tinjauan ekonomi dan keuangan
TRANSCRIPT
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ISSN 2088-3153
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
Volume 2
Nomor 8 – Agustus 2012
ISSN 2088-3153
ISSN 2088-3153
Redaksi menerima tulisan/artikel dan saran/kritik yang ditujukan kepada:
Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4
Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710
Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836
Email : [email protected]
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id
ISSN 2088-3153
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME 2 NOMOR 8 – AGUSTUS 2012
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap
perkembangan indikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010
REDAKSI
Pembina
Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian
Pengarah
Sekretaris Kementerian
Koordinator Bidang
Perekonomian
Deputi Ekonomi Makro dan
Keuangan
Koordinator
Bobby H. Rafinus
Kontributor Tetap
Edi Prio Pambudi
M. Edy Yusuf
Mamay Sukaesih
Tri Kurnia Ayu
Rista Amallia
Windy Pradipta
Alexcius Winang
Masyitha Mutiara
Sandra Kurniawati
Fauzia Suryani Putri
Komite Kebijakan KUR
Kontributor Edisi Ini
Gede Edy Prasetya
Tim Pemantauan dan
Pengendalian Inflasi
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan
dapat didownload pada website
www.ekon.go.id
Redaksi menerima tulisan/artikel
dan saran/kritik yang ditujukan ke
email: [email protected]
Editorial 1
Rubrik Agenda Koordinasi
Stabilisasi Harga dan Ketersediaan Pangan Pokok 2
Rubrik Ekonomi Makro Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2012 3
Perkembangan Inflasi Juli 2012 4
Beberapa Masalah Terkait Perkembangan Neraca Perdagangan
Juni 2012 5
Rubrik Ekonomi Internasional Matahari Akan Segera Bersinar Kembali 6
Rubrik Keuangan
Indonesia Financial Sector Development 7
Rubrik APBN
Pengelolaan Dana Transfer 9
Rubrik Kebijakan dan Regulasi Ekonomi Perpres 71 Tahun 2012: Kebijakan Dalam Pengadaan Tanah bagi
Kepentingan Umum 10
Rubrik Utama Wawancara dengan Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc, Ph.D:
Mengatasi Ketimpangan Antarwilayah dengan Pengembangan
Wilayah pada Era Desentralisasi 11
Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS:
Infrastruktur Sebagai Syarat Utama Mengurangi
Ketimpangan Antar Daerah 13 Wawancara dengan Prof. Suahasil Nazara: Ketimpangan Antar Daerah: Efektivitas Alokasi Transfer Daerah? 15
Rubrik Penyaluran KUR Penyempurnaan SOP KUR TKI dan Penyaluran KUR Juli 2012 17
Rubrik Ekonomi Daerah
Pengembangan Wilayah Suatu Daerah 18
Opini Pakar 19
Prof. Robert A. Simanjuntak, Ph.D: Masih terdapat Korelasi yang Lemah antara Alokasi Dana Transfer dengan Pemerataan
Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi
DAFTAR ISI
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 1
EDITORIAL
Dampak krisis ekonomi Eropa, yang
dipicu oleh kegagalan pembayaran
utang beberapa negara seperti
Yunani, Spanyol, dan Itali, terhadap
ekonomi global semakin nyata pada
triwulan II – 2012. Selain negara-
negara besar Eropa seperti Inggeris
dan Perancis, beberapa negara Asia
khususnya China dan India mengalami
penurunan pertumbuhan ekonomi
signifikan akibat merosotnya kegiatan
perdagangan mancanegara. Kinerja
ekspor Indonesia juga memburuk.
Namun dengan permintaan konsumsi
dan investasi yang kuat ,
pertumbuhan ekonomi Indonesia
tercatat 6,4% (yoy).
Capaian pertumbuhan tersebut
diikuti dengan lonjakan defisit
transaksi berjalan dari USD 3,2 miliar
(1,5% PDB) menjadi USD 6,9 miliar
(3,1% PDB). Kenaikan ini terutama
berasal dari impor minyak disamping
barang modal dan bahan baku yang
didorong oleh permintaan konsumsi
dan investasi.Pengendalian besaran
defisit telah diupayakan melalui
kebijakan pajak dan bea cukai
disamping kebijakan moneter untuk
menekan impor dan mendorong
ekspor. Dengan upaya tersebut dan
harapan membaiknya perekonomian
Indikator Ekonomi
Indikator Juli
2012 Juni 2012
Indikator Juni
2012 Mei 2012
Inflasi (% yoy) 4,56% 4,53% Utang Pemerintah* (USD milyar) 204,47 203,26
Indeks Harga Saham Gabungan 4.142,34 3.955, 58 Ekspor (USD miliar) 15,4 16,8
Harga Minyak ICP (USD per barel) 102,88 99,08 Impor (USD miliar) 16,7 17,0
Indeks Harga Perdagangan Besar 190,76 190,22 Wisatawan Mancanegara (ribu orang) 674,4 650,9
Cadangan Devisa* (USD milyar) 106,6 106,5 Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank (%) 11,79 11,78
Nilai Tukar Petani 104,96 104,88 Belanja Negara APBN-P 2012 (Rp. Tr)* 1.548,3
Nilai Tukar (Rp/USD) 9.485 9.480 Pendapatan Negara APBN-P 2012 (Rp. Tr)* 1.358,2
Pertumbuhan Ekonomi Tw.1-2012 (%) 6,40 Tingkat Kemiskinan (Maret, 2012) (%) 11,96%
Tingkat Pengangguran (Feb. 2012) (%) 6,32 Neraca Keseluruhan NPI Tw I-2012 (USD miliar) -1,03
*kumulatif, NPI : Neraca Pembayaran Indonesia
global maka diperkirakan defisit
transaksi berjalan berkurang pada
semester II-2012.
Koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter tersebut merupakan bagian
dari upaya menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas dan
berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan
yang relatif tinggi telah diikuti dengan
penurunan jumlah penduduk miskin
namun dengan laju yang melambat.
Perkembangan ini menyumbang pada
ketimpangan pendapatan yang
cenderung melebar seperti tercermin
dari kenaikan Gini Ratio menjadi 0,41
tahun 2011 dari 0,35 tahun 2008.
Kebijakan perubahan struktural
berjangka panjang diperlukan
disamping kebijakan bantuan sosial,
kebijakan fiskal serta kebijakan
moneter yang berorientasi jangka
pendek agar kesenjangan menurun.
Dalam upaya menggali kebijakan
struktural tersebut, TEK edisi ini
menyoroti penerapankebijakan
pengembangan wilayah, desentralisasi
fiskal serta pembangunan
infrastruktur selama ini dan kedepan.
Beberapa pakar bidang tersebut
melalui diskusi dan wawancara
menunjukkan langkah-langkah yang
perlu diambil, antara lain 1)
mensinkronkan dokumen RTRWN
dengan MP3EI, 2) mempertajam
peruntukan dana transfer , 3)
memfokuskan pembangunan
infrastruktur dasar dalam rangka
pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal khususnya diperdesaan.
Peningkatan alokasi anggaran
infrastruktur juga disarankan agar
prasarana berskala besar yang
dibangun berdayaguna.
Faktor lain yang juga disarankan para
pakar adalah pemimpin yang inovatif
dan berkomitmen memajukan
daerahnya. Dengan pemilihan umum
langsung hingga kabupaten/ kota,
setiap wilayah memiliki peluang
mendapatkan pemimpin tersebut.
Untuk memperoleh pemimpin
semacam ini Amartya Sen (1999),
pemenang nobel ekonomi 1998
menyatakan perlunya demokrasi yang
bukan hanya sekedar pelaksanaan
pemilu tetapi yang menjamin
kebebasan berpendapat dan
memperoleh informasi serta
kepatuhan hukum. Krisis ekonomi
1998/99 yang berat dampaknya
terhadap Indonesia menurut Amartya
Sen merupakan hukuman terhadap
berlangsungnya undemocratic
governance. Semoga pengalaman
tersebut menjadi pelajaran bagi kita
semua. (Bobby H. Rafinus)
Stabilisasi Harga dan Ketersediaan Pangan Pokok
esia Menciut Sudah menjadi kebiasaan menjelang
hari besar raya permintaan
kebutuhan pokok meningkat.
Peningkatan ini kemudian memicu
kenaikan harga. Selain karena faktor
musiman, kenaikan harga pangan
domestik juga dipengaruhi kenaikan
harga pangan global. Pemerintah
tengah berupaya untuk menjaga
ketersediaan pangan pokok dan
stabilisasi harga.
Secara umum, perkembangan harga
pangan pokok tahun 2012 relatif
lebih baik dibandingkan tahun 2011.
Kecuali untuk harga gula, daging
sapi, daging ayam ras, kedelai, cabe
rawit/merah. Sementara komoditas
pangan lainnya, kenaikan harga rata-
rata tahun 2012 lebih rendah
dibanding tahun sebelumnya.
Beras sebagai komoditas pangan
utama penduduk Indonesia,
perkembangan harganya relatif stabil
pada saat bulan puasa dan lebaran
periode tahun 2009-2010.
Sementara pada bulan puasa dan
lebaran tahun 2011 harga beras
cenderung naik. Untuk tahun 2012,
pada bulan puasa dan lebaran, harga
diperkirakan naik tetapi tidak
signifikan karena ketersediaan beras
hingga Idul Fitri 2012 dalam kondisi
cukup.
Sebagai upaya stabilisasi harga beras
menghadapi hari raya, Bulog telah
melakukan Operasi Pasar terutama
di daerah pasokan beras yang
kurang dan di daerah dengan harga
beras cenderung meningkat. Raskin
ke-13 juga akan dibagikan sampai
dengan sebelum lebaran.
Untuk daging ayam, pada tahun
2009-2010 pergerakan harga
cenderung naik pada saat bulan
puasa dan lebaran, sementara pada
tahun 2011 justru menurun. Pada
tahun 2012, hingga bulan puasa dan
lebaran diperkirakan harga
cenderung meningkat, namun
ketersediaan daging ayam dalam
kondisi cukup hingga Idul Fitri 2012.
