tiupan kesembuhan - media.oiipdf.com
TRANSCRIPT
iii
Tiupan Kesembuhan Sang Dukun ‘Sando’
Etnik Tolitoli – Kabupaten Tolitoli
M. Gullit A.W Ummu N.
FX Sri Sadewo
Penerbit
Unesa University Press
iv
M. Gullit A.W, dkk
Tiupan Kesembuhan: Sang Dukun ‘Sando’ Etnik Tolitoli – Kabupaten Tolitoli
Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email: [email protected]
Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
xvii, 143 hal., Illus, 15.5 x 23 ISBN : 978-979-028-968-0
copyright © 2016, Unesa University Press
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
iii
SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina : Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)
Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes
Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat : Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE
iv
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna
v
KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
vi
Surabaya, Nopember 2015
Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
Drg. Agus Suprapto, MKes
vii
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ..................................................................... iii KATA PENGANTAR .............................................................. v DAFTAR ISI ........................................................................... vii DAFTAR TABEL..................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................ 1 1.1. Latar Belakang ....................................................... 1 1.2. Gambaran Kabupaten Toli-Toli.............................. 2 1.3. Gambaran Kecamatan Ogodeide .......................... 4 1.4 Metode Penelitian .................................................. 6
BAB 2 KEBUDAYAAN SUKU TOLI TOLI ................................ 10 2.1. Kondisi Geografis ................................................... 10 2.2 Sejarah Desa Sambujan ......................................... 12 2.3 Suku Toli-toli di Desa Sambujan ............................. 13 2.4 Perkembangan Desa ............................................... 14 2.5 Ekologi dan Kependudukan .................................... 17
2.5.1 Ekologi ............................................................ 17 2.5.2 Kependudukan ................................................ 17
2.6 Pola Pemukiman ..................................................... 18 2.7 Religi ....................................................................... 22
2.7.1 Tradisi Islam .................................................... 22 2.7.2 Kepercayaan tentang Kuntilanak .................... 25 2.7.3 Kepercayaan tentang Pokpok Tanah .............. 26
2.8 Organisasi dan Kemasyarakatan ............................ 28 2.9 Bahasa .................................................................... 35 2.10 Mata Pencaharian ................................................ 35 2.11 Sistem Peralatan dan Teknologi ........................... 38
BAB 3 POTRET KESEHATAN ................................................. 39 3.1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ........................... 39
3.1.1 Persalinan ditolong oleh Tenaga Kesehatan . 39 3.1.2 Memberi ASI Ekslusif ...................................... 40 3.1.3 Kesehatan Balita ............................................. 41 3.1.4 Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun .. 42
viii
3.1.5 Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari ............. 42 3.1.6 Perilak Tidak Merokok di Dalam Rumah ......... 43 3.1.7 Makan Buah dan Sayur Setiap Hari ................. 43 3.1.8 Menggunakan Air Bersih ................................. 44 3.1.9 Menggunakan Jamban Sehat .......................... 44 3.1.10 Memberantas Jentik Nyamuk ....................... 45
3.2. Kesehatan Ibu dan Anak ........................................ 46 3.2.1 Aktivitas Puskesmas dan Posyandu ................ 46 3.2.2 Pemeriksaan Ibu Hamil di Puskesmas ............. 49 3.2.3 Pola Asuh dan Pola Makan Balita dan Anak.... 51
3.3 Kesehatan Reproduksi Remaja ............................... 52 3.3.1 Menstruasi dan Pengetahuan tentang Kesehatan
Reproduksi Remaja Putri ................................ 52 3.3.2 Nilai Ideal tentang Relasi antar Jenis Kelamin
dan Perkawinan ............................................... 54 3.4 Penyakit-penyakit dalam Masyarakat ..................... 56
3.4.1 Konsepsi Sehat dan Sakit ................................ 56 3.4.2 Penyakit Menular ............................................ 57 3.4.3 Penyakit Tidak Menular .................................. 66
BAB 4 PERAN SANDO DALAM PENJAGA TRADISI KESEHATAN IBU DAN ANAK ......................................................... 68
4.1. Sando Sebagai Sumber Pengetahuan Tradisional . 68 4.2. Sando Sebagai Penolong Kelahiran Tradisional ..... 72
4.2.1. Perawatan pada Masa Kehamilan ................. 72 4.2.2 Menolong Persalinan ...................................... 76
4.3 Sando Sebagai Perawat Paska Kelahiran ................ 79 4.3.1 Perawatan Ibu Paska Melahirkan.................... 79 4.3.2 Peraweatan Bayi Paska Persalinan.................. 81
4.4 Sando Menjalankan Tradisi pada Ibu di Masa Nifas 84 4.4.1 Memandikan Ibu dengan Air Rebusan 7 Daun dan Tiup . 84 4.4.2 Dipupu atau Mengasap ................................... 85 4.4.3 Baurut 3 Hari Berturut – turut ........................ 85 4.4.4 Babedak Garaka (Jahe) .................................... 86
4.5 Sando Menjalankan Tradisi pada bayi dan anak ..... 86 4.5.1 Baurut Bayi ...................................................... 86 4.5.2 Memenek Manggulangan ............................... 87
ix
4.53 Manao Buta ..................................................... 88 4.5.4 Mangulut Buak ............................................... 89 4.5.5. I Kenpi ............................................................ 92 4.5.6 Membuat Jimat Bayi ....................................... 94
4.6 Tiup-tiup Metode Pengobatan Sando .................... 95 4.6.1 Tiupan Pencegah Naiknya Darah Putih .......... 98 4.6.2 Tiup untuk Bayi Kaget ..................................... 99 4.6.3 Tiup untuk Panas atau Demam ...................... 100 4.6.4 Tiup untuk Sarampah ..................................... 102 4.6.5 Tiup Untuk Mata Tinggi .................................. 104 4.6.6 Tiup untuk Batuk anak – anak ........................ 104 4.6.7 Sakit Pusat Anak – anak .................................. 104 4.6.8 Tiup untuk pneumonia ................................... 105 4.6.9 Tiup untuk Sakit lainnya ................................. 106
4.7 Kunci Keberhasilan Tiup tiup .................................. 107 4.7.1 Kasus 1 ........................................................... 108 4.7.2 Kasus 2 ........................................................... 109
4.8 Peran Sando dalam tradisi lainnya ......................... 111 4.8.1 Tradisi Salamatan ........................................... 111 4.8.2 Tradisi Adat Solok ........................................... 118
4.9 Kerjasama Sando dengan tenaga kesehatan.......... 123
BAB 5 ANALISIS PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT TOLI-TOLI ......................................... 126
5.1 Pengaruh tradisi pengobatab arab pada tiup-tiup ........ 126 5.2 Perbandingan dan Kesamaan Baurut Perut dan Leopold ........ 128 5.3 Potensi dan Tantangan Kesehatan Ibu dan Anak ...................... 132
BAB 6 PENUTUP .................................................................. 139 6.1 KESIMPULAN .................................................................. 139 6.2 REKOMENDASI ............................................................... 142 DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 152 GLOSARIUM ........................................................................ 154 UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................... 156
x
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. IPKM Provinsi Sulawesi Tengah Model IPKM 2007 . 2
Tabel 4.1. Pantangan selama hamil dan melahirkan .... 68
Tabel 4.2 Anjuran selama hamil dan melahirkan ........ 71
Tabel 5.1 Analisis Kebudayaan tentang perilaku kesehatan 2015 132
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta wilayah Kabupaten Toli -Toli .......................... 9
Gambar 2.1 Peta Dusun II Siomang, Desa Sambujan ................ 10
Gambar 2.2 Jembatan Penghubung antara wilayah pulau
Dengan wilayah daratan ........................................ 15
Gambar 2.3 Perahu Ketinting, Moda Transportasi laut
Masyarakat Desa Sambujan ................................... 15
Gambar 2.4 Bagian Belakang rumah panggung apung di pulau pandan ...... 18
Gambar 2.5 Rumah panggung di Desa Sambujan daratan............... 19
Gambar 2.6 Denah rumah Penduduk Sambujan ...................... 22
Gambar 2.7 Bagian belakang rumah masyarakat Desa Sambujan .... 21
Gambar 2.8 Dapur yang berada di bagian luar belakang rumah. ...... 21
Gambar 2.9 Kamar mandi/WC di bagian luar belakang rumah . 22
Gambar 2.10 Masjid yang ada di Dusun I, Desa Sambujan.......... 23
Gambar 2.11 Kegiatan Peringatan Isra’ Mi’raj di masjid ............. 24
Gambar 2.12 Jimat batu karang merah dan garam Makassar
Yang digantung di depan pintu rumah ................... 27
Gambar 2.13 Prosesi Khatam ur’an yang dilanjut
berjabat tangan Dengan guru mengaji .................. 31
Gambar 2.14 Prosesi Hambur beras saat pengantin
Laki-laki datang....................................................... 31
Gambar 2.15 Prosesi Pengambilan Mahar. ................................. 32
Gambar 2.16 Prosesi Akad Nikah. ................................................ 33
Gambar 2.17 Prosesi membatalkan Wudhu ................................ 34
Gambar 2.18 Pengantin Laki-laki memasang cincin kawin. ......... 34
Gambar 2.19 Pasangan Pengantin bersanding di Sabua ............. 35
Gambar 2.20 Memanen cengkeh di kebun .................................. 36
Gambar 2.21 Aktivitas masyarakat mencari ikan di laut ............. 37
Gambar 3.1 Jamban ceplung milik salah satu
masyarakat sambujan ............................................ 45
Gambar 3.2 Ibu-ibu membawa anaknya datang ke posyandu47
xiv
Gambar 3.3 PMT balita berupa bubur kacang hijau .................. 48
Gambar 3.4 Pemeriksaan Ibu KEK oleh Bidan Desa .................. 50
Gambar 3.5 Makanan Tambahan bagi ibu hamil ...................... 51
Gambar 3.6 Bayi yang terkena pneumonia ............................... 60
Gambar 4.1. Pohon Daun Balacai Merah ................................... 78
Gambar 4.2. Alat untuk bagunting rambut ................................ 91
Gambar 4.3. Prosesi Pengguntingan Rambut ............................. 91
Gambar 4.4 Hidangan pada Acara Bagunting Rambut .............. 92
Gambar 4.5 Jimat yang dipakaikan pada bagian perut ............ 94
Gambar 4.6 Salah satu lembaran dari buku kumpulan
“bacaan”Yang dibaca pada saat tiup-tiup milik sando .. 98
Gambar 4.7 Pengobatan tiup-tiup oleh Pak Ks pada Balita ...... 100
Gambar 4.8 Pak Ks sedang “Meniup” Obat berupa Air Putih ... 101
Gambar 4.9 Pengobatan Tiup-tiup anak usia 10 tahun ............ 102
Gambar 4.10 Pengobatan sarampah dengan tiup-tiup ............... 103
Gambar 4.11 Pengobatan tiup – tiup oleh Pak Ks pada anak usia 7 Bulan .... 105
Gambar 4.12 Pengobatan tiup-tiup oleh Pak Ks pada anak usia 12 Tahun ..... 107
Gambar 4.13 Salah seorang warga melihat jenazah CP ............ 111
Gambar 4.14 Ritual pemutaran ayam pada anak orang yang sakit ..... 112
Gambar 4.15 Penyembelihan Ayam untuk Salamatan ................ 113
Gambar 4.16 Peralatan dan makanan minuman yang disajikan
untuk selamatan .................................................... 114
Gambar 4.17 Prosses pengasapan alat makan dan makanan
dengan asap kemenyan ......................................... 114
Gambar 4.18 Penataan makana untk salamatan oleh sando ..... 115
Gambar 4.19 Sando menaruh uang koin pada gelas ................... 115
Gambar 4.20 Sando menuangkan air putih ke dalam gelas ........ 116
Gambar 4.21 Pembacaan do’a selamat pada makanan .............. 117
Gambar 4.22 Makanan dan minuman yang sudah siap untuk
dimakan ................................................................. 117
Gambar 4.23 Pedang peninggalan nenek moyang suku solok .... 123
Gambar 4.24 Seorang sando yang sedang mengobati seorang bayi ..... 125
xv
Gambar 5.1 Perut sebelah kanan dipegang oleh Sanro,
kemudian sedikit diangkat ke atas, kemudian lanjut
melakukan gerakan yang sama pada perut sebelah kiri.
Sekilas, gerakan ini mirip dengan manuver atau
gerakan Leopold kedua, yaitu palpasi lateral ........ 130
Gambar 5.2 Gerakan memutar pada bagian perut
sebelah kanan, dilanjut melakukan gerakan
perut sebelah kiri. Sekilas, gerakan ini mirip dengan
manuver atau gerakan Leopold pertama,
yaitu palpasi fundus uteri. ..................................... 131
Gambar 5.3 Mengurut perut sebelah bawah,
dan memastikan posisi kepala bayi sudah
berada lurus dengan rongga pelvis, atau jalan lahir.
Sekilas, gerakan ini mirip dengan manuver atau
gerakan Leopold keempat, yaitu palpasi Pawlik. ... 131
xvi
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Persalinan wilayah kerja puskesmas Ogodeide Tahun 2013 ... 39
Grafik 3.2 Status balita di wilayah kerja puskesmas Ogodeide
tahun 2013 ............................................................. 41
Grafik 3.3 Jumlah kunjungan Ibu Hamil K1 dan K4 Wilayah
kerja Puskesmas Ogodeide tahun 2013 49 ............ 49
Grafik 3.4 Persentase jumlah 10 Penyakit terbanyak di
Puskesmas Ogodeide tahun 2013 .......................... 58
Grafik 3.5 Jumlah penderita TB Paru Wilayah Kerja Puskesmas
Ogodeide tahun 2013 ............................................. 61
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten pesisir di
Propinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten ini berada di bagian Utara dari propinsi
tersebut, tepatnya 0,35˚-1,20˚ LU dan 120,09˚-122,09˚ BT.1 Dari Palu,
ibukota propinsi Sulawesi Tengah, kabupaten ini berjarak kurang lebih 430
km. Untuk menuju Kabupaten Tolitoli dari Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah
bisa ditempuh dengan jalur air, darat dan udara. Jalan laut ditempuh selama
kurang lebih 16 jam. Jalur tersebut saat ini jarang digunakan karena ada jalur
udara dan darat. Jalur udara hanya ada satu maskapai yang melayani
perjalanan dari Palu menuju Tolitoli atau sebaliknya, yakni Wings Air. Waktu
tempunya kurang lebih 45 menit hingga 1 jam. Jadwal terbangnya terbatas,
yaitu hari Rabu dan Jum’at. Jalur atau transportasi darat lebih banyak
digunakan masyarakatnya. Kendaraan travel berangkat setiap hari, dari pagi
hingga sore. Jumlah pengelola jasa travel juga banyak, sehingga pengguna
bisa memilih sesuai selerah. Harganya pun relatif murah. Bila tidak ada
halangan dalam perjalanan, waktu tempuhnya hanya 10 sampai dengan 12
jam.
Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Buol
berdasarkan UU No. 59 tahun 19992 dan diresmikan pada tahun 2000.
Sebagai kabupaten baru, Kabupaten Tolitoli juga memiliki masalah
kesehatan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten atau kota lainnya.
Dari data IPKM 2013, Kabupaten Tolitoli berada di rangking ke-9 dari 10
kabupaten/kota se-Sulawesi Tengah selain itu kabupaten ini juga menempati
urutan 450 dari total 496 kabupaten di Indonesia seperti yang terlihat pada
tabel 1.1. Berangkat dari data IPKM tahun 2013, Kabupaten Tolitoli dipilih
menjadi fokus dalam penelitian etnografi kesehatan ini.
1 Profil Kesehatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2013
2 Wikipedia. Diakses tanggal 20 Agustus 2015 dari https://id.wikipedia.org/
wiki/Kabupaten_Tolitoli.
2
Tabel1.1 IPKM Provinsi Sulawesi Tengah Model IPKM 2007
NO KODE KAB/ KOTA
SKOR RANKING 2007 RANKING 2013*
IPKM 2007
IPKM 2013*
NAS. PROV NAS. PROV KAB / KOTA
1 7201 BANGGAI KEPULAUAN
0,4434 0,5207 330 7 474 11 376
2 7202 BANGGAI 0,4775 0,6880 265 4 225 2 136
3 7203 MOROWALI 0,4950 0,6715 239 3 267 4 176
4 7204 P O S O 0,5554 0,6616 142 1 297 5 204
5 7205 DONGGALA 0,4410 0,5859 337 8 439 8 343
6 7206 TOLITOLI 0,4015 0,5730 387 9 450 9 353
7 7207 B U O L 0,3924 0,6826 392 10 244 3 154
8 7208 PARIGI MOUTONG
0,4470 0,6049 320 6 414 7 318
9 7209 TOJO UNA-UNA 0,4632 0,5261 295 5 470 10 372
10 7210 SIGI - 0,6567 - - 314 6 220
11 7271 PALU 0,5241 0,7321 193 2 98 1 63
SULAWESI TENGAH 0,4433 0,6378 24 31
INDONESIA 0,6879
Keterangan : Perhitungan skor IPKM 2013 dengan rumus 2007
Sumber : Buku IPKM Tahun 2013
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2013,
angka kematian ibu di Kabupaten Tolitoli dilaporkan terdapat 10 orang dari
3.766 kelahiran hidup dengan rincian sebagai berikut: (1) 2 kasus kematian
ibu hamil, (2) 7 kasus kematian ibu bersalin dan (3) 1 kasus kematian ibu
nifas. Kematian ibu di Kabupaten Tolitoli pada tahun 2013 masih didominasi
oleh kasus eklamsia dan pendarahan.
1.2. GAMBARAN KABUPATEN TOLITOLI
Secara geografis Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten
yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, wilayahnya memanjang dari timur
ke barat dengan luas wilayah kurang lebih 4.079,76 km². Kabupaten Tolitoli
terletak di sebelah utara garis khatulistiwa pada koordinat 0,35˚-1,20˚ LU
dan 120,09˚-122,09˚ BT3. Kabupaten Tolitoli memiliki wilayah berupa
dataran hingga pegunungan yang wilayahnya berada pada ketinggian 0-
3 Profil Kesehatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2013
3
2.500 meter dari permukaan laut.Adapun batas-batas Kabupaten Tolitoli
adalah sebagai berikut, Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buol
dan Laut Sulawesi yang sekaligus berbatasan dengan Filipina, sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan batas sebelah
barat adalah Selat Makasar sekaligus berbatasan dengan malaysia.
Curah hujan pertahun di wilayah Kabupaten Tolitoli adalah 2.281
mm dengan rata-rata 257 hari pertahun. Suhu udara maksimum di
Kabupaten Tolitoli pada tahun 2013 berkisar antara 31,52˚C dan suhu
maksimum tertinggi mencapai 32,7˚C, sedangkan suhu minimumnya
mencapai 22,57˚C. Kecepatan arah angin berada dalam kisaran 6-9 knot dan
arah angin rata-rata memiliki kecepatan 110, sedangkan kelembapan
udaranya berkisar antara 82-86%.
Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Tolitoli terdiri dari 10
kecamatan. Kesepuluh itu adalah Kecamatan Dampal Utara, Kecamatan
Dampal Selatan, Kecamatan Dondo, Kecamatan Basidondo, Kecamatan,
Ogodeide, Kecamatan Lampasio, Kecamatan Baolan, Kecamatan Galang,
Kecamatan Dakompemean dan Kecamatan Tolitoli Utara. Di dalam
kesepuluh kecamatan tersebut ada 98 desa dan 6 kelurahan. Jumlah ini
tidak bertambah sejak tahun 2012 karena tidak ada pemekaran desa
maupun kelurahan.
Gambar 1.1 Peta wilayah Kabupaten Tolitoli. (BPS, 2014)
4
Mayoritas desa dan dusun yang ada di Kabupaten Tolitoli masih
terpencil yang masih terbatas komunikasi dan juga akses transportasinya.
Selain itu, Kabupaten Tolitoli berdasarkan peringkat IPKM tahun 2013
merupakan kabupaten yang berada pada peringkat ke 450.Berdasarkan hal
tersebut, maka Kabupaten Tolitoli dipilih menjadi lokasi dalam penelitian ini.
Dalam hal pelayanan kesehatan Kabupaten Tolitoli memiliki 1 unit
rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli, 14 Puskesmas yang
terdiri dari 7 puskesmas perawatan yakni Puskesmas Bangkir, Ogotua,
Dondo, Lampasio, Ogodeide, Laulalang dan puskesmas Kayulompa.
Kemudian 7 puskesmas lainnya adalah puskesmas non perawatan,
diantaranya adalah Puskesmas Kombo, Basidondo, Baolan, Galang,
Dungisngis, Binotoan dan Puskesmas Kota. Untuk meningkatkan pemerataan
dan keterjangkauan sarana kesehatan pada masyarakat, pemerintah juga
mendirikan 74 puskesmas Hal ini adalah bentuk upaya pemerintah daerah
setempat untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
1.3. GAMBARAN KECAMATAN OGODEIDE
Fokus penelitian ini adalah terletak di Kecamatan Ogodeide. Wilayah
Kecamatan Ogodeide merupakan daerah pesisir pantai, pegunungan dan
kepulauan. Kecamatan Ogodeide terdiri dari 11 desa dengan rincian: 1 desa
kepulauan, 4 desa pegunungan dan 6 desa di pesisir pantai. Dua dari enam
desa pesisir memiliki wilayah Kepulauan, yaitu: Pulias Pulau dan Sambujan
Pulau. Sebagian besar desa di Kecamatan Ogodeide merupakan Desa
Swakarya. Dari 11 Desa tersebut, ada 32 Dusun, 17 RW dan 36 RT. Secara
keseluruhan kecamatan Ogodeide mempunyai luas daerah 412,12 km2
dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Bagian Utara : Kec. Baolan
2. Bagian Timur : Kec. Lampasio dan Kec. Basidondo
3. Bagian Barat : Laut Sulawesi
4. Bagian Selatan : Kec. Dondo
Jumlah keseluruhan penduduk kecamatan tersebut berdasarkan
data BPS di tahun 2013 adalah 12.588 jiwa yang terdiri dari 6.375 jiwa laki-
laki dan 5.940 jiwa perempuan. Rata-rata setiap kilometer persegi (km²)
5
dihuni oleh kurang lebih 30 jiwa. Dari keseluruhan desa yang ada, Desa
Pulias adalah desa dengan penduduk terpadat dengan 42 jiwa per km,²
sedangkan desa dengan penduduk paling jarang adalah Desa Batuilo dengan
5 jiwa per km². Rata-rata satu rumah tangga beranggotakan 4 orang.
Di Kecamatan Ogodeide, puskesmas induk terletak di Ibukota
Kecamatan yang terletak di Desa Bilo, Dusun Dadakan. Pustu dan poskesdes
dibangun di setiap desa guna untuk membantu pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Ogodeidei, desa
yang terdekat dengan Puskesmas Induk adalah Desa Muara Besar, yakni
berjarak kurang lebih 8 Km sedangkan desa yang memiliki jarak terjauh
dengan puskesmas induk adalah adalah Desa Bambalaga yakni 29 Km, selain
itu ada satu desa terletak di Pulau Kabetan. Untuk menuju puskesmas induk,
penduduk bisa menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat, kecuali
di Desa Pagaitan, Desa Batuilo, Desa Bambalaga dan Desa Kabetan. Di ketiga
desa yang disebut pertama, puskesmas hanya bisa dicapai dengan
kendaraan roda dua.Di Desa Kabetan, orang harus menggunakan
transportasi laut. Karena kondisi transportasi dan data kesehatan dari
Puskesmas Ogodeide (2013) tentang kesehatan inilah menjadi dasar
keputusan pemilihan lokasi. Data kesehatan tersebut menyebutkan bahwa
ada 4 kasus Kematian bayi di Kecamatan Ogodeide tahun 2013 dan ada 2
kasus kematian ibu4.
Desa Sambujan merupakan desa yang dipilih menjadi lokasi dalam
penelitian kali ini. Desa Sambujan merupakan salah satu desa yang terletak
di Kecamatan Ogodeide dan berada di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Ogodeide. Pemilihan Desa Sambujan itu berdasarkan hasil diskusi tim
peneliti dengan Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Tolitoli beserta Staf
Pusat data yang ada di Dinas Kesehatan. Diskusi juga dilakukan dengan
tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Pembantu Desa Sambujan.
Selain itu, ada beberapa alasan terkait pemilihan Desa Sambujan, yaitu:
1. Desa Sambujan memiliki luas wilayah yang cukup besar dengan jumlah
penduduk cukup besar, sehingga hasil penelitian ini menggambarkan
kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak;
4 Profil Kesehatan Puskesmas Kecamatan Ogodeide Tahun 2013
6
2. Desa Sambujan dipilih menjadi lokasi penelitian karena dianggap memiliki
budaya yang sangat khas. Di Desa Sambujan penduduknya terdiri dari 3
suku besar, yakni Suku Bugis, Suku Bajo dan Suku Tolitoli yang masih
memegang erat nilai-nilai tradisionalnya. Penggambaran salah suku,
yaitu Tolitoli dan berikut interaksi budaya dengan kedua etnis lainnya
akan menggambarkan pola kebudayaan kesehatan masyarakat
Kabupaten Tolitoli.
1.4. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 35 hari yang dimulai pada 27 April
hingga 31 Mei 2015. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode etnografi. Dalam metode etnografi, tim peneliti
melakukan wawancara dam pengamatan. Hasil Wawancara dan pengamatan
ini menurut dalam Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005:4) menjadi data
deskriptif. Data itu berupa kata-kata tertulis atau lisan dari informan dan
perilaku yang diamati. Meskipun demikian, data tersebut juga dilakukan
triangulasi dengan membandingkan hasil penelitian sebelumnya, wawancara
tokoh dan para ahli, serta cara-cara lainnya. Hal itu untuk menguji
keabsahan dari data tersebut.
Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti dilapangan adalah
menjalin rapport dengan informan. Hal ini bertujuan untuk menjalin
kedekatan dan membina hubungan baik antara peneliti dengan informan
dalam penelitian. Dengan menjalin rapport peneliti bisa mengetahui latar
belakang informan yang mana nantinya hal tersebut akan memudahkan
peneliti untuk memperoleh data lapangan yang diperlukan dalam penelitian.
Jika rapport sudah terjalin dengan baik anatara peneliti dengan informan,
maka informanpun akan merasa nyaman dengan keberadaan peneliti
dilapangan, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan informan. Proses
wawancara pun berjalan mengalir seperti orang berbicara, tidak ada paksaan
dari salah satu pihak. Kedekatan yang terjalin antara peneliti dengan
informan harus tetap dibatasi sehingga masih ada sekat diantara keduanya
agar dalam penelitian tersebut tidak terjadi going native (lihat Spradley,
1997:39-40).
Langkah kedua, Setelah rapport terjalin dengan baik, peneliti
mencari data penelitian dengan memilih informan. Informan yang dipilih
7
adalah orang yang mengetahui dan bisa menceritakan budaya masyarakat
lokal dengan baik tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu, sehingga
diperoleh data sesuai dengan fokus penelitian (Spradley, 1997:69). Cara yang
dilakukan peneliti adalah mencari informan yang berpengaruh pada bidang
yang sedang menjadi fokus penelitian seperti hal nya menjalin hubungan
baik denga tokoh-tokoh masyarakat, orang yang dituakan atau kepala adat,
dukun desa, bidan desa, dan juga semua masyarakat Desa Sambujan pada
umumnya.
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan alat bantu, seperti
recorder atau alat perekam, kamera dan juga handycam untuk
mendokumentasikan data visual atau kejadian-kejadian yang berkaitan
dengan penelitian ketika berada dilapangan.Data visual itu diperoleh melalui
pengamatan dan wawancara mendalam. Melalui observasi atau
pengamatan, tim peneliti mengamati sendiri semua kejadian atau fenomena
yang sebenarnya terjadi di lokasi penelitian kemudian mencatat hasil
pengamatan tersebut. Pengamatan itu dibantu dengan handycam dan
kamera digital.Kedua alat itu digunakan untuk mendokumentasikan data
visual atau berupa gambar yang menjadi fokus penelitian seperti, kondisi
lingkungan yang ada di lokasi penelitian dalam bentuk gambar yang
berkaitan dengan topik penelitian. Hal tersebut berguna bagi pembaca untuk
lebih memahami bagaimana situasi dan kondisi di lokasi penelitian.
Selain pengamatan, wawancara mendalam dilakukan dengan
beberapa informan yang berkaitan dengan topik penelitian seperti halnya
remaja desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, para suami, dukun kampung,
ibu yang hamil atau ibu yang sudah memiliki bayi atau balita dan juga
petugas kesehatan yang bertugas di wilayah lokasi penelitian dalam hal ini
adalah Desa Sambujan. Informan seperti yang sudah diuraikan diatas dipilih
oleh peneliti dengan harapan bisa memberikan informasi mengenai situasi
ataupun kondisi terkait dengan penelitian. Informan berguna untuk
membantu agar penelitian berjalan tanpa hambatan. Dalam suatu
penelitian, informan yang dipilih harus mengerti dan paham atau memiliki
pengalaman mengenai apa yang akan peneliti teliti (Moleong, 2001:90).
Dalam proses penentuan informan ini, peneliti pada awalnya
mencari tahu informasi tentang kondisi sosial budaya masyarakat Desa
Sambujan kepada Kepala Desa. Setelah itu, tim peneliti kemudian mencari
8
informasi mengenai orang-orang yang dapat membantu penelitian.
Berangkat dari wawancara awal dengan beberapa informan, barulah peneliti
memutuskan siapa saja yang bisa dijadikan informan kunci dalam penelitian
ini. Dalam suatu penelitian etnografi, peneliti lebih banyak bertindak sebagai
orang yang belajar kepada pendukung kebudayaan, sehingga peneliti bisa
memahami serta membuat deskripsi dalam penelitian ini.
Dalam proses melakukan wawancara dengan informan, peneliti
melakukan obrolan santai dan ringan terlebih dahulu sebelum menuju ke inti
pertanyaan penelitian. Ketika kondisi informan sudah mulai nyaman dengan
peneliti, barulah peneliti mulai mengarahkan pertanyaan penelitian kepada
informan. Dalam mengajukan pertanyaan peneliti berusaha mengkondisikan
suasana agar tetap santai dan mengalir seperti orang sedang mengobrol,
terkadang peneliti juga bercanda untuk mencairkan suasana agar tidak
terkesan kaku. Kondisi demikian membuat informan dapat bercerita apa
adanya tanpa harus menutup-nutupi sesuatu. Ketika dilapangan peneliti juga
melakukan wawancara formal kepada informan tertentu seperti halnya
tokoh masyarakat, tokoh agama dan juga petugas kesehatan yang bertugas
di wilayah desa tersebut. Dalam proses wawancara pertanyaan yang muncul
tidak terlepas dari pedoman wawancara. Pedoman wawancara dibuat
sebagai penuntun agar dalam proses wawancara tersebut tetap terfokus
pada pokok permasalahan dan jawaban-jawaban yang keluar dari informan
bisa menjawab pertanyaan penelitian.
Tim peneliti juga mengumpulkan data sekunder, seperti buku Profil
dinas kesehatan Kabupaten Tolitoli, Profil Kesehatan Puskesmas Ogodeide,
Data monografi Desa Sambujan, data dari BPS, serta literatur dan
penulusuran dari media cetak atau elektronik. Melalui data sekunder ini, tim
peneliti akan mengetahui tulisan apa saja yang sudah pernah diterbitkan,
sehingga dapat menghindarkan peneliti dari tuduhan plagiatisme. Selain itu,
dari sumber-sumber ini ada keterangan-keterangan yang berguna bagi
penelitian ini sekaligus sebagai referensi yang penting untuk lebih me-
mahami fenomena yang sedang diteliti. Selain data sekunder tersebut, tim
peneliti juga melakukan studi kepustakaan berupa buku-buku, majalah, surat
kabar atau koran, ataumedia elektronik, seperti program televisi dan
internet.
9
Setelah data terkumpul, tim peneliti melakukan analisis data dengan
metode etnografi. Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah
membaca dan menyelesksi semua data yang diperoleh ketika penelitian
berlangsung baik itu berupa data observasi, wawancara dan juga fieldnote
sesuai dengan fokus penelitian yang dilakukan.
Langkah kedua adalah memberi tanda dan mencatat pokok-pokok
pikiran yang dianggap penting yang diperoleh dari wawancara, kemudian
ditelaah. Data yang sudah diseleksi tersebut kemudian disusun dan
dikelompokkan untuk memudahkan peneliti saat melakukan edentifikasi
pokok-pokok pikiran yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Dalam
hal ini peneliti mengelompokan semua data yang telah diperoleh saat
wawancara dengan informan dan juga hasil observasi. Lalu
mengidentifikasikan sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang ada dengan
membuat table klasifikasi informan penelitian.
Tahap berikutnya adalah membaca kepustakaan yang berkaitan
dengan topik penelitian. Dalam hal ini peneliti mendapatkan referensi dari
buku yang berhubungan dengan kebudayaan suku Tolitoli. Peneliti membuat
alur cerita dari data yang sudah dikelompokkan. Alur cerita dibuat sesuai
dengan data yang diperoleh peneliti ketika dilokasi penelitian baik itu data
berupa hasil observasi atau data yang diperoleh dari wawancara dengan
informan. Peneliti mereview kembali hasil penelitian dan juga melakukan
periksa ulang dengan informan bila data yang diperoleh masih ada
kekurangan atau kesalahan.
Singkat kata, data yang terkumpul melalui observasi, wawancara,
dokumentasi dan studi pustaka disusun dalam kategori-kategori tertentu,
sehingga mendapatkan gambaran secara menyeluruh. Penelitian ini juga
menyajikan daftar klasifikasi informan pada lampiran. Dari daftar tersebut,
ada pemaknaan perubahan sosial dari sudut pandang informan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dan menuju pada suatu
kesimpulan.
10
BAB 2
KEBUDAYAAN SUKU TOLITOLI
2.1. KONDISI GEOGRAFIS
Pemilihan lokasi dalam penelitian ini dilakukan secara “purposive”
atau sengaja. Penentuan lokasi selain berguna untuk memberikan gambaran
mengenai situasi dan kondisi desa kepada pembaca juga berguna untuk
memperjelas fokus penelitian. Dalam hal ini yang yang akan dijadikan
sebagai tempat penelitian adalah Desa Sambujan yang berada di wilayah
kecamatan Ogodeide.
Gambar 2.1 Peta Dusun II Siomang, Desa Sambujan. Sumber: dokumentasi peneliti
Gambar 2.1 merupakan gambar peta dusun 2, Desa Sambujan. Desa
Sambujan memiliki 2 dusun, yakni dusun 1 dan dusun 2, dusun 1 berada di
sebuah pulau yang terpisah dengan dusun 2, masyarakat setempat biasanya
menyebut dusun 1 ini dengan istilah Sambujan Pulau. Dusun 1 ini terletak di
sebuah pulau yang bernama Pulau Pandan yang memiliki arti pulau nanas.
11
Dusun 2 ini bernama Siomang yang terletak di dataran tinggi. Selain nama
Siomang, masyarakat setempat juga menyebut dusun 2 ini dengan sebutan
Dusun Siomang. Keduanya berasal dari bahasa Bugis.
Secara administratif, Desa Sambujan terletak di wilayah Kecamatan
Ogodeide, Kabupaten Tolitoli yang memiliki luas wilayah 20,00 Km5. Desa
Sambujan dibatasi oleh desa lain, sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Pulias, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Labuan Lobo, sebelah Barat
berbatasan dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Desa Kamalu.
Letak Desa Sambujan dari ibu kota Kecamatan Ogodeide berjarak
kurang lebih 16 km. Sedangkan jarak Desa Sambujan dari Ibu kota Kabipaten
adalah 24 km. Untuk mencapai desa ini dari ibu kota Kabupaten bisa
ditempuh dengan menggunakan ketinting bermesin 4 pk dengan menyusuri
laut kurang lebih selama 1,5 hingga 2 jam jam perjalanan, dan itu pun masih
bergantung dengan kondisi cuaca di laut. Jika hujan dan gelombang air laut
sedang besar, maka akses untuk mencapai Desa Sambujan terputus dan
menunggu gelombang air laut tenang terlebih dahulu.
Pada tahun 2013 sedikit demi sedikit akses jalan darat menuju Desa
Sambujan sudah dibuka dengan bantuan PNPM Mandiri Pedesaan. Jalan
yang ada tersebut berupa jalan tanah yang dibuat melintasi lahan
perkebunan cengkeh milik warga. Kondisi jalan ini juga masih tergantung
dengan cuaca. Ketika hujan, jalan yang berupa tanah merah ini akan menjadi
licin terkena air hujan. Selain itu, permukaan jalan yang berliku dengan
turunan dan tanjakan yang tajam membuat sulit untuk dilalui ketika sedang
hujan. Jalan ini adalah satu-satunya jalan darat yang menghubungkan Desa
Sambujan dengan wilayah Desa Sambujan sendiri yang ada di daratan yakni
wilayah dusun II dan juga dengan desa-desa yang lain termasuk akses
menuju Ibu kota Kecamatan Ogodeide. Hal tersebut dituturkan oleh salah
seorang informan yang bernama K berikut ini.
“Jalan ini baru aja tembus akhir tahun 2013 kemarin, yang bikin warga sama PNPM Mandiri Pedesaan itu. Yaa termasuk jembatan ke pulau itu. Dulu nggak ada jalan tembus ini, jadi kalau mau ke Basiang (dusun II) ya ga bisa pakai motor, harus
5 Profil Desa Sambujan Tahun 2015
12
pakai ketinting kita. Sebenarnya lebih cepat pakai ketinting, tapi itu tergantung dengan gelombang air lautnya. Jalan ini juga gitu, kalau hujan, jangan sudah, licinnya minta ampun, sakit kita dibikinnya. Apalagi yang dipenurunan sama tanjakan di dekat kebun orang Basiang itu, sering jatuh orang disitu mas”.
Pada awalnya pusat pemerintahan Desa Sambujan berada di
Sambujan pulau atau di pulau Pandan dan kedua desa ini benar-benar
terpisah yang artinya belum memiliki akses selain menggunakan sarana
transportasi laut berupa perahu. Akan tetapi pada tahun 2013 program
PNPM mulai membuka akses dengan membangun sebuah jembatan yang
menghubungkan wilayah Desa Sambujan darat yakni dusun 2 dengan
wilayah Dusun Sambujan 1 yang berada di Pulau Pandan.
