tipus lapsus
DESCRIPTION
Gagal Ginjal Kronik menurut Kidney Diseases Outcome Quality Initiative (KDOQI) sebagai kerusakan ginjal pada waktu 3 bulan atau lebih dan memiliki Glomerolus Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min per 1.73m2. Sedangkan Gagal Ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) digambarkan sebagai tahapan dari gagal ginjal kronis dimana terdapat kerusakan ginjal secara permanen dan ginjal tidak dapat berfungsi untuk mempertahankan kehidupan, sebagai konsekuensinya pasien membutuhkan dyalisis atau tranplantasi. (Critical Care Nurse, 2006).Tingkat insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kasus ini terjadi antara lain akibat perubahan pola hidup, pola penyakit, serta makin terkendalinya penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Masih diperkirakan angka terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 – 250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun (Bakri, 2005). Sedangkan angka kejadian di Amerika terus meningkat sesuai dengan laporan tahunan pada US Renal Data System. Tahun 2000 prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004; Stevens et al., 2006). Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) merupakan keadaan dimana ginjal tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga untuk menjaga Homeostasis tubuh, ginjal perlu menjalankan dyalisa (cuci darah) setiap jangka waktu tertentu atau dengan melakukan transplantasi ginjal (Pearce, 1995). Namun terapi pada penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum adalah hemodialisa. Terapi dengan hemodialisa ini memerlukan perawatan yang intensif dan juga membutuhkan biaya yang mahal. Penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal (GGKT) biasanya memiliki kualitas hidup lebih rendah (Cohen et al., 2007; Scot et al., 2007; Wu et al., 2004). Pada penderita ini mengalami perkembangan penyakit yang progresif dan terjadi penurunan kualitas hidup serta dapat menyebabkan kematian.TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecelakaan Pesawat Terbang
Kecelakaan pesawat terbang merupakan salah satu peristiwa yang berhubungan
dengan pengoperasian pesawat terbang yang terjadi sejak seseorang memasuki pesawat
udara untuk melakukan penerbangan sampai dengan saat semua orang meninggalkan
pesawat udara yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia atau luka parah karena
berada di dalam pesawat atau karena tersentuh langsung oleh bagian dari pesawat, termasuk
bagian pesawat yang terlepas (Pakan, 2008).
Pada umumnya, suatu kecelakaan transportasi, terjadi oleh beberapa factor, oleh
Safety Management Manual (SMM) yang diterbitkan oleh International Civil Aviation
Organisation (ICAO), membagi factor penyebab kecelakaan pesawat terbang kedalam empat
kelompok, yakni:
Faktor software, yaitu kebijakan, prosedur, dan lain-lain
Factor hardware, yaitu sarana dan prasarana
Factor environment, yaitu lingkungan dan cuaca
Factor livewae, yaitu manusia.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh tim investigasi Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) Indonesia, dari tahun 2007-2010, telah terjadi 81
kejadian kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di seluruh Indonesia, dengan rincian
sebagai berikut :
No. Daerah Jumlah Kejadian
1 Sumatra 18
2 Jawa 20
3 Kalimantan 9
4 Bali & NTB 4
5 Sulawesi 6
6 Maluku 2
7 Papua 22(Sumber : Data Investigasi KNKT, 2011)
Dari data tersebut diatas, didapatkan pula hasil mengenai perkiraan penyebab dari
kejadian kecelakaan transportasi udara yang terjadi selama tahun 2007 – 2010, dengan
rincian sebagai berikut :
Sebab / Tahun 2007 2008 2009 2010 Jumlah
Faktor Manusia 15 6 12 9 42
Teknik 5 12 9 8 34
Lingkungan 1 3 0 1 5(Sumber : Data Investigasi KNKT, 2011)
2.2 Identifikasi Forensik
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan
suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan
tepat amat penting dalam penyidikkan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam
proses peradilan.
Peran ilmu kedokteran forensuk dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak
dikenal, jenazah yang sudah rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal,
bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan
tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai
kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orangtuanya. Identitas
seseorang yang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil
positif (tidak meragukan).
* Pihak yang bertanggung jawab :
Penanggung jawab identifikasi korban mati : polisi
Minta bantuan ahli : dokter forensik, dokter gigi forensik, ahli sidik jari, ahli DNA, dan
ahli lainnya.