Hal ini disampaikan oleh Asosiasi
Perunggasan yang menjamin bahwa
stok daging ayam dan telur ayam
cukup dan setiap saat siap untuk
mengisi pasar.
Begitu pula dengan daging sapi,
pergerakan harganya yang cenderung
naik pada saat bulan puasa dan
lebaran pada periode 3 tahun
terakhir. Pada bulan puasa dan
lebaran tahun ini diperkirakan harga
daging sapi masih akan mengalami
kenaikan. Langkah kebijakan yang
akan dilakukan pemerintah antara
lain menjamin pengangkutan sapi
lokal dari sentra produksi ke daerah
konsumen (Jabodetabek) dan
mengawal pengadaan daging sapi dari
sapi impor penggemukan untuk
menjamin pasokan konsumsi
langsung dan horeka (katering).
Gula pasir juga mengalami kenaikan
harga pada saat bulan puasa dan
lebaran. Pada tahun ini, harga gula
tetap tinggi walaupun stabil hingga
bulan puasa dan lebaran. Pemerintah
mengawasi ketat gula rafinasi yang
merembes ke pasar sebagai salah
satu upaya untuk stabilisasi harga.
Sementara untuk pergerakan harga
kedelai relatif stabil saat bulan puasa
dan lebaran pada 3 tahun terakhir.
(bersambung ke halaman 20)
2 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
Sumber: Kementerian Perindustrian
Rubrik Agenda Koordinasi
Juli'10 Juli'11 Juli'12 Juli'11 vs Juli'10 Juli'12 vs Juli'11
Beras Umum 8,037 9,296 10,354 15.67 11.38
Beras Termurah 6,417 7,429 8,229 15.77 10.77
Minyak Goreng 10,004 11,485 12,296 14.80 7.06
Terigu 7,459 7,540 7,520 1.09 -0.26
Gula 9,669 9,933 12,020 2.73 21.01
Daging Sapi 62,058 66,163 76,008 6.61 14.88
Daging Ayam Ras 26,799 26,807 29,115 0.03 8.61
Telur Ayam 14,891 16,682 18,219 12.03 9.22
Kedelai 8,643 8,649 8,852 0.07 2.34
Tempe/Tahu 7,864 8,206 8,409 4.34 2.48
Cabe Rawit/Merah 33,072 13,589 24,587 -58.91 80.94
Bawang Merah 19,495 21,206 15,003 8.78 -29.25
KomoditasRata-rata Harga Perubahan
Sumber: BPS (diolah)
Perkembangan Harga Pangan Pokok
1
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 3
Meski situasi ekonomi dunia belum
pulih benar, pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada triwulan II-2012
relatif tinggi sebesar 6,4% yoy.
Secara nominal PDB mencapai Rp
2050,1trilyun dengan laju
peningkatan 2,8 % dibandingkan
dengan triwulan I-2012.
Struktur PDB triwulan II-2012
didominasi oleh sektor industri
pengolahan, sektor pertanian, dan
sektor perdagangan, hotel dan
restoran yang masing-masing
sebesar 23,5 %, 14,8 %, dan 13,8 %.
Namun, pertumbuhan sektor
industri pengolahan dan sektor
pertanian masih dibawah
pertumbuhan ekonomi keseluruhan
yakni masing-masing sebesar 5,5 %
dan 4% . Sementara sektor
perdagangan, hotel dan restoran
tumbuh sebesar 8,6%.
Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh
sektor pengangkutan dan
komunikasi sebesar 10,2%, hal ini
mengindikasikan adanya pergeseran
dari sektor primer ke sektor
sekunder dan tersier.
Sementara itu, sektor pertambangan
dan penggalian pada triwulan ke II-
2012 menurun 0,6% yang
disebabkan oleh penurunan
subsektor Minyak dan Gas Bumi
serta Subsektor Pertambangan
bukan Migas masing- masing sebesar
1,2 % dan 1,4 %. Sektor Industri
Pengolahan tumbuh meyakinkan
dengan 2,7 % karena pertumbuhan
Industri Pengolahan bukan Migas
sebesar 3,2 %.
Menurut pengeluaran, konsumsi
rumah tangga menjadi penyumbang
terbesar dalam PDB yakni mencapai
53,5%. Kemudian investasi
Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) sebesar 32,9%. Dari laju
pertumbuhan (growth) tertinggi
disumbang oleh pengeluaran
konsumsi pemerintah sebesar 27,2
% (dibandingkan dengan kuartal
sebelumnya). PMTB tersebut
meningkat sebesar 6,3%. Demikian
pula ekspor dan impor meningkat
masing-masing sebesar 1,3 % dan
9,2 %.
Secara spasial, Pulau Jawa
mendominasi struktur ekonomi
Indonesia sebesar 57,5%, diikuti
oleh Pulau Sumatera sebesar 23,6%,
dan sisanya oleh pulau-pulau lain.
Dominasi porsi Pulau Jawa dan
Sumatera terhadap PDB Indonesia
mengindikasikan masih ada
ketimpangan antara kawasan
Indonesia bagian barat dengan
Indonesia bagian timur.
Secara umum dari data PDB
tersebut dapat dikatakan bahwa
kondisi makroekonomi sampai
dengan triwulan II-2012 relatif
stabil. Pertumbuhan ekonomi relatif
tinggi dan ditunjang dengan besaran
inflasi yang masih terjaga pada level
4,56 %. Tetapi permasalahan
sektoral dan spasial masih menjadi
tantangan. Misalnya, sektor
komunikasi dan pengangkutan
tumbuh relatif tinggi (10,2 %) tetapi
hanya menyerap 5,2 % tenaga kerja.
Sedangkan sektor pertanian yang
mampu menyerap tenaga kerja
hingga 41% hanya tumbuh sekitar 4
%. Hal ini menyebabkan
ketimpangan pendapatan antar
sektor dan beresiko memicu tingkat
pengangguran karena sektor
komunikasi bukan sektor dengan
basis tenaga kerja (labor intensive).
Sektor Perdagangan juga perlu
mendapat perhatian khusus. Sampai
dengan Juni 2012 tercatat defisit
perdagangan mencapai US$ 1,33
miliar. Hal ini terjadi karena adanya
penurunan ekspor ke China, Eropa
dan Jepang terutama untuk ekpor
barang mentah dan batu bara.
(Masyitha Mutiara Ramadhan)
Rubrik Ekonomi Makro
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2012
esia Menciut
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor
2
4 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
Perkembangan Inflasi Juli 2012
Inflasi bulan Juli 2012 sebesar 0,70%
mtm atau 4,56% yoy, meningkat dari
bulan sebelumnya yang tercatat
sebesar 0,62% mtm atau 4,53% yoy.
Ada 3 faktor penyebab kenaikan
tersebut, yakni faktor musiman
domestik (memasuki Ramadhan),
dimulainya tahun ajaran baru dan
gejolak harga pangan global.
Inflasi volatile food tercatat sebesar
1,82% mtm atau 7,27% yoy. Harga
komoditas melonjak adalah daging
ayam dan telur. Lonjakan harga
daging ayam dan telur karena
kenaikan permintaan menjelang
Ramadhan ditengah peningkatan
biaya pakan ternak (kenaikan harga
global untuk jagung dan kedelai).
Harga beras juga naik karena
pasokan turun dengan berakhirnya
musim panen di sejumlah sentra
produksi.
Tarif angkutan udara juga naik
sebesar 6,37% mendorong inflasi Juli
2012. Kenaikan ini terjadi karena
liburan sekolah. Sedangkan gejolak
harga kedelai sejauh ini belum
memberikan dampak yang signifikan
pada inflasi Juli 2012, meskipun tahu
dan tempe telah mengalami kenaikan
harga.
Beberapa komoditas lain yang
mengalami kenaikan harga antara lain
daging sapi karena pasokan yang
belum memadai. Sementara
komoditas yang mengalami
penurunan harga antara lain bawang
merah, cabai merah, dan bensin.
Inflasi inti tercatat sebesar 0,54%
mtm atau 4,28% yoy, meningkat dari
bulan sebelumnya. Peningkatan
tersebut disebabkan oleh kenaikan
harga pangan global dan depresiasi
nilai tukar. Tampak perkembangan
inflasi inti tradable food meningkat
dari 5,90% pada Juni 2012 menjadi
6,94% pada Juli 2012.
Perkembangan Inflasi
3
Inflasi administered prices relatif
rendah yakni 0,03% mtm atau 2,71%
yoy. Tingkat inflasi yang rendah ini
karena penurunan harga minyak
dunia dan permasalahan kelangkaan
bahan bakar rumah tangga yang
berhasil diatasi. Harga pertamax
juga turun di 54 kota. Bahan bakar
rumah tangga dan bensin
memberikan sumbangan deflasi
masing-masing sebesar 0,01%.
Secara spasial seluruh 66 kota pada
bulan ini mengalami inflasi. Inflasi
tertinggi terjadi di kota Pangkal
Pinang sebesar 3,17% mtm dan
terendah kota Sibola sebesar 0,11%
mtm.
Masih ada beberapa potensi resiko
yang memberikan tekanan inflasi di
waktu mendatang, antara lain
faktor musiman hari raya,
pelemahan nilai tukar rupiah dan
peningkatan harga pangan global.
Sebagai antisipasi, perlu langkah
penguatan koordinasi baik di tingkat
pusat maupun daerah agar target
inflasi 2012 tercapai. Langkah-
langkah yang dilakukan di tingkat
pusat maupun daerah dalam upaya
pengendalian inflasi mencakup aspek
ketersediaan pasokan, kelancaran
distribusi barang dan komunikasi
yang efektif. (Mamay Sukaesih)
Referensi: Analisis Inflasi, Tim Pemantauan
dan Pengendalian Inflasi (TPI)
Rubrik Ekonomi Makro
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 5
Beberapa Masalah Terkait Perkembangan Neraca Perdagangan Juni 2012
Realisasi ekspor impor bulan Juni
2012 menunjukkan perkembangan
neraca perdagangan yang memburuk.