2.2. SEJARAH DESA SAMBUJAN
Desa Sambujan menurut asal katanya berasal dari bahasa Bajo yaitu
Hambuyen yang berarti menyambut. Menurut sejarahnya, Pulau Pandan
dihuni oleh orang-orang yang berasal dari suku Bajo, Suku Bugis dan Suku
Tolitoli. Mereka selalu menyambut semua orang yang datang dari tiga desa
didekatnya yaitu Desa Paliah atau sekarang dikenal sebagai Desa Pulias, Desa
Kabutan (sekarang: Desa Kabetan) dan Desa Palagisan yang sekarang
berganti nama menjadi Desa Labuan lobo. Desa Sambujan yang ada di Pulau
Pandan ini terletak di tengah-tengah tiga desa tadi. Oleh karena itu, pulau
tersebut menjadi tempat persinggahan.Menurut masyarakat, Pulau Pandan
ini diistilahkan pulau yang menyambut warga dari ketiga desa yang ada
disekitarnya. Mereka awalnya datang untuk untuk singgah. Lambat laut,
mereka pun mendirikan rumah di Pulau Pandan tersebut hingga terbentuk
suatu perkampungan.
Desa Sambujan adalah desa yang terletak di pesisir kepulauan yang
pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Desa Pulias, salah satu desa di
Kecamatan Baolan. Dulunya Desa Sambujan hanya dipimpin oleh seorang
kepala jaga yang disebut dengan Kana. Kana Desa Sambujan ini berasal dari
suku Tolitoli.Kana tersebut memimpin desa hingga tahun 1981. Dalam per-
kembangannya Desa Sambujan keluar dari wilayah Desa Pulias dan berdiri
sendiri dengan pemerintahan sendiri. Ketika itu, Desa Sambujan dipimpin
oleh seorang perwakilan pemerintahan yang masa pemerintahannya hanya
13
1 tahun yakni pada tahun 1982-1983. Setelah itu, seorang kepala desa
diangkat secara definitif pada tahun 1983. Masa jabatan kepala desa definitif
tersebut juga berlangsung selama 1 tahun. Kepala desa berikutnya me-
merintah selama 3 tahun yakni pada tahun 1984 hingga tahun 1987. Setelah
masa jabatan tersebut selesai, pemilihan langsung kepala desa diadakan.
Masa jabatan kepala desa terpilih pada waktu itu 8 tahun dari tahun 1987
hingga tahun 2003. Adapun susunan nama Kepala Desa Sambujan adalah
sebagai berikut:
1. Kanasebagai kepala jaga (tahun 1981-1982);
2. Saparin sebagai jabatan perwakilan pemerintah desa (tahun 1982-1983);
3. Abd Kadir sebagai kepala desa (kades) sementara (tahun 1983-1984);
4. Ahmad Palabi sebagai pelaksana tugas (plt) kades (tahun 1984-1987);
5. Ahmad Palabi (tahun 1987- 2003) dipilih sebagai kades melalui pilkades
langsung pertama kali;
6. Abd Rahman Abdullah (2003- 2005)
7. Bahtiar AW (2005- 2011)
8. Nurdin Yaher sebagai plt kades(2011-2012)
9. Arman A Palabi (2012 sampai sekarang)
2.3 SUKU TOLITOLI DI DESA SAMBUJAN
Suku Tolitoli merupakan salah satu suku asli yang ada di Provinsi
Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Tolitoli. Di Kabupaten Tolitoli,
keberadaan suku Tolitoli sudah menyebar di beberapa kecamatan yang ada
hingga ke luar wilayah kabupaten. Salah satunya berada di Desa Sambujan
yang berada di wilayah kecamatan Ogodeide.
Berdasarkan cerita para tetua desa, keberadaan suku Tolitoli di Desa
Sambujan ini pada awalnya merupakan sekelompok masyarakat yang
melarikan diri dari gerombolanpemberontak. Gerombolan ini melakukan
kerja paksa. Mereka menyuruh masyarakat untuk bekerja seperti bertani
dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan perang para anggota
“gerombolan tersebut. Para pekerja yang ikut dalam kerja paksa ini berasal
dari beberapa etnis di Sulawesi, seperti Bugis, Bajo, Mandar dan Tolitoli.
Mereka bekerja tanpa digaji dan hanya diperbolehkan istirahat ketika waktu
sholat saja.Karena merasa tidak mampu, para pekerja ini melarikan diri ke
hutan-hutan kemudian singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau
14
Pandan. Pulau pandan ini menjadi pulau tempat bertemu dan menyambut
para orang-orang dari berbagai etnis yang datang oleh karena itu diberi
nama Sambujan yang berasal dari kata sambut, seperti yang dituturkan oleh
informan A:
“...Kalau sebaran suku Tolitoli sendiri mas ada yang tinggal di daerah Tambun (wilayah kota), ada juga yang di Lakuan, Binontoan itu dekat dengan Kabupaten Buol. Waktu jaman belanda itu orang Tolitoli dan suku lain sampai datang kemari itu karena pelarian, mungkin bukan karena cengkeh. Pelarian, tempat persembunyian Sambujan ini. Sambujan ini kan pulau rumput, istilahnya kan dia bersembunyi di sini, makanya dia ke Sambujan. Jadi dulu pulau ini kan bakau semua waktu jaman Belanda ini, kalau pembukanya ada disini, nanti saya punya orang tua yang jadi kades pertama itu baru jadi kampung, itu tahun 78 kalau ga salah, kalau tahun 60an itu ada gerombolan itu, tentara permesta orang Bugis itu culik-culik orang. Dulu gerombolan itu dari selatan itu pimpinannya Karung Sakar to, menyebar ke seluruh sulawesi ini. Akhirnya masyarakat menyebar to, takut semua di bawa lari kalau ga mau kerja dibunuh to, itu waktu itu labuhan lobo itu, Sambujan, istilahnya orang dari Malala lari sembunyi di sini, orang lari lah,. Iya jadi banyak orang datang ke sini di sambut, kalau bahasa bugisnya Sambut itu disambut, istilahnya persinggahannya. Dulu labuhan lobo itu namanya palagisan itu habis orangnya diambil sam gerombolan itu pada tahun 60an itu, pemberontak dia..”
2.4 PERKEMBANGAN DESA
Desa Sambujan secara administratif dibagi menjadi 2 dusun, yakni
Dusun I dan Dusun II. Dusun I terletak di sebuah pulau kecil yang terpisah
dengan Dusun II yang berada di daratan. Pada awalnya Desa Sambujan ini
masih sepi dan pusat pemerintahannya ada di Pulau Pandan. Pada awalnya
masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka kemudian
memulai membuka lahan dan menanam cengkeh.Hasilnya dijual atau
ditukar barang kebutuhan sehari-hari dengan pedagang yang tinggal di ibu
kota kabupaten. Perekonomian masyarakat Desa Sambujan awalnya belum
bisa berkembang karena keterbatasan akses untuk menuju kota kabupaten.
15
Mereka hanya tergantung dari transportasi laut. Dengan demikian, waktu itu
hanya bisa dinikmati oleh beberapa anggota masyarakat yang memiliki
perahu. Orang dari luar desa pun masih jarang untuk datang ke desa ini.
Gambar 2.2 Jembatan penghubung antara wilayah pulau dengan wilayah daratan (Sumber: dokumentasi peneliti)
Dalam beberapa dekade terakhir ini, kondisi desa mulai membaik
dengan adanya pembangunan fisik dan non fisik yang terjadi di Desa
Sambujan oleh pemerintah Kabupaten. Selain itu, pemerintah juga
mengembangkan sejumlah program-program pemberdayaan di berbagai
bidang termasuk pertanian, perikanan dan pendidikan. Program-program ini
turut mulai mengubah wajah Desa Sambujan ke arah yang lebih baik.
Gambar 2.3 Perahu ketinting, moda transportasi laut masyarakat Desa Sambujan
Sumber: dokumentasi peneliti
16
Pembangunan fisik juga dilakukan oleh pemerintah daerah setempat
dengan membangun gedung sekolah dasar. Gedung itu dulu hanya
bangunan sederhana yang terbuat dari dinding kayu, namun kini telah
diperbaiki menjadi gedung berdinding tembok. Selain itu, dengan PNPM
Mandiri Perdesaan, masyarakat membangun jalan dalam desa dan juga
pembangunan dinding abrasi. PNPM Mandiri Perdesaan juga membantu
membuat penerangan desa dengan menggunakan mesin diesel yang bisa
menjangkau kebutuhan listrik seluruh masyarakat desa yang ada di pulau
pada tahun 2012. Tidak sampai disitu saja pada tahun 2013 dengan dana
tersebut masyarakat juga membuka jalan poros desa serta membangun
jembatan kayu sepanjang kurang lebih 375 meter yang menghubungkan
wilayah Desa Sambujan yang berada di pulau dengan wilayah desa yang di
daratan. Program PNPM juga digunakan untuk menyediakan fasilitas
kesehatan bagi masyarakat desa dengan membangun poskesdes.
Program pembangunan fisik, baik yang dilakukan oleh pemerintah
sendiri maupun masyarakat dengan dana PNPM ini dinilai sangat
menguntungkan. Pembangunan jalan darat memberikan alternatif
transportasi, selain laut. Mereka bisa bepergian ke luar desa dengan
kendaraan bermotor. Sementara itu, program pembukaan jalan poros desa
dan jembatan ini membantu masyarakat. Animo masyarakat ini ditunjukkan
dengan peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor roda dua. Hal
tersebut juga membuat masyarakat manjadi lebih sering dan mudah untuk
berinteraksi dengan masyarakat lain di luar Desa Sambujan.
Setelah adanya pembukaan jalan desa membuat akses masyarakat
menuju dusun II dan juga desa tetangga menjadi terbuka dan tentunya
mobilitas masyarakat Desa Sambujan yang berada di Pulau Pandan menjadi
meningkat. Setelah jalan menuju jalan poros desa dibuka, perkembangan
fisik desa pun mulai terlihat. Sama seperti di daratan, kepemilikan kendaraan
bermotor pun meningkat di Pulau Pandan. Interaksi masyarakat desa dengan
masyarakat dari luar desa pun juga meningkat. Banyak pedagang yang
berasal dari kabupaten datang ke wilayah Pulau Pandan untuk berjualan
sayur, baju, kain atau barang-barang peralatan rumah tangga hingga alat-
alat elektronik. Ketika sedang musim panen raya, jumlah pedagang ini lebih
banyak lagi.
17
2.5.EKOLOGI DAN KEPENDUDUKAN
2.5.1.Ekologi
Sebagian wilayah Desa Sambujan masih berupa bukit yang banyak
ditumbuhi pohon-pohon. Vegetasi yang ada di wilayah Desa Sambujan adalah
berupa tanaman penghasil kayu Selain itu, ada tanaman yang paling banyak
tumbuh di wilayah Desa Sambujan, yaitu tanaman cengkeh. Tanaman ini bisa di-
ambil daun, tangkai dan juga buahnya. Tanaman cengkeh merupakan salah satu
sumber mata pencaharian masyarakat Desa Sambujan.
Tanaman yang diambil diambil kayunya adalah pohon arsat dan palapi.
Dua pohon ini merupakan jenis tanaman keras.Kayuarsat biasanya
dipergunakan masyarakat Desa Sambujan untuk bahan pembuatan rumah
khususnya untuk kaki-kaki rumah. Kayu palapi digunakan untuk membuat
perahu atau ketinting. Menurut masyarakat setempat, kayu palapi lebih tahan
air dan lebih ringan berat jenisnya jika dibandingkan dengan kayu arsat. Selain
sebagai bahan perahu, kayu palapi juga digunakan untuk dinding rumah.
Untuk sayuran, masyarakat mengkonsumsi sayuran daun kelor. Daun
kelor ini biasanya diolah untuk dijadikan sayur kuah bening. Untuk buah-
buahan, masyarakat mengkonsumsi nanas, pisang, dan pepaya, serta nangka.
Mereka menanam dan memetik sendiri sudah masak, kecuali buah nangka.
Buah nangka lebih sering dijadikan sayur. Untuk dibuat sayur, buah itu dipetik
ketika belum matang.
Karena memiliki wilayah pulau, konsumsi protein hewani bervariasi,
tetapi lebih menggantungkan pada ikan. Hewan laut yang dikonsumsi antara
lain “suntung” atau sotong, cumi-cumi dan juga bermacam-macam jenis ikan
laut. Ikan laut yang sering dikonsumsi oleh masyarakat desa adalah ikan batu,
kerapu, “lai-lai” dan ikan cakalang. Pengolahannya pun bervariasi, ada yang di-
bakar, dikeringkan dan juga langsung digoreng. Masyarakat mendapatkan ikan-
ikan tersebut dengan cara memancing dan juga memasang pukat di laut.
2.5.2 Kependudukan
Data kependudukan berdasarkan data Profil Desa Sambujan tahun
2015, jumlah penduduk sebanyak 1231 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki
sebanyak 643jiwa dan perempuan sebanyak 588 jiwadengan jumlah total kepala
keluarga sebanyak 405 KK. Keseluruhan penduduk tersebut terbagi di 2 dusun
yakni dusun I dan dusun II di Basiang. Berdasarkan data profil desa tersebut
18
juga menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sambujan juga merupakan
masyarakat yang multi etnis. Selain etnis Tolitoli ada juga etnis lain yang
mendiami tanah Sambujan, suku-suku tersebut antara lain adalah suku Bajo,
Bugis, Mandar, Buol dan Mamuju. Dari sekian banyak etnis yang ada di Desa
Sambujan, baik di wilayah dusun I dan dusun II etnis bugis merupakan etnis
terbanyak. Berdasarkan data yang ada di profil desa tahun 2015 etnis bugis
berjumlah 190 kk dari 405 kk.
2.6. POLA PEMUKIMAN
Dalam pembuatan sebuah rumah di masyarakat Desa Sambujan tidak
ada aturan adat yang mengatur tentang tata letak sebuah rumah. Jenis rumah di
Desa Sambujan adalah jenis rumah panggung. Rumah panggung yang ada di
Desa Sambujan ini ada yang letaknya di darat dan ada juga yang berdiri di atas
air laut.Bahan dasar pembuatan rumah panggung ini adalah kayu. Kayu yang
digunakan dalam bangunan rumah ini adalah kayu Arsat, kayu Durian (Durio sp),
kayu Kalakala dan juga kayu Palapi kayu-kayu tersebut diperoleh dari hutan
yang ada di sekitar lingkungan desa. Kayu arsat atau kalakala biasanya
digunakan sebagai tiang penyangga rumah panggung tersebut, sedangkan kayu
palapi yang memiliki karakter lebih ringan dan lunak digunakan untuk dinding
dan juga digunakan untuk lantai, karena kayu palapi ini juga tahan terhadap air.
Gambar 2.4 Bagian belakang rumah panggung apung di Pulau Pandan
Sumber: dokumentasi peneliti
19
Atap rumah masyarakat Desa Sambujan mayoritas terbuat dari seng
yang dibeli di Kabupaten Tolitoli dengan menggunakan ketinting. Atap seng
ini dipilih karena lebih praktis daripada menggunakan genting, selain itu
untuk mendapatkan genting di Desa Sambujan ini cukup sulit, karena jarang
ada orang menjual genting. Berdasarkan hasil observasi peneliti, luas
bangunan rumahdi Desa Sambujan bervariasi rata-rata berukuran 35-40
meter persegi ada juga yang lebih luas dan ada juga yang lebih kecil dari
ukuran tersebut. Selain rumah panggung yang terbuat dari kayu, ada juga
sebagian rumah yang terbuat dari beton, rumah berdinding beton yang
terbuat dari batako ini lebih banyak dijumpai di wilayah daratan yang ada di
dusun II Basiang.
Gambar 2.5 .Rumah panggung di Desa Sambujan daratan. Sumber : dokumentasi peneliti
Dalam sebuah bangunan rumah di masyarakat Sambujan terdapat
beberapa jendela dan juga ventilasi. Ventilasi dan juga jendela tersebut
berguna untuk jalan masuknya cahaya di dalam rumah dan juga sebagai
jalan keluar masuknya udara, sehingga tetap ada sirkulasi udara di dalam
rumah tersebut. Selain itu sela-sela dinding rumah yang terbuat dari kayu
juga bisa berfungsi untuk jalan keluar masuknya udara dan juga cahaya.
Selain itu dalam sebuah rumah juga terdapat beberapa fasilitas rumah
seperti dapur, kamar, ruang tamu, kamar mandi dan juga beranda atau
teras rumah, pembuangan air limbah dan pembuangan kotoran manusia.
20
Tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang tata letak fasilitas dalam
rumah yang disebutkan di atas. Kebanyakan letak ruang tamu dan teras
berada di bagian depan rumah namun bagi penduduk yang tinggal di atas
laut, biasanya juga yang memiliki beranda yang berada di belakang rumah
seperti yang terlihat pada gambar 2.3 di atas. Berikutnya di bagian tengah
biasanya terdapat kamar dan ruang keluarga sedangkan di bagian belakang
biasanya terdapat dapur dan juga kamar mandi.
Gambar 2.6 Denah Rumah Penduduk Sambujan Sumber: dokumentasi peneliti
Pada gambar 2.5 di atas dapat dilihat denah bagian-bagian rumah
pada masyarakat Desa Sambujan, dalam sebuah rumah biasanya terdapat 2
beranda atau serambi yang terletak di depan dan di belakang rumah,
terutama bagi yang rumah panggungnya berada di atas laut, beranda
belakang biasanya digunakan untuk menaruh ketinting mereka ketika
hendak bepergian menggunakan ketinting seperti yang terlihat pada gambar
2.6 di bawah ini.
Keterangan : 1. Beranda depan rumah 2. Ruang tamu 3. Ruang keluarga 4. Kamar tidur 5. Kamar tidur
6. Dapur
7. Beranda belakang
8. Kamar mandi
9. Laut
6
7
1
2
3 4
5
8
9
21
Gambar 2.7.Bagian belakang rumah masyarakat Desa Sambujan, tampak
ketinting milik warga yang ada dibelakng rumah. Sumber : dokumentasi peneliti
Di bagian depan rumah,ada ruang tamu. Di bagian tengah rumah,
ada kamar tidur dan ruang keluarga. Jumlah kamarpun tiap rumah berbeda-
beda.Rata-rata dalam sebuah rumah terdapat 2 hingga 3 kamar. Dapur
biasanya diletakkan di bagian dalam belakang rumah, namun tak jarang ada
juga yang meletakkan dapurnya di luar rumah. Selain dapur di bagian
belakang rumah, ada juga kamar mandi. Walaupun tidak ada kepercayaan
tentang tata letak, tetapi hampir semua rumah yang ada di Desa Sambujan,
kamar mandi diletakkan di bagian belakang rumah.
Gambar 2.8.Dapur yang berada di bagian luar belakang rumah Sumber : dokumentasi peneliti
22
Gambar 2.9.Kamar mandi/WC di bagian luar belakang rumah Sumber : dokumentasi peneliti
Proses pembuatan rumah ini biasanya dilakukan secara bergotong-
royong terutama oleh keluarga besar, namun ada pula yang menggunakan
jasa tukang dengan upah sesuai lama pengerjaan rumah tersebut. Pemilik
rumah biasanya telah menyediakan bahan-bahan yang diperlukan dalam
pembuatan rumah tersebut, seperti kayu, seng, paku dan beberapa material
yang lain. Lama pengerjaan rumah panggung ini relatif dan tergantung
dengan tingkat kesulitan dan model rumah. Biasanya satu rumah panggung
bisa diselesaikan kurang lebih satu hingga dua bulan.
“...Biasanya kita disini gotong-royong, banyak yang bantu kalau kita dirikan rumah itu. Saudara-saudara kita pasti bantu. Ada juga yang pakai tukang, tapi kalau pakai tukang kita kan harus bayar. Bahan-bahan seperti kayu, apa itu kita yang siapkan mereka tinggal kerja. Paling-paling 1 bulan selesai kalau rumah biasa kaya gini..”
2.7. RELIGI
2.7.1. Tradisi Islam
Sebagian besar masyarakat Desa Sambujan adalah pemeluk agama
Islam. Jumlah pemeluk agama Islam di Desa Sambujan adalah 1/217 orang.
Menurut Hadimuljono dan Muttalib dalam The Ecology of Sulawesi
23
(J.Whitten, Anthony dkk, 1987: 83),penyebaran agama Islam pada
masyarakat Tolitoli dipengaruhi oleh kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1605.
Setelah itu Islam berkembang pesat di Sulawesi Tengah, khususnya di
masyarakat Tolitoli. Selain agama Islam, ada 12 orang beragama Kristen dan
dua orang beragama Budha. Mereka hidup berdampingan dengan harmonis.
Tidak ada perselisihan antar umat beragama di desa tersebut.
Gambar 2.10 Masjid yang ada di Dusun I, Desa Sambujan.
Sumber : dokumentasi peneliti
Setiap dusun terdapat satu masjid besar. Letak masing-masing
masjid tidak jauh dari permukiman warga dan fasilitas kesehatan di di desa.
tersebut letaknnya tidak jauh dengan pemukiman warga dan juga fasilitas
kesehatan yang ada di desa. Selain masjid, ada sejumlah mushala. Setiap hari
sholat diselenggarakan di mushola, kecuali sholat asar pada hari Jum’at.
Mereka melakukan sholat jum’at di masjid. Selain itu, masjid digunakan
untuk kegiatan pengajian dan juga kegiatan dalam memperingati hari besar
agama Islam.
Salah satu hari besar keagamaan yang diamati dalam penelitian ini
adalah hari besar Isra Mi’raj (lihat gambar 2.10.). Di dusun I (Sambujan
Pulau), kegiatan dilakukan pada sore hari pukul 15.00 WIT. Kegiatan
peringatan tersebut dihadiri oleh seluruh masyarakat Desa Sambujan, mulai
dari anak-anak hingga orang tua, baik laki-laki ataupun wanita. Kegiatan
24
dipimpin oleh seorang imam masjid dan mengundang seorang pemuka
agama untuk berceramah. Kegiatan ini ditutup dengan acara makan kue
bersama yang di bawa oleh warga masyarakat Desa Sambujan. Pada saat itu
kepala desa atau pihak kesehatan sekaligus melakukan sosialisasi rencana
kegiatan desa ataupenyampaian informasi kesehatan, seperti pemeriksaan
kesehatan gratis.
Gambar 2.11.Kegiatan Peringatan Isra’ mi’raj di masjid Sumber : dokumentasi peneliti
Tradisi Islam ini juga berpengaruh pada upacara lingkaran
kehidupan, salah satunya upacara kematian. Dalam upacara kematian,
mereka menggunakan tradisi agama Islam, yaitu memakamkan jenazah ke
dalam tanah. Lokasi pemakaman untuk Sambujan pulau sendiri letaknya
berada di dekat Poskesdes. Selama berada di lapangan, hanya didapati 2
prosesi pemakaman. Pertama, pemakaman dari penderita TB, yaitu Hm.
Kedua, pemakaman seorang anak di desa sebelah. Dari dua prosesi
pemakaman tersebut, prosesnya sama, yaitu terdapat proses memandikan
jenazah, memakaikan kain kafan, menyolati jenazah, dan selanjutnya
jenazah akan dibawa ke pemakaman untuk dimakamkan.
Pada saat terdapat salah seorang warga yang meninggal, tetangga
yang lain akan datang berduyun-duyun untuk membantu prosesi
pemakaman. Secara umum, terdapat pembagian pekerjaan antara wanita
25
dan laki-laki dalam prosesi tersebut. Yaitu peralatan yang diperlukan untuk
mandi akan disiapkan oleh ibu-ibu, begitu juga dengan kapas dan kain kafan
yang akan dikenakan jenazah. Para bapak mengurus papan kayu, peng-
ukuran lubang pemakaman, menggali lubang untuk pemakaman, dan
mengangkat jenazah saat dimandikan maupun dibawa kepemakaman.
Biasanya jenazah akan diletakkan di ruang tengah, sehingga tamu
yang datang bisa mendekat dan melihat untuk terakhir kalinya. Di dekat
jenazah akan diletakkan sebuah kotak atau toples sebagai tempat untuk
menampung uang dari para tamu yang datang. Setelah persiapan untuk
memandikan jenazah selesai, jenazah akan dibawa untuk dimandikan. Ke-
mudian jenazah akan dibawa ke ruang tengah kembali dan dipakaikan kain
putih atau kafan yang sudah disiapkan. Setelah selesai, akan dilakukan sholat
jenazah bagi yang mau menyolati, yaitu 1 orang sebagai imam dan sisanya
sebagai makmum. Barulah setelah itu jenazah diantar ke pemakaman.
Proses pemindahan jenazah tidak menggunakan keranda seperti di Jawa,
melainkan jenazah diikatkan pada selembar papan agar tidak terjatuh saat
dibawa ke pemakaman yang letaknya di atas bukit.
2.7.2. Kepercayaan tentang Kuntilanak
Di Desa Sambujan ada kepercayaan bahwa Ibu hamil bisa diganggu
oleh roh-roh halus, salah satunya adalah Kuntilanak. Menurut keterangan
dari informan lain, Kakek S, yang juga disetujui oleh Pak Ks, Kuntilanak
digambarkan sebagai seorang wanita berambut panjang yang memiliki
lubang di bagian punggungnya. Kuntilanak ini terbang dengan cara yang
sama seperti orang berenang, terlentang dengan muka melihat ke atas,
sehingga bagian punggungnya yang berlubang akan terlihat. Ia dipercaya
sebagai arwah dari Ibu yang meninggal pada saat melahirkan. Apabila Ibu
meninggal karena gangguan Kuntilanak, arwah ibu yang meninggal tersebut
dipercaya akan ikut menjadi Kuntilanak.
Kuntilanak dipercaya menyukai ibu yang sedang hamil muda dan
hamil tua. Hal ini dikarenakan bau darah dari ibu yang hamil muda dan hamil
tua lebih harum. Sehingga, ibu yang hamil muda dan hamil tua cenderung
lebih rawan diganggu oleh Kuntilanak dan bayi atau bahkan ibunya bisa
meninggal. Cara mengganggunya adalah dengan cara seperti menggaruk
26
perut ibu hamil. Adapula yang percaya bahwa pendarahan pada ibu yang
melahirkan terjadi akibat garukan Kuntilanak tersebut.
Untuk menghindari gangguan Kuntilanak ini, salah satu benda yang
dianggap dapat menjaga ibu hamil adalah pelepah mayang pinang. Pelepah
mayang pinang diambil sedikit dari mayang pinang yang dipecah, kemudian
ditaruh di bawah kasur. Atau yang lebih praktis, adalah dengan
membungkusnya dengan kain warna hitam atau kuning, lalu mengikatnya di
perut ibu hamil. Dengan diikat diperut, maka penjaga atau jimat tersebut
dapat melindungi ibu hamil dari Kuntilanak kemanapun dia pergi. Pemakaian
jimat ini dilakukan sejak ibu mulai hamil hingga ibu sudah melahirkan.
Menurut Kakek S, penyebab munculnya kepercayaan terhadap
pelepah mayang pinang dapat melindungi Ibu hamil itu ada sejarahnya.
Awalnya kuntilanak merupakan mahkluk halus yang biasa duduk di bawah
pohon pinang. Tiba-tiba ada pelepah mayang pinang yang jatuh mengenai
punggungnya, sehingga berlubang. Sejak saat itulah, kuntilanak memiliki
lubang di punggung dan takut kepada pelepah mayang pinang.
Selain menggunakan pelepah mayang pinang, menurut Nenek Tl,
cara lain yang dapat digunakan untuk melindungi dari gangguan Kuntilanak
adalah dengan memasang peniti pada baju ibu hamil atau membawa besi
saat keluar rumah di malam hari, seperti misalnya pisau, hanya saja pisau
yang tumpul. Penggunaan pisau tumpul tersebut adalah untuk berjaga-jaga,
tetapi tidak melukai bila terjatuh. Cara lain, menurut Ibu As, ialah memasang
akar tanaman ariano kering pada peniti, kemudian menyematkannya di baju.
Berbeda lagi dengan Pak Ks, untuk mengusir Kuntilanak, ia membaca bacaan
khusus. Bacaan tersebut berbunyi sebagai berikut: “...Raja Talia Sitti Talia”
Bacaan tersebut kemudian dibaca sebanyak tiga kali, dan sama seperti
bacaan lainnya, dibaca setelah mengucap kalimat tobat, syahadat dan
basmallah.
2.7.3. Kepercayaan tentang Pokpok tanah
Pokpok tanah adalah salah satu jenis mahkluk yang ditakuti dapat
mengganggu keselamatan ibu hamil dan ibu melahirkan. Ia digambarkan
sebagai manusia yang memiliki ilmu tertentu sehingga untuk membutuhkan
makanan berupa organ bagian dalam manusia seperti jantung, hati dan lain
sebagainya sebagai konsekuensinya. Ibu hamil muda dan ibu melahirkan
27
lagi-lagi menjadi sasaran empuk bagi mahkluk seperti ini karena darahnya
berbau harum. Oleh karena itu, keselamatan ibu hamil dan ibu melahirkan
lebih rawan daripada orang biasa. Selain itu, menurut Pak Ks, pokpok tanah
lebih banyak mengincar orang-orang yang sakit, karena daya tahan tubuhnya
lemah. Ia juga bisa saja memakan orang biasa atau yang sedang sehat
apabila benar-benar sedang kelaparan. Menurut Pak Ks, cara memakan
korban dari pokpok tanah ini hanya dengan mendatangi calon korban,
kemudian mengelus rambutnya saja. Setelah itu korban akan langsung
meninggal, padahal tampak baik-baik saja. Ciri-ciri pokpok tanah adalah
bermata merah, dan seringkali berjenis kelamin perempuan. Pokpok tanah
ini merupakan orang yang sedang belajar ilmu tertentu, atau bisa juga
karena keturunan.
Menurut keterangan Pak Ks lagi, tubuh dari pokpok tanah sangat
ringan karena ia bisa duduk-duduk di atas pelepah pisang. Selain itu, salah
satu kepercayaan lain tentang pokpok tanah ini adalah ia sering masuk ke
kamar mandi warga atau di sumur untuk mandi. Jika ada orang yang
menangkap air bekas mandi Pokpok tanah ini dari bawah kolong kamar
mandi, kemudian membasuhkan ke tubuhnya, dipercaya orang tersebut
akan bisa melihat kemanapun pergerakan pokpok tanah yang sedang mandi
tersebut, sehingga orang ini dapat berjaga diri ketika Pokpok tanah berada di
daerah sekitarnya.
Gambar 2.12 Jimat batu karang merah dan garam Makassar yang digantung di depan pintu rumah
Sumber: dokumentasi peneliti
28
Cara melindungi diri dari pokpok tanah adalah dengan memasang
gantungan jimat berupa batu karang merah di atap depan rumah. Batu
merah ini merupakan batu yang diambil dari laut dan bukan sembarang batu
karena ia baru diambil saat terapung di permukaan laut. Selain itu, adapula
yang menambahkan serbuk garam Makassar pada gantungan batu
merahnya. Garam Makassar ini dipercaya dapat dijadikan obat, yaitu
pengobat penyakit-penyakit ‘kiriman’ atau penyakit yang dibuat-buat.
Selain itu, yang dipercaya sebagai pengusir Pokpok tanah adalah
daun balacai merah. Jenis daun balacai ada dua, yaitu hijau dan merah. Jika
yang hijau dipercaya dapat menghilangkan perut kembung pada bayi, daun
balacai merah dipercaya dapat mengusir Pokpok tanah . Caranya adalah
dengan menggantung beberapa helai daun balacai merah bersamaan
dengan batu merah, atau dengan menanamnya di depan rumah. Bahkan,
selain mengusir Pokpok tanah , daun ini juga dipercaya dapat mengusir
gangguan mahkluk halus lainnya.
2.8. ORGANISASI SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
Masyarakat Desa Sambujan menganut sistem kekerabatan
berdasarkan garis keturunan laki-laki (patrilineal), dimana anak-anak yang
dilahirkan masuk dan diperhitungkan melalui garis keturunan orangtua laki-
laki. Umumnya orang yang sekerabat hidup mengelompok dalam satu
kampung yang terpusat pada satu rumah panggungbesar.
Berkaitan dengan perkawinan, ada dua golongan suku Tolitoli yang
tinggal di Sambujan, yaitu suku Tolitoli yang merupakan pendatang (seperti
misalnya tinggal di Sambujan karena diperistri orang Sambujan) dan suku
Tolitoli keturunan yang sudah tinggal sejak lama. Menurut kedua golongan
tersebut, suku Tolitoli memang memiliki adat tersendiri untuk upacara
pernikahan, namun, upacara adat yang demikian dilakukan oleh yang
memiliki darah kerajaan saja. Sedangkan bagi warga biasa, adat yang
dilakukan tidak begitu ketat dan disesuaikan dengan kondisi ekonomi
masing-masing keluarga.
Menurut keterangan Nenek Jr (sando berdarah Tolitoli), pada saat
upacara pernikahan keluarga kerajaan biasanya memakai pakaian adat yang
berwarna kuning dan menggunakan peralatan makan yang serba kuning. Di
depan tempat acara ada hiasan berupa bendera-bendera khas kerajaan yang
29
ditancapkan berjejer. Selain itu, ada payung hitam dan beberapa benda lain.
Seperti yang disampaikan oleh Nenek Jr, sebagai berikut:
“...Payung hitam ditaruh di situ (di depan) dengan bambu kuning di muka tangga, diikat dengan kain kuning. Ditaruhkan juga anu orang bilang tu kelapa anu tu, bulan itu. kelapa kecil... yang kecil-kecil. Ada artinya semua tu, dibikin bendera-bendera...” Namun demikian, Nenek Jr tidak mengetahui apa makna masing-
masing benda tersebut. Salah satu sebabnya, ia tidak menggunakan adat
tersebut saat dilaksanakan upacara pernikahan dulu. Upacaranya sama
seperti kebanyakan warga yang lain. Hanya saja, menurutnya, payung hitam
yang ditaruh di depan rumah beserta bambu kuning dan kain kuning sebagai
pengikatnya berfungsi sebagai penangkal cuaca buruk. Apabila saat upacara
pernikahan warga Tolitoli, berdarah kerajaan tidak memasang payung hitam,
maka selama upacara ada hujan dan angin besar atau lainnya yang
mengganggu. Hal itu juga diutarakan oleh tetangga dari Nenek Jr.
Bagi warga Toli-toli di Desa Sambujan, upacara pernikahan diadakan
dengan “adat sini”. Setelah ditelusuri pada sejumlah warga Toli-toli, istilah
adat sinisebenarnya lebih mengarah pada adat Bugis, meskipun tidak
lengkap. Hal ini menunjukkan pengaruh budaya Bugis terjadi di Desa
Sambujan. Salah satu sebabnya karena letaknya di pesisir. Masyarakat
pesisir di Kab. Tolitoli lebih banyak dihuni oleh orang Bugis dan Bajo.
Meskipun demikian, tidak ada kewajiban menggunakan adat tersebut. Hal
itu tergantung dari masing-masing keluarga dan induk bothing (perias
pengantin).Sebelum upacara pernikahan, keluarga calon pengantin
bersepakat adat mana yang akan digunakan. “...tidak masalah juga kalau
mau pakai adat Jawa...” Setelah itu, pihak keluarga calon pengantin
perempuan meminta induk bothing mengurusnya.
Secara umum, tahap pernikahan terbagi menjadi dua, yaitu tahap
“sebelum” dan tahap “saat” pernikahan. Kedua tahap tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap “sebelum”pernikahan
Tahap diawali dengan lamaran atau diistilahkan “naik.” Hal itu bisa
terjadi 2 hingga 3 kali “naik”. Naik yang pertama adalah proses di mana
30
kedua keluarga berunding untuk mencapai kesepakatan jumlah “uang naik
atas”. Awalnya, pihak laki-laki datang ke pihak perempuan untuk melamar
tanpa membawa apa-apa. Mereka hanya melamar dan berunding saja.
Untuk bisa melangsungkan sebuah pernikahan, pihak laki-laki harus
membayar sejumlah uang naik atas,yaitu sejumlah uang yang diberikan
sebagai biaya pernikahan. Besarannya relatif. Hal itu bergantung dari kelas
sosial dan jenjang pendidikan calon pengantin perempuan, serta tingkat
ekonomi pihak laki-laki. Di Desa Sambujan, uang “naik” rata-rata sebesar 15
juta rupiah. Salah satu dasar penentuannya adalah jenjang pendidikan hanya
lulus SD.
Saat terjadi kasus hamil di luar nikah, memang tidak ada sanksi
berupa hukum adat dan sebagainya. Hal itu berakibat pada harga uang naik
atas menjadi lebih murah. Uang naik hanya sebesar sekitar 5 hingga 7 juta
rupiah saja. Apabila jumlah uang naik atas sudah disepakati oleh kedua belah
pihak, akan ditentukanlah waktu untuk “naik” yang kedua.
Tahap“naik” yang kedua adalah saat pihak laki-laki akan datang
kembali ke rumah pihak perempuan dengan membawa uang naik atas yang
bisa berupa uang dan keperluan dapur. Jumlahnya tergantung yang sudah
disepakati. Apabila pada saat “naik” kedua kali sudah bisa dilunasi, maka
kedua keluarga akan lanjut berunding tentang tanggal pernikahan. Namun,
apabila uang naik atas masih belum bisa dilunasi, akan dilanjutkan lagi pada
tahap“naik” yang ketiga kalinya.
b. Tahap ‘saat’ pernikahan
Jarak antara “naik” yang terakhir kali dengan hari pernikahan
biasanya tidak terlalu lama. Pada tahap“saat” pernikahan inilah puncak dari
upacara pernikahan. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1) Khatam Qur’an
Sebelum hari pernikahan, keluarga menyelenggarakan acara khatam
qur’an. Di dalam acara itu, pengantin perempuan membaca beberapa surat
dari Al-Qur’an. Acara tersebut diadakan di rumah pihak perempuan,
tepatnya di kamar. Pada saat tersebut pengantin perempuan memakai haji.