* Tujuan identifikasi :
- Kebutuhan etis dan kemanusiaan terhadap keluarganya.
- Pemastian kematian seseorang secara resmi dan yuridis.
- Administratif
- Klaim dalam hukum publik dan perdata.
- Klaim asuransi, pensiun dan lainnya.
- Awal penyelidikan.
* Prinsip identifikasi :
Dilakukan dengan komparasi ciri identitas pada data ante mortem (sewaktu masih hidup)
dan data post mortem (mayat/sudah meninggal).
Objek komparasinya :
- Circumstantial evidence : pakaian, barang milik korban
- Physical evidence : pemeriksaan ciri luar, pemeriksaan ciri dalam
2.2.2 Metodologi Identifikasi
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari
yang sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
- Visual Dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama wajahnya oleh pihak
keluarga atau rekan dekatnya, maka jati diri korban dapat diketahui. Walaupun metode
ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode
ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban dalam keadaan
baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut.
Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi, latar belakang pendidikan;
oleh karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
- Pakaian
Pencatatan yang teliti atas pakaian, hal yang dipakai, mode serta adanya tulisan-
tulisan seperti merek, penjahit, laundry atau initial nama, dapat memberikan informasi
yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut.
Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan atau
potongan-potongan dengan ukuran 10cmx10cm, adalah merupakan tindakan yang tepat
agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur.
- Perhiasan
Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh korban,
khususnya bila pada perhiasan terdapat initial nama seseorang yang biasanya terdapat
pada bagian dalam dari gelang atau cincin. Akan membantu dokter atau pihak penyidik di
dalam menetukan identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut, maka penyimpanan
dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.
- Dokumen
Kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu golongan darah, tanda
pembayaran dan lainnya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat
menunjukka jati diri korban.
Khusus pada kecelakaan masal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang di dalam
menaruh dompet dan tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam saku baju atau
celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang, sehingga pada kecelakaan masal
tas dapat terlempar dan sampai pada orang lain bukan pemiliknya. Jika hal ini tidak
diperhatikan, kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah
busuk atau rusak.
- Medis
Pemeriksaan fisik secara keseluruhan, yang meliputi bantuk tubuh, tinggi tubuh
dan berat badan, warna tirai mata, adanya cacat tubuh serta kelainan bawaan, jaringan
parut bekas operasi serta tato, dapat memastikan siapa jati diri korban.
Pada beberapa keadaan khusus, tidak jarang harus dilakukan pemeriksaan
radiologis, yaitu untuk mengetahui keadaan sutura, bekas patah tulang atau pen serta
pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang.
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sehingga
dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang berbeda.
Menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai yang tinggi dalam hal penetuan jati
diri seseorang.
Pemeriksaan atas gigi ini menjadi lebih penting bila keadaan korban sudah rusak
atau membusuk, dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat
dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari.
Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum
meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (dental record),
oleh karena pemeriksaan gigi masih merupakan hal yang mewah bagi kebanyakan rakyat
Indonesia. Dengan demikian, pemeriksaan gigi sifatnya lebih selektif.
- Eksklusi
Metode ini sering digunakan pada kasus yang terdapat banyak korban seperti
bencana. Bila dari sekian banyak korban, tinggal satu yang tidak dapat dikenali oleh
karena keadaan mayatnya sudah sedemikian rusaknya, maka atas bantuan daftar korban
akan dapat diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal laut, dan
lainnya. Bila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan menggunakan
metode identifikasi yang lain, sedangkan identitas sisa korban yang tidak dapat
ditentukan dengan metode tersebut di atas, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar
penumpang/eksklusi.
b. Metode ilmiah
- Sidik jari
Keuntungan dari metode ini mudah dilakukan secara massal dan biaya yang
murah. Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem.
Sampai sekarang, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling
tinggi ketepatannya untuk menetukan identitas seseorang. Dengan demikian harus
dilakukan penanganan yang sebaik-baikbya terhadap jari tangan jenazah untuk
pemeriksaan sidik hari, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan
jenazah dengan kantong plastik.
Daktiloskopi adalah suatu sarana dan upaya pengenalan identitas diri seseorang
melalui suatu proses pengamatan dan penelitian sidik jari, yang dipergunakan untuk
berbagai keperluan/kebutuhan, tanda bukti, tanda pengenal, ataupun sebagai pengganti
tanda tangan.