Pertumbuhan ekspor terkontraksi
sebesar minus 16,4% (yoy)
sedangkan impor tumbuh 10,7%
(yoy). Hal ini mengakibatkan defisit
perdagangan mencapai US$ 1,33
miliar. Defisit ini disebabkan oleh
turunnya ekspor ke sejumlah negara
mitra dagang utama seperti Cina (-
15%), Uni Eropa (-12%) dan Jepang
(-8%) dibandingkan bulan
sebelumnya. Komoditas ekspor yang
mengalami penurunan paling tajam
adalah sektor pertambangan. Ekspor
batu bara tercatat turun sebesar
minus 13,4%(mtm) bahkan ekspor
bahan mentah mengalami penurunan
yang lebih besar yaitu sebesar minus
54,6%(mtm).
Sekitar dua per tiga penurunan
ekspor diakibatkan karena
penurunan ekspor pada sektor
migas. Terdapat beberapa faktor
penyebab penurunan ekspor migas.
Pertama, penurunan harga minyak
dunia yang signifikan, sebesar 12,9%
pada Juni 2012. Kedua, permintaan
minyak global yang menurun. Serta
intervensi pemerintah untuk
memprioritaskan konsumsi gas
dalam negeri. Kedepan, volume
ekspor minyak diperkirakan dapat
kembali normal saat harga minyak
kembali naik.
Untuk sektor non migas, ekspor
terhambat karena adanya penurunan
harga komoditas pokok seperti batu
bara yang harganya turun tajam
hingga mencapai 10% pada bulan
Juni. Namun tidak terlihat adanya
penurunan permintaan dan volume
yang signifikan dari negara tujuan
ekspor utama seperti Cina. Seperti
diketahui, Cina merupakan salah satu
negara yang terkena dampak Krisis
Eropa. Akan tetapi, hal ini tidak akan
berdampak besar bagi perdagangan
Indonesia karena Indonesia
mengekspor komoditi utama untuk
digunakan sebagai konsumsi domestik
dan investasi di Cina. Akan tetapi,
apabila krisis Eropa berdampak cukup
serius terhadap perekonomian Cina
maka akan berakibat pada penurunan
permintaan domestik yang nantinya
mempengaruhi ekpor Indonesia.
Sejauh ini, permintaan domestik dari
Cina ke Indonesia tidak menunjukkan
penurunan, ditunjukkan dengan masih
tingginya impor batu bara. Selain itu,
kebijakan dan stimulus yang dilakukan
Pemerintah Cina akan membantu
mencegah adanya penurunan
permintaan domestik. Hal ini menjadi
keuntungan bagi kinerja ekspor
Indonesia.
Komoditi lain yang mengalami
penurunan ekspor adalah bahan
mentah (termasuk besi dan nikel) ke
Cina dan Jepang. Pemberlakuan pajak
ekspor atas raw material adalah
faktor utama yang menyebabkan
penurunan ekspor. Untuk itu, perlu
akselerasi investasi industri
pengolahan bahan tambang dan
peningkatan daya saing sektor
manufaktur.
Impor migas tercatat mengalami
penurunan seiring dengan turunnya
harga minyak global. Hal ini
mengindikasikan volume impor
minyak masih tetap tinggi yang terkait
dengan upaya menjaga pasokan
menjelang libur lebaran. Impor
barang modal pada Juni 2012
tumbuh sebesar 0,2% (mtm).
Perkembangan ini memberikan sinyal
positif berlangsungnya kegiatan
investasi.
Perdagangan Indonesia selama
semester I-2012 tercatat surplus
sebesar US$ 476 juta (ytd). Capaian
ini jauh lebih kecil dibandingkan
surplus tahun lalu sebesar USD 15
milyar. Kondisi ini tidak begitu
mengkhawatirkan karena penurunan
tajam tersebut lebih disebabkan
peningkatan impor non migas yang
didominasi oleh barang modal. Jadi
berdampak positif untuk
perekonomian.
Penurunan kinerja perdagangan ini
belum mengindikasikan terjadinya
overheating di Indonesia. Penurunan
surplus perdagangan lebih
disebabkan oleh penurunan harga
global. Kebijakan pemerintah Cina
untuk memulihkan pertumbuhan
ekonomi menunjukan potensinya
sebagai mitra dagang utama masih
dapat diandalkan. Selain itu,
komposisi impor masih mendukung
pertumbuhan investasi. Kinerja
neraca modal dan keuangan dapat
menjadi penyangga apabila neraca
perdagangan memburuk. Hal ini
didukung dengan investasi langsung
(FDI) yang tumbuh positif dan
permintaan luar negeri akan surat
hutang yang masih tinggi.permintaan
luar negeri akan surat hutang yang
masih tinggi.
(Bersambung ke halaman 9)
Referensi: Analisis Ekonomi Indonesia, Bank Danamon
Rubrik Ekonomi Makro
6 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan IAgustus 2012
Matahari Akan Segera Bersinar Kembali
Prediksi ekonomi global
mengisyaratkan situasi tenang
tengah berlangsung dalam triwulan
III-2012 memberi prospek
peningkatan hingga akhir tahun
nanti. Sekalipun terjadi perlambatan
di China, Meksiko, Rusia, Brazil dan
Amerika, perbaikan situasi
diperkirakan sedang terjadi sebagai
respon terhadap kebijakan
ekspansif. Kekuatiran sempat
muncul saat pertumbuhan China
triwulan II-2012 lalu turun menjadi
7,6%(yoy) dari level 8,1% pada
triwulan I-2012 dan posisi tersebut
yang terendah sejak 2009. Indikasi
lain terlihat dari konsumsi listrik
China yang turun menjadi 4,3% pada
Juni lalu, padahal tahun lalu
melonjak hingga 12% yang diduga
industri-industri China mulai
kekurangan order permintaan.
Situasi perlambatan juga terasa di
India di mana pada bulan Juli lalu
Manufacturing Purchasing Manager’s
Index (PMI) turun menjadi 52,9 dari
55 pada bulan sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi India juga
melambat menjadi 5,3% pada
triwulan I terendah sejak 9 tahun.
Oxford Economic memprediksi
pertumbuhan ekonomi India akan
tercapai 5,7% tahun ini dan
meningkat 7,3% tahun depan.
Bersamaan dengan melambatnya
ekonomi, India mengalami gelap
listrik selama 2 hari yang melanda
wilayah Utara dan Timur.
Kondisi di Amerika Latin tak luput
dilanda perlambatan. Aktivitas
ekonomi di Meksiko turun 0,4%
pada Mei lalu akibat kontraksi
bulanan aktivitas sektor Industri
sebesar 0,9% dan sektor Jasa
sebesar 0,3%. Penyebab utama
karena permintaan dari Amerika
Serikat dan kawasan Eropa
menurun. Ekonomi Brazil
diperkirakan hanya tumbuh 1,5%
setelah beberapa indikator aktivitas
ekonomi terlihat datar pada bulan
Mei. Bahkan manufacturing PMI
bulan Juli jatuh dalam 4 bulan
berjalan.
Dari Rusia dilaporkan pertumbuhan
ekonomi diproyeksi hanya tumbuh
3,9% tahun ini dan 3,3% tahun
depan karena dorongan permintaan
domestik. Menariknya,
pertumbuhan ekonomi di Rusia
mengalami “two-speed” . Satu sisi
pasar tenaga kerja mengalami
kenaikan mendorong pertumbuhan
konsumsi, tetapi di sisi lain sektor
industri tengah menghadapi
penurunan permintaan eksternal.
Ekspos resiko masih dirasakan dari
kondisi di kawasan Eropa, namun
pasar tenaga kerja menguat.
Kawasan Asia Timur masih
mengalami dampak penurunan
ekonomi China. Ekspor dari Korea
Selatan pada bulan Juli jatuh 8,9%
yoy dan sektor manufaktur
terhantam cukup dalam dengan
hanya tumbuh 2,7% yoy pada
triwulan II-2012. Tahun lalu sektor
manufaktur tumbuh hingga 7,2%.
Sebagai langkah antisipasi, bank
sentral Korea memotong suku
bunga menjadi 3% karena ekspor
diperkirakan masih akan tereduksi.
Ekonomi Korea diperkirakan
tumbuh 2,4% tahun ini.
Prospek cerah dirasakan oleh
Thailand, Malaysia dan Indonesia
yang diperkirakan mencapai
pertumbuhan ekonomi di atas 4%
tahun ini di tengah laju ekspor yang
melambat. Seperti halnya Indonesia
yang mengalami perlambatan ekspor
pada triwulan I dan II, pertumbuhan
ekonomi justru meningkat menjadi
6,4% yoy pada triwulan II-2012. Hal
yang sama terjadi di Thailand di
mana ekspor turun 4,3% pada Juni
lalu tetapi pertumbuhan ekonomi
masih meningkat.
Keseluruhan situasi gejolak
ekonomi yang dirasakan mulai
mereda, pemulihan sangat
tergantung pada penyelesaian krisis
di Zona Eropa. Sentimen pada
negara-negara di Eropa sangat
rentan dengan perubahan pasar
walaupun nilai tukar dan bursa
saham mulai tenang. Rumania dan
Hungaria diperkirakan dapat
mencapai sedikit pertumbuhan
ekonomi tahun ini sebesar 0,5%
meskipun terbelit masalah internal
dan imbas krisis Eropa. Dengan
situasi yang mulai tenang, prospek
ekonomi akan segera terang. Bak
nakhoda kapal di tengah lautan, para
pelaku ekonomi sudah melihat
secercah matahari yang segera
bersinar terang setelah menerjang
badai. Waktulah yang akan segera
membuktikan. (Edi P. Pambudi)
Rubrik Ekonomi Internasional
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 7
Indonesia Financial Sector Development
In the 14 years since the Asian
crisis of 1997-98, a single-minded
focus of the authorities to enhance
the stability of the banking sector
has paid off. The landscape of the
banking sector has been
transformed and, as the recent
global financial crisis demonstrated,
the sector came through relatively
unscathed. While this is
undoubtedly good news, the glass
of reform remains half full and
weaknesses exist that still have the
potential to destabilize the sector
and damage the real economy.