Pakaian haji adalah pakaian yang biasa dipakai perempuan sepulang dari
menunaikan ibadah haji. Setelah membaca ayat Al-Qur’an, pengantin
31
perempuan melakukan jabat tangan dengan guru mengajinyi. Guru itu
adalah imam masjid Sambujan.
Gambar 2.13. Prosesi Khatam ur’an yang dilanjutkan berjabat tangan dengan Guru Mengaji
Sumber: dokumentasi informan
2) Hambur beras
Pada saat hari pernikahan, ibu rias pengantin (induk bothing)
menunggu di muka rumah pengantin perempuan. Rombongan calon
pengantin laki-laki datang ke rumah tersebut. Di depan pintu, induk bothing
menghamburkan beras secukupnya kepada calon pengantin laki-laki.
Menurut informan, prosesi hambur beras berfungsi untuk menolak bala. Hal
itu dilakukan oleh orang Tolitoli dan Bugis.
Gambar 2.14. Prosesi Hambur Beras saat Pengantin Laki-laki Datang Sumber: dokumentasi informan
32
3) Memberikan mohar
Setelah prosesi hambur beras, calon pengantin laki-laki masuk ke
dalam rumah. Di dalam rumah, calon pengantin berikut rombongan
menyerahkan mohar atau mahar, yaitu seserahan dari pihak laki-laki ke
wanita. Mohar tersebut ditaruh di dalam sarung yang dikalungkan pada
leher dari perwakilan pihak calon pengantin laki-laki. Perwakilan dari pihak
calon pengantin perempuan akan mengambil mohar tersebut dengan
menukar sarung. Sarung yang berisi mahar digantikan dengan sarung biasa
dan dikalungkan kembali ke leher perwakilan pihak calon pengantin laki-laki,
sebagaimana diceriterakan Ibu Sg:
“..Oh... ada sarung...? oh ini... ini kan, ini pamannya ini ali efendi ini dia ini bawa mohar, mohar disimpan di sa.. sarungnya di giniin (dikalungkan), ditaruh mohar di dalam, didalam sarung dibungkus-bungkus begitu, kemudian ini bu hajjah, ini tantenya umi, dia pigi ambil...”
Gambar 2.15. Prosesi Pengambilan Mohar Sumber: dokumentasi informan
4) Akad nikah
Setelah penyerahan mahar, prosesi berikutnya adalah akad nikah.
Proses ini berisi pembacaan akad nikah atau ijab qobul. Pihak yang terlibat
dalam proses ini adalah imam dan pengantin laki-laki, sedangkan pengantin
perempuan akan menunggu di kamar. Ayah calon pengantin perempuan
33
menyerahkan kewenangan pada imam. Kalau tidak, maka hal itu dilakukan
sendiri oleh ayah calon pengantin perempuan. Pada kondisi terakhir ini,
imam hanya sebagai saksi. Iman membacakan ijab qobul dan kemudian
dijawab oleh pihak calon penganti laki-laki. Imam kemudian menyatakan
apakah ijab kabul ini sah atau tidak pada para hadirin. Apabila saha, maka
sah pula pernikahan tersebut. Apabila tidak sah, maka diulang kembali akad
nikah tersebut. Apabila telah sah, maka calon pengantin laki-laki telah resmi
dan sah sebagai suami, begitu pula dengan calon pengantin perempuan
resmi sebagai isteri. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah
penjemputan pengantin perempuan oleh pengantin laki-laki. Pengantin laki-
laki mendatangi kamar pengantin perempuan dan menjemputnya.
Gambar 2.16. Prosesi Akad Nikah
Sumber : dokumentasi informan
5) Membatalkan wudhu
Sebelum diadakan prosesi sebelum akad nikah, calon pengantin
perempuan berwudhu terlebih dahulu. Setelah prosesi akad nikah selesai,
maka ada prosesi membatalkan wudhu. Pengantin laki-laki mendatangi
pengantin perempuan dan memegang sedikit bagian tubuhnya. Bagian
tubuh yang dipegang terserah pengantin laki-laki Tidak ada ketentuan
khusus. Pengantin laki-laki bisa memegang lengan, kening,dan lain
sebagainya. Prosesi ini dilakukan di dalam kamar pengantin. Prosesi
pembatalan wudhu tersebut merupakan lambang bahwa pengantin laki-laki
sudah sah sebagai suami perempuan, dan diperbolehkan memegang
istrinya.
34
Gambar 2.17.Prosesi Membatalkan Wudhu Sumber :dokumentasi informan
6) Memasangkan cincin pernikahan
Setelah diadakan prosesi membatalkan wudhu, pengantin laki-laki
mengenakan cincin kawin di jari manis tangan pengantin perempuan.
Dengan pemasangan cincin kawin ini, semua prosesi pernikahan sudah
selesai dan keduanya dianggap benar-benar sah sebagai suami istri. Setelah
itu, pasangan pengantin tersebut keluar kamar dan melakukan jabat tangan
atau sungkem kepada kedua orang tua dan keluarganya di sabua, atau
pelaminan ala adat setempat. Tamupun berdatangan untuk menyalami
pengantin yang duduk di Sabua.
Gambar 2.18. Pengantin laki-laki memasang cincin kawin
35
Gambar 2.19. Pasangan Pengantin bersanding di Sabua Sumber: dokumentasi informan
2.9. BAHASA
Bahasa merupakan alat utnuk melakukan komunikasi dengan
sesama manusia di dalam suatu masyarakat. Untuk berkomunikasi dengan
sesama etnis mereka menggunakan bahasa Tolitoli, akan tetapi ketika
bermasyarakat mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia karena
di Desa Sambujan ini terdapat beberapa etnis lain yang tinggal
berdampingan, bahkan sebagian sudah banyak yang melakukan perkawinan
antar etnis. Bahasa asli Tolitoli pun di Sambujan hanya dipakai oleh golongan
tua saja, remaja dan anak-anak sudah tidak memahami dan menggunakan
bahasa tersebut ketika berkomunikasi dengan sesamanya.
2.10. MATA PENCAHARIAN
Sistem mata pencaharian hidup di Desa Sambujan adalah petani
cengkeh. Sebagian besar penduduk Sambujan memiliki lahan perkebunan
36
cengkeh sendiri. Cengkeh yang di tanam oleh masyarakat Desa Sambujan
adalah jenis cengkeh zanzibar. Tanaman cengkeh milik masyarakat Desa
Sambujan ini mengalami panen besar satu kali dalam satu tahun. Setelah
panen pertama, tanaman cengkeh juga masih bisa dipanen beberapa kali.
Hasil panen berikutnya tidak besar. Rata-rata dalam sehari petani mampu
mengambil 10 liter cengkeh atau kurang lebih 4 hingga 5 kilogram dalam
sekali petik.
Petani cengkeh biasanya pergi ke ladang cengkeh setiap pagi.
Mereka membawa karung untuk menaruh bunga cengkeh yang telah dipetik.
Aktivitas memetik cengkeh ini dalam istilah lokal disebut dengan “bapetek”.
Untuk melakukan bapetek, penduduk menggunakan alat berupa tangga yang
terbuat dari satu batang bambu yang diberi anak tangga. Jumlah anak
tangga dalam setiap tangga ini bermacam-macam. Rata-rata tinggi tangga
bambu tersebut kurang lebih 15 hingga 17 meter seperti yang terlihat pada
gambar 2.14.
Gambar 2.20. Memanen Cengkeh di Kebun Sumber : dokumentasi peneliti
Sepulang dari bapetek, bunga cengkeh yang dipetik dipilah-pilah
oleh anggota keluarga yang lain, seperti: anak, istri dan juga kerabat dekat
yang lain.Aktivitas ini disebut “bacudek”.Bacudek merupakan aktivitas
memilah bunga cengkeh dengan pangkal bunga. Setelah itu, cengkeh
37
dikeringkan. Ada pula yang menjual dalam keadaan basah. Harganya tentu
lebih murah dari cengkeh kering. Harga cengkeh kering kering berkisar
antara 114.000 rupiah per kilogramnya dan kemudian turun pada harga
112.000 rupiah per kilogramnya. Cengkeh-cengkeh tersebut dijual ke
pengepul cengkeh di ibu kota Kabupaten Tolitoli. Uang hasil penjualan
cengkeh biasanya digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga
seperti beras, gula, sabun, minyak tanah dan rokok. Selain itu, uang juga
digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan sekunder, seperti
peralatan elektronik dan juga peralatan rumah tangga yang lain, bahkan
membeli kendaraan bermotor. Hal itu dilakukanpada waktu panen raya.
Cengkeh yang dipanen tidak dijual semua. Sebagian lain disimpan.
Simpanan cengkeh akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang
mendadak.Hal tersebut merupakan salah satu cara masyarakat untuk
menabung. Selain menabung dalam bentuk cengkeh kering, ada juga
sebagian dari masyarakat yang menabung atau menyisihkan uang hasil
penjualan cengkehnya di bank atau di simpan di dalam rumah.
Gambar 2.21 Aktivitas masyarakat mencari ikan dilaut Sumber : dokumentasi peneliti
Selain bertani cengkeh, masyarakat Desa Sambujan memiliki
pekerjaan lain yaitu mencari ikan di laut. Cara mencari ikan di laut bisa
dilakukan dengan cara menjaring, memasang jala atau pukat, memancing
atau dengan menggunakan bahan peledak atau bom ikan. Aktivitas
menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan ini sekarang sudah jarang
dilakukan, karena berbahaya dan sudah memakan korban. Aktivitas mencari
38
ikan yang paling sering dilakukan adalah dengan cara memancing atau
menombak yang dalam istilah lokal masyarakat Sambujan disebut dengan
“balobek”. Pekerjaan mencari ikan dilaut ini dilakukan masyarakat setelah
masa panen cengkeh berakhir.
2.11. SISTEM PERALATAN DAN TEKNOLOGI
Teknologi yang digunakan oleh masyarakat Desa Sambujan ini sudah
bisa dikatakan cukup modern. Hal ini bisa dilihat dari sudah adanya
kepemilikan televisi, telepon genggam, sepeda motor, peralatan
pertukangan seperti gergaji mesin, genset dan beberapa peralatan
elektronik lainnya. Barang-barang tersebut bukan hal yang sulit untuk
diperoleh dan masyarakat menganggap sudah biasa dalam artian sudah
bukan barang mewah lagi. Walaupun alat komunikasi sudah ada di Desa
Sambujan akan tetapi ketersediaan sinyal belum begitu baik dan hanya bisa
ditemukan pada titik-titik tertentu di desa. Selain itu ketersediaan listrik
juga masih terbatas, karena sumber listriknya masih menggunakan genset
yang berasal dari bantuan PNPM Mandiri Pedesaan pada tahun 2012. Listrik
genset ini biasanya mulai dinyalakan pada pukul 18.00 WITA atau pukul 6
sore hingga pukul 23.00 WITA.
Bagi warga yang menggunakan listrik genset ini, warga dikenakan
biaya pengganti pembelian solar yang dibayar setiap bulan. Jumlah besaran
uangnya tiap rumah berbeda tergantung dari kepemilikan peralatan
elektronik seperti televisi. Sumber listrik lain yang ada di Desa Sambujan
adalah dengan menggunakan tenaga surya yang diperoleh dari bantuan
pemerintah. Pada saat siang hari listrik tidak digunakan. Pada malam hari,
ketika genset desa sudah padam, keluarga baru menyalakan lampu dengan
tenaga surya.
39
BAB 3
POTRET KESEHATAN
3.1 PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS)
3.1.1. Persalinan ditolong oleh Tenaga Kesehatan
Bila mencermati data Puskesmas Ogodeide (2013, lihat Grafik 3.1.),
maka sebagian besar dibantu tenaga kesehatan, hanya sekitar 17,65%
persalinan masih dibantu oleh Dukun. Dari sejumlah pengamatan di
lapangan, dua pola persalinan merupakan dua kutub yang berlawanan. Ada
pola ketiga yang selalu dicatat sebagai persalinan dengan tenaga kesehatan,
yaitu persalinan kombinasi antara Sandodan tenaga kesehatan.
Grafik 3.1 persalinan wilayah kerja Puskesmas Ogodeide Tahun 2013
Sumber: Profil Puskesmas Ogodeide 2013
Pola kombinasi ini hanya terjadi bila Sando merupakan bidan
kampung yang terlatih dan mau diajak bermitra. Sando yang tidak pernah
terlatih tidak bersedia bekerja sama. Hal itu yang diutarakan oleh salah satu
bidan desa di Puskesmas Ogodeide:
“Kalau soal kerjasamanya sih dengan dukun itu, saya selama bertugas di sana, kurang lebih satu tahun. Saya belum pernah kerjasama dengan Sando di sana.Awalnya sih kan saya datangi si
Persalinan
ditolong NakesDitolong dukun
204
168
36
Sumber : KIA Puskesmas Ogodeide 2013
40
Sando, saya dekati. Saya bilang saya yang bertugas di sini. Ya, maksudnya dia welcome. Tapi pada saat nanti ada yang melahirkan begitu, Sando menghindar dari saya. Bila ibu hamil sudah merasa sakit-sakit, suaminya panggil Sando. Ndak panggil lagi saya. Sando juga ndak suruh panggil saya. Dia ndak mau....”
Selain itu, meskipun terdapat sebuah Poskesdes, pertolongan
persalinan masih banyak dilakukan di rumah. Para ibu merasa nyaman
melahirkan di rumah.
“... iya, kan itu istilahnya tidak tahan itu dari melahirkan, mau bapindah-pindah rumah... Kan kalau di rumah to, ndak kesana kemari lagi. Kalau di sana to, datang saja, pulang lagi ke rumah... (tertawa) jadi... lebih baik anu... panggil bidan ke rumah... kayak orang di kota juga begitu kebanyakan....”
3.1.2. Memberi ASI Ekslusif
Menurut Prasetyawati (2012), cara pemberian makanan pada bayi yang
baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan
umur 6 bulan. Ibu bisa meneruskan menyusui hingga anak berusia 24 bulan
dengan memberikan makanan tambahan pendamping ASI. Tradisi menyusui ini
juga dilakukan pada ibu-ibu Tolitoli. Mereka mengaku menyusui hingga anak
berusia 2 tahun (24 bulan). Kenyataannya, ibu-ibu jarang memberikan ASI
ekslusif. Alasannya, air susu tidak keluar pada waktu bayi lahir. Untuk mengganti
ASI, ibu memberikan air kopi atau susu formula. Pemberian air kopi akan di-
hentikan dan diganti dengan ASI.
Menarik untuk dicatat adalah pemberian air kopi pengganti ASI. Di
masyarakat Tolitoli, ada keyakinan bahwa mencegah terjadinya mata tinggi
pada bayi. Seperti yang diungkap oleh Ibu As, “... di sini, biasa kalau... kopi cair,
tidak mata tinggi tu anak-anak, tidak kejang-kejang begitu, tidak mau dia..”
Sebagian dari mereka juga mengetahui bahwa air susu pertama
mengandung colostrum. Colostrum baik untuk bayi. Namun demikian, ada pula
ibu yang membuang air susu pertama harus dibuang dahulu sebelum diberikan
kepada bayinya. Hal itu dianggap syarat ketika menyusui, seperti yang dikatakan
oleh Nenek K, “...Kalau tetek (menyusui) pertama itu, buang dulu. Kalau tetek
pertama buang, baru tetek dia (bayinya). Buang sedikit mi.”
41
Pemberian makanan tambahan bagi bayi sebelum usia 6 bulan juga
kerap kali diberikan, meski hanya sedikit. Alasannya adalah sebagai
pengganti ASI karena ibu tidak bisa meneteki. Hal itu dilakukan bila ibu
bekerja, seperti dilakukan Ibu As, “..separuh ada yang dikasih makan 4
bulan, 5 bulan. Tapi sedikit saja untuk membantu air tetek kalau kita kerja
itu..” Hal itu diamini oleh ibu Ch, “...kalau Rr (anak Ibu Ch), biasa kalau kerja
itu saya berikan susu formula..”
3.1.3. Menimbang Bayi dan Balita
Menimbang bayi dan balita dilakukan sebagai suatu langkah untuk
mengetahui status gizi. Dari status gizi, kader posyandu dan tenaga
kesehatan menyarankan apa yang harus dilakukan oleh orangtua.
Kenyataannya tidak semua ibu sadar untuk menimbang bayi dan balita. Oleh
karena itu, strategi yang dilakukan oleh pihak Puskesmas Ogodeide dan
kader posyandu, termasuk di Desa Sambujan adalah men-“jemput
bola.”Sekali dalam satu bulan, para kader di Desa Sambujan mendatangi
keluarga yang memiliki bayi dan balita. Atas seijin kedua orangtua, bayi dan
balita dibawa dan ditimbang. Hasilnya, 75,43% bayi ditimbang (lihat grafik 1),
sisanya tidak ditimbang dengan berbagai alasan.
Grafik 3.2 Status Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ogodeide Tahun 2013
Sumber: Profil Puskesmas Ogodeide Tahun 2013
Cukup membanggakan bagi masyarakat Ogodeide, termasuk Desa
Sambujan, sebagian besar bayi dan balita berstatus gizi baik. Hal itu terbukti
42
dengan kenaikan berat badan bayi. Namun demikian, 16 bayi/balita perlu
mendapat perhatian, dan khususnya 2 (dua) bayi mengalami gizi buruk.
Pemberian makanan tambahan dari puskesesmas telah diberikan untuk
menangani masalah ini.
3.1.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu perilaku hidup bersih
dan sehat. Tindakan ini efektif untuk mencegah penyakit diare dan ISPA. Kedua
penyakit ini penyebab utama kematian anak-anak (Pusdatin Kemenkes,
2014).Berdasarkan hasil pengamatan, anak-anak seringkali tidak mencuci
tangannya saat akan memakan sesuatu. Hal ini terlihat pada saat mereka
memakan makanan ringan atau jajanan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu,
padahal baru saja bermain kelereng atau permainan lainnya. Permainan-
permaian ini tidak jarang mengharuskan mereka kontak dengan tanah.
Menurut beberapa anak saat diwawancarai secara bersamaan, cuci
tangan dengan bersabun dilakukan ketika akan makan atau setelah aktivitas
BAB. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan harus dilakukan agar
tangan tidak berkuman dan tidak kotor. Seperti yang dikatakan oleh Rt, sebagai
berikut, “... mau makan, babikin kue.. dicuci tangannya pakai sabun.. Supaya
ndak berkuman. Iya.. supaya juga tidak kotor..”Mereka juga mengaku kadang-
kadang tidak melakukannya. Mencuci tangan hanya pada saat mau makan saja.
“ ...kadang iya, kadang tidak.. tapi kalau mau makan tetap basabun, bacuci
tangan...”Ketika ditanya alasan tidak mencuci tangan, Ra mengaku sudah
kebiasaan dan juga lupa. “.. enggak, ya begitu sudah.., biasa kalau lupa tidak
(mencuci tangan dengan sabun)...”
3.1.5. Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari
Sebagian besar warga Desa Sambujan, termasuk orang Toli-toli,
bermata pencaharian nelayan, dan berganti menjadi petani cengkeh saat musim
panen cengkeh tiba. Di kedua pekerjaan itu, peran laki-laki sangat tinggi.
Pekerjaan memanen cengkeh memiliki porsi aktivitas fisik cukup besar karena
harus pergi ke kebun, memanjat, memikul dan seterusnya dalam waktu
tertentu. Sementara itu, kaum perempuan lebih pada tugas domestik, mulai
membersihkan rumah, memasak, hingga merawat anak. Secara sini, Pak
Wdh mengatakan:
43
“... perempuan cuma keluyuran ke sana kemari, mana kamu lihat. Tidak bekerja karena mata pencaharian untuk perempuan tidak ada, to. Pagi-pagi ibu memasak, tunggu suami pulang dari kebun, layani suami.”
Namun demikian, kegiatan tersebut akan berubah ketika musim
panen cengkeh tiba. Biasanya, para ibu akan berperan sebagai pencudik
cengkeh dan juga penjemur cengkeh saat musim panen cengkeh tiba.
Mereka juga masih harus bertanggungjawab mengurus rumah.
3.1.6. Perilaku Tidak Merokok di Dalam Rumah
Perilaku sehat berikutnya adalah perilaku tidak merokok. Merokok
disinyalir berakibat pada berbagai penyakit. Harapan yang besar adalah
berhenti merokok, atau setidak-tidaknya tidak merokok di dalam rumah.
Tujuannya adalah mengurangi resiko pada anggota keluarga sebagai perokok
pasif di satu pihak. Di pihak lain, perilaku itu tidak tersossialisasi pada anak-
anak` Berdasarkan hasil pengamatan, hampir seluruh laki-laki yang ada di
Sambujan adalah perokok. Kegiatan merokok tersebut pun tak jarang
dilakukan di dalam rumah dan ketika sedang bersama anak istrinya.
Menurut Pak Wdh, kebiasaan merokok dipengaruhi oleh pekerjaan.
Pekerjaan warga sebagai nelayan menuntut untuk pergi ke laut pada malam
hari. Untuk mengatasi kebosanan selama menunggu ikan dan sekaligus dan
juga untuk menghangatkan badan, mereka merokok. Hal itu dibenarkan oleh
Pak As. Pak As sudah mulai merokok sejak sekitar umur 15 tahun pada saat
mulai bekerja. Alasannya, “..kepengen mencoba begitu, sampai sekarang
kalau udah ada rokok diisap itu... ah... rasa...aih..” Sehari, Pak As bisa
menghabiskan 2 pak rokok. Ia juga pernah mencoba berhenti. Dua bulan
lamanya tidak merokok, tetapi tidak berhasil.“Ada 2 bulan saya berhenti
merokok.. tidak juga (tidak stress). Cuma itu, mulut itu bakunyah-kunyah
(makan) terus. Saya pikir, mi, ah lebih besar ongkosku tidak merokok saya ni.
Daripada saya, anu.. dengan merokok.”
3.1.7. Makan Buah dan Sayur Setiap Hari
Menurut Soekirman (2010), setiap manusia membutuhkan asupan
gizi seimbang untuk perkembangan tubuhnya. Hal itu dikenal dalam slogan
44
4 sehat, 5 sempurna sejak tahun 1955 (Depkes, 2014). Kenyataannya, di
Kec. Ogodeide tidak ada kasus gizi buruk. Ada beberapa sebab. Pertama,
tidak ada perbedaan pola makan antara orang dewasa dan anak-anak.
Makanan yang dikonsumsi adalah nasi dengan lauk ikan. Untuk sayur,
mereka hanya mengkonsumsi saat ada pedagang sayur yang datang dari
kota, begitu pula dengan buah. Salah seorang anak yang sempat
diwawancarai mengaku bahwa tidak makan buah selama berbulan-bulan
pun sudah biasa. “...Jarang, jarang makan buah kami. kalau pergi Palu
lagi, aa.. makan strawberry lagi (tertawa)...”
3.1.8. Menggunakan Air Bersih
Wilayah dusun I Sambujan adalah sebuah pulau kecil yang sulit
untuk mendapat air bersih. Kebutuhan ini sulit dipenuhi dari menggali
sumur. Dahulu, masyarakat pernah menggali sumur dan berhasil
mendapatkan air bersih. Hal itu tidak bertahan lama karena sumur tersebut
terkubur oleh longsoran bukit. Sebagai solusinya, kini penduduk mengambil
air dari pulau utama, atau dari pulau di sebelah, yaitu Desa Pulias. Selain itu,
kurang lebih sepuluh tahun terakhir, air bersih dari sebuah koala (sungai) di
pulau utama dialirkan pada pipa-pipa yang dibangun dengan dana
pemerintah.
Ketika musim kemarau, sumur-sumur baik di dusun I maupun dusun
II, mengalam kekeringan. Kesulitan terbesar pada Dusun Sambujan Pulau
karena karena ada kerusakan di jalur perpipaan yang mengalirkan dari
sumber air di atas bukit ke bak penampung.Satu-satunya cara adalah
mendapat air bersih di Desa Pulias. Masyarakat harus menggunakan perahu
kelotok yang diisi dengan drum dan jirigen. Drum dan jrigen tersebut diisi
dari air sumur Desa Pulias. Air itu digunakan kebutuhan masak dan air
minum selama beberapa hari.Mereka merebus air tersebut untuk diminum.
Untuk mencuci dan mandi, masyarakat mengambil air di sumber yang tidak
terlalu jauh, yaitu di daerah Lok Nongi. Di sumber itu, airnya tidak begitu
banyak dan sedikit berbau.
3.1.9. Menggunakan Jamban Sehat
Jamban menjadi perhatian yang penting dalam PHBS. Jamban
merupakan pembuangan kotoran manusia. Pembuangan kotoran yang
45
sembarang menjadi media pembiakan bakteri, atau kuman penyakit. Pada
gilirannya, melalui udara atau vektor lain, penyakit terpapar pada makanan
dan minuman. Kedua hal ini dikonsumsi oleh manusia. Akibatnya, terjadi
penyakat di mana-mana. Hal seperti ini yang dipikirkan oleh masyarakat
Sambujan takkala membangun jamban di lingkungannya. Hampir seluruh
rumah di Sambujan memiliki jamban. Jambannya berbentuk jamban
ceplungtanpa kloset leher angsa seperti pada gambar
Gambar 3.1. Jamban ceplung milik salah satu masyarakat Sambujan Sumber : dokumentasi peneliti
3.1.10 Memberantas Jentik Nyamuk
Memberantas jentik nyamuk adalah salah satu kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya wabah penyakit demam berdarah,
atau penyakit semacamnya yang dibawa oleh vektor nyamuk. Melalui
pengamatan selama di lapangan, program pemberantasan jentik nyamuk
bertepatan tidak dilakukan. Hal ini dapat dipahami, seperti ibu mantik
misalnya, belum ada tugas khusus yang diberikan oleh kader tertentu.
Sebab, penggunaan bak penampungan air memang jarang sekali terisi air
terisi terus-terusan, seringkali air sudah habis terlebih dahulu dikarenakan
adanya kerusakan pipa air seperti tersebut pada pembahasan sebelumnya.
46
Sedangkan untuk sampah, biasanya langsung dibuang ke laut atau dibakar.
Dan memang, berdasarkan data, kasus penyakit yang disebabkan oleh
nyamuk jarang terjadi.
3.2. KESEHATAN IBU DAN ANAK
3.2.1. AKTIVITAS PUSKESMAS DAN POSYANDU
Sebagaimana telah disebutkan, ada 22 posyandu di bawah naungan
Puskesmas Ogodeide. Setiap bulan posyandu Puskesmas Induk Kecamatan
Ogodeide tercatat membawahi 22 buah posyandu yang tersebar di wilayah
Ogodeide. Pelaksanaan posyandu di seluruh kecamatan Ogodeide
dilaksanakan mulai tanggal 5 hingga tanggal 18 setiap bulannya. Di Desa
Sambujan sendiri terdapat 2 buah posyandu, dan pelaksanaannya diadakan
di Pustu (darat) dan Poskesdes (pulau). Posyandu yang berada di pustu
diadakan setiap bulan pada tanggal 7. Sedangkan kegiatan posyandu di
poskesdes tidak menentu tanggal pelaksanaannya. Menurut bidan desa,
posyandu di pulau tersebut menunggu kegiatan posyandu yang berada di
daerah darat selesai terlebih dahulu. Karena pelaksanaan yang sewaktu-
waktu, bidan desa bekerjasama dengan kader posyandu untuk
mengumumkan pelaksanaan ke seluruh peserta posyandu beberapa hari
sebelumnya dan pada hari-H.
Salah satu metode yang ditempuh adalah dengan memberikan
pengumuman kegiatan posyandu melalui speaker masjid. Pengumuman
tersebut dapat menyebar dari ujung ke ujung pulau karena memang
pemukiman di pulau tersebut terbilang kecil dan speaker terdiri dari dua
buah, satu di masjid dan satunya diujung pulau yang lain. Tak jarang, ibu
kader posyandu masih berkeliling untuk mencari balita yang belum dibawa
ke posyandu. Hal ini sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh bidan
desa, “... yang datang posyandu biasa (tidak banyak, tidak pula sedikit).
Orangnya malas-malas (membawa anak ke posyandu). Kadang, ibu kader
disuruh pergi mencari yang tidak datang..”
47
Gambar 3.2 Ibu-ibu membawa anaknya datang ke Posyandu Sumber: dokumentasi peneliti
Menurut keterangan dari bidan desa, masih ditemukan ibu yang
tidak membawa anaknya ke posyandu karena berbagai macam alasan,
seperti: anaknya baru saja tidur, ibu sedang mengambil air atau sedang
memetik cengkeh pada musim panen cengkeh. Beberapa balita akhirnya ada
yang diantar oleh saudara, nenek atau kakaknya jika mamak-nya tidak bisa
mengantar. Berdasarkan hasil observasi juga ditemui bahwa masih terdapat
balita ataupun bayi yang dibawa oleh kader posyandu dengan dibekali nama
lengkap, umur dan identitas lain yang diperlukan pada secarik kertas saja,
tanpa diantar orangtua.
Pada kegiatan posyandu tersebut, biasanya tenaga kesehatan yang
melayani terdiri dari bidan desa, dan empat orang tenaga kesehatan dari
puskesmas induk yang terdiri dari bidan koordinator dan tiga orang perawat.
Dalam kegiatan posyandu tersebut dilakukan kegiatan timbang badan balita,
pengukuran tinggi badan, pengukuran lingkar kepala, pemberian vaksin dan
imunisasi pada balita.
Setelah melakukan timbang badan, pengukuran tinggi dan lingkar
kepala, para balita mendapatkan PMT (Pemberian Makanan Tambahan).
PMT tersebut berupa kacang hijau yang sebelumnya sudah diolah di salah
satu rumah ibu kader. Bubur kacang hijau itu dibuat dari bahan kacang hijau,
air, santan, dan gula merah. Cara memasaknya adalah sebagai berikut:
48
1. Kacang hijau direbus hingga matang/ lembek dalam air mendidih,
kemudian diangkat
2. Santan kelapa didihkan dan ditambahi dengan gula merah
3. Kacang hijau yang sudah lembek dimasukkan ke dalam rebusan santan,
diaduk agar bercampur
4. Ditunggu hingga mendidih, kemudian diangkat dan ditunggu hingga
dingin
Gambar 3.3. PMT Balita berupa Bubur Kacang Hijau Sumber: dokumentasi peneliti
Agar tidak bosan, terkadang pemberian PMT berupa kacang hijau
diganti dengan biskuit. PMT tersebut diadakan dengan anggaran dana dari
puskesmas. Menurut bidan desa, dana dari puskesmas tersebut sudah cukup
untuk pengadaan PMT. PMT berupa bubur kacang hijau juga dianggap sudah
cukup untuk dijadikan sebagai PMT karena menurutnya, gizi balita di dusun
tersebut sudah bagus, sering mengkonsumsi ikan. Namun, jika memang
anggaran PMT tidak mencukupi, maka bidan desa atau ibu kader akan
menambahkan uang secara sukarela. “Alhamdulillah sih cukup.. tapi kalau
ndak cukup ya... ditambahin. Kalau bukan aku yang nambahin ya bu
kadernya... Gak papa kok, amal dikit..” (Bidan Desa Sambujan).
Meskipun masih ada ibu yang kurang sadar, posyandu di Sambujan
Pulau ini tergolong lancar apabila dilihat dari data jumlah bayi yang
ditimbang dan cakupan imunisasinya. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat mulai sadar akan pentingnya kegiatan posyandu seperti
penimbangan, pemberian vaksin, imunisasi dan lain sebagainya. Salah
49
satunya adalah Ibu Ln, yang mengaku bahwa anaknya yang pada saat ini baru
berusia 1 tahun 4 bulan telah mengikuti kegiatan posyandu secara rutin, dan
pada saat pengambilan data ini, ia hanya tinggal satu kali suntik lagi. Ibu Ln juga
menyadari ada efek samping sementara akibat diberi imunisasi. Anak Ibu Ln
sedang demam dan berak-berak. Menurutnya, hal itu akibat imunisasi dua hari
yang lalu di posyandu, begitu pula Ibu St.. Meski demikian, Ibu St mengaku akan
tetap membawa anaknya untuk mendapatkan suntikan selanjutnya.
3.2.2. Pemeriksaan Ibu Hamil di Puskesmas
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh profil Puskesmas Ogodeide
tahun 2013 diperoleh informasi bahwa target ibu hamil berdasarkan hasil
proyeksi adalah sejumlah 194 orang, sedangkan jumlah riil ibu hamil adalah
sebesar 213 orang. Sedangkan untuk jumlah kunjungan tersebut dapat dilihat
pada diagram dalam grafik 4.1. .
Grafik 3.3Jumlah Kunjungan Ibu Hamil K1 dan K4 Wilayah Kerja Puskesmas
Ogodeide Tahun 2013
Sumber: Profil Puskesmas Ogodeide Tahun 2013
Dengan jumlah sedemikian, pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh ibu
hamil dalam bentuk kunjungan pertama kehamilan (K-1) adalah sejumlah 209
atau sebesar 107 %, sedangkan untuk kunjungan trimester keempat (K-4)
adalah sebesar 186 kunjungan, atau 96 % (Puskesmas Ogodeide, 2013). Besaran
cakupan tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan ibu hamil untuk
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan cukup tinggi. Hal ini sekaligus
Target BumilJumlah Ibu Hamil K1 K4
194
213 209
186
50
menunjukkan bahwa pola memeriksakan kandungan pada bidan kampung
sudah berkurang.
Hanya saja, berdasarkan data sekunder yang didapat data dari
Poskesdes Sambujan, terlihat bahwa masih ada ibu hamil yang tidak
memeriksakan kandungannya sesuai jadwal K1 dan K4. Selain itu, meskipun
mereka sadar bahwa memeriksakan kandungan adalah sesuatu yang penting,
tak jarang ada pula ibu hamil yang tidak memeriksakan kandungan dikarenakan
malas. Salah satunya adalah yang terjadi pada Ibu Ik:
“... Periksa biasa di Poskesdes, cuma jarang periksa, berapa bulan
baru pigi (pergi)lagi. Sebenarnya tiap bulan kan, rutin... Tapi saya
tidak. Males pigi-pigi, kayak pusing saya rasa kalau pigi. Percuma
juga, nggak tahan minum obat... mual-mual.”
Selain ibu Ik, adapula informan lain yang tidak memeriksakan
kehamilannya, yaitu ibu Rn. Pada saat persalinan kedua, Ibu Rn mengaku tidak
pernah memeriksakan kandungannya baik ke Sando maupun ke bidan desa.
Namun saat ditanya mengapa ia tidak memeriksakan kandungan keduanya
secara rutin, ia hanya menjawab tidak tahu kenapa, padahal sebenarnya sudah
tahu bahwa itu penting. Sedangkan untuk kehamilannya yang pertama dan
ketiga, ia memeriksakan kandungan secara rutin kepada bidan nakesh,
termasuk mendapat suntik tetanus (TT).
Gambar 3.4 Pemeriksaan Ibu KEK oleh Bidan Desa
Sumber: Dokumentasi Peneliti
51
Pemeriksaan ibu hamil oleh bidan desa biasa dilakukan pada saat
posyandu. Namun selain itu dapat juga dilakukan secara sendiri-sendiri (ibu
datang pada bidan untuk periksa kehamilan di luar jadwal posyandu). Dalam
kegiatan posyandu, dilaksanakan pemeriksaan ibu hamil berupa pengukuran
LILA (lingkar lengan atas), tensi, timbang berat badan, pemeriksaan posisi
janin, suntik tetanus (TT) serta konsultasi jika ditemukan permasalahan,
seperti ketika ada seorang ibu yang mengalami KEK (Kekurangan Energi
Kronis). Jika ditemukan ibu hamil berisiko, maka pengawasan terhadap ibu
tersebut akan ditingkatkan lagi.
Gambar 3.5 Makanan Tambahan bagi Ibu Hamil Sumber: dokumentasi peneliti
Setelah pemeriksaan selesai, ibu hamil diberikan makanan tambahan
ibu hamil berupa biskuit, masing-masing sebanyak tiga bungkus dan
penambah darah (Fe). Namun, khusus ibu hamil yang mengalami KEK
diberikan biskuit yang lebih banyak, yaitu 6 bungkus biskuit yang harus
dihabiskan dalam waktu seminggu dan juga diberikan susu khusus untuk ibu
hamil sebanyak 1 kardus.
3.2.3. Pola Asuh dan Pola Makan Balita dan Anak
Sebagian besar balita dan anak diasuh oleh ibunya karena mereka
tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Anak kecil biasa diasuh
oleh kakaknya pula, namun hanya jika sang ibu sedang melakukan pekerjaan
rumah yang harus meninggalkan anak, seperti mencuci dan mengambil air di
Pulau Pulias. Anak juga tidak terlepas dari asuhan kakek dan neneknya.
52
Keterlibatan nenek dan kakek itu disebabkan tempat tinggal mereka tidak
jauh dari tempat tinggal balita.
Untuk pola makan, balita dan anak cenderung mengikuti pola makan
orangtua. Tidak ada pembedaan jenis makanan bagi balita dan anak, lauk
pauk, sayur dan lain sebagainya sama seperti yang dimakan oleh orang
dewasa. Namun untuk frekuensi makan dan porsi makan, biasanya orangtua
mengikuti keinginan si anak. Mereka tidak bisa memaksakan anak untuk
makan sekian kali sehari dengan porsi makan sekian banyak. Jika ketika
disuap anak mau makan banyak, maka ia akan diberikan makanan yang
banyak. Namun jika ia tidak mau makan, maka ia tidak akan dipaksa untuk
makan dalam jumlah yang banyak pula. Sedangkan untuk jenis makanan
yang dikonsumsi, seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya,
bahwa makanan pokoknya berupa nasi, dan lauk tersering untuk dikonsumsi
adalah ikan.
Selain pola asuh dan pola makan, temuan lain adalah jenis penyakit
yang paling sering ditemui. Penyakit itu adalah ISPA (infeksi saluran
pernafasan atas). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh salah satu
informan yang menyampaikan bahwa jenis penyakit yang sering didapat
oleh anaknya adalah demam, pilek, keluar ingus, dan sebagainya. Salah
satunya adalah seperti yang sering dialami oleh anak dari Ibu Ln yang
mengaku bahwa anaknya sering sakit panas, baingus (pilek), dan sesak nafas.