Sidik jari adalah suatu impresi dari alur-alur lekukan yang menonjol dari
epidermis pada telapak tangan dan jari-jari tangan atau telapak kaki dan jari-jari kaki,
yang juga dikenal sebagai "dermal ridges" atau " dermal papillae", yang terbentuk dari
satu atau lebih alur-alur yang saling berhubungan. Sidik jari mulai tumnuh sejak janin
berusia empat minggu hingga sempurna saat enam bulan di dalam kandungan.
Sifat-sifat khusus yang dimiliki sidik jari :
- Perennial nature : yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia
seumur hidup.
- Immutability : yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah, kecuali mendapatkan
kecelakaan yang serius.
- Individuality : pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang.
Mengenai bentuk dan pola sidik jari yang terdiri dari tiga jenis di atas memiliki
ciri-ciri yang khas yaitu : Whorl (melingkar) yaitu bentuk pokok sidik jari, mempunyai 2
delta dan sedikitnya satu garis melingkar di dalam pattern area, berjalan di depan kedua
delta. Jenis whorl terdiri dari Plain whorl, Central pocket loop whorl, Double loop whorl
dan Accidental whorl.
Whorl bisa berbentuk sebuah Spiral, Bulls-eye, atau Double Loop. Whorl adalah
titik-titik menonjol dan kontras, dan bisa dilihat dengan mudah. Cetakan Spiral dan Bulls-
eye adalah persis sebangun dalam interpretasinya, namun yang kedua memberikan sedikit
lebih banyak fokus. Di mana pun di bagian tangan, Whorl menyoroti dan menekankan
kepada daerah tertentu, menjadikannya sebuah wilayah fokus di dalam kehidupan
subyek.
Loop adalah bentuk pokok sidik jari dimana satu garis atau lebih datang dari satu
sisi lukisan, melereng, menyentuh atau melintasi suatu garis bayangan yang ditarik antara
delta dan core, berhenti atau cenderung berhenti ke arah sisi semula. Loop dapat menaik
ke arah ujung jari, atau menjatuh ke arah pergelangan tangan. Common Loop bergerak ke
arah ibu jari, sementara Radial Loop (Loop terbalik) bergerak mengarahkan ujung
pemukulnya ke sisi lengan.
Arch merupakan bentuk pokok sidik jari yang semua garis-garisnya datang dari
satu sisi lukisan, mengalir atau cenderung mengalir ke sisi yang lain dari lukisan itu,
dengan bergelombang naik di tengah-tengah. Pola ini bisa terlihat sebagai sebuah Flat
Arch, atau Tented Arch. Perhatikan setiap pola Arch menaik sangat tinggi.
- Serologi
Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh korban,
maupundarah yang berasal dari bercak-bercak yang terdapat pada pakaian, akan dapat
mengetahui golongan darah pada korban. Bila orang yang diperiksa itu kebetulan
termasuk golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari seluruh
cairan tubuh), maka pemeriksaan ini selain untuk menentukan jati diri seseorang dalam
arti sempit, akan bermanfaat pula dalam membantu penyidik, misalnya dalam kasus
perkosaan, tabrak lari, serta kasus bayi yang tertukar dan penentuan bercak darah milik
siapa yang terdapat pada senjata dan pada pakaian tersangka pelaku kejahatan di dalam
kasus-kasus pembunuhan.
- Odontologi
Suatu proses identifikasi dengan objeknya adalah gigi. Hal ini dilakukan karena
daya tahan gigi yang baik, sifatnya sangat individual, informasi yang didapat (umur, ras,
sex, golongan darah, raut muka). Daya tahan panas gigi tingga hingga mencapai abu bila
pada suhu 538-649 derajat celcius dan 871 derajat celcius pada tambalan amalgam.
Tanda adanya data dental antemortem, data dental post mortem tidak berarti karena tidak
ada pembanding.
Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:
- Bila rahang atas dan bawah lengkap :
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh :
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan
menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing acrylic.
Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-up, dan pengembalian pada
jenazah.
Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut
wajah korban untuk membantu memudahkan identifikasi.
- DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan. Di
dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam mitokondria.