A large unfinished agenda remains
in terms of three other aspects of
the broader financial sector:
diversification, intermediation, and
inclusion. Focus on these aspects is
also essential if the financial sector
is to contribute effectively to
Indonesia’s recently articulated
ambitions to be one of the world’s
top ten economies by 2025. The
move towards high-income country
status will require developing a
financial sector that can provide the
kinds of products and services that
can cater to the demands of
Indonesia’s population and real
sector. Indonesia needs a diversified
financial sector with appropriate
roles for banks, non-banks, and
capital markets; a financial sector
that is accessible across the
population and across industries.
Only then will Indonesia’s financial
sector be truly a part of the
solution to its developmental
challenges, and the glass will then
be full.
Indonesia’s financial sector tripled
in size in nominal terms from 2000
to 2010, a period accompanied by
significant reforms in the financial
sector. Despite this, the level of
diversification in the financial sector
in Indonesia is still very low, with
the banks playing a highly dominant
role - finance companies, pension
funds, mutual funds, insurance
companies, etc. are still very small
for a country of Indonesia’s size,
together accounting for only 20
percent of the sector. Despite
growth in the overall system, the
relative shares of different types of
institution have hardly changed, and
the basic structure remains the
same as it was in the wake of the
Asian crisis. The challenge going
forward is to make it less bank-
focused and more diversified and
this will strengthen the overall
financial sector.
Indonesia’s capital markets are not
a major source of funding or a
significant vehicle for long-term
investment. Reluctance by some
large companies to list severely
limits the range of liquid
instruments available for
investment. Further development of
the capital markets is needed to
facilitate market-based price
discovery for the fixed income
securities market, to diversify and
manage risk, and to provide
investors with alternative
investment opportunities. Current
development strategies focus
considerable attention on increasing
the domestic investor base. The
development of the insurance
sector should also be a priority not
least to diversify the institutional
investor base in Indonesia. The
insurance industry is under stress
and a small number of financially
troubled companies account for
about 25 percent of the life premia.
Tax incentives could be provided to
encourage a shift from short-term
to long-term saving products, while
the served segment of the
population could be expanded by
promoting the development of
microinsurance. The use of
catastrophe insurance should be
studied given that Indonesia is
prone to natural disasters. A
policyholder protection fund should
also be established. Supervisory
powers to intervene and resolve
insolvent insurance companies are
currently incomplete and need to
be addressed in the proposed
revisions of the law.
Comparing the Indonesian banking
sector to its regional peers,
Indonesian banks are amongst the
most profitable in the region, having
higher net interest margins and
returns on assets compared with all
their regional peers, while overall
capital adequacy ratios are at levels
similar to Singaporean and Hong
Kong banks. However, the role of
Indonesian banks in supporting the
real sector needs to increase
further. They have lower levels of
intermediation than other banking
sectors in the region. In terms of
loans-to-GDP and deposits-to-
GDP, Indonesia is well behind India,
Thailand, and the Philippines.
Rubrik Keuangan
8 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
The system’s loan-to-deposit ratio is
lower as well. Meanwhile, real
lending rates are high compared
with their regional peers.
Fundamental structural weaknesses
in the legal system and overall
governance framework, concerns
about creditor rights, and
confidence in disclosed information
need to be addressed.
Financial inclusion also remains a
major challenge in Indonesia. There
is now much evidence suggesting
that access to formal financial
services is vital in reducing income
inequality, as well as enabling
economic growth. Inclusive financial
systems free poor individuals and
SMEs from the need to rely on their
own limited savings to build assets,
mitigate risks from unexpected
events, invest in education, or take
advantage of promising growth
opportunities. The problem to date
has been that while banks dominate
the formal financial sector in
Indonesia, the poor have remained
largely excluded from this sector
and therefore access to formal
financial sector.
A National Strategy for Financial
Inclusion that is being developed by
the Government would be an
excellent start to push the agenda
forward. For commercial banks and
telecom companies, the most
promising simple, low-cost
regulatory reform involves the
creation of a conducive environment
for mobile money, which holds
considerable promise to improve
access to financial services, through
reduced costs and extended reach.
BI has recently made regulatory
advances, although much more is
still possible. To deliver mobile
money services cheaply, the
economies of scale offered by a
network of non-bank retail agents is
vital. This would entail allowing
banks and telecom companies the
discretion to use a network of non-
bank third parties, with the banks
and telecom companies remain
responsible for their agents'
activities.
The decision to establish an
Indonesian Financial Services
Authority (OJK) to take over the
current regulatory and supervisory
functions in capital markets and non-
bank financial institutions of
Bapepam-LK at the end of 2012,
followed by the transfer of Bank
Indonesia’s responsibilities for the
supervision and regulation of the
banks at the end of 2013, is an
opportunity to strengthen the
overall regulatory and supervisory
framework of the financial sector.
Indonesia is to be congratulated on
the successful selection of a team of
solid experts to OJK’s Board of
Commissioners. In order to
maximize the synergies and benefit
from this new structure, it would be
important for all sectors – banking,
non-banks, and capital markets – to
work closely together. However,
the new structure also poses
potential risks. Implementation of
the transition needs to be done
expeditiously but carefully. Critical
supervisory competences could be
lost in the transition. It is therefore
crucial to ensure that there is legal
and operational clarity of roles and
responsibilities, and close
coordination between the OJK, and
Bank Indonesia, LPS, and Bapepam-
LK. The future role of Bank
Indonesia in the banking sector as
well as the relationship between
OJK and BI need to be clarified and
well articulated to the market.
(P.S. Srinivas, Lead Financial Economist,
World Bank, Jakarta)
Rubrik Keuangan
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 9
Pengelolaan Dana Transfer
Pada tanggal 7 Agustus 2012
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan
diskusi rutin yang diadakan setiap
bulannya yaitu Economist Talk.
Tema diskusi kali ini adalah
optimalisasi pengelolaan dana
transfer sebagai upaya mengatasi
ketimpangan pendapatan antar
daerah.
Robert. A. Simanjuntak sebagai
narasumber menyatakan bahwa
seharusnya arah kebijakan
desentralisasi dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah
termasuk kualitas dan kuantitas
pelayanan publik kepada penduduk
lokal yang berdampak peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Sementara realita dilapangan
menunjukkan bahwa alokasi belanja
daerah untuk sektor-sektor penting
seperti kesehatan, infrastruktur,
dan pendidikan masih sangat kurang.
Di sektor kesehatan dan
infrastruktur diantaranya tercermin
dari masih sulitnya mendapatkan
akses air bersih dan sanitasi karena
minimnya infrastruktur yang ada.
Selanjutnya, di sektor pendidikan
terlihat masih banyaknya pelajar di
daerah yang tingkat pendidikannya
masih rendah. Hal tersebut
dikarenakan lambatnya perbaikan
dalam akses pendidikan menengah
dan tinggi sehingga pembentukan
high skilled labor force menjadi
lambat. Padahal peran tersebut
menjadi kunci utama untuk
menentukan daya saing tenaga kerja
Indonesia.
Menurut data-data yang diperoleh,
peningkatan transfer ke daerah ini
tidak diimbangi dengan peningkatan
kualitas dan kuantitas pelayanan
publik. Oleh karena itu, yang terjadi
saat ini adalah tidak adanya
perbaikan pelayanan publik di banyak
Kabupaten / Kota walaupun belanja
daerah meningkat.
Dengan kondisi seperti itu
diharapkan adanya perbaikan
pelayanan publik sehingga dapat
membantu mendorong pertumbuhan
ekonomi dan perbaikan dari layanan
kesehatan, infrastruktur, dan
pendidikan.
Disamping itu, pemerintah pusat perlu
membuat kebijakan yang mendorong
daerah untuk mengalokasikan
anggarannya yang dapat
mempengaruhi langsung
kesejahteraan masyarakat daerah.
Untuk pemerintah daerah khususnya
Kabupaten / Kota agar lebih
mengoptimalkan pemanfaatan
transfer dari pusat. Terutama lebih
memfokuskan alokasi belanjanya
pada pengeluaran pembangunan atau
fisik (belanja modal), mengingat
semakin pesatnya perpindahan
penduduk dari desa ke kota
(urbanisasi). Hal ini mengingat
banyak daerah yang sangat
bergantung kepada transfer dari
pusat. sehingga dengan demikian
PAD Kabupaten / Kota menjadi
sangat kecil perannya
dalam membantu mondorong
pertumbuhan ekonomi dan
perbaikan dari pelayanan
pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur.
(Windy Pradipta)
Rubrik APBN
Sambungan halaman 5: Beberapa
Masalah Terkait Perkembangan
Neraca Perdagangan Juni 2012
Pemerintah dan Bank Indonesia
disarankan fokus menjaga stabiltilas
nilai tukar Rupiah. Tingginya defisit
pada neraca perdagangan akan
memberikan tekanan pada neraca
pembayaran. Dalam upaya
tersebut penting diperhatikan
persepsi serta sentimen investor
asing dan eksportir Indonesia.
Sentimen positif terhadap kondisi
ekonomi dan iklim investasi
Indonesia perlu dijaga, agar
ketersediaan dollar AS meningkat
dan membantu menjaga kestabilan
Rupiah sampai akhir tahun.
(Tri Kurnia Ayu)
Referensi: Analisis Ekonomi Indonesia, Bank
Danamon
10 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan
Mater Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono melalui
Peraturan Presiden Nomor 32
Tahun 2011 tentang MP3EI telah
mengamanatkan untuk segera
melakukan perbaikan terhadap
regulasi yang dapat menghambat
keberhasilan pelaksanaan program
MP3EI. Salah satunya adalah
penerbitan UU Nomor 2 Tahun
2012 mengenai Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang mengatur
mengenai Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum yang bertujuan
menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat dengan
tetap menjamin kepentingan hukum
Pihak yang Berhak.
Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 53
dan Pasal 59 UU Nomor 2 Tahun
2012, pada tanggal 7 Agustus 2012
Presiden menetapkan Perpres
Nomor 71 Tahun 2012 yang
mengatur mengenai tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dari tahap perencanaan,
persiapan, pelaksanaan, sampai
dengan penyerahan hasil. Beberapa
hal pokok yang diatur dalam Perpres
tersebut antara lain: (i) Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah
bagi pembangunan untuk
kepentingan umum harus menyusun
dokumen perencanaan pengadaan
tanah, yang memuat: tujuan rencana
pembangunan, kesesuaian dengan
Rancangan Tata Ruang Wilayah
(RTRW), letak tanah, luas tanah
yang dibutuhkan, gambaran umum
status tanah, dan perkiraan nilai
tanah, untuk selanjutnya diajukan
kepada Gubernur yang melingkupi
wilayah tanah tersebut. (ii)
Pembentukan Tim Persiapan oleh
Gubernur, yang beranggotakan
Bupati/Walikota, SKPD Provinsi
terkait, instansi yang memerlukan
tanah dan instansi terkait lainnya,
yang bertugas melaksanakan
pemberitahuan rencana
pembangunan, melakukan pendataan
awal lokasi rencana pembangunan,
dan melaksanakan konsultasi publik
rencana pembangunan. Konsultasi
publik ini melibatkan pihak yang
berhak dan masyarakat yang terkena
dampak pembangunan secara
langsung, untuk mendapatkan
kesepakatan lokasi rencana
pembangunan. Selain itu, Gubernur
juga harus membentuk Tim Kajian
Keberatan sebelum mengeluarkan
penetapan lokasi pembangunan,
apabila masih terdapat pihak yang
tidak sepakat atau keberatan atas
lokasi rencana pembangunan. (iii)
Penyelenggaraan pengadaan tanah
dilakukan oleh Kepala BPN, yang
pelaksanaannya dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN selaku
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
(dengan pertimbangan efisiensi,
efektifitas, kondisi geografis dan
sumber daya manusia, dapat
didelegasikan kepada Kepala Kantor
Pertanahan). (iv) tata cara
pelaksanaan pengadaan tanah oleh
pelaksana pengadaan tanah, meliputi
antara lain inventarisasi dan
identifikasi data fisik penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah serta data pihak
yang berhak termasuk obyek
pengadaan tanah; penyusunan Peta
Bidang Tanah dan daftar nominatif;
penetapan besarnya nilai ganti
kerugian yang didasarkan pada hasil
penilaian jasa penilai atau penilai
publik; pelaksanaan musyawarah;
dan pemberian ganti kerugian;
pelepasan hak obyek pengadaan
tanah; serta penyerahan hasil
pengadaan tanah kepada instansi
yang memerlukan tanah; (v)
Pengaturan pemberian ganti kerugian
yang dapat diberikan dalam bentuk
uang, tanah pengganti, permukiman
kembali, kepemilikan saham, atau
bentuk lain yang disetujui kedua
belah pihak, baik berdiri sendiri
maupun gabungan dari beberapa
bentuk ganti kerugian tersebut
(namun demikian dalam
musyawarah, pelaksana pengadaan
tanah mengutamakan pemberian
ganti kerugian dalam bentuk uang).
Selain pengaturan pokok di atas,
dalam Perpres ini ditegaskan bahwa
penyelenggaraan pembebasan tanah
untuk kepentingan umum
dilaksanakan dalam waktu paling
lama 583 hari. Sehingga melalui
regulasi ini kendala pembebasan
lahan tidak berlarut-larut dan dapat
segera diatasi, yang akan mendorong
tumbuhnya investasi dan penciptaan
lapangan kerja yang muaranya akan
menurunkan angka kemiskinan dan
pengangguran di Indonesia.
(Alexcius Winang)
Rubrik Kebijakan dan Regulasi Ekonomi
Perpres 71 Tahun 2012 : Kebijakan dalam Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 11
Ketimpangan antarwilayah
merupakan salah satu persoalan
yang masih dihadapi oleh negara-
negara berkembang termasuk
Indonesia. Jika membandingkan
pembangunan pada masa Orde
Baru dengan pembangunan pasca
reformasi, kesenjangan
pembangunan antara Pulau Jawa
dengan Luar Pulau Jawa telah
mengalami perubahan dilihat dari
pola urbanisasi yang merupakan
salah satu indikator pengembangan
wilayah.
Demikian pendapat salah satu
pakar pengembangan wilayah dan
desentralisasi, Prof. Ir. Tommy
Firman, M.Sc., Ph.D,, dosen
pengajar dan peneliti di Institut
Teknologi Bandung (ITB).
Menurutnya fenomena ketimpangan
pendapatan antarwilayah tidak
hanya terjadi antara Kawasan Barat
Indonesia dengan Kawasan Timur
Indonesia, tetapi juga antara Pulau
Jawa dan Luar Pulau Jawa dan
antara kota dengan desa.
Secara konvensional, ketimpangan
antarwilayah memang dinilai
berdasarkan besarnya pendapatan
per kapita suatu wilayah. Namun,
sebenarnya ketimpangan
antarwilayah dapat dipandang lebih
luas yaitu dengan melihat
konsentrasi pembangunan, aktivitas
ekonomi, dan kegiatan masyarakat
yang tidak berimbang antarwilayah.
Aspek kependudukan dan mobilitas
penduduk merupakan informasi
mendasar yang terkait dengan
perkembangan suatu wilayah. Pola
urbanisasi merupakan salah satu
indikator pengembangan wilayah
yang menunjukkan adanya daya
tarik yang memicu perpindahan
penduduk ke daerah lain.
Menurut Prof. Tommy Firman, dari
hasil Sensus Penduduk Tahun 2010,
terdapat indikasi yang menunjukkan
peningkatan pola urbanisasi di luar
Pulau Jawa khususnya di daerah-
daerah yang kaya akan sumber daya
alam dan daerah yang memiliki
potensi ekonomi yang besar seperti
Bali, Kalimantan Timur, dan
Kepulauan Riau. Menurutnya, pola
urbanisasi yang meningkat
merupakan fenomena positif yang
menunjukkan daerah-daerah di luar
Pulau Jawa mulai berkembang. Jika
dibandingkan dengan masa Orde
Baru, pola urbanisasi di Indonesia
sangat terpusat ke daerah-daerah di
Pulau Jawa. Pergerakan penduduk
yang terjadi di beberapa wilayah di
luar Pulau Jawa terjadi karena
terdapat aktivitas ekonomi yang
menjadi daya tarik penduduk dari
daerah lain. Gejala tersebut sudah
mulai terlihat walaupun belum
merata dan baru tampak di
beberapa wilayah yang
pertumbuhan ekonominya sangat
pesat.
Kebijakan desentralisasi pada
dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Prof. Tommy Firman
berpendapat bahwa kebijakan ini
berpotensi untuk mengurangi
kesenjangan antarwilayah karena
daerah dapat membangun
daerahnya masing-masing sesuai
dengan persoalan yang dirasakan
masyarakatnya. Kebijakan
desentralisasi dapat mendorong
pembangunan di wilayah luar
Pulau Jawa karena provinsi dan
kabupaten memiliki kewenangan
yang luas untuk
menyelenggarakan pembangunan
daerahnya sendiri.
Perkembangan beberapa daerah
pada era desentralisasi memang
menunjukkan kemajuan pesat
tetapi tidak sedikit pula daerah-
daerah yang memiliki kondisi
pembangunan yang lebih buruk
dari kondisi sebelumnya. Hal ini
dapat disebabkan oleh sumber
daya yang dimiliki daerah tersebut
tidak mampu membiayai
penyelenggaraan pembangunan.
Pada era desentralisasi, salah satu
instrumen untuk mengatasi
kesenjangan pendapatan
antarwilayah adalah dengan dana
transfer yang terdiri dari Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi Hasil.
Rubrik Utama
Wawancara dengan Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D:
Mengatasi Ketimpangan Antarwilayah dengan Pengembangan Wilayah pada Era
Desentralisasi
12 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
Namun, persoalan yang terjadi
adalah beberapa daerah merasa
Dana Alokasi Umum tidak banyak
membantu dalam melaksanakan
pembangunan karena hanya cukup
membiayai belanja rutin pemerintah.
Menurut Prof. Tommy Firman,
seharusnya yang harus lebih
dipertimbangkan adalah Dana
Alokasi Khusus (DAK) yang
dialokasikan sesuai dengan persoalan
yang dihadapi oleh masing-masing
daerah. Namun, DAK ini memang
harus disesuaikan dengan kebutuhan
daerah dan bukan hanya kepentingan
pemerintah pusat.
Prof. Tommy Firman juga
mengatakan bahwa yang menjadi
faktor penentu keberhasilan
pembangunan daerah tidak hanya
ditentukan dari potensi daerah dan
besaran dana yang diperoleh, tetapi
juga yang terpenting adalah kapasitas
kepemimpinan kepala daerahnya.
Jadi, untuk mengatasi ketimpangan
pembangunan antar wilayah pada era
desentralisasi, dibutuhkan kepala
daerah yang visioner dan mampu
menjalankan program-program
pembangunan sehingga dapat
mengembangkan daerahnya,
khususnya daerah-daerah yang masih
tertinggal.
Menurut Prof. Tommy Firman, saat
ini kebijakan pembangunan di
Indonesia cenderung dominan
terhadap pembangunan di kota-kota
besar. Ketimpangan pembangunan
antara desa dan kota tidak akan
mampu diatasi jika kebijakan yang
ada kurang mengedepankan
pembangunan perdesaan. Urbanisasi
merupakan fenomena positif dalam
pembangunan namun untuk
mengatasi ketimpangan wilayah,
urbanisasi yang diharapkan adalah
urbanisasi tanpa migrasi, artinya
bukan penduduk yang berpindah ke
kota tetapi desa-desa yang awalnya
didominasi sektor primer dapat
berkembang diimbangi dengan
kegiatan ekonomi sektor sekunder
dan tersier.