Biasanya, apabila anak terkena penyakit ini, keluarga terlebih dahulu
mencarikan obat ke apotek atau warung-warung biasa. Baru kemudian bila
sakitnya tak kunjung sembuh, anak akan diperiksakan ke bidan, dokter di
rumah sakit, atau fasilitas kesehatan lain.
3.3 KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
3.3.1. Menstruasi dan Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Putri
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Sambujan hanyalah sebuah
sekolah dasar (SD). Sekolah itu terletak di pulau. Sementara itu, SMP ada di
desa sebelah dan menurut salah satu informan, letaknya lebih jauh daripada
jarak ke Tolitoli (ibukota kabupaten). Oleh karena itu, sebagian besar anak
Sambujan memilih pergi ke Tolitoli untuk meneruskan ke jenjang SMP. Hal
53
yang sama dilakukan ketika hendak melanjutkan ke jenjang SMA. Sekolah
SMA yang ada berlokasi di ibukota kecamatan Ogodeide. Jaraknya lebih jauh
dari SMP yang ada di Desa, membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dengan
kendaraan darat.
Hal itu bisa patut diduga menjadi salah satu akibat angka putus
sekolah di Desa Sambujan, begitu pula di desa-desa lain dalam satu
kecamatan. Menurut salah satu staff BKKBN Kecamatan Ogodeide, angka
putus sekolah remaja laki-laki usia 7 hingga 15 tahun di kecamatan ini
termasuk tertinggi se-kabupaten Tolitoli. Di Desa Sambujan, sebagaimana
yang diamati selama di lapangan, rata-rata remaja berpendidikan hanya
sampai pada tingkat sekolah dasar (SD). Mereka bersekolah pada usia 7
tahun karena PAUD maupun TK tidak ada di desa tersebut. Mereka baru
belajar membaca dan menulis mulai dari kelas 1 SD. Mereka pun mengakhiri
masa belajarnya setelah tamat SD.
Untuk remaja peremuan, mereka tidak jarang dinikahkan hanya
beberapa tahun setelah tamat SD. Setelah menikah, mereka meninggalkan
desa untuk mengikuti suaminya. Oleh karena itu, remaja perempuan agak
susah ditemukan di desa ini. Salah satunya dialami oleh Ibu At yang mengaku
menikah di usia 15 tahun, dan dinikahi oleh suaminya yang pada saat itu
berusia 25 tahun. Hal itu berbeda dengan remaja laki-laki. Remaja laki-laki
lebih lambat usia menikahnya dibandingkan perempuan, yaitu sekitar 20-30
tahun. Hal ini menurut Pak Sa, kemungkinan dikarenakan mereka (laki-laki)
harus pergi ke laut, sehingga anggapan orang kurang positif, seperti adanya
kekhawatiran nantinya anak istrinya akan diberi makan apa.
Tentang pengetahuan menstruasi, ada dua orang remaja perempuan
yang berhasil diwawancarai adalah It (14 tahun) dan Kel (12 tahun). Mereka
mengaku sudah mengalami menstruasi. It mendapatkan menstruasi
pertamanya pada usia 14 tahun, dan Kel mendapat menstruasi pertamanya
pada usia 12 tahun. Mereka mengaku bahwa di desa ini terdapat kebiasaan
bahwa pada saat anak perempuan mendapat menstruasi pertamanya, darah
kotor yang keluar harus disapukan (diusapkan) ke wajah. Seperti kata It,
”Kalau pendarahan tu kita.. anu tu.. darah kotor, itu disapu ke muka..
(memperagakan gerakan mengusap muka).”
Hal ini menurut orang tua mereka, dilakukan karena dianggap dapat
mencegah jerawat di wajah pada saat sedang menstruasi. Informasi tentang
54
anjuran tersebut juga diperkuat oleh informan lain, Tr (14 tahun). Ia
mengaku bahwa pada saat mendapat menstruasi pertama ia dianjurkan
untuk mengusap darah kotor ke bagian wajah dengan niat tertentu agar
wajah menjadi bersih dan tidak timbul jerawat. Meski dianjurkan, pada
kenyataannya Tr tidak melakukan hal tersebut dengan alasan tidak ingat.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa apabila tidak melakukan ritual ini pun
tidak masalah.
Pada saat menstruasi, biasanya mereka membeli pembalut pabrikan
di kios-kios sekitar rumahnya. Mereka lebih suka menyebut pembalut
dengan sebutan softex. Mereka mengaku bahwa selama mentruasi, mereka
jarang mengganti pembalut. Untuk menutupi kebocoran darah menstruasi
dari pembalut (tembus), mereka memakai sarung. Dengan sarung, berkas
darah menstruasi tidak terlihat oleh orang lain. “..Pas (pada saat)... kita
kalau nggak mau ganti banyak barang (pembalut), kita pakai sarung. Supaya
halangan kita tidak tembus..”
Tentang kesehatan reproduksi, It dan Kel mengaku bahwa mereka
tidak mendapatkan pengetahuan tentang menstruasi pada saat berada di
bangku sekolah (SD). Hal ini berkebalikan dengan informasi yang diberikan
oleh Pak Sa, salah seorang guru di SDN Sambujan I. Menurutnya, pada saat
kelas 6 SD murid-muridnya sudah dikenalkan pada sistem reproduksi
manusia, meskipun hanya pengenalan atau masih permukaan saja.
Pernyataan Pak Sa tersebut didukung oleh Tr, seorang remaja yang pernah
bersekolah di SDN I Sambujan. Sedangkan bagi anak usia 7-11 tahun atau
usia anak yang duduk di bangku kelas 1-5 SD, berdasarkan hasil wawancara
berkelompok, mereka mengaku bahwa mereka belum pernah mendapatkan
pelajaran tentang kesehatan reproduksi, menstruasi, maupun informasi
tentang HIV/AIDS baik dari sekolah maupun dari orangtuanya.
3.3.2. Nilai Ideal tentang Relasi antar Jenis Kelamin dan Perkawinan
Salah satu tempat untuk berinteraksi bagi para remaja biasanya
adalah di depan SDN Sambujan I, dimana di sana terdapat sebuah tanah
kosong yang digunakan sebagai lapangan bermain bulutangkis. Biasanya
pada sore hari, tempat ini ramai oleh tidak hanya anak muda saja, namun
juga beberapa orang dewasa. Hanya saja, remaja perempuan terlihat tidak
55
ikut bermain bulutangkis. Hal ini menurut salah seorang informan, It dan Kel,
terjadi lantaran adanya larangan dari orangtua mereka untuk bermain
bulutangkis. Dipercaya oleh orangtua It dan Kel, bahwa jika perempuan ikut
bermain bulutangkis atau permainan lain yang terdapat gerakan meloncat,
totok (payudara)-nya dapat menjadi besar. Seperti yang dikatakan oleh
keduanya sebagai berikut, “Ehee (tertawa malu-malu)...ndak bisa loncat-
loncat, bikin besar.. (sambil masih tertawa malu-malu dan menunjuk arah
dadanya).” Namun berbeda dengan It dan Kel, Tr (14 th), mengaku bahwa ia
tidak dilarang untuk bermain bulutangkis. Ketika sekolah dulu (ket: pada saat
dibangku SD), ia dan teman-temannya justru disuruh membawa raket untuk
bermain bulutangkis.
Remaja putri di dusun I Sambujan dilarang keluar pada malam hari.
Larangan ini menurut It dan Kel, diberlakukan oleh para orangtua karena
pada saat malam hari banyak remaja putra yang minum minuman keras.
Pernyataan tersebut dibenarkan oleh bidan desa serta seorang perawat yang
ditempatkan di Pustu Dusun II Sambujan. Menurut keduanya, para pemuda
umur belasan sudah banyak yang minum minuman keras. Selama mabuk
dan tidak membuat ulah, para pemuda tidak diberi sanksi oleh masyarakat.
Merek minuman keras yang diminum adalah cap tikus. Kalau tidak
cap tikus, mereka membuat sendiri dengan dicampur obat batuk komix.
Kebiasaan minum telah dilakukan oleh para pemuda dari sejak dulu. Salah
satu alasannya menurut Pak As:
“Ya mungkin gara-gara pergaulanlah, terlalu bebas begitu. Sehingga... karena itu pergaulan kan juga kalau berpengaruh sama kita. Saya sudah rasakan juga. Kita bergabung dengan orang-orang pemabuk, ya... sedikit banyaknya kita jadi ikut... Karena kita, yang kita temui tiap hari itu-itu... Akhirnya sedikit-sedikit kita mau mencoba. Ini rupanya... akhirnya lama-lama ketagihan.”
Tentang hubungan pertemanan antara lawan jenis, It dan Kel
mengaku bahwa tidak ada yang ber-‘pacaran’. Namun, adapula informan
yang mengatakan bahwa sebelum menikah, mereka sempat berpacaran
dengan laki-laki yang kini menjadi suaminya. Para remaja perempuan sudah
banyak yang menikah di usia belasan. Salah satunya adalah seorang
56
informan yang menikah di usia 17 tahun, yaitu Ibu Nm. Menurut Nenek dari
Ibu Nm, tidak ada aturan mutlak usia ideal untuk menikah di Sambujan.
Sebab, usia pernikahan hanya tergantung pada datangnya jodoh saja.
Sehingga, apabila jodoh dari anak perempuan datang di usia 15 tahun, ia pun
akan dinikahkan. Namun jika ada yang ingin menikah di usia 20 tahun pun
tidak apa-apa, asal tidak di usia 30-40 tahun, karena saat usia 50 tahun
sudah menopause.
3.4. Penyakit-Penyakit dalam Masyarakat
3.4.1. Konsepsi Sehat dan Sakit
Setiap masyarakat memiliki pandangan atau konsepsi tentang sehat
dan sakit sendiri begitu juga dengan masyarakat Desa Sambujan. Masyarakat
Sambujan menganggap bahwa sakit adalah ketika seseorang mengalami
sakit seperti demam, diare atau sakit kepala berat. Menurut pandangan
masyarakat Desa Sambujan, seseorang dikatakan sakit berat apabila
mengidap penyakit yang mengeluarkan darah dalam jumlah besar atau tidak
bisa melakukan aktifitas fisik sehari-hari dan hanya terbaring di tempat tidur.
Penyebab penyakit bagi masyarakat Sambujan digolongkan menjadi
dua, yaitu medis dan gaib. Penyakit medis yaitu penyakit yang disebabkan
karena gangguan fungsi organ tubuh atau juga bisa disebabkan karena virus,
bakteri atau sejenisnya. Penyakit medis juga bisa berupa luka. Sementara
itu, penyakit magis adalah penyakit yang disebabkan karena adanya
gangguan roh jahat atau makhluk halus. Penyakit yang disebabkan karena
adanya gangguan roh halus ini biasa disebut dengan keteguran. Keteguran
sendiri berasal dari kata tegur yang artinya disapa oleh makhluk halus atau
roh jahat. Datangnya keteguran ini biasanya saat masyarakat sedang
beraktifitas diluar rumah atau bekerja kemudian di tengah perjalanan tanpa
disadari ada makhluk halus yang menyapa, kemudian ketika sampai dirumah
tiba-tiba orang tersebut sakit kepala berat atau bisa saja demam dan
biasanya tidak bisa disembuhkan dengan obat medis.
Masyarakat mempercayai keberadaan roh tertentu. Roh tersebut
memiliki sifat pengganggu kehidupan manusia. Roh penggangu dipercaya
bisa mendatangkan penyakit bagi umat manusia. Roh itu juga sering
mengganggu ibu hamil. Roh-roh yang dikenal di Desa Sambujan adalah
57
kuntilanak dan juga popok tanah. Keduanya dipercaya bisa mengganggu
manusia, membuat anak-anak dan orang dewasa sakit.
Selain penyebab penyakit, masyarakat Desa Sambujan juga
menghitung derajat kesakitan dan tindakan yang dilakukan. Sakit ringan itu
seperti: flu, batuk dan gatal-gatal. Bila terkena sakit ringan, mereka cukup
membeli obat di warung atau membiarkan saja karena akan sembuh dengan
sendirinya. Mereka pergi ke fasilitas kesehatan bila sakit berat. Bila tidak bisa
disembuhkan, maka mereka menduga bahwa penyakit disebabkan oleh gaib.
3.4.2. Penyakit Menular
a. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai hidung
hingga alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).
Salah satu penyebab ISPA adalah faktor risiko polusi udara seperti asap
rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang sarana transportasi dan
industri, kebakaran hutan dan lain-lain. Penyakit ini merupakan penyakit
yang sering terjadi pada anak-anak, serta merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di Puskesmas yaitu sekitar 40%-60% dan rumah
sakit sekitar 15%-30% (Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari profil dinas
kesehatan Kabupaten Tolitoli tahun 2013, didapatkan informasi bahwa
angka kejadian ISPA di kabupaten ini menempati ranking tertinggi pada
daftar 10 penyakit terbanyak, yaitu sejumlah 29.248 kasus. Sedangkan untuk
wilayah kecamatan Ogodeide, urutan 10 penyakit terbesar dapat dilihat
pada grafik 3.3.
58
Grafik 3.4 Persentase Jumlah 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Ogodeide Tahun 2013 Sumber: Profil Puskesmas Ogodeide tahun 2013
Dari grafik 3.3 terlihat bahwa kasus ISPA masih menempati urutan
teratas pada daftar 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Ogodeide pada
tahun 2013. Begitu pula di Desa Sambujan, ranking tertinggi pada 10
penyakit terbanyak masih dipegang oleh angka kejadian ISPA. Berdasarkan
data yang diperoleh dari daftar kunjungan berobat di Poskesdes (dusun I)
Sambujan diperoleh pula data bahwa sepanjang tahun 2014 didapatkan
sejumlah 48 kejadian ISPA, namun jumlah angka kejadian tersebut masih
menempati urutan kedua yaitu setelah angka kejadian hipotensi.
Untuk tahun 2015, hingga awal bulan Mei ini didapatkan kejadian
ISPA sejumlah 44 kejadian, beda tipis dengan kejadian hipotensi yang
menempati urutan kedua dengan jumlah 40 kejadian. Menurut bidan desa,
kejadian ISPA di dusun I Sambujan tergolong tinggi dikarenakan kondisi
lingkungan berupa udara yang kurang bersih, asap rokok, dan asap hasil
pembakaran. Seperti yang dikatakan oleh bidan desa, sebagai berikut:
“...ISPA, kan ya... menghirup udara-udara yang kotor apa segala macam itu, tinggal... asap rokok, a ini kan. Sembarang asap obat nyamuk, bakar-bakar di desa... he-ehm, kayu bakar apa itu kan... Masih lumayan (banyak) ISPA. Masih ada ISPA...” Hal ini juga sesuai dengan hasil observasi tim peneliti yang
menemukan bahwa kebersihan di sekitar rumah kurang terjaga, banyak
warga yang menggunakan tungku berbahan bakar kayu untuk memasak
0
20
40
60
80
100
59
tanpa saluran udara yang memadai, penggunaan obat nyamuk bakar, dan
juga banyaknya lelaki yang merokok, termasuk pada saat di dalam rumah
bersama anak-anaknya.
Berdasarkan kacamata beberapa informan sendiri, penyakit ISPA
cenderung merujuk pada baingus atau pilek dan batuk serta demam.
Penyakit ini merupakan penyakit yang dianggap biasa bagi mereka, dan
menurut masyarakat disebabkan oleh cuaca yang tidak menentu.
Pengobatan yang diberikan saat terserang ISPA adalah pengobatan sendiri
dengan membeli obat di warung, seperti mixagriph dan paramex. Hal ini
sesuai dengan yang diucapkan oleh ibu Sg, “... sering (terkena batuk dan
pilek). Penyakit, jahatnya itu penyakit hari-hari. Kalau macam cuaca tidak
bagus begini, sedikit... panas, sedikit ada hujan. Iya... (penyebabnya itu).”
b. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Gejala pada balita ditandai dengan batuk atau kesukaran bernapas
seperti cepat napas, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK),
atau gambaran radiologi foto thorax/dada yang menunjukkan infiltrat paru
akut. Penyakit ini merupakan pembunuh utama pada balita di dunia, lebih
banyak dibandingkan dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak
(Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan data dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tolitoli
didapatkan informasi bahwa jumlah kasus pneumonia masih masuk dalam
daftar 10 penyakit terbanyak pada instalansi rawat jalan dan rawat inap RSU
Mokopido (RSU Kabupaten Tolitoli), namun tidak terdapat dalam daftar 10
penyakit terbanyak di Puskesmas Kabupaten Tolitoli. Untuk wilayah
Puskesmas Ogodeide, berdasarkan profil Puskesmas Ogodeide tahun 2013
didapatkan informasi bahwa meskipun kasus ISPA banyak, namun hanya
ditemukan 1 kasus pneumonia.
60
Gambar 3.6 Bayi yang terkena Pneumonia Sumber : dokumentasi peneliti
Di Desa Sambujan sendiri, terdapat 1 kasus pneumonia yang
ditemukan pada seorang bayi berusia 4 bulan. Namun, bayi tersebut
sebenarnya berasal dari luar Sambujan, yang kemudian diasuh oleh salah
satu keluarga yang tidak memiliki anak. Berdasarkan keterangan informan,
Ibu Mr, didapatkan informasi bahwa bayi tersebut adalah bayi kembar yang
orangtuanya sudah meninggal. Salah seorang bayi kembar tersebut
kemudian diambil oleh Ibu Mr, yang merupakan saudara dari orangtua bayi,
untuk dirawat.
Bayi tersebut tampak terdeteksi memiliki gejala pneumonia pada
saat posyandu yang diadakan tanggal 4 Mei 2015. Meskipun belum diperiksa
lebih lanjut di laboratorium, namun cara bernafasnya sudah terlihat susah
dengan kondisi mulut terbuka dan dada masuk ke dalam (seperti berlubang).
Namun, meski terlihat bahwa pernapasan bayi sudah berat dan terlihat
seperti berlubang ketika bernafas, orangtua asuh bayi enggan untuk
membawanya ke rumah sakit dikarenakan biaya. Bayi ini kemudian hanya
dicarikan pengobatan dengan tiup-tiup.
61
c. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu jenis penyakit menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kuman TB,
yaitu Mycobacterium Tuberculosis (Kemenkes RI, 2011). Salah satu kunci
keberhasilan dari pengobatan TB adalah kepatuhan dari penderita
(adherence), oleh karena itu perlu peran aktif dari tenaga kesehatan maupun
keluarga sehingga keberhasilan terapinya dapat dicapai. Salah satu strategi
yang dianjurkan untuk menanggulangi TB pada saat ini adalah strategi DOTS,
yang mana salah satu komponennya adalah pengobatan dengan panduan
OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO) (Depkes RI, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Tolitoli, didapatkan informasi bahwa CNR (case notification rate)
BTA+TB Paru pada tahun 2013 mencapai 167.32 kasus, sementara CNR
seluruh kasus TB Paru Kabupaten Tolitoli mencapai 189.39 kasus. CNR
adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien TB semua tipe yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk pada saat periode
tertentu di suatu wilayah tertentu (Dinkes Kabupaten Tolitoli, 2013).
Sedangkan di wilayah Puskesmas Ogodeide, kasus TB Paru pada
tahun 2013 dapat dilihat pada grafik 3.4 berikut.
Grafik 3.5. Jumlah Penderita TB Paru Wilayah Kerja Puskesmas Ogodeide Tahun 2013
Klinis 92
Suspek 8
Sumber : P2 TB Puskesmas Ogodeide Tahun 2013
62
Berdasarkan data dari profil puskesmas diperoleh informasi bahwa
selama tahun 2013 terdapat 8 kasus positif TB dari sejumlah 92 kasus yang
diperiksa di laboratorium. Untuk desa Sambujan wilayah dusun I, terdapat 1
orang yang diketahui suspek TB sejak kurang lebih 4 tahun lalu.
Penderita bernama Hm, berusia 28 tahun. Pada saat observasi,
penderita TB Paru beristirahat di kamarnya. Menurut masyarakat sekitar
Hm, penyakit tersebut menyerang Hm dikarenakan keturunan, yaitu dari
ayah Hm yang sedang berada di Tarakan. Selain itu, Hm juga dulunya sering
kerja malam sehingga menyebabkan long, mengkonsumsi obat-obatan,
minum-minuman dan kurang tidur. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Sg,
sebagai berikut:
“Tapi kalau ini anu, anaknya ini memang pengaruh minuman. Umur belum sesuai to, sudah minum dia. Akhirnya itu paru-paru di dalam itu hangus. Bawah umur masih usia anak-anak sekali. Itu minum-minuman itu, eh, panas itu kalau macam ter-anu itu, cap tikus itu. A mak, bukan gampang itu.”
Berdasarkan informasi dari bidan desa, Hm sempat meminum obat
TB, namun tidak dituntaskan. Saat ia merasa dirinya sehat, ia berhenti
meminum obat dan kembali bekerja. Menurut Pak Sg, salah seorang
keluarga Hm, Hm tidak dibawa berobat lebih lanjut dikarenakan alasan
ekonomi yang kurang. Selanjutnya, saat penyakitnya kambuh, ia hanya
mengkonsumsi obat dari Tiens dan Paramex. Saat dirasa obat tersebut tidak
mempan, ibunya meminta bidan desa agar dibawakan obat TB untuknya.
Namun sebelum obat datang, keluarga Hm akhirnya memutuskan untuk
membawa Hm ke rumah sakit di kota karena dirasa sudah semakin parah.
Sayangnya, pasien meninggal setelah meminta untuk keluar dari rumah sakit
di hari yang sama.
Dahulu, menurut informasi yang diperoleh dari tenaga kesehatan
maupun salah seorang masyarakat setempat, di Desa Sambujan sempat
terjadi wabah TB. Hal ini sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh
informan, Pak Sn, salah seorang guru di SDN I Sambujan, sebagai berikut:
“...dulu ada banyak penyakit TB, sebelum ada tenaga kesehatan. Yang kena
TB pasti mati, belum ada yang selamat...”
63
Dahulu, menurut keterangan salah seorang warga, penyakit ini
disebut juga dengan penyakit long oleh warga. Menurut Pak Sn,
kemungkinan penyakit long ini dikarenakan pekerjaan warga yang
mengharuskan mereka turun ke laut ketika malam hari. Pada saat itu,
kunjungan oleh tenaga kesehatan masih jarang atau masih belum rutin
dilakukan, minimal tiga bulan sekali. Penyakit ini akhirnya diketahui sebagai
penyakit TB saat ada salah satu warga yang memeriksakan diri ke kota. Sejak
saat itu, akhirnya warga mengenal penyakit long ini sebagai penyakit TB.
Angka TB yang tinggi kemudian dapat dikendalikan, bahkan sudah hampir
tidak ada di Sambujan. Salah satunya adalah karena sudah ditangani oleh
Tim P2TB Puskesmas Ogodeide.
Menurut persepsi masyarakat sendiri, long dipersepsikan sebagai
penyakit yang diakibatkan oleh kebiasaan mandi malam atau kedinginan.
Darisanalah kemudian muncul larangan untuk mandi malam agar tidak
terkena long. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Wdh, sebagai berikut:
“... itu kan, kalau orang bilang long itu kan, kalau saya dengar orang-orang di sini kan, jangan sering mandi malam itu, dingin, bisa keluar darah di hidung. Itu namanya penyakit long. Kalau datang penyakitnya... tidak bisa kerja berat betul.. biasa orang bilang kan, jangan sekali-sekali mandi malam, nak. Kena long kau itu.”
Menurut Pak Sg dan Bu Sg, penyakit long dan TB merupakan
penyakit yang serupa, tapi tak sama. Kedua penyakit itu adalah penyakit
yang bersaudara. Penyakit long disebabkan oleh hawa dingin. Salah satu
sebabnya, ketika melaut di malam hari, nelayan membuka baju karena
merasa panas, sehingga dingin tanpa terasa merasuk.
Perbedaan antara TB dan long menurut keduanya lagi, adalah bahwa
penyakit TB bisa menyerang perempuan maupun laki-laki, sedangkan long
kebanyakan menyerang kaum lelaki saja dikarenakan kaum lelaki sering
turun ke laut di malam hari dan perempuan lebih banyak di rumah.
Disebutkan pula bahwa ciri-ciri TB adalah batuk terus menerus, sesak nafas
atau bahosa, kurus, dan ada yang muntah darah dan adapula yang tidak.
Sedangkan untuk pengobatan baik long maupun TB adalah melalui
pengobatan dokter.
64
e. Sarampah (Campak)dan Puru Api (Cacar)
Secara umum terdapat bias pada penamaan antara campak dan
cacar oleh masyarakat Sambujan, sebab, masyarakat setempat tidak familiar
dengan sebutan campak. Baik campak maupun cacar dianggap sebagai jenis
cacar dengan sebutan yang berbeda, yaitu sarampah untuk jenis cacar yang
bercaknya bisa menghilang (masuk ke dalam tubuh), dan puru api sebagai
cacar yang gelembungnya mengandung nanah. Namun demikian,
berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan, dapat diketahui bahwa sebutan
sarampah diperuntukkan bagi campak, sedangkan puru api diperuntukkan
bagi cacar.
Campak adalah meruapakan penyakit yang ditandai dengan adanya
ruam kulit (skin rash) yang sifatnya maculo-papular dengan demam, disertai
conjungtivitis dan/atau batuk-pilek (Kemenkes RI, 2011). Campak atau yang
disebut dengan sarampah merupakan salah satu penyakit langganan yang
hampir setiap tahunnya masih ditemukan di Kabupaten Tolitoli. Menurut
data sekunder yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tolitoli,
diperoleh informasi bahwa hingga akhir tahun 2013 terdapat sejumlah 48
kasus campak, turun sebesar 43 kasus jika dibandingkan dengan jumlah
kasus pada tahun 2012. Wilayah puskesmas yang menjadi wilayah dengan
jumlah kasus campak tertinggi di tahun 2013 adalah wilayah Puskesmas
Kota, yaitu sebanyak 20 kasus. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas
Ogodeide sendiri hanya terdapat 2 kasus (Dinkes Kabupaten Tolitoli, 2012).
Namun, menurut keterangan dari tenaga kesehatan, Pak Rn, di Desa
Sambujan, khususnya di Sambujan Pulau, sempat pernah terjadi KLB
(Kejadian Luar Biasa) campak. Hal yang sama juga disampaikan oleh
informan lain, Pak Sn, yang merupakan salah satu guru di SDN Sambujan I.
Menurut Pak Sa, pada jaman dahulu cara pengobatan untuk penyakit ini
adalah dengan menggunakan sagu yang dibalutkan di badan, ditaburi
dengan bedak, atau dengan meminum air kelapa. Menurutnya, mungkin
pembalutan badan dengan sagu, penaburan bedak atau meminum air kelapa
dipercaya dapat mempercepat kesembuhan oleh orang dahulu.
Menurutnya, pada saat itu, ada banyak korban cacar, bahkan hingga
meninggal.
Kejadian KLB campak ini menurut Pak Rn, selaku tenaga perawat di
desa, terjadi karena banyak orang yang tidak mendapat imunisasi campak,
65
sehingga ketika ada penderita campak dari luar yang masuk ke desa, warga
langsung tertular. Sedangkan korban bisa sampai meninggal dikarenakan
pada waktu itu petugas baru datang ke pulau minimal 3 bulan sekali.
Menurut keterangan warga lain, Ibu Sg, ciri-ciri cacar, adalah demam
tinggi, kemudian muncul bercak-bercak merah. Menurutnya, cacar sendiri
diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu sarampah dan puru api. Sarampah
adalah cacar berupa bercak-bercak merah di seluruh tubuh, sedangkan puru
api adalah cacar yang bernanah dengan besar seperti biji jagung.
“..he.. ciri-ciri cacar.. demam tinggi dulu, panas. Panas tinggi, kemudian keluar bercak-bercak merah di badan. Iya, cacar... satu badan itu bu. Itu bu, sarampah tu. Ya.. orang di sini... A... kalau itu yang sudah, keluar-keluar nanah itu Cuma kaya anu biji-biji jagung sudah, itu, orang bilang di sini puru api.. ndak tau saya (klasifikasi cacar), mungkin semua sebutannya saja, cacar. Kalau cacar air, dia berair...”
Menurut masyarakat desa setempat, penderta cacar ini memiliki
pantangan. Pertama, tidak boleh terkena angin. Bila terkena, bercak-bercak
itu dipercaya masuk ke dalam kulit dan bisa menyebabkan kematian. Kedua,
tidak boleh makan rica atau cabai. Rica dianggap rica bersifat panas,
sehingga luka bisa terasa sakit. Ketiga, tidak boleh makan gula merah. Bila
mengkonsumsi rasa sakitnya menjadi mamucu, yaitu terasa ada yang tiba-
tiba menggigit dan menyebabkan kesakitan. Pengobatan, menurut
keterangan Ibu Sg lagi, adalah dengan bantuan dukun kampung melalui tiup-
tiup. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
“Kalau pengobatan kita di sini, kalau kakek itu yang disana.. suaminya nenek, hh.. kalau-kalau bisa tidak mau keluar atau sudah habis keluar baru bilang dia tiupkan air kelapa. baru dia suruh minum. keluar ulang, muncul ulang nanti di permukaan. eh.. baru pantangannya itu banyak, dia bilang, jangan makan rica dulu, jangan makan gula merah. ndak tau apa semua, dia punya pantangan itu sebelum sembuh.”
66
3.4.3. PENYAKIT TIDAK MENULAR
a. Hipotensi
Jumlah kejadian hipotensi di Kabupaten Tolitoli selama tahun 2013
adalah sejumlah 3.452 kasus, dan dengan jumlah kasus tersebut, ia berhasil
menduduki ranking ke 8 dalam daftar 10 penyakit terbanyak. Di Puskesmas
Ogodeide, tidak didapatkan informasi tentang hipotensi karena penyakit itu
tidak termasuk 10 besar. Namun demikian, untuk angka kejadian hipotensi
di Sambujan Pulau sendiri berdasarkan data kunjungan Poskesdes tahun
2014 dan 2015 didapatkan informasi bahwa angka kejadiannya cukup tinggi,
dimana ia berkejar-kejaran dengan angka kejadian ISPA untuk menduduki
ranking pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak. Data tersebut
didukung oleh pernyataan bidan desa, sebagai berikut:
“Hipotensi... itu lumayan banyak juga itu, karena kurang tidur. Kalau pemetikan itu banyak sekali tuh, diagnosa itu, karena tidur. Sampai tengah malam itu dia itu kan petik ini, dia ambil dari pohon dia petik ulang di rumah lagi. Jadi kayak.. harus dipisahkan dengan... tangkainya itu yang kecil-kecil. Heehm... kurang tidur, kurang istirahat...”
Menurut bidan desa, angka hipotensi yang tinggi karena warga biasa
begadang, sehingga kurang tidur. Angka hipotensi tinggi ini terjadi terutama
pada saat musim panen cengkeh tiba. Ketika musim panen cengkeh,
biasanya para lelaki pergi ke kebun pada siang hari hingga siang hari untuk
memetik cengkeh. Kemudian setelah pulang, biasanya pada sore hari hingga
malam hari mereka dan juga istri serta anaknya bacudik cengkeh hasil
petikan, yaitu memisahkan cengkeh dari tangkainya. Kegiatan bacudik
cengkeh ini biasa dilakukan hingga cengkeh yang dipetik habis, sehingga
apabila hasil panen banyak, mereka biasa terbangun hingga larut malam. Hal
ini sesuai dengan yang disampaikan oleh salah seorang warga, Ibu Sg, yaitu
adalah sebagai berikut, “.. biasa kurang tidur kita itu bu, capek, kurang
tidur... kurang nafsu makan. Jadinya kurang darah.”
Berdasarkan pandangan warga, hipotensi merupakan penyakit yang
ditandai dengan adanya rasa berkunang-kunang. Penyakit ini pun dianggap
biasa dan gampang diobatinya. Seperti yang disampaikan oleh Pak Sg,
sebagai berikut, “Kalau kurang darah gampang saja, orangkan kalau
67
perasaan bakunang-kunang, ditensi, katanya cuma sekian darahnya, dia beli
susu kaleng putih, sudah, minum satu, ndak pake gula... iya (nggak pake
gula), pakai air. he? ini.. pak mantri (yang menyuruh).”
b. Gangguan Jiwa
Kasus gangguan jiwa di Sambujan hanya ditemukan pada seorang
lelaki yang masih berusia dua puluh tahunan, yaitu K. Menurut beberapa
informan, gangguan jiwa tersebut terjadi akibat ia terlalu dini mengkonsumsi
minum-minuman keras dan obat-obatan. Usaha pengobatan bagi K sudah
diberikan dengan mencari pengobatan di Tarakan, namun K masih tak
kunjung sembuh sehingga di bawa pulang, dan untuk saat ini hanya dirawat
di rumah saja.
68
BAB 4
PERAN SANDO DALAM PENJAGA TRADISI KESEHATAN IBU DAN ANAK
4.1. SANDO SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN TRADISIONAL
Setiap masyarakat memandang kehamilan dan kelahiran sebagai
satu tahapan dari lingkaran kehidupan manusia (life cycle). Oleh budayanya,
setiap tahapan itu dinilai mengandung resiko. Oleh karena itu, masyarakat
kemudian mengadakan upacara (rites of passages) agar individu tersebut
dapat melampui tahapan tersebut. Selain itu, mereka mempunyai pantangan
dan keharusan selama masa transisi tersebut. Pantangan adalah tindakan
atau apapun yang dilarang dilakukan selama masa tersebut. Hal itu berbeda
dengan keharusan, yaitu tindakan yang harus dilakukan. Di Sambujan,
pengetahuan tentang hal-hal tersebut lebih banyak diketahui oleh Sando.
Meskipun dalam penerapan, hal-hal tersebut sering dilanggar oleh
masyarakat setempat.
Hal tersebut yang terjadi pada masyarakat desa Sambujan. Menurut
Sando, ia juga tidak memberikan banyak pantangan atau larangan tertentu
terhadap suatu makanan bagi ibu hamil. Menurutnya, dilarang, ibu hamil
sudah biasa tetap melanggar dan itu dibiarkannya. Meskipun demikian,
menurut Sando, setiap pantangan itu memliki alasan mengapa tidak boleh
dilakukang. Demikian pula, setiap anjuran juga mempunyai alasan mengapa
hal tersebut dilakukan.
Tabel 4.1. Pantangan selama Hamil dan Melahirkan
No Pengetahuan Lokal
Bentuk/Sifat Penjelasan Lokal
Akibat Waktu
A. Makanan
1. Ikan Cangkalang
Warna kulit ikan biru
Mengganggu bayi yang dikandung
Bayi berwarna biru (baungu). Baungu
Selama kehamilan
69
menyebabkan sakit dan kematian
2. Nangka Kotor dan Bergetah
Mengganggu bayi yang dikandung
Kulit bayi kotor dan bergetah
3. Jantung pisang
Tertutup oleh kulit berwarna merah
Seperti kondisi Bayi dalam kandungan
Susah melahirkan
B. Minuman
1. Es Dingin Bayi Menjadi Besar
Susah melahirkan
Selama kehamilan Dingin. Bisa
Mengkerutkan
Jalan lahir berkerut
C. Perilaku
1. Keluar rumah malam hari
Malam hari kuntilanak dan popok setan berkeliaran
Mengambil nyawa bayi
Ibu hamil meninggal pada saat melahirkan
Selama kehamilan
2. Membunuh/ melukai hewan (suami)
Berpengaruh pada bayi yang dikandung
Membunuh atau melukai bayi
Bayi meninggal atau cacat.
3. Menjaga tutur kata
Tutur kata adalah niat
Terjadi pada bayi yang dikandung
Kondisi bayi sama dengan yang diucapkan
4. Mencuci piring tidak bersih
Tindakan membersihkan
Membersihkan kandungan
Kulit bayi tidak bersih
5. Duduk di depan pintu
Menghalangi. Pintu dianalogikan pd mulut rahim & vagina
Menghambat bayi yang keluar dari kandungan
Susah melahirkan
Kehamilan 5 bulan ke atas
70
6. Menjahit (Bajahit)
Mengikat satu bagian dengan bagian lain
Mengikat mulut rahim & vagina
Kehamilan 8 s/d 9 bulan 7. Mengikat
(Baikat)
Ketika diketahui hamil, Sando dan orangtua/mertua memberikan
beberapa hal yang dilarang selama kehamilan. Di dalam kearifan lokalnya,
apa yang dilakukan selama masa kehamilan, baik oleh calon ibu atau ayah,
akan berakibat pada bayinya. Oleh karena itu, selama kehamilan harus
berpantang. Contohnya adalah tidak boleh minum es karena akan
mengkerutkan jalan bayi (mulut rahim dan liang vagina). Larangan lain
adalah tidak boleh bajahit dan baikat. Tindakan itu seperti menjahit mulut
rahim dan vagina. Kapan tidak boleh dilakukan pun diberitahukan oleh Sando
(lihat tabel 4.1). Kalau baikat atau bajahit, tindakannya adalah “...dilepas
cepat-cepat, agar melahirkan juga cepat. Yang penting mengingat apa yang
diikat. Kalau masih muda perut tidak apa-apa...” Larangan lain yang penting
adalah keluar pada waktu malam hari. Ibu hamil bisa mengalami kateguran.
“... biasa keteguran, kan banyak di sini... Banyak juga yang meninggal karena kuntilanak, kan suka orang hamil. Ada yang meninggal, kalau ada orang hamil dia (kuntilanak) masuk, mencari orang hamilnya, memang mau merusak, biasa mengganggu..”
Keyakinan terhadap larangan ini semakin kuat karena pengalaman dalam
keseharian, seperti dikatakan Ibu As.
“... sering terjadi, ada temanku, tombak mata kepiting bapaknya (suaminya) pada waktu hamil muda istrinya, eh terjadi betul itu waktu melahirkan, mata anaknya seperti melihat ke atas kayak mata kepiting ditombak, melotot begitu..apa itu namanya, mata tinggi.. Dilarang betul oleh dukun bebunuh hewan..”