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab
(usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih
dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum
antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah
forensik (dalam identifikasi korban bencana).
c. Penjelasan Identifikasi Menurut Ras, Jenis Kelamin, Umur, Tinggi Badan, dan Prinsip Identifikasi Rangka
* Ras Beberapa rincian anatomis, terutama di wajah sering menunjukkan ras individual.
Pada ras kulit putih memiliki wajah yang menyempit dengan hidung yang agak meninggi
dan dagu yang menonjol. Ras kulit hitam memiliki hidung yang lebar dan subnasal yang
berlekuk. Indian Amerika dan Asia memiliki bentuk tulang pipi yang menonjol dan
tekstur gigi yang khas.
Seorang antropologis memiliki banyak metode yang rumit untuk dapat
menentukan ras atau nenek moyang suatu populasi melalui tulang. Ras dari pemilik
tulang dapat diidentifikasi menjadi :
1. Ras Kaukasoid (semua yang berkulit putih)
Morfologi kranium pada ras ini yaitu :
- Tipe kranium dolichocephalic (panjang)
- Tulang zygomaticus cenderung mundur terhadap tulang fasial
- Apertura nasalis sangat sempit dan tajam tepi bawahnya
- Dasar tulang orbita cenderung miring ke bawah
- Palatum relatif sempit dan cenderung berbentuk segitiga
- Sutura zygomaticomaxillaris cenderung membelok
- Persentase sutura metopika cenderung lebih tinggi dibanding 2 ras lainnya.
2. Ras Mongoloid (Cina, Jepang, Indian Amerika)
- Tipe kranium cenderung memiliki tulang zygomaticus yang menonjol
- Lebar apertura nasalis sedang dan tepi bawah nasal agak runcing
- Tulang orbita cenderung sirkulair
- Tulang palatum lebarnya sedang
- Sutura zygomaticomaxillaris cenderung lurus
3. Ras Negroid (semua kulit hitam/Negro Afrika, Amerika dan Indian Barat)
- Tipe kranium mesocephalic (sedang)
- Tulang zygomaticus tidak begitu menjorok ke depan terhadap tulang fasial
- Apertura nasalis sangat lebar dan tepi bawah tulang nasalis tumpul
- Tulang orbita cenderung persegi empat dan jarak interorbital lebar
- Tulang palatum cenderung sangat lebar dan agak persegi empat
- Alveolus anterior pada maxilla dan mandibula cenderung sangat prognathis
- Sering didapati depresi coronal posterior pada sutura coronaria
- Sutura zygomaticomaxillaris cenderung membentuk huruf S
Penetuan ras dapat dilakukan melalui pemeriksaan terhadap tengkorak, sudut
intercondylus dan tulang panjang :
* Tengkorak : tengkorak dapat memberikan gambaran yang dapat diandalkan mengenai
karakteristik tertentu dari nenek moyang suatu populasi.
* Sudut intercondylus : menetukan ras dari sudut intercondylus dapat digunakan bila
yang tersisa hanya kerangka saja. Metode ini memerlukan penempatan distal femur pada
posisi lateral.
* Tulang panjang : pada ras kulit hitam, tibia relatif lebih panjang daripada femur dan
radius relatif lebih panjang daripada ulna. Pada populasi kulit putih dan mongoloid,
femur lebih melengkung ke anterior bila dibandingkan dengan populasi kulit hitam.
Femur ras kulit hitam cenderung lebih lurus.
* Jenis kelamin
Pada umumnya penentuan jenis kelamin pada orang hidup tidaklah sukar. Hanya
dari penampilan wajah, potongan tubuh, bentuk rambut, pakaian serta ciri-ciri seks dan
pertumbuhan buah dada, kita sudah bisa mengenali apakah orang tersebut laki-laki atau
perempuan. Hanya pada kasus-kasus khusus yang jarang terjadi, diperlukan pemeriksaan
mikroskopik dari ovarium dan testis.
Penentuan jenis kelamin dalam kasus kriminal atau suatu bencana dimana tubuh
korban rusak oleh karena proses pembusukan atau kerusakan memang disengaja misalnya
dengan memotong tubuh korban, memerlukan ketelitian yang khusus.