Pengembangan wilayah pada
dasarnya ditujukan untuk
pemerataan pembangunan sehingga
tidak terjadi kesenjangan
antarwilayah. MP3EI dengan konsep
konektivitas nasional dan
pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi, memiliki
potensi mengurangi kesenjangan
karena direncanakan dengan
membangun keterhubungan antar
wilayah termasuk Kawasan Timur
Indonesia. Namun, Prof. Tommy
Firman berpendapat bahwa jika
pembangunan ingin merata maka
seharusnya terdapat keterhubungan
antara koridor ekonomi itu dengan
daerah yang tidak terhubung dengan
koridor tersebut. Jika tidak, maka
MP3EI ini juga berpotensi
meningkatkan kesenjangan
pembangunan antara daerah yang
terlewati koridor ekonomi dengan
daerah yang tidak dilalui koridor
ekonomi.
Salah satu kebijakan pengembangan
wilayah yang ada di Indonesia adalah
Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN). Terkait dengan
adanya MP3EI, Prof. Tommy Firman
berpendapat bahwa sebaiknya
dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai sinkronisasi konsep
pengembangan wilayah dalam MP3EI
dengan kebijakan RTRWN. Hal ini
perlu dilakukan agar daerah tidak
dibingungkan terhadap kedua
kebijakan tersebut ketika harus
melaksanakan pembangunan di
daerahnya.
(Sandra Kurniawati)
Rubrik Utama
Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D
Guru Besar, Institut Teknologi Bandung
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 13
Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS:
Infrastruktur Sebagai Syarat Utama Mengurangi Ketimpangan Antar Daerah
Ketimpangan antar wilayah bukan
merupakan masalah baru yang
dihadapi Indonesia. Sejak tahun
1990-an sampai sekarang,
sumbangan pulau Jawa terhadap
Produk Domesti Bruto (PDB)
Nasional masih mencapai 60 persen.
Sedangkan Pulau Sumatera
menyumbang 20 persen, dan 20
persen sisanya disumbangkan oleh
pulau lainnya.
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS,,
professor Departemen Ilmu
Ekonomi Insitut Pertanian Bogor
berpendapat bahwa ketimpangan
antar wilayah disebabkan karena
ketersediaan infrastruktur yang tidak
seimbang. Selama ini kebijakan yang
diambil masih bias ke Jawa, artinya
pembangunan masih terpusat di
pulau Jawa dan kawasan Indonesia
bagian barat
“Jika infrastruktur di Pulau Jawa
semakin baik dibandingkan dengan
pulau-pulau lainnya, maka investasi
akan terus tertarik ke Pulau Jawa.
Seperti pepatah ada gula ada semut,
ketersediaan infrastruktur akan
mendorong kegiatan investasi dan
ekonomi.” ungkap Prof. Bambang.
Sejak era otonomi daerah,
pemerintah berupaya untuk
mengurangi ketimpangan antar
daerah melalui instrumen Dana
Alokasi Umum (DAU). Akan tetapi,
setelah hampir dua belas tahun
diberlakukan, ketimpangan masih
terus terjadi. Menurut Bambang, ada
beberapa hal yang menyebabkan
kurang efektifnya instrumen DAU
dalam mengatasi ketimpangan antar
wilayah. Pertama adanya kebijakan
hold-harmless; dimana daerah tidak
boleh mendapatkan DAU yang lebih
kecil dari tahun sebelumnya. Bisa
dibayangkan jika provinsi-provinsi
seperti DKI Jakarta dan Kalimantan
Timur yang sudah “kaya” masih
mendapatkan DAU yang jumlahnya
terus meningkat dari tahun ke tahun.
Padahal masih banyak provinsi lain
yang butuh DAU lebih besar untuk
proses pembangunannya
“Sebenarnya pada tahun 2010, DKI
Jakarta, Riau dan Kalimantan Timur
tidak menerima DAU, akan tetapi
entah mengapa tahun ini ketiga
provinsi tersebut kembali
mendapatkan DAU. Sulit memang,
ada dinamika politis di dalamnya.”
Tutur sang professor.
Kedua, DAU memang menjadi syarat
perlu untuk menunjang proses
pembangunan, akan tetapi syarat
cukup yang harus dipenuhi adalah
bagaimana pemerintah daearah dapat
mengalokasikan DAU untuk belanja
yang berkualitas terutama untuk
pembangunan infrastruktur, bukan
hanya untuk belanja pegawai atau
belanja rutin pemerintah. Menurut
Prof. Bambang, pemerintah dapat
menggunakan instrumen Dana
Alokasi Khusus (DAK) untuk
mendorong Pemerintah Daerah
dalam mengalokasikan dananya
untuk pembangunan infrastruktur.
Dibandingkan dengan DAU yang
pengalokasiannya diserahkan
sepenuhnya ke pemerintah daerah,
pemerintah pusat akan lebih mudah
mengatur alokasi belanja daerah
dengan instrumen DAK. Prof.
Bambang juga berkomentar
mengenai hasil revisi Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2004
bahwa daerah wajib menyediakan
minimal 10 persen dari DAK yang
diterima. Kebijakan ini akan
mendorong pemerintah daerah
untuk menggunaan DAK secara
lebih efektif dan tepat sasaran.
Kritik lain yang disampaikan oleh
Prof. Bambang adalah mengenai
formula penyusunan DAU yang
masih mengadopsi formula negara
lain. Beliau berpendapat bahwa
pemerintah seharusnya melakukan
penyesuaian terhadap keadaan
Indonesia yang tentunya berbeda
dengan negara lain.
Dalam pembangunan pedesaan,
infrastruktur juga menjadi
permasalahan utama. Prof. Bambang
berpendapat bahwa perlu adanya
peraturan yang menjamin setiap
desa akan mendapatkan alokasi dana
untuk pembangunan infrastruktur
sehingga tidak perlu dilakukan
pemekaran daerah baru.
Ketersediaan infrastruktur yang baik
akan mendorong investor untuk
berinvestasi sehingga penduduk
Rubrik Utama
14 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
asli daerah dapat mengembangkan
potensi daerah masing-masing dan
tidak perlu bermigrasi ke daerah
lain.
Dalam proses pembangunan perlu
peran pihak swasta terutama dalam
pendanaan dan investasi. Swasta
akan tertarik untuk bekerja sama
apabila daerah memiliki potensi dan
menjanjikan keuntungan. Salah satu
faktor yang dilihat adalah
ketersediaan infrastruktur.
“Seharusnya ada revisi pengalokasian
DAK dalam jangka menengah, yaitu
kepastian dari pemerintah pusat
dalam menyediakan DAK sampai
proyek infrastruktur yang dijalani
dapat diselesaikan dengan tuntas,
tidak setengah-setengah sehingga
swasta tertarik untuk berinvestasi”
Kritik Prof. Bambang.
Terkait dengan MP3EI, Bambang
menuturkan bahwa konsep
pengembangan wilayah yang tertuang
dalam MP3EI sudah baik, terlebih
dengan adanya konsep konektivitas
antar koridor ekonomi. Akan tetapi
beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah tindakan nyata pemerintah
dalam mengeksekusi pelaksanaan
master plan pembangunan ini.
Menurut pengalaman beliau yang
pernah mengunjungi bandar udara
Kuala Namu di Medan.
Pembangunan bandar udara terbesar
kedua di Indonesia, yang juga
merupakan proyek MP3EI, masih
terkendala banyak masalah seperti
pembebasan lahan dan kecukupan
anggaran sehingga belum terlihat
adanya kemajuan yang berarti.
Selain masalah pelaksanaannya, hal
penting lain yang yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaan
program MP3EI adalah masalah
Sumber Daya Manusia. “Sumber
Daya Manusia (SDM) juga harus
dipersiapkan, jangan sampai kita
hanya jadi penonton dalam
pelaksanaan program MP3EI. Saya
khawatir yang mengerjakan MP3EI
adalah orang luar karena keadaan
SDM kita yang tidak siap.”
Prof. Bambang meyakini bahwa
apabila pelaksanaan program MP3EI
dapat dilaksanakan dengan baik,
maka ketimpangan antar wilayah
akan membaik. Tetapi beliau
meragukan apakah ketimpangan
pendapatan antar individu bisa
berkurang apabila kebijakan masih
‘menggantung’ seperti sekarang.
Ketimpangan antar wilayah perlu
diselesaikan secara komprehensif.
Salah satunya dengan pengembangan
wilayah pertanian. Konsep
Agropolitan dapat diterapkan di
daerah dengan beberapa syarat yaitu,
1)Pengembangan wilayah agropolitan
harus disesuaikan dengan potensi
daerah dan keadaan lahan. 2)
Adanya jaminan integrasi antara
sektor hulu dan hilir sehingga hasil
produksi dapat disalurkan secara
cepat dan target pasar yang jelas.
Dapat disimpulkan bahwa dalam
mengatasi ketimpangan antar wilayah
perlu dorongan terutama untuk
penyediaan infrastruktur dasar
seperti pendidikan, kesehatan, dan
perhubungan. Sektor-sektor ini akan
menjadi pondasi dasar
pengembangan suatu daerah agar
mampu bersaing dengan daerah lain.
(Masyitha Mutiara Ramadhan)
Rubrik Utama
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi
Institut Pertanian Bogor
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 15
Penerapan desentralisasi fiskal sejak
tahun 2001 pada dasarnya memiliki
tujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah dan
kesejahteraan masyarakat. Selama
hampir 12 tahun pelaksanaan
desentralisasi fiskal, ada daerah yang
mengalami perbaikan pelayanan
publik sementara daerah lainnya
belum membaik. Hal ini
menimbulkan persoalan ketimpangan
antar daerah.
Untuk mengetahui lebih lanjut
terkait ketimpangan antar daerah,
tim redaksi TEK melakukan
wawancara dengan Guru Besar
Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Profesor Suahasil Nazara.
Beliau menyatakan pelaksanaan
otonomi daerah belum dapat
mengatasi ketimpangan antar daerah.
Berdasarkan Grand Design
desentralisasi fiskal, alokasi transfer
daerah khususnya Dana Alokasi
Umum (DAU) dimaksudkan untuk
mengatasi ketimpangan horizontal
terkait celah fiskal daerah. Daerah
yang celah fiskalnya besar harus
ditutup dengan DAU yang lebih
besar.Sebaliknya, daerah dengan
celah fiskal kecil ditutup dengan
DAU yang lebih kecil. Dengan
demikian, berdasarkan logika celah
fiskal, daerah seperti DKI Jakarta,
Kutai, dan Riau yang dinilai sudah
dapat memenuhi kebutuhan sendiri
tidak memperoleh alokasi DAU.
Besaran DAU ini terus meningkat
dari tahun ke tahun (Grafik 4).
Namun demikian, DAU yang terus
meningkat belum diikuti oleh
perbaikan pelayanan publik seperti
pendidikan dan kesehatan.
Selain ketimpangan pelayanan publik
baik kualitas maupun kuantitas,
ketimpangan antar daerah akan lebih
terlihat dari ketimpangan output
yang ditunjukkan dengan standar
deviasi PDRB yang semakin besar
(Gambar 5). Meskipun DAU yang
ditransfer ke daerah terus
meningkat, semakin besarnya
standar deviasi PDRB dari tahun ke
tahun memperlihatkan ketimpangan
output yang semakin besar antar
daerah.
Selain itu, dengan adanya otonomi
daerah, DBH hasil alam dibagi sesuai
dengan kekayaan alam yang dimiliki
masing-masing daerah. Akibatnya,
daerah yang minim SDA akan
mendapatkan bagian kecil DBH dan
terjadi ketimpangan. Menurut
Suahasil, ketimpangan seharusnya
diatasi dengan sentralisasi. Melalui
sentralisasi, pendapatan SDA ditarik
Rubrik Utama
Wawancara dengan Prof. Suahasil Nazara:
Ketimpangan Antar Daerah: Efektivitas Alokasi Dana Transfer Daerah?
Perkembangan DAU
4
Standar Deviasi PDRB 2004-2011
5
16 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
dan dibagikan oleh Pemerintah
Pusat.
Otonomi daerah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian,
evaluasi pelaksanaan otonomi daerah
seharusnya dilihat dari output di
daerah yang ditunjukkan oleh PDRB
per kapita yang diciptakan oleh
masyarakat dan pengusaha.
Sedangkan tugas Pemda adalah
melakukan pengeluaran, pengelolaan
APBD, pengelolaan PAD, dan
transfer dari Pemerintah Pusat agar
masyarakat dan pengusaha dapat
menciptakan pendapatan dan
kesejahteraan.
Hal lain yang relevan dengan
otonomi daerah dan keuangan
negara adalah pelayanan publik.
Melalui otonomi daerah, penyediaan
layanan publik diserahkan pada
Pemda yang dianggap lebih
mengetahui kondisi di daerah.Lalu
bagaimana pemerataan antar daerah
tercipta? Salah satu dimensi
pemerataan adalah Standar
Pelayanan Minimum (SPM). Sesuai
Grand Design Desentralisasi Fiskal,
pengaturan SPM ini adalah langkah
Pemerintah Pusat untuk
mempertahankan kesamaan akses
pada layanan dasar. Dimanapun
berada seorang WNI berhak
menikmati standar pelayanan
pemerintah yang sama (yang
minimal). Oleh karenanya, SPM
sangat penting.Namun demikian,
variasi di daerah yang beragam perlu
diperhatikan dalam menentukan SPM
sehingga pemerataan dapat benar-
benar
benar terwujud di seluruh daerah.
SPM adalah kunci pemerataan. SPM
harus difokuskan dan ditentukan
oleh Pemerintah Pusat dan
dijalankan oleh daerah agar
pelayanan publik di setiap daerah
sama dengan menggunakan anggaran
daerah. Pencapaian SPM menjadi
kompetisi antar daerah. Daerah
yang dapat memenuhi atau bahkan
melebihi SPM tentunya menjadi daya
tarik bagi masyarakat dari daerah
lain dengan SPM rendah untuk
melakukan migrasi. Dengan
demikian, mekanisme pemenuhan
SPM ini harus disertai implikasi uang
agar dapat dilaksanakan oleh
Pemda.Daerah yang lebih maju
tentunya memperoleh implikasi
langsung dari banyaknya penduduk
melalui pendapatan pajak yang lebih
besar.Mekanisme ini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan
pemerataan antara kawasan timur
dan barat Indonesia.
Berkaitan dengan MP3EI, Suahasil
menjelaskan bahwa MP3EI dirancang
bukan untuk pemerataan tetapi
untuk mempercepat pertumbuhan.
Meskipun tercapainya tujuan MP3EI
di masa mendatang dapat mengikis
ketimpangan yang terjadi antar
daerah (horizontal). Namun
demikian, Suahasil berpendapat
untuk mengatasi masalah
ketimpangan antar daerah
diperlukan pendekatan yang
berbeda.
Suahasil menambahkan bahwa dalam
mewujudkan tujuan MP3EI terdapat
sejumlah prasyarat penting yang
harus dipenuhi dalam pengelolaan
negara dan pemerintahan.
Mewujudkan MP3EI bukanlah
dengan proyek.Esensi utama MP3EI
adalah perubahan dalam mengelola
bangsa.Sebagai contoh adalah dalam
pengelolaan subsidi BBM bagi
masyarakat kelompok
bawah.Seharusnya skema subsidi
yang dilakukan adalah subsidi orang
bukan subsidi barang agar lebih
hemat dan tepat sasaran.
(Tri Kurnia Ayu)
Rubrik Utama
Prof. Suahasil Nazara
Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi
Universitas Indonesia
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 17
Pada akhir bulan Juli 2012,
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian mengadakan
pertemuan dengan beberapa
stakeholder terkait mengenai
penyempurnaan SOP KUR TKI.
Turut hadir Deputi Perlindungan
BNP2TKI Lisna Y Poeloengan.
Pembahasan kali ini difokuskan pada
beberapa perubahan kecil pada SOP
KUR TKI nomor: KEP-
14/D.I.M.EKON/02/2012 tanggal 1
Februari 2012 seperti pada Bab II
huruf D poin 2a dirubah menjadi
angsuran kredit dibayarkan oleh TKI
melalui rekening TKI di bank
koresponden. Pada poin tersebut
sebelumnya berbunyi angsuran kredit
dipotong dari gaji TKI yang dibayarkan
oleh TKI melalui rekening TKI di bank
koresponden.
Selanjutnya, penambahan pada Bab
I bagian pengertian umum yang
terdiri dari Standar Operasional dan
Prosedur Pelaksanaan Kredit Usaha
Rakyat bagi Tenaga Kerja Indonesia
(KUR TKI), dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan.
Kemudian penambahan pada Bab II
huruf B mengenai persyaratan TKI
yang akan mengajukan KUR TKI
diwajibkan memiliki paspor bagi
penempatan TKI yang dilakukan
melalui perseorangan.
Sementara itu untuk data realisasi
penyaluran KUR periode Januari
hingga Juli 2012 mencapai Rp 18,9
trilliun dengan jumlah debitur
sekitar 1,1 juta. Sedangkan target
penyaluran tahun 2012 sebesar Rp
30 trilliun optimis akan tercapai.
Secara akumulatif, penyaluran KUR
sejak tahun 2007 hingga Juli 2012
sebesar Rp 82,3 trilliun dengan
jumlah debitur 6,8 juta. Tingkat NPL
rata-rata sebesar 3,4%.
Menurut sebaran regional,
penyaluran KUR periode Januari
hingga Juli 2012 tertinggi berada di
Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp
2,98 trilliun atau 15,77%.
Selanjutnya Provinsi Jawa Timur
sebesar Rp 2,89 trilliun atau sebesar
15,29%. Secara komulatif terhitung
tahun 2007 hingga Juli 2012 urutan
penyaluran KUR tertinggi berada di
Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Kemudian, untuk di
luar Jawa yaitu, Sulawesi Selatan dan
Sumatera Utara.
Capaian sektoral penyaluran KUR
menurut sektor ekonomi periode
Januari – Juli 2012, yaitu sektor
perdagangan sebesar 50,0% (12,5%
diantaranya terintegrasi dengan
sektor hulu, sektor lain-lainya
sebesar 24,1%, sektor pertanian dan
perikanan sebesar 15,7%, industri
pengolahan 2,4% dan gabungan sisa
lainnya sebesar 7,8%. Sehingga
penyaluran KUR di sektor hulu
pertanian, kelautan, kehutanan,
industri dan sektor hulu terintegrasi
sebesar 30,6%.
Meskipun target penyaluran KUR
TKI tercapai, namun harus tetap
meningkatkan pengawasan KUR
untuk meningkatkan kualitas
penyalurannya tentunya tanpa
mengurangi capaian target yang
sudah ditetapkan.
(Windy Pradipta)
Penyaluran KUR
Penyempurnaan SOP KUR TKI dan Penyaluran KUR Juli 2012
Sebaran KUR Periode 2007 s.d Juli 2012
6
18 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
Pengembangan Wilayah Suatu Daerah
Konsep dasar penataan ruang
wilayah dan kota dengan
pendekatan pengembangan wilayah
pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjamin
lingkungan hidup yang berkelanjutan
dengan memperhatikan keunggulan
komparatif di suatu wilayah, dan
mengurangi kesenjangan
pembangunan dengan mengurangi
kawasan-kawasan yang miskin,
kumuh dan tertinggal. Salah satu
kegiatannya adalah peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap
faktor-faktor produksi, pengolahan
dan pemasaran, serta mendorong
dan memfasilitasi masyarakat
dengan sarananya.
Penataan ruang suatu daerah
diharapkan dapat memberikan nilai
tambah bagi terwujudnya
pembangunan wilayah kabupaten
dan kota yang berkelanjutan dan
kompetitif yang pada akhirnya tentu
dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
Paling tidak terdapat dua peran
pemerintah daerah yang cukup
penting dalam pembangunan wilayah
yakni sebagai pengatur atau
pengendali (regulator) dan sebagai
pemacu pembangunan (stimulator).
Dana yang dimiliki pemerintah
daerah dapat digunakan sebagai
stimulan untuk mengarahkan
investasi swasta atau masyarakat
umum ke arah yang diinginkan oleh
pemerintah daerah.
Pemerintah daerah yang berhasil
mengembangkan wilayahnya akan
banyak menerima manfaat yang
besar bukan hanya untuk
kesejahteraan masyarakat yang
tinggal pada suatu wilayah akan
tetapi juga membawa dampak
bertambahnya pendapatan asli
daerah yang dihasilkan dari
pengembangan wilayah misal
Peningkatan nilai PBB (Pajak Bumi
Bangunan), perluasan jumlah obyek
wajib pajak (ekstensifikasi pajak) dan
pajak dan retribusi daerah yang
muncul sebagai dampak ikutan dari
pengembangan wilayah.
Ukuran tingkat keberhasilan
pengembangan suatu wilayah dan
ukuran keberhasilan pembangunan
identik dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang direpresentasikan
dengan perubahan atau tingkat
dalam Produk Domestik Bruto-nya.
Kesejahteraan masyarakat akan
terjadi bersamaan dengan
pertumbuhan PDB per kapita yang
tinggi. Pertumbuhan PDB per kapita
yang tinggi diharapkan akan terjadi
penetesan ke bawah (trickle down)
dalam bentuk lapangan pekerjaan
dan kesempatan ekonomi lainnya.
Perlu juga diperhatikan aspek-aspek
yang mendasari pengembangan
wilayah (regional development)
seperti sumber daya manusia
(human resources), sumber daya
alam (natural resources), serta
dukungan pranata sistem
(institutional infrastructure).
Salah satu isu yang patut
dipertimbangkan dalam
pengembangan wilayah adalah
implikasi demokratisasi, yaitu
keikutsertaan masyarakat dalam
penentuan keputusan-keputusan
publik. Hal ini merupakan inti dari
reformasi yang kita cita-citakan
yaitu timbulnya masyarakat sipil (civil
society), masyarakat yang egaliter
berdasarkan kesetaraan. Dengan
demikian, masyarakat harus
diberikan peranan yang cukup besar
dalam penentuan “nasib”nya. Dalam
kaitan tersebut, pendekatan
perencanaan yang sentralistik dan
top-down harus segera direvisi
menjadi pendekatan perencanaan
yang lebih mengedepankan demand
masyarakat yang disebut sebagai
community driven planning. Isu yang
paling aktual untuk saat ini adalah
bagaimana upaya untuk mencapai
kondisi di mana masyarakat
sendirilah yang mendesain rencana
yang diinginkan dan pemerintah
adalah fasilitatornya. Hal ini sangat
penting dalam penataan ruang
wilayah dan perkotaan.
(Gede Edy Prasetya)
Rubrik Ekonomi Daerah
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012 19
Prof. Robert A. Simanjuntak, Ph.D:
Masih terdapat Korelasi yang Lemah antara Alokasi Dana Transfer dengan Pemerataan
Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi
Desentralisasi di Indonesia telah
berjalan lebih dari 10 tahun. Dalam
pelaksanaannya, terdapat berbagai
evaluasi yang dilakukan baik oleh
pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, salah satunya
terkait dengan efisiensi dan
efektivitas pemanfaatan dana transfer
sebagai salah satu komponen dari
desentralisasi fiskal terutama untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi
dan mengurangi kesenjangan
pendapatan baik antara pusat dan
daerah maupun antar daerah.
Sejak tahun 2001, telah terjadi
peningkatan transfer yang signifikan
dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Pada tahun 1999/2000
pemerintah pusat mengalami surplus
anggaran sebesar 6,26% sedangkan
pemerintah kabupaten/kota
mengalami defisit sebesar 7,74%. Hal
tersebut terjadi sebaliknya pada
tahun 2008 dimana pemerintah
pusat mengalami defisit sebesar 4%
sedangkan pemerintah daerah justru
mengalami surplus anggaran sebesar
2,5%. Hal ini menggambarkan
bahwa persoalan ketimpangan juga
terjadi secara vertikal antara pusat
dan daerah. Kenaikan transfer di
pemerintah daerah yang terjadi
tersebut tidak hanya berasal dari
alokasi dana perimbangan seperti
DAU, DAK, maupun DBH, tetapi
juga terjadi kenaikan signifikan pada
dana Otonomi Khusus dan dana
Penyesuaian.
Terdapat beberapa persoalan yang
mempengaruhi efisiensi dan
efektivitas dana transfer dalam
pertumbuhan ekonomi. Pertama,
adanya dana otonomi khusus dan
dana penyesuaian yang secara
langsung mengurangi maksud dari
adanya dana transfer. Menurut Prof.
Robert A. Simanjuntak, kedua dana
tersebut memiliki banyak unsur
politis di dalamnya, sehingga tujuan
utamanya bukan pada kepentingan
masyarakat secara luas, tetapi lebih
kepada kepentingan satu atau dua
golongan. Kedua, peningkatan dana
perimbangan juga diikuti dengan
peningkatan simpanan tabungan
daerah di perbankan. Sebagian dari
dana ini merupakan bagian dari
pengelolaan kas jangka pendek yang
bertentangan dengan prinsip
pengelolaan keuangan. Namun dari
kajian diduga bahwa sebagian besar
dana merupakan dana menganggur
atau sengaja disimpan untuk
mendapatkan keuntungan bunga.
Dalam hubungannya dengan
pelayanan publik, Prof. Robert
mengatakan bahwa sampai saat ini,
masih terdapat korelasi yang lemah
antara perubahan transfer pusat
dengan perubahan outcomes pada
layanan publik. Hal yang
memprihatinkan adalah tidak adanya
perbaikan pelayanan public di
banyak kabupaten/kota walaupun
belanja daerah meningkat pesat.
Hal ini kemudian memunculkan
persoalan ketimpangan geografis
dan masalah keadilan antara provinsi
dan antara kabupaten/kota. Dapat
dikatakan bahwa secara umum,
pelaksanaan desentralisasi yang
telah berjalan selama 12 tahun ini
belum memberikan dampak yang
signifikan terhadap pertumbuhan
Opini Pakar
ekonomi, kualitas layanan publik,
serta dalam pemerataan pendapatan
baik secara vertikal maupun
horisontal.
Melihat pada kondisi tersebut,
menurut Prof. Robert, terdapat
berbagai upaya yang perlu
dilakukan. Pertama, pemerintah
pusat perlu untuk membuat
kebijakan agar daerah melakukan
realokasi anggaran ke arah
peningkatan belanja modal dan ke
arah sektor yang mempengaruhi
langsung kesejahteraan. Kedua,
perlu diidentifikasi lebih lanjut
mengapa masih terjadi
ketidakseimbangan keuangan
vertikal antara pemerintah pusat
Murah di daerah masing-masing baik
melalui dana dekonsentrasi (APBN)
maupun APBD dimana beberapa
Pemda akan memberikan subsidi
harga; dan (4) Melakukan
pemantauan terhadap ketersediaan,
distribusi dan perkembangan harga
disetiap daerah untuk dapat segera
mengambil langkah yang cepat.
(Mamay Sukaesih)
Rubrik Opini Pakar
dan daerah. Beberapa kebijakan
yang mungkin dilakukan seperti
implementasi pembagian urusan
pusat dan daerah, pelayanan
minimum, dan sebagainya. Terakhir,
terkait dengan kemungkinan
ketidakseimbangan keuangan
vertikal karena adanya kebijakan
desentralisasi fiskal, besarnya negatif
posisi keuangan pemerintah
menunjukkan bahwa ada
kemungkinan pemerintah pusat
masih membiayai urusan yang telah
menjadi kewenangan daerah, hal ini
tercermin antara lain dari masih
besarnya dana dekonsentrasi. Oleh
karena itu, pemerintah pusat perlu
untuk segera mengalokasikan dana
ini ke daerah dalam bentuk dana
perimbangan, khususnya untuk
dialihkan menjadi DAK. (Fauzia
Suryani Puteri)
Prof. Robert A. Simanjuntak, Ph.D
Guru Berar Departemen Ekonomi,
Universitas Indonesia
Sambungan halaman 2:
Stabilitas Harga dan Ketersediaan
Pangan Pokok
Namun, untuk bulan puasa dan
lebaran tahun 2012 harga kedelai
diperkiran meningkat. Pemicunya
adalah harga kedelai di pasar global
meningkat karena negara produsen
kedelai seperti Amerika Serikat
mengalami kekeringan. Upaya
pemerintah untuk stabilisasi harga
dan ketersediaan kedelai dilakukan
antara lain dengan memberlakukan
pembebasan bea masuk kedelai
mulai 1 Agustus 2012 (dari 5%
menjadi 0%). Selain itu koperasi
perajin tahu dan tempe
diperbolehkan mengimpor kedelai
sendiri.
Pemerintah akan memfasilitasi
dengan meminta perbankan
membantu pembiayaan bagi
koperasi.
Secara umum, langkah-langkah yang
dilakukan pemerintah dalam
menjaga stabilisasi harga dan
ketersediaan pangan pokok dalam
menghadapi puasa dan hari besar
keagamaan antara lain (1)
Melakukan pengamanan kelancaran
arus barang dari sentra produksi ke
konsumen. Kementerian
Perhubungan menetapkan H-4
merupakan hari stop untuk
pengangkutan sembako; (2)
Kesiapan armada angkut baik laut
maupun darat dalam menjamin
kelancaran distribusi pangan; (3)
Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan
asosiasi komoditi melakukan Pasar
20 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I Agustus 2012
17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2012
Minal ‘Aidin Wal Faidzin