Selain pantangan, Sando juga menyampaikan anjuran apa yang harus
dilakukan oleh calon ibu atau ayahnya. Hal itu penting disampaikan agar bayi
dan ibu selamat dan sehat pada saat melahirkan kelak. Ada beberapa
anjuran yang lazim juga di daerah lain, seperti meminum air kelapa dan
minyak kelapa. Ada pula yang khas dalam masyarakat Tolitoli (lihat tabel
4.2.)
71
Tabel 4.2. Anjuran selama Hamil dan Melahirkan
No Pengetahuan Lokal
Bentuk/Sifat Penjelasan Lokal
Akibat Waktu
A. Minuman
1. Air Kelapa Air bersih Membersihkan bayi
Bayi bersih saat dilahirkan
Kehamilan 8 s/d 9 bulan
2. Minyak kampong (kelapa)
Sifat licin Minyak melicinkan jalan lahir. Diminum 1 sendok/hari
Memudahkan kelahiran
Kehamilan 9 bulan
B. Perilaku
1. Memakai jimat ariano
Batang Ariano diyakini mengusir roh jahat.
Mengusir kuntilanak dan popok tanah
Terhindar dari kateguran. Ibu dan bayi selamat
Selama kehamilan
2. Loncat pintu pakai sarung
Melewati pintu dengan cepat
Dengan niat, terjadi pada saat melahirkan
Mempercepat kelahiran
Pagi hari selama kehamilan
3. Membalik sarung dari bawah ke atas secara cepat
Melakukan gerak dengan cepat
Bersamaan dengan keluar pintu selama kehamilan
4. Menyembur air di pagi hari
Mempercepat air keluar
Harapan dodomi (ari-ari) keluar cepat.
Pagi hari selama kehamilan
Anjuran baik makanan/minuman atau perilaku ini dibangun atas
dasar analogi. Selain menjelaskan dengan analogi itu, Sando tetap juga
72
mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan dengan niat. Ada beberapa
anjuran seperti tabel 4.2. Adapun alasan antara lain sebagaimana
disampaikan Ibu As.
“..pokoknya kita (kamu) kalau pagi, pakai sarung saja to, baru sarung dikasih cepat begini (melompat), keluar dari pintu, baca niat: Bagaimanapun cepatnya saya keluar, begitu cepatnya anak-anak..” (loncat pintu di pagi hari) “... kalau keluar dari pintu pakai sarung, langsung dibalik ke atas satu kali sarung itu (memperagakan gerakan mengangkat sarung dari bawah ke atas dengan cepat) baca niat: begitu cepatnya saya babalik sarung, begitu cepatnya anakku dengan dodomi (plasenta)-nya..” (membuka sarung di pagi hari)
“... kalau bangun tidur ambil air, kau simpan di mulutmu, baru, dia bilang langsung sembur satu kali di jendela, baru bilang: bagaimana cepatnya air keluar, begitu cepatnya keluar anakku dengan dodomi (plasenta)-nya..” (sembur air di pagi hari)
4.2. SANDO SEBAGAI PENOLONG KELAHIRAN TRADISIONAL
4.2.1. Perawatan pada Masa Kehamilan
Suku Tolitoli di Sambujan masih melakukan dua buah tradisi pada
saat kehamilan, yaitu tradisi mogellut dan baurut perut. Meskipun demikian,
tradisi ini tidak mutlak diadakan oleh setiap ibu yang sedang hamil. Hal ini
tergantung pada kondisi ekonomi masing-masing keluarga. Apabila keluarga
merasa mampu, tradisi tersebut akan dilakukan, dan apabila tidak
melakukan pun tidak apa-apa. Selain itu, menurut Nenek Jr, Sando di desa
sebelah, diadakannya tradisi ini oleh sebuah keluarga tergantung pada
riwayat tradisi keluarga itu sendiri. Apabila dahulu orang tua dari yang
sedang mengandung mengadakan tradisi ini, maka ibu yang sedang
mengandungpun akan mengadakan tradisi yang sama, begitu sebaliknya.
a. Tradisi Mogellut (Pegang Perut)
Tradisi Mogellut atau Saula adalah tradisi yang diadakan pada saat
kandungan memasuki usia tujuh bulan ke atas (7, 8 atau 9 bulan). Namun,
kebanyakan orang memilih untuk mengadakannya pada usia kandungan 7
73
bulan. Ada pula yang mengenalnya sebagai tradisi pegang perut atau bangun
perut. Perbedaan bahasa tersebut disebabkan oleh bahasa keseharian
informan yang tak lagi menggunakan bahasa Tolitoli, atau dikarenakan
informan hanya mengerti artinya saja, namun tidak tahu nama sebutan
untuk tradisi tersebut. Sedangkan untuk tradisi tiga bulanan atau tradisi di
bawah usia kandungan 7 bulan tidak ada.
Menurut salah seorang informan, tradisi ini lebih baik diadakan di
pagi hari, seperti berdasarkan anjuran orangtuanya. Kebanyakan,
diadakannya pada pukul tujuh pagi, tapi bisa pula diadakan pukul sembilan.
Pihak yang datang atau diundang dalam tradisi ini adalah keluarga dan
tetangga terdekat (satu kampung), namun jika dirasa berkecukupan, bisa
pula mengundang tetangga-tetangga jauh (beda kampung). Orang yang
datang, biasanya memberikan amplop sejumlah uang, kemudian memegang
minyak kampung yang akan dioleskan ke perut ibu hamil.
Tidak ada kue atau makanan khusus yang harus dibuat dalam tradisi
ini, dan kue boleh dibuat sendiri ataupun beli yang sudah jadi. Menurut
informan, biasanya tradisi ini hanya dilakukan pada kehamilan anak yang
pertama, karena biasanya proses persalinan pada kali pertama dirasa sulit,
sehingga perlu diadakan sebagai salah satu syarat untuk mempermudah
persalinan. Sedangkan kehamilan yang kedua dan seterusnya boleh tidak
dilakukan. Namun, bila ada rejeki lebih, boleh juga dilakukan. Dengan kata
lain, pengadaan acara tersebut tergantung pada kemampuan ekonomi
masing-masing keluarga.
Disebutkan pula oleh informan lain, Ibu Rn, bahwa pada saat
mengadakan acara ini, ia selaku ibu hamil diminta untuk berbaring di atas 7
lapis sarung yang sudah ditaruh di atas kasur. Setelah itu akan datang 7
orang untuk mengambil minyak kampung (minyak kelapa) kemudian
memegang perut ibu hamil dan mengoleskan minyak, serta menggoyang-
goyang perut ibu hamil sebentar. Tujuh orang ini merupakan orang yang
dituakan, seperti mamak, tante, nenek, dan sebagainya. Setelah itu sarung
diikat, ditarik, dan dibawa turun ke tanah atau lantai dengan cepat dengan
mengucapkan niat sebagai syarat: “..bagaimana saya batarik sarung itu,
begitu pula cepatnya lahirnya anak...”
Artinya, penarikan sarung yang dilakukan dengan cepat disertai niat
itu merupakan sebuah do’a atau permintaan agar nantinya bayi dapat cepat
74
keluar pada saat melahirkan. Runtutan proses ini sesuai dengan yang
disampaikan oleh informan, Ibu Rn, yaitu sebagai berikut:
“... kalau kita kan orang hamil, disuruh baring. Baring di kamar... Tapi sarungnya disusun dulu tujuh. Tujuh dulu disusun, sarung batik. Disusun, baru kita tidur di atasnya. Baru datang tujuh.. tujuh orang tua. Biasa orangtua dari kita, mamak kah, tante, atau apa... Datang, dia bapegang. Bapegang, batarik juga sarung... Dia goyang-goyang dulu itu perut, baru ditarik, dibawa turun... turun ke tanah...”
Adapula informan yang mengatakan bahwa pada saat melaksanakan
tradisi ini, setelah perut dipegang dan digoyang oleh tujuh orang, akan ada
orang pintar yang memukulkan bunga kelapa ke atas perut ibu hamil, yang
mana dari sana akan dapat dilihat apakah nantinya yang lahir adalah anak
laki-laki atau perempuan. Setelah selesai, bunga kelapa akan digantung di
depan rumah hingga sang ibu melahirkan. Seperti yang dikatakan oleh
informan, Ibu Ik, sebagai berikut:
“... kalau biasa orang pintar, dia tentukan sudah.. o.. laki-laki.. o..perempuan.. kan biasa bajatuh-jatuh, kalau jatuh laki-laki, kalau tidak jatuh perempuan...Kemudian bunga digantung di depan rumah sampai melahirkan, habis itu dibuang...”
Menurut informan yang lain, pada acara mogelut ini ada pula yang
memakai tradisi babarasanji. Babarasanji adalah tradisi berupa pembacaan
ayat Al-Qur’an oleh tujuh orang yang dianggap mahir ber-babarasanji.
Babarasanji biasa disebut juga sebagai tradisi berjanjen atau berjanji di
daerah Jawa. Jika mogelut dilakukan pada pagi hari, berbeda dengan
babarasanji. Biasanya, babarasanji dilakukan pada siang hari setelah
mogelut selesai.
Perbedaan urutan pelaksanaan antara informan yang satu dengan
yang lainnya kemungkinan dikarenakan sudah memudarnya tradisi ini.
Urutan acara dilakukan sesuai dengan yang biasa dilakukan oleh orang yang
memimpin acara saja. Jika yang memimpin Sando, maka kemungkinan akan
disesuaikan dengan budaya Sando atau seperti yang biasa dilakukan oleh
Sando. Apabila yang memimpin adalah pihak keluarga yang dituakan, seperti
nenek, maka urutan akan disesuaikan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh
nenek tersebut.
75
b. Tradisi Baurut Perut (Pijat Perut)
Tradisi pijat perut ibu hamil disebut juga dengan baurut. Di
Sambujan sendiri, ibu hamil biasa meminta baurut kepada Sando. Tradisi
baurut tersebut biasa dilakukan ibu hamil saat usia kandungannya sudah
mencapai 7 bulan ke atas.
“7 bulan, biasa 8 bulan, sampek 9 bulan itu, tapi tidak tiap hari. Nanti kita, biasa kan kalau kita kerja keras to, agak kesakitan sudah dirasa itu biasa itu, kesana lagi... kalau sudah 8 bulan. dibilang kan o tak anu terjepit di sini, bayi kan, biasa sakit di sini, biasa dia kaseh anu lagi.. kayak dikaseh baik begitu dia perutnya (diputar), he-ehm.. dibetulkan itu bayi tempatnya di dalam kan.”
Jika usia kandungan masih muda, 5 bulan misalnya, Sando tidak mau
memegang (memijat kandungan ibu hamil). Jika baurut dilakukan pada usia
kandungan tersebut, dikhawatirkan bayinya akan menjadi cacat. Sedangkan
menurut informan lain, jika baurut dilakukan pada usia muda, janin di dalam
kandungan bisa menjadi lembek, hingga akhirnya menghilang. Baurut
dilakukan oleh ibu hamil karena dipercaya dapat mengembalikan posisi bayi
yang melintang, atau tidak pada tempat yang seharusnya, dan juga agar
badan ibu hamil terasa enak kembali.
Cara mengurut seperti yang disampaikan oleh Tante X, salah satu
Sanro yang biasa mengurut perut, adalah pertama-tama meminta ibu untuk
berbaring dengan posisi kaki ditekuk ke atas. Bagian perut ibu yang akan
diurut kemudian dioleh minyak kampung (minyak kelapa). Ia kemudian akan
melakukan gerakan mengangkat sedikit bagian perut kanan dan kiri,
bergantian. Selanjutnya perut akan dibuat gerakan seperti memutar perut
bergantian kiri dan kanan, dan posisi bayi dijaga agar tetap berpelaka
(tengkurap) dengan posisi kepala bayi berada di bagian bawah. Posisi bayi
akan dibenarkan dengan mengangkat sedikit bagian bawah perut tersebut
agar supaya bayi ketika lahir bisa langsung keluar. Kemudian terakhir,
gerakan memutar perut kiri-kanan akan diulang kembali satu kali.
c. Tiup-Tiup Keselamatan Ibu Hamil
Pada saat ibu masih hamil, tidak terdapat banyak pengobatan tiup-
tiup yang diberikan. Adapun pemberian tiup-tiup hanya ketika perut ibu
76
terasa tidak enak. Namun, di dalam masyarakat Sambujan terdapat suatu
kepercayaan bahwa ibu hamil rentan terhadap gangguan roh-roh halus.
Dalam hal inilah kemudian Sando berfungsi sebagai penjaga ibu hamil dalam
hal gangguan-gangguan tersebut, baik membuatkan jimat, maupun
‘mengusir’ apabila ibu diganggu.
4.2.2 Menolong Persalinan
a. Belajar Membantu Kelahiran dari Sando Pendahulu
Sando yang merupakan sebutan bagi bidan kampung masih memiliki
peran yang cukup besar dalam sebuah prosesi kelahiran di Sambujan, baik
itu dalam menolong persalinan ibu hamil secara langsung, bekerjasama
dengan bidan, maupun berupa perawatan ibu melahirkan beserta bayinya
pasca proses persalinan. Perawatan ibu melahirkan yang diberikan oleh
Sando biasanya adalah berupa urut selama 3 hari berturut-turut,
memandikan ibu dengan air rebusan 7 daun yang ditiup, mempersiapkan
prosesi dipupu atau diasap, dan membuatkan bedak dingin untuk dibalurkan
pada ibu. Sedangkan perawatan pada bayi yang diberikan adalah berupa
memandikan bayi hingga tali pusat bayi lepas. Sando yang merupakan bidan
kampung ini pun bisa melakukan tiup-tiup, namun hanya pada saat ibu yang
ditanganinya sulit melahirkan dan saat bayi yang dilahirkannya mengalami
masalah, seperti pendarahan tali pusat.
Tak ketinggalan, peran Sando yang lain adalah sebagai pemimpin
atau sebagai pengatur dalam acara yang berhubungan dengan tradisi ibu
hamil dan upacara untuk anak, seperti misalnya saat diadakannya tradisi
mogelut (pegang perut), monggulangan (naik ayun), turun tanah, i kenpi
atau sunat pada perempuan dan terkadang berperan pula pada saat acara
bagunting rambut meskipun untuk tradisi yang terkahir ini biasanya yang
lebih berperan adalah tokoh agama.
Di dusun I Sambujan (Sambujan pulau) sudah pernah terdapat dua
Sando sebelum Sando yang sekarang. Namun, sejak Sando kedua meninggal,
di dusun ini tidak lagi ada Sando hingga kemudian 2 tahun yang lalu tepatnya
tahun 2013 Sando yang sekarang pindah ke dusun ini. Menurut keterangan
dari Sandoyang sekarang, yaitu Nenek Mt, ia baru mulai membantu
persalinan di Sambujan semenjak pindah ke dusun ini.
77
Pada awalnya, Nenek Mt sebenarnya bukanlah Sando. Pada waktu
itu, Nenek Mt menolong persalinan seorang ibu hamil untuk pertama kali
karena ada pihak keluarga yang datang meminta pertolongan kepadanya
untuk membantu persalinan. Karena ada seseorang yang meminta bantuan,
dan karena pada waktu itu akses transportasi masih belum baik serta belum
ada tenaga kesehatan yang menetap, maka akhirnya Nenek Mt membantu
persalinan ibu hamil tersebut. Selanjutnya, ketika ada orang yang meminta
bantuan kepadanya untuk membantu persalinan, Nenek Mt akan bersedia
membantu, dan hal ini masih dilakukannya hingga sekarang.
Nenek Mt mengaku tidak pernah belajar tentang bagaimana
membantu proses persalinan. Kenyataannya, ia pernah tinggal dengan
kakaknya di Labuan Lobo, yaitu Nenek Jr (ket: desa lain di Kecamatan
Ogodeide). Kakak dari Sando ini, ternyata juga merupakan seorang Sando,
begitu pula dengan seorang kakaknya yang lain. Namun, berbeda dengan
Nenek Mt, dua orang kakaknya merupakan bidan kampung terlatih yang
sudah pernah mendapatkan pelatihan.
b. Tradisi Untuk Ibu Melahirkan
Proses pengeluaran dodomi atau plasenta bayi oleh Sando adalah
hanya dengan cara ditunggu saja. Selanjutnya, tali pusat akan dipotong
menggunakan gunting oleh Sando. Hal ini berbeda dengan jaman dahulu,
menurut Ibu Slk maupun Nenek Jr, Sando desa sebelah, alat yang digunakan
untuk memotong tali pusat dari dodomi pada jaman dahulu adalah sembilu,
yaitu bambu yang diruncingkan.
Selanjutnya, dodomi yang selesai keluar akan dirawat oleh Sando
dengan cara dicuci, kemudian ditaruh di suatu wadah, bisa berupa kaleng
atau wadah lain. Wadah berisi dodomi itu kemudian akan ditanam di depan
rumah atau di kebun, dan diatasnya akan ditaruh kelapa yang muncul
tunasnya. Penaruhan tunas kelapa tersebut berfungsi sebagai penanda
bahwa di bawah tanah yang di tempati tunas kelapa tersebut merupakan
tempat penanaman dodomi bayi. Tunas kelapa ini biasa dibiarkan tumbuh
hingga dewasa, namun tidak terdapat larangan untuk menebangnya. Di atas
tunas kelapa tersebut juga diberikan semacam peneduh dan juga sebuah
pelita atau semacam lampu minyak. Terdapat pula kepercayaan bahwa
dodomi merupakan kakak dari bayi yang dilahirkan tersebut, karena sebelum
terbentuk janin, plasenta terbentuk lebih dahulu.
78
c. “Papalomo:” Tiup Memperlancar Proses Kelahiran
Ada kalanya Sando akan dimintai bantuan apabila proses melahirkan
dari ibu hamil dirasa sulit. Pak Ks sendiri juga memiliki do’a khusus untuk
ditiupkan pada Ibu yang proses melahirkannya dirasa sulit. Kondisi sulit pada
saat melahirkan ini dalam bahasa Bugis disebut sebagai Papalomo. Tata cara
melalukan pengobatan tiup-tiup adalah dengan membaca bacaan yang
bersumber dari buku kumpulan bacaan tiup-tiup milik Pak Ks, sebagai
berikut: “... runtu kenuku Allah pepalomona lataAllah Lailahaillallah.”
Kemudian perut ibu harus disapu atau diusap oleh Sando, dan
usapan tidak bisa dilakukan dengan media air ataupun diminum. Berbeda
dengan tiup-tiup untuk memperlancar kelahiran yang sulit, untuk
pencegahan terjadinya kesulitan saat melahirkan dapat digunakan obat
kampung berupa air yang sudah ditiup-tiup. Seperti misalnya yang diminum
Ibu Rn saat menjelang melahirkan. Ia mengaku diberikan air minum yang
sudah dido’akan oleh orang yang dianggap ‘tahu’, yaitu Neneknya sendiri.
Air putih yang sudah ditiup-tiup tersebut kemudian masih diminumnya
setelah selesai melahirkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk menghilangkan rasa sakit setelah melahirkan, bersumber dari
kumpulan ‘bacaan’ tiup-tiup Pak Ks, ia memiliki bacaan tersendiri, yaitu
sebagai berikut: ”...Puntiana raja kuning, raja itam, raja puti.”Bacaan
tersebut seperti biasa, dibaca setelah mengucapkan kalimat tobat, syahadat
dan basmallah. Kemudian dapat ditiupkan secara langsung, atau melalui
media air.
Gambar 4.1 Pohon Daun Balacai Merah
Sumber : dokumentasi peneliti
79
d. Pemberian Makanan untuk Ibu Bersalin
Biasanya, ibu yang baru selesai melahirkan diberikan minuman dari
bahan madu dan telur ayam kampung oleh Sando ataupun keluarga yang
melahirkan. Minuman ini dibuat dengan mencampurkan setengah cangkir
madu dan satu butir telur ayam kampung. Campuran bahan tersebut
dipercaya dapat memulihkan tenaga ibu yang baru saja melahirkan. Seperti
kata Ibu As, sebagai berikut: “...biasa dikasih minum anu juga, madu, dengan
telur. Waktu habis melahirkan, baru-baru habis melahirkan begitu.”
Sedangkan pada saat bersalin tersebut menurut Nenek Jr, ia terbiasa
memberikan anjuran agar ibu tetap diberikan makan, agar ia kuat untuk
mengejan.
4.3. SANDO SEBAGAI PERAWAT PASKA KELAHIRAN
4.3.1. Perawatan Ibu Paska Melahirkan
a. Tradisi Mogondo (Mengikat Perut)
Tradisi mogondo adalah tradisi mengikat perut dengan
menggunakan seutas tali dari kain setelah melahirkan. Tradisi ini sudah biasa
dilakukan tidak hanya oleh keturunan Tolitoli, namun juga keturunan suku
lain. Kain yang dipotong panjang menyerupai tali atau ikat pinggang tersebut
diikat tepat setelah ibu melahirkan, hal ini dilakukan dengan alasan agar ibu
yang telah melahirkan nafasnya tidak terasa los-los, atau seperti susah
bernafas. Hal ini salah satunya sesuai dengan yang disampaikan ibu Rn,
sebagai berikut: “Waktu melahirkan perut diikat... biar supaya itu anu, kan
kalau kita tidak diikat perutnya tu los-los pernafasan”
b. Tradisi Baurut (Pijat) Perut Ibu setelah Melahirkan
Tradisi baurut bagi ibu yang sudah melahirkan juga banyak dilakukan
oleh wanita Tolitoli. Tidak ada ketentuan khusus mengenai waktu
pelaksanaan pijat tersebut, namun biasanya salah satu Sando, Nenek Jr,
memijat ibu mulai 3 hari berturut-turut di mulai beberapa 1-3 jam setelah
melahirkan.
Salah satu alasan ibu untuk melakukan baurut setelah melahirkan
adalah untuk mengembalikan bentuk dan stamina tubuh. Seperti yang
disampaikan Ibu Rn, sebagai berikut: “... biar, kan biasa tidak mau godek
(besar)...” Urut ini kemudian bisa dilakukan kembali setelah masa nifas
80
selesai, seperti salah satu informan, Ik dan Ibu Rn, yang baru melakukan
baurut setelah 44 hari melahirkan.
Selain itu, Sando juga memakai metode memasukkan air panas di
dalam botol, kemudian dipake untuk mengurut bagian perut ibu dengan cara
digiling-giling, agar urat terasa senang. Seperti yang disampaikan oleh Nenek
Jr, sebagai berikut: “supaya kan urat itu anu semua, jadi senang, pokoknya
kalau sudah digi.. di anu tu, dibikin begini he dalam botol he. hik, langsung
senang itu urat itu makin hidup senang.”
c. Pantangan dan Anjuran setelah Melahirkan
Setelah melahirkan, tidak ada begitu banyak pantangan yang
diberikan kepada ibu hamil. Menurut informan, adapun pantangan yang
diberikan pada saat dia sudah melahirkan adalah tidak boleh mengkonsumsi
ikan cakalang. Pantangan tersebut diberikan kepada ibu yang telah
melahirkan dikarenakan ikan cakalang dipercaya dapat menyebabkan bayi
menjadi baungu (biru-biru) seperti dicubit-cubit apabila ibu mengkonsumsi
ikan cakalang, sedangkan untuk anjuran, biasanya ibu yang sudah
melahirkan mengkonsumsi beberapa minuman, yaitu diantaranya:
1) Sarraba
Sarraba adalah minuman yang terbuat dari campuran gula merah,
jahe dan air. Cara membuatnya adalah dengan menumbuk jahe, kemudian
tumbukan jahe tersebut ditambah gula merah yang sudah dilelehkan dan
kemudian direbus dengan tambahan air. Jika ibu menyukai, rebusan jahe
dan gula merah tersebut dapat ditambahi dengan susu putih. Menurut salah
satu informan, ibu yang melahirkan mengkonsumsi minuman ini agar rasa
sakitnya setelah melahirkan dapat berkurang. Selain itu, menurut informan
lain, Ibu Ln, tujuan mengkonsumsi Sarraba adalah untuk memperlancar
keluarnya darah kotor. Sedangkan menurut Ibu As, Sarraba dianjurkan untuk
diminum agar rasa sakit berkurang. Seperti yang disampaikan sebagai
berikut:
” anu, e.. itu dalam perut kan kita sakit biasa kan, agak mengurang sakitnya. he-eh.. dicampur susu dia. susu putih .. saya tidak (hanya setelah melahirkan), sampai 44 an hari saya minum terus.”
81
2) Air yang ditiup-tiup
Air yang di-tiup-tiup merupakan air putih biasa yang dibacakan do’a
oleh orang yang ‘tahu’, bisa orang yang dituakan dalam keluarga ibu
melahirkan, atau bisa pula oleh Sando. Seperti misalnya perawatan yang
diperoleh Ibu Rn, yang mengaku meminum air yang sudah ditiup baik
sebelum, saat, maupun setelah melahirkan. Seperti yang disampaikannya,
sebagai berikut “... setelah melahirkan dikasih minum... supaya kuat, supaya
tidak loyo. Kan biasa... air putih ditiup, nggak tau baca-baca apa.”
4.3.2. Perawatan Bayi Paska Persalinan
a. Mengikat Tali Pusat Bayi
Apabila persalinan bayi ditolong oleh Sando, setelah pemotongan
tali pusat, tali pusat tersebut akan diikat. Menurut Nenek Jr, pengikatan tali
pusat tersebut dilakukannya dengan terlebih dahulu membalutnya dengan
pembalut kecil (semacam pantyliner), kemudian diikat dengan benang.
Penggunaan benang sebagai alat ikat menurut keterangannya, dilakukan
karena ia kehabisan alat penjepit tali pusat. Namun, menurutnya lagi,
pengikatan dengan benang tersebut sudah dirasakan sudah cukup kuat.
b. Memandikan Bayi
Menurut beberapa informan, bayi yang baru lahir biasa dimandikan
oleh Sando sejak pertama kali keluar hingga tali pusat bayi lepas atau
jatuhtali pusat. Apabila pusat bayi lepas, barulah bayi akan dimandikan
sendiri oleh orangtua, atau mungkin keluarga lain seperti mamak atau
mamak mertua. Hal ini dilakukan karena menurut keterangan yang didapat
dari informan, Ibu Rn, selama tali pusat bayi belum lepas, maka bayi masih
menjad i tanggung jawab dari Sando tersebut.
Selain itu menurutnya, biasanya memang orangtua dan keluarga
masih takut untuk memandikan bayi pada saat usia bayi masih sedikit,
apalagi jika ia adalah anak pertama. Seperti misalnya Ibu Rn, yang mengaku
jika tak ada Sando yang memandikan pun ia sudah berani memandikan bayi
tersebut sendiri apabila ia adalah anak kedua atau anak ketiga, hal ini
dikarenakan ia sudah terbiasa dari pengalaman memandikan anak
pertamanya.
Berdasarkan observasi, proses memandikan bayi dilakukan di dalam
kamar, dimulai dengan menyiapkan alat mandi berupa baki besar, baskom
82
berisi air hangat, dan sabun. Sando akan memposisikan diri duduk
berselonjor dengan dua kaki berada di atas baki. Barulah kemudian Sando
akan menempatkan bayi di antara sela-sela kakinya (betis). Setelahnya, tali
pusat bayi terlebih dahulu diperiksa, dan bayi akan dimandikan dengan cara
dibasuh air hangat dari baskom sedikit demi sedikit. Beberapa kali juga
terlihat Sando memberikan pijatan di bagian kening dan hidung bayi. Air
yang sudah selesai dipakai memandikan bayi kemudian harus dibuang,
karena dipercaya apabila tidak dibuang akan membuat bayi baingus (pilek).
Seperti yang disampaikan oleh Nenek Jr, sebagai berikut: “Ini, anu ni, air
ndak lama di anu, sisa air mandinya langsung dibuang supaya tidak baingus
anak-anak. iya, ada semua anunya itu.”
c. Pembedongan Bayi
Perawatan bayi yang lain adalah dengan di-bedong. Yaitu tubuh bayi
yang sudah dipakaikan baju dibalut lagi dengan kain hingga hanya bagian
wajah saja yang terlihat. Tujuan dari pembedongan bayi dengan kain itu
adalah agar tubuh bayi menjadi bagus posturnya, sebab bayi yang baru lahir
dianggap masih memiliki tulang yang lunak. Seperti yang disampaikan oleh
salah satu informan, Ibu Rn, sebagai berikut: “Biasa kalau nggak dibedong
kepalanya panjang, kan dibedong kan biar rapih...”
Selain itu, fungsi dari bedong adalah agar tangan bayi tidak kemana-
mana, sehingga apabila ia memiliki kuku yang panjang, kuku tersebut tidak
melukai kulitnya sendiri. Namun, pada saat observasi, terdapat seorang bayi
baru berumur dua hari yang tidak dibedong, hal ini menurut Sando,
dikarenakan nenek dari bayi yang melarang. Menurut neneknya, bayi
tersebut sudah tersiksa di kandungan (semacam diikat), sehingga tidak perlu
disiksa lagi dengan dibedong setelahnya. Setelah semua proses selesai, air
yang berada di dalam baskom bekas memandikan bayi kemudian dibuang.
Hal ini karena dipercaya bahwa apabila air tersebut tidak dibuang, nantinya
anak bisa menjadi baingus, atau pilek.
d. Pengeringan Tali Pusat
Proses memandikan berjalan tidak begitu lama, setelah selesai
dibasuh ia akan ditempatkan kembali di atas baju atau bedong yang sudah
disiapkan sebelumnya. Kemudian tubuh bayi dibaluri minyak telon agar
83
terasa hangat. Minyak telon dipilih karena memang hangatnya pas
diperuntukkan bagi bayi, tidak bisa diganti dengan minyak kayu putih
misalnya, karena minyak kayu putih lebih panas daripada minyak telon. Tali
pusat bayi dibubuhi bedak tabur merk Viva. Berdasarkan informasi Sando,
bedak yang paling bagus digunakan adalah bedak Viva nomor 5, hal ini
dikarenakan menurutnya, bedak nomor tersebut akan lebih tajam jika dipakai
untuk mengeringkan tali pusat bayi.
Menurutnya lagi, pada bagian tali pusat pada saat ini seharusnya tidak
diberi obat apa-apa, sehingga keringnya lama. Sedangkan pada jaman dahulu,
obat yang dipakai untuk mengeringkan tali pusat bayi ini adalah sabut kelapa
yang dibakar hingga menjadi abu. Lalu abu tersebutlah yang digunakan untuk
ditabur di atas tali pusat bayi.
e. Daun Balacai, Daun Pencegah Kembung
Setelah tali pusat selesai ditaburi bedak, ada satu obat lagi yang biasa
digunakan oleh Sando, yaitu daun balacai. Daun ini dikenal juga sebagai daun
jarak. Berdasarkan observasi, daun yang ditempel di sekitar tali pusat bayi
adalah sebanyak dua lembar. Daun tersebut dipercaya dapat mencegah
kembung pada perut bayi apabila dipakai dengan cara ditempel begitu saja di
sekitar tali pusat bayi, setelah diberi minyak dan dipanggang sebentar di atas
tungku.
f. Pemberian Makanan pada Bayi yang Baru Lahir
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa ibu yang memiliki
anak, didapatkan informasi bahwa di Sambujan terdapat tradisi memberikan
air kopi kepada bayi yang baru dilahirkan apabila ASI dari ibu belum keluar. Hal
ini sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Ibu As dan Ib Ch. Menurut
mereka, anak yang baru lahir biasa diberikan air kopi yang ditaruh di kapas
kemudian diteteskan pada bayi, atau ditaruh diujung sendok untuk disuapkan.
Namun, air kopi harus selalu yang baru dibuat, sehingga apabila air kopi pada
pagi hari tidak habis, maka air kopi tersebut tidak boleh diberikan lagi pada
waktu yang selanjutnya. Hal ini dilakukan apabila ASI tidak segera keluar
setelah bayi dilahirkan. Air kopi tersebut menurut Ibu As, biasa diberikan
hingga tiga kali sehari sampai ASI ibu keluar. Setelah ASI keluar, maka
84
pemberian air kopi dihentikan. Air kopi dipercaya oleh masyarakat setempat
dapat mencegah mata tinggi pada bayi.
“Rn dan Rk (anak pertama dan kedua) dikasih air kopi, tapi Rr (anak ketiga) tidak, biasa air teh... supaya tidak kejang-kejang. Biasa kalau demam tinggi, biasa itu... matanya, mata tinggi tu. Kalau dikasih kopi katanya tidak begitu dia matanya, tidak mata tinggi...” (Ibu Ch, 40 tahun).
Selain itu, Ibu As mengatakan bahwa pemberian air kopi dilakukan
agar nantinya bayi mau menetek pada ibunya saat ASI keluar. Ibu As tidak
memberikan susu formula pada saat ASI belum keluar dikarenakan
menurutnya, apabila bayi sudah diberikan susu formula, nantinya anak tidak
mau menetek pada ibunya.
Berbeda dengan Ibu As, Ibu Rn, yang mengaku terbiasa menyusui
anaknya dengan ASI dari awal kelahiran bahkan hingga anak berusia 2 tahun.
Pada kehamilan ketiganya, ASI-nya bahkan sudah keluar tiga puluh menit
setelah melahirkan. Adapula yang menggantikan ASI dengan susu formula
selama ASI-nya belum keluar, seperti informan lain, Ibu Ln, ia mengaku
memberikan air susu ibu hingga anaknya berusia 2 tahun, namun pada saat
bayi baru lahir, bayinya diberikan susu formula selama satu hari.
4. 4. Sando Menjalankan Tradisi pada Ibu di Masa Nifas
4.4.1. Memandikan IBu dengan Air Rebusan 7 Daun dan Tiup
Prosesbaurut pada hari kedua pasca melahirkandimulai setelah ibu
dimandikan terlebih dahulu. Ibu biasanya dimandikan dengan menggunakan
air rebusan 7 macam daun, namun pada saat observasi hanya ditemukan 4
macam daun yang direbus, yaitu daun balacai¸ daun belimbing, daun langit
bajo dan daun tanggulangi. Daun-daunan tersebut dipilih karena menurut
informan daun-daunnya berbau wangi. Manfaat dari mandi dengan air
rebusan daun-daunan ini sendiri menurut Sando, adalah untuk menghilangkan
bau yang tidak sedap setelah melahirkan karena adanya darah kotor.
Informasi tambahan dari informan lain, daun yang digunakan untuk direbus
sebagai air mandi adalah daun pisang, serta daun pandan.
85
4.4.2. Dipupu atau Mengasap
Dipupu adalah seperti proses pengasapan. Prosesi ini akan dilakukan
setelah ibu dimandikan. Di dalam tungku akan dibuat bara api, kemudian ibu
yang sudah melahirkan akan memposisikan kaki terbuka di atas tungku agar
asap yang keluar dapat masuk dari bawah. Bara diatas tungku yang dibakar
dari kulit langsat, kulit bawang, bawang merah, bawang putih, sabut kelapa,
dan yang terakhir dimasukkan adalah daun tanggulangi. Bahan-bahan ini
dipilih karena dianggap berbau wangi apabila dibakar-bakar.
Proses tersebut hanya dilakukan beberapa saat saja, asalkan sudah
mulai terasa panasnya hingga bagian atas, maka ibu akan berhenti dipupu.
Tujuan dari dipupu adalah untuk menghilangkan bau tidak sedap sehabis
melahirkan. Dan apabila ada, komposisi bahan yang dibakar bisa
ditambahkan sarang madu. Sarang madu tersebut menurut Nenek Jr,
berkhasiat agar badannya bisa segera kembali enak.
4.4.3. Baurut 3 Hari Berturut-turut
Ibu yang baru melahirkan akan mendapat pijat atau urut selama 3
hari berturut-turut, yaitu satu kali pada pagi hari. Namun, apabila kebetulan
ada orang yang meninggal, ibu dan bayi dilarang dimandikan terlebih dahulu
sebelum pemakaman selesai. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran
terhadap gangguan dari roh-roh halus pada bayi ataupun ibu.
Pijat inilah yang biasanya dicari oleh para ibu yang baru melahirkan
sehingga mereka sudah terbiasa untuk mencari Sando pada saat melahirkan.
Sebab, apabila melahirkan di fasilitas kesehatan ataupun dengan bidan,
mereka tidak akan mendapatkan urut. Adapun ibu yang melahirkan di bidan
desa atau fasilitas kesehatan, biasanya mereka masih tetap memakai jasa
Sando untuk merawat mereka setelahnya.
Proses pengurutan dimulai dari mengurut bagian perut ibu
menggunakan ramuan minyak yang dibuat oleh Sando secara pelan-pelan
dengan posisi berbaring. Kemudian setelah mengurut perut, jari jemari
Sando berpindah mengurut bagian kaki, tepatnya betis terlebih dahulu baru
kemudian paha. Selanjutnya adalah mengurut bagian lengan, dan terakhir
adalah bagian pundak serta punggung dengan posisi ibu diminta duduk
terlebih dahulu. Proses pengurutan tersebut berjalan kurang lebih hingga 20
menit.
86
4.4.4. Babedak Goraka (Jahe)
Selain perawatan berupa mandi air rebusan daun, dipupu, dan
diurut, perawatan lain yang dijalani ibu adalah babedakgoraka atau
berbedak jahe yang dibuat khusus oleh Sando. Bedak dingin itu terbuat dari
campuran goraka (jahe), tepung beras, bawang putih, temulawak dan rica
jawa (cabai). Kemudian campuran itu dibentuk bulat-bulat dan dimasukkan
ke dalam botol air mineral. Setiap akan digunakan, barulah buliran bedak itu
dicampur dengan sedikit air dan dibalurkan ke leher, lengan, atau bagian
tubuh lain. Tujuan dari pembaluran bedak tersebut adalah agar tubuh ibu
menjadi basuar (berkeringat). Semakin hebat ibu basuar, maka ibu akan
dianggap semakin sehat. Sementara itu, menurut Ibu Hy, fungsi dari
dipakainya goraka adalah untuk mencegah naiknya darah putih ke atas
kepala yang bisa menyebabkan mata menjadi rusak dan bahkan bisa
menyebabkan gila.
“Supaya kata mbak kita itu, biar kata baru satu anak, tapi belum berair mata tak ini. Itu kebanyakan orang tu.. he-ehm, rusak mata. kan itu orang bilang darah putih itu kata naik ke atas sini tak itu, harus dibedak pake itu. Supaya, supaya orang itu baru satu anak sudah pakai kacamata. Matanya berair apa, soalnya waktu habis melahirkan tidak dia jamin dirinya. begitu itu katanya..”
4. 5. Sando Menjalankan Tradisi pada bayi dan anak
4.5.1. Baurut Bayi
Tradisi baurut bayi biasanya dilakukan setelah bayi berumur 2 hari
atau lebih di Sando. Hal ini menurut informan, dilakukan agar kondisi bayi
menjadi baik, seperti misalnya untuk mengembalikan bentuk kaki bayi.
Seperti yang diucapkan oleh Ibu As, “... biasa bayi seperti terbuka begitu kan,
dia (Sando) kasih baik, kan masih kayak lembek begitu kan, begitu kan, anak-
anak...”
Waktu untuk memijat bayi tersebut diakui oleh informan lain yang
juga pernah memijatkan bayinya, Ibu Rn, tergantung kepada orangtua, tidak
ada waktu khusus atau keharusan untuk memijat pada waktu tertentu.
Alasan Ibu Rn untuk memijat bayinya adalah agar bayinya tidak menangis
terus-terusan, seperti yang dikatakannya sebagai berikut:
87
“...kan biasa tu anak kalau mau merayap, duduk, kejang-kejang badannya tu, keras... menangis-menangis terus, langsung diurut. Tidak enak tidur (pergi diurutkan lagi)...”
4.5.2. Memenek Monggulangan
Tradisi memenek monggulangan disebut juga sebagai penrek tojang
dalam bahasa bugis atau naik buik, yang artinya adalah naik ayun. Kata
tersebut berasal dari kata memenek yang berarti menaikkan, dan
monggulangan yang berarti berayun. Tradisi ini merupakan sebuah ritual
yang dilakukan setelah tali pusat bayi terlepas. Biasanya dilakukan pada hari
ke 5, 7 atau 9 (hari ganjil), tergantung pada keputusan yang diambil oleh
keluarga bayi. Seperti yang dikatakan oleh salah satu informan, Ibu Rn,
sebagai berikut: “...jatuh pusat kan dia lima hari. Lima hari jatuh pusat, pas 7
harinya naik ayun..”
Jika tali pusat belum lepas, maka tradisi naik ayun ini belum dapat
dilakukan. Waktu pelaksanaan dari naik ayun adalah pada pagi hari, biasanya
pada pukul tujuh pagi dan diadakan di rumah. Menurut beberapa informan,
tradisi ini dilakukan untuk keselamatan dari bayi yang baru dilahirkan. Salah
seorang informan juga menambahkan bahwa apabila naik ayun tidak
dilakukan, badan dari bayi tersebut bisa busuk-busuk, semacam berkudis.
Dengan diadakan tradisi naik ayun, maka apabila anak terserang kudis, kudis
tersebut akan cepat hilang. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Rn, “...kalau naik
ayun tidak dilakukan katanya badan bisa busuk-busuk (kudis), kalau dibikin
semua, Insya’Allah tidak. Kalau dia berkudis to, cepet ilang...”
Biasanya acara diadakan tergantung pada kemampuan ekonomi
masing-masing keluarga. Jika ekonominya lebih dari cukup, bisa
mengundang banyak orang. Namun, bila ekonominya biasa saja, acara dapat
diadakan secara sederhana dengan mengundang keluarga dan tetangga
terdekat saja. Di desa Sambujan sendiri, acara monggulangan akan menjadi
lebih ramai jika bayi lahir pada bulan Safar karena animo masyarakat
menjadi lebih tinggi. Sedangkan jika bayi yang terlahir di luar bulan Safar
perayaannya lebih sederhana karena yang datang hanya keluarga terdekat
saja.
Proses monggulangan sendiri intinya adalah menggendong bayi
bergantian, memutari sebuah ayunan beberapa kali. Prosesi ini dipimpin
88
oleh Sando atau orang tua yang dianggap ‘tahu’. Ayunan tersebut dibuat dari
kain sarung atau semacamnya, yang kemudian dikaitkan pada sebuah pegas
atau peer di langit-langit rumah. Bayi akan digendong bergantian oleh 7
orang saudara yang dituakan selama 5 atau 7 kali mengelilingi ayunan. Pada
saat putaran terakhir, bayi akan digendong oleh Sando untuk kemudian
ditaruh di dalam ayunan. Menurut Nenek Jr, Sando keturunan Tolitoli di desa
sebelah, banyaknya putaran pada ayunan berarti banyaknya hari jatuh pusat
setelah kelahiran. Namun salah satu informan lain mengungkapkan pula
bahwa kebanyakan jumlah putaran yang dilakukan adalah sebanyak 7 kali.
Makna dari 7 kali putaran tersebut adalah sama dengan banyaknya jumlah
jamaah haji ketika memutari ka’bah.
Dalam tradisi ini dibuat pula beberapa macam kue dan makanan,
yang macam kuenya tidak ditentukan. Biasanya kue dan makanan bisa
berupa soko beberapa warna, ikan kering, ubi, ikan dimasak kuah kuning,
dan lain sebagainya. Kue dan makanan tersebut kemudian ditaruh dibawah
ayunan, untuk kemudian dicampur dan disuapkan kepada orang tua bayi
oleh Sando. Sedangkan pada bayi, hanya ditempel ke mulut saja. Kue dan
makanan tersebut tidak memiliki ketentuan harus dibuat oleh orang
tertentu, sehingga bisa dibeli atau dibuat sendiri.
Menurut keterangan dari salah satu informan, Ibu Rn, terdapat
perbedaan antara perayaan naik ayun dari orang Tolitoli dengan orang Bajo,
yaitu terletak pada penempatan makanannya. Seperti keterangan yang
disampaikan oleh Ibu Rn, yaitu, “...orang Tolitoli makan di bawah ayunan,
kalo orang Bajo digantung ketupatnya. Tolitoli gak ada ketupat, cuma nasi,
olahan sagu, dikasih makan...”
4.5.3. Manao Buta
Manao butako berasal dari kata manao yang berarti turun dan buta
yang berarti tanah, sehingga manao buta berarti turun tanah. Tradisi turun
tanah biasanya dilakukan setelah bayi berumur lima bulan. Selain untuk bayi,
turun tanah juga diberlakukan bagi si ibu setelah melahirkan. Tidak ada
upacara khusus untuk tradisi turun tanah tersebut. Tradisinyapun berbeda-
beda, ada yang ibu dan bayi dimandikan oleh Sando, adapula yang hanya
keluar rumah begitu saja. Adapun satu kesamaannya adalah bahwa dalam
tiap-tiap pelaksanaan tradisi ini akan dibacakan do’a khusus untuk turun
89
tanah sebagai do’a selamat, yang tujuannya adalah agar ibu dan bayi akan
mendapatkan keselamatan apabila pergi keluar rumah. Setelah dibacakan
do’a, barulah bayi akan diajak untuk berkunjung ke rumah saudaranya,
seperti misalnya ke rumah Tante dari si bayi.
4.5.4. Mongulut Buok
Mongulut buok berasal dari kata mongulut yang berarti menggunting
dan buok yang berarti rambut, sehingga diartikan mongulut buok diartikan
sebagai menggunting rambut. Tradisi iniadalah sebutan lain untuk tradisi
aqiqah, tradisi yang berasal dari ajaran agama Islam. Yaitu semacam tradisi
yang diadakan sebagai tanda rasa syukur atas lahirnya bayi dengan selamat.
Berbeda dengan monggulangan yang harus dilaksanakan segera setelah tali
pusat bayi terlepas, tradisi mongulut buok dilaksanakan tanpa ketentuan
waktu, sehingga bisa dilaksanakan setelah empat bulan, delapan bulan, satu
tahun, dan seterusnya, tergantung dari kesiapan ekonomi keluarga. Tradisi
ini diwajibkan untuk diadakan bagi orang tua yang sudah memiliki kelebihan
rejeki.
Dalam tradisi ini, bayi atau anak akan dipotongkan hewan, 1
kambing untuk perempuan, dan 2 kambing untuk laki-laki. Namun boleh juga
disembelihkan sapi, semampu kondisi ekonomi orangtuanya. Beberapa helai
rambut bayi akan dipotong atau digunting oleh orang yang dianggap tahu
cara menggunting dan juga baca’an atau do’a selamat. Tidak ada ketentuan
tentang siapa yang harus menggunting dan membacakan do’a, asalkan ia
tahu baca do’a, maka ia yang akan dimintai tolong untuk memimpin prosesi
mongulut buok,seperti misalnya imam masjid, bilal, dan sebagainya,
sehingga tidak boleh sembarangan orang. Seperti kata salah satu informan,
Ibu Rn, sebagai berkut: “... kalau orangnya nggak tahu bacaannya, harus
ditarik ulang. Tidak bisa sembarangan...”
Selain itu, menurut Ibu Rn, dalam acara ini juga ada sajian beberapa
makanan yang dicampur-campur untuk kemudian disuapkan kepada
orangtua bayi oleh Sando yang diundang. Dan biasanya akan diadakan pula
babarasanji. Namun hal ini tidak selalu dilakukan. Berdasarkan pengamatan
pada acara mongulut buok yang diadakan oleh warga keturunan suku
Selayar, prosesi kegiatan mongulut buok secara umum tidak jauh berbeda
dengan hasil wawancarawarga yang lain. Hanya saja, di dalam acara
90
mongulut buok tersebut tidak terdapat babarasanji, sedangkan menurut
hasil wawancara dengan beberapa informan, biasanya terdapat babarasanji.
Acara ini diadakan dengan menggunakan 3 bagian rumah, yang
pertama adalah ruang tamu sebagai tempat berkumpulnya bapak-bapak
yang dituakan, kamar sebagai tempat untuk menggunting rambut anak, dan
halaman depan sebagai tempat didirikannya tenda untuk menikmati
hidangan dan hiburan berupa elektune. Secara umum, berdasarkan hasil
observasi, susunan acara mongulut buok dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pembukaan
Acara ini dibuka pada pukul 09.00 WITA oleh seorang pembawa
acara. Pembawa acara mula-mula mengucapkan salam, kemudian
menyampaikan tujuan diadakan acara tersebut serta membacakan susunan
acara.
2. Pembacaan ayat Al Qur’an
Setelah dibuka oleh pembawa acara, salah seorang bapak yang
memang khusus diundang diminta untuk membacakan ayat Al Qur’an. Bapak
tersebut membaca dengan tehnik kiro’ah atau seni membaca ayat Al Qur’an.
3. Pembacaan nama (ditutup dengan do’a)
Setelah pembacaan ayat Al Qur’an selesai, pembawa acara
mempersilahkan seorang uztads untuk melakukan prosesi pembacaan nama.
Pada saat pembacaan nama, disebutkan oleh ustadzs tersebut bahwa
nantinya, setelah diucapkan nama lengkap anak yang hendak diaqiqahi, para
tamu hendaknya menjawab dengan ‘barakallah’, apabila yang diaqiqah
hanya satu orang, atau ‘barakallahumma’, apabila yang di aqiqah dua orang.
Kedua kalimat tersebut berasal dari bahasa arab, makna dari ‘barakallah’
adalah semoga diberkahi (orang yang dibacakan namanya), sedangkan
makna dari ‘barakallahumma’ adalah semoga Allah memberikan keberkahan
kepada dua-duanya.
Untuk acara ini sendiri, yang diaqiqah ada dua orang, sehingga para
tamu menjawab dengan ‘barakallahumma’ setelah dua nama anak
disebutkan oleh uztadz. Setelah itu, sebagai penutup pembacaan nama,
ustadz akan membacakan do’a.
4. Pengguntingan Rambut
Setelah pembacaan nama, acara selanjutnya adalah acara inti, yaitu
bagunting rambut. Acara ini diadakan di dalam sebuah kamar, dimana di
91
dalamnya hanya ada kedua orangtua anak dan sang anak. Anak dari pemilik
acara ini berusia sekitar 6 bulan, dipangku oleh ibunya dengan posisi
didudukkan di atas tempat tidur. Ayahnya berdiri di samping tempat tidur,
nantinya bertugas untuk menyiapkan peralatan di dekat penggunting
rambut serta memberikan amplop berisi uang kepada penggunting rambut.
Alat yang dipakai dalam ritual menggunting adalah sebuah gunting yang
ditaruh di atas piring kecil, dan mangkuk yang berisi air. Peralatan tersebut
disiapkan di atas nampan, para penggunting rambut datang satu persatu
secara bergantian.
Gambar 4.2 Alat untuk Bagunting Rambut Sumber: dokumentasi peneliti
Gambar 4.3 Prosesi Pengguntingan Rambut Sumber: dokumentasi peneliti
Total dari penggunting rambut ada 7 orang, yang kesemuanya
merupakan para teteu (kakek) dari si bayi. Rambut si bayi digunting dengan
92
cara mula-mula rambut diusap oleh teteu sambil dibacakan do’a. Kemudian
teteu akan mengambil sejumput rambut bayi, lalu mengguntingnya. Tidak
ada ukuran seberapa banyak rambut yang harus digunting, sedikit saja pun
tidak apa-apa. Setelahnya, potongan rambut akan ditaruh di dalam mangkuk
yang berisi air dan teteu akan membaca do’a lagi. Baru setelah selesai, ayah
bayi akan menjabat tangani teteu sembari menyelipkan amplop. Begitu
seterusnya hingga 7 kali.
5. Penutupan
Setelah acara bagunting rambut selesai, pembawa acara akan
menutup acara tersebut dan mempersilahkan para tamu untuk menikmati
hidangan yang sudah disediakan.
Gambar 4.4. Hidangan pada Acara Bagunting Rambut Sumber: dokumentasi peneliti
Macam makanan yang disediakan tidak ditentukan, tergantung dari
kemampuan dan keputusan yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga.
Namun, biasanya terdapat masakan olahan dari daging kambing, karena
pada saat acara aqiqah dipotongkan kambing.
4.5.5. I Kenpi
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh warga Sambujan terhadap
anak perempuan adalah i kenpi atau sunat pada anak perempuan. Adapula
yang menyebutnya sebagai diilang, atau dikatèk dalam bahasa Bugis. Jika
sunat pada anak laki-laki dilakukan ketika anak sudah usia anak-anak (sekitar
93
9-15 tahun), berbeda dengan pada anak perempuan. Meskipun tidak ada
ketentuan khusus, namun I kenpi biasa dilakukan pada saat anak perempuan
yang masih bayi atau diusahakan pada saat dia masih kecil. Hal ini dilakukan
agar anak tersebut tidak malu apabila i kenpi dilakukan pada saat dia sudah
dewasa. I kenpi dilakukan oleh masyarakat karena diyakini sebagai salah satu
syarat bagi anak perempuan untuk masuk Islam, dan apabila tidak dilakukan,
berarti anak tersebut tidak beragama Islam, seperti yang dikatakan oleh
Nenek Mt, sebagai berikut: ”...em? Kan masuk Islam. Memang syarat kita
perempuan masuk Islam. Memang ada diilang kalau kita tu, namanya
diilang. Pakai pisau juga...”
I kenpi biasa dilakukan oleh seorang Sando, namun pada Sando
tertentu yang sudah biasa melakukannya dan bukan kepada bidan. Hal ini
dikarenakan bidan tidak tahu cara untuk melakukan i kenpi. Seperti yang
dikatakan oleh Nenek Mt, sebagai berikut: “Jadi kalau ada orang anu tu..
kenapa tidak ke bidan, tidak bisa itu bidan. Sekarang tetap disunat,
dukunnya dicari kemana-mana, ke kampung biasa ada yang tahu, pergi ke
sana.”
Di Sambujan sendiri ada seorang Sandro (keturunan Bugis) yang bisa
melakukan i kenpi, yaitu Tante X. Biasanya, apabila Tante X tidak ada di
Sambujan, Sando i kenpi akan dicari hingga ke desa lain. Warga Sambujan
sendiri sering meminta bantuan kepada Tante X untuk menyunat anak
perempuannya, dan mengikuti tata cara yang dilakukan oleh Tante X, yaitu
sunat ala Bugis. Syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan i kenpi versi
Tante X adalah adanya sebuah loyang yang berisi pisang, kelapa hidup, gula
merah, minyak kelapa 1 botol, beras dua atau tiga liter, kain putih sepanjang
1 meter yang dilipat, dan pisau.
Guna kain putih adalah sebagai alas tempat anak didukkan di atas
bantal. Setelah anak didudukkan di atas bantal, barulah ia akan disunat
menggunakan pisau. Pisau itu sendiri tidak ada ketentuannya, Tante X
seringkali menggunakan pisau sembarang. Cara menyunatnyapun tidak
sampai membuang bagian tertentu, melainkan hanya hingga yang penting
berdarah sedikit. Darah itu kemudian disyarat pada pintu. Selain itu, anak-
anak akan dicerak, begitu pula dengan Sandro itu sendiri. Cerak adalah
mengoleskan sedikit darah yang diambil dari ayam. Tujuan dari cerak adalah
agar tidak ada kejadian yang tidak diinginkan. Seperti yang dikatakan oleh
94
Tante X, “..,iya... supaya kita tidak berasa to, sama kita... biasa e... kalau
orang melahirkan, syaratnya melahirkan itu dicerak supaya kita tidak anu to,
katarak to. “
Perayaan i kenpi sendiri berbeda antara satu keluarga dengan
keluarga yang lainnya. Jika ada yang menginginkan dipestakan karena
keadaan ekonominya cukup bagus, maka i kenpi akan dibuatkan pesta,
namun jika tidak diadakan pesta pun tidak apa-apa.
4.5.6. Membuat Jimat Bayi
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan, tidak ada
tradisi untuk mengharuskan bayi memakai suatu alat perlindungan seperti
jimat atau penangkal setan dari tertentu. Namun, beberapa informan
mengaku tetap memberikan anaknya semacam jimat sebagai alat penangkal
dari gangguan setan. Hanya saja, penangkal tersebut bermacam-macam
bentuk dan bahannya. Seperti misalnya Ibu Ln, ia memberikan sebuah jimat
yang dibelinya dari pasar saja. Jimat tersebut terdiri dari cangkang hewan
laut, buah sopa, kain hitam yang berisi sesuatu, namun tidak diketahui apa
isinya. Jimat tersebut memiliki sebuah benang panjang yang berfungsi
sebagai pengikat. Ia mengaku bahwa jimat tersebut sudah diikatkan pada
bagian perut putranya sejak ia masih bayi dan terus dipakai hingga saat ini
(umur 1 tahun lebih), termasuk pada saat mandi.
Gambar 4.5. Jimat yang Dipakaikan pada Bagian Perut Sumber: dokumentasi peneliti
95
4.6. TIUP-TIUP METODE PENGOBATAN SANDO
Di Desa Sambujan selain terdapat Sando yang memiliki kemampuan
untuk menolong persalinan, juga terdapat Sando atau dukun kampung yang
dipercaya memiliki ilmu atau kemampuan supranatural untuk melakukan
tiup-tiup sebagai salah satu alternatif penyembuhan. Penyebab terjadinya
suatu penyakit di masyarakat dipercaya berasal dari dua hal, yaitu karena
magis dan penyebab medis seperti sariawan, demam, sarampak atau cacar,
dan lain sebagainya. Penyakit yang disebabkan oleh hal magis biasanya
adalah berupa gangguan roh-roh halus atau yang biasa disebut sebagai
keteguran dan ada pula yang disebut sebagai penyakit ‘kiriman’. Keteguran
adalah istilah untuk menyebut kerasukan roh-roh halus. Menurut Pak As,
orang-orang yang lemah fisiknya biasanya gampang untuk dirasuki. “.. Di sini
tu ada 2 faktor anu, penyakit kita di sini. Yang datang... memang karena kita
yang kurang menjaga kesehatan to. Yang kedua ini, yang didatangkan ini.
Yang dikirim-kirim lewat angin misalnya.”
Pada penyembuhan penyakit magis yang berupa keteguran ataupun
penyakit kiriman seperti inilah biasanya Sando berperan. Tak jarang saat
terjadi kesulitan melahirkan, Sando yang bidan kampung dan Sando yang
ahli tiup-tiup akan bekerja sama. Biasanya Nenek Mt, Sando yang menangani
persalinan atau bidan kampung terlebih dahulu akan melakukan pengobatan
dengan tiup-tiup sebisanya. Jika sudah merasa tidak mampu, ia akan
memanggil suaminya, yang kebetulan juga merupakan Sando yang ahli tiup-
tiup. Dan bahkan, apabila masih tidak mempan, Sando ahli tiup-tiup lain
akan dipanggil bergantian untuk meniup sang ibu. Barulahsaat kelahiran
tidak juga terjadi, dan tidak mampu lagi ditangani setelah ditiup, ibu akan
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai, seperti ke rumah sakit di
kota.
Tiup-tiup merupakan salah satu metode penyembuhan yang sering
digunakan oleh masyarakat Desa Sambujan. Metode ini telah menjadi tradisi
turun-temurun. Dahulu ketika masih terisolir karena tidak terdapat moda
transportasi darat, sehingga orang mengandalkan metode ini untuk
penyembuhan bila sakit. Pada waktu itu menuju fasilitas kesehatan yang
terdekat, yaitu di kota, orang hanya mengandalkan perahu. Meskipun kini
telah ada moda transportasi darat orang masih tetap mengandalkan metode
tersebut. Penggunaan metode ini tetap dilakukan, meskipun telah ada
96
tenaga kesehatan. Orang yang menggunakan pun bervarian mulai dari
orang-orang yang bersahaja hingga mereka yang berpendidikan tinggi.
Metode ini dilakukan oleh seorang dukun kampung yang dalam
bahasa Tolitoli disebut Sando. Caranya, seorang Sando membacakan doa-
doa tertentu. Doa-doa itu terkait dengan penyakit pasien. Setelah membaca,
dukun meniupkan pada bagian tubuh yang sakit. Dukun juga menggunakan
media air untuk pengobatan dengan metode ini. Caranya, setelah berdoa,
Sando meniup air. Air itu bisa berupa air putih atau minyak kelapa yang biasa
disebut sebagai ‘’minyak kampung’’. Air putih dan minyak kampung yang
sudah ditiup ini menjadi obat kampung. Untuk memakainya, air atau minyak
itu diusapkan ke bagian tubuh yang sakit. Proses penyembuhan melalui tiup-
tiup ini dilakukan di rumah Sando, bisa pula di rumah orang yang sakit.
Untuk keperluan itu, anggota keluarga yang sakit menjemput Sando ke
rumahnya.
Dulu, di Desa Sambujan sendiri, ada beberapa orang yang dipercaya
dapat menyembuhkan penyakit tertentu melalui tiupan. Lebih dari itu,
dukun-dukun tersebut berbeda satu sama lainnya. Mereka memiliki
spesialisasi penyakit yang diobati. Ada dukun yang hanya mengobati
penyakit dalam. Dukun yang lain sangat ahli mengobati patah tulang. Ada
pula dukun hanya menyembuhkan khusus penyakit yang “tidak terlihat.”
Penyakit yang tidak terlihat itu adalah penyakit yang disebabkan oleh
keteguran dan “kiriman”. Seiring dengan waktu, jumlah Sando mulai
berkurang. Kini, hanya ada 4 orang yang dikenal bisa melakukan tiup-tiup di
Desa Sambujan dan keempatnya berada di Pulau Sambujan.
Salah satu Sando yang sering dimintai pertolongan adalah Pak Ks.
Pak Ks biasa melakukan proses penyembuhan di rumahnya. Ia juga mau
dipanggil ke rumah orang yang sakit tersebut. Ritual penyembuhan
dilakukan di ruang terbuka. Artinya, ritual itu dapat disaksikan oleh orang
lain. Penyembuhan bisa dilakukan di ruang tamu. Hal itu dimaksudkan untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, terutama bila pasien yang diobati
adalah perempuan. Bila pasiennya perempuan, Pak Ks juga mengaku tidak
melakukan pengobatan dengan menyentuh tubuhnya. Ia baru menyentuh
bila perempuan tersebut atau suaminya (jika sudah bersuami) menyetujui
dan ikhlas. Setelahnya, hanya bagian tubuh yang sakit saja yang ia sentuh.
97
Sando biasanya tahu kapan waktu terbaik untuk mengobati penyakit.
Pak Ks misalnya, salah satu Sando setempat, mengatakan bahwa waktu terbaik
dalam pengobatan adalah pada saat matahari belum tinggi. Menurutnya, hal itu
terkait dengan pergerakan bisa atau racun sebagai penyebab penyakit. Bisa atau
racun bergerak mengikuti pergerakan matahari. Semakin tinggi posisi matahari,
semakin tinggi pula sifat bisa tersebut, sehingga sulit untuk disembuhkan. Oleh
karenanya, Pak Ks lebih memilih untuk melakukan pengobatan pada pagi atau
sore hari setelah matahari tenggelam. Namun syarat waktu pengobatan ini tidak
berlaku apabila jenis kasusnya mendesak, seperti misalnya pada saat ibu susah
melahirkan, ada yang terluka atau terjatuh dan lain sebagainya. Pada saat
kondisi tersebut, pengobatan secara tiup-tiup harus segera dilakukan.
Adanya kepercayaan terhadap penyakit yang disebabkan oleh
keteguran dan penyakit ‘kiriman’ inilah yang membuat Sando ahli tiup-tiup
tetap dicari pada saat ada yang sakit. Hal ini dikarenakan penyakit yang
disebabkan oleh kedua hal tersebut tidak dapat disembuhkan secara medis.
“...disembuhin lewat dukun juga, karena kalau di medis, nggak bisa dapet, nggak bisa ketemu, paling dia bilang, ah... ini orang nggak apa-apa. Karena yang tidak masuk diakal kan. Kebanyakan terjadi seperti itu. Ada yang berkirim paku misalnya, ada yang kasih masuk paku di badan, jarum... hmm... itu kalau di sini masih berlaku juga seperti itu...”
Sando ahli tiup-tiup dalam mendapatkan ilmunya terbagi menjadi dua,
yaitu dari keturunan, dan dari belajar. Salah seorang Sando di dukun sebelah
mengaku bahwa ia mendapatkan ilmu turunan dari ayahnya, dan ayahnya
mendapatkan ilmu dari kakeknya. Sedangkan salah seorang Sando di Sambujan
mendapatkan ilmu dari belajar dengan berguru dari satu tempat ke tempat yang
lain. Menurutnya, ilmu untuk melakukan tiup-tiup dapat dipelajari oleh
siapapun, asalkan ia benar-benar berniat. Dari hasil belajar tersebut, Sando ini
membuat catatan kumpulan bacaan atau do’a tersendiri.
Bacaan atau do’a yang dibaca oleh Sando merupakan bacaan khusus
yang beberapa berbahasa Indonesia, dan adapula yang berbahasa daerah
seperti Bugis serta Dondo. Pada bacaan tersebut juga diselipi sentuhan Islami
seperti menyebut nama Allah, kalimat sholawat, nama Nabi atau unsur Islam
lain.
98
Gambar 4.6 Salah satu lembaran dari buku kumpulan ‘bacaan’
yang dibaca pada saat tiup-tiup milik Sando Sumber: dokumentasi peneliti
Bacaan tersebut menurutnya, harus dibaca dengan tehnik tertentu
agar dapat bekerja. Tehnik yang dimaksud adalah berupa adanya ritual
seperti membaca kalimat tobat atau istighfar, syahadat, dan ucapan
bismillahirrahmanirrahim sebagai ucapan pembuka. Menurutnya, tanpa
mengucapkan rangkaian tersebut, rapalan bacaan atau do’a tidak akan
bermakna sehingga tidak akan bisa mempan.
Setelah membaca kalimat tobat, syahadat, dan basmallah, langkah
selanjutnya adalah merapalkan do’a khusus, barulah kemudian ia akan
meniup bagian yang sakit sambil memegangnya dengan ujung ibu jari.
Proses ritual bisa berbeda-beda untuk penyakit yang berbeda.
4.6.1. Tiupan Pencegah Naiknya Darah Putih
Terdapat kepercayaan bahwa setelah melahirkan, jika tidak dirawat
dengan baik, darah putih bisa naik dan menyebabkan ibu menjadi gila. Salah
satu metode perawatan yang diungkapkan pada bab sebelumnya adalah
melalui prosesi mandi air rebusan 7 daun yang sudah ditiup-tiup dan juga
melalui prosesi dipupu.Namun, apabila sudah terlihat gejala naiknya darah
putih, maka ibu akan ditiup-tiupsebagai alternatif penyembuhan.
99
Naiknya darah putih menurut Pak Ks dapat dilihat melalui dua
tanda, yaitu yang pertama merasa kesakitan apabila ditusuk dengan jari
di bagian kaki yang menandakan bahwa darah putih masih di bawah, dan
penglihatan mulai kabur yang menandakan bahwa darah putih sudah naik
hingga ke atas. Menurutnya lagi, darah putih ibu rawan naik ke atas pada
saat melahirkan anak nomor genap, semisal anak ke-2, ke-4 atau ke-6.
Bacaan yang dibacakan untuk mencegah maupun menyembuhkan
naiknya darah putih ini adalah sebagai berikut: “Waji suak wati waddi
ruallah muammad diha sula asual Allah luro alana.” Bacaan tersebut
dibaca setelah membaca kalimat tobat, syahadat dan basmallah.
4.6.2. Tiup untuk Bayi ‘Kaget’
Salah satu penyakit yang sering diderita oleh bayi adalah bayi
‘kaget’.Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti karena bunyi-
bunyian yang terlalu keras, gerakan mendadak, dan lain sebagainya. Ciri -
ciri bayi yang mengalami ‘kaget’ adalah ubun-ubun bayi agak masuk ke
dalam, sehingga terbentuk semacam cekungan di ubun-ubunnya. Dengan
adanya semacam cekungan tersebut, dipercaya bahwa ubun-ubun bayi
tersebut menghilang atau pergi, yang menandakan bahwa rohnya sedang
berjalan-jalan meninggalkan jasadnya.
Apabila terdapat bayi dengan gejala ini, maka ubun-ubun bayi
harus dipanggil ulang dengan diadakan penyembuhan melalui tiupan.
Semakin cepat bayi diobati dengan ditiup, maka akan semakin cepat pula
penyembuhannya karena masih mudah untuk dipanggil ulang, dan
apabila setelah sekian lama baru dibawa ke Sando, maka akan semakin
susah pula untuk dipanggil sehingga penyembuhannya semakin lama.
Bahkan, apabila dibiarkan, dipercaya anak atau bayi bisa meninggal
karenanya.
Hal ini dianggap sama dengan meninggalnya orang yang sedang
tertidur tanpa penyakit. Dipercaya bahwa orang yang tertidur tanpa
penyakit disebabkan oleh rohnya keluar dari tubuh dan sudah terlanjur
jauh sehingga tidak bisa pulang. Ubun-ubun dari orang dewasa yang
mengalami ini menurut Pak Ks juga sama cekungnya dengan bayi, namun
tidak terlihat karena sudah dewasa.
100
4.6.3. Tiup untuk Panas atau Demam
Salah satu pengamatan pengobatan pada anak-anak yang diperoleh
pada saat observasi adalah pengobatan penyakit panas. Proses peniupan
dilakukan melalui dua tahap, yaitu meniup sembari memegang bagian dahi
anak dengan ujung ibu jari, dan juga peniupan pada media air untuk
kemudian diminumkan kepada anak yang sakit.
Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan tim terhadap pengobatan
oleh Pak Ks terhadap Rr. Pada malam hari tanggal 22 Mei 2014, setelah
maghrib, Pak Kd menjemput Pak Ks untuk dimintai tolong mengobati
anaknya. Anaknya yang bernama Rr memang sedari pagi sudah tidak enak
badan, suhu tubuhnya tinggi. Sebelum memanggil Pak Ks, anak kedua Pak Kd
sempat dimintai tolong untuk meminta obat kepada bidan desa berupa obat
penurun panas, namun sakit Rr belum sembuh juga sehingga pada malam
harinya dipanggillah Pak Ks.
Pak Ks kemudian mencoba mengobati Rr. Ibu dari Rr diminta duduk
memangku Rr di depan Pak Ks. Pak Ks memulai melakukan pengobatan
dengan cara mendekatkan jemari tangan kanannya pada dahi Rr, namun
tidak menyentuh, dan dengan posisi seperti akan mengambil sesuatu. Pak Ks
kemudian membacakan do’a tertentu, setelahnya menarik tangannya dan
melakukan gerakan membuang, begitu seterusnya selama kurang lebih 3 kali
gerakan. Barulah kemudian Pak Ks mendekatkan kepala ke bagian ubun-
ubun Rr, dengan posisi tangan kanan menggenggam di atas ubun-ubun
tersebut, kemudian meniupnya secara pelan-pelan.
Gambar 4.7 Pengobatan tiup-tiup oleh Pak Ks pada balita Sumber: dokumentasi peneliti
101
Selain ritual itu masih ada satu ritual lagi, yaitu tiup-tiup pada media
air. Setelah diambilkan air putih matang sebanyak satu gelas, air tersebut
diletakkan di lantai, kemudian Pak Ks membacakan do’a yang kemudian
ditiupkan secara perlahan pada air dalam gelas tersebut. Namun jarak
peniupan cukup jauh, tidak kontak langsung dengan Pak Ks dari dekat.
Setelahnya, air diminumkan kepada Rr sedikit. Tidak perlu langsung habis
secara sekaligus, namun bisa diminumkan lagi pada waktu yang lain. Setelah
itu, pengobatan ini dianggap selesai, dan akan dilakukan lagi apabila sakit
anak tersebut belum sembuh juga.
Gambar 4.8. Pak Ks sedang ‘meniup’ obat berupa air putih Sumber: dokumentasi peneliti
Selain itu, pengobatan terhadap demam atau panas ini dilakukan
pula pada saat Pak Ks dipanggil kembali oleh Pak Kd untuk mengobati Rr
yang panasnya belum kunjung sembuh juga. Namun, selain mengobati Rr,
Pak Ks juga dimintai tolong untuk mengobati Rt, anak kedua Pak Kd yang
pada saat itu sakit demam. Sakit demam Rt dialami hanya pada malam hari
saja, sedangkan pada pagi atau siang hari suhunya turun atau normal
kembali.
Pengobatan dilakukan dengan pertama-tama Rt diminta untuk
duduk di depan Pak Ks. Selanjutnya seperti pengobatan yang sebelumnya,
Pak Ks mendekatkan tangan kanannya pada Rt dengan posisi jemari seperti
akan mengambil sesuatu. Pak Ks kemudian membacakan do’a tertentu, dan
setelah selesai Pak Ks menghembuskan nafas seperti gerakan meniup ke
102
arah Rt sembari menarik tangannya dan melakukan gerakan seperti
membuang. Gerakan itu dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Setelahnya,
berbeda dengan pengobatan untuk Rr, tidak ada obat berupa minuman yang
ditiup ataupun obat lainnya yang diberikan kepada Rt.
Gambar 4.9. Pengobatan tiup-tiup anak usia 10 tahun Sumber: dokumentasi peneliti
4.6.4. Tiup untuk Sarampah
Sarampah adalah sebutan untuk penyakit cacar, namun tidak ada
spesifikasi untuk cacar jenis apa. Penyakit ini merupakan jenis yang paling
sering menjangkiti anak-anak dan cepat penularannya. Bahkan, berdasarkan
informasi Pak Ks, pada tahun 2014 lalu banyak sekali anak-anak yang terkena
sarampah. Sedangkan menurut informasi dari beberapa informan lain, salah
satunya adalah Pak Rn, seorang tenaga perawat yang bertugas di Sambujan,
di Sambujan Pulau ini bahkan sempat terjadi kejadian luar biasa (KLB)
campak.
Menurut Pak Ks, penyakit ini menyerang pada musim tertentu, yaitu
pada musim barat di bulan Desember. Jika jenis penyakit ini yang datang
menyerang, cara pengobatan dilakukan dengan memberikan tiupan pada air
kelapa muda. Bacaan yang dibacakan bersumber dari buku kumpulan
‘bacaan’ saat tiup-tiup, yaitu sebagai berikut: “..Waddi-waddi maanikam
sitaallah wapaallah Allahuakbar.”
Selanjutnya, air kelapa muda tersebut diberikan sebanyak setengah
gelas pada orang yang sakit karena dipercaya mampu membuang bisa dari
103
penyakit cacar sehingga akan cepat sembuh. Meskipun demikian, apabila
tidak ada air kelapa muda, media air putih biasa pun menurutnya dapat pula
digunakan. Proses pengobatan dengan ditiup ini kemudian dilakukan hingga
yang terjangkit sembuh.
Salah satu kasus sarampah yang ditangani oleh Pak Ks dan sempat
diamati oleh tim adalah sarampah yang dialami oleh Rr, anak dari Pak Kd.
Diketahui bahwa setelah 2 hari dari pengobatan Rr, panasnya tidak juga
turun dan bahkan muncul bercak-bercak merah pada bagian leher Rr dan
juga ditangannya. Oleh Pak Ks, diketahui bahwa Rr terkena sarampah atau
cacar, namun jenis cacar yang dialami oleh Rr bukanlah jenis cacar yang
mematikan.
Cara pengobatan yang diberikan oleh Pak Ks tidak jauh berbeda
dengan pengobatan pertama, yakni dengan membaca do’a sembari
mendekatkan tangan kanannya dengan posisi seperti hendak mengambil
sesuatu. Setelah membaca do’a kemudian Pak Ks menarik tangannya lalu
melakukan gerakan seperti membuang sesuatu. Gerakan dan bacaan
tersebut kemudian diulang lagi hingga tiga kali. Barulah setelahnya Pak Ks
membacakan do’a lewat media air, yang mana air tersebut diminumkan
kepada Rr.
Gambar 4.10. Pengobatan Sarampah dengan tiup-tiup
Sumber: dokumentasi peneliti
104
Informasi lain menyebutkan bahwa pada jaman dahulu, pengobatan
sarampah dilakukan dengan cara yang sama oleh dukun yang berbeda, yaitu
melalui air kelapa muda yang sudah diberikan tiupan. Melalui pengobatan
ini, cacar yang bercak merahnya sudah masuk ke dalam tubuh sehingga
membahayakanpun bisa timbul kembali untuk diobati. Begitu pula dengan
cacar yang besarnya sebesar jagung dan berisi nanah, atau disebut juga
sebagai puru api oleh masyarakat setempat. Sedangkan menurut informan
lain, Pak St, cara lain yang digunakan untuk mengobati penyakit ini pada
jaman dahulu adalah dengan cara membalut tubuh dengan sagu.
4.6.5. Tiup untuk Mata Tinggi
Jenis penyakit yang juga sering menyerang bayi adalah mata tinggi
atau biasa dikenal sebagai step di daerah lain. Jika terserang mata tinggi ini,
bayi akan mengalami kejang-kejang, panas tinggi, dan mata membelalak ke
atas. Sebagai pencegahnya, dipercaya bahwa bayi yang diminumi air kopi
dapat terhindar dari mata tinggi. Sedangkan salah satu penyebabnya,
dipercaya bahwa ikan cakalang yang dimakan ibulah yang membuat bayi
terkena mata tinggi, sehingga ibu dilarang untuk memakan ikan cakalang.
Namun, apabila sudah terlanjur terkena mata tinggi, Pak Ks juga
memiliki bacaan penawarnya, yaitu sebagai berikut: “..Raja bumbung sitti
bumbung.” Setelah membaca kalimat tobat, istighfar dan basmallah,
ditiuplah air yang sudah disediakan sebagai media, kemudian air diusap di
mata bayi.
4.6.6. Tiup untuk Batuk anak-anak
Apabila anak mengalami batuk secara terus-menerus, bacaan yang
dibacakan oleh Pak Ks bersumber dari buku kumpulan ‘bacaan’ miliknya
adalah sebagai berikut: “...Raja nunu batuk nunu ikuita bisa radidi anak-
anakmu.” Menurut Pak Ks, dengan membacakan bacaan ini, batuk yang bisa
bertahan hingga 100 hari bila tidak diobati akan reda hanya dalam waktu 2
hingga 10 hari.
4.6.7. Sakit Pusat Anak-anak
Apabila anak mengalami sakit pada tali pusatnya, bacaan yang
dibacakan oleh Pak Ks bersumber dari buku kumpulan ‘bacaan’ miliknya
105
adalah sebagai berikut: “...Tali Allah tali Muhammad, Tali Allah bura Allah”.
Bacaan tersebut dibaca setelah membaca kalimat tobat, syahadat dan
basmallah, kemudian ditiup ke pusat anak-anak yang sakit.
4.6.8. Tiup untuk Pneumonia
Salah satu praktek tiup-tiup yang sempat diamati oleh tim adalah
tiup-tiup untuk pengobatan bayi bernama Rk, seorang bayi berusia 7 bulan
yang diasuh oleh pasangan Ibu Mr dan Bapak Cnd. Bayi tersebut merupakan
satu-satunya bayi yang terdeteksi memiliki gejala pneumonia pada saat
posyandu. Berdasarkan informasi yang diperoleh, ia bukan berasal dari
Sambujan Pulau, melainkan dibawa dari Santigi. Sehingga tidak diketahui
penyebab terjadinya pneumonia.
Pada saat diperiksa, cara bernafas Rk sudah terlihat susah dengan
kondisi mulut terbuka atau menggunakan pernafasan mulut, dan dada
masuk ke dalam (seperti berlubang) saat mengambil nafas.Bayi ini kemudian
dibacakan do’a oleh Pak Ks, dan ditiup-tiup pada bagian kepalanya, dan
prosesnya tidak jauh berbeda dengan tiup-tiup pada kasus lain. Pak Ks
sendiri sebelumnya berkata bahwa kondisi anak sudah cukup parah dan
memerlukan pengobatan medis. Bagian yang diperhatikan oleh Pak Ks selain
cara bernafas adalah ubun-ubun. Menurut Pak Ks, ubun-ubun bayi sudah
masuk membentuk cekungan yang cukup dalam. Seperti yang dikatakan oleh
Pak Ks pada saat wawancara, semakin dalam cekungan pada ubun-ubun
bayi, berarti akan semakin susah untuk disembuhkan.
Gambar 4.11 Pengobatan tiup-tiup oleh Pak Ks pada anak usia 7 bulan (Sumber: dokumentasi peneliti)
106
4.6.9. Tiup untuk Sakit lainnya
Selain itu, ada beberapa penyakit lain yang bisa disembuhkan
apabila diderita anak-anak. Beberapa penyakit lain yang memiliki ‘bacaan’
untuk disembuhkan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tawar sakit perut: “Kabba tali Allah kumbihi kuncilah nuru Nabi bur bura-
bura Allah.”
2. Kudis: “Air babi sitti raani.” Bacaan tersebut ditiupkan pada minyak yang
habis dipakai untuk menggoreng bawang merah dan kunyit.
3. Penahan darah: “Nabi balu alkuraan”. Bacaan tersebut dibacakan untuk
mencegah keluarnya darah secara terus menerus, sehingga berguna
apabila anak terjatuh dan mengeluarkan darah.
4. Sakit pada gusi: Khusus untuk sakit pada gusi ini, tim sempat melakukan
pengamatan pada saat dilakukan pengobatan. Anak perempuan yang
diobati itu adalah Kel, memiliki keluhan sakit pada gusinya. Pada pukul
17.00 WITA, Kel datang menemui Pak Ks untuk berobat. Pak Ks kemudian
mengobati Kel di ruang tengah rumahnya. Kel diminta duduk di
depannya, kemudian Pak Ks membacakan bacaan tertentu kepada Kel
sembari mendekatkan tangan kanannya ke bagian kepala Kel, namun
tidak sampai menyentuhnya.
Setelah selesai membaca terlihat Pak Ks meniup dari jauh Kel,
dengan gerakan hanya seperti membuang nafas dari mulut saja. Lalu
beberapa kali terlihat tangan Pak Ks ditarik, kemudian melakukan gerakan
membuang lalu didekatkan lagi dan mengucapkan kembali bacaan yang
sama. Hanya saja, bacaan tersebut tidak dapat didengar karena Pak Ks hanya
terlihat seperti berbisik. Setelah sebanyak 3 kali melakukan gerakan yang
sama, kemudian pengobatan dinyatakan telah selesai. Tidak ada air putih
atau media apapun selain cara tersebut. Menurut Kel sendiri, sakit pada
gusinya sudah mulai membaik setelah ditiup sehari sebelumnya.
107
Gambar 4.12 Pengobatan tiup-tiup oleh Pak Ks pada anak usia 12 tahun Sumber: dokumentasi peneliti
4.7. KUNCI KEBERHASILAN TIUP-TIUP
Salah satu kunci keberhasilan dari pengobatan yang dilakukan
oleh Sando menurut Pak Ks adalah satu, yaitu kepercayaan. Pasien yang
datang untuk berobat ke Sando harus percaya terlebih dahulu bahwa
obat yang akan diberikan oleh Sando akan dapat bekerja untuk menjadi
penawar sakitnya. Apabila ada keraguan sedikit saja bahwa obat tersebut
tidak akan mempan, maka obat tersebut akan benar-benar tidak
mempan. Maka, dalam metode penyembuhan tiup-tiup ini, pasien harus
percaya terlebih dahulu. Selain itu, Sando pun juga harus percaya bahwa
ia bisa mengobati penyakit pasien.
Mengenai kepercayaan terhadap tiup-tiup, apabila yang menjadi
pasien adalah orang dewasa atau yang sudah mengerti, maka yang
diwajibkan untuk percaya obat yang didapat bisa menjadi penyembuh
adalah dirinya sendiri. Namun, apabila yang menjadi pasien adalah anak
yang baru lahir, bayi atau anak yang masih belum mengerti, maka ia tidak
diwajibkan untuk percaya. Hal ini dikarenakan anak kecil, terutama bayi
dianggap sebagai ‘anak wali’, yaitu anak yang belum memiliki dosa.
Dengan datangnya orangtua untuk mengobatkan anaknya kepada
Sando¸kemudian menyerahkan proses penyembuhan kepada Sando,
maka di saat itu pulalah Sando sudah seperti orangtua bagi bayi atau
anak tersebut.
108
4.7.1. Kasus 1: Bayi Ibu Nn
Salah satu kasus yang berisiko dengan adanya pengobatan secara
tiup-tiup ini adalah kasus bayi dari Ibu Nn. Ibu Nn adalah salah seorang ibu
yang persalinan anak keduanya ditolong oleh Sando setempat. Menurut
keterangan Ibu Nn, ia melahirkan dengan pertolongan Sando dikarenakan
pada saat akan melahirkan bidan desa sedang tidak ada di tempat, sehingga
daripada tidak ada yang membantu persalinan, keluarga pada akhirnya
memanggilkan Sando tersebut. Meskipun sebenarnya pada saat akan
meninggalkan desa, bidan desa sempat berpesan untuk menghubunginya
melalui telepon genggamapabila ibu Nn akan melahirkan dan bidan desa
bersedia kembali ke pulau kapan saja.
Pada akhirnya, ibu dan bayi dapat melalui proses persalinan tersebut
dengan selamat. Namun, permasalahan terjadi pada keesokan harinya. Bayi
Ibu Nn tampak baik-baik saja, bahkan tidak menangis rewel, sehingga tidak
ada yang curiga bahwa terjadi sesuatu yang beresiko pada bayi tersebut.
Pada saat bayi akan diganti bajunya oleh Ibu Nn sendiri, Ibu Nn terkejut
karena melihat gurita bayinya sudah berlumuran darah. Ternyata, tali pusat
bayi tersebutlah yang menjadi pusat keluarnya darah. Ia tidak tahu sejak
kapan tali pusat tersebut berdarah, namun jika dilihat dari banyaknya darah
yang membasahi gurita, kemungkinan darah tersebut sudah keluar sejak
semalaman.
Darah yang keluar tersebut memancar lewat dua jalur, satu jalur
pada sebuah lubang yang seperti bekas bentuk kuku, dan satunya lewat
ujung tali pusat. Menurut keterangan Ibu Nn, cara mengikat tali pusat
tersebut adalah menggunakan sebuah benang. Tali pusat dipotong melebihi
panjang telunjuk dan kemudian diikat sebanyak tiga kali. Menurut
keterangan bidan desa yang kemudian datang melihat, cara mengikat tali
pusat dari Sando tersebut memang tidak kuat.
Setelah mengetahui tali pusat bayi berdarah, pihak keluarga
kemudian memanggil kembali Sando. Sando kemudian berusaha menangani
bayi, hanya saja darah masih terus memancar keluar. Beberapa Sando,
termasuk suami dari Sando pun datang bergantian untuk diminta
memberikan tiupan pada tali pusat bayi. Namun, usaha tersebut tak kunjung
berhasil pula.
109
Ibu Nn tidak mengetahui secara pasti jumlah dan siapa saja yang
datang untuk memberikan tiupan serta berapa lama proses tersebut
dilakukan karena selain ada banyak orang berdatangan, ia pun sibuk
mengganti sarung penahan darah bayinya. Hanya saja, menurut
keterangannya, proses itu cukup lama terjadi sampai kemudian ada saudara
yang datang dan berinisiatif untuk membawa anaknya ke rumah sakit serta
ia pun sudah menyiapkan ketinting untuk pergi ke kota. Pada saat itulah
akhirnya bayi Ibu Nn dibawa ke rumah sakit. Tali pusat bayi dari Ibu Nn
masih memancarkan darah pada saat perjalanan, padahal waktu tempuh ke
kota bisa sampai 1 jam lebih tergantung kondisi ombak dan kecepatan
mesin. Kondisi bayi dari Ibu Nn sudah terlihat lemas saat di perjalanan
tersebut.
Untungnya, bayi masih belum terlambat di tangani oleh medis.
Sesampainya di rumah sakit, tali pusat bayi dibuka dan diganti dengan
menggunakan jepit sehingga darahnya berhenti. Beberapa hari kemudian,
bayi Ibu Nn sudah terlihat sehat, meskipun ia baru bisa keluar sepuluh hari
kemudian dikarenakan permasalahan administrasi.
Kasus bayi dari Ibu Nn ini menunjukkan bahwa ada kalanya
meskipun pengobatan secara tiup-tiup dianggap bisa menyembuhkan,
namun penanganan secara medis pun harus tidak boleh kalah diberikan.
Penanganan oleh medis yang terlambat diberikan untuk kasus bayi ibu Nn ini
beresiko menimbulkan kematian kepada bayi. Oleh karenanya, penting pula
untuk mengenali gejala sakit dan membedakan antara sakit mana yang harus
mendapat penanganan medis secara cepat, dan mana yang bisa ditunda.
4.7.2. Kasus 2: Kematian Anak di Desa Sebelah
Kasus lain yang berisiko, bahkan berakhir pada kematian adalah
kasus pada Cp, seorang anak berusia sekitar 10 tahun di Desa Labuan Lobo.
Tim memang sempat sengaja keluar dari Desa Sambujan untuk mencari
informasi dan membandingkan tradisi melahirkan dan pengobatan di desa
tersebut selama dua hari satu malam. Pada saat itulah, secara tidak sengaja
ada kasus kematian anak yang sakit tanpa sempat mendapatkan
penanganan medis.
Nenek Jr dan Kakek Nr memang dikenal sebagai sepasang suami istri
yang bisa memberikan pertolongan persalinan dan pengobatan tiup-tiup di
110
Desa Labuan Lobo. Pasien tiup-tiup terkadang ada yang di bawa kerumah
Kakek dan Nenek untuk diobati, namun adapula yang diobati di rumah
mereka sendiri. Pada saat menginap, tim sempat mengamati kegiatan
pengobatan tiup-tiup pada seorang bayi di rumah Kakek dan Nenek pada
pagi hari. Pada saat melakukan tiup-tiup pada seorang bayi itulah kemudian
datang seorang warga yang memberikan kabar bahwa anak yang kemarin
ditangani oleh Kakek Nr barus saja meninggal.
Menurut informasi dari Kakek Nr sehari sebelumnya, anak kecil yang
bernama Cp tersebut sedang sakit bengkak-bengkak pada badannya dan
sedang mengalami panas tinggi. Kakek Nr sempat dipanggil hingga sebanyak
tiga kali, namun pada saat Kakek datang, gejala sakit Cp menghilang dan ia
terlihat baik-baik saja, bisa makan, duduk seperti biasa dan lain sebagainya.
Namun, ketika ditinggal oleh Kakek Nr, sakit Cp kambuh lagi.
Hal ini menyebabkan Kakek Nr tidak bisa mengetahui jenis penyakit
Cp. Oleh karenanya, ia sempat ‘melepas’ Cp untuk ditangani oleh Sando lain
yang berasal dari Tampo, dan dukun tersebut tak lain adalah pamannya
sendiri. Paman dari Kakek Nr sudah datang dan memberikan obat berupa
kuning mentah yang sudah ditiup-tiup agar kemudian digunakan dengan
cara diparut lalu dioles pada Cp. Namun, ternyata kuning mentah itu tidak
digunakan dan pihak keluarga masih memanggil kembali Kakek Nr sehari
sebelumnya. Hal yang sama pun terjadi, penyakit Cp tetap tidak mau
‘menunjukkan dirinya’ kepada Kakek Nr. Dan pagi itu, pihak keluarga kembali
datang untuk memanggil Kakek Nr, serta memanggil paman Kakek Nr,
namun sayangnya, sebelum kedua Sando tersebut datang, Cp sudah
menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 06.30 WITA. Menurut
Kakek Nr, pihak keluarga juga sudah sempat diminta untuk membawa Cp ke
fasilitas kesehatan, namun ternyata Cp tidak juga dibawa ke fasilitas
kesehatan dan terus memanggil Kakek Nr untuk mengobatinya.
111
Gambar 4.13 Salah seorang warga melihat jenazah Cp
Sumber: dokumentasi peneliti
Pada kasus ini terlihat bahwa kerjasama antara Sando, tenaga
kesehatan dan keluarga anak yang sakit penting adanya. Berdasarkan hasil
percakapan terhadap pasangan Sando dan Sando tersebut, terlihat bahwa
keduanya bersifat terbuka terhadap pengobatan secara medis. Sando
memiliki ranah pengobatan tersendiri yang mana ranah pengobatan
tersebut merupakan ranah yang penyakitnya tidak bisa diobati secara medis,
seperti misalnya karena keteguran atau karena sakit yang ‘didatangkan’.
Keterbukaan pihak keluarga juga memiliki pengaruh dalam proses
pengobatan anak. Apabila keluarga dapat diajak bekerja sama dan bersifat
terbuka untuk bersedia mengobati anak baik secara tiup-tiup ataupun medis,
maka kejadian seperti ini kemungkinan besar dapat diminimalkan.
4.8. PERAN SANDO DALAM TRADISI LAINYA
4.8.1. TRADISI SALAMATAN
SALAH SATU RITUAL PENGOBATAN YANG BIASA DILAKUKAN DI DESA
SAMBUJAN ADALAH KEBIASAAN SALAMATAN. KEBIASAAN
SALAMATAN INI MENURUT NENEK MT, SANDO SETEMPAT,
MERUPAKAN ADAT PENGOBATAN YANG BERASAL DARI TOLITOLI,
SEHINGGA YANG BIASA MENGADAKAN ADAT INI ADALAH YANG
MEMILIKI DARAH SUKU TOLITOLI, SEPERTI KELUARGA NENEK MT.
112
KEBIASAAN SALAMATAN INI BARU AKAN DILAKUKAN APABILA ADA
YANG ‘MEMINTA’ UNTUK DILAKUKAN KEBIASAAN SALAMATAN
TERSEBUT, SEHINGGA WAKTUNYA TIDAK TERTENTU.
Seperti misalnya yang dilakukan untuk mengobati anak Pak St, dan
juga untuk mengobati Pak Sy. Kasus anak Pak St dan kasus Pak Sy adalah dua
kasus berbeda. Pengadaan kebiasaan salamatan untuk anak Pak St,
dilakukan karena menurutnya, anak yang disalamati tersebut sering sakit-
sakitan, sehingga adat ini dilakukan agar anaknya tidak sakit-sakitan lagi.
Sedangkan pengadaan pengobatan untuk Pak Sy dilakukan untuk memenuhi
niatan Pak Sy pada saat sakit.
Gambar 4.14 Ritual pemutaran ayam pada anak orang yang sakit Sumber: dokumentasi peneliti
Pada saat sakit, Pak Sy mengucapkan niatan bahwasanya apabila ia
sembuh, ia akan melakukan salamatan, sehingga dilaksanakanlah ritual ini untuk
memenuhi niatannya agar penyakit tersebut tidak kembali mengganggunya
maupun keluarganya.Sama seperti ritual sebelumnya, mula-mula ayam dibaca-
bacakan do’a oleh Nenek Mt, kemudian diasap-asapi dengan asap kemenyan.
Selanjutnya, sayap ayam dibuka dan dilewatkan di atas kepala Pak Sy. Selain di
atas kepala Pak Sy, ayam dengan sayap terbuka tersebut juga diputar
dilewatkan di atas kepala kedua anak serta istri dari Pak Sy.
113
Gambar 4.15 Penyembelihan Ayam untuk Salamatan
Sumber: dokumentasi peneliti
Barulah kemudian ayam akan dibaca-bacakan do’a oleh Kakek Nr
dan disembelih. Ayam yang dipakai adalah ayam khusus, dengan syarat
ayam tersebut belum pernah dipakai untuk ritual lain, dan merupakan ayam
betina apabila dipakai untuk menyelamati perempuan, serta ayam jantan
apabila dipakai untuk menyelamati laki-laki. Menurut Kakek Nr, ayam yang
dipakai ritual seperti ini pada jaman dahulu merupakan ayam hutan, namun
karena ayam hutan pada jaman sekarang susah dicari, maka dipakailah ayam
yang menyerupai ayam hutan, salah satunya adalah ayam yang berwarna
kemerah-merahan tersebut.
Setelah disembelih, ayam tersebut kemudian dimasak oleh Nenek
Mt, dengan syarat, berapapun jumlah ayam yang disembelih, macam
masakan yang dibuat dari ayam ersebut hanya 1, yaitu ayam kuah kuning.
Namun, ketika ditanya alasannya, Nenek Mt hanya berkata bahwa sudah
tradisi dari dulu seperti itu, tidak ada maksud dan alasan tertentu. Saat ayam
dimasak, sembari menunggu matangnya masakan ayam, Nenek Mt mulai
menata makanan lain beserta peralatan makannya.
114
Gambar 4.16 Peralatan dan makanan-minuman yang disiapkan untuk
selamatan Sumber: dokumentasi peneliti
Jenis makanan yang disediakan antara lain soko dua warna; merah
dan putih, telur dimasak dadar, pisang goreng dan nasi putih biasa. Cara
menata makanan dan alat makan memang tidak boleh sembarangan.
Namun Nenek tidak bisa menyebutkan alasannya, hanya saja menurutnya
tata cara tersebut sudah tradisi sejak jaman dahulu, sehingga ia mengikuti
tata cara tersebut. Langkah pertama adalah dengan mengasapi perlatan
makan dan makanan dengan asap kemenyan sembari dibaca-baca do’a
selamat.
Gambar 4.17 Proses pengasapan alat makan dan makanan dengan asap kemenyan
Sumber: dokumentasi peneliti
115
Gambar 4.18 Penataan makanan untuk salamatan oleh Sando
Sumber: dokumentasi peneliti
Selanjutnya soko ditata pada piring yang sudah disiapkan, yaitu 3 piring
kecil untuk soko putih, 3 piring kecil untuk soko merah, dan 2 piring besar untuk
masing-masing soko putih dan merah. Soko tersebut ditata dengan bentuk
setengah bola, kemudian pada puncak soko besar diberi 1 butir telur rebus,
sedangkan pada soko kecil diberikan telur dadar, dan terakhir ditaruh ke dalam
2 nampan. Selanjutnya jika masakan ayam kuah kuning sudah matang, masakan
tersebut dituangkan pada 4 buah mangkok yang terbagi pada 2 nampan, dan
diletakkan berselang seling dengan soko.
Setelah selesai menata makanan, kemudian Nenek menaruh masing-
masing dua uang koin pada dua buah gelas yang diletakkan dekat dengan
nampan makanan. Menurut Nenek, uang koin tersebut merupakan koin khusus
yang selalu digunakan pada ritual salamatan seperti ini.
Gambar 4.19. Sando menaruh uang koin pada gelas
Sumber: dokumentasi peneliti
116
Selanjutnya Nenek menuangkan air putih pada gelas tersebut, serta
pada dua buah mangkok kecil yang disediakan untuk cuci tangan. Sedangkan
untuk fungsinya, Nenek tidak bisa menyebutkan secara spesifik satu persatu,
namun disebutkan bahwa sama seperti dengan rangkaian penataan
makanan dan juga makanan yang disediakan lainnya, fungsi koin dan air
putih tersebut adalah sebagai obat.
Gambar 4.20. Sando menuangkan air putih ke dalam gelas
Sumber: dokumentasi peneliti
Selain itu, terdapat satu nampan lagi yang disiapkan. Nampan
tersebut berisi tiga buah cangkir kopi dan sepiring pisang sepatu yang
digoreng. Cangkir kopi ditata secara khusus, yaitu sebuah cangkir kopi tanpa
gula diapit oleh dua buah cangkir kopi yang diberi gula. Tidak ada alasan
khusus yang dikemukakan oleh Nenek, hal tersebut sudah tradisi dari dahulu,
hanya saja, mungkin satu cangkir kopi tersebut dibuat tanpa gula untuk
berjaga-jaga apabila peminum kopi ada yang tidak menyukai gula.
Setelah makanan dan minuman selesai ditata, Nenek Mt memanggil
Kakek Nr. Kakek Nr kemudian duduk diantara makanan dan membakar
kemenyan, kemudian membacakan do’a. Rangkaian do’a yang dibaca menurut
Kakek adalah do’a selamat, namun macam do’a yang dibacakan oleh Kakek
tidak diketahui karena Kakek membaca tanpa suara. Do’a tersebut kemudian
diaminkan oleh Nenek Mt yang duduk di belakang Kakek Nr.
117
Gambar 4.21 Pembacaan do’a selamat pada makanan
Sumber: dokumentasi peneliti
Gambar 4.22 Makanan dan minuman yang sudah siap untuk dimakan bersama
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Setelah selesai dibacakan do’a, Kakek dan Nenek kemudian
mempersilahkan makanan tersebut untuk dimakan oleh keluarga yang
mengadakan selamatan, yaitu Pak Sy, dan juga kepada orang-orang yang
berada di rumah tersebut. Tidak ada peraturan khusus dalam hal memakan
makanan, semua jenis makanan boleh dimakan, termasuk kopi yang sudah
disiapkan. Hanya saja air putih yang sudah diberi koin di dalamnya
118
diperuntukkan untuk diminum oleh Pak Sy dan juga Kakek Nr. Sedangkan
untuk ketentuan yang memakan dan meminum hidangan pun tidak ada
syarat tertentu, keluarga yang mengadakan salamatan bisa mengundang
orang banyak jika memang berniat untuk mengadakan untuk orang banyak,
namun juga boleh mengadakan terbatas hanya keluarga saja tanpa
mengundang orang lain.
4.8.2. TRADISI ADAT SOLOK
Sambujan Pulau didiami oleh banyak suku pendatang, dan bahkan
hanya sedikit suku asli Tolitoli-nya. Salah satu suku yang mendiami Sambujan
adalah Suku Solok. Bagi Suku Solok, ada satu lagi adat yang biasa dibuat
apabila ibu mengalami kesulitan saat melahirkan atau apabila anak
mendapatkan penyakit yang tidak kunjung sembuh, yaitu biasa disebut
sebagai adat solok. Adat ini akan dilakukan bagi yang memiliki keturunan
Solok saja. Namun, karena tali pernikahan antar suku bebas dilakukan, pada
akhirnya adat ini akan dilakukan pula oleh anak cucu suku Tolitoli maupun
suku lain yang memiliki darah campuran Solok, meskipun hanya sedikit.
Salah satu keturunan Solok yang memiliki peranan penting di
Sambujan adalah Pak Nw. Menurut Pak Nw, saat ini keturunan Solok yang
mendiami Sambujan ada sekitar 20-an orang. Pak Nw merupakan ketua adat
solok, disebut demikian karena ia memiliki sebuah pedang peninggalan dari
nenek moyang Suku Solok, yang digunakan ketika mengadakan adat Solok.
Sehingga, pada akhirnya ialah yang pada saat ini menjadi pemimpin saat
prosesi adat solok diadakan.
Pak Nw akan mengadakan adat solok apabila ‘diminta’. ‘Diminta’ di
sini maksudnya adalah apabila ada pihak yang memintanya untuk menolong
seseorang saat sakit yang disebabkan oleh ‘diminta untuk melakukan adat’,
yaitu penyakit yang tidak kunjung sembuh apabila diobati dengan medis
saja. Tanda-tanda bahwa suatu penyakit adalah penyakit yang disebabkan
oleh ‘minta adat’ adalah apabila Pak Nw datang memeriksa dan mendo’akan
serta meminta pertolongan Kakek Seribu, si sakit akan segera sembuh.
Permohonan pertolongan kepada Kakek Seribu tersebut dikarenakan Suku
Solok di Sambujan percaya bahwa mereka merupakan keturunan dari Kakek
Seribu, salah satu dari lima bersaudara yang merupakan garis keturunan
pertama suku Solok. Seperti yang dijelaskan oleh Pak Nw, sebagai berikut:
119
“..ya sakit-sakit kadang-kadang, memang banyak juga gejalanya itu, kalau memang adat. kadang-kadang dia berobat, ke rumah sakit barobat, ndak sembuh juga. kalau anak-anak itu.. dia, bodo', menangis terus, gila. kalau dibawa sudah ke rumah sakit dibelikan obat segala macam carikan dukun ndak mau, kadang-kadang sudah ada itu bahwa jangan-jangan adat yang dia minta to. dia datang sama saya,bilang tolong dulu Pak nw, diliat dulu adek, barangkali adat minta to. Saya minta sama Datuk, kalau memang datuk yang minta tolong sembuhkan saya ini cucu, setelah makannya, kita bakaseh makan to untuk sembuh, kadang juga itu anak nggak dia baku .. lagi langsung.. sehat dia. langsung sehat. ha, sudah..orangtua ya bebikin, diberikan kesehatan sudah dia.”
Apabila anak anak tidak kunjung sembuh setelah diperiksa dan
dido’akan, maka adat ini tidak perlu dilakukan. Seperti yang dijelaskan oleh
Pak Nw, sebagai berikut:
“Setelah sembuh, kadang-kadang juga bahwa mengatakan bahwa tolong Pak dibawa, barang kali ada to, kalo memang saya anukan itu adek tidak mau sembuh, sakit-sakit, jangan bikin, berarti bukan dia to. bukan dia.. kecuali ki..kita minta pertolongan sama saya punya Datuk, dia berikan sembuh, berarti dia. dimintakan pertolongan dulu sama dia, kalau memang kita yang ini anukan cucu ini, tolong berikan kesehatan, sembuhkanlah dia.”
Pengadaan adat solok tidak harus dilakukan setelah sakitnya
sembuh, melainkan boleh pula pada saat anak tersebut masih sakit.
Sebenarnya tidak ada keharusan untuk melakukan adat ini bagi Suku Solok
yang sakit, namun ia menjadi sebuah keharusan untuk diadakan apabila si
sakit atau orangtua si sakit sempat berniat untuk mengadakan adat ini jika
setelah berdo’a si sakit benar-benar sembuh. Jika ia sudah berniat namun
tidak tidak melakukan adat, dikhawatirkan penyakitnya akan datang
kembali.
Pak Nw juga biasa dipanggil untuk menolong saat ada ibu keturunan
Solok yang mengalami kesulitan melahirkan. Menurut Pak Nw, saat ia
dipanggil untuk memeriksa ibu yang mengalami kesulitan saat melahirkan, ia
akan meminta ijin kepada suami ibu tersebut untuk mengusap perut ibu.
120
Pada saat mengusap perut Ibu itu, Pak Nw akan meminta bantuan kepada
Kakek Seribu. Setelah memohon pertolongan tersebut, menurut Pak Nw,
biasanya ibu hamil yang mengalami kesulitan melahirkan akan menjadi lebih
mudah prosesnya. Jika proses persalinan sudah berhasil, serta ibu dan bayi
tersebut selamat, barulah akan diadakan prosesi adat solo. Hal ini sesuai
dengan penjelasan yang disampaikan oleh Pak Nw, sebagai berikut:
“Biasa kalau saya, kebetulan memang dia itu anu, saya minta permisi sama suami, tolong berikan saya kesempatan untuk sapu perutnya dia to, kan dia kemenakan saya to. Termasuk anak sendiri to, cuma dia kasih saya... a sudah, a dia su.. begitu melahirkan ya sudah, babikin dia. Biasa juga babikin untuk dia, dia kasih juga anaknya, jadi dua dia bikin. Kita buat dua gambar (buaya).”
Adat solok terkadang disebut pula sebagai adat buaya oleh orang
lain. Hal ini dikarenakan nantinya, makanan yang dibuatkan untuk ritual adat
dibentuk menyerupai buaya. Buaya yang digambarkan adalah buaya yang
kakinya berjari lima. Hal ini dikarenakan Suku Solok percaya bahwa mereka
memiliki keturunan kembar buaya. Buaya ada dua jenis, yaitu yang kakinya
berjari lima dan yang berjari empat. Buaya yang kakinya berjari lima
dipercaya sebagai buaya baik, yaitu buaya yang merupakan kembaran
manusia, sehingga ketika bertemu dengan manusia ia tidak akan
memakannya. Bahkan, ia dapat dimintai pertolongan. Seperti yang
dijelaskan oleh Pak Nw, sebagai berikut:
“Kan buaya kan ada dua macam, ada yang 4 jari, ada yang 5 jari. jadi kalau kita itu kalau buaya yang lima jari merajalela kita ndak pernah dia sentuh, kecuali buaya yang 4 jari, itu yang kita khawatirkan. kalau buaya 5 jari ndak takut kita. bisa saja berkawan dengan kita. sebab itu kita punya keturunan, saya punya nenek.”
Makanan yang dibentuk menyerupai buaya tersebut biasa dibuat
oleh istri Pak Nw, atau terkadang juga oleh saudaranya yang datang dari
Tarakan. Makanan ini mulzi disiapkan sehari sebelum adat solok dilakukan,
bahkan seringkali istri Pak Nw tidak tidur semalaman. Hal ini dikarenakan
adat ini harus diadakan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WITA, sehingga
121
makanan harus siap kurang lebih pukul 05.00 WITA. Ketentuan pengadaan
adat pun berbeda antara anak-anak dengan orang dewasa, yaitu pada bulan
3,5,7 untuk anak-anak, dan 7,9,11 untuk orang dewasa. Ketentuan ini
merupakan ketentuan yang sudah turun temurun dilakukan, sehingga ia pun
hanya mengikuti ketentuan tersebut. Boleh dilanggar, asalkan dalam
keadaan terdesak, atau salah perhitungan, namun lebih baik jika tidak
dilanggar.
Ukuran buaya yang dibuat tidak ada ketentuan, tergantung pada niat
yang membuat adat. Jika sekaligus untuk acara makan-makan, maka
dibuatlah yang besar. Jika hanya untuk obat, maka walaupun hanya kecil
sekalipun tak apa, asal berbentuk buaya. Aturan lainnya dalam mengadakan
adat ini adalah tidak bisa mengundang orang. Namun, biasanya orang-orang
akan berdatang dengan sendirinya jika sudah mendengar akan diadakannya
adat solok. Mereka turut memakan makanan berbentuk buaya tersebut.
Setelah selesai, sisa-sisa makanan dengan daun sebagai alasnya akan
dihanyutkan ke laut.
Jenis makanan yang harus dibuat antara laki-laki dan perempuan
sama saja, hanya berbeda warna. Ada empat soko yang dibuat berbeda
warna untuk disusun sebagai badan buaya. Yaitu soko hitam untuk bagian
kepala, disusul soko kuning, soko merah, soko putih dan terakhir soko hitam
di bagian ekor untuk laki-laki. Sedangkan untuk perempuan, urutan
warnanya berbeda, yaitu soko kuning untuk kepala, selanjutnya soko hitam,
soko merah, soko putihdan terakhir soko kuning untuk bagian ekornya.
Untuk membentuk sisik buaya dipakailah kue cucur yang jumlahnya puluhan.
Sedangkan untuk kakinya dibuat dari dodor. Dodor adalah makanan yang
dibuat dari beras pulud (ketan) yang dimasak dengan gula merah sehingga
warnanya menjadi merah. Kesemuanya disusun menyerupai buaya di atas
selembar daun pisang. Berikut penjelasan tentang penyusunan makanan
menurut Pak Nw:
“kue cucur yang banyak dibikin, puluhan, dodor. Cucur dibikin dia punya sisik (dibadan atau di atas soko), beras pulud dulu diatur, digambar seperti buaya, baru matanya itu dibuat telur dibikin matanya, kemudian dikasih bunder-bunder 3, dibikin dia punya tungku diatasnya atau di kepala dari dodor. tangan telunjuknya itu dodor juga.”
122
Selain itu, adapula makanan lain berupa ayam panggang dan daun
sirih. Untuk ayam panggang, ayam yang merupakan ayam khusus, yaitu
ayam berbulu merah. Selain ayam panggang ini, juga terdapat 1 ayam lagi
yang akan dipelihara, dimana kaki ayam tersebut diikat oleh dua buah kain
berwarna merah dan kuning. Tidak ada alasan tertentu mengenai mengapa
penataan dan warna soko-nya harus demikian, hanya saja sama seperti
waktu pelaksanaan, menurut Pak Nw, tatacara tersebut sudah turun
temurun dibuat sedemikian rupa oleh orang terdahulu Suku Solok.
Setelah makanan berbentuk buaya siap, barulah pedang yang
dirawat Pak Nw akan digunakan. Fungsi dari pedang tersebut adalah untuk
memotong makanan yang sudah dibentuk menyerupai buaya setelah diputar
sebanyak 3 kali, kemudian nasi berwarna hitam dengan telurnya akan
diambil dengan ujung pedang. Selanjutnya, makanan yang berada di ujung
pedang akan dimakan oleh orang yang dibikinkan adat. Buaya tidak bisa
dipotong dengan alat lain karena sejak dahulu sudah dilakukan demikian.
Oleh karenanya, setiap ada yang mau mengadakan adat solok ini pasti akan
memanggil Pak Nw.
Fungsi lain dari pedang ini menurut Pak Nw adalah membantu
menghindarkan dari bencana. Salah satunya adalah pada saat terjadi
kebakaran beberapa tahun sebelumnya. Saat terjadi kebakaran, pedang
tersebut berada di dalam rumah. Pak Nw yang tadinya berada di luar rumah
kemudian masuk ke dalam dan mengambil pedang tersebut. Kemudian ia
meminta bantuan kepada Kakek Seribu agar rumahnya tidak ikut terbakar.
Setelah itu, ia seperti mendengar bisikan yang memintanya agar tetap
tinggal di dalam rumah beserta pedangnya, padahal api sudah semakin
mendekat ke rumah tersebut. Pada akhirnya, menurut keterangan Pak Nw,
rumah Pak Nw memang selamat, hanya sedikit saja yang terbakar pada
tepiannya, padahal beberapa rumah di sebelahnya sudah habis dilalap api.
123
Gambar 4.23 Pedang Peninggalan Nenek Moyang Suku Solok Sumber: dokumentasi peneliti
Pedang ini sebenarnya memiliki dua teman, yaitu sebuah tombak
dan sebuah keris serta ketiganya berjumlah 5 pasang, namun dua senjata
lain beserta 4 pasangan lain ini sudah tidak diketahui keberadaanya. Di
pegangan pedang terdapat dua pita kain berwarna kuning dan merah, dua
pita berwarna sama nantinya akan ditali pada ayam yang disediakan untuk
disembelih pula. Pedang ini pada saat ini disarungkan pada sarung kayu,
sedangkan menurut informasi Pak Nw, dulunya ia disarungkan pada sarung
perak, namun sayangnya sarung tersebut dirampok dan hanya tertinggal
pedangnya saja.
4.9. KERJASAMA SANDO DENGAN TENAGA KESEHATAN
Pola kerjasama antara Sando dan bidan desa di Sambujan terlihat
masih kurang baik dikarenakan Sando belum bermitra dengan bidan. Pola
pemilihan pertolongan persalinan sebagian cenderung lebih memilih Sando
terlebih dahulu ketimbang bidan desa. Sehingga, untuk proses persalinan
dibantu oleh Sando tanpa pengawasan bidan desa, barulah kemudian bidan
desa dipanggil untuk diminta memberikan ‘’suntikan’’. Menurut keterangan
124
bidan desa, ia sempat mendekati Sando tersebut di awal kedatangannya di
desa agar bisa lebih mudah mengajak Sando untuk bekerja sama, namun
pada kenyataannya, terdapat dua persalinan dari tiga persalinan ibu yang
tidak melibatkan bidan desa selama 2014-2015, atau 1,5 tahun terakhir.
Kerjasama antara Sando ahli tiup-tiup dengan bidan desa di
Sambujan terbilang cukup baik. Hal ini terbukti dengan pemberian saran dari
Sando kepada keluarga orang yang sakit atau orang yang bersangkutan
untuk memeriksakan diri kepada bidan desa apabila tiupan-nya dirasa tidak
mempan. Selain itu, Sando juga tidak membatasi bahwa pemberian obat
harus berasal darinya dan membolehkan pasien untuk mengkonsumsi obat
lain yang berasal dari bidan desa. Dan yang paling penting, sudah ada
pembagian antara mana pengobatan yang bisa sembuh melalui Sando, dan
mana yang ranah tenaga kesehatan.
Kerjasama antara Sando dan bidan desa ini juga terlihat pada saat
proses pengobatan tiup-tiup terhadap Rk, bayi yang terkena pneumonia.
Pada saat pengobatan tersebut, selain Pak Ks juga hadir bidan desa. Darisana
terlihat kerjasama antara bidan desa dan Sando dalam hal advokasi, yaitu
membujuk keluarga bayi untuk segera membawanya periksa ke rumah sakit
atau fasilitas kesehatan yang lebih memadai. Dari perbincangan yang terjadi,
dapat disimpulkan bahwa alasan keluarga tidak membawa bayi ke fasilitas
kesehatan adalah faktor ekonomi. Untuk itu, bidan desa memberikan
alternatif solusi berupa pengurusan jaminan kesehatan dari ibu atau ayah
kandungnya, karena bayi tersebut memang hanya merupakan bayi yang
diasuh oleh Ibu Mr dan Pak Cnd dikarenakan pasangan ini belum mempunyai
anak serta ibu si bayi meninggal saat melahirkan. Dalam perbincangan
tersebut tidak ada paksaan, hanya anjuran saja, sehingga keputusan terakhir
tetap berada pada keluarga bayi. Sayangnya, pada akhirnya, keesokan
harinya bayi tersebut masih dibawa untuk berobat ke Sando lain di Santigi,
tempat asal dari keluarga Ibu Mr, dan semenjak itu pula tim tidak
mengetahui kelanjutan perawatan bayi dikarenakan keluarga tersebut
belum kembali ke Sambujan hingga waktu kepulangan tim sudah tiba.
Seperti yang telah di uraikan pada bab 2 sebelumnya, pengertian
Sando adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki kemampuan spiritual
dalam melakukan pengobatan penyakit yang tergolong penyakit magis.
Penyakit magis yang dimaksud dalam buku ini adalah penyakit yang datang
125
atau muncul akibat gangguan makhluk halus atau roh jahat atau bahkan
karena melanggar sebuah pantangan. Proses sosialisasi untuk menjadi
seorang sando di Desa Sambujan ada beberapa macam, yang pertama
adalah karena keturunan dari seorang sando. Namun ada juga seorang
Sando yang memperoleh ilmunya dengan cara belajar ke orang yang pernah
menjadi seorang Sando walaupun dirinya bukanlah atau bahkan tidak
memiliki ketrunan dari seorang sando. Hal ini berarti setiap orang bisa
menjadi seorang sando dengan belajar kepada seorang sando.
Gambar 4.24 Seorang sando yang sedang mengobati seorang bayi. Sumber : dokumentasi peneliti
Dalam bahasa Tolitoli, istilah Sando memang diperuntukkan baik
bagi bidan kampung maupun dukun kampung. Istilah bidan kampung
diperuntukkan bagi dukun yang menolong persalinan, sedangkan dukun
kampung adalah dukun yang memberikan pengobatan dengan metode tiup-
tiup.
126
BAB 5
ANALAISIS PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT
TOLITOLI
5.1. PENGARUH TRADISI PENGOBATAN ARAB PADA TIUP-TIUP
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, tampaknya tata cara
pengobatan dengan metode tiup-tiup memiliki kemiripan dengan salah satu
cara pengobatan pada agama Islma, yaitu Thibbun Nabawi atau pengobatan
cara Nabi. Yaitu tata cara pengobatan yang diyakini sebagai kumpulan tata
cara pengobatan yang biasa dilakukan oleh Nabi Muhammad yang
bersumber dari hadits-hadits Nabi. Isinya sendiri merupakan kebiasaan Nabi
dalam mencegah penyakit, mengobati rasa sakit, dan menjaga kesehatan
secara umum, atau, intinya adalah tentang anjuran hidup sehat serta
berobat ketika sakit (Soenarwo, 2009).
Untuk cara pengobatan ala Thibbun Nabawi sendiri, metode
pengobatannya ada banyak, seperti misalnya melalui terapi hijamah atau
bekam, ruqyah, penggunaan madu, jintan hitam, minyak zaitun, kurma,
hingga air zam-zam sebagai obat. Namun, dari kesemua metode tersebut,
terdapat satu unsur yang paling penting dan tidak boleh ketinggalan, yakni
unsur do’a. Do’a merupakan permohonan kepada Tuhan untuk meminta
sesuatu, seperti meminta agar tetap diberi kesehatan dan kesembuhan dari
sakit (Al-Firdaus, 2011). Dalam hal ini, do’a juga dijadikan sekaligus sebagai
obat karena dipercaya dapat menolak, mengatasi, mencegah kedatangan,
menghilangkan dan meringankan penyakit yang sudah menimpa (Al Jauziyah
dalam Al Firdaus, 2011).
Pada unsur inilah terdapat kesamaan antara pengobatan dengan
metode tiup-tiup ala Sando dengan pengobatan ala Sando. Dalam bukunya,
secara lebih lanjut Al Firdaus menuliskan tentang tata cara dan bacaan yang
dibacakan untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit. Tata cara
pengobatan yang ditulis oleh Al-Firdaus dalam bukunya adalah tata cara
pengobatan yang bersumber dari hadits-hadits Nabi, dan cara mengobatinya
bermacam-macam, ada yang mulai membaca dalam hati saja hingga
membaca do’a kemudian ditiupkan pada media air atau bisa juga langsung
127
pada bagian yang sakit. Hal ini sama dengan metode pengobatan melalui
Sando dengan tiup-tiup. Perbedaannya terbesarnya adalah, bacaan yang
dibaca untuk metode tiup-tiup berbahasa campuran, yaitu ada yang
berbahasa daerah (bahasa Dondo dan Bugis), dan adapula yang berbahasa
Indonesia. Sedangkan bacaan yang dibaca melalui metode pengobatan Nabi
merupakan do’a-do’a yang diucapkan oleh Nabi saat mengobati orang sakit.
Namun, intinya adalah sama, yaitu meminta kesembuhan kepada Tuhan.
Disampaikan oleh Pak Ks sebagai salah seorang Sando di Sambujan, bahwa
sembuh atau tidaknya pasien tergantung kepada Tuhan, sedangkan ia hanya
perantara saja.
Disampaikan kembali oleh Al-Firdaus dalam buku yang ditulisnya,
bahwa antara do’a yang diucap lantaran kebiasaan dengan do’a yang diucap
dengan penuh keyakinan akan memberikan dampak yang berbeda. Do’a
yang diucap dengan penuh keyakinan, kesabaran, dan serta ketulusanlah
yang merupakan do’a sebagai obat, penyembuh bagi penyakit yang diderita
(Al-Firdaus, 2011). Hal ini mirip seperti yang diucap oleh Pak Ks, bahwa inti
atau kunci kesembuhan pada metode pengobatan yang diberikannya adalah
‘yakin’. Unsur keyakinan di sini menjadi salah satu unsur yang paling penting,
baik dari pihak pengobat atau Sando, maupun pihak yang ingin disembuhkan
atau pasien. Keyakinan tersebut ditujukan untuk kesembuhan pasien, bahwa
Tuhan akan benar-benar menyembuhkan penyakitnya, salah satunya
lantaran pengobatan yang dilakukan oleh Sando terhadapnya tersebut.
Penelitian terhadap efek pembacaan do’a saat melakukan
pengobatanpun sudah dilakukan oleh salah seorang pakar kesehatan di
bidang rematik, yaitu Dr. Dhiyak Al-Haj Husen, dimana ia melakukan
penelitian dengan membedakan dampak terapi laser untuk mengobati
rematik antara yang saat dilaser disertai do’a dengan yang tidak. Do’a yang
dibaca adalah salah satu do’a yang dianjurkan oleh Nabi yang kemudian
dibaca sebanyak 7 kali pada setiap titik akupuntur yang dilaser. Hasilnya
adalah terapi laser yang disertai pembacaan do’a memiliki efek yang lebih
cepat dalam kesembuhan pasien-pasiennya, yaitu semenjak pertama kali
terapi dan terus meningkat kesembuhannya bahkan hingga 6 bulan
setelahnya. Sedangkan pasien terapi yang tidak disertai do’a hanya
mengalami perubahan sedikit sekali, bahkan kambuh lagi pada dua bulan
berikutnya (Al-Firdaus, 2011).
128
Beberapa jenis penyakit yang memiliki kemiripan dalam pengobatan
antara metode tiup-tiup dan yang dianjurkan oleh Nabi dalam buku karya Al-
Firdaus antara adalah sawan atau keteguran, stip atau mata tinggi (akibat
panas terlalu tinggi), dan penyakit kaget. Metode penyembuhannya yaitu
dengan membacakan do’a pada media air sebanyak tujuh kali, kemudian
diusap pada mata anak apabila anak terkena stip atau mata tinggi. Pada cara
pengobatan yang tersebut di atas terlihat bahwa air juga digunakan sebagai
media pengobatan pada jaman Nabi. Begitu pula dengan penggunaan
minyak sebagai media. Hal ini terlihat pada tata cara pengobatan untuk
berbagai penyakit dengan do’a Nurun Nubuwah, yaitu do’a yang dipercaya
dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Do’a ini juga sekaligus dapat
dibacakan pada media air untuk diminumkan kepada ibu yang mengalami
kesulitan saat melahirkan agar bayi cepat lahir setelah meminumnya (Al
Firdaus, 2011). Adanya kemiripan dalam tata cara tersebut nampaknya
menunjukkan bahwa metode pengobatan dengan tiup-tiup ini merupakan
metode pengobatan yang dibawa oleh pengaruh Islam pada saat jaman
dahulu. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat hampir 100% agama
penduduk Tolitoli adalah Islam.
5.2. PERBANDINGAN DAN KESAMAAN BAURUT PERUT DAN LEOPOLD Tradisi pijat perut ibu hamil disebut juga dengan baurut perut. Di
Sambujan sendiri, ibu hamil biasa meminta baurut kepada Sando. Tradisi
baurut tersebut biasa dilakukan ibu hamil saat usia kandungannya sudah
mencapai 7 bulan ke atas. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu As, sebagai
berikut:
“7 bulan, biasa 8 bulan, sampek 9 bulan itu, tapi tidak tiap hari.
Nanti kita, biasa kan kalau kita kerja keras to, agak kesakitan
sudah dirasa itu biasa itu, kesana lagi... kalau sudah 8 bulan.
Dibilang kan o tak anu terjepit di sini, bayi kan, biasa sakit di
sini, biasa dia kaseh anu lagi.. kayak dikaseh baik begitu dia
perutnya (diputar), he-ehm.. dibetulkan itu bayi tempatnya di
dalam kan.”
Jika usia kandungan masih muda, 5 bulan misalnya, Sando tidak mau
memegang (memijat kandungan ibu hamil). Jika baurut dilakukan pada usia
129
kandungan tersebut, dikhawatirkan bayinya akan mengalami hal-hal yang tidak
diinginkan seperti menjadi cacat. Sedangkan menurut informan lain, jika baurut
dilakukan pada usia muda, janin di dalam kandungan bisa menjadi lembek,
hingga akhirnya menghilang. Baurut dilakukan oleh ibu hamil karena dipercaya
dapat mengembalikan posisi bayi yang melintang, atau tidak pada tempat yang
seharusnya, dan juga agar badan ibu hamil terasa enak kembali.
Biaya baurut perut pada saat ini berkisar antara lima belas ribu rupiah,
berbeda dengan jaman dahulu yang tidak ada bayarannya. Biasanya, dengan
dimintanya seorang bidan kampung untuk mengurut perut ibu hamil, ini
sekaligus berarti bahwa bidan kampung tersebut ‘dipesan’ untuk menjaga ibu
hamil hingga melahirkan. Tak jarang, uang untuk bayaran baurut perut sudah
‘sepaket’ dengan biaya melahirkan, dan dibayarkan setelah ibu selesai
melahirkan. Biaya ini pun sudah termasuk dengan biaya perawatan ibu dan bayi
setelah melahirkan hingga tali pusat bayi lepas. Menurut Nenek Jr, biaya
menolong persalinan berkisar antara 300 hingga 500 ribu rupiah, tergantung
kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Murahnya biaya pertolongan
persalinan ini tak jarang juga menjadi sebab masih dicarinya Sando untuk
menolong persalinan.
Pijat perut pada ibu hamil pada saat ini masih menjadi pro-kontra,
namun demikian pijat ini sudah membudaya pada sebagian besar masyarakat
Indonesia. Pijat ibu hamil sendiri sempat diulas pada salah satu hasil riset
ethnografi kesehatan tahun 2014 lalu, yaitu pada etnik Jawa di Kabupaten
Cirebon, yang mana pijat ibu hamil di daerah tersebut biasa disebut sebagai
“oyog”. Tujuan antara baurut perut dengan oyog pun tak jauh berbeda, yakni
untuk membetulkan posisi bayi yang berada di dalam perut ibu.
Sebagian tenaga kesehatan biasanya tidak menganjurkan ibu hamil
untuk melakukan pijat ini, salah satunya karena adanya rasa takut janin justru
akan terganggu apabila ada gerakan pijat yang salah atau membahayakan.
Namun, pada hasil riset di Kabupaten Cirebon tersebut kemudian terdapat
temuan bahwa gerakan oyog yang dilakukan oleh bidan kampung menyerupai
gerakan Leopolda. Sehingga, meskipun masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut, namun inti dari riset tentang oyog adalah bahwa diduga gerakan pada
oyog sebenarnya tidak membahayakan janin. Gerakan Leopold adalah
merupakan gerakan palpasi abdomen yang dapat dilakukan secara keseluruhan
pada bulan-bulan terakhir kehamilan serta selama dan antara kontraksi saat
130
persalinan oleh tenaga kesehatan seperti bidan atau dokter spesialis (Yuhandini,
dkk, 2014). Sedangkan tujuan dari gerakan Leopold adalah untuk mengetahui
letak dan presentasi janin (Kusmiyati, dkk, 2008). Maka, jika secara gerakan
antara Leopold dengan oyog mirip, namun keduanya berbeda secara tujuan.
Di Sambujan sendiri, pijat perut biasa dilakukan oleh para ibu hamil,
dengan meminta dipijat pada Nenek Mt dan Tante X. Tante X bukanlah
keturunan Tolitoli, melainkan keturunan Bugis. Cara mengurut seperti yang
disampaikan oleh Tante X adalah pertama-tama meminta ibu untuk berbaring
dengan posisi kaki ditekuk ke atas. Bagian perut ibu yang akan diurut kemudian
diolesi minyak kampung (minyak kelapa). Ia kemudian akan melakukan gerakan
mengangkat sedikit bagian perut kanan dan kiri, bergantian.
Selanjutnya akan dibuat gerakan seperti memutar pada perut,
bergantian kiri dan kanan, dan posisi bayi dijaga agar tetap berpelaka
(tengkurap) dengan posisi kepala bayi berada di bagian bawah. Posisi bayi akan
dibenarkan dengan mengangkat sedikit bagian bawah perut tersebut agar
supaya bayi ketika lahir bisa langsung keluar. Kemudian terakhir, gerakan
memutar perut kiri-kanan akan diulang kembali satu kali. Waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan baurut perut berkisar antara 10-15 menit saja.
Gambar 5.1.
Perut sebelah kanan dipegang oleh Sanro, kemudian sedikit diangkat ke atas, kemudian lanjut melakukan gerakan yang sama pada perut sebelah kiri. Sekilas, gerakan ini mirip dengan manuver atau gerakan Leopold kedua, yaitu palpasi lateral.
131
Gambar 5.2.
Gerakan memutar pada bagian perut sebelah kanan, dilanjut
melakukan gerakan perut sebelah kiri. Sekilas, gerakan ini mirip
dengan manuver atau gerakan Leopold pertama, yaitu palpasi
fundus uteri.
Gambar 5.3.
gra
Berbeda dengan oyog, meskipun secara sekilas terdapat gerakan
baurut perut yang mirip dengan manuver atau gerakan Leopold, namun
gerakan tersebut urutannya acak, yaitu gerakan Leopold kedua pada gerakan
132
baurut perut pertama, gerakan Leopold pertama pada gerakan baurut perut
kedua, dan gerakan Leopold keempat pada gerakan baurut perut ketiga.
Sedangkan gerakan Leopold ketiga tidak ada pada gerakan baurut perut.
Selain urutan yang acak, secara lebih detail pun gerakannya berbeda. Jika
pada gerakan Leopold dilakukan dengan gerakan meraba atau menekan
perut ibu, pada baurut perut terdapat gerakan menaikkan atau mengangkat
perut, serta sedikit memutar perut. Selain itu, tujuan untuk melakukan
masing-masing gerakan antara Leopold dan baurut perut pun jelas berbeda.
Namun demikian, untuk menentukan berbahaya atau tidaknya masing-
masing gerakan pada baurut perut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
5.3. POTENSI DAN TANTANGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Menurut Kalangie (1994), terdapat 4 faktor yang dapat
menyebabkan meningkat atau menurunnya kesehatan individu atau
masyarakat, salah satunya adalah faktor perilaku manusia yang
mempengaruhi situasi kesehatan ibu dan anak di Desa Sambujan, yaitu
dipengaruhi oleh perilaku sadar dan tidak sadar yang membentuk perilaku
menguntungkan, merugikan, potensi dan kendala.
Tabel 5.1. Analisis Kebudayan Tentang Perilaku Kesehatan 2015
Kategori Disadari Tidak Sadari
Menguntungk
an / Potensi
Anak dan Balita
Rutin mengikuti
posyandu.
Sadar akan pentingnya mengikuti posyandu.
Sadar untuk membawa anak periksa ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan apabila sakit.
Remaja
Larangan remaja putri keluar malam karena banyak remaja laki-laki yang sering minum-minuman keras.
Larangan sering makan
Anak dan Balita
Peran ibu dalam pola asuh anak dan balita cukup besar.
Ibu:
Kehamilan
Pergeseran pola pemeriksaan kehamilan oleh Sando menjadi oleh bidan desa.
Persalinan
Cukup baiknya trust ibu terhadap yankes desa.
133
mie instant, dianggap bisa menyebabkan kurus, dan menyebabkan penyakit bahkan meninggal.
Sudah adanya remaja yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan belum ingin menikah setelah lulus dari SD.
Ibu:
Hamil
Ibu hamil sadar akan pentingnya tetap beraktivitas pada saat hamil agar persalinan lancar.
Ibu hamil sudah mulai rutin melakukan kunjungan pada tenaga kesehatan.
Sudah adanya pergeseran pola pencarian pertolongan persalinan yang semula oleh Sando saja, menjadi kombinasi Sando dengan Bidan Desa.
Persalinan
Adanya persiapan khusus dari segi finansial untuk biaya persalinan.
Nifas
Adanya tradisi perawatan ibu setelah melahirkan, yaitu mandi dengan air
134
rebusan 7 daun yang sudah ditiup, dipupu atau diasap, diurut 3 hari berturut-turut dan babedakan goraka (berbedak jahe)
Menyusui
Sebagian ibu menyadari bahwa air susu yang keluar pertama kali dengan warna kekuningan baik untuk bayi.
Ibu mengkonsumsi sayur-sayuran dan kacang-kacangan pada masa menyusui agar ASI banyak.
Anak biasa disusui hingga usia 2 tahun.
Neonatus dan Bayi
Bayi dimandikan ketika matahari sudah terang (bukan pada pagi hari)
Air bekas memandikan bayi harus dibuang segera.
Bayi dipakaikan bedong
Pemberian daun balacai yang sudah diasa-asap di atas tungku dan ditaruh di sekitar pusat bayi, namun tidak boleh terkena pusat bayi saat bayi kembung.
Diadakan upacara meminta keselamatan, yaitu memenek monggulangan (naik
135
ayun), manao buta (turun tanah), pemberian jimat pada anak untuk mengusir gangguan roh halus, dan bagunting rambut.
Pengobatan tiup-tiup
Merugikan /
Kendala
Anak dan Balita
Frekuensi dan menu makanan mengikuti keinginan anak.
Pola pencarian pengobatan dengan beli obat warung.
Jenis makanan pada anak dan balita sama seperti orang dewasa.
Remaja
Memakai sarung yang diikat dipinggang bila tidak ingin sering mengganti pembalut.
Anggapan bermain bulutangkis atau meloncat dapat memperbesar payudara, sehingga sebagian remaja putri tidak mau bermain bulutangkis.
Remaja putra banyak yang sudah minum minuman keras sejak usia dini.
Pola makan yang kurang bervariasi.
Ibu:
Anak dan Balita
Baru memeriksakan ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan bila sakit anak tidak kunjung sembuh.
Remaja
Banyaknya remaja yang berpendidikan hanya sampai sekolah dasar.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi disampaikan hanya melalui bangku sekolah, yaitu kelas 6 SD.
Adanya anggapan jodoh bisa datang kapan saja, sehingga diperbolehkan menikah di usia kurang dari 20 tahun.
Ibu: Kehamilan
Kehamilan dianggap biasa oleh masyarakat, akan menjadi lebih diperhatikan apabila ibu sedang sakit saja.
Persalinan
136
Kehamilan
Beberapa Bumil malas untuk periksa kehamilan, kunjungan K1-K4 tidak sesuai jadwal, bahkan ada yang tidak periksa sama sekali, walaupun sudah tahu.
Menyusui
Sebagian ibu memberikan makanan tambahan berupa bubur sebelum bayi berusia 6 bulan.
Pemberian air kopi pada anak karena dianggap mencegah mata tinggi, termasuk pada saat ASI ibu belum keluar.
Neonatus dan Bayi
Tali pusat bayi diikat dengan menggunakan benang.
Tali pusat bayi dirawat dengan diberi bedak merk Viva agar cepat kering
Persalinan di rumah sendiri, baik dengan bantuan Sando, bidan desa, atau kombinasi keduanya.
Anggapan bahwa bidan hanya dibutuhkan untuk memberikan ‘suntikan’, sehingga seringkali bidan desa dipanggil setelah persalinan selesai.
Adanya kesan tabu untuk memberi tahu orang lain pada saat ibu akan melahirkan karena ibu ingin melahirkan tanpa banyak diketahui orang lain.
Apabila proses persalinan ditangani oleh Sando, saat terjadi kesulitan ibu akan diberikan pengobatan tradisional terlebih dahulu berupa tiup-tiup.
Neonatus dan Bayi
Pola pencarian pengobatan untuk anak adalah terlebih dahulu mengusahakan pengobatan sendiri, baru apabila tidak kunjung sembuh ke pengobatan medis.
Berdasarkan tabel 5.1. dapat disimpulkan bahwa kendala yang
dihadapi salah satunya adalah pola pemeriksaan kesehatan yang cenderung
baru diperiksakan apabila sakitnya tidak kunjung sembuh bagi anak-anak,
bayi dan balita. Begitu pula bagi ibu yang mengalami kelahiran sulit. Metode
137
pengobatan yang sering dicari terlebih dahulu adalah pengobatan sendiri
baik dengan membeli obat di warung atau dengan pengobatan tradisional
dengan tiup-tiup dari Sando.
Selanjutnya, pemilihan pertolongan persalinan seringkali masih
cenderung memilih kepada Sando. Hal ini salah satunya karena adanya
anggapan bahwa bidan hanya bertugas untuk memberikan suntikan saja.
Beberapa faktor lain juga menjadi penyebab pemilihan pencarian
pertolongan persalinan kepada Sando, seperti adanya fasilitas urut ibu
setelah melahirkan dan paket perawatan ibu dan bayi lainnya.
Di dalam kaidah safe motherhood tercantum bahwa salah satu pilar
safe motherhood adalah persalinan bersih, aman dan ditolong oleh tenaga
kesehatan yang terampil (Prasetyawati, 2012). Sedangkan Ibu hamil
seringkali lebih memilih untuk melahirkan di rumah sendiri daripada di
fasilitas kesehatan. Sehingga lebih berisiko pada kebersihan dan keamanan
persalinan.
Selain itu, pendidikan remaja yang seringkali hanya sampai di bangku
SD menjadi kendala dalam hal pendidikan kesehatan reproduksi. Kemudian
adanya anggapan bahwa jodoh bisa datang kapan saja, berdampak pada
tidak adanya patokan usia untuk menikah, termasuk di usia belasan. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri, karena pada akhirnya berdampak pula pada
banyaknya angka pernikahan dini.
Namun demikian, terdapat pula perilaku yang dapat menjadi potensi
untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak seperti yang dijabarkan di
Tabel 4.2, yaitu antara lain adalah besarnya porsi peran ibu terhadap
pengasuhan anak, adanya pergeseran pola pemeriksaan kehamilan kepada
tenaga kesehatan, dan cukup baiknya trust terhadap pelayanan kesehatan.
Besarnya peran ibu terhadap pengasuhan anak berpotensi membawa
pengaruh positif terhadap tumbuh kembang anak. Kontrol tumbuh kembang
anak yang dipegang secara langsung oleh ibu bisa menjadi salah satu sumber
penanaman perilaku kesehatan anak sebagai bekal berperilaku kesehatan di
masa selanjutnya (remaja, dewasa, tua). Sedangkan pergeseran pola
pemeriksaan ibu hamil ke tenaga kesehatan dan cukup tingginya trust
terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak di Poskesdes dapat berpotensi
untuk meningkatkan kunjungan K1-K4 atau pemanfaatan fasilitas kesehatan
tersebut.
138
139
BAB 6
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
Desa Sambujan, salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ogodeide,
Kabupaten Tolitoli sedikit banyak telah menggambarkan wilayah Sulawesi yang
terdiri dari daratan di pulau utama dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Desa
Sambujan sendiri merupakan sebuah desa yang masyarakatnya terdiri dari
beberapa suku, tidak hanya dari suku Tolitoli saja, melainkan terdapat pula suku
Bajo dan Bugis. Bahkan, bisa dibilang bahwa suku Tolitoli merupakan suku
minoritas di Desa Sambujan.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk beberapa indikator
memang terdapat hambatan. Untuk perilaku mencuci tangan dengan sabun,
kebanyakan hanya dilakukan untuk sebelum makan dan setelah buang air saja.
Sedangkan untuk waktu yang lain seperti sebelum menyusui hanya dilakukan
sebagian saja. Begitupula dengan pemberian ASI Eklusif. Berdasarkan
pengamatan, meskipun anak diberikan ASI hingga umur 2 tahun, namun
kebanyakan sudah diberikan pengganti ASI apabila ASI belum keluar setelah
melahirkan. Salah satu pengganti ASI tersebut adalah air kopi, hal ini juga
dipengaruhi adanya kepercayaan bahwa air kopi dapat mencegah ‘mata tinggi’
pada anak.
Untuk aktivitas fisik, bagi kaum lelaki berdasarkan pengamatan dirasa
sudah cukup dengan adanya pekerjaan berkebun di kebun cengkeh. Sedangkan
bagi para ibu, intensitas aktivitas fisik hanya berkisar pada pekerjaan rumah
tangga saja, sehingga bisa jadi masih kurang. Namun, rutinita aktivitas tersebut
berubah ketika musim panen cengkeh tiba. Sedangkan perilaku tidak merokok
di dalam rumah masih menjadi masalah yang cukup serius mengingat angka
kejadian ISPA yang cukup tinggi, bahkan hampir selalu menempati 10 penyakit
terbanyak.
Perilaku makan buah dan sayur setiap hari juga menjadi masalah,
mengingat dua jenis bahan makanan ini hanya akan datang ketika dibawakan
oleh pedagang sayur dari kota. Padahal, pedagang tersebut tidak datang setiap
hari. Sehingga, seringkali makanan yang dimakan hanya nasi berlauk ikan saja.
140
Sedangkan perilaku persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan memang sudah
cukup tinggi di Ogodeide, namun bidan kampungpun masih sering digunakan.
Untuk air bersih, sebenarnya sudah cukup bagus karena sumbernya dari
koala. Namun, terkadang saluran tersebut terganggu sehingga warga harus
mengambil ari ke pulau lain terlebih dahulu. Untuk penimbangan bayi dan balita
sudah cukup baik, meskipun terkadang kaderlah yang membawa anak untuk
ditimbang di Posyandu, atau dengan sistem jemput bola.
Untuk penyakit menular, kejadian tertinggi adalah ISPA. Kemungkinan
disebabkan oleh perilaku merokok di dalam rumah yang cukup tinggi,
penggunaan tungku sebagai alat memasak, asap obat nyamuk, serta udara yang
tidak bersih dan cuaca yang berubah-ubah. Namun kasus ISPA tidak sampai
menyebabkan pneumonia, meskipun ada 1 bayi yang terdeteksi pneumonia,
namun ia berasal dari desa lain. Sedangkan untuk tuberkulosis, terdapat 1
penderita yang positif terkena TB, dan meninggal pada saat tim berada di
lapangan. Penderita tersebut kemungkinan besar tidak tertolong karena putus
meminum obat, sehingga kuman menjadi resisten. PM terakhir adalah
sarampah atau campak dan puru api atau cacar. Penyakit ini masih sering terjadi
dan datang hampir setiap tahun, terutama di saat musim barat. Untuk
pengobatannya, biasa diobati dengan tiup-tiup terlebih dahulu.
Sedangkan untuk penyakit tidak menular (PTM), terdapat hipotensi
yang angkanya lebih tinggi daripada hipertensi. Hipotensi terutama terjadi pada
saat musim panen cengkeh. Hal ini kemungkinan terjadi karena warga kurang
istirahat, dimana siang hari harus bapetik cengke, dan sore hingga malam
bacudik cengkeh. Terakhir, terdapat 1 orang yang mengalami gangguan jiwa.
Menurut masyarakat, penyebabnya adalah konsumsi minuman keras serta
obat-obatan saat usianya masih muda.
Selanjutnya, sebagian suku Tolitoli di Sambujan masih melaksanakan
beberapa tradisi yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Tradisi
tersebut seperti misalnya tradisi mogellut dan baurut perut bagi ibu hamil,
tradisi perawatan ibu pasca melahirkan seperti mogondo dan baurut, serta
perawatan saat nifas seperti urut, mandi dengan air rebusan 7 daun yang sudah
ditiup, dipupu atau diasap, dan babedakan goraka. Adapun tradisi untuk bayi
dan anak antara lain adalah baurut bayi (pijat bayi), memenek monggulanagan
(naik ayun) ,manao buta (turun tanah), mongulut buok (menggunting rambut), i
kenpi (sunat pada perempuan), dan pemakaian jimat. Selain itu, pada masing-
141
masing tahapan mulai dari kehamilan hingga melahirka, serta pada perawatan
bayi, masih ada pantangan dan anjuran yang dipegang oleh ibu. Namun
demikian, pelaksanaan tradisi di atas sudah mulai mengalami pergeseran karena
ada pula yang tidak melaksanakana tradisi tersebut. Hal ini salah satunya
dikarenakan faktor ekonomi, sehingga ketika tingkat ekonomi menengah
kebawah terkadang tidak melaksanakan tradisi tersebut lagi, atau hanya
melaksanakan seadanya.
Bagi suku Tolitoli, Sando masih memiliki peranan yang cukup besar
dalam menjaga kesehatan ibu dan anak. Sando sendiri merupakan sebutan bagi
bidan kampung yang menolong persalinan secara tradisional dan dukun
kampung ahli tiup-tiup.Sando yang merupakan bidan kampung memiliki
peranan penting, karena pola pencarian pertolongan pada persalinan di Desa
Sambujan dapat dibagi menjadi 3, yaitu murni dengan bantuan Sando, murni
dengan bantuan bidan, dan kombinasi atau kerjasama antara bidan dengan
Sando.
Persalinan tersebut seringkali masih dilakukan di rumah, baik yang
persalinannya dibantu oleh Sando¸ maupun yang dibantu melalui kerjasama
Sando dengan bidan desa. Alasannya adalah karena meskipun ada Poskesdes di
desa tersebut, namun akan merasa repot apabila ibu yang sudah mau
melahirkan harus berpindah dari rumah ke Poskesdes, dan begitupun
sebaliknya. Selain itu, Sando sudah memiliki tempat tersendiri bagi para ibu
hamil, hal ini dikarenakan ada tradisi saat kehamilan hingga pasca melahirkan
yang tidak bisa diberikan oleh bidan desa. Bahkan, seringkali bidan hanya
dipanggil untuk memberikan ‘suntikan’ saja pada saat persalinan.
Adapun tradisi tersebut adalah tradisi baurut ibu hamil, perawatan ibu
melahirkan dan nifas, serta perawatan bayi, termasuk baurut bayi. Tradisi ini
masih kuat dan masih terus dilakukan pada saat ini. Perawatan Sando dalam
hal-hal tersebut masih banyak dicari oleh ibu pada saat hamil hingga setelah
melahirkan karena dipercaya dapat cepat mengembalikan stamina ibu saat
hamil maupun setelah melahirkan, serta menjaga bayi agar tidak merasa lelah
yang dianggap sebagai penyebab bayi sering menangis.
Sedangkan peran Sando ahli tiup-tiup adalah untuk mengobati penyakit,
terutama yang disebabkan oleh keteguran dan penyakit kiriman. Namun
demikian, seringpula Sando ikut turut mengobati penyakit medis, serta
memberikan pertolongan pertama pada saat ibu mengalami kesulitan dalam
142
proses persalinan. Sando yang bidan kampung pun seringkali juga memberikan
pertolongan pertama dengan metode tiup-tiup saat ibu mengalami kesulitan
dengan proses persalinannya. Barulah apabila Sando yang bidan desa tidak
mampu menangani, akan dipanggillah Sando ahli tiup-tiup. Terus-menerus
bergantian hingga ditemukan kecocokan. Barulah apabila tetap tidak berhasil,
ibu baru dirujuk ke fasilitas kesehatan. Termasuk untuk pengobatan bayi dan
anak.
Metode pengobatan dengan tiup-tiup masih sering dicari oleh
masyarakat. Hal ini dikarenakan pola pengobatan pertama yang sering
digunakan oleh masyarakat adalah dengan cara mengusahakan pengobatan
sendiri, baik dengan membeli obat di warung, maupun dengan pengobatan
tradisional tiup-tiup Sando. Barulah orang yang sakit akan dibawa ke fasilitas
kesehatan 2 atau bahkan 3 sampai 4 hari kemudian, ketika sakitnya tak kunjung
sembuh. Macam penyakit bayi dan anak yang biasa disembuhkanpun bervariasi,
mulai penyakit yang disebut bayi kaget hingga penyakit seperti sakit perut.
Cara melakukan metode tiup-tiup adalah dengan membacakan do’a
tertentu setelah membaca kalimat syahadat, kalimat tobat, dan basmallah
terlebih dahulu. Barulah setelah itu, Sando akan meniupkan do’a tersebut
dengan cara seperti membuang nafas biasa ke arah bagian yang sakit, atau ke
arah media tertentu seperti air putih. Jika diperlukan, do’a juga bisa ditiup ke
media lain seperti misalnya minyak kampung yang digunakan untuk baurut.
6.2 REKOMENDASI
Kunci keberhasilan pengobatan tradisional dengan metode tiup-tiup
adalah keyakinan. Hal ini memang positif mengingat keyakinan dikatakan
sebagai separuh modal kesembuhan (Soenarwo, 2009). Namun, tampaknya hal
tersebut perlu diimbangi dengan pengobatan medis pula, dikarenan sumber
datangnya penyakit dikenal ada dua, yaitu magis dan medis. Terlambatnya
rujukan ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan pada penyakit yang
disebabkan oleh penyebab medis dapat menyebabkan keterlambatan
pengenalan dini terhadap penyebab penyakit. Bahkan, keterlambatan pada
pertolongan secara medis dapat berisiko hingga ke arah kematian.
Sehingga, dalam hal ini dirasa perlu adanya pembagian penyakit antara
yang disebabkan oleh magis dan yang disebabkan oleh medis. Untuk itu,
pembagian ranah pengobatan antara Sando dengan tenaga kesehatan perlu
143
untuk lebih diperjelas, dimana Sando dan tenaga kesehatan diharapkan untuk
bisa bekerja sama dalam hal pembagian ranah pengobatan, misalnya Sando
lebih berperan pada pengobatan penyakit magis, sedangkan tenaga kesehatan
lebih berperan aktif dalam melaksanakan tugasnya untuk pengobatan penyakit
secara medis.
Selain itu, sebagai tindak lanjut atas adanya bidan kampung non
terlatihyang memberikan pertolongan persalinan kepada ibu melahirkan.
Rasanya perlu dilakukan revitalisasi terhadap program pelatihan bidan kampung
tersebut. Begitupula terhadap pembagian tugas antara bidan desa-bidan
kampung. Hendaknya positioning bidan kampung bukan berada di bawah bidan
desa, melainkan berperan sebagai mitra. Pengawasan terhadap kerjasama
antara bidan desa dan bidan kampung tersebut perlu diperkuat. Apabila
diperlukan, punishment berupa denda, atau hukuman pidana perlu diberikan
terhadap bidan kampung yang tidak bisa diajak kerjasama. Sedangkan bagi
bidan kampung yang mau diajak kerjasama dan kinerjanya baik, dapat diberikan
reward untuk mempertahankan kinerjanya dan bisa menjadi inspirator bagi
bidan yang lainnya.