Penentuan jenis kelamin pada rangka : Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri
yang mudah dikenali pada tulang-tulang :
- Panggul : ischium pubis pada wanita lebih besar dari pria
- Tengkorak : untuk menetukan jenis kelamin dari tengkorak, diperlukan penilaian dari
berbagai ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri utama adalah penonjolan di
atas orbita (procc.mastoideus, palatum, rongga mata, rahang bawah). Luas permukaan
procc. mastoideus pada pria lebih besar dibandingkan wanita, hal ini dikaitkan dengan
adanya insersi otot leher yang lebih kuat pada pria.
- Tulang dada : rasio panjang dari manubrium sterni dan corpus sterni menetukan jenis
kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang corpus sterni.
- Tulang panjang : pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih panjang, lebih berat
dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha merupakan tulang panjang
yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis kelamin. Konfigurasi, ketebalan, ukuran
dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligamen perlu diperhatikan.
- Penentuan jenis kelamin secara histologik : prinsip penentuan secara histoligik atau
miroskopik ini adalah berdasarkan pada kromosom. Bahan pemeriksaan dapat diambil
dari = kulit, leukosit, sel-sel selaput lendir pipi bagian dalam, sel-sel rawan, korteks
kelenjar supra renalis, cairan amnion.
* Umur
Biasanya pemeriksaan dari os pubis, sacroiliaka joint, arthritis pada spinal dan
pemeriksaan mikroskopis dari tulang dan gigi memberikan informasi yang mendekati
perkiraan umur. Untuk memperkirakan usia, bagian yang berbeda dari rangka lebih
berguna untuk menetukan perkiraan usia pada range usia yang berbeda. Range usia
meliputi usia perianal, neonatus, bayi dan anak kecil, usia kanak-kanak lanjut, usia
remaja, dewasa muda dan dewasa tua.
Umur dalam 3 tahapan :
1. Bayi baru dilahirkan : neonatus, bayi yang belum mempunyai gigi, sangat sulit untuk
menentukan usianya karena pengaruh proses pengembangan yang berbeda pada masing-
masing individu. Pembentukan gigi sering digunakan untuk memperkirakan usia.
Pembentukan gigi permanen sangat menentukan usia/indikatornya.
2. Anak dan dewasa sampai umur 30 tahun : Masa kanak-kanak lanjut dimulai saat gigi
permanen mulai tumbuh. Semakin banyak tulang yang mulai mengeras. Masa remaja
menunjukkan pertumbuhan tulang panjang dan penyatuan pada ujungnya. Penyatuan ini
merupakan teknik yang berguna dalam penentuan usia. Masing-masing epifisis akan
menyatu pada diafisis pada usia-usia tertentu. Dewasa muda dan dewasa tua mempunyai
metode-metode yang berbeda dalam penentuan usia. Penutupan sutura cranium,
morfologi dari ujung iga, permukaan aurikula dan simfisis pubis, struktur mikro dari
tulang dan gigi.
Persambungan speno-oksipital terjadi pada umur 17-25 tahun. Tulang selangka
merupakan tulang panjang terakhir unifikasi. Unifikasi dimulai umur 18-25. Unifikasi
lengkap pada usia 25-30 tahun, usia lebih dari 31 tahun sudah lengkap. Tulang belakang
sebelum usia 30 tahun menunjukkan alur yang dalam dan radier pada permukaan atas dan
bawah.
3. Dewasa > 30 tahun :sutura kranium perlahan-lahan menyatu. Morfologi pada ujung iga
berubah sesuai dengan umur. Iga berhubungan dengan sternum melalui tulang rawan.
Ujung iga saat mulai terbentuk tulang rawan awalnya berbentuk datar, namun selama
proses penuaan ujung iga mulai menjadi kasar dan tulang rawan mulai menjadi berbintik-
bintik. Iregularitas dari ujung iga mulai ditemukan saat usia menua.
Pemeriksaan tengkorak : pemeriksaan sutura, penutupan tubula interna
mendahului eksterna. Sutura sagitalis, koronarius dan lambdoideus mulai menutup umur
20-30 tahun. Sutura parieto-mastoid dan aquamaeus usia 25-35 tahun tertutup, tapi dapat
tetap terbuka sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan
menutup sampai umur 70 tahun.
