfaat sebagai bahan bakar, arang juga

dapat dimanfaatkan sebagai penghasil karbon yang tinggi, yang bermanfaat sebagai

campuran bio-material dan campuran penyubur tanah. Untuk menghasilkan arang yang

tinggi, metode pirolisis yang sangat sesuai untuk diterapkan adalah slow pirolisis. Hal ini

dikarenakan, pada proses slow pirolisis, laju pemanasan yang digunakan sangat lambat

Page 20: Toller Koster (1)

sehingga gas dan tar yang dihasilkan semakin rendah. Sebaliknya, proses pengarangan pada

slow pirolisis sangat tinggi. Akibatnya, jumlah arang yang dihasilkan semakin besar. Pirolisis

merupakan metode termolisis dimana kotoran sapi (feedstock) direaksikan/dipanaskan dengan

gas inert (N2) sehingga hasil reaksinya adalah dekomposisi dari komponen komponen

feedstocknya.

Persiapan awal yang dilakukan sebelum memulai proses pirolisis adalah kotoran sapi

sebagai feedstock (spesimen) dikeringkan hingga kadar airnya sebesar 4%. Kemudian, ukuran

spesimen diseragamkan dengan ukuran butir kurang lebih sebesar 0,7 mm. Sebelum proses

pirolisis dimulai, spesimen-spesimen yang akan dipirolisis diukur massanya sebesar 13 gram.

Setelah langkah persiapan selesai dilakukan, spesimen dimasukkan ke dalam wadah spesimen

untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam furnace. Gas N2 dialirkan ke dalam furnace sampai

kadar O2 hilang hingga paling tidak kadar O2 ± 1% dari volume furnace. Setelah itu, furnace

Page 21: Toller Koster (1)

dipanaskan pada berbagai variasi laju pemanasan sebesar 0,13 oC/detik, 0,16 oC /detik, 0,21 oC/detik, 0,27 oC/detik, dan 0,29 oC/detik dengan temperatur yang sama. Setelah proses

pirolisis selesai, arang yang dihasilkan yang tersisa dalam furnace kemudian ditimbang untuk

diketahui massa arangnya dan diukur volumenya. Selain itu, arang hasil pirolisis ini diuji

nilai kalornya dengan menggunakan bomb kalorimeter.

BAB III

Page 22: Toller Koster (1)

KESIMPULAN

Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :

1) Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organik oleh

mikroorganisme dalam keadaan anaerob.

2) Komponen biogas yang dihasilkan berupa gas Methan (CH4), gas karbondioksida

(C02), nitrogen (N2), hidrogen (H2), karbonmonoksida (CO), oksigen (O2), dan sedikit

hidrogen sulfida (H2S).

3) Teknologi yang dapat digunkan untuk mengolah limbah kotoran sapi/ternak menjadi

biogas adalah dengan teknologi digesi anaerob terdiri dari bioreaktor (biogas kotoran

ternak dan penyerapan CO2 dengan larutan NaOH) dan metode pirolisis.

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: Toller Koster (1)

Hermawati, W. 2012. Peran Biomassa Dalam Memenuhi Kebutuhan Energi di Tingkat

Rumah Tangga. Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014, hal. 20.

(PAPPIPTEK-LIPI).

Gunawan, D. 2013. Produksi Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif dari Kotoran Sapi.

Science Article Vol. 1, No. 2, (2013). Jurusan Teknik Kimia, Universitas Surabaya

(UBAYA).

Made, I. M. 2012. Analisis Penyerapan Gas Karbondioksida (CO2) dengan Larutan NaOH

Terhadap Kualitas Biogas Kotoran Sapi. Dinamika Teknik Mesin Volume 2 No.1,

Januari 2012.

Prastowo, B. 2007. Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan Pengguna Energi

Terbarukan. Jurnal Perspektif Vol.6, No.2, Hal.84-92.

Sasongko, W. 2010. Produksi Biogas dari Biomassa Kotoran Sapi dalam Biodigester Fix

Dome dengan Pengenceran dan Penambahan Agitasi. Tesis Program Studi Biosains

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sunaryo, 2014. Rancang Bangun Reaktor Biogas untuk Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak

Sapi di Desa Limbangan Kabupaten Banjarnegara. Jurnal PPKM UNSIQ I (2014) 21-

30 ISSN: 2354-869X. Program Studi Teknik Mesin Universitas Sains Al Quran

(UNSIQ) Wonosobo.

Wijayanti, W & Mega, N. S. 2012. Reduksi Volume dan Pengarangan Kotoran Sapi. Jurnal

Rekayasa Mesin Vol.3, No.3 Tahun 2012 : 404-410.