* Tinggi badan
Tinggi badan merupakan persamaan linear dari berbagai tulang panjang, yaitu
humerus, femur, radius dan tibia dengan rumusan Trotter dan Gleser, Stevenson, Karl
pearson, Dupertus dan Hadden. Kepentingan pengukuran tinggi badan dari tulang
panjang adalah penting pada keadaan tubuh yang sudah terpotong atau yang didapatkan
rangka atau sebagian tulang. Perkiraan tinggi badan dengan pengukuran tulang panjang :
Tulang lengan atas 35 persen dari tinggi badan. tulang paha 27 persen dari tinggi
badan, tulang kering 22 persen dari tinggi badan dan tulang belakang 35 persen dari
tinggi badan. Jenis kelamin ditentukan berdasarkan pemeriksaan tulang panggul, tulang
tengkorak, sternum, tulang panjang serta skapula dan metakarpal.Sedangkan tinggi badan
dapat diperkirakan dari panjang tulang tertentu, dengan menggunakan rumus yang dibuat
oleh banyak ahli.
Melalui suatu penelitian, Djaja Surya Atmaja menemukan rumus untuk populasi
dewasa muda di Indonesia;
TB = 71,2817 + 1,3346 (tib) +1,0459(fib) (lk 4,8684)
TB = 77,4717 + 2,1889 (tib) + (lk 4,9526)
TB = 76,2772 + 2,2522 (fib) (lk 5,0226)
Formula STEVENSON :
TB = 61,7207 + (2,4378 x panjang Femur) + 2,1756
TB = 81,5115 + (2,8131 x panjang Humerus) + 2,8903
TB = 59,2256 + (3,0263 x panjang Tibia) + 1,8916
TB = 80,0276 + (3,7384 x panjang Radius) + 2,6791
Formula TROTTER dan GLESER :
TB = 70,37 + 1,22 (panjang Femur + pjg Tibia) + 3,24
Tulang yang diukur dalam keadaan kering biasanya lebih pendek 2 milimeter dari
tulang yang segar, sehingga dalam menghitung tingi badan perlu diperhatikan. Rata-rata
tinggi laki-laki lebih besar dari wanita, maka perlu ada rumus yang terpisah antara laki-
laki dan wanita.Apabila tidak dibedakan, maka diperhitungkan ratio laki-laki banding
wanita adalah 100:90. Selain itu penggunaan lebih dari satu tulang sangat dianjurkan.
(Khusus untuk rumus Djaja SA, panjang tulang yang digunakan adalah panjang tulang
yang diukur dari luar tubuh berikut kulit luarnya).
Ukuran pada tengkorak, tulang dada, dan telapak kaki juga dapat digunakan untuk
menilai tinggi badan.Bila tidak diupayakan rekonstruksi wajah pada tengkorak dengan
jalan menambal tulang tengkorak tersebut dengan menggunakan data ketebalan jaringan
lunak pada berbagai titik di wajah, yang kemudian diberitakan kepada masyarakat untuk
memperoleh masukan mengenai kemungkinan identitas kerangka tersebut.
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang
meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi
Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah
terima jenazah antara lain:
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan
korban.
d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana
2. 3 DVI (Disaster Victim Identification)
DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai
sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah
yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol.
DVI bekerja dalam hal bencana alam, dimana dalam penggolongannya bencana missal
dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama, Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir,
tanah longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’
yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat,
kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia yang telah direncanakannya
seperti pada kasus terorisme.
Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante
Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing. Pada fase pertama, tim awal
yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga
mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang
terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan
label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan,
dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan
selanjutnya.
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari
data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh,
dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan
untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar
Interpol.
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data
sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang
terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain),
data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak
berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari
keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar
Interpol.
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1
macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. Setelah selesai keseluruhan
proses identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban
bencana ini belumlah selesai.
Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini
dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang
yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana,
prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus
dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak
boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus dilakukan
apabila mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib
dibahas pada saat debriefing
DAFTAR PUSTAKA
KNKT. 2010. Analisis Data Kecelakaan dan Investigasi Pesawat Udara Tahun 2007-2010. Jakarta: Kementerian Perhubungan.
Henky. 2012. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan Kenyataan. Jakarta: Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia
Forensik UI. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Wikipedia. Identifikasi Forensik. Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Identifikasi_forensik tanggal akses : 5 September 2012
Yandi, dkk. 2009. Roman’s Forensik